117
* Suku Jawa * Suku Jawa, adalah suku bangsa terbesar di Indonesia . Jumlahnya mungkin ada sekitar 90 juta. Mereka berasal dari pulau Jawa dan terutama ditemukan di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur . Tetapi di provinsi Jawa Barat banyak ditemukan Suku Jawa, terutama di Kabupaten Indramayu dan Cirebon yang mayoritas masyarakatnya merupakan orang-orang Jawa yang berbahasa dan berbudaya Jawa. Di Lampung , Banten , Jakarta , dan Sumatera Utara populasi mereka juga cukup banyak. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger . Bahasa Jawa Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Dalam sebuah survei yang diadakan majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya 12% orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka sehari-hari, sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur, dan selebihnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.

Suku Jawa

Embed Size (px)

DESCRIPTION

for study

Citation preview

Page 1: Suku Jawa

* Suku Jawa *

Suku Jawa, adalah suku bangsa terbesar di Indonesia. Jumlahnya mungkin ada sekitar 90

juta. Mereka berasal dari pulau Jawa dan terutama ditemukan di provinsi Jawa Tengah dan Jawa

Timur. Tetapi di provinsi Jawa Barat banyak ditemukan Suku Jawa, terutama di Kabupaten

Indramayu dan Cirebon yang mayoritas masyarakatnya merupakan orang-orang Jawa yang

berbahasa dan berbudaya Jawa. Di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara populasi

mereka juga cukup banyak. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger.

Bahasa Jawa

Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Dalam

sebuah survei yang diadakan majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya

12% orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka sehari-hari,

sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur, dan selebihnya hanya

menggunakan bahasa Jawa saja.

Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara

pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki

pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar

akan status sosialnya di masyarakat.

Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di

beberapa bagian Banten terutama kota Serang, kabupaten Serang, kota Cilegon dan kabupaten

Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang,

Subang, Indramayu, kota Cirebon dan kabupaten Cirebon, Yogyakarta, Jawa Tengah & Jawa

Timur di Indonesia.

Page 2: Suku Jawa

Penyebaran Bahasa Jawa

Penduduk Jawa yang berpindah ke Malaysia turut membawa bahasa dan kebudayaan Jawa ke

Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung

Jawa, padang Jawa. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis

Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah : Lampung (61,9%), Sumatra Utara

(32,6%), Jambi (27,6%), Sumatera Selatan (27%). Khusus masyarakat Jawa di Sumatra Utara,

mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan

tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma

(Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui

program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak zaman penjajahan Belanda.

Selain di kawasan Nusantara, masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname,

yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan

sampai kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah

Guyana Perancis dan Venezuela. Pengiriman tenaga kerja ke Korea, Hong Kong, serta beberapa

negara Timur Tengah juga memperluas wilayah sebar pengguna bahasa ini meskipun belum bisa

dipastikan kelestariannya.

Fonologi

Dialek baku bahasa Jawa, yaitu yang didasarkan pada dialek Jawa Tengah, terutama dari sekitar

kota Surakarta dan Yogyakarta memiliki fonem-fonem berikut:

Vokal:

Depan Tengah Belakang

i u

e ə o

Page 3: Suku Jawa

( )ɛ ( )ɔ

a

Konsonan:

Labial DentalAlveola

rRetrofleks Palatal Velar Glotal

Letupan p b t d ʈ ɖ tʃ dʒ k g ʔ

Frikatif s (ʂ) h

Likuida & semivokal w l r j

Sengau m n (ɳ) ɲ ŋ

Perhatian: Fonem-fonem antara tanda kurung merupakan alofon.

Penjelasan Vokal:

Tekanan kata (stress) direalisasikan pada suku kata kedua dari belakang, kecuali apabila sukukata

memiliki sebuah pepet sebagai vokal. Pada kasus seperti ini, tekanan kata jatuh pada sukukata

terakhir, meskipun sukukata terakhir juga memuat pepet. Apabila sebuah kata sudah diimbuhi

Page 4: Suku Jawa

dengan afiks, tekanan kata tetap mengikuti tekanan kata kata dasar. Contoh: /jaran/ (kuda)

dilafazkan sebagai [j'aran] dan /pajaranan/ (tempat kuda) dilafazkan sebagai [paj'aranan].

Semua vokal kecuali /ə/, memiliki alofon. Fonem /a/ pada posisi tertutup dilafazkan sebagai [a],

namun pada posisi terbuka sebagai [ɔ]. Contoh: /lara/ (sakit) dilafazkan sebagai [l'ɔrɔ], tetapi

/larane/ (sakitnya) dilafazkan sebagai [l'arane]

Fonem /i/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [i] namun pada posisi tertutup lafaznya kurang

lebih mirip [e]. Contoh: /panci/ dilafazkan sebagai [p'aɲci] , tetapi /kancil/ kurang lebih dilafazkan

sebagai [k'aɲcel].

Fonem /u/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [u] namun pada posisi tertutup lafaznya kurang

lebih mirip [o]. Contoh: /wulu/ (bulu) dilafazkan sebagai [w'ulu] , tetapi /ʈuyul/ (tuyul) kurang lebih

dilafazkan sebagai [ʈ'uyol].

Fonem /e/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [e] namun pada posisi tertutup sebagai [ɛ].

Contoh: /lele/ dilafazkan sebagai [l'ele] , tetapi /bebek/ dilafazkan sebagai [b'ɛbɛʔ].

Fonem /o/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [o] namun pada posisi tertutup sebagai [ɔ].

Contoh: /loro/ dilafazkan sebagai [l'oro] , tetapi /boloŋ/ dilafazkan sebagai [b'ɔlɔŋ].

Penjelasan Konsonan:

Fonem /k/ memiliki sebuah alofon. Pada posisi terakhir, dilafazkan sebagai [ʔ]. Sedangkan pada

posisi tengah dan awal tetap sebagai [k].

Fonem /n/ memiliki dua alofon. Pada posisi awal atau tengah apabila berada di depan fonem

eksplosiva palatal atau retrofleks, maka fonem sengau ini akan berubah sesuai menjadi fonem

homorgan. Kemudian apabila fonem /n/ mengikuti sebuah /r/, maka akan menjadi [ɳ] (fonem

sengau retrofleks). Contoh: /panjaŋ/ dilafazkan sebagai [p'aɲjaŋ], lalu /anɖap/ dilafazkan sebagai

[ʔ'aɳɖap]. Kata /warna/ dilafazkan sebagai [w'arɳɔ].

Page 5: Suku Jawa

Fonem /s/ memiliki satu alofon. Apabila /s/ mengikuti fonem /r/ atau berada di depan fonem

eksplosiva retrofleks, maka akan direalisasikan sebagai [ʂ]. Contoh: /warsa/ dilafazkan sebagai

[w'arʂɔ], lalu /esʈi/ dilafazkan sebagai [ʔ'eʂʈi].

Fonotaktik

Dalam bahasa Jawa baku, sebuah sukukata bisa memiliki bentuk seperti berikut: (n)-K1-(l)-V-K2.

Artinya ialah Sebagai berikut:

(n) adalah fonem sengau homorgan.

K1 adalah konsonan eksplosiva ata likuida.

(l) adalah likuida yaitu /r/ atau /l/, namun hanya bisa muncul kalau K1 berbentuk eksplosiva.

V adalah semua vokal. Tetapi apabila K2 tidak ada maka fonem /ə/ tidak bisa berada pada

posisi ini.

K2 adalah semua konsonan kecuali eksplosiva palatal dan retrofleks; /c/, /j/, /ʈ/, dan /ɖ/.

Contoh:

a

an

pan

prang

njlen

Variasi dalam bahasa Jawa

Klasifikasi berdasarkan dialek geografi mengacu kepada pendapat E.M. Uhlenbeck (1964) [1].

Peneliti lain seperti W.J.S. Poerwadarminta dan Hatley memiliki pendapat yang berbeda.[rujukan?]

Kelompok Barat

1. dialek Banten

2. dialek Cirebon

3. dialek Tegal

Page 6: Suku Jawa

4. dialek Banyumasan

5. dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)

Tiga dialek terakhir biasa disebut Dialek Banyumasan.

Kelompok Tengah

1. dialek Pekalongan

2. dialek Kedu

3. dialek Bagelen

4. dialek Semarang

5. dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)

6. dialek Blora

7. dialek Surakarta

8. dialek Yogyakarta

9. dialek Madiun

Kelompok kedua ini dikenal sebagai bahasa Jawa Tengahan atau Mataraman. Dialek Surakarta

dan Yogyakarta menjadi acuan baku bagi pemakaian resmi bahasa Jawa (bahasa Jawa Baku).

Kelompok Timur

1. dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)

2. dialek Surabaya

3. dialek Malang

4. dialek Jombang

5. dialek Tengger

6. dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)

Kelompok ketiga ini dikenal sebagai bahasa Jawa Wetanan (Timur).

Register (undhak-undhuk basa)

Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama

(etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal

ini. Bahasa Jawa bukan satu-satunya bahasa yang mengenal hal ini karena beberapa bahasa

Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur seperti bahasa Korea dan bahasa Jepang juga

Page 7: Suku Jawa

mengenal hal semacam ini. Dalam sosiolinguistik, undhak-undhuk merupakan salah satu bentuk

register.

Terdapat tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko ("kasar"), madya ("biasa"), dan krama ("halus"). Di

antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk "penghormatan" (ngajengake, honorific) dan

"perendahan" (ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah-ubah registernya pada suatu saat

tergantung status yang bersangkutan dan lawan bicara. Status ditentukan oleh usia, posisi sosial,

atau hal-hal lain. Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan

varian ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap

dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta, dan Madiun.

Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini.

Sebagai tambahan, terdapat bentuk bagongan dan kedhaton, yang keduanya hanya dipakai

sebagai bahasa pengantar di lingkungan keraton. Dengan demikian, dikenal bentuk-bentuk ngoko

lugu, ngoko andhap, madhya, madhyantara, krama, krama inggil, bagongan, kedhaton.

Di bawah ini disajikan contoh sebuah kalimat dalam beberapa gaya bahasa yang berbeda-beda

ini.

Bahasa Indonesia : "Maaf, saya mau tanya rumah Kak Budi itu, di mana?"

1. Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’

2. Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”

3. Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi, nèng ndi?”

4. Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?”

5. Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundi?”

6. Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika,

wonten pundi?”

7. Krama: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”

8. Krama inggil: “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika,

wonten pundi?”

*nèng adalah bentuk percakapan sehari-hari dan merupakan kependekan dari bentuk baku ana ing

yang disingkat menjadi (a)nêng.

Page 8: Suku Jawa

Dengan memakai kata-kata yang berbeda dalam sebuah kalimat yang secara tatabahasa berarti

sama, seseorang bisa mengungkapkan status sosialnya terhadap lawan bicaranya dan juga

terhadap yang dibicarakan. Walaupun demikian, tidak semua penutur bahasa Jawa mengenal

semuanya register itu. Biasanya mereka hanya mengenal ngoko dan sejenis madya.

Bilangan dalam bahasa Jawa

Bila dibandingkan dengan bahasa Melayu atau Indonesia, bahasa Jawa memiliki sistem

bilangan yang agak rumit.

Bahasa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Kuna sa rwa telu pat lima enem pitu walu sanga sapuluh

Kawi eka dwi tri catur panca sad sapta asta nawa dasa

Krama setunggal kalih tiga sekawan gangsal enem pitu wolu sanga sedasa

Ngoko siji loro telu papat lima enem pitu wolu sanga sepuluh

Angka Ngoko Krama

11 sewelas setunggal welas (sewelas)

12 rolas kalih welas

13 telulas tiga welas

14 patbelas sekawan welas

15 limalas gangsal welas

16 nembelas enem welas

17 pitulas pitulas

18 wolulas wolulas

19 sangalas sangalas

20 rong puluh kalih dasa

21 selikur selikur/kalih dasa setunggal

22 rolikur kalih likur

23 telulikur tigang likur

24 patlikur sekawan likur

Page 9: Suku Jawa

25 selawé selangkung

26 nemlikur nemlikur

30 telung puluh tigang dasa

31 telung puluh siji tigang dasa setunggal

32 telung puluh loro tigang dasa kalih

40 patang puluh sekawan dasa

41 patang puluh siji sekawan dasa setunggal

42 patang puluh loro sekawan dasa kalih

50 sèket sèket

51 sèket siji sèket setunggal

52 sèket loro sèket kalih

60 swidak swidak

61 swidak siji swidak setunggal

62 swidak loro swidak kalih

70 pitung puluh pitu dasa

80 wolung puluh wolu dasa

90 sangang puluh sanga dasa

100 satus setunggal atus

101 satus siji setunggal atus setunggal

102 satus loro setunggal atus kalih

120 satus rong puluh setunggal atus kalih dasa

121 satus selikur setunggal atus kalih dasa setunggal

200 rong atus kalih atus

500 limang atus gangsal atus

1.000 sèwu setunggal èwu

1.001 sèwu siji setunggal èwu setunggal

1.002 sèwu loro setunggal èwu kalih

1.500 sèwu limang atus setunggal èwu gangsal atus

Page 10: Suku Jawa

1.520 sèwu limang atus rong puluh setunggal èwu gangsal atus kalih dasa

1.550 sèwu limang atus sèket setunggal èwu gangsal atus sèket

1.551 sèwu limang atus sèket siji setunggal èwu gangsal atus sèket setunggal

2.000 rong èwu kalih èwu

5.000 limang èwu gangsal èwu

10.000 sepuluh èwu sedasa èwu

100.000 satus èwu setunggal atus èwu

500.000 limang atus èwu gangsal atus èwu

1.000.000 sayuta setunggal yuta

1.562.155sayuta limang atus swidak loro èwu

satus sèket lima

setunggal yuta gangsal atus swidak kalih èwu

setunggal atus sèket gangsal

Fraksi

1/2 setengah, separo, sepalih (Krama)

1/4 saprapat, seprasekawan (Krama)

3/4 telung prapat, tigang prasekawan (Krama)

1,5 karo tengah, kalih tengah (Krama)

* Jawanisme

Jawanisme adalah sebuah fenomena atau gejala dalam bahasa Indonesia di mana seorang

penutur, biasanya penutur ibu bahasa Jawa terpengaruh oleh bahasa ibunya.

Pengaruh ini meliputi bidang sintaksis dalam bahasa Indonesia.

Beberapa contoh:

"Kamu datêng-ó sini!" atau "Kamu datêng sini-ó!" untuk "Kamu datanglah kemari!" atau

"Kamu datang kemarilah!" dari bahasa Jawa: "Kowe maraa réné!" atau "Kowé mara rénéa"

"Nanti barangé tak-ambil(é)." untuk "Nanti barangnya kuambil." dari bahasa Jawa:

"Mengko barangé tak-jupuk(é)."

Page 11: Suku Jawa

"Jalané pelan bangêt." untuk "Jalannya pelan sekali." dari bahasa Jawa: "Mlaku alon

bangêt."

"Itu bukuné adékku!" untuk "Itu buku adik saya!" dari bahasa Jawa: "Iku bukuné adhek

kulo!"

Selain itu masih banyak pengaruh dalam kosakata bahasa Indonesia.

Yang unik dari Jawanisme adalah sedikit sekali orang Jawa (pribumi) yang benar-benar

mengalami Jawanisme ini. Yang mengherankan adalah banyak orang-orang Tionghoa (terutama

yang hidup di kawasan Semarang dan Salatiga serta Solo dan juga Jogja ) yang mengalami gejala

Jawanisme.

sebagai contoh: "Rene ó!" : "Kesinilah" atau "Kemarilah" dalam ujaran bahasa Tionghoa-Indonesia

menjadi : "Sini ó"

"(O)ra isó" : "Tidak bisa" menjadi: "(E)ndak isa" atau "(E)ndak isó"

"Kuwi jarané isih ning njaba": "Itu kudanya masih di luar", menjadi: "Itu kudané misi(h) di luar"

Fenomena Jawanisme dalam bahasa Inggris

Sebagai kelanjutan fenomena Jawanisme dalam bahasa Indonesia, penutur bahasa Jawa yang

belajar bahasa Inggris atau tinggal di komunitas pemakai bahasa Inggris seringkali terdengar

menggunakan istilah-istilah bahasa Jawa dalam kalimat bahasa Inggris ketika bercakap-cakap

dengan penutur yang berasal dari wilayah yang sama.

Ekspresi-ekspresi yang sering dipakai adalah 'lho', 'lha', 'to', 'kok', 'ki', 'no', dan sebagainya

sebagai contoh:

"Lho, I already bought that book !": "Lho, aku uwis tuku buku kuwi!", yang berarti "Loh,

saya ternyata sudah beli buku ini!"

"Kok, buying again ?": "Kok tuku manéh?", yang berarti "Mengapa beli lagi?"

"I told you many times to !": "Wis tak kandhéni ping piro to?", yang berarti "Sudah saya

beritahu berapa kali, sih!"

Page 12: Suku Jawa

"Lha, I didn't know ... how ki ?": "Lha aku yó ora ngerti, piyé (i)ki?", yang berarti "Ya saya

tidak mengerti, bagaimana dong?"

"Don't be like that, no....": "Ojo ngono, no...", yang berarti "Jangan begitu, dong..."

* Sastra Jawa

Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi

(Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti

Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi. Isinya ditulis dalam bahasa Jawa Kuna.

Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan sebuah

sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa

Jawa (Kuna).

Biasanya sejarah sastra Jawa dibagi dalam empat masa:

Sastra Jawa Kuna

Sastra Jawa Tengahan

Sastra Jawa Baru

Sastra Jawa Modern

Terdapat pula kategori Sastra Jawa-Bali, yang berkembang dari Sastra Jawa Tengahan. Selain itu,

ada pula Sastra Jawa-Lombok, Sastra Jawa-Sunda, Sastra Jawa-Madura, dan Sastra Jawa-

Palembang.

Dari semua sastra tradisional Nusantara, sastra Jawa adalah yang paling berkembang dan paling

banyak tersimpan karya sastranya. Tetapi setelah proklamasi RI, tahun 1945 sastra Jawa agak

dianaktirikan karena di Negara Kesatuan RI, kesatuan yang diutamakan.

Bahasa Jawa pertama-tama ditulis dalam aksara turunan aksara Pallawa yang berasal dari India

Selatan. Aksara ini yang menjadi cikal bakal aksara Jawa modern atau Hanacaraka yang masih

dipakai sampai sekarang. Dengan berkembangnya agama Islam pada abad ke-15 dan ke-16,

huruf Arab juga dipergunakan untuk menulis bahasa Jawa; huruf ini disebut dengan nama huruf

Page 13: Suku Jawa

pegon. Ketika bangsa Eropa datang ke Jawa, abjad Latin pun digunakan untuk menulis bahasa

Jawa.

