203
SUBTEMA SUBSIDY AND AGRICULTURE GOVERNANCE

SUBTEMA SUBSIDY AND AGRICULTURE · PDF filePusat Koperasi Unit Desa Jawa Timur (P uskud Jatim) merupakan salah satu ... SK Menteri Koperasi, PKM RI Nomor 027/BH/M.1/IX/1999 tanggal

  • Upload
    hadung

  • View
    260

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

SUBTEMASUBSIDY AND AGRICULTURE GOVERNANCE

Revitalisasi Koperasi Perdesaan:sebagai Instrumen Pemberdayaan Petani

Oleh M. Noor Azasi Ahsan1

Abstrak

Pada tahun 1970-an, pemerintah mengembangkan Badan Usaha Unit Desa (BUUD)dengan tujuan membantu penyediaan sarana produksi, serta pengolahan dan pemasaranhasil produksi para petani. BUUD selanjutnya bermetamorfosa menjadi Koperasi UnitDesa (KUD) yang bersifat multipurpose. Meskipun berhasil mencapai swasembada berastahun 1984, kesejahteraan petani tetap tidak meningkat. Pada awal era reformasi, lembagaswadaya masyarakat (LSM) dan koperasi-koperasi lain mengambil alih sebagian peranKUD dalam penyaluran Kredit Usaha Tani (KUT). Namun target swasembada tetap tidaktercapai, demikian juga usaha meningkatkan kesejahteraan petani. Revitalisasi koperasipedesaan melalui penerapan nilai dan prinsip yang terkandung dalam jatidiri koperasi(cooperatives identity) memiliki arti strategis dalam mendukung pemberdayaan petani. Halitu membutuhkan konsistensi dan sinkronisasi kebijakan agar koperasi dapat bersinergidengan lembaga-lembaga baru yang diamanahkan sejumlah undang-undang, seperti BadanUsaha Milik Petani, Badan Usaha Milik Desa, dan Lembaga Keuangan Mikro.

Kata kunci : koperasi, revitalisasi, jatidiri

*****

Pendahuluan

Gerakan koperasi digagas oleh Robert Owen (1771-1858), yang menerapkannyapertama kali pada usaha pemintalan kapas di New Lanark, Skotlandia. Gerakan inidikembangkan lebih lanjut oleh William King (1786–1865) – dengan mendirikan tokokoperasi di Brighton, Inggris. Di Jerman, koperasi-koperasi didirikan oleh Charles Foirer,Raffeinsen dan Schulze Delitch. Di Denmark, Pastor Christiansone mendirikan koperasipertanian. Sedangkan di Indonesia, Arya Wiria Atmaja mendirikan sebuah unit simpan-pinjam di Purwokerto pada tahun 1896. Selain menggunakan uangnya sendiri, Arya WiriaAtmaja juga menggunakan kas mesjid yang dipegangnya sebagai modal koperasi tersebut.

Secara konseptual, koperasi sebagai badan usaha yang menampung pengusahaekonomi lemah, memiliki beberapa potensi keunggulan untuk ikut serta memecahkanpersoalan social-ekonomi masyarakat. Bung Hattamengatakan bahwa Koperasi adalahBadan Usaha Bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian, beranggotakan merekayang umumnya berekonomi lemah yang bergabung secara sukarela dan atas dasarpersamaan hak dan kewajiban melakukan suatu usaha yang bertujuan untuk memenuhikebutuhan-kebutuhan para anggotanya.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992, disebutkan bahwakoperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukumkoperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus gerakan

1 Sekretaris Badan Pelayanan dan Konsultasi Hukum Dewan Koperasi Indonesia, anggota Pokja KhususDewan Ketahanan Pangan

ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. International Cooperatives Alliance(ICA) menetapkan 7 prinsip dasar yang menjadi jatidiri koperasi, yaitu keanggotaan yangbersifat sukarela dan terbuka, pengawasan anggota secara demokratis, partisipasi ekonomianggota, otonomi dan independensi, pendidikan, pelatihan dan informasi, kerjasama antarkoperasi serta kepedulian pada komunitas.

Berdasarkan data Departemen Koperasi & UKM pada tahun 2004, tercatat ada130.730 unit koperasi, tetapi yang aktif hanya sekitar 28,55%. Sedangkan yangmenjalankan Rapat Anggota Tahunan (RAT) hanya 35,42% koperasi. Berdasarkan jumlahunit usaha yang dimiliki, dibedakan koperasi yang bersifat single purpose yang hanyamemiliki satu unit usaha dan yang multi purpose dengan beberapa unit usaha yangberagam.Salah satu koperasi yang bersifat multi purpose adalah Koperasi Unit Desa atauKUD.

Koperasi pada umumnya masih mengharapkan keberpihakan dan perlindunganpemerintah untuk dapat berkembang. Pemerintah masih diharapkan dapat menciptakaniklim yang kondusif bagi pengembangan koperasi dengan menyediakan semua sumberdaya yang diperlukan koperasi untuk dapat berkembang. Pemerintah juga diharapkanmemberikan alokasi peluang ekonomi, dengan menetapkan bidang kegiatan ekonomi yanghanya boleh diusahakan oleh koperasi, atau dimana koperasi yang telah berhasil melakukankegiatan ekonomi di suatu daerah untuk tidak diusahakan oleh badan usaha lainnya.

Kelembagaan Ekonomi Petani

Pada tahun 1963, pemerintah memprakarsai pembentukan Koperasi Pertanian(Koperta) di kalangan petani, yang produk utamanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhanbahan makanan pokok. Ada 4 tingkatan dalam kelembagaan Koperta, yaitu Koperta ditingkat pedesaan, Puskoperta di tingkat kabupaten, Gakoperta di tingkat provinsi, danInkoperta di tingkat nasional. Pada tahun 1966-1967 dikembangkan Badan Usaha UnitDesa (BUUD) sebagai pengembangan lebih lanjut dari Koperta.

BUUD merupakan penggabungan antara Koperasi Pertanian dan Koperasi Desayang ada dalam satu unit desa, yang disebut wilayah agro-ekonomis dengan luas 600sampai 1.000 hektar sawah. Tugas utamanya membantu para petani produsen dalammengatasi masalah proses produksi (termasuk kredit dan ketentuan bagi hasil), penyediaansarana produksi, serta pengolahan dan pemasaran hasil produksi. BUUD melakukanpembelian gabah, menggiling dan menyetor beras ke Depot Logistik (Dolog), sertamenjadi penyalur pupuk.

Secara bertahap, BUUD dikembangkan menjadi Koperasi Unit Desa (KUD).Pemerintah menetapkan strategi pembinaan KUD dalam 3 tahap yaitu: ofisialisasi(ketergantungan kepada pemerintah masih sangat besar), deofisialisasi/debirokratisasi(ketergantungan kepada pemerintah secara bertahap dikurangi), dan otonomi(kemandirian). Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1984 Pasal 1 Ayat (2) menyebutkanbahwa pengembangan KUD diarahkan agar dapat menjadi pusat layanan kegiatanperekonomian didaerah pedesaan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan daripembangunan nasional dan dibina serta dikembangkan secara terpadu melalui programlintas sektoral.

Kegagalan KUD yang melancarkan “pemaksaan kredit-kredit pertanian,” lemahmanajemen, birokratis dan sarat korupsi, mengakibatkan stigma buruk terhadap koperasi.Memasuki era reformasi, wacana ekonomi kerakyatan kembali tampil ke permukaansebagai jargon politik dan retorika program pembangunan, yang didorong dengan proyek-

proyek hutang yang berasal dari pemerintah dan organisasi non-pemerintah (Ornop) ataulembaga swadaya masyarakat (LSM), salah satunya program Kredit Usaha Tani (KUT).Institusi ekonomi rakyat dimanjakan dengan berbagai macam bantuan sehingga munculketergantungan. Banyaknya bantuan yang disalurkan ke koperasi atau melaluipembentukan kelompok ekonomi, kian mendorong pemahaman masyarakat yang keliruterhadap koperasi. Setelah koperasi tidak lagi menjadi pelaksana program, satu persatuKUD mengalami mati suri atau pailit. KUD sempat mendapat label “Ketua UntungDuluan”.

Pusat Koperasi Unit Desa Jawa Timur (Puskud Jatim) merupakan salah satukoperasi sekunder anggota Induk KUD yang usaha-usahanya relatif masih berjalan danberkembang. Koperasi ini berdiri dengan Badan Hukum 3883 / BH / II / 75 pada tanggal30 Juli 1975 dengan dilandasi semangat berkonsentrasi pada usaha-usaha yangberhubungan dengan produk-produk KUD Anggota di bidang pertanian serta usaha-usahalainnya yang berhubungan dengan penguatan usaha-usaha di daerah perdesaan.

Jumlah Seluruh anggota Puskud Jatim adalah sebanyak 702 KUD. Tersebardiseluruh wilayah Propinsi Jawa Timur, meliputi Kabupaten dan Kota sebagai berikut :

Persebaran Anggota Puskud Jatim

Surabaya 5 KUD Gresik 16 KUD

Sidoarjo 18 KUD Mojokerto 21 KUD

Jombang 27 KUD Pamekasan 13 KUD

Bangkalan 18 KUD Sampang 12 KUD

Sumenep 11 KUD Bojonegoro 26 KUD

Tuban 22 KUD Lamongan 29 KUD

Madiun 22 KUD Ngawi 31 KUD

Magetan 15 KUD Ponorogo 26 KUD

Pacitan 12 KUD Kediri 30 KUD

Nganjuk 20 KUD Tulungagung 19 KUD

Trenggalek 13 KUD Blitar 29 KUD

Malang 39 KUD Pasuruan 32 KUD

Probolinggo 31 KUD Lumajang 29 KUD

Bondowoso 24 KUD Jember 49 KUD

Situbondo 19 KUD Banyuwangi 44 KUD

Ada beberapa unit usaha sendiri yang terkait dengan pertanian dan perdesaan,antara lain meliputi :

a. Pergudangan

PUSKUD JATIM memiliki usaha pergudangan dalam menunjang kontribusipendapatan untuk disewakan dan dikerjasamakan kepada pihak lain dengan kapasitasrata-rata 1500 ton yang terdapat di 13 Kabupaten Propinsi Jawa Timur antara lainJember (Rambigundam Rambipuji dan Langkap Bangsalsari), Probolinggo (Pajarakan),Mojokerto (Jatipasar Trowulan), Sidoarjo (Wonoayu) dan Bondowoso (Tangsil KulonTenggarong). Pihak mitra yang memanfaatkan pergudangan Puskud Jatim diantaranyaPT. Pupuk Kaltim (Pesero) Surabaya.

b. Perdagangan Pupuk

Sejak tahun 1975, Puskud Jatim sudah menangani penyaluran pupuk dan dipercayasebagai salah satu distributor di Jawa Timur oleh Produsen PT. Pusri, Tbk.

c. Penggilingan Beras

Usaha penggilingan beras telah dirintis sejak awal Puskud Jatim berdiri pada beberapadaerah sentra produksi padi di Jawa Timur, antara lain Kabupaten Lumajang,Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Jember dan Kabupaten Ngawi. Pada masaprogram pengadaan pangan untuk stok nasional, menjadi mitra BULOG untukmemasok kebutuhan tersebut. Pusat operasionalnya berlokasi di Kabupaten Ngawi.

d. Unit Simpan Pinjam Terintegrasi

Program Usaha Simpan Pinjam (USP) KUD Terintegrasi merupakan salah satu upayamemberdayakan KUD Anggota yang sebagian saat ini usahanya mengalami kendaladalam membangun atau mengelola Unit Simpan Pinjam. Bentuk kerjasama ini diaturdalam suatu unit otonom dalam perjanjian tersendiri antara Puskud Jatim dengan KUD.Pendanaan program didukung beberapa lembaga keuangan seperti: PT Bank Jatim, PTBank Bukopin dan Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) Departemen Koperasidan UKM. Puskud Jatim (sebagai vendor collection) beserta dengan KUD Anggota(sebagai payment point) dan perbankan juga menarik tagihan rekening listrik PLN diseluruh Jawa Timur melalui Sistem Payment Point Online Bank (PPOB) sertamelaksanakan penjualan Pulsa dari berbagai operator seluler.

Koperasi lain yang bergerak di bidang pertanian adalah Koperasi Tani Nusantara(KOPTANU). Anggotanya yang tersebar di propinsi-propinsi Jawa Barat, Jawa Timur,Jawa Tengah dan Lampung. Koperasi ini memperoleh status Badan Hukum berdasarkanSK Menteri Koperasi, PKM RI Nomor 027/BH/M.1/IX/1999 tanggal 13 September 1999.Pada saat pencairan dan penyaluran KUT, KOPTANU tercatat sebagai salah satuchanneling agent. Anggota Pendiri Koperasi Tani Nusantara (KOPTANU), antara lainKOPTANU DKI Jakarta, KOPTANU “DIPOTANI” Kab. Pati, KOPTAN “Nusantara”Kab. Lamongan, KOPTANNU “Benteng Pancasila” Kab. Subang dan KOPTANALABandar Lampung.

Salah satu misi didirikannya KOPTANU adalah mengembangkan kegiatan usahaagribisnis terpadu dari hilir sampai hulu melalui penyediaan sarana produksi pertanian(pupuk, alat dan mesin pertanian, benih, pestisida), pengembangan teknologi budidayapertanian, diversifikasi/penganekaragaman kegiatan usaha pasca panen/pengolahan hasilpertanian (agroindustri) dan penguatan manajemen distribusi dan pemasaran untuk targetmarket yang tepat sesuai grading dan standarisasi komoditi. Kerjasama usaha denganswasta/lembaga lain yang telah dibangun oleh KOPTANU, antara lain dengan PT. GarudaFood, PT. Bank Central Asia dan PT. Biotama Ecotechindo.

KOPTANU mengalami kesulitan dalam mengakses modal dari perbankan karenaada beberapa primernya yang macet dalam pengembalian KUT. Sekalipun prosentase yangmacet relatif kecil, namun kondisi ini menjadi faktor penghambat dalam memperolehkredit baru dari perbankan. Padahal modal menjadi instrumen penting yang sangatdibutuhkan dalam pengembangan usaha yang telah dirintis melalui kerjasama denganbeberapa perusahaan/lembaga di atas.

Di sejumlah daerah, sebelumnya juga telah berkembang kelembagaan lumbungpangan. Fungsi yang melekat pada lumbung yang ada di desa adalah pengelolaan simpanpinjam gabah di pedesaan dan sebagai penolong pada masa paceklik. Problema inidisebabkan terbatasnya kemampuan masyarakat pedesaan terutama petani berlahan sempit,dan anjloknya harga gabah pada saat panen, serta langkanya dan relatif tingginya hargapupuk dan saprodi lainnya, yang menyebabkan petani harus berhutang.

Upaya menumbuhkembangkan kemampuan lumbung desa dilakukan olehpemerintah melalui pengembangannya sebagai lembaga ekonomi. Pemberdayaandilakukan dengan pendekatan partisipatif dalam bentuk Lumbung Pangan Masyarakat Desa(LPMD). Kondisi LPMD dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Pada beberapa daerah yang sudah lama terbentuknya, modal awal dalam bentuknatura (gabah) yang hanya satu kali dihimpun yaitu pada saat pertama kalidibentuk. Peminjaman dan pengembalian dalam bentuk natura, sebagian untukkebutuhan konsumsi pada musim paceklik dan membantu masyarakat yangterkena musibah, sebagian lagi untuk modal kerja usahatani.

2. LPMD juga diasosiasikan sebagai kelembagaan desa yang mendukungketahanan pangan masyarakat. Di Jawa Tengah, hanya sekitar 25 % desa yangmemiliki fisik lumbung sebagai tempat penyimpanan bahan pangan, seperti padidan jagung.

3. Kapasitas rata-rata lumbung untuk menyerap marketable surplus relatif kecildan sangat bervariasi. Di Jawa Barat yang memilikisekitar 2.000 unitlumbungmemiliki kapasitas simpan rata-rata 7,24 ton. Sedangkan di JawaTengah, bervariasi antara 5 ton sampai dengan 40 ton dengan perkiraan rata-rata15 ton.

4. Total kapasitas simpan LPMD di seluruh propinsi Jawa Barat diperkirakanmencapai 13.771 ton. Dengan marketable surpluslebih dari 4 juta ton, makakapasitas LPMD di Jawa Barat hanya 0,6%. Sedangkan kapasitas LPMD diJawa Tengah diperkirakan hanya sekitar 1 % dari marketable surplus.

5. Jasa peminjaman bervariasi antara 0 dan 30 persen (natura) per musim.Penggunaan jasa pinjaman, selain untuk akumulasi modal, susut, dan jasapengurus serta anggota, juga dipergunakan untuk membantu kegiatan sosialseperti mengatasi musibah dan pengembangan infrastruktur pedesaan.

Kegagalan Program

International Cooperative Alliance (ICA) mencatat 300 koperasi terbaik di dunia.Koperasi berbasis pertanian Zen-Noh Jepang, menduduki peringkat pertama, memilikiturnover (omset) sebesar US$ 983 miliar atau setara Rp9.046 triliun. Laporan koperasipertanian Jepang menyebutkan hasil output produksi senilai 90 milyar dollar Amerika dimana 91 % petani di Jepang sebagai anggota koperasi.

Di Brazil, koperasi meyumbang 40 % Produk Domestik Bruto (PDB) sektorpertanian dan 6 % dari total ekspor agribisnis. Tahun 2006, koperasi di Brazil mengekspor7,5 juta ton produk pertanian dengan nilai 2,83 milyar dollar Amerika ke 137 negara diseluruh dunia.Koperasi pohon atau kayu gula Kanada merupakan penghasil 35 % produksipohon/kayu gula di dunia.Koperasi kopi di Kolombia juga menguasai pangsa pasar kopiKolombia sebesar 33,78%. Tidak kurang dari 30 % produksi pertanian di Amerika Serikatdipasarkan melalui 3400 Koperasi pertanian.

Di Indonesia, hanya Induk Koperasi Kredit (Inkopdit-sekunder) yang bisa dianggapsehat, baik secara teknis maupun organisasi. Koperasi ini memiliki aset sekitar Rp2,855triliun per 31 Desember 2006. Sedangkan Koperasi Simpan Jasa (Kospin Jasa-primer)Pekalongan sekitar Rp1,4 triliun. Tidak ada satu pun koperasi dari Indonesia yang masukdalam 300 koperasi terbaik di dunia. Sedangkan koperasi perdesaan seperti KUD dankoperasi-koperasi tani masuk dalam daftar hitam perbankan.

Kegagalan pembangunan koperasi di Indonesiamenurut Ibnoe Soejono disebabkanfaktor-faktor sebagai berikut :

• Faktor eksternal. Pemerintah terlalu jauh melakukan intervensi, tidak memberikebebasan koperasi berkembang sesuai jatidirinya. Pembentukan danpengembangan koperasi berlangsung secara top down.

• Faktor internal. Pengurus memanfaatkannya untuk mengeruk keuntungan pribadi.Pendidikan anggota tidak dilakukan, sengaja dibuat tidak memahami agar tidak bisamengkritisi kinerja pengurus.

Kaderisasi kepemimpinan dalam gerakan koperasi juga mengalami stagnansi. Generasilama belum legowo dan ikhlas menyerahkan kepemimpinan kepada generasi yang lebihmuda.

Revitalisasi koperasi perdesaan pada akhirnya harus berhadapan dengan persoalanKUT yang belum selesai. Di satu sisi, koperasi dan para petani yang menjadi anggotanyamembutuhkan skema permodalan yang sesuai dengan karakteristik usaha tani. Pada sisilain, kredit yang macet menjadi ganjalan bagi bank untuk mengucurkan kembali kreditbaru pada koperasi-koperasi perdesaan. Menurut catatan ada 9 bank yang menjadi lembagakeuangan pelaksana KUT, antara lain BRI, Bank Bukopin, BCA dan beberapa BankPembangunan Daerah. Padahal kredit yang acceptable dengan usaha tani sangatdibutuhkan sebagai instumen pengembangan ekonomi daerah pedesaan.

Berdasarkan hasil evaluasi KUT yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) persentase tunggakan KUT sekitar 1% ada di petani dan hal itu karena tanaman padimereka terkena puso. Sementara itu 1% lainnya di tangan para penyuluh pertanian, 12%ada di perbankan, dan sisanya di oknum koperasi dan LSM yang mengatasnamakan petani.

Salah kasus penyelewengan KUT yang bisa diungkapkan sebagai ilustrasi terjadi diKoperasi Tani (Koptan) "Mukti Makmur" di Desa Karya Mukti Kec. Campaka senilai Rp1,7 miliar di Kabupaten Cianjur. Seorang pejabat di Pemerintah Kabupaten, yang menjadicamat Agrabinta tercatat sebagai bendahara di koperasi tersebut. Menurut pejabat tersebut,dia hanya menandatangani RDKK dan surat pencairan dana KUT dalam kapasitas sebagaibendahara koperasi bersama ketua koperasi. Sedangkan penggunaan dana tersebut hanyadiketahui ketua koperasi yang kemudian menghilang.

Sebenarnya telah ada komitmen dari pemerintah untuk menyelesaikan masalahKUT yang saat ini masih menggantung. Berdasarkan kesepakatan risk sharing antara

Departemen Keuangan dan Bank Indonesia, pemerintah memiliki komitmen untukmenghapus-tagih kredit usaha tani (KUT) senilai Rp5,7 triliun melalui. Pemerintah akanmenanggung risk sharing 52,5%, sementara Bank Indonesia 42,5%, dan Perum SaranaPengembangan Usaha (SPU) 5%. Namun penghapusan kredit macet KUT ini dianggapberpotensi menimbulkan moral hazard dan tidak mendidik masyarakat.

Kegagalan koperasi perdesaan ini tampaknya menjadi alasan untuk melahirkankelembagaan baru yang berperan dalam pengelolaan ekonomi perdesaan. DalamPenjelasan UU Nomor 6 tahun 2014, antara lain disebutkan Badan Usaha Milik Desa(BUM Desa) membantu penyelenggaraan Pemerintahan Desa, memenuhi kebutuhanmasyarakat Desa, serta juga dapat melaksanakan fungsi pelayanan jasa, perdagangan, danpengembangan ekonomi lainnya, namun tidak dapat disamakan dengan badan hukumseperti perseroan terbatas, CV, atau koperasi. Sedangkan Badan Usaha Milik Petaniberdasarkan UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dapat berbentukkoperasi atau badan hukum lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Strategi Revitalisasi

Revitalisasi koperasi perdesaan dapat dijalankan melalui beberapa strategi, antaralain:

1. Koperasi perdesaan perlu dikembangkan agar memiliki kemampuan menyerapmarketable surplus produksi pangan petani. Proses ini dilakukan secarabertahap, mulai dengan mengembangkan lembaga koperasi yang masihberjalan, difasilitasi agar dapat berjalan mengikuti standar manajemen modern.

2. Koperasi perdesaan diarahkan agar fokus pada kegiatan usaha yang terkaitdengan peningkatan kapasitas ketahanan pangan masyarakat dalam bentukpenguatan modal usaha tani agar petani lebih mampu meningkatkan penerapanteknologi untuk perbaikan produktivitas dan kualitas padi.

3. Pemberdayaan masyarakat tani yang menjadi anggota koperasi dilakukanmelalui proses pelatihan, konsultasi dan advokasi yang melibatkan jugapengurus kelompok, pamong desa, calon mitra kerja dan mitra usaha untukmenyepakati kegiatan yang sesuai bagi arah pengembangan koperasi perdesaan.

Untuk mendukung implementasi strategi revitalisasi tersebut, upaya melindungikepentingan petani juga diwujudkan dengan mengutamakan penggunaan pangan lokaldalam program pengadaaan pangan untuk rakyat miskin (pangkin) dengan titik berat pada2 aspek, sebagai berikut :

1. Aspek Pemasaran

Strategi untuk mencegah anjloknya harga gabah di tingkat petani, denganmenetapkan kebijakan harga pembelian yang memberikan keuntungan pada parapetani serta mempersiapkan skema dana pembelian yang memadai untukmenunjang program tersebut. Perlu ada promosi dan penetrasi pemasaran melaluipengembangan jaringan usaha dengan koperasi-koperasi fungsional dan koperasi-koperasi konsumen.

2. Aspek Pengadaan Saprotan

Penyaluran sarana produksi pertanian (saprotan) meliputi pupuk, benih dan obat-obatan, perlu melibatkan kembali koperasi-koperasi perdesaan yang masih berjalan.Hal ini terutama untuk mengamankan pasokan pupuk di seluruh Kawasan Timur

Indonesia, yang meliputi provinsi-provinsi di Kalimantan, Sulawesi, Bali, NusaTenggara, Kepulauan Maluku, dan Papua. Pengurangan atau penghapusan subsidiharga, perlu kompensasi dalam bentuk rehabilitasi infrastruktur transportasi agardapat menekan biaya operasional distribusi dan penyaluran saprotan kepada petani.

Penerapan jatidiri dapat dilakukan melalui adaptasi pola tanggung renteng yangselarah dengan karakter sosiobudaya masyarakat Indonesia. Pola ini sebenarnya telahdijalankan oleh Hulp en Sparbank yang didirikan Arya Wiryaatmadja di Purwokerto padatahun 1889. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga lembaga ini antara lainmemuat:

◊ Bank dapat memberikan pinjaman kepada orang-orang yang mempunyai gajitetap sampai sejumlah gaji tanpa borg (agunan).

◊ Pinjaman melebihi jumlah satu bulan gaji dapat diberikan menurut pertimbanganpengurus, dengan sekurang-kurangnya ada satu orang penanggung (borg).

◊ Pinjaman dengan jaminan surat-surat berharga dapat diberikan dengan jumlahlebih dari f. 100.

◊ Bank dapat memberi kredit secara hipotik dan juga dengan jaminan rumah (”jualgade”).

◊ Kumpulan petani yang beranggotakan sekurang-kurang 10 orang yang secarabersama-sama menanggung hutanng (tanggung renteng) dapat menerimapinjaman dengan jangka kurang dari 6 bulan, pengembaliannya bisa dalam bentuknatura.

◊ Pemberian pinjaman dalam jumlah kecil sebesar 1/8 dari penghasilan denganjumlah maksimum f.25 juga diberikan kepada pegawai negeri dan penerimapensiun, yang harus dilunasi sehari setelah gaji, pensiun, uang tunggu dantunjangan diterima.

Pada tahun 1953 Mursia Zaafril Ilyas mengembangkan satu kumpulan arisan ibu-ibu di Malang yang kemudian menjadi cikal bakal bagi terbentuknya Koperasi WanitaSetia Budi Wanita. Sistem yang dikembangkan awalnya disebut pola “tanggungmenanggung”. Pola ini kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi Sistem TanggungRenteng melalui penerapannya dalam kelompok-kelompok anggota koperasi wanita.

Sebelum mengembangkan Grameen Bank di Bangladesh, Muhammad Yunus,peraih Nobel Perdamaian 2006 mengakui telah melakukan studi banding dan mempelajariSistem Tanggung Renteng di Koperasi Setia Bhakti Wanita Surabaya. Dalam tulisannya,"Creating a Poverty-Free World" (Asian Business Wisdom 2001), Muhammad Yunus,menyebut, kemiskinan terjadi karena kegagalan menciptakan kerangka kerja teoretis,lembaga-lembaga, dan kebijakan untuk menunjang kemampuan (capabilities) manusia.Grameen Bank memberi perhatian besar pada pemberian pinjaman untuk kaumperempuan.Inti dari keberhasilan pengelolaan dana bergulir untuk kaum miskin olehGrameen Bank adalah mengembangkan sisi kemanusiaan dari setiap manusia.

Pengelolaan dana bergulir saat ini juga telah menerapkan Sistem TanggungRenteng (STR), antara lain pada pelaksanaan Program Pengembangan Kecamatan (PPK).Pengelolaan dana bergulir pada hakekatnya dipengaruhi oleh 3 (tiga) hal yaitu:

1. unit pengelola kegiatan (UPK)

2. kelompok peminjam

3. aturan dan prosedur/mekanisme perguliran.

UPK berperan sebagai pengelola dan penyalur seluruh dana bergulir di tingkat kecamatan,sedangkan kelompok peminjam adalah pengelola dan penyalur dana bergulir kepadamasyarakat yang menjadi anggotanya sebagai pemanfaat langsung pinjaman tersebut.

Pengarusutamaan perempuan dalam aplikasi Sistem Tanggung Renteng terutamadisebabkan kondisi perempuan yang termarjinalkan secara sosial-ekonomi serta beberapakelebihan perempuan dalam mengelola usaha dan modal yang dipercayakan kepadanya. DiIndonesia, lebih dari 60% pemakai jasa kredit perbankan di tingkat nasional saat ini adalahdari kalangan usaha kecil menengah (UKM) perempuan. Selain membayar cicilan lancardan tepat waktu, perempuan juga malu berutang lama-lama. Kaum perempuan di Indonesaiselalu berupaya dan membantu suami untuk menghidupi biaya hidup keluarga, ada yangberjualan jamu, membuka warung, dan beragam usaha lainnya.

Penutup

Koperasi perdesaan yang menangani komoditas pasar terbuka pada umumnyamengalami kegagalan. Sedang yang menangani komoditas pasar tertutup dapat melakukankegiatan pemasaran secara terbatas. Arah revitalisasi melalui perubahan mindset darikebiasaan berusaha dalam perlindungan pemerintah menjadi berani bersaing dalam pasarbebas dengan menampilkan berbagai keunggulan yang dimiliki.

Kendala-kendala yang umumnya dihadapi adalah skala usaha, strukturkepengurusan dan pembiayaan. Upaya untuk meningkatkan akses terhadap kreditperbankan, dan penataan kembali fasilitasi pembiayaan oleh pemerintah dengan lebihrasional dan efektif. Fokus ditujukan kepada koperasi perdesaan yang bergerak dibidangpangan-pertanian dan hortikultura (sayur-mayur dan buah-buahan), rempah-rempah sertadaging sapi.

Koperasi-koperasi dengan komoditas pasar tertutup didorong untukmengembangkan produksi dan pemasaran dalam skala yang lebih luas. Kegiatan ekspor,impor dan bisnis internasional lainnya perlu dibuka untuk Koperasi Susu, Koperasi KelapaSawit, dan Koperasi Perikanan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalammelaksanakan revitalisasi koperasi perdesaan antara lain:

1. Pertemuan yang mampu melaksanakan kegiatan usaha dalam komoditas pasarbebas guna menemukan kiat-kiat yang dapat mendorong usahanya berkembangmaju.

2. Pertemuan yang mampu melaksanakan kegiatan usaha dalam komoditas pasartertutup, terbagi dalam beberapa kelompok, seperti susu, kelapa sawit danperikanan.

3. Pertemuan untuk mengembangkan prasyarat dan syarat-syarat pengembanganprofesionalisme management.

4. Technical assistance dalam kegiatan usaha ekspor-impor dan hubungan bisnisinternasional.

5. Pengembangan akses terhadap perbankan dan sumber pembiayaan lainnya, sepertimodal ventura dan pembiayaan syariah

6. Pengembangan aliansi antar sesama koperasi atau dengan badan usaha lainnyamelalui sistem Modal Penyertaan.

7. Penataan pembiayaan fasilitas pemerintah dengan menetapkan fokus pembiayaaninvestasi bagi koperasi perdesaan dengan komoditas pasar tertutup.

Kesepakatan atau kesimpulan dari berbagai pandangan para pemangkukepentingan, perlu dirangkum dan diseleksi sesuai dengan arah revitalisasi. Kesimpulamyang memerlukan payung regulasi disampaikan kepada pemerintah agar membuatkebijakan sesuai kewenangan yang digariskan konstitusi. Regulasi juga dapat berbentukPeraturan Pemerintah, peraturan dari kementerian-kementerian terkait serta peraturandaerah.

Penerapan jatidiri dan pengembangan usaha koperasi dengan demikian memilikikekuatan hukum. Arah selanjutnya yang diperlukan adalah penyempurnaan undang-undangkoperasi dengan titik berat pada 2 hal. Pertama, penyesuaian prinsip koperasi denganjatidiri yang digariskan International Cooperatives Alliance (ICA). Kedua, penjabaranprinsip tersebut dalam ketentuan yang bersifat lebih operasional, misalnya melaluipenerapan pola tanggung renteng.

Semoga konsistensi penerapan jatidiri dan revitalisasi koperasi perdesaan bisamendorong koperasi agar benar-benar dapat menjadi sokoguru perekonomian sebagaimanayang dicita-citakan para pendiri bangsa, sekaligus memenuhi hak-hak petani sebagai warganegara yang juga menjadi amanah konstitusi.

Daftar Pustaka

Andjar Pachta W., Myra Rosana Bachtiar, Nadia Maulisa Benemay (Eds.). HukumKoperasi Indonesia : Pemahaman, Regulasi, Pendirian, dan Modal Usaha. (Jakarta: Prenada Media Group, 2007, Cetakan II)

Djazh, Dahlan Pengetahuan Perkoperasian (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1977)

Kementerian Negara Koperasi dan UKM. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentangPerkoperasian. Jakarta : Kementerian Negara Koperasi dan UKM, 2005..

Limbong, Bernhard. Pengusaha Koperasi – Memperkokoh Fondasi Ekonomi Rakyat(Jakarta: Margaretha Pustaka, 2010)

Murdeni Muis dan Kasim Siyo. Ekonomi Syariah Men gentaskan Kemiskinan. Medan :USU Press, 2008.

Nasution, Muslimin. Mewujudkan Demokrasi Ekonomi dengan Koperasi.Jakarta : PIPPublishing, 2007.

Ramudi Ariffin. Analisis Konsistensi dan Relevansi UU No. 25 Tahun 1992 TentangPerkoperasian Berdasarkan Konsep Jatidiri Koperasi. Makalah pada Up GradingManajemen di Wisma YTKI Jakarta, 8 Januari 2011.

Sito, Arifin. Tamba, Halomoan Koperasi Teori dan Praktek. (Jakarta: Erlangga 2001)

Sri-Edi Swasono. Menolak Neoliberalisme (Jakarta : Yayasan Hatta, 2010)

Jakarta, 1 Agustus 2014

******

Makalah

PENGEMBANGAN MANGGIS SEBAGAI KOMODITAS UNGGULAN LOKALKABUPATEN SUKABUMI

Reny Sukmawani1, Endang Tri Astutiningsih2

1Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Sukabumi, Anggota PERHEPI2Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Sukabumi, Anggota PERHEPI

[email protected]@yahoo.com

I. PendahuluanI.1. Latar Belakang

Tantangan pembangunan pertanian dalam menghadapi era global ini dihadapkanpada kenyataan bahwa pertanian Indonesia didominasi oleh usaha skala kecil yangsebagian besar tingkat pendidikannya rendah, berlahan sempit, bermodal kecil danmemiliki produktivitas yang rendah. Kondisi ini memberikan dampak yang kurangmenguntungkan terhadap persaingan di pasar global. Selain itu dijumpai pula hampir disemua wilayah beberapa persoalan seperti : (1) belum optimalnya pemanfaatan potensisumberdaya manusia di perdesaan; (2) kurangnya sinergitas antara pelaku ekonomi yangmemanfaatkan potensi sumberdaya manusia dan (3) terbatasnya kemampuan pemerintahdalam pengelolaan sumberdaya. Keadaan tersebut menuntut adanya suatu konseppengembangan komoditas yang secara terfokus dan mampu mengintegrasikanpengelolaannya dari hulu hingga ke hilir. Untuk memenuhi tuntutan tersebut telahberkembang suatu konsep pengembangan komoditas unggulan.

Pengembangan komoditas unggulan merupakan konsep dimana kabupaten/wilayahmemiliki produk unggulan, yaitu produk atau komoditas yang dipilih oleh kabupatensebagai produk unggul karena melibatkan masyarakat banyak, berbasis sumberdaya lokaldan memiliki peluang pasar serta unik. Konsep pengembangan komoditas unggulan yangdikembangankan selama ini dikenal sebagai konsep Agro-Ecological Zone (AEZ) atauperwilayahan komoditas unggulan yang juga mengarahkan suatu kawasan tertentu untukmenghasilkan satu atau beberapa jenis komoditas pertanian atau bahkan industri unggulan(Fischer et al, 2006).

Menurut Hendayana (2003), langkah menuju efisiensi pembangunan pertaniandapat ditempuh dengan mengembangkan komoditas yang mempunyai keunggulankomparatif ditinjau dari sisi penawaran dan permintaan. Dari sisi penawaran, komoditasunggulan dicirikan oleh superioritas dalam pertumbuhannya pada kondisi biofisik,teknologi dan sosial ekonomi. Adapun dari sisi permintaan, komoditas unggulan dicirikandengan kuatnya permintaan pasar baik domestik maupun internasional.

Dengan demikian pembangunan pertanian harus diimbangi dengan peningkatandaya saing komoditas dalam menghadapi tantangan persaingan global. Karena sepertiyang dikatakan oleh Winarno (2003), bahwa pada akhirnya hanya produk-produk yangmempunyai keunggulan kompetitiflah yang akan mampu bersaing. Sementara untukmenghasilkan produk yang kompetitif diperlukan suatu upaya untuk menembus persainganglobal. Dalam hal keunggulan bersaing ini, Michael Porter, profesor ilmu ekonomi danahli manajemen strategi dari Harvard University berusaha mengkaji daya saing dariperspektif mikro (perusahaan) ke perspektif daya saing bangsa (national competitiveadvantage). Porter (1990) mengajukan Diamond Model (DM) yang terdiri dari empatfaktor yang menentukan National Competitive Advantage (NCA). Empat faktor ini

adalah: (1) kondisi faktor(tenaga kerja, sumber daya alam, modal dan infrastruktur); (2)kondisi permintaan; (3) industri pendukung dan terkait; dan (4) Persaingan, struktur danstrategi perusahaan.

Konsep pengembangan komoditas unggulan di Jepang dikenal dengan istilah OneVillage One Commodity (OVOC) atau One Village One Product (OVOP), yaitu gerakansatu desa satu produk yang bermula di Propinsi Oita-Jepang. Gerakan ini dianggap sukseskarena mampu mengangkat harkat desa miskin Oyama berkat adanya hasil pertanianunggulan meskipun dengan skala kecil (M. Tambunan, 2003). Di Thailand, konsep sejenisdiperkenalkan pertama kali oleh Perdana Menteri Thaksin Shinawatra yang terinspirasi dankemudian mengadopsi program tersebut untuk dikembangkan lebih lanjut dengan namaOne Tambon One Product (OTOP). Tambon dalam bahasa setempat berarti kecamatan,sehingga OTOP dikenal sebagai suatu konsep atau program untuk menghasilkan satu jeniskomoditas atau produk unggulan yang berada dalam suatu kawasan tertentu (Pasaribu,2007).

Secara konseptual, model AEZ, OTOP dan OVOP memiliki kesamaan satu samalain dimana masing-masing model tersebut menfokuskan pengembangan pada produkunggulan wilayah. Hanya saja dalam konsep AEZ lebih ditekankan perhatian pada aspekkondisi lahan, geografi dan topografi, sarana dan prasarana serta kondisi sosial, budaya danekonomi masyarakat setempat. Adapun konsep OTOP dan OVOP diterapkan pada kondisidan kapasitas yang sudah terbentuk tetapi belum dioptimalkan untuk memasuki jangkauanpasar yang lebih luas (Burhanuddin, 2008).

Secara konseptual ketiga model tersebut memiliki kelemahan yang sama yaitubelum dapat memunculkan konsep pengembangan berdayasaing yang terintegrasi dari huluhingga ke hilir. Dalam upaya melengkapi kelemahan konsep pengembangan komoditasunggulan tersebut, perlu dilakukan penelitian lebih mendalam yang meliputi analisis dayasaing terhadap komoditas unggulan lokal terpilih yang dalam penelitian ini adalahmanggis dan faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan komoditas unggulantersebut sehingga menghasilkan suatu rekomendasi untuk pengembangannya.

Penelitian ini merupakan studi kasus di Kabupaten Sukabumi. Pemilihan lokasi iniberdasarkan pada potensi Kabupaten Sukabumi di bidang pertanian yang belumdikembangkan secara maksimal. Salah satu komoditas potensi unggulan yangdikembangkan di Kabupaten Sukabumi adalah manggis. Agar manggis ini dapat menjadidaya ungkit Kabupaten Sukabumi maka perlu dilakukan berbagai upaya yang dapatmendorong pengembangannya. Salah satu upaya tersebut diantaranya adalah melaluipengembangan komoditas unggulan yang dapat menjangkau pasar yang lebih luas dandiarahkan untuk mendukung perkembangan sektor-sektor ekonomi yang berpotensimenciptakan kesempatan kerja yang luas serta memiliki prospek yang baik dalammeningkatkan kesejahteraan masyarakat.

I.2. Rumusan MasalahBerdasarkan latarbelakang tersebut di atas, maka rumusan masalah dari penelitian

ini adalah sebagai berikut:1. Bagaimana daya saing manggis sebagai komoditas unggulan Kabupaten Sukabumi

2. Faktor-faktor apa sajakah yang dapat mempengaruhi pengembangan manggis sebagaikomoditas unggulan Kabupaten Sukabumi

I.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :1. Menganalisis daya saing manggis sebagai komoditas unggulan Kabupaten Sukabumi2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengembangan manggis

sebagai komoditas unggulan Kabupaten Sukabumi3. Merumuskan rekomendasi pengembangan manggis sebagai komoditas unggulan lokal

di Kabupaten Sukabumi

II. Tinjauan Pustaka

I.1. Strategi Pengembangan Komoditas UnggulanPembangunan sektor pertanian memiliki peranan yang sangat penting karena

sebagian besar masyarakat di Indonesia menggantungkan kehidupannya pada sektor ini.Disamping itu sektor pertanian juga merupakan sumber modal yang utama bagipertumbuhan ekonomi modern dan merupakan basis perekonomian terutama dalammenyediakan bahan makanan dan bahan mentah industri. Menurut Syahyuti (2006), daribanyak pemikiran yang berkembang, pada prinsipnya pembangunan pertanian perlumengubah paradigma dari sekedar memproduksi komoditas ke peningkatan kapabilitasdengan mengembangkan cara-cara baru agar mampu menghasilkan produk berkarakter thebest commodity (unggul, lebih baik, lebih bercitra dan dengan input yang sedikit).Kenyataannya pada saat ini pembangunan pertanian menghadapi berbagai masalah dalamperjalanannya. Adanya permasalahan ini menunjukkan bahwa pembangunan pertanian dinegara kita masih memiliki tugas yang berat untuk dapat mencapai kesejahteraanmasyarakat pertanian.

Berlakunya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah,menjadikan penyelenggaraan pembangunan pertanian menjadi wewenang dan tanggungjawab pemerintah daerah. Pemerintah daerah, dengan wewenang yang dimilikinyahendaknya dapat secara optimal memanfaatkan seluruh sumberdaya pertanian yangtersedia baik dari sisi sumberdaya alamnya, sumberdaya manusianya maupunkelembagaannya demi tercapainya kesejahteraan masyarakat. Sehingga semuapermasalahan yang ada dalam pembangunan pertanian dapat diatasi sesuai dengankapasitas masing-masing daerah yang pada akhirnya pertumbuhan ekonomi danperkembangan wilayah dapat diwujudkan.

Menurut Nugroho (2006), perencanaan pembangunan hendaknya dibuatberdasarkan basis wilayah, yakni suatu area geografis yang memiliki ciri tertentu danmerupakan media bagi segala sesuatu unstuck berlokasi dan berinteraksi. Hal inidisebabkan karena perencanaan pembangunan wilayah merupakan suatu upaya unstuckmerumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi danprogram pembangunan yang didalamnya mempertimbangkan aspek wilayah denganmengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yangoptimal dan berkelanjutan. .

Untuk mengoptimalkan perkembangan wilayah, maka pengembangan produkunggulan yang dimiliki suatu wiayah merupakan salah satu caranya. Menurut Saragih(2001), komoditas unggulan agribisnis diartikan sebagai komoditas basis agribisnis yangdihasilkan secara berlebihan dalam pengertian lebih untuk dipergunakan oleh masyarakatdalam suatu wilayah tertentu, sehingga kelebihan tersebut dapat dijual ke luar wilayahtersebut. Menurut Alkadri (2001), suatu komoditas dikatakan unggul apabila memenuhikriteria sebagai berikut:1. Komoditas tersebut dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan

produksi, pendapatan dan pengeluaran.

2. Komoditas tersebut mampu bersaing dengan produk sejenis dari wilayah lain di pasarnasional dan internasional, baik dalam harga, produk, biaya produksi dan kualitaspelayanan

3. Memiliki keterkaitan dengan wilayah lain, baik dalam hal pasar maupun pemasokanbaha baku

4. Mampu menyerap tenaga kerja yang berkualitas secara optimal sesuai dengan skalaproduksinya

5. Dapat bertahan dalam jangka panjang tertentu, mulai dari fase kelahiran, pertmbuhan,hingga fase kejenuhan atau penurunan

6. Tidak rentan terhadap gejolak eksternal maupun internal7. Pengembangan harus mendapatkan berbagai bentuk dukungan, misalnya keamanan,

sosial, budaya, informasi dan peluang pasar, kelembagaan, fasilitas insentif/disintensifdan lain-lain

8. Berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan lingkunganDengan demikian berdasarkan kriteria tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa

komoditas unggulan bukanlah merupakan komoditas yang dapatdibudidayakan/dikembangkan di suatu daerah berdasarkan analisis kesesuaian tempattumbuhnya saja atau sekedar karena banyaknya komoditas tersebut diusahakan olehmasyarakat saja, melainkan juga harus dapat menjadi komoditas andalan yang palingmenguntungkan untuk diusahakan atau dikembangkan pada suatu wilayah, memilikiprospek pasar dan mampu untuk meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan petani dankeluarga.

Setiap wilayah memiliki komoditas unggulan yang berbeda-beda sesuai dengansumberdaya alam yang dimiliki dan umumnya menjadi sektor utama (leading sector) didaerah tersebut. Pengembangan komoditas unggulan memerlukan strategi khusus sehinggadapat memberikan kontribusi yang optimal bagi pembangunan ekonomi. Hasil penelitianSonobe, et al (2004), menyimpulkan bahwa strategi yang tepat dan kebijakanpengembangan suatu komoditas yang berkelanjutan adalah melalui peningkatan dayasaing. Menurut Porter (1993), peningkatan daya saing dapat dilakukan melalui tigastrategi, yaitu: strategi keunggulan biaya (cost advantage strategy), strategi diferensiasi(differentiation strategy) dan strategi fokus (focus strategy). Untuk itu diperlukankegiatan yang bersifat resources base.

Jika mengelompokkan komoditas unggulan berdasarkan potensi pasarnya,keberhasilan komoditas unggulan dapat diukur dari perannya dalam memberikan nilaitambah, memberikan kontribusi dalam pengembangan struktur ekonomi, dan pemenuhankebutuhan masyarakat. Berdasarkan itu, maka hal yang terpenting dari suatu komoditasunggulan adalah berdasarkan keunggulannya baik secara kompetitif maupun komparatif.Namun demikian kedua keunggulan tersebut tidak diperoleh begitu saja dengan mudahmelainkan harus melalui tahapan proses dan syarat- syarat tertentu untuk mencapainya.I.2. Konsep Daya Saing

Menurut Frinces (2011), secara konsepsional, daya saing merupakan hasil puncakdari berbagai keunggulan dan nilai lebih yang dimiliki untuk membuat sesuatu baik berupaorganisasi, produk maupun jasa. Keunggulan tersebut dilahirkan dari proses kerja dankinerja yang dilakukan dengan tingkat kualitas yang baik ditambah dengan adanyakontribusi dari berbagai sumberdaya yang terbaik terutama SDM dan teknologi yangmutakhir.

Menurut Saptana (2010), konsep daya saing menjadi kunci dalam upayapembangunan pertanian dalam arti luas. Saptana (2010) berpendapat bahwa untukmewujudkan daya saing di tingkat mikro menjadi daya saing di tingkat makro diperlukan

adanya keterpaduan antara kebijakan makro dan kegiatan ekonomi mikro. Pada dasarnyadaya saing suatu komoditas dapat diukur dengan menggunakan pendekatan keunggulankomparatif dan kompetitif. Keunggulan komparatif merupakan suatu konsep yangdikembangkan oleh David Ricardo untuk menjelaskan efisiensi alokasi sumberdaya disuatu negara dalam sistem ekonomi yang terbuka.

Sedangkan menurut Porter (1991), daya saing suatu negara ditentukan olehkemampuan industri melakukan inovasi dan meningkatkan kemampuannya. Menurutnya,suatu negara memperoleh keunggulan daya saing/competitive advantage jika perusahaan(yang ada di negara tersebut) kompetitif. Daya saing suatu negara ditentukan olehkemampuan perusahaan memperoleh daya saing karena tekanan dan tantangan.Selanjutnya Porter berusaha mengkaji daya saing dari perspektif mikro ke perspektifmakro. Di dalam bukunya yang berjudul The Competitive Advantage of Nation, Portermengajukan Diamond of Competitive Advantage atau dikenal juga sebagai Diamond Model(DM), yang terdiri dari empat faktor – faktor yang menentukan daya saingnasional/National Competitive Advantage (NCA). seperti yang diperlihatkan pada Gambar3 berikut ini.

III. Metode Penelitian

I.1. Metode yang Digunakan

Penelitian ini menggunakan metode survei. Fokus dari penelitian ini adalahmenganalisis daya saing dan merancang suatu rekomendasi pengembangan manggissebagai komoditas unggulan lokal. Unit analisis dalam penelitian ini adalah petani yangmelakukan usahatani manggis. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei sampai denganbulan Juni 2014. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Sukabumi. Berdasarkan surveyawal, di Kabupaten Sukabumi terdapat 2 Kecamatan yang menjadi sentra produksimanggis sebagai komoditas unggulan yaitu: Cikembar dan Cicantayan.

I.2. Teknik SamplingData pada penelitian ini adalah berupa data primer dan data sekunder. Pengambilan

data primer dilakukan pada responden yang tersebar secara merata di desa yang ada dikecamatan Cikembar dan Cicantayan. Komoditas potensi unggulan yang akan dianalisadalah manggis. Data sekunder diperoleh dari kantor desa dan kecamatan, BPS, BP4KKabupaten Sukabumi, Dinas Pertanian Kabupaten Sukabumi, Bappeda KabupatenSukabumi serta instansi lainnya.

I.3. Rancangan AnalisisAnalisis daya saing melalui pendekatan PCR dan DRCR (Monke E.A &

Pearson, E.S (1989). Nilai PCR merupakan indikator keunggulan kompetitif.Nilai DRCR merupakan indikator keunggulan komparatif. Analisis terhadap faktor-faktoryang dapat mempengaruhi pengembangan komoditas ungulan lokal ini dilakukan dengananalisis Structural Equation Modeling (SEM). Berdasarkan landasan teori yang diambildari Porter dan dikembangkan lagi dengan faktor lainnya, maka konstruksi-konstruksiyang dibangun pada path diagram.

IV. Hasil dan Pembahasan

I.1. Hasil Penelitian

Responden dalam penelitian ini 45% nya berusia di atas 55 tahun. Hanya ada 12 %responden yang berusia muda. Selain itu 70% responden reponden memiliki tingkatpendidikan hingga sekolah Dasar (SD). Dan hanya 12% responden berpendidikan SMP,15% memiliki pendidikan SMA dan hanya 3% yang memiliki jenjang pendidikan Sarjana.

Responden dalam penelitian ini memiliki pengalaman berusahatani yang cukupberagam. Dari 1 tahun menjadi petani hingga 80 tahun (Usia petani tersebut 102 tahun).Hanya saja secara keseluruhan rata-rata lamanya berusahatani dari petani responden adalah19.41 tahun. Sedangkan berdasarkan luas lahan garapannya maka dapat dilihat bahwa luaslahan garapan petani sangat beragam dari yang 0,5 hektar hingga ada yang 2,8 hektar.Sehingga jika dirata-rata luas lahan garapan petani responden adalah 1,74 hektar. Dalampenelitian ini hampir semua responden status lahan garapannya, merupakan lahan miliksendiri.

Dalam penelitian ini ada sekitar 31 % petani yang menggantungkan hidupnyahanya pada sektor pertanian. Ini berarti 69% responden memiliki pekerjaan lain di luarsektor pertanian seperti PNS, dagang, buruh, wiaswasta, penggilingan, dan pemborong.

Dari tabel tersebut di atas nampak jelas bahwa manggis memiliki daya saing yangcukup tinggi. Hal ini ditandakan dengan keuntungan privat yang bernilai positifberdasarkan tabel PAM analysis sebesar Rp 51.622.640,-. Selain itu manggis memilikikeunggulan kompetitif, hal ini ditunjukkan dengan besaran nial PCR sebesar 0,67. NilaiPCR kurang dari satu menunjukkan komoditas manggis mampu membiayai input faktordomestiknya pada harga privat dan memiliki keunggulan kompetitif. Dalam penelitian inidihasilkan nilai DRC sebesar 1,39. Hal ini berartai komoditas manggis di KabupatenSukabumi tidak memiliki keunggulan komparatif, sehinggaa memang tidak akan mampuhidup berkembang tanpa bantuan/intervensi pemerintah.

Dari hasil pengolahan data dengan analisis SEM dapat dilihat nilai R squaremenunjukkan bawa 62,4 % Pengembangan manggis sebagai komoditas unggulanditentukan oleh kondisi factor, kondisi permintaan, industri pendukung dan terkait sertapersaingan, struktur & strategi perusahaan. Sedangkan sisanya sebesar 37,6% ditentukanoleh faktor-faktor lain yang tidak diteliti. Dari hasil pengujian dapat dilihat hanya industripendukung dan terkait yang tidak berpengaruh terhadap pengembangan komoditasunggulan. Kondisi factor dan kondisi permintaan secara parsial berpengaruh positifterhadap pengembangan komoditas unggulan, sebaliknya persaingan, struktur & strategiperusahaan berpengaruh negatif terhadap pengembangan komoditas unggulan.

Berdasarkan indikator yang berpengaruh terhadap variabel laten dapat dilihatbahwa untuk konstrak kondisi faktor disusun oleh dua indikator yaitu tenaga kerja danmodal. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa Indikator tenaga kerja memilikipengaruh yang lebih besar terhadap kondisi faktor dibandingkan modal. Indikator kondisipermintaan meliputi kemampuan penjualan dan permintaan terhadap produk. Dimanakemampuan penjualan muatannya lebih besar dibandingkan dengan permintaan terhadapproduk. Sedangkan untuk persaingan, struktur dan strategi perusahaan, indikatornyameliputi dukungan investasi dan kebijakan pemerintah.

I.4. Pembahasan

Seiring dengan otonomi daerah maka pengembangan wilayah harus senatiasadioptimalkan. Salah satu bentuk upaya untuk mengoptimalkan pengembangan wilayah

melalui pertumbuhan ekonomi adalah dengan mengembangkan komoditas unggulan yangdimiliki oleh suatu daerah. Komoditas unggulan merupakan komoditas yang dianggapmenguntungkan untuk diusahakan atau dikembangkan pada suatu wilayah yang memilikiprospek pasar dan mampu untuk meningkatkan pendapatan serta mensejahterakanmasyarakat.

Dalam Penelitian ini komoditas manggis di Kabupaten Sukabumi memilikikeunggulan secara kompetitif. Hanya saja untuk menjadi komoditas unggulan, perluadanya strategi yang tepat untuk mengembangkannya sehingga manggis mampu pulamemiliki keunggulan secara komparatif, yang akan memperkuat keunggulannya secarakompetitif. Hasil penelitian Sonobe, et al (2004), menyimpulkan bahwa strategi yang tepatdan kebijakan pengembangan suatu komoditas yang berkelanjutan adalah melaluipeningkatan daya saing. Dan Menurut Porter (1993), peningkatan daya saing dapat dapatdilakukan melalui tiga strategi yaitu strategi keunggulan biaya, strategi diferensiasi danstrategi fokus.

Dalam Penelitian ini faktor yang berpengaruh nyata terhadap pengembangankomoditas unggulan meliputi kondisi faktor, kondisi permintaan serta persaingan danstrategi perusahaan. Untuk variabel kondisi faktor, indikator yang mempengaruhinyasecara signifikan adalah tenaga kerja dan modal. Kondisi faktor taau input disini memilikipengaruh yang positif terhadap pengembangan komoditas manggis sebagai komoditasunggulan. Apabila dikaitkan dengan kondisi responden yang sebagian besar memilikipendidikan tertinggi sekolah dasar, maka peningkatan kualitas tenaga kerja (SDM) melaluipendidikan informal dapat menunjang pengembangan manggis sebagai komoditasunggulan. Hal ini sesuai dengan penelitian Vinsensius (2001), mengenai strategipengembangan komoditas unggulan agribisnis di Kapuas Hulu, menunjukkan bahwa faktorstrategis internal yang paling berpengaruh adalah letak geografis dan lapangan kerjamasyarakat, keuangan, permodalan. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruhmeliputi pola kemitraan, kebijakan dan komitmen pemerintah daerah, adanya produkimpor dan pertumbuhan ekonomi.

Demikian juga dengan permodalan. Rendahnya tingkat pendidikan petani dansempitnya lahan yang dimiliki oleh petani seringkali menjadi penghalang bagi petani untukmengakses pinjaman sebagai modal dari lembaga keuangan. Sehingga dalam hal ini perludilakukan upaya untuk memberikan bantuan yang terkait dengan permodalan bagi kegiatanpertanian. Hasil penelitian Burhanudin (2008), menunjukkan bahwa ketidakberhasilanpeningkatan daya saing produk disebabkan oleh: (1) rendahnya penguasaan teknologi,kemampuan permodalan, informasi pasar dan investasi dalam pengembangan produkunggulan daerah; (2) rendahnya tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan; dan (3)rendahnya kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat dalam optimalisasipengelolaan potensi sumberdaya lokal. Hal ini diperkuat oleh kementrian PDT yangmenyatakan bahwa determinan umum ketertinggalan suatu daerah sehingga sulit untukmeningkatkan daya saingnya adalah karena adanya kendala dalam : infrastruktur,investasi, kelembagaan, sumberdaya manusia dan sumberdaya alam.

Variabel kondisi permintaan dalam penelitian ini memiliki indikator kemampuanpenjualan dan permintaan terhadap produk. Jika kemampuan petani dalam menjualproduknya dapat ditingkatkan apakah secara personal maupun berkelompok, baik melaluipenjualan secara langsung atau melalui kemitraan, maka dapat menunjang pengembangankomoditas unggulan. Demikian juga dengan permintaan terhadap produk, Jika permintaan

terhadap produk dapat ditingkatkan maka akan menunjang pengembangan manggis sebagaiproduk unggulan. Pengembangan permintaan ini dapat dilakukan dengan meningkatkankualitas produk manggis yang dihasilkan, mengurangi kerusakan hasil dalam kegiatanpemasaran dan mengembangkan produk olahan manggis seperti yang banyak terjadi padahari ini. Hasil Penelitian Tetsushi Sonobe, et al (2004), menyimpulkan tentang pentingnyapeningkatan mutu dan kualitas produk dalam meningkatkan daya saing dan adanya pasarserta ketrampilan dalam memasarkan.

Hasil penelitian Burhanuddin (2008) mengemukakan bahwa faktor-faktor yangmenentukan keberhasilan OTOP di Thailand diantaranya adalah: (1) kesesuaian potensisumberdaya alam; (2) potensi SDM; (3) adanya promosi; (4) adanya dukunganpermodalan; (5) adanya fasilitas berbagai piranti teknologi; (6) adanya dukungan dankoordinasi diantara institusi pemerintah; dan (7) strategi pembangunan perdesaanmelibatkan pemerintah, swasta, dan LSM/organisasi lokal lainnya (cluster development).

V. Kesimpulan dan Saran

I.2. Kesimpulan

Komoditas manggis di Kabupaten Sukabumi memiliki daya saing kompetitif,sehingga sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai komoditas unggulan. Hanya saja untukmengembangkannya sebagai komoditas unggulan yang memiliki keunggulan kompetitifmaupun keunggulan komparatif, maka diperlukan strategi dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Pengembangan manggis sebagai produk unggulan di Kabupaten Sukabumihendaknya memperhatikan variabel laten kondisi faktor, kondisi factor dan kondisipermintaan secara parsial berpengaruh positif terhadap pengembangan komoditasunggulan, sebaliknya persaingan, struktur & strategi perusahaan berpengaruh negatifterhadap pengembangan komoditas unggulan.

I.3. Saran

Untuk menjadi komoditas unggulan maka manggis harus unggul secara kompetitifdan unggul secara komparatif. Untuk memiliki keunggulan secara komparatif makadukungan pemerintah dan instansi yang terkait sangat diperlukan terutama dalampeningkatan kemampuan petani dalam berusahatani manggis, serta meningkatkanketrampilan petani dalam mengolah manggis menjadi produk lanjutan yang memiliki nilaitambah serta memperkuat permodalan petani, dengan membantu petani untuk mengaksesmodal dalam bentuk pinjaman maupun hibah.

DAFTAR PUSTAKA

Alkadri. 2001. Manajemen Teknologi untuk Pengembangan Wilayah. Edisi Revisi.Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.

Arifin, Bustanul. 2010. Model-Model Pembangunan Perdesaan dan PerformanceIndikator Pembangunan Perdesaan. (Makalah yang disajikan dalam SeminarPembangunan Perdesaan dengan Integrasi Pendekatan Wilayah dan Kegiatan

Sektoral) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Kementrian PerencanaanPembangunan Nasional. Republik Indonesia

Burhanuddin. 2008. Konsep Kawasan komoditas Unggulan pada Koperasi Pertanian.Jurnal Infokop. Volume 16. September 2008. Hlm: 1-12.

Deptan. 2011. Cuplikan Rencana Strategis Kementrian Pertanian 2010-2014. AnalisisKebijakan Pertanian. Vol. 9. No. 1, Maret 2011, hlm 91-108. Pusat SosialEkonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan PengembanganPertanian. Kementrian Pertanian.

D.S. Priyarsono; A. Daryanto dan L.S. Kalangi. 2010. Peranan Investasi di SektorPertanian dan Agroindustri dalam Penyerapan Tenaga Kerja dan DistribusiPendapatan: Pendekatan Sstem Neraca Sosial Ekonomi. Melaluihttp://ejournal.Unud.ac.id. (18/0410)

Fischer, Günther; Mahendra Shah; Harrij van Velthuizen and Freddy Nachtergaele. 2006.Agro-Ecological Zones Assessment. International Institute for Applied SystemsAnalysis, Laxenburg, Austria (IIASA Reprint). Reprinted from Encyclopedia ofLife Support Systems (EOLSS), EOLSS Publishers. Oxford, UK. Melaluihttp://webarchive.iiasa.ac.at/Publications/Documents/RP-06-003.pdf (13/09/12)

Frinces, Z Heflin. 2011. Persaingan dan Daya Saing: Kajian Strategis GlobalisasiEkonomi. Mida Pustaka. Yogyakarta.

Hermanto. 2009. Reorientasi Kebijakan Pertanian dalam Perspektif PembangunanBerwawasan Lingkungan dan Otonomi Daerah. Jurnal Analisis KebijakanPertanian. Vol 7 No. 4. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Monke, E.A. and Pearson, E.S. 1989. The Policy Analysis Matrix for AgriculturalDevelopment. London:.Cornell University Press.

Pasaribu, Sahat M. 2007. Program OTOP Thailand dan Tantangan PengembanganUsaha Mikro, Usaha Kecil, dan Menengah. Makalah Diskusi One Tambon OneProduct, di Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Jakarta7 Mei 2007.

Porter, M. 1991. National Competitive advantage. Melalui .http://www.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=mndN_y5Ak4YC&oi=fnd&pg=PA3&dq=Porter,+1991,+national+competitive+advantage&ots=7lbkVND5TT&sig=AKSv8ZwDVEh-Lo708oEKTj-_dLA&redir_esc=y#.(25/08/12).

Porter, Michael E. 1993. Keunggulan bersaing Menciptakan dan MempertahankanKinerja Unggul. Erlangga. Jakarta.

Porter, Michael E. 1998. The Competitive Advantage of Nations: with a NewIntroduction. The Free Press. A Division of Simon & Schuster Inc. New York.

Rostow, W. W. 1960. The Stage of Economic Growth: A non-comunist Manifesto.Cambridge at The University Press. London.

Saptana. 2010. Tinjauan Konseptual Mikro-Makro Daya Saing Dan StrategiPembangunan Pertanian. Forum Penelitian Agro ekonomi. FAE, Vol. 28 No. 1,Juli 2010, hlm 1 – 18. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan kebijakan Pertanian.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementrian Pertanian.

Saragih, Bungaran. 2001. Kumpulan Pemikiran Agribisnis Paradigma baruPembangunanan Ekonomi Berbasis Pertanian. Pustaka Wrausaha Muda. PT.Loji Grafika Griya Sarana.

Sonobe, Tetsushi; Dinghuan Hu and Keijiro Otsuka. 2004. From Inferior to SuperiorProducts : An Inquiry into The Wenzhou Model of Industrial Development inChina. ELSEIVER, Journal of Comparative Economics 32.

Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pertanian: Penjelasan tentangKonsep, Istilah, Teori dan Indikator serta Variabel. PT. Bina Rena Pariwara.Jakarta.

Vinsensius. 2001. Strategi Pengembangan Komoditas Unggulan Agribisnis di WilayahPerbatasan, Kabupaten Kapuas Hulu. Magister Bisnis. IPB Repository.Http://www.mb.ipb.ac.id

PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN KABUPATEN SUKABUMIMELALUI KOMBINASI METODE LQ, DESCRIPTION SCORING

DAN ANALISIS DAYA SAING

Reny Sukmawani1, Maman Haeruman K2, Lies Sulistyowati3, Tommy Perdana4

1Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Sukabumi2Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran Bandung3Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran Bandung4Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran Bandung

[email protected]

ABSTRAKPengembangan komoditas unggulan merupakan konsep dimana kabupaten/wilayah

memiliki produk unggulan, yaitu produk atau komoditas yang dipilih oleh kabupatensebagai produk unggul karena melibatkan masyarakat banyak, berbasis sumberdaya lokaldan memiliki peluang pasar serta unik.

Tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah agar setiap daerah betul-betuldapat memaksimalkan potensi daerahnya sesuai dengan keunggulan lokalnya dan mampumengembangkan komoditas unggulan yang memiliki daya saing. Sedangkan targetkhususnya adalah agar komoditas unggulan di setiap daerah dapat dipilih secara cermatmelalui metode kombinasi ini, agar apa yang menjadi ciri suatu komoditas itu dikatakanunggul betul-betul menjiwai pengembangannya

Penelitian merupakan studi kasus. Kabupaten Sukabumi dipilih karena telahmenetapkan program pengembangan sentra produksi dan pengembangan kawasanunggulan. Namun komoditas unggulan yang dipilih menurut Dinas Pertanian KabupatenSukabumi dalam Renstra tahun 2011-2015 berbeda dengan hasil penelitian sebelumnyatentang pengembangan kawasan sentra produksi pada berbagai agroekosistem diKabupaten Sukabumi. Perbedaan penentuan komoditas unggulan tersebut dikarenakanadanya perbedaan kriteria yang digunakan dalam penetapan komoditas unggulan.Sehingga perlu dilakukan suatu kajian lebih mendalam lagi dalam menentukan komoditasapa yang benar-benar memenuhi kriteria unggul.

Teknik analisis tidak hanya menggunakan metode location quotient (LQ) tetapidikombinasikan dengan metode description scoring dan analisis daya saing. Metodeagregasi dilakukan dengan CPI (Comparative Performance Index), yaitu teknikperbandingan indeks kinerja atau indeks gabungan (Composite Index) yang digunakanuntuk menentukan penilaian atau peringkat dari berbagai alternatif. Komoditas yangdianalisis adalah:jagung, kacang tanah, ubi kayu, cabe, tomat, kacang panjang, pepaya,pisang, manggis, durian, mangga, rambutan, krisan serta sedap malam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditas unggul peringkat satu untukkelompok tanaman palawija adalah kacang tanah, kelompok tanaman sayuran adalahkacang panjang, kelompok tanaman buah-buahan adalah pepaya dan kelompok tanamanhias adalah sedap malam. Sedangkan komoditas unggul peringkat satu dari keseluruhankomoditas yang dianalisis adalah pepaya dengan nilai LQ 4,94, PCR 0,21, DRC 0,23 danskor berdasarkan kriteria unggungl 66,90. Sentra pepaya di Kabupaten Sukabumi tersebardi 71 desa yang ada di 7 kecamatan yakni: Kalapanunggal, Lengkong, Cibadak, Cicurug,Cidahu, Parakansalak dan Cikidang. Jumlah produksi pepaya di Kabupaten Sukabumidengan produksi sekitar 30,93% dari produksi pepaya di Jawa Barat.Kata kunci: komoditas unggulan, LQ, deskription scoring, daya saing, CPI

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang PenelitianPengembangan komoditas unggulan merupakan konsep dimana kabupaten/wilayah

memiliki produk unggulan, yaitu produk atau komoditas yang dipilih oleh kabupatensebagai produk unggul karena melibatkan masyarakat banyak, berbasis sumberdaya lokaldan memiliki peluang pasar serta unik.

Tantangan pembangunan pertanian dalam menghadapi era global dihadapkan padakenyataan bahwa pertanian Indonesia didominasi oleh usaha skala kecil yang sebagianbesar tingkat pendidikannya rendah, berlahan sempit, bermodal kecil dan memilikiproduktivitas yang rendah. Keadaan-keadaan tersebut menuntut adanya suatu konseppengembangan komoditas yang secara terfokus dan mampu mengintegrasikanpengelolaannya dari hulu hingga ke hilir. Untuk memenuhi tuntutan tersebut telahberkembang suatu konsep pengembangan komoditas unggulan.

Penelitian dalam bentuk studi kasus di Kabupaten Sukabumi. Pemilihan lokasi iniberdasarkan pada potensi Kabupaten Sukabumi di bidang pertanian dilihat dari kondisiwilayah dan geografisnya. Tetapi potensi tersebut belum dikembangkan secara maksimal.Kabupaten Sukabumi dengan luas wilayah terluas di Jawa dan Bali dan potensi pertanianyang cukup baik hingga kini masih termasuk kepada daerah tertinggal di Indonesia. AgarKabupaten Sukabumi dapat melepaskan diri dari statusnya sebagai daerah tertinggal makaperlu melakukan berbagai upaya yang dapat mendorong peningkatan pembangunan. Salahsatu upaya tersebut diantaranya adalah pengembangan komoditas unggulan.

Dalam rangka pengembangan komoditas unggulan, Kabupaten Sukabumi melaluiDinas Pertanian telah menetapkan program pengembangan sentra produksi danpengembangan kawasan unggulan. Namun pengembangan komoditas unggulan diKabupaten Sukabumi baru dalam bentuk kebijakan umum pengembangan kawasannyasaja dengan target untuk memperluas sentra dan produksi, sehingga nilai tambah yangdiharapkan belum dapat diperoleh masyarakat/petani maupun pemerintah daerah secaralebih baik/menguntungkan.

Komoditas yang dipilih dan ditetapkan untuk menjadi komoditas potensi unggulanmenurut Dinas Pertanian Kabupaten Sukabumi seperti yang tercantum dalam Renstratahun 2011-2015 adalah jagung, kacang tanah, ubi kayu, cabe, tomat, pepaya, pisang,manggis, krisan dan sedap malam. Identifikasi komoditas unggulan yang ditetapkanPemda Kabupaten Sukabumi ini sedikit berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya. Hasilpenelitian Asrul Tsani (2009) tentang pengembangan kawasan sentra produksi padaberbagai agroekosistem di Kabupaten Sukabumi menunjukkan bahwa berdasarkan analisislokasi/location quotient (LQ), koefisien lokalisasi (α), dan koefisien spesialisasi (β),komoditas unggulan Kabupaten Sukabumi adalah cabe, kacang panjang, tomat, durian,mangga, pepaya dan rambutan.

Perbedaan penetapan komoditas unggulan tersebut dikarenakan adanya perbedaankriteria yang digunakan dalam penetapan komoditas unggulan. Kriteria penetapan unggulpada komoditas-komoditas tersebut baru berdasarkan pada salah satu pendekatan basisyang mengidentifikasi berdasarkan penyebarannya, banyaknya petani yang berusahatani,luasan areal panen (sisi penawaran) dan adanya diseminasi program dari Dinas Pertanian.Sehingga perlu dilakukan suatu kajian lebih mendalam lagi dalam menentukan komoditasapa dari semua potensi komoditas yang telah ditetapkan sebelumnya yang benar-benarmemenuhi kriteria unggul. Teknik analisis tidak hanya menggunakan metode locationquotient (LQ) tetapi dikombinasikan dengan metode lainnya. Menurut Hendayana (2003),analisis LQ memiliki kelemahan dalam hal deliniasi wilayah yang acuannya sering tidak

jelas dan baru melihat dari sisi penawaran saja. Maka dengan keterbatasan tersebut, perludilengkapi dengan metode lainnya, diantaranya adalah metode description scoring melaluipengukuran indikator dari tiap kriteria unggul dan dilengkapi dengan analisis daya saingdari komoditas tersebut.

1.2. Rumusan Masalah1. Bagaimana aplikasi penetapan komoditas unggulan lokal dengan kombinasi metode

LQ, description scoring dan daya saing2. Komoditas unggulan apa yang sebaiknya dikembangkan di Kabupaten Sukabumi.

1.3.Tujuan1. Untuk mengetahui aplikasi penetapan komoditas unggulan lokal dengan kombinasi

metode LQ, description scoring dan daya saing2. Untuk menentukan komoditas unggulan apa yang sebaiknya dikembangkan di

Kabupaten Sukabumi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengembangan Komoditas UnggulanMenurut Alkadri (2001), suatu komoditas dikatakan unggul apabila memenuhi

kriteria sebagai berikut:1. Komoditas tersebut dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan

produksi, pendapatan dan pengeluaran.2. Komoditas tersebut mampu bersaing dengan produk sejenis dari wilayah lain di pasar

nasional dan internasional, baik dalam harga, produk, biaya produksi dan kualitaspelayanan

3. Memiliki keterkaitan dengan wilayah lain, baik dalam hal pasar maupun pemasokanbaha baku

4. Mampu menyerap tenaga kerja yang berkualitas secara optimal sesuai dengan skalaproduksinya

5. Dapat bertahan dalam jangka panjang tertentu, mulai dari fase kelahiran, pertmbuhan,hingga fase kejenuhan atau penurunan

6. Tidak rentan terhadap gejolak eksternal maupun internal7. Pengembangan harus mendapatkan berbagai bentuk dukungan, misalnya keamanan,

sosial, budaya, informasi dan peluang pasar, kelembagaan, fasilitas insentif/disintensifdan lain-lain

8. Berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan lingkunganKriteria-kriteria tersebut di atas sejalan dengan pengertian komoditas unggulan

menurut Syafaat dan Supena (2000) yang melihat konsep dan pengertian komoditasunggulan dari dua sisi yaitu penawaran (supply) dan permintaan (demand). Menurutmereka, berdasarkan Supply, komoditas unggulan adalah yang paling superior dalampertumbuhannya pada kondisi biofisik, teknologi dan sosial ekonomi petani di suatuwilayah tertentu. Kondisi sosial ekonomi ini mencakup penguasaan teknologi, kemampuansumberdaya manusia, infrastruktur: misalnya kebiasaan petani dan pasar. Adapun dari sisidemand, komoditas unggulan merupakan komoditas yang mempunyai permintaan yangkuat baik untuk pasar domestik maupun pasar internasional dan keunggulan kompetitif.

Dengan demikian berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas dapatdisimpulkan bahwa komoditas unggulan bukanlah merupakan komoditas yang dapat

dibudidayakan/dikembangkan di suatu daerah berdasarkan analisis kesesuaian tempattumbuhnya saja atau sekedar karena banyaknya komoditas tersebut diusahakan olehmasyarakat saja. Disamping karena merupakan basis, komoditas unggulan juga harusdapat menjadi komoditas andalan yang paling menguntungkan untuk diusahakan ataudikembangkan pada suatu wilayah, memiliki prospek pasar dan mampu untukmeningkatkan pendapatan atau kesejahteraan petani dan keluarga.

