Upload
jack-ahja
View
2.779
Download
14
Embed Size (px)
DESCRIPTION
for study
Citation preview
* Suku Jawa *
Suku Jawa, adalah suku bangsa terbesar di Indonesia. Jumlahnya mungkin ada sekitar 90
juta. Mereka berasal dari pulau Jawa dan terutama ditemukan di provinsi Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Tetapi di provinsi Jawa Barat banyak ditemukan Suku Jawa, terutama di Kabupaten
Indramayu dan Cirebon yang mayoritas masyarakatnya merupakan orang-orang Jawa yang
berbahasa dan berbudaya Jawa. Di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara populasi
mereka juga cukup banyak. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger.
Bahasa Jawa
Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Dalam
sebuah survei yang diadakan majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya
12% orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka sehari-hari,
sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur, dan selebihnya hanya
menggunakan bahasa Jawa saja.
Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara
pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki
pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar
akan status sosialnya di masyarakat.
Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di
beberapa bagian Banten terutama kota Serang, kabupaten Serang, kota Cilegon dan kabupaten
Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang,
Subang, Indramayu, kota Cirebon dan kabupaten Cirebon, Yogyakarta, Jawa Tengah & Jawa
Timur di Indonesia.
Penyebaran Bahasa Jawa
Penduduk Jawa yang berpindah ke Malaysia turut membawa bahasa dan kebudayaan Jawa ke
Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung
Jawa, padang Jawa. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis
Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah : Lampung (61,9%), Sumatra Utara
(32,6%), Jambi (27,6%), Sumatera Selatan (27%). Khusus masyarakat Jawa di Sumatra Utara,
mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan
tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma
(Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui
program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak zaman penjajahan Belanda.
Selain di kawasan Nusantara, masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname,
yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan
sampai kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah
Guyana Perancis dan Venezuela. Pengiriman tenaga kerja ke Korea, Hong Kong, serta beberapa
negara Timur Tengah juga memperluas wilayah sebar pengguna bahasa ini meskipun belum bisa
dipastikan kelestariannya.
Fonologi
Dialek baku bahasa Jawa, yaitu yang didasarkan pada dialek Jawa Tengah, terutama dari sekitar
kota Surakarta dan Yogyakarta memiliki fonem-fonem berikut:
Vokal:
Depan Tengah Belakang
i u
e ə o
( )ɛ ( )ɔ
a
Konsonan:
Labial DentalAlveola
rRetrofleks Palatal Velar Glotal
Letupan p b t d ʈ ɖ tʃ dʒ k g ʔ
Frikatif s (ʂ) h
Likuida & semivokal w l r j
Sengau m n (ɳ) ɲ ŋ
Perhatian: Fonem-fonem antara tanda kurung merupakan alofon.
Penjelasan Vokal:
Tekanan kata (stress) direalisasikan pada suku kata kedua dari belakang, kecuali apabila sukukata
memiliki sebuah pepet sebagai vokal. Pada kasus seperti ini, tekanan kata jatuh pada sukukata
terakhir, meskipun sukukata terakhir juga memuat pepet. Apabila sebuah kata sudah diimbuhi
dengan afiks, tekanan kata tetap mengikuti tekanan kata kata dasar. Contoh: /jaran/ (kuda)
dilafazkan sebagai [j'aran] dan /pajaranan/ (tempat kuda) dilafazkan sebagai [paj'aranan].
Semua vokal kecuali /ə/, memiliki alofon. Fonem /a/ pada posisi tertutup dilafazkan sebagai [a],
namun pada posisi terbuka sebagai [ɔ]. Contoh: /lara/ (sakit) dilafazkan sebagai [l'ɔrɔ], tetapi
/larane/ (sakitnya) dilafazkan sebagai [l'arane]
Fonem /i/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [i] namun pada posisi tertutup lafaznya kurang
lebih mirip [e]. Contoh: /panci/ dilafazkan sebagai [p'aɲci] , tetapi /kancil/ kurang lebih dilafazkan
sebagai [k'aɲcel].
Fonem /u/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [u] namun pada posisi tertutup lafaznya kurang
lebih mirip [o]. Contoh: /wulu/ (bulu) dilafazkan sebagai [w'ulu] , tetapi /ʈuyul/ (tuyul) kurang lebih
dilafazkan sebagai [ʈ'uyol].
Fonem /e/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [e] namun pada posisi tertutup sebagai [ɛ].
Contoh: /lele/ dilafazkan sebagai [l'ele] , tetapi /bebek/ dilafazkan sebagai [b'ɛbɛʔ].
Fonem /o/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [o] namun pada posisi tertutup sebagai [ɔ].
Contoh: /loro/ dilafazkan sebagai [l'oro] , tetapi /boloŋ/ dilafazkan sebagai [b'ɔlɔŋ].
Penjelasan Konsonan:
Fonem /k/ memiliki sebuah alofon. Pada posisi terakhir, dilafazkan sebagai [ʔ]. Sedangkan pada
posisi tengah dan awal tetap sebagai [k].
Fonem /n/ memiliki dua alofon. Pada posisi awal atau tengah apabila berada di depan fonem
eksplosiva palatal atau retrofleks, maka fonem sengau ini akan berubah sesuai menjadi fonem
homorgan. Kemudian apabila fonem /n/ mengikuti sebuah /r/, maka akan menjadi [ɳ] (fonem
sengau retrofleks). Contoh: /panjaŋ/ dilafazkan sebagai [p'aɲjaŋ], lalu /anɖap/ dilafazkan sebagai
[ʔ'aɳɖap]. Kata /warna/ dilafazkan sebagai [w'arɳɔ].
Fonem /s/ memiliki satu alofon. Apabila /s/ mengikuti fonem /r/ atau berada di depan fonem
eksplosiva retrofleks, maka akan direalisasikan sebagai [ʂ]. Contoh: /warsa/ dilafazkan sebagai
[w'arʂɔ], lalu /esʈi/ dilafazkan sebagai [ʔ'eʂʈi].
Fonotaktik
Dalam bahasa Jawa baku, sebuah sukukata bisa memiliki bentuk seperti berikut: (n)-K1-(l)-V-K2.
Artinya ialah Sebagai berikut:
(n) adalah fonem sengau homorgan.
K1 adalah konsonan eksplosiva ata likuida.
(l) adalah likuida yaitu /r/ atau /l/, namun hanya bisa muncul kalau K1 berbentuk eksplosiva.
V adalah semua vokal. Tetapi apabila K2 tidak ada maka fonem /ə/ tidak bisa berada pada
posisi ini.
K2 adalah semua konsonan kecuali eksplosiva palatal dan retrofleks; /c/, /j/, /ʈ/, dan /ɖ/.
Contoh:
a
an
pan
prang
njlen
Variasi dalam bahasa Jawa
Klasifikasi berdasarkan dialek geografi mengacu kepada pendapat E.M. Uhlenbeck (1964) [1].
Peneliti lain seperti W.J.S. Poerwadarminta dan Hatley memiliki pendapat yang berbeda.[rujukan?]
Kelompok Barat
1. dialek Banten
2. dialek Cirebon
3. dialek Tegal
4. dialek Banyumasan
5. dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
Tiga dialek terakhir biasa disebut Dialek Banyumasan.
Kelompok Tengah
1. dialek Pekalongan
2. dialek Kedu
3. dialek Bagelen
4. dialek Semarang
5. dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
6. dialek Blora
7. dialek Surakarta
8. dialek Yogyakarta
9. dialek Madiun
Kelompok kedua ini dikenal sebagai bahasa Jawa Tengahan atau Mataraman. Dialek Surakarta
dan Yogyakarta menjadi acuan baku bagi pemakaian resmi bahasa Jawa (bahasa Jawa Baku).
Kelompok Timur
1. dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)
2. dialek Surabaya
3. dialek Malang
4. dialek Jombang
5. dialek Tengger
6. dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)
Kelompok ketiga ini dikenal sebagai bahasa Jawa Wetanan (Timur).
Register (undhak-undhuk basa)
Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama
(etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal
ini. Bahasa Jawa bukan satu-satunya bahasa yang mengenal hal ini karena beberapa bahasa
Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur seperti bahasa Korea dan bahasa Jepang juga
mengenal hal semacam ini. Dalam sosiolinguistik, undhak-undhuk merupakan salah satu bentuk
register.
Terdapat tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko ("kasar"), madya ("biasa"), dan krama ("halus"). Di
antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk "penghormatan" (ngajengake, honorific) dan
"perendahan" (ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah-ubah registernya pada suatu saat
tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status ditentukan oleh usia, posisi sosial,
atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan
varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap
dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun.
Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.
Sebagai tambahan, terdapat bentuk bagongan dan kedhaton, yang keduanya hanya dipakai
sebagai bahasa pengantar di lingkungan keraton. Dengan demikian, dikenal bentuk-bentuk ngoko
lugu, ngoko andhap, madhya, madhyantara, krama, krama inggil, bagongan, kedhaton.
Di bawah ini disajikan contoh sebuah kalimat dalam beberapa gaya bahasa yang berbeda-beda
ini.
Bahasa Indonesia : "Maaf, saya mau tanya rumah Kak Budi itu, di mana?"
1. Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
2. Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”
3. Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi, nèng ndi?”
4. Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?”
5. Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundi?”
6. Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika,
wonten pundi?”
7. Krama: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”
8. Krama inggil: “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika,
wonten pundi?”
*nèng adalah bentuk percakapan sehari-hari dan merupakan kependekan dari bentuk baku ana ing
yang disingkat menjadi (a)nêng.
Dengan memakai kata-kata yang berbeda dalam sebuah kalimat yang secara tatabahasa berarti
sama, seseorang bisa mengungkapkan status sosialnya terhadap lawan bicaranya dan juga
terhadap yang dibicarakan. Walaupun demikian, tidak semua penutur bahasa Jawa mengenal
semuanya register itu. Biasanya mereka hanya mengenal ngoko dan sejenis madya.
Bilangan dalam bahasa Jawa
Bila dibandingkan dengan bahasa Melayu atau Indonesia, bahasa Jawa memiliki sistem
bilangan yang agak rumit.
Bahasa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Kuna sa rwa telu pat lima enem pitu walu sanga sapuluh
Kawi eka dwi tri catur panca sad sapta asta nawa dasa
Krama setunggal kalih tiga sekawan gangsal enem pitu wolu sanga sedasa
Ngoko siji loro telu papat lima enem pitu wolu sanga sepuluh
Angka Ngoko Krama
11 sewelas setunggal welas (sewelas)
12 rolas kalih welas
13 telulas tiga welas
14 patbelas sekawan welas
15 limalas gangsal welas
16 nembelas enem welas
17 pitulas pitulas
18 wolulas wolulas
19 sangalas sangalas
20 rong puluh kalih dasa
21 selikur selikur/kalih dasa setunggal
22 rolikur kalih likur
23 telulikur tigang likur
24 patlikur sekawan likur
25 selawé selangkung
26 nemlikur nemlikur
30 telung puluh tigang dasa
31 telung puluh siji tigang dasa setunggal
32 telung puluh loro tigang dasa kalih
40 patang puluh sekawan dasa
41 patang puluh siji sekawan dasa setunggal
42 patang puluh loro sekawan dasa kalih
50 sèket sèket
51 sèket siji sèket setunggal
52 sèket loro sèket kalih
60 swidak swidak
61 swidak siji swidak setunggal
62 swidak loro swidak kalih
70 pitung puluh pitu dasa
80 wolung puluh wolu dasa
90 sangang puluh sanga dasa
100 satus setunggal atus
101 satus siji setunggal atus setunggal
102 satus loro setunggal atus kalih
120 satus rong puluh setunggal atus kalih dasa
121 satus selikur setunggal atus kalih dasa setunggal
200 rong atus kalih atus
500 limang atus gangsal atus
1.000 sèwu setunggal èwu
1.001 sèwu siji setunggal èwu setunggal
1.002 sèwu loro setunggal èwu kalih
1.500 sèwu limang atus setunggal èwu gangsal atus
1.520 sèwu limang atus rong puluh setunggal èwu gangsal atus kalih dasa
1.550 sèwu limang atus sèket setunggal èwu gangsal atus sèket
1.551 sèwu limang atus sèket siji setunggal èwu gangsal atus sèket setunggal
2.000 rong èwu kalih èwu
5.000 limang èwu gangsal èwu
10.000 sepuluh èwu sedasa èwu
100.000 satus èwu setunggal atus èwu
500.000 limang atus èwu gangsal atus èwu
1.000.000 sayuta setunggal yuta
1.562.155sayuta limang atus swidak loro èwu
satus sèket lima
setunggal yuta gangsal atus swidak kalih èwu
setunggal atus sèket gangsal
Fraksi
1/2 setengah, separo, sepalih (Krama)
1/4 saprapat, seprasekawan (Krama)
3/4 telung prapat, tigang prasekawan (Krama)
1,5 karo tengah, kalih tengah (Krama)
* Jawanisme
Jawanisme adalah sebuah fenomena atau gejala dalam bahasa Indonesia di mana seorang
penutur, biasanya penutur ibu bahasa Jawa terpengaruh oleh bahasa ibunya.
Pengaruh ini meliputi bidang sintaksis dalam bahasa Indonesia.
Beberapa contoh:
"Kamu datêng-ó sini!" atau "Kamu datêng sini-ó!" untuk "Kamu datanglah kemari!" atau
"Kamu datang kemarilah!" dari bahasa Jawa: "Kowe maraa réné!" atau "Kowé mara rénéa"
"Nanti barangé tak-ambil(é)." untuk "Nanti barangnya kuambil." dari bahasa Jawa:
"Mengko barangé tak-jupuk(é)."
"Jalané pelan bangêt." untuk "Jalannya pelan sekali." dari bahasa Jawa: "Mlaku alon
bangêt."
"Itu bukuné adékku!" untuk "Itu buku adik saya!" dari bahasa Jawa: "Iku bukuné adhek
kulo!"
Selain itu masih banyak pengaruh dalam kosakata bahasa Indonesia.
Yang unik dari Jawanisme adalah sedikit sekali orang Jawa (pribumi) yang benar-benar
mengalami Jawanisme ini. Yang mengherankan adalah banyak orang-orang Tionghoa (terutama
yang hidup di kawasan Semarang dan Salatiga serta Solo dan juga Jogja ) yang mengalami gejala
Jawanisme.
sebagai contoh: "Rene ó!" : "Kesinilah" atau "Kemarilah" dalam ujaran bahasa Tionghoa-Indonesia
menjadi : "Sini ó"
"(O)ra isó" : "Tidak bisa" menjadi: "(E)ndak isa" atau "(E)ndak isó"
"Kuwi jarané isih ning njaba": "Itu kudanya masih di luar", menjadi: "Itu kudané misi(h) di luar"
Fenomena Jawanisme dalam bahasa Inggris
Sebagai kelanjutan fenomena Jawanisme dalam bahasa Indonesia, penutur bahasa Jawa yang
belajar bahasa Inggris atau tinggal di komunitas pemakai bahasa Inggris seringkali terdengar
menggunakan istilah-istilah bahasa Jawa dalam kalimat bahasa Inggris ketika bercakap-cakap
dengan penutur yang berasal dari wilayah yang sama.
Ekspresi-ekspresi yang sering dipakai adalah 'lho', 'lha', 'to', 'kok', 'ki', 'no', dan sebagainya
sebagai contoh:
"Lho, I already bought that book !": "Lho, aku uwis tuku buku kuwi!", yang berarti "Loh,
saya ternyata sudah beli buku ini!"
"Kok, buying again ?": "Kok tuku manéh?", yang berarti "Mengapa beli lagi?"
"I told you many times to !": "Wis tak kandhéni ping piro to?", yang berarti "Sudah saya
beritahu berapa kali, sih!"
"Lha, I didn't know ... how ki ?": "Lha aku yó ora ngerti, piyé (i)ki?", yang berarti "Ya saya
tidak mengerti, bagaimana dong?"
"Don't be like that, no....": "Ojo ngono, no...", yang berarti "Jangan begitu, dong..."
* Sastra Jawa
Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi
(Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti
Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna.
Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan sebuah
sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa
Jawa (Kuna).
Biasanya sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa:
Sastra Jawa Kuna
Sastra Jawa Tengahan
Sastra Jawa Baru
Sastra Jawa Modern
Terdapat pula kategori Sastra Jawa-Bali, yang berkembang dari Sastra Jawa Tengahan. Selain itu,
ada pula Sastra Jawa-Lombok, Sastra Jawa-Sunda, Sastra Jawa-Madura, dan Sastra Jawa-
Palembang.
Dari semua sastra tradisional Nusantara, sastra Jawa adalah yang paling berkembang dan paling
banyak tersimpan karya sastranya. Tetapi setelah proklamasi RI, tahun 1945 sastra Jawa agak
dianaktirikan karena di Negara Kesatuan RI, kesatuan yang diutamakan.
Bahasa Jawa pertama-tama ditulis dalam aksara turunan aksara Pallawa yang berasal dari India
Selatan. Aksara ini yang menjadi cikal bakal aksara Jawa modern atau Hanacaraka yang masih
dipakai sampai sekarang. Dengan berkembangnya agama Islam pada abad ke-15 dan ke-16,
huruf Arab juga dipergunakan untuk menulis bahasa Jawa; huruf ini disebut dengan nama huruf
pegon. Ketika bangsa Eropa datang ke Jawa, abjad Latin pun digunakan untuk menulis bahasa
Jawa.
Kategori sastra Jawa
Sastra Jawa secara global bisa dibagi menjadi dua kategori yaitu yang ditulis dalam bentuk prosa
atau puisi. Dalam bentuk prosa biasanya disebut gancaran dan dalam bentuk puisi biasa disebut
dengan istilah tembang. Sebagian besar karya sastra Jawa ditulis dalam bentuk tembang mulai
dari awal bahkan sampai saat ini. Untuk informasi lebih lanjut silakan lihat artikel: Tembang dalam
Sastra Jawa.
Sastra Jawa Kuno
Sastra Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis
dalam bahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14
Masehi, dimulai dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa
(gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita,
undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuno diwariskan
dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno
jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya.
Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin
Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno.
Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-naskah
manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan
Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks
Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.
Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan
mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di
pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat.
Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah
Jawa Kuno.
