Upload
yenny-rahma
View
29
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
sumber hukum islam
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya yang menjadi sumber norma dan hukum islam adalah kitab
suci Al-Qur’an dan sunah Rasulullah Saw. Keduanya merupakan sumber pokok
atau sumber utama. Akan tetapi kalau di rinci, sebetulnya selain dua sumber
tersebut, masih ada sumber lain yang berkedudukan sebagai sumber perlengkap
atau tambahan-tambahan atau penjelasan, yang disebut “Ijtihad” ini bentuk
bermacam-macam, seperti Ijma’, ra’yu, Qiyas, istihsan, mashallah mursalah,
istihab, dan saddu-dzair’ah.
Menurut ulama usul fikih, hukum adalah tuntutan Allah SWT (Al-quran
dan hadis) yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang yang sudah balig dan
berakal sehat), baik berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai
syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah (kemudahan) atau azimah.
Sedangkan menurut ulama fikih, hukum adalah akibat yang ditimbulkan
oleh syariat (Al-qur’an dan hadis) berupa al-wujub, al-mandub, al-hurmah, al-
karahah, dan al-ibahah. Perbuatan yang dituntut tersebut disebut wajib, sunah
(mandub), haram, makruh, dan mubah.
Dasar penggunaan sumber agama islam di dasarkan ayat al-qur’an surat
An-Nisa (5) : 59 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah rasulmu. Dan ulil amri diantara kamu. Jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul
(sunah). Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian lebih baik bagimu dan lebih baik akibatnya.” (Qs An-Nisa,4:59).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Sumber Hukum Islam ?
2. Apa saja yang menjadi Sumber Hukum Islam ?
3. Bagaimana Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam ?
4. Bagaimana Al-Hadist sebagai Sumber Hukum Islam ?
1
5. Bagaimana Ijtihad sebagai Sumber Hukum Islam ?
1.2 Tujuan
1. Mengetahui pengertian Sumber Hukum Islam.
2. Mengetahui apa saja yang menjadi Sumber Hukum Islam.
3. Mengetahui Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam.
4. Mengetahui Al-Hadist sebagai Sumber Hukum Islam.
5. Mengetahui Ijtihad sebagai Sumber Hukum Islam.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sumber Hukum Islam
Istilah hukum Islam berasal dari dua kata dasar, yaitu ‘hukum’ dan
‘Islam’. Hukum bisa diartikan dengan peraturan dan undang-undang.1 Secara
sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan atau norma-norma
yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau
norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat
maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan
oleh penguasa.2 Adapun kata yang kedua, yaitu ‘Islam’, adalah agama Allah yang
diamanatkan kepada Nabi Muhammad Saw. Untuk mengajarkan dasar-dasar dan
syariatnya dan juga mendakwahkannya kepada semua manusia serta mengajak
mereka untuk memeluknya .3 Dengan pengertian yang sederhana, Islam berarti
agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. untuk disampaikan kepada
umat manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya baik di dunia maupun di
akhirat kelak. Dari gabungan dua kata ‘hukum’ dan ‘Islam’ itulah muncul istilah
hukum Islam. Dengan kalimat yang lebih singkat, hukum Islam dapat diartikan
sebagai hukum yang bersumber dari ajaran Islam.
2.2 Sumber-Sumber Hukum Islam
Secara umum, sumber-sumber materi pokok hukum Islam adalah Al-
Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Otoritas keduanya tidak berubah
dalam setiap waktu dan keadaan. Ijtihad dengan ra’yu (akal) sesungguhnya adalah
alat atau jalan untuk menyusun legislasi mengenai masalah-masalah baru yang
tidak ditemukan bimbingan langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah untuk
menyelesaikannya. Oleh karena itu, jelaslah bahwa ijtihad dengan berbagai
1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, “KamusBesar Bahasa Indonesia”, Balai Pustaka: 2001, Ed. III, Cet. I, Jakarta, Hal: 4102 Muhammad Daud Ali, SH., Prof., “Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan TataHukum Islam di Indonesia”, Rajawali Pers: 1996, Edisi 5, Cet. V, Jakarta, Hal:383 Mahmud Syaltut, “Al-Islam Aqidah wa Syari’ah”, Dar al-Qalam: 1966. Cet.III. Kairo. Hal: 9
3
metodenya dipandang sebagai sumber hukum yang berkewenangan dengan
kedudukan di bawah Al-Qur’an dan Sunnah. Keotentikan sumber-sumber
pembantu yang merupakan penjabaran dari ijtihad hanyalah ditentukan dengan
derajat kecocokannya dengan dua sumber utama hukum yang mula-mula dan
tidak ditentang otoritasnya. Jika dirinci lebih khusus, yakni dalam arti syariah dan
fikih sebagai dua konsep yang berbeda, maka sumber hukum bagi masing-masing
berbeda. Syariah, secara khusus, bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah
semata, sedang fikih bersumber kepada pemahaman (ijtihad) manusia (mujtahid)
dengan tetap mendasarkan pada dalil-dalil terperinci dari Alquran dan Sunnah.4
2.3 Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Islam
2.3.1 Pengertian Al-Qur’an
Menurut Subhi Ash-Shalih, Al-Qur’an sebagai kalam Allah Swt. berupa
mukjizat yang diturunkan pada Nabi Muhammad dan ditulis di mushaf serta
diriwayatkan secara mutawatir dan membacanya termasuk ibadah.
Definisi senada diungkapkan oleh Muhammad Ali Ash-Shabuni.
Menurutnya, Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang tiada tandingannya,
diturunkan kepada Muhammad, penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantara
Malaikat Jibril dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan
kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan
ibadah, dimulai dengan Surah Al-Fatihah dan ditutup dengan Surah Al-Nas.5
Firman Allah :
Artinya: “Maha Suci Allah yang Telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran)
kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh
alam” (QS. Al-Furqan :1).
Arti kata Al-Qur’an menurut bahasa (etimologi) berarti bacaan. Di dalam
Al-Qur’an sendiri ada pemakaian kata Qur’an, sebagaimana dalam surah Al-
Qiyamah ayat 17-18.
