231
Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI Kata Pengantar - hal. 2 Kata Mereka - hal. 5 Ucapan Terimakasih – LKK - hal. 7 Memadu Inspirasi di Palu, Catatan Seorang Pendamping – Nurhasanah - hal .8 1. Achmad Bantam – Mengungkap Kebenaran, Menjadi Sahabat Korban - hal. 24 2. Andi Sutra – Kau Siksa Bapakku Tanpa Nurani - hal. 36 3. Anwar Naba – Dasar Anak PKI - hal. 46 4. Hanouk Makatipu – Jalan Panjang Menuju Setara - hal. 57 5. Hari Wisastra – Menggeliat Menghentikan Keterpurukan - hal. 75 6. Jozef B. Kalengkongan – Sejujur-jujurnya - hal. 84 7. Mahardian – Memutus Rantai Pengucilan - hal. 114 8. Maryam Labonu – Hikayat Cinta Tak Bertepi - hal. 128 9. Muhammad Said Baharudin – 32 Tahun Ditahan Orde Baru - hal. 147 10. Naina – Kalau Saya Tidak Tabah Mungkin Sudah Gila atau Bunuh Diri - hal. 168 11. Poppy & Marten Piai – Pahit Getir Di Bawah ORBA - hal. 182 12. Rafin Pariuwa – Kisah Panjang Kerjapaksa - hal. 198 13. Windra – Berjuang Melawan Beban Sejarah - hal. 206 14. Yenny Oro – Berhasil Menembus Kabut Hitam - hal. 216 Apa & Siapa.: - hal. 234 Alamsyah A. K Lamasitudju.(Penulis) Anita Taurisia (Pewawancara) Fredy Sreudeman Wowor (Komentator) Gagarisman (Penulis) Ivan R.B.Kaunang (Penulis Kata Pengantar) Muhammad Abbas (Pewawancara & Penulis) Netty Kalengkongan (Pewawancara) Nurhasanah (Pewawancara & Penulis) Nurlaela AK Lamasituju (Pewawancara & Koordinator) Putu Oka Sukanta (Editor & Penerbit) Rusdy Maturah (Komentator) Salim M. (Perancang Sampul)

Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

  • Upload
    dotruc

  • View
    284

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

1

DAFTAR ISI

• Kata Pengantar - hal. 2

• Kata Mereka - hal. 5

• Ucapan Terimakasih – LKK - hal. 7

• Memadu Inspirasi di Palu, Catatan Seorang Pendamping – Nurhasanah - hal .8

1. Achmad Bantam – Mengungkap Kebenaran, Menjadi Sahabat Korban - hal. 24

2. Andi Sutra – Kau Siksa Bapakku Tanpa Nurani - hal. 36

3. Anwar Naba – Dasar Anak PKI - hal. 46

4. Hanouk Makatipu – Jalan Panjang Menuju Setara - hal. 57

5. Hari Wisastra – Menggeliat Menghentikan Keterpurukan - hal. 75

6. Jozef B. Kalengkongan – Sejujur-jujurnya - hal. 84

7. Mahardian – Memutus Rantai Pengucilan - hal. 114

8. Maryam Labonu – Hikayat Cinta Tak Bertepi - hal. 128

9. Muhammad Said Baharudin – 32 Tahun Ditahan Orde Baru - hal. 147

10. Naina – Kalau Saya Tidak Tabah Mungkin Sudah Gila atau Bunuh Diri - hal. 168

11. Poppy & Marten Piai – Pahit Getir Di Bawah ORBA - hal. 182

12. Rafin Pariuwa – Kisah Panjang Kerjapaksa - hal. 198

13. Windra – Berjuang Melawan Beban Sejarah - hal. 206

14. Yenny Oro – Berhasil Menembus Kabut Hitam - hal. 216

Apa & Siapa.: - hal. 234

• Alamsyah A. K Lamasitudju.(Penulis)

• Anita Taurisia (Pewawancara)

• Fredy Sreudeman Wowor (Komentator)

• Gagarisman (Penulis)

• Ivan R.B.Kaunang (Penulis Kata Pengantar)

• Muhammad Abbas (Pewawancara & Penulis)

• Netty Kalengkongan (Pewawancara)

• Nurhasanah (Pewawancara & Penulis)

• Nurlaela AK Lamasituju (Pewawancara & Koordinator)

• Putu Oka Sukanta (Editor & Penerbit)

• Rusdy Maturah (Komentator)

• Salim M. (Perancang Sampul)

Page 2: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

2

Sisi Lain Penulisan Sejarah

Pengantar Buku Sulawesi Bersaksi

Dr. Ivan R.B Kaunang

Buku yang ada di tangan pembaca bagi saya adalah buku menarik, buku yang

langka, dan kelangkaan itu terlihat dari cara pengungkapan, teknik penulisan seadanya,

teknik bercerita dengan metode jurnalisme sastrawi, imajinatif historis, imajinatif

kontekstual kelampauan, lirik yang memikat pembaca untuk sulit meninggalkan barisan

kata, kalimat, alinea bahkan seluruh bab buku ini. Mengapa begitu, karena bagi saya hal

yang sulit ditemukan dalam karya penulisan akademik untuk tema-tema sejarah yang serius

dengan sistematika ketat sesuai tuntutan penulisan karya akademik. Namun begitu, bagi

saya karya ini bukan tidak termasuk akademik, justru karya ini memberi masukan yang

amat luas, bagaimana kebebasan menulis sejarah yang tidak dibatasi oleh sekat sistematika

panduan penulisan di perguruan tinggi. Karya ini mengisi banyak kekosongan baik data

dan konteks historis yang terabaikan. Karya ini banyak mengungkap berbagai hal yang

selama ini kurang diungkap, takut diungkap atau segan untuk diungkap. Ketakutan itu

kaitan dengan regim atau kuasa politik yang mengiringi proses penulisan sejarah di tanah

air ini. Banyak buku tentang Gerakan 30 September/PKI tetapi bagian yang ditulis adalah

bagian yang umum tentang sebab terjadinya, proses sejarah, dan akibat yang

ditimbulkannya bagi perkembangan kelanjutan (nasionalisme) bangsa ini. Belum banyak

secara terbuka mengungkap seperti dalam buku ini.

Buku selalu hadir dalam setiap peradaban manusia, takkan pernah berhenti dibuat

dan dihentikan oleh apapun, oleh waktu sekalipun. Buku dapat sampai ke tangan pembaca

bukanlah hal yang mudah. Prosesnya (bisa) sangat panjang dan penulis biasanya hanya

menikmati pujian dan citra diri selain kebanggaan dan kepuasan bahwa (dia) penulis sudah

mampu memberi diri, ikut ambil bagian dalam sejarah zaman melalui penulisan buku. Buku

dapat sampai ke tangan pembaca oleh karena proses jasa yang panjang, dimulai dari

percetakan, selanjutnya penerbit, distributor, dan toko buku. Penulis biasanya, hanya dapat

dari sisa hasil bagi usaha sekian prosen (%) dari total pembiayaan dan penjualan.

Kebanggaan penulis bukanlah pada nilai uang, kebanggan penulis berada di tangan

pembaca ketika buku dibaca dan dinikmati, apalagi mau dibedah. Tak banyak penulis

seperti penulis buku ini.

Bagi saya, buku ini dapat dikategorikan sebagai buku sejarah, bukan karena yang

diungkapkan tentang suatu masa politik periode tahun 1965 dalam sejarah Indonesia, tetapi

Page 3: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

3

lebih dari itu, isi cerita sekali lagi memberikan imajinatif historis untuk peneliti sejarah

politik, bahkan sejarah dengan pendekatan sosiologi, sejarah kemanusiaan, hukum dan hak

asasi manusia, bahkan sejarah pemikiran, mentalitas bangsa dengan bertumpu pada kondisi

bangsa Indonesia di masa krisis politik dan kemanusiaan di masa itu. Disebut krisis politik

karena serba berubahnya tatanan (penilaian) politik sesuai dengan keinginan penguasa dan

memarginalkan aspek-aspek kemanusiaan yang lain yang dikuasai tanpa proses rasionalitas

yang jelas, pertimbangan politik tetapi kepada kuasa dan wibawa, individu, kelompok,

kerakusan untuk menguasai yang lain dengan cara apapun, bahkan sering dan banyak

terjadi tanpa sebab. Sebagai buku sejarah, karya ini memberikan sisi lain dalam

pengungkapan dengan gaya bercerita, bernarasi seperti jurnalisme sastrawi. Advokasi

pengungkapan dengan kekuatan imajinasi sastra (novel sejarah), kekuatan sejarah terletak

pada penggunaan kata, data dan fakta yang dirangkai dalam sejarah.

Sejarah demikian nama suatu disiplin yang telah berkembang sejak lama di

Indonesia, mulai eksis di Indonesia sejak tahun 1967, yang dalam proses pencarian identitas

tulis telah menempati posisi yang diperhitungkan dalam berbagai disiplin. Sejarah memiliki

tugas membongkar, mengumpulkan, menemukan, mendapatkan sumber-sumber sejarah,

baik lisan maupun tulisan (arsip, dokumen, naskah ketikan, wawancara). Membicarakan

sejarah membicarakan kebenaran, karena memang sejarah adalah ilmu yang mempelajari

masa lampau, kini, dan masa akan datang. Sejarah adalah ilmu mengungkap kebenaran,

sejarah berusaha dengan metodologinya merekonstruksi masa lampau, sejarah menjemput

masa lampau untuk disajikan pada kekinian (pembaca). Kaitan dengan buku yang terbit ini,

masa lampau dari sisi lain yang ditinggal dalam penulisan sejarah di Indonesia dijemput lagi

untuk disajikan. Sumber-sumber sejarah yang dijemput, walau dengan metode wawancara

yang dikategorikan sebagai sejarah lisan tetapi banyak hal informasi, fenomena, data, dan

fakta yang mampu berbicara dan melengkapi kekurangan-kekurangan penulisan sejarah

selama ini. Ada hal yang sudah pernah terungkap, tetapi ada pula informasi baru, ada hal

yang belum diketahui masyarakat umum, sekaranglah informasi ini hadir dan terbuka

untuk diinterpretasi.

Periode 1965 dalam sejarah Indonesia sering terlupakan untuk dibahas dalam buku

sejarah. Walaupun begitu ada fakta, bahwa kisah dan peristiwa di periode itu benar-benar

terjadi mewarnai kehidupan bangsa ini, langsung ataupun tidak langsung banyak

melibatkan kalangan tokoh militer di daerah dan nasional, tetapi juga peran tokoh-tokoh

muda atau generasi muda yang memiliki idealisme membangun bangsa dengan caranya

dalam kondisi waktu itu. Pada sisi lain, membicarakan periode 1965 di kalangan generasi

Page 4: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

4

muda sering hanya menjadi mitos, mungkin karena tidak merasakan pergolakan itu, atau

tidak banyak tahu dan memahami sejarah politik Indonesia, termasuk berbagai peristiwa

sejarah politik di daerah Sulawesi, atau mungkin sebab lain, bisa saja tidak tertarik dan tidak

mau tahu, itu kan persoalan masa lampau, itu persoalan Oma dan Opa kita, dan lebih

memilih sikap tidak peduli (apatis). Sangat disayangkan memang, periode ini sering

terlupakan dalam banyak buku-buku pelajaran sejarah yang tidak mencantumkannya. Tidak

salah memang, mungkin karena beda generasi dan beda sudut pandang serta tantangan

zaman yang serba berubah, atau mungkin juga karena data sejarah yang sulit diakses, dan

peka untuk diceritakan. Ini zamannya membangun, berkreasi dan mengisi kemerdekaan.

Paling tidak, buku ini memberikan wawasan baru walaupun gaya penceritaan

dengan jurnalisme sastrawi, di satu sisi memberi tanda tanya bagi sejarawan yang skeptis

dengan metode sejarah lisan. Namun begitu, jika sejenak sejarawan mengesampingkan

skeptisismenya dan dengan rasionalitas melihat isi, maka akan semakin terbuka rentang

sejarah yang terlewati dalam banyak buku sejarah selama ini. Terdapat banyak lobang-

lobang hitam dalam sejarah Indonesia yang belum terisi, dan buku ini hadir untuk

mengisinya. Kehadiran buku ini dalam peta penulisan sejarah politik Indonesia semakin

melengkapi dan menyempurnakan sejarah Indonesia dari sisi lain. Dalam bagian-bagian

tertentu, bagaimana aspek kemanusiaan pada bangsa ini di suatu fase tidak mencerminkan

bangsa yang religius, berkemanusiaan yang adil dan beradab. Tanpa proses pengadilan

hukum, siapapun itu terkait ataupun tidak, bahkan hanya tercium baunya, sudah divonis

sebagai antek-antek PKI. Suara mereka dipendam sekian tahun, dan ruginya bagi anak

keturunannya menderita mental yang berkepanjangan. Tidak ada yang benar, yang ada

dalam kondisi itu anda bersalah karena berada di tempat yang salah, di tempat yang tidak

sesuai dengan keinginan penguasa. Ada yang pasrah tetapi ada pula optimis, bahwa ini

adalah kehidupan yang harus dilewati, dan sebagian mempertanyakan dimanakah posisi

Tuhan, terutama kepada mereka yang merasa tidak melakukan kesalahan. Dalam proses

sejarah ini, ada yang kemudian mati dibunuh atau karena sakit, atau karena sebab lainnya,

tetapi ada pula yang sampai hari ini tetap eksis di usia senja dengan berbagai pendapat dan

kesaksian seperti yang ada dalam buku ini.

Saya sangat tersentuh ketika membaca buku ini, imajinasi sejarah saya mulai muncul

lagi untuk berkaca dalam penulisan sejenis. Sejarah biasanya ditulis karena seorang tokoh,

sedikit yang menulis untuk mereka yang tertindas, dilindas oleh kekuasaan, dan tidak

mampu melawan lagi termasuk bersuara. Buku ini hadir mewakili suara-suara yang

terpendam di Sulawesi sebagai bagian dari memori kolektif pada bangsa ini yang belum

Page 5: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

5

banyak diungkap. Sejarah ibarat potret, ibarat foto, dan kisah sejarah ini seperti foto lama

yang discanning kembali dan sudah tentu tak bisa kembali lagi sesuai keinginan, tetapi

paling tidak suara-suara mereka yang terbalut politik boleh dihadirkan lagi untuk mengisi

kegairahan anak bangsa yang termarginal, ingin berontak, tersisi tapi ingin (dan mau)

membangun bangsa ini sebagaimana anak bangsa lainnya, karena bagi mereka, sejelek

apapun negara ini dengan apa yang telah mereka alami, mereka tetap mengatakan ini

adalah negara(ku), negara mereka juga yang harus dibangun, dan tidak untuk diri sendiri

tetapi untuk anak cucu mereka juga.

Selamat membaca.

Manado, Juli 2013

di Minggu terakhir puasa Ramadhon

Kata Mereka:

Fredy Sreudeman Wowor (SASTRAWAN DARI MINAHASA. DOSEN FAKULTAS SASTRA UNSRAT

MANADO. AKTIF DII MAWALE MOVEMENT SUATU GERAKAN TERKAIT BUDAYA) :

Kisah para korban kekerasan di tahun 1965 ini adalah kesaksian hidup dari orang-

orang yang dipenjara tanpa tahu apa kesalahan mereka. Tapi tragedi terbesar dari kenyataan

ini tidak berakhir dengan keluarnya mereka dari penjara. Tragedi itu justru dimulai ketika

mereka melintas ke luar tembok penjara karena dinding penjara itu kini meluas

mengerangkeng ingatan orang-orang yang melihat mereka melangkah melintasi ambang

pintu penjara. Penjara itu kini bernama ketidakperdulian. Arti terpenting dari kehadiran

kisah para korban ketidakadilan dan ketidaperdulian ini adalah kisah ini memberi kita

ingatan dan pegangan untuk berani menyaksikan kenyataan historis ini bukan hanya pada

generasi terkini tapi pada generasi akan datang, agar tragedi ini tidak berulang kembali

Dra. Hj. Ince Mawar Abdullah (MAJELIS WARGA KKPK SULAWESI TENGAH DAN KETUA DEWAN

KESENIAN SULAWESI TENGAH) :

Dulu setiap ada sesuatu yang membutuhkan tanda tangan, saya selalu curiga dan

ketakutan, jangan sampai ada urusan dengan PKI. Kini setelah mendengar suara-suara

korban dari Palu, Manado, Kendari, Buton, Makassar, juga setelah membaca kisah korban

lainnya [Memecah Pembisuan] dari luar Sulawesi, saya justru terpanggil untuk mengajak

Page 6: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

6

kita semua melihat lebih dekat keadaan mereka. Sungguh sangat tidak adil, karena alasan

politik di masa lalu, kita membiarkan para korban menderita sampai hari ini, bahkan sampai

ke anak cucu mereka. Buku “Sulawesi Bersaksi” ini, hanya sebagian dari kisah sanak

saudara kita di Sulawesi yang menjadi korban. Mendengar suara mereka merupakan

langkah maju membuka lembar kebenaran. Saya salut dengan semangat genarasi muda

Sulawesi yang telah menuliskan cerita korban dalam buku ini. Upaya mereka sejalan dengan

semangat kampanye Tahun Kebenaran yang digagas oleh KKPK (Koalisi Keadilan dan

Pengungkapan Kebenaran). Kebenaran ini demi masa depan Bangsa kita.

H. Rusdy Mastura (WALIKOTA PALU, SULAWESI TENGAH) :

Bagi saya tidak ada persoalan, terlepas suka atau tidak suka, mau atau tidak mau,

penulisan menyangkut permasalahan tentang masa lalu [tragedy 1965/66] sangat penting.

Ini untuk lebih memperkaya kita punya daya berpikir dalam sikap dan dalam melihat suatu

permasalahan. Sehingga diri kita sendiri yang dapat memilah mana yang benar mana yang

salah. Tulisan selalu akan memperkuat kita untuk lebih terbuka dan lebih transparan dalam

melihat permasalahan itu. Saya kagum dengan buku “Sulawesi Bersaksi” ini. Walaupun kita

orang yang keras, tapi kita lebih terbuka, sehingga kita mau saling memaafkan.

Nasir, MAHASISWA UNIVERSITAS BUNG KARNO (UBK) JAKARTA ASAL PARIGI MOUTONG

(PARIMO) SULTENG, DIREKTUR UMUM LEMBAGA PERS MAHASISWA (LPM) MARHAEN

UBK, PENGURUS EKSEKUTIF NASIONAL LIGA MAHASISWA NASIONAL UNTUK DEMOKRASI

(LMND) :

Gerakan 30 September 1965 (G30S), nampaknya bukanlah suatu hal yang asing lagi

bagi generasi muda di era saat ini, namun apakah sejarah yang diajarkan kepada generasi

muda, yang mereka pelajari di bangku Sekolah Dasar (SD) bahkan sampai Sekolah

Menengah Atas (SMA) itu benar atau sejarah yang benar-benar terjadi? Saya adalah salah

satu anak muda yang menjadi korban dari pelajaran sejarah itu, saat ini saya sadar bahwa

sejarah yang saya pelajari beserta film (Pengkhianatan G30S-PKI) wajib yang dipertontonkan

kepada kami waktu itu adalah sejarah yang keliru. Karena sejarah itu adalah rekayasa dan

propaganda belaka untuk mewakili kepentingan rezim yang berkuasa (Orde Baru).

Peristiwa yang terjadi di Sulawesi adalah salah satu representasi sejarah kelam 1965, banyak

di antara mereka yang tak bersalah ditangkap disiksa, dirampas hak kemerdekaan individu

Page 7: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

7

maupun keluarganya, tak hanya siksaan fisik yang mereka dapatkan tapi siksaan bathin

yang tak berkesudaan sampai saat ini, ironisnya di antara korban-korban itu tak ada

dendam sedikitpun. Sebuah kesukuran dan apresiasi bagi kawan-kawan yang sudah

menginisiatifi terbitnya buku Sulawesi Bersaksi terutama kepada Putu Oka Sukanta, yang

sudah bersedia dan pantang menyerah memperjuangkan HAM khususnya tragedi HAM

1965. Buku ini patut di baca oleh generasi muda khususnya generasi muda Sulawesi, agar

tahu sejarah yang sebenarnya dan agar kekerasan yang dilakukan oleh Negara terhadap

Rakyatnya tahun 1965 tidak terulang lagi di masa ini. Saya sedikit mengutip apa yang

dikatakan Bung Karno “Jangan Sekali-kali melupakan sejarah.” Marilah generasi muda kita

sama-sama belajar sejarah yang sebenarnya dan ikut berjuang bersama mereka yang menjadi

korban, karena kalau bukan kita siapa lagi dan kalau bukan sekarang kapan lagi.

Ucapan Terimakasih

Program Merangkum Tutur untuk Memahami Sejarah, yang diemban oleh Lembaga

Kreatifitas Kemanusiaan (LKK) sejak berdirinya di tahun 2005, telah menghasilkan 6 episode

film dokumeneter “Dampak Sosial Tragedi Kemanusiaan 1965-66”. Film-film tersebut sudah

ditonton oleh banyak orang di dalam maupun di luar negeri. LKK juga sudah menghasilkan

terbitan 3 buah buku kumpulan cerita pendek beberapa pengarang (Titian, cerita pendek

kerakyatan; Lobakan,kesenyapan gemuruh Bali 65, cerita pendek tentang pembunuhan di

Bali tahun 1965-66; serta Tak’Kan Melupakanmu.). Juga sudah menerbitkan sebuah buku

kumpulan dokumenter kesaksian para eks Tapol – ORBA yang disajikan dalam bentuk

feature berjudul Memecah Pembisuan, tuturan penyintas tragedi ’65-’66. Buku ini telah

menarik banyak perhatian masyarakat dan akan diterbitkan dalam bahasa Inggris di

Australia. Memecah Pembisuan pernah disiarkan berturut-turut dalam bentuk digital di

dunia maya.

Semua langkah dan hasil yang sudah dicapai adalah berkat adanya kebersamaan

dalam memandang dan mensikapi perjalanan bangsa Indonesia, di antara beberapa

seniman, akademisi, aktivis kemanusiaan, Eks TAPOL-ORBA dan para dermawan.

Kali ini LKK mondok di Sulawesi, bekerjasama dengan nara sumber, penggiat HAM,

sebagai lembaga maupun perseorangan untuk menerbitkan sebuah kumpulan kesaksian

penyintas tragedi 1965-66, di Sulawesi. Karena keterbatasan energi maka dalam buku

“Sulawesi Bersaksi” ini hanya mampu mengedepankan beberapa kesaksian eks TAPOL-

ORBA saja, yang berasal dari nara sumber di Palu, Manado, Bau-bau, Wajo, Kendari, dan

Page 8: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

8

Makassar. Masih banyak nara sumber di bagian lain Sulawesi yang belum terwakili.

Untuk keterbatasan tersebut LKK mohon maaf sebesar-besarnya.

LKK bergandengan tangan memulai proses penerbitan buku ini dengan Komnas

Perempuan, AJAR Jakarta, KontraS, SKP HAM Palu dan TAPOL London. Kami

menyampaikan banyak terimakasih kepada semua sahabat yang sudah bekerjakeras untuk

terbitnya buku ini, yang namanya dapat dijumpai di setiap bagian buku ini, baik sebagai

nara sumber, pendukung dana, pemberi fasilitas, pewawancara, penulis feature, penulis

komentar, penulis Kata Pengantar, perancang sampul, penyemangat maupun

pencetakannya.

Khusus kepada penulis feature, saya ucapkan banyak terimakasih atas kepercayaan yang

diberikan untuk membongkar pasang: titik, koma, awalan, akhiran dan bangunan kalimat

tulisannya tanpa mengurangi sedikitpun makna yang dikandungnya.

Sampai saat sekarang LKK belum meminta dan mendapat dukungan dari pemerintah,

petinggi negara, partai politik, dan orang kaya, untuk merealisasi programnya. LKK

percaya, siapapun yang merasa tidak ikut menistakan rakyat, akan tergerak hatinya untuk

bergabung dengan LKK dalam melanjutkan pekerjaannya. Mari terus melangkah.

Salam hangat,

Putu Oka Sukanta

[email protected]

MEMADU INSPIRASI DI PALU

(Catatan Nurhasanah, seorang pendamping)

Nurhasanah, lahir di Jakarta, tahun 1975, sekarang aktif di Gerakan Rakyat Peduli (GRP)

HAM, Yayasan Dian Rakyat Indonesia (YDRI), freelance Project BASICS-CIDA Canada,

additional admin SIPS-CIDA Canada sekarang tinggal di Manado, Sulut. email :

[email protected]

Page 9: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

9

Dalam kebingungan, akhirnya menemukan jalan.

Setujukah teman-teman, dengan pernyataan:

Sejarah, sepahit apapun itu harus diungkapkan.

Diturunkan dari generasi ke generasi tanpa dikurang juga ditambah, tidak demi kepentingan apapun tapi untuk

sebuah pembelajaran, bahwa pasti akan ada yang dipetik dari sebuah peristiwa.

Bagaimana kami, generasi muda, bisa menjelaskan kepada dunia luar tentang suatu peristiwa yang

terjadi pada bangsa kami sendiri dengan versi yang berbeda-beda. Hanya karena kami mendapat

cerita dari kakek kami masing-masing yang kebetulan berada pada pihak yang berseberangan.

Lalu bagaimana dengan nasib saya dan teman-teman lain yang bukan berasal dari keluarga pejuang?

Kasihan?!

Kakek kami orang biasa, yang tidak punya keberanian menyatakan pendapat. Akibatnya kami tidak

pernah didongengkan tentang peristiwa-peristwa sejarah yang mereka alami. Jangan salahkan kami

jika kami tidak peduli akan suatu peristiwa penting dalam sejarah bangsa atau bahkan tidak tahu.

Karena yang berkepentingan dalam hal ini, pemerintah sendiri, tidak yakin akan sejarah yang terjadi

pada masa lalu, seperti peristiwa Gerakan Tiga puluh September 1965 (G/30.S. tahun 1965.), dengan

tuduhan PKI sebagai dalangnya.

Banyak hari besar nasional bangsa Indonesia yang setiap tahun kita peringati, yang paling besar dan

meriah adalah hari Kemerdekaan. Saya mau mempertanyakan kepada generasi yang lebih muda:

“tanggal berapa? Ayo, kalau tidak tahu jangan jadi orang Indonesia.” Mereka menjawab benar . ”…ya

benar 17 Agustus. Bukan 4 Juli ya.”

Ada hari Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober. “Kenapa disebut Sumpah Pemuda…? Tanya sama

guru sejarah pasti dijawab dengan antusias ataupun baca di buku sejarah pasti ada.

Hari Pahlawan, 10 November ini juga bisa dicari di buku sejarah dari tingkat SD sampai SMA

1 Oktober, hari apa ya..?!!!

Iseng saya tanya keponakan, yang duduk di bangku SMP kelas 2. “ Put, 1 Oktober diperingati sebagai

hari apa ya..?”

Dengan ringan dia menjawab,”Ngga tahu…”

“Kalau hari KESAKTIAN PANCASILA tanggal berapa…?” saya tanya lagi

Page 10: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

10

“Ngga tahu..” sambil tersenyum

“Put, 1 Oktober itu hari Kesaktian Pancasila..”

“Oohh…” cukup hanya sampai disitu jawabnya.

Apalagi kalau saya tanya “Kenapa dibilang hari kesaktian pancasila… ?”, pasti tambah bingung dia.

Tapi itu sangat saya maklumi, dia bersekolah baru di SMP. Tetapi seorang teman dari Kendari

Sulawesi Tenggara menemukan kasus kalau mahasiswa di semester dua tidak tahu tentang peristiwa

65. Saya kira keadaan seperti itu tidak hanya terjadi di Kendari, itu bisa terjadi di semua daerah.

Coba cari di buku sejarah SD sampai SMA cetakan 5 tahun terakhir. Kalian tidak akan mendapatkan

keterangan yang jelas tentang hari bersejarah itu. Kejadian apa yang melatarbelakangi sehingga

Pancasila dikatakan sakti.

Lalu saya buka buku PKn (Pendidikan Kewarganegaraan) kelas 2 SMP, karena memang

tidak ada mata pelajaran khusus tentang sejarah.

Saya menemukannya dengan sub judul “Arti Penting Sikap Positif Terhadap Pancasila

dalam Kehidupan”.

Pengantarnya seperti ini:

Penting untuk kita mengembangkan sikap positif terhadap Pancasila dalam kehiudpan sehari-

hari.Upaya menggantikan ideologi Pancasila ditandai dengan berbagai pemberontakan dan gerakan-

gerakan sosial lainnya.

Pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia)

PKI adalah partai politik yang berusaha menggantikan ideologi pancasila dengan komunisme.

Pemberontakan PKI dilakukan dua kali dalam sejarah Indonesia merdeka. Pertama dilakukan tahun

1948 yang terjadi di Madiun dan kedua pada tahun 1965. Yang dikenal dengan G-30-S/PKI. Kedua

pemberontakan tersebut dapat diatasi oleh pemerintah. Akan tetapi G-30-S/PKI merupakan peristiwa

yang tragis dalam sejarah Indonesia karena menimbulkan korban yang sangat besar dan menyebabkan

terjadinya perubahan politik Indonesia dari Orde Lama ke Orde Baru.

Page 11: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

11

Tidak sedikitpun membicarakan tentang hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober, tapi anehnya

ada gambar monumen Pancasila Sakti sebagai simbol dari Kesaktian Pancasila pada

halaman itu.

Tapi coba pertanyaan itu kita lontarkan pada saat Orde Baru masih berkuasa, akan terjawab

dengan jelas apa dan mengapa bisa lahir hari “Kesaktian Pancasila”. Lengkap dengan buku

dan film rekaan yang menggambarkan peristiwa pada saat itu. Film tersebut ditayangkan

setiap malam tgl 30 September. Film wajib ditonton oleh seluruh masyarakat. Lalu kenapa

pemerintah sekarang menjadi gamang untuk melanjutkan cerita versi orde baru, kalau

memang itu benar-benar terjadi dan bukti sejarah mendukungnya.

Tetapi kalau memang ada versi lain dan perlu diluruskan, kenapa tidak segera dilakukan.

Bukan dengan cara “pura-pura” lupa dan berharap rakyatnya juga lupa seperti sekarang ini.

Bahkan pelajaran sejarah tidak lagi penting untuk dipelajari. Kalah penting dengan pelajaran

Matematika dan Bahasa Inggris.

Berbekal dari pengalaman iseng saya yang bertanya kepada keponakan terkait pelajaran

sejarah, saya pun tergelitik untuk berdiskusi dengan 3 orang teman yang generasinya

berbeda. Mereka adalah mahasiswa, dan penggiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Saya mencari tahu pandangan mereka tentang sejarah.

Apakah perlu belajar sejarah.?

Semuanya menjawab perlu, karena masa sekarang tidak terlepas dari perjuangan masa lalu.

Atau dari sejarah kita bisa tahu mana yang bisa dicontoh dan harus dipelajari untuk

mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Bisa bercermin dari sikap para pahlawan yang

rela berkorban nyawa demi kemerdekaan.

Hanya saja faktanya tidak mendukung, karena umumnya mereka tidak tertarik untuk

mempelajari sejarah. Anehnya, alasannya hampir sama, sejarah adalah pelajaran yang

membosankan dan tidak menarik. Saya juga demikian.

Tahu tidak tahun 1965 ada peristiwa apa?

Jawabannya berbeda-beda. Dua orang mengatakan tidak tahu, satu orang lagi bilang

Permesta, Linggarjati

Page 12: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

12

Tanggal 1 Oktober, diperingati sebagai hari apa? (pertanyaan yang sama, yang saya ajukan

kepada keponakan saya yang baru kelas 2 SMP)

“Hari pahlawan.”

“Hari pendidikan”

“Hari Sumpah Pemuda.”

Ternyata Pancasila tidak sakti di mata mereka.

Ada juga sih teman yang tahu tentang peristiwa tahun 65. Awalnya dia juga tidak tahu

sebelum bertemu langsung dengan para saksi sejarah di tahun itu. Tapi belum banyak

membawa virus ke teman-teman lain.

Sampai di sini saya menjadi semakin limbung.

DARI SULAWESI UTARA BERLABUH DI PALU

Pengalaman ini saya tulis untuk teman-teman yang mau peduli dengan sejarah masa lalu, khususnya

buat teman-teman diskusi di komunitas.

Tanggal 6-10 November 2012, saya berkesempatan mendampingi Opa-Oma dari Sulawesi

Utara ke Palu Sulawesi Tengah untuk mengikuti kegiatan TEMU KORBAN/PENYINTAS

TRAGEDI 65/66 REGION SULAWESI. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Solidaritas

Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Palu Sulawesi Tengah, Kontras Jakarta, Lembaga

Kreatifitas Kemanusiaan (LKK) Jakarta, Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran

(KKPK) Jakarta.

Menempuh perjalanan darat selama kurang lebih 30 jam tidak mengurangi semangat mereka

untuk bertemu teman senasib dan seperjuangan. Rombongan kami berjumlah delapan

orang, yang tertua dan yang paling semangat namanya Opa Pioh, usianya 84 tahun.

Selama perjalanan beliau selalu menyanyikan lagu-lagu doa, lagu-lagu nasional dan

bergurau bersama Opa-Oma yang lain. Tidak terlihat sedikitpun rasa lelah, meskipun

perjalanan kami sesungguhnya tidak nyaman sama sekali, karena kami harus berdesakan

dalam mobil. Sementara saya yang muda, tidak setangguh beliau-beliau.

Page 13: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

13

Apa itu Tragedi 65/66?

Peristiwanya sudah 47 tahun yang lalu, banyak orang yang sudah lupa atau berusaha untuk

lupa demi harapan bisa menjalani hidup yang lebih baik ke depan. Tapi tidak buat mereka

yang memiliki jiwa pejuang, buat mereka ini adalah perjuangan sampai mati selagi tuntutan

mereka belum terpenuhi. Perjuangan ini menjadi sedikit berat ketika ditentang atau tidak

didukung oleh keluarga seperti anak dan cucu, karena pertimbangan status atau kondisi

perekonomian yang sudah mulai membaik.

Tahukah kalian apa yang mereka perjuangkan….?!!!

Bukan materi, meskipun itu seharusnya memang mereka dapatkan karena mereka semua

telah dimiskinkan.

Lalu apa…?!!!

Mereka hanya menuntut permintaan maaf dan rehabilitasi nama baik !!!!

Meskipun KOMNAS HAM sudah mengeluarkan laporan resmi pada tanggal 9 Juli 2012

bahwa pada tahun 65/66 telah terjadi pelanggaran HAM berat, dan merekomendasikan

untuk ditindak lanjuti. Tidak secara otomatis tuntutan itu bisa terpenuhi, perjuangan masih

panjang.

Karenanya kami di sini, sekelompok anak muda di seberang pulau Jawa tepatnya Sulawesi,

mencoba untuk melawan lupa itu. Sesuai dengan karakter daerah kami masing-masing

tentunya. Makassar (Sulawesi Selatan), Kendari, Buton/Bau-bau (Sulawesi Tenggara), Palu

Sulawesi Tengah, Manado (Sulawesi Utara). Seperti juga yang sudah dilakukan oleh teman-

teman di Jakarta, Jawa dan Bali.

Bahkan teman-teman SKP HAM Palu sudah menunjukkan hasil dari usaha kerasnya, di

mana pemerintah setempat sudah mengakui bahwa memang ada yang salah di masa itu.

Tindakan nyata yang diambil oleh Walikota Palu, Bapak H. Rusdy Mastura, adalah meminta

maaf secara terbuka kepada para penyintas tragedi 65/66.

Perjuangan mereka bukan tanpa hambatan, tekanan dan ancaman sudah menjadi hal biasa.

Hingga dituduh sebagai PKI gaya baru, yang perlu diwaspadai oleh pihak berwenang. Salut

Page 14: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

14

buat teman-teman di Palu, yang akhirnya menjadi doping semangat buat teman-teman yang

sedang berjuang pada titik yang sama.

Lain lagi keunikan teman-teman muda dari Kendari. Mereka adalah generasi kedua dari

penyintas tragedi 65/66 tapi sekaligus menjadi pendamping untuk mereka sendiri. Pada

titik ini mereka bangga menjadi anak “ET” (Eks Tapol), semua itu tidaklah lepas dari peran

orangtua yang tidak pernah menutupi sejarah hidup mereka, sekaligus memberikan

pemahaman bahwa mereka berbeda dari orang lain. Jangan terlalu berharap untuk bisa

mengabdi pada Negara dengan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), karena masih banyak

pekerjaan lain yang bisa menjadi pilihan.

Hingga lahirlah seorang Mahardian Revolusi (menurut yang punya nama artinya cahaya

yang selalu menerangi dan selalu berbuat perubahan). Hebat sekali ayahmu anak seorang

“ET”, yang telah menamatkan jenjang pendidikan S1-nya di bidang Hukum Tata Negara.

Saat ini aktivitasnya magang di LBH Kendari.

Skripsinya pun berkaitan dengan situasi korban 65/66, berjudul “Tinjauan Yuridis

Terhadap Penetapan Hak Pensiun PNS yang Dikenakan Skorsing Pemberhentian

Sementara Paska Peristiwa 65”.

Saya benar-benar kagum sama dia, usianya jauh lebih muda dari saya tapi pengetahuan

sejarahnya hebat. (“duh Dian…, kamu bikin saya tertarik belajar sejarah lagi”). Dian tidak

sendiri, ada Resma dan Hary Wisastra (Heri) yang optimis dan punya semangat terus

berjuang untuk mengembalikan nama baik keluarga.

Saat ini hubungan sosial mereka sangat baik dengan lingkungan sekitar, dulu memang ada

sedikit perlakuan yang tidak mengenakkan. Seperti pada saat kecil mereka bersekolah,

masyarakat mengatakan bahwa percuma mereka bersekolah tidak akan menjadi pegawai.

Alhasil mereka akan protes kepada orangtua masing-masing kenapa seperti itu (cerita Hary

Wisastra alias Heri).

Lain dulu lain sekarang. Saat ini mereka bukan lagi korban tapi penyintas. Bersama

mahasiswa-mahasiswa yang sudah mulai banyak tertarik tentang peristiwa 65, mereka

sering mengadakan diskusi-diskusi.

Page 15: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

15

Begitu juga secara ekonomi mereka sangat mandiri, contohnya Harry. Saat ini dia sedang

membangun usaha yang bekerjasama dengan instansi pertanian, yakni penangkaran bibit

pohon durian. Usaha ini sudah berjalan satu tahun dengan jumlah bibit 10.000 pohon. Bibit

ini akan didistribusikan ke kelompok-kelompok tani ataupun individu.

Lokasinya ada di Nanga-nanga sekitar 10 KM dari kota Kendari (Nanga-nanga adalah

tempat istimewa. Ada 48 KK yang tinggal di sana dan semuanya adalah keluarga eks

tapol).Setelah kegiatan di Palu, mereka kedatangan tamu dari Prancis (teman dari YPKP

Jakarta) yang tertarik dengan Nanga-nanga. Selama 6 hari dia tinggal di Nanga-nanga,

melihat langsung aktivitas masyarakat.

“Hidup Nanga-nanga !” (kalau datang ke Kendari jangan lupa berkunjung ke Nanga-nanga)

Buton/Bau-bau, teman-teman di sana juga sudah melakukan pendampingan terhadap para

penyintas tragedi 65/66. Hasil yang sudah dicapai saat ini adalah pernyataan pemerintah

setempat yang mencabut status Bau-bau sebagai Basis PKI, atau dengan kata lain Bau-bau

bukan basis PKI.

Sulawesi Utara, saat ini memang belum sampai pada tingkatan pemerintah seperti yang

sudah dicapai teman-teman di Palu. Kami hanya melakukan pendampingan ketika ada

kasus diskriminasi terhadap penyintas tragedi 65/66.

Seperti penolakan keluarga eks tapol tidak boleh mengikuti bursa pencalonan “Hukum Tua”

(Kepala Desa), berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) yang penjabarannya juga tidak jelas.

Sementara masyarakat setempat mendukung sepenuhnya pencalonan beliau. Alhasil bisa

lolos administrasi asal memakai nama anak.

Hasil akhir anaknya terpilih menjadi “Hukum Tua” tapi yang bekerja adalah bapaknya.

Artinya stigmatisasi eks tapol tidak lagi berlaku di masyarakat, ketika sudah terjadi interaksi

yang sangat baik. Pada dasarnya pada tingkat peraturan pemerintah juga tidak bermasalah,

hanya saja masih bisa dipolitisasi oleh kandidat lain yang menjadi lawan politik dalam bursa

pemilihan.

Organisasi keagamaan di Sulut sangat berperan dalam hal solidaritas antar penyintas,

misalnya mereka mempunyai Dana Kedukaan dan Kesehatan. Perekonomian mereka juga

Page 16: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

16

sudah mulai membaik dengan menjadi petani cengkeh dan kelapa untuk diolah menjadi

kopra.

Bergaul dan bercerita dengan mereka secara intens selama 4 hari 5 malam, membuat saya

banyak berpikir dan sedikit iri dengan mereka. Mereka benar-benar pemenang, atas semua

hal yang tidak menyenangkan dari semua yang mereka alami. Saat ini, buat mereka itu

menjadi cerita yang tidak lagi menyedihkan, menyakitkan, tapi tidak sedikitpun rasa

dendam. Tidak ada lagi air mata ketika seorang bapak bercerita, bagaimana beliau

diperlakukan selama dalam penjara 14 tahun bahkan 3 tahun pertama istri dan 3 orang

anaknya ikut ditahan. Bukan mereka yang menangis tapi kami yang mendengar cerita

mereka.

Saya yang jelas-jelas tidak bersinggungan secara langsung dengan tragedi yang mereka

alami karena saya bukan korban tragedi, saya bukan anak atau cucu korban (usia mereka

antara 70 – 84 tahun). Tapi sesungguhnya saya juga korban, korban dari jalan cerita sejarah

yang terpaksa saya anut karena waktu itu tidak ada pilihan. Saya bersyukur bisa mendengar

cerita mereka langsung bukan dari membaca.

Dua malam saya tidur dengan Ibu Naina, usianya 71th, datang dari Buton (Baubau)

Sulawesi Tenggara. Beliau bercerita bagaimana awal hingga akhir kisah sedihnya, dengan

gaya khas daerah. Saya sangat suka mendengar gaya bicara beliau. Hangat, keibu-ibuan dan

sederhana. Lucu, pokoknya wajahnya menyejukkan.

Dulu beliau itu seorang guru, memang pernah ditawarkan masuk ke organisasi perempuan

tapi beliau menolak karena sibuk mengajar dan sedang melanjutkan sekolah. Tapi entah

mengapa pada tahun 65 itu, beliau langsung dituduh sebagai bendahara GERWANI. Beliau

tetap menolak dan memang ketika ditanyakan kepada ketua GERWANI setempat, beliau

tidak masuk. Beliau memang tidak dipenjarakan tapi dikenakan wajib lapor padahal jelas-

jelas tidak ada hubungannya. Hukuman yang berat justru beliau terima dari lingkungan

sekitarnya, beliau tidak jadi menikah karena tunangannya tidak mau ikut menanggung

stigma itu.

Pada akhirnya beliau menikah tapi seiring dengan berjalannya waktu ketika suaminya

mendapat pekerjaan, justru beliau ditinggal. Karena stigma yang disandang beliau bisa

mengancam pekerjaan suaminya, sementara mereka sudah dikarunia 4 orang anak yang

masih kecil-kecil. Di sinilah beliau memulai perjuangannya. Demi untuk menghidupi dan

Page 17: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

17

menyekolahkan anaknya, beliau menjual makanan di pinggir jalan dan di pasar bahkan

sampai ke Maluku membawa anaknya yang bungsu meninggalkan 3 orang anaknya di

rumah. Karena sejak beliau dikenakan wajib lapor, beliau diberhentikan menjadi guru dan

gaji yang dijanjikan dibayarkan setengah tidak pernah beliau dapatkan. Saat ini anak

pertama beliau sudah sarjana dan sudah 3 kali mencoba mendaftar PNS tidak diterima

karena sudah ditandai warna merah. Anak keduanya S2 bahasa Inggris dan mengajar di

sekolah swasta. Semua itu beliau ceritakan sambil tertawa, sambil mengenang masa itu. Saya

hanya bisa menatap beliau, dan sedikit tersenyum. Menimpali cerita beliau dengan

pertanyaan-pertanyaan yang terus muncul dalam pikiran saya.

Lain lagi cerita dari Makassar, Kak Andi Baso begitu saya panggil beliau. Teman sekamar

sebelum dan setelah saya menemani Bu Naina. Entah kenapa juga saya merasa klik saja

ketika bertemu beliau (dan terbukti sampai sekarang saya menjadi begitu akrab dengan

keluarganya, ketika satu waktu saya menyambangi beliau). Beliau rutin metelpon saya,

hanya untuk menanyakan kabar. Mungkin karena usia kami yang tidak jauh terpaut, beliau

suka saya jadi adiknya.

Ayahnya seorang tentara yang membantu orang yang dituduh PKI. Pada akhirnya dia yang

dituduh PKI dan dipenjarakan. Yang lebih menyakitkan sebenarnya setelah dipenjara,

semua hartanya diambil oleh adik kandungnya. Waktu itu kak Andi masih kecil, jadi semua

hartanya dititipkan untuk dikelola dan dijaga oleh pamannya. Semua surat-surat

diserahkan, tapi akhirnya diklaim milik pribadinya.

Akhirnya ibu dan adik-adiknya harus ke luar dari rumah yang ditinggali. Selanjutnya

mereka harus bekerja untuk mencari nafkah, dengan berjualan makanan yang dibuat

ibunya. Mereka tidak putus asa dan menyerah, semua mereka jalani dengan kuat. Pada

akhirnya sekarang beliau sudah menjadi seorang pengacara.

Banyak pelajaran yang saya dapat selama saya tinggal dengan mereka, kurang lebih 40

orang kakek nenek dari daerah dan budaya yang berbeda terasa menjadi sebuah keluarga

besar. Lagu-lagu nasional menjadi pembuka dalam setiap sesi acara kami. Begitu bangga

mereka menyanyikannya, dengan segenap hati. Membayangkan sewaktu mereka berada di

tahun sebelum tahun 65. Karena setelah itu mereka tidak lagi menjadi orang yang merdeka,

mereka terikat oleh tali yang tak berwujud.

Page 18: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

18

Pelajaran lainnya.

Tahukah kalian, mereka itu semua orang-orang hebat, kalau cuma bahasa Inggris dan

Belanda sih lewat. Mereka seniman, penyanyi, penulis, ahli pengobatan tradisional. Mereka

juga sangat menghargai waktu, selalu tepat waktu, kecuali kami pendamping yang selalu

telat. Mereka selalu lebih semangat dibanding kami yang muda.

Dengan tangan dan kaki gemetar karena usia, mereka terus bernyanyi. Saya bersyukur

berada di tengah-tengah mereka. Karena di situ saya menyadari betapa lagu-lagu itu

sebenarnya punya makna yang sangat dalam bagi yang menciptanya. Seharusnya sebuah

lagu bisa mengobarkan semangat dan menumbuhkan kebanggaan, tetapi itu tidak kita

dapatkan ketika bernyanyi waktu di sekolah dulu.

Mendengar mereka bernyanyi, sungguh hati saya bergetar, saya menangis, tidak bisa

dibayangkan dan tidak bisa diceritakan hanya bisa dirasakan.

Untuk bisa merasakan, kalian harus bergabung dengan kami.

Eit..sebelum bergabung, kalian harus jawab satu pertanyaan

“Apa alasan kalian mau bergabung?!!!”

“Karena kasihan atau karena ingin membantu memperjuangkan hak kami…?”

“Kalau karena kasihan, pergi saja kalian jauh-jauh, kami tidak perlu dikasihani. Kalian justru

menjadi beban perjuangan kami…”

Itu kata Pak Putu Oka. Buat saya, salah satu inisiasi yang sangat berkesan.

Saya bukan tipe orang yang menerima satu statement tanpa ada perdebatan. Pada satu

kesempatan coffee break, saya mendekati Pak Putu dengan perasaan sedikit tersinggung

dengan pernyataannya itu.

Saya bertanya, “Pak Putu…soal kasihan tadi, maksudnya apa Pak…?”

“Apa bedanya kasihan dengan empati ?”

Page 19: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

19

Dengan gaya santainya, beliau menjawab, “begini, kalau kasihan, kamu memandang kami

ini kaum dhuafa, miskin yang perlu disantuni, ”

Saya ngga nyangka jawabannya seperti itu. Lalu saya tanya lagi, “Tapi…ga salah juga kan

Pak…kalau ada yang awalnya karena kasihan…?

“Ya ga salah…tapi biasanya dia akan merasa terbebani, kemudian mulai mengeluh dan

menyebarkan virus negatif…itu yang saya bilang, kalian akan membebani perjuangan

kami….”

Dalam hati saya berkata, ”awalnya saya memang merasa kasihan, tapi bukan dalam konteks

karena dhuafa atau miskin sehingga harus disantuni. Lebih karena melihat usia, yang

menurut saya ada keterbatasan fisik dan tenaga, tapi kalau menurut Bapak salah, saya akan

coba rubah arah sudut pandang saya.”

Sesaat suasana menjadi kaku, saya sedikit takut melanjutkan percakapan.

Tiba-tiba beliau bersuara

“Hei, saya ini orang gila. Jadi jangan dengarkan orang gila ngomong.” sambil tertawa beliau

berlalu.

Agak berteriak saya menjawab, “Orang gila ga ada yang ngaku Pak…justru yang ngaku

waras, ternyata gila…”

Saya cuma bisa menggeleng, tersenyum sendiri dan bergumam “hmm…orangtua yang

nyentrik…”

“Sekali lagi terimakasih banyak Pak, saya suka gaya Bapak .”

Pagi itu hari kedua workshop atau hari ketiga kegiatan.

Acaranya mempresentasikan rencana selanjutnya yang sudah disusun kemarin. Saya baru

saja ke luar kamar, bersiap menuju ke ruang pertemuan. Tiba-tiba saya dipanggil Pak

Asman, bintang film kami dari Palu.

“Nur, sini…”

Page 20: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

20

“Iya, Pak…”

“Saya cuma mau bilang, kamu, mungkin sedikit lebih muda dari anak saya yang sama

posisinya seperti kamu sekarang sebagai pendamping. Tapi saya yakin kamu bisa, jangan

nyerah mendampingi mereka. Keberhasilan kami sampai saat ini memang panjang

perjalanannya.”

Sejenak saya terdiam, dan cuma bisa bilang, “Insya Allah Pak, mudah-mudahan saya bisa.”

Sesaat saya berpikir, mampukah saya ?

Saya merasa sedikit terbebani dengan tanggungjawab ini.

Sesi pertama workshop hari itu, lagi-lagi saya kena sentil Pak Putu terkait rasa terbebani

dengan tanggungjawab.

Sebenarnya, beliau tidak tahu tentang obrolan saya dengan Pak Asman tadi pagi.

Setelah mempresentasikan langkah apa yang akan saya lakukan, beliau hanya bertanya

dengan sedikit sinis (cuma perasaan saya):

“Mungkin dilakukan, berapa persen kemungkinannya, kalau tidak mungkin dan kamu

merasa terbebani, jangan kamu lakukan. Ini pekerjaan sukarela bukan karena terpaksa.”

Tiba-tiba saya tersadarkan.

Benar, kenapa saya harus terbebani.

Kalau saya tidak mampu melakukan itu, kenapa saya tidak melakukan sesuatu yang lain

yang mungkin bisa saya lakukan, walaupun itu cuma langkah kecil.

Perasaan saya menjadi ringan, sambil tersenyum sendiri saya bergumam “terimakasih Pak

Putu, sudah menyadarkan saya tanpa bapak sadari, saya coba dengan langkah kecil yang

saya bisa, yang penting berproses kan Pak ?”

Seperti yang bapak bilang, “bukan hasilnya yang penting tapi prosesnya jangan pernah

berhenti”

Page 21: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

21

Dengan segala keterbatasan pengalaman saya, dengan sekelumit keberanian yang saya

punya saya coba berbuat.

Beberapa hal yang akan dilakukan setelah kegiatan temu korban di Palu, di antaranya

adalah membuat buku “Memecah Pembisuan” edisi region Sulawesi. Di mana penulisnya

melibatkan para mahasiswa Universitas Tandulako (UNTAD) Sulawesi Tengah, para

pendamping di masing daerah seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi

Utara. Buku ini akan diluncurkan pada akhir tahun 2013.

Sementara delegasi Sulawesi Utara sekembalinya dari kegiatan “ Temu Korban/Penyintas

Tragedi 1965/66 Region Sulawesi” ini, Gerakan Rakyat Peduli Hak Asasi Manusia (GRP

HAM) di mana saya masuk di dalamnya sebagai wadah para penyintas tragedi 65/66

langsung berbenah diri untuk lebih memantapkan langkah ke depan. Fokus apa yang ingin

dicapai, baik untuk penguatan ke dalam maupun untuk mempublikasikan diri di luar dari

komunitas. Karena salah satu kendala adalah belum ada regenerasi atau generasi kedua

yang bisa diharapkan untuk melanjutkan perjuangan ini.

Bukan kami tidak peduli akan situasi perjuangan teman-teman di pusat tapi kami mencoba

untuk fokus penguatan di dalam. Di mana GRP HAM sudah melegalisasikan lembaga secara

hukum, kemudian membuat struktur sederhana di setiap Kabupaten/Kota. Antara lain

Minahasa, Minahasa Selatan (Minsel), Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Sangihe, Talaud

dan Manado.

Tujuannya untuk lebih mengkoordinir kegiatan, tidak harus terfokus di Provinsi (Manado),

sementara jarak cukup jauh. Seperti yang terjadi di Boroko Kab. Bolmut sekitar 4 jam

perjalanan dari Manado. Ada kasus Bupati Bolmut Drs. Hamdan Datunsolang MM yang

menyudutkan kandidat calon bupati dan wakil bupati lainnya dengan mengatakan tim

suksesnya adalah eks Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pernyataan ini disampaikan pada saat pelaksanaan apel Korpri yang diikuti ribuan pegawai

negeri sipil (PNS), di halaman kantor Bupati. Hal ini langsung direspon oleh ketua

perwakilan GRP HAM Bolmut, Arifin Bolota SPd. Kemudian membuat pengaduan ke

Komnas HAM untuk ditindaklanjuti. Tindakan ini juga didukung oleh Ketua Kerukunan

Pelajar Mahasiswa Indonesia Bolaang Mongondow Utara (KPMIB), Ketua Karang Taruna,

Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia, Ketua Relawan Sulut. Juga dimuat dalam media

cetak Swara Kita, halaman 15 hari Jum’at 19 April 2013.

Page 22: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

22

Jadi ketua perwakilan cukup berkoordinasi dengan perwakilan-perwakilan Kab/kota lain,

lewat telpon. Sehingga lebih cepat mengambil tindakan. Selain memang kami juga,

mengagendakan diskusi-diskusi reguler untuk tetap menjaga silaturahmi. Ke depan teman-

teman Yayasan Dian Rakyat Indonesia (YDRI) selaku pendamping akan membuat program

pelatihan sederhana terkait HAM dan kepemimpinan untuk teman-teman komunitas juga

akan melibatkan para generasi kedua atau ketiga dari penyintas tragedi 65/66.

Di Makassar, yang diwakili oleh Pak Anwar Naba. Generasi kedua yang sekaligus menjadi

pendamping. Beliau menyatakan bahwa akan fokus pada satu daerah yang bisa dijangkau,

setelah mendengar bagaimana awal perjuangan SKP HAM Palu dalam mendampingi para

penyintas. Selama ini dia merasa sangat kesulitan karena tidak fokus, sementara banyak

penyintas yang tidak berada pada satu wilayah.

Lain lagi Harry Wisastra dari Kendari, sebagai generasi kedua yang juga sebagai

pendamping. Dia tertarik dengan pemberdayaan secara ekonomi, dan pengetahuan akan

generasi muda. Misalnya saja dia ingin orang-orang yang tinggal di Nanga-nanga, yang

mayoritas eks-tapol harus mandiri khususnya dalam bidang pertanian. Di samping dia

berusaha sendiri, saat ini dia juga punya kelompok tani. Kemudian dia juga punya cita-cita

mendirikan perpustakaan umum di Nanga-nanga. Sekarang sudah mulai mengumpulkan

buku katanya.

Yah, itulah gambaran singkat perjuangan yang sedang kami lakukan. Untuk Sulawesi Utara

memang belum seberapa hasil yang kami capai, tapi kami coba terus untuk bergerak.

Tak lupa dan tak akan bosan saya mengajak teman-teman yang mau membaca tulisan ini,

untuk sama-sama belajar kembali atau setidaknya membuka diri untuk segala kemungkinan

sumber pengetahuan tentang sejarah atau apapun itu. Karena pengetahuan yang kita miliki

dan diyakini benar ternyata belum tentu benar 100 %.

Mulailah melakukan tindakan nyata sebagai bentuk kepedulian, untuk mencari tahu

kebenaran yang tersembunyi dan mungkin kebenaran yang sudah terkuak tapi tidak kita

hiraukan, terhadap sejarah yang disamarkan bahkan mungkin dilupakan.

Tidak perlu juga menjadi ahli sejarah, cukup tahu saja, terhadap suatu peristiwa yang

pernah terjadi sudah merupakan bentuk nyata kepedulian kita akan sejarah bangsa ini. Di

Page 23: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

23

era teknologi seperti sekarang ini, banyak informasi yang mudah kita dapat. Seperti

searching di mbah google, apapun pasti ada termasuk peristiwa 65.

Menurut saya ketidaktahuan kita, khususnya generasi muda sebenarnya disebabkan dua

faktor pendukung. Pertama seperti yang telah saya tulis di atas yaitu kegamangan

pemerintah dalam menentukan alur sejarah atau bisa juga dikatakan keengganan Negara

dalam meluruskan sejarah.

Kedua ketidak pedulian kita sendiri atau tidak ada rasa ingin tahu yang besar untuk

mengetahui akan sejarah bangsa, sebagai akibatnya, generasi muda sekarang dituduh tidak

punya jiwa Nasionalisme.

Anehnya lagi tuduhan itu justru datang dari para pendidik yang notabene bertugas untuk

menumbuhkan rasa nasionalisme. “Ayo dong ibu bapak guru, beritahu kami apa yang

terjadi sebenarnya, atau sepanjang pengetahuan ibu/bapak saja deh, biar kami tidak buta

sama sekali akan satu peristiwa sejarah bangsa kita.”

Dan jangan bilang generasi kami tidak punya jiwa nasionalisme, karena bukan generasi

kami yang sedang menggerogoti bangsa ini dengan KORUPSI, kami hanya sekedar

menikmati apa yang diberikan orangtua kami. Maaf yah…

Akhirnya saya hanya bisa mengingatkan, siapapun yang membaca tulisan ini.

“Apapun pendapat kita dulu, tidak ada salahnya kita mencari tahu sisi lain dari koin sejarah

yang kita yakini.”

Kami siap membantu Penyintas Tragedi 65/66**

Manado, awal 2013

Ahmad Bantam

Mengungkap Kebenaran, Menjadi Sahabat Korban “Saya ini orang Islam, saya tidak mau berbohong, tiga orang PKI itu sebenarnya bukan hilang, atau

lari kemana, tapi sudah dibunuh. Saya ini yang gali lubangnya.”

Page 24: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

24

Kalimat itu dengan lugas keluar dari mulut Ahmad Bantam, laki-laki berusia 83

tahun, pensiunan tentara dari Korem 132 Tadulako Palu. Suatu sore di bulan Maret setahun

yang lalu, saya menjambangi rumah pak Bantam, begitu ia kusapa, di Kelurahan Baiya

Kecamatan Tawaeli. Rumah pak Bantam dekat dengan kompleks perumahan Bea Cukai. Di

dalam kompleks perumahan itu terdapat sebuah masjid. Sudah beberapa tahun belakangan,

pak Bantam dipercayakan oleh warga sekitar menjadi imam di masjid tersebut. Selain

menjadi imam setiap sore setelah mengimami sholat ashar, pak Bantam mengajarkan

mengaji kepada anak-anak SD (Sekolah Dasar) di sekitar tempat tinggalnya. Sama seperti

sore itu ketika saya bertamu ke rumah pak Bantam, ia baru saja menutup AL-Quran, murid-

murid pengajiannya satu persatu baru saja pulang. Kedatangan saya yang tanpa

pemberitahuan sebelumnya mengagetkan pak Bantam. Ini kali pertama kami berkomunikasi

secara langsung. Sebelumnya saya dan pak Bantam pernah beberapa kali bertemu, dalam

agenda SKP-HAM (Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia), namun kami

belum pernah berbicara langsung.

“Bapak masih ingat saya?”, begitu saya memulai pembicaraan. “Oh, iya, ibu Ella

yang dari Komnas HAM toh, saya masih simpan itu saya punya pernyataan dulu.” Pak

Bantam ternyata sulit membedakan SKP-HAM dan Komnas HAM. Saya berusaha

menjelaskan kembali bahwa saya dari SKP-HAM, bukan Komnas HAM. Tahun 2008 kami

memang pernah bertemu di Komnas HAM. Dia menjadi salah satu saksi yang diambil

pernyataannya oleh tim penyidik projustisia Komnas HAM tentang pelanggaran HAM

tragedi kemanusiaan 1965/66 di Indonesia. Pak Bantam masuk dalam daftar orang-orang

yang di BAP( Berita Acara pemeriksaan) kala itu. Kesaksiannya diambil terkait peristiwa

hilangnya empat orang pimpinan partai dan ormas PKI di Sulawesi Tengah, empat puluhan

tahun yang lalu. Keempat korban penghilangan paksa itu adalah, Abdul Rahman Dg Maselo

(Sekretaris I CDB PKI), S. Chaeri Ruswanto (Sekretaris II CDB PKI), Zamrud (Ketua PKI

Kabupaten Donggala) dan Sunaryo (Ketua Pemuda Rakyat Sulawesi Tengah).

Mulai Bercerita

“Saya ini, sebenarnya kasihan sama itu istrinya Maselo, sudah lama saya simpan-

simpan ini rahasia, tentang nasibnya diorang tiga PKI itu. Saya ini orang Islam, saya tidak

mau berbohong, tiga orang PKI itu sebenarnya bukan hilang, atau lari ke mana, tapi sudah

Page 25: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

25

di bunuh. Saya ini yang gali lubangnya. “- Pak Bantam terdiam sejenak, kepalanya

tertunduk, ia menarik nafas panjang. Kedua tangannya naik ke atas pangkuannya. Saya

memilih ikut diam. Walaupun rahasia pak Bantam itu sebelumnya pernah saya dengar dari

Gagar Risman, anak Abd Rahman Dg Maselo. Saya tidak ingin mendahului pembicarannya.

Ini kesempatan saya mendengarkan langsung kronologi penghilangan empat orang korban

65, yang kabarnya telah dieksekusi tersebut.

Bantam melanjutkan ceritanya. “Waktu itu kalau tidak salah tahun 67 muda-muda.

Saya ini diperintahkan bajaga orang-orang PKI yang disuruh bakerja di Kalikoa itu. Dorang

ini ada ratusan orang, laki-laki semua. Diorang bapasang bronjong itu sepanjang sungai

Palu. Saya ini yang baatur diorang punya makanan, beras berapa, gula berapa, kopi, teh,

dengan ikan garam. Jadi saya yang baatur diorang punya uang belanja. Makan tidak makan

tahanan itu saya punya tanggung jawab.

Jadi waktu siang-siang itu, sudah mo masuk sore juga, Umar Said ini datang di

gudang makanan dekat Kalikoa itu. Saya sementara baator-ator di dalam. Dia datang

langsung bilang,- “pak Bantam, kasi naik pacul, tandu-tandu, linggis, sekop ke mobil.”- Jadi

saya ini tidak banyak bertanya langsung jalankan perintah naik ke oto. Di dalam oto itu

ternyata sudah ada dua orang saya punya teman, kopral Effendi dan kopral Mangadil.

Begitu saya naik, oto ini langsung berangkat ke arah Donggala. Umar Said yang bawa oto.

Kami tiga orang ini semua anak buahnya di bagian satu Korem 132 Tadulako.

Tidak berapa lama itu, oto berenti di antara Loli Vatusampu. Waktu itu masih

bahutan-hutan di situ, bulum banyak rumah seperti sekarang. Umar Said ini parkir oto di

pinggir jalan sablah kiri, karna di kanan laut. Baru dia suruh kitaorang turun, ikut dia

bajalan naik ka gunung-gunung itu. Sampe di atas gunung itu dia langsung perintah “gale di

sini”. Jadi kitaorang langsung bagale, pake sekop tentara punya yang pendek itu. Gale gale

gale, banyak batu. Pindah lagi, gale lagi. Ada dua lubang itu, satu tidak dalam karena

banyak batu, hanya sekitar satu meter begitu. Satu lagi yang sedikit dalam, lewat satu meter.

Bulum habis kita ini bagale lubang, Umar Said langsung pamit. Dia bilang dia mau ka

Donggala, mau beli tali. Jadi kitaorang disuruh menyusul kesana, menumpang saja oto yang

lewat.”

Sebelum pak Bantam melanjutkan ceritanya, saya mencoba bertanya apakah dia

maupun temannya mengetahui untuk apa lubang itu digali? Apakah Umar Said

Page 26: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

26

memerintahkan berapa lubang yang harus digali? Dan apakah ada orang lain yang melihat

mereka menggali lubang itu? Jawab Bantam; “Waktu bagale itu dalam hati kitaorang sudah

pikir, berarti ada orang yang mo ditanam di sini, cuman tidak tahu siapa ini. Kapten Umar

Said ini tidak bilang juga berapa lubang yang mau digale. Jadi kitorang gale-gale saja. Hanya

ada dua lubang itu kitaorang gale. Setengah mati bagale karena banyak batu. Baru

sementara bagale itu ada orang baintip dari rumpu-rumpu. Saya batariak, we siapa

itu?.Orang itu langsung lari. Dalam hati saya langsung pikir lagi, orang sudah tau ini lubang

ini.”

Setelah merasa tugas selesai, Bantam dan dua orang kawannya langsung mencegat

mobil truk yang kebetulan lewat. Cukup lama juga mereka menunggu, karena ditahun 60an

itu kendaraan di Palu masih langka. Dengan menumpang truk mereka menuju penjara

Donggala.Tempat Umar Said meminta mereka untuk datang. Bantam melanjutkan kisahnya;

“bagitu sampe di penjara Donggala saya langsung toki pintu penjara. Saya yang melapor

karena saya yang tertua di antara kitaorang tiga tentara ini. Tok tok tok, yang buka pintu

bukan orang penjara tapi Kapten Umar Said. Lapor pak, tugas selesai. Begitu saya bilang.

Umar Said langsung jawab “tunggu di luar” jadi kitaorang sudah baduduk di kursi depan

penjara itu.”

Karena penasaran, saya mencoba menyela cerita pak Bantam dengan pertanyaan;

“apakah Bapak tahu untuk apa datang ke penjara Donggala? Dan jika untuk menjemput

tahanan apakah Bapak sudah tahu siapa saja atau berapa orang tahanan yang akan

diambil?” Untuk kedua pertanyaan itu Bantam menjawab singkat “saya tidak tahu”.

“Tidak lama bagitu, tabuka pintu penjara”, lanjut Bantam. “Keluar pertama ini

Maselo, tangannya diikat tali nilon putih. Baru kedua, Ruswanto, dia tinggi hitam, teman

dekatnya Maselo. Baru ketiga Sunaryo, dia dari pemuda, di Maesa itu rumahnya. Rumahnya

itu bakudekat dengan kantor PKI dulu. Tiga-tiga tangannya diorang ini sudah taikat semua,

bakusambung-sambung. Jadi kasihan setengah mati diorang keluar dari pintu, karena kalo

jatuh satu, jatuh semua. Begitu juga waktu naik ke oto, cuma dipegang diorang baru bisa

naik. Habis tiga orang tahanan ini keluar, tidak lama keluar lagi satu orang pake pakean

preman. Baju putih lengan pendek, calana hitam, tidak pake tutup kepala. Orangnya hitam,

tinggi besar, rambut guntingan tentara. Saya belum pernah lihat orang itu, cuma saya pikir

jangan-jangan ini jendral dari Jakarta. Dia bawa senjata jenis sten yang pendek begini.”

Page 27: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

27

Bantam mencontohkan ukuran senjata itu dengan menyodorkan tangan kanannya, sambil

tangan kirinya memberi batas pada siku. Jika diukur kira-kira 40 centimeter.

“Orang pakean preman itu duduk di muka dengan Umar Said, saya dengan tiga

orang tahanan dan dua orang teman tentara di belakang. Baru jalan ini oto, Maselo ini saya

liat mukanya pucat, gelisah. Dia tanya, “pak mau dibawa kemana kami ini?” saya jawab mo

ke Manado, tapi mau ke Palu dulu. Dia tanya lagi, “tidak apa-apa ini pak?”, terpaksa saya

jawab “tidak.” Padahal saya sudah khawatir juga ini, jangan-jangan diorang mau dibunuh.

Tapi saya kasi tenang dia.”

Atas jawaban Bantam bahwa para tahanan akan dibawa ke Manado, saya kembali bertanya

apakah sebelumnya dia sudah mengetahui bahwa ada tahanan yang akan dipindahkan ke

penjara Manado?, atau jawaban itu hanyalah karangannya sendiri untuk menenangkan

Maselo. Menurut Bantam; sebelum meninggalkan penjara Donggala, dia mendengarkan

percakapan antara Umar Said dan seorang sipir penjara yang bertanya, para tahanan hendak

dibawa kemana. Jawaban Umar Said, para tahanan di bon ke Palu, setelah itu akan dikirim

ke Manado. Jawaban dari percakapan itulah yang dikutip Bantam.

Mobil melaju meninggalkan penjara Donggala, perjalanan kembali berbalik menuju

ke arah kota Palu. Tiba di dekat tempat lubang digali mobil berhenti. Kecurigaan Bantam

semakin kuat. Lanjut kisahnya; “ Sampe di tempat dekat lubang digale tadi itu, Umar Said

kasi berenti oto. Kita semua disuruh turun. Umar Said bajalan duluan naik ke gunung tadi

itu, yang ada lubang itu. Di belakangnya bajalan itu orang pakean preman, baru tiga orang

tahanan, baru dua orang tentara. Saya ini disuruh Umar Said bajaga oto. Jadi saya baduduk

di rumput itu dekat oto. Tidak lama itu, barangkali cuma berapa menit, saya dengar bunyi

senjata ketak ketak ketak. Ini bunyi senjata sten. Saya langsung begini,…” Bantam diam

sejenak mengelus dadanya, sejenak kemudian dia melanjutkan, “kasihan so mati dorang

Maselo ini. Selang beberapa menit kemudian, Umar Said turun dari gunung, bersama satu

orang berpakaian preman dan dua orang tentara, tanpa tiga orang tahanan. Mobil kembali

melaju menuju Palu.

Timbul Kecurigaan

Tiba kembali di gudang peralatan di Kalikoa, Bantam menurunkan alat-alat yang tadi

dibawa untuk menggali lubang. Di depan gudang menunggu Rafin Pariuwa, seorang

Page 28: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

28

tahanan yang dipercayakan memegang kunci gudang peralatan dan gudang makanan.

Seperti biasa setiap sore setelah selesai melaksanakan kerja paksa membendung kali Palu,

Rafin bertugas mengembalikan peralatan kerja ke gudang. Sore itu di depan gudang dia

mendapati sepeda milik pak Bantam diparkir tanpa dikunci. Karena khawatir sepeda itu

akan curi orang, Rafin memutuskan untuk menjaga sepeda sampai pak Bantam tiba. Hampir

sejam menunggu, dari arah Donggala mobil jeep melaju dengan kencang berhenti tepat di

depan gudang. Dari dalam mobil Rafin melihat Bantam dan dua orang rekannya seperti

basah kuyup. Padahal cuaca di Palu sedang cerah. Bantam turun mengeluarkan peralatan

dari mobil dan meminta Rafin membawanya ke dalam gudang. Dari peralatan itu Rafin

melihat ada bercak darah di salah satu pacul. Bantam tidak mengetahui apa yang disaksikan

Rafin. Ia menyuruh Rafin segera pulang ke penjara Maesa. Jarak antara gudang peralatan

dengan penjara Maesa kurang lebih satu kilometer. Rafin melaluinya dengan berjalan kaki.

Sepanjang perjalanan menuju penjara Maesa Rafin menaruh curiga pada pak Bantam

beserta dua orang rekannya yang basah kuyup dan adanya bercak darah segar di pacul. Tiba

di penjara Rafin langsung menceritakan kecurigaannya itu pada teman-teman sesama Tapol

(tahanan politik), ia berasumsi telah terjadi sesuatu dengan teman-teman mereka yang

berada di penjara Donggala. Saat itu ada tujuh orang Tapol yang dipindahkan ke penjara

Donggala. Mereka merupakan pimpinan partai dan ormas PKI Sulawesi Tengah.

Di dalam penjara para Tapol berembuk dan menghasilkan kesepakatan harus ada

yang mengecek keadaan Tapol di penjara Donggala. Keesokan harinya Rafin mengatur

strategi memasukan nama Subagyono adik dari Sunaryo untuk mengikuti kerja paksa.

Tugas Subagyono mencuri waktu sebelum bekerja untuk menghubungi ibunya, juga istri

Sunaryo agar segera berangkat ke penjara Donggala mengecek keberadaan kawan mereka di

sana. Misi itu berhasil, esok harinya terdengar kabar dari istri Sunaryo bahwa tiga orang

Tapol, Abd Rahman Dg Maselo, S. Chaeri Ruswanto dan Sunaryo telah di bon dari penjara

Donggala oleh kapten Umar Said.

Hari-hari sesudah itu, Rafin dan kawan-kawannya tidak lagi mendengar kabar

keberadaan tiga orang penting di tubuh PKI itu. Bahkan sebulan kemudian satu lagi teman

mereka bernama Zamrud ikut hilang dan tidak pernah kembali sampai saat ini.

Page 29: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

29

Hilangnya Zamrud

Tentang hilangnya Zamrud baik Rafin maupun Bantam sama-sama mengetahui

peristiwa itu. Sebelum mendengarkan kesaksian Bantam, saya sudah beberapa kali

mendengar cerita tentang peristiwa itu dari Rafin Pariuwa. Berikut ini versi dari masing-

masing mereka tentang hilangnya Zamrud. Menurut Rafin, tanggal 30 Mei 1967 hilangnya

tiga orang Tapol dari penjara Donggala. Itu hari di mana dia melihat ada bercak darah di

pacul yang diturunkan Bantam dari mobil. Sebulan setelah itu, siang hari di tempat kerja

paksa di Kalikoa, Zamrud datang diantar oleh seorang tentara bernama kopral Nopo.

Kedatangan Zamrud ke Kalikoa kala itu, kembali menimbulkan kecurigaan pada Rafin.

Sehari-hari Zamrud tidak tercatat dalam daftar Tapol yang bekerja membendung kali Palu

di Kalikoa. Dia ditugaskan menjaga mess Korem di Jalan Hasanudin Palu. Ini kali pertama

Zamrud datang ke Kalikoa. Kopral Nopo meminta Rafin untuk memberi Zamrud makan

siang. Tidak lama setelah itu, datang Kapten Umar Said. Dia menanyakan kepada Rafin,

apakah mengetahui rumah Laohe. Rafin segera menjawab tidak tahu, dia heran mengapa

Umar Said bertanya tentang Laohe, sebab Laohe adalah orang yang pernah memimpin demo

pembubaran dan penggayangan PKI di Palu. Sebenarnya Rafin mengetahui tempat rumah

Laohe, tapi dia memilih berbohong untuk mencari aman.

Tanpa diduga-duga, Zamrud berdiri dari duduknya setelah makan dan menjawab

bahwa ia mengetahui alamat dimaksud. Segera Umar Said memerintahkan Zamrud untuk

mengikutinya. Sampai malam hari, Zamrud tidak juga kembali ke penjara Maesa. Didera

rasa khawatir Rafin dan teman-temannya berinisiatif melaporkan keberadaan Zamrud pada

petugas penjara. Zamrud dicari sampai ke kantor CPM. Dari CPM mereka mendapatkan

kabar, bahwa Zamrud berada dalam pengawasan Korem. Beberapa hari kemudian tersiar

kabar ada tangan mayat ditemukan di desa Jono Oge. Sekitar 30 kilometer ke arah selatan

kota Palu. Jono Oge salah satu desa di Kabupaten Sigi saat ini. Kabar yang simpang siur

tentang penemuan potongan tangan mayat itu. Terlanjur diyakini masyarakat sebagai mayat

orang PKI. Seakan menjadi pembenaran dengan kabar angin itu, Zamrud hilang dan tidak

pernah kembali hingga saat ini.

