93
i STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : Farida Dwi Irianingrum NIM : E. 1104134 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008

STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

  • Upload
    dinhque

  • View
    221

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

i

STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN

DAN AKIBAT HUKUMNYA

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

Farida Dwi Irianingrum NIM : E. 1104134

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2008

Page 2: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)

STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN

AKIBAT HUKUMNYA

Disusun oleh :

FARIDA DWI IRIANINGRUM

NIM : E 1104134

Disetujui untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing

PRANOTO, S.H., M.H. NIP. 131 842 685

Page 3: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum (Skripsi)

STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

Disusun oleh : FARIDA DWI IRIANINGRUM

NIM : E. 1104134

Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

pada :

Hari : ……………………………… Tanggal : ………………………………

TIM PENGUJI

1. Moch. Najib I, S.H., M.H. : ................................................................ Ketua

2. Hernawan Hadi, S.H., M.Hum. : ................................................................ Sekretaris

3. Pranoto, S.H.,M.H. : ................................................................ Anggota

MENGETAHUI Dekan,

MOH. JAMIN, S.H., M.Hum. NIP. 131 570 154

Page 4: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

iv

ABSTRAK

Farida Dwi Irianingrum, 2008. Studi Tentang Perjanjian Perkawinan Dan Akibat Hukumnya. Fakultas Hukum UNS.

Di dalam suatu perkawinan, masalah harta perkawinan dan kepentingan yang akan timbul sering kurang mendapat perhatian oleh sepasang suami isteri. Sebab mereka dalam melaksanakan perkawinan adalah untuk selama-lamanya. Tetapi bila ternyata perkawinan tidak berjalan sesuai dengan keinginan dan kemudian bercerai, mereka baru mempersoalkan masing-masing haknya, terutama mengenai pembagian harta perkawinan. Permasalahan ini akan berbeda apabila suami isteri pada saat sebelum melangsungkan perkawinan membuat perjanjian perkawinan terlebih dahulu. Sehingga segala kepentingan dan aset dari suami isteri dapat terlindungi. Isi perjanjian perkawinan bebas dilakukan asalkan tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif terhadap asas-asas hukum. Jenis dan sumber data yang digunakan adalah data sekunder, dimana data sekunder dilihat dari sudut kekuatan mengikatnya digolongkan ke dalam bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, maka untuk memperoleh data adalah dengan studi pustaka. Tekhnik analisis data yang digunakan adalah metode penafsiran.

Pengaturan perjanjian perkawinan, dapat dilihat antara lain di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab V pasal 29 ayat 1 sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Bab VII pasal 139 sampai dengan pasal 154, Kompilasi Hukum Islam Bab VII pasal 45 sampai dengan pasal 52. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di dalamnya telah disebutkan bahwa perjanjian perkawinan juga diatur di dalam Undang-undang ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan diperkenankan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun pengaturannya tidak lengkap seperti di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasar ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sehingga isi dari perjanjian perkawinan dapat menjadi Undang-undang bagi pihak yang membuatnya. Pihak yang dimaksud di sini adalah suami isteri. Apabila kedua belah pihak tidak mengatur mengenai ketentuannya, maka yang dipakai adalah ketentuan dalam KUHPerdata. Perjanjian perkawinan ini dipakai oleh Hakim sebagai pegangan dalam memutus perkara mengenai harta dalam perkawinan, sesuai dengan tujuan awal dibuatnya perjanjian perkawinan, yaitu melindungi aset dan kepentingan, maka diharapkan semua kepentingan tersebut dapat terlindungi dengan perjanjian perkawinan ini. Kata kunci : perkawinan, suami isteri, perjanjian perkawinan, melindungi aset dan kepentingan.

Page 5: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

v

MOTTO

Dan rendahkanlah dirimu dengan penuh kasih sayang terhadap kedua orang

tuamu. Dan doakanlah (untuk mereka) : ” Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka

berdua sebagaimana mereka telah memelihara aku dengan sayangnya pada waktu

aku masih kecil”.

(QS. Al Isra’ : 24)

Dan jika mereka membantah kamu, maka katakanlah : ” Allah lebih mengetahui

apa yang kamu lakukan”.

(QS. Al-Hajj : 68)

Dan janganlah engkau membuat Tuhan selain Allah, agar engkau tak duduk

tercela dan terhina (ditinggalkan dari pertolongan Allah).

(QS. Al-Isra’ : 22)

Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu, jika kamu benar-benar

orang yang shaleh. Maka sesungguhnya Dia Tuhan Yang Mahapengampun

terhadap orang-orang yang bertobat.

(QS. Al-Isra’ : 25)

Yang pertama belum tentu yang terbaik,

Tetapi yang terbaik biasanya yang terakhir.

(John Mayer)

Teman mengerti ketika kamu berkata, ”Aku lupa!”.

Menunggu dengan setia ketika kamu berkata, ”Tunggu sebentar!”.

Tetap tinggal meski kamu berkata, ”Tinggalkan aku sendiri!”.

(NN)

Page 6: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah

melimpahkan rahmat serta karunia dan Hidayah-Nya kepada Penulis, sehingga

Penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini dengan judul ”Studi

tentang Perjanjian Perkawinan dan Akibat Hukumnya”.

Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk melengkapi salah satu

persyaratan untuk menempuh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa, tanpa adanya bantuan dari berbagai

pihak tidaklah mungkin skripsi ini dapat tersusun. Sehingga pada kesempatan ini

pula perkenankanlah Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang

telah memberi ijin dan kesempatan kepada Penulis untuk menyelesaikan

skripsi ini.

2. Bapak Pranoto, S.H M.H. selaku Pembimbing penulisan skripsi yang telah

menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan

bagi tersusunnya skripsi ini.

3. Bapak Muhammad Adnan, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik Penulis

yang telah membimbing Penulis selama studi di Fakultas Hukum UNS.

4. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh karyawan Fakultas Hukum UNS yang

telah memberikan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu hukum khususnya

kepada Penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini dan

semoga dapat Penulis amalkan dalam kehidupan masa depan Penulis.

5. Ayah dan Ibu tersayang yang telah memberikan segalanya kepada Penulis,

mendukung dan mendoakan.

6. Kakak ku Si B dan adik ku Mega yang telah membantuku.

7. Saudara-saudara ku yang telah membantu doa dan dukungan.

Page 7: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

vii

8. Sahabatku Mbak Mitha, Mbak Kingkin, Mbak Ristha, Mbak Ari, yang selalu

mendukungku....”Bahagianyaaa punya kalian...!!!”.

9. Pak Jendral, terimakasih untuk doa, dukungan dan semangatnya. Terimakasih

untuk segalanya...”Matur suwun, buat semua cerita, tawa dan tangis. Semoga

kata indah selalu ada buat kita!!”.

10. Icha ”Margendul”...”Terimakasih, karena selalu menemani aku keliling

kampus dan cari data”.

11. Semua penduduk Gopala Valentara FH UNS, teman-teman Diksar

XXI...”Terimakasih untuk semua bantuan dan kisahnya..Hallo

geng??GOVA!!!!!”.

12. Teman-teman di Fakultas Hukum, mbak-mbak, abang-abang, Pakdhe Gustav,

teman-teman di kost Kunti, teman-teman satu kelas yang selama aku kuliah

selalu membantuku...”Terimakasih! VIVA JUSTICIA...kami bangga ada di

sini”.

13. Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu, yang telah

memberikan bantuan pikiran maupun tenaga, sehingga skripsi ini dapat selesai

dengan baik.

Penulis menyadari sepenuhnya skripsi ini masih banyak kekurangannya,

oleh sebab itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat Penulis harapkan.

Demikianlah mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan

manfaat bagi kita semua.

Surakarta, Maret 2008

Penulis

Page 8: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ..................................................... iii

ABSTRAK ...................................................................................................... iv

MOTTO .......................................................................................................... v

KATA PENGANTAR.................................................................................... vi

DAFTAR ISI................................................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR...................................................................................... x

DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. xi

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.............................................................. 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................... 4

C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 4

D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 5

E. Metode Penelitian ....................................................................... 6

F. Sistematika Penulisan Hukum .................................................... 11

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1........................................................................................ Tinja

uan Umum Tentang Perkawinan........................................... 13

a. ................................................................................. Penge

rtian Perkawinan ............................................................. 13

b. ................................................................................. Syara

t-syarat Perkawinan Yang Sah ........................................ 14

Page 9: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

ix

c. ................................................................................. Tujua

n Perkawinan................................................................... 16

d. ................................................................................. Laran

gan Perkawinan ............................................................... 20

2........................................................................................ Penge

rtian Perjanjian Perkawinan .................................................. 21

B. Kerangka Pemikiran.................................................................... 23

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Sejarah Terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Perdata... 25

1. Terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Perdata

dalam Kerangka Hukum Nasional ........................................ 25

2. Kedudukan Hukum Kitab Undang-undang Hukum

Perdata (BW) dalam Kerangka Hukum Nasional.................. 27

B. Sejarah Pembentukan Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan ............................................................ 30

C. Perjanjian Perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan................................................. 39

1........................................................................................ Perja

njian Perkawinan dalam Pasal 29 Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ........................... 39

2........................................................................................ Perja

njian Perkawinan dalam Burgerlijk Wetboek (BW) ............. 46

D. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan dan Ketentuan

Hukum yang Dipakai Bila Terjadi Perceraian ............................ 62

1........................................................................................ Berak

hirnya Perkawinan................................................................. 62

2........................................................................................ Tinja

uan Umum Tentang Perceraian............................................. 63

3........................................................................................ Akiba

t Hukum Perjanjian Perkawinan dan Ketentuan

Page 10: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

x

Hukum yang Digunakan bila Terjadi Perceraian .................. 66

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................. 79

B. Saran............................................................................................ 80

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 11: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Kerangka Pemikiran.

Page 12: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Permohonan ijin pra penelitian.

Lampiran 2 : Akta perjanjian perkawinan.

Page 13: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xiii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah :

Perkawinan adalah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan baik lahir bathin sebagai suami isteri yang bertujuan membentuk

keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.

Persoalan perkawinan adalah persoalan manusia yang banyak seginya,

mencakup seluruh segi kehidupan manusia yang mudah menimbulkan emosi

dan perselisihan. Oleh karena itu sangat penting adanya kepastian hukum

bahwa telah terjadi suatu aqad (perjanjian) perkawinan. Dalam hal

perkawinan diperlukan suatu kepastian hukum agar mudah diadakan alat-alat

buktinya.

Mewujudkan keluarga yang harmonis, sejahtera, bahagia dan kekal

untuk selama-lamanya dalam suatu pertalian lahir dan bathin antara dua

pribadi, maka pada dasarnya setiap perkawinan diperlukan harta yang menjadi

dasar materiil bagi kehidupan keluarga. Di dalam suatu perkawinan, masalah

harta perkawinan sering kurang mendapat perhatian oleh sepasang suami

isteri. Sebab mereka dalam melaksanakan perkawinan adalah untuk selama-

lamanya. Mereka berfikir bahwa perkawinannya akan langgeng dan tidak akan

ada masalah serta kehidupan dan hubungan antara suami isteri selalu berjalan

dengan mesra. Sehingga mereka tidak mempersoalkan hak yang satu terhadap

hak yang lain. Pembatasan mengenai apa yang menjadi milik suami, apa yang

menjadi milik isteri dan apa yang menjadi milik mereka bersama belum

menarik perhatian mereka. Tetapi bila ternyata perkawinan tidak berjalan

sesuai dengan keinginan dan kemudian bercerai, mereka baru mempersoalkan

masing-masing haknya, terutama mengenai pembagian harta perkawinan.

Permasalahan ini akan berbeda apabila suami isteri pada saat sebelum

melangsungkan perkawinan membuat perjanjian perkawinan terlebih dahulu.

Page 14: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xiv

Sehingga akan lebih jelas mengenai pembagian-pembagiannya, mengurangi

permasalahan yang biasanya timbul pada saat perceraian.

Seperti contoh, artis perempuan yang lebih sukses daripada suaminya

atau angka partisipasi kerja perempuan yang juga semakin meningkat,

perbaikan taraf hidup, tingkat pendidikan yang juga lebih baik, dan lain

sebagainya, sehingga fenomena ini dapat mendorong dalam pembuatan

perjanjian perkawinan.

Di negara Indonesia perjanjian perkawinan ini belum termasuk umum di

kalangan masyarakat, karena perjanjian perkawinan menjadi suatu hal yang

tidak lazim dan dianggap tidak biasa, kasar, materialistik, egois, tidak etis,

tidak sesuai dengan adat timur dan lain sebagainya. Tak heran jika masyarakat

sempat heboh ketika artis Desy Ratnasari membuat perjanjian perkawinan

sebelum ia melangsungkan perkawinan. Seandainya artis Made Hughes

membuat perjanjian perkawinan sebelum ia melangsungkan perkawinan, maka

hartanya tidak bisa diputuskan untuk dibagi dua dan tidak akan terjadi ribut-

ribut mengenai pembagian harta perkawinan.

Mengenai harta perkawinan, banyak Undang-Undang yang

mengaturnya. Antara lain peraturan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan, peraturan menurut Hukum Burgerlijk Wetboek

(B.W.) dan peraturan menurut Hukum Islam.

Hukum Islam menganggap kekayaan suami dan kekayaan isteri masing-

masing terpisah satu dengan yang lain. Barang-barang milik masing-masing

pada waktu perkawinan dimulai, tetap menjadi milik masing-masing. Karena

pada dasarnya tidak ada percampuran harta

Hukum Burgerlijk Wetboek (B.W.) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan sebaliknya menganggap bahwa apabila suami dan

isteri pada waktu akan melakukan perkawinan tidak mengadakan perjanjian

apa-apa diantara mereka, maka akibat dari perkawinan itu adalah percampuran

kekayaan suami dan isteri menjadi satu kekayaan.

Page 15: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xv

Perjanjian perkawinan dalam sistem Burgerlijk Wetboek (B.W.) tidak

berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa, tetapi berlaku bagi

golongan Tionghoa. Dimana semua kekayaan dari masing-masing suami dan

isteri, baik yang dibawa pada permulaan perkawinan maupun yang mereka

peroleh selama perkawinan berlangsung, dicampur menjadi satu kekayaan

selaku milik bersama dari suami dan isteri.

Calon suami dan calon isteri diberi kesempatan untuk saling berjanji

sebelumnya, bahwa tidak akan ada campur kekayaan secara bulat, melainkan

akan ada campur kekayaan secara terbatas atau akan tidak ada sama sekali

suatu campur kekayaan.

Perjanjian perkawinan dapat melindungi hak dari anak-anak dari

perkawinan pertama bilamana suami atau isteri yang sudah bercerai, baik cerai

mati atau cerai hidup akan menikah lagi, misalnya duda yang mempunyai

anak dari perkawinan sebelumnya akan menikah untuk kedua kalinya dengan

seorang perempuan yang tidak kaya dan kebetulan duda tersebut adalah

seorang yang kaya raya, dan dia juga tidak membuat perjanjian kawin

mengenai pemisahan harta, maka anak-anak dari perkawinan pertama akan

dirugikan. Apabila kelak perkawinan tersebut tidak berhasil, maka isteri

memperoleh separo dari milik bersama suami isteri yang sebenarnya hanya

terdiri atas harta kekayaan si suami, yaitu bapak dari anak-anak tersebut,

kecuali apabila berlaku sebaliknya, yang akan dinikahi adalah yang

mempunyai harta kekayaan yang paling banyak. Anak-anak dari perkawinan

pertama tersebut tidak dirugikan.

Isi perjanjian kawin bebas dilakukan asalkan tidak bertentangan dengan

kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian perkawinan tidak boleh dibuat

karena sebab (causa) palsu dan terlarang. Tidak dibuat janji-janji yang

menyimpang dari hak-hak yang timbul dari kekuasaan suami sebagai kepala

perkawinan, hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua (ouder-lijke

macht), hak-hak yang ditentukan Undang-undang bagi mempelai yang hidup

terlama (langstlevende echtgenoot) dan tidak dibuat perjanjian yang

Page 16: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xvi

mengandung pelepasan hak atas harta peninggalan orang-orang yang

menurunkannya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, Penulis ingin memberikan sumbangan

pemikiran kepada masyarakat mengenai perjanjian perkawinan. Sehingga

Penulis mengadakan penelitian dengan judul :

”STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN AKIBAT

HUKUMNYA”

B. Rumusan Masalah :

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, serta untuk

mencapai sasaran penelitian secara tepat, maka Penulis merumuskan beberapa

pokok perumusan masalah sebagai berikut :

1. Apakah perjanjian perkawinan diperkenankan oleh Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?

2. Apa akibat hukum perjanjian perkawinan dan ketentuan hukum manakah

yang mengatur bila terjadi perceraian?

C. Tujuan Penelitian :

Suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas yang

hendak dicapai. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam

melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin

dicapai oleh Penulis dalam penelitian ini adalah :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui apakah perjanjian perkawinan diperkenankan oleh

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

b. Untuk mengetahui apa akibat hukum perjanjian perkawinan dan

ketentuan hukum manakah yang mengatur apabila terjadi perceraian.

2. Tujuan Subyektif

Page 17: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xvii

a. Untuk memperoleh data dan informasi sebagai bahan utama dalam

menyusun karya ilmiah untuk memenuhi persyaratan yang diwajibkan

dalam meraih gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum di Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan

pengalaman Penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan

praktek lapangan hukum yang sangat berarti bagi Penulis.

c. Untuk memberi gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu

hukum.

D. Manfaat Penelitian :

Penelitian akan menjadi bernilai apabila ia dapat memberikan manfaat.

Adapun kegunaan atau manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari

penelitian ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk mengembangkan pengetahuan yang diperoleh selama di bangku

perkuliahan dan membandingkan dengan kenyataan yang ada di

lapangan.

b. Hasil penelitian dapat digunakan untuk menambah wacana atau

referensi di bidang karya ilmiah yang dapat mengembangkan ilmu

hukum.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai praktek dari teori penelitian dalam bidang hukum dan juga

sebagai praktek dalam pembuatan karya ilmiah dengan suatu metode

penelitian ilmiah.

b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang ingin

membuat perjanjian perkawinan sebelum mereka melangsungkan

perkawinan.

Page 18: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xviii

c. Sebagai salah satu prasyarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan

dalam studi Ilmu Hukum di Fakultas Hukum UNS.

E. Metode Penelitian :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian hukum normatif terhadap asas-asas hukum yang berlaku.

Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan adalah

penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau

data sekunder.

2. Jenis Data Penelitian

Jenis data yang digunakan Penulis dalam penelitian ini adalah jenis

data sekunder yaitu dengan mengambil studi kepustakaan, dokumen, hasil

penelitian terdahulu, peraturan perundangan yang berlaku dan terkait

dengan masalah yang diteliti.