4 Muhammad Daud Ali, SH., Prof., “Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan TataHukum Islam di Indonesia”, Rajawali Pers: 1996, Edisi 5, Cet. V, Jakarta, Hal:385 Mukni’ah, “Materi Pendidikan Agama Islam”, Ar-Ruzz Media: 2011, Cet: 1, Jogjakarta, Hal: 200-203
4
Artinya: “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya (17). Apabila kami telah selesai
membacakannya maka ikutilah bacaannya itu”.6
Kemudian di pakai kata Qur’an itu untuk Al-Qur’an yang dikenal sekarang
ini. Adapun definisi Al-Qur’an ialah kalam Allah Swt., yang merupakan mukjizat
yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw., dan membacanya adalah
ibadah.
2.3.2 Cara Al-Qur’an diwahyukan
Al-Qur’an merupakan salah satu kitab yang mempunyai sejarah panjang
yang dimiliki oleh umat Islam dan sampai sekarang masih terjaga keasliannya. Al-
Qur’an bukan hanya sekedar menjadi bahan bacaan, akan tetapi Al-qur’an
memiliki multifungsi dan selalu cocok dengan fenomena dalam kehidupan ini,
hal ini merupakan salah satu mukjizat yang dimiliki oleh al-Qur’an.7
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an dengan perantaraan malaikat jibril
sebagai pengentar wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW di
gua hiro pada tanggal 17 ramadhan ketika Nabi Muhammad berusia / berumur 41
tahun yaitu surat Al-Alaq ayat 1 sampai ayat 5. Sedangkan terakhir Al-Qur’an
turun yakni pada tanggal 9 zulhijjah tahun 10 hijriah yakni surah Al-Maidah ayat
3. Al-Qur’an turun tidak secara sekaligus, namun sedikit demi sedikit baik
beberapa ayat, langsung satu surat, potongan ayat, dan sebagainya. Turunnya ayat
dan surat disesuaikan dengan kejadian yang ada atau sesuai dengan keperluan.
Selain itu dengan turun sedikit demi sedikit, Nabi Muhammad Saw. akan lebih
mudah menghafal serta meneguhkan hati orang yang menerimanya. Lama Al-
Qur’an diturunkan ke bumi adalah kurang lebih sekitar 22 tahun 2 bulan dan 22
hari.
Al-Quran yang menjadi sumber nilai atau norma umat Islam itu terbagi ke
dalam 30 juz (bagian), 114 surah (surat: bab) lebih dari 6000 ayat 74,499 kata atau
325. 345 huruf (atau lebih tepat dikatakan 325 345 suku kata kalau dilihat dari
6 Muhammad Daud Ali, SH., Prof., “Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan TataHukum Islam di Indonesia”, Rajawali Pers: 1996, Edisi 5, Cet. V, Jakarta, Hal: 767 Ibid, Hal: 93
5
sudut pandang bahasa Indonesia). Al-Quran yang terdiri dari 30 juz, 114 surah,
6326 ayat itu, sistematikanya ditetapkan oleh Allah sendiri melalui malaikat Jibril
yang disampaikan kepada Rasul-Nya Muhammad. Allahlah yang menentukan
kemana ayat yang turun kemudian disisipkan di antara ayat yang turun lebih
dahulu. Sistematiknya tidak seperti sistematik buku (ilmiah), mengikuti metode
tertentu, suatu masalah dibicarakan dalam beberapa bab, bagian dan butir-butir.
Oleh karena itu kalau kita membaca al-Quran, masalah akidah misalnya,
berdampingan dengan soal hukum, sejarah umat yang lalu disatukan dengan
nasihat, dorongan atau tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta.
Soal perang berurutan dengan hukum meminum minuman yang memabukkan
(mibuk), perjudian, pemeliharaan anak yatim dan perkawinan dengan orang
musyrik seperti yang dapat dibaca dalam surah al-Baqarah (2); 216-221. Maksud
sistematik demikian adalah agar orang mempelajari dan memahami al-Quran
sebagai satu kesatuan yang harus ditaati pemeluk agama Islam secara keseluruhan
tanpa memilah-milah (bagian) yang satu dengan (bagian) yang lain.8
Penamaan ayat-ayat yang turun pada kelompok turunnya disebut Ayat
Makkiyah karena turunnya di Kota Makkah, sedangkan yang turun di Kota
Madinah disebut ayat Madaniyah. Ayat-ayat tersebut bisa dibedakan dari ciri-
cirinya, adalah:
1) Ayat-ayat Makkiyah pada umumnya pendek-pendek, merupakan 19/30
dari seluruh isi al-Quran, terdiri dari 86 surat, 4.780 ayat. Ayat-ayat
Madaniyah pada umumnya panjang-panjang, merupakan 11/30 dari
seluruh isi al-Quran, terdiri dari 28 surat, 1.456 ayat.
2) Ayat-ayat Makkiyah dimulai dengan kata-kata Yaa ayyuhannaas (hai
manusia) sedang ayat-ayat Madaniyah dimulai dengan kata-kata yaa
ayyuhalladziina aamanu (hai orang-orang yang beriman).
3) Ayat-ayat Makkiyah pada umumnya mengenai tauhid keyakinan pada
Kemahaesaan Allah, hari kiamat, akhlak dan kisah-kisah umat manusia di
masa lalu, sedang ayat-ayat Madaniyah memuat soal-soal hukum,
keadilan, masyarakat dan sebagainya.
8Ibid, Hal: 95-96
6
4) Ayat-ayat Makkiyah diturunkan selama 12 tahun 13 hari, sedang ayat-
ayat Madaniyah selama 10 tahun 2 bulan 9 hari.9
2.3.3 Isi Kandungan Al-Qur’an
Di dalam surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur,an terkandung kandungan yang
secara garis besar dapat kita bagi menjadi beberapa hal pokok, yaitu:
a. Aqidah/Akidah
Aqidah adalah ilmu yang mengajarkan manusia mengenai kepercayaan
yang pasti wajib dimiliki oleh setiap orang di dunia. Alquran mengajarkan
akidah tauhid kepada kita yaitu menanamkan keyakinan terhadap Allah SWT
yang satu yang tidak pernah tidur dan tidak beranak-pinak. Percaya kepada
Allah SWT adalah salah satu butir rukun iman yang pertama. Orang yang tidak
percaya terhadap rukun iman disebut sebagai orang-orang kafir.
b. Ibadah
Ibadah adalah taat, tunduk, ikut atau nurut dari segi bahasa. Dari
pengertian "fuqaha" ibadah adalah segala bentuk ketaatan yang dijalankan atau
dkerjakan untuk mendapatkan ridho dari Allah SWT. Bentuk ibadah dasar
dalam ajaran agama islam yakni seperti yang tercantum dalam lima butir
rukum islam. Mengucapkan dua kalimah syahadat, sholat lima waktu,
membayar zakat, puasa di bulan suci ramadhan dan beribadah pergi haji bagi
yang telah mampu menjalankannya.10
c. Akhlaq/Akhlak
Akhlak adalah perilaku yang dimiliki oleh manusia, baik akhlak yang
terpuji atau akhlakul karimah maupun yang tercela atau akhlakul madzmumah.