Pengembangan komoditas unggulan memerlukan strategi khusus sehingga dapatmemberikan kontribusi yang optimal bagi pembangunan ekonomi. Hasil penelitianSonobe, et al (2004), menyimpulkan bahwa strategi yang tepat dan kebijakanpengembangan suatu komoditas yang berkelanjutan adalah melalui peningkatan dayasaing. Menurut Porter (1993), peningkatan daya saing dapat dilakukan melalui tigastrategi, yaitu: strategi keunggulan biaya (cost advantage strategy), strategi diferensiasi(differentiation strategy) dan strategi fokus (focus strategy). Untuk itu diperlukankegiatan yang bersifat resources base. Sementara hasil penelitian Vinsensius (2001)menyimpulkan bahwa strategi pengembangan komoditas unggulan dapat dilakukan dengancara: (1) Melakukan pengembangan sentra budidaya dengan membangun sarana prasaranadan infrastruktur; (2) Melakukan bimbingan secara terpadu; (3) Menjalin kerjasama didalam dan luar negeri; (4) Menyediakan modal pengembangan; dan (5) Membentukkemitraan dengan pola inti plasma.

Pada dasarnya, keberadaan komoditas unggulan pada suatu daerah akanmemudahkan upaya pengembangan agribisnis. Hanya saja, persepsi dan memposisikankriteria serta instrumen terhadap komoditas unggulan belum sama untuk setiap daerah.Setiap daerah menggunakan kriteria yang berbeda dalam menentukan komoditas unggulanini. Akibatnya, pengembangan komoditas tersebut menjadi kontra produktif terhadapkemajuan komoditas unggulan dimaksud. Padahal, komoditas unggulan akan lebih mudahdan lebih rasional untuk dikembangkan jika memandang komoditas unggulan darikebutuhan pasar. Jika mengelompokkan komoditas unggulan berdasarkan potensipasarnya, keberhasilan komoditas unggulan dapat diukur dari perannya dalam memberikannilai tambah bagi pelaku usaha. Selain itu, memberikan kontribusi dalam pengembanganstruktur ekonomi, dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Berdasarkan itu, maka hal yangterpenting dari suatu komoditas unggulan adalah berdasarkan keunggulannya baik secarakompetitif maupun komparatif.

Gambar 1 berikut ini menunjukkan bahwa untuk mencapai peningkatanproduktivitas maka tidak bisa tidak produk yang dihasilkan harus memiliki keunggulankomparatif dan kompetitif. Namun demikian kedua keunggulan tersebut tidak diperolehbegitu saja dengan mudah melainkan harus melalui tahapan proses dan syarat- syarattertentu untuk mencapainya seperti yang digambarkan pada Gambar 2.1. berikut.

Kompetitif berkah Diciptakan

SupremasiNasional

PeningkatanProduktivitas

Komparatif Aset (kekayaan)Nasional

1. Basis SDA2. Intensif tenaga

kerja

3. Intensif capital4. Tenaga kerja

terampil

5.Intensifteknologi

6.Basis kapabilitasteknologi

Peningkatan kapabilitas perekonomianEkonomi basispertanianDidorongsumberdaya

Ekonomi basisindustriDidorong investasi

Ekonomi basisinovasiDidorong Inovasi

Gambar 2.1. Keunggulan Komparatif ke Keunggulan Kompetitif (Arifin. 2010)

Menurut Gonarsyah (2007), keunggulan kompetitif disamping ditentukan olehkeunggulan komparatif (keunggulan biaya produksi) juga ditentukan oleh biaya pemasarandan biaya-biaya lainnya (Gambar 2.2)

Gambar 2.2. Anatomi Keunggulan Kompetitif/Daya Saing (Gonarsyah,2007)

Strategi pengembangan komoditas unggulan tiap daerah harus diarahkan padapencapaian kedua keunggulan tersebut di atas agar memiliki daya saing sehinggakesejahteraan masyarakat khususnya petani dapat tercapai.

2.2. Metode Penentuan Komoditas UnggulanPenentuan komoditas unggulan nasional dan daerah merupakan langkah awal

menuju pembangunan pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih

keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi globalisasi perdagangan.Penentuan komoditas unggulan dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya:1. Analisis Location Quotient (LQ), yaitu perbandingan antara pangsa relatif produksi

komoditas i pada tingkat wilayah terhadap total produksi wilayah dengan pangsa relatifproduksi komoditas i pada tingkat nasional terhadap total produksi nasional.

2. Menggunakan metode description scoring berdasarkan hasil survey melalui penilaianterhadap indikator dari tiap kriteria untuk komoditas yang akan ditetapkankeunggulannya.

3. Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif dengan PAM analisis melaluipendekatan PCR (Private Cost Ratio) dan DRCR (Domestic Resource Cost Ratio).

Setiap pendekatan memiliki kelebihan dan kelemahan, sehingga dalam memilihmetode analisis untuk menentukan komoditas unggulan ini perlu dilakukan secara hati-hati.Menurut Hood (1998), metode LQ adalah metode pengembangan ekonomi yang sederhanadengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Menurut Hendayana (2003), kelebihanmetode LQ dalam mengidentifikasi komoditas unggulan antara lain penerapannya yangsederhana, mudah dan tidak memerlukan program pengolahan data yang rumit. Tetapidisisi lain kesederhanaan metode ini juga menuntut adanya akurasi data. Karena apabiladatanya tidak akurat, maka hasil olahan LQ tidak akan memberikan manfaaat. Analisis LQjuga memiliki kelemahan dalam hal deliniasi wilayah yang acuannya sering tidak jelas danbaru melihat dari sisi penawaran saja. Akibatnya hasil hitungan LQ terkadang tidak samadengan yang kita duga.

Metode LQ umum digunakan dalam model ekonomi basis sebagai langkah awaluntuk memahami sektor kegiatan yang menjadi pemicu sektor pertumbuhan. Tetapidengan keterbatasannya, perlu dilengkapi dengan metode lainnya. Hal ini dapat dilakukandengan menggabungkan atau mengkombinasikannya dengan metode deskcription scoringmelalui pengukuran indikator dari tiap kriteria unggul dan dilengkapi dengan analisiskeunggulan komparatif dan kompetitif dari komoditas tersebut.

2.3. Penelitian Terdahulu tentang Komoditas Unggulan dan Originalitas PenelitianPenelitian tentang komoditas unggulan sudah banyak dilakukan. Penelitian-

penelitian tersebut baru sebatas pada penentuan komoditas unggulan dengan salah satumetode saja yaitu dengan menggunakan analisis LQ atau analisis daya saing saja.

Hendayana (2003) telah melakukan penelitian dengan fokus kajian tentang aplikasimetode Location Quotient (LQ) dalam penentuan komoditas unggulan nasional. Hasilpenelitiannya menyimpulkan bahwa :1. Hasil LQ yang didasarkan pada aspek luas areal panen dapat memenuhi kriteria unggul

dari sisi penawaran, karena areal panen merupakan resultante kesesuaian tumbuhtanaman dengan kondisi agroekologi yang secara implisit mencakup unsur-unsur(peubah) iklim, fisiografi dan jenis tanah

2. Dalam membahas hasil LQ harus hati-hati, karena nilai LQ yang tinggi bukanmencerminkan areal panen yang luas, akan tetapi merupakan cerminan nilai relatifterhadap share komoditas dalam propinsi.

Kohar, A. M dan Agus Suherman (2004), melakukan penelitian berjudul: AnalisisLQ dalam Penentuan Komoditas Ikan Unggulan Perikanan Tangkap di Kabupaten Cilacap.Hasil penelitian berhasil mendapatkan informasi bahwa 8 jenis ikan dari 27 jenis yang adaterpilih sebagai komoditas ikan unggulan sebagai salah satu prioritas pengembangankomoditas ikan di Kabupaten Cilacap.

Sonobe, T. et al (2004) telah melakukan penelitian dengan analisis LQ dan DRC diCina. Hasil penelitian menyimpulkan tentang pentingnya peningkatan mutu produk dalammeningkatkan daya saing dan adanya pasar serta keterampilan dalam memasarkan.

Susilawati, dkk (2006), telah melakukan penelitian untuk menentukan komoditasunggulan nasional di Kalimantan Tengah. Penelitian ini juga menggunakan analisis LQ,dan berhasil menetapkan tiga komoditas unggulan yaitu padi, ayam buras serta jagung.Penetapan komoditas juga didasarkan pada pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim),sosial ekonomi dan kelembagaan, serta keselarasan dengan program pembangunanpertanian di Kalimantan Tengah.

Saptana (2010), melakukan penelitian tentang Tinjauan Konseptual Mikro-MakroDaya Saing dan Strategi Pembangunan Pertanian. Salah satu metode yang digunakanadalah analis DRCR dan PCR. Hasil penelitian menunjukkan kondisi mengkhawatirkanuntuk komoditas padi, kedelai, dan tebu. Untuk jagung, kacang tanah dan peternakanmemiliki daya saing yang moderat, sementara untuk komoditas sayuran dan tembakaumemiliki daya saing yang cukup tinggi

Supfri, M (2012) juga melakukan penelitian menggunakan analisis LQ dan biayasumberdaya domestik. Penelitian berjudul Pengembangan Daya Saing KomoditasPertanian di Kabupaten Selayar Propinsi Sulawesi Selatan ini menyimpulkan bahwa sektorbasis adalah: jagung, udang, rumput laut, pala, walnut, melinjo dan kacang mete.Penelitian ini menyimpulkan bahwa komoditas pertanian memiliki prospek baik untukdomestik dan ekspor.

Dari semua penelitian yang telah dilaporkan, sejauh ini belum ada yangmengkombinasikan analisis LQ, description scoring dan analisis dayasaing dalammenentukan komoditas unggulan. Sehingga metode kombinasi ini merupakan hal barudalam menetapkan komoditas unggulan lokal.

III. METODOLOGI

3.1.Metode yang DigunakanPenelitian ini menggunakan metode survei, yaitu penelitian yang dilakukan untuk

memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangansecara faktual, baik tentang sosial dan ekonomi dari suatu kelompok maupun daerah(Nazir, 2005). Pengambilan sampel dilakukan dua tahap, yakni pertama menentukanlokasi kecamatan dan desa. Pemilihan desa berdasarkan petimbangan luas tanam.Kemudian pada tahap kedua, menentukan sampel petani secara acak di masing-masingdesa terpilih. Sedangkan dalam penentuan sampel pedagang serta industri dilakukan tanparandomisasi.

3.2.Lokasi penelitianPenelitian dilaksanakan di Kabupaten Sukabumi. Dari 47 Kecamatan terdapat 33

Kecamatan yang menjadi sentra produksi komoditas potensi unggulan yaitu:Bantargadung, Bojonggenteng, Caringin, Cibadak, Cicantayan, Cicurug, Cidadap, Cidahu,Cikakak, Cikembar, Cikidang, Cimanggu, Cisolok, Gegerbitung, Jampang kulon, Jampangtengah, Kabandungan, Kadudampit, Kalapanunggal, Lengkong, Pabuaran, Parakansalak,Pelabuhanratu, Purabaya, Nyalindung, Sukabumi, Sukalarang, Sukaraja, Surade,Simpenan, Tegalbuleud, Waluran, dan Warungkiara.

3.3.Rancangan Analisis

1. Analisis Lokasi / Location Quotient (LQ), dengan menurut Budhiharsono, S (2001):= ⁄⁄Keterangan:pi = Jumlah produksi/luas lahan komoditas i di daerah yang ditelitipt = Jumlah produksi/luas lahan seluruh komoditas di daerah yang ditelitiPi = Jumlah produksi/luas lahan komoditas i di daerah lebih atasnyaPt = Jumlah produksi/luas lahan seluruh komoditas di daerah lebih atasnya Hasilperhitungan LQ kemudian diinterpretasi dalam tiga kriteria, yaitu:

- LQ > 1, komoditas menjadi basis atau sumber pertumbuhan.- LQ = 1, komoditas tergolong non basis- LQ < 1, komoditas tidak termasuk non basis dan tidak dapat memenuhi kebutuhan

sendiri sehingga perlu pasokan dari luar.2. Menggunakan metode description scoring melalui penilaian terhadap indikator dari

tiap kriteria untuk komoditas yang akan ditetapkan keunggulannya.3. Menggunakan analisis daya saing melalui pendekatan PCR/Private Cost Ratio dan

DRCR/Domestic Resource Cost Ratio (Monke & Pearson, 1989).DFCHP

PCR =(RHP – TICHP)

Dimana: DFCHP = Σ (XdPdHP); RHS = Σ (Qy PyHP) ; TICHP = Σ (XtPtHP)PCR = Private Cost RatioDFCHP = Jumlah biaya faktor domestik dengan harga privateRHP = Jumlah penerimaan kotor dengan harga private

TICHP = Jumlah biaya input tradable dengan harga privateXd = Jumlah penggunaan faktor domestikPdHP = Harga private faktor domestikQy = Jumlah output tradablePyHP = Harga private output tradableXt = Jumlah penggunaan input tradablePtHP = Harga private input tradable- PCR < 1, komoditas tersebut mampu membiayai input faktor domestiknya pada

harga privat dan memiliki keunggulan kompetitif.- PCR > 1, komoditas tersebut tidak mampu membiayai input faktor domestiknya

pada harga privat dan tidak memiliki keunggulan kompetitif.DFCHS

DRCR =(RHS – TICHS)

Dimana : DFCHS = Σ (XdPdHS); RHS = Σ (Qy PyHS) ; TICHS = Σ (XtPtHS)DRCR = Domestic Resource Cost RatioDFCHS = Jumlah biaya faktor domestik dengan harga sosialRHS = Jumlah penerimaan kotor dengan harga sosialTICHS = Jumlah biaya input tradable dengan harga sosialXd = Jumlah penggunaan faktor domestikPdHS = Harga sosial faktor domestikQy = Jumlah output tradablePyHS = Harga sosial output tradableXt = Jumlah penggunaan input tradablePtHS = Harga sosial input tradable

- DRCR < 1, komoditas memiliki keunggulan komparatif, mampu hidup tanpabantuan/intervensi pemerintah serta mempunyai peluang ekspor.

- DRCR > 1, komoditas tidak memiliki keunggulan komparatif, tidak mampuhidup tanpa bantuan atau intervensi pemerintah.

4. Analisis CPI (comparative performance index)Ke empat belas komoditas potensi unggulan yang telah dianalisis menggunakananalisis LQ, kriteria unggul dan daya saing kemudian diagregasi dengan CPI(Marimin dan Nurul Maghfiroh, 2010).Aij = Xij (min) x 100 / Xij (min)A(i+1.j) = (X(I+1.j)) / Xij (min) x 100Iij = Aij x Pj

n

Ii = ∑ (Iij)J = 1

Keterangan:Aij = nilai alternatif ke-1 pada kriteria ke-jXij (min) = nilai alternatif ke-1 pada kriteria nilai alternatif ke-1 pada

kriteria awal minimum ke-jA(i+1.j) = nilai alternatif ke-1 + 1 pada kriteria ke-j(X(I+1.j) = nilai alternatif ke-1 + 1 pada kriteria awal ke-jPj = bobot kepentingan kriteria ke jIij = Indeks alternatif ke-IIi = Indeks gabungan kriteria pada alternatif ke-Ii = 1, 2, 3, ..., nj = 1, 2, 3, ..., m

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian4.1.1. Aplikasi penetapan komoditas unggulan lokal dengan kombinasi metode LQ,

description scoring dan daya saingPenentuan komoditas unggulan dilakukan dengan mengkombinasikan tiga metode,

yaitu: analisis LQ, analisis berdasarkan kriteria unggul dengan description scoring dananalisis daya saing. Komoditas yang dianalisis adalah 14 komoditas yakni: jagung, kacangtanah, ubi kayu, cabe, tomat,kacang panjang, pepaya, pisang, manggis,durian, manga,rambutan, krisan dan sedap malam.

Tabel 4.1. Nilai LQ Komoditas Potensi Unggulan Kabupaten SukabumiNo Jenis Komoditas Nilai

LQKriteriaUnggul

Analisis Daya SaingPCR DRC

Tanaman Pangan1 Jagung 0,72 60,73 0,73 0,712 Kacang Tanah 1,48 58,87 0,07 0,073 Ubi Kayu 1,22 61,60 1,38 1,47

No Jenis Komoditas NilaiLQ

KriteriaUnggul

Analisis Daya SaingPCR DRC

Sayuran4 Cabe 1,58 64,73 0,49 1,155 Tomat 1,41 61,33 0,35 1,326 Kacang Panjang 2,21 56,20 0,63 0,65

Buah-buahan7 Pepaya 4,94 66,90 0,21 0,238 Pisang 1,49 60,27 0,59 0,139 Manggis 0,72 68,30 0,50 1,39

10 Durian 0,86 61,33 0,16 0,5211 Mangga 0,51 57,40 0,54 1,8812 Rambutan 0,19 55,27 0,33 0,28

Tanaman hias13 Krisan 0,96 62,33 0,19 0,0614 Sedap malam 1,63 61,00 0,16 0,29

Berdasarkan tabel di atas secara keseluruhan terdapat 8 komoditas yang dianggap basis darike-empat belas komoditas, sedangkan nilai LQ tertinggi adalah pepaya. LQ tertinggiuntuk masing-masing kelompok tanaman adalah kacang tanah (tanaman pangan), kacangpanjang (sayuran), pepaya (buah-buahan) dan sedap malam (tanaman hias). Tabel di atasjuga menunjukkan bahwa dilihat dari kriteria unggul, manggis memiliki kriteria terbaikkemudian disusul oleh pepaya sebagai rangking 2 dan cabe sebagai rangking 3 danseterusnya. Sedangkan bila dilihat perkelompok tanaman dengan kriteria unggul tertinggimasing-masing adalah ubi kayu (tanaman pangan), cabe (sayuran), manggis (buah-buahan)dan krisan (tanaman hias). Terakhir dilihat dari analisis daya saing terdapat sembilankomoditas dari empat komoditas potensi unggulan yang memiliki daya saing dankomoditas dengan nilai daya saing terbaik adalah kacang tanah. Apabila dilihatberdasarkan kelompok tanaman maka tanaman yang memiliki dayasaing paling tinggiadalah kacang tanah (tanaman pangan), kacang panjang (sayuran), pepaya (buah-buahan)dan krisan (tanaman hias)

4.1.2. Komoditas unggulan yang sebaiknya dikembangkan di Kabupaten Sukabumi.Setelah ke empat belas komoditas potensi unggulan dianalisis menggunakan

analisis LQ, kriteria unggul dan daya saing, kemudian dilakukan agregasi / penggabungandengan CPI (comparative performance index). CPI ini merupakan Teknik perbandinganindeks kinerja atau indeks gabungan (Composite Index) yang digunakan untukmenentukan penilaian atau peringkat dari berbagai alternatif. Matrik awal penilaian diubahke dalam bentuk yang seragam dengan tetap memperhatikan tren positif dan negatifnya,caranya dengan menentukan nilai minimum setiap lajur (setiap status situasi) danmenetapkan nilai minimum tersebut sama dengan seratus. Selanjutnya nilai lain dalam

lajur yang sama dibandingkan dengan nilai minimum tersebut terakhir dilakukanperhitungan nilai alternatif berdasarkan nilai setiap kriteria yang dikalikan dengan bobotpada masing –masing lajur sehingga diperoleh alternatif yang terurut dari yang terbaik.Dengan demikian maka dari keempat belas komoditas tersebut bila di uji kombinasidengan menggunakan CPI maka diperoleh matrik sebagai berikut:

Tabel 4.2. Hasil Analisis CPI

JenisKomodit

asNilai LQ

NilaiKriteri

aUnggul

Nilai Dayasaing

NilaiLQ

NilaiKriteri

aunggul Daya saing Nilai

alternatif

RangkingPC

RDRC PCR DRC

Jagung 0,72 61,73 0,73 0,71141,1

76120,26

1 9,589 8,45193,16

3 12KacangTanah 1,48 58,87 0,07 0,07

290,196

114,689

100,000

85,714

160,792 3

UbiKayu 1,22 61,00 1,38 1,47

239,216

118,839 5,072 4,082

120,673 9

Cabe 1,58 64,73 0,49 1,15309,8

04126,10

6 14,286 5,217146,3

09 5

Tomat 1,41 51,33 0,35 1,32276,4

71100,00

0 20,000 4,545126,6

23 7KacangPanjang 2,21 56,20 0,63 0,65

433,333

109,488 11,111 9,231

176,846 2

Pepaya 4,94 66,90 0,21 0,23968,6

27130,33

3 33,33326,08

7351,6

35 1

Pisang 1,49 60,27 0,59 0,13292,1

57117,41

7 11,86446,15

4143,3

16 6

Manggis 0,72 68,30 0,50 1,39141,1

76133,06

1 14,000 4,31798,32

5 11

Durian 0,86 61,33 0,16 0,52168,6

27119,48

2 43,75011,53

8106,6

74 10

Mangga 0,51 57,40 0,54 1,88100,0

00111,82

5 12,963 3,19177,15

3 13Rambutan 0,19 55,27 0,33 0,28

37,255

107,676 21,212

21,429

60,643 14

Krisan 0,96 62,33 0,19 0,06188,2

35121,43

0 36,842100,0

00125,5

69 8Sedapmalam 1,63 61,00 0,16 0,29

319,608

118,839 43,750

20,690

153,084 4

Bobotkriteria 0,3 0,4 0,15 0,15

Tabel di atas menunjukkan bahwa komoditas unggulan rangking satu setelah di agregasidengan metode CPI adalah pepaya. Dengan demikian maka pepaya dapat dikatakansebagai komoditas unggulan lokal kabupaten Sukabumi.

4.2. PembahasanAgar kesejahteraan petani dapat tercapai, pembangunan pertanian hendaknya

dilaksanakan secara berdayasaing, berkerakyatan, berkelanjutan dan desentralistis.Berdayasaing antara lain dicirikan berorientasi pasar, meningkatkan pangsa pasar,khususnya pasar internasional yang mengandalkan produktivitas dan nilai tambah melaluipemanfaatan modal, teknologi serta kreativitas sumberdaya manusia terdidik dan bukanlagi mengandalkan kelimpahan sumberdaya alam dan tenaga kerja tak terdidik.Berkerakyatan dicirikan antara lain dengan mendayagunakan sumberdaya yang dimilikiatau dikuasai rakyat banyak serta menjadikan organisasi dan jaringan ekonomi rakyatmenjadi pelaku utama pembangunan agribisnis. Berkelanjutan dicirikan dengankemampuan merespon perubahan pasar yang cepat dan efisien, berorientasi kepentinganjangka panjang, menggunakan inovasi teknologi ramah lingkungan. Sedangkandesentralistis dicirikan antara lain berbasis pada pendayagunaan keragaman sumberdayalokal, berkembangnya pelaku ekonomi lokal, meningkatnya kemampuan daerah sebagaipengelola utama pembangunan pertanian dan meningkatnya bagian nilai tambah yangdinikmati masyarakat setempat.

Salah satu aplikasi dari pelaksanaan pembangunan pertanian yang berdayasaing,berkerakyatan,berkelanjutan dan desentralistik adalah melalui pengembangan komoditasunggulan. Karena idealnya komoditas unggulan adalah komoditas yang harus mempunyaikandungan teknologi yang cukup menonjol dan inovatif serta mempunyai jangkauanpemasaran yang luas (berdayasaing), melibatkan masyarakat banyak dalam aktivitaskerjanya dari hulu hingga ke hilir serta muncul berdasarkan aspirasi pelaku(berkerakyatan), ramah lingkungan, pengembangannya berorientasi pada kelestariansumberdaya dan lingkungan (berkelanjutan) dan mempunyai ciri khas daerah, kandunganbahan baku lokal serta hendaknya dapat mempromosikan budaya lokal (desentralistik).Dengan demikian hendaknya pembangunan pertanian perlu mengubah paradigma darisekedar memproduksi komoditas ke peningkatan kapabilitas dengan mengembangkancara-cara baru agar mampu menghasilkan produk yang berkarakter the best commodity.

Untuk menghasilkan produk the best commodity, aplikasi penentuan komoditasunggulan melalui kombinasi metode LQ, description scoring dan analisis daya saing dapatdijadikan salah satu alternatif terbaik untuk digunakan. Karena pada dasarnya nilai LQmenunjukkan aktivitas budidaya suatu komoditas pada suatu daerah. Bila nilai LQ suatukomoditas pada suatu daerah lebih besar dari satu maka mengindikasikan daerah yangbersangkutan mempunyai kemampuan lebih bila dibandingkan dengan daerah lain secarakeseluruhan, yang berarti pula bahwa daerah tersebut memiliki potensi untuk memproduksikomoditas tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa daerah tersebut merupakan lokasibasis komoditas yang bersangkutan. Sementara analisis kriteria unggul denganmenggunakan description scoring menujukkan indikator keunggulan untuk suatukomoditas berdasarkan kriteria tertentu. Sehingga komoditas yang memenuhi semuaktriteria unggul yang ditetapkan dapat dikatakan merupakan komoditas yang akan dapatmemberikan kontribusi yang baik bagi peningkatan kesejahteraan petani biladikembangkan secara terfokus. Disisi lain analisis daya saing akan membantumenunjukkan apakah komoditas dapat bertahan dengan atau tanpa intervensi kebijakanpemerintah. Hasil analisis ketiganya akan menghasilkan best commodity yang apabiladikembangkan secara terfokus akan memberikan hasil maksimal sehingga bukan saja dapatmeningkatkan kesejahteraan petani melainkan juga dapat menjadi daya ungkit daerah. Halini senada dengan pendapat dari Kementrian PDT, bahwa penentuan potensi, komoditasmaupun produk unggulan daerah merupakan upaya untuk menemukan leverage (dayaungkit lebih) sebagai syarat berjalannya akselerasi pembangunan daerah.

Saat ini secara keseluruhan di Kabupaten Sukabumi terdapat beberapa kecamatanyang menjadi lokasi basis untuk beberapa jenis komoditas tanaman pangan, sayuran danbuah-buahan pada masing-masing agroekosistem. Namun tidak ada jenis komoditastanaman pangan, sayuran, buah-buahan dan tanaman hias yang terlokalisasi di seluruhkecamatan yang ada di Kabupaten Sukabumi dan tidak terdapat pula kecamatan-kecamatandi Kabupaten Sukabumi yang menspesialisasikan wilayahnya pada satu jenis komoditastanaman pangan, sayuran, buah-buahan dan tanaman hias. Padahal kebijakanpengembangan kawasan sentra produksi dan penetapan komoditas unggulan tanamanpangan dan hortikultura di Kabupaten Sukabumi merupakan fokus dalam peningkatanketahanan pangan dan pengembangan agribisnis seperti yang tercantum dalam renstradinas pertanian dan tanaman pangan Kabupaten Sukabumi 2011-2015. Hal inilah yangmenjadi salah satu faktor Kabupaten Sukabumi tidak secara khusus dikenal sebagai daerahpenghasil salah satu komoditas tertentu seperti apel di malang, duku dipalembang, manggadi indramayu, bawang di Brebres dan lain-lain. Padahal apabila pembangunan pertanian diKabupaten Sukabumi dapat dilakukan secara terfokus dengan mengembangkan komoditasterbaiknya yang dianggap unggul bukan hanya dari sisi penawaran saja melainkan juga darisisi permintaan sehingga memiliki daya saing yang baik, maka komoditas tersebut akanmenjadi daya ungkit bagi Kabupaten Sukabumi. Hal ini sesuai dengan pendapat Syafaatdan Supena (2000) yang melihat konsep dan pengertian komoditas unggulan dari dua sisiyaitu penawaran (supply) dan permintaan (demand). Menurut mereka, berdasarkan Supply,komoditas unggulan adalah yang paling superior dalam pertumbuhannya pada kondisibiofisik, teknologi dan sosial ekonomi petani di suatu wilayah tertentu. Kondisi sosialekonomi ini mencakup penguasaan teknologi, kemampuan sumberdaya manusia,infrastruktur: misalnya kebiasaan petani dan pasar. Adapun dari sisi demand, komoditasunggulan merupakan komoditas yang mempunyai permintaan yang kuat baik untuk pasardomestik maupun pasar internasional dan keunggulan kompetitif

Salah satu komoditas terbaik yang memenuhi kriteria unggul yang dapat dapatmenjadi daya ungkit daerah berdasarkan hasil analisis adalah pepaya dengan nilai LQ4,94, PCR 0,21, DRC 0,23 dan skor berdasarkan kriteria unggul 66,90. Sentra pepaya diKabupaten Sukabumi tersebar di 71 desa yang ada di 7 kecamatan yakni: Kalapanunggal,Lengkong, Cibadak, Cicurug, Cidahu, Parakansalak dan Cikidang. Jumlah produksi pepayadi Kabupaten Sukabumi dengan produksi sekitar 30,93% dari produksi pepaya di JawaBarat. Sedangkan berdasarkan kelompok tanaman, komoditas unggul peringkat satu untukkelompok tanaman palawija adalah kacang tanah, kelompok tanaman sayuran adalahkacang panjang, kelompok tanaman buah-buahan adalah pepaya dan kelompok tanamanhias adalah sedap malam. Pengembangan komoditas unggulan berdasarkan kelompoktanaman memungkinkan pula dilakukan di wilayah Kabupaten Sukabumi mengingatluasnya wilayah di Kabupaten Sukabumi.

Kondisi ideal tersebut memang tidak mudah diimplementasikan, demikian pulahalnya di Kabupaten Sukabumi. Agar komoditas unggulan mampu menjadi penggerakutama pembangunan ekonomi maka perlu dilakukan analisis secara mendalam terhadapkarakteristik dari komoditas terkait baik dari aspek basis pengembangannya, dayasaingnya, maupun dari faktor lainnya yang dapat mempengaruhi sehingga dapatdikembangkan sesuai dengan daya dukung sumberdaya yang ada di daerah tersebut melaluimodel pegembangan berbasis lokal. Disamping itu pengembangan komoditas unggulanakan berjalan dengan baik bila pemanfaatannya sesuai dengan konsentrasi produksi,kesesuaian lahan, ketersediaan lahan serta didukung dengan sarana dan prasaranapertanian. Karena keberhasilan setiap wilayah dalam mendorong daya saing terutamadalam bidang ekonomi ditentukan oleh kemampuan memanfaatkan potensi sumberdaya

yang dimiliki melalui perencanaan pembangunan wilayah yang tepat untuk meningkatkanproduktivitas masyarakatnya. Oleh karena itu setiap daerah diharapkan mampu berpacudalam pembangunan serta mengelola daerahnyadengan potensi yang dimilikinya, baiksumberdaya alam maupun sumberdaya manusianya.Kemampuan tersebut harus didukungoleh kemampuan dalam mengidentifikasi potensi dan unggulan wilayah yang ada untukdikembangkan dengan berbagai masukan program pembangunan.

V. KESIMPULAN DAN SARAN5.1. Kesimpulan

Komoditas unggul peringkat satu untuk kelompok tanaman palawija adalah kacangtanah, kelompok tanaman sayuran adalah kacang panjang, kelompok tanaman buah-buahanadalah pepaya dan kelompok tanaman hias adalah sedap malam.

Komoditas unggul peringkat satu dari keseluruhan komoditas yang dianalisisadalah pepaya dengan nilai LQ 4,94, PCR 0,21, DRC 0,23 dan skor berdasarkan kriteriaunggungl 66,90. Sentra pepaya di Kabupaten Sukabumi tersebar di 71 desa yang ada di 7kecamatan yakni: Kalapanunggal, Lengkong, Cibadak, Cicurug, Cidahu, Parakansalak danCikidang. Jumlah produksi pepaya di Kabupaten Sukabumi dengan produksi sekitar30,93% dari produksi pepaya di Jawa Barat.

5.2. Saran1. Setiap daerah diharapkan mampu berpacu dalam pembangunan serta benar-benar

memaksimalkan potensi sumberdaya lokal sebagai daya ungkit daya saing daerah,diantaranya melalui pengembangan komoditas unggulan

2. Setiap daerah hendaknya memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi potensi danunggulan wilayah yang ada dan dikembangkan dalam program pembangunan

3. Penentuan komoditas melalui kombinasi metode LQ, Description Scoring dan AnalisisDaya Saing dapat dijadikan sebagai alternatif terbaik dalam menentukan komoditasunggulan yang akan dikembangkan disetiap wilayah / daerah

DAFTAR PUSTAKAAlkadri. 2001. Manajemen Teknologi untuk Pengembangan Wilayah. Edisi Revisi.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.

Arifin, Bustanul. 2010. Model-Model Pembangunan Perdesaan dan PerformanceIndikator Pembangunan Perdesaan. (Makalah yang disajikan dalam SeminarPembangunan Perdesaan dengan Integrasi Pendekatan Wilayah dan KegiatanSektoral) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Kementrian PerencanaanPembangunan Nasional. Republik Indonesia

Asrul Tsani. 2009. Pengembangan Kawasan Sentra Produksi pada BerbagaiAgroekosistem di Kabupaten Sukabumi. Pasca Sarjana UNPAD. Tesis. Tidakdipublikasikan.

Budhiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. PT.Pradnya Paramita. Jakarta.

Distan. 2011. Renstra Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Tahun 2011 – 2015.Pemerintah Kanupaten Sukabumi. Dinas Pertanian Tanaman Pangan.

Gonarsyah, Isang. 2007. Tentang Pendefinisian Daya Saing Komoditas BerbasisSumberdaya Alam. Program Studi Ekonomi Pertanian. Sekolah Pasca Sarjana.Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hendayana. 2003. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) dalam Penentuan KomoditasUnggulan nasional. Informatika Pertanian. Vol 12. Desember 2003. hlm 1-21.

Hood, Ron. 1998. Economic Analysis:A location Quotient Primer. Principal Sun RegionAssociates. Inc.

Kohar, Abdul dan Agus Suherman. (tidak ada tahun) Analisis LQ Dalam PenentuanKomoditas Ikan Unggulan Perikanan Tangkap Kabupaten Cilacap. ProsidingSeminar Perikanan Tangkap, hlm 372-380.

Marimin dan Nurul Maghfiroh. 2010. Aplikasi Tekhnik Pegambilan Keputusan dalamManajemen Rantai Pasok. PT Penerit IPB Press.

Monke, E.A. and Pearson, E.S. 1989. The Policy Analysis Matrix for AgriculturalDevelopment. London:.Cornell University Press.

Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia. Bogor.

Porter, Michael E. 1993. Keunggulan bersaing Menciptakan dan MempertahankanKinerja Unggul. Erlangga. Jakarta.

Saptana. 2010. Tinjauan Konseptual Mikro-Makro Daya Saing Dan StrategiPembangunan Pertanian. Forum Penelitian Agro ekonomi. FAE, Vol. 28 No. 1,Juli 2010, hlm 1 – 18. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan kebijakan Pertanian.Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementrian Pertanian.

Sonobe, Tetsushi; Dinghuan Hu and Keijiro Otsuka. 2004. From Inferior to SuperiorProducts : An Inquiry into The Wenzhou Model of Industrial Development inChina. ELSEIVER, Journal of Comparative Economics 32.

Supfri, Mukhlis. 2012. Development of Competitiveness of Farm Commodity at SelayarRegency South Sulawesi Province. IAMURE: International Journal of Businessand Management. Vol 2. No. 1. Pg: 59-74.

Susilawati, m. Sabran, Rahmadi ramli, Bambang Ngaji Utomo, Andy Bhermana dan AmikKrismawati. 2006. Penentuan Komoditas Unggulan Nasional di PropvinsiKalimantan Tengah dengan Metode Location Quotien. Jurnal Pengkajian danPengembangan Teknologi Pertanian. Vol. 9. No. 1 Maret 2006, hlm 1-9.

Syafaat, N dan Supena F. 2000. Analisis Dampak Krisis Ekonomi Terhadap KesempatanKerja dan Identifikasi Komoditas Andalan Sektor Pertanian di Wilayah Sulawesi:Pendekatan Input Output. Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Vol. XLVIII. No.4.

Vinsensius. 2001. Strategi Pengembangan Komoditas Unggulan Agribisnis WilayahPerbatasan Kabupaten Kapuas Hulu. MB. IPB Repository.http://www.mb.Ipb.ac.id. (09/01/12).

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FDI, EKSPOR DAN PDBPERTANIAN DI INDONESIA: PENDEKATAN MODEL GRANGER CAUSALITY

DAN VECTOR AUTOREGRESSIVE (VAR) ANALYSIS

Feryanto2

Department of Agribusiness, Faculty of Economics and Management,Bogor Agricultural University

Tri WidodoDepartment of Economics, Faculty of Economics and Business,

Gadjah Mada University

ABSTRACTThe aims of this paper are to examine the relationship of foreign direct investment (FDI),agricultural exports, and economic growth in the agricultural sector in Indonesia, as wellas getting the model will be used to forecast these variables. The data used are time-seriesperiod 2000:Q1-2013:Q4, using the method of analysis Granger Causality test approachesand Vector Autoregressive (VAR). The results of this paper there is no long-termrelationship on the estimated variable. FDI is strongly influenced by the variableagricultural exports and GDP, but not vice versa. Meanwhile, exports and GDP variablesaffect each other in the agricultural sector.

JEL: F21, F43, Q17Keywords: investment, exports, growth, agricultural

1. PENDAHULUANSektor pertanian memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional. Peran

penting ini dikarenakan pertanian sebagai penghasil pangan, sumber devisa, penyedialapangan pekerjaan, sumber bahan baku industry (Jhonston dan Mellor, 1959 dalamDaryanto, 2008). Pada tahun 2013 sektor pertanian mampu menyerap 39,96 juta orang danmemberikan kontribusi terhadap PDB sebesar 7.85 persen (BPS, 2013). Hal inimenunjukkan sektor pertanian akan masih terus tumbuh. Sehingga dengan demikianpeningkatan investasi di sektor pertanian menjadi daya penggerak dalam upayapengembangan sektor pertanian dan perekonomian di perdesaan. Peningkatan investasi dipertanian diharapkan dapat memberikan multiplier effect dalam pembangunan nasional,dimana dengan investasi diharapkan dapat meningkatan produksi pertanian. Sehinggaprogram swasembada pangan dapat dicapai, disamping upaya peningkatan ekspor produkpertanian juga dapat ditingkatkan. Kebijakan pemerintah melalui Program Master PlanPercepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3I), memberikan peluanguntuk masuknya investasi asing ke Indonesia.

Beberapa penelitian menunjukkan investasi memberikan pengaruh yang positif dansignifikan dalam perekonomian, dimana investasi yang masuk melalui multinationalcorporation (MNC) akan digunakan menggerakkan perekonomian suatu negara sehingga

2 Email: [email protected]

menjadi lebih productive, tumbuh lebih cepat dan investasi dapat membuka akses padapasar (Hsiao dan Hsiao, 2006). Pada ekonomi terbuka, modal, teknologi dan pengetahuandapat ditransfer melalui kegiatan ekspor dan impor, dalam hal ini kegiatan perdagangan iniakan dapat meningkatkan pertumbuhan suatu negara (Mankiw, 2012; Frankel and Romer,1999 in Hsiao dan Hsiao, 2006).

Implikasi yang terjadi pada investasi asing, ekspor dan pertumbuhan ekonomi darikebijakan yang terjadi adalag hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lain.Pertumbuhan ekonomi di pengaruhi oleh investasi dan ekspor, namun investasi disatu sisijuga dapat mempengaruhi ekspor suatu negara (Mankiw, 2012). Hubungan yang salingmempengaruhi secara teori memang dimungkinkan, namun demikian kadang hanyahubungan satu arah saja (tanpa saling mempengaruhi). Sehingga tujuan dari penelitian iniditujukan untuk: (1) melihat hubungan antar variabel yakni investasi asing (FDI) padasektor pertanian, ekspor produk pertanian (EXP) dan pertumbuhan ekonomi yang diproksidari PDB pertanian (GDP), (2) menentukan model yang baik untuk melakukan proyeksiterhadap nilai investasi asing, ekspor produk pertanian dan GDP pada sektor pertanian diIndonesia.

Secara umum bagian pertama dari paper ini menyampaikan latar belakang dantujuan penelitian. Literatur review berisi mengenai studi terhadap penelitian-penelitianterdahulu diberikan pada bagian kedua. Bagian ketiga akan menguraikan mengenai datayang digunakan, medote, model dan estimasi yang digunakan. Secara rinci hasilpembahasan mengenai uji root, penentuan lag optimum, Johansen ko-integration test,Granger Causality test, estimasi dengan model VAR disajikan pada bagian kelima.Sedangkan kesimpulan dari temuan penelitian ini akan disampaikan di bagian akhir paper.

2. TINJAUAN TEORITISInvestasi asing merupakan variabel yang potensial dalam upaya meningkatkan

pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pada awal ekonomi neo-klasik disebutkan bahwainvestasi asing memiliki peran untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, karenainvestasi asing yang masuk menjadi akumulasi modal di dalam negeri (Tekin, 2012).Menurut Herzer et al (2008) menyebutkan investasi asing memiliki dampak positif padapertumbuhan ekonomi dan lebih produktif daripada investasi domestik. Sehingga dengandemikian setiap negara selalu berupaya untuk dapat menarik investor untuk menanamkanmodalnya di suatu negara, terutama dalam hal ini di sektor pertanian.

Begitu juga dengan peran investasi asing (FDI) terhadap ekspor suatu negara pastimemiliki hubungan. Tekin (2012) menunjukkan bahwa beberapa hasil penelitianmenunjukkan bahwa terdapat ekspor dan FDi memiliki hubungan secara postif dannegative, tanda ini dipengaruhi oleh negara tujuan ekspor, industry, jenis FDI, dan tujuaninvestor. Pembahasan yang dilakukan dalam paper ini adalah fokus kepada sektorpertanian, melihat perkembangan data ekspor pertanian Indonesia yang meningkat daritahun ketahun, diduga bahwa ekspor memiliki hubungan positif terhadap FDI.Berdasarkan Licai et al (2010) menujukkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhimasuknya investasi asing ke sektor pertanian adalah eskpor produk pertanian yang selalumeningkat. Secara umum sangat jarang peneliti melakukan penelitian untuk melihathubungan FDI, ekspor dan GDP di sektor pertanian. Peneliti lebih banyak melihat FDI,ekspor dan GDP secara lebih makro (Tekin, 2012: Hsiao dan Hsiao, 2006).

Metode analisis yang digunakan untuk melihat hubungan antar variabel danmelakukan proyeksi terhadap variabel yang diamati adalah dengan menggunakanpendekatan Granger Causality test dan model VAR. Hsiao da Hsiao (2006) melakukan

penelitian dengan menggunakan data time series dan panel data untuk melihat hubunganvariabel FDI, ekspor dan GDP di negara Asia Timur dan Tenggara. Sedangkan secarakhusus Tekin (2008) melakukan penelitian untuk melihat hal yang sama di negara-negaraAfrika, namun menggunakan data panel.

3. METODOLOGI3.1. Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder. Data yang digunakan adalahinvestasi asing di bidang pertanian, PDB pertanian dan ekspor pertanian primer. Datainvestasi asing (FDI) bersumber dari Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM),data pertumbuhan ekonomi yang diproksi dari data PDB sector pertanian yangdiperoleh dari Bank Indonesia. Sedangkan data ekspor pertanian (kode HS-00 sampaidengan HS-24) diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data ekspor pertanianyang diperoleh merupakan produk ekspor produk primer pertanian dalam artian luas.Periode waktu data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data triwulanan tahun2000:Q1 sampai dengan 2013:Q4.

3.2. Model dan EstimasiModel analisis yang akan digunakan dalam penelitian adalah menggunakan

pendekatan Vector Autoregressive (VAR). Model VAR disebut juga sebagai modelnon-struktural atau model tidak teoritis (ateoritis) dan tidak terdapat variabel eksogen(Juanda dan Junaidi, 2012; Pindyck et al, 1998). Menurut Sims (1972), Model VectorAutoregressive (VAR) adalah gabungan dari beberapa model Autoregresif (AR),dimana model-model ini membentuk sebuah vektor yang antara variabel-variabelnyasaling mempengaruhi satu sama lainnya. Sehingga dengan demikian model VAR inijuga sebagai model yang ateoritis, yang memiliki arti bahwa VAR dibangun denganpendekatan yang meminimalkan teori untuk menangkap fenomena ekonomi denganbaik (Juanda dan Junaidi, 2012; Nachrowi dan Usman, 2006).

Walaupun VAR disebut sebagai model yang ateoritis, namun VAR memilikikeunggulan. Beberapa keunggulan VAR menurut Abustan dan Mashyuddin (2009),(1) tidak perlu khawatir untuk menentukan variabel endogen dan eksogen, (2) hasilestimasi dapat dilakukan dengan OLS biasa pada setiap persamaan yang terpisah, dan(3) VAR ini juga merupakan alat analisis yang dapat melihat hubungan timbal balikantara variabel ekonomi, begitu juga dalam pembentukan model ekonomi tersetruktur.Secara empiris model VAR dengan multivariabel yang digunakan dapat dituliskansebagai berikut (Hsiao dan Hsiao, 2006; Greene, 2003; Hsiao dan Hsiao, 2001):

yt = μ + Γ1yt-1 + Γ2yt-2 + … + Γpyt-p + ɛt …………………………………………(1)

dimana:yt = Vector kolom (3 x 1) variabel endogenous, yakni ln_fdi, ln_exp,

dan ln_gdpμ = Vecktor (3x1) konstanta untuk lag-p.Γ1, Γ2,…, Γp = Koefisien matriks (3x1)yt-1, yt-2,… yt-p = Vector (3x1) lag variabel endogenousɛt = Vector (3x1) dari random error.

Setelah menentukan model empiris yang akan digunakan dalam penelitian ini,maka metode analisis yang akan digunakan untuk melihat dan menguji hubungan

kausalitas antara investasi, ekspor dan pertumbuhan ekonomi di sector pertanianIndonesia akan mengikuti beberapa langkah-langkah berikut ini, yakni: (1) unit roottest, (2) Uji hipotesis kausalitas Granger, dan (3) estimasi. Pada analisis time seriesdengan menggunakan pendekatan model VAR, syarat yang harus dipenuhi adalah datayang akan diestimasi harus stasioner.

Unit Root Test dan Penentuan Lag OptimalUnit root test atau sering juga disebut uji stasioneritas adalah untuk melihat

apakah data yang akan digunakan sudah stasioner atau tidak. Syarat yang harusdipenuhi dalam analisis time series adalah data harus stasioner. Menurut Gujarati danPorter (2012) data tim series dinyatakan stasioner jika data tersebut tidak mengandungunit root dimana mean, variance, dan covariance konstan sepanjang waktu. Sehinggadengan demikian uji unit root merupakan uji yang harus dilakukan pertama sekalidalam melakukan estimasi. Hsiao dan Hsiao (2006) menyebutkan bahwa untuk uji unitroot yang umum dilakukan adalah dengan menggunakan Uji Dikey-Fuller (DF) dan ujiAugmented Dickey-Fuller (ADF). Model DF yang digunakan untuk menguji unit rootdalam time series menurut Gujarati dan Porter (2012) adalah sebagai berikut:

ΔYt = δYt-1 + μt ………………………………………………………………….. (2)

Untuk melihat apakah suatu data stasioner atau tidak maka denganmembandingkan ADF-test statistic dengan hasil regresi t-statistic Mackinnon CriticalValue 1%, 5%, dan 10%. Dimana jika ADF-test statistic hitung lebih kecil dariMackinnon Critical Value, maka H0 diterima dan H1 diterima. Hal ini berarti data awaltidak stasioner. Sehingga dengan demikian data tersebut harus stasioner dengan caramelakukan differencing terhadap data awal agar dapat digunakan untuk diestimasi.

Setelah menentukan data yang stasioner maka langkah selanjutnya yangdilakukan adalah menentukan lag yang optimum. Penentuan lag-p optimum, dapatditentukan dengan menggunakan criteria Akaike Information Criteria (AIC) danSchwarz Criteria (SC), dimana lag-p yang optimum ditentukan berdasarkan dari nilaiAIC dan SC yang minimum. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Gujarati danPorter (2012) berdasarkan persamaan berikut ini:

…………………………………………………….. (3)

…………………………………………………… (4)

dimana:

AIC = Akaike Information Criteria

SC = Schwarz Criteria

2ˆie = jumlah kuadrat residual

k = jumlah variabel independen

n

k

n

eAIC i 2ˆ

log2

nn

k

n

eSC i log

ˆlog

2

n = jumlah observasi

Uji Kausalitas GrangerSebagaimana tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antar variabelyang diestimasi (FDI, ekspor dan pertumbuhan ekonomi) apakah saling mempengaruhiatau tidak maka akan digunakan uji kausalitas Granger. Uji kausiltas adalah pengujianuntuk menentukan hubungan sebab akibat antara variabel atau peubah dalam modelVAR (Juanda dan Junaidi, 2012; Gujarati dan Porter, 2012; Hsiao dan Hsiao, 2006).Hubungan antar variabel dapat diuji dengan menggunakan uji kausalitas Granger(Juanda dan Junaidi, 2012; Gujarati dan Porter, 2012), yang dapat ditulis sebagaiberikut:= ∑ + ∑ + ∑ + ……………………… (5)= ∑ + ∑ + ∑ + ………………………. (6)= ∑ + ∑ +∑ + …………………….... (7)

dimana:Yt = FDI sektor pertanian Indonesia pada periode ke-tYt-i = FDI sektor pertanian Indonesia pada periode ke-iXt = Ekspor produk pertanian Indonesia pada periode ke-tXt-i = Ekspor produk pertanian Indonesia pada periode ke-iZt = Produk domestic bruto pada sektor pertanian Indonesia pada periode ke-tZt-i = Produk domestic bruto pada sektor pertanian Indonesia pada periode ke-iαi, βi, γi = konstantaeit = error term

Berdasarkan model uji kausalitas Granger yang disajikan diatas, maka hipotesis yangakan diuji dalam penelitian ini adalah:Hipotesis 1,H0 : FDI di sektor pertanian tidak mempengaruhi ekspor produk pertanianIndonesia.H1 : FDI di sektor pertanian mempengaruhi ekspor produk pertanian Indonesia.Hipotesis 2,H0 : FDI di sektor pertanian tidak mempengaruhi PDB pertanian Indonesia.H1 : FDI di sektor pertanian mempengaruhi PDB pertanian Indonesia.Hipotesis 3,H0 : Ekspor produk pertanian tidak mempengaruhi FDI di sektor pertanianIndonesia.H1 : Ekspor produk pertanian mempengaruhi FDI di sektor pertanian Indonesia.Hipotesis 4,H0 : Ekspor produk pertanian tidak mempengaruhi PDB pertanian Indonesia.H1 : Ekspor produk pertanian mempengaruhi PDB pertanian Indonesia.Hipotesis 5,H0 : PDB pertanian tidak mempengaruhi FDI di sektor pertanian Indonesia.H1 : PDB pertanian mempengaruhi FDI di sektor pertanian Indonesia.Hipotesis 6,H0 : PDB pertanian tidak mempengaruhi ekspor produk pertanian Indonesia.H1 : PDB pertanian mempengaruhi FDI ekspor produk pertanian Indonesia.

Hasil uji kausalitas Granger dengan hipotesis diatas dapat ditentukan denganmemperhatikan nilai probabilitas daris etiap hipotesis. Jika nilai salah satu hipotesisprobabilitas lebih kecil dari α=0.05, maka keputusannya adalah menolak H0

(menerima H1). Hal ini berarti salah satu variabel mempengaruhi variabel yang lain(hubungan searah). Namun apabila nilai probabilitas seluruh hipotesis bernilai kurangdari α=0.05, maka keputusannya menolak semua H0, artinya antar variabel salingmempengaruhi (memiliki hubungan dua arah).

Estimasi dengan Model VARModel estimasi yang digunakan berdasarkan hubungan yang antar variabel yang

telah diuji sebelumnya dengan menggunakan kausalitas Granger. Selanjutnya modelVAR yang akan digunakan merupakan pengembangan dari model dasar padapersamaan (1) sebelumnya. Karena data yang digunakan merupakan data yang sudahstasioner (first differencing), maka model estimasi dengan pendekatan VAR yangdigunakan adalah Vector Autoregressive in difference dan dapat dituliskan sebagaiberikut:

Δln_FDIi = b1i + Σα1i Δln_FDIt-i + Σβ1i Δln_EXPt-i + Σγ1i Δln_GDPt-i + ɛit …….. (8)Δln_EXPi = b1i + Σα1i Δln_EXPt-i + Σβ1i Δln_FDIt-i + Σγ1i Δln_GDPt-i + ɛit ….. (9)

dan,Δln_GDPi = b1i + Σα1i Δln_GDPt-i + Σβ1i Δln_FDIt-i + Σγ1i Δln_EXPt-i + ɛit … (10)

4. HASILBagian ini akan menyajikan pembahasan mengenai penentuan data stasioner yang

akan digunakan dengan menggunakan uji unit root Augmented Dickey-Fuller (ADF).Setelah itu adalah penentuan lag optimum yang akan digunakan dalam estimasi,disamping itu untuk melihat ada hubungan jangka panjang antar variabel-variabeldalam persamaan maka digunakan Johansen Co-integration Test. Setelah itu barudilakukan uji kasualitas Granger untuk melihat hubungan antar variabel dalampersamaan, dan bagian akhir adalah melakukan estimasi dengan menggunakan modelVector Autoregressive (VAR).

Uji Unit Root (Stasionary Test) dan Penentuan Panjang Lag OptimumPenelitian ini menggunakan data time series, sehingga perlu untuk menguji data

apakah sudah stasioner atau tidak. Dalam menguji data yang stasioner, salah satu ujiumum yang dapat dilakukan yaitu dengan uji Augmented Dickey Fuller (ADF).Apabila nilai ADF t-statistik lebih kecil daripada nilai kritis MacKinnon, maka variabeltersebut tidak memiliki akar unit sehingga dikatakan stasioner pada taraf nyata tertentu.Jika tidak, maka dilakukan difference non stasioner processes. Hasil unit root denganADF pada tingkat level terdapat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Uji Akar Unit dengan Augmented Dickey Fuller pada LevelVariable Value of

ADF(t-statistic)

MacKinnon Critical Values Conclusion1% 5% 10%

ln_FDI -4.327431* -3.555023 -2.915522 -2.595565 Stasionerln_GDP 0.368248 -3.562669 -2.918778 -.2597285 Tidak Stasioner

ln_EXP -0,726565 -3.574446 -2.923780 -2.599925 Tidak Stasioner*: Stasioner pada MacKinnon Critical Value 1 persen

Berdasarkan Tabel 1, terdapat beberapa variabel yang tidak stasioner. Hal ini dapatdilihat dari t-statistik ADF lebih besar daripada nilai kritis MacKinnon, sehinggavariabel-variabel yang tidak stasioner adalah: variabel PDB pertanian (GDP) danvariabel ekspor produk pertanian (EXP). Karena data belum stasioner pada level,sehingga pengujian perlu dilanjutkan ada uji unit first difference. Pada Tabel 2,diperlihatkan bahwa seluruh data telah stasioner (first difference).

Table 2. Hasil Uji Akar Unit dengan Augmented Dickey Fuller pada First DifferenceVariabl

eValue of

ADF(t-statistic)

MacKinnon Critical Values Conclusion1% 5% 10%

ln_fdi -9.385248* -3.557472 -2.916566 -2.596116 Stasionerln_gdp -72.65985* -3.562669 -2.918778 -2.597285 Stasionerln_exp -3,733053* -3.565430 -2.919952 -2.597905 Stasioner

*: Stasioner pada MacKinnon Critical Value 1 persen

Berdasarkan Tabel 2, menunjukkan bahwa seluruh data telah stasioner pada tingkatsignifikansi 1%, sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh variabel terintegrasi padaderajat 1 atau I(1). Setelah melakukan uji stasioneritas, maka yang perlu dilakukanberikutnya adalah penentuan lag yang optimum. Penentuan lag yang optimum sangatpenting bagi model dengan pendekatan VAR. Berdasarkan hasil penentuan lagoptimum dengan melakukan simulasi beberapa kali, maka ditentukan lag yangoptimum yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah 4. Hal ini dapat dilihat dariTabel 3 berikut ini:

Table 3. Results Determination of Optimum Lag Length Criteria Based on AIC and SCLag AIC SC

VAR (1) 4.844317 5.303203VAR (2) 3.704154 4.507204VAR (3) 2.866144 4.013358VAR (4) 0.607401* 2.098779*VAR (5) 0.879265 2.714807

* indicates lag order selected by the criterionAIC: Akaike information criterionSC: Schwarz information criterion

Berdasarkan Tabel 3, panjang lag yang optimum dipilih berdasarkan criteria dari nilaiAIC dan SC yang paling kecil, sehingga panjang lag optimum yang dipilih adalah 4.

Granger Causality Test and Johansen Co-integration TestGranger Causality Test adalah analisis untuk mencari hubungan kausalitas antar

variabel yang sedang diamati. Hubungan tersebut disajikan dalam hipotesis 1-6 yangtelah disajikan dalam metode analisis sebelumnya. Granger Causality test yang

menggunakan panjang lag optimum sama dengan 4. Hasil pengujian Granger Causalitydisajikan dalam Tabel 4, berikut ini:

Table 4. Interpersonal Variables Based on Granger Causality TestNull Hypothesis: Obs F-Statistic Prob.

LN_FDI does not Granger CauseLN_EXP 52 1.21715 0.3176LN_EXP does not Granger Cause LN_FDI 2.99360 0.0289**

LN_GDP does not Granger CauseLN_EXP 52 17.6218 1.E-08*LN_EXP does not Granger Cause LN_GDP 1.96529 0.1170**

LN_GDP does not Granger CauseLN_FDI 52 2.85116 0.0350**LN_FDI does not Granger Cause LN_GDP 0.65116 0.6292

Keterangan:* = Signifikan pada α=0.01** = Signifikan pada α=0.05

Berdasarkan Tabel 4, dapat dilihat hubungan antar variabel dimana pada bagianpertama yakni hubungan antara investasi asing (FDI) sektor pertanian dengan eskporproduk pertanian (EXP) menunjukkan bahwa terdapat hubungan satu arah, dimanavariabel ekspor produk pertanian mempengaruhi investasi asing di sektor pertanian(pada tingkat kepercayaan α = 0.05), namun investasi asing (FDI) tidak mempengaruhiekspor produk pertanian. Pengaruh ekspor produk pertanian dinilai kuat i

mempengaruhi investasi asing disektor pertanian. Pada bagian kedua, hubungan antarvariabel ekspor produk pertanian (EXP) dan pertumbuhan perekonomian di sektorpertanian yang diproyeksikan dari PDB pertanian, menunjukkan hubungan dua arah(saling mempengaruhi. Dimana Variabel PDB sektor pertanian (GDP) ternyatamemberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap ekspor produk pertanian Indonesiaselama kurun waktu 2000-2013, dilihat dari nilai probabality yang signifikan padaα=0.01. Begitu juga sebaliknya ekspor produk pertanian mempengaruhi PDB sektorpertanian Indonesia dengan kuat (signifikan pada level α= 0.05). Hal ini menunjukkanbahwa ekspor produk pertanian selama tahun 2000-2013 mampu meningkatkanpertumbuhan ekonomi terutama di sektor pertanian.

Bagian ketiga hubungan antara variabel PDB pertanian (GDP) dengan investasiasing (FDI) pertanian menunjukkan hubungan searah yang kuat, dimana dalam kasusini PDB pertanian (GDP mempengaruhi investasi asing (FDI) pada signifikan level α=0.05. Namun tidak sebaliknya, dimana investasi asing tidak mempengaruhi PDBpertanian Indonesia. Temuan ini sesuai dengan Hsiao dan Hsiao (2006) yang melalukananalisis hubungan antar variabel FDI, EXP dan GDP di negara-negara Asia Timur danTenggara. Hubungan antar variabel tersebut dapat diringkas berdasarkan Gambar 1.

FDI

EXP GDP

Legenda:p-valueα < 0.01α < 0.05

Gambar 1. Hubungan Antara Variabel Berdasarkan Granger Causlity

Setelah melihat hubungan antar variabel dengan menggunakan Granger Causalitytest, maka selanjutnya dilakukan Johansen co-integration test untuk melihat hubunganjangka panjang antar variabel yang diamati dalam penelitian ini. Berdasarkan hasilanalisis yang dilakukan dengan menggunakan Johansen co-integration test diperolehkesimpulan bahwa seluruh variabel yang diamati tidak memiliki hubungan jangka panjang(Lampiran 2). Hal ini ditunjukkan dari nilai trace statistic dan maximum eigen-value padar=0 lebih kecil dari critical value dengan tingkat signifikansi 5%. Sehingga dengandemikian H0 yang menyebutkan tidak ada ko-integrasi dalam jangka panjang diterima.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa variabel investasi asing (FDI), ekspor (EXP) danpertumbuhan ekonomi di sektor pertanian (GDP) tidak memiliki kesamaan pergerakandalam jangka panjang. Hal ini juga memperkuat bahwa model yang akan digunakan untukmelakukan estimasi adalah Vector Autoregressive (VAR) bukan Vector Error CorrectionModel (VECM) (Juanda dan Juanidi, 2012; Ender, 2004).

Hasil Estimasi Vector Autoregressive (VAR)Model yang digunakan untuk melakukan estimasi adalah dengan menggunakan

VAR. Berdasarkan hasil uji stasioneritas menunjukkan bahwa seluruh data stasioner padafirst differencing, maka model estimasi yang digunakan adalah Vector Autoregessive indifference (VARD). Model estimasinya dapat dilihat pada persamaan 8, 9 dan 10.Estimasi dengan model VARD setelah memperhatikan panjang lag optimum yang akandigunakan yakni 4. Hasil estimasi yang dilakukan dengan menggunakan eviews 6diberikan pada Tabel 5.

Table 5. Estimasi Model VAR (4) Pada First Difference

DLN_FDI DLN_GDP DLN_EXP

DLN_FDI(-1) -0.458028 -0.000537 0.006473(0.16261) (0.00108) (0.01813)

[-2.81668] [-0.49944] [ 0.35701]

DLN_FDI(-2) -0.299387 -0.000771 0.010891(0.16919) (0.00112) (0.01887)

[-1.76957] [-0.68905] [ 0.57729]

DLN_FDI(-3) -0.244810 0.000870 0.006645(0.16978) (0.00112) (0.01893)

[-1.44196] [ 0.77436] [ 0.35102]

DLN_FDI(-4) -0.106315 0.000782 0.011369(0.15704) (0.00104) (0.01751)

[-0.67699] [ 0.75315] [ 0.64922]

DLN_GDP(-1) 14.75425 -0.885065 1.813129(23.7379) (0.15700) (2.64694)[ 0.62155] [-5.63745] [ 0.68499]

DLN_GDP(-2) 10.22323 -0.930683 1.412384(22.1328) (0.14638) (2.46795)[ 0.46190] [-6.35793] [ 0.57229]

DLN_GDP(-3) 16.31168 -0.931103 -3.007663(23.3940) (0.15472) (2.60859)[ 0.69726] [-6.01788] [-1.15299]

DLN_GDP(-4) 14.96723 0.017145 0.658244(23.2631) (0.15386) (2.59398)[ 0.64339] [ 0.11144] [ 0.25376]

DLN_EXP(-1) 1.079151 -0.016825 0.648356(1.45894) (0.00965) (0.16268)[ 0.73968] [-1.74369] [ 3.98543]

DLN_EXP(-2) 0.780109 0.020487 0.197219(1.76373) (0.01166) (0.19667)[ 0.44230] [ 1.75629] [ 1.00280]

DLN_EXP(-3) -2.263629 -0.005282 0.184592(1.80613) (0.01195) (0.20140)

[-1.25331] [-0.44218] [ 0.91656]

DLN_EXP(-4) 0.291759 0.001789 -0.088557(1.48876) (0.00985) (0.16601)[ 0.19598] [ 0.18173] [-0.53346]

C 1.197549 0.031142 0.905337(7.94623) (0.05255) (0.88606)[ 0.15071] [ 0.59256] [ 1.02176]

R-squared 0.371573 0.989261 0.904139Adj. R-squared 0.173122 0.985870 0.873867F-statistic 1.872368 291.7041 29.86733Log likelihood -117.7637 138.1849 -5.886473Akaike AIC 5.127990 -4.909211 0.740646Schwarz SC 5.620416 -4.416785 1.233072

Keterangan:(…) Menunjukkan standard error[...] Menunjukkan t-hitung

Berdasarkan hasil estimasi yang disajikan dalam Tabel 5, diperoleh informasibahwa tidak semua lag segnifikan mempengaruhi variabel dependentnya, hal ini sesuaiyang disampaikan oleh Pyndick and Rubinfeled (1998). Signifikan atau tidaknya suativariabel dapat dilihat dari nilai t-hitung dari hasil estimasi yang diperoleh. MenurutAbustan dan Mahyuddin (2009) menyebutkan bahwa signifikansi pada kesalahan yangdapat ditolerir pada level α=0.05 dengan membandingkan t-hitung pada hasil yangdiperloleh dengan t-table (α=0.05) sebesar 1.761. Dengan demikian, persamaan pertamadengan variabel dependen adalah DLN_FDI menunjukkan bahwa variabel yangmemberikan pengaruh signifikan terhadap investasi asing pada sektor pertanian adalahDLN_FDI pada periode t-1 dan t-2. Pengaruh yang diberikan oleh periode sebelumnyadan dua periode sebelumnya adalah negative.

Pada persamaan kedua dimana yang menjadi variabel dependen adalah PDB sektorpertanian (DLN_GDP) secara signifikan dipengaruhi oleh variabel DLN_GDP padaperiode t-1, t-2, dan t-3 atau periode satu sampai ketiga sebelumnya, serta dipengaruhisecara signifikan oleh ekspor produk pertanian (DLN_EXP) satu periode sebelumnya (t-1). Semua variabel DLN_GDP pada dua periode sebelumnya dan variabel DLN_EXPperiode sebelumnya memberikan pengaruh negative pada pertumbuhan perekonomiandisektor pertanian yang diproyeksikan melalui PDB pertanian. Sedangkan pada persamaanketiga dimana yang menjadi variabel dependen adalah ekspor produk pertanian(DLN_EXP), menunjukkan bahwa satu-satunya yang berpengaruh secara signifikan danpositif hanyalah variabel ekspor produk pertanian pada periode sebelumnya (t-1).Sehingga untuk melakukan proyeksi terhadap investasi asing (FDI), ekspor produkpertanian (EXP), dan pertumbuhan perekonomian yang dilihat dari PDB pertanian (GDP)dapat menggunakan model estimasi berikut ini:

DLN_FDI = 1.196 - 0.458*DLN_FDI(-1) - 0.299*DLN_FDI(-2) - 0.245*DLN_FDI(-3) - 0.106*DLN_FDI(-4) + 14.754*DLN_GDP(-1) + 10.223*DLN_GDP(-2) + 16.311*DLN_GDP(-3) + 14.967*DLN_GDP(-4) +1.079*DLN_EXP(-1) + 0.780*DLN_EXP(-2) - 2.264*DLN_EXP(-3) +0.292*DLN_EXP(-4) + 1.196 …. (11)

DLN_GDP = 0.031+ - 0.001*DLN_FDI(-1) - 0.001*DLN_FDI(-2) +0.008*DLN_FDI(-3) + 0.001*DLN_FDI(-4) - 0.885*DLN_GDP(-1) -0.931*DLN_GDP(-2) - 0.931*DLN_GDP(-3) + 0.017*DLN_GDP(-4) -0.017*DLN_EXP(-1) + 0.024*DLN_EXP(-2) - 0.005*DLN_EXP(-3) +0.002*DLN_EXP(-4) + 0.031…...(12)

DLN_EXP = 0.006*DLN_FDI(-1) + 0.011*DLN_FDI(-2) + 0.007*DLN_FDI(-3) +0.011*DLN_FDI(-4) + 1.813*DLN_GDP(-1) + 1.412*DLN_GDP(-2) -3.008*DLN_GDP(-3) + 0.658*DLN_GDP(-4) + 0.648*DLN_EXP(-1) +0.197*DLN_EXP(-2) + 0.185*DLN_EXP(-3) - 0.0886*DLN_EXP(-4) +0.905 … (13)

5. KesimpulanMakalah ini menggunakan Granger Causality test dan Vector Autoregressive

(VAR) yang mencoba melihat hubungan antar variabel FDI, export dan GDP di sektorpertanian, serta mencoba mendapatkan model yang dapat memproyeksikan nilai FDI,export dan GDP di sektor pertanian. Beberapa kesimpulan diperoleh dari analisis yangdilakukan. Pertama, tidak terdapat hubungan jangka panjang antar variabel yang diamati,

sehingga tidak terdapat pergerakan yang sama diantara variabel yang ada. Kedua, FDI(investasi asing) dipengaruhi dengan kuat oleh variabel ekspor produk pertanian dan GDPdi sektor pertanian (hubungan searah), Namun FDI tidak mempengaruhi variabel ekspordan GDP sektor pertanian. Ketiga, terdapat hubungan dua arah (saling mempengaruhi)antara variabel GDP dan ekspor di bidang pertanian, dimana ekspor produk pertanianmemiliki pengaruh yang kuat terhadap GDP disektor pertanian, namun GDP sektorpertanian juga memengaruhi ekspor pertanian dengan kuat. Dan kesimpulan yang keempat,untuk melakukan poyeksi terhadap nilai FDI, ekspor pertanian, dan GDP pertanian adalahdengan menggunakan model VAR dengan lag-4.

ReferensiAbustan dan Mahyuddin. 2009. Analisia Vector Autoregressive (VAR) terhadap korelasi

antara belanja public dan pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan, 1985-2005.Jurnal Ekonomi Pembangunan. 10(1):1-14.

Badan Pusat Statistik [BPS]. 2013. Statistk Makro Sektor Pertanian 2012. Badan PusatStatistik. Jakarta.

Daryanto, Arief. 2008. Selamat Tinggal Era Pangan Murah. Artikel Majalah Trobos, (Ed)Maret 2008. Jakarta.

Mankiw, N. Gregory, 2012. Macroeconomics, 8th edition, Worth Publisher, New York-USA.

Frankel, J. A and Romer. D. 1999. Does trade cause growth? American EconomicReviews. 89:379-399.

Greene, W. H. 2003. Econometric Analysis. 5th ed. Prentice Hall. Upper Saddle River.Gujarati, Damodar N dan Dawn C. Porter. 2012. Dasar-dasar Ekonomerika. Raden Carlos

Mangunsong [penerjemah]. Penerbit Erlangga. JakartaHerzer, D., Klasen, S., and Nohwak-Lehman, F. 2008. In search of FDI-led growth in

developing countries: the way forward. Economic Modeling. 25(2008): 868-878.Hsiao, Frank. S.T and Mei-Chu W. Hsiao. 2001. Capital flows and exchange rate: Recent

Korea and Taiwan. The Journal of Asian Economics. 12(3): 353-381.Hsiao, Frank. S.T and Mei-Chu W. Hsiao. 2006. FDI, export, and GDP in East and

Southeast Asia-Panel data versus time series causality analyses. Journal of AsianEconomics. 17(2006): 1082-1106.

Juanda, Bambang dan Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu:Teori dan Aplikasi. IPBPress. Bogor.

Licai Lv., Simei Wen., and Qiquan Xiong. 2010. Determinant and performance index offoreign direct investment in China’s agriculture. China Agricultural EconomicReview. 2(1): 36-48.

Nachrowi, Nachrowi D dan Hardius Usman. 2006. Pendekatan Populer dan PraktisEkonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Lembaga Penerbit, FakultasEkonomi Universitas Indonesia. Depok.

Pindyck, Rober S., and L. Daniel. 1998. Economic Models and Econometric Forecast. 4th

eds. McGraw Hill. New York.Tekin, Rifat Baris. 2012. Economic growth, export and foreign direct investment in Least

Development Countries: A panel Granger causality analysis. Economics Modeling.29 (2012): 868-878.

Sims, C.A. (1972), “Money, Income, and Causality”, American Economic Review, Vol. 62,pp. 540-552.

www.bi.go.idwww.bkpm.go.id

www.bps.go.id

Lampiran 1. Granger Causality TestPairwise Granger Causality TestsDate: 06/29/14 Time: 18:58Sample: 2000Q1 2013Q4Lags: 4

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob.

LN_FDI does not Granger CauseLN_EXP 52 1.21715 0.3176LN_EXP does not Granger Cause LN_FDI 2.99360 0.0289

LN_GDP does not Granger CauseLN_EXP 52 17.6218 1.E-08LN_EXP does not Granger Cause LN_GDP 1.96529 0.1170

LN_GDP does not Granger CauseLN_FDI 52 2.85116 0.0350LN_FDI does not Granger Cause LN_GDP 0.65116 0.6292

Lampiran 2. Johansen Co-integration TestDate: 06/29/14 Time: 19:07Sample (adjusted): 2001Q2 2013Q4Included observations: 51 after adjustmentsTrend assumption: Linear deterministic trendSeries: LN_EXP LN_FDI LN_GDPLags interval (in first differences): 1 to 4

Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)

Hypothesized Trace 0.05No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None 0.256026 20.05962 29.79707 0.4189At most 1 0.091257 4.976428 15.49471 0.8113At most 2 0.001882 0.096093 3.841466 0.7566

Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)

Hypothesized Max-Eigen 0.05No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None 0.256026 15.08319 21.13162 0.2831At most 1 0.091257 4.880335 14.26460 0.7569

At most 2 0.001882 0.096093 3.841466 0.7566

Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized byb'*S11*b=I):

LN_EXP LN_FDI LN_GDP-2.030413 -0.615129 17.714363.547928 -0.347877 -14.51594

-0.453693 0.103965 9.201312

Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):

D(LN_EXP) 0.035163 -0.071145 -0.004662D(LN_FDI) 1.214834 0.114844 -0.003288D(LN_GDP) 0.000344 0.001678 -0.000655

1 CointegratingEquation(s):

Loglikelihood 23.78156

Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)LN_EXP LN_FDI LN_GDP1.000000 0.302957 -8.724512

(0.09858) (1.46523)

Adjustment coefficients (standard error in parentheses)D(LN_EXP) -0.071395

(0.08869)D(LN_FDI) -2.466616

(0.70326)D(LN_GDP) -0.000699

(0.00538)

2 CointegratingEquation(s):

Loglikelihood 26.22173

Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)LN_EXP LN_FDI LN_GDP1.000000 0.000000 -5.224233

(0.91236)0.000000 1.000000 -11.55370

(3.96057)

Adjustment coefficients (standard error in parentheses)

D(LN_EXP) -0.323812 0.003120(0.17205) (0.02974)

D(LN_FDI) -2.059157 -0.787231(1.41377) (0.24441)

D(LN_GDP) 0.005253 -0.000795(0.01076) (0.00186)

Evaluasi Kebijakan Swasembada Sapi Potong di IndonesiaNia Rosiana dan Feryanto

Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPBJl. Kamper Wing 4 Level 5, Kampus IPB Dramaga Bogor

[email protected]

ABSTRACTPeternakan merupakan sub-sektor yang terus tumbuh dan berkembang, peternakanmemiliki prospek yang cerah dimasa depan, baik sebagai penghasil pangan dan nonpangan (protein dan lemak. Secara makro peternakan memiliki kontrubusi yang besardalam produk domestik bruto (PDB). Namun demikian berbagai kebijakan yang dilakukanpemerintah untuk mencapai swasembada sapi potong sebagai upaya pemenuhankebutuhan nasional masih jahu dari harapan. Paper ini memiliki tujuan untuk; (1)mengevaluasi kebijakan Swasembada dan peningkatan daya saing usaha sapi potongIndonesia dan (2) rekomendasi alternatif kebijakan swasembada dan daya saing sapipotong Indonesia. Metodologi yang digunakan adalah studi literatur dan hasil penelitianterdahulu dengan memanfaatkan data sekunder. Efektivitas kebijakan swasembada sapipotong mengalami penurunan, sehingga target pemerintah untuk mencapai swasembadasapi potong tahun 2014 tidak tercapai. Diantara strategi yang dapat dijalankan adalahPerlu akselerasi peningkatan produksi dapat dilakukan melalui pengembangan usaha sapipotong skala menengah dengan dukungan industrialisasi pakan, peningkatan akses modal,dan aplikasi teknologi bibit (inseminasi buatan, tranfer embrio, dan beranak kembar)untuk meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas.