3. Sumber Data Penelitian

Penelitian hukum ini, menggunakan data sekunder yang dari sudut

kekuatan mengikatnya digolongkan kedalam (menurut Gregory Churchill :

1978 dalam bukunya Soerjono Soekanto, 2006 : 51) :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan

terdiri dari (untuk Indonesia) :

1) Norma atau kaedah dasar, yakni Pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945.

2) Peraturan Dasar.

a) Batang Tubuh Undang-undang Dasar 1945.

b) Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

3) Peraturan perundang-undangan :

a) Undang-undang dan peraturan yang setaraf.

Page 19: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xix

b) Peraturan Pemerintah dan peraturan yang setaraf.

c) Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf.

d) Keputusan Menteri dan peraturan yang setaraf.

e) Peraturan-peraturan Daerah.

4) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti misalnya, Hukum

Adat.

5) Yurisprudensi.

6) Traktat.

7) Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih

berlaku, seperti misalnya, Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(yang merupakan terjemahan yang secara yuridis formil bersifat

tidak resmi dari Wetboek van Strafrecht).

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer, seperti misalnya, rancangan undang-undang, hasil-hasil

penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.

c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder ; contohnya

adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.

Penyusun dalam melakukan penelitian ini akan menggunakan :

a. Bahan hukum primer berupa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Surat

Edaran Mahkamah Agung mengenai Petunjuk-petunjuk Pelaksanaan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975, Kompilasi Hukum Islam.

b. Bahan hukum sekunder berupa hasil-hasil penelitian dan hasil-hasil

karya dari kalangan hukum.

c. Bahan hukum tertier berupa kamus hukum.

Page 20: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xx

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam suatu penelitian merupakan hal yang sangat

penting dalam penulisan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan

teknik pengumpulan data sekunder. Untuk memperoleh data sekunder

adalah dengan penelitian atau kepustakaan atau library research guna

memperoleh bahan-bahan hukum atau bahan penulisan lainnya yang dapat

dijadikan landasan teori, yang antara lain meliputi : peraturan perundang-

undangan, kebijaksanaan dan publikasi yang dibuat oleh pemerintah,

buku-buku literatur, dan bahan lainnya yang tentunya berhubungan dengan

masalah yang sedang diteliti dan dapat menunjang dalam penulisan skripsi

ini.

5. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data

dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan

tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh

data (Lexy J. Moleong, 2000 : 103).

Penyusun dalam melakukan penelitian menggunakan metode

penafsiran. Metode penafsiran ini digunakan dalam hal peraturan

perundang-undangannya belum jelas.

Terdapat beberapa macam metode penafsiran antara lain :

a. Penafsiran Gramatikal

Antara bahasa dengan hukum terdapat hubungan yang erat sekali.

Bahasa merupakan alat satu-satunya yang dipakai pembuat Undang-

undang untuk menyatakan kehendaknya. Karena itu, pembuat Undang-

undang yang ingin menyatakan kehendaknya secara jelas harus

memilih kata-kata yang tepat. Kata-kata itu harus singkat, jelas dan

tidak bisa ditafsirkan secara berlainan. Adakalanya pembuat Undang-

undang tidak mampu memakai kata-kata yang tepat. Dalam hal ini

hakim wajib mencari arti kata yang dimaksud yang lazim dipakai

Page 21: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xxi

dalam percakapan sehari-hari, dan hakim dapat menggunakan kamus

bahasa atau meminta penjelasan dari ahli bahasa (Yudha Bhakti

Ardhiwisastra, 2000 : 9).

b. Penafsiran Sistematis atau Logis

Peraturan hukum atau undang-undang merupakan bagian dari

keseluruhan sistem hukum. Arti pentingnya suatu peraturan hukum

terletak di dalam sistem hukum. Di luar sistem hukum, lepas dari

hubungannya dengan peraturan-peraturan hukum yang lain, suatu

peraturan hukum tidak mempunyai arti.

Menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan

menghubungkannya dengan peraturan hukum atau undang-undang lain

atau dengan keseluruhan sistem hukum disebut penafsiran sistematik.

Menafsirkan undang-undang tidak boleh menyimpang atau keluar dari

sistem perundang-undangan atau sistem hukum.

c. Interpretasi Historis

Interpretasi historis adalah penafsiran makna Undang-undang

menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah terjadinya.

Interpretasi historis meliputi penafsiran menurut sejarah hukumnya dan

penafsiran menurut sejarah terjadinya Undang-undang.

d. Interpretasi Teleologis atau Sosiologis

Penafsiran jenis ini dilakukan dengan lebih memperhatikan

tujuan dari pembentuk undang-undang daripada bunyi kata-kata saja.

Interpretasi teleologis atau sosiologis terjadi bila makna undang-

undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan

perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial

yang baru.

e. Interpretasi Komparatif

Page 22: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xxii

Interpretasi komparatif adalah suatu bentuk penafsiran dengan

memperbandingkan, karena dengan memperbandingkan hendak dicari

kejelasan mengenai suatu ketentuan Undang-undang.

f. Interpretasi Antisipatif atau Futuristis

Penafsiran ini mempunyai peranan untuk mencari pemecahan

dalam peraturan-peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku,

yaitu dalam rancangan Undang-undang.

g. Interpretasi Restriktif

Metode ini mempersempit arti suatu peraturan dengan bertitik

tolak pada artinya menurut bahasa. Di sini untuk menjelaskan suatu

ketentuan undang-undang ruang lingkup Undang-undang itu dibatasi.

h. Interpretasi Ekstensif

Merupakan metode penafsiran dengan memberikan penafsiran

yang melampaui batas yang diberikan oleh penafsiran gramatikal.

i. Argumentum Per Analogiam (Analogi)

Memakai penafsiran analogi, peristiwa yang serupa, sejenis atau

mirip dengan yang diatur dalam Undang-undang diperlakukan yang

sama. Peraturan umum yang tidak tertulis dalam Undang-undang itu

diterapkan terhadap peristiwa tertentu yang tidak diatur dalam

Undang-undang tersebut, tetapi mirip atau serupa dengan peristiwa

yang diatur dalam Undang-undang.

j. Argumentum a Contrario (a contrario)

Ada kalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh

Undang-undang, tetapi kebalikan dari peristiwa tersebut diatur oleh

Undang-undang. Pada a contrario titik berat diletakkan pada

ketidaksamaan peristiwanya.

k. Penyempitan hukum (Rechtsverfijning)

Page 23: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xxiii

Kadang-kadang peraturan perundang-undangan itu ruang

lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk

dapat diterapkan terhadap peristiwa tertentu. Dalam penyempitan

hukum dibentuklah pengecualian-pengecualian atau penyimpangan-

penyimpangan baru dari peraturan-peraturan yang bersifat umum.

Peraturan yang bersifat umum diterapkan terhadap peristiwa atau

hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau kontruksi

dengan memberi ciri-ciri.

l. Metode Eksposisi

Metode eksposisi tidak lain adalah metode konstruksi hukum.

Metode eksposisi atau konstruksi hukum adalah metode untuk

menjelaskan kata-kata atau membentuk pengerian, bukan untuk

menjelaskan barang

Penulis di dalam skripsi ini, hanya menggunakan beberapa metode

saja dalam penafsirannya. Namun di dalam penemuan hukum, metode-

metode di atas dapat digunakan baik sendiri-sendiri atau digunakan

bersama-sama. Sehingga penemuan hukum tidak terlepas dari metode

penafsiran di atas.

F. Sistematika Penulisan Hukum :

Agar skripsi ini dapat tersusun secara teratur dan berurutan sesuai apa

yang hendak dituju dan dimaksud dengan judul skripsi, maka dalam sub bab

ini Penulis akan membuat sistematika sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini Penulis akan mengemukakan tentang latar

belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan

hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Page 24: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xxiv

Dalam bab yang kedua ini memuat dua sub bab, yaitu kerangka

teori dan kerangka pemikiran. Dalam kerangka teori Penulis akan

menguraikan tinjauan umum tentang perkawinan, dan pengertian

mengenai perjanjian perkawinan. Sedangkan dalam kerangka

pemikiran Penulis akan menampilkan bagan kerangka pemikiran

beserta keterangan dari bagan tersebut.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini memuat sejarah pembentukan Kitab Undang-undang

Hukum Perdata, sejarah pembentukan Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan dan memuat hasil penelitian,

yaitu apakah perjanjian perkawinan diperkenankan oleh Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan apa akibat

hukum perjanjian perkawinan dan ketentuan hukum manakah

yang mengatur apabila terjadi perceraian.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 25: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xxv

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori.

1. Tinjauan Umum tentang Perkawinan.

a. Pengertian Perkawinan.

Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan

lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami

isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sementara itu berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pasal 2 Buku

I tentang Hukum Perkawinan, yang dimaksud perkawinan menurut

Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau

miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah.

Sedangkan pengertian perkawinan menurut Wirjono

Prodjodikoro adalah suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan

seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk

dalam peraturan tersebut (Wirjono Prodjodikoro, 1981 : 7).

Menurut Scholten, perkawinan adalah suatu hubungan hukum

antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama

dengan kekal, yang diakui oleh negara (R. Soetojo Prawirohamidjojo,

Asis Safioedin, 1982 : 31).

Perkawinan menurut Ahmad Azhar di dalam istilah agama

disebut ”nikah” ialah melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk

mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk

menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan

Page 26: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xxvi

dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan

suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang

dan ketenteraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah

(Soemiyati, 1986 : 8).

b. Syarat-Syarat Perkawinan Yang Sah.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

terdapat dua syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan, yaitu

syarat intern dan syarat ekstern.

Syarat intern, yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan

melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat intern itu meliputi (Salim

H.S, 2002 : 62) :

1) Persetujuan kedua belah pihak.

2) Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun.

3) Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun. Pengecualiannya yaitu

ada dispensasi dari Pengadilan atau Camat atau Bupati.

4) Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin.

5) Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu

(iddah). Bagi wanita yang putus perkawinannya karena perceraian,

masa iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari.

Syarat ekstern, yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-

formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat ekstern itu

meliputi (Salim H.S, 2002 : 62) :

1) Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan

Rujuk.

2) Pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat, yang

memuat :

Page 27: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xxvii

a) Nama, umur, agama atau kepercayaan, pekerjaan, tempat

kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon.

Disamping itu, disebutkan juga nama istri atau suami yang

terdahulu.

b) Hari, tanggal, jam, dan tempat perkawinan dilangsungkan.

Syarat untuk melangsungkan perkawinan dalam KUHPerdata

dibagi dua macam, yaitu syarat materiil dan syarat formal.

Syarat materiil, yaitu syarat yang menyangkut pribadi para pihak

yang hendak melangsungkan perkawinan dan izin-izin yang harus

diberikan oleh pihak ketiga dalam hal-hal yang ditentukan oleh

Undang-undang. Syarat-syarat ini diatur di dalam Pasal 27 sampai

dengan pasal 49 B.W. serta terbagi lagi dalam syarat-syarat :

1) Syarat materiil mutlak

Syarat tersebut harus dipenuhi oleh setiap orang yang akan

melangsungkan perkawinan tanpa memandang dengan siapa ia

akan melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat ini berlaku umum,

jika salah satu dari syarat ini tidak dipenuhi, maka perkawinan

tidak dapat dilangsungkan. Dalam hal yang demikian dapat

dikatakan, bahwa ada rintangan perkawinan yang mutlak. Syarat-

syarat tersebut ada lima macam, yaitu (R. Soetojo

Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 19) :

a) Kedua belah pihak masing-masing harus tidak terikat dengan

suatu perkawinan lain (Pasal 27 B.W.).

b) Kesepakatan yang bebas dari kedua belah pihak (Pasal 28

B.W.).

c) Masing-masing pihak harus mencapai umur minimum yang

ditentukan oleh undang-undang. Bagi laki-laki minimal

berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun.

Page 28: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xxviii

d) Seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat

dari 300 hari terhitung sejak bubarnya perkawinan yang

terakhir.

e) Harus ada izin dari pihak ketiga, baik dari orang tuanya atau

walinya bagi anak-anak yang belum dewasa dan belum pernah

kawin.

2) Syarat materiil relatif

Syarat materiil relatif, adalah ketentuan yang merupakan

larangan bagi seseorang untuk kawin dengan orang tertentu.

Larangan itu ada tiga macam, yaitu :

a) Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam

kekeluargaan sedarah dan karena perkawinan,

b) Larangan kawin karena zina,

c) Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah

adanya perceraian, jika belum lewat waktu satu tahun.

Syarat formal, yaitu syarat yang berhubungan dengan tata cara

atau formalitas-formalitas yang harus dipenuhi sebelum proses

perkawinan. Syarat-syarat ini hanya berlaku bagi golongan Eropa, dan

tidak berlaku bagi golongan Timur Asing Tionghoa. Syarat ini dibagi

dalam dua tahapan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum

perkawinan dilangsungkan adalah :

1) Pemberitahuan tentang maksud kawin dan pengumuman maksud

kawin (Pasal 50 sampai dengan pasal 51 KUHPerdata).

2) Syarat-syarat yang harus dipenuhi bersamaan dengan

dilangsungkannya perkawinan (Salim H.S, 2002 : 63-64).

c. Tujuan Perkawinan.

Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan

hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan

Page 29: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xxix

dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar

cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam

masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur

oleh syari’ah (Soemiyati, 1986 : 12).

Rumusan tujuan perkawinan di atas dapat diperinci sebagai

berikut :

1) Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat

tabiat kemanusiaan.

2) Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih.

3) Memperoleh keturunan yang sah.

Dari rumusan di atas, filosof Islam Imam Ghazali (dalam buku

karangan Soemiyati, 1986 : 12) membagi tujuan dan faedah

perkawinan kepada lima hal, seperti berikut :

1) Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan

keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia.

Memperoleh keturunan yang sah adalah merupakan tujuan

yang pokok dari perkawinan itu sendiri. Memperoleh anak dalam

perkawinan bagi penghidupan manusia mengandung dua segi

kepentingan, yaitu : kepentingan untuk diri pribadi dan

kepentingan yang bersifat umum (universil).

Kepentingan yang bersifat pribadi yaitu setiap orang yang

melaksanakan perkawinan tentu mempunyai keinginan untuk

memperoleh keturunan atau anak. Bisa dirasakan bagaimana

perasaan suami isteri yang hidup berumah-tangga tanpa

mempunyai anak, tentu kehidupannya akan terasa sepi dan hampa.

Biarpun keadaan rumah-tangga mereka serba berkecukupan, harta

cukup, kedudukan tinggi dan lain-lain serba cukup, tetapi kalau

tidak mempunyai keturunan, kebahagiaan rumah-tangga belum

sempurna. Biasanya suami isteri demikian itu akan selalu berusaha

Page 30: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xxx

dengan segala kemampuan yang ada untuk berobat kepada dokter-

dokter dan minta tolong kepada orang-orang yang dianggap

mampu untuk menolong mereka dalam usahanya memperoleh

keturunan. Disamping itu menurut tuntutan agama Islam, yang

disebutkan dalam salah satu Hadist : ”bahwa apabila orang yang

meninggal dunia hanya tiga perkara saja yang masih bisa memberi

pertolongan kepadanya, yaitu : pertama sedekah yang telah

dikeluarkannya, kedua ilmunya yang masih memberikan manfaat

bagi orang banyak dan ketiga anak yang saleh (baik) yang

memohonkan doa untuknya”. Selain itu, anak-anak itulah nanti

yang diharapkan dapat membantu orangtua pada hari tuanya kelak.

Kita dapat menarik kesimpulan dari uraian di atas bahwa

anak itu merupakan penolong baik dalam kehidupannya di dunia

maupun di akhirat kelak bagi diri orang tuanya yang bersangkutan.

Aspek yang umum atau universil yang berhubungan dengan

keturunan atau anak ialah karena anak-anak itulah yang menjadi

penyambung keturunan seseorang dan yang akan selalu

berkembang untuk meramaikan dan memakmurkan dunia ini.

Hanya dengan perkawinanlah penyambung keturunan dengan cara

yang sah dan teratur dapat terlaksana.

2) Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan.

Tuhan menciptakan manusia dalam jenis kelamin yang

berbeda-beda, yaitu jenis laki-laki dan jenis perempuan. Sudah

menjadi kodrat bahwa antara kedua jenis itu saling mengandung

daya tarik. Dilihat dari sudut biologis daya tarik itu ialah

kebirahian atau seksuil. Sifat kebirahian yang biasanya didapati

pada diri manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah

merupakan tabiat kemanusiaan (menschelijke natuur), dengan

perkawinan pemenuhan tuntutan tabiat kemanusiaan dapat

disalurkan secara sah (Soemiyati, 1986 : 15).

Page 31: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xxxi

3) Memelihara manusia dari kejahatan dan kerusakan.

Salah satu faktor yang menyebabkan manusia mudah

terjerumus kedalam kejahatan dan kerusakan ialah pengaruh hawa

nafsu dan seksuil. Dengan tidak adanya saluran yang sah untuk

memenuhi kebutuhan seksuilnya, biasanya manusia baik laki-laki

maupun wanita akan mencari jalan yang tidak halal (Soemiyati,

1986 : 15).

4) Membentuk dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis

pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan

kasih sayang.

Ikatan perkawinan kalau kita bandingkan dengan ikatan-

ikatan yang lain yang biasanya dilaksanakan dalam hidup

bermasyarakat, merupakan ikatan yang paling teguh dan paling

kuat. Mengapa hal itu bisa terjadi, sedangkan kita semua

mengetahui bahwa pada umumnya antara laki-laki dan wanita

sebelum melaksanakan perkawinan pada umumnya tidak ada

ikatan apapun. Satu-satunya alat untuk memperkokoh ikatan

perkawinan itu adalah rasa cinta dan kasih sayang antara laki-laki

dan wanita secara timbal balik. Di atas dasar cinta dan kasih

sayang inilah kedua belah pihak yang melakukan ikatan

perkawinan itu berusaha membentuk rumah tangga yang bahagia.

Dari rumah tangga tadi kemudian lahir anak-anak, kemudian

bertambah luas menjadi rumpun keluarga demikian seterusnya

sehingga tersusun masyarakat besar (Soemiyati,1986 : 16).

5) Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan

yang halal, dan memperbesar rasa tanggung-jawab.

Sebelum melakukan perkawinan pada umumnya para pemuda

maupun pemudi tidak memikirkan soal penghidupan. Karena

segala keperluan masih ditanggung oleh orang tua. Tetapi setelah

Page 32: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xxxii

berumah tangga mereka mulai menyadari akan tanggung jawab di

dalam mengemudikan rumah tangga. Suami sebagai kepala

keluarga mulai memikirkan bagaimana cara mencari rezeki yang

halal untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, sebaliknya isteri

juga berusaha memikirkan cara bagaimana mengatur kehidupan

dalam rumah tangga (Soemiyati, 1986 : 17).

d. Larangan Perkawinan.