Allah SWT mengutus Nabi Muhammd SAW tidak lain dan tidak bukan adalah
untuk memperbaiki akhlaq. Setiap manusia harus mengikuti apa yang
diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
d. Hukum-Hukum
9 Ibid, Hal: 95-10310 Mukni’ah, “Materi Pendidikan Agama Islam”, Ar-Ruzz Media: 2011, Cet: 1, Jogjakarta, Hal: 207
7
Hukum yang ada di Al-quran adalah memberi suruhan atau perintah
kepada orang yang beriman untuk mengadili dan memberikan penjatuhan
hukuman hukum pada sesama manusia yang terbukti bersalah. Hukum dalam
islam berdasarkan Alqur'an ada beberapa jenis atau macam seperti jinayat,
mu'amalat, munakahat, faraidh dan jihad.
e. Peringatan/Tadzkir
Tadzkir atau peringatan adalah sesuatu yang memberi peringatan kepada
manusia akan ancaman Allah SWT berupa siksa neraka atau waa'id. Tadzkir
juga bisa berupa kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepadaNya
dengan balasan berupa nikmat surga jannah atau waa'ad. Di samping itu ada
pula gambaran yang menyenangkan di dalam alquran atau disebut juga targhib
dan kebalikannya gambarang yang menakutkan dengan istilah lainnya tarhib.
f. Sejarah-Sejarah atau Kisah-Kisah
Sejarah atau kisah adalah cerita mengenai orang-orang yang terdahulu baik
yang mendapatkan kejayaan akibat taat kepada Allah SWT serta ada juga yang
mengalami kebinasaan akibat tidak taat atau ingkar terhadap Allah SWT.
Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari sebaiknya kita mengambil pelajaran
yang baik-baik dari sejarah masa lalu atau dengan istilah lain ikibar.
g. Dorongan Untuk Berpikir
Di dalam al-qur'an banyak ayat-ayat yang mengulas suatu bahasan yang
memerlukan pemikiran menusia untuk mendapatkan manfaat dan juga
membuktikan kebenarannya, terutama mengenai alam semesta.11
2.3.4 Kedudukan Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama dalam Islam. Semua tuntutan
dan larangan dalam Al-Qur’an harus ditatati oleh semua muslim dan diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari. Allah menjelaskan dalam Firmannya Surat Az-
Zukhruf (43) : 43
11 Ibid, Hal: 208
8
Artinya: “Maka berpegang teguhlah kamu kepada(agama) yang telah
diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus.
( QS. Az-Zukhruf (43) : 43).
Kandungan Al-Qur’an mencakup semua aspek kebutuhan manusia yang
ada di bumi ini, maka tidak satupun yang tertinggal. Al-Qur’an telah memberikn
dasar-dasar hukum. Hal ini terdapat dalam firman Allah swt :
Artinya: “Tidak ada sesuatu pun yang kami luputkan di dalam kitab.(QS. Al-
An’am (6) : 38)
2.3.5 Fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan wahyu atau kalam yang di sampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW, isinya penuh dengan ilmu yang terbebas dari keraguan,
kecurangan, pertentangan dan kejahilan, Al-Qur’an juga merupakan penjelmaan
dari kebenaran, keseimbangan pemikiran dan karunia. Sebagai wahyu, Al-Qur’an
bukan pemikiran dan ciptaan Nabi Muhammad SAW.
Ada tiga fungsi atau peranan Al-Quran yang sangat penting untuk dipahami
seorang Muslim, yaitu:
a. Al-Quran sebagai Mukjizat
Dalam bahasa Arab, mukjizat berasal dari kata ‘ajz yang berarti lemah,
kebalikan dari qudrah (kuasa). Sedangkan i’jaz berarti membuktikan
kelemahan. Mu’jiz adalah sesuatu yang melemahkan atau membuat yang lain
menjadi lemah, tidak berdaya.12 Setiap mukzijat biasanya turun untuk
memberikan tantangan bagi situasi zaman itu. Ketika pada zaman Nabi Musa
para tukang sihir sangat berkuasa dan mereka mencapai puncak
kemampuannya dalam ilmu sihir, Nabi Musa datang dengan membawa
mukjizat yang mampu melumpuhkan tipu daya para tukang sihir tersebut.
Bukankah mukjizat berarti yang melumpuhkan atau yang membuat lemah?
Rasulullah saw. pun hadir pada suatu zaman ketika sastra Arab mencapai
puncak ketinggiannya. Beliau datang dengan Al-Quran yang memiliki gaya
12 H. Arif Furqan, “Pendidikan Agama Islam”, Departemen Agama: 2002, Jakarta, Hal: 19
9
bahasa tingkat tinggi yang mampu melumpuhkan seluruh penyair yang ada
pada zaman itu.
Keistimewaan bahasa al-qur’an terletak pada gaya pengungkapannya,
antara lain kelembutan dalam jalinan huruf dan kata dengan lainnya. Susunan
huruf-huruf dan kata-kata al-qur’an terajut secara teratur sehingga menjelma
menjadi ayat-ayat yang indah untuk dibaca dan diungkapkan. Keindahan
bahasa al-qur’an ini menjadikannya sebagai mukjizat. Sehingga, apabila ada
kata-kata manusia yang disisipkan kedalamnya maka rusaklah keindahannya.
Karena itu upaya-upaya untuk memalsu ayat-ayat al-qur’an tidak pernah
berhasil.