Kata Kunci : Swasembada, Kebijakan, Sapi PotongJEL : Q10, Q18

I. PENDAHULUAN1.1.Latar Belakang

Peternakan merupakan sub-sektor yang terus tumbuh dan berkembang, peternakanmemiliki prospek yang cerah dimasa depan, baik sebagai penghasil pangan dan non pangan(protein dan lemak). Peternakan dan industrinya terus berkembang. Secara makropeternakan memiliki kontrubusi yang besar dalam produk domestik bruto (PDB)(Ditjennak, 2012).

Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat subsektor peternakan bila dibandingkan dengansubsektor pertanian yang lain, memiliki laju pertumbuhan yang memiliki trend positif sejaktahun 2011-2012, subsektor yang lain mengalami fluktuasi. Kondisi ini menggambarkanbahwa subsektor peternakan memiliki sumbangan yang besar bagi perekonomian nasional.Menurut Kementerian Pertanian (2012), subsektor peternakan pada tahun 2011menyumbang sebesar Rp. 39,929.2 Milliar terhadap PDB.

Tabel 1. Laju Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia Atas Dasar Harga Konstan2000, 2007-2011.

No Subsektor

Tahun (Persen)

2001 2008

2009 2010 2011

1 Pertanian 3,47 4,83 3,96 2,99 2,95a. Pertanian Sempit 3.43

5.164.08 2.40 2.31

- Tanaman Bahan Makanan 3.35 6.06 4.97 1.64 1.26- Tanaman Perkebunan 4.55 3.67 1.73 3.41 3.94- Peternakan dan Hasil-

hasilnya2.36 3.52 3.45 4.27 4.49

b. Kehutanan -0.83 -0.03

1.82 2.41 0.65

c. Perikanan 5.39 5.07 4.16 6.04 6.722 Pertambangan dan Penggalian 1.93 0.71 4.47 3.57 1.363 Industri Pengolahan 4.67 3.66 2.21 4.74 6.224 Listrik, Gas dan Air Bersih 10.33 10.9

314.29 5.33 4.82

5 Bangunan 8.53 7.55 7.07 6.95 6.716 Perdagangan 8.93 6.87 1.28 8.69 9.187 Pengangkutan dan Komunikasi 14.04 16.5

715.85 13.41 10.69

8 Keuangan, Persedaan dan JasaPerusahaan

7.99 8.24 5.21 5.67 6.81

9 Jasa-jasa 6.44 6.24 6.42 6.01 6.74Produk Domestik Bruto (PDB) 6.35 6.01 4.63 6.20 6.46Sumber : Kementerian Pertanian RI (2012)

Salah satu komoditi yang memiliki potensi secara ekonomi adalah sapi potong. Sapipotong merupakan salah satu sumber daya penghasil makanan berupa daging. Selain itu,sapi potong juga dapat memberikan berbagai macam kontribusi seperti pupuk dan ternakkerja (Sugeng 2009). Sapi potong sebagai penyumbang daging terbesar dari kelompokRuminansia terhadap produksi daging nasional, berpotensi untuk dikembangkan sebagaiusaha yang menguntungkan. Berdasarkan data statistik peternakan Direktorat JenderalPeternakan (2011) populasi ternak Ruminansia terus mengalami peningkatan (Tabel 2)pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2011.

Tabel 2. Populasi Ternak Ruminansia Nasional Tahun 2007 – 2011 (000 ekor)

No. Jenis/SpesiesTahun

2007 2008 2009 2010 2011*1 Sapi potong 11.515 12.257 12.760 13.582 14.8242 Sapi perah 374 458 475 488 5973 Kerbau 2.086 1.931 1.933 2.000 1.3054 Kambing 14.470 15.147 15.858 16.620 17.4835 Domba 9.514 9.605 10.199 10.725 11.372

*Angka sementaraSumber : Statistik Peternakan, Dirjen Peternakan (2011)

Tabel 2 menunjukkan adanya peningkatan populasi ternak ruminansia dari tahun2007 hingga tahun 2011, namun nilainya tidak signifikan. Namun demikian peningkatanjumlah populasi secara nasional, ternyata belum mampu menyelesaikan permasalahankelangkaan daging dan naiknya harga daging yang terjadi secara nasional sejak tahun2012. Pemerintah sejak tahun 2004 telah menargetkan untuk mencapai swasembada dagingsapi pada tahun 2011, namun diundur pada tahun 2014.

Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS-2014) merupakan salah satuprogram prioritas Pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan asal ternak berbasissumberdaya lokal. Pencapaian swasembada daging sapi merupakan tantangan. Pada tahun

2009 impor daging mencapai 70 ribu ton dan sapi bakalan setara dengan 250,8 ribu tondaging (Ditjenak 2010). Angka ini kira-kira meliputi 30% dari kebutuhan daging nasional.Bahkan ada kecenderungan volume impor terus meningkat menjadi sekitar 720 ribu ekorsapi pada tahun-tahun mendatang. Hal ini dapat menyebabkan kemandirian dan kedaulatanpangan hewani, khususnya daging sapi, semakin jauh dari harapan, dan menyebabkanIndonesia masuk dalam perangkap pangan (food trap) negara eksportir.

Swasembada sapi potong pada tahun 2014, agaknya tidak tercapai. Dwiyanto danPriyanti (2005) menyatakan bahwa, beberapa permasalahan dalam pengembangan usahasapi potong di Indonesia yakni : (1) produktivitas ternak masih rendah, (2) ketersediaanbibit unggul lokal terbatas, (3) sumberdaya manusia kurang produktif dan tingkatpengetahuan yang rendah, (4) ketersediaan pakan tidak kontinu terutama pada musimkemarau, (5) sistem usaha peternakan belum optimal, dan (6) pemasaran hasil belumefisien. Disamping itu, pertumbuhan penduduk yang membutuhkan daging sebagai sumberprotein yang semakin tinggi.

Tabel 3. Proyeksi Kebutuhan dan Produksi Daging Sapi Nasional

TahunKonsumsi

(kg/kapita/th)Kebutuhan

Nasional (ton)Produksi

(ton)Defisit(ton)

2000 1,89 389.907 205.066 184.8412005 2,21 493.272 217.837 275.4352010 2,21 526.864 223.332 303.532

2015*) 2,21 560.456 226.883 333.573Sumber : Dirjen Peternakan, Kementerian Pertanian (2013)*): Proyeksi

Dirjen Peternakan (2013), seperti yang terlihat dalam Tabel 1, menunjukkan bahwapermintaan daging sapi terus tumbuh seiring peningkatan jumlah penduduk Indonesia. Initentunya menjadi tantangan sendiri bagi pemerintah untuk menyelesaikan pengadaan daingsapi, terutama dengan program kebijakan swasembada daging sapi. Diprediksi pada masamendatang, ketergantungan masyarakat Indonesia akan daging impor semakin tinggi. Halitu dapat dilihat pada angka proyeksi tahun 2015, dimana 333.573 ton (60%) kebutuhandaging dipenuhi melalui impor. Kondisi ini tentu sangat bertolak belakang dengan kondisigeografis Indonesia sebagai negara pertanian, dimana negara ini memiliki lahan yangcukup luas untuk dijadikan ladang penggembalaan dan juga limbah pertanian yang sangatberlimpah untuk dijadikan sumber pakan ternak. Disamping itu berbagai programkebijakan dalam upaya pengembangan agribisnis sapi potong telah dilaksanakan namunbelum memberikan hasil yang optimal.

Usaha peternakan di Indonesia dihadapkan kepada persaingan yang semakin tajam.Di dalam negeri sendiri, usaha peternakan yang berbasis lahan akan bersaing dengan usahapertanian non-peternakan dalam penggunaan sumber daya lahan dan tenaga kerja. Apabilakebijakan pemerintah lebih terfokus pada peningkatan produksi tanaman pangan, makausaha peternakan berbasis lahan diperkirakan akan semakin bergeser. Produk peternakanIndonesia juga akan bersaing dengan produk-produk sejenis asal luar negeri, terutamadaging dan susu.

Daya saing usaha peternakan sapi potong penting untuk ditingkatkan. Peningkatandaya saing peternakan sapi lokal diperlukan bukan hanya untuk dapat melakukan penetrasipasar tetapi juga untuk dapat bersaing di pasar lokal, nasional, dan internasional.

1.2. Perumusan Masalah

Tingginya kebutuhan nasional ternyata menjadi permasalahan bagi masyarakat(konsumen) dan pemerintah (regulator). Hal ini akan terus berkembang, dimanaketidakmampuan memenuhi daging secara nasional akan meningkatkan ketergantunganakan daging sapi. Setiap tahun impor daging sapi mendekati 60 persen dari totalkebutuhan. Supply yang terbatas, dugaan adanya kartel pangan (impor daging), danburuknya manajemen tata niaga memperparah pasar daging sapi dalam negeri. Kondisi iniakan merugikan peternak sebagai produsen karena mendapat isentif harga yang rendah dankonsumen juga dirugikan karena harga yang tinggi dan ketiadaan daging sapi di pasar.

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah. Berikut ini merupakan fokuspermasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yakni:1. Apakah kebijakan swasembada dan peningkatan daya saing usaha sapi potong

Indonesia telah tercapai?2. Bagaimana alternatif kebijakan swasembada dan daya saing sapi potong Indonesia?3. Bagaimana efektivitas swasembada dan non swasembada sapi potong di Indonesia

1.3.Tujuan PenulisanAdapun tujuan penelitian ini secara khusus, adalah sebagai berikut:

1. Mengevaluasi kebijakan Swasembada dan peningkatan daya saing usaha sapi potongIndonesia.

2. Rekomendasi alternatif kebijakan swasembada dan daya saing sapi potong Indonesia.3. Mengukur efektivitas swasembada dan non swasembada sapi potong di Indonesia

II. TINJAUAN TEORI

2.1. Kebijakan Agribisnis Sapi Potong NasionalParadigma pembangunan peternakan adalah terwujudnya masyarakat

yang sehat dan produktif serta kreatif melalui peternakan tangguh berbasissumberdaya lokal. Untuk mencapai paradigma tersebut dilakukan berbagai misiyaitu:(1) menyediakan pangan asal ternak, (2) memberdayakan sumberdayamanusia peternakan, (3) meningkatkan pendapatan peternakan, (4)menciptakan lapangan kerja peternakan, serta (5) melestarikan danmemanfaatkan sumberdaya alam, yang secara keseluruhannya selaras denganprogram pembangunan pertanian yaitu membangun ketahanan pangan danmengembangkan sektor agribisnis pertanian (Sudardjat 2000). Selanjutnyapengembangan dibidang peternakan dilakukan melalui strategi pengembanganpilar peternakan utama yaitu; (1) pengembangan potensi ternak dan bibitternak, (2) pengembangan pakan ternak, (3) pengembangan teknologibudidaya. Ketiga pilar utama peternakan terkait oleh sanitasi dan kesehatanternak serta peningkatan industri dan pemasaran hasil peternakan,pengembangan kelembagaan usaha dan keterampilan peternak serta kawasanpengembangan peternakan.

Menurut Diwyanto et al. (2005) peternakan di Indonesia pada dasarnyadapat dikelompokkan dalam empat kategori sebagai berikut:

1. Usaha peternakan bersifat pre industri dimana usaha bersifat subsistem,semua aktivitas dilakukan oleh peternak, hampir tidak ada peranorganisasi pemerintah maupun swasta.

2. Usaha peternakan yang mulai timbul pertimbangan industri atau bisnis.Disini peran Pemerintah dalam banyak hal cukup dominan dan hampirtidak ada industri swasta yang terlibat. Contoh usaha ini adalahpeternakan kerbau, dan ayam buras.

3. Usaha peternakan dalam tahap ekspansi, dimana peran pemerintah danswasta cukup besar. Pada tahap ini peran pemerintah dalam hal penelitiandan pengembangan cukup dominan walaupun swasta sudah tertarik untukberusaha seperti pada usaha sapi potong, domba, dan itik.

4. Usaha peternakan tahap industri yang matang, dimana peran swastasangat dominan serta telah mampu mengembangkan penelitian danpengembangan untuk mendukung usahanya.

Awal tahun 2005, Indonesia memasuki pembangunan babak baru denganmelakukan berbagai reposisi struktur pembangunan sebagai akibat dampak krisis ekonomiyang berkelanjutan. Tiga puluh tahun masa PJP I, Indonesia telah mencatat banyakkeberhasilan dan menimba banyak pengalaman untuk menjadi bekal dalam menghadapipembangunan jangka panjang yang baru. Khususnya, sektor pertanian, Indonesia pernahberhasil meletakkan dasar-dasar utama dalam menggerakkan seluruh subsektor pertanianantara lain pangan, peternakan dan hortikultura. Dengan bekal pengalaman tersebut,pembangunan akan didorong berjalan terus, memanfaatkan momentum yang ada denganmenciptakan peluang-peluang baru (Ilham dan Yusdja, 2004).

Rencana pembangunan peternakan jangka panjang akan berada dalam ruang tahun2005-2020. Dalam ruang waktu itu, telah berlangsung pasar bebas regional dan pasar bebasdunia (WTO) tahun 2020. Rencana pembangunan jangka panjang yang baru, mengantarkanbangsa Indonesia memasuki masa globalisasi dunia atau memasuki dunia baru yang sudahmengalami banyak perubahan-perubahan dari yang ada sekarang. Program pembangunanpertanian ke depan tentu tidak terlepas dari usaha mengantisipasi keadaan dan perubahan-perubahan tersebut.

Walaupun dari tahun ke tahun, peran sektor pertanian terhadap PDB secara relatifterus menurun, akan tetapi secara absolut sumbangan sektor pertanian terus meningkat,sehingga fungsi sektor pertanian sebagai penyangga kehidupan ekonomi bangsa tidak dapatdiabaikan. Dengan kondisi yang demikian salah satu subsektor pertanian yang sudah lamadipromosikan sebagai pertumbuhan baru adalah peternakan. Data memperlihatkan bahwabaik secara relatif maupun absolut, sumbangan subsektor peternakan terhadap pendapatansektor pertanian terus meningkat. Sehingga, komoditas peternakan memang layak menjadisumber pertumbuhan yang menjanjikan di masa depan. Terutama untuk industriperunggasan, sapi potong dan sapi perah. Ketiga komoditas ini mempunyai peluang besaruntuk memenuhi konsumsi domestik sekaligus mensubstitusi impor yang tahun-tahunterakhir ini terus melonjak, bahkan dapat juga diarahkan untuk ekspor.

Pembangunan perternakan di Indonesia sejak tahun 2007 telah diarahkan untukmendukung pencapaian program swasembada daging sapi (P2SDS). Namun, programtersebut masih sulit dicapai hingga tahun 2010 karena berbagai masalah masih dihadapi,antara lain; (1) kurang efektifnya local breeding program, (2) sangat tergantung padatradable input (seperti biological technology, bahan pakan, dan sebagainya), (3)terbatasnya program diversifikasi perternakan, (4) terbatasnya investasi dan pengembangansumberdaya manusia di sektor perternakan dan (5) masih lemahnya koordinasi dankonsolidasi berbagai program antar instansi terkait. Oleh karena itu, agar pengembangansektor ini dapat dilakukan secara efektif dan efisien, maka diperlukan model pembangunanpeternakan yang komprehensif dan holistik.

2.2. Konsep Daya Saing dan SwasembadaDaya saing adalah suatu konsep komparatif dari kemampuan dan pencapaian dari

suatu perusahaan, subsektor atau negara untuk memproduksi, menjual dan menyediakanbarang-barang dan jasa kepada pasar. Daya saing ini diterapkan pada pasar yang mengarahpada pasar persaingan sempurna. Konsep daya saing bisa juga diterapkan pada suatukomoditi, sektor/bidang, wilayah dan negara. Daya saing merupakan kemampuan suatuprodusen untuk memproduksi suatu komoditi dengan biaya yang cukup rendah sehinggapada harga-harga yang terjadi di pasar internasional kegiatan produksi tersebutmenguntungkan (Simanjuntak, 1992). Menurut Kadariah et al. (1978) efisiensi tidaknyaproduksi dunia. Artinya, apakah biaya produksi riil yang terdiri dari pemakaian sumber-sumber domestik cukup rendah sehingga harga jualnya dalam rupiah tidak melebihi tingkatharga batas yang relevan (Border price).

Pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur daya saing suatu komoditiadalah tingkat keuntungan yang dihasilkan dan efisiensi dalam pengusahaan komodititersebut. Keuntungan dapat dilihat dari dua sisi yaitu keuntungan privat dan keuntungansosial. Sementara itu, efisiensi pengusahaan komoditi dapat dilihat dari dua indikator yaitukeunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Konsep daya saing yang menggunakanpendekatan keunggulan komparatif dan kompetitif digunakan untuk memberikan masukandalam perencanaan dan pengembangan usaha ternak. Sapi perah dengan produk sususebagai komoditi komersial, dimana keunggulan untuk menganalisis efisiensi dari sisiekonomi sedangkan keunggulan kompetitif untuk menganalisis efisiensi dari sisi finansial.

Konsep keunggulan komparatif seringkali digunakan untuk menerangkanspesialisasi suatu negara dalam memproduksi suatu barang dan jasa. Selain itu konsep inijuga digunakan untuk wilayah yang lebih kecil seperti kabupaten atau propinsi. Konsep inipertama kali diterapkan oleh David Ricardo yang dikenal dengan nama hukum keunggulankomparatif (the law of comparative advantage) atau disebut juga model Ricardian. Dalammodel ini disebutkan bahwa sekalipun suatu negara mengalami kerugian atauketidakunggulan absolut dalam memproduksi suatu komoditi, jika dibandingkan dengannegara lain, namun perdagangan yang saling menguntungkan masih dapat berlangsung.Negara yang kurang efisien akan berspesialisasi dalam produksi dan mengekspor komoditiyang mempunyai keunggulan komparatif, sebaiknya negara tersebut akan mengimporkomoditi yang mempunyai kerugian absolut lebih besar. Dari komoditi inilah negaratersebut akan mengalami kerugian komparatif (Salvator, 1994).

Daya saing menunjukkan kemampuan Negara dan wilayah dalam menghasilkankomoditas yang dapat diperjualbelikan, serta kemampuan komoditas tersebut untukbersaing. Sehingga dengan demikian daya saing memiliki hubungan dengan swasembadasuatu komoditas yang dihasilkan suatu Negara atau wilayah (Fang and Beghin, 2000;Wanti, 2012). Swasembada pangan dapat diartikan bahwa kemampuan suatu Negaramemenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri. Sama halnya dengan swasembada dagingmemiliki pengertian yaitu pemenuhan 90% kebutuhan daging dalam negeri yang berasaldari ternak local/produksi peternak local dan 10% import dari negara lain. Program inimerupakan program lanjutan dari program swasembada sebelumnnya yaitu pada tahun2005 dan 2010 yang belum tercapai. Berdasarkan evaluasi dari tahun-tahun sebelumnnya,pemerintah optimis 2014 swasembada daging dapat terwujud melalui pembuatan roadmapswasembada daging dan pedoman pelaksanaan swasembada daging yang dituangkan dalamlampiran Permentan No.19.

Semakin mendekati tahun 2014, program ini kian banyak menuai kekhawatiran dandilematis dari berbagai pihak, baik dikalangan pemerintah pusat, daerah, pedagang,importir, peternak hingga masyarakat sebagai konsumen daging. Pasalnnya sudah hampir

mendekati tahun yang ditargetkan pemerintah untuk dapat swasembada daging,permasalahan harga daging sapi dan ketersediaannya malah makin runyam dilapangan danmeresahkan berbagai pihak.

III. PEMBAHASAN3.1. Kebijakan Pemerintah dalam Agribisnis Sapi Potong

Kebijakan pemerintah dalam suatu aktivitas ekonomi dapat memberikan dampakpositif maupun negatif terhadap pelaku ekonomi dalam sistem tersebut. Dampak kebijakanjuga dapat menurunkan atau meningkatkan produksi maupun produktivitas dari suatuaktivitas ekonomi. Dampak kebijakan pemerintah tersebut dapat dihitung denganmenggunakan matriks analisis kebijakan yang akan menghasilkan beberapa indikatordampak kebijakan.

Tujuan dari kebijakan pemerintah dalam perdagangan biasanya adalah untukmelindungi produsen dalam negeri. Apabila harga produk impor komoditi serupa lebihrendah dari produksi dalam negeri, maka akan melemahkan daya saing dari produksidomestik karena konsumen akan cenderung membeli produk dengan harga yang lebihmurah. Akibatnya, permintaan terhadap produk domestik akan menurun dan berimplikasiterhadap penurunan produksi dalam negeri dan pendapatan produsen lokal. Beberapakebijakan pemerintah yang mempengaruhi perkembangan usaha sapi potong di Indonesiaadalah sebagai berikut:1. SK Menteri Pertanian No.750/Kpts/Um/10/1982 tentang syarat-syarat pemasukan bibit

ternak dari luar negeri yang bertujuan untuk meningkatkan produksi, populasi dan mututernak serta meningkatkan pendapatan peternak. Kebijakan ini sebagai upayapemerintah untuk mendorong pengembangan peternakan di Indonesia agar dapatmeningkatkan produksi, populasi dan mutu ternak sehingga dapat meningkatkanpendapatan peternak.

2. Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 135/KMK.05/1997, mengenai pembebasanatau keringanan bea masuk atas impor bibit dan benih untuk pembangunan danpengembangan industri pertanian, peternakan atau perikanan. Kebijakan ini sebagaiupaya pemerintah untuk mendorong usaha di tingkat budidaya agar memperoleh mutubibit dengan harga yang wajar. Pada tingkat usaha pembibitan merupakan suatutantangan agar memperbaiki mutu dan efisiensi produksi agar harga dapat bersaing.

3. Undang-undang No. 5 Tahun 1999, mengenai larangan praktik monopoli danpersaingan usaha tidak sehat. Kebijakan ini merupakan upaya pemerintah untukmelindungi peternakan rakyat yang lebih rentan dengan fluktuasi harga.

4. Permentan No. 20/Permentan/OT.140/4/2009 tentang Pemasukan dan PengawasanPeredaran Karkas, Daging, dan/atau Jeroan Dari Luar Negeri, tanggal 8 April 2009.Peraturan ini mencakup tujuh ruang lingkup pengaturan yang meliputi: (1) jenis karkas,daging dan/atau jeroan yang dapat dimasukkan ke dalam wilayah negara RepublikIndonesia, (2) persyaratan pemasukan yang mengatur tentang pelaku pemasukan, (3)kriteria negara dan/atau zona asal, (4) persyaratan unit usaha di negara asal danpersyaratan kemasan/label dan pengangkutan, (5) tatacara pemasukan, (6) tindakankarantina hewan, serta (7) pengaturan tentang pengawasan peredarannya dan sanksibagi pelanggaran peraturan.

5. Undang-Undang No. 18/2009 tentang PKH menyatakan bahwa pengeluaran benih,bibit dan atau bakalan dari wilayah negara kesatuan Republik Indonesia dapatdilakukan apabila kebutuhan dalam negeri telah dapat dicukupi dan kelestarian ternaklokal dapat terjamin. Dalam operasionalisasinya sesungguhnya hal ini telah diatur

dengan Permentan No. 07/Permentan/OT.140/1/2008 tentang Syarat dan TatacaraPemasukan dan Pengeluaran Benih, Bibit Ternak dan Ternak Potong, tanggal 30Januari 2008. Peraturan ini mengatur tentang: (1) syarat dan tatacara pemasukan sertapengeluaran benih, bibit ternak dan sapi potong, (2) mengenai pengemasan danpengangkutan, (3) pengawasan dan ketentuan sanksi bagi pelanggaran yang terjadi.

6. Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS-2014) merupakan salah satuprogram prioritas Pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan asal ternakberbasis sumberdaya lokal.

Kebijakan tersebut akan memberikan implikasi pada pengembangan agribisnis sapipotong di Indonesia. Kebijakan domestik (pemerintah daerah) juga sangat berperan dalampengusahaan sapi potong. Namun demikian pemerintah daerah kurang memiliki strategiyang jelas dalam pengembangan agribisnis sapi potong. Berbagai upaya dan kebijakandilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan swasembada daging sapi, namun bilamencermati kajian yang dilakukan oleh Yusdja dan Ilham (2004) menyebutkan bahwa lajupertumbuhan sapi potong di Indonesia sangat lambat bila dibandingkan permintaannyayang hanya 1.44% tahun. Walaupun menurut BPS (2012) jumlah sapi yang dimiliki olehIndonesia (hasil sensus peternakan) lebih dari 16 juta ekor. Namun tidak seluruhnya dapatlangsung di potong, karena sebagian besar merupakan sapi anakan dan betina produktif(Gambar 1).

Gambar 1.Populasi Sapi

Potong diIndonesia,

2008-2012

Meningkatnya populasi sapi potong tersebut bukan jaminan Indonesia dapatmewujudkan swasembada sapi potong pada tahun 2014. Kebijakan yang ada ternyatabelum mampu membawa Indonesia untuk berswasembada, kasus pada tahun 2012-2013dimana terjadi kelangkaan daging sapi dengan diikuti harga daging sapi yang tidak turunmerupakan indikasi bahwa supply daging sapi lebih kecil dari permintaannya, tataniagasapi tidak efisien (menguntungkan midleman/pedagang).

184.841275.435 303.532 333.573

2000 2005 2010 2015*)

Defisit Konsumsi SapiPotong (ton)

Gambar 2. Pergerakan Harga Daging Sapi, 1999-2013(Sumber: BPS, 2012)

Berdasarkan informasi pada Gambar 2, bahwa sejak tahun 1999-2013 harga dagingsapi terus mengalami kenaikan. Kenaikan ini tentunya akan merugikan konsumen, karenatidak mampu untuk mendapatkan daging sapi murah. Disamping itu, kenaikan harga jugatidak berdampak kepada para peternak, harga sapi potong hidup ditingkat peternak baiksesudah dan sebelum terjadi kenaikan harga relatif tidak berubah. Kondisi ini tentunyasangat bertolak belakang dengan teori yang ada, bahwa kenaikan harga akan menajdiinsentif bagi produsen dalam hal ini peternak. Peternak tidak mendapatkan isentif didugakarena, tataniaga yang dikuasai oleh para pedagang yang memiliki tujuan utama sebagai’rent seeker’ (Ilham dan Rusastra, 2010). Sehingga dengan demikian kebijakan pemerintahmenjadi tidak efektif dan daya saing sapi potong sulit untuk dicapai.

Tidak berjalannya kebijakan yang ada dapat dilihat dari semakin meningkatnya difisitkonsumsi sapi potong. BPS (2012) dan Kementan (2012) memperkirakan pada tahun 2015jumlah sapi potong yang harus dipenuhi adalah sebanyak 333.573 ton daging sapi (Gambar4). Kondisi ini memberikan indikasi bahwa swasembada daging sapi tidak berhasil padatahun 2014.

*): ProyeksiGambar 4. Defisit

Konsumsi Sapi Potong (ton),2000-2015

(Sumber: BPS, 2012)

3.2. Efektivitas Kebijakan Swasembada dan Non Swasembada Sapi Potong

- 10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 70,000 80,000 90,000

199920002001200220032004200520062007200820092010201120122013

Rp/K

g

Berdasarkan sumber daya yang tersedia, Indonesia memiliki keunggulankomparatif memproduksi daging sapi. Sapi lokal seperti sapi Bali, sapi Madura, sapi Aceh,sapi SO/PO, dan sapi Hisar (turunan Bos sondaicus dan Bos indicus) berpotensimendukung keunggulan komparatif.

Selain sumber daya ternak, Indonesia juga memiliki potensi pakan yang cukupbesar, seperti padang penggembalaan, lahan perkebunan, kebun rumput unggul, sertalimbah pertanian dan pengolahan hasil pertanian. Indonesia juga memiliki wilayah dengantopografi datar hingga tinggi yang sesuai untuk sapi dari daerah subtropis ataupersilangannya. Bukti keunggulan komparatif di masa lalu antara lain adalah Indonesiamerupakan negara pengekspor.

Beberapa hasil penelitian mengenai daya saing sapi potong di beberapa daerahmenunjukkan bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk memproduksidaging sapi di Indonesia. Penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan PolicyAnalysis Matrix (PAM), dimana dari hasil dapat dilihat bagaimana daya saing dan dampakkebijakan pemerintah. Pada Tabel 3, ditunjukkan beberapa hasil penelitian mengenai dayasaing sapi potong.

Berdasarkan Tabel 3, berbagai penelitian yang dilakukan pada tahun 1995-2013menunjukkan bahwa nilai indikator daya saing (DRC) kurang dari satu. Hal inimenunjukkan bahwa secara alamiah dengan dukungan sumberdaya alam yang tersedia,Indonesia memiliki keunggulan komparatif atau daya saing dalam menghasilkan sapipotong. Jika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tepat dan diimplementasikandengan baik, tentunya swasembada sapi potong dapat terwujud. Namun demikian, menjadicatatan bahwa sejak tahun 1999 sampai dengan 2013, ternyata terlihat indikasi penurunandaya saing pengusahaan sapi potong, dimana penelitian yang dilakukan oleh Indriyani(2011) dan Achmad (2013) menunjukan nilai DRC mendekati satu yang berarti terjadipenurunan daya saing sapi potongnya.

Tabel 3. Hasil Penelitian Daya Saing Sapi Potong di Beberapa Daerah

Peneliti danTahun Lokasi

Daya Saing(DRC)

IndikatorKebijakanPemerintah

Adyana et al(1995) dalamIlham danRusastra (2009).

Lampung 0,55NPCO = 1,59NPCI = 0,87EPC = 4,26

Lombok (NTB) 0,94NPCO = 1,24NPCI = 1,22EPC = 1,24

Sumbawa (NTB) 0,81NPCO = 1,23NPCI = 1,00EPC = 1,24

Indrayani (2011) Agam (Sumbar) 0,96NPCO = 1,15NPCI = 1,06EPC = 1,37

Achmad (2013)

Barru (Sulsel) 0,72NPCO = 1,16NPCI = 1,02EPC = 1,32

Bulukumba(Sulsel)

0.88NPCO = 1,25NPCI = 1,04EPC = 1,35

Catatan:DRC < 1 : memiliki keunggulan komparatif/memiliki keunggulan daya saing.NPCO > 1: Harga output domestik lebih tinggi dari harga efisiensinya (harga internasional)NPCI >1 : Harga Input tradablenya di pasar domestic lebih besar dari harga internasionalEPC > 1 : Harga domestik > harga internasional, pemerintah melindungi produsen dalamnegeri.

Penurunan daya saing ini juga dapat dilihat jumlah sapi impor yang terus meningkatjumlahnya (lihat Gambar 2). Namun, fenomena di atas menunjukkan bahwa keberadaanproduk impor bukan lagi melengkapi segmen yang ada, tetapi sudah mendesak eksistensiproduk domestik. Ini mengindikasikan keunggulan kompetitif Indonesia dalammemproduksi daging makin menurun. Permintaan daging sapi domestik yang makin tinggi,sementara produksi belum mampu memenuhi kebutuhan, menyebabkan sekitar 30%daging sapi harus diimpor. Impor daging sapi terus meningkat, dari awalnya hanya untukmemenuhi permintaan hotel dan restoran berbintang, kemudian masuk ke pasar tradisionaldi Jabodetabek. Bahkan kini daging sapi impor sudah masuk pasar tradisional di JawaBarat, Jawa Tengah, Lampung, Bengkulu, Sumatera Utara, dan Aceh. Dampak produkternak dan daging sapi impor sudah terasa hingga ke sentra produksi utama di NTT, NTB,dan Sulawesi.

Dalam mengevaluasi program dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah sejaktahun 1995 sampai dengan 2013, apakah berjalan efektif dan memberikan dampak kepadapetani dan pengusahaan sapi potongnya dapat dilihat dari indikator kebijakan dalam bidanginput, outputnya. Indikator ini dilihat dari NPCO (nominal protection coefiicient ontradable Output), NPCI (nominal protection coefiicient on tradable input), dan EPC(Effective Protection Coefficient). Evaluasi kebijakan output yakni dilihat dari indikatornilai NPCO, jika nilainya dari satu maka pemerintah telah berupaya melindungi produsen,karena meningkatkan harga jual sapi diatas harga internasionalnya. Dari tahun 1995-2013,nilai NPCO lebih besar dari satu, secara umum pemerintah telah melindungi peternak.Namun nilai NPCO dari tahun 1995 sampai 2013, mengalami penurunan bahkan tidakberubah, ini mengindikasikan bahwa kebijakan pemerintah dalam jangka panjangmemberikan dis-isentif bagi peternak, karena kebijakan pemerintah terkesan bias kekonsumen (melindungi konsumen). Disamping harga yang diterima peternak pada saat inijuga saat rendah, rata-rata harga sapi hidup per kilogram pada tahun 2013 yakni sebesar25.000-30.000/kg sedangkan harga jual daging bisa mencapai Rp. 85.000-90.000/kg.

Sedangkan kebijakan pemerintah dari sisi input dapat dilihat dari indikator NPCI,yakni jika nilainya lebih besar dari satu maka pihak yang menggunakan input tersebut akanmengeluarkan biaya lebih besar (adanya pajak atau tidak ada subsidi). Pada hasil kajiansejak tahun 1995-2013, menunjukkan nilai NPCI lebih besar dari satu walaupu nilainyamendekati satu, namun peternak mengeluarkan biaya lebih besar dari seharusnya yangdibayarkan oleh peternak itu sendiri.

Efektivitas kebijakan secara umum bisa dilihat dari nilai EPC, nilai EPC yang lebihbesar dari satu menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah relatif efektive, namun nilai EPCtahun 1995 sebesar 1,23-4,26 ternyata tidak mengalami peningkatan bahkan mengalamipenurunan yang drastis, yakni tahun 2011 dan 2013 rata-rata sebesar 1,35. Kondisi inimenunjukkan bahwa selama 17 tahun kebijakan pemerintah dalam upaya pengembangansapi potong tidak mengalami kemajuan, namun cenderung menurun.

Kecenderungan peternak sebagai penerima harga (price taker) menyebabkanpeternak tidak berdaya, apalagi saat sekarang peternak sangat tergantung danmenghandalkan konsentrat sebagai pakan utama bagi sapi potong. Struktur pasar pakanternak yang mengarah ke oligoppoli juga menyebabkan peternak menerima atau membayar

harga pakan dari yang seharusnya. Pemerintah berhak untuk mengintervensi pasar ini, jikaterbukti pelaku didalamnya melakukan kecurangan dalam ”persekongkolan harga”.Dampak kebijakan pemerintah dibidang input, yang nyatanya tidak lebih baik dalammendukung peningkatan daya saing tentunya menjadi catatan tersendiri, bahwa sistemagribisnis sapi potong berjalan sendiri-sendiri tanpa ada ikatan dan dukungan dalam satusistem yang baik.

Gambar 3.NilaiTukar

Petani diBerbagai Subsektor Pertanian, 2008-2012

(Sumber: BPS, 2012)

Kondisi ini tentunya akan mempengaruhi keberlangsungan pengusahaan sapipotong di tingkat peternak. Peternak tidak akan mendapat insentif dari usahaternak yangdijalankan, sehingga peternak akan mengkonversi ke usaha yang lain. Kondisi ini dalamjangka panjang tentunya akan mempengaruhi daya saing dan swasebada sapi potong diIndonesia. Dis-isentif peternak yang rendah dapat kita lihat dari semakin rendahnya tingkatkesejahteraan peternak bila dibandingkan pelaku usaha di subsektor lain. Data BPS (2012)menunjukkan bahwa nilai tukar petani (NTP) yang merupakan ‘indikator’ yangmenunjukkan tingkat ‘kesejahteraan’ peternak sejak tahun 2008-2012 mengalamipenurunan (Gambar 3).

3.3. Alternatif Strategi Peningkatan Daya Saing dan Mendukung Swasembada SapiPotong

Pengusahaan sapi potong rakyat yang dikelola dengan sangat sederhana, harusmendapat perhatian pemerintah agar keunggulan/daya saing yang telah dimiliki dapatditingkatkan dan swasembada dapat dicapai. Secara umum kepemilikan sapi potongditingkat peternak yang hanya rata-rata 1-3 ekor merupakan jumlah sedikit, denganpenanganan yang sangat tradisional tentunya akan menghasilkan kualitas yang kurangbaik. Kebijakan pemerintah dengan melibatkan BUMN/BUMD dan swasta dan kelompokpeternak dalam pengembangan skala harus terus dilakukan, hal ini dapat mengoptimalkankebijakan untuk meningkatkan pengadaan bibit sapi potong (persilangan antar sapi lokaldan impor). Penguatan usahaternak ini dengan penyediaan pakan hijauan juga menjadikeharusan, dikarenakan untuk meningkatkan bobot sapi yang siap jual dengan waktu yangtepat diperlukan asupan pakan hijauan yang tepat jumlah dan waktu.

Simatupang dan Hadi (2004) menyatakan, perdagangan global produk peternakanmasih terdistorsi beberapa kebijakan yang dilakukan banyak negara, terutama negara maju,

sehingga menjadi ancaman bagi produk peternakan Indonesia yang harus mendapatperlindungan pemerintah. Karena itu, kebijakan pengembangan agribisnis peternakan yangdipandang tepat untuk meningkatkan produksi dan daya saing adalah proteksi dan promosi.Akselerasi peningkatan produksi dapat dilakukan melalui pengembangan usaha sapipotong skala menengah dengan dukungan industrialisasi pakan, peningkatan akses modal,dan aplikasi teknologi bibit (intensifikasi kawin alam, inseminasi buatan, tranfer embrio,dan beranak kembar) untuk meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas. Diperlukanpula pengendalian impor yang terintegrasi dengan program peningkatan produksi domestik(Ilham et al. 2009). Upaya tersebut tentunya dilakukan tanpa meniadakan usaha skala kecilsesuai dengan kapasitasnya.

Agar pengembangan sistem usaha agribisnis tersebut dapat mengakomodasi tujuanuntuk meningkatkan daya saing dan mendukung program swasembada sapi potong, sertasekaligus melibatkan peternak skala menengah ke bawah, ada tiga alternatif kegiatan yangdapat dilakukan, yaitu: (1) integrasi vertikal yang dikelola secara profesional oleh suatuperusahaan swasta, (2) integrasi vertikal yang dilakukan peternak secarabersama-sama yang tergabung dalam wadah koperasi atau organisasi lainnya, dan (3)kombinasi keduanya atau dikenal dengan sistem usaha kemitraan.

Strategi lain untuk mendukung pengembangan usaha sapi potong adalah denganmenjalin kemitraan usaha antara pemerintah, perusahaan dan peternak atau kelompokternak setempat. Kemitraan adalah suatu kerja sama antar pelaku agribisnis mulai dariproses praproduksi, produksi hingga pemasaran yang dilandasi oleh azas dimana pelakusaling membutuhkan dan saling menguntungkan (Saptana et al, 2006). Konsep ini harusmerupakan usaha peternakan yang menyeluruh, mulai dari subsistem produksi, produksi,pengolahan sampai dengan pemasaran (Suryana, 2009). Bentuk atau model kemitraanyang dapat diterapkan dalam usaha pengembangan peternakan sapi potong di SulawesiSelatan adalah model Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA). Dalam model ini,kelompok mitra menyediakan lahan, sarana dan tenaga kerja, sedangkan perusahaan mitramenyediakan biaya atau modal dan/atau sarana untuk mengusahakan ataumembudidayakan suatu komoditi pertanian. Perusahaan mitra dapat berbentuk sebagaiperusahaan inti atau perusahaan pembina yang melaksanakan pembukaan lahan,menyediakan lahan atau menyediakan bibit, mempunyai usaha budidaya atau pembibitandan memiliki unit pengolahan yang dikelola sendiri. Perusahaan inti juga melaksanakanpembinaan berupa penanganan dalam bidang teknologi, sarana produksi, permodalan ataukredit, pengolahan hasil, menampung produksi dan memasarkan hasil kelompok mitra.

Untuk mewujudkan swasembada sapi potong maka pemerintah memegang perananpenting dalam menentukan strategi yang diperlukan untuk mencapai tujuan dalamkerjasama kemitraan yang dimaksud. Salah satu strategi yang perlu dikembangkan adalahmembina kerjasama investasi dan pembiayaan yang saling menguntungkan. Pemerintahdapat meningkatkan SDM peternak dengan memberikan pelatihan maupun menyediakansarana dan prasarana yang dibutuhkan. Pengadaan HMT, air, inseminasi buatan (IB),transfer embrio dan pengendalian penyakit maupun kompensasi lainnya. Pemerintah dapatmencari investor yang dapat mendukung peternak dalam permasalahan modal maupunbiaya, serta melakukan kerjasama dengan negara tetangga untuk meningkatkan ekspordaging sapi. Penguatan sektor hilir, dengan mendirikan rumah potong hewan (RPH) yanglayak dan sesuai standar perlu dilakukan untuk mendapatkan kepastian kontinuitas dankualitas sapi yang layak dikonsumsi. Disamping itu program kemitraan peternak/kelompokternak dengan swasta dalam hal pengolahan daging sapi juga perlu dilakukan, untukmeningkatkan dan memperoleh nilai tambah. Hal ini dapat difasilitasi oleh pemerintahdaerah. Tanpa kemitraan dengan pihak swasta akan sulit bagi peternak untuk melakukan

pengolahan sapi potongnya menjadi produk turunan yang dapat diproduksi dan dipasarkan.Selain itu, tanpa kemitraan sulit bagi peternak untuk dapat meningkatkan skalakepemilikan sapi. Skala kepemilikan sapi sangat erat kaitannya terhadap daya saing dankesejahteraan peternak. Kemitraan ini tentunya harus diperkuat dengan adanyakelembagaan ditingkat peternak. Kelembagaan di tingkat peternak menjadi prasyaratdalam melaksanakan program kemitraan. Hasil penelitian Saptana (1998) di peternakanayam ras petelur menunjukkan bahwa pola kemitraan yang terus mengalami kemerosotanbaik secara kuantitas maupun secara kualitas menyebabkan daya saing ayam ras peteluryang mengalami penurunan. Sedangkan pada penelitian Rante (2012) di Papuamenunjukkan peningkatan sapi potong sebesar 7,37 persen pada tahun 2001 karenaterjalinnya sistem kemitraan yang lebih baik antara pemerintah dengan peternak sapi.

Saptana et al. (2006) menyatakan bahwa implementasi kelembagaan kemitraan usahaagribisnis terpadu dapat diimplementasikan dengan cara: petani melakukan konsolidasidalam wadah kelompok tani, kelompok tani yang sudah mandiri segera ditransformasikandalam kelembagaan formal berbadan hukum (misal, koperasi atau kelembagaan lainnya),kelompok tani mandiri atau yang sudah berbadan hukum mengkonsolidasikan diri dalambentuk gapoktan atau asosiasi petani/peternak. Setelah itu, kelembagaan-kelembagaan yangtelah terbentuk melakukan konsolidasi manajemen usaha pada hamparan lahan yangmemenuhi skala usaha, tergantung pada jenis komoditas (25-100 hektar), pemilihankomoditas atau kelompok komoditas disesuaikan dengan potensi wilayah dan permintaanpasarnya. Penerapan manajemen korporasi juga diperlukan dalam menjalankan sistemusaha peternakan, dan pemilihan perusahaan mitra yang didasarkan atas rekomendasi dariDinas dan atau Direktorat Teknis yang didasarkan atas komitmennya membangunmasyarakat agribisnis mandiri serta diadakannya kelembagaan pusat pelayanan dankonsultasi agribisnis (PPA) sebagai mediator dan fasilitator terbentuknya kelembagaankemitraan usaha agribisnis terpadu. Strategi ini dilakukan dengan peningkatan kerjasamadengan lembaga keuangan dalam hal finansial agar pengembangan usaha peternakan diSulawesi Selatan dapat berjalan dengan lancar, serta mengingat perlu adanya sarana danprasarana yang memadai dalam pengembangan usaha, serta menambah modal usahapeternakan sapi potong.

IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKANBerdasarkan hasil dan pembahasan, berikut ini merupakan kesimpulan dan implikasiefektivitas kebijakan swasembada dan non swasembada sapi potong di Indonesia :1. Strategi dan kebijakan pengembangan dan pembangunan sapi potong yang dilakukan

selama ini sulit untuk memajukan komoditas sapi potong. Jika tidak ada perubahanstrategi yang fundamental dengan perubahan orientasi dan dukungan ke depan, industrisapi potong akan semakin terpuruk.

2. Daya saing sapi potong terus menurun, serta swasembada tahun 2014 dinilai tidakberhasil, dikarenakan jumlah impor sapi yang cukup besar sampai 40 persen dari totalkebutuhan nasional. Serta kebijakan pemerintah yang tidak efektif, terbukti selama 17tahun tidak ada upaya peningkatan daya saing dan meningkatkan kesejahteraanpeternak, sehingga insentif pertenak tidak ada.

3. Perlu akselerasi peningkatan produksi dapat dilakukan melalui pengembangan usahasapi potong skala menengah dengan dukungan industrialisasi pakan, peningkatan aksesmodal, dan aplikasi teknologi bibit (intensifikasi kawin alam, inseminasi buatan, tranferembrio, dan beranak kembar) untuk meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas.

Pengendalian impor yang terintegrasi dengan program peningkatan produksi domestik,serta koordinasi berbagai pihak dalam upaya mendukung swasembada sapi potong.

4. Efektivitas kebijakan swasembada semakin menurun sehingga kebijakan nonswasembada dapat diterapkan jika kebijakan swasembada tidak memiliki dampaklangsung terhadap peningkatan sapi potong di Indonesia

Referensi:Aziz, M. Amin. 1993. Strategi Operasional Pengembangan Agroindustri Sapi Potong.

Dalam Prosiding Agroindustri Sapi Potong. CIDES. Jakarta.Eberts, P.R. and S. Sismondo . 1978. Principles in Design and Management of Policy

Research. In D.L. Rogers and L.R. Whiting (Eds.), Rural Policy ResearchAlternatives, p.42-72. Iowa State University Press.

Fang, C., and J. C. Beghin. 2000. Food Self-suffiency, comparative advantage, andagricultural trade: A Policy Analysis Matrix For Chinese Agriculture. WorkingPaper. Centre for Agricultural and Rural Development, Iowa State University.

Ilham, Nyak,. dan Yusmichad Yusdja. 2004. Tinjauan Kebijakan PengembanganAgribisnis Sapi Potong. Analisis Kebijakan Pertanian. 2(2): 183-203

Simatupang, Pantjar. 2005. Analisis Kebijakan: Konsep Dasar Dan Prosedur Pelaksanaan.Prosiding Seminar dan Ekspose Teknologi Hasil Pengkajian BPTP Jawa Timur.

Timmer, P., W. Falcon, and S. Pearson. 1983. Food Policy Analysis. John HopkinsUniversity Press, Baltimore, USE.

Wanti, Putri Indah Nugroho. 2012. Analisis Daya Saing Industri Penggemukan SapiPotong. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor

Weimer, D.L. and A.R. Vining . 1989. Policy Analysis: Conc ept and Practice. PrenticeHall Inc. Englewoods, J.J., USA

Yusdja dan Rithmuller. 1996. Laporan Perjalanan Tinjauan Peternakan di Queensland,Australia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Yusdja, Y dan E. Pasandaran. 1994. Pokok-Pokok Pikiran Mengenai KebijakanPengembangan Agribisnis Peternakan. Prosiding Sains dan Teknologi Peternakan.Balitnak Ciawi Bogor.

Daya Saing Komoditas Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa TengahPendekatan Policy Analysis Matrix (PAM)

Doni Sahat Tua Manalu1), Suharno2), dan Netti Tinaprilla3)

ABSTRAKPenurunan produksi kentang yang sangat drastis terjadi pada tahun 2010 dikarenakan

adanya impor kentang dari negara China dan Bangladesh. Adanya impor kentang tersebutmenimbulkan persaingan dengan kentang lokal. Harga kentang impor ternyata lebih rendahjika dibandingkan dengan harga kentang lokal, hal ini sangat berpengaruh terhadappenurunan permintaan kentang lokal, kondisi tersebut menunjukkan bahwa kentang lokaltidak mampu bersaing dengan kentang impor. Ketidakmampuan kentang lokal dalambersaing perlu diketahui penyebabnya, oleh karena itu diperlukan penelitian yangmendukung khususnya di sentra produksi kentang agar dapat menggambarkan kondisi dayasaing kentang lokal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui daya saingkomoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Lokasi penelitian dilakukandi Kabupaten Banjarnegara, Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalahanalisis kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk mendeskripsikangambaran umum lokasi penelitian sedangkan metode kuantitatif yang digunakan untukmenganalisis daya saing kentang dengan Policy Analysis Matrix. Hasil analisis yangdiperoleh adalah usahatani komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengahmemiliki daya saing dengan nilai PCR sebesar 0.852 dan DRC sebesar 0.981 masing-masing lebih kecil dari satu serta menguntungkan secara finansial dan ekonomi sehinggausahatani komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara memiliki daya saing dan layakuntuk dijalankan.Kata kunci : PAM, Kentang, Daya Saing

ABSTRACTThe decline in potato production very drastic happened in 2010 due to the import of

potatoes from China and Bangladesh. The existence of the potato imports raisescompetition with local potatoes. The price of imported potatoes are lower when comparedto the price of local potatoes, it is very influential on the local potato drop in demand, theseconditions indicate that local potatoes are not able to compete with imported potatoes. Theinability of local potatoes in competing need to know the cause, therefore the necessaryresearch support, especially in potato production centers in order to illustrate thecompetitiveness of local potatoes. The aim of this study was to analyze the impact ofpolicies on the competitiveness of potatoes in Banjarnegara district, Central Java. Locationof the research conducted in Banjarnegara district, the analysis method that used in thisstudy are qualitative and quantitative analysis. Qualitative method is used to study thelocation decribe general description while quantitative method is used to analyze thecompetitiveness of the potato and the impact of government policies that analyzes thePolicy Analysis Matrix. The analysis showed on the potato farm commodity Banjarnegaradistrict, Central Java competitive with PCR values of 0.852 and 0.981 for the DRC eachsmaller than one as well as financially and economically profitable to farm potatoes inBanjarnegara commodity competitiveness and eligible to run.

Keywords : Competitiveness, Potatoes, Policy Analysis Matrix (PAM)

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara agraris dan beriklim tropis, memiliki potensi alam yangmendukung pertumbuhan berbagai macam tanaman dan salah satunya adalah hortikultura.Peranan subsektor hortikultura sangat penting bagi perekonomian Indonesia, hal ini dapatdilihat dari besarnya kontribusi hortikultura pada pendapatan nasional melalui sumbangandalam Produk Domestik Bruto (PDB).

Pada subsektor hortikultura, BPS (2012) mencatat bahwa perkembangan PDB selamakurun waktu 2008-2011, diikuti dengan kenaikan penyerapan tenaga kerja di subsektortersebut. Pada tahun 2009 tenaga kerja yang dapat diserap sebanyak 2.95 juta orang,sementara tahun 2010 penyerapan tenaga kerja naik sebesar 3.00 juta orang dan tahun 2011menjadi 3.32 juta orang. Pada tahun 2012 penyerapan tenaga kerja mengalami penurunansebesar 3.10 juta orang. Proporsi rata-rata kontribusi subsektor hortikultura dalampenyerapan tenaga kerja selama kurun waktu tahun 2009 – 2012 sebesar 8.25 persen darikeseluruhan pekerja di sektor pertanian. Melihat kontibusinya dalam PDB dan penyerapantenaga kerja yang terjadi di subsektor hortikultura membuat pentingnya subsektor ini untukditangani dengan serius.

Salah satu komoditas hortikultura yang baik dikembangkan di Indonesia adalahkomoditas sayuran khususnya tanaman kentang, tanaman kentang dapat tumbuh denganbaik di beberapa wilayah Indonesia. BPS (2012) mencatat bahwa terjadi penurunanproduksi yang sangat drastis pada tahun 2010 dikarenakan adanya impor kentang darinegara China dan Bangladesh. Adanya impor kentang tersebut menimbulkan persaingandengan kentang lokal. Harga kentang impor ternyata lebih rendah jika dibandingkandengan harga kentang lokal, hal ini sangat berpengaruh terhadap penurunan permintaankentang lokal dan kondisi tersebut perlu diketahui penyebabnya. Oleh karena itu,diperlukan penelitian yang mendukung khususnya di sentra produksi kentang terkait dayasaing agar dapat menggambarkan kondisi daya saing kentang lokal.

Provinsi Jawa Tengah adalah provinsi terbesar yang memproduksi kentang, beberapadaerah di Jawa Tengah yang memproduksi kentang yaitu Banjarnegara, Wonosobo,Batang, Brebes, Pemalang. Banjarnegara adalah daerah yang memproduksi kentang palingtinggi jika dibandingkan dengan daerah lainnya yang ada di Jawa Tengah. Berdasarkandata BPS, diketahui bahwa terjadi penurunan produksi kentang di Banjarnegara sejak tahun2009 hingga tahun 2011 diakibatkan terjadinya beberapa permasalahan yang ada. Dari sisikebijakan pemerintah, adanya issue penting sehubungan dengan adanya ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement) dan penetapan tarif impor nol persen sehingga tingkatkeuntungan finansial dan ekonomi usahatani komoditas kentang di KabupatenBanjarnegara, Jawa Tengah mengalami penurunan.

Adanya arus globalisasi atau era perdagangan bebas akan mendorong para produsenkentang dalam negeri untuk dapat meningkatkan daya saing agar mampu bersaing dengankentang dari negara lain sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani, kondisi ini jugadidukung pemerintah pusat dengan diberlakukannya penghentian sementara keran impor13 jenis produk hortikultura, salah satunya komoditas kentang mulai bulan Januari sampaiJuni 2013. Adanya Peraturan Menteri Keuangan No.241/PMK.011/2010 yang menaikkanpajak impor 5 persen atas produk bahan baku pertanian seperti, pupuk dan obat-obatanserta Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2007 mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN)sebesar 10 persen atas input-input produksi seperti peralatan, pupuk dan obat-obatan.

Kondisi di atas tidak terlepas dari sudah sejauh mana penerapan sistem agribisnisyang terdapat pada industri kentang khususnya di Kabupaten Banjarnegara. Penurunan

harga yang berakibat pada penurunan produksi kentang yang terdapat di subsistemusahatani (onfarm) serta adanya kebijakan pemerintah untuk mengatur perdagangankentang yang terdapat di subsistem penunjang (supporting system) dalam sistem agribisnis.Menurut Saragih (2010), agribisnis merupakan suatu cara pandang baru untuk melihatpertanian sebagai suatu sistem bisnis yang terdiri dari empat subsistem yang salingberkaitan satu sama lain. Salah satu upaya yang dapat dilakukan agar dapat meningkatkandaya saing adalah dengan penerapan konsep pengembangan sistem agribisnis, karenaapabila sistem agribisnis yang terdiri dari subsistem sarana produksi (hulu), subsistemusahatani (onfarm), subsistem pengolahan dan pemasaran (hilir) serta subsistem penunjang(supporting system) dikendalikan dengan tepat dan terintegrasi dengan baik maka akanmeningkatkan daya saing suatu komoditas.

Daya saing suatu komoditas dapat dilihat dari keunggulan kompetitif dan komparatifpada komoditas tersebut dan dalam penelitian ini adalah komoditas kentang diBanjarnegara, Jawa Tengah dipengaruhi oleh beberapa permasalahan yang masih terjadiyaitu (1) kebijakan pemerintah yang mempengaruhi input dan output belum berpihakkepada petani, (2) menurunnya produksi kentang yang berindikasi kepada menurunnyapendapatan petani kentang di Kabupaten Banjarnegara, (3) kurangnya infrastruktur danteknologi pertanian yang dapat membantu para petani dalam mengelola usahanya mulaisejak tanam hingga panen serta pasca panen, (4) lemahnya permodalan petani, sementarabudidaya sayuran tergolong padat modal.

Pada akhirnya setiap permasalahan yang ada pada sektor agribisnis kentang akanmempengaruhi daya saing komoditas kentang. Salah satu cara untuk mengetahui kebijakanyang tepat dalam usahatani kentang yang telah diuraikan di atas adalah denganmenggunakan alat analisis yang tepat yaitu Policy Analisis Matrix (PAM).

Berdasarkan uraian di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahuidaya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing komoditas kentang diKabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk :1. Menganalisis tingkat keuntungan finansial dan ekonomi usahatani pada agribisnis

Kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.2. Menganalisis daya saing usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah

melalui keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif.3. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing agribisnis kentang

di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

METODE PENELITIANLokasi dan Waktu

Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Kabupaten Banjarnegera. Pemilihan lokasipenelitian dilakukan secara purposive karena wilayah tersebut merupakan salah satu daerahsentra produksi kentang di Jawa Tengah, selanjutnya dipilih Kecamatan Batur karenamemiliki luas lahan usahatani kentang terbesar di Kabupaten Banjarnegara. Pengumpulandata dilakukan pada bulan September-November 2013.

Jenis dan Sumber DataJenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data

sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui metode wawancara langsung, danobservasi lapang. Penentuan responden (petani contoh) untuk data primer dipilih secarapurposive. Kemudian untuk desa yang dipilih terdiri dari dua desa yaitu desa Batur dan

desa Bakal karena memiliki luas panen dan produksi terbesar di kecamatan Batur. Jumlahresponden dalam penelitian ini adalah sebanyak 40 petani dengan komposisi masing-masing 20 petani di setiap desa. Penentuan responden terhadap lembaga pemasaran,pedagang input pertanian, stake holder, pakar ahli di bidang kentang terkait penelitianditentukan secara purposive dengan pertimbangan karena pihak tersebut dianggap palingmengetahui mengenai informasi yang diharapkan. Pelabuhan impor yang dijadikan acuandalam penentuan harga perbatasan adalah pelabuhan Tanjung Priok, DKI Jakarta karenapenerimaan kentang impor yang dikirim ke Banjarnegara berasal dari pelabuhan tersebut.Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik RI, Kementerian Pertanian, DinasPertanian Banjarnegara, serta studi literatur.

Metode Analisis DataMetode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif

dan metode kuantitatif. Metode kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan gambaranumum lokasi penelitian, sedangkan metode kuantitatif yang digunakan untuk menganalisisdaya saing kentang dan dampak kebijakan pemerintah yaitu analisis Policy AnalysisMatrix.1. Policy Analysis Matrix

Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis data penelitian terdiri atas beberapatahap. Tahap pertama adalah penentuan input dan output usahatani kentang. Tahap keduaadalah pengidentifikasian input ke dalam komponen input tradable yaitu input yangdiperdagangkan di pasar internasional baik diekspor maupun diimpor dan identifikasi inputnon tradable yaitu input yang dihasilkan di pasar domestik dan tidak diperdagangkansecara internasional. Ketiga, penentuan harga privat dan harga bayangan input dan output.Kemudian tabulasi dan analisis indikator-indikator yang dihasilkan tabel PAM. Data yangdiperoleh diolah menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Secara lengkap matrixanalisis kebijakan Policy Analysis Matrix (PAM) dapat dilihat pada Tabel 1.Tabel 1 Matrix Analisis Kebijakan Policy Analysis Matrix (PAM)

Uraian Penerimaan OutputBiaya Input

KeuntunganTradable Non Tradable

Harga Privat A B C D

Harga Sosial E F G H

Dampak Kebijakan I J K L

Sumber: Monke and Pearson (1989)Keterangan:A : Penerimaan Privat G : Biaya Input non tradable SosialB : Biaya input Tradable Privat H : Keuntungan SosialC : Biaya input non tradable Privat I : Transfer OutputD : Keuntungan Privat J : Transfer input TradableE : Penerimaan Sosial K : Transfer FaktorF : Biaya input tradable Sosial L : Laba BersihAdapun indikator daya saing dari PAM yaitu:Analisis Daya SaingKeunggulan Kompetitif:1. Keuntungan Privat (KP)

2. PCR (Rasio Biaya Privat)Keunggulan Komparatif:1. Keuntungan Sosial (KS)2. DRC (Rasio Biaya Sumberdaya Domestik)Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah1. Kebijakan Output

a) Transfer Output (TO)b) Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO)

2. Kebijakan Inputa) Transfer Input (TI)b) Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI)c) Transfer Faktor (TF)

3. Kebijakan Input-Outputa) Koefisien Proteksi Efektif (EPC)b) Transfer Bersih (TB)c) Koefisien Keuntungan (PC)d) Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP)

Harga Bayangan (Social Opportunity Cost)Harga bayangan adalah harga yang akan menghasilkan alokasi sumberdaya terbaik

sehingga akan memberikan pendapatan nasional tertinggi (Pearson et al., 2005). Kondisibiaya imbangan sama dengan harga pasar akan sangat sulit ditemukan, maka untukmemperoleh nilai yang mendekati biaya imbangan atau harga sosial perlu dilakukanpenyesuaian terhadap harga pasar yang berlaku (Gittinger, 1986). Alasan penggunaanharga bayangan adalah:1. Harga bayangan tidak mencerminkan korbanan yang dikeluarkan jika sumberdaya

tersebut dipakai untuk kegiatan lainnya.2. Harga yang berlaku di pasar tidak menunjukkan apa yang sebenarnya diperoleh

masyarakat melalui suatu produksi dari aktivitas tersebut.Penentuan harga dasar yang terjadi belum tentu dapat dipakai langsung dalam

analisis ekonomi karena tidak mencerminkan biaya imbangan sosial (opportunity cost).Suatu komoditas akan mempunyai biaya imbangan sama dengan biaya pasar jika beradapada pasar persaingan sempurna. Oleh karena itu, untuk memperoleh suatu nilai yangmendekati nilai biaya imbangan sosial diperlukan penyesuaian. Penyesuaian menggunakanacuan seperti yang dilakukan Gittinger (1986). Penelitian terhadap pengusahaan komoditasmenggunakan CIF (Cost Insurance and Freight) jika output dan input merupakan barangimpor sedangkan penggunaaan FOB (Free on Board) jika output dan input merupakanbarang ekspor.

HASIL DAN PEMBAHASANAnalisis Daya Saing Usahatani Kentang

Usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah menguntungkan secarafinasial maupun secara ekonomi (sosial) karena Keuntungan Privat (KP) dan KeuntunganSosial (KS)-nya bernilai positif. Oleh karena itu, Usahatani kentang di KabupatenBanjarnegara Jawa Tengah layak untuk dijalankan baik secara finansial maupun ekonomi(Tabel 2). Keuntungan privat yang diperoleh lebih besar dibandingkan keuntungan sosial.Dari penerimaan finansial (private) dan ekonomi (sosial) Usahatani kentang di KabupatenBanjarnegara Jawa Tengah diperoleh nilai divergensi (dampak kebijakan) yang bernilaipositif. Hal ini disebabkan oleh harga privat kentang yang lebih tinggi dari harga sosialnya.

Tabel 2 Policy Analysis Matrix (PAM) Usahatani Kentang di Kabupaten Banjarnegara,Jawa Tengah (Rp/Ha)

Uraian Penerimaan

Biaya

KeuntunganInput Tradable

FaktorDomestik

Privat 33 930 658.84 1 669 649.89 27 476 981.22 4 784 027.72

Sosial 28 902 843.02 982 751.16 27 387 680.26 532 411.59

DampakKebijakan 5 027 815.81 686 898.72 89 300.96 4 251 616.13

Nilai DRC usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah yangdihasilkan oleh analisis PAM adalah

Selanjutnya, hasil dari tabel PAM yang telah diperoleh menunjukkan hasil Analisiskeunggulan komparatif dapat diukur dengan indikator Rasio Biaya Sumberdaya Domestik(DRC) dan Keuntungan Sosial (KS). Nilai dari indikator keunggulan kompetitif dankomparatif usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara (Tabel 3).Tabel 3 Nilai Keunggulan Kompetitif dan Komparatif Usahatani Kentang di Kabupaten

Banjarnegara, Jawa Tengah

Uraian Satuan Nilai

Keunggulan Kompetitif

Keuntungan Privat Rp/ha 4 784 027.726

Rasio Biaya Privat (PCR) 0.852

Keunggulan Komparatif

Keuntungan social Rp/ha 532.411.595

Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRC) 0.981

Analisis keunggulan kompetitif usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara dapatdilihat dari nilai Rasio Biaya Privat (PCR) dan Keuntungan Privat (KP). Nilai PCR dan KPdalam analisis keunggulan kompetitif merupakan indikator yang menunjukkan tingkatefisiensi penggunaan sumberdaya dan tingkat keuntungan usahatani kentang di KabupatenBanjarnegara secara finansial (privat). Adapun nilai PCR usahatani kentang di KabupatenBanjarnegara adalah sebesar 0.852, artinya usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegaramemiliki keunggulan kompetitif (PCR<1).

Berdasarkan nilai PCR tersebut, usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegaradapat dikatakan memiliki keunggulan kompetitif. Selain itu, dapat diartikan juga bahwausahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara dapat membayar faktor domestiknya.Keunggulan kompetitif akan meningkat jika biaya faktor domestik dapat diminimumkandan atau memaksimalkan nilai tambah output (Rooyen IM, J.F et al (2001), Pranoto (2011)dan Najarzadeh R et al (2011)). Menurut Pranoto (2011) dan Najarzadeh R (2011),peningkatan nilai tambah output dapat ditingkatkan dengan penggunaan teknologi yangdapat menurunkan biaya per unit output.

Nilai DRC usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah yangdihasilkan oleh analisis PAM adalah 0.981. artinya, bahwa setiap US$1 yang dibutuhkanuntuk impor kentang, jika diproduksi di Kabupaten Banjarnegara, Jawa tengahmembutuhkan biaya US$0.981 sehingga terjadi penghematan biaya sebesar US$0.019.Dengan demikian, meskipun penghematan yang terjadi tergolong dalam nilai yang kecilakan tetapi usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara menunjukkan penggunaansumberdaya yang dapat dikategorikan efisien secara ekonomi (sosial) sehingga memilikikeunggulan komparatif dan menjadi produk substitusi impor. Semakin kecil nilai DRC(DRC<1) yang diperoleh, maka semakin tinggi keunggulan komparatif yang dimiliki. HasilPenelitian ini juga sesuai dengan Najazadeh et al. (2011), Ugochukwu dan Ezedinma(2011), dan Basavaraj et al. (2013) yang mengatakan bahwa nilai DRC<1 mengindikasikansuatu komoditas memiliki keunggulan komparatif.

Nilai DRC dan PCR dari analisis yang telah dilakukan dalam penelitian ini samadengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Novianto (2003) di desa Dieng KecamatanKejajar, Jawa Tengah yang menunjukkan bahwa nilai DRC dan PCR kentang lebih kecildari satu sehingga dapat diartikan bahwa komoditas kentang tersebut berdaya saing(memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif).

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Kentang di KabupatenBanjarnegara, Jawa Tengah

Dampak kebijakan pemerintah dapat dilihat dari analisis matrix PAM melaluibeberapa indikator. Indikator-indikator dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditaskentang di kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah terdiri dari dampak kebijakan terhadapoutput, input dan dampak kebijakan terhadap input-output terdapat pada Tabel 4.

Tabel 4 Indikator-Indikator Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Usahatani Kentang diKabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

Indikator Satuan Nilai

Dampak Kebijakan Terhadap Output

Transfer Output (TO) Rp/ha 5 027 816

Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) 1.174

Dampak Kebijakan Terhadap Input

Transfer Input (TI) Rp/ha 686 898.728

Transfer Faktor (TF) Rp/ha 47 060.958

Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) 1.699

Dampak Kebijakan Terhadap Input-Output

Koefisien Proteksi Efektif (EPC) 1.155

Transfer Bersih (TB) Rp/ha 4 251 616.131

Keofisien Keuntungan (PC) 8.986

Rasio Subsidi Produsen (SRP) 0.147

Dampak Kebijakan terhadap OutputSampai saat ini belum ada kebijakan pemerintah yang langsung mengenai harga

output kentang, kebijakan yang ada adalah larangan impor kentang yang diterapkan padatahun 2013 dan juga adanya kebijakan subsidi BBM yang nantinya akan mempengaruhibiaya tataniaga dari distribusi output Kentang. Kebijakan lainnya adalah subsidi BBMsebesar Rp3,000 per liter premium akan memperkecil biaya transportasi tataniaga kentang.Dampak kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat dari dua indikator yaitutransfer output (TO) dan koefisien proteksi output nominal (NPCO). Nilai transfer output(TO) yang dihasilkan pada pengusahaan kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengahadalah sebesar Rp5,027,816 per hektar. Artinya harga output kentang di pasar domestiklebih mahal dari harga internasionalnya. Hal ini dapat terlihat dari harga output padastruktur harga privat yang lebih rendah dibandingkan harga sosialnya yaitu Rp8,280 per Kg(harga privat) dan Rp6,711 per Kg (harga sosial).

Pranoto (2011) menyatakan bahwa nilai TO negatif dapat diinterprestasikan bahwaharga produk ditingkat petani atau domestik lebih rendah dari harga di pasar internasional.Karena nilai TO pada penelitian ini bernilai positif, berarti harga jual kentang domestiklebih mahal dari harga di pasar internasional. Artinya meskipun ada kebijakan Pemerintahyang melindungi output kentang akan tetapi belum dapat membuat kentang domestikmenjadi lebih rendah dari harga kentang impor.

Sementara itu, kebijakan yang sudah ada selama ini yaitu subsidi Pupuk dan BBMternyata belum mampu memberikan dampak yang besar bagi petani. Berdasarkan nilai TOyang positif (TO>0) tersebut, maka yang terjadi adalah konsumen tidak menerima insentifdari produsen (petani) kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah karena konsumenmembeli kentang domestik dengan harga yang mahal sehingga konsumen dirugikan dandalam hal ini petani (produsen) kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengahmemperoleh keuntungan. Hal ini menggambarkan bahwa dengan harga kentang yangmahal tersebut maka sangat besar peluang konsumen akan beralih pada kentang impor (jikaterjadi impor) yang harganya relatif lebih murah dan jika hal ini terjadi maka dampaknyaprodusen dirugikan. Oleh karena itu, kebijakan subsidi BBM sebesar Rp3,000 per literuntuk jenis premium yang berdampak pada biaya pemasaran output kentang sertapenutupan pintu impor kentang di pelabuhan pada tahun 2013sudah berpihak pada petani(produsen) kentang khususnya di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah dan hal yangperlu dievaluasi adalah penggunaan input oleh petani kentang agar lebih efisien sehinggaharga di tingkat konsumen tidak terlalu tinggi dengan penggunaan biaya produksi yanglebih rendah.

Nilai koefisien proteksi output nominal (NPCO) adalah rasio antara penerimaan yangdihitung berdasarkan harga bayangan, NPCO merupakan indikasi dari Transfer Output(TO), dimana NPCO menunjukkan seberapa besar harga privat berbeda dengan hargasosial. Nilai NPCO yang lebih kecil dari satu (NPCO<1) menunjukkan bahwa hargadomestik lebih rendah dari harga dunia.

Analisis dampak kebijakan terhadap output juga dapat dilihat dari nilai KoefisienProteksi Output Nominal (NPCO). Nilai NPCO adalah nilai rasio antara penerimaanberdasarkan harga privat dengan penerimaan berdasarkan harga sosial. Hasil analisismenunjukkan bahwa nilai NPCO usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara sebesar1,174 (NPCO>1), artinya harga domestik untuk output kentang lebih tinggi dari hargaoutput internasionalnya karena nilai yang lebih besar dari satu menunjukkan adanyaproteksi pemerintah. Hasil analisis memang menunjukkan bahwa harga kentangpadaRp8,280 per Kg (harga privat) dan Rp6,711 per Kg (harga sosial), oleh karena itu

kebijakan proteksi yang dilakukan pemerintah dalam hal ini kebijakan penutupan pintupelabuhan impor kentang agar tidak terjadi persaingan antara kentang domestik dengankentang impor sudah berpihak pada petani. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitianNovianto (2012) yang menunjukkan nilai NPCO < 1 karena asumsi yang digunakan adalahharga kentang di domestik masih lebih rendah dari harga dunia di Desa Dieng, KecamatanKejajar.

Menurut Novianto (2012) dan Ugochukwu dan Ezedinma (2011), penguranganpenerimaan petani akibat tidak adanya kebijakan Pemerintah yang melindungi output bisadisebabkan oleh lemahnya posisi tawar petani dalam menentukan harga. Dari hasilobservasi dan wawancara dengan responden pada penelitian ini diperoleh hasil bahwaharga jual kentang di Kabupaten Banjarnegara memang lebih banyak ditentukan olehpedagang pengumpul dibandingkan oleh petani, sehingga posisi petani dalam penentuanharga kentang menjadi lemah. Petani cenderung tidak mau repot untuk mencari pasarsehingga menjual ke pedagang pengumpul yang dikenal dan juga terdapat petani yangsudah memiliki hutang terlebih dahulu kepada pedagang pengumpul (tengkulak) di awalmusim tanam sehingga berpengaruh kepada harga hasil produksi kentang yang dijualtersebut biasanya lebih murah karena dalam hal ini petani kecenderungan tidak memilikiposisi tawar. Untuk mengatasi kurangnya permodalan petani, maka sebaiknya digerakkankelembagaan tani (kelompok tani, koperasi dan sebagainya) untuk dapat membantu petanidalam memperkuat permodalan mereka melalui aktivitas kelembagaan petani yang adaserta membantu petani untuk dapat meningkatkan pengetahuan mengenai informasi danperkembangan mengenai teknologi yang terkait dengan usahatani maupun industri kentangagar melalui hal ini terjadi peningkatan pengetahuan dan kemampuan petani dalammeningkatkan keuntungan usahataninya.

Dalam penelitian ini nilai NPCO>1, hal ini berarti bahwa terjadi penambahanpenerimaan petani akibat adanya kebijakan pemerintah yang melindungi output. Kebijakanterkait output kentang yang ada saat ini adalah subsidi BBM dan penutupan pintu imporkentang di pelabuhan. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah untuk memproteksi outputkentang demi melindungi produsen dalam negeri yang ada saat ini sudah berpihak kepadapetani kentang, akan tetapi masih diperlukan kebijakan lain yang dapat memberikanjaminan harga output (harga stabil/tidak berfluktuatif) dari hasil produksi kentang yang adadi dalam negeri secara khusus di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah serta memberikanjaminan kepastian pasar.

Dalam hal ini, tentunya diharapkan kerjasama dari setiap pihak yang terkait agarhasil produksi kentang yang ada di daerah Banjarnegara tersebut dapat memperolehkeuntungan yang lebih tinggi sehingga petani (produsen) kentang di KabupatenBanjarnegara, Jawa Tengah memperoleh keuntungan yang layak dan di sisi lain, konsumenjuga mengalami keuntungan dengan harga kentang yang relatif lebih murah sehinggadalam hal ini apabila kentang impor masuk ke Indonesia maka tidak akan menjadi masalahbagi kentang domestik dengan kata lain kentang domestik khususnya di KabupatenBanjarnegara, Jawa Tengah mampu bersaing dengan kentang impor dari negara lain.