Kategori sastra Jawa

Sastra Jawa secara global bisa dibagi menjadi dua kategori yaitu yang ditulis dalam bentuk prosa

atau puisi. Dalam bentuk prosa biasanya disebut gancaran dan dalam bentuk puisi biasa disebut

dengan istilah tembang. Sebagian besar karya sastra Jawa ditulis dalam bentuk tembang mulai

dari awal bahkan sampai saat ini. Untuk informasi lebih lanjut silakan lihat artikel: Tembang dalam

Sastra Jawa.

Sastra Jawa Kuno

Sastra Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis

dalam bahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14

Masehi, dimulai dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa

(gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita,

undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuno diwariskan

dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno

jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya.

Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.

Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin

Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno.

Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-naskah

manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan

Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks

Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.

Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan

mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di

pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat.

Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah

Jawa Kuno.

Page 14: Suku Jawa

Mengenai istilah Jawa Kuno

Istilah sastra Jawa Kuno agak sedikit rancu. Istilah ini bisa berarti sastra dalam bahasa Jawa

sebelum masuknya pengaruh Islam[1] atau pembagian yang lebih halus lagi: sastra Jawa yang

terlama. Jadi merupakan sastra Jawa sebelum masa sastra Jawa Pertengahan. Sastra Jawa

Pertengahan adalah masa transisi antara sastra Jawa Kuno dan sastra Jawa Baru. Di dalam

artikel ini, pengertian terakhir inilah yang dipakai.[2]

Tradisi penurunan

Sastra Jawa Kuno yang terlestarikan sampai hari ini sebagian besar diturunkan dalam bentuk

naskah manuskrip yang telah disalin ulang berkali-kali. Sehingga mereka jarang yang tertulis

dalam bentuk asli seperti pada waktu dibuat dahulu, kecuali jika ditulis pada bahan tulisan yang

awet seperti batu, tembaga dan lain-lain. Prasasti tertua dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari

tahun 804, namun isinya bukan merupakan teks kesusastraan. Teks kesusastraan tertua pada

sebuah prasasti terdapat pada Prasasti Siwagreha yang ditarikh berasal dari tahun 856 Masehi.

Sedangkan naskah manuskrip tertua adalah sebuah naskah daun nipah yang berasal dari abad

ke-13 dan ditemukan di Jawa Barat. Naskah nipah ini memuat teks Kakawin Arjunawiwaha yang

berasal dari abad ke-11.

Tinjauan umum

Banyak teks dalam bahasa Jawa Kuno yang terlestarikan dari abad ke-9 sampai abad ke-14.

Namun tidak semua teks-teks ini merupakan teks kesusastraan. Dari masa ini terwariskan sekitar

20 teks prosa dan 25 teks puisi. Sebagian besar dari teks-teks ini ditulis setelah abad ke-11.

Puisi Jawa lama

Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk prosa

1. Candakarana

2. Sang Hyang Kamahayanikan

3. Brahmandapurana

4. Agastyaparwa

5. Uttarakanda

6. Adiparwa

Page 15: Suku Jawa

7. Sabhaparwa

8. Wirataparwa , 996

9. Udyogaparwa

10. Bhismaparwa

11. Asramawasanaparwa

12. Mosalaparwa

13. Prasthanikaparwa

14. Swargarohanaparwa

15. Kunjarakarna

Candakarana

Candakarana adalah semacam kamus atau bisa juga disebut ensiklopedia Jawa Kuna dan

versinya yang paling awal kira-kira ditulis pada abad ke-8 Masehi.

Para pakar menduga periode yang sangat awal ini karena kitab ini memuat nama Syailendra.

Sedangkan raja Syailendra yang membangun candi Borobudur ini diperkirakan memerintah pada

akhir abad ke-8 Masehi.

Sang Hyang Kamahayanikan

Sang Hyang Kamahayanikan adalah sebuah karya sastra dalam bentuk prosa. Di bagian

belakang disebut nama seorang raja Jawa, yaitu Mpu Sendok, yang bertakhta di Jawa Timur

mulai dari tahun 929 sampai tahun 947 Masehi.

isinya mengenai pelajaran agama Buddha Mahayana. Kebanyakan mengenai susunan perincinan

dewa-dewa dalam mazhab Mahayana dan kerapkali cocok dengan penempatan raja-raja Buddha

dalam candi Borobudur. Selain itu ada pula tentang tatacara orang bersamadi.

Brahmandapurana

Brahmandapurana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna berbentuk prosa. Karya sastra ini tidak

memuat penanggalan kapan ditulis dan oleh perintah siapa. Tetapi dilihat dari gaya bahasa

kemungkinan berasal dari masa yang sama dengan Sang Hyang Kamahayanikan.

Page 16: Suku Jawa

Namun ada perbedaan utama, yaitu Sang Hyang Kamahayanikan adalah kitab kaum penganut

agama Buddha Mahayana sedangkan Brahmandapurana ditulis untuk dan oleh penganut agama

(Hindu) Siwa.

Isinya bermacam-macam, seperti cerita asal-muasalnya dunia dan jagatraya diciptakan, keadaan

alam, muncul empat kasta (brahmana, ksatria, waisya dan sudra), tentang perbedaan tahap para

brahmana (caturasrama) dan lain-lain.

Agastyaparwa

Agastyaparwa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna berbentuk prosa. Isinya mirip

Brahmandapurana. Meski Agastyaparwa tertulis dalam bahasa Jawa Kuna, namun banyak disisipi

seloka-seloka dalam bahasa Sansekerta.

Isinya mengenai hal-ikhwal seorang suci yang disebut sang Dredhasyu yang berdiskusi dan

meminta pengajaran kepada ayahnya sang bagawan Agastya. Salah satu hal yang dibicarakan

adalah soal mengapa seseorang naik ke surga atau jatuh ke neraka.

Uttarakanda

Uttarakanda adalah kitab ke-7 Ramayana. Diperkirakan kitab ini merupakan tambahan. Kitab

Uttarakanda dalam bentuk prosa ditemukan pula dalam bahasa Jawa Kuna. Isinya tidak

diketemukan dalam Kakawin Ramayana. Di permulaan versi Jawa Kuna ini ada referensi merujuk

ke prabu Dharmawangsa Teguh.

Isi

Cerita Rahwana

o Terjadinya para raksasa, nenek moyang Rahwana atau Rawana

o Cerita Serat Arjunasasrabahu

Cerita Dewi Sita

o Pembuangan Sita di hutan, karena sudah lama tidak di sisi Rama

o Kelahiran Kusa dan Lawa di pertapaan di hutan

o "Kematian" Sita

Adiparwa

Page 17: Suku Jawa

Adiparwa (Sansekerta ) adalah buku pertama atau bagian (parwa) pertama dari kisah

Mahabharata. Pada dasarnya bagian ini berisi ringkasan keseluruhan cerita Mahabharata, kisah-

kisah mengenai latar belakang ceritera, nenek moyang keluarga Bharata, hingga masa muda

Korawa dan Pandawa). Kisahnya dituturkan dalam sebuah cerita bingkai dan alur ceritanya

meloncat-loncat sehingga tidak mengalir dengan baik. Penuturan kisah keluarga besar Bharata

tersebut dimulai dengan percakapan antara Bagawan Ugrasrawa yang mendatangi Bagawan

Sonaka di hutan Nemisa.

Adiparwa versi Jawa Kuna yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Daerah Tingkat I provinsi Bali

Bagian-bagian

Bagian-bagian kitab Adiparwa itu di antaranya:

Cerita Begawan Ugrasrawa (Ugraçrawā) mengenai terjadinya pemandian

Samantapañcaka dan tentang dituturkannya kisah Mahabharata oleh Begawan

Waisampayana (Waiçampāyana). Kisah panjang tersebut dituturkan atas permintaan

Page 18: Suku Jawa

maharaja Janamejaya, raja Hastinapura, anak mendiang prabu Parikesit (Parīkşit) dan

cicit Pandawa. Begawan Waisampayana bermaksud menghibur sang maharaja atas

kegagalan kurban ular (sarpayajña) yang dilangsungkan untuk menghukum naga

Taksaka, yang telah membunuh raja Pariksit.

o Selain itu sang Ugrasrawa juga menjelaskan ringkasan delapan belas parwa yang

menyusun Mahabharata; jumlah bab, seloka (çloka) dan isi dari masing-masing

parwa.

Cerita dikutuknya maharaja Janamejaya oleh sang Sarama, yang berakibat kegagalan

kurban yang dilangsungkan oleh sang maharaja.

Cerita Begawan Dhomya beserta ketiga orang muridnya; sang Arunika, sang Utamanyu

dan sang Weda. Dilanjutkan dengan ceritera Posya, mengenai kisah asal mula sang

Uttangka murid sang Weda bermusuhan dengan naga Taksaka. Oleh karenanya sang

Uttangka lalu membujuk Maharaja Janamejaya untuk melaksanakan sarpayajña atau

upacara pengorbanan ular.

Cerita asal mula Hyang Agni (dewa api) memakan segala sesuatu, apa saja dapat

dibakarnya, dengan tidak memilah-milah. Serta nasihat dewa kepada sang Ruru untuk

mengikuti jejak sang Astika, yang melindungi para ular dan naga dari kurban maharaja

Janamejaya.

Ceritera Astika; mulai dari kisah sang Jaratkāru mengawini sang Nāgini (naga perempuan)

dan beranakkan sang Astika, kisah lahirnya naga dan garuda, dikutuknya para naga oleh

ibunya agar dimakan api pada kurban ular, permusuhan naga dengan garuda, hingga

upaya para naga menghindarkan diri dari kurban ular.

o Di dalam ceritera ini terselip pula kisah mengenai upaya para dewa untuk

mendapatkan tirta amrta atau air kehidupan, serta asal-usul gerhana matahari dan

bulan.

Cerita asal-usul Raja Parikesit dikutuk Begawan Çrunggī dan karenanya mati digigit naga

Taksaka.

Cerita pelaksanaan kurban ular oleh maharaja Janamejaya, dan bagaimana Begawan

Page 19: Suku Jawa

Astika mengurungkan kurban ular ini.

Cerita asal-usul dan sejarah nenek moyang Kurawa dan Pandawa. Kisah Sakuntala

(Çakuntala) yang melahirkan Bharata, yang kemudian menurunkan keluarga Bharata.

Sampai kepada sang Kuru, yang membuat tegal Kuruksetra; sang Hasti, yang mendirikan

Hastinapura; maharaja Santanu (Çantanu) yang berputra Bhîsma Dewabrata, lahirnya

Begawan Byasa (Byâsa atau Abiyasa) –sang pengarang kisah ini– sampai kepada

lahirnya Dhrestarastra (Dhŗţarāstra) –ayah para Kurawa, Pandu (Pãņdu) –ayah para

Pandawa, dan sang Widura.

Cerita kelahiran dan masa kecil Kurawa dan Pandawa. Permusuhan Kurawa dan

Pandawa kecil, kisah dang hyang Drona, hingga sang Karna menjadi adipati di Awangga.

Cerita masa muda Pandawa. Terbakarnya rumah damar, kisah sang Bima (Bhîma)

mengalahkan raksasa Hidimba dan mengawini adiknya Hidimbî (Arimbi) serta kelahiran

Gatutkaca, kemenangan Pandawa dalam sayembara Drupadi, dibaginya negara Hâstina

menjadi dua untuk Kurawa dan Pandawa, pengasingan sang Arjuna selama 12 tahun

dalam hutan, lahirnya Abimanyu (Abhimanyu) ayah sang Pariksit, hingga terbakarnya

hutan Kandhawa tempat naga Taksaka bersembunyi.

Catatan: Cerita-cerita ini dianyam dalam bentuk cerita bingkai.

Ringkasan isi Kitab Adiparwa

Adiparwa dituturkan seperti sebuah narasi. Penuturan isi kitab tersebut bermula ketika Sang

Ugrasrawa mendatangi Bagawan Sonaka yang sedang melakukan upacara di hutan Nemisa [1] .

Sang Ugrasrawa menceritakan kepada Bagawan Sonaka tentang keberadaan sebuah kumpulan

kitab yang disebut Astadasaparwa, pokok ceritanya adalah kisah perselisihan Pandawa dan

Korawa, keturunan Sang Bharata. Dari penuturan Sang Ugrasrawa, mengalirlah kisah besar

keluarga Bharata tersebut (Mahābhārata).

Page 20: Suku Jawa

Perhatian: Bagian di bawah ini mungkin akan membeberkan isi cerita yang penting atau akhir

kisahnya.

Mangkatnya Raja Parikesit

Dikisahkan, ada seorang Raja bernama Parikesit, putera Sang Abimanyu, yang bertahta di

Hastinapura. Ia merupakan keturunan Sang Kuru, maka disebut juga Kuruwangsa[1]. Pada suatu

hari, beliau berburu kijang ke tengah hutan. Kijang diikutinya sampai kehilangan jejak. Di hutan

beliau berpapasan dengan seorang pendeta bernama Bagawan Samiti. Sang Raja menanyakan

kemana kijang buruannya pergi, namun sang pendeta membisu (bertapa dengan bisu). Hal

tersebut membuat Raja Parikesit marah. Ia mengambil bangkai ular, kemudian mengalungkannya

di leher sang pendeta.

Putera sang pendeta yang bernama Srenggi, mengetahui hal tersebut dari penjelasan Sang Kresa,

kemudian ia menjadi marah. Ia mengutuk Sang Raja, agar beliau wafat karena digigit ular, tujuh

hari setelah kutukan diucapkan. Setelah Sang Raja menerima kutukan tersebut, maka ia

berlindung di sebuah menara yang dijaga dan diawasi dengan ketat oleh prajurit dan para

patihnya. Di sekeliling menara juga telah siap para tabib yang ahli menangani bisa ular. Pada hari

ketujuh, yaitu hari yang diramalkan menjadi hari kematiannya, seekor naga yang bernama

Taksaka menyamar menjadi ulat pada jambu yang dihaturkan kepada Sang Raja. Akhirnya Sang

Raja mangkat setelah digigit Naga Taksaka yang menyamar menjadi ulat dalam jambu[1].

Raja Janamejaya mengadakan upacara korban ular

Setelah Maharaja Parikesit mangkat, puteranya yang bernama Janamejaya menggantikan

tahtanya. Pada waktu itu beliau masih kanak-kanak, namun sudah memiliki kesaktian, kepandaian,

dan wajah yang tampan. Raja Janamejaya dinikahkan dengan puteri dari Kerajaan Kasi, bernama

Bhamustiman. Raja Janamejaya memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga dunia tenteram,

setiap musuh pasti dapat ditaklukkannya. Ketika Sang Raja berhasil menaklukkan desa Taksila,

Sang Uttangka datang menghadap Sang Raja dan mengatakan niatnya yang benci terhadap Naga

Taksaka, sekaligus menceritakan bahwa penyebab kematian ayahnya adalah karena ulah Naga

Taksaka.

Sang Raja meneliti kebenaran cerita tersebut dan para patihnya membenarkan cerita Sang

Uttangka. Sang Raja dianjurkan untuk mengadakan upacara pengorbanan ular untuk membalas

Page 21: Suku Jawa

Naga Taksaka. Singkat cerita, beliau menyiapakan segala kebutuhan upacara dan mengundang

para pendeta dan ahli mantra untuk membantu proses upacara. Melihat Sang Raja mengadakan

upacara tersebut, Naga Taksaka menjadi gelisah. Kemudian ia mengutus Sang Astika untuk

menggagalkan upacara Sang Raja. Sang Astika menerima tugas tersebut lalu pergi ke lokasi

upacara. Sang Astika menyembah-nyembah Sang Raja dan memohon agar Sang Raja

membatalkan upacaranya. Sang Raja yang memiliki rasa belas kasihan terhadap Sang Astika,

membatalkan upacaranya. Akhirnya, Sang Astika mohon diri untuk kembali ke Nagaloka. Naga

Taksaka pun selamat dari upacara tersebut.

Wesampayana menuturkan Mahabharata

Maharaja Janamejaya yang sedih karena upacaranya tidak sempurna, meminta Bagawan Byasa

untuk menceritakan kisah leluhurnya, sekaligus kisah Pandawa dan Korawa yang bertempur di

Kurukshetra. Karena Bagawan Byasa sibuk dengan urusan lain, maka Bagawan Wesampayana

disuruh mewakilinya. Ia adalah murid Bagawan Byasa, penulis kisah besar keluarga Bharata atau

Mahābhārata. Sesuai keinginan Raja Janamejaya, Bagawan Wesampayana menuturkan sebuah

kisah kepada Sang Raja, yaitu kisah sebelum sang raja lahir, kisah Pandawa dan Korawa, kisah

perang di Kurukshetra, dan kisah silsilah leluhur sang raja. Wesampayana mula-mula menuturkan

kisah leluhur Maharaja Janamejaya (Sakuntala, Duswanta, Bharata, Yayati, Puru, Kuru), kemudian

kisah buyutnya, yaitu Pandawa dan Korawa.

Garis keturunan Maharaja Yayati

Silsilah Dinasti Kuru dan Yadu

Leluhur Maharaja Janamejaya yang menurunkan pendiri Dinasti Puru dan Yadu bernama

Maharaja Yayati, beliau memiliki dua permaisuri, namanya Dewayani dan Sarmishta. Dewayani

melahirkan Yadu dan Turwasu, sedangkan Sarmishta melahirkan Anu, Druhyu, dan Puru.

Keturunan Sang Yadu disebut Yadawa sedangkan keturunan Sang Puru disebut Paurawa.[1]

Nahusa

Priyambada

Page 22: Suku Jawa

Dewayani

Yayati

Sarmista

Yadu Turwasu Druhyu Anu Puru

Yadu menurunkan

wangsa Yadawa

Puru menurunkan

wangsa Paurawa

Dalam silsilah generasi Paurawa, lahirlah Maharaja Dushyanta, menikahi Sakuntala, yang

kemudian menurunkan Sang Bharata. Sang Bharata menaklukkan dunia dan daerah jajahannya

kemudian dikenal sebagai Bharatawarsha [1] . Sang Bharata menurunkan Dinasti Bharata. Dalam

Dinasti Bharata lahirlah Sang Kuru, yang menyucikan sebuah tempat yang disebut Kurukshetra,

kemdian menurunkan Kuruwangsa, atau Dinasti Kuru [1] .

Setelah beberapa generasi, lahirlah Prabu Santanu, yang mewarisi tahta Hastinapura. Prabu

Santanu memiliki dua istri, yaitu Dewi Gangga dan Satyawati. Dewi Gangga melahirkan Bhisma,

sedangkan Satyawati melahirkan Chitrāngada dan Wicitrawirya. Karena Chitrāngada wafat di usia

muda dan Bhisma bersumpah tidak akan mewarisi tahta, maka Wicitrawirya melanjutkan

pemerintahan ayahnya. Wicitrawirya memiliki dua permaisuri, yaitu Ambika dan Ambalika. Dari

Ambika lahirlah Drestarastra dan dari Ambalika lahirlah Pandu. Drestarastra memiliki seratus

putera yang disebut Korawaçata (seratus Korawa) sedangkan Pandu memiliki lima putera yang

disebut Panca Pandawa (lima putera Pandu).