Keindahan gaya bahasa Al-Quran dan kerapihan susunan katanya tidak
dapat ditemukan pada buku-buku bahasa Arab apa pun pada masa itu dan
masa sesudahnya. Itulah mengapa, Al-Quran menjadi salah satu sebab
terpenting bagi masuknya orang-orang pada masa Rasulullah saw. dan
setelahnya ke dalam Islam, serta menjadi sumber hidayah bagi orang-orang
pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Umar bin Khathab masuk
Islam setelah mendengar Al-Quran awal surat Thâhâ yang dibaca oleh adiknya
Fathimah. Abul Walid, diplomat Quraisy waktu itu, terpaksa cepat-cepat
pulang begitu mendengar beberapa ayat dari surat Fushshilat yang
dikemukakan Rasulullah saw. sebagai jawaban atas usaha-usaha bujukan dan
diplomasinya. Bahkan, seorang Abu Jahal pun, orang yang paling memusuhi
Rasulullah saw., sampai tidak jadi membunuh Nabi karena mendengar surat
Adh-Dhuha yang dibacakan oleh beliau. 13
Selain keindahan gaya bahasanya, ada petunjuk-petujuk sangat jelas
lainnya yang memperlihatkan bahwa Al-Quran datang dari Allah Swt. dengan
segala kemukjizatannya. Ayat-ayat yang berhubungan dengan ilmu
pengetahuan misalnya, dapat meyakinkan setiap orang yang mau berpikir
bahwa Al-Quran adalah firman-firman Allah Swt., tidak mungkin ciptaan
manusia apalagi ciptaan Nabi Muhammad saw yang hidup pada awal abad
keenam Masehi (571-632 M).
13 Ibid
10
Ada pula ayat-ayat yang berhubungan dengan sejarah seperti tentang
kekuasaan di Mesir, Negeri Saba’. Tsamud, ’Aad, Nabi Adam, Nabi Yusuf,
Nabi Dawud, Nabi Sulaiman, Nabi Musa, dan sebagainya. Ayat-ayat ini dapat
memberikan keyakinan kepada kita bahwa Al-Quran adalah wahyu Allah
bukan ciptaan manusia. Ayat-ayat yang berhubungan dengan ramalan-ramalan
khusus yang kemudian dibuktikan oleh sejarah seperti tentang bangsa Romawi,
berpecah-belahnya Kristen, dan lain-lain juga menjadi bukti lagi kepada kita
bahwa Al-Quran adalah wahyu dari Allah Swt. yang disampaikan melalui lisan
utusan-Nya.
b. Al-Quran sebagai Pedoman Hidup
Sebagai pedoman hidup, Al-Qur’an banyak mengemukakan pokok-pokok
serta prinsip-prinsip umum pengaturan hidup dalam hubungan antara manusia
dengan Allah dan mahluk lainnya. Di dalamnya terdapat peraturan-peraturan
seperti:
Beribadah Langsung Kepada Allah Swt.
Berkeluarga
Bermasyarakat
Utang Piutang
Kewarisan
Pendidikan Dan Pengajaran
Pidana
Serta aspek-aspek kehidupan lainnya yang oleh Allah Swt. dijamin
dapat berlaku dan dapat sesuai pada setiap tempat dan setiap waktu.14
Setiap Muslim diperintahkan untuk melakukan seluruh tata nilai tersebut
dalam kehidupannya. Sikap memilih sebagian dan menolak sebagian tata nilai
itu dipandang Al-Quran sebagai bentuk pelanggaran dan dosa.
Melaksanakannya dinilai ibadah, memperjuangkannya dinilai sebagai
perjuangan suci, mati karenanya dinilai sebagai mati syahid, hijrah karena
memperjuangkannya dinilai sebagai pengabdian yang tinggi dan tidak mau
melaksanakannya dinilai sebagai zalim, fasiq, dan kafir.
14 Ibid
11
c. Al-Quran sebagai Korektor
Sebagai korektor, Al-Quran banyak mengungkapkan persoalan-persoalan
yang dibahas oleh kitab-kitab suci sebelumnya, semacam Taurat dan Injil yang
dinilai tidak lagi sesuai dengan ajaran yang telah diturunkan oleh Allah Swt.
Ketidaksesuaian tersebut menyangkut sejarah orang-orang tertentu, hukum-
hukum, prinsip-prinsip ketuhanan, dan sebagainya.15
2.4 Al-Hadist sebagai Sumber Hukum Islam
2.4.1 Pengertian Al-Hadist
Hadits menurut bahasa (etimologi) berarti “baru dari segala sesuatu”. Kata
hadits mengandung pengertian sedikit dan banyak. Maksudnya sampaikanlah
risalah. Hadits sinonim dengan kata khabar.
Hadits secara terminologis sinonim dengan sunnah. Keduanya diartikan
sebagai segala sesuatu yang diambil dari Rasulullah SAW sebelum dan sesudah
diangkat menjadi Rasul. Akan tetapi, bila disebut kata hadits, umumnya dipakai
sebagai segala sesuatu yang diriwayatkan dari rasul SAW setelah kenabian baik
berupa sabda, perbuatan, maupun taqrir.
Menurut para ahli :
Ulama hadits : hadits adalah segala ucapan,perkataan,taqriq (pengakuan) dan
keadaan Nabi.
Ulama Ushul fiqih : hadits adalah segala perkataan,perbuatan,dan taqrir nabi
yang berkaitan dengan hukum.
Abd al-Wahhab Ibn Shubhi dalam Matn al-Jami’ al- Jamawi: hadits adalah
segala perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW.16
2.4.2 Sejarah Perkembangan Hadist
a. Hadits pada periode Rasul :
Periode ini disebut dengan masa turun wahyu dan pembentukan
masyarakat islam. Periode ini terjadi pada masa Rasulullah SAW.
15 Ibid16 Sulaiman PL M. Noor, Prof. Dr, “Antologi Ilmu Hadits”, GP Press: 2008, Cet: 1, Jakarta, Hal: 1
12
1. Kebijakan Rasulullah tentang hadits :
Rasulullah memerintahkan kepada para sahabatnya utnuk
menghafal, menyampaikan, dan menyebarkan hadits-hadits. Dalil
yang menunjukkan tentang perintah ini diantaranya adalah :
“ketahuilah, hendaknya orang yang hadir diantaramu,
menyampaikan kepada orang tidak hadir” (H.R. ‘ Abd al-Barr),
“sampaikanlah dari padaku, walaupun hanya satu ayat” (H.R. al-
Bukhậri). Singkatnya, beliau memerintahkan mereka untuk
menyebarkan agama Islam. Sabda rasulullah tersebut
dilatarbelakangi oleh kedaan para sahabat saat itu dan juga
kepentingan penyiaran Islam.17
Rasulullah melarang para sahabat untuk menulis hadits-haditsnya.