Secara keseluruhan, analisis dampak kebijakan pemerintah yaitu Kebijakan proteksiimpor melalui penutupan pintu pelabuhan impor kentang, subsidi pupuk dan BBM sebesarRp3,000 per liter untuk jenis premium terhadap output kentang di KabupatenBanjarnegara, Jawa Tengah mengindikasikan bahwa kebijakan tersebut memangmemberikan insentif bagi petani (produsen) kentang, akan tetapi belum mampu membuatdaya saing kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah lebih baik dari kentangimpor karena terbukti dari harga kentang domestik yang jauh lebih tinggi dibandingkandengan harga kentang impor. Dalam hal ini jelas menggambarkan apabila diberlakukan

tarif impor kentang sebesar nol persen seperti pada tahun 2010, maka sangatmempengaruhi kondisi kentang domestik yang dampaknya merugikan petani (produsen)sehingga perlu diterapkan kebijakan proteksi impor baik melalui kuota (menutup pintuimpor ketika produksi dalam negeri tercukupi dengan jumlah permintaannya) sertapenetapan tarif terhadap kentang impor yang masuk ke Indonesia.

Dampak Kebijakan terhadap InputKebijakan pemerintah tidak hanya diterapkan dan berlaku untuk harga output,

namun berlakuk pula untuk harga input dari usahatani kentang yang dijalankan. Pemerintahmenetapkan kebijakan terhadap input seperti subsidi atau pajak dan hambatan perdaganganterhadap input pertanian bertujuan agar produsen dapat menggunakan sumberdaya secaraoptimal. Pengaruh pajak pada input tradable menyebabkan harga input lebih tinggi danbiaya produksi meningkat sehingga mengurangi pendapatan petani. Kebijakan terkait pajakyang diterapkan pada input produksi kentang (pupuk anorganik dan obat-obatan) adalahpajak impor 5 persen dan PPN 10 persen, sedangkan kebijakan subsidi adalah pemerintahmemberikan subsidi pupuk dalam upaya membantu petani dalam memproduksi kentang,subsidi pupuk dan subsidi BBM sebesar Rp3,000 per liter premium akan mengurangi biayatransportasi pada penyediaan input serta subsidi pupuk (Urea, Ponska, ZA).

Besarnya dampak kebijakan pemerintah terhadap input produksi usahatani kentang diKabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah ditunjukkan oleh nilai Transfer Input (TI), TransferFaktor (TF) dan Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI). Berdasarkan hasil analisis,nilai TI yang diperoleh adalah positif atau lebih besar dari nol yaitu sebesar Rp686,898.72per hektar. Hal ini berarti harga sosial input asing lebih rendah, akibatnya produsen tidakperlu membayar input lebih mahal. Harga sosial untuk pestisida (obat-obatan) seperti hargaFungisida sebesar Rp65,000 lebih rendah dibanding harga private sebesar Rp87,000,demikian juga dengan harga sosial Insektisida sebesar Rp85,525 lebih rendah dibandingharga private sebesar Rp45,000 serta harga sosial Insektisida sebesar Rp55,225 lebihrendah dibanding harga private sebesar Rp40,000. Sementara itu, harga BBM jenispremium pada budget privat sebesar Rp7,500 per liter lebih rendah dari harga pada budgetsosial yaitu Rp9,700 per liter. Oleh karena itu, kebijakan terhadap input usahatani kentangyaitu bea masuk 5 persen atas bahan baku input tradable (pupuk anorganik dan obat-obatan), PPN 10 persen, dan subsidi BBM sebesar Rp3,000 per liter premium untuk biayatransportasi input secara umum dapat menjadikan keuntungan yang diterima petanikentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah lebih besar dibandingkan tanpa adanyakebijakan input dan oleh karena itu kebijakan tersebut berpihak kepada petani (produsen).

Selain input tradable, input lain yang digunakan dalam proses produksi adalah inputdomestik (faktor domestik). Harga atas input tersebut ditentukan oleh mekanisme pasarlokal atau di dalam negeri. Transfer Faktor (TF) merupakan indikator dampak kebijakanpemerintah terhadap input produksi tersebut. TF merupakan selisih antara biaya inputdomestik yang dihitung pada harga privat dengan biaya input produksi pada hargabayangan (sosial), kebijakan pemerintah pada input domestik yang dilakukan dalam bentuksubsidi dan pajak. Berdasarkan hasil analisis, nilai Transfer Faktor (TF) menunjukkanbesarnya subsidi BBM terhadap input non tradable (faktor domestik) usahatani kentang diKabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah bernilai positif, yaitu sebesar Rp47,060.958 perhektar. Nilai tersebut menunjukkan bahwa terdapat implisit subsidi positif pada input nontradable (faktor domestik) dari Pemerintah yaitu subsidi BBM sebesar Rp3,000 per literuntuk jenis premium dan juga subsidi pupuk (Urea, Ponska, ZA), maka kebijakan tersebutefektif untuk tetap dilaksanakan.

Untuk menunjukkan tingkat proteksi atau kebijakan yang dibebankan pemerintahpada input tradable apabila dibandingkan tanpa adanya kebijakan pemerintah, dapat dilihatdari besarnya nilai Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI). NPCI merupakan rasioantara biaya input tradable privat dengan biaya input tradable sosial. Hasil analisismenunjukkan bahwa NPCI usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengahbernilai lebih besar dari satu yaitu sebesar 1.699. Nilai ini menunjukkan bahwa terdapatproteksi terhadap produsen input asing (tradable), yang menyebabkan sektor yangmenggunakan input tersebut akan dirugikan dengan tingginya biaya produksi karena petanimembeli input tradable lebih mahal dari harga dunia akibat adanya pajak impor sebesar 5persen dan PPN sebesar 10 persen pada input tradable (obat-obatan) Novianto (2012) danPranoto (2011).

Dampak Kebijakan terhadap Input dan OutputAnalisis kebijakan pemerintah terhadap input-ouput adalah analisis gabungan

antara kebijakan input dan kebijakan output. Dampak kebijakan gabungan tersebut dapatdilihat melalui indikator Koefisien Proteksi Efektif (EPC), Transfer Bersih (TB), KeofisienKeuntungan (PC), dan Rasio Subsidi Produsen (SRP). Nilai EPC merupakan rasio antaraselisih penerimaan dan biaya input tradable pada harga privat (aktual) dengan selisihpenerimaan dan biaya input tradable pada harga sosial (bayangan). Nilai EPC tersebutmenggambarkan sejauhmana kebijakan pemerintah yaitu pajak bea masuk atas inputproduksi sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen serta subsidi BBM untuk jenispremium sebesar Rp3,000 per liter serta penutupan pintu pelabuhan untuk kentang impordalam melindungi atau menghambat produksi domestik secara efektif. Hasil analisismenunjukkan bahwa nilai EPC usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa tengahlebih besar dari satu atau sebesar 1,155. Hal ini berarti bahwa kebijakan pemerintahterhadap input-output yang berlaku sudah efektif melindungi petani usahatani kentang diKabupaten Banjarnegara, Jawa tengah karena petani membayar harga input tradable sudahrelatif sesuai dengan harga jual output kentang. Berbeda dengan Novianto (2012)menyatakan bahwa kondisi kentang di Desa Dieng memiliki nilai EPC<1 karena kebijakansubsidi BBM dan penutupan pintu pelabuhan untuk kentang impor pada penelitian itubelum diterapkan.

Indikator lain yang menunjukkan adanya dukungan (proteksi) dari pemerintahterhadap usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah adalah TransferBersih (TB). TB merupakan selisih antara keuntungan bersih yang benar-benar diterimapetani (privat) dengan keuntungan bersih sosial (pada kondisi pasar bersaing sempurna).Hasil analisis menunjukkan nilai TB di lokasi penelitian bernilai lebih dari nol atau bernilaipositif sebesar Rp4,251,616.131 per hektar. Nilai tersebut menunjukkan bahwa adatambahan surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang dilakukanpada input-output usahatani kentang di Kaabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah ataudengan kata lain kebijakan tersebut berpihak kepada petani. Oleh karena itu, kebijakanpajak bea masuk atas input produksi sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen sertasubsidi BBM untuk jenis premium sebesar Rp3,000 per liter sudah efektif diterapkan.

Nilai koefisien keuntungan (PC) juga menunjukkan adanya proteksi atau dukungandari pemerintah terhadap petani atau pelaku usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara,Jawa Tengah. PC merupakan rasio atau perbandingan antara keuntungan privat dengankeuntungan sosial. Nilai PC dapat menjadi indikator yang menunjukkan dampak insentifdari semua kebijakan output, kebijakan input asing dan input domestik (net policytransfer). Nilai PC yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah lebih dari satu yaitu sebesar8,986. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah mengakibatkan

keuntungan yang diterima produsen lebih besar jika dibandingkan tanpa adanya kebijakan.artinya, petani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah memperoleh keuntunganyang lebih tinggi pada saat ada kebijakan dibandingkan pada saat tidak ada kebijakan. Olehkarena itu, kebijakan pajak bea masuk atas input produksi sebesar 5 persen dan PPNsebesar 10 persen serta subsidi BBM untuk jenis premium sebesar Rp3,000 per liter sudahefektif untuk dijalankan.

Berikutnya, rasio subsidi bagi produsen (SRP) adalah rasio antara TB denganpenerimaan berdasarkan harga sosial (bayangan). Nilai SRP menunjukkan proporsipenerimaan pada harga sosial usahatani kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengahyang dapat menutupi subsidi dan pajak sehingga melalui SRP dapat memungkinkanmembuat perbandingan tentang besarnya subsidi perekonomian bagi usahatani kentang.Hasil analisis menunjukkan nilai SRP di lokasi penelitian adalah 0,147 yang berarti bahwakebijakan pemerintah yang berlaku selama ini yaitu pajak bea masuk atas input produksisebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen serta subsidi BBM untuk jenis premiumsebesar Rp3,000 per liter untuk jenis premium menyebabkan petani atau pelaku usahatanikentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah mengeluarkan biaya lebih rendah daribiaya sosialnya untuk berproduksi. Oleh karena itu, kebijakan pajak bea masuk atas inputproduksi sebesar 5 persen dan PPN sebesar 10 persen serta subsidi BBM untuk jenispremium sebesar Rp3,000 per liter sudah efektif untuk diterapkan.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah terhadap input-output yang ada selama ini yaitu pajak bea masuk 5 persen dan PPN 10 persen atas inputproduksi seperti pupuk organik dan obat-obatan serta subsidi BBM sebesar Rp3,000 perliter untuk jenis premiun sudah melindungi petani kentang di Kabupaten Banjarnegara,Jawa Tengah secara efektif. Hal ini terlihat dari hasil analisis yang dilakukan denganadanya kebijakan penutupan keran impor di beberapa pelabuhan yang dilakukan sejaktahun 2013, surplus petani serta keuntungan yang diperoleh menjadi lebih tinggidibandingkan dengan tanpa adanya kebijakan pemerintah. Kondisi tersebut dapatmenguntungkan bagi pengembangan daya saing kentang di Kabupaten Banjarnegara, JawaTengah. Oleh karena itu, kebijakan pajak bea masuk atas input produksi sebesar 5 persendan PPN sebesar 10 persen serta subsidi BBM untuk jenis premium sebesar Rp3,000 perliter sudah efektif untuk meningkatkan daya saing kentang di Kabupaten Banjarnegara,Jawa Tengah.

.SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan1. Usahatani komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah

menguntungkan secara finansial dan ekonomi dengan keuntungan finansialsebesar Rp4.784.027,72 dan keuntungan ekonomi sebesar Rp532.411,59.

2. Usahatani komoditas kentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengahmemiliki daya saing baik keunggulan kompetitif maupun keunggulankomparatif karena efisien secara produksi dengan nilai PCR dan DRC lebihkecil dari satu yaitu PCR sebesar 0.852 dan DRC sebesar 0.981.

3. Kebijakan pemerintah terhadap input serta terhadap output yang terjadi saat inisudah berpihak kepada petani (produsen) kentang meskipun perlu upaya lainyang perlu dilakukan untuk dapat lebih meningkatkan nilai daya saing usahatanikomoditas kentang.

Saran1. Pemerintah tetap memproteksi impor kentang yang masuk ke Indonesia, dengan

menutup pintu pelabuhan untuk impor kentang atau dengan menerapkan sistem

kuota dan tarif agar dapat meningkatkan daya saing agribisnis kentang diKabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah melalui keunggulan kompetitif dankeunggulan komparatif secara khusus sebagai produk substitusi impor.

2. Pemerintah perlu membuat kebijakan khusus untuk melindungi petani dalam halmenjaga kestabilan harga output kentang (subsidi harga output) dan juga menjagakestabilan harga input.

3. Bagi pihak yang tertarik untuk melakukan penelitian selanjutnya diharapkan dapatmenganalisis efisiensi dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi usahatanikentang di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah serta topik-topik lainnya dalamrangka peningkatan daya saing kentang.

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Tanaman Buah-buahan dan Sayuran Tahunan.Jakarta : Badan Pusat Statistik.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Perdagangan Luar Negeri (Ekspor dan Impor).Jakarta : Badan Pusat Statistik.

Gittinger, J.P. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Terjemahan. Edisi Kedua.UI-Press dan John Hopkins, Jakarta.

Kapaj AM, Kapaj I, Halbrendt CC, Totojani O. 2010. Assesing the ComparativeAdvantage of Albanian Olive Oil Production. International Food AgribusinessManagement Review. International Food Agribusiness Management Association(IAMA) [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30];13(1): 60-80. Tersedia pada :http://ageconsearch.umn.edu/items-by-author?author=Kapaj%2C+++Ilir.

Monke, E.A and Scott. Pearson. 1989. The Policy Analisys Matrix for AgriculturalDevelopment. Cornell University Press. Itacha and London.

Najarzadeh R, Rezagholizadeh M, Saghaian S, Reed M, Aghaie M. 2011. The Impact ofTrade Liberalization on Persian Rugs: A Policy Analysis Matrix Approach. Journalof food Distribution Research 42 [Internet]. [diunduh 2013 Nov 30]; 1(2): 89-100.Tersedia pada: http://ageconsearch.umn.edu/handle/139335.

Novianto, T. 2003. Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Daya SaingKomoditas Unggulan Sayuran[Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Oguntade, Adegboyega. 2011. Assessment of Protection and Comparatif Advantage inRice Processing in Nigeria.Jurnal Departement of Agricultural and Extension,Federal University of Technology, Akure, Nigeria [Internet]. [diunduh 2013 Nov30]; 1(2): 50-88. Tersedia pada: http://ageconsearch.umn.edu/handle/139335.

Pearson S,C, S. Bahri. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia.Terjemahan. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Pranoto, SY. 2011. Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Keuntungan dan Daya SaingLada Putih (Muntok White Paper) di Provinsi Bangka Belitung [tesis]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor.

Rooyen IM, J.F. Kirsten, C.J. Van Rooyen. 2001. The Competitiveness of the South Africanand Australian Flower Industries: an Application of Three Methodologies. Paperpresented at the 45th Annual Conference of the Australian Agricultural andResource Economics Society, January 23 to 25, 2001, Adelaide, South Australia[Internet]. [diunduh 2013 Nov 30]; 1(2): 79-100. Tersedia pada:http://ageconsearch.umn.edu/handle/143498.

Saragih, Bungaran. 2010. Suara dari Bogor : Membangun Opini Sistem Agribisnis. Bogor :IPB Press.

Ugochukwu AI, Ezedinma CI. 2011. Intensification of Rice Production systems in south-eastern Nigeria: A Policy Analysis Matrix Approach. International Journal ofAgricultural Manajement and Development (IJAMAD) [Internet]. [diunduh 2013Nov 30]; 1(2): 89-100. Tersedia pada: http://ageconsearch.umn.edu/handle/143498.

REVIEW PENGEMBANGAN BIO-ENERGIDALAM RANGKA PENGEMBANGAN BIO-ENERGI BERKELANJUTAN

Supena Friyatno dan Adang Agustian1)

1) Masing-masing sebagai peneliti pada Pusat Sosial Ekonomi dan KebijakanPertanian,

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian

ABSTRAK

Di dalam kebijakan energi nasional 2005-2025 telah dicanangkan beberapa targetpasar, penggunaan dan produksi energi alternative dari beberbagai sumber energi dalamrangka penurunan penggunaan energi fosil. Namun sampai saat ini tampak belum ada titikterang untuk dapat mencapai apa yang telah ditargetkan. Tujuan dari tulisan ini adalahingin mempelajari kembali apa yang sudah dicapai dari road map yang sudah dicanangkan2005-2025, mempelajari kembali komoditas bahan baku yang telah dicanangkan danmenyusun ulang komoditas serta kebijakan pengembangan bio-energi. Metoda analisisadalah tabulasi silang, peninjauan lapang telaahan tentang aspek bio-energi. Hasil kajianmenunjukkan bahwa banyak tatangan dan kegagalan dalam mengembangan bio-energi,diantaranya adalah : (a) kurang serius dan tidak konsisten kebijakan pemerintah dalampengembangan bio-energi, (b) terjadinya perubahan status ekonomi dari komoditas yangdicanangkan sebagai bahan baku bio-energi, (c) terjadinya kompetisi penggunaan bahanbaku bio-energi yang tidak terperhitungkan, sehingga saling meniadakan, dan (d)rendahnya keseriusan dalam menjabarkan undang-undang dalam rangka mendukungkeberlanjutan pembangunan bio-energi. Implikasi kebijakan dari studi ini adalah : (1) perlumeninjau ulang ranking komoditas yang prioritas akan dikembangkan untuk bahan bakubio-energi, (2) perlu menyusun ulang kebijakan pengembangan bio-energi yangkomprehensif berikut prasyaratnya, dan (3) perlu ada komitmen politik dan anggaran yangmemadai untuk mengembangkan bio-energi.

Kata Kunci : Review, Capaian Kebijakan Bio-energi, Berkelanjutan

PENDAHULUAN

Di dalam kebijakan energi nasional 2005-2025 telah dicanangkan beberapa targetpasar, penggunaan dan produksi energi alternative dari beberbagai sumber dalam rangkapenurunan penggunaan energi fosil. Pada tahun 2015 target produksi energi yang berasaldari angin ditargetkan telah diproduksi sebesar 750 KWh, bio-diesel telah diproduksi dandikonsumsi minimal 3% dari konsumsi minyak diesel atau 1,5 juta kL. Produksi danpenggunaan Gasohol (pencampur premium) yang berasal dari bio-ethanol, pati dan nirasebesar 3% dari konsumsi premium nasonal. Fuel Cell ditergetnya diproduksi sebesar 50KW. Kalau dilihat dari posisi tahun sekarang 2014, apakah target tersebut optimis akantercapai?, dari fakta bahwa subsidi pemerintah masih membengkak dari tahun ke tahun,harga energi (BBM, Listrik dan Gas) juga cenderugn meningkat menunjukkan indikasi

bahwa program energi alternative agak suram untuk dapat di capai sesuai rencana(Kementerian ESDM, 2005)

Ketidakberlangsungan (unsustainablity) suatu kegiatan usaha yang berbasis produkpertanian termasuk kegiatan memproduksi bio-energi adalah dipengaruhi olehkeberlangsungan pasokan bahan baku yakni produk pertanian itu sendiri. Disatu sisikeberlangsungan produk pertanian pada kelompok petani tertentu yang sudahmenggunakan pertimbangan ekonomi akan dinamis tergantung mana yang lebihmenguntungkan, termasuk di dalamnya mengkonversi lahan pertanian dari komoditastertentu kepada komoditas lain atau ke non sektor pertanian. Dari hasil penelitian Yudi etal. (2013) mengungkapkan bahwa walaupun hanya sekitar 30% dari sample bahwaresponden cenderung mengkonversi lahannya ke komoditas lain atau ke non pertaniandidasari oleh beberapa alasan : (a) lahan kurang produktif, (b) menurunnya kekuatan fisik(mudah longsor, erosi), (c) lebih menguntungkan jika dijual atau dirubah menjadi tanamanlain, (d) terdesak kebutuhan rumah tangga.

Kebijakan pengembangan bio-energi yang serius dan komprehensif serta tidakdibarengi oleh intrik-intrik vested interest, personal interest, bussines interest yang akanmenghasil capai bio-energi yang sustainable. Sebagai contoh kebijakan pengembanganenergi alternative di Jerman dengan undang-undang yang dikeluarkan tahun 1999 yang digagas oleh Herman Sheer telah menghasilkan output yang luar biasa. Sebagai implikasidari dari undang-udang tersebut bahwa Pemerintah Jerman telah mengeluarkan sekitar 300milyar Euro untuk penelitian, penerapan dan pengembangan teknologi untukmenghasilkan energi alternative. Salah satu implemtasi dari kebijakan dan keseriusanpemerintah mengembangkan energi alternatil adalah dukungan subsidi bagi seluruhmasyarat Jerman berupa harga pembelian anergi alternative yang diproduksi olehmasyarakat sebesar 5 kali lipat dari harga jual energi fosil pemerintah (Krug danMartikainen, 2012).

Oleh karena itu, melihat kebijakan yang ada, mengkaji ulang potensi sumberdayaenegri terbarukan dan me-re-setting kebijakan pengembangan energi alternative menjadisangat dibutuhkan untuk mengkoreksi kebijakan yang sudah dicanangkan denganalternative kebijakan baru berdasarkan kepada potensi dan situasi energi terkahir. Khususuntuk bio-energi, dalam tulisan mencoba menelaah potensi bahan baku bio-energi,pembatas pengembangan dan implikasi kebijakan pengembangan bio-energi.

REVIEW KEBIJAKAN PENGEMBAGAN BIO-ENERGI

Di Indonesia pengembangan bio-energi merupakan bagian integral yang tidakterpisahkan dari pengembangan energi baru terbarukan (EBT). Apabila memperhatikanpola pengembangan EBT, tampak bahwa pengembangan bio-energi masih belum tampakkeberhasilan yang dicapai, karena memang dalam proyeksi penyediaan pun belum menjadisasaran yang prioritas. Seperi yang diungkapkan oleh Adhi D. P. et al (2011) jikadiringkaskan dari gambar yang ada menunjukkan bahwa proyeksi pengembangan EBT2009-2030, pada tahun 2014 total penyediaan EBT masih kurang dari 100 juta BOE ataubaru sekitar 2 % dari kebutuhan energi nasional dan belum tampak penyediaan dari bio-energi, dari 2% tersebut terdiri dari CBM (Coal Bed Methane), Hydro, dan Panas Bumi.Sementara pada tahun 2020 baru sekitar 7% penyediaan EBT yang terdiri dari CTL (Coalto Liquid), panas bumi, hydro, bio-fuel (sekitar 0,5%) dan CBM dan tahun 2025 meningkatmenjadi 10,5% yang terdiri dari dengan jenis EBT yang sama dengan bio-energi meningkatsekitar 4% dan 2030 dengan jenis EBT yang sama bio-energi meningkat menjadi 6,5%.Secara rinci dapat disimak pada gambar 1.

Gamba1. Proyeksi penyediaan EBT dan ratio kontribusinya (Adhi D. P. et.al. 2011)

Dengan memperhatikan ketersediaan energi fosil yang semakin terbatas, makapemerintah dalam hal ini Dirjen LPE, DESDM menetapkan target-target untuk mengeserpenggunaan energi nasional. Adanya target pemanfaatan bio-energi merupakan peluangpasar bagi industri bio-energi di Indonesia. Peluang pasar yang sangat besar yaitu 22,26juta KL seharusnya dapat ditangkap oleh investor untuk membuat pabrik bio-energi baikbiodiesel, bioetanol, pengganti minyak tanah maupun pengganti fuel oil di Indonesia.

Tabel 1. Target Pemanfaatan Bio-energi (dalam jutaan KL)JENIS BIO-ENERGI 2005 2010 2015 2020 2025

Biodiesel 1,31 2,41 3,8 4,60 10,22Bioethanol 0,81 1,48 1,95 2,83 6,28Pengganti Minyak Tanah 0,52 0,96 1,27 1,83 4,07Pengganti Fuel Oil 0,22 0,4 0,53 0,76 1,63Total (Bio-energi) 2,86 5,25 6,92 10,02 22,26Sumber : Dirjen LPE, DESDM, 2009

Target pemanfaatan bio-energi yang besar belum didukung oleh produksi bio-energi pada saat ini. Pada tahun 2008 produksi bio-energi secara total sebesar 2.558,7 ribuKL. Bila dibandingkan dengan target pemanfaatan bio-energi yang dikeluarkan oleh DirjenListrik dan Pemanfaatan Energi Departemen ESDM, terjadi suatu kesenjangan antaratarget pemanfaatan bio-energi dengan kondisi riil kemampuan produksi industri bio-energidi Indonesia. Kesenjangan ini harus segera diatasi dengan menambah kapasitas produksibio-energi di Indonesia. Perlunya penambahan kapasitas produksi bio-energi memberikansinyal bahwa peluang pasar bio-energi sangat besar. Pada beberapa tahun yang akan datangdiharapkan jumlah industri bio-energi semakin banyak sehingga dapat meningkatkankapasitas produksi yang dihasilkan. Apabila jumlah industri bio-energi tidak ditambah,maka peningkatan kapasitas produksi bio-energi tidak dapat terjadi secara signifikan.

Dengan tidak meningkatnya kapasitas produksi bio-energi secara signifikan,mengakibatkan target energi mix 2025 tidak dapat tercapai.

PERMASALAHAN YANG DIHADAPI DALAM PENGEMBANGAN BIO-ENERGI

a. Masalah Umum

Trade-off alokasi lahan untuk berbagai kepentingan merupakan permasalahan yangsangat kompleks, sehingga menyebabkan keberlangsungan suatu kegiatan usaha yangberbasis bahan baku pertanian menjadi terganggu. Berdasarkan indikasi yang diungkapkanoleh Haryono (2014) bahwa terjadi trade off dalam alokasi lahan antara untuk pangan danuntuk bio-energi. Sementara pangan dan energi adalah dua hal yang sama-sama dibutuhkanoleh manusia. Berdasarkan data yang ada untuk menghindarkan dari trade off dalampenggunaan lahan maka pengembangan bio-energi harus lebih diarahkan kepada : (a) lahanyang tidak digunakan (unutilized area) dimana di Indonesia mencapai 23,201 juta hektardan (b) lahan terlantar (abandoned land) yang pada tahun 2009 masih ada sekitar 14,9 jutahektar. Dengan demikian dapat dipahami bahwa untuk menjamin produksi pangan dan bio-energi secara berkelanjutan perlu ditindaklanjuti langkah-langkah : (a) indentifikasi trade-off alokasi lahan untuk pangan dan bio-energi, (b) melakukan kajian tetang opportunitylahan secara ekonomi, sehingga dapat diektahui hubungan antara social cost dengandegradasi lahan dan hubungan antara keamanan pangan dengan bio-energi.

Dalam pengembangan bio-energi sektor pertanian di masyarakat secara masal,ternyata kendala yang dihadapi bukan hanya pada sisi penyediaan bahan baku, akan tetapijuga pada setiap tahap pengembangan memiliki permasalahan tersendiri. Upaya berbagaipihak untuk mengantisipasi kelangkaan bahan bakar dari fosil sudah banyak dilakukan baikberupa kajian-kajian, sosialisasi pada tingkat implementasi di masyarakat, namun padanyatanya perkembangan penggunaan bio-energi masih sangat lambat. Pihak swasta yangmau mengembangkan bio-energi, memandang bahwa salah satu hambatannya adalah aspekekonomi, khususnya adalah fasilitas dari pemerintah berupa suku bunga kredit bagi pelakuusaha bio-energi tidak ada (Antara, 2012), padahal sektor rintisan ekonomi memiliki resikoyang cukup tinggi. Disisi lain, peran swasta dalam pengembangan sektor bio-energi jugasangat penting untuk memacu substitusi bahan bakar fosil.

Pengolahan dan pengelolaan biogas sangat terkait erat dengan performapemeliharaan ternaknya itu sendiri, semakin sustain pengelolaan ternak maka akansemakin terjamin pemasokan bahanbaku biogas dan pada gilirannya akan semakinberlangsung pengelolaan dan hasil produksi biogas. Menurut penelitian Sitti NuraniSirajuddin (2014) menyumpulkan bahwa s kunci keberhasilan pengembangan sapi perahyaitu melakukan penguatan kelembagaan antara lain dengan peternakan kontrak yangbertujuan adanya : (a) hubungan yang saling menguntungkan antara peternak denganperusahaan agribisnis, (b) memberikan insentif kepada peternak untuk meningkatkanproduknya dengan memperbaiki grades dan standar, (c) memperbaiki sarana dan ikliminvestasi untuk bidang peternakan sapi perah, dan (d) pemerintah menyediakaninfrastruktur publik seperti jalan, jembatan, listrik, telekomunikasi, pasar dan penegakanhukum dalam perjanjianperjanjian usaha sehingga penggunaan/alokasi sumberdaya padausaha sapi perah tercipta secara efisien, merata dan berkelanjutan (sustainable).

Untuk menjamin keberlangsungan produk pertanian, terutama terkait dengankeinginan untuk mempertahanpan keberlangsungan kegiatan usaha memproduksi bio-energi tampaknya tidak mudah, hal ini tidak terlepas dari usaha pencegahan konversi lahandari komoditas tertentu ke komoditas lain atau ke non pertanian. Seperti hasil penelitianTrisna Subarna (2013) memberikan gambaran bahwa untuk menekan konversi lahandiperlukan upaya untuk mendorong bekerjanya secara harmonis antara kekuatan faktorinternal dan eksternal, dimana faktor internal adalah meliputi political will, tersedianyaRTRW dan tersedianya kelembagaan petani sebagai pelaku. Sedangkan faktor eksternalmeliputi tersedainya program agribisnis pertanian, faktor meingkatnya pendapatan petanidan adanya kebijakan lahan abadi sebagai revitalisasi pertanian dan perkebunan.

b. Masalah Khusus (Faktor-faktor pembatas pengembangan bio-energi

Dalam implementasi pengembangan bio-energi dengan menggunaan bahan bakutersebut di atas tentu tidak dengan serta-merta atau tidak mudah seperti membalikantelapak tangan. Dengan demikian sebelum merumuskan rekomendasi kebijakanpengembangan bio-energi perlu dengan seksama mempelajari faktor-faktor pembataspengembangan bio-energi tersebut dan mencari alternative atau opsi kebijakan apa yangharus dilakukan agar semua rencana penggunaan bahan baku tidak terjadi persaingan yangtidak terkendali sehingga menyebabkan salah satu atau dua industry menjadi “bangkrut”atau tidak sustainable.

Menurut Thomas Buchholz, et al. (2013) dalam system bio-energi yangberkelanjutan secara definisi mencakup dalam tiga aspek yakni memanuhi aspek social,ekonomi dan lingkungan. Dapat dibayangkan jika salah satu aspek tidak terpenuhi secaralegal/rasional/logis/make sense/elegant, maka kegiatan pengembangan bio-energi tidakakan sustainable. Dari beberapa sumber bahan bio-energi tersebut diatas jika ditelusurifaktor pembatas untuk dikembangkan menjadi bio-energi adalah sebagai berikut :

1. Untuk bahan baku sumber energi bio-disel.Kemiri Sunan. Faktor yang membatasi pengembangan bio-energi dengan

menggunakan kemiri Sunan di Provinsi Lampung adalah : (1) tidak tersedianya bibitkemiri sunan, (2) belum dikenal oleh para pemangku kepentingan (stakeholder), (3)kapasitas lahan yang potensi untuk digunakan dengan dasar perlu direklamasi belumteridentifikasi dengan jelas, (4) belum ada pasar buah kemiri sunan yang pasti, sehinggakesulitan untuk menghitung opportunity land, jika ditanami dengan Kemiri Sunan.

Kelapa Sawit. Faktor pembatas pengembangan bio-energi dengan bahan baku darikelapa sawit di Lampung adalah : (1) harga CPO, jika harga CPO lebih tinggi, maka akanmenekan industry bio-energi, (2) bebenturan dengan kebutuhan pangan, jika penggunaanCPO untuk pangan terganggu, maka harga akan naik dan akan saling menekan antarapangan dan energi, (3) secara nasional, pengembangan sawit sudah banyak memperolehperhatian dari pihak tertentu terkait dengan penurunan laingkungan, sehingga harus diaudituntuk memperoleh LCA-certificate yaitu ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).

2. Untuk bahan baku sumber energi bio-ethanol (sebagai mencampurpremium).

Ubi Kayu. Para pemikir dan investor pada awalnya berkesimpulan bahwapengembangan bio-ethanol dengan bahan baku dari Ubi Kayu adalah layak dan memiliki

peluang besar, namun sesuai perjalanan waktu ada beberapa perubahan asumsi yangdidorong oleh perubahan global termasuk : perkembangan industry hilir dari ubi kayu itusendiri, pertambahan jumlah penduduk, yang kesuanya menyebabkan terjadi perubahanharga. Sementara perubahan harga output ethanol di pasar dunia maupun domestic tidaksejajar (in-line) dengan perubahan tapioca. Oleh karena itu timbul beberapa faktor yangmembatasi pengembangan bio-ethanol yang berasal dari ubi kayu. Faktor pembatastersebut adalah : (1) perubahan harga bahan baku ubi kayu, sebagai akibat dari perubahanpermintaan tapioca dan tumbuhnya permitnaan konsumsi industry dan masyarakat, (2)degradasi sumberdaya lahan yang sudah jenuh sehingga untuk mengimbangi produksi danmeredam harga melalui peningkatan produktivitas tidak mampu lagi, (3) ketersediaansarana produksi utnuk meningkatan produktivitas juga semakin terkendala, misalnyaketersediaan pupuk di lapangan, dan (4) tidak adanya pola (Road Map) pengembangan bio-ethanol yang jelas dan holistic menyebabkan, nature bussines dari pengembangan bio-ethanol ini diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, padahal BBM nasionalmedapat subsidi dari pemerintah. Selayaknya jika Bio-ethanol ini mau dijadikan sebagaiprogram BBM nasional harusnya didudukan sebagai sektor energi yang mendapatdukungan subsidi dari pemerintah.

Molasis (tebu). Hal yang sama dengan Ubi kayu bahwa penggunaan tebu sebagaibahan baku bio-energi masih memiliki pembatas pengembangan bio-energi, pembatastersebut adalah : (1) kompetisi penggunaan bahan baku antara untuk gula Kristal (pasir)putih (GKP), dimana masalah gula sampai saat semakin pelik yaitu menganganya antarasupply dan demand, tahun 2012 saja dimana produksi nasional hanya sekitar 2,2 – 2,6 jutaton, sementara konsumsi berkisar antara 3,6 – 4,1 juta ton, sehingga dari tahun ke tahunharus mengimpor sebesar sekitar 1,2 juta ton, (2) persaingan penggunaan lahan antarauntuk tebu, pangan dan penggunaan lainnya, faktanya luas areal tanam tebu walaupuntrend nya naik 2,9 % per tahun dalam kurun waktu satu dekade terakhir namun lokasipertanaman bergeser dari sawah ke lahan kering dan dari Jawa ke Luar Jawa, (3)fluktuasinya harga gula dunia, yang menyebabkan tidak stabilnya harga gula dalam negeritidak stabilnya produksi.

3. Untuk bahan baku sumber energi bio-gas.

Limbah Industri Tapioka. Untuk penggunaan limbah tapioca sebagai bahan bakubio-gas hampir tidak ada pembatas, kecuali tergantung kepada eksistensi industry tapiocaitu sendiri. Namun secara tidak langsung faktor pembatasnya dapat dirinci sebagai berikut :(1) persaingan penggunaan lahan dalam arti land opportunity cost, jika ada komoditi lainyang lebih menguntungkan, misalnya harga jagung atau kedelai naik, maka petani akanpindah ke komoditi yang menguntungkan dan produksi ubi kayu akan berkurang danstabilitas eksistensi industry tapioca akan terganggu, (2) harga tapioca, yang menyebabkanturunya harga ubi kayu. Namun dilihat dari sebagai sudut pandang, penggunaan baha bakubio-gas dari limbah cair tapioca justru lebih banyak peluangnya dari pada pembatasnya,seperti yang sudah diuraikan di atas, karena disampaing sebagai penghasil bio-gas, jugadapat menekan biaya social akibat dari pencemaran lingkungan artinya bahwa denganmengolah limah cair, eksistensi industry tapioca menjadi lebih terjamin dari kemungkinantekanan masyarakat terkait isu lingkungan. Disamping itu, hasil akhir dari limbah cairdapat diolah menjadi pupuk cair untuk tanaman hortikultura (produksi daun), yangsebelumnya bersifat meracuni.

Kotoran Hewan Sapi (Kohe). Hal yang sama dengan limbah cair tapioca, bahwakotoran sapi (kohe) lebih banyak mengotori lingkungan. Jika ditimbang antara pembatasdan peluang manfaat, maka peluang manfaatnya akan lebih banyak sehingga layak untukdikembangkan dalam skala yang lebih luas. Faktor pembatas sementara yang terlihatadalah : (1) persaingan penggunaan antara untuk bahan baku bio-gas dengan untuk pupukkandang untk tanaman, namun patut dicatat bahwa penggunaan kohe tidak menggangguketersediaan pupuk organic, hanya saja sebelum dijadikan pupuk organi ditambang dulubio-gas nya, dan justru ini meningkatkan kualitas pupuk kandang. Dari sisi waktukendatipun digunakan untuk pupuk kandang tetap saja memerlukan waktu dekomposisiuntuk dijadikan bokasih, (2) tersebarnya populasi ternak pada rumah tangga, yangmenyeyebabkan perlu ektra pemikiran bagaimana untuk mengumpulkan kohe tersebut, (3)pendeknya masa peneliharaan sapi (pedaging) yang menyebabkan keberlangsunganproduksi gas menjadi rendah, (4) seting design dari kandang yang sudah ada tidakkompatibel dengan teknik pembuatan bio-gas, sehingga peternak memerlukan energi untukmenambang bio-gas dari kohe tersebut.

Limbah Cair Industri Tahu. Begitu juga pemanfaatan limbah cair industri tahuhampir sama dengan kondisi limbah cair tapioca. Faktor pembatas terjadinya sustainableindustry bio-gas dari limbah cair industry tahu secara tidak langsung adalah : (1) hargakedelai dunia, yang menyebabkan pasokan tahu berkurang dan limbah cair industrytahunya berkurang, (2) beratnya peningkatan produksi kedele nasional, karena secaraintrinsic kedele merupakan tanaman yang baik dibudidayakan pada daerah yang semi subtropis ata sub tropis, (3) pengembangan fungsi kedelai menjadi produk lain, seperti susukedelai, tepung tempe (yang mengandung vitamin B komplek sebagai hasil dari prosesbiologis), hal ini akan menyebabkan persaingan penggunaan kedelai, sehingga penggunaankedelai untuk tahun bisa terganggu dan akhirnya limbah cairnya juga terganggu.

LESSON LEARN PENGEMBANGAN BIO-ENERGI (KASUS LAMPUNG)

Pengembangan bio-energi bukan merupakan suatau yang mustahil, sebagaimanakebijakan yang sudah diimplementasikan di Jerman, membuat posisi Jerman sebagaipernghasil bio energi terbesar di Eropa di ikuti oleh Negara Prancis dan Belanda (A.H.Scragg. 2009). Bagi Indonesia sebagai Negara tropis, bahan baku energi alternative dapatdikatakan sebagai natural resources endownment atau anugrah dari Allah SWT, karenadengan iklim tropis semua bahan organi, air, gas menjadi melimpah dan merupakan siklushidup yang abadi. A.H. Scragg (2009) menyatakan sumber energi alternative yang dapatdimanfaatkan adalah yang berupa Solid fuels: (1) Biomass, (2) Wastes; berupa Gaseousfuels: (1) Methane (biogas), (2) Hydrogen, (3) Dimethyl ether (DME); berupa Liquidfuels: (1) Methanol (FT origin), (2) Ethanol, (3) Biobutanol, (4) Synthetic petrol (FTorigin), (5) Synthetic diesel (FT origin), (6) Biodiesel (esters), (7) Biodiesel (bio-oil), (8)Biodiesel (plant and microalgal hydrocarbons); dan berupa Biodiesel : (1) Microalgal oils,(2) other plants (di Indonesia Sawit, Kemiri Sunan, Jarak pagar, dll).

Dari hasil studi di Provinsi Lampung dapat dilaporkan beberapa hal terkait denganEvaluasi Kebijakan dan Pengembangan Bio-Energi di Sektor Pertanian, yaitu : (1)menyangkut ketersediaan bahan baku bio-energi, (2) peluang pengembangan bio-energi diLampung, (3) faktor-faktor pembatas pengembangan bio-energi, dan (4) implikasikebijakan pengembangan bio-energi

a. Ketersediaan bahan baku sumber energi di provinsi Lampung

Sebagai mana diketahui bahwa sumber bahan baku energi alternative atau yangdisebut bio-energi adalah sumber energi yang diluar fosil. Sumber energi bisa berasal dariminyak dan gas. Bio-energi minyak dapat berupa bio-disel (pengganti atau penambahminyak diesel), bio-ethanol (pengganti atau penambah bahan bakar premium) dan bio-energi berupa gas. Bahan baku sebagai sumber bio-energi untuk bio-diesel dapat berupakelapa sawit, jarak pagar, kemiri sunan, limbah minyak goreng, dll. Sedangkan sumberbahan baku untuk bio-energi pengganti/penambah minyak premium adalah berupaSingkong, tebu (molasis), aren, sagu,dll. Sedangkan untuk bahan baku bio-gas dapatberupa kohe (kotoran hewan), limbah cair industri tapioca, industry tahu, dll

Di provinsi Lampung sumber bahan baku berupa ubikayu menduduki peringkatterbesar di Indonesia (mencapai) 38.33% dari produksi Nasional pada tahun 2011, atausetara dengan jumlah produksi 9,2 juta ton, sementara produksi nasional adalah 24 juta ton.Pangsa produksi ubi kayu ini naik terus sejak tahun 2007 mulai dari 31,99 menjadi 38,33pada tahun 2011. Selain ubi kayu bahan baku untuk sumber bio-energi adalah kelapa sawit,pada tahun 2012 luas kebun sawit di provinsi Lampung mencapai 173.376 ton atau luastanam dengan berbagai umur tanaman pada tahun 2013 adalah seluas 83.722 hektar,dimana terluas ada di kabupaten Mesuji seluas 22.231 ha, kabupaten Way Kanan 14,872ha dan Lampung Tengah 11,714 ha. Begitu juga perkebunan tebu di provinsi Lampungrelative luas setelah di pulau Jawa, pada tahun 2013 luas perkebunan tebu ada 10.250 ha,yang di kabupaten Lampung Utara, Lampung Tengah, Way Kanan dan Tulang Bawangmasing-masing 5.427 ha; 3.520 ha; 1.388 ha dan 235 ha. Berdasarkan data statistikprovinsi Lampung, secara rinci luas areal tanaman ubi kayu tertera pada Tabel 2 di bawahini.

Sedangkan sumber bahan baku untuk bio-energi Gas adalah berupa limbah dariindustri tapioca, limbah kotoran hewan (kohe), limbah tahu diperkotaan, limbah industrigula, termasuk pula limbah kotoran manusia untuk diperkotaan (hal ini sudahdikembangkan di Negara China). Potensi penggunaan bahan baku bio-gas ini sangat positifkarena pemanfaatan bahan baku ini memiliki multi fungsi, selain akan menghasilkan bio-gas sebagai substitusi penggunaan gas LPG atau energi listrik PLN, juga memiliki fungsisebagai penangan sanitasi lingkungan, dimana limbah tapioca, limbah tahu, kotoran hewandan manusia dapat memberikan pencemaran lingkungan berupa bau udara dan pencemaranair tanah dan sungai.

Tabel 2. Luas arean pertanaman ubi kayu di Provinsi Lampung menurut Kab, 2013

No Nama Daerah Luas Tanaman

1 Kabupaten Lampung Tengah 130,781.00

2 Kabupaten Lampung Utara 51,782.00

3 Kabupaten Lampung Timur 47,555.00

4 Kabupaten Tulang Bawang Barat 38,926.00

5 Kabupaten Tulangbawang 19,926.00

6 Kabupaten Waykanan 15,725.00

7 Kabupaten Lampung Selatan 10,100.00

8 Kabupaten Mesuji 4,629.00

9 Kabupaten Pesawaran 3,323.00

10 Kabupaten Lampung Barat 674.00

11 Kabupaten Pringsewu 621.00

12 Kabupaten Tanggamus 585.00

13 Kota Bandarlampung 159.00

14 Kota Metro 122.00

Jumlah 324,908.00

Sumber : Lampung Dalam Angka 2013

Sebagai ilustrasi hasil dari pengkajian di provinsi Lampung, pada salah satu industritapioca milki PT Bumi Waras, dengan kapasitas produksi 300 ton ubi kayu segar/hari atausetara 70 ton tapioca per hari, jika proses produksi dalam keadaan normal, maka denganmenambah investasi untuk sanitasi limbah dan intalasi bio-gas sebesar Rp 1 milyar, makahasil bio-gas nya dapat membangkitkan tenaga listrik sebesar 1 MW (Mega Watt),sementara kebutuhan listrik untuk operisionalisasi pengolahan tapioca cukup 700 KW,sehingga surplus 300 KW/bulan. Jika dibandingkan dengan penggunaan listrik PLN, untukoperasionalisasi industry tapioca, maka dengan menggunaan 700 KW setara dengan biayasekitar Rp 400.000.000,-/bulan. Untuk industry milik PT. Bumi Waras, secara bertahapmulai dikonversi penggunaan energi listrik dari PLN ke penggunaan bio-gas darilimbahnya sendiri.

Ada beberapa keuntungan besar baik secara ekonomi maupun social, yaitu pertamadapat menghemat biaya operasional penggunaan listrik rata-rata Rp 400 jt per bulan dankedua dapat menekan biaya social akibat dari pencemaran lingkungan berupa baumenyengat dari limbah cair tapioca terhadap masyarakat, ketiga biaya social daripencemaran lingkungan air tanah (sumur) dan sungai. Begitu juga industri tapioka skalakecil yang dikelola oleh perorangan, ternyata dapat memanfaatkan limbah cair sebagaipengganti listrik PLN untuk proses produksi. Sebagai contoh ada perusahaan tapioca milikpak Supra di kabupaten Pesawaran, dengan kapasitas ril industry sebesar 20-30 ton ubikayu segar per hari, dengan investasi sekitar Rp 100 jt, maka kebutuhan untuk prosespenggilingan tepung tapioca dapat disubstitusi oleh bio-gas yang berasal dari limbah.Sementara dengan usaha terpadunya dengan ternak (kapasitas daya dukung industrytapioka untuk ternak adalah 100 ekor) maka dapat dimanfaatkan kohenya untuk kapasitasdigester sebesar 100 m3, jika mengacu kepada hasil pengamatan bio-gas di Pangalengan,maka dari 100 ekor sapi dapat menghasilkan gas setera dengan 25-50 tabung gas yangberatnya 13 kg atau total setara dengan 326 – 652 kg gas LPG.

b. Peluang pengembangan bio-energi berbasis produk pertanian di Lampung

Dari sekian banyak jenis bahan baku yang ada di provinsi Lampung yang dapatdigunakan sebagai bahan baku bio-energi sebelum mempertimbangkan faktor-faktorpembatas adalah :

Untuk bahan baku sumber energi bio-disel, yang memiliki peluang dikembangkan diprovinsi Lampung adalah : Kemiri Sunan. Kendatipun tanaman kemiri sunan belumkelihatan berkembang di lampung, namun dari sisi pontensi yang ada sangatmemungkinkan kemiri sunan dikembangkan di Lampung. Potensi yang mendukung adalah: (1) adaptasi tanaman kemiri sunan yang tinggi pada berbagai kondisi, misalnya dapatditanam mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi, mulai dari tanah subur sampailahan marjinal, iklim dan basah, dll, (2) potensi lahan kering yang belum termanfaatkandan harus dikonservasi relatif cukup luas, dari total luas lahan kering 2.650.413 ha barisekitar 20% dimanfaatkan untuk perkebunan lada, karet, kopi dan kelapa, (3) kemiri sunandengan kanopi tanaman yang rindang dan berdaun lebar memiliki fungsi ganda sebagaisumber bahan energi dan berfungsi sebagai konservasi dan menyuburkan lahan, (4) kemirisunan memiliki tingkat persaingan penggunaan produk yang sangat minim bahkan tidakada persaingan antara pangan (food) dan pakan (feed), dan (5) teknik pemungutan buahhampir tidak memerlukan biaya, karena tatkala buah sudah matang akan jatuh dengansendirinya. Selama ini dikhawatirkan oleh sebagian pihak mengenai biaya tenaga kerjauntuk memungut buah Kemiri Sunan. Kelapa Sawit, baik potensi kelapa sawit di Lampungcukup besar, luas kebun sawit di provinsi Lampung mencapai 173.376 ton atau luas tanamdengan berbagai umur tanaman pada tahun 2013 adalah seluas 83.722 hektar, dimanaterluas ada di kabupaten Mesuji seluas 22.231 ha, kabupaten Way Kanan 14,872 ha danLampung Tengah 11,714 ha. Potensi yang mendukung penggunaan kelapa sawit sebagaibahan baku energi adalah : (1) memiliki areal tanam yang cukup luas, (2) dapatmemanfaatkan sumber energi dari limbah maupun CPO, (3) harga CPO kelapa sawit tidakstabil, sehingga adanya alternative produk akan memiliki peluang untuk meningkatkanbargaining power para petani sawit yang selama ini hanya untuk CPO menjadi untuk yanglain, dan (4) ketersediaan lahan untuk pengembangan kelapa sawit masih cukup tersedia.

Untuk bahan baku sumber energi bio-ethanol (sebagai mencampur premium), yangmemiliki peluang dikembangkan di provinsi Lampung adalah : Ubi Kayu. Potensi ubi kayudi Lampung cukup besar kerenanya Lampung menymbangkan pangsa tersebesar diIndonesia (38.33%) dari produksi Nasional pada tahun 2011, atau setara dengan jumlahproduksi 9,2 juta ton, sementara produksi nasional adalah 24 juta ton. Pangsa produksi ubikayu ini naik terus sejak tahun 2007 mulai dari 31,99 menjadi 38,33 pada tahun 2011. Luaspertanaman pada tahun 2013 menurut statistic provinsi Lampung adalah 324,908 ha.Alasan mengapa Ubi kayu potensi dikembang di provinsi Lampugn adalah : (1)pertanaman yang yang cukup luas, (2) potensi lahan untuk pengembangan ubi kayu masihada, (3) budaya dan ketrampilan masyarakat untuk menanam ubi kayu sudah cukupberpengalaman, sehingga tidak terlalu berat untuk melakukan pendidikan atauketrampilan, (4) harga tapioca tidak stabil, sehingga perlu mencari alternative pasar ubikayu. Molasis (tebu), penggunaan tebu sebagai bahan kabu bio-energi masih mamilikipotensi atau peluang, ada beberapa alasan potensi penggunaan tebu sebagai sumber bahanbaku energi adalah : (1) tebu sudah berkembang di Lampung, (2) limbah bio-massa daripengolahan tebu dapat digunakan sebagai sumber energi, (3) potensi pengembanganvarietas masih memungkinkan, (4) iklim dan jenis lahan di Lampugn cocok untukmengembangan tebu, (5) limbah cair (tetes) untuk bahan baku bio-energi cukup banyak.

Untuk bahan baku sumber energi bio-gas, bio-gas memiliki fungsi yang sangat luasdalam kontek penyediaan alternative energi, diantaranya adalah : (1) dapat berfungsisebagai sumber energi listrik langsung baik langsung maupun tidak langsung, sepertipenerangan, (2) dapat berfungsi sebagai sumber panas, misalnya untuk kompor dan berner,(3) dapat berfungsi sebagai substitusi premium pada mesin-mesin penggerak yangselanjutnya dapat membangkitkan listrik, kendaraan bermotor, traktor, dan jugamenghasilkan energi kenetik seperti pompa air, parut, miller, Chopper dll.

Sumber energi ini yang sudah mulai dikembangkan baik oleh perusahaan besar danperorangan di Lampung adalah : Limbah Industri Tapioka, sejalan dengan tumbuhnyaindustry tapioca di Lampung, pada awalnya kesulitan mengelola limbah cair sisapembuangan endapan tapioca, permasalahan yang timbul adalah sumber pencemaran udara(rasa bau yang menyengat), pencemaran sungai kandungan racun cianida dan baru, danpencemaran air tanah (sumur masyarakat). Sering sekali kondisi ini dijadikan dalih olehmasyarakat untuk menekan perusahaan meminta konpensasi financial, sehinggaperusahaan harus menanggung biaya social yang tinggi, hal ini tentu akan mempengaruhitingkat efisiensi dan keuntungan perusahaan. Dengan dirubahnya menjadi bio-gas, makasemua berbalik menjadi sumber efisiensi dan bahkan surplus ekonomi. Ada beberapaalasan bahwa limbah ini berpotensi sebagai sumber energi bio-gas : (1) jumlah limbah inibanyak di provinsi Lampung sejalan dengan jumlah populasi industry tapioca danpertanaman ubi kayu, dari 1 perusahaan Bumi Waras saja mampu membangkitkan energilistrik 1 MW, (2) memang menjadi solusi tersendiri untuk penangan limbah cair tapioca,(3) secara teknis sangat praktis, (4) dapat mengsubstitusi energi untuk pengolahanindustrinya. (4) hasil akhir dari limbah yang sudah difermentasi tersedbut sangatbermanfaat untuk pupuk organic cair. Ilustrasi salah satu pemilik perusahaan tapioca,pupuk tersebtu sangat baik untuk sayuran hortikultura, sementara jika diaplikasikan kepadaubi kayu terlalu subur (daun dan batang besar tatpi umbi nya sedikit), hal ini menjaditantangan tersendiri untuk dilakukan assessment para peneliti ke depan.

Kotoran Hewan Sapi (Kohe), di Lampung selain memang secara populasi ternaksapi cukup banyak 750 ribu ekor (menurut sensus BPS 2011), jika per ekor menghasilkan25 kg, maka total kohe per hari adalah 18,75 juta kg kohe per hari. Jika perbandingan 1:1dengan air, maka sekitar 37,5 juta liter volume air setara dengan sekitar 37.500 m3 atausetara dengan 56.250 m3 digester biogas. Berdasarkan assessment pembangunan bio-gas diUkraina diamana dengan ukuran digester 2400 m3 yang berasal dari 3600 sapi atau 300 tonkohe dapat menghasilkan energi listrik sebesar 1 MW (Zorg Biogas, 2008). Jadi diLampung berpotensi menghasilkan 23,4 MW setara untuk men-supply kebutuhan energilistrik pada 3-4 insutri tapioca dengan kapasitas operasional 300 ton ubi kayu per hari.Ternak ini juga terkait dengan pengembangan komoditas pertanian yang potensi menjadisumber energi alternative menjadi memiliki potensi besar bila diintegrasikan dengankomoditas tersebut.

Sebagai ilustrasi, untuk satu industry tapioca dengan kapasitas 20 ton per hari, makadapat memenuhi daya dukung pakan untuk populasi 70 ekor artinya dengan total produksiubi kayu di Lampung yang mencapai 9,2 jt ton, maka dapat diintergrasikan dengan ternaksapi sejumlah 32 juta ekor sapi. Begitu juga inetrgrasi sapi dengan kelapa sawit, tentumemiliki hubungan yang mutualistik antara ternak dengan kelapa sawit.

Limbah Cari Industri Tahu, di Lampung yang notabene populasi penduduk Jawasudah relative berkembang, maka dengan budaya tahu-tempenya menyebabkan industrytahu menjadi berkembang. Sejauh ini belum ada yang menangani limbah cari dari pabrikTahun, namun di Pati Jawa Tengah sudah ada yang memanfaatkan limbah cair untuk

sumber bio-gas, dan pada nyatanya limbah tapioca saja bisa di oleh diyakini dan faktabahwa limbah cair tahu pun dapat di olah menjadi bio-gas.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN BIO-ENERGI

Dengan memperhatikan berbagai potensi dan faktor pembatas tersebut di atas,maka implikasi kebijakan yang dapat ditarik pada bab ini adalah : (a) penetapan ulang jenisbahan baku sumber bio-energi yang dapat dikembangkan ke depan, (b) implikasikebijakan atau opsi atau pilihan cara berpikir pengembangan serta prasyarat yang harusdipenuhi untuk mengembangan bio-energi yang sustainable.

a. Penetapan ulang jenis bahan baku bio-energiDi dalam road map mengembangan energi alternative nasional sudah ditetapkan

bahan baku yang akan dikembangkan, misalnya jarak pagar sebagai bahan baku bio-dieseldan ubi kayu sebagai baha baku pengembangan bio-ethanol. Dari fakta di lapangan tambahbahwa bahwa kedua komoditas ini tidak layak secara ekonomi menjadi bahan baku bio-energi, karena harga ubi kayu yang layak untuk bio-energi Rp 400 per kg, sementara hargaubi kayu untuk pangan sudah menjadi Rp 1.100,- per kg. Jika ini tetap mau dijadikansebagai bahan baku bio-ethanol maka ini menjadi tantangan tersendiri, misalnya : (1)bagaimana mencari varietas yang tidak terjadi kompetisi antara untuk pangan, taipoka danbio-ethanol, (2) meingkatkan produktivitas ubi kayu untuk menutupi senjang harga, namunini bersifat dinamis manakala produktivitas naik, maka produksi akan naik dan harga tentuakan menurun.

Berdasarkan situai yang diperoleh dari Lampung, maka dengan adanya pembatasdan peluang yang ada, maka dapat di urut ranking bahan baku yang ada di Indonesia untukdijadikan sebagai bahan baku sumber energi akternatif khususnya bio-energi. Perankinganini didasarkan kepada urutan pembatas yang paling rendah sampai yang paling tinggi danpotensi yang paling tinggi sampai yang paling rendah dalam rangka mempertahankansustainability kedua belah pihak yaitu industri bio-energi dan industri pangan.

Dari studi tersebtu Nampak bahwa bahan baku bio-energi dari sektor pertanianyang dapat diprioritaskan untuk segera ditangani adalah :

1. Limbah kotoran hewan (KOHE) dan kotoran manusiaDengan jumlah ternak sapi dan kerbau sebesar 16,2 jt ekor pada tahun 2011, maka

dengan tanpa mengurangi fungsi sebagai pupuk oragnai dapat ditambang gasnya setaradengan 2,6 GW energi listrik. Disamping itu, sanitasi lingkungan dan kesehatan masyrakatakan lebih baik, serta pendapatan dan biaya produksi akan menurun. Perbandinganrendemen bio-gas kohe adalah tertinggi kedua setelah kotoran manusia, dinamana 10 kgkotoran sapi atau kerbau dapat menghasilkan 0.23-0.40 m3 gas methan sementara kotoranbabi atau manusia dapat menghasilkan sampai 0.60 m3 gas. Jadi untuk menghasilkan setara1 ltr premium perlu 31,25 kg kotongan sapi, sementara untuk kotoran manusia hanyamemerlukan 16,7 kg untuk menghasilkan setara 1 liter premium. Dengan demikian darikotoran sapi dan kerbau saja dapat menghasilan setara dengan sekitar 7,8 ribu Kiloliterpremium. Sedangkan kotoran menusia dengan jumlah penduduk 280 juta, makamenghasilkan manure sebanyak 56 juta kg, maka setara dengan 3,4 ribu kiloliter premium.

2. Limbah Industri tapioca dan Tahu tempe

Prioritas kedua, adalah limbah industry tapioca dan tahu. Hal ini yang sama, limbahtahu tempe merupakan limbah yang belum ditangani secara serius yang menyebabkanpencemaran udara dan air (sungai dan air tanah). Dengan jumlah penduduk yang ada padatahun 2012 dan tingkat konsumsi per kapita kedelai 8,48 kg, maka totlakonsumsi kedelaisebesar 2.077.600 ton atau setara dengan 5,8 juta kilo per hari

3. Pengembangan Kemiri SunanPrioritas ketuga, adalah pengunaan kemiri sunan sebagai bahan baku bioe-energi

dengan alasan bahawa tanaman ini tidakmemliki kompetisi penggunaan produk antarauntuk pangan (food), pakan (feed) dan bio energi (fuel) bahkan memeiliki fungsi lain yangsangat berguan terkait dalam perbaikan kondisi alam seperti sebagai konservasi danmenyuburkan tanah, limbahnya dapat di proses sebagai bahan pupuk organic dan pakanternak.Untuk bahan baku lain seperti, ubi kayu, tebu, sagu dll, bukan tidak mungkindikembangkan menjadi bio-energi, akan tetapi strategi pengembangannya lebih rumitterkait dengan pembatas dan persaingan dengan food, feed and fuels.

b. Implikasi kebjakan atau opsi yang diimplementasikan ke depan

1. Untuk penggunaan limbah tapioca dan inustri tahu-tempeDalam pelaksanaan dan mendorong produksi bio-energi dari limbah tapioca,

hendaknya pemerintah melakukan hal-hal sebagai beriktu : (1) mengalokasikan sumberdana yang memadai untuk melakukan riset atau kajian, percobaan dan penerapan dalamskala nasional, (2) penelitian/kajian/percobaan mulai dari identifikasi potensi yang pastijumlah limbah yang dapat digunakan sebagai bahan baku bio-energi, pencarian jenisteknologi yang efisien, social ekonomi dan kelembagaan, sampai kepada implentasi padaskala yang luas, (3) menerapkan kebijakan yang sudah ada, dimana pemerintah hendaknyamelakkan insentif terhadap pengembangan bio-energi sebagai konpensasi subsidi yangberkurang akibat adanya tambahan bio-energi, seperti yang dilakukan di Jerman membelibio-energi 5 kali lipat dari harga energi fosil.

2. Untuk penggunaan Kemiri SunanDalam pelaksanaan dan mendorong produksi bio-energi dari Kemiri Sunan,

hendaknya pemerintah melakukan hal-hal sebagai beriktu : (1) mengalokasikan sumberdana yang memadai untuk melakukan riset atau kajian, percobaan dan penerapan dalamskala nasional, (2) penelitian/kajian/percobaan mulai dari pengadaan bibit yang berkualitas,pencarian dan perbaikan varietas dan plasma nuftah, identifikasi potensi yang pasti tentangproduktivitas, (3) mengidentifikasi potensi lahan yang tidak akan terjadi konpetisi denganpangan, seperti lahan-lahan konservasi, sleeping land, bantaran sungai dan danau,pinggiran lapang, pelindung makam, dll. (3) menerapkan kebijakan yang sudah ada,dimana pemerintah hendaknya melakukan insentif terhadap pengembangan bio-energisebagai konpensasi subsidi yang berkurang akibat adanya tambahan bio-energi, sepertiyang dilakukan di Jerman membeli bio-energi 5 kali lipat dari harga energi fosil.

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, A dan Supena F. 2014. Analisis Permintaan dan Penawaran Komoditas Kedelaidi Indenesia. Paper Seminar. Politeknik Pertaian Lampung.

Adhi Dharma Permana; Sugiono, A; Budiono, M.S.; Oktaufik, M.A.M. 2011. OutlookEnergi Indonesia. Sekretariat BPPT-Press. Badan Pengkajian dan PenerapanTeknologi. Jakarta.

A.H. Scragg. 2009. Biofuels. Produstian, Application and Development. CambradgeUniversity Press. Cambradge.

Antara. 2012. Kredit Bunga Rendah Jadi Kendala Program Biogas.http://www.biru.or.id/index. php/news/2011/7/28/74/kredit-bunga-rendah-jadi-kendala-program-biogas.html (diunduh 8 April 2014).

Dirjen ESDM. 2005, Prosiding Dialog Kebijakan Biodiesel, Peluang dan Tantangan,Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Jakarta

Haryono. 2014. Trade-Off in Land Allocation for Bioenergi Production. PaperDiseminarkan pada The 3th Indonesia EBTKE ConEx 4-6 Juni, 2014. Jakarta

Kementerian ESDM. 2005. Blueprint Pengelolaan Energi Mineral 2005-2025.Kementarian Energi dan Sumberdaya Mineral. Jakarta. www.esdm.go.id

Krug, M and Martikainen, A. 2012. Country Policy Assesment Report on BioenergyGermany. Federal Ministry for the Environment, Nature Canservation andNuclear Safety. Baltic Sea Region Programme 2007-2013. BioenergyPromotion. Germany.

Sarwani H.; Riswanto dan A. Ma’ruf. 2012. Perancangan Sistem Pengambilan KeputusanPrioritas Pengembangan Bio-energi Perdesaan Berbasis Biogas KotoranHewan. Program Studi Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Agribisnis daTeknologi Pangan Universitas Djuanda. Bogor.

Sitti Nurani Sirajuddin. 2014. kebijakan kelembagaan pada pengembangan peternakan sapiperah di sulawesi selatan.http://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaan-pengembangan-peternakan/sitti-nurani-sirajuddin/. (diundul 10 April 2014).

Thomas Buchholza, et.al. 2013. Multi Criteria Analysis for bioenergi systems assessments.http://dx.doi.org/10.1016/j.enpol.2008.09.054Get rights and content.

Trisna Subarna. 2013. Strategi Pengembangan Konsolidasi Lahan Sawah di Jawa Barat.Didalam Proseding Seminar Nasional. Pemanfaatan dan PendayagunaanLahan Terlantar Menuju Implementasi Reforma Agraria. Pusat SosialEkonomi Pertanian dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Yudi, L. A. Salampessy; Yakub, S.; Rusmana dan Budiaji, W. 2013. Pemodelan AlternatifKeputusan Petani Dalam Memanfaatkan Lahan Pertanian Untuk KetahananPangan Berkelanjutan. Didalam Proseding Seminar Nasional. Pemanfaatandan Pendayagunaan Lahan Terlantar Menuju Implementasi Reforma Agraria.Pusat Sosial Ekonomi Pertanian dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

ANALISIS POLA PERTUMBUHAN DAN PENGEMBANGAN SEKTORPERTANIAN DENGAN PENDEKATAN TIPOLOGI KLASSEN DAN

PERKEMBANGANUHAN SEKTOR PERTANIAN 2011 SAMPAI 2021 DIKABUPATEN OKU

Fifian [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis klasifikasi pertumbuhan sektorpertanian di Kabupaten Ogan Komering Ulu ditinjau dari pendekatan Tipologi Klassendan menganalisis peranan sektor pertanian dalam meningkatkan pertumbuhan subsektortanaman pangan dalam sepuluh tahun kedepan (tahun 2011 – 2021) di Kabupaten OganKomering Ulu. Klasifikasi pertumbuhan sektor pertanian di Kabupaten Ogan KomeringUlu ditinjau dari pendekatan Tipologi Klassen menunjukan bahwa subsektor yang majudan berkembang dengan pesat adalah subsektor perkebunan, sektor maju tapi tertekanyaitu subsektor peternakan sedangkan subsektor kehutanan dan perikanan termasuk dalamsektor potensial atau masih dapat berkembang serta subsektor tanaman panganmerupakan subsektor relatif tertinggal atau terbelakang (underdeveloped sector) diKabupaten Ogan Komering Ulu. Hasil perhitungan pertumbuhan subsektor pertanian (Gn)yaitu sebesar 0,5777799 dan perkembangan subsektor tanaman pangan sepuluh tahunkedepan di Kabupaten Ogan Komering Ulu yaitu nilai L2021 sebesar 235.345,2 ton, yaituterjadi peningkatan pertumbuhan subsektor tanaman pangan sebesar 186.762,2 tonselama sepuluh tahun. Hal ini menunjukan bahwa rata-rata pertumbuhan subsektortanaman pangan sebesar 18.676,2 ton pertahun.

Kata Kunci: Klasifikasi sektor pertanian, PDRB, Pertumbuhan Subsektor TanamanPangan.

PENDAHULUANSecara garis besar dapat di katakan bahwa sistem ketahanan pangan mencakup

empat aspek penting yaitu: ketersediaan, distribusi , cadangan pangan, konsumsi di tingkatrumah tangga, peran pemerintah serta masyarakat dalam sistem ketahanan pangan.Pemerintah melalui peraturan pemerintah nomor 68 tahun 2002 tentang katahanan panganmengatur berbagai hal tentang sistem ketahanan pangan, termasuk peran pemerintahdaerah (khususnya Kabupaten) untuk menciptakan ketahanan pangan nasional (Pranoto,2008).

Menurut Pranoto (2008) idealnya sistem ketahanan pangan yang baik akan terdapatkeseimbangan antara ketersediaan dengan tingkat konsumsi masyarakatnya. Jika terdapatkeseimbangan murni (ketersediaan tepat sama dengan konsumsi lokal) maka Kabupatentersebut hanya berada pada tingkat subsistensi. Namun jika terdapat kelebihan darikonsumsinya maka Kabupaten tersebut berpotensi untuk memperdagangkan komoditasnyakedaerah lain, oleh sebab itulah pemerintah memberlakukan otonomi daerah untukmeningkatkan potensi daerah.

Otonomi daerah yang dilakukan pemerintah ini pada hakikatnya adalah prosespembangunan ekonomi daerahnya berlandaskan pada kemampuan dan kemandiriandaerahnya itu sendiri sendiri. Untuk itu penting dilakukan bagaimana pentingkatan potensisektor-sektor penyumbang perekonomian suatu daerah yang digambarkan oleh indikatorekonomi yang ada. Indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu daerahdalam suatu periode tertentu ditunjukan oleh data Produk Domestik Regional Bruto(PDRB), baik atas dasar harga maupun atas dasar konstan. Produk Domestik RegionalBruto (PDRB) didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruhkegiatan ekonomi dalam suatu wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang danjasa akhir yang diproduksi oleh seluruh unit ekonomi (BPS OKU, 2011).

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Indonesia terdiri dari 9 sektor, yaitusektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektoristrik dan air minim, sektor bangunan, sektor perdagangab hotel dan restoran, sektorpengangkutan dan sektor komunikasi, sektor keuangan persewaan dan jasa perusahaanserta sektor jasa-jasa (Azhar dan Nasir, 2001).

Sejak dikeluarkannya undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahdaerah yang kemudian direvisi dengan undang-undang No. 32 Tahun 2004, Indonesiamulai menerapkan prinsip otonomi daerah dan disentralisasi fiskal dalam pelaksanaanpemerintah daerah yang semula bersifat sentralisasi dan sekarang berubah menjadiotonomi (desentralisasi) dimana pemerintah daerah diberikan kewenangan yang lebih besaruuntuk mengelola pembangunan didaerahnya masing-masing. Hal ini dilakukan dalamrangka untuk lebih mendorong dan meningkatkan aktifitas pembangunan seluruh daerahsesuai dengan potensi dan permasalahan daerah bersangkutan serta menampung aspirasidan keinginan masyarakat setempat (Sjafrizal, 2008).

Di Kabupaten Ogan Komering Ulu pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto(PDRB) didominasi oleh sektor pertanian dan pertambanganberdasarkan data PDRBKabupaten Ogan Komering Ulu tahun 2001 hingga 2011 menurut lapangan usaha. Untuksektor pertanian terbagi-bagi lagi menjadi beberapa subsektor diantaranya subsektortanaman pangan, tanaman perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan. Oleh karenaitu sektor pertanian menjadi sektor yang menyumbang hasil Produk Domestik RegionalBruto yang paling tinggi. Sehingga perlu dilakukan peningkatan potensi sektor ini daritahun-ketahun untuk memberikan sumbangan bagi nilai PDRB Kabupaten OKU secaraberkelanjutan.

Dari Grafik 1 dapat diihat laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Ogan Komering Ulupada sektor pertanian paling tinggi terjadi pada tahun 2003 sebesar 8,12 persen yangsebelumnya pada tahun 2002 PDRB sektor pertanian di Kabupaten Ogan Komering Ulusebesar 454,150 juta naik sebesar 491,024 juta pada tahun 2003, dan pada tahun 2011PDRB sektor pertanian 799,656 atau naik sebesar 6,95 persen dari tahun sebelumnyaPDRB sektor pertanian di Kabupaten Ogan Komering Ulu sebesar 754,761 juta.

Grafik 1. Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Ogan Komering UluSektor Pertanian dan Pertumbuhannya Tahun 2001 Hingga 2011 (Rp)

Sumber : BPS Kabupaten Ogan Komering Ulu, 2011

Pertumbuhan sektor pertanian suatu daerah pada dasarnya dipengaruhi olehkeunggulan kompetitif suatu daerah, spesialisasi wilayah serta potensi pertanian yangdimiliki oleh daerah tersebut. Adanya potensi pertanian disuatu daerah tidaklahmempunyai arti bagi pertumbuhan pertanian daerah tersebut bila tidak ada upayamemanfaatkan dan mengembangkan potensi pertanian secara optimal. Oleh karena itupemanfaatan dan pengembangan seluruh potensi pertanian yang potensial harus menjadiprioritas utama untuk digali dan dikembangkan dalam melaksanakan pembangunanpertanian daerah secara utuh.

Sedangkan untuk subsektor pertanian berupa subsektor tanaman pangan,sesungguhnya memiliki posisi stategis untuk dikembangkan di suatu wilayah untukmenjadi komoditi unggulan. Penetapan komoditas unggulan di suatu wilayah menjadisuatu keharusan dengan pertimbangan bahwa komoditas-komoditas yang mampu bersaingsecara berkelanjutan dengan komoditas yang sama pada diwilayah lain denganpertimbangan bahwa komoditas yang diusahakan efisien dari sisi teknologi dan sosialekonomi serta memiliki keunggulan komparatif. Selain itu kemampuan suatu wilayahuntuk memproduksi dan memasarkan komoditas yang sesuai dengan kondisi lahan daniklim di wilayah tertentu juga sangat terbatas (Bachrein, 2003).

Terkait dengan informasi-informasi di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah :Untuk menganalisis pola pertumbuhan sektor pertanian di Kabupaten Ogan Komering Uluditinjau dari pendekatan Tipologi Klassen dan menganalisis pertumbuhan sektor pertaniandalam sepuluh tahun kedepan (tahun 2011 – 2021) di Kabupaten Ogan Komering Ulu.

METODE PENELITIANPenelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Ogan Komering Ulu, pelaksanaan

penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Mei 2014. Metode yang digunakan dalampenelitian ini adalah metode teknik deskriptif. Metode pengumpulan data yang digunakandalam penelitian ini adalah metode observasi, data yang digunakan adalah data time seriesPDRB Kabupaten OKU dan PDB Sumatera Selatan Tahun 2001 – 2011.

Untuk menjawab tujuan pertama klasifikasi pertumbuhan sektor pertanian diKabupaten Ogan Komering Ulu ditinjau dari pendekatan Tipologi Klassen.

Tabel 1. Klasifikasi Sektor PDRB menurut Tipologi Klassen

0

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

700,000

800,000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011PDRB

pertumbuhan

PertumbuhanPDRB

Kontribusi (s)PDRB (sk)

si > s si < s

ski > sk

Kuadran ISektor yang maju dan

tumbuh denganpesat (developed sector)

si > s dan ski > sk

Kuadran IISektor maju tapi tertekan

(stagnantsector)

si < s dan ski > sk

ski < sk

Kuadran IIISektor potensial atau masih

dapatberkembang (developing

sector)si > s dan ski < sk

Kuadran IVSektor relatif tertinggal(underdeveloped sector)

si < s dan ski < sk

Sumber: Sjafrizal, 2008

Dimana:si = pertumbuhan sektor daerah analisis kabupaten/kota di Provinsis = pertumbuhan sektor daerah acuan Provinsiski = kontribusi sektor daerah analisis kabupaten/kota di Provinsisk = kontribusi sektor daerah acuan Provinsi

Analisis Tipologi Klassen menghasilkan empat klasifikasi sektor dengankarakteristik yang berbeda sebagai berikut (Sjafrizal, 2008):1. Sektor yang maju dan tumbuh dengan pesat (developed sector) (Kuadran I). Kuadran

ini merupakan kuadran yang laju pertumbuhan sektor tertentu dalam PDRB (si) yanglebih besar dibandingkan laju pertumbuhan sektor tersebut dalam PDRB daerah yangmenjadi referensi (s) dan memilki nilai kontribusi sektor terhadap PDRB (ski) yanglebih besar dibandingkan kontribusi sektor tersebut terhadap PDRB daerah yangmenjadi referensi (sk). Klasifikasi ini dilambangkan dengan si > s dan ski > sk.

