Upload
doandan
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH
KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK AFRIKA SELATAN
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
MUJIONO HAFIDH PRASETYO
NIM. E0005207
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
i
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Dengan menyebut nama allah yang maha pengasih lagi maha penyayang
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH
KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK AFRIKA SELATAN
Oleh
Mujiono Hafidh Prasetyo
NIM. E0005207
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Juni 2012
Pembimbing Utama Co. Pembimbing
Aminah, S.H., M.H. Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H.
NIP. 19510513 198103 2 001 NIP. 19700621 200604 2 001
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH
KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK AFRIKA SELATAN
Oleh
Mujiono Hafidh Prasetyo
NIM. E0005207
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari :................................
Tanggal :................................
DEWAN PENGUJI
1 :.........................................................
Ketua
2 :.........................................................
Sekretaris
3 :........................................................
Anggota
Mengetahui
Dekan,
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum.
NIP. 19570203 198503 2 001
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERNYATAAN
Nama : Mujiono Hafidh Prasetyo
NIM : E0005207
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : STUDI
KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK AFRIKA
SELATAN adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan
hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di
kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi
akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari
penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Juni 2012
Yang membuat pernyataan
Mujiono Hafidh Prasetyo
NIM. E0005207
v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
MOTTO
Orang yang paling sukses adalah orang yang paling sering gagal, dan ia mau terus berusaha
hingga ia dapatkan kesuksesan yang sesungguhnya. . .
Hal yang paling harus kita takuti di dunia ini adalah ketakutan itu sendiri. . .
Apabila kita mencoba mungkin kita akan gagal, namun apabila kita tidak mencoba maka kita
pasti gagal. . .
Tidak ada orang sukses yang tidak pernah gagal. . .
Hal yang besar selalu diawali dari hal yang kecil, dan dilakukan mulai sekarang. . .
(History of A Writer)
vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERSEMBAHAN
Didalam ketidaksempurnaan, kupersembahkan skripsiku ini :
Untuk Tuhanku “Allah SWT”
Untuk Rasulku “Muhammad SAW”
Untuk mereka yang selalu mendidikku, membimbingku, menuntunku, dan mendoakanku yang
tak bisa kubalas jasanya, “Ibu dan Bapak” yang tercinta, kakak-kakak terbaikku Yahmi,
Sulardi, dan adik-adikku tersayang, Sri Waluya, Suparman
Untuk Ibu angkatku yang selalu mendidikku, membimbingku, menuntunku, mendoakanku,
setia dalam suka dan duka serta selalu setia menanti skripsi ini tercipta
Untuk keluarga besar penulis yang telah menjadi motivator dan inspirasi bagi penulis untuk
selalu optimis dan percaya diri
Untuk teman-teman FH UNS Angkatan 2005
vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRAK
Mujiono Hafidh Prasetyo, 2012, “STUDI KOMPARASI KEWENANGAN
KELEMBAGAAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK AFRIKA SELATAN”. Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.
Penulisan Hukum ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai Bagaimana
Persamaan dan Perbedaan Kewenangan Kelembagaan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Jenis
data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi
dokumen dengan teknik analisis isi.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa pada dasarnya,
Kata Kunci : Kewenangan, Mahkamah Konstitusi, Indonesia, Afrika Selatan
viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRACT
Mujiono Hafidh Prasetyo, 2012, “COMPARATIVE STUDY OF
INSTITUTIONALITY AUTHORITY OF CONSTITUTIONAL COURT OF
REPUBLIC OF INDONESIA AND CONSTITUTONAL COURT OF REPUBLIC OF
SOUTH AFRICA”. Faculty of Law, Sebelas Maret University.
Legal Writing this review and answer the problem of How the Equivalence and the
Difference of Institutionality Authority of Constitutional Court of Republic of Indonesia and
Constitutonal Court of Republic of South Africa
This research study is a descriptive normative law. Type of data used are secondary
data covering primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials.
Data collection techniques used is the study of documents with the technique of content
analysis.
Based on this study showed that basically,
Keywords : Authority, Constitutional Court, Indonesia, South Africa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRACT
Mujiono Hafidh Prasetyo, 2012, “COMPARATIVE STUDY OF INSTITUTIONAL
AUTHORITY OF INSTITUTIONAL OF REPUBLIC OF INDONESIA AND
CONSTITUTIONAL COURT OF REPUBLIC OF SOUTH AFRICA”. Faculty of Law,
Sebelas Maret University.
Legal writing this review and answer the problem of How to know the Equivalence and the
Difference of Institutionality Authority of Constitutional Court of Republic of Indonesia and
Constitutional Court of Republic of South Africa.
This research study is a descriptive normative law. The type of data used are secondary data
covering primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. Data
collection techniques used is the study of document with the technique of content analysis.
Based on this study showed that basically, institutional authority of Constitutional Court of
Republic of South Africa mentioned live in its constitution (Constitution of The Republic of
South Africa Number 108 of 1996), the same as Institutional Authority of Constitutional
Court of Republic of Indonesia gived and mentioned live in Constitution of Republic of
Indonesia 1945. Constitutional Court is the highest judicial justify constitutional problem
both Constitutional Court of Republic of Indonesia and Constitutional Court of Republic of
South Africa, Constitutional Court had authority to justify constitutional complaint and
problems about justify at othel judicial level upon constitutional complaint.
Social needed of Indonesia people about constitutional complaint is urgent and must be held
as an effort to protect constitutional right of Indonesian people itself. The application of a
concept without adaptation of new system to original system will make disorder the original
system that has been used in Indonesia law system. The effort to protect Constitutional rights
of Indonesia people in life and freedom of religiom must be selected carefully. Government
has a duty to protect the society form deviate conviction that indicated can destroy the peace
of society or hurt the other religion. For that case, constitutional complaint can’t be used as
mechanism to protect the deviate conviction for the reason to protect the life and freedom of
religion. The mechanism of constitutional complaint as an authority of Comstitutional Court
first must held the socialozation to all Indonesian people in order to the closeness between
Indonesia people and Constitution of Indonesia.
Keywords: Comparative Study, Authority, Constitutional Court, Repiblic of Indonesia,
Republic of South Africa
ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim
Syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT karena hanya dengan berkah,
rahmat, karunia, dan ridho-Nya, sehingga akhirnya Penulis dapat menyelesaikan penulisan
hukum dengan judul “STUDI KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH
KONSTITUSI REPUBLIK AFRIKA SELATAN” dengan baik dan lancar.
Penulisan hukum ini dapat diajukan untuk melengkapi tugas-tugas serta memenuhi
salah satu persyaratan guna memperoleh gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta. Selain itu, penulisan hukum ini diharapkan dapat menempuh wawasan,
pengetahuan, dan informasi bagi penulisan maupun pembaca.
Dalam penyusunan penulisan hukum ini, Penulis tidak dapat menyelesaikannya tanpa
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan
segala kerendahan hati Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin kepada Penulis untuk
penulisan hukum ini;
2. Bapak Jadmiko Anom Husodo, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik (PA) yang
telah memberi ijin dan kesempatan kepada Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
3. Ibu Maria Madalina, S.H., M.Hum. selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi ijin dan
kesempatan kepada Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dan beliau merupakan
inspirator penulis sehingga Penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan baik
yang insyaalloh jasanya tidak akan pernah Penulis lupakan;
4. Ibu Aminah, S.H., M.H. selaku Pembimbing Utama skripsi Penulis yang telah berjasa
memberikan arahan, bantuan, semangat, meluangkan waktu tanpa mengenal lelah dan
dengan penuh kesabaran yang tiada batas demi keberhasilan penyusunan skripsi ini
yang tidak akan terlupakan oleh Penulis;
5. Ibu Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H. selaku Co. Pembimbing skripsi Penulis yang
dengan penuh kesabaran memberikan arahan, bantuan, semangat, senyuman, dan
telah meluangkan banyak waktu tanpa mengenal lelah dan dengan penuh kesabaran
x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang tiada batas demi keberhasilan penyusunan skripsi ini yang tidak akan terlupakan
oleh Penulis;
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang
telah memberikan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya
kepada Penulis sehingga pengetahuan tersebut dapat dijadikan bekal dalam penulisan
hukum ini dan semoga dapat Penulis amalkan dalam kehidupan masa depan Penulis;
7. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang
selama ini telah banyak sekali membantu Penulis dalam hal akademis dan hal-hal lain
yang berkenaan dengan perkuliahan;
8. Ibunda dan Ayahanda tercinta, Ibunda yang selama ini telah mengorbankan jiwa dan
raganya dan senantiasa mencurahkan seluruh doa dan kasih sayangnya, Ayahanda
yang senantiasa memberikan dukungan dan doa bagi Penulis sehingga mampu
menyelesaikan penulisan hukum ini;
9. Ibunda angkat tercinta yang selama ini telah mengorbankan jiwa dan raganya dan
yang senantiasa memberikan dukungan, motivasi, mencurahkan seluruh doa dan kasih
sayangnya untuk Penulis sehingga mampu menyelesaikan penulisan hukum ini;
10. Kakak-kakakku, Mbak Yahmi dan Mas Lardi, terima kasih atas nasehat dan dukungan
kalian selama ini;
11. Adik-adikku, Dik Waluya dan Dik Parman, terima kasih kepada kalian selama ini;
12. Adik angkatku, Ridwan Arif Jauhari, terima kasih atas bantuannya yang telah rela
menemani Penulis dalam proses pembuatan penulisan hukum ini;
13. Seluruh teman-teman angkatan 2005 : Probo, Rusydi, Deja, Ika, Anton, Kelik, dsb
yang tidak dapat disebutkan satu persatu;
14. Semua pihak yang telah membantu Penulis dalam menyusun penulisan hukum ini
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini bukan karya yang sempurna, untuk itu kritik dan saran
dari pembaca budiman sangat Penulis perlukan. Akhirnya, semoga skripsi ini mampu
memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.
Surakarta, Juni 2012
Mujiono Hafidh Prasetyo
E0005207
xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ...................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................................... v
HALAMAN MOTTO .................................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................................... vii
ABSTRAK ..................................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ................................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL .......................................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 9
C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 10
D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 10
E. Metode Penelitian ............................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan Hukum ............................................................ 18
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritis ............................................................................... 20
1. Tinjauan tentang Perbandingan Hukum ......................................... 20
2. Tinjauan tentang Negara Hukum ................................................... 26
3. Tinjauan tentang Demokrasi ........................................................... 31
xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4. Tinjauan tentang Konstitusi ........................................................... 38
5. Tinjauan tentang Mahkamah Konstitusi ......................................... 47
6. Tinjauan tentang Hukum Acara Mahkamah Konstitusi .................. 56
B. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 72
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persamaan dan Perbedaan Kewenangan Kelembagaan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Mahkamah
Konstitusi Republik Afrika Selatan ………………………………… 73
1. Sejarah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi di Indonesia …….. 73
2. Sejarah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi di Afrika Selatan … 77
3. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ………. 81
4. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan ….. 87
5. Komparasi Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan …. 92
B. Kewenangan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik
Afrika Selatan yang Dapat Menjadi Evaluasi dan Masukan di
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia …………………………. 94
1. Ide Mekanisme Constitutional Complaint dari Mahkamah
Konstitusi Republik Afrika Selatan sebagai Masukan bagi
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia ……………………… 94
2. Pengertian Constitutional Complaint ………………………………… 99
3. Hak Konstitusional Masyarakat ………………………………….
100
4. Sinkronisasi Constitutional Complaint dengan Sistem
Hukum di Indonesia …………………………………………….. 102
5. Posibilitas Keadaan Sosial di Indonesia Pasca
Penerapan Constitutional Complaint ………………………………… 108
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 110
B. Saran .................................................................................................... 112
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Kerangka Pemikiran ........................................................................................ 72
xiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Perbedaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan
Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan …………………………... 94
xv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lingkungan jabatan kenegaraan yang ada dalam suatu negara dapat berbeda
dengan negara lain. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh keperluan masing-
masing negara. Walaupun demikian adanya pengaruh ajaran Trias Politica
menyebabkan di setiap negara sekurang-kurangnya selalu dijumpai tiga
lingkungan jabatan kenegaraan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Susunan lingkungan jabatan kenegaraan beserta ruang lingkup
kewenangannya masing-masing diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD).
UUD yang berlaku di Indonesia saat ini adalah UUD 1945 beserta perubahan-
perubahannya. Ketentuan dalam UUD 1945 baik sebelum amandemen maupun
setelah amandemen tidak mengatur prinsip supremasi parlemen ataupun prinsip
undang-undang (UU) tidak dapat diganggu gugat. Sebaliknya yang ada justru
prinsip konstitusi derajat tinggi, artinya UUD 1945 ditempatkan lebih tinggi dari
peraturan perundang-undangan lainnya sehingga tidak bisa disimpangi. Hal ini
tampak dari tata cara perubahan UUD 1945 sebagaimana diatur dalam Pasal 37
UUD 1945, yang jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan perubahan undang-
undang.
Konsekuensi dari penempatan UUD 1945 sebagai konstitusi derajat tinggi
adalah UUD harus menjadi sumber hukum tertinggi dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya. Dengan demikian
peraturan perundang-undangan yang ada di bawah UUD 1945, secara hierarkis
tidak bertentangan dengan UUD 1945 itu sendiri sesuai dengan tertib doktrin
hukum. Hal terakhir ini digariskan dalam Ketetapan MPRS Nomor
XX/MPRS/1996 tentang Memorandum DPRGR yang ada di dalamnya berbicara
mengenai hirarkhi peraturan perundang-undangan yang kemudian diubah oleh
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Perundang-undangan. Kedua Ketetapan MPR itu menempatkan UUD 1945 dalam
kedudukaan tertinggi. Perkembangan berikutnya keluar Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan kemudian
diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang juga menempatkan UUD 1945 dalam
kedudukan tertinggi.
Dari Ketetapan MPR dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tersebut
diatas dapat disimpulkan bahwa semua peraturan perundang-undangan harus
bersumber pada UUD 1945atau tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.
UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan dibawahnya, dengan tegas memerintahkan materi muatan
tertentu diatur lebih lanjut dalam UU. UU sebagai peraturan perundang-undangan
yang salah satu materi muatannya adalah materi yang diperintahkan oleh UUD
mempunyai kedudukan dan fungsi yang strategis untuk menciptakan sistem
norma yang baik sesuai dengan doktrin tertib hukum.
Untuk membuat UU yang sejalan dengan UUD tidak cukup hanya
diserahkan kepada pembuat UU untuk menafsirkan keinginan UUD. Pembuat UU
tidak jarang menghasilkan produk hukum yang disebut UU lebih didominasi oleh
keinginan-keinginan politik untuk mempertahankan kekuasaannya. Hal ini
berakibat adanya UU yang bertentangan dengan UUD dan tetap berlaku sebagai
hukum yang harus ditaati.
Alasan lain yang menyebabkan UU bertentangan dengan UUD adalah
dalam hal penafsiran terjebak pada situasi Legal Formalism dan Policy and
Principles Oriented (Efik Yudiansyah, 2010 : 2). Legal Formalism yang
mendekati hukum secara ketatsebagai dokumen-dokumen formal yang kaku
dengan mengandaikan bahwa dokumen-dokumen itu selalu mencerminkan nilai-
nilai ideal yang harus dijadikan pegangan normatif dan terpercaya. Sebaliknya
Policy And Principles Oriented lebih mementingkan prinsip-prinsip dan
kebijaksanaan yang terkandung dalam dokumen tersebut. Dokumen hanyalah alat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
yang penting isinya, ideologi dan prinsip-prinsip yang dikandungnya sehingga
dapat berlaku universal. Perbedaan pendekatan dalam menafsirkan ini pun sering
menimbulkan perdebatan terhadap konsistensi UU terhadap UUD.
Keadaan ini diperparah oleh tidak ada lembaga pembanding untuk
menafsirkan UUD, sehingga tidak ada check and balance terhadap pembuatan
UUD. Lembaga pengujian secara materiil ini ditafsirkan,pengujian materiil oleh
badan yudisial terhadap UU tidak boleh. Pengujian secara materiil yang dilakukan
oleh badan yudisial dibolehkan, tetapi hanya terbatas pada peraturan perundang-
undangan dibawah UU dan badan yudisialnya pun terbatas hanya Mahkamah
Agung.
Dalam perkembangannya pengujian secara materiil ini tidak hanya pada
peraturan perundang-undangan tetapi juga pada beschikking. Perkembangan
berikutnya untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-
undang tidak hanya kewenangan Mahkamah Agung tetapi kewenangan peradilan
tingkat pertama dan tingkat banding. Dengan aturan yang seperti itu sangat
mungkin ada peraturan peerundang-undangan dalam hal ini UU dan Ketetapan
MPR yang bertentangan dengan UUD 1945, sehingga UUD 1945 sebagai
konstitusi derajat tinggi mendapat tantangan dari UU dan Ketetapan MPR.
Keadaan ini memunculkan kembali perdebatan perlu tidaknya meletakkan
kewenangan hak uji materiil kepada yudisial. Tahun 1995 misalnya Mahkamah
Agung mengusulkan membentuk Mahkamah Konstitusi yang berfungsi meneliti,
apakah semua produk perundang-undangan yang ada telah sesuai dengan UUD
1945. Usul ini ditentang dengan alasan keberadaan Mahkamah Konstitusi hanya
akan menimbulkan birokrasi baru, yang belum tentu menghasilkan perbaikan
dalam melakukan kontrol terhadap pembentuk UU. Kelompok yang berpendapat
demikian menyatakan justru yang lebih penting adalah mengaktifkan peran
judicial review terhadap peraturan yang berada di bawah UU.
Keinginan untuk menguji secara materiil UU tidak berhenti dengan
ditolaknya usulan Mahkamah Agung tersebut, kemudian muncul gagasan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
memperluas kewenangan Mahkamah Agung melaksanakan pengujian secara
materiil tidak hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU
melainkan juga terhadap UU. Usulan ini kembali ditentang dengan alasan
pengujian secara materiil terhadap UU lebih sesuai diberikan kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan cara lebih mengaktifkan Badan Pekerja
MPR.
Kekosongan yang relatif lama terhadap kewenangan untuk menguji secara
materiil UU berakibat banyaknya produk hukum yang namanya UU bertentangan
UUD. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip UUD sebagai hukum tertinggi.
Tahun 2000 dengan keluarnya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 terjadi
perubahan, khususnya dalam hak uji materiil. Ketetapan MPR ini memberikan
kewenangan kepada MPR untuk menguji secara meteriil terhadap undang-undang,
apakah UU tersebut sama bertentangan atau tidak dengan UUD atau Ketetapan
MPR. Dengan adanya Ketetapan MPR ini maka dapat dilihat dari lembaga yang
berwenang menguji secara materiil terhadap peraturan perundang-undangan ada
dua lembaga, yaitu lembaga yudisial dan politik. Lembaga yudisial hanya
berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang,
sedangkan lembaga politik menguji undang-undang.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD RI 1945) sejak tahun 1999 sampai dengan 2002 merupakan salah satu
tuntutan gerakan reformasi pada tahun 1998. Tuntutan perubahan UUD 1945 yang
digulirkan tersebut didasarkan pandangan bahwa UUD 1945 tidak cukup memuat
sistem checks and balances antarcabang-cabang pemerintahan (lembaga negara)
untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan atau suatu tindak melampaui
wewenang. Selain itu, UUD 1945 tidak cukup memuat landasan bagi kehidupan
demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Aturan UUD 1945 juga banyak yang menimbulkan multitafsir dan membuka
peluang bagi penyelenggaraan yang otoriter, sentralistik, tertutup, dan Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Tuntutan tersebut kemudian diwujudkan dalam
empat kali perubahan UUD 1945.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Selain perubahan dan penambahan butir-butir ketentuan, perubahan UUD
1945 juga mengakibatkan adanya perubahan kedudukan dan hubungan beberapa
lembaga negara, penghapusan lembaga negara tertentu, dan pembentukan
lembaga-lembaga negara baru. Perubahan memang ditujukan pada
penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan masing-masing lembaga
negara. Hal tersebut memang dimaksudkan untuk memperbaiki dan
menyempurnakan penyelenggaraan negara agar lebih demokratis, seperti
disempurnakannya sistem saling mengawasi dan mengimbangi (checks and
balances).
Salah satu perubahan konkrit adalah mengenai kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sebelum perubahan UUD 1945, kedudukan
MPR adalah lembaga tertinggi negara yang juga merupakan pemegang kekuasaan
tertinggi dalam negara (die gesamte staatsgewalt liegt allein bei der Majelis) dan
merupakan lembaga negara terpenting karena pada lembaga inilah
menjelmakedaulatan rakyat. Setelah perubahan UUD 1945, MPR tidak lagi
menjadi lembaga tertinggi negara dan pemegang kedaulatan rakyat tertinggi.
Sejalan dengan hubungan kelembagaan yang saling mengontrol dan
mengimbangi tersebut tentunya memungkinkan terjadi sengketa antarlembaga
negara, khususnya yang terkait dengan kewenangan konstitusional. Karenanya,
menurut Jimly Asshiddiqie, dibutuhkanlah Mahkamah Konstitusi untuk
memeriksa dan memutus sengketa kewenangan konstitusional antarlembaga
negara.
Hubungan antara satu lembaga dengan lembaga yang lain diikat oleh prinsip
checks and balances, dimana lembaga-lembaga tersebut diakui sederajat tetapi
saling mengendalikan satu sama lain. Sebagai akibat adanya mekanisme
hubungan yang sederajat itu, timbul kemungkinan dalam melaksanakan
kewenangan masing-masing terdapat perselisihan dalam menafsirkan amanat
UUD. Jika timbul persengketaan pendapat semacam itu, diperlukan organ
tersendiri yang diserahi tugas untuk memutus final atas hal itu. Dalam sistem
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
ketatanegaraan yang telah diadopsikan dalam UUD 1945, mekanisme
penyelesaian sengketa kewenangan demikian dilakukan melalui proses peradilan
tata negara yaitu melalui lembaga yang dibentuk tersendiri dengan nama
Mahkamah Konstitusi (Jimly Asshiddiqie, 2005 : 2).
Hal tersebut juga disampaikan Achmad Roestandi. Menurutnya, hal-hal
yang mendorong dibentuknya Mahkamah Konstitusi, salah satunya, sebagai
berikut :
Bertambahnya lembaga negara dan bertambahnya ketentuan sebagai akibat
perubahan UUD 1945, menyebabkan potensi sengketa antara lembaga negara
menjadi semakin banyak. Sementara itu telah terjadi perubahan paradigma dari
supremasi MPR ke supremasi konstitusi, sehingga tidak ada lagi lembaga negara
tertinggi (yang sebelumnya diduduki oleh MPR) yang memegang supremasi
kekuasaan yang berwenang menyelesaikan sengketa antar lembaga negara. Oleh
karena itu, diperlukan lembaga yang netral untuk menyelesaikan sengketa tersebut
(Achmad Roestandi, 2005 : 6).
Kewenangan penyelesaian sengketa tersebut, dalam praktik-praktik negara-
negara sejak abad XX, menurut I Dewa Gede Palguna, memang lazimnya
diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, karena lembaga negara inilah yang
memiliki fungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution).
Bahkan, kewenangan demikian harus dianggap ada, walaupun konstitusi tidak
secara tegas menyatakannya (I Dewa Gede Palguna, 2008 : 17).
Indonesia pun mengadopsi keberadaan Mahkamah Konstitusi. Pasal 24 ayat
(2) UUD RI 1945 menyatakan :
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan
tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Menurut Bagir Manan,
kekuasaan kehakiman yang merdeka berkaitan erat dengan faham pembatasan
kekuasaan, baik yang bersumber pada ajaran pemisahan (pembagian) kekuasaan,
faham negara berdasarkan atas hukum, atau demokrasi (Bagir Manan, 2007 : 31).
Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai
cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang
menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.
Amandemen ketiga UUD 1945 mengubah ketentuan-ketentuan yang
mengatur kekuasaan kehakiman, khusus tentang hak uji materiil ada dua badan
yudisial yang berwenang menguji, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi. Kewenangan Mahkamah Agung hanya untuk menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang, sedangkan yang menguji undang-
undang adalah Mahkamah Konstitusi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi ini
memberikan harapan akan tegaknya konsepsi negara hukum. Dikatakan memberi
harapan akan tegaknya konsepsi negara hukum, karena hak menguji materiil
merupakan pranata yang berkaitan erat dengan konsep hukum dasar dan hukum
tertinggi. Dari sudut pandang ini dasar tujuan dari hak menguji adalah untuk
melindungi konstitusi dari pelanggaran atau penyimpangan yang mungkin
dilakukan badan pembuat UU.
Sejalan dengan hal tersebut I Gede Pantja Astawa menyatakan bahwa
pranata judicial review mempunyai tempat yang strategis dalam kehidupan
ketatanegaraan yang berbingkaikan semangat konstitusionalisme, dengan tujuan :
1. Melindungi kepentingan rakyat banyak dari tindakan sewenang-wenang
pembentuk UU sekaligus mencegah agar keberlakuan suatu UU tidak berlawanan
dengan UUD 1945, dan 2. Menjaga kewibawaan UUD 1945 sebagai Hukum
Dasar tertinggi dalam negara (supreme law of the land), untuk itu harus ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
institusi yang bertindak sebagai pengawal (guarantor) konstitusi (Efik
Yusdiansyah, 2010 : 4).
Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip
check and balance menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara
sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Mahkamah
Konstitusi melakukan uji UUD adalah untuk menjaga dan menegakkan konstitusi
apabila terjadi pelanggaran konstitusi oleh UUD. Dengan mekanisme ini jelas
bahwa peranan Mahkamah Konstitusi dalam ketatanegaraan Indonesia adalah
untuk menjaga jangan sampai terjadi pelanggaraan konstitusi oleh lembaga
negara. Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan kontitusional tentang
legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif
diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau
tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk hukum tersebut
tidak konstitusional. Untuk itu dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan
khusus yang disebut Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Organ khusus
yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-
undang yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh organ
lain.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi antar satu negara dengan negara lain
tentunya memiliki persamaan dan perbedaan hal ini sangat dipengaruhi oleh suatu
bangsa, kewenangan yang diberikan langsung oleh konstitusi, untuk mengawal
konstitusi suatu negara. Mahkamah Konstitusi di Indonesia dan di Afrika Selatan
sama-sama sudah melembaga. Sejarah terbentuknya lembaga baru yang diberi
nama Mahkamah Konstitusi dalam ketatanegaraan di Indonesia adalah diawali
dengan diadopsinya ide Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) dalam
amandemen konstitusi, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah
satu perkembangan hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad XX.
Pada tahun 1993 Konstitusi Sementara Afrika Selatan membentuk sebuah
lembaga yang dimaksudkan untuk menjaga proses demokratisasi dan melakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
penafsiran atas nilai-nilai konstitusi yaitu Mahkamah Kontitusi. Berdasarkan
perintah Konstitusi Sementara, Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan berdiri pada
tahun 1994 dan melaksanakan siding pertama kalinya pada bulan Februari 1995
(Pan Mohammad Faiz, (http://theceli/pub/menabur-benih-constitutional
complaint.doc> [18 April 2012 pukul 10.30 WIB]).
Alasan penulis membandingkan Indonesia dan Afrika Selatan dikarenakan
oleh beberapa hal yang sama antara Indonesia dan Afrika Selatan, di antaranya :
1. Persamaan Lambang Negara
Gambar 1. Lambang Negara Afrika Selatan dan Indonesia
Persamaan lambang negara antara Indonesia dan Afrika Selatan terletak pada
bentuk dasarnya, yaitu sama-sama berbentuk burung yang kepalanya sama-
sama menghadap ke kanan serta burungnya sama-sama memiliki jambul di
belakang kepalanya.
2. Persamaan Semboyan Negara
Semboyan Negara Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika,
sedangkan semboyan Negara Afrika Selatan adalah Ike E Xarra Ike.
Lepas dari persamaan Ika dan Ike, kedua semboyan negara ini memiliki arti
yang sama, yaitu sama-sama Walau Berbeda-beda tapi Tetap Satu alias Unity
in Diversity.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
3. Persamaan Kedudukan Regional
Berdasarkan Pendapatan Negara atau GDP, di Asia Tenggara Indonesia
merupakan negara terkaya. Indonesia juga merupakan pemimpin ASEAN
dimana sekretariat ASEAN berada di Indonesia sama-sama halnya dengan
Afrika Selatan, di Afrika sana, Afrika Selatan merupakan negara terkaya dan
African Union atau Uni Afrika, berpusat di Afrika Selatan.
