24
Suara Pembaruan Agraria 1 Edisi: II/April - Juni/2010

Suara Pembaruan Agraria

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

1Edisi: II/April - Juni/2010

Page 2: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

2 Edisi: II/April - Juni/2010

Suara Pembaruan AgrariaEdisi: II/2010

Penanggung Jawab: Idham Arsyad. Pemimpin Redaksi: Iwan Nurdin Dewan Redaksi: Iwan Nurdin, Usep Setiawan, DD. Shineba, T. Kinan, Yusriansyah, Agus Nurdin, Zaenal, Untung Saputra, Dewi Kartika, Diana, Sidik Suhada, Adhi Wibowo Fotografer: Kent Yusriansyah, Layout : Adinesia Alamat Redaksi: Jalan Duren Tiga No. 64, Pancoran, Jakarta Selatan 12760 Telp: 021-79191703 Fax: 021-79190264 Email: [email protected].

Buletin Suara Pembaruan Agraria diterbitkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Redaksi menerima tulisan, baik berupa liputan atau opini. Redaksi berhak mengedit tulisan sepanjang tidak mengubah isi. Tulisan yang dimuat akan mendapatkan imbalan. Tulisan dapat dikirim melalui email: [email protected] atau [email protected].

Dasar Pijak Membangun Ekonomi Kerakyatan 4

Membangun Usaha Kolektif Pertanian Milik Rakyat 7

Daftar IsiLaporan Utama

Opini

Suara Agraria

Sosok

Siapa Berhak atas HGU ? 11

Diawali dari Desa, dimulai oleh Petani 13

Reforma Agraria Mengudara di RRI 17

Masril Koto: Sosok Pahlawan Petani Indonesia 22

Page 3: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

3Edisi: II/April - Juni/2010

Ekonomi kerakyatan sering diasosiasikan dengan ekonomi kecil dan informal. Ekonomi kerakyatan juga kerap digambarkan sebagai sesuatu yang jauh dari prinsip-prinsip pembangunan ekonomi yang cepat dalam usaha mensejahterakan. Ia, hanya ideal di atas kertas seminar dan diskusi.

Pendeknya, dalam dunia nyata ekonomi kerakyatan hanyalah slogan populis yang sulit diterapkan. Itulah sebabnya, ekonomi kerakyatan yang diamanatkan konstitusi kita tidak pernah diajarkan di fakultas ekonomi di universitas-universitas yang ada di negeri ini.

Pada dasarnya, ekonomi kerakyatan bukanlah soal besar kecil. Ekonomi kerakyatan adalah soal orientasi ekonomi produksi, pemasaran, dan konsumsi nasional yang harus disandarkan pada arah transformasi kebangsaan kita yang memihak pada rakyat banyak. Disanalah cita-cita proklamasi ditambatkan dalam teks konstitusi.

Sebab, fakta yang tidak dapat dipungkiri adalah, penduduk kita terbanyak adalah buruh, petani,

dan nelayan. Karena itu, orientasi ekonomi kerakyatan di negeri ini harus bersandar pada pembangunan sektor profesi ini. Fakta lain juga menunjukan, sebagian besar penduduk yang tinggal di negeri ini juga masih berada di wilayah pedesaan, maka pembangunan ekonomi kerakyatan yang sejati harus berbasis di wilayah pedesaan.

Edisi Suara Pembaruan Agraria kali ini mengetengahkan ide-ide perjuangan ekonomi kerakyatan dengan basis reforma agraria dan UUPA 1960. Sebab, ekonomi kerakyatan di Indonesia, menurut hemat kami, pastilah bersandar pada reforma agraria.

Pada edisi kali ini, kami menghadirkan sosok Masril Koto yang telah mempraktikan konsep pembangun ekonomi kerakyatan secara nyata di tengah-tengah masyarakat. Semoga praktik pembangunan ekonomi kerakyatan yang mereka nyalakan bisa terus hidup dan menerangi rakyat kita yang selama ini terus dipinggirkan dari panggung pembangunan ekonomi negeri ini.

Redaksi

Salam Redaksi

Page 4: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

4 Edisi: II/April - Juni/2010

Pemerintah mengklaim angka kemiskinan di tahun 2009 menurun jika dibanding tahun 2008. Begitu pula angka pengangguran. Namun, Yayasan Indonesia Forum (YIF) memprediksi, bangsa Indonesia baru dapat hidup makmur di tahun 2030.

Syaratnya, menurut YIF: Pertama, ekonomi harus di-jalankan dengan berbasiskan ke-seimbangan pasar terbuka didukung birokrasi yang efektif. Kedua, perlu adanya pem-bangunan sum-ber daya alam, p e m b a n g u n a n manusia, pening-katan modal, serta penguasaan teknologi yang berkualitas dan berkelanjutan. Ketiga, pereko-nomian nasional mesti terintegrasi dengan ka-wasan sekitar dan global.

Selain tiga syarat tersebut di atas, menurut YIF, sebuah organisasi yang dimotori Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), kemakmuran bangsa Indonesia di tahun 2030 akan tercapai jika pertumbuhan ekonomi riil

rata-rata mencapai 8,5% per tahun, rata-rata laju inflasi 3%, dan pertumbuhan penduduk rata-rata 1,12% per tahun.

Lalu, pendapatan perkapita Indonesia mencapai 18.000 dolar AS, terdapat 30 peru-sahaan nasional yang masuk dalam daftar 500 perusahaan elit dunia. Namun, menurut Depu-

ti Riset dan K a m p a n y e KPA, Iwan Nurdin, gam-baran keber-hasilan itulah yang menjadi persoalan seka-rang.

Pasalnya, kalau tolak u k u r a n keberhasi lan e k o n o m i seperti yang

digambarkan oleh YIF, setidaknya hal itu sudah pernah kita capai di negeri ini. Sekalipun hal itu terjadi di masa penjajahan. Di era kolonial, kata Iwan Nurdin, pembangunan ekonomi di Batavia, Semarang, Medan, dan Makassar, telah berhasil memposisikan Singapura, Kuala Lumpur, dan Manila terasa kampungan.

”Bahkan, raja gula Oei Thiong Ham asal

Dasar Pijak Membangun Ekonomi Kerakyatan

Laporan Utama

Page 5: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

5Edisi: II/April - Juni/2010

Semarang adalah konglomerat top kelas dunia. Toh keadaan itu tidak dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas,” tegasnya.

“Angka statistik pertumbuhan ekonomi sesungguhnya tidak mencerminkan distribusi angka-angka tersebut,” lanjutnya.

Karena itu, kata Iwan Nurdin, persoalannya, sebenarnya bukanlah pada ketidak mungkinan mencapai visi 2030 sebagaimana yang digambarkan YIF. Namun, ada pada paradigma pembangunan ekonomi yang digagas YIF itulah yang tidak tepat bagi bangsa merdeka yang tengah membangun ini.