2. Sektor maju tapi tertekan (stagnant sector) (Kuadran II). Kuadran ini merupakankuadran yang laju pertumbuhan sektor tertentu dalam PDRB (si) yang lebih kecildibandingkan laju pertumbuhan sektor tersebut dalam PDRB daerah yang menjadireferensi (s), tetapi memilki nilai kontribusi sektor terhadap PDRB (ski) yang lebihbesar dibandingkan kontribusi sektor tersebut terhadap PDRB daerah yang menjadireferensi (sk). Klasifikasi ini dilambangkan dengan si < s dan ski > sk.

3. Sektor potensial atau masih dapat berkembang (developing sector) (Kuadran III).Kuadran ini merupakan kuadran yang laju pertumbuhan sektor tertentu dalam PDRB(si) yang lebih besar dibandingkan laju pertumbuhan sektor tersebut dalam PDRBdaerah yang menjadi referensi (s), tetapi memilki nilai kontribusi sektor terhadapPDRB (ski) yang lebih kecil dibandingkan kontribusi sektor tersebut terhadap PDRBdaerah yang menjadi referensi (sk). Klasifikasi ini dilambangkan dengan si > s dan ski< sk.

4. Sektor relatif tertinggal (underdeveloped sector) (Kuadran IV). Kuadran inimerupakan kuadran yang laju pertumbuhan sektor tertentu dalam PDRB (si) yang

lebih kecil dibandingkan laju pertumbuhan sektor tersebut dalam PDRB daerah yangmenjadi referensi (s) dan sekaligus memilki nilai kontribusi sektor terhadap PDRB(ski) yang lebih kecil dibandingkan kontribusi sektor tersebut terhadap PDRB daerahyang menjadi referensi (sk). Klasifikasi ini dilambangkan dengan si < s dan ski < sk.

Untuk menjawab tujuan kedua digunakan persamaan pure forecast merupakanperhitungan proyeksi dengan kejadian masa lalu. Perhitungan dilaksanakan denganmengamati gejala dan perkembangannya dimasa lalu untuk diperkirakan keadaanya dimasayang akan datang.

Gn = dN/NDimana:

Gn = Pertumbuhan subsektor pertanian tanaman pangandN = perubahan subsektor pertanian tanaman pangan selama

periode dasar (tahun 2011 dikurang 2001)N = pertumbuhan awal subsektor pertanian tanaman pangan

(tahun 2001)

Lit = Lito (1 + Gn)t

Dimana:Lit = perkembangan subsektor tanaman pangan sepuluh tahun

kedepanLito = perkembangan subsektor tanaman pangan tahun 2011Gn = pertumbuhan subsektor tanaman pangant = waktu

HASIL DAN PEMBAHASANMengklasifikasikan Pertumbuhan Sektor Pertanian di Kabupaten Ogan KomeringUlu

Tipologi Klassen adalah metode untuk mengkelompokkan (klasifikasikan) suatusektor, subsektor, usaha atau komoditi daerah dengan cara membandingkan pertumbuhandan kontribusi ekonomi daerah dalam hal ini yaitu sektor pertanian daerah KabupatenOgan Komering Ulu dengan pertumbuhan ekonomi daerah (atau nasional) yaitu ProvinsiSumatera Selatan yang menjadi acuan dan membandingkan pangsa sektor, subsektor,usaha, atau komoditi suatu daerah dengan nilai rata-ratanya di tingkat yang lebih tinggi(daerah acuan atau nasional). Hasil analisis Tipologi Klassen akan menunjukkan posisipertumbuhan dan pangsa sektor, subsektor, usaha, atau komoditi pembentuk variabelregional suatu daerah.

Adapun hasil penyajian pengolahan data berupa hasil pertumbuhan dan kontribusiPDRB sektor pertanian di Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Provinsi Sumatera Selatandari Tahun 2001 – 2011 akan jelaskan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Laju Pertumbuhan dan Kontribusi PDRB Sektor Pertanian di KabupatenOgan Komering Ulu dan Provinsi Sumatera Selatan dari Tahun 2001 – 2011

Sektor Pertanian

Daerah AnalisisKab. Ogan komering Ulu

Daerah AcuanProv. Sumatera Selatan

Rata-Rata Rata-Rata Rata-Rata Rata-RataPertumbuhan Kontribusi Pertumbuhan Kontribusi

% % % %Tanaman Pangan 14,44 6,46 15,56 23,50Tan Perkebunan 24,78 73,65 19,80 46,12Peternakan 13,96 9,32 17,70 7,74Kehutanan 9,22 3,07 3,08 7,94Perikanan 15,60 7,51 15,41 14,70

Sumber: Analisis Data Sekunder

Pada Tabel 2, terdapat nilai rata-rata pertumbuhan dan kontribusi Kabupaten OganKomering Ulu dan Provinsi Sumatera Selatan dari tahun 2001-2011, dimana subsektorperkebunan menjadi subsektor potensial di Kabupaten Ogan Komering Ulu denganpertumbuhan sebesar 24,78 persen dan kontribusi sebesar 73,65 persen, Sedangkansubsektor yang pertumbuhan dan kontribusinya paling rendah adalah subsektor tanamanpangan yaitu pertumbuhan sebesar 14,44 persen dan kontribusi sebesar 6,46 persen, hal inidiakibatkan luas lahan tanaman pangan relatif sempit, serta belum memiliki sistem irigasi(pengairan yang baik) dan bahkan ada beberapa tanaman pangan tersebut yang hanyamencukupi untuk kebutuhan makan keluarga petani (subsisten) bukan untuk di jual(komersial).

Disediakan diagram batang untuk melihat lebih jelas perbandingan pertumbuhandan kontribusi sektor pertanian Kabupaten Ogan Komering Ulu dan Provinsi SumateraSelatan.

Grafik 2. Laju Pertumbuhan dan Kontribusi PDRB Subsektor Pertanian Kabupaten OganKomering Ulu dan Provinsi Sumatera Selatan

Sumber: Analisis Data SekunderSelanjutnya, berdasarkan data pada Tabel 2. dapat diklasifikasikan PDRB sektor

pertanian di Kabupaten Ogan Komering Ulu dari Tahun 2001 – 2011 berdasarkan TipologiKlassen sebagaimana tercantum pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Klasifikasi Sektor PDRB Pertanian Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun2001- 2011 berdasarkan Tipologi Klassen

0

20

40

60

80

100

Tan. Pangan Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan

PertumbuhanOKU

PertumbuhanSumsel

Kontribusi OKU

KontribusiSumsel

Kuadran ISektor yang maju dan tumbuh dengan pesat

(developed sector)si > s dan ski > sk

1. Tanaman Perkebunan

Kuadran IISektor maju tapi tertekan

(stagnant sector)si < s dan ski > sk

2. Peternakan

Kuadran IIISektor potensial atau masih dapatberkembang (developing sector)

si > s dan ski < sk

3. Kehutanan4. Perikanan

Kuadran IVSektor relatif tertinggal(underdeveloped sector)

si < s dan ski < sk

5. Tanaman Pangan

Sumber: Analisis Data Sekunder

Pada Tabel 3 dapat dilihat hasil analisis klasifikasi sektor PDRB pertanianKabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2001 – 2011, dimana subsektor tanamanperkebunan menjadi sektor yang maju dan tumbuh dengan pesat (developed sector), sektorperkebunan di Kabupaten Ogan Komering Ulu merupakan sektor yang laju pertumbuhandan kontribusinya lebih besar dibandingkan laju pertumbuhan dan kontribusi di sektorperkebunan daerah lain. Hal ini dibuktikan banyaknya perusahaan-perusahaan perkebunanantara lain yaitu PT Minanga Ogan, PT. Mitra Ogan dan perkebunan-perkebunan rakyat diKabupaten Ogan Komering Ulu.

Pada sektor maju tapi tertekan (stagnant sector) terdapat subsektor peternakan.Subsektor peternakan dalam tatanan masyarakat masih jarang ditemukan petani diKabupaten Ogan Komering Ulu yang melakukan usaha peternakan skala besar sehinggalaju pertumbuhan sektor tersebut lebih kecil dibandingkan laju pertumbuhan sektorpeternakan di daerah lain khususnya Provinsi Sumatera Selatan. Sedangkan nilai kontribusiPDRB subsektor peternakan di Kabupaten Ogan Komering Ulu lebih besar dibandingkankontribusi PDRB Provinsi Sumatera Selatan, hal ini karena petani masih beranggapanbahwa melakukan usaha peternakan hanya sebagai sampingan dan tidak bisa mencukupibiaya hidup sehari-hari, oleh karena itu petani lebih cenderung untuk melakukan usahatanisawah dan juga lagi berkebun untuk meningkatkan tarap hidupnya.

Subsektor kehutanan dan perikanan termasuk dalam sektor potensial atau masihdapat berkembang (developing sector). Dilihat dari besarnya pertumbuhan dan kontribusidua subsektor tersebut, maka sektor perikanan masih lebih unggul untuk berkembangdibandingan subsektor kehutanan. Walaupun keduanya memiliki pertumbuhan lebih besardari Provinsi Sumatera Selatan, dan nilai kontribusi lebih kecil dari Provinsi SumateraSelatan. Dilihat dari hasil analisis tersebut subsektor kehutanan dan perikanan berpotensiuntuk berkembang, karena Kabupaten Ogan Komering Ulu masih banyak hutan yangbelum dimanfaatkan dan mencegah terjadinya penebangan pohon secara liar (ilegal) sertaperikanan yang belum ada budidaya ikan tawar, tambak dan sebagainya.

Subsektor relatif tertinggal atau terbelakang (underdeveloped sector) di KabupatenOgan Komering Ulu adalah subsektor tanaman pangan. Subsektor tersebut termasuksubsektor terbelakang karena nilai pertumbuhan dan kontribusi tanaman pangan diKabupaten Ogan Komering Ulu lebih kecil daripada pertumbuhan dan kontribusi diProvinsi Sumatera Selatan. Sebagai subsektor yang terbelakang tanaman pangan tentuharus mendapat perhatian khusus agar dimasa mendatang subsektor tersebut dapat lebih

berkembang dan meningkatkan pertumbuhan dan kontribusi untuk daerah Kabupaten OganKomering Ulu.

Peranan Sektor Pertanian Dalam Meningkatkan Pertumbuhan Subsektor PertanianDalam Sepuluh Tahun Kedepan (Tahun 2011 – 2021) Di Kabupaten Ogan KomeringUlu

Sektor pertanian di Kabupaten Ogan Komering Ulu memiliki keunggulan yangberbeda-beda setiap komoditi, baik tanaman perkebunan, tanaman pangan, perikanan,peternakan maupun kehutanan. Dengan mengetahui perbedaan keunggulan tersebut makaakan lebih mudah bagi pemerintah untuk menyusun kebijakan-kebijakan yang akandiambil guna untuk meningkatkan pendapatan dan perekonomian daerah sehinggakesejahteraan rakyat dapat meningkat.

Subsektor tanaman pangan dari hasil pendekatan tipologi klassen tanaman panganmenjadi sektor yang relatif tertinggal dari subsektor yang lain, oleh karena itu untukmelihat perkembangan subsektor tanaman pangan dalam sepuluh tahun kedepan harusdiperioritaskan, guna membantu pemerintah lebih meningkatkan kebijakan-kebijakan yangberkaitan dengan peningkatan kontribusi tanaman bagi daerah, sehingga untuk melihatperkembangan dalam sepuluh tahun kedepan perlu diadakan analisis proyeksi pertumbuhansubsektor pertanian tanaman pangan dengan pendekatan pure forecast untuk melihatpertumbuhan subsektor pertanian tanaman pangan dari tahun 2011 hingga tahun 2021.

Proyeksi subsektor tanaman pangan sepuluh tahun kedepan adalah sebagai berikut:

Gn = Dy/N48.583-30.792

30.792= 0,5777795

Lit = Lito (1 + Gn)t

= 48.583 (1 + 0,5777795)10

= 48.583. 4,8441= 235.345,2

L2021 menunjukan besarnya pertumbuhan atau perkembangan subsektor tanamanpangan di Kabupaten Ogan Komering Ulu pada tahun 2021. Dari hasil analisis tersebutdiperoleh nilai L2021 sebesar 235.345,2 ton, yaitu terjadi peningkatan pertumbuhansubsektor tanaman pangan sebesar 186.762,2 ton selama sepuluh tahun. Hal inimenunjukan bahwa rata-rata pertumbuhan subsektor tanaman pangan sebesar 18.676,2 tonpertahun.

SIMPULAN DAN SARANBerdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut :1. Klasifikasi pertumbuhan sektor pertanian di Kabupaten Ogan Komering Ulu ditinjau

dari pendekatan Tipologi Klassen menunjukan bahwa subsektor yang maju danberkembang dengan pesat adalah subsektor perkebunan, sektor maju tapi tertekanyaitu subsektor peternakan sedangkan subsektor kehutanan dan perikanan termasukdalam sektor potensial atau masih dapat berkembang serta subsektor tanaman pangan

merupakan subsektor relatif tertinggal atau terbelakang (underdeveloped sector) diKabupaten Ogan Komering Ulu.

2. Hasil perhitungan pertumbuhan subsektor pertanian (Gn) yaitu sebesar 0,5777799 danperkembangan subsektor tanaman pangan sepuluh tahun kedepan di Kabupaten OganKomering Ulu yaitu nilai L2021 sebesar 235.345,2 ton, yaitu terjadi peningkatanpertumbuhan subsektor tanaman pangan sebesar 186.762,2 ton selama sepuluh tahun.Hal ini menunjukan bahwa rata-rata pertumbuhan subsektor tanaman pangan sebesar18.676,2 ton pertahun.

Saran

Berdasarkan analisis-analisis yang diuraikan maka saran-saran yang dapatdilakukan diantaranya adalah:1. Perlu adanya kajian lanjutan mengenai potensi sektor pertanian Subsektor pertanian

dengan metode analisis skalogram, Provincial share, Proportional (Industrial-Mix)Shift (Sp), dan Differential Shift (Sd) agar diharapkan menghasilkan kajian yang lebihmendalam.

2. Sektor dan komoditi unggulan yang sudah ada di masing-masing Kecamatan atautingkat Kabupaten Ogan Komering Ulu perlu dipertahankan kelangsungannya dandiupayakan menjadi lebih berkembang dan maju lagi dalam tingkat produksi.

3. Perlu adanya kebijakan-kebijakan khusus dan massif dari pemerintah dan pihak terkaituntuk sektor non unggulan sehingga dapat meningkatkan kinerjanya menjadi sektoryang potensial di Kabupaten OKU.

DAFTAR PUSTAKA

Azhar, dkk, 2001. Analisis Sektor Unggulan dan Non Unggulan Dipropinsi NangroeAceh Darussalam. Onlin(http://www.ekper.go.id/jurnalagribisnis .pdf.html).

Bachrein S. 2003. Penetapan Komoidtas Unggulan Propinis. BP2TP Working Paper.Bogor. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.

BPS OKU. 2011. Badan Pusat Statistik Kabupaten OKU.Pranoto, E. 2008. Potensi Wilayah Komoditas Pertanian dalam Mendukung Ketahanan

Pangan Berbasis Agribisnis Kabupaten Banyumas. Program Pascasarjana.Universitas Diponegoro. Semarang.

Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional : Teori dan Aplikasi. Padang: Baduose Media

Indonesia Memerlukan Impor Bakalan Sapi Bukan Impor Daging Sapi

Adrian Darmawan Lubis1, Amzul Rifin2

1. Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional, Badan Pengkajian danPengem-bangan Kebijakan Perdagangan, Kementerian Perdagangan-RI, Jl. M.I.Ridwan Rais No. 5 Jakarta Pusat, Email : [email protected]

2. Fakultas Ekonomi Managemen, Institut Pertanian Bogor, Email :[email protected]

Abstrak

Lonjakan harga produk pangan, salah satunya adalah harga daging sapi ditahun 2013menimbulkan kekhawatiran instrumen yang dimiliki Indonesia untuk menjaga stabilitasharga pangan tidak lagi sesuai. Sebagai upaya mengatasi lonjakan harga tersebut,pemerintah melakukan perubahan kebijakan impor daging sapi, dari kebijakan kuota impormenjadi kebijakan impor berdasarkan harga paritas, sebagaimana tercantum dalamPermendag 46/2013 dan Permendag 57/2013. Kebijakan dalam kedua Permendag tersebutbertujuan untuk menurunkan harga daging sapi menjadi Rp 76.000/kg.

Namun, studi ini yang menggunakan data primer dan sekunder dengan metodeanalisis tabulasi deskripsi serta regresi berganda menemukan bahwa kedua Permendagtersebut tidak efektif menurunkan harga daging sapi. Kegagalan kedua Permendag tersebutdisebabkan rendahnya minat masyarakat membeli daging impor akibat tidak pastinya statushalal, dan keberatan pemerintah daerah yang menganggap impor daging sapi dengan hagamurah akan menghancurkan usaha ternak sapi lokal. Sebagai rekomendasi agar Indonesiadapat menjaga stabilitas harga daging sapi dengan menggunakan kebijakan impor paritas,perlu dilakukan peningkatan ketersediaan daging melalui impor sapi siap potong danbakalan sapi yang memberikan jaminan halal dan tidak akan mematikan usaha ternakrakyat.

Kata kunci : lonjakan harga, impor paritas, kebijakan stabilitas harga

JEL Classification : F10, F13

Latar BelakangDaging sapi merupakan salah satu sumber protein di Indonesia, bersamaan dengan

ikan, unggas, kambing dan babi. Selama ini perkiranaan permintaan daging sapi mencapai30-40 persen dari total konsumsi protein di Indonesia. Selain sebagai salah satu sumberprotein di Indonesia, hidangan berbahan baku daging merupakan salah satu bukti kekayaandi Indonesia. Hal ini sangat jamak terlihat dalam kondisi hari raya lebaran dan kurbansebagian masyarakat mengutamakan membeli daging tanpa memperdulikan harganya.

Namun pada bulan Agustus 2013 terjadi lonjakan harga daging sapi yang sangattinggi, menjadi Rp 90.000 per kg dari Rp 70.000 per kg di akhir tahun 2012. Peningkatanharga daging sapi yang sangat tinggi tersebut diprotes oleh berbagai kalangan masyarakatdan menjadi salah satu permasalahan prioritas yang harus diselesaikan pemerintah.

Berdasarkan berbagai masukan diketahui bahwa penyebab utama peningkatanharga daging sapi disebabkan keterbatasan ketersediaan daging sapi akibat kegagalankebijakan swasembada daging dari Kementerian Pertanian yang diikuti dengan kebijakanpembatasan impor daging beku pada tahun 2012. Kondisi ini menyebabkan industripengolahan yang selama ini mengkonsumsi daging beku melakukan penetrasi membelidaging sapi lokal yang ditujukan untuk memasok pasar tradisional.

Sebagai upaya untuk mengatasi lonjakan harga tersebut dilakukan kebijakanmanajemen ekspor dan impor dengan menggunakan kebijakan harga paritas. Kebijakan iniakan merubah kebijakan impor daging yang selama ini dilakukan pemerintah. Salah satuperbedaan mendasar antara kebijakan harga paritas dengan kebijakan impor daging, padakebijakan harga paritas dilakukan manejemen stock yang dapat dilakukan dengan proyeksikebutuhan impor atau melakukan iron stock.

Menyadari menejemen stock yang menggunakan impor daging merupakan tulangpunggung yang mensukseskan keberhasilan kebijakan harga paritas, perlu dilakukananalisis apakah impor daging beku dapat mempengurahi harga daging nasional.Berdasarkan permasalaha tersebut, tujuan paper ini adalah :

a. Menganalisis dampak kebijakan impor paritas daging sapi beku terhadap perubahanharga daging lokal.

b. Merumuskan usulan kebijakan yang lebih efektif untuk mempengaruhi perubahanharga daging lokal.

Ruang LingkupAdapun ruang lingkup dalam kajian ini adalah :

a. Harga adalah harga rata-rata perbulan yang didapat dari perubahan harga harian,untuk tingkat nasional dan daerah.

b. Harga daging sapi lokal adalah harga rata-rata daging sapi per bulan di tingkatnasional.

c. Harga daging sapi daerah turun lapang adalah harga rata-rata daging sapi per bulandi tingkat daerah.

d. Harga internasional adalah harga rata-rata daging sapi di salah satu negara eksportirutama didunia, dalam kajian ini adalah harga daging sapi di Australia.

e. Margin adalah selisih antara harga daging sapi internasional dengan harga dagingsapi lokal, yang dapat dianalogikan sebagai margin tataniaga daging sapi.

Data dan MetodologiAdapun data yang digunakan dalam kajian ini adalah data primer berupa hasil

wawancara serta data sekunder berupa data perubahan harga, volume impor dan hargainternasional yang diperoleh dari Kementerian Perdagangan dan Dinas Perdagangansetempat. Sedangkan metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode tabulasisederhana untuk mengolah data primer dan data perubahan harga, serta analisis regresiberganda untuk mengolah data sekunder.= + 1 1 + 2 2 + ( 1 )Dimana :

y = nilai logaritma harga daging sapix1 = nilai logaritme volume imporx2 = nilai logaritma dari harga internasional dan margin hargac = konstanta

Teori Harga ParitasKebijakan harga paritas merupakan kebijakan menejemen ekspor dan impor

sebagaimana terlihat dalam Gambar 1 (Haggblade, 2012). Kebijakan tersebut padadasarnya adalah mengatur ketersediaan produk dipasar melalui skema ekspor jika hargarendah dan impor jika harga produk tinggi.

Gambar 1. Teori Harga Paritas

Sumber : (Haggblade, 2012)

Gambar 1 memperlihatkan bahwa pada mulanya harga sebuah produk adalah 200dengan permintaan sesuai kurva D dan ketersediaan sesuai kurva S0. Namun pada saatmusim panen paceklik, penawaran menurun menjadi S1, dimana harga meningkat menjadi300. Peningkatan harga menjadi 300 dianggap pemerintah terlalu tinggi, sehinggadilakukan kebijakan meningkatkan impor sehingga harga lokal turun dari 300 menjadi Pm,sedangkan penawaran meningkat dari S1 menjadi Qm (Haggblade, 2012).

Sebaliknya pada saat panen raya, harga produk jatuh dari 200 menjadi 100, dengankurva penawaran meningkat dari S0 menjadi S2. Penurunan harga tersebut dianggappemerintah terlalu rendah, sehingga dilakukan pengurangan penawaran melalui kegiatanekspor. Kegiatan ekspor tersebut akan menurunkan penawaran di pasar lokal menjadi Qeyang menyebabkan peningkatan harga dari 100 menjadi Pe (Haggblade, 2012).

Pm disebut juga sebagai import parity price, adalah harga yang dapat diterimadinegara importir setelah meningkatkan ketersediaan melalui kegiatan impor. Penentuanharga ini dipengaruhi oleh harga internasional ditambah biaya transportasi, pajak serta

pungutan dan biaya pengiriman (handling cost). Sebaliknya Pe disebut sebagai exportparity price, adalah harga yang diterima negara eksportir setelah mengurangiketersediaannya melalui kegiatan ekspor. Adapun variabel yang mempengaruhi exportparity price adalah harga internasional, dikurangi biaya transportasi, pajak serta pungutandan biaya pengiriman (handling cost) (Haggblade, 2012).

Gambar 2. Kebijakan Impor Paritas Akan Mengurangi Kesejahteraan Produsen danMeningkatkan Kesejahteraan Konsumen

Sumber : Murgatroyd, and Baker, 2010.

Tinjauan Industri Sapi Di IndonesiaSapi potong merupakan penyumbang daging terbesar dari kelompok ruminansia

terhadap produksi daging nasional sehingga usaha ternak ini berpotensi untukdikembangkan sebagai usaha yang menguntungkan. Sapi potong telah lama dipelihara olehsebagian masyarakat sebagai tabungan dan tenaga kerja untuk mengolah tanah denganmanajemen pemeliharaan secara tradisional. Pola usaha ternak sapi potong sebagian besarberupa usaha rakyat untuk menghasilkan bibit atau penggemukan, dan pemeliharaan secaraterintegrasi dengan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan (Suryana, 2009).

Pengembangan usaha ternak sapi potong berorientasi agribisnis dengan polakemitraan merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan keuntungan peternak.Kemitraan adalah kerja sama antarpelaku agribisnis mulai dari proses praproduksi,produksi hingga pemasaran yang dilandasi oleh azas saling membutuhkan danmenguntungkan bagi pihak yang bermitra. Pemeliharaan sapi potong dengan pola sepertiini diharapkan pula dapat meningkatkan produksi daging sapi nasional yang hingga kinibelum mampu memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat. Di sisi lain,permintaan daging sapi yang tinggi merupakan peluang bagi usaha pengembangan sapipotong lokal sehingga upaya untuk meningkatkan produktivitasnya perlu terus dilakukan(Suryana, 2009).

Hasil penelitian Ilham (2001) menemukan lima kesimpulan penting dari hasil paperini, yaitu: (1) penawaran daging sapi dari peternakan rakyat dipengaruhi oleh selisih hargadaging sapi, dan penawaran dari industri peternakan rakyat, (2) penawaran industripeternakan rakyat dipengaruhi oleh harga daging sapi, harga sapi bakalan impor dantingkat suku bunga, (3) impor daging sapi dipengaruhi oleh tarif impor, (4) permintaandaging sapi dipengaruhi oleh harga daging sapi dan harga ikan. (5) harga daging sapi

domestik dipengaruhi oleh harga daging sapi impor, harga ternak sapi, dan penawarandaging sapi domestik.

Tingginya harga daging sapi menjadi permasalahan tersendiri bagi pemerintah.Selain karena meningkatnya permintaan di bulan Ramadhan dan menjelang perayaan IdulFitri, permasalahan lain juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pergerakanharga daging sapi yang melambung tinggi. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut,pemerintah melakukan kebijakan stabilisasi harga daging sapi dengan menghapus kuotaimpor sapi potong dan penunjukan Perum Bulog sebagai stabilisator harga, denganmemberikan izin impor daging sapi sebanyak 3.000 ton. Kebijakan ini diharapkan dapatmenekan harga daging sapi di kisaran Rp75.000,- per kilogram, sebagai harga acuannormal (Permana, 2013).

Priyatno (2005) dalam kajiannya menemukan bahwa laju peningkatan pendudukdan perubahan selera konsumen, akan menuntut perubahan pola konsumsi termasukpermintaan daging sapi yang merupakan komoditas peternakan strategis. Kondisi tersebutditunjukkan laju peningkatan daging impor dan impor sapi bakalan.

Selain itu hasil paper Komisi Pemberantasan Korupsi (2013) menemukan bahwakebijakan tataniaga daging sapi yang menjadi salah satu komoditas strategis berdasarkanRencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 terbuktiberpihak kepada peternak kecil dan menengah, mengarah pada pengembangan industridaging di sentra produksi, dan adanya kelemahan dalam kebijakan dan tata laksana imporakibat dominannya praktik-praktik rent-seeking dan kartel.

Pola Harga Daging SapiGambar 3 memperlihatkan perubahan harga daging sapi nasional selama tahun

2008 sampai dengan tahun 2013. Pada tahun 2008 harga rata-rata daging sapi mencapai Rp53.875 per kg, dan meningkat selama bulan ramadhan dan lebaran menjadi Rp. 60.000 perkg. Selama periode tersebut nilai inflasi sebesar 11.06 persen, harga daging sapiinternasional di Australia sebesar Rp USD 3.14 per kg dengan nilai tukar sebesar Rp 9.757per USD. Selama tahun tersebut Indonesia mengimpor sebanyak 45.560 ton setara dagingyang umumnya didatangkan dari Australia.

Selanjutnya pada tahun 2009 harga rata-rata daging sapi mencapai Rp 59.543 perkg dengan peningkatan tertinggi selama ramadhan dan lebaran mencapai Rp 60.000 per kg.Selama periode tersebut inflasi di Indonesia mencapai 2,78 persen, dengan nilai tukar Rp10.356 per USD, dengan harga daging sapi internasional mencapai USD 2,64 per kg.Selama periode tersebut Indonesia mengimpor sebesar 67.908 ton setara daging.

Tahun 2010 harga rata-rata daging sapi mencapai Rp 63.023 per kg denganpeningkatan tertinggi selama ramadhan dan lebaran mencapai Rp 65.000 per kg. Selamaperiode tersebut inflasi di Indonesia mencapai 6,96 persen, dengan nilai tukar Rp 9.078per USD, dengan harga daging sapi internasional mencapai USD 3,35 per kg. Selamaperiode tersebut Indonesia mengimpor sebesar 90.506 ton setara daging.

Gambar 3. Pola Perubahan Harga Daging Sapi 2008-2013

Sumber : BPS, diolah

Selama tahun 2011 harga rata-rata daging sapi mencapai Rp 66.853 per kg denganpeningkatan tertinggi selama ramadhan dan lebaran mencapai Rp 70.000 per kg. Selamaperiode tersebut inflasi di Indonesia mencapai 3,79 persen, dengan nilai tukar Rp 8.773per USD, dengan harga daging sapi internasional mencapai USD 4.04 per kg. Selamaperiode tersebut Indonesia mengimpor sebesar 66.062 ton setara daging.

Sedangkan ditahun 2012 harga rata-rata daging sapi mencapai Rp 76.692 per kgdengan peningkatan tertinggi selama ramadhan dan lebaran mencapai Rp 80.000 per kg.Selama periode tersebut inflasi di Indonesia mencapai 4,30 persen, dengan nilai tukar Rp9.419 per USD, dengan harga daging sapi internasional mencapai USD 4.14 per kg.Selama periode tersebut Indonesia mengimpor sebesar 33.506 ton setara daging.

Namun semenjak Oktober 2012 sampai dengan Juli 2013 harga daging sapi terusnaik, mencapai rata-rata Rp 91.407 per kg, dimana pola ini berbeda dengan tahun 2008-September 2012. Adapun nilai tukar Rupiah pada tahun tersebut sebesar Rp 9.756 perUSD, dengan harga daging internasional mencapai USD 4,19 per kg. Adapun volumeimpor daging dalam periode tersebut mencapai 8.970 ton, sangat sedikit dibandingkantahun-tahun sebelumnya.

Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Harga Daging SapiBerdasarkan data dalam Gambar 4 terlihat bahwa peningkatan harga daging sapi

baru meningkat pesat selama Juni 2012 sampai dengan Mei 2013. Kondisi ini sejalandengan rendahnya volume impor daging dalam periode tersebut. Harga daging yangmenunjukkan pola meningkat selama Juni 2012 sampai dengan Mei 2013 diperkirakan

diakibatkan oleh kelangkaan daging sapi khususnya daging impor yang dibatasi selamaperiode tersebut3.

Gambar 4. Volume Impor Berbanding Terbalik Dengan Peningkatan HargaDaging

Sumber : BPS, diolah

Selain disebabkan oleh kelangkaan, harga daging sapi menunjukkan polapeningkatan setiap tahun khususnya selama bulan ramadhan dan hari lebaran. Pola inidapat dilihat selengkapnya dalam Gambar 5 yang menunjukkan bahwa peningkatan hargarata-rata tertinggi perbulan salama 2010 sampai dengan 2013 sebesar 2,94 persensedangkan penurunan harga rata-rata terendah adalah 0,76 persen. Namun selama bulanramadhan dan hari lebaran terjadi peningkatan harga hampir enam persen, atau dua kalilipat dari peningkatan harga rata-rata bulanan daging sapi.

Gambar 5. Fluktuasi Harga Bulanan Daging Sapi

Sumber : BPS, diolah

3 Selanjutnya dapat dibaca dalam artikel Menteri Perdagangan Jamin Harga Daging Sapi Segera Turun, diunduh melaluihttp://www.tribunnews.com/bisnis/2013/07/18/menteri-perdagangan-jamin-harga-daging-sapi-segera-turun, pada 2 Oktober2013.

-6.00

-4.00

-2.00

0.00

2.00

4.00

6.00

8.00

55000

60000

65000

70000

75000

80000

85000

90000

95000

Jan Mar

Mei Jul Sep No

p Jan Mar

Mei

Jul Sep Nop Jan Mar

Mei

Jul Sep Nop Jan Mar

2010 2011 2012 2013

Perse

n

Rp/Kg

Daging Sapi (Rp/Kg) Perubahan (%)

2.94

-0.76

Pola perubahan harga daging sapi dalam Gambar 5 menunjukkan pola harga dagingselalu naik, terutama setelah pembatasan impor daging. Selanjutnya, pola harga dagingyang selalu naik sebesar enam persen selama bulan ramadhan dan lebaran dan polakenaikan harga yang konsisten sekitar 2,94 persen menimbulkan dugaan apakah pasardaging sapi bukan merupakan pasar persaingan sempurna. Adapun hasil ini dapat dilihatselengkapnya dalam Tabel 1 dan 2 yang menjelaskan variabel yang mempengaruhi hargadaging sapi.

Dari data diatas, dilakukan regresi sederhana untuk melihat faktor-faktor yangmempengaruhi harga domestik dengan menggunakan regresi logistik. Ada dua persamaanyang dihitung dalam kajian ini. Pertama dengan variabel dependennya harga daging lokal(llokal) dan variabel independennya dua yaitu impor (limpor) dan harga internasional(linter).

Hasilnya dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa koefisien variabel impor relatif kecil(-0.0403) yang berarti peningkatan satu persen impor maka hanya akan menurunkan hargadaging lokal sebesar -0.0403 persen. Sedangkan peningkatan harga internasional justruyang mempunyai pengaruh terbesar terhadap harga lokal (setiap peningkatan 1 persenharga internasional maka harga daging lokal akan meningkat sebesar 0.736 persen). Darihasil ini terlihat bahwa perubahan harga daging lokal mengikuti harga internasional jaditidak ada kebijakan domestik yang dapat mempengaruhi harga daging lokal dari persamaanini.

Tabel 1. Dampak Perubahan Nilai Impor dan Harga InternasionalTerhadap Harga Daging Sapi di Indonesia

Sumber : BPS, diolah

Persamaan kedua dalam Tabel 2 dianalisis dua variabel yaitu impor (limpor) danmargin (lmargin). Margin disini merupakan selisih antara harga domestik dengan hargainternasional dalam satuan rupiah. Dari hasil persamaan ini relatif sama dengansebelumnya bahwa dampak impor relatif kecil terhadap harga daging lokal sedangkandampak margin lebih besar dengan koefisien 0.621 walaupun lebih kecil dibandingkandampak harga internasional. Dari kedua hal tersebut dapat disimpulkan bahwa untukmenurunkan harga daging lokal cara yang terbaik bukan melalui impor tapi denganmenurunkan margin (selisih antara harga lokal dan internasional) karena dilihat nilaiselisihnya ternyata cukup besar (lihat gambar berikut). Cara untuk menurunkan marginadalah dengan mengatur tataniaga daging sapi di Indonesia, dimana terdapat korelasi yangkuat antara harga daging lokal dengan besarnya margin yang dapat dilihat selengkapnyadalam Gambar 6.

Tabel 2. Dampak Perubahan Nilai Impor dan Margin Terhadap HargaDaging Sapi di Indonesia

Sumber : BPS, diolah

Gambar 6. Korelasi Margin dengan Harga Daging Lokal Lebih Kuat DibandingkanKorelasi Harga Daging Lokal dengan Harga Daging Internasional

Sumber : BPS, diolah

Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa perubahan harga daging lokal relatif tidaksama dengan perubahan harga daging internasional. Perubahan harga daging lokal yangberbeda dengan harga internasional menunjukkan bahwa kemungkinan pasar daging lokaltidak berada dalam kondisi pasar persaingan sempurna. Kondisi ini ditegaskan dengan polaharga daging lokal yang searah dengan perubahan margin daging sapi.

Temuan Turun LapangHasil kegiatan turun lapang menemukan dua kasus menarik mengenai perubahan

harga daging sapi selama tahun 2012 sampai Juli 2013 di Jawa Tengah dan D.IYogyakarta. Kedua propinsi tersebut merupakan propinsi surplus daging di Indonesia danmemasok kebutuhan daging di Jawa Barat dan D.K.I. Jakarta. Berdasarkan data dalamGambar 7, terlihat bahwa selama bulan Januari sampai September 2012, harga daging sapidi kedua propinsi tersebut masih dibawah rata-rata harga Indonesia. Namun pola tersebutberubah semenjak bulan Oktober 2012, dimana harga rata-rata bulanan daging sapi di D.I.Yogyakarta meningkat melalui harga rata-rata nasional, jauh meningkat dibandingkanharga Jawa Tengah.

Gambar 6. Perubahan Harga Daging Sapi di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta

Sumber : Dinas Perdagangan Setempat 2013, diolah

Gambar 8. Perbandingan Harga Daging Sapi Di Tingkat Produsen dan Konsumen di JawaTengah dan D.I. Yogyakarta

8.a. Harga di Jawa Tengah

8.b. Harga di Yogyakarta

Sumber : Dinas Perdagangan dan Peternakan Setempat 2013, diolahPerubahan pola harga dikedua propinsi tersebut ternyata dipengaruhi oleh margin

tataniaga. Berdasarkan data dalam Gambar 8, terlihat bahwa harga produsen di keduapropinsi sama selama periode Januari 2012 sampai September 2013. Namun, perbedaankebijakan tataniaga diantara kedua propinsi menyebabkan harga di D.I. Yogyakarta

-

20,000

40,000

60,000

80,000

100,000

120,000

0

20,000

40,000

60,000

80,000

100,000

120,000

Janu

ari

Febr

uari

Mar

et

April Mei

Juni

Juli

Agus

tus

Sept

embe

r

Okt

ober

Nov

embe

r

Des

embe

r

Janu

ari

Febr

uari

Mar

et

April Mei

Juni

Juli

Agus

tus

Sept

embe

r*

2012 2013

Rp/Kg

Rp/Kg

Margin Tataniaga Harga Produsen Harga Konsumen

meningkat lebih tinggi dibandingkan harga di Jawa Tengah. Adapun perbedaan kebijakantersebut adalah himbauan dan upaya Pemda Jawa Tengah dan minat peternak lokal untukmengutamakan pemenuhan kebutuhan lokal dibandingkan permintaan dari daerah lainlebih tinggi dibandingkan daerah D.I. Yogyakarta. Hal ini menyebabkan harga daging diJawa Tengah relatif stabil karena pasokannya terpenuhi, berbeda dengan kasus di D.I.Yogyakarta.

Selanjutnya terdapat temuan menarik di kedua propinsi, dimana kedua propinsitersebut tidak berniat untuk menjual daging impor dipasar lokal. Penyebab utamapenolakan menjual daging impor tersebut adalah belum jelasnya status halal dankekhawatiran Pemda setempat bahwa impor daging akan mematikan usaha ternak rakyat.Merujuk kepada kedua hal tersebut, selama periode peningkatan harga daging sapi di tahun2013, hampir tidak ditemukan upaya penjualan daging sapi impor di kedua propinsi,meskipun harga daging di tahun 2013 sudah jauh meningkat dibandingkan tahunsebelumnya. Kedua temuan ini mengindikasikan bahwa kebijakan Pemerintah Pusat untukmengimpor daging sapi tidak akan efektif untuk mengendalikan fluktuasi harga dagingsapi. Peningkatan pasokan daging di masyarakat hanya dapat dipenuhi oleh peningkatanpasokan sapi melalui bakalan sapi dan impor sapi siap potong yang memberikan jaminanhalal dan tidak akan mematikan usaha ternak rakyat.

Kesimpulan dan RekomendasiBerdasarkan hal tersebut di atas, ternyata kebijakan impor paritas untuk daging sapi

beku tidak efektif untuk mengurangi fluktuasi harga daging sapi karena keterbatasan minatmasyarakat mengkonsumsi daging impor yang tidak jelas status halalnya dan kebijakantersebut tidak didukung Pemda karena dikhawatirkan mematikan usaha ternak rakyat.

Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, direkomendasikan untuk menekanfluktuasi harga daging sapi melalui kebijakan impor paritas pengadaan sapi melalui imporbakalan sapi dan sapi siap potong yang memberikan jaminan halal dan tidak akanmematikan usaha ternak rakyat.

Daftar Pustaka

Haggblade, S. 2012. Module 4.2: Import & Export Parity Pricing, Michigan StateUniversity. AAMP Training Materials. Diunduh melaluifsg.afre.msu.edu/.../Module_4.2_Import_ and_Export_Parity_Pricing.ppt, pada 29Juli 2013.

Ilham, N. 2001. Analisis Penawaran Dan Permintaan Daging Sapi Di Indonesia.Disampaikan dalam Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2001.Diunduh melalui lkusrina.staff.gunadarma.ac.id/ Downloads/files/30610/ilham.pdf ,pada 1 Oktober 2013.

Komisi Pemberantas Korupsi. 2013. Kajian Kebijakan Tata-Niaga Komoditas Strategis:Daging Sapi. Direktorat Paper dan Pengembangan. Diunduh melaluihttp://acch.kpk.go.id/documents/10157/27926/Kajian-kebijakan-tata-niaga-komoditas-strategis-KPK.pdf.2013 Oktober 1 pada ,

Murgatroyd, R. and S. Baker, August 2010. When Does Import Parity Pricing ConstituteAn Abuse, And Where It Does How Can The Abuse Be Remedied? Fourth AnnualCompetition Commission, Competition Tribunal, Mandela Institute Conference onCompeition Law, Economics and Policy, Johanesburg. Diunduh melaluliwww.rbbecon.com/forth-annual-competition, pada 1 Oktober 2013.

Permana, S.H. 2013. Instrumen Pengendalian Harga Daging Sapi. Info Singkat. PusatPengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI). Sekretariat Jenderal DPR RI,Vol. V, No.14/II/P3DI/Juli. Diunduh melaluihttp://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/ info_singkat/Info%20Singkat-V-14-II-P3DI-Juli-2013-59.pdf , pada 1 Oktober 2013.

Priyatno, D. 2005. Evaluasi Kebijakan Impor Daging Sapi Melalui Analisis PenawaranDan Permintaan. Disampaikan dalam Seminar Nasional Teknologi Peternakan danVeteriner 2005. Diunduh melalui lkusrina.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/30616/priyanto.pdf.2013 Oktober 1 pada ,

Suryana. 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis DenganPola Kemitraan. Jurnal Litbang Pertanian, 28(1). Diunduh melaluihttp://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/p3281095.pdf, pada 1 Oktober 2013.

PEMANFAATAN KOMITMEN PAKET BALI WORLD TRADE ORGANIZATIONUNTUK MENCAPAI KEMANDIRIAN PANGAN4

Adrian Darmawan Lubis1, Rina Oktaviani, Eka Puspitawati2

3. Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional, Badan Pengkajian danPengem-bangan Kebijakan Perdagangan, Kementerian Perdagangan-RI, Jl. M.I.Ridwan Rais No. 5 Jakarta Pusat, Email : [email protected]

4. Fakultas Ekonomi Managemen, Institut Pertanian Bogor, Email :[email protected]

Abstrak

Paket Bali yang disepakati dibulan Desember 2013 merupakan komitmenpelaksanaan atas sebagian kecil isu pertanian dalam World Trade Organization (WTO).Intisari Paket Bali tersebut adalah jaminan kebebasan dan perlindungan bagi badan logistik(public stock holding) negara berkembang untuk memberikan subsidi harga produsen,subsidi kepada konsumen khusus, dan manajemen stok pangan dalam upaya mewujudkanketersediaan dan stabilitas harga pangan lokal sampai dengan tahun 2017 yang bebas dariintervensi negara lain.

Namun, studi ini yang menggunakan data primer dan sekunder dengan metodeanalisis tabulasi deskripsi, menemukan bahwa kondisi Indonesia saat ini belum dapatmemanfaatkan Paket Bali tersebut. Kebijakan stabilitas harga yang terdiri dari HargaPembelian Pemerintah dan Beras Miskin tidak akan efektif menjaga stabilitas haga karenarendahnya anggaran yang disediakan. Studi ini merekomendasikan agar setiap instansiyang terlibat dalam menjaga stabilitas harga pangan memanfaatkan komitmen Paket Bali diWTO untuk meningkatkan pagu anggaran subsidi minimal sepuluh persen dari total nilaiproduksi, dan melaporkan kebijakan tersebut kepada WTO.

Kata kunci : Paket Bali WTO, kebijakan stabilitas harga, transparansi

JEL Classification : F10, F13

4 Data dalam paper ini bersumber dari Kajian Puska KPI-BPPKP Kementerian Perdagangan tahun 2014dengan judul Kajian Kebijakan Pangan Indonesia Terkait Isu Food Security WTO.

Latar BelakangPaket Bali yang dihasilkan pada Pertemuan Tingkat Menteri World Trade

Organization (WTO) di Nusa Dua, Bali pada 7 Desember 2013, merupakan komitmenpelaksanaan beberapa isu dari Doha Development Agenda. Adapun garis besar darikesepakatan tersebut terdiri dari a) Komitmen meningkatkan fasilitasi perdagangan untukmenekan biaya dan waktu administrasi kepabeanan, b) Komitmen memberikan kemudahanbagi negara berkembang dalam program ketahanan pangan yang disebut program publicstock holding for food security (PSH), c) Peningkatan akses pasar produk kapas yangmenjadi salah satu komoditas ekspor penting sebagian negara berkembang, dan d)Komitmen peningkatan transparansi impor khususnya terhadap produk dari negaraberkembang dan kurang berkembang.

Komitmen kemudahan dalam program ketahanan pangan sangat disambut baik olehnegara berkembang termasuk negosiator Indonesia karena memberikan perlindungan untukmelaksanakan kebijakan yang diperlukan dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan.Program ketahanan pangan tersebut merupakan serangkaian kebijakan distribusi dansubsidi yang dilakukan oleh state trading enterprise (badan usaha milik negara), dengantujuan memberikan kepastian harga jual bagi produsen dan harga beli bagi konsumen5.

Menyadari pelaksanaan kebijakan distribusi yang hanya dilakukan oleh statetrading enterprise akan menciptakan pasar monopoli dan monopsoni, setiap negaraberkembang yang melakukan kebijakan PSH harus melaksanakannya dengan transparan.Bentuk transparansi pelaksanaan kebijakan PSH terdiri dari kewajiban untuk melaporkanbesar anggaran, bentuk kegiatan dan produk yang diberikan subsidi kepada WTO sampaidengan tahun 2017.

Sampai saat ini, Indonesia belum melaporkan ketiga hal tersebut kepada WTO.Satu-satunya yang sudah dilaporkan secara resmi oleh Indonesia adalah penunjukan BadanUrusan Logistik (BULOG) sebagai State Trading Enterprise (STE). Belum dilaporkannyakebijakan PSH tersebut memberikan peluang bagi Indonesia untuk melakukan konsolidasidan penyusunan roadmap kebijakan pangan nasional. Namun,jika sampai tahun 2017 Indonesia masih belum melaporkannya, dikhawatirkan pelaksanaankebijakan PSH yang akan menciptakan pasar monopsoni dan monopoli tidak dapatdilaksanakan di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, maka paper ini bertujuan untuk :a. Menyusun usulan produk yang memperoleh fasilitas kebijakan PSH,b. Membandingkan kebijakan PSH yang saat ini dilakukan dengan komitmen Paket

Bali,danc. Merumuskan usulan kebijakan PSH Indonesia yang sesuai dengan komitmen Paket

Bali

Ruang LingkupAdapun ruang lingkup dalam paper ini adalah :

5 Komitmen PSH selengkapnya dapat dirujuk dalam Public Stockholding For Food Security Purposes,Ministerial Decision of 7 December 2013, WTO.

a. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara yang tercermindari tersedianya pangan yang cukup.

b. Cakupan produk yang dianalisis adalah produk pangan yang diproduksi dandikonsumsi nasional, dari Kementerian Pertanian yang terdiri dari beras, dagingsapi, gula, jagung, cabe merah, kedelai, bawang merah, dan daging ayam.

c. Kebijakan yang dianalisis adalah kebijakan PSH yang telah dilaksanakan Indonesiayaitu subsidi harga di tingkat produsen dan konsumen dalam bentuk Harga PokokPembelian dan Beras Miskin.

Data dan MetodologiData yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh melalui kegiatan turun lapang selama bulan Mei-Agustus2014 di Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Jawa Timur, dan D.I. Yogyakarta. Pemilahandaerah tersebut bertujuan untuk mengumpulkan informasi dari Propinsi yang memilikijumlah penduduk besar dan sekaligus produsen produk pangan nasional. Adapun datasekunder diperoleh dari Tabel Input-Output (Tabel I-O) Indonesia dan data dalam modelkeseimbangan umum. Metodologi yang digunakan dalam paper ini terdiri dari metodetabulasi dan pembobotan untuk menganalisis data hasil kegiatan turun lapang, dan simulasimenggunakan model keseimbangan umum Update Wayang.

Komitmen Public Stock Holding dalam Paket BaliPerjanjian pertanian (Agreement on Agriculture - AoA) WTO berkaitan dengan

Public Stockholding diatur secara jelas dalam Annex 2 Paragraf 3 tentang dukungandomestik sebagai dasar pengecualiaan dari pengurangan komitmen. Bantuan domestikdimaksud sebagai berbagai kebijakan dalam bentuk subsidi/dukungan terhadappetani/produsen. Perundingan berkaitan dengan pembahasan Public Stockholding diawalidari tuntutan negara-negara berkembang untuk mengajukan pengecualian komitmen dalamdukungan domestik.

Hasil dari tuntutan negara-negara berkembang terhadap pengecualian komitmendukungan domestik ditindaklanjuti dalam perundingan Doha (KTM IV WTO pada 14November 2001) dan dilanjutkan KTM VI WTO di Hongkong China pada 13-18Desember 2005. Dalam KTM terakhir dicapai kesepakatan untuk menekankan pentingnyafood security (ketahanan pangan) termasuk dukungan domestik (domestic supports) dinegara-negara berkembang dalam setiap agenda WTO.

Namun sampai pembahasan di Hongkong, masih belum terlihat kemajuan yangsignifikan. Negara berkembang yang masih memiliki kesulitan untuk mencapai ketahananpangan menginginkan pemanfaatan Public Stockholding sebagai penyedia pangan danbantuan pangan bagi penduduk miskin. Indonesia bersama-sama kelompok negara G-33menyusun proposal untuk pengajuan isu Public Stockholding dibawa kepada KTM di BaliDesember 2013. Di dalam pilar Publick Stock Holding (PSH) atau cadangan pangan untukketahanan pangan (food security) yang dibahas dalam Konferensi Menteri (KTM) ke-9WTO di Bali pada 3-6 Desember 2013, diusulkan adanya interim mechanism. Interimmenyepakati bahwa usulan PSH diajukan sampai dengan Ministerial Conference (MC) ke-11 atau 4 tahun ke depan.

Konsekuensi dari klausul ini adalah bahwa selama 4 tahun semua negaraberkembang diberikan hak untuk mengadakan cadangan untuk keperluan ketahananpangan dan pengentasan kemiskinan. Intern solution ini berlaku sampai dengan permanentsolution tercapai di KTM ke-11. Artinya bahwa dalam mencapai permanent solution,negara-negara berkembang terutama yang tergabung dalam kelompok G-33 yang terus

mengupayakan instrumen PSH harus bergiat diri untuk memberikan kajian permanentsolution sebagai dukungan kajian akademis untuk dibawa ke KTM ke-11.

Tantangan Aplikasi Kebijakan Public Stockholding di IndonesiaDukungan domestik dalam bentuk Public Stockholding yang masih diterapkan

Indonesia adalah program Beras Miskin (Raskin) dan Harga Pembelian Pemerintah,dimana kedua kebijakant tersebut harus konsisten dengan AoA Paragraf 4 Annex 2Footnote 6. Saat ini kebijakan program cadangan pangan yang dilakukan Indonesiabertujuan untuk (a) program Raskin; (b) humanitarian terutama untuk bencana alam; dan(c) untuk operasi pasar. Azahari (2013) memberikan catatan bahwa cadangan panganIndonesia saat ini adalah untuk tujuan program Raskin dan humanitarian. Programstabilisasi harga atau operasi pasar masih dapat dilakukan dengan catatan tidakmenghambat akses ekspor dari negara lain.

Selanjutnya, hasil penelitian dari Widyarini dan Simatupang (2013), menemukanbahwa harga produk pangan nasional termasuk beras relatif berfluktuasi. Adapun temuanmereka menyatakan bahwa instabilitas harga tersebut disebabkan banyaknya aktor yangbermain dalam rantai distribusi beras. Hal senada ditemukan oleh Sumaryanto (2009) yangmenyatakan bahwa semenjak reformasi, volatilitas harga pangan pokok terutama beras,gula pasir, terigu, telur, minyak goreng, cabe merah dan bawang merah meningkat.

Adapun mengenai kondisi ketahanan pangan, IFRPI (2011) menemukan bahwapermasalahan utama ketahanan pangan Indonesia adalah gizi buruk balita yang mencapai19,6%, lebih buruk dari Malaysia (7%) dan Thailand (7%). Sebagai salah satu upayamengatasi hal ini, Worldbank (2011) menyatakan bahwa cara yang paling efektif untukmelindungi masyarakat miskin dan produsen yang rentan terhadap fluktuasi harga adalahprogram-program jaringan pengaman, penggunaan kebijakan perdagangan dan peraturanimpor yang bijak. Contoh negara yang telah melakukan hal tersebut adalah India, yangmelakukan serangkaian kebijakan dalam menjamin pendapatan petani dan akses panganmasyarakat melalui kebijakan produksi, distribusi dan jaminan akses pangan ke masyarakat(Kumar and Joshi, 2013, dan Sugden, 2013).

Analisis Produk Pangan Prioritas Memperoleh SubsidiResponden dalam kegiatan turun lapang merupakan dinas pemerintah daerah yang

terlibat langsung dalam menjaga ketersediaan pangan dan stabilitas harga bahan pangan.Adapun instansi yang dijadikan responden terdiri dari Perum Bulog, Badan KetahananPangan, Dinas Pertanian, Dinas Peternakan dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan.Kegiatan turun lapang ini bertujuan membandingkan konsistensi produk pangan prioritasdari Pemerintah Pusat dengan prioritas Pemerintah Daerah, khususnya Sulawesi Selatan,Sumatera Utara, Jawa Timur dan Yogyakarta.

A. Hasil Turun Lapang Di Makasar, Sulawesi SelatanHasil wawancara dengan para responden menghasilkan sembilan produk usulan

prioritas yaitu Beras, Gula, Ubi Kayu, Kedele, Ubi Jalar, Jagung, Daging Ayam, DagingSapi, dan Minyak Goreng. Kesembilan produk tersebut dianggap perlu untuk dilakukanpengaturan distribusi dan subsidi harga untuk meningkatkan ketersediaan dan stabilitasharga di tingkat konsumen. Selanjutnya dihitung nilai rata-rata dari nilai bobot sembilanproduk tersebut, dan diperoleh nilai rata-rata sebesar 11,11. Produk yang memperoleh nilaibobot kurang dari nilai rata-rata bukan merupakan produk prioritas di Sulawesi Selatan,sedangkan produk yang memiliki nilai bobot diatas nilai rata-rata merupakan produkprioritas. Adapun produk prioritas yang perlu mendapatkan subsidi di Makasar untuk

menjaga ketersediaan dan stabilitas harga adalah Beras, Gula dan Ubi Kayu (Gambar 1).

Gambar 1. Produk Prioritas di Sulawesi Selatan

Sumber : Turun Lapang, Diolah

B. Hasil Turun Lapang Di Medan, Sumatera UtaraHasil wawancara dengan para responden menghasilkan delapan produk usulan

prioritas yaitu Beras, Jagung, Kedele, Daging Sapi, Daging Ayam, Bawang Merah, Gula,dan Minyak Goreng. Delapan produk tersebut dianggap perlu diatur kegiatan distribusi dandiberikan subsidi harga untuk meningkatkan ketersediaan dan stabilitas harga di tingkatkonsumen. Selanjutnya dihitung nilai rata-rata dari nilai bobot delapan produk tersebut,dan diperoleh nilai rata-rata sebesar 12,5. Produk yang memperoleh nilai bobot kurang darinilai rata-rata bukan merupakan produk prioritas di Sumatera Utara, sedangkan produkyang memiliki nilai bobot diatas nilai rata-rata merupakan produk prioritas. Adapun produkprioritas yang perlu mendapatkan subsidi untuk menjaga ketersediaan dan stabilitas hargaadalah Beras, Jagung dan Kedele (Gambar 2).

Gambar 2. Produk Prioritas di Sumatera Utara

Sumber : Turun Lapang, Diolah

C. Hasil Turun Lapang Di Surabaya, Jawa TimurHasil wawancara dengan para responden menghasilkan sebelas produk usulan

prioritas yaitu Beras, Jagung, Daging Sapi, Kedele, Gula, Minyak Goreng, Terigu, Cabe,Daging Ayam, Bawang Merah, dan Ubi Kayu. Sebelas produk tersebut dianggap perludiatur kegiatan distribusi dan diberikan subsidi harga untuk meningkatkan ketersediaan danstabilitas harga di tingkat konsumen. Selanjutnya dihitung nilai rata-rata dari nilai bobot

28.37

19.15

11.35

9.93

9.937.096.38

5.672.13

0.005.00

10.0015.0020.0025.0030.00

Beras

Gula

Ubi Kayu

Kedele

Ubi JalarJagung

Daging Ayam

Daging Sapi

Minyak Goreng

33.9

22.9

13.6

10.25.95.9

4.2

3.40.05.0

10.015.020.025.030.035.0

Beras

Jagung

Kedele

Daging Sapi

Daging Ayam

Bawang Merah

Gula

Minyak Goreng

seluruh produk tersebut, dan diperoleh nilai rata-rata sebesar 9,1. Produk yang memperolehnilai bobot kurang dari nilai rata-rata bukan merupakan produk prioritas di Jawa Timur,sedangkan produk yang memiliki nilai bobot diatas nilai rata-rata merupakan produkprioritas. Adapun produk prioritas yang perlu mendapatkan subsidi untuk menjagaketersediaan dan stabilitas harga adalah Beras, Jagung, Daging Sapi, Kedele, dan Gula(Gambar 3).

Gambar 3. Produk Prioritas di Jawa Timur

Sumber : Turun Lapang, Diolah

D. Hasil Turun Lapang Di Yogyakarta, D.I YogyakartaHasil wawancara dengan para responden menghasilkan delapan produk usulan

prioritas yaitu Beras, Kedele, Gula, Jagung, Bawang Merah, Cabe Merah, Daging Sapi,dan Daging Ayam. Delapan produk tersebut dianggap perlu diatur kegiatan distribusi dandiberikan subsidi harga untuk meningkatkan ketersediaan dan stabilitas harga di tingkatkonsumen.

Gambar 4.4. Produk Prioritas di D.I. Yogyakarta

Sumber : Turun Lapang, Diolah

Selanjutnya dihitung nilai rata-rata dari nilai bobot seluruh produk tersebut, dandiperoleh nilai rata-rata sebesar 12,5. Produk yang memperoleh nilai bobot kurang darinilai rata-rata bukan merupakan produk prioritas di D.I. Yogyakarta, sedangkan produkyang memiliki nilai bobot diatas nilai rata-rata merupakan produk prioritas. Adapun produk

27.4

12.3

11.0

11.0

9.68.2

4.84.8

4.84.12.1

0.05.0

10.015.020.025.030.0

Beras

Jagung

Daging Sapi

Kedele

Gula

Minyak GorengTerigu

Cabe

Daging Ayam

Bawang Merah

Ubi Kayu

31.7

15.9

10.3

9.59.5

8.7

7.1

7.1

0.05.0

10.015.020.025.030.035.0

Beras

Kedele

Gula

Jagung

Bawang Merah

Cabe Merah

Daging Sapi

Daging Ayam

prioritas yang perlu mendapatkan subsidi untuk menjaga ketersediaan dan stabilitas hargaadalah Beras dan Kedele (Gambar 4).

E. Produk Prioritas NasionalBerdasarkan hasil keempat lokasi turun lapang, disusun peta produk prioritas

nasional yang perlu memperoleh subsidi untuk meningkatkan ketahanan pangan. Adapunproduk prioritas nasional tersebut diperoleh dari total penjumlahan bobot seluruh hasilturun lapang, sebagaimana terlihat dalam Gambar 5.

Gambar 5. Produk Prioritas Nasional

Sumber : Turun Lapang, Diolah

Terdapat sebelas produk yang diusulkan menjadi produk prioritas yangmendapatkan subsidi yaitu Beras, Jagung, Kedele, Gula, Daging Sapi, Daging Ayam,Bawang Merah, Cabe Merah, Minyak Goreng, Ubi Kayu dan Ubi Jalar. Adapun nilai rata-rata dari nilai bobot seluruh produk tersebut sebesar 9,09. Produk yang memperoleh nilaibobot kurang dari nilai rata-rata bukan merupakan produk prioritas nasional, sedangkanproduk yang memiliki nilai bobot diatas nilai rata-rata merupakan produk prioritas. Adapunproduk prioritas yang perlu mendapatkan subsidi untuk menjaga ketersediaan dan stabilitasharga adalah Beras, Jagung, Kedele, Gula, dan Daging Sapi (Gambar 5).Analisis Pelaksanaan Kebijakan PSH di Indonesia

Meskipun hasil survey turun lapang merumuskan Indonesia perlu memberikansubsidi terhadap lima komoditas pangan utama untuk meningkatkan ketahanan pangan,namun ternyata kemampuan dan kebijakan subsidi Indonesia masih belum sebaik yangdiharapkan. Adapun kekurangan tersebut terdiri dari a) Belum dimanfaatkannya potensi

27.35

13.18

12.34

11.64

9.687.01

5.19

3.79

3.51

3.233.09

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00Beras

Jagung

Kedele

Gula

Daging Sapi

Daging AyamBawang Merah

Cabe Merah

Minyak Goreng

Ubi Kayu

Ubi Jalar

dana subsidi, b) Pelaksanaan kebijakan PSH Indonesia masih berbeda dengan negara lain,dan c) Harga beras Indonesia masih relatif lebih mahal dibandingkan negara tetangga.

Sampai saat ini Indonesia hanya memberlakukan subsidi PSH untuk satu komoditassaja yaitu beras. Adapun bentuk kebijakan subsidi PSH beras terdiri dari pembelian beraspetani oleh Bulog sebesar 3,2 juta ton (setara 7,38 persen total panen padi) ditahun 2013dengan anggaran Rp 7,2 triliun dan subsidi beras untuk masyarakat miskin sebesar 1,97juta ton dengan anggaran Rp 18,8 triliun (Bulog, 2014).

Anggaran pembelian beras petani dan dana raskin sebenarnya cukup besar, namunsayangnya dana dan pelaksanaannya belum maksimal, sebagaimana terlihat dalam Tabel 1.Tabel 1 memperlihatkan nilai produksi beras tahun 2013 mencapai 71,27 juta ton, denganharga beras di bulan Desember 2013 mencapai Rp 4.312 per kg. Berdasarkan dua haltersebut, dapat dihitung nilai produksi beras nasional tahun 2013 mencapai Rp 307,39triliun. Selanjutnya, merujuk pada komitmen PSH Paket Bali, Indonesia dapat memberikansubsidi minimal sebesar 10 persen dari total nilai panen beras, yaitu Rp 30,74 triliun.

Tabel 1. Potensi Subsidi Beras Sesuai Komitmen PSH Paket BaliDeskripsi Satuan Nilai

Produksi ton 71,279,709Harga Rp/Kg 4,312Nilai Produksi Rp 307,388,755,483Potensi Subsidi Rp 30,738,875,548

Subsidi Saat iniRaskin Rp 18,500,000,000Pembelian Gabah Rp 7,200,000,000Total Rp 25,700,000,000

Potensi Tambahan Subsidi Rp 5,038,875,548Sumber : BPS dan Perum Bulog 2014, diolah

Total subsidi terkait kegiatan PSH Indonesia di tahun 2013 hanya sebesar Rp 25,7triliun yang terdiri dari pengadaan beras Raskin sebesar Rp 18,5 triliun dan pembeliangabah petani sebesar Rp 7,2 triliun. Merujuk pada data dalam Tabel 1, Indonesiasebenarnya masih dapat meningkatkan subsidi PSH minimal Rp 5,04 triliun di tahun 2014.Namun sayangnya potensi tambahan subsidi sebesar Rp 5,04 triliun tersebut sulitterlaksana mengingat belum adanya kebijakan peningkatan subsidi di tahun ini dan jugadidalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2015-2019.

Selanjutnya, pelaksanaan kebijakan PSH Indonesia yang memiliki dua anggaranberbeda untuk pembelian gabah petani dan pembelian beras miskin sebenarnya ralatifberbeda dengan pelaksaan kebijakan PSH di negara lain, seperti halnya India. PemerintahIndia dalam pelaksanaan kebijakan PSH membeli langsung gabah petani, menyimpannyadan kemudian mendistribusikannya kepada konsumen tanpa tambahan biaya selaindistribusi (Kumar and Joshi, 2013). Jika kebijakan India dilaksanakan di Indonesia, makadana pengadaan raskin sebesar Rp 18,5 triliun digunakan untuk membeli gabah petani,sedangkan sisa dana Rp 7,2 triliun digunakan untuk distribusi dan penyimpanan.

Kekurangan pelaksanaan kebijakan PSH yang ketiga adalah harga beras nasionalrelatif lebih tinggi dibandingkan harga negara tetangga. Hal ini belum sejalan dengan

tujuan pengaturan distribusi dalam PSH yang bertujuan menekan fluktuasi dan disparitasharga nasional dengan harga negara lain (Sugden, 2013). Jika harga beras Indonesiadibandingkan dengan dua produsen beras lain yaitu Thailand dan Vietnam, ternyata hargaberas nasional dua kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan harga beras kedua negaratersebut (Gambar 6)

Gambar 6. Perbandingan Harga Beras Nasional dengan Thailand dan Vietnam

Sumber : Pusdatin 2014, diolah.

Usulan Pelaksanaan Kebijakan PSH di IndonesiaHasil pengumpulan data turun lapang menemukan bahwa pemerintah daerah

(Pemda) masih mengganggap perlu memberikan subsidi untuk menjaga fluktuasi hargalima produk yaitu beras, jagung, kedele, gula dan daging sapi. Namun dari kelima produktersebut, tidak semuanya memenuhi komitmen Paket Bali karena bukan makanan pokok6.Jika disaring kembali kelima usulan Pemda, terdapat dua produk yang dapat diusulkanmemperoleh subsidi PSH sesuai komitmen Paket Bali bagi Indonesia yaitu beras danjagung.

Komitmen PSH dalam Paket Bali masih memungkinkan Indonesia untukmeningkatkan anggaran subsidi bagi kesejahteraan petani dan konsumen. Saat iniIndonesia hanya memberikan kebijakan Harga Pokok Pembelian dan Raskin untuk beras,dan masih terdapat potensi untuk meningkatkan dana subsidi sebesar Rp 5 triliun. Namununtuk pelaksanaan subsidi PSH, sebaiknya pembelian beras dilaksanakan sepenuhnyadengan menyerap beras domestik tanpa harus melakukan impor beras.

Selanjutnya, mengingat Indonesia belum melaporkan pelaksanaan kegiatan subsidiPSH kepada WTO, masih terbuka peluang untuk memberikan subsidi PSH untuk produkmakanan pokok selain beras, yaitu jagung. Adapun besarnya subsidi yang dapat diberikanuntuk produk tersebut adalah sepuluh persen dari nilai produksi jagung nasional, jikaanggaran yang ada memungkinkan. Mengingat besarnya potensi memberikan subsidi bagipetani dan jaminan harga bagi konsumen sesuai kesepakatan Paket Bali, Indonesia perlu

6 Makanan pokok (staple food) merujuk pada komitmen WTO yang menyatakan makanan pokok adalah makanan yangmengandung karbohidrat, protein dan nutrisi, serta banyak dikonsumsi masyarakat.

8,898

4,340

4,478

-

1,000

2,000

3,000

4,000

5,000

6,000

7,000

8,000

9,000

10,000

Jan

Feb

Mar Ap

rM

eiJu

n Jul

Agus

tSe

pO

ktN

op Des

Jan

Feb

Mar Ap

rM

eiJu

n Jul

Agus

tSe

pO

ktN

op Des

Jan

Feb

Mar Ap

r M

1 M

ei

2012 2013 2014

Rp/k

g

Harga Beras Nasional Harga Beras Thailand Harga Beras Vietnam

merumuskan ulang kebijakan anggaran dan subsidi pertanian agar dapat memberikanmanfaat optimal bagi petani dan masyarakat.

Kesimpulan dan RekomendasiAdapun kesimpulan dari kajian ini adalah :

a. Produk yang diprioritaskan mendapat subsidi berdasarkan hasil gabungan turunlapang Dalam Negeri adalah Beras, Jagung, Kedele, Gula dan Daging Sapi. Tigaproduk usulan Kementan lainnya berupa daging ayam, cabe merah dan bawangmerah bukan produk prioritas karena tidak lulus batas nilai bobot rata-rata.

b. Indonesia belum maksimal dalam melaksanakan kebijakan PSH Paket Bali, dimanahal ini terlihat dari belum dimanfaatkannya seluruh potensi dana subsidi khusunyauntuk produk beras. Selain itu pelaksanaan kebijakan PSH Indonesia masih berbedadengan negara lain yang belum memaksimalkan penyerapan produk panen lokal.

Berdasarkan kedua kesimpulan tersebut, direkomendasikan agar :a. Indonesia memaksimalkan potensi pemberian anggaran subsidi bagi produsen dan

jaminan harga bagi konsumen dapat terwujud melalui pengaturan kebijakandistribusi untuk menyerap maksimal hasil panen lokal yang dimungkinkan denganpeningkatan anggaran.

b. Segera melaporkan kepada WTO kegiatan subsidi PSH yang meliputi dana,kebijakan dan produk pangan yang mendapat subsidi.

Daftar PustakaAnnex 2, Agreement on Agriculture. Diunduh melalui ww.wto.org>resources, pada 21

Februari 2014.Azahari, D.H. 2013. Sosialisasi Hasil Konferensi Tingkat Menteri (KTM 9 WTO-Bali.

Paper dipresentasikan dalam Seminar Pembangunan Pertanian dan Perdesaan,Bogor 17 Desember 2013, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,Kementerian Pertanian.

International Food Policy Research Institute (IFPRI). 2011. Global Hunger Index. TheChallenge of Hunger: Taming Price Spike and Excessive Food Price Volatility.Washington D.C.

Kumar, P. and P.K. Joshi. House Hold Consumption Pattern and Nutritional Securityamong Poor Rural Household: Impact of MGNREGA. Agriculture EconomicsResearch Review , Vol 26 (No.1). January-June 2013.

Pusat Data dan Informasi (Pusdatin), 2014. Data Harga Beras Bulanan. KementerianPerdagangan. Jakarta.

Sugden, J. Q&A : Pros and Cons of The Food Security Bill. The Wall Street Journal, May8, 2013.

Sumaryanto. 2009. Analisis Volatilitas Harga Eceran Beberapa Komoditas Pangan UtamaDengan Model ARCH/GARCH. Jurnal Agroekonomi, Volume 27, No. 2, Oktober: 135-163.

Widyarini, M. and T.M. Simatupang. 2013. An Adaptive Structuration Theory towardsPrice Transmission along Rice Value Chain. Handbook on the Economic, Financeand Management Outlooks. Diunduh melaluiwww.pakinsight.com/ebooks/ICEFMO-249-377-398.pdf.2014 Februari 21 pada ,

Worldbank. 2011. Perkembangan, Pemicu dan Dampak Harga Komoditas: Implikasinyaterhadap Perekonomian Indonesia (Laporan). Diunduh melaluihttp://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL /COUNTRIES/ EASTASIAPACIFICEXT/, pada 21 Februari 2014.

VOLATILITAS DAN DISPARITAS HARGA BERASSTUDI DI NEGARA INDIA INDONESIA DAN DUNIA

Silvia Sari Busnita1), Rina Oktaviani2)

1) Mahasiswa Pasca Sarjana, Program Studi Ilmu Ekonomi, Departemen IlmuEkonomi, FEM-IPB.

2) Guru Besar Ilmu Ekonomi, Departemen Ilmu Ekonomi, FEM-IPB.

[email protected]

ABSTRAK

Fluktuasi harga pangan termasuk beras terjadi di beberapa negara produsen utamapasca krisis global 2008. Padahal permintaan beras cenderung inelastis dan berasdikonsumsi oleh separuh penduduk dunia. Makalah ini bertujuan mengidentifikasivolatilitas serta disparitas harga beras yang terjadi Indonesia, India, dan dunia sertamenganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga beras Indonesia. Denganmenggunakan data time-series bulanan dari tahun 2007:1 sampai 2013:12, metode ARCH-GARCH digunakan untuk menganalisis volatilitas harga beras dan metode VECMdigunakan untuk menganalisi faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil analisisvolatilitas menunjukkan bahwa harga beras Indonesia dan harga beras dunia merupakanvariabel ekonomi yang volatil dan bervariasi antarwaktu (time varying) dengan disparitasharga setiap tahunnya. Namun tidak untuk negara India. Hasil estimasi VECMmenunjukkan pada jangka panjang variabel yang signifikan mempengaruhi volatilitasharga beras Indonesia adalah dari sisi supply, yaitu cadangan beras domestik, produksipadi, dan harga beras domestik, sedangkan harga beras dunia ternyata berpengaruhsignifikan pada jangka pendek.

Kata kunci: ARCH-GARCH (Autoregressive Conditional Heteroscedasticity-GeneralizedAutoregressive Conditional Heteroscedasticity), disparitas, harga-beras, VECM (VectorError Correction Model), volatilitasJEL Classifications Q11

PENDAHULUANIsu food security (kerawanan pangan) berkembang seiring dengan munculnya problema3F-crisis (food, fuel, financial) sebagai spillover effect dari krisis global 2007-2008 yangmengakibatkan lonjakan harga pangan di tingkat konsumen di seluruh dunia (Gambar 1).Kenaikan harga pangan ini menjadi beban khususnya bagi masyarakat miskin di negara-negara berkembang yang membelanjakan rata-rata separuh dari pendapatan rumah tanggamereka untuk makanan, khususnya komoditi serealia (beras, gandum, jagung, dsb).Gambar 1 juga menunjukkan bahwa kenaikan indeks harga makanan dunia ini sebagianbesar didominasi oleh kenaikan harga bahan serealia. Berdasarkan hasil laporanPerkembangan Sektor Perdagangan Bank Dunia (2011) lalu menunjukkan bahwa daribeberapa sub-indeks harga pangan internasional, harga padi-padian adalah yang pertamakali mengalami kenaikan secara dramatis (dalam 30 tahun terakhir) selama periode awalkrisis 2008 lalu. Sebelumnya harga komoditas pangan relatif stabil pasca krisis keuangan

0

50000000

100000000

150000000

200000000

250000000Produksi (Metrik Ton) Produksi (Int $1000)

-

50.00

100.00

150.00

200.00

250.001/

1993

8/19

933/

1994

10/1

…5/

1995

12/1

…7/

1996

2/19

979/

1997

4/19

9811

/1…

6/19

991/

2000

8/20

003/

2001

10/2

…5/

2002

12/2

…7/

2003

2/20

049/

2004

4/20

0511

/2…

6/20

061/

2007

8/20

073/

2008

10/2

…5/

2009

12/2

…7/

2010

2/20

119/

2011

4/20

1211

/2…

6/20

131/

2014

Food Price Index Cereals Price Index

Asia dan mencapai titik terendah pada tahun 2000 dan 2001, seiring denganberkembangnya penggunaan biofuel pada dasawarsa terakhir.