Dalil yang menunjukkan tentang pelarangan ini adalah : “janganlah
kamu menulis sesuatu yang berasal dari padaku, terkecuali Al-
Qur’an. Dan barang siapa telah menulis dari padaku selain Al-
Qur’an, hendaknya ia menghapusnya” (H.R. Ahmad). Dari hadits
ini, dapat dipahami bahwa yang boleh ditulis tentang apa yang
disampaikan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya hanyalah
ayat-ayat Al-Qur’an saja.
Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk menulis haditsnya.
Rasulullah pernah menyuruh menuliskan surat kepada petugas-
petugasnya daerah-daerah, yang isinya tentang batas-batas
ketentuan zakat unta dan kambing.
2. Penyelesaian hadits yang tampak bertentangan
Para ulama, dalam menghadapi hadits-hadits yang tampak
bertentangan, telah menempuh satu cara, yaitu, mengkompromosikan
atau menyelesaikan pertentangan tersebut dengan cara
mempertemukan kedua macam hadits yang tampak bertentangan
sehingga tidak menimbulkan kesulitan untuk memahaminya.
3. Shahifah ( catatan) hadits pada zaman Rasulullah
17 Ibid, Hal: 44
13
Pada zaman Rasul, ternyata tidak sedikit yang diantara sahabta secara
pribadi telah berusaha mencatat hadits-hadits Rasul. Shahifah, yang
berisi catatan hadits Rasul itu, dibuat dari pelepah-pelepah korma,
kulit-kulit kayu dan tulang-tulang hewan. Diantara para sahabat yang
menulis hadits-hadits Nabi dalam Shahifah-Shahifah, adalah :
Samurah bin Jundub, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakr al-Shiddiq.18
4. Peristiwa cara penyampaian hadits
Hadits Rasulullah tersebut disampaikan oleh beliau dalam berbagai
cara dan peristiwa, yaitu :
Pada majelis-majelis Rasulullah. Rasulullah telah secara khusus
dan teratur mengadakan majelis-majelis yang berhubungan dengan
majelis pengajaran Islam.
Pada peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Rasulullah, lau beliau
menerangkan hukumnya.
Pada peristiwa yang dialami oleh kaum muslimin, kemudian
menanyakan tentang hukumnya kepada Rasulullah.
Pada peristiwa yang disaksikan langsung oleh para sahabat
mengenai apa yang terjadi atau dilakukan oleh Rasulullah SAW.
5. Cara sahabat menerima dan menyampaikan hadits
a. Cara-cara sahabat menerima hadits :
Secara langsung dari Nabi : maksudnya mereka secara
langsung mendengar, melihat, atau menyaksikan tentang apa
yang dilakukan, disabdakan, atau berhubungan dengan
Rasulullah SAW.
Secara tidak langsung dari Nabi : mereka tidak secara langsung
mendengar,melihat,atau menyaksikan tentang apa yang
dilakukan, disabdakan, atau yang berhubungan dengan
Rasulullah SAW.
b. Cara-cara sahabat menyampaikan hadits :
18 Ibid
14
Dengan lafaz asli : yaitu menurut lafaz yang mereka terima
dari Nabi secara langsung
Dengan makna saja : hadits tersebut didampaikan oleh para
sahabat dengan mengemukakan maknanya saja, tidak menurut
lafaz-lafaz seperti yang di ucapkan oleh Rasul.
6. Sebab-sebab para sahabat tidak sederajat pengetahuannya tentang
hadits :
Tempat tinggal yang jauh
Kesibukan sehari-hari
Intelektual dan kecakapan
Keintiman/keakraban pergaulannya dengan Nabi
Masa cepat atau lambatnya masuk Islam.19
b. Hadits pada periode sahabat
Masa ini terhitung sejak tahun 11 sampai 40 hijriyah, yang disebut juga
masa sahabat besar. Pada masa ini, perhatian oara sahabat masih terfokus pada
pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an yang mana mendapat prioritas untuk
terus disebarluaskan ke berbagai pelosok wilayah Islam dan keseluruh lapisan
masyarakat.oleh karena itu, masa ini dianggap oleh para ulama sebagai masa
yang menunjukkan adanya pembatasan atau memperketat periwayatan. Setelah
Rasulullah wafat, para sahabat tidak lagi menetap di kota Madinah. Mereka
menyebar menjelajahi kota-kota lain. Konsekuensinya, penduduk di kota-kota
lain pun menerima ajaran Islam, termasuk hadits-hadits Nabi. Sebaliknya,
periwayatan hadits di permulaan masa sahabat masih sangat terbatas sekali.
Seseorang yang menerima hadits tidak harus menyampaikan hadits itu kecuali
jika diperlukan. Artinya, jika masyarakat menghadapi suatu masalah yang tidak
terdapat ketentuannya dalam Al-Qur’an dan membutuhkan penjelasan dari
hadits, maka pada saat itu periwayatan hadits dapat dilakukan.20
c. Hadits pada periode Tabi’in
19 Ibid20 Ibid
15
Pada masa Tabi’in juga masih terdapat kehati-hatian dalam melakukan
periwayatan hadits. Meskipun keadaan mereka. Sejalan dengan pesatnya
perluasan wilayah kekuasaan Islam, penyebaran para sahabat ke daerah
tersebut pun terus meningkat, yang berarti juga meningkatnya penyebaran
hadits. Oleh karena itu , masa ini dikenal dengan masa penyebaran periwayatan
hadits (instisyar al-riwayah).
Maka tercatatlah beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam
periwayatan hadits, sebagai tempat tujuan para Tabi’in dalam mencari hadits-
hadits Nabi, dan kota-kota ini kemudian menjadi pusat kegiatan para Tabi’in
dalam periwayatan hadits- hadits mereka kepada murid-muridnya. Diantaranya
kota-kota tersebut adalah : Madinah, Mekkah, Kufah, Dan Basrah. Dalam
perkembangan selanjutnya, kegiatan periwa-yatan hadits mulai berkembang,
sejalan dengan banyaknya ulama yang tertarik untuk menulis fatwa-fatwa dari
para sahabat dan Tabi’in dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang
timbul pada waktu itu . Dan untuk mengatisipasi hilangnya hadits-hadits Nabi,
karena adanya hadits- hadits palsu yang menyebar dikalangan umat Islam,
ditambah dengan banyaknya para ulama dari kalangan Sahabat yang wafat
dalam menegakkan agama Allah, maka usaha penulisan hadits semakin keras
dilakukan para ulama di kalangan Tabi’in.