Puru

Page 25: Suku Jawa

Kisah Prabu Santanu dan keturunannya

Prabu Santanu jatuh cinta kepada Satyawati, anak nelayan (dilukis oleh Raja Ravi Varma)

Tersebutlah seorang Raja bernama Pratipa, beliau merupakan salah satu keturunan Sang Kuru

atau Kuruwangsa, bertahta di Hastinapura. Raja Pratipa memiliki permaisuri bernama Sunandha

dari Kerajaan Siwi, yang melahirkan tiga putera. Di antara ketiga putera tersebut, Santanu

dinobatkan menjadi Raja. Raja Santanu menikahi Dewi Gangga, kemudian berputera 8 orang.

Tujuh puteranya yang lain ditenggelamkan ke sungai oleh istrinya sendiri, sedangkan puteranya

yang terakhir berhasil selamat karena perbuatan istrinya dicegah oleh Sang Raja. Puteranya

tersebut bernama Dewabrata, namun di kemudian hari bernama Bhisma. Raja Santanu menikah

sekali lagi dengan seorang puteri nelayan bernama Satyawati. Satyawati melahirkan 2 putera,

bernama Chitrāngada dan Wicitrawirya.

Chitrāngada mewarisi tahta ayahnya. Namun karena ia gugur di usia muda pada suatu

pertempuran melawan seorang Raja Gandharva, pemerintahannya digantikan oleh adiknya,

Wicitrawirya [1] . Wicitrawirya menikahi Ambika dan Ambalika dari Kerajaan Kasi. Tak lama setelah

pernikahannya, Wicitrawirya wafat. Untuk memperoleh keturunan, kedua janda Wicitrawirya

Page 26: Suku Jawa

melangsungkan upacara yang dipimpin oleh Bagawan Byasa. Ambika melahirkan Drestarastra

yang buta sedangkan Ambalika melahirkan Pandu yang pucat. Atas anugerah Bagawan Byasa,

seorang pelayan yang turut serta dalam upacara tersebut melahirkan seorang putera, bernama

Widura yang sedikit pincang[1]. Drestarastra menikahi Gandari kemudian memiliki seratus putera

yang disebut Korawa. Pandu menikahi Kunti dan Madri. Kunti melahirkan Yudistira, Bhima, dan

Arjuna. Madri melahirkan Nakula dan Sadewa. Keturunan Pandu tersebut disebut Pandawa.

Kisah masa kecil Pandawa dan Korawa

Pandawa dan Korawa hidup bersama-sama di istana Hastinapura. Bagawan Drona mendidik

mereka semasa kanak-kanak, bersama dengan puteranya yang bernama Aswatama. Selain itu

mereka diasuh pula oleh Bhisma dan Bagawan Kripa. Setelah Pandu mangkat, kakaknya yang

bernama Drestarastra melanjutkan pemerintahan. Drestarastra melihat talenta para Pandawa dan

hendak mencalonkan Yudistira sebagai Raja, namun hal tersebut justru menimbulkan sikap iri hati

dalam diri Duryodana, salah satu Korawa. Tingkah laku Bima yang tanpa sengaja merugikan para

Korawa juga sering membuat Duryodana dan adik-adiknya kesal.

Terbakarnya rumah damar

Suatu hari Duryodana berpikir ia bersama adiknya mustahil untuk dapat meneruskan tahta Dinasti

Kuru apabila sepupunya masih ada. Mereka semua (Pandawa lima dan sepupu-sepupunya atau

yang dikenal juga sebagai Korawa) tinggal bersama dalam suatu kerajaan yang beribukota di

Hastinapura. Akhirnya berbagai niat jahat muncul dalam benaknya untuk menyingkirkan Pandawa

lima beserta ibunya.

Drestarastra yang mencintai keponakannya secara berlebihan mengangkat Yudistira sebagai putra

mahkota tetapi ia langsung menyesali perbuatannya yang terlalu terburu-buru sehingga ia tidak

memikirkan perasaan anaknya. Hal ini menyebabkan Duryodana iri hati dengan Yudistira, ia

mencoba untuk membunuh pandawa lima beserta ibu mereka yang bernama Kunti dengan cara

menyuruh mereka berlibur ke tempat yang bernama Ekacakra. Di sana terdapat bangunan yang

megah, yang telah disiapkan Duryodana untuk mereka berlibur dan akan membakar bagunan itu di

tengah malam pada saat pandawa lima sedang terlelap tidur. Segala sesuatunya yang sudah

direncanakan Duryodana dibocorkan oleh Widura yang merupakan paman dari Pandawa lima.

Sebelum itu juga Yudistira juga telah diingatkan oleh seorang petapa yang datang ke dirinya

bahwa akan ada bencana yang menimpannya oleh karena itu Yudistira pun sudah berwaspada

Page 27: Suku Jawa

terhadap segala kemungkinan. Untuk pertama kalinya Yudistira lolos dalam perangkap Duryodana

dan melarikan diri ke hutan rimba.

Pandawa mendapatkan Dropadi

Pada suatu hari, Pandawa mengikuti sayembara yang diselenggarakan Raja Drupada di Kerajaan

Panchala. Sayembara tersebut memperebutkan Dewi Dropadi. Banyak ksatria di penjuru

Bharatawarsha turut menghadiri. Para Pandawa menyamar sebagai seorang Brāhmana. Sebuah

sasaran diletakkan di tengah-tengah arena, dan siapa yang berhasil memanah sasaran tersebut

dengan tepat, maka ialah yang berhasil mendapatkan Dropadi. Satu-persatu ksatria maju, namun

tidak ada satu pun yang berhasil memanah dengan tepat. Ketika Karna dari Kerajaan Anga turut

serta, ia berhasil memanah sasaran dengan baik. Namun Dropadi menolak untuk menikahi Karna

karena karna anak seorang kusir yang tentu lebih rendah kastanya. Karna kecewa tetapi juga

kesal terhadap Dropadi.

Para Pandawa yang diwakili oleh Arjuna turut serta. Arjuna berpakaian seperti Brāhmana. Ketika ia

tampil ke muka, ia berhasil memanah sasaran dengan baik, maka Dropadi berhak menjadi

miliknya. Namun hal tersebut menimbulkan kericuhan karena seorang Brāhmana tidak pantas

untuk mengikuti sayembara yang ditujukan kepada golongan ksatria. Arjuna dan Bima pun

berkelahi dengan para ksatria di sana, sementara Yudistira, Nakula dan Sadewa melarikan

Dropadi ke rumah mereka. Sesampainya di rumah, Pandawa berseru, "Ibu, kami datang

membawa hasil meminta-minta". Kunti, ibu para Pandawa, tidak melihat apa yang dibawa oleh

anak-anaknya karena sibuk dan berkata, "Bagi dengan rata apa yang kalian peroleh". Ketika ia

menoleh, alangkah terkejutnya ia karena anak-anaknya tidak saja membawa hasil meminta-minta,

namun juga seorang wanita. Kunti yang tidak mau berdusta, membuat anak-anaknya untuk

berbagai istri[1].

Arjuna mengasingkan diri ke hutan

Para Pandawa sepakat untuk membagi Dropadi sebagai istri. Mereka juga berjanji tidak akan

mengganggu Dropadi ketika sedang bermesraan di kamar bersama dengan salah satu dari

Pandawa. Hukuman dari perbuatan yang mengganggu adalah pembuangan selama 12 tahun.

Pada suatu hari, ketika Pandawa sedang memerintah kerajaannya di Indraprastha, seorang

pendeta masuk ke istana dan melapor bahwa pertapaannya diganggu oleh para rakshasa. Arjuna

Page 28: Suku Jawa

yang merasa memiliki kewajiban untuk menolongnya, bergegas mengambil senjatanya. Namun

senjata tersebut disimpan di sebuah kamar dimana Yudistira dan Dropadi sedang menikmati

malam mereka. Demi kewajibannya, Arjuna rela masuk kamar mengambil senjata, tidak

mempedulikan Yudistira dan Dropadi yang sedang bermesraan di kamar. Atas perbuatan tersebut,

Arjuna dihukum untuk menjalani pembuangan selama 12 tahun. Arjuna menerima hukuman

tersebut dengan ikhlas.

Arjuna menghabiskan masa pengasingannya dengan menjelajahi penjuru Bharatawarsha atau

daratan India Kuno. Selama masa pengasingannya, Arjuna memiliki tiga istri lagi. Mereka adalah:

Subadra (adik Sri Kresna), Ulupi, dan Citrangada. Dari hubungannya dengan Subadra anaknya

bernama Abimanyu. Dengan Ulupi anaknya bernama Irawan. Dengan Citrangada anaknya

bernama Babruwahana.

Kisah lain dalam Kitab Adiparwa

Selain kisah Pandawa dan Korawa, Sang Ugrasrawa juga menuturkan kisah lain kepada Bagawan

Sonaka, yang berbentuk cerita bingkai, sehingga alur ceritanya campuran, tidak mengalir ke depan

melainkan meloncat-loncat[1].

Perhatian: Bagian di bawah ini mungkin akan membeberkan isi cerita yang penting atau akhir

kisahnya.

Kisah Bagawan Dhomya menguji tiga muridnya

Dikisahkan seorang Brāhmana bernama Bagawan Dhomya, tinggal di Ayodhya. Ia memiliki 3

murid, bernama: Sang Utamanyu, Sang Arunika, dan Sang Weda. Ketiganya akan diuji

kesetiaannya oleh Sang Guru. Sang Arunika disuruh bersawah. Dengan berhati-hati Sang Arunika

merawat biji padi yang ditanamnya. Ketika biji-bijinya sedang tumbuh, datanglah hujan membawa

air bah yang kemudian merusak pematang sawahnya. Ia khawatir kalau air tersebut akan merusak

tanamannya, maka ia perbaiki pematangnya untuk menahan air. Berkali-kali usahanya gagal dan

pematangnya jebol, maka ia merebahkan dirinya sebagai pengganti pematang yang jebol untuk

menahan air. Karena kesetiannya tersebut, Sang Arunika diberikan anugerah kesaktian oleh

Bagawan Dhomya.

Sementara itu, Sang Utamanyu disuruh mengembala sapi. Sang Utamanyu tidak diperbolehkan

untuk meminta-minta air kalau ia sedang haus saat mengembala sapi, maka ia menjilat susu sapi

Page 29: Suku Jawa

yang digembalanya. Hal tersebut juga ditentang oleh Sang Guru, maka Sang Utamanyu

menghisap getah daun “waduri” untuk menghilangkan dahaga. Hal tersebut mengakibatkan

matanya buta. Ia tidak tahu jalan sehingga terperosok ke dalam sumur kering. Sampai sore, Sang

Utamanyu tidak juga kembali pulang, gurunya menjadi cemas. Ketika dicari, didapatinya Sang

Utamanyu berada dalam sebuah sumur. Bagawan Dhomya kemudian mendengarkan cerita Sang

Utamanyu. Karena kesetiannya terhadap kewajiban, Sang Utamanyu diberikan mantra sakti yang

mampu menyembuhkan penyakit oleh Bagawan Dhomya.

Sementara itu, Sang Weda disuruh tinggal di dapur untuk menyediakan hidangan yang terbaik

buat gurunya. Sang Weda selalu menuruti perintah gurunya, meski yang buruk sekalipun. Segala

perintah gurunya dikerjakan dengan baik. Maka dari itu, Sang Weda dianugerahi segala macam

ilmu pengetahuan, mantra Veda, dan kecerdasan.

Kisah Sang Winata dan Sang Kadru

Dikisahkan terdapat seorang Maharsi bernama Bagawan Kasyapa, putera bagawan Marici, cucu

Dewa Brahma. Ia diberi oleh Bagawan daksa empat belas puteri. Keempat belas puteri tersebut

bernama: Aditi, Diti, Danu, Aristi, Anayusa, Kasa, Surabhi, Winata, Kadru, Ira, Parwa, Mregi,

Krodhawasa, Tamra. Di antara empat belas puteri tersebut, Sang Winata dan Kadru tidak memiliki

anak. Mereka berdua kemudian memohon belas kasihan Bagawan Kasyapa. Sang Kadru

memohon seribu anak sedangkan Sang Winata hanya memohon dua anak. Kemudian Bagawan

Kasyapa memberikan Sang Kadru seribu butir telur sedangkan Sang Winata diberikan dua butir

telur. Kedua puteri tersebut kemudian merawat telur masing-masing dengan baik.

Singkat cerita, seribu butir telur milik Sang Kadru menetas, dan lahirlah para Naga. Yang

terkemuka adalah Sang Anantabhoga, Sang Wasuki, dan Sang Taksaka. Sementara telur Sang

Kadru sudah menetas semuanya, telur Sang Winata belum menetas. Karena tidak sabar, maka

telurnya dipecahkan. Ketika pecah, terlihatlah seorang anak yang baru setengah jadi, bagian tubuh

ke atas lengkap sedangkan dari pinggang ke bawah tidak ada. Sang anak marah karena

ditetaskan sebelum waktunya. Anak tersebut kemudian mengutuk ibunya supaya diperbudak oleh

Sang Kadru berlebih-lebihan. Kelak, saudaranya yang akan menetas akan menyelamatkan ibunya

dari perbudakan. Anak tersebut kemudian diberi nama Sang Aruna, karena tidak memiliki kaki dan

paha. Sang Aruna menjadi sais (kuir) kereta Dewa Surya [1] .

Page 30: Suku Jawa

Kisah pemutaran Mandaragiri

Kurma Awatara sebagai kura-kura yang menjadi dasar Mandaragiri

Dikisahkan, pada zaman dahulu kala, para Dewa, detya, dan rakshasa mengadakan rapat untuk

mencari tirta amerta (air suci). Sang Hyang Nārāyana (Wisnu) mengatakan bahwa tirta tersebut

berada di dasar laut Ksira. Cara mendapatkannya adalah dengan mengaduk lautan tersebut. Para

Dewa, detya, dan rakshasa kemudian menuju laut Ksira. Untuk mengaduknya, Naga Wasuki

mencabut gunung Mandara (Mandaragiri) di pulau Sangka sebagai tongkat pengaduk. Gunung

tersebut dibawa ke tengah lautan. Seekor kura-kura (Kurma) besar menjadi penyangga/dasar

gunung tersebut. Sang Naga melilit gunung tersebut, kemudian para Dewa memegang ekornya,

sedangkan rakshasa dan detya memegang kepalanya. Dewa Indra berdiri di puncaknya agar

gunung tidak melambung ke atas.

Beberapa lama setelah gunung diputar, keluarlah Ardhachandra, Dewi Sri, Dewi Lakshmi, kuda

Uccaihsrawa, dan Kastubhamani. Semuanya berada di pihak para Dewa. kemudian, munculah

Dhanwantari membawa kendi tempat tirta amerta. Para detya ingin agar tirta tersebut menjadi milik

mereka sebab sejak awal tidak pernah dapat bagian. Tirta amerta pun menjadi milik mereka. Para

Dewa memikirkan cara untuk merebut tirta tersebut. akhirnya Dewa Wisnu mengubah wujudnya

menjadi seorang wanita cantik, kemudian mendekati para rakshasa dan detya. Para rakshasa-

daitya yang melihatnya menjadi terpesona, dan menyerahkan kendi berisi tirta tersebut. Wanita

cantik itu kemudian pergi sambil membawa tirta amerta dan berubah kembali menjadi Dewa

Wisnu.

Para detya yang melihatnya menjadi marah. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran antara

para Dewa dan rakshasa-detya. Kemudian Dewa Wisnu teringat dengan senjata chakra-nya.

Senjata chakra kemudian turun dari langit dan menyambar-nyambar para rakshasa-detya. Banyak

dari mereka yang lari terbirit-birit karena luka-luka. Akhirnya ada yang menceburkan diri ke laut

dan masuk ke dalam tanah. Para Dewa akhirnya berhasil membawa tirta amerta ke surga.

Page 31: Suku Jawa

Kisah Sang Garuda dan para Naga

Lukisan Garuda karya I Made Tlaga, seniman Bali, abad ke-19. Sekarang lukisan ini disimpan di

Universitas Leiden.

Dikisahkan, pada suatu hari Sang Winata dan Sang Kadru, istri Bagawan Kasyapa, mendengar

kabar tentang keberadaan seekor kuda bernama Uccaihsrawa, hasil pemutaran Gunung Mandara

atau Mandaragiri. Sang Winata mengatakan bahwa warna kuda tersebut putih semua, sedangkan

Sang Kadru mengatakan bahwa tubuh kuda tersebut berwarna putih sedangkan ekornya saja yang

hitam. Karena berbeda pendapat, mereka berdua bertaruh, siapa yang tebakannya salah akan

menjadi budak. Mereka berencana untuk menyaksikan warna kuda itu besok sekaligus

menentukan siapa yang salah.

Sang Kadru menceritakan masalah taruhan tersebut kepada anak-anaknya. Anak-anaknya

mengatakan bahwa ibunya sudah tentu akan kalah, karena warna kuda tersebut putih belaka.

Sang Kadru pun cemas karena merasa kalah taruhan, maka dari itu ia mengutus anak-anaknya

untuk memercikkan bisa ke ekor kuda tersebut supaya warnanya menjadi hitam. Anak-anaknya

menolak untuk melaksanakannya karena merasa perbuatan tersebut tidak pantas. Sang Kadru

yang marah mengutuk anak-anaknya supaya mati ditelan api pada saat upacara pengorbanan ular

yang diselenggarakan Raja Janamejaya. Mau tak mau, akhirnya anak-anaknya melaksanakan

Page 32: Suku Jawa

perintah ibunya. Mereka pun memercikkan bisa ular ke ekor kuda Uccaihsrawa sehingga

warnanya yang putih kemudian menjadi hitam. Akhirnya Sang Kadru memenangkan taruhan

sehingga Sang Winata harus menjadi budaknya.

Sementara itu, telur yang diasuh Sang Winata menetas lalu munculah burung gagah perkasa yang

kemudian diberi nama Garuda. Sang Garuda mencari-cari kemana ibunya. Pada akhirnya ia

mendapati ibunya diperbudak Sang Kadru untuk mengasuh para naga. Sang Garuda membantu

ibunya mengasuh para naga, namun para naga sangat lincah berlari kesana-kemari. Sang Garuda

kepayahan, lalu menanyakan para naga, apa yang bisa dilakukan untuk menebus perbudakan

ibunya. Para naga menjawab, kalau Sang Garuda mampu membawa tirta amerta ke hadapan para

naga, maka ibunya akan dibebaskan. Sang Garuda menyanggupi permohonan tersebut.