Mengenai istilah Jawa Kuno
Istilah sastra Jawa Kuno agak sedikit rancu. Istilah ini bisa berarti sastra dalam bahasa Jawa
sebelum masuknya pengaruh Islam[1] atau pembagian yang lebih halus lagi: sastra Jawa yang
terlama. Jadi merupakan sastra Jawa sebelum masa sastra Jawa Pertengahan. Sastra Jawa
Pertengahan adalah masa transisi antara sastra Jawa Kuno dan sastra Jawa Baru. Di dalam
artikel ini, pengertian terakhir inilah yang dipakai.[2]
Tradisi penurunan
Sastra Jawa Kuno yang terlestarikan sampai hari ini sebagian besar diturunkan dalam bentuk
naskah manuskrip yang telah disalin ulang berkali-kali. Sehingga mereka jarang yang tertulis
dalam bentuk asli seperti pada waktu dibuat dahulu, kecuali jika ditulis pada bahan tulisan yang
awet seperti batu, tembaga dan lain-lain. Prasasti tertua dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari
tahun 804, namun isinya bukan merupakan teks kesusastraan. Teks kesusastraan tertua pada
sebuah prasasti terdapat pada Prasasti Siwagreha yang ditarikh berasal dari tahun 856 Masehi.
Sedangkan naskah manuskrip tertua adalah sebuah naskah daun nipah yang berasal dari abad
ke-13 dan ditemukan di Jawa Barat. Naskah nipah ini memuat teks Kakawin Arjunawiwaha yang
berasal dari abad ke-11.
Tinjauan umum
Banyak teks dalam bahasa Jawa Kuno yang terlestarikan dari abad ke-9 sampai abad ke-14.
Namun tidak semua teks-teks ini merupakan teks kesusastraan. Dari masa ini terwariskan sekitar
20 teks prosa dan 25 teks puisi. Sebagian besar dari teks-teks ini ditulis setelah abad ke-11.
Puisi Jawa lama
Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk prosa
1. Candakarana
2. Sang Hyang Kamahayanikan
3. Brahmandapurana
4. Agastyaparwa
5. Uttarakanda
6. Adiparwa
7. Sabhaparwa
8. Wirataparwa , 996
9. Udyogaparwa
10. Bhismaparwa
11. Asramawasanaparwa
12. Mosalaparwa
13. Prasthanikaparwa
14. Swargarohanaparwa
15. Kunjarakarna
Candakarana
Candakarana adalah semacam kamus atau bisa juga disebut ensiklopedia Jawa Kuna dan
versinya yang paling awal kira-kira ditulis pada abad ke-8 Masehi.
Para pakar menduga periode yang sangat awal ini karena kitab ini memuat nama Syailendra.
Sedangkan raja Syailendra yang membangun candi Borobudur ini diperkirakan memerintah pada
akhir abad ke-8 Masehi.
Sang Hyang Kamahayanikan
Sang Hyang Kamahayanikan adalah sebuah karya sastra dalam bentuk prosa. Di bagian
belakang disebut nama seorang raja Jawa, yaitu Mpu Sendok, yang bertakhta di Jawa Timur
mulai dari tahun 929 sampai tahun 947 Masehi.
isinya mengenai pelajaran agama Buddha Mahayana. Kebanyakan mengenai susunan perincinan
dewa-dewa dalam mazhab Mahayana dan kerapkali cocok dengan penempatan raja-raja Buddha
dalam candi Borobudur. Selain itu ada pula tentang tatacara orang bersamadi.
Brahmandapurana
Brahmandapurana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna berbentuk prosa. Karya sastra ini tidak
memuat penanggalan kapan ditulis dan oleh perintah siapa. Tetapi dilihat dari gaya bahasa
kemungkinan berasal dari masa yang sama dengan Sang Hyang Kamahayanikan.
Namun ada perbedaan utama, yaitu Sang Hyang Kamahayanikan adalah kitab kaum penganut
agama Buddha Mahayana sedangkan Brahmandapurana ditulis untuk dan oleh penganut agama
(Hindu) Siwa.
Isinya bermacam-macam, seperti cerita asal-muasalnya dunia dan jagatraya diciptakan, keadaan
alam, muncul empat kasta (brahmana, ksatria, waisya dan sudra), tentang perbedaan tahap para
brahmana (caturasrama) dan lain-lain.
Agastyaparwa
Agastyaparwa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna berbentuk prosa. Isinya mirip
Brahmandapurana. Meski Agastyaparwa tertulis dalam bahasa Jawa Kuna, namun banyak disisipi
seloka-seloka dalam bahasa Sansekerta.
Isinya mengenai hal-ikhwal seorang suci yang disebut sang Dredhasyu yang berdiskusi dan
meminta pengajaran kepada ayahnya sang bagawan Agastya. Salah satu hal yang dibicarakan
adalah soal mengapa seseorang naik ke surga atau jatuh ke neraka.
Uttarakanda
Uttarakanda adalah kitab ke-7 Ramayana. Diperkirakan kitab ini merupakan tambahan. Kitab
Uttarakanda dalam bentuk prosa ditemukan pula dalam bahasa Jawa Kuna. Isinya tidak
diketemukan dalam Kakawin Ramayana. Di permulaan versi Jawa Kuna ini ada referensi merujuk
ke prabu Dharmawangsa Teguh.
Isi
Cerita Rahwana
o Terjadinya para raksasa, nenek moyang Rahwana atau Rawana
o Cerita Serat Arjunasasrabahu
Cerita Dewi Sita
o Pembuangan Sita di hutan, karena sudah lama tidak di sisi Rama
o Kelahiran Kusa dan Lawa di pertapaan di hutan
o "Kematian" Sita
Adiparwa
Adiparwa (Sansekerta ) adalah buku pertama atau bagian (parwa) pertama dari kisah
Mahabharata. Pada dasarnya bagian ini berisi ringkasan keseluruhan cerita Mahabharata, kisah-
kisah mengenai latar belakang ceritera, nenek moyang keluarga Bharata, hingga masa muda
Korawa dan Pandawa). Kisahnya dituturkan dalam sebuah cerita bingkai dan alur ceritanya
meloncat-loncat sehingga tidak mengalir dengan baik. Penuturan kisah keluarga besar Bharata
tersebut dimulai dengan percakapan antara Bagawan Ugrasrawa yang mendatangi Bagawan
Sonaka di hutan Nemisa.
Adiparwa versi Jawa Kuna yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Daerah Tingkat I provinsi Bali
Bagian-bagian
Bagian-bagian kitab Adiparwa itu di antaranya:
Cerita Begawan Ugrasrawa (Ugraçrawā) mengenai terjadinya pemandian
Samantapañcaka dan tentang dituturkannya kisah Mahabharata oleh Begawan
Waisampayana (Waiçampāyana). Kisah panjang tersebut dituturkan atas permintaan
maharaja Janamejaya, raja Hastinapura, anak mendiang prabu Parikesit (Parīkşit) dan
cicit Pandawa. Begawan Waisampayana bermaksud menghibur sang maharaja atas
kegagalan kurban ular (sarpayajña) yang dilangsungkan untuk menghukum naga
Taksaka, yang telah membunuh raja Pariksit.
o Selain itu sang Ugrasrawa juga menjelaskan ringkasan delapan belas parwa yang
menyusun Mahabharata; jumlah bab, seloka (çloka) dan isi dari masing-masing
parwa.
Cerita dikutuknya maharaja Janamejaya oleh sang Sarama, yang berakibat kegagalan
kurban yang dilangsungkan oleh sang maharaja.
Cerita Begawan Dhomya beserta ketiga orang muridnya; sang Arunika, sang Utamanyu
dan sang Weda. Dilanjutkan dengan ceritera Posya, mengenai kisah asal mula sang
Uttangka murid sang Weda bermusuhan dengan naga Taksaka. Oleh karenanya sang
Uttangka lalu membujuk Maharaja Janamejaya untuk melaksanakan sarpayajña atau
upacara pengorbanan ular.
Cerita asal mula Hyang Agni (dewa api) memakan segala sesuatu, apa saja dapat
dibakarnya, dengan tidak memilah-milah. Serta nasihat dewa kepada sang Ruru untuk
mengikuti jejak sang Astika, yang melindungi para ular dan naga dari kurban maharaja
Janamejaya.
Ceritera Astika; mulai dari kisah sang Jaratkāru mengawini sang Nāgini (naga perempuan)
dan beranakkan sang Astika, kisah lahirnya naga dan garuda, dikutuknya para naga oleh
ibunya agar dimakan api pada kurban ular, permusuhan naga dengan garuda, hingga
upaya para naga menghindarkan diri dari kurban ular.
o Di dalam ceritera ini terselip pula kisah mengenai upaya para dewa untuk
mendapatkan tirta amrta atau air kehidupan, serta asal-usul gerhana matahari dan
bulan.
Cerita asal-usul Raja Parikesit dikutuk Begawan Çrunggī dan karenanya mati digigit naga
Taksaka.
Cerita pelaksanaan kurban ular oleh maharaja Janamejaya, dan bagaimana Begawan
Astika mengurungkan kurban ular ini.
Cerita asal-usul dan sejarah nenek moyang Kurawa dan Pandawa. Kisah Sakuntala
(Çakuntala) yang melahirkan Bharata, yang kemudian menurunkan keluarga Bharata.
Sampai kepada sang Kuru, yang membuat tegal Kuruksetra; sang Hasti, yang mendirikan
Hastinapura; maharaja Santanu (Çantanu) yang berputra Bhîsma Dewabrata, lahirnya
Begawan Byasa (Byâsa atau Abiyasa) –sang pengarang kisah ini– sampai kepada
lahirnya Dhrestarastra (Dhŗţarāstra) –ayah para Kurawa, Pandu (Pãņdu) –ayah para
Pandawa, dan sang Widura.
Cerita kelahiran dan masa kecil Kurawa dan Pandawa. Permusuhan Kurawa dan
Pandawa kecil, kisah dang hyang Drona, hingga sang Karna menjadi adipati di Awangga.
Cerita masa muda Pandawa. Terbakarnya rumah damar, kisah sang Bima (Bhîma)
mengalahkan raksasa Hidimba dan mengawini adiknya Hidimbî (Arimbi) serta kelahiran
Gatutkaca, kemenangan Pandawa dalam sayembara Drupadi, dibaginya negara Hâstina
menjadi dua untuk Kurawa dan Pandawa, pengasingan sang Arjuna selama 12 tahun
dalam hutan, lahirnya Abimanyu (Abhimanyu) ayah sang Pariksit, hingga terbakarnya
hutan Kandhawa tempat naga Taksaka bersembunyi.
Catatan: Cerita-cerita ini dianyam dalam bentuk cerita bingkai.
Ringkasan isi Kitab Adiparwa
Adiparwa dituturkan seperti sebuah narasi. Penuturan isi kitab tersebut bermula ketika Sang
Ugrasrawa mendatangi Bagawan Sonaka yang sedang melakukan upacara di hutan Nemisa [1] .
Sang Ugrasrawa menceritakan kepada Bagawan Sonaka tentang keberadaan sebuah kumpulan
kitab yang disebut Astadasaparwa, pokok ceritanya adalah kisah perselisihan Pandawa dan
Korawa, keturunan Sang Bharata. Dari penuturan Sang Ugrasrawa, mengalirlah kisah besar
keluarga Bharata tersebut (Mahābhārata).
Perhatian: Bagian di bawah ini mungkin akan membeberkan isi cerita yang penting atau akhir
kisahnya.
Mangkatnya Raja Parikesit
Dikisahkan, ada seorang Raja bernama Parikesit, putera Sang Abimanyu, yang bertahta di
Hastinapura. Ia merupakan keturunan Sang Kuru, maka disebut juga Kuruwangsa[1]. Pada suatu
hari, beliau berburu kijang ke tengah hutan. Kijang diikutinya sampai kehilangan jejak. Di hutan
beliau berpapasan dengan seorang pendeta bernama Bagawan Samiti. Sang Raja menanyakan
kemana kijang buruannya pergi, namun sang pendeta membisu (bertapa dengan bisu). Hal
tersebut membuat Raja Parikesit marah. Ia mengambil bangkai ular, kemudian mengalungkannya
di leher sang pendeta.
Putera sang pendeta yang bernama Srenggi, mengetahui hal tersebut dari penjelasan Sang Kresa,
kemudian ia menjadi marah. Ia mengutuk Sang Raja, agar beliau wafat karena digigit ular, tujuh
hari setelah kutukan diucapkan. Setelah Sang Raja menerima kutukan tersebut, maka ia
berlindung di sebuah menara yang dijaga dan diawasi dengan ketat oleh prajurit dan para
patihnya. Di sekeliling menara juga telah siap para tabib yang ahli menangani bisa ular. Pada hari
ketujuh, yaitu hari yang diramalkan menjadi hari kematiannya, seekor naga yang bernama
Taksaka menyamar menjadi ulat pada jambu yang dihaturkan kepada Sang Raja. Akhirnya Sang
Raja mangkat setelah digigit Naga Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam jambu[1].
Raja Janamejaya mengadakan upacara korban ular
Setelah Maharaja Parikesit mangkat, puteranya yang bernama Janamejaya menggantikan
tahtanya. Pada waktu itu beliau masih kanak-kanak, namun sudah memiliki kesaktian, kepandaian,
dan wajah yang tampan. Raja Janamejaya dinikahkan dengan puteri dari Kerajaan Kasi, bernama
Bhamustiman. Raja Janamejaya memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga dunia tenteram,
setiap musuh pasti dapat ditaklukkannya. Ketika Sang Raja berhasil menaklukkan desa Taksila,
Sang Uttangka datang menghadap Sang Raja dan mengatakan niatnya yang benci terhadap Naga
Taksaka, sekaligus menceritakan bahwa penyebab kematian ayahnya adalah karena ulah Naga
Taksaka.
Sang Raja meneliti kebenaran cerita tersebut dan para patihnya membenarkan cerita Sang
Uttangka. Sang Raja dianjurkan untuk mengadakan upacara pengorbanan ular untuk membalas
Naga Taksaka. Singkat cerita, beliau menyiapakan segala kebutuhan upacara dan mengundang
para pendeta dan ahli mantra untuk membantu proses upacara. Melihat Sang Raja mengadakan
upacara tersebut, Naga Taksaka menjadi gelisah. Kemudian ia mengutus Sang Astika untuk
menggagalkan upacara Sang Raja. Sang Astika menerima tugas tersebut lalu pergi ke lokasi
upacara. Sang Astika menyembah-nyembah Sang Raja dan memohon agar Sang Raja
membatalkan upacaranya. Sang Raja yang memiliki rasa belas kasihan terhadap Sang Astika,
membatalkan upacaranya. Akhirnya, Sang Astika mohon diri untuk kembali ke Nagaloka. Naga
Taksaka pun selamat dari upacara tersebut.
Wesampayana menuturkan Mahabharata
Maharaja Janamejaya yang sedih karena upacaranya tidak sempurna, meminta Bagawan Byasa
untuk menceritakan kisah leluhurnya, sekaligus kisah Pandawa dan Korawa yang bertempur di
Kurukshetra. Karena Bagawan Byasa sibuk dengan urusan lain, maka Bagawan Wesampayana
disuruh mewakilinya. Ia adalah murid Bagawan Byasa, penulis kisah besar keluarga Bharata atau
Mahābhārata. Sesuai keinginan Raja Janamejaya, Bagawan Wesampayana menuturkan sebuah
kisah kepada Sang Raja, yaitu kisah sebelum sang raja lahir, kisah Pandawa dan Korawa, kisah
perang di Kurukshetra, dan kisah silsilah leluhur sang raja. Wesampayana mula-mula menuturkan
kisah leluhur Maharaja Janamejaya (Sakuntala, Duswanta, Bharata, Yayati, Puru, Kuru), kemudian
kisah buyutnya, yaitu Pandawa dan Korawa.
Garis keturunan Maharaja Yayati
Silsilah Dinasti Kuru dan Yadu
Leluhur Maharaja Janamejaya yang menurunkan pendiri Dinasti Puru dan Yadu bernama
Maharaja Yayati, beliau memiliki dua permaisuri, namanya Dewayani dan Sarmishta. Dewayani
melahirkan Yadu dan Turwasu, sedangkan Sarmishta melahirkan Anu, Druhyu, dan Puru.
Keturunan Sang Yadu disebut Yadawa sedangkan keturunan Sang Puru disebut Paurawa.[1]
Nahusa
Priyambada
Dewayani
Yayati
Sarmista
Yadu Turwasu Druhyu Anu Puru
Yadu menurunkan
wangsa Yadawa
Puru menurunkan
wangsa Paurawa
Dalam silsilah generasi Paurawa, lahirlah Maharaja Dushyanta, menikahi Sakuntala, yang
kemudian menurunkan Sang Bharata. Sang Bharata menaklukkan dunia dan daerah jajahannya
kemudian dikenal sebagai Bharatawarsha [1] . Sang Bharata menurunkan Dinasti Bharata. Dalam
Dinasti Bharata lahirlah Sang Kuru, yang menyucikan sebuah tempat yang disebut Kurukshetra,
kemdian menurunkan Kuruwangsa, atau Dinasti Kuru [1] .
Setelah beberapa generasi, lahirlah Prabu Santanu, yang mewarisi tahta Hastinapura. Prabu
Santanu memiliki dua istri, yaitu Dewi Gangga dan Satyawati. Dewi Gangga melahirkan Bhisma,
sedangkan Satyawati melahirkan Chitrāngada dan Wicitrawirya. Karena Chitrāngada wafat di usia
muda dan Bhisma bersumpah tidak akan mewarisi tahta, maka Wicitrawirya melanjutkan
pemerintahan ayahnya. Wicitrawirya memiliki dua permaisuri, yaitu Ambika dan Ambalika. Dari
Ambika lahirlah Drestarastra dan dari Ambalika lahirlah Pandu. Drestarastra memiliki seratus
putera yang disebut Korawaçata (seratus Korawa) sedangkan Pandu memiliki lima putera yang
disebut Panca Pandawa (lima putera Pandu).