Pembagian hadits ditinjau dari berbagai aspek :
a. Ditinjau dari aspek kuantitas samad :
Hadits mutawatir
Hadits ahad : hadits Masyhur dan hadits Ghair Masyhur
b. Ditinjau dari aspek kualitasnya :
Hadits shahih : sah, benar, sempurna, tiada celanya
Hadits Hasan : hadits yang telah memenuhi 5 persyaratan hadits
shahih
Hadits Dha’if : jika salah satu syarat yang hilang. Dibagi menjadi
beberapa macam antara lain (hadits Mursal, hadits Munqathi’, hadits
Mu’dal
c. Ditinjau dari aspek diterima atau ditolaknya
16
Hadits Maqbul
Hadits Mardud 21
2.4.3 Struktur Al-Hadist
Struktur hadist : meliputi sanad, matan, dan makharij (rawi)
a. Sanad : berarti sandaran yang dapat dipegang atau dipercayai, kaki
bukit atau kaki gunung. Menurut istilah, sanad hadits berarti jalan yang
menyampaikan kita kepada matan hadits. Sanad disebut juga dengan
thariq atau wajih.
b. Matan : secara etimologis berarti segala sesuatu yang keras bagian
atasnya. Matan dari segala sesuatu adalah bagian permukaan yang
tampak darinya, juga bagian yang menonjol dan keras. Matan secara
terminologis adalah redaksi hadits yang menjadi unsur pendukung
pengertiannya.
c. Makhaarij : secara etimologis berarti orang yang mengeluarkan atau
meriwayatkan. Jadi pengertian terminologisnya adalah orang yang
mengeluarkan atau yang meriwayatkan sebuah hadits atau orang yang
menukilkan sebuah hadist Nabi Saw.22
2.4.4 Kedudukan Al-Hadist
Hadis adalah sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an, perintah
untuk menjadikan sunnah sebagai sumber hukum Islam. Hadis berfungsi sebagai
tafsir Al-Qur’an. Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, hadis berfungsi sebagai
tafsiran, syarahan, dan penjelasan terhadap ayat Al-Qur’an. Perbedaan kedudukan
dengan Al-Qur’an dalam menetapkan sesuatu.
1. Segala yang ditetapkan oleh Al-Qur’an adalah absolut nilainya.
2. Penerimaan seorang muslim terhadap Al-Qur’anadalah dengan
keyakinan.
21 Ibid22 Ibid
17
3. Karena pengalaman sejarah yang berbeda dengan pengalaman sejarah
kondifikasi Al-Qur’an ini, maka timbul usaha di bidang seleksi hadis dan
kemudian melahirkan ilmu hadis.23
Kedudukan hadis dalam Islam yang utama adalah penjelas ayat Al-Qur’an
yang masih global. Hadis menjadi pedoman tambahan ketika muncul persoalan-
persoalan yang tidak secara spesifik terdapat pada Al-Qur’an.
2.4.5 Fungsi Al-Hadist terhadap Al-Qur’an
a) Menurut ulama ahl al-ra’y :
Bayan Taqrir: keterangan yang didatangkan oleh sunnah untuk
memperkokoh apa yang telah diterangkan oleh Al-Qur’an.
Bayan Tafsir: menerangkan apa yang kira-kira tidak mudah
(tersembunyi pengertiannya), seperti ayat-ayat yang mujmal
(umum) dan yang mustyarak fi-hi (mengandung dua makna atau
lebih).
Bayan Tabdil atau bayan Naskh: mengganti suatu hokum atau
menghapuskannya.24
b) Menurut Imam Malik:
Bayan Taqrir: menetapkan atau mengokohkan hukum Al-Qur’an,
bukan men-tawdhih (memperjelas), men-taqyid (membatasi) yang
mutlaq, atau men-takhshish (mengkhususkan) yang amm (umum).
Bayan Tawdhih: menjelaskan maksud-maksud ayat yang dipahami
oleh para sahabat berlainan dengan apa yang dimaksud oleh ayat
itu sendiri.
Bayan Tafshil: menjelaskan keumuman (mujmal) Al-Qur’an,
seperti menjelaskan ayat tentang perintah sholat.
Bayan Tabsith: memperluas keterangan terhadap apa yang
diringkaskan keterangannya.
23 Mukni’ah, “Materi Pendidikan Agama Islam”, Ar-Ruzz Media: 2011, Cet: 1, Jogjakarta, Hal: 21724 Abduh Almanar, “Studi Ilmu Hadis”, GP Press: 2011, Jakarta, Hal: 44
18
Bayan Tasyri’: menetapkan suatu hukum yang tidak disebutkan
dalam Al-Qur’an.
c) Menurut Ahmad Ibn Hanbal:
Bayan Ta’qid: ketika sunnah sangat sesuai petunjuknya dengan
petunjuk Al-Qur’an dari segala arah.
Bayan Tafsir: menjelaskan suatu hukum Al-Qur’an, yakni
menerangkan apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an.
Bayan Tasyri’: menetapkan hokum yang didiamkan oleh Al-Qur’an
(yang tidak diterangkan hukumnya).
Bayan Takhshish dan Taqyid: mengkhususkan Al-Qur’an dan men-
taqyid-nya.25
2.5 Ijtihad sebagai Sumber Hukum Islam
2.5.1 Pengertian Ijtihad
Setelah Al-Qur’an dan hadis sebagai rujukan penetapan hukum, sumber
hukum yang ketiga adalah ijtihad. Ijtihad berasal dari kata jahada yang artinya
bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala kemampuan. Dari segi bahasa arti
ijtihad adalah “mengerjakan segala sesuatu dengan bersungguh-sungguh”.