Bahkan, para pendiri bangsa mengartikan kemerdekaan sebagai koreksi total tata cara ekonomi model begitu. Sehingga, pembangunan ekonomi harus dapat ditempatkan sebagai bagian dari proses perubahan sosial bangsa secara keseluruhan. Mempercepat disintegrasi susunan masyarakat lama dan keharusan untuk mencapai integrasi masyarakat baru yang berkeadilan sosial serta sejahtera.

Susunan masyarakat lama tersebut adalah segelintir orang yang dapat sepenuhnya me-nikmati perkembangan ekonomi, memperoleh status sosial dan politik yang tinggi bahkan per-lindungan hukum. Susunan masyarakat seperti itulah, kata Iwan Nurdin yang digambarkan oleh Bung Hatta sebagai ciri utama masyarakat sos ia l kita akibat penjajahan dan

keadaan itu masih eksis hingga sekarang.

B e r t a h a n n y a keadaan itu, kata aktivis tani yang lama

tinggal di Kabupaten Batang, Jawa

Tengah untuk m e m b a n g u n organisasi tani, setidaknya ada tiga hal pokok.

Pertama, paradigma pembangunan ekonomi yang sejatinya sebangun dengan pembangunan masa penjajahan. Kedua, lemahnya komitmen pada pelayanan pendidikan yang terjangkau, berkualitas dan berorientasi kepada masyarakat luas bukan semata-mata kepada dunia usaha. Ketiga, dikarenakan oleh kesengajaan meniadakan partisipasi rakyat luas dalam proses pembangunan.

Ekonomi Kerakyatan

Hal senada juga diungkapkan oleh Sekjend KPA, Idham Arsyad. Lebih lanjut, Idham Arsyad mengatakan, jika dikisahkan kembali, sejatinya, kelahiran era reformasi juga didasarkan pada koreksi total paradigma pembangunan ekonomi orde baru yang kapitalistik.

Namun, jika pada akhirnya reformasi melahirkan neoliberalisme ekonomi, itu dikarenakan ada pembajakan terhadap reformasi itu sendiri. Sehingga reformasi ekonomi yang artinya menggeser paradigma pembangunan ekonomi pertumbuhan menjadi paradigma ekonomi kerakyatan semakin menghilang dalam pusaran kebijakan yang ada saat ini.

”Ekonomi kerakyatan, sebenarnya bukanlah skala usaha ekonomi menengah dan kecil. Ekonomi kerakyatan adalah semangat membangun perekonomian yang didasarkan pada tata cara produksi dan orientasi produksi usaha yang dijalankannya,” katanya.

Hanya sekadar contoh untuk membeda-kan gambaran usaha ekonomi kerakyatan dan non kerakyatan. Kata Idham Arsyad, jika ada sebuah koperasi serikat petani yang menguasai perkebunan karet seluas 10.000 hektar itu ada-lah praktek ekonomi kerakyatan. Namun, jika ada perusahaan yang hanya dimiliki oleh beber-apa orang menguasai 100 hektar kebun karet, tentu saja tidak dapat disebut sebagai usaha ekonomi kerakyatan.

Laporan Utama

Page 6: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

6 Edisi: II/April - Juni/2010

Begitu juga ketika ada koperasi perkebunan sawit yang melayani ekspor CPO bisa jadi tidak berprenetasi pada ekonomi kerakyatan. Namun, jika ada koperasi sejenis yang produksinya bio-disel untuk melayani koperasi nelayan, tentu dapat disebut sebagai usaha ekonomi kerakyatan. Karena, hasil produksi koprasi itu digunakan untuk kepentingan anggota koprasinya agar dapat melaut.

Bentuk usaha besar, menengah, ataupun kecil sesungguhnya adalah pilihan yang didasarkan pada pengukuran efektifitas ekonomi dan kemampuan manajerial dasar yang dapat dijalankan oleh masyarakat, sehingga roadmap transformasi usaha bersama tersebut bisa terpetakan dengan baik dan proses ini akan selalu membuka peluang partisipasi rakyat.

Tujuan ekonomi kerakyatan adalah membangun kesejahteraan yang bersanding dengan kemandirian. Proses menuju dan titik kesejahteraan ini tidaklah menjadi beban dan tawanan kita sebagai bangsa. Apalagi diiringi ketakutan bahwa kesejahteraan tersebut bisa diambil oleh bangsa lain jika tidak mengikuti kepentingan asing. Dengan begitu, ini adalah pembangunan nasionalisme.

Memulai langkah

Kedua tokoh aktivis muda tersebut, Idham Arsyad dan Iwan Nurdin pun berpandangan bahwa, membangun ekonomi kerakyatan mestilah disandarkan pada realitas bahwa sebagian besar penduduk merupakan petani dan nelayan yang masih terjerat kemiskinan.

”Mereka itulah sebenarnya sasaran dan pusat pertumbuhan ekonomi kerakyatan tersebut, yang harus dibangun dan dikuatkan oleh negara. Bukan para konglomerat dan pengusaha besar yang akan menyengsarakan rakyat,” tegas Iwan Nurdin yang juga dibenarkan oleh Idham Arsyad.

Memulai langkah ekonomi kerakyatan itulah, pemerintah harus melaksanakan apa yang disebut sebagai pembaruan agraria. Membentuk koperasi usaha bersama milik petani atau nelayan, membangun koperasi usaha bersama milik desa melalui redistribusi tanah sebagai salah satu cara pokok dalam reforma agraria.

”Ini adalah awal memperbaiki struktur dasar pertanian dan wilayah pedesaan kita,” terangnya.

Selanjutnya, pembaruan agraria ini adalah membentuk koperasi usaha bersama dalam hal pra-produksi, produksi, pengolahan, produk turunan, dan pemasaran, dalam sebuah pendekatan integrative teritorial. ”Tanpa itu, saya rasa sulit Indonesia dapat bangkit dari keterpurukan ekonomi,” tegasnya.

Adalah keliru jika ada orang yang mengaku sebagai pegiat reforma agraria, namun mengartikan pembaruan agraria sebagai penyusunan sekaligus mempertahankan struktur masyarakat agraris. Pembaruan agraria adalah dasar dalam menyusun masyarakat sosial baru di Indonesia dalam relasi teritorial dan sektoral yang adil.-Sidik Suhada-

Laporan Utama

Page 7: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

7Edisi: II/April - Juni/2010

Program Larasita (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah) yang dimaknai sebagai reforma agraria oleh pemerintah, telah diluncurkan sejak 2008. Namun, banyak kalangan merasa pesimis.

”Program serifikat tanah yang dilakukan pemerintah itu bukan bentuk pelaksanaan reforma agraria. Namun, justru mengkerdilkan makna reforma agraria. Apalagi sertifikasi tanah secara individu yang dilakukan pemerintah sebenarnya untuk membukakan pasar dan liberalisasi

perdagangan sumber-sumber agraria. Bukan untuk mengentaskan kemiskinan,” kata Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria, Idham Arsyad.

Pandangan itu bisa jadi benar. Program Larasita yang didorong oleh bank dunia, sebagaimana yang dikatakan oleh Kepala BPN, Joyo Winoto, ”Program ini telah mendapat apresiasi yang besar dari Bank Dunia” (dikutip dari Portal Nasional Republik Indonesia, www. indonesia.go.id), bisa jadi

memang bentuk implentasi dari paham Neo liberalisme yang selama ini dianut pemerintah.

