Upload
nazri-muhammad
View
196
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
STUDI TASAWUF
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah PDPI
OLEH
MUHAMMAD NAZRI
12 PEDI : 2829
Dosen Pembimbing
Prof. Dr. HASAN ASARI, MA
PROGRAM PASCASARJANAINSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARAMEDAN
2012
PENDAHULUAN
Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan
perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang selanjutnya dapat
menimbulkan akhlak mulia. Pembersihan aspek rohani atau batin ini selanjutnya
dikenal sebagai dimensi esoterik dari diri manusia. Hal ini berbeda dengan aspek
Fiqih, khususnya bab thaharah yang memusatkan perhatian pada pembersihan
aspek jasmaniah atau lahiriah yang selanjutnya disebut sebagai dimensi eksoterik.
Islam sebagai agama yang bersifat universal dan mencaku berbagai jawaban atas
berbagai kebutuhan manusia, selain menghendaki kebersihan lahiriah juga
menghendaki kebersihan batiniah, lantaran penilaian yang sesungguhnya dalam
Islam diberikan pada aspek batinnya. Hal ini misalnya terlihat pada salah satu
syarat diterimanya amal ibadah, yaitu harus disertai niat.
Melalui studi tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara
melakukan pembersihan diri serta mengamalkannya dengan benar. Dari
pengetahuan ini diharapkan ia akan tampil sebagai orang yang pandai
mengendalikan dirinya pada saat berinteraksi dengan orang lain, atau pada saat
melakukan berbagai aktivitas dunia yang menuntut kejujuran, keikhlasan,
tanggung jawab, kepercayaan dan sebagainya. Dari suasana yang demikian itu,
tasawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai penyimpangan moral yang
mengambil bentuk seperti manipulasi, korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan
dan kesempatan, penindasan.
Makalah yang sederhana ini akan mepaparkan beberapa istilah kata-kata
kunci seperti tasawuf, sufi dan tariqat, sumber dan perkembangan pemikiran
tasawuf, variasi praktek tasawuf dan pengkajiannya, pendekatan utama dalam
pengkajian tasawuf, tokoh dan karya utama dalam kajian tasawuf, perkembangan
mutakhir studi tasawuf.
1
TASAWUF
A. Pengertian Tasawuf, Sufi, Tareqat
1. Pengertian Tasawuf dan Sufi
a) Tasawuf menurut Abu Bakar al-Kattani yang disebutkan oleh Imam
al-Ghazali dalam kitab Ihya 'Ulum ad-Din
التصوف خلق فمن زاد عليك بالخلق زاد عليك بالتصوف فالعباد أجابت نفوسهم إلىالمور اإلسلكون بنال ألنهم يس األعمهم الى بعض األخالقابت نفوس والزهاد أج
لكونهم سلسكوا بنور اإليمان"Tasawuf adalah budi pekerti. Barang siapa yang memberikan bekal
budi pekerti atas kamu, berarti ia memberikan bekal kepadamu atas
dirimu dalam tasawuf. Maka hamba yang jiwanya menerima (perintah)
untuk beramal, karena sesungguhnya mereka melakukan suluk dengan
petunjuk (nur) Islam. Dan orang-orang zuhud yang jiwanya menerima
(perintah) untuk melakukan sebagian akhlak, karena mereka telah
melakukan suluk dengan petunjuk (nur) imannya."1
b) Ma'ruf al-Kharkhi yang dinukil dari as-Suhrawari dalam kita Awarif
al-Ma'arif mengemukakan :
دىأس فى ايائق واليذ بالحقوف األخ التصالخالئق
"Tasawuf adalah mengambil hakikat dan meninggalkan yang ada di
tangan makhluk."2
c) Muhammad Amin al-Kurdi mengemukakan :
وال النفسه احرف ب التصوف هو علم يعا منة تظهيرهذمومها وكيفيا وم محموده المزموم منها وتحليتها باإلتصاف ومحمودها
1 Muzakkir, Wawasan Tasawuf, dari Masa Klasik ke Masa Modern, (Bandung: Cita Pustaka Media, Cet. I, 2007), h. 5.
2 Ibid, h. 6
2
الىه تعير الى الللوك والسة الس وكيفيوالفرار اليه.
"Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya diketahui hal ihwal
kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari yang
tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan
suluk dan perjalanan menuju keridhaan Allah dan meninggalkan
larangan-larangannya menuju kepada perintah-Nya."3
Dari pengertian tasawuf diatas dapatlah disimpulkan bahwa tasawuf
adalah suatu ilmu yang dengannya diketahui hal ihwal kebaikan dan
keburukan jiwa, cara membersihkan jiwa dari sifat yang tercela dan
mengisinya dengan sifat-sifat terpuji dengan melakukan apa yang
diperintahkan Allah dan menjauhi larangan-Nya agar mendapat keridhaan-
Nya yang pada gilirannya sampai pada pengetahuan ma'rifah.
2. Pengertian Tareqat
a) Abu Bakar Atjeh mengatakan tareqat itu artinya jalan, petunjuk dalam
melakukan sesuatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan
dicontohkan oleh nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi'in, turun-
temurun sampai kepada guru-guru, sambung-menyambung dan rantai-
berantai.4
b) Harun Nasution mengatakan tareqat berasal berasal dari bahasa Arab
berasal dari kata tariqah, yaitu jalan yang harus ditempuh oleh seorang
calon sufi dalam tujuannya berada sedekat mungkin dengan Allah.
