Study Islam

  • Upload
    joko35

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Study Islam

Citation preview

AbstrakStudi tentang Islam atau yang lebih dikenal dengan Islamic Studies masih menyisakan persoalan yang cukup menegangkan di muka para akademisi baik Timur maupun Barat. pasalnya, terkadang presentasi Barat tentang Islam belum memuaskan sebagaimana yang diinginkan kaum Timur sendiri sebagai Muslim. Begitu sebaliknya, para serjana Timur belum maksimal menyuguhkan Islam di hadapan Barat dengan pola rasionalis-empirisnya. dalam pada itu, perbedaan cara pandang juga menjadi jarak yang menjadikan keduanya sedikit jauh. Dan pertanyaan yangsangat serius juga adalah siapakah yang sebenarnya lebih pantas menjadi jubir tentang restu islam sebagai obyek kajian. Lalu apa keriteria seorang pembicara Islam untuk dikatakan kompatibel. Persoalan-persoalan inilah yang sebenarnya didiskusikan Rauf dalam artikelnya. Ia sama sekali tidak memberikan tawaran sistematis hierarki studi Islam sebagaimana Kim Knot, melainkan hanya sebatas komentar seputar persoalan yang menjadi kendala pada masing-masing.Kata kunci: Islamic Studies, persoalan Insider dan Outsider A. PendahuluanSaat ini, para akademisi melihat bahwa Agama tidak hanya sebatas normatfitas belaka sebagaimana yang lebih dominnan dipersespsikan. Namun, agama sudah menjadi obyek studi yang sangat serius untuk diteliti. Ada banyak mutiara yang nampak belum tergali di sana. Timur dan Barat sama-sama menaruh perhatian yang serius untuk mengungkap realitas tersebut. Bahkan hingga saat ini studi silam menjadi sebuah disiplin keilmuan yang sangat ngetren di sejumlah kampus. Termasuk dalam kurun terakhir ini, Islamic studie smendapat dukungan dari sudui history of religions dan dalam konteks hubungannya dengan sejarah agama,ia mengambil tiga bentuk, pertama, model historis dan kritik historis pada sejarah agama[1]. Di sini studi sejarah bekerja pada dua tingkatan; konteks historis dan jaringan kondisi, sebab-akibat harus dijelaskan dan dipaparkan sebanyak mungkin; problem yang dihadapi komunitas Muslim dan para pemimpinnya pada periode tertentu. Kedua, lahirnya comparative study of religion[2] antara komunitas non-Muslim dan fenomenologi Agama. Ketiga, lahirnya dua pendekatan ang cukup ekstrim; pendekatan bersifat historis-kritis dan fenomenologis-filosofis. Dengan seterusnya pencarian berbagai metode terus dilakuakn untuk mendapatkan data-data obyek kajian. Namun, di balik itu, tidak pernah lepas dari berbagai problem dan tantangan khususnya studi islam kontemporer.Inilah sebetulnya yang menjadi fokus diskusi Abdurrauf dalam artikel hasil suntingan Ricahrd dalam judul Islamic Studies and the contemporary challenges (Outsiders' Interpretations of Islam- A Muslim's Point of View). Satu sisi bahwa kajian Islam berkaitan dengan pengalaman Barat dan serjana Muslim sendiri yang berusaha menafsirkan dan memahami Islam. Lalu siapakah juru bicara Islam yang paling berhak atau lebih disukai, dimana penelitian Barat masih dalam bayangan prasangka Muslim satu sisi dan Muslim sendiri belum terbangun kesadaran yang kuat sebagaimana disadari Barat.Abdurrauf di sini berusaha membangun jembatan antara keduanya antara pengkaji Islam Barat dan Muslim dengan mengemukakan pernyataan-pernyataan irenic, tentang nilai kajian bahasa dan sejarah Barat terhadap materi keislaman. Sebuah kenyataan yang Abdurrauf