4. Persamaan Penjajah
Republik Afrika Selatan atau Uni Afrika Selatan merupakan negara tertua di
Benua Afrika dan nasibnya hampir sama dengan Negara Indonesia yaitu
sama-sama pernah dijajah oleh Belanda. Afrika Selatan dijajah Belanda tahun
1652 karena di sana ditemukan cadangan berlian yang berlimpah. Inggris,
Juara Piala Dunia 1966 juga berminat menjajah Afrika Selatan sehingga
terjadi Perang Britania-Belanda. Di Indonesia juga terjadi perang Inggris
versus Belanda pada tahun 1948.
Penjajah Belanda mereka sebut Afrikaner, sedangkan kita menyebutnya
Kompeni. Afrika Selatan memang sebelumnya dijajah oleh Inggris, Afrika
Selatan juga dijajah oleh Belanda (Netherlands) pada tahun 1652 atau sekitar
abad ke-17 Belanda datang ke Indonesia juga sama-sama pada abad ke-17.
5. Persamaan Kekayaan Sumber Daya Alam
Indonesia dan Afrika Selatan sangat dilirik mancanegara karena sama-sama
memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang sangat melimpah. Indonesia
terkenal akan emasnya dan Afrika Selatan terkenal akan berliannya. Mirisnya,
SDA kedua negara ini sama-sama diambil oleh pihak asing.
6. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Jacob sama-sama dipilih
pada tahun 2009
7. Sama-sama berada di bumi bagian Selatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
8. Sama-sama memiliki banyak suku dan bahasa
9. Pemerintahannya sama-sama Republik Presidensial
10. Afrika Selatan merdeka karena terinspirasi oleh kemerdekaan Indonesia
11. Presiden Afrika Selatan terdahulu, Mandela pernah berkunjung ke Indonesia
sebanyak dua kali, begitu juga Presiden Indonesia dahulu yaitu Soeharto yang
pernah berkunjung ke Afrika Selatan sebanyak dua kali.
(http://olahraga.kompasiana.com/bola/2011/01/19/indonesia-afrika-selatan-
persamaan-dan-perbedaan/, diakses pada tanggal 8 Juni 2012 pukul 13.24
WIB).
Mahkamah Konstitusi memang sebuah tugas besar bagi para pemimpin
Indonesia. Jimly Asshiddiqie mencatat pula bahwa Mahkamah Konstitusi
merupakan sesuatu fenomena baru. Bukan saja bagi Indonesia, melainkan juga
bagi dunia ketatanegaraan di banyak negara. Dari seluruh negara di dunia,
Mahkamah Konstitusi hanya dikenal di 45 negara. Dari ke-45 negara tersebut,
rata-rata memang pernah mengalami krisis konstitusional dan berubah dari otorian
menjadi demokrasi. Dalam proses perubahan itulah Mahkamah Konstitusi
dibentuk. Jimly mencatat, hanya Filipina lah negara yang baru berubah menjadi
negara demokrasi, tetapi tidak memiliki Mahkamah Konstitusi.
Beberapa dari ke-45 negara tersebut dapat disebutkan di sini antara lain :
Afrika Selatan, Equador, Indonesia, Venezuela, Lithuania, Korea Selatan, Mesir,
Kroasia, Czech, Jerman, Italia, Thailand, Austria, dan juga Spanyol. Khusus untuk
Jerman, Italia, Austria dan Spanyol merupakan pengecualian sebagaimana disebut
sebelumnya, yakni dibentuknya Mahkamah Konstitusi di masing-masing negara
tersebut tidak terkait dengan krisis konstitusional. Ke-45 negara tersebut tidak
sepenuhnya mengenal satu istilah Mahkamah Konstitusi atau Constitutional Court
(Indonesia, Korsel, Lithuania) untuk lembaga yang memiliki fungsi 'judicial
review'. Istilah lain untuk Mahkamah Konstitusi atau lembaga yang agak mirip
pengertiannya antara lain Counsel Constitutionel (Perancis), Privy Council
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
(Inggris), dan Dewan Konstitusi atau Constitutional Council (Alzajair) yang
merupakan pengaruh dari model Counsel Constitutionel-nya Perancis
(http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol5905/mahkamah-konstitusi-akhir-
ataukah-awal-krisis-konstitusi, diakses pada tanggal 8 Juni 2012 pukul 14.49
WIB).
Terlepas dari wacana urgensi dari keberadaan Mahkamah Konstitusi di
Indonesia dan implikasinya terhadap reformasi konstitusi di Indonesia, penulis
dalam tulisan ini akan mencoba memberikan sebuah kajian perbandingan terhadap
kewenangan Mahkamah Konstitusi yang sedang berlangsung di Indonesia dan
kewenangan Mahkamah Konstitusi yang sedang berlangsung di Afrika Selatan,
dengan melihat beberapa sisi persamaan dan perbedaannya. Hal ini yang menjadi
daya tarik penulis untuk mengangkat masalah ini dengan judul : STUDI
KOMPARASI KEWENANGAN KELEMBAGAAN MAHKAMAH
KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA DAN MAHKAMAH
KONSTITUSI REPUBLIK AFRIKA SELATAN.
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah adalah langkah untuk mengidentifikasi persoalan yang
diteliti secara jelas, biasanya berisi pertanyaan-pertanyaan kritis, sistematis, dan
representatif untuk mencari jawaban dari persoalan yang ingin dipecahkan. Arti
penting perumusan masalah adalah sebagai pedoman bagi tujuan dan manfaat
penelitian dalam rangka mencapai kualitas penelitian yang optimal.
Berdasarkan hal tersebut, maka rumusan permasalahan yang akan diteliti
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah persamaan dan perbedaan kewenangan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan?
2. Bagaimanakah aplikasi gagasan mekanisme constitutional complaint setelah
diadaptasi dengan sistem hukum di Indonesia?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dinyatakan sebelumnya maka
untuk mengarahkan suatu penelitian maka diperlukan adanya tujuan dari suatu
penelitian. Tujuan penelitian dikemukakan secara deklaratif, dan merupakan
pernyataan-pernyataan yang hendak dicapai dalam penelitian tersebut (Soerjono
Soekanto, 2006 : 118).
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a) Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan kewenangan kelembagaan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Mahkamah Konstitusi
Republik Afrika Selatan;
b) Untuk mengetahui aplikasi gagasan mekanisme constitutional complaint
setelah diadaptasi dengan sistem hukum di Indonesia.
2. Tujuan Subyektif
a) Untuk menambah dan memperluas wawasan, pengetahuan, dan pemahaman
Penulis di bidang Hukum Tata Negara, khususnya mengenai kewenangan
Mahkamah Konstitusi;
b) Untuk memenuhi persyaratan akademis guna mencapai gelar sarjana dalam
bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta;
c) Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar
dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri pada khususnya, dan
masyarakat pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian yang berhasil adalah penelitian yang dapat memberikan
manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Adapun manfaat yang
diharapkan sehubungan dengan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi
perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan bidang hukum
tata negara pada khususnya;
b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur
dalam dunia kepustakaan, khususnya mengenai kelembagaan Mahkamah
Konstitusi dan dinamikanya di masyarakat;
c) Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-
penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a) Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran,
membentuk pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan
penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh, khususnya bidang hukum
tata negara mengenai tinjauan kewenangan Mahkamah Konstitusi;
b) Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait langsung dengan
penelitian ini.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya. Yang
diadakan pemeriksaan secara mendalam terhadap fakta hukum tersebut
permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.
Suatu penelitian ilmiah agar dapat berjalan dengan baik maka perlu
menggunakan suatu metode penelitian yang baik dan tepat. Metode penelitian
merupakan suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan
penilaian. Metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada di dalam
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto, 1986 : 7).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini
adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh penulis ini merupakan jenis penelitian
hukum kepustakaan, atau dikenal sebagai penelitian hukum doctrinal, yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
bahan hukum tersier (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 35). Bahan-bahan hukum
tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan
dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.
Menurut Peter Mahmud Marzuki, langkah-langkah dalam melakukan
penelitian hukum adalah sebagai berikut :
a. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan
untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan.
1) Penelitian untuk keperluan praktik hukum.
Sebagai langkah pertama dalam penelitian hukum untuk keperluan
praktis adalah mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal
yang tidak relevan. Sering kali kasus yang dikemukakan oleh klien
bercampur antara fakta dan pendapat serta keinginan klien. Dalam hal ini
ahli hukum harus dapat membedakan mana fakta dan mana pendapat
klien. Lebih jauh ahli hukum harus dapat membedakan mana yang fakta
hukum dan mana yang bukan fakta hukum. Dengan membedakan fakta
hukum dan fakta non hukum, peneliti akan dapat menetapkan isu hukum
yang hendak dipecahkan.
2) Penelitian untuk keperluan akademis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Untuk mengidentifikasi fakta hukum, mengeliminir hal-hal yang
tidak relevan dan menetapkan isu hukum bagi keperluan akademis,
langkah pertama adalah peneliti harus dapat memisahkan dirinya dari
kepentingan-kepentingan yang terlibat di dalam kegiatan penelitian itu. Ia
harus menjadi dirinya sendiri yang mempunyai sikap disinterestedness
terhadap isu atau masalah hukum yang hendak dipecahkan. Selanjutnya
peneliti harus mampu mengeliminir faktor-faktor yang tidak relevan
dengan isu tersebut.
Penelitian yang dilakukan peneliti di sini adalah penelitian untuk keperluan
akademis. Dalam penelitian ini diambil dua isu yang menjadi permasalahan
yang perlu dijawab atau dipecahkan yaitu :
a) Bagaimanakah persamaan dan perbedaan kewenangan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Republik
Afrika Selatan?
b) Bagaimanakah aplikasi gagasan mekanisme constitutional complaint
setelah diadaptasi dengan sistem hukum di Indonesia?
Kedua isu itulah yang akan dipecahkan dalam penelitian ini untuk keperluan
akademis.
b. Pengumpulan bahan-bahan hukum.
Setelah isu hukum ditetapkan, peneliti melakukan penelusuran untuk
mencari bahan-bahan hukum yang relevan terhadap isu yang dihadapi.
Karena dalam hal ini, salah satu pendekatan yang digunakan peneliti adalah
pendekatan perundang-undangan (statute approach), maka sesuai dengan
isu yang diangkat, peneliti harus mengumpulkan bahan-bahan yang di
antaranya yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 baik sebelum maupun sesudah perubahan serta bahan-bahan hukum
lainnya yang relevan dengan isu hukum yang diangkat tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
c. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan.
Dalam rangka menjawab isu hukum yang diangkat, peneliti harus
menelaah isu hukum itu dengan merujuk kepada ketentuan-ketentuan
hukum yang relevan, isu itu juga ditelaah dari berbagai bahan-bahan hukum
yang relevan dengan isu itu, yang telah berhasil dikumpulkan oleh peneliti.
Dari telaah yang dilakukan oleh peneliti berdasarkan bahan-bahan hukum
maupun bahan-bahan non hukumitu, peneliti berusaha untuk menjawab isu
yang diangkatnya. Kemudian dari telaah-telaah itu diambil sebuah
kesimpulan sebagai jawaban atas isu hukum yang diangkat tersebut.
d. Menarik kesimpulan yang menjawab isu hukum.
Penelitian hukum itu bukan untuk menguji hipotesis, maka
konsekuensinya kesimpulan yang ditarik dari penelitian hukum bukan
menghasilkan diterima atau ditolaknya hipotesis. Dengan menggunakan
bahan-bahan hukum dan bilamana perlu juga non hukum sebagai
penunjang, peneliti akan dapat menarik kesimpulan yang menjawab isu
yang diajukan.
e. Memberikan preskripsi.
Memberikan preskripsi mengenai apa yang seharusnya merupakan hal
yang esensial dari penelitian hukum. Baik untuk keperluan praktik maupun
untuk keperluan akademis, preskripsi yang diberikan menentukan nilai
penelitian tersebut, maka langkah terakhir dari suatu penelitian yaitu
memberikan preskripsi berupa rekomendasi yang didasarkan pada
kesimpulan yang telah diambil. Berpegang pada karakteristik ilmu hukum
sebagai ilmu terapan, preskripsi yang diberikan di dalam kegiatan penelitian
hukum harus dapat atau setidaknya mungkin untuk diterapkan.
Langkah-langkah tersebut dapat diterapkan, baik terhadap penelitian
untuk keperluan praktis maupun untuk keperluan akademis. Itulah ringkasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan di dalam penelitian hukum
yang dijelaskan oleh Peter Mahmud Marzuki di dalam bukunya yang
berjudul “Penulisan Hukum” (Peter Mahmud Marzuki, 2008 : 171-209).
2. Sifat Penelitian
Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan penelitian hukum
yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan
data yang seteliti mungkin tentang manusia atau gejala, keadaan atau gejala-
gejala lainnya. Maksud dari penelitian deskriptif adalah untuk mempertegas
hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu dan memperkuat teori-teori lama di
dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 2006 : 10).
3. Pendekatan Penelitian
Nilai ilmiah suatu pembahasan dan pemecahan masalah terhadap legal
issue yang diteliti sangat tergantung pada cara pendekatan (approach) yang
digunakan. Jika cara pendekatan tidak tepat, maka bobot penelitian tidak akurat
dan kebenarannya pun dapat digugurkan (Johny Ibrahim, 2007 : 299).
Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum
terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005 : 93).
Sedangkan menurut Johny Ibrahim dari kelima pendekatan tersebut ditambah
dengan pendekatan analitis (analytical approach) dan pendekatan filsafat
(philosophical approach) (Johny Ibrahim, 2007 : 246).
Dari pendekatan-pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan
penelitian hukum ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan
perbandingan (comparative approach). Pendekatan undang-undang dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang terkait dengan isu
hukum yang sedang dianalisis. Pada pendekatan historis diaplikasikan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan
mengenai isu yang dihadapi. Selanjutnya, pendekatan perbandingan
diaplikasikan dengan membandingkan isi dari peraturan perundang-undangan
antar negara yang setingkat. Penelitian ini akan diuraikan secara deskriptif
dengan menelaah, menjelaskan, memaparkan, menggambarkan, serta
menganalisis permasalahan atau isu hukum yang diangkat, seperti yang telah
dikemukakan dalam perumusan masalah.
4. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka berupa
keterangan-keterangan yang secara tidak langsung diperoleh melalui studi
kepustakaan, peraturan perundang-undangan seperti UUD RI 1945, peraturan
perundang-undangan lainnya yang terkait, yurisprudensi, arsip-arsip yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti seperti putusan dan tulisan-tulisan
ilmiah, sumber-sumber tertulis lainnya serta makalah-makalah yang berkaitan
dengan penelitian ini.
5. Sumber Data
Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi
mengenai apa yang seyogyanya, diperlukan sumber-sumber penelitian.
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber
penelitan yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan
hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya
mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-
undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder
berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen
resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum
dan jurnal-jurnal hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 141).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (normatif), sehingga bahan
dari penelitian ini adalah data-data hukum sekunder. Data-data hukum
sekunder oleh Soerjono Soekanto dikelompokkan menjadi (Soerjono Soekanto
dalam Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990 : 14-15) :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Antara lain
sebagai berikut :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
3) Konstitusi Republik Afrika Selatan Tahun 1996 (Constitution Of The
Republic Of South Africa Number 108 Of 1996).
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer. Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan penelitian
hukum sekunder adalah bahan-bahan berupa semua publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-
buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-
komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2005 : 141).
Bahan penelitian hukum sekunder yang digunakan penulis adalah
penjelasan dari tiap-tiap peraturan perundang-undangan sebagaimana telah
disebutkan di atas sebagai bahan hukum sekunder yang menjadi
pertimbangan penting bagi penulis, dikarenakan penjelasan dari tiap-tiap
peraturan perundang-undangan menggambarkan maksud dan tujuan
pembentukan peraturan perundang-undangan oleh subyek-subyek
pembentuknya, buku-buku yang terkait dengan materi/bahasan, hasil-hasil
penelitian, artikel, majalah, dan koran, pendapat pakar hukum maupun
makalah-makalah yang berhubungan dengan topik penulisan ini;
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan
petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
6. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan teknik
pengumpulan bahan hukum dengan studi pustaka. Studi pustaka yang
dimaksud dilakukan dengan cara melakukan pengkodean atas bahan-bahan
hukum baik primer maupun sekunder yang telah didapatkan. Bahan hukum
yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dipaparkan, disistemisasi,
kemudian dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku.
7. Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah
analisis kualitatif dengan interaktif model yaitu komponen reduksi data dan
penyajian data dilakukan bersama dengan pengumpulan data, kemudian
setelah data terkumpul maka tiga komponen tersebut berinteraksi dan bila
kesimpulan dirasakan kurang, maka perlu ada verifikasi dan penelitian
kembali mengumpulkan data lapangan (H.B. Sutopo, 2002 : 8). Menurut H.
B. Sutopo, ketiga komponen tersebut adalah :
a. Reduksi Data
Merupakan proses seleksi, penyederhanaan dan abstraksi dari data.
b. Penyajian Data
Merupakan suatu realita organisasi informasi yang memungkinkan
kesimpulan penelitian dapat dilakukan, sajian data dapat meliputi
berbagai jenis matriks, gambar atau skema, jaringan kerja, kaitan
kegiatan dan juga tabel.
c. Kesimpulan atau Verifikasi
Setelah memahami arti dari berbagai hal yang meliputi pencatatan-
pencatatan, peraturan, pernyataan-pernyataan konfigurasi-konfigurasi
yang mungkin, alur sebab-akibat, akhirnya peneliti menarik kesimpulan
(HB. Sutopo, 2002: 37).
Teknik analisis kualitatif model interaktif dapat digambarkan dalam
bentuk rangkaian yang utuh antara ketiga komponen diatas (reduksi data,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
penyajian data, serta penarikan kesimpulan dan verifikasinya) sebagai
berikut :
(2)
(1)
(3)
Gambar 2. Model Analisis Interaktif
Dengan memperhatikan gambar tersebut, maka prosesnya dapat
dilihat secara jelas bahwa pada waktu pengumpulan data, peneliti membuat
reduksi data dan sajian data. Artinya, data yang berupa catatan lapangan
yang terdiri dari bagian deskripsi dan refleksinya adalah data yang telah
digali dan dicatat. Dari dua bagian data tersebut, peneliti menyusun rumusan
pengertiannya secara singkat, berupa pokok-pokok temuan yang penting
dalam arti inti pemahaman segala peristiwa yang dikaji, yang disebut
reduksi data. Kemudian dilakukan penyusunan sajian data yang berupa
cerita sistematis dan logis supaya makna peristiwanya menjadi lebih jelas
dipahami. Dari sajian data tersebut dilakukan penarikan simpulan
(sementara) dilanjutkan dengan verifikasinya.
Reduksi dan sajian data harus disusun pada waktu peneliti sudah
mendapatkan unit data dari sejumlah unit yang diperlukan dalam penelitian.
Pada waktu pengumpulan data telah berakhir, peneliti mulai melakukan
usaha dalam bentuk pembahasan (diskusi) untuk menarik simpulan dan
verifikasinya berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi maupun
sajian datanya.
Sajian
Data
Pengumpulan Data
Penarikan
Kesimpulan/Verifikasi
Reduksi
Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
F. Sistematika Penulisan Hukum
Guna memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai penelitian yang
akan dilakukan oleh penulis, perlu kiranya untuk mengetahui pembagian
sistematika penulisan hukum ini. Secara keseluruhan, penulisan hukum ini terdiri
dari 4 (empat) bab, yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian dimaksudkan
untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini.
Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Metode penelitian terdiri atas jenis penelitian, sifat penelitian,
pendekatan penelitian, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan
data dan teknik analisis data.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Berisi kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori terdiri
dari teori-teori yang relevan dengan penelitian hukum ini yaitu :
Tinjauan tentang Perbandingan Hukum, Tinjauan tentang Negara
Hukum, Tinjauan tentang Demokrasi, Tinjauan tentang Konstitusi,
Tinjauan tentang Mahkamah Konstitusi, dan Tinjauan tentang Hukum
Acara Mahkamah Konstitusi.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi hasil penelitian dan pembahasan guna menjawab pertanyaan-
pertanyaan mengenai persamaan dan perbedaan kewenangan
kelembagaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan
Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan dan mengenai aplikasi
gagasan mekanisme constitutional complaint setelah diadaptasi
dengan sistem hukum di Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
BAB IV : PENUTUP
Berisi simpulan-simpulan yang didapat dari hasil penelitian dan
pembahasan serta saran-saran yang diajukan penulis sebagai implikasi
dari simpulan yang didapat.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Perbandingan Hukum
Suatu istilah kita pergunakan untuk menentukan apa yang hendak kita
berikan sebagai pengertian, sehingga dengan demikian penggunaannya akan
mempengaruhi pada ruang lingkup persoalan yang hendak kita kupas atau kita
selidiki. Terdapat dua istilah yang digunakan dalam lingkup ilmu pengetahuan
hukum, yaitu perbandingan hukum dan hukum perbandingan. Penggunaan
istilah yang berbeda-beda di lingkungan dunia ilmu pengetahuan hukum di
Indonesia, ternyata juga sebagai dampak dari dipergunakannya dua macam
istilah di Eropa Kontinental, yaitu :
a. Vergelijkendrecht dan Rechtvergelijking (Belanda);
b. Vergleichhendes dan Rechtsvergleichung (Jerman);
c. Droit Compare dan La Methode Compare (Perancis).
Terdapat berbagai istilah asing mengenai perbandingan hukum, yakni
antara lain : Comparative Law, Foreign Law (bahasa Inggris); Droit Compare
(istilah Perancis); Rechtsvergelijking (bahasa Belanda); dan Vergleichende
Rechtlehre (bahasa Jerman). Di dalam Black‟s Law Dictionary dikemukakan :
Comparative Jurisprudence is the study of principles of legal science by the
comparison of various systems of law. Suatu studi mengenai prinsip-prinsip
ilmu hukum dengan melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum
(Barda Nawawi Arief, 2002 : 3).
Apabila diamati istilah asingnya, comparative law, maka dapat diartikan
bahwa titik berat adalah kepada perbandingannya atau comparative, dalam hal
ini kalimat comparative memberikan sifat kepada hukum (yang dibandingkan).
Istilah perbandingan hukum, dengan demikian menitikberatkan kepada sisi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
perbandingannya, bukan kepada sisi hukumnya. Inti sedalamnya dari
pengertian istilah perbandingan hukum adalah membandingkan sistem-sistem
hukumnya (Romli Atmasasmita, 2000 : 7).
Untuk memperoleh bahan yang lebih lengkap, maka perlu dikemukakan
definisi perbandingan hukum dari berbagai pakar hukum terkenal. Berikut ini
beberapa definisi mengenai perbandingan hukum dari beberapa pakar hukum
sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita, di antaranya sebagai berikut :
a. Rudolf B. Schlesinger
Perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan dengan tujuan
untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum
tertentu. Perbandingan hukum adalah bukanlah perangkat peraturan dan
asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan
teknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu masalah hukum
(Romli Atmasasmita, 2000 : 7).
b. Winterton
Perbandingan hukum adalah suatu metode perbandingan sistem
hukum dan perbandingan tersebut menghasilkan data sistem hukum yang
dibandingkan (Romli Atmasasmita, 2000 : 7).
c. Gutteridge
Perbandingan hukum adalahsuatu metode perbandingan yang dapat
digunakan dalam semua cabang hukum. Ia membedakan antara comparative
law dan foreign law (hukum asing), pengertian istilah yang pertama untuk
membandingkan dua sistem hukum atau lebih, sedangkan pengertian istilah
hukum yang kedua adalah mempelajari hukum asing tanpa secara nyata
membandingkannya dengan sistem hukum yang lain (Winterton, dalam The
Am. J. Of Comp. L., 197 : 72 diterjemahkan dalam buku Romli
Atmasasmita, 2000 : 7).
d. Lemaire
Perbandingan hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan (yang juga
mempergunakan metode perbandingan) mempunyai lingkup (isi dari)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya, dan
dasar-dasar kemasyarakatannya (Romli Atmasasmita, 2000 : 9).
e. Ole Lando
Perbandingan hukum mencakup analysis and comparison of the law.
Pendapat tersebut sudah menunjukkan kecenderungan untuk mengakui
perbandingan sebagai cabang ilmu hukum (Romli Atmasasmita, 2000 : 9).
f. Hessel Yutema
Mengemukakan bahwa definisi perbandingan hukum ialah
comparative law is simply another name for legal science, or like other
branches of science it has a universal humanistic outlook; it contemplates
hat while the technique nay vary, the problems of justice are basically the
same in time and space throuhout the world. Perbandingan hukum hanya
suatu nama lain untuk ilmu hukum dan merupakan bagian yang menyatu
dari suatu ilmu sosial, atau seperti cabang ilmu lainnya. Perbandingan
hukum memiliki wawasan yang universal, sekalipun caranya berlainan,
masalah keadilan pada dasarnya baik menurut waktu dan tempat di seluruh
dunia (Romli Atmasasmita, 2000 : 9).
g. Orucu
Mengemukakan suatu definisi perbandingan hukum adalah
comparative law is legal discipline aiming at ascertaining similarities and
differences and finding out relationship between variuos legal systems, their
assence and style, looking at comparable legal institutions and concepts and
typing to determine solutions to certain problems in these systems with a
definite goal in mind, such as law reform, unification, etc. Perbandingan
hukum merupakan suatu disiplin ilmu hukum yang bertujuan menemukan
persamaan dan perbedaan serta menemukan hubungan-hubungan yang erat
antara berbagai sistem-sistem hukum, melihat perbandingan lembaga-
lembaga hukum, konsep-konsep serta mencoba menentukan suatu
penyelesaian atas masalah-masalah tertentu dalam sistem-sistem hukum
dimaksud dengan tujuan seperti pembaharuan hukum, unifikasi hukum, dll
(Romli Atmasasmita, 2000 : 9).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Mencermati berbagai definisi-definisi perbandingan hukum di atas dan
menurut analisis dari penulis bahwa terdapat dua kelompok dari definisi
tersebut, yaitu kelompok pertama yang menyatakan bahwa perbandingan
hukum merupakan suatu metode, sementara kelompok kedua menyatakan
bahwa perbandingan hukum merupakan cabang dari ilmu hukum. Kedua
kelompok definisi tersebut dikemukakan sesuai dengan masanya sehingga
dapat diakui kebenarannya. Namun demikian definisi dari kelompok yang
pertama yang akan penulis pakai dalam penulisan hukum ini sebagai alat untuk
mengetahui persamaan dan perbedaan dua sistem hukum.
Suitens Bourgois mengatakan bahwa perbandingan hukum bukanlah
cabang dari hukum, ia bukan ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri seperti
misalnya hukum perdata, hukum dagang, hukum tata negara, hukum
internasional, dan sebagainya. Selanjutnya dikatakan bahwa perbandingan
hukum adalah satu metode perbandingan yang diterapkan pada ilmu hukum,
pada bermacam-macam mata kuliah hukum. Oleh karenanya, perbandingan
hukum bukanlah suatu ilmu pengetahuan, akan tetapi ia hanyalah metode kerja
dalam bentuk perbandingan (Sri Soemantri, 2006 : 3).
Hal ini dapat dibuktikan bahwa jika hukum didefinisikan antara lain
sebagai seperangkat aturan, maka perbandingan hukum atau hukum
perbandingan tidak mempunyai perangkat aturan-aturan itu. Metode untuk
membanding-bandingkan peraturan hukum dari bermacam-macam sistem
hukum, tidak membawa akibat terjadinya rumusan peraturan yang berdiri
sendiri, dengan kata lain tidak ada yang disebut “peraturan hukum
perbandingan”. Ciri dasar dari metode perbandingan ini adalah bahwa ia dapat
diterapkan terhadap penelitian mengenai bidang hukum tertentu.
Menurut Sri Soemantri, perbandingan hukum dapat dibedakan sebagai
berikut :
a. Perbandingan Hukum Deskriptif (Menggambarkan), yaitu suatu analisa
terhadap perbedaan-perbedaan yang ada dari dua atau lebih sistem hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Dengan perbandingan ini si peneliti tidak mempunyai maksud untuk
mencari jalan keluar terhadap persoalan tertentu, baik dalam hal yang
abstrak maupun hal yang praktis. Adapun metode perbandingan dilakukan
untuk memperoleh penjelasan atau informasi mengenai hal tertentu; dan
b. Perbandingan Hukum Aplikatif (Terapan), yaitu analisa yang dilakukan
kemudian diikuti dengan menyusun suatu sintesa dengan tujuan untuk
memecahkan suatu masalah. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan
pembaharuan suatu cabang hukum atau untuk mempersatukan bermacam-
macam peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang yang sama.