Tariqah kemudian mengandung arti organisasi (tareqat). Tiap tareqat
mempunyai syekh, upacara ritual, dan bentuk zikir sendiri.5
B. Sumber dan Perkembangan Pemikiran Tasawuf
1. Sumber Ajaran Tasawuf
Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para
sahabat radhiyallahu ‘anhum bahkan tidak dikenal di zaman tiga generasi yang
3 Ibid, h. 74 Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, (Solo: Ramadhani, Cet. XIII, 1996), h. 67.5 Muzakkir, Studi Tasawuf, Sejarah, Perkembangan, Tokoh dan Analisisnya, (Bandung:
Citapustaka Media Perintis, Cet. I, 2009), h. 43.
3
utama (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Istilah ini baru muncul
sesudah zaman tiga generasi ini. Pada zaman Rasulullah saw, tasawuf ada
realitasnya, tetapi tidak ada namanya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, mengatakan lafazh “Sufiyyah”, lafazh
ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal
dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa
orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad
bin Hambal, Abu Sulaiman ad-Darani dan yang lainnya, dan juga
diriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh
ini, dan ada juga yang meriwayatkan dari Hasan Al Bashri.6
Pernyataan ulama dari kalangan tabi'in ini bisa menjadi acuan bagi
kita. Memang benar, tidak ada istilah tasawuf pada zaman Rasulullah saw.
Namun, realitasnya ada dalam kehidupan dan ajaran Rasulullah saw, seperti
sikap zuhud, wara’, qana'ah, taubat, ridho, sabar, dan lain-lain.
Pada awal munculnya Islam di jazirah Arab, agama Islam yang
didakwahkan oleh Nabi Muhammad saw tampak begitu sederhana. Formulasi
ajarannya begitu mudah dipahami karena Nabi Muhammad saw sendiri masih
menjadi panutan utama atau "uswatun hasanah/central figure" bagi umat
Islam, yang ajaran dan contoh tauladannya dapat diberikan secara langsung
tanpa perantara.
FنGمH GةI ل ن GوGٌةI حGس FسK LهH أ سKولH الل Gي رHف FمK Gك GانG ل GقGدF ك ل
ا ) Oير HGِث هG ك LرG الل GرG وGَذGك HGوFمG اآلخ Fي LهG وGال جKو الل FرG GانG ي ك٢١)
Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan yang banyak menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab/33:21).7
Dalam perkembangan sejarah sepeninggal Rasulullah, terjadi
perkembangan baru. Perluasan teritorial Islam merupakan suatu hal yang tidak
bisa dielakkan. Proses akulturasi, asimilasi serta percampuran dengan
6 Ihsan Ilahi Zhahir, at-Tasawwuf al-Mansya wa al-Mashadir, (Lahore: Cet, I, 1986), h. 43.
7 Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, (Bandung: Syamil Cipta Media, 2004), h. 420.
4
kebudayaan lain merupakan proses yang tidak dapat dihindari. Ajaran Islam
yang rahmatan lil 'alamin perlu berjalan terus dan keluar dari wilayah Saudi
Arabiya dengan resiko pasti bersentuhan dengan kebudayaan lain.
Perkembangan pemikiran filsafat dalam Islam ikut memberi andil yang
cukup besar untuk hidup suburnya pemikiran tasawuf dalam dunia muslim.
Sudah merupakan hukum sejarah keilmuan, jika satu cabang ilmu telah
berkembang manjadi satu disiplin tersendiri dengan tokoh-tokoh pendukung
dan pencetusnya yang solid. Rukun iman menjadi bidang cakupuan teologi
atau kalam, rukun Islam menjadi bidang garapan fuqaha dengan lembaga
seperti mufti, qadi, peradilan agama, waqaf dan sebagainya, dan ihsan menjadi
bidang garapan tasawuf, yang kemudian dalam perkembangan selanjutnya
menjadi kelompok-kelompok tareqat, maka terjadilah pergumulan di bawah
sadar para pengasuhnya untuk memperebutkan pengaruh diantara para
pendukung dan penggemar ilmu-ilmu tersebut, lebih-lebih lagi jika unsur luar
ikut campur
Dalam hubungan ini, unsur tasawuflah yang paling subur untuk
dimasuki pengaruh dari luar, baik dari greko-gnostik, doktrin Kristen.
Manikea maupun India. Konsepsi "Ihsan" yang begitu sederhana berubah
menjadi rumit. Pengaruh Syi'ah Imam 12 juga mulai ikut masuk. Mereka tidak
puas karena kegagalan dalam panggung politik, kemudian membentuk konsep
al-mahdi (imam yang ditunggu-tunggu). Para penguasa yang sunni didukung
oleh para ulama yang lebih menitikberatkan formalitas hukum fiqih dari
keberagamaan manusia. Meskipun aliran Sunni tidak memasukkan ajaran al-
mahdi dalam korpus ajaran murninya, tetapi pengikut Sunni di lapisan bawah
(agama populer rakyat) diam-diam mengakui adanya iman al-mahdi sebagai
pemimpin yang ditunggu-tunggu untuk melepaskan mereka dari himpitan
sosial-ekonomi yang tiada bertepi.8
Inilah beberapa faham dan ajaran yang menurut teorinya
mempengaruhi timbul dan munculnya sufisme di kalangan umat Islam.