Sedangkan menurut istilah Ijtihad adalah “mengerahkan segala potensi dan
kemampuan semaksimal mungkin untuk menetapkan hukum-hukum syari’ah”.26
Objek ijtihad adalah perbuatan yang secara eksplisit tidak terdapat dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini memberi pengertian bahwa suatu perbuatan
yang hukumnya telah ditunjuk secara jelas, tegas, dan tuntas oleh ayat-ayat Al-
Qur’an dan As-Sunnah tidak termasuk objek ijtihad. Reaktualisasi hukum atas
suatu perbuatan tertentu yang telah diatur secara final oleh Al-Qur’an dan As-
Sunnah termasuk kategori perubahan dan penggantian alias penyelewengan dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah.27
25 Ibid26 Mukni’ah, “Materi Pendidikan Agama Islam”, Ar-Ruzz Media: 2011, Cet: 1, Jogjakarta, Hal: 23227 Muhammad Daud Ali, SH., Prof., “Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan TataHukum Islam di Indonesia”, Rajawali Pers: 1996, Edisi 5, Cet. V, Jakarta
19
2.5.2 Macam-Macam Ijtihad
Dari pelaksanaannya ijtihad dibagi menjadi dua, yaitu Ijtihad fardi dan
ijtihad jama’i. Ijtihad fardi adalah ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid
secara pribadi, sedangkan ijtihad jama’i adalah ijtihad yang dilakukan oleh
mujtahid secara berkelompok.
Ijtihad jama’i terdiri dari empat macam, yaitu qiyas, ijma, istihasan, dan
mashalihul mursalah. Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan
lainnya dan mempersatukannya. Sedangkan menurut istilah adalah menetapkan
sesuatu perbuatan yang belum ada ketentuan hukumnya.
Ijma menurut bahasa adalah sepakat, setuju atau sependapat. Sedangkan
menurut istilah adalah kebulatan pendapat atau kepakatan semua ijtihad ummat
setelah wafatnya Nabi pada suatu masa tentang hukum. Ijma ada dua macam,
yaitu (1) ijma qauli (ucapan), dimana para ulama mujtahid menetapkan
pendapatnya baik dengan ucapan maupun dengan tulisan yang menerangkan
persetujuannya atas pendapat mujtahid lain di masanya; (2) Ijma sukuti, dimana
para mujtahid berdiam diri, tidak mengeluarkan pendapatnya atas hasil ijtihad
para ulama lain, diamnya itu bukan karena takut atau malu.
Istihsan adalah menetapkan suatu hukum terhadap suatu persoalan
ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip atau dalil-dalil yang berkaitan dengan
kebaikan, keadilan, kasih sayang, dan sebagainya dari Al-Qur’an dan hadis.
Mashalihul Mursalah adalah menetapkan hukum terhadap suatu persoalan
ijtihad atas dasar pertimbangan keguanaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan
tujuan syariat Islam, kendati tidak ada dalil-dalil secara eksplisit dari Al-Qur’an
dan Hadis.28
2.5.3 Dasar Hukum Ijtihad
Ulama fikih membagi hukum ijtihad menjadi tiga macam. Hukum-hukum
tersebut berkaitan dengansaat ijtihad tersebut disampaikan.
28 Mukni’ah, “Materi Pendidikan Agama Islam”, Ar-Ruzz Media: 2011, Cet: 1, Jogjakarta, Hal: 233
20
Pertama, ijtihad itu fardu ‘ain, yaitu harus dilakukan oleh setiap muslim.
Hal ini terjadi jika seseorang berada dalam suatu keadaan atau masalah
dan ia harus menentukan sikap, sementara tidak ada orang lain di sana.
Kedua, ijtihad itu fardu kifayah, yaitu jika ada suatu masalah dan pada saat
yang sama ada para ulama yang mampu melakukan ijtihad. Oleh karena
itu, hanya mereka yang telah mampu yang dibolehkan melakukan ijtihad.
Ketiga, ijtihad itu mandub atau sunah, jika terdapat masalah yang masih
baru dan masih bersifat wacana atau belum terjadi. Saat itu, ijtihad tidak
harus dilakukan, walaupun jika dilakukan tetap diperbolehkan sebagai
langkah antisipasi kemungkinan pada masa depan.
Ijtihad tidak di benarkan untuk dilakukan oleh sembarang orang untuk
segala macam masalah,dengan kata lain di perlukan adanya keahlian
seseorang.bandingkan dengan firman Allah swt : Katakanlah: "Hai kaumku,
berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya akupun berbuat (pula). Kelak
kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kita) yang akan memperoleh hasil
yang baik di dunia ini. Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu tidak akan
mendapatkan keberuntungan. (Q.S. Al-An’am 6:135)29
Mujtahid adalah orang yang melakukan ijtihad. ijtihad sangat penting dan
diperlukan. Oleh karena pentingnya, dalam hadis Rasulullah dijelaskan bahwa jika
hasil ijtihad seseorang benar akan mendapat balasan dua pahala, sebaliknya jika
keliru tetap mendapatkan pahala satu.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Saw. yang artinya: “seorang hakim
apabila berijtihad kemudian ternyata ijtihadnya benar,maka ia mendapat dua
pahala. Apabila ia berijtihad dan ternyata keliru ( Tidak mencapai kebenaran )
maka ia mendapat satu pahala.”(H.R. BUKHARI)30
Dengan demikian, berijtihad sangat penting kita lakukan untuk
menetapkan ketentuan hukum. Tidak benar pendapat yang menyatakan bahwa
pintu ijtihad telah tertutup. Sebaliknya, umat Islam dianjurkan untuk berijtihad.
29 Sudirman, “Pilar-Pilar Islam Menuju Kesempurnaan Sumber Daya Islam”, UIN-Maliki Press: 2012, Cet: 2, Malang, Hal. 24030 Aminudin, ”Pendidikan Agama Islam”, Ghalia Indonesia: 2005, Cet: 2, Bogor, hal. 65
21
Ijtihad harus dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
a) Mengetahui serta memahami Alquran dan Hadist
b) Mengetahui hukum-hukum yang di tetapkan dengan ijma’
c) Mengetahui dan memahami bahasa arab
d) Mengetahui ilmu usul fiqih
e) Mengetahui ilmu nasakh dan mansukh
Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Alquran dan hadist.