Puru
Wangsa
Paurawa
Generasi
Paurawa
Sakuntala
Duswanta
Bharata
Watsa
Keluarga
Bharata
Yasodari
Hasti
Para Raja
Hastinapura
Kuru
Yamadi
Dinasti
Kuru
Sunanda
Pratipa
Gangga
Santanu
Satyawati
Bisma Citrānggada Ambalika
Wicitrawirya
Ambika
Madri Kunti
Pandu Dretarastra
Gandari
Pandawa Korawa
Kisah Prabu Santanu dan keturunannya
Prabu Santanu jatuh cinta kepada Satyawati, anak nelayan (dilukis oleh Raja Ravi Varma)
Tersebutlah seorang Raja bernama Pratipa, beliau merupakan salah satu keturunan Sang Kuru
atau Kuruwangsa, bertahta di Hastinapura. Raja Pratipa memiliki permaisuri bernama Sunandha
dari Kerajaan Siwi, yang melahirkan tiga putera. Di antara ketiga putera tersebut, Santanu
dinobatkan menjadi Raja. Raja Santanu menikahi Dewi Gangga, kemudian berputera 8 orang.
Tujuh puteranya yang lain ditenggelamkan ke sungai oleh istrinya sendiri, sedangkan puteranya
yang terakhir berhasil selamat karena perbuatan istrinya dicegah oleh Sang Raja. Puteranya
tersebut bernama Dewabrata, namun di kemudian hari bernama Bhisma. Raja Santanu menikah
sekali lagi dengan seorang puteri nelayan bernama Satyawati. Satyawati melahirkan 2 putera,
bernama Chitrāngada dan Wicitrawirya.
Chitrāngada mewarisi tahta ayahnya. Namun karena ia gugur di usia muda pada suatu
pertempuran melawan seorang Raja Gandharva, pemerintahannya digantikan oleh adiknya,
Wicitrawirya [1] . Wicitrawirya menikahi Ambika dan Ambalika dari Kerajaan Kasi. Tak lama setelah
pernikahannya, Wicitrawirya wafat. Untuk memperoleh keturunan, kedua janda Wicitrawirya
melangsungkan upacara yang dipimpin oleh Bagawan Byasa. Ambika melahirkan Drestarastra
yang buta sedangkan Ambalika melahirkan Pandu yang pucat. Atas anugerah Bagawan Byasa,
seorang pelayan yang turut serta dalam upacara tersebut melahirkan seorang putera, bernama
Widura yang sedikit pincang[1]. Drestarastra menikahi Gandari kemudian memiliki seratus putera
yang disebut Korawa. Pandu menikahi Kunti dan Madri. Kunti melahirkan Yudistira, Bhima, dan
Arjuna. Madri melahirkan Nakula dan Sadewa. Keturunan Pandu tersebut disebut Pandawa.
Kisah masa kecil Pandawa dan Korawa
Pandawa dan Korawa hidup bersama-sama di istana Hastinapura. Bagawan Drona mendidik
mereka semasa kanak-kanak, bersama dengan puteranya yang bernama Aswatama. Selain itu
mereka diasuh pula oleh Bhisma dan Bagawan Kripa. Setelah Pandu mangkat, kakaknya yang
bernama Drestarastra melanjutkan pemerintahan. Drestarastra melihat talenta para Pandawa dan
hendak mencalonkan Yudistira sebagai Raja, namun hal tersebut justru menimbulkan sikap iri hati
dalam diri Duryodana, salah satu Korawa. Tingkah laku Bima yang tanpa sengaja merugikan para
Korawa juga sering membuat Duryodana dan adik-adiknya kesal.
Terbakarnya rumah damar
Suatu hari Duryodana berpikir ia bersama adiknya mustahil untuk dapat meneruskan tahta Dinasti
Kuru apabila sepupunya masih ada. Mereka semua (Pandawa lima dan sepupu-sepupunya atau
yang dikenal juga sebagai Korawa) tinggal bersama dalam suatu kerajaan yang beribukota di
Hastinapura. Akhirnya berbagai niat jahat muncul dalam benaknya untuk menyingkirkan Pandawa
lima beserta ibunya.
Drestarastra yang mencintai keponakannya secara berlebihan mengangkat Yudistira sebagai putra
mahkota tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru sehingga ia tidak
memikirkan perasaan anaknya. Hal ini menyebabkan Duryodana iri hati dengan Yudistira, ia
mencoba untuk membunuh pandawa lima beserta ibu mereka yang bernama Kunti dengan cara
menyuruh mereka berlibur ke tempat yang bernama Ekacakra. Di sana terdapat bangunan yang
megah, yang telah disiapkan Duryodana untuk mereka berlibur dan akan membakar bagunan itu di
tengah malam pada saat pandawa lima sedang terlelap tidur. Segala sesuatunya yang sudah
direncanakan Duryodana dibocorkan oleh Widura yang merupakan paman dari Pandawa lima.
Sebelum itu juga Yudistira juga telah diingatkan oleh seorang petapa yang datang ke dirinya
bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh karena itu Yudistira pun sudah berwaspada
terhadap segala kemungkinan. Untuk pertama kalinya Yudistira lolos dalam perangkap Duryodana
dan melarikan diri ke hutan rimba.
Pandawa mendapatkan Dropadi
Pada suatu hari, Pandawa mengikuti sayembara yang diselenggarakan Raja Drupada di Kerajaan
Panchala. Sayembara tersebut memperebutkan Dewi Dropadi. Banyak ksatria di penjuru
Bharatawarsha turut menghadiri. Para Pandawa menyamar sebagai seorang Brāhmana. Sebuah
sasaran diletakkan di tengah-tengah arena, dan siapa yang berhasil memanah sasaran tersebut
dengan tepat, maka ialah yang berhasil mendapatkan Dropadi. Satu-persatu ksatria maju, namun
tidak ada satu pun yang berhasil memanah dengan tepat. Ketika Karna dari Kerajaan Anga turut
serta, ia berhasil memanah sasaran dengan baik. Namun Dropadi menolak untuk menikahi Karna
karena karna anak seorang kusir yang tentu lebih rendah kastanya. Karna kecewa tetapi juga
kesal terhadap Dropadi.
Para Pandawa yang diwakili oleh Arjuna turut serta. Arjuna berpakaian seperti Brāhmana. Ketika ia
tampil ke muka, ia berhasil memanah sasaran dengan baik, maka Dropadi berhak menjadi
miliknya. Namun hal tersebut menimbulkan kericuhan karena seorang Brāhmana tidak pantas
untuk mengikuti sayembara yang ditujukan kepada golongan ksatria. Arjuna dan Bima pun
berkelahi dengan para ksatria di sana, sementara Yudistira, Nakula dan Sadewa melarikan
Dropadi ke rumah mereka. Sesampainya di rumah, Pandawa berseru, "Ibu, kami datang
membawa hasil meminta-minta". Kunti, ibu para Pandawa, tidak melihat apa yang dibawa oleh
anak-anaknya karena sibuk dan berkata, "Bagi dengan rata apa yang kalian peroleh". Ketika ia
menoleh, alangkah terkejutnya ia karena anak-anaknya tidak saja membawa hasil meminta-minta,
namun juga seorang wanita. Kunti yang tidak mau berdusta, membuat anak-anaknya untuk
berbagai istri[1].
Arjuna mengasingkan diri ke hutan
Para Pandawa sepakat untuk membagi Dropadi sebagai istri. Mereka juga berjanji tidak akan
mengganggu Dropadi ketika sedang bermesraan di kamar bersama dengan salah satu dari
Pandawa. Hukuman dari perbuatan yang mengganggu adalah pembuangan selama 12 tahun.
Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang
pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para rakshasa. Arjuna
yang merasa memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya. Namun
senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana Yudistira dan Dropadi sedang menikmati
malam mereka. Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil senjata, tidak
mempedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut,
Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan selama 12 tahun. Arjuna menerima hukuman
tersebut dengan ikhlas.
Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau
daratan India Kuno. Selama masa pengasingannya, Arjuna memiliki tiga istri lagi. Mereka adalah:
Subadra (adik Sri Kresna), Ulupi, dan Citrangada. Dari hubungannya dengan Subadra anaknya
bernama Abimanyu. Dengan Ulupi anaknya bernama Irawan. Dengan Citrangada anaknya
bernama Babruwahana.
Kisah lain dalam Kitab Adiparwa
Selain kisah Pandawa dan Korawa, Sang Ugrasrawa juga menuturkan kisah lain kepada Bagawan
Sonaka, yang berbentuk cerita bingkai, sehingga alur ceritanya campuran, tidak mengalir ke depan
melainkan meloncat-loncat[1].
Perhatian: Bagian di bawah ini mungkin akan membeberkan isi cerita yang penting atau akhir
kisahnya.
Kisah Bagawan Dhomya menguji tiga muridnya
Dikisahkan seorang Brāhmana bernama Bagawan Dhomya, tinggal di Ayodhya. Ia memiliki 3
murid, bernama: Sang Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda. Ketiganya akan diuji
kesetiaannya oleh Sang Guru. Sang Arunika disuruh bersawah. Dengan berhati-hati Sang Arunika
merawat biji padi yang ditanamnya. Ketika biji-bijinya sedang tumbuh, datanglah hujan membawa
air bah yang kemudian merusak pematang sawahnya. Ia khawatir kalau air tersebut akan merusak
tanamannya, maka ia perbaiki pematangnya untuk menahan air. Berkali-kali usahanya gagal dan
pematangnya jebol, maka ia merebahkan dirinya sebagai pengganti pematang yang jebol untuk
menahan air. Karena kesetiannya tersebut, Sang Arunika diberikan anugerah kesaktian oleh
Bagawan Dhomya.
Sementara itu, Sang Utamanyu disuruh mengembala sapi. Sang Utamanyu tidak diperbolehkan
untuk meminta-minta air kalau ia sedang haus saat mengembala sapi, maka ia menjilat susu sapi
yang digembalanya. Hal tersebut juga ditentang oleh Sang Guru, maka Sang Utamanyu
menghisap getah daun “waduri” untuk menghilangkan dahaga. Hal tersebut mengakibatkan
matanya buta. Ia tidak tahu jalan sehingga terperosok ke dalam sumur kering. Sampai sore, Sang
Utamanyu tidak juga kembali pulang, gurunya menjadi cemas. Ketika dicari, didapatinya Sang
Utamanyu berada dalam sebuah sumur. Bagawan Dhomya kemudian mendengarkan cerita Sang
Utamanyu. Karena kesetiannya terhadap kewajiban, Sang Utamanyu diberikan mantra sakti yang
mampu menyembuhkan penyakit oleh Bagawan Dhomya.
Sementara itu, Sang Weda disuruh tinggal di dapur untuk menyediakan hidangan yang terbaik
buat gurunya. Sang Weda selalu menuruti perintah gurunya, meski yang buruk sekalipun. Segala
perintah gurunya dikerjakan dengan baik. Maka dari itu, Sang Weda dianugerahi segala macam
ilmu pengetahuan, mantra Veda, dan kecerdasan.
Kisah Sang Winata dan Sang Kadru
Dikisahkan terdapat seorang Maharsi bernama Bagawan Kasyapa, putera bagawan Marici, cucu
Dewa Brahma. Ia diberi oleh Bagawan daksa empat belas puteri. Keempat belas puteri tersebut
bernama: Aditi, Diti, Danu, Aristi, Anayusa, Kasa, Surabhi, Winata, Kadru, Ira, Parwa, Mregi,
Krodhawasa, Tamra. Di antara empat belas puteri tersebut, Sang Winata dan Kadru tidak memiliki
anak. Mereka berdua kemudian memohon belas kasihan Bagawan Kasyapa. Sang Kadru
memohon seribu anak sedangkan Sang Winata hanya memohon dua anak. Kemudian Bagawan
Kasyapa memberikan Sang Kadru seribu butir telur sedangkan Sang Winata diberikan dua butir
telur. Kedua puteri tersebut kemudian merawat telur masing-masing dengan baik.
Singkat cerita, seribu butir telur milik Sang Kadru menetas, dan lahirlah para Naga. Yang
terkemuka adalah Sang Anantabhoga, Sang Wasuki, dan Sang Taksaka. Sementara telur Sang
Kadru sudah menetas semuanya, telur Sang Winata belum menetas. Karena tidak sabar, maka
telurnya dipecahkan. Ketika pecah, terlihatlah seorang anak yang baru setengah jadi, bagian tubuh
ke atas lengkap sedangkan dari pinggang ke bawah tidak ada. Sang anak marah karena
ditetaskan sebelum waktunya. Anak tersebut kemudian mengutuk ibunya supaya diperbudak oleh
Sang Kadru berlebih-lebihan. Kelak, saudaranya yang akan menetas akan menyelamatkan ibunya
dari perbudakan. Anak tersebut kemudian diberi nama Sang Aruna, karena tidak memiliki kaki dan
paha. Sang Aruna menjadi sais (kuir) kereta Dewa Surya [1] .
Kisah pemutaran Mandaragiri
Kurma Awatara sebagai kura-kura yang menjadi dasar Mandaragiri
Dikisahkan, pada zaman dahulu kala, para Dewa, detya, dan rakshasa mengadakan rapat untuk
mencari tirta amerta (air suci). Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) mengatakan bahwa tirta tersebut
berada di dasar laut Ksira. Cara mendapatkannya adalah dengan mengaduk lautan tersebut. Para
Dewa, detya, dan rakshasa kemudian menuju laut Ksira. Untuk mengaduknya, Naga Wasuki
mencabut gunung Mandara (Mandaragiri) di pulau Sangka sebagai tongkat pengaduk. Gunung
tersebut dibawa ke tengah lautan. Seekor kura-kura (Kurma) besar menjadi penyangga/dasar
gunung tersebut. Sang Naga melilit gunung tersebut, kemudian para Dewa memegang ekornya,
sedangkan rakshasa dan detya memegang kepalanya. Dewa Indra berdiri di puncaknya agar
gunung tidak melambung ke atas.
Beberapa lama setelah gunung diputar, keluarlah Ardhachandra, Dewi Sri, Dewi Lakshmi, kuda
Uccaihsrawa, dan Kastubhamani. Semuanya berada di pihak para Dewa. kemudian, munculah
Dhanwantari membawa kendi tempat tirta amerta. Para detya ingin agar tirta tersebut menjadi milik
mereka sebab sejak awal tidak pernah dapat bagian. Tirta amerta pun menjadi milik mereka. Para
Dewa memikirkan cara untuk merebut tirta tersebut. akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya
menjadi seorang wanita cantik, kemudian mendekati para rakshasa dan detya. Para rakshasa-
daitya yang melihatnya menjadi terpesona, dan menyerahkan kendi berisi tirta tersebut. Wanita
cantik itu kemudian pergi sambil membawa tirta amerta dan berubah kembali menjadi Dewa
Wisnu.
Para detya yang melihatnya menjadi marah. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran antara
para Dewa dan rakshasa-detya. Kemudian Dewa Wisnu teringat dengan senjata chakra-nya.
Senjata chakra kemudian turun dari langit dan menyambar-nyambar para rakshasa-detya. Banyak
dari mereka yang lari terbirit-birit karena luka-luka. Akhirnya ada yang menceburkan diri ke laut
dan masuk ke dalam tanah. Para Dewa akhirnya berhasil membawa tirta amerta ke surga.
Kisah Sang Garuda dan para Naga
Lukisan Garuda karya I Made Tlaga, seniman Bali, abad ke-19. Sekarang lukisan ini disimpan di
Universitas Leiden.
Dikisahkan, pada suatu hari Sang Winata dan Sang Kadru, istri Bagawan Kasyapa, mendengar
kabar tentang keberadaan seekor kuda bernama Uccaihsrawa, hasil pemutaran Gunung Mandara
atau Mandaragiri. Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda tersebut putih semua, sedangkan
Sang Kadru mengatakan bahwa tubuh kuda tersebut berwarna putih sedangkan ekornya saja yang
hitam. Karena berbeda pendapat, mereka berdua bertaruh, siapa yang tebakannya salah akan
menjadi budak. Mereka berencana untuk menyaksikan warna kuda itu besok sekaligus
menentukan siapa yang salah.
Sang Kadru menceritakan masalah taruhan tersebut kepada anak-anaknya. Anak-anaknya
mengatakan bahwa ibunya sudah tentu akan kalah, karena warna kuda tersebut putih belaka.
Sang Kadru pun cemas karena merasa kalah taruhan, maka dari itu ia mengutus anak-anaknya
untuk memercikkan bisa ke ekor kuda tersebut supaya warnanya menjadi hitam. Anak-anaknya
menolak untuk melaksanakannya karena merasa perbuatan tersebut tidak pantas. Sang Kadru
yang marah mengutuk anak-anaknya supaya mati ditelan api pada saat upacara pengorbanan ular
yang diselenggarakan Raja Janamejaya. Mau tak mau, akhirnya anak-anaknya melaksanakan
perintah ibunya. Mereka pun memercikkan bisa ular ke ekor kuda Uccaihsrawa sehingga
warnanya yang putih kemudian menjadi hitam. Akhirnya Sang Kadru memenangkan taruhan
sehingga Sang Winata harus menjadi budaknya.
Sementara itu, telur yang diasuh Sang Winata menetas lalu munculah burung gagah perkasa yang
kemudian diberi nama Garuda. Sang Garuda mencari-cari kemana ibunya. Pada akhirnya ia
mendapati ibunya diperbudak Sang Kadru untuk mengasuh para naga. Sang Garuda membantu
ibunya mengasuh para naga, namun para naga sangat lincah berlari kesana-kemari. Sang Garuda
kepayahan, lalu menanyakan para naga, apa yang bisa dilakukan untuk menebus perbudakan
ibunya. Para naga menjawab, kalau Sang Garuda mampu membawa tirta amerta ke hadapan para
naga, maka ibunya akan dibebaskan. Sang Garuda menyanggupi permohonan tersebut.
Singkat cerita, Sang Garuda berhasil menghadapi berbagai rintangan dan sampai di tempat tirta
amerta. Pada saat Sang Garuda ingin mengambil tirta tersebut, Dewa Wisnu datang dan
bersabda, “Sang Garuda, jika engkau ingin mendapatkan tirta tersebut, mintalah kepadaku, nanti
pasti aku berikan”. Sang Garuda menjawab, “Tidak selayaknya jika saya meminta kepada anda
sebab anda lebih sakti daripada saya. Karena tirta amerta anda tidak mengenal tua dan mati,
sedangkan saya tidak. Untuk itu, berikanlah kepada saya anugerah yang lain”. Dewa Wisnu
berkata, “Jika demikian, aku memintamu untuk menjadi kendaraanku, sekaligus menjadi lambang
panji-panjiku”. Sang Garuda setuju dengan permohonan tersebut sehingga akhirnya menjadi
kendaraan Dewa Wisnu. Kemudian Sang Garuda terbang membawa tirta, namun Dewa Indra tidak
setuju kalau tirta tersebut diberikan kepada para naga. Sang Garuda mengatakan bahwa tirta
tersebut akan diberikan kalau para naga sudah selesai mandi.