Apakah teori ini benar atau tidak, itu paya dapat dibuktikan, tetapi
8 Muzakkir, Wawasan, h.13
5
bagaimanapun, dengan atau tanpa pengaruh dari luar, sufisme bisa timbul
dalam Islam.9
Ilmu tasawuf menurut Ibn Khaldun merupakan bagian dari ilmu-ilmu
syariat yang lahir kemudian dalam agama. Pada dasarnya, pendekatan para
ulama salaf seperti para sahabat dan para tabi'in yang datang sesudahnya
merupakan pendekatan yang benar dan berhak mendapatkan petunjuk, yang
bertumpu pada kesungguhan beribadah dan memfokuskan pengabdian pada
Allah SWT, menghindari kemegahan dan gemerlap dunia dengan segala
perhiasannya, berzuhud dari kenikmatan harta dan ketinggian jabatan yang
banyak diharapkan masyarakat pada umumnya dan mengasingkan diri dari
keramaian dunia dan berkhalwat untuk memusatkan diri dalam ibadah.
Ketika kecintaan dunia semakin merebak dalam kehidupan pada abad
ke 2 H dan sesudahnya, dimana manusia berlomba-lomba untuk menggapai
kemewahan, maka orang yang mengabdikan diri dalam kekhusyukan ibadah
mendapat sebutan khusus Ash-Shufiyyah dan al-Mutashawwifah.10
2. Perkembangan Pemikiran Tasawuf
Dalam sejarah perkembangannya para ahli membagi tasawuf menjadi
tiga arah perkembangan. Ada tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku
(disebut juga dengan tasawuf salafi, tasawuf akhlaqi atau tasawuf sunni), ada
tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang begitu rumit dan memerlukan
pemahaman yang lebih mendalam (disebut tasawuf falsafi) yang banyak
dikembangkan para sufi yang berlatar belakang filosof, disamping sebagai
sufi.11
Dan ada pula tasawuf irfani, yang dalam tinjauan analisis terhadap
tasawuf menunjukan bagaimana para sufi memiliki suatu konsepsi tentang
jalan (tariqah) menuju Allah, yang dimulai dengan latihan-latihan rohaniah
(riyadhah), secara bertahap menempuh berbagai fase yang dikenal dengan
tingkatan (maqam) dan keadaan (hal) yang berakhir mengenal Allah
9 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisime dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. III, 1983), h. 59.
10 Ibnu Khaldun, Mukaddimah, (Pustaka al-Kautsar, Cet, II, 2012), h. 86511 Solihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, Cet. I, 2008), h. 61
6
(ma'rifat). Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh ma'rifat yang
berlaku di kalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka "irfani".12
12 Ibid, h. 75. Lihat juga Muzakkir, Studi Tasawuf, h. 38.
7
a) Sejarah Dan Perkembangan Tasawuf Salafi (Akhlaqi)
1) Abad pertama dan kedua Hijriyah
Disebut dengan fase asketisme (zuhud). Sikap asketisme ini banyak
dipandang sebagai pengantar kemunculan tasawuf. Fase ini tumbuh pada
abad pertama dan kedua Hijriyah. Pada pase ini terdapat individu-individu
dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah.
Menjalankan asketis dalam kehidupan, yaitu tidak mementingkan
makanan, pakaian maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal
untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akhirat, yang
menyebabkan mereka lebih memusatkan diri pada jalur kehidupan dan
tingkah laku asketis. Diantara tokoh-tokoh terkemuka pada periode ini
adalah Hasan al-Bashri (21-110), Rabi'ah al-Adawiyah (95-185 H/717-801
M), kedua tokoh ini dijuluki sebagai zahid.
2) Abad Ketiga
Sejak abad ketiga Hijriyah, para sufi mulai menaruh perhatian
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku.
Perkembangan doktrin-doktrin dan tingkah laku sufi dintadai dengan
upaya meneagkkan moral di tengah terjadinya dekadensi moral yang
berkembang ketika itu, sehingga di tangan mereka tasawuf pun
berkembang menjadi ilmu moral keagamaan atau ilmu akhlak keagamaan.
Kajian yang berkenaan dengan akhlak ini menjadikan tasawuf
terlihat sebagai amalan yang sangat sederhana dan mudah dipraktekkan
semua orang. Kesederhanaannya dapat dilihat dari kemudahan landasan-
landasan atau alur berpikirnya. Tasawuf pada alur yang sederhana ini
tampaknya banyak ditampilkan oleh kaum salaf. Perhatian mereka lebih
tertuju pad arealitas pengalaman Islam dalam praktek yang lebih
menekankan keterpujian perilaku manusia.
Pada abad ini perkembangan tasawuf terlihat lebih pesat, ditandai
dengan adanya segolongan ahli tasawuf yang mencoba menyelidiki inti
ajaran tasawuf yang berkembang masa itu. Mereka membaginya menjadi
tiga macam:
8
a) Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa yaitu mengonsentrasikan kejiwaan
manusia pada khaliqnya sehngga ketenangan kejiwaan akibat pengaruh
keduniaan dapat teratasi dengan baik.
b) Tasawuf yang berintikan ilmu akhlak yaitu terkandung petunjuk-
petunjuk tentang cara berbuat baik serta cara menghindarkan
keburukan yang dilengkapi dengan riwayat.
c) Tasawuf yang berintikan metafisika yaitu terkandung ajaran yang
melukiskan hakikat Illahi.