Singkat cerita, Sang Garuda berhasil menghadapi berbagai rintangan dan sampai di tempat tirta

amerta. Pada saat Sang Garuda ingin mengambil tirta tersebut, Dewa Wisnu datang dan

bersabda, “Sang Garuda, jika engkau ingin mendapatkan tirta tersebut, mintalah kepadaku, nanti

pasti aku berikan”. Sang Garuda menjawab, “Tidak selayaknya jika saya meminta kepada anda

sebab anda lebih sakti daripada saya. Karena tirta amerta anda tidak mengenal tua dan mati,

sedangkan saya tidak. Untuk itu, berikanlah kepada saya anugerah yang lain”. Dewa Wisnu

berkata, “Jika demikian, aku memintamu untuk menjadi kendaraanku, sekaligus menjadi lambang

panji-panjiku”. Sang Garuda setuju dengan permohonan tersebut sehingga akhirnya menjadi

kendaraan Dewa Wisnu. Kemudian Sang Garuda terbang membawa tirta, namun Dewa Indra tidak

setuju kalau tirta tersebut diberikan kepada para naga. Sang Garuda mengatakan bahwa tirta

tersebut akan diberikan kalau para naga sudah selesai mandi.

Sampailah Sang Garuda ke tempat tinggal para naga. Para naga girang ingin segera meminum

amerta, namun Sang Garuda mengatakan bahwa tirta tersebut boleh diminum jika para naga

mandi terlebih dahulu. Para naga pun mandi sesuai dengan syarat yang diberikan, tetapi setelah

selesai mandi, tirta amerta sudah tidak ada lagi karena dibawa kabur oleh Dewa Indra. Para naga

kecewa dan hanya mendapati beberapa percikan tirta amerta tertinggal pada daun ilalang. Para

naga pun menjilati daun tersebut sehingga lidahnya tersayat dan terbelah. Daun ilalang pun

menjadi suci karena mendapat tirta amerta. Sementara itu Sang Garuda terbang ke surga karena

merasa sudah menebus perbudakan ibunya.

Page 33: Suku Jawa

Bahasa dan sejarah

Sebagaimana kisah induknya, Mahabharata, kitab Adiparwa ini semula dituliskan dalam bahasa

Sansekerta dan dianggap sebagai cerita suci bagi pemeluk agama Hindu. Tidak tercatat kapan

persisnya kisah ini masuk ke Indonesia. Akan tetapi, sebagaimana disebutkan dalam bagian

pendahuluan Adiparwa versi Jawa Kuna, kitab ini telah disalin ke dalam bahasa Jawa kuna atau

juga dikenal sebagai bahasa Kawi pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh

(kerajaan Kediri, tahun 991-1016) (Zoetmulder, 1994).

Adiparwa versi Jawa Kuna yang dicetak ulang oleh Phalgunadi dan diterjemahkan dalam bahasa

Inggris pada tahun 1990

Pengaruh dalam budaya

Kitab Adiparwa yang diterjemahkan dari Bahasa Sansekerta ke Bahasa Jawa Kuno atau Bahasa

Kawi, banyak digubah menjadi cerita pewayangan[2]. Dalam kitab Adiparwa yang diterjemahkan

dari Bahasa Sansekerta mungkin terdapat perbedaan dengan lakon pewayangannya, yang

kadang-kadang besar sekali, sehingga memberi kesan bahwa segala sesuatunya terjadi di Jawa. [2]

Hal ini disebabkan oleh kecerdasan para pujangga masa lampau yang mampu memindah alam

pikiran para pembaca atau pendengarnya dari suasana India menjadi Jawa Asli [2]. Jika

Hastinapura sebenarnya terdapat di India, maka nama-nama seperti Jonggringsalaka,

Pringgandani, Indrakila, Gua Kiskenda, sampai Gunung Mahameru dibawa ke tanah Jawa[2].

Page 34: Suku Jawa

Begitu pula dengan tokoh Pancawala (Pancakumara). Jika dalam versi aslinya mereka terdiri dari

lima orang, maka dalam pewayangan mereka dikatakan hanya satu orang saja. Menurut Mulyono

dalam artikelnya berjudul “Dewi Dropadi:Antara kitab Mahabharata dan Pewayangan Jawa”, ia

menyatakan bahwa terjadinya perbedaan cerita tentang Pancawala antara kitab Mahabharata

dengan cerita dalam pewayangan Jawa karena pengaruh perkembangan agama Islam di tanah

Jawa [3] . Hal serupa juga terjadi pada kisah Dewi Dropadi dalam kitab Adiparwa. Jika dalam

Adiparwa ia bersuami lima orang, maka dalam pewayangan Jawa (yang sudah terkena pengaruh

Islam) Dropadi hanya bersuami satu orang saja. Menurut hukum Islam, seorang wanita tidak boleh

memiliki suami lebih dari satu. Maka dari itu, cerita Dewi Dropadi dalam kitab Mahabharata versi

asli yang bercorak Hindu menyalahi hukum Islam. Untuk mengantisipasinya, para pujangga

ataupun seniman Islam mengubah cerita tersebut agar sesuai dengan ajaran Islam [3] . Pancawala

yang sebenarnya merupakan lima putera Pandawa pun diubah menjadi seorang tokoh yang

merupakan putera Yudistira saja[3].

Sabhaparwa

Sabhaparwa adalah buku kedua Mahabharata. Buku ini menceritakan alasan mengapa sang

Pandawa Lima ketika diasingkan dan harus masuk ke hutan serta tinggal di sana selama 12 tahun

dan menyamar selama 1 tahun. Di dalam buku ini diceritakan bagaimana mereka berjudi dan kalah

dari Duryodana.

Ringkasan isi Kitab Sabhaparwa

Niat licik Duryodana dan Sangkuni

Semenjak pulang dari Indraprastha, Duryodana sering termenung memikirkan usaha untuk

mendapatkan kemegahan dan kemewahan yang ada di Indraprastha. Ia ingin sekali mendapatkan

harta dan istana milik Pandawa. Namun ia bingung bagaimana cara mendapatkannya. Terlintas

dalam benak Duryodana untuk menggempur Pandawa, namun dicegah oleh Sangkuni.

Sangkuni berkata, "Aku tahu Yudistira suka bermain dadu, namun ia tidak tahu cara bermain dadu

dengan akal-akalan. Sementara aku adalah rajanya main dadu dengan akal-akalan. Untuk itu,

undanglah dia, ajaklah main dadu. Nantinya, akulah yang bermain dadu atas nama anda. Dengan

kelicikanku, tentu dia akan kalah bermain dadu denganku. Dengan demikian, anda akan dapat

memiliki apa yang anda impikan".

Page 35: Suku Jawa

Duryodana tersenyum lega mendengar saran pamannya. Bersama Sangkuni, mereka mengajukan

niat tersebut kepada Dretarastra untuk mengundang Pandawa main dadu. Duryodana juga

menceritakan sikapnya yang iri dengan kemewahan Pandawa. Dretarastra ingin

mempertimbangkan niat puteranya tersebut kepada Widura, namun karena mendapat hasutan dari

Duryodana dan Sangkuni, maka Dretarastra menyetujuinya tanpa pertimbangan Widura.

Pandawa dan Korawa main dadu

Dropadi dihina di muka umum saat Pandawa dan kalah main dadu dengan Korawa

Dretarastra menyiapkan arena judi di Hastinapura, dan setelah selesai ia mengutus Widura untuk

mengundang Pandawa bermain dadu di Hastinapura. Yudistira sebagai kakak para Pandawa,

menyanggupi undangan tersebut. dengan disertai para saudaranya beserta istri dan pengawal,

Yudistira berangkat menuju Hastinapura. Sesampainya di Hastinapura, rombongan mereka

disambut dengan ramah oleh Duryodana. Mereka beristirahat di sana selama satu hari, kemudian

menuju ke arena perjudian.

Yudistira berkata, "Kakanda Prabu, berjudi sebetulanya tidak baik. Bahkan menurut para orang

bijak, berjudi sebaiknya dihindari karena sering terjadi tipu-menipu sesama lawan". Setelah

mendengar perkataan Yudistira, Sangkuni menjawab, "Ma'af paduka Prabu. Saya kira jika anda

berjudi dengan Duryodana tidak ada jeleknya, sebab kalian masih bersaudara. Apabila paduka

yang menang, maka kekayaan Duryodana tidaklah hilang sia-sia. Begitu pula jika Duryodana

menang, maka kekayaan paduka tidaklah hilang sia-sia karena masih berada di tangan saudara.

Untuk itu, apa jeleknya jika rencana ini kita jalankan?"

Yudistira yang senang main dadu akhirnya terkena rayuan Sangkuni. Maka permainan dadu pun

dimulai. Yudistira heran kepada Duryodana yang diwakilkan oleh Sangkuni, sebab dalam berjudi

Page 36: Suku Jawa

tidak lazim kalau diwakilkan. Sangkuni yang berlidah tajam, sekali lagi merayu Yudistira. Yudistira

pun termakan rayuan Sangkuni.

Mula-mula Yudistira mempertaruhkan harta, namun ia kalah. Kemudian ia mempertaruhkan harta

lagi, namun sekali lagi gagal. Begitu seterusnya sampai hartanya habis dipakai sebagai taruhan.

Setelah hartanya habis dipakai taruhan, Yudistira mempertaruhkan prajuritnya, namun lagi-lagi ia

gagal. Kemudian ia mempertaruhkan kerajaannya, namun ia kalah lagi sehingga kerajaannya

lenyap ditelan dadu. Setelah tidak memiliki apa-apa lagi untuk dipertaruhkan, Yudistira

mempertaruhkan adik-adiknya. Sangkuni kaget, namun ia juga sebenarnya senang. Berturut-turut

Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima dipertaruhkan, namun mereka semua akhirnya menjadi milik

Duryodana karena Yudistira kalah main dadu.

Dropadi dihina di muka umum

Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi, namun kain tersebut terulur-

ulur terus dan tak habis-habis karena mendapat kekuatan gaib dari Sri Kresna

Harta, istana, kerajaan, prajurit, dan saudara Yudistira akhirnya menjadi milik Duryodana. Yudistira

yang tidak memiliki apa-apa lagi, nekat mempertaruhkan dirinya sendiri. Sekali lagi ia kalah

sehingga dirinya harus menjadi milik Duryodana. Sangkuni yang berlidah tajam membujuk

Yudistira untuk mempertaruhkan Dropadi. Karena termakan rayuan Sangkuni, Yudistira

Page 37: Suku Jawa

mempertaruhkan istrinya, yaitu Dewi Dropadi. Banyak yang tidak setuju dengan tindakan Yudistira,

namun mereka semua membisu karena hak ada pada Yudistira.

Duryodana mengutus Widura untuk menjemput Dropadi, namun Widura menolak tindakan

Duryodana yang licik tersebut. karena Widura menolak, Duryodana mengutus para pengawalnya

untuk menjemput Dropadi. Namun setelah para pengawalnya tiba di tempat peristirahatan Dropadi,

Dropadi menolak untuk datang ke arena judi. Setelah gagal, Duryodana menyuruh Dursasana,

adiknya, untuk menjemput Dropadi. Dropadi yang menolak untuk datang, diseret oleh Dursasana

yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Dropadi menangis dan menjerit-jerit karena rambutnya

ditarik sampai ke arena judi, tempat suami dan para iparnya berkumpul.

Dengan menangis terisak-isak, Dropadi berkata, "Sungguh saya tidak mengira kalau di Hastina kini

telah kehilangan banyak orang bijak. Buktinya, di antara sekian banyak orang, tidak ada seorang

pun yang melarang tindakan Dursasana yang asusila tersebut, ataukah, memang semua orang di

Hastina kini telah seperti Dursasana?", ujar Dropadi kepada semua orang yang hadir di balairung.

Para orangtua yang mendengar perkataan Dropadi tersebut tersayat hatinya, karena tersinggung

dan malu.

Wikarna, salah satu Korawa yang masih memiliki belas kasihan kepada Dropadi, berkata, "Tuan-

Tuan sekalian yang saya hormati! Karena di antara Tuan-Tuan tidak ada yang menanggapi

peristiwa ini, maka perkenankanlah saya mengutarakan isi hati saya. Pertama, saya tahu bahwa

Prabu Yudistira kalah bermain dadu karena terkena tipu muslihat paman Sangkuni! Kedua, karena

Prabu Yudistira kalah memperteruhkan Dewi Dropadi, maka ia telah kehilangan kebebasannya.

Maka dari itu, taruhan Sang Prabu yang berupa Dewi Dropadi tidak sah!"

Para hadirin yang mendengar perkataan Wikarna merasa lega hatinya. Namun, Karna tidak setuju

dengan Wikarna. Karna berkata, "Hei Wikarna! Sungguh keterlaluan kau ini. Di ruangan ini banyak

orang-orang yang lebih tua daripada kau! Baliau semuanya tentu tidak lebih bodoh daripada kau!

Jika memang tidak sah, tentu mereka melarang. Mengapa kau berani memberi pelajaran kepada

beliau semua? Lagipula, mungkin memang nasib Dropadi seperti ini karena kutukan Dewa.

cobalah bayangkan, pernahkah kau melihat wanita bersuami sampai lima orang?"

Mendengar perkataan Karna, Wikarna diam dan membisu. Karena sudah kalah, Yudistira dan

seluruh adiknya beserta istrinya diminta untuk menanggalkan bajunya, namun hanya Dropadi yang

menolak. Dursasana yang berwatak kasar, menarik kain yang dipakai Dropadi. Dropadi berdo'a

Page 38: Suku Jawa

kepada para Dewa agar dirinya diselamatkan. Sri Kresna mendengar do'a Dropadi. Secepatnya ia

menolong Dropadi secara gaib. Sri Kresna mengulur kain yang dikenakan Dropadi, sementara

Dursasana yang tidak mengetahuinya menarik kain yang dikenakan Dropadi. Hal tersebut

menyebabkan usaha Dursasana menelanjangi Dropadi tidak berhasil. Pertolongan Sri Kresna

disebabkan karena perbuatan Dropadi yang membalut luka Sri Kresna pada saat upacara

Rajasuya di Indraprastha.

Pandawa dibuang ke tengah hutan

Melihat perbuatan Dursasana yang asusila, Bima bersumpah kelak dalam Bharatayuddha ia akan

merobek dada Dursasana dan meminum darahnya. Setelah bersumpah, terdengarlah lolongan

anjing dan serigala, tanda bahwa malapetaka akan terjadi. Dretarastra mengetahui firasat buruk

yang akan menimpa keturunannya, maka ia segera mengambil kebijaksanaan. Ia memanggil

Pandawa beserta Dropadi.

Dretarastra berkata, "O Yudistira, engkau tidak bersalah. Karena itu, segala sesuatu yang menjadi

milikmu, kini kukembalikan lagi kepadamu. Ma’afkanlah saudara-saudaramu yang telah

berkelakuan gegabah. Sekarang, pulanglah ke Indraprastha".

Setelah mendapat pengampunan dari Dretarastra, Pandawa beserta istrinya mohon diri.

Duryodana kecewa, ia menyalahkan perbuatan ayahnya yang mengembalikan harta Yudistira.

Dengan berbagai dalih, Duryodana menghasut ayahnya. Karena Dretarastra berhati lemah, maka

dengan mudah sekali ia dihasut, maka sekali lagi ia mengizinkan rencana jahat anaknya.

Duryodana menyuruh utusan agar memanggil kembali Pandawa ke istana untuk bermain dadu.

Kali ini, taruhannya adalah siapa yang kalah harus mengasingkan diri ke hutan selama 12 tahun,

dan setelah masa pengasingan berakhir (yaitu pada tahun ke-13), yang kalah harus menyamar

selama 1 tahun. Pada tahun yang ke-14, barulah boleh kembali ke istana.

Sebagai kaum ksatria, Pandawa tidak menolak undangan Duryodana untuk yang kedua kalinya

tersebut. Sekali lagi, Pandawa kalah. Sesuai dengan perjanjian yang sah, maka Pandawa beserta

istrinya mengasingkan diri ke hutan, hidup dalam masa pembuangan selama 12 tahun. Setelah itu

menyamar selama satu tahun. Setelah masa penyamaran, maka para Pandawa kembali lagi ke

istana untuk memperoleh kerajaannya.

Page 39: Suku Jawa

Sabhaparwa di Indonesia

Kitab Sabhaparwa juga dikenal dalam khazanah Sastra Jawa Kuna.

Wirataparwa

Wirataparwa menceritakan kisah ketika para Pandawa harus bersembunyi selama setahun setelah

mereka dibuang selama duabelas tahun di hutan. Kisah pembuangan ini diceritakan di

Wanaparwa.

Maka para Pandawa bersembunyi di kerajaan Wirata. Jika mereka ketahuan, maka harus dibuang

selama 12 tahun lagi. Di sana sang Yudistira menyamar sebagai seorang brahmana bernama

Kangka. Sang Werkodara menyamar sebagai seorang juru masak dan pegulat bernama Balawa.

Lalu sang Arjuna menyamar sebagai seorang wandu yang mengajar tari dan nyanyi. Sang Nakula

menjadi seorang penggembala kuda dan sang Sadewa menjadi penggembala sapi. Lalu Dewi

Dropadi menjadi seorang perias bernama Sairindi.

Alkisah patih Wirata, sang Kicaka jatuh cinta kepada Sairindi dan ingin menikahinya. Tetapi ia

ditolak dan memaksa. Lalu sang Balawa membunuhnya. Hal ini hampir saja membuat samaran

mereka ketahuan.

Lalu negeri Wirata diserang oleh musuh Pandawa, para Korawa dari negeri Astina. Para Pandawa

berperang melawan mereka, membela Wirata. Setelah perang usai, kedok mereka ketahuan.

Tetapi mereka sudah bersembunyi selama setahun, jadi tidak apa-apa.

Udyogaparwa

Dalam Udyogaparwa, buku kelima Mahabharata ini sang Kresna berperan sebagai duta untuk

menengahi konflik antara para Korawa dan para Pandawa. Tetapi bantuan beliau tidak berhasil

dan akhirnya akan menjadi perang Bharatayuddha.

Page 40: Suku Jawa

Bhismaparwa

Para Raja dan Ksatria meniup terompet kerang mereka tanda pertempuran akan segera dimulai

Bhismaparwa konon merupakan bagian terpenting Mahabharata karena kitab keenam ini

mengandung kitab Bhagawad Gita. Dalam Bhismaparwa dikisahkan bagaimana kedua pasukan,

pasukan Korawa dan pasukan Pandawa berhadapan satu sama lain sebelum Bharatayuddha

dimulai. Lalu sang Arjuna dan kusirnya sang Kresna berada di antara kedua pasukan. Arjuna pun

bisa melihat bala tentara Korawa dan para Korawa, sepupunya sendiri. Iapun menjadi sedih

karena harus memerangi mereka. Walaupun mereka jahat, tetapi Arjuna teringat bagaimana

mereka pernah dididik bersama-sama sewaktu kecil dan sekarang berhadapan satu sama lain

sebagai musuh. Lalu Kresna memberi Arjuna sebuah wejangan. Wejangannya ini disebut dengan

nama Bhagawad Gita atau "Gita Sang Bagawan", artinya adalah nyanyian seorang suci.