Sampailah Sang Garuda ke tempat tinggal para naga. Para naga girang ingin segera meminum
amerta, namun Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut boleh diminum jika para naga
mandi terlebih dahulu. Para naga pun mandi sesuai dengan syarat yang diberikan, tetapi setelah
selesai mandi, tirta amerta sudah tidak ada lagi karena dibawa kabur oleh Dewa Indra. Para naga
kecewa dan hanya mendapati beberapa percikan tirta amerta tertinggal pada daun ilalang. Para
naga pun menjilati daun tersebut sehingga lidahnya tersayat dan terbelah. Daun ilalang pun
menjadi suci karena mendapat tirta amerta. Sementara itu Sang Garuda terbang ke surga karena
merasa sudah menebus perbudakan ibunya.
Bahasa dan sejarah
Sebagaimana kisah induknya, Mahabharata, kitab Adiparwa ini semula dituliskan dalam bahasa
Sansekerta dan dianggap sebagai cerita suci bagi pemeluk agama Hindu. Tidak tercatat kapan
persisnya kisah ini masuk ke Indonesia. Akan tetapi, sebagaimana disebutkan dalam bagian
pendahuluan Adiparwa versi Jawa Kuna, kitab ini telah disalin ke dalam bahasa Jawa kuna atau
juga dikenal sebagai bahasa Kawi pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh
(kerajaan Kediri, tahun 991-1016) (Zoetmulder, 1994).
Adiparwa versi Jawa Kuna yang dicetak ulang oleh Phalgunadi dan diterjemahkan dalam bahasa
Inggris pada tahun 1990
Pengaruh dalam budaya
Kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa Sansekerta ke Bahasa Jawa Kuno atau Bahasa
Kawi, banyak digubah menjadi cerita pewayangan[2]. Dalam kitab Adiparwa yang diterjemahkan
dari Bahasa Sansekerta mungkin terdapat perbedaan dengan lakon pewayangannya, yang
kadang-kadang besar sekali, sehingga memberi kesan bahwa segala sesuatunya terjadi di Jawa. [2]
Hal ini disebabkan oleh kecerdasan para pujangga masa lampau yang mampu memindah alam
pikiran para pembaca atau pendengarnya dari suasana India menjadi Jawa Asli [2]. Jika
Hastinapura sebenarnya terdapat di India, maka nama-nama seperti Jonggringsalaka,
Pringgandani, Indrakila, Gua Kiskenda, sampai Gunung Mahameru dibawa ke tanah Jawa[2].
Begitu pula dengan tokoh Pancawala (Pancakumara). Jika dalam versi aslinya mereka terdiri dari
lima orang, maka dalam pewayangan mereka dikatakan hanya satu orang saja. Menurut Mulyono
dalam artikelnya berjudul “Dewi Dropadi:Antara kitab Mahabharata dan Pewayangan Jawa”, ia
menyatakan bahwa terjadinya perbedaan cerita tentang Pancawala antara kitab Mahabharata
dengan cerita dalam pewayangan Jawa karena pengaruh perkembangan agama Islam di tanah
Jawa [3] . Hal serupa juga terjadi pada kisah Dewi Dropadi dalam kitab Adiparwa. Jika dalam
Adiparwa ia bersuami lima orang, maka dalam pewayangan Jawa (yang sudah terkena pengaruh
Islam) Dropadi hanya bersuami satu orang saja. Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh
memiliki suami lebih dari satu. Maka dari itu, cerita Dewi Dropadi dalam kitab Mahabharata versi
asli yang bercorak Hindu menyalahi hukum Islam. Untuk mengantisipasinya, para pujangga
ataupun seniman Islam mengubah cerita tersebut agar sesuai dengan ajaran Islam [3] . Pancawala
yang sebenarnya merupakan lima putera Pandawa pun diubah menjadi seorang tokoh yang
merupakan putera Yudistira saja[3].
Sabhaparwa
Sabhaparwa adalah buku kedua Mahabharata. Buku ini menceritakan alasan mengapa sang
Pandawa Lima ketika diasingkan dan harus masuk ke hutan serta tinggal di sana selama 12 tahun
dan menyamar selama 1 tahun. Di dalam buku ini diceritakan bagaimana mereka berjudi dan kalah
dari Duryodana.
Ringkasan isi Kitab Sabhaparwa
Niat licik Duryodana dan Sangkuni
Semenjak pulang dari Indraprastha, Duryodana sering termenung memikirkan usaha untuk
mendapatkan kemegahan dan kemewahan yang ada di Indraprastha. Ia ingin sekali mendapatkan
harta dan istana milik Pandawa. Namun ia bingung bagaimana cara mendapatkannya. Terlintas
dalam benak Duryodana untuk menggempur Pandawa, namun dicegah oleh Sangkuni.
Sangkuni berkata, "Aku tahu Yudistira suka bermain dadu, namun ia tidak tahu cara bermain dadu
dengan akal-akalan. Sementara aku adalah rajanya main dadu dengan akal-akalan. Untuk itu,
undanglah dia, ajaklah main dadu. Nantinya, akulah yang bermain dadu atas nama anda. Dengan
kelicikanku, tentu dia akan kalah bermain dadu denganku. Dengan demikian, anda akan dapat
memiliki apa yang anda impikan".
Duryodana tersenyum lega mendengar saran pamannya. Bersama Sangkuni, mereka mengajukan
niat tersebut kepada Dretarastra untuk mengundang Pandawa main dadu. Duryodana juga
menceritakan sikapnya yang iri dengan kemewahan Pandawa. Dretarastra ingin
mempertimbangkan niat puteranya tersebut kepada Widura, namun karena mendapat hasutan dari
Duryodana dan Sangkuni, maka Dretarastra menyetujuinya tanpa pertimbangan Widura.
Pandawa dan Korawa main dadu
Dropadi dihina di muka umum saat Pandawa dan kalah main dadu dengan Korawa
Dretarastra menyiapkan arena judi di Hastinapura, dan setelah selesai ia mengutus Widura untuk
mengundang Pandawa bermain dadu di Hastinapura. Yudistira sebagai kakak para Pandawa,
menyanggupi undangan tersebut. dengan disertai para saudaranya beserta istri dan pengawal,
Yudistira berangkat menuju Hastinapura. Sesampainya di Hastinapura, rombongan mereka
disambut dengan ramah oleh Duryodana. Mereka beristirahat di sana selama satu hari, kemudian
menuju ke arena perjudian.
Yudistira berkata, "Kakanda Prabu, berjudi sebetulanya tidak baik. Bahkan menurut para orang
bijak, berjudi sebaiknya dihindari karena sering terjadi tipu-menipu sesama lawan". Setelah
mendengar perkataan Yudistira, Sangkuni menjawab, "Ma'af paduka Prabu. Saya kira jika anda
berjudi dengan Duryodana tidak ada jeleknya, sebab kalian masih bersaudara. Apabila paduka
yang menang, maka kekayaan Duryodana tidaklah hilang sia-sia. Begitu pula jika Duryodana
menang, maka kekayaan paduka tidaklah hilang sia-sia karena masih berada di tangan saudara.
Untuk itu, apa jeleknya jika rencana ini kita jalankan?"
Yudistira yang senang main dadu akhirnya terkena rayuan Sangkuni. Maka permainan dadu pun
dimulai. Yudistira heran kepada Duryodana yang diwakilkan oleh Sangkuni, sebab dalam berjudi
tidak lazim kalau diwakilkan. Sangkuni yang berlidah tajam, sekali lagi merayu Yudistira. Yudistira
pun termakan rayuan Sangkuni.
Mula-mula Yudistira mempertaruhkan harta, namun ia kalah. Kemudian ia mempertaruhkan harta
lagi, namun sekali lagi gagal. Begitu seterusnya sampai hartanya habis dipakai sebagai taruhan.
Setelah hartanya habis dipakai taruhan, Yudistira mempertaruhkan prajuritnya, namun lagi-lagi ia
gagal. Kemudian ia mempertaruhkan kerajaannya, namun ia kalah lagi sehingga kerajaannya
lenyap ditelan dadu. Setelah tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan, Yudistira
mempertaruhkan adik-adiknya. Sangkuni kaget, namun ia juga sebenarnya senang. Berturut-turut
Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima dipertaruhkan, namun mereka semua akhirnya menjadi milik
Duryodana karena Yudistira kalah main dadu.
Dropadi dihina di muka umum
Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi, namun kain tersebut terulur-
ulur terus dan tak habis-habis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna
Harta, istana, kerajaan, prajurit, dan saudara Yudistira akhirnya menjadi milik Duryodana. Yudistira
yang tidak memiliki apa-apa lagi, nekat mempertaruhkan dirinya sendiri. Sekali lagi ia kalah
sehingga dirinya harus menjadi milik Duryodana. Sangkuni yang berlidah tajam membujuk
Yudistira untuk mempertaruhkan Dropadi. Karena termakan rayuan Sangkuni, Yudistira
mempertaruhkan istrinya, yaitu Dewi Dropadi. Banyak yang tidak setuju dengan tindakan Yudistira,
namun mereka semua membisu karena hak ada pada Yudistira.
Duryodana mengutus Widura untuk menjemput Dropadi, namun Widura menolak tindakan
Duryodana yang licik tersebut. karena Widura menolak, Duryodana mengutus para pengawalnya
untuk menjemput Dropadi. Namun setelah para pengawalnya tiba di tempat peristirahatan Dropadi,
Dropadi menolak untuk datang ke arena judi. Setelah gagal, Duryodana menyuruh Dursasana,
adiknya, untuk menjemput Dropadi. Dropadi yang menolak untuk datang, diseret oleh Dursasana
yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Dropadi menangis dan menjerit-jerit karena rambutnya
ditarik sampai ke arena judi, tempat suami dan para iparnya berkumpul.
Dengan menangis terisak-isak, Dropadi berkata, "Sungguh saya tidak mengira kalau di Hastina kini
telah kehilangan banyak orang bijak. Buktinya, di antara sekian banyak orang, tidak ada seorang
pun yang melarang tindakan Dursasana yang asusila tersebut, ataukah, memang semua orang di
Hastina kini telah seperti Dursasana?", ujar Dropadi kepada semua orang yang hadir di balairung.
Para orangtua yang mendengar perkataan Dropadi tersebut tersayat hatinya, karena tersinggung
dan malu.
Wikarna, salah satu Korawa yang masih memiliki belas kasihan kepada Dropadi, berkata, "Tuan-
Tuan sekalian yang saya hormati! Karena di antara Tuan-Tuan tidak ada yang menanggapi
peristiwa ini, maka perkenankanlah saya mengutarakan isi hati saya. Pertama, saya tahu bahwa
Prabu Yudistira kalah bermain dadu karena terkena tipu muslihat paman Sangkuni! Kedua, karena
Prabu Yudistira kalah memperteruhkan Dewi Dropadi, maka ia telah kehilangan kebebasannya.
Maka dari itu, taruhan Sang Prabu yang berupa Dewi Dropadi tidak sah!"
Para hadirin yang mendengar perkataan Wikarna merasa lega hatinya. Namun, Karna tidak setuju
dengan Wikarna. Karna berkata, "Hei Wikarna! Sungguh keterlaluan kau ini. Di ruangan ini banyak
orang-orang yang lebih tua daripada kau! Baliau semuanya tentu tidak lebih bodoh daripada kau!
Jika memang tidak sah, tentu mereka melarang. Mengapa kau berani memberi pelajaran kepada
beliau semua? Lagipula, mungkin memang nasib Dropadi seperti ini karena kutukan Dewa.
cobalah bayangkan, pernahkah kau melihat wanita bersuami sampai lima orang?"
Mendengar perkataan Karna, Wikarna diam dan membisu. Karena sudah kalah, Yudistira dan
seluruh adiknya beserta istrinya diminta untuk menanggalkan bajunya, namun hanya Dropadi yang
menolak. Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi. Dropadi berdo'a
kepada para Dewa agar dirinya diselamatkan. Sri Kresna mendengar do'a Dropadi. Secepatnya ia
menolong Dropadi secara gaib. Sri Kresna mengulur kain yang dikenakan Dropadi, sementara
Dursasana yang tidak mengetahuinya menarik kain yang dikenakan Dropadi. Hal tersebut
menyebabkan usaha Dursasana menelanjangi Dropadi tidak berhasil. Pertolongan Sri Kresna
disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna pada saat upacara
Rajasuya di Indraprastha.
Pandawa dibuang ke tengah hutan
Melihat perbuatan Dursasana yang asusila, Bima bersumpah kelak dalam Bharatayuddha ia akan
merobek dada Dursasana dan meminum darahnya. Setelah bersumpah, terdengarlah lolongan
anjing dan serigala, tanda bahwa malapetaka akan terjadi. Dretarastra mengetahui firasat buruk
yang akan menimpa keturunannya, maka ia segera mengambil kebijaksanaan. Ia memanggil
Pandawa beserta Dropadi.
Dretarastra berkata, "O Yudistira, engkau tidak bersalah. Karena itu, segala sesuatu yang menjadi
milikmu, kini kukembalikan lagi kepadamu. Ma’afkanlah saudara-saudaramu yang telah
berkelakuan gegabah. Sekarang, pulanglah ke Indraprastha".
Setelah mendapat pengampunan dari Dretarastra, Pandawa beserta istrinya mohon diri.
Duryodana kecewa, ia menyalahkan perbuatan ayahnya yang mengembalikan harta Yudistira.
Dengan berbagai dalih, Duryodana menghasut ayahnya. Karena Dretarastra berhati lemah, maka
dengan mudah sekali ia dihasut, maka sekali lagi ia mengizinkan rencana jahat anaknya.
Duryodana menyuruh utusan agar memanggil kembali Pandawa ke istana untuk bermain dadu.
Kali ini, taruhannya adalah siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun,
dan setelah masa pengasingan berakhir (yaitu pada tahun ke-13), yang kalah harus menyamar
selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-14, barulah boleh kembali ke istana.
Sebagai kaum ksatria, Pandawa tidak menolak undangan Duryodana untuk yang kedua kalinya
tersebut. Sekali lagi, Pandawa kalah. Sesuai dengan perjanjian yang sah, maka Pandawa beserta
istrinya mengasingkan diri ke hutan, hidup dalam masa pembuangan selama 12 tahun. Setelah itu
menyamar selama satu tahun. Setelah masa penyamaran, maka para Pandawa kembali lagi ke
istana untuk memperoleh kerajaannya.
Sabhaparwa di Indonesia
Kitab Sabhaparwa juga dikenal dalam khazanah Sastra Jawa Kuna.
Wirataparwa
Wirataparwa menceritakan kisah ketika para Pandawa harus bersembunyi selama setahun setelah
mereka dibuang selama duabelas tahun di hutan. Kisah pembuangan ini diceritakan di
Wanaparwa.
Maka para Pandawa bersembunyi di kerajaan Wirata. Jika mereka ketahuan, maka harus dibuang
selama 12 tahun lagi. Di sana sang Yudistira menyamar sebagai seorang brahmana bernama
Kangka. Sang Werkodara menyamar sebagai seorang juru masak dan pegulat bernama Balawa.
Lalu sang Arjuna menyamar sebagai seorang wandu yang mengajar tari dan nyanyi. Sang Nakula
menjadi seorang penggembala kuda dan sang Sadewa menjadi penggembala sapi. Lalu Dewi
Dropadi menjadi seorang perias bernama Sairindi.
Alkisah patih Wirata, sang Kicaka jatuh cinta kepada Sairindi dan ingin menikahinya. Tetapi ia
ditolak dan memaksa. Lalu sang Balawa membunuhnya. Hal ini hampir saja membuat samaran
mereka ketahuan.
Lalu negeri Wirata diserang oleh musuh Pandawa, para Korawa dari negeri Astina. Para Pandawa
berperang melawan mereka, membela Wirata. Setelah perang usai, kedok mereka ketahuan.
Tetapi mereka sudah bersembunyi selama setahun, jadi tidak apa-apa.
Udyogaparwa
Dalam Udyogaparwa, buku kelima Mahabharata ini sang Kresna berperan sebagai duta untuk
menengahi konflik antara para Korawa dan para Pandawa. Tetapi bantuan beliau tidak berhasil
dan akhirnya akan menjadi perang Bharatayuddha.
Bhismaparwa
Para Raja dan Ksatria meniup terompet kerang mereka tanda pertempuran akan segera dimulai
Bhismaparwa konon merupakan bagian terpenting Mahabharata karena kitab keenam ini
mengandung kitab Bhagawad Gita. Dalam Bhismaparwa dikisahkan bagaimana kedua pasukan,
pasukan Korawa dan pasukan Pandawa berhadapan satu sama lain sebelum Bharatayuddha
dimulai. Lalu sang Arjuna dan kusirnya sang Kresna berada di antara kedua pasukan. Arjuna pun
bisa melihat bala tentara Korawa dan para Korawa, sepupunya sendiri. Iapun menjadi sedih
karena harus memerangi mereka. Walaupun mereka jahat, tetapi Arjuna teringat bagaimana
mereka pernah dididik bersama-sama sewaktu kecil dan sekarang berhadapan satu sama lain
sebagai musuh. Lalu Kresna memberi Arjuna sebuah wejangan. Wejangannya ini disebut dengan
nama Bhagawad Gita atau "Gita Sang Bagawan", artinya adalah nyanyian seorang suci.
Bhismaparwa diakhiri dengan dikalahkannya Bisma, kakek para Pandawa dan Korawa. Bisma
mempunyai sebuah kesaktian bahwa ia bisa meninggal pada waktu yang ditentukan sendiri. Lalu
ia memilih untuk tetap tidur terbentang saja pada "tempat tidur panahnya" (saratalpa) sampai
perang Bharatayuddha selesai. Bisma terkena panah banyak sekali sampai ia terjatuh tetapi
tubuhnya tidak menyentuh tanah, hanya ujung-ujung panahnya saja.