Beliau menggunakan istilah ilmu perbandingan hukum tata negara, yaitu suatu
cabang ilmu hukum yang dengan mempergunakan metode perbandingan
berusaha membanding-bandingkan satu atau beberapa aspek hukum tata negara
dua negara atau lebih.
Kranenburg juga menggunakan istilah ilmu perbandingan hukum tata
negara, yaitu suatu ilmu pengetahuan yang dengan mempergunakan hasil-hasil
ilmu negara umum mengumpulkan dan menyusun bahan-bahan itu secara
metodis dan sistematis kemudian menganalisanya. Tugas ilmu perbandingan
hukum tata negara adalah untuk menganalisa secara metodis dan menetapkan
secara sistematis bermacam-macam bentuk atau sistem kenegaraan ciri-ciri
khusus apakah yang melekat padanya, hal-hal apakah yang menimbulkannya,
dengan jalan apakah hal-hal itu berubah, hilang dan lain sebagainya.
Nasroen mengemukakan adanya tiga macam derajat atau kedudukan dan
lingkup ilmu pengetahuan, yaitu :
a. Beschrijvend wetenchap yaitu ilmu pengetahuan yang tugasnya hanya
menggambarkan saja;
b. Verklarend wetenschap yaitu ilmu pengetahuan yang tugasnya menyelidiki
sebab musabab sesuatu atau menjelaskan; dan
c. Waarderend wetenschap yaitu ilmu pengetahuan yang tugasnya memberi
nilai dan dapat memberi pedoman menuju sesuatu yang sempurna. Dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
pemberian nilai ini, terbuka kemungkinan ke arah mana sesuatu itu akan
dibawa dan diarahkan.
Kranenburg mengatakan bahwa ilmu perbandingan hukum tata negara
adalah ilmu pengetahuan yang memberikan penjelasan atau menyelidiki sebab
musabab sesuatu (verklarend wetenschap) dan upaya pengembangan ke arah
tersebut, sangat memerlukan pula baik secara paralel atau tidak, pengembangan
ilmu negara umum dan ajaran hukum umum (de algemene rechtsleer) menjadi
suatu syarat mutlak.
Nasroen berpendapat bahwa ilmu perbandingan pemerintahan/negara
harus merupakan suatu ilmu pengetahuan yang memberi nilai (waarderend
wetenschap), ia harus sanggup menentukan secara obyektif bagaimanakah
pemerintah/negara itu seharusnya, antara lain yaitu pemerintah/negara yang
memberikan manfaat sebaik-baiknya bagi masyarakatnya dan inilah yang
merupakan ukuran dalam melakukan perbandingan antar negara/pemerintah.
Pendapat tersebut jika dihubungkan denganilmu perbandingan tata negara,
maka ilmu ini bertugas untuk mendapatkan negara yang seharusnya atau
negara yang dicita-citakan (staats idee), yang akan berlaku di mana-mana.
Bagaimanapun obyektifnya penyelidikan dilakukan, oleh karena terletak
pada bidang nilai, pada akhirnya hal itu tidak terlepas dari subyektivitas orang
yang mengemukakan negara yang dicita-citakan (ide negara) tersebut, apalagi
jika masalah tersebut kita tinjau dari kemungkinan pelaksanaannya yang
kemungkinan mustahil terjadi. Oleh karena, misalnya kita akan menjumpai
kenyataan misalnya adanya letak geografi yang tidak sama, sifat-sifat bangsa
yang beraneka ragam, paham politik yang tidak sama, yang memperkuat
pendapat tidak mungkinnya diketemukan ide negara yang benar-benar ide
negara.
Sri Soemantri tidak sependapat dengan Nasroen yang mengatakan bahwa
ilmu perbandingan tata negara adalah ilmu pengetahuan yang memberi nilai,
dan Sri Soemantri memandang pendapat Kranenburg lebih tepat yaitu yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
mengatakan bahwa ilmu perbandingan hukum tata negara adalah ilmu
pengetahuan yang tuganya mencari atau menyelidiki sebab musabab atau
menjelaskan sesuatu (verklarend wetenschap).
Jika perbandingan ini diterapkan pada hukum tata negara, maka melalui
metode ini dilakukan perbandingan terhadap hukum tata negara dari dua negara
atau lebih dengan maksud memperoleh penjelasan mengenai sesuatu hal
tertentu atau untuk mencari jalan keluar tentang sesuatu hal tertentu. Metode
perbandingan membawa kita ke arah usaha memperoleh informasi, kejelasan
mengenai sistem pemerintahan negara yang diperbandingkan serta jalan keluar
dari persoalan yang hampir sama.
2. Tinjauan tentang Negara Hukum
Negara hukum merupakan terjemahan dari rechtstaat (ahli-ahli hukum
Eropa Kontinental) atau rule of law (ahli-ahli hukum Anglo Saxon). Ide negara
hukum, selain terkait dengan konsep rechtstaat dan rule of law, juga berkaitan
dengan konsep nomocracy sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan
kekuasaan. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide
kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi.
Menurut Komisi Ahli Hukum Internasional (The International
Commission of Jurist), pemerintah yang demokratis di bawah rule of law harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Adanya perlindungan konstitusional;
b. Adanya pemilihan umum yang bebas;
c. Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
d. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat;
e. Adanya kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
f. Adanya pendidikan kewarganegaraan (civic education).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Utrecht membedakan antara negara hukum formil dan negara hukum
materiil. Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat
formil dan sempit yaitu dalam arti perundang-undangan tertulis, sedangkan
negara hukum materiil yang lebih mutakhir, mencakup pula pengertian
keadilan di dalamnya.
Wolfgang Friedman dalam bukunya Law in a Changing Society
membedakan antara rule of law dalam arti formil dan rule of law dalam arti
materiil. Pembedaan ini, menurut Jimly Asshiddiqie, memang dimaksudkan
untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak
serta-merta akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian orang
mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum
formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum utama.
Jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti perundang-
undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan
bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantif.
Karena itu, di samping istilah the rule of law oleh Friedman juga
dikembangkan istilah rule of just law untuk memastikan bahwa dalam
pengertian tentang the rule of law tercakup pengertian keadilan yang lebih
esensial daripada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam
arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap the rule of law, pengertian
yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah the rule of law
yang digunakan untuk menyebut konsepsi tentang negara hukum di zaman
sekarang (Majalah Konstitusi, 2009. Edisi 26 : 16).
Dari uraian-uraian di atas, dapat dirumuskan kembali adanya 12 pokok
prinsip negara hukum (Rechtstaat) yang merupakan pilar-pilar utama yang
menyangga berdiri tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut negara
hukum yaitu (Jimly Asshiddiqie, 2005 : 151) :
a. Supremasi Hukum (Supremacy of Law)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi
hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai
pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law),
pada hakikatnya pemimpin tertinggi negata yang sesungguhnya bukanlah
manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Dalam
republik yang menganut sistem presidensiil yang bersifat murni, konstitusi
itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.
b. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law)
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan
pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik.
Dalam rangka prinsip persamaan, segala sikap diskriminatif dalam segala
bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang,
kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara guna
mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok
warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai
tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat
yang jauh lebih maju.
c. Asas Legalitas (Due Process of Law)
Dalam setiap negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas
dalam segala bentuknya (Due Process of Law) yaitu bahwa segala tindakan
pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang
sah dan tertulis.
d. Pembatasan Kekuasaan
Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan
cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau
pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk
berkembang menjadi sewenang-wenang.
Karena itu, kekuasaan harus selalu dibatasi dengan cara memisah-
misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks and
balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan
mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan
dengan membagi-bagi kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun
secara vertikal. Dengan begitu, kekuasaan tidak tersentralisasi dan
terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan
terjadinya kesewenang-wenangan.
e. Organ-organ Eksekutif Independen
Dalam rangka membatasi kekuasaan itu, di zaman sekarang
berkembang pula adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang
bersifat independen, seperti bank sentral, organisasi tentara, organisasi
kepolisian, dan kejaksaan. Lembaga, badan atau organisasi-organisasi ini
sebelumnya dianggap sepenuhnya berada dalam kekuasaan eksekutif, tetapi
sekarang berkembang menjadi independen sehingga tidak lagi sepenuhnya
merupakan hak mutlak seorang kepala eksekutif untuk menentukan
pengangkatan atau pemberhentian pimpinannya.
f. Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada
dalam setiap negara hukum. Dalam menjalankan tugas yudisialnya, hakim
tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan
(politik) maupun kepentingan uang. Untuk menjamin keadilan dan
kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses
pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan
kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari kalangan masyarakat
dan media massa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
g. Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara juga menyangkut prinsip peradilan
bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar
utama negara hukum. Dalam setiap negara hukum, harus terbuka
kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat
administrasi negara. Peradilan Tata Usaha Negara ini penting karena yang
menjamin agar warga negara tidak dizalimi oleh keputusan-keputusan para
pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa.
h. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court)
Dalam negara hukum modern diharapkan adanya jaminan tegaknya
keadilan tiap-tiap warga negara dengan mengadopsikan gagasan Mahkamah
Konstitusi dalam sistem ketatanegaraannya. Pentingnya Mahkamah
Konstitusi adalah upaya memperkuat sistem checks and balances antara
cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin
demokrasi.
i. Perlindungan Hak Asasi Manusia
Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia
dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang
adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan
secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan
terhadap hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu negara hukum
yang demokratis.
j. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtstaat)
Dalam prinsip demokrasi yang menjamin peran serta masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan
perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan secara sepihak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan
dengan prinsip-prinsip demokrasi.
k. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare
Rechtstaat)
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan
bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui
gagasan negara demokrasi maupun yang diwujudkan melalui gagasan
negara hukum yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum.
Bahkan sebagaimana cita-cita nasional yng dirumuskan dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan
bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
l. Transparansi dan Kontrol Sosial
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap
proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan
kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat
dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat secara
langsung dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya
partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui
parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran
aspirasi rakyat.
3. Tinjauan tentang Demokrasi
a. Pengertian dan Hakikat Demokrasi
Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa
(etimologis) dan istilah (terminologis). Secara etimologis, demokrasi berasal
dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu demos yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
berarti rakyat, dan cratos atau cratein yang berarti pemerintahan, sehingga
dapat disimpulkan sebagai pemerintahan rakyat. Demokrasi adalah bentuk
atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya
mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warga negara) atas negara untuk
dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Demokrasi bila ditinjau dari
terminologis (Azyumardi Azra, 2000 : 110), sebagaimana dikemukakan
beberapa ahli, misalnya :
1) Joseph A. Schmeter, bahwa demokrasi adalah suatu perencanaan
institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu
memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif
atas suara rakyat.
2) Sidney Hook, bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dimana
keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak
langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara
bebas dari rakyat dewasa.
3) Phillipe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl yang menyatakan bahwa
demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah
dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah
publik oleh warga negara yang bertindak secara tidak langsung melalui
kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah terpilih.
4) Henry B. Mayo, bahwa demokrasi merupakan suatu sistem politik yang
menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas
oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam
pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan
politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan
politik.
5) Affan Gaffar, bahwa demokrasi terbagi dalam dua bentuk yaitu
pemaknaan secara normatif, ialah demokrasi yang secara ideal hendak
dilakukan oleh suatu negara, dan pemaknaan secara empirik, yaitu
demokrasi dalam perwujudannya pada dunia politik praktis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka dapat ditarik suatu
pengertian dasar bahwa demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan
dimana kekuasaan berada di tangan rakyat, yang mengandung tiga unsur,
yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemerintahan
dari rakyat mengandung pengertian bahwa pemerintah yang berdaulat
adalah pemerintah yang mendapat pengakuan dan didukung oleh rakyat.
Legitimasi suatu pemerintahan sangat penting karena dengan legitimasi
tersebut, pemerintahan yang berdaulat dapat menjalankan pemerintahannya
serta program-program sebagai wujud amanat dari rakyat yang diberikan
kepadanya.
Pemerintahan oleh rakyat berarti bahwa pemerintah yang mendapat
legitimasi amanat dari rakyat sudah seharusnya untuk tunduk pada
pengawasan rakyat (social control). Dengan adanya pengawasan (control)
tersebut, maka dapat sebagai tindakan preventif mengantisipasi ambisi
keotoriteran para pejabat pemerintah.
Pemerintahan untuk rakyat mengandung arti bahwa kekuasaan yang
diberikan dari dan oleh rakyat kepada pemerintah harus dijalankan untuk
kepentingan rakyat. Oleh karena itu, perlu adanya kepekaan pemerintah
terhadap kebutuhan rakyat dan terhadap aspirasi rakyat yang perlu
diakomodir yang kemudian di follow up melalui pengeluaran kebijakan
maupun melalui peleksanaan program kerja pemerintah.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi
ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) untuk
diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas
(independence) dan berada dalam peringkat sejajar satu sama lain.
Independensi dan kesejajaran dari ketiga jenis lembaga negara ini
diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling
mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya
kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara
langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut
sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara
langsung hanyalah sedikit dari sekian banyak makna kedaulatan rakyat.
Peranannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilu sering
dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir (paradigma) lama
dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh
impian ratu adil. Padahal sebaik apapun seorang pemimpin negara, masa
hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang
sudah teruji mampu membangun negara.
b. Asas-asas Demokrasi
Dalam menentukan berlakunya suatu sistem demokrasi di suatu
negara ialah ada tidaknya asas-asas demokrasi dalam sistem pemerintahan
suatu negara. Adapun asas-asas demokrasi di antaranya sebagai berikut
(Anonim,(http://pendkewarganegaraansmpnasima.blogspot.com/2009/01/bl
ogspot.html> [4 Februari 2012 pukul 14.30 WIB]) :
1) Adanya pengakuan hak-hak asasi manusia sebagai penghargaan terhadap
martabat manusia
Negara berperan aktif dalam memberikan perlindungan dan
menjamin hak asasi manusia dengan diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang mempunyai payung hukum yang jelas terhadap hak asasi
manusia. Seperti di Indonesia, sudah ada pengakuan terhadap hak asasi
manusia yang dicantumkan dalam UUD RI 1945 dan Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
2) Adanya partisipasi dan dukungan rakyat kepada pemerintah
Rakyat ikut serta menentukan kebijakan pemerintah yang bersifat
asasi dan menguasai hajat hidup orang banyak sehingga pemerintah tdak
dapat semena-mena dalam menentukan kebijakan, perlu adanya kontrol
dari rakyat. Di sisi lain, pemerintah membutuhkan dukungan langsung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
dari rakyat dalam hal pemilihan wakil rakyat maupun pemilihan
presiden.
c. Faktor-faktor Penegak Demokrasi
Mengingat sangat pentingnya demokrasi, maka perlu adanya faktor-
faktor untuk menegakkan demokrasi itu sendiri (Azyumardi Azra, 2000 :
117-121). Ada empat faktor utama yaitu :
1) Negara hukum (rechtstaat dan rule of law)
Konsep rechtstaat adalah adanya perlindungan terhadap Hak Asasi
Manusia (HAM), adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan pada
lembaga negara, pemerintahan berdasarkan peraturan, serta adanya
peradilan administrasi. Konsep dari rule of law yaitu adanya supremasi
aturan-aturan hukum, adanya kedudukan yang sama di muka hukum
(equality before of the law), serta adanya jaminan perlindungan HAM.
Berdasarkan dua pandangan di atas, maka dapat ditarik suatu
konsep pokok dari negara hukum adalah adanya jaminan perlindungan
terhadap HAM, adanya supremasi hukum dalam penyelenggaraan
pemerintahan, adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan negara, dan
adanya lembaga peradilan yang bebas dan mandiri.
2) Masyarakat madani
Masyarakat madani dicirikan dengan masyarakat yang terbuka,
yang bebas dari pengaruh kekuasaan dan tekanan negara, masyarakat
yang kritis dan berpartisipasi aktif, serta masyarakat yang egaliter.
Masyarakat yang seperti ini merupakan elemen yang sangat signifikan
dalam membangun demokrasi. Demokrasi yang terbentuk kemudian
dapat dianggap sebagai hasil dinamika masyarakat yang menghendaki
adanya partisipasi. Selain itu, demokrasi merupakan pandangan
mengenai masyarakat dalam kaitan dengan pengungkapan kehendak,
adanya perbedaan pandangan, adanya keragaman dan konsensus.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
3) Infrastruktur
Infrastruktur politik yang dimaksud terdiri dari partai politik
(parpol), kelompok gerakan, serta kelompok kepentingan atau kelompok
penekan. Partai politik merupakan suatu wadah struktur kelembagaan
politik yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai, dan cita-cita
yang sama yaitu memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan
politik dalam mewujudkan kebijakan-kebijakannya. Kelompok gerakan
lebih dikenal dengan organisasi masyarakat, yang merupakan
sekelompok orang yang berhimpun dalam satu wadah organisasi yang
berorientasi pada pemberdayaan warganya. Kelompok kepentingan atau
kelompok penekan adalah sekumpulan orang dalam suatu wadah
organisasi yang didasarkan pada kriteria profesionalitas dan keilmuan
tertentu.
Dikaitkan dengan demokrasi, menurut Miriam Budiardjo, parpol
memiliki empat fungsi yaitu sebagai sarana komunikasi politik, sebagai
sarana sosialisasi politik, sebagai recruitment kader dan anggota politik,
serta sebagai sarana pengatur konflik. Keempat fungsi tersebut
merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai demokrasi, yaitu adanya
partisipasi serta kontrol rakyat melalui parpol. Sedangkan kelompok
gerakan dan kelompok kepentingan merupakan perwujudan adanya
kebebasan berorganisasi, kebebasan menyampaikan pendapat, dan
melakukan oposisi terhadap negara dan pemerintah.
4) Pers yang bebas dan bertanggung jawab
Pers yang dapat menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi
yang obyektif melakukan kontrol sosial yang konstruktif menyalurkan
aspirasi rakyat dan meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat.
Dalam hal ini perlu dikembangkan interaksi positif antara pers,
pemerintah, dan masyarakat (Sukarno, 1986 : 30).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
d. Model-model Demokrasi (Azyumardi Azra, 2000 : 134)
1) Demokrasi liberal, yaitu pemerintahan yang dibatasi undang-undang dan
pemilihan umum bebas yang diselenggarakan dalam waktu yang tetap
secara berkala.
2) Demokrasi terpimpin, yaitu dimana para pemimpin percaya bahwa segala
tindakan mereka dipercaya rakyat tetapi menolak pemilihan umum yang
bersaing sebagai “kendaraan” untuk menduduki kekuasaan.
3) Demokrasi Pancasila adalah dimana kedaulatan rakyat sebagai inti dari
demokrasi. Karenanya rakyat mempunyai hak yang sama untuk
menentukan dirinya sendiri. Begitu pula partisipasi politik yang sama
semua rakyat. Untuk itu, pemerintah patut memberikan perlindungan dan
jaminan bagi warga negara dalam menjalankan hak politik.
4) Demokrasi sosial adalah demokrasi yang menaruh kepedulian pada
keadilan sosial dan egaliterianisme bagi persyaratan untuk memperoleh
kepercayaan publik.
5) Demokrasi partisipasi, yang merupakan hubungan timbal balik antara
penguasa dan yang dikuasai.
6) Demokrasi consociational, yang menekankan proteksi khusus bagi
kelompok-kelompok budaya yang menekankan kerja sama yang erat di
antara elit yang mewakili bagian budaya masyarakat utama.
7) Demokrasi langsung, yang mana lembaga legislatif hanya berfungsi
sebagai lembaga pengawas jalannya pemerintahan, sedangkan pemilihan
pejabat eksekutif dan legislatif melalui pemilihan umum (pemilu) oleh
rakyat secara langsung.
8) Demokrasi tidak langsung, yang mana lembaga parlemen (sebagai wakil
rakyat) dituntut kepekaan terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan
kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan pemerintah dan
negara. Hal ini berarti rakyat tidak secara langsung berhadapan dengan
pemerintah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
4. Tinjauan tentang Konstitusi
Dalam kepustakaan Belanda, diadakan pembedaan antara pengertian
undang-undang dasar (grondwet) dan konstitusi (constitutie). Undang-undang
dasar adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, karena konstitusi bisa dalam
bentuk tertulis atau tidak (Miriam Budiardjo, 2007 : 95).
a. Sejarah Konstitusi
1) Terminologi Klasik (Constitutio dan Politeia)
Dari sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan erat
dengan pengertian kita sekarang tentang konstitusi, yaitu dalam
perkataan Yunani Kuno politeia dan perkataan bahasa Latin constitutio
yang juga berkaitan dengan kata jus. Dalam kedua perkataan politeia dan
constitutio itulah awal mula gagasan konstitusionalisme diekspresikan
oleh umat manusia beserta hubungan di antara kedua istilah tersebut
dalam sejarah. Jika kedua istilah tersebut dibandingkan, maka dapat
dikatakan bahwa yang paling tua usianya adalah politeia yang berasal
dari kebudayaan Yunani.
Namun, dalam bahasa Yunani Kuno tidak dikenal adanya istilah
yang mencerminkan kata jus ataupun constitutio seperti dalam tradisi
Romawi yang datang kemudian. Dalam keseluruhan sistem berpikir para
filosof Yunani Kuno, perkataan constitution seperti yang kita maksudkan
sekarang, tidak dikenal.
2) Warisan Yunani Kuno (Aristoteles)
Menurut Aristoteles, klasifikasi tergantung pada :
a) The ends pursued by states, and
b) The kind of authority exercised by their government
Tujuan tertinggi dari negara adalah a good life, dan hal ini
merupakan kepentingan bersama seluruh warga masyarakat. Oleh karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
itu, Aristoteles membedakan antara right constitution dan wrong
constitution dengan ukuran kepentingan bersama. Jika konstitusi
diarahkan untuk tujuan mewujudkan kepentingan bersama, maka
konstitusi itu disebut konstitusi yang benar, tetapi jika sebaliknya
konstitusi itu adalah konstitusi yang salah (Jimly Asshiddiqie, 2010 : 6).
3) Warisan Romawi Kuno
Salah satu sumbangan penting filosof Romawi, terutama setelah
Cicero mengembangkan karyanya adalah pemikiran tentang hukum yang
berbeda sama sekali dari tradisi yang sudah dikembangkan sebelumnya
oleh para filosof kuno sebelumnya. Pada masa ini adalah awal mula
dipakainya istilah lex yang kemudian menjadi kata kunci untuk
memahami konsepsi politik dan hukum di zaman Romawi Kuno.
Penggunaan kata lex tampaknya dianggap luas cakupan maknanya.
Konstitusi mulai dipahami sebagai sesuatu yang berada di luar dan
bahkan di atas negara. Tidak seperti masa sebelumnya, konstitusi mulai
dipahami sebagai lex yang menentukan bagaimana bangunan kenegaraan
harus dikembangkan sesuai prinsip the higher law. Prinsip hierarki
hukum juga makin dipahami secara tegas kegunaannya dalam praktik
penyelengggaraan kekuasaan.
4) Warisan Islam (Konstitusionalisme dan Piagam Madinah)
Piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat
dibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern dalam
Piagam Madinah. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi
Muhammad SAW dan wakil-wakil penduduk Kota Madinah tidak lama
setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Madinah.
Dapat dikatakan bahwa lahirnya Piagam Madinah pada abad VII M
itu merupakan inovasi yang paling penting selama abad-abad
pertengahan yang memulai suatu tradisi baru adanya perjanjian bersama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
di antara kelompok-kelompok masyarakat untuk bernegara dengan
naskah perjanjian yang dituangkan dalam bentuk yang tertulis.
5) Terminologi Konstitusi Modern
Konstitusi bukanlah undang-undang biasa. Ia tidak ditetapkan oleh
lembaga legislatif yang biasa, tetapi oleh badan yang lebih khusus dan
lebih tinggi kedudukannya. Jika norma hukum yang terkandung di
dalamnya bertentangan dengan norma hukum yang terdapat dalam
undang-undang, maka ketentuan undang-undang dasar itulah yang
berlaku, sedangkan undang-undang harus memberikan jalan untuk itu.
Oleh karena itu, dikembangkannya pengertian constituent power
berkaitan dengan pengertian hierarki hukum (hierarchy of law).
Konstitusi merupakan hukum yang paling tinggi serta paling fundamental
sifatnya karena konstitusi merupakan sumber legitimasi atau landasan
otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan perundang-undangan
lainnya.
b. Pengertian Konstitusi
Menurut istilah, konstitusi adalah keseluruhan dari peraturan-
peraturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara
mengikat cara-cara bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam
suatu masyarakat. Konstitusi merupakan hukum dasar yang dijadikan
pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara (Jimly Asshiddiqie, 2006 :
3). Di dalam konstitusi memang terdapat aturan-aturan hukum yang
mengatur organ-organ dalam negara, tata cara pembentukan organ-organ
tersebut, tata hubungan sesamanya, dan lingkup kerja masing-masing, serta
berisi aturan-aturan hukum mengenai tata hubungan timbal balik antara
negara dan warga negara, serta penduduknya (A. Hamid S. Attamimi, 1992,
6).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Pengertian konstitusi menurut Carl Schmitt, membagi konstitusi
dalam empat pengertian sebagai berikut (Dasril Radjab, 2006 : 48-51) :
1) Konstitusi dalam arti absolut yang diperinci menjadi empat bagian yaitu :
a) Konstitusi dianggap sebagai satuan organisasi yang nyata, mencakup
semua bangunan hukum dari semua organisasi yang ada dalam negara.
b) Konstitusi sebagai bentuk negara. Yang dimaksud dengan bentuk
negara adalah negara dalam arti keseluruhannya. Bentuk negara itu
bisa demokrasi atau monarki. Demokrasi baik langsung maupun
memerintah dirinya sendiri sehingga antara yang memerintah dan
yang diperintah identik dengan rakyat.
c) Konstitusi sebagai faktor integrasi. Faktor ini bisa abstrak dan
fungsional. Abstrak misalnya hubungan antara bangsa dan negara
dengan lagu kebangsaannya. Dikatakan fungsional karena tugas
konstitusi mempersatukan bangsa melalui pemilu, pembentukan
kabinet, referendum, dan sebagainya.
d) Konstitusi sebagai suatu sistem tertutup dari norma-norma hukum
yang tertinggi di dalam negara. Jadi, konstitusi itu merupakan norma
dasar sebagai sumber bagi norma-norma lain yang berlaku di dalam
negara.
2) Konstitusi dalam arti relatif
Konstitusi dalamarti relatif dimaksudkan sebagai konstitusi yang
dihubungkan dengan kepentingan suatu golongan tertentu di dalam
masyarakat. Golongan utama adalah golongan borjuis liberal yang
menghendaki adanya jaminan dari penguasa agar hak-haknya tidak
dilanggar.
3) Konstitusi dalam arti positif
Carl Schmitt menjelaskan pengertian konstitusi dalam arti positif
dihubungkan dengan ajaran dezisionisme, yaitu ajaran tentang keputusan.
Menurutnya, konstitusi dalam arti positif itu mengandung pengertian
sebagai keputusan politik yang tertinggi.
4) Konstitusi dalam arti ideal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Disebut konstitusi ideal karena konstitusi itu idaman dari kaum
borjuis sebagai jaminan bagi rakyat agar hak-hak asasinya dilindungi.
Menurut F. Lasele, konstitusi dibagi menjadi dua pengertian, yakni
(Dahlan Thaib; Jasim Hamidi; Ni’matul Huda, 2001 : 10) :
a) Sosiologis dan politis
Secara sosiologis dan politis, konstitusi adalah sintesa faktor-
faktor kekuatan yang nyata dalam masyarakat. Jadi, konstitusi
menggambarkan hubungan antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat
dengan nyata dalam suatu negara.
b) Yuridis
Secara yuridis, konstitusi adalah suatu naskah yang memuat
semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.
c. Tujuan, Fungsi, dan Ruang Lingkup Konstitusi
1) Tujuan Konstitusi
Secara garis besar, tujuan konstitusi antara lain (Taufiqurrahman
Syahuri, 2004 : 28) :
a) Membatasi sewenang-wenang pemerintah.
b) Menjamin hak-hak rakyat yang diperintah.
c) Menetapkan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat.