Lain Rafin, lain pula Bantam. Menurut Bantam setelah eksekusi tiga Tapol di gunung

Vatusampu, Umar Said menyuruh mereka tutup mulut. Beberapa hari sesudah itu, ia

kembali mendapat perintah dari Umar Said agar membawa Zamrud ke kantor Korem.

Page 30: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

30

Bantam tidak mengindahkan perintah itu, berikut kisahnya; “Habis eksekusi di Vatusampu

itu saya ini tidak tenang, saya pikir-pikir turus kasian ini orang tiga dibunuh itu. Saya tidak

tahu rupanya Rafin, guru dari Kayumalue ini ada liat darah di pacul waktu itu. Makanya

diorang taruh curiga sudah. Tapi saya cuma badiam saja. Karena saya tidak pigi antar ini

Zamrud ke Korem, marah Kapten Umar Said sama saya. Barangkali ada 10 kali

diperintahkan itu, saya tetap tidak mau bawa dia. Saya khawatir ini Zamrud mau jadi

sasaran juga. Akhirnya saya kasi jawaban sama Umar Said, bahwa saya ini punya tugas

penting bajaga ratusan orang-orang PKI yang disuruh kerja itu. Kalo ada satu orang yang

hilang, pasti saya yang pertanggungjawabkan. Padahal itu alasan saja. Orang PKI di Palu

sini baik-baik semua, tidak ada diorang yang berontak. Apa yang disuruh semua diorang

kerjakan. Biasa kalau ada diorang punya istri-istri datang bajenguk, bawa makanan, telur,

kue, pisang itu, saya kasih ketemu diorang. Ada rumah petani yang kosong di dekat situ,

saya suruh masuk diorang di sana. Asalkan yang penting tidak ada suara, tidak merokok,

tidak ada asap. Baru saya jaga diorang, kalau ketahuan Umar Said bahaya itu.”

“Karena marah Umar Said ini dia ancam mau kasi turun saya punya pangkat dari

dua strep kuning jadi satu strep kuning. Saya tetap badiam, tidak mau saya antar ini

Zamrud. Akhirnya sore-sore itu saya dapat perintah bawa ini Zamrud dari Kalikoa ke toko

Matahari. Di dekat toko itu sudah ada oto batunggu. Terpaksa saya antar ini Zamrud, sampe

di oto itu saya tidak lihat juga siapa yang ada di dalam. Hanya ada suara mari masuk pak.

Bagitu naik ini Zamrud oto langsung bajalan. Saya juga langsung pulang ulang ke Kalikoa.

Tidak banyak yang diketahui Bantam tentang kronologi hilangnya Zamrud, karena

sehari-harinya Zamrud tidak dipekerjakan di Kalikoa Bantam pun tidak lagi mengetahui

kabar Zamrud. Namun ia pun mendengar kabar angin tentang penemuan tangan mayat PKI

di Jono Oge beberapa hari setelah itu. Saya mencoba mengkonfirmasi pak Bantam, apakah

sebagai orang yang bertugas pada bagian satu Korem 132 Tadulako dia mengetahui siapa

yang memerintahkan Umar Said mengeksekusi tiga orang Tapol hingga hilangnya Zamrud.

Dan apakah Komandan Korem saat itu, M. Yasin mengetahui tentang skenario penghilangan

empat tapol tersebut. Dengan lugas Bantam menjawab; “ tentu saja Komandan tahu,

bagaimana tidak, karena dia punya oto yang dipakai Umar Said waktu baambil tiga orang

PKI di Donggala. Oto itu juga yang bawa Zamrud dari toko Matahari. Kalau soal siapa yang

perintah, sudah habis peristiwa itu baru saya dengar-dengar dari teman kalau ada kawat

(telegram) dari Kodam di Manado supaya empat orang ini dikasi hilang. Kawat itu masuk

Page 31: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

31

sama Komandan, dari Komandan tentunya baru ke Umar Said sebagai kepala bagian satu

Korem.”

Tentang hilangnya empat orang tapol PKI di Palu sedikit menimbulkan tanda tanya.

Mengapa hanya empat orang tersebut yang disasar? Jika semua pimpinan partai dan ormas

PKI berbahaya mengapa hanya tiga orang yang dijemput dari penjara Donggala, sementara

empat orang lainnya dibiarkan hingga bebas. Dari kesaksian Rafin Pariuwa dan beberapa

korban lainnya, keempat kawan mereka itu pernah melarikan diri ke Parigi pada oktober

1965. Mereka berjalan kaki melintasi gunung Poboya selama dua hari dua malam. Tujuan

mereka ke Parigi untuk mencari bantuan keamanan dari kepala Polisi Parigi. Setibanya di

Parigi, Komandan Korem 132 Tadulako M. Yasin memerintahkan Mayor Jamber Wardana

menjemput keempat orang tersebut untuk diamankan di Palu. Sebelum terjadi peristiwa

G30S, para pimpinan PKI di Palu cukup dekat dengan M. Yasin.

Mengungkap kebenaran

Puluhan tahun Bantam menyimpan rahasia besar itu. Awal tahun 70an ia memasuki

usia pensiun. Walaupun sudah pensiun Bantam tidak ingin pulang ke kampung

halamannya di Ambon. Dia memilih tetap tinggal di Palu. Mengisi hari-hari pensiunnya kala

itu Bantam bekerja sebagai securiti di CV. Kemenangan. Sebuah perusahaan yang bergerak

dalam bidang kontraktor bangunan. Bantam bersama istri dan keempat anaknya menyewa

sebuah rumah di Jalan Cumi-cumi, persis di depan teluk Palu. Memasuki tahun 1975,

Sulawesi Tengah kembali digemparkan dengan isu gerakan PKI Gaya Baru. Bantam tidak

mengetahui persis apa yang dimaksud PKI Gaya Baru. Hingga suatu hari di tahun 75,

rumahnya didatangi oleh dua orang tentara muda. Kedua orang juniornya itu membawa

surat pemanggilan agar Bantam datang ke kantor Korem menjadi saksi atas penangkapan

Umar Said. Penangkapan Umar Said karena diindikasi terlibat PKI Gaya Baru. Sontak

Bantam kaget dengan kabar itu. Dia tidak menyangka mantan komandannya terlibat PKI.

Keesokan hari, Bantam langsung menuju kantor Korem memenuhi surat panggilan.

Setiba di sana Bantam bertemu dengan dua orang kawannya yang masih bertugas, Kopral

Efendi dan Kopral Mangadil. Ternyata mereka bertiga dipanggil oleh tim pemeriksa untuk

memberikan kesaksian atas laporan Umar Said tentang eksekusi tiga orang Tapol dari

penjara Donggala. Kisah Bantam selanjutnya; “Sebenarnya masalah ini tidak akan terungkap

Page 32: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

32

kalau bukan bodoknya Umar Said. Kenapa saya bilang dia bodok? Karena di dalam

laporannya itu dia tulis kalau tiga orang tahanan ini diambil dari penjara Donggala mau ka

Palu. Sampe di tengah jalan diorang minta turun bakincing. Waktu dilepas mau bakincing

itu tiga orang ini lari, baru Ahmad Bantam yang tembak. Dia kambing hitamkan saya.

Katanya saya yang tembak. Baru dia tidak tulis dilaporannya itu, habis ditembak sama

Bantam ini tiga orang PKI ini mati atau lari. Kalau mati di mana kuburnya? Kalau lari, lari ke

mana?.Nah inilah kenapa saya bilang Umar Said itu bodok sekali.”

“Saya sudah nekat waktu itu, kita mau bongkar ini rahasia. Saya ajak Efendi dengan

Mangadil kita lawan laporannya Umar Said. Waktu itu kitaorang tiga diperiksa baku

sebelah ruangan dengan ruang pemeriksaannya Umar Said. Jadi sepertinya dia dengar-

dengar ini kitaorang punya kesaksian. Saya bilang sama tim pemeriksa dari Makassar dan

Jakarta itu. Saya ini sudah tua, saya orang Islam, saya seorang tentara, saya tidak mau

berbohong. Tiga orang PKI itu bukan saya yang tembak baru lari. Tapi sudah dibunuh di

Vatusampu. Saya dengan dua orang teman ini yang gali lubang. Habis saya bicara, Kopral

Efendi dengan Kopral Mangadil lagi yang ditanya, diorang juga bilang yang sama. Orang

tiga itu yang tembak bukan Ahmad Bantam tapi orang suruhan Umar Said yang pake

pakean preman. Habis ditembak langsung dikubur di situ. Karena hanya ada dua lubang,

jadi ada satu lubang yang sedikit besar dan dalam dikubur dua orang di situ. Satu lubang

lagi yang pendek satu orang di situ. Diorang ditembak di depan lubang, tapi ada yang tidak

langsung jatuh ke lubang, makanya ditarik pake pacul itu. Sudah itu dia, ada darah Rafin

lihat di pacul waktu itu.”

Setelah memberikan kesaksiannya pada tim pemeriksa Bantam merasa lega. Dia

mendengar kabar Umar Said dipenjara. Namun tidak sampai setahun Umar Said pun

dibebaskan. Konon kabarnya Umar Said tidak terbukti terlibat PKI Gaya Baru. Setelah

dibebaskan semua gaji dan tunjangannya dibayarkan. Setelah itu ia lalu pulang ke Madura.

Sebelum kembali ke Madura, Umar Said pernah mengirim pesan agar Bantam datang ke

rumahnya. Orang suruhan Umar Said berpesan bahwa permintaan Umar Said bertemu

Bantam untuk menyerahkan beberapa perabot rumah tangganya. Namun Bantam enggan

menemui Umar Said. Dalam hati dia menaruh khawatir jangan sampai Umar Said dendam

padanya atas kesaksiannya itu.

Page 33: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

33

Waktu bergulir, kehidupan Bantam berjalan di Palu. Tahun 80an ia berhasil membeli

tanah di Kelurahan Baiya Kecamatan Tawaeli. Di tempat baru itu Batam aktif dalam

berbagai kegiatan kemasyarakatan. Karena pengetahuan agamanya yang kuat, ia diangkat

sebagai pegawai syara sekaligus imam masjid kompleks perumahan Bea Cukai. Ia juga

kerap diundang untuk membaca doa dalam acara-acara kematian maupun pesta-pesta di

lingkungan tempat tinggalnya. Hingga Orde Baru tumbang dan reformasi bergulir, Bantam

semakin terusik. Lewat pemberitaan-pemberitaan di layar televisi ia menyaksikan peristiwa

masa lalu kembali disoal. Bantam terpanggil untuk menemui keluarga korban. Sudah lama

dia menimang-nimang apa dampak jika rahasia eksekusi tiga orang PKI itu diberitahukan

kepada keluarga korban. Apakah tidak ada ancaman dari Korem kapadanya karena

membongkar rahasia Negara, dan apakah keluarga korban akan marah padanya.

Cukup lama Bantam merenung, dalam setiap sholatnya ia selalu memohon

penguatan dari Allah SWT. Ia ingin mengungkapkan rahasia itu sebelum ia meninggal

dunia. Satu hal yang paling diinginkannya keluarga korban mengetahui kebenaran peristiwa

itu. Kebulatan hati Bantam, dituntaskannya ditahun 2007. Ia tahu siapa orang yang tepat

untuk dibeberkan rahasia itu. Sudah lama Bantam mengetahui bahwa salah satu adik

perempuan Abd Rahman Dg Maselo berjualan di pasar Tawaeli. Rahman Maselo memang

berasal dari Tawaeli. Orang tua dan keluarga besarnya tinggal di Kelurahan Panau. Hanya

berjarak beberapa kilometer dari kediaman Bantam.

Pagi itu tepat hari pasar, Bantam mengayun langkahnya dengan pasti menuju pasar

Tawaeli. Pasar Tawaeli hanya dibuka setiap hari selasa dan jumat. Di pasar itu Andi Adi

adik Rahman Maselo berjualan nasi kuning, kopi, teh dan berbagai kue-kue. Ini bukan kali

pertama Bantam berbelanja di warung Andi Adi. Dia bahkan sering berbincang-bincang

dengan Maid Halim suami Andi Adi di warung itu. Namun mereka tidak pernah membuka

persoalan tentang hilangnya para Tapol 65 dari penjara Donggala. Bantam pun memulai

pembicaraan; saya kasi tahu kasian ini Maid, karena saya tahu dia bakukawin dengan

adiknya Maselo ini. Saya bilang sama diorang, sebenarnya empat orang itu bukan hilang

atau lari kemana, tapi sudah dibunuh oleh Umar Said. Mo hamah, kasian taget diorang. Saya

bilang saya berani bikin kesaksian, sebelum saya mati saya mau ketemu istri dengan

anaknya Maselo. Kasihan dorang bacari selama ini.

Mendengar penuturan Bantam, Maid dan Andi Adi terperanjat. Desas desus

kematian kawan sekaligus keluarga mereka terjawab sudah. Walau tersontak kaget mereka

Page 34: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

34

tidak menyalahkan Bantam karena mereka yakin Bantam hanya menjalankan perintah Umar

Said. Semasa menjadi tapol pun Maid menganggap Bantam satu-satunya tentara yang baik

hati. Tidak pernah berlaku kasar apalagi marah kepada Tapol. Maid salah satu Tapol yang

juga dipekerjakan membendung sungai Palu di Kalikoa. Setelah pertemuan di warung itu,

Maid mengunjungi Mariam Labonu istri Rahman Maselo untuk menyampaikan kabar

kematian suaminya. Kabar itu juga disampaikan kepada anak-anak Mariam, Gagar Risman,

Lina dan Gamal. Dari Gagar Risman pula saya mendengar kabar itu. Suatu hari dia

mengundang saya ke rumahnya di Jalan Yojokodi Palu. Walaupun tidak aktif di SKP-HAM

Gagar Risman selalu mendukung perkembangan organisasi korban ini. Gagar juga sudah

bertemu secara langsung dengan Bantam. Dia bahkan merekam kesaksian Bantam dalam

handponenya. Secara khusus Gagar berterima kasih kepada pak Bantam karena telah berani

mengungkap peristiwa itu, sekaligus menjawab teka teki penghilangan paksa ayahnya.

Menjadi Sahabat Korban

Pak Bantam hanya satu dari sekian banyak pelaku pembantaian orang-orang PKI

yang terpanggil mengungkap kebenaran di Negara ini. Kesadaran pak Bantam penting

untuk mendapatkan apresiasi. Sejak pertama kali berani mengungkap kebenaran pada

keluarga korban, pak Bantam sudah sering kami libatkan dalam agenda kegiatan korban di

SKP-HAM. Jika tidak dalam kondisi sakit pak Bantam selalu menyempatkan hadir setiap

kali diundang. Beberapa pertemuan korban yang pernah dihadiri pak Bantam di antaranya,

diskusi membahas nasib korban pelanggaran HAM tragedi 1965/66 dan menghadiri BAP

bersama 23 orang korban 65 di kantor perwakilan Komnas HAM Sulteng, diskusi publik

membahas RUU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) di kantor Kanwil Depkumham

Sulteng, launcing buku Memecah Pembisuan di kantor walikota Palu.

Kedatangan saya mengunjunginya kali ini, kembali ingin mengajak pak Bantam

untuk dua agenda rekonsiliasi di Palu. Bersama beberapa orang korban kami mengundang

pak Bantam untuk napak tilas 17 titik tempat kerja paksa di Palu. Juga untuk menghadiri

acara dialog terbuka “Stop Pelanggaran HAM”. Kedua kegiatan itu adalah rangkaian

agenda peringatan hari Hak Atas Kebenaran dan Martabat Korban Pelanggaran HAM Berat,

dilaksanakan pada 13 dan 24 Maret 2012.

Page 35: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

35

Dengan senang hati pak Bantam menyanggupi undanganku. Dia bahkan tidak

berkeberatan saat saya memintanya memberikan kesaksian di depan publik pada acara

dialog terbuka yang akan digelar tiga minggu lagi. Di acara itu kami mempersilahkan pak

Bantam dan Rafin Pariuwa untuk sama-sama memberikan kesaksian tentang tragedi 65 di

Palu. Saat berdiri menyampaikan kesaksiannya kedua orang tua itu saling berpelukan,

bahkan meneteskan air mata sedih bercampur bahagia. Menurut Rafin, Bantam bukan hanya

tentara tapi juga sahabat baginya, dari semenjak menjadi tapol hingga saat ini. Bantam

menambahkan Rafin dan ratusan orang-orang PKI di Palu, semua orang baik-baik. Selama

ditugaskan menjaga tahanan PKI dia tidak pernah kesulitan. PKI bukan pembunuh, mereka

orang baik semua. Termasuk empat orang pimpinannya yang sudah dibunuh. Kesaksian

Bantam dan Rafin ini didengarkan oleh puluhan undangan dari pelajar, mahasiswa,

wartawan, seniman, aktivis LSM, aktivis Partai, anggota dewan hingga walikota Palu.

Setelah acara rekonsiliasi yang perankan Bantam dan Rafin, Walikota Palu H. Rusdi Mastura

tanpa diduga mengungkapan kebenaran bahwa dia pernah disuruh menangkap orang-

orang PKI awal tahun 1966. Saat itu usianya baru 15 tahun, sebagai pelajar SMA yang aktif

di pramuka ia dan teman-temannya mendapat perintah ikut menangkap orang-orang PKI

dan menjaga rumah tahanan di jalan Matahari dan jalan Sedap Malam. Mengikuti jejak pak

Bantam, Rusdi Mastura meminta maaf kepada para korban di Palu. Ia bahkan berjanji akan

membuat program pemulihan bagi korban. Termasuk merehabilitasi nama baik korban yang

selama bertahun-tahun distigma sebagai penjahat, tidak bertuhan dan lain sebagainya.

Untuk menghindari kesalahpahaman, Rusdi menegaskan bahwa dia bukan meminta maaf

kepada PKI, tetapi kepada orang-orang yang menjadi korban pada peristiwa 65, terutama

warga masyarakat kota Palu.

Kini, diusianya yang kian senja memasuki 84 tahun, Ahmad Bantam tetap bersahaja.

Ia merasa telah menuntaskan tugasnya mengemban amanah rahasia besar. Kepada siapapun

yang ingin mendengarkan kesaksiannya pak Bantam dengan sudi mengulang kembali

ceritanya, tanpa lelah. Termasuk saat saya datang berkali-kali untuk melengkapi wawancara

bersama beberapa orang yang berbeda-beda. Termasuk saat saya membawa kontributor

majalah Tempo yang meminta keterangannya untuk ditulis dalam edisi khusus Algojo 65.

“Saya bersedia, biar mau dibawa kemana, ke Palu, ke Jakarta atau kemana saja, supaya

semua orang tahu peristiwa yang sesungguhnya”. Itu kalimat terakhir yang diucapkan pak

Bantam menghantarkanku di pintu pagarnya. Matahari hampir terbenam, dari masjid suara

adzan memanggil umat Islam menunaikan sholat maghrib. Pak Bantam telah siap dengan

Page 36: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

36

kopiah hitam, baju koko putih dan sarung kotak-kotak putih biru menuju masjid.

Langkahnya sedikit pelan menyangga tubuhnya yang mulai membungkuk. Dari kejauhan

saya menatap pak Bantam masuk ke masjid, ia siap memimpin jamaah sholat maghrib. Di

luar masjid sesungguhnya ia juga telah memimpin bagi para pelaku untuk berani

mengungkap kebenaran demi kebaikan bangsa ini kedepan. ***

Pewawancara dan penulis: Nurlaela AK Lamasitudju.

Andi Sutra

KAU SIKSA BAPAKKU, TANPA NURANI

Aku tidak pernah menangisi masa kecil hingga dewasa yang harus berjuang

membantu Mamakku berjualan agar bisa terus bersekolah. Karena pada akhirnya aku

berhasil menjadi seseorang yang bisa berdiri dan berjalan tegak dengan percaya diri. Tidak

ada yang bisa membuatku menangisi kehidupan yang harus kujalani, seberat apapun itu.

Semua kujalani dengan keyakinan bahwa satu hari nanti aku harus berhasil, sehingga anak-

anakku tidak mengalami hidup sepertiku.

Tapi tidak jika aku mengingat Bapak, atau ada yang menanyakan kisah hidup Bapak dulu

kenapa beliau dipenjarakan.

Apa yang kalian bayangkan tentang Bapakku? Apakah kalian pikir Bapakku penjahat maka

pantas dipenjarakan? Sehingga aku pun pantas menderita sebagai anak penjahat? Tapi

Bapak bukan penjahat, puluhan tahun beliau mengabdi sebagai anggota TNI Angkatan

Darat. Perjuangannya bahkan dimulai sejak sebelum Indonesia merdeka. Tapi apa yang dia

terima?

Selama 13 tahun lamanya Bapak ditahan, bukan hanya di satu tempat tapi terus berpindah-

pindah. Empat tahun dipindah dari satu Kodim ke Kodim yang lain, sejak ditangkap tahun

1974 di Selayar. Tahun 1975 dibawa ke Kodim Bulukumba, tahun 1976 di Korem Bone.

Beberapa bulan di Bone ada informasi mau dibebaskan maka dikirim lagi ke Bulukumba.

Di sini pun menunggu beberapa bulan sudah masuk tahun 1977 dikirim kembali ke Selayar

di masukkan ke Kodim lagi. Ditunggu dari minggu ke bulan, bulan ke tahun janji

dibebaskan tak kunjung menjadi kenyataan. Sampai akhirnya tahun 1978, datang kabar yang

menyatakan bahwa Bapak mau dikirim ke Makassar tepatnya di Moncongloe.

Page 37: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

37

Waktu Bapak ditangkap usianya sudah 65 tahun, usiaku baru 10 tahun. Tidak akan pernah

aku lupa kejadian malam itu, satu malam di bulan Ramadhan. Seperti biasa setelah berbuka

puasa kami bersiap untuk sholat Taraweh, Bapak sedang duduk di ruang tamu sambil

minum teh. Tiba-tiba terdengar ribut-ribut di luar rumah, Mamak bilang “Kenapa ramai

sekali di luar, ada orang meninggalkah? Masa mau dimakamkan malam-malam, gelap tidak

ada lampu pula?” Belum sempat aku jawab, beliau sudah menjawabnya sendiri. Karena

memang jalan di depan rumahku adalah jalan menuju ke pemakaman umum.

Bapak ke luar untuk memeriksa, ada beberapa orang yang berlari-lari di jalan depan rumah.

Lalu beliau bertanya, ” Ada apa, ada apa?” Tidak ada yang menjawab. Beliau pikir mungkin

ada pencuri, lalu masuk kembali. Karena masih ramai, beliau ke luar lagi. Tiba-tiba ada cucu

kemenakan istilahnya di daerah kami, jadi bukan cucu kandungnya, berteriak-teriak sambil

berlari masuk ke dalam rumah, “Datok tolong aku, aku diborongi (dikeroyok)”. Bapak

mengikuti dia masuk ke dalam rumah, lalu beliau tanya,”Kenapa kau di borongi?”.

Dia bilang dia dituduh PKI, akhirnya Bapak suruh dia keluar. Di luar sudah banyak orang

yang berkumpul, sementara kami tidak berani keluar. Tiba-tiba salah satu dari mereka

memukul kening Bapak dengan tongkat yang sedang dipegangnya. Karena ditongkatnya

ada paku, keningnya tergores. Ketika Bapak usap dan lihat ada darah spontan beliau

menempeleng kepala orang itu.

Bapak bilang, “Aku ini ABRI, TNI...”

Langsung orang itu bilang, “Aku tidak takut sama ABRI, aku ini Bupati. Kamu melindungi

PKI”

“Kenapa ada Bupati ke luar? Biasanya kan bupati ada pesuruhnya, ada polisinya. Lagipula

aku tidak melindungi PKI, aku hanya melerai. Pastikan dulu perkaranya” jawab Bapak.

Bupati langsung pergi, kerumunanpun ikut bubar. Aku masih ingat nama Bupati waktu itu,

yaitu Andi Palijoi.

Mamaknya (nenekku) bilang,”Kenapa kau lawan, dia itu Bupati”.

Bapak jawab,” Dia itu bukan Bupati tapi anak-anak”.

Bapakpun masuk ke rumah. Tidak berapa lama datang mobil polisi yang biasa untuk

membawa tahanan mau ambil Bapak. Dijelaskan bahwa ada perintah untuk membawa

Bapak ke Kantor Polisi, masalahnya nanti diberitahukan di kantor. Lalu Bapak bilang,

“Tidak usah aku dinaikkan mobil itu, nanti aku pergi sendiri ke kantor polisi dan aku tidak

mungkin lari”. Jarak antara rumah dengan kantor polisi sekitar satu kilo meter, Bapak

datang dengan berjalan kaki.

Cerita lengkapnya aku tidak tahu tapi yang pasti setelah dari kantor polisi, Bapak langsung

di antar ke Kodim Selayar. Alasannya karena Bapak pensiunan ABRI, jadi diserahkan ke

Page 38: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

38

Kodim. Sampai di sana Bapak tidak diperbolehkan pulang. Bapak minta diijinkan pulang

untuk mengabarkan kepada keluarga, bahwa beliau harus menginap. Akhirnya Bapak

diantar oleh tentara, jarak Kodim ke rumah kurang lebih 750 meter.

Waktu itu kami memang cemas, pasti Bapak akan diperkarakan. Tapi karena Bapak juga

ABRI, kami percaya bisa selesai secepatnya. Yang aku pikirkan adalah di usianya yang

sudah memasuki masa pensiun, kenapa harus menjalani ini. Namun ternyata kasus Bapak

tidak pernah diselesaikan, setelah 3 bulan di Kodim, Bapak malah dipindahkan ke penjara

Selayar yang jaraknya kira-kira 800 meter dari rumah. Di tempat itu selama 2 bulan.

Kemudian dikembalikan ke Kodim lagi, dan ditahan di sana selama 2 bulan.

Masuk tahun 1975 aku tidak ingat bulannya Bapak ternyata dipindahkan ke Kodim

Bulukumba, di sana selama 5 bulan. Kami tidak tahu apa alasannya, bahkan kami tidak

diberitahu ketika Bapak dipindah. Jadi kami sempat kehilangan jejaknya, aku yang selalu

ikut dengan Mamak dibawa ke sana ke mari. Ke penjara, ke Kodim tidak ada pemberitahuan

apapun dan mereka juga tidak menjawab ketika kami tanya.

Dua hari kemudian akhirnya kami diberitahu kalau Bapak dikirim ke Bulukumba.

Kemudian dikirim lagi ke Korem Bone selama 4 bulan. Dari sini Bapak dikirim lagi ke

Selayar dan akhirnya dibolehkan pulang hanya dikenakan wajib lapor di Kodim Selayar

selama 4 bulan. Entah apa alasannya Bapak kembali ditahan di Kodim Selayar beberapa

bulan sampai akhirnya berakhir di Moncongloe seperti yang aku ceritakan di atas.

Setelah dipindah ke sana ke mari tanpa kejelasan hukum, akhirnya Bapak sampai di

Moncongloe. Usia Bapak waktu itu sudah sekitar 69 tahun. Usia yang tidak lagi produktif,

dan tidak ada manfaat yang bisa diambil dengan memenjarakan Bapak.

Aku lupa tahun pasti Bapak lahir, yang pasti pada tahun 1964 beliau pensiun usianya 55

tahun. Tidak bisa kubayangkan di usia tuanya itu dia harus bekerja di kebun. Di

Moncongloe, Mamak sudah ikut tinggal bersama Bapak. Setidaknya mereka bisa berkumpul

meskipun bukan di tempat yang mereka harapkan.

Tahun 1986 keluar dari Moncongloe. Dalam usianya yang sudah menginjak 77 tahun, Bapak

kembali ke Selayar, untuk mendapatkan haknya kembali yang diambil paksa oleh adik

kandungnya sendiri.

Tahun 1997, ibuku meninggal di usianya yang ke 65 tahun. Bapakku masih hidup dan sehat,

di usianya yang menginjak 104 tahun. Bapak tidak mau kuajak tinggal bersamaku, bahkan

sesekali beliau yang menjenguk kami. Tempat tinggal kami memang tidak terlalu jauh masih

di sama-sama di Kota Makassar. Apalagi sekarang ini, dalam kondisi aku yang sedang sakit.

Rumah Bapak berada di Jl. Angkasa 4 No. 23 Paikang Kecamatan Panakukang Kota

Page 39: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

39

Makassar Km 5. Jaraknya sekitar 1 KM dari rumahku dan tinggal sendiri tidak mau

ditemani.

Sampai saat ini jika teringat bagaimana Bapak dulu dipenjarakan tanpa sebab, tidak pernah

diperkarakan pula. Aku selalu tidak pernah bisa menahan air mataku, karena aku tidak bisa

berbuat apa-apa saat itu. Dulu itu ada istilah siapa yang membangkang berarti dia termasuk

PKI. Bapakku dibilang yang membangkang karena melawan pejabat.

Bapak memang tidak pernah disiksa secara fisik, tapi jelas secara bathin. Siksaan bathin di

usia yang seharusnya dilayani oleh keluarga, dan menikmati pensiun dengan tenang. Tidur

di tempat yang nyaman bukan di penjara atau di rumah bedeng seadanya.

Tiga belas tahun beliau harus menjalani itu semua, setelah bebas menyandang status eks

tapol golongan B. Malah Bapak masih mau dikirim ke Pulau Buru, tentu saja kami melawan.

Waktu itu aku juga sudah kuliah di Fakultas Hukum, jadi aku sudah ada bekal untuk

melawan. Aku tidak mau kejadian dulu terulang lagi, aku mau merawat Bapak dan Mamak.

Aku, Andi Sutra.

Andi Sutera, nama yang diberikan oleh kedua orangtuaku. Aku lahir di Selayar, 11 Nov

1964, Kecamatan Benteg Kabupaten Selayar Provinsi Sulawesi Selatan. Bapakku bernama Pat

Ta Gau dan Mamakku bernama Andi Mujenab. Aku anak bungsu dari lima bersaudara dan

perempuan satu-satunya. Kakak pertama laki-laki, pendidikan terakhir SMA sekarang

sudah meninggal. Kakak kedua, pendidikan terakhir SMA sekarang tinggal di perbatasan

Atambua. Kakak nomor 3, pendidikan terakhir SMA sekarang tinggal di Selayar. Kakak

keempat pendidikan terakhir SMA sekarang tinggal Kepulauan Pangkep.

Sebagai anak bungsu dan satu-satunya perempuan tentu saja aku diperlakukan istimewa,

baik oleh kakak-kakak maupun kedua orangtuaku. Meskipun Bapak sudah pensiun, tapi

kami punya beberapa tempat usaha yang dikontrakan. Lagipula semua keluarga Bapak

banyak yang tinggal di Selayar. Tanpa terasa akupun sudah harus masuk sekolah, tahun

1971 akhir aku masuk Sekolah Dasar (SD). Setiap hari berangkat ke sekolah berjalan kaki,

jaraknya juga tidak begitu jauh kurang lebih 100 meter. Pertama masuk tentu saja aku

diantar oleh Mamak, tapi akhirnya aku berani pergi sendiri.

Pakaian sekolahku juga sudah memakai seragam, selain putih merah aku ingat ada juga

seragam pramuka. Aku tumbuh sebagai anak yang periang, aku juga punya banyak teman.

Banyak permainan yang aku kuasai salah satunya adalah lompat tali.

Sampai akhirnya terjadi peristiwa itu, di mana Bapak ditangkap dan baru dibebaskan

setelah aku dewasa. Tahun 1974 menjadi tahun yang sangat berarti buatku. Di awal tahun

itu kakakku yang pertama sudah berangkat ke Bone untuk sekolah ABRI. Karena Bapak

Page 40: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

40

ditahan, akhirnya kedua kakakku yang lain juga dibawa oleh tante dari Mamak yang di

Bulukumba dan yang di Makassar. Tinggallah kami bertiga, kakak nomor empat, aku dan

Mamak.

Aku tidak tahu, kenapa masih ada saja orang yang dituduh PKI. Padahal peristiwanya

sudah lama berlalu hampir 10 tahun. Maksud baik juga tidak selalu berakhir baik, padahal

Bapak hanya mau melerai tapi malah dianggap melawan pejabat. Hingga akhirnya beliau

juga dituduh PKI. Waktu itu aku sendiri tidak mengerti apa itu PKI.

Setelah Bapak dipindahkan ke penjara, setiap terima uang pensiun kami mengantar

makanan untuk Bapak. Tapi waktu Bapak masih di Kodim hampir setiap hari aku datang

bersama teman-teman sekolah, bermain lompat tali di halaman Kodim. Nanti menjelang sore

aku baru pulang dan pamit ke Bapak. Penjaga-penjaganya juga tidak melarang aku masuk

untuk bertemu Bapak.

Dulu waktu di Rumah Tahanan Militer (RTM), ketika menjenguk Bapak ada sel-sel yang

diatasnya ada tulisan G30S/PKI. Lalu aku tanya sama penjaga yang mengantar, dia bilang

“oh itu Gula 30 Sendok”. Karena waktu itu juga aku masih kecil dan juga belum tahu, belum

belajar di sekolah aku terima saja informasi itu. Setelah aku SMP sudah mendapat pelajaran

sejarah, dan hal itu dipelajari, lalu aku tahu, G 30 S itu Gerakan 30 September.

Hidup kami seharusnya baik-baik tidak kurang satu apapun meskipun Bapak ditahan.

Kalau saja Bapak tidak mempercayakan semua surat-surat berharga terkait rumah dan

sebidang tanah serta 3 ekor ternak sapi kepada adik kandungnya. Maksudnya adalah untuk

berjaga-jaga kalau-kalau ada yang berniat jahat kepada kami. Karena Mamak tidak bisa

berbahasa Selayar.

Om berjanji akan menjaga kami, dia ibaratkan, kalau anaknya makan kami juga makan.

Bapakpun merasa tenang karena percaya adiknya akan menjaga keluarganya. Tapi apa yang

terjadi, seperti kisah dalam sinetron. Tidak berselang lama kami diusir, dipaksa ke luar dari

rumah. Dan benar-benar seperti sinetron jaman sekarang, hujan-hujan kami harus pergi.

Lalu kami pergi ke rumah kakak perempuan Bapak, menceritakan apa yang terjadi.

Kemudian Tante pergi ke rumah Om, dan menanyakan apa yang terjadi. Om bilang kalau

Bapak sudah berhutang sama dia, dan belum dibayar.

Tantepun tidak bisa berbuat apa-apa, kemudian kami mencoba merebut satu rumah petak

yang ada di deret paling ujung ruko dari 4 ruko yang ada. Kami tetap bertahan, meskipun

dipaksa. Mungkin dia sudah merasa cukup kamipun dibiarkan tinggal.

Page 41: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

41

Waktu kami datang membesuk Bapak, lalu Mamak menceritakan apa yang sudah terjadi.

Akhirnya Bapak hanya bisa bilang, biarkan saja dulu biar nanti dia yang selesaikan. Tapi

entah kapan Bapak bisa bebas.

Sejak itulah kami seolah-olah hidup dari nol, kami hanya bertahan dengan gaji pensiun

Bapak. Aku dan kakak mulai belajar berjualan makanan di sekolah, yang aku ambil dari

orang. Tentu saja tanpa sepengetahuan Mamak. Kakak yang ambil makanannya naik sepeda

nanti aku yang menitipkan di luar kelas-kelas, tidak boleh di dalam.

Aku bersyukur karena selama ini aku banyak teman, maka tidak susah meminta teman-

teman membantu, merekapun membantu dengan sendirinya. Aku titip ke setiap teman

dalam kelas di mana aku letakkan jualanku, nanti waktu keluar main mereka yang akan

mengumpulkan uangnya. Sebelum masuk mereka setor, sebagai upahnya mereka dapat satu

kue yang ukurannya lebih besar. Karena memang sudah dibuatkan khusus oleh si Pemilik

kue.

Sepulang sekolah aku singgah dulu menengok Bapak di Kodim, bermain lompat tali dengan

teman-teman. Setelah itu aku pamit mandi kemudian berangkat mengaji. Di tempat

pengajian aku juga berjualan, sebelum mulai. Makanannya diantar sama kakak, karena

sepulang sekolah dia langsung bekerja di Koh tempat pembuatan kue. Sebenarnya aku yang

suruh kakak untuk minta pekerjaan disana, tujuannya untuk belajar membuat sambal.

Karena terlalu banyak pesanan kebetulan mereka membutuhkan banyak tenaga, jadi

masuklah kakak bekerja.

Karena kami hanya berdua, hubunganku dengan kakak menjadi sangat akrab. Kemana-

mana kami selalu berdua, ke hutan mencari kayu kami juga berdua. Gayaku memang

tomboy, tidak suka bergaya perempuan.

Lama kelamaan akhirnya Mamak tahu kalau kami berjualan. Akhirnya aku mengusulkan

kenapa Mamak tidak membuat kue atau nasi santan saja lalu aku dan kakak yang akan

keliling. Daripada kami harus berjualan punya orang lain, Mamak bilang, “Apa kalian tidak

malu?”

“Kenapa harus malu”, jawabku.

Akhirnya Mamak khusus membuat nasi santan, lalu kita ambil es di orang Cina. Waktu itu

cuma dia yang punya alat untuk membuat es. Namanya es lilin. Ada beberapa termos

panjang kita ambil. Jadi aku yang jaga, nanti kakak yang pergi ambil es. Karena pabrik es

jaraknya agak jauh, dia pakai sepeda. Lalu dia taruh es, kemudian dia pergi lagi ambil

makanan “jalang kote” (pastel). Kadang kita bawa 10 tempat (keranjang kecil yang bisa

menampung 100 kue). Kakak yang bolak-balik ambil naik sepeda.

Page 42: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

42

Di Selayar, rumah kami kebetulan bertetangga dengan SMA Negeri Selayar cuma dibatasi

pagar kayu. Bahkan anak-anak sekolah parkir sepeda di rumah. Lalu aku pikir kenapa kami

tidak jualan, apa saja di rumah. Jual ubi dan pisang goreng, kalau perlu nasi dan ikan.

Setelah kami bicarakan bertiga akhirnya Mamak setuju untuk berjualan nasi, dan goreng-

gorengan. Modalnya dari hasil kami jualan sebelumnya, yang kami kumpulkan. Karena

kakak sudah tahu juga cara membuat lombok (sambal) hasil dia bekerja bantu-bantu di

tempat Koh yang buat makanan. Sementara jualan sore aku yang jaga di tempat mengaji,

sambil main lompat-lompat tali.

Sampai akhirnya Bapak dipindahkan ke Moncongloe Makassar pada tahun 1978, di sana

Mamak dan Kakak ikut. Dia sudah lulus SMP, sementara aku sebentar lagi tamat SD. Karena

tidak memungkinkan untuk melanjutkan sekolah kalau aku ikut Bapak, maka aku diambil

tante untuk melanjutkan sekolahku di Makassar. Nanti kalau libur baru aku ke Moncongloe.

Jarak dari Makasar ke Moncongloe itu sekitar dua jam, jalannya juga rusak belum lagi

banyak pos penjagaan yang harus dilewati agar tidak ada tahanan yang melarikan diri.

Pindah-pindah mengikuti suara hati.

Masa di Sekolah Menengah Pertama (SMP) aku rasakan paling kacau, aku sering pindah

sekolah karena aku pindah tempat tinggal. Tidak kurang dari 4 sekolah aku berpindah-

pindah. Pertama aku masuk di SMP PGRI di Makassar, tinggal dengan kakak sepupu.

Karena tinggal dengan saudara, kalau aku rasa kurang nyaman aku pindah ke saudara yang

lain. Kalau sekolahnya jauh aku pindah sekolah, seperti yang kedua aku pindah ke SMP

Negeri 6 Makassar. Kemudian aku pindah lagi ke SMP Negeri 8 Makassar.

Kepindahan sekolah aku urus sendiri, macam-macam alasan aku keluarkan. Alasan jauh

dari rumah karena sudah pindah, padahal tidak pindah. Nanti di rumah setelah sekolah

pindah alasannya karena sekolah jauh. Aku pamit dengan tante di tempat yang terakhir aku

tinggal. Aku bilang karena sekolah jauh, jadi cari tempat tinggal yang dekat sekolah. Setelah

itu tidak balik lagi.

Tapi ada juga pindah rumah, tapi tidak pindah sekolah. Seperti waktu aku ikut tante dari

Mamak, karena tidak punya anak dia suka kejam, suka marah-marah. Kalau sedang marah

dia suka memukul, jadi setiap hari aku was-was kalau-kalau ada salah. Dan aku takut sekali

kena pukul, jadi bagaimana caranya aku harus ke luar dari rumah. Alasanku adalah karena

aku pindah sekolah dan jaraknya jauh dari rumah, padahal aku tidak pindah.

Terakhir aku bersekolah di SMP Muhammadiyah dan lulus di sekolah ini. Waktu itu aku

diajak tinggal oleh sepupu yang orangtuanya sudah almarhum, mereka tinggal bersama 3

Page 43: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

43

orang. Waktu itu dia sudah kuliah di UNHAS ( Universitas Hasanudin) Aku berterimakasih

karena dipanggil untuk tinggal bersama mereka, tapi aku minta ijin dulu ke Bapak.

Bapak hanya bilang,”Terserah kamu, enaknya seperti apa. Karena Bapak juga tidak bisa

berbuat apa-apa selama tinggal di Moncongloe. Terserah kamu yang penting bisa jaga diri”.

Akhirnya aku tinggal di tempat sepupu , sampai akhir SMP tahun 1980.

Selama masa SMP aku sudah mulai berjualan, apa saja yang bisa aku jual. Seperti yang aku

lakukan waktu di masa SD dulu. Karena aku sadar bahwa aku harus mandiri dan tidak

boleh bergantung terus menerus. Biarlah aku numpang untuk tidur tapi makan aku harus

cari sendiri.

Karena sejak tahun 1979 uang pensiun Bapak tidak lagi diberikan, maka aku harus benar-

benar berpikir mencari uang untuk biaya sekolah. Meskipun aku sempat berpikir tidak akan

bisa melanjutkan sekolah. Waktu aku urus ke Ajendam (Ajudan Jendral Daerah Militer)

berkas Bapak katanya sudah hilang, tidak tahu kenapa bisa hilang.

Terus bersekolah sambil berjualan.

Meskipun sekolahku sering pindah-pindah aku bisa masuk SMAN 5 Makassar, masih

tinggal dengan sepupu Bapak yang guru dan sudah bekerja di Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan. Di SMA aku mulai berani berjualan barang-barang yang dibutuhkan teman-

teman seperti sepatu hitam dengan sistem kredit. Kegiatan itu aku lakukan sampai tamat

SMA tahun 1983.

Aku hanya menumpang rumah untuk tidur, aku membeli beras sendiri. Kalau aku kasih

beras mereka pasti tanya dapat beras dari mana? Lalu aku jawab, baru mendapat kiriman

dari Moncongloe.

Masa ini aku lewati dengan santai tidak lagi terbebani dengan hal-hal yang dulu aku alami

waktu masih SMP. Sekarang (masa SMA) aku juga sudah mulai berpikir dewasa, untuk

tidak membuat keputusan yang terburu-buru. Aku juga masih datang ke Moncongloe kalau

sedang liburan.

Setelah aku tamat SMA, aku masukkan kakakku sekolah di SMA 5 tempatku bersekolah.

Karena selama ini dia hanya tinggal di Moncongloe.

Tamat SMA aku tidak langsung kuliah, aku ikut kursus mengetik 10 jari selama 3 bulan.

Lalu aku melamar pekerjaan, diterima di perusahaan CV. Aneka Cipta Maju, sebuah

perusahaan yang menjual alat-alat kelistrikan dan juga developer. Oleh pimpinan aku

disarankan mengambil kursus Tata Buku, Bon A dan Bon B, kalau sekarang Akuntansi 3

bulan. Untuk menunjang pekerjaanku, aku juga disarankan lagi kursus Sekretaris 3 bulan.

Page 44: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

44

Semuanya aku ikuti dengan menyisihkan sebagian dari gajiku, karena buatku itu memang

investasi.

Satu tahun bekerja, aku merasa sudah cukup untuk bisa melanjutkan kuliah. Aku minta ijin

untuk bisa bekerja di shift malam, karena aku mau melanjutkan kuliah. di Universitas

Hasanudin Makassar mengambil kuliah sore, di jurusan Hukum. Waktu itu pilihannya ada 2

yang pertama ekonomi tidak lulus yang kedua hukum lulus. Kalau kuliah pagi, aku tidak

bisa bekerja, yang akhirnya aku digaji per kehadiran.

Pimpinan perusahaan sangat mendukung kemajuan karyawannya, aku mengatakan

kepadanya terus terang tentang keadaanku. Buat beliau yang penting aku mau bekerja.

Kurang lebih 4 tahun aku menyelesaikan kuliah sampai tahun 1988, dan aku masih bekerja

di kantor yang sama.

Perusahaannya juga buka sampai malam, makanya aku bisa mengambil jam kerja waktu

malam. Sampai aku menikah dan punya anak satu aku masih bekerja sekitar tahun 1998.

Karena tidak enak sama teman-teman, sering tidak masuk bekerja, maka aku mengundurkan

diri. Lalu aku pindah bekerja di perusahaan marmer di bagian adminintrasi, selama satu

tahun. Sampai punya anak kedua.

Aku menikah tahun 1992. Di karunia 3 orang anak, dua laki-laki dan 1 perempuan. Yang

pertama laki-laki kami beri nama Awalia Rezky lahir tahun 1995, yang ke dua perempuan

kami beri nama Tendri lahir tahun 1997, anak ke tiga laki-laki kami beri nama Tata lahir

tahun 2000.

Aktivitasku sekarang adalah menjadi pengacara di salah satu Biro Hukum di Kota Makassar.

Aku juga aktif di salah satu partai politik di Makassar. Tapi sejak setengah tahun ini aku

tidak lagi bisa beraktivitas sebagaimana biasa, setelah sebelah tubuh bagian kanan lumpuh

tiba-tiba. Menurut dokter aku tidak menderita stroke, karena tekanan darahku normal.

Secara medis tidak ada penyakit yang aku derita. Akhirnya dengan pengobatan alternatif,

keadaanku sudah mulai mengalami perubahan. Aku sudah mulai bisa melangkah walaupun

masih terasa berat. Tapi aku tidak pernah putus asa untuk terus berusaha mencari

kesembuhan.

Sisi positifnya aku menjadi semakin dekat dengan anak-anakku, begitu juga dengan sang

pencipta tentunya. Bergantian mereka melayani semua keperluanku. Aku selalu berdoa

untuk kebaikan mereka.

Perebutan harta antara kakak dan adik

Keluar dari Moncongloe tahun 1986, Bapak memutuskan kembali ke Selayar. Tujuannya

untuk meluruskan masalah titipan harta yang dia berikan ke adik kandungnya. Berupa

Page 45: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

45

sebuah rumah batu 2 tingkat, lantai 2 nya berupa bangunan kayu dan ternak 3 ekor kerbau.

Sesampainya di sana Bapak langsung ke rumah lama, lalu bertemu dengan adiknya . Waktu

ditanya kenapa dia melakukan itu, dia bilang kalau Bapak punya hutang. Bapak balik tanya

hutang apa?

Akhirnya Bapak menawarkan jalan tengah daripada berperkara antar saudara. Bapak minta

dibayar saja dengan harga 350 juta, pengganti rumah dan ruko. Kalau tidak terpaksa Bapak

memperkarakan. Ternyata Om setuju maka tidak jadi diperkarakan. Namun hal itu tidak

pernah dipenuhi, sampai saat ini uang itu tidak pernah diberikan kepada Bapak.

Akhirnya aku memutuskan untuk tidak lagi mempedulikan harta yang menjadi rebutan itu.

Sedikit demi sedikit aku bisa mengumpulkan uang dari hasil kerjaku untuk membeli

sebidang tanah kosong. Aku mengatakan kepada Bapak, bagaimana kalau kita membangun

sendiri saja rumah di sini. Rumah yang sekarang Bapak tempati, sebagian bahannya diambil

dari Moncongloe di tanah bagian Bapak seperti bambu petung. Sisanya aku beli dengan

mencicil sedikit-sedikit. Aku terus mengingatkan Bapak untuk tidak lagi memikirkan harta

itu. Mungkin itu juga yang membuat Bapak marah kepadaku hingga beliau terkadang

berkata kasar. Terutama aku pikir dia marah dengan dirinya sendiri, mengingat betapa dulu

dia melakukan kesalahan begitu percaya dengan orang lain meskipun itu adiknya

kandungnya sendiri.

Buatku itu bagian dari masa lalu, lagi pula sekarang ini harta itu sudah tidak ada. Sudah

banyak yang terjual, untuk mengobati penyakit yang diderita Om. Itu juga sudah

merupakan hukuman bukan lagi dari manusia, tapi dari Yang Maha Adil. Mungkin juga

harta itu memang bukan hak kami. ***

Pewawancara dan penulis : Nurhasanah

Anwar Naba

“DASAR ANAK PKI”

“Kamu ini, masih anak-anak sudah berani bicara. Tanda-tandanya ini anak PKI, masih kecil

sudah berani melawan aparat.”

Masih terngiang jelas kata-kata itu di telinga saya, padahal kejadiannya sudah cukup lama.

Saat itu usia saya 16 tahun kira-kira karena saya ingat baru lulus SMP.

Page 46: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

46

Malam itu, sebenarnya belum juga malam. Belum lama lepas mahgrib karena saya juga baru

selesai sholat. Waktu saya sedang duduk di depan rumah cari angin, tiba-tiba datang

seorang aparat polisi. Dia berhenti di depan rumah lalu dia bilang, tadi ada laki-laki yang

lari ke sini membawa lari perempuan. Dia pura-pura cari petugas ronda, sementara waktu

itu masih jam setengah 7 sore.

Lalu saya bilang ke dia, “Bagaimana ada petugas ronda Pak, baru jam-jam begini. Lagipula

kan Bapak yang lihat perempuan itu dibawa sama laki-laki. Bapak kan seorang polisi,

kenapa bukan Bapak yang menangkap laki-laki itu? Kenapa justru Bapak menyalahkan

orang yang di sini?”. Dia marah, lalu keluarlah kata-kata itu.

Datang bersama seorang kepala lingkungan dari lingkungan lain, dia terus mengeluarkan

kata-kata yang tidak pantas dikeluarkan oleh seorang terhormat seperti dia. Sampai

sekarang orangnya masih ada, dan tidak sedikitpun saya hormat sama dia.

Terkadang saya bertanya dalam hati, apa yang dia tahu tentang PKI? Apa yang sudah kami

ambil dari dia? Apa yang salah dengan orang yang menjawab pertanyaannya ? Bagaimana

bisa dia bilang saya berani melawan aparat?

Tidak hanya itu saya dianggap melawan aparat, ada lagi kejadian yang membuat saya

merasa heran. Dengan stigma yang mereka sematkan ke saya dan semua anak yang ada di

daerah saya, seolah-olah kami tidak punya hak untuk bicara. Bukankah berani karena benar

itu sudah merupakan suatu keharusan?

Tahun 1996 saya membantu sebuah lembaga yang melakukan pendataan orang-orang yang

dianggap PKI tapi dia pegawai negeri. Karena saya ada di dalam kampung itu, saya merasa

terpanggil untuk membantu mereka yang dulunya pegawai negeri yang saat itu

diberhentikan secara sepihak tanpa digaji atau mendapat pensiun.

Belum selesai melakukan pendataan, ada 2 polisi datang ke rumah. Saya dijemput paksa,

dibawa ke Koramil untuk menghadap Komandan. Saya ikuti saja dan tidak banyak

bertanya. Sampai di Koramil langsung disuruh masuk ke ruangan Komandan, yang saat itu

masih kosong. Sambil menunggu Komandan datang saya duduk di kursi di depan meja

beliau. Begitu beliau masuk saya tidak berdiri, tapi tetap duduk.

Beliau langsung bilang, “Eh, kamu ini. Anak kurang ajar.”

Page 47: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

47

“Kenapa Pak..” tanya saya.

“Siapa yang suruh kamu duduk?. Ayo berdiri. Kemudian saya berdiri, di belakang kursi

yang saya duduki tadi.

“Kau mau bangun lagi partai komunis?” dengan suara yang agak keras

Lalu dia bilang, “Saya pertaruhkan saya punya pangkat ini, kalau kau berani melawan

saya.”

Saya kaget. “Kenapa sampai saya ditangkap, kenapa sampai saya dibilang mau membangun

...anu Pak...e...Partai Komunis?”

“Kau kan yang mendata orang-orang PKI yang pernah menjadi pegawai negeri..”

“Iya Pak, kebetulan ada organisasi minta dibantu supaya mencatat.”

“Mau diapakan. Mau dibangun lagi tuh PKI.?”

“Tidak Pak, kebetulan ada lembaga mungkin karena apakah ada bantuan untuk orang-orang

yang seperti itu atau bagaimana jadi saya disuruh mencatat”.

“Ada ijin dari polisi?. Ada ijin dari Danramil?”

“Tidak ada Pak, karena saya juga tidak disuruh minta ijin ke polisi, ke Danramil.”

Dia buka bajunya, lalu dia panggil anak buahnya untuk ambilkan senjatanya di kamarnya.

“Ambil senjata di dalam.”

Saya bilang dalam hati, mungkin sudah ajal saya ini.

“Jadi kamu masih mau mendata orang-orang PKI di sini?”

(Di Kecamatan itu ada tercatat 420 orang yang terdaftar sebagai pegawai negeri yang

dituduh PKI)

“Kalau saya disuruh oleh lembaga itu saya akan jalankan pak, tapi kalau di sini ada larangan

dari Koramil sini dan polisi, saya minta ada catatan sedikit bahwa saya dilarang untuk

mendata, sebagai pertanggungjawaban saya ke lembaga itu.”

“Kamu ini, kurang ajar betul jadi anak. Saya tidak mau memberikan catatan melarang tapi

itu jangan kau lakukan.”

“Ya Pak. Kalau memang saya dilarang untuk itu, nanti saya melapor pada lembaga itu

bahwa saya tidak diberi ijin.”

“Kau berjanji yah.”

“Janji Pak.”

“Kau berjanji itu.”

Setelah itu saya diijinkan pulang, dengan janji yang dipaksa. Kira-kira seminggu kemudian,

datang anggota Koramil duduk di bale-bale di lingkungan Tabaringan (pos ronda). Kami

Page 48: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

48

dipanggil dan disuruh kumpul, dia bilang, ”Kamu di sini jangan macam-macam, kau biar

dibunuh semua di sini tidak ada artinya. Lebih ada artinya seekor ayam daripada kamu-

kamu semua.”

Itu baru perlakuan yang langsung saya alami sendiri, masih banyak perlakuan yang sifatnya

mendiskriminasikan kami sebagai satu kelompok. Pasti kalian bingung, siapa sih saya ini.

Apa maksudnya kelompok?. Saya tinggal di satu lingkungan yang namanya Tabaringan,

Kecamatan Galesong Utara, Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan.

Tabaringan menurut penduduk setempat berarti tak baring-baring. Maksudnya ada rasa

kekhawatiran, karena dianggap tempat kramat. Pada jaman penjajahan Belanda, Tabaringan

merupakan salah satu tempat yang tidak bisa dimasuki oleh Belanda. Orang yang berani

datang dan tinggal untuk pertama kali dikenal dengan nama Karaeng Tabaringan.

Tidak ada yang tidak kenal di Kabupaten Takalar, lingkungan Tabaringan. Lingkungan yang

dianggap paling najis sekabupaten, basisnya PKI. Sekarang ada 270 KK (Kepala Keluarga),

dulu sekitar 50an KK. Kami tidak bisa bergaul di luar lingkungan, karena kami tidak bisa

diterima. Ibaratnya seperti air dengan minyak tidak akan menyatu, sampai sekarang masih

tetap dicurigai sebenarnya.

Meskipun sejak reformasi diberi kebebasan untuk bergaul tapi tetap ada imbas bahwa kami

anak PKI. Contohnya sekarang kan ada anak korban yang masuk bursa calon legislatif. Ada

pernyataan-pernyataan dari lawan politik untuk berhati-hati dengan PKI. Bahkan mereka

tidak segan-segan mengatakan bahwa “Anda-anda itu dibunuh tidak ada artinya lebih ada

artinya seekor ayam daripada kalian-kalian semua”. Itu semua saya dengar secara langsung

dan ditujukan kepada kami satu lingkungan di sana.

Lalu kenapa bisa Tabaringan dibilang basis PKI di tahun 1965? Saya pikir ini tidak lepas dari

peristiwa-peristiwa yang sesungguhnya tidak berkaitan secara politik tapi lebih kearah

ekonomi yang terjadi sebelumnya. Sebenarnya tidak ada PKI di Tabaringan, hanya saja

hampir 90% masyarakatnya adalah anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) Namun pada saat

itu juga belum ada struktur kepengurusannya, belum ada ketua ataupun sekretaris. Cuma

ada cabangnya di Kab. Takalar, baru bergerak untuk mensosialiasi program. Tokoh

masyarakat yang aktif mensosialisasikan program BTI di mana salah satunya

memperjuangkan nasib petani adalah Hadi Makka Daeng Lawu.

Page 49: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

49

Waktu sebelum peristiwa G.30.S. di tahun 1965, yaitu sekitar tahun 1963 ada kejadian tanah

desa mau dijual oleh pejabat pemerintah desa dan kecamatan. Semua anggota BTI tidak

setuju maka ketika terjadi peristiwa 65, dijadikan alasan untuk membalas dendam. Karena

sebagai pejabat merasa tidak dihargai dan masyarakat berani melawan.

Salah satu yang membantu mensosialisasikan BTI adalah orangtua dari istri saya sekarang,

namanya Piso. Karena beliau masih ada hubungan dengan Hadi Makka Daeng Lawu,

seorang tokoh masyarakat, diminta ikut mensosialisasikan program BTI. Sekarang usianya

70 tahun, aktivitasnya sehari-hari bertani.

Tahun 1965 setelah pecah peristiwa G 30-S, beliau termasuk yang kena wajib lapor ke Kodim

Takalar. Disuruh kerja paksa tanpa dibayar.

Beberapa tempat yang pernah beliau kerjakan:

• Membuat irigasi yang panjangnya 2 km selama 2 bln. di kampung Taddiniang Kec.

Galesong Utara, jarak dari rumah sekitar 1 km.

• Pembuatan jalan desa Tamalate, sejauh 1 km, selama 3 bulan. Dipekerjakan untuk

menimbun rawa-rawa dengan tanah. Hanya menggunakan tangan dan peralatan

sederhana. Tempatnya di Jalur Soreang – Sampulungan.

• Pembuatan lapangan olahraga Kecamatan, luasnya 1 hektar. Lama pengerjaan

kurang lebih tiga bulan, pekerjaan ini menjadi lama karena untuk menebang pohon-

pohon kelapa dan pohon lontar tidak boleh menggunakan peralatan tajam seperti

gergaji atau golok. Melainkan hanya tali yang diikatkan di pohon lalu ditarik

bersama-sama, satu pohon bisa ditarik oleh sebanyak 20 orang. Tujuannya memang

untuk menyiksa bukan karena tidak ada peralatan.

• Membuat empang untuk Pemerintah daerah, di Puntondo Kecamatan

Mangarabondang, jarak dari Tabaringan 40 km yang ditempuh dengan berjalan kaki

pulang pergi. Mereka harus berangkat jam 03 dini hari, untuk bisa sampai di lokasi

jam 07 pagi. Kemudian pulang sekitar jam 4 sore, sampai di umah sekitar jam 8 atau

9 malam. Bayangkan, setelah lelah bekerja seharian harus menempuh perjalanan

pulang 4 sampai 5 jam dengan berjalan kaki. Dengan perut menahan lapar, berharap

di rumah juga sudah tersedia makanan meskipun hanya nasi yang tersisa. Tidak

setiap hari memang, karena digilir dengan desa-desa lain yang ada di Kecamatan.

Page 50: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

50

Pekerjaannya membuat pematang rawa-rawa yang akan dibuat empang. Luasnya

puluhan hektar sampai sekarang masih ada, dan sudah dikelola oleh masyarakat.

• Lalu pembuatan pasar Soreang, desa Tamalate

Cerita-cerita tersebut saya dapatkan sedikit demi sedikit setelah saya menjadi menantu

beliau sejak tahun 1996, namun sebelum itu saya juga sudah mendengar cerita ini karena

memang saya juga lahir dan besar di Tabaringan.

Teror aparat Selain tekanan yang saya alami sendiri banyak lagi tekanan yang dilakukan oleh aparat-

aparat yang datang ke lingkungan kami. Tahun 80an satu hari dalam satu seminggu, selalu

ada aparat yang datang ke tempat kami dan menakut-nakuti. Datang ke masyarakat yang

sedang kumpul-kumpul, atau hanya berkeliling dengan naik sepeda sambil dia lewat

berteriak.

Soal membayar pajak kami tidak lepas dari kewajiban itu, meskipun kami tidak tahu apa

yang menjadi hak kami sebagai warga negara. Telat membayar pajak, kami mau taat pajak

(aneh orangnya tidak diakui tapi pajaknya diminta)”. Dulu itu ada namanya pajak jiwa.

Setiap jatuh tempo bayar pajak, datang petugas kecamatan bersama aparat polisi ke

lingkungan Tabaringan. Lalu kami dikumpulkan di satu rumah, dan dipanggil satu-satu.

Kalau ada yang tidak bisa membayar pajak, sembarang dia mau ambil. Apa saja dia ambil

kalau tidak bayar pajak, mau piring, peralatan dapur atau apa saja yang dianggap ada

harganya di rumah.

Ketika saya bercerita ini, orang yang mendengar selalu bertanya, lalu kenapa saya tidak

berusaha keluar dari lingkungan itu?

Buat saya sedikitpun tidak terpikir untuk meninggalkan Tabaringan. Keadaan tempat

tinggal yang dianggap tidak bersih lingkungan sejak kecil sudah saya terima saja dengan

lapang dada sebagai takdir Tuhan sepertinya. Waktu saya kecil sampai remaja tidak ada

juga terpikir bahwa cap itu adalah cap pemberian dari manusia.

Page 51: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

51

Tapi sesungguhnya memang tidak ada niatan saya untuk meninggalkan identitas itu,

meskipun itu masih membuat kami kesulitan untuk mecari pekerjaan yang sifatnya formal

dan di swasta sekalipun. Perusahaan-perusahaan yang lumayan besar tidak mau menerima

pegawainya ketika tahu alamatnya di Tabaringan. Misalnya sampai tahun 2000an Pabrik

gula di Takalar, tidak mau menerima pegawai yang alamatnya di Tabaringan. Tapi sekarang

sudah, belum lama juga baru beberapa tahun ini. Ada juga yang menjadi anggota DPRD,

cucunya sudah ada yang menjadi polisi ataupun tentara. Sejak reformasi semua kesempatan

sudah mulai terbuka meskipun belum sepenuhnya.

Meskipun begitu saya merasakan kerugian yang lain. Kerugian di mana masa produktif saya

berlalu tanpa kesan yang baik. Sebelum Suharto akan lengser, saya berkeyakinan bahwa

kami anak-anak, cucu-cucu yang dituduh PKI, selamanya akan seperti itu. Tidak pernah

terbayangkan akan datang suatu masa yang seperti sekarang ini.

Meskipun dulu saya sudah bisa bergaul dengan orang luar tapi stigma itu tidak bisa hilang.

Kan masih dipelajari dalam buku-buku sejarah, misalnya waktu SMP guru sejarah biasanya

mencontohkan kalau masih banyak PKI di Tabaringan. Akhirnya saya hanya sekolah saja

tanpa punya harapan apa-apa,. Pikiran saya, yang penting bisa membaca dan menulis.

Reformasi Bulan Mei Tahun 1998 merupakan titik tolak dari perjuangan yang sekarang ini kami

lakukan. Ramai di Jakarta minta Suharto turun, jadilah keadaan seperti sekarang. Tidak

lama kemudian beredar buku yang berjudul “ Dosa-Dosanya Soeharto” karangan Wisman

Jaya. Baru bisa merasa ada kebebasan untuk bicara, tetap ada tekanan tapi sudah tidak ada

rasa ketakutan. Saya menjadi tidak takut lagi, mulai disitu saya tidak mau mengerti,

pokoknya kalau ada pertemuan saya telanjangi polisi atau tentara kalau dia ngomong.

Satu waktu ada Om yang pernah dinyatakan tidak lolos di Telkom karena punya sambul D,

sekarang mau ikut jadi calon kepala desa Bontolebang. Begitu dia bermohon mendaftar,

diterima namanya. Tiba-tiba ada surat dari Kabupaten bahwa dia tidak bersyarat karena dia

anak korban.

Saya menghadap ke Sospol, seorang tentara namanya Mayor Burhan. Lalu saya bilang, ”Pak,

ini saya punya Om mendaftar untuk ikut seleksi penerimaan calon kepala desa. Oleh panitia

dinyatakan lolos, Tapi saya tidak mengerti sampai namanya mau dicoret karena Bapaknya

Page 52: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

52

dianggap terlibat PKI. Masih adakah peraturan untuk itu yang berjalan sampai sekarang?

Kalau ada mohon diperjelas.”

“Tunggu pak, nanti saya koordinasi dengan pihak Pembangunan Desa (Bandes) nanti saya

turun melakukan sosialisasi.”

Ternyata pihak Bandes masih tetap bersikeras menolak. ”Tdak bisa pak, memang ada

undang-undangnya. Sudah ada aturannya itu bahwa anak-anak PKI tidak bisa ikut.”

Kemudian kami minta diadakan pertemuan untuk meminta bukti, pernyataan kepala

Bandes. Pertemuan diadakan di kantor desa, sementara yang hadir antara lain ketua panitia

seleksi Drs. Sultan Syarif, Abdul Azis (pendamping korban), Fiala Rahman (calon), saya

sendiri, Kepala Bandes, Ahmad Tamanggong profesi guru (dari warga pihak pemerintah).

Pertemuan sepertinya tidak mencapai titik temu, dan Kepala Bandes masih tetap bersikeras

untuk tidak menerima. Oleh Om Afif anak korban yang tidak lolos masuk kepolisian, dia

usir itu Kepala Bandes. Lalu dia melapor ke Camat, dia bilang “Itu anak-anak Tabaringan

bukan otaknya yang bicara tapi ototnya yang bicara.”

Jadi sebenarnya sekalipun kami sudah membaur dengan mereka, tapi pada intinya masih

tidak senang dengan kami-kami. Oleh karena itu sepanjang orang-orang tua tidak

direhabilitasi namanya perjuangan tidak akan berhenti. Bukan karena meninggalnya Bapak

sebagai orang yang dianggap PKI maka terputus hubungannya. Ternyata tidak, karena

ketika stigma itu masih melekat maka anak dan cucu juga masih menerima sebagai anak PKI

dan cucu PKI. Tapi kalau sudah ada pengakuan dari negara bahwa Bapak atau Ibunya tidak

bersalah maka stigma itu akan hilang.

Sekarang ini di lingkungan kami juga sudah banyak orang luar yang mau tinggal atau

membeli rumah kami. Kuliah Kerja Nyata (KNN) mahasiswa juga sudah masuk tahun lalu,

sebelumnya tidak ada karena dilarang oleh pihak universitas.

Tidak lama kemudian lalu datang Danramil, Kapolsek sama dari Kesbang. Saya langsung

bilang bahwa anda-anda ini yang mengatakan bahwa PKI pembunuh tapi justru anda-anda

ini pelakunya. Saya kasih bukunya , “Dosa-dosa Suharto”.

Komandan Kodim bilang, “Saya punya buku yang lain ini.” Lalu saya lihat disampulnya ada

gambar Indonesia di bawah di atasnya sepatu laras. Akhirnya Om itu lolos masuk jadi

kepala desa.

Page 53: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

53

Sekarang ini polisi-polisi dan tentara yang dulunya selalu datang ke lingkungan kami, untuk

meneror tidak lagi berani datang. Akhirnya memang sampai saat ini mereka jadi malu kalau

bertemu dengan saya. Tidak mau bicara sama saya. Karena sudah ketahuan bahwa dulu

memang Soeharto yang membuat gerakan mengorbankan orang-orang demi

kepentingannya.

Saya dan keluarga

Saya lahir di Takalar, 20 Desember 1967. Anak kedua dari dua bersaudara, laki-laki semua.

Kakak saya lahir 1962, sekarang tinggal di kampung Nene karena sudah menikah dan punya

dua anak. Pendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD), pekerjaan sekarang petani. Orangtua

sudah meninggal, Bapak meninggal tahun 78 dan Ibu tahun 2008.

Saya masuk SD tahun 1975 di Tabaringan, tidak diberlakukan untuk memakai seragam

meskipun sudah ada aturannya, karena memang tidak memungkinkan. Sekolah berada di

kolong rumah Hadi Makka Daeng Lawu seorang tokoh masyarakat Tabaringan. Kolong

rumah disekat dengan anyaman bambu menjadi 5 ruangan. Kelas satu dan dua masuknya

bergantian (kelas pagi dan kelas siang). Kelas 3, 4, 5 dan 6 masing-masing satu ruangan.

Lantainya masih tanah, tempat duduknya dibuatkan dari bambu. Papan tulisnya masih

pakai kapur, sekolahnya gratis tidak dipungut biaya.

Tempat ini dipakai menjadi Sekolah Dasar Negeri, karena tidak ada sekolah. Saya tidak tahu

kenapa tidak dibangun saja sekolah dasar. Padahal empat guru yang mengajar sudah

berstatus pegawai negeri berasal dari luar Tabaringan. Mereka datang setiap hari dengan

naik sepeda.

Secara keseluruhan jumlah muridnya sekitar 60 orang. Kelas angkatan saya ada 20 orang.

Pelajaran yang diajarkan ada aljabar, agama, bahasa indonesia, bahasa daerah.

Buku tulis untuk yang dipakai mencatat, saya ambil dari buku bekas kakak-kakak yang dari

kelas 6. Biasanya masih ada sisa 3-4 lembar. Nah itu saya kumpulkan dan saya satukan.

Karena memang tidak memungkinkan untuk membeli buku.

Tahun 1980 masuk Sekolah Menengah Pertama Negeri Bontolebang. Tidak ada perlakuan

diskriminasi yang saya rasakan karena memang guru-gurunya banyak dari luar. Dan teman-

Page 54: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

54

teman masih belum mengerti. Menempuh jarak 2 kilo meter pulang pergi, dengan jalan kaki

ke sekolah. Karena jalannya masih tanah yah kendalanya kalau musim hujan jadi becek. Di

samping memang tidak ada angkutan umum, tentu saja kalaupun ada saya tidak bisa naik

karena memang tidak punya uang. Sementara biaya sekolah saja masih sangat keberatan.

Sementara kakak saya sudah tidak melanjutkan sekolah dan membantu Ibu di sawah, karena

sudah tidak ada Bapak. Saya sendiri kalau pulang sekolah, menggembala kerbau dan

kambing orang yang dititip. Dengan upah bagi hasil, 3 tahun kemudian baru dapat.

Tahun 1983 saya masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) di Galesong 10 Km dari rumah,

sudah naik sepeda ke sekolah. Tamat SMP saya dibelikan sepeda oleh Om, adik dari Bapak.

Dari Tabaringan saya sendiri, kalau sudah sampai di Bontolebang baru sama-sama dengan

teman-teman satu sekolah. Jalan ke SMA sudah ada pengerasan batu gunung sebelum

diaspal dan baru 10 tahun kemudian baru diaspal.

Setamat SMA, saya bekerja di empang tambak udang. Di desa Tamasaju kurang lebih 5 km

dari rumah. Masih kecamatan Galesong, tinggal di sana sekitar 4 tahun sampai tahun 1991.

Tidak ada gaji bulanan jadi pendapatannya tidak menentu, karena dibayarkan berdasarkan

hasil panen.

Kemudian saya menjadi sopir di salah satu perusahaan di Makassar namanya CV. Rahayu

Jaya Expedisi, karena sudah belajar menyetir mobil waktu bekerja di tambak. Kurang lebih 3

tahun sampai tahun 1994.

Kemudian pindah menjadi sopir pribadi orangnya Gapensi Provinsi, sekitar setengah tahun.

Setelah itu saya pindah lagi kerja di tempat pemeliharaan ayam potong di Tabaringan,

mengingat Ibu yang sudah mulai tua dan tinggal di rumah sendiri. Kakak sudah menikah

dan tinggal di kampung istri. kurang lebih 2 tahun kerja, setelah itu saya memutuskan untuk

bertani mengolah tanah keluarga. Maka saya mencoba menanam sayur dan padi, sampai

sekarang.

Waktu saya pergi ke Kendari, baru satu minggu saya diminta pulang. Saya tidak tahu kalau

mau di jodohkan. Sampai di rumah saya langsung dinikahkan, waktu itu tahun 1996. Anak

pertama, lahir 1997, laki-laki. Sekarang kelas 1 SMAN 1 Galesong Utara. Jarak dari rumah

Page 55: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

55

sekitar 3 km, berangkat sekolah dijemput dengan temannya yang bawa motor. Anak kedua

lahir tahun 2006, perempuan. Kelas 1 SD Tabaringan.

Tahun 2008 baru saya masuk kuliah di Universitas Indonesia Timur Makassar jurusan

hukum, seharusnya selesai tahun 2013. Alasan saya melanjutkan kuliah, di samping merasa

kekurangan ilmu pengetahuan saya juga mau tahu tentang bagaimana bidang akademis

yang lebih tinggi. Saya kuliah dan memilih hukum karena saat ini aktif dalam organisasi

masyarakat sipil. Merasa kasihan kalau ada yang bisa dibantu melalui pengadilan tapi

karena tidak bisa memenuhi syarat tidak bisa dibantu. Ada kasus-kasus di pengadilan atau

di kepolisian itu kita tidak bisa tanpa syarat. Hal itu berlangsung sampai saat ini karena

belum mengikuti ujian terakhir jadi belum bisa mendampingi. Tapi sekarang sudah bisa

mengadvokasi di luar pengadilan karena sudah mulai mengerti alurnya.

Rumah saya dulu rumah panggung, terbuat dari kayu. Bentuknya memanjang, lalu disekat

menjadi 3 petak. Petak depan untuk menerima tamu, petak tengah untuk tidur, dan petak

belakang dapur. Tangga ada di depan dan belakang untuk masuk ke dapur. Ada sumur

dekat rumah, karena jarak rumah satu dengan lainnya jarang-jarang, maka setiap rumah jadi

harus punya sumur sendiri. Karena setelah menikah saya masih tinggal dengan Ibu, maka

rumahnya sedikit ditambah sekat untuk kamar saya dan istri. Nanti direhab benar tahun

2003, sudah permanen pakai bata merah. Atapnya seng, dan memang belum selesai

dibangun. Jarak ke pantai kurang lebih 1 km.

Pekerjaan utama sat ini bertani. Tanam sayur bayam dan kangkung.

Saya Bukan Anak PKI

Sebenarnya orangtua saya tidak ada dalam lingkaran peristiwa ini secara langsung, tapi

karena pada saat pemerintahan Orde Baru ada istilah bersih lingkungan, maka saya

dianggap tidak bersih lingkungan. Tabaringan dianggap sebagai basis PKI di Kab. Takalar,

sementara kakek nenek dan orangtua saya tinggal di sini. Siapapun yang ada di daerah yg

dianggap tidak bersih lingkungan, maka dianggap orang yang tidak bersih lingkungan.

Meskipun keluarga saya tidak terlibat tapi saya sudah merasa bahwa saya memang bagian

dari itu. Karena selain stigmatisasi yang diberikan secara sepihak oleh pemerintah, saya juga

Page 56: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

56

merasa bahwa ini memang keluarga saya. Karena dari neneknya nenek kakek saya sudah

tinggal di situ.

Jadi sebenarnya soal terdaftarnya nama di Sospol atau Kesbang, saya dan keluarga tidak ada

dalam daftar nama-nama korban. Tapi dari segi perlakuan saya ini korban langsung, saya

mendapat perlakuan-perlakuan serupa dari aparat-aparat polisi dan Koramil.

Dan tingkat kemiskinan lingkungan Tabaringan, tidak bisa dilepaskan dari peristiwa ini.

Karena tingkat kebebasan orang-orang yang dianggap terlibat pembunuhan ini tidak pernah

diberikan ruang gerak untuk ke mana-kemana. Karena mereka wajib lapor satu minggu

sekali, setiap hari kamis.

Bapak saya memang tidak kena wajib lapor, tapi sudah termasuk orang yang diawasi karena

dianggap sudah terkontaminasi oleh pemikiran-pemikiran orang-orang di situ. Jadi tetap

tidak bisa keluar untuk mencari nafkah kecuali bertani, bercocok tanam sawah. Untuk

urusan lain tidak boleh. Hasil pertaniannya juga hanya cukup untuk makan.

Tahun 1972 itu tahun yang paling mengerikan kehidupan di Tabaringan. Hampir tidak ada

beras karena gagal panen, lalu tidak ada yang bisa kami makan, saya sudah ingat itu karena

usia saya sudah 5 tahun. Kadang kami makan bongkol pisang yang dibakar lalu dicincang

kadang dicampur dengan terigu, susah mau makan. Dan tidak bisa dibantu karena dianggap

orang buangan. Jadi tidak ada bantuan sama sekali masuk, karena memang target mau

dimatikan semua.