Kehadiran lembaga-lembaga dunia yang ”berkedok” mengentaskan kemiskinan, sering kali, memang hanya berupaya untuk memperkuat paham liberalisme di negara-negara yang sedang berkembang. Melalui kebijakan serifikasi tanah, penganut paham neo-liberalisme berupaya membuka pasar perdagangan sumber-sumber agraria.

Membangun Usaha Kolektif Pertanian Milik Rakyat

Laporan Utama

Page 8: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

8 Edisi: II/April - Juni/2010

Melalui kebijakan sertifikasi tanah secara individu yang dipandang sangat fundamental untuk melanjutkan agenda dan kepentingan pasar, kaum liberal berharap lebih mudah melakukan transaksi jual-beli tanpa satu pihak pun yang akan turut campur. Karena, tanah-tanah sudah diserifikatkan atas nama perseorangan.

Tanda Bukti

Sertifikat adalah tanda bukti hak yang diberikan oleh negara kepada para pemilik dan pemakai tanah. Secara hukum, kedudukan sertifikat memang penting untuk menjamin kepastian hukum dan keamanan hukum bagi si pemilik tanah (security of tenure). Apalagi, di tengah gencarnya pengadaan tanah bagi kepentingan pengusaha saat ini.

Awalnya, sertifikat belum menjadi dorongan utama dalam kebijakan pertanahan nasional. Pemerintah hanya mendorong untuk pendaftaran cadastar tanah melalui PP 10/1961 tentang pendaftaran tanah. Sesuai tujuannya, PP hanya mencatat cadastar tanah

(nama, luasan, lokasi tanah, peruntukan) dan bekerjasama dengan pemerintah daerah dan serikat-serikat tani.

Dengan dilakukannya pencatatan ini, maka akan tercatat ketimpangan tanah di sebuah lokasi untuk menjadi dasar dilakukan agrarian reform. Harapannya, setelah dilakukan reform berdasarkan data-data ini barulah sertifikasi tanah dijalankan.

Namun, setelah dilupakannya agenda reforma agraria, sertifikasi tanah justru digalang tanpa adanya agrarian reform terlebih dahulu. Hal ini membawa konsekuensi bahwa sertifikasi tanah bisa “melegalkan” kondisi ketimpangan agraria nasional dan menutup akses rakyat tak bertanah untuk mendapatkan tanah.

Keadaan itu semakin memburuk setelah ada perubahan PP 10/1961 tentang Pendaftaran Tanah direvisi menjadi PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah. Ideologi pendaftaran tanah lebih diarahkan kepada penciptaan pasar tanah di Indonesia yang mempermudah tanah berpindah tangan dari pemiliknya.

Laporan Utama

Page 9: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

9Edisi: II/April - Juni/2010

Sertifikat Kolektif

Di tengah suasana pasar tanah liberal dewasa ini. Idealnya program larasita tentu bukan sertifikat atas nama individu-individu. Melainkan serifikat tanah secara kolektif untuk petani. Apalagi fakta menunjukan bahwa saat ini banyak tanah-tanah komunal masyarakat (baca tanah adat) yang tidak dicatat oleh negara.

Secara tersirat, kata Deputi Riset dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria, Iwan Nurdin, sistem sertifikat kolektif sebenarnya ada dalam semangat UUPA No.5 Tahun 1960. Karena itu, pelaksanaan pemberian serifikat kolektif dapat mengacu pada undang-undang tersebut yang menyebutkan bahwa, semua hak-hak kepemilikan tanah dapat direlasikan kepemilikan secara kolektif.

“Pemahaman kolektif dalam kerangka pikir reforma agraria adalah soal hubungan produksi agraria yang harus dilakukan secara kolektif. Hubungan produksi itu dapat dicipta tanpa harus melakukan penindasan,” tegas Iwan

Nurdin.

Iwan tak menampik, idealnya sertifikat tanah itu memang hak milik. Tapi, kepemilikan dan pengusahaannya harus dilakukan secara kolektif. Konsep seperti inilah yang seharusnya ada dalam pemikiran orang-orang BPN. “Berani menerbitkan jenis sertifikat hak milik dengan sistem kepemilikan secara kolektif oleh orang-orang yang tergabung dalam organisasi tani,” terangnya.

Untuk itu, kata Iwan Nurdin, patut dicoba sertifikat seperti Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki oleh koperasi yang dibentuk oleh organisasi petani. Selain mengacu kepada cita-cita UUPA No.5 Tahun 1960, desain UU ini adalah rencana mengubah basis pertanian nasional yang sebelumnya diusahakan oleh petani gurem menjadi usaha modern dalam wadah ekonomi produksi berbasis kerakyatan yang dikelola sendiri oleh kaum tani.

Usaha Petani

Selain mendorong agar petani memiliki sertifikat tanah hak milik dengan sistem pengelolaan secara kolektif, negara juga harus dapat memberikan jaminan agar petani tidak menjual tanahnya kepada pihak lain. Apalagi menjualnya kepada perusahaan di luar urusan pertanian. Demikian dikatakan Idham Arsyad secara terpisah, pekan kemarin.

Menurut Idham Arsyad, sertifikat tanah secara kolektif ini, diharapkan dapat dijadikan modal besar bagi petani untuk membangun usaha produksi ekonomi petani. Karena itu, negara harus dapat menjadi lembaga penjamin agar petani bisa mendapatkan modal usaha itu. Harapannya, ke depan, petani bisa membangun pabrik dan industri-industri pertanian sendiri karena ada dorongan yang kuat dari pemerintah.

“Namanya membangun bangsa melalui kemandirian petani. Sebagai negara agraris, pemerintah wajib memperkuat posisi petani dan

Laporan Utama

Page 10: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

10 Edisi: II/April - Juni/2010

mendorong agar petani punya industri-industri pertanian sendiri. Tidak seperti sekarang, petani selalu dibuat tergantung kepada pemilik modal. Bahkan kepentingan pihak asing,” tegasnya.

Pria asal Makasar ini menilai, selama ini Sumber Daya Alam (SDA) termasuk aset tanah lebih banyak dikuasai pengusaha termasuk asing. Khusus untuk asing, sebenarnya tidak perlu dilarang untuk berinvestasi di Indonesia. Namun, perlu diatur agar tidak menjadi kekuatan dominan yang dapat menguasai negeri ini.

“Silahkan saja asing (menanamkan modalnya). Tapi kita kan negara berdaulat, seharusnya kita yang berdaulat untuk menentukan, bukan asing,” katanya.

Lebih lanjut, kata Idham Arsyad, sistem ekonomi Indonesia menurut Undang-

Undang Dasar 1945 adalah sistem ekonomi pasar sosial, bukan kapitalis liberalis seperti yang ada sekarang. Padahal sistem ekonomi kapitalis yang menyerahkan segala urusan berdasarkan mekanisme pasar tidak akan pernah menghadirkan keadilan. Sebab, pasar tidak akan pernah menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Karenanya, negara harus mengatur pasar agar dapat menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Bisakah?