3) Abad Keempat
Ditandai dengan kemajuan ilmu tasawuf yang lebih pesat dari
sebelumnya, karena usaha maksimal ulama tasawuf untuk
mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing. Akibatnya kota
Baghdad yang hanya satu-satunya kota terkenal sebagai pusat kegiatan
tasawuf yang paling besar sebelum masa itu, tersaingi oleh kota-kota besar
lainnya.
Perkembangan tersebut tidak mengurangi perkembangan tasawuf
di kota Baghdad, bahkan penulisan kitab-kitab tasawuf disana mulai
bermunculan.
Cici-ciri lain yang tedapat pada abad ini ditandai dengan semakin
kuatnya unsur filsafat yang mempengaruhi corak tasawuf, karena banyak
buku filsafat yang tersebat di kalangan umat Islam dari hasil terjemahan
orang-orang muslim sejak permulaan Daulah Abbasiyah. Pada abad ini
pula mulai dijelaskannya perbedaan ilmu zahir dan ilmu batin, yang dibagi
oleh ahli tasawuf menjadi 4 yaitu :
a) Ilmu syariah
b) Ilmu tariqah
c) Ilmu haqiqah
d) Ilmu ma'rifah
9
4) Abad Kelima Hijriyah
Pada abad ini tasawuf cenderung mengadakan pembaharuan, yakni
dengan mengembalikannya ke landasan Alquran dan as-Sunnah (tasawuf
sunni). Seperti Al-Ghazali yang melancarkan kritikan tajam terhadap
filosof, kaum mu'tazilah dan batiniyah. Al-Ghazali lah yang berhasil
memancangkan prinsip-prinsip tasawuf yang moderat seiring dengan ahli
sunnah wal jama'ah dan bertentangan dengan tasawuf al-Hallaj dan Abu
Yazid al-Bustami, terutama mengenai soal karakter manusia. Pada masa
al-Ghazali jugalah tasawuf sunni ini memperoleh bentuk yang final.
Al-Qusyairi dan al-Harawi. Al-Qusyairi menolak para sufi yang
mengajarkan syathahat, yang mengucapkan ungkapan-ungkapan penuh
kesan terjadinya perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan, khususnya sifat
terdahulu-Nya dengan sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat baharunya.
5) Abad Keenam Hijriyah dan Seterusnya
Sejak abad keenam Hijriyah, sebagai akibat pengaruh kepribadian
al-Ghazali yang begitu besar, pengaruh tasawuf sunni semakin meluas ke
seluruh pelosok dunia Islam. Keadaan ini memberi peluang bagi
munculnya para tokoh sufi yang mengembangkan tarekat-tarekat dalam
rangka mendidik para muridnya, seperti Sayyid Ahmad ar-Rifa'i (w. 570
H), Sayyid Abdul Qadir al-Jailani (w. 651 H).
b) Sejarah Dan Perkembangan Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi disebut pula dengan tasawuf nazhari, merupakan
tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis (tasawuf) dan
visi rasional (filsafat). Tasawuf filosofis ini mulai muncul sejak abad keenam
Hijriyah, meskipun tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak itu tasawuf
jenis ini terus hidup dan berkembang, terutama dikalangan para sufi yang juga
filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini.
Tokoh pertama yang dapat dipandang sebagai tokoh tasawuf falsaf
adalah Ibn Masarrah dari Cordova, Andalusia (w. 319 H/931 M) yang
menganut paham emanasi yang mirip dengan paham emanasi Plotinus (w. 270
M) Diantara mereka terdapat Suhrawardi al-Maqtul (w. 549 H/1153 M) dari
persia juga menganut paham yang mirip dengan paham emansi al-Farabi atau
10
Ibn Sina., Syekh Akbar Muhyiddin Ibnu Arabi (w. 638 H) dengan kitabnya
Hikmah al-Isyraqiyah, Ibnu Faridh (w. 632 H), Abdul Haqq Ibnu Sab'in al-
Mursi (w. 669 H). Mereka banyak menimba berbagai sumber dan pendapat
asing seperti filsafat Yunani dan khususnya Neo-Platonisme, yang mempunyai
teori mendalam mengenai soal jiwa, moral, pengetahuan, wujud dan sangat
bernilai baik ditinjau dari segi tasawuf filsafat dan berdampak besar bagi para
sufi mutakhir. Tasawuf falsafi ini mencapai puncak kesempurnaannya pada
pengajaran Ibn Arabi dari Andalusia (w. 638 H/1240 M). 13 Tasawuf ini
memperoleh tanah yang subuh terutama di Persia. Umumnya kalangan Syi'ah
Ismailiyah dan Syiah Dua Belas dapat membenarkan paham ini dan berbagai
paham falsafi lainnya. Karena pulalah tasawuf falsafi bisa juga disebut sebagai
tasawuf Syi'i, dengan pengertian tasawuf yang dapat diterima oleh umumnya
atau kebanyakan kaum Syi'ah.14
. C. Variasi Praktek dan Pengkajiannya
Para sufi punya cara yang berbeda dalam mengimplementasikan hidup dan
ajaran tasawufnya. Pengalaman-pengalaman dalam mendekatkan diri kepada
Allah menjadikan praktek tasawuf itu lebih bervariasi. Karena tujuan dari sufi itu
adalah berada sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga tercapai persatuan, maka
cara mencapai tujuan itu panjang dan berisi maqamat.15 Maqamat yang biasa
disebutkan antara lain tobat, zuhud, sabar, tawakal dan rida.