temukan di lapangan adalah adanya suatu perasangka dalam studiIslam Barat. untuk itu, Rauf membuat batas-batas di sekitar al-Quran, sunnah dan Nabi. Tiga materi inilah yang ingin sepkata untuk tidak sepakat dalam realitas diskursus ilmiah. Batasan-batasan ini menempatkan klasifikasi serius terhadap studi Islam akademis. B. Asal-usul Perkembangan Studi Islam di Dunia MuslimAwal kesejarahan Islam atau tepatnya Era Nabi, pusat kajian Islam lebih dikonsentrasikan pada tidak terllau banyak berspekulasi tentang hakekat Tuhan dan realitas-realitas Gaib. Ini dikarenakan pada pola fikiran terbatas yang tak mampu menangkap yang terbatas dan itu hanya akan menghasilkan sebuah kekeliruan. Selanjutnya Islam diperhadapkan oleh banyaknya tekanan-tekanan non Arab yang memeluk Islam. Dalam perkembangan berikutnya realitas Islam semakin meluas. Berbagai fenomena muncul satu-persatu, mulai dari politik, tradisi-tradisi dalam keagamaan, termasuk di situ adalah disintegrasinya islam Suni dan Syiah, peradabanpun semakin meluas. Pada akhirnya pendefinisian tentang studi islam pun belum final.C. Problem Insider dan OutsiderFakta realitas yang sering didiskusikan adalah bahwa kajian insider dan outsider berkaitan erat dengan pengalaman Barat dan Sarjana Muslim sendiri dalam menafsirkan dan memahami Islam. Insider adalah para pengkaji Islam dari kalangan muslim sendiri. Sementara outsider adalah sebutan untuk para pengkaji non-Muslim yang mempelajari Islam dan menafsirkannya dalam bentuk analisis-analisis dengan metodologi tertentu.Persoalan yang dipermasalahkan adalah apakah para pengkaji Islam dari outsider benar-benar obyektif, dapat dipertanggungjawabkan, dan memiliki validitas ilmiah dilihat dari optik insider? Abdul-Rauf menolak validitas para pengkaji outsider karena mereka mengkaji Islam atas dorongan kepentingan kolonial guna melanggengkan dominasi politik dan ekonomi atas daerah taklukkannya. Karena itu, studi Islam dalam kerangka argumen itu berarti kajian ketimuran (oriental studies) yang sebenarnya dilakukan oleh intelektual Eropa untuk mahasiswa di universitas Eropa.[3] Untuk itu, studi Islam dalam optik outsider penuh bias, kepentingan, dan barat sentris. Membaca karya para outsider tentang Islam harus dilakukan dengan kritis dan penuh hati-hati. Apalagi bila yang dikaji adalah teks-teks suci yang untuk dapat memahaminnya diperlukan keyakinan dan ini tidak dimiliki para pengkaji outsider. Rauf banyak menemukan prasangka dan bahaya dalam studi Islam Barat. Misalnya adalah analisis studi Islam yang didasarkan pada prasangka budaya, agama, dan prasangka intelektual yang didasarkan pada supremasi budaya (cultural supremacy). Abdul Rauf sangat jelas menunjukkan keresahannya atas kerja para Pengkaji Barat atas Islam yang menurutnya memojokkan Islam dan tanpa menghiraukan apa yang disuarakan oleh para Sarjana dan umat Muslim sendiri atas dirinya. Dengan kata lain, para Sarjana dan umat Muslim seakan tidak ada dan juga mungkin disengaja untuk ditiadakan. Islam hanya dilihat sebagaimana batu, kayu atau benda mati lainnya yang tidak mempunyai hasrat, keinginan, impian, dan pendapat untuk mendefinisikan dirinya.Abdurrauf menilai bahwa Barat telah mengkoloni Islam melalui pendidikan. Ini terlihat dari uraiannya pada awal pembahasannya melalu contoh kasus yang terjadi pada universitas Al-Azhar pada tanggal 7 Desember1961.