Ada struktur pemerintahan, di lingkungan Tabaringan tapi hampir tidak ada fungsinya

keluar. Ada Rukun Tetangga (RT), ada Rukun Keluarga (RK). Yang diangkat RT dan RK

juga harus yang tidak terdaftar namanya di Kesbang sebagai orang terlibat. Kepala

Lingkungan malah tidak boleh dari orang dalam, dia diambil dari lingkungan lain makanya

digabungkan ada beberapa lingkungan yang dipegang oleh kepala lingkungan. Jadi

tinggalnya juga jauh, tugasnya hanya mengkoordinir urusan perpajakan. Bantuan tidak

pernah datang.

Pak Camat saja datang sekali setahun ketika kami mengadakan pesta panen, itupun hanya

datang untuk mengawasi. Karena kami juga tidak mengundang dia.

Page 57: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

57

Kecemasan akan masa depan anak-anak, karena secara struktur keluarga atau silsilah tetap

ada kakek dan nenek yang masih dinyatakan bersalah. Jika tidak ada rehabilitasi nama baik

maka itu akan terus dibawa dan terus dianggap belum bersih lingkungan.

Saya aktif di organisasi korban 65 mulai tahun 2003 bergabung di YPKP ( Yayasan Penelitian

Korban Peristiwa 65). Tahun 2009 bergabung di LPR KROB (Lembaga Perjuangan dan

Rehabilitasi Korban Orde Baru) Sejak tahun 2011 menjadi ketua DPD Sulawesi Selatan.

Kegiatannya adalah melakukan silaturahmi dan pendataan korban di Takalar. Jarak kantor

di Makasar dari rumah 40 km kurang lebih ditempuh selama 2 jam naik motor. Tapi saya

tidak selalu datang. Ke kantor hanya kalau ada keperluan, karena kesibukan saya mencari

nafkah untuk keluarga. Mengurus tanaman sayur, yang cukup membantu memenuhi

kebutuhan kami sekeluarga.***

Pewawancara dan penulis : Nurhasanah.

Hanouk Makatipu

JALAN PANJANG MENUJU SETARA

Tidak banyak yang bisa aku ceritakan tentang Papaku terkait dilibatkannya

dengan peristiwa G 30-S. Di samping memang tidak ada kaitannya secara langsung,

beliau juga baru memasuki dunia politik saat itu. Sepanjang pengetahuanku, Papaku

mulai tertarik ikut partai ketika beliau berkenalan dengan seorang tentara Brawijaya

dari Jawa Timur. Waktu itu tentara tersebut bertugas di tempat kami dalam rangka

mengamankan situasi saat ada pergolakan Perjuangan Rakyat Semesta yang dikenal

dengan nama Permesta tahun 1958 – 1960.

Nah dari dialah Papa tertarik menggeluti dunia politik. Sejak itu Papa mulai aktif di

partai yang diperkenalkan oleh tentara tersebut yakni Partai Komunis Indonesia

(PKI), tepatnya tahun berapa aku tidak ingat. Aku juga tidak tahu nama tentara itu,

tapi dia memang sering datang ke rumah. Karena memang rumah kami tidak jauh

dari kantornya. Sebenarnya aku juga tidak tahu tepatnya alasan Papa tertarik masuk

ke PKI, hanya saja saat itu pekerjaan utama beliau melaut dan berkebun. Mungkin

Page 58: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

58

karena PKIlah waktu itu yang dirasa lebih mewakili golongannya sebagai nelayan

dan petani. Entahlah, aku pun tidak tertarik untuk lebih jauh tahu. Karena waktu itu

aku juga merasa masih kecil, masih Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Beliau mulai ikut-ikut di kegiatan yang diadakan partai di Manado. Kalau di desa

atau kecamatan beliau belum ada kegiatan apa-apa. Kemudian karena aktif

mengikuti kegiatan partai di provinsi akhirnya mulai dipercayakan memimpin di

kecamatan yang istilahnya CSS (Comite Sub Seksi).

Sejak ditunjuk sebagai pimpinan CSS di Kecamatan Tombariri tahun 1965, Papa

belum melakukan kegiatan apapun terkait program partai. Dia masih beraktivitas

seperti biasa menjadi nelayan sesekali ke kebun. Anak-anakpun tidak tahu apa

kegiatan Papa terkait tugasnya sebagai pemimpin Sub Seksi. Jadi memang belum

bisa dikatakan bahwa di Kecamatan Tombariri ada perwakilan partai PKI. Tidak ada

kantor ataupun kegiatan melaksanakan program partai.

Memang Papa pernah ditunjuk sebagai ketua panitia 9 yang anggotanya terdiri dari

9 partai yang ada di kecamatan, istilahnya itu FrontNas (Front Nasional). Pada tahun

1963 waktu upacara 17 Agustus, Papa dipercaya menyampaikan pidato di kantor

Kecamatan Tombariri.

Sebelum menikah Papa hanyalah seorang anak muda lulusan SMA, yang tidak

punya pekerjaan tetap. Tahun 1946 Papa menikah dan tahun itu juga lahir kakakku

yang pertama, perempuan. Tahun 1948 lahir aku, kemudian tahun 1949 dia

memutuskan hijrah ke Sorong Papua dengan memboyong semua keluarganya.

Awalnya tahun 1949 Papa yang bernama Yan Makatipu adalah seorang pegawai

perusahan Belanda di Sorong, Papua.

Tahun 1953 ketika ada peristiwa Irian Barat, Papa memutuskan pulang ke kampung

di desa Borgo Tanah Wangko, Minahasa Sulawesi Utara. Kami tinggal di satu tempat

yang dulunya orang tidak berani masuk ke lingkungan itu, karena masih hutan dan

rawan gerombolan. Papa berhasil mengajak sekitar 20 KK untuk membuka lahan

dan membuat pemukiman. Tapi sekarang Papa yang terusir dari tempat yang

dulunya beliau rintis. Ada 3 orang yang dianggap terlibat, yang tanah dan rumahnya

diambil alih oleh pemerintah desa sekarang.

Page 59: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

59

Kemudian Papa diterima bekerja di Dinas Pekerjaan Umum (PU), ditugaskan

sebagai bendaharawan di distrik Amurang. Sebagai bendahara salah satu tugasnya

adalah mengambil uang di Provinsi. Namun suatu hari setelah pulang dari

mengambil uang di provinsi tiba-tiba dihadang oleh Pasukan Pengacau Keamanan

(PPK). Mereka akan merampok uang yang dibawa oleh Papa, tentu saja beliau

berusaha melawan meskipun saat itu pengacau-pengacau membawa senjata api.

Beruntung beliau bisa mengatasi dan lari sekuat tenaga, hingga tidak ada satupun

peluru yang mengenainya. Setelah kejadian itu Papa memutuskan untuk berhenti

dari PU karena mengingat ancaman dari para pengacau yang akan membunuhnya.

Sejak itu beliau memutuskan melaut dan berkebun.

Tahun 1964 Mamaku meninggal, waktu itu aku sudah di Sekolah Lanjutan Tingkat

Atas (SLTA). Sejak itu aku dan 6 saudaraku hanya tinggal dengan Papa, beliaupun

belum memutuskan untuk menikah lagi. Waktu Papa ditangkap tgl 5 Oktober tahun

1965 bersama orang-orang yang dituduh baik sebagai anggota PKI maupun

simpatisan partai, praktis kami tidak punya tempat bersandar. Akhirnya sejak itu

kami semua menyebar tinggal di mana ada saudara yang mau menampung.

Siang itu ketika Papa ditangkap aku sedang tidak berada di rumah. Sorenya aku

pulang, kakak dan adikku hanya bisa menangis menceritakan kalau Papa dibawa ke

kantor polisi. Malam itu aku tidak langsung membesuk Papa, rasa takut

membayangi aku dan saudara-saudara ku. Meskipun aku anak laki-laki pertama,

tapi aku tetap lah seorang anak. Dengan situasi yang mencekam saat itu, kami tidak

bisa berbuat apa-apa. Beberapa hari kami tidak berani keluar rumah. Sampai

akhirnya Om dan Tante baik dari pihak Mama maupun Papa datang untuk

mengatur ke mana kami harus tinggal. Karena sudah tidak memungkinkan lagi

tinggal di rumah kami.

Akhirnya kami harus rela tinggal terpisah, aku dan adik nomor lima Alex namanya

tinggal dengan Om Parera Makatipu (adik dari Papa). Kakak dan adik yang nomor

tiga tinggal dengan keluarga Wandal Woru adalah sepupu Mama di desa Sarani

sekitar 500 meter dari rumah lama. Anak nomor empat tinggal dengan keluarga

Weling Manopo, saudara dari pihak Mama. Anak nomor enam tinggal dengan

Page 60: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

60

keluarga Bertha Makatipu, kakak dari Papa. Anak ke 7 tinggal dengan keluarga

Pongo Tero, adik Mama.

Setelah itu kami juga baru berani membesuk Papa, di kantor polisi yang jaraknya

hanya 50 meter dari rumah. Sebenarnya itu juga bukan kantor polisi hanya rumah

penduduk yang kosong, dipakai kantor polisi sementara. Waktu ditahan di sana

kami melihat Papa baik-baik saja, hanya tidak bisa keluar dari sel.

Satu minggu di kantor polisi lalu dibawa ke Komando Operasi Tertib (KOTIB) di

Sario Manado. Dulu belum ada koramil, yang membawa dari Perwira urusan

teritorial (Putertra). Yang kemudian diganti menjadi ODM (Onder Distric Militer),

berganti lagi menjadi Koramil. Dulu kecamatan Tombariri namanya district

bawahan Tombariri (baru tahun 70an berganti Kecamatan)

Setelah di Sario, kami tidak pernah lagi membesuk Papa. Karena kami juga tidak

tahu bagaimana nasib kami ke depan. Sampai akhirnya Papa dikeluarkan dari

penjara Manado tahun 1969 sebagai golongan B. Dikenakan wajib lapor dan

bergabung dengan yang lainnya untuk menjalani kerja paksa.

Keluar dari penjara Papa tidak tinggal dengan anak-anaknya karena waktu di

penjara Papa bertemu dengan pendamping baru sama-sama dari penjara. Lagipula

rumah kami sudah tidak ada lagi, sejak Papa ditangkap rumah sudah diambil alih

oleh pemerintah desa. Dan sudah ditempati orang lain, tidak tahu dijual atau

diberikan oleh pemerintah desa. Yang pasti kami sudah tidak punya hak lagi di sana,

karena pengambilan paksa itu. Waktu itu kami juga tidak berani melakukan apa-apa,

begitu juga Om dan Tante di mana kami tinggal. Luas tanah dan rumah kami itu

luasnya 20 X 30 meter dua kavling (15X10 meter/kavling).

Aku 7 bersaudara, dua perempuan dan lima laki-laki. Aku anak kedua. Anak

pertama perempuan bernama Yosephin Makatipu pendidikan terakhir SMA, pernah

menjadi guru SD. Tahun 1968 diberhentikan jadi guru terkait penangkapan Papa dan

aku. Sekarang tinggal di Borgo bersama adik perempuanku yang nomor tiga karena

suaminya sudah meninggal. Anak ketiga perempuan bernama Mince Makatipu,

tinggal di Borgo. Pendidikan terakhir SMP. Anak keempat laki-laki bernama Tommy

Makatipu, tinggal di Timika. Pendidikan terakhir SMP, pekerjaan pensiunan

Freeport. Anak ke lima laki-laki bernama Alex Makatipu, tinggal di Nabire.

Page 61: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

61

Pendidikan terakhir SD, pekerjaan Sub Kontraktor. Anak keenam laki-laki bernama

Berty Makatipu, tinggal di Teling Manado. Pendidikan terakhir SD, pekerjaan sopir.

Anak ketujuh laki-laki bernama Bastian Makatipu, tinggal di Mokupa Kecamatan

Tombariri. Pendidikan terakhir SD.

Rumah bambu, sekolah dan guru.

Aku tinggal di sebuah kampung kecil yang bernama Borgo Kecamatan Tombariri,

Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. Jarak kampungku dengan pusat kecamatan

sekitar 150 meter. Kampungku ini terletak dekat pantai, makanya mayoritas

penduduknya adalah nelayan, berkebun dan berdagang. Waktu aku kecil belum ada

listrik, listrik masuk desa sekitar tahun 70an. Kalau malam penerangannya pakai

lampu minyak yang kami buat dari botol pakai sumbu kain.

Rumahku terbuat dari bambu dengan 3 ruangan, dengan lantai yang masih tanah.

Dua kamar tidur, satu ruang tamu dan satu dapur. Ada kamar mandi sederhana dan

sumur di belakang rumah. Satu kamar tidur untuk 2 saudara perempuanku, satu

kamar tidur untuk orangtuaku tentunya. Sementara kami anak laki-laki, tidur

tergeletak di ruangan yang katanya untuk menerima tamu. Itu makanya aku

sebenarnya sering tinggal bersama Oma.

Waktu kecil aku dan teman-teman sering main di pantai, memperhatikan orang-

orang yang sedang mengangkut kopra ke perahu. Baru nanti setelah SD kelas 5 aku

mulai ikut Papa ke laut, mengail ikan, pergi waktu pagi pulang sore hari. Itupun

kalau sekolah libur atau di hari minggu.

Aku bersekolah di SR yang ada di Desa Borgo (Tanawangko), namanya Sekolah

Rakyat Negeri tahun 1954. Jaraknya kurang lebih 150 meter, jalan kaki. Cuma pakai

sandal dan tidak pakai seragam. Waktu itu seingatku muridnya sudah lumayan

banyak ada sekitar 30 orang, dengan jumlah guru 6 orang termasuk kepala sekolah.

Lalu aku melanjutkan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kristen yang jaraknya

sekitar 200 meter dari rumah. Setiap hari jalan kaki, masih pakai sendal dan belum

pakai seragam. Aku lulus tahun 1963.

Kemudian melanjutkan ke Afiliasi Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri

Tanawangko, kelas jauh dari SMAN 2 Manado. Jaraknya sekitar 130 meter dari

Page 62: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

62

rumah, juga belum berseragam sudah pakai sepatu kets. Masuk tahun 1963, tahun

1965 ketika terjadi peristiwa G-30/S sekolah ku ditutup karena dipakai untuk kantor

Komando Pemuda Anti G-30/S (KOPAG). Tempat penampungan dan interogasi

orang-orang yang dianggap terlibat dalam peristiwa tersebut. Otomatis akupun

berhenti sekolah, hanya sampai di kelas dua.

Setelah Papa ditangkap aku pergi ke Makeret Manado, ke tempat paman (kakak dari

Papa). Di sana aku les selama 3 bulan untuk mengikuti ujian SMA tahun depan

(1966). Waktu ujian seharusnya diadakan pada bulan Agustus tapi diundur ke bulan

Oktober. Keputusanku untuk ke luar dari kampung, selain memang mau

melanjutkan sekolah juga menghindar dari keadaan yang tidak menentu di desa ku.

Akhirnya aku bisa mengikuti ujian di SMA Pancasila di Jl. Kartini, yang kebetulan

Kepala sekolahnya adalah sahabat dari paman. Oktober tahun 1966 aku dinyatakan

lulus SMA.

Setelah lulus SMA aku disuruh pulang oleh mertuanya paman yang bernama

Pandelaki. Dia yang dipercayakan oleh Camat Butje Senduk, membawa ku pulang

untuk menjadi guru. Aku tidak mau, karena aku ingin menghindar dari keadaan

yang sedang tidak jelas di Desa. Selain itu aku juga takut, karena aku tidak punya

keahlian apapun untuk menjadi guru. Apalagi aku juga baru lulus, tentu masih

berpikir seperti anak-anak.

Ada kira-kira satu bulan kemudian, datang serombongan yang di pimpin oleh

Camat Senduk. Dalam rombongan ada Kepala sekolah yang akan bertugas di sana

yakni Lefran Torar serta Wim Manopo pemuda dari Tombariri serta Pak Pandelaki.

Aku masih ingat, waktu itu hari minggu. Karena pulang dari gereja aku dan paman

berada di laut sedang mengail (memancing). Wim tidak turun dari perahu, hanya

menunggu. Tanpa basa-basi Pak Camat langsung bilang, “Ayo kamu berangkat ke

Poopoh sekarang.”

Aku masih mencoba membantah, aku bilang, “Aku tidak membawa baju, sekarang

saja hanya pakai celana pendek.”

“Sudah jangan khawatir, kami sudah membawa pakaianmu.” Jawab beliau

Aku cuma bisa pasrah, dan tidak ada alasan lagi untuk menolak. Akhirnya

mengikuti apa yang diperintahkan. Kami pun berangkat bertiga, Kepala sekolah

Page 63: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

63

Lefran Torar, Wim Manopo dan aku sendiri. Naik perahu karena kalau jalan kaki

harus menyusuri pantai dan jaraknya lebih jauh. Kami mengajar di Sekolah Dasar

GMIM, Desa Poopoh Kecamatan Tombariri. Tujuh (7) km dari Desa Borgo tempat

tinggalku, jika jalan darat.

Sampai di lokasi kami dijemput oleh pengurus Gereja GMIM. Waktu dijemput

mereka kira gurunya cuma dua orang, mereka anggap aku anak perahu karena cuma

pakai celana pendek. Lalu Pak Lefran Torar minta aku mengganti baju di dalam

gereja, pakai kemeja pakai celana panjang. Setelah aku siap baru dimulai acara

perkenalan.

Malamnya hanya dilakukan briefing sedikit, koordinasi bersama persatuan orangtua

murid dan guru. Pengaturan yang tidak berdasarkan peraturan berlaku di sini.

Karena Wim lebih tua dari aku maka dia ditunjuk mengajar kelas 5 dan 6. Sementara

aku minta pegang kelas 3 dan 4 karena aku pikir tidak terlalu merepotkan dan juga

belum besar-besar seperti kelas 5 dan 6. Sementara kelas 1 dan 2 dipegang Kepala

Sekolah.

Setelah itu pengaturan ruangan, karena ruangannya tidak cukup. Ruang yang ada

hanya 3 maka jadilah satu ruangan dibuat dua kelas hanya dengan dibatasi kain

yang digantung ditali yang dibentangkan di tengah kelas. Satu ruangan untuk kelas

1 dan 2, satu ruangan untuk kelas 3 dan 4 satu ruangan lagi untuk kelas 5 dan 6.

Muridnya memang sudah disiapkan oleh orangtua murid, dan Hukum Tua di sana.

jadi kami memang sudah tinggal mengajar. Hanya saja kami tidak ada waktu untuk

persiapan. Muridnya sudah tua-tua, tapi mereka tetap mau sekolah. Mereka

didatangi di kebun-kebun tempat mereka tinggal, diajak untuk bersekolah lagi.

Misalnya waktu ditutup dulu tahun 1958 kelas 2 masuk kembali tahun 66 tetap kelas

2, padahal usianya sudah 16 tahun. Aku merasa mereka mau melawan saja,

mengingat badanku juga kecil.

Seingatku kelas enam hanya lima orang. Kelas lima ada dua belas orang, kelas-kelas

dibawahnya 10 orang lebih. Yang sekarang ada yang bekas Kumtua Poopoh, aku

kasih les waktu itu.

Page 64: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

64

Hari pertama aku sudah bingung, mau mengajar apa. Pelajarannya hanya tiga,

Matematika, Bahasa Indonesia dan Pengetahuan Umum. Pelajaran pertama kupilih

matematika, perkalian sederhana.

Selama mengajar, kami bertiga tinggal di rumah bendahara sekolah. Setiap sabtu

siang aku pulang ke Desa Borgo, menginap di rumah Om di mana biasa aku tinggal

sebelumnya. Senin pagi-pagi sekali aku harus berangkat jalan kaki sejauh 7 km

menuju sekolah.

Lalu baru dua bulan mengajar Wim keluar, sementara dia pegang kelas 6 yang

sebentar lagi mau ujian. Terpaksa aku pegang 4 kelas. Alasan Wim keluar karena ada

tawaran yang lebih baik di SD Kecamatan Tumpaan. Perjanjiannya kami digaji

Rp.1500/bln, makan ditanggung jemaat (oleh masyarakat). Kenyataannya 2-3 bulan

baru dibayarkan.

Setelah membawa kelas enam ujian dan dinyatakan lulus, sekolah libur 40 hari.

Kalender pendidikan nasional, sekolah akan mulai lagi bulan Agustus. Pada liburan

sekolah itu aku ditangkap, tepatnya bulan Juli tahun 1967 di rumah Om, sekitar jam

1 tengah malam. Waktu itu kami semua sudah tidur, tiba-tiba pintu rumah digedor-

gedor bukan diketuk. “Bangun, bangun,” sambil berteriak. Kami semua terkejut dan

ke luar. Di luar sudah banyak pemuda-pemuda, mereka bilang mau membawa aku.

Lalu aku tanya mereka dari mana? Mereka bilang dari KOPAG (Komando Pemuda

Anti G30S), dan dilarang banyak bertanya. Antara bingung dan takut aku mengikuti

mereka, setelah diijinkan mengganti baju.

“Kamu ini orang PKI, pemberontak ngoni.”

Sampai di KOPAG sudah banyak orang yang diduga-duga orang PKI. Padahal aku

sendiri tidak pernah punya kartu anggota partai atau bukti lainnya. Aku hanya

seorang guru yang mengajar di SD. Sebenarnya kami tidak diinterogasi atau ditanya

lagi, karena kami sudah dibilang “ kamu ini orang PKI, pemberontak ngoni

(kalian)....”pokoknya segala macam tuduhan. Lalu kami menjawab, “Torang mo bekeng

apa? ( Memangnya kami mau buat apa?)” Siapa mau melawan...? KOPAG itu, dia

ditugaskan luar biasa kekuasaannya. Unsur KOPAG ini dari IPKI, PNI, PARTINDO,

PARKINDO, ada juga partai Katolik. Tapi yang galak pada waktu itu IPKI dan

Page 65: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

65

PARKINDO. Yang menjadi pemimpin dan anggota kepengurusan KOPAG waktu

itu rata-rata dari IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia).

Malam itu juga akhirnya kami disuruh membuat surat pernyataan bersedia ke luar

dari PKI. Kemudian partai-partai yang tergabung dalam KOPAG berebutan. Aku

pilih PNI, tidak jelas apa alasanku waktu itu memilih partai itu. Selama tiga hari aku

ditahan di kantor KOPAG, keluarga tidak ada yang berani datang. Karena takut

ditangkap dan aku memaklumi itu. Tapi tidak dengan Oma, malamnya aku

ditangkap besok pagi beliau sudah datang membawakan selimut. Aku akui memang

aku adalah cucu kesayangannya, karena aku pernah tinggal lama dengan Oma.

Padahal beliau tinggal di desa sebelah, sekitar 600 meter dari rumah. Kantor KOPAG

sendiri adalah bekas SMA di mana aku dulu sekolah, tahun 1965 ditutup dan

sekarang sudah menjadi asrama pegawai Kecamatan.

Sesudah di KOPAG selama 3 hari, kami mendapat pembinaan di kantor Perwira

Urusan Teritorial, kemudian diijinkan pulang. Seminggu kemudian dapat panggilan

lagi, dan mulai saat itu diharuskan wajib lapor dan mendapat jadwal kerjapaksa tiga

hari dalam seminggu.

Wajib lapor ini berlangsung sampai tahun enam puluh sembilan (1969), jadi selama 2

tahun. Inilah awal dari pemasungan semua sendi kehidupan kami, semua gerak

langkah kami selalu dipantau tidak peduli siang atau malam. Pagi sudah disuruh

apel, sebelum melakukan kerja tanpa dibayar, tidak juga dikasih makan. Tenaga

kami diperas untuk mengerjakan pekerjaan terkait kepentingan umum seperti

membersihkan rumput di pinggir jalan, membersihkan atau membuat got-got.

Malam tidak boleh ke luar rumah, jam 6 sore sampai jam 6 pagi. Satu waktu aku

pergi nonton hiburan di rumah teman yang kawin (pesta pernikahan), masih satu

kampung. Ketika diperiksa di rumah ternyata aku tidak ada, Hansip langsung

mencariku. Ketika dia lihat aku, langsung diangkat (ditangkap). Kebetulan pergi

dengan pacarku yang nantinya jadi istriku. Dibawa pulang, baru besoknya

dilaporkan ke Koramil, akibatnya dimasukkan sel satu malam. Bayangkan selama

empat tahun tidak boleh ke luar rumah, hanya ke luar untuk melapor dan

melaksanakan kerja paksa.

Page 66: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

66

Kerjapaksa, penyiksaan dan terror mental

Kami mulai apel tiap jam 7 pagi, kalau lewat jam 7 baru datang, pasti mendapat

sanksi. Sanksinya semau-maunya petugas, dipukul, disuruh lari-lari, pokoknya buat

orang takut. Pernah ada satu orang dari Lemong, Kristian Mantiri namanya. Karena

lupa membawa cangkul, sehabis apel dia pulang ke rumah lagi mengambil cangkul.

Waktu itu lokasi kerja tidak begitu jauh dari Kantor KOPAG. Ketika dia balik ke

kantor KOPAG, orang-orang sudah berjalan ke tempat kerja. Jadi dia berlari

mengejar rombongan. Kopral Mandolang yang berjaga waktu itu, melihat ada orang

berlari, lantas ditegurnya, “Mau ke mana?”

“Ooh sudah terlambat pak, ada ambil cangkul di rumah tadi. Sekarang mau pergi

kerja”

“Oh bawa lari cepat..!!!” terus dia tembak teman itu. Untung cuma kena celana, tapi

dia sempat jatuh.

Jarak rumahku dengan kantor KOPAG sekitar 150 meter, dari KOPAG baru kami

berangkat menuju tempat kerjapaksa setelah apel pagi. Jarak tempat kerja dari

kantor KOPAG bisa sampai 3 km. Setiap hari aku harus membawa bekal makanan

untuk makan siang, kalau tidak, bisa kelaparan. Kalau tidak ada yang dibawa, yah...

terkadang mengambil ubi yang ditanam oleh petani di sekitar tempat kerja.

Ada satu waktu semua laki-laki disuruh gundul, aku lupa tahun berapa itu. Sekitar

jam sepuluh pagi aku dipanggil, giliran untuk dicukur. Kebetulan yang mau

mencukur itu sudah kenal, dia pegawai kecamatan. Waktu pergolakan kita kenal

dekat, namanya Anis Patuma seusia dengan aku. Sambil mencukur dia bilang sambil

tertawa, “Kita kase sisa di muka, biar kayak orang cina...”. Pada waktu itu Cina

dianggap imperialisme timur, jadi yang berbau Cina itu anti. Ahh nih, kopral

Mandolang mendengar, lalu dia berdiri sambil berteriak,”Oh kamu main-main ya..

Kamu mau main-main ya..”

“Loh bukan saya pak..” jawabku.

“Kamu mau ini..?!!!” lalu dia ambil air sabun untuk cukur, dia suruh aku minum

Aku tidak mau, ”Pak bukan saya yang salah..”. Aku tetap bertahan untuk membela

diri.

Page 67: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

67

Karena aku tetap tidak mau minum, dia ambil pisau cukur. Dulu kan cukur itu pakai

pisau, dia taruh di leher, dia bilang, “Kalau kamu tidak mau minum aku mau potong

leher kamu..”. Bekasnya masih ada di leherku sampai sekarang. Aku berprinsip tetap

tidak mau minum, tapi kalau aku merasa sudah terlalu pedih aku mau bertindak

melawan, mau lari atau apa saja. Tapi akhirnya tidak jadi sebab teman yang tukang

cukur bilang, “Duh jangan Pak, bukan dia yang salah, yang salah saya. Saya hanya

bergurau....”

Waktu kami kerjapaksa di Desa Ranotongkor Kecamatan Tombariri 9 km dari kantor

KOPAG, pekerjaannya mengangkat batu dari sungai untuk pembuatan jalan

Ranotongkor – Tomohon sepanjang 3 KM. Menjadi perbatasan Kecamatan Tombariri

dengan Tomohon. Selama satu minggu, kami ditampung di bangsal (tempat

pertemuan desa), karena para pemuda di sana marah, berteriak-teriak menyuruh

kami ke luar, mereka mau bunuh kami

Karena mereka sudah diberikan pemahaman PKI itu jahat harus dibasmi dari bumi

Indonesia. Jadi bekerjapun kami menjadi takut dan was-was kalau-kalau pemuda

datang tiba-tiba menyerang, meskipun kami dijaga oleh petugas. Setiap hari sebelum

kerja, jam 5 pagi apel paling lambat jam 6 mulai kerja. Aku siapkan makanan untuk

seminggu satu tas, beras beli apa semua. Karena kami tidak dibayar ataupun dikasih

makan. Yang tidak sempat bawa persediaan makanan, berbagi dengan yang

membawa. Kalau sudah habis pintar-pintar cari apa yang bisa dimakan di tempat

kerja.

Jarak dari Desa Borgo ke Manado 25 km, tapi kami bekerja tidak sampai di Manado.

Kami bekerja hanya sampai desa Buloh sekitar 12 km dari rumah. Sepanjang jalan itu

kami mengerjakan perbaikan jalan rusak.

Kurang lebih 2 tahun kami bekerja untuk kepentingan umum, setelah itu disuruh

mengerjakan pekerjaan untuk kepentingan pribadi-pribadi artinya tidak ada

kaitannya dengan pemerintah. Misalnya KOPAG minta kami bekerja, pegawai

Koramil minta kami bekerja. Tapi yang paling banyak minta dari KOPAG, termasuk

komandan KOPAG, Jon Rasun.

Suatu hari setelah apel pagi dia umumkan, “Siapa tahu ( bisa) kerja kopra..?”

Page 68: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

68

Aku dan beberapa orang angkat tangan, ya orang kan lebih suka kerja di luar

daripada bekerja di rumah-rumah pimpinan KOPAG maupun KOREM meskipun

masih di Tanah Wangko. Sejak saat itu aku bekerja di kebun kelapa untuk membuat

kopra. Sebenarnya itu kebun kelapa penduduk, jaraknya tidak jauh dari rumahku.

Dia membayar ke Komandan sementara kami yang disuruh kerja, kami tetap tidak

dibayar semua uang diambil dia.

Sistem pembayaran kerja membuat kopra waktu itu, 20 % untuk biaya

pengangkutan, 80% dibagi dua. 40% untuk pemilik, 40% KOPAG yang mengambil.

Sementara kami hanya dapat peringatan, “hati-hati, kalau hangus kopranya, habis

kalian..” sudah kerja tidak dikasih ongkos, malah kena ancam. Tugas kami

menghitung dan melapor berapa jumlah kopra yang sudah diselesaikan.

Pernah juga bekerja untuk orang Koramil, kalau ini kebun kelapa orangtua dari

pacar gelapnya Komandan. Memang dia juga tidak dibayar tapi kami yang kerja dia

yang dapat nama. Pernah juga disuruh berkebun. Kami yang bikin bersih, kami yang

tanam nanti hasilnya mereka ambil. Waktu tanam padi, pas panen sebagian kami

bawa ke rumah diam-diam, dia tidak pernah tahu.

Buat aku yang paling aku anggap kerja paksa itu waktu kerja di jalan, dijaga, tidak

boleh berhenti kalau belum jam waktu berhenti. Mulai bekerja jam 7 pagi, istirahat

sebentar kemudian mulai lagi bekerja sampai jam 4 sore terkadang sampai jam 5.

Selain aku dan beberapa orang yang bekerja membuat kopra ada juga yang bekerja

di hutan menebang pohon kemudian di potong-potong menjadi kayu balok.

Disuruh menyetor setiap hari berapa kubik ke KOPAG, ada target setoran.

Sekitar tahun ‘68, ada Satgas Intel Pusat datang menginterogasi. Kami dikumpulkan

di Koramil. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan, kami tidak tahu

jawabannya. Sementara mereka paksa kami harus tahu.

Mereka tanya aku, ”Siapa-siapa PKI di sini..?”

Aku jawab,”Tidak tahu”. Yang aku tahu di Kecamatan ini hanya Papaku yang PKI,

sementara beliau sudah ditangkap. Dengan marah terus saja mereka ulang-ulang

pertanyaan itu, kemudian ibu jari kakiku diletakkan di bawah kaki meja lalu ditekan.

Aku hanya bisa menahan sakit, sementara aku tidak tahu mau menjawab apa.

Selama tiga hari mereka memanggil orang-orang yang sudah terdaftar wajib lapor.

Page 69: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

69

Tempat melapor untuk wajib lapor golongan C di Kecamatan. Kalau yang bekas

tahanan yang sudah dibebaskan, termasuk Papa yang golongan B, di Koramil

(TEPERDA).

Saudaraku yang lain tidak ditangkap karena masih kecil dan aku waktu itu karena

sudah jadi guru makanya ditangkap. Kakak perempuanku juga guru tapi tidak

ditangkap karena tidak ada yang sentimen. Mungkin dalam pergaulan ku ada yang

sentimen atau tidak suka, entahlah...

Suatu waktu pernah ada kejadian, aku dihukum karena mau membela Papa yang

dipukul oleh aparat. Ketika itu sedang antri lapor di koramil yang mau diperiksa.

Papa ada di barisan depan, aku sendiri ada di barisan belakang. Tiba-tiba aku

melihat Papa jatuh ke dekat selokan karena dipukul. Aku ingat yang memukul

adalah letnan Angko namanya, lalu aku marah. Aku juga tidak tahu alasan Papa

dipukul karena aku berada di baris belakang. Aku hanya melihat Papa jatuh. Lantas

aku bilang kepada aparat itu, “Kalau mau pukul saya saja, jangan Papa saya yang

sudah tua”.

Lalu letnan Angko memberikan perintah kepada kopral Kusuma, “Kop, angkat dia”.

Aku dibawa, kemudian dimasukan ke dalam WC kantor polisi, dari pagi sampai

besok pagi lagi. Bayangkan di ruangan yang kecil gelap, bau kotoran dari lubang

WC yang hanya ditutup kayu. Aku tidur berdiri jika lelah berjongkok. Terkadang

aku berpikir, apakah mereka menghukum itu benar-benar dipikirkan atau tidak

akibatnya. Besok paginya aku dikeluarkan dari WC, karena ada Kapolsek yang

kebetulan aku kenal. Beliau tanya aku, ” Apa salah kamu?”

“Saya tidak tahu, saya marah mereka pukul Papa.” Kemudian dia bicara dengan

letnan Angko,. Tidak lama kemudian lalu aku dikeluarkan.

Menikah walau KTP berkode ET

Tahun 1969 aku memutuskan menikah, calon istriku seorang guru. Waktu mau

menikah dia disuruh pilih oleh pihak Yayasan di mana dia mengajar, mau menikah

atau tetap menjadi guru tapi tidak boleh menikah. Akhirnya dia memilih tidak lagi

menjadi guru dan menikah dengan aku . Salah satu syarat menikah adalah punya

KTP, maka akupun mengurus pembuatan KTP. Proses pembuatan KTP sebenarnya

Page 70: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

70

tidak sulit, datang saja ke Hukumtua lalu ke Kecamatan. Tidak ditanya, langsung

jadi karena sudah ada data. KTP pertama ku spesial karena ada tanda khusus ET

golongan C, yang dampaknya juga khusus. Aku dibebaskan dari kewajibanku

mengabdi pada negara.

Anak pertama kami lahir tgl 9 Juli 1969, perempuan. Pendidikan terakhir sempat

kuliah di jurusan Sosial Politik tapi tidak sampai lulus karena menikah,. Sudah

punya anak 3 orang, pekerjaan sekarang jadi Hukumtua (kepala Desa). Anak kedua

lahir tanggal 19 April 1971 laki-laki. Pendidikan terakhir SMA, pekerjaan sekarang

pengusaha pengiriman buah ke luar kota, sudah punya anak 1 orang. Anak ketiga

lahir tanggal 27 Januari 1973 perempuan. Pendidikan terakhir SMA, pekerjaan

sekarang ibu rumah tangga di Sorong Papua punya anak 1 orang. Anak yang

keempat lahir tahun 1981 tapi sudah meninggal. Jadi sekarang tinggal 3 orang.

Secara tertulis sejak tahun 1969, kami dinyatakan bebas. Berikutnya hanya wajib

lapor ke kantor Camat setiap tanggal 17 tiap bulan sampai tahun 1979. Namun pada

kenyataannya sampai tahun 1973 kami masih harus kerja paksa. Karena aku sudah

berkeluarga, maka aku harus benar-benar bijaksana membagi waktu. Siang malam

aku bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Pekerjaanku setelah menikah menadi nelayan dan juga bertani. Dalam satu minggu

ada 7 hari, 3 hari bekerja untuk mereka, 3 hari bekerja untuk keluarga. Cukup tidak

cukup harus cukup, dampaknya aku kesulitan memenuhi kebutuhan sekolah anak-

anak. Sampai-sampai mereka pernah tidak mau lagi sekolah. Tapi aku terus

menguatkan mereka, bahwa cuma sekolah yang bisa membantu kita keluar dari

kesulitan ini.

Sisa satu hari adalah hari buat ke Gereja. Tidak masuk gereja dipanggil oleh Hukum

Tua (Kepala Desa), dibawa dicatat ke Koramil. Biasanya Hukum Tua tanya dulu,

kenapa tidak masuk gereja? Kalau alasannya dia mengerti tidak dilaporkan ke

Koramil. Hari gereja ini sudah diberlakukan sejak tahun 1965 sama dengan kerja

paksa.

Sebenarnya sebelum ditangkap bukan aku tidak pernah ke gereja tapi memang

terkadang tidak datang. Itukan urusan aku dengan Tuhan, tidak bisa dipaksa. Sejak

tahun 1965 ke gereja buat aku menjadi keharusan, jadi kewajiban. Perlakuan gereja

Page 71: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

71

terhadap kami yang dituduh PKI biasa saja, tidak ada perlakuan diskriminasi. Malah

pada tahun 1975 aku pernah dipilih menjadi samas yakni pelayan gereja. Tapi pihak

gereja mendapat surat teguran dari Koramil untuk membatalkan itu, karena aku PKI.

Begitu juga perlakuan para jemaat lainnya, mereka biasa-biasa saja. Kalau secara

pribadi orang gereja mungkin ada rasa benci, tapi tidak kelihatan.

Di lingkungan sekitar dulu memang ada kata-kata yang merendahkan, waktu aku

masih belum menikah. Namanya anak muda kadang suka bikin ulah atau sedikit

membuat kegaduhan. Langsung ada yang bilang,“ngana ini memang PKI, nda

bertuhan...”. Sampai ada perasaan, “sebenarnya apa yang torang buat so, kong ngoni

anggap manusia lemah”. (“sebenarnya apa yang sudah kami lakukan, terus kalian

anggap manusia lemah”.)

Diskriminasi yang kami alami terutama kaitannya dengan pemerintah melalui

Koramil, misalnya tidak bisa menjadi pegawai negeri, dirapat-rapat aku tidak boleh

bicara. Seperti rapat desa, rapat apa saja. Di organisasi kerukunan saja tidak boleh

jadi pemimpin. Organisasi independent saja tidak boleh, pimpin ibadah tidak boleh.

Kalau dilanggar dipermasalahkan, seperti di Gereja juga disalahkan, kenapa mereka

memilih aku lalu disuruh mencopot.

Sampai ke anak-anak juga kena, kalau mereka nakal sedikit saja di sekolah langsung

dibilang “anak PKI”. Aku tahu mereka merasa kecewa, menangis dan tidak mau

bersekolah lagi. Tapi seperti aku bilang tadi mereka harus tetap bersekolah karena

hanya itu pegangan kita. Mungkin juga, anak-anak menyalahkan aku tapi aku tidak

pernah merasa bersalah kepada negara. Pemerintah yang mendesak kami bersalah,

aku tidak merasa memberontak pada negara.

Pernah waktu aku mau jadi Hukum Tua (Kepala Desa) tahun 2007, tidak bisa karena

aku dianggap tidak setia pada negara. Aku bilang: ”Buktikan kalau aku tidak setia,

aku pernah mengajar, pernah memberikan bakti kepada bangsa dan negara lewat

pendidikan. Aku pernah berturut-turut baik di Gereja maupun di desa jadi ketua

panitia. Ketua panitia 4 kali waktu ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan. Sewaktu

hari Paskah, aku juga jadi panitia”.

Lalu aku mengirim surat keluhan ke KOMNAS HAM. Mereka menjawab, bahwa

memang sampai saat ini baik pemerintah maupun masyarakat di daerah belum

Page 72: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

72

memahami undang-undang. Aku tidak mau menyerah, aku terus berjuang sampai

satu tahun. Walaupun pada akhirnya aku mundur, karena tetap tidak bisa. Padahal

semua persyaratan, dan semua surat keterangan sudah lengkap. Tetap saja mentok

di Kabupaten, mereka bilang belum bisa. Sempat sidang sampai 7 kali, tetapi tetap

dinyatakan kalah. Aku mau banding tapi tidak ada kesempatan untuk banding.

Tahun 2008 anak pertama ku yang perempuan kusuruh dia maju ke pemilihan

Hukum Tua. Kali ini sudah tidak diperdebatkan lagi karena tahun lalu aku sudah

berjuang dan mereka sudah takut. Tahun 2007 itu semua lembaga sudah aku

hubungi, yaitu KOMNAS HAM, Komisi Yudisial, sampai Mendagri. Akhirnya dia

terpilih menjadi Hukum Tua Tanah Wangko 6 tahun masa jabatan dari 2008 sampai

2014.

Tak henti melangkah menuju Penyintas.

Tahun 2008 istriku meninggal, sekarang aku tinggal di rumah dengan anak pertama.

Meskipun begitu aku tidak mau bergantung kepada anak, aku masih dapat mencari

nafkah sendiri. Pekerjaan yang biasa aku lakukan adalah mencari ikan di laut

ataupun mengurus kebun cengkeh dan kelapa.

Aktivitas lain saat ini aku ikut kegiatan organisasi di Gerakan Rakyat Peduli Hak

Asasi Manusia (GRP HAM) Sulawesi Utara, kebetulan saat ini dipercaya menjadi

Ketua. GRP HAM adalah sebuah organisasi yang fokus kegiatannya

memperjuangkan hak-hak para korban tragedi kemanusiaan 65-66. Salah satunya

adalah mendesak pemerintah untuk melakukan permintaan maaf atas pelanggaran

HAM berat yang dilakukannya pada tahun tersebut

Kemudian diakuinya bahwa kami punya kedudukan yang sama sebagai warga

negara baik dalam segi hukum maupun ekonomi. Tujuan utama yang penting

adalah hak-hak sipil yang pernah dicopot dikembalikan, seperti cabut stigma segala

macam, harus diberikan pemahaman bahwa sebenarnya PKI tidak bersalah.

Pemerintah seharusnya minta maaf, sekalipun bukan pemerintah sekarang yang

berbuat. Tapi setidaknya pemerintah sekarang mengakui bahwa pendahulu mereka

itu bermasalah lalu minta maaf.

Page 73: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

73

Sekarang ini kami sedang mencoba menggalang solidaritas bersama, bersatu dalam

memperjuangkan tujuan bersama dengan para korban 65 lainnya. Agar tidak terjadi

diskriminasi dalam bidang apapun, seperti yang pernah aku alami. Meskipun ada

beberapa kendala yang kami temui, seperti ada yang masih malu-malu mau

mengaku karena pensiunan PNS atau anaknya yang sudah jadi PNS. Mereka selalu

menolak jika diajak untuk kumpul-kumpul karena sudah terlanjur

menyembunyikan diri. Padahal sekarang sudah reformasi, sudah tidak masalah.

Tugasku sekarang adalah mensosialisasikan gerakan dan program dari GRP HAM,

ke siapa saja. Misalnya melalui pendekatan diskusi ke organisasi-organisasi pemuda,

kalau perlu ada perekrutan generasi muda. Program pertama memang sosialisasi

dan pembetukan pengurus kabupaten/ kota. Sosialisasi tingkat kecamatan untuk

mengingatkan kembali peristiwa masa lalu untuk meluruskan sejarah.

Buatku sejarah perlu diluruskan sebab selama ini orang mengetahui sejarah itu tidak

sesuai arti sejarah itu sendiri. Selama ini kan cuma isu yang dijadikan sejarah, sejarah

versi pemerintah. Perjuangan ini juga bukan karena kami dendam tapi hanya ingin

menyuarakan pengungkapan kebenaran sejarah.

Aku tidak ada rasa dendam, dengan orang yang pernah menyiksaku. Tahun 1989

aku pernah bertemu dengan komandan KOPAG waktu itu. aku masih ingat

namanya John Ransun, kebetulan kami makan di rumah makan yang saman.

Sepertinya dia juga masih mengenaliku, melihat ku malu-malu.

Lalu aku sapa, “Eh...dari mana?”,

Dia bilang, “Dari Kotamobagu”.

Karena kami berada di meja yang berbeda, hanya menyapa saja. Aku secara pribadi

biasa saja tidak ada dendam, malah waktu itu sehabis makan aku yang bayar makan

dia. Naik angkutan juga, aku yang bayar meskipun dia turun duluan sebelum aku.

Tanpa ku duga besoknya dia datang ke rumah, mungkin ada beban. Dia bilang yang

lalu-lalu sudah jangan diingat lagi.

Aku bilang,”Oh tidak... itu situasinya memang bukan kita punya mau, ndak usah

diungkit-ungkit lagi”

Page 74: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

74

Dia minta maaf atas apa yang terjadi dulu. Orangnya masih ada sampai sekarang,

usianya sudah 70an. Dulu dia paling jahat, dia sangat berpengaruh, Koramil saja

masih bisa dia atur. Waktu itu cuma dia yang membawa senjata, dari sipil.

Sekarang ini banyak teman-teman yang dulunya dikekang tanpa kebebasan bisa

lebih berhasil daripada orang-orang yang dulu mengucilkannya. Yang dulu

berkuasa sekarang malah, ...yah tidak lebih baik keadaannya. Lebih dari sepuluh

tahun, kami benar-benar diperas. bekerja untuk pemerintah yang utama, baru

kemudian mencari uang untuk makan.

Semua penderitaan hidup ini dijadikan pengalaman. Mudah-mudahan peristiwa-

peristiwa seperti ini tidak akan terjadi lagi. Itu sebabnya generasi-generasi

selanjutnya harus memahami demokrasi itu seperti apa. Selama ini menurutku

demokrasi belum benar-benar dilaksanakan. Di mana demokrasi itu kan berarti kita

punya hak yang sama, kebebasan yang sama untuk semua orang

Aku senang bisa melampiaskan apa yang aku pikir. Senang bisa melampiaskan kebenaran-

kebenaran yang lalu, agar orang lain bisa tahu bagaimana aku dulu menderita. Tidak ada

dendam, tapi semua harus diluruskan. Kuncinya ada di pemerintah, dimana harus

melindungi dan menjamin warga negaranya memperoleh hak-haknya. Jangan hanya

mementingkan pencitraan. ***

Pewawancara dan penulis : Nurhasanah.

Hari Wisastra

MENGGELIAT MENGHENTAKKAN KETERPURUKAN

Dengan berjalan kaki kami harus menempuh jarak kurang lebih 8 Km, untuk

bersekolah. Tungkai yang masih lemah membelah hutan-hutan dengan menyusuri

jalan setapak. Setiap subuh sekitar jam 5 sudah harus bangun mempersiapkan

peralatan sekolah, dan mandi, yang kadang-kadang tidak bisa dilakukan karena

tidak ada air di musim kemarau. Di subuh yang dingin, berkabut tebal, harus

Page 75: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

75

menyusuri jalan setapak, dan meniti titian sebatang kayu lapuk. Sesekali menjumpai

sapi liar, rusa, dan monyet, tapi kami tetap berjalan beramai-ramai. Setiap hari kami

memakai seragam putih merah yang lusuh, nampak kotor, selain karena tidak punya

seragam lain, juga karena bekas getah buah jambu mete. Pada saat musim jambu,

selepas pulang sekolah di sepanjang jalan kami bermain-main saling melempar

dengan kurame [daging buah jambu monyet]. Inilah salah satu cerita ceria anak-anak

yang dikucilkan, walaupun kami tetap bisa berbagi satu sama lain. Kami, anak-anak

tahanan PKI, masih ceria kendatipun guru sejarah menerangkan pelajaran sejarah

yang tak benar, menyalahkan mati-matian Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu kami. Kami

hanya berpandang-pandangan satu sama lain karena kami belum mengerti betul

siapa yang salah.

Saat itu umur kami baru 7 tahun. Di rumah, dari orang tua kami mendengar bahwa

mereka tak bersalah karena tidak pernah divonis bersalah oleh pengadilan, tetapi

justru ditahan. Orang tua kami diinterogasi dengan pertanyaan, “Di mana senjata itu

disembunyikan?”. Di sekolah kami dicekoki versi yang berbeda hasil bikinan Orde

Baru. Kami hanya dianggap sebagai manusia ketika pemimpin butuh suara kami.

Menjelang pemilihan umum barulah kami dikunjungi dan diarahkan untuk memilih

Golkar. Hanya untuk memilih, setelahnya kami tidak lebih dari masyarakat kelas

dua yang berdiam di negeri yang bernama Indonesia.

Berjalan menuju sekolah ada yang memakai sepatu, ada yang cuma memakai sandal.

Di saat musim hujan, pakaian, sepatu ataupun sandal kami bungkus dengan

kantong plastik usang sobek. Lumpur di rawa yang kami lalui sampai setinggi lutut.

Banjir menghanyutkan titian kami. Daun pisang dijadikan payung karena ketika itu

payung bukan kebutuhan yang harus benar-benar diadakan. Terpaksa orang tua

mengantarkan kami menyeberang dan hampir setiap tahun ada waktu selama

semingguan kami tak bisa bersekolah ketika sungai Wanggu meluap. Kami belum

pandai berenang dan takut menyeberang karena ketika banjir, kata orang tua dan

penduduk sekitar, buaya naik dari muara ke hulu atau turun dari hulu ke muara.

Pulang sekolah bersama tiga lima orang berjalan beriringan menyusur jalan setapak.

Page 76: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

76

Ada kalanya kami memakan buah hutan yang ada di pinggir jalan, seperti Ruruhi

(bahasa Tolaki) buah yang sangat kecut berwarna agak merah Begitu tiba di rumah,

sudah menanti beberapa potong ubi sebagai makanan siang hari, atau gadung yang

telah hilangkan racunnya. Ubi atau gadung tersebut dicampur dengan parutan

kelapa. Ini adalah makanan selama menunggu musim panen padi di sawah di

belakang rumah atau di tempat lain yang jauh tempatnya di dalam hutan. Lahan

tersebut telah dibagi-bagi untuk aku dan adikku. Terkadang juga berangkat ke

sekolah dari ladang padi di belakang rumah. Pernah juga Bapakku bercerita karena

mungkin membawaku berpanas-panas memanen padi terpaksa kakiku di ikat di

salah satu tiang pondok tempat kedua orangtuaku berladang. Waktu itu aku sedang

lincah belajar merangkak.

“Kalian takkan pernah bisa menjadi apa-apa karena kalian tidak diterima oleh

masyarakat, meski setinggi apapun sekolah kalian”, kata-kata itu terkadang masih

terus terngiang di dalam otakku, terutama kalau aku sedang termenung sendirian.

Aku hanya tersenyum dan bergumam sendiri, bicara sendiri, “Betapa bodohnya

orang yang mengatakan itu, dia pikir dia adalah Tuhan yang menentukan jalan

kehidupanku.” Teringat pula ketika suatu hari ada salah seorang kenalan Bapak

yang aku lupa namanya, datang kepada Bapak dan menawarkan agar aku diadopsi

demi perbaikan masa depanku. Tapi dengan halus Bapak menolak.

Walau mungkin ada protes kecil dengan kehidupan kami saat itu tapi aku sangat

bersyukur sekali berada dalam asuhan Bapak. Dia ayah yang baik, sahabat yang

baik, karena kedekatan dengan sosoknya maka aku bisa betukar pikiran,

membicarakan apa saja, beliau tidak melarang, tapi memberikan gambaran sisi baik

dan buruknya, setelah itu ia menyerahkan kepadaku. ”Yang akan menjalani

semuanya kan kamu. Sebab akibatnya yang akan menanggungnya ya kamu”. Begitu

juga kalau ada yang kurang disetujuinya ”Akibatnya ya yang merasakan”. Oleh

karena aku bisa bertukar pikiran dan membahas apa saja sama seperti ketika aku

hendak menceritakan yang terjadi dalam keseharianku, hal-hal yang kudengar dari

guru ketika menjelaskan pelajaran sejarah tentang PKI yang digambarkan jahat dan

Page 77: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

77

lain sebagainya. Kedua orang tuaku justru memberikan gambaran yang sangat jauh

berbeda. Mereka mengajarkan kepada kami budi pekerti, seperti tidak boleh mencuri

dan mengambil hak orang lain, dan lainnya yang sangat-sangat jauh berbeda dengan

apa yang digambarkan oleh masyarakat di luar sana. Terkadang memang ada

perasaan menyalahkan Bapak atas apa yang terjadi karena menurutku kehidupan

kami akan lebih menyenangkan dan bebas mencita-citakan apa saja seperti anak-

anak lainnya, kalau Bapak tidak menjadi tahanan. Teman-teman boleh memimpikan

untuk menjadi apa saja, boleh bersekolah tanpa harus saling berpandang-pandangan

dengan sesama anak korban, atau dipandangi oleh teman-teman lain ketika

pelajaran Pendidikan Pancasila. Begitulah pikiran kecilku saat itu. Di Sekolah Dasar

prestasi sekolahku juga tidak jelek-jelek amat, karena aku hampir selalu masuk

kelompok 5 besar.

Terkadang bila kami ingin membeli kue, padahal kami tak punya uang, maka

terpaksa kami menjual jasa mengambilkan air untuk pemilik warung, mengisi

tempat penampungan air, drum, dan ember. Air kami ambil dari sumur yang

lumayan jauh. Sebagai upahnya kami diberi ubi goreng, atau kue-kue yang lainnya.

Setamat Sekolah Dasar, aku ditawari oleh mas Ridwan, anak Ibu Murdinah teman

Bapak di Nanga-Nanga untuk ikut bersamanya ke Makassar (waktu itu Ujung

Pandang]. Tanpa pikir panjang lagi aku iyakan saja tawaran itu, di samping untuk

mengurangi biaya sekolah yang harus ditanggung oleh Bapak juga ingin

menghindar dari lingkungan sekitar yang selalu saja punya alas an untuk

mencemoohklu. Kemudian mereka akan mngumpatku dengan kata, ’’Dasar anak

PKI’’. Sampai di Makassar aku ternyata dimasukkan ke pesantren. Bagiku, yang pen

penting aku bisa sekolah. Kadang-kadang aku menertawai teman-temanku di awal-

awal masuk sekolah, karena banyak dari mereka yang sering nangis karena tidak

bertemu dengan orang tuanya selama beberapa minggu. Mereka tidak mendapat

kiriman dari orang tua mereka. Kami diasramakan pada waktu itu. Aku dan sekitar

100 orang berada di asrama yang memang dibiayai oleh pengasuh sekolah sebagai

anak kurang mampu dan anak yatim. Di bangku sekolah aku masih juga

Page 78: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

78

mendengarkan tentang PKI yang jahat dan tidak bertuhan, tapi aku diam saja karena

mereka tidak tahu keadaanku sebagai anak tahanan politik.

Tahun 1995 aku pulang dan dalam perjalanan aku berpikir sudah waktunya ada

perubahan.

Senang rasanya bisa berkumpul dengan Bapak Ibuku dan kedua adikku. Kami

bercanda dan bertukar pikiran dengan Bapak dan mendengarkan nasehat-nasehat

beliau, sesuatu yang kurindukan selama tiga tahun. Tapi hanya sepuluh hari

bersama mereka karena aku harus kembali lagi, untuk mendaftarkan diri masuk

SMU di sekolah yang sama di SMU PPM Al-Iklash Lampoko Campalagian waktu itu

di kabupaten Polmas Sulawesi Selatan, sekarang sudah masuk wilayah Sulawesi

Barat.

Ketika melihat orang tua kawan-kawanku membesuk anak-anak mereka dan

membawakan apa saja, timbul juga rasa rinduku kepada orang tua. Tapi aku biarkan

saja dan menikmati rindu ini dengan menulis apa saja yang ada dalam pikiranku.

Pernah juga ada kawan-kawanku yang minta dibuatkan surat cinta. Waktu itu belum

banyak telpon genggam. Kadang aku bingung, karena dekat dengan perempuan saja

aku gugup, minta ampun, apalagi harus menuliskan surat. Tapi aku

menyanggupinya. Aku suruh ia bercerita tentang apa saja yang berkaitan dengan

apa yang akan kutuliskan dan anehnya berhasil. Sejak saat itu aku sering di minta

teman untuk menuliskan surat-surat semacam itu dan aku kebagian oleh-oleh yang

dibawa oleh orang tua mereka.

Pernah juga aku coba – coba menulis puisi buat salah satu majalah remaja ketika itu.

Kalau tidak salah nama majalahnya KUNTUM. Puisiku dimuat tahun 1998 ketika

mahasiswa ramai berdemo untuk menurunkan Soeharto.

BIAS MAYA

Dan mencipta bayangan maya.

Page 79: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

79

Membentang bias nafas.

Dan gedung-gedung menantang angkasa sumber sabda.

Dan kata-kata bebas tercekat di tenggorokan.

Ketika timah panas menembus ruang kehidupan.

(Hari Wisatra, Desember 98.)

Sesudah menyelesaikan pendidikan SMA, sebenarnya dapat melanjutkan kuliah atas

biaya Yayasan perguruan Al-Iklash. tapi tawaran itu ku biarkan saja mengingat

kondisi Bapakku yang sakit-sakitan dan tak mungkin meninggalkannya lagi untuk

waktu yang lama.

Dalam perjalanan pulang, kupikir Nanga-Nanga yang dulu kutinggalkan dengan

segala ketertinggalannya, mungkin sudah mulai ramai dan tersentuh pembangunan.

Tetapi semuanya buyar karena aku masih mengulang harusa berjalan kaki sepanjang

4 kilometer untuk mencapai rumah. Hitung-hitung bernostalgia ketika bersama

teman-teman berjalan kaki ke sekolah di jaman S.D dulu.

Betapa senangnya tiba di rumah dan berkumpul kembali dengan kedua orang tuaku

dan adik-adikku. Baru sepuluh hari berada di rumah, aku sudah coba-coba masuk

hutan mengikuti kawan-kawan yang lain untuk mengikuti membalak kayu dengan

menggunakan parang untuk dijual. Baru satu sisi yang aku tebas dengan parang,

tiba-tiba aku melihat di kakiku keluar darah ketika kuangkat kaki, darah muncrat

seperti keluar dari selang kecil, Ternyata parang yang aku gunakan sudah menores

pembuluh darah di pergelangan kakiku. Aku duduk mengangkat kaki lebih tinggi

dari kepala sambil memegang sekuatnya agar darah tidak mengucur. Aku berteriak

memberitahukan kawan-kawan yang lain kalau aku terluka. Aku pikir dapat

berjalan pulang ke rumah yang berjarak 2 km tapi hanya sektar 500 meter saja aku

sudah tak kuat, tulang-tulang rasanya nyeri. Terpaksa aku berbaring. Untung waktu

itu ada pondok untuk tiduran. Sambil menunggu kawan-kawan yang lain selesai,

akhirnya aku digendong pulang.

Page 80: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

80

Sesudah tamat sekolah, pekerjaan serabutan lebih sering kukerjakan, mulai dari

menjadi kuli bangunan, batu, kayu, pernah juga menjadi kolektor di koperasi simpan

pinjam. Aku keluar dari pekerjaan tersebut karena kurasa sangat bertentangan

dengan prinsip-prinsip koperasi. Kemudian aku mendulang emas di tambang

rakyat. Ketika dalam perjalanan pulang aku mengalami kecelakaan motor. Kami

bertabrakan dengan mobil bak terbuka. Aku tidak mengalami cedera berat, tetapi

kawan yang memboncengku harus dioperasi lututnya yang sobek. Setelah itu aku

menjadi sales di Adira, Mulit, dan Kuantum. Kemudian aku keluar dan sekarang

berwiraswasta dengan membuka usaha penangkaran holtikultura khusus bibit

pohon durian. Jenis durian montong dan kani. Dengan sistim tanam penempelan

atau sambung yang direkomendasikan oleh Dinas pertanian dan perkebunan.

Usahaku ini sudah berjalan dua tahun yang kuolah bersama dengan seorang adik

dan seorang teman di Nanga-nanga yang bernama Sumarmin. Sumarmin adalah

temanku waktu kecil. Usaha ini adalah hasil diskusi dengan kawan-kawan lainnya

di luar Nanga-nanga seperti di Konawe Selatan. Dengan tidak bisa lagi

mengharapkan sumber daya dari daerah sekitar maka aku bersama adik dan teman

melakukan penangkaran ini. Di samping sudah banyak juga lahan yang telah dijual

oleh masyarakat lainnya untuk di jadikan perumahan di sekitar mereka. Peluang

lainnya yang sedang kami gagas mensuplai kebutuhan Kendari akan bibit yang

selama ini masih didatangkan dari Makassar. Kendala yang dihadapi sekarang

adalah belum mampu mengurus izin penangkaran resmi karena keterbatasan dana.

Oleh karena itu posisi kami masih menjadi cabang atau bagian dari penangkaran

Konawe Selatan. Sudah pernah sekali menghasilkan bibit untuk penangkaran

Konawe Selatan sebanyak 1500 bibit pohon durian. Selain itu sampai sekarang ada

juga petani yang datang ke tempat kami untuk membeli bibit. Di belakang rumah,

kami sudah menyediakan pupuk kandang sebanyak 370 karung untuk keperluan

praktek teman-teman kelompok tani Tunas Baru, agar bisa mengurangi penggunaan

pupuk kimia dan kembali ke tanaman organik. Anggota kelompokku sebanyak 19

orang, dan aku sebagai ketua. Anggotanya terdiri dari petani muda dan tua.

Kelompok tani ini sekarang tidak aktif menyelenggarakan pertemuan setiap minggu.

Namun kelompok ini melakukan pertemuan berdasarkan kebutuhan mereka di

Page 81: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

81

lapangan saja., masing-masing sibuk dengan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya. Aku sebagai ketua terkadang sering keluar kota untuk mengikuti

pelatihan, dalam rangka pengembangan pengetahuan mengenai kelompok tani agar

bisa maju bersama.

Selain melakukan pembibitan durian, aku juga merencanakan mendirikan

perpustakaan (rumah baca) untuk anak-anak Nanga-nanga. Di samping rumah

kami.

Aku juga aktif berorganisasi sejak diadvokasi oleh LBH Kendari untuk mendapatkan

Sertifikat tanah di Nanga-nanga. Kegiatan ini aku ikuti sejak tahun 2006. Organisasi

ini bernama PERMIN (Perjuangan Rakyat Miskin Nanga-nanga) yang akhir-akhir ini

mengalami kemandekan.

Pada tahun 2012 aku akhirnya kuliah di Fakultas Hukum Unsultra (Universitas

Sulawawesi Tenggara). Alasanku kuliah di fakultas hukum adalah bila kita

mengetahui hukum maka kita akan punya posisi tawar lebih tinggi dan tidak akan

mudah di intimidasi oleh orang lain. Kuliah di fakultas hukum Unsultra (Universitas

Sulawawesi Tenggara) masuk tahun 2012. Alasan kuliah di fakultas hukum, jika kita

mengerti hukum akan mampu berbicara masalah hukum dan akan memiliki posisi

tawar lebih kuat.

Terahir kegiatan yang aku ikuti adalah Temu Regional Korban Tragedi 1965 di Palu ,

Sulawesi Tengah.

Ada hal lain yang kualami, ketika menghadiri pertemuan tersebut. Seorang teman

meminta aku menceritakan riwayat Bapakku. Permintaan teman ini, seperti

membongkar memori yang selama ini aku pendam. Permintaan ini memberiku

semangat dan berharap bahwa lebih banyak lagi orang yang akan tahu apa yang

dialami oleh Bapakku, dan kami sekeluarga. Sebuah riwayat pelanggaran terhadap

hak azasi kami.

Alm. Bapakku bernama ARI SUTARI lahir di Pandegelang tanggal 31 Desember

1935. Yang aku ingat, kakek dan nenekku bernama Mas Awa Parta Atmaja dan Ratu

Rohama. Bapakku bekerja di Perusahaan Aspal Negara (PAN) yang berada di

Page 82: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

82

Lawele Kabupaten Buton. Ketika itu ia tenaga yang dikirim dari Perusahaan Umum

di Bandung, untuk bekerja mengawasi Explorasi Aspal tersebut.

Bapakku ditangkap dan ditahan karena Bapak pada waktu itu menjadi salah satu

pimpinan Serikat Buruh Tambang. Penangkapan terjadi pada tanggal 30 November

1965.

Sebelumnya Bapak sudah pernah menikah dan mempunyai empat orang anak. Pada

saat Bapakku tertangkap atau selama dalam tahanan Bapak ditinggalkan atau

diceraikan oleh istrinya, karena istrinya ini mendengar cerita dari orang-orang di

sekitar dan pemerintah, tentang cerita yang tidak begitu enak didengarkannya. Oleh

sebab itu dia pisah dengan Bapak. Setelah Bapak lepas dari tahanan tahun 1977,

Bapak menikah lagi untuk yang ke dua kalinya dengan Ibuku Haena. Lahirlah aku

yang pertama HARI WISASTRA, sekarang berumur 32 tahun, anak kedua bernama

YUNANSRI SAFITRI, berumur 31 tahun, dan anak ketiga bernama KAISAR

POBALIA, berumur 27 tahun.

Ketika itu saudara-saudaraku yang dari lain Ibu sangatlah trauma, karena mereka

sangat merasakan langsung dampak penahanan terhadap Bapak. Situasi saat itu

sangat mencekam dan meresahkan perasaan mereka. Pada saat itu rumah dinas di

obrak-abrik, katanya, untuk mencari dokumen-dokumen, terutama dokumen

tentang senjata yang ditinggalkan oleh kapal KRI DOMPU. Kapal itu singgah di

Buton karena mengalami kerusakan sebelum meneruskan perjalanannya ke Irian

Barat. Cerita tentang kapal yang singgah itu dimanfaatkan oleh para tentara dalam,

memeriksa para tahanan, dengan tuduhan bahwa kapal tersebut tidak rusak

melainkan berlabuh untuk menurunkan senjata sebanyak 500 pucuk untuk

persiapan mengambil alih pemerintah Buton pada waktu itu. Selain tuduhan

terhadap senjata yang dibawa oleh kapal tersebut, juga tentang lubang – lubang

yang digali mirip lubang Buaya seperti di Jakarta yang katanya untuk mengubur

penjabat pemerintah setempat. Mengenai kapal KRI DOMPU yang oleh para

pemeriksa dikatakan menurunkan senjata, dibantah oleh Kapten kapal Letkol

Busono, bahwa kapal tersebut tidak benar menurunkan senjata tetapi memang

mengalami kerusakan. Keterangan Letkol Busono itulah yang menyebabkan para

Page 83: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

83

tahanan tidak lagi mendapat siksaan. Demikian menurut Yunus Lameaso, salah

seorang Tapol.

Bapakku menceritakan perlakuan yang dialami selama Orde Baru berkuasa antara

lain, diberinya tanda “ET” di KTP, yang baru dihapuskan pada tahun 1995. Ketika

pemilu diarahkan untuk memilih GOLKAR. Juga pada masa Orde Baru dikenal

dengan sampul “D” artinya anak-anak korban tidak boleh menjadi pegawai negeri

nantinya. Juga para tentara mengatakan agar tidak mendekati TAPOL karena

TAPOL itu orang-orang jahat.

Bapak juga mengalami pemukulan, disetrum, dan makan jagung hanya 50 butir

sehari selama dua bulan, makan ubi satu potong dan terkadang makan sagu satu

sendok. Selama dalam pengasingan mereka dipaksa untuk bekerja seperti:

menggergaji/memotong kayu yang kemudian dijual oleh tentara, pembuatan jalan

dan, jembatan. Mereka juga disuruh bercocok tanam dan hasilnya dinikmati oleh

para tentara. Tapi pada saat Bapak disuruh memotong kayu itu oleh para pengawas,

Bapak sering sakit, maka Bapak tidak banyak bekerja di lapangan. Bapak bertugas

mengantarkan makanan bagi para tahanan yang bekerja di hutan.

Setelah bebas, tahanan ditawari untuk dimukimkan dengan diberi tanah garapan,

Katanya rumah yang akan diberikan oleh pemerintah pusat itu, semi permanen

dengan berlantaikan semen. Tapi hanya rumah papan biasa yang tiangnya hanya

ditabas, dengan lantai tanah.

Biaya perumahan semi permanen itu sebesar Rp 500.000 dari pusat, tetapi karena

banyak potongan hingga tersisa Rp 200.000 saja. Dengan uang segitu itu rumah

tersebut dibangun yang diborongkan kepada tahanan. Pada saat itu juga tahanan

harus bekerja untuk menghidupi keluarga, dengan terpaksa bercocok tanam. Banyak

yang tidak tahan bekerja, akhirnya pulang ke kampungnya masing-masing., berjalan

melewati jalan setapak.

Aku sekarang tinggal bersama ibu dan adik laki-laki di Nanga-nanga. Nanga-nanga.

Nanga-nanga luasnya 1000 HA adalah tempat yang di persiapkan oleh pemerintah

untuk hunian dan kerjapaksa tapol napol. Sekarang masyarakat luar mengkalim

tanah tersebut sebagai miliknya. Nanga-nanga ini berada di wilayah Kelurahan

Baruga, Kecamatan Baruga, Kota Kendari.

Page 84: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

84

Pewawancara : Nurhasanah

Penulis: Mohamad Abbas.

Jozef Beinhard Kalengkongan

AKU INGIN ENGKAU BERKATA JUJUR SEJUJUR-JUJURNYA

Suatu hari saya ditanya oleh seorang anak muda, yang sudah cukup lama saya kenal.

Dia suka mendengarkan cerita saya, dia mengatakan cerita-cerita kami membuat dia menjadi

lebih mengerti bagaimana suatu peristiwa dalam sebuah sejarah terjadi dibanding dia harus

membaca buku. Sehingga dia dapat melihat sejarah dari dua sisi yang berbeda, tidak hanya

mendapat informasi dari satu sisi apalagi terkait dengan peristiwa 1965. Dan bagaimana dia

sangat menghormati perjuangan kami, buat saya itu sudah cukup memberi semangat.

Karena memang tidak banyak anak muda yang mau tahu apa sih yang sedang kami

perjuangkan.

Sore itu kebetulan kami hanya berdua di kantor tempat kami biasa berdiskusi, tiba-tiba dia

bertanya ke saya. ”Om... mau tidak kalau saya minta cerita Om dari awal ketika pertama kali

Om dinyatakan sebagai salah satu orang yang harus ditangkap, sampai akhirnya Om

dibebaskan?”

“Loh selama ini kan kamu sudah dengar seperti apa cerita saya...”.

“Iya sih Om... tapi saya kan mendengarnya cuma sepotong-sepotong, kali ini saya mau

dengar utuh Om. Siapa tahu ini bisa jadi cerita yang bisa menginspirasi banyak orang

terutama anak muda...”.

“Lalu saya harus mulai dari mana...?”

“Ya sudah, gimana kalau Om jawab saja pertanyaan dari saya?”

“Boleh juga seperti itu”.

“Oh iya Om, nanti saya rekam ya...”.

“Boleh... boleh...”.

Kamipun berdialog panjang tentang bagaimana pengalaman saya dari sebelum tahun 1965

sampai sekarang (2013). Terkadang dia tertawa, bukan karena mentertawakan cerita saya.

Page 85: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

85

Tapi kadang memang saya menyelingi cerita-cerita lucu saja. Tanpa terasa hari sudah

menjelang malam, kamipun harus kembali ke rumah kami masing-masing.

Beberapa hari kemudian kami bertemu lagi, dia menyodorkan tulisan yang katanya hasil

wawancara dengan saya waktu itu. Dia minta saya membaca kembali hasil tulisannya, kalau

ada yang terlewat mungkin bisa ditambahkan.

Sekilas saya membaca judulnya “SEJUJURNYA, AKU INGIN ENGKAU BERKATA

JUJUR SEJUJUR-JUJURNYA”. Judul yang agak aneh, tapi cukup menarik perhatian.

Nama saya Jozef Beinhard Kalengkongan, memasuki usia 74 tahun di tahun 2013 ini.

Saya bersyukur masih diberikan kesehatan oleh Tuhan. Hanya saja saya sudah tidak

bisa makan sayuran tertentu, maklumlah sudah lama saya bersahabat dengan si

asam urat. Tapi soal pedas saya masih nomor satu, karena orang Sulawesi Utara

tidak bisa lepas dari rica (cabai). Istri saya satu dan masih setia mendampingi saya

sampai sekarang, usianya 72 tahun. Pada bulan November 2012, baru saja diwisuda

S1 nya di Universitas Negeri Manado (UNIMA ) jurusan Keguruan Ilmu Pendidikan

(KIP). Fisik boleh tua tapi jiwa kami tetap muda.

Anak saya ada empat (4) orang. Anak pertama perempuan namanya Suryati,

pendidikan terakhir insinyur pertanian. Pekerjaan wiraswasta penata kecantikan.

Anak kedua laki-laki namanya Ato Pendidikan terakhir kedokteran, pekerjaan

Dokter Umum. Anak ketiga laki-laki namanya Surya pendidikan terakhir SMA

kuliah tidak lanjut karena ketiadaan biaya, pekerjaan berdagang. Ke empat

perempuan namanya Sari pendidikan terakhir SMK kecantikan pekerjaan penata

kecantikan bersama dengan anak pertama.

Saya lahir di desa Motoling, Minahasa Selatan Sulawesi Utara pada tanggal 6 April

1937. Ayah saya bernama Eli, beliau seorang pemimpin gereja. Ibu saya bernama

Bina Paat. Beliau seorang ibu rumah tangga tulen. Saya anak ke 4 dari 8 bersaudara.

Tapi yang saya tahu sekarang tinggal dua adik, perempuan dan laki-laki yang

bungsu, mereka tinggal di Minahasa Selatan.

Saya masuk Sekolah Rakyat (SR) tahun 1944 di Motoling, kemudian melanjutkan ke

SMP tahun1950 di Motoling. Tahun 1953 masuk SMA Insula (Institut Sulawesi)

jurusan B di Makasar. Karena tidak punya saudara maka saya kos. Saya sempat

kuliah di Universtas 17 Agustus Fakultas Pers Jurnalistik, tapi hanya sampai tingkat

Page 86: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

86

dua (1956-1957). Karena sewaktu masih kuliah saya sudah bekerja menjadi

wartawan surat kabar harian Marhaen (1956-1961). Lalu saya dipilih oleh pimpinan

redaksi menjadi wartawan perang Komando Daerah Pertempuran SULUTTENG di

Sulawesi Selatan (KDPSST), dalam rangka penumpasan gerombolan DI/TII tahun

(1956-1957). Pada Maret 1958 bertempat di Markas Perwakilan Komando Operasi

Sadar Sulawesi Tengah di Jl. Kutai 74 Surabaya, saya dilantik sebagai Letnan Satu

Tituler oleh Mayor Jendral A. H. Nasution dan menjadi wartawan perang komando

operasi sadar untuk penumpasan Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA ) di

Sulawesi Tengah. Kemudian berlanjut menjadi wartawan perang komando operasi

Sapta Marga III di Gorontalo, operasi penumpasan Permesta di tahun yang sama

(1958). Terakhir wartawan perang komando operasi merdeka di SULUT Manado,

Minahasa, Bitung, masih di tahun 1958 - 1961. Tugas saya sebagai wartawan perang

adalah memantau penumpasan DI/TII dan PERMESTA. Kadangkala saya berada

pada dua kelompok yang saling menembak dan biasanya berada di daerah

perkebunan atau hutan. Berhari-hari berada di lokasi pertempuran. Cara pelaporan

berita melalui telegram lewat kantor pos.

Di tahun 1956 saya aktif di Panitia Aksi Pembebasan Irian Barat (PAPIB) Propinsi

Sulawesi Selatan di Makasar. Tahun 1957 aktif di Sekretaris Badan Kerjasama

Pemuda Militer (BKS-PM) Sulawesi Selatan di Makasar. Tahun 1958 menjadi Wakil

Ketua Badan Kerjasama Pemuda Militer (BKS-PM) Sulawesi Utara di Manado.

Lalu ketemu istri saya di sekitar tahun 1958. Waktu itu dia masih sekolah di Sekolah

Guru Atas (SGA) Katholik Manado. Setiap hari saya antar jemput dia dengan sepeda

hingga dia melanjutkan kuliah di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas

Hasanudin (FKIP UNHAS) di Manado. Dulu ada program kuliah kelas jauh. Waktu

itu saya sudah bekerja menjadi wartawan perang yang sudah ditugaskan di Manado.