Larangan untuk melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 8

sampai dengan pasal 10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan. Ada delapan larangan perkawinan antara laki-laki dan

perempuan, yaitu :

1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun

ke atas.

2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu

antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara

seorang dengan saudara neneknya.

3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu

atau bapak tiri.

4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara

susuan, dan bibi atau paman susuan.

5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau

kemenakan dari isteri, dalam hal seseorang suami beristeri lebih

dari seorang.

6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain

yang berlaku dilarang kawin.

7) Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain.

8) Antara suami isteri yang telah cerai, kawin lagi satu dengan yang

lain dan bercerai untuk kedua kalinya, mereka tidak boleh

Page 33: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xxxiii

melangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak

menentukan lain (Salim H.S, 2002 : 65).

KUHPerdata juga mengatur tentang larangan perkawinan antara

calon pasangan suami isteri. Larangan untuk kawin diatur di dalam

Pasal 30 sampai dengan Pasal 33 KUHPerdata. Ada tiga larangan

untuk melangsungkan perkawinan, yaitu :

1) Larangan kawin dengan orang yang sangat dekat dalam

kekeluargaan sedarah dan karena perkawinan.

2) Larangan kawin karena zina.

3) Larangan kawin untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya

perceraian, jika belum lewat waktu satu tahun.

2. Pengertian Perjanjian Perkawinan.

Perjanjian perkawinan umumnya oleh masyarakat sering disebut

dengan perjanjian pra nikah (Prenuptial Agreement). Tetapi pengertian

dari masing-masing perjanjian tersebut menurut Penulis sebenarnya

berbeda. Perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang diadakan oleh kedua

calon mempelai sebelum perkawinan berlangsung. Tetapi dalam bahasa

hukum atau Undang-undang, yang sering digunakan adalah perjanjian

kawin, bukan perjanjian pra nikah.

Selanjutnya dalam skripsi ini Penulis menggunakan sebutan

perjanjian perkawinan untuk menjaga konsistensi dalam penulisan dan

untuk menyesuaikan dengan judul skripsi.

Perjanjian perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan pasal 29 ayat 1 adalah perjanjian tertulis yang dibuat

oleh kedua pihak atas persetujuan bersama pada waktu atau pada saat

perkawinan berlangsung yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan

mengenai kedudukan harta dalam perkawinan, setelah mana isinya berlaku

juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Page 34: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xxxiv

Sementara itu perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam

Buku I tentang Hukum Perkawinan pasal 47 adalah perjanjian tertulis yang

dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu atau pada saat perkawinan

berlangsung yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah mengenai

kedudukan harta dalam perkawinan.

Perjanjian perkawinan (huwelijks atau huwelijkse voorwaarden)

adalah perjanjian yang dibuat oleh dua orang calon suami isteri sebelum

dilangsungkannya perkawinan mereka, untuk mengatur akibat-akibat

perkawinan yang menyangkut harta kekayaan (R. Soetojo

Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 74).

Sementara itu pengertian perjanjian perkawinan dalam buku

karangan Salim H.S. adalah perjanjian yang dibuat oleh calon pasangan

suami-isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk

mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka (Salim H.S,

2002 : 72).

Perjanjian perkawinan menurut Soetojo Prawirohamidjojo ialah

perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami isteri sebelum atau

pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat

perkawinan terhadap harta kekayaan mereka (R. Soetojo

Prawirohamidjojo, Soebijono Tjitrowinoto, 1986 : 57).

Perjanjian perkawinan ini sifatnya lebih bercorak hukum

kekeluargaan (familierechtelijk), sehingga tidak semua ketentuan hukum

perjanjian yang termaktub dalam Buku III B.W. berlaku, misalnya suatu

aksi (gugat) berdasarkan suatu kekhilafan tidak dapat dilakukan

(error/dwaling) (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 :

74).

Pada umumnya perjanjian perkawinan ini dibuat :

1) Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada

salah satu pihak daripada pihak yang lain.

Page 35: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xxxv

2) Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (aanbrengst)

yang cukup besar.

3) Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andaikata

salah satu jatuh failliet, yang lain tidak tersangkut.

4) Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing

akan bertanggung-jawab sendiri-sendiri (R. Soetojo Prawirohamidjojo,

Soebijono Tjitrowinoto, 1986 : 58).

B. Kerangka Pemikiran.

Gambar 1 : Kerangka Pemikiran.

Keterangan gambar 1 :

Pihak-pihak yang dimaksud di dalam skripsi ini adalah calon suami dan calon

isteri. Dimana calon suami dan calon isteri tersebut yang akan melakukan

perkawinan sudah pasti mempunyai aset dan kepentingan yang harus

dilindungi dari tindakan yang dapat merugikan yang mungkin akan terjadi.

Cara untuk menjaga keamanan aset dan kepentingan tersebut, maka dibuatlah

Calon suami/suami Perkawinan Calon isteri/isteri

Aset dan kepentingan

Perjanjian perkawinan

Melindungi aset dan kepentingan

Akibat

Page 36: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xxxvi

perjanjian perkawinan. Sehingga akibat dari perjanjian perkawinan ini adalah

melindungi aset dan kepentingan dari suami dan isteri setelah menikah, karena

isi perjanjian perkawinan yang dibuat sesuai dengan peraturan yang berlaku

dan sah dapat mengikat suami dan isteri seperti Undang-undang, maka

pembuatan perjanjian perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua

belah pihak dan tanpa paksaan.

Page 37: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xxxvii

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Sejarah Terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

1. Terbentuknya Kitab Undang-undang Hukum Perdata dalam

Kerangka Hukum Nasional.

Terbentuknya KUHPerdata melalui proses yang sangat panjang

dengan memakan waktu lama dan melalui alur yang rumit. B.W. dari

KUHPerdata Belanda dan KUHPerdata Belanda dari Code Civil Perancis

dan sebutan terakhir ini adalah Hukum Romawi.

Pada waktu Julius Caesar berkuasa di Eropa Barat, Hukum Romawi

telah berlaku di Perancis berdampingan dengan Hukum Perancis Kuno

yang berasal dari Hukum Germania. Pada saat wilayah Perancis terbelah

menjadi dua yaitu Perancis bagian utara dan selatan maka hukum pun

terbagi menjadi dua. Bagian utara adalah daerah hukum yang tidak tertulis,

yaitu berlaku hukum kebiasaan Perancis Kuno yang berasal dari Hukum

Germania sebelum resepsi Hukum Romawi, sedangkan daerah selatan

menjadi daerah hukum tertulis berlaku Hukum Romawi yang tertuang

dalam Corpus Iuris Civilis.

Corpus Iuris Civilis pada zaman itu dianggap sebagai hukum yang

paling sempurna, yang terdiri dari empat bagian, yaitu :

a. Institutiones, memuat pengertian lembaga Hukum Romawi, kumpulan

Undang-undang.

b. Pandecta, memuat himpunan pendapat ahli Hukum Romawi.

c. Codex, memuat himpunan Undang-undang yang dibukukan atas

perintah Kaisar Romawi.

d. Novelles, memuat himpunan penjelasan maupun komentar terhadap

Codex atau kumpulan undang-undang yang dikeluarkan sesudah Codex

selesai.

Page 38: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xxxviii

Hukum yang berlaku di Perancis selama bertahun-tahun bahkan

berabad-abad lamanya dalam keadaan tidak ada kesatuan hukum.

Kodifikasi Hukum Perdata Perancis baru selesai dibentuk pada tahun 1804

dengan nama Code Civil des Francais dan mulai berlaku sejak tanggal 21

Maret 1804.

Pada tanggal 7 Maret sampai 1 Oktober 1838 Code Civil des

Francais ini berlaku sebagai Kitab Undang-undang Belanda, oleh karena

pada waktu itu Negeri Belanda menjadi jajahan dari Perancis.

Setelah negeri Belanda terbebas dari penjajahan Perancis sekitar

tahun 1813, maka dibentuk suatu panitia kodifikasi Hukum Perdata

berdasarkan Undang-undang Dasar (Grondwet). Kepanitiaan itu diketuai

oleh Mr. J. Kemper. Hasil kerja kepanitiaan tersebut ditolak oleh ahli

hukum bangsa Belgia karena acuannya berbeda, yakni ahli hukum

Nederland Selatan (Belgia) menghendaki agar rancangan hukum itu

disusun menurut Code Civil Perancis. Sedangkan tim Mr. J. Kemper

menyusun berdasarkan Hukum Belanda Kuno dan diberi nama “Ontwerp

Kemper” (Rencana kemper). Dalam pembahasan di parlemen Rencana

Kemper ini mendapat serangan dari kalangan Perwakilan Rakyat yang

berasal dari Nederland Selatan (Belgia) yang bermuara ditolaknya

Rencana Kemper tersebut. Hal ini terjadi pada tahun 1822 dan Mr. Joan

Melchoir Kemper meninggal pada tahun 1824.

Setelah Mr. Joan Melchoir Kemper meninggal, kepanitiaan diketuai

oleh Nicolai dengan metode kerja dan pendekatan kerja dari bawah yaitu

dengan bertanya kepada kehendak mayoritas wakil rakyat. Kerja ini

berhasil baik dan selesai pada tahun 1826 dengan isi lebih berkiblat ke

Code Civil Perancis tidak seperti rencana Mr. J.M. Kemper. Hasil Nicolai

tersebut ditolak oleh kalangan Nederland Utara, kemudian direvisi yang

tidak berarti. Dan dengan adanya Koninklijk Besluit tanggal 10 April 1838

(Staatblaad 1838 Nomor 21) KUHPerdata Belanda dinyatakan berlaku

sejak tanggal 1 Oktober 1838. Untuk Hindia Belanda (Indonesia)

berdasarkan asas konkordansi diberlakukan pula bagi golongan Eropa di

Page 39: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xxxix

Indonesia. Dibentuklah komisi dengan tugas menyusun itu dengan diketuai

oleh Mr. Cj. Scholten Van Out Haarlem berdasar Firman Raja tanggal 15

Agustus 1839 Nomor 102. Dalam kepanitiaan itu dilengkapi dengan dua

anggota yaitu : Mr. I. Schneim dan Mr. I.F.H. Van Nos. Adapun peraturan

yang telah dihasilkan adalah sebagai berikut :

a. Algemene Bepalingen Van Wetgeving Voor Nederlandsch Indie

(Ketentuan Umum Perundang-undangan di Indonesia).

b. Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

c. Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-undang Hukum Dagang).

d. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der justitie

(RO=Peraturan Susunan Pengadilan dan Pengurusan Justisi).

e. Enige Bepalingen Betreffende Misdrijven began Tergelegenheid van

Faillissement en bij Kennelijk over Mogen, Mitsgaders bij Surseance

van Betaling (Beberapa ketentuan mengenai kejahatan yang dilakukan

dalam keadaan pailit dan dalam keadaan nyata tidak mampu

membayar).

Berdasar Firman Raja Belanda tertanggal 16 Mei 1846 Nomor 1

dengan Staatsblaad 1847 Nomor 23 kelima peraturan tersebut dinyatakan

berlaku di Hindia Belanda (Indonesia). Dari uraian tersebut dapat

diketengahkan bahwa secara material KUHPerdata (B.W.) itu berasal dari

Code Civil Perancis (Hukum Perancis) dan Code Iuris Civilis (Hukum

Romawi) (H.A. Dardiri Hasyim, 2004 : 11).

2. Kedudukan Hukum Kitab Undang-undang Hukum Perdata (B.W.)

dalam Kerangka Hukum Nasional.

Hindia Belanda (Kepulauan Indonesia) selama lebih kurang 350

tahun berada di cengkeraman penjajah Belanda. Selama itu pula hukum

yang berlaku di sini adalah meneladani hukum yang berlaku di negeri

Belanda. Keadaan seperti itu berlangsung terus hingga saat Belanda

menyerah kepada bala tentara Jepang pada tanggal 8 Maret 1942. Sejak

saat itu hingga 17 Agustus 1945 di daerah bekas jajahan yang bernama

Hindia Belanda itu, berlakulah tatanan hukum dari pemerintah bala tentara

Page 40: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xl

Jepang. Peraturan yang dikeluarkan pemerintah bala tentara Jepang tidak

begitu banyak, hal ini dapat dimengerti, mengingat Jepang hanya berkuasa

di Indonesia, untuk waktu kurang lebih tiga setengah tahun saja. Walaupun

demikian dengan suatu peraturan peralihan, pemerintah bala tentara

Jepang mengeluarkan Undang-undang Nomor 1/2602, 7 Maret 1942,

tentang tata cara menjalankan pemerintahan.

Sesudah Jepang menyerah kepada Sekutu dan Indonesia

memproklamasikan kemerdekaannya 17 Agustus 1945, maka berlakulah

tatanan hukum negara RI. Tata hukum negara Republik Indonesia saat itu

pun sebagian besar masih merupakan peninggalan peraturan Hindia

Belanda. Berlakunya tatanan seperti itu adalah berdasarkan pada :

a. Pasal II Aturan Peralihan dari UUD 1945, yang menentukan bahwa :

“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku,

selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”.

b. Ketentuan ini kemudian dipertegas lagi oleh Peraturan Pemerintah RI

Nomor 2 tanggal 10 Oktober 1945 yang menentukan bahwa : “Segala

badan negara dan peraturan yang sampai berdirinya negara Republik

Indonesia, pada 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru

menurut Undang-undang Dasar masih tetap berlaku asal saja tidak

bertentangan dengan Undang-undang Dasar tersebut”.

Dengan demikian maka pada saat kita merdeka, di negara kita

tidak pernah terdapat kekosongan hukum, karena dengan bijak telah

dipatok dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sendiri.

Meskipun negara RI telah memproklamirkan kemerdekaannya,

tetapi Belanda dengan bantuan tentara Sekutu masih ingin kembali

menguasai bekas jajahannya di Indonesia. Karena itu terjadilah perang

untuk mempertahankan kemerdekaan negara RI yang baru lahir itu.

Selama empat tahun lebih Belanda berusaha untuk menduduki wilayah

Indonesia, sampai akhirnya mereka mengakui kedaulatan Indonesia

pada 27 Desember 1949. Sejak saat itu kembalilah semua wilayah

Page 41: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xli

yang telah mereka duduki kepada kekuasaan pemerintah RI, kecuali

Irian Barat.

Berdasarkan kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar di Den

Haag, maka berdirilah negara Republik Indonesia Serikat

beranggotakan semua negara bagian, yang sebelumnya telah dibentuk

oleh pemerintah Belanda selama pendudukan mereka.

Negara RI yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 pun,

merupakan anggota dari negara serikat tersebut. Ini berarti bahwa

tatanan hukum yang berlaku sejak 17 Agustus 1945 hanya berlaku bagi

wilayah negara RI yang merupakan bagian dari RIS saja, dan tidak

berlaku untuk semua wilayah RIS.

Untuk wilayah RIS berlakulah tatanan hukum negara RIS sejak

27 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950. Peraturan dari zaman RIS

ini tidak begitu banyak, sebagian terbesar masih merupakan peraturan-

peraturan yang ada sebelum masa RIS.

c. Berdasarkan Pasal 192 Konstitusi RIS 1949 mengatakan bahwa

“Peraturan-peraturan, Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata

usaha yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku, tetap

berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan

ketentuan-ketentuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan

sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut,

ditambah atau diubah oleh Undang-undang dan ketentuan-ketentuan

tata usaha atas kuasa konstitusi ini”.

Sebelum zaman RIS tersebut, kita mengenal zaman RI

Proklamasi. Dengan demikian maka peraturan sebelumnya adalah

peraturan dari zaman RI 1945, sedangkan peraturan pada zaman RI

1945 tersebut pada umumnya adalah peraturan dari zaman Hindia

Belanda yang berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945

diberlakukan bagi negara Republik Indonesia.

Pada 17 Agustus 1950 negara RIS dinyatakan bubar, dan

kembalilah negara RI sebagai negara kesatuan yang wilayahnya sama

Page 42: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xlii

dengan wilayah negara RI proklamasi, minus Irian Barat. Irian Barat

yang pada saat lahirnya negara kesatuan RI ini, masih tetap di bawah

kekuasaan pemerintah Belanda. Dengan demikian, maka sejak saat itu

berlakulah tatanan hukum negara RI kesatuan. Sebelum negara RI

kesatuan berdiri, telah ada tatanan hukum dari pemerintah RIS.

d. Berdasarkan Pasal 142 UUDS 1950, mengatakan bahwa “Peraturan-

peraturan, Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang

sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak

berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan Republik

Indonesia sendiri. Selama dan sekedar peraturan-peraturan dan

ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah, diubah oleh Undang-

undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang-undang

Dasar ini”. UUDS 1950 yang memberlakukan tata hukum sebelum ini,

berlaku dari tanggal 17 Agustus 1950 hingga 5 juli 1959.

e. Dengan dekrit Presiden RI 5 Juli 1959, negara RI dinyatakan kembali

ke UUD 1945, dengan demikian maka Aturan Peralihan yang terdapat

di dalamnya, memperlakukan kembali tata hukum yang pernah ada di

masa-masa sebelumnya hingga sekarang. Dengan demikian kedudukan

hukum berlakunya KUHPerdata (B.W.) yang berlaku sampai saat ini

adalah Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945,yang menyatakan :

“Semua peraturan yang ada hingga saat Indonesia merdeka masih tetap

berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang

Dasar ini”.

Pasal II Aturan Perlihan tersebut, memberikan landasan berlakunya

KUHPerdata (B.W.) di Indonesia (H.A. Dardiri Hasyim, 2004 : 14).

B. Sejarah Pembentukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan.

Sepanjang sejarah Indonesia, wacana Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan selalu melibatkan 3 pihak atau kepentingan, yaitu

kepentingan agama, negara dan perempuan. Perbincangan seputar perkawinan

cenderung dianggap sebagai wilayah privat. Pengaturan perkawinan tidak

Page 43: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xliii

dapat dilepaskan dari wacana keluarga. Dalam konteks inilah baik agama

sebagai sebuah institusi maupun negara memiliki kepentingan yang signifikan

atas keluarga, sebab keluarga sebagai satuan kelompok sosial terkecil

memiliki peran penting dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai yang ada

dalam agama. Sementara negara sebagai institusi modern pun tak bisa

mengabaikan keluarga dalam mengatur dan menciptakan tertib warganya.

