30
1. MATERI AN METODE 1.1. Metode 1 Ikan dicuci bersih dengan air mengalir dan ditimbang beratnya Daging ikan di-fillet dengan memisahkan bagian kepala, sirip, ekor, sisik, kulit, dan bagian perutnya, kemudian diambil bagian daging putih sebanyak 100 gram. Daging ikan digiling hingga halus dan selama penggilingan dapat ditambahkan es batu untuk menjaga suhu tetap rendah. Daging ikan dicuci dengan air es sebanyak 3 kali lalu disaring dengan menggunakan kertas saring. Residu ditambahkan dengan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok A1 dan A2) dan 5% (kelompok A3, A4, dan A5)

sur3 FIXSurimi_Ichlasia Ainul F_A2_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Praktikum THL tanggal 14 September 2015 di Lab Rekayasa pangan

Citation preview

1. MATERI AN METODE

1.1. Metode

1

Ikan dicuci bersih dengan air mengalir dan ditimbang beratnya

Daging ikan di-fillet dengan memisahkan bagian kepala, sirip, ekor, sisik, kulit, dan bagian perutnya, kemudian diambil bagian daging putih sebanyak 100 gram.

Daging ikan digiling hingga halus dan selama penggilingan dapat ditambahkan es batu untuk menjaga suhu tetap rendah.

Daging ikan dicuci dengan air es sebanyak 3 kali lalu disaring dengan menggunakan kertas saring.

Residu ditambahkan dengan sukrosa sebanyak 2,5% (kelompok A1 dan A2) dan 5% (kelompok A3, A4, dan A5)

2

Ditambahkan garam sebanyak 2,5% (semua kelompok), dan polifosfat sebanyak 0,1% (kelompok A1), 0,3% (kelompok A2 dan A3), dan 0,5% (kelompok A4 dan A5).

Dimasukkan dalam plastik dan dibekukan dalam freezer selama semalam.

Surimi di-thawing lalu diukur hardness menggunakan texture analyzer

3

Dilakukan uji pengukuran WHC pada surimi, dimana surimi beku dipipihkan menggunakan alat penekan (presser)

Dilakukan uji sensoris pada surimi yang meliputi kekenyalan dan aroma.

4

2. HASIL PENGAMATAN

Hasil pengamatan dari Hardness, water holding capacity, serta perlakuan sensoris yang

diberikan pada surimi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1.Hasil WHC dan sensoris pada surimi

Kelompok Perlakuan Hardness

(gf)

WHC (mg

H2O)

Sensoris

Kekenyalan Aroma

A1 Sukrosa 2,5% +

Garam 2,5% +

Polifosfat 0,1%

- 337468,36 +++ +++

A2 Sukrosa 2,5% +

Garam 2,5% +

Polifosfat 0,1%

361,64 207510,55 ++ ++

A3 Sukrosa 2,5% +

Garam 2,5% +

Polifosfat 0,3%

271,72 246118,14 ++ ++

A4 Sukrosa 5% +

Garam 2,5% +

Polifosfat 0,3%

105,85 237573,84 ++ ++

A5 Sukrosa 5% +

Garam 2,5% +

Polifosfat 0,5%

143,79 20928,27 ++ ++

Keterangan :

Kekenyalan : Aroma :

+ = tidak kenyal + = tidak amis

++ = kenyal ++ = amis

+++ =sangat kenyal +++ = sangat amis

5

6

Pada Tabel 1, dapat diketahui bahwa surimi dengan perlakuan berbeda-beda pada masing-masing

kelompok menghasilkan nilai WHC dan uji sensoris yang berbeda pula. dapat dilihat bahwa nilai

WHC paling besar terdapat pada kelompok A1 yaitu sebesar 337468 dengan perlakuan

penambahan sukrosa 2,5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,1%. Nilai WHC paling kecil

didapatkan oleh kelompok A5 sebesar 20,928,27 dengan perlakuan penambahan sukrosa 5%,

garam 2,5%, dan polifosfat, 0,5%. Selanjutnya untuk hardness pada kelompok A1 tidak

didapatkan hasil pada sistem operasi hal ini berbeda pada semua kelompok ang menunjukkan

hasil tertera yaitu nilai hardness terbesar adalah pada kelompok A2 sebesar 361,64 gf dengan

perlakuan penambahan sukrosa 2,5%, garam 2,5%, dan polifosfat 0,3%.Sedangkan pada

perbandingan kekenyalan dan aroma pada semua kelompok didapatkan hasil yang sama yaitu

kenyal dan amis, hal ini berbeda dengan kelompok A1 yang menunjukkan hasil sensoris sangat

kenyal dan aroma sangat amis.