Kemudian saya juga melanjutkan kuliah di Universitas Pinaesaan, jurusan Hukum.

Belum sampai selesai kuliah di jurusan hukum, tahun 1962 saya memutuskan untuk

menikah. Lima (5) tahun kami bertunangan, akhirnya memutuskan menikah. Karena

calon mertua tidak suka saya pakai baju hijau (baju tentara), lalu saya mencari

pekerjaan lain. Jadi sejak tahun 1961 akhirnya saya melamar menjadi guru SMP,

Page 87: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

87

mengajar di SMP Kristen bersubsidi, Manado. Saya mengajar Bahasa Indonesia,

sejarah umum, sejarah dunia dan civic.

Selama menjadi guru saya aktif di organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia

Non Vaksentral (PGRI NV), organisasi pecahan dari PGRI karena tidak setuju atas

pilihan PGRI berafiliasi pada organisasi lain. Sementara PGRI Non Vaksentral ini

setuju dengan program PKI tapi bukan underbow PKI.

Pada tanggal 30 september 1965 (peristiwa itu sebenarnya terjadi sesudah jam 24.00,

berarti sudah masuk tanggal 1 Oktober) terjadi sebuah peristiwa yang menggemparkan

di Jakarta, yaitu penculikan dan pembunuhan 7 Petinggi Angkatan Darat. Pagi

tanggal 1 Oktober 1965, seperti biasa saya masih melaksanakan tugas mengajar. Di

sekolah saya mendengar dari teman-teman guru tentang peristiwa di Jakarta itu.

Tidak sampai selesai jam sekolah saya izin pulang dan mencoba mencari tahu

kejadian yang sebenarnya ke teman-teman yang aktif di partai (PKI).

Pertama saya mendatangi rumah bung Herman Siwu seorang anggota DPRD

Provinsi yang mewakili PKI, di Jalan Bethesda Manado. Beliau juga hanya

mendengar di radio tapi belum tahu rinci peristiwa itu. Ia masih menunggu

klarifikasi atau pemberitahuan dari CC PKI (Kantor Pusat PKI) di Jakarta dan

menyuruh saya pulang sambil menunggu komando selanjutnya. Kemudian saya

menemui bung Jhon Umboh di rumahnya di Ranotano. Dia ketua Consentrasi

Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) Sulutteng sekaligus kader PKI juga. Ternyata

dia juga belum mendapat informasi dan perintah untuk melakukan apa pun terkait

peristiwa di Jakarta.

Keesokan harinya saya masih tetap pergi mengajar, semuanya berlangsung normal

hingga sampai tanggal 9 Oktober 1965, walaupun keadaan mulai memanas ketika

tanggal 4 Oktober mayat jendral-jendral diketemukan. Pada saat itu Soeharto

mengatakan, kemaluan-kemaluan jendral dipotong, disayat oleh Gerwani. Jadi saya

pikir siapapun orang Indonesia yang mendengar berita ini pasti timbul amarah.

Sejak tanggal 5 Oktober, sudah mulai terjadi gelombang demonstrasi yang dilakukan

oleh kelompok-kelompok masyarakat yang mengaitkan peristiwa yang terjadi di

Jakarta dengan PKI sebagai pihak yang bertanggung jawab. Puncaknya penyerbuan,

pengambilalihan, pembakaran gedung kantor Comite Daerah Besar (CDB) PKI

Page 88: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

88

Sulawesi Utara dan Tengah (Sulutteng) pada tanggal 7 Oktober. Aksi itu dimotori

oleh tentara dan dibantu organisasi pemuda seperti Gerakan Pemuda Ansor (GP

Ansor), Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI), Gerakan Pemuda

Islam Indonesia (GPII) dan Pemuda Pancasila.

Lalu saya datang ke sekolah berencana mau pamitan ke teman-teman guru di

sekolah, yang kebetulan mereka adalah aktivis IPKI (Ikatan Pendukung

Kemerdekaan Indonesia/Pemuda Pancasila). Lalu ada teman-teman guru yang

Pemuda Pancasila bilang, “Bapak nginap saja di sekolah”. Saya disuruh tinggal di

sekolah, tidak ada yang mau ganggu... betul... sebab mereka mau melindungi saya.

Dua hari saya tinggal di sekolah. Tiba-tiba ibu saya datang sambil berteriak-teriak

“lari kamu... kamu mau dibunuh, kamu mau digantung…”. Beliau datang dari

Minahasa Selatan untuk berjualan telur ayam kampung dan gula aren di pasar 45 di

pusat kota Manado. Belum sempat berjualan, beliau mendengar pengumuman

dengan pengeras suara. “bunuh Nico Mamoto pimpinan Partai Nasional Indonesia,

Tangkap Yan Joshua pimpinan PKI...”. Lalu diantara nama-nama itu ada nama

saya...”gantung Yosef Kalengkongan...”.

Sebelumnya memang saya sudah merasa akan ditangkap karena pada tanggal 27

September saya memimpin aksi demonstrasi di Manado. Tuntutan aksi : Turunkan

harga dan tarif kendaraan umum, yang hadir kira-kira 2000an, yang memang pada

waktu itu merupakan satu-satunya demonstrasi yang terbesar. Tapi itu tidak

mewakili partai apapun, itu gabungan masyarakat. Waktu itu tarif kendaraan mahal,

barang-barang semua mahal. Jadi kita menuntut turunkan harga.

Jadi tanggal 9 Oktober saya memutuskan melarikan diri, ke kampung ibu di

Minahasa Selatan. Sementara istri, saya suruh pulang ke kampung orangtuanya di

Tondano bersama dua anak saya. Kebetulan istri saya juga guru, tapi dia tidak

ditangkap hanya diberhentikan. Karena memang dia tidak masuk dalam organisasi

apapun. Saya lari menuju kebun-kebun di daerah pinggiran Manado karena tak

ingin diamuk massa yang sudah terlanjur kalap di bakar emosi.

Di persembunyian inilah saya bertemu Herman Siwu anggota DPRD Sulawesi Utara,

Jhon Umbo guru SMEA ketua organisasi CGMI, Sam Solang Ketua Pemuda Rakyat

Suluteng, Willem Tan bukan PKI dia pengusaha tapi Cina karena takut dia ikut lari,

Page 89: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

89

Alo Rembet aktifis PKI. Akhirnya kami menjadi satu rombongan yang berpindah-

pindah dari satu kebun ke kebun lain.

Sebenarnya mungkin kami tidak akan tertangkap kalau lebih berhati-hati dan

waspada. Apalagi terhadap ibu-ibu yang berjualan makanan yang kami temui

sepanjang perjalanan. Kami dengan mudah bisa tertangkap oleh pemuda-pemuda

dan polisi. Karena ternyata dari cerita ibu-ibu tersebut, bisa memastikan bahwa kami

memang rombongan yang sedang melarikan diri. Kebetulan di antara ibu-ibu itu

juga ada yang anaknya pimpinan komando pemuda anti G30S.

Pada tanggal 18 Oktober 1965 sekitar jam 3 sore, kami dikepung dan ditangkap.

Mereka dari kelompok pemuda, ada Ansor, pemuda GAMKI Kristen, pemuda

Katolik dibantu tentara di bawah Komandan Komando Rayon Militer (KORAMIL),

Letnan TNI Ngantung dan Kepala Polisi Sektor (POLSEK) Kecamatan Pineleng

Inspektur Polisi Wollah. Penyergapannya di sekitar area persawahan dekat Sekolah

Tinggi Filsafat (STF) Seminari Pineleng ketika hendak menuju pegunungan

LolOmbulan.

Nah waktu kami ditangkap, polisi dan pemuda membawa kami ke kantor

koramil/kantor militer Pineleng. Di sana sampai malam sekitar 4 jam. Waktu mau

makan kami tidak mau makan. Takut toh… takut diracun… lalu ini pemuda Ansor,

dia bilang “makan...”. karena kami tidak mau makan, dia lebih dulu makan. Dia

makan lauk pauk lalu nasinya, dia kasih contoh bahwa makanan ini aman.

Sesudah makan, baru tangan kami diikat semua. Di antara pemuda-pemuda yang

menangkap kami, ada yang kasar sekali… ”ayo mau diperiksa…” padahal ketika

mereka bicara keras begitu, mereka mau melonggarkan ikatan. Jadi di antara mereka

itu ada seorang yang murid saya. Juga ada murid John Umboh yang ketua PGRI dan

guru SMEA.

Anak-anak muda ini bicara kasar “jangan lari kamu”. Periksa-periksa tali tapi dia

berbisik, dia bilang “bapak tangannya jangan begini yah (maksudnya dibuka

kepalannya)… tetap seperti diikat…” padahal talinya dia sudah buka… tapi dia

punya kata-kata ”diikat kamu, jadi jangan lari…” dia buka, sebab waktu diikat oleh

militer, memang tangan biru-biru seperti darah mati. Sekitar jam 10 malam kami

dijemput dengan mobil dibawa ke Kodim Manado. Di tempat ini tidak sampai dua

Page 90: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

90

jam, lalu kami dibawa ke penjara (yang sekarang dikenal dengan nama Gedung

Juang) atas perintah Letnan Kolonel Rauf Moo selaku komandan Kodim. Tiba di

penjara kami menjumpai belasan tentara yang sedang menjalani hukuman kasus

pidana penyelundupan. Tentara-tentara itu sudah ditugaskan oleh bagian intel

Komando Daerah Militer (KODAM) XIII Merdeka, Sulawesi Utara Tengah untuk

melakukan penyiksaan kepada semua kader ataupun simpatisan PKI yang sudah

tertangkap dan berada di penjara.

Di penjara tidak ada interogasi, yang ada cuma memaki dan memukul. Kalau kami

disuruh ke lapangan, berarti kami harus lari berkeliling lapangan. Ketika kami lari-

lari, ada petugas yang duduk-duduk di pinggir lapangan sambil memegang kayu

untuk dipukulkan di tulang kering, dan tangan.

Di penjara tiap blok punya WC, lalu semua kotoran itu mengalir di got besar menuju

ke satu septictank yang besar. Dari berapa puluh kamar menuju ke situ. Ada seorang

teman kami, Derek Wondan, anggota Comite Sub Seksi Kecamatan Tomohon. Pada

suatu ketika Bapak Derek dimasukkan ke dalam bak kotoran itu. Bak kotoran yang

setinggi leher. Para penyiksa ini sudah tes lebih dulu dengan tongkat. Jadi bapak

Derek Wondan itu, kalau dia menunduk, mukanya akan masuk ke tai (kotoran).

Kotorannya sebatas dagu, sehingga mukanya harus tegak terus. Kalau tidak, akan

kemasukan kotoran.

Bayangkan bagaimana tersiksanya Bapak Derek saat itu, tidak hanya menahan

kepalanya untuk tetap tegak tapi juga bau yang keluar dari kotoran. Kira-kira 3

sampai 4 jam di dalam bak, lalu ada salah seorang petugas yang datang dan berkata,

“sudah angkat saja...”.

Pengalaman saya sendiri, ketika awal saya diinterogasi mereka langsung bilang...

”kamu PKI, pembunuh jendral, komunis tidak bertuhan” mereka tidak mau percaya

kalau saya bukan PKI… .Meskipun saya jawab, “saya bukan PKI...” . dia tidak mau

pusing, pokoknya dia siksa saya.

Empat hari kemudian saya dan beberapa orang yang tergabung dalam satu

rombongan sewaktu ditangkap pertama, diambil dari penjara dibawa ke markas

Resimen Tim Pertempuran (RTP) I Sulawesi Utara. Markas ini juga markas

Page 91: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

91

Komando Operasi Tertib Wilayah I yang meliputi Sulawesi bagian utara dari Talaud,

Sangihe, Minahasa, Manado, Bolaang Mongondow dan Gorontalo.

Rupanya ada yang melapor kepada panglima bahwa kita orang ini mau dibunuh

semua di sana, dan ada yang sudah mati dalam tahanan. Yang meninggal itu Willem

Tan yang orang Cina waktu sama-sama lari. Sementara keadaan saya sendiri juga

sudah sangat mengenaskan. Tangan ini sudah membesar seperti paha, bengkak. Lalu

kami diperiksa oleh dokter di RTP. Lalu perwira-perwira itu bilang…”angkat

tangan, coba gerakan kelingking, gerakan jari tengah…”. Kesimpulan dari dokter

tidak ada yang patah, karena masih bisa digerakkan. Sebab kalau ada yang patah,

putus syaraf tidak boleh diperintah lagi. Selama tiga bulan kami di RTP terhitung

Oktober, November, Desember, Januari. Akhir bulan Januari kami dipindahkan

kembali ke penjara pertama.

Selama di RTP, nasib kami tidak menjadi lebih baik. Tiap hari kita diperiksa, dengan

pertanyaan yang sama dan kadang tidak masuk akal hanya untuk mencari alasan

menyiksa. Seperti… ”dimana disembunyikan senjata…”. Tentu saja saya jawab tidak

tahu dan memang tidak ada, setelah saya bilang tidak ada justru lebih dia beringas.

Disetrum, ibu jari kaki diletakkan di kaki meja kemudian mejanya diduduki,

dipukul, menjadi sesuatu yang biasa buat kami. Pokoknya di Korem ini kami lebih

disiksa lagi tapi kalau ini yang melakukan memang petugas. Tiap hari sekitar satu

jam kami harus menerima siksaan-siksaan ini, siang malam. Waktu penyiksaan tiap

harinya tidak pernah sama, semau mereka. Sesuai dengan mereka punya selera,

panggil pagi boleh, panggil malam boleh. Karena di RTP banyak sekali tahanan jadi

bisa 24 jam penyiksaan itu, setiap orang minimal satu jam saja.

Alat setrum yang digunakan di militer ini adalah semacam alat telepon yang diputar

secara manual dan menggunakan batu baterai, lalu ujung kabel itu yang

mengandung setrum. Jika batu baterainya baru, setrumnya tidak begitu

menyakitkan tapi kalau baterainya sudah bekas maka setrumnya semakin terasa

sakit. Biasanya yang disetrum tangan, tetapi sering kalau perempuan di buah dada,

laki-laki di kemaluan.

Waktu diinterogasi dalam ruangan itu kadang-kadang sendiri kadang-kadang

berdua. Pernah saya diinterogasi satu ruangan dengan satu anak gadis. Saya bilang

Page 92: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

92

anak gadis, memang saya lihat masih muda sekali. Waktu itu saya kan sudah

menikah, jadi saya pikir beda jauh usianya dengan saya. Anak gadis ini berasal dari

desa dan dia anggota biasa Pemuda Rakyat. Sebuah organisasi pemuda tapi bukan

pengurus juga. Bayangkan ini di desa, entah bagaimana dia ditangkap. Dia duduk di

sebelah saya, kami tidak boleh baku (saling) tengok. Jadi waktu dia disuruh buka

blus, rupanya dia tidak mau. Akhirnya juga terpaksa dibuka. “buka BH” teriak

mereka. Kemudian pemeriksa itu bilang ke saya, . “silakan kamu tengok...”. saya

tidak mau tengok, dia pukul saya,”bandel kamu”. Lalu perut saya ditinju, kaki saya

dipukul pakai rotan.... uuh, saya meringis kesakitan, tapi saya tetap tidak mau

melihat.

Lalu yang lebih menyiksa lagi begini, ini lima jari, ada 4 pensil diletakkan disela-sela

jari… aduh… siksa sekali itu... lalu diremas dengan mengepalkan tangan. Tersiksa

sekali.

Tiba-tiba saya dibentak lagi, “Tengok...”.

Saya tetap bertahan untuk tidak melihat. Kenapa saya berani melawan, karena saya

dan teman-teman di penjara punya pikiran dan perasaan memang tidak akan pulang

lagi ke rumah. Sehingga kami merasa mati hanya tinggal menunggu giliran saja. Jadi

kita punya sikap tidak perlu menghormat petugas, tidak perlu, memang kita rasa

pasti mau dibunuh. Lain hal kalau tadinya kita pikir ada yang tidak akan dibunuh,

mungkin bisa kita layani. Saya pribadi berpikir seperti itu, jadi saya juga keras.

Lalu mereka teriak lagi, “coba tengok…”

Saya tidak bilang tidak, tapi saya tidak mau tengok. Dia ambil saya punya badan

dengan paksa menghadap ke anak gadis tadi, lalu saya bilang ke perwira itu…

”saudara… saya tahu saudara dilahirkan oleh seorang perempuan. Saudara kan

punya ibu, perempuan. Jadi kalau saudara bukan dilahirkan oleh seorang ibu

silahkan teruskan…”

Masalahnya begini... saya sudah kawin toh waktu ditahan, jadi saya bisa bedakan itu

nona yang so kawin atau dia belum kawin tapi so tahu “batona”. Ini nona pe putting...

eh.. .itu kopral masih mau pegang, mau kasih keluar apa tuh... depe putting susu,

karena memang belum pernah “batona” nihperempuan. Maksudnya mau kasih

keluar puting susu, mau ikat akang kabel… beda kalau sudah pernah menetek... ini

Page 93: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

93

memang masih dipegang mau dikasih keluar lalu ikat tuh kabel.(masalahnya begini...

saya sudah menikah waktu ditahan, jadi saya bisa membedakan gadis yang sudah menikah

atau belum tapi sudah tahu “pacaran”. Puting gadis ini... eh... itu kopral masih tetap mau

pegang, untuk mengeluarkan puting susu, untuk diikatkan kabel. Beda kalau sudah pernah

menyusui... ini masih tetap ditarik keluar untuk diikat kabel).

Nah sekarang masalahnya, sedangkan ketua pemuda rakyat di Kabupaten itu saja

belum tentu tahu soal senjata ini. Terbukti sampai sekarang tidak ada senjata itu,

tapi andaikata betul ada, tidak mungkin ini perempuan tahu. Dia cuma anggota

biasa, bukan pengurus ranting, bukan pengurus kecamatan, bukan pengurus

kabupaten, masa dia tahu itu logika saya. Sebenarnya logika dari petugas, juga

seperti itu. Dia tidak tahu apa-apa, tapi tetap dipaksakan.

Sementara gadis itu hanya bisa berteriak kesakitan dan sesekali bicara... ”saya tidak

tahu… saya tidak tahu… saya cuma anggota...” Akhirnya saya sempat melihat

bagaimana dia jatuh ke lantai dan terbanting-banting kemudian mengejang pingsan

ketika disetrum. Saya masih ingat nama-nama tentara yang menyiksa kami. Letnan

Sangit, Sersan Mayor Saragih dan Letnan Kolonel Supomo.

Di RTP selama satu bulan kami berenam tinggal di WC yang berukuran 1,5 m X 1,5

m. Dalam ruangan ada WC, ada bak air sepanjang ruangan dengan lebar 40cm tinggi

setengah meter. Pada awal kami masuk keadaannya masih bersih, ada air sekitar

satu jengkal. Karena selama satu bulan itu tidak pernah ditambah air, maka kotoran

kami menjadi menumpuk. Satu minggu pertama kami masih merasa risih tapi

selanjutnya menjadi terbiasa. Bahkan ketika kami tidur kadang ada ulat-ulat keluar

dari kotoran menggerayangi kami. Selama satu bulan itu kami tidak pernah

dikeluarkan kecuali kalau ada panggilan interogasi. Seminggu kadang dua kali saya

dipanggil, jatah makan sehari satu kali. Ada dua ventilasi dalam ruangan satu di atas

pintu, satu lagi di atas bak air. Itu makanya kalau ada yang sudah mulai sesak napas,

gantian berdiri di atas bak air untuk menghirup udara di lubang udara. Kalau tidur

kadang kami bergantian, atau kalau malam diatur sedemikian rupa. Ada yang

kakinya di atas bak mandi, di atas WC. Untuk mengurangi bau dari kotoran

biasanya kami buang puntung rokok ke dalam WC.

Page 94: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

94

Saya ingat tanggal 31 Januari 1966, baru saja kami sampai di penjara Manado, belum

sempat kami masuk ke sel, ada pengumuman dari kantor penjara terkait

pemanggilan nama-nama.

Terdengar suara: ”Dengar nama-nama ini… Siapa yang namanya dipanggil siapkan

barang-barang...”. Biasanya kalau begitu mungkin mau bebas. Sementara memang

yang dipanggil, semuanya ketua-ketua atau orang-orang penting di organisasi.

Ketua PKI Sulawesi Utara, Ketua Partai Nasional Sulawesi Utara… Semuanya 47

orang yang dipanggil. Di antara nama-nama itu ada Herman Siwu, Jhon Umboh.

Terdengar omelan dari orang-orang di dalam penjara... merasa kesal dan dongkol :

“uh... kok yang mau dibebasin yang tokoh-tokoh, sementara kita cuma kroco kok

tidak dipanggil . Termasuk saya.”

Semua yang namanya dipanggil diharuskan melewati portir penjara langsung dan

naik ke mobil yang sudah disiapkan oleh militer. Ternyata mereka yang dipanggil 47

orang ini bukan bebas, ... tapi pergi ke tempat pembunuhan karena mereka tidak

kembali. Beberapa anggota keluarga korban yang sempat datang menjenguk saya,

diantaranya istri Herman Siwu dan Jhon Umboh mengatakan bahwa semua keluarga

mendapat sebuah surat dari Letnan Kolonel Ichdar selaku Komandan Komando

Tertib (KOTIB I) KODAM XIII Merdeka. Isi suratnya pemberitahuan bahwa telah

terjadi kecelakaan kapal laut yang menenggelamkan seluruh penumpangnya ketika

akan menuju ke sebuah pulau pengasingan di daerah Sangir Talaud.

Saya secara pribadi memang dipanggil oleh salah satu tentara yang menjaga kami,

berdua dengan bapak Fatah guru SMAN Manado. Dia orang Jawa, mungkin dia

dulu Pemuda Rakyat lalu jadi tentara sebelum peristiwa atau bapaknya di Jawa sana

terlibat jadi dia merasa ada kedekatan dengan kami. Dia kasih tahu saya bahwa dia

salah satu yang melaksanakan perintah pembunuhan terhadap 47 orang itu di

Tomohon, dulu itu namanya Kantor Rindam, kantor resimen induk KODAM XIII

Merdeka oleh sebuah kesatuan Zenit Tempur (ZIPUR) yang dipimpin oleh Kapten

Kosim. Dikemudian hari Kapten Kosim sempat menjabat komandan KODIM

(Dandim) di Madiun, Jawa Timur dengan pangkat Letnan Kolonel.

Jadi tentara ini pelaku langsung, dia bercerita bagaimana mereka diperintahkan

membunuh tidak dengan ditembak, tidak ditusuk, tapi mereka disuruh berjalan di

Page 95: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

95

lubang yang sudah digali. Alat berat sudah menggali saluran setinggi orang, lalu

ketika mereka pura-pura disuruh pindah ke tempat lain dari kamar interogasi

melalui jalan lorong. Waktu di lorong itu, tentara-tentara yang ditugaskan, mereka

sudah berdiri di tanggul dengan pentungan besi. Jadi tidak ditembak, tidak ditusuk,

tapi dipukul dengan pentungan besi. Sampai pas ditimbun ada yang sempat masih

hidup.

Mereka ada yang Kristen, dan Islam. Dari Gorontalo banyak yang Islam. Waktu mau

ditimbun ada yang berteriak... ”Yesus...”, dia orangnya tinggi besar, putih dan lebih

sering berbahasa Belanda. Itu benar karena memang dari 47 orang itu ada yang ciri-

cirinya seperti itu namamya Bert Waroka anggota dewan pemerintah Provinsi

sekaligus pimpinan PKI. Meninggalnya 47 orang tersebut dipertanggungjawabkan

oleh pihak militer, dengan kebohongan bahwa mereka tenggelam di laut.

Sekarang, andaikata betul mereka tenggelam di laut, mengapa sampai sekarang ini

belum pernah kami dengar ada perusahaan perkapalan swasta yang disewa oleh

Kodam yang menuntut ganti rugi. Atau belum pernah kami dengar sampai sekarang

ini, istri-istri dari prajurit-prajurit pengawal ini yang suaminya mati tenggelam

bersama kapal, yang menuntut ganti rugi. Tidak pernah ada tuntutan begitu dari

orang-orang bersangkutan. Jadi memang tidak benar itu kecelakaan di laut, yang

benar memang dibunuh.

Pada saat saya diperiksa di kantor Polisi Militer (POM), giliran saya punya kemaluan

yang disetrum. Tempatnya memang kantor polisi militer tapi yang memeriksa saya

“Tim pemeriksa TEPERDA, Tim Pemeriksa Daerah”. Yang memeriksa saya seorang

perwira namanya ‘Mayor Bimo’. Memang sangat kejam sekali orang ini.

Dia perintahkan saya begini... ”sebutkan 10 anggota ABRI yang saudara kenal”.

Kalau cuma sekedar kenal banyak yang saya kenal. Puluhan bahkan ratusan

mungkin, tapi saya tidak mau bilang. Sebab, saya ini tahanan politik, kalau saya

sebutkan nama seseorang ini kaitan dengan politik. Nanti dikira dia juga teman saya.

Saya tidak mau gara-gara mulut saya lalu ada istri orang lain tersiksa, atau anak

orang lain tersiksa karena dia punya ayah berteman dengan seorang tahanan politik.

Waktu dipaksa saya cuma bilang begini, ”Contoh waktu saya masih bujangan di

Makassar... e’... orang Manado kan suka makan ikan anjing toh... di Makassar banyak

Page 96: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

96

sekali anjing liar, lalu malam-malam kita mencuri anjing. Tapi masyarakat tahu,

malah mereka yang membantu. Mereka kasih tunjuk, ”disana yang banyak ...disana

yang banyak”. Kita pakai jerat malam-malam. Tidak ada yang melarang, malah

masyarakat merestui kami mencuri anjing. Dari kegiatan ini lalu saya berteman

seorang Brimob, polisi tentara yang orang Minahasa. Saya bilang, “kalau saya sebut

mereka, yah dikira mereka ini anggota sama-sama dengan kita. Padahal mereka

cuma kenalan dalam kegiatan mencuri anjing”.atau umpamanya ada teman saya

teman ABRI, tinggal sama-sama di satu kompleks, kita punya tunangan sama-sama,

saya tidak mau sebut.

Dia tetap memaksa saya untuk menyebutkan, karena saya tidak mau sebutkan satu

orangpun kemudian saya disuruh buka baju seluruhnya. Waktu tinggal pakaian

dalam saya tidak mau buka. Kami bertiga dalam ruangan, dengan satu sersan yang

mendampingi mayor Bimo.

“Kamu bandel yah,..” bentak Mayor Bimo

Saya jawab, “Tidak... saya menghormati bapak. Saya ini orang timur...”

“Tidak perlu saya dihormati, buka”. Akhirnya dengan sangat terpaksa saya buka.

Kemudian Si sersan disuruh ikatkan kabel di kemaluan saya... tapi dia diam saja

seperti tidak mendengar padahal ujung kabelnya sudah dipegang. Sekali lagi mayor

Bimo memerintahkan dia seperti membangkang tidak mau. Lalu... tiba-tiba alat

setrum itu diputar oleh si mayor, jadi si sersan yang kena setrum. Karena saya

kasihan sama tuh sersan, dia sudah kena setrum... saya bilang, “silakan saja sersan...”

Dia juga minta maaf, “Saya minta maaf bapak, saya hanya diperintah...”

Mayor Bimo cuma mendengarkan saja. Mungkin karena dia bukan orang sini yah,

dia itu orang Jawa, sedangkan si sersan orang Manado.

Waduh... bukan main... rasanya saya tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata

bagaimana tersiksanya itu. E’... kalau saya tidak salah hitung, mungkin 4 kali saya

pingsan. Saya sudah dilantai, pingsan lagi berdiri... woo... hanya mengulang

pertanyaan yang sama. Waktu itu saya dapat jam siang, jadi bayangkan saya pulang

ke penjara dengan menahan rasa sakit setelah disetrum....

Hari berikutnya memang tidak disetrum lagi tapi waduh... memang disiksa, mayor

ini memang benar-benar... saya tidak tahu mau bilang apa... Salah satunya seperti

Page 97: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

97

ini, berdiri lalu ini (sambil menunjuk ibu jari kaki) diletakkan dibawah kaki kursi

lalu dia dudukin.

Saya disuruh kembali lagi besok, tapi sudah diancam dapat lagi penyiksaan yang

lebih hebat dari hari sebelumnya. “Kalau kamu masih bandel, tetap tidak mau

menjawab apa yang saya tanyakan. Kamu akan dapat yang lebih dari hari ini.”

begitu katanya.

Meskipun sebelum dipenjara saya jarang pergi ke gereja, tapi bukan berarti saya

tidak percaya Tuhan. Dan juga selama di penjara saya juga tidak pernah mengikuti

ibadah yang diadakan teman-teman. Dalam keyakinan saya sebagai orang kristen,

jika saya berdusta maka wajar saya dipukul. Tapi ini saya jujur dan kenapa saya

dipukul?

Malamnya saya belum tidur, memikirkan siksaan apa lagi yang akan saya terima.

Pintu kamar terbuka, didepan ada lapangan dan ditengahnya ada tiang bendera.

Lalu saya keluar, saya duduk di bawah tiang bendera. Bukan maksud untuk

bersemedi, tapi mencoba merenung.

Entah kenapa akhirnya saya datang di keimanan, duduk sendirian di tengah

lapangan. Suasana sunyi, tidak ada lagi suara orang-orang beraktivitas. Lalu saya

berkata sendiri, “Tuhan, ... kalau betul kamu ada dan kamu benar, Tuhan... Besok

saya mau dipanggil ke ruang periksa, saya minta saya tidak disiksa”. Jadi dalam

lamunan ini, sambil ngoceh saya bilang “Tuhan... kalau saya disiksa karena saya

berdusta saya terima, tapi ini saya bicara betul kenapa saya disiksa...?”. saya ulang-

ulang terus, “kalau betul kamu ada Tuhan, saya minta ...besok saya tidak mau

dipukul”. Saya ulang lagi...”kalau betul kamu Tuhan... saya minta besok saya tidak

mau dipukul.” Sampai saya lelah dan masuk ke sel untuk beristirahat.

Besoknya pagi-pagi sudah terdengar dari pengeras suara, ” Josef Kalengkongan,

siap”. Biasanya siap dengan pakaiaan dan lain-lain. Setiap mau pergi siap dua buah

selop (sandal jepit karet), satu selop baru tidak dipakai satu selop yang dipakai. Satu

selop baru itu kita pakai kalau kita mau disiksa. Untuk menahan sakit kita gigit itu

selop yang kita ambil dari saku supaya bisa tahan. Dan ini pemeriksa bisik-bisik ke

kita...”sudah bawa selopnya?”. Memang seperti alat kerja, setiap dapat jatah panggil

Page 98: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

98

yah pasti dibawa. Setelah dari penyiksaan kita simpan,... kalau cuma air liur atau apa

lalu kita bersihkan, simpan bungkus dengan saputangan, atau handuk...

Sesampainya di tempat pemeriksaan, ketemu pemeriksa yang kemarin... dia

langsung bertanya, ”masih bertahan pada jawaban kemarin?”

“Ya, karena itu yang benar” jawab saya.

Lalu dia ambil kertas, dia kasih sama saya...”ini kertas kamu tulis sendiri

jawabanmu, jam 2 saya kembali kamu sudah selesai menulis...” Jadi apa jawaban

saya, saya tulis sendiri lalu dia bilang jam 2 dia kembali. Waktu itu pemeriksaan

mulai jam 9. Waktu dia keluar lalu datang ibu-ibu. Ibu kantin di kantor CPM itu

membawa kue kukis 6 biji, satu kukis 2 biji jadi 3 jenis kukis 6 biji dengan kopi susu.

Saya bilang,”ibu...”. Dia tahu saya orang tahanan, mereka juga merasa tersiksa kalau

mendengar teriakan-teriakan dari ruang pemeriksaan. ”Ibu, saya tidak bawa uang. ”

Terus, ibu bilang begini, ”itu bapak mayor yang suruh...”. Bapak penyiksa itu

menyuruh ibu kantin bawakan kue dengan kopi susu. Dia yang bayar. Pengalaman

ini saya kaitkan dengan keimanan saya tadi malam.

Lalu saya makan habis, jam 2 dia kembali. “sudah selesai?” saya bilang sudah, sudah

saya tulis berlembar-lembar dan dia baca.

Salah satu pertanyaannya menyebutkan 10 orang anggota polisi atau tentara yang

saya kenal. Jawaban saya tetap tidak mau menyebutkan nama. Saya cuma

menjelaskan bahwa mengapa saya tidak mau sebut nama orang-orang yang saya

kenal itu. Saya takut karena mulut saya ada istri orang, anak orang lain jadi tersiksa

seperti anak saya. Sebab hubungan saya dengan dia bukan hubungan politik,

hubungan saya karena kegiatan mencuri anjing. Kegiatan saya dengan oknum polisi

itu karena ketemu dalam kami punya pacar sama-sama sekolah perawat.

Pertanyaan lainnya seperti kegiatan sebagai wartawan perang di Sulawesi Selatan,

saya tulis semua.

Lalu saya disuruh pulang begitu saja. Sejak saat itu, dimana saya lihat ada kelompok

ibadah siang atau malam saya ikut. Saya hanya mengucap terimakasih... ”ternyata

engkau Tuhan betul ada, terimakasih Tuhan”, begitu saya punya doa. Dan mulai itu

saya...saya memang selama ini pernah atheis tapi yah... begitulah hanya jarang ke

Page 99: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

99

gereja... mulai waktu itu saya... waduh... mengucapkan terimakasih. Kali berikut juga

masih ada penyiksaan tapi tidak seperti yang saya alami sebelumnya.

Di penjara kami dapat jatah makan dua kali sehari. Sebelum makan, itu nasi kita

taruh air lalu kita goyang-goyang dan korek-korek dengan jari, maksudnya biar

pasir itu mengendap didasar piring. Sebab memang tidak dibersihkan lagi berasnya

dan ini bukan lalai memang sengaja. Itu makanya banyak tahanan yang dioperasi.

Saya juga dioperasi usus buntu tahun 73.

Jadi kita pisahkan dulu batu-batu pasir dengan nasi, lalu lauk kangkung dengan

talinya. Tali pengikat kangkung sekalian direbus. Karena tidak cukup mendapat

jatah makan, biasanya teman-teman mengumpulkan sisa-sisa yang sudah dibuang

seperti kulit-kulit ketimun jepang. Mereka ambil, dicuci kemudian direbus dengan

kulitnya sekaligus.

Diantara kami ada yang dapat kunjungan keluarga, tetapi banyak juga yang tidak.

Istri saya masih rajin datang membesuk. Tidak ada jadwal tetap untuk bisa bertemu,

terkadang bisa satu minggu sekali atau bahkan bisa satu bulan sekali. Tetapi

mengirim makanan boleh tiap hari.

Saya ditahan sejak 18 Oktober 1965 di RTP sampai akhir Desember 1965. Dari tahun

1966 sampai 1980 di penjara Manado. Sekitar tahun 1975, penyiksaaan sudah mulai

berkurang. Sejak itu banyak pekerjaan tangan yang kami buat. Ada yang bikin

kompor, alat-alat musik, pertukangan kalau yang di dalam penjara. Tapi kalau yang

mau bekerja di luar yah pekerjaannya lumayan berat, kelebihannya kita bisa pulang

ke rumah meskipun sebentar. Saya dapat pekerjaan memikul batang kelapa.

Potongan-potongan batang kelapa dibawa ke pabrik tela. Pabrik telanya kepunyaan

militer. Kalau sekarang ini batangan kelapa yang potongan satu meter dibawa dua

orang. Tapi dulu dipikul oleh satu orang, angkat ke mobil. Tapi teman-teman lain

ada yang dipekerjakan umpama tambang pasir, tambang batu. Yah di galian pasir

begitu...

Ada teman tahanan bekas polisi dipekerjakan di galian pasir di Bitung lalu kena

longsoran. Sampai sekarang orangnya lumpuh, karena tertimbun. Orangnya sampai

sekarang masih hidup, anaknya baru saja menyelesaikan kuliahnya di fakultas

hukum.

Page 100: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

100

Tahun 1977, setelah 12 tahun saya ditahan baru ada proses peradilan. Sebenarnya ini

juga untuk melegalkan penahanan yang 12 tahun itu.

Saya diadili di Pengadilan Manado, didampingi pengacara tapi tidak ada

pengaruhnya dengan masa tahanan saya. Ya waktu itu saya sudah menghubungkan

dengan keimanan yang mulai saya yakini. Waktu disidang majelis bilang “karena

saudara diancam dengan hukuman mati, dan dikenakan pasal Perpres 11/63

subversi maka saudara harus didampingi oleh pengacara”.

Yah... tuduhannya adalah karena saya seorang guru CIVIC yang dianggap merusak

mental generasi muda. Mata pelajaran Civic itu yang kemudian hari dirubah

menjadi Pendidikan Kewarganegaraan atau Pendidikan moral Pancasila. Dulu mata

pelajaran Civic adalah Manifesto poltiknya (Manipol) bung Karno yang disusun

menjadi mata pelajaran. Tapi mata pelajaran civic adalah kurikulum resmi

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Saya bilang,”Saya tidak ada uang”

”Karena saudara tidak mampu untuk membayar pengacara maka sesuai dengan

undang-undang negara akan menyediakan pengacara” yang ditunjuk Bapak Julian

SH.

Lalu saya bicara lagi, saya bilang... ”saya merasa saya tidak perlu pembela, karena

saya punya pengacara yang lebih hebat dari pembela siapapun. Saya sudah punya

pembela”.

“Tadi kamu bilang tidak ada, karena kamu tahanan politik kamu sebutkan siapa

pembela yang kamu rencanakan, kamu tidak boleh berhubungan dengan orang

luar?”

”Pembela yang saya sudah pilih melebihi kehebatan pengacara yang ada.”

“Iya siapa?”

“Yesus. Jadi ini bukan mengada-ada tapi karena saya punya iman. Karena saya

punya keyakinan, biar majelis yang mulia mau menghukum berat pada saya tapi

kalau Tuhan menginginkan saya harus diringankan tapi sebaliknya walaupun

majelis yang terhormat mau menghukum ringan pada saya tapi kalau Tuhan

menginginkan saya harus dihukum berat itu yang terjadi. Begitu saya punya

keyakinan.”

Page 101: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

101

Tetap didampingi, karena hakim tidak terima. Pengadilannya sama seperti

pengadilan biasa, ada saksi-saksi tapi tidak ada pengaruhnya. Sebenarnya saya

sudah tahu berapa hukuman yang akan saya terima. Ada kenalan saya bilang,

”Bapak punya hukuman 15 tahun, ini cuma untuk melegalkan itu penahanan”.

Saya bilang tadi saya percaya betul Tuhan mau tolong. Saya bilang sama hakim,

hakimnya orang Kristen, ada satu Yoselema, Islam. Waktu saya dituntut 15 tahun

tidak potong tahanan, berarti saya baru bebas tahun 1992 karena putusan tahun

1977. Saya langsung protes, harusnya saya divonis 15 tahun, tapi potong tahanan

yang sudah saya jalani selama 12 tahun dari tahun 1965 sampai 1977. Sisanya tinggal

3 tahun berarti saya bisa bebas tahun 1980.

Waktu mau makan. Makan dengan hakim dengan jaksa di kantin disediakan oleh

negara. Saya punya saksi, kapten polisi, kapten koramil dan ada satu komandan

arsip, tiga kita punya saksi. Waktu duduk makan saya bilang, ”ibu, 3 bungkus rokok

dengan tambah 3 nasi”. Tapi saksi sudah pulang, setelah selesai sidang dia langsung

pulang. Tapi dorang (mereka) tetap terima ini pembagian toh.

Lalu ibu menyahut yang mengurus pembagian makanan,”oh so nda ada tu orang”.

(oh sudah tidak ada lagi itu orangnya).

“kalau so nyanda kenapa mesti bayar ini”. Sebab kan dibebankan pada terdakwa

toh. Saya bilang,”ibu saya so bayar. Kita makan, kasihkan dorang pe rokok 3, dorang

pe nasi 3”. (kalau sudah tidak ada kenapa harus bayar ini. Sebab kan dibebankan pada

terdakwa. Saya bilang, ”ibu saya sudah bayar. Yang saya makan, berikan 3 rokok mereka, 3

nasi mereka”)

Didengar oleh hakim-hakim dan jaksa yang sementara makan toh. Waktu itu ada

minuman dang, minuman. Ini negara yang tanggung toh, kita minta semua. Lalu tuh

hakim ketua, orang kristen ini dia punya nama Hari. Dia bilang sama saya, ”katanya

kamu yakin Tuhan mau tolong, baru tuntutan jaksa begitu kamu sudah

menyerah...”. maksudnya sudah hilang iman. Kalau dia vonis 15 tahun tidak potong

tahanan, 15 tahun lagi saya menjalani. Kong (terus) dia bilang sama saya, dia bisik,

”saya hakim ketua, saya salah kalau saya mau bilang itu rahasia, pokoknya kamu

berdoa saja”. Jadi tuntutan 15 tahun potong tahanan. Waktu dia vonis 15 tahun saya

di tanya, apakah saya mau terima atau tolak.

Page 102: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

102

Saya tanya, ”Apakah 15 ini potong masa penahanan?

Dia bilang, ”potong, diperhitungkan semua”.

Saya terus maju, ”saya terima”. Tapi tetap dikategorikan golongan A.

Berarti 3 tahun lagi... jadi sejak persidangan itu, tinggal menghitung harilah. Karena

sudah tahu kapan bebas. Tapi itu juga seringkali dipanggil-panggil juga ke Korem

atau di Komando Operasi Tumpas atau Satgas intel pusat atau Teperda, diperiksa

tentang orang lain. Kadang masih ditempeleng atau ditinju.

Bulan Agustus 1979 terjadi gempa bumi di Manado, membuat tembok-tembok

penjara retak-retak. Khawatir akan roboh maka kami dipindahkan ke penjara baru

yang belum selesai, tapi ukurannya lebih besar. Di sini satu ruangan hanya diisi 4

orang. Tanggal 17 Agustus 1980 menjadi hari yang bersejarah buat saya, karena hari

itu saya dinyatakan bebas. Ternyata bebas bagi kami para tapol adalah kebebasan

semu, saya masih harus wajib lapor minimal satu kali dalam sebulan ke kantor

KORAMIL Manado Selatan.

Dua hari kemudian saya bertemu lagi dengan dia, kali ini kami memang sengaja

bertemu untuk mendiskusikan ini. Saya langsung bertanya sama dia,”menurutmu

dari tulisan ini sudah cukup membuat orang memahami apa yang sudah saya dan

teman-teman alami...?”.

Sejenak dia berpikir... lalu dia bilang ”Mungkin ada yang kurang Om...”.

“Apa...?” jawab saya

“Tentang Tante, Om... bagaimana dia bisa bertahan menghadapi perlakuan lingkungan

sekitar sementara dia harus menafkahi dua anak...?

“Kamu benar. Memang sulit... sulit sekali... pernah ini rumah waktu masih di penjara

ditanya mau jual itu rumah karena so sulit. Mungkin ada orang sudah bikin

konsepnya, di penjara saya bilang tidak boleh. Bukan saya menentang. Cuma saya

bilang sama dia, ”kalau kamu di rumah itu (ini sekarang), biar kamu tinggal makan

ketela, ubi dengan lombok kamu tidak malu tapi kalau jual rumah ini lalu kamu

menyewa. Lalu kamu malu mau makan ketela atau ubi. Jadi tidak boleh... tidak

boleh”. Saya berkeras. Ini untuk kamu tapi tidak boleh dijual. Dijual dulu biar mahal

kan habis. Ini juga didorong oleh orang-orang yang kelihatannya mau menolong tapi

mau menghancurkan.

Page 103: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

103

Yah... seperti orang kusta, tapi saya sangat bangga dan beruntung punya istri dia.

Sejak dia dipecat menjadi guru praktis tidak ada gaji yang diterima. Waktu itu dia

mencoba berjualan kecil-kecilan tapi tidak mencukupi karena tidak ada yang

membeli.

Tante sampai sekarang masih semangat, bayangkan sudah 73 tahun bulan lalu

(Desember 2012) diwisuda di UNIMA Fakultas Ilmu Pendidikan jurusan luar

sekolah. Memang dulu sebelum kita kawin dia sudah tingkat dua FKIP Universitas

Hasanuddin. Tahun 2008 dia mulai kuliah lagi, dengan diwajibkan 6 semester saja.

Karena ternyata waktu kuliah dulu yang sampai tingkat 2 masih diperhitungkan

sehigga seolah-olah melanjutkan saja.

Tahun 2009 ada 14 guru kursus di seluruh Indonesia yang dapat penghargaan

Widya Karya Bhakti Khusus dari menteri. Lalu dari 6 provinsi di Sulawesi (Sulsel,

Sultra, Sulteng, Sulbar, Sulut dan Gorontalo). Cuma Tante yang dapat.

Ya pokoknya saya sangat berterima kasih kepada istri saya yang tetap tabah

menghadapi cobaan waktu itu dan tetap setia sampai saat ini. Mungkin saya tidak

bisa menggambarkan bagaimana tersiksanya dia dan anak-anak ketika itu tapi saya

merasakan. Karena perlakuan diskriminasi ini tidak hanya di lingkungan tempat

tinggal tapi juga ibadah didiskriminasi. Tapi kami yakin kalau masalah ibadah tidak

ada hubungannya dengan manusia, tapi hanya kita dengan Tuhan.Tapi setelah lama

kelamaan yah akhirnya sudah banyak juga orang yang berani untuk menyatakan

sikap yang benar.

“Tapi akan lebih baik lagi kamu tanyakan langsung ke Tante, bagaimana situasi waktu itu

ketika saya dalam penjara. Karena itu juga saya diceritakan tante waktu beliau membesuk

saya dalam penjara.” Usul saya.

“Pasti itu Om, saya akan bertanya langsung ke tante nanti... agar ceritanya menjadi lebih

nyata, karena langsung dari sumbernya” katanya.

Kemudian dia tanyakan apa aktivitas saya sekarang.

Saya jawab kalau aktivitas saya sejak reformasi, fulltime menyatukan diri dengan

organisasi-organisasi yang memperjuangkan pelurusan sejarah, kepedulian terhadap

korban pelanggaran HAM. Selain di organisasi peduli hak asasi, saya ditunjuk oleh

ibu Siti Fadilla sebagai ketua Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Sulawesi Utara tahun

Page 104: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

104

2010. Masih ikut-ikut aksi demonstrasi, seperti waktu demo menolak undang-

undang sistem jaminan sosial nasional, menolak undang-undang no.4 th 2004.

Menuntut pada presiden supaya dibikinkan peraturan tentang jamkesmas dan

Jamkesda.

Sejak tahun 1999 saya mulai berorganisasi, saya mendirikan yayasan Humaniora di

Manado juga mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat Merah Putih. Desember

1999 saya masuk dalam bursa bakal calon Gubernur Propinsi Sulawesi Utara. Tahun

2000 menjadi pemimpin redaksi Tabloid Populer Merah Putih. Tahun 2001 sebagai

Responden/Kontributor Ensiklopedia Tanah Air Indonesia (ENSTAIN) Jakarta. Mei

2005 mendeklarasikan Law Centre Tim investigasi Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi LSM Merah Putih di Manado. Ketua Yayasan Siloam

Minahasa Selatan. Sebagai seorang Evangelis, dipercayakan menjadi ketua wilayah

IV (meliputi Sulawesi dan Kalimantan) Persekutuan Pelayanan Penjara Prison

Fellowship Indonesia (Internasional) sejak tahun 1999. Pada Desember 2006

menghadiri pertemuan Asia Caucus Prison Fellowship International di Singapura.

Praktis tidak ada kegiatan untuk mencari nafkah keluarga, saya minta izin dengan

istri. Beliau mengizinkan dan bisa mengerti keinginan saya untuk bergabung dengan

teman-teman senasib. Puji syukur pada Tuhan kami masih punya usaha sebagai

sumber nafkah keluarga. Kursus dan salon masih jalan, dikelola istri dan anak. Jadi

bersyukur dan terima kasih kepada keluarga yang mendukung perjuangan saya

hingga saat ini.

Di lingkungan, dalam hal saling hubungan dengan masyarakat, pada umumnya

mereka hormat dan segan, bukan berarti tidak ada masalah. Tapi buat saya buat saya

itu sudah cukup menjalin hubungan baik. Saya tidak punya jabatan formal tapi

ternyata saya dituakan di sini. Begitu juga di daerah kelahiran saya di Motoling,

Amurang Minahasa Selatan. Contohnya saja lurah-lurah itu kalau ada masalah,

datang kesini minta pendapat saya. Begitu juga dengan tokoh-tokoh gereja.

Sekarang ini, baik pemerintah di Minahasa Selatan, gereja, maupun masyarakat

umum tidak lagi melihat saya seperti dulu. Andaipun saya mau ikut pemilihan

kepala desa di beberapa desa, umpamanya desa Kapitu Amurang, desa Towasen

Page 105: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

105

Amurang, desa Pondos, desa Karimbo Motoling, saya bisa memenangkan kalau saya

mau.

Saat ini bukan itu yang menjadi tujuan hidup saya. Perjuangan saya untuk mencari

dan mengungkap kebenaran sejarah hidup saya belum sampai pada titik yang

diharapkan. Bukan untuk balas dendam tapi supaya terungkap itu kebenaran. Kan

selama ini cerita tentang G30S yang tersebar baru satu versi, yaitu versi pemerintah.

Mari lapang dada, hadapkan muka juga kepada cerita dengan versi-versi lain.

Perasaan Om menceritakan masa lalu itu seperti apa Om... ?

Yah... saya menceritakan ini, saya ingin ada orang yang mau dengar. Artinya bahwa keadaan

yang kami alami waktu lalu itu memang betul-betul tidak sesuai dengan apa yang menjadi

fakta bangsa yang Pancasilais. Benar-benar tidak sesuai. Luar biasa... luar biasa... diluar

kemampuan orang menerima itu. Jadi saya menceritakan ini juga supaya orang bisa

memahami bahwa penderitaan yang kami alami ini memang luar biasa.

Kalau soal penderitaan bathin semua bisa tahu karena kami memang terisolir tapi

kalau penderitaan fisik tidak semua orang tahu. Cuma yang mengalami. Woo...

hebat sekali. Jadi saya bercerita tidak dengan latar belakang untuk balas dendam.

Kalau umpamanya tidak atas dasar iman saya disiksa luar biasa. Saya bisa berpikir

begini, saya ambil pisau saya tusuk dia. Kalau saya mau ditangkap saya berani

jawab kenapa dulu saya disiksa tidak ada pemerintah yang mau bela. Saya bisa

berbuat begitu, tapi Tuhan tidak suka dengan balas dendam. Kedua saya punya

anak punya cucu, malu mereka. Dan juga saya merasa orang-orang yang pernah

berbuat tidak baik pada kami ikut-ikutan atau dia juga hanya diperintah. Dan saya

tidak tahu agama lain, kalau keimanan saya pembalasan diserahkan pada Tuhan.

Sejujurnya saya kecewa dan marah dengan sikap pemerintah Orde Baru. Bagaimana

mereka mengambil kemerdekaan saya selama 14 tahun 9 bulan, dengan kesalahan

yang mereka tuduhkan secara sepihak tanpa pembelaan. Luka fisik mungkin bisa

disembuhkan tapi waktu yang terenggut tidak bisa dikembalikan. Bayangkan saya

tidak bisa berkumpul dengan istri dan anak layaknya sebuah keluarga. Saya tidak

bisa memeluk anak saya ketika mereka menangis saat terjatuh belajar naik sepeda.

Mencium mereka ketika mereka berangkat tidur, atau mengantar mereka pergi

Page 106: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

106

sekolah. Bukankah itu salah satu fase penting untuk setiap manusia dalam

perjalanan hidupnya.

Terlebih menyakitkan lagi saya tidak bisa membela ketika anak dan istri saya

diperlakukan seolah-olah penyakit menular yang harus dijauhi. Mendengar cerita

mereka pulang sekolah menangis karena dibilang anak PKI, anak pembunuh.

Stigma buruk itu tidak habis di saya tapi itu akan melekat terus hingga keturunan

berapapun kalau saja sejarah ini tidak pernah diluruskan.

Saat ini rasa kecewa dan marah itu berangsur-angsur hilang setelah saya menerima

kemurahan Tuhan, saya tidak ada dendam. Sebenarnya di penjara juga saya sudah

ada perasaan saya tidak boleh dendam pada siapa-siapa, tapi bukan berarti saya

tidak berhak untuk menuntut keadilan... bukan... beda itu. Justru saya merasa atas

dasar iman inilah maka harus dibuktikan siapa yang bersalah.

Saya pernah tulis surat sama Mbak Tutut (anak presiden Suharto), saya bilang

begini: ”Kamu punya ayah pahlawan pembangunan. Selama ini banyak buku-buku

menuliskan bahwa kamu punya ayah pembunuh berdarah dingin, kamu punya

ayah rakus. Sekarang biarpun masa reformasi, tapi kalau itu memang fitnah atau

mencemarkan nama baik ayahmu, silakan laporkan”. Maksudnya kalau dia merasa

tidak benar tuduhan itu, laporkan dan bawa ke pengadilan. Kan nanti bisa jelas siapa

sebenarnya yang difitnah dan memfitnah.

Harapan saya pemerintah yang sekarang ini mau jujur, punya keberanian untuk

mengungkap kebenaran masa lalu. Sebab ini bukan hanya berguna bagi kami para

korban tapi juga bagi generasi berikut. Jangan disuguhi dengan sebuah peristiwa

sejarah yang direkayasa, dibikin bangsa ini jadi munafik seterusnya.

Artinya seperti ini andaikata betul G30S didalangi oleh PKI di Jakarta tapi saya di

Manado tidak tahu apa-apa. Sampai ada istilah “Jakarta yang minum bir Manado

yang mabuk”. Tapikan ternyata bahwa yang melakukan pembunuhan Cakrabirawa

Pasukan Pengawal Presiden. Secara resmi sampai sekarang sejarah tentang G30S

masih satu versi meskipun sudah ada buku versi lain tapi banyak yang belum tahu.

Nah maksud dari meluruskan sejarah, bahwa saya tidak salah, saya tidak berbuat

apa-apa. Saya seorang guru yang mengajar mata pelajaran kurikulum resmi

Page 107: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

107

kementerian pendidikan lalu dituduh merusak mental generasi muda. Dimana

logikanya saya bersalah, sementara mata pelajaran itu sudah lama diajarkan.

Cerita ini buat saya tidak lagi menjadi kesedihan, cuma saya mesti menceritakan apa

adanya. Belajar jujur menceritakan apa adanya, begitu. Sebab kalau kita sedih tidak

menyelesaikan masalah. Jadi dengan menceritakan ini lebih mau mendorong, lebih

mau mengapresiasi kita untuk bergabung dengan teman-teman untuk

memperjuangkan kebenaran dan keadilan.

Memang tidak semua teman-teman korban mau bercerita, yah mungkin karena

trauma yang berkepanjangan. Sebab kalau menurut saya punya pengalaman, orang

takut itu jangan dipaksa jadi berani, tidak boleh. Tapi masih banyak yang mau

bercerita dan mau memperjuangkan hak-haknya. ***

Yah.. saya juga mengucapkan terimakasih kepada generasi muda yang dengan ketulusan hati

mau turut memperjuangkan penegakan kebenaran di tanah air tercinta ini. Generasi muda

yang peduli untuk meluruskan sejarah. Termasuk anda, yang sudah mau mendengarkan

cerita saya.

“Sama-sama Om, buat saya ini satu kehormatan bisa mendengar langsung dari tokoh sebuah

peristiwa yang selama ini masih diselimuti kabut gelap. Tidak semua generasi saya ataupun

generasi dibawah saya punya kesempatan ini. Saya doa kan Om sehat selalu dan tetap

semangat”.

Manado sore ini sangat cerah, secerah harapan saya akan akhir perjuangan kami... Semoga

Tuhan mendengar dan membukakan jalannya, Amiin.

Duduk di sebuah warung kopi dengan pemandangan pantai, sungguh saat yang indah. Kami

pun melanjutkan obrolan dengan topik yang berbeda.

Manado, Januari 2013

Cerita Tante:

Nama saya Antje H. Kalengkongan-Bolung, S.Pd. Lahir 16 April 1939 di Kayu Besi,

Tondano Minahasa Sulawesi Utara. Menikah dengan Jozef Beinhard Kalengkongan

tahun 1962. Tahun 2012 baru saja merayakan pernikahan emas.

Page 108: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

108

Tahun 1965 ketika Om ditangkap, kami sudah punya anak dua. Situasi pada saat itu

memang sudah sangat kacau, Om sudah tidak tidur di rumah sekitar satu minggu

lebih sesudah peristiwa pecah. Karena tanggal 7 Oktober sudah ada banyak

pembakaran di pusat kota Manado.

Saya dan anak-anak mencoba tetap bertahan di rumah sambil menunggu kabar dari

Om. Tapi tidak juga ada kabar dan saya juga semakin cemas, tapi juga saya khawatir

dengan anak-anak. Akhirnya saya memutuskan untuk pulang ke kampung orangtua

di Desa Kayu Besi Tondano, Minahasa. Ketika mau berangkat saya dapat kabar Om

sudah ditangkap di daerah Pineleng, tapi tidak tahu dibawa kemana. Di dalam

angkutan Bus umum, saya mencoba menguatkan diri dan berdoa agar supaya Tuhan

selalu melindungi Om.

Orangtua sebenarnya tinggal di Manado, hanya saudara yang ada. Dan memang di

kampung ada rumah orangtua kosong. Selama di kampung juga sebenarnya suasana

sudah mencekam, saya melihat langsung orang yang disiksa dan dibunuh di sekitar

danau. Beberapa hari di kampung saya mendapat kabar kalau Om ada di Korem,

lalu saya memutuskan untuk kembali ke Manado. Sampai di rumah, semua sudah

berantakan, buku-buku yang ada di dalam lemari sudah dikeluarkan semua. Begitu

juga berkas-berkas pribadi dan foto-foto keluarga.

Memang rumah kami tidak sampai dihancurkan. Setelah membersihkan rumah, saya

bersiap untuk datang ke Korem. Dengan menumpang becak saya pergi ke Korem,

membawa anak-anak. Sampai di sana memang ada nama Om, ketika saya bertanya

kepada petugas jaga saat itu. Tapi hari itu saya tidak boleh bertemu. Saya pasrah dan

bertanya, apakah saya boleh mengantarkan makanan untuk suami saya? Mereka

bilang boleh tapi hanya makanannya saja, orangnya masih belum boleh bertemu.

Saya tidak tahu apa alasannya, tapi saya hanya menduga saja mungkin karena habis

disiksa badannya bengkak-bengkak. Jangan sampai orang luar tahu apa yang

mereka alami di dalam, maka siapapun tidak boleh bertemu. Sejak saat itu setiap

hari saya mengantarkan makanan ke Korem, meskipun tidak pernah bertemu, tapi

saya sedikit lega, karena ternyata suami saya masih hidup. Mengingat apa yang saya

lihat di Tondano, nyawa manusia seakan tidak berharga.

Page 109: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

109

Sekitar bulan Desember 1965, tepatnya tanggal berapa saya lupa, tapi yang pasti

pada hari Natal kami sudah bisa bertemu. Bulan Januari Om di pindahkan ke

penjara besar di gedung juang. Di sana juga saya datang besuk tiap hari, mungkin

karena saya datang setiap hari ada beberapa dari penjaga yang kenal saya. Dan itu

juga yang menolong Om mungkin, sehingga mereka tidak berani membawa atau

dihilangkan... mungkin yah, saya juga tidak tahu alasannya kenapa Om tidak

dihilangkan seperti teman-temannya.

Oh ya waktu baru datang dari kampung, sama teman disuruh datang ke pos. Saya

jawab, “kenapa saya harus datang ke pos”?

“Untuk lihat apakah nama kamu ada dalam daftar.“ jawabnya.

Oh saya berani langsung datang ke sana, dengan polosnya saya bertanya kepada

penjaga-penjaga yang bertugas. Ternyata ada beberapa dari mereka bekas murid

saya di SMP Kristen Ranotana tempat saya mengajar dulu. Mereka bilang, “Tidak

ada nama di sini kenapa dating ?

Sejak saat Om dipenjarakan praktis untuk memenuhi kebutuhan keluarga menjadi

tanggungjawab saya. Terkadang orangtua juga membantu dari hasil kebun

cengkehnya. Tapi untuk kebutuhan sehari-hari dan juga untuk menyiapkan

makanan yang diantar untuk Om setiap hari saya harus mencari sendiri, meskipun

itu hanya sayur dan nasi.

Saya mulai putar otak, apa yang bisa saya kerjakan untuk bisa menghasilkan uang.

Karena sejak dinyatakan Om terlibat, saya juga langsung diberhentikan menjadi

guru dan tidak bisa mendapat pensiun. Awal-awal saya memulai usaha dengan

berjualan, apa saja yang bisa saya jual. Saya pergi membeli sayuran ke petani sayur,

lalu saya jual di depan rumah. Kue-kue saya beli di pasar lalu saya jual lagi, sama

minuman khas Minahasa “Saguer” (air nira yang baru diambil) yang diantar

langsung oleh petani.

Saya coba buka usaha jual bunga, padahal saya tidak punya keahlian membuat

bunga. Caranya saya beli satu tangkai bunga lalu saya buka dan saya pelajari cara

membuatnya. Bahannya ada yang dari kertas, plastik atau kain-kain perca. Saya

Page 110: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

110

suruh Yatty jual berkeliling, waktu itu dia masih SD. Terpaksa saya suruh dia, untuk

bisa tetap bersekolah.

Setelah itu saya membuka usaha Krans (karangan bunga untuk orang meninggal).

Saya beli bunga-bunga plastik lalu saya rangkai-rangkai, dengan kreasi saya sendiri.

Cukup lama saya menekuni usaha bunga ini. ingga pada satu waktu presiden

Soeharto membeli karangan bunga saya. Ya memang bukan presiden langsung, tapi

rangkaian bunganya saya yang buat. Mungkin waktu ada rukun Ratulangi dari

Jakarta meninggal dikubur di Manado, dia memesan karangan bunga di sini. Sejak

itulah usaha saya mulai dikenal orang.

Selain itu saya juga terima jahitan dan tukang kriting rambut, karena waktu itu

namanya belum salon. Kalau di rumah hanya buka begitu saja, tidak ada papan

nama seperti sekarang. Langganannya hanya orang yang sudah kenal. Lalu kalau

saya pulang ke kampung saya bawa alat-alat salon, kemudian saya keliling ke

rumah-rumah. Berkat kesabaran, lama-lama ada yang datang untuk keriting ataupun

menjahit. Karena hasilnya bagus dan memuaskan akhirnya mulai ramai. Lalu sudah

ada yang mulai mau belajar dan bersedia membayar tapi belum resmi jadi tempat

kursus. Tahun 1969 baru diresmikan menjadi tempat kursus tapi belum ada izin dari

departemen, baru tahun 1977 dapat izinnya dengan nama Lembaga Kursus dan

Pelatihan YATTY. Tahun 1980an sampai 1990an, sangat maju sekali. Kita punya

murid sampai 300 orang satu kali belajar, terbaik diseluruh Slawesi Utara.

Pesertanya SMA dan Sarjana yang mau melamar kerja.

Dulu ada kecantikan rambut, kecantikan kulit, rias pengantin, menjahit pakain

wanita, komputer, akutansi, bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Jepang, seni griya.

Muridnya sejak berdiri kurang lebih 8000 orang. Cuma yang aktif sekarang tinggal

kecantikan rambut, kecantikan kulit, menjahit.

Begitulah proses bagaimana saya membangun perekonomian keluarga tapi tentu

saja dalam perjalanan banyak yang saya alami, terutama intimidasi secara mental.

Begitu juga dengan anak-anak saya yang merasakan perlakuan-perlakuan yang tidak

menyenangkan.

Sebenarnya perlakuan-perlakuan yang sifatnya penekanan mulai kami rasakan sejak

Om ditahan, misalnya saja ketika saya mencoba untuk merenovasi rumah untuk

Page 111: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

111

membuka usaha. Tidak mendapat izin dari pemerintah desa. Mau pasang pagar saja

tidak boleh, ya memang tujuannya supaya kelihatan kumuh.

Belum lagi tekanan-tekanan yang diterima oleh anak-anak saya. Anak saya yang

bungsu, sering mendengar kakak-kakaknya dibilang anak PKI buat apa sekolah

tidak ada gunanya. Dia menjadi trauma hingga baru berani masuk sekolah ketika

sudah berumur 8 tahun.

Memang anak-anak tidak pernah menceritakan perasaannya, mereka berusaha tegar.

Tapi saya tahu apa yang mereka rasakan. Hingga saya berpikir kalau seperti ini terus

akan tidak baik untuk perkembangan mental anak-anak, maka saya memutuskan

untuk memasukkan mereka sekolah karate, Inkai. Selain untuk pertahanan diri,

secara fisik juga baik dan tentu saja yang utama adalah mental.

Mereka rajin saya bawa ke gereja untuk mengingatkan mereka bahwa semua cobaan

yang kita alami adalah kehendak Tuhan dan Tuhan tidak akan meninggalkan

umatnya yang selalu mengingat dan memohon kekuatan kepada Nya.

Buat saya pribadi penguatan secara mental saya dapatkan dari gereja, saya selalu

berdoa untuk keselamatan keluarga, anak dan suami yang sedang mengalami

cobaan berat di dalam penjara. Di gereja juga sebenarnya ada juga tekanan dari

mereka yang tidak suka, tapi saya tidak ambil pusing itu. malah saya masih bisa

memimpin koor gereja, karena memang cuma saya yang bisa.

Kebetulan saya ada sedikit kelebihan di bidang bernyanyi, jadi meskipun mereka

kurang senang tapi mau tidak mau mereka tetap pakai saya. Tapi kalau dari

pimpinan-pimpinan gereja mereka tidak pernah mempermasalahkan. Hanya saja

memang bagaimanapun pintar dan aktifnya kita, tetap tidak bisa dipilih menjadi

pengurus gereja atau majelis. Karena memang sudah ada peraturannya dari

pemerintah, mereka juga takut. Dengan kekuatan Tuhan, sedikitpun saya tidak

pernah putus asa. Saya yakin dan percaya suatu saat nanti kami pasti bisa

berkumpul kembali. Untuk menjaga pikiran saya tetap positif, saya tidak pernah

mau diam. Apa saja kegiatan yang bisa saya kerjakan saya kerjakan. Sejak dari

bangun tidur sampai mau tidur lagi.

Di sekolah anak-anak tidak ada yang mendapat perlakuan yang berbeda, mungkin

karena mereka juga bisa menempatkan diri di antara teman-temannya. Saya

Page 112: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

112

memang menekankan kepada anak-anak bahwa bagaimanapun keadaannya mereka

harus tetap bersekolah. Jangan lihat sekarang yang sulit tapi bayangkan ke depan

dan kita pasti mampu. Terbukti saya bisa memasukkan Yatty ke Universitas Klabat

di Airmadidi, universitas termahal di Sulawesi Utara.

Di samping itu juga dia memang pintar bergaul dan tidak merasa malu bekerja

sambil kuliah. Dia tawarkan ke teman-teman dan dosennya keahliannya tata rambut

dan kecantikan. Ya terkadang tidak selalu dibayar dengan uang tapi juga mungkin

hanya sekedar di kasih makan atau juga hanya ucapan terimakasih. Namun dia

merasa dihargai dan menjadi banyak mendapat kemudahan dengan keahliannya di

luar ilmu yang sedang dipelajarinya di bangku kuliah.

Dari kecil dia memang sudah mandiri dan sangat ingin membantu orangtua.

Bayangkan, karena kasihan melihat saya susah, waktu itu dia masih usia 6 tahun tapi

sudah tahu baca trayek. Saya suruh dia pergi membeli obat kroll, di sekitar sini kan

tidak ada harus beli di stasiun yang sekarang disebut Pasar 45. Jadi kalau ada

pelanggan yang mau keriting rambut, saya minta duluan bayarannya, nanti Yatty

pergi membeli obatnya. Jaraknya sekitar 5 km dari rumah, sebenarnya dalam

keadaan normal anak itu belum waktunya untuk pergi sejauh itu.

Satu waktu ada satu bapak tentara mengantar dia pulang, lalu dia bilang “ibu,

jangan dulu suruh-suruh ya... masih anak begini kecil sudah disuruh jauh-jauh”.

Saya cuma tertawa saja, karena dia juga tidak tahu siapa saya dan bagaimana

keadaan kami. Sebenarnya jurusan kendaraan waktu itu kan hanya satu, kalau

jurusan Ranotano yang cuma jalur ini. Cuma memang hari itu ternyata rutenya

dirubah, jadi dia bingung.

Kalau saya ingat kejadian itu, saya menjadi merasa bersalah. Seakan-akan saya ini

tidak bisa menjaga anak yang seharusnya saya lindungi.

Kalau diintimidasi saya pribadi sebagai seorang perempuan mengalaminya. Sering

kali petugas-petugas penjara datang ke rumah. Macam-macam yang mereka

katakan, “suami mu tidak akan keluar lagi, kamu maish muda masih bisa menikah

lagi”. Ada juga yang bilang kalau Om sudah tidak ada lagi di penjara, padahal setiap

hari saya menjenguk dia. Sedikitpun saya tidak tergoda, karena saya punya

keyakinan pasti suami saya akan keluar hanya saja kapan waktunya saya tidak tahu.

Page 113: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

113

Saya bilang ke mereka, ”saya masih punya suami, meskipun di penjara Om tetap

ada”.

Belum lagi yang mengintimidasi agar saya menjual rumah dan tanah tapi saya tetap

bertahan, karena memang masih beruntung bisa berdiskusi dengan Om.

Memang tidak setiap hari bisa bertemu Om, terkadang seminggu sekali atau satu

bulan sekali bahkan penah berbulan-bulan tidak bisa ketemu, karena memang

peraturannya selalu berubah-rubah. Tahun 68-69, peraturannya sangat ketat, sampai

berbulan-bulan kami tidak bisa ketemu. Pernah Om masuk rumah sakit karena

operasi usus buntu saya dilarang menjenguk. Lalu saya nekat tetap dating. Dilapor

oleh petugas, katanya saya bertemu di rumah sakit. Kemudian saya dipanggil

menghadap.

Sesekali anak-anak diselundupkan menginap di penjara, tidur di barak bersama-

sama dengan para tahanan. Karena mereka masih kecil, mereka senang-senang saja.

Satu kali Yatty pernah bertanya kenapa papa di penjara?

Saya bilang, “diceritakan juga kamu masih anak-anak”.

Lalu Om juga sering mengatakan sama anak-anak, kalau papanya dipenjara bukan

karena memperkosa ataupun mencuri walaupun mungkin mereka belum mengerti.

Lagipula mereka juga melihat ribuan orang di dalam penjara.

Hingga akhirnya tahun 1980 Om dibebaskan, saya merasa senang sekali, setelah

selama 14 tahun 9 bulan saya menunggu saat ini. Tapi ternyata masih ada perlakuan

diskriminasi yang kami terima. Salah satunya anak saya yang kuliah di Kedokteran

Universitas Syam Ratulangi, hampir terancam tidak lulus karena ada yang

melaporkan kalau dia anak PKI. Waktu itu dia sedang mengurus untuk KKN, lalu

saya dipanggil oleh dokter sekaligus dekan dan kebetulan dia kakak tingkat saya

waktu kuliah. Tidak banyak dia berbicara, dia hanya berpesan untuk saat ini anak

saya jangan ikut berorganisasi dahulu. Sampai dia lulus kuliah nanti. Padahal itu

sudah tahun 90an.

Saya bilang, “dia tidak pernah ikut-ikut kegiatan di luar kecuali hanya kegiatan di

gereja”.

Memang ada orang-orang di sekitar yang mengatakan biar kuliah tetap tidak mau

lulus. Kalaupun lulus di kedokteran tetap tidak mau kepakai...

Page 114: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

114

Ada satu dosen yang tidak mau kasih nilai praktek, kalau teori bisa. Namanya

dokter Meleka karena dia dulunya Permesta, jadi anti dengan PKI. Karena saya kenal

dengan dekan lalu saya bicara dengan beliau. Saya bilang, ”kalau saya tahu mau jadi

begini, saya tidak akan kasih kuliah anak saya di kedokteran. Biar dia kuliah di

pertanian saja. Lalu dia tanya mana anaknya. Akhirnya dia menjalani wajib lapor di

kampus. Ada beberapa orang tidak hanya Ato tapi yang tidak terus. Saya lihat dia

juga hampir stres, 9 tahun baru lulus.

Akhirnya ketika PTT tahun 1996, dia minta ditempatkan di Kalimantan Timur tanpa

sepengetahuan kami. Karena dia tidak mau mendengar cerita-cerita yang lalu.

Sampai sekarang sudah menjadi kepala Puskesmas dan ketua IDI Kalimantan Timur.

Nara sumber : Jozef Beinhard Kalengkongan

Pewawancara : Nurhasanah

Penulis : Nurhasanah

Mahardian

Memutus Rantai Pengucilan

S.M. Bihina, demikian orang-orang biasa menyapanya. Lelaki tua berusia 74

tahun ini lahir di Menui (sekarang kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah)

pada tanggal 16 September 1938. Hidup dan dibesarkan bersama 4 orang saudara

lainnya, dia tumbuh sebagai salah satu anak yang cukup dikenal di masanya. Sejak

menamatkan sekolah SR pada tahun 1952 di Menui, dia memilih merantau ke

Kendari, Sulawesi Tenggara untuk melanjutkan sekolah SGB (Sekolah Guru Bawah).

Saat itu sekolah di sana ditanggung oleh pemerintah melalui program beasiswa.

Mereka diasramakan di Kota Lama Kendari. Mulai pada saat itu, Bapak mengenal

dan belajar politik melalui berbagai organisasi yang diikutinya. Sampai pada tahun

1963 Bapak diangkat menjadi salah satu pimpinan partai besar di era itu.

Waktu terjadi peristiwa Gerakan 30 September di Jakarta, Bapak ditangkap dan

ditahan. Alasannya karena jabatan Bapak di Partai sebagai salah satu pimpinan

Page 115: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

115

tertinggi. Tepatnya pada tanggal 18 Oktober 1965 malam hari Bapak ditangkap di

rumah kediamannya. Awalnya Bapak hanya diamankan saja dari massa demonstran

seperti KAMMI dan KAPPI. Namun sejak diambil waktu itu, Bapak sudah tidak

pernah kembali lagi. Rupanya sudah langsung ditahan Ditahan selama 15 tahun dan

di pekerjakan di Kamp pengasingan di hutan Ameroro Kendari, Bapak juga menjadi

tahanan yang terakhir dibebaskan pada tanggal 08 Desember 1979.

Sebelum Bapak ditangkap, sudah diangkat menjadi seorang guru sejak tahun 1956.

Bapak ditempatkan di daerah Konawe. Berpindah-pindah mengajar dari satu daerah

ke daerah lainya, Bapak masih menyempatkan diri untuk merintis kampung

halamannya Menui, yang awalnya dari sebuah kampung biasa menjadi sebuah

Distrik. Saat itu Sulawesi Tengah masih bergabung dengan Sulawesi Utara.

Menghadap Raja Morowali, sampai dengan bertemu Gubernur Sulawesi Utara di

Manado, dilaksanakan oleh Bapak dalam usahanya menjadikan kampung kami

berubah menjadi Kecamatan. Setelah perubahan itu, tahun 1964 Sulawesi Tengah

(Palu) dan Sulawesi Tenggara (Kendari) memisahkan diri dari Sulawesi Utara

menjadi propinsi sendiri. Pada proses perkembangan daerah ini Bapak sempat

diminta untuk menjadi camat di Menui. Namun pada saat itu Bapak juga sudah

menjadi anggota Dewan di Kendari. Beberapa kawan dan petinggi di jajaran anggota

Dewan di Kendari tidak sepakat bila Bapak kembali ke Menui untuk menjadi

seorang camat. Alasannya sangat jelas. Saat itu Bapak dipersiapkan menjadi wakil

ketua Dewan di Kendari. Usianya masih sangat muda, 27 tahun, pada saat itu Bapak

juga sudah menjadi kepala sekolah SD ( Sekolah Dasar) di Bungkotoko Kendari

Hal lain yang juga dilaksanakan oleh Bapak, adalah mendamaikan penduduk yang

bertikai. Di salah satu daerah dekat Menui terjadi perpecahan antar penduduk yang

sudah berlangsung sangat lama ± 15 tahun. Perkelahian antar kampung sering

terjadi sampai memakan korban jiwa. Tidak ada satu orang pun yang mampu

mengamankan kedua kampung yang berseteru itu. Semenjak Bapak berceramah di

sana, sebelum peristiwa 65, kedua kampung tersebut tidak lagi berkelahi sampai

sekarang. Bapak berbicara dengan kedua tokoh dari kampung tersebut. Kemudian

Bapak sangat dikenal oleh semua kalangan sama seperti dengan saudara-saudaranya

Page 116: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

116

yang lain. Terkadang saya merasa risih ketika masih kecil ataupun sudah duduk di

bangku sekolah SMP, saya dan keluarga saya dilayani bagaikan seorang bangsawan.