2) Fungsi Konstitusi
Fungsi konstitusi menurut Taufiqurrahman Syahuri adalah sebagai
dokumen nasional dan alat untuk membentuk sistem politik dan sistem
hukum negara (Taufiqurrahman Syahuri, 2004 : 29). Menurut Jimly
Asshiddiqie dalam buku “Hukum Konstitusi”, konstitusi memiliki
fungsi-fungsi yang diperinci sebagai berikut :
a) Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara.
b) Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
c) Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara dengan
warga negara.
d) Fungsi pemberi dan sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara
ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara.
e) Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan
yang asli kepada organ negara.
f) Fungsi simbolik sebagai pemersatu, sebagai rujukan identitas, dan
keagungan kebangsaan serta sebagai center of ceremony.
g) Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat, baik dalam arti
sempit hanya di bidang politik maupun dalam arti yang luas mencakup
bidang sosial dan ekonomi.
h) Fungsi sebagai sarana perekayasa dan pembaruan masyarakat.
3) Ruang Lingkup Konstitusi
Menurut A. A. H. Stuycken, ruang lingkup konstitusi meliputi :
a) Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau.
b) Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.
c) Pandangan tokoh bangsa yang hendak diwajibkan, baik waktu
sekarang maupun untuk masa yang akan datang.
d) Suatu keinginan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan
bangsa yang hendak dipimpin.
d. Klasifikasi Konstitusi
K. C. Wheare mengklasifikasikan konstitusi menjadi lima, yaitu :
1) Konstitusi tertulis dan tidak tertulis
Konstitusi tertulis adalah konstitusi dalam bentuk dokumen yang
memiliki “kesakralan khusus” dalam proses perumusannya.
Konstitusi tidak tertulis adalah konstitusi yang lebih berkembang atas
dasar adat-istiadat daripada hukum tertulis dan tidak dituangkan dalam
suatu dokumen.
2) Konstitusi fleksibel dan konstitusi kaku (rigid)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Konstitusi fleksibel adalah konstitusi yang dapat diubah atau
diamandemen tanpa adanya prosedur khusus. Dalam konstitusi fleksibel
mempunyai ciri pokok yaitu :
a) Elastis, dapat dengan mudah menyesuaikan dirinya.
b) Diumumkan dan diubah dengan cara yang sama seperti undang-
undang.
Konstitusi kaku adalah konstitusi yang mempersyaratkan prosedur
khusus untuk perubahan atau amandemennya. Dalam konstitusi rigid
mempunyai ciri pokok yaitu :
a) Mempunyai kedudukan dan derajat yang lebih tinggi daripada
peraturan perundang-undangan yang lain.
b) Hanya dapat diubah dengan cara yang khusus atau istimewa.
3) Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi tidak derajat tinggi
Konstitusi derajat tinggi ialah konstitusi yang mempunyai kedudukan
tertinggi dalam negara.
Konstitusi tidak derajat tinggi ialah konstitusi yang tidak mempunyai
kedudukan serta derajat seperti konstitusi derajat tinggi.
4) Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan
Bentuk ini berkaitan dengan bentuk negara. Jika negara itu serikat maka
akan didapatkan sistem pembagian kekuasaan antara pemerintah negara
serikat dan pemerintah negara bagian.
5) Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem
pemerintahan parlementer
Ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial :
a) Presiden dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih.
b) Presiden bukan pemegang kekuasaan legislatif.
c) Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislatif dan
tidak dapat memerintahkan diadakan pemilihan.
d) Di samping sebagai kepala negara, Presiden juga sebagai kepala
pemerintahan.
Ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
a) Kabinet yang dipilih Perdana Menteri dibentuk atau berdasarkan
ketentuan yang menguasai parlemen.
b) Para anggota kabinet sebagian atau seluruhnya adalah anggota
parlemen.
c) Kepala negara dengan saran Perdana Menteri dapat membubarkan
parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilu.
d) Perdana Menteri bertanggung jawab kepada parlemen.
e. Nilai-nilai Konstitusi
Dalam praktik ketatanegaraan sering terjadi suatu konstitusi yang
tertulis (UUD) tidak berlaku secara sempurna karena salah satu atau
beberapa pasalnya tidak berlaku secara efektif. Ketidakefektifan ini
dipengaruhi oleh tidak mempunyai konstitusi menyesuaikan dengan
perkembangan praktik ketatanegaraan, selain itu juga dipengaruhi oleh
pihak pemerintah yang melaksanakan undang-undang dasar itu.
Sehubungan dengan hal tersebut Karl Lowenstein membuat tiga jenis
penilaian sebagai berikut (Dasril Radjab, 2006 : 55-57) :
1) Nilai Normatif
Apabila suatu konstitusi telah resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi
mereka konstitusi bukan saja berlaku di dalam arti hukum, tetapi juga
merupakan suatu kenyataan dalam arti sepenuhnya dan efektif. Dengan
begitu, konstitusi dapat dilaksanakan secara mutlak dan konsekuen.
2) Nilai Nominal
Konstitusi menurut hukum memang berlaku tetapi kenyataannya tidak
sempurna. Ketidaksempurnaan berlakunya konstitusi tertulis sering kali
berbeda dengan yang dipraktikkan sebab sebagaimana telah diketahui
konstitusi dapat berubah baik karena perubahan formil seperti yang
tercantum dalam konstitusi itu maupun karena konvensi ketatanegaraan.
3) Nilai Semantik
Konstitusi secara hukum berlaku, tetapi dalam kenyataannya hanya
sekedar untuk membentuk dari tempat yang ada dan untuk melaksanakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
kekuasaan politik. Jadi konstitusi hanya sekadar istilah saja, sedangkan
pelaksanaannya sering dikaitkan dengan kepentingan penguasa. Contoh :
UUD 1945 pada waktu orde lama.
f. Prinsip-prinsip Umum Perubahan Konstitusi
1) Sistem Amandemen (Taufiqurrahman Syahuri, 2004 : 43-46)
Pengertian perubahan konstitusi dapat juga mencakup dua pengertian,
yaitu :
a) Amandemen Konstitusi (Constitutional Amandment)
b) Pembaruan Konstitusi (Constitutional Reform)
Namun demikian, secara khusus, apabila dilihat dari segi sistem atau
bentuk perubahan konstitusi secara teori, istilah amandemen konstitusi
memiliki makna tersendiri untuk membedakan dengan sistem perubahan
konstitusi lain. Secara umum, sistem yang dianut oleh negara-negara
dalam mengubah konstitusinya dapat digolongkan ke dalam dua sistem
perubahan.
Pertama, apabila suatu konstitusi diubah maka yang akan berlaku adalah
konstitusi yang baru secara keseluruhan, sehingga tidak ada kaitannya
lagi dengan konstitusi lama. Sistem ini masuk ke dalam kategori
pembaruan konstitusi.
Kedua, sistem perubahan konstitusi, dimana konstitusi yang asli tetap
berlaku, sementara bagian perubahan atas konstitusi tersebut merupakan
adendum atau sisipan dari konstitusi yang asli. Dengan kata lain, bagian
yang diamandemen merupakan atau menjadi bagian dari konstitusinya.
Jadi, antara bagian perubahan dan bagian konstitusi aslinya masih terkait.
Keberlakuan konstitusi dengan sistem perubahan inipun masih
didasarkan pada saat berlakunya konstitusinya yang lama, sehingga nilai-
nilai lama dalam konstitusi asli yang belum diubah masih tetap eksis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
2) Jalur Yuridis dan Nonyuridis
Secara garis besar, perubahan konstitusi dapat dilaksanakan melalui dua
jalan, yaitu :
a) Jalan Yuridis Formal
Perubahan konstitusi yang dilakukan sesuai dengan ketentuan formal
mengenai perubahan konstitusi yang terdapat di dalam konstitusi
sendiri dan mungkin diatur dalam peraturan perundang-undangan lain.
b) Jalan nonyuridis Formal atau Jalan Politis
Perubahan konstitusi tersebut biasanya terjadi karena sebab tertentu
atau keadaan khusus yang mendorong terjadinya perubahan konstitusi.
Perubahan demikian dapat berupa perubahan konstitusi secara total
atau sebagian saja sesuai dengan kebutuhannya. Perubahan konstitusi
secara politis atau sebagai suatu kenyataan ini kalau berjalan dan
dapat diterima oleh segala lapisan masyarakat, maka perubahan
demikian secara yuridis adalah sah sehingga memiliki kekuatan
yuridis.
5. Tinjauan tentang Kewenangan
a. Pengertian
Secara etimologis, istilah kewenangan berasal dari kata wewenang.
Sedangkan menurut Bagir Manan, istilah wewenang dengan kekuasaan
(macht) itu berbeda (Bagir Manan, 2002 : 1). Kekuasaan menurutnya
hanya digambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan
wewenang memiliki pengertian yang lebih luas meliputi hak dan
kewajiban (rechten en plichten).
Secara teoritik, mengenai kewenangan dapat dilihat pendapat H.D.
Stout (H.R. Ridwan, 2006 : 101) mengatakan :
”Bevoegheid is een begrip uit het berstuurlijke organisatierecht, wat kan
worden omschreven als het geheel van regels betrekking heft op de
verkrijging en uitoefening van bertuursrechstelijike bevoegdheden door
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuursrechtelijke
rechtsverkeer” (wewenang merupakan pengertian yang berasal dari hukum
organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan
aturan-aturan yang berkenan dengan perolehan dan penggunaan wewenang
pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hukum publik).
Menurut F.P.C.L Tonnaer dalam H.R. Ridwan (2006 : 101) :
“Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevat als het vermoge om
positief recht vast te stellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers
onderling en tussen overhead en te scheppen” (kewenangan pemerintah
dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan
hukum positif, dan dengan begitu, dapat diciptakan hubungan hukum
antara pemerintah dengan warga Negara). Dalam Negara hukum,
wewenang itu berasal dari peraturan pemerintah.
Menurut R.J.H.M. Huisman (H.R. Ridwan, 2006 : 103)
“Een bestuursorgaan kan zich geen bevoegdheid toeeigenen. Slechts de
wet kan bevoegdheden verlenen. De wetgever kan een bevoegdheid niet
allen attribueren aan een bestuursorgaan, maar ook aan ambtenaren
(bujvoorbeeld belastinginspecteurs, inspecteur voor het pachtkamer), of
zelfs aan privaatrechtelijke rechtspersonen” (organ pemerintahan tidak
dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan.
Kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang. Pembuat undang-
undang dapat memberikan wewenang pemerintah tidak hanya kepada
organ pemerintahan, tetapi juga terhadap para pegawai {misalnya
inspektur pajak, inspektur lingkungan, dan sebagainya} atau terhadap
badan khusus {seperti dewan pemilihan umum, pengadilan khusus untuk
perkara sewa tanah}, atau bahkan terhadap badan hukum privat).
Pandangan yang melihat lebih jauh pada sisi tindakan yaitu
ungkapan P. Nicolai dalam H.R. Ridwan (2006 : 102) :
“het vermoge tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen
(handelingen die op rechtsgevolggericht zijn en dus ertoe strekken dat
bepalde recchtsgevolgen onstaan of tenien gaan). Een recht houdt in de
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
(rechtens gegeven) vrijheid om een bepaalde feitelijke handeling te
verrichteen of n ate laten, of de (rechtens gegeven) aanspraah op het
verrichten van een handelign door een ander. Een plicht impliceert een
verplichting om een bepalde handeling te verrichten of te laten”
(kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu {yaitu tindakan-
tindakan yang dilakuakn untuk mengakibatkan akibat hukum, dan
mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum}. Hak berisi
kebebasan untuk melakukan atau tindakan melakukan tindakan tertentu,
atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan
kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan
tindakan tertentu).
Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa
digunakan dalam lapangan hukum publik. Namun sesungguhnya terdapat
perbedaan di antara keduanya. Kewenangan adalah apa yang disebut
“kekuasaan formal”, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang
diberikan oleh Undang-undang atau legislatif dari kekuasaan eksekutif
atau administratif. Karenanya, merupakan kekuasaan dari segolongan
orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan atau
urusan pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang hanya
mengenai suatu bagian tertentu saja dari kewenangan. Wewenang
(authority) adalah hak untuk memberi perintah, dan kekuasaan untuk
meminta dipatuhi.
b. Jenis-jenis Wewenang
Sebagaimana diungkapkan F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek
dalam H.R. Ridwan (2006 : 101-102) menyebutkan sebagai inti Hukum
Tata Negara dan Hukum Administrasi bahwa “het begrip bevoegdheid is
dan ook een kernbegrip in het staats-en administratief recht” (kewenangan
yang di dalamnya terkandung hak dan kewajiban). Dalam hal ini dibagi
atas dua cara organ pemerintah memperoleh wewenang, yaitu dengan cara
atributif dan delegasi; bahwa atribusi berkenaan dengan penyerahan
wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara
atributif kepada organ lain); jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh
atribusi.
Menurut H.D Van Wijk Willem Konijnenbelt dalam H.R. Ridwan
(2006 : 104) mendefinisikan :
1) Attribustie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een
wetgever aan bestuursorgaan (atribusi adalah pemberian wewenang
pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan).
2) Delegatief : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursrgaan
aan een ander (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan
dari suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintah lainnya).
3) Mandaat : berstuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem
uitoefenen door een ander (mandat terjadi ketika organ pemerintahan
mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas
namanya).
Indroharto dalam H.R. Ridwan (2006 : 110) mengatakan
wewenang dibagi atas 3 (tiga) bagian :
1) Wewenang pemerintah yang bersifat terikat
Terjadi apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam
keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau
peraturan dasarnya sedikit banyaknya menentukan tentang ini dari
keputusan yang harus diambil.
2) Wewenang fakultatif
Terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang
bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit
banyak masih ada piliha, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan
dalam hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu sebagaimana ditentukan
dalam peraturan dasarnya.
3) Wewenang bebas
Yakni terjadi ketika peraturan dasarnya memberi kebebasan kepada
badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan sendiri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau peraturan
dasarnya memberikan ruang lingkup kebebasan kepada pejabat tata
usaha negara yang bersangkutan.
Berdasarkan sumbernya wewenang dibedakan menjadi dua yaitu
wewenang personal dan wewenang ofisial.
1) Wewenang personal
Bersumber pada intelegensi, pengalaman, nilai atau normal, dan
kesanggupan untuk memimpin.
2) Wewenang ofisial
Merupakan wewenang resmi yang di terima dari wewenang yang
berada di atasnya.
c. Cara Memperoleh Kewenangan
Kewenangan diperoleh oleh seseorang melalui 2 (dua) cara yaitu
dengan atribusi atau dengan pelimpahan wewenang (Patawari,
Implementasi Wewenang KPU Propinsi dalam Pemilu,
(http://wordpress.com/.../implementasi-wewenang-kpu-propinsi-dalam-
pemilu> [23 Juni 2012 pukul 12.00 WIB])).
1) Atribusi
Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam
tinjauan hukum tata Negara, atribusi ini ditunjukan dalam wewenang
yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan
pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh
pembuat undang-undang. Atribusi ini menunjuk pada kewenangan asli
atas dasar konstitusi (UUD) atau peraturan perundang-undangan.
2) Pelimpahan wewenang
Pelimpahan wewenang adalah penyerahan sebagian dari wewenang
pejabat atasan kepada bawahan tersebut membantu dalam
melaksanakan tugas-tugas kewajibannya untuk bertindak sendiri.
Pelimpahan wewenang ini dimaksudkan untuk menunjang kelancaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
tugas dan ketertiban alur komunikasi yang bertanggung jawab, dan
sepanjang tidak ditentukan secara khusus oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Selain secara atribusi, wewenang juga dapat diperoleh melalui proses
pelimpahan yang disebut :
a) Delegasi
Pendelegasian diberikan biasanya antara organ pemerintah satu
dengan organ pemerintah lain, dan biasanya pihak pemberi
wewenang memiliki kedudukan lebih tinggi dari pihak yang
diberikan wewenang.
b) Mandat
Umumnya mandat diberikan dalam hubungan kerja internal antara
atasan dan bawahan.
Pelimpahan wewenang yang dapat dilimpahkan kepada pejabat
bawahannya adalah wewenang penandatanganan. Bentuk pelimpahan
penandatanganan adalah :
a) Pelimpahan wewenang dengan menggunakan istilah atas nama
(a.n)
Merupakan jenis pelimpahan wewenang secara mandat, atas nama
digunakan jika yang menandatangani surat telah diberi wewenang
oleh pejabat yang bertanggung jawab berdasarkan bidang tugas,
wewenang dan tanggung jawab pejabat yang bersangkutan.
Pejabat yang bertanggung jawab melimpahkan wewenang kepada
pejabat di bawahnya, paling banyak hanya 2 (dua) rentang jabatan
struktural di bawahnya. Persyaratan pelimpahan wewenang ini
adalah :
(1) Pelimpahan wewenang harus dituangkan dalam bentuk tertulis
yaitu dalam bentuk Instruksi Dinas atau Surat Kuasa;
(2) Materi yang dilimpahkan harus merupakan tugas dan tanggung
jawab pejabat yang melimpahkan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
(3) Pada dasarnya wewenang penandatanganan meliputi surat-surat
untuk kepentingan ke luar maupun di dalam lingkungan
lembaga Negara tersebut;
(4) Penggunaan wewenang hanya sebatas kewenangan yang
dilimpahkan kepadanya dan materi kewenangan tersebut harus
dipertanggungjawabkan oleh yang dilimpahkan kepada yang
melimpahkan;
(5) Tanggung jawab sebagai akibat penandatanganan surat berada
pada pejabat yang diatasnamakan.
b) Pelimpahan wewenang dengan menggunakan istilah untuk beliau
(u.b)
Merupakan jenis pelimpahan wewenang secara delegasi, untuk
beliau digunakan jika yang diberikan kuasa memberi kuasa lagi
kepada pejabat satu tingkat di bawahnya, sehingga untuk beliau
(u.b) digunakan setelah atas nama (a.n). Pelimpahan wewenang ini
mengikuti urutan sampai 2 (dua) tingkat structural di bawahnya,
dan pelimpahan ini bersifat fungsional.
Persyaratan yang harus dipenuhi :
(1) Materi yang ditangani merupakan tugas dan tanggung jawab
pejabat yang melimpahkan;
(2) Dapat digunakan oleh pejabat yang ditunjuk sebagai pemangku
jabatan sementara atau yang mewakili;
(3) Pada dasarnya wewenang penandatanganan meliputi surat-surat
untuk kepentingan internal dalam lingkungan lembaga Negara
yang melampaui batas lingkup jabatan pejabat yang
menandatangani surat;
(4) Tanggung jawab berada pada pejabat yang dilimpahkan
wewenang.
c) Pelimpahan wewenang dengan menggunakan istilah atas perintah
beliau (apb.) dan atas perintah (ap.)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Merupakan pelimpahan wewenang secara mandat, dimana pejabat
yang seharusnya menandatangani memberi perintah kepada pejabat
di bawahnya untuk menandatangani sesuai dengan tugas dan
tanggung jawabnya. Persyaratan pelimpahan wewenang ini yang
membedakannya dengan kedua jenis pelimpahan wewenang
lainnya, yaitu hanya dapat dilakukan jika dalam keadaan mendesak
dan tidak menyangkut materi yang bersifat kebijakan.
Baik wewenang yang diperoleh berdasarkan atribusi maupun
berdasarkan pelimpahan sama-sama harus terlebih dahulu dipastikan
bahwa yang melimpahkan benar memiliki wewenang tersebut dan
wewenang itu benar ada berdasarkan konstitusi (UUD) atau peraturan
perundang-undangan.
6. Tinjauan tentang Lembaga Negara
a. Pengertian
Lembaga negara bukan konsep yang secara terminologis memiliki
istilah tunggal atau seragam. Di dalam kepustakaan Inggris, untuk
menyebut lembaga negara digunakan istilah political instruction,
sedangkan dalam terminologi bahasa Belanda terdapat istilah staat
organen. Sementara itu, bahasa Indonesia menggunakan lembaga negara
atau organ negara.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) (1997:979-58),
kata ”lembaga” antara lain diartikan sebagai 1) ’asal mula (yang akan
menjadi sesuatu); bakal (binatang, manusia, tumbuhan)’; (2) ’bentuk (rupa,
wujud) yang asli’; (3) ’acuan; ikatan (tentang mata cincin dsb)’; (4) ’badan
(oganisasi) yang tujuannya melakukan penyelidikan keilmuan atau
melakukan suatu usaha’; dan (5) ’pola perilaku manusia yang mapan,
terdiri atas interaksi sosial berstruktur di suatu kerangka nilai yang
relevan’. Kamus tersebut juga memberi contoh frasa menggunakan kata
lembaga, yaitu lembaga pemerintah yang diartikan ’badan-badan
pemerintahan dalam lingkungan eksekutif. Kalau kata pemerintahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
diganti dengan kata negara, diartikan ’badan-badan negara di semua
lingkungan pemerintahan negara (khususnya di lingkungan eksekutif,
yudikatif, dan legislatif)’.
Untuk memahami pengertian lembaga atau organ negara secara
lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen
mengenai the concept of the State Organ dalam bukunya General Theory
of Law and State. Hans Kelsen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a
function determined by the legal order is an organ”, artinya siapa saja
yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum
(legal order) adalah suatu organ (Anonim, Hubungan antar Lembaga,
(http://indoskripsi.com> [22 Juni 2012 pukul 20.00 WIB])).
Menurut Kelsen, parlemen yang menetapkan undang-undang dan
warga negara yang memilih para wakilnya melalui pemilihan umum sama-
sama merupakan organ negara dalam arti luas. Demikian pula hakim yang
mengadili dan menghukum penjahat dan terpidana yang menjalankan
hukuman tersebut di lembaga pemasyarakatan adalah juga merupakan
organ negara. Pendek kata dalam pengertian yang luas ini organ negara itu
identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan tertentu
dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang disebut sebagai jabatan
publik atau jabatan umum (public offices) dan pejabat publik atau pejabat
umum (public officials) (Anonim, Lembaga-lembaga Negara,
(http://kanekzoke.blogspot.com/> [23 Juni 2012 pukul 13.00 WIB])).
Hans Kelsen juga menguraikan adanya pengertian organ negara
dalam arti yang sempit, yaitu pengertian organ dalam arti materiil.
Individu dikatakan organ negara hanya apabila ia secara pribadi memiliki
kedudukan hukum yang tertentu (he personally has a specific legal
position). Suatu transaksi hukum perdata, misalnya, kontrak, adalah
merupakan tindakan atau perbuatan yang menciptakan hukum seperti
halnya suatu putusan pengadilan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
b. Macam-macam Lembaga Negara Berdasarkan UUD RI 1945
Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga
pemerintahan, lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga
negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan
oleh UUD, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari
UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden. Hierarki atau ranking kedudukannya tentu saja tergantung pada
derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD merupakan
organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU merupakan
organ UU, sementara yang hanya dibentuk karena Keputusan Presiden
tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap
pejabat yang duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud
dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih
rendah lagi tingkatannya.
Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada dua
unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Organ adalah
bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah isinya; organ adalah
status bentuknya, sedangkan functie adalah gerakan wadah itu sesuai
maksud pembentukannya. Dalam naskah Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, organ-organ yang dimaksud, ada yang
disebut secara eksplisit namanya, dan ada pula yang disebutkan eksplisit
hanya fungsinya. Ada pula lembaga atau organ yang disebut bahwa baik
namanya maupun fungsi atau kewenangannya akan diatur dengan
peraturan yang lebih rendah. Dilihat dari segi fungsinya Lembaga-
Lembaga Negara ada yang bersifat utama/primer (primary constitutional
organs), dan bersifat penunjang/sekunder (auxiliary state organs).
Sedangkan dari segi hierarkinya lembaga negara itu dibedakan kedalam 3
(tiga) lapis, yaitu :
1) Organ lapis pertama disebut sebagai lembaga tinggi negara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Dimana nama, fungsi dan kewenangannya dibentuk berdasarkan UUD
1945. Adapun yang disebut sebagai organ-organ konstitusi pada lapis
pertama atau dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara yaitu :
Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA) dan Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK).
2) Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja
Dimana dalam lapis ini ada lembaga yang sumber kewenangannya dari
UUD, ada pula sumber kewenangannya dari Undang-Undang dan
sumber kewenangannya yang bersumber dari regulator atau pembentuk
peraturan di bawah Undang-Undang.
a) Kelompok Pertama yakni organ konstitusi yang mendapat
kewenangan dari UUD misalnya Menteri Negara, Komisi Yudisial
(KY), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara, Komisi
pemilihan umum, Bank Sentral ;
b) Kelompok Kedua organ institusi yang sumber kewenangannya
adalah Undang-Undang misalnya seperti Komnas HAM, Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan lain sebagainya.
Walaupun dasar/sumber kewenangannya berbeda kedudukan kedua
jenis lembaga negara ini dapat di sebandingkan satu sama lain, hanya
saja kedudukannya walaupun tidak lebih tinggi tetapi jauh lebih kuat.
Keberadaannya disebutkan secara eksplisit dalam UUD, sehingga
tidak dapat ditiadakan atau dibubarkan hanya karena kebijakan
pembentukan Undang-Undang;
c) Kelompok Ketiga yakni organ konstitusi yang termasuk kategori
Lembaga Negara yang sumber kewenangannya berasal dari regulator
atau pembentuk peraturan di bawah Undang-Undang, misalnya
Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
3) Organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah
Merupakan lembaga negara yang ada di daerah yang ketentuannya telah
diatur oleh UUD 1945 yaitu : Pemerintah Daerah Provinsi, Gubernur,
DPRD Provinsi, Pemerintahan Daerah Kabupaten, Bupati, DPRD
Kabupaten, Pemerintahan Daerah Kota, Walikota, DPRD Kota. Di
samping itu, di dalam UUD 1945 disebutkan pula adanya satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa yang diakui
dan dihormati keberadaannya secara tegas oleh UUD, sehingga
eksistensinya sangat kuat secara konstitusional.
c. Hubungan Antar Lembaga-Lembaga Negara
Hubungan antar alat-alat kelengkapan suatu negara atau yang lazim
disebut sebagai lembaga negara merupakan hubungan kerjasama antar
institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara.
Berdasarkan teori-teori klasik mengenai negara setidaknya terdapat beberapa
fungsi negara yang penting seperti fungsi membuat kebijakan peraturan
perundang-undangan (fungsi legislatif), fungsi melaksanakan peraturan atau
fungsi penyelenggaraan pemerintahan (fungsi eksekutif), dan fungsi mengadili
(fungsi yudikatif). Kecenderungan praktik ketatanegaraan terkini di Indonesia
oleh banyak ahli hukum tata negara dan ahli politik dikatakan menuju sistem
pemisahan kekuasaan antara ketiga fungsi negara tersebut (separation power).
Alat kelengkapan negara berdasarkan teori-teori klasik hukum negara
meliputi kekuasaan eksekutif, dalam hal ini bisa presiden atau perdana menteri
atau raja, kekuasaan legilatif, dalam hal ini bisa disebut parlemen atau dengan
nama lain seperti dewan perwakilan rakyat, dan kekuasaan yudikatif seperti
Mahkamah Agung atau supreme court. Setiap alat kelengkapan negara
tersebut bisa memiliki organ-organ lain untuk membantu pelaksanaan
fungsinya. Kekuasaan eksekutif, misalnya, dibantu wakil dan menteri-menteri
yang biasanya memimpin satu departemen tertentu. Meskipun demikian, tipe-
tipe lembaga negara yang diadopsi setiap negara berbeda-beda sesuai dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
perkembangan sejarah politik kenegaraan dan juga sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dalam negara yang bersangkutan.
Secara konseptual, tujuan diadakannya lembaga-lembaga negara atau
alat-alat kelengkapan negara adalah selain menjalankan fungsi negara, juga
untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Dengan kata lain,
lembaga-lembaga itu harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama
lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara atau
istilah yang digunakan Sri Soemantri adalah actual governmental process.
Jadi, meskipun dalam praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang diadopsi
setiap negara bisa berbeda-beda, secara konsep lembaga-lembaga tersebut
harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu
kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan secara
ideologis mewujudkan tujuan negara jangka panjang.