Sumber : FAO 2014 (diolah)Gambar 1 Perkembangan Indeks Harga Makanan Dunia

Overview Pasar BerasBerbeda halnya dengan komoditas jagung dan gandum, beras tidak digunakan untukmemproduksi bahan bakar nabati. Meskipun demikian, kenaikan harga komoditas padi-padian lain telah menyebabkan pesatnya kenaikan harga beras pada dasawarsa terakhir(WorldBank 2011). Dari sisi penawaran, produksi beras dunia menempati urutan ketigadari semua serealia setelah jagung dan gandum (FAO 2014). Gambar 2 menunjukkanbahwa negara-negara berpenduduk besar di Asia juga menjadi lumbung padi dunia, namunhanya sebagian kecil yang diperdagangkan antar negara (5 - 6% dari total produksi dunia)karena tiap negara harus memenuhi kebutuhan domestiknya. Sedangkan konsumi berasdunia sebesar 437,9 juta ton pada tahun 2010 (USDA, 2011). Posisi Indonesia sendirimerupakan pengimpor padi terbesar dunia (14% dari padi yang diperdagangkan di dunia)(Kemendag 2012). Konsumsi beras masyarakat Indonesia tercatat masih cukup tinggi, rata-rata mencapai 6,18 kg seminggu atau 139,15 kg perkapita pertahun. Nilai ini jauh lebihtinggi daripada konsumsi ideal menurut standar negara lebih maju yaitu sebesar 80-90 kgper kapita selama setahun.

Sumber FAO 2014 (diolah)Gambar 2. Negara Utama Penghasil Padi (Beras) Tahun 2012Sementara itu, menurut data dari USDA (2014), India mengekspor sebanyak 9.6 juta tontahun 2012-2013 dengan produksi tahunan semenjak pasca krisis 2008 berkisar antara 98-103 juta ton beras. Jumlah ekspor ini memang tidak banyak jika dibandingkan denganVietnam maupun Thailand tadi. Namun hal yang harus diperhatikan adalah kemampuanIndia dalam mengontrol cadangan berasnya yang pada akhir 2013 lalu mencapai 4 kali dariyang disyaratkan oleh pemerintahnya dalam Food Security Act India. Kenyataan yang

terjadi di India ini cukup berlawanan dengan Indonesia sendiri yang mengimpor berasdalam rangka menjaga kestabilan harga beras domestik.Ketidakstabilan Harga Beras

Berdasarkan paparan umum dari dua negara produsen utama (India dan Indonesia) terlihatpasar beras dalam perdagangan dunia merupakan komoditi yang tipis (sedikitdiperdagangkan). Hal ini menyebabkan pasar beras dunia dan di negara-negara produsenberas lainnya bersifat labil. Selain juga beras merupakan salah satu bahan pangan utamayang dikonsumsi oleh hampir separuh penduduk dunia, yaitu sebanyak 476.8 juta ton padatahun 2013 (USDA 2014). Beras seperti halnya produk pangan utama lainnya berperanstrategis dalam memantapkan ketahanan pangan, ketahanan ekonomi dan keamanan sertastabilitas politik suatu negara (Timmer 1996). Adanya ketidakstabilan beras baik dari sisiharga, stok, maupun produksi lambat laun akan mempengaruhi ketidakstabilanperekonomian, sosial, keamanan dan politik di masing-masing Negara. Terciptanyastabilisasi harga beras merupakan tantangan baik untuk para pelaku pasar maupun bagipara pengambil kebijakan.Pemerintah di Negara Maju dan berkembang anggota WTO (World Trade Organization)sebenarnya telah menyiasatinya fenomena ini dengan paket perjanjian pertanian yangterangkum dalam Agreement on Agriculture (AOA) pasal 6.3 dan 7.2(b). Isu diatas punmenjadi salah satu bahan diskusi utama yang dibicarakan dalam Ninth MinisterialConference Negara anggota WTO di Bali 2013 lalu hingga menghasilkan “Paket Bali”yang juga membahas isu food security dan penanganannya di Negara Berkembang (WTO2014). Salah satunya adalah adanya kewajiban untuk penyediaan stok bahan pangan pokok(Public Stock Holding for Main Crops) oleh pemerintah di tiap negara sebanyak 10% daritotal produksi domestik agar terhindar dari gejolak fluktuasi harga. Implikasinya,pemerintah di tiap negara diperbolehkan mengintervensi pasar beras dalam negerinyaapabila terjadi shock terhadap harga beras dunia agar tercapai kestabilan harga dalamnegeri.

Sumber Worlbank 2011Gambar 3. Ketidakstabilan Harga Beras: Indonesia dan Luar Negeri

Intervensi pemerintah Indonesia di pasar beras tidak terlalu berdampak signifikanterhadap penciptaan kestabilan harga beras dalam negara tersebut. Ketidakstabilan hargaberas Indonesia mencapai level tertinggi jika dibandingkan dengan negara lain, baik

dengan negara produsen beras (Thailand dan Vietnam) maupun dengan negara bukanprodusen beras utama dunia (Hongkong) pada tahun 2000 - 2008 lalu (Gambar 3),

India dan Indonesia merupakan negara produsen dan konsumen beras utama yangdapat dibandingan untuk melihat seberapa besar fluktuasi dan disparitas harga beras yangterjadi, khususnya pasca krisis 2008, dan bagaimana kedua negara menjaga stabilitas hargaberas. Apalagi posisi Indonesia disamping sebagai negara produsen utama beras dunia,juga menjadi salah satu negara pengimpor utama beras. Sementara India sebagai produsenutama beras, bertindak sebagai net exporter utama beras. Makalah ini bertujuanmenganalisis volatilitas harga beras yang terjadi di Negara Indonesia, India sertaperbandingannya dengan volatilitas harga beras dunia pasca krisis 2008. Selain itu jugadiukur seberapa besar tingkat disparitas harga beras yang terjadi di Indonesia, India, danperbandingannya dengan harga internasional untuk tiap tahunnya dan diidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga beras Indonesia dalam jangka pendek danjangka panjang.

DATA DAN METODOLOGI

Data yang digunakan adalah data sekunder time-series bulanan dari tahun 2007:1sampai 2013:12. Data berasal dari beberapa lembaga internasional seperti FAO (Food andAgricultural Organization), IMF (International Monetary Fund), CPC (Climate PredictionCenter) dan publikasi ilmiah dari WorldBank.

Tabel 1 Variabel yang dipakai dalam Penelitian

Model ini digunakan untuk menghitung besaran volatilitas dari variabel harga berasdunia, harga beras Indonesia, dan harga beras India. Volatilitas (fluktuasi) ini tercermindalam varians residual yang tidak memenuhi asumsi homoskedastisitas (Firdaus, 2011).Volatilitas berdasarkan model ARCH (m) mengasumsikan bahwa varians data fluktuasidipengaruhi oleh sejumlah m data fluktuasi sebelumnya. Model ARCH kemudiandigeneralisasi menjadi model GARCH oleh Bollerslev (1986). Model GARCH (r,m)

Nama Variabel Satuan Simbol SumberVolatilitas Harga Beras

Eceran- VOLATILITY Olahan

Harga Beras EceranDomestik

Rupiah/Kg

HRGA_BRS_DOM/ LN_DOMRICE

LBDSEBPS

Harga Beras Dunia US$/ MTHRGA_BRS_DUNI

A /LN_WORLDRICE

WorldBank

(The PinkSheet)

Harga Beras IndiaRs/Kuinta

lHRGA_BRS_INDI

ACSO India

Produksi Beras Domestik Kuintal LN_PRODUKSI BPSCadangan Beras Domestik Ton LN_DOM_STOCK BULOG

Suhu (Indeks ENSO) °C LN_SUHU CPCVolume Impor Beras Kg LN_VOL_IMP BPS

IPI - IPI BPSIndeks Harga Konsumen - CPI BPS

mengasumsikan bahwa varians data fluktuasi dipengaruhi sejumlah m data fluktuasisebelumnya dan sejumlah r data volatilitas sebelumnya. Berikut bentuk umum modelGARCH (r,m) dalam penelitian ini.ℎ = K+ ℎ + ℎ +⋯+ ℎ + + +⋯+ (1)

dimana:ℎ = Variabel harga beras pada waktu t, atau varians padawaktu ke-t

K = Varians yang konstan= Suku ARCH, atau volatilitas pada periode sebelumnya, … , = Koefisien orde m yang diestimasikan, … , ` = Koefisien order r yang diestimasikanℎ = Suku GARCH, atau varians pada periode sebelumnya

Setelah didapatkan model ARCH-GARCH pilihan yang baik, selanjutnya model inidigunakan untuk memperkirakan nilai volatilitas masa datang ( ) dari suatu variabelekonomi, dimana = √h t. Peramalan ragam untuk ARCH (m) untuk periodemendatang diformulasikan sebagai berikut:ℎ = + + +⋯+ (2)

sementara peramalan ragam untuk GARCH (r,m) adalah:ℎ = K+ ℎ + ℎ +⋯+ ℎ + + +⋯+ (3)dengan K> 0, δr ≥ 0, dan αm ≥ 0 dimana:ℎ = Nilai ragam ke-t

= Nilai sisaan ke-tK = Konstantaδr ; αm = Paramater-parameter

Secara kuantitatif tingkat disparitas harga beras di tiap tahunnya bisa diproyeksikan denganmenghitung coefficient of variation (CV) atau koefisien keragaman harga (KK) dari nilaivolatilitas (fluktuasi) harga beras yang sudah didapat sebelumnya. Nilai CV dapat dihitungdengan: = × 100% (4)

dimana:= Coeffisient of Variation Volatilitas Harga Beras India, Indonesia,

dan Dunia= Standard Deviation dari nilai Volatilitas Harga Beras India,

Indonesia, dan Dunia= Rata-rata tahunan dari nilai Volatilitas Harga Beras India,

Indonesia, dan DuniaNilai CV (per periode waktu tertentu) yang semakin kecil dapat mengindikasikankomoditas tersebut semakin stabil atau tidak berfluktuasi sesuai periode waktu tersebut(Farid 2012).

Model vector error correction model (VECM) digunakan untuk menganalisisfaktor-faktor yang mempengaruhi volatilitas harga beras di Indonesia. Model ini dipilihkarena memenuhi 4 hal penting yang ingin diperoleh dari pembentukan sebuah sistempersamaan ekonomi, yaitu: deskripsi data, peramalan, inferensi struktural, dan analisiskebijakan. Model VAR/VECM ciptaan Sims (1972) pada dasarnya menyediakan alatanalisa kuantitatif bagi keempat hal tersebut, yaitu: a) Forecasting, b) Granger Causality

Test, c) Impulse Response Function (IRF), d) Forecast Error Decomposition of Variance(FEDV). Model Vector Autoregression (VAR)

Pemodelan VAR adalah bentuk pemodelan yang digunakan untuk multivariate timeseries dimana variabel eksogen dan endogen tidak dapat dibedakan secara apriori karenasemua variabel bersifat endogen (variabel yang nilainya ditentukan dalam model). Sesuaidengan Sims (1972), variabel yang digunakan dalam persamaan VAR dipilih berdasarkanteori ekonomi yang relevan dan hanya variabel endogen yang masuk dalam analisis. ModelUmum VAR pada penelitian ini adalah:

Volatilityt= (DOMRICEt,WORLDRICEt,PRODt,STOCKt,SUHUt,VOLIMPt,IPIt, CPIt)

Model Vector Error CorrectionVECM merupakan bentuk VAR yang terestriksi (restricted VAR). Restriksi

tambahan ini harus diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner namunterkointegrasi. Jika data tidak stasioner di tingkat level namun stasioner pada prosesdiferensi data, maka harus diuji apakah data yang digunakan dalam model mempunyaihubungan jangka panjang atau tidak. Adanya tidaknya hubungan jangka panjang antarvariabel di dalam sistem VAR dapat diketahui dengan melakukan uji kointegrasi. Apabilaterdapat kointegrasi, maka model yang digunakan adalah model Vector Error CorrectionModel (VECM). Spesifikasi VECM merestriksi hubungan jangka panjang variabel-variabelendogen agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasinya, namun tetap membiarkankeberadaan dinamisasi jangka pendek. Model VECM yang digunakan pada penelitian iniadalah:

⎣⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎡∆∆ _∆ _∆ _∆ _∆ _ ℎ∆ _ _∆∆ ⎦⎥⎥

⎥⎥⎥⎥⎥⎤ =⎣⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎡

⎦⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎤ +⎣⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎡

……………………… ⎦⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎤ +⎣⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎡ ∆∆ _∆ _∆ _∆ _∆ _ ℎ∆ _ _∆∆ ⎦⎥⎥

⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎤+⎣⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎢⎡

⎦⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎥⎤

(5)dengan - sebagai konstanta; - merupakan error term (sisaan); dan -

( ) yang merupaankoefisien lag peubah ke-j untuk persamaan ke-i.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Harga Beras Dunia, India, dan IndonesiaPerkembangan harga beras dunia selama periode 2007:1-2013:12 disajikan pada

Gambar 5 (harga beras Thai Medium 5%) dimana harga terus bergerak naik danberfluktuasi pada periode Januari hingga Mei 2008. Pada periode tersebut harga berasdunia bahkan berfluktuasi sampai tiga kali lipat dari harga normal, yaitu pada level900US$ per metrik ton (MT). Pada pertengahan tahun 2009 dan setelahnya harga berasdunia relatif stabil kembali, namun dengan keseimbangan harga yang baru (dibandingkantahun 2007 dan sebelumnya), yaitu berada pada kisaran US$ 500-600 per metrik ton perbulannya.

Sumber Commodity World Price 2014 (diolah)Gambar 4 Perkembangan Harga Beras Dunia Bulanan

0.00

2000.00

4000.00

6000.00

8000.00

10000.00

12000.00

14000.00

2007

M01

2007

M06

2007

M11

2008

M04

2008

M09

2009

M02

2009

M07

2009

M12

2010

M05

2010

M10

2011

M03

2011

M08

2012

M01

2012

M06

2012

M11

2013

M04

2013

M09

2014

M02

Rp/kg

0.0000

500.0000

1000.0000

1500.0000

2000.0000

2500.0000

3000.0000

2007

M01

2007

M06

2007

M11

2008

M04

2008

M09

2009

M02

2009

M07

2009

M12

2010

M05

2010

M10

2011

M03

2011

M08

2012

M01

2012

M06

2012

M11

2013

M04

2013

M09

Rs/Ku

0

200

400

600

800

1000

2007

M01

2007

M05

2007

M09

2008

M01

2008

M05

2008

M09

2009

M01

2009

M05

2009

M09

2010

M01

2010

M05

2010

M09

2011

M01

2011

M05

2011

M09

2012

M01

2012

M05

2012

M09

2013

M01

2013

M05

2013

M09

2014

M01

US$/MT

Sumber BPS Indonesia dan CSO India 2014 (Diolah)Gambar 5 & 6 Perkembangan Harga Beras Indonesia Bulanan (Kiri), Perkembangan HargaBeras India Bulanan (Kanan)

Perkembangan harga konsumen eceran beras medium Indonesia dapat dilihat padagambar 5 diatas (kiri). Dapat dilihat trend-nya yang cenderung meningkat, khususnya padaawal tahun 2010 ke atas. Sementara harga beras India menunjukkan tampak adanya kontrolharga namun dengan trend yang meningkat setiap tahunnya.

Spesifikasi Model ARCH-GARCHDidalam spesifikasi model ARCH-GARCH untuk meramal volatilitas ada 2 tahapan utamayang harus dilakukan: 1) Identifikasi dan penentuan model rataan (mean equation);2)Identifikasi dan penentuan model ARCH-GARCH. Tahapan (1) meliputi pengujiankestasioneran data, penentuan model tentatif ARIMA hingga pendugaan parameter danpemilihan model terbaik. Berikut tabel hasil uji stasioneritas data dan model ARIMA sertamodel ARCH-GARCH terbaik.

Tabel 2. Hasil uji stasioneritas, model ARIMA terbaik dan model ARCH terbaik variabelharga beras

VariabelHargaBeras

ADF t-Statistic

CriticalValues

ModelARIMATerbaik

Prob.F*

EfekARCH

ModelARCH

TerbaikDunia -

5.908214-

2.897223*ARIMA(1,1,2)

0.0327*

Ada ARCH(1,0)

Indonesia -8.108576

-3.466248*

ARIMA(0,1,2)

0.0065*

Ada ARCH(1,0)

India -10.93679

-2.897678*

ARIMA(2,1,0)

0.6249 Tidak -

Keterangan : *) Signifikan pada taraf nyata 10%Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa pada variabel harga beras Indonesia dan

dunia, ditemui adanya efek ARCH, namun tidak pada variabel harga beras India. Hal iniditunjukkan pada nilai prob.F yang lebih besar dari nilai kritis 0.1. Sehingga aplikasimodel ARCH-GARCH hanya bisa dilakukan untuk variabel harga beras dunia dan hargaberas Indonesia saja untuk diketahui volatilitas harga beras. Ukuran volatilitas iniditunjukan oleh nilai standar deviasi bersyarat (conditional standard deviation), yangmerupakan akar dari ragam model ARCH-GARCH yang diestimasi.

Analisis Volatilitas dan Disparitas Harga Beras Harga Beras India

Berdasarkan hasil uji efek ARCH pada Tabel 2, diketahui bahwa harga beras Indiauntuk level grosiran kepada para pedagang tidak berfluktuasi. Artinya kebijakan stabilisasiharga pangan utama (seperti beras) berhasil dipraktekkan di India. Adanya kebijakanperdagangan India semenjak tahun 2007 lalu yang membatasi ekspor berasnya disatu sisimembuat cadangan beras dalam negeri India cukup stabil sehingga membuat tidakterjadinya fluktuasi harga beras yang berarti. Hal ini juga ditunjukkan oleh konsistensiIndia pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 WTO yang dilaksanakan di Bali,Desember 2013 lalu dimana India bersikeras untuk meningkatkan cadangan pangandomestik dari 10% menjadi 15% dari total produksi pangan dengan waktu subsidi tidakterbatas. Terkait dengan subsidi pertanian, pemerintah India pun dari segi kebijakan fiskalgencar memberikan subsidi pertaniannya kepada para petani di beberapa hal, sepertisubsidi pupuk, benih, subsidi irigasi, dan lain sebagainya. Berdasarkan data CSO India(2014) semenjak tahun 1980-an lalu India konsisten memberikan subsidi pertaniannyahingga sekarang, dengan subsidi pupuk menempati presentase tertinggi dari semua jenissubsidi, yaitu diatas 35% dari total anggaram pemerintah untuk subsidi setiap tahunnya.Selain itu, jumlah subsidi untuk pertanian (irigasi misalnya) juga terus mengalamipeningkatan selama tiga dekade terakhir. Meskipun total luas areal panen di Indiacenderung turun (USDA 2014), namun adanya perbaikan pada sistem irigasi danmanajemen produksi serta pemberian subsidi pupuk dan benih yang kontinu pada tigadekade terakhir membuat produktivitas padi di India yang besar (dan surplus) membuatharga beras domestik menjadi lebih stabil. Harga Beras Dunia

0

50

100

150

200

250

2007

M01

2007

M04

2007

M07

2007

M10

2008

M01

2008

M04

2008

M07

2008

M10

2009

M01

2009

M04

2009

M07

2009

M10

2010

M01

2010

M04

2010

M07

2010

M10

2011

M01

2011

M04

2011

M07

2011

M10

2012

M01

2012

M04

2012

M07

2012

M10

2013

M01

2013

M04

2013

M07

2013

M10

Volatility Mean (+)2StDev (+)4Stdev

0

100

200

300

400

500

2007

M01

2007

M04

2007

M07

2007

M10

2008

M01

2008

M04

2008

M07

2008

M10

2009

M01

2009

M04

2009

M07

2009

M10

2010

M01

2010

M04

2010

M07

2010

M10

2011

M01

2011

M04

2011

M07

2011

M10

2012

M01

2012

M04

2012

M07

2012

M10

2013

M01

2013

M04

2013

M07

2013

M10

Volatility Mean (+)2StDev (+)4Stdev

Volatilitas harga beras dunia pada Gambar 9 menunjukkan variasi yang tinggi padabulan-bulan awal tahun 2008, dicirikan oleh puncak grafik yang menjulang tinggi padabulan April 2008. Setelah periode tersebut, nilai-nya kembali menurun hingga stabil padaposisi mean (rataan). Diduga fluktuasi yang tajam pada periode awal tahun 2008 inidisebabkan oleh kenaikan harga padi-padian sebagai bahan bakar nabati (biofuel), yangdisertai juga dengan perubahan produksi padi dunia yang tidak mencukupi kebutuhanmasyarakat dunia. Selain juga adanya pembatasan perdagangan yang diterapkan olehbeberapa negara produsen utama beras semakin memperburuk keadaan ini.

Gambar 7 Volatilitas harga beras dunia tahun 2007-2013

Hal ini dilakukan oleh beberapa negara produsen sekaligus eksportir utama berasseperti India, Thailand, Vietnam, dan China. Selain itu kebijakan pemerintah Thailanddengan rice-pledging scheme nya pada awal 2008 lalu diduga menjadi salah satu faktorpemicu tingginya volatilitas harga beras dunia. Adanya pengumuman dan keputusan darinegara eksportir beras untuk menghentikan pembatasan ekspor diakhir 2009 lalumenghasilkan penurunan (penstabilan) harga beras di tingkat dunia. Pengalaman inimenggambarkan bagaimana pembatasan perdagangan yang diterapkan untuk mengatasikenaikan harga domestik dapat menciptakan gelembung harga yang justru memperburuksituasi harga komoditas di pasar dunia. Harga Beras Indonesia

Nilai volatilitas harga beras Indonesia lebih menunjukan adanya variasi antar waktuyang cukup beragam (time varying).

Gambar 8 Volatilitas harga beras Indonesia tahun 2007-2013

Fluktuasi harga beras selama periode Januari - April 2007 lalu dan 2008 laludiduga selain karena pengaruh krisis pangan dunia juga karena fenomena peningkatanpermintaan pada hari Raya Natal dan Tahun Baru. Intervensi pemerintah untukmenstabilkan harga beras melalui operasi pasar sepertinya berhasil pada jangka pendek.

Namun pada awal 2010 sampai pada penghujung 2011 lalu (Gambar 10) kembaliberfluktuasi tajam hingga nilainya mencapai dua kali lipat dari standar deviasinya. Mulaistabilnya harga beras di penghujung tahun 2008 lalu lebih disebabkan oleh kecukupanproduksi dan cadangan stok beras domestik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kalaitu. Namun semenjak dihentikannya pembatasan ekspor beras yang dimulai pada tahun2009 akhir yang diiringi dengan dibukanya arus beras impor ke dalam negeri membuatharga beras domestik berfluktuasi sepanjang tahun 2010 dan 2011 lalu. Selain di satu sisijuga produksi padi nasional pada tahun 2010 dan 2011 lalu tidak mengalami peningkatanyang berarti jika dibandingan dengan kebutuhan akan konsumsi beras yang meningkatterus setiap tahunnya.

Terkait dengan fluktuasi harga beras diatas yang dilihat secara bulanan, selanjutnyadipaparkan tingkat disparitas harga beras per tahunnya (periode penelitian). Berikutperbandingan disparitas harga beras Indonesia dan Dunia dalam bentuk tabel:Tabel 3. Disparitas Harga Beras per tahunnya

Variabel /Disparitas Harga

(%)

Tahun2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Harga Beras Dunia 49.57

92.11* 37.30

19.42 29.95 27.27 12.20

Harga BerasIndonesia

72.6*

48.67 21.55

50.96 53.83 34.95 30.56

Keterangan * menunjukkan tingkat disparitas harga tertinggiPada harga beras dunia tingkat disparitas (kesenjangan) harga tertinggi terjadi pada

tahun 2008 lalu sebanyak 92.11%, sementara tingkat disparitas harga beras Indonesiatertinggi pada tahun 2007 lalu sebanyak 72.6%. Pada harga beras dunia, tingkat disparitasharga tertinggi pada tahun 2008 lalu lebih disebabkan oleh perubahan tingkat harga berasdunia pada tahun 2008 lalu yang meningkat tajam hingga tiga kali lipat dari harga biasa(hingga mencapai US$ 900/MT). Sementara pada harga beras Indonesia tingkatdisparitasnya yang tertinggi terdapat pada tahun 2007 lalu, hal ini menandakan terjadinyalonjakan harga yang tajam per periode bulananya selama tahun 2007 tersebut. Tingkatkesenjangan harga beras domestik yang cukup tinggi juga dapat dilihat pada tahun 2010dan 2011 lalu, yang mencapai nilai diatas 50%. Artinya terdapat perubahan kenaikan hargaberas hingga mencapai 50% dari rata-rata perubahan harga beras biasa. Di satu sisi, adanyatingkat kesenjangan harga beras ini juga disebabkan oleh masuknya beras impor ke pasardomestik. Akibat tingginya tingkat kesenjangan antara harga beras domestik yang telahbercampur dengan harga beras impor ini akan membentuk suatu keseimbangan hargadomestik yang baru yang tentunya akan berbeda-beda jika dibandingkan dengan periodesebelumnya.

Hasil Uji Praestimasi DataPengujian praestimasi dilakukan sebelum estimasi model VAR/VECM. Berdasarkan

hasil uji akar unit pada level menggunakan uji ADF menunjukkan hasil bahwa beberapavariabel tidak stasioner di level. Sehingga selanjutnya dilakukan uji akar unit pada firstdifference dengan hasil semua variabel stasioner pada taraf 10%. Berdasarkan pengujianlag optimum, kriteria pengujian yang didasarkan pada nilai SIC minimum menunjukkanmodel optimum di lag 2. Pengujian stabilitas VAR juga menunjukkan semua akar unitfungsi polinomial memiliki nilai kurang dari 1. Hal ini berarti bahwa model VAR sudahstabil sehingga analisis Impulse Respone Function (IRF) dan Forecast ErrorDecomposition (FEVD) dianggap valid. Tahap praestimasi berikutnya adalah Johansen

Cointegration test. Berdasarkan hasil uji ini terdapat 3 persamaan yang memiliki nilai tracestatititic > critical value 10%.

Tabel 4 Hasil Uji Kointegrasi

HypothesizedNo. of CE(s)

Eigenvalue Trace Statistic

CriticalValue Prob.**

None * 0.621590 296.0401 228.2979 0.0000At most 1 * 0.606035 226.2137 187.4701 0.0006At most 2 * 0.415501 153.0476 150.5585 0.0359At most 3 0.357618 109.5506 117.7082 0.1464*Terdapat tiga persamaan yang terkointegrasi pada level 5%Hal ini menunjukkan terdapat kointegrasi pada model penelitian sehingga VECM dipilihsebagai alat estimasi untuk menjawab tujuan penelitian.

Analisis Volatilitas HargaHasil estimasi VECM selengkapnya bisa dilihat pada lampiran 1. Berdasarkan hasilestimasi VECM model pertama, beberapa variabel yang signifikan terhadap volatilitasharga beras Indonesia pada lag 1 saja, yaitu harga beras domestik, produksi padi nasional,suhu, dan Indeks Produksi Industri (IPI). Sementara pada lag 2 variabel yang signifikanmempengaruhi volatilitas harga beras Indonesia pada jangka pendek adalah volume imporberas. Variabel cadangan beras domestik maupun harga beras dunia sama-samaberpengaruh signifikan baik pada lag 1 maupun lag 2, sedangkan variabel lainnya tidaksignifikan. Selain itu dari model ini juga bisa dilihat bahwa adanya dugaan parameter errorcorrection (variabel Cointeq1) yang signifikan membuktikan adanya mekanismepenyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang dengan besaran penyesuaian yaitusebesar -0.85 persen.Pada jangka panjang ada beberapa variabel yang berpengaruh signifikan terhadapvolatilitas harga beras Indonesia, yaitu cadangan beras nasional, produksi padi nasional,harga beras domestik dan suhu dunia. Ketiganya sama-sama berpengaruh positif terhadapvolatilitas harga beras Indonesia kecuali untuk kondisi suhu dunia. Kedua hal ini sesuaidengan teori, dimana adanya kenaikan cadangan beras pemerintah oleh BULOGmengindikasikan bahwa produksi beras nasional saat itu dirasa kurang mencukupi untukmemenuhi demand masyarakat, sehingga pada saat keadaan ini terjadi (dalam jangkapendek maupun panjang) tentunya harga beras akan berfluktuasi. Variabel harga berasyang meningkat membuat volatilitas harga beras pun meningkat, cateris paribus.Selanjutnya, adanya kenaikan produksi padi sebanyak satu persen akan meningkatkanvolatilitas harga beras sebanyak 184.10 satuan. Hal ini agak berlawanan dengan teori,mengingat semakin tinggi supply padi (beras) membuat harga akan cenderung turun atausetidaknya stabil pada jangka panjang, cateris paribus.Pada jangka pendek hasil estimasi menunjukkan adanya kenaikan harga beras dunia 1%pada 1 bulan sebelumnya, maka akan menurunkan volatilitas harga beras domestik sebesar197.62 satuan pada bulan sekarang. Hal ini mengindikasikan hubungan negatif antaravolatilitas harga beras Indonesia dengan harga beras dunia pada jangka pendek. Ini terjadidikarenakan kenaikan harga beras dunia mengindikasikan jumlah yang diperdagangkan(pasokan beras) untuk masyarakat di luar negeri berkurang, akibat produksi padi domestikdi negara-negara produsen beras utama terpakai habis hanya untuk memenuhi kebutuhanmasyarakat dalam negerinya saja termasuk Indonesia, cateris paribus. Selain itu, padapasar dunia beras memiliki skala pasar yang sempit (thin market). Artinya, hanya sedikitvolume beras yang diperdagangkan oleh setiap negara produsen beras di pasar dunia. Hal

ini dikarenakan pada hakikatnya, komoditi beras merupakan komoditi pokok di negara-negara pengekspor, sehingga tujuan utama setiap negara adalah untuk memenuhikebutuhan negaranya terlebih dahulu baru kemudian sisanya di ekspor. Kondisi “thinmarket” ini menyebabkan jika terjadi sedikit saja shock di pasar dunia, akanmempengaruhi harga beras Indonesia. Berdasarkan temuan ini diduga adanya transmisiharga pada jangka pendek (yang terjadi baik pada lag 1 maupun lag 2) antara harga berasdunia dengan harga beras Indonesia. Artinya, pada jangka pendek fluktuasi (volatilitas)harga beras nasional terintegrasi dengan harga beras dunia. Namun dalam hal ini belumdiketahui pasti berapa level speed of adjustment dari transmisi harga di antara dua pasarini.Analisis Respon terhadap perubahan harga beras dan produksi

Analisis ini digunakan untuk melihat respons suatu variabel endogen terhadapguncangan (shock) tertentu, baik yang ditransmisikan oleh variabel itu sendiri maupun olehvariabel lain pada saat tersebut dan di masa yang akan datang. Dalam analisis responvolatilitas harga beras Indonesia ini jangka waktu yang diproyeksikan adalah 36 bulan (3tahun) kedepan. Menurut gambar pada Lampiran 2, dapat dilihat bahwa apabila terjadiguncangan pada masing-masing variabel sebesar satu deviasi akan menyebabkan volatilitasharga beras Indonesia mengalami perubahan.1. Guncangan pada cadangan beras domestik Indonesia direspon negatif oleh volatilitas

harga beras Indonesia dan akan stabil pada jangka panjang. Bulan ke-5 merupakanperiode yang memiliki respon tertingggi yaitu sebesar -16.29 persen. Setelah ituresponnya akan cenderung berkurang dan stabil di level -8 persen.

2. Guncangan pada harga beras dunia secara umum direspon positif namun berfluktuatifoleh volatilitas harga beras Indonesia. Pada bulan pertama guncangan harga beras duniaini direspon negatif oleh volatilitas harga beras domestik yaitu sebesar -11.99 persen,sekaligus dengan nilai tertinggi. Namun pada periode selanjutnya, guncangan akandirespon positif namun berfluktuasi hingga mencapai stabilnya pada periode bulan ke20 di level 8 persen.

3. Adanya shock pada harga beras domestik akan direspon positif oleh volatilitas hargaberas Indonesia. Pada bulan ke-2 adanya guncangan harga beras domestik mampumempengaruhi volatilitas harga beras domestik sebanyak 21.42 persen. Nilai inimerupakan nilai tertinggi, dan selanjutnya pada jangka panjang akan stabil di level 2persen.

4. Adanya guncangan pada variabel produksi padi domestik akan direspon positif padadua bulan awal, namun selanjutnya fluktuatif negatif oleh volatilitas harga berasIndonesia. Pada bulan ke-2, berpengaruh sebanyak 2.75 persen, namun pada bulan ke-3dan selanjutnya akan berpengaruh negatif dengan mencapai puncaknya pada bulan ke-5dengan nilai -19.44 persen.

Dari keseluruhan hasil IRF ini dapat di simpulkan bahwa respon terbesar darikesemua variabel ini justru berasal dari guncangan volatilitas harga beras itu sendiri, yaitu44.78 persen pada bulan 1 dan mengalami penurunan di periode selanjutnya. Hal ini sesuaidengan random walk theory dari pergerakan harga beras ini yang memiliki distribusi daninterdependensi satu sama lain. Artinya volatilitas harga beras memang dipengaruhi olehvolatilitas harga beras domestik itu sendiri. Pada ramalan lima bulan awal, harga berasdomestik yang paling memberikan pengaruh terbesar untuk volatilitas harga beras.Sementara pada periode selanjutnya ada cadangan beras dan suhu yang mempengaruhifluktuasi harga beras domestik ini.

Analisis Faktor yang memengaruhi volatilitas harga berasHasil simulasi FEVD (Lampiran 3) menunjukkan bahwa secara keseluruhan dalam jangkapendek kontribusi varian yang paling dominan dalam menjelaskan volatilitas harga berasIndonesia adalah guncangan volatilitas harga itu sendiri (lebih dari 63 persen pada periode5 bulan awal, dan selanjutnya akan stabil pada level 47 persen), lalu harga beras domestik,cadangan beras, dan produksi padi. Masing-masing berkontribusi di kisaran 10-14 persen.Sementara pada jangka panjang, yang agak dominan menjelaskan volatilitas harga berasIndonesia adalah suhu dunia (18%) dan harga beras dunia (7%). Kontribusi variabelproduksi padi, suhu, cadangan beras domestik, dan harga beras dunia dalam menjelaskanvolatilitas harga beras domestik merupakan variabel utama dari segi supply.

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKANTerdapat fluktuasi (volatilitas) harga beras dunia dan Indonesia yang bervariasi antar waktu(time varying). Tingkat disparitas harga beras dunia yang tertinggi terjadi pada tahun 2008(92.11%), sementara tingkat disparitas harga beras Indonesia tertinggi pada tahun 2007(72.6%). Volatilitas harga beras tidak terjadi di Indi karena kebijakan dalam negeripemerintah India terkait kontrol harga beras domestiknya dan pemberian subsidipertaniannya yang konsisten sejak tahun 2007. Pada jangka pendek variabel yangsignifikan terhadap volatilitas harga beras Indonesia adalah harga beras domestik padaperiode sebelumnya dan harga beras dunia yang signifikan pada lag 1 dan 2. Sedangkanpada jangka panjang variabel yang berpengaruh signifikan terhadap volatilitas harga berasIndonesia adalah lebih dari sisi supply, yaitu cadangan beras nasional, produksi padinasional, dan harga beras domestik. Respon terbesar dari kesemua variabel justru dariguncangan volatilitas harga beras itu sendiri, selain juga guncangan dari produksi padi,harga beras domestik dan harga beras dunia juga berperan. Sampai periode 3 tahunmendatang, volatilitas harga beras itu sendiri mendominasi dalam memengaruhi volatilitasharga beras Indonesia. Variabel lain seperti suhu, harga beras dunia domestik dan dunia,produksi padi domestik, dan cadangan beras domestik juga memiliki kontribusi dalamvolatilitas harga beras, namun dibutuhkan periode yang lebih panjang. Sedangkan variabelseperti total volume impor Indonesia maupun IHK dan IPI tidak terlalu memberikankontribusi yang besar dalam volatilitas harga beras Indonesia.Faktor harga lebih besar memmengaruhi volatilitas harga beras domestik dibanding faktornon harga pada jangka pendek. Selain itu faktor cadangan beras nasional pun jugamemainkan peranan penting dalam terciptanya stabilisasi harga beras ini. Implikasinya,pemerintah harus lebih mengutamakan efisiensi kebijakan stabilisasi harga beras sebagaisalah satu pengendali harga khususnya pada waktu-waktu dimana terjadi lonjakan hargaberas. Usulan terkait Paket Bali yang memuat aturan cadangan stok pangan domestik(public stockholding) sudah seharusnya dipertimbangkan kembali dan implikasinya padaanggaran pemenrintah. Selain itu, untuk program jangka panjang peningkatanproduktivitas dapat dioptimalkan dengan baik. Selain pemberian subsidi pertanian yangterus ditingkatkan, pemerintah juga disarankan memberi dukungan terhadap para petanimelalui pelatihan-pelatihan yang membantu petani dalam adopsi teknologi secara merata diseluruh lokasi wilayah panen, maupun dalam hal manajemen pengelolaan produksi, agarproduktivitas padi dan beras,merata di seluruh wilayah lokasi panen di Indonesia. Saranuntuk penelitian selanjutnya agar bisa dimasukkan variabel kebijakan ke dalam modelseperti subsidi pertanian maupun tarif impor beras. Selain itu untuk proksi harga beras

India disarankan menggunakan data retail price atau consumer price beras itu sendiri agarbisa lebih “mewakili” harga yang terjadi di tingkat konsumen.

DAFTAR PUSTAKAAchsani NA, Oktaviani, Rina. 2011. Dealing with Commodity Price Volatility in Asia.

Bogor (ID): Departemen Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor.Amisano G, Giannini C. 1997. Topics in Structural VAR Econometrics. Ed ke-2. New

York: Springer Verlag.Bollerslev, T. 1986. Generalised Autoregressive Conditional Heteroskedasticity. Journal of

Econometrics, 31 (3). pp. 307–327. Amsterdam: North Holland and Elsevier SciencePublishers B.V.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi 2007-2013.Jakarta (ID): BPS.

_________________. 2013. Tanaman Pangan: Tabel Luas Panen, Produktivitas, ProduksiTanaman Padi Provinsi Indonesia tahun 1983-2013. Statistika Tanaman Pangan.Jakarta (ID): BPS.

Enders W. 2004. Applied Econometric Time Series. Ed ke-2. New York: John Willey andSons, Inc.

Engle RF, Granger CWJ. 1987. Co-Integration and Error Correction: Representation,Estimation, and Testing, Econometrica 55(2): 251-276.

Farid, Miftah. Nugroho. 2012. Tinjauan terhadap Produksi, Konsumsi, Distribusi, danDinamika Harga Cabe di Indonesia. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol.6 No.2,Desember 2012

[FAO] World Food and Agiculture Organization. FAO Statistical Yearbook 2011.[diunduh April 2014]. Tersedia pada: http://fao.org/

Firdaus, M. 2008. Swasembada Beras dari Masa ke Masa: Telaah Efektivitas Kebijakandan Perumusan Strategi Nasional. Bogor: IPB Press.

_________. 2011. Aplikasi Ekonometrika Untuk Data Panel dan Time Series. Bogor (ID):IPB Pr.

Furlong F, Ingenito R. 1996. Commodity Prices and Inflation. Federal Reserve Bank ofSan Francisco (FRBSF) Economic Review No. 2: 27-47.

Gosh, Nilanjan. 2010. Role of Thin Commodity Futures Markets in Physical Market PriceMaking: An Analysis of Wheat Futures in India in the Post-Ban Era. TakshashilaAcademia of Economic Research Working Paper No.6 (2010)

International Monetary Fund (IMF). 2014. Primary Commodity Prices Database.Popa, Larisa N, Mihaela R, Flavius R. 2013. The Challenges of Sugar Market: An

Assessment from the Price Volatility Perspective and Its Implications for Romania.Procedia Economics and Finance 5 (2013) 605 – 614 doi: 10.1016/S2212-5671(13)00071-3

Rachman, HPS, Purwoto A, Hardono GS. 2005. Kebijakan Pengelolaan Cadangan PanganPada Era Otonomi Daerah Dan Perum Bulog. Forum Penelitian Ekonomi. Vol. 23 No.2,Desember 2005: 73-83

Sims C. 1972. "Money, Income and Causality". American Economic Review 62(4): 540-552.

Salvatore D. 1997. Ekonomi Internasional, Edisi Kelima. Jilid 1. Munandar H, penerjemah.Jakarta (ID): Penerbit Erlangga. Terjemahan dari International Economics, Fifth Edition.

Timmer, C.P., 1996. Does Bulog Stabilise Rice Prices in Indonesia? Should It Try?Bulletin of Indonesian Economic Studies 32 (2), 45–74.

[USDA] United States Department of Agriculture. Berbagai Terbitan [Internet]. [diunduhApril 2014]. Tersedia pada: http://usda.gov/ [WB] World Bank. 2011. Perkembangan,Pemicu dan Dampak Harga Komoditas: Implikasinya terhadap Perekonomian Indonesia.Jakarta: World Bank.

LAMPIRANLampiran 1Hasil Estimasi VECM pada Model Volatilitas

Jangka PendekVariabel Koefisien t-Statistik

CointEq1 -0.105997 -1.44691D(VOLATILITY(-1)) -0.707440 -6.00447*D(VOLATILITY(-2)) -0.145034 -1.27246D(CPI(-1)) 16.27209 1.76097D(CPI(-2)) -3.101728 -0.34970D(IPI(-1)) 1.016153 0.56420D(IPI(-2)) -0.386355 -0.22541D(LN_DOM_STOCK(-1))

24.88577 0.49178

D(LN_DOM_STOCK(-2))

-35.51042 -0.63920

D(LN_DOMRICE(-1)) 766.3616 1.82833D(LN_DOMRICE(-2)) 220.9688 0.51518D(LN_PRODUKSI(-1)) 28.45752 1.65397D(LN_PRODUKSI(-2)) -10.01121 -0.32547D(LN_SUHU(-1)) 116.4687 0.17416D(LN_SUHU(-2)) 941.4640 1.54459D(LN_VOL_IMP(-1)) -4.307818 -0.67935D(LN_VOL_IMP(-2)) 12.46863 1.73107D(LN_WORLDRICE(-1))

-164.3117 -1.96415*

D(LN_WORLDRICE(-2))

201.0497 2.28872*

C -15.33643 -1.65775Jangka Panjang

Variabel Koefisien t-StatistikVOLATILITY(-1) 1.000000CPI(-1) 2.509923 0.36423IPI(-1) 4.224091 1.02983LN_DOM_STOCK(-1) 172.9659 4.23958*LN_DOMRICE(-1) 1098.021 3.48009*LN_PRODUKSI(-1) 258.0664 6.99293*LN_SUHU(-1) 255.0576 0.71795LN_VOL_IMP(-1) -21.94538 -1.46532LN_WORLDRICE(-1) -46.25463 -1.02326C 5731.439

Ket: * signifikan pada taraf 5%Nilai t-ADF untuk nilai kritis lima persen sama dengan 1.96

Lampiran 2Impuls Response Function dari volatilitas harga beras Indonesia

-20

0

20

40

60

5 10 15 20 25 30 35

Response of VOLATILITY to VOLATILITY

-20

0

20

40

60

5 10 15 20 25 30 35

Response of VOLATILITY to CPI

-20

0

20

40

60

5 10 15 20 25 30 35

Response of VOLATILITY to IPI

-20

0

20

40

60

5 10 15 20 25 30 35

Response of VOLATILITY to LN_DOM_STOCK

-20

0

20

40

60

5 10 15 20 25 30 35

Response of VOLATILITY to LN_DOMRICE

-20

0

20

40

60

5 10 15 20 25 30 35

Response of VOLATILITY to LN_PRODUKSI

-20

0

20

40

60

5 10 15 20 25 30 35

Response of VOLATILITY to LN_SUHU

-20

0

20

40

60

5 10 15 20 25 30 35

Response of VOLATILITY to LN_VOL_IMP

-20

0

20

40

60

5 10 15 20 25 30 35

Response of VOLATILITY to LN_WORLDRICE

Response to Cholesky One S.D. Innovations

Lampiran 3Hasil analisis FEVD volatilitas harga beras Indonesia

4 0

5 0

6 0

7 0

8 0

9 0

1 0 0

1 1 0

5 1 0 1 5 2 0 2 5 3 0 3 5

VOLATILITY CPIIPI LN_DOMRICELN_DOM_STOCK LN_PRODUKSILN_SUHU LN_VOL_IMPLN_WORLDRICE

Variance Decomposition of VOLATILITY

KAJIAN PROGRAM MASTER PLAN PERCEPATAN DAN PERLUASANPEMBANGUNAN EKONOMI NASIONAL (MP3EI) DAN IMPLIKASINYA

DALAM PENINGKATAN PRODUKSI PERTANIAN PANGAN DI KORIDORJAWA:

Kajian di Provinsi Jawa Barat(Study of Master Plan for the Acceleration and Expansion of Indonesian Economic

Development(MP3EI) and Implications on the Improvement of Agricultural Production inCorridor Java: Studies in West Java Province)

AbstrakAdang Agustian dan Supena Friyatno

Peneliti Pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,Badan Litbang Pertanian, Jl. Jend. A. Yani 70 Bogor 16161.

Sejak tahun 2011, pemerintah meluncurkan program Master Plan Percepatan danPerluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 yaitu untuk mendorongkinerja perekonomian nasional. Sektor pertanian menjadi salah satu fokus dari delapanprogram utama pengembangan, dan pertanian pangan menjadi salah satu kegiatan ekonomiutama yang dikembangkan. Kajian ini bertujuan untuk menganalisis pengembanganprogram MP3EI di sektor pertanian pangan di Koridor Jawa (yaitu di Provinsi Jawa Barat),dan menganalisis potensi serta kendala pengembangan produksi pangan dalam kerangkaprogram MP3EI. Data yang digunakan pada analisis merupakan data primer dansekunder.Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif. Hasil kajian menunjukkan: (1)Salah satu strategi program MP3EI dikembangkan 6 (enam) koridor ekonomi Indonesia,yaituKoridor: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Koridor Bali – Nusa Tenggara, danPapua – Kepulauan Maluku. Pada Program MP3EI, Koridor Ekonomi Jawa diharapkandapat menjadi “Pusat Pengembangan Industri dan Jasa Nasional” dan memberikan efekpositif bagi pengembangan Koridor lainnya. Pengembangan koridor ekonomi sebagai pusatproduksi pertanian khususnya pangan adalah berada di Koridor Sulawesi dan Papua; (2)Berdasarkan fakta yang ada bahwa posisi Koridor Jawa masih sebagai penyangga pangannasional, mengingat sumbangan Koridor Jawa masih menyumbang sekitar 55 persen untukproduksi pangan nasional; (3) Potensi pertanian pangan di Jawa Barat masih didukung olehpotensi baku sumberdaya lahan sawah dan lahan kering yaitu masing-masing seluas942.411 ha dan 1.535.379 ha, dukungan teknologi budidaya dan infrastruktur pertanianyang cukup baik, pengetahuan/keterampilan SDM pertanian, dan kebijakan pemerintahdalam peningkatan produksi tanaman pangan. Adapun kendala yang dihadapipengembangan sektor pertanian di Jawa Barat antara lain konversi lahan pertanian kepenggunaan non pertanian; (4)Dalam rangka mendorong percepatan pembangunanekonomi khususnya subsektor tanaman pangan di Jawa Barat diperlukan pembangunaninfrastruktur dan penyediaan sarana-prasarana seperti: perbaikan jaringan irigasi,manajemen perbenihan, jalan usahatani dan penyediaan alat mesin pertanian; dan (5)Dalam kerangka pelaksanaan MP3EI, Pemerintah Daerah mendukung MP3EI yang telahmenjadi bagian dari program pembangunan ekonomi nasional, namun tetap memperhatikansektor-sektor yang sudah berkembang, sehingga pelaksanaannya dapat meminimalisirkehilingan investasi pada sektor pertanian. Dalam hal ini diupayakan meminimalkanpenggunaan ruang produktif dan atau memanfaatkan ruang-ruang yang kurangproduktif.Tugas pengamanan pangan nasional tetap dipertahankan dalam pelaksanaanMP3EI.

Kata Kunci: MP3EI, Koridor Jawa, Pangan, dan Jawa Barat.

AbstractSince the year 2011, the government launched the Master Plan for the Acceleration

and Expansion of Indonesian Economic Development (MP3EI) 2011-2025 which is toencourage the performance of the national economy. The agricultural sector is one focus ofthe eight major program development, and food become one of the main economicactivities are developed. This study aims to analyze the development of MP3EI program inagri-food sector in Java Corridor (ie in the West Java province), and analyzed the potentialand barriers to the development of food production within the framework of the programMP3EI. The data used in the analysis of primary and secondary data. Data were analyzeddescriptively. The results showed: (1) One of the strategies developed MP3EI program 6(six) Indonesian economic corridors, namely Corridor: Sumatra, Java, Kalimantan,Sulawesi, Bali Corridor - Nusa Tenggara, and Papua - Maluku Islands. In MP3EI program,Java Corridor is directed as "Industrial Development Centre and National Service" and apositive effect on the development of other corridors. Economic corridor development as acenter of agriculture, especially food production is located in Sulawesi and Papuacorridors; (2) Based on the fact that there is still Java Corridor that position as nationalfood buffer, given the contribution of Java Corridor still accounts for about 55 percent tothe national food production; (3) Potential food agriculture in West Java is still supportedby the raw resource potential wetland and dry land that each area of 942 411 ha and1,535,379 ha, cultivation technology and infrastructure support for agriculture is quitegood, knowledge / skills of agricultural human resources, and government policy in theincreased production of food crops. The constraints facing the development of theagricultural sector in West Java such as the conversion of agricultural land to non-agricultural use; (4) In order to encourage increased production of food crops in West Javainfrastructure development and the provision of necessary infrastructure such as:improving irrigation, seed management, farm roads and the provision of agriculturalmachinery; and (5) Within the framework of the implementation of MP3EI, LocalGovernment support MP3EI which has become part of the national economic developmentprograms, but still consider the sectors that have been developed, so that theimplementation can reduce the loss of investment in the agricultural sector. In this caseattempted to minimize the use of space or utilize productive and spaces that are lessproductive. The task of national food security is maintained in the implementation ofMP3EI.Keywords: MP3EI, Java Corridor, Food, and West Java.

I. PENDAHULUAN

Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)2011-2025 yang diluncurkan tanggal 27 Mei 2011 oleh Presiden Republik Indonesia,merupakan salah satu pedoman pembangunan ekonomi yang digunakan oleh pemerintahdalam melakukan percepatan pembangunan Indonesia menuju negara yang adil danmakmur di tahun 2025. Konsep MP3EI adalah meningkatkan kegiatan ekonomi melaluiinvestasi guna memacu produksi dengan penyediaan fasilitas perekonomian. Jika MP3EIdalam implementasinya sesuai rencana, tiap-tiap koridor akan menjadi kawasan ekonomiyang kuat, menjadi hub atau penghubung antarkawasan, menarik bagi investor, yang padaakhirnya diharapkan terjadinya trickle down effect.

Berdasarkan tiga misi MP3EI (peningkatan nilai tambah dan perluasan ranatai nilai,peningkatan effisiensi produksi dan pemasaran, dan penguatan sistem inovasi nasional)maka telah dipilih dan ditetapkan tiga strategi utama dalam mempercepat dan memperluaspembangunan ekonomi Indonesia, yakni (Lampiran Perpres 32/2011) :(1) Pengembanganpotensi ekonomi melalui koridor ekonomi,(2)penguatan konektivitas nasional, dan (3)penguatan kemampuan SDM dan iptek nasional (Gambar 1). Ketiga strategi ini tentunyatidak masing-masing berdiri sendiri, tetapi tetap harus saling sinergi dalam rangkamempercepat dan memperluas pembangunan ekonomi Indonesia.

Setiap program dan kegiatan dalam rangka implementasi strategi penguatan ipteknasional harus tetap mengacu pada kegiatan ekonomi utama untuk masing-masing koridordan mendukung upaya penguatan konektivitas nasional. Berdasarkan salah satu strategiprogram MP3EI dikembangkan 6 (enam) koridor ekonomi indonesia, yaitu: KoridorSumatera, Koridor Jawa, Koridor Kalimantan, Koridor Sulawesi, Koridor Bali – NusaTenggara, dan Koridor Papua – Kepulauan Maluku. Pembangunan 6 (enam) koridorekonomi dilakukan melalui pembangunan pusat-pusat pertumbuhan di setiap koridordengan mengembangkan klaster industri dan kawasan ekonomi khusus (KEK) yangberbasis sumber daya unggulan di setiap koridor ekonomi.

Pada setiap koridor tersebut akan dikembangkan konektivitas intra wilayah sertaantar wilayah dengan tujuan menghubungkan pusat-pusat ekonomi utama yang ada didalam setiap koridor dan antar koridor serta dengan pasar dunia. Selain itu, penguatankonektivitas ditujukan untuk memperluas pembangunan ekonomi ke wilayah sekitarnya,khususnya ke wilayah tertinggal, terpencil serta wilayah perbatasan.

Gambar 1. Diagram Visi dan Strategi MP3EI ( Sumber: Bappenas, 2011)

Dalam hal konektivitas, Pemerintah merupakan motor penggerak dalam menciptakanserta membangunan infrastruktur dasar untuk mendukung integrasi perekonomian. Halyang dapat dilakukan oleh Pemerintah dalam hal mendukung integrasi perekonomian yaitudengan melakukan identifikasi simpul-simpul transportasi (transportation hubs) dandistribution centers untuk memfasilitasi kebutuhan logistik bagi komoditi utama danpenunjang serta peningkatan jaringan komunikasi dan teknologi informasi untukmemfasilitasi seluruh aktifitas ekonomi, aktivitas pemerintahan, dan sektor pendidikannasional.

Implementasi pengembangan koridor ekonomi untuk mendukung tercapainyapercepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia ditentukan oleh prinsip-prinsip: (1) Koridor Ekonomi Indonesia tidak diarahkan pada kegiatan eksploitasi danekspor sumber daya alam, namun lebih pada penciptaan nilai tambah; (2) KoridorEkonomi Indonesia tidak diarahkan untuk menciptakan konsentrasi ekonomi pada daerahtertentu namun lebih pada pembangunan ekonomi yang beragam dan inklusif; (3) KoridorEkonomi Indonesia tidak menekankan pada pembangunan ekonomi yang dikendalikanoleh pusat, namun pada sinergi pembangunan sektoral dan daerah untuk menjagakeuntungan kompetitif nasional; (4) Koridor Ekonomi Indonesia tidak menekankanpembangunan transportasi darat saja, namun pada pembangunan transportasi yangseimbang antara darat, laut, dan udara; dan (5) Koridor Ekonomi Indonesia tidakmenekankan pada pembangunan infrastruktur yang mengandalkan anggaran pemerintahsemata, namun juga pembangunan infrastruktur yang menekankan kerja sama pemerintahdengan swasta (KPS).

Dalam program MP3EI, Koridor ekonomi Jawa ditetapkan sebagai pusat pendorongindustri dan jasa nasional. Dengan demikian, Koridor Jawa tidak secara eksplisitdisebutkan sebagai pusat dibidang pertanian dan pangan. Berdasarkan fakta yang adamenurut Haryono (2012) bahwa Luas P. Jawa hanya 7% dari daratan Indonesia, namunkontribusinya sangat besar terhadap ketahanan panganyaitu sekitar 55 %, diantaranyadalam produksi Beras (54,6%), Jagung (53,5%), dan Kedelai (67,5%).

Percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia menetapkan sejumlahprogram utama dan kegiatan ekonomi utama yang menjadi fokus pengembangan strategidan kebijakan.Prioritas ini merupakan hasil dari sejumlah kesepakatan yang dibangunbersama-sama dengan seluruh pemangku kepentingan secara interaktif dan partisipatif.Berdasarkan kesepakatan tersebut, fokus dari pengembangan MP3EI ini diletakkan pada 8program utama, yaitu pertanian, pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata, dantelematika, serta pengembangan kawasan strategis. Kedelapan program utama tersebutterdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama, yang antara lain adalah: pertanian pangan.

Oleh karena itu, dengan kerangka percepatan dan perluasan pembangunan ekonomimaka pembangunan pertanian khususnya tanaman pangan memiliki urgensi sangat pentinguntuk terus ditingkatkan.Berbagai informasi hasil kajian mengenai kinerja MP3EI danimplikasinya dalam Peningkatan Produksi Pertanian Pangan khususnya di KoridorEkonomi Jawa yaini di Provinsi Jawa Barat sangat diperlukan. Mengingat pertanianpangan menjadi salah satu kegiatan ekonomi utama yang dikembangkan. Kajian inibertujuan untuk menganalisis pengembangan program MP3EI di sektor pertanian pangandi Koridor Jawa (khususnya di Provinsi Jawa Barat), dan menganalisis potensi sertakendala pengembangan produksi pangan dalam kerangka program MP3EI di Jawa Barat.

II. METODE PENELITIAN

2.1. Kerangka PemikiranSalah satu strategi program MP3EI dikembangkan 6 (enam) koridor ekonomi

indonesia, yaitu: Koridor Sumatera, Koridor Jawa, Koridor Kalimantan, Koridor Sulawesi,Koridor Bali – Nusa Tenggara, dan Koridor Papua – Kepulauan Maluku (Bappenas, 2011).Pembangunan 6 (enam) koridor ekonomi dilakukan melalui pembangunan pusat-pusatpertumbuhan di setiap koridor dengan mengembangkan klaster industri dan kawasanekonomi khusus (KEK) yang berbasis sumber daya unggulan di setiap koridor ekonomi.

Pada pengembangan Koridor Ekonomi, pengembangan kegiatan ekonomi utamaditempuh melalui pusat-pusat pertumbuhan ekonomi disertai penguatan konektivitas antarpusat-pusat ekonomi dan lokasi kegiatan utama serta fasilitas pendukungnya.Pengembangan koridor ekonomi ini juga dapat diartikan sebagai pengembangan wilayahuntuk menciptakan dan memberdayakan basis ekonomi terpadu dan kompetitif sertaberkelanjutan dengan mempertimbangkan sistem perencanaan pembangunan yang ada danbertujuan terwujudnya percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi khususnya didalam koridor ekonomi.

Pada Program MP3EI, masih diperlukannya melihat posisi Koridor Jawa sebagaipenyangga pangan nasional, mengingat sumbangan Koridor Jawa terhadap produksiPangan nasional masih sekitar 55 persen. Disisi lain pengembangan tanaman pangan secaraumum masih mengalami hambatan seperti: (1) masih rendahnya tingkat adopsi teknologibudidaya spesifik lokasi di tingkat petani, sebagai akibat rendahnya kemampuanpermodalan petani untuk dapat menyerap perkembangan teknologi produksi yang cukup

pesat, (2) terdapatnya persaingan (kompetisi) tanaman pada lahan usahatani, dengantanaman lain yang memiliki profitabilitas usahatani yang lebih tinggi, (3) Cukupbanyaknya serangan hama penyakit tanaman pangan seperti padi, jagung dan kedelai, dan(4) Kondisi iklim yang seringkali kurang bersahabat, sehingga produktivitasnya jugarendah (Agustian, et.al, 2012). Menurut Adnyana (2008) bahwa sistem ketahanan panganharus bersifat berkelanjutan. Ketahanan pangan terlanjutkan tampaknya harus didukungperluasan areal tanam melalui: (1) pemanfaatan lahan tidur; (2) pembukaan lahan barudengan delineasi yang akurat; dan (3) peningkatan indeks pertanaman pada lahan sawahirigasi, minimal 250 persen.

Dalam program pembangunan ekonomi pangan di Jawa perlu dipertimbangkanempat aspek yaitu: (a) MP3EI sebagai pedoman pembangunan ekonomi nasional; (b)pertanian nasional dalam perspektif MP3EI; (c) ekonomi pangan di Koridor Jawa dalamkonteks MP3EI; dan (d) pembangunan ekonomi pangan dalam konteks pembangunan danpertumbuhan inklusif. Keempat aspek tersebut memiliki keterkaitan yang kuat dalammencapai sasaran pembangunan dengan pertumbuhan tinggi dan berkualitas, yaitupembanguan ekonomi yang mampu mensinergikan pertumbuhan, kesempatan kerja, danpengentasan kemiskinan (Hermanto, et al, 2013). Pertanian nasional dalam konteks MP3EIdiharapkan mampu sebagai sumber pertumbuhan pada koridor ekonomi khusus, sementaraitu ekonomi pangan (khususnya di Jawa: Jawa Barat) diharapkan tetap berperan pentingdalam penciptaan kesempatan kerja dan pengentasan kemiskinan. Implementasi programMP3EI dengan dukungan tiga pilar utamanya diharapkan mampu menciptaakanoptimalisasi hasil pembangunan dengan sasaran pencapaian pembangunan danpertumbuhan inklusif.

Pada pendekatan kajian yang membahas ekonomi pangan dalam konteks MP3EIperlu mempertimbangkan 3 aspek (Hermanto, et al, 2013), yaitu (a) dinamika kontribusipertanian pangan di Koridor Ekonomi (KE) Jawa khususnya di Jawa Barat daninteraksinya dalam konteks pembangunan pertanian nasional; (b) kinerja eksisting produksiekonomi pangan di Jawa Barat; dan (c) ekonomi pangan di Jawa Barat dalam konteksMP3EI. Ketiga dimensi pendekatan tersebut memiliki konektivitas dan interelasi yang kuatdengan sasaran perumusan perspektif dan kebijakan pembangunan ekonomi pangan diJawa. Perspektif dan kebijakan ekonomi pangan di Jawa Barat, diantaranya mencakupkeluaran utama: (a) kontribusi pertanian pangan di Jawa Barat terhadap pembangunannasional; (b) kebijakan ekonomi pangan terhadap ketahanan pangan (dilihat dari aspekpeningkatan produksi pangan); dan (c) kebijakan ekonomi pangan dalam perspektifpertumbuhan dan pembangunan inklusif wilayah Jawa Barat.Bahasan dinamika ekonomipangan di Jawa Barat relatif terhadap ekonomi pangan nasional mencakup aspeksumberdaya dan infrastruktur pertanian; produksi, areal panen, dan produktivitaskomoditas pangan; kontribusinya terhadap PDB, perannya terhadap ketahanan pangan.

Kinerja eksisting pangan di KE Jawa khususnya di Jawa Barat mencakup analisispotensi pengembangan produksi pangan, potensi peningkatan produksi pangan,kontribusiPDB pertanian pangan, dan dampak terhadap ketahanan pangan. Keluaran yang diharapkandari analisis ini adalah pemahaman komprerhensif tentang potensi produksi dan ketahananpangan di KE Jawa khususnya di Jawa Barat.

Gambar 2. Kerangka Pikir Pembangunan Pertanian dan Ekonomi Pangan:Interaksi KE Jawa (Jawa Barat) dan KE Lainnya dalam KonteksProgram MP3EI

Program MP3EI

Pengembangan potensi ekonomi melalui KE Penguatan konektivitas nasional Penguatan kemampuan SDM dan Iptek

Nasional

Pertanian Nasional - MP3EI

KE Sumatra --- sawit/karet KE Sulawesi --- pangan/

kakao/perikanan KE Bali/NTT --- peternakan/

perikanan KE Papua/Maluku ---

pangan/perikanan

Sasaran

Sumber pertumbuhanekonomi

Percepatan pembangunannasional

Ekonomi Pangan – MP3EI

KE Jawa: Jawa Barat

Sasaran

Peningkatan ProduksiPangan

Ketahanan Pangan wilayah Pendorong industri/jasa

Pembangunan dan Pertumbuhan Inklusif

Ketahanan pangan: peningkatan produksi pangan Peningkatan Lapangan kerja Percepatan pertumbuhan ekonomi

2.2. Sumber dan Analisis DataMengacu pada tujuan penelitian, lokasi penelitian adalah di wilayah penghasil

pangan utama di Jawa (Koridor Jawa) yaitu di Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasipenelitian tidak terlepas dari tujuan penelitian untuk mengetahui pengembangan programMP3EI di sektor pertanian pangan di Koridor Jawa (khususnya di Provinsi Jawa Barat),dan menganalisis potensi serta kendala pengembangan produksi pangan dalam kerangkaprogram MP3EI di Jawa Barat.Pertimbangan pemilihan unit analisis provinsi dipandangdalam perspektif provinsi sebagai perwujudan pemerintah pusat di daerah dalam rangkapelaksanaan koordinasi di tingkat kabupaten dan sebagai aktor dalam pengembangankonektivitas ekonomi dalam suatu koridor ekonomi.

Responden yang menjadi sampel penelitian adalah para pengambil kebijakan diberbagai instansi, pelaku usaha, para akademisi, dan Responden kelompok tani pangan dilokasi penelitian provinsi Jawa Barat.Responden Instansi meliputi: Ditjen TanamanPangan- Kementerian Pertanian, Bappenas, Dinas Pertanian Propinsi, Bappeda Provinsi,dan BPTPProvinsi Jawa Barat.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Analisis PerkembanganKontribusi Sektor Pertanian Pangan di Koridor EkonomiJawa Khususnya Jawa Barat dalam Kerangka MP3EI

3.1.1. Kinerja Peningkatan Produksi Pangan di Jawa BaratBila dilihat dari segi kontribusi produksi pangan (padi, jagung dan kedelai) di

Provinsi Jawa Barat, berdasarkan data BPS (2013) diketahui bahwa kontribusi produksiketiga komoditas terhadap produksi nasional masing-masing sebesar 16,95%; 5,95% dan6,56% (Gambar 3). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Provinsi Jawa Baratmenjadi penyumbang signifikan bagi produksi pangan terutama beras nasional.

Padi/BerasJawa Barat merupakan provinsi penghasil padi/beras utama di Indonesia bersama

Jawa Timur. Provinsi utama penghasil padi lainnya adalah Jawa Tengah, Sulawesi Selatandan Sumatera Utara. Penghasil padi/beras terbesar di Jawa Barat adalah KabupatenIndramayu diikuti Kabupaten Karawang. Usahatani padi di Jawa Barat diusahakan olehsekitar 2 juta rumah tangga petani (Wardana et al., 2012). Jawa Barat merupakan penghasilpadi/beras yang selalu surplus sehingga mampu menyangga kebutuhan beras provinsilainnya terutama Jakarta.

Komoditas padi sebagai bahan konsumsi pangan pokok masyarakat, tentunya telahdiletakan sebagai prioritas dan fokus kegiatan program pada setiap tahunnya (DinasPertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2013). Upaya peningkatan produksi baik secarakuantitas dan kualitas serta efisiensi proses produksi, terus diupayakan peningkatannyasehingga peningkatan penerimaan usahatani dan daya saing produk guna meningkatkankesejahteraan petani terus ditingkatkan. Peningkatan produksi tanaman pangan khususnyapadi di Jawa Barat antara lain didukung oleh: (1) peningkatan produktivitas melaluipelaksanaan SLPTT, (2) pengembangan kuantitas dan kualitas alat mesin pertanian prapanen, panen dan pasca panen, dan (3) pengurangan kehilangan hasil saat panen. Varietaspadi yang ditanam dominan adalah: Ciherang, Mekongga, Situ Bagendit, Cigeulis, IR64,PB 42, C. Muncul, dan Cisadane.

Sementara itu, selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir, luas panen padi di JawaBarat mengalami peningkatan 0,99 %/tahun. Seiring dengan peningkatan luas panennya,produksi padi di Jawa Barat mengalami peningkatan sebesar 2,86 %/tahun. Sementara

produktivitasnya mengalami peningkatan sebesar 1,87 %/tahun. Pada tahun 2013, luaspanen padi mencapai 2,03 juta ha, dengan tingkat produksi dan produktivitasnya masing-masing sebesar 12,08 juta ton dan 5,95 ton/ha (Tabel 1).

Adapun kendala peningkatan produksi padi di Jawa Barat antara lain meliputi 1)rawan terjadi kekeringan pada musim kemarau, 2) konversi penggunaan lahan pertanian kenon-pertanian, 3) tenaga kerja di sektor pertanian berkurang karena terjadi migrasi ke kotaantara lain ke Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Jawa Barat. Peluang peningkatanproduksi padi dapat dicapai melalui program peningkatan mutu melalui penerapanteknologi budidaya untuk meningkatkan produktivitas padi.

Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi di Jawa Barat,2004-2013.

Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ku/Ha)

2004 1880142 9602302 51,072006 1798260 9418572 52,382008 1803628 10111069 56,062010 2037657 11737070 57,602011 1964466 11633891 59,222012 1918799 11271861 58,742013 2029891 12083162 59,53

r (%/th) 0,99 2,86 1,87Sumber: BPS (2013) dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat (2013)

Komoditas JagungMenurut Dinas Pertanian Tanaman Jawa Barat (2013) bahwa wilayah pengembangan

jagung cukup luas yaitu mencakup di delapan kabupaten, yaitu: Kabupaten Garut,Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Ciamis,Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Wilayahpengembangan jagung yang sangat potensial ini telah diidentifikasi dan diimplementasikandalam program khusus pengembangan sentra jagung yang hampir mencakup seluruhwilayah Jawa Barat bagian timur, membujur dari arah utara ke selatan sehingga merupakanCorn Belt (sabuk jagung) Provinsi Jawa Barat. Saat ini telah terbentuk Kawasan AndalanAgribisnis berbagai komoditi unggulan palawija khususnya jagung yang terdapatdisembilan kabupaten tersebut diatas.

Akselerasi peningkatan produksi jagung di Provinsi Jawa Barat juga tidak terlepasdari upaya-upaya, seperti: (1) akselerasi pemberdayaan petani dan kelembagaanekonominya (kelompok tani hamparan, gapoktan, dan koperasi tani) yang terusditingkatkan, (2) berbagai unsur teknologi PTT (Program Tanaman Terpadu) jagung terusditingkatkan melalui: penyebarluasan varietas unggul hibrida, perbaikan tanam danpemupukan, pengendalian hama dan penyakit tanaman secara terpadu.

Dengan semakin meningkatnya produktivitas jagung yang merupakan tanamanpalawija di Jawa Barat berkaitan erat dengan peningkatan nilai tambah dan daya saingkomoditas jagung, sehingga berdampak positif terhadap peningkatan motivasi dalammendorong mengembangkan usahataninya dan peningkatan pendapatan petani. Dilihat dariaspek ketahanan pangan, peningkatan produksi jagung selain berperan dalam penyediaanbahan pangan, juga berimplikasi terhadap diversifikasi produksi dan konsumsi.

Peningkatan produksi jagung juga akan mendorong pengembangan sektor atau subsektorlain seperti: industri pengolahan makanan, perdagangan, peternakan, dan perikanan.

Sementara itu, selama kurun waktu 2004-2013 luas panen jagung mengalamipeningkatan 3,71 %/tahun, yaitu dari 119.872 hektar pada tahun 2004 menjadi 152.923hektar pada tahun 2013. Peningkatan luas panen tersebut diikuti oleh peningkatanproduksinya. Produksi jagung dalam kurun waktu tersebut meningkat pesat sebesar 8,73%/tahun, yaitu dari 549.442 ton pada tahun 2004 menjadi 1.101.998 ton pada tahun 2013.Peningkatan produksi yang relatif tinggi tersebut sebagai akibat meningkatnyaproduktivitas yang juga tinggi sebesar 5,02 %/tahun, yaitu dari 4,58 ton/ha tahun 2004menjadi 7,21 ton/ha pada tahun 2013 (Tabel 2). Dengan demikian peningkatan produksijagung di Jawa Barat dalam kurun waktu tersebut lebih dominan karena peningkatanteknologi produksi yang menyebabkan peningkatan produktivitas jagung yang tinggi.

Tabel 2. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jagung di Jawa Barat,2004-2013.

Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ku/Ha)

2004 119872 549442 45,842006 115797 573263 49,512008 118976 639822 53,782010 153778 923962 60,082011 147152 945104 64,232012 148601 1028653 69,222013 152923 1101998 72,06

r (%/th) 3,71 8,73 5,02Sumber: BPS (2013) dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2013.

KedelaiPotensi pengembangan kedelai di Jawa Barat masih memiliki peluang yang masih

tinggi. Secara total rencana luas pengembangan areal kedelai mencapai 129 ribu ha yangbersumber dari pengembangan: (1) sekitar 26.000 ha dari pengembangan SLPTT, (2)sekitar 15.000 ha berasal dari Model Pengembangan (di Kabupaten Indramayu, Ciamis danSukabumi masing-masing 5000 ha), (3) berasal dari pengembangan areal seluas 66.750 ha,dan (4) berasal dari pengembangan swadaya petani seluas 21.000 ha(Dinas PertanianTanaman Pangan Jawa Barat, 2013).

Berdasarkan data yang ada, luas panen kedelai di Jawa Barat masih relatif kecil.Namun, peningkatan luas panennya cukup tinggi yaitu mencapai 8,85 %/tahun, yaitu dari20.997 ha (2004) menjadi 35.685 ha (2013). Seiring dengan peningkatan luas panennya,maka produksi kedelai meningkat sebesar 10,11 %/tahun yaitu dari 29.090 ton (2004)menjadi 51.172 ton (2013). Sementara produktivitasnya mengalami peningkatan sebesar1,47 %/tahun (Tabel 3). Adapun varietas kedelai yang banyak di tanam di Jawa Baratadalah: Grobogan dan Anjasmoro.

Pembangunan ekonomi adalah salah satu tolak ukur untuk menunjukkan adanyapembangunan ekonomi suatu daerah, dengan kata lain pertumbuhan ekonomi dapatmemperlihatkan adanya pembangunan ekonomi. Namun, pembangunan tidak sekedarditunjukkan oleh prestasi pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh suatu negara, akantetapi lebih dari itu pembangunan mempunyai perspektif yang lebih luas. Dimensi sosial

yang sering diabaikan dalam pendekatan pertumbuhan ekonomi justru mendapat tempatyang strategis dalam pembangunan.

Tabel 3. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelaidi Jawa Barat,2004-2013.

Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (Ku/Ha)2004 20997 29090 13,852006 17878 24495 13,702008 23810 32921 13,832010 36700 55823 15,212011 35674 56166 15,742012 30345 47426 15,632013 35682 51172 14,34

r (%/th) 8,85 10,11 1,47Sumber: BPS (2013) dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, 2013.

Pembangunan ekonomi sendiri pada dasarnya merupakan suatu perubahan dalamstruktur produksi dan alokasi sumber daya. Proses pembangunan Provinsi Jawa Barat tidakterlepas dari strategi pembangunan nasional yang menjadi pedoman bagi arahpembangunan daerah. Kebijakan pembangunan daerah diarahkan untuk mengembangkandaerah dengan mengoptimalkan pemberdayaan potensi yang dimiliki daerah,menyesuaikan laju pertumbuhan antar daerah, juga mengacu pemerataan pembangunanuntuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pada Provinsi Jawa Barat, pertanian memegang peranan penting dalamperekonomian. Bila dipandang dari segi perkembangan PDBnya atas harga konstan sektorpertanian (2005-2011) secara umum mengalami peningkatan sebesar 3,94 %/tahun yaitudari Rp 34.942 M (2005) menjadi Rp 42.101 M. Kontribusi peningkatan pertumbuhanPDB sektor pertanian paling tinggi bersumber dari subsektor tanaman pangan yaitumencapai 4,69 %/tahun. PDB atas harga konstan tanaman pangan meningkat dari Rp25.490 M (2005) menjadi Rp 31.764 M (2011) (Tabel 4).

Bila dilihat perkembangan pangsa (share) PDB sektor pertanian secara umumperiode 2005-2011, tampaknya mengalami penurunan sebesar 1,73 %/tahun, yaitumenurun dari 14,38 persen (2005) menjadi 12,27 persen (2011). Bila dilihat perkembanganper subsektornya, tampak bahwa subsektor tanaman pangan juga menjadi bagian daripenurunan tersebut yaitu mencapai 0,97 %/tahun. Bila dilihat pangsanya, pada tahun 2005kontribusi tanaman pangan terhadap sektor ekonomi Jawa Barat mencapai 10,49 persen(tahun 2005) kemudian menurun menjadi 9,26 persen (tahun 2011) (Tabel 5). Penurunankontribusi subsektor pertanian secara umum dan tanaman pangan khususnya seiringdengan meningkatnya kontribusi sektor lain seperti perdagangan, angkutan, jasa danlainnya. Meskipun pangsa relatif sektor pertanian terhadap perekonomian di Jawa Baratmenurun, akan tetapi bila dilihat besaran PDB absolutnya seperti telah diuraikansebelumnya tetap mengalami peningkatan.