Sepertinya bisa minta apa saja. Datang disambut dengan berbagai acara,

dihidangkan berbagai macam makanan, bahkan ketika saya dan keluarga yang lain

menginginkan sesuatu, selalu saja ada yang siap menyediakannya. Saya ingat satu

kali saya minta kelapa muda. Tapi saya tidak tahu mana pohon kelapa yang menjadi

milik keluarga saya. Orang-orang yang ada di situ langsung memetikkan kelapa saya

makan. Seperti zaman feodal saja jadinya. Ini hal yang kemudian menjadikan Bapak

tidak hilang muka saat disangkutkan dengan peristiwa 65. Sampai saat ini Bapak

masih sangat dipandang oleh orang-orang di Menui maupun di Kendari tempat

Bapak besar menentukan pilihan politik dan membangun keluarga.

Sejak punya jabatan penting Bapak sering ke luar kota. Tahun 1965 sebelum tragedi

itu, Bapak mengikuti pengkaderan Nasakom di Jakarta selama 40 hari, dan beberapa

kegiatan lainnya seperti ke kota Makassar. Bapak merupakan satu-satunya anggota

Dewan yang mewakili partai komunis saat itu. Hampir setiap pegawai negeri yang

ada di era Bapak juga memiliki kegiatan lainnya di luar kegiatan sehari-harinya

sebagai guru, kepala sekolah maupun pegawai instansi lainnya. Pak Abdullah

Sarundaeng misalnya, saat itu dia adalah bupati dan juga sekaligus adalah ketua

Dewan Kendari. Tetapi mereka semua tidak meninggalkan pekerjaan mereka

sebagai pegawai negeri. Karena anggota dewan pada saat itu tidak digaji, mereka

hanya memerima uang sidang saja. Kebutuhan keluarga tetap bergantung dari gaji

sebagai pegawai negeri.

Selama di dalam tahanan, Bapak selalu mendapat kunjungan dari beberapa orang.

Salah satunya adalah Nenekku. Waktu itu entah Nenekku pintar berpolitik atau apa,

dia diberi kebebasan untuk bertemu Bapak kapan saja oleh petugas jaga. Akalnya

setiap ketemu dengan petugas penjaga, dia tidak pernah berbahasa Indonesia. Dia

pakai bahasa Menui, jadi penjaga tak ada yang tahu. Jadi daripada mereka cape

melayani Nenekku, dia diberikan kebebasan untuk bertemu. Melalui Nenekku ini

kami bisa berkomunikasi dengan Bapak. Selama ditahan Bapak tidak terlalu banyak

mendapatkan siksaan. Bapak tidak lama ditahan di Korem lalu dikumpulkan di

Kampung Salo, terus dibawa ke Kamp pengasingan Ameroro. Waktu di Ameroro,

Page 117: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

117

para tahanan disebar untuk membangun proyek-proyek pemerintah. Misalnya

membuka jalan, membangun jembatan, mengolah kayu di hutan, dan berbagai

macam pekerjaan lainnya. Pekerjaan ini mereka laksanakan selama bertahun-tahun

tanpa dibayar.

Setelah ke luar penjara, Bapak bersama dengan 42 Kepala Keluarga lainnya langsung

dikumpulkan di Kamp Kali Wanggu. Di tempat yang baru ini mereka tinggal di

barak besar dengan ranjang lipat berkelambu untuk tidur. Kemudian dari Kamp itu

mereka dibawa ke Nanga-nanga untuk tinggal dan menetap di sana sebagai eks

Tapol - Napol Trgedi 65. Memang pada saat penangkapan banyak orang yang takut

kembali ke rumahnya, karena keluarganya sudah hilang, atau tidak punya kontak

lagi dengan keluarga. Pemerintah memikirkan, jangan sampai mereka tidak bisa

kembali ke masyarakat. Maka disiapkan lahan 1000 hektar untuk menampung para

Tapol Napol tersebut yang diambil dari dua Kamp penahanan, yaitu; Moncong loe

dan Ameroro. Sejak saat itu Bapak tinggal dan bertani di Nanga-nanga bersama

dengan eks Tapol Napol lainnya.

Bapak kemudian menikah yang kedua tahun 1980 dengan seorang perempuan yang

masih kerabat keluarganya. Mereka dijodohkan oleh keluarga setelah dengan istri

pertama Bapak berpisah saat Bapak ditahan. Istri pertama Bapak sampai saat ini juga

masih hidup. Di perkawinan yang pertama Bapak memiliki anak sebanyak tujuh

orang. Sebagian dari mereka tinggal bersama dengan kami di Kendari tapi berbeda

rumah. Mereka sudah menikah semuanya. Ada juga yang tinggal di Kalimantan, di

Konawe Utara, dan di Kendari sendiri.

Tumbuh di Nanga-nanga

Nama saya Mahardian. Dipanggil “Dian”. Mahar berarti sesuatu yang bernilai dan

Dian berarti lampu. Jadi Mahardian berarti sebuah lampu/lentera yang memiliki

nilai. Saya lahir di Kendari pada tanggal 21 April 1982, di sebuah Kampung Nanga-

nanga, perkampungan khusus yang dipersiapakan pemerintah untuk para Tapol

(Tahanan Politik) eks Peristiwa 65. Kampung (dusun) Nanga-nanga berada di

Kelurahan Baruga, Kecamatan Baruga, Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Page 118: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

118

Pada tahun-tahun 80 – 90 an di kampung ini cukup ramai, ada 42 Kepala Keluarga

eks tahanan Orba hidup dan bermukim di sana.

Saya memiliki 3 (tiga) orang adik perempuan bernama Uianaluliatik, Nurinti dan

Istin Bijayanti. Saya juga memilki 7 (tujuh) orang kakak hasil dari perkawinan Bapak

yang pertama : Nurjaya anak pertama, Kisna Jaya dan Misna Jaya (yang merupakan

anak kembar), Sulitno Suprin Jaya, Nurlis Ratna Jaya, Aris dan Abrat Limbang.

Hubungan saya dengan saudara-saudara yang berbeda ibu baik-baik saja. Kalaupun

ada masalah, pasti masalah-masalah kecil saja.

Sejak kecil saya sudah sangat akrab dengan suguhan berita dan cerita tentang

perkembangan politik negeri. Meski sudah dibilang era modern dan berkembang,

saat itu siaran TV hanya ada TVRI saja, Radio RRI dengan sedikit siaran yang bisa

dikonsumsi anak-anak. Tapi karena Bapak sering bercerita dan dia selalu

mendengarkan radio BBC London dan suara Netherland, akhirnya saya setiap hari

mendapatkan berita dari Bapak. Karena kita tidak bermain atau menonton kartun

karena semuanya itu tidak ada, maka informasi itu yang masuk ke telinga sejak

umur 5 tahun. Saya ingat dulu ada yang namanya film “Janur kuning”, film

“Pengkhianatan G 30 S PKI.” Nonton film tersebut beramai-ramai. Setiap kali setelah

menonton film-film itu semua orang ramai bercerita di setiap tempat berkumpul.

Namun saya dengan anak-anak saat itu belum tahu sepenuhnya tentang apa yang

terjadi pada masa itu.

Saat saya bersekolah di Sekolah Dasar 2 Lepo-lepo, ditempuh dengan berjalan kaki,

yang jaraknya ± 4 KM. Waktu itu saya kelas 1 SD. Kalau mau ke sekolah, saya dan

adik saya yang bernama Ui harus bangun sebelum jam 5 untuk mandi dan sarapan.

Kemudian menunggu teman-teman sesama anak Tapol yang lainnya untuk

berangkat beramai-ramai. Kami berangkat ke sekolah tanpa menggunakan sepatu,

dikarenakan jarak sekolah yang cukup jauh dan keadaan jalan yang tidak baik. Kami

harus terlebih dahulu membungkus sepatu dalam kantongan plastik, dan kami baru

memakai sepatu di sebuah kali kecil yang berjarak sekitar 200 meter dari sekolah.

Page 119: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

119

Walaupun kami ke sekolah berjalan kaki, tidak pernah sekalipun terlambat sampai

ke sekolah.

Ketika pulang sekolah, di mana kami yang masih duduk di kelas satu SD seperti

biasa akan pulang lebih awal. Kami yang masih kecil-kecil terpaksa kembali tanpa

menunggu kawan-kwan lainnya yang nanti pulang pukul 13.00 Wita. Seperti biasa

setelah sampai pada kali tempat awal kami memasang sepatu, kami kembali

menanggalkan sepatu. Sebelum melanjutkan perjalanan pulang, kami menggunakan

kesempatan untuk bermain di kali. Menangkap ikan Kepala Tima (begitu biasa kami

sebut), seperti menjadi jadwal tetap sehari-hari kami. Setelah puas bermain, kami

kembali melanjutkan perjalanan pulang. Terkadang kami juga singgah mencari

buah-buahan hutan yang biasa tumbuh tidak jauh dari pinggir jalan. Buah ini bisa

dimakan manusia, buah ini kami sebut anggur hutan atau Ruruhi. Belum cukup

dengan menangkap ikan dan mengambil buah di hutan, kami juga biasa singgah di

rumah Mayor Guntur Iskandar untuk mengambil buah jambu air. Mayor Guntur

Iskandar adalah salah satu Pembina di Kampung Tapol Nanga-nanga. Biasanya istri

pak Mayor Guntur yang memanggil kami untuk singgah memetik buah jambu air,

malahan dia sendiri yang biasa memetikkan buah tersebut karena pohonnya tinggi.

Perjalanan kami setiap hari ketika pulang pergi ke sekolah melewati hutan dan

kebun jambu mente, dua kali kecil dan satu sungai yang lumayan besar. Kami juga

melewati sebuah kampung masyarakat yang cukup sunyi karena hanya didiamai

oleh sekitar 10 kepala keluarga yang berada di salah satu bukit. Penghuninya setiap

hari tidak berada di rumah tetapi berada jauh di kebun mereka. Sungai Wanggu dan

Kali Lalowata di musim penghujan selalu mengalami banjir besar yang

mengakibatkan kami tidak dapat pergi bersekolah. Jembatan yang terbuat dari kayu

selalu terbawa oleh derasnya air sungai yang meluap.

Pernah terjadi ketika kami pulang dari sekolah, saat di tengah perjalanan kami

kehausan. Kebetulan dari sekolah kami pulang bersama satu orang anak yang

sekelas yang tinggal di perkampungan penduduk, di salah satu bukit yang kami

lalui.

Page 120: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

120

Kami minta kepada teman tersebut untuk mengijinkan saya singgah beristirahat dan

minta minum. Ia tidak berkeberatan, tetapi anehnya teman kami tersebut tidak

mengajak singgah di rumahnya yang berada di tepi jalan, tetapi malah mereka

mengajak kami berjalan ke bagian belakang rumah sekitar 1 Km lebih. Di situlah

baru kami bisa minum. Ternyata orang tua mereka tinggalnya di kebun untuk

berladang. Kalau kami hitung-hitung jarak ke kebun mereka dan jarak yang harus

kami tempuh untuk sampai di rumah sudah hampir sama. Terkadang kalau kami

lambat sampai di rumah saat pulang sekolah, ibu selalu datang menjemput, karena

khawatir kami terjatuh ke dalam sungai.

Terkadang para ibu kami harus menjadi anak sekolah juga, karena harus menjemput

anak-anaknya. Medan yang sangat tidak bersahabat bagi anak-anak seusia kami

menimbulkan rasa khawatir orang tua. Sebenarnya bagiku dan adikku hal itu tidak

masalah, malah kami merasa kasihan kepada ibu yang setiap hari menjemput kami.

Biasanya saat bermain di kali Wanggu itu, kami tidak jarang terjatuh dari kayu titian.

Saat kelas satu SD ini, saya sering sakit-sakitan. Ibu selalu membuat bekal buat kami

ke sekolah. Hal lucu adalah saya dan adik tidak tahu cara menggunakan uang

membeli jajanan. Bila diberi bekal uang, pasti uang masih utuh. Ada seorang Ibu

Kantin yang sering dititipi ibu uang untuk belanja kami. Kami bisa pesan dan makan

apa saja di kantin tersebut karena kami punya uang simpanan di sana yang sudah

diberikan ibu. Saya ingat nama ibu kantin itu Kustini. Wali kelas waktu itu namanya

ibu Suryati, dia yang sering membelikan jajan di sekolah. Karena kasihan melihat

saya tidak pernah belanja. Ibu wali kelasku ini sempat berpikir kalau saya dan

adikku tidak punya uang jajan. Mungkin pengaruh tidak pernah ke luar rumah dan

hanya bermain dengan adik-adik saja, sampai belanja jajanan pun saya merasa tidak

tahu.

Anduonohu dan situasi serba baru (SMP dan SMA)

Hanya sekitar tujuh bulan saya dan adik bersekolah di sana, lalu kami pindah ke

sekolah di tempat tinggal kami yang baru. Kami sekeluarga pindah ke Kelurahan

Andounohu. Kami sekolah di SD 1 Negeri Anduonohu sejak kelas satu caturwulan 3

sampai tamat tahun 1995. Ketika bersekolah di tempat baru saya masih berjalan kaki,

Page 121: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

121

karena jarak sekolah saya tidak terlalu jauh dengan tempat tinggal, sekitar 400

Meter saja. Letaknya di depan pasar. Berjalan bersama-sama dengan teman laki-laki,

teman perempuan, yang juga sekelas. Hanya yang jadi kendala kalau bergaul sehari-

hari dengan kawan-kawan. Karena teman-teman sekolah tinggalnya tidak di sekitar

lingkungan rumah. Jadi saya bergaul (berteman) dengan kemenakan (ponakan),

dengan teman-temannya rata-rata duduk di bangku sekolah SMP. Biasa ikut mereka

berkelahi, tawuran dengan anak-anak muda pasar baru. Saat itu beberapa temanku

bermusuhan dengan mereka. Ketika mereka berkelahi di depan kantin, saya ada di

antara mereka, tapi saya hanya lewat-lewat saja. Biasanya ada yang sampai terluka

kena ditikam. Saya bersama teman yang lebih muda usianya juga pergi meracun

ikan di rawa. Saya sampai di cari-cari oleh ibu kalau sudah malam tidak pulang ke

rumah. Mungkin karena baru merasakan berteman dengan anak-anak baru sampai

lupa pulang ke rumah. Tidak seperti dulu waktu di Nanga-nanga, saya hanya

bermain sepeda saja di belakang rumah dengan tiga orang adik.

Di samping rumah ada sebuah empang yang dibuat oleh Bapak. Di situ saya biasa

bermain juga dengan ponakan dan adik-adik. Hanya satu hal yang dikasi syarat

sama Bapak, yaitu boleh bermain di empang tapi jangan sampai bermain ke dalam

empang yang dalam. Jadi saya hanya biasa di pinggir-pinggir empang saja. Mungkin

karena itu saya sampai hari ini tidak bisa berenang. Padahal nenek saya seorang

pelaut.

Setelah tamat SD tahun 1995, saya dan adik meneruskan sekolah ke SMP 5 Kendari.

Kami berjalan kaki beramai-ramai dengan semua anak sekolah yang lainnya. Pada

saat itu semua siswa berjalan kaki karena jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah,

jadi santai saja sampai di sekolah. Namun arahnya berbeda dengan arah sekolah SD.

Kalau sekolah SD turun ke bawah dari arah rumah, sekolah SMP ini naik. Setiap

paginya jalanan selalu ramai dengan anak-anak sekolah. Anak SD, SMP maupun

anak SMA. Pergaluan saya biasa saja, hampir samalah dengan anak-anak lainnya.

Sampai pada waktu sudah di kelas tiga SMP, saya pernah pergi mengangkat batu

merah ke dalam truk. Waktu itu kami diberi upah. Saya ikut dengan kakak ipar yang

pekerjaannya sebagai sopir truk bersama dengan satu orang ponakan yang lebih tua.

Saya ingat kami di kasi uang Rp. 7,500 setelah selesai mengangkat batu merah

Page 122: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

122

tersebut. Batu merah ini dibawa ke samping kantor Gubernur. Di sana ada

pembangunan BTN. Ini saya lakukan diam-diam tanpa diketahui oleh orang rumah.

Setengah hari saja saya ikut, karena paginya saya harus sekolah dulu. Terangsang

oleh beberapa barang keperluan sekolah yang hampir rata-rata teman-teman sudah

punya, jadi saya cari akal bagaimana caranya bisa punya alat-alat itu tanpa minta

uang dari orang tua. Selain untuk membeli alat tulis, perlengkapan menggambar

seperti jangka, saya juga menggunakan uang hasil dari angkat batu merah tadi untuk

biaya foto copy bila ada buku-buku dari guru yang harus di foto copy karena kalau

membeli buku aslinya terlalu mahal. Tidak hanya angkat batu merah saja yang saya

lakukan, tetapi bersama ponakan, Atong, kami pergi mengambil daun kelapa muda

untuk dijual ke tukang bakso, untuk membuat ketupat. Sampai pada tahun 1998

saya tidak lagi pergi angkat batu merah atau mengambil daun kelapa muda. Saat itu

situasinya sedikit panas dengan gelombang demonstrasi mahasiswa menuntut

Soeharto mundur sebagai presiden.

Dari teman sepermainan yang tahu bahwa saya adalah anak PKI, saya tidak

mendapat diskriminasi. Malah bila belajar kelompok selalu di rumahku. Mungkin

karena di masa kami lahir ini sudah tidak terlalu dipersoalkan seperti di tahun-tahun

sebelumnya, atau memang karena teman-teman tidak begitu tahu dengan situasi apa

yang digambarkan oleh film Pengkhiatan G.30 S /PKI yang ditontonnya. Tetapi dari

hari ke hari, saya secara pribadi mulai sedikit mengerti dengan situasi politik saat

itu. Terkadang saya kembali teringat masa-masa di Nanga-nanga, menikmati berita

dari siaran radio BBC London dan Suara Netherland.

Kelurahan Andounohu ini juga merupakan kelurahan yang baru dibentuk dengan

masyarakat dari berbagai kalangan. Banyak penduduk yang merupakan pendatang

yang bermukim di sini. Mungkin hal ini juga yang menjadi salah satu sebab di mana

stigma kental ini tidak begitu terasa. Padahal semua orang sangat kenal dengan

Bapakku dan tahu kalau Bapakku itu adalah mantan ketua PKI saat itu. Setelah

reformasi tahun 1998 film-film tentang PKI dari pemerintah, sudah tidak pernah di

putar lagi.

Page 123: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

123

Masa SMA masa berbagi

SMA 2 Kendari. Jaraknya sekitar 3 kilometer dari rumahku. Masih berjalan kaki

kalau pergi ke sekolah, juga adik. Dua orang adik perempuan juga sudah bersekolah

di SD tempat saya dulu. Karena jaraknya agak sedikit jauh, dan uang saya hanya

secukupnya, maka saya tidak naik angkot berangkat ke sekolah. Adik perempuan

yang juga sekolah di tempat yang sama dengan saya, lebih saya prioritaskan untuk

naik angkot.

Saya suka dengan disiplin yang dilaksanakan oleh Bapak. Setiap pagi kami semua

sudah harus sarapan di rumah sebelum berangkat. Mau pakai ikan atau tidak, biar

cuma nasi saja dan teh, harus sarapan. Jadi pergi sekolah perut harus kenyang. Saya

lalui masa-masa SMA bersama dengan adik yang masih di bangku SD dan SMP

dalam keadaan seadanya saja. Tahun 2001 saya dan adik tamat bersamaan.

Kemudian kami bersama-sama juga mendaftar masuk ke perguruan tinggi di

Unhallu (Universitas Haluoleo). Ada hal yang sangat menolong kami berdua. Adik

lolos tes mengikuti program PPMP (Program Penerimaan Mahasiswa Prestasi).

Namun tidak dengan saya. Mengingat biaya kuliah dan sekolah adik yang masih

dua orang lagi, maka saya memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah dulu,

selain karena tidak lulus ujian masuk perguruan tinggi.

Di masa menganggur ini saya habiskan waktu untuk berkumpul bersama beberapa

kawan-kawanku saat SMA yang juga belum masuk kuliah. Kami menempati sebuah

rumah kosong di dekat rumah salah satu kawan yang Bapaknya cukup disegani di

lingkungan itu. Rumah itu seringkali dilempari oleh orang-orang karena sudah

dianggap berhantu. Dengan dukungan orang tua teman itu kami kemudian

membersihkan rumah tersebut dan menjadikannya seperti sebuah basecamp lah

istilahnya. Siang dan malam kami berkumpul di sana. Banyak hal yang kami

laksanakan selama belum melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Saya dan teman-

teman biasa mengikuti berbagai bentuk pelatihan yang diadakan oleh kelurahan,

pemerintah daerah, dan beberapa pelatihan dari dinas-dinas tertentu. Seperti Dinas

Tenaga Kerja dan Dinas Pertambangan. Saya juga pernah mendapat anjuran untuk

masuk polisi. Namun saya tidak mau. Karena memang bukan menjadi cita-cita saya.

Bapak juga tidak suka saya masuk polisi, karena pekerjaannya monoton dan

Page 124: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

124

cenderung tidak berkembang. Bergaul di rumah ini berhenti sampai teman itu tamat

kuliahnya.

Saat itu saya sempat dimarahi oleh ibu dan Nenek yang di Menui. Mereka sangat

menyayangkan sekali saya tidak melanjutkan kuliah dan menganggur, padahal

mereka sanggup membiayai kuliah saya. Maklum di kampung, Nenek saya masih

banyak hasil tanahnya yang bisa diandalkan untuk membiayai sekolah saya.

Akhirnya adik selesai kuliah di perguruan tinggi Universitas Haluoleo Jurusan FKIP

Matematika. Selanjutnya dia diangkat menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil), menjadi

guru di salah satu SMP di Kota Kendari. Terangkatnya adik menjadi seorang PNS

membawa angin segar dalam keluarga kami. Setelah melalui banyak hal selama saya

tidak bersekolah, saya memutuskan untuk bersekolah kembali. Adik sayalah yang

kemudian menjadi penyokong sekolah saya ditambah dengan hasil kebun Bapak.

Saudara saya yang ketiga, Nurinti, sekarang ini sedang menyelesaikan kuliahnya di

jurusan KESMAS (Kesehatan Masyarakat)UNHALU dan sekarang sudah jalan 6

semester, dan saudara yang ke 4, Istin Bijayanti, baru saja menyelesaikan

pendidikannya dibangku SLTA Negeri 2 Kendari, sekarang dalam proses

pendaftaran untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi negeri. Kami 4 (empat)

bersaudara sejak dulu sampai saat ini masih tinggal bersama orang tua kami di

Kelurahan Anduonohu. Keadaan rumah kami masih dalam kategori sederhana

dengan konstruksi bangunan berdinding papan beratapkan seng dan berlantaikan

semen. Namun kondisi ini sedikit lebih baik daripada rumah kami yang di Nanga-

nanga hasil pemberian pemerintah di pelosok hutan. Tetangga yang berdekatan,

fasilitas umum yang tersedia dan mudah di akses, menjadi faktor yang sangat

membantu dalam bersosialisasi dengan masyarakat sekitar yang tergolong sangat

baik. Tempat tinggal kami yang baru ini adalah kompleks area pembangunan kota

baru Kendari. Segala bentuk fasilitas mulai dari yang digunakan masyarakat secara

umum sampai pada bangunan perkantoran yang digunakan oleh pemerintah

semuanya ada di wilayah kami.

Dalam keseharian sekarang, saya biasa mengikuti berbagai kegiatan kemasyarakatan

maupun kegiatan-kegiatan pelatihan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Misalanya;

pelatihan kepemudaan dalam usaha kreatif, percetakan sablon yang dilaksanakan

Page 125: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

125

oleh pemerintah kelurahan, dan pelatihan pemuda pengusaha yang dilaksanakan

oleh Deperindag (Departemen Perindustrian dan Perdagangan). Sampai sekarang

tidak ada pengalaman pergaulan yang membuat saya sedih karena status orang tua

saya. Pada waktu masih sekolah ada teman yang tahu bahwa orang tua saya eks

Tapol tetapi ada juga yang tidak tahu. Secara umum teman-teman saya tidak perduli

atau tidak tahu masalah Tapol 65. Yang mereka ketahui hanya terjadi sebuah

gerakan pada tahun itu yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September.

Pengalaman waktu kecil dengan ayah sering muncul. Salah satunya, yaitu ketika

waktu masih tinggal di Nanga-nanga. Saya dengan ayah pernah pulang kemalaman

di jalan, saat itu masih berumur 5 tahun, berjalan kaki dari Lepo-lepo ke Nanga-

nanga sejauh 4 Km. Waktu itu saya sendri mengikuti ayah yang sedang memikul

barang belanjaan dari kota. Di tengah perjalanan kami harus menyeberangi sebuah

jembatan yang terbuat dari satu batang kayu melintang yang terbawa banjir, karena

habis hujan deras. Karena keadaan itu saya harus menunggu Bapak saya terlebih

dahulu di sebelah jembatan, karena Bapak harus menyebrangkan barang-barang

belanjaan terlebih dahulu. Setelah barang habis diseberangkan barulah Bapak

kembali mengambil saya. Kami tiba di rumah sekitar jam setengah 10 malam.

Peristiwa itu menjadi pengalaman yang sangat terkesan dalam ingatan saya. Saya

merasakan kasih sayang dari seorang Bapak yang sangat saya cintai. Sayangnya,

mungkin karena peristiwa malam itu, tidak lama kemudian saya sakit cukup parah

dan harus dirawat di rumah sakit selama kurang lebih 1 minggu. Dokter pada waktu

itu mengatakan saya menderita malaria tropika yang mengakibatkan saya harus

menerima donor darah sebanyak 2 kantung.

Saya tahu kenapa Bapak saya dikatakan eks Tapol karena di tahun 1965 ada gejolak

politik di pusat yang mengakibatkan bung Karno presiden pertama RI digulingkan

secara halus. Karenanya semua orang yang menjadi pengikut Bung Karno harus di

lenyapkan agar Bung Karno bisa di jatuhkan. Ayah saya bertatus ET kerena dia

pernah ditahan selama 15 tahun dari tahun 1965 – 1979. Menjadi seorang Tapol

Page 126: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

126

tidak memaksa Bapak saya menyembunyikan segala hal yang berhubungan

dengannya kepada kami. malah justru sebaliknya yang terjadi.

Bapak menceritakan kepada keluarga semua pengalaman hidupnya semasa kecil

sampai pada menjadi politikus, bagaikan menceritakan sebuah dongeng. Mungkin

hal ini juga yang menjadikan kami sampai pada hari ini sebagai anak tidak merasa

menjadi masyarakat kelas dua yang masih didiskrimanasi pemerintah maupun

cemohan dari orang sekitar, atau kami sendiri menutup diri karena malu menjadi

anak seorang PKI. Sedari kecil kami telah dididik oleh Bapak untuk selalu menerima

hal yang telah terjadi. Toh semua itu telah terjadi !!!! Kita tidak boleh terus-terusan

hanyut dalam uraian duka karena kepedihan yang dialami. Namun sebaiknya kita

lebih mampu berdiri dari kondisi yang kemarin. Saat menonton film G30 S itu, kami

di temani Bapak. Dan Bapak dengan senantiasa selalu menjawab pertanyaan saya

sesuai dengan keadaan dan langkah yang dialaminya.

Perasaan orang tua saya biasa-biasa saja karena menganggap itu sudah menjadi

resiko berpolitik, meski masa produktif hidupnya dia habiskan dengan mendekam

dalam penjara dan kerja paksa di Kamp Pengasingan di hutan Ameroro. Pada waktu

itu orang tua saya masih berumur 28 Tahun.

Mungkin karena sudah terbiasa mendengar cerita Bapak dari sejak kecil, kemudian

saya banyak mengerti tentang bagaimana politik, hukum, sosial dan budaya hari ini.

Melanjutkan sekolah di Fakultas Hukum Unhalu Kendari yang sudah menjadi cita-

cita saya sejak SMP, membawa saya pada tulisan akhir studiku. Setelah tiga tahun,

saya merasa sudah cukup dengan nilai yang saya peroleh. Judul skripsi yang saya

ajukan adalah, “Tinjauan Yuridis terhadap hak penetapan pensiun PNS yang di

anggap terlibat gerakan 30 September (Studi kasus skorsing pegawai negeri sipil

berdasarkan kepres 28 tahun 1975 di propinsi Sulawesi Tenggara)”. Sangat girang

rasanya, saat saya tahu bahwa judul ini disetujui oleh ketua jurusan dan dosen wali

saya. Sempat saya mendapat berbagai pertanyaan mengapa mengangkat judul ini.

Saya hanya menjawab bahwasanya ini adalah hal yang sangat menarik untuk

ditinjau kembali dari sisi para korban yang rata-rata pegawai negeri sipil berprofesi

Page 127: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

127

sebagai guru yang tidak mendapatkan hak pensiunnya atas tragedi yang dikaitkan

terhadap mereka sementara mereka tidak tahu apa-apa. Saya melakukan penelitian

yang semakin memperkaya pengetahuan, ujian proposal lalu ujian meja hijau

(Skripsi). Saya dapatkan gelar sarjana saya dalam tempo waktu 3 tahun 10 bulan,

dari bekal cerita masa kecil saya.

Menurut saya peristiwa 65 adalah peristiwa yang terjadi di Pulau Jawa, khususnya

di Jakarta yang berimbas ke daerah-daearah lain di seluruh wilayah Indonesia mulai

dari Sabang sampai Merauke. Peristiwa ini mengakibatkan banyaknya korban jiwa

yang jatuh. Mulai dari korban yang benar tergabung dengan partai yang kemudian

dilarang, maupun korban yang tidak tahu menahu tentang apa-apa pada tragedi

tersebut. Kemudian Negara dengan Orde Barunya pada saat itu, menyatakan bahwa

yang bertanggung jawab dan menjadi dalanganya adalah Partai Komunis Indonesia

(PKI). Pada masa reformasi mulai muncul dorongan untuk mencari tahu kembali

dari sisi yang lain tentang cerita 65. Harus ada pelurusan sejarah terlebih dahulu

yang merumuskan tentang peristiwa tersebut.

Bila generasi di masa saya saat ini akan menjadi generasi keemasan dalam proses

pelurusan sejarah, maka saya akan ambil bagian dalam membagikan emasnya ke

rakyat Indonesia. Paling tidak saya mengambil peran untuk mau tahu atas apa yang

telah terjadi.***

Pewawancara : Nurhasanah

Penulis: Muhammad Abbas.

Maryam

Hikayat Cinta Yang Tak Bertepi

Pedih itu masih terasa sampai saat ini, namun cinta akan tetap terpatri abadi dalam hati, yaah… cinta ini ibarat air bening yang mengalir dari hulu sampai kehilir lalu menyatu

dalam keabadian air samudra yang maha luas, walau di dasar samudra dia kan tetap tawar.

Page 128: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

128

Sendu bias matahari senja berwarna kuning keemasan berpadu badan dengan

guratan awan-awan lembut yang bergelantungan di atas langit Kota Palu. Di sisi

barat, begitu tegarnya gunung Gawalise merayu puncak gunung Matantimali

senandungkan lagu angin seakan memberi isyarat bahwa akulah saksi bisu

hilangnya sang pujangga yang telah berkalang tanah tanpa pusara akibat tirani dan

ketidak adilan penguasa negeri ini di masa lalu.

Orang tuanya memberikan Ia nama “MARYAM”, lahir di Palu pada bulan

Desember 1939, Ibunya bernama Haramia, gadis manis suku Kaili (suku yang ada di

Lembah Palu) dan ayahnya bernama Labonu berasal dari tanah Bugis. Dia adalah

anak kedua dari dua orang bersaudara dan memiliki sepuluh orang saudara tiri.

Sedari kecil Maryam telah terbiasa hidup apa adanya. Orang tuanya bukanlah

golongan orang yang berada, apalagi ayahnya memiliki dua orang istri sudah barang

tentu ikat pinggangnya akan selalu dia kencangkan untuk mengais rezeki demi

menafkahi keluarga besarnya. Ketegaran dan keikhlasan ibunya dalam menerima

kenyataan menjadi wanita yang dipoligami sangat terasa; walau ia tahu sebenarnya

ibunya tidak menerima dengan sepenuhnya hidup dimadu. Untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari, ibunya tidak pernah menuntut yang macam-macam kepada

suaminya, karena dia menyadari bahwa suaminya harus lebih fokus menafkahi istri

mudanya beserta sepuluh orang anak. Untunglah mereka masih memiliki sebidang

tanah (kebun) yang dapat digunakan untuk menanam singkong, pisang, dan

beberapa jenis sayur-sayuran; bila tiba masa panen hasilnya dapat dimakan,

selebihnya dijual kepasar. Oleh karena itulah semasa kecil Maryam telah menanam

sebuah harapan bila besar nanti Ia akan membahagiakan Ibunya dengan cara

menuntut ilmu atau apa saja yang penting halal.

Orang tuanya termasuk orang yang memiliki pandangan jauh ke depan

terutama ibu. Walaupun kondisi hidup Haramia serba kekurangan, namun baginya

menyekolahkan anak sangatlah penting demi masa depan anak-anaknya nanti

supaya hidupnya lebih baik dari pada orang tuanya. Pada tahun 1947 Maryam mulai

mengeyam pendidikan dibangku SR (Sekolah Rakyat), Sekolah Dasar kalau jaman

sekarang. Pada masa itu belum banyak orang yang menyadari akan pentingnya

pendidikan apalagi kaum perempuan. Namun bagi Maryam pendidikan adalah jalan

Page 129: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

129

yang tidak bisa ditawar-tawar dan akhirnya pada tahun 1953 Maryam berhasil

menamatkan pendidikan dibangku Sekolah Rakyat. Setelah tamat SR, geliat hati

untuk terus melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi terus saja menggelora di

dalam sanubarinya. Kebetulan di Donggala telah ada sekolah SGB (Sekolah Guru

Bawah). Kesempatan berharga itu tidak disia-siakannya apalagi sekolah tersebut

memiliki asrama. Pada tahun 1957 Maryam telah merampungkan pendidikan di

bangku SGB dan langsung ditempatkan sebagai guru di Sekolah Rakyat Donggala 2.

DAWAI ASMARA SANG PUJANGGA

Suami Mariam bernama Abdul Rahman Dg Maselo. Dia merupakan salah

satu tokoh penting dalam pergerakan PKI di Sulawesi Tengah. Jabatanya adalah

Ketua CDB (Comite Daerah Besar) Partai Komunis Indonesia di Sulawesi Tengah

juga tergabung dalam Front Nasional telah menjadikan dia dikenal banyak orang.

Asman Yodjodolo (Pimpinan IPPI, Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia)

merupakan salah seorang sahabat Abdul Rahman Dg. Maselo pernah mengatakan

bahwa “saya mengenal PKI secara mendalam atas keterangan yang dipaparkan

secara gamblang oleh Abdul Rahman Dg. Maselo. Selain satu kampung, saya masih

memiliki ikatan kekeluargaan dengan ketua CDB Partai Komunis Sulawesi Tengah

itu, di masa kepemimpinannya PKI menjadi partai yang sangat maju, soalnya

pimpinannya hebat, serba bisa, berjiwa seni, pandai mengaji, hebat dalam berorasi,

pemain voly handal, piawai bermain gitar, suaranya bagus, dan memiliki wajah

yang ganteng.”

Merilis kisah cinta Maryam bersama sang suami, seakan mengulang kembali

melodi dawai asmara tempo doeloe yang tak lekang diterpa badai. Dawai asmara itu

bermula di tahun 1958 tepatnya saat Maryam menjadi guru di Sekolah Rakyat

Donggala 2. Pada saat itu SR Donggala 2 kedatangan salah seorang tenaga pengajar

yang juga akan mengajar di sekolah itu. Sebelumnya Maryam tidak pernah

menyangka bahwa guru baru yang ditempatkan di sekolah itu adalah Abdul

Rahman Dg Maselo. Kaget, tentu saja kaget. Bagaimana tidak, sosok guru baru itu

Page 130: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

130

bukanlah orang baru baginya. Dia adalah kakak kelas saat Maryam sekolah di SGB

Palu dulu. Selama sekolah di SGB, dia adalah pemuda yang sangat menonjol dan

banyak di “ser-ser” (dikagumi/diminati) oleh para gadis, dia adalah orang yang

multitalenta, mempunyai banyak keterampilan, utamanya di bidang seni musik,

karenanya hampir semua alat musik yang ada pada saat itu mampu dimainkannya.

Keadaan itu berbanding terbalik dengan Maryam. Maryam hanyalah gadis yang

biasa-biasa saja. Tidak banyak keterampilan yang Ia kuasai, apalagi soal musik.

Tujuannya sekolah hanyalah datang menuntut ilmu agar cita-citanya menjadi guru

dapat tercapai. Tetapi lain halnya dengan Abdul Rahman Dg Maselo. Jiwa seninya

berkata lain. Baginya Maryam adalah gadis yang istimewa, gadis yang lain dari

biasanya, gadis yang tidak mau mencari-cari perhatian di depan orang serta gadis

yang mempunyai banyak misteri. Sungguh; “ Geliat cinta seniman memang susah

ditebak.”

Kemungkinan ada tiga penyebab mengapa Abdul Rahman Dg Maselo berniat

mengajar di Sekolah Rakyat Donggala 2. Yang pertama adalah ketetapan SK

mengajar, kedua adalah di Donggala telah dibuka SGA (Sekolah Guru Atas) dia

berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah tersebut, dan kemungkinan

yang ketiga mungkin dia telah melakukan chek and rechek bahwa gadis pujaan

hatinya salah satu guru di sekolah itu. Sebab menurut kabar yang telah diyakini

keabsahannya bahwa semenjak di SGB dulu, dia selalu memperhatikan Maryam

setiap kali Maryam kembali ke Asrama Sekolah di Maesa. Sayang sekalipun Abdul

Rahman Dg. Maselo belum berani menancapkan panah asmaranya. Maklum setiap

kali kembali ke asrama sekolah Maryam selalu diantar oleh sang Ibu. Apalagi

Maryam tidak merasa gengsi diantar Sang Ibu dengan berjalan memakai “Toru”

(topi petani yg lebar hampir sebesar payung diameternya) sambil membawa

“bingga” (keranjang khas suku Kaili).

Cinta Lama Bersemi Kembali (CLBK), itulah istilah yang pantas dijuluki

kepada Abdul Rahman Dg. Maselo. Jalan cinta jelas terbuka lebar, tentu peluang

guna merebut hati Maryam akan semakin mudah. Rasa cinta yang dipendam selama

di SGB dulu kembali menari nari dilubuk hati Abdul Rahman Dg. Maselo. Untuk

merebut hati Maryam, Sang Pujangga mulai melakukan pendekatan secara insentif.

Page 131: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

131

Baginya Maryam bukanlah sosok gadis yang mudah ditaklukan. Bila salah

menerapkan jurus, maka akibatnya akan fatal. Makanya dalam menyampaikan

hasrat hatinya kepada Maryam, Sang Pujangga selalu memilih waktu yang tepat dan

menggunakan kalimat fatwa para pujangga. Mengisahkan tentang perasaan

sukanya semasa di SGB dulu merupakan jalur yang paling aman untuk memulai

pembicaraan. Bukan seniman namanya kalau bahasanya tidak berliku-liku. Dia beda

dari seniman lainnya, untuk meluluhkan hati pujaan hatinya ada banyak cara yang

dia lakukan. Berkali-kali dia mengungkapkan perasaanya secara langsung kepada

Maryam namun semua itu selalu Maryam anggap sebagai angin lalu. Sebenarnya

bukan Maryam tidak menaruh hati padanya. Kenyataan yang sering disaksikan

Maryam, Abdul Rahman Dg. Maselo merupakan pemuda yang banyak didekati

sekaligus diminati oleh para gadis. Sifatnya humoris, cerdas dan berjiwa seniman

membuat banyak gadis antri mengharapkan cintanya. Di samping itu Maryam

memiliki trauma masa lalu mengenang nasib ibunya yang dimadu sehingga

berakibat Ibu harus banting tulang sekuat tenaga menghidupi Maryam dan

kakaknya. Maryam tidak ingin kejadian orang tuanya terulang kembali pada dirinya.

Untuk sementara Maryam masih pikir-pikir dulu menerima cinta Sang Pujangga.

Guru baru itu tidak patah arang, baginya cinta harus diperjuangkan. Sepucuk

surat di layangkan kepada Maryam sebagai senjata terakhir untuk meluluhkan

ketegaran hati Maryam. Sepenggal kalimat bak syair para pujangga, jadi ungkapan

penuh makna, membelai nurani , merasuki akal sehat, dan melumpuhkan semua

keraguan Maryam padanya. Kalimat itu adalah “Sesungguhnya bahwa cinta itu tidak

bisa dibendung, harus dilahirkan kepada yang bersangkutan.” Abdul Rahman Dg. Maselo

memang piawai dalam urusan cinta.

Tiga bulan lamanya masa berpacaran dilalui oleh kedua insan tersebut. Cinta,

kasih sayang dan kesungguhan hati Abdul Rahman Dg. Maselo diungkapkannya

dalam berbagai macam cara. Diwaktu–waktu tertentu petikan dawai gitar dan irama

Viol/Biola serta lantunan lagu–lagu bertemakan asmara kerap dinyanyikan sang

pujangga kepada Maryam. Syahdu suara petikan gitar dan lantunan lagu asmara

mendera relung hati Maryam. Wajar saja, disamping mengajar, kekasih Maryam itu

juga berprofesi sebagai pemain Band. Berkelana dari pesta ke pesta mengikuti

Page 132: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

132

rutinitas Band membuat sang pujangga terkadang bolos mengajar. Katanya

“Maryam cintaku, musik adalah kehidupanku, dan kau adalah napas hidupku.”

Namun sayang kisah asmara kedua insan tersebut harus terpisahkan oleh jarak

karena Maryam dipindahkan ke Palu dan mengajar di Sekolah Rakyat Talise

sementara Abdul Rahman Dg. Maselo masih tetap mengajar di Donggala.

Jarak bukanlah halangan yang berarti bagi Abdul Rahman Dg. Maselo untuk

menemui kekasihnya. Diwaktu-waktu tertentu sang Pujangga sering bertandang ke

rumah Maryam sekedar untuk melepas rindu. Apel di rumah Maryam bukan

perkara mudah, ketaatan orang-orang tua terhadap ajaran dan norma–norma adat

istiadat masih sangat kental. Orang tua sangat menjaga kehormatan keluarga dari

hal-hal yang mengandung fitnah serta gunjingan orang–orang utamanya masaalah

hubungan antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah. Untuk mengelabui

hal itu, terpaksa Maryam harus bohong kepada ibunya bahwa Abdul Rahman Dg.

Maselo hanyalah teman mengajarnya di Donggala dulu. Keadaan itu membuat sang

pujangga merasa kurang nyaman, sebab sepandai pandainya orang menyimpan

durian masak pasti baunya akan tercium juga.

Perasaan cinta sang Pujangga kepada Maryam semakin hari semakin tak

tertahankan. Hari-hari selalu menabuh rindu. “Dari pada kebohongan terus

berkepanjangan alangkah lebih baik saya meminangmu”. Demikian kata sang Pujangga

kepada Maryam. Niat Abd Rahman Dg. Maselo akan meminang disambut baik oleh

orang tua Maryam. Apalagi memang sudah waktunya umur Maryam harus

menikah. Hal itu juga bertujuan untuk menghindari fitnah dan menghindari

perbuatan yang di luar tuntunan agama. Mendengar keinginan dan kesungguhan

hati Abd Rahman Dg. Maselo ingin menjadikan dia sebagai istri membuat Maryam

merasa bahagia dan menerima dengan hati terbuka bahwa orang yang selama ini dia

cintai ternyata memegang teguh segala kata-katanya. Tanggal 16 Februari 1960

merupakan hari bahagia bagi Maryam dan Abdul Rahman Dg. Maselo karena pada

hari itu sang Pujangga dengan lantang dan fasih mengucapkan Ijab Kabul di depan

Imam (penghulu) yang disaksikan oleh segenap tamu undangan dalam acara pesta

perkawinan yang dilaksanakan secara sederhana namun penuh hikmah.

Page 133: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

133

Setelah selesai menikah Abdul Rahman Dg. Maselo pindah ke Palu dan

mengajar di Tondo. Desa Tondo masih bertetangga dengan Talise tempat Maryam

mengajar, dengan demikian dia tidak perlu lagi bolak balik dari Donggala ke Palu.

Jiwa seni sang suami terkadang membuat Maryam sedikit pusing. Soalnya hampir

semua grup Band di Palu diikuti oleh suaminya. Salah satu grup Band yang top di

Palu pada masa itu yakni Band Al Munir milik orang Arab. Setiap kali ada kegiatan

Band Abdul Rahman Dg. Maselo tidak pernah absen. Dia selalu ikut memainkan alat

band atau menyanyi. Terkadang sang suami pulang larut malam lalu mengetuk

pintu seperti hantu, itu membuat Maryam sedikit kewalahan. Maryam menyadari

dan memaklumi bahwa seni adalah panggilan jiwa suaminya, tetapi gara-gara seni

sang suami kerap kali tidak masuk mengajar.

Suatu ketika Maryam mulai mengajukan protes kepada suaminya:

“ Pa, Kalau boleh tolong kegiatan Bandnya dikurangi sedikit !” Ujar Maryam sendu.

Sang suami hanya diam sambil berpikir diiringi senyum cengar cengir khasnya.

“Pa, Kalau “ Komiu” (panggilan “dikau” dalam bahasa ”Kaili”) terus-terus main Band

bagaimana dengan mengajar ?” Maryam kembali berceloteh.

“Ma, begini saja, main Band akan saya kurangi, tapi urusan menyanyi kalau boleh

jangan dilarang,” Jawab sang Suami enteng sambil merangkul bahu Maryam

berharap Maryam memaklumi keinginannya. Namanya juga pengantin baru, rasa

prihatin Maryam terhadap aktifitas seni suaminya tentu sedikit mengganggu

pikirannya. Pendapatan yang didapatkan dari bermain band tidak bisa diandalkan

apalagi terkadang lebih banyak gratis daripada dibayar. Namun demikian Maryam

tetap berusaha untuk memaklumi permintaan suaminya demi keutuhan keluarga

barunya. Maryam tetap bahagia.

Pernah suatu ketika karena terlalu larut malam Sang Suami tak kunjung pulang

karena asyiknya bermain band hingga tertidur di rumah teman sesama pemain

Band. Maryam gelisah hatinya menunggu sang kekasih tak kunjung pulang; esok

harinya Maryam mendatangi tempat biasanya mereka berkumpul tapi apa kata

temannya bahwa Abd. Rahman Dg. Maselo tidak ada di situ. Dengan kegalauan hati

Maryam pulang dengan rasa sedih; belum seberapa jauh terdengarlah permainan

Viol /Biola yang di gesek oleh sang pujaan hatinya dan Maryam tahu lagu khas dan

Page 134: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

134

cara dia memainkan. Berbaliklah Maryam yang galau ke tempat semula; rupanya

mereka sengaja mengerjainnya. Mulai sa’at itu Maryam menunjukan ketegasannya

sebagai seorang Isteri. Begitulah kisah kasih anak manusia yg penuh canda dan

bahagia sa’at itu.

HARI HARI YANG MEYEDIHKAN

Janji Abdul Rahman Dg. Maselo kepada istri tercinta rupanya benar-benar

dipatuhinya. Perlahan-lahan kegiatan main band mulai dikurangi. Keadaan itu

membuat Maryam sedikit berlega hati.

Awal mula Abdul Rahman Dg. Maselo mengenal dunia organisasi yaitu

ketika dia mulai bergabung dengan kegiatan “Pemuda Rakyat”. Pada masa itu,

organisasi Pemuda Rakyat merupakan salah satu organisasi yang banyak diikuti

oleh para pemuda di Palu maupun Donggala di samping organisasi–organisasi yang

lain seperti IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) yang diketuai oleh Asman

Yodjodolo, BTI (Barisan Tani Indinesia), PKI (Partai Komunis Indonesia) dan

GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia). Naluri Abdul Rahman Dg. Maselo untuk

menjadi aktivis di organisasi terus berkembang dan terasah. Kegiatan baru tersebut

lambat laun membuat Sang Pujangga mulai mengurangi kebiasaan menyanyinya di

kegiatan band. Organisasi “Pemuda Rakyat” termasuk organisasi massa yang sah

menurut pemerintah ketika itu sehingga keberadaan organisasi gerakan Pemuda

Rakyat mendapat banyak simpati dari kalangan pemuda. Semakin hari kegiatan

Abdul Rahman Dg. Maselo semakin padat. Jiwa organisasinya meledak-ledak,

menggelora seiring dengan kepekaan dan ketajaman berpikirnya yang semakin

terasah. Tidak begitu banyak yang diketahui Maryam terhadap kegiatan yang

dilakukan suaminya di gerakan Pemuda Rakyat. Yang Maryam ketahui, setiap hari

suaminya sibuk diskusi dengan beberapa orang temannya sesama Pemuda Rakyat.

Awal keikutsertaan Maryam di kegiatan Gerwani dari perkenalannya dengan

Ibu Sri Subekti. Di organisasi Gerwani Sri Subekti memegang jabatan ketua dan

suaminya bernama Partowijoyo adalah Kepala Penerangan sekaligus menjadi ketua

PKI Propinsi Sulawesi Tengah. Level PKI ditingkat Propinsi disebut juga CDB

Page 135: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

135

(Comite Daerah Besar). Kala itu rutinitas kegiatan Maryam hanyalah mengajar di

Sekolah Rakyat Talise, atas saran ajakan suaminya, Maryam diajak ke rumah Ibu Sri

Subekti. Kesan pertama didapati Maryam ketika bertemu dengan ketua Gerwani itu

adalah Sri Subekti merupakan sosok yang ramah tamah. Awalnya Maryam belum

begitu tertarik dengan organisasi Gerwani, maklum saja selama ini kegiatan yang

dilakukannya hanyalah mengajar semata, olehnya itu kegiatan-kegiatan menyangkut

masaalah politik dan sebagainya belum begitu dipahaminya. Berkat Sri Subekti,

perlahan– lahan Maryam mulai memahami sepak terjang kegiatan Gerwani.

Ketertarikan Maryam terhadap organisasi Gerwani semakin besar karena semuan

kegiatan yang dilakukan oleh organisasi itu bernuansa positif di mana para ibu-ibu

yang menjadi anggotanya diajarkan berbagai macam keterampilan. Visi dan Misi

Gerwani sangat jelas tertera dalam Anggaran Dasar Gerwani yang diperlihatkan

oleh Ibu Sri Subekti. Untuk menjadi anggota baru Gerwani, Maryam harus mengisi

formulir yang isinya menyagkut biodata pribadi. Gerwani merupakan organisasi

khusus perempuan di tubuh PKI dan untuk para pemudanya tergabung dalam

Gerakan Pemuda Rakyat seperti yang diikuti oleh Abdul Rahman Dg. Maselo

suaminya. Cakrawala pikiran Maryam perlahan-lahan mulai terbuka bahwa sebagai

perempuan sekaligus istri seharusnya memiliki banyak keterampilan utamanya

keterampilan kerja. Aktifitas anggota Gerwani lewat bimbingan Ibu Sri Subekti yaitu

di bidang keterampilan seperti menjahit, menyulam dan memasak, bidang olah raga

seperti Gerak Jalan dan main voly, bidang kesenian sepeti latihan drama dan masih

banyak lagi kegiatan-kegiatan positif lainnya yang semuanya bertujuan membantu

program pemerintah. Adapun jumlah anggota Gerwani pada sat itu sekitar 40 orang

terdiri dari ibu-ibu muda dan beberapa orang istri pejabat termasuk Ibu Sri Subekti.

Yang paling menarik bagi Maryam terhadap Gerwani yakni Gerwani merupakan

organisasi yang anti poligami. Tentu saja anti poligami akan membuat Maryam

tertarik. Maryam pernah merasakan bagaimana Ibunya dipoligami oleh Ayahnya

sehingga Ibunya harus merelakan suaminya lebih banyak menghabiskan waktunya

dengan istreri mudanya. Maryam tidak ingin kejadian itu terulang lagi pada dirinya.

Pada bulan Januari 1961 terdengar kabar bahwa sang suami akan diberang-

katkan ke Manado (Provinsi Sulawesi Utara) beserta tiga orang temannya untuk

Page 136: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

136

mengikuti kegiatan Pemuda Rakyat selama 6 bulan. Sebelum sang suami berangkat

ke Manado, terlebih dahulu Ia berdiskusi dengan Isterinya. Bagi Abdul Rahman Dg.

Maselo sebelum mengambil keputusan berangkat ke Manado ia harus

memberitahukan kepada Istrinya, apalagi saat itu Maryam sedang mengidam anak

pertama mereka yang usia kandunganya diperkirakan sekitar 1 bulan. Tentu

kehadiran suami sangatlah dibutuhkan oleh Maryam selaku seorang ibu yang baru

merasakan pertama kali mengidam. Di samping itu sang suami juga mendiskusikan

tentang tugas mengajarnya yang akan dia tinggalkan selama 6 bulan. Dari hasil

diskusi pasangan suami istri tersebut akhirnya berujung pada satu keputusan yakni

Abdul Rahman Dg. Maselo akan mengajukan surat izin kepada Kepala Sekolah

tempat dia mengajar.

Enam bulan waktu yang harus dilalui Maryam dalam kondisi hamil tanpa

kehadiran sang suami. Sebelum berangkat, Abdul Rahman Dg. Maselo berpesan

kepada istrinya, “Ma, tolong jaga bayi dalam kandungan itu baik-baik.” Maryampun

melepas kepergian suaminya dengan linangan air mata serta iringan do’a semoga

Tuhan selalu melindungi suaminya dan dirinya selalu diberi ketabahan dan

kesabaran menjalani perpisahan ini. Tuhan memang maha kuasa, dalam kondisi

hamil seperti itu, Tuhan mempermudah cara mengidamnya Maryam, sehingga

keinginan si jabang bayi tidak macam- macam. Mungkin juga si jabang bayi

menyadari bahwa bukan waktunya untuk minta yang macam-macam agar ibunya

tidak kerepotan mencari buah mangga dimusim durian atau ibunya mengidam

hujan di musim panas. Jalan satu-satunya Maryam menebus kerinduan terhadap

sang suami adalah menanti surat–surat dikirimkan sang suami yang berisikan

kondisinya selama berada di Manado.

Setelah 6 bulan lamanya Abdul Rahman Dg. Maselo berada di Manado,

akhirnya tiba saatnya kembali ke Sulawesi Tengah. Bahagia rasanya hati Maryam

menyambut kepulangan suami tercinta. Keadaan kandungan Maryam telah

memasuki bulan ke tujuh. Sekembalinya Abdul Rahman Dg. Maselo dari Manado

tidak membuat Maryam dapat sepenuhnya melewati hari-hari bersama dengan

suami. Maryam sangat memaklumi beban tugas dan aktifitas suaminya di di gerakan

Pemuda Rakyat harus dijalankan dengan segenap tanggung jawab. Oleh karena itu

Page 137: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

137

suami praktis tidak aktif lagi mengajar, tentu berpengaruh juga pada keadaan

ekonomi keluarga, sehingga pada suatu saat Abdul Rahman Dg. Maselo

memutuskan untuk berhenti menjadi guru dan akan lebih fokus pada kekiatan-

kegiatan organisasi. Maryampun harus siap menerima kenyataan gaji suaminya

akan terhenti sampai di sini sementara di kegiatan organisasi tidak ada gaji yang bisa

diharapkan. Keterlibatan Maryam di Gerwani sedikit telah membuka cakrawala

berpikir dan kepekaannya terhadap lingkungan, utamanya bagaimana mensiasati

hidup dengan berbagai macam keterampilan. Ilmu yang didapatkannya selama

menjadi anggota Gerwani membuat Maryam maklum dengan keputusan suaminya

berhenti menjadi guru. “Rezeki Tuhan yang mengatur, manusia tinggal berusaha dan

beriktiar“ itulah kalimat yang menguatkan Maryam menjalani hidup. Tanggal 21

September 1961 Maryam melahirkan anak pertama, selanjutnya tanggal 1 Oktober

1963 anak keduapun lahir, dan anak terakhir lahir tanggal 14 Juli 1965 tanpa

menyaksikan bagaimana rupa Ayahnya sebab berselang lima bulan setelah kelahiran

yakni bulan Nopember 1965 sang ayah telah hilang entah dimana rimbanya.

DIMANA RIMBANYA JASAD SUAMIKU

Tahun 1963 Abdul Rahman Dg. Maselo dilantik menjadi ketua PKI Sulawesi

Tengah sebelumya dia menjabat sebagai ketua Priodik Front Nasional. Disebut

periodik karena jabatan ketua Front terus digilir setiap tahun. Sebelum jabatan ketua

PKI Sulawesi Tengah dipegang oleh Abdul Ragman Dg. Maselo terlebih dahulu

dipegang oleh Partowijoyo suami dari Sri Subekti yang juga menjabat Ketua

Gerwani. Pada tahun 1962 Partowijoyo bersama Istri dan keluarganya kembali ke

Jawa dan untuk menggantikan kepemimpinan Partowijoyo, maka ditunjuklah Abdul

Rahman Dg. Maselo untuk menduduki posisi jabatan tersebut. Sebagai Istri Ketua

PKI Sulawesi Tengah, Maryam sangat mendukung semua kegiatan-kegiatan yang

dilakukan oleh suaminya. Apalagi melihat semua program PKI selalu mendukung

program pemerintah dan selalu berpihak kepada rakyat kecil. PKI sangat tanggap

terhadap permasalahan rakyat kecil utamanya masalah perekonomian.

Page 138: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

138

Maryam tidak pernah menyangka, perjuangan yang dilakukan suaminya

dengan setulus hati membantu program pemerintah lewat gerakan–gerakan

Program PKI akan berujung pada tragedi yang berkepanjangan bagi dirinya,

suaminya, anak-anaknya, dan semua orang–orang yang dicap sebagai PKI oleh

Pemerintah Orde Baru.

Masih terlintas jelas dipikiran Maryam serpihan–serpihan tragedi yang terjadi

terhadap suaminya. Guratan–guratan tragedi itu masih sangat jelas terlihat dari

tatap matanya dan desahan napasnya kala kisah itu terbayang kembali.

Seperti biasanya pada malam hari Abdul Rahman Dg. Maselo selalu jarang di

rumah. Kesibukannya sebagai Ketua PKI Sulawesi Tengah telah banyak menyita

waktu. Setiap hari sang suami bergelut di kantor dan terkadang kembali ke rumah

hanya untuk mandi dan ganti pakaian. Seperti biasanya, ketika suami tidak ada di

rumah, Maryam dengan telaten mengurus anak-anaknya. Seusai meninak bobokan

ketiga malaikat kecilnya, Maryam mulai menyetel satu-satunya benda antik

pemberian suaminya ketika itu yakni sebuah radio transistor merk “Toshiba”.

Sampai sekarang radio transistor tersebut; menurut anak pertamanya terlihat persis

radionya di rumahnya anak Umar Said. Dalam keheningan seperti itu tangannya

mulai aktif memutar tombol gelombang radio untuk mendengarkan siaran-siaran

atau lagu-lagu yang terdengar dari spiker benda antik tersebut. Sedang asik-asiknya

mendengarkan siaran radio, tiba-tiba rumahnya mulai dilempari orang. Kejadian itu

terus berulang berkali-kali. Maryam bingung apa sebenarnya terjadi. Selama ini baik

dia maupun suaminya tidak pernah berbuat kesalahan apalagi bersengketa dengan

para tetangga atau orang lain. Rasa takut tentu saja merasuki pikiran Maryam

utamanya keselamatan anak-anaknya, belum lagi ditambah sering pada malam hari

suaminya tidak ada di rumah. Bila kebetulan suaminya pulang, Maryam sering

bertanya kepada suaminya, “ Pa, kenapa rumah kita dilempar-lempar orang, apa

salah kita.” Apa yang harus dijawab Sang suami sementara suaminya sendiri tidak

mengetahui apa-apa. Penyebab itu baru mulai disadari setelah mereka mendengar

lewat siaran radio bahwa telah terjadi peristiwa Gerakan 30 September yang

dituduhkan didalangi oleh PKI di Jakarta.

Page 139: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

139

Pada bulan Nopember 1965, Abdul Rahman Dg. Maselo pamit pada Maryam

kalau dia akan mengikuti rapat di Kantor Gubernur sekaligus untuk mencari tahu

apa yang sebenarnya terjadi. Maryam tidak pernah menyangka bahwa kepergian

suaminya ke kantor gubernur itu adalah hari terakhir bersama suaminya sebab

setelah itu Abdul Rahman Dg. Maselo tidak pernah balik lagi ke rumah. Berita

semakin simpang siur masuk ke telinga Maryam. Ada yang bilang suaminya telah

hilang, bahkan ada yang bilang sudah diganyang dan lain sebagainnya.

Upaya Maryam untuk mencari tahu keberadaan suaminya tidak pernah

berhenti. Sambil membawa anak pertamanya ia pergi menanyakan hal itu kepada

Bapak Gubernur Sulawesi Tengah di rumah jabatannya. Suatu ketika masih di bulan

Nopember 1965 tanpa disengaja Maryam sempat mengetahui kalau suaminya

ditahan di sebuah rumah di Jalan Sedap Malam. Entah itu rumah siapa, yang jelas

rumah itu dijaga oleh Polisi. Kala itu Maryam sedang mengajar di SDN 10 Palu, di

jalan Mawar. Ketika di Jalan Sedap Malam itu pula suaminya sempat mengisahkan

tentang perlakuan petugas terhadap dirinya; diperintahkan mandi malam dgn harus

menghabiskan sabun “cap tangan”. Kemudian dipindahkan lagi rumah

penahanannya ke Jalan Mawar tidak jauh dari tempatnya mengajar. Yang tak luput

ingatan dari anak pertamanya ketika mengantarkan bubur kacang hijau baik di Jalan

Sedap Malam maupun di Jalan Mawar; Sang Ayahanda menyuapkan bubur kacang

hijau yangg diantar itu juga ke anaknya. Sampai sekarang bila Sang Buah Hati

menikmati kacang hijau terbayang selalu kenangan itu.

Ketika sedang mengajar, Maryam sempat melihat suaminya bersama tiga orang

temannya yaitu Sunaryo dan Ruswanto digiring oleh Polisi. Menurut informasi yang

didengar Maryam bahwa suaminya akan dibawa ke kantor CPM. Perasaan hati

Maryam menjadi kacau balau tak menentu, Maryam mulai cemas dan menangis

takut kalau terjadi apa–apa dengan suaminya apalagi dia telah mendengar kabar

kurang baik tentang orang-orang yang ada hubungannya dengan PKI.

Semenjak Abdul Rahman Dg. Maselo ditahan di penjara Maesa hanya satu kali

Maryam dan anak-anaknya diberi kesempatan untuk menjenguk suaminya. Masih

terbayang oleh anak pertamanya; sa’at itu penjara Ma’esa Palu di pagar tinggi

dengan kawat berduri dan masih jelas kenangan anak pertamanya bagaimana “si

Page 140: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

140

bocah” itu disuruh membawakan sebuah sajak yang dikarang Bapaknya sendiri

dengan judul “Aku anak rakyat proletar” lalu ditanyakan makan apa di rumah,

dengan tanggap “si bocah” menjawab “Makan sayur palola talebe poge”

maksudnya: “sayur terong dan tepung beras jagung”. Selama berada di penjara, baik

penjenguk maupun tahanan dilarang oleh petugas berbicara terlalu lama.

Kesempatan pertemuan itu menjadi sangat berharga bagi Maryam untuk

menyampaikan keluh kesahnya kepada suaminya. Di pertemuan yang singkat itu

Maryam berkata pada suaminya “ Pa, saya sempat dengar siaran di radio katanya

orang PKI tidak bisa hidup di Indonesia lagi, jadi kalo orang PKI tidak bisa hidup di

Indonesia lagi jadi mo kemana lagi kita,?” Ucap Maryam lirih dengan deraian air

mata sambil mengelus kepala anak ketiganya yang masih balita di gendongannya.

Abdul Rahman Dg. Maselo begitu merasakan kesedihan hati istrinya apalagi melihat

keadaan anak-anaknya yang sangat membutuhkan kehadiran seorang ayah. Lalu

dengan suara sendu Abdul Rahman Dg. Maselo berkata pada Mariam, “ eh.,.

Mamatemo ri Indonesia yaku (mati di Indonesia saja saya), kalau saya mati nanti

dikuburkan dekat saya punya bapak, jaga saja anak-anak dengan baik-baik, jadilah

kau ibu sekaligus ayah bagi mereka.”

Tahun 1966, Maryam ditahan dan ditempatkan di rumah jalan Matahari No.

D 44. Penahanan itu berlangsung cukup lama. Pada masa Maryam ditahan bersama-

sama teman Gerwani lainnya. Pada bulan Desember 1966 sebuah mobil jeep CPM

membawa para Tapol termasuk Sang Suami Tercinta dari Penjara Maesa Palu

menuju Penjara Donggala untuk dipindah penahanannya, pada saat itu mobil CPM

tersebut datang di tempat penahanan Maryam. Mobil tersebut membawa beberapa

orang Tapol termasuk Abdul Rahman Dg. Maselo. Pertemuan terakhir yang sangat

memilukan dan takkan pernah dilupakan oleh Maryam dan anak pertamanya yang

kebetulan dikaruniai Allah SWT dengan ingatan yang cukup tajam padahal ketika

itu masih berumur 5 tahun. Bagaimana tidak, pertemuan itu ternyata adalah

pertemuan terakhir dengan suaminya. Suasana pilu jelas terlihat saat itu, dengan

penuh kesedihan Abdul Rahman Dg. Maselo memeluk Maryam dengan seerat-

eratnya, setelah itu kemudian Ia mencium dan memeluk ketiga anak-anaknya satu

demi satu yakni yg pertama: bocah laki-laki baru berumur 5 tahun, lalu yang kedua

Page 141: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

141

bocah perempuan baru berumur 3 tahun dan anak yang terakhir bayi laki- laki sa’at

itu baru berumur 5 bulan; sembari berpesan kepada Maryam “ Ma, Tolong kau jaga

baik- baik anak kita,” tidak banyak kata – kata yang terucap dari bibir suaminya.

Pertemuan terakhir yang singkat. Hati Maryam begitu pilu, isak tangisnya tumpah,

pedih dan sakit semakin bertambah ketika menyaksikan anak pertamanya berlari

mengejar mobil tahanan yang membawa pergi ayahnya sambil berteriak mengejar“

Papa… papa, saya ikut, … papa… papa saya ikut.” Suasana pilu itu tidak hanya

dirasakan oleh Maryam dan anaknya akan tetapi juga dirasakan oleh para tertangga

yang turut pula menangis dan tahanan lainnya yang melihat kejadian ini. Karena

perpisahan yang cukup tragis itu akhirnya Sang buah hati yang meraung minta ikut

Papa…, jatuh sakit panas tinggi hingga “mata tinggi”(Step). Sang Buah hati yang

sakit sambil memeluk foto Papanya terbawa dalam tidur. Foto Papanya sa’at itu tak

pernah jauh dari tempat tidurnya. Karena hanya itu satu-satunya obat kerinduan

pada Ayah tercintanya yangg selama ini biasa diajak Ayahnya ke pertemuan-

pertemuan antara lain: Gedung Pera, Lapangan Gor, dan Kantor Gubernur.

Selama dalam masa tahanan di Donggala Abdul Rahman Dg. Maselo sempat

mengirim surat kepada Maryam yang isinya “Ma, coba kau pigi sama CPM itu, dan

katakan torang mogok makan di sini,” Itu surat terakhir sang suami kepada

Maryam, jiwa berontak Abdul Rahman Dg. Maselo dan beberapa temanya sangatlah

beralasan. Selama mereka berada di tahanan Donggala, mereka mendapatkan

perlakuan yang semena-mena, jarang diberi makan dan kerap mendapatkan

penyiksaan fisik. Sebagai tanda protes merekapun mogok makan dan menuntut agar

dipindahkan di penjara Palu. Pernah sekali kemenakannya (anak dari Kakak tertua

Abd.Rahman Daeng Maselo) pergi ke Penjara Donggala dengan menyeberang laut

teluk Palu dari Tawaeli ke Donggala membawa makanan dan pakaian titipan dari

Ayahnya dan saudara lainnya. Ketika itu anak pertamanya ingin ikut juga sambil

“merengek minta ikut ketemu Papa…” tapi sayang permohonan “sang bocah” tak

dikabulkan oleh Kakak sepupunya karena mengingat perjalanannya sangat

menantang; terpaksa hanya kecewa dan tangisan dilakukan “sang bocah” usai reda

tangisannya karena tak dihiraukan maka “sang bocah” sa’at itu baru berumur 6

tahun sambil bernyanyi “ Saya ini anak nakal bikin susah hati Ibu nanti saya ambil

Page 142: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

142

batu saya lempar rumahmu” lalu melempar dinding rumah Kakeknya dengan batu;

akhirnya tantenya dan saudara sepupunya yang sudah agak dewasa membujuk

dengan lembut maka luluhlah hati “sang bocah” yg. ingin cari perhatian.

Pada bulan Mei 1967 Maryam mendengar kabar bahwa suaminya dikirim

keluar negeri, dan ada pula yang mengatakan kalau suaminya disembunyikan dan

ada kabar yang paling menyedihkan yang mengatakan bahwa suaminya telah

dibunuh di Vatusampu. Maryam tidak bisa berbuat apa-apa, banyak orang–orang

yang menangis mendengar kabar itu. Bagi mereka Abdul Rahman.Dg Maselo adalah

orang yang sangat baik, orang yang banyak memperjuangkan hak-hak mereka,

apalagi kala itu dia termasuk penyanyi idola lokal dalam musik keroncong

terkadang tampil menyanyi di RRI Palu untuk mengisi acara. Air mata Maryam

tumpah membasahi tanah Ibu pertiwi, dirangkulnya anak-anaknya, bait-bait do’a

terucap lirih dari bibir sang Istri memohon kepada Allah SWT agar suaminya

dibukakan jalan yang selapang-lapangnya, agar dirinya tetap diberi kehidupan dan

kekuatan untuk menjaga dan membesarkan anak-anaknya sang buah hati tercinta

yang telah ditinggalkan oleh Ayahnya, serta memohon kepada Allah jikalau

memang suaminya telah dibunuh mohon dipertemukan dengan jasadnya.

TEGAR MENJALANI HIDUP

Rutinitas hidup yang dijalani Maryam terus berjalan, roda kehidupan yang

menghimpit hati, mendera jiwa dan menguras air mata dijalani Maryam dengan

penuh ketabahan. Jalan panjang mencari keberadaan suaminya tidak pernah

menemukan titik terang. Siang dan malam Maryam selalu berdoa kepada Sang

Pencipta semoga suaminya diampuni semua kesalahannya dan diterima segala amal

perbuatannya dan dirinya terus diberi kekuatan untuk membesarkan ketiga anak–

anaknya. Pesan terakhir yang disampaikan Abdul Rahman Dg. Maselo kepada

Maryam melalui surat di bulan Mei tersebut menjadi sumber energi penyemangat

agar tidak terus-menerus tenggelam dalam lautan kesedihan. Dalam hati kecil

Maryam telah tumbuh sebuah Ikrar bahwa dia akan mempertaruhkan hidupnya

menjadi ayah sekaligus ibu bagi ketiga buah hatinya. Menjadi Ayah sekaligus ibu

bagi ketiga buah hatinya bukanlah hal yang mudah, berkali kali Maryam dan anak-

Page 143: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

143

anaknya pindah tempat tinggal. Dari Jalan Sudirman, ada pihak tertentu

memanfaatkan situasi dengan berbagai alasan agar kami sekeluarga termasuk Ibu

dan saudara kandung lainnya mendesak agar membongkar rumah karena mereka

mengaku bahwa itu watas mereka padahal watas itu bagian dari Bapak Tiri Maryam;

lalu membangun lagi rumah di watas saudara Ibunya juga di jalan Sudirman yang

akhirnya Maryam sekeluarga pindah di belakang kampus Untad (Universitas

Tadulako) Jalan Setiabudi Palu. Usaha warung kecil-kecilan menjadi pilihan hidup

Maryam. Ada bermacam barang-barang campuran terpajang di warung kecil milik

Maryam. Oleh karena warung itu berada di belakang kampus, maka pisang goreng

dan kopi susu, nasi kuning, dan beberapa jenis kue basah menjadi laris manis dan

selalu diserbu oleh pembeli utamanya anak-anak mahasiswa. Bersama ketiga anak

roda hidupnya terus berputar. Tekad untuk menyekolahkan anak-anaknya menjadi

tujuan hidupnya dan begitupun anak-anaknya sangat paham betul akan duka derita

yang dialami ibunya. Hal itu juga yang membuat ketiga anak–anaknya tidak pernah

malu berkeliling kota Palu mejajakan kue buatan ibunya. Sang anak sulung sa’at itu

sudah merasa bahwa dia harus ikut melindungi Ibunya dan membantu apapun

perintah ibu; sampai-sampai mencari kayu bakar, ikut mencari pelepah daun kelapa

dibuat pagar, dinding dapur di bawah hutan pohon kelapa. Sering kerinduan pada

“sang Ayah” menyesakan dada “si anak sulung” untuk melepas himpitan kerinduan

“si anak sulung” dia berteriak menyanyi di bawah hutan pohon kelapa sembari

mencari kelapa yang jatuh atau kayu bakar untuk Ibu tercintanya; suaranya

menggema mendayu-dayu terkadang sambil menangis dia melantunkan lagu yang

mengiris hati sambil berharap andaikan aku pulang sudah bebas Papa dari tempat

mana dia berada dan tiba di rumah. Teriakan dan lengkingan suaranya itu sangat

membantu melegakan dada serta selalu berharap bertemu Papa tak pernah pupus

sa’at itu. Karena isu berkembang yang belum pasti selalu berada di antara hidup dan

kenyataan. Sering sambil jualan kue keliling “si anak Sulung” memungut Koran dan

dibaca satu demi satu dengan harapan ada berita Papanya yang sudah dianggap

hilang; juga sangat gemar mendengarkan radio luar negri berbahasa Indonesia

dengan penuh harap mendapat kabar berita “sang Ayah tercinta”. Sungguh apa

yang dikatakan suaminya dulu memang benar bahwa “Rezeki Tuhan yang

Page 144: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

144

mengatur, manusia hanyalah berusaha dan beriktiar”. Seorang diri Maryam

membesarkan dan menyekolahkan anak-anaknya. Terkadang ada kiriman beras dan

sedikit uang dari patungan kawan-kawan Sang Suami yg. dipekerjakan di luar

penjara sebagai tahanan politik. Kadang-kadang ada bantuan uang, sandang dan

pangan dari Mertua di Tavaeli. Pernah suatu ketika “Si anak Sulung” menghadap

Kakeknya (Ayah dari Abdul Rahman Daeng Maselo). Kejadian itu terjadi ketika ia

baru tamat SD; karena menghadapi kenyataan yang ada sangat sulit “Si anak

sulung” melaporkan bahwa dia mau berhenti sekolah saja biar lebih tekun mencari

nafkah membantu Mama. Tapi apa kata kakeknya “Lebih baik saya berhenti makan

ikan di Tavaeli” asal kamu tetap sekolah di Palu. Cita-cita Maryam untuk

menjalankan amanah suaminya adalah cara Maryam untuk membuktikan segala

bentuk cinta kasihnya kepada almarhum suaminya. Cinta Maryam kepada Abdul

Rahman Dg. Maselo akan terus abadi dan dibawa sampai mati. Walaupun

sebenarnya dulu ada seorang Kapten yang menaruh hati pada Maryam dan ingin

memperistri namun Maryam tidak bersedia. Juga dari pihak keluarga Bugis

(Ayahanda Maryam) ingin menjodohkan dengan keluarga mereka karena rasa ingin

membantu tapi tetap ditolak oleh Maryam; karena dia takut akan kasih sayang

seorang bapak tiri tidak akan sebanding dengan ayah kandungnya; dia lebih

mementingkan kepentingan anaknya bila dibanding kepentingan dirinya sendiri.

Ingatan Maryam pada suaminya yang direnggut penguasa orde baru secara tragis

semakin mengokohkan cinta Maryam kepada almarhum suaminya dan tidak akan

lekang diterpa badai kehidupan.