7

3. PEMBAHASAN

Surimi merupakan konsentrat dari daging ikan yang berisi protein miofibril, dimana daging pada

ikan itu sendiri terdiri dari konsentrat protein serta memiliki daya guna dalam pengembangan

produk ikan. Protein miofibril merupakan bagian terbesar dari tubuh ikan serta merupakan jenis

protein yang mampu larut didalam garam (Irianto dan Giyatmi , 2009). Ikan merupakan bahan

panga yang memiliki kandungan protein hewani yang sangat tinggi, mudahuntuk didapatkan,

serta harga yang terjangkau oleh sebab itu hingga saat iniproduk kan masih sering diminati dan

dikonsumsi oleh, akan tetapi ada hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan produk ikan

dikarenakan ikan memiliki sifat perishable atau mudah mengalami kerusakan (Moeljanto,1994),

oleh sebab itu diperlukan adanya pengolahan dan penanganan yang tepat pada produk ikan

supaya menjadi lebihtahan lama. Salah satu pengolahan ikan yang dapat dilakukan adalah

dengan membuatnya menjadi produk setengah jadi atau produk antara seperti surimi. Pembuatan

surimi ini akan memperpanjang umur simpan tanpa mengurangi kandungan gizi dari daging

ikan, sehingga pembuatan surimi dapat meningkatkan nilai ekonomi dari ikan. Ikan merupakan

sumber bahan pangan bermutu tinggi karena ikan banyak mengandung protein yang sangat

dibutuhkan oleh manusia, namun ikan mudah busuk atau rusak, sehingga untuk memperpanjang

umur simpan ikan, diperlukan adanya pengolahan produk ikan supaya menjadi tahan lama. Salah

satu pengolahan ikan yang dapat dilakukan adalah dengan mengolah ikan menjadi produk

setengah jadi atau perantara yang disebut surimi. Pembuatan surimi akan memberikan manfaat

seperti memperpanjang umur simpan tanpa mengurangi kandungan gizi dari daging ikan,

sehingga pembuatan surimi dapat meningkatkan nilai ekonomi dari ikan (Liptan,2000).

Pada praktikum kali ini digunakan bahan berupa ikan patin, ikan patin merupakan jenis ikan tuna

kecil yang berukuran panjang dan memiliki ciri-ciri seperti berkulit icin, tidak bersisik, berwarna

abu-abu, dan daging berwarna merah tua (Collette & Nauen,1983). Menurut Irianto & Giyatmi

(2009) menjelaskan bahwa surimi adalah produk hasil olahan setengah jadi dari daging ikan

dengan protein myofibril sebagai penyusunnya serta memiliki manfaat dan keuntungan yang

tinggi dalam pengembangan produk olahan ikan. Protein miofibril yang merupakan bagian

terbesar dari ikan inilah yang memiliki kegunaan utama dalam mengembangkan olahan ikan,

protein miofibril merupakan protein larut dalam larutan garam dan terdiri dari miosin, aktin,

8

tropomiosin serta aktomiosin yang merupakan gabungan dari aktin dan miosin. Protein miofibril

sangat mempengaruhi tekstur produk perikanan , plastisitas, daya ikat air daging, sehingga

protein miofibril dapat berfungsi untuk konstraksi otot (Suzuki, 1981). Proses ekstraksi protein

miofibril dilakukan dengan menggunakan garam netral yang berkekuatan ion sedang (>0,5M).

Penampakan dari protein miofibril ikan hampir memiliki kemiripan dengan otot hewan mamalia,

perbedaannya adalah pada protein miofibril lebih mudah kehilangan aktivitas ATP-ase dan laju

agregasi lebih cepat. Secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan surimi, akan tetapi ikan yang

tidak berbau lumpur, berdaging putih, dan tidak terlalu amis, serta mempunyai kemampuan

membentuk gel yang bagus akan menghasilkan surimi yang lebih baik untuk diolah menjadi

produk surimi (Peranginangin, et al., 1999).