Tabel 4. Perkembangan PDRB atas Harga Konstan 2000 di Jawa Barat, 2005- 2011 (RpMilyar).

Sektor Tahun r2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 (%/ th)

1. Pertanian 34942 34726 35687 37140 41722 42137 42101 3,94a. Tan. Pangan 25490 25283 26264 27508 31608 31947 31764 4,69b. Tan. Perkebunan 1898 2027 1902 2082 2259 2163 2255 2,91c. Peternakan &

Hasilnya 5276 5224 5356 5327 5458 5556 5533 1,02d. Kehutanan 458 483 449 426 360 378 365 -4,98e. Perikanan 1820 1710 1716 1797 2038 2094 2184 4,082. Pertambangan &

Penggalian 7195 7017 6677 6850 7424 7465 7085 0,663. Ind. Pengolahan 105334 114300 122703 133757 131433 135595 144010 4,724. Listrik Gas &Air

Bersih 5650 5756 5751 5986 6839 7316 7426 5,335. Bangunan

/Konstruksi 7781 8113 8928 9731 10299 11810 13483 9,226. Perdagangan, 47260 50610 54790 56938 62702 70083 75770 7,92

Hotel &Restoran7. Pengangkutan & 10329 11143 12271 12234 13209 15353 17645 8,49

Komunikasi8. Keuangan Sewa& Jasa Persh. 7624 7672 8646 9076 9619 10565 11985 7,619. Jasa-jasa 16821 18200 18728 19495 20158 21900 23606 5,25

TOTAL 242935 257536 274180 291206 303405 322224 343111 5,64Sumber: BPS Jawa Barat, 2005-2012.

Kebijakan pengembangan tanaman pangan seperti padi gogo, jagung, kedele, ubijalar dan kacang tanah di Jawa Barat lebih dikembangkan di wilayah bagian selatan, sepertiGarut, Sumedang, Tasik, Cianjur dan Ciamis. Dalam realitanya, bahwa perkembanganyang lebih cepat adalah pada komoditi yang sudah baik dalam hal pasarnya, baikmenyangkut harga maupun sistim pemasaran. Seperti halnya pada kasus pengembanganjagung di kabupaten Garut, bahwa komoditas jagung dapat cepat berkembang karenadidukung oleh kelembagaan pemasaran yang ada dan siap untuk menampung jagungsampai 500 ton/bln pipilan kering, sehingga petani melakukan aktivitas usahatani denganjaminan kepastian pasar. Untuk pengembangan komoditi pangan lainnya masihmenghadapi kendala karena permasalahan pasar dan harga yang kurang terjamin.

Tabel 5. Perkembangan Share PDRB atas Harga Konstan 2000 di Jawa Barat, 2005-2011(Persen).

Sektor Tahun r2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 (%/thn)

1. Pertanian 14,38 13,48 13,02 12,75 13,75 13,08 12,27 -1,73a. Tan. Pangan 10,49 9,82 9,58 9,45 10,42 9,91 9,26 -0,97b. Tan. Perkebun-

an 0,78 0,79 0,69 0,71 0,74 0,67 0,66 -2,74c. Peternakan &

Hasilnya 2,17 2,03 1,95 1,83 1,80 1,72 1,61 -4,65d. Kehutanan 0,19 0,19 0,16 0,15 0,12 0,12 0,11 -10,53e. Perikanan 0,75 0,66 0,63 0,62 0,67 0,65 0,64 -1,742. Pertambangan & 2,96 2,72 2,44 2,35 2,45 2,32 2,06 -5,05

Penggalian3. Ind. Pengolahan 43,36 44,38 44,75 45,93 43,32 42,08 41,97 -0,834. Listrik Gas & Air

Bersih 2,33 2,23 2,10 2,06 2,25 2,27 2,16 -0,425. Bangunan

/Konstruksi 3,20 3,15 3,26 3,34 3,39 3,67 3,93 3,506. Perdagangan,

Hotel &Restoran 19,45 19,65 19,98 19,55 20,67 21,75 22,08 2,23

7. Pengangkutan &Komunikasi 4,25 4,33 4,48 4,20 4,35 4,76 5,14 2,72

8. KeuanganSewa & JasaPersh. 3,14 2,98 3,15 3,12 3,17 3,28 3,49 1,88

9. Jasa-jasa 6,92 7,07 6,83 6,69 6,64 6,80 6,88 -0,45TOTAL 100 100 100 100 100 100 100 0,00

Sumber: BPS Jawa Barat, 2005-2012.

Menurut Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat (2013), bahwa pengembangan tanamanpangan padi di wilayah utara menghadapi banyak tantangan berat, diantaranya : (a)menurunnya luas lahan sawah akibat terjadinya konversi lahan sawah menjadi non sawah(industri, jalan dan prasarana lain) yang menyebabkan produksi menjadi menurun, (b)secara umum diketahui bahwa kondisi petani merupakan para petani yang sudah tua (agingfarmer), hal ini diantaranya disebabkan enggannya generasi muda untuk mau bekerja padasektor usahatani sebagai akibat tidak tertariknya terhadap pendapatan dan upah disektorpertanian yang secara umum jika dibandingkan dengan upah non pertanian (industri) masihlebih rendah dari UMR, dan (c) desakan industri yang semakin tumbuh ke wilayah timurKarawang Timur dan Indramayu.

Program MP3EI relatif sudah dikenal baik (well Recognized) oleh Bappeda dan BiroAdrek (Administrasi Ekonomi), namun kegiatannya sampai saat ini masih bersifatkonsolidasi dan koordinasi antara pusat, daerah dan internal didalam daerah, serta pada saatini sedang ada workshop di Jawa Timur tentang MP3EI. Pihak pemerintah daerahumumnya mengetahui bahwa dalam MP3EI, penggunaan ruang di Jawa akan difokuskan

untuk mengembangan Industri dan Jasa, dan mereka mengetahui persis bahwa jenisindustri dan jasa yang akan dikembangkan sudah bersifat “given” dan ditetapkan daripusat, misalnya Industri Pembuatan Kendaraan Roda-4, Industri Pembuatan KendaraanRoda-2, Pabrik Ajionomoto, Industri Makanan dan Minuman, pengembangan infrastrukturjasa penyeberangan/pelabuhan, Bandara, dll.

Jumlah kegiatan MP3EI di Jawa Barat adalah ada 46 kegiatan, terdiri dari 14kegiatan bidang industri (Bidang transportasi darat dan dan mesin peralatan 4 kegiatan,Bidang industri perkapalan dan Alutsista 1 kegiatan, Bidang Tekstil 2 kegaitan, Bidangindustri makanan dan minuman 7 kegaitan), Bidang Telematika : 3 kegaitan, dan BidangInfrastruktur ada 29 kegiatan (infrastruktur pehubungan 4 kegiatan, infrastrukturpengelolaan sumberdaya air 2 kegiatan, infrastruktur pemukiman dan perubahan 4kegiatan, infrastruktur energy dan sumberdaya mineral 11 kegiatan dan infrastrukturjalan/jembatan TOL 8 kegiatan).

Terkait dengan hal tersebut, aparat pemerintah daerah pun merasa khawatir dengankondisi pertanian yang sudah ada dan sudah menelan investasi yang besar terutamabendungan dan jaringan irigasi, dan mereka juga sadar bahwa Jawa sebagai pemasokpangan terbesar di Indonesia tidak mudah digantikan atau dipasok dari daerah lain denganpengembangan baru, seperti dari luar Pulau Jawa. Pemerintah daerah sepakat bahwa untukmengamankan kondisi pertanian, bahwa dalam pelaksanaan MP3EI tetap harus mengacukepada peraturan dan perundangan yang ada, seperti UU No.41/2009 tentang PerlindunganLahan Pertanian, Perda No. 27/2010 tentang Perijinan, Alokasi Ruang (RTRW), dll. Selainitu, secara teknik di lapangan juga koordinasi sudah lebih ditingkatkan dan difikirkanbagaimana agar lahan pertanian ini tidak terganggu walau adanya program MP3EI,misalnya dalam rangka meminimalisir konversi lahan sawah akibat akses ke pembangunanpelabuhan di Karawang, maka di rekomendasikan dengan cara membangun jalan layangdengan sistim tiang pancang (fly over), sehingga diharapkan sawah di bawahnya tidakterganggu, dan dampak ikutannya berupa konversi lahan ke pembangunan rumah di kiri-kanan jalan tidak terjadi.

Hasil diskusi dengan Pemerintah Daerah Jawa Barat dapat di kemukakan bahwapengenalan dan pemahaman MP3EI di Jawa Barat masih belum menyeluruh menjadi MindSet pada beberapa pihak yang seharusnya untuk mengetahui dan memahami, terutama padabagian atau daerah yang tidak berhubungan langsung dengan progam dan kegiatan yangdituangkan dalam MP3EI. Namun untuk-daerah-daerah yang terkait dengan kegiatanMP3EI, mereka sudah cukup mengenal dan memahami.

Program dan kegiatan MP3EI tampaknya akan mengarah sejalan dengan potensiwilayah dan aksesibilitas terhadap pusat pertumbuhan ekonomi, kecuali untuk kegiataninfrastruktur seperti jalan raya, bandara, dan pelabuhan. Pengertian kegiatan utama padamasing-masing koridor, tampaknya bukan dengan serta-merta menghilangkan sektor lainyang sudah ada, akan tetapi itu adalah sebagai fokus pengembangan yaitu menjadi triggerutama, dan sektor-sektor yang sudah tumbuh sebelumnya tetap dipertahankan. Kondisi initerlihat dari program-program yang ada ketika program MP3EI sudah digulirkan, misalnyaKarawang tetap mendapat tugas pengamanan pangan nasional dan untuk masa jangkapanjang tetap harus dipikirkan untuk mempertahankannya ditengah-tengah pelaksanaanMP3EI.

Kegiatan MP3EI, pada umumnya masih merupakan kegiatan yang bersifatkoordinatif, konsolidasi dan pemetaan jenis dan ruang mana yang cocok pada masing-masing daerah. Dipandang perlu untuk melihat dan mempelajari legislasi yang terkaitdengan pelaksanaan program MP3EI dan Pembangunan pertanian secara umum, karenaada indikasi peraturan yang mendukung MP3EI sebagian dapat bertentangan dengan

peraturan yang mendukung sektor pertanian, sehinggga diperlukan peraturan payungnyayang dapat mendukung keduanya.

Tim Kerja MP3EI Provinsi Jawa Barat selaku lembaga yang berperan untukmewujudkan keterpaduan upaya pembangunan yang dilakukan oleh berbagai pemangkukepentingan telah melakukan upaya koordinasi dan fasilitasi dalam berbagai aspek. Sejakdibentuk enam bulan lalu, Tim Kerja tersebut telah menyelenggarakan koordinasi secaraintensif dengan para pihak terkait guna mengidentifikasi, memantau, serta menyelaraskanberbagai kebijakan dalam pelaksanaan kegiatan MP3EI 2011-2025 di Jawa Barat. Berikutdiantaranya bidang-bidang kegiatan pada program MP3EI di Provinsi Jawa Barat adalah:a.Bidang Industri, pada bidang ini meliputi: (1) industri transportasi darat-mesin danperalatan, (2) industri perkapalan, (3) industri tekstil, dan (4) industri makanan danminuman. Pada bidang industri transportasi darat meliputi: (1) Pembangunan Pabrik Baru(Karawang Timur), (2) Pembangunan Pabrik Baru (Karawang), (3) Pembangunan PabrikBaru Alat Berat (Karawang), dan (4) Pendirian Pabrik untuk Industri Perlengkapan danKomponen Kendaraan Bermotor R2 dan R4 atau lebih (Bekasi); b. Bidang Telematika,pada bidang telematika terdapat pembangunan industri yang meliputi: (1) PembangunanAnimation Center sebagai Pusat Riset dan Pengembangan Industri Animasi Nasional (KotaCimahi), (2) Pembangunan Kawasan Bandung Techno Park (BTP) sebagai Pusat InovasiICT Nasional (Bandung), dan (3) Penambahan Fasilitas Produksi (untuk Hand Phone)(Bandung); dan c. Bidang Infrastruktur, pada bidang ini terdapat pembangunan industriyaitu: (1) Infrastruktur Perhubungan darat, (2) Infrastruktur Sumberdaya Air, (3)Infrastruktur Perumahan dan Pemukiman, (4) Infrastruktur Energi dan SumberdayaMineral, (5) Infrastruktur jalan dan jembatan (Bina marga).

Pada lokasi penelitian Kabupaten Garut, informasi yang diperoleh bahwa KabupatenGarut kurang terkait langsung dengan lokasi pengembangan program MP3EI, sehinggainformasi MP3EI kurang begitu dikenal di wilayah ini. Pelaksanaan program pembangunanpertanian berjalan seperti biasa dimana tanaman pangan seperti komoditas jagung dankedelai. Seperti halnya di tingkat Provinsi, bahwa Garut bagian Selatan memiliki potensipengembangan pertanian lahan kering dan pencetakan sawah. Sementara di Garut bagianUtara merupakan lahan persawahan dengan kondisi terakhir sudah banyak di konversi kepenggunaan non pertanian. Jagung dari Garut di pasarkan ke wilayah Cirebon, Bandung,Bogor dan Jakarta. Pada umumnya penggunaan jagung di daerah penerimaan adalah untukbahan baku pakan ternak.

Pada lokasi penelitian lainnya yaitu di Kabupaten Karawang, baik pengenalanmaupun respon terhadap Program MP3EI relatif sudah lebih baik lagi (well recognized)dan bahkan sudah mulai merespon dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yangharus dilakukan terkait dengan pelaksanaan MP3EI. Di Kabupaten Karawang, kegiatanMP3EI telah masuk ke wilayah ini, diantaranya : pembangunan pelabuhan laut,pembangunan bandara, industri makanan dan minuman, industri kendaraan roda-2 danroda-4, industri minuman dan makanan. Memang untuk Kabupaten Karawang dalam halpengembangan industri, sudah dialokasikan penggunaan ruang yang dituangkan dalamRUTRW (Rencana Umum Tata Ruang Wilayah).Pada pengembangan industri dialokasikanlahan-lahan yang kurang produktif dan sebagian kecil lahan tadah hujan yang berada disebelah selatan jalur jalan TOL Cikampek.Terdapat model pengembangan daerah industridi Karawang yaitu model pengembangan industri pada Zona, dan model pengembanganindustri berupa kawasan. Perbedaan prinsip antara Zona dan Kawasan adalah untuk zonadimana para investor secara individu mengajukan ijin untuk mendirikan industri kepadaPemerintah Daerah dan oleh Pemerintah Daerah akan diproses dan ditempatkan pada

daerah zona, sedangkan model Kawasan adalah pengajuan ijin oleh satu perusahaan untukbeberapa industri atau perusahaan lain yang berbeda-beda. Letak Zona Industri diKabupaten Karawang pada umumnya berada di sebelah kiri jalan TOL Cikampek,sedangkan kawasan berada di sebelah kanan TOL Cikampek. Para pemohon/pemilik ijinkawasan diantaranya : KIIC (Kawasan International Industrial City) yang dimiliki oleh PT.Maliki, Indo Taice, Surya Cipta, KIM (Kawasan Industri Mitra), KIK Cikampek (KawasanIndustri Kujang Cikampek).

3.2. Menganalisis Potensi Serta Kendala Pengembangan Produksi Pangan dalamKerangka Program MP3EI Di Jawa Barat.

Sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah ProvinsiJawa Barat Tahun 2008–2013, dalam untuk Bidang Pertanian dan Bidang KetahananPangan melalui kebijakan dan program sebagai berikut: (1) Meningkatkan produksi dannilai tambah hasil pertanian, (2) Program Peningkatan Produksi Pertanian, dengan sasaran:(i) Meningkatnya produksi, poduktivitas dan kualitas produk pertanian;(ii) Meningkatnyapendapatan usaha tani komoditas pertanian; (iii) Meningkatnya penyerapan tenaga kerjapertanian; (iv)Meningkatnya ketersediaan dan kualitas sarana dan prasarana pertanian; (v)Meningkatnya diversifikasi produk usaha pertanian; (vi) Tersedianya fasilitasi produkkawasan agropolitan; (vii) Meningkatnya Gerakan Multi Aktivitas Agribisnis (Gemar);(viii)Terlaksananya inovasi dan teknologi pertanian yang ramah lingkungan; dan (ix)Menurunnya tingkat kehilangan hasil pasca panen; (3) Program Pemberdayaan SumberDaya Pertanian, dengan sasaran: (i) Meningkatnya kinerja sumber daya pertanian JawaBarat; (ii) Meningkatnya kemampuan peran kelembagaan usaha agribisnis; dan(iii)Meningkatnya kualitas tata guna lahan dan air serta terkendalinya konversi lahanpertanian; (4) Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Tanaman dengansasaran yaitu terkendalinya organisme pengganggu tumbuhan (OPT); dan (5) ProgramPemasaran dan Pengolahan Hasil Pertanian, dengan sasaran: (i) Meningkatnya saranapemasaran hasil pertaniantanaman pangan dan hortikultura; (ii)Meningkatnyapengembangan usaha pemasaran; (iii) Meningkatnya sarana pengolahan hasilpertaniantanaman pangan dan hortikultura; (iv) Meningkatnya pengolahan hasilpertaniantanaman pangan dan hortikultura; (v) Meningkatnya margin pemasaran hasilpertanian tanaman pangan dan hortikultura; dan (vi) Meningkatnya mutu dan nilai tambahpengolahan hasil pertanian tanaman pangan dan hortikultura.

Dalam konteks pengembangan pertanian pangan, maka lahan merupakan salah satufaktor produksi yang ketersediaannya menjadi salah satu syarat untuk dapatberlangsungnya proses produksi pertanian. Sementara itu, bila dipandang dari segi potensiluas wilayah Provinsi Jawa Barat meliputi wilayah daratan seluas 3.710.061, 32 ha dangaris pantai sepanjang 755,829 km. Tutupan lahan terluas di Jawa Barat berupa kebuncampuran (22,89% dari luas wilayah Jawa Barat), sawah (20,27%) dan perkebunan(17,41%), sementara hutan primer dan sekunder di Jawa Barat hanya 15,93 % dari seluruhwilayah Jawa Barat. Masing-masing wilayah memiliki ciri-ciri khusus baik dari aspeksumberdaya alam maupun sumberdaya manusianya. Sumberdaya alam dapat dibedakanberdasarkan topografi, jenis tanah, iklim, jenis penggunaan tanah dan lain-lain. Menurutfisiografinya , Jawa Barat dapat distarifikasi kedalam tiga strata wilayah yaitu (DinasPertanian Tanaman pangan Jawa Barat, 2011):

(1) Strata wilayah dataran rendah pantai utara , yaitu wilayah dengan tofografi datar,dengan dominasi lahan sawah dan lahan keringnya sangat terbatas. Wilayah ini

meliputi Kabupaten Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon.Adapun dominasi lahan pada wilayah tersebut adalah yaitu dominan usahatanipadi, sehingga dijuluki sebagai lumbung padi/beras baik bagi Jawa Baratmaupun nasional;

(2) Strata wilayah dataran tinggi bagian tengah, dimana antara lahan sawah danlahan keringnya hampir berimbang. Adapun tofografi wilayah ini umumnyaberbukit sehingga berbagai komoditi dapat dikembangkan seperti padi, palawija,sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan aneka tanaman lainnya. Strata wilayahini meliputi Kabupaten Bogor, Purwakarta, Bandung, Sumedang, Kuningan,Majalengka, serta bagian utara dari kabupaten Sukabumi, Cianjur, Garut,Tasikmalaya dan Ciamis.

(3) Strata wilayah Jawa Barat Selatan, dengan topogafi didominasi oleh perbukitandan pegunungan, dengan sedikit lahan datar, sehingga luas lahan sawah terbatasyang umumnya disekitar sungai dan pantai. Pengembangan usahatani tanamanpangan harus hati-hati dengan memperhatikan kemiringan lahan dan denganusahatani konservasi. Wilayah ini meliputi Kabupaten Sukabumi, Cianjur, Garut,Tasikmalaya dan Ciamis.

Pemanfaatan lahan secara produktif sangat menentukan terhadap produktivitaskomoditas pertanian, khususnya tanaman pangan sebagai sumber karbohidrat untukmenjamin ketahanan pangan Jawa Barat. Berdasarkan data BPS (Dinas Pertanian TP JawaBarat, 2011) bahwa luas baku lahan di Jawa Barat pada tahun 2010 mencapai 3.563.914 hayang terdiri dari lahan sawah seluas 942.411 ha, lahan kering seluas 1.535.379 ha danlahan bukan pertanian seluas 1.086.124 ha. Bila dipandang perkembangan selama kurunwaktu 2007-2010, maka luas lahan sawah meningkat tipis sebesar 0,15 %/tahun.Peningkatan luas lahan sawh tersebut disebabkan peningkatan yang tinggi pada lahanlebak. Akan tetapi potensi lahan lebak ini relatif kecil yaitu hanya sekitar 600 hektar.Potensi lahan sawah berpengairan ½ teknis, pengairan non PU serta tadah hujan sederhanamasih menunjukkkan peningkatan masing-masing sebesar 2,34, 0,52 dan 0,95 %/tahun.Sementara potensi lahan sawah teknis mengalami penurunan sebesar 0,42 %/tahun.

Apabila potensi lahan baku tahun 2010 dibandingkan dengan tahun sebelumnyayakni tahun 2009, maka dapat diketahui telah terjadi penurunan luas lahan 7.503 ha ataumenurun sekitar 0,79 %. Penurunan luas lahan sawah ini salah satunya disebabkan denganbanyaknya lahan pertanian yang mengalami alih fungsi menjadi non pertanian, sepertiuntuk perumahan, pembangunan waduk Jati Gede, Bandara Internasional Jawa Barat, JalanTol Cisandawu Majalengka-Cirebon dan sebagainya. Namun demikian validitasperkembangan luas lahan masih memerlukan verifikasi yang lebih akurat. Hal inimengingat menurut informasi bahwa seringkali perubahan peruntukan lahan sesungguhnyatelah diantisipasi jauh sebelum realisasi pembangunan non pertanian tersebut. Artinyarencana alih fungsi lahan tersebut telah masuk dalam revisi Peraturan Tata Ruang Wilayahsuatu daerah. Sehingga, status lahan sesungguhnya telah berubah sebelumnya sesuairencana (dalam RT RW) untuk pembangunan pertanian. Sehingga jika terjadi realisasipembangunan non pertanian yang menggunakan lahan sawah (pertanian) misalnya,sesungguhnya di baku lahan yang ada lahan tersebut sesungguhnya memang statusnyabukan lahan sawah lagi.

Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, dimana kebutuhan pangan yang jugasemakin meningkat maka diperlukan terobosan dalam peningkatan produksi pangan.Upaya peningkatan produksi tersebut dapat dilakukan melalui intensifikasi (inovasiteknologi) dan ekstensifikasi (perluasan areal tanam). Selain itu, faktor iklim, curah hujan

dan kesuburan tanah juga berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas padi. Olehkarena itu, diperlukan inovasi teknologi baru yang menyesuaikan dengan kondisi alam.

Sementara itu, kendala antar sektoral yang dihadapi dalam peningkatan produksitanaman pangan semakin kompleks. Hal ini disebabkan oleh berbagai perubahan danperkembangan lingkungan strategis di luar sektor pertanian yang berpengaruh terhadapupaya peningkatan produksi tanaman pangan. Tantangan utama yang dihadapi dalamupaya peningkatan produksi tanaman pangan adalah : 1). Meningkatnya permintaan berassesuai dengan laju pertumbuhan penduduk, 2). Terbatasnya ketersediaan beras nasionalmaupun dunia, dan 3). Kecenderungan meningkatnya harga pangan (Dinas Pertanian TPJawa Barat, 2013).

Di samping tantangan, upaya peningkatan produksi tanaman juga dihadapkan padasejumlah permasalahan, yaitu antara lain : 1). Dampak Perubahan Iklim (DPI) danserangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT), 2). Rusaknya infrastruktur irigasi,lingkungan dan semakin terbatasnya sumber air, 3). Konversi lahan sawah, 4).Keterbatasan akses petani terhadap sumber-sumber pembiayaan, 5). Kompetisi antarkomoditas, 6). Tingginya konsumsi beras sebagai pangan pokok sumber karbohidrat 7).Belum sinerginya antar sektor dan Pusat – Daerah dalam menunjang pembangunanpertanian khususnya produksi padi dan jagung , dan 8) Kebijakan pemerintah yang tidakkonsisten (Pusat- Daerah).

Berikut pada Tabel 6 disajikan potensi luas lahan berdasarkan jenis penggunaannyadi Provinsi Jawa Barat tahun 2007-2010.

Di samping tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam upaya peningatanproduksi tanaman pangan, terdapat sejumlah peluang yang apabila dimanfaatkan denganbaik akan memberikan kontribusi pada upaya peningkatan produksi. Peluang tersebutantara lain : 1). Kesenjangan hasil antara potensi dan kondisi di lapangan masih tinggi, 2).Tersedia teknologi untuk meningkatkan produktivitas, 3). Potensi sumberdaya lahansawah, rawa/lebak, lahan kering (perkebunan, kehutanan) yang masih luas, 4).Pengetahuan/Keterampilan SDM (Petani, PPL, POPT, Pengawas Benih Tanaman, danPetugas Pertanian Lainnya) masih dapat dikembangkan, 5). Tersedianya potensipengembangan produksi berbagai pangan pilihan selain beras, 6). Dukungan PemerintahDaerah, dan 7). Ketersediaan sumber genetik. Kendala lainnya yang dihadapipengembangan sektor pertanian di Jawa Barat antara lain terkait konversi lahan kepenggunaan non pertanian, kehilangan hasil, peningkatan kualitas hasil, panen dan kendalaterkait perubahan iklim.

Sementara itu, dalam rangka menghadapi kendala perubahan iklim saat ini, terdapatbeberapa kebijakan pada subsektor tanaman pangan yang dikeluarkan untuk mengurangidampak perubahan iklim tersebut. Tindakan paling tepat untuk mengurangi dampak negatifdari sifat ekstrim iklim adalah dengan menyesuaikan kegiatan pertanian. Kekeringan danbanjir adalah salah satu dampak perubahan iklim yang sering terjadi di Jawa Barat.

Pendekatan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim antara lain: (1)Strategis, didasarkan pada kondisi rata – rata iklim atau frekuensi terjadinya bencana alam,(2) Taktis, lebih bersifat temporer melalui pendugaan atau peramalan cuaca/iklim jangkapendek atau menegah, (3) Operasional, upaya yang bersifat penyelamatan untukmengurangi dampak kekeringan dan banjir yang telah terjadi. Terdapat kecenderunganbahwa dampak perubahan iklim semakin sering terjadi dengan wilayah semakin luas untukitu perlu dilakukan langkah – langkah antisipasi secara terencana dan terpadu agar dampaknegatifnya dapat ditekan serendah mungkin. Dampak perubahan iklim yang terkaitlangsung dengan pengamanan produksi adalah : kekeringan dan banjir.

Tabel 6. Potensi luas lahan berdasarkan jenis penggunaannya di Provinsi Jawa Barat, tahun2007-2010 (Ha).

Luas Baku lahan (ha)No. Jenis penggunaan 2007 2008 2009 2010 r (%/thn)I. Lahan Sawah

1. Pengairan teknis 374850 378856 374156 371145 -0,422. Pengairan 1/2 Teknis 128465 121004 131674 134958 2,343. Pengairan Sederhana 108583 105144 104007 101945 -2,014. Pengairan Non PU 149126 156128 154488 152323 0,525. Tadah Hujan 174744 180877 183691 179469 0,956. Pasang Surut 471 13 246 229 -20,567. Lebak 33 577 6 613 38,058. Polder dan Lainnya 2956 2289 1576 1729 -20,56Jumlah I 939228 944888 949844 942411 0,15

II. Lahan Kering1. Tegal/kebun 561693 576565 563015 561150 -0,272. Ladang/Huma 304635 221749 234072 226801 -8,963. Hutan Rakyat Tan. Kayu 189524 246027 257963 226075 5,294. Tambak 30192 32207 29590 33837 2,645. Kolam/Tebat/Empang 76815 35363 35968 29096 -32,176. Perkebunan 263127 291669 313623 301591 4,70

Jumlah II 1425986 1403580 1434231137855

0 -0,79

Jumlah I + II 2365214 2348468 2384075232096

1 -0,41III. Lahan Bukan Pertanian

1. Rumah Bangunan & Pkr 232314 227038 370544 387360 20,002. Hutan Negara 570334 582323 522444 540049 -2,723. Lain-Lain 132859 159306 160732 155783 4,614. Rawa 14627 4004 3025 2932 -58,67

Jumlah III 950134 972671 1056745108612

4 4,84

Jumlah I + II + III 3315348 3321139 3440820340708

5 1,17Sumber: Dinas Pertanian TP Jawa Barat (2011).

Adapun Wilayah Jawa Barat yang rawan kekeringan adalah: (1) Daerah irigasi yangtidak ada fasilitas waduknya (misalnya : bendung rentang) yang mengairi wilayah Cirebondan Indramayu, (2) Areal sawah yang tidak direkomendasikan untuk tanaman gadu (gaduliar), (3) Areal sawah irigasi yang ada di wilayah “tail end” ujung ekor, (3) Areal sawahtadah hujan, dan (4) Areal sawah yang infra struktur irigasinya mengalami kerusakan.

3.3. Kebijakan dan Program Peningkatan Produksi Pangan di Jawa Barat dalamKerangka Program MP3EI

Terkait dengan MP3EI, terdapat beberapa hal yang patut untuk difikirkan danditindaklanjuti di lokasi kajian seperti di Kabupaten Karawang bahwa untukmengantisipasi penurunan lahan pertanian dan kualitas sektor pertanian yang juga sudahmenjadi mandat dalam program-program pembangunan pertanian, khususnya Karawangyang memiliki tugas untuk mengamankan pangan nasional. Hal penting tersebutdiantaranya adalah : (a) penyesuaian alokasi ruang yang diatur dalam RUTRW untukkegiatan yang belum diakomodir didalam RUTRW yang lama (walau baru saja disyahkan),misalnya pengembangan Bandara Soeta II di Karawang dan Pembangunan Pelabuhan, (b)merancang dan memberikan masukan berbagai alternatif teknik untuk akses ke pelabuhandengan mempertimbangkan kemungkinan konversi lahan yang paling kecil, tetapi deganbiaya pembangunan yang maling murah, dimana diantara alternatif yang diajukan adalah :akses malalui sungai, akses melalui jalan biasa, akses melalui fly-over, dan akses melaluisub-way. Pilihan usulan yang paling kecil resiko konversi dan paling rendah biayapembangunannya adalah akses melalui fly-over.

Pada level provinsi bahwa rencana program pembangunan ekonomi nasional yangdikemas menjadi istilah MP3EI (Mater Plan Percepatan Pembangunan EkonomiIndonesia) belum dikenal secara luas pada kalangan Dinas-Dinas, kecuali dikenal olehkalangan tertentu yang terkait langsung dengan program tersebut yaitu Bappeda, BiroAdministrasi Ekonomi Provinsi (Biro Adrek). Pada Dinas Teknis di Provinsi maupun ditingkat kabupaten, terutama pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan, progam-programpembangunan pertanian tanaman pangan masih berjalan seperti biasa sesuai denganRPJMP lama, yaitu peningkatan produksi sebanyak 10 juta ton beras, mendukung produsenbenih pangan dan hortikultura melalui revitalisasi perbenihan, perluasan areal tanamtanaman pangan (padi, jagung, kedele, ubi kayu, dll), serta peningkatan IP (IndeksPertanaman).Dalam kerangka pelaksanaan MP3EI, Pemerintah Daerah mendukung MP3EI yang telahmenjadi bagian dari program pembangunan ekonomi nasional, namun tetap denganmemperhatikan sektor-sektor yang sudah berkembang, sehingga jalan tengahnya adalahMP3EI berjalan dengan meminimalisir divestasi yang sudah ditanamkan, seperti sektorpertanian. Dengan meminimalkan penggunaan ruang produktif dan atau memanfaatkanruang-ruang yang kurang produktif.Sekalipun terpaksa dengan menggunakan teknologiagar degradasi sektor pertanian minimal.

Dalam rangka mendukung kebijakan Pemerintah untuk mempercepat danmemperluas pembangunan ekonomi Indonesia dalam skema MP3EI, Pemerintah ProvinsiJawa Barat telah secara konsisten berupaya untuk merealisasikan rencana tersebut melaluiberbagai strategi. Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyadari sepenuhnya bahwaimplementasi Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia2011-2025 yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011 membutuhkansinergi berbagai pemangku kepentingan. Untuk itu Pemerintah Provinsi Jawa Baratbersama-sama dengan pemangku kepentingan terkait : Pemerintah pusat, PemerintahKabupaten/Kota, dunia usaha, pelaku kegiatan ekonomi utama dan pelaksana kegiatan,Perguruan Tinggi, serta komponen masyarakat lainnya berupaya membangun harmonidalam rangka mewujudkan keterpaduan implementasi kegiatan MP3EI di Jawa Barat.

Pemerintah daerah Jawa Barat sepakat bahwa untuk mengamankan kondisi pertanian,bahwa dalam pelaksanaan MP3EI tetap harus mengacu kepada peraturan dan perundanganyang ada, seperti UU No.41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian, Perda No.27/2010 tentang Perijinan, Alokasi Ruang (RTRW), dll. Selain itu, secara teknik dilapangan juga koordinasi sudah lebih ditingkatkan dan difikirkan bagaimana agar lahan

pertanian ini tidak terganggu walau adanya program MP3EI, misalnya dalam rangkameminimalisir konversi lahan sawah akibat akses ke pembangunan pelabuhan diKarawang, maka di rekomendasikan dengan cara membangun jalan layang dengan sistimtiang pancang (fly over), sehingga diharapkan sawah di bawahnya tidak terganggu, dandampak ikutannya berupa konversi lahan ke pembangunan rumah di kiri-kanan jalan tidakterjadi.

IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

1) Salah satu strategi program MP3EI dikembangkan 6 (enam) koridor ekonomiindonesia, yaitu: Koridor Sumatera, Koridor Jawa, Koridor Kalimantan, KoridorSulawesi, Koridor Bali – Nusa Tenggara, dan Koridor Papua – Kepulauan Maluku.Pada MP3EI ditetapkan sejumlah program utama dan kegiatan ekonomi utama yangmenjadi fokus pengembangan strategi dan kebijakan. Fokus dari pengembanganMP3EI ini diletakkan pada 8 program utama, yaitu pertanian, pertambangan, energi,industri, kelautan, pariwisata, dan telematika, serta pengembangan kawasan strategis.Kedelapan program utama tersebut terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama, yangantara lain adalah: pertanian pangan.

2) Pada program MP3EI, masih diperlukannya melihat posisi Koridor Jawa khususnyadi Jawa Barat sebagai penyangga pangan nasional, mengingat sumbangan KoridorJawa terhadap produksi Pangan nasional masih dominan yaitu sekitar 55 persen.Dalam konteks pengembangan pertanian pangan di Jawa Barat dan secara umum,lahan merupakan salah satu faktor produksi yang ketersediaannya menjadi salah satusyarat untuk dapat berlangsungnya proses produksi pertanian.

3) Pemanfaatan lahan secara produktif di Jawa Barat sangat menentukan terhadapproduktivitas komoditas pertanian, khususnya tanaman pangan sebagai sumberkarbohidrat untuk menjamin ketahanan pangan Jawa Barat. Potensi pertanian pangandi Jawa Barat masih didukung oleh potensi baku sumberdaya lahan sawah dan lahankering. Namun tingginya konversi lahan pertanian merupakan tantangan dalampemanfaatan lahan pertanian di Jawa Barat.

4) Dalam rangka mendorong percepatan pembangunan ekonomi khususnya subsektortanaman pangan di koridor Jawa khususnya Jawa Barat diperlukan pembangunaninfrastruktur dan penyediaan sarana-prasarana seperti: perbaikan jaringan irigasi,manajemen perbenihan, jalan usahatani dan penyediaan alat mesin pertanian.

5) Dalam kerangka pelaksanaan MP3EI, Pemerintah Daerah mendukung MP3EI yangtelah menjadi bagian dari program pembangunan ekonomi nasional, namun tetapmemperhatikan sektor-sektor yang sudah berkembang, sehingga jalan tengahnyaadalah MP3EI berjalan dengan meminimalisir divestasi yang sudah ditanamkan,seperti pada sektor pertanian. Dalam hal ini diupayakan meminimalkan penggunaanruang produktif dan atau memanfaatkan ruang-ruang yang kurang produktif. Tugaspengamanan pangan nasional tetap dipertahankan ditengah-tengah pelaksanaanMP3EI.

DAFTAR PUSTAKAAdnyana. M, O. 2008. Lintasan dan Marka Jalan Menuju Ketahanan Pangan Terlanjutkan

dalam Era Perdagangan Bebas. Pengembangan Inovasi Pertanian I (1), 2008: 17-46.

Agustian, A., S. Friyatno, B. Sayaka, B. Winarso, N.K. Agustian. 2012. AnalisisPermintaan, Penawaran Dan Kebijakan Pengembangan Komoditas Tanaman PanganUtama Dalam Program MP3EI di Koridor Sulawesi. Makalah Seminar HasilPenelitian Internal PSE-KP. Pusat Sosek dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Bappenas. 2011. Lampiran Perpres 29/2011 tentang RKP 2012. Jakarta.

Bappenas. 2011. Konektivitas Enam Koridor Ekonomi. Partnership: Media InformasiKerjasama Pemerintah dan Swasta. Bappenas, Jakarta.

BPS. 2013. Data Produksi Padi Indonesia. www.bps.go.id (4 Juli 2013).

BPS Jawa Barat. 2005-2012. Jawa Barat dalam Angka. Bandung.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2013. Laporan tahunan. JawaBarat.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Barat. 2011-2012.Laporan Tahunan. Bandung.

Haryono. 2012. Bahan Pemaparan Koridor Ekonomi Kalimantan. Badan LitbangPertanian, Jakarta.

Hermanto, I. W. Rusastra, A. Agustian, S. Friyatno, D. Hidayat, E. Jamal, Setyadjid, A.Prabowo, S. Bahri, R.S.H. Mulyandari. 2013. Laporan Konsorsium PenelitianProspek Pertumbuhan Pangan dalam Konteks Program MP3EI. Laporan KonsorsiumPenelitian. Pusat Sosek dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Kementerian Pertanian.2012. Dukungan Kementerian Pertanian di Bidang SDM dan Iptekuntuk MP3EI Koridor Ekonomi Sulawesi. RAKOR TIMJA SDM DAN IPTEKMAKASAR, 10-11 MEI 2012

Komite Ekonomi Nasional (KEN). 2012. Prospek Ekonomi Indonesia 2013. KEN. Jakarta

Sekretariat Tim Kerja MP3EI Koridor Ekonomi Kalimantan. 2013. Implementasi ProyekBerbasis Lahan (MP3EI) Koridor Ekonomi Kalimantan. Jakarta.

Wardana, I..P, E.Y. Purwani, Suhartini, A.T. Rahmi, Z. Mardiyah, S.T. Ardiyanti, Jumali,dan Lasmini, 2012. Almanak Padi Indonesia. Balai Besar Penelitian PadiKementerian Pertanian.

KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENYULUHANPERTANIAN DI SULAWESI SELATAN

(THE STUDY OF INSTITUTIONAL DEVELOPMENT STRATEGY AGRICULTURALEXTENSION IN SOUTH SULAWESI)

Muh. Hatta Jamil(Staf Pengajar Pada Prodi Agribisnis, Jurusan Sosek, Fak. Pertanian Unhas)

e-mail: [email protected] Hp.+62 85219399237

ABSTRACT

Institutional Assessment of Agricultural Extension Development Strategy aims to revealthe factors supporting or inhibiting and the needs in the institutional development ofagricultural extension and agricultural extension institutional development strategy is basedon UU No. 16/2006 About the System of Agricultural Extension , Fisheries , and Forestry. The results of these studies will result in a document that can be used as the basis forformulating strategies and developing institutional agricultural extension , providedirection and clarity improvement and extension functions for the main actors andentrepreneurs into the continuity of information and shared learning ( learning process )according to UU No. 16/2006. The study was designed as a descriptive qualitative researchwith triangulation approach , namely : utilizing secondary data reports and documents areavailable both central and field levels, indepht interviews and focus group discussionsinvolving key informants . The research instrument was the interview framework (questionnaire ) was designed with Koentjaraningrat framework consisting of analysis (1)analysis of HR Support (2) infrastructure and support facilities (3) systems and relatednorms , and (4) the operation of the extension system is in progress, while analysis ofstudies using SWOT analysis . Results Formulating Strategies for encouraging researchresults need to build a strategy for the development of education as follows : Perwali/Perbut for institutional existence in accordance with UU No. 16/2006 with socialization forthe parties concerned, the system of incentives and budget for the optimization of the legaland institutional aspects of counseling, competency standards and professional certificationextension, institutional strategic planning for education , and developing partnerships withkey actors synergy between business and government, as well as the legislative andacademics.

Keywords : Institutional , Strategy , System Extension.

PendahuluanLahirnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan

Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan mengsiyaratkan dan menuntut dilakukannyaperubahan tatanan kelembagaan penyuluhan; baik struktur, tugas dan fungsi dari pusatsampai daerah agar penyuluhan pertanian dapat dilaksanakan sesuai dengan sasaran yangingin dicapai dan berjalan secara efektif dan efisien.

Perubahan dalam tatanan penyuluhan pertanian sangat diperlukan, mengingat perandan fungsi penyuluhan sangat strategis dalam mendorong pembangunan pertanian, bukansaja untuk peningkatan produksi dan peningkatan pendapatan serta kesejahteraanmasyarakat, tetapi juga menumbuh kembangkan partisipasi masyarakat danmemberdayakan masyarakat baik sasaran utama maupun sasaran antara. Selain itu, peranpenting lainnya adalah terus berupaya membangun kualitas sumberdaya manusia sasaran

penyuluhan secara lebih demokratis, partisipatif, berkelanjutan, serta adil dan bertanggunggugat. Berkembangnya kualitas sumberdaya manusia sasaran penyuluhan, diharapkansasaran penyuluhan memiliki partisipasi riil dan keberdayaan yang tinggi dalam prosespenyuluhan pertanian, sehingga dapat menumbuhkan kemampuan akses terhadapkebutuhan pengembangan usahanya dan lebih mandiri (social learning), kesemua peranpenyuluh dan interaksinya dengan sasaran penyuluhan berlangsung dalam suasanapemaknaan sebagai proses belajar (learning process). Telah terjadi distorsipemaknaan dan pengertian terhadap kedudukan dan fungsi kelembagaan penyuluhanpertanian, menyebabkan beragamnya bentuk kedudukan dan struktur kelembagaanpenyuluhan di daerah, sehingga pelaksanaan penyuluhan pertanian masih banyakmengalami peran dan fungsi yang tidak optimal, sehingga tidak berlangsung secara efektifdan efisien dalam mencapai tujuan mulianya sebagaimana yang diamanahkan olehUndang-undang.Dalam kondisi tersebut, dibutuhkan suatu kajian yang dapatmengungkapkan mengapa pengembangan penyuluhan pertanian dalam kontekskelembagaan di daerah mengalami hambatan dan cenderung berbeda pada setiap daerahpadahal telah ada payung hukum yang menjamin terselengaranya penyuluhan pertaniantersebut. Strategi pengembangan melalui kajian ilmiah dibutuhkan agar perumusankebijakan, perencanaan, implementasi dan evaluasi kebijakan pengembangan penyuluhanpertanian didasarkan pada dasar ilmu pengetahuan (based knowledge) dan tidakberdasarkan trial and error. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk : (1)menganalisis faktor-faktor yang menjadi pendukung atau penghambat dalampengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian berdasarkan UU No. 16 Tahun 2006Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan; (2) menganalisis faktor-faktor yang menjadi kebutuhan pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian sesuaidengan UU No. 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, danKehutanan; dan (3) Merumuskan strategi pengembangan kelembagaan penyuluhanpertanian menurut UU No. 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,Perikanan, dan Kehutanan.

Metode PenelitianMengingat kajian ini bersifat kajian strategis, maka harus didasarkan pada pilihan

sampling yang tepat untuk menyusun strategi penyuluhan. Lokasi yang dianggap tepatdalam kajian ini adalah wilayah yang sudah menerapkan dan yang belum menerapkankelembagaan sesuai dengan UU No. 16 Tahun 2006, jadi dipilih lokasi yang sudahmenerapkan dan belum menerapkan UU SP3K. Berdasarkan data dan informasi dari pihakBadan Koordinasi Pelaksana Penyluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan ProvinsiSulawesi Selatan 2013, maka di Provinsi Sulawesi Selatan keberadaan lembagapenyuluhan masih terdapat lembaga penyuluhan yang menerapkan dan belum menerapkanUU tentang SP3K, dimana terdapat empat bentuk kelembagaan penyuluhan, yaitu: (1)Berbentuk Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan; (2)Berbentuk Kantor Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan; (3)Berbentuk Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan; dan (4) Penyuluhan masihmelekat pada Kantor Dinas Pertanian. Dari beberapa kabupaten/kota yang belum dan sudahmenerapkan UU tentang SP3K maka akan dipilih masing-masing 1 (satu) kabupaten yangbelum dan telah menerapkan UU tentang SP3K, yaitu Kota Makassar (telah menerapkan)dan Kabupaten Gowa (belum menerapkan).

Penelitian ini dirancang sebagai penelitian deskriptif kualitatif denganmenggunakan metoda triangulasi, yaitu : memanfaatkan data sekunder laporan dandokumen yang tersedia baik tingkat pusat maupun lapangan, indepht interview dan FGD

yang melibatkan informan kunci diberbagai level pemerintah. Instrumen penelitianadalah kerangka wawancara (Kuesioner) dirancang dengan kerangka pemikiranKoentjaraningrat yang terdiri dari analisis (1) analisis terhadap SDM Pendukung (2) saranadan sarana pendukung (3) sistem dan norma terkait, dan (4) operasionalisasi sistempenyuluhan yang sedang berlangsung (Koentjaraningrat, 1997). Sedangkan analisis kajianmenggunakan analisis SWOT.

Hasil dan PembahasanAnaisis Kesiapan Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan

LegalitasKesiapan kelembagaan dilihat dari aspek legalitas yang terluat dalam UU No 16

tahun 2006, secara de jure (Perda, dan Perbup) dinilai relatif tidak memadai. Pada saatkajian ini dilaksanakan, kedua wilayah penelitian, Kota Makassar dan Kabupaten Gowa,belum memiliki aspek legal, walaupun keduanya telah mencoba mengajukan Perda untukkeberadaan kelembagaan penyuluhan sesuai dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2006,namun belum mendapat persetujuan DPRD. Tetapi dari segi fungsi menjalankan tugassebagai penyuluh Kota Makassar lebih berkembang karena telah ada Perwali MakassarNO. 51 Tahun 2009 tentang uraian tugas jabatan struktural kantor Ketahanan Pangan,tentang uraian tugas jabatan struktural kantor Ketahanan Pangan yang di dalam strukturtersebut juga telah ada tugas dan fungsi peyuluh. Berbeda dengan Kabupaten Gowa,Dimana kelembagaan penyuluhan tidak secara tegas eksistensi kelembagaannya, karenapenyuluhan berada pada Dinas Pertanian dan pada setiap Kecamatan disebutnya kantorcabang dinas pertanian yang menggantikan nama Balai Penyuluh Pertanian yang lazimpada seluruh daerah di Indonesia. Sebenarnya jika aspek legal berupaPerda dan Perbup/Perwali, maka diharapkan mempunyai makna yang sangat penting dannyata karena akan berimplikasi pada peningkatan dinamika kelembagaan penyuluhan diKota/kabupaten yang bersangkutan. Karena terutama berimplikasi pada komitmen pihakeksekutif maupun legislatif terhadap anggaraan daerah (APBD) bagi pembiayaan kegiatanOrganisasi Penyuluhan di kabupaten yang bersangkutan.Aspek Ketenagaan

Di kota Makassar sudah memiliki penyuluh pertanian yang berkompeten diberbagai bidang ilmu. Pada kota Makassar mengacu pada Permentan No. 35 Tahun 2009.Jumlah penyuluh yang ada di Kota Makassar pada 2 BPP yaitu 56 orang yang terdiri dariPNS dan THL (Tenaga Harian Lepas). Namun, di Kota Makassar penyuluh masihdianggap kurang karena belum menyentuh seluruh daerah yang potensial. Selain itu juga,penyuluh dianggap kurang karena belum memenuhi permintaan 1 penyuluh 1 desa(kelurahan) di Kota Makassar.

Di Kabupaten Gowa terdapat 142 jumlah tenaga penyuluh yang terdiri dari 79penyuluh PNS dan 63 tenaga penyuluh THL (tenaga harian lepas) yang tersebar pada 18kecamatan yang ada di Kabupaten Gowa. Saat ini di Kabupaten Gowa jumlah tenagapenyuluh masih dianggap tidak cukup jumlahnya untuk menjalalankan fungsi dan tugasnyadikarenakan setiap tahunnya terdapat penyuluh yang pensiun sedangkan untuk penerimaantenaga penyuluh tidak ada. Selain itu juga adanya pemekaran kecamatan yangmenyebabkan sebagian tenaga penyuluh diarahkan kesana. Untuk idealnya satu orangpenyuluh harus menempati satu kelurahan/desa.

Sumber daya manusia (penyuluh) pada kabupaten Gowa masih kurang memadaipada bidang kompetensinya untuk menjalankan fungsi dan tugasnya khususnya padakompetensi komputerisasi dan pada kompetensi metode penyuluhan.

Aspek PenyelenggaraanDi Kota Makassar Penyelenggaraan penyuluhan dilaksanakan berdasarkan

programa yang telah disusun baik di tingkat kota maupun BPP. Penyelenggaraanpenyuluhan dapat dilakukan dalam bentuk pembinaan penyelenggaraan LUEPP (LembagaUsaha Ekonomi Pangan Perkotaan). Pelatihan juga yang dilakukan oleh penyuluh yangdilaksanakan secara rutin. Dalam penyelenggaraannya THL sangat berperan penting padaproses pemberdayaan kelompok tani.

Pada proses pelaksanaannya, semua programa penyuluhan sudah bejalan namunbiasanya tidak tepat pada waktunya. Pada saat sosialisasi yang dilakukan oleh penyuluhkepada masyarakat bersifat parsial berjalan dengan sendiri-sendirinya. Sedangkanpenyelenggaraan penyuluhan sistem LAKU dianggap masih kurang atau sulit dijalankansecara penuh, karena terbatasnya kebutuhan untuk menyelenggarakan system tersebut.

Penyelenggaraan penyuluhan di Gowa sudah dilakukan dengan cara pendekatanpartisipatif dengan menyesuaikan keadaan kebutuhan serta kondisi pelaku utama danpelaku usaha, sebelum dilaksanakan penyelenggaraan penyuluhan dilaksanakan terlebihdahulu melaksanakan PRA Desa kemudian setelah itu akan dibuat rencana kerja yangdibuat berdasarkan programa desa. Setelah programa desa selesai selanjutnya dibuatlahprograma penyuluhan untuk kelangsungan proses penyelenggaraan penyuluhan. Salah satupenyebab utama menghambat penyelenggaraan penyuluhan adalah tidak adanyakelembagaan penyuluh, dan penyelenggaraan penyuluhan belum terintegrasi dan bersinergidengan baik.

Aspek Sarana Dan PrasaranaPada kedua BPP yang ada di Kota Makassar sudah terdapat gedung pertemuan yang

bisa membantu untuk kelangsungan semua proses penyelenggaraan penyuluhan sepertipertemuan dua kali dalam sebulan pada BPP. Untuk semua penyuluh PNS sudah tersediadua motor yang dapat digunakan untuk menunjang kelancaran operasionalpenyelenggaraan proses penyuluhan yang dilakukan di lapangan. Namun, pada BPP yangada di Makassar masih terdapat kekurangan untuk bagian saranana seperti belum terdapatlaboratorium lapangan khusus untuk kegiatan percontohan, misalnya untuk demplot, danruang perpustakaan penyuluh dan bahan bacaan yang belum memadai.

Di Kabupaten Gowa, terkesan bahwa Pemerintah Kabupaten Gowa dianggapkurang memfasilitasi penyuluh untuk proses penyelenggaraannya. Dan semua sarana danprasarana yang ada di BPP dianggap sangat kurang memadai. Selain itu, pada setiapkecamatan juga tidak semua memiliki gedung BPP, hanya sebagian kecamatan yangmemiliki gedung BPP yaitu Bontomarannu, Tombolo Pao, dan Manuju. Selain itu, fasilitaskendaraan untuk penyuluh juga belum merata untuk daerah Gowa.

Aspek PembiayaanSebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan para penyuluh di Makassar, maka

diberi tunjangan sebesar Rp. 250.000,00 yang berasal dari operasional daerah (APBD)selain BOP yang pembiayaannya berasal dari APBN sebesar Rp. 400.000,- untuk seluruhpenyuluh PNS. Di Kota Makssar sendiri belum ada komitmen eksekutif dan legislatifterhadap pembiayaan, karena tunjangan yang diterima untuk operasional penyuluh dengansistem laku masih relatif kurang dan dianggap masih jauh dari harapan disebabkan arealpenyelenggaraan untuk membina petani dengan kunjungan yang harus dilakukan padamasing-masing wilayah kerja penyuluh (WKPP) sangat luas. Di Kabupaten Gowapenyelenggaraan penyuluhan hanya bertumpuh pada kesadaran dan dedikasi yang tinggidari para penyuluh sehingga masih ada tanda-tanda aktivitas penyelenggaraan penyuluhan,walaupun penyelenggaraanya tidak begitu maksimal. Salah satu faktor penyebab kurang

terselenggaranya penyuluhan Kabupaten Gowa dengan efektif dan efesien adalah karenaketersediaan pembiayaan dari daerah yang sangat minim. Hal tersebut dapat dilihat, bahwatambahan biaya operasional dari APBD hanya berupa biaya transport sebesar Rp. 35.000,-per bulan, walaupun setiap penyuluh juga menerima biaya BOP dari pusat (APBN), tetapidirasakan sangat tidak memadai untuk setiap penyuluh dalam menyelenggarakanpenyuluhan pada masing-masing WKPP dan WKBP.

Aspek Pembinaan dan PengawasanPelaksanaan tugas dan fungsi penyuluh di Kota Makassar memerlukan langkah

pembinaan dan pengawasan yang memadai. Namun, karena keterbatasan yang ada sampaisaat ini belum terselenggara pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan penyuluhanpertanian secara baik dan terstruktur serta terencana, baik pembinaan dan pengawasansecara internal maupun dari komponen eksternal.

Berbeda dengan di Kabupaten Gowa, pengawasan dan pembinaan penyelenggaraanpenyuluhan sangat dibutuhkan untuk lebih terarahnya aktivitas penyelenggaraanpenyuluhan, namun fungsi tersebut sama sekali tidak berjalan secara maksimal, karenadisatu sisi penyelenggaraan penyuluhan tidak berjalan sebagaimana mestinya karenalembaga penyuluhan yang terkesan tidak memadai untuk wadah penyeleggaraanpenyuluhan, sehingga pelaksanaan tugas dan fungsi penyuluh tidak dapat jelas arasberpijaknya untuk dilakukan pembinaan dan pengawasan yang memadai. Selain itu,pemerintah daerah yang tidak setuju mengenai perumusan kode etik penyuluh dan apalagiada wacana tentang pembentukan organisasi profesi, yang akan menjadi bagian terintegrasidalam pelaksanaan pembinaan dan pengawasan.

Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Kelembagaan Penyuluhan

Beberapa faktor yang dapat digambarkan mengenai faktor pendukung danpenghambat dalam penelitian pengembangan kelembagaan penyuluhan, teridentifikasi dariproses FGD (Focus Group Discussion) yang telah diselenggarakan pada kedua lokasipenelitian. Hasil yang dapat dikemukakan secara faktuil terungkap bahwa faktorpenghambat dan pendukung yang dapat mendukung kearah kelembagaan sesuai denganUndang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 adalah terdiri dari faktor legalitas, kelembagaandengan segala prosesnya, sumberdaya manusia, dan komitmen eksekutif dan legislativeyang tidak memadai. Adapun faktor pendukung dan penghambat dalam pengembangankelembagaan penyuluhan pertanian dapat dilihat pada tabel berikut.

Faktor Penghambat KabupatenGowa

Kota Makassar

Ego Sektoral yang menyulitkan koordinasi √ √Sarana dan Prasarana BPP yang kurangmemadai

√ -

Penyelenggaraan penyuluhan belumterintegrasi dan bersinergis dengan baik

√ -

Fungsi pembinaan dan pengawasan lemah √ √Keberadaan penyuluh di setiap desa belummerata

√ -

Belum adanya PP √ √Kompetensi penyuluh Lemah √ -Kualifikasi SDM kurang sesuai √ √Koordinator penyuluh bukan organisasi √ √

fungsionalPemakaian tenaga penyuluh masih sebatasperbantuan bukan pendampingan

√ √

Faktor Pendukung Kabupaten Gowa KotaMakassar

Komitmen Legislatif √ √Komitmen Eksekutif √ √Komitmen Penyuluh √ √

Faktor-faktor kebutuhan pengembangan kelembagaan penyuluhan pertanian

Faktor-faktor yang berpotensi menjadi kebutuhan pengembangan kelembagaanpenyuluhan pertanian sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 TentangSistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, antara lain :

Belum adanya aspek legal pada tingkat nasional berupa peraturan pemerintah yangdapat menjadi payung hukum bagi peraturan-peraturan di tingkat yang lebih rendahseperti Kepres, Kepment, Perda serta kebijakan-kebijakan pemerintah lebih lanjut ditingkat operasional. Dengan demikian dinilai telah menjadi kebutuhan mendesak untuksegera diterbitkan PP terkait sebagai payung hukum (aspek legal) bagi implementasiUU tersebut di daerah. Keterbatasan dalam hal pendapatan daerah telah menjadi kendala tersendiri dalam

pengembangan kelembagaan penyuluhan karena Pemda tidak menempatkannyasebagai prioritas utama dalam struktur pembangunan di daerah. Oleh karena itudibutuhkan dukungan pusat dalam hal anggaran dan dukungan fasilitas untuk insentifpengembang an kelembagaan penyuluhan. Belum adanya standar kompetensi telah menyebabkan kurang jelasnya arah kurikulum

pendidikan penyuluhan maupun kurikulum Diklat bagi penyuluh serta fungsi controlkinerja penyuluhan di daerah. Oleh karena itu telah menjadi kebutuhan mendesak untuksegera diadakan standarisasi kompetensi profesi penyuluh yang dapat menjadi acuanbagi pengembangan pendidikan penyuluhan, dan Diklat bagi penyuluh, maupunKontrol bagi profesi dan penyelenggaraan penyuluhan. Untuk itu juga dinilai perlumengembangkan lembaga sertifikasi profesi penyuluh yang benar-benar dapatmenjamin keberadaan penyuluh yang kompeten/professional. Minat yang tinggi dari pihak penyuluh dalam menyusun rencana strategis bagi

pengembangan program dan penyelenggaraan penyuluhan di masing-masing tingkatbaik di pusat maupun di daerah. Hal ini mengimplikasikan perlunya penyusunanrenstra lembaga penyuluhan dimasing-masing tingkat (pusat/daerah), telah menjadistandar kebutuhan bagi penyelenggaraan penyuluhan. Terjadinya kompetisi yang tidak sehat antar pelaku usaha (baik di hulu maupun di hilir

dalam system agribisnis), intervensi pelaku politik untuk kepentingan yang sempit padakelembagaan petani, kekurang siapan permodalan usahatani, dan keefektifan perannyata akademisi dan LSM maka dinilai telah menjadi kebutuhan atas perlunyapengembangan sistem kemitraan agribisnis sinergis antar pelaku utama dengan pelakuusaha dan pemerintah, serta dengan legislatif, maupun akademisi.

Strategi Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian

Analisis faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang danancaman) telah dilakukan berdasarkan analisis-analisis sebelumnya. Unit analisis ini adalahkelembagaan penyuluhan secara keseluruhan pada tingkat Kota/Kabupaten. Faktor internalmencakup fator-faktor yang berada dalam kendali kelembagaan penyuluhan di tingkatkota/kabupaten sampai pada setiap BPP. Sedangkan faktor eksternal mencakup faktor-faktor di luar kendali kelembagaan penyuluhan baik di tingkat kota/kabupaten maupun disetiap BPP.

Faktor Internal

Faktor Eksternal

KEKUATAN (S)1. Legalitas UU No. 16 Th.

2006 tentang SP3K2. Komitmen pusat terhadap

pengembangan program,anggaran dan dukunganfasilitas penyuluhan

3. Struktur organisasi sudahterbentuk

4. Potensi wilayah pertanianyang strategis

5. Keinginan meraih danadari pusat

6. Komitmen membuatrenstra penyuluhan

7. Peran strategis lembagadalam pengembanganagribisnis

8. Kekompakan Penyuluhterhadapkelembagaan

KELEMAHAN (W)1. Ketidaksiapan

kelembagaan petani2. Tingginya ego sector

menyulitkan koordinasi3. Proporsi desa per penyuluh

tinggi4. Perbedaan persepsi antar

pimpinan daerahmenyebabkan lemahnyakomitmen daerah terhadapUU No. 16 Th. 2006,karena belum adanya PP

5. Keberadaan fasilitasgedung Bapeluh danfasilitas BPP kurangmemadai

6. Kompetensi penyuluhmasih lemah (mengacu UUNo. 16 Th. 2006)

7. Kualifikasi SDM pengelolakelembagaan penyuluhankurang sesuai

8. Fungsi pembinaan danpengawasan lemah

9. Aktualisasiinformasi/inovasi lemah

PELUANG (O)1.Komitmen

pemerintah pusatterhadap anggaranbagi pengembanganpertanian

2. Kebutuhan petaniterhadapkelembagaanpenyuluhan

3. Tuntutan kebutuhanpangan

4. Keberadaaninvestor swasta

STRATEGI SO1. Menerapkan sistem insentif

oleh pusat dalam prioritasprogram, anggaran dandukungan fasilitasnyauntuk mengoptimalkanpersiapan aspek legal,ketersediaan struktur dankeinginan untuk meraihdana dari pusat untukpengembangan pangan

2. Mengembangkan kemitraansinergi antar pelaku utamadengan pelaku usaha dan

STRATEGI WO3. Menerbitkan

Perwali/Perbut terkaitdisertai sosialisasi daninternalisasi UU No. 16Th. 2006 ke pihak legislatifdan eksekutif (terkait) dipusat maupun di daerahuntuk menyamakanpersepsi pihak-pihakterkait agar mendapatkankomitmen

4. Pengembangan standarkompetensi dan sertifikasi

dalam bidangagribisnis kemitraan

pemerintah maupunakademisi

profesi penyuluh sejalandengan pengembangankelembagaan petani dantuntutan kebutuhan pangandan energi alternatif

ANCAMAN (T)1. Sulitnya integrasi

lintas sektor (antarinstansi dan subsektornya) baik dipusat maupun didaerah

2. Image masyarakatterhadapkompetensi danparadigmapenyuluhan topdown

3. Ketidaksiapanlembaga pendukungagribisnis

4. Terkotak-kotaknyakelembagaan petanike dalam intereselite politik

5. Intervensikepentingan sempitpolitik terhadapnetralitaskelembagaanpenyuluhan

6. Kompetisi bisnisSaprotan danPemasaran yangtidak sehat

7. Persepsi kalanganakademisi dan LSMbahwa penyuluhantop down

STRATEGI ST2.a. Mengembangkan

kemitraan sinergi antarpelaku utama denganpelaku usaha danpemerintah, serta denganlegislatif, maupunakademisi

5. Penyusunan renstralembaga penyuluhandimasing-masing tingkat(pusat/daerah) sebaiknyamelibatkan pihak-pihakterkait (pelaku utama danpelaku usaha, sektorterkait maupun akademisidan LSM

STRATEGI WT3.a. Menerbitkan

Perwali/Perbut terkaitdisertai sosialisasi daninternalisasi UU No. 16Th. 2006 ke pihakakademisi dan LSMdisamping pihaklegislative dan eksekutif(terkait) di pusat maupundi daerah untukmenyamakan persepsipihak-pihak terkait agarmendapatkan komitmen

4.a. Pengembangan standarkompetensi dansertifikasi profesipenyuluh yangberorientasi padapemberdayaan pelakuutama dan pelaku usahasejalan denganpengembangankelembagaan petani dantuntutan kebutuhanpangan dan energialternatif

Berdasarkan jastifikasi fakta hasil penelitian yang telah dianalisis, maka disusunprioritas strategi pengembangan kelembagaan penyuluhan ke depan adalah sebagai berikut: Menerbitkan Perwali/Perbut terkait disertai sosialisasi dan internalisasi UU No. 16 Th.

2006 ke pihak akademisi dan LSM disamping pihak legislatif dan eksekutif (terkait) didaerah untuk menyamakan persepsi pihak-pihak terkait agar mendapatkan komitmen.

Menerapkan sistem insentif oleh pusat dalam prioritas program, anggaran dandukungan fasilitasnya untuk mengoptimalkan persiapan aspek legal, ketersediaanstruktur dan keinginan untuk meraih dana dari pusat untuk pengembangan pangan. Pengembangan standar kompetensi dan sertifikasi profesi penyuluh yang berorientasi

pada pemberdayaan pelaku utama dan pelaku usaha sejalan dengan pengembangankelembagaan petani dan tuntutan kebutuhan akan pangan. Penyusunan renstra lembaga penyuluhan dimasing-masing tingkat (pusat/daerah)

sebaiknya melibatkan pihak-pihak terkait (pelaku utama dan pelaku usaha, sektorterkait maupun akademisi dan LSM . Mengembangkan kemitraan sinergi antar pelaku utama dengan pelaku usaha dan

pemerintah, serta dengan legislatif, maupun akademisi .

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

1. Kesiapan daerah dalam mengimplementasikan UU No. 16 Tahun 2006 Tentang SistemPenyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan sebagai berikut :a. Belum ada legalitas keberadaan kelembagaan penyuluhan berupa perwali/perda, dan

hal itu belum sepenuhnya sesuai dengan UU No. 16 Tahun 2006 Tentang SP3Kdan belum sepenuhnya berfungsi terutama karena faktor pendanaan.

b. Faktor ketenagaan masih dihadapkan pada beberapa masalah antara lain : jumlahpenyuluh, kualitas kompetensi profesi penyuluh, dan peralihan profesi penyuluhmenjadi non penyuluh.

c. Sarana dan prasarana masih beragam dan sangat minim terutama di KabupatenGowa, namun belum ada komitmen untuk pembangunan gedung badan pelaksanapenyuluhan atau nama lain yang berfungsi untuk itu (Badan Ketahanan Pangan danPelaksana Penyuluhan Pertanian), beserta kelengkapannya. Keberadaan fasilitasBPP relatif kurang memadai (kurang siap).

d. Dalam aspek pembiayaan masih dihadapkan pada keterbatasan (kurang siap), yangdisebabkan oleh dominasi kepentingan ego sektoral dan antara daerah terdapatvariasi tingkat komitmen pihak legislatif dan eksekutif sehingga berpengaruhterhadap operasionalisasi kegiatan penyuluhan. Daerah masih sangat mengharapkandukungan biaya dari APBN untuk pembiayaan pengembangan kelembagaanpenyuluhan.

e. Dalam hal penyelenggaraan kegiatan penyuluhan, belum sepenuhnya operasional(kurang siap). Sistem Laku belum sepenuhnya berjalan, namun belum didukungoleh kesinambungan aktualisasi informasi dan inovasi. Keberadaan THL dinilaimemperkecil kekurangan jumlah penyuluh lapangan, namun kompetensinya masihkurang memadai. Penyusunan program sebagian sudah mulai mengarahkependekatan yang partisipatif, namun dalam implementasinya belum sepenuhnyapartisipatif.

f. Kesiapan dalam hal pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraanpenyuluhan relatif lemah, karena belum ada lembaga keprofesian dan organisasiprofesi yang berfungsi menjamin kualitas kompetensi penyuluh.

2. Faktor-faktor yang mendukung dan menghambat pengembangan kelembagaanpenyuluhan pertanian sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 TentangSistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, antara lain :

a. Faktor yang menghambat antara lain : 1. belum adanya Perwakli/Perbut, 2.Pembatasan jumlah eselonering sejalan dengan PP No. 41/2007, 3. Adanya persepsibahwa kelembagaan penyuluhan itu bersifat fakultatif, 4. Ego sektoral yang masihtinggi, 5. Keterbatasan dalam pendanaan.

b. Faktor-faktor yang berpotensi sebagai pendukung antara lain : 1. Bila ada komitmenlegislatif dan eksekutif terhadap pengembangan kelembagaan penyuluhan; 2.Dukungan dari pusat baik yang berupa program (misal : PUAP, FEATI), dukunganfasilitas (misal : BPP model, sarana transportasi dan kelengkapannya), dananggaran DAK melalui APBN; 3. Kegiatan sosialisasi, internalisasi dan koordinasipimpinan kelembagaan penyuluhan secara nasional; dan 4. Penerapan sisteminsentif/disinsentif dalam alokasi anggaran dan program oleh pusat.

3. Faktor-faktor yang menjadi kebutuhan pengembangan kelembagaan penyuluhanpertanian sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 Tentang SistemPenyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, antara lain :a. Perlunya segera diterbitkan Perwali/Perbut terkait sebagai payung hukum (aspek

legal) kelembagaan penyuluhan sesuai Undang-Undang.b. Dukungan pusat dalam hal anggaran dan dukungan fasilitas untuk insentif

pengembangan kelembagaan penyuluhanc. Kejelasan standar kompetensi profesi penyuluh agar dapat menjadi acuan bagi

pengembangan pendidikan penyuluhan, dan Diklat bagi penyuluh, maupun controlbagi profesi dan penyelenggaraan penyuluhan

d. Penyusunan renstra lembaga penyuluhan dimasing-masing tingkat (daerah).e. Sistem kemitraan sinergi antar pelaku utama dengan pelaku usaha dan pemerintah,

serta dengan legislatif, maupun akademisi.

Saran

Seyogyanya diterapkan strategi pengembangan kelembagaan penyuluhan yang sesuaidengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,Perikanan, dan Kehutanan, sebagai berikut :

1. Menerbitkan Perwali/Perbut terkait disertai sosialisasi dan internalisasi UU No. 16Tahun 2006 ke pihak terkait, disamping pihak legislatif dan eksekutif (terkait) didaerah untuk menyamakan persepsi pihak-pihak terkait agar memiliki komitmen

2. Menerapkan sistem insentif oleh pusat dalam prioritas program, anggaran dandukungan fasilitasnya untuk mengoptimalkan persiapan aspek legal, ketersediaanstruktur dan keinginan untuk meraih dana dari pusat untuk pengembangan pangan didaerah

3. Pengembangan standar kompetensi dan sertifikasi profesi penyuluh yang berorientasipada pemberdayaan pelaku utama dan pelaku usaha sejalan dengan pengembangankelembagaan petani dan tuntutan akan kebutuhan pangan

4. Penyusunan renstra lembaga penyuluhan dimasing-masing tingkat (pusat/daerah)sebaiknya melibatkan pihak-pihak terkait (pelaku utama dan pelaku usaha, sektorterkait maupun akademisi dan LSM

5. Mengembangkan kemitraan sinergi antar pelaku utama dengan pelaku usaha danpemerintah, serta dengan legislatif, maupun akademisi.

Daftar Pustaka

Adjid DA. 2001. Penyuluhan Pertanian. Jakarta : Yayasan Pengembangan Sinar Tani.

Asngari, P. S. 2003. ”Pentingnya Memahami Falsafah Penyuluhan Pembangunan dalamRangka Pemberdayaan Masyarakat.” Dalam Membentuk Pola Perilaku ManusiaPembangunan. Diedit oleh Adjat Sudrajat dan Ida Yustina. Bogor: IPB Press.

Boyle, P.G. 1981. Planning Better Programs. New York: Mc grow-Hill Book Company.Chamala, Shankariah dan Shingi, P.M., “Establishing and Strengthening Farmer

Organization.“ dalam Swanson, Burton E., Robert P. Bentz, dan Andrew J.Sofranko (ed.), 1997, Improving Agricultural Extension : A Reference Manual,Food Agriculture Organization : Rome, Italy.

Dahama, O.P., dan O.P Bhatnagar. 1980. Education and Communication Development.New Delhi: Oxford and IBH Publishing Co

Kamaruddin AS, Mansyur A. 2006. Sistem Informasi Penyuluhan Pertanian diJepang dan Indonesia. http://www.litbang.deptan.go.id/artikel/one /151/pdf/Sistem%20Informasi%20Penyuluhan%20Pertanian%20di%20Jepang%20dan%20Indonesia.pdf (3 April 2013).

Koentjaraningrat, 1997, Kebudayaan Mantalitas dan Pembangunan, PT. Gramedia PustakaUtama : Jakarta.

Kuhn S, Thomas. 1970. The Structure of Scientific Revolutions. London: The Universityof Chicago Press Ltd.

Levis, R Leta. 1996. Komunikasi Penyuluhan Pedesaan. Bandung: Citra Aditya Bakti.Margono Slamet, 2001, Paradigma Baru Penyuluhan Pertanian Di Era Otonomi Daerah,

Makalah Yang Disajikan dalam Seminar PERHIPTANI 2001, Tanggal 21Oktober 2001, di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas MaretUniversity Press.

Rogers, E. M. 1983. Diffusion of Innovation. New York: The Free Press; A Division ofMacmillan Publishing Co, Inc.

Saefudin, A. 2005. ”Revitalisasi Penyuluhan Pertanian: Tinjauan dari Aspek Kebijakan.”Makalah disampaikan pada Konsultasi Publik di PMPSDMP Ciawi padaTanggal 29 Agustus 2005.

Soedijanto, P. 2004. Menata Kembali Penyuluhan Pertanian Di Era PembangunanAgribisnis. Jakarta: Departemen Pertanian.

Van den Ban, A. W., dan H.S. Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta:Kanisius.

Undang-Undang No. 16 Tahun 2006, Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan danKehutanan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 92.

PERAN DAN PENGARUH SEKTOR PERTANIAN DALAMPEMBANGUNAN EKONOMI SULAWESI TENGGARA

Azhar Bafadal, M. Arief Dirgantoro, SurniDosen Universitas Halu Oleo

[email protected]; [email protected]; [email protected]

AbstractThe agricultural sector is a sector that provides a significant contribution to the

economic development and become the foundation of most of the population live inSoutheast Sulawesi. The purpose of the study is to examine the role and influence of theagricultural sector (crops, plantations, livestock and fisheries) on the performance of thelocal economy including economic growth, income per capita, unemployment and povertyin the Southeast. The analyzes were performed based on econometric models, namely bybuilding and estimating a system of simultaneous equations, which have the the fiscalblock, production and labor block, block of economic performance, the performance of theagricultural sector blocks and blocks of aggregate demand. After estimating the model,followed by the simulation models. The simulation was performed with five scenarios,namely Scenario (1) increased production of food crops 20%, Scenario (2) 20% increase incrop production, Scenario (3) 20% increase in livestock production, Scenario (4) 20%increase in fish production, and Scenario (5) a combination of scenarios 1,2,3 and 4. Dataused are time series in 1990-2011. The analysis showed that the agricultural sectordominates in the formation of output and employment in the Southeast. Increasedagricultural production provide a significant role in economic growth, per capita incomeand the reduction of unemployment and poverty. Thus, a more adequate attention to theagricultural sector is a necessary condition to help overcome the problems of the economyat the micro level of society and can help improve macroeconomic indicators of SoutheastSulawesi.