Tak ada yang bisa menjawabnya secara pasti. Kecuali ada kemauan politik yang kuat dari semua elemen masyarakat yang ada. Termasuk kemauan politik yang kuat dari negara dan pejabat-pejabatnya untuk melaksanakan reforma agraria sejati. -Sidik Suhada-

Laporan Utama

Page 11: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

11Edisi: II/April - Juni/2010

Siapa Berhak atas HGU ?

Kerasnya perlawanan rakyat yang menolak pemberian izin pengelolaan Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun untuk pengusaha besar, seakan tidak ada artinya bagi pemerintah. Buktinya, RUU Penanaman Modal yang mengatur hal itu tetap disahkan menjadi undang-undang. Sekalipun banyak kalangan berpendapat, UU Penanaman Modal itu sebenarnya bertentangan dengan UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.

Bahkan beberapa kalangan organisasi petani, akademisi, dan masyarakat sipil di Indonesia merasa penting untuk segera melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (Kompas

10/4/07).

Sebenarnya, siapakah kelompok yang paling berhak atas HGU? Selama ini, para pengusaha adalah kelompok yang selalu diutamakan diberi hak. Tulisan ini bermaksud memberi argumentasi bahwa sesungguhnya pemerintah salah sasaran dalam memberi HGU.

Dalam UUPA, HGU diatur dalam pasal 28-30 dan aturan konversi Pasal III. Dengan demikian, HGU selain sebuah bentuk hak baru juga merupakan kelanjutan dari Erpacht dalam Agrarische Wet

1870 dan peraturan consessie.

Namun, dalam penjelasan umum dan penjelasan pasal per pasal UUPA, HGU diperuntukkan untuk koperasi bersama milik rakyat bukan korporasi. Inilah rencana UUPA dalam menghentikan bentuk ekonomi dualistik yang dihasilkan oleh penjajahan. Bentuk dualistik itu adalah adanya perkebunan modern disatu sisi bersanding dengan pertanian subsisten dan masyarakat pertanian yang feodal disisi yang lain.

Lebih lanjut, hak erpacht dan consessie yang dikonversi ke dalam HGU diberi jangka waktu selama-lamanya 20 tahun untuk

Oleh: Iwan Nurdin

Opini

Page 12: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

12 Edisi: II/April - Juni/2010

segera dikembalikan kepada negara. Secara khusus, Bung Hatta dalam pidato sebelum pengesahan UUPA September 1960, merasa perlu memberi catatan bahwa perkebunan yang mempunyai hak erpacht dan consessie tersebut dahulunya memperoleh tanah dengan cara merampas dari masyarakat. Sehingga, harus segera dikembalikan kepada masyarakat sekitar setelah habis masanya. Jadi, semestinya semua keruwetan hak barat atas tanah sudah selesai pada tahun 1980.

HGU Tidak Sah

Pemerintah Orde Baru enggan mengembalikan tanah-tanah tersebut dengan mengeluarkan Keppres RI No. 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 3 tahun 1979 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.

Beberapa alasan dikeluarkannya aturan tersebut dikarenakan sebagian besar perkebunan tersebut telah dinasionalisasi dan dijadikan BUMN. Sekaligus melihat kenyataan bahwa sebagian besar direksi dan komisaris perusahaan ini adalah para pensiunan pejabat tinggi atau perwira militer yang dirasa penting diberi priveledge. Sehingga hilanglah kesempatan rakyat untuk bisa mendapatkan kembali tanahnya.

Dilain pihak secara bersamaan, korporasi swasta juga diberi keleluasaan lebih luas dalam mendapatkan HGU di atas tanah yang diklaim sebagai tanah negara. Inilah pengulangan praktek Domein Verklaring dalam AW 1870 yang telah memanipulasi Hak Menguasai Negara atas Tanah dalam UUPA, yang seharusnya dipandu oleh kewajiban diabdikan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan mempunyai fungsi sosial. Dengan demikian,

pemberian HGU selama ini sebenarnya telah mempertahankan dualisme ekonomi pertanian kita.

Modus pemberian HGU semakin melebar dengan keluarnya PP No.40/1996, di mana hak itu bisa ditetapkan di atas tanah yang bukan milik negara melalui mekanisme pelepasan hak. Era ini telah membuat pengambilalihan tanah masyarakat semakin meluas dengan memanfaatkan minimnya pengetahuan hukum pertanahan yang dimiliki oleh rakyat.

Penelusuran singkat ini, membuktikan bahwa praktek pemberian HGU di Indonesia selama ini sebenarnya “illegal” dalam pandangan masyarakat sekitar dan secara nyata berdiri di atas pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Kerapnya gejala petani dan masyarakat adat mengidentikkan perusahaan perkebunan sebagai simbol perselingkuhan hukum dan modal telah menjadikan perusahaan perkebunan menjadi objek gerakan okupasi dan reklaiming tanah. Keadaan ini sebenarnya menjelaskan kepada kita bahwa pada umumnya perusahaan perkebunan berdiri di atas perlawanan masyarakat dan setiap saat selalu berpotensi meletupkan konflik sosial.

Dengan demikian, pemerintah dan DPR mestilah bersepakat untuk segera membentuk sebuah badan independen yang bersifat adhoc untuk melakukan audit terhadap HGU dan menyelesaikan segenap persoalan di dalamnya dengan mengutamakan hak rakyat atas tanah. Kemudian, sudah saatnya HGU hanya diperuntukkan bagi koperasi bersama milik rakyat sesuia UUPA 1960.

Sehingga terdapat sebuah desain nasional bagi petani kita untuk membentuk badan usaha bersama milik petani dan badan usaha bersama milik desa. Dengan begitu, terjadi sebuah reforma agraria yang memberi jalan bagi pembangunan tanah, modal dan teknologi untuk petani kita menuju keadilan sosial.

Opini

Page 13: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

13Edisi: II/April - Juni/2010

Diawali dari Desa, dimulai oleh Petani

Pada tahun 2010, usia koperasi kredit Mekar Jaya hampir mencapai usia satu tahun dan telah memiliki total asset sebanyak Rp. 74 juta. Saat ini memiliki anggota anggota sebanyak 217 orang dan semua adalah petani yang tergabung dalam serikat petani pasundan OTL (Organisasi Tingkat Lokal) Kalijaya.

Dalam kurun waktu yang relatif singkat. Mereka mampu mengumpulkan dana puluhan juta rupiah. Dana itu sangat besar untuk ukuran petani miskin yang berada di pedesaan. Apalagi, tanah yang menjadi sumber ekonominya sampai saat ini masih menjadi sengketa dengan pihak perhutani. Sehingga wajar jika banyak pihak yang bertanya-tanya pada pengurus koperasi dan tokoh-tokoh Serikat Petani Pasundan (SPP) di Kalijaya, terkait pesatnya perkembangan koperasi tersebut dan bagaimana manajemennya.

Delapan tahun bersama di SPP, telah membangun rasa senasib sepenanggungan di antara mereka. Rasa solidaritas sesama angota pun timbul. Dari rasa solidaritas inilah yang menjadi kunci keberhasilan koperasi yang mereka bangun.