Ringkasan isi Kitab Bhismaparwa
Janamejaya bertanya, "Bagaimanakah para pahlawan bangsa Kuru, Pandawa, dan Somaka,
beserta para rajanya yang berasal dari berbagai kerajaan itu mengatur pasukannya siap untuk
bertempur?"
Mendengar pertanyaan tersebut, Wesampayana menguraikan dengan detail, kejadian-kejadian
yang sedang berlangsung di medan perang Kurukshetra.
Suasana di medan perang, Kurukshetra
Sebelum pertempuran dimulai, kedua belah pihak sudah memenuhi daratan Kurukshetra. Para
Raja terkemuka pada zaman India Kuno seperti misalnya Drupada, Sudakshina Kamboja, Bahlika,
Salya, Wirata, Yudhamanyu, Uttamauja, Yuyudhana, Chekitana, Purujit, Kuntibhoja, dan lain-lain
turut berpartisipasi dalam pembantaian besar-besaran tersebut. Bisma, Sang sesepuh Wangsa
Kuru, mengenakan jubah putih dan bendera putih, bersinar, dan tampak seperti gunung putih.
Arjuna menaiki kereta kencana yang ditarik oleh empat ekor kuda putih dan dikemudikan oleh
Kresna, yang mengenakan jubah sutera kuning.
Pasukan Korawa menghadap ke barat, sedangkan pasukan Pandawa menghadap ke timur.
Pasukan Korawa terdiri dari 11 divisi, sedangkan pasukan Pandawa terdiri dari 7 divisi. Pandawa
mengatur pasukannya membentuk formasi Bajra, formasi yang konon diciptakan Dewa Indra.
Pasukan Korawa jumlahnya lebih banyak daripada pasukan Pandawa, dan formasinya lebih
menakutkan. Fomasi tersebut disusun oleh Drona, Bisma, Aswatama, Bahlika, dan Kripa yang
semuanya ahli dalam peperangan. Pasukan gajah merupakan tubuh formasi, para Raja
merupakan kepala dan pasukan berkuda merupakan sayapnya. Yudistira sempat gemetar dan
cemas melihat formasi yang kelihatannya sulit ditembus tersebut, namun setelah mendapat
penjelasan dari Arjuna, rasa percaya dirinya bangkit.
Turunnya Bhagawad Gita
Sebelum pertempuran dimulai, terlebih dahulu Bisma meniup terompet kerangnya yang
menggemparkan seluruh medan perang, kemudian disusul oleh para Raja dan ksatria, baik dari
pihak Korawa maupun Pandawa. Setelah itu, Arjuna menyuruh Kresna yang menjadi kusir
keretanya, agar membawanya ke tengah medan pertempuran, supaya Arjuna bisa melihat siapa
yang sudah siap bertarung dan siapa yang harus ia hadapi nanti di medan pertempuran.
Di tengah medan pertempuran, Arjuna melihat kakeknya, gurunya, teman, saudara, ipar, dan
kerabatnya berdiri di medan pertempuran, siap untuk bertempur. Tiba-tiba Arjuna menjadi lemas
setelah melihat keadaan itu. Ia tidak tega untuk membunuh mereka semua. Ia ingin mengundurkan
diri dari medan pertempuran.
Arjuna berkata, "Kresna yang baik hati, setelah melihat kawan-kawan dan sanak keluarga di
hadapan saya, dengan semangat untuk bertempur seperti itu, saya merasa anggota-anggota
badan saya gemetar dan mulut saya terasa kering.....Kita akan dikuasai dosa jika membunuh
penyerang seperti itu. Karena itu, tidak pantas kalau kita membunuh para putera Dretarastra dan
kawan-kawan kita. O Kresna, suami Lakshmi Dewi, apa keuntungannya bagi kita, dan bagaimana
mungkin kita berbahagia dengan membunuh sanak keluarga kita sendiri?"
Dilanda oleh pergolakan batin, antara mana yang benar dan mana yang salah, Kresna mencoba
untuk menyadarkan Arjuna. Kresna yang menjadi kusir Arjuna, memberikan wejangan-wejangan
suci kepada Arjuna, agar ia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kresna
juga menguraikan berbagai ajaran Hindu kepada Arjuna, agar segala keraguan di hatinya sirna,
sehingga ia mau melanjutkan pertempuran. Selain itu, Kresna memperlihatkan wujud semestanya
kepada Arjuna, agar Arjuna tahu siapa Kresna sebenarnya.
Wejangan suci yang diberikan oleh Kresna kepada Arjuna kemudian disebut Bhagavad Gītā, yang
berarti "Nyanyian Tuhan". Ajaran tersebut kemudian dirangkum menjadi kitab tersendiri dan sangat
terkenal di kalangan umat Hindu, karena dianggap merupakan pokok-pokok ajaran Hindu dan
intisari ajaran Veda.
Penghormatan sebelum perang oleh Yudistira
Setelah Arjuna sadar terhadap kewajibannya dan mau melanjutkan pertarungan karena sudah
mendapat wejangan suci dari Kresna, maka pertempuran segera dimulai. Arjuna mengangkat
busur panahnya yang bernama Gandiwa, diringi oleh sorak sorai gegap gempita. Pasukan kedua
pihak bergemuruh. Mereka meniup sangkala dan terompet tanduk, memukul tambur dan
genderang. Para Dewa, Pitara, Rishi, dan penghuni surga lainnya turut menyaksikan pembantaian
besar-besaran tersebut.
Pada saat-saat menjelang pertempuran tersebut, tiba-tiba Yudistira melepaskan baju zirahnya,
meletakkan senjatanya, dan turun dari keretanya, sambil mencakupkan tangan dan berjalan ke
arah pasukan Korawa. Seluruh pihak yang melihat tindakannya tidak percaya. Para Pandawa
mengikutinya dari belakang sambil bertanya-tanya, namun Yudistira diam membisu, hanya terus
melangkah. Di saat semua pihak terheran-heran, hanya Kresna yang tersenyum karena
mengetahui tujuan Yudistira. Pasukan Korawa penasaran dengan tindakan Yudistira. Mereka siap
siaga dengan senjata lengkap dan tidak melepaskan pandangan kepada Yudistira. Yudistira
berjalan melangkah ke arah Bisma, kemudian dengan rasa bakti yang tulus ia menjatuhkan dirinya
dan menyembah kaki Bisma, kakek yang sangat dihormatinya.
Yudistira berkata, “Hamba datang untuk menghormat kepadamu, O paduka nan gagah tak
terkalahkan. Kami akan menghadapi paduka dalam pertempuran. Kami mohon perkenan paduka
dalam hal ini, dan kami pun memohon doa restu paduka”.
Bisma menjawab, “Apabila engkau, O Maharaja, dalam menghadapi pertempuran yang akan
berlangsung ini engkau tidak datang kepadaku seperti ini, pasti kukutuk dirimu, O keturunan
Bharata, agar menderita kekalahan! Aku puas, O putera mulia. Berperanglah dan dapatkan
kemenangan, hai putera Pandu! Apa lagi cita-cita yang ingin kaucapai dalam pertempuran ini?
Pintalah suatu berkah dan restu, O putera Pritha. Pintalah sesuatu yang kauinginkan! Atas restuku
itu pastilah, O Maharaja, kekalahan tidak akan menimpa dirimu. Orang dapat menjadi budak
kekayaan, namun kekayaan itu bukanlah budak siapa pun juga. Keadaan ini benar-benar terjadi, O
putera bangsa Kuru. Dengan kekayaannya, kaum Korawa telah mengikat diriku...”
Setelah Yudistira mendapat doa restu dari Bisma, kemudian ia menyembah Drona, Kripa, dan
Salya. Semuanya memberikan doa restu yang sama seperti yang diucapkan Bisma, dan
mendoakan agar kemenangan berpihak kepada Pandawa. Setelah mendapat doa restu dari
mereka semua, Yudistira kembali menuju pasukannya, dan siap untuk memulai pertarungan.
Yuyutsu memihak Pandawa
Setelah tiba di tengah-tengah medan pertempuran, di antara kedua pasukan yang saling
berhadapan, Yudistira berseru, “Siapa pun juga yang memilih kami, mereka itulah yang kupilih
menjadi sekutu kami!”
Setelah berseru demikian, suasana hening sejenak. Tiba-tiba di antara pasukan Korawa terdengar
jawaban yang diserukan oleh Yuyutsu. Dengan pandangan lurus ke arah Pandawa, Yuyutsu
berseru, ”Hamba bersedia bertempur di bawah panji-panji paduka, demi kemenangan paduka
sekalian! Hamba akan menghadapi putera Dretarastra, itu pun apabila paduka raja berkenan
menerima! Demikianlah, O paduka Raja nan suci!”
Dengan gembira, Yudistira berseru, “Mari, kemarilah! Kami semua ingin bertempur menghadapi
saudara-saudaramu yang tolol itu! O Yuyutsu, baik Vāsudewa (Kresna) maupun kami lima
bersaudara menyatakan kepadamu bahwa aku menerimamu, O pahlawan perkasa, berjuanglah
bersama kami, untuk kepentinganku, menegakkan Dharma! Rupanya hanya anda sendirilah yang
menjadi penerus garis keturunan Dretarastra, sekaligus melanjutkan pelaksanaan upacara
persembahan kepada para leluhur mereka! O putera mahkota nan gagah, terimalah kami yang
juga telah menerima dirimu itu! Duryodana yang kejam dan berpengertian cutak itu segera akan
menemui ajalnya!”
Setelah mendengar jawaban demikian, Yuyutsu meninggalkan pasukan Korawa dan bergabung
dengan para Pandawa. Kedatangannya disambut gembira. Yudistira mengenakan kembali baju
zirahnya, kemudian berperang.
Pembantaian Bisma
Pertempuran dimulai. Kedua belah pihak maju dengan senjata lengkap. Divisi pasukan Korawa
dan divisi pasukan Pandawa saling bantai. Bisma maju menyerang para ksatria Pandawa dan
membinasakan apapun yang menghalangi jalannya. Abimanyu melihat hal tersebut dan menyuruh
paman-pamannya agar berhati-hati. Ia sendiri mencoba menyerang Bisma dan para pengawalnya.
Namun usaha para ksatria Pandawa di hari pertama tidak berhasil. Mereka menerima kekalahan.
Putera Raja Wirata, Uttara dan Sweta, gugur oleh Bisma dan Salya di hari pertama. Kekalahan di
hari pertama membuat Yudistira menjadi pesimis. Namun Sri Kresna berkata bahwa kemenangan
sesungguhnya akan berada di pihak Pandawa.
Duel Arjuna dengan Bisma
Pada hari kedua, Arjuna bertekad untuk membalikkan keadaan yang didapat pada hari pertama.
Arjuna mencoba untuk menyerang Bisma dan membunuhnya, namun para pasukan Korawa
berbaris di sekeliling Bisma dan melindunginya dengan segenap tenaga sehingga meyulitkan
Arjuna. Pasukan Korawa menyerang Arjuna yang hendak membunuh Bisma. Kedua belah pihak
saling bantai, dan sebagian besar pasukan Korawa gugur di tangan Arjuna. Setelah menyapu
seluruh pasukan Korawa, Arjuna dan Bisma terlibat dalam duel sengit. Sementara itu Drona
menyerang Drestadyumna bertubi-tubi dan mematahkan panahnya berkali-kali. Duryodana
mengirim pasukan bantuan dari kerajaan Kalinga untuk menyerang Bima, namun serangan dari
Duryodana tidak berhasil dan pasukannya gugur semua. Setyaki yang bersekutu dengan Pandawa
memanah kusir kereta Bisma sampai meninggal. Tanpa kusir, kuda melarikan kereta Bisma
menjauhi medan laga. Di akhir hari kedua, pihak Korawa mendapat kekalahan.
Habisnya kesabaran Kresna
Kesabaran Kresna habis sehingga ia ingin menghabisi Bisma dengan tangannya sendiri, namun
dicegah oleh Arjuna
Pada hari ketiga, Bisma memberi instruksi agar pasukan Korawa membentuk formasi burung elang
dengan dirinya sendiri sebagai panglima berada di garis depan sementara tentara Duryodana
melindungi barisan belakang. Bisma ingin agar tidak terjadi kegagalan lagi. Sementara itu para
Pandawa mengantisipasinya dengan membentuk formasi bulan sabit dengan Bima dan Arjuna
sebagai pemimpin sayap kanan dan kiri. Pasukan Korawa menitikberatkan penyerangannya
kepada Arjuna, namun banyak pasukan Korawa yang tak mampu menandingi kekuatan Arjuna.
Abimanyu dan Setyaki menggabungkan kekuatan untuk menghancurkan tentara Gandara milik
Sangkuni. Bisma yang terlibat duel sengit dengan Arjuna, masih bertarung dengan setengah hati.
Duryodana memarahi Bisma yang masih segan untuk menghabisi Arjuna. Perkataan Duryodana
membuat hati Bisma tersinggung, kemudian ia mengubah perasaanya.
Arjuna dan Kresna mencoba menyerang Bhishma. Arjuna dan Bisma sekali lagi terlibat dalam
pertarungan yang bengis, meskipun Arjuna masih merasa tega dan segan untuk melawan
kakeknya. Kresna menjadi sangat marah dengan keadaan itu dan berkata, "Aku sudah tak bisa
bersabar lagi, Aku akan membunuh Bisma dengan tanganku sendiri," lalu ia mengambil chakra-
nya dan berlari ke arah Bisma. Bisma menyerahkan dirinya kepada Kresna dengan pasrah. Ia
merasa beruntung jika gugur di tangan Kresna. Arjuna berlari mengejarnya dan mencegah Kresna
untuk melakukannya. Arjuna memegang kaki Kresna. Pada langkah yang kesepuluh, Kresna
berhenti.
Arjuna berkata, “O junjunganku, padamkanlah kemarahan ini. Paduka tempat kami berlindung.
Baiklah, hari ini hamba bersumpah, atas nama dan saudara-saudara hamba, bahwa hamba tidak
akan menarik diri dari sumpah yang hamba ucapkan. O Kesawa, O adik Dewa Indra, atas perintah
paduka, baiklah, hamba yang akan memusnahkan bangsa Kuru!”
Mendengar sumpah tersebut, Kresna puas hatinya. Kemarahannya mereda, namun masih tetap
memegang senjata chakra. Kemudian mereka berdua melanjutkan pertarungan dan
membinasakan banyak pasukan Korawa.
Keberanian Bima
Hari keempat merupakan hari dimana Bima menunjukkan keberaniannya. Bisma memerintahkan
pasukan Korawa untuk bergerak. Abimanyu dikepung oleh para ksatria Korawa lalu diserang.
Arjuna melihat hal tersebut lalu menolong Abimanyu. Bima muncul pada saat yang genting
tersebut lalu menyerang para kstria Korawa dengan gada. Kemudian Duryodana mengirimkan
pasukan gajah untuk menyerang Bima. Ketika Bima melihat pasukan gajah menuju ke arahnya, ia
turun dari kereta dan menyerang mereka satu persatu dengan gada baja miliknya. Mereka
dilempar dan dibanting ke arah pasukan Korawa. Kemudian Bima menyerang para ksatria Korawa
dan membunuh delapan adik Duryodana. Akhirnya ia dipanah dan tersungkur di keretanya.
Gatotkaca melihat hal tersebut, lalu merasa sangat marah kepada pasukan Korawa. Bisma
menasehati bahwa tidak ada yang mampu melawan Gatotkaca yang sedang marah, lalu menyuruh
pasukan agar mundur. Pada hari itu, Duryodana kehilangan banyak saudara-saudaranya.
Perbantaian terus berlanjut
Pada hari kelima, pembantaian terus berlanjut. Pasukan Pandawa dengan segenap tenaga
membalas serangan Bisma. Bima berada di garis depan bersama Srikandi dan Drestadyumna di
sampingnya. Karena Srikandi berperan sebagai seorang wanita, Bisma menolak untuk bertarung
dan pergi. Sementara itu, Setyaki membinasakan pasukan besar yang dikirim untuk
menyerangnya. Pertempuran dilanjutkan dengan pertarungan antara Setyaki melawan Burisrawas
dan kemudian Setyaki kesusahan sehingga berada dalam situasi genting. Melihat hal itu, Bima
datang melindungi Setyaki dan menyelamatkan nyawanya. Di tempat lain, Arjuna bertempur dan
membunuh ribuan tentara yang dikirim Duryodana untuk menyerangnya.
Pertumpahan darah yang sulit dibayangkan terus berlanjut dari hari ke hari selama pertempuran
berlangsung. Hari keenam merupakan hari pembantaian yang hebat. Drona membantai banyak
prajurit di pihak Pandawa yang jumlahnya sukar diukur. Formasi kedua belah pihak pecah. Pada
hari kedelapan, Bima membunuh delapan putera Dretarastra. Putera Arjuna — Irawan — terbunuh
oleh para Korawa.
Pada hari kesembilan Bisma menyerang pasukan Pandawa dengan membabi buta. Banyak laskar
yang tercerai berai karena serangan Bisma. Banyak yang melarikan diri atau menjauh dari Bisma,
pendekar tua nan sakti dari Wangsa Kuru. Kresna memacu kuda-kudanya agar berlari ke arah
Bisma. Arjuna dan Bisma terlibat dalam pertarungan sengit, namun Arjuna bertarung dengan
setengah hati sementara Bisma menyerangnya dengan bertubi-tubi. Melihat keadaan itu, sekali
lagi Kresna menjadi marah. Ia ingin mengakhiri riwayat Bisma dengan tangannya sendiri. Ia
meloncat turun dari kereta Arjuna, dengan mata merah menyala tanda kemarahan memuncak,
bergerak berjalan menghampiri Bisma. Dengan senjata Chakra di tangan, Kresna membidik
Bisma. Bisma dengan pasrah tidak menghindarinya, namun semakin merasa bahagia jika gugur di
tangan Kresna. Melihat hal itu, Arjuna menyusul Kresna dan berusaha menarik kaki Kresna untuk
menghentikan langkahnya.