Sampai dengan saat ini, proses awal demokratisasi dalam kehidupan
sosial dan politik dapat ditunjukkan antara lain dengan terlaksananya
pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 secara langsung,
terbentuknya kelembagaan DPR, DPD dan DPRD baru hasil pemilihan umum
langsung, terciptanya format hubungan pusat dan daerah berdasarkan
perundangan-undangan otonomi daerah yang baru, dimana setelah jatuhnya
Orde Baru (1996 - 1997), pemerintah merespon desakan daerah-daerah
terhadap sistem pemerintahan yang bersifat sangat sentralistis, dengan
menawarkan konsep otonomi daerah untuk mewujudkan desentralisasi
kekuasaan, selain itu terciptanya format hubungan sipil-militer, serta TNI
dengan POLRI berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, serta
terbentuknya Mahkamah Konstitusi.
7. Tinjauan tentang Mahkamah Konstitusi
Menurut Taufiqurrahman Syahuri dalam Berita Mahkamah Konstitusi,
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga tinggi negara yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
masuk dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang mempunyai posisi sejajar
dengan lembaga lain, seperti : Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) (Taufiqurrahman Syahuri, 2005 : 6).
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi
dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenangnya sebagaimana
ditentukan dalam UUD RI 1945. Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat
pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan keadilan.
a. Latar Belakang Pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan pun menyatakan :
“Undang-Undang Dasar suatu negara ialah hanya sebagian dari hukumnya
dasar negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis,
sedang di sampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar
yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara
dalam praktek penyelenggaraan negara meskipun tidak ditulis”.
Terkait dengan keberadaan Penjelasan UUD 1945 tersebut, menurut
Jimly Asshiddiqie, tidak ada kelaziman undang-undang dasar memiliki
Penjelasan yang resmi. Penjelasan UUD 1945 itu sendiri bukanlah hasil
kerja badan yang menyusun dan menetapkan UUD 1945 (BPUPKI dan
PPKI), melainkan hasil kerja pribadi Soepomo yang kemudian dimasukkan
bersama-sama Batang Tubuh ke dalam Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 1946 dan kemudian dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1959 (Jimly Asshiddiqie, 2006 : 3).
Pemikiran mengenai pentingnya suatu Mahkamah Konstitusi telah
muncul dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, sebelum Indonesia
merdeka (Jimly Asshiddiqie, 2005 : 11). Pada saat pembahasan rancangan
UUD dalam rapat di Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), Muhammad Yamin mengusulkan agar dalam UUD
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
1945 dicantumkan ketentuan Mahkamah Agung (MA) berhak menetapkan
bahwa suatu undang-undang bertentangan dengan UUD (Ni’matul Huda,
2003 : 203-204).
Akan tetapi usul tersebut ditolak oleh Soepomo. Alasan penolakan
yang diajukan oleh Soepomo antara lain :
1) Tidak ada kebulatan pendapat antara ahli tata negara dalam soal itu;
2) Perselisihan tentang apakah suatu undang-undang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar atau tidak, pada umumnya bukan soal yuridis,
tetapi soal politis;
3) Adanya kewenangan judicial review pada Mahkamah Agung merupakan
konsekuensi dari sistem Trias Politica yang tidak dianut dalam Undang-
Undang Dasar yang dipersiapkan BPUPKI, karena itu tidaklah tepat bila
kekuasaan kehakiman mengontrol legislatif (pembentuk Undang-
Undang);
4) Para ahli hukum sama sekali belum mempunyai pengalaman dalam hal
tersebut dan tenaga-tenaganya belum begitu banyak, jadi belum
waktunya bagi negara yang muda untuk melakukan pekerjaan itu
(Ni’matul Huda, 2003 : 204).
Pada saat pembahasan perubahan UUD 1945 dalam era reformasi
muncul kembali pendapat mengenai pentingnya suatu Mahkamah
Konstitusi. Perubahan UUD 1945 dalam era reformasi telah menyebabkan
MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan
supremasi konstitusi. Karena perubahan yang mendasar ini maka perlu
disediakan sebuah mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya
lembaga negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antarlembaga
negara yang kini telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan
saling mengendalikan (checks and balances), yaitu Mahkamah Konstitusi.
Seiring dengan hal itu muncul desakan agar tradisi pengujian peraturan
perundang-undangan perlu ditingkatkan tidak hanya terbatas pada peraturan
di bawah UU melainkan juga atas UUD. Kewenangan melakukan pengujian
UU terhadap UUD itu diberikan kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Mahkamah Agung. Atas dasar pemikiran itu, adanya Mahkamah Konstitusi
yang berdiri sendiri di samping Mahkamah Agung menjadi sebuah
keniscayaan (Jimly Asshiddiqie, 2005 : 12-13).
Setelah melalui proses pembahasan yang mendalam, cermat, dan
demokratis, akhirnya ide pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi
kenyataan dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD RI
1945. Pasal 24 ayat (2) UUD RI 1945 menyatakan :
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Pasal 24C UUD RI 1945 menyatakan :
1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum;
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar;
3) Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim
konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, diajukan masing-masing tiga
orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan
Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden;
4) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilh dari dan oleh hakim
konstitusi;
5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,
serta tidak merangkap sebagai pejabat negara;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta
ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan Undang-
Undang.
Dengan disahkannya dua pasal tersebut, maka Indonesia menjadi negara ke-
78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi.
b. Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD RI 1945 menggariskan
wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai berikut :
1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.
2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Dalam jurnal internasional di bawah ini telah dijelaskan tentang
kewenangan Mahkamah Konstitusi seperti yang tertuang dalam Pasal 24C
UUD 1945 setelah amandemen :
Jurisdiction of Constitutional Court is stipulates in Article 24C of
amended Constitution namely : (a) reviewing laws against the constitution,
(b) settle the dispute over the authorities of the state institutions whose
powers are given by constitution, (c) deciding over the dissolution of
political party, (d) deciding over disputes on the results of general election.
Beside those four jurisdictions Indonesian Constitutional Courts is involves
in the process of impeachmentto remove the President and or Vice President
during his/her terms of office. Constitutional Court has a duty to decide
whether the President and or Vice President is guilty in doing the acts
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
prohibited by Constitution as allege and proposed by House of
Representative. The jurisdiction of Constitutional Court is limited only to
the issue of law but not the removal of President and or Vice President from
his/her office which is the People Consultative Assembly„s authority
(Harjono, 2008 : 4).
Wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut secara khusus diatur lagi
dalam Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan
merinci sebagai berikut :
1) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
merupakan tugas yang mendominasi kewenangan Mahkamah Konstitusi
sebagaimana tampak dari permohonan yang masuk dan terdaftar di
kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
a) Pengujian Formil (Formele Toetsingsrecht)
Pengujian secara formil secara singkat disebut dalam Pasal 51
ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, yang menyatakan “pemohon wajib menguraikan dengan
jelas bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”. Pengujian secara formil akan melakukan pengujian atas dasar
kewenangan dalam pembentukan undang-undang dan prosedur yang
harus ditempuh dari tahap drafting sampai dengan pengumuman
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
dalam lembaran negara yang harus sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
b) Pengujian Materiil (Materiele Toetsingsrecht)
Berdasarkan Pasal 51 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusidalam permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), “pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa materi
muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945” mengatur tentang uji materiil dengan mana
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dapat diminta untuk dinyatakan
sebagai tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Yang
boleh diuji juga hanya ayat, pasal tertentu saja yang dianggap
bertentangan dengan konstitusi dan karenanya dimohon tidak
mempunyai kekuatan mengikat secara hukum hanya sepanjang
mengenai ayat, pasal, dan bagian tertentu dari undang-undang yang
bersangkutan. Akan tetapi dengan membuang kata yang merupakan
bagian kalimat dalam pasal tersebut dapat berubah sama sekali dan
dipandang dengan demikian tidak lagi bertentangan dengan UUD.
2) Memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya
Diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
Sengketa kewenangan antar lembaga negara secara jelas
memperoleh batasan bahwa lembaga negara yang memperoleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
kewenangannya menurut UUD RI 1945 sehingga jelas meskipun dapat
terjadi multitafsir dapat dilihat dalam UUD RI 1945 lembaga mana yang
memperoleh kewenangannya secara langsung dari UUD RI 1945. Oleh
karena UUD adalah juga mengatur organisasi negara dan wewenangnya.
Bahwa lembaga negara tersebut harus merupakan organ konstitusi yaitu
baik yang dibentuk berdasarkan konstitusi maupun yang secara langsung
wewenangnya diatur dan diturunkan dari Undang-Undang Dasar.
3) Memutus Pembubaran Partai Politik
Berbeda dengan permohonan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar dimana akses terhadap Mahkamah Konstitusi
tampaknya agak luas yang memiliki legal standing untuk mengajukan
permohonan pembubaran partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal
68 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusihanya pemerintah.
Berdasarkan Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
mewajibkan pemerintah sebagai pemohon untuk menguraikan dengan
jelas tentang ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik.
Yang semuanya bertentangan dengan UUD merupakan alasan partai
politik tersebut untuk dibubarkan. Pelaksanaan putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai pembubaran partai politik dilakukan dengan
pembatalan pendaftaran partai pada pemerintah.
4) Memutus Perselisihan Tentang Hasil Pemilihan Umum
Perselisihan ini terkait dengan penetapan hasil pemilihan umum
secara nasional yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
yang mengakibatkan seorang yang harusnya terpilih baik seorang
anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) maupun Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau mempengaruhi langkah calon
Presiden/Wakil Presiden melangkah ke putaran kedua pemilihan
Presiden/Wakil Presiden atau mempengaruhi calon terpilih menjadi
Presiden/Wakil Presiden. Hal ini terjadi karena adanya kekeliruan dalam
penghitungan suara hasil pemilihan umum.
Yang dapat menjadi pemohon dalam perselisihan hasil pemilihan
umum sebagaimana tercantum dalam Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, yaitu :
a) Perorangan warga negara Indonesia calon anggota DPD peserta
pemilihan umum;
b) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum
Presiden dan Wakil Presiden;
c) Partai politik peserta pemilihan umum.
Yang dapat menjadi termohon adalah Komisi Pemilihan Umum
(KPU) dan meskipun asal perselisihan adalah di daerah pemilihan
tertentu yang hasil perhitungan awal dilakukan oleh Panitia Pemungutan
Suara (PPS) yang kemudian direkapitulasi ke Panitia Pemilihan
Kecamatan (PPK) dan dilanjutkan ke KPU Kabupaten/Kota, KPU
Provinsi dan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional dilakukan
oleh KPU Pusat di Jakarta.
Pada intinya permohonan perselisihan hasil pemilhan umum
mengajukan dua hal pokok, yaitu adanya kesalahan perhitungan yang
dilakukan oleh KPU dan hasil perhitungan yang benar menurut pemohon.
Dasar perhitungan pemohon harus didasarkan pada alat-alat bukti yang
dapat menunjukkan ketidakbenaran perhitungan KPU. Dan berdasarkan
hal tersebut pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi membatalkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
hasil perhitungan suara yang diumumkan KPU dan agar Mahkamah
Konstitusi menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut
pemohon (Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi).
5) Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(Maruarar Siahaan, 2005 : 15)
8. Tinjauan tentang Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
a. Pengertian Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi
sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi
peradilan, maka tata cara dan prosedur pelaksanaannya diatur lebih lanjut
dalam ketentuan hukum acara, yaitu hukum acara Mahkamah Konstitusi.
Eksistensi hukum acara sebagai hukum formil mempunyai kedudukan
penting dan stategis dalam upaya menegakkan hukum materiil di lembaga
peradilan. Sebagai hukum formil hukum acara Mahkamah Konstitusi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
berfungsi menegakkan, mempertahankan, dan menjamin ditaatinya hukum
materiil Mahkamah Konstitusi dalam lingkungan peradilan Mahkamah
Konstitusi.
Hukum materiil dan hukum formil Mahkamah Konstitusi mempunyai
hubungan yang erat satu sama lain. Hukum materiil tidak dapat berdiri
sendiri tanpa adanya hukum formil, karena untuk tegaknya hukum materiil
diperlukan adanya hukum formil dan begitu pula sebaliknya. Peradilan
tanpa hukum materiil akan lumpuh karena tidak tahu apa yang hendak
dijelmakan. Sebaliknya, peradilan tanpa hukum formil juga akan liar karena
tidak ada batas yang jelas dalam melakukan wewenang.
Di dalam hukum acara dikenal dua jenis proses beracara, yaitu
contentious procesrecht dan noncontentious procesrecht. Contentious
procesrecht adalah hukum acara yang bersifat mengadili dan menyelesaikan
suatu sengketa, dimana sekurang-kurangnya melibatkan dua pihak yang
saling berlawanan. Sedangkan noncontentious procesrecht atau disebut juga
voluntaire procesrecht adalah hukum acara yang di dalamnya tidak
mengandung penyelesaian suatu sengketa, oleh karena itu hanya melibatkan
satu pihak saja yang disebut pemohon. Untuk proses beracara di Mahkamah
Konstitusi selain digunakan hukum acara yang mengandung sengketa, juga
digunakan hukum acara non sengketa yang bersifat voluntair (Bambang
Sutiyoso, 2006 : 33).
b. Sumber Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Sumber hukum merupakan tempat dari mana materi hukum tersebut
diambil, yang merupakan faktor-faktor yang membantu pembentukan
hukum. Sumber hukum acara Mahkamah Konstitusi yang utama antara lain
:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
khususnya Pasal 24C yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah
Konstitusi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemrintahan Daerah (Beserta Perubahannya).
4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum.
5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik.
6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
7) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
8) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang
MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
9) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
10) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
11) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
12) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman
Beracara Dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.
13) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PMK/2008 tentang Prosedur
Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik.
14) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PMK/2008 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah.
15) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16/PMK/2009 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
16) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17/PMK/2009 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden.
17) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PMK/2009 tentang Pedoman
Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) dan Pemeriksaan
Persidangan Jarak Jauh (Video Conference).
18) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PMK/2009 tentang Tata
Tertib Persidangan.
19) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PMK/2009 tentang Pedoman
Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
20) Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi.
21) Doktrin para ahli hukum.
Selain Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan
Mahkamah Konstitusi, hukum acara Mahkamah Konstitusi telah
berkembang seiring dengan perkembangan perkara dan putusan Mahkamah
Konstitusi. Oleh karena itu, putusan-putusan Mahkamah Konstitusi juga
menjadi dasar untuk mempelajari hukum acara Mahkamah Konstitusi yang
melengkapi atau bahkan mengubah ketentuan dalam undang-undang dan
Peraturan Mahkamah Konstitusi (Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, 2010 : 28).
c. Asas-asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Asas hukum merupakan pokok pikiran umum yang menjadi latar
belakang dari pengaturan hukum yang konkrit (hukum positif). Mengingat
hukum acara Mahkamah Konstitusi adalah aturan hukum yang hendak
menegakkan dan mempertahankan berlakunya hukum materiil Mahkamah
Konstitusi yang bersifat publik, maka pada hakikatnya hukum acara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Mahkamah Konstitusi juga tunduk pada asas-asas hukum publik di samping
asas-asas umum lainnya yang berlaku dalam peradilan.
Beberapa asas hukum acara Mahkamah Konstitusi yang penting di
antaranya adalah :
1) Asas Independensi/Noninterventif dan Imparsial
Asas ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa :
“Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Untuk dapat memeriksa dan mengadili suatu perkara secara objektif
serta memutus dengan adil, hakim dan lembaga peradilan harus
independen dalam arti tidak dapat diintervensi oleh lembaga dan
kepentingan apapun, serta tidak memihak kepada salah satu pihak yang
berperkara atau imparsial.
2) Asas Praduga Rechmatige
Sebelum ada putusan Mahkamah Konstitusi, objek yang menjadi
perkara misalnya permohonan untuk menguji undang-undang tersebut
harus selalu dianggap sah atau lebih sesuai dengan hukum sebelum
putusan hakim konstitusi tersebut adalah ex nunc, yaitu dianggap ada
sampai saat pembatalannya. Artinya, akibat ketidaksahan undang-
undang karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, misalnya
tidaklah berlaku surut namun sejak pernyataan bertentangan oleh
Mahkamah Konstitusi ke depan (Bambang Sutiyoso, 2006 : 40).
3) Asas Persidangan Terbuka untuk Umum
Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa :
“Sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali rapat
permusyawaratan hakim”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Dengan demikian persidangan yang dilakukan Mahkamah Konstitusi
dapat diakses oleh publik, dalam arti setiap orang boleh hadir untuk
mendengar dan menyaksikan jalannya persidangan. Asas ini membuka
social control dari masyarakat agar jalannya persidangan berlangsung
secara fair dan objektif.
4) Asas Hakim Majelis
Asas ini ditegaskan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi yang menyatakan bahwa :
(1) Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili, dan memutus dalam
sidang pleno Mahkamah Konstitusi dengan 9 (sembilan) orang
hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 (tujuh)
orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah
Konstitusi.
(2) Dalam hal Ketua Mahkamah Konstitusi berhalangan memimpin
sidang pleno sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sidang dipimpin
oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.
(3) Dalam hal Ketua dan Wakil Mahkamah Konstitusi berhalangan pada
waktu yang bersamaan, sidang pleno dipimpin oleh ketua sementara
yang dipilih dari dan oleh Anggota Mahkamah Konstitusi.
5) Asas Ius Curia Novit
Asas bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, sebaliknya hakim harus
memeriksa dan mengadilinya. Asas tersebut juga ditegaskan dalam Pasal
16 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Asas ini berlaku dalam peradilan Mahkamah Konstitusi
sepanjang masih dalam batas wewenang Mahkamah Konstitusi yang
telah diberikan secara limitatif oleh UUD RI 1945. Sepanjang suatu
perkara diajukan dalam bingkai salah satu wewenang Mahkamah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Konstitusi, Mahkamah Konstitusi harus menerima, memeriksa,
mengadili, dan memutus (Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi, 2010 : 15-16).
6) Asas Objektivitas
Untuk tercapainya putusan yang adil, maka hakim atau panitera wajib
mengundurkan diri apabila terkait hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun
telah bercerai dengan tergugat, penggugat, atau penasihat hukum atau
antara hakim dan salah seorang hakim atau panitera juga terdapat
hubungan sebagaimana yang disebutkan di atas, atau hakim atau
panitera tersebut mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung.
7) Asas Keaktifan Hakim Konstitusi (Dominus Litis)
Hakim konstitusi cukup berperan dalam melakukan penelusuran dan
eksplorasi untuk mendapatkan kebenaran melalui alat bukti yang ada.
Asas ini tercermin salah satunya dari asas pembuktian yang
menunjukkan bahwa hakim konstitusi dapat mencari kebenaran materiil
yang tidak terikat dalam menentukan atau memberi penilaian terhadap
kekuatan alat buktinya.
8) Asas Pembuktian Bebas
Asas ini diadopsi sepenuhnya dalam lembaga Mahkamah Konstitusi
untuk memberikan peluang kepada hakim konstitusi untuk mencari
kebenaran materiil melalui pembuktian bebas. Dengan demikian, hakim
konstitusi dapat leluasa untuk menentukan alat bukti, termasuk alat bukti
yang tergolong baru, tidak dikenal dalam kelaziman hukum acara.
9) Asas Peradilan Dilaksanakan Secara Cepat, Sederhana, dan Biaya
Ringan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Untuk memenuhi harapan para pencari keadilan, maka pemeriksaan dan
penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif
serta dengan biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat. Namun
demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak
mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.
10) Asas Hak untuk Didengar Secara Seimbang (Audi et Alteram Partem)
Pada pengadilan biasa, para pihak memiliki hak untuk didengar secara
seimbang. Para pihak dalam hal ini adalah pihak-pihak yang saling
berhadap-hadapan, baik sebagai tergugat-penggugat, pemohon-
termohon, maupun penuntut-terdakwa. Dalam peradilan Mahkamah
Konstitusi tidak selalu terdapat pihak-pihak yang saling berhadapan
(adversarial). Untuk perkara pengujian undang-undang misalnya, hanya
terdapat pemohon. Pembentuk undang-undang, pemerintah, dan DPR
tidak berkedudukan sebagai termohon (Tim Penyusun Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi, 2010 : 22).
11) Asas Praduga Keabsahan (Praesumtio Iustae Causa)
Asas praduga keabsahan adalah bahwa tindakan penguasa dianggap sah
sesuai aturan hukum sampai dinyatakan sebaliknya. Berdasarkan asas
ini, semua tindakan penguasa baik berupa produk hukum maupun
tindakan konkrit harus dianggap sah sampai ada pembatalan.
Perwujudan dari asas ini dalam wewenang Mahkamah Konstitusi dapat
dilihat pada kekuatan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi adalah
sejak selesai dibacakan dalam sidang pleno pengucapan putusan terbuka
untuk umum. Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi, maka
tindakan penguasa yang dimohonkan tetap berlaku dan dapat
dilaksanakan (Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, 2010
: 24).
12) Asas Putusan Berkekuatan Hukum Tetap dan Bersifat Final
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan tidak dimungkinkan
untuk diajukan upaya hukum lebih lanjut, seperti banding, kasasi, dan
seterusnya. Hal tersebut juga dijelaskan dalam jurnal internasional
berikut :
The decision rendered by Constitutional Court is attributed as a
final and binding decision, which means that it would not be any legal
remedies to challenge its decisions. This attribute fulfills res judicata
facit ius principle of judiciary power. Judicial independence is a pre-
requisite to the rule of law and fundamental guarantee of fair trial. A
judge shall therefore uphold and exemplify judicial independence in
both its individual and institutional aspects (Harjono, 2008 : 4).
13) Asas Putusan Mengikat Secara Erga Omnes
Kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan terletak
pada kekuatan mengikatnya. Putusan Mahkamah Konstitusi merupakan
putusan yang tidak hanya mengikat para pihak, tetapi juga harus ditaati
oleh siapapun (erga omnes). Asas ini tercermin dari ketentuan yang
menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung dapat
dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang
berwenang, kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain.
14) Asas Sosialisasi
Hasil putusan Mahkamah Konstitusi wajib diumumkan dan dilaporkan
secara berkala kepada masyarakat terbuka.
d. Permohonan dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
1) Persyaratan Pengajuan Permohonan
Bagi pihak-pihak yang merasa hak-hak konstitusionalnya dilanggar
dapat mengajukan perkaranya kepada Mahkamah Konstitusi untuk
memperoleh penyelesaian sebagaimana mestinya, yaitu dengan
mengajukan permohonan sesuai lingkup permasalahannya. Dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
demikian, diharapkan nantinya hak-hak konstitusional yang bersangkutan
dapat dipulihkan dan mendapatkan perlindungan konstitusional secara
memadai. Permohonan ini harus diajukan secara tertulis sesuai aturan
yang berlaku dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,
yang dimaksud dengan :
Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis
kepada Mahkamah Konstitusi mengenai :
a) Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
c) Pembubaran partai politik;
d) Perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau
e) Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atauWakil Presiden diduga telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Pihak-pihak yang Berperkara dan Kedudukan Hukum Pemohon (Legal
Standing)
Pihak-pihak yang menganggap hak dan kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang dapat
mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi agar dapat
diselesaikan sebagaimana mestinya. Pihak yang mengajukan permohonan
ini disebut dengan istilah pihak pemohon, sedangkan pihak lawannya
disebut pihak termohon.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, pihak-pihak yang memenuhi kapasitas sebagai
pemohon dalam hal ini adalah :
a) Perorangan warga negara Indonesia;
b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c) Badan hukum publik atau privat; atau
d) Lembaga negara.
Permohonan dalam lingkungan Mahkamah Konstitusi diajukan
secara legal standing, yaitu apabila menganggap hak dan kewenangan
konstitusinya dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Pemohon
memperoleh legal standing atau kedudukan/hak gugat secara otomatis
juga mewakili kepentingan orang lain yang juga menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusinya dirugikan oleh berlakunya undang-
undang.
e. Alat Bukti dan Sistem Pembuktian
1) Pengertian Pembuktian
Pada hakikatnya yang dimaksud dengan pembuktian adalah penyajian
alat-alat bukti kepada pihak lain untuk memberikan kepastian atau
keyakinan tentang kebenaran suatu peristiwa.
2) Alat-alat Bukti
Ketentuan mengenai pembuktian yang berlaku di lingkungan Mahkamah
Konstitusi diatur dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 38 Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi. Dilihat dari jenis alat-alat buktinya,
hukum acara Mahkamah Konstitusi sudah berupaya mengakomodir
kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat, khususnya berkaitan
dengan bukti-bukti elektronik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
disebutkan ada enam macam alat bukti yang dapat dipergunakan, yaitu :
a) Surat atau tulisan;
b) Keterangan saksi;
c) Keterangan ahli;
d) Keterangan para pihak;
e) Petunjuk; dan
f) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang
serupa dengan itu.
3) Sistem Pembuktian
Sistem pembuktian dalam persidangan di lingkungan Mahkamah
Konstitusi dalam rangka memperoleh kebenaran materiil. Kebenaran
materiil tidak semata-mata mendasarkan pada alat-alat bukti semata
tetapi juga mendasarkan pada keyakinan hakim.
f. Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan dalam suatu peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai
pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang
dihadapkan para pihak kepadanya (Maruarar Siahaan, 2005 : 193). Sebagai
perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan
kepadanya maka putusan hakim itu merupakan tindakan negara dimana
kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasar Undang-Undang
Dasar maupun undang-undang.
1) Jenis-jenis Putusan
Jenis-jenis putusan yang dapat disimpulkan dari amarnya dapat
dibedakan antara lain :
a) Putusan Declaratoir
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Putusan declaratoir adalah putusan dimana hakim menyatakan
apa yang menjadi hukum. Putusan hakim yang menyatakan
permohonan atau gugatan ditolak merupakan suatu putusan yang
bersifat declaratoir. Hakim dalam hal ini menyatakan tuntutan atau
permohonan tidak mempunyai dasar hukum berdasar fakta-fakta yang
ada.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian
undang-undang, sifat declaratoir ini sangat jelas dalam amarnya.
Pasal 56 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dikatakan
bahwa :
“Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud ayat (2),
Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat,
pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
b) Putusan Constitutief
Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu
keadaan hukum atau menciptakan suatu keadaan hukum yang baru.
Dengan sendirinya, putusan itu menciptakan suatu keadaan hukum
yang baru. Putusan tentang pembubaran partai politik dan putusan
tentang sengketa hasil pemilihan umum yang menyatakan perhitungan
KPU salah dan menetapkan perhitungan suara yang benar, tentu
meniadakan suatu keadaan hukum yang baru dan mengakibatkan
lahirnya keadaan hukum yang baru.
c) Putusan Condemnatoir
Suatu putusan dikatakan condemnatoir jika putusan tersebut
berisi penghukuman terhadap tergugat atau termohon untuk
melakukan suatu prestasi. Hal ini timbul karena adanya perikatan yang
didasarkan pada perjanjian atau undang-undang, misalnya untuk
membayar sejumlah uang atau melakukan atau tidak melakukan suatu
perbuatan tertentu. Akibat dari suatu putusan condemnatoir ialah
diberikannya hak pada penggugat/pemohon untuk meminta tindakan
eksekutorial terhadap tergugat/termohon.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
2) Rapat Permusyawaratan Hakim
Setelah pemeriksaan persidangan selesai, hakim Mahkamah
Konstitusi akan melakukan musyawarah untuk mengambil sikap apakah
akan mengabulkan permohonan, menolak, atau menyatakan tidak dapat
diterima. Rapat permusyawaratan hakim untuk pengambilan putusan
akhir dalam sengketa yang dihadapkan kepadanya harus memenuhi
kuorum sekurang-kurangnya tujuh orang hakim.
3) Susunan dan Isi Putusan
Putusan Mahkamah Konstitusi sama dengan putusan pengadilan
pada umumnya. Pertama-tama harus membuat irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Putusan harus didasarkan atas
minimal dua alat bukti (Maruarar Siahaan, 2005 : 202).
Keyakinan hakim didasarkan atas minimal dua alat bukti sebagai
dasar pengambilan putusan yang mengingatkan kembali pada sifat
hukum publik dari perkara konstitusi. Tugas hakim adalah mencari
kebenaran materiil yang harus diyakini telah dapat dibuktikan berdasar
bukti yang diajukan ke hadapannya.
Syarat bentuk dan isi putusan Mahkamah Konstitusi diatur dalam
Pasal 48 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang kemudian
diperjelas dalam Pasal 30 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
01/PMK/2005, syarat putusan Mahkamah Konstitusi harus memuat
antara lain :
a) Kepala putusan berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b) Identitas pihak;
c) Ringkasan permohonan;
d) Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
e) Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
f) Amar putusan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
g) Hari, tanggal putusan, nama dan tanda tangan hakim konstitusi serta
panitera; dan
h) Pendapat berbeda dari hakim konstitusi.