Beberapa sifat khusus yang dimiliki oleh surimi meliputi memiliki kemampuan membentuk gel

dan tekstur yang kuat, memiliki waktu stabilitasnya di dalam penyimpanan beku yang stabil,

serta pengaruh penambahan gula sebagai cryoprotectant. Setelah menjadi surimi yang

merupakan produk antara maka surimi ini dapat diolah menjadi berbagai macam produk

makanan dan dapat pula digunakan sebagai campuran olahan sosis ikan, bakso, kamaboko

(daging ikan kukus), satsunage, chikuwa, burger ikan, hanpen, tempura, imitasi daging kepiting,

serta berbagai produk olahan lainnya. Berdasarkan kandungan garam yang terkandung

didalamnya Produk surimi dapat dibagi dua yaitu mu-en surimi (surimi tanpa garam) dan ka-en

surimi (surimi dengan garam), serta ada pula yang disebut dengan na-ma surimi (surimi mentah

yang tidak mengalami proses pembekuan) (Suzuki,1981) selanjutnya dilakukan penyimpanan

surimi yang dilakukan pada keadaan beku dengan adanya penambahan bahan anti denaturasi atau

cryoprotectant, akan tetapi disimpan dalam suhu rendah tidak menjamin kualitas surimi dalam

kondisi yang baik (Peranginangin, et al., 1999). Hal ini didukung oleh teori Nopianti, et al.

(2011) yang mengungkapkan bahwa selama penyimpanan beku, masalah yang sering timbul

adalah menurunnya kekuatan gel. Hal ini dapat terjadi karena protein miofibril pada surimi

mentah cepat rusak selama proses penyimpanan beku. Selama proses penyimpanan beku juga

akan terbentuk kristal es, sehingga protein miofibril akan mengalami hidrasi, penurunan pH,

perubahan konsentrasi garam, hingga terdenaturasi.

Pada proses pembuatan surimi tahap- tahap yang dilakukan adalah dengan mencuci ikan dengan

air mengalir hingga bersih, menurut Amalia (2002) dilakukannya pencucian ikan bertujuan untuk

9

menghilangkan komponen larut air, lemak dan darah, serta dapat meningkatkan kekuatan gel dan

memperbaiki penampakan. Kemudian ditimbang beratnya selanjutnya dilakukan pemisahan

bagian yang bukan daging, seperti kepala, isi perut, insang, sisik, sirip, tulang, ekor, dan

kulitbagian ini dibuang, sehingga didapatkan fillet daging ikan. Pembuangan bagian bukan

daging yang dilakukan ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Peranginangin, et al.

(1999) bahwa kepala, isi perut ikan, dan sisik dari ikan yang akan dibuat surimi harus

dihilangkan dan dicuci bersih. Selanjutnya pernyataan ini diperkuat dengan teori dari Fortina

(1996) yang menjelaskan bahwa tahap ini dilakukan karena bagian yang tidak diperlukan pada

pembuatan surimi, seperti kepala dan isi perut mengandung banyak minyak dan lemak yang

dapat menyebabkan terjadinya reaksi hidrolisis pada produk surimi. Selanjutnya dilakukan

pembuangan bagian isi karena bagian isi dari ikan dapat menurunkan kemampuan pembentukan

gel dari produk surimi karena pada isi perut mengandung enzim protease (Miyake, et al., 1985),

tahap berikutnya adalah dilakukan penggilingan dengan blender yang bertujuan untuk

memperluas permukaan daging ikan, sehingga penyerapan bahan-bahan lain lebih mudah dan

optimal (Arpah, 1993), pada saat diblender ditambahkan es batu dengan tujuan untuk menjaga

kesegaran daging ikan serta mencegah terjadinya denturasi protein (Irianto,1990). Ikan

merupakan bahan pangan yang rentan terhadap mikroba pembusuk sehingga dengan

penambahan es batu maka suhu akan menjadi sangat rendah serta dapat meminimalkan

tumbuhnya mikroorganisme pembusuk karena suhu rendah dapat menginaktivasi enzim-enzim

yang mempercepat kerusakan ikan. (Zaitzev, et al, 1969).

Tahap berikutnya dicuci dengan air es sebanyak 3 kali, menurut Matsumoto & Noguchi (1992)

menjelaskan bahwa proses pencucian merupakan tahapan yang penting dalam pembuatan surimi

karena frekuensi dari pencucian dapat mempengaruhi kekuatan gel dari produk dan dapat

mencegah protein miofibril terdenaturasi selama penyimpanan beku. Pernyataan ini juga

didukung oleh teori dari Nopianti, et al., (2011) yang mengatakan bahwa kualitas produk

dipengaruhi oleh proses ini karena dapat menghilangkan lemak, darah, pigmen, dan komponen

penyebab bau, selain itu pencucian juga dapat membuat peningkatan kemampuan dari

konsentrasi protein miofibril dan memperbaiki kemampuan pembentukan gel.