Bhismaparwa diakhiri dengan dikalahkannya Bisma, kakek para Pandawa dan Korawa. Bisma

mempunyai sebuah kesaktian bahwa ia bisa meninggal pada waktu yang ditentukan sendiri. Lalu

ia memilih untuk tetap tidur terbentang saja pada "tempat tidur panahnya" (saratalpa) sampai

perang Bharatayuddha selesai. Bisma terkena panah banyak sekali sampai ia terjatuh tetapi

tubuhnya tidak menyentuh tanah, hanya ujung-ujung panahnya saja.

Page 41: Suku Jawa

Ringkasan isi Kitab Bhismaparwa

Janamejaya bertanya, "Bagaimanakah para pahlawan bangsa Kuru, Pandawa, dan Somaka,

beserta para rajanya yang berasal dari berbagai kerajaan itu mengatur pasukannya siap untuk

bertempur?"

Mendengar pertanyaan tersebut, Wesampayana menguraikan dengan detail, kejadian-kejadian

yang sedang berlangsung di medan perang Kurukshetra.

Suasana di medan perang, Kurukshetra

Sebelum pertempuran dimulai, kedua belah pihak sudah memenuhi daratan Kurukshetra. Para

Raja terkemuka pada zaman India Kuno seperti misalnya Drupada, Sudakshina Kamboja, Bahlika,

Salya, Wirata, Yudhamanyu, Uttamauja, Yuyudhana, Chekitana, Purujit, Kuntibhoja, dan lain-lain

turut berpartisipasi dalam pembantaian besar-besaran tersebut. Bisma, Sang sesepuh Wangsa

Kuru, mengenakan jubah putih dan bendera putih, bersinar, dan tampak seperti gunung putih.

Arjuna menaiki kereta kencana yang ditarik oleh empat ekor kuda putih dan dikemudikan oleh

Kresna, yang mengenakan jubah sutera kuning.

Pasukan Korawa menghadap ke barat, sedangkan pasukan Pandawa menghadap ke timur.

Pasukan Korawa terdiri dari 11 divisi, sedangkan pasukan Pandawa terdiri dari 7 divisi. Pandawa

mengatur pasukannya membentuk formasi Bajra, formasi yang konon diciptakan Dewa Indra.

Pasukan Korawa jumlahnya lebih banyak daripada pasukan Pandawa, dan formasinya lebih

menakutkan. Fomasi tersebut disusun oleh Drona, Bisma, Aswatama, Bahlika, dan Kripa yang

semuanya ahli dalam peperangan. Pasukan gajah merupakan tubuh formasi, para Raja

merupakan kepala dan pasukan berkuda merupakan sayapnya. Yudistira sempat gemetar dan

cemas melihat formasi yang kelihatannya sulit ditembus tersebut, namun setelah mendapat

penjelasan dari Arjuna, rasa percaya dirinya bangkit.

Turunnya Bhagawad Gita

Sebelum pertempuran dimulai, terlebih dahulu Bisma meniup terompet kerangnya yang

menggemparkan seluruh medan perang, kemudian disusul oleh para Raja dan ksatria, baik dari

pihak Korawa maupun Pandawa. Setelah itu, Arjuna menyuruh Kresna yang menjadi kusir

Page 42: Suku Jawa

keretanya, agar membawanya ke tengah medan pertempuran, supaya Arjuna bisa melihat siapa

yang sudah siap bertarung dan siapa yang harus ia hadapi nanti di medan pertempuran.

Di tengah medan pertempuran, Arjuna melihat kakeknya, gurunya, teman, saudara, ipar, dan

kerabatnya berdiri di medan pertempuran, siap untuk bertempur. Tiba-tiba Arjuna menjadi lemas

setelah melihat keadaan itu. Ia tidak tega untuk membunuh mereka semua. Ia ingin mengundurkan

diri dari medan pertempuran.

Arjuna berkata, "Kresna yang baik hati, setelah melihat kawan-kawan dan sanak keluarga di

hadapan saya, dengan semangat untuk bertempur seperti itu, saya merasa anggota-anggota

badan saya gemetar dan mulut saya terasa kering.....Kita akan dikuasai dosa jika membunuh

penyerang seperti itu. Karena itu, tidak pantas kalau kita membunuh para putera Dretarastra dan

kawan-kawan kita. O Kresna, suami Lakshmi Dewi, apa keuntungannya bagi kita, dan bagaimana

mungkin kita berbahagia dengan membunuh sanak keluarga kita sendiri?"

Dilanda oleh pergolakan batin, antara mana yang benar dan mana yang salah, Kresna mencoba

untuk menyadarkan Arjuna. Kresna yang menjadi kusir Arjuna, memberikan wejangan-wejangan

suci kepada Arjuna, agar ia bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kresna

juga menguraikan berbagai ajaran Hindu kepada Arjuna, agar segala keraguan di hatinya sirna,

sehingga ia mau melanjutkan pertempuran. Selain itu, Kresna memperlihatkan wujud semestanya

kepada Arjuna, agar Arjuna tahu siapa Kresna sebenarnya.

Wejangan suci yang diberikan oleh Kresna kepada Arjuna kemudian disebut Bhagavad Gītā, yang

berarti "Nyanyian Tuhan". Ajaran tersebut kemudian dirangkum menjadi kitab tersendiri dan sangat

terkenal di kalangan umat Hindu, karena dianggap merupakan pokok-pokok ajaran Hindu dan

intisari ajaran Veda.

Penghormatan sebelum perang oleh Yudistira

Setelah Arjuna sadar terhadap kewajibannya dan mau melanjutkan pertarungan karena sudah

mendapat wejangan suci dari Kresna, maka pertempuran segera dimulai. Arjuna mengangkat

busur panahnya yang bernama Gandiwa, diringi oleh sorak sorai gegap gempita. Pasukan kedua

pihak bergemuruh. Mereka meniup sangkala dan terompet tanduk, memukul tambur dan

genderang. Para Dewa, Pitara, Rishi, dan penghuni surga lainnya turut menyaksikan pembantaian

besar-besaran tersebut.

Page 43: Suku Jawa

Pada saat-saat menjelang pertempuran tersebut, tiba-tiba Yudistira melepaskan baju zirahnya,

meletakkan senjatanya, dan turun dari keretanya, sambil mencakupkan tangan dan berjalan ke

arah pasukan Korawa. Seluruh pihak yang melihat tindakannya tidak percaya. Para Pandawa

mengikutinya dari belakang sambil bertanya-tanya, namun Yudistira diam membisu, hanya terus

melangkah. Di saat semua pihak terheran-heran, hanya Kresna yang tersenyum karena

mengetahui tujuan Yudistira. Pasukan Korawa penasaran dengan tindakan Yudistira. Mereka siap

siaga dengan senjata lengkap dan tidak melepaskan pandangan kepada Yudistira. Yudistira

berjalan melangkah ke arah Bisma, kemudian dengan rasa bakti yang tulus ia menjatuhkan dirinya

dan menyembah kaki Bisma, kakek yang sangat dihormatinya.

Yudistira berkata, “Hamba datang untuk menghormat kepadamu, O paduka nan gagah tak

terkalahkan. Kami akan menghadapi paduka dalam pertempuran. Kami mohon perkenan paduka

dalam hal ini, dan kami pun memohon doa restu paduka”.

Bisma menjawab, “Apabila engkau, O Maharaja, dalam menghadapi pertempuran yang akan

berlangsung ini engkau tidak datang kepadaku seperti ini, pasti kukutuk dirimu, O keturunan

Bharata, agar menderita kekalahan! Aku puas, O putera mulia. Berperanglah dan dapatkan

kemenangan, hai putera Pandu! Apa lagi cita-cita yang ingin kaucapai dalam pertempuran ini?

Pintalah suatu berkah dan restu, O putera Pritha. Pintalah sesuatu yang kauinginkan! Atas restuku

itu pastilah, O Maharaja, kekalahan tidak akan menimpa dirimu. Orang dapat menjadi budak

kekayaan, namun kekayaan itu bukanlah budak siapa pun juga. Keadaan ini benar-benar terjadi, O

putera bangsa Kuru. Dengan kekayaannya, kaum Korawa telah mengikat diriku...”

Setelah Yudistira mendapat doa restu dari Bisma, kemudian ia menyembah Drona, Kripa, dan

Salya. Semuanya memberikan doa restu yang sama seperti yang diucapkan Bisma, dan

mendoakan agar kemenangan berpihak kepada Pandawa. Setelah mendapat doa restu dari

mereka semua, Yudistira kembali menuju pasukannya, dan siap untuk memulai pertarungan.

Yuyutsu memihak Pandawa

Setelah tiba di tengah-tengah medan pertempuran, di antara kedua pasukan yang saling

berhadapan, Yudistira berseru, “Siapa pun juga yang memilih kami, mereka itulah yang kupilih

menjadi sekutu kami!”

Page 44: Suku Jawa

Setelah berseru demikian, suasana hening sejenak. Tiba-tiba di antara pasukan Korawa terdengar

jawaban yang diserukan oleh Yuyutsu. Dengan pandangan lurus ke arah Pandawa, Yuyutsu

berseru, ”Hamba bersedia bertempur di bawah panji-panji paduka, demi kemenangan paduka

sekalian! Hamba akan menghadapi putera Dretarastra, itu pun apabila paduka raja berkenan

menerima! Demikianlah, O paduka Raja nan suci!”

Dengan gembira, Yudistira berseru, “Mari, kemarilah! Kami semua ingin bertempur menghadapi

saudara-saudaramu yang tolol itu! O Yuyutsu, baik Vāsudewa (Kresna) maupun kami lima

bersaudara menyatakan kepadamu bahwa aku menerimamu, O pahlawan perkasa, berjuanglah

bersama kami, untuk kepentinganku, menegakkan Dharma! Rupanya hanya anda sendirilah yang

menjadi penerus garis keturunan Dretarastra, sekaligus melanjutkan pelaksanaan upacara

persembahan kepada para leluhur mereka! O putera mahkota nan gagah, terimalah kami yang

juga telah menerima dirimu itu! Duryodana yang kejam dan berpengertian cutak itu segera akan

menemui ajalnya!”

Setelah mendengar jawaban demikian, Yuyutsu meninggalkan pasukan Korawa dan bergabung

dengan para Pandawa. Kedatangannya disambut gembira. Yudistira mengenakan kembali baju

zirahnya, kemudian berperang.

Pembantaian Bisma

Pertempuran dimulai. Kedua belah pihak maju dengan senjata lengkap. Divisi pasukan Korawa

dan divisi pasukan Pandawa saling bantai. Bisma maju menyerang para ksatria Pandawa dan

membinasakan apapun yang menghalangi jalannya. Abimanyu melihat hal tersebut dan menyuruh

paman-pamannya agar berhati-hati. Ia sendiri mencoba menyerang Bisma dan para pengawalnya.

Namun usaha para ksatria Pandawa di hari pertama tidak berhasil. Mereka menerima kekalahan.

Putera Raja Wirata, Uttara dan Sweta, gugur oleh Bisma dan Salya di hari pertama. Kekalahan di

hari pertama membuat Yudistira menjadi pesimis. Namun Sri Kresna berkata bahwa kemenangan

sesungguhnya akan berada di pihak Pandawa.

Duel Arjuna dengan Bisma

Pada hari kedua, Arjuna bertekad untuk membalikkan keadaan yang didapat pada hari pertama.

Arjuna mencoba untuk menyerang Bisma dan membunuhnya, namun para pasukan Korawa

berbaris di sekeliling Bisma dan melindunginya dengan segenap tenaga sehingga meyulitkan

Page 45: Suku Jawa

Arjuna. Pasukan Korawa menyerang Arjuna yang hendak membunuh Bisma. Kedua belah pihak

saling bantai, dan sebagian besar pasukan Korawa gugur di tangan Arjuna. Setelah menyapu

seluruh pasukan Korawa, Arjuna dan Bisma terlibat dalam duel sengit. Sementara itu Drona

menyerang Drestadyumna bertubi-tubi dan mematahkan panahnya berkali-kali. Duryodana

mengirim pasukan bantuan dari kerajaan Kalinga untuk menyerang Bima, namun serangan dari

Duryodana tidak berhasil dan pasukannya gugur semua. Setyaki yang bersekutu dengan Pandawa

memanah kusir kereta Bisma sampai meninggal. Tanpa kusir, kuda melarikan kereta Bisma

menjauhi medan laga. Di akhir hari kedua, pihak Korawa mendapat kekalahan.

Habisnya kesabaran Kresna

Kesabaran Kresna habis sehingga ia ingin menghabisi Bisma dengan tangannya sendiri, namun

dicegah oleh Arjuna

Pada hari ketiga, Bisma memberi instruksi agar pasukan Korawa membentuk formasi burung elang

dengan dirinya sendiri sebagai panglima berada di garis depan sementara tentara Duryodana

melindungi barisan belakang. Bisma ingin agar tidak terjadi kegagalan lagi. Sementara itu para

Pandawa mengantisipasinya dengan membentuk formasi bulan sabit dengan Bima dan Arjuna

sebagai pemimpin sayap kanan dan kiri. Pasukan Korawa menitikberatkan penyerangannya

kepada Arjuna, namun banyak pasukan Korawa yang tak mampu menandingi kekuatan Arjuna.

Abimanyu dan Setyaki menggabungkan kekuatan untuk menghancurkan tentara Gandara milik

Sangkuni. Bisma yang terlibat duel sengit dengan Arjuna, masih bertarung dengan setengah hati.

Duryodana memarahi Bisma yang masih segan untuk menghabisi Arjuna. Perkataan Duryodana

membuat hati Bisma tersinggung, kemudian ia mengubah perasaanya.

Page 46: Suku Jawa

Arjuna dan Kresna mencoba menyerang Bhishma. Arjuna dan Bisma sekali lagi terlibat dalam

pertarungan yang bengis, meskipun Arjuna masih merasa tega dan segan untuk melawan

kakeknya. Kresna menjadi sangat marah dengan keadaan itu dan berkata, "Aku sudah tak bisa

bersabar lagi, Aku akan membunuh Bisma dengan tanganku sendiri," lalu ia mengambil chakra-

nya dan berlari ke arah Bisma. Bisma menyerahkan dirinya kepada Kresna dengan pasrah. Ia

merasa beruntung jika gugur di tangan Kresna. Arjuna berlari mengejarnya dan mencegah Kresna

untuk melakukannya. Arjuna memegang kaki Kresna. Pada langkah yang kesepuluh, Kresna

berhenti.

Arjuna berkata, “O junjunganku, padamkanlah kemarahan ini. Paduka tempat kami berlindung.

Baiklah, hari ini hamba bersumpah, atas nama dan saudara-saudara hamba, bahwa hamba tidak

akan menarik diri dari sumpah yang hamba ucapkan. O Kesawa, O adik Dewa Indra, atas perintah

paduka, baiklah, hamba yang akan memusnahkan bangsa Kuru!”

Mendengar sumpah tersebut, Kresna puas hatinya. Kemarahannya mereda, namun masih tetap

memegang senjata chakra. Kemudian mereka berdua melanjutkan pertarungan dan

membinasakan banyak pasukan Korawa.

Keberanian Bima

Hari keempat merupakan hari dimana Bima menunjukkan keberaniannya. Bisma memerintahkan

pasukan Korawa untuk bergerak. Abimanyu dikepung oleh para ksatria Korawa lalu diserang.

Arjuna melihat hal tersebut lalu menolong Abimanyu. Bima muncul pada saat yang genting

tersebut lalu menyerang para kstria Korawa dengan gada. Kemudian Duryodana mengirimkan

pasukan gajah untuk menyerang Bima. Ketika Bima melihat pasukan gajah menuju ke arahnya, ia

turun dari kereta dan menyerang mereka satu persatu dengan gada baja miliknya. Mereka

dilempar dan dibanting ke arah pasukan Korawa. Kemudian Bima menyerang para ksatria Korawa

dan membunuh delapan adik Duryodana. Akhirnya ia dipanah dan tersungkur di keretanya.

Gatotkaca melihat hal tersebut, lalu merasa sangat marah kepada pasukan Korawa. Bisma

menasehati bahwa tidak ada yang mampu melawan Gatotkaca yang sedang marah, lalu menyuruh

pasukan agar mundur. Pada hari itu, Duryodana kehilangan banyak saudara-saudaranya.

Page 47: Suku Jawa

Perbantaian terus berlanjut

Pada hari kelima, pembantaian terus berlanjut. Pasukan Pandawa dengan segenap tenaga

membalas serangan Bisma. Bima berada di garis depan bersama Srikandi dan Drestadyumna di

sampingnya. Karena Srikandi berperan sebagai seorang wanita, Bisma menolak untuk bertarung

dan pergi. Sementara itu, Setyaki membinasakan pasukan besar yang dikirim untuk

menyerangnya. Pertempuran dilanjutkan dengan pertarungan antara Setyaki melawan Burisrawas

dan kemudian Setyaki kesusahan sehingga berada dalam situasi genting. Melihat hal itu, Bima

datang melindungi Setyaki dan menyelamatkan nyawanya. Di tempat lain, Arjuna bertempur dan

membunuh ribuan tentara yang dikirim Duryodana untuk menyerangnya.

Pertumpahan darah yang sulit dibayangkan terus berlanjut dari hari ke hari selama pertempuran

berlangsung. Hari keenam merupakan hari pembantaian yang hebat. Drona membantai banyak

prajurit di pihak Pandawa yang jumlahnya sukar diukur. Formasi kedua belah pihak pecah. Pada

hari kedelapan, Bima membunuh delapan putera Dretarastra. Putera Arjuna — Irawan — terbunuh

oleh para Korawa.

Pada hari kesembilan Bisma menyerang pasukan Pandawa dengan membabi buta. Banyak laskar

yang tercerai berai karena serangan Bisma. Banyak yang melarikan diri atau menjauh dari Bisma,

pendekar tua nan sakti dari Wangsa Kuru. Kresna memacu kuda-kudanya agar berlari ke arah

Bisma. Arjuna dan Bisma terlibat dalam pertarungan sengit, namun Arjuna bertarung dengan

setengah hati sementara Bisma menyerangnya dengan bertubi-tubi. Melihat keadaan itu, sekali

lagi Kresna menjadi marah. Ia ingin mengakhiri riwayat Bisma dengan tangannya sendiri. Ia

meloncat turun dari kereta Arjuna, dengan mata merah menyala tanda kemarahan memuncak,

bergerak berjalan menghampiri Bisma. Dengan senjata Chakra di tangan, Kresna membidik

Bisma. Bisma dengan pasrah tidak menghindarinya, namun semakin merasa bahagia jika gugur di

tangan Kresna. Melihat hal itu, Arjuna menyusul Kresna dan berusaha menarik kaki Kresna untuk

menghentikan langkahnya.