Tanpa bermaksud menyederhanakan, koperasi kredit yang dibentuk para petani itu pada dasarnya adalah upaya yang dilakukan bersama, mengatur dan mengelola uang yang mereka simpan. Agar bisa menyimpan uang tentunya petani perlu meningkatkan hasil taninya serta mengatur pola konsumsi mereka, sehingga mampu menyisihkan uangnya untuk ditabung.

Tentu sangat sukar apabila para petani ini membangun kopdit ini tanpa mereka memiliki pengahasilan yang pasti.

Belajar dari SPP Membangun Koperasi Kredit “Mekar jaya” di Kabupaten Ciamis

Oleh: Agus Nurdin

Delapan tahun bersama di SPP, telah membangun rasa senasib

sepenanggungan di antara mereka. Rasa solidaritas sesama anggota pun timbul. Dari rasa solidaritas inilah yang menjadi

kunci keberhasilan koperasi yang mereka bangun.

Agus Nurdin Staff Penguatan Organisasi Rakyat KPA

Opini

Page 14: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

14 Edisi: II/April - Juni/2010

Apalagi anggota koperasi ini tidak memiliki tanah dan umumnya hanya buruh tani. Jangankan untuk menabung untuk makan saja sudah susah.

Kehadiran SPP bagi perubahan kehidupan mereka ternyata sangatlah dapat dirasakan. Bagaimana tidak, dulu mereka hanya buruh tani yang menjadi hamba dari tuan-tuan tanah. Namun, semenjak tahun 2001 melalui tempaan yang begitu hebat, mereka berhasil menjadi tuan di atas tanahnya sendiri. Walau sampai hari ini tanah tersebut masih sengketa. Sehingga dari hasil pengelolaan lahan tersebut kehidupan petani berangsur-angsur membaik.

Namun, setelah mereka menguasai tanah. Persoalan petani bukannya selesai sampai disitu. Masalah kelangkaan modal petani, ternyata masih menjadi kendala bagi petani setelah menguasai tanah. Sehingga produktivitas usaha pertaniannya tidak maksimal. Sementara pemerintah yang seharusnya memberikan

akses reform agar petani dapat meningkatkan produktivitas pertaniannya, kurang memper-hatikan masalah itu. Padahal tidak ada yang bisa dianggunkan ke bank oleh petani yang ingin mendapatkan tambahan modal. Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi petani untuk menggalang modal sendiri. Gagasan untuk membentuk koperasi pun tercetus dari para petani untuk menjawab semua kesulitan itu.

Konsep dasar pembentukan koperasi sebagai solusi untuk meringankan beban dan membangun usaha ekonomi kerakyatan sudah ada. Diskusi antar petani dan pimpinan SPP OTL Kalijaya pun diteruskan. Pelatihan-pelatihan tentang manajemen pengolahan koperasi pun digagas dan dilakukan berkali-kali.

Alhasil, tahun 2007 diputuskan melalui kesepakatan anggota rapat OTL, dibentuklah sebuah koperasi usaha yang bergerak dibidang penjualan saprotan (sarana produksi pertanian).

Opini

Page 15: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

15Edisi: II/April - Juni/2010

Namun, dalam perjalanan praktiknya, rintangan pun masih menghadang. Selang beberapa bulan usaha koperasi itu dibangun, sempat mengalami kemandekan.

Namun, kemandekan itu bukan karena petani tidak mampu mengelolanya. Melainkan sulitnya koperasi tani mendapatkan pupuk dari pemerintah yang dapat dijual ke anggota. Sehingga koperasi pun sengaja dibekukan karena tidak ada pasokan pupuk dari pemerintah. Mulai dari awal pendirian hingga koperasi itu dibekukan, setidaknya ada sisa hasil usaha sebesar Rp. 547.715,00 yang dapat dinikmati anggota hingga sekarang.

Terus Berbenah

Belajar dari lika-liku usaha sebelumnya. Para petani OTL Kalijaya di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat itu pun terus berbenah. Mereka terus berupaya memeras otak agar dapat menemukan model usaha bersama yang

dapat menjawab berbagai persoalan yang sedang dihadapi petani.

Pertengahan tahun 2009, usaha pencarian itupun menemukan titik temu. Melalui pendidikan koperasi yang dilakukan SPP Wilayah Tengah dan salah satu pesertanya adalah anggota OTL Kalijaya, Kang Ade Kosasih. Setelah mengikuti pendidikan itulah, Kang Ade Kosasih membentuk koperasi kredit di Kalijaya.

Koperasi kredit ini adalah koperasi model simpan pinjam. Dimana setiap anggota dapat meminjam modal untuk usaha pertaniannya. Besar kecilnya pinjaman disesuaikan dengan simpanan yang ketentuannya disepakati bersama. Bagi anggota koperasi yang akan meminjam uang harus mendapatkan rekomendasi dari dewan koperasi. Dewan itu adalah 5 orang pimpinan Serikat Petani Pasundan OTL Kalijaya. Apabila pinjaman anggota macet, maka dewan koperasi inilah yang harus bertanggungjawab.

Dalam rapat awal pembentukan koperasi kredit, disepakati simpanan pokok sebesar Rp. 100.000 sedangkan simpanan wajib sebesar Rp.5.000/bulan. Pada saat itu modal yang ada di koperasi terkumpul sebanyak Rp. 25 Juta. Selang beberapa bulan, modal itu pun terus berkembang pesat hingga melebihi target. Saat ini koperasi kredit yang dibangun petani sudah dapat mengumpulkan modal sebesar RP. 74 Juta yang terus berputar dan berkembang.

Perkembangan usaha ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari pendidikan yang dilakukan secara terus menerus oleh SPP OTL Kalijaya. Kondisi ini tentu saja semakin memberikan kesadaraan baru bagi para anggotanya tentang betapa pentingnya kerukunan dalam hidup petani.

Kerja sama, bahu membahu dalam rasa kolektifitas untuk kemajuan bersama anggota

Opini

Page 16: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

16 Edisi: II/April - Juni/2010

organisasi tani, harus tetap disandarkan sebagai kunci awal menuju kemakmuran bersama. Saat ini, Koperasi Kredit Mekar Jaya sudah mampu membangun kantor di atas tanah yang saat ini sedang di sengketakan. Targetnya, 2010-2011 kantor itu sudah selesai dalam pembangunan. Selama pembangunan kantor itu belum selesai, aktivitas koperasinya dijalankan di rumah salah satu pengurus koperasi.

Kesehatan Petani

Jika buruh pabrik di kota mendapatkan Jamsostek ( Jaminan sosial tenaga kerja) termasuk kesehatan sebagaimana yang diatur dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebagai warga negara Indonesia, petani di desa pun seharusnya mendapatkan hak untuk mendapatkan jaminan kesehatan. Namun, pemerintah yang seharusnya bertanggungjawab atas hal itu tidak melaksanakannya. Serikat tani pun penting untuk memikirkan masalah kesehatan anggotanya.