10

Tahap selanjutnya disaring dengan kain saring bersih bahwa dengan penyaringan maka partikel

padat dengan partikel cair akan terpisahyang meliputi daging ikan,dan berbagai kotoran yang

berbentuk padatan, sedangkan partikel cair adalah air yang digunakan dalam tahap pencucian.

Setelah disaring, kemudian dilakukan penambahan sukrosa pada masing-masing pada kelompok

yaitu A1 dan A2, ditambahkan sebanyak 2,5%, A3,A4 dan A5 ditambahkan sukrosa sebesar 5% ,

selanjutnya ditambahkan pula garam sebesar 2,5% pada seluruh kelompok, lalu ditambahkan

polifosfat sebanyak 0,1% pada kelompok A1, pada kelompok A2 dan A3 ditambahkan sebanyak

0,3%; sedangkan pada kelompok A4dan A5ditambahkan sebesar 0,5% dari berat daging ikan.

Tujuan dari penambahan garam adalah melarutkan protein miofibril. Apabila protein ini larut

akan mengakibatkan miosin mudah berikatan dengan aktin, yang nantinya akan membentuk

aktomiosin yang berperan dalam pembentukan gel.Selain itu, dapat menurunkan viskositas

surimi karena melarutkan stuktur protein miofibrilnya.Ada dua jenis surimi, pertama adalah mu-

en yaitu tanpa adanya penambahan garam dan kedua adalah ka-en dengan penambahan garam

(Suzuki, 1981).Menurut Suzuki (1981) menyatakan bahwa penambahan sukrosa berperan

sebagai bahan anti denaturasi protein surimi (cryoprotectant), sedangkan tujuan penambahan

garam adalah untuk melarutkan protein miofibril. Tujuan dilakukannya pelarutan protein

miofibril adalah supaya miosin mudah berikatan dengan aktin membentuk aktomiosin yang

berperan dalam pembentukan gel. Oleh karena dilakukan penambahan garam, maka jenis surimi

yang dibuat pada praktikum ini adalah jenis surimi ka-en. Penambahan garam sebanyak 2,5%

juga sesuai dengan teori Tan, et al. (1988) dan Shimizu & Toyohara (1992) yang menyatakan

bahwa Cryoprotectant dalam bentuk sukrosa sangat penting dalam hal menstabilkan produk

surimi dan melindungi produk surimi dari denaturasi selama proses pembekuan dan

penyimpanan beku karena cryoprotectant dapat meningkatkan tegangan permukaan air maupun

pengikatan energi, serta menjaga pengambilan molekul air dari protein sehingga dapat

menstabilkan protein pada surimi, dan konsentrasi garam yang paling umum digunakan untuk

membuat produk surimi adalah 2-3%. Sedangkan penambahan polifosfat atau dalam bentuk

sodium tripolifosfat (STTP) ini ditujukan untuk memperbaiki sifat surimi terutama sifat

elastisitas dan kelembutannya. Suzuki (1981) menambahkan bahwa polifosfat juga bermanfaat

untuk memperbaiki daya ikat air (WHC) serta memberikan sifat lembut pada produk surimi.

Selain itu tujuan penambahan polifosfat dalam pembuatan surimi adalah untuk meningkatkan

efek cryoprotectant, karena polifosfat dapat memberi efek buffer pada pH daging ikan dan

11

sebagai agen pengkelat atau pengikat ion logam (Shaviklo, et al., 2010),. Perbedaan konsentrasi

sukrosa dan polifosfat pada masing-masing kelompok dilakukan untuk mengetahui konsentrasi

tepat yang menghasilkan surimi paling baik dan hubungan antara konsentrasi bahan tambahan

dengan karakteristik surimi.

Tahap berikutnya adalah dimasukkan dalam suatu wadah, lalu di freezer selama 1 malam