Dengan sedih dan suara tersendat-sendat, Arjuna berkata, “O Kesawa (Kresna), janganlah paduka

memalsukan kata-kata yang telah paduka ucapkan sebelumnya! Paduka telah mengucapkan janji

bahwa tidak akan ikut berperang. O Madhawa (Kresna), apabila paduka melanjutkan niat paduka,

orang-orang akan mengatakan bahwa paduka pembohong. Semua penderitaan akibat perang ini,

hambalah yang harus menanggungnya! Hambalah yang akan membunuh kakek yang terhormat

itu!...”

Page 48: Suku Jawa

Kresna tidak menjawab setelah mendengar kata-kata Arjuna, tetapi dengan menahan kemarahan

ia naik kembali ke atas keretanya. Kedua pasukan tersebut melanjutkan kembali pertarungannya.

Gugurnya Bisma

Resi Bisma tidur di "ranjang panah" (saratalpa)

Para Pandawa tidak mengetahui bagaimana cara mengalahkan Bisma. Pada malam harinya,

Pandawa menyusup ke dalam kemah Bisma. Bisma menyambutnya dengan doa restu. Pandawa

menjelaskan maksud kedatangannya, yaitu mencari cara untuk mengalahkan Bisma. Kemudian

Bisma membeberkan hal-hal yang membuatnya tidak tega untuk berperang. Setelah mendengar

penjelasan Bisma, Arjuna berdiskusi dengan Kresna. Ia merasa tidak tega untuk mengakhiri

riwayat kakeknya. Kemudian Kresna mencoba menyadarkan Arjuna, tentang mana yang benar

dan mana yang salah.

Pada hari kesepuluh, pasukan Pandawa dipelopori oleh Srikandi di garis depan. Srikandi

menyerang Bisma, namun ia tidak dihiraukan. Bisma hanya tertawa kepada Srikandi, karena ia

tidak mau menyerang Srikandi yang berkepribadian seperti wanita. Melihat Bisma menghindari

Srikandi, Arjuna memanah Bisma berkali-kali. Puluhan panah menancap di tubuh Bisma. Bisma

terjatuh dari keretanya. Pasukan Pandawa bersorak. Tepat pada hari itu senja hari. Kedua belah

pihak menghentikan pertarungannya, mereka mengelilingi Bisma yang berbaring tidak menyentuh

tanah karena ditopang oleh panah-panah. Bisma menyuruh para ksatria untuk memberikannya

bantal, namun tidak satu pun bantal yang mau ia terima. Kemudian ia menyuruh Arjuna

memberikannya bantal. Arjuna menancapkan tiga anak panah di bawah kepala Bisma sebagai

bantal. Bisma merestui tindakan Arjuna, dan ia mengatakan bahwa ia memilih hari kematian ketika

garis balik matahari berada di utara.

Page 49: Suku Jawa

Asramawasanaparwa

Asramawasanaparwa adalah nama dalam bahasa Jawa kuna untuk menyebut kitab

Asramawasikaparwa. Dalam naskah-naskah manuskrip Jawa, buku ini biasanya digabung dengan

Mosalaparwa, Prasthanikaparwa dan Swargarohanaparwa menjadi Caturasramawasaparwa.

Mosalaparwa

Page 50: Suku Jawa

Para pemuda membawa Samba yang menyamar sebagai wanita hamil ke hadapan para resi.

Mosalaparwa atau Mausalaparwa adalah buku keenam belas dari seri kitab Mahabharata. Adapun

ceritanya mengisahkan musnahnya para Wresni, Andhaka dan Yadawa, sebuah kaum di Mathura-

Dwaraka (Dwarawati) tempat Sang Kresna memerintah. Kisah ini juga menceritakan wafatnya

Raja Kresna dan saudaranya, Raja Baladewa.

Ringkasan isi Kitab Mosalaparwa

Diceritakan bahwa pada saat Yudistira naik tahta, dunia telah memasuki zaman Kali Yuga atau

zaman kegelapan. Ia telah melihat tanda-tanda alam yang mengerikan, yang seolah-olah

memberitahu bahwa sesuatu yang mengenaskan akan terjadi. Hal yang sama dirasakan oleh

Kresna. Ia merasa bahwa kejayaan bangsanya akan berakhir, sebab ia melihat bahwa banyak

pemuda Wresni, Yadawa, dan Andhaka yang telah menjadi sombong, takabur, dan senang minum

minuman keras sampai mabuk.

Kutukan para brahmana

Pada suatu hari, Narada beserta beberapa resi berkunjung ke Dwaraka. Beberapa pemuda yang

jahil merencanakan sesuatu untuk mempermainkan para resi. Mereka mendandani Samba (putera

Kresna dan Jembawati) dengan busana wanita dan diarak keliling kota lalu dihadapkan kepada

para resi yang mengunjungi Dwaraka. Kemudian salah satu dari mereka berkata, "Orang ini adalah

permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan kesaktiannya. Kalian adalah para resi yang pintar

dan memiliki pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian mengetahui, apa yang akan dilahirkannya? Bayi

laki-laki atau perempuan?". Para resi yang tahu sedang dipermainkan menjadi marah dan berkata,

"Orang ini adalah Sang Samba, keturunan Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi laki-laki

ataupun perempuan, melainkan senjata mosala yang akan memusnahkan kamu semua!" (mosala

= gada)

Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Sang Samba melahirkan gada besi dari dalam perutnya.

Atas perintah Raja Ugrasena, senjata itu kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk. Beberapa

bagian dari senjata tersebut sulit dihancurkan sehingga menyisakan sepotong besi kecil. Setelah

senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya dibuang ke laut. Lalu Sang Baladewa dan

Sang Kresna melarang orang minum arak. Legenda mengatakan bahwa serbuk-serbuk tersebut

kembali ke pantai, dan dari serbuk tersebut tumbuhlah tanaman seperti rumput namun memiliki

Page 51: Suku Jawa

daun yang amat tajam bagaikan pedang. Potongan kecil yang sukar dihancurkan akhirnya ditelan

oleh seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap oleh nelayan lalu dijual kepada seorang pemburu.

Pemburu yang membeli ikan itu menemukan potongan besi kecil dari dalam perut ikan yang

dibelinya. Potongan besi itu lalu ditempa menjadi anak panah.

Musnahnya Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa

Perkelahian antara Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa di Prabhasatirtha.

Setelah senjata yang dilahirkan oleh Sang Samba dihancurkan, datanglah Batara Kala, Dewa

Maut, dan ini adalah pertanda buruk. Atas saran Kresna, para Wresni, Yadawa dan Andhaka

melakukan perjalanan suci menuju Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan upacara di pinggir

pantai. Di pantai, para Wresni, Andhaka dan Yadawa tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruk

mereka, yaitu minum arak sampai mabuk. Dalam keadaan mabuk, Satyaki berkata, "Kertawarma,

kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau telah membunuh para putera

Dropadi, termasuk Drestadyumna dan Srikandi dalam keadaan tidur. Perbuatan macam apa yang

kau lakukan?". Ucapan tersebut disambut oleh tepuk tangan dari Pradyumna, yang artinya bahwa

ia mendukung pendapat Satyaki. Kertawarma marah dan berkata, "Kau juga kejam, membunuh

Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang meninggalkan medan laga untuk memulihkan

tenaga".

Page 52: Suku Jawa

Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Satyaki mengambil pedang lalu

memenggal kepala Kertawarma di hadapan Kresna. Melihat hal itu, para Wresni marah lalu

menyerang Satyaki. Putera Rukmini menjadi garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah

beberapa lama, kedua kesatria perkasa tersebut tewas di hadapan Kresna. Kemudian setiap orang

berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk tanaman eruka

yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman tersebut berubah menjadi

senjata setajam pedang. Dengan memakai senjata tersebut, para keturunan Wresni, Andhaka, dan

Yadu saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan, bahkan ayah dan anak saling

bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk meninggalkan tempat itu. Dengan mata

kepalanya sendiri, Kresna menyadari bahwa rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran mereka.

Dengan menahan kepedihan, ia mencabut segenggam rumput eruka dan mengubahnya menjadi

senjata yang dapat meledak kapan saja. Setelah putera dan kerabat-kerabatnya tewas, ia

melemparkan senjata di tangannya ke arah para Wresni dan Yadawa yang sedang berkelahi.

Senjata tersebut meledak dan mengakhiri riwayat mereka semua.

Akhirnya para keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua di Prabhasatirtha, dan

disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan beberapa kesatria yang masih hidup, seperti

misalnya Babhru dan Bajra. Kresna tahu bahwa ia mampu menyingkirkan kutukan brahmana yang

mengakibatkan bangsanya hancur, namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari dan jalannya

takdir. Setelah menyaksikan kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka dengan mata

kepalanya sendiri, Kresna menyusul Baladewa yang sedang bertapa di dalam hutan. Babhru

disuruh untuk melindungi para wanita yang masih hidup sedangkan Daruka disuruh untuk

memberitahu berita kehancuran rakyat Kresna ke hadapan Raja Yudistira di Hastinapura.

Di dalam hutan, Baladewa meninggal dunia. Kemudian keluar naga dari mulutnya dan naga ini

masuk ke laut untuk bergabung dengan naga-naga lainnya. Setelah menyaksikan kepergian

kakaknya, Kresna mengenang segala peristiwa yang menimpa bangsanya. Pada saat ia berbaring

di bawah pohon, seorang pemburu bernama Jara (secara tidak sengaja) membunuhnya dengan

anak panah dari sepotong besi yang berasal dari senjata mosala yang telah dihancurkan. Ketika

sadar bahwa yang ia panah bukanlah seekor rusa, Jara meminta ma'af kepada Kresna. Kresna

tersenyum dan berkata, "Apapun yang akan terjadi sudah terjadi. Aku sudah menyelesaikan

hidupku". Sebelum Kresna wafat, teman Kresna yang bernama Daruka diutus untuk pergi ke

Hastinapura, untuk memberi tahu para keturunan Kuru bahwa Wangsa Wresni, Andhaka, dan

Yadawa telah hancur. Setelah Kresna wafat, Dwaraka mulai ditinggalkan penduduknya.

Page 53: Suku Jawa

Hancurnya Kerajaan Dwaraka

Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa keturunan

Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa karena perang saudara. Beberapa di antaranya masih

bertahan hidup bersama sejumlah wanita. Setelah mendengar kabar sedih tersebut, Arjuna mohon

pamit demi menjenguk paman dari pihak ibunya, yaitu Basudewa. Dengan diantar oleh Daruka, ia

pergi menuju Dwaraka.

Setibanya di Dwaraka, Arjuna mengamati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia juga berjumpa dengan

janda-janda yang ditinggalkan oleh para suaminya, yang meratap dan memohon agar Arjuna

melindungi mereka. Kemudian Arjuna bertemu dengan Basudewa yang sedang lunglai. Setelah

menceritakan kesdiahnnya kepada Arjuna, Basudewa mangkat. Sesuai dengan amanat yang

diberikan kepadanya, Arjuna mengajak para wanita dan beberapa kesatria untuk mengungsi ke

Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota Dwaraka akan disapu oleh

gelombang samudra, tujuh hari setelah ia wafat.

Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, rombongan Arjuna dihadang oleh sekawanan perampok.

Anehnya, kekuatan Arjuna seoleh-oleh lenyap ketika berhadapan dengan perampok tersebut. Ia

sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa orang berhasil

diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang. Di Kurukshetra, para Yadawa dipimpin

oleh Bajra.

Setelah menyesali peristiwa yang menimpa dirinya, Arjuna menemui kakeknya, yaitu Resi Byasa.

Atas nasihat beliau, para Pandawa serta Dropadi memutuskan untuk melakukan perjelanan suci

untuk meninggalkan kehidupan duniawi.

Prasthanikaparwa

Prasthanikaparwa atau Mahaprasthanikaparwa adalah buku Mahabharata yang ketujuh belas.

Dalam buku ini diceritakan bagaimana Sang Pandawa Lima dan Dewi Dropadi mengundurkan diri

dari Hastinapura dan pergi bertapa ke hutan. Mereka melakukan ini karena ajal sudah dekat.

Akhirnya satu persatu para Pandawa dan Dropadi meninggal kecuali prabu Yudistira.

Page 54: Suku Jawa

Ringkasan isi Kitab Prasthanikaparwa

Parikesit diangkat menjadi Raja Hastinapura

Perjalanan terakhir bagi Pandawa dan Dropadi

Akhirnya prabu Yudistira ditemani seekor anjing dan mendengar suara dari angkasa yang berkata

akan mengangkatnya ke surga tanpa harus meninggal dulu. Ia hanya mau jika anjingnya juga

diperbolehkan ikut. Hal ini pertama-tama ditolak, tetapi prabu Yudistira bersikeras dan akhirnya

dituruti. Ternyata si anjing jelmaan Dewa Dharma yang ingin mengetesnya.

Setelah naik di sorga, Yudistira tidak melihat saudara-saudaranya dan dewi Dropadi, ternyata

mereka berada di neraka. Lalu beliau menuntut supaya ditaruh di neraka saja sebab kenikmatan

sorga adalah sia-sia tanpa saudara-saudaranya dan Dropadi. Lalu kisah ini dilanjutkan di buku ke

18 Swargarohanaparwa

Swargarohanaparwa

Buku Swargarohanaparwa adalah buku terakhir Mahabharata. Di dalam buku ini dikisahkan

bagaimana sang Yudistira yang diangkat naik ke surga lebih baik memilih pergi ke neraka daripada

tinggal di sorga dengan para Korawa. Di sorga ia tidak menemui saudara-saudaranya, para

Pandawa dan dewi Dropadi.

Maka Yudistira pun berangkat ke neraka dan sesampainya, ia melihat saudara-saudaranya

sengsara dan iapun merasa sedih. Tetapi tiba-tiba sorga berubah menjadi neraka dan neraka

tempat mereka berada berubah menjadi sorga. Ternyata para Pandawa dan Dropadi pernah

berdosa sedikit sehingga harus dihukum. Sedangkan para Korawa pernah berbuat baik sedikit,

tetapi perbuatan jahatnya jauh lebih banyak, sehingga beginilah hukumannya.

Kitab Swargarohanaparwa didapati pula dalam khazanah Sastra Jawa

Kuñjarakarna

Page 55: Suku Jawa

Naskah nipah Kuñjarakarna yang disimpan di Universitas Leiden sebagai naskah Orientalis 2266,

halaman 1 verso

Kuñjarakarna adalah sebuah teks prosa Jawa Kuna yang menceritakan seorang yaksa, semacam

raksasa yang bernama Kunjarakarna. Cerita ini berdasarkan agama Buddha Mahayana.

Ringkasan

Pada suatu hari Kuñjarakarna bertapa di gunung Mahameru supaya pada kelahiran berikutnya ia

bisa berreinkarnasi sebagai manusia berparas baik. Maka datanglah ia menghadap Wairocana.

Maka ia diperbolehkan menjenguk neraka, tempat batara Yama. Di sana ia mendapat kabar

bahwa temannya Purnawijaya akan meninggal dalam waktu beberapa hari lagi dan disiksa di

neraka.

Kunjarakarna menghadap Wairocana untuk meminta dispensasi. Akhirnya ia diperbolehkan

memberi tahu Purnawijaya. Purnawijaya terkejut ketika diajak melihat neraka. Lalu ia kembali ke

bumi dan berpamitan dengan istrinya.

Akhirnya ia mati tetapi hanya disiksa selama 10 hari dan bukannya ratusan tahun. Lalu ia

diperbolehkan kembali. Cerita berakhir dengan bertapanya Kunjarakarna dan Purnawijaya di

lereng gunung Mahameru.

Amanat cerita: barangsiapa mendengarkan dan tahu akan hukum dharma, maka ia akan

diselamatkan.

Contoh teks cerita

Jawa Kuna[1] Terjemahan tan asuwé ring awan, Maka tak lama mereka berada di jalan dhateng ta

ya ring bumipata<l>a, hana ta ya srijati dumilah sadakala lonya sêndriya, sêndriya ngaranya, sôlih

ing mata tumingal, hana ta babahan kapanggiha denira sang Kuñjarakarna, inĕbnya tambaga,

lereganya salaka, tuwin ku<ñ>cinya mas, Dan sampailah di dunia bawah. Maka adalah sebuah

pohon jati yang senantiasa menyala. Tebal batangnya satu indera. Maksudnya hanya satu

pemandangan mata. Lalu sang Kuñjarakarna melihat ada pintu, panelnya dari tembaga, lacinya

Page 56: Suku Jawa

dari perak, dan kuncinya dari emas. ta<m>bak lalénya w<e>si, ikang hawan sad<e>pa saroh

lonya, temboknya dari besi, jalannya selebar satu depa dan satu roh inurap rinata-rata ginomaya

ring tahining le<m>bu kanya, dibersihkan, diratakan dan dibersihkan dengan tinja sapi perawan

betina tinaneman ta ya handong bang, kayu puring, kayu masedhang asinang, winoran asep dupa,

mrabuk arum ambunika sinawuran kembang ura, pinujan kembang pupungon, diberi tanaman

andong merah, puring dan pohon-pohon yang sedang berbunga harum. Berbaurlah dengan asap

dupa, harum semerbuk dan ditebar dengan bungan sebaran. Bunga-bunga yang sedang

berkembang diberikan sebagai kehormatan ya ta matanyan maruhun-ruhunan ikang watek papa

kabèh winalingnya itulah sebab para orang berdosa berbondong-bondong semua. Salah pikiran

mereka, dalan maring swarga ri hidhepnya dikira jalan menuju ke sorga.

Bahasa Kawi

Bahasa Kawi adalah suatu jenis bahasa yang pernah berkembang di Pulau Jawa pada zaman

kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan dipakai dalam penulisan karya-karya sastra. Dalam tradisi

Jawa, bahasa Kawi juga disebut dengan istilah bahasa Jawa Kuna. Meskipun demikian, bahasa

Page 57: Suku Jawa

Kawi sendiri bukan bahasa Jawa Kuna murni, karena telah mendapat pengaruh bahasa

Sansekerta.

Istilah kawi sendiri bermakna "penyair". Sedangkan karya sastra yang dihasilkan oleh Sang Kawi

disebut dengan nama kakawin. Biasanya kakawin berupa rangkaian puisi yang mengikuti pola-pola

tertentu.