Target tahun ini, secara rutin OTL Kalijaya di Kabupaten Ciamis mencanangkan program pengobatan murah bagi anggotanya.

Pengobatan murah ini dilakukan atas kerjasama Kopdit ”Mekar jaya” dengan salah satu dokter yang berada di wilayah mereka. Dengan demikian, pengobatan murah untuk anggota organisasi petani diharapkan dapat memberikan pelayanan kesehatan sebagai hak dasar bagi masyarakat.

Keberhasilan koperasi ”Mekar jaya” ini menjadi bukti nyata. Kebersamaan kelompok miskin di desa ternyata mampu menghimpun kekuatan tersendiri. Sehingga serta secara langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan daya beli masyarakat pedesaan, membentuk, dan menciptakan pasar domestik yang kuat bagi petani.

Dengan meningkatnya daya beli masyarakat pedesaan merupakan langkah pasti menuju industrialisasi. Kegagalan industrialisasi di masa lalu dikarenakan tidak dibangunnya perekonomian masyarakat terutama di pedesaan. Dimana mayoritas penduduk yang ada di Indonesia ini tinggal di pedesaan.

Sungguh tepat rasanya. Mari kita mulai belajar dari petani, diawali dari desa seperti yang telah dilakukan SPP. Semoga dapat menjadi inspirasi kita semua.

Opini

Page 17: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

17Edisi: II/April - Juni/2010

Reforma Agraria Mengudara di RRI

Suara penyiar dari radio itu terdengar nyaring menyapa pendengar dalam acara dialog interaktif Suara Pembaruan Agraria di frekwensi FM 88,8 MHz Jakarta. Setiap bulan, selama satu jam, mulai pukul 10:00 – 11:00 di hari minggu, program Pro-3 Jaringan Berita Nasional radio milik pemerintah itu menyiarkan talkshow atau dialog

interaktif yang membahas berbagai persoalan agraria.

Diakui atau tidak, persoalan agraria di negeri ini memang menjadi persoalan yang sangat kompleks. Bukan hanya sekadar persoalan tanah, tingginya angka kemiskinan yang ada di Indonesia, salah satunya juga bersumber dari persoalan agraria. Karena itu, pemerintah perlu segera melaksanakan reforma agraria jika ingin

mengatasi persoalan kemiskinan di pedesaan.

Menurut Sekjend KPA, Idham Arsyad dalam acara dialog interaktif yang disiarkan RRI itu mengungkapkan beberapa penyebab pokok lahirnya kemiskinan di pedesaan. Pertama, soal ketimpangan penguasaan atas sumber-

“Anda masih bersama kami PRO-3, disiarkan langsung dari lantai tujuh gedung pusat pemberitaan Radio Republic Indonesia (RRI). Bekerja sama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dialog intraktif suara pembaharuan agraria hadir untuk anda.”

Suara Agraria

Page 18: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

18 Edisi: II/April - Juni/2010

sumber agraria. Banyak petani dan masyarakat yang tinggal di pedesaan ternyata tidak punya lahan dan tanah garapan sendiri. Rata-rata mereka yang tidak punya tanah sendiri, bekerja sebagai buruh tani dan berupah rendah.

Kedua, ketimpangan produksi. Berdasarkan hasil riset KPA, ditemukan sekitar 70 persen rumah tangga petani dalam memenuhi kebutuhan hidup dan makan ternyata bukan dari hasil sektor pertanian. Namun, diambil dari hasil bekerja di luar sektor pertanian. Hal itu terjadi karena ketimpangan penguasaan lahan dan tanah pertanian.

“Paling tidak dua hal itulah yang menurut saya harus segera diatasi jika kita ingin mengentaskan kemiskinan di pedesaan. Petani penggarap yang tidak punya tanah harus diberi tanah,” kata Idham Arsyad.

“Bukan sebaliknya, tanah milik petani justru dibiarkan dirampas untuk melayani kepentingan pengusaha yang tidak ada kaitannya dengan usaha produktif petani. Akbibatnya, konflik agraria pun bermunculan dimana-mana dan tidak dapat dihindarkan,” papar Idham Arsyad dalam acara talkshow yang disiarkan secara langsung oleh RRI, Minggu (18/4/2010).

Konflik Agraria

Terkait dengan persoalan konflik agraria yang masih sering terjadi di Indonesia, Deputi Riset dan Kampanye KPA, Iwan Nurdin memaparkan dalam dialog interaktif pada episod lanjutnya, Minggu (20/6/2010) yang juga disiarkan langsung di RRI.

Menurut Iwan Nurdin, ada banyak ragam penyebab konflik agraria yang selama ini terjadi di Indonesia. Pertama: ada banyak tanah di Indonesia yang terkenal dengan kesuburanya. Namun, sebagian besar tanah itu diperuntukan untuk para pengusaha, bukan untuk rakyat.

Padahal, banyak sekali rakyat di Indonesia yang tidak memiliki lahan garapan sendiri. Sehingga melahirkan kecemburuan sosial dan mengakibatkan konflik agraria.

Kedua, mudahnya peruntukan tanah bagi para pengusaha dan konglomerat di atas tanah-tanah masyarakat yang tidak memiliki perlindungan hukum formal, sering menjadi penyebab konflik agraria. Tanah-tanah masyarakat yang tidak dilengkapi dokumen surat-surat lengkap, hanya dilindungi oleh hukum adat, tiba-tiba dirampas oleh para pengusaha. Sehingga masyarakat pun melawan dan lahirlah konflik agraria.

“Hukum agraria kita memang mengakui ada tanah adat. Namun, cenderung melemahkan hak-hak agraria masyarakat adat itu. Saya kira itu yang paling utama menjadi penyebab konflik agraria di Indonesia,” tegasnya.

Ketiga, carut-marutnya sistem hukum agraria di Indonesia juga menjadi persoalan tersendiri. Misalnya, ada kawasan hutan yang ditetapkan secara hukum oleh pemerintah dan di dalamnya ada perkampungan masyarakat yang sudah lama hidup dan tinggal di republik ini.

“Tentu saja masyarakat yang tinggal di kawasan itu menolak tempat tinggalnya ditetapkan sebagai kawasan hutan. Masyarakat pasti melawan ketika akan digusur,” tegas Iwan Nurdin.

Lalu, imbuhnya, pemerintah menawarkan solusi untuk mengatasi konflik itu dengan cara agar masyarakat menempuh jalur hukum. Namun, ketika konflik agraria yang disebabkan oleh persoalan itu dibawa ke ranah hukum, persoalan bukannya selesai. Justru tambah besar. Sebab, apa yang diakui oleh hukum, khsusunya dalam bidang agraria itu tidak mewakili kehendak masyarakat. Terutama dalam hal pembuktian.

“Masyarakat tidak punya alat bukti yang

Suara Agraria

Page 19: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

19Edisi: II/April - Juni/2010

kuat jika persoalan itu diselesaikan secara hukum. Celah inilah yang sering dipakai dan dimanfaatkan oleh pengusaha dan pemerintah untuk menggusur tanah adat yang selama ini dikuasai masyarakat,” ujarnya.