Menurut Winarno (1993) penyimpanan surimi dalam freezer bertujuan agar kualitas surimi tetap

optimal karena pada suhu rendah, aktivitas mikroba akan terhambat akibat tidak aktifnya enzim-

enzim dalam mikroba. Hal ini didukung oleh pernyataan dari Murniyati (2005) yang

menambahkan bahwa pembekuan sangat berperan penting dalam proses pembuatan surimi

karena dengan pembenkuan maka dapat mempertahankan kualitas atau mutu surimi saat

penyimpanan. Sedangkan tujuan dari pengemasan adalah dengan plastik adalah untuk

menghindari kontak dengan udara mengingat bahwa lemak dalam ikan apabila kontak dengan

udara akan mengakibatkan oksidasi. Setelah itu,sebelum digunakan surimi harus dithawing

terlebih dahulu hal ini didukung oleh pernyataan dari Lee (1984), yang menytakan bahwa

sebelum diolah lebih lanjut, maka surimi harus di thawing terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan

praktikum yang dilakukan, dimana pada sebelum dilakukan pengujian, surimi di thawing terlebih

dahulu selama kurang lebih 1 jam. Setelah tidak adanya kristal es dalam surimi,selanjutnya

dilakukan pengukuran Hardness, WHC dan pengujian sensoris surimi (tingkat kekenyalan dan

aroma) dilakukan terlebih dahulu oleh 1 orang panelis dan kemudian surimi ditekan dengan alat

press untuk selanjutnya digambar di atas kertas millimeter block, sehingga dapat dihitung Water

Holding Capacity.

Pada hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai WHC pada masing- masing kelompok

denganperlakuan yang berbeda yaitu A1 ditambahkan sebanyak Sukrosa 2,5% + garam 2,5% +

polifosfat 0,1% didapatkan hasi WHC sebesar 337468,35%, keompok A2 dengan perlakuan

Sukrosa 2,5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3% didapatkan nilai WHC sebesar 207510,55% ,

keompok A3 dengan perlakuan Sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,3% didapatkan hasil

sebesar 246118,14, kelompok A4 dengan perlakuan Sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat 0,5%

didapatkan nilai 237573,84, dan A5 dengan penambahan Sukrosa 5% + garam 2,5% + polifosfat

12

0,5% didapatkan niai sebesar 20928,27. Hal ini Nilai WHC menunjukkan besarnya kemampuan

yang dimiliki oleh sukrosa untuk mengikat air pada produk surimi. Tidak hanya sukrosa saja

yang mempengaruhi daya ikat air, garam juga berkontribusi besar dalam menentukan nilai WHC

yang didapat, sedangkan konsentrasi polifosfat juga akan berpengaruh pada nilai WHC surimi,

hal ini disebabkan karena penambahan polifosfat pada daging giling lumat akan

mempertahankan pH dan saat pH berada pada kondisi yang stabil maka akan diikuti dengan

peningkatan WHC. Sedangkan pada semua kelompok tidak menunjukkan hal yang sedemikian

rupa, dimana tidak menunjukkan peningkatan WHC karena peningkatan jumlah sukrosa, garam,

dan polifosfat, ketidaksesuaian hasil pengamatan dengan teori disebabkan karena waktu

pemberian pressing ataupemerasan air pada surimi saat pencucian karena pada masing-masing

kelompok dilakukan oleh orang yang berbeda sehingga kekutan dalam memeras juga berbeda,

dan kemungkinan masih tertinggal air daam jumlah yang banyak pada produk surimi,

kemungkinan ain yang terjadi adalah karena terjadi ketidaktepatan konsentrasi dalam

penambahan garam, sukrosa maupun polifosfat.

Pada pengujian berikutnya adalah uji hardness menggunakan teksture analyzer, terlihat niali

yang beragam pada asing-masing kelompok, nilai terbesar ditinjukkan pada kelompok A2 yaitu

sebesar 361,64 dan nilai terkecil pada kelompok A4 yaitu sebesar 105,85, keberagaman ini dapat

terjadi karena penambahan air atau sisa air yang berlebihan pada produk surimi sehingga dapat

menyebabkan adonan surimi menjadi lengket, hal ini bisa terjadi pada saat pemerasan maupun

pada saat thawing yang tidak sempurna, hal ini juga terjadi pada kelompok A1 dimana tidak

menunjukkan hasil berupa angka pada uji hardnes hal ini juga dapat terjadi karena hal yang

sama.

Pada analisa uji sensoris semua kelompok menunjukkan nilai yang sama pada pengujian

kekenyaan yaitu kenyal, hal berbeda terihat pada kelompok 1 yang menunjukkan sangat kenyal,

selanjutnya pada pengujian aroma pada semua kelompok menunjukka aroma amis kecuali

keompok 1 yang menunjukkan aroma sangat amis.Penambahan polifosfat (STPPpada dasarnya

dapat mempengaruhi nilai kekenyalan dari surimi yang dihasilkan.Tingkat kekenyalan yang

dihasilkan menunjukkan kekatuan gel dari surimi tersebut. Semakin tinggi konsentrasi polifosfat

yang ditambahkan maka kekuatan gel yang dihasilkan akan semakin tinggi/kenyal. Akan tetapi

justru A1 mendapatkan hasil yang sangat kenyal padahal konsentrasi ang digunakan paling