Undang-undang Perkawinan dibentuk karena kebutuhan masyarakat

yang sejak zaman kerajaan Islam telah memiliki Peradilan Agama. Dalam

peradilan dikenal 2 kekuasaan, yaitu :

1. Kekuasaan absolut, yaitu kekuasaan yang menyangkut materi hukum.

2. Kekuasaan relatif, yaitu kekuasaan yang menyangkut wilayah hukum.

Mengenai sejarah pembentukan Undang-undang Perkawinan ini, pada

awalnya para penjajah tidak ikut campur terhadap urusan Peradilan Agama.

Tetapi pada tahun 1820, Belanda mulai turut campur terhadap urusan

Peradilan Agama dengan mengeluarkan instruksi kepada Bupati-bupati

dengan mengatakan bahwa perselisihan mengenai pembagian waris

dikalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada alim ulama Islam. Kemudian

pada tahun 1823 dengan resolusi Gubernur Jenderal tanggal 3 Juni 1823

Nomor 12 diresmikan Pengadilan Agama kota Palembang yang dikepalai oleh

seorang penghulu dan banding dapat dimintakan kepada Sultan. Kewenangan

Peradilan Agama secara tegas dinyatakan dalam Staatsblaad Nomor 58

(http://ikadabandung.wordpress.com).

Tahun 1882 merupakan tahun bersejarah bagi Peradilan Agama. Pada

tahun 1882 dikeluarkan Staatsblaad 1882 Nomor 152 tentang pembentukan

Pengadilan Agama di Jawa dan Madura. Namun Staatsblaad 1882 Nomor 152

ini tidak mengubah wewenang absolut Pengadilan Agama. Namun pada tahun

1931 dibentuk Staatsblaad 1931 Nomor 53 tentang 3 pokok ketentuan bagi

Peradilan Agama yaitu (http://ikadabandung.wordpress.com) :

1. Pengadilan Agama, Raad Agama, atau Priesterraad diubah menjadi

Penghulu Gerecht yang dipimpin oleh seorang penghulu sebagai hakim,

didampingi oleh 2 orang penasehat dan seorang panitera (griffier),

Page 44: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xliv

2. Pengadilan Agama hanya memeriksa perkara-perkara yang bersangkutan

dengan nikah, talak, rujuk, hadhanat, dan wakaf,

3. Diadakan Mahkamah Islam Tinggi (MIT) sebagai Peradilan Banding atas

putusan-putusan Pengadilan Agama.

Namun ketentuan ini tidak pernah berjalan. Sehingga pada tahun 1937

dibentuklah Staatsblaad 1937 Nomor 610. Dimana dalam Pasal 2 ayat 1

ditetapkan bahwa Pengadilan Agama hanya berwenang untuk memeriksa dan

memutuskan perselisihan hukum suami isteri yang beragama Islam tentang

nikah, talak dan rujuk.

Setelah merdeka, pemerintah RI telah membentuk sejumlah peraturan

tentang Pengadilan Agama. Antara lain pembentukan Undang-undang Nomor

22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Akan tetapi, dari

segi kebutuhan pengadilan yang memerlukan hukum formil dan hukum

materiil, Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah,

Talak dan Rujuk belum dapat dikatakan sebagai hukum formil maupun

materiil. Karena Undang-undang tersebut lebih menekankan pada pentingnya

pencatatan perkawinan. Kekosongan hukum materiil Pengadilan Agama

disiasati oleh ulama dengan menjadikan kitab-kitab kuning sebagai hukum

materiilnya. Pada tahun 1953, Departemen Agama menetapkan 13 kitab fikih

yang dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama

(http://ikadabandung.wordpress.com).

Menjadikan kitab kuning sebagai hukum materiil Pengadilan Agama

bukanlah pekerjaan mudah. Salah satu karakter fikih adalah keragaman

pendapat sehingga melahirkan aliran-aliran. Oleh karena itu, kerumitan yang

dihadapi hakim adalah memilih pendapat-pendapat para fuqaha sehingga

memberikan peluang kepada hakim untuk memberikan putusan yang berbeda

terhadap kasus yang sama. Pengadilan yang melahirkan keragaman putusan

karena perbedaan hukum materiil dapat dikatakan sebagai pengadilan yang

keputusannya tidak memiliki kepastian hukum. Oleh karena itu, pembentukan

hukum materiil bagi Pengadilan Agama merupakan keniscayaan sejarah; ia

sangat dibutuhkan masyarakat Islam agar para hakim memiliki pegangan yang

Page 45: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xlv

seragam, meskipun kemungkinan perbedaan masih tetap ada karena perbedaan

cara tafsir terhadap Undang-undang.

Usaha pembentukan Undang-undang Perkawinan di Indonesia dimulai

sejak tahun 1950. Pada waktu itu, Menteri Agama mengeluarkan Surat

Keputusan tanggal 1 Oktober 1950 Nomor b/2/4299 tentang pembentukan

Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk bagi umat

Islam yang diketuai oleh Mr. Mohammad Hassan yang memiliki dua tugas,

yaitu :

1. Melakukan pembahasan mengenai berbagai peraturan perkawinan yang

telah ada.

2. Menyusun rancangan Undang-undang perkawinan yang sesuai dengan

dinamika dan perkembangan zaman.

Pada tanggal 1 Desember 1952 oleh Panitia tersebut disampaikan

Rancangan Undang-undang Perkawinan (Peraturan Umum) serta Daftar

Pertanyaan Umum mengenai Undang-undang tersebut kepada boleh dikatakan

semua organisasi-organisasi yang berpusat maupun lokal dengan permintaan,

supaya masing-masing memberikan pendapat atau pandangan tentang soal-

soal tersebut terakhir pada tanggal 1 Februari 1953. Selain daripada berusaha

kearah kodifikasi dan unifikasi, Rancangan Undang-undang telah mencoba

untuk memperbaiki keadaan masyarakat dengan menetapkan dasar-dasar

perkawinan (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Soebijono Tjitrowinoto, 1986 :

16).

Panitia tersebut dalam rapatnya bulan Mei 1953, memutuskan untuk (R.

Soetojo Prawirohamidjojo, Soebijono Tjitrowinoto, 1986 : 17) :

1. Menyusun Rancangan Undang-undang Pokok yang pendek saja dan

berlaku untuk umum tanpa menyinggung masalah agama.

2. Menyusun Rancangan Undang-undang Organik yang mengatur

perkawinan menurut agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam,

Katolik, dan Protestan.

Page 46: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xlvi

3. Menyusun Rancangan Undang-undang untuk golongan yang tidak

termasuk dalam salah satu golongan agama itu (R. Soetojo

Prawirohamidjojo, 1986 : 13 )

Kemudian pada bulan April 1954 panitia menyampaikan Rancangan

Undang-undang Perkawinan umat Islam kepada Menteri Agama Republik

Indonesia. Tahun 1957 Menteri Agama menyampaikan Rancangan Undang-

undang tersebut dalam sidang kabinet, akan tetapi sampai sekian lama tidak

ada penyelesaiannya. Akhirnya pada tahun 1958 beberapa anggota DPR

wanita di bawah pimpinan Ny. Sumari mengajukan usul inisiatif Rancangan

Undang-undang Perkawinan yang pada pokoknya berisikan peraturan

perkawinan umum untuk seluruh warga negara Indonesia tanpa membedakan

agama dan suku bangsa (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Soebijono

Tjitrowinoto, 1986 : 17).

Adanya usul inisiatif Rancangan Undang-undang ini, Pemerintah

mengadakan reaksi dengan mengajukan Rancangan Undang-undang

Perkawinan Umat Islam di DPR, sedangkan Rancangan Undang-undang ini

pun tidak pernah dapat diselesaikan oleh DPR.

Di dalam hubungan ini, suatu lembaga semi pemerintah yang tidak kalah

pentingnya ialah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang dibentuk dengan

keputusan Presiden tanggal 6 Mei 1961, secara mendalam dan beralasan

mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan baru.

Pada tanggal 28 Mei 1962 Lembaga Pembinaan Hukum Nasional

sebagai badan perencana telah mengeluarkan keputusan yang menyangkut

Hukum Keluarga.

Pada tahun 1963 diadakan Seminar Hukum Nasional di Jakarta yang

diselenggarakan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional bersama-sama

dengan Persatuan Sarjana Hukum Indonesia.

Pada tahun 1966, Menteri Kehakiman menugaskan Lembaga Pembinaan

Hukum Nasional untuk menyusun RUU perkawinan yang bersifat nasional.

Pada tanggal 22 Mei 1967, pemerintah menyampaikan RUU perkawinan

khusus untuk umat Islam kepada DPR. Dan pada tanggal 7 September 1968,

Page 47: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xlvii

pemerintah mengajukan RUU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan

kepada DPR. Akan tetapi, dua RUU ini pun tidak lolos menjadi Undang-

undang.

Sementara itu santer terdengar suara yang mendesak pemerintah untuk

segera membentuk suatu Undang-undang Perkawinan. Ada beberapa

organisasi yang menyuarakan hal itu antara lain dari Ikatan Sarjana Wanita

Indonesia dan Badan Musyawarah Organisasi-organisasi Islam Wanita

Indonesia. Dengan adanya hal ini, nyatalah adanya keinginan dan hasrat yang

besar dari masyarakat, khususnya kaum wanita untuk memiliki Undang-

undang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara di seluruh wilayah

Indonesia.

Pada tanggal 31 Juli 1973 dengan surat Nomor 02/PU/VII/1973,

Presiden menyampaikan Rancangan Undang-undang tentang perkawinan

kepada DPR dan menarik kembali dua Rancangan Undang-undang yang sudah

diajukan sebelumnya, maka (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Soebijono

Tjitrowinoto, 1986 : 19) :

1. Pada tanggal 13 Agustus 1973 dalam rapat pimpinan DPR RI telah

diputuskan untuk membahas Rancangan Undang-undang tentang

Perkawinan.

2. Pada tanggal 30 Agustus 1973, dalam sidang Pleno DPR RI, Menteri

Kehakiman atas nama Pemerintah menyampaikan keterangan pemerintah

mengenai Rancangan Undang-undang tersebut yang dilanjutkan dengan

pembahasan umum. Dalam pembahasan umum, Rancangan Undang-

undang mendapat kritik yang tajam, baik dari pihak politisi maupun dari

ulama pada umumnya yang berafiliasi dengan berbagai ormas Islam yang

ada.

Pasal-pasal yang diperdebatkan oleh para anggota DPR dan para

pemuka agama adalah pencatatan sebagai syarat sah perkawinan.

Pencatatan perkawinan telah diundangkan oleh pemerintah dengan

pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946. Akan tetapi, dalam

Page 48: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xlviii

Undang-undang tersebut tidak terdapat ketentuan mengenai syarat-syarat

pernikahan.

Secara implisit, dapat dipahami bahwa perkawinan tanpa dicatat oleh

PPN adalah sah. Akan tetapi, laki-laki yang melakukan perkawinan tanpa

dicatat oleh PPN akan dikenai sanksi berupa denda. Dalam Rancangan

Undang-undang Perkawinan dinyatakan secara eksplisit bahwa salah satu

syarat sah nikah adalah pencatatan oleh petugas pencatat nikah. Seperti

dalam Pasal 2 ayat 1 dan 2. Namun Pasal 2 ayat 1 Rancangan Undang-

undang Perkawinan mendapat sorotan dari para pihak, antara lain dari

Partai Persatuan Pembangunan yang menyatakan bahwa pencatatan

sebagai syarat sah perkawinan dianggap mengabaikan syarat-syarat

perkawinan yang telah dijelaskan oleh ulama dalam berbagai kitab fikih.

Dengan kata lain, pemerintah dianggap telah menjadikan pencatatan

perkawinan sebagai syarat sah perkawinan yang pokok. Sedangkan syarat

sah yang ditentukan oleh ulama dalam kitab-kitab fikih dianggap sebagai

syarat pelengkap.

RUU perkawinan yang diajukan oleh Pemerintah kepada DPR dinilai

tidak sejalan dengan perkawinan menurut Alquran dan Sunah. Oleh karena

itu, ia mendapat tanggapan dan sorotan yang tajam dari berbagai kalangan.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengirim surat nomor A-6/174/73

Tentang Rancangan Undang-undang Perkawinan tanggal 30 Juli 1973 (29

Jumadil Akhir 1393 H.) yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman.

Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa Rancangan Undang-undang

Perkawinan bertentangan secara diametral dengan ajaran-ajaran Islam.

Surat tersebut dilampiri dengan pasal-pasal RUU Perkawinan yang

dianggap oleh Muhammadiyah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tujuh

ketentuan RUU yang dipandang tidak sesuai dengan ajaran Islam adalah

(http://ikadabandung.wordpress.com) :

a) Pencatatan perkawinan sebagai syarat sah perkawinan,

b) Tidak ada pembatasan jumlah isteri dalam poligami (poligini),

c) Batas usia perkawinan (21 tahun bagi pria dan 18 tahun bagi wanita),

Page 49: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xlix

d) Tidak memasukkan susuan (radha’at) sebagai penghalang perkawinan,

e) Perbedaan agama tidak menjadi penghalang perkawinan,

f) Waktu tunggu bagi isteri yang dicerai suaminya, dan

g) Dua kali cerai menjadi penghalang perkawinan.

3. Pada tanggal 17 dan 18 September 1973, DPR RI memberikan pandangan

umumnya atas Rancangan Undang-undang tersebut.

4. Pada tanggal 27 September 1973, Menteri Agama atas nama pemerintah

memberikan jawaban atas pandangan umum para anggota DPR RI

tersebut.

5. Pada tanggal 8 Oktober 1973, Komisi III dan IX DPR RI mengadakan

rapat gabungan untuk membicarakan prosedur teknis pembahasan

Rancangan Undang-undang.

6. Pada tanggal 9 Oktober 1973, pimpinan DPR RI mengadakaan lobbying

dengan pimpinan fraksi-fraksi.

7. Pada tanggal 10 Oktober 1973, Komisi III dan IX mengadakan rapat

gabungan juga membicarakan tentang prosedur teknis pembahasan

Rancangan Undang-undang.

8. Pada tanggal 15 Oktober 1973, pimpinan kedua komisi tersebut di atas,

melakukan inventarisasi persoalan-persoalan dari rancangan Undang-

undang tersebut dengan koordinator wakil-wakil ketua Domo Pranoto dan

Sumiskun.

9. Pada tanggal 6 Desember 1973, setelah melalui proses pembicaraan

tingkat ke-1 dan 2 sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR RI, maka

dibentuklah sebuah Panitia Kerja dari gabungan Komisi III dan IX, yang

terdiri atas 10 orang anggota tetap dan disamping itu ditunjuk sejumlah 15

orang anggota pengganti yang bertugas menggantikan anggota-anggota

tetap bilamana ada yang berhalangan hadir.

10. Pada tanggal 22 Desember 1973, DPR RI dalam rapat pleno terbuka dan

sebagai pembicaraan tingkat ke-IV telah menerima Rancangan Undang-

undang tersebut di atas untuk disahkan sebagai Undang-undang.

Page 50: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

l

Dalam Laporan Panitia Kerja RUU Perkawinan pada tanggal 22

Desember 1973 disampaikan bahwa Panitia Kerja telah berhasil

menyepakati dua pasal, yaitu pasal 1 dan 2. Rumusan pasal 1 yang

disepakati oleh panitia adalah : “perkawinan ialah ikatan lahir dan bathin

antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri, dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan rumusan pasal 2 yang disepakati

oleh Panitia Kerja adalah : “(1) perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukumnya masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2)

tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku”.

Pembahasan Rancangan Undang-undang Perkawinan di DPR terus

berjalan sehingga menghasilkan Rancangan Undang-undang Perkawinan

tahap II, yaitu Rancangan Undang-undang Perkawinan hasil pembicaraan

di DPR. Di dalam Rancangan Undang-undang Perkawinan tahap II pun

masih terdapat pasal-pasal yang dalam pandangan ulama tidak sejalan

dengan ajaran Islam.

Rancangan Undang-undang Perkawinan yang diajukan oleh

Pemerintah RI kepada DPR pada tahun 1973, merupakan kelanjutan dari

peraturan perundangan mengenai perkawinan yang berlaku sebelumnya.

Peraturan perundangan mengenai perkawinan yang berlaku ketika RUU

Perkawinan diajukan adalah sebagai berikut

(http://ikadabandung.wordpress.com) :

a) Hukum agama Islam yang telah diterima (diresipir) dalam Hukum

Adat untuk orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam.

b) Hukum Adat bagi orang-orang Indonesia asli lainnya.

c) Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesia (Staatsblaad 1933 Nomor

74) untuk orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen.

d) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dengan sedikit perubahan)

untuk orang-orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia

keturunan Cina.

Page 51: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

li

e) Kitab Undang-undang Hukum Perdata untuk orang-orang Eropa dan

Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan

mereka.

f) Hukum adat (mereka) untuk orang-orang Timur Asing lainnya dan

Warga Negara Keturunan Timur Asing lainnya.

Secara simplistik, hukum perkawinan yang berlaku bagi masyarakat

Indonesia ketika itu ada tiga, yaitu :

a) Fikih (hukum) perkawinan yang terdapat dalam berbagai kitab fikih.

b) Kitab undang-undang Hukum Perdata.

c) Hukum adat.

Oleh karena itu, dalam pandangan umat Islam isi RUU Perkawinan banyak

menyimpang sehingga melahirkan perdebatan.

11. Pada tanggal 2 Januari 1974 dengan Lembaran Negara 1974 Nomor 1

Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019 akhirnya diundangkan Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Setelah mengalami proses lebih kurang 15 bulan sejak diundangkannya

Undang-undang tentang perkawinan itu, telah dapat diundangkan Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaan Undang-

undang Perkawinan tersebut.

C. Perjanjian Perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan.

1. Perjanjian Perkawinan dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan.

a. Wewenang membuat Perjanjian Perkawinan.

Perjanjian perkawinan dalam prakteknya memang kurang

diminati oleh calon suami dan calon isteri, karena perjanjian ini

dianggap terlalu matrealistis dan tidak sesuai dengan adat ketimuran

kita. Selain itu perjanjian perkawinan belum merupakan lembaga

hukum yang populer di Indonesia, namun demi untuk menampung

kebutuhan sebagian anggota masyarakat dan perkembangan hukum

Page 52: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lii

dikemudian hari, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan memberikan ketentuan mengenai hal tersebut di dalamnya.

Mengenai hal pengaturan perjanjian perkawinan, Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengaturnya di dalam Pasal

29 yang terdiri dari 4 ayat. Isi dari Pasal 29 ayat 1, yaitu :

“ Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

Menurut analisa Penulis berdasar metode penafsiran gramatikal

di dalam isi Pasal 29 ayat 1 tersebut di atas tidak secara tegas

mengatakan bahwa perjanjian yang dimaksud itu adalah perjanjian

perkawinan. Di dalam pasal tersebut hanya disebutkan bahwa kedua

pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis

yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, tetapi karena Pasal

29 ditempatkan di dalam Bab V tentang perjanjian perkawinan, maka

disimpulkan bahwa perjanjian tertulis yang dimaksud dalam Pasal 29

ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan

adalah perjanjian perkawinan. Perjanjian yang dimaksud dalam Pasal

ini tidak termasuk taklik-talak.