Syarat tentang bentuk dan isi putusan yang disebut ini apabila
dilanggar mempunyai akibat hukum tertentu. Akibat hukumnya tidak
selalu sama. Ada beberapa syarat yang apabila dilanggar akan
menimbulkan kebatalan (nietigheid) sedang pelanggaran atas syarat lain
yang ditentukan tidak menyebabkan putusan null and void.
4) Kekuatan Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi sejak diucapkan di hadapan sidang
terbuka untuk umum dapat mempunyai tiga kekuatan, yaitu :
a) Kekuatan Mengikat
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi
dalam tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Hal
itu berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada
upaya hukum yang dapat ditempuh.
b) Kekuatan Pembuktian
Pasal 60 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menentukan
bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-
undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan untuk diuji kembali.
Dengan demikian adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang telah
menguji satu undang-undang merupakan alat bukti yang dapat
digunakan bahwa telah diperoleh satu kekuatan pasti.
c) Kekuatan Eksekutorial
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka
harus segera dilaksanakan dalam hal ini eksekusi putusan harus
dilaksanakan dan tidak dikenal adanya peninjauan kembali (PK)
dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
5) Akibat Hukum Putusan
Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator, boleh jadi
mengabulkan permohonan pemohon atau menolaknya. Tetapi juga ada
kemungkinan bahwa permohonan dinyatakan tidak diterima karena tidak
memenuhi syarat formal yang diharuskan. Putusan Mahkamah Konstitusi
meniadakan satu keadaan hukum atau menciptakan hak atau kewenangan
tertentu.
B. Kerangka Pemikiran
Keberadaan Mahkamah Konstitusi antar satu negara dengan negara lain
tentunya memiliki persamaan dan perbedaan hal ini sangat dipengaruhi oleh suatu
bangsa, kewenangan yang diberikan langsung oleh konstitusi, untuk mengawal
konstitusi suatu negara. Dalam penulisan hukum ini, penulis mencoba mengkaji
lebih mendalam mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
yang tercantum dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Di sisi lain, penulis juga menyoroti hal ihwal kewenangan
Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan. Mencemati ketentuan dalam
Konstitusi Republik Afrika Selatan Tahun 1996 (Constitution Of The Republic Of
South Africa Number 108 Of 1996) bahwa Mahkamah Konstitusi Republik Afrika
Selatan memiliki beberapa kewenangan. Keduanya memiliki karakteristik
kewenangan masing-masing.
Penulisan hukum ini meneliti tentang komparasi kewenangan kelembagaan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Republik
Afrika Selatan. Selanjutnya, penulis mendeskripsikan persamaan dan perbedaan
antara kedua Mahkamah Konstitusi tersebut. Dari beberapa perbedaan
kewenangan kedua Mahkamah Konstitusi tersebut, penulis mencoba menganalisa
kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan yang bisa menjadi
evaluasi dan masukan bagi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
Berbagai permasalahan yang menjadi kerangka berpikir penulis untuk
kemudian menjadi pokok bahasan masalah yang akan diteliti dalam penulisan
hukum ini digambarkan dalam skema sebagai berikut :
Komparasi Kewenangan
Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Republik Afrika Selatan
Aplikasi Gagasan Mekanisme
Constitutional Complaint setelah
Diadaptasi dengan Sistem Hukum di
Indonesia
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Constitution Of The
Republic Of South Africa
Number 108 Of 1996
Persamaan
Perbedaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persamaan dan Perbedaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan
1. Sejarah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi di Indonesia
Konstitusi bangsa Indonesia secara tegas menyatakan bahwa Negara
Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtstaats). Menurut pemikiran
Friedrich Julius Stahl, salah satu unsur yang dimiliki oleh negara hukum
adalah pemenuhan akan hak-hak dasar manusia (basic rights/fundamental
rights). Indonesia yang nota bene adalah negara hukum. Negara hukum
berarti setiap warga negara harus tunduk dan taat kepada hukum sebagai
sarana problem solving masyarakat. Hukum di negara hukum harus menjadi
panglima apabila negeri ini ingin hidup tertib dan terjamin perlindungan
hak-hak setiap warganya. Agar dapat selalu mengikuti perkembangan dan
pemenuhan akanhak-hak dasar manusia, maka sebuah konstitusi haruslah
mempunyai aspek yang dinamis dan mampu menangkap fenomena
perubahan sejarah (historical change), sehingga dapat menjadikannya
sebagai suatu konstitusi yang selalu hidup (living constitution).
Konstitusi sebagai hukum dasar yang utama dan merupakan hasil
representatif kehendak seluruh rakyat, haruslah dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh di setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh
karena itu, prinsip yang timbul adalah setiap tindakan, perbuatan, dan/atau
aturan dari semua otoritas yang diberi delegasi oleh konstitusi, tidak boleh
bertentangan dengan basic rights dan konstitusi itu sendiri. Dengan kata
lain, konstitusi harus diutamakan, dan maksud atau kehendak rakyat harus
lebih utama daripada wakil-wakilnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Mahkamah Konstitusi yang kini melembaga dalam salah satu struktur
lembaga hukum di Indonesia berawal dari fakta reformasi nasional tahun
1998, dan kemudian hal itu telah membuka peluang perubahan mendasar
atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(kemudian akan kita sebut UUD RI 1945) yang disakralkan oleh Pemerintah
Orde Baru untuk tidak direvisi.
Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam struktur ketatanegaran
Indonesia merupakan kemajuan besar, tidak saja bagi pembangunan hukum
melainkan juga bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Kehadiran
Mahkamah Konstitusi segenap wewenang dan kewajibannya, dinilai telah
merobahkan doktrin supremasi parlemen (parliamentary supremacy) dan
menggantikankan dengan ajaran supremasi konstitusi (Moh. Mahfud MD,
2009 : 3).
Setelah reformasi, konstitusi Indonesia telah mengalami perubahan
dalam satu rangkaian empat tahap, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan
2002 (UUD RI 1945). Salah satu perubahan dari UUD RI 1945 adalah
dengan telah diadopsi prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan
antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan checks and balances sebagai
pengganti sistem supremasi parlemen.
Dalam Pasal 24C hasil perubahan ketiga UUD RI 1945,
dimasukkannya ide pembentukan Mahkamah Konstitusi kedalam konstitusi
negara kita sebagai organ konstitusional baru yang sederajat kedudukannya
dengan organ konstitusi lainnya. Fungsi Mahkamah Konstitusi telah
dilembagakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, sejak tanggal 13 Agustus 2003, kemudian diadakan
perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Amandemen yang dilakukan oleh MPR pada tahun 2001 sebagaimana
dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (21) Pasal 24C dan Pasal 7B
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Undang-Undang Dasar 1945 hasil perubahan ketiga yang disahkan pada
tanggal 9 November 2001.
Hal ini disahkan dengan adanya ketentuan Pasal 24C ayat (6) UUD RI
1945 yang menentukan: “Pengangkatan dan pemberhentian Hakim
Konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah
Konstitusi diatur dengan undang-undang.” Oleh karena itu, sebelum
Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai mestinya, undang-undang tentang
Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu ditetapkan dan diundangkan pada
tanggal 13 Agustus 2003 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4316.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi telah dilakukan dengan proses
rekruitmen calon hakim menurut tata cara yang diatur dalam Pasal 18 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang berbunyi “Hakim
Konstitusi diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3
(tiga) orang oleh DPR, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden, untuk ditetapkan
dengan Keputusan Presiden”. Hal tersebut juga dijelaskan dalam kutipan
jurnal internasional di bawah ini :
Since a state organ has its own function, Constitutional Court has an
equal rank to others constitutional state organ. It is not an appellate court.
Constitutional Court as judicial organ would free from intervention of
others state organ. Composition of judges consist of 9 (nine) justice : 3
(three) are appointed by President, 3 (three) are appointed by Supreme
Court, and 3 (three) are appointed by House of Representative. The
requirements for holding the office of justice should be (a) possess a strong
integrity and good personality; (b) just; and (c) state‟ man who have
sufficient knowledge of the Constitution and state administration.
Indonesian Constitutional Court is a court which establishment by
Constitution as stipulated in article 24 and 24C of Constitution, therefore to
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
abolish it should require constitutional amendment. This position is similar
to the United State Supreme Court and Germany Federal Constitutional
Court. The Constitution itself determines clearly the scope of its jurisdiction
which it means not to be extended and curtailed by statute. As compare with
Article 24 A dealing with Supreme Court, Constitution says that Supreme
Court shall possess other authorities as provided by statute. Similar
statement is not found in the provisions dealing with Constitutional Court.
Article 24 C (6) of Constitution says that the appointment and removal of
constitutional justices, the judicial procedure, and other provisions
concerning the Constitutional Court shall be further regulated by statute.
Statute number 24 year 2003 is a law to implement the order of Article 24 C
(6). Article 50 of this law states that statutes which are requested to be
reviewed are statutes issued after the amendment of the 1945 Constitution of
the Republic of Indonesia (Harjono, 2008 :_ )
Mahkamah Konstitusi secara resmi dibentuk dengan adanya Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 dan setelah pelantikan dan pengucapan
sumpah tanggal 16 Agustus 2003, maka kewenangan transisi Mahkamah
Agung yang dibebani tugas oleh Pasal III Aturan Peralihan UUD RI 1945,
untuk melaksanakan segala kewenangan Mahkamah Konstitusi telah
berakhir. Untuk itu akan dibahas kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai
alat untuk melaksanakan peranannya sebagai penjaga konstitusi seperti yang
diatur dalam UUD RI 1945 dengan meninjau keberadaannya dalam tatanan
hukum di Indonesia.
Beberapa aspek yang terdapat dalam UUD 1945 yang menyebabkan
konstitusi Indonesia ini tidak cukup mampu mendukung penyelenggaraan
negara yang demokratis dan menegakkan hak asasi manusia, antara lain
sebagai berikut :
a. UUD 1945 terlampau sedikit jumlah pasal dan ayatnya, hanya terdiri dari
37 pasal sehingga belum/tidak mengatur berbagai hal mengenai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
penyelenggaraan negara dan kehidupan bangsa di dalamnya yang makin
lama makin kompleks.
b. UUD 1945 menganut paham Supremasi MPR yang menyebabkan tidak
ada sistem checks and balances antarcabang kekuasaan negara.
c. UUD 1945 memberikan kekuasaan sangat besar kepada Presiden
(executive heavy) sehingga peranan Presiden sangat besar dalam
penyelenggaraan Negara.
d. Beberapa muatan dalam UUD 1945 mengandung potensi multitafsir yang
membuka peluang penafsiran yang menguntungkan pihak penguasa.
e. UUD 1945 sangat mempercayakan pelaksanaan UUD 1945 kepada
semangat penyelenggara negara.
2. Sejarah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi di Afrika Selatan
Afrika Selatan (melihat peta) adalah negara yang diberkati dengan
kelimpahan sumber alam termasuk tanah pertanian subur dan sumber
penghasilan barang tambang unik. Tambang Afrika Selatan adalah
pemimpin dunia di produksi intan dan emas itu serta metal strategis seperti
platina. Iklim lunak, menurut laporan menyerupai cuaca bidang Teluk San
Francisco lebih dari di mana pun di dunia.
Mendengar kata Afrika Selatan pasti tak pernah lepas dari “apartheid
dan Nelson Mandela”. Negara yang memiliki 11 bahasa resmi termasuk di
dalamnya bahasa English, Afrikaans, Sesotho, Setswana, Xhosa dan Zulu ini
hingga sampai pada tahun 1994 masih didominasi oleh kekuatan superior
kulit putih, meski pada saat itu Mandela telah menjabat sebagai presiden
berkulit hitam pertama di sana. Pemerintahan kulit putih yang dalam hal ini
terlalu bertindak dengan melihat seseorang itu dari ras apa. Meski negara ini
merupakan negara yang tak lepas dari masalah, namun negara ini juga telah
sukses mengadakan tiga kali pemilihan umum tentunya semenjak
pemerintahan tak lagi didominasi oleh kulit putih tentunya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Kekuatan yang mendasari dari benua Afrika juga tak lepas dari
perekonomian di negara ini. Lihat saja melalui sumber daya alam yang
terdapat di negara ini, ada emas yang menjadi kebanggaannya, ada juga
berlian, mineral, platinum dsb. Negara Afrika Selatan terbagi menjadi 9
(sembilan) provinsi (Cape Timur, Cape Barat, Cape Utara, Free State,
Gauteng, Kwa Zulu-Natal, Limpopo, Mpumalanga, North-West). Meski
negara ini beribukotakan Pretoria, namun terdapat tiga pemerintahan yang
menjadi pusatnya. Pretoria, Cape Town, dan Bloemfontein. Tapi perlu
diketahui juga bahwa meskipun negara ini memiliki kekayaan alam yang
dapat dibanggakan tapi penduduk di Afrika Selatan justru banyak yang
miskin dan menganggur.
Afrika Selatan adalah negara yang nomor dua tertinggi di dunia yang
terjangkit virus HIV/AIDS. Perbandingannya adalah 1:7. “No-one is born
hating another person because of the colour of his skin, or his religion”. Ya,
Nelson Mandela tidak pernah lelah memperjuangkan demokrasi dan
persamaan hak. Hidupnya telah menjadi inspirasi di Afrika Selatan dan
seluruh dunia. Semua berawal dari mimpi Mandela dimana dia akan
menciptakan kebebasan bagi orang-orang kulit hitam yang menderita akibat
kekejaman politik apartheid.
Politik apartheid dicanangkan oleh Partai Nasional yang saat itu
berkuasa mulai 1984. Tapi mereka pula yang meruntuhkannya setelah
mendapat desakan dari dunia internasional. Dan, yang terutama atas desakan
dari bawah, para pejuang yang dimotori Mandela. Dan usahanya bertahun-
tahun itu berhasil. Politik Apartheid agaknya membuat seorang sutradara
tergugah semangatnya untuk menggarap sebuah film yang berjudul “
Country of My Skull” Film ini mengambil tempat di Afrika Selatan pada
tahun 1995, ketika negara ini masih diliputi semangat rekonsiliasi. Dimana
saat itu pemerintah menawarkan amnesti pada mereka yang melakukan
pelanggaran HAM, baik pada kulit putih atau kulit hitam. Dan tentu saja
pemberian amnesti ini menimbulkan kontroversi. Dan bagi yang mengaku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pecinta sepak bola, di tahun 2010 pertandingan “world cup” diadakan di
Afrika Selatan. Setelah sekian lama FIFA mengasingkan Afrika Selatan dari
pergaulan sepak bola internasional (Sandra Shintadewi, Afrika Selatan
www.diahkei.staff.ugm.ac.id/file/got-profil-negara, diakses pada tanggal 8
Juni 2012 pukul 13.43 WIB).
Afrika Selatan merupakan salah satu negara tertua di benua Afrika.
Banyak suku telah menjadi penghuninya termasuk suku Khoi, Bushmen,
Xhosa dan Zulu. Penjelajah Belanda yang dikenal sebagai Afrikaner tiba
disana pada 1652. Pada saat itu Inggris juga berminat dengan negara ini,
terutama setelah penemuan cadangan berlian yang melimpah. Hal ini
menyebabkan Perang Britania-Belanda dan dua Perang Boer. Pada 1910,
empat republik utama digabung di bawah Kesatuan Afrika Selatan. Pada
1931, Afrika Selatan menjadi jajahan Britania sepenuhnya.
Walaupun negara ini berada di bawah jajahan Britania, mereka
terpaksa berbagi kuasa dengan pihak Afrikaner. Pembagian kuasa ini telah
berlanjut hingga tahun 1940-an, saat partai pro-Afrikaner yaitu Partai
Nasional (NP) memperoleh mayoritas di parlemen. Strategi-strategi partai
tersebut telah menciptakan dasar apartheid (yang disahkan pada tahun 1948),
suatu cara untuk mengawal sistem ekonomi dan sosial negara dengan
dominasi kulit putih dan diskriminasi ras. Namun demikian pemerintahan
Britania kerap kali menggagalkan usaha apartheid yang menyeluruh di
Afrika Selatan.
Pada tahun 1961, setelah pemilu khusus kaum kulit putih, Afrika
Selatan dideklarasikan sebagai sebuah republik. Bermula pada 1960-an,
'Grand Apartheid' (apartheid besar) dilaksanakan, politik ini menekankan
pengasingan wilayah dan kezaliman pihak polisi.
Penindasan kaum kulit hitam terus berlanjut sehingga akhir abad ke-
20. Pada Februari 1990, akibat dorongan dari bangsa lain dan tentangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
hebat dari berbagai gerakan anti-apartheid khususnya Kongres Nasional
Afrika (ANC), pemerintahan Partai Nasional di bawah pimpinan Presiden
F.W. de Klerk menarik balik larangan terhadap Kongres Nasional Afrika
dan partai-partai politik berhaluan kiri yang lain dan membebaskan Nelson
Mandela dari penjara. Undang-undang apartheid mulai dihapus secara
perlahan-lahan dan pemilu tanpa diskriminasi yang pertama diadakan pada
tahun 1994. Partai ANC meraih kemenangan yang besar dan Nelson
Mandela, dilantik sebagai Presiden kulit hitam yang pertama di Afrika
Selatan. Walaupun kekuasaan sudah berada di tangan kaum kulit hitam,
berjuta-juta penduduknya masih hidup dalam kemiskinan.
Sewaktu Nelson Mandela menjadi presiden negara ini selama 5 (lima)
tahun, pemerintahannya telah berjanji untuk melaksanakan perubahan
terutamanya dalam isu-isu yang telah diabaikan semasa era apartheid.
Beberapa isu-isu yang ditangani oleh pemerintahan pimpinan ANC adalah
seperti pengangguran, wabah AIDS, kekurangan perumahan dan pangan.
Pemerintahan Mandela juga mula memperkenalkan kembali Afrika Selatan
kepada ekonomi global setelah beberapa tahun diasingkankan karena politik
apartheid. Di samping itu, dalam usaha mereka untuk menyatukan rakyat
pemerintah juga membuat sebuah komite yang dikenal dengan Truth and
Reconciliation Committee (TRC) dibawah pimpinan Uskup Desmond Tutu.
Komite ini berperan untuk memantau badan-badan pemerintah seperti badan
polisi agar masyarakat Afrika Selatan dapat hidup dalam aman dan
harmonis.
Presiden Mandela menumpukan seluruh perhatiannya terhadap
perdamaian di tahap nasional, dan mencoba untuk membina suatu jatidiri
untuk Afrika Selatan dalam masyarakat majemuk yang terpisah oleh konflik
yang berlarut-larut selama beberapa dasawarsa. Kemampuan Mandela dalam
mencapai objektifnya jelas terbukti karena selepas 1994 negara ini telah
bebas dari konflik politik. Nelson Mandela meletakkan jabatannya sebagai
presiden partai ANC pada Desember 1997, untuk memberi kesempatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kepada Presiden yang baru yaitu Thabo Mbeki. Mbeki dipilih sebagai
presiden Afrika Selatan selepas memenangi pemilu nasional pada tahun
1999, dan partainya menang tipis dua pertiga mayoritas di parlemen.
Presiden Mbeki telah mengalihkan fokus pemerintahan dari pendamaian ke
perubahan, terutama dari segi ekonomi negara.
Afrika Selatan dikenal dunia sebagai negara yang memiliki sejarah
fenomenal dalam proses demokratisasi. Di tengah kobaran patriotisme
Mandela, Afrika Selatan berhasil mengakhiri rezim apartheid, yang
sebelumnya mencengkeram negara tersebut selama puluhan tahun dari tahun
1979 hingga tahun 1991, rezim yang memecah belah nilai kemanusiaan.
Afrika Selatan merupakan negara demokrasi konstitusional dengan
sistem tiga tingkat dan institusi kehakiman yang bebas. Terdapat tiga
peringkat yaitu nasional, wilayah dan pemerintahan lokal yang mempunyai
badan legislatif serta eksekutif dengan daerah kekuasaan masing-masing.
Presiden Afrika Selatan memegang dua jabatan yaitu sebagai Kepala
Negara dan juga Kepala Pemerintahan. Ia dipilih sewaktu Majelis Nasional
(National Assembly) dan Majelis Provinsi-provinsi Nasional (National
Council of Provinces) bergabung. Lazimnya, Presiden adalah pemimpin
partai mayoritas di parlemen. National Assembly mempunyai 400 anggota
yang dipilih melalui pemilu secara perwakilan proporsional. National
Council of Provinces, yang telah menggantikan Senat pada 1997, terdiri dari
90 anggota yang mewakili setiap 9 (sembilan) provinsi termasuk kota-kota
besar di Afrika Selatan.
Afrika Selatan mengadakan pemilu setiap lima tahun dan setiap
rakyat berusia 18 tahun ke atas diwajibkan untuk ikut. Pemilu terakhir ialah
pada April 2004, di mana partai ANC berhasil memenangkan 69,68% kursi
di parlemen. Partai ini bersama Partai Kebebasan Inkatha (6,97%) telah
membentuk aliansi pemerintahan. Partai-partai oposisi utama termasuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Aliansi Demokrat (12,37%), Gerakan Demokratik Bersatu atau UDM
(2,28%), Demokrat Bebas atau ID (1,73%), Partai Nasional Baru atau NNP
(1,65%) dan Partai Demokratik Kristen Afrika atau ACDP (1,6%). Di
samping itu, setiap provinsi di Afrika Selatan mempunyai satu penggubah
undang-undang negeri dan Majelis Eksekutif yang diketuai oleh seorang
Perdana Menteri atau "Premier".
Pada tahun 1993, Afrika Selatan mengadopsi sebuah konstitusi yang
dianggap demokratis bagi Afrika Selatan yaitu Konstitusi Sementara.
Disebut Konstitusi Sementara sebab dalam konstitusi sendiri disebutkan
bahwa akan dibentuk konstitusi yang lebih permanen dan tidak dibentuk
secara terburu-buru layaknya konstitusi sementara. Konstitusi Sementara
Tahun 1993 mengubah parlemen menjadi sistem dua kamar yang terdiri dari
National Assembly dan National Council of Parliament atau Senate.
Konstitusi Sementara juga mencantumkan Bill of Rights. Pengubahan sistem
trikameral menjadi bikameral serta pencantuman Bill of Rights inilah yang
dianggap sebagai pondasi bagi sebuah kehidupan baru yang demokratis di
Afrika Selatan.
Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan dibentuk pertama kali pada
tahun 1994 berdasarkan Interim Constitution 1993. Setelah UUD 1996
disahkan, Mahkamah Konstitusi tersebut terus bekerja, yaitu mulai
persidangannya yang pertama pada bulan Februari 1995. Anggotanya
berjumlah 11 orang, sembilan orang pria dan dua orang wanita. Masa kerja
mereka adalah 12 tahun dan tidak dapat diperpanjang lagi, dengan
kemungkinan penggantian karena pensiun, yaitu apabila mencapai usia
maksimum 70 tahun. Semua anggota Mahkamah Konstitusi independen,
dengan tugas memegang teguh atau menjalankan hukum dan konstitusi
secara adil (impartial) dan tanpa rasa takut, memihak, atau prasangka buruk
(http://crossbyjansem.wordpress.com/2010/06/06/mahkamah-konstitusi-
dalam-sistem-ketatanegaraan-republik-indonesia, diakses pada tanggal 8
Juni 2012 pukul 14.19 WIB).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sejarah pembentukan Mahkamah Konstitusi di Afrika Selatan tersebut
juga dijelaskan dalam kutipan jurnal internasional di bawah ini :
South Africa‟s Constitutional Court is a product of the country‟s
democratic transition away from Apartheid in the early 1990s. The
democratic transition was achieved through a two-stage process of
constitutional change. In the first stage an „interim‟ constitutionwas
adopted and a democratic election held to both elect a new government as
well as legislative body whose two houses met jointly to form a
Constitutional Assembly that produced a „final‟ Constitution for post-
apartheid South Africa. This two-stage processwas facilitated by an
agreement to adopt a set of Constitutional Principles that would be attached
as a schedule to the negotiated „interim‟ Constitution providing the
framework within which the democratically-elected Constitutional Assembly
would formulate a„final‟ Constitution. While the new constitutions both
introduced extensive bills of rights as a response to the country‟s history of
colonialism and apartheid, the Constitutional Principles promised those
who would loose power in a democratic election that their fundamental
concerns would still be addressed in the final constitutional dispensation. It
was in order to guarantee this outcome that the negotiating parties agreed
that there would be a Constitutional Court and that it would serve the
unique function of certifying whether the „final‟ constitution produced by
the Constitutional Assembly was in conformity with the parameters set by
the Constitutional Principles.
The Constitutional Court‟s power is based on both the Constitution‟s
proclamation that it is the supreme law of the land and its explicit grant of
authority declaring the Court the final arbiter of the meaning of the
Constitution. As a direct product of the political negotiations that ended
apartheid, the Constitutional Court, provided for in the 1993„interim‟
Constitution, was established in the first half of 1995, about a year after
South Africa‟s first democratic election, with the appointment of 11 justices
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
to the Court. The Court was formally opened in October 1995. Empowered
to exercise both concrete and abstract review, as well as to take direct
applications and to serve as a court of final review, the Constitutional Court
has had a broad scope of authority within which to establish its role. On
average the Court decided about 25 cases per year during its first decade
and ruled against the government in about 40 percent of cases. Of the cases
that the Court decided approximately 60 percent were based on claims of
violations of rights, 30 percent arose out of criminal cases and about 78
percent of all cases were decided by a unanimous Court. (Heinz Klug, 2011
: 174).
Pada tahun 1996 Afrika Selatan sukses menghasilkan Undang Undang
Dasar bagi negara tersebut. Afrika Selatan muncul sebagai negara
demokratis setelah berhasil menyelenggarakan pemilihan umum yang
pertama kalinya pada tahun 1999, lima tahun setelah belajar demokrasi.
Sejarah manis peta perpolitikan ditorehkan Nelson Mandela saat ia
membatasi periode kepemimpinannya.
Sejak tanggal 14 Juni 1999 Afrika Selatan memiliki presiden baru,
Thabo Mvuyelwa Mbeki, yang bertugas meneruskan peta demokrasi bagi
Afrika Selatan yang telah dirintis Mandela. Satu langkah penting demokrasi
telah tercapai, Afrika Selatan berupaya melebarkan sayap untuk
meningkatkan kualitas kehidupan rakyatnya sesuai dengan potensi yang
dimiliki. Dilihat dari struktur tata negara Afrika Selatan, maka akan ditemui
salah satu di antaranya adalah Mahkamah Konstitusi. Menurut Deputi Chief
Justice, Monseneke, pelayanan terhadap constitutional complaint di
Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan dalam setahun terakhir ini telah
tercatat berjumlah 570 perkara.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Afrika Selatan, pada tahapan
agenda, setting mereka lebih dulu menyiapkan paradigma constitution
making yang terdiri :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
a. Kesepakatan membuat konstitusi sementara sebagai masa peralihan dari
rezim apartheid;
b. Pemberian mandat kepada parlemen hasil Pemilu 1994 sekaligus menjadi
Majelis Konstitusi;
c. Pembuatan 34 prinsip-prinsip konstitusi (constitutional principles) yang
menjadi acuan konstitusi baru. Constitutional principles itu mencakup
hal-hal dasar universal seperti perlindungan HAM dan kemerdekaan
kekuasaan peradilan;
d. Pembentukan Mahkamah Konstitusi yang berfungsi menyertifikasi
rancangan konstitusi yang disiapkan Constitutional Assembly. Caranya,
Mahkamah Konstitusi mengecek apakah rancangan konstitusi Majelis
Konstitusi bertentangan atau tidak dengan ke-34 constitutional
principles; dan
e. Mekanisme pengesahan konstitusi sekaligus menyediakan alternatif guna
menghindari deadlock.