Dengan sedih dan suara tersendat-sendat, Arjuna berkata, “O Kesawa (Kresna), janganlah paduka
memalsukan kata-kata yang telah paduka ucapkan sebelumnya! Paduka telah mengucapkan janji
bahwa tidak akan ikut berperang. O Madhawa (Kresna), apabila paduka melanjutkan niat paduka,
orang-orang akan mengatakan bahwa paduka pembohong. Semua penderitaan akibat perang ini,
hambalah yang harus menanggungnya! Hambalah yang akan membunuh kakek yang terhormat
itu!...”
Kresna tidak menjawab setelah mendengar kata-kata Arjuna, tetapi dengan menahan kemarahan
ia naik kembali ke atas keretanya. Kedua pasukan tersebut melanjutkan kembali pertarungannya.
Gugurnya Bisma
Resi Bisma tidur di "ranjang panah" (saratalpa)
Para Pandawa tidak mengetahui bagaimana cara mengalahkan Bisma. Pada malam harinya,
Pandawa menyusup ke dalam kemah Bisma. Bisma menyambutnya dengan doa restu. Pandawa
menjelaskan maksud kedatangannya, yaitu mencari cara untuk mengalahkan Bisma. Kemudian
Bisma membeberkan hal-hal yang membuatnya tidak tega untuk berperang. Setelah mendengar
penjelasan Bisma, Arjuna berdiskusi dengan Kresna. Ia merasa tidak tega untuk mengakhiri
riwayat kakeknya. Kemudian Kresna mencoba menyadarkan Arjuna, tentang mana yang benar
dan mana yang salah.
Pada hari kesepuluh, pasukan Pandawa dipelopori oleh Srikandi di garis depan. Srikandi
menyerang Bisma, namun ia tidak dihiraukan. Bisma hanya tertawa kepada Srikandi, karena ia
tidak mau menyerang Srikandi yang berkepribadian seperti wanita. Melihat Bisma menghindari
Srikandi, Arjuna memanah Bisma berkali-kali. Puluhan panah menancap di tubuh Bisma. Bisma
terjatuh dari keretanya. Pasukan Pandawa bersorak. Tepat pada hari itu senja hari. Kedua belah
pihak menghentikan pertarungannya, mereka mengelilingi Bisma yang berbaring tidak menyentuh
tanah karena ditopang oleh panah-panah. Bisma menyuruh para ksatria untuk memberikannya
bantal, namun tidak satu pun bantal yang mau ia terima. Kemudian ia menyuruh Arjuna
memberikannya bantal. Arjuna menancapkan tiga anak panah di bawah kepala Bisma sebagai
bantal. Bisma merestui tindakan Arjuna, dan ia mengatakan bahwa ia memilih hari kematian ketika
garis balik matahari berada di utara.
Asramawasanaparwa
Asramawasanaparwa adalah nama dalam bahasa Jawa kuna untuk menyebut kitab
Asramawasikaparwa. Dalam naskah-naskah manuskrip Jawa, buku ini biasanya digabung dengan
Mosalaparwa, Prasthanikaparwa dan Swargarohanaparwa menjadi Caturasramawasaparwa.
Mosalaparwa
Para pemuda membawa Samba yang menyamar sebagai wanita hamil ke hadapan para resi.
Mosalaparwa atau Mausalaparwa adalah buku keenam belas dari seri kitab Mahabharata. Adapun
ceritanya mengisahkan musnahnya para Wresni, Andhaka dan Yadawa, sebuah kaum di Mathura-
Dwaraka (Dwarawati) tempat Sang Kresna memerintah. Kisah ini juga menceritakan wafatnya
Raja Kresna dan saudaranya, Raja Baladewa.
Ringkasan isi Kitab Mosalaparwa
Diceritakan bahwa pada saat Yudistira naik tahta, dunia telah memasuki zaman Kali Yuga atau
zaman kegelapan. Ia telah melihat tanda-tanda alam yang mengerikan, yang seolah-olah
memberitahu bahwa sesuatu yang mengenaskan akan terjadi. Hal yang sama dirasakan oleh
Kresna. Ia merasa bahwa kejayaan bangsanya akan berakhir, sebab ia melihat bahwa banyak
pemuda Wresni, Yadawa, dan Andhaka yang telah menjadi sombong, takabur, dan senang minum
minuman keras sampai mabuk.
Kutukan para brahmana
Pada suatu hari, Narada beserta beberapa resi berkunjung ke Dwaraka. Beberapa pemuda yang
jahil merencanakan sesuatu untuk mempermainkan para resi. Mereka mendandani Samba (putera
Kresna dan Jembawati) dengan busana wanita dan diarak keliling kota lalu dihadapkan kepada
para resi yang mengunjungi Dwaraka. Kemudian salah satu dari mereka berkata, "Orang ini adalah
permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan kesaktiannya. Kalian adalah para resi yang pintar
dan memiliki pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian mengetahui, apa yang akan dilahirkannya? Bayi
laki-laki atau perempuan?". Para resi yang tahu sedang dipermainkan menjadi marah dan berkata,
"Orang ini adalah Sang Samba, keturunan Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi laki-laki
ataupun perempuan, melainkan senjata mosala yang akan memusnahkan kamu semua!" (mosala
= gada)
Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Sang Samba melahirkan gada besi dari dalam perutnya.
Atas perintah Raja Ugrasena, senjata itu kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk. Beberapa
bagian dari senjata tersebut sulit dihancurkan sehingga menyisakan sepotong besi kecil. Setelah
senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya dibuang ke laut. Lalu Sang Baladewa dan
Sang Kresna melarang orang minum arak. Legenda mengatakan bahwa serbuk-serbuk tersebut
kembali ke pantai, dan dari serbuk tersebut tumbuhlah tanaman seperti rumput namun memiliki
daun yang amat tajam bagaikan pedang. Potongan kecil yang sukar dihancurkan akhirnya ditelan
oleh seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap oleh nelayan lalu dijual kepada seorang pemburu.
Pemburu yang membeli ikan itu menemukan potongan besi kecil dari dalam perut ikan yang
dibelinya. Potongan besi itu lalu ditempa menjadi anak panah.
Musnahnya Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa
Perkelahian antara Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa di Prabhasatirtha.
Setelah senjata yang dilahirkan oleh Sang Samba dihancurkan, datanglah Batara Kala, Dewa
Maut, dan ini adalah pertanda buruk. Atas saran Kresna, para Wresni, Yadawa dan Andhaka
melakukan perjalanan suci menuju Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan upacara di pinggir
pantai. Di pantai, para Wresni, Andhaka dan Yadawa tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruk
mereka, yaitu minum arak sampai mabuk. Dalam keadaan mabuk, Satyaki berkata, "Kertawarma,
kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau telah membunuh para putera
Dropadi, termasuk Drestadyumna dan Srikandi dalam keadaan tidur. Perbuatan macam apa yang
kau lakukan?". Ucapan tersebut disambut oleh tepuk tangan dari Pradyumna, yang artinya bahwa
ia mendukung pendapat Satyaki. Kertawarma marah dan berkata, "Kau juga kejam, membunuh
Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang meninggalkan medan laga untuk memulihkan
tenaga".
Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Satyaki mengambil pedang lalu
memenggal kepala Kertawarma di hadapan Kresna. Melihat hal itu, para Wresni marah lalu
menyerang Satyaki. Putera Rukmini menjadi garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah
beberapa lama, kedua kesatria perkasa tersebut tewas di hadapan Kresna. Kemudian setiap orang
berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk tanaman eruka
yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman tersebut berubah menjadi
senjata setajam pedang. Dengan memakai senjata tersebut, para keturunan Wresni, Andhaka, dan
Yadu saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan, bahkan ayah dan anak saling
bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk meninggalkan tempat itu. Dengan mata
kepalanya sendiri, Kresna menyadari bahwa rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran mereka.
Dengan menahan kepedihan, ia mencabut segenggam rumput eruka dan mengubahnya menjadi
senjata yang dapat meledak kapan saja. Setelah putera dan kerabat-kerabatnya tewas, ia
melemparkan senjata di tangannya ke arah para Wresni dan Yadawa yang sedang berkelahi.
Senjata tersebut meledak dan mengakhiri riwayat mereka semua.
Akhirnya para keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua di Prabhasatirtha, dan
disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan beberapa kesatria yang masih hidup, seperti
misalnya Babhru dan Bajra. Kresna tahu bahwa ia mampu menyingkirkan kutukan brahmana yang
mengakibatkan bangsanya hancur, namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari dan jalannya
takdir. Setelah menyaksikan kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka dengan mata
kepalanya sendiri, Kresna menyusul Baladewa yang sedang bertapa di dalam hutan. Babhru
disuruh untuk melindungi para wanita yang masih hidup sedangkan Daruka disuruh untuk
memberitahu berita kehancuran rakyat Kresna ke hadapan Raja Yudistira di Hastinapura.
Di dalam hutan, Baladewa meninggal dunia. Kemudian keluar naga dari mulutnya dan naga ini
masuk ke laut untuk bergabung dengan naga-naga lainnya. Setelah menyaksikan kepergian
kakaknya, Kresna mengenang segala peristiwa yang menimpa bangsanya. Pada saat ia berbaring
di bawah pohon, seorang pemburu bernama Jara (secara tidak sengaja) membunuhnya dengan
anak panah dari sepotong besi yang berasal dari senjata mosala yang telah dihancurkan. Ketika
sadar bahwa yang ia panah bukanlah seekor rusa, Jara meminta ma'af kepada Kresna. Kresna
tersenyum dan berkata, "Apapun yang akan terjadi sudah terjadi. Aku sudah menyelesaikan
hidupku". Sebelum Kresna wafat, teman Kresna yang bernama Daruka diutus untuk pergi ke
Hastinapura, untuk memberi tahu para keturunan Kuru bahwa Wangsa Wresni, Andhaka, dan
Yadawa telah hancur. Setelah Kresna wafat, Dwaraka mulai ditinggalkan penduduknya.
Hancurnya Kerajaan Dwaraka
Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa keturunan
Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa karena perang saudara. Beberapa di antaranya masih
bertahan hidup bersama sejumlah wanita. Setelah mendengar kabar sedih tersebut, Arjuna mohon
pamit demi menjenguk paman dari pihak ibunya, yaitu Basudewa. Dengan diantar oleh Daruka, ia
pergi menuju Dwaraka.
Setibanya di Dwaraka, Arjuna mengamati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia juga berjumpa dengan
janda-janda yang ditinggalkan oleh para suaminya, yang meratap dan memohon agar Arjuna
melindungi mereka. Kemudian Arjuna bertemu dengan Basudewa yang sedang lunglai. Setelah
menceritakan kesdiahnnya kepada Arjuna, Basudewa mangkat. Sesuai dengan amanat yang
diberikan kepadanya, Arjuna mengajak para wanita dan beberapa kesatria untuk mengungsi ke
Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota Dwaraka akan disapu oleh
gelombang samudra, tujuh hari setelah ia wafat.
Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna dihadang oleh sekawanan perampok.
Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh lenyap ketika berhadapan dengan perampok tersebut. Ia
sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa orang berhasil
diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang. Di Kurukshetra, para Yadawa dipimpin
oleh Bajra.
Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi Byasa.
Atas nasihat beliau, para Pandawa serta Dropadi memutuskan untuk melakukan perjelanan suci
untuk meninggalkan kehidupan duniawi.
Prasthanikaparwa
Prasthanikaparwa atau Mahaprasthanikaparwa adalah buku Mahabharata yang ketujuh belas.
Dalam buku ini diceritakan bagaimana Sang Pandawa Lima dan Dewi Dropadi mengundurkan diri
dari Hastinapura dan pergi bertapa ke hutan. Mereka melakukan ini karena ajal sudah dekat.
Akhirnya satu persatu para Pandawa dan Dropadi meninggal kecuali prabu Yudistira.
Ringkasan isi Kitab Prasthanikaparwa
Parikesit diangkat menjadi Raja Hastinapura
Perjalanan terakhir bagi Pandawa dan Dropadi
Akhirnya prabu Yudistira ditemani seekor anjing dan mendengar suara dari angkasa yang berkata
akan mengangkatnya ke surga tanpa harus meninggal dulu. Ia hanya mau jika anjingnya juga
diperbolehkan ikut. Hal ini pertama-tama ditolak, tetapi prabu Yudistira bersikeras dan akhirnya
dituruti. Ternyata si anjing jelmaan Dewa Dharma yang ingin mengetesnya.
Setelah naik di sorga, Yudistira tidak melihat saudara-saudaranya dan dewi Dropadi, ternyata
mereka berada di neraka. Lalu beliau menuntut supaya ditaruh di neraka saja sebab kenikmatan
sorga adalah sia-sia tanpa saudara-saudaranya dan Dropadi. Lalu kisah ini dilanjutkan di buku ke
18 Swargarohanaparwa
Swargarohanaparwa
Buku Swargarohanaparwa adalah buku terakhir Mahabharata. Di dalam buku ini dikisahkan
bagaimana sang Yudistira yang diangkat naik ke surga lebih baik memilih pergi ke neraka daripada
tinggal di sorga dengan para Korawa. Di sorga ia tidak menemui saudara-saudaranya, para
Pandawa dan dewi Dropadi.
Maka Yudistira pun berangkat ke neraka dan sesampainya, ia melihat saudara-saudaranya
sengsara dan iapun merasa sedih. Tetapi tiba-tiba sorga berubah menjadi neraka dan neraka
tempat mereka berada berubah menjadi sorga. Ternyata para Pandawa dan Dropadi pernah
berdosa sedikit sehingga harus dihukum. Sedangkan para Korawa pernah berbuat baik sedikit,
tetapi perbuatan jahatnya jauh lebih banyak, sehingga beginilah hukumannya.
Kitab Swargarohanaparwa didapati pula dalam khazanah Sastra Jawa
Kuñjarakarna
Naskah nipah Kuñjarakarna yang disimpan di Universitas Leiden sebagai naskah Orientalis 2266,
halaman 1 verso
Kuñjarakarna adalah sebuah teks prosa Jawa Kuna yang menceritakan seorang yaksa, semacam
raksasa yang bernama Kunjarakarna. Cerita ini berdasarkan agama Buddha Mahayana.
Ringkasan
Pada suatu hari Kuñjarakarna bertapa di gunung Mahameru supaya pada kelahiran berikutnya ia
bisa berreinkarnasi sebagai manusia berparas baik. Maka datanglah ia menghadap Wairocana.
Maka ia diperbolehkan menjenguk neraka, tempat batara Yama. Di sana ia mendapat kabar
bahwa temannya Purnawijaya akan meninggal dalam waktu beberapa hari lagi dan disiksa di
neraka.
Kunjarakarna menghadap Wairocana untuk meminta dispensasi. Akhirnya ia diperbolehkan
memberi tahu Purnawijaya. Purnawijaya terkejut ketika diajak melihat neraka. Lalu ia kembali ke
bumi dan berpamitan dengan istrinya.
Akhirnya ia mati tetapi hanya disiksa selama 10 hari dan bukannya ratusan tahun. Lalu ia
diperbolehkan kembali. Cerita berakhir dengan bertapanya Kunjarakarna dan Purnawijaya di
lereng gunung Mahameru.
Amanat cerita: barangsiapa mendengarkan dan tahu akan hukum dharma, maka ia akan
diselamatkan.
Contoh teks cerita
Jawa Kuna[1] Terjemahan tan asuwé ring awan, Maka tak lama mereka berada di jalan dhateng ta
ya ring bumipata<l>a, hana ta ya srijati dumilah sadakala lonya sêndriya, sêndriya ngaranya, sôlih
ing mata tumingal, hana ta babahan kapanggiha denira sang Kuñjarakarna, inĕbnya tambaga,
lereganya salaka, tuwin ku<ñ>cinya mas, Dan sampailah di dunia bawah. Maka adalah sebuah
pohon jati yang senantiasa menyala. Tebal batangnya satu indera. Maksudnya hanya satu
pemandangan mata. Lalu sang Kuñjarakarna melihat ada pintu, panelnya dari tembaga, lacinya
dari perak, dan kuncinya dari emas. ta<m>bak lalénya w<e>si, ikang hawan sad<e>pa saroh
lonya, temboknya dari besi, jalannya selebar satu depa dan satu roh inurap rinata-rata ginomaya
ring tahining le<m>bu kanya, dibersihkan, diratakan dan dibersihkan dengan tinja sapi perawan
betina tinaneman ta ya handong bang, kayu puring, kayu masedhang asinang, winoran asep dupa,
mrabuk arum ambunika sinawuran kembang ura, pinujan kembang pupungon, diberi tanaman
andong merah, puring dan pohon-pohon yang sedang berbunga harum. Berbaurlah dengan asap
dupa, harum semerbuk dan ditebar dengan bungan sebaran. Bunga-bunga yang sedang
berkembang diberikan sebagai kehormatan ya ta matanyan maruhun-ruhunan ikang watek papa
kabèh winalingnya itulah sebab para orang berdosa berbondong-bondong semua. Salah pikiran
mereka, dalan maring swarga ri hidhepnya dikira jalan menuju ke sorga.
Bahasa Kawi
Bahasa Kawi adalah suatu jenis bahasa yang pernah berkembang di Pulau Jawa pada zaman
kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan dipakai dalam penulisan karya-karya sastra. Dalam tradisi
Jawa, bahasa Kawi juga disebut dengan istilah bahasa Jawa Kuna. Meskipun demikian, bahasa
Kawi sendiri bukan bahasa Jawa Kuna murni, karena telah mendapat pengaruh bahasa
Sansekerta.
Istilah kawi sendiri bermakna "penyair". Sedangkan karya sastra yang dihasilkan oleh Sang Kawi
disebut dengan nama kakawin. Biasanya kakawin berupa rangkaian puisi yang mengikuti pola-pola
tertentu.
Krama
Krama adalah salah satu tingkatan bahasa dalam Bahasa Jawa. Bahasa ini paling umum dipakai
di kalangan orang Jawa. Pemakaiannya kurang baik untuk berbicara dengan orang yang dihormati
atau orang yang lebih tua.
Terdapat 2 Jenis Bahasa Krama yakni, Krama inggil alus dan krama madya. Krama Inggil
merupakan bahasa jawa yang paling tinggi, biasa digunakan untuk menghormati orang-orang yang
lebih tua atau lebih berilmu. sedangkan krama madya adalah bahasa jawa yang setingkat berada
dibawah krama inggil, biasa digunakan kepada orang yang setingkat namun untuk menunjukkan
sikap yang lebih sopan.