Satu hal yang di sepakati oleh para ulama bahwa ijtihad tidak boleh merambah
dimensi ibadah mahdhah.31
2.5.4 Kedudukan Ijtihad
Ijtihad menempati kedudukan ketiga setelah Al-Quran dan hadist sebagai
sumber hukum islam. Dalil yang menegaskan kedudukan ijtihad sebagaimana
dijelaskan dalam hadis yang artinya, ”Dari Mu‘az, bahwasanya Nabi Muhammad
saw., ketika mengutusnya ke Yaman bersabda sebagai berikut. ”Bagaimana
pendapat engkau jika suatu perkara diajukan kepadamu bagaimana engkau
memutuskannya?” Mu’az menjawab, ”Saya akan memutuskan menurut kitabullah
(Al-Qur’an).” Selanjutnya Nabi saw. bertanya, ”Dan jika di dalam kitabullah,
engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?” ”Jika begitu saya akan
memutuskan menurut sunah Rasulullah,” jawab Mu’az. Nabi saw. bertanya
kembali, ”Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu di dalam
sunah Rasulullah?” Jawab Mu‘az, ”Saya akan berijtihad mempergunakan
pertimbangan akal pikiran sendiri (ajtahidu ra’yi) tanpa bimbang sedikit pun.”
Selanjutnya Nabi saw. (sambil menepuk dada Muaz) berkata, ”Mahasuci Allah
yang memberikan bimbingan kepada utusan rasul-Nya dengan satu sikap yang
disetujui rasul-Nya.” (H.R. Abu- Dau-d dan Tirmiz.i - ). Hadis dari Mu‘az bin
Jabal di atas menjelaskan bahwa Al-Qur’an merupakan rujukan sumber dari
segala sumber hukum Islam. Demikian juga halnya dengan hadis Rasulullah. Jika
31 Sudirman, “Pilar-Pilar Islam Menuju Kesempurnaan Sumber Daya Islam”, UIN-Maliki Press: 2012, Cet: 2, Malang, Hal. 237
22
pada kedua sumber tersebut tidak ditemukan ketentuan hukum secara konkret, kita
boleh berijtihad dengan akal sehat kita. Para ulama juga berpendapat bahwa hasil
ijtihad dapat digunakan dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. (Satria
Effendi dan M. Zein. 2005. Halaman 246).32
32 Thoyar Husni, “Pendidikan Agama Islam”, Pusat Kurikulum dan Perbukuan: 2009, Jakarta, Hal: 78
23
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas,dapat disimpulkan bahwa :
1. Hukum Islam dapat diartikan sebagai hukum yang bersumber dari ajaran
Islam.
2. Sumber hukum dalam agama Islam yaitu Al-Qur’an, Hadits, dan Ijtihad.
3. Al-Qur’an ialah kalam Allah Swt., yang merupakan mukjizat yang
diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw., dan membacanya adalah
ibadah. Allah SWT menurunkan Al-Qur’an dengan perantaraan malaikat
jibril sebagai pengentar wahyu yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW di gua hiro pada tanggal 17 ramadhan ketika Nabi
Muhammad berusia / berumur 41 tahun yaitu surat al alaq ayat 1 sampai
ayat 5. Sedangkan terakhir Al-Qur’an turun yakni pada tanggal 9 zulhijjah
tahun 10 hijriah yakni surah almaidah ayat 3. Al-Qur’an turun tidak secara
sekaligus, namun sedikit demi sedikit baik beberapa ayat, langsung satu
surat, potongan ayat, dan sebagainya. Didalam surat-surat dan ayat-ayat
Al-Qur’an terkandung aqidah/akidah, ibadah, akhlaq/akhlak, hukum-
hukum, peringatan/tadzkir, sejarah-sejarah atau kisah-kisah mengenai
orang-orang yang terdahulu, dorongan untuk berpikir untuk mendapatkan
manfaat dan juga membuktikan kebenarannya, terutama mengenai alam
semesta. Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama dalam Islam. Semua
tuntutan dan larangan dalam Al-Qur’an harus ditatati oleh semua muslim
dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Fungsi atau peranan Al-
Quran yang sangat penting untuk dipahami seorang Muslim, yaitu: Al-
Quran sebagai Mukjizat, Al-Quran sebagai Pedoman Hidup, Al-Quran
sebagai Korektor.
4. Hadits diartikan sebagai segala sesuatu yang diambil dari Rasulullah SAW
sebelum dan sesudah diangkat menjadi Rasul. Akan tetapi, bila disebut
kata hadits, umumnya dipakai sebagai segala sesuatu yang diriwayatkan
dari rasul SAW setelah kenabian baik berupa sabda, perbuatan, maupun
24
taqrir. Sejarah Perkembangan Al-Hadist: Hadits pada periode Rasul,
Hadits pada periode sahabat, Hadits pada periode Tabi’in. Struktur Al-
Hadist meliputi sanad, matan, dan makharij (rawi). Hadis adalah sumber
hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an, perintah untuk menjadikan sunnah
sebagai sumber hukum Islam. Kedudukan hadis dalam Islam yang utama
adalah penjelas ayat Al-Qur’an yang masih global. Hadis menjadi
pedoman tambahan ketika muncul persoalan-persoalan yang tidak secara
spesifik terdapat pada Al-Qur’an.
5. Ijtihad adalah mengerahkan segala potensi dan kemampuan semaksimal
mungkin untuk menetapkan hukum-hukum syari’ah. Objek ijtihad adalah
perbuatan yang secara eksplisit tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah. Ijtihad dibagi menjadi dua, yaitu Ijtihad fardi dan ijtihad jama’i,
sedangkan ijtihad jama’i dibagi lagi menjadi empat macam, yaitu qiyas,
ijma, istihasan, dan mashalihul mursalah. Ulama fikih membagi hukum
ijtihad menjadi tiga macam yaitu fardu‘ain, fardu kifayah, dan sunnah.
Ijtihad menempati kedudukan ketiga setelah Al-Quran dan Al-Hadist
sebagai sumber hukum Islam.
25
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud. 1996. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Almanar, Abduh , 2011. Studi Ilmu Hadis. Jakarta: GP Press.
Aminudin.2005. Pendidikan Agama Islam. Bogor: Ghalia Indonesia.
Furqan, H. Arif. 2002. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Departemen
Agama.
Husni , Thoyar. 2009. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Pusat Kurikulum
dan Perbukuan.
Mukni’ah. 2011. Materi Pendidikan Agama Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media.
Sudirman. 2012. Pilar-Pilar Islam Menuju Kesempurnaan Sumber Daya
Islam. Malang: UIN-Maliki Press.
Sulaiman PL, H.M. Noor, 2008. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: GP Press.
Syaltut, Mahmud. 1966. Al-Islam Aqidah wa Syari’ah. Kairo: Dar al-Qalam.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2001.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
26