Langkah awal Afrika Selatan melakukan reformasi konstitusi adalah
membuat prosedur pembuatan konstitusi yang lebih demokratis.Inilah
kelemahan mendasar reformasi konstitusi Indonesia yang melakukan
perubahan UUD 1945 bersandarkan ketentuan Pasal 37. Suatu absurditas
reformasi konstitusi, karena menggantungkan proses perubahan pada pasal
yang seharusnya menjadi bagian yang diubah. Berangkat akan arti penting
self of belonging rakyat atas konstitusinya maka Afrika Selatan
menyebarluaskan rancangan UUD-nya melalui radio, televisi, buletin selain
seminar-seminar. Hasilnya, diperkirakan 82 persen penduduk di atas usia 18
tahun mendengarkan siaran radio konstitusi, 37 program tentang konstitusi
di televisi mendapatkan sambutan hangat 34 persen pemirsa, setiap dua
minggu 160.000 buletin Constitutional Assembly dibagikan kepada
khalayak ramai. Akhirnya, April 1996 menjelang draft konstitusi selesai,
survei independen menyimpulkan, kampanye reformasi konstitusi berhasil
menjaring 73 persen orang dewasa Afrika Selatan (Christina Murray,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2001). Last but not least Afrika Selatan diuntungkan dengan kepemimpinan
negarawan sekelas Presiden Nelson Mandela.
3. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam menjalankan
perannya sebagai penjaga konstitusi, maka diberi kewenangan seperti yang
diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD RI 1945 yang kemudian dipertegas
dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi yang menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili :
a. Menguji undang-undang terhadap UUD RI 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD RI 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik;
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu; dan
e. Memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, sebagaimana
dimaksud dalam UUD RI 1945.
Wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut secara khusus diatur lagi
dalam Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan
merinci sebagai berikut :
1) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar
merupakan tugas yang mendominasi kewenangan Mahkamah Konstitusi
sebagaimana tampak dari permohonan yang masuk dan terdaftar di
kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
a) Pengujian Formil (Formele Toetsingsrecht)
Pengujian secara formil secara singkat disebut dalam Pasal 51
ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi, yang menyatakan “pemohon wajib menguraikan dengan
jelas bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”. Pengujian secara formil akan melakukan pengujian atas dasar
kewenangan dalam pembentukan undang-undang dan prosedur yang
harus ditempuh dari tahap drafting sampai dengan pengumuman
dalam lembaran negara yang harus sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
b) Pengujian Materiil (Materiele Toetsingsrecht)
Berdasarkan Pasal 51 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dalam permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), “pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa
materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945” mengatur tentang uji materiil dengan
mana materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang
dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dapat diminta untuk dinyatakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sebagai tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Yang
boleh diuji juga hanya ayat, pasal tertentu saja yang dianggap
bertentangan dengan konstitusi dan karenanya dimohon tidak
mempunyai kekuatan mengikat secara hukum hanya sepanjang
mengenai ayat, pasal, dan bagian tertentu dari undang-undang yang
bersangkutan. Akan tetapi dengan membuang kata yang merupakan
bagian kalimat dalam pasal tersebut dapat berubah sama sekali dan
dipandang dengan demikian tidak lagi bertentangan dengan UUD.
2) Memutus Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang Kewenangannya
Diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
Sengketa kewenangan antar lembaga negara secara jelas
memperoleh batasan bahwa lembaga negara yang memperoleh
kewenangannya menurut UUD RI 1945 sehingga jelas meskipun dapat
terjadi multitafsir dapat dilihat dalam UUD RI 1945 lembaga mana yang
memperoleh kewenangannya secara langsung dari UUD RI 1945. Oleh
karena UUD adalah juga mengatur organisasi negara dan wewenangnya.
Bahwa lembaga negara tersebut harus merupakan organ konstitusi yaitu
baik yang dibentuk berdasarkan konstitusi maupun yang secara langsung
wewenangnya diatur dan diturunkan dari Undang-Undang Dasar.
3) Memutus Pembubaran Partai Politik
Berbeda dengan permohonan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar dimana akses terhadap Mahkamah Konstitusi
tampaknya agak luas yang memiliki legal standing untuk mengajukan
permohonan pembubaran partai politik sebagaimana diatur dalam Pasal
68 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi juncto Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi hanya pemerintah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berdasarkan Pasal 68 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusimewajibkan pemerintah sebagai pemohon untuk menguraikan
dengan jelas tentang ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai
politik. Yang semuanya bertentangan dengan UUD merupakan alasan
partai politik tersebut untuk dibubarkan. Pelaksanaan putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai pembubaran partai politik dilakukan dengan
pembatalan pendaftaran partai pada pemerintah.
4) Memutus Perselisihan Tentang Hasil Pemilihan Umum
Perselisihan ini terkait dengan penetapan hasil pemilihan umum
secara nasional yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
yang mengakibatkan seorang yang harusnya terpilih baik seorang
anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) maupun Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau mempengaruhi langkah calon
Presiden/Wakil Presiden melangkah ke putaran kedua pemilihan
Presiden/Wakil Presiden atau mempengaruhi calon terpilih menjadi
Presiden/Wakil Presiden. Hal ini terjadi karena adanya kekeliruan dalam
penghitungan suara hasil pemilihan umum.
Yang dapat menjadi pemohon dalam perselisihan hasil pemilihan
umum sebagaimana tercantum dalam Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, yaitu :
a) Perorangan warga negara Indonesia calon anggota DPD peserta
pemilihan umum;
b) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum
Presiden dan Wakil Presiden;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
c) Partai politik peserta pemilihan umum.
Yang dapat menjadi termohon adalah Komisi Pemilihan Umum
(KPU) dan meskipun asal perselisihan adalah di daerah pemilihan
tertentu yang hasil perhitungan awal dilakukan oleh Panitia Pemungutan
Suara (PPS) yang kemudian direkapitulasi ke Panitia Pemilihan
Kecamatan (PPK) dan dilanjutkan ke KPU Kabupaten/Kota, KPU
Provinsi dan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional dilakukan
oleh KPU Pusat di Jakarta.
Pada intinya permohonan perselisihan hasil pemilhan umum
mengajukan dua hal pokok, yaitu adanya kesalahan perhitungan yang
dilakukan oleh KPU dan hasil perhitungan yang benar menurut pemohon.
Dasar perhitungan pemohon harus didasarkan pada alat-alat bukti yang
dapat menunjukkan ketidakbenaran perhitungan KPU. Dan berdasarkan
hal tersebut pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi membatalkan
hasil perhitungan suara yang diumumkan KPU dan agar Mahkamah
Konstitusi menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut
pemohon (Pasal 75 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi juncto Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi).
5) Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(Maruarar Siahaan, 2005 : 15).
Pelanggaran hukum yang diduga dilakukan Presiden yang disebut dalam
Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Mahkamah Konstitusi, telah diperjelas dalam ayat (3) dengan memberi
batasan sebagai berikut:
1) Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap
keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang;
2) Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan
sebagaimana diatur dalam undang-undang;
3) Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
4) Perbuatan tercela adalah perbuatan-perbuatan yang dapat
merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden;
5) Tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden
adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUD RI 1945.
4. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan
Kewenangan Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan langsung
disebutkan dalam konstitusinya/Undang-Undang Dasarnya (Konstitusi
Afrika Selatan 1996/Constitution Of The Republic Of South Africa Number
108 Of 1996), sama halnya seperti wewenang Mahkamah Konstitusi
Indonesia yang sama-sama wewenangnya diberikan dan disebutkan
langsung dalam UUD RI 1945, wewenang Mahkamah Konstitusi Afrika
Selatan adalah sebagai berikut :
a. Memutuskan perselisihan antara organ-organ negara dalam lingkup
nasional atau propinsi tentang status konstitusional, kekuasaan atau
fungsi-fungsi dari setiap organ-organ negara tersebut;
b. Memutuskan konstitusionalitas dari setiap parlemen atau rancangan
Undang-Undang Provinsi, tetapi hanya dapat melakukannya dalam
keadaan diantisipasi dalam Pasal 79 atau 121 Konstitusi Afrika Selatan
1996;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
c. Memutus permohonan atas konstitusionalitas UU atau Peraturan Daerah
yang diajukan oleh anggota parlemen atau anggota legislatif daerah
sebagaimana diatur dalam Pasal 80 atau 122 Konstitusi Afrika Selatan
1996.
Pasal 80 Konstitusi Afrika Selatan 1996 menjelaskan bahwa aplikasi
oleh anggota Majelis Nasional ke Mahkamah Konstitusi. Anggota Dewan
Nasional dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi
untuk memesan menyatakan bahwa semua atau bagian dari Undang-undang
Parlemen adalah inkonstitusional. Permohonan harus didukung oleh
sekurang-kurangnya sepertiga anggota Majelis Nasional dan harus
dilakukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari dari tanggal yang disepakati
Presiden danmenandatangani undang-undang. Mahkamah Konstitusi dapat
memerintahkan bahwa semua atau bagian dari undang-undang yang
merupakan subjek aplikasi dalam hal ayat (1) tidak memiliki kekuatan
sampai Mahkamah Konstitusi telah memutuskan aplikasi jika kepentingan
pengadilan memerlukan ini dan pelaksanaan berjalan dengan baik serta yang
masuk akal.
Pasal 122 Konstitusi Afrika Selatan 1996 menyebutkan aplikasi
dengan anggota Mahkamah Konstitusi. Anggota dari legislatif provinsi
dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi untuk
menyatakan bahwa semua atau sebagian dari UU provinsi tersebut
inkonstitusional atau tidak sesuai dengan konstitusi. Permohonan di
antaranya harus didukung oleh sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) persen
dari anggota legislatif dan harus dilakukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
dari tanggal yang disepakati Perdana Menteri dan menandatangani Undang-
Undang. Mahkamah Konstitusi dapat memerintahkan bahwa semua atau
bagian dari undang-undang yang subjek penerapan dalam hal ayat tertentu
tidak mempunyai kekuatan sampai Pengadilan telah memutuskan jika
kepentingan pengadilan memerlukan ini dan penerapan sebuah UU berjalan
dengan baik. Jika suatu pelaksanaan UU tidak berhasil, dan tidak memiliki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kemajuan yang masuk akal, Mahkamah Konstitusi dapat memerintahkan
pemohon untuk membayar kerugian yang ditimbulkan.
a. Memutuskan konstitusionalitas dari setiap amandemen Konstitusi;
b. Memutuskan bahwa DPR atau Presiden telah gagal memenuhi kewajiban
konstitusional; atau
c. Mengesahkan konstitusi provinsi sebagaimana diatur dalam Pasal 144
Konstitusi Afrika Selatan 1996.
Dalam Pasal 144 tersebut, dijelaskan mengenai sertifikasi konstitusi
provinsi, jika sebuah provinsi memiliki badan legislatif yang mengubah
sebuah konstitusi, maka ketua legislatif harus menyerahkan tekskonstitusi
atau amandemen konstitusi yang hendak diubah ke Mahkamah Konstitusi
untuk sertifikasi. Tidak ada undang-undang yang dapat dijalankan di tingkat
provinsi sebelum ada pengakuan atau pengesahan dari Mahkamah
Konstitusi, semua UU yang hendak diubah harus dilaporkan terlebih dahulu
kepada Mahkamah Konstitusi bahwa teks undang-undangtersebut telah
disahkan sesuai dengan Pasal 142 Konstitusi Afrika Selatan 1996 dan
bahwa seluruh teks sesuai dengan Pasal 143 Konstitusi Afrika Selatan 1996.
Mahkamah Konstitusi membuat keputusan akhir apakah suatu
undang-undang parlemen, sebuah pelaksanaan undang-undang provinsi atau
Presiden adalah konstitusional, dan harus mengkonfirmasi urutan
ketidakabsahan yang dibuat oleh putusan banding Mahkamah Agung,
Pengadilan Tinggi, atau pengadilan lainnya yang status sama, sebelum
perintah itu mempunyai kekuatan. Undang-undang nasional atau peraturan
Mahkamah Konstitusi harus membiarkan seseorang untuk bertindak, ketika
tindakan itu dalam kepentingan keadilan dan dengan izin dari Mahkamah
Konstitusi antara lain untuk membawa masalah secara langsung ke
Mahkamah Konstitusi atau banding langsung ke Mahkamah Konstitusi dari
pengadilan lain serta masalah konstitusional termasuk segala masalah yang
melibatkan penafsiran, perlindungan atau penegakan konstitusi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Mahkamah Konstitusi adalah peradilan tertinggi yang memutus
permasalahan konstitusional (Pasal 167 ayat (2) huruf a Konstitusi Republik
Afrika Selatan 1996). Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk
memutus perkara-perkara konstitusional dan atas permasalahan yang
berkaitan dengan putusan pada tingkat peradilan lain atas perkara
konstitusional. Yang dimaksud perkara konstitusional adalah setiap
permasalahan yang menyangkut penafsiran, penjagaan atau penegakan
konstitusi (Pasal 167 ayat (7) Konstitusi Republik Afrika Selatan 1996).
Dalam konteks ini Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan berbeda
dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Di Indonesia, Mahkamah
Konstitusi berdampingan seiring sejalan dengan Mahkamah Agung sebagai
pemegang kekuasaan kehakiman. Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi dan
lembaga-lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung tidak memiliki
keterkaitan.
Sedangkan Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan adalah lembaga
peradilan tertinggi yang memutus permasalahan konstitusi. Sehingga
perkara yang ditangani oleh peradilan tinggi, misalnya yang berkaitan
dengan perkara konstitusional maka kata akhir putusan atas perkara tersebut
berada di tangan Mahkamah Konstitusi (Pasal 169 juncto Pasal 167
Konstitusi Republik Afrika Selatan 1996). Pemohon biasanya mengajukan
perkara-perkara konstitusional (constitutional complaint) ke pengadilan
tinggi terlebih dahulu. Konstitusi mengatur bahwa pemohon yang dapat
mengajukan gugatan konstitusional sangatlah longgar, setiap warga negara
dapat mengajukan gugatan sebagai individu, atas nama kelompok atau
lembaga-lembaga privat lainnya. Atas putusan Pengadilan Tinggi dalam
perkara konstitusional, bilamana Pengadilan Tinggi memutuskan untuk
mengabulkan permohonan pemohon terutama dalam hal putusan atas tidak
berlakunya sebuah UU atau Peraturan Daerah, putusan Pengadilan Tinggi
itu harus dikonfirmasi terlebih dahulu kepada Mahkamah Konstitusi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sebelum dibacakan di depan sidang terbuka dan putusan itu dinyatakan
berlaku serta memiliki kekuatan hukum tetap.
Bilamana putusan Pengadilan Tinggi menyatakan menolak atau tidak
dapat menerima permohonan, maka Pemohon yang tidak puas atas putusan
tersebut dapat mengajukan banding ke Mahkamah Konstitusi.Akan tetapi
pengajuan banding kepada Mahkamah Konstitusi tidak seketika itu lantas
diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Pemohon harus menyampaikan
pengajuan banding dalam jangka waktu 15 hari setelah sidang pembacaan
putusan oleh Pengadilan Tinggi. Syarat dan tata cara pengajuan banding
diatur dalam peraturan nomor 19 dan 20 Peraturan Mahkamah Konstitusi.
Hukum acara Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan berbeda
dengan hukum acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Mahkamah
Konstitusi Afrika Selatan lebih banyak melakukan pemeriksaan dokumen-
dokumen dan tidak melakukan pemeriksaan perkara melalui persidangan.
Sehingga Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan tidak mendengar
keterangan-keterangan dalam hal pembuktian dengan memanggil saksi atau
ahli dalam persidangan terbuka, layaknya hukum acara Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia. Akan tetapi dalam keadaan tertentu,
Mahkamah Konstitusi juga dapat melakukan persidangan terbuka. Yaitu
bilamana diperlukan keterangan-keterangan tambahan dari pihak-pihak yang
berperkara disebabkan keterangan-keterangan yang diperoleh Hakim
melalui dokumen tertulis tersebut sulit untuk dicerna oleh Hakim.
Dibukanya persidangan terbuka terhadap satu kasus harus dengan
persetujuan dari Ketua Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Mahkamah Konstitusi menentukan secara rigid jadwal
sidang terbuka Mahkamah Konstitusi. Ada empat waktu dimana Mahkamah
Konstitusi bisa menggelar sidang terbuka yaitu, pertama antara 15 Februari
s.d 31 Maret; kedua, antar 1 Mei s.d 31 Mei; ketiga, antara 15 Agustus s.d
30 September; terakhir keempat, antara 1 November s.d 31 November.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Meskipun persidangan ini terbuka untuk umum dan pers, namun terdapat
tata tertib yang melarang pengambilan gambar dan merekam jalannya
persidangan. Putusan Mahkamah Konstitusi adalah eksklusif hanya
mengenai penafsiran atas konstitusi berkenaan dengan perkara yang
diperiksa. Oleh sebab itu, dalam putusannya Mahkamah Konstitusi
menjatuhkan hukuman atau sanksi bagi pihakyang bersalah atau
memberikan putusan untuk membayar ganti rugi bagi pihak penggugat.
Afrika Selatan merupakan salah satu negara di benua Afrika yang
juga mempunyai Mahkamah Konstitusi dengan memiliki kewenangan
constitutional complaint. Menurut Deputy Chief Justice, Monseneke,
pelayanan terhadap constituional complaint di Mahkamah Konstitusi Afrika
Selatan dalam setahun terakhir ini telah tercatat berjumlah 570 perkara
(Anonim, (http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=8499&cl=Fokus>
[12 Maret 2012, pukul 20.00 WIB])
5. Komparasi Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
dan Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan
Hasil analisis penulis dengan berbagai cara pendekatan penelitian
hukum ini maka dapat diambil beberapa hal yang pokok mengenai
kewenangan kedua Mahkamah Konstitusi tersebut, antara lain :
a. Persamaan kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan
Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan, antara lain :
1) Sama-sama wewenangnya diberikan dan disebutkan langsung dalam
UUD.
2) Sama-sama mempunyai kewenangan dalam pengujian undang-undang
(judicial review).
3) Sama-sama mempunyai kewenangan memutuskan perselisihan antara
organ-organ/lembaga negara.
b. Perbedaan kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan
Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tabel 1. Perbedaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia dan Mahkamah Konstitusi Republik Afrika Selatan
No
Kewenangan
Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia
Mahkamah Konstitusi
Republik Afrika
Selatan
1. Pengujian undang-
undang (judicial
review)
Menguji undang-
undang terhadap UUD
RI 1945 (Pasal 24C
ayat (1) UUD3 RI
1945)
Memutuskan
konstitusionalitas dari
setiap parlemen atau
rancangan Undang-
Undang Provinsi,
tetapi hanya dapat
melakukannya dalam
keadaan diantisipasi
(Pasal 79 atau 121
Konstitusi Afrika
Selatan
1996/Constitution Of
The Republic Of South
Africa Number 108 Of
1996) dan memutus
permohonan atas
konstitusionalitas UU
atau Peraturan Daerah
yang diajukan oleh
anggota parlemen atau
anggota legislatif
daerah (Pasal 80 atau
122 Konstitusi Afrika
Selatan 1996)
2. Memutus sengketa
kewenangan antar
lembaga negara
Sengketa kewenangan
antar lembaga negara
yang kewenangannya
diberikan oleh UUD
RI 1945 (Pasal 24C
ayat (1) UUD RI
1945, yaitu MPR,
DPR, DPD, Presiden,
BPK
Perselisihan antara
organ-organ negara
dalam lingkup
nasional atau propinsi
tentang status
konstitusional,
kekuasaan atau fungsi-
fungsi dari setiap
organ-organ negara
tersebut
3. Memutus
pembubaran partai
Ada (Pasal 24C ayat
(1) UUD RI 1945)
Tidak ada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
politik
4. Memutus
perselisihan
tentang hasil
pemilu
Ada (Pasal 24C ayat
(1) UUD RI 1945)
Tidak ada
5. Memberi putusan
atas pendapat
Dewan Perwakilan
Rakyat bahwa
Presiden dan/atau
Wakil Presiden
diduga telah
melakukan
pelanggaran
hukum
Ada (Pasal 24C ayat
(2) UUD RI 1945)
Tidak ada
6. Kewenangan
dalam perkara-
perkara
konstitusional
melalui
mekanisme
keluhan konstitusi
(constitutional
complaint)
Tidak ada.
Mahkamah Konstitusi
Indonesia
berdampingan seiring
sejalan dengan
Mahkamah Agung
sebagai pemegang
kekuasaan kehakiman.
Akan tetapi,
Mahkamah Konstitusi
dan lembaga-lembaga
peradilan di bawah
Mahkamah Agung
tidak memiliki
keterkaitan.
Mahkamah Konstitusi
Afrika Selatan adalah
lembaga peradilan
tertinggi yang
memutus
permasalahan
konstitusi. Sehingga
perkara yang ditangani
oleh peradilan tinggi,
misalnya yang
berkaitan dengan
perkara konstitusional
maka kata akhir
putusan atas perkara
tersebut berada di
tangan Mahkamah
Konstitusi (Pasal 169
juncto Pasal 167
Konstitusi Republik
Afrika Selatan 1996).
Pemohon biasanya
mengajukan perkara-
perkara konstitusional
(constitutional
complaints) ke
pengadilan tinggi
terlebih dahulu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
B. Aplikasi Gagasan Mekanisme Constitutional Complaint setelah Diadaptasi
dengan Sistem Hukum di Indonesia
1. Ide Gagasan Mekanisme Constitutional Complaint dalam Sistem
Hukum di Indonesia Terkait Legitimasi Indonesia sebagai Negara
Hukum Modern yang Demokratis
Kelahiran Mahkamah Konstitusi pada pasca amandemen Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI 1945)
membawa Indonesia ke arah demokrasi yang lebih baik. Hal ini karena
adanya suatu lembaga tersendiri yang secara khusus menjaga martabat UUD
RI 1945 sebagai norma tertinggi di Indonesia sehingga setiap tindakan yang
berkaitan dengan konstitusi ditanggapi secara khusus pula di Mahkamh
Konstitusi. Selain itu, posisi Mahkamah Konstitusi dalam struktur
kelembagaan negara sebagai lembaga yang sejajar dengan MPR, DPR,
DPD, Presiden, MA, dan KY telah mempertegas bahwa Mahkamah
Konstitusi adalah lembaga yang memiliki otoritas tertinggi dalam koridor
kewenangannya.
Pada awal pembentukannya sampai saat ini Mahkamah Konstitusi
berdasarkan Pasal 24 UUD RI 1945 juncto Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi memiliki empat
wewenang dan satu kewajiban. Wewenang tersebut adalah menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajibannya adalah
memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
Undang-Undang Dasar. Selain itu putusan dari Mahkamah Konstitusi pun
bersifat final sehingga tidak bisa dilakukan upaya hukum lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Indonesia merupakan negara ke-78 yang mengadopsi gagasan
pembentukan Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri setelah Austria
pada tahun 1920, Italia pada tahun 1947 dan Jerman pada tahun 1945 (Jimly
Asshiddiqie, 2004 : 187). Menurut Abdul Rasyid Thalib, terdapat suatu
garis besar kewenangan dari Mahkamah Konstitusi secara umum yang dapat
dibagi menjadi kewenangan utama dan kewenangan tambahan. Kewenangan
utama meliputi (1) uji materiil konstitusionalitas undang-undang terhadap
UUD; (2) memutus pengaduan yang dilakukan oleh rakyat terhadap
pelanggaran hak-hak konstitusi mereka atau biasa disebut constitutional
complaint; (3) memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara.
Sedangkan kewenangan di luar itu bersifat asesoris atau tambahan yang
dapat bervariasi antara negara yang satu dengan yang lainnya (Abdul Rasyid
Thalib, 2006 : 187).
Apabila mengacu kepada garis besar kewenangan umum dari
Mahkamah Konstitusi di atas, maka ada satu hal yang tertinggal dari
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yaitu tidak adanya mekanisme
keluhan konstitusi atau consitutional complaint. Pada negara hukum modern
yang demokratis, constitutional complaint merupakan upaya hukum untuk
menjaga secara hukum martabat yang dimiliki manusia yang tidak boleh
diganggu gugat agar aman dari tindakan kekuasaan negara. Constitutional
complaint merupakan mekanisme gugatan konstitusional sebagai salah satu
alat bagi perlindungan hak asasi manusia. Constitutional complaint
memberikan jaminan agar dalam proses-proses menentukan dalam
penyelenggaraan negara, baik dalam pembuatan perundang-undangan,
proses administrasi negara dan putusan peradilan tidak melanggar hak-hak
konstitusional (Slamet Riyanto, Perlindungan Hak-Hak Konstitutional
dengan Mekanisme Constitutional Complaint melalui Mahkamah
Konstitusi, (http://riyants.wordpress.com/> [23 April 2012 pukul 11.15
WIB]).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tidak adanya mekanisme constitutional complaint di Indonesia akan
mengurangi legitimasi Indonesia sebagai negara hukum modern yang
demokratis karena tidak adanya upaya yang dimiliki masyarakat untuk
mempertanyakan perlakuan dari penguasa yang diindikasi melanggar hak
asasinya yang telah dijamin oleh RI UUD 1945. Oleh karena itu bisa ditarik
kesimpulan bahwa setidaknya Indonesia membutuhkan mekanisme
constitutional complaint dalam mengejawantahkan hak-hak
konstitusionalitas rakyatnya yang telah disesuaikan dengan kondisi-kondisi
di Indonesia.
Salah satu hak dasar masyarakat Indonesia adalah hak kehidupan dan
kebebasan beragama yang diatur dalam Pasal 28I, Pasal 29 ayat (2) UUD RI
1945 yang sejalan pula dengan instrumen HAM Internasional khususnya
Pasal 18 UDHR dan Pasal 18 ICCPR (Pan Mohamad Faiz, Constitutional
Review dan Perlindungan Kebebasan Beragama,
(http://panmohamadfaiz.com> [25 April 2012 pukul 08.00 WIB]). Sehingga
hak kehidupan dan kebebasan beragama merupakan hak konstitusional yang
dimiliki oleh setiap warga negara di Indonesia yang tidak boleh dikurangi
sedikitpun oleh pihak lain. Apabila hal ini dihubungkan dengan
constitutional complaint, tentu hak kehidupan dan kebebasan beragama bisa
diajukan constitutional complaint bilamana dalam perjalanannya terjadi
“pengebirian” yang dilakukan penguasa terhadap warganya dalam hal
kehidupan dan kebebasan beragama. Permasalahan yang timbul adalah tidak
adanya kategorisasi suatu kasus apakah masuk dalam lingkup constitutional
complaint atau bukan. Hal ini karena apabila semua kasus atau bahkan fakta
yang bersangkutan dengan kebebasan dan kehidupan beragama
dikategorikan ke dalam pelanggaran terhadap hak konstitusionalitas tentu
akan menimbulkan pergerakan hukum yang luar biasa karena selama ini
diindikasikan bahwa memang terjadi penindasan-penindasan yang
dilakukan oleh pemerintah dalam hal kehidupan dan kebebasan bergama.
Belum lagi tahapan constitutional complaint yang diwacanakan sampai saat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ini masih dalam tataran konsep dan belum ada pembahasan yang mendetail
terhadap kategorisasi suatu fakta bisa dilakukan constitutional complaint.
Penegasan mengenai kategorisasi kasus yang bisa diselesaikan secara
constitutional complaint terutama dalam hal yang berkaitan dengan hak
kehidupan dan kebebasan beragama yang dimiliki oleh masyarakat sangat
penting karena apabila tidak ada suatu kategorisasi maka semua kasus yang
berkaitan dengan kehidupan dan kenenasan beragama yang dijamin dalam
UUD RI 1945 bisa dimasukan melalui mekanisme constitutional complaint.
Apabila hal ini yang terjadi pastinya akan merusak semangat perlindungan
hak-hak konstitusional warga dengan mengesampingkan prosedur yang
sudah ada. Prosedur yang dimaksudkan adalah apabila masyarakat dirugikan
oleh suatu undang-undang maka bisa diajukan permohonan judicial review
ke Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat (1) UUD RI 1945), sedangkan
apabila merasa dirugikan oleh peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang maka bisa diajukan judicial review ke MA (Pasal 24A ayat
(1) UUD RI 1945).
Menurut Jimly Asshiddiqie, adanya mekanisme constituional
complaint bisa membuat Mahkamah Konstitusi berbenturan dengan
pengadilan Hak Asasi Manusia apabila ada seseorang yang merasa
dirugikan hak-hak asasinya. Hal seperti ini menimbulkan suatu
ketidakpastian hukum seperti halnya pengadilan terhadap perkara korupsi
yang bisa diadili di pengadilan umum maupun pengadilan tindak pidana
korupsi (Jimly Ashidiqqie dalam Anonim, Menggagas Constitutional
Complaint Lewat Kasus Ahmadiyah, (www.hukumonline.com> [28 April
2012 pukul 10.45 WIB]).