Banyak mengeluarkan cinta pada Tuhan, yang mengatakan “Aku
mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut masuk neraka atau bukan pula ingin
masuk surga, tetapi karena cintaku kepada-Nya. Cinta kepada Tuhan begitu
memenuhi jiwanya sehingga di dalamnya tidak ada lagi ruangan untuk cinta
kepada yang lain.
Faham al-ma’rifah yang berbeda bagi setiap orang. Ma’rifah tentang ke
Esaan Allah yang dimiliki orang awam didasarkan kepada taklid, ma’rifah utama
bersumber kepada dalil. Sedangkan ma’rifah bagi ahli sufi atau wali-wali Allah
bersumber kepada kasyf dan musyahadah. Ma’rifah yang benar kepada Allah
13 Ibid, h. 6814 Muzakkir, Studi,, h. 38.15 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1986), h..
78.
11
membawa sinar-Nya dalam hati hingga terang dan jelas, membuat orang selalu
mendekat kepada Allah sehingga menjadi fana dalam keesaan-Nya.
Mungkin layak dikatakan bahwa praktek spritual (tasawuf) adalah inti
ajaran sufisme. Sudut pandangan teori-teori dan metafisikanya telah
dielaborasikan oleh para sufi tapi tentu saja kehidupan dalam sufi dapat kita
jumpa dalam meditasi (dzikir), shalat, puasa dan praktek sehari-hari lainnya.
Dalam faktanya, sebahagian besar sufi menetapkan beragam dan bermacam-
macam praktek tasawuf. Praktek-praktek yang bersifat mediatif ini benar jika
dihubungkan dengan apa yang disebut sebagai “mengingat” nama-nama Allah.
Di dalam tasawuf akhlaqi untuk menghilangkan penghalang yang
membatasi manusia dengan Tuhannya, ahli-ahli tasawuf menyusun sebuah sistem
atau cara yang tersusun atas dasar didikan tiga tingkat yang beri nama: takhalli
(membebaskan diri, membersihkan jiwa dari sifat yang tercela), tahalli (mengisi
atau menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri bersikap, berperilaku akhlak
terpuji), dan tajalli (terungkapnya nur ghaib atau kelihatan Allah dalam hati.
D. Pendekatan Utama dalam Pengkajian Tasawuf
Metodologi penelitian tasawuf sesungguhnya memerlukan kerangka yang
berbeda dengan kerangka metode penelitian keagamaan yang lain. Alasannya
karena metode-metode yang selama ini dipergunakan dalam penelitian agama
secara umum seringkali tidak mampu menerangkan dengan jelas apa sebenarnya
makna di belakang fakta-fakta keagamaan tersebut.
Dengan melihat kecenderungan spiritual dunia, maka penelitian tasawuf
memiliki signifikansinya. Penelitian tasawuf diarahkan pada upaya untuk
menemukan bagaimana tasawuf memiliki signifikansi bagi kehidupan dan
peradaban manusia. Penelitian tasawuf diarahkan untuk memahami rekayasa
sosial, sejarah, dan peradaban. Penelitian tasawuf juga diarahkan untuk
memahami problema psikis manusia, juga untuk merumuskan psiko-fisik
manusia. Penelitian tasawuf diarahkan pada pembentukan mental skill.
Penelitian tasawuf juga dapat dikembangkan pada aspek dunia akademis
untuk menemukan temuan baru misalnya dalam aspek bimbingan dan konseling,
12
dalam bidang kesehatan, pelayanan kemasyarakatan, juga pada perusahaan dan
instansi-instansi pemerintah.16
Dalam kajian dan arah penelitian tasawuf, berikut ini dikemukakan
beberapa model penelitian atau pendekatan tasawuf 17:
1. Pendekatan Tematik
Yaitu pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai
dengan tema-tema tertentu. Yang berdasarkan pada studi kritis terhadap ajaran
tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah, Seperti pendekatan yang
dilakukan Sayyed Husein Nasr ketika melakukan penelitian di bidang tasawuf
yang disajikan dalam bukunya berjudul Tasawuf dulu dan Sekarang yang
diterjemahkan oleh Abdul Hadi W.M. Nasr. Dan juga dilakukan oleh Harus
Nasution yang disajikan dalam bentuk buku yang berjudul Filsafat dan
Mistisisme dalam Islam.
Penelitian yang menggunakan pendekatan tematik tersebut
terasa lebih menarik karena langsung menuju kepada persoalan
tasawuf dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat tokh.
Penelitian tersebut sepenuhnya bersifat deskriptif eksploratif, yakni
menggabamrkan ajaran sebagaimana adanya dengan
mengemukakannya sedemikian rupa walaupun hanya dalam garis
besarnya saja.
2. Pendekatan Eksploratif
Yaitu menggali tasawuf dari berbagai sumber literatur ilmu tasawuf
dengan mencari sandaran pada Alquran dan Hadis. Yang dilakukan oleh
Mustafa Zahri dengan hasil penelitiannya tertuang dalam sebuah buku
berjudul Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Menyajikan tentang kerohanian
dalam kehidupan Nabi saw, kunci mengenal Tuhan, sendi kekuatan batin,
tarikat dari segi arti dan tujuannya. Selanjutnya diungkapkan tentang
membuka tabir, zikrullah, istighfar dan bertaubat, do’a, waliyullah, kramat,
mengenal diri sebagai cara mengenal Tuhan, makna laa ilaha illa allah, hakikat
pengertian tasawuf, dan ajaran tentang makrifat.