Selain itu analisa lain dari Penulis di dalam Pasal 29 ayat 1

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, juga

menyatakan bahwa “.... kedua belah pihak atas persetujuan bersama

dapat mengadakan perjanjian tertulis....”, karena yang akan

melangsungkan perkawinan adalah calon suami-isteri, maka yang

dimaksud kedua belah pihak dalam ketentuan Pasal 29 ayat 1 tersebut

adalah kedua calon suami-isteri yang akan menikah tersebut.

b. Bentuk Perjanjian Perkawinan.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak

mensyaratkan atau mengatur secara rinci bentuk hukum tertentu untuk

sahnya suatu perjanjian perkawinan seperti dalam B.W.. Satu-satunya

syarat yang disebutkan adalah bahwa perjanjian tersebut harus tertulis

Page 53: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

liii

dan tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Atas

dasar itu, para pihak dapat meletakkan perjanjian perkawinan mereka,

baik dalam akta di bawah tangan maupun dalam bentuk autentik.

Apabila suatu perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk akta di

bawah tangan, maka hal tersebut berarti bahwa para pihak dapat

membuatnya sendiri. Asalkan kemudian perjanjian tersebut disahkan

kepada Pegawai Pencatat Nikah (J. Satrio, 1991 : 223).

Apakah Pegawai Pencatat Nikah dapat menolak perjanjian

perkawinan yang diberikan kepadanya oleh calon suami-isteri?

Apabila hal itu dapat dilakukan, akan timbul pertanyaan yang kedua

mengenai dasar atau alasan apa yang digunakan sebagai pegangan

untuk bertindak demikian?

Penulis menganalisa dengan menggunakan metode penafsiran

teleologis atau sosiologis bahwa dalam ketentuan Pasal 29 ayat 2, yaitu

“perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-

batas hukum, agama dan kesusilaan”. Mungkin kita berfikir akan

kemungkinan terjadi isi perjanjian yang bertentangan dengan

kesusilaan, Undang-undang atau ketertiban umum, karena semua

perjanjian termasuk pula perjanjian perkawinan akan batal demi

hukum kalau isinya mengandung ketentuan-ketentuan yang demikian.

Itupun secara berlebihan ditegaskan lagi dalam Pasal 31 ayat 2.

Mengenai hal ini perlu adanya penjelasan lebih lanjut, agar terdapat

kepastian hukum, terutama bagi mereka yang tunduk pada Hukum

Adat, karena Hukum Adat tidak mengenal lembaga perjanjian

perkawinan. Lain halnya bagi mereka yang tunduk pada B.W.,

ketentuan umum mengenai perjanjian perkawinan seperti yang ada

pada Pasal 139 dan selanjutnya dapat dipakai sebagai peraturan

pelaksanaan.

c. Pembuatan dan Perubahan Perjanjian Perkawinan.

Mengenai saat pembuatan dan perubahan perjanjian perkawinan

dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Page 54: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

liv

menetapkan saat tersebut dalam Pasal 29 ayat 1 dan ayat 4. Di dalam

Pasal 29 ayat 1 menyebutkan bahwa saat pembuatan perjanjian

perkawinan adalah pada waktu atau sebelum perkawinan

dilangsungkan. Mengenai perubahan terhadap perjanjian perkawinan,

Pasal 29 ayat 4 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974

mengatakan : “Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut

tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada

persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak

ketiga”.

Pasal 29 ayat 4 dapat disimpulkan, bahwa pada asasnya

perjanjian perkawinan tersebut bersifat tetap sepanjang perkawinan.

Atas asas tersebut dimungkinkan adanya penyimpangan, tetapi dengan

dibatasi dengan syarat-syarat :

1) Atas persetujuan dari kedua belah pihak.

Kata persetujuan menegaskan bahwa perubahan perjanjian

kawin tidak boleh terjadi karena paksaan. Harus ada keikhlasan

dari kedua belah pihak. Mengingat perubahan atas suatu perjanjian

perkawinan seperti untuk setiap perjanjian yang lain harus

dilakukan pula dengan membuat suatu perjanjian yang baru,

sedang salah satu syarat untuk sahnya suatu perjanjian adalah

adanya sepakat yang bebas.

Yang lebih penting adalah syarat “kedua belah pihak”.

Maksud dari kedua belah pihak disini adalah suami dan isteri.

Selain itu dalam perubahan perjanjian perkawinan, orang tua dan

bekas wali tidak perlu turut campur lagi, mengingat orang-orang

yang dalam status menikah termasuk juga yang pernah menikah

adalah orang-orang yang cakap untuk bertindak dalam hukum.

2) Tidak merugikan pihak ketiga

Mengapa disebutkan secara jelas mengenai pihak ketiga?

Karena memang pihak ketiga seperti kreditur khususnya adalah

orang yang berkepentingan dengan keadaan harta perkawinan suatu

Page 55: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lv

keluarga. Jaminan atas piutang-piutangnya sedikit banyak

bergantung dari keadaan dan bentuk harta perkawinan debiturnya.

Sehingga dalam hal ini pihak ketiga sangat berkepentingan.

Apabila pembentuk Undang-undang tidak mencantumkan

syarat yang kedua seperti tersebut di atas, dikhawatirkan

kemungkinan terjadinya penyalahgunaan oleh suami dan isteri,

yang sengaja dilakukan untuk menghindarkan diri dari tanggung-

jawab mereka atas hutang mereka terhadap pihak ketiga.

Apabila suami-isteri tersebut melakukan perubahan

perjanjian perkawinan yang merugikan pihak ketiga, maka

perubahan tersebut dapat dibatalkan kalau ada tuntutan dari pihak

ketiga tersebut dan hanya terhadap pihak ketiga yang

kepentingannya dirugikan saja. Sedangkan untuk selebihnya

perjanjian perkawinan yang baru tersebut tetap berlaku penuh.

Syarat kedua ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan

terhadap pihak ketiga yang merasa dirugikan.

Selanjutnya kita perhatikan ketentuan, bahwa perjanjian

perkawinan hanya boleh dibuat sebelum atau pada saat perkawinan

dilangsungkan pada Pasal 29 ayat 1. Apakah hal itu berarti bahwa

perjanjian perkawinan tidak boleh dibuat sepanjang perkawinan?

Telah dikatakan, selama perkawinan berlangsung, suami dan isteri

dapat merubah perjanjian perkawinan mereka asal dipenuhi syarat-

syarat tersebut di atas. Undang-undang tidak menetapkan seberapa

besar perubahan tersebut dapat diadakan, karena Undang-undang

sendiri tidak memberikan pembatasan, maka para pihak dapat

mengadakan perubahan yang seluas-luasnya, dari mulai

memisahkan sama sekali harta perkawinan mereka sampai adanya

percampuran harta secara bulat antara mereka, yang berarti tidak

adanya harta pribadi dalam perkawinan tersebut. Apabila suami

dan isteri dapat merubah bentuk harta perkawinan mereka

sedemikian luasnya, dengan hanya pembatasan atas persetujuan

Page 56: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lvi

bersama dan tidak boleh merugikan pihak ketiga, maka apa

salahnya kalau suami isteri yang pada saat atau sebelum

perkawinan belum membuat perjanjian perkawinan sekarang

mereka membuatnya, asal atas persetujuan bersama dan tidak

merugikan pihak ketiga? Apabila dari Pasal 29 ayat 1 ditafsirkan,

bahwa perjanjian perkawinan tidak boleh dibuat sepanjang

perkawinan, maka larangan yang demikian adalah sungguh tidak

logis. Apa dasarnya? Lain halnya dengan sistem yang dianut dalam

B.W., yang dengan konsekuen berpegang pada prinsip, bahwa

perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum perkawinan

berlangsung dan sepanjang perkawinan tanpa perkecualian tidak

dapat diubah. Hal demikian baru logis adanya ketentuan, bahwa

sesudah dilangsungkan perkawinan orang tidak boleh lagi

membuat perjanjian perkawinan (J. Satrio, 1991 : 225).

Lain halnya dengan KUHPerdata, karena KUHPerdata dalam

Pasal 149 dengan konsisten menyebutkan bahwa setelah perkawinan

berlangsung, perjanjian perkawinan tidak dapat diubah dengan cara

apapun.

d. Saat Berlakunya Perjanjian Perkawinan.

Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan

dilangsungkan. Seperti dalam Pasal 29 ayat 3 yang berbunyi:

“Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan”.

Tidak adanya ketentuan lain mengenai saat berlakunya perjanjian

perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan, harus diartikan bahwa

Undang-undang tersebut tidak menghendaki dipilihnya saat lain

daripada yang telah ditetapkan oleh Undang-undang tersebut.

Perjanjian perkawinan ini berlaku baik bagi suami-isteri yang

bersangkutan maupun terhadap pihak ketiga (J. Satrio, 1991 : 229).

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak

mensyaratkan mengenai syarat pengumuman terlebih dahulu. Sehingga

di sini darimana pihak ketiga tahu bahwa debiturnya memakai

Page 57: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lvii

perjanjian perkawinan? Lain halnya dalam KUHPerdata, dalam Pasal

152 disebutkan bahwa “....tidak akan berlaku bagi pihak ketiga

sebelum hari pendaftaran ketentuan-ketentuan itu dalam daftar umum,

yang harus diselenggarakan di Kepaniteraan pada Pengadilan

Negeri....”. Sehingga pihak ketiga akan tahu bahwa debiturnya

menggunakan perjanjian perkawinan.

Diaturnya perjanjian perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 29, maka sebenarnya

perjanjian perkawinan diperkenankan oleh Undang-undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974. Namun perincian pengaturannya tidak lengkap

seperti dalam B.W., karena di dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur mengenai siapa saja yang

berwenang membuat perjanjian perkawinan, bentuk-bentuk perjanjian

perkawinan yang diperkenankan oleh Undang-undang Perkawinan,

pembuatan dan perubahan perjanjian perkawinan dan saat berlakunya

perjanjian perkawinan. Sehingga terkadang membuat keragu-raguan dan

kecemasan bagi para calon pembuat perjanjian perkawinan, apakah dengan

membuat perjanjian perkawinan merupakan pilihan yang tepat bagi

mereka, karena perjanjian perkawinan berdampak sangat luas terhadap

pengaturan harta perkawinan mereka dan bagi pihak ketiga apabila mereka

terlibat.

Berdasar Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, yang berisi :

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S. 1993 Nomor 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op degemengde Huwelijken S. 1898 Nomor 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.

Page 58: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lviii

Maka pengaturan di dalam B.W. dan peraturan-peraturan lainnya tidak

berlaku lagi atau tidak dipakai lagi sepanjang Undang-undang Perkawinan

ini sudah mengaturnya.

Namun terdapat beberapa hal yang tidak diatur secara mendetail di

dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

sehingga B.W. masih dapat digunakan sebagai pegangan untuk

pelaksanaannya.

2. Perjanjian Perkawinan dalam Burgerlijk Wetboek (B.W.)

a. Bentuk Perjanjian Perkawinan.

Menurut ketentuan pasal 147 B.W., perjanjian perkawinan harus

dibuat :

1) Dengan akte notaris

Hal ini dilakukan, kecuali untuk keabsahan perjanjian

perkawinan, juga :

a) Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena

akibat daripada perjanjian ini akan dipikul untuk seumur hidup;

b) Untuk adanya kepastian hukum.

c) Sebagai satu-satunya alat bukti yang sah.

d) Untuk mencegah kemungkinan adanya penyelundupan atas

ketentuan pasal 149 B.W. (setelah dilangsungkannya

perkawinan, maka dengan cara apapun juga, perjanjian

perkawinan itu tidak dapat diubah) (R. Soetojo

Prawirohamidjojo, Soebijono Tjitrowinoto, 1986 : 59).

Namun di dalam pasal 29 ayat 4 Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perjanjian perkawinan

tersebut dapat dirubah asalkan perubahan tersebut tidak

merugikan pihak ketiga dan kedua belah pihak ada persetujuan

untuk merubahnya.

Page 59: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lix

2) Pada saat sebelum perkawinan dilangsungkan.

Syarat ini diadakan dengan maksud agar setelah perkawinan

dilangsungkan dapat diketahui dengan pasti, mengenai perjanjian

perkawinan berikut isi perjanjian perkawinan itu. Perjanjian

perkawinan berlaku sepanjang perkawinan berlangsung dan tidak

dapat diubah. Jadi selama perkawinan berlangsung hanya berlaku

satu macam hukum harta perkawinan, kecuali bila terjadi pisah

harta kekayaan atau pisah meja dan tempat tidur (scheiding van

tafel en bed).

Prinsip tentang berlakunya satu macam hukum harta

perkawinan dipegang oleh pembuat undang-undang. Hal ini dapat

dilihat dari (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000

: 77) :

a) Pasal 197 B.W. yang menyatakan, bahwa bilamana pisah harta

kekayaan ditiadakan, maka keadaan sebelum ”pisah” pulih

kembali, seolah-olah keadaan itu tidak pernah terjadi. Istilah

”kebersamaan” (gemeenschap) dalam pasal 197 B.W.

maksudnya, adalah tiap-tiap kebersamaan, baik kebersamaan

harta kekayaan secara bulat, maupun kebersamaan harta

kekayaan terbatas.

Apabila tidak dibuat perjanjian perkawinan, maka akan

terjadi lagi kebersamaan harta kekayaan secara bulat, dan

apabila dibuat perjanjian perkawinan, maka perjanjian

perkawinan itu berlaku kembali.

b) Pasal 248 B.W. yang berisikan ketentuan apabila terjadi

perdamaian (verzoening) antara suami istri setelah pisah meja

dan tempat tidur, maka keadaan hukum ”pisah” pulih kembali,

dalam arti, seolah-olah tidak pernah terjadi perpisahan apapun.

Di dalam pasal 197 B.W. digunakan istilah ”kebersamaan”

Page 60: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lx

(gemeenschap) yang artinya ialah : tiap-tiap kebersamaan, baik

kebersamaan harta kekayaan secara bulat maupun kebersamaan

harta kekayaan terbatas.

Apabila tidak dibuat perjanjian perkawinan, maka akan

terjadi lagi kebersamaan harta kekayaan secara bulat, dan bila

mana dibuat perjanjian perkawinan maka perjanjian

perkawinan itu berlaku lagi.

c) Pasal 232a B.W. (S. 1923-31 jo. S. 1928-546) : prinsip tersebut

diatas juga berlaku bila terjadi ”kawin ulang” (reparatie

huwelijk, pasal 33 B.W.), setelah perkawinan bubar karena

perceraian.

Selama perkawinan belum dilangsungkan, perjanjian

perkawinan itu masih dapat diubah. Menurut ketentuan pasal 148

ayat 1 B.W. perubahannya harus dilakukan dengan akte notaris.

Perubahan tersebut dianggap sah jika disepakati oleh mereka yang

dahulu menjadi ”pihak” (partij). Pasal 148 ayat 2 B.W.

menyebutkan : tidak hanya mereka saja yang memberikan izin

kesepakatan, akan tetapi juga mereka yang memberikan hadiah

pada calon suami isteri (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena

Pohan, 2000 : 77).

Apabila ”bantuan” itu tidak diperoleh, maka perjanjian

perkawinannya tidak dapat diubah. Pada umumnya, perjanjian

perkawinan yang telah dibuat dapat ditiadakan. Suami isteri dapat

kawin tanpa perjanjian perkawinan dengan status kebersamaan

harta perkawinan secara bulat (algehele gemeenschap van

goederen).

Pihak-pihak yang harus memberikan ”bantuan” yang

diperlukan oleh calon suami isteri adalah mereka yang harus

Page 61: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxi

memberikan izin untuk kawin. Tetapi, mereka dapat mempersulit

calon suami isteri itu dengan jalan menarik kembali izin kawinnya.

Apabila mereka yang memberikan hadiah (schenking)

menolak memberikan bantuan utuk mengubah perjanjian

perkawinan, maka dengan melepaskan schenking tersebut, calon

suami isteri masih dapat kawin dengan membuat perjanjian

perkawinan yang lain atau kawin dengan kebersamaan harta

perkawinan secara bulat (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena

Pohan, 2000 : 78).

b. Isi Perjanjian Perkawinan.

Asas-asas yang ditentukan dalam B.W. menyatakan, bahwa calon

suami isteri bebas untuk menentukan isi perjanjian perkawinan yang

mereka kehendaki. Pasal 139 B.W. menentukan bahwa dalam

perjanjian perkawinan, kedua calon suami isteri dapat menyimpang

dari ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam kebersamaan harta

kekayaan, dengan syarat penyimpangan-penyimpangan itu tidak

bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum (openbare orde).

Ketentuan yang demikian juga terdapat dalam pasal 23 A.B. yang

berlaku umum bagi setiap perjanjian, dengan demikian ketentuan pasal

139 B.W. tersebut diatas tidak diperlukan lagi karena dianggap terlalu

berlebihan

Asas kebebasan kedua belah pihak dalam menentukan isi

perjanjian perkawinan dibatasi dengan ketentuan-ketentuan sebagai

berikut (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 85) :

1) Perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan pasal 23 A.B.

tersebut diatas dan pasal 1335 B.W. yang menentukan, bahwa

perjanjian yang dibuat karena sebab (causa) palsu dan terlarang

tidak mempunyai kekuatan hukum. Hal tersebut sama dengan

larangan untuk kawin dengan lebih dari seorang istri atau larangan

Page 62: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxii

untuk minta cerai. Meskipun kedua hal tersebut tidak secara tegas

diatur dalam B.W., namun tidak diperkenankan dimuat dalam

perjanjian perkawinan.

2) Tidak dibuat janji-janji yang menyimpang dari :

a) Hak-hak yang timbul dari kekuasaan suami sebagai kepala

perkawinan (Pasal 140 ayat 1 KUHPerdata), misalnya hak

suami untuk menentukan tempat kediaman atau untuk

mengurus kebersamaan harta (Pasal 124 B.W.).

b) Hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua (ouder-lijke

macht), misalnya hak untuk mengurus harta kekayaan anak-

anak dan mengambil keputusan-keputusan mengenai

pendidikan atau mengasuh anak-anak (isi kekuasaan orang tua

ditentukan dalam Pasal 298 dan seterusnya).

c) Hak-hak yang ditentukan undang-undang bagi mempelai yang

hidup terlama (langstlevende echtgenoot) misalnya, untuk

menjadi wali dan berwenang untuk menunjuk seorang wali

dengan testament ( 2) a), b), c) diatur dalam pasal 140 B.W.).