Gagarisman adalah nama anak pertama Maryam. Mengenyam pendidikan di

bangku STM, berkat kecerdasan yang dimilikinya setelah tamat diutus oleh

sekolahnya kuliah ke PMS- ITB Bandung untuk melanjutkan pendidikan khusus

keterampilan mesin selama 3 tahun (setiap enam bulan kuliah di Bandung enam

bulan berikutnya peraktek mengajar di STM Palu lalu ke Bandung lagi dan

seterusnya sampai selesai enam semester lalu di Wisuda di Bandung pada bulan

Januari 1986). Setelah tamat Gagarisman diangkat menjadi PNS sebagai seorang

guru. Menjadi anak seorang PKI pada masa itu tidaklah mudah. Berbagai macam

bentuk diskriminasi kerap menghantui jalan hidupnya. Diskriminasi oleh Negara

Page 145: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

145

bahkan sampai pada diskriminasi oleh masyarakat berupa sindiran-sindaran yang

tidak enak didengar yang menyakitkan hati. Sindiran yang diterima Gagar dari

atasannya dan teman-teman guru seniornya membuat Gagar memutuskan

mengundurkan diri menjadi guru. Apalagi proses mutasinya dari Guru STM Luwuk

menjadi Tata Usaha di SMEA Buol pada kolom keterangan surat mutasinya itu

dicantumkan bahwa yang bersangkutan adalah anak Gembong PKI. Baginya lebih

baik mengundurkan diri dari pada kesalahan diri pribadinya selalu dikaitkan

dengan Ayahandanya yang sangat dirindukannya di mana sangat tidak masuk akal

sehat. Sebagai seorang anak PKI harus dikucilkan dan didiskriminasikan juga….?

Betul-betul ini adalah penghancuran karakter dan proses melenyapkan generasi

anak PKI yang sangat tidak paham apa dan di mana salahnya. Selanjutnya

Gagarisman melamar pekerjaan di perusahaan swasta yang ada di Luwuk; beberapa

bulan kerja kemudian akhirnya keluar karena upahnya tidak sesuai. Lalu merantau

ke Kalimantan Timur dan bekerja di salah satu perusahaan BUMN, lalu pindah lagi

di Perusahaan Kayu Lapis di Samarinda. Selama di Kalimantan isterinya

membuahkan hasil dua orang anak dan satu lagi lahir di Palu dari hasil

perkawinannya. Selang beberapa tahun kemudian pulang kembali ke Palu

berwiraswasta (berdagang dan sembunyi-sembunyi jadi tukang ojek) lalu sambil

kerja sebagai tenaga Guru Ganti honorer di SMP. Beberapa tahun kemudian dengan

perasaan berat hati Gagarisman berangkat sendiri meninggalkan seluruh

keluarganya termasuk anak Isterinya demi mencari nafkah ke Kalimantan Selatan

(Desa Asam-asam) sebagai ko’ordinator tenaga kerja di perusahaan tambang batu

bara. Karena suasana kerja tidak kondusif setahun kemudian pindah ke Kalimantan

Timur sebagai tenaga wirausaha di multi level yang akhirnya ada panggilan ke

Jakarta menjadi presenter di salah satu perusahaan multi level. Rupanya beberapa

bulan kemudian perusahaan yang diharapkan untuk tempat mencari nafkah bubar.

Sekarang melanglang buana di Jakarta dengan cara kerja freelance tanpa jelas

penghasilan setiap bulannya sambil menungggu sedikit dananya yang pernah di

investasikannya di salah satu perusahaan di Jakarta.

Lina, anak kedua Maryam adalah tamatan SMEA; setamatnya bekerja di Perumtel,

pada tahun 1985 harus mengikuti Susbintal (Kursus Bimbingan Mental) utusan

Page 146: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

146

Perumtel Sulawesi Tengah ke Cimahi Bandung. Anak kedua Maryam tersebut

akhirnanya harus dipecat dari pekerjaannya karena dianggap kalau dia

memanipulasi data kepegawaian, karena ada orang yang mengatakan bahwa

Bapaknya bukan meninggal dunia tetapi hilang, sementara data yang dimasukan

menyatakan kalau Bapaknya telah meninggal dunia. Akhirnya sekarang Lina bekerja

sebagai Baby Sister dirumah seorang polisi sambil menjadi Ibu rumah tangga

mengasuh anaknya sebanyak 6 orang.

Anak ketiga bekerja di Kehakiman, Namanya Gamal, terpilih untuk mengikuti AKIP

(Akademi Ilmu Pemasyarakatan) di Jakarta. Belum berapa lama Gamal mengikuti

pendidikan akhirnya identitasnya sebagai anak seorang PKI menjadi permasalahan.

Bersyukur permasalahan itu tidak membuat Gamal sampai dikeluarkan dari

pendidikan. Usai menyelesaikan pendidikanya, Gamal ditempatkan di Penjara

Maesa tempat Ayahnya pernah di tahan dulu, dan selanjutnya dipindah tugaskan di

Rutan Gorontalo, dan kini menjadi kepala Rumah Bahan Sitaan Negara (Rubasan)

Palu.

Di usianya yang semakin senja, Maryam terus saja menjadi sosok yang tabah

dan tegar menjalani hidup. Jiwa organisasinya tidak pernah padam. Dalam hati dan

jiwa yang terdalam Maryam tidak pernah berhenti menyematkan untaian do’a

kepada Allah SWT untuk suaminya Abdul Rahman Dg. Maselo sang Pujangga telah

kembali ke rahmatullah tanpa pusara.

“ Hikayat Cinta Mariam Tak Bertepi Untuk Suaminya,

Untuk Anak-Anaknya Dan Untuk Negerinya

Walau Negeri Ini Telah Memasung Keadilan Untuk Dirinya dan Anak-Anaknya. “!!!

***

Pewawancara: Netty & Ella.

Penulis: Alamsyah. AK. Lamasitudju dan Gagarisman.

(Direktur Lembaga Selimut Anak Bangsa Sulawesi Tengah ( L-SAB Sulteg ).

Page 147: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

147

Muhammad Said Baharudin

32 TAHUN DITAHAN ORDE BARU

Pagi ini tidak berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Setelah sholat subuh, Bahar

menyalakan kompor untuk memasak air. Sedikit saja, cukup untuk membuat segelas teh

manis. Sambil menunggu air, dia mempersiapkan teh dan gula dalam gelas. Menakar beras

setengah liter untuk dimasak, cukup makan satu hari. Dia tinggal sendiri di rumah, anaknya

sudah membelikannya alat memasak nasi eletronik. Tinggal nanti dia akan menunggu

penjual sayuran yang biasa lewat di depan rumahnya, untuk membeli sayuran, ikan ataupun

yang lainnya.

Setelah menyimpan beras di penanak nasi listriknya, kemudian dia duduk untuk menikmati

teh sambil menonton televisi. Itulah kebiasaanya, kalau tidak ada tamu ,tidak seperti halnya

hari ini. Seorang pewawancara mengunjunginya. Ia menceritakan perjalanan hidupnya

dengan lancar, bersemangat, terhentak-hentak, sesekali tertegun, seperti menahan pukulan di

dalam hatinya.

Semangat memihak orang miskin tumbuh sejak kecil

Namaku Muhammad Said Baharudin, lahir di Siwa Kabupaten Wajo Sulawesi

Selatan 3 Agustus 1937. Bapakku bernama Nurung dan ibuku bernama Wangi. Asli

dari Siwa, pekerjaannya sebagai petani. Aku anak bungsu dari 4 bersaudara, 2 laki-

laki dan 2 perempuan.

Ketiga saudaraku tidak ada yang bersekolah, hanya aku yang bersekolah. Aku lulus

sekolah di Sekolah Rakyat (SR) Negeri di Siwa tahun 1950. Dari kelas satu sampai

kelas dua SR waktu itu tahun 1944-1945, setiap hari kami harus membawa sayur

kangkung (ransum) dan siput (keong) untuk tentara Jepang yang berjaga. Satu tahun

sebelum Indonesia merdeka.

Lulus SR kemudian aku melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP)

Muhammadiyah di kabupaten yang berbeda yakni di Pare-pare tahun 1951. Tinggal

dengan kakak laki-lakiku yang merantau, buka usaha menjahit pakaian. Kenapa aku

Page 148: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

148

harus ke Pare-pare bukan di Wajo saja? Karena waktu itu sedang panas-panasnya

kejadian gerombolan yakni pasukan Kahar Muzakkar di Wajo, maka akses untuk ke

sana sangat rawan. Hingga tidak ada hubungan antara Siwa dengan ibukota Wajo.

Baru 2 tahun bersekolah, pada bulan 2 tahun 1954 aku melamar bekerja di Pare-pare

sebagai pegawai sipil di Angkatan Darat. Tidak disangka, aku lulus dan mulai

ditugaskan bulan Desember di Sengkang Kabupaten Wajo. Meskipun jauh dari Siwa

tapi masih satu Kabupaten. Baru pertama masuk aku pakai ijasah SD, dapat

golongan A. Lalu aku ikut ujian persamaan SMP dan lulus. Setelah ada ijasah SMP

golongannya naik menjadi golongan 2 C.

Sejak bulan Desember tahun 1954, aku resmi bekerja di Wajo sebagai Kepala Kantor

Pegawai Sipil Angkatan Darat. Berkantor di kantor Kodim 1409 Sengkang,

kabupaten Wajo. Kesatuanku namanya Ajend (Ajudan Jendral).

Di tahun yang sama juga ada operasi militer untuk memberantas pemberontakan

DI/TII Kahar Muzakkar di Wajo. Pasukannya didatangkan dari Jawa yakni pasukan

Brawijaya dan pasukan Dipenogoro Jawa Tengah yang sering kami sebut tentara

Jawa. Saat itu bisa dibilang yang menguasai Sulawesi Selatan adalah pasukan

Brawijaya.

Ketika dilakukan operasi penumpasan Kahar Muzakkar tahun 1954, tahu-tahu suami

dari kakak perempuanku ikut ditangkap oleh tentara Jawa dan dimasukan ke

penjara. Seharusnya pada waktu itu tidak ada lagi anak buah Kahar, karena setelah

diperiksa langsung saja ditembak di jembatan, tidak ada yang hidup. Lalu aku

datang membesuk, kasih rokok dia di penjara. Karena kupikir juga para tentara di

sana sudah kenal dan tahu apa pekerjaanku, maka tidak akan ada masalah.

Tapi pada saat aku akan pulang, tiba-tiba aku ditempeleng sama tentara Jawa

karena dia kira aku gerombolan juga. Disangka orangnya DI/TII apalagi katanya

iparku masuk juga di situ, bahkan punya jabatan. Lalu aku jelaskan situasinya,

akhirnya aku dibebaskan.

Dari sekian banyak tentara itu ada orang PKI, paling kurang satu pleton, sejak

mereka tahu pekerjaanku, mereka memberi aku buku-buku tentang komunis, juga

Page 149: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

149

majalah-majalah Bintang Merah. Ternyata ada juga pegawai sipil di Wajo, yang

kemudian masuk militer simpatisan PKI namanya M. Anas. Kemudian setelah aku

mengenalnya aku disarankan masuk Pemuda Rakyat, karena prosesnya tidak bisa

langsung masuk partai.

Awalnya memang aku hanya takut atas keselamatan keluargaku terkait

tertangkapnya suami kakakku sebagai anggota pasukan Kahar Muzakkar. Untuk

menyelamatkan keluarga supaya tidak diganggu, terpaksa aku baca juga majalah-

majalah yang mereka berikan.

Setelah aku pelajari dan membaca program-programnya, ternyata salah satu tugas

Pemuda Rakyat adalah membantu memperjuangkan nasib kaum buruh, kaum tani.

Diatur jelas dalam program anggaran dasarnya, untuk memperjuangkan pemuda,

tidak boleh ada melakukan penghisapan manusia atas manusia, contohnya sistem

ijon, tidak ada diskriminasi. Aku mulai tertarik dan bersemangat bergabung untuk

memperjuangkan agar praktek-praktek itu hilang. Salah satu caranya adalah para

pemuda-pemuda tani mendatangi para petani untuk memberikan pemahaman

tentang hak-hak mereka. Satu tahun kemudian aku diangkat menjadi ketua Pemuda

Rakyat.

Lalu menjelang pemilihan umum tahun 1955, Partai kami mengundang salah

seorang anggota parlemen yang namanya ibu Salawati Daud yang juga anggota DPR

RI. Dia juga anggota Gerwani. Kami mengundangnya ke Sengkang Wajo untuk

berkampanye, yang diadakan di gedung bioskop.

Yah waktu itu Sengkang sudah punya gedung bioskop meskipun untuk ukuran

sekarang sangat sederhana. Bangku-bangkunya terbuat dari kayu, cukuplah untuk

memberikan hiburan bagi kami yang belum bisa menikmati siaran televisi.

Pemutaran filmnya hanya bisa dilakukan satu hari sekali.

Tahun 1957 aku menikah dengan seorang perempuan kelahiran Sangguminasa

Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan yang bernama Andi Sudiharti Petabaji. Kami

dijodohkan oleh neneknya karena memang masih ada hubungan keluarga. Usianya

lebih tua 5 tahun dari aku, tapi istriku itu cantik. Makanya aku langsung setuju

ketika dijodohkan. Kami dikaruniai dua orang anak perempuan, yang pada akhirnya

tidak pernah bisa aku rawat. Anak pertama lahir tahun 1961, kami beri nama Andi

Page 150: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

150

Tati. Anak kedua lahir tahun 1965, 40 hari sebelum peristiwa G 30 S. Kami beri nama

Andi Ani.

Setelah aku kenal dengan pimpinan-pimpinan partai, ada yang namanya Samsudin,

ada namanya Bahtiar, Paga Nappa. Pada tahun 1959 aku resmi masuk PKI,

disumpah di depan ketua partai setempat dan langsung diangkat menjadi wakil

ketua. Sebutannya bukan ketua dan wakil ketua, tapi sekretaris 1 dan sekretaris 2.

Sekretaris 1 waktu itu bernama Paga Nappa. Tidak ada bendahara atau apapun,

cuma dua jabatan saja yang dilaporkan kepada pemerintah pusat. Sejak itu juga aku

tidak lagi menjabat ketua pemuda rakyat, langsung diserahkan ke teman yang lain

yaitu Andi Anis

Tapi tetap saja aku langsung merangkap jabatan, karena aku juga langsung diangkat

menjadi ketua BTI (Barisan Tani Indoensia). Kemudian aku juga dimasukkan dalam

suatu lembaga pemerintah yang namanya landreform dan aku diangkat sebagai wakil

ketua. Sedangkan ketuanya pada waktu itu adalah Bupati yang bernama H. Andi

Unru berdasarkan undang-undang karena jabatannya. Di dalam lembaga landreform

ini ada 3 aliran disitu,yakni NASAKOM. Nasionalis (PNI, Partindo, IPKI), Agama

(NU, Masumi, Perti, PSII), dan Komunis.

Bulan Juli 1965, ada Musyawarah Besar (MUBES) tani seluruh Indonesia yang

dilaksanakan di Senayan Jakarta. Utusan dari Sulawesi Selatan waktu itu ada 500

orang, yang tergabung dengan nama Front Nasional adalah lembaganya partai-

partai dan ormas-ormas. Aku menjadi wakil panitia delegasi. Acara dibuka oleh

Bung Karno. Salah satu gagasan yang tercetus di dalam musyawarah tersebut perlu

dibentuknya Angkatan Kelima. Jadi ada angkatan darat, laut, udara, kepolisian dan

angkatan kelima yang terdiri dari buruh dan tani sebagai soko guru revolusi. Dan

harus dipersenjatai. Ini adalah gagasan PKI.

Sebelum ke Jakarta sebenarnya aku kena musibah, dikeroyok oleh satu pleton orang-

orangnya Bupati. Alasan pengeroyokan karena aku memperjuangkan tanah dari 60

orang kepala rumah tangga. Memang tanah itu tanah negara tapi dalam Undang-

undang Pokok Agraria tahun 60 dinyatakan bahwa tanah yang sudah digarap oleh

Page 151: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

151

rakyat selama kurang lebih 7 tahun harus disertifikatkan atas nama mereka. Aku

membantu memperjuangkan itu, karena itu aku dikeroyok dan dipukuli.

Makanya oleh ketuaku di Wajo, aku harus banyak mengikuti kegiatan-kegiatan

partai di Jakarta untuk membakar semangatku. Karena ditakutkan setelah kejadian

pengeroyokan itu aku menjadi patah semangat. Padahal tidak juga, karena aku

sendiri sudah mulai menikmati peranku sebagai aktivis partai. Semangatku terus

tumbuh untuk terus belajar dan mengikuti alur peranku baik di partai maupun di

masyarakat.

Waktu itu aku memang termasuk yang paling muda di jajaran pimpinan tapi sudah

menikah. Selama di Jakarta aku diajak keliling ke kantor-kantor duta besar Cuba,

Korea Utara, Vietnam. Salah satu kegiatannya adalah nonton film-film perjuangan

mereka dalam merebut kemerdekaan negara-negara itu. Tujuannya untuk

membuatku tetap semangat, walaupun ada perlawanan.

Tanggal 18 September aku kembali ke Sengkang, Wajo. Pada peringatan Hari Tani

tanggal 24 September, aku bicara di lapangan membawakan pidato tentang Hari

Tani Nasional. Pada kesempatan itu aku singgung juga soal Angkatan Kelima.

Pada tanggal 30 September 1965 pecahlah peristiwa G 30 S, di Jakarta. Aku masih

bekerja seperti biasa, karena memang belum ada berita apapun. Beberapa hari

kemudian ada perintah dari Presiden Soekarno kepada semua pihak untuk tetap

tenang dan tidak melakukan reaksi apapun.

Dipenjarakan tanpa diadili.

Dua minggu setelah kejadian, waktu hari Senin setelah pelaksanaan apel pagi. Tiba-

tiba aku dipanggil oleh pengawal Komandan Kodim, untuk menghadap Komandan

di mana aku menumpang berkantor. Waktu itu komandannya bernama Mayor Haji

Ali Idru.

Page 152: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

152

Sedikitpun tidak terbersit dalam pikiranku apa yang akan aku alami selanjutnya

yang merupakan akhir dari kebebasanku. Tidak ada tanda-tanda sebelumnya, hanya

saja waktu upacara pagi itu Komandan menegaskan bahwa tidak pandang bulu,

siapa-siapa saja yang terlibat G 30 S, akan dihabiskan. Sementara aku sendiri tidak

berpikir kalau itu akan dikaitkan dengan aktivitasku sebagai aktivis partai.

Ketika menghadap tidak di ruangannya tapi di depan lapangan tempat upacara.

Aku berlaku seperti biasa saja, tidak ada gerakan hormat mengangkat tangan. Aku

hanya ketawa-ketawa, dan biasanya memang begitu ketika aku bertemu dengan

beliau.

Tapi tiba-tiba dia langsung memukul perut dan pundakku hingga terjatuh. Tanpa

memberi kesempatan aku bangun dan bertanya, dia juga langsung menendang

dengan sepatu tentaranya. Dia membuatku seperti bola, aku terus bertahan dan

berteriak-teriak sakit. Semuanya terjadi sangat cepat, aku masih bisa melihat orang-

orang yang berkantor di sekitar lapangan ke luar menontonku. Ada kantor daerah,

ada rumah sakit umum, ada kantor polisi, ada kantor veteran. Alasannya karena aku

dianggap PKI, pasti mengetahui rencana gerakan itu, apalagi aku termasuk unsur

pimpinan.

Akhirnya ketika aku sudah mulai tidak bergerak, dipanggillah anak buahnya.

Namanya Andi Madilangka untuk membantuku berdiri. Inilah titik awal, aku tidak

lagi menjadi orang bebas. Aku dimasukkan ke dalam pos monyet istilahnya, tempat

penjagaan narapidana di kantor Kodim. Ada dua pintu masuk dan pintu keluar,

luasnya 2 x 3 meter.

Tidak berapa lama kemudian datang Kepala Daerah, Komandan Kodim, Kepala

Kepolisian, Kepala Pengadilan yang tergabung dalam Panca Tunggal. Anggota yang

kelima adalah pimpinan Fron Nasional yang terdiri dari unsur Nasionalis, Agama

dan Komunis. Jabatan pimpinannya berganti setiap tahun dan bergilir dari setiap

partai yang menjadi anggotanya. Kebetulan pada waktu itu yang menjadi ketua Fron

Page 153: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

153

Nasional (FrontNas) adalah sekretaris 1 PKI, Paga Nappa. Aku berharap ada yang

membelaku saat itu, paling tidak membicarakan jalan keluar yang terbaik sebagai

ketua partai. Tapi ternyata dia tidak pernah datang, awalnya aku kecewa.

Mungkinkah aku dikhianati oleh temanku sendiri. Aku mencoba berpikir positif,

mungkin dia tidak tahu masalahku di sini. Atau jangan-jangan dia sendiri sudah

ditangkap lebih dulu dari aku.

Akhirnya nasibku ditentukan oleh empat orang yang datang dan rapat di dalam

Kodim itu. Kurang lebih satu jam rapat di dalam, lalu aku langsung dibawa ke

penjara dan tidak kembali ke rumah lagi. Tanpa surat perintah, tanpa apapun aku

dimasukkan ke penjara Sengkang Kabupaten Wajo. Alasannya karena aku orang

PKI. Aku dibawa menggunakan mobil patroli Kodim, jarak ke penjara sekitar 300

meter. Aku sendiri belum bisa berjalan tegap karena masih merasakan sakit-sakit di

seluruh badan akibat perbuatan Komandan.

Kebetulan di tempatku bekerja hanya aku sendiri orang PKI. Aku seperti berada di

tempat asing, dengan orang-orang yang tidak aku kenal. Padahal bertahun-tahun

aku mengenal mereka dan mereka pun sudah mengenalku. Hari itu tidak ada lagi

persaudaraan dan persahabatan yang selama ini kami bangun, yang ada hanya

pancaran kebencian.

Pikiranku saat itu hanya satu, bagaimana dengan anak istriku di rumah. Semoga

semua baik-baik saja. Kakiku tak sanggup berdiri. Selain karena akibat dipukul oleh

komandan Kodim, aku juga merasa tidak berdaya memikirkan nasib keluargaku.

Mereka tidak tahu aku sudah dipenjarakan, tidak tahu kapan bisa bebas.

Di penjara aku bertemu dengan orang-orang yang sudah aku kenal. Ada 5 orang

yang ditangkap karena dianggap pimpinan-pimpinan baik partai maupun organisasi

simpatisan, tentu saja aku termasuk di dalamnya. Saat itu aku menjabat sekretaris 2

partai, ketua Barisan Tani Indonesia (BTI), wakil Lembaga Landreform. Sekretaris 1

Page 154: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

154

partai Paga Nappa, tapi beliau masih di rumah sakit. Ketua Pemuda Rakyat Andi

Anis, sekretaris BTI M. Nasir, bendahara BTI Pateduni.

Akhirnya aku mendapat informasi, ternyata sekretaris satu sudah ditangkap,

bersamaan waktunya aku ditangkap. Waktu itu beliau sedang mengunjungi rumah

kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Wajo, tiba-tiba dikepung oleh

massa. Langsung ditembak kena dadanya tapi dia masih bisa bertahan hidup.

Setelah dirawat di rumah sakit, beliau diantar oleh polisi dimasukkan ke penjara

Sengkang.

Awalnya kami tetap bertahan tidak mau masuk ke dalam penjara, kami mencoba

bernegosiasi. Karena kami tidak merasa bersalah dan juga tidak ada surat perintah

penahanan.

Alasan mereka ini demi keselamatan kami, karena massa sudah mengamuk. Jadi

kami dimasukkan dulu dalam penjara, diamankan istilahnya. Kami pikir masuk akal

juga, lalu akhirnya kami pun masuk tanpa ada perlawanan lagi.

Baru sekitar awal bulan November, istriku datang setelah dapat kabar dari Kodim.

Karena ternyata istri dan kedua anakku sudah ditampung di salah satu rumah

perwira di bagian I Kodim. Namanya Ismail Tojo dengan pangkat Letnan Dua. Ada

lima keluarga yang ditampung, dibuatkan rumah panggung di emperan belakang

rumah utama.

Keluar perintah dari komandan Kodim, bahwa semua istri-istri PKI dibawa ke barak

penampungan khusus yang sudah disediakan. Tidak terkecuali istri dan anak-

anakku.

Katanya, untuk diamankan karena para pemuda sudah melakukan pengrusakkan

rumah-rumah yang dianggap pengurus PKI, setelah mereka memperingati hari

Sumpah Pemuda pada tgl 28 oktober 1965. Setelah merasa ada ketenangan maka dia

baru datang untuk menjengukku, menempuh jarak kurang lebih 200 meter dengan

berjalan kaki.

Page 155: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

155

Selama ini dia memang tidak tahu aku ditahan di mana, karena ketika dia bertanya

ke kantor tempatku bekerja tidak ada jawaban. Hanya dikatakan bahwa aku sedang

diamankan, nanti kalau keadaan sudah terkendali akan dibebaskan. Tapi apa mau

dikata bukan terkendali bahkan tambah mencekam.

Terbayang olehku bagaimana repotnya istriku berjalan dengan dua anak yang masih

kecil-kecil. Tidak ada saudara ataupun orang yang mau menerima mereka, karena

mereka pikir begitu jahatnya PKI. Mereka tidak mau dianggap terlibat karena

membantu keluarga PKI. Aku tertunduk dan menangis, “Maafkan Bapak nak,

maafkan suamimu istriku. Aku tidak bisa melindungi kalian.” Kupandangi mereka

bertiga, bergantian. anakku yang pertama baru berusia 4 tahun, sementara anakku

yang kedua, usianya belum genap dua bulan.

Pada pertemuan pertama ini kami tidak bisa duduk bersama, tapi dibatasi terali besi

sambil berdiri kami saling bercerita. Istriku menanyakan apakah aku keberatan jika

anak-anak dititipkan ke sepupunya di Makassar, demi kebaikan anak-anak dan

menurutnya dia juga bisa lebih leluasa untuk datang menjenguk. Aku pikir itu

memang jalan yang terbaik, hanya saja kendalanya sekarang apakah diijinkan untuk

ke luar dari Sengkang.

Mungkin karena pendekatan yang baik atau memang karena sebenarnya istriku

adalah keturunan bangsawan (raja) di Sengkang, tidak mungkin melanggar

peraturan yang sudah ditetapkan. Akhirnya dia diijinkan pergi ke Makassar

mengantar anak-anak. Sementara keluarga dekat yang ada di Sengkang tidak ada

yang mau membantu, seakan-akan kami ini memang penjahat. Dan mungkin

dianggap menodai trah bangsawan, karena punya suami PKI.

Setelah kembali dari Makassar, tetap tinggal di rumah penampungan, bekerja

menjadi pembantu di rumah para keluarga tentara. Tidak digaji hanya dapat makan,

terkadang dikasih beras. Setiap kamis dia harus melapor ke Kodim, setelah itu dia

Page 156: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

156

membesukku di penjara. Dia membawa makanan dari hasil yang dia kumpulkan.

Kami juga sudah bisa duduk di bangku bersama-sama, tidak lagi dibatasi terali besi

Aku sendiri selama di penjara tidak lebih baik nasibnya, tanpa kepastian apa

kesalahan dan berapa lama harus menjalani hukuman. Ruang tempat aku ditahan

berukuran 2x3 meter, ada satu orang yang menjadi teman sekamarku, dia adalah

Pateduni, bendahara di BTI selain itu dia juga dewan pertimbangan di Lembaga

Landreform. Di dalam ruangan ada papan untuk tidur. Kalau malam dikasih tong

untuk nampung kotoran. Setiap pagi ada narapidana yang datang mengambil,

karena kita tidak boleh keluar dari sel.

Berbulan-bulan bahkan tahunan kami menghuni ruangan ini dalam gelap, tanpa

pernah melihat cahaya. Hingga akhirnya mungkin kami tidak tahu lagi antara siang

dan malam, kalau saja setiap pagi kami tidak dikeluarkan. Olah raga pagi istilahnya,

padahal kami disuruh bekerja memukul-mukul sambuk kelapa untuk dibuat alas

kaki atau tali. Menjelang makan siang kami dimasukkan kembali hingga besok pagi.

Setiap hari kami diberi makan tiga kali, dengan menu yang tidak pernah berubah.

Makan pagi sekaleng susu kental butiran jagung rebus. Makan siang nasi jagung

semangkuk ukuran untuk tempat air cuci tangan, sayur kangkung ditambah 1 ekor

ikan kecil seperti ikan teri yang agak besar. Makan malam sama dengan menu

makan siang.

Sekitar satu tahun di penjara baru dilakukan pemeriksaan, sekitar tahun 1966.

Pemeriksaan dilakukan malam hari sampai menjelang pagi, dilakukan di penjara.

Tim pemeriksa terdiri dari Pemerintah, Kejaksaan, Polisi, Kodim. Sekitar 62

pertanyaan yang diajukan, aku masih ingat karena waktu itu aku sempat melihat

daftarnya. Ada satu pertanyaan yang memang tidak ada dalam daftar yang diajukan

oleh seorang polisi, karena memang pertanyaannya tidak masuk akal. Tapi aku

mencoba melawan dengan kata-kata.

Page 157: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

157

Dia bilang, “Kamu ini PKI suka mengganggu istri orang”

Lalu aku bilang,”Bapak ini kan polisi, lalu apa tugasnya polisi kalau begitu? Apa tugasnya

bapak sampai menjadi perwira begitu. Kenapa bapak tidak tangkap saya waktu itu kalau

memang saya melakukan hal seperti yang bapak bilang. Bukankah itu tindakan kriminal...”.

Lalu saya lanjutkan,”Jangan bapak perlakukan saya seperti ini, saya tahu bapak siapa. Kan

bapak dulu pernah pinjam buku sama saya tentang ajaran komunis, kita juga sering

berdiskusi, sering rapat bersama-sama di DPR, apa bapak sudah lupa?

Cepat-cepat dia menjawab, dengan ekspresi ketakutan dia bilang, “eh, jangan kamu

ungkap-ungkap itu...”.

Mungkin dia pikir aku tidak berani melawan. Lalu dia dipanggil sama ketua Tim

pemeriksa, sayup-sayup aku dengar dia dapat tegur. Ketua Tim pemeriksa bilang,

jangan tanya yang tidak ada dalam daftar pertanyaan ini.

Pemeriksaan ini tidak ada penyiksaan yang aku alami, mugkin karena tim pemeriksa

gabungan. Akupun tidak tahu.

Tahun 1967 ketika Presiden Sukarno digantikan oleh Suharto, mulailah ada

pemeriksaan yang dibarengi dengan penyiksaan. Dua kali aku dibawa ke Kodim

untuk diperiksa, berjalan kaki dengan pengawalan ketat oleh dua orang tentara yang

membawa senjata laras panjang.

Pertanyaan yang diajukan masih terkait siapa-siapa orang PKI yang aku tahu. Aku

tetap bertahan untuk tidak menunjuk siapapun, dan kali ini aku harus siap

menerima hukumannya dalam bentuk penyiksaan fisik.

Macam-macam bentuk penyiksaannya, disetrum pakai alat telpon yang

disambungkan ke aki, dipukul dengan tangan kosong, ataupun menggunakan alat

seperti kopel (ikat pinggang), pentungan, popor senjata.

Page 158: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

158

Karena aku tetap tidak mau menjawab, satu-satu jari-jari tanganku disetrum. Sampai

aku tidak tahan lagi, akhirnya tanpa sadar aku tendang itu pemeriksanya. Begitu

kerasnya tendanganku dia pun terjatuh, tambah marahlah dia. Dia bangkit berdiri

dan langsung wajahku dipukul sampai tidak seperti wajahku lagi. Dengan berbagai

macam cara dia lakukan, dengan tangan kosong, senjata laras, pakai kopel, sampai

aku berteriak-teriak. Baru berhenti ketika didengar oleh komandan Kodim. Biasanya

dipanggil untuk diperiksa dari pagi sampai siang menjelang makan.

Pada masa itu aku juga mendengar ada satu orang yang pernah melakukan

pembunuhan di Sengkang, lalu dia buron ke Kalimantan. Pada saat pengganyangan

PKI dia balik ke Sengkang dan dia ikut diperbantukan untuk mencari orang-orang

PKI. Diperintahkan untuk membunuh orang lagi, sebagai balasannya dia tidak

dipenjarakan. Jadi pernah ada satu orang disuruh memanjat pohon kelapa setinggi

kurang lebih 7-8 meter sampai di atas diperintahkan melompat ke bawah. Karena dia

tidak mau, lalu ditembak saja dan akhir meninggal di bawah.

Lima tahun lamanya aku berada di penjara Sengkang. Dengan aktivitas setiap pagi

bekerja memukul-mukul sabut kelapa, setelah itu menghabiskan hari di ruangan

yang gelap. Selama itu beberapa kali istriku datang menjenguk membawa anak-

anaku. Aku ingat waktu itu anak pertamaku sudah masuk Sekolah Dasar dan

anakku yang kedua sudah sekolah TK. Aku sangat berterimakasih dengan sepupu

istriku itu, dia telah merawat anak-anakku dengan baik. Yah istriku memang tidak

mau anak-anak kami sampai tidak mengenal bapaknya. Setelah itu dia akan

mengantar kembali ke Makassar.

Memang setelah tinggal sendiri istriku lebih mudah bergerak, lebih banyak lagi

rumah-rumah tentara yang bisa dia bantu dan banyak juga yang memberi beras.

Selain itu dia juga mulai menjalankan arisan. Hasilnya cukup untuk biaya

menengok anak-anak dan memberi uang jajan.

Page 159: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

159

Kerjapaksa di Moncongloe.

Tahun 1971 aku dipindahkan ke Moncongloe Kabupaten Maros sekitar 100 KM lebih

jaraknya dari penjara Sengkang Kabupaten Wajo. Katanya untuk rehabilitasi atau

Inrehab (Instalasi Rehabilitasi), bentuknya seperti barak-barak. Waktu kami tiba di

sana sudah ada barak-barak. Barak A, B, C, dan D untuk laki-laki dan yang satu

barak untuk perempuan yakni para pimpinan dan anggota Gerwani.

Baraknya dibuat dari kayu hutan dan atapnya seng. Di dalamnya dibuat tempat

tidur dari kayu yang bertingkat dua, untuk 80 orang per barak laki-laki. Barak

perempuan hanya berisi 40 orang. Penerangan menggunakan lampu minyak yang

sudah disediakan, lentera namanya. Kalau di Aula yang biasa digunakan untuk

gereja di hari Minggu dan masjid di hari Jum’at menggunakan lampu kerongkeng

(petromak) yang bisa dipompa.

Moncongloe adalah hutan bambu yang batangnya berduri, jadi kami harus

membuka lahan baru yang sudah dikavling-kavling pemiliknya. Tiga bulan sebelum

kami datang sudah dibuat barak oleh para tahanan yang ada di Makassar, setelah

jadi datanglah kami secara berangsur-angsur dari daerah-daerah lain.

Tapol perempuan pekerjaannya di dapur umum, masak-masak untuk para tahanan.

Aku ingat ada satu orang tapol perempuan yang membawa anaknya tinggal di

barak, karena tidak ada yang merawat. Suaminya yang seorang Camat tidak mau

bertanggungjawab dan tidak mau terlibat karena istrinya seorang Gerwani. Jadi

ketika dia ditangkap, ia langsung diceraikan oleh suaminya.

Tapol laki-laki setiap pagi setelah makan sekitar jam 7.30 sudah harus berangkat ke

hutan untuk membabat bambu-bambu berduri untuk dijadikan lahan bercocok

tanam. Setelah akar-akarnya dikeluarkan datanglah traktor untuk menggali tanah

agar bisa ditanami. Luas tanah semuanya 4 kilo meter persegi, dan dibatasi pagar

besi.

Page 160: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

160

Setelah lahan siap ditanami, kami mulai bekerja. Dari tanam bibit sampai panen

kami yang mengerjakannya tetapi hasilnya diambil oleh para anggota Corp Polisi

Militer (CPM) termasuk komandannya waktu itu yang bernama Hidayat. Setiap hari

tanpa istirahat yang cukup, kami bekerja tanpa digaji. Hanya mendapat makanan

dan pakaian yang memang dijanjikan oleh Teperda (Team Pemeriksa Daerah)

Sulawesi Selatan, yang juga Kepala CPM, ketika ada pembicaraan dengan Bapak

Sudomo selaku Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban, karena tidak

mengirim Tapol dari Sulawesi Selatan ke Pulau Buru. Mestinya tahanan golongan B

dikirim ke Pulau Buru semua. Alasannya karena sudah disediakan tempat untuk

inrehab yakni di Moncongloe. Kami akan dipekerjakan secara paksa tanpa digaji,

untuk mengerjakan tanah hutan yang sebenarnya sudah terkavling-kavling milik

pribadi.

Selama 7 tahun kami kerja paksa di Moncongloe, menanam ubi dan pisang. Mulai

Senin sampai Sabtu, Minggu istirahat dan bagi yang Nasrani pergi kebaktian. Untuk

yang Muslim setiap hari Jum’at bekerja setengah hari untuk persiapan sholat Jum’at.

Kami bekerja tidak kenal panas atau hujan tanpa pernah menikmati hasilnya.

Tanaman ubi satu kali panen setiap tahunnya. Dan hasilnya untuk pemilik lahan,

tentu saja para petugas-petugas yang mengawasi kami.

Setiap hari minggu keluarga boleh datang membesuk, aku sendiri baru satu tahun

sekali istriku datang membesuk itupun tidak setiap tahun juga. Karena jarak yang

memang jauh dan tidak ada kendaraan masuk ke Moncongloe, karena jalan

masuknya sangat rusak. Yang ada hanya bendi yang harus disewa dari Kota

Makassar, tentu saja sewanya sangat mahal. Istriku tidak pernah lupa membawa

anak-anak untuk menjengukku.

Pertama kali mereka datang ketika aku sudah dua tahun di Moncongloe, anakku

yang pertama sudah mau masuk Sekolah Menengah Pertama dan anakku yang

kedua sudah mau naik kelas 4 SD. Aku katakan juga ke istriku untuk tidak

Page 161: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

161

memaksakan datang menjenguk apalagi membawa anak-anak karena keadaan di

Moncongloe yang masih hutan.

Istriku setuju, tapi dia tetap mengusahakan untuk bisa datang paling tidak satu

tahun sekali. Dia juga mengatakan kalau saat ini dia sudah tidak lagi tinggal di

rumah penampungan. Karena sejak aku dipindahkan, ada satu keluarga kakak

beradik perempuan mengajaknya tinggal di rumah mereka. Kebetulan salah seorang

dari mereka sudah menjadi guru tapi belum ada yang berkeluarga. Mereka merasa

kasihan kenapa ada keluarga raja yang diperlakukan seperti itu. Mereka sangat

menghormati istriku, dan dilayani dengan baik.

Aku hanya bisa bersyukur dan berpesan kepada istriku untuk tetap menjaga

kesehatannya. Kemudian datang lagi tahun berikutnya. Hanya saja satu tahun

sebelum aku dibebaskan, dia tidak sempat datang lagi.

Dari Moncongloe ke tahanan rumah dan kota.

Kami dibebaskan dari Moncongloe tahun 1977, oleh Bapak Sudomo selaku Panglima

Komkamtib. Sebanyak 10.000 orang dibebaskan, istilahnya bebas pusat termasuk

aku. Sebelumnya pemerintah (dalam hal ini CPM) memberikan dua pilihan. Apakah

mau pulang ke daerah masing-masing ataukah mau dikirim ke Nanga-nanga

Kendari Sulawesi Tenggara. Lokasi khusus eks tapol yang disediakan bagi yang

tidak mau kembali ke tempat asalnya, dengan pertimbangan keamanan. Jika merasa

yakin bisa diterima di daerah asal boleh kembali dan akan diberikan modal usaha.

Akhirnya yang tidak yakin akan diterima di daerahnya, mereka memutuskan untuk

tinggal di Nanga-nanga. Yang yakin pulang ke kampungnya, mereka pulang.

Termasuk aku yang berani pulang, lagipula istriku masih tinggal di Sengkang.

Tapi Tim Teperda di Sulawesi Selatan, mengeluarkan surat perintah lagi kepada

tahanan Sulawesi Selatan yang tidak ke Nanga-nanga. Isi surat perintahnya bahwa

“dibebaskan dari tahanan penuh menjadi tahanan rumah” ditandatangani oleh

Page 162: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

162

Kepala CPM Sulawesi Selatan. Ya Tuhan, ternyata belum puas mereka menyiksa

kami. Apa yang ada dalam pikiran mereka? Sebelas (11) tahun sudah kami menjalani

hukuman tanpa pengadilan, kami terima itu. Lalu apa yang bisa kami lakukan tanpa

kebebasan?

Sebenarnya belum terpikirkan juga apa akibat dari surat perintah itu ke depannya

buatku, yang terpenting adalah aku bisa kembali ke rumah dan berkumpul dengan

istri. Jika mungkin juga dengan kedua anakku. Akhirnya aku pulang ke Sengkang,

tinggal di rumah orang yang memberikan tumpangan rumah untuk kami.

Dengan sangat berat hati aku terpaksa, meskipun tidak seharusnya aku

menyusahkan mereka. Buat mereka suatu kehormatan kami mau tinggal dengan

mereka, tak habis terimakasihku. Bayangkan tidak ada saudara yang mau membantu

bahkan terkesan tidak peduli tapi ini justru orang lain yang mau membantu.

Ada 4 orang eks Tapol yang berasal dari Sengkang, lima dengan aku. Setelah sampai

kami diperintah menghadap Komandan Kodim. Kami mendapat beras satu karung

dan uang 500.000,- (lima ratus ribu) untuk membuka usaha peternakan ayam dibagi

5 orang, 100 ribu per orang.

Dengan harapan yang besar aku mulai membuka usaha peternakan ayam, tapi

karena tanpa perhitungan yang matang tentu saja tidak berhasil. Ternyata tidak

semudah yang aku bayangkan, dan faktor utamanya tempat tinggalku itu banjir

kalau hujan. Hasil akhir ayamnya mati semua.

Lalu aku menghadap ke Kodim untuk minta modal kembali tapi tidak dapat, hanya

saja aku diberikan kebebasan untuk bisa mencari pekerjaan di luar tempat tinggalku

tapi tidak boleh keluar dari wilayah mereka. Maka surat perintahku dirubah setelah

satu tahun menjalani tahanan rumah berganti menjadi tahanan kota tanpa batas

waktu. Dengan membawa surat ijin keluar yang berlaku selama 3 bulan, dan harus

diperpanjang ke pemerintah daerah dengan melapor ke bagian politik kantor daerah

Page 163: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

163

(Sospol). Ada uang administrasi dua ribu rupiah. Ini terus sampai Suharto lengser

tahun 1998. Aku ikuti saja apa yang menjadi perintah mereka.

Aku juga sudah tidak boleh lagi bertemu dengan empat teman yang dari

Moncongloe karena dikhawatirkan akan membangun partai kembali. Jadi aku juga

selalu diawasi oleh masyarakat di lingkungan sekitar. Dulu waktu baru bebas,

memang kalau ada khotbah-khotbah di masjid masih di singgung-singgung masalah

“kejahatan” PKI.

Satu waktu aku pernah diludahi sama anakku yang ke dua, karena kesalahpahaman

dan mungkin caraku yang salah menasehatinya. Anakku itu suka keluar malam dan

pulangnya larut, aku coba menasehatinya untuk tidak sering keluar malam. Tidak

baik juga anak perempuan dan ingat juga status bapaknya. Lagipula kasihan dengan

orang yang punya rumah, nanti akan ikut jelek namanya.

“ Kita ini sudah dibilang PKI, jagalah sikap. Nanti ada kelihatan perbuatan yang

tidak baik pasti akan muncul kata-kata orang PKI” nasehatku.Tapi mungkin dia

masih sedang senang-senangnya bergaul, tapi aku melarangnya, maka marahlah dia.

Tanpa menjawab, dia langsung meludahi wajahku. Aku tidak marah, karena aku

sadar dia belum mengerti keadaan yang sebenarnya. Ditambah lagi ketika belajar

sejarah di sekolah, sedikit banyak mempengaruhi pandangannya tentang PKI.

Setelah kejadian itu aku berikan pengertian perlahan-lahan, sekarang hubungan

kami sudah baik.

Setahun lebih sudah aku mencoba berusaha di Sengkang, semuanya tidak berhasil.

Untuk menghindari hal-hal yang membuat aku terus merasa menjadi orang tahanan

dan terus merongrong kesehatanku, aku menerima tawaran kakak perempuanku

meskipun harus tinggal di kebun. Tahun 1979 aku mulai hijrah ke kampung tempat

kelahiranku di Siwa, saat itu orangtuaku sudah meninggal di sana.

Page 164: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

164

Pada waktu itu masyarakat di sana baru mulai menanam cengkeh di kebun-kebun

mereka termasuk kakakku. Aku diberikan tanah cukup untuk ditanami 80 pohon

cengkeh oleh kakak iparku. Dia bilang tanah ini saya jamin sampai kau mati, sudah

menjadi milikmu. Tidak habis aku mengucapkan terimakasih, atas kebaikannya

karena aku tidak harus mengeluarkan uang sepeserpun untuk itu.

Istriku memang tidak kuajak, karena aku berpikir akan menambah beban kakakku.

Sementara aku belum menghasilkan, tentu saja akan menjadi beban mereka, di

samping aku masih bisa menengoknya 3 bulan sekali untuk memperpanjang surat

ijin. Jarak dari Siwa ke Sengkang sekitar 72 km.

Sudah tinggal di kebun pun, ada yang namanya Babinsa (Bantuan bimbingan desa)

yang selalu datang setiap bulan ke kebun untuk nengok-nengok (mengawasi).

Mereka dari Kodim sambil berpesan kalau aku jangan pergi ke mana-mana. Tapi

sekarang tidak lagi karena semuanya sudah berubah sejak Suharto lengser.

Sesungguhnya yang paling berat aku rasakan adalah aku jadi tidak bisa datang

menengok anak-anakku. Karena statusku yang tidak bisa meninggalkan daerah

Wajo, meski sudah dinyatakan bebas dari Moncongloe. Tapi untung saja (yah, aku

masih merasa beruntung) anak-anakku suka datang juga ke kebun, karena mereka

tahu orangtuanya tidak bisa datang mengunjungi mereka.

Tahun 1982 kebun cengkehku sudah panen pertama, aku semakin bersemangat.

Meskipun belum banyak menghasilkan karena masih pohon muda. Tahun 1983-1984

aku ditawari pekerjaan oleh kemenakan yang bekerja sebagai kontraktor, anak dari

kakak perempuanku yang tinggal di Sengkang. Membangun Sekolah Dasar Inpres di

Sengkang.

Akhirnya tahun 1984 aku bisa mengontrak rumah, dan memboyong istriku pindah

ke rumah baru meskipun masih kontrakan. Jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah

tumpangan sekitar 500 meter, jadi istriku masih bisa datang sesekali. Akupun mulai

Page 165: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

165

mengumpulkan uang untuk membeli sebidang tanah, tidak mungkin selamanya

mengontrak rumah.

Bahan-bahan mulai aku kumpulkan dari kebun, karena di sana banyak kayu dari

hutan. Tujuh tahun kemudian, tahun 1991 aku mulai membangun rumahku sendiri

dan aku persembahkan rumah itu untuk istriku tercinta. Dengan segala

pengorbanan dan ketabahannya selama aku di penjara, tidak bisa aku tebus hanya

dengan memberikan sebuah rumah sederhana. Tapi buatnya ini sudah lebih dari

cukup, yang terpenting adalah masih bisa berkumpul dan diberi kesehatan. Anak-

anakku pun sudah berkeluarga, sehingga sudah menjadi tanggungjawab suaminya.

Anakku yang pertama pendidikan terakhirnya Akademi Hukum Nasional di

Makassar tinggal di Makassar dan sudah punya rumah sendiri dengan dua anak,

anaknya yang pertama perempuan sudah SMP dan anak kedua laki-laki masih SD.

Anakku yang kedua pendidikan terakhirnya Akademi Perbankan Makassar, juga

sudah menikah belum punya anak dan tinggal di Sangguminasa Kabupaten Gowa.

Kemudian pindah ke Riau karena ikut suami pindah tugas.

Tahun 1994-1995 ada perintah untuk menebang sebagian pohon cengkeh demi

mendongkrak harga cengkeh. Perintah itu tidak langsung aku kerjakan, aku berpikir

bagaimana caranya untuk bisa menyelamatkan pohon-pohon cengkeh ini. Akhirnya

tidak aku tebang, tapi aku sisipi saja dengan tanaman asli daerah yaitu durian,

langsat dan rambutan. Dan sekarang aku sudah bisa menikmati hasilnya, durian

sudah berbuah, rambutannya juga sudah beberapa kali panen, tinggal langsat yang

belum berbuah.

Tahun 1998 aku baru bisa menginjakkan kakiku di Makassar setelah Suharto tidak

menjadi presiden. Bayangkan 20 tahun aku jalani tahanan kota, ditambah 5 tahun

dalam penjara dan 7 tahun di Inrehab. Tiga puluh dua tahun, kebebasanku

direnggut. Alasannya pun tidak pernah jelas. Seharusnya banyak hal yang bisa aku

Page 166: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

166

lakukan dalam masa itu. Setidaknya aku bisa melihat putri-putriku tumbuh besar

dan melihat keceriaannya ketika mereka masih kecil.

Tak pernah berhenti bergiat.

Sejak 1998 aku dan istriku tinggal di rumah anakku yang kedua di Sungguminasa

Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa sekitar 10 Km dari pusat kota Makassar.

Mereka pindah ke Riau dan rumah itu kosong, sementara rumah di Sengkang kami

kontrakkan. Bentuk rumah sudah permanen, ada 3 ruangan. Ada ruang tamu

meskipun tidak banyak tamu yang datang, satu kamar tidur dan ruangan dapur.

Tahun 2011, istriku meninggal dalam usia 79, karena sakit tulang pinggang yang

dideritanya akibat terjatuh dari kamar mandi. Jalan satu-satunya adalah tindakan

operasi sementara, hal itu sudah tidak memungkinkan lagi dilakukan mengingat

usia yang sudah 77 tahun. Dua tahun lamanya dia menahan sakit yang dideritanya,

akupun dengan sabar merawatnya. Buatku inilah waktunya aku membalas semua

pengorbanannya selama ini. Sejak itu aku tinggal sendiri, dan memenuhi kebutuhan

ku sendiri termasuk memasak.

Aku bersyukur meskipun di masa lalu aku tidak bisa merawat anak-anakku,

sekarang ini hubungan kami baik-baik saja. Statusku pun tidak masalah, mereka

selalu mendukungku dalam setiap aktivitasku sekarang, dengan merawatku kalau

aku tiba-tiba sakit karena kelelahan dan terlalu bersemangat.

Hanya saja yang menjadi pikiranku adalah masa depan cucu-cucuku. Menantu

pertama yang aku harapkan sudah meninggal pada awal tahun 2013 ini, sementara

anaknya masih kecil-kecil dan perlu biaya. Anak pertamanya masih SMP dan yang

bungsu masih SD. Tapi masih ada tantenya, anakku yang kedua.

Kebun masih ada, dan ada yang membantu mengurus. Sekarang ini memang aku

sudah merasa lebih baik, sudah tidak ada tekanan-tekanan lagi. Dan syukur secara

ekonomi aku juga tidak terlalu menggantungkan kepada orang lain, tapi anakku

Page 167: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

167

yang kedua rutin mengirimiku uang bulanan. Karena hasil kebun baru bisa

dinikmati satu tahun sekali, begitu juga dengan uang kontrakan.

Sejak tahun 2000, aku aktif di Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Orde Baru

(LPR KROB) Sulawesi Selatan. Ketika itu aku bertemu Haris Pala, ketua LPR- KROB

waktu itu.

Tahun 2008 ada utusan dari Komnas Ham datang menjumpaiku, dan meminta surat

yang aku punya untuk dibawanya. Surat itu adalah Surat perintah tahanan kota

yang diberikan oleh kepala CPM waktu aku keluar dari Moncongloe tahun 1977.

Katanya, akan digunakan sebagai bukti.

Sejak tahun 2011 aku menjabat wakil ketua LPR-KROB, sebenarnya aku diminta

sebagai ketua. Mengingat usiaku, biarlah yang muda saja menjadi ketua, dan aku

cukup menjadi wakil. Sekaligus sebagai penasehat pula. Saat ini ketuanya bernama

Anwar Naba, usianya baru 46 tahun.

Pada pertengahan bulan Juni ini kami baru saja pulang dari Kongres Nasional LPR-

KROB yang diadakan di Jakarta, dihadiri oleh 100 orang dari seluruh Indonesia.

Salah satu hasilnya adalah mengganti nama lembaga menjadi Persatuan Rakyat

Indonesia (PRI) alasannya, untuk menyesuaikan dengan situasi saat ini, kegiatannya

lebih ke masalah-masalah umum yang terkait dengan memperjuangkan HAM, dan

diskriminasi. Siapa saja bisa masuk terutama untuk menarik anggota-anggota muda.

Tidak kalah penting sebenarnya adalah bukti tertulis yang bisa diwariskan kepada

generasi selanjutnya. Bagimana perjuangan dalam pelurusan sejarah terkait

peristiwa tahun 1965/1966. Aku secara pribadi sekarang ini sudah tidak takut untuk

bersuara. Aku sadar perjuangannya masih panjang, meskipun Komnas Ham sudah

merekomendasikan bahwa memang terbukti ada pelanggaran HAM berat pada

masa itu, tapi hanya sebatas itu.

Page 168: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

168

Dengan menarik napas panjang dan dalam, Bahar bergumam “entahlah, apakah aku masih

bisa menikmati hasil akhir perjuangan ini”***

Pewawancara dan penulis : Nurhasanah

Naina

“KALAU SAYA TIDAK TABAH,

MUNGKIN SUDAH GILA ATAU MATI”

Saya punya anak yang sekolah ini, juga ikut menderita, dia ikut berjualan,

seperti saya dulu saat kecil...!!!! padahal saya punya doa, ”Ya Allah kalau

betul saya punya salah ini kenapa saya punya pekerjaan dilepas begitu saja,

padahal jerih payah saya itu menuntut ilmu. Saya itu kalau tidak tabah

mungkin sudah gila atau mungkin sudah mati, kawin juga tidak normal.”

Naina membuka ceritanya dengan semangat yang ingin berbagi dengan siapa saja.

Kemudian ia seperti air mengalir meneruskan cerita perjalanan hidupnya. Sesekali Naina

terdiam dan mengarahkan matanya dengan sorot menerawang jauh

Saya lahir di Desa Batulo Kecamatan Wolio Kota Bau-Bau pada Tahun 1941 sebagai anak ke-

7 dari pasangan suami istri Latadi dan Wampehe. Saya tumbuh sebagai anak yang sama

dengan kebanyakan anak pada umumnya, dengan 7 orang saudara laki-laki dan 3 orang

saudara perempuan. Namun saat usia baru 3 bulan, adik bungsu saya meninggal dunia.

Memulai kehidupan dengan keluarga yang lumayan banyak, saya menghabiskan masa kecil,

bermain bersama dengan anak-anak sebaya serta kakak-kakak dan kerabat dengan rasa

riang dan gembira. Sangat senang saat mengenang masa itu.

Ditinggal Bapak, Berjualan Membantu Ibu

Waktu saya usia 7 tahun Bapak saya meninggal. Bapak saya pernah bekerja di

bengkel PU (Perusahaan Umum) kemudian bekerja sebagai pegawai di Kantor PLN

(Perusahaan Listrik Negara). Bapak saya adalah sosok seorang pekerja keras. Kalau

saja dia belum meninggal mungkin kami tidak akan terlantar seperti ini. Saat Bapak

meninggal, meteran lampu di rumah kami dicabut karena kami sudah tidak pernah

Page 169: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

169

membayarnya. Bapak saya keluar masuk Rumah Sakit ketika sakit batuk

berkepanjangan yang dialaminya semakin parah. Dia selalu muntah-muntah darah

sampai dia meninggal. Bapak sangat penyayang. Hampir tidak pernah marah

kepada kami anak-anaknya maupun pada Ibu kami. Ibuku juga demikian sayang

dengan anak-anaknya. Sejak Bapak meninggal Ibu banyak menjual barang-barang

berharganya. Emas, kalung dan barang lainnya habis terjual untuk memenuhi

kebutuhan kami yang tidak cukup dipenuhi hanya dengan berjualan saja. Setelah

tidak ada lagi yang bisa dijual, Ibu memilih mengolah sebidang tanah yang sempat

mereka beli bersama Bapak semasa masih hidup untuk dijadikan kebun. Tapi tanah

itu sekarang sudah diambil pemerintah untuk pembangunan jalan raya dan sebagian

lagi untuk asrama polisi.

Dengan melipat kedua tangan Naina mengenang kembali masa itu. Setelah itu, Naina

melanjutkan ceritanya.

Hari-hari tanpa Bapak mulai terasa semakin sulit. Secara otomatis, Ibulah yang menjadi

tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah mencukupi kebutuhan kami sehari-hari.

Sebab Ibu tidak menikah lagi sepeninggal Bapak. Dengan 7 orang anak yang harus

ditanggungnya, Ibu mulai berjualan apa adanya. Ibu hanya mampu membuat penganan

ringan khas kota kami (Bau-Bau) di mana hampir setiap orang yang ada di sana juga

menjual penganan yang sama. Ini menjadikan penghasilan berjualan itu juga menjadi

terbatas. Ibu tidak mempunyai keahlian membuat jajanan lain.

Kakak saya yang pertama sudah lama pergi merantau. Sejak tamat SR (Sekolah Rakyat,

sekarang Sekolah Dasar) sudah pergi ke Ujung Pandang (Makassar sekarang). Jadi dia tidak

mengetahui kejadian yang menimpa kami dan kepergian Bapak. Kemudian kakak kedua

saya sering sakit-sakitan. Dia menderita sakit Asma yang parah. Dengan kondisi yang

seadanya, kami yang masih tinggal bersama Ibu tetap di sekolahkannya dengan uang hasil

menjual jajanan. Kalau sudah datang waktunya panen ubi dan jagung, bahan untuk

membuat jajanan tidak perlu lagi membeli di pasar. Biasanya, jagung diolah menjadi beras

untuk kebutuhan makan kami sehari-hari, kemudian ubi diolah untuk dijadikan jualan.

Jajanan yang biasa kami jual saat itu selain pisang goreng, ada juga epu-epu dari ubi kayu

(seperti jalangkote sekarang pastel), dan onde-onde yang diisi dengan kelapa yang ada

gulanya lalu digoreng. Jajanan ini kemudian kami jajakan dengan cara berkeliling. Kakak

Page 170: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

170

saya yang laki-laki menjual ke pelabuhan, sementara yang perempuan menjual berkeliling di

sekitar rumah saja. Saya sendiri ikut berjualan setelah usia saya ± 10 tahun dan berada di

kelas 2 SR (Sekolah Rakyat). Saya ingat saat itu saya menjual minyak kelapa dan toge yang

dibuat oleh Ibu dengan berjalan kaki saat pulang dari sekolah. Sehari-harinya saya juga

masih sempat bermain layaknya anak-anak lainnya di kampung halaman. Nanti setelah

datang waktu untuk bantu Ibu, mulailah menumbuk ubi yang menjadi bagian pekerjaan

saya.

Saudara laki-laki saya yang berjualan di pelabuhan sudah siap dengan perlengkapan lainnya

sebelum pergi. Mereka selalu membawa alat pancing ke pelabuhan karena setelah selesai

berjualan dan jajanan telah habis maka mereka langsung memancing. Saat itu berjualan di

Pelabuhan sangat cepat habisnya. Tidak jarang mereka selalu mendapat ikan segar untuk

kami makan bersama pada malam harinya.

Jadi Guru, lalu ditangkap

Tahun 1955 saya menamatkan sekolah SR di Bau-Bau Sulawesi Tenggara, kemudian

saya melanjutkan ke sekolah berikutnya di SGB (Sekolah Guru Bawah) Bau-Bau

selama 4 Tahun. Di SGB ini sudah ada dua orang kakak saya yang bersekolah di

sana. Mereka berdua lolos sekolah di SGB dengan program beasiswa TID (Tunjangan

Ikatan Dinas) sementara saya lolos dengan mengikuti tes bersama 120 orang lainnya

yang juga mendaftar bersama saya. Dari 120 orang ini kemudian ada klasifikasi

kelulusan (semacam peraturan sekolah). 40 orang yang akan gugur, 40 orang yang

akan di nyatakan lolos dan mendapat beasiswa. 40 orang lagi yang bisa lolos dengan

biaya sendiri. Terbayang seketika saat itu, bagaimana sulitnya nanti saya bersekolah

dengan keadaan ekonomi yang sangat minim dengan hanya mengandalkan hasil

jualan kami. Kekhawatiranku seakan bertambah berat waktu melihat pengumuman

kelulusan, saya diterima di sekolah SGB dengan biaya sendiri. Dalam hati saya

berkata, “Tidak apa-apa yang penting saya bisa sekolah, meski dengan menanggung

pakaian seragam sendiri dan biaya sekolah yang di bayar setiap 3 bulan sekali. “

Dengan seragam Hitam Putih, setiap hari saya berangkat ke sekolah dengan berjalan

kaki. Kebetulan jarak sekolah dengan rumah saya tidak terlalu jauh. Hanya sekitar ±

500 M. Selama bersekolah di SGB tidak banyak kegiatan yang saya lakukan. Saya

Page 171: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

171

mencoba fokus belajar dan menamatkan sekolah secepatnya. Dengan terpaksa saya

berhenti menjual jajanan yang dibuat Ibu, dikarenakan kesibukan belajar dan Ibu

sendiri tidak mau sekolah saya terganggu. Namun saya tetap mencari tambahan

penghasilan lainnya dari hasil kerajinan tangan yang saya buat. Saya membuat

sulaman renda dari benang, kemudian saya jual ke teman-teman atau kepada Ibu-

Ibu di sekitar sekolah. Macam-macam hasil sulaman itu, ada taplak meja, alas

sandaran kursi, sampai penutup kepala. Harganya juga bervariasi tergantung

seberapa besar sulaman yang di minta atau yang di buat. Tidak peduli dengan harga

jual yang sangat murah pada saat itu, saya tetap berjualan renda sampai tamat SGB

guna membantu biaya pendidikan saya

Kegigihan Naina berbuah hasil. Tidak lama setelah tamat dari sekolah SGB pada tahun 1959,

satu tahun berikutnya tepatnya tahun 1960 mulailah Naina menjalani kehidupannya menjadi

seorang Guru.

Kakak-kakak saya sudah terlebih dahulu diangkat menjadi guru dan ditempatkan di

pulau Tolandona (masih di provinsi yang sama). Mereka diangkat secara langsung

karena murid yang mendapat beasiswa.

Saya sendiri terangkat menjadi guru pada tahun 1960 itu tanpa saya ketahui sudah

di berikan Surat Keputusan (SK). Wajar saja, saat itu tenaga guru masih sangat

dibutuhkan. Hampir semua teman saya satu angkatan terangkat menjadi guru

bersama-sama dengan saya.

Saya mengajar di SD 5 Bau-Bau. Hampir semua bidang studi saya pegang.

Matematika, Sejarah, Bahasa Indonesia, Ilmu Hewan dan Ilmu Tumbuhan. Kegiatan

menjadi guru tergolong biasa saja. Tidak lama kemudian saya melanjutkan sekolah

ke tingkat SGA (Sekolah Guru Atas), karena salah satu syarat bisa melanjutkan ke

SGA adalah sudah terangkat jadi guru tetap. Saya mengambil kelas malam, dari jam

18.00 sore sampai jam 23.00 malam. Karena siang saya gunakan untuk mengajar di

sekolah.

Dengan kesibukan menjadi guru serta kembali bersekolah, tiba-tiba Ibu meminta

saya untuk menikah dengan seorang laki-laki yang masih ada hubungan keluarga

dengan saya. Sangat bimbang rasanya, antara menuruti keinginan orang tua dan

mengejar pendidikan seperti yang sudah saya cita-citakan. Saya menolak keinginan

Page 172: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

172

Ibu dengan berupaya memberikan pengertian kepadanya dan seluruh keluarga

lainnya. “saya belum bisa mengurusi laki-laki, dan juga saya masih mau

melanjutkan sekolah lagi setelah lulus dari SGA ini”. Kilah saya saat itu mencoba

menenangkan Ibu. Alasan lainnya yang tidak saya beritahu ke Ibu adalah, saya

punya seseorang yang sangat saya cintai. Dia bekerja di kapal bagian mesin. Dia

masih kerabat dekat anak dari keluarga Ibu saya. Sebenarnya saat itu dia sudah mau

melamar saya. Tapi saya sampaikan ke dia bahwa saya masih mau menamatkan

sekolah dulu, lalu menyarankan ke dia untuk melanjutkan sekolahnya juga ke

Jakarta. “Siapa tahu saja bisa jadi kapten kapal” kata saya waktu itu mencoba

meyakinkan dia. Akhirnya dia setuju dan berangkat ke Jakarta melanjutkan

sekolahnya. Cerita ini akhirnya sampai juga ke telinga Ibu dan keluarga saya. Ibu

saya sangat menentang keras hubungan kami. “Saya tidak suka dengan orang itu.

Kenapa kamu pilih kuli kapal?” begitu Ibu berkata dalam suatu siang. Saya tidak

bisa berbuat apa-apa. Kami berusaha tetap saling percaya meski jarang

berkomunikasi karena berjauhan.

Keadaan ini cukup membantu saya untuk tetap fokus melanjutkan pendidikan ke

jenjang yang lebih tinggi. Tahun 1963 saya tamat SGA. Kemudian saya memutuskan

untuk melanjutkan kuliah jurusan Ilmu Pendidikan di Undayan Bau-bau. Program

kelas jauh Universitas Hasanudin Ujung Pandang (Makassar, Sulsel). Sesekali ada

dosen dari Ujungpandang datang untuk membawakan mata kuliah. Namun baru

berjalan dua tahun atau masuk semester empat terjadi peristiwa G 30 S. tahun 1965.

Semua terkesan biasa saja. Tidak ada pengaruh yang cukup besar yang kami rasakan

di daerah saat terjadi peristiwa itu. Hingga pada awal tahun 1966, menjadi tahun

yang sangat menyakitkan buat saya. Petaka seakan datang di siang hari tanpa

diduga sama sekali.

Saya dapat surat panggilan. Kemudian dikumpulkan di salah satu rumah di daerah

Bone Saala. Sesampainya di sana sudah banyak orang lain yang juga menunggu

untuk diinterogasi. Dari sekian banyak orang yang berkumpul rata-rata guru semua,

sebanyak 24 orang. Dalam keadaan ketakutan, saya semakin tidak mengerti apa

maksud surat panggilan yang ditujukan ke saya, dan diinterogasi. Masih dengan

tanda tanya besar yang ada di kepala saya, kemudian tiba giliran saya untuk

Page 173: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

173

diperiksa. Seingat saya pada saat itu, ada pegawai Kejaksaan dan Polisi yang

menginterogasi saya. Pertanyaannya seputar keterlibatan saya dengan salah satu

organisasi perempuan GERWANI. Hasil pemeriksaan hari pertama, peryataan saya

tidak diterima. Besoknya saya dipanggil lagi dan ditanyakan pertanyaan yang sama

dengan hari pertama. Kemudian berkas saya dianggap selesai diproses, meskipun

saya tetap bertahan bahwa saya tidak ada sangkut pautnya dengan organisasi

perempuan yang dituduhkan kepada saya.

Saya dituduh menjadi salah satu pengurus organisasi Gerwani. Saya memang

mengenal Ketua Gerwani itu. Satu waktu saya pernah ditawari untuk menjadi

bendahara organisasi tapi saya menolak karena kesibukan selain mengajar juga

sedang melanjutkan kuliah. Waktu itu setiap kali saya pulang mengajar, saya selalu

diajak mampir ke rumahnya. Karena arah pulang ke rumah saya pasti melewati

rumah ketua Gerwani itu. Dia bilang, “Ibu, masuk di organisasi saya yaaaa!” . Saya

bilang “tidak, saya tidak sempat, karena pagi-pagi saya mengajar di SD, sore sampai

malam saya masih harus sekolah”. “Tidak apa-apa”, kata dia menyambung, “Saya

kasi kamu jabatan bendahara dengan keuangannya saya serahkan dengan bukunya”

lanjutnya lagi meneruskan kalimatnya. ”Maaf”, jawab saya, “Mana saya sempat,

mana saya mau belajar ini”. Sambung saya lagi mencoba tetap menolak dengan cara

baik.

Tapi ternyata nama saya sudah terlanjur tercatat dan itu yang menjadi alasan saya di

berikan surat panggilan, didukung lagi dengan profesi saya sebagai guru. Saat itu

hampir semua guru yang ada di Bau-Bau diinterogasi atau diperiksa. Tidak tahu apa

alasan, kenapa kemudian para guru yang menjadi sasaran. Di hari kedua

diinterogasi, saya dikonfrontasi (dipertemukan) dengan ketua Gerwani untuk

memastikan keterlibatan saya. Ibu ketua menyatakan bahwa saya memang bukan

bendahara organisasi, meskipun begitu saya akhirnya tetap menjalani 2 tahun wajib

lapor dari tahun 1966-1967. Dua sampai tiga kali seminggu, dari jam 07-10/11 siang

datang melapor ke kantor Kodim yang berjarak ± 800 M/hampir satu kilo meter dari

rumah. Di sana kami biasa dipekerjakan untuk membersihkan halaman kantor.

Sejak diinterogasi tahun 1966 itu saya mendapat surat larangan untuk kembali

mengajar dan tidak boleh melanjutkan kuliah. Surat larangan itu sebenarnya adalah

Page 174: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

174

surat skorsing sementara, tapi surat itu tidak sampai ke tangan saya, kawan-kawan

saya yang lainnya sama seperti saya, ikut kena wajib lapor. Selama dua tahun itu

saya tidak lagi mempunyai penghasilan. Ditambah lagi dengan masalah tunangan

saya yang tiba-tiba memutuskan hubungan, karena takut terbawa status saya yang

dinyatakan sebagai golongan C. Tidak boleh keluar dari Bau-bau, karena juga terikat

waktu wajib lapor.

Di keluarga saya, tidak hanya saya saja yang ditangkap. Kakak saya yang mengajar

di pulau Tolandona juga ikut ditangkap.

Kakak saya ditangkap, dia itu mengajar di Tolandona, kebetulan satu sekolah

dengan dia ada temannya yang sama namanya dengan dia. “Raifu” nama kakak

saya. Tapi beda fam (nama belakang) nya. Yang satu famnya Raifu K sedangkan saya

punya kakak Raifu T. Saat penangkapan terjadi, kakak saya dan Raifu K. sama-sama

dibawa ke penjara. Memang yang Raifu K. masuk. Papanya Raifu K. adalah orang

yang sedang dicari-cari karena menjadi anggota PKI.

Selanjutnya kami tinggal mendengar kabar, kalau kakak saya sudah dikirim ke

Kendari dan ditempatkan di hutan Ameroro. Di situ orang tahanan mengolah kayu.

Kayu itu di ambil dari hutan-hutan, baru digergaji dijadikan papan, kemudian

tentara mengambilnya dimuat pake mobil. Kakak saya waktu ditangkap pada saat

sudah menikah dan sudah punya anak dua. Seingat saya sesudah 13 tahun ditahan,

dia baru pulang ke sini lagi. Selama mereka kerja paksa tidak pernah diberi upah,

namun tetap diberi makan.

Saat kakak saya sudah mau meninggal (sakit-sakitan) dia minta saya uruskan

pensiunnya. Saya pergi mengurus di Kodim tapi tidak bisa. Malah saya mau

dipanggil ke Jakarta. Alasannya, karena golongan kakak saya. Kan pakai golongan

dulu (saat itu). Golongan yang ringan C2, C3, Golongan yang berat itu Golongan A

di buang ke Kendari. Agak ringan B dan C yang wajib lapor. Akhirnya kakak saya

meninggal tahun 2011.

Naina bercerita dengan nada agak geram mengenang apa yang terjadi pada kakaknya.

Page 175: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

175

Kebebasan yang sarat dengan duka

Tahun 1967 saya dinyatakan bebas dan bisa ke luar dari Bau-bau, tidak lagi

menjalani wajib lapor. Akhirnya saya memutuskan pada tahun itu juga saya

berangkat ke Ujung Pandang (Sulawesi Selatan/Makassar) tepatnya di kota Tonasa

tempat sebuah pabrik semen yang cukup terkenal. Kebetulan di sana sudah ada

kakak saya yang pertama bekerja di pabrik semen itu. Saya berharap di sana saya

akan mendapatkan pekerjaan yang layak lagi.

Sekitar beberapa minggu di sana, saya bertemu dengan seorang laki-laki yang

akhirnya menjadi suami saya. Kebetulan dia mengajar di SMP Tonasa (status guru

Honor) yang berada di komplek perumahan pabrik. Saya tidak tahu bagaimana

kemudian dia mengenali saya. Dia bilang sudah tahu saya sejak di Bau-bau,

sementara saya sendiri tidak mengenal siapa dia. Tidak lama perkenalan kami,

hanya sekitar dua bulan lalu kami memutuskan untuk menikah di Tonasa disaksikan

oleh kakak saya yang pertama. Setelah menikah kami kembali ke Bau-Bau

mengadakan perayaan kecil-kecilan. Pernikahan kami sebenarnya tidak disetujui

oleh orang tuanya. Karena dia sudah dijodohkan dengan seseorang saat itu.

Demikian juga dengan saya. Setelah pacar saya memutuskan hubungan, saya kena

wajib lapor, orang tua saya kemudian mencarikan calon suami untuk saya. Namun

dengan keteguhan hati kami berdua, akhirnya mereka mengalah.

Suami saya bernama Laode Muhammad Yasir. Kami memutuskan tinggal di rumah

orangtua saya di Bau-Bau setelah menikah. Tidak lama berselang, dengan bekal

pengalamannya menjadi guru honor di Tonasa, suami akhirnya diterima mengajar di

SD di pulau Boneatiro. Kehidupan saya terasa baik kembali dengan sudah

berkeluarga dan suami saya sudah memiliki pekerjaan yang baik saat itu. Namun,

memilih kembali tinggal di tempat di mana saya pernah kena wajib lapor, berarti

siap dengan kenyataan yang ada. Tidak jarang saya merasakan hinaan dicemooh

disebut PKI. “itu PKI itu” gunjing mereka bila kebetulan saya lewat berjalan di

depan mereka. Tapi saya hanya berjalan saja, hanya Tuhan yang mengetahui siapa

yang bersalah dan siapa yang benar.

Awal membina rumah tangga, suami memperlakukan saya dengan sangat baik dan

penuh kasih sayang. Tahun 1968 lahirlah anak laki-laki pertama yang kami beri

Page 176: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

176

nama Laode Muhammad Jufri. Kelahiran anak pertama ini, selain membawa

perasaan gembira tapi juga kesedihan. Belum satu bulan saya menikmati peran

menjadi seorang Ibu, datang bencana buat keluarga saya. Suami datang ke rumah

dengan membawa seorang perempuan yang dia kenalkan sebagai calon istrinya

yang kedua. Dia adalah perempuan yang sebelumnya sudah dijodohkan dengannya,

yang tidak lain adalah anak dari sepupu Ibunya. Betapa hancur hati saya, tidak ada

yang tahu bagaimana perasaan saya saat itu. Saya sangat marah dan tidak setuju,

tapi ternyata suami saya tetap menuruti permintaan keluarganya. Alasannya karena

keluarganya tidak suka dengan status saya yang pernah dinyatakan terlibat G 30S.

Padahal, sudah berulang kali saya menjelaskan kepada suami dan keluargannya.

bahwa saya tidak terlibat dengan organisasi perempuan GERWANI itu. Konfrontasi

yang dilakukan dan peryataan Ketua Gerwani itu rupanya tidak bisa menolong saya.

Alasan mereka karena saya tetap kena wajib lapor maka mereka beranggapan bahwa

saya benar-benar terlibat.

Ternyata bebas dari wajib lapor tidak membuat saya bersih, dan akan terus

menanggung stigma ini. Sayapun mengalah dan membiarkan dia menikahi

perempuan itu, yang akhirnya memang dia lebih banyak tinggal di sana. Cobaan

belum berhenti sampai di situ. Saat usia anakku masuk 7 bulan, Ibu

menghembuskan nafas terahir nya. Sangat pilu perasaan... Ibu yang selama ini

berjuang dengan sangat gigih untuk menghidupi dan menyekolahkan kami

sekeluarga meninggal dunia. Hatiku terasa remuk, tidak ada lagi tempat bersandar.

Suami menikah lagi, lalu Ibu yang kusayangi meninggal dunia. Saya mencoba tabah

dan sabar, saya hadapi dan saya lalui semuanya dengan selalu memanjatkan doa

kepada Tuhan. Selang 1 tahun setengah pasca menikahnya suami dan meninggalnya

Ibu, cobaan kembali datang menimpa. Saya benar-benar sedang diuji olehNYA.

Belum genap anakku yang pertama berumur dua tahun, sekitar pertengahan tahun

1970 suamiku masuk penjara. Saya tidak mengetahui dengan pasti apa yang menjadi

masalah sehingga dia masuk penjara. Karena dia jarang pulang ke rumah, kalaupun

datang, kami jarang bicara terkait kegiatannya mengajar di sekolah. Kabar yang

kudapatkan dia terlibat kasus asusila yang melibatkan muridnya sendiri yang

Page 177: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

177

menjadi korbannya. Akhirnya dia diputuskan oleh pengadilan setempat menjalani

masa tahanan selama 8 tahun (1970-1978).

Selama suami masih ditahan dia tetap dibolehkan ke luar sesekali untuk

mengunjungi 2 keluarganya. Biasanya hanya satu malam saja, dan besoknya kembali

lagi ke penjara. Saya masih tetap melayaninya sebagai seorang istri yang sah, bila dia

mengunjungi kami. Tahun 1971 lahirlah seorang anak perempuan yang merupakan

anak kedua kami. Tapi usianya tidak bertahan lama, hanya 7 bulan, akhirnya anak

ke dua kami meninggal dunia. Pada tahun 1976, lahirlah anak kami yang ke 3, yang

kami beri nama Waode Nurbaya.

Hari-hari saat suamiku di penjara, kami hanya mencoba bertahan hidup dengan sisa

uang yang masih kami punya. Karena ketika suami ditahan, secara otomatis tidak

ada yang menafkahi kami. Sementara saya sendiri mengurusi anak-anak yang masih

kecil-kecil. Namun entah kenapa saya masih tetap menerima dia. Padahal yang

menanggung perbuatannya bukan hanya saya tapi juga anak-anak saya. Saya tidak

menyangka kalau kehidupan saya yang sulit waktu kecil, akan dialami oleh anak-

anak saya. Anak saya yang pertama sejak kecil sudah harus membantu saya mencari

nafkah untuk keluarga. Setiap pulang sekolah dia berjualan jagung rebus di

pelabuhan yang mentahnya saya beli di pasar. Sementara saya sendiri membuat kue-

kue dan kacang goreng untuk dititipkan di warung-warung. Mengingat keadaan ini,

saya kembali membayangkan kesusahan kami saat kecil dulu. Saya sempat berpikir,

“ini sejarah yang berulang dalam hidupku” entah apa yang salah dengan saya, atau

ini memang takdir yang harus saya jalani. Saya sungguh tak mengerti. Saya dan

anak-anak menjalani saja kehidupan tanpa suami dengan sekuat yang kami mampu.

Tahun 1978 suami saya bebas dari penjara. Sementara kami masih dengan kondisi

yang serba seadanya. Saya tidak terlalu berharap banyak lagi dari dia. Karena saya

menyadari dengan menanggung 2 keluarga sekaligus suami tidak akan mampu

memenuhi kebutuhan kami. Beruntung tidak lama setelah dia bebas, dengan dibantu

pengalamannya menjadi guru, maka dia tahu buku apa yang dibutuhkan oleh

sekolah-sekolah SD. Jadilah dia sebagai distributor kecil-kecilan yang lumayan

menghasilkan untuk ke 2 keluarga yang jadi tanggungannya. Dia mengambil buku-

buku itu dari Jakarta dan dia pasok ke sekolah-sekolah di Sulawesi Tenggara,

Page 178: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

178

sehingga aktivitasnya jadi sering keluar daerah. Biasanya, kalaupun sudah datang

lagi ke Bau-Bau, kamipun jarang dikunjunginya. Kalaupun ia, hanya sesekali saja

mengunjungi saya, lagi-lagi saya masih tetap mencoba sabar dan melayani dia

sebagai seorang suami yang baik.

Setelah tiga tahun dia keluar dari penjara, tepatnya tahun 1981 lahir anak laki-laki

kami yang ke empat, kami beri nama Laode Muhammad Afid. Sejak kelahiran anak

ke empat ini, saya mulai lelah hidup dengan suami saya. Dia mulai main gila lagi.

Kembali dia menikahi salah satu perempuan yang masih tinggal di daerah yang

sama dengan saya dan istri keduanya. “Sungguh gila laki-laki ini” begitu saya

berkata dalam hati. Apa masih tidak cukup? Sudah pekerjaan tidak menentu karena

jualan buku-buku itu tidak sepanjang tahun bisa dipasok ke sekolah, punya istri 2

dan banyaknya anak yang dia harus nafkahi. Apa dia tidak berpikir? Saya sudah

naik pitam, setiap kali dia datang, saya selalu mengusir dia untuk tidak lagi

mengganggu saya dan anak-anak. Tapi dia tetap saja terkadang memaksa datang

beralasan ingin ketemu dengan anak-anaknya. Untuk hal ini sayapun tidak bisa

melarang dia. Hingga suatu hari saya berkata kepada dia, “Sebaiknya kita sebagai

keluarga saja. Jadi antara kita berdua sudah tidak ada lagi hubungan suami istri”.

Diapun mengiyakan, hingga akhirnya dia tinggal dengan istri ke duanya sampai saat

ini dengan 8 orang anak.

Keputusan untuk tidak lagi hidup bersama dengan suami, mengharuskan saya

membesarkan anak-anak dengan kekuatan sendiri. Saya menggunakan keahlian

yang saya miliki yang juga pas-pasan. Kebetulan saya bisa menjahit lewat kursus

yang saya ikuti selama satu bulan setelah saya bebas dari proses wajib lapor. Selain

itu saya mulai memperbanyak jualan, tidak lagi hanya dengan mengandalkan

jagung rebus. Jualan kue bolu dan beberapa kue khas bau-bau lainnya seperti dulu

waktu saya masih kecil membantu Ibu. Selain dijual berkeliling juga dititipkan di

warung-warung, jaraknya sekitar 100 meter dari rumah. Biasanya saat mengantar itu

saya dibantu oleh keponakan saya. Terkadang juga saya menjual pisang goreng dan

jagung rebus yang dijajakan oleh anak-anak saya ke pelabuhan.

Dengan hanya mengandalkan penghasilan dari berjualan, saya semampu-

mampunya bisa menyekolahkan anak-anak. Tentu saja saya sangat menyadari kalau

Page 179: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

179

ini semua tidak cukup untuk membiayai mereka. Alhasil anak yang pertama

akhirnya mampu menyelesaikan studi S1 Bahasa Indonesia dengan harus merelakan

2 petak tanah peninggalan orang tua saya. Bagi saya itu tidak mengapa. Asalkan

pendidikan anak saya bisa lebih baik dari saya. Dengan harapan merekapun akan

memiliki masa depan yang lebih baik juga dari saya. Anak saya sempat menolak

untuk melanjutkan sekolah ke jenjang perguruan tinggi. Ini dikarenakan adanya

berita yang berkembang, kalau anak-anak orang yang terlibat pada peristiwa G30S

tujuh turunan tidak bisa menjadi pegawai negeri. “untuk apa sekolah, kalau tidak

bisa juga jadi pegawai negeri”. Begitu dia pernah bilang kepada saya. Lalu saya coba

meyakinkan dia. Mungkin saja nanti peraturannya akan berubah. Akhirnya dia mau

melanjutkan sekolahnya. Beberapa kali anak saya mengikuti tes ujian CPNS setelah

dia selesai kuliah. Tapi harapan jauh dengan kenyataan yang terjadi. Setiap kali dia

mengikuti tes CPNS, lembaran hasil tesnya selalu diberi tanda merah. Bersyukur dia

kemudian tidak patah semangat dalam mencari rejeki. “Nah toh bukan hanya jadi

pegawai negeri kita baru bisa hidup”. sering kali berganti profesi pekerjaannya,

namun sekitar beberapa tahun terahir ini dia bekerja di Program P2KP (Proyek

Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan). Dia sering keluar kota, sehingga

terkadang jauh dari istri dan 3 orang anaknya.

Anak ke tiga saya bekerja menjadi seorang guru di SMP 17 Tanah Lapang Kelurahan

Tomba, Kecamatan Wolio Kota Bau-Bau dan di salah satu sekolah swasta. Dia sudah

menikah dan mempunyai 2 orang anak, laki-laki dan perempuan. Sekarang dia

sudah menyelesaikan S2 Bahasa Inggris. Suaminya juga seorang guru di sekolah

yang sama tempat dia mengajar. Anak saya yang terakhir hanya lulus SMA. Dia

memilih untuk tidak melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi, dia sudah

menikah dan tinggal di rumah sendiri. Dia bekerja wiraswasta menghidupi anak dan

istrinya.

Pensiun yang tertunda

Setelah semua anak-anak menikah dan tinggal di rumahnya masing-masing,

sekarang saya tinggal di rumah peninggalan orang tua saya ini dengan beberapa

orang keponakan yang sudah menikah juga. Terkadang saya berpindah-pindah

Page 180: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

180

pergi bermalam ke rumah anak-anak yang kebetulan tempat tinggalnya tidak jauh

dari rumah ini. Bila rindu dengan saya, cucu-cucu kadang datang bermalam juga di

rumah ini. Terasa sangat senang kalau berkumpul beramai-ramai. Saya selalu

berusaha mengisi kehidupan sehari-hari dengan berkumpul bersama setelah apa

yang saya lalui sejak dari kecil, ditangkap saat masih jadi guru dan ditambah lagi

dengan suami main gila. Sangat pedih mengenang masa itu. Sampai pada tahun 2000

yang lalu, kabar gembira itu datang. Saya mendapatkan kembali hak pensiun saya

bersama dengan beberapa orang kawan guru lainnya. Ceritanya dimulai dari

pendataan sekitar tahun 70 an akhir oleh beberapa orang yang sepengetahuan kami

adalah tim dari Jakarta. Saat itu kami ditanyakan beberapa hal mengenai keterlibatan

kami saat peristiwa kemudian diwajib laporkan serta diberhentikan menjadi guru.

Yang saya tahu waktu itu saat saya diberhentikan jadi guru, ada surat

pemberhentian sementaranya. Yang berbunyi “diberhentikan untuk sementara dan

dibayarkan gaji ½” namun saya tidak tahu surat skorsing itu tercecer dimana.

Ada lagi kejadian yang tidak mengenakkan saat saya melalui pendataan ulang.

Waktu itu kami dikumpulkan lagi di salah satu rumah (kantor) milik pemerintah di

daerah Bone Saala. Dua orang laki-laki yang melakukan pendataan itu

menggunakan seragam pegawai negeri.

Setelah selesai semua orang ditanyakan data-datanya, saya yang menjadi orang yang

terahir. Awalnya saya ditanya oleh orang dari tim itu, “Ibu masih mau menjadi

guru?” jawab saya ; “Terima kasih pak, kalau Bapak masih mau menolong saya

berapapun akan saya bayar, biar tidak ada uang, saya akan berusaha pinjam.” Terus

dia bilang “saya tidak perlu uang”. Saya tanya; “Jadi Bapak apa maunya?”, dia

tunjuk ke saya (tepatnya ke tubuh saya) dia bilang,“Saya mau sesuatu tapi tidak

dalam bentuk uang” (sambil menunjuk tubuh saya). Saya jawab “Maaf pak ya, kalau

kita ini sudah kawin begini tidak suka mempermainkan kehormatannya. Apalagi

saya ini orang Buton” saya tidak usah jadi pegawai, saya jualan saja, saya bisa hidupi

anak. Saat itu hari sudah mau malam saya bilang ke Bapak itu. “Pak saya punya

anak sudah menangis di sana (dirumah)” dia tanya umur anak saya berapa? “1

minggu,” jawabku. “Oh iya silahkan pulang “, lanjut Bapak itu. Akhirnya saya

Page 181: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

181

pulang dengan rasa kesal yang sangat dalam pada orang-orang itu. Niat menolong

orang, tapi ada embel-embelnya.

Cerita Naina dengan sedikit menggerutu atas perlakuan orang yang mewawancarainya.

Setelah pendataan itu saya sudah tidak pernah lagi dengar prosesnya seperti apa.

Sampai pada tahun 2000 ada surat pemberitahuan selanjutnya. Tapi saya tidak

mengetahui soal itu. Nanti setelah kawan lainnya selesai mengurus berkas dan

menerima gaji pensiun mereka, baru saya urus berkas. Hal yang pertama yang harus

diselesaikan adalah, kejelasan tentang klasifikasi golongan tahanan saat kami kena

wajib lapor. Penentuan klasifikasi ini diurus ke Kodim (Komando Distrik Militer)

setempat. Saya termasuk dalam klasifikasi golongan C1 waktu itu, tapi saya

meminta untuk bisa diturunkan menjadi golongan C2. Setelah mendapatkan surat

klasifikasi tersebut, lalu surat itu dibawa ke Kendari Ke Kantor P&K (Pendidikan

dan Kebudayaan).

Dengan berbekal blanko data isian dan surat klasifikasi dari Kodim, saya kemudian

mendapatkan SK Pensiun saya dari Kantor P&K tersebut. Saya sempat berpikir,

berarti selama ini, kemungkinan besar kami tetap terdaftar sebagai pegawai negeri

resmi pada BKN (Badan Kepegawaian Negara). Nah buktinya sekarang kami dapat

SK Pensiun resmi. Kemudian saya pergi ke PT. Taspen untuk menerima gaji pensiun

saya. Saya hanya bertanda tangan saja. Uang itu diambil oleh seseorang yang ikut

bersama saya, sama seperti uang kawan-kawan yang lainnya untuk dikumpulkan.

Katanya akan ada pemotongan untuk biaya pengurusan kepada orang-orang itu.

Karena selama ini mereka yang berjuang sehingga kami dapat menerima gaji

pensiun lagi. Dari total 24 juta gaji pensiun saya, saya hanya menerima

Rp.10.500.000. Padahal dari kesepakatan awal, yang saya ketahui, kami dapat

setengah dari total gaji pensiun yang dibayarkan. Itu artinya saya bisa menerima 12

juta dari total 24 juta. Awalnya dari total 24 juta, Bapak itu sudah langsung

mengambil 3 juta. Tidak jelas pemotongan 3 Juta itu untuk apa. Mungkin untuk

pengganti biaya kami makan dan menginap di tempat yang disediakan oleh Bapak

itu selama kurang lebih 3 hari. Saya tidak berusaha untuk berkeras mengusut lagi.

Dengan uang sebesar 10. 500. 000 Rupiah itu saya kembali ke Bau-Bau dengan

kawan-kawan yang lain. Ini sudah lebih dari cukup menurut saya. Dengan

Page 182: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

182

mendapatkan kembali gaji yang semestinya memang saya harus terima selama ini,

ini sudah menjadi titik mula yang baik bagiku. Karena sampai hari ini saya dapat

menikmati kembali hasil kerja dan jerih payah saya bersekolah pada saat itu,

meskipun ini sempat tertunda sangat lama.

Saya terlalu berat merasakan semuanya. Saya yang tidak pernah melakukan

kesalahan, kemudian mendapatkan hukuman yang begitu berat. Sumber mata

pencaharian saya di putus, dan melanjutkan sekolah tidak diterima lagi. 35 tahun

lamanya, baru ada kejelasan tentang status saya sebagai pegawai negeri yang sah,

yang tidak tersangkut paut dengan apa yang pernah dituduhkan kepada saya,

namun saya mendapatkan gelar “stigma” yang seakan tidak pernah berkesudahan.

Hari ini saya berdoa saja kepada Tuhan, agar anak dan cucu saya selalu

mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya, serta tidak mengalami perlakuan tidak

adil dari pemerintah seperti apa yang saya rasakan bersama keluarga dan kawan-

kawan lainya. Saya juga mendoakan pemerintah kita agar supaya dibukakan jalan

oleh Tuhan dan bisa melakukan peninjauan kembali atas kasus yang dialami orang-

orang seperti saya. Paling tidak, ada proses pemulihan nama baik dari korban-

korban peristiwa tahun itu. “Bila luka tergores pada kulit bisa mengering setelah

diobati bahkan sampai hilang bekasnya. Tapi luka yang tergores di hati, membekas

dalam ingatan dan dibawa sampai mati”.

Dengan menghela nafas panjang Naina menutup ceritanya.***

Pewawancara : Nurhasanah Penulis : Mohammad Abbas.

Poppy & Marten Piai

Pahit Getir di bawah ORBA

Poppy, begitu biasa saya dipanggil sehari-hari di keluarga ataupun di

lingkungan teman-teman. Nama lengkapku di KTP Estefin P Manarisip, itu nama

marga saya. Jadi P itulah Poppy. Saya memang bukan asli orang Palu, saya lahir di

sebuah desa di Sulawesi Utara. Tepatnya di desa Tompaso, Minahasa 15 Desember

Page 183: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

183

1938. Datang ke sini ikut suami yang awalnya bertugas di Donggala Sulawesi

Tengah. Sebenarnya di Tompaso saya sudah menjadi guru Sekolah Dasar. Meskipun

hanya tamatan SGB (Sekolah Guru Bawah), karena waktu saya kelas satu mau naik

kelas dua SGA (Sekolah Guru Atas) pecah peristiwa PERMESTA (Perjuangan Rakyat

Semesta). Sekolah saya hancur kena bom kira-kira tahun 1957-1958.

Jaman saya sekolah dulu sekitar tahun 1948, di Tompaso sudah ada Sekolah Dasar

tapi waktu itu namanya masih SR (Sekolah Rakyat), meskipun agak jauh dari tempat

saya tinggal. Tahun 1954 saya masuk SMP dulukan SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat

Pertama). Baru berapa bulan saya di SMP, ada guru tidak tahu bapak-bapak siapa

yang mengusulkan waktu itu anak yang melamar SMP ditarik semua masuk ke SGB,

karena baru mau mendirikan SGB (Sekolah Guru Bawah). Sebenarnya saya tidak

suka, tapi ya terpaksa ikut saja.

Sesudah 3 tahun, (dulu SGB 4 tahun ) diadakan ujian pertama, yang lulus ujian bisa

melanjutkan ke SGA ( Sekolah Guru Atas). Kalau tidak lulus, terus melanjutkan ke

kelas 4, dan mengikuti persiapan praktek untuk mengajar. Pada waktu itu saya lulus,

dan melanjutkan ke SGA Tomohon.

Dalam kompleks di mana saya sekolah ada 3 sekolah yang berdekatan, yaitu SGA,

SGPD, SMA. Semua bangunan hancur, akhirnya terpaksa tidak bisa meneruskan

sekolah. Sementara saya baru mau masuk kelas 2 SGA, saya terpaksa kembali harus

ikut ujian yang ke 4 di SGB.

Saya mulai mengajar tahun 1959, dan langsung keluar Surat Keputusan. Setelah

beberapa lama mengajar, Mama saya meninggal. Akhirnya hanya tinggal dengan

Papa dan seorang adik perempuan saya. Sebenarnya kami 4 bersaudara, anak

pertama dan kedua laki-laki, ketiga dan keempat perempuan. Saya anak ketiga, saat

ini tinggal saya sendiri yang masih hidup. adik saya meninggal tahun lalu di

Manado, saya sempat datang menengok ketika dia sakit parah dan sampai dia

meninggal. Kakak saya yang pertama meninggal beberapa tahun lalu, sementara

kakak yang nomor dua sudah meninggal ketika peristiwa Permesta, terbunuh pada

waktu bertugas sebagai Angkatan Laut. Jadi kalau saya ke Manado, sekarang tinggal

sepupu-sepupu.

Page 184: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

184

Saya ketemu dengan suami di Manado, waktu itu saya datang ke rumah keluarga

yang menjadi tempat beribadah. Sebenarnya saya sudah ada yang mau melamar,

seorang pendeta. Saya sudah bertemu juga dengan orangtuanya, karena sudah

cukup umur dianya jadi tidak perlu pacar-pacaran lagi. Sudah menyusun rencana

menikah apa semua dan kebetulan dia itu pendeta dari suami saya sekarang.

Mungkin karena tugasnya berat, dia menderita sakit paru-paru. Lalu keluarga bilang

“orang sudah sakit begitu masa kamu mau bertahan dengan dia”. Secara tidak

langsung keluarga tidak setuju saya melanjutkan hubungan dengannya. Waktu dia

masuk rumah sakit, saya memutuskan untuk meninggalkan dia. Saya merasa

mengkhianati dia tapi mau bilang apalagi, keluarga juga sudah tidak mendukung.

Waktu pertama kali suami mendekati saya sebenarnya saya sudah menolak, tapi dia

tetap nekat. Pokoknya sedikit-sedikit sudah ada di rumah, tidak kenal siang tidak

kenal malam datang di rumah. Dia pintar ambil hati orangtua saya. Ya sudah

akhirnya hati saya luluh juga.

Waktu dia bilang mau melamar, saya belum langsung menerimanya, tapi dia sudah

datang dengan keluarganya. Mau gimana lagi, lagipula orangtua sudah setuju.

Prosesnya memang tidak lama sejak dari perkenalan, tidak cukup satu bulan. Dia

harus cepat-cepat kembali ke Donggala, karena pekerjaan mendesak. Waktu mau

menikah yang saya tahu dia itu bekerja di Pelabuhan Donggala, tapi saya tidak tahu

kalau dia juga anggota redaksi “Mimbar Rakyat”. Sesudah menikah baru saya tahu,

tapi apa boleh buat. Kami menikah tahun 1963 di Manado.

Sebenarnya berat juga meninggalkan Papa dan adik saya, tapi karena urusan

pekerjaan suami terpaksa saya ikut pindah ke Donggala, lalu waktu suami

memutuskan pindah ke Palu ya mengurus surat pindah lagi. Tanggal 26 Agustus

tahun 1965, di Palu lahir anak pertama saya, perempuan. Waktu itu suami

memutuskan berhenti bekerja di pelabuhan, dan memilih menjadi wartawan

sekaligus mengelola “Mimbar Rakyat”, korannya Partai Komunis Indonesia (PKI).

Suami sangat sibuk dengan menulis di koran, dan juga kesana kemari mencari

berita.

Sebelum saya bertemu suami, saya sudah aktif di LKN (Lembaga Kebudayaan

Nasional) punya PNI ( Partai Nasional Indonesia). Waktu itu juga ada laki-laki yang

Page 185: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

185

mau sama saya, tapi dia aktifnya di Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) punya

PKI. Jadi bertentangan kan. Saya juga sudah menjadi guru, waktu saya aktif di LKN.

Setelah menikah, saya memang tidak terlalu ikut campur dengan aktifitas suami.

Karena saya sendiri sibuk mengajar dan kegiatan di gereja. Tapi saya tahu kalau dia

salah satu redaksi surat kabar Mimbar Rakyat. Itu saja. Memang cukup sibuk

kegiatannya, bahkan terkadang pulang sampai larut malam.

Saya juga tidak pernah ikut kegiatan partai, karena memang saya sibuk juga. Di

Gereja, kebetulan saya pengurus kaum Ibu, juga aktif membantu-bantu kegiatan

Pemuda. Pokoknya saya bergiat apa saja, paling sering ikut paduan suara, dan pergi

ibadah.

Sekarang setiap minggu saya main keyboard untuk anak-anak sekolah minggu.

Biasa tiap hari Minggu sore. Yah saya bersyukur apa yang saya pelajari waktu masih

sekolah SGB dulu ternyata masih bisa dipakai di era teknologi modern sekarang ini.

Pada waktu di SGB ada pelajaran teori piano. Piano tidak seperti sekarang, piano

dulu tidak pakai electron, tidak pakai listrik, jadi mengandalkan kekuatan kaki

ketika bermain. Tapi yang terpenting sudah punya teori, pelajari kunci ini kunci itu,

perubahan nada apapun sudah bisa membedakannya.

Semua sekolah pada waktu itu sudah harus tahu teori main piano, SGB waktu itu

diharuskan belajar teori. Mentransformer dari nada apa itu disalin ke solmisasi apa,

murid sudah harus belajar. Dua mata mata pelajaran yang dulu saya suka adalah

bahasa Inggris dan seni suara. Walaupun suara tidak bagus yang penting teorinya

saya kuasai, mulai belajar mencari tahu apa itu nada C segala macam.

Itu makanya meskipun murahan saya beli keyboard untuk di rumah. Kalau saya

sudah mulai sumpek tidak ada pekerjaan, mau tidur tidak bisa, ya sudah saya main

dan menyanyi. Lagu yang biasa saya mainkan kalau tidak lagu-lagu rohani yah lagu-

lagu kebangsaan.

Ketika suami memutuskan untuk berhenti bekerja di pelabuhan dan menyampaikan

keinginannya untuk menjadi wartawan, saya sebagai istri memberikan support.

Karena saya pikir beliau juga pasti sudah memikirkan ke depannya mau seperti apa.

Hanya saja saya tidak pernah menyangka kalau di kemudian hari, jalan hidup kami

Page 186: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

186

menjadi sangat berliku dan perih. Sebagai akibat dari pekerjaan yang dipilih oleh

suami saya.

Satu bulan kemudian pecah peristiwa G 30 S di Jakarta, peristiwa yang mengubah

garis hidup saya dan keluarga. Pada waktu itu saya hanya mendengar berita di

Jakarta sudah gawat, gawat bagaimana saya juga tidak tahu. Karena memang suami

juga tidak banyak bercerita tentang situasi saat itu.

Suatu malam rumah kami dilempar dengan batu besar, untung kena di ruangan

sebelah. Bangunan yang kami tempati waktu itu kayu, barangkali karena kayu nya

sudah lapuk batunya bisa masuk. Mereka sasar di jendela kamar karena ada rupanya

yang mencari tahu di mana tempat tidur kami. Tapi Tuhan Maha Kasih, lemparan

tidak kena ke kami karena kami tidak di kamar tersebut. Besoknya saya lihat

memang masuk batu besar di jendela sebelah, merinding saya membayangkan kalau

sampai menimpa anak saya. Penyebab pelemparan, rupanya karena berita terkait

peristiwa.

Tetangga sebelah rumah saya, kaget mendengar ribut-ribut rumah saya dilempari

batu akhirnya meniggal mendadak. Karena beliau memang sudah menderita

penyakit jantung, dan kenyataannya rumahnya juga kena. Akhirnya kami

memutuskan untuk mengungsi sementara ke rumah keluarga di tempat lain hingga

keadaan normal kembali.

Kemudian pada tahun 1966, sudah mulai berlangsung demo mahasiswa anti PKI.

Barangkali ribuan mahasiswa dan pelajar di jalanan. Dan beberapa dari mereka

datang ke rumah untuk menangkap suami saya, dan dibawa ke markas CPM ( Corps

Polisi Militer) sementara waktu itu saya sedang hamil anak kedua. Yang sekarang

sudah menjadi bidan, kami beri nama Dian. Anak pertama waktu itu belum genap

berumur 2 tahun dan masih saya gendong-gendong.

Saya mengira bahwa saya tidak akan dibawa, sebab apa urusannya dengan saya.

Ternyata mereka perintahkan saya ikut ke kantor CPM. Waktu itu saya

kebingungan, tidak tahu mau berbuat apa.

Saya dikumpulkan menjadi satu dengan Ibu Mariam istri Abdurrahman Dg Maselo

Sekretaris I CDB (Comite Daerah Besar) Sulawesi Tengah. Kami dibawa ke Jalan

Page 187: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

187

Matahari, yakni kompleks perumahan Korem. Semua istri-istri yang suaminya

ditangkap, dikumpulkan di salah satu rumah perwira di sana.

Saya sudah lupa berapa lama ditahan di Matahari, terus ada petugas CPM datang

mengambil saya, dan setelah melaporkan ke CPM, ada seorang Bapak, saya lupa

nama dan pangkatnya, merasa prihatin dengan keadaan saya. ”Kami juga punya

rasa kemanusiaan Bu, jadi Ibu pulang saja” katanya. Kemudian saya diantar ke

rumah, tapi masih kena wajib lapor. Sejak saya ditangkap dan kembali ke rumah,

saya tidak lagi punya pekerjaan, otomatis saya tidak lagi terima gaji. Tidak punya

keterampilan apa-apa, rumahpun masih mengontrak.

Memang ada surat dari Kepala Sekolah, tempat saya mengajar sebelum saya

ditangkap. SDN 13 Palu, Pak Idin kalau tidak salah ingat nama beliau. Isi suratnya

menyatakan bahwa, sekolah mengharapkan saya bisa kembali mengajar. Karena

pada saat itu sudah musim ujian, saya biasa pegang kelas 6. Biasanya saya ajak anak-

anak les di rumah supaya kalau ujian nanti semua lulus.

Tapi karena status saya pada waktu itu sudah wajib lapor, tidak lagi bebas bergerak

akhirnya saya memutuskan untuk menolak. Saya juga tidak lagi bisa

menggantungkan nasib pada suami atau datang ke teman-temannya. Karena saya

pikir keadaan mereka tidak lebih baik dari saya. Saya harus mulai memikirkan

bagaimana mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhan anak dan saya yang

sedang hamil.

Dalam keadaan hamil 6 bulan, saya terpaksa bekerja apa saja yang saya bisa lakukan.

Satu hal yang saya hindari pada waktu itu, pergi meminta-minta. Yah, hanya tenaga

yang saya punya, saya tawarkan tenaga saja. Kalau mau berjualan saya tidak punya

apa-apa. Saya mulai dengan pergi ke tetangga yang saya rasa bisa saya tawarkan

tenaga. Satu persatu mereka saya datangi, menawarkan apakah ada pakaian yang

mau disterika atau ada yang mau dicuci.

Akhirnya mulai ada yang meminta dicucikan pakaian, sterika pakaian. Upahnya pun

tidak selalu uang, lebih banyak yang membayar dengan beras, tapi tidak apa

daripada tidak makan. Terkadang ada juga yang saya minta dibayar dengan uang,

kan saya juga mesti belanja.

Page 188: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

188

Setiap hari kena air sabun, membuat jari-jari kaki saya melekat satu sama lain.

Untung saja tetangga saya seorang suster, jadi saya tidak perlu ke dokter. Cukup

bertanya obat apa yang bisa menyembuhkan kaki saya, dia bilang “coba di kompres

pakai Rivanol”, syukur bisa sembuh. Jadi kalau saya kerja mencuci, saya harus

bungkus kaki pakai kantong plastik.

Hampir tiap hari saya datang membesuk suami kalau ada rejeki karena tempat

tinggal saya tidak jauh dari penjara di Maesa. Mengingat makanan di dalam tahanan

tidak mencukupi, jadi saya bawa ikan, dan sayur. Tuhan berkenan sampai saya bisa

kirim makanan untuk suami, meskipun harus kerja keras. Yah, sejak saya sudah

mulai bekerja, saya putuskan mengontrak rumah dekat dengan penjara di mana

suami ditahan.

Waktu membesuk suami saya berkenalan dengan seorang Ibu yang suaminya juga

ditahan, mereka dari Poso. Saya biasa panggil dia Mama Wati, suaminya bernama

Kuje Ali. Ternyata dia pandai membuat roti, dia bilang namanya roti balok. Lalu

saya minta diajarkan cara membuat roti itu, kalau sudah bisa saya mau jualan.

Akhirnya selama dia berada di Palu, saya undang dia datang ke rumah untuk

mengajari saya. Tidak lama kemudian dia harus pulang ke Poso, tapi saya sudah bisa

meskipun masih belum sempurna. Masih sering gagal alias bantat.

Saya mulai mencoba dengan adonan sebanyak setengah kilo, hasilnya masih kurang

bagus. Tapi untung pada waktu itu masih jarang orang jualan roti, jadi ada juga yang

membeli biar bantat. Lama-lama saya sudah mulai terbiasa, lalu saya tingkatkan

menjadi 1 kilo, dan terus meningkat jumlah maupun kualitasnya. Uang yang masuk

benar-benar saya hemat dan simpan. Produksi saya bertambah banyak terus sampai

masuk di 7-8 kilo. Karena tidak mampu mengaduknya sendiri, saya panggil teman.

Saya sewa teman untuk membuat adonan, sudah memakai 2 loyang untuk membuat.

Saya terus pikir-pikir lebih baik saya beli bak roti, saya mulai beli bak-bak yang

ukuran kira-kira 30 centi meter lah. Saya jual waktu itu, 100 perak dapat 3 roti.

Penjualannya saya kerjakan sendiri, jalan kaki nenteng keranjang ke tetangga-

tetangga, dan kenalan-kenalan. Hasilnya bisa buat membeli beras dan disimpan,

setelah membayar ongkos kerja teman yang membantu. Selain itu saya juga masih

mencuci dan menyetrika pakaian tetangga.

Page 189: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

189

Setiap malam saya baru bisa tidur sekitar jam 1 dinihari, saya harus mempersiapkan

pekerjaan untuk keesokan harinya, membuat adonan roti, agar bisa lebih

mengembang. Jam 4 pagi sudah bangun karena harus membakar adonan roti,

kemudian langsung dibawa keliling. Pulang dari berjualan, terus wajib lapor dulu

baru cepat-cepat pulang. Sesampai di rumah langsung mencuci dan menyetrika

pakaian orang.

Tempat melapor, seingat saya di kompleks pertokoan, ada jalan, jalan ini terus-terus,

ada yang ke sana ada yang ke sini. Saya sudah lupa, yang pasti namanya kantor

Puterpra. Kalau sekarang dekat Rumah Sakit, jalan Maluku situ.

Saya terlalu sibuk bekerja, hingga saya tidak memperhatikan kesehatan anak-anak.

Akhirnya saya harus menelan pil pahit akibat dari keteledoran, anak saya yang

pertama meninggal di usianya yang baru 2 tahun 7 bulan. Lina begitu kami

memanggilnya, karena tidak terurus dia kena cacingan. Saya sungguh menyesal,

kalau mengingat itu hati saya sakit.

Meskipun suami di tahan sejak tahun 1965 dan baru dibebaskan tahun 1978, tapi

pada masa itu dia masih bisa datang ke rumah untuk membantu pekerjaan saya. Dia

datang pagi-pagi sekali sebelum waktunya dia bekerja paksa. Selama masa itu pula

kami masih dikarunia anak 3 orang lagi. Itu juga yang membuat saya tetap semangat

meskipun saya harus kehilangan anak pertama.

Waktu saya keliling berjualan atau ke pasar anak-anak saya tinggal di rumah, taruh

di box saja tiga-tiga. Kebetulan ada tetangga dekat di situ yang mau saya titipi.

Waktu itu anak saya yang kelima belum lahir. Saya pesan tetangga kalau gempa

bumi atau kebakaran minta tolong lihat-lihat saya punya anak-anak. Padahal kalau

dipikir-pikir kalau ada gempa atau kebakaran mana mereka mau ingat anak-anak

saya, tapi Tuhan masih melindungi mereka.

Mungkin juga karena niat saya memang untuk mencari nafkah dan jangan sampai

meminta-minta sama orang meskipun keluarga juga tidak akan ada yang mau bantu,

maka kami selalu dalam keadaan selamat. Pernah saya pergi ke tante, karena saya

sudah tidak mampu beli sandal jepit. Saya lihat sandal jepit di rumahnya ada

beberapa, saya bilang “boleh saya minta sandal, saya tidak mampu mau beli”.

Mungkin karena takut dibilang bantu PKI, saya tidak dikasih.

Page 190: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

190

Setelah itu kira-kira tahun 70an, saya sudah ada sedikit simpanan, ada tetangga yang

perlu uang. Dia mau menggadaikan sepeda, dia bilang “tolong saya pinjam uang

sekian dulu, ini saya gadai sepeda. Nanti kalau saya ada uang di bulan berikutnya

saya bayar”. Saya pikir ini akan sangat berguna sekali untuk saya berjualan, saya

langsung setuju dan langsung saya kasih uangnya.

Karena sudah jatuh tempo perjanjian waktu awal gadai sepeda, dia tidak bisa ganti

uangnya. Akhirnya dia bilang “sudah untuk kamu saja sepedanya”. Karena sudah

pakai sepeda jualan keliling, roti yang bisa saya bawa setiap harinya menjadi lebih

banyak. Biasanya saya cuma bisa bawa satu keranjang roti sekarang bisa dua. Dan

akhirnya juga sudah banyak waktu yang bisa saya pergunakan untuk mengerjakan

yang lain, seperti mencuci dan setrika.

Sedikit demi sedikit saya bisa mengumpulkan uang, anak-anak juga lebih saya

perhatikan makanannya. Saya tidak mau kejadian anak pertama saya menimpa

anak-anak saya yang lain. Kemudian Opa di sebelah tempat saya mengontrak

(sekarang sudah meninggal) bilang kalau ada tanah yang mau dijual. Saya tanya

berapa harganya, dia bilang Rp.12.500 ukurannya 35 x 18 meter. Kebetulan uang

simpanan saya sudah cukup, saya langsung bayar tunai. Saya pikir biarlah tanah

kosong saja dulu, nanti kalau sudah ada rejeki lagi mulai dipikirkan bagaimana

membuat bangunan di sana.

Bapak yang dulu gadai sepeda ke saya juga ambil tanah di situ, tapi karena dia bisa

membuat rumah sendiri, ia sudah langsung buat pondok-pondok. Lalu setiap kali

saya berkeliling-keliling naik sepeda bawa roti karena langganan saya juga itu

Bapak, dia selalu tanya “Kapan kamu buat pondok-pondok di sini?”.

Saya bilang, “Tunggu dulu karena suami saya masih di penjara”. Jadi saya pikir

sudah waktunya saya punya rumah sendiri. Selama ini saya kontrak rumah di dekat

penjara. Jadi pikir-pikir lebih baik saya minta tolong suami, saya bilang saya mau

buat pondok. Saya lapor ke CPM, dibuatkan surat ijin ke luar sementara. Akhirnya

suami bisa membantu saya membuat pondok.

Ada orang Cina pemilik Marry Glow (sebuah gedung yang biasa disewakan untuk

acara-acara pesta), kami sama-sama aktif di Gereja suka bantu kita, ringan tangan

sekali. Meskipun dia tahu suami saya seorang tapol, dia tetap mau membantu. Dia

Page 191: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

191

bilang kalau ada bangunan dekat Marry Glow yang sudah tidak dipakai, luasnya

sekitar 4x5 meter. Itu pondok bekas pembantunya yang sekarang sudah kembali ke

Poso. Boleh dibongkar dan jadi bahan bangunan untuk pondok kami. Saya sangat

berterimakasih sekali atas kebaikannya.

Berdua kami membongkar bangunan itu, suami yang naik, saya yang

mengumpulkan di bawah. lagipula bangunannya juga masih sederhana. Ci Niu itu

memang malaikat buat saya, sampai sewa truk dia yang bayar. Tidak habis

terimakasih saya, teringat akan kebaikan hatinya, padahal saudara sendiri tidak ada

yang peduli.

Perlahan mulai kami bangun pondok sederhana dan kebetulan ada teman di dalam

penjara yang bantu dan diberi ijin keluar. Namanya Bapak Yusak tapi sekarang dia

sudah meninggal. Bangunan sudah selesai kamipun pindah dari tempat kontrakan.

Uangnya kan bisa buat ditabung untuk biaya anak-anak sekolah. Waktu itu seingat

saya Vivi anak keempat saya sudah masuk SD, tapi kan anak pertama sudah

meninggal jadi dia dianggap anak ketiga.

Saya masih melanjutkan bikin roti, tapi karena anak-anak sudah mulai besar mereka

bisa bantu untuk berjualan. Jadi mulai saya tambah bikin onde-onde. Mereka bertiga

menjunjung kue berjualan keliling. Kalau tidak begitu dari mana biaya untuk mereka

sekolah. Sementara saya tetap berjualan keliling naik sepeda. Malam harinya

kembali lagi membuat kue untuk dijual keesokan harinya. Karena terlalu keras

bekerja tanpa istirahat yang cukup akhirnya tubuh saya harus kalah dengan

penyakit liver.

Sebenarnya penyakit liver ini saya derita sejak saya hamil anak kelima, Susan. Jadi

saya harus minum obat, waktu dia lahir dokter bilang harus diperiksa kalau-kalau

ada pengaruh obat yang saya minum. Waktu saya hamil saya sempat dirawat,

dokter menyarankan saya harus istirahat. Saya pikir bagaimana saya bisa istirahat,

sementara saya harus menghidupi anak-anak, lagipula memangnya rumah sakit

tidak dibayar. Belum lagi yang baru lahir juga harus diberi susu, dari mana dapat

uang kalau saya tidak bekerja. Sementara Bapaknya baru bebas penuh tahun 1978.

Karena melihat saya sakit dan memang sudah tidak bisa terlalu capek lagi, ada

keluarga jauh tapi cukup kami kenal, tinggal di Manado mau mengadopsi Susan.

Page 192: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

192

Namanya Pak La’o tapi sekarang dia sudah meninggal. Kebetulan mereka tidak

punya anak, yah sebenarnya memang cuma itu alternatifnya. Akhirnya dengan berat

hati saya merelakan mereka mengadopsi.

Proses adopsi lewat Pengadilan. Tapi setelah dia masuk SMEA (Sekolah Menengah

Ekonomi Atas), dia tahu kalau orangtua kandungnya ada di Palu. Bapak angkatnya

terus mengantar ke Palu menjumpai kami. Dalam pertemuan kami, Papanya berkata;

“Ini Mamamu dan Papamu”. Saya sudah lega dan puas, akhirnya dia sudah tahu

siapa orangtua kandungnya.

Sesudah lulus SMEA dia datang ke Palu, dan tinggal bersama kami. Dia sempat

bekerja di sini, tapi kemudian kembali ke Manado.

Di Manado dia melanjutkan kuliah, dan bertemu calon suaminya di sana. Bukan

orang Manado tapi orang Poso yang kuliah di fakultas tehnik. Susan sendiri kuliah

jurusan ekonomi akutansi. Sampai akhirnya mereka memutuskan menikah dan

sekarang tinggal di Tarakan Kalimantan. Karena suaminya sudah menjadi PNS di

sana.

Akhirnya saya memang harus mengandalkan bantuan anak-anak. Jadi anak saya

yang sudah mulai besar-besar bawa cucian kalau saya tidak mampu lagi mencuci,

mereka bawa cucian ke Penjara. Nanti Bapaknya yang cuci di penjara, kalau sudah

mau dijemur baru diserahkan ke keluar. Pada waktu itu mantri di penjara ada

kebijaksanaan, jadi dia sudah tahu suami harus bantu keluarga. Untuk membesarkan

mereka itu tidak gampang memang, karena saya hanya sendiri.

Sempat beberapa kali Hari Natal saya bisa berkumpul dengan suami, karena ia dapat

izin ke luar penjara. Biasanya kami, jalan-jalan di seputar kota Palu dengan satu-

satunya pakaian yang tidak pernah berganti, dan anak-anak memakai baju seragam

sekolahnya.

Teman-temannya dari keluarga orang kaya kalau sama-sama pesiar di waktu Idul

Fitri atau Hari Natal, meneriaki anak-anak saya, ““Pesiar kok pakai baju seragam”.

Sesampai di rumah anak-anak mengeluh, “Mama mereka teriaki kita ini, pesiar

pakai baju seragam”.Saya juga cuma bisa menguatkan, saya bilang ke mereka,

“Sudah, yang penting sehat-sehat, kan kamu sudah makan kue sama orang, makan

Page 193: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

193

enak, tidak usah kamu pikirkan itu. Siapa tahu besok-besok kamu tidak lagi pakai

baju seragam kalau pesiar”.

Mau beli baju yang lebih bagus lagi, lebih baik baju tidak betul asal anakku makan.

Yang saya utamakan itu makannya anak-anak, pertumbuhannya mereka. Masih

kecil-kecil itu kan perlu gizi, jadi biar susah-susah mesti ada susu. Kalau mereka

sudah masa-masa sekolah saya usahakan selalu susu dulu baru pergi ke sekolah.

Pada tahun-tahun berikutnya kami mendapat kiriman berupa baju, dan sepatu, dari

keluarga dan juga teman-teman di Gereja. Saya anggap itu semua memang sudah

diatur Tuhan. Artinya Tuhan kasih beban sama kita tidak melewati batas

kemampuan.

Kami dianugerahi 5 orang anak, semuanya perempuan. Yang pertama lahir tahun 26

Agustus 1965, kami beri nama Lina. Sudah meninggal waktu usia 2 tahun 7 bulan.

Anak kedua lahir bulan Oktober tahun 1966, namanya Dian. Dia tamat SPK di

Mamboro, dia terus praktek di Budi Agung tidak lama kemudian SKnya keluar, SK

keluar terus ditempatkan di Palolo. Sudah menikah dan punya 3 orang anak. Waktu

dia sudah mulai dapat penghasilan, mulai bantu-bantu untuk bangun rumah ini. Beli

seng, pasang listrik.

Anak ketiga lahir tahun 1968, namanya Ita. Dia sempat ke Surabaya untuk sekolah

pendeta, dibiayai oleh gereja. Tamat di sana terus ditempatkan di Bondoyong

sebagai Pendeta di situ. Nah di situ dia ketemu jodoh sama-sama pendeta. Sekarang

mereka sudah punya anak 3 orang, 1 laki-laki 2 perempuan. Anaknya yang laki-laki

sudah meninggal, tinggal dua orang yang perempuan.

Anak ke empat lahir tahun 1971 namanya Vivi, sudah menikah dan tinggal di Berau

Kalimantan punya 1 orang anak laki-laki. Setamat SMA dia bekerja di toko komputer

di Palu. Setelah berapa lama dia bekerja, dia tertarik ke Balikpapan, dan ikut

keluarga di sana. Ada saudara saya yang tinggal di sana, kemudian ia diterima

bekerja di Rumah Sakit Restu Ibu. Berapa lama dia di Restu Ibu terus ketemu jodoh

orang Toraja, seorang guru, kemudian mereka menikah.

Anak kelima lahir tahun 1975, sudah menikah sekarang tinggal di Tarakan

Kalimantan punya anak satu.

Page 194: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

194

Waktu dia lahir, saya pergi sendiri ke rumah sakit di Jalan Hasanuddin. Sewaktu

mau pulang, pegawai Rumah Sakit bertanya, “Suami kerja apa?”

Saya bilang , “di penjara”.

Mereka langsung jawab, “Oh pulang saja Bu”.

Jadi meskipun suami di penjara, tapi karena masih bisa keluar dan mengunjungi

saya kalau lagi ada kerja di luar. Kami masih bisa punya anak. Waktu itu suami kan

sedang mengerjakan kali Palu, kerja paksa. Setelah itu dia cepat-cepat pulang bantu

di rumah setelah mendapat izin dari petugas. Kalau dia menginap, maka dia

berangkat lebih dulu, sebelum waktu bekerja dimulai.

Sekarang dari anak-anak kami sudah punya 7 orang cucu, bahkan sudah ada yang

menikah. Jadi kami sudah punya cicit. Sekarang memang saya sudah merasakan

hasil dari semua jerih payah dulu. Anak-anak semua sudah menikah dan sudah bisa

menghidupi keluarga mereka. Bahkan secara bergantian mereka memperhatikan

kami orangtuanya. Kalau yang Bidan itu pulang, sengaja dia kasih tinggal alat tensi

meter. Sebelumnya dia sudah kasih tahu bagaimana cari tahu tekanan, sama adiknya

Ita. Jadi kalau Opa sudah mulai rasa tidak enak, langsung ditensi. Kalau sudah mulai

naik tekanan darahnya, kalau pas Dian itu pulang dia bawa obat tapi kalau tidak dia

suruh beli obat yang ini, ini.

Pernah terpikir apakah saya menyesal menjalani semua ini...? Siapa mau punya

suami ditahan, tapi semua sudah terjadi. Hadapi saja hidup ini, yang penting prinsip

saya mampu membesarkan anak, itu saja. Dan kita masih bisa hidup berdua sampai

sekarang.

Suami Poppy mengisahkan:

Nama saya Marten Piai suami dari seorang perempuan hebat bernama Estefin P

Manarisip, biasa dipanggil Poppy. Berkat dia, semua anak-anakku menjadi anak-

anak yang berhasil meskipun dia lakukan seorang diri. Karena saya tidak berdaya

dalam penjara, dengan status tahanan politik. Di kerohanian, saya ganti nama jadi

Marten Nayoan fam yang saya ambil dari ibu. Ya sebenarnya saya juga berasal dari

Utara, hanya saja saya sudah berada di Sulawesi Tengah sejak tahun 1957.

Page 195: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

195

Awal perkenalan dengan partai ketika saya bertemu dengan seorang laki-laki yang

bernama Ruswanto, yang ternyata seorang pemimpin surat kabar dan juga salah

satu pimpinan Partai Komunis Indonesia. Kami bertemu di Pelabuhan tempat saya

bekerja di Duane, Pabean (bea cukai). Dia tidak pernah mengajak saya untuk

bergabung masuk partai. Dia hanya memberikan pandangan-pandangan yang

menurut saya masuk akal. Sehingga ketika saya menyatakan kesediaanku untuk

dikaderisasi itu atas dasar kesadaran, bukan karena paksaan. Sekitar tiga atau empat

kali saya bertemu dia, sejak awal bertemu memang saya sudah suka dengan cara dia

membawa diri.

Tahun 1964 saya ditugaskan membentuk Serikat Buruh Pelabuhan Pelayaran (SBPP)

di Donggala, dan saya langsung menjadi ketua. Waktu itu baru terbentuk Provinsi

Sulawesi Tengah, jadi masih mudah membentuk organisasi. Sebenarnya para

anggotanya memang belum atau tidak mengetahu kalau SBPP adalah underbow PKI.

Anggotanya itu banyak yang dari Boneoge seperti Lasuci, Lakace, mereka memang

buruh di pelabuhan. Waktu itu juga kita harus bersaing dengan BPI (Buruh

Pelabuhan Islam). serikat buruh dari partai Masyumi, yang ketuanya Daud

Ladudin.

Baru terbentuk sudah lumayan banyak anggotanya sekitar 200-300 orang, dari 500

buruh yang ada di pelabuhan. Mereka berasal dari Donggala dan sekitarnya.

Program yang kami tawarkan pada waktu itu terutama kesejahteraan buruh, dapat

kenaikan upah bongkar muat dan sebagainya. Pertama kami bentuk dewan

pengurus, tapi tetap mereka tidak tahu apa SBPP ini.

Setelah PKI membikin kegiatan di Palu, baru tertulis di spanduk bahwa Gerwani,

Pemuda Rakyat, SBPP, adalah undewbow PKI,. Tapi walaupun mereka sudah tahu,

kenyataannya mereka tidak mau keluar dari SBPP. Karena kuncinya, mereka sudah

merasakan manfaat masuk SBPP, seperti dapat makan karena bekerja di bawah

SBPP. Jadi mereka sudah merasa terikat. Tidak ada larangan untuk keluar dari SBPP.

Lama kelamaan akhirnya mereka dikader untuk membangun partai dan mengajak

kawan yang lain.

Page 196: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

196

Tahun 1965 awal, saya pindah ke Palu dan memutuskan berhenti bekerja di

Pelabuhan. Akhirnya saya fokus mengelola koran yang dipimpin oleh Ruswanto.

Nama korannya Mimbar Rakyat dari PKI. Waktu itu tidak hanya ada koran kami,

tetapi ada juga korannya Rusdi Toana, mereka dari HMI, dan dua koran lainnya

yang namanya saya sudah lupa. Koran kami mengusung berita-berita pro rakyat,

yang sangat ideologis, tapi kami sangat hati-hati dalam mengemas, agar jangan

sampai pihak lawan ada yang tersinggung. Kami hanya mau koran ini bisa diterima

semua kalangan. Kami punya semboyan berusaha memperkecil lawan dan

memperbanyak kawan. Strategi ini berhasil lewat koran Mimbar Rakyat itu.

Pokoknya koran itu sangat ditunggu-tunggu terbitannya. Pertama hanya terbit 3 hari

sekali. Koran itu , kemudian baru distensil, hanya 4 lembar bolak balik. Teknologi

masih sangat sederhana waktu itu.

Pengelola Mimbar Rakyat terdiri dari beberapa orang. Ruswanto sebagai pemimpin

redaksi anggotanya saya, Imran Torar, dan Aminudin Lajamana. Ruswanto juga

yang bertanggungjawab terhadap editorial, sebelum naik cetak kita selalu diskusi

tentang isi berita. Biasa walau sudah siap cetak Ruswanto memberi usulan

perubahan, biasanya kami langsung menerimanya karena idenya bagus. Koran kami

ini menyasar masyarakat lapisan bawah, yah BTI, Gerwani, Pemuda Rakyat,

pokoknya rakyat bawah.

Kalau sudah hari cetak, sudah ramai orang datang di kantor redaksi kami di Lolu,

masih rumah tinggal di situ dulu. Koran itu tidak dijual, didistribusikan langsung ke

bawah oleh organisasi-organisasi PKI, yaitu BTI, Pemuda Rakyat dll. Koran ini

hidup juga dari sumbangan anggota partai yang mengumpulkan iuran. Ada juga

iklan, seperti iklan sepeda, atau ucapan selamat kalau ada pejabat yang dilantik.

Pak Ruswanto itu orangnya sangat hebat, dia tinggi kurus kulit hitam. Dia

ditempatkan di mana saja bisa, sangat cerdas, pokoknya dia itu orang hebat. Dia juga

wartawan kantor berita Antara yang ditunjuk langsung dari pusat. Setiap hari dia

menyiapkan berita untuk media Antara di pusat tapi juga memimpin kami di

Mimbar Rakyat. Belum lagi dia sebagai anggota Dewan yang juga sangat berperan di

Kantor Gubernur. Ide-idenya sangat didengar dan diterima oleh semua orang di

Page 197: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

197

Gubernuran, seperti ide tentang pemajuan propinsi, karena waktu itu propnsi

Sulawesi Tengah baru terbentuk, seteah berpisah dari Manado. Di partai Ruswanto

juga berperan untuk menentukan/mengusulkan siapa kader partai yang akan

dikirim ke luar daerah untuk mengikuti sekolah partai. Melakukan promosi kemana-

mana, dikirim belajar ke pusat, sampai ke luar negeri.

Selain Ruswanto ada beberapa pimpinan PKI yang saya kenal seperti Abd. Rahman

Maselo sekretaris pertama CDB (Comite Daerah Besar) Sulawesi Tengah.

Sunaryo dari Pemuda Rakyat, Zamrud pemimpin CR(Comite Resort) Donggala. Ke

empat orang inilah yang akhirnya dinyatakan hilang setelah peristiwa G 30 S tahun

1965.

Saya ingat waktu pertama menyampaikan keputusan berhenti bekerja karena saya

mau menjadi seorang wartawan dan membantu mengelola koran Mimbar Rakyat.

Dia itu tidak macam-macam, nurut saja. Waktu saya bilang kalau pekerjaanku ini

juga tidak jelas pendapatannya. Karena memang kami tidak digaji secara tetap, ya

kalau ada yang pasang iklan dapat uang. Karena korannya juga korang gratis.

Karena kita punya ideologi kuat, apa saja kita kerjakan. Asik memang bikin begini

begitu segala macam biasanya sampe jam dua tengah malam, besok dipikir lagi apa

yang harus dibuat, jadi praktis keseluruhan hidup kita serahkan disitu.

Yah ketika pecah peristiwa itu, kami semua ditangkap. Termasuk juga para buruh

yang tergabung dalam SBPP. Saya ditangkap tahun 1966, dibebaskan tahun 1978.

Duabelas (12) tahun saya dipenjara, dan selama itu istri dan anak-anakku harus

berjuang sendiri memenuhi semua kebutuhan mereka. Bahkan istriku masih juga

harus memikirkan makanku di dalam tahanan.

Saya ditangkap di rumah, di Maesa. Mahasiswa dan ratusan massa yang dipimpin

Rusdi Toana, saingan kami dalam mengelola koran. Kemudian dibawa ke Korem,

tidak ada penyiksaan hingga tahun 68, baru ada tim yang datang mengintrogasi dan

menyiksa. Istri saya juga dibawa tapi tidak ke Korem. Dia dibawa ke Jalan Matahari.

Ketika terjadi peristiwa itu, sebenarnya kami semua sama sekali tidak tahu apa

sebenarnya yang terjadi, sesudah rame, pada tgl 5 Oktober 65, baru kami mengerti.

Page 198: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

198

Tapi memang sejak itu Mimbar Rakyat sudah tidak terbit, karena memang sudah

kacau juga keadaannya. Kami juga tidak sempat lagi mengadakan pertemuan,

pokoknya sesudah peristiwa terjadi praktis sudah bungkam.

Sementara Ruswanto masih berkonsolidasi ke sana ke mari, pergi ke kantor Antara,

karena dia harus mengirim berita. Maselo juga seperti itu, masih belum mengatakan

apa-apa. Pokoknya kami semua bingung apa sebenarnya yang terjadi ini. Semua

bertanya-tanya tanpa ada pemberitahuan apapun dari pusat.

Sebenarnya sedikitpun saya tidak ada bayangan kalau mau ditangkap, karena

memang terbukti baru setelah 6 bulan terjadi peristiwa, baru ditangkap. Walaupun

memang sudah ada juga yang ditangkap satu bulan setelah kejadian.

Banyak peristiwa saat itu yang sudah saya lupa, hanya beberapa bagian saja yang

masih saya ingat. Karena memang usia yang sudah lanjut ini. Yang terpenting

sekarang saya sudah bisa berkumpul dengan keluarga saya dan anak-anakku yang

sangat memperhatikan kesehatan kami. Bukan berarti peristiwa itu tidak berbekas

dalam perjalanan hidupku tapi kupikir penderitaanku tidak seberat penderitaan istri

dan anak-anakku.**

Pewawancara: Anita Taurisia

Penulis: Nurhasanah.

Rafin Pariuwa

Kisah Panjang Kerjapaksa

“Saya itu pernah disetrum sampai pingsan, dipukuli, ditelanjangi, pernah juga

ditinju oleh polisi yang dijarinya ada cincin, sampai sekarang masih ada bekasnya di pelipis

saya ini. Saya sangat berharap sampai kapanpun apa yang saya alami tidak pernah terjadi

lagi”

Saya lahir tanggal 20 Januari 1938, di Kelurahan Kayumalue Pajeko, Kecamatan Tawaeli

Kota Palu Propinsi Sulawesi Tengah. Dulunya kelurahan ini masih berbentuk desa dan

Page 199: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

199

menjadi wilayah Kabupaten Donggala. Saya lahir dari hasil pernikahan Pariuwa dengan

Ba’diah. Saya bersaudara sebanyak 6 orang.

Saya adalah anak ke dua dari 6 bersaudara. Kakak pertama saya namanya Alibaba sekarang

masih hidup tinggal di Kayumalue Ngapa punya anak 4 orang, sudah meninggal satu orang.

Saat kejadian itu, dia juga ikut wajib lapor. Tapi dia tidak wajib lapor di Koramil setempat,

melainkan di Kodim Palu. Setiap hari pergi melapor naik sepeda yang jaraknya sekitar 20 an

KM.

Anak ketiga bernama La adu (Alm) punya anak tiga dua perempuan satu laki-laki. Anak

yang ke empat namanya Lato, dia juga dipenjara sama seperti saya. Hanya lebih cepat bebas,

sekitar 4 bulan saja dia ditahan. Sekarang masih hidup punya 7 orang anak, dua laki-laki

dan lima perempuan. Anak yang ke lima namanya Amir punya tiga orang anak, semuanya

laki-laki. Dan yang terakhir Darsono (alm) punya 4 orang anak, tiga laki-laki dan satu

perempuan. Semua keluargaku wajib lapor di Koramil setempat, kecuali kakak yang

pertama.

Ditangkap

Saya sekolah di Sekolah Rakyat I (SR) Tawaeli di desa Baiya. Masuk tahun 1949 tamat tahun

1955. Setiap hari berjalan kaki sejauh 3 km, untuk bisa sampai ke sekolah. Saat itu jembatan

yang menghubungkan desa Kayumalue dengan kelurahan Lambara belum jadi. Saya

bersama murid yang lain berpegangan tangan menyeberangi sungai yang cukup deras

arusnya. Kurang lebih 50 an orang berjalan bersama dengan kawan lainnya mulai yang dari

desa Mamboro dan Taipa. Saat hujan deras tidak ada yang berani menyeberang sendiri.

Setelah tamat SR, saya melanjutkan ke Sekolah Guru Bawah (SGB) Negeri Donggala di

Donggala selama 4 tahun. Setelah tamat langsung diangkat menjadi guru di SDN Bale,

Kecamatan Tawaeli tidak jauh dari desa asal saya. Waktu itu saya langsung mendapat SK

dari Pemerintah untuk mengajar. Saat masih sekolah di SGB saya sudah menikah dengan

Hanafiah dari desa saya sendiri pada tahun 1958.

Setelah dua tahun menikah, lahir (dikaruniai) anak pertama tahun 1960 yang kami beri nama

Karmawan. Kemudian anak yang kedua lahir tahun 1962 bernama Ardan. Bersamaan

dengan lahirnya anak kedua, saya masuk Organisasi Pemuda Rakyat (OPR) namanya. Saya

mengenal Organisasi ini dari seorang guru bernama Abdul Rahman Dg. Maselo. Program

yang dijalankan organisasi inilah yang membuat saya jatuh hati. Programnya antara lain

Page 200: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

200

memperjuangkan nasib petani, anti kolonialisme, dan anti imperialisme. Dukungan dari istri

pun turut menyemangati. Tahun 1964 lahir anak ketiga, Darusman.

Belum lama mengajar sebagai guru, dan belum lagi banyak yang dilakukan dalam

organisasi, tragedi G30S pecah di Jakarta. Saya ditangkap dengan tuduhan terlibat dengan

peristiwa yang menewaskan beberapa orang jenderal di Jakarta. Ditambah lagi dengan

keaktifan saya di organisasi pemuda rakyat, serta profesi saya yang juga sebagai guru.

Malam hari tanggal 12 November 1965 saya didatangi oleh beberapa orang polisi yang

dipimpin oleh Umar Said di rumah mertua tempat saya tinggal bersama istri. Saya langsung

dibawa ke penjara Maesa Palu. Satu truk penuh orang yang ditangkap bersama saya saat itu.

Mereka ditangkap di Labuan, Tawaeli, Toaya dan beberapa daerah lainnya.

Sampai di penjara Maesa, kami diturunkan satu-satu lalu dipukuli oleh tentara. Kemudian

dimasukkan ke dalam ruangan tahanan. Dalam satu ruangan kami sekitar 80 orang. Hari-

hari berikutnya kami terus mendapat siksaan, dipukuli lagi sama-sama dengan orang yang

baru dimasukkan di penjara.

Sekitar bulan Februari tahun 1966, semua orang yang ditangkap mulai diperiksa dan

dipaksa mengaku terlibat dan mengetahui kejadian yang terjadi di Jakarta itu. Tidak ada

yang luput satu orangpun dari pemeriksaan dan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat.

Dipukuli, ditendang, ditinju, bahkan saya sampai ditelanjangi dan disetrum. Pernah sekali

waktu saya bersama dengan dua kawan dikeluarkan dari penjara untuk diperiksa di Korem

dalam keadaan belum makan sedikitpun. Dari jam setengah 6 sore baru dikembalikan jam 4

subuh. Di sana saya dipaksa untuk mengakui bahwa saya benar tahu dan terlibat dengan

peristiwa di Jakarta tersebut. Muka aya menjadi sasaran empuk tinju si pemeriksa yang

sampai saat ini meninggalkan luka di pelipis kanan. Dalam penyiksaan yang tertutup itu

saya dipisahkan di ruangan yang berbeda dengan dua kawan lainnya. Saya sampai pingsan

karena fisik sudah tidak sanggup lagi menahan siksaan disetrum. Apa yang terjadi dengan

kedua kawan lainnya tidak jauh berbeda. Pada tahun yang sama lahir anak saya yang ke

empat, diberi nama Gestina.

Kerja Paksa

Semua tahanan dikerja paksakan sejak tahun 1966. Pertama-tama di Komando Kali Palu

(KKP). Pekerjaan kami membendung Kali Palu yang biasanya kalau banjir besar airnya

Page 201: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

201

meluap dan masuk ke kampung-kampung di sekitarnya, yaitu Kampung Kalikoa, Kampung

Baru dan Kampung Lere. Pekerjaan ini kami kerjakan dari tahun 1966 sampai tahun 1967.

Kami bekerja mulai jam 8 pagi sampai jam 5 sore, dengan jatah makan satu kali. Kami sangat

tersiksa di sana, semua bahan-bahan yang digunakan untuk membendung sungai Palu itu

kami sendiri yang disuruh mengambil. Mulai dari patok, batu dan rotan. Sungai itu dalam

dan deras sekali airnya. Memasukkan batu ke dalam bronjong babi (bronjong yang dibuat

dari rotan sebagai landasan awal) kami hanya menggunakan tali untuk berpegangan

menyeberangi sungai. Pernah seorang teman hanyut di situ, beruntung bisa diselamatkan.

Selesai bekerja kami dikembalikan lagi ke penjara

Kemudian sesudah itu saya dipekerjakan di Mess Perwira Korem 132 Tadulako yang

bertempat di Jalan Persimpangan Jalan Hasanuddin dengan Jalan Mawar bersama teman

yang bernama Jibran dari Toaya. Pekerjaan kami pada waktu itu melayani tamu-tamu dan

menimba air untuk kebutuhan mandi para tamu. Hanya berhenti untuk makan saja, terus

bekerja lagi. Kalau tamu sedang banyak, untuk berhenti makanpun tidak bisa. Kerjapaksa di

Mess Korem ini kurang lebih selama 3 tahun.

Seterusnya kami dipekerjakan di kampung, ayak-ayak pasir di Kali Labuan Beru Kelurahan

Mamboro, atas arahan Komandan Sormin dan pengawasnya pak Rukiman dari CPM (Corps

Polisi Militer). Sekitar 30 an orang yang bekerja di tempat ini. Pasir ini digunakan untuk

pembangunan berbagai gedung pemerintah dan kantor tentara dan polisi. Selanjutnya saya

dikembalikan lagi ke Palu, dan dipekerjakan lagi di Asrama Korem Tanamodindi. Pada

waktu itu saya disuruh tinggal di rumah Kapten Aritonang dari Kodim, sebagai pembantu

rumah tangganya, mencuci pakaian seluruh anggota keluarganya. Kemudian kalau ada

waktu senggang, saya disuruh mengajar anak-anaknya. Mulai dari mengajar membaca dan

pengenalan huruf sampai berhitung. Kadang-kadang keadaan ini saya gunakan juga untuk

istirahat dari pekerjaan berat. Karena kalau tidak mengajar mereka, saya pasti menimba air

dan melayani tamu sepanjang hari. Setelah beberapa lama di rumah Kapten Aritonang, saya

dipindahkan ke rumah Kapten Saproni di Korem. Selama dua tahun lebih di situ membantu

mengisi bak dan mencuci pakaian keluarga.

Saat bekerja mengayak pasir di Kali Labuan Beru (Kelurahan Mamboro) saya dan kawan-

kawan lainnya tinggal di sebuah tempat semacam barak kecil. Kesempatan ini selalu mereka

gunakan untuk bisa menjenguk keluarga. Namun untuk kawan-kawan lainnya yang

Page 202: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

202

rumahnya agak jauh dari tempat mereka bekerja, terpaksa harus tinggal di barak saja. Saat

di awal saya masuk penjara, hanya sesekali istri datang menjenguk. Itupun bila ada

kesempatan, karena istri juga harus wajib lapor setiap hari ke Koramil Tawaeli. Istri saya

bebas wajib lapor tahun 1982 bersama ibu mertua dan semua keluarga. Tapi Bapak saya

wajib lapor di Kodim Palu, selama 11 bulan bersama-sama dengan saudara saya Alibaba

yang pernah dipukul pada saat wajib lapor sehingga sampai sekarang tidak bisa mendengar.

Bapak saya dipukul karena menjadi ketua pembangunan masjidnya PKI yang sekarang

bernama Masjid Nurhidayah Kayumalue Ngapa. Dulu Masjid itu tidak bisa diresmikan

karena semua orang menganggap itu adalah Masjid yang dibangun oleh PKI. Walaupun

Bapak saya tidak tahu apa-apa, harus juga juga wajib lapor. Satu adik saya juga ditahan.

Tahun 1972 lahir anak saya yang ke lima, diberi nama Rosni. Saya dan istri sangat bahagia

karena ada kesempatan di sela kerja paksa dan wajib lapor untuk bertemu.

Sekitar tahun 1974 saya dengan beberapa orang lainnya dikirim lagi ke Kebun Kopi. Di sana

kami bekerja memperbaiki jembatan yang rusak, menggali got (Saluran Air) serta

mengangkut tanah longsoran yang menutupi jalan. Di sana hanya tiga bulan, lalu

ditempatkan di desa Taipa untuk membuat bagang (alat untuk menangkap ikan) yang

bahannya dari bambu yang kami ambil sendiri di atas gunung Kayumalue sampai desa

Guntarano. Pada tahun 1975 saya dipindahkan ke mess Torayaku, tempatnya Kamandan

Sapu Jagad yang bernama Letnan Kolonel Pric Montolagu. Komandan Sapu Jagad bertugas

melakukan penangkapan PKI gaya baru. Saya disuruh melayani tamu-tamu termasuk

mengurus makanan, pakaian dan pergi belanja ke pasar.

Kemudian tahun 1978 saya dipindahkan ke Inrehab Merara Mputih di Rantekala. Di sana

dikurung saja sekitar 4 bulan, lalu dikembalikan ke penjara lagi. Akhir tahun 1978 saya

dipindahkan di POM CPM Palu, bekerja di situ pada Kapten Saproni kira-kira 3 bulan.

Terakhir saya diambil oleh kepala bagian satu Korem, saya lupa namanya. Saya tinggal sama

dia sampai saya bebas tanggal 05 Desember 1979 dan kembali ke masyarakat. Kalau

dihitung masa penahanan saya berlangsung selama 14 tahun.

Bebas dari Penjara, Susah Mencari Pekerjaan.

Setelah bebas dari penjara timbul kesulitan mencari pekerjaan. Satu hal yang menolong saya

adalah karena saya pernah menjadi guru, hingga banyak dikenal orang. Karena semua surat-

surat yang menyangkut pengangkatan sebagai guru dan dokumen lain yang penting

Page 203: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

203

dirampas waktu saya ditangkap kemudian dibakar, menutup peluang saya untuk bisa

kembali menjadi guru. Akhirnya saya bekerja di perusahaan kakak, tugas saya memilah-

milah rotan berdasarkan jenisnya. Dari pekerjaan inilah saya dapat uang untuk menghidupi

keluarga.

Tahun 1981 saya bertemu dengan seorang anak dari Moutong, namanya Malik. Dia datang

ke rumah bertepatan dengan penggalian barang antik (benda purbakala) di Kayumalue yang

lokasinya dari atas gunung sampai di kampung. Malik ini bekerja mengurusi barang-barang

antik bersama dengan bosnya.

Kemudian bosnya ini mengajarkan saya mengenali barang antik yang mahal sekalian

dengan harga-harganya. Dua malam saya diajar sambil menunjukan beberapa barang yang

sudah di belinya. Kemudian dia (Si Bos) menyuruh saya membeli barang-barang antik yang

ditemukan dalam penggalian tersebut.

Saya sudah pernah melihat piring-piring dan mangkok hasil galian orang-orang itu. Setelah

pandai melihat barang mahal dan murah, mulailah saya membeli barang-barang itu dengan

modal sebanyak 2 Juta Rupiah yang dikasi oleh bos itu. Saya kumpulkan barang itu di

rumah. Bukan hanya barang yang ada di Kayumalue dan sekitarnya yang datang, tapi

barang antik dari tempat yang jauh seperti dari Desa Moutong djual ke saya.

Pernah satu kali kebetulan tidak jauh dari rumah saya ada anak-anak mendapat

piring waktu mereka menggali. Piring itu dijual dengan harga 400.000 rupiah,

padahal itu piring mahal. Ketika saya serahkan kepada Bos, dia peluk saya erat-erat

dan mengatakan kalau di Jakarta piring-piring itu bisa berharga 20 juta Rupiah. Sejak

itu saya menjadi pembeli barang antik.

Saya diajak ke Jakarta oleh Bos, ternyata Bos ini adalah anak seorang Jendral yang juga

menjadi korban Orbe Baru karena termasuk dalam Petisi 50. Boslah yang menceritakan hal

itu kepada saya. Pada waktu saya masih di Jakarta bos bilang ke saya ,” pak Guru tidak usah

kembali, pergi ambil keluarga saja bawa kesini. Ini rumah baru dan besar, ada 8 kamarnya.

Rumah ini kepunyaan anak saya yang ada di Kalimantan tapi karena dia sudah pimpinan

perusahaan besar di sana, rumah ini saya berikan ke kamu”. Saya jawab niat baik dia, “Pak,

anak-anak saya masih sekolah”.

Page 204: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

204

Kemudian dia bilang lagi ke saya, “Sudah bawa kemari itu anak-anak”.

Tapi akhirnya saya tetap memutuskan untuk pulang dan tinggal di Kayumalue, karena saya

sudah punya pondok kecil waktu itu yang saya tinggali bersama keluarga. Tidak berapa

lama saya kembali dari Jakarta, dia datang ke rumah untuk memberikan uang dari

keuntungan menjual barang antik. “Pak Guru, bikin tempat tinggal (bangun rumah), biar

ada yang jadi bukti hasil pekerjaan pak guru.” begitu dia bilang.

Dengan uang itu kemudian saya bisa membangun rumah yang lebih baik. Ini semua

mungkin sudah rejeki yang diberikan oleh Allah kepada saya. Mungkin karena saya baik

kepada sesama manusia. Di kampung itu orang sering bilang pak guru itu baik, tidak ada

dia baku salah di kampung (tidak suka berselisih paham dengan orang).

Sejak tahun 1987, saya kembali bekerja di perusahaan rotan tapi bukan milik kakak saya.

Awalnya seorang kerabat bernama Edward Wiyanto datang ke saya menanyakan lokasi

yang baik untuk membangun sebuah pabrik rotan. Pak Edward ini masih kerabat karena

menikah dengan sepupu saya. Kebetulan di depan rumah saya yang sekarang ini, ada tanah

milik istri. Saya ceritakan itu ke dia, lalu dia bilang “pak guru bantu saya untuk mengurusi

ini”.

Hal ini kemudian saya diskusikan dengan istri dan keluarga lainnya, akhirnya tanah itu

sepakat kami jual. Setelah tanah itu dibeli, langsung didirikan perusahaan rotan yang diberi

nama CV Kencana Sakti Rotan. Saat sudah terbangun dan perusahaan mulai aktif saya

diminta untuk tinggal di perusahaan itu untuk menjadi penjaganya. Sekarang sudah pindah

di Kayumalue jurusan ke desa Guntarano.

Beberapa pekerjaan saya lakukan selama bekerja di perusahaan ini. Mungkin karena saya

dipercaya oleh pemilik perusahaan, saya juga ditunjuk menjadi juru bayar gaji karyawan.

Gaji saya terhitung lumayan karena di samping gaji resmi, ada juga uang yang diberikan

oleh bos. Menurut bos saya, dia bisa jadi kaya karena saya menemaninya. Sampai sekarang

pak Edward itu selalu datang jenguk saya dan menanyakan bagaimana kesehatan saya.

Alhamdulillah anak-anak saya bisa juga sekolah dengan biaya saya sendiri dan membangun

rumah tempat kami tinggal sekarang ini.

Saat kembali bekerja dan berbaur dengan masyarakat luas, stigma PKI tidak terlalu berasa di

lingkungan saya. Mungkin salah satu faktornya karena mayoritas masyarakat Kayumalue

Page 205: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

205

saat itu hampir semua kena wajib lapor. Jadi tidak ada bahasa sindir-sindiran yang terjadi,

sama-sama senasib semua.

Sekarang ini saya tinggal bersama istri ditemani oleh dua orang anak laki-laki yang belum

menikah dan anak ketiga bersama istri dan tiga orang anaknya Anak saya yang pertama dan

keempat sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Anak yang terakhir Rosni

sekarang sudah tinggal di rumah sendiri bersama suami dan keempat orang anaknya. Rosni

adalah Guru di SDN Labuan, Ardan bekerja di perusahaan Tripleks dekat rumah mereka,

dan Darusman bekerja di Kantor Kelurahan Kayumalue Pajeko.

Di usia saya yang sekarang ini dengan fisik yang tidak bugar lagi, kebahagiaan saya

hanyalah bisa berkumpul dengan anak dan cucu-cucu yang masih kecil-kecil. Yang paling

tua sekarang sudah kuliah di Universitas Tadulako dan sementara menyelesaikan KKN nya.

Sesekali saya juga masih bisa membersihkan halaman depan dan belakang rumah,

mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh.

Saat ini saya juga sudah tidak mendengar ada orang seperti dulu suka bilang: “jangan

bergaul dengan dia, dia itu terlibat, PKI” atau teriakkan “dasar PKI”. Semua itu sudah

semakin redup. Mungkin saat ini masyarakat akhirnya sudah mulai paham dengan apa

yang terjadi dan menimpa orang-orang seperti kami ini. Semoga pemerintah juga sudah

sadar atas apa yang pernah dilakukannya kepada kami. Saya tidak habis membayangkan

sampai saat ini, semua keluargaku tidak ada yang luput dari jeratan kejadian itu. Terlebih

jika saya ingat penderitaan luar biasa yang dialami dan ditanggung istri selama 14 tahun

saya dipenjara. Menjadi tulang punggung keluarga dan membesarkan anak-anak sendirian.

“Semoga kejadian yang terjadi atas diri saya dan keluarga saya ini tidak terjadi lagi dan

tidak menimpa orang lain. Cukup kami saja, jangan sampai ke anak cucu kami lagi.” ***

Pewawancara dan penulis: Mohammad Abbas.

Page 206: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

206

Windra

Berjuang Melawan Beban Sejarah

Tuhan memang tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan umatnya, aku

tahu itu. Tapi terkadang nalarku tidak bisa menerimanya, sehingga pernah satu kali aku

ingin bunuh diri. Mungkin apa yang kualami tidak seberat yang dialami oleh orang lain,

tapi buatku ini sudah sangat berat kurasakan.

Aku memang bukan siapa-siapa, aku hanya seorang perempuan desa jauh di pelosok hiruk

pikuk kota apalagi Ibu Kota negara tercinta ini. Tapi nasibku ternyata ditentukan oleh satu

kejadian yang menggemparkan, di sana. Peristiwa itupun terjadi sebelum aku lahir tapi

kelak karena itu, aku harus hidup dengan membawa dosa tujuh turunan.

Aku lahir dan besar di Solowe, sebuah desa kecil di Kecamatan Dolo Selatan Kab. Donggala

Sulawesi Tengah. Tepatnya tgl 6 Juni 1971. Kakek dari Mamaku adalah PKI, Kakak Mama

juga PKI. Sementara Papaku di PKI-kan karena mertuanya PKI. Di samping itu juga kakak

dari Papaku PKI.

Ketika aku baru masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) aku sudah membayangkan menjadi

Pegawai Negeri (PN). Namun aku mendengar dari para tetangga katanya meskipun aku

sekolah tinggi tetap saja aku tidak bisa jadi pegawai negeri, sampai tujuh turunan karena

aku keturunan PKI. Lalu untuk apa aku sekolah hanya membuang uang dan waktu. Aku

putus asa, kecewa dan hanya bisa menangis. Waktu itu aku berpikir menjadi pengawai

adalah segala-galanya.

Akhirnya selesai kelas satu aku memutuskan tidak lagi melanjutkan ke kelas dua. Sampai

akhirnya Om datang dan menyuruhku untuk tetap melanjutkan sekolah. Aku tidak boleh

mendengarkan apa kata orang, karena tidak mungkin keadaan akan terus seperti ini. Satu

saat nanti pasti akan berubah, karena kita tidak tahu nasib kita ke depan.

Aku pikir ada benarnya juga, tapi karena kelas dua sudah berjalan aku tidak bisa lagi masuk.

Lalu Om tetap mengusahakan agar aku tetap sekolah dan bisa ikut ujian. Akhirnya aku bisa

masuk kelas 3 dan langsung bisa ikut ujian waktu itu. Waktu itu peraturan sekolah memang

masih tidak seketat sekarang, apalagi di daerah.

Tahun 1990 ada yang mau melamarku, dia seorang guru dari desa Potoya tetangga desa.

Aku bertemu dengannya waktu ada acara hiburan pesta di desaku. Banyak pemuda-pemuda

kampung lain datang termasuk pacarku ini. Akhirnya kami berkenalan, sejak itu setiap malam

Page 207: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

207

minggu dia selalu datang ke rumahku. Tentu saja kami tidak pernah bicara-bicara siapa

orangtua kami masing-masing.

Akhirnya dia memutuskan untuk melamarku dan orangtuanya akan datang ke rumah. Aku

tidak keberatan, kupikir biarlah aku tidak bisa menjadi Pegawai Negeri tapi aku bisa punya

suami Pegawai Negeri. Apalagi kalau di kampung, seusia aku sudah termasuk tua untuk

menikah.

Ternyata sebelum datang untuk melamar, keluarganya mencari tahu siapa keluargaku. dan

ternyata ada tetangganya yang kenal dengan Omku. Lalu mereka bilang kalau keluarga

kami adalah orang PKI berat. Akhirnya mereka memutuskan untuk tidak jadi melamar.

Mereka takut anaknya kawin dengan aku, akan terkena imbasnya juga. Apalagi dia seorang

guru, bisa-bisa diberhentikan dengan tidak hormat.

Berita itu tentu saja membuat aku dan keluargaku malu, karena berita aku akan dilamar

sudah tersebar di kampung. Pupus sudah harapanku untuk segera menikah dan itu

membuat aku terpuruk cukup lama. Aku berjanji kalau aku tidak akan berhubungan dengan

seorang pegawai negeri.

Akhirnya aku memutuskan untuk ikut kursus komputer, aku mau bekerja dan tidak mau

terus meratapi keadaanku. Sembilan bulan aku kursus, setelah tamat aku diperbantukan

oleh lembaga ke cabang Poso, dan 3 bulan setelah itu balik ke kampung. Tidak lama

kemudian aku bertemu seorang laki-laki, dia bekerja di kantor koperasi. namanya Rusli,

orang Jawa. Kebetulan bapaknya tentara, mereka tidak tinggal satu kampung denganku.

Waktu itu dia memang langsung menemui Mamaku, dan menyatakan kalau dia mau

melamar aku. Mama hanya bertanya apakah aku mau menikah dengan dia?. Keadaanku

waktu itu sebenarnya masih trauma dengan peristiwa lamaran yang pertama dulu. Tapi

kupikir ini akan beda, karena dia bukan pegawai negeri. Jadi meskipun dia tahu latar

belakang keluargaku tidak akan mempengaruhi apapun.

Akhirnya semuanya kuserahkan ke Mama, “Kalau Mama suka, saya suka sudah”. Tahun

1992 satu bulan setelah acara lamaran akhirnya kamipun menikah. Betapa bahagianya aku,

apa yang selama ini aku takutkan tidak terjadi. Sekarang aku sudah mempunyai suami dan

kalau Tuhan mengijinkan kami akan punya anak dan menjadi satu keluarga yang utuh.

Di usia perkawinan kami yang keempat, tiba-tiba suamiku minta dimutasikan ke Poso. Dia

hanya bilang nanti satu bulan berikutnya, aku akan dijemputnya. Kepindahannya ke Poso

tidak lama setelah Bapaknya datang ke rumah dan bertemu dengan ibuku. Aku tidak curiga

sedikitpun kalau itu cara dia mau menghindariku.

Page 208: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

208

Satu bulan sudah sejak dia berangkat aku tidak menerima kabar sedikitpun apalagi kabar

dia akan menjemput aku untuk sama-sama tinggal di Poso. Akhirnya aku mendatangi

kantor pusat tempat dia bekerja, untuk menanyakan apakah ada kabar dari suamiku.

Mereka bilang tidak ada, mereka menyarankan agar aku menyusul saja ke sana, daripada

hanya menunggu kabar tidak pasti. Awalnya aku coba menelpon ke kantornya di Poso, dia

bilang masih sibuk belum bisa datang menjemput. Akhirnya aku putuskan untuk datang

saja ke sana tidak usah menunggu dijemput karena aku juga pernah bekerja di sana.

Sepanjang perjalanan sudah kususun rencana, bagaimana nanti jika aku bertemu dengan

dia. Karena sudah satu bulan kami tidak bertemu, aku sangat merindukannya. Dia pasti

terkejut tiba-tiba aku ada di rumah ketika dia pulang nanti. Meskipun begitu dia pasti

senang, karena istrinya datang. Akupun senyum-senyum sendiri, membayangkan apa yang

akan terjadi selanjutnya.

Setelah sampai di sana dan bertemu, bukannya dia datang dan memelukku sambil bilang

betapa dia merindukan aku. Dengan nada marah dia bilang, ”kenapa kau ikut saya?”.

“Eh, kalau kau bukan suami saya, saya tidak ikuti kau” jawabku.

Aku heran kenapa dia bilang begitu, apa yang sudah terjadi. Aku langsung terbayang pasti

ada perempuan lain di sini. Akhirnya dengan suara yang tidak lagi marah dia berterus

terang kalau alasan dia minta mutasi ke Poso karena untuk menghindariku. “Papaku sudah

tahu semua latar belakang keluargamu”.

Aku masih tidak mengerti, ”latar belakang keluargaku bagaimana?” tanyaku.

“Eh, kamu punya kakek PKI berat, kamu punya Om PKI berat, jadi tidak mungkin orang

tuamu bukan PKI. Jadi saya kesini menghindari untuk terus berhubungan dengan kamu”

dia bilang begitu.

“Lalu apa hubungannya latar belakang keluarga saya dengan kita?” jawabku

“Orangtua saya tentara, jadi pasti akan berdampak dengan pekerjaannya. Jika mereka tahu

kalau menantunya keluarga PKI”, alasannya.

Aku tidak tahu apa lagi yang harus aku katakan, aku hanya terdiam dan mencoba

menenangkan diri. Satu minggu aku tinggal, dan keadaan tetap tidak berubah. Suamiku

sudah tidak mau lagi menyentuhku, akhirnya aku tidak kuat lagi dan memutuskan untuk

pulang. Memang dia tahan agar aku jangan dulu pergi, tunggu sampai nanti dia gajian. Aku

tahu itu hanya basa-basi, aku bilang “kalau kamu masih peduli dengan saya, kirimkan saja

untuk saya”.

Page 209: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

209

Ternyata benar itu cuma basa-basi dia, uangnya tidak pernah dia kirimkan sejak itu dan

seterusnya. Dia tidak lagi memberikan nafkah baik lahir maupun bathin. Tiga tahun aku

digantung tanpa kepastian, tidak ada perceraian di antara kami.

Sampai di rumah aku ceritakan semua yang terjadi pada Mamaku. “jadi itu yang membuat

suamimu pindah ke Poso?. Sudah biar nanti kami yang bicara, kita sama-sama datang

kesana”.

“Saya tidak mau pergi lagi ke sana”.

“Jangan begitu, jangan cepat putus asa, ke sana lagi kau. Nanti Papa carikan uang, untuk

kau ke sana” bilang Papaku.

“Biar ada uang, biar komiu kasih, te mau saya pigi. Paling kalau komiu kasih uang saya mau

pakai foya-foya saja, te mau lagi saya ketemu sama dia” jawabku. “saya tidak mau dikata-

katai lagi PKI segala macam, saya mau cerai saja” lanjutku.

Jadi kenapa sampai Bapak mertuaku tidak tahu awalnya kalau kelurgaku adalah keluarga

PKI. Karena aku memakai fam Papaku yang memang tidak terlibat, jadi dia tidak kenal.

Sementara yang dinyatakan terlibat waktu itu adalah Kakek dan Omku dari pihak Mama,

Mait dan Siyama. Dari tetangganyalah mereka tahu kalau saya cucu dari Mait dan

keponakan dari Siyama.

Ternyata Bapak mertuaku itu pernah juga memproses kasus Om, ketika beliau bertugas di

Korem. Untuk memastikan itu, dia datang ke rumah Mamaku. Yah itu akhirnya, dia suruh

anaknya untuk meninggalkan aku karena takut kena imbas ke pekerjaannya.

Selama 3 tahun aku hidup tanpa status, kuhabiskan waktuku bekerja di sawah. Aku tidak

pernah lagi pergi jalan-jalan ke luar kampung, aku takut bertemu dengan orang-orang yang

mengata-ngataiku gara-gara keluarga orang tertuduh makanya aku menjadi janda. Atau

apapun yang berkaitan dengan semua yang kualami, aku tidak mau dengar lagi. Aku cuma

manusia biasa terkadang terbersit pikiran untuk bunuh diri, minum racun hama. Tapi

Tuhan masih memberikan kekuatan kepadaku, hingga aku tidak melakukannya.

Semua pekerjaan di sawah aku kerjakan sendiri, dari bertanam sampai merawat

(menyemprot hama) dan memanen semua tenaga kucurahkan. Hingga tidak lagi ada waktu

untuk memikirkan hal-hal yang lalu, karena sesampainya di rumah aku sudah lelah dan

langsung tidur. Seterusnya begitu hingga akhirnya aku bertemu dengan suamiku yang

sekarang.

Sebenarnya kami masih saudara tapi sudah jauh sekali, Papaku dengan Papanya sepupu

tapi juga sudah jauh sekali. Jadi kami memang sudah berteman juga dan sering bertemu

Page 210: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

210

kalau sedang bekerja di sawah. Jadi latar belakang keluarganya juga memang petani dan ada

yang dinyatakan terlibat juga, tapi bukan Papanya.

Awalnya sih aku juga tidak menyangka kalau dia mau melamar, karena kami memang

sudah lama berteman. Lagipula statusnya yang masih bujang dan statusku yang tidak jelas,

janda ataukah istri orang. Secara hukum agama statusku seorang janda karena tiga bulan

saja seorang istri tidka dinafkahi lahir dan bathin maka sudah putus hubungan suami istri.

Sementara aku sudah tiga tahun tidak dinafkahi lahir dan bathin. Tapi secara hukum aku

belum sah menjanda, karena harus melalui proses sidang tentunya.

Waktu dia mau melamarku, dia hanya tanya apakah tidak ada lagi nanti suamiku menuntut.

Lalu aku bilang dia mau menuntut apalagi, tiga tahun sudah aku ditelantarkan. Sebenarnya

dia juga sudah tahu semua bagaimana aku dengan suamiku dulu, dia hanya memastikan

kesungguhanku. Setelah itu dia minta Omnya yang juga masih Omku juga untuk datang

melamarkan karena Mamanya sudah meninggal.

Sebenarnya aku menerima lamaran suamiku yang sekarang karena memang alasan

pekerjaannya juga. Aku pikir aku memang lebih baik menikah dengan petani saja, tidak

akan ada pengaruh pekerjaan takut dipecat karena latar belakang keluargaku yang

dinyatakan terlibat. Sudah dua kali aku dikecewakan oleh orang yang bekerja sebagai

pegawai. Orang tua kamipun sudah saling kenal dan merestui pernikahan kami, aku tidak

lagi was-was akan terjadi lagi seperti yang lalu.

Tiga hari sebelum hari pernikahanku, Mamaku bertemu dengan tantenya dari mantan

suamiku di pasar ketika akan membeli kebutuhan untuk acara di rumahku. Dia bilang kalau

malam nanti keluarga mereka mau datang untuk mengantar mantan suamiku, dan

membicarakan hubungan kami. Mereka berencana akan menikahkan kami kembali.

Mamaku bilang tidak usah diantar lagi dia, karena hari minggu aku sudah mau menikah

dengan orang lain, dan jangan ganggu lagi keluarga kami. Kemarin-kemarin ke mana saja,

sudah tiga tahun tanpa kabar tiba-tiba mau datang.

Mungkin itu godaan buatku menjelang hari pernikahanku dapat kabar bahwa mantan

suamiku ingin kembali. Memang sempat terpikir untuk kembali tapi itu semua tidak

mungkin lagi karena memang semua persiapan pernikahanku sudah selesai semua.

Saat ini kami sudah punya anak perempuan buah hati kami, Lili namanya. Sekarang ini aku

dan suami hanya fokus pada pekerjaan kami dan bagaimana agar kami bisa memberikan

kehidupan yang layak untuk putri kami. Agar dia bisa sekolah setinggi-tingginya, sampai

dia bisa mencapai apa yang menjadi cita-citanya. Kalau belum waktunya panen

biasanya suami pergi jadi buruh bangunan di Palu.

Page 211: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

211

Sejarah keluargaku Menurut cerita Mamaku, dulu itu kami termasuk keluarga yang lumayan kaya. Kakekku

punya banyak sawah, punya banyak sapi. Tapi sejak keluarganya dinyatakan orang terlibat,

semuanya dijual sedikit demi sedikit untuk makan. Karena mereka tidak lagi bisa mengolah

tanah dan memelihara ternak, karena tidak ada waktu. Karena tidak berapa lama kakek

meninggal dan Omku dipenjara, setelah itu mereka juga wajib lapor.

Selama Om di penjara, keluarga mengirimkan makanan dan keperluan dia dari hasil

menjual sawah atau sapi. Karena anak-anaknya masih kecil-kecil untuk mengolah padahal

di sawahnya banyak juga pohon kelapa. Ketika mereka pindah dari Gunta ke sini semua

sapi dijual.

Dulu waktu baru pindah kesini, Om Gafar salah satu Omku yang bantu-bantu cari uang

untuk makan. Pekerjaannya membuka tanah yang masih hutan untuk dijadikan sawah,

begitu bagus dijual lagi ke orang. Hingga akhirnya sekarang kami tidak lagi punya sawah

sendiri untuk diolah. Sawah yang sekarang aku dan suami olah bukan sawah kami sendiri,

tapi punya orang dengan sistem bagi hasil.

Nasib kakekku bisa dikatakan tragis memang, dia meninggal bunuh diri minum racun hama

biasa dipakai menyemprot tanaman. Subuh itu setelah sholat subuh dia masih sempat

memasak air untuk membuat kopi. Lalu setelah itu dia minum racun DDT untuk

menyemprot rumput dan hama.

Awalnya keluarga tidak tahu kalau dia meninggal minum racun, tapi setelah dikeluarkan air

ludahnya dan dicium, ternyata berbau racun itu. Keluarga juga tidak tahu pasti alasan kakek

minum racun, hanya saja satu hari sebelumnya ada sekelompok anak muda yang menakut-

nakuti orangtua. Mereka bilang besok akan datang lagi KOAMPA (Komando Ampera)

untuk menginterogasi mereka. Mungkin dia takut nanti ditanya-tanya lalu disiksa. Dia

memutuskan lebih baik mati daripada harus disiksa.

Waktu kakek meninggal kata Mamaku, aku sudah usia 6 bulan, jadi memang aku tidak tahu

pasti bagaimana peristiwa itu.

Sebenarnya yang anggota PKI adalah Omku dan juga kakak dari Papaku. Sementara Papa

dilibatkan karena mertuanya PKI, sampai diikutkan kerja paksa waktu itu dan dikenakan

wajib lapor.

Page 212: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

212

Aktif di SKP HAM

Aku akui kalau aku sempat kecewa dengan Om-omku dan juga kakekku, kenapa mereka

sampai bisa masuk PKI. Sehingga kami semua yang menanggung akibatnya. Tidak bisa

masuk pegawai negeri, sampai aku sendiri harus menanggung tidak jadi menikah dan

sudah menikah pun gagal hanya karena latar belakang keluarga yang dinyatakan terlibat.

Sekarang sudah tidak ada lagi rasa kecewa ataupun sakit hati itu. Kan sudah ada SKP-HAM

(Solidaritas Korban Pelanggaran HAM) ini yang membantu memperjuangkan nasib kami.

Mudah-mudahan tidak ada lagi kendalanya PKI ini, sudah betul-betul dinyatakan tidak

bersalah.

Aktif di SKP HAM juga membuat aku sadar bahwa masih ada masa depan yang cerah untuk

anakku. Itu makanya tidak ada lagi alasan untuk tidak menyekolahkan sampai setinggi

mungkin.

Aku ingat dulu waktu pertama SKP-HAM datang ke sini, kami semua yang para korban

kumpul di sini (di rumah). Lalu tiba-tiba datang polisi ke sini, sampe rumah kami dilempar.

Waktu pertama itu aku belum mau bergabung karena anakku masih kecil, hanya Mama.

Sebenarnya setelah peristiwa pelemparan itu, kalau Ella (Ketua SKPHAM) datang aku

malah melarang Mama untuk ikut, tidak usah datang-datang berkumpul dengan orang-

orang itu lagi. Nanti mereka lempar lagi rumah, aku merasa malu kalau tetangga bilang

kalau orang PKI mulai lagi berunding-runding.

Tapi Mama itu tidak peduli, kalau datang Ella, dia harus pergi meskipun tempat

berkumpulnya jauh dari rumah. Dengan berjalan kaki, tidak peduli tengah hari. Pulang dari

sana biasanya dia makan, lalu tidur sedikit, sore berangkat lagi keliling memberitahu orang

di sini, semuanya dia lakukan dengan berjalan kaki.

Aku sempat marah juga dengan Ella, karena selalu datang dan mengajak Mama. Padahal dia

juga sudah tua dan kasihan kalau dia sampai harus jalan kaki. Karena dulu adikku belum

punya motor, jadi kalau ada uang yah sewa ojek. Atau dia menumpang dengan orang yang

dikenal. Setelah Mama meninggal, aku baru aktif ikut di kegiatan SKP HAM dengan Ella.

Aku merasa sangat beruntung menikah dengan suamiku sekarang, dia itu laki-laki yang

penyabar tidak pernah marah. Malah terkadang aku yang sering marah-marah, karena hal-

hal kecil saja. Dia hanya diam dan membiarkan aku bicara sendiri.

Ketika aku mulai sibuk dengan ikut-ikut berorganisasi di SKP HAM, terkadang pekerjaan

rumah belum selesai aku sudah pergi dia tidak marah. Kalau aku bilang mau pergi, ya aku

pergi. Dia tidak akan melarang, paling dia bilang kalau ada uang aku disuruh naik ojek.

Page 213: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

213

Jarak dari rumahku ke Kantor Sekretariat cukup jauh sekitar 30 Km,biasanya aku ke sana

naik angkutan umum kurang lebih satu jam perjalanan. Pertama aku aktif di SKP HAM

diajak sama Ella (Nurlaela Lamasitudju), di mana dia menjadi direkturnya. Organisasi ini

adalah organisasi yang membantu menangani para korban pelanggaran HAM, termasuk

membantu kami para korban-korban peristiwa 65-66.

Dulu aku aktif ikut kegiatan-kegiatan yang diadakan SKP HAM, tapi sejak aku sering sakit

sudah jarang pergi ke Sekretariat. Sudah dua kali aku masuk rumah sakit Madani Palu.

Dadaku sering sakit tiba-tiba, mungkin karena dulu aku sering menyemprot hama di sawah

sendiri tidak pernah bayar orang. Terkadang aku tidak memakai penutup mulut, kupikir

sekarang baru terasa dampaknya.

Pernah satu kali di acara gunting rambut anak salah satu kenalanku waktu itu aku pergi

dengan Ella. Tiba-tiba aku batuk terus dan dadaku sakit sekali, aku tahan dengan tangan

rasanya sudah mau mati. Datang seorang teman ambil mobilnya dan membawaku ke rumah

sakit di Palu, aku rasa tidak sanggup lagi sampai ke rumah sakit. Aku sudah tidak bisa lagi

bicara, semua orang yang mengantarku sudah menangis semua.

Keluarga tidak bisa ikut semua, mereka hanya menangis. Aku ingat waktu itu hari minggu,

pertama aku dibawa ke rumahsakit Undata tapi sudah penuh. Akhirnya aku dibawa ke

Madani lagi. Awalnya memang mau diantar ke dokter praktek saja, tapi karena di mobil aku

sudah seperti orang mau mati. Tapi Alhamdulillah, Tuhan masih kasi aku panjang umur,

masih bisa selamat juga.

Masih teringat apa yang dikatakan Om Mait (adik Mama) yang pernah dipenjara, waktu itu

aku sempat tinggal dengan dia. Dia bilang aku jangan sampai tidak bersekolah, terus

berusaha untuk tetap sekolah. Satu waktu nanti keadaan akan berubah, kalau kebenaran

sudah terungkap. Jangan dengarkan omongannya orang, kalau anak cucu PKI tidak bisa jadi

pegawai.

Memang benar apa yang dikatakan Omku, kalau satu saat nanti keluarga kami bisa menjadi

pegawai negeri. Tapi apa yang terjadi, sepupuku sudah mau masuk Angkatan Laut, sudah

latihan di laut tapi karena Komandan mendapat surat kaleng dari kampung (Solowe) kalau

dia masih keluarga PKI akhirnya dia dipecat, pulang tidak jadi masuk Angkatan Laut.

Yah kami memang masih harus terus berjuang untuk mendapatkan hak yang sama dengan

orang lain. Aku yakin bersama SKP HAM, kami bisa mendapatkan itu. memerlukan

kesabaran dan kerja keras untuk bisa sampai ke sana, kami sadari itu. selagi kita masih mau

berusaha pasti ada hasil dan manfaat yang kita dapatkan meskipun itu hanya sebuah

langkah kecil.***

Page 214: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

214

Pewawancara : Nurhasanah

Penulis : Nurhasanah

Yenny Oro

Berhasil Menembus Kabut Hitam

Aku tidak tahu apakah kisah hidupku bisa menjadi salah satu bukti yang

menguatkan, terhadap masa yang cukup kelam dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Tapi

aku berharap kisah ini bisa menjadi penyemangat buat para generasi muda khususnya

perempuan. Sadar akan potensi diri dan berani melawan ketidakadilan. Tidak pasrah

dengan keadaan dan percaya bahwa Tuhan pasti menolong orang yang berusaha.

Semoga semua tutur yang telah terangkum ini bisa menjadi pembuka dari lubang-lubang

sejarah yang ditutup dengan cerita-cerita kebohongan. Semoga juga bisa menjadi

perenungan bagi siapapun yang mengetahui peristiwa G30S tahun 1965, bahwa ada cerita

lain di belakang semua itu. Ada cerita ribuan orang dan keluarga yang menanggung akibat

dari stigmatisasi terhadap PKI, peristiwa itu tidak hanya selesai di Jakarta. Kami di daerah

yang jauh dari pusat, bahkan di desa-desa ikut menanggung akibatnya hingga saat ini.

Ketika peristiwa itu terjadi usiaku baru 18 tahun, aku aktif di organisasi Pemuda Rakyat.

Waktu masih sekolah aku aktif di organisasi pelajar IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia).

Hanya karena organisasi Pemuda Rakyat dianggap underbownya PKI maka aku ditangkap

dan dipaksa harus mengakui kalau aku tahu rencana “Gerakan 30 September itu”. Maka

akupun mendapat status baru ET (Eks Tapol) di KTP sampai tahun 2000. (Penghapusan kode

ET di KTP, resmi dilakukan tahun 1995 – editor) Turunan dari status ET adalah tidak bisa

menjadi Pegawai Negeri baik sipil maupun militer karena dianggap tidak bersih lingkungan.

Ini berlaku sampai pada keturunan, karena ini merupakan dosa yang diturunkan.

Aku lahir tanggal 18 Maret 1947 di Sonder Minahasa, Sulawesi Utara. Ayahku bernama

Johan Oro pekerjaan petani, ibuku bernama Anie. Keduanya asli dari Sonder. Nama

lengkapku Yenny Oro, anak pertama dari enam bersaudara, 2 perempuan 4 laki-laki. Adikku

yang pertama, kedua, ketiga dan kelima laki-laki, adik yang keempat perempuan. Kami

semua tinggal di Sonder. Memang di antara mereka hanya aku yang bersekolah hingga

SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas) meskipun tidak tamat karena kesibukan di

organisasi itu. Adik-adikku hanya sampai SMP dan SD, di samping memang tidak ada

biaya, mereka juga harus membantu pekerjaan orangtua.

Page 215: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

215

Rumah kami kecil, berbentuk panggung tinggi sekitar satu meter luasnya 6 X 7 meter.

Dinding dan alas terbuat dari kayu dan tanah serta atapnya terbuat dari rumbia. Terdiri dari

dua kamar tidur, ruang tamu, dan dapur. Kamar mandi di luar, itu juga hanya untuk

darurat. Karena kami tidak punya sumur maka mandi dan cuci baju kami pergi ke mata air

yang berada di bawah sekitar 200 meter dari rumah. Setiap hari mengambil air untuk

keperluan minum dan masak. Sewaktu pergi jalannya menurun pulang mendaki. Belum ada

listrik, untuk penerangan kami memakai lampu Petromak dan lampu botol. Karena cuma

ada dua kamar, kamar satu untuk aku dan adik perempuan. Kamar satu lagi untuk orangtua

dan adik laki-laki.

Tidak banyak cerita yang berkesan tentang masa kecil aku dan adik-adik. Karena kami

hanya keluarga petani, di sebuah desa kecil. Desa kecil di mana aku tinggal namanya

Kolongan Atas, tapi meskipun kecil penduduknya ramai. Umumnya mata pencaharian

mereka adalah petani termasuk keluargaku. Kebun-kebun lumayan jauh dari desa, biasanya

kami menanam jagung dan sayuran lainnya. Tapi meskipun cuma bertani kami tidak merasa

kekurangan. Jarak desa Kolongan Atas ke pusat Kecamatan Sonder sekitar satu kilometer.

Meskipun aku tinggal di desa kecil tapi aku punya cita-cita besar. Tahun 1954 aku masuk SD

di Sonder, tahun 1960 masuk SMP masih di Sonder. Setelah lulus SMP aku melanjutkan ke

SMA Kristen di Manado. Selama di Manado aku tinggal di rumah Om (kakak dari bapak).

Sejak di SMA aku aktif di organisasi pelajar atau IPPI, entah kenapa aku sangat suka

berorganisasi. Aku tipikal remaja yang tidak bisa diam, energik. Dilihat secara fisik aku itu

kecil, mungil, berkulit putih. Kesukaan berorganisasi inilah yang membawa aku menjadi

sekelompok orang yang dianggap berbahaya, dan dituduh melakukan perbuatan yang

sesungguhnya tidak pernah terbukti kebenarannya.

Pada tahun 1963 ada konferensi IPPI SULUTTENG (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia

Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara), dan aku menjadi salah satu delegasi. Waktu itu aku

minta ijin tidak masuk sekolah selama 2 minggu. Semua kegiatan aku ikuti dengan sangat

antusias, mencari teman sebanyak-banyaknya. Hingga sempat terjadi cinta lokasi dengan

sesama delegasi yang berasal dari Gorontalo. Tujuh bulan lamanya kami berhubungan,

meskipun akhirnya tidak berlanjut. Sungguh masa yang tidak bisa aku lupakan, masa yang

sangat indah meski sesaat. Aku benar-benar merasakan masa remaja yang sedang

bersemangat.

Buat aku berorganisasi adalah salah satu cara untuk mengekspresikan diri. Di organisasi

banyak pelajaran yang didapat, yang tidak aku dapatkan di sekolah. Mauku sih sekolah dan

berorganisasi bisa sejalan. Tapi karena memang kegiatan di organisasi saat itu padat sekali,

Page 216: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

216

maka salah satu harus ada yang dikorbankan. Itu terjadi padaku, di mana aku harus

memilih antara sekolah dan berorganisasi.

Selesai konferensi aku malah tidak boleh masuk sekolah lagi oleh pihak sekolah, karena

terlalu lama izin. Terpaksa aku balik ke Sonder masuk ke SMEA. Di sini juga aku aktif di

organisasi IPPI lalu ke Pemuda Rakyat. Aku sudah sibuk dengan kegiatan organisasi sejak

tahun 1964, dan dari pihak sekolah juga sudah mulai dimarahi karena sering tidak masuk

sekolah.

Aku ingat apa yang dikatakan Kepala sekolah waktu itu“kamu ini, kecil-kecil sudah sibuk

kegiatan organisasi. Kamu boleh pilih mau sekolah atau tetap berorganisasi”. Maka aku memilih

tidak sekolah daripada keluar dari organisasi, karena memang dari dulu aku paling suka

berorganisasi.

Lalu aku ikut sekolah pengkaderan Pemuda Rakyat di Tompaso. Kemudian setelah itu ikut

ke Tondano masuk Sekolah Guru Pemuda Rakyat tingkat Kabupaten tahun 1964. Tahun

1965 ikut Sekolah Guru Pemuda Rakyat tingkat Provinsi di Sonder. Baru kira-kira dua

minggu sekolah berjalan, peristiwa G30S terjadi. Tapi karena kami tidak tahu kalau ada

peristiwa itu, jadi kegiatan-kegiatan rutin masih berjalan. Seperti pada tanggal 1 Oktober

kami, Pemuda Rakyat masih membuat drama di gedung SMEA.

Baru pada tanggal 7 Oktober ada pembakaran kantor CDB (Comite Daerah Besar) Manado,

situasi menjadi tidak terkendali. Ibuku yang sehari-hari berjualan di pasar 45 Manado

membawa hasil bumi dari Sonder, melihat kekecauan yang terjadi beliau tidak jadi

berjualan. Sampai di rumah, beliau langsung teriak panggil aku, “sini… sini… aduh so

kacau di Manado, dorang bakar kantor PKI... ribut semua...” (aduh sudah kacau Manado, mereka

bakar kantor PKI... ribut semua...)

Besoknya sekolah kami yang baru dua minggu berjalan, dibubarkan. Kami semua

dipulangkan, yang jauh-jauh diantar seperti yang dari Sangir (Sangihe), dari Bolmong,

Kotamobagu, Gorontalo. Selang beberapa hari kami sudah diburu-buru oleh pemuda yang

anti G30S. Kelompok pemuda ini merupakan gabungan dari organisasi-organisasi seperti

IPKI, PARTINDO, dari PNI juga ada. Dengan perasaan takut kami lari dan sembunyi ke

kebun. Beberapa hari di kebun dapat berita dari kampung, lebih baik pulang dan

menyerahkan diri. Karena mereka sudah membuat Komando untuk menangani orang-orang

yang dianggap bersentuhan dengan PKI.

Lagipula memang dipikir-pikir di kebun mau makan apa, sudah 3 hari cuma makan

singkong. Akhirnya kami pulang menyerahkan diri ke kantor Komando. Sejak itu kami

dikenakan wajib lapor pagi sore ke Komando Pemuda Anti G30S/PKI (KOPAG) di Sonder,

Page 217: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

217

belum diambil alih oleh ODM (Onder Distrik Militer) lalu tahun 70an diganti menjadi

Koramil sampai sekarang. Jarak rumah orangtuaku ke ODM sekitar satu kilo meter. Waktu

masih tinggal sama orangtua.

Waktu melapor kami semua di skrening. Mereka bilang, ”Wah... kamu yang mencungkil

mata para jendral, kamu ini patut dibunuh…”

Lalu aku jawab, ”Yah kalau memang Tuhan sudah serahkan kami untuk dilukai… yah ngga

apa-apa. Bunuh saja, tapi kalau tidak kami pasti masih hidup”

Mereka tanya lagi, ”Waktu peristiwa G30S kamu di mana? Kamu sudah tahu akan ada

peristiwa ini kan?”

“Yah tidak tahu lah pak, kami tidak tahu sama sekali ada peristiwa itu. Kalau kami tahu

pasti sudah lama lari menyelamatkan diri.. ”. jawabku

Sejak itu aku kena wajib lapor setiap hari, kalau tidak pagi yah sore. Hingga pada satu hari

aku mengalami peristiwa yang tidak akan aku lupakan seumur hidup. Hari itu aku datang

sendiri untuk melapor, lalu disuruh masuk ke ruang pemeriksaan. Aku diperiksa oleh

penyidik katanya, di dalam ruangan hanya aku sendiri. Di dalam ruangan ada satu meja

dan kursi, aku sudah ada firasat tidak enak. Aku sudah nekat, kalau dia mau macam-macam

aku lebih baik mati daripada harus menyerahkan diri kepada orang macam itu.

Lalu aku sudah siap-siap pegang pinggir meja, kalau dia mau macam-macam aku akan

dorong ini meja. Dia mendekati ku, kemudian dia bilang ”aduh kamu ini cantik, kenapa

masuk PKI…?”sambil dia pegang pipi ku. Meskipun usia ku masih tergolong muda, 18

tahun tapi aku sudah tahu arah pembicaraan ini akan ke mana. Dia terus mendekat, aku

hanya menghindar-hindar sambil berpikir apa yang harus aku lakukan. Dalam hati aku

terus berdoa....”Tuhan jauhkan aku dari orang jahat, karena aku yakin aku tidak bersalah

dalam hal ini. Bukan berarti aku tidak punya dosa…”.

Aku melihat dia berkeringat, mungkin memang sudah pada klimaksnya untuk berbuat itu.

Aku sendiri sudah nekat, dan aku pikir kalau aku tidak bunuh dia pasti akan banyak lagi

korban. Namun dalam hati ada terlintas suatu pengharapan, lalu pelan-pelan aku mencoba

berdialog untuk mengalihkan perhatiannya.

”Om… boleh saya mau tanya...?”. suaraku buat selembut mungkin.

Karena dia sudah kenal namaku, dia langsung panggil nama, ”Iya Yenny… mau tanya

apa..?”

Sengaja aku kasih jeda waktu, tidak langsung aku sambung.

“Om... bagaimana kang… kalau seandainya anak Om nona-nona atau Om punya istri akan

diperlakukan sama dengan Om mau melakukan ke saya… (”Om bagaimana ya... kalau

Page 218: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

218

seandainya anak gadis atau istri Om akan diperlakukan sama dengan Om mau melakukan ini ke

saya...”)

Bersyukur kepada Tuhan… dia langsung lemas, terduduk di bangku dan tepekur di meja,

memegang kepalanya dengan dua tangan.

”Baru kamu yang kita (saya) ketemu berani bilang seperti itu…” dengan suara yang datar

Merasa mendapat angin aku terus mencoba untuk membuat dia semakin merasa bersalah.

“Om... Om boleh melakukan ini sama perempuan-perempuan lain, tapi jangan berani-berani

kepada saya. saya tidak akan menyerah, biar sampai mati tidak akan menyerahkan kesucian

saya kepada Om yang sudah bobrok.”

Waduh aku salah ngomong, mendengar itu dia kembali mengangkat kepalanya dan

berteriak, “Oh jadi kamu mau menantang saya…”

Tapi aku tidak takut, malah lebih berani. Lalu aku bilang...“Walaupun kami dicap tidak

bertuhan tapi saya pribadi, saya percaya Tuhan. Allah tidak tutup mata, Dia ada di mana-

mana. Sampai di manapun Dia akan lihat kita, jadi apa yang tidak baik yang kita lakukan

akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan nanti…”

Dia berdiri lalu berkata lebih marah lagi, ”Kamu ini… kalau begitu saya lebih pinter soal

marxisme dari kamu…”

“Yah kalau begitu Om yang PKI, kenapa Om tuduh saya PKI…? saya kan baru Pemuda

Rakyat belum PKI. Kalau masuk PKI itu bukan hal gampang, harus jadi simpatisan dulu

terus calon anggota lalu baru jadi anggota. Ngga sembarang mau masuk di partai itu”.

Dengan suara yang tidak keras tapi aku yakin dia juga kaget kenapa aku berani melawan.

Bersyukur kepada Tuhan belum lama aku diinterogasi, di luar orangtua aku sudah teriak-

teriak…”Hei …sudah jam berapa ini, buka pintu, kenapa kamu kurung anak saya…”. Aku

bersyukur tidak terjadi apa-apa.

Pernah lagi aku dipanggil jam 5 sore, didatangi ke rumah, ”kamu dipanggil ke Komando,

harus cepat-cepat ke sana yah…”. Padahal pagi tadi aku sudah datang melapor.

Sesampainya di sana, aku ditanya-tanya lagi. Ternyata ada pimpinan komando pemuda dari

Manado, untuk menanyakan posisiku di organisasi Pemuda Rakyat.

”Kamu… sudah pimpinan yah… ini ada catatannya...?”

“Itu dari tahun berapa pak…?”

“Ini dari bulan April ’64…”

“Ohh..begitu…Anggaran Dasar kami setiap 3 bulan ada roling pimpinan, jadi saya tidak lagi

pimpinan, ini kan sudah tahun ’65... sudah setahun”

“Masa ehh…?”

Page 219: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

219

“Yah… saya lebih tahu anggaran dasar dari bapak… yang pasti saya sudah tidak lagi

pimpinan...”

“Jadi pimpinan kamu siapa sekarang…”

“Oh, saya sudah tidak tahu...”

Mereka tanya terus putar-putar tidak tahu ujung pangkalnya, sampai jam setengah delapan

malam akhirnya aku diizinkan pulang. Meskipun usiaku baru 18 tahun seperti yang aku

bilang tadi tapi karena memang sudah bergaul dengan banyak orang, sedikitpun aku tidak

merasa takut.

Selain itu memang tidak ada penyiksaan fisik, aku sangat bersyukur tapi aku merasa disiksa

bathin. Karena apa…? siang malam dijaga, di rumah kami masing-masing. Siang wajib lapor

dan kerja paksa istilah halusnya kerja bakti. Kalau malam pintu rumah digedor-gedor untuk

memastikan bahwa kita tidak ke mana-mana.

Ketika ada peringatan hari Sumpah Pemuda tanggal 28 oktober 65, semua yang terlibat

disuruh jalan keliling kecamatan Tondano sambil membawa panji-panji. Sepanjang

perjalanan kami diteriakin...”lonte..pembunuh...”. Sampai di lapangan panji-panji, papan-

papan nama yang kami bawa dibakar.

Di Penjara

Pada tanggal 4 November 65 akhirnya kami ditahan dibawa ke Tondano, setelah wajib lapor

selama lebih kurang satu bulan. Aku tidak akan pernah lupa hari itu. Karena itu buat aku

merupakan kenangan pahit sekaligus juga kenangan manis dan kenangan indah yang harus

dikenang. Indah karena sampai sekarang aku masih hidup. Aku ingat waktu itu ternyata

tidak hanya dari tempat kami saja, ada banyak mobil yang datang bersamaan dari beberapa

daerah sekitar Minahasa sehingga banyak sekali orang yang dipenjarakan di situ.

Satu hari di penjara, aku sudah dipanggil oleh petugas

“Mana yang namanya Yenny Oro...?”

“Saya... Pak...”

“Ayo sini kamu catat semua nama-nama yang ada di dalam… kamu yang

bertanggungjawab yah…”

“Loh saya yang baru masuk pak, masa saya yang bertanggungjawab mereka-mereka yang

sudah lama di dalam…”

“Kamu mau bantah…?!!!”

Page 220: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

220

“Ngga juga mau bantah pak… saya cuma mau bilang, saya inikan masih muda… yang di

dalam itu sudah, sudah cukup umur, mungkin mereka yang lebih berhak untuk mengatur.

Masa saya yang anak-anak mau mengatur orang yang sudah tua-tua.”

“Sudah dibilang jangan membantah.”

“Siap Pak.”

Kemudian aku disuruh menunggu di luar tahanan berjam-jam di ruangan para penjaga, tapi

hanya ada satu orang tentara di situ, lalu aku bilang ”Pak, kenapa saya belum dikasih

masuk. Yah bisa-bisa ini saya mau lari. Ada peluang mau lari, itu pintunya dibuka.”

“Coba kamu lari kalau berani.”

“ Yah beranilah kalau bapak ijinkan, saya akan lari keluar”

“Wah, kamu anak-anak sudah bandel-bandel yah.”

“Bapak kan punya anak juga, jadi bapak tahu bagaimana sikapnya anak-anak...”

“Ayo masuk, kalau kamu berani lari saya tembak di kaki...”

“Kalau bapak tembak kan pasti ada dokter yang mau merawat.”

“Untung… kamu masuk sudah tidak jahat-jahat para petugasnya. Kalau masih jahat-jahat

sudah jadi santapan kamu…” Memang aku dengar yang lebih dahulu dari aku banyak yang

diperkosa.

“Pak... jangan main begitu… satu kali pasti akan ada balasannya. Bukan bapak yang kena

tapi saudara bapak atau keluarga bapak yang lain. Coba bapak bersikap baik, karena

kamikan tidak berbuat jahat sama jendral-jendral yang bapak tuduhkan kami yang

membunuh. Kami di Sulawesi Utara masa kami tahu di sana…”

“Masuk, kamu bandel, cerewet lagi...”

“Iya saya masuk. Selamat malam yah pak…”

Aku terus berusaha tenang dengan tersenyum dan mencoba bersikap baik, padahal aku

sudah ketakutan sekali. Bayangkan anak umur 18 tahun, sudah dihadapkan dengan situasi

yang apapun bisa terjadi.

Aku masuk lagi ke dalam sel yang berukuran 3x4, menurut perkiraanku. Kami ada sekitar

11 orang di dalam. Ada tempat tidur kayu semacam bale-bale dan tentu saja itu tidak cukup

jadi ada yang tidur di bawah. Setiap tidur di bale-bale itu, punggung kami sakit-sakit semua,

tapi karena aku masih muda jadi mungkin aku tidak begitu merasakan. Hanya saja Oma-

oma dan Ibu-ibu teman satu sel yang sering mengeluh. Teman-teman satu kamar ini, mereka

adalah anggota Gerwani dari beberapa daerah seperti Tondano, Kawangkoan, Tompaso.

Aku ingat, karena aku paling kecil dan paling muda maka para tentara penjaga

memanggil aku dengan sebutan ‘si kecil’. Misalnya kalau ada inspeksi dari Manado,

Page 221: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

221

biasanya aku dicari. Nah para tentara-tentara itu akan bertanya dengan teman-teman satu

sel, “mana si kecil..?”.

Tinggi aku tidak sampai 145 cm, tidak kurus tidak juga gemuk orang bilang berisi. Aku tidak

tahu berat badan berapa karena waktu itu tidak pernah menimbang badan, kulit putih,

rambut pendek dan selalu dikriting. Wajah agak bulat, hidung kecil tidak mancung tidak

juga pesek, mata bulat, bibir tipis.

Ada lagi kejadian waktu 10 November, itukan hari Pahlawan. Pemuda-pemuda partai anti

PKI melakukan aksi demo di luar penjara. Mereka memaksa masuk ke dalam penjara.

Mendengar ribut-ribut kami yang di dalam sel menjadi ketakutan, lalu aku manjat di dalam

kamar penjara itu dengan papan-papan tempat tidur. Aku lihat mereka memang sudah

membawa parang, kayu, panah, tombak.

Untung saja tentara-tentara yang menjaga penjara berhasil menghalangi mereka masuk.

kalau sampai mereka masuk pasti habis kami yang di dalam. Penjara ini bentuknya leter U,

bagian samping-samping untuk laki-laki dan yang di tengah untuk perempuan. Meskipun

kami banyak tapi kami tidak bersenjata.

Yah... aku mengerti namanya dalam penjara pasti tidak sebaik di rumah tapi ini memang

sudah sangat tidak manusiawi. Seperti masalah tempat pembuangan kotoran manusia yang

sangat tidak kondusif, belum lagi soal jatah makan yang tidak memadai. Hampir dua

minggu aku tidak bisa buang air besar, baru mau masuk ke ruangan pembuangan itu…

aduh… itu kotorannya sudah kemana-mana karena memang tidak ada air cukup untuk

menyiram. Jadi terpaksa ditahan, untung makan hanya sebesar onde-onde begini (sekepalan

tangan). Jadi nasi yang sudah dibulatkan seperti itu, satu orang satu biji, 3 potong kangkung,

2 ekor ikan putih (teri) yang sudah dikasih kuah dicampur sayur kangkung. Diletakkan di

daun “tagalolo” setiap hari.

Beberapa hari di penjara aku dapat besukkan dari Mama, nasi bungkus dan ikan. Setiap aku

dapat besukan, aku bagikan juga pada teman-teman. Karena banyak dari mereka yang tidak

lagi dapat besukan dari keluarganya, sementara jatah makan kami sangat, sangat kurang.

Selama di penjara kami tidak melakukan apa-apa, cuma duduk, tidur, tidak ada interogasi

lagi, hanya waktu pertama masuk saja. Sekitar 2 minggu kami di penjara, ada interogasi lagi

dan dibilang sudah mau bebas. Itu makanya ketika ibuku datang menjenguk, aku minta

baju-baju dibawa pulang karena aku pikir mau dibebaskan.

Ternyata, pada hari yang telah ditentukan kami malah dikirim ke Sukur, Tonsea. Katanya di

sana tempat penampungan tahanan yang hampir bebas. Selama di sana kami diberikan

pembekalan-pembekalan istilahnya Santiaji. Yang ngasih pembekalan ada dari pemerintah,

Page 222: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

222

dari Korem, dari bidang keagamaan seperti dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu. Pembekalan

ini dilakukan tiap hari, pokoknya sampai tulang belakang mau patah, duduk di lantai buluh.

Selama di Sukur aku sedikit merasa lebih baik dibanding teman-teman lain, berkat Fam Oro

yang ada di belakang namaku. Hari pertama datang dan apel, ada seorang petugas yang

menanyakan siapa yang Fam Oro. Sejak itu aku mendapat makanan khusus dari petugas itu,

diantar langsung ke tempatku. Di Sukur ini kami tidak lagi di kamar-kamar tapi

ditempatkan dalam barak-barak, yang dulunya adalah gudang kopra. Akhir November

kami dipulangkan dari Sukur sesudah kira-kira satu minggu di sana.

Di Sukur aku selalu bertiga dengan ibu Loloan dan teman aku satu organisasi namanya

Marko. Tapi dia sekarang tidak ikut aktif di organisasi para eks-tapol. Mungkin karena

sekarang sudah mulai mapan jadi sudah lupa penderitaan dulu. Tapi buat aku sampai

matipun aku tidak akan lupa, walaupun tidak disiksa tapi aku merasakan penderitaan orang

lain. Apa yang diderita orang lain aku rasakan. Jadi seperti aku bilang sebelumnya, yang

paling tersiksa adalah bathin, karena mengingat penderitaan dari teman-teman yang

disiksa, diperkosa dan dibunuh. Belum lagi rasa takut yang terus menerus mencekam kami.

Pernah satu waktu aku bersama orang-orang yang diwajibkan lapor setelah pulang dari

penjara dikumpul di lapangan Koramil. Sementara di bagian lain ada beberapa orang eks

tapol yang diperintahkan untuk membuat perabot rumahtangga. Tapi ternyata dari waktu

yang ditentukan perabot itu belum selesai dikerjakan, salah satu dari petugas itu marah

sekali. Dia langsung ambil senjata lalu langsung dikokang, sambil membentak dan

mengarahkan senjatanya ke arah kami. Kami semua yang di lapangan ketakutan, teriak-

teriak sambil tiarap bahkan ada yang lari sampai ke kebun jauh dari Koramil.

Lepas dari penjara, masuk kerjapaksa

Sepulang dari penjara, di samping kami harus melapor pagi sore kami juga harus kerja

paksa . Seperti misalnya untuk para laki-laki, ada yang disewa untuk potong padi.

Sebenarnya dibayar oleh para pemilik sawah tapi diambil oleh para petugas itu. Sering

mereka sudah kerja tidak dikasih makan, sementara untuk mencari pekerjaan atau

melakukan pekerjaan lain tidak ada waktu lagi. Maka jadilah kami makan seadanya,

ternyata nasib kami juga tidak lebih baik dari orang-orang yang masih di penjara. Seolah-

olah kami memang benar-benar tidak ada hak lagi atas apapun bahkan atas diri kami

sendiri. Kami benar-benar dimiskinkan karena tidak ada lagi waktu untuk bekerja

memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk keluarga jangankan untuk menyimpan.

Aku sendiri ikut kerja paksa dari tahun 65 sampai tahun 80an. Dari sebelum menikah

sampai aku punya anak 3. Pekerjaan yang aku kerjakan, macam-macam. Mencangkul bikin

Page 223: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

223

saluran air, membersihkan pinggir-pinggir jalan bahkan sampai ke Kawangkoan. Tidak

peduli laki-laki atau perempuan pekerjaan kami sama, tidak diberi makan. Jam 7 pagi kami

apel, sekitar jam 8 kerja sampai jam 3 siang. Umumnya kami tidak sarapan dari rumah

karena memang tidak ada yang bisa dimakan, kalaupun ada dibawa untuk makan siang.

Aku kebetulan selalu membawa makanan karena masih tinggal sama orangtua. Orangtua

dan adik-adikku memang tidak dikenakan wajib lapor karena mereka memang tidak aktif di

organisasi seperti aku. Buat aku pekerjaan yang paling parah dan menyiksa yaitu cuci baju

petugas ODM (sekarang Koramil), satu minggu kadang 3 kali. Di samping banyak, baju

tentara itu kan berat-berat. Biasanya kami dua orang-dua orang dapat tugas itu. Jarak rumah

orangtua ke ODM sekitar satu kilo meter, lalu kami naik mobil di bawa ke tempat kerja.

Misalnya waktu pembuatan saluran air di Kawangkoan sekitar 15 km, setiap sebelum

bekerja kita melapor di ODM (Koramil), nanti dari situ baru diangkut dengan mobil.

Sepanjang yang aku ingat ada beberapa orang perempuan di sini yang diperkosa, tapi

sekarang dia sudah meninggal. Lalu ada juga yang masih hidup tapi sekarang dia tinggal di

Jakarta.

Nah aku sendiri kan sudah pernah dua kali mengalami situasi ke arah itu sebelum masuk

penjara. Setelah keluar dari penjara situasi ini aku alami kembali, waktu ada acara ulang

tahun pimpinan Koramil. Waktu itu aku berdua dengan teman dapat tugas masak. Waktu

acara sudah selesai aku berdua teman mau minta ijin pulang sama letnan yang jaga. Aku

bilang kalau kami mau pulang karena tugas kami hanya memasak dan sudah selesai. Tapi

entah kenapa kami tidak diijinkan pulang.

“Oh jangan. Kalau saya bilang tidak boleh pulang, tidak boleh pulang.” katanya.

Setelah itu temanku ke belakang, sementara aku mau mengambil nasi untuk dibawa ke

depan. Tiba-tiba dia peluk aku dari belakang. Lalu aku bilang, ”Pak… ada apa ini pak...?

saya nda biasa begini… kenapa Bapak begini…?” Lalu aku berteriak, ”Pendeta…” . Aku

panggil-panggil ibu pendeta yang memang juga diundang pada acara itu tapi ternyata dia

sudah pulang. Mungkin karena pendeta sudah melihat mereka sudah pada mabuk. Waktu

itu kan aku masih pegang tempat nasi, aku ancam dia, kalau tidak dilepas, aku lempar

tempat nasinya. Karena tempat nasi itu dari kaca, kalau pecah pasti keras bunyinya. Lalu dia

lepas aku, kemudian dia pergi ke luar bergabung dengan teman-temannya.

Sementara itu, memang para tentara yang sudah bergabung dengan pemuda-pemuda dari

Komando Pemuda Anti G30S PKI, sudah mulai mabuk semua. Kemudian muncul petugas

lain yang namanya bapak Gatot, aku kenal beliau orang baik, lalu aku bilang kepada beliau,

Page 224: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

224

”Pak kasih pulang kami, sudah jam setengah dua belas ini. Apa kata orangtua kami,

sedangkan kami nona-nona, masa masih berkeliaran di luar jam begini.”

Dia bilang, ”kamu sembunyi-sembunyi kalau mau pulang biar saya yang

bertanggungjawab”. Lalu dia bikin surat, untuk bisa lewat pos-pos. Pulang ke rumah,

orangtua marah, dia tanya, kenapa baru pulang. Sementara mereka tidak tahu apa yang

sudah aku alami di sana. Aku hanya bilang, “Masih mending kami bisa pulang.”

Tiga kali lolos dari percobaan perkosaaan membuat aku berpikir, kalau ini bukanlah suatu

kebetulan tapi memang ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Yah meskipun aku juga

tahu bahwa kita juga jangan pasrah kita harus melawan. Mungkin juga karena statusku yang

masih sendiri hingga membuka peluang bagi tentara-tentara itu untuk melakukan hal-hal

yang tidak baik. Meskipun memang tidak menutup kemungkinan yang sudah menikah juga

tetap diganggu. Paling tidak jika ada suami aku sedikit merasa aman karena sudah ada yang

melindungi.

Atas pertimbangan keamanan dan keselamatan itulah tahun 1968 aku memutuskan

menikah. Aku menikah dengan seorang laki-laki yang sama-sama dituduh terlibat peristiwa

G30S, dan tentu saja kami sama-sama kena wajib lapor. Kebetulan calon suami aku juga

tidak lama di penjara hanya 5 hari. Anak pertama kami laki-laki lahir satu tahun setelah

kami menikah, disusul anak kedua perempuan satu tahun kemudian. Baru tahun 1974 lahir

anak kami yang ketiga, laki-laki.

Setelah menikah kami masih ikut dengan orang tuaku, hanya tambah kamar menempel

dengan rumah induk. Sampai aku punya anak tiga masih tinggal sama orangtua, hanya

tambah-tambah kamar sedikit. Tahun 1974 kami pindah rumah tapi masih di Kolongan Atas,

tidak jauh dari rumah lama. Jarak ke Koramil sekitar 600 meter. Tempat baru ini adalah

tanah warisan dari Oma (nenek), di mana sudah ada rumah, aku dan keluarga yang

menempati. Meskipun tidak besar tapi kami sudah punya rumah sendiri, dan anak-anak

bisa lebih leluasa bergerak. Bentuknya tetap panggung, hanya saja atapnya sudah memakai

seng. Sementara orangtua dan adik-adik yang belum menikah, membuat rumah baru di

rumah orang tua, halaman rumah, lumayan luas. Waktu ini sudah ada listrik tapi aku masih

nyambung dari

Tahun 1989 aku dan keluarga disuruh mengurus rumah saudara jauh dari bapak yang

kosong, lokasinya di belakang rumah. Bangunan rumahnya sudah tembok tidak lagi pakai

kayu, kami hanya disuruh merawatnya. Lalu tahun 2002 aku pindah lagi, tidak jauh dari

rumah lama yang aku tempati. Jaraknya lebih dekat lagi sekitar 500 meter, tapi memang

kami sudah tidak wajib lapor lagi sejak tahun 1980. Rumah ini juga milik saudara bapak itu,

Page 225: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

225

karena kami sudah mengurus rumahnya, maka kami diberikan rumah untuk ditempati. Aku

sangat bersyukur dan berterimakasih sekali atas kebaikan beliau. Beliau itu seorang

pengusaha, sekarang tinggal di Manado. Karena sudah pemekaran maka tempat terakhir

yang kami tinggal namanya Kolongan Atas Dua.

Selama puluhan tahun kami wajib lapor setiap hari dan kerja tanpa dibayar 4 hari dalam

seminggu. Lalu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kami menjadi buruh tani, kalau

tidak ikut harus setor uang ke Koramil. Biasanya dalam satu minggu kami harus bayar 5000,

sedangkan kalau kami kerja buruh tani satu hari kan 6 jam kami digaji 750/hari. Dalam

seminggu ada 6 hari kerja dikalikan 750, maka pendapatan kami seminggu 4500. Sementara

kami harus bayar ke Koramil 5000, karena kami tidak melapor dalam seminggu itu. Sudah

tidak mendapat apa-apa kami juga harus bayar. Terbayang betapa, dulu kami benar-benar

diperas tenaganya.

Pernah, aku dipanggil melapor karena ada komandan KOPAG dari Manado aku tidak ingat

namanya yang aku ingat pangkatnya Sersan. Tahun 1969 aku masih ingat sekali kejadiannya

seolah-olah baru terjadi kemarin. Kenapa masih teringat karena waktu itu aku sedang hamil

6 bulan anak pertama. Bayangkan dia memerintahkan aku “push up”, benar-benar tidak

punya hati.

Kejadiannya seperti ini, jam 2 siang aku dipanggil menghadap ke Koramil. Aku pergi sendiri

karena suami aku tidak dipanggil dan kebetulan sedang bekerja di kebun. Sampai di

Koramil sudah banyak orang yang juga dipanggil, aku termasuk yang dipanggil karena aku

pernah menjadi pengurus organisasi Pemuda Rakyat. Sambil menunggu dipanggil aku

duduk memperhatikan orang-orang yang dipanggil. Kami saling kenal tapi kami tidak

berani saling bertegur sapa, suasananya juga mencekam. Karena hampir dapat dipastikan

jika ada pemanggilan seperti ini pasti akan ada siksaan. Aku melihat wajah-wajah ketakutan,

karena aku tahu bahwa mereka hanya para petani yang tidak mengerti apa kesalahan

mereka. Aku kenal mereka dari kecil, dan aku tinggal bersama mereka.

Akhirnya giliran aku dipanggil menghadap sersan komandan KOPAG, lalu aku disuruh

duduk. Lalu dia mulai bertanya.

“Kamu pernah jadi pengurus Pemuda Rakyat?”

“Yah pernah” aku bilang

“Waktu peristiwa G30S tahun 65 kamu di mana?”

“Saya di Sonder”

“Apa kamu sudah tahu rencana pemberontakan itu?”

Page 226: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

226

Lalu aku jawab, ”Ini pertanyaan bukan puluhan kali ditanya tapi ratusan kali ditanya.

Berulang-ulang, dari tahun 65 saya ditangkap. Bagaimana saya bisa tahu, sementara saya

hanya anggota organisasi Pemuda Rakyat di sini, jauh dari Jakarta.”

Dia marah mendengar jawabanku, lalu dia berdiri dan membentak ku, “Ba pompa kamu”

(push up kamu)

“Aduh pak saya ini sedang hamil 6 bulan masa disuruh push up”

“Makanya kamu jangan melawan, ya sudah sekarang kamu lari di tempat”

Akhirnya aku lari di tempat, aku tidak tahu berapa menit pastinya. Sampai aku sudah tidak

kuat lagi aku berhenti. Lalu aku disuruh keluar tapi tidak boleh pulang menunggu sampai

semua selesai sampai jam setengah enam sore.

Belum lagi perlakuan diskriminasi lingkungan sekitar terhadap keberadaan kami. Seperti

pembuatan KTP yang ditandai dengan ET yang berdampak pada masa depan anak-anak

kami. Anak kami yang sekolah guru tidak bisa mendaftar menjadi pegawai negeri karena

anak dari eks tapol.

Satu lagi anak kami yang pertama mengalami perlakuan diskriminasi. Waktu itu dia mau

masuk kuliah di Universitas Negeri di Manado jurusan teknik. Karena sampulnya dia itu

sudah ditandai, jadi tidak diterima. Itu mungkin karena ada orang yang tidak suka kepada

keluarga kami kalau kami maju, maka ada yang melaporkan ke pihak kampus. Alasannya

diprioritaskan yang tidak lulus tahun lalu, akhirnya tidak jadi kuliah.

Sementara perjuangan kami untuk menyekolahkan mereka meskipun hanya sampai sekolah

menengah sangatlah berat. Kami tidak bisa bebas mencari pekerjaan atau berusaha ke luar

kampung, hingga tahun 80an baru bisa sedikit ada kebebasan. Artinya boleh bekerja ke luar

kampung tapi harus melapor dulu mau ke mana perginya. Uang yang kami dapat dalam

seminggu harus dibagi ke Koramil (setor), bagi untuk makan, bagi untuk ongkos anak-anak

sekolah. Anak-anakku pergi ke sekolah sepatunya ditambal dengan plester, celana

pantatnya ditempel dengan plester karena sudah lubang. Jalan kaki ke sekolah, tanpa uang

saku, sarapan cuma ubi, atau pisang. Tidak ada nasi, karena pada waktu itu mau mencari

uang pun susah. Aku dan suami bekerja sebagai buruh tani dari kampung ke kampung,

karena di kampung sendiri kami tidak dipakai. Sementara anak kami tinggal bersama orang

tua di rumah.

Tidak ada yang lebih sakit buatku ketika mendengar anak-anak bercerita bagaimana mereka

diperlakukan oleh teman-teman sekolah ataupun lingkungan sekitar. Aku selalu berusaha

untuk meyakinkan mereka, bahwa mereka harus jadi orang kuat. Mereka harus tetap

Page 227: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

227

sekolah, isi otak dengan pengetahuan. Karena pengetahuan tidak ada yang bisa curi, kalau

harta masih bisa diambil orang.

Perlakuan di lingkungan Gereja.

Begitu juga di lingkungan gereja kami merasa terisolir, dan merasa minder. Padahal sebelum

peristiwa 65 itu, aku sudah bergabung di kegiatan pemuda gereja. Bagaimana mungkin

mereka mengatakan kalau aku tidak punya Tuhan.

Setiap kami mau masuk gereja, mereka bilang ”PKI... PKI”. Dulu untuk membedakan kami

dengan jemaat lain yang laki-laki digundul. Sebenarnya waktu itu perempuan juga mau

digundul.

Aku bilang ke Koramil, ”Pak kayaknya tidak ada prikemanusiaan kalau perempuan

digundul. Berarti sudah melakukan hal-hal yang memang tidak senonoh kalau sampai

digundul”

“Ah kamu... ini perintah”

“Yah perintah pak, tapi kalau boleh dipertimbangkan... pertimbangkan.” Sementara kami

memang sudah dikumpulkan mau digunting. Tapi akhirnya memang tidak digunting cuma

yang laki-laki. Jadi kalau mau masuk gereja begitu ada ibadah, kelihatan bedanya. Satu

waktu ketika ibadah, pendeta yang memimpin doa bilang “Yah, saya lihat di Gereja ini,

cuma gundul-gundul yang banyak. Padahal kata bilang...e’..nda tahu Tuhan, kenapa mereka

yang banyak duduk di bangku”

Perjuangan menjadi Penyintas.

Sejak Tahun 1984 aku dan suami bisa membeli tanah dari hasil bekerja menjadi buruh tani.

Meskipun itu jauh di bukit sana dan kami coba bertanam cengkeh. Panen pertama itu tahun

1990, jadi sekitar 6 tahun setelah tanam bibit. Sebenarnya kalau pengurusan maksimal, 5

tahun sudah bisa panen. Tapi kan kami masih diganggu dengan kewajiban lapor, sementara

tanahnya jauh dari tempat tinggal.

Awal kami tanam bibit cengkeh sekitar 350 pohon, tapi sekarang sudah tidak diurus karena

suamiku sudah meninggal tahun 2008. Yah paling hanya tinggal 200an itu juga hasilnya

tidak maksimal, karena aku sudah tidak kuat untuk mengurus. Sementara anak-anak punya

kesibukan sendiri, jadi tidak fokus juga mengurus kebun cengkeh ini.

Mengurus panen cengkeh itu tidak mudah, banyak yang harus disediakan. Dari tangga

untuk memetik, buruh petik, tempat menjemur, alas untuk menjemur, tenaga untuk

menjemur dan mengangkat. Semua itu kita harus bayar orang, dari petik sampai kering.

Sudah kering dan dikarungkan itu baru punya kita, terkadang biaya operasionalnya bisa

Page 228: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

228

mencapai 50% dari hasil kotor. Sementara waktu panen tidak setahun sekali, dua tahun

sekali bahkan kalau seperti sekarang ini bisa tiga tahun sekali. Di samping itu aku juga

menanam sayuran di sekitar rumah, jadi untuk biaya hidup aku tidak khawatir lagi. Anak-

anak ku juga sudah berkeluarga semua dan bisa menghidupi dirinya sendiri. Saat ini

sepeninggal suami, aku tinggal bersama anak bungsu dan cucu.

Anakku yang pertama laki-laki kelahiran tahun 1969, sudah berkeluarga punya anak 3

tinggal di Sonder. Pendidikan terakhir Sekolah Menengah Atas (SMA), pekerjaannya tidak

tetap lebih sering menjadi tukang bangunan. Anak kedua perempuan kelahiran 1970,

sekolah sampai Sekolah Pendidikan Guru (SPG) tapi dia tidak bekerja. Saat ini

kesibukkannya jadi ibu rumah tangga mengurus 5 anak, suaminya PNS. Anakku yang

ketiga laki-laki kelahiran 1974, sudah berkeluarga punya anak satu, pendidikan terakhirnya

Sekolah Menengah Atas (SMA). Pekerjaannya wiraswasta dalam bidang pertanian, dan

kadang dia juga yang mengurus kebun cengkeh kami.

Kami bangga meskipun dulu kami diperlakukan tidak adil tapi sekarang kami bisa berdiri

atas usaha kami sendiri. Kami yakin Tuhan akan menolong orang yang mau berusaha. Kami

bisa hidup karena perjuangan, dan tekad untuk hidup. Semangat tinggi untuk hidup

berkobar, jadi mendorong dan tidak patah semangat. Tanpa semangat orang cenderung

sakit, kalau sudah sakit parah tidak bisa berbuat apa-apa.

Di antara kami, eks Tapol, juga sudah banyak yang terjun ke dunia politik, dan

pemerintahan. Ini membuktikan bahwa meskipun kami pernah ditindas dan diperlakukan

tidak adil tapi kami tidak menyerah. Kalau mau melihat perkembangan di kampung, orang-

orang yang dulu pernah ditindas, sekarang banyak yang sukses. Setelah ada kebebasan

untuk bergerak, bertani, bercocok tanam, dan ada usaha-usaha lain, maka merekalah yang

kelihatan sukses sekarang. Orang eks Tapol bukan pemalas tapi karena dulu tidak pernah

diberi kesempatan, sehingga tidak bisa mengembangkan diri. Sejak tahun 80an ketika mulai

diberi sedikit kebebasan, kami mulai bangkit menata kehidupan.

Buat aku itu semua sudah berakhir. Aku yakin, Tuhan tahu kita tidak berbuat salah.

Makanya aku bilang keyakinan itu yang membangkitkan semangat. Karena kalau kita mau

lihat orang-orang yang dulu benci sama kita mereka sudah berbalik. Mereka sudah

menyadari. Mereka sendiri yang berbalik baik. Mungkin juga di dalam hati mereka, aku

tidak tahu, tapi kalau melihat cara-cara mereka sudah tidak ada apa-apa lagi.

Sebagai orang yang beragama, aku menyerahkan semua itu kepada Tuhan. Ikut aktif dalam

kegiatan Gereja sangat membantu proses pemulihan. Di sini juga sudah banyak yang

menjadi pembantu dalam majelis-majelis. Lama-lama kita ditunjuk jadi koordiantor.

Page 229: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

229

Sekarang sudah boleh dipilih menjadi pimpinan agama, padahal dulu mau pimpin ibadah

kolom (lingkungan) tidak diperbolehkan. Itu belangsung dari tahun 65 sampai tahun 80an.

Sekarang ini aku juga sudah mulai memberikan pemahaman kepada anak-anak, untuk mau

meneruskan perjuangan kami yang belum menemukan titik terang. Bahwa memang

diperlukan generasi muda untuk melanjutkan. Kami hanya ingin keadilan demi

membersihkan nama baik, dan semoga membantu mengungkapkan fakta sejarah yang

sebenarnya.

Selain itu aku juga aktif di Organisasi Gerakan Rakyat Peduli HAM (GRP HAM) Manado

bersama teman-teman korban 65 lainnya dari seluruh Sulawesi Utara, seperti dari Minahasa

Selatan, Minahasa (Tondano), Manado, Sangir. Kami saling menguatkan tidak hanya dalam

memperjuangkan hak-hak tapi juga menguatkan dalam bidang keagamaan, dan saling

bertukar informasi. Semoga aku masih bisa menikmati buah dari perjuangan kami selama

ini.

Bertemu dengan anak-anak muda yang mau ikut bergabung dengan perjuangan kami,

bercerita dengan mereka, sangat menyenangkan. Itu juga membuat aku tetap bersemangat,

dan terkadang merasa lebih ringan ketika mereka mau mendengarkan cerita pengalamanku.

Karena selama ini tidak banyak yang mau peduli, mungkin mereka pikir tidak ada gunanya

buat mereka.***

Pewawancara dan penulis : Nurhasanah.

Apa & Siapa Alamsyah AK. Lamasitudju, lahir di Parigi, 06 Juni 1974. Aktivitasnya mengembangkan usaha pertanian palawija dan olahan makanan dari rumput laut. Saat ini juga menjadi pendamping bagi anak muda dalam lembaga ELSAB (Lembaga Seni Anak Bangsa). Alamatnya di jalan Ipi Dusun Kadongo Kelurahan Panau Kecamatan Palu Utara. Kontak yang dapat dihubungi 081354212966 Anita Tourisia, lebih akrab disapa Nita, Lahir di Palu, 14 April 1988, bergabung bersama SKP-HAM sejak 2012, sehari-hari juga bekerja sebagai accounting di Dinas Kesehatan Kota Palu. Saat ini tinggal di jalan Zebra Raya No. 20 kelurahan Birobuli kecamatan Palu Selatan. Nita dapat dihubungi di melalui email [email protected] dan HP: 082394209545 Netty. S. Kalengkongan, berasal dari Poso lahir pada 08 September 1963. Tahun 2001 akibat konflik Poso ia kehilangan suami dan seorang adik laki-laki. Aktivitasnya selain tergabung dalam SKP-HAM semenjak 2004 juga bekerja sebagai staf pengajar di STT Marturia Palu. Netty juga memiliki usaha rumahan Bawang Goreng khas Palu dan berbagai kue-kue dan cemilan ringan. Alamatnya saat ini Jl. Basuki Rahmat Satu Lorong Posarara 1 No.101 H Kel. Birobuli Kec. Palu Selatan. Kontak yang dapat dihubungi [email protected] dan HP: 085255986254

Page 230: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

230

Fredy Sreudeman Wowor, sastrawan dan dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Samratulangi Manado. Lahir 4 Maret 1977. Karya Puisi : Demikian Sabda Mesiah, Maesa Rondor Makaaruyen, Song Of The Road. Wajah Deportan (Antologi Mastera), Percakapan Lingua Franca (antologi Temu Sastrawan Indonesia), Alang-alang bulan (Antologi Mastera). Memerdekakann Tou Minahasa (Kumpulan Tulisan Kaum Muda Minahasa). Waktu Dalam Hidup Seorang Aktor, Angst, Kita Belum Merdeka. Sekarang melakukan penggalian Seni Tradisi Minahasa seperti Kawasaran, Maengket, dan Kalelon. Aktif di Mawale Movement. Kontak: [email protected] Alamat Rumah : Talikuran, Kec. Sonder,Kode Pos 95691. Kantor : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Samratulangi, Jln Kampus Unstrat Bahu Manado, Kode Pos : 95115 DR. Ivan R.B Kaunang, lahir di Manado September 1967. Dosen di Program Pascasarjana Magister (S2) dan Doktor (S3) Lingusitik Unsrat; Program Magister Arsitektur Unsrat; Dosen Luar Biasa di Program Magister dan Doktor Teologi di UKI-Tomohon; di STIEPAR Manado, di Poltekes Jurusan Ilmu Gizi Manado; Pemimpin Redaksi Jurnal “Duta Budaya” Fakultas Ilmu Budaya Unsrat; Ketua Laboratorium Sejarah Sosial Budaya Fak. Ilmu Budaya Unsrat; Direktur Seni Budaya di Ikatan Intelektual Muda (ILMU) Sulut; Direktur Institut Kajian Budaya Minahasa (IKBM); Konsultan Penulisan Sejarah Gereja di Lingkungan GMIM; dan aktif di Komunitas Diskusi “Mawale Movement”.Telah menulis berbagai buku dari disiplin ilmu yang berbeda. Kontak: [email protected] Muhammad Abbas, Lahir di Nupabomba kecamatan Tanan-tovea kabupaten Donggala Sulawesi Tengah 11 Januari 1980. Sekarang aktif di DKR (Dewan Kesehatan Rakyat) Sulawesi Tengah dan bekerja di KPPA (Komunitas Peduli Perempuan dan Anak) Sulawesi Tengah sebagai Asst Program Oficcer, Kontak HP.+6281245215513 Nurhasanah, lahir di Jakarta, tahun 1975.sekarang aktif di Gerakan Rakyat Peduli (GRP) HAM, Yayasan Dian Rakyat Indonesia (YDRI), freelance Project BASICS-CIDA Canada, additional admin SIPS-CIDA Canada sekarang tinggal di Manado, Sulut email : [email protected] Nurlaela AK. Lamasitudju (Ella), lahir di Poso, 11 Novemver 1978, bekerja di SKP-HAM sejak 2004. Tinggal di Perumahan Korpri Blok A1 No. 39 Kelurahan Kawatuna Kecamatan Mantikulore Kota Palu. Kontak yang dapat dihubung. Kontak :081341146684 Putu Oka Sukanta, sastrawan dan akupunkturis, lahir di Singaraja tahun 1939. Beberapa novel, kumpulan cerpen, kumpulan puisinya sudah terbit dalam bahasa Indonesia, Inggris, Jerman danPerancis. Memproduksi 6 Film Dokumenter “Dampak Sosial TragediKemanusiaan 1965-66”, Ketua Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan.Pernah dipenjarakan oleh ORBA selama 10 tahun tanpa proseshukum. Menerima Award Hellman/Hammett, Human Rights Watch New York, 2012. Kontak: [email protected]. Rusdy Mastura, Walikota Palu Salim Martodiredjo, lahir di Kroya Jawa Tengah. Membuat ilustrasi untuk beberapa buku dalam dan luar negeri. Sebagai Ilustrator buku memperoleh penghargaan dari IKAPI 1989, Hadiah III pada Pameran Buku Anak-anak Asia di Teheran, 1991. Di Tokyo pada tahun 1990,

Page 231: Sulawesi Bersaksi · Sulawesi Bersaksi 1 DAFTAR ISI • Kata Pengantar - hal. 2 • Kata Mereka -

Sulawesi Bersaksi

231

1992, 1994, 1996. Juga memperoleh penghargaan dari Asia-Pacific Cultural Center for Unesco. Hidup dan tinggal di Jakarta sebagai pelukis. Pernah dipenjarakan Orde Baru selama 6 tahun tanpa proses hukum, karena bekerja di Sekretariat Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing di Jakarta. Kontak: [email protected]