13

sedikit dibandingkan yang lainnya yang penggunaannya dengan konsentrasi yang lebih banyak,

hal ini juga tidak sesuai dengan teori dari Lanier (1992) yang menyatakan bahwa nilai WHC

tinggi sangat berpengaruh pada parameter kekenyalan yang dihasilkan. Semakin tinggi nilai

WHC (kemampuan untuk mengikat air), maka selama proses thawing tidak akan kehilangan

banyak air yang mengakibatkan hasil kekenyalannya tetap tinggi, menurut Chen, et al. (1997)

menjelaskan bahwa kekuatan gel dan kekenyalan yang menurun pada praktikum kemungkinan

disebabkan karena oksidasi yang mempercepat perubahan ikatan kimia, termasuk diantaranya

ikatan sulfida dan menyebabkan denaturasi protein. Selain itu, ketidaksesuaian hasil dengan teori

dan pada masing-masing kelompok yang menggunakan polifosfat dalam jumlah yang sama dapat

terjadi dikarenakan penimbangan polifosfat yang tidak akurat, sehingga mempengaruhi tingkat

kekenyalan surimi selain itu Merrit et al, (1982)menambahkan bahwa metode sensori memiliki

kelemahan dan kelebihan.Kelebihannya adalah mudah dan dapat diaplikasikan pada seluruh

produk, tidak membutuhkan fasilitas laboratorium, dan cepat.Namun kelemahannya adalah tidak

adanya standarisasi serta hasil yang didapatkan subyektif.Hal ini mengakibatkan sulit dalam

menentukan produk surimi yang disuaki berdasarkan perlakuan yang diberikan (Merrit et al,

1982).

Pada uji sensoris berikutnya adalah pengujian aroma berdasarkan hasil yang diperoeh Seluruh

kelompok menghasilkan aroma yang amis hingga sangat amis. Hal ini kurang sesuai dengan

pernyataan Irianto dan Giyatmi (2009) bahwa aroma amis/tidak diinginkan yang disebabkan oleh

senyawa trimetilamin (merupajan salah satu senyawa utama pembentuk flavor/aroma pada ikan)

dapat dihilangkan melalui proses pencucian. Jika bahan baku yang digunakan tidak terlalu amis

maka produk surimi yang dihasilkan juga tidak terlalu amis (Peranginangin,et al, 1999). Bau

amis pada surimi dapat timbul karena adanya reaksi oksidasi pada ikan yang menyebabkan asam

lemak berubah menjadi off-flavor dan dapat dihilangkan pada saat tahap pencucian

(Peranginangin, et al., 1999). Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa semakin tinggi

konsentrasi penambahan sukrosa dan polifosfat, maka surimi yang dihasilkan semakin tidak

berbau amis. Bau amis yang timbul sebenarnya tidak dipengaruhi oleh semakin tingginya

konsentrasi sukrosa dan polifosfat, namun bau amis yang terjadi pada surimi kelompok A1

hingga A4 dikontribusi oleh senyawa trimetilamin yang masih terkandung dalam surimi,

14

walaupun telah dilakukan proses pencucian. Hal ini menunjukkan bahwa proses pencucian

surimi pada tahap awal produk tidak berjalan optimal sehingga masih terdeteksi bau amis.

Berdasarkan jurnal yang berjudul “ Effect of Fat Extraction Treatment on The Physicochemical

Properties of Duck Feet Collagen and Its Application in Surimi” menjelaskan bahwa surimi

dengan bahan dasar daging bebek memiliki kualitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan

surimi dengan bahan dasar ikan yaitu pada penggunaan kolagen daging bebek menghasilkan

kehilangan produk yang lebih sedikit dibandingkan bahan ikan, selain itu surimi dengan bahan

dasar kolagen bebek memiliki kekuatan gel yang lebih kuat dibandingkan pada bahan ikan, hal

ini ditunjukkan dengan niai hardness yang lebih tinggi. Kandungan lemak pada daging bebek

yang rendah akan semakin meningkatkan kekuatan gel dan WHC. Pada rotein daging bebek kaya

akan protein myofibrillar yang dapat menyebabkan terjadinya pembentukan gel dan emulsi,

dimana hal ini penting dalam stabilisiasi produk-produk olahan daging ikan..