Krama

Krama adalah salah satu tingkatan bahasa dalam Bahasa Jawa. Bahasa ini paling umum dipakai

di kalangan orang Jawa. Pemakaiannya kurang baik untuk berbicara dengan orang yang dihormati

atau orang yang lebih tua.

Terdapat 2 Jenis Bahasa Krama yakni, Krama inggil alus dan krama madya. Krama Inggil

merupakan bahasa jawa yang paling tinggi, biasa digunakan untuk menghormati orang-orang yang

lebih tua atau lebih berilmu. sedangkan krama madya adalah bahasa jawa yang setingkat berada

dibawah krama inggil, biasa digunakan kepada orang yang setingkat namun untuk menunjukkan

sikap yang lebih sopan.

Contoh dari bahasa ngoko

Angka dalam bahasa Jawa krama

Ngoko

Ngoko adalah salah satu tingkatan bahasa dalam Bahasa Jawa. Bahasa ini paling umum dipakai

di kalangan orang Jawa. Pemakaiannya dihindari untuk berbicara dengan orang yang dihormati

atau orang yang lebih tua.

Contoh dari bahasa ngoko

Page 58: Suku Jawa

Angka dalam bahasa Jawa ngoko

Sastra Jawa Pertengahan

Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-13 sampai kira-kira

abad ke-16. Setelah ini, sastra Jawa Tengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali.

Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli.

Karya-karya ini disebut kidung.

Daftar Karya Sastra Jawa Tengahan prosa

1. Tantu Panggelaran

2. Calon Arang

3. Tantri Kamandaka

4. Korawasrama

5. Pararaton

Tantu Panggelaran

Tantu Panggelaran adalah sebuah teks prosa yang menceritakan tentang kisah penciptaan

manusia di pulau Jawa dan segala aturan yang harus ditaati manusia. Tantu Panggelaran ditulis

dalam bahasa Jawa Pertengahan pada zaman Majapahit. Suntingan teks yang sangat penting

telah terbit pada tahun 1924 di Leiden oleh Dr. Th. Pigeaud.

Perkembangan kisah

Perkembangan kisah dalam Tantu Panggelaran dapat dibagi menjadi beberapa Babak:

1. Awal Keberadaan Pulau Jawa

Pada mulanya pulau Jawa tidak berpenghuni dan dalam keadaan khaotis, karena pulau Jawa

selalu bergoncang (bandingkan dengan batu apung yang bergoncang di atas permukaan air). Oleh

karena itu, pulau Jawa membutuhkan gunung untuk menancapnya, sehingga tidak bergoncang

lagi. Gunung tempat Batara Guru mengatur keadaan yang khaotis ini adalah Gunung Dihyang

(atau Gunung Dieng, lihat artikel tentang Gunung Dieng). Proses pengaturannya berjalan sebagai

Page 59: Suku Jawa

berikut: para Dewa mengangkat puncak gunung Mahameru (Gunung Semeru) dari India dan

ditempatkan di sebelah barat pulau Jawa. Namun yang terjadi adalah, bahwa pulau Jawa terjungkit

dan sebelah timur pulau Jawa terangkat ke atas. Oleh karena itu para dewa memindahkannya ke

sebelah timur, tetapi dalam perjalanan pemindahan gunung itu ke sebelah timur, gunung tersebut

berceceran di sepanjang jalan, sehingga terjadilah gunung Lawu, Wilis, Kelut, Kawi, Arjuna,

Kumukus dan pada akhirnya Semeru. Setelah itu keadaan pulau Jawa tidak bergoncang lagi.

2. Penciptaan Manusia

Setelah pulau Jawa tidak lagi bergoncang, Batara Guru ingin membuat manusia sebagai penghuni

pulau Jawa. Untuk itu dia memerintahkan Batara Brahma dan Batara Wisnu menciptakan manusia.

Mereka menciptakan manusia dari tanah yang dikepal-kepal lalu dibentuk manusia berdasarkan

rupa dewa. Brahma menciptakan manusia laki-laki dan Wisnu menciptakan manusia perempuan,

yang kemudian kedua manusia ciptaan para dewa tersebut dipertemukan dan mereka hidup saling

mengasihi.

3. Proses Terjadinya Peradaban Manusia

Pada mulanya manusia telanjang karena tidak dapat membuat pakaian, tidak tinggal di dalam

rumah, tidak dapat berbicara, oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa manusia pertama yang

tinggal di pulau Jawa tidak mempunyai peradaban. Untuk itu para dewa diberi tugas oleh Batara

Guru untuk "memberi pelajaran" kepada manusia, supaya mereka dapat membuat pakaian,

membuat rumah, dapat berbicara antara satu sama lainnya. Pada intinya para dewa mengajar

manusia Jawa tentang budaya dan peradaban. Contoh yang dikutip dari kitab Tantu Panggelaran

untuk Babak ini:

Demikianlah kata Bhatara Mahakarana (istilah lain dari Batara Guru):

Anakku, Brahma, turunlah engkau ke Pulau Jawa. Pertajamlah benda-benda tajam,

misalnya: panah, parang, pahat, pantek, kapak, beliung, segala pekerjaan manusia.

Engkau akan disebut pandai-besi. Engkau akan mempertajam benda-benda tajam itu di

tempat yang bernama Winduprakasa. Ibu jari (kw. empu) kedua kakimu mengapit dan

menggembleng, besi anak panah dikikir. Panah itu menjadi tajam oleh ibu jari kedua kaki,

maka dari itu engkau akan disebut Empu Sujiwana sebagai pandai-besi, karena ibu

Page 60: Suku Jawa

jari/empu dari kakimu mempertajam besi. Oleh karena itu, tukang pandai-besi disebut

empu, karena ibu jari kakimu menjadi alat bekerja. Demikianlah pesanku kepada anakku.

Lagi pesanku kepada anakku Wiswakarmma. Turunlah ke Pulau Jawa membuat rumah,

biar dirimu ditiru oleh manusia. Sebab itu, engkau dinamai Hundahagi (membangun).

Adapun engkau Iswara. Turunlah ke Pulau Jawa. Ajarlah manusia ajaran berkata-kata

dengan bahasa, apalagi ajaran tentang Dasasila (sepuluh hal yang utama) dan

Pancasiska (lima hukum/tata tertib). Engkau menjadi guru dari kepala-kepala desa,

sehingga engkau dinamai Guru Desa di Pulau Jawa.

Adapun engkau Wisnu. Turunlah engkau ke Pulau Jawa. Biarlah segala perintahmu

dituruti oleh manusia. Segala tingkah lakumu ditiru oleh manusia. Engkau adalah guru

manusia, hendaknya engkau menguasai bumi.

Adapun engkau Mahadewa, turunlah engkau ke Pulau Jawa. Hendaknya engkau menjadi

tukang pandai emas dan pembuat pakaian manusia.

Bhagawan Ciptagupta hendaknya melukis dan mewarnai perhiasan, serta membuat

hiasan yang serupa dengan ciptaan, menggunakan alat ibu jari tanganmu. Oleh karena itu

engkau akan dinamai Empu Ciptangkara sebagai pelukis.

Analisis

Tantu Panggelaran berisi tentang etiologi alam semesta. Tantu Panggelaran ditulis untuk

menjawab pertanyaan-pertanyaan etiologis, misalnya, mengapa ada gempa bumi, mengapa ada

gerhana matahari, mengapa ada gunung-gunung yang tersebar di pulau Jawa, mengapa ada

manusia di pulau Jawa, mengapa ada biji hijau, hitam, putih, tetapi tidak ada biji kuning, mengapa

ada bahasa, mengapa manusia membuat rumah, pakaian, dsb. Pertanyaan-pertanyaan etiologis

ini dijawab dalam cerita Tantu Panggelaran. Cerita yang menjawab pertanyaan etiologis ini

banyak terdapat dalam dunia oriental kuna. Contoh yang paling mudah didapat adalah di dalam

kitab suci umat Kristen (Alkitab). Di sana diceritakan juga, bahwa manusia dibuat dari tanah liat

dan menurut rupa Tuhan, manusia semula berbahasa satu dan berkumpul bersama di Babel

membangun menara (lihat artikel Zikkurat dalam Wiki Inggris), yang kemudian menyebar ke

Page 61: Suku Jawa

seluruh penjuru bumi, dan pertanyaan-pertanyaan etiologis banyak dijawab dalam mitos-mitos

tersebut.

Selain itu cerita ini mementingkan proses pengaturan alam semesta, dari dunia yang khaos

menjadi dunia yang teratur (kosmos). Hal ini juga dapat ditemui dalam cerita-cerita orientalis kuna.

Para Dewa sangat menghargai dunia yang teratur. Motif ini dijumpai dari cerita-cerita Yunani kuna

sampai cerita-cerita India.

Juga terdapat motif "pembangunan masyarakat beradab" atau cerita etiologis tentang munculnya

peradaban manusia. Hal ini juga dapat dibandingkan dengan Kodex Hammurabi di Babilonia yang

berisi hukum-hukum bagi keteraturan masyarakat setempat.

Di samping itu terdapat perbedaan teologis antara cerita Jawa Pertengahan ini dengan teologi

Hindu di India. Di dalam kisah ini diceritakan bahwa Batara Guru adalah ayah dari dewa-dewa

yang lainnya.

Gunung menjadi tempat yang keramat, tempat para dewa. Motif ini juga terdapat dalam dunia

teologis orientalis. Ishak dipersembahkan di gunung Moria (Yerusalem). Zarathustra atau

Zoroaster ketika berkotbah juga naik ke gunung. Firaun membuat piramida yang juga

melambangkan gunung. Agama masyarakat Indonesia kuna juga membuat punden berundak-

undak yang juga melambangkan gunung.

Calon Arang

Calon Arang adalah seorang tokoh dalam cerita rakyat Jawa dan Bali dari abad ke-12. Tidak

diketahui lagi siapa yang mengarang cerita ini. Salinan teks Latin yang sangat penting berada di

Belanda, yaitu di Bijdragen Koninklijke Instituut.

Kisah

Diceritakan bahwa Calon Arang adalah seorang janda penguasa ilmu hitam yang sering merusak

hasil panen para petani dan menyebabkan datangnya penyakit. Ia mempunyai seorang puteri

bernama Ratna Manggali, yang meskipun cantik, tidak dapat mendapatkan seorang suami karena

orang-orang takut pada ibunya. Karena kesulitan yang dihadapi puterinya, Calon Arang marah dan

ia pun berniat membalas dendam dengan menculik seorang gadis muda. Gadis tersebut ia bawa

Page 62: Suku Jawa

ke sebuah kuil untuk dikorbankan kepada Dewi Durga. Hari berikutnya, banjir besar melanda desa

tersebut dan banyak orang meninggal dunia. Penyakit pun muncul.

Raja Airlangga yang mengetahui hal tersebut kemudian meminta bantuan penasehatnya, Empu

Baradah untuk mengatasi masalah ini. Empu Baradah lalu mengirimkan seorang muridnya

bernama Empu Bahula untuk dinikahkan kepada Ratna. Keduanya menikah besar-besaran

dengan pesta yang berlangsung tujuh hari tujuh malam, dan keadaan pun kembali normal.

Calon Arang mempunyai sebuah buku yang berisi ilmu-ilmu sihir. Pada suatu hari, buku ini berhasil

ditemukan oleh Bahula yang menyerahkannya kepada Empu Baradah. Saat Calon Arang

mengetahui bahwa bukunya telah dicuri, ia menjadi marah dan memutuskan untuk melawan Empu

Baradah. Tanpa bantuan Dewi Durga, Calon Arang pun kalah. Sejak ia dikalahkan, desa tersebut

pun aman dari ancaman ilmu hitam Calon Arang.

Perkembangan kisah

Cerita ini dapat dibagi dalam beberapa babak:

Prolog

Pada mulanya suasana di wilayah Kerajaan Daha (Kadiri) sangat tentram. Raja di Daha bernama

Airlangga. Di sana hidup seorang janda, yang bernama Calon Arang, yang mempunyai anak yang

cantik, yang bernama Ratna Manggali. Mereka berdua tinggal di desa Girah, di wilayah Kerajaan

Daha.

Awal Permasalahan

Meskipun cantik, banyak pria di kerajaan tersebut yang tidak mau meminangnya. Ini disebabkan

oleh ulah ibunya yang senang menenung. Hal ini menyebabkan kemarahan Calon Arang. Oleh

sebab itulah dia membacakan mantra tulah, sehingga muncul mala-petaka dahsyat melanda desa

Girah, dan pada akhirnya melanda Daha. Tulah tersebut menyebabkan banyak penduduk daerah

tersebut sakit dan mati. Oleh karena tulah tersebut melanda Daha, maka Raja Airlangga marah

dan berusaha melawan. Namun kekuatan Raja tidak dapat menandingi kesaktian Calon Arang,

sehingga Raja memerintahkan Empu Baradah untuk melawan Calon Arang.

Page 63: Suku Jawa

Siasat Empu Baradah

Untuk mengalahkan Calon Arang, Empu Baradah mengambil siasat. Dia memerintahkan

muridnya, Bahula, untuk meminang Ratna Manggali. Setelah menjadi menantu Calon Arang, maka

Bahula mendapatkan kemudahan untuk mengambil buku mantra Calon Arang dan diberikan

kepada Empu Baradah.

Epilog

Setelah bukunya didapatkan oleh Bahula, Calon Arang pun ditaklukkan oleh Empu Baradah.

Analisis

Seringkali di dalam dunia cerita ini hanya disoroti tentang kekejaman dan kejahatan Calon Arang.

Dia digambarkan sebagai nenek sihir yang mempunyai wajah yang seram. Namun dewasa ini

muncul analisis-analisis yang lebih berpihak kepada Calon Arang. Dia adalah korban masyarakat

patriarkal pada zamannya. Cerita Calon Arang merupakan sebuah gambaran sekaligus kritik

terhadap diskriminasi kaum wanita.

Pararaton

Serat Pararaton, atau Pararaton saja (bahasa Kawi: "Kitab Raja-Raja"), adalah sebuah kitab

naskah Sastra Jawa Pertengahan yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi. Naskah ini cukup

singkat, berupa 32 halaman seukuran folio yang terdiri dari 1126 baris. Isinya adalah sejarah raja-

raja Singhasari dan Majapahit di Jawa Timur. Kitab ini juga dikenal dengan nama "Pustaka Raja",

yang dalam bahasa Sanskerta juga berarti "kitab raja-raja". Tidak terdapat catatan yang

menunjukkan siapa penulis Pararaton.

Pararaton diawali dengan cerita mengenai inkarnasi Ken Arok, yaitu tokoh pendiri kerajaan

Singhasari (1222–1292).[1][2] Selanjutnya hampir setengah kitab membahas bagaimana Ken Arok

meniti perjalanan hidupnya, sampai ia menjadi raja di tahun 1222. Penggambaran pada naskah

bagian ini cenderung bersifat mitologis. Cerita kemudian dilanjutkan dengan bagian-bagian naratif

pendek, yang diatur dalam urutan kronologis. Banyak kejadian yang tercatat di sini diberikan

penanggalan. Mendekati bagian akhir, penjelasan mengenai sejarah menjadi semakin pendek dan

bercampur dengan informasi mengenai silsilah berbagai anggota keluarga kerajaan Majapahit.

Page 64: Suku Jawa

Penekanan atas pentingnya kisah Ken Arok bukan saja dinyatakan melalui panjangnya cerita,

melainkan juga melalui judul alternatif yang ditawarkan dalam naskah ini, yaitu: "Serat Pararaton

atawa Katuturanira Ken Angrok", atau "Kitab Raja-Raja atau Cerita Mengenai Ken Angrok".

Mengingat tarikh yang tertua yang terdapat pada lembaran-lembaran naskah adalah 1522 Saka

(atau 1600 Masehi), diperkirakan bahwa bagian terakhir dari teks naskah telah dituliskan antara

tahun 1481 dan 1600, dimana kemungkinan besar lebih mendekati tahun pertama daripada tahun

kedua.

Pendahuluan

Pararaton dimulai dengan pendahuluan singkat mengenai bagaimana Ken Arok mempersiapkan

inkarnasi dirinya sehingga ia bisa menjadi seorang raja. [1] Diceritakan bahwa Ken Arok menjadikan

dirinya kurban persembahan (bahasa Sanskerta: yadnya) bagi Yamadipati, dewa penjaga pintu

neraka, untuk mendapatkan keselamatan atas kematian. Sebagai balasannya, Ken Arok mendapat

karunia dilahirkan kembali sebagai raja Singhasari, dan di saat kematiannya akan masuk ke dalam

surga Wisnu.

Janji tersebut kemudian terlaksana. Ken Arok dilahirkan oleh Brahma melalui seorang wanita

dusun yang baru menikah. Ibunya meletakkannya di atas sebuah kuburan ketika baru saja

melahirkan; dan tubuh Ken Arok yang memancarkan sinar menarik perhatian Ki Lembong, seorang

pencuri yang kebetulan lewat. Ki Lembong mengambilnya sebagai anak dan membesarkannya,

serta mengajarkannya seluruh keahliannya. Ken Arok kemudian terlibat dalam perjudian,

perampokan dan pemerkosaan. Dalam naskah disebutkan bahwa Ken Arok berulang-kali

diselamatkan dari kesulitan melalui campur tangan dewata. Disebutkan suatu kejadian di Gunung

Kryar Lejar, dimana para dewa turun berkumpul dan Batara Guru menyatakan bahwa Ken Arok

adalah putranya, dan telah ditetapkan akan membawa kestabilan dan kekuasaan di Jawa.

Pendahuluan Pararaton kemudian dilanjutkan dengan cerita mengenai pertemuan Ken Arok

dengan Lohgawe, seorang Brahmana yang datang dari India untuk memastikan agar perintah

Batara Guru dapat terlaksana. Lohgawe kemudian menyarankan agar Ken Arok menemui Tunggul

Ametung, yaitu penguasa Tumapel. Setelah mengabdi berberapa saat, Ken Arok membunuh

Tunggul Ametung untuk mendapatkan istrinya, yaitu Ken Dedes; sekaligus tahta atas kerajaan

Singhasari.

Page 65: Suku Jawa

Analisa naskah

Beberapa bagian Pararaton tidak dapat dianggap merupakan fakta-fakta sejarah. Terutama pada

bagian awal, antara fakta dan fiksi serta khayalan dan kenyataan saling berbaur. Beberapa pakar

misalnya C.C. Berg berpendapat bahwa teks-teks tersebut secara keseluruhan supranatural dan

ahistoris, serta dibuat bukan dengan tujuan untuk merekam masa lalu melainkan untuk

menentukan kejadian-kejadian di masa depan.[3] Meskipun demikian sebagian besar pakar dapat

menerima pada tingkat tertentu kesejarahan dari Pararaton, dengan memperhatikan kesamaan-

kesamaan yang terdapat pada inskripsi-inskripsi lain serta sumber-sumber China, serta menerima

lingkup referensi naskah tersebut dimana suatu interpretasi yang valid dapat ditemukan.[1]

Haruslah dicatat bahwa naskah tersebut ditulis dalam pemahaman kerajaan masyarakat Jawa.