Kebutuhan masyarakat Indonesia mengenai mekanisme Constitutional
Complaint sudah bisa dibilang mendesak dan perlu diadakan. Namun
pengaturan yang tegas terutama dalam hal kategorisasi perkara yang bisa
masuk ke dalam Mahkamah Konstitusi yang dalam hal ini mengenai hak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kehidupan dan kebebasan beragama juga perlu diperhatikan secara seksama.
Pengaplikasian suatu konsep tanpa ada adaptasi sistem baru ke sistem yang
asli justru akan mengakibatkan rusaknya tatanan sistem yang selama ini
telah dibentuk oleh sistem hukum Indonesia dan hal ini dapat berdampak
pada timbulnya ketidakpastian hukum di Indonesia sehingga merusak
tatanan masyarakat yang sudah ada. Apabila hal ini yang terjadi maka
aplikasi mekanisme constitutional complaint tanpa aturan yang jelas justru
akan merusak semangat perlindungan konstitutional itu sendiri.
Kehidupan dan kebebasan beragama di Indonesia sangat terkait
dengan perlindungan hak-hak konstitusional. Hal ini karena hanya terdapat
garis yang tipis antara perlindungan terhadap kehidupan dan kebebasan
beragama dengan kewenangan pemerintah dalam melindungi masyarakat
dari ajaran-ajaran yang berkembang di Indonnesia. Sering kali kebijakan
pemerintah terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kebebasan dan
kehidupan beragama disangkutpautkan dengan pelanggaran HAM. Banyak
pihak pun sering berpendapat bahwa pemerintah telah melalukan
pelanggaran konstitusional terhadap hal tersebut sehingga apabila ada
mekanisme constitutional complaint dalam Mahkamah Konstitusi, maka
kebijakan pemerintah tersebut dapat diajukan untuk dibatalkan misal saja
dalam kasus Jemaat Ahmadiyah dan pengaturan pendirian rumah ibadah.
2. Pengertian Constitutional Complaint
Mekanisme constitutional complaint atau dalam bahasa Jerman
disebut verfassungsbeschwerde merupakan hak yang dimiliki oleh setiap
orang atau kelompok tertentu untuk melakukan pernyataan sikap tidak
setuju atau menolak terhadap perlakuan pemerintah terhadapnya. Dalam hal
ini orang atau kelompok tertentu tersebut merasa hak-hak kosntitusionalnya
dilanggar oleh pemerintah (Anonim, Federal Constitutional Court of
Germany, (http://wikipedia.com/> [26 April 2012 pukul 20.00 WIB]).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tujuan dari constitutional complaint ini adalah agar setiap orang atau
kelompok tertentu memiliki kebebasan dan persamaan kedudukan dalam
berpartisipasi dalam sebuah negara dan untuk menegakan prinsip-prisnsip
demokrasi termasuk tanggung jawab mengenai perlindungan terhadap
kekuatan konstitutional yang dimiliki oleh masyarakat (Anonim, Federal
Constitutional Court -Press Office-, Press release Number 72/2009 of 30
June 2009, Zum Anfang des Documents,
(http://www.bundesverfassungsgericht.de/> [26 April 2012 pukul 23.00
WIB]).
Constitutional complaint memberikan jaminan agar dalam proses-
proses menentukan dalam penyelenggaraan negara, baik dalam pembuatan
perundang-undangan, proses administrasi negara dan putusan peradilan
tidak melanggar hak-hak konstitusional (Slamet Riyanto, Perlindungan
Hak-Hak Konstitutional dengan Mekanisme Constitutional Complaint
melalui Mahkamah Konstitusi, (http://riyants.wordpress.com/> [29 April
2012 pukul 21.00 WIB]). Di Jerman sendiri mekanisme constitutional
complaint yang diatur dalam Pasal 38 ayat (1) juncto Pasal 93 ayat (1) butir
4 huruf a GG Undang-Undang Dasar Republik Jerman, sejak tahun 1951
terhitung hanya sekitar 2,5 % gugatan yang termasuk dalam kategori
constitutional complaint yang dinyatakan diterima oleh pengadilan
konstitusi di Jerman. Namun kasus yang masuk ke meja Mahkamah
Konstitusi di Jerman yang terbanyak merupakan kasus yang diselesaikan
melalui mekanisme constitutional complaint dimana hingga saat ini lebih
dari 146.539 permohonan telah diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi Jerman
dan 141.023 diantaranya adalah permohonan mengenai constitutional
complaint. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Genhard Dannemann dalam
bukunya “Constitutional Complaints : The European Perspective”
menyimpulkan bahwa kewenangan constitutional complaint yang
sebelumnya hanya dimiliki oleh beberapa negara Eropa, kini sudah
berkembang pesat dan telah diadopsi hampir di seluruh negara-negara Eropa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Tengah dan Timur (Pan Mohamad Faiz, Constitutional Review dan
Perlindungan Kebebasan Beragama, (http://panmohamadfaiz.com> [25
April 2012 pukul 08.00 WIB]).
3. Hak Konstitusional Masyarakat
Hak konstitutional masyarakat adalah hak dasar masayarakat yang
dijamin oleh konstitusi. Di dalam konstitusi, hak atau hak-hak dasar
merupakan salah satu bagian yang penting karena menjadi bagian yang
menentukan materi dari konstitusi itu sendiri. Menurut Mr. J. G. Steenbeek
sebagaimana dikutip Sri Soemantri mengungkapkan bahwa secara umum
konstitusi memuat tiga hal pokok, yaitu : adanya jaminan terhadap hak-hak
asasi manusia dan warga negaranya, ditetapkannya susunan ketatanegaraan
suatu negara yang bersifat fundamental, dan adanya pembagian dan
pembatasan tugas ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental
(Sri Soemantri, 2006 : 59).
Menurut Miriam Budiardjo setiap Undang-Undang Dasar memuat
ketentuan-ketentuan mengenai (Miriam Budiardjo, 2008 : 177-178) :
a. Organisasi negara.
b. Hak-hak asasi manusia (biasanya disebut Bill of Rights kalau berbentuk
naskah tersendiri).
c. Prosedur mengubah UUD (amandemen).
d. Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari
Undang-Undang Dasar.
e. Merupakan aturan hukum yang tertinggi yang mengikat semua warga
negara dan lembaga negara tanpa terkecuali.
Dari pendapat kedua tokoh di atas mengenai materi konstitusi
memang dapat dibedakan satu sama lain. Dalam hal ini, pendapat Miriam
Budiardjo lebih luas karena ada prosedur perubahan konstitusi. Tetapi ada
kesamaan yang paling mendasar antara keduanya, yaitu adanya pembagian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kekuasaan dan perlindungan hak asasi manusia. Dengan adanya paham
mengenai pembagian kekuasaan dan perlindungan hak asasi manusia maka
bisa disebut bahwa suatu konstitusi yang berpaham konstitusionalisme.
Dengan kata lain, semua tindakan atau perilaku seseorang ataupun penguasa
berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi,
berarti tindakan tersebut adalah tidak konstitusional (Dahlan Thaib, Jazim
Hamidi dan Ni’matul Huda, 2008 : 1).Sehingga penguasa dalam setiap
mengeluarkan kebijakan wajib mendahulukan segala aturan yang berkaitan
dengan ruang lingkup kewenangan dan hak-hak konstitusional masyarakat
agar kebijakannya tersebut memiliki sifat melindungi masyarakat yang
dikuasainya.
Pada penerapannya di Indonesia masih ada beberapa tindakan
pemerintah atau kelompok tertentu yang didukung pemerintah terhadap
kelompok tertentu di suatu wilayah tertentu yang diindikasi melanggar hak-
hak konstitusional yang dimiliki masyarakat. Kehadiran perlindungan HAM
telah diatur dalam Bab XA UUD RI 1945 tidak begitu saja membuat
proteksinya berjalan efektif karena memang belum ada suatu mekanisme
yang diatur dalam RI UUD 1945 dalam mengadili pelanggaran hak
konstitusi (Ahmad Syahrizal, 2007 : 64).
Seperti yang telah diketahui bahwa pengaturan HAM dalam Bab XA
UUD RI 1945 mengambil alih ketentuan HAM yang tercantum dalam
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ahmad Syahrizal menyebutkan
bahwa Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
lebih dulu terbit daripada hasil Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar
1945 Tahun 2000 yang mengadopsi norma-norma HAM. Pemunculan HAM
dalam UUD 1945 melahirkan hak konstitusional, yaitu hak asasi manusia
yang dijamin konstitusi negara. Maka, negara wajib secara simultan
melindungi dan mewujudkan hak konstitusional warganya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sifat hak konstitusional yang fundamental tentu memiliki posisi yang
berbeda dengan hak-hak lain yang diatur dalam undang-undang atau
peraturan perundang-undangan lain yang ada di bawahnya. Dalam undang-
undang dan peraturan perundang-undangan di bawahnya juga diatur secara
khusus tentang hak-hak masyarakat juga tentang HAM, misalnya saja di
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, Undang-Undang Nomor
1/PNPS/1965 juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang
Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dan sebagainya.
Hak konstitusional memiliki konstruksi yang umum dan secara tegas diatur
dalam konstitusi. Ciri dari hak konstitusional adalah adanya klausula “setiap
orang atau warga berhak…” yang terdapat dalam aturan-aturan di konstitusi.
4. Sinkronisasi Constitutional Complaint dengan Sistem Hukum di
Indonesia
Aplikasi suatu konsep baru pada dasarnya harus disertai dengan
melakukan adaptasi terlebih dahulu terhadap suatu sistem yang sudah ada.
Hal tersebut sangat penting karena dikhawatirkan apabila aplikasi konsep
tanpa suatu adaptasi menimbulkan ketidakstabilan sistem asli yang sudah
ada. Begitu juga dengan wacana akan diterapkannya konsep constitutional
complaint ke dalam salah satu bagian sistem hukum di Indonesia. Untuk
melakukan hal tersebut perlu suatu proses sinkronisasi. Sistem hukum yang
dimaksud adalah suatu sistem yang sudah ada terlebih dahulu di ranah
hukum Indonesia dimana dalam hal ini sistem tersebut diterapkan
constitutional complaint.
Sistem yang pertama adalah mengenai tindakan hukum pemerintah di
Indonesia. Dari tindakan pemerintah yang akan dibahas ini akan diketahui
batasan-batasan jenis posisi kasus seperti apa yang bisa dimasukkan ke
dalam kategori “dapat diselesaikan secara constitutional complaint”. Seperti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang telah diketahui bahwa Indonesia sebagai negara hukum diartikan
merupakan negara yang berdasarkan hukum. Dengan kata lain dalam
kaitannya dengan kebijakan, pemerintah wajib menggunakan hukum tertulis
dalam melakukan sebuah tindakan atau bisa disebut dengan norma.
Dari segi kepada siapa suatu norma ditujukan, maka norma hukum
dapat dibagi menjadi dua, yaitu norma hukum umum dan individual. Norma
hukum umum adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk orang
banyak (addressatnya umum) dan tidak tertentu sedangkan norma hukum
individual adalah norma hukum yang ditujukan atau dialamatkan hanya
kepada seseorang, beberapa orang atau banyak orang yang telah tertentu
atau dengan kata lain dapat didefinisikan siapakah orang atau golongan
orang tersebut (Maria Farida, 2007 : 26-27). Contoh dari norma hukum
umum adalah undang-undang, peraturan daerah, peraturan menteri dan
sebagainya. Sedangkan contoh dari norma hukum khusus adalah keputusan
atau beschikking yang berasal dari lembaga eksekutif.
Di antara kedua jenis norma hukum yang bisa dilakukan upaya
constitutional complaint adalah norma hukum yang berlaku khusus. Hal ini
sesuai dengan hakikat dari constitutional complaint yang dapat dilakukan
oleh orang atau kelompok tertentu. Sedangkan norma hukum umum sudah
jelas pengaduan yang akan ditempuh. Apabila berada di bawah undang-
undang maka dibawa ke MA dan apabila berupa undang-undang maka
dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Upaya uji norma hukum umum harus
berdasarkan hierarki perundang-undangan karena pembentukannya memang
berdasarkan jenjang hierarki perundang-undangan.
Upaya constituional complaint terhadap keputusan atau beschikking
bukan berarti mengesampingkan peradilan tata usaha negara. Hal ini karena
dapat ditarik sebuah kesimpulan yang sangat jelas antara manakah sebuah
keputusan yang lebih baik diajukan ke pengadilan tata usaha negara atau
diselesaikan secara constitutional complaint. Menurut Ni’matul Huda,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
alasan pembatalan beschikking didasarkan pada dua hal, yang pertama yaitu
illegal ekstern yang meliputi : (1) tanpa kewenangan dan (2) kekeliruan
bentuk atau kekeliruan prosedur. Alasan pembatalan yang kedua yaitu
illegal intern yang meliputi : (1) bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan hukum lainnya dan (2) adanya penyalahgunaan kekuasaan
(Ni’matul Huda, 2005 : 75-76).
Dari alasan-alasan pembatalan beschikking tersebut tidak ditemui
satupun alasan yang membatalkan putusan pemerintah karena melanggar
hak konstitusionalitas masyarakat. Apa yang dimaksud dengan illegal intern
juga bukan termasuk melanggar hak konstitusionalitas karena dasar
terbitnya putusan pemerintah tidak berasal dari UUD RI 1945, tetapi berasal
dari peraturan diatasnya melalui pejabat yang berwenang. Namun tidak
sedikit yang materinya justru disinyalir bertentangan dengan hak
konstitusionalitas masyarakat di UUD RI 1945. Oleh karena itu, sudah jelas
dasar kerja constitutional complaint yaitu memeriksa keputusan pemerintah
yang dianggap bertentangan dengan hak-hak asasi warga negara yang diatur
dalam UUD RI 1945.
Sinkronisasi yang selanjutnya mengenai penerapan constitutional
complaint terhadap sistem hukum di Indonesia adalah terhadap suatu produk
hukum di bawah undang-undang yang telah diajukan ke MA sebelumnya.
MA tidak akan memeriksa peraturan undang-undang di bawah undang-
undang dengan menggunakan UUD RI 1945 sebagai alat ujinya. Sehingga
adakalanya walapun telah diujikan ke MA tetapi belum tentu hasil
putusannya tidak melanggar hak-hak konstitusi warga negaranya. Di sinilah
constitutional complaint mengambil peranannya untuk menilai apakah
putusan dari MA tersebut melanggar hak-hak konstitusional masyarakat
atau tidak. Hal ini juga berlaku terhadap putusan pengadilan mengenai suatu
kasus tertentu, namun tetap saja produk hukum yang berasal dari ranah MA
harus didahului dengan upaya-upaya hukum yang telah disediakan oleh
aturan perundang-undangan. Secara umum, kasus yang akan diajukan ke
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Mahkamah Konstitusi untuk bisa diselesaikan melalui constitutional
complaint sebelumnya harus ada upaya hukum terlebih dahulu dari si
pemohon ke lembaga berwenang mengenai tindakan yang dianggap
inkonstitusional yang dideritanya.
Dalam Pasal 68 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Korea
Selatan, gugatan atau komplain dapat diajukan oleh pihak-pihak yang
sedang berperkara di pengadilan dengan cara meminta hak uji terhadap
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan isi perkara kepada
pengadilan agar peraturan tersebut diuji terlebih dahulu sebelum diterapkan
dalam pokok perkara. Pihak yang berperkara itu mengajukan gugatan atau
komplain ke Mahkamah Konstitusi melalui pengadilan (diwakili oleh
hakim) yang memeriksa perkara tersebut (Abdul Rasyid Thalib, 2006 : 188).
Hal ini bisa saja diterapkan di Indonesia, namun apabila dilihat dari
efektivitas penyelesaian perkara di pengadilan dengan melihat jangka waktu
penyelesaian perkara di Indonesia yang cukup lama tanpa adanya prosedur
tersebut, maka penulis berpendapat bahwa gugatan melalui mekanisme
constitutional complaint milik Korea Selatan belum perlu diterapkan di
Indonesia.
Selain hal di atas, dalam Pasal 41 Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi Korea Selatan juga memungkinkan kepada para hakim untuk
menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi untuk melaksanakan uji
konstitusional terhadap peraturan perundang-undangan yang diduga tidak
konstitusional. Hal ini juga tidak bisa atau sulit diterapkan di Indonesia
karena dapat mengaburkan posisi Mahkamah Konstitusi sebagai the
guardian and interpreter of constitution sehingga Mahkamah Konstitusi
kehilangan kekhususannya lagi karena ranah kerja Mahkamah Konstitusi
disentuh oleh pihak di luar Mahkamah Konstitusi.
Dapat disimpulkan bahwa setiap produk hukum baik yang dikeluarkan
oleh eksekutif, legislatif maupun yudikatif bisa dilakukan upaya uji
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
konstitusionalitas agar produk hukum tersebut masih dalam ranah untuk
memproteksi hak-hak konstitusional masyarakat. Sebelum adanya
constitutional complaint, kontan hanya produk hukum dari legislatif berupa
undang-undang yang bisa dilakukan uji konstitusionalitas terhadap UUD RI
1945 yaitu dengan mekanisme judicial review melalui pengaduan terhadap
Mahkamah Konstitusi. Sedangkan uji konstitusionalitas terhadap produk
eksekutif (berupa keputusan) dan produk yudikatif (berupa putusan) hanya
bisa diajukan uji konstitusionalitas apabila ada mekanisme constitutional
complaint.
Mengenai prosedur pengajuan permohonan agar suatu kasus bisa
diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk diselesaikan secara contitutional
complaint, penulis berpendapat bahwa syarat formil yang diajukan
seharusnya tidak terlalu sulit dan rumit. Hal ini bisa sama dengan pengajuan
permohonan di Mahkamah Konstitusi seperti yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Namun yang
perlu menjadi perhatian adalah dalam hal pengajuan permohonan
constitutional complaint seharusnya tidak diwajibkan untuk disertai oleh
pengacara atau kuasa hukum. Setiap warga negara berhak untuk membela
hak-hak konstitusional di hadapan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi.
Interaksi langsung dari yang bersangkutan seperti ini justru lebih mendidik
warga negara untuk memahami lebih jauh tentang konstitusinya. Tidak
perlu suatu keahlian khusus bagi warga negara untuk mengetahui hal-ihwal
kasusnya karena konstitusi berasal dari suara rakyat yang berjalan bersama
rakyat. Adapun berkas yang masuk dan bisa sampai dalam tahap penelitian
mengenai perkara berarti telah dianggap memenuhi persyaratan formil.
Hanya perlu sosialisasi yang optimal dari Mahkamah Konstitusi mengenai
tahapan-tahapan prosedural beserta persyaratan yang harus dipenuhi agar
suatu kasus bisa masuk dan diselesaikan dengan mekanisme constitutional
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
complaint. Setidaknya hal ini bisa memberikan pemahaman bagi si
pemohon yang bersangkutan secara langsung untuk mengetahui perihal
penyelesaian kasusnya terlepas apakah permohonannya disetujui atau tidak
oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi.
Dengan tidak mewajibkan adanya kuasa hukum atau pengacara seperti
halnya di Jerman dalam mekanisme constitutional complaint, bukan berarti
mengesampingkan peran pengacara dalam memberikan advokasi terhadap
warga negara yang mencari keadilan. Tetapi dalam ranah constitutional
complaint ini lain. Hal yang diutamakan adalah mengenai jiwa dari
konstitusi itu sendiri yang berasal dari rakyat secara umum. Lain halnya
apabila dihadapkan dengan persoalan pidana atau perdata. Adapun kuasa
hukum atau pengacara bisa berperan sebelum suatu kasus diajukan melalui
mekanisme constitutional complaint yaitu ketika kasus tersebut masih harus
melalui beberapa tahapan upaya hukum ke lembaga yang berwenang.
Kategori dan prosedur pengaduan melalui mekanisme constitutional
complaint adalah perihal sebelum perkara diperiksa oleh Hakim Konstitusi.
Mengenai pemeriksaan yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi tentu saja
menggunakan UUD RI 1945 sebagai alat ujinya entah ditafsirkan secara
tekstual ataupun konstektual. Lantas, bagaimana dengan sifat putusan dari
Hakim Konstitusi, masih menimbulkan perdebatan. Satu sisi menghendaki
putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat gugatan menurut Laica
Marzuki, putusannya menyatakan “batal serta tidak sah suatu objectum
litis”. Putusan yang berasal dari permohonan, putusannya di samping
menyatakan “batal atau tidak sah”, juga dapat memberikan “rekomendasi
atau fatwa”. Putusan yang bersifat rekomendasi atau fatwa lebih tepat
dilakukan agar tidak tampak telah terjadi kekuasaan yudikatif terhadap
kasus produk hukum yang diselesaikan melalui mekanisme constitutional
complaint. Dari rekomendasi atau fatwa tersebut, selanjutnya juga perlu
ditanggapi oleh pejabat yang berwenang mengeluarkan produk hukum
tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5. Posibilitas Keadaan Sosial di Indonesia Pasca Penerapan Constitutional
Complaint
Dalam wacana aplikasi constitutional complaint, selain memberikan
batasan-batasan kasus yang bisa masuk dalam mekanisme constitutional
complaint, menurut penulis perlu rasanya untuk memperkirakan adanya
kemungkinan suatu gerak sosial. Suatu tekanan bertahun-tahun yang dialami
oleh suatu kelompok tertentu di Indonesia yang merasa hak
konstitusionalnya dirugikan oleh pemerintah tentu saja tidak membuat
kelompok tersebut akan tinggal diam apabila nantinya constitutional
complaint benar-benar diterapkan di Indonesia. Banyaknya pengaduan
dengan menggunakan constitutional complaint tidak dapat dihindari terlepas
dari sesuai atau tidaknya kasus tersebut dimasukkan ke dalam kategori
mekanisme constitutional complaint.
Besarnya mobilisasi pengaduan agar kasus-kasus yang diajukan bisa
diselesaikan secara constitutional complaint dapat dianalogikan bahwa
masyarakat melakukan gerak sosial vertikal (Soerjono Soekanto, 2003 :
249-251). Hal ini karena adanya usaha dari individu ataupun golongan
masyarakat tertentu yang selama ini merasa berada di bawah suatu taraf
rata-rata tertentu untuk bisa naik sehingga merasa memiliki kedudukan
dengan taraf yang sama dengan masyarakat lainnya dalam prespektif
penghormatan hak-hak dasar yang dijamin oleh konstitusi. Namun hal ini
wajar dalam proses demokratisasi yang sedang dialami Indonesia.
Setidaknya masyarakat di Indonesia tidak takut lagi terhadap tindakan
pemerintah yang dianggap merugikan hak konstitusionalnya karena sudah
ada prosedur untuk memproteksi hak-hak konstitusional masyarakat.
Hal ini tentu saja bisa membendung timbulnya pemerintahan yang
otoriter di Indonesia. Terlepas apakah pengaduan dengan mekanisme
constitutional complaint disetujui oleh Mahkamah Konstitusi atau tidak.
Seiring dengan berjalannya waktu, masalah tentang banyaknya pengaduan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tentunya akan teratasi seiring dengan kedewasaan masyarakat dalam
memahami konstitusi yang tidak hanya dalam tataran konseptual saja tetapi
sudah menjangkau ke arah mekanisme.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada permasalahan dan pembahasan yang telah penulis uraikan
pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Mahkamah Konstitusi melakukan uji undang-undang adalah untuk menjaga
dan menegakkan konstitusi apabila terjadi pelanggaran konstitusi oleh undang-
undang. Dengan mekanisme ini jelas bahwa peranan Mahkamah Konstitusi dalam
ketatanegaraan Indonesia adalah untuk menjaga jangan sampai terjadi
pelanggaran konstitusi oleh lembaga negara.
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ke dalam konstitusi negara kita
sebagai organ konstitusional baru yang sederajat kedudukannya dengan organ
konstitusi lainnya. Fungsi Mahkamah Konstitusi telah dilembagakan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pembentukan Mahkamah
Konstitusi di Afrika Selatan, pada tahapan agenda, setting mereka lebih dulu
menyiapkan paradigma constitution making, Langkah awal Afrika Selatan
melakukan reformasi konstitusi adalah membuat prosedur pembuatan konstitusi
yang lebih demokratis.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam menjalankan perannya
sebagai penjaga konstitusi, maka diberi kewenangan seperti yang diatur dalam
Pasal 24C ayat (1) UUD RI 1945 yang kemudian dipertegas dalam Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juncto Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kewenangan Mahkamah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Konstitusi Afrika Selatan langsung disebutkan dalam konstitusinya/Undang-
Undang Dasarnya (Konstitusi Republik Afrika Selatan 1996/Constitution Of The
Republic Of South Africa Number 108 Of 1996), sama halnya seperti wewenang
Mahkamah Konstitusi Indonesia yang sama-sama wewenangnya diberikan dan
disebutkan langsung dalam UUD RI 1945. Mahkamah Konstitusi adalah peradilan
tertinggi yang memutus permasalahan konstitusional baik di Republik Afrika
Selatan maupun di Republik Indonesia, Mahkamah Konstitusi memiliki
kewenangan untuk memutus perkara-perkara konstitusional dan atas
permasalahan yang berkaitan dengan putusan pada tingkat peradilan lain atas
perkara konstitusional.
Aplikasi constitutional complaint setelah diadaptasi dengan sistem hukum
di Indonesia tidak mengalami banyak perubahan. Namun ada beberapa hal yang
perlu ditegaskan antara lain, apabila bentuk tindakan pemerintah yang dianggap
merugikan adalah keputusan, maka keputusan tersebut tidak mengandung illegal
ekstern maupun illegal ekstern karena apabila mengandung salah satu tersebut,
maka diselesaikan dengan upaya hukum yang sudah ada terlebih dahulu. Begitu
juga mengenai adanya indikasi pelanggaran hak konstitusional di putusan
pengadilan yang harus ada upaya hukum biasa terlebih dahulu.
Upaya untuk memproteksi hak konstitusional masyarakat dalam kehidupan
dan kebebasan beragama adalah dengan melakukan pemilihan kasus yang selektif
terhadap kasus yang masuk. Hal ini karena tidak bisa suatu aturan atau keputusan
pemerintah yang bertujuan untuk mengatur dan memfasilitasi kehidupan dan
kebebasan beragama justru dipandang sebagai suatu tindakan yang
inkonstitusionalisme.
Mekanisme constitutional complaint diharapkan menjadi sarana dalam
upaya untuk menjaga dan melindungi hak-hak konstitusional masyarakat dalam
kehidupan dan kebebasan beragama serta pengajuannya seharusnya diawali
dengan adanya sosialisasi yang maksimal terlebih dahulu ke masyarakat agar
kedekatan masyarakat dengan konstitusinya menjadi lebih baik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis memberikan saran sebagai berikut :
1. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia hendaknya mengejar garis
kewenangan umum dari Mahkamah Konstitusi yaitu tidak adanya mekanisme
keluhan konstitusi atau consitutional complaint. Pada negara hukum modern
yang demokratis, constitutional complaint merupakan upaya hukum untuk
menjaga secara hukum martabat yang dimiliki manusia yang tidak boleh
diganggu gugat agar aman dari tindakan kekuasaan negara. Tidak adanya
mekanisme constitutional complaint di Indonesia akan mengurangi legitimasi
Indonesia sebagai negara hukum modern yang demokratis karena tidak adanya
upaya yang dimiliki masyarakat untuk mempertanyakan perlakuan dari
penguasa yang diindikasi melanggar hak asasinya yang telah dijamin oleh
UUD RI 1945.
2. Masyarakat sebaiknya dilibatkan dalam kehidupan berkonstitusi. Hal ini tentu
saja bisa membendung timbulnya pemerintahan yang otoriter di Indonesia.
Terlepas apakah pengaduan dengan mekanisme constitutional complaint
disetujui oleh Mahkamah Konstitusi atau tidak. Seiring dengan berjalannya
waktu, masalah tentang banyaknya pengaduan tentunya akan teratasi seiring
dengan kedewasaan masyarakat dalam memahami konstitusi yang tidak hanya
dalam tataran konseptual saja tetapi sudah menjangkau ke arah mekanisme.
3. Pihak Pemerintah seharusnya juga mengawali pemahaman tentang kehidupan
berkonstitusi dengan cara sosialisasi yang maksimal terlebih dahulu kepada
masyarakat agar kedekatan masyarakat dengan konstitusinya menjadi lebih
baik. Sehingga mekanisme constitutional complaint diharapkan menjadi sarana
dalam upaya untuk menjaga dan melindungi hak-hak konstitusional masyarakat
dalam kehidupan dan kebebasan beragama.