3) Tidak dibuat perjanjian yang mengandung pelepasan hak atas harta

peninggalan orang-orang yang menurunkannya. Hal ini (Pasal 141

B.W.) dirasakan berlebihan (overbodig), oleh karena Pasal 1063

B.W. telah mengatur pula larangan untuk melepaskan hak mewaris

dari orang yang masih hidup.

Disamping itu, masih ada ketentuan lain yaitu Pasal 1334

ayat 2 B.W. yang melarang untuk melepaskan warisan yang belum

terbuka (jatuh meluang atau sama dengan de nog niet opengevallen

erfenis), meskipun dengan kesepakatan orang yang bersangkutan

sendiri.

4) Tidak dibuat perjanjian bahwa salah satu pihak akan memikul

hutang yang lebih besar, dari bagiannya dalam activa.

Page 63: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxiii

Beberapa sarjana hukum berpendapat, bahwa dalam hal ini,

passiva harus dibagi menurut imbangan activa.

Pitlo berpendapat bahwa perjanjian itu harus dianggap tidak

ada, sebab hal tersebut bertentangan dengan undang-undang.

Demikian berlakulah ketentuan-ketentuan tentang kebersamaan

harta perkawinan, artinya suami isteri masing-masing akan

menanggung separo bagian.

5) Calon suami isteri tidak boleh membuat perjanjian (beding) dengan

kata-kata umum (in algemene bewoordingen) bahwa hukum harta

perkawinan mereka akan diatur oleh Undang-undang negara asing,

atau oleh adat kebiasaaan, undang-undang, kitab undang-undang

atau peraturan-peraturan setempat yang berlaku di Indonesia.

Ketentuan ini diadakan untuk kepastian hukum. Jadi, yang

diperbolehkan adalah jika isi Undang-undang negara asing atau

hukum adat kebiasaan itu dirumuskan sedetail atau sejelas-

jelasnya.

c. Harta Benda Dalam Perkawinan.

Harta benda dalam perkawinan yang dapat ditentukan lain oleh

para pihak dalam perjanjian perkawinan menurut Penulis sedikit

terdapat perbedaan antara Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan

Kompilasi Hukum Islam.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat

menentukan lain mengenai harta bawaan. Seperti terdapat dalam pasal

35 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

yang berbunyi ”Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan

harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau

warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para

pihak tidak menentukan lain”.

Page 64: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxiv

Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat menentukan lain

mengenai harta bersama selama perkawinan. Seperti terdapat dalam

Pasal 139 KUHPerdata.

Harta bawaan dan harta bersama menurut Kompilasi Hukum

Islam memang sejak awal terpisah atau tidak ada percampuran harta.

Namun harta bawaan dapat ditentukan lain dalam perjanjian

perkawinan.

Sehingga dalam KUHPerdata, harta bawaan dan harta bersama

semuanya dianggap menjadi satu yaitu harta perkawinan. Jadi tidak

ada pembedaan jenis harta. Tetapi jenis harta dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dibedakan menjadi harta

bawaan dan harta bersama.

d. Pertimbangan-pertimbangan Diadakan Perjanjian Perkawinan.

Pertimbangannya adalah :

1) Dalam perkawinan dengan persatuan secara bulat.

Agar isteri terlindungi dari kemungkinan-kemungkinan

tindakan-tindakan beheer suami yang tidak baik. Tanpa adanya

pembatasan yang diperjanjikan isteri dalam perjanjian perkawinan,

suami mempunyai wewenang penuh atas harta persatuan, untuk

menghindarkan kemungkinan adanya tindakan-tindakan

beschikking atas barang-barang tak bergerak dan surat-surat

berharga tertentu milik isteri, yang dianggap oleh isteri bisa

merugikan dirinya, dapatlah isteri memperjanjikan dalam

perjanjian perkawinan, bahwa tanpa persetujuannya, suami tak

diperkenankan memindahtangankan ataupun membebani barang-

barang tak bergerak si isteri serta surat-surat pendaftaran dalam

buku besar tentang piutang umum, surat berharga lainnya dan

piutang atas nama isteri. Jadi disini yang diperjanjikan adalah

pembatasan atas wewenang beheer suami.

Page 65: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxv

2) Dalam perkawinan dengan harta terpisah :

a) Agar barang-barang tertentu atau semua barang-barang yang

dibawa suami atau isteri dalam perkawinan, tidak masuk dalam

persatuan harta perkawinan.

b) Agar harta pribadi tersebut terlepas dari beheer suami, dan

isteri mengurus sendiri harta tersebut (J. Satrio, 1991 : 148).

e. Tujuan Perjanjian Perkawinan.

Perjanjian perkawinan itu dibuat dengan tujuan (R. Soetojo

Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 74) :

1) ”Membatasi” atau ”meniadakan sama sekali” kebersamaan harta

kekayaan menurut Undang-undang.

2) Pemberian-pemberian hadiah (schenking) dari suami kepada isteri

atau sebaliknya, atau pemberian hadiah timbal balik antara suami

dan isteri (Pasal 168 B.W.).

3) ”Membatasi kekuasaan suami” terhadap barang-barang

kebersamaan yang ditentukan oleh Pasal 124 ayat 2 B.W., sehingga

”tanpa bantuan” isterinya, sang suami tidak dapat melakukan

perbuatan-perbuatan yang bersifat memutus (beschikken). Hal yang

sama berlaku juga terhadap benda-benda bergerak maupun tak

bergerak yang dibawa isteri (aanbrengst) atau terhadap benda-

benda yang diperolehnya sepanjang perkawinan yang

beratasnamakan isteri (Pasal 140 ayat 3 B.W.).

4) Sebagai testamen dari suami untuk isteri atau sebaliknya, atau

testamen timbal balik (Pasal 169 B.W.).

5) Pemberian hadiah (schenking) oleh ”pihak ketiga” kepada suami

dan atau isteri (Pasal 176 B.W.).

6) Sebagai testamen dari ”pihak ketiga” kepada suami dan atau isteri

(Pasal 178 B.W.).

Page 66: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxvi

Baik testamen maupun schenking yang dimaksud oleh point 4)

hingga 6) mungkin saja terjadi, jika kebersamaan harta kekayaan

dibatasi atau ditiadakan.

Dilain pihak, dalam point 5) dan 6) seperti yang telah disebutkan,

perjanjian kawin tersebut tidak hanya mengikat suami dan isteri saja,

akan tetapi juga mengikat pihak ketiga yang menjadi pihak (partij)

dalam perjanjian tersebut dan ikut serta menandatangani aktenya.

Selain penjelasan-penjelasan di atas, menurut ketentuan Pasal

140 ayat 2 B.W., seorang isteri masih dapat mengadakan pengurusan

atau pemeliharaan (beheer) atas harta kekayaan pribadinya.

f. Kebersamaan Harta Kekayaan Terbatas yang Diatur oleh Undang-

Undang.

Sampai sekarang, sebagian besar perkawinan dilangsungkan

tanpa perjanjian perkawinan, sehingga terjadi kebersamaan harta

secara bulat (algehele gemeenschap van goederen). Akan tetapi, suami

isteri mempunyai kebebasan untuk membatasi kebersamaan harta

tersebut menurut kehendak mereka, dengan catatan tidak melanggar

ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karenanya, suami

isteri dapat mengadakan beranekaragam kebersamaan harta terbatas.

Perlu diketahui bahwa kebersamaan harta terbatas yang beraneka

ragam itu tidak semuanya diatur oleh Undang-undang. Undang-undang

hanya mengatur kebersamaan terbatas, yaitu : kebersamaan untung dan

rugi (gemeenschap van winst en verlies) dan kebersamaan hasil dan

pendapatan (gemeenschap van vruchten en inkomsten) (R. Soetojo

Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 89).

1) Perjanjian perkawinan dengan kebersamaan untung dan rugi.

a) Tinjauan umum.

(1) Perjanjian perkawinan dengan kebersamaan untung dan

rugi terjadi bila calon suami isteri menyatakan dengan tegas

Page 67: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxvii

bahwa mereka menghendaki bentuk perjanjian perkawinan

itu dalam akte perjanjian perkawinan (Pasal 155 B.W.).

(2) Calon suami isteri meniadakan kebersamaan harta

kekayaan (Pasal 144 B.W.).

Dasar pemikiran (grondgedachte) untuk mengambil

bentuk perjanjian perkawinan dengan kebersamaan untung dan

rugi, adalah :

(1) Suami isteri masing-masing tetap memiliki sendiri-sendiri

harta kekayaan yang dimiliki pada saat perkawinan

dilangsungkan dan apa yang diperolehnya sepanjang

perkawinan yang sifatnya cuma-cuma (om niet).

(2) Semua barang yang diperoleh selama perkawinan mereka

menjadi milik bersama (R. Soetojo Prawirohamidjojo,

Marthalena Pohan, 2000 : 90).

Perjanjian perkawinan dengan persatuan atau

kebersamaan keuntungan dan kerugian terjadi bilamana bakal

suami isteri menyatakan dengan tegas-tegas bahwa mereka

menghendaki bentuk perjanjian perkawinan itu dalam akta

perjanjian perkawinannya, atau karena mereka dalam akta

perjanjian perkawinan itu menyatakan bahwa di dalamnya tidak

diadakan kebersamaan harta perkawinan sehingga dalam hal ini

dengan sendirinya ada kebersamaan keuntungan dan kerugian.

Apabila dalam akta perjanjian perkawinan itu juga

dikatakan bahwa tidak ada kebersamaan keuntungan dan

kerugian dan dari akta perjanjian perkawinan itu tidak dapat

kita simpulkan lain maka dianggap telah terjadi perjanjian

perkawinan tanpa ada kebersamaan sama sekali.

Pasal 155 B.W. lebih kurang menyatakan bahwa jika oleh

calon suami isteri hanya dijanjikan bahwa akan ada

Page 68: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxviii

kebersamaan keuntungan dan kerugian maka hal ini berarti

bahwa tidak akan ada kebersamaan seluruh harta perkawinan.

Pada pemutusan kebersamaan itu kemudian suami isteri akan

membagi untung rugi itu selama perkawinan.

Ketentuan tersebut dapat disimpulkan, bahwa (J. Satrio,

1991 : 175) :

(1) Antara suami isteri tidak ada persatuan bulat harta

perkawinan.

(2) Antara mereka masih ada persatuan harta yang terbatas,

yaitu persatuan untung dan rugi saja.

(3) Keuntungan dan kerugian menjadi hak dan tanggungan

suami isteri bersama-sama.

(4) Harta yang dibawa ke dalam perkawinan atau yang sudah

dipunyai pada saat pernikahan oleh suami isteri tetap

menjadi hak masing-masing yang suami atau isteri

membawanya atau memilikinya.

(5) Karena jarang ada orang yang menikah dengan tidak

membawa apa-apa ke dalam perkawinan, maka dalam

perkawinan tersebut akan terbentuklah lebih dari satu

kelompok harta, yaitu :

(a) Harta persatuan yang terbatas, yang berupa persatuan

untung dan rugi.

(b) Harta pribadi suami.

(c) Harta pribadi isteri.

Akan tetapi Pasal 165 B.W. mengatakan bahwa barang-

barang bergerak yang dibawa oleh suami maupun isteri harus

dicatat dalam perjanjian perkawinan atau dalam daftar yang

ditandatangani oleh suami, isteri dan notaris serta dilampirkan

dalam perjanjian perkawinan yang bersangkutan. Benda-benda

tetap (tidak bergerak) tidak disebut, karena benda-benda seperti

Page 69: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxix

itu umumnya tercatat atas nama pemiliknya. Sehingga dalam

perkawinan dengan persatuan untung dan rugi dan juga pada

persatuan hasil (pendapatan) tidak selalu ada 3 kelompok harta

dalam keluarga tersebut, mungkin hanya ada 2 saja.

b) Lahirnya Persatuan untung dan rugi

Pasal 144 B.W. lebih kurang menyatakan bahwa jika tidak

diadakan kebersamaan harta perkawinan maka hal ini bukanlah

berarti tidak diadakan kebersamaan keuntungan dan kerugian,

kecuali jika hal itu dengan tegas-tegas dinyatakan demikian (R.

Soetojo Prawirohamidjojo, Asis Safioedin, 1982 : 107).

Hal itu berarti bahwa, kalau suami isteri dalam perjanjian

perkawinan hanya memperjanjikan, bahwa antara mereka tidak

ada persatuan harta, maka di dalam harta perkawinan mereka

otomatis ada persatuan untung dan rugi, dengan demikian

adanya persatuan untung dan rugi dapat terjadi, karena (J.

Satrio, 1991 : 176) :

(1) Para pihak secara tegas memperjanjikan dalam perjanjian

perkawinan mereka, atau

(2) Para pihak hanya memperjanjikan bahwa antara mereka

tidak akan ada persatuan harta.

c) Akibat hukum persatuan untung dan rugi.

Semua keuntungan yang diperoleh dan semua kerugian

yang diderita sepanjang perkawinan menjadi bagian dan beban

suami isteri menurut perbandingan yang sama besarnya (J.

Satrio, 1991 : 176).

Namun kepada para pihak diberi kemungkinan untuk

menentukan lain (Pasal 156 B.W.). Dengan demikian dalam

persatuan untung dan rugi ada persatuan yang terbatas, yaitu

bahwa hanya untung dan rugi merupakan untung dan rugi

suami dan isteri. Di dalam perkawinan seperti ini umumnya ada

Page 70: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxx

harta pribadi suami dan/atau isteri, dengan demikian dalam

keluarga tersebut ada kemungkinan terbentuknya dua atau tiga

kelompok harta, yaitu harta pribadi suami, harta pribadi isteri

dan harta persatuan untung dan rugi (J. Satrio, 1991 : 177).

d) Keuntungan.

Pitlo berpendapat bahwa pengertian untung dan rugi

(winst en verlies) dapat digunakan dalam dua arti, yaitu :

(1) Sebagai saldo (sisa) yang ada pada akhir perkawinan

mereka.

(2) Sebagai keuntungan (winst) berupa semua activa.

Sedangkan kerugian (verlies) adalah semua passiva atas

kebersamaan harta perkawinan itu. (R. Soetojo

Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 90)

Pasal 157 menyatakan, bahwa yang dianggap sebagai

keuntungan adalah semua pertambahan nilai harta suami isteri

sepanjang perkawinan, yang muncul sebagai hasil dan

pendapatan dari :

(1) Barang-barang milik suami dan isteri.

(2) Kerja dan usaha suami dan isteri.

(3) Penanaman sisa pendapatan yang tak dibelanjakan.

Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa

penanaman kembali harta pribadi tetap menjadi harta pribadi.

Hasil yang keluar daripadanya merupakan harta bersama. Jadi

pokoknya merupakan harta pribadi, tetapi hasilnya masuk

persatuan.

e) Kerugian.

Menurut Pasal 157 B.W. yang dimaksud dengan kerugian

adalah tiap berkurangnya harta kekayaan disebabkan karena

pengeluaran yang melampaui pendapatan.

Page 71: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxxi

Rumusan tersebut menurut Pitlo hanya cocok untuk

”kerugian” dalam arti saldo, yaitu hutang-hutang yang pada

saat berakhirnya persatuan (terbatas) masih belum dilunasi.

Asas pokoknya adalah semua hutang yang dibuat untuk

kepentingan suami isteri bersama-sama masuk dalam

persatuan.

Berpegang pada asas tersebut, maka yang merupakan

passiva harta pribadi suami atau isteri adalah :

(1) Hutang-hutang yang sudah dipunyai pada waktu dan

karenanya dibawa ke dalam perkawinan oleh suami isteri.

(2) Hutang-hutang pribadi.

(3) Tagihan isteri atas kelalaian-kelalaian suami dalam

melaksanakan beheer atas harta pribadi isteri (J. Satrio,

1991 : 182).

2) Perjanjian perkawinan dengan kebersamaan hasil dan pendapatan

(R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 95).

Bahwa pada umumnya orang berpendapat kebersamaan

tersebut dalam banyak hal sama dengan kebersamaan untung dan

rugi. Perbedaannya, apabila kebersamaan tersebut menunjukkan

kerugian (saldo negatif) maka suami yang mengurus kebersamaan

itu, dengan kata lain, suami yang harus memikul seluruh kerugian.

Apabila kebersamaan itu menimbulkan keuntungan, maka

keuntungan ini dibagi antara suami isteri. Jadi bagi isteri yang tidak

mengurus kebersamaan hanya ada kemungkinan untuk mendapat

sebagian dari keuntungan, dan tidak ada kemungkinan untuk

diwajibkan turut memikul sebagian dari kerugian. Hutang-hutang

bersama termasuk dalam kebersamaan, untuk hutang-hutang, pihak

isteri tidak bertanggung jawab, dan itu harus dibayar oleh

kebersamaan. Apabila harta bersama tidak cukup untuk membayar

hutang-hutang tersebut, maka sisanya harus dibayar oleh suami.

Page 72: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxxii

Hutang-hutang si isteri sendiri, bukan termasuk dalam hutang

kebersamaan sehingga dengan demikian harus dibayar oleh isteri.

g. Peniadaan Terhadap Setiap Kebersamaan Harta Kekayaan.

Setiap kebersamaan harta kekayaan pada umumnya ditiadakan.

Untuk meniadakan setiap kebersamaan, maka dalam akte perjanjian

perkawinan harus ditentukan dengan tegas bahwa kebersamaan harta

dan kebersamaan untung dan rugi ditiadakan (Pasal 144 B.W.). Sudah

merupakan kebiasaan dalam praktek notaris, bahwa dalam akte

tersebut kebersamaan hasil dan pendapatan juga ditiadakan karena

sesungguhnya hak tersebut tidak perlu sifatnya (R. Soetojo

Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 96).

Setiap peniadaan kebersamaan hanya ada dua kemungkinan

dalam harta kekayaan, yaitu harta kekayaan milik pribadi suami dan

milik pribadi isteri. Tidak ada kemungkinan adanya harta kekayaan

ketiga yang termasuk dalam suatu kebersamaan harta kekayaan

terbatas (R. Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 96).

h. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan.

Perjanjian perkawinan dalam KUHPerdata maupun Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah suatu

perjanjian mengenai harta benda suami isteri selama perkawinan

mereka, yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh

Undang-undang, karena pada kedua peraturan tersebut pada dasarnya

harta yang didapat selama perkawinan menjadi satu, menjadi harta

bersama. Sehingga perjanjian perkawinan ini dibuat untuk

mengadakan penyimpangan terhadap persatuan harta kekayaan

tersebut.

Ada berbagai macam alasan orang memperjanjikan terpisahnya

harta atau harta tertentu dan/atau pengelolaan atas harta tertentu di

dalam perjanjian kawin. Dimana dalam perkawinan dengan persatuan

Page 73: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxxiii

harta secara bulat atau dengan harta terpisah, pasti ada akibat yang

terjadi.