Pada jurnal kedua yang berjudul “effect of different dryoprotectants on Functional Properties of

Threadfin bream Surimi Powder” menjelaskan bahwa pada pembuatan surimi dalam bentuk

powder akan ditambahkan 5 jenis krioprotrektan yang berbeda yaitu sucrose, sorbitol,

polydextrosa, palatinose, dan trehalose, dimana pembuata bubuk powder akan menggunakan

spray dryer dengan suhu sangat tinggi, sedangkan protein sangat mudah terdenaturasi dengan

adanya suhu yang terlalu tinggi. Bubuk surimi memiliki tingkat pembentukan foaming yang

sangat baik, emulsifier, serta memiliki tingkat kelarutan yang tinggi.sorbitol merupakan

Dryoprotectant yang paling baik, selanjutnya adalah palatines, sedangkan sucrose adalah

Dryoprotectant yang sering digunakan dn cukup baik sebagai antidenaturasi, selanjutnya untuk

sorbitol dan polydextrosa tidak memiliki fungsi dalam melindungi bubuk surimi. Sehigga dapat

disimpulkan pada jurnal ini adalah surimi ikan ini disimpan dalam keadaan beku maka

karakteristik kadar air, pH, WHC, warna, kekuatan gel, kelembaban, dan tekstur dianalisis.

Umumnya, efektivitas dari cryoprotectant dalam mendenaturasi protein menurun selama

penyimpanan, namun jika dibandingkan antara surimi yang menggunakan jenis cryoprotectant

yang berbeda, surimi dengan polydextrose sebagai cryoprotectant menghasilkan surimi dengan

kualitas yang paling baik.

15

Pada jurnal ketiga yang berjudul “Surimi likeMaterial from poultry meat and its potential as a

surimi replacer” menjelaskan bahwa surimi dapat dibuat dari bahan dasar selain ikan dan daging

berwarna merah seperta dengan daging putih (unggas), bahan hewni ini sebenarnya lebih

menguntungkan karena pada daging unggas memiliki sedikit kandungan lemak dan sedikit

kandungan lemak jenuh dibandingkan pada daging merah . surimi dengan bahan dasar daging

unggas juga memiliki dampak kesehatan yang lebih esar dibandingkan bahan dasar lainnya,

karena pada produk akhir surimi dafing unggas menghasilkan rasa yang lebih manis sehingga

dapat menurunkan penggunaan krioprotektan hingga 6% (3% sukrosa dan 3 % sorbitol).

Keuntungan lainnya dari penggunaan surimi berbahan unggas adalah % yeald yang dihasilkaan

lebih besar yaitu hingga mencapai 70,5%, dan kandungan protein pada produk akhir surimi tetap

tinggi.

Pada jurnal keempat yang berjudul “Recovery and characterization of proteins precipitated from

surimi wash-water” menjelaskan bhwa dengan pencucian menggunakan metode ultrafiltrasi,

dimana metode ini akan lebih efektif apabila ada pretreatment seprti dengan pemanasan cepat

pada suhu 600C serta dikombinasikan dengan pH 6. Pada membrane filtrasi ultrafiltrasi saat

sudah brlangsung lama akan terbentuk cake pada membrane oleh sebab itu perlu dilakukan

kombinasi dengan ohmic heat-treatments yang dilakukan pada suhu 700C.pada produk akhir

yang dihasilkan degan metode ultrafiltrasi ini juga terbukti tetap mempertahankan jumlah

proteindan berat molekul 23.2 and 71.6 kDa.

Pada jurnal kelima yang berjudul “Effect of Legume Seed Protein Isolates on Autolysis and Gel

Properties of Surimi from Sardine (Sardinella albella)” menjelaskan bahwa pada protein yang

memiliki ikatan gel pada protein myofibril saat dilakukan pemanasan pada suhu 50-700C akan

mengakibatkan protein myofibril mengalami degredasi proteolitik akibat enzim protease.

Selanjutnya dengan perlakuan pencucian akan terjadi kehilangan protein (protein leaching) dan

apabila hal ini terjadi maka kekuatan gel atau elastisitas akan mengalami penurunan. Kombinasi

dengan beberapa konsentrat whey protein dapat mengatasinya seperti chicken plasma protein,

beef plasma protein, dan egg white dapat menghambat kerja enzim protease pada prode surimi.

Pada biji legumes ditemukan dapat meproduksi protein isolator yang dapat digunakan sebagai

bahan additive yang dapat dimanfaatkan untuk pembentukan struktur gel, hal ini dikarenakan

didalam biji legumes terdapat trypsin inhibitors yang dapat menghambat kerja enzim protease.