16 Supiana, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Edisi Revisi, 2012), h. 254.
17 Supiana, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Edisi Revisi, 2012), h. 254. Lihat juga Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : Rajawali Press, Cet. 17, 2010), h. 289-294.
13
14
3. Pendekatan Studi Tokoh
Studi tentang tokoh dengan paham yang khas. Yang dilakukan oleh
Kautsar Azhari Noor dalam rangka penulisan disertasinya dengan judul
penelitian Ibn Arabi : Wahdat al Wujud dalam Perdebatan. Penelitian ini
cukup menari, karena dilihat dari paham yang dibawakan yaitu wahdah al-
wujud telah menimbulkan kontroversi dan perdebatan yang menghebohkan di
kalangan para ulama, karena paham tersebut dinilai membawakan paham
reinkarnasi atau paham serba Tuhan sehingga seolah-olah Tuhan ada dimana-
mana, menyatu dengan benda-benda alam, padahal yang sesungguhnya
bukanlah demikian. Tuhan tetap satu, yang banyak itu hanyalah sifat Tuhan,
bukan zatnya.
4. Pendekatan Kombinasi
Yaitu antara pendekatan tematik dan pendekatan tokoh. Penelitian ini
dilakukan oleh J. Arberry terdapat dalam buku Pasang Surut Aliran Tasawuf.
Dari isi penelitian ia menggunakan analisis kesejarahan, yakni berbagai tema
tasawuf seperti firman Tuhan, kehidupan Nabi, tarikat sufi dan lainnya, dan
tidak dilakukan proses aktualisasi nilai ajaran tersebut dalam konteks
kehidupan modern yang lebih luas.
E. Tokok dan Karya Utama Dalam Kajian Tasawuf18
Tokoh-tokoh sufi itu banyak sekali. sebenarnya tidak dapat dihitung dan
ditunjukkan, mana ulama-ulama yang menjadi atau dianggap tokok sufi itu, besar
atau kecil, masyhur atau kurang dikenal, bergantung kepada banyak atau sedikit
pengaruhnya, banyak atau sedikit pengikutnya, luas atau tidak luar tersiar
tarekatnya. kebanyakan yang mengumumkan kemasyhuran tokok-tokoh sufi itu
adalah murid-muridnya atau mereka yang sepaham dengannya dalam sesuatu
pendirian sufi.
18 Solihin, Ilmu, h. 122 - 192, lihat juga Muzakkir, Wawasan, h. 30-105.
15
1. Tasawuf Akhlaqi dan Tokoh-Tokohnya
a) al-Muhasibi (165-243 H)
Nama lengkapnya adalah Abu 'Abdillah al-Harits bin Asad al-Basri
al-Baghdadi al-Muhasibi. Lahir di Basrah pada tahun 165 H/781 M dan
meninggal di Basrah pada tahun 243 H/857 M. Karya utamanya adalah
Al-Ra’iyah li Ruquq al-Insan.
b) al-Qusyairi ( 376-465)
Nama lengkapnya adalah 'Abdul Karim bin Hawazin lahir pada
tahun 376 H. Karya utamanya Risalah al-Qusyairiyah.
Buku ini bertujuan meluruskan pemahaman keagamaan Islam
tentang konsep tasawuf, akidah tasawuf, pengalaman-pengalaman mistis,
terminal-terminal spiritual Islam. Di samping berusaha membongkar dan
menata kembali kekeliruan-kekeliruan itu untuk dikembalikan pada posisi
semula, buku ini juga memaparkan konsep-konsep sufi, yang hampir
setiap poin disajikan secara lengkap dan utuh, gamblang dan penuh
pesona.
c) al-Ghazali (450-505H/1058-111M)
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
bin Muhammad a-Tusi, di dunia Timur dikenal dengan nama al-Ghazali,
sedangkan di dunia Barat dikenal dengan nama Algazel. Lahir pada tahun
450 H/1058 M. Karya utamanya adalah Ihya ‘Ulum al-Din merupakan
karya monumental Hujjatul Islam yang mencakup beberapa pembahasan
dalam bidang tauhid, fiqh, hadis, tasawuf, sosial kemasyarakatan, ilmu
jiwa, pendidikan, prinsip-prinsip dalam beretika, beberapa prinsip dalam
ilmu ushul dan hakekat diturunkannya syariat, hikmah serta rahasianya,
dan Al-Munqiz min al-Dhalal merupakan kitab yang merekam jelas
kegelisahan al-Ghazali selama pengembaraan intelektualnya. Dalam kitab
ini, al-Ghazali menceritakan dengan jujur bahwa proses pencarian
“kebenaran” tidaklah semudah apa yang dibayangkan orang. Ia butuh
pengorbanan, keberanian, kejujuran serta kesungguhan.