Bagi masyarakat Jawa, merupakan fungsi seorang raja untuk menghubungkan masa kini dengan

masa lalu dan masa depan; dan menetapkan kehidupan manusia pada tempatnya yang tepat

dalam tata-aturan kosmis. Raja melambangkan lingkup kekuasaan Jawa, pengejawantahan suci

dari negara secara keseluruhan; sebagaimana istananya yang dianggap mikrokosmos dari

keadaan makrokosmos.[1] Seorang raja (dan pendiri suatu dinasti) dianggap memiliki derajat

kedewaan, dimana kedudukannya jauh lebih tinggi daripada orang biasa.

J.J. Ras membandingkan Pararaton secara berturut-turut dengan Prasasti Canggal (732), Prasasti

Śivagŗha (Siwagrha) (856), Calcutta Stone (1041) dan Babad Tanah Jawi (1836). Perbandingan

tersebut menunjukkan kesamaan-kesamaan yang jelas dalam karakter, struktur dan fungsi dari

teks-teks tersebut serta kesamaan dengan teks-teks historiografi Melayu[4]

Daftar Karya Sastra Jawa Tengahan puisi

1. Kakawin Dewaruci

2. Kidung Sudamala

3. Kidung Subrata

4. Kidung Sunda

5. Kidung Panji Angreni

6. Kidung Sri Tanjung

Kidung Sunda

Page 66: Suku Jawa

Kidung Sunda adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan berbentuk tembang

(syair) dan kemungkinan besar berasal dari Bali. Dalam kidung ini dikisahkan prabu Hayam Wuruk

dari Majapahit yang ingin mencari seorang permaisuri, kemudian beliau menginginkan putri Sunda

yang dalam cerita ini tak memiliki nama. Namun patih Gajah Mada tidak suka karena orang Sunda

dianggapnya harus tunduk kepada orang Majapahit (baca orang Jawa). Kemudian terjadi perang

besar-besaran di Bubat, pelabuhan tempat berlabuhnya rombongan Sunda. Dalam peristiwa ini

orang Sunda kalah dan putri Sunda yang merasa pilu akhirnya bunuh diri.

Versi kidung Sunda

Seorang pakar Belanda bernama Prof Dr. C.C. Berg, menemukan beberapa versi KS. Dua di

antaranya pernah dibicarakan dan diterbitkannya:

1. Kidung Sunda

2. Kidung Sundâyana (Perjalanan (orang) Sunda)

Kidung Sunda yang pertama disebut di atas, lebih panjang daripada Kidung Sundâyana dan mutu

kesusastraannya lebih tinggi dan versi iniliah yang dibahas dalam artikel ini.

Pupuh I

Hayam Wuruk, raja Majapahit ingin mencari seorang permaisuri untuk dinikahi. Maka beliau

mengirim utusan-utusan ke seluruh penjuru Nusantara untuk mencarikan seorang putri yang

sesuai. Mereka membawa lukisan-lukisan kembali, namun tak ada yang menarik hatinya. Maka

prabu Hayam Wuruk mendengar bahwa putri Sunda cantik dan beliau mengirim seorang juru lukis

ke sana. Setelah ia kembali maka diserahkan lukisannya. Saat itu kebetulan dua orang paman

prabu Hayam Wuruk, raja Kahuripan dan raja Daha berada di sana hendak menyatakan rasa

keprihatinan mereka bahwa keponakan mereka belum menikah.

Maka Sri Baginda Hayam Wuruk tertarik dengan lukisan putri Sunda. Kemudian prabu Hayam

Wuruk menyuruh Madhu, seorang mantri ke tanah Sunda untuk melamarnya.

Madhu tiba di tanah Sunda setelah berlayar selama enam hari kemudian menghadap raja Sunda.

Sang raja senang, putrinya dipilih raja Majapahit yang ternama tersebut. Tetapi putri Sunda sendiri

tidak banyak berkomentar.

Page 67: Suku Jawa

Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan memberi tahu

kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak disertai banyak sekali iringan. Ada dua

ratus kapal kecil dan jumlah totalnya adalah 2.000 kapal, berikut kapal-kapal kecil.

Kapal jung. Ada kemungkinan rombongan orang Sunda menaiki kapal semacam ini.

Namun ketika mereka naik kapal, terlihatlah pratanda buruk. Kapal yang dinaiki Raja, Ratu dan

Putri Sunda adalah sebuah “jung Tatar (Mongolia/Cina) seperti banyak dipakai semenjak perang

Wijaya.” (bait 1. 43a.)

Sementara di Majapahit sendiri mereka sibuk mempersiapkan kedatangan para tamu. Maka

sepuluh hari kemudian kepala desa Bubat datang melapor bahwa rombongan orang Sunda telah

datang. Prabu Hayam Wuruk beserta kedua pamannya siap menyongsong mereka. Tetapi patih

Gajah Mada tidak setuju. Ia berkata bahwa tidaklah seyogyanya seorang maharaja Majapahit

menyongsong seorang raja berstatus raja vazal seperti Raja Sunda. Siapa tahu dia seorang

musuh yang menyamar.

Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran patih Gajah Mada. Para abdi

dalem keraton dan para pejabat lainnya, terperanjat mendengar hal ini, namun mereka tidak berani

melawan.

Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar kabar burung tentang perkembangan

terkini di Majapahit. Maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih Anepakěn untuk pergi ke

Majapahit. Ia disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang ke rumah

patih Gajah Mada. Di sana beliau menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang dan

mengira prabu Hayam Wuruk ingkar janji. Mereka bertengkar hebat karena Gajah Mada

menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya vazal-vazal Nusantara

Majapahit. Hampir saja terjadi pertempuran di kepatihan kalau tidak ditengahi oleh Smaranata,

Page 68: Suku Jawa

seorang pandita kerajaan. Maka berpulanglah utusan raja Sunda setelah diberi tahu bahwa

keputusan terakhir raja Sunda akan disampaikan dalam tempo dua hari.

Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar ini tidak bersedia berlaku seperti layaknya

seorang vazal. Maka beliau berkata memberi tahukan keputusannya untuk gugur seperti seorang

ksatria. Demi membela kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi dihina orang Majapahit.

Para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya dan membelanya.

Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya dan menyuruh mereka

pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani sang raja.

Pupuh II (Durma)

Maka semua sudah siap siaga. Utusan dikirim ke perkemahan orang Sunda dengan membawa

surat yang berisikan syarat-syarat Majapahit. Orang Sunda pun menolaknya dengan marah dan

perang tidak dapat dihindarkan.

Tentara Majapahit terdiri dari prajurit-prajurit biasa di depan, kemudian para pejabat keraton, Gajah

Mada dan akhirnya prabu Hayam Wuruk dan kedua pamannya.

Pertempuran dahsyat berkecamuk, pasukan Majapahit banyak yang gugur. Tetapi akhirnya hampir

semua orang Sunda dibantai habisan-habisan oleh orang Majapahit. Anepakěn dikalahkan oleh

Gajah Mada sedangkan raja Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, raja Kahuripan dan Daha.

Pitar adalah satu-satunya perwira Sunda yang masih hidup karena pura-pura mati di antara mayat-

mayat serdadu Sunda. Kemudian ia lolos dan melaporkan keadaan kepada ratu dan putri Sunda.

Mereka bersedih hati dan kemudian bunuh diri. Semua istri para perwira Sunda pergi ke medan

perang dan melakukan bunuh diri massal di atas jenazah-jenazah suami mereka.

Pupuh III (Sinom)

Prabu Hayam Wuruk merasa cemas setelah menyaksikan peperangan ini. Ia kemudian menuju ke

pesanggaran putri Sunda. Tetapi putri Sunda sudah tewas. Maka prabu Hayam Wurukpun

meratapinya ingin dipersatukan dengan wanita idamannya ini.

Setelah itu, upacara untuk menyembahyangkan dan mendoakan para arwah dilaksanakan. Tidak

selang lama, maka mangkatlah pula prabu Hayam Wuruk yang merana.

Page 69: Suku Jawa

Setelah beliau diperabukan dan semua upacara keagamaan selesai, maka berundinglah kedua

pamannya. Mereka menyalahkan Gajah Mada atas malapetaka ini. Maka mereka ingin

menangkapnya dan membunuhnya. Kemudian bergegaslah mereka datang ke kepatihan. Saat itu

patih Gajah Mada sadar bahwa waktunya telah tiba. Maka beliau mengenakan segala upakara

(perlengkapan) upacara dan melakukan yoga samadi. Setelah itu beliau menghilang (moksa) tak

terlihat menuju ketiadaan (niskala).

Maka raja Kahuripan dan raja Daha, yang mirip "Siwa dan Buddha" berpulang ke negara mereka

karena Majapahit mengingatkan mereka akan peristiwa memilukan yang terjadi.

Analisis

Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang

akurat, meski kemungkinan besar tentunya bisa berdasarkan kejadian faktual.

Secara garis besar bisa dikatakan bahwa cerita yang dikisahkan di sini, gaya bahasanya lugas dan

lancar. Tidak berbelit-belit seperti karya sastra sejenis. Kisahnya memadukan unsur-unsur

romantis dan dramatis yang memikat. Dengan penggunaan gaya bahasa yang hidup, para

protagonis cerita ini bisa hidup. Misalkan adegan orang-orang Sunda yang memaki-maki patih

Gajah Mada bisa dilukiskan secara hidup, meski kasar. Lalu Prabu Hayam Wuruk yang meratapi

Putri Sunda bisa dilukiskan secara indah yang membuat para pembaca terharu.

Kemudian cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda juga bisa dikatakan logis dan masuk akal.

Semuanya bisa saja terjadi, kecuali mungkin moksanya patih Gajah Mada. Hal ini juga

bertentangan dengan sumber-sumber lainnya, seperti kakawin Nagarakretagama, lihat pula bawah

ini.

Perlu dikemukakan bahwa sang penulis cerita ini lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti

sudah dikemukakan, seringkali bertentangan dengan sumber-sumber lainnya. Seperti tentang

wafat prabu Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada, penulisannya berbeda dengan kakawin

Nagarakretagama.

Kemudian ada sebuah hal yang menarik, nampaknya dalam kidung Sunda, nama raja, ratu dan

putri Sunda tidak disebut. Putri Sunda dalam sumber lain sering disebut bernamakan Dyah

Pitaloka.

Page 70: Suku Jawa

Satu hal yang menarik lagi ialah bahwa dalam teks dibedakan pengertian antara Nusantara dan

tanah Sunda. Orang-orang Sunda dianggap bukan orang Nusantara, kecuali oleh patih Gajah

Mada. Sedangkan yang disebut sebagai orang-orang Nusantara adalah: orang Palembang, orang

Tumasik (Singapura), Madura, Bali, Koci (?), Wandan (Banda, Maluku Tengah), Tanjungpura

(Kabupaten Ketapang) dan Sawakung (Pulau Sebuku?) (contoh bait 1. 54 b.) . Hal ini juga sesuai

dengan kakawin Nagarakretagama di mana tanah Sunda tak disebut sebagai wilayah Majapahit di

mana mereka harus membayar upeti. Tapi di Nagarakretagama, Madura juga tak disebut

Gajah Mada yang dimaki-maki oleh utusan Sunda

(bait 1. 66b – 1. 68 a.)

Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i kami, ngong iki mangkw angaturana sira sang

rajaputri, adulurana bakti, mangkana rakwa karěpmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki,

durung-durung ngong iki andap ring yuda.

Abasa lali po kita nguni duk kita aněkani jurit, amrang pradesa ring gunung, ěnti ramening

yuda, wong Sunda kagingsir, wong Jipang amburu, praptâpatih Sunda apulih, rusak

wadwamu gingsir.

Mantrimu kalih tinigas anama Lěs Beleteng angěmasi, bubar wadwamu malayu, anânibani

jurang, amurug-murug rwi, lwir patining lutung, uwak setan pating burěngik, padâmalakw

ing urip.

Mangke agung kokohanmu, uwabmu lwir ntuting gasir, kaya purisya tinilar ing asu,

mengkene kaharěpta, tan pracura juti, ndi sasana tinutmu gurwaning dustârusuh, dadi

angapusi sang sadubudi, patitânêng niraya atmamu těmbe yen antu.

Alihbahasa:

“Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar terhadap kami? Kita ini

sekarang ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus

membawa bakti? Sama seperti dari Nusantara. Kita lain, kita orang Sunda, belum pernah

kami kalah berperang.

Page 71: Suku Jawa

Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur di daerah-

daerah pegunungan. Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang Jipang. Kemudian

patih Sunda datang kembali dan bala tentaramu mundur.

Kedua mantrimu yang bernama Lěs dan Beleteng diparang dan mati. Pasukanmu bubar

dan melarikan diri. Ada yang jatuh di jurang dan terkena duri-duri. Mereka mati bagaikan

kera, siamang dan setan. Di mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup.

Sekarang, besar juga kata-katamu. Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi

anjing. Sekarang maumu itu tidak sopan dan berkhianat. Ajaran apa yang kau ikuti selain

engkau ingin menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk. Menipu orang berbudi

syahdu. Jiwamu akan jatuh ke neraka, jika mati!”

Raja Sunda yang menolak syarat-syarat Majapahit (bait 2.69 – 2.71)

[...], yan kitâwĕdîng pati, lah age marĕka, i jĕng sri naranata, aturana jiwa bakti, wangining

sĕmbah, sira sang nataputri.

Wahu karungu denira sri narendra, bangun runtik ing ati, ah kita potusan, warahĕn

tuhanira, nora ngong marĕka malih, angatĕrana, iki sang rajaputri.

Mong kari sasisih bahune wong Sunda, rĕmpak kang kanan keri, norengsun ahulap,

rinĕbateng paprangan, srĕngĕn si rakryan apatih, kaya siniwak, karnasula angapi.

Alihbahasa:

[...], jika engkau takut mati, datanglah segera menghadap Sri Baginda (Hayam Wuruk) dan

haturkan bukti kesetianmu, keharuman sembahmu dengan menghaturkan beliau sang

Tuan Putri.

Maka ini terdengar oleh Sri Raja <Sunda> dan beliau menjadi murka: “Wahai kalian para

duta! Laporkan kepada tuanmu bahwa kami tidak akan menghadap lagi menghantarkan

Tuan Putri!”

“Meskipun orang-orang Sunda tinggal satu tangannya, atau hancur sebelah kanan dan

kiri, tiada akan ‘silau’ beta!”. Sang Tuan Patih juga marah, seakan-akan robek telinganya

mendengarkan (kata-kata pedas orang Majapahit).

Page 72: Suku Jawa

Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda yang telah tewas (bait 3.29 – 3. 33)

Sireñanira tinañan, unggwani sang rajaputri, tinuduhakěn aneng made sira wontěn

aguling, mara sri narapati, katěmu sira akukub, perěmas natar ijo, ingungkabakěn tumuli,

kagyat sang nata dadi atěmah laywan.

Wěněsning muka angraras, netra duměling sadidik, kang lati angrawit katon, kengisning

waja amanis, anrang rumning srigading, kadi anapa pukulun, ngke pangeran marěka,

tinghal kamanda punyaningsun pukulun, mangke prapta angajawa.

Sang tan sah aneng swacita, ning rama rena inisti, marmaning parěng prapta kongang

mangkw atěmah kayêki, yan si prapta kang wingi, bangiwen pangeraningsun, pilih kari

agěsang, kawula mangke pinanggih, lah palalun, pangdaning Widy angawasa.

Palar-palarěn ing jěmah, pangeran sida kapanggih, asisihan eng paturon, tan kalangan ing

duskrěti, sida kâptining rawit, mwang rena kalih katuju, lwir mangkana panapanira sang

uwus alalis, sang sinambrama lěnglěng amrati cita.

Sangsaya lara kagagat, pětěng rasanikang ati, kapati sira sang katong, kang tangis

mangkin gumirih, lwir guruh ing katrini, matag paněděng ing santun, awor swaraning

kumbang, tangising wong lanang istri, arěrěb-rěrěb pawraning gělung lukar.

Alihbahasa:

Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan tempat Tuan Putri. Diberilah tahu

berada di tengah ia, tidur. Maka datanglah Sri Baginda, dan melihatnya tertutup kain

berwarna hijau keemasan di atas tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena

sudah menjadi mayat.

Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka, bibirnya indah dilihat, gigi-giginya

yang tak tertutup terlihat manis, seakan menyaingi keindahan sri gading. Seakan-akan ia

menyapa: “Sri Paduka, datanglah ke mari. Lihatlah kekasihnda (?), berbakti, Sri Baginda,

datang ke tanah Jawa.

Yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu, yang sangat mendambakannya, itulah

alasannya mereka ikut datang. Sekarang jadinya malah seperti ini. Jika datang kemarin

dulu, wahai Rajaku, mungkin <hamba> masih hidup dan sekarang dinikahkan. Aduh

sungguh kejamlah kuasa Tuhan!

Page 73: Suku Jawa

Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah, berdampingan di atas ranjang tanpa

dihalang-halangi niat buruk. Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya.” Seakan-akan

begitulah ia yang telah tewas menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi bingung dan

merana.

Semakin lama semakin sakit rasa penderitaannya. Hatinya terasa gelap, beliau sang Raja

semakin merana. Tangisnya semakin keras, bagaikan guruh di bulan Ketiga*, yang

membuka kelopak bunga untuk mekar, bercampur dengan suara kumbang. Begitulah

tangis para pria dan wanita, rambut-rambut yang lepas terurai bagaikan kabut.

Sri Tanjung

Kidung Sri Tanjung adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan dalam bentuk

kidung. Karya ini dibuat oleh orang Banyuwangi. Cerita ini termasuk cerita legenda pendirian kota

Banyuwangi. Selain itu, cerita juga terkenal karena bisa dipakai untuk meruwat.

Ceritanya secara pendek adalah sebagai berikut: Adalah seorang ksatria bernama raden

Sidapaksa yang pergi dari tempat tinggalnya, lalu mengabdi sang raja di negeri Sinduraja. Lalu, ia

menikahi Dewi Sri Tanjung.

Maka suatu hari, raden Sidapaksa sangat marah, mengira istrinya berselingkuh. Lalu Sri Tanjung

bersumpah bahwa apabila ia dibunuh, jika yang keluar bukan darah, tetapi air harum, maka dia tak

salah.

Maka, benarlah, Sri Tanjung ditikam, tetapi yang keluar bukan darah segar, melainkan air yang

berbau wangi. Maka sampai sekarang ibukota bumi Blambangan namanya Banyuwangi.