Karena itu, imbuh Iwan Nurdin, ada masalah dalam hukum formal yang ada. Bukan karena kepintaran pengusaha dan pemerintah memanfaatkan celah. Namun, ruang hukum yang tersedia itu tidak mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat. Karena, proses hukum yang dikenal, cenderung memarjinalkan dan mendiskriminasi hak-hak masyarakat kecil.

Apa yang di-ungkapkan Iwan Nurdin, dibenarkan diakui oleh Ang-gota Komisi Na-sional HAM, Ridha Saleh. Menurut-nya, hal itu terbukti dari banyaknya kasus pertanahan yang dilaporkan ke Komnas HAM. Namun, ia tidak menyebutkan angka pasti berapa besar jumlah pelanggaran HAM yang disebabkan karena konflik agraria.

Dalam dialog intrektif episode Minggu 20 Juni 2010, Iwan Nurdin dipanelkan dengan Ridha Saleh. Anggota Komnas HAM itu mengakui bahwa sering kali dalam konflik agraria memang selalu diikuti oleh pelanggaran HAM. Namun, ia tidak menyebutkan angka pasti berapa jumlah pelanggaran HAM dalam setiap konflik agraria.

Secara tegas, Ridha Saleh hanya mengatakan bahwa kepemilikan tanah bagi

petani adalah sebuah hak. Hak itu berdimensi dengan hak-hak lainnya. Seperti, hak hidup, hak ekonomi, hak sosial, dan hak budaya. Jika itu dirampas, tentu saja ada pelanggaran hak.

Solusi

Selain regulasi hukum yang harus dibe-nahi, akar persoalan dari kemiskinan di pede-saan adalah minimnya akses kepemilikan dan pengolahan tanah bagi masyarakat. Karena itu,

pemerintah akan segera membuat kebijakan untuk melaksanakan re-forma agraria. Demikian kata Yuswanda Te-menggung, Deputi Pengaturan dan Penatagunaan Per-tanahan BPN RI dalam dialog interk-tif di RRI, Minggu (16/5/2010).

Menurut Yus-wanda Temeng-gung, Kebijakan reforma agraria itu sebenarnya sudah

menjadi kebijakan nasional sebagaimana yang digariskan dalam TAP MPR No. 8 dan Keputusan MPR No. 5 tahun 2003, serta UUPA No.5 Tahun 1960. Namun, pelaksanaannya, diperlukan dua jalur utama.

Pertama, penataan politik hukum pertanahan, harmonisasi politik dan hukum pertanahan sampai peraturan pelaksanaanya. Kedua, land reform plus. Dalam hal ini, masyarakat akan diberikan aset dan akses reform agar dapat menggunakan serta memanfaatkan tanah.

Suara Agraria

Page 20: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

20 Edisi: II/April - Juni/2010

“Dua jalur ini sudah disiapkan pemerintah. Jalur pertama yang dikenal dengan sistem politik hukum itu sudah kita coba lakukan. Terutama dari segi aspek peraturan perundang-undanganya,” tegasnya.

Imbuh Yuwanda, saat ini pemerintah juga sedang menyiapkan draft final peraturan pemerintah tentang pelaksanaan daripada reforma agraria dan telah selesai April 2010. Dengan demikian, pemerintah berharap reforma agraria dapat dilaksanakan secara konsepsional dan damai. Sehingga dibutuhkan kesiapan pemerintah dan juga masyarakat.

“Reforma agraria harus dimaknai dalam arti luas. Yakni, penataan aset masyarakat dalam konteks ini adalah tanah. Itu yang kita atur. Sehingga butuh kesiapan dari pemerintah dan masyarakat,” tegasnya.

Secara retorik, kata Yuswanda Temenggung, kebijakan ini reforma agraria ini lakukan pemerintah dalam konteks untuk menata kepemilikan dan penguasaan tanah. Mengurangi kemiskinan dan pengangguran, serta masalah-masalah struktural lainnya yang sedang di bangsa ini.

Catatan Kritis

Gagasan dan keinginan pemerintah untuk melaksanakan reforma agraria dalam kerangka untuk mengentaskan kemiskinan, tentu saja dapat dipandang sebagai langkah luar biasa. Apresiasi positif ini, disampaikan oleh Ketua Dewan Nasional KPA, Usep Setiawan dalam dialog intraktif yang disiarkan RRI, Minggu (16/5/2010).

“Reforma agraria bagi KPA adalah

langkah yang harus ditempuh oleh bangsa ini. Supaya problem-problem seperti ketimpangan penguasaan atas tanah, konflik-konflik agraria yang massif diberbagai sektor, dan kerusakan lingkungan hidup ini bisa ditangani secara tuntas,” kata Usep Setiawan dalam dialog intraktif yang dipanelkan dengan Yuswanda Temenggung.

Namun, lanjut Usep Setiawan, sebagai organsiasi gerakan sosial non pemerintah, selain memberi apresiasi positif KPA juga memberikan catatan-catatan kritis terhadap langkah dan gagasan yang akan diambil pemerintah.

Tujuan dari cacatan kritis itu adalah agar reforma agraria benar-benar dapat menyentuh akar persoalan yang mendasar. Tidak parsial dan tidak hanya menyentuh persoalan-persoalan yang ada dipermukaanya saja.

Catatan pertama, apakah reforma agraria yang akan dijalankan itu sudah cocok dengan konsepsi yang ada. Bisa jadi dalam praktiknya, pelaksanaan reforma agraria itu akan membutuhkan beragam konsepsi sesuai dengan kondisi wilayahnya

yang berbeda. Kondisi agraria di pulau Jawa tentunya beda dengan di Kalimantan, Sumatra, Sulawesi dan Papua.

Karena itu, perlu pendekatan-pendekatan kewilayahan yang cocok dengan kondisi ekologis yang ada di wilayah itu. Sosio cultur masyarakat juga itu perlu diperhatikan agar tidak melahirkan persoalan baru dikemudian hari.

Kedua, pemerintah pusat dalam hal ini adalah BPN RI, hendaknya menyusun prinsip-prinsip design umum dari pelaksanaan reforma

Suara Agraria

Page 21: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

21Edisi: II/April - Juni/2010

agraria yang bisa kompatibel bisa dilakukan di semua wilayah. Hal-hal yang sifatnya mendasar dan teknis operasional hendanya melibatkan peran semua kalangan yang ada di wilayah itu. Seperti, peran pemerintahan daerah, organsiasi-organsiasi rakyat yang ada di setiap wilayah harus dilibatkan dalam merumuskan konsepsi reforma agraria yang tepat di wilayahnya dan dapat menjalankanya bersama.

Ketiga, reforma agraria yang akan dijalankan pemerintah harus dapat meng-cover seluruh sektor yang harus segera ditata ulang. Karena itu, design reforma agraria yang akan disusun dan disahkan pemerintah nantinya, hendaknya mengatur dan menata semua sektor yang ada.