16
2. Tasawuf Irfani dan Tokoh-Tokohnya
a) Abu Mansur al-Hallaj (244-309 H/858-922 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Mughits al-Husaini bin Mansur bin
Muhammad al-Badihawi lahir di Baida kota kecil dekat Persia pada tahun
244 H/858 M. Ia menulis sekitar 46 buku dan risalah mengenai berbagai
aspek mistisisme islam, diantaranya : 1). al-Ahruf al-Muhaddasah wa al-
Azaliyah wa al-Asma' al-Kulliyah; 2). al-Ushul wa al-Furu'; 3). Sirr
al-'Alam wa al-Mab'us; 4). al-Adl wa at-Tauhid; 5) Ilmu Baqa wa al-
Fana; 6) Mad an-Nabi wa Masal al-A'la; 7) Huwa-Huwa; 8). at-Tawasin.
Tawasin (kitab kematian) adalah risalah al-Hallaj yang didalamnya
banyak dijumpai kata-kata Ana al-Haqq. Karya ini ditulis dalam bentuk
prosa Arab dan dibagi menjadi 10 bagian yang ringkas. Pembahasan kitab
ini dimulai dengan doktrin kesucian, disandarkan pada pengalaman
personal dan dikemas dalam bentuk yang halus dan penuh semangat
dialektika.
3. Tasawuf Falsafi dan Tokoh-Tokohnya
a) As-Suhrawardi al-Maqtul (549-587 H)
Nama lengkapnya Aub al-Futuh Yahya bin Habsy bin Amrak, lahir
di Suhrawardi 549H dan meninggal di Alepo atau Halb tahun 587 H).
Karya utamanya Himah al-Isyraq yang berisi pendapat-pendapatnya
tentang paham tasawuf Isyarqi (iluminatif) yang pada umumnya
cenderung bercorak simbolik dan sukar dipahami karena diungkap secara
samar-samar.
b) Ibnu 'Arabi (560-638 H/1165-1240 M)
Nama lengkapnya Muhammad bin 'Ali bin Ahmad bin 'Abdullah
ath-Tha'i Al-Haitami. Lahir di Murcia, Andalusia Tenggala, Spanyol tahun
560 H, wafat 638 H. Karya utamanya al-Futuhat al-Makiyyah, Tarjuman
al-Asywaq, Fusus al-Hikam.
Al-Futuhat al-Makiyyah pada umumnya memperbincangkan
prinsip-prinsip metafisik serta berbagai permasalahan tasawuf disamping
berbagai pengalaman relegius yang dialami Ibnu ‘Arabi. Sedangkan Fusus
Al-Hikam berisikan mutiara hikmah 27 nabi.
17
c) Ibn Sab'in (614 - 669 H)
Nama lengkapnya "abdul Haqq ibn Ibrahim Muhammad ibn Nashr,
lahir (614 H / 1217/1218 M) di Murcia, wafat 669 H. Karya utamanya
Budd al-‘Arif, disunting oleh Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani.
Karya-karya tulis Ibn Sab’in pada umumnya bercorak simbolis dan begitu
samar maknanya. Dalam karya-karya tulisnya tersebut dia terkadang
memakai sibol-simbol, seperti halnya para ahli huruf serta nama, untuk
menguraikan alirannya.
d) Al-Jilli (767-805 H/1365-1403 M)
Nama lengkapnya 'Abdul Karim bin Ibrahim al-Jilli, lahir 1365 M
di Jilan, wafat 1417 M. Karya utamanya 1) Al-Insan al-Kamil fi
Ma’rifatah al-Awakhir wa al-Awa’il, mengupas dengan mendalam konsep
insan kamil (manusia sempurna) secara sistematis. 2) Al-Durrah
al-‘Ayniyah fi al-Syawahid al-Ghaybiyah, merupakan antologi puisi yang
mengandung 534 bait syair, 3) Al-Kahf wa al-Raqim fi Syarh Bi Ismi Allah
al-Rahman al-Rahim, merupakan kajian mendalam mengenai kalimat
Basmalah secara panjang lebar menurut tafsir sufi. Menjelaskan ayat
pertama surat al-Fatihah, huruf demi huruf, yang menurutnya merupakan
lambang-lambang/simbol-simbol yang mempunyai makna tersendiri. 4)
Lawami al-Barq, 5) Maratib al-Wujud, menjelaskan tentang tingkatan
wujud dan disebut juga dengan judul Kitab Arba’in Maratib, 6) Al-Namus
al-Aqdam. terdiri dari 40 juz, masing-masing juz seakan-akan terlepas dari
juz lainnya dan mempunyai judul tersendiri. Akan tetapi sangat
disayangkan sebagian besar dari buku ini tidak ditemukan lagi.
F. Perkembangan Mutakhir Studi Tasawuf
Apa yang ingin dicoba ungkapkan dari sufisme terdahulu adalah bahwa
sufisme telah tegas menempatkan penghayatan keagamaan yang paling benar pada
pendekatan esoteris, pendekatan batiniyah. Dampak dari pendekatan esoteris ini
adalah timbulnya kepincangan dalam aktualisasi nilai-nilai Islam, karena lebih
mengutamakan makna batiniyah saja atau ketentuan yang tersirat saja dan sangat
kurang memperhatikan aspek lahiriyah formalnya. Oleh karena itulah wajar
18
apabila kemudian dalam penampilannya, kaum sufi tidak tertarik untuk
memikirkan masalah sosial masyarakat, bahkan terkesan mengarah ke privatisasi
agama. Disisi lain terdapat pula kelompok muslim (bahkan mayoritas) yang lebih
mengutamakan aspek-aspek formal-lahiriyah ajaran agama melalui pendekatan-
eksoteris-rasional. Mereka lebih menitikberatkan perhatian pada segi-segi syariah
sehingga kelompok ini disebut kaum lahiri.