Contoh dari bahasa ngoko
Angka dalam bahasa Jawa krama
Ngoko
Ngoko adalah salah satu tingkatan bahasa dalam Bahasa Jawa. Bahasa ini paling umum dipakai
di kalangan orang Jawa. Pemakaiannya dihindari untuk berbicara dengan orang yang dihormati
atau orang yang lebih tua.
Contoh dari bahasa ngoko
Angka dalam bahasa Jawa ngoko
Sastra Jawa Pertengahan
Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-13 sampai kira-kira
abad ke-16. Setelah ini, sastra Jawa Tengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali.
Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli.
Karya-karya ini disebut kidung.
Daftar Karya Sastra Jawa Tengahan prosa
1. Tantu Panggelaran
2. Calon Arang
3. Tantri Kamandaka
4. Korawasrama
5. Pararaton
Tantu Panggelaran
Tantu Panggelaran adalah sebuah teks prosa yang menceritakan tentang kisah penciptaan
manusia di pulau Jawa dan segala aturan yang harus ditaati manusia. Tantu Panggelaran ditulis
dalam bahasa Jawa Pertengahan pada zaman Majapahit. Suntingan teks yang sangat penting
telah terbit pada tahun 1924 di Leiden oleh Dr. Th. Pigeaud.
Perkembangan kisah
Perkembangan kisah dalam Tantu Panggelaran dapat dibagi menjadi beberapa Babak:
1. Awal Keberadaan Pulau Jawa
Pada mulanya pulau Jawa tidak berpenghuni dan dalam keadaan khaotis, karena pulau Jawa
selalu bergoncang (bandingkan dengan batu apung yang bergoncang di atas permukaan air). Oleh
karena itu, pulau Jawa membutuhkan gunung untuk menancapnya, sehingga tidak bergoncang
lagi. Gunung tempat Batara Guru mengatur keadaan yang khaotis ini adalah Gunung Dihyang
(atau Gunung Dieng, lihat artikel tentang Gunung Dieng). Proses pengaturannya berjalan sebagai
berikut: para Dewa mengangkat puncak gunung Mahameru (Gunung Semeru) dari India dan
ditempatkan di sebelah barat pulau Jawa. Namun yang terjadi adalah, bahwa pulau Jawa terjungkit
dan sebelah timur pulau Jawa terangkat ke atas. Oleh karena itu para dewa memindahkannya ke
sebelah timur, tetapi dalam perjalanan pemindahan gunung itu ke sebelah timur, gunung tersebut
berceceran di sepanjang jalan, sehingga terjadilah gunung Lawu, Wilis, Kelut, Kawi, Arjuna,
Kumukus dan pada akhirnya Semeru. Setelah itu keadaan pulau Jawa tidak bergoncang lagi.
2. Penciptaan Manusia
Setelah pulau Jawa tidak lagi bergoncang, Batara Guru ingin membuat manusia sebagai penghuni
pulau Jawa. Untuk itu dia memerintahkan Batara Brahma dan Batara Wisnu menciptakan manusia.
Mereka menciptakan manusia dari tanah yang dikepal-kepal lalu dibentuk manusia berdasarkan
rupa dewa. Brahma menciptakan manusia laki-laki dan Wisnu menciptakan manusia perempuan,
yang kemudian kedua manusia ciptaan para dewa tersebut dipertemukan dan mereka hidup saling
mengasihi.
3. Proses Terjadinya Peradaban Manusia
Pada mulanya manusia telanjang karena tidak dapat membuat pakaian, tidak tinggal di dalam
rumah, tidak dapat berbicara, oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa manusia pertama yang
tinggal di pulau Jawa tidak mempunyai peradaban. Untuk itu para dewa diberi tugas oleh Batara
Guru untuk "memberi pelajaran" kepada manusia, supaya mereka dapat membuat pakaian,
membuat rumah, dapat berbicara antara satu sama lainnya. Pada intinya para dewa mengajar
manusia Jawa tentang budaya dan peradaban. Contoh yang dikutip dari kitab Tantu Panggelaran
untuk Babak ini:
Demikianlah kata Bhatara Mahakarana (istilah lain dari Batara Guru):
Anakku, Brahma, turunlah engkau ke Pulau Jawa. Pertajamlah benda-benda tajam,
misalnya: panah, parang, pahat, pantek, kapak, beliung, segala pekerjaan manusia.
Engkau akan disebut pandai-besi. Engkau akan mempertajam benda-benda tajam itu di
tempat yang bernama Winduprakasa. Ibu jari (kw. empu) kedua kakimu mengapit dan
menggembleng, besi anak panah dikikir. Panah itu menjadi tajam oleh ibu jari kedua kaki,
maka dari itu engkau akan disebut Empu Sujiwana sebagai pandai-besi, karena ibu
jari/empu dari kakimu mempertajam besi. Oleh karena itu, tukang pandai-besi disebut
empu, karena ibu jari kakimu menjadi alat bekerja. Demikianlah pesanku kepada anakku.
Lagi pesanku kepada anakku Wiswakarmma. Turunlah ke Pulau Jawa membuat rumah,
biar dirimu ditiru oleh manusia. Sebab itu, engkau dinamai Hundahagi (membangun).
Adapun engkau Iswara. Turunlah ke Pulau Jawa. Ajarlah manusia ajaran berkata-kata
dengan bahasa, apalagi ajaran tentang Dasasila (sepuluh hal yang utama) dan
Pancasiska (lima hukum/tata tertib). Engkau menjadi guru dari kepala-kepala desa,
sehingga engkau dinamai Guru Desa di Pulau Jawa.
Adapun engkau Wisnu. Turunlah engkau ke Pulau Jawa. Biarlah segala perintahmu
dituruti oleh manusia. Segala tingkah lakumu ditiru oleh manusia. Engkau adalah guru
manusia, hendaknya engkau menguasai bumi.
Adapun engkau Mahadewa, turunlah engkau ke Pulau Jawa. Hendaknya engkau menjadi
tukang pandai emas dan pembuat pakaian manusia.
Bhagawan Ciptagupta hendaknya melukis dan mewarnai perhiasan, serta membuat
hiasan yang serupa dengan ciptaan, menggunakan alat ibu jari tanganmu. Oleh karena itu
engkau akan dinamai Empu Ciptangkara sebagai pelukis.
Analisis
Tantu Panggelaran berisi tentang etiologi alam semesta. Tantu Panggelaran ditulis untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan etiologis, misalnya, mengapa ada gempa bumi, mengapa ada
gerhana matahari, mengapa ada gunung-gunung yang tersebar di pulau Jawa, mengapa ada
manusia di pulau Jawa, mengapa ada biji hijau, hitam, putih, tetapi tidak ada biji kuning, mengapa
ada bahasa, mengapa manusia membuat rumah, pakaian, dsb. Pertanyaan-pertanyaan etiologis
ini dijawab dalam cerita Tantu Panggelaran. Cerita yang menjawab pertanyaan etiologis ini
banyak terdapat dalam dunia oriental kuna. Contoh yang paling mudah didapat adalah di dalam
kitab suci umat Kristen (Alkitab). Di sana diceritakan juga, bahwa manusia dibuat dari tanah liat
dan menurut rupa Tuhan, manusia semula berbahasa satu dan berkumpul bersama di Babel
membangun menara (lihat artikel Zikkurat dalam Wiki Inggris), yang kemudian menyebar ke
seluruh penjuru bumi, dan pertanyaan-pertanyaan etiologis banyak dijawab dalam mitos-mitos
tersebut.
Selain itu cerita ini mementingkan proses pengaturan alam semesta, dari dunia yang khaos
menjadi dunia yang teratur (kosmos). Hal ini juga dapat ditemui dalam cerita-cerita orientalis kuna.
Para Dewa sangat menghargai dunia yang teratur. Motif ini dijumpai dari cerita-cerita Yunani kuna
sampai cerita-cerita India.
Juga terdapat motif "pembangunan masyarakat beradab" atau cerita etiologis tentang munculnya
peradaban manusia. Hal ini juga dapat dibandingkan dengan Kodex Hammurabi di Babilonia yang
berisi hukum-hukum bagi keteraturan masyarakat setempat.
Di samping itu terdapat perbedaan teologis antara cerita Jawa Pertengahan ini dengan teologi
Hindu di India. Di dalam kisah ini diceritakan bahwa Batara Guru adalah ayah dari dewa-dewa
yang lainnya.
Gunung menjadi tempat yang keramat, tempat para dewa. Motif ini juga terdapat dalam dunia
teologis orientalis. Ishak dipersembahkan di gunung Moria (Yerusalem). Zarathustra atau
Zoroaster ketika berkotbah juga naik ke gunung. Firaun membuat piramida yang juga
melambangkan gunung. Agama masyarakat Indonesia kuna juga membuat punden berundak-
undak yang juga melambangkan gunung.
Calon Arang
Calon Arang adalah seorang tokoh dalam cerita rakyat Jawa dan Bali dari abad ke-12. Tidak
diketahui lagi siapa yang mengarang cerita ini. Salinan teks Latin yang sangat penting berada di
Belanda, yaitu di Bijdragen Koninklijke Instituut.
Kisah
Diceritakan bahwa Calon Arang adalah seorang janda penguasa ilmu hitam yang sering merusak
hasil panen para petani dan menyebabkan datangnya penyakit. Ia mempunyai seorang puteri
bernama Ratna Manggali, yang meskipun cantik, tidak dapat mendapatkan seorang suami karena
orang-orang takut pada ibunya. Karena kesulitan yang dihadapi puterinya, Calon Arang marah dan
ia pun berniat membalas dendam dengan menculik seorang gadis muda. Gadis tersebut ia bawa
ke sebuah kuil untuk dikorbankan kepada Dewi Durga. Hari berikutnya, banjir besar melanda desa
tersebut dan banyak orang meninggal dunia. Penyakit pun muncul.
Raja Airlangga yang mengetahui hal tersebut kemudian meminta bantuan penasehatnya, Empu
Baradah untuk mengatasi masalah ini. Empu Baradah lalu mengirimkan seorang muridnya
bernama Empu Bahula untuk dinikahkan kepada Ratna. Keduanya menikah besar-besaran
dengan pesta yang berlangsung tujuh hari tujuh malam, dan keadaan pun kembali normal.
Calon Arang mempunyai sebuah buku yang berisi ilmu-ilmu sihir. Pada suatu hari, buku ini berhasil
ditemukan oleh Bahula yang menyerahkannya kepada Empu Baradah. Saat Calon Arang
mengetahui bahwa bukunya telah dicuri, ia menjadi marah dan memutuskan untuk melawan Empu
Baradah. Tanpa bantuan Dewi Durga, Calon Arang pun kalah. Sejak ia dikalahkan, desa tersebut
pun aman dari ancaman ilmu hitam Calon Arang.
Perkembangan kisah
Cerita ini dapat dibagi dalam beberapa babak:
Prolog
Pada mulanya suasana di wilayah Kerajaan Daha (Kadiri) sangat tentram. Raja di Daha bernama
Airlangga. Di sana hidup seorang janda, yang bernama Calon Arang, yang mempunyai anak yang
cantik, yang bernama Ratna Manggali. Mereka berdua tinggal di desa Girah, di wilayah Kerajaan
Daha.
Awal Permasalahan
Meskipun cantik, banyak pria di kerajaan tersebut yang tidak mau meminangnya. Ini disebabkan
oleh ulah ibunya yang senang menenung. Hal ini menyebabkan kemarahan Calon Arang. Oleh
sebab itulah dia membacakan mantra tulah, sehingga muncul mala-petaka dahsyat melanda desa
Girah, dan pada akhirnya melanda Daha. Tulah tersebut menyebabkan banyak penduduk daerah
tersebut sakit dan mati. Oleh karena tulah tersebut melanda Daha, maka Raja Airlangga marah
dan berusaha melawan. Namun kekuatan Raja tidak dapat menandingi kesaktian Calon Arang,
sehingga Raja memerintahkan Empu Baradah untuk melawan Calon Arang.
Siasat Empu Baradah
Untuk mengalahkan Calon Arang, Empu Baradah mengambil siasat. Dia memerintahkan
muridnya, Bahula, untuk meminang Ratna Manggali. Setelah menjadi menantu Calon Arang, maka
Bahula mendapatkan kemudahan untuk mengambil buku mantra Calon Arang dan diberikan
kepada Empu Baradah.
Epilog
Setelah bukunya didapatkan oleh Bahula, Calon Arang pun ditaklukkan oleh Empu Baradah.
Analisis
Seringkali di dalam dunia cerita ini hanya disoroti tentang kekejaman dan kejahatan Calon Arang.
Dia digambarkan sebagai nenek sihir yang mempunyai wajah yang seram. Namun dewasa ini
muncul analisis-analisis yang lebih berpihak kepada Calon Arang. Dia adalah korban masyarakat
patriarkal pada zamannya. Cerita Calon Arang merupakan sebuah gambaran sekaligus kritik
terhadap diskriminasi kaum wanita.
Pararaton
Serat Pararaton, atau Pararaton saja (bahasa Kawi: "Kitab Raja-Raja"), adalah sebuah kitab
naskah Sastra Jawa Pertengahan yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi. Naskah ini cukup
singkat, berupa 32 halaman seukuran folio yang terdiri dari 1126 baris. Isinya adalah sejarah raja-
raja Singhasari dan Majapahit di Jawa Timur. Kitab ini juga dikenal dengan nama "Pustaka Raja",
yang dalam bahasa Sanskerta juga berarti "kitab raja-raja". Tidak terdapat catatan yang
menunjukkan siapa penulis Pararaton.
Pararaton diawali dengan cerita mengenai inkarnasi Ken Arok, yaitu tokoh pendiri kerajaan
Singhasari (1222–1292).[1][2] Selanjutnya hampir setengah kitab membahas bagaimana Ken Arok
meniti perjalanan hidupnya, sampai ia menjadi raja di tahun 1222. Penggambaran pada naskah
bagian ini cenderung bersifat mitologis. Cerita kemudian dilanjutkan dengan bagian-bagian naratif
pendek, yang diatur dalam urutan kronologis. Banyak kejadian yang tercatat di sini diberikan
penanggalan. Mendekati bagian akhir, penjelasan mengenai sejarah menjadi semakin pendek dan
bercampur dengan informasi mengenai silsilah berbagai anggota keluarga kerajaan Majapahit.
Penekanan atas pentingnya kisah Ken Arok bukan saja dinyatakan melalui panjangnya cerita,
melainkan juga melalui judul alternatif yang ditawarkan dalam naskah ini, yaitu: "Serat Pararaton
atawa Katuturanira Ken Angrok", atau "Kitab Raja-Raja atau Cerita Mengenai Ken Angrok".
Mengingat tarikh yang tertua yang terdapat pada lembaran-lembaran naskah adalah 1522 Saka
(atau 1600 Masehi), diperkirakan bahwa bagian terakhir dari teks naskah telah dituliskan antara
tahun 1481 dan 1600, dimana kemungkinan besar lebih mendekati tahun pertama daripada tahun
kedua.
Pendahuluan
Pararaton dimulai dengan pendahuluan singkat mengenai bagaimana Ken Arok mempersiapkan
inkarnasi dirinya sehingga ia bisa menjadi seorang raja. [1] Diceritakan bahwa Ken Arok menjadikan
dirinya kurban persembahan (bahasa Sanskerta: yadnya) bagi Yamadipati, dewa penjaga pintu
neraka, untuk mendapatkan keselamatan atas kematian. Sebagai balasannya, Ken Arok mendapat
karunia dilahirkan kembali sebagai raja Singhasari, dan di saat kematiannya akan masuk ke dalam
surga Wisnu.
Janji tersebut kemudian terlaksana. Ken Arok dilahirkan oleh Brahma melalui seorang wanita
dusun yang baru menikah. Ibunya meletakkannya di atas sebuah kuburan ketika baru saja
melahirkan; dan tubuh Ken Arok yang memancarkan sinar menarik perhatian Ki Lembong, seorang
pencuri yang kebetulan lewat. Ki Lembong mengambilnya sebagai anak dan membesarkannya,
serta mengajarkannya seluruh keahliannya. Ken Arok kemudian terlibat dalam perjudian,
perampokan dan pemerkosaan. Dalam naskah disebutkan bahwa Ken Arok berulang-kali
diselamatkan dari kesulitan melalui campur tangan dewata. Disebutkan suatu kejadian di Gunung
Kryar Lejar, dimana para dewa turun berkumpul dan Batara Guru menyatakan bahwa Ken Arok
adalah putranya, dan telah ditetapkan akan membawa kestabilan dan kekuasaan di Jawa.
Pendahuluan Pararaton kemudian dilanjutkan dengan cerita mengenai pertemuan Ken Arok
dengan Lohgawe, seorang Brahmana yang datang dari India untuk memastikan agar perintah
Batara Guru dapat terlaksana. Lohgawe kemudian menyarankan agar Ken Arok menemui Tunggul
Ametung, yaitu penguasa Tumapel. Setelah mengabdi berberapa saat, Ken Arok membunuh
Tunggul Ametung untuk mendapatkan istrinya, yaitu Ken Dedes; sekaligus tahta atas kerajaan
Singhasari.
Analisa naskah
Beberapa bagian Pararaton tidak dapat dianggap merupakan fakta-fakta sejarah. Terutama pada
bagian awal, antara fakta dan fiksi serta khayalan dan kenyataan saling berbaur. Beberapa pakar
misalnya C.C. Berg berpendapat bahwa teks-teks tersebut secara keseluruhan supranatural dan
ahistoris, serta dibuat bukan dengan tujuan untuk merekam masa lalu melainkan untuk
menentukan kejadian-kejadian di masa depan.[3] Meskipun demikian sebagian besar pakar dapat
menerima pada tingkat tertentu kesejarahan dari Pararaton, dengan memperhatikan kesamaan-
kesamaan yang terdapat pada inskripsi-inskripsi lain serta sumber-sumber China, serta menerima
lingkup referensi naskah tersebut dimana suatu interpretasi yang valid dapat ditemukan.[1]
Haruslah dicatat bahwa naskah tersebut ditulis dalam pemahaman kerajaan masyarakat Jawa.