“Ngomong reforma agraria tanpa ngomong pertanahan memang nonsense. Tapi kalau hanya pertanahan, sementara kehutanan, perkebunan, pertambangan, dan kelautan itu tidak ikut dibicarakan dalam kerangka pelaksanaan reforma agraria, saya kira juga akan melahirkan persoalan dikemudian hari,” tegas pria kelahiran Ciamis, 11 September 1972.

Selanjutnya, mantan Koordinator Pelaksana Tim Kerja Mengagas Pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria - Komnas HAM ( periode 2003-2005) menegaskan, “Apapun nantinya, desain dari reforma agraria itu tetap harus menyentuh satu cara untuk menata struktur ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah. Tanpa itu, reforma agraria yang dicanangkan pemerintah tentu hanya sia-sia.”

Selain itu, pemerintah juga harus segera membentuk kelembagaan yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan reforma agraria. Misalnya, komite nasional yang dipimpin langsung oleh Presiden. “Lembaga ini harus memiliki kewenangan atau otoritas khusus untuk melaksanakan reforma agraria,” ungkap mantan Ketua Umum HURIA Mahasiswa Unpad Bandung, periode 1993-1994, menutup percakapan dalam dialog interaktif yang disiarkan langsung oleh RRI, pertengahan bulan Mei tahun lalu. -Sidik Suhada-

Suara Agraria

Page 22: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

22 Edisi: II/April - Juni/2010

Tubuh kecil dengan kulit kelam. Usianya baru 36 tahun. Gaya bicaranya ringan dan ceplas-ceplos, sehingga sering mengundang decak tawa lawan bicaranya. Sepintas tak ada yang menyangka, ternyata ia telah mengukir pekerjaan besar di negeri ini. Yakni, membantu ribuan petani lepas dari kemiskinan.

“Saya Masril Koto, nama Masril adalah pemberian orang tua saya sedangkan Koto adalah nama Suku saya. Asal saya dari Agam Sumatera Barat”, demikian Bung Masril menjelaskan tentang dirinya saat diundang ke Kantor KPA untuk berbagi pengalaman dalam membangun sistem ekonomi kerakyatan, yang sudah ia awali sebelumnya.

Gayang pun bersambut. Salah satu tujuan berdirinya KPA adalah ingin membangun kemandirian petani, mandiri secara ekonomi, dan berdaulat secara sosial-budaya. Namun, apa yang menjadi cita-cita KPA itu, ternyata telah lama dikerjakan oleh seorang Masril Koto. Ia pun memenuhi undangan KPA untuk berbicara masalah pembangunan ekonomi kerakyatan yang sudah ia rintis dan dijalaninya.

“Alhamdulillah, sejauh ini berkat hasil “komporan” kami telah membangun 300 unit LKMA (Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis) di seluruh Sumatera Barat. Setiap unit rata-rata memiliki asset hingga 1 Miliar Rupiah. Kelak, semoga petani bisa memiliki “Bank Petani” sendiri,” jelas Masril dengan bahasa khasnya yang ringan dan penuh canda.

Konsep yang dibangun sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan lembaga keuangan mikro lainnya. Hanya bentuknya saja berupa koperasi modern yang tidak terikat dengan undang-undang koperasi pemerintah. ”Kami lebih modern karena mewajibkan standar akuntansi nasional dalam pengelolaan dan kepemilikan saham untuk mengumpulkan modal,” tegasnya.

“Pelaku utama dalam pengelolaan usaha ini adalah anak-anak petani yang telah dilatih oleh para sarjana dan aktivis

Masril Koto:Sosok Pahlawan Petani Indonesia

“Alhamdulillah, sejauh ini berkat hasil “komporan” kami

telah membangun 300 unit LKMA (Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis) di seluruh Sumatera Barat. Setiap unit

rata-rata memiliki asset hingga 1 Miliar Rupiah. Kelak, semoga

petani bisa memiliki “Bank Petani” sendiri,”

Sosok

Page 23: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

23Edisi: II/April - Juni/2010

kampus,” imbuh anak pertama dari delapan bersaudara itu.

Namun, tambahnya, meski ada konsep kepemilikan saham dalam koperasi tetap ada pembatasan jumlah saham yang dapat dimiliki oleh anggotanya. Sehingga tidak ada monopoli kepemilikan saham dalam koperasi itu. Jumlah kepemilikan saham juga tidak dapat menentukan suara dan arah kebijakan perusahaan. Sebab, sistem suara yang dipakai untuk menentukan arah kebijakan adalah keanggotaan ala koperasi.

Adapun sistem kepengawasannya, meng-gunakan pendekatan budaya masyarakat lokal untuk mengawasi setiap unit LKMA yang dikelola oleh anak-anak petani sendiri.

“ K a d a n g -kala yang jadi pengawas adalah ninik dan mamak ( s e s e p u h / ke tu a adat) masyarakat. Tergantung pada sistem demokrasi yang dianut oleh para anggota itu sendiri,” terangnya.

”Satu hal yang harus dipahamkan kepada mereka adalah, ini perusahaan mereka sendiri yang harus dikelola dan diawasi oleh mereka sendiri,” katanya.

Perkawinan dan percampuran unik tersebut tidak berhenti disitu. Sebab, unit-unit LKMA ini mengajak masyarakat dan anggota untuk menjalankan pertanian organik. “Kalau mereka menjalankan pertanian organik maka mereka dapat berdaulat”, papar Masril.

Menjalankan pertanian organik menurutnya adalah memproduksi sendiri pupuk dan pestisida organik. Dengan begitu, ada lebih banyak uang petani yang dapat ditabung di LKMA.

Terakhir, LKMA harus ditopang oleh organisasi petani atau kelompok petani. Sehingga akan selalu tersedia kader-kader dari masyarakat petani yang akan meneruskan tradisi pertanian organik dan pertanian berkelanjutan.

Melalui tiga pilar tersebut. LKMA, Or-ganisasi Petani, dan Model Pertanian Organik, sosok Masril telah mampu mengubah sebagian wajah petani di Sumatera Barat. Bahkan, kerja

tersebut mengin-spirasi organisasi petani lainnya di Indonesia untuk meniru langkah yang dirintis Mas-ril. Tentu untuk kehidupan petani supaya lebih se-jahtera.

Sulit diper-caya bahwa Mas-ril belajar secara otodidak, ia hanya

lulus kelas 4 SD di kampungnya. Pria kecil dengan sejuta energi dan inspirasi ini memang mampu menyihir KPA. Bahkan ia mengun-dang KPA untuk belajar dari praktek yang te-lah ia kembangkan. Sehingga basis-basis massa petani yang selama ini dibangun oleh KPA da-pat lebih mandiri.

Sebagai penutup, belajar dari sosok Masril si pendekar kaum tani dari Agam ini, KPA berharap dapat melahirkan jutaan sosok-sosok seperti Masril Koto lagi di Indonesia. Semoga. *-Iwan Nurdin-

Sosok

Page 24: Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria

24 Edisi: II/April - Juni/2010

”....kalian selalu menunggu pemimpin yang akan membawa ke kejayaan, bukannya tiap orang mengatakan bahwa dialah pemimpin yang membawa kepada kejayaan itu…” (Bumi Manusia - Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia)