Upload
asmoro-pribadi-dewo
View
38
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
Nama : Asmoro Pribadi Dewo
NIM : F1D213020
1. Geologi Struktur Pulau Sumatera
A. Letak Geografis
Pulau Sumatera terletak di bagian barat gugusan kepulauan Indonesia. Dimana batas-
batasnya adalah sebagai berikut:
- sebelah utara berbatasan dengan Teluk Benggala
- sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka
- sebelah selatan dengan Selat Sunda
- sebelah barat dengan Samudera Hindia
Di bagian barat pulau, terbentang Bukit Barisan yang membujur dari utara hingga
selatan. Diantaranya terdapat gunung berapi yang masih aktif, seperti gunung Merapi
(Sumatera Barat), Bukit Kaba (Bengkulu), dan Kerinci (Jambi). Pulau Sumatra juga banyak
memiliki danau, diantaranya danau Laut Tawar (NAD), danau Toba (Sumatera Utara), danau
Singkarak, Maninjau, Diatas dan Dibawah (Sumatera Barat), danau Ranau (Sumatera
Selatan), danau Dendam Tak Sudah dan Danau Tes (Bengkulu)
Di sebelah timur pulau, banyak dijumpai rawa yang dialiri oleh sungai-sungai besar, antara
lain :
• sungai Asahan (Sumatera Utara)
• sungai Kampar
• Siak dan Indragiri (Riau)
• sungai Batang Hari
• Sungai Ketahun (Lebong, Bengkulu)
• sungai Musi, Ogan, dan Komering (Sumatera Selatan)
• sungai Lematang(Lahat)
• sungai Enim (Muara Enim).
B. Gambaran Umum
Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu lempeng
Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasific. Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan
lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusatenggara, sedangkan dengan Pasific
di utara Irian dan Maluku utara. Di sekitar lokasi pertemuan lempeng ini akumulasi energi
tabrakan terkumpul sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan
tumpukan energi sehingga lepas berupa gempa bumi.
Pertemuan lempeng Indo-Australia dengan Eurasia di selatan Jawa hampir tegak
lurus, berbeda dengan pertemuan lempeng di wilayah Sumatera yang mempunyai subduksi
miring dengan kecepatan 5-6 cm/tahun (Bock, 2000).
Pulau Sumatera dicirikan oleh tiga sistem tektonik. Berurutan dari barat ke timur
adalah sebagai berikut: zona subduksi oblique dengan sudut penunjaman yang landai, sesar
Mentawai dan zona sesar besar Sumatera. Zona subduksi di Pulau Sumatera, yang sering
sekali menimbulkan gempa tektonik, memanjang membentang sampai ke Selat Sunda dan
berlanjut hingga selatan Pulau Jawa. Subsuksi ini mendesak lempeng Eurasia dari bawah
Samudera Hindia ke arah barat laut di Sumatera dan frontal ke utara terhadap Pulau Jawa,
dengan kecepatan pergerakan yang bervariasi. Puluhan hingga ratusan tahun, dua lempeng itu
saling menekan. Namun lempeng Indo-Australia dari selatan bergerak lebih aktif.
Pergerakannya yang hanya beberapa millimeter hingga beberapa sentimeter per tahun ini
memang tidak terasa oleh manusia. Karena dorongan lempeng Indo-Australia terhadap
bagian utara Sumatera kecepatannya hanya 5,2 cm per tahun, sedangkan yang di bagian
selatannya kecepatannya 6 cm per tahun. Pergerakan lempeng di daerah barat Sumatera yang
miring posisinya ini lebih cepat dibandingkan dengan penyusupan lempeng di selatan Jawa.
C. Kerangka Tektonik Pulau SumatraPulau Sumatra terletak di baratdaya dari Kontinen Sundaland dan merupakan jalur
konvergensi antara Lempeng Hindia-Australia yang menyusup di sebelah barat Lempeng
Eurasia/Sundaland. Konvergensi lempeng menghasilkan subduksi sepanjang Palung Sunda
dan pergerakan lateral menganan dari Sistem Sesar Sumatra.
Gambar 1. Pembentukan Cekungan Belakang Busur di Pulau Sumatra (Barber dkk, 2005).
Subduksi dari Lempeng Hindia-Australia dengan batas Lempeng Asia pada masa
Paleogen diperkirakan telah menyebabkan rotasi Lempeng Asia termasuk Sumatra searah
jarum jam. Perubahan posisi Sumatra yang sebelumnya berarah E-W menjadi SE-NW
dimulai pada Eosen-Oligosen. Perubahan tersebut juga mengindikasikan meningkatnya
pergerakan sesar mendatar Sumatra seiring dengan rotasi. Subduksioblique dan pengaruh
sistem mendatar Sumatra menjadikan kompleksitas regimstress dan pola strain pada Sumatra
(Darman dan Sidi, 2000). Karakteristik Awal Tersier Sumatra ditandai dengan pembentukkan
cekungan-cekungan belakang busur sepanjang Pulau Sumatra, yaitu Cekungan Sumatra
Utara, Cekungan Sumatra Tengah, dan Cekungan Sumatra Selatan (Gambar 1).
Pulau Sumatra diinterpretasikan dibentuk oleh kolisi dan suturing dari mikrokontinen
di Akhir Pra-Tersier (Pulunggono dan Cameron, 1984; dalam Barber dkk, 2005). Sekarang
Lempeng Samudera Hindia subduksi di bawah Lempeng Benua Eurasia pada arah N20°E
dengan rata-rata pergerakannya 6 – 7 cm/tahun. Konfigurasi cekungan pada daerah Sumatra
berhubungan langsung dengan kehadiran dari subduksi yang menyebabkan non-volcanic
fore-arc dan volcano-plutonik back-arc. Sumatra dapat dibagi menjadi 5 bagian (Darman dan
Sidi, 2000):
1. Sunda outer-arc ridge, berada sepanjang batas cekungan fore-arc Sunda dan yang
memisahkan dari lereng trench.
2. Cekungan Fore-arc Sunda, terbentang antara akresi non-vulkanik punggunganouter-
arc dengan bagian di bawah permukaan dan volkanik back-arc Sumatra.
3. Cekungan Back-arc Sumatra, meliputi Cekungan Sumatra Utara, Tengah, dan
Selatan. Sistem ini berkembang sejalan dengan depresi yang berbeda pada bagian
bawah Bukit Barisan.
4. Bukit Barisan, terjadi pada bagian axial dari pulaunya dan terbentuk terutama pada
Perm-Karbon hingga batuan Mesozoik.
5. Intra-arc Sumatra, dipisahkan oleh uplift berikutnya dan erosi dari daerah
pengendapan terdahulu sehingga memiliki litologi yang mirip pada fore-arc danback-
arc basin.
Struktur Utama Cekungan Sumatra Selatan
Menurut Salim dkk (1995) Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan belakang
busur karena berada di belakang Pegunungan Barisan sebagai volcanic-arc-nya. Cekungan
ini berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda
sebagai bagian dari Lempeng Kontinen Asia dan Lempeng Samudera India. Daerah cekungan
ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, bagian barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-
Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh Paparan Sunda (Sundaland), sebelah barat
dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Menurut Suta dan Xiaoguang (2005; dalam Satya, 2010) perkembangan struktur
maupun evolusi cekungan sejak Tersier merupakan hasil interaksi dari ketiga arah struktur
utama yaitu, berarah timurlaut-baratdaya atau disebut Pola Jambi, berarah baratlaut-tenggara
atau disebut Pola Sumatra, dan berarah utara-selatan atau disebut Pola Sunda. Hal inilah yang
membuat struktur geologi di daerah Cekungan Sumatra Selatan lebih kompleks dibandingkan
cekungan lainnya di Pulau Sumatra. Struktur geologi berarah timurlaut-baratdaya atau Pola
Jambi sangat jelas teramati di Sub-Cekungan Jambi. Terbentuknya struktur berarah timurlaut-
baratdaya di daerah ini berasosiasi dengan terbentuknya sistem graben di Cekungan Sumatra
Selatan. Struktur lipatan yang berkembang pada Pola Jambi diakibatkan oleh pengaktifan
kembali sesar-sesar normal tersebut pada periode kompresif Plio-Plistosen yang berasosiasi
dengan sesar mendatar (wrench fault). Namun, intensitas perlipatan pada arah ini tidak begitu
kuat.
Pola Sumatra sangat mendominasi di daerah Sub-Cekungan Palembang (Pulunggono
dan Cameron, 1984). Manifestasi struktur Pola Lematang saat ini berupa perlipatan yang
berasosiasi dengan sesar naik yang terbentuk akibat gaya kompresi Plio-Pleistosen. Struktur
geologi berarah utara-selatan atau Pola Sunda juga terlihat di Cekungan Sumatra Selatan.
Pola Sunda yang pada awalnya dimanifestasikan dengan sesar normal, pada periode tektonik
Plio-Pleistosen teraktifkan kembali sebagai sesar mendatar yang sering kali memperlihatkan
pola perlipatan di permukaan.
Gambar 2. Elemen Struktur Utama pada Cekungan Sumatra Selatan. Orientasi Timurlaut-baratdaya atau Utara-Selatan Menunjukkan Umur Eo-Oligosen dan Struktur Inversi Menunjukkan Umur Plio-Pleistosen(Ginger dan Fielding, 2005).
D. Perkembangan Tektonik Pulau Sumatra
Peristiwa Tektonik yang berperan dalam perkembangan Pulau Sumatra dan Cekungan
Sumatra Selatan menurut Pulonggono dkk (1992) adalah:
Fase kompresi yang berlangsung dari Jurasik awal sampai Kapur. Tektonik ini
menghasilkan sesar geser dekstral WNW – ESE seperti Sesar Lematang, Kepayang,
Saka, Pantai Selatan Lampung, Musi Lineament dan N – S trend. Terjadi wrench
movement dan intrusi granit berumur Jurasik – Kapur.
Gambar 3. Fase Kompresi Jurasik Awal Sampai Kapur dan Elipsoid Model (Pulonggono dkk, 1992).
Fase tensional pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal yang menghasilkan sesar
normal dan sesar tumbuh berarah N – S dan WNW – ESE. Sedimentasi mengisi
cekungan atau terban di atas batuan dasar bersamaan dengan kegiatan gunung api.
Terjadi pengisian awal dari cekungan yaitu Formasi Lahat.
Gambar 4. Fase Tensional Kapur Akhir Sampai Tersier Awal dan Elipsoid Model (Pulonggono dkk, 1992).
Fase ketiga yaitu adanya aktivitas tektonik Miosen atau Intra Miosen menyebabkan
pengangkatan tepi-tepi cekungan dan diikuti pengendapan bahan-bahan klastika.
Yaitu terendapkannya Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai,
Formasi Air Benakat, dan Formasi Muara Enim.
Fase keempat berupa gerak kompresional pada Plio-Plistosen menyebabkan sebagian
Formasi Air Benakat dan Formasi Muara Enim telah menjadi tinggian tererosi,
sedangkan pada daerah yang relatif turun diendapkan Formasi Kasai. Selanjutnya,
terjadi pengangkatan dan perlipatan berarah barat laut di seluruh daerah cekungan
yang mengakhiri pengendapan Tersier di Cekungan Sumatra Selatan. Selain itu terjadi
aktivitas volkanisme pada cekungan belakang busur.
Gambar 5. Fase Kompresi Miosen Tengah Sampai Sekarang dan Elipsoid Model(Pulonggono dkk, 1992).
Sistem Subduksi Sumatra
Pada akhir Miosen, Pulau Sumatera mengalami rotasi searah jarum jam. Pada zaman
Pliopleistosen, arah struktur geologi berubah menjadi barat daya-timur laut, di mana aktivitas
tersebut terus berlanjut hingga kini. Hal ini disebabkan oleh pembentukan letak samudera di
Laut Andaman dan tumbukan antara Lempeng Mikro Sunda dan Lempeng India-Australia
terjadi pada sudut yang kurang tajam. Terjadilah kompresi tektonik global dan lahirnya
kompleks subduksi sepanjang tepi barat Pulau Sumatera dan pengangkatan Pegunungan
Bukit Barisan pada zaman Pleistosen.
Pada akhir Miosen Tengah sampai Miosen Akhir, terjadi kompresi pada Laut Andaman.
Sebagai akibatnya, terbentuk tegasan yang berarah NNW-SSE menghasilkan patahan berarah
utara-selatan. Sejak Pliosen sampai kini, akibat kompresi terbentuk tegasan yang berarah
NNE-SSW yang menghasilkan sesar berarah NE-SW, yang memotong sesar yang berarah
utara-selatan.
Di Sumatera, penunjaman tersebut juga menghasilkan rangkaian busur pulau depan
(forearch islands) yang non-vulkanik (seperti: P. Simeulue, P. Banyak, P. Nias, P. Batu, P.
Siberut hingga P. Enggano), rangkaian pegunungan Bukit Barisan dengan jalur vulkanik di
tengahnya, serta sesar aktif ’The Great Sumatera Fault’ yang membelah Pulau Sumatera
mulai dari Teluk Semangko hingga Banda Aceh. Sesar besar ini menerus sampai ke Laut
Andaman hingga Burma. Patahan aktif Semangko ini diperkirakan bergeser sekitar sebelas
sentimeter per tahun dan merupakan daerah rawan gempa bumi dan tanah longsor.
Penunjaman yang terjadi di sebelah barat Sumatra tidak benar-benar tegak lurus
terhadap arah pergerakan Lempeng India-Australia dan Lempeng Eurasia. Lempeng Eurasia
bergerak relatif ke arah tenggara, sedangkan Lempeng India-Australia bergerak relatif ke arah
timurlaut. Karena tidak tegak lurus inilah maka Pulau Sumatra dirobek sesar mendatar (garis
jingga) yang dikenal dengan nama Sesar Semangko.
Penunjaman Lempeng India – Australia juga mempengaruhi geomorfologi Pulau
Sumatera. Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera terangkat,
sedangkan bagian timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian barat mempunyai dataran
pantai yang sempit dan kadang-kadang terjal. Pada umumnya, terumbu karang lebih
berkembang dibandingkan berbagai jenis bakau. Bagian timur yang turun akan menerima
tanah hasil erosi dari bagian barat (yang bergerak naik), sehingga bagian timur memiliki
pantai yang datar lagi luas. Di bagian timur, gambut dan bakau lebih berkembang
dibandingkan terumbu karang.
Sistem Sesar Sumatra
Di pulau Sumatera, pergerakan lempeng India dan Australia yang mengakibatkan
kedua lempeng tersebut bertabrakan dan menghasilkan penunjaman menghasilkan rangkaian
busur pulau depan (forearch islands) yang non-vulkanik (seperti: P. Simeulue, P. Banyak, P.
Nias, P. Batu, P. Siberut hingga P. Enggano), rangkaian pegunungan Bukit Barisan dengan
jalur vulkanik di tengahnya, serta sesar aktif ’The Great Sumatera Fault’ yang membelah
Pulau Sumatera mulai dari Teluk Semangko hingga Banda Aceh. Sesar besar ini menerus
sampai ke Laut Andaman hingga Burma. Patahan aktif Semangko ini diperkirakan bergeser
sekitar sebelas sentimeter per tahun dan merupakan daerah rawan gempa bumi dan tanah
longsor.
Di samping patahan utama tersebut, terdapat beberapa patahan lainnya, yaitu: Sesar
Aneuk Batee, Sesar Samalanga-Sipopok, Sesar Lhokseumawe, dan Sesar Blangkejeren.
Khusus untuk Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar dihimpit oleh dua patahan aktif,
yaitu Darul Imarah dan Darussalam. Patahan ini terbentuk sebagai akibat dari adanya
pengaruh tekanan tektonik secara global dan lahirnya kompleks subduksi sepanjang tepi barat
Pulau Sumatera serta pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan. Daerah-daerah yang berada
di sepanjang patahan tersebut merupakan wilayah yang rawan gempa bumi dan tanah
longsor, disebabkan oleh adanya aktivitas kegempaan dan kegunungapian yang tinggi. Banda
Aceh sendiri merupakan suatu dataran hasil amblesan sejak Pliosen, hingga terbentuk sebuah
graben. Dataran yang terbentuk tersusun oleh batuan sedimen, yang berpengaruh besar jika
terjadi gempa bumi di sekitarnya.
Penunjaman Lempeng India – Australia juga mempengaruhi geomorfologi Pulau Sumatera.
Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera terangkat, sedangkan bagian
timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian barat mempunyai dataran pantai yang sempit
dan kadang-kadang terjal. Pada umumnya, terumbu karang lebih berkembang dibandingkan
berbagai jenis bakau. Bagian timur yang turun akan menerima tanah hasil erosi dari bagian
barat (yang bergerak naik), sehingga bagian timur memiliki pantai yang datar lagi luas. Di
bagian timur, gambut dan bakau lebih berkembang dibandingkan terumbu karang.
Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan dimulainya peristiwa
pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta tahun lalu,
yang mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan relatif lempeng-
lempeng disertai dengan perubahan kecepatan relatif antar lempengnya berikut kegiatan
ekstrusi yang terjadi padanya. Gerak lempeng India-Australia yang semula mempunyai
kecepatan 86 milimeter / tahun menurun secara drastis menjadi 40 milimeter/tahun karena
terjadi proses tumbukan tersebut. Penurunan kecepatan terus terjadi sehingga tinggal 30
milimeter/tahun pada awal proses konfigurasi tektonik yang baru (Char-shin Liu et al, 1983
dalam Natawidjaja, 1994). Setelah itu kecepatan mengalami kenaikan yang mencolok sampai
sekitar 76 milimeter/tahun (Sieh, 1993 dalam Natawidjaja, 1994). Proses tumbukan ini,
menurut teori “indentasi” pada akhirnya mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar
geser di bagian sebelah timur India, untuk mengakomodasikan perpindahan massa secara
tektonik (Tapponier dkk, 1982).
Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman, punggungan
busur muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat proses yang terjadi.
Kenyataan menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-tension) Paleosoikum tektonik
Sumatera menjadikan tatanan tektonik Sumatera menunjukkan adanya tiga bagian pola (Sieh,
2000). Bagian selatan terdiri dari lempeng mikro Sumatera, yang terbentuk sejak 2 juta tahun
lalu dengan bentuk, geometri dan struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak
beraturan dan bagian utara yang tidak selaras dengan pola penunjaman.
Sistem Sesar Sumatra
Di pulau Sumatera, pergerakan lempeng India dan Australia yang mengakibatkan
kedua lempeng tersebut bertabrakan dan menghasilkan penunjaman menghasilkan rangkaian
busur pulau depan (forearch islands) yang non-vulkanik (seperti: P. Simeulue, P. Banyak, P.
Nias, P. Batu, P. Siberut hingga P. Enggano), rangkaian pegunungan Bukit Barisan dengan
jalur vulkanik di tengahnya, serta sesar aktif ’The Great Sumatera Fault’ yang membelah
Pulau Sumatera mulai dari Teluk Semangko hingga Banda Aceh. Sesar besar ini menerus
sampai ke Laut Andaman hingga Burma. Patahan aktif Semangko ini diperkirakan bergeser
sekitar sebelas sentimeter per tahun dan merupakan daerah rawan gempa bumi dan tanah
longsor.
Di samping patahan utama tersebut, terdapat beberapa patahan lainnya, yaitu: Sesar
Aneuk Batee, Sesar Samalanga-Sipopok, Sesar Lhokseumawe, dan Sesar Blangkejeren.
Khusus untuk Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar dihimpit oleh dua patahan aktif,
yaitu Darul Imarah dan Darussalam. Patahan ini terbentuk sebagai akibat dari adanya
pengaruh tekanan tektonik secara global dan lahirnya kompleks subduksi sepanjang tepi barat
Pulau Sumatera serta pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan. Daerah-daerah yang berada
di sepanjang patahan tersebut merupakan wilayah yang rawan gempa bumi dan tanah
longsor, disebabkan oleh adanya aktivitas kegempaan dan kegunungapian yang tinggi. Banda
Aceh sendiri merupakan suatu dataran hasil amblesan sejak Pliosen, hingga terbentuk sebuah
graben. Dataran yang terbentuk tersusun oleh batuan sedimen, yang berpengaruh besar jika
terjadi gempa bumi di sekitarnya.
Penunjaman Lempeng India – Australia juga mempengaruhi geomorfologi Pulau Sumatera.
Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera terangkat, sedangkan bagian
timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian barat mempunyai dataran pantai yang sempit
dan kadang-kadang terjal. Pada umumnya, terumbu karang lebih berkembang dibandingkan
berbagai jenis bakau. Bagian timur yang turun akan menerima tanah hasil erosi dari bagian
barat (yang bergerak naik), sehingga bagian timur memiliki pantai yang datar lagi luas. Di
bagian timur, gambut dan bakau lebih berkembang dibandingkan terumbu karang.
Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan dimulainya peristiwa
pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta tahun lalu,
yang mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan relatif lempeng-
lempeng disertai dengan perubahan kecepatan relatif antar lempengnya berikut kegiatan
ekstrusi yang terjadi padanya. Gerak lempeng India-Australia yang semula mempunyai
kecepatan 86 milimeter / tahun menurun secara drastis menjadi 40 milimeter/tahun karena
terjadi proses tumbukan tersebut. Penurunan kecepatan terus terjadi sehingga tinggal 30
milimeter/tahun pada awal proses konfigurasi tektonik yang baru (Char-shin Liu et al, 1983
dalam Natawidjaja, 1994). Setelah itu kecepatan mengalami kenaikan yang mencolok sampai
sekitar 76 milimeter/tahun (Sieh, 1993 dalam Natawidjaja, 1994). Proses tumbukan ini,
menurut teori “indentasi” pada akhirnya mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar
geser di bagian sebelah timur India, untuk mengakomodasikan perpindahan massa secara
tektonik (Tapponier dkk, 1982).
Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman, punggungan
busur muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat proses yang terjadi.
Kenyataan menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-tension) Paleosoikum tektonik
Sumatera menjadikan tatanan tektonik Sumatera menunjukkan adanya tiga bagian pola (Sieh,
2000). Bagian selatan terdiri dari lempeng mikro Sumatera, yang terbentuk sejak 2 juta tahun
lalu dengan bentuk, geometri dan struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak
beraturan dan bagian utara yang tidak selaras dengan pola penunjaman.
1. Cekungan Bengkulu (forearc basin)
Cekungan Bengkulu adalah salah satu cekungan forearc di Indonesia. Cekungan
forearc artinya cekungan yang berposisi di depan jalur volkanik (fore - arc ; arc = jalur
volkanik). Berdasarkan berbagai kajian geologi, disepakati bahwa Pegunungan
Barisan( dalam hal ini adalah volcanic arc -nya) mulai naik di sebelah barat Sumatra pada
Miosen Tengah. Pengaruhnya kepada Cekungan Bengkulu adalah bahwa sebelum Misoen
Tengah berarti tidakada forearc basin Bengkulu sebab pada saat itu arc -nya sendiri tidak
ada.Sebelum Miosen Tengah, atau Paleogen, Cekungan Bengkulu masih merupakan bagian
paling barat Cekungan Sumatera Selatan. Lalu pada periode setelah Miosen Tengah atau
Neogen, setelah Pegunungan Barisan naik, Cekungan Bengkulu dipisahkan dari Cekungan
Sumatera Selatan. Mulai saat itulah,Cekungan Bengkulu menjadi cekungan forearc dan
CekunganSumatera Selatan menjadi cekungan backarc (belakang busur).
Sejarah penyatuan dan pemisahan Cekungan Bengkulu dari Cekungan Sumatera
Selatan dapat dipelajari dari stratigrafi Paleogen dan Neogen kedua cekungan itu. Dapat
diamati bahwa pada Paleogen, stratigrafi kedua cekungan hampir sama. Keduanya
mengembangkan sistem graben di beberapa tempat. Di Cekungan Bengkulu ada Graben
Pagarjati, Graben Kedurang-Manna, Graben Ipuh (pada saat yang sama di Cekungan
SumateraSelatan saat itu ada graben-graben Jambi, Palembang, Lematang,dan Kepahiang).
Tetapi setelah Neogen, Cekungan Bengkulu masuk kepada cekungan yang lebih dalam
daripada Cekungan Sumatera Selatan, dibuktikan oleh berkembangnya terumbu –terumbu
karbonat yang masif pada Miosen Atas yang hampir ekivalen secara umur dengan karbonat
Parigi di Jawa Barat (paraoperator yang pernah bekerja di Bengkulu menyebutnya sebagai
karbonat Parigi juga). Pada saat yang sama, di Cekungan Sumatera Selatan lebih banyak
sedimen-sedimen regresif (Formasi Air Benakat/Lower Palembang dan Muara Enim/Middle
Palembang) karena cekungan sedang mengalami pengangkatan dan inversi.Secara tektonik,
mengapa terjadi perbedaan stratigrafi pada Neogen di Cekungan Bengkulu yaitu disebabkan
Cekungan Bengkulu dalam fase penenggelaman sementara Cekungan Sumatera Selatan
sedang terangkat.
2. Cekungan Sumatera Tengah (central basin)
Pola struktur yang ada saat ini di Cekungan Sumatra Tengah merupakan hasil
sekurang-kurangnya 3 (tiga) fase tektonikutama yang terpisah, yaitu Orogenesa Mesozoikum
Tengah,Tektonik Kapur Akhir-Tersier Awal, dan Orogenesa Plio-Plistosen(De Coster,
1974).Heidrick dan Aulia (1993), membahas secara terperinci tentang perkembangan
tektonik di Cekungan Sumatra Tengah dengan membaginya menjadi 3 (tiga) episode
tektonik, F1 (fase 1)berlangsung pada Eosen-Oligosen, F2 (fase 2) berlangsung padaMiosen
Awal-Miosen Tengah, dan F3 (fase 3) berlangsung pada Miosen Tengah-Resen. Fase
sebelum F1 disebut sebagai fase 0 (F0) yang berlangsung pada Pra Tersier.1. Episode F0
(Pre-Tertiary)Batuan dasar Pra Tersier di Cekungan Sumatra Tengah terdiri dari lempeng-
lempeng benua dan samudera yang berbentuk mozaik. Orientasi struktur pada batuan dasar
memberikan efek pada lapisan sedimen Tersier yang menumpang di atasnya dan kemudian
mengontrol arah tarikan dan pengaktifan ulang yang terjadi kemudian. Pola struktur tersebut
disebut sebagai elemen struktur F0.
Ada 2 (dua) struktur utama pada batuan dasar. Pertama kelurusan utara -selatan yang
merupakan sesar geser (Transform/WrenchTectonic) berumur Karbon dan mengalami
reaktifisasi selama Permo-Trias, Jura, Kapur dan Tersier. Tinggian-tinggian yang terbentuk
pada fase ini adalah Tinggian Mutiara, Kampar, Napuh, Kubu, Pinang dan Ujung Pandang.
Tinggian –tinggian tersebut menjadi batas yang penting pada pengendapan sedimen
selanjutnya.2. Episode F1 (26 - 50 Ma)
Episode F1 berlangsung pada kala Eosen-Oligosendisebut juga Rift Phase. Pada F1
terjadi deformasi akibat Rifting dengan arah Strike timur laut, diikuti oleh reaktifisasi
struktur-struktur tua. Akibat tumbukan Lempeng Samudera Hindia terhadap Lempeng Benua
Asia pada 45 Ma terbentuklah suatu sistem rekahan Transtensional yang memanjang ke arah
selatan dari Cina bagian selatan ke Thailand dan ke Malaysia hingga Sumatra dan
Kalimantan Selatan (Heidrick & Aulia,1993). Perekahan ini membentuk serangkaian Horst
dan Graben di Cekungan Sumatra Tengah. Horst-Graben ini kemudian menjadi danau tempat
diendapkannya sedimen-sedimen Kelompok Pematang.
Pada akhir F1 terjadi peralihan dari perekahan menjadi penurunan cekungan ditandai
oleh pembalikan struktur yang lemah, denudasi dan pembentukan daratan Peneplain. Hasil
dari erosi tersebut berupa paleosol yang diendapkan di atas Formasi Upper Red Bed.3.
Episode F2 (13 - 26 Ma) Episode F2 berlangsung pada kala Miosen Awal-Miosen Tengah.
Pada kala Miosen Awal terjadi fase amblesan (sagphase), diikuti oleh pembentukan Dextral
Wrench Fault secararegional dan pembentukan Transtensional Fracture Zone. Pada struktur
tua yang berarah utara-selatan terjadi Release,sehingga terbentuk Listric Fault, Normal Fault,
Graben, dan Half Graben. Struktur yang terbentuk berarah relatif barat laut-tenggara. Pada
episode F2, Cekungan Sumatra Tengah mengalami transgresi dan sedimen-sedimen dari
Kelompok Sihapas diendapkan.4.
Episode F3 (13-Recent) Episode F3 berlangsung pada kala Miosen Tengah-
Resendisebut juga Barisan Compressional Phase. Pada episode F3 terjadi pembalikan struktur
akibat gaya kompresi menghasilkan reverse dan Thrust Fault di sepanjang jalur Wrench Fault
yang terbentuk sebelumnya. Proses kompresi ini terjadi bersamaan dengan pembentukan
Dextral Wrench Fault di sepanjang Bukit Barisan. Struktur yang terbentuk umumnya berarah
barat laut-tenggara. Pada episode F3 Cekungan Sumatra Tengah mengalami regresi dan
sedimen-sedimen Formasi Petani diendapkan, diikuti pengendapan sedimen-sedimen Formasi
Minas secara tidak selaras.
3. Cekungan Sumatera Selatan ( backarc basin)
Blake (1989) menyebutkan bahwa daerah Cekungan Sumatera Selatan merupakan
cekungan busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi
antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera
India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat daya
dibatasi olehsingkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh PaparanSunda
(Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tiga puluh dan ke arah tenggara
dibatasi oleh Tinggian Lampung.Menurut De Coster, 1974 (dalam Salim, 1995),
diperkirakantelah terjadi 3 episode orogenesa yang membentuk kerangka struktur daerah
Cekungan Sumatera Selatan yaitu orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir -
Tersier Awal dan Orogenesa Plio - Plistosen. Episode pertama, endapan - endapan Paleozoik
danMesozoik termetamorfosa, terlipat dan terpatahkan menjadi bongkah struktur dan
diintrusi oleh batolit granit serta telah membentuk pola dasar struktur cekungan.
Menurut Pulunggono,1992 (dalam Wisnu dan Nazirman ,1997), fase ini membentuk
sesar berarah barat laut-tenggara yang berupa sesar - sesar geser.Episode kedua pada Kapur
Akhir berupa fase ekstensi menghasilkan gerak - gerak tensional yang membentuk grabendan
horst dengan arah umum utara - selatan. Dikombinasikan dengan hasil orogenesa Mesozoik
dan hasil pelapukan batuan -batuan Pra - Tersier, gerak gerak tensional ini membentuk
struktur tua yang mengontrol pembentukan Formasi Pra - Talang Akar. Episode ketiga
berupa fase kompresi pada Plio –Plistosen yang menyebabkan pola pengendapan berubah
menjadi regresi dan berperan dalam pembentukan struktur perlipatan dan sesar sehingga
membentuk konfigurasi geologi sekarang. Pada periode tektonik ini juga terjadi
pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar mendatar Semangko yang
berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan. Pergerakan horisontal yang terjadi mulai
Plistosen Awal sampai sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan Sumatera Selatan dan
Tengah sehingga sesar -sesar yang baru terbentuk di daerah ini mempunyai perkembangan
hampir sejajar dengan sesar Semangko. Akibat pergerakan horisontal ini, orogenesa yang
terjadi pada Plio-Plistosen menghasilkan lipatan yang berarah barat laut-tenggara tetapi sesar
yang terbentuk berarah timur laut-barat daya dan barat laut- tenggara. Jenis sesar yang
terdapat pada cekungan ini adalah sesar naik, sesar mendatar dan sesar normal. Kenampakan
struktur yang dominan adalah struktur yang berarah barat laut-tenggara sebagai hasil
orogenesa Plio-Plistosen. Dengan demikian pola struktur yang terjadi dapat dibedakan atas
pola tua yang berarah utara-selatan dan barat laut-tenggara serta pola muda yang berarah
barat laut-tenggara yang sejajar dengan Pulau Sumatera.
E. Kesimpulan
Pulau Sumatera secara garis besar terdiri dari 3 sistem Tektonik, yakni Sistem
Subduksi Sumatera; system sesar Mentawai (Mentawai Fault System); dan Sistem Sesar
Sumatera (Sumatera Fault System). Berdasarkan rekonstruksi geologi oleh Robert Hall
(2000), awal pembentukan wilayah Sumatera dimulai sekitar 50 juta tahun lalu (awal Eosen).
Sedikitnya terdapat 19 Segmen sesar dengan panjang tiap segmen ±60-200 km; yang
merupakan bagian dari Sistem Sesar Sumatera (Sumatera Fault System) dengan panjang
±1900 km. Danau Toba yang berada di pulau Sumatera merupakan salah satu bukti nyata
Super Volcano dan merupakan sisa dari Letusan Kaldera mahadahsyat terbesar (skala 8 VEI).
2. Tentang Kekar
A. Defenisi
Kekar adalah struktur rekahan pada batuan dimana tidak ada atau relative tanpa
mengalami pergeseran pada bidang rekahannya. Kekar dapat terjadi pada semua jenis batuan,
dengan ukuran yang hanya beberapa millimeter (kekar mikro) hingga ratusan kilometer
( kekar mayor ) sedangkan yang berukuran beberapa meter disebut dengan kekar minor.
Kekar dapat terjadi akibat proses tektonik maupun perlapukan juga perubahan temperature
yang signifikan. Kekar merupakan jenis struktur batuan dalam bentuk bidang pecah. Karena
sifat bidang ini memisahkan batuan menjadi bagian-bagian terpisah maka struktur kekar
merupakan jalan atau rongga kesarangan batuan untuk dilalui cairan dari luar beserta materi
lain seperti air, gas dan unsur-unsur lain yang menyertainya.
B. Jenis-jenis Kekar
Kekar di bedakan menjadi 3 macam yaitu kekar pengerutan, kekar lembar dan kekar
akibat tektonik.
- Kekar lembar (sheet joint ) yaitu sekumpulan kekar yang kira-kira sejajar dengan
permukaan tanah, terutama pada batuan beku. Terbentuknya kekar ini akibat penghilangan
beban batuan yang tererosi. Penghilangan beban pada kekar ini terjadi akibat :
1) Batuan beku belum benar-benar membeku secara menyeluruh
2) Tiba-tiba diatasnya terjadi erosi yang dipercepat
3) Sering terjadi pada sebuah intrusi konkordan (sill) dangkal
- Kekar pengerutan (srinkage joint) yaitu kekar yang disebabkan karena gaya pengerutan
yang timbul karena pendinginan (pada batuan beku = kekar tiang / kolom) atau pengeringan
(pada batuan sedimen) biasanya berbentuk polygonal yang memanjang. Kekar kolom yang
terjadi pada batuan beku, pada umumnya terjadi akibat adanya intrusi dangkal (intrusi batuan
yang letaknya relative dekat dengan permukaan bumi) bentuknya adalah seperti pilar-pilar
berbentuk segi empat atau segi 6.
- Kekar akibat tektonik, berdasarkan genesanya kekar tektonik dibagi menjadi 2 macam yaitu kekar gerus dan kekar tarik
C. Klasifikasi Kekar
Klasifikasi kekar ada beberapa macam , tergantung dasar klasifikasi yang digunakan ,
diantaranya :
1. Klasifikasi berdasarkan bentuknya
a. Kekar sistematik yaitu keakar dalam bentuk berpasangan arahnya sejajar satu dengan
yang lainnya .
b. Kekar non sistematik yaitu kekar yang tidak teratur biasanya melengkung dapat saling
bertemu atau bersilangan di antara kekar lainnya atau tidak memotong kekar lainnya dan
berakhir pada bidang perlapisan
2. Klasifikasi kekar berdasarkan ganesanya
a. Kekar Gerus (Shear Joint), yaitu kekar yang terjadi akibat stress yang cenderung mengelincir bidang satu sama lainnya yang berdekatan.
Ciri-ciri dilapangan : Biasanya bidangnya licin. Memotong seluruh batuan. Memotong komponen batuan. Biasanya ada gores garis. Adanya joint set berpola belah ketupat.
b. Kekar Tarikan (Tensional Joint), yaitu kekar yang terbentuk dengan arah tegak lurus dari gaya yang cenderung untuk memindahkan batuan (gaya tension). Hal ini terjadi akibat dari stress yang cenderung untuk membelah dengan cara menekannya pada arah yang berlawanan, dan akhirnya kedua dindingnya akan saling menjauhi. Ciri-ciri dilapangan : Bidang kekar tidak rata. Selalu terbuka. Polanya sering tidak teratur, kalaupun teratur biasanya akan berpola kotak-kotak. Karena terbuka, maka dapat terisi mineral yangkemudian disebut vein.Kekar tarikan dapat dibedakan atas:a. Tension Fracture, yaitu kekar tarik yang bidang rekahannya searah dengan tegasan.b. Release Fracture, yaitu kekar tarik yang terbentuk akibat hilangnya atau pengurangan tekanan, orientasinya tegak lurus terhadap gaya utama. Struktur ini biasanya disebut Stylolite.
3. Klasifikasi berdasarkan genesa dan keaktifan gaya yang membentuknya
a. Kekar orde pertama yaitu sebagai hasil langsung dari gaya pembentuk kekar. Umumnya mempunyai bentuk dan pola yang teratur dan ukurannya relative besar .b. Kekar orde kedua yaitu kekar sebagai hasil pengaturan kembali atau pengaruh gaya balik / lanjutan untuk mencapai kesetimbangan massa batuan .