Bagi masyarakat Jawa, merupakan fungsi seorang raja untuk menghubungkan masa kini dengan
masa lalu dan masa depan; dan menetapkan kehidupan manusia pada tempatnya yang tepat
dalam tata-aturan kosmis. Raja melambangkan lingkup kekuasaan Jawa, pengejawantahan suci
dari negara secara keseluruhan; sebagaimana istananya yang dianggap mikrokosmos dari
keadaan makrokosmos.[1] Seorang raja (dan pendiri suatu dinasti) dianggap memiliki derajat
kedewaan, dimana kedudukannya jauh lebih tinggi daripada orang biasa.
J.J. Ras membandingkan Pararaton secara berturut-turut dengan Prasasti Canggal (732), Prasasti
Śivagŗha (Siwagrha) (856), Calcutta Stone (1041) dan Babad Tanah Jawi (1836). Perbandingan
tersebut menunjukkan kesamaan-kesamaan yang jelas dalam karakter, struktur dan fungsi dari
teks-teks tersebut serta kesamaan dengan teks-teks historiografi Melayu[4]
Daftar Karya Sastra Jawa Tengahan puisi
1. Kakawin Dewaruci
2. Kidung Sudamala
3. Kidung Subrata
4. Kidung Sunda
5. Kidung Panji Angreni
6. Kidung Sri Tanjung
Kidung Sunda
Kidung Sunda adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan berbentuk tembang
(syair) dan kemungkinan besar berasal dari Bali. Dalam kidung ini dikisahkan prabu Hayam Wuruk
dari Majapahit yang ingin mencari seorang permaisuri, kemudian beliau menginginkan putri Sunda
yang dalam cerita ini tak memiliki nama. Namun patih Gajah Mada tidak suka karena orang Sunda
dianggapnya harus tunduk kepada orang Majapahit (baca orang Jawa). Kemudian terjadi perang
besar-besaran di Bubat, pelabuhan tempat berlabuhnya rombongan Sunda. Dalam peristiwa ini
orang Sunda kalah dan putri Sunda yang merasa pilu akhirnya bunuh diri.
Versi kidung Sunda
Seorang pakar Belanda bernama Prof Dr. C.C. Berg, menemukan beberapa versi KS. Dua di
antaranya pernah dibicarakan dan diterbitkannya:
1. Kidung Sunda
2. Kidung Sundâyana (Perjalanan (orang) Sunda)
Kidung Sunda yang pertama disebut di atas, lebih panjang daripada Kidung Sundâyana dan mutu
kesusastraannya lebih tinggi dan versi iniliah yang dibahas dalam artikel ini.
Pupuh I
Hayam Wuruk, raja Majapahit ingin mencari seorang permaisuri untuk dinikahi. Maka beliau
mengirim utusan-utusan ke seluruh penjuru Nusantara untuk mencarikan seorang putri yang
sesuai. Mereka membawa lukisan-lukisan kembali, namun tak ada yang menarik hatinya. Maka
prabu Hayam Wuruk mendengar bahwa putri Sunda cantik dan beliau mengirim seorang juru lukis
ke sana. Setelah ia kembali maka diserahkan lukisannya. Saat itu kebetulan dua orang paman
prabu Hayam Wuruk, raja Kahuripan dan raja Daha berada di sana hendak menyatakan rasa
keprihatinan mereka bahwa keponakan mereka belum menikah.
Maka Sri Baginda Hayam Wuruk tertarik dengan lukisan putri Sunda. Kemudian prabu Hayam
Wuruk menyuruh Madhu, seorang mantri ke tanah Sunda untuk melamarnya.
Madhu tiba di tanah Sunda setelah berlayar selama enam hari kemudian menghadap raja Sunda.
Sang raja senang, putrinya dipilih raja Majapahit yang ternama tersebut. Tetapi putri Sunda sendiri
tidak banyak berkomentar.
Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan memberi tahu
kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak disertai banyak sekali iringan. Ada dua
ratus kapal kecil dan jumlah totalnya adalah 2.000 kapal, berikut kapal-kapal kecil.
Kapal jung. Ada kemungkinan rombongan orang Sunda menaiki kapal semacam ini.
Namun ketika mereka naik kapal, terlihatlah pratanda buruk. Kapal yang dinaiki Raja, Ratu dan
Putri Sunda adalah sebuah “jung Tatar (Mongolia/Cina) seperti banyak dipakai semenjak perang
Wijaya.” (bait 1. 43a.)
Sementara di Majapahit sendiri mereka sibuk mempersiapkan kedatangan para tamu. Maka
sepuluh hari kemudian kepala desa Bubat datang melapor bahwa rombongan orang Sunda telah
datang. Prabu Hayam Wuruk beserta kedua pamannya siap menyongsong mereka. Tetapi patih
Gajah Mada tidak setuju. Ia berkata bahwa tidaklah seyogyanya seorang maharaja Majapahit
menyongsong seorang raja berstatus raja vazal seperti Raja Sunda. Siapa tahu dia seorang
musuh yang menyamar.
Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran patih Gajah Mada. Para abdi
dalem keraton dan para pejabat lainnya, terperanjat mendengar hal ini, namun mereka tidak berani
melawan.
Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar kabar burung tentang perkembangan
terkini di Majapahit. Maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih Anepakěn untuk pergi ke
Majapahit. Ia disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang ke rumah
patih Gajah Mada. Di sana beliau menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang dan
mengira prabu Hayam Wuruk ingkar janji. Mereka bertengkar hebat karena Gajah Mada
menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya vazal-vazal Nusantara
Majapahit. Hampir saja terjadi pertempuran di kepatihan kalau tidak ditengahi oleh Smaranata,
seorang pandita kerajaan. Maka berpulanglah utusan raja Sunda setelah diberi tahu bahwa
keputusan terakhir raja Sunda akan disampaikan dalam tempo dua hari.
Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar ini tidak bersedia berlaku seperti layaknya
seorang vazal. Maka beliau berkata memberi tahukan keputusannya untuk gugur seperti seorang
ksatria. Demi membela kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi dihina orang Majapahit.
Para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya dan membelanya.
Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya dan menyuruh mereka
pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani sang raja.
Pupuh II (Durma)
Maka semua sudah siap siaga. Utusan dikirim ke perkemahan orang Sunda dengan membawa
surat yang berisikan syarat-syarat Majapahit. Orang Sunda pun menolaknya dengan marah dan
perang tidak dapat dihindarkan.
Tentara Majapahit terdiri dari prajurit-prajurit biasa di depan, kemudian para pejabat keraton, Gajah
Mada dan akhirnya prabu Hayam Wuruk dan kedua pamannya.
Pertempuran dahsyat berkecamuk, pasukan Majapahit banyak yang gugur. Tetapi akhirnya hampir
semua orang Sunda dibantai habisan-habisan oleh orang Majapahit. Anepakěn dikalahkan oleh
Gajah Mada sedangkan raja Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, raja Kahuripan dan Daha.
Pitar adalah satu-satunya perwira Sunda yang masih hidup karena pura-pura mati di antara mayat-
mayat serdadu Sunda. Kemudian ia lolos dan melaporkan keadaan kepada ratu dan putri Sunda.
Mereka bersedih hati dan kemudian bunuh diri. Semua istri para perwira Sunda pergi ke medan
perang dan melakukan bunuh diri massal di atas jenazah-jenazah suami mereka.
Pupuh III (Sinom)
Prabu Hayam Wuruk merasa cemas setelah menyaksikan peperangan ini. Ia kemudian menuju ke
pesanggaran putri Sunda. Tetapi putri Sunda sudah tewas. Maka prabu Hayam Wurukpun
meratapinya ingin dipersatukan dengan wanita idamannya ini.
Setelah itu, upacara untuk menyembahyangkan dan mendoakan para arwah dilaksanakan. Tidak
selang lama, maka mangkatlah pula prabu Hayam Wuruk yang merana.
Setelah beliau diperabukan dan semua upacara keagamaan selesai, maka berundinglah kedua
pamannya. Mereka menyalahkan Gajah Mada atas malapetaka ini. Maka mereka ingin
menangkapnya dan membunuhnya. Kemudian bergegaslah mereka datang ke kepatihan. Saat itu
patih Gajah Mada sadar bahwa waktunya telah tiba. Maka beliau mengenakan segala upakara
(perlengkapan) upacara dan melakukan yoga samadi. Setelah itu beliau menghilang (moksa) tak
terlihat menuju ketiadaan (niskala).
Maka raja Kahuripan dan raja Daha, yang mirip "Siwa dan Buddha" berpulang ke negara mereka
karena Majapahit mengingatkan mereka akan peristiwa memilukan yang terjadi.
Analisis
Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang
akurat, meski kemungkinan besar tentunya bisa berdasarkan kejadian faktual.
Secara garis besar bisa dikatakan bahwa cerita yang dikisahkan di sini, gaya bahasanya lugas dan
lancar. Tidak berbelit-belit seperti karya sastra sejenis. Kisahnya memadukan unsur-unsur
romantis dan dramatis yang memikat. Dengan penggunaan gaya bahasa yang hidup, para
protagonis cerita ini bisa hidup. Misalkan adegan orang-orang Sunda yang memaki-maki patih
Gajah Mada bisa dilukiskan secara hidup, meski kasar. Lalu Prabu Hayam Wuruk yang meratapi
Putri Sunda bisa dilukiskan secara indah yang membuat para pembaca terharu.
Kemudian cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda juga bisa dikatakan logis dan masuk akal.
Semuanya bisa saja terjadi, kecuali mungkin moksanya patih Gajah Mada. Hal ini juga
bertentangan dengan sumber-sumber lainnya, seperti kakawin Nagarakretagama, lihat pula bawah
ini.
Perlu dikemukakan bahwa sang penulis cerita ini lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti
sudah dikemukakan, seringkali bertentangan dengan sumber-sumber lainnya. Seperti tentang
wafat prabu Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada, penulisannya berbeda dengan kakawin
Nagarakretagama.
Kemudian ada sebuah hal yang menarik, nampaknya dalam kidung Sunda, nama raja, ratu dan
putri Sunda tidak disebut. Putri Sunda dalam sumber lain sering disebut bernamakan Dyah
Pitaloka.
Satu hal yang menarik lagi ialah bahwa dalam teks dibedakan pengertian antara Nusantara dan
tanah Sunda. Orang-orang Sunda dianggap bukan orang Nusantara, kecuali oleh patih Gajah
Mada. Sedangkan yang disebut sebagai orang-orang Nusantara adalah: orang Palembang, orang
Tumasik (Singapura), Madura, Bali, Koci (?), Wandan (Banda, Maluku Tengah), Tanjungpura
(Kabupaten Ketapang) dan Sawakung (Pulau Sebuku?) (contoh bait 1. 54 b.) . Hal ini juga sesuai
dengan kakawin Nagarakretagama di mana tanah Sunda tak disebut sebagai wilayah Majapahit di
mana mereka harus membayar upeti. Tapi di Nagarakretagama, Madura juga tak disebut
Gajah Mada yang dimaki-maki oleh utusan Sunda
(bait 1. 66b – 1. 68 a.)
Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i kami, ngong iki mangkw angaturana sira sang
rajaputri, adulurana bakti, mangkana rakwa karěpmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki,
durung-durung ngong iki andap ring yuda.
Abasa lali po kita nguni duk kita aněkani jurit, amrang pradesa ring gunung, ěnti ramening
yuda, wong Sunda kagingsir, wong Jipang amburu, praptâpatih Sunda apulih, rusak
wadwamu gingsir.
Mantrimu kalih tinigas anama Lěs Beleteng angěmasi, bubar wadwamu malayu, anânibani
jurang, amurug-murug rwi, lwir patining lutung, uwak setan pating burěngik, padâmalakw
ing urip.
Mangke agung kokohanmu, uwabmu lwir ntuting gasir, kaya purisya tinilar ing asu,
mengkene kaharěpta, tan pracura juti, ndi sasana tinutmu gurwaning dustârusuh, dadi
angapusi sang sadubudi, patitânêng niraya atmamu těmbe yen antu.
Alihbahasa:
“Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar terhadap kami? Kita ini
sekarang ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus
membawa bakti? Sama seperti dari Nusantara. Kita lain, kita orang Sunda, belum pernah
kami kalah berperang.
Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur di daerah-
daerah pegunungan. Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang Jipang. Kemudian
patih Sunda datang kembali dan bala tentaramu mundur.
Kedua mantrimu yang bernama Lěs dan Beleteng diparang dan mati. Pasukanmu bubar
dan melarikan diri. Ada yang jatuh di jurang dan terkena duri-duri. Mereka mati bagaikan
kera, siamang dan setan. Di mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup.
Sekarang, besar juga kata-katamu. Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi
anjing. Sekarang maumu itu tidak sopan dan berkhianat. Ajaran apa yang kau ikuti selain
engkau ingin menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk. Menipu orang berbudi
syahdu. Jiwamu akan jatuh ke neraka, jika mati!”
Raja Sunda yang menolak syarat-syarat Majapahit (bait 2.69 – 2.71)
[...], yan kitâwĕdîng pati, lah age marĕka, i jĕng sri naranata, aturana jiwa bakti, wangining
sĕmbah, sira sang nataputri.
Wahu karungu denira sri narendra, bangun runtik ing ati, ah kita potusan, warahĕn
tuhanira, nora ngong marĕka malih, angatĕrana, iki sang rajaputri.
Mong kari sasisih bahune wong Sunda, rĕmpak kang kanan keri, norengsun ahulap,
rinĕbateng paprangan, srĕngĕn si rakryan apatih, kaya siniwak, karnasula angapi.
Alihbahasa:
[...], jika engkau takut mati, datanglah segera menghadap Sri Baginda (Hayam Wuruk) dan
haturkan bukti kesetianmu, keharuman sembahmu dengan menghaturkan beliau sang
Tuan Putri.
Maka ini terdengar oleh Sri Raja <Sunda> dan beliau menjadi murka: “Wahai kalian para
duta! Laporkan kepada tuanmu bahwa kami tidak akan menghadap lagi menghantarkan
Tuan Putri!”
“Meskipun orang-orang Sunda tinggal satu tangannya, atau hancur sebelah kanan dan
kiri, tiada akan ‘silau’ beta!”. Sang Tuan Patih juga marah, seakan-akan robek telinganya
mendengarkan (kata-kata pedas orang Majapahit).
Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda yang telah tewas (bait 3.29 – 3. 33)
Sireñanira tinañan, unggwani sang rajaputri, tinuduhakěn aneng made sira wontěn
aguling, mara sri narapati, katěmu sira akukub, perěmas natar ijo, ingungkabakěn tumuli,
kagyat sang nata dadi atěmah laywan.
Wěněsning muka angraras, netra duměling sadidik, kang lati angrawit katon, kengisning
waja amanis, anrang rumning srigading, kadi anapa pukulun, ngke pangeran marěka,
tinghal kamanda punyaningsun pukulun, mangke prapta angajawa.
Sang tan sah aneng swacita, ning rama rena inisti, marmaning parěng prapta kongang
mangkw atěmah kayêki, yan si prapta kang wingi, bangiwen pangeraningsun, pilih kari
agěsang, kawula mangke pinanggih, lah palalun, pangdaning Widy angawasa.
Palar-palarěn ing jěmah, pangeran sida kapanggih, asisihan eng paturon, tan kalangan ing
duskrěti, sida kâptining rawit, mwang rena kalih katuju, lwir mangkana panapanira sang
uwus alalis, sang sinambrama lěnglěng amrati cita.
Sangsaya lara kagagat, pětěng rasanikang ati, kapati sira sang katong, kang tangis
mangkin gumirih, lwir guruh ing katrini, matag paněděng ing santun, awor swaraning
kumbang, tangising wong lanang istri, arěrěb-rěrěb pawraning gělung lukar.
Alihbahasa:
Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan tempat Tuan Putri. Diberilah tahu
berada di tengah ia, tidur. Maka datanglah Sri Baginda, dan melihatnya tertutup kain
berwarna hijau keemasan di atas tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena
sudah menjadi mayat.
Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka, bibirnya indah dilihat, gigi-giginya
yang tak tertutup terlihat manis, seakan menyaingi keindahan sri gading. Seakan-akan ia
menyapa: “Sri Paduka, datanglah ke mari. Lihatlah kekasihnda (?), berbakti, Sri Baginda,
datang ke tanah Jawa.
Yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu, yang sangat mendambakannya, itulah
alasannya mereka ikut datang. Sekarang jadinya malah seperti ini. Jika datang kemarin
dulu, wahai Rajaku, mungkin <hamba> masih hidup dan sekarang dinikahkan. Aduh
sungguh kejamlah kuasa Tuhan!
Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah, berdampingan di atas ranjang tanpa
dihalang-halangi niat buruk. Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya.” Seakan-akan
begitulah ia yang telah tewas menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi bingung dan
merana.
Semakin lama semakin sakit rasa penderitaannya. Hatinya terasa gelap, beliau sang Raja
semakin merana. Tangisnya semakin keras, bagaikan guruh di bulan Ketiga*, yang
membuka kelopak bunga untuk mekar, bercampur dengan suara kumbang. Begitulah
tangis para pria dan wanita, rambut-rambut yang lepas terurai bagaikan kabut.
Sri Tanjung
Kidung Sri Tanjung adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan dalam bentuk
kidung. Karya ini dibuat oleh orang Banyuwangi. Cerita ini termasuk cerita legenda pendirian kota
Banyuwangi. Selain itu, cerita juga terkenal karena bisa dipakai untuk meruwat.
Ceritanya secara pendek adalah sebagai berikut: Adalah seorang ksatria bernama raden
Sidapaksa yang pergi dari tempat tinggalnya, lalu mengabdi sang raja di negeri Sinduraja. Lalu, ia
menikahi Dewi Sri Tanjung.
Maka suatu hari, raden Sidapaksa sangat marah, mengira istrinya berselingkuh. Lalu Sri Tanjung
bersumpah bahwa apabila ia dibunuh, jika yang keluar bukan darah, tetapi air harum, maka dia tak
salah.
Maka, benarlah, Sri Tanjung ditikam, tetapi yang keluar bukan darah segar, melainkan air yang
berbau wangi. Maka sampai sekarang ibukota bumi Blambangan namanya Banyuwangi.