[4] Kalau reformasi tersebut terjadi, maka kemungkinan besar pengaruh keilmuan islam tradisional semakin mengecil. Terlebih lagi dengan arus tehnologi meruntuhkan sekat kebudayaan dan bangsa. Pada akhirnya wajah Islam akan berjiwa Barat dan sekaligus akan meninggalkan wajah islam sendiri. Hanya sanya ada keuntungan saat umat muslim dan Presiden Mesir serta para syeikh Al-Azhar menolak sehingga reformasi pun tidak jadi dilakukan saat itu. Namun demikian, Barat berhasil mereformasi kurikulum sekolah-sekolah Islam lainnya, yakni dengan memasukkan kurikulum sekuler di dalamnya.[5] Dengan ini, segala bentuk ketakutan pun terjadi, penidikan Islam tradisional otentik perannya semakin kecil. Lembaga pendidikan Islam dipersempit perannya_hanya sebagai lembaga Pendidikan agama, pasca-Barat mendirikan sekolah-sekolah sekuler model Barat di Negara-negara Islam (bukan Negara Islam namun Negara yang rakyatnya mayoritas Islam). Di sinilah terjadi dikotomi-dikotomi antara keilmuan Islam dan non-Islam yang sebelumnya Islam hanya memandang semua ilmu bersifat ilahiyah.Sebagai konsekuensi logis dikotomik tersebut, lahirlah sejumlah metode dan pendekatan yang beragamdari kedua pihak Barat dan Timur dalam mengkaji Islam. Pendekatan ilmiah dan histories cenderung diterapkan Barat, sementara Timur lebih ke sisi teologis. Barang kali ada motiv yang saling berlawanan, dimana studi Islam Barat didorong oleh kekuasaan kolonial, sementara Islam didorong oleh sikap pertahanan diri pada sisi lain, sebagaimana penilaian Rauf, para sarjana Barat sangat dipengaruhi oleh pra-anggapan negartif yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang suka kekerasan, anti modernisasi, sesat, dan dibawa oleh nabi palsu dan suka seksualitas. Dengan demikian, hasil presentasi Barat tentang Islam cenderung tidak obyektif.Kelompok Barat yang sangat dipersoalkan Rauf dalam hal ini adalah sejumlah Orientalis, kendati fakta realitasnya mereka snagat berkontribusi besar terhadap keilmuan Ilsam, namun belum bisa kompromi dengan para peneliti luar yang melewati batas keimanan kaum Muslimin. Ini terlihat jelas dalam ungkapannya_Tapi akan berbahaya jika, atas nama keilmiahan, asal usul Islam dijelaskan sebagai muncul dari fenomena ekonomi atau kultural. Apapun bisa dikatakan mengenai Islam sehubungan dengan tempat dan waktu di mana ia muncul, (tapi) keunikan dan klaim kebenarannya di hadapan para pemeluknya tidak bisa dijelaskan. Atas dasar inipula Rauf sangat menekankan pada upaya mencari metode baru yang lebih memadai tentang pemahaman terhadap Islam. Ini mengingat sejarah telah memperlihatkan betapa semena-mena Islam dipandang oleh beberapa Orientalis karena sebagai agama Islam tidak diletakkan sebagaimana mestinya. Hal ini bisa dilacak dari berbagai stereotipe yang dilancarkan kepada Islam dengan dalih keilmiahan.Dalam pada itu, Rauf juga menekankan pada perlunya seorang outsider mendapatkan suatu pemahaman yang lebih mendalam tentang Islam secara utuh sesuai dengan pemaknaan dan penghayatan yang dialami oleh para para penganutnya (insiders). Namun juga perlua Otsiders menyampaikan dan menginformasikan pengamatan mereka kepada khalayak (umumnya masyarakat Barat yang notabene belum banyak mengenal Islam) secara ilmiah dan menggunakan bahasa khalayak tersebut. Dari sini, sudah nampak adanya keniscayaan bias kultural dalam proses komunikasi itu. Orang yang mendapat informasi dari penelitian si peneliti luar itu tentu akan