Adapun alasan dan akibat yang mungkin timbul dari perjanjian

perkawinan ini, antara lain :

1) Dalam perkawinan dengan persatuan secara bulat. Dimana

mempunyai akibat istri terlindungi dari kemungkinan-

kemungkinan tindakan semena-mena suami atas harta tak bergerak

dan harta bergerak tertentu lainnya, yang dibawa isteri ke dalam

perkawinan. Tanpa adanya pembatasan yang diperjanjikan isteri

dalam perjanjian perkawinan, suami mempunyai wewenang penuh

atas harta persatuan. Termasuk semua harta yang dibawa isteri ke

dalam persatuan tersebut.

2) Dalam perkawinan dengan harta terpisah, adanya perjanjian

merupakan perlindungan bagi isteri terhadap kemungkinan

dipertanggung-jawabkannya harta tersebut terhadap utang-utang

yang dibuat oleh suami atau sebaliknya.

Akibat hukum lain dari dibuatnya perjanjian perkawinan sudah

pasti adalah pisahnya harta yang didapat pada saat sebelum

perkawinan berlangsung maupun selama perkawinan berlangsung

sesuai dengan apa yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan.

Apabila salah satu pihak tidak menjalankan isi dari perjanjian

perkawinan, maka hal itu dapat dijadikan alasan dalam penggugatan

cerai. Perjanjian perkawinan juga dapat mengikat kepada pihak ketiga

selama pihak ketiga juga terlibat dalam pembuatan perjanjian

perkawinan tersebut.

D. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan dan Ketentuan Hukum yang

Dipakai bila Terjadi Perceraian.

1. Berakhirnya Perkawinan.

Page 74: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxxiv

Sesuai dengan tujuan diadakannya perkawinan untuk membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa, maka segala hal yang dapat menjadi pemicu berakhirnya

perkawinan sebaiknya dihindari. Di sini Penulis akan memberikan

gambaran mengenai sebab putusnya suatu perkawinan.

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

pasal 38, perkawinan dapat putus karena 3 hal, yaitu :

a. Kematian

b. Perceraian, dan

c. Atas keputusan Pengadilan

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 199 B.W., suatu perkawinan dapat

putus oleh sebab :

a. Kematian.

b. Ketidakhadiran di tempat oleh salah satu pihak selama 10 tahun dan

diikuti dengan perkawinan baru oleh suami atau isteri sesuai dengan

ketentuan-ketentuan Pasal 199 jo pasal 493-495 B.W..

c. Keputusan hakim sesudah pisah meja dan tempat tidur yang

didaftarkan dalam daftar Catatan Sipil (Pasal 199 jo Pasal 200-206b

B.W.).

d. Perceraian sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam bagian ketiga Bab

10 (Pasal 207-232a B.W.).

Penulis akan menguraikan sedikit penjelasan dari salah satu

penyebab putusnya perkawinan dari bermacam-macam penyebab putusnya

perkawinan tersebut di atas, yaitu perceraian.

2. Tinjauan Umum tentang Perceraian.

a. Pengertian Perceraian.

Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan

hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu (Subekti,

1995 : 42).

Pendapat lain mengenai perceraian adalah salah satu cara

pembubaran perkawinan karena suatu sebab tertentu, melalui

Page 75: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxxv

keputusan hakim yang didaftarkannya pada Catatan Sipil (R. Soetojo

Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan, 2000 : 135).

Sementara itu perceraian dalam istilah Figh disebut ”talak” atau

”furqah”. Adapun arti daripada talak ialah membuka ikatan

membatalkan perjanjian. Sedangkan ”Furqah” artinya bercerai, yaitu

lawan dari berkumpul (Soemiyati, 1986 : 103).

Kemudian kedua kata itu dipakai oleh para ahli Figh sebagai satu

istilah, yang berarti : perceraian antara suami isteri. Perkataan talak

dalam istilah Figh mempunyai dua arti, yaitu arti yang umum dan arti

yang khusus.

Talak menurut arti yang umum ialah segala macam bentuk

perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh

Hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau

perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri

(Soemiyati, 1986 : 103).

Talak dalam artinya yang khusus ialah perceraian yang

dijatuhkan oleh pihak suami (Soemiyati, 1986 : 104).

b. Alasan-alasan Perceraian.

Dalam Pasal 209 B.W., disebutkan beberapa alasan dari

perceraian, yaitu :

1) Zina.

2) Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad buruk.

3) Dikenakan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih

berat lagi, setelah dilangsungkan perkawinan.

4) Pencideraan berat atau penganiayaan, yang dilakukan oleh salah

seorang dari suami isteri itu terhadap yang lainnya sedemikian

rupa, sehingga membahayakan keselamatan jiwa, atau

mendatangkan luka-luka yang berbahaya.

Sedangkan alasan perceraian dalam Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Page 76: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxxvi

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 19,

adalah :

1) Salah satu pihak zina, pemabok, pemadat, penjudi dan lain

sebagainya yang sulit untuk disembuhkan.

2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-

turut tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau

karena hal lain di luar kemampuannya.

3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 tahun atau

hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4) Salah satu pihak melakukan penganiayaan berat yang

membahayakan pihak yang lain.

5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.

6) Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga.

c. Gugurnya Hak untuk Menuntut Perceraian.

Hak untuk menuntut perceraian menjadi gugur, apabila (R.

Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan , 2000 : 145) :

1) Terjadi perdamaian (verzoening atau rujuk) antara suami dengan

isteri. Perdamaian guna menggugurkan hak untuk menuntut

perceraian dapat terjadi, baik sebelum maupun sesudah gugat

diajukan (Pasal 216 B.W.).

2) Dasar tuntutan perceraian adalah Pasal 209 sub 2 B.W., dan pihak

yang meninggalkan rumah bersama tanpa alasan yang sah telah

beralih ke rumah tersebut (Pasal 218 B.W.).

3) Suami atau isteri yang telah dipidana oleh hakim pidana karena

berzinah atau telah dijatuhi pidana selama 5 tahun atau lebih berat,

dan pihak yang lain tidak mengajukan gugat cerai dalam waktu 6

bulan setelah keputusan tersebut mempunyai kekuatan yang tetap.

Page 77: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxxvii

4) Alasan-alasan yang dapat digunakan untuk menuntut gugat cerai

telah diajukan sebagai alasan untuk gugat pisah meja dan tempat

tidur (Pasal 235 B.W.),

5) Salah satu pihak meninggal dunia sebelum putusan cerai

dijatuhkan.

d. Akibat-akibat Perceraian.

Akibat perceraian dalam Pasal 41 Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah :

1) Bapak dan ibu tetap berkewajiban untuk mendidik dan memelihara

anak dan apabila ada perselisihan mengenai penguasaan maka

Pengadilan yang memberi keputusan.

2) Bapak bertanggung-jawab dalam pembiayaan atas pemeliharaan

dan mendidik anak. Apabila bapak dalam kenyataannya tidak

mampu melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat

menentukan bahwa ibu juga ikut memikul biaya tersebut.

3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk

memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu

kewajiban kepada bekas isteri.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dicantumkan suatu asas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk

membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, dengan pengertian

bahwa untuk itu perlu dipersukar terjadinya perceraian.

3. Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan dan Ketentuan Hukum yang

Digunakan bila Terjadi Perceraian.

Mengenai banyaknya pengaturan akan hukum perkawinan ini,

sebenarnya bangsa Indonesia telah lama mempunyai cita-cita untuk

memiliki satu peraturan tentang perkawinan yang bersifat nasional, dalam

arti berlaku untuk seluruh golongan masyarakat bangsa Indonesia dan

berlaku untuk seluruh wilayah negara Indonesia. Cita-cita tersebut disebut

dengan cita-cita akan unifikasi peraturan perkawinan dan cita-cita tersebut

telah diwujudkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Page 78: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxxviii

Perkawinan (beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya), yang telah

mendapat pengesahan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974,

dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974, karena itu orang

seringkali menyebutnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 atau

Undang-undang Perkawinan.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang

terdiri atas 14 Bab yang meliputi 67 pasal ini, mengatur hal-hal sebagai

berikut (K. Wantjik Saleh, 1976 : 4) :

a. Dasar perkawinan (Bab I : Pasal 1 sampai dengan pasal 5).

b. Syarat-syarat perkawinan (Bab II : Pasal 6 sampai dengan pasal 12).

c. Pencegahan perkawinan (Bab III : Pasal 13 sampai dengan pasal 21).

d. Batalnya perkawinan (Bab IV : Pasal 22 sampai dengan pasal 28).

e. Perjanjian perkawinan (Bab V : Pasal 29).

f. Hak dan kewajiban suami isteri (Bab VI : Pasal 30 sampai dengan

pasal 34).

g. Harta benda dalam perkawinan (Bab VII : Pasal 35 sampai dengan

pasal 37).

h. Putusnya perkawinan serta akibatnya (Bab VIII : Pasal 38 sampai

dengan pasal 41).

i. Kedudukan anak (Bab IX : Pasal 42 sampai dengan pasal 44).

j. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak (Bab X : Pasal 45

sampai dengan pasal 54).

k. Perwalian (Bab XI : Pasal 50 sampai dengan pasal 54).

l. Pembuktian asal usul anak (Bab XII : Bagian Pertama ; Pasal 55).

m. Perkawinan di luar Indonesia (Bab XII : Bagian Kedua ; Pasal 56).

n. Perkawinan campuran (Bab XII : Bagian Ketiga ; Pasal 57 sampai

dengan pasal 62).

o. Pengadilan (Bab XII : Bagian Keempat ; Pasal 63).

p. Ketentuan peralihan (Bab XIII : Pasal 64 sampai dengan pasal 65).

q. Ketentuan penutup (Bab XIV : Pasal 66 sampai dengan pasal 67).

Page 79: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxxix

Kita dapat katakan, bahwa Undang-undang Perkawinan (Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974) berisi ketentuan-ketentuan tentang hukum

keluarga. Hubungan yang muncul dari hubungan kekeluargaan meliputi

antara lain (J. Satrio, 1991 : 4) :

a. Perkawinan, dalam mana termasuk hubungan hukum kekayaan antara

suami isteri

b. Hubungan orang tua dan anak

c. Hubungan wali dan anak yang dibawah perwaliannya

d. Hubungan curator dan curandus

Sehingga hukum keluarga meliputi perkawinan dengan semua segi-

seginya, akibat yang timbul dari adanya perkawinan (peristiwa-peristiwa

hukum yang hanya mungkin timbul karena adanya perkawinan) dan

bahkan seringkali mengatur hubungan antara orang dengan anak luar

kawinnya, yang tidak dapat dikatakan merupakan akibat suatu perkawinan,

karena memang antara si bapak dengan si ibu yang melahirkan anak

tersebut tidak ada ikatan perkawinan. Walaupun demikian kiranya tidak

ada tempat yang lebih tepat untuk mengatur hal tersebut selain dalam

hukum keluarga dan sampai kini tidak ada yang menyatakan keberatannya

(J. Satrio, 1991 : 4).

Perkawinan mempunyai akibat hukum tidak hanya terhadap diri

pribadi mereka-mereka yang melangsungkan perkawinan. Hak dan

kewajiban yang mengikat pribadi suami-isteri tetapi lebih dari itu

mempunyai akibat hukum pula terhadap harta suami isteri tersebut.

Hubungan hukum kekeluargaan dan hubungan hukum kekayaan terjalin

sedemikian eratnya sehingga keduanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat

dipisahkan. Hubungan hukum kekeluargaan menentukan hubungan hukum

kekayaannya dan hukum harta perkawinan tidak lain merupakan hukum

kekayaan keluarga (J. Satrio, 1991 : 4).

Mengenai cara pengaturan dan asas-asas hukum perkawinan menurut

Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka akan

nampak pada kita bahwa Undang-undang tersebut hanya mengatur hal-hal

Page 80: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxxx

yang pokok saja, mengenai asas-asas saja, sedang penjabarannya lebih

lanjut didasarkan atas ketentuan lain atau akan dituangkan dalam peraturan

pelaksanaannya yang akan dibuat kemudian (tersendiri). Kesimpulan yang

demikian didasarkan atas adanya kata-kata “....menurut hukum masing-

masing agama dan kepercayaannya....”, “....menurut perundang-undangan

yang berlaku....”, “....diatur menurut hukumnya masing-masing” atau

“....diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri”. Selain

mempunyai cara-cara pengaturan seperti tersebut di atas, Undang-undang

Perkawinan ini juga didasarkan atas asas-asas tertentu yang perlu

mendapat perhatian kita untuk dapat memahaminya lebih lanjut.

Berdasar ketentuan Pasal 66 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan yang berbunyi :

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S. 1993 Nomor 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op degemengde Huwelijken S. 1898 Nomor 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.

Ketentuan tersebut menghapus semua ketentuan yang mengenai

perkawinan, sepanjang sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain yang sudah disebutkan di dalam

isi pasal tersebut, Pasal 66 juga menghapus peraturan-peraturan lain yang

meliputi semua ketentuan yang ada di luar peraturan-peraturan yang telah

disebutkan di atas, termasuk di dalamnya ketentuan-ketentuan yang tidak

tertulis atau Hukum Adat.

Dari isi pasal tersebut, untuk ketentuan-ketentuan yang perlu

pengaturan lebih lanjut sebelum ada peraturan pelaksanaannya belum

dapat dilaksanakan. Hal ini diperkuat dengan isi Pasal 67, yang

mengatakan bahwa Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal

Page 81: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxxxi

diundangkan, yang pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

Kemudian Pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tertanggal 1 April 1975 dengan

judul Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan yang memuat Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974. Tetapi sayang sekali, karena di dalamnya hanya memuat

peraturan pelaksanaan sebagian dari Undang-undang Perkawinan saja.

Sehingga ada bagian-bagian yang belum siap peraturan pelaksanaannya.

Jika ada pengadilan-pengadilan yang memperoleh perkara mengenai

permasalahan yang belum ada peraturan pelaksanaannya, maka timbul

keragu-raguan pada Pengadilan-pengadilan yang sesudah tanggal tersebut

menerima perkara. Karena akan menggunakan ketentuan hukum yang

mana sebagai patokan atau pegangan.

Adanya permasalahan ini, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat

Nomor M.A./Pemb./0807/75 dengan judul Petunjuk-petunjuk M.A.

mengenai Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

dan P.P. Nomor 9 tahun 1975 untuk memberikan pedoman kepada Badan

Peradilan yang ada di bawahnya untuk mengatasi keragu-raguan dalam

menangani kasus-kasus yang belum ada peraturan pelaksanaannya.

Walaupun Surat M.A. bukan merupakan ketentuan umum, tetapi

mengingat peraturan tersebut ditujukan kepada Pengadilan dan Pengadilan

Tinggi, masyarakat akan berusaha untuk menyesuaikan tindakan dan

keputusannya dengan surat tersebut. Mengingat M.A. adalah sebagai

penjaga gawang yang terakhir.

Mengenai pengertian “belum dapat diberlakukan secara efektif”

adalah berarti belum bisa diterapkan dalam kasus yang muncul dalam

praktek karena belum ada peraturan pelaksanaannya. M.A. sendiri telah

mengemukakan pendiriannya seperti itu, seperti yang nampak pada

keputusannya tanggal 15 Februari 1977 Nomor 726K/Sip/1976, dalam

mana dipertimbangkan, bahwa “sekalipun Undang-undang Nomor 1

Page 82: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxxxii

Tahun 1974 tentang Perkawinan telah berlaku, tetapi untuk

pelaksanaannya masih memerlukan peraturan pelaksanaannya dan karena

hingga kini peraturan pelaksanaannya yang mengatur sebagai pengganti

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam B.W. belum ada, maka bagi

penggugat dan tergugat yang adalah WNI keturunan Cina masih berlaku

ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan yang tercantum dalam

KUHPerdata (B.W.).

Ada berbagai pemikiran, apakah surat M.A. tersebut benar harus

ditafsirkan demikian yang dengan kata lain berarti Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk sementara sepanjang mengenai

bagian yang belum ada peratuan pelaksanaannya paling tidak untuk

mereka-mereka yang tunduk pada B.W. boleh kita abaikan atau dengan

perkataan lain kita anggap seakan-akan tidak ada. Apakah penafsiran

seperti itu sudah betul atau belum? Penulis mencoba menghubungkan

kata-kata “….belum dapat diperlakukan secara efektif….” dengan anak

kalimat selanjutnya “....dengan sendirinya untuk hal-hal itu masih

diberlakukan ketentuan-ketentuan hukum dan perundang-undangan lama”.

Analisis Penulis dari kalimat ini adalah bahwa penyebab Undang-undang

perkawinan belum dapat dilaksanakan secara efektif adalah karena belum

adanya peraturan pelaksanaan. Namun peraturan pokoknya sudah ada,

hanya peraturan pelaksanaannya saja yang belum. Kemudian kata-kata

“….dengan sendirinya....”, bisa diartikan peraturan pelaksanaannya masih

menggunakan ketentuan lama. Sehingga pokoknya atau asasnya kita pakai

ketentuan Undang-undang Perkawinan sedangkan pelaksanaannya masih

menggunakan ketentuan lama.

Akan tetapi bahwa seluruh ketentuan-ketentuan hukum tersusun di

dalam suatu sistem, di dalam mana tidak boleh ada pertentangan antara

ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lain. Konsekuensinya adalah

bahwa kalau kita mau menggunakan ketentuan lama sebagai peraturan

pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, maka keduanya harus

didasarkan atas asas-asas yang sama.

Page 83: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxxxiii

Mengenai ketentuan perjanjian perkawinan, dimana isi perjanjian

perkawinan berdampak sangat luas terhadap harta perkawinan, maka kita

harus berhati-hati mengenai pengaturannya. Apabila kita akan menerapkan

ketentuan hukum dalam Undang-undang Perkawinan sebagai pokok

terhadap mereka yang tunduk pada B.W. dan menggunakan ketentuan B.W.

sebagai peraturan pelaksanaannya, kita harus mengetahui terlebih dahulu

apakah antara keduanya tidak ada perbedaan dalam asasnya. Akan tetapi,

antara B.W. dan Undang-undang Perkawinan terdapat perbedaan asas yang

cukup besar. Sehingga tidak begitu saja ketentuan B.W. dipakai terutama

bagi orang-orang yang tunduk pada B.W.

Sehingga kata-kata “….masih diperlakukan ketentuan-ketentuan

hukum dan perundang-undangan yang lama” berarti benar-benar belum

dapat dilaksanakan dan bagi mereka masih berlaku ketentuan lama atau

B.W. dengan konsekuensinya untuk sementara ketentuan dalam Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bagi mereka boleh kita

abaikan.