Dilihat dari sejarah pemikiran Islam pernah terjadi polemik panjang yang
menimbulkan ketegangan antara dua kubu yang berbeda orientasi penghayatan
keagamaan. Dari banyak usaha percobaan rekonsili antara dua kubu yang berbeda
itu, apa yang telah dilakukan al-Ghazali-seperti yang telah disebutkan terdahulu-
dipandang paling berhasil reformasi sufisme terdahulu dan merupakan tajdid
(pembaharuan) Sufisme Sunni. Landasan pikir yang dikembangkannya adalah apa
yang dikenal dengan istilah syariat, tarekat dan hakikat yang terpadu secara utuh.
Artinya, bahwa penghayatan keagamaan harus melalui proses gradual dan
kumulatif antara syariat dan sufisme secara benar dan mendalam, harus melalui
proses tarekat. Akan tetapi sepeninggal al-Ghazali, usaha ini terlihat mengendor
seirirama dengan munculnya gerakan spritualitas massal dalam bentuk tarekat
(ordo sufi) dan munculnya sufisme falsasi sufisme spekulatif melalui karya Ibnu
Arabi.
Sepanjang yang diketahui, terminologi Neo-Sufiems yang pertama kali
dimunculkan oleh pemikir muslim kontemporer, yaitu Fazlur Rahman dalam
bukunya Islam dengan tujuan penekanan yang lebih intens pada penguatan iman
sesuai dengan prinsin-prinsip akidah Islam dan penilaian terhadap kehidupan
duniawi sama pentingnya dengan kehidupan ukhrawi. Kemunculan istilah ini
tidak begitu saja diterima pemikir muslim, akan tetapi justru memancing polemik
dan diskusi yang luas. Sebelum Fazlur Rahman, sebetulnya di Indonesia Hamka
telah menampilkan istilah tasawuf modern dalam bukunya "Tasawuf Modern",
tetapi dalam buku ini tidak dituliskan kata Neo-Sufisme. Keseluruhan isi buku ini,
terlihat adanya kesejajaran prinsip-prinsipnya dengan tasawuf al-Ghazali kecuali
dalam hal uzlah, karena Hamka justru menghendaki agar seorang pencari
kebenaran hakiki tetap aktif dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.19
19 A. Rivai Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Edisi Revisi, Cet. 2, 2002), h. 311-312.
19
G. Penutup
Tasawuf sebagai salah satu bidang studi Islam, sangat penting untuk
kelangsungan hidup manusia seutuhnya, karena tasawuf mengarahkan manusia
kepada penyucian diri dari pengaruh dunia, menghiasi diri dengan akhlak yang
baik untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang pada gilirannya sampai kepada
pengetahuan ma'rifah.
Tasawuf bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah walaupun dalam
perkembangannya dipengaruhi oleh unsur asing. Tasawuf telah berkembang sejak
akhir abad ke dua Hijriah walaupun pada abad pertama hijriyah telah kelihatan
dalam bentuk kehidupan asketis (zuhud) yang dipraktekkan Rasulullah dan para
sahabatuan ma’rifah.
Ada beberapa pendekatan dalam kajian tasawuf, pendekatan tematik,
pendekatan eksploratif, pendekatan studi tokoh dan pendekatan kombinasi. Tokoh
dan karya utama dalam kajian tasawuf diantaranya adalah Imam Al-Ghazali
dengan karya momentalnya Ihya ‘Ulum al-Din, Ibnu Arabi dengan karyanya Al-
Futuhat al- Makkiyah dan Fushush al-Hikam dan lain-lain yang telah disebutkan
sebelumnya.
Perkembangan mutakhir tasawuf bermula dari pemikiran Fazlur Rahman
dengan konsep neo sufisme yang dirangkup dalam buku berjudul "Islam". Di
Indonesia, Hamka telah menampilkan istilah tasawuf modern dalam bukunya
“Tasawuf Modern”. Kalau Al-Ghazali mensyaratkan uzlah dalam penjelajahan
menuju kualitas hakikat, maka Hamka justru menghendaki agar seorang pencari
kebenaran hakiki tetap aktif di berbagai aspek kehidupan masyarakat.
20
DAFTAR PUSTAKA
Aceh, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Tarekat, Solo: Ramadhani, Cet. XIII, 1996.
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, (Bandung: Syamil Cipta Media, 2004.
Khaldun, Ibnu, Mukaddimah, Pustaka al-Kautsar, Cet, II, 2012.
Muzakkir, Studi Tasawuf, Sejarah, Perkembangan, Tokoh dan Analisisnya, Bandung: Citapustaka Media Perintis, Cet. I, 2009.
––––––––, Wawasan Tasawuf, dari Masa Klasik ke Masa Modern, Bandung: Cita Pustaka Media, Cet. I, 2007.
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisime dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. III, 1983.
––––––––––––––, Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1986.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta : Rajawali Press, Cet. 17, 2010.
Siregar, A. Rivai, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Edisi Revisi, Cet. 2, 2002.
Solihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, Cet. I, 2008.
Supiana, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, Edisi Revisi, 2012.
Zhahir, Ihsan Ilahi, at-Tasawwuf al-Mansya wa al-Mashadir, Lahore: Cet, I, 1986.