Keywords: agriculture, economics, output

AbstrakSektor pertanian merupakan sektor yang memberikan kontribusi berarti bagi

pembangunan ekonomi dan menjadi tumpuan hidup sebagian besar penduduk SulawesiTenggara. Tujuan penelitian adalah mengkaji peran dan pengaruh sektor pertanian(tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan) terhadap kinerja perekonomiandaerah yang meliputi pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, pengangguran dankemiskinan di Sulawesi Tenggara. Analisa dilakukan berdasarkan model ekonometrika,yaitu dengan membangun dan mengestimasi sistem persamaan simultan, dimana blokperekonomian terdiri atas blok fiskal daerah, blok produksi dan tenaga kerja, blok kinerjaperekonomian, blok kinerja sektor pertanian dan blok permintaan agregat. Setelahdilakukan estimasi model, kemudian dilanjutkan dengan simulasi model. Simulasidilakukan dengan lima skenario, yaitu Skenario (1) peningkatan produksi tanaman pangan20%, Skenario (2) peningkatan produksi perkebunan 20%, Skenario (3) peningkatanproduksi peternakan 20%, Skenario (4) peningkatan produksi perikanan 20%, dan Skenario(5) kombinasi dari skenario 1,2,3 dan 4. Data yang digunakan adalah time series tahun1990-2011. Hasil analisis menunjukkan bahwa sektor pertanian mendominasi dalampembentukan output dan penyerapan tenaga kerja di Sulawesi Tenggara. Peningkatanproduksi pertanian memberikan peran berarti dalam pertumbuhan ekonomi, pendapatan per

Sub Tema : Agriculture GovernanceNo Anggota Penulis Utama : PERHEPI 2711002

kapita serta dalam upaya pengurangan pengangguran dan kemiskinan. Dengan demikian,perhatian yang lebih memadai terhadap sektor pertanian merupakan kondisi yangdiperlukan untuk membantu mengatasi permasalahan pada tataran mikro ekonomimasyarakat dan dapat membantu memperbaiki indikator makro ekonomi SulawesiTenggara.

Kata kunci : Sektor pertanian, ekonomi, output

PENDAHULUANPertumbuhan ekonomi Sulawesi Tenggara (Sultra) sejak tahun 2003 selalu di atas

7%. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di atas tampaknya belum cukup mampuuntuk mengurangi tingkat pengangguran di daerah ini, bahkan tingkat pengangguran justrumengalami peningkatan di mana pada tahun 2003 pengangguran mencapai 9,43%. Setelahtahun 2003, tingkat pengangguran meningkat menjadi 11,90% pada tahun 2004 dan10,93% pada tahun 2005. Kondisi yang lebih baik ditunjukkan pada tahun 2006 dan 2007,dimana tingkat pengangguran menurun yaitu sebesar 9,67% dan 6,40%. Walau ada gejalaterjadi penurunan pengangguran selama lima tahun terakhir terakhir tetapi angkakemiskinan tetap di Sultra relatif masih tinggi, yaitu masih di atas sepuluh persen darijumlah penduduk. Ilustrasi tersebut ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. PDRB, Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran Sultra, 2003-2010U r a i a n T a h u n

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010PDRB (Rp T) a 6,96 7,48 8,03 8,62 9,31 10,01 10,77 11,65

PertumbuhanEkonomi (%)

7,57 7,51 7,31 7,36 7,96 7,27 7,57 8,19

Pengangguran(%)

9,43 11,90 10,93 9,67 6,40 5,73 5,00 4,61

Kemiskinan (%) 23 22 21 23 23 21 19 16Keterangan : a ADH konstan tahun 2000Sumber : BPS, 2012

Sampai saat ini sektor pertanian masih merupakan tulang punggung dalammenopang perekonomian Sultra. Hal itu dibuktikan betapa sektor pertanian (dalam artiluas) secara agregat memberikan kontribusi pada PDRB berdasarkan harga berlaku sebesar42,37% pada tahun 2005 dan 33,20% pada tahun 2010 (Tabel 2). Peranan sektor pertaniantampaknya dalam jangka pendek belum akan dapat digeser oleh sektor lain dalamsumbangsihnya pada output Sultra. Hal itu disebabkan peranan sektor yang lain masihjauh di bawah sektor pertanian.

Jika dicermati lebih jauh pada sektor pertanian, maka sub sektor perikanan danperkebunan memberikan sumbangan terbesar pada pembentukan PDRB yaitu mencapaikisaran 14%-15%. Pangsa sub sektor lainnya nilainya di bawah 10%, yaitu sub sektortanaman pangan 9,35%; Peternakan 5,76% dan Kehutanan 1,48%. Dengan demikian,Sultra seyogyanya mendesain daerahnya menjadi basis perkebunan yang sekaligusmengintegrasikan kegiatan industri pengolahannya guna mengolah komoditas sepertikakao dan hasil perikanan seperti processing ikan, udang dan rumput laut. Jika hal itu

dapat dilakukan maka upaya pencipataan nilai tambah akan semakin dapat dilakukan darikomoditas yang juga dihasilkan dari daerah Sultra.

Salah satu permasalahan yang berarti di Sultra adalah sangat kurangnya kegiatanyang mengolah produk asalan atau bahan baku menjadi produk jadi atau setengah jadi.Data menunjukkan bahwa sektor industri pengolahan hanya memberikan kontribusiterhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sekitar 6%-7%. Dengan potensi sektorpertanian yang masih dominan maka harapan sebenarnya tertumpu pada agroindustri dalamkonteks agribisnis. Dapat dikatakan bahwa perekonomian Sultra saat ini masih bertumpupada sektor primer yang dibayangi oleh sektor tersier.

Tabel 2. Pangsa Pembentuk PDRB Sultra Secara Sektoral, 2003-2010Sektor T a h u n

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 20101. Pertanian 41.04 41,13 42,37 38,10 38,12 36,44 35,02 33,202.Pertambangan dan

Galian5,12 5,01 4,53 4,60 4,81 4,60 4,28 4,9

Sektor Primer 46,16 46,14 46,90 42,70 42,93 41,04 39,3 38,13. IndustriPengolahan

6,78 6,20 5,78 6,44 7,90 7,62 6,43 7,14

4. Listrik, Gas danAir Bersih

0,80 1,12 1,05 1,15 0,94 0,87 0,93 0,92

5. Konstruksi 7,22 7,00 6,79 7,11 6,92 7,40 7,72 8,26Sektor Sekunder 14,80 14,32 13,62 14,70 15,76 15,89 15,08 16,59

6.Perdagangan,hotel dan Restoran

14,67 14,95 14,22 16,33 15,22 16,26 17,45 18,14

7. Pengangkutan danKomunikasi

6,25 6,57 7,45 9,86 8,17 8,46 9,26 9,30

8. Keuangan,Persewaan danJasa Perusahaan

4,27 4,61 4,62 4,73 5,04 5,38 5,30 5,49

9 Jasa-jasa 13,85 13,41 13,19 11,67 12,88 12,97 13,61 13,65Sektor Tersier 39.04 39,54 39,48 42,59 41,31 43,07 45,62 46,58T o t a l 100,0

0100,0

0100,0

0100,0

0100,0

0100,0

0100,0

0100,0

0Keterangan : ADH berlakuSumber : BPS, 2012

Pada sisi ketenagakerjaan, keberadaan sektor pertanian masih menjadi matapencaharian utama masyarakat Sulawesi Tenggara. Meskipun kecenderungannya jumlahtenaga kerja berfluktuatif namun sektor pertanian masih mendominasi. Jumlah kontribusitenaga kerja tertinggi pada tahun 2008 sebesar 538.626 orang atau 58,22 persen dariseluruh sektor di Sulawesi Tenggara. Pada tahun 2010 kembali mengalami penurunansebesar 496.054 orang atau 49,62 persen. Sektor keuangan menjadi yang terendahdibandingkan sektor lain dengan kontribusi jumlah tenaga kerja tertinggi pada tahun 2009sebesar 6.780 orang atau 0,71 persen. Pada tahun 2008 terendah yang bekerja di sektorkeuangan sebesar 4.043 orang atau 0,44 persen.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengkaji peran dan pengaruh sektor pertanian(tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan) terhadap perekonomianSulawesi Tenggara, (2) melakukan simulasi peningkatan produksi tanaman pangan 20%,peningkatan produksi perkebunan 20%, peningkatan produksi peternakan 20%,peningkatan produksi perikanan 20%, dan kombinasi dari keempat skenario di atas denganmelihat dampaknya terhadap kinerja perekonomian daerah yang meliputi pertumbuhanekonomi, pendapatan per kapita, pengangguran dan kemiskinan.

TINJAUAN PUSTAKABeberapa studi telah dilakukan beberapa peneliti yang mengkaji keberadaan sektor

pertanian dalam pembangunan ekonomi. Penelitian tersebut mengilustrasikan peran yangdimainkan sektor pertanian dalam pembangunan dan prasyarat yang perlu dipenuhi agarkinerja sektor pertanian dapat diandalkan serta bagaimana kaitan sektor pertanian dengansektor lainnya maupun kaitannya dengan kebijakan pemerintah. Beberapa dari hasilpenelitian tersebut dipaparkan pada uraian di bawah ini.

Rahayu (2013) melakukan studi kinerja dan peranan sektor pertanian dalampembangunan ekonomi Kabupaten Blora. Studi tersebut menunjukkan bahwa Berdasarkanpendekatan Tipologi Klassen diketahui bahwa sektor pertanian, subsektor tanamanperkebunan, peternakan, dan kehutanan berperanan sebagai sektor/subsektor potensial.Subsektor tanaman bahan makanan berperanan sebagai subsektor prima, sedangkansubsektor perikanan berperanan sebagai subsektor terbelakang.

Sudaryanto dan Rusastra (2006) melakukan studi kebijakan strategis usahapertanian dalam rangka peningkatan produksi dan pengentasan kemiskinan. Keberlanjutanpertanian dengan program daya rendah, serta kemampuan sumberdaya manusia dan adopsiteknologi rendah. Lahan pertanian abadi dapat diwujudkan jika sektor pertanian (dengannilai multi-fungsinya) dapat berperan dalam pengentasan kemiskinan. Setelah krisisekonomi, kemiskinan relatif tahun 2004 menurun drastis menjadi 16,70%, tetapi secaraabsolut angkanya tetap tinggi, yaitu 36,10 juta orang. Sebagian besar dari mereka (68,70%)tinggal di pedesaan dengan kegiatan utama (60%) di sekor pertanian, dengan ciri utamainfrastruktur wilayah marginal, penguasaan dan akses sumber daya rendah, sertakemampuan sumber daya manusia dan adopsi teknologi rendah.

Menurut hasil penelitian Johannes dan Aloysius (2012) bahwa sektor pertanianmemainkan peran signifikan dalam mengurangi kemiskinan. Sebagaimana isu yang adabahwa jumlah penduduk miskin pada sektor pertanian tergolong besar, dan suatupeningkatan produktifitas pertanian mempunyai potensi signifikan dalam mengurangipenduduk miskin. Dengan kata lain, sektor pertanian mempunyai masalah kompleks tetapihal itu tidak berarti masalah itu tidak dapat diatasi. Cara yang baik untuk mengatasimasalah tersebut adalah dengan mencoba meningkatkan produktifitas dalam sektorpertanian. Beberapa penelitian lain yang menjelaskan pentingnya sektor pertanian dalampembangunan telah dilakukan oleh beberapa peneliti, termasuk penelitian oleh Manggoelet al. (2012), Francis dan David (2012), Umaru dan Zubairu (2012).

Penelitian terkait dengan kebijakan pemerintah dan sektor pertanian dilakukan olehDirgantoro, dkk (2009) dan Sujai (2009). Penelitian Dirgantoro, dkk (2009) adalahmengkaji kebijakan desentralisasi fiskal terhadap transformasi ekonomi di Provinsi JawaBarat yang dianalisis dengan menggunakan model persamaan simultan dengan metodependugaan 2SLS dengan prosedur SYSLIN. Hasil penelitian tersebut menunjukkan setelahada kebijakan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah diberi wewenang untuk mengaturkeuangan daerah, baik penerimaan maupun pengeluaran daerah. Selain itu, peningkatan

pajak berdampak positif pada PDRB non pertanian dan berdampak negatif terhadap PDRBsektor pertanian dan terjadi transformasi ekonomi. Peningkatan pengeluaran untukinfrastruktur berdampak positif terhadap PDRB non pertanian dan total PDRB, tetapiberdampak negatif pada PDRB sektor pertanian dan terjadi transformasi ekonomi.

Sujai (2011) melakukan studi dampak kebijakan fiskal dalam upaya stabilitas hargakomoditas pertanian. Studi tersebut menunjukkan bahwa fluktuasi harga komoditaspertanian berdampak signifikan terhadap inflasi dan menciptakan instabilitas harga danpasokan pangan. Pemerintah telah menggunakan berbagai instrumen kebijakan fiskaldalam upaya stabilitas harga dan ketersediaan pasokan pangan. Kebijakan fiskalpemerintah telah membuahkan hasil terbukti dengan terus turunnya inflasi di triwulan Itahun 2011 hingga mencapai 6,16 persen year on year pada bulan april 2011. Kebijakanfiskal berupa insentif perpajakan dan bea hanya berlaku sementara dan dibarengi denganupaya peningkatan produktifitas produksi pertanian.

Penelitian yang dilakukan oleh Ele, et al. (2014) menunjukkan keterkaitan antarabelanja modal untuk pertanian dan pertumbuhan ekonomi di Nigeria. Hasil penelitiantersebut menunjukkan bahwa belanja modal pertanian berdampak positif terhadappertumbuhan ekonomi. Hal ini berarti bahwa kenaikan belanja modal pertanian akanmeningkatkan pertumbuhan ekonomi pertanian. Beberapa kajian lain tentang kebijakanpengeluaran pemerintah yang terkait dengan sektor pertanian juga telah dilakukan olehMapfumo et al. (2012), Uger (2013), Akitunde et al.,(2013), Oyinbo et al. (2013),Dahmardeh dan Tabar (2013).

Penelitian ini adalah upaya untuk melengkapi kajian terdahulu yang memfokuskanpada upaya untuk melihat seberapa besar peran sektor pertanian dalam perekonomian.Setelah membangun model maka dilakukan simulasi untuk melihat dampak peningkatanproduksi pada sektor pertanian terhadap kinerja perekonomian daerah Sulawesi Tenggara.Kinerja perekonomian diwakili oleh indikator pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita, pengangguran dan kemiskinan. Oleh karena itu, hasil penelitian ini diharapkandapat menjadi referensi penting buat Pemerintah Daerah dalam melakukan evaluasikebijakan yang terkait dengan pembangunan pertanian di Sulawesi Tenggara.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu PenelitianPenelitian dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Tenggara pada tahun 2013.

Tahap Membangun ModelModel ekonometrika merupakan gambaran dari hubungan masing-masing variabel

penjelas (explanatory variables) dan variabel endogen (endogenous variables) khususnyayang menyangkut tanda dan besaran (magnitude and sign) dari penduga parameter sesuaidengan harapan teoritis. Tahapan membangun model disajikan dalam Gambar 1.

Model disusun dalam sistem persamaan simultan dan dinamis denganmengintegrasikan sisi penawaran agregat dan permintaan. Model dibuat dalam persamaansimultan dengan alasan jumlah persamaan cukup banyak dan terdapat keterkaitan antarpersamaan dalam model. Model yang dibangun dikelompokkan dalam lima blok yaitu : (1)blok fiskal daerah, (2) blok produksi dan tenaga kerja, (3) blok permintaan agregat, (4)blok kinerja sektor pertanian, dan (5) blok kinerja perekonomian daerah. Keterkaitanpersamaan dalam setiap blok disajikan dalam Gambar 2. Berdasarkan keterkaitan blok-blok di atas, maka kerangka model desentralisasi fiskal di secara rinci dijelaskan dalammodel ekonometrika yang terdiri dari 29 persamaan struktural dan 13 persamaan identitas.

Identifikasi dan Metoda Pendugaan ModelIdentifikasi terhadap model yang dibangun merupakan prasyarat sebelum

melakukan estimasi yang tepat terhadap model. Cara yang sering dilakukan dalammengidentifikasi model adalah melalui pengujan model struktur meliputi pengujianterhadap persamaan dengan pengelompokan terlebih dahulu persamaan ke dalam jumlahtotal persamaan (total variabel endogen) yang selanjutnya disebut G, jumlah variabeldalam model (variabel endogen dan predetermined) atau K, dan jumlah variabel dalampersamaan yang diidentifikasi (endogen dan eksogen) atau disebut M (Koutsoyiannis,1977; Arief, 1993; Gujarati, 1995). Notasi tersebut diformulasi sebagai berikut :

(K-M) (G-1)Berdasarkan formulasi di atas, maka suatu persamaan dalam model dapat menunjukkankondisi :1. Jika (K-M) < (G-1), maka persamaan disebut under identified.2. Jika (K-M) = (G-1) , maka persamaan disebut just identifeid.3. Jika (K-M) > (G-1), persamaan disebut over identifiedKeterangan :

G = jumlah persamaan yang ada dalam sistem persamaan simultan(jumlah variabel endogenous)

K = jumlah total variabel yang terdapat dalam model yang sedang diteliti(variabel endogenous dan predetermined )

M = jumlah variabel endogenous dan eksogenous yang dimasukan dalamsetiap suatu persamaan dalam sistem persamaan simultan

Dalam penelitian ini metode pendugaan model yang digunakan adalah 2SLSdengan pertimbangan bahwa penerapan 2SLS menghasilkan taksiran yang konsisten, lebihsederhana, dan lebih mudah.

Gambar 1. Tahapan Membangun Model Peran Sektor Pertanian Sultra, 2013

Fenomena Sektor Pertanian SebagaiSektor Utama Pendukung Perekonomian

Sulawesi Tenggara

Masalah dan TujuanPenelitian

Kerangka Pemikiran

Model Makro ProvinsiSultra

SpesifikasiModel

Identifikasidan Estimasi

Model

Evaluasi/ValidasiModel

AplikasiModel

Teori Ekonomi danteori-teori yang terkait

Kajian terhadap studiterdahulu yang relevan

Variabel yangrelevan

Hipotesis tanda danbesaran

Sistem persamaansimultan

Pooled data (Crosssection & time series)

Kriteria : Ekonomi Statistika Ekonometrika

AnalisisStruktural

Evaluasi/AnalisisKebijakan

Peramalan

PAD

TXD

RETD

TPD

TRNF

DAUDAK

THBS

PDRBS

TQSP

TQIN

TQTBG TQWS

TQJSTQHT

TKSPTKTBG TKWS

TQIN TQJS

TTKD

CONS CPNCNPN

PDRBD

INVE

GRTN

GPSP

GIND

MDRH

XDRH

PDRBK

YD

UND

GRWT

D

BHTXBHTX

PMD

TRENDD

QBUN

QPN

QIKN

QPT

POPP

TKWS

IR

ER

Gambar 2. Kerangka Model Peran Sektor Pertanian Sultra, 2013

= Peubah Eksogenous = Peubah Endogenous

Keterangan:

Bok Fiskal DaerahBHTX = Bagi hasil pajak (Rp/th)BHNTX = Bagi hasil bukan pajak (Rp/th)DAU = Dana Alokasi umum (Rp/th)DAK = Dana alokasi khusus (Rp/th)D = Dummy desentralisasi fiskal

Sebelum desentralisasi fiskal = 0;Setelah desentralisasi fiskal = 1GRTN = Pengeluaran rutin daerah (Rp/th)GPSP = Pengeluaran pembangunan sektor pertanian (Rp/th)GIND = Pengeluaran pembangunan sektor industri (Rp/th)INVE = Total investasi daerah (Rp/th)LTXD = Pajak Daerah tahun sebelumnya(Rp/th)LRETD = Penerimaan Retribusi daerah tahun sebelumnya (Rp/th)LDAU = Dana alokasi umum tahun sebelumnya (Rp/th)LBHTX = Bagi hasil bukan pajak (Rp/th)LBHNTX = Bagi hasil bukan pajak tahun sebelumnya (Rp/th)LGRTN = Pengeluaran rutin daerah tahun sebelumnya (Rp/th)LGPSP = Pengeluaran pembangunan sektor pertanian tahun sebelumnya (Rp/th)PAD = Penerimaan Pendapatan asli daerah (Rp/th)POPP = Polulasi penduduk (Orang/th)PDRBS = Produk domestrik regional bruto sektoralRETD = Penerimaan Retribusi daerah (Rp/th)TPD = Total Penerimaan Daerah (Rp/th)TGD = Total Pengeluaran Pemerintah (Rp/th)TXD = Pajak Daerah (Rp/th)TTKD = Penyerapan tenaga kerja daerah (orang/tahun)= total tenaga kerja daerahTREND = Trend ( th ke 1, 2, ..., n)TBHS = Total bagi hasil (Rp/th)TRNF = Total transfer pemerintah (Rp/th)TQSP = Total produksi sektor pertanian (Rp/th)TQIN = Total produksi sektor industri (Rp/th)

Blok Produksi dan Tenaga KerjaIR = Tingkat suku bunga (%)LTQJS = Total penerimaan produksi sektor Jasa tahun lalu (Rp/th)LTQSP = Total penerimaan produksi sektor pertanian tahun lalu (Rp/th)LTQTBG = Total penerimaan produksi sektor Pertambangan tahun lalu (Rp/th)LTQWS = Total penerimaan produksi sektor Pariwisata tahun lalu (Rp/th)TQTBG = Total penerimaan produksi(PDRB)sektor Pertambangan (Rp/th)TQWS = Total penerimaan produksi (PDRB)sektor Pariwisata (Rp/th)TQNP = Total penerimaan produksi (PDRB) non pertanian lainnyaTQJS = Total penerimaan produksi (PDRB)sektor Jasa (Rp/th)TQHT = Total penerimaan produksi (PDRB) sektor kehutanan (Rp/th)TKSP = Jumlah tenaga kerja sektor pertanian (orang/th)TKIN = Tenaga kerja sektor industri (orang/th)TKTBG = Tenaga kerja sektor pertambangan (orang/th)TKWS = Tenaga kerja sektor pariwisata (orang/th)TKJS = Tenaga kerja sektor jasa(orang/th)

Blok Permintaan AgregatCPN = Konsumsi Pangan (Rp/th)CNPN = Konsumsi non pangan (Rp/th)CONS = Total konsumsi (Rp/th)ER = Nilai tukar rupiah terhadap $ US (Rp/$)IR = Tingkat suku bunga domestik (%)INVE = Total investasi di daerah (Rp/th)PABH = Pendapatan asli daerah dari bagi hasil (Rp/th)PDRBD = Produk Domestik Regional Bruto PermintaanPDRBK = Pendapatan per kapita (Rp/th)MDRH = Impor daerah (Rp/th)XDRH = Ekspor daerah(Rp/th)YD = Pendapatan disposibel /yang siap dibelanjakan

Blok Kinerja Perekonomian DaerahPDBK = Pendapatan perkapitaPMD = Penduduk miskin daerahGRWT = Pertumbuhan ekonomi Daerah (%)

Blok Kinerja Sektor PertanianQPN = Produksi pangan (Rp/th)QBU = Produksi perkebunan (Rp/th)QPT = Produksi peternakan (Rp/th)QIKN = Produksi perikanan (Rp/th)TQSP = Total produksi sektor pertanian (Rp/th)

Validasi ModelValidasi model dimaksudkan untuk menilai apakah nilai-nilai ramalan dari variabel endogen

yang diestimasi memiliki perbedaan dengan nilai aktualnya. Validasi model dilakukan melaluisimulasi dinamik dengan menggunakan metode Gauss-Seidel. Dalam validasi ini terdapat ukuran-ukuran tertentu, yaitu meliputi Root mean square Error (RMSE), Root Mean Square PercentageError (RMSPE), simultan bias (UM) dan Coeficient Theils (U), dengan formula sebagai berikut :

RMSE = [ 1/T (Yt s – Yt a) 2 ] 0,5

RMSPE = [ 1/T { (Yt s – Yt a)/Yt a } 2 ] 0.5

U- Theil =

Keterangan :T = Jumlah periode (tahun) pengamatanYt s = Nilai estimasi pengamatan pada periode ke-tYt a = Nilai pengamatan aktual pada periode ke-t

Nilai RMSPE digunakan untuk mengukur seberapa jauh nilai-nilai variabel endogen hasilpendugaan menyimpang dari alur nilai aktualnya dalam ukuran persen. Sedangkan nilai U bergunauntuk mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi peramalan. Jika RMSPE dan RMSEsemakin kecil, maka model yang digunakan akan semakin baik. Sedangkan nilai U berkisar anatar 0dan 1; jika U =0, model yang dibangun adalah model sempurna, dan sebaliknya jika U = 1, makamaka model yang dibangun adalah tidak sempurna atau naif (Koutsoyiannis, 1977).

Simulasi

5,0222

5,022

]}/{/1[

]}{/1[

YtYtYtT

YtYtT

s

s

Simulai model dilakukan untuk menganalisis dampak kenaikan produksi pada sektorpertanian terhadap peubah endogen yang ingin diteliti. Setelah model divalidasi dan memenuhikriteria secara statistika, maka model tersebut dapat dijadikan sebagai model dasar simulasi. Prosessimulasi adalah proses penentuan taksiran nilai-nilai dependent variabels (endogenous variables)dengan cara mensubstitusikan hasil penaksiran koefisien regresi variabel bebas dan nilai variabelbebas yang aktual (menurut observasi) ke dalam model regresi yang berkaitaan dengan dependentvariables ini. Peramalan dapat dibedakan menurut tujuan simulasi diantaranya adalah ramalanberdasarkan horison waktu yaitu : ex post forecasting, ex ante forecasting, dan backcasting(Arief,1993; Pindyk and Rubienfeld,1991).

Ada lima skenario yang dibuat yaitu :1. Skenario I : Peningkatan Produksi Pangan Sebesar 20 Persen2. Skenario II : Peningkatan Produksi Perkebunan 20 Persen3. Skenario III : Peningkatan Produksi Peternakan 20 Persen4. Skenario IV : Peningkatan Produksi Perikanan 20 Persen5. Skenario VII : Peningkatan Produksi Pangan Sebesar 20 Persen,

Peningkatan Produksi Perkebunan 20 Persen, PeningkatanProduksi Peternakan 20 Persen dan Produksi Perikanan 20Persen

Sumber DataData yang digunanakan adalah time series tahun 1990-2011. Semua data yang tercantum

pada model penelitian diperoleh dari Badan Pusat Statistik, kecuali data yang terkait denganmoneter yaitu tingkat suku bunga dan nilai tukar rupiah diperoleh dari Bank Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Estimasi ModelHasil estimasi model yang disajikan hanya pada blok kinerja sektor pertanian sesuai dengan

tujuan penelitian. Blok kinerja sektor pertanian tersebut meliputi produksi pangan, produksiperkebunan, produksi peternakan dan produksi perikanan.

Produksi PanganKoefisien determinasi persamaan produksi pangan Sulawesi Tenggara sebesar 65,72 persen,

artinya 65,72% keragaman produksi pangan dijelaskan oleh keragaman pendapatan perkapita,dummy desentralisasi fiskal dan trend sedangkan sisanya sebesar 34,28% dijelaskan oleh faktor-faktor lain (Tabel 3). Pendapatan per kapita, dummy desentralisasi fiskal dan trend tidakberpengaruh signifikan terhadap produksi pangan Sulawesi Tenggara pada taraf nyata 5 persen.Keadaan tersebut menunjukkan bahwa semua peubah tersebut belum mampu memberikankonstribusi dalam upaya peningkatan produksi pangan di Sulawesi Tenggara. Peningkatanpendapatan per kapita tidak akan dapat meningkatkan produksi pangan. Selain itu, tidak adaperbedaan produksi pangan masa sebelum dan sesudah penerapan otonomi daerah.

Tabel 3. Hasil Pendugaan Parameter Pada Persamaan Produksi Pangandi Sulawesi Tenggara, Tahun 1990-2011

Peubah Penjelas Parameter Dugaan Peluang (α)Intersep 93953,51 0,5007Pendapatan Perkapita (PDRBK) 70485,40 0,7231Dummy Desentralisasi Fiskal (D) 9946,83 0,8923TREND 5368,30 0,5963R2 = 0,34282 Fhitung = 2,96 (0,0620)

Produksi Perkebunan

Koefisien determinasi persamaan produksi perkebunan Sulawesi Tenggara sebesar 62,62persen, artinya 62,62% keragaman produksi perkebunan dapat dijelaskan oleh keragaman tenagakerja sektor pertanian, dummy desentralisasi fiskal dan trend sedangkan sisanya 37.38 persendijelaskan oleh faktor-faktor lainnya. Nilai parameter dugaan dapat dilihat pada Tabel 4. Tenagakerja sektor pertanian, dummy desentralisasi fiskal dan trend tidak berpengaruh signifikan terhadapproduksi perkebunan pada taraf nyata 5 persen. Hal ini menunjukkan semua peubah tersebut belummampu memberikan peningkatan produksi perkebunan di Sulawesi Tenggara.

Tabel 4. Hasil Pendugaan Parameter Pada Persamaan Produksi Perkebunandi Sulawesi Tenggara, Tahun 1990-2011

Peubah Penjelas Parameter Dugaan Peluang (α)Intersep 28380,13 0,8468Tenaga Kerja Sektor Pertanian (TKSP) 0,076775 0,8416Dummy Desentralisasi Fiskal (D) 22462,96 0,6711TREND 6960,265 0,0668R2 = 0,62619 Fhitung = 9,49 (0,0007)

Produksi PeternakanKoefisien determinasi persamaan produksi peternakan Sulawesi Tenggara sebesar 60,12

persen, artinya 60,12% keragaman produksi peternakan dijelaskan oleh keragaman pendapatan perkapita dan dummy desentralisasi fiskal sedangkan sisanya 39,88% dijelaskan oleh faktor-faktorlainnya (Tabel 5). Pendapatan perkapita berpengaruh signifikan terhadap produksi peternakan padataraf nyata 5 persen. Parameter dugaan pendapatan perkapita sebesar 95864 menunjukkan bahwajika pendapatan perkapita meningkat 1 rupiah maka produksi peternakan meningkat sebesar 95864rupiah.

Tabel 5. Hasil Pendugaan Parameter Pada Persamaan Produksi Peternakandi Sulawesi Tenggara, Tahun 1990-2011

Peubah Penjelas Parameter Dugaan Peluang (α)Intersep -28872,4 0,3871Pendapatan Perkapita (PDRBK) 95864,46 0,0116Dummy Desentralisasi Fiskal (D) 13913,99 0,3829R2 = 0,60109 Fhitung = 13,56 (0,0003)

Produksi PerikananKoefisien determinasi produksi perikanan Sulawesi Tenggara sebesar 59,73 persen, artinya

59,73% keragaman produksi perikanan dijelaskan oleh keragaman pendapatan perkapita dandummy desentralisasi sebesar, sedangkan sisanya 40,27 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lainnya(Tabel 6). Pendapatan per kapita berpengaruh signifikan terhadap produksi perikanan pada tarafnyata 5 persen. Nilai parameter dugaan pendapatan perkapita sebesar 204978, artinya jikapendapatan perkapita meningkat 1 rupiah maka akan meningkatkan produksi perikanan sebesar204978 rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan per kapita penduduk SulawesiTenggara mampu meningkatkan produksi perikanan.

Tabel 6. Hasil Pendugaan Parameter Pada Persamaan Produksi Perikanandi Sulawesi Tenggara, Tahun 1990-2011

Peubah Penjelas Parameter Dugaan Peluang (α)Intersep -106346 0,1413Pendapatan Perkapita (PDRBK) 204978,1 0,0111Dummy Desentralisasi Fiskal (D) 27562,87 0,4145R2 = 0,59728 Fhitung = 13,35 (0,0003)

Hasil Validasi ModelKriteria yang digunakan dalam validasi model adalah Root Mean Square Error (RMSE),

Root Mean Square Percent Error (RMSPE) dan Theil Inequality Coefficients. Berdasarkan hasilvalidasi selama 22 tahun diperoleh nilai RMSPE sebagian besar lebih kecil dari 50 persen. Secarakeseluruhan menunjukkan bahwa nilai U Theil dibawah 0,2. Dengan demikian dapat dinyatakanbahwa model cukup valid untuk simulasi

Pengaruh Peningkatan Produksi Pada Blok Sektor Pertanian terhadap KinerjaPerekonomian Daerah

Analisa ini adalah hasil simulasi yang dilakukan untuk melihat bagaimana pengaruh ataudampak dari kenaikan produksi sebesar 20% pada blok kinerja sektor pertanian terhadap kinerjaperekonomian daerah. Simulasi peningkatan produksi yang sama masing-masing sebesar 20%dimaksudkan untuk membandingkan dampak dari masing sektor tersebut. Hasil simulasi tersebutdisajikan pada Tabel 7.

Skenario 1 (peningkatan produksi pangan sebesar 20%) memberikan makna positif terhadapkinerja perekonomian daerah. Peningkatan produksi pangan 20% membuat pertumbuhan ekonomimeningkat 0,31%, dan mampu meningkatkan pendapatan per kapita sebesar 0,06%. Pada sisiketenagakerjaan, situasi tesebut akan menurunkan pengangguran 0,05% dan penduduk miskin dapatmenurun 2,34%. Penurunan penduduk miskin lebih besar dibandingkan penurunan pengangguranmengingat jumlah penduduk miskin yang lebih banyak dibandingkatan jumlah pengangguran.

Pada Skenario 2 (peningkatan produksi perkebunan 20%) memberikan dampak padapeningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,14% dan peningkatan pendapatan per kapita 0,02%.Selain itu, peningkatan produksi perkebunan 20% akan memberikan dampak pada penurunanpengangguran dan kemiskinan masing-masing sebesar 0,02% dan 1,10%. Skenario 3 (peningkatanproduksi peternakan 20%) juga memberikan dampak berarti pada pertumbuhan ekonomi danpendapatan per kapita karena besaran variabel tersebut meningkat masing-masing sebesar 0,18%dan 0,03%. Akibat dari peningkatan produksi peternakan tersebut akan membuat indikatorpengangguran dan kemiskinan menurun 0,03% dan 2,57%.

Sektor perikanan merupakan sektor yang memberikan andil terbesar dalam pembentukanoutput pertanian dalam arti luas di Sulawesi Tenggara. Selain itu, sektor perikanan diharapkanmemberikan peran besar di masa mendatang dalam menopang pembangunan ekonomi SulawesiTenggara. Hasil simulasi pada Skenario 4 (peningkatan produksi perikanan 20%) membuatpertumbuhan ekonomi meningkat 0,34% dan pendapatan per kapita juga meningkat dengan besaran0,06%. Kemampuan sektor perikanan untuk menurunkan angka pengangguran dan kemiskinantampaknya sesuatu yang tidak perlu diragukan mengingat peningkatan produksi perikanan 20%akan menurunkan pengangguran sebesar 0,05% dan penduduk miskin dapat menurun denganbesaran 2,57%.

Jika dibandingkan hasil simulasi dari masing-masing skenario dapat dikatakan bahwaSkenario 4 memberikan dampak yang lebih besar terhadap kinerja perekonomian daerah. Hal itudidasarkan pada kenyataan bahwa besaran kinerja perekonomian daerah mengalami perubahan yangpaling besar dibandingkan Sskenario lainnya. Berdasarkan kriteria itu pula maka sektor perkebunanmemberikan dampak terkecil terhadap kinerja perekonomian daerah Sulawesi Tenggara.

Hasil simulasi dari masing-masing skenario di atas memberikan resultante yang baik dalammelihat kinerja perekonomian daerah Sulawesi Tenggara. Hal itu dapat ditunjukkan pada Skenario5 dimana merupakan kombinasi dari Skenario 1 sampai dengan Skenario 4 atau dilakukan simulasidengan peningkatan secara simultan pada Produksi Pangan, Produksi Perkebunan, ProduksiPeternakan dan Produksi Perikanan masing-masing 20 Persen. Hasil simulasi dari Skenario 5menunjukkan bahwa kinerja perekonomian daerah akan semakin membaik dan lebih baik jikadibandingkan dari hasil masing-masing Skenario 1 sampai dengan Skenario 4. Hal itu dibuktikanbahwa pertumbuhan ekonomi meningkat 0,96% sementara pendapatan per kapita meningkat

sebesar 0,17%. Dampak yang lebih terasa juga dialami oleh pengangguran dan kemiskinan, dimanaangka pengangguran menurun 0,15% dan penduduk miskin menurun secara tajam yaitu sebesar 7%.

Tabel 7. Ringkasan Hasil Simulasi Peningkatan Produksi Pada Blok Kinerja SektorPertanian terhadap Kinerja Perekonomian Daerah di Sulawesi Tenggara, Tahun1990-2011

Peubah EndogenSkenario

S1 S2 S3 S4 S5Persentase Perubahan

Pertumbuhan Ekonomi Daerah(GRWT)

0,31 0,14 0,18 0,34 0,96

Pendapatan Perkapita (PDRBK) 0,06 0,02 0,03 0,06 0,17Pengangguran Daerah (UND) -0,05 -0,02 -0,03 -0,05 -0,15Penduduk Miskin Daerah (PMD) -2,34 -1,10 -2,57 -2,57 -7,00

KeteranganS1 : Dampak Peningkatan Produksi Pangan Sebesar 20 PersenS2 : Dampak Peningkatan Produksi Perkebunan 20 PersenS3 : Dampak Peningkatan Produksi Peternakan 20 PersenS4 : Peningkatan Produksi Perikanan 20 PersenS5 : Dampak Peningkatan Produksi Pangan Sebesar 20 Persen, Peningkatan Produksi

Perkebunan 20 Persen, Peningkatan Produksi Peternakan 20 Persen dan ProduksiPerikanan 20 Persen

KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan1. Sektor pertanian memberikan sumbangan pada perekonomian Sultra terbesar dibandingkan

sektor lainnya. Sepertiga dari output Sultra disumbangkan oleh sektor pertanian.2. Peningkatan pendapatan per kapita memberikan pengaruh signifikan terhadap peningkatan

produksi peternakan dan perikanan, tetapi tidak memberikan pengaruh signifikan terhadappeningkatan produksi pangan.

3. Peningkatan masing-masing produksi pangan, perkebunan, peternakan dan perikananmemberikan dampak yang positif terhadap kinerja perekonomian daerah Sultra, dimanapeningkatan tersebut akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita, sertamampu menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan. Peningkatan produksi perikananmemberikan dampak terbesar terhadap perbaikan kinerja perekonomian Sultra.

SaranMengingat besarnya peran sektor pertanian terhadap perekonomian Sultra maka sudah

sepatutnya perhatian terhadap sektor pertanian dapat lebih memadai, utamanya dalam kaitan alokasifiskal daerah ke sektor tersebut. Selain itu, upaya untuk menggali dan memanfaatkan sektorperikanan (termasuk di dalamnya kelautan) seyogyanya mendapat prioritas untuk menanggulangimasalah pengangguran dan kemiskinan sekaligus peningkatan pendapatan per kapita dan memacupertumbuhan ekonomi. Selain itu, agar sumbangan sektor pertanian dapat lebih bermakna makaperlu upaya peningkatan nilai tambah dari produk pertanian melalui pengolahan yang memadaisebelum produk tersebut keluar dari Sultra.

DAFTAR PUSTAKA

Akintunde, Y. W., A. A. A. Adesope, and V. O. Okoruwa. 2013. An Analysis of FederalGovernment Expenditure and Monetary Policy on Agricultural Output in Nigeria.International Journal of Economics, Finance and Management Sciences, 1(6): 310-317.

Arief, S. 1993. Metodologi Penelitian Ekonomi. Universitas Indonesia-Press, Jakarta.

BPS. 2012. Sulawesi Tenggara Dalam Angka 2012. Badan Pusat Statistik Provinsi SulawesiTenggara. Kendari.

Dahmardeh, N., and, M. H. Tabar. 2013. Government Expenditures and its Impact on PovertyReduction (Empirical From Sistan and Baluchestan Province of Iran) InternationalJournal of Academic Research in Economics and Management Sciences, 2(1): 251-260.

Dirgantoro, M. A, S. Mangkuprawira, H. Siregar dan B. M. Sinaga. 2009. Dampak KebijakanDesentralisasi Fiskal Terhadap Transformasi Ekonomi di Provinsi Jawa Barat. JurnalOrganisasi dan Manajemen, 5(1): 1-9.

Ele, I. E., E. O. Iniobong, W. I. Out, and N. B. Itoro. 2014. Analysis of Agricultural Public CapitalExpenditure and Agricultural Economic Growth in Nigeria 1961–2010. American Journalof Experimental Agriculture. 4(4): 443-456.

Francis, N. Friday., and K. A. David. 2012. The Challenges of Agriculture and Rural Developmentin Africa: The Case of Nigeria. International Journal of Academic Research inProgressive Education and Development, 1(3): 45-61.

Gujarati, D. 1995. Ekonometrika Dasar. Erlangga, Jakarta.Johannes T. A and M. N. Aloysius. 2012. Fiscal Policy, Labour Productivity Growth and

Convergence between Agriculture and Manufacturing: Implications for PovertyReduction in Cameroon. Asian Social Science, 8(4): 190-202.

Koutsoyiannis, A. 1977. Theory of Econometrics. Second Edition.The Micmillan Press Ltd. NewYork.

Manggoel, W., I. Ajiji, W.K. Damar, D.M. Damiyal, J.W. Da’ar, and D. U Zarmai. 2012.Agriculture as a Mitigating Factor to unemployment in Nigeria. International ResearchJournal of Agricultural Science and Soil Science, 2(11): 465-468.

Mapfumo, A., A. Mushunje, and C. Chidoko. 2012. The Impact of Government AgriculturalExpenditure on Poverty in Zimbabwe. Russian Journal of Agricultural and Socio-Economic Sciences, 7(7): 16-22.

Oyinbo, O., A. Zakari, and G. Z. Rekwot. 2013. Agricultural Budgetary Allocation and EconomicGrowth in Nigeria: Implications for Agricultural Transformation in Nigeria. The Journalof Sustainable Development, 10(1): 16 – 27.

Pindyk, R.S. and D.L.Rubienfeld, 1991. Econometric Model, and Economic Forcast. Mcgraw-HillInternational Editions, Singapore.

Rahayu, W. 2013. Kinerja dan Peranan Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi KabupatenBlora. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, 9(2): 201-208.

Sudaryanto, T dan I. W. Rusastra. 2006. Kebijakan Strategis Usaha Pertanian Dalam RangkaPeningkatan Produksi Dan Pengentasan Kemiskinan. Jurnal Litbang Pertanian 25(4):115-122.

Sudjai, M. 2011. Dampak Kebijakan Fiskal Dalam Upaya Stabilitas Harga Komoditas Pertanian.Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian 9(4):297-312.

Uger, F. I. 2013. The Impact of Federal Government’s Expenditure on the Agricultural Sector inNigeria. PAT 9(1): 114-122.

Umaru, A., and A. A. Zubairu. 2012. An Empirical Analysis of the Contribution of Agriculture andPetroleum Sector to the Growth and Development of the Nigerian Economy from 19602010. International Journal Social Science & Education, 2(4): 758-769.

Sub tema : Agriculture GovernanceTATA KELOLA SUMBERDAYA AIR UNTUK MENDORONG KEBERLANJUTANPENERAPAN INTENSIFIKASI PADI METODE SRI (System Of Rice Intensification)

(Water Resources Governance to Ensuring the Sustainability of SRI)

Luh Putu SuciatiJurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Jember

[email protected]

ABSTRACT

Resources governance refers to the range of political, social, economic, and administrative systemsthat are in place to allocate, develop and manage resources and the delivery services at differentlevels of society. Good governance of water resources will result in improved management of landand water as well as supporting the application of SRI that are environmentally friendly and moreefficient water. The purpose of this paper is to analyse the water resources governance schemes andformulate strategies to realize the sustainability of SRI method in Jatiluhur Irrigation Area.interaction of water resources governance involves three main stakeholders:PJT II as a provider ofwater resources, PAM Jaya as an urban user and farmer groups as an irrigation user. Scheme of PES(Payment of Environmental services) through water transfer incentive from irrigation users todomestic and industrial users in urban areas is expected to be an alternative funding. Furthermore,SRI PES can use the mechanism of Public Private Partnership (PPP) which is an effort to increasethe role of private sector in public services that are expected to reduce the government's budget andrisk. Payment for environmental services scheme through water transfers categorized Prisoner'sDilemma game. Strategy dominant of each player as individuals is free riders tend to not provideincentives for environmental services. Optimal strategy for reducing the free rider on marketmechanisms for environmental services for water transfer is through collaboration with credibleenforcement through the adaptation phase.

Keywords : goverance, water transfer, payment of environmental services/PES, system of riceintensification/SRIJEL classification: D23, O17, R38

PENDAHULUAN

Peningkatan kegiatan ekonomi dan pertumbuhan penduduk akan meningkatkan penambahankebutuhan terhadap sumberdaya air yang pada akhirnya memicu kondisi defisit air di beberapawilayah. Hal tersebut memerlukan pengelolaan sumberdaya air dengan mempertimbangkan satukesatuan hidrologi melalui kerjasama antar wilayah dan antar pengguna (pertanian, domestik danindustri). Tata kelola sumberdaya air yang kurang tepat akan berakibat krisis sumberdaya air danberdampak terhadap ketahanan pangan. Oleh karena itu aktivitas pengunaan air yang lebih efisienharus dilakukan.

Satuan wilayah sungai (SWS) Citarum merupakan wilayah potensial menyediakansumberdaya air sebagian besar lahan pertanian di Jawa Barat dan ibukota Jakarta. Namun potensisumberdaya air tersebut diprediksi mengalami defisit terkait tekanan jumlah penduduk. SWSCitarum dengan luasan dan panjang mencapai 297 kilometer, melewati 9 kabupaten dan 3 kotamerupakan sungai terbesar dan terpanjang di Provinsi Jawa Barat. Sungai Citarum melayani totalarea irigasi pertanian seluas 420.000 hektar. Pertumbuhan penduduk yang pesat di sepanjang WSCitarum menyebabkan kebutuhan sumber air, pangan dan ruang ikut meningkat, karenanyadiperlukan strategi dan inovasi menghadapi tantangan ini. Tabel 1 menjelaskan proyeksi neraca airdi Satuan Wilayah Sungai (SWS) Citarum pada tahun 2025 menunjukkan terjadi lonjakanpermintaan air domestik dan industri sementara kebutuhan irigasi tidak terlalu melonjak tajam.

Tabel 1. Proyeksi Neraca Air di SWS Citarum tahun 1990 – 2025

Uraian 1990 2005 2025m3/det x 106 m3 m3/det x 106 m3 m3/det x 106 m3

Sumber : Citarumdengan waduk lainnya

182,33 5.750,00 182,33 5.750,00 182,33 5.750,0060,25 1.900,00 61,83 1.950,00 63,42 2.000,00

7.650,00 244,16 7.700,00 245,75 7.750,00Kebutuhan Irigasi 177,30 5.591,71 175,00 5.181,80 168,00 5.298,05 Industri 7,91 249,45 15,00 473,04 25,00 788,40 Air minum 9,77 308,11 21,30 671,72 45,00 1.419,12 Perikanan 1,00 31,54 10,00 315,36 20,00 630,72 Penggelontoran 2,00 63,07 10,00 652,36 15,00 473,04 Beban puncak listrik 9,51 300,00 3,17 100,00 0,00 0,00

6.543,88 234,47 7.394,28 273,00 8.609,33Neraca Sumber 242,58 7.650,00 244,16 7.700,00 245,75 7.750,00 Kebutuhan 207.49 6.543,88 234,47 7.394,28 273,00 8.609,33 Selisih 1.106,12 305,72 -859,33Sumber : Perum Jasa Tirta II. Tahun 2011

Jumlah dan penyebaran penduduk menentukan kuantitas kebutuhan air demikian juga lajuperubahan penggunaan lahan. Jika dicermati peningkatan kebutuhan air disebabkan permintaan airkeperluan domestik (air minum) dan industri. Kondisi ini diprediksi akan menimbulkan kompetisipenggunaan sumberdaya air yang mengarah pada moral hazard dan free rider. Sumberdaya airsebagai sumberdaya ekonomi memiliki fungsi sosial dan ekonomi, dengan semakin terbatasnyaketersediaan sumberdaya air, setiap pengguna harus bijaksana dan efisien dalam pemanfaatannya.Penggunaan air untuk keperluan pertanian (irigasi) merupakan pengguna terbesar dibandingpengguna domestik (rumah tangga) dan industri. Penghematan air sektor pertanian akanmengurangi dampak defisit pengguna sektor lain

Ketidakpastian iklim dan prediksi berkurangnya ketersediaan air menyebabkan petani harusberadaptasi dengan efisiensi penggunaan air irigasi. Mengatasi masalah tersebut dibutuhkanantisipasi konseptual dan terencana secara komprehensif dan holistik. Departemen Pertanian telahmenyiapkan banyak strategi, kebijakan dan tindakan untuk menangani masalah atau pasokan airsaat ini dan masa yang akan datang, termasuk identifikasi dan pengembangan inovasi teknologi.Beberapa sistem pendekatan agribisnis inovasi dan adaptif telah dikembangkan seperti PTT, SRI, IP400 dan lain-lain. Pertanyaannya adalah bagaimana tata kelola sumberdaya dapat mengatasipermasalahan sumberdaya air yang kompleks.

Metode SRI (System of Rice Intensification) dengan penggunaan air lebih hemat merupakansalah satu alternatif solusi. Sebagai ilustrasi, penanaman padi konvensional, kebutuhan air perhektar sekitar 4,8 juta liter/MT sedangkan penanaman padi SRI, kebutuhan air per hektar sekitar 2,4juta liter/MT atau hemat sekitar 50 persen (tabel 3). Jika metode SRI diterapkan secara luas didaerah sentra produksi padi seperti Karawang, yang memiliki luas areal pertanian sekitar 94.311hektar, maka penggunaan air dapat dihemat.

Tabel 3. Masa Pertumbuhan Padi Per Musim/Hektar

AktivitasMetode

KonvensionalMetode SRI

Waktu Tanam Hingga Pematangan (Hari) 90 65Satuan Kebutuhan Air* (Liter/Detik) 0,61 0,42Total Kebutuhan Air (Juta Liter/Hektar) 4,8 2,4Luasan Cakupan Layanan Irigasi 1 PompaKapasitas 3 lt/detik (Hektar)

8 16

Sumber :[BBWS] Balai Besar Wilayah Sungai Citarum.PPK PendayagunaanTata GunaAir(PTGA). 2012

*(satuan kebutuhan air)x(jumlah waktu pemberian air dalam satu hari, satuan detik)x(jumlah hari)** Pengukuran dilakukan di daerah irigasi Cihea, Desa Cibarengkok Kecamatan Bojong Picung,

Kabupaten Cianjur tahun 2009. Tujuannya untuk mengetahui perbandingan penggunaan airirigasi untuk tanaman padi konvensional dan padi metode SRI

Penelitian Juanda B et al. 2010 menyatakan aplikasi intensifikasi metode SRI memilikibeberapa keunggulan antara lain (1) meningkatkan produksi padi, walaupun sempat terjadipenurunan pada awal penerapan; (2) anakan padi lebih banyak karena penerapan tanam tunggal, (3)tanaman padi lebih tahan serangan hama penyakit; (4) struktur tanah semakin baik. Namundemikian terdapat beberapa kendala petani dalam menerapkan metode SRI antara lain (1)peningkatan produksi akan signifikan setelah 3 sampai 4 musim tanam; (2) opportunity costpenyediaan kompos; (4) memerlukan tambahan waktu terkait perawatan dan monitoring. Berbagaikendala tersebut memerlukan penanganan dan kebijakan jangka menengah sampai jangka panjanguntuk menjamin keberlanjutan penerapan metode SRI yang selama ini hanya berorientasi proyekdan dilaksanakan oleh beberapa stakeholder tanpa sinergi koordinasi.

Tata kelola sumberdaya air diharapkan mampu mewujudkan accountability, transparansi danberbagi informasi, dialog kebijakan serta mendorong partisipasi masyarakat dengan berpegangkepada perundangan, menjunjung HAM dll. Ketidakmampuan pemerintah dalammenyelenggarakan tata kelola akan menyebabkan terjadi kegagalan kebijaksanaan (Governmentpolicy failure) dan kehancuran institusional (institutional breakdown). Makalah ini bertujuanmenyusun skema tata kelola sumberdaya air dan merumuskan strategi untuk menjaminkeberlanjutan penerapan intensifikasi metode SRI dengan penekanan efisiensi penggunaan air.Melalui insentif dan kompensasi bagi kelompok tani diharapkan menjamin petani terkait resikosehingga mempercepat minat petani untuk menerapkan intensifikasi padi metode SRI dan pada sisilain, kebutuhan air perkotaan dapat terpenuhi.

METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian di Daerah irigasi Jatiluhur dengan pemanfaat air irigasi adalah KabupatenKarawang dan wilayah pemanfaat air keperluan domestik- industri adalah DKI Jakarta. Analisisgame theory digunakan untuk mengkaji aspek regulasi terkait interaksi antar stakeholder. Tujuanpermodelan game menjelaskan proses interaksi principle dan agent untuk mencari solusikeseimbangan bagi tiap pengambilan keputusan. Gambar berikut menjelaskan strategi dan payoffjika menerapkan skema transfer air. Penyusunan game melibatkan para pemain (player), action,strategy, payoff, response dan outcome untuk mencapai keseimbangan (equilibrium).

22

0 2s

a

xysxU

2222* .2

1).(

2

1sasyasyasU

PAM JAYA

PETANIPJT IITRANFER

AIR

Strategi : Beri insentif atau tidak untuktambahan air baku

Payoff: pendapatan dari penjualan air bersih

Strategi : Beriinsentif atautidak untuktambahan airbakuPayoff:pendapatan daritambahan airbaku

Strategi :efisiensi airirigasimengunakanmetode SRI

Payoff: profitmargin +insentif IJL

Gambar 1. Diskripsi Peran Stakeholder pada pemberian insentif SRIPES

Skema imbal jasa lingkungan SRI mengikuti beberapa fase yang harus dilewati sebelumterjadinya fase pertukaran dan pembayaran yaitu awal penerapan, investasi, penyesuaian, fasenegosiasi, fase penyampaian sampai fase pertukaran IJL SRI. Besarnya payoff bagi tiap player akanditentukan berdasarkan formulasi berikut :Nilai payoff bagi tiap player akan ditentukan berdasarkan formulasi sebagai berikut :Awal kerjasama ……………………………….(1)

Dimana :

probability resiko :Proporsi payoff (%) : sPayoff player (Rp/tahun) : x = s.askill : a

Biaya (Rp/tahun) :Pendapatan player (Rp/tahun) : y

Derajat resiko player :Payoff akan maksimum jika :

…………………...………….(2)

Player akan bekerjasama jika U* > Uo, kerjasama akan fair jika U* = Uo

HASIL DAN PEMBAHASAN

Skema Tata Kelola Sumberdaya Air Mendorong Intensifikasi Padi Metode SRI

Desain pasar jasa lingkungan SRI ditujukan untuk menciptakan sistem insentif, terutamauntuk peningkatan kualitas dan ketersediaan air bagi perkotaan, peningkatan produksi padi danefisiensi air irigasi. Penilaian Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) metode SRI difokuskan padadistribusi biaya dan manfaat antara kelompok petani (pengguna pertanian), PJT II (penyedia) danPAM Jaya (pengguna perkotaan dan industri) yang memiliki perbedaan utilitas.

Sistem insentif yang diberikan jika petani melakukan efisiensi penggunaan air adalah dalambentuk pembayaran jasa lingkungan/PJL. Mekanismenya adalah jika petani menghemat air makamendapatkan insentif berupa kompensasi penerapan efisiensi air. Jumlah air yang dapat dihematakan digunakan untuk pengguna lain di wilayah Jakarta melalui negoisasi dan koordinasi pembelian

air baku dengan memasukkan komponen biaya konservasi sumberdaya air yang menjadi salah satukomponen insentif/kompensasi. Pemberian kompensasi/insentif atas jasa lingkungan sumberdayaair penerapan metode SRI dilakukan antara penyedia jasa lingkungan yaitu petani dan pemanfaatjasa lingkungan yaitu masyarakat Jakarta melalui PAM Jaya. Pada pembayaran jasa lingkungantransfer air, interaksi aktor utama yaitu PAM Jaya (user perkotaan) dan Kelompok Tani diKabupaten Karawang sebagai pengguna air irigasi akan difasilitasi oleh PJT II sebagaiprodusen/appropriator.

Proses dan desain tata kelola pembayaran jasa lingkungan SRI dikembangkan untukmemberikan kompensasi/reward bagi petani agar mau menerapkan metode SRI secaraberkelanjutan. Skema gambar berikut menjelaskan kontruksi skema desain kerjasama antara petanidan mendapat reward dari PJT II sebagai provider penyedia air irigasi atau stakeholder lain.Pemberian insentif dilakukan melalui koordinasi dengan kelompok tani dalam satu hamparan lahansawah.

Gambar 2. Konstruksi Skema Imbal Jasa Lingkungan Penerapan Metode SRI

Skema pembayaran jasa lingkungan transfer sumberdaya air dari petani penyedia sumberdayaair ke pengguna perkotaan (DKI Jakarta) dengan mediator PJT II bersifat mandatory dan akandiatur oleh Bappenas terkait dengan komitmen untuk merealisasikan Roadmap Citarum yang antaralain adalah sosialisasi penerapan SRI untuk efisiensi air irigasi dan penyediaan tambahan suplai airbaku untuk wilayah DKI Jakarta. Kegiatan sosialisasi di tingkat petani, dilakukan oleh pihak PJT IIyang akan bekerjasama dengan stakeholder terkait dalam hal ini adalah Dirjen Prasarana dan SaranaPertanian (PSP) Kementrian Pertanian.

Kegiatan monitoring dan evaluasi kegiatan akan dilakukan pada tiap lini kegiatan. Monevpada tingkat petani dilakukan oleh Dirjen PSP melalui Dinas Pertanian Tanaman Pangan, pada arasmikro, peran penyuluh pertanian menjadi bagian penting untuk mensosialisasikan. Monev kegiatanPJT II sebagai mediator pemberian insentif dilakukan oleh Kementrian BUMN terkait aspekpendanaan dan menajen dan Kementrian PU terkait dengan insfrastuktur dan monev terhadapkomitmen PAM Jaya tentang tarif BJPSDA (Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air) terkaitkomponen konservasi tambahan suplai air dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta. Diskripsimekanisme jasa lingkungan diuraikan pada gambar 3. Mekanisme penyelesaian konflik akan diaturoleh Bappenas selaku pemegang mandat pelaksanaan Roadmap Citarum.

Gambar 3. Keterkaitan Stakeholder dalam Mekanisme SRIPES

Berdasarkan skema tersebut nampak bahwa mekanisme pembayaran jasa lingkungan transferair tergantung peran aktif PJT II sebagai operator yang mengatur alokasi air. manfaat yang diterimaadalah tambahan air /efisiensi air dan perbaikan jaringan irigasi karena penerapan sistem pengairanintermitten membutuhkan pengaturan air. kelompok tani sebagai penyedia sumberdaya akanmenerima insentif atas upaya efisiensi yang besarnya insentif ditentukan oleh beberapa kriteria.Peran kelompok tani sebagai penyedia sumberdaya difasilitasi oleh Gapoktan pada satu saluranskunder.

Masalah utama aplikasi SRI di daerah irigasi adalah bagaimana mengubah kebiasaan daripemberian air tergenang secara continuous flow menjadi intermittent dengan selang (interval)irigasi dan lama irigasi (duration) tertentu. Diperlukan kepastian dan jaminan (reliability) datangnyaair irigasi, selama "kepastian" tersebut menjadi barang langka, maka petani akan mengambil airsebanyak-banyaknya untuk cadangan ketidakpastian tersebut. Sistim irigasi PU di Indonesia saat inimasih belum mampu mencapai reliability di atas 70% terutama pada musim kemarau. Dibutuhkansuatu forum regional tingkat kabupaten yang memfasilitasi pelaksanaan jasa lingkungan transfersumberdaya air agar unsur ketidakpastian dapat dikurangi.

Lembaga pelaksanan dari SRIPES harus merupakan forum organisasi multi-aktor sepertiotoritas DAS atau Komisi Pengelolaan DAS Mikro yang terdiri dari perwakilan termasukpemerintah, lembaga swasta, LSM dengan prosedur yang menjamin transparansi dan berorientasitidak berpihak. Rancangan kelembagaan regional SRIPES dapat memanfaatkan peran KomisiIrigasi untuk melakukan penilaian kelayakan kelompok dalam menerima insentif. Berikutmekanisme penerapan SRIPES pada tingkat regional kabupatan.

Gambar 4. Skema Tata Kelola SRIPES tingkat Regional Kabupaten

Strategi Mewujudkan Tata Kelola Sumberdaya Air MendorongKeberlanjutan Penerapan Metode SRI

Mengapa diperlukan insentif bagi petani untuk menerapkan intensifikasi padi metode SRIyang lebih ramah lingkungan dan efisien air?. Berdasarkan pengamatan lapang oleh Juanda B, et al(2009, 2011) di Kabupaten Cianjur dan Karawang, diketahui umumnya terjadi penurunan produksipadi pada saat awal penerapan, terutama bagi lahan jenuh pupuk kimia. Penurunan produksidisebabkan antara lain lahan memerlukan waktu untuk beradaptasi. Tingginya biaya transaksi jugamenjadi salah satu penyebab rendahnya minat petani menerapkan metode SRI. Berdasarkan resikopenurunan produksi dan tingginya biaya transaksi maka perlu diberikan jaminan bagi petani agarbersedia menerapkan metode SRI. Walau berlaku secara spesifik, rata-rata penurunan produksi padaawal penerapan SRI berkisar antara 10% sampai 20% dari produksi semula, namun berangsur naikdan stabil setelah 4 Musim Tanam/MT (dua tahun). Jika produksi maksimum metode konvensionalberada pada kisaran 6 ton/ha/MT, jika menggunakan metode SRI dapat mencapai 9 ton/ha/MT.

Sumber : Anugerah et al, 2008. Juanda B et al, , 2011Gambar 5. Perbandingan Tingkat Produksi Padi Metode SRI dan Konvensional

Gambaran perbandingan antara produksi SRI dan konvensional menyebabkan perlunya faseadaptasi jika menerapkan insentif imbal jasa lingkungan. Oleh karena itu mekanisme transfersumberdaya air memperhatikan keterkaitan payoff yang diterima player dengan risk probability danfaktor skill/keahlian. Gambar 5 menjelaskan risk probability semakin menurun seiring

tanpa beriinsentif

beriinsentif

tanpa beriinsentif

beri insentif SRI Konvensional

baseline T0 186.633 130.643 218.920 153.244 4.481.023 5.279.261

awal T1 176.991 121.001 209.278 143.602 4.463.967 5.400.726

investasi T2 181.746 125.756 214.033 148.357 4.781.035 5.344.868

penyesuaian T3 190.530 134.540 222.817 157.141 5.641.783 6.214.404

negosiasi T4 205.055 149.065 228.558 162.882 6.338.546 6.176.967

penyaluran T5 227.327 171.337 250.830 185.154 8.083.824 7.499.990

pertukaran T6 259.646 203.656 260.877 195.201 8.837.218 7.462.552

payoff PJT II (juta Rp) payoff PAM Jaya (juta Rp) payoff Petani (juta Rp)faseKeterangan

bertambahnya fase kerjasama sedangkan tingkat skill player akan meningkat, hal ini terkait dengankepercayaan antar player dalam melakukan kerjasama.

Gambar 6. Probabilitas Resiko dan keahlian/skill Stakeholder dalam Skema SRIPES

Interaksi antar player dengan mempertimbangkan risk probability dan skill untuk menentukanpayoff didasarkan pada perhitungan profit margin masing-masing player. Pada model IJL SRI ini,bentuk transfer jasa lingkungan air menggunakan konsep profit margin yang diterima masing-masing player. Transaksi jasa lingkungan hidup dapat berbentuk uang atau sesuatu lainnya yangdapat dinilai dengan uang. Nilai transaksi berdasarkan kesepakatan kesediaan menerima daripenyedia jasa lingkungan dan/atau kesediaan membayar dari pemanfaat jasa lingkungan. Nilaitransaksi jasa lingkungan berdasarkan perhitungan komponen biaya ekonomi upaya konservasi danbiaya transaksi pelaksanaan kerjasama. Hasil interaksi masing-masing player di sajikan pada matriktabel 3 dengan mempertimbangkan perbandingan produksi antara intensifikasi metode SRI dankonvensional serta resiko penerapan SRIPES.

Tabel 3. Hasil Payoff Optimal masing-masing Stakeholder

Hasil payoff tabel 3 berdasarkan kondisi moderat jika terjadi pada situasi berikut:a. Sebanyak 50% lahan sawah di Kabupaten Karawang menerapkan intensifikasi metode SRI

yaitu sekitar 43.605 hektar;b. Tambahan air baku ke Jakarta minimal 10 m3/detik sampai 15 m3/detik atau sekitar 466,56

juta m3 (sesuai Roadmap Citarum);

c. Kenaikan harga air baku dari PJT II sebesar 38% dari harga semula dari Rp. 181 per m3

menjadi Rp. 250 per m3 ;d. Harga rata-rata harga air bersih yang dijual ke rekanan PAM Jaya naik 21% dari harga semula

Rp. 7.000 per m3 menjadi Rp. Rp. 8.500 per m3,e. Bagian porsi 30% profit dari transfer air baik dari PJT II maupun PAM Jaya disalurkan

sebagai imbal jasa lingkungan bagi wilayah yang menerapkan intensifikasi metode SRI.Pada kondisi tersebut, tiap hektar lahan yang menerapkan metode SRI akan menerima insentif

sebesar Rp. 1.390.107 per ha/Tahun. Nilai insentif masih di bawah resiko jika terjadi penurunanproduksi sebesar 10% sampai 20% dari produksi normal. Oleh karena itu diperlukan tambahansubsidi dari pemerintah melalui dinas terkait tanaman pangan, agar target ketahanan pangan danketahanan air dapat terwujud.

Hasil analisis menjelaskan bahwa strategi dominan yang dilakukan PJT II dan PAM Jayaadalah tanpa memberi insentif, namun menerima tambahan air baku. Kondisi ini terjadi sejakkondisi baseline (tanpa mempertimbangkan resiko) sampai jika probabilitas resiko dan aspekkeahlian diinteraksikan. Respon petani adalah menerapkan metode konvensional walaupun sudahada kompensasi sebesar sebesar Rp. 1.390.107 perha/Tahun. Kondisi ini terjadi jika tanpa adanyapenegakan aturan dan jaminan durasi waktu pemberian kompensasi/insentif. Strategi dominan yangdipilih tidak selalu menghasilkan first best.

Sesuai hipotesis, diharapkan bahwa petani akan menerapkan intensifikasi padi metode SRIdengan memperoleh imbal jasa transfer air melalui insentif yang diberikan oleh penggunasumberdaya air seperti PAM Jaya dan PJT II sebagai provider. Namun demikian payoff palingtinggi yang lebih menguntungkan bagi user PAM Jaya dan PJT II adalah mendapatkan tambahan airbaku tanpa memberikan insentif. Kondisi ini jelas tidak akan tercapai, karena pihak petani diKabupaten Karawang akan menolak menerapkan intensifikasi metode SRI terkait ketiadaan jaminanresiko penurunan produksi. Jika menerima insentif dari PAM Jaya dan PJT II sebesar 30% dariprofit tambahan air baku, petani masih menanggung resiko kerugian sampai tahun ke tiga atau faseketiga. Pada tahap ini diperlukan bantuan subsidi dari kementrian terkait penanganan pangan sepertiKementrian Pertanian melalui program subsidi atau bantuan sosial kepada petani setidaknya sampaipenyesuaian sumberdaya. Pada tahun ke empat, payoff petani relatif stabil dan cenderungmeningkat dengan asumsi bahwa kondisi lahan sudah cukup baik karena perlakuan ramahlingkungan metode SRI.

Kondisi nash equilibrium yaitu solusi optimal dan paling rasional dapat dicapai jika PAMJaya dan PJT II memberikan insentif kepada petani dengan dengan resiko penurunan payoff bagiPAM Jaya dan PJT II. Pada gambar 7 diketahui bahwa perbandingan profit margin PJT II dan PAMJaya masih memberikan keuntungan yang relatif tinggi. Profit margin PJT II dari tambahan air bakumasih memberikan keuntungan sekitar Rp 53.436.698.093 per tahun, lebih kecil dari profit marginPAM Jaya sebesar sekitar Rp. 70.111.906.777 per tahun. Nilai tersebut semakin meningkat denganpeningkatan fase penerapan, bertambahnya skill atau keahlian manajemen dan berkurangnya resikopara stakeholder.

Gambar 7. Profit Margin Player dalam Model SRIPES

Pemberian imbal jasa lingkungan transfer air dari pengguna pertanian (irigasi) ke penggunaperkotaan, seperti banyak dilema lingkungan, dikategorikan sebagai prisoner dilema game (PD).Namun, dalam kondisi tertentu, dilema lingkungan dapat berubah menjadi masalah jaminan/assurance problems (AP ) di mana strategi dominan untuk free rider digantikan oleh kemungkinankerjasama (Runge, 1984). Diungkapkan oleh (Axelrod dan Dion, 1988) bahwa interaksi berulangdapat menciptakan insentif bagi kerjasama dan bukti eksperimental juga mendukung kemungkinankerjasama ketika agent atau player yakin bahwa perilaku tersebut akan memberikan merespondalam bentuk yang disepakati.

Salah satu solusi untuk kasus prisoner dilema lingkungan adalah menegakkan aturan ataumengikat agent agar memiliki strategi kerjasama. Pilihan tersebut dapat dilakukan terkait otoritaskebijakan pada yuridiksi pengambilan keputusan tertinggi pada pemerintah pusat. Bagaimanapunjuga, perlu dilakukan koalisi untuk membuat kesepakatan sehingga dapat membentuk dasar insentifyang mampu mengubah dan menyelesaikan dilema lingkungan. Masalah prisoner dilemalingkungan melibatkan negosiasi dan kepercayaan yang membutuhkan hubungan timbal balik.Komitmen akan tercapai jika tiap player yakin hubungan timbal balik yang diberikan akanmemberikan benefit. Hal ini terkait masalah jaminan (assurance problem), dimana keseimbanganakan tercapai jika prinsip timbal balik ditegakkan.

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKANSimpulan1. Tata kelola sumberdaya air untuk mendorong intensifikasi metode SRI menggunakan skema

imbal jasa lingkungan transfer air baku antara petani, PJT II dan PAM Jaya menggunakanskema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) atau Public Private Partnership (PPP).

2. Skema Imbal jasa lingkungan transfer sumberdaya air dikategorikan prisoner dilema game.Strategi dominan player jika bersifat individu cenderung free rider dengan tidak memberikaninsentif jasa lingkungan. Strategi optimal untuk mengurangi free rider dan mewujudkan imbaljasa lingkungan transfer air adalah penerapan mekanisme pasar jasa lingkungan melaluikerjasama dengan jaminan penegakan aturan yang kredibel melalui tahapan fase-fase adaptasi.

Implikasi KebijakanTransformasi kelembagaan IJL SRI memerlukan dukungan dan komitmen stakeholder melalui

langkah sebagai berikut:1. Pemerintah Kabupaten Karawang bersama Dinas Pertanian Tanaman Pangan mendukung

penyusunan Peraturan Daerah (Perda) IJL SRIdan pembuatan sertifikat lahan SRI untukmemastikan pemberian insentif jasa lingkungan.

-1.500.000

-1.000.000

-500.000

0

500.000

1.000.000

1.500.000

40.000

60.000

80.000

100.000

120.000

140.000

160.000

kondisi awal(baseline)

Fase awal IJLSRI

Fase InvestasiIJL SRI

Fasepenyesuaiansumberdaya

Fase negosiasiIJL SRI

Fasepenyampaian

IJL SRI

Fasepertukaran IJL

SRI

T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6

juta

Rp

profit margin PJT II (Juta Rp) profit margin PAM Jaya (Juta Rp) profit margin petani wil SRI (Juta Rp)

2. PJT II bersama kementrian PU dapat melakukan mekanisme transfer sumberdaya air untukkebutuhan non pertanian dengan menambah komponen biaya konservasi dalam penentuanharga air baku.

3. Penambahan jumlah air baku oleh PAM Jaya dapat dilakukan melalui pemberian insentifefisiensi penggunaan air irigasi yang bersumber dari peningkatan alokasi biaya konservasisumberdaya air pada komponen harga air baku atau air bersih atau melalui peningkatan shareprofit dari tambahan air baku.

DAFTAR PUSTAKAAnwar, A. 2003. Teori Permainan (Game Theory), Konflik, Tindakan Kolektif, Proses Perbaikan

Institusi Kearah Pembangunan Sumberdaya Alam Berkelanjutan. Bahan Ajar PPS IlmuPerencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Anwar, A dan Fauzi, A. 2006. Model Pengelolaan Sumber Daya Air dan Lahan pada KerjasamaEkonomi Inter Regional untuk Meningkatkan Pembangunan Ekonomi Wilayah. Bogor :Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat. IPB.

Anugerah, S.I., Sumedi dan Wardana P.I. 2008. Gagasan dan Implementasi System Of RiceIntensification (SRI) dalam Kegiatan Budidaya Padi Ekologis (BPE). Jurnal AnalisisKebijakan Pertanian Vol. VI No. 1 Maret 2008 : p. 75-99. [Artikel Online]; diperoleh darihttp://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART6-Ic.pdf. diakses pada Januari 2012.

Axelrod, R. and D. Dion. 1988. The Further Evolution of Cooperation, Science Journal, 242, 1385–90.

[BBWS] Balai Besar Wilayah Sungai Citarum. PPK Pendayagunaan Tata Guna Air (PTGA). 2012.Efisiensi Air Melalui Penanaman Padi Metode SRI (System of Rice Intensification).www.citarum.org.

[Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum]. 2012. Pola PengelolaanSumber Daya Air Wilayah Sungai Citarum www.citarum.org.

[Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum]. 2010. Citarum StakeholderAnalysis. TA 7189-INO: Institutional Strengthening For Integrated Water ResourcesManagement (IWRM) In The 6Ci’s River Basin Territory-Package B. . www.citarum.org.

Juanda B, Anwar A,. 2009. Strategi Ketahanan Pangan Nasional dan Efisiensi Pemanfaatan AirIrigasi Melalui SRI (System Of Rice Intensification). Satuan Kerja Pembinaan Sumber DayaAir, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. Kementrian Pekerjaan Umum.

Juanda B. Anwar A 2011. Rancang Bangun Sistem Insentif Untuk Meningkatkan PendapatanPetani, Efisiensi Penggunaan Air dan Ketahanan Pangan Nasional. Laporan Akhir HibahKompetensi. Jakarta : DP2M Dikti.

[PAM Jaya]. 2010. Penyusunan Amandemen X Atas Perjanjian Pengambilan Air dan KesepakatanBiaya Jasa Pengelolaan SDA (BJPS DA).

Runge and Hauer. 1997. Trade-Environment Linkages in the Resolution of TransboundaryExternalities. Toronto. Canada : presented at the Joint Canadian Agricultural Economics andFarm Management Society and American Agricultural Economics Association Meetings.

Suyanto, S. dan Khususiyah,N. 2006. Imbalan Jasa Lingkungan untuk Pengentasan Kemiskinan.Jurnal Agro Ekonomi (JAE) Vol 24: 1. Bogor : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi LitbangDeptan.

Suradisastra K. 2012. Manajemen Adaptif dalam Menghadapi Perubahan Iklim dan PerilakuPetani. Dalam Membumikan Iptek Pertanian. Jakarta: IAARD Press. Badan Penelitian danPengembangan Pertanian. Kementrian Pertanian.

Turton. AR., Hattingh H J., Maree GA., Roux D J., Claassen M, Strydom WF..2007. Governanceas a Trialogue: Government-Society- Science in Transition. Berlin : Springer-Verlag.

Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air.Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.