Kita akan meninjau Undang-undang Pekawinan dengan Hukum

Adat. Permasalahan disini tetap sama, yaitu peraturan pokoknya sudah ada

dan peraturan pelaksanaannya belum ada. Tetapi permasalahan akan lain

kalau peraturan pelaksanaan yang akan dipinjam adalah dari Hukum Adat,

karena menurut pendapat para pakar hukum perdata, hukum harta

perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan mendasarkan pada asas

Hukum Adat. Sehingga mengenai pengaturan perjanjian perkawinan juga

didasarkan pada Hukum Adat, karena isi perjanjian perkawinan adalah

mengenai harta dalam perkawinan.

Hal ini tidak berarti yang berlaku adalah Hukum Adat. Tetapi hukum

harta perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan mengambil prinsip

yang sama dengan Hukum Adat, karena asasnya sama, maka kita tidak

heran kalau mereka berpendapat bahwa hukum harta perkawinan menurut

Undang-undang Perkawinan sudah dapat dilaksanakan tanpa menunggu

peraturan pelaksanaannya.

Page 84: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxxxiv

Mahkamah Agung sendiri dalam salah satu keputusannya

mempertimbangkan, bahwa “.... terutama setelah Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974 berlaku sebagai hukum positif, bahwa harta benda yang

diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga....”. Di sini

dapat disimpulkan bahwa M.A. sendiri pernah berpendapat bahwa

Undang-undang Perkawinan sudah berlaku tanpa menunggu peraturan

pelaksanaannya lebih lanjut.

Tinjauan lain adalah terhadap Keputusan Pengadilan sesudah tahun

1975 yang mengadili perkara mengenai harta perkawinan. Bahwa perkara

yang mana pihaknya tunduk kepada Hukum Adat, banyak keputusan yang

mendasarkan pada Hukum Adat. Hal ini nampak pada masih

digunakannya istilah harta gono-gini, harta suarang atau serikat dan harta

asal. Memang antara hukum harta perkawinan menurut Hukum Adat dan

menurut Undang-undang Perkawinan ada persamaan asas yang cukup

besar. Tetapi bukan berarti bahwa hukum harta perkawinan menurut

Undang-undang Perkawinan adalah Hukum Adat, yang benar adalah

mendasarkan pada asas Hukum Adat. Apalagi berdasarkan Pasal 66

Undang-undang Perkawinan semua ketentuan hukum lama mengenai hal-

hal yang sudah ada pengaturannya di dalam Undang-undang Perkawinan

tidak berlaku lagi, tentunya termasuk juga istilah-istilah Hukum Adat,

yang sudah ada istilahnya tersendiri dalam Undang-undang Perkawinan,

dengan cara berfikir seperti itu, maka Hukum Adat selanjutnya hanya

dipakai sebagai peraturan pelaksanaannya saja dan ketentuan Undang-

undang Perkawinan tetap sebagai pokok.

Kenyataan bahwa Pengadilan tanpa penjelasan apa-apa masih

menggunakan istilah-istilah adat, memberikan petunjuk kepada kita bahwa

pengadilan masih berpendapat bahwa bagi mereka yang tunduk pada

Hukum Adat masih berlaku Hukum Adat. Namun bagi mereka yang

tunduk pada B.W., Undang-undang Perkawinan belum dapat dilaksanakan.

Jadi Surat M.A. ditafsirkan khususnya untuk hukum harta perkawinan

masih berlaku ketentuan-ketentuan lama.

Page 85: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxxxv

Pendapat dan pikiran seperti tersebut berlangsung bertahun-tahun,

sampai M.A. memberikan suatu keputusan yang mengejutkan, yaitu

Keputusan Nomor 2690K/Pdt/1985 yang menetapkan, bahwa untuk

penjualan harta besama harus ada persetujuan dari suami atau isterinya,

dan persetujuan di sini diartikan sebagai persetujuan secara tegas.

Sekalipun keputusan tersebut bukan merupakan ketentuan umum dan

belum tentu M.A. dalam kasus-kasus berikutnya yang sejenis akan

memberikan keputusan yang sama. Namun mengapa keputusan tersebut

mengejutkan? Sebelum itu M.A. dalam Keputusannya Nomor

263K/Sip/1976 tertanggal 13 November 1978 sudah mengatakan bahwa

penjualan harta bersama harus dengan persetujuan isteri atau paling tidak

istri ikut hadir pada waktu jual beli diadakan. Mengapa pada waktu itu

tidak ada reaksi apa-apa, seakan-akan bukan kejutan? Karena dalam

keputusan tersebut para pihaknya adalah orang-orang yang tunduk pada

Hukum Adat dan antara Hukum Adat dan Undang-undang Perkawinan ada

persamaan dalam asasnya. Orang tidak merasakan perubahan dalam

pelaksanaan hukum harta perkawinan dalam keputusan tersebut. Tetapi

masalahnya menjadi lain kalau para pihaknya dalam peristiwa tersebut

adalah orang-orang yang tunduk pada B.W.. Keputusan tersebut diatas

pengaruhnya akan besar sekali terhadap mereka, karena mereka dalam

tindakan hukumnya selama ini mendasarkan kepada ketentuan yang

selama ini mereka anggap masih tetap berlaku yaitu ketentuan B.W.

khususnya Pasal 124. Atas dasar apa yang dikemukakan di atas, maka

Keputusan M.A. tersebut yang mengatakan bahwa “Yurisprudensi M.A.

Nomor 681K/Sip/1975 dan berdasarkan Pasal 36 ayat 1 Undang-undang

Perkawinan sudah menentukan bahwa untuk penjualan harta bersama

harus ada persetujuan isteri atau suami”, bila dibenarkan bagi mereka-

mereka yang tunduk pada Hukum Adat, tetapi adalah tidak tepat bagi

mereka yang tunduk pada B.W.

Mengingat perjanjian perkawinan berisi mengenai harta dalam

perkawinan, dan berdasar Surat Edaran M.A. mengenai Petunjuk-petunjuk

Page 86: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxxxvi

Mahkamah Agung mengenai Pelaksanaan Undang-undang nomor 1 Tahun

1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam point 4 yaitu,

“Harta benda dalam perkawinan, kedudukan anak, hak dan kewajiban

antara orang tua dan anak serta perwalian, ternyata tidak diatur dalam P.P.

tersebut karenanya belum dapat diperlakukan secara efektif dan dengan

sendirinya untuk hal-hal itu masih diperlakukan ketentuan-ketentuan

hukum dan perundang-undangan lama”. Sekalipun Surat Mahkamah

Agung bukan merupakan ketentuan umum, tetapi mengingat peraturan

tersebut ditujukan kepada Pengadilan dan Pengadilan tinggi, yang tidak

lain adalah badan yang akan menampung masalah-masalah yang tidak

dapat diselesaikan secara damai antara pihak, dengan Mahkamah Agung

sebagai penjaga gawang yang terakhir, maka dapat diharapkan bahwa

anggota masyarakat akan berusaha untuk menyesuaikan tindakan dan

keputusannya dengan Surat tersebut.

Perbedaan pendapat dalam menemukan kepastian hukum itu adalah

hal yang biasa, namun di sini bahwa persetujuan-persetujuan antara pihak-

pihak yang berkepentingan, yang kemudian menjadi “perjanjian” disebut

juga sebagai sumber hukum formil. Activa membuat perjanjian oleh pihak-

pihak itu dinamakan : perbuatan hukum. Selanjutnya hasil dari activa itu

ialah terciptanya ketentuan-ketentuan yang merupakan isi dari perjanjian

tersebut, dan merupakan ketentuan yang mengikat para pihak yang

membuatnya secara syah. Syahnya suatu perjanjian yang dibuat oeh para

pihak yang berkepentingan, memang harus dipenuhi beberapa persyaratan

yang telah ditentukan atau ditetapkan dalam peraturan hukum atau

Undang-undang (J.D. Sihombing Purwoatmodjo, C. Gunarti

Purwoatmodjo, Rachmadi, 1999 : 131).

Di Indonesia, berlaku ketentuan dari Pasal 1320 B.W., yaitu bahwa

untuk syahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat, yaitu :

a. Sepakat (persesuaian kehendak) mereka yang mengikatkan diri.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan atau perjanjian.

c. Mengenai hal tertentu.

Page 87: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxxxvii

d. Oleh suatu sebab yang halal.

Dalam sistem Buku III B.W., bahwa Buku III B.W. terdiri atas suatu

bagian umum dan suatu bagian khusus. Bagian umum memuat peraturan-

peraturan yang berlaku bagi perikatan umumnya, misalnya tentang

bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan

sebagainya. Bagian khususnya memuat peraturan-peraturan mengenai

perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan yang

sudah mempunyai nama-nama tertentu, misalnya jual beli, sewa-menyewa,

perjanjian perburuhan, maatschap, pemberian (schenking) dan lain

sebagainya (Subekti, 1995 : 127).

Buku III B.W. ini menganut asas kebebasan dalam membuat

perjanjian yang dapat disimpulkan dari Pasal 1338 B.W., yang berisi :

“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-undang

berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Dalam isi Pasal 1338 tersebut, maka Penulis dapat menyimpulkan

bahwa semua persetujuan ataupun perjanjian yang dibuat dapat berlaku

sebagai Undang-undang dan mengikat kedua belah pihak yang

membuatnya. Buku III B.W. memberikan kebebasan seseorang membuat

suatu perjanjian. Asalkan perjanjian tersebut tidak melanggar ketertiban

umum atau kesusilaan yang diatur di dalam Buku III B.W.. Tetapi pada

umumnya juga diperbolehkan mengesampingkan peraturan-peraturan yang

termuat dalam Buku III B.W. itu. Dengan kata lain peraturan-peraturan

yang disediakan dalam Buku III B.W. ini dipakai untuk para pihak yang

berkontrak tidak menentukan atau tidak membuat peraturan sendiri.

Dengan kata lain peraturan-peraturan dalam Buku III B.W., pada

umumnya hanya merupakan hukum pelengkap saja.

Hukum pelengkap, yaitu hukum yang mempunyai sifat fakultatif

artinya mengikat mutlak atau tidak wajib dipenuhi, dan dapat

dikesampingkan jika di dalam hubungan konkrit (perjanjian) para pihak

membuat peraturan sendiri. Maka hukum pelengkap adalah bersifat tidak

Page 88: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxxxviii

memaksa dan bersifat melengkapi. Sering disebutkan sebagai hukum yang

mengatur, tetapi hal ini sebenarnya tidak tepat, karena setiap hukum

adalah bersifat mengatur (J.D. Sihombing Purwoatmodjo, C. Gunarti

Purwoatmodjo, Rachmadi, 1999 : 138).

Sehingga disini Penulis dapat menyimpulkan berdasar metode

penafsiran sistematis bahwa karena di dalam Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur secara rinci mengenai

perjanjian perkawinan, maka berdasar Pasal 66 Undang-undang tersebut

bahwa ketentuan lama dapat dipakai sebagai peraturan pelaksanaan bisa

digunakan. Sebatas Undang-undang Perkawinan belum mengatur saja.

Namun di dalam Buku III B.W. pasal 1338 menyatakan bahwa persetujuan

yang dibuat sesuai dengan Undang-undang dapat berlaku sebagai Undang-

undang bagi yang membuatnya, karena perjanjian antara pihak-pihak juga

merupakan sumber hukum formil. Sehingga di dalam perjanjian

perkawinan, ketentuan hukum yang dipakai sebagai pegangan dalam

Hakim memutus persoalan apabila kedua belah pihak dalam hal ini suami-

isteri bercerai adalah isi perjanjian perkawinan tersebut.

Mengenai tujuan awal dibuatnya perjanjian perkawinan, antara lain

adalah :

a. Membatasi atau meniadakan sama sekali kebersamaan harta

kekayaan menurut undang-undang.

b. Mengenai pemberian-pemberian hadiah (schenking) dari suami

kepada isteri atau sebaliknya, atau pemberian hadiah timbal balik

antara suami dan isteri (Pasal 168 B.W.).

c. Membatasi kekuasaan suami terhadap barang-barang kebersamaan

yang ditentukan oleh Pasal 124 ayat 2 B.W., sehingga tanpa bantuan

isterinya, suami tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang

bersifat memutus (beschikken). Hal yang sama berlaku juga terhadap

benda-benda bergerak maupun tak bergerak yang dibawa isteri

Page 89: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

lxxxix

(aanbrengst) atau terhadap benda-benda yang diperolehnya sepanjang

perkawinan yang beratasnamakan isteri (Pasal 140 ayat 3 B.W.).

d. Sebagai testamen dari suami untuk isteri atau sebaliknya, atau

testamen timbal balik (Pasal 169 B.W.).

e. Pemberian hadiah (schenking) oleh pihak ketiga kepada suami dan

atau isteri (Pasal 176 B.W.).

f. Sebagai testamen dari pihak ketiga kepada suami dan atau isteri

(Pasal 178 B.W.).

g. Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada

salah satu pihak daripada pihak yang lain.

h. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (aanbrengst)

yang cukup besar.

i. Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andaikata

salah satu jatuh failliet, yang lain tidak tersangkut.

j. Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing

akan bertanggung-jawab sendiri-sendiri.

Sehingga karena perjanjian perkawinan dipakai oleh Hakim sebagai

pegangan dalam memutus perkara mengenai harta dalam perkawinan,

diharapkan sesuai dengan tujuan dipakainya perjanjian perkawinan, maka

aset dan kepentingan para pihak dalam hal ini adalah suami dan isteri

dapat terlindungi.

Page 90: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xc

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan.

Penulis memberikan beberapa kesimpulan dari skripsi ini, antara lain :

1. Bahwa perjanjian perkawinan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan diperkenankan. Pengaturan mengenai perjanjian

perkawinan tersebut terdapat di dalam Pasal 29. Namun mengenai

pengaturannya tidak selengkap seperti di dalam B.W.. Pasal 29 Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur

mengenai saat berlakunya perjanjian perkawinan, siapa yang berwenang

dalam pembuatan perjanjian perkawinan, bentuk perjanjian perkawinan

dan mengenai pembuatan dan perubahan perjanjian perkawinan. Berdasar

ketentuan dalam Pasal 66, maka pengaturan dalam B.W. masih dapat

dipakai lagi. Sejauh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan tidak mengaturnya.

2. Ketentuan hukum yang dipakai sebagai pegangan apabila suami isteri

bercerai dimana perkawinan mereka menggunakan perjanjian perkawinan

adalah isi dari perjanjian perkawinan itu sendiri. Sesuai dengan Pasal 1338

KUHPerdata, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat

secara sah, berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Sehingga isi dari perjanjian perkawinan dapat menjadi

Undang-undang bagi pihak yang membuatnya, pihak yang dimaksud di

sini adalah suami isteri. Apabila kedua belah pihak tidak mengatur

ketentuannya, maka yang dipakai adalah ketentuan dalam KUHPerdata.

Dan karena perjanjian perkawinan dipakai oleh Hakim sebagai pegangan

dalam memutus perkara mengenai harta dalam perkawinan, diharapkan

sesuai dengan tujuan dipakainya perjanjian perkawinan, maka aset dan

kepentingan suami isteri tersebut dapat terlindungi.

Page 91: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xci

B. Saran.

Penulis memberikan saran, yaitu : karena Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan ini merupakan hasil dari keinginan dan cita-

cita masyarakat Indonesia untuk mempunyai Undang-undang Perkawinan

secara nasional dan berlaku bagi seluruh wilayah negara Indonesia,

seharusnya mengenai pengaturannya bisa lebih diperinci seperti pengaturan

yang terdapat di dalam B.W.. Sehingga kepastian dalam pemakaian ketentuan

hukum bisa dipegang dan tujuan utama pembuatan perjanjian perkawinan

untuk melindungi kepentingan dan aset para pihak dapat tercapai.

Page 92: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xcii

DAFTAR PUSTAKA

A. Ridwan Halim. 1986. Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab. Jakarta : Ghalia

Indonesia

Akar-akar RUU Perkawinan Tahun 1973 di Indonesia.

http://ikadabandung.wordpress.com. (23 Februari 2008 pukul 15.13).

Ali Afandi. 1997. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta :

PT Rineka Cipta.

Citra Umbara. 2007. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Dan Kompilasi Hukum Islam. Bandung.

Dardiri Hasyim H.A.. 2004. Amandemen KUH Perdata Dalam Kerangka Sistem

Hukum Nasional. Surakarta : Sebelas Maret University Press.

I.S. Adiwimarta. 1992. H.F.A. Vollmar Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid I.

Jakarta : CV Rajawali.

Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja. 2004. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian.

Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

Komar Andasasmita. 1983. Masalah Hukum Perdata Nasional Indonesia.

Bandung : Alumni.

Lexy J. Moleong. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja

Rosdakarya.

Salim H.S. 2002. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (B.W.). Jakarta : Sinar

Grafika.

Satrio, J. 1991. Hukum Harta Perkawinan. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Sihombing Purwoatmodjo J.D, Gunarti Purwoatmodjo, Rachmadi. 1999.

Pengantar Ilmu Hukum. Surakarta : Departemen Pendidikan Dan

kebudayaan Republik Indonesia Universitas Sebelas Maret.

Simorangkir J.C.T, Rudy T. Erwin, Prasetyo J.T.. 2002. Kamus Hukum. Jakarta :

Sinar Grafika.

Soedharyo Soimin. 2003. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta : Sinar

Grafika.

Page 93: STUDI TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN DAN …/Studi... · Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) ... sampai dengan ayat 4, Kitab Undang-undang Hukum

xciii

Soemiyati. 1986. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan

(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan). Yogyakarta :

Liberty.

Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press.

--------------------.2003. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.

Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

Soetojo Prawirohamidjojo, R., Asis Safioedin. 1982. Hukum Orang Dan

Keluarga. Bandung : Alumni.

Soetojo Prawirohamidjojo R, Marthalena Pohan. 2000. Hukum Orang Dan

Keluarga (Personen En Familie-Recht). Surabaya : Airlangga University

Press.

Soetojo Prawirohamidjojo, R., Soebijono Tjitrowinoto. 1986. Pluralisme Dalam

Perundang-undangan Perkawinan Di Indonesia. Surabaya : Airlangga

University Press.

Subekti. 1995. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta : PT. Intermasa

Sudikno Mertokusumo, Pitlo. 1993. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Citra

Aditya Bakti

Surat Edaran Mahkamah Agung Mengenai Petunjuk-petunjuk Mahkamah Agung

Mengenai Pelaksanaan undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. http://www.gtzggpas.or.id. (25 Februari

2008 pukul 10.20).

Wantjik Saleh, K. 1976. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia

Wirjono Prodjodikoro, R. 1981. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Jakarta :

Sumur Bandung.

Yudha Bhakti Ardhiwisastra. 2000. Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Bandung :

Alumni.