4. KESIMPULAN

Surimi merupakan produk olahan ikan setengah jadi atau sebagai produk antara yang

terdiri dari konsentrat protein miofibril dan memiliki daya guna tinggi.

Kualitas produk surimi dipengaruhi oleh jenis ikan; umur; kematangan gonad; tingkat

kesegaran ikan; pH; kadar air; volume, konsentrasi, dan jenis penambahan anti denaturan

(cryoprotectant); serta frekuensi pencucian.

Penggilingan daging dengan es batu bertujuan untuk memperluas luas permukaan daging

ikan dan supaya tidak terjadi kerusakan oleh mikroorganisme patogen.

Sifat fungsional yang penting bagi produk surimi adalah sifat pembentukan gel dan daya

ikat air yang tinggi.

bahan anti denaturasi protein yang digunakan adalah sukrosa.

Penambahan polifosfat dalam pembuatan surimi bertujuan untuk memberikan efek

buffer pada pH daging ikan dan sebagai agen pengkelat.

Semakin tinggi konsentrasi sukrosa, garam, dan polifosfat yang ditambahkan, maka nilai

WHC akan semakin meningkat an diikuti dengan peningkatan hardness.

Semakin tinggi konsentrasi polifosfat yang ditambahkan, maka tingkat kekenyalan akan

semakin meningkat

Semarang, 22 September 2015 Asisten Dosen :- Yusdhika Bayu S

Ichlasia Ainul Fitri

(13.70.0196)

16

6. LAMPIRAN

6.1. Perhitungan

Rumus Perhitungan WHC (mg H2O)

Luas atas = 13

a (ho + 4h1 + 2h2 + 4h3 + ... + hn)

Luas bawah = 13

a (ho + 4h1 + 2h2 + 4h3 + ... + hn)

Luas Area Basah = LA - LB

mg H2O = luas areabasah−8,0

0,0948

Kelompok A1

a = 60 mm h1 atas = 185 mm h1 bawah = 35 mm

ho = 99 mm h2 atas = 200 mm h2 bawah = 16 mm

hn = 120 mm h3 atas = 182 mm h3 bawah = 24 mm

Luas atas = 13

x 60 (99 + 4(185) + 2(200) + 4(182) + 120)

= 20 (99 + 740 + 400 + 728 + 120)

= 41.740 mm2

Luas bawah = 13

x 60 (99 + 4(35) + 2(16) + 4(24) + 120)

= 20 (99 + 140 + 32 + 96 +120)

= 9.740 mm2

Luas Area Basah = 41.740 – 9,740

= 32.000 mm2

mg H2O = 32.000−8,0

0,0948 = 337.468,35 mg

Kelompok A2

a = 40 mm h1 atas = 172 mm h1 bawah = 19 mm

ho = 79 mm h2 atas = 176 mm h2 bawah = 8 mm

17

18

hn = 107 mm h3 atas = 148 mm h3 bawah = 16 mm

Luas atas = 13

x 40 (79 + 4(172) + 2(176) + 4(148) + 107)

= 403

(79 + 688 + 352 + 592 + 107)

= 24.240 mm2

Luas bawah = 13

x 40 (79 + 4(19) + 2(8) + 4(16) + 107)

= 403

(79 + 76 + 16 + 64 +107)

= 4.560 mm2

Luas Area Basah = 24.240 – 4.560

= 19.680 mm2

mg H2O = 19.680−8,0

0,0948 = 207.510,55 mg

Kelompok A3

a = 45 mm h1 atas = 173 mm h1 bawah = 24 mm ho = 87 mm h2 atas = 192 mm h2 bawah = 10 mmhn = 60 mm h3 atas = 172 mm h3 bawah = 23 mm

Luas atas = 13

x 45 (87 + 4(173) + 2(192) + 4(172) + 60)

= 15 (87 + 692 + 384 + 688 + 60)

= 28.665 mm2

Luas bawah = 13

x 45 (87 + 4(24) + 2(10) + 4(23) + 60)

= 15 (87 + 96 + 20 + 92 +60)

= 5.325 mm2

Luas Area Basah = 28.665 – 5.325

19

= 23.340 mm2

mg H2O = 23.340−8,0

0,0948 = 246.118,14 mg

Kelompok A4

a = 45 mm h1 atas = 161 mm h1 bawah = 14 mm

ho = 75 mm h2 atas = 178 mm h2 bawah = 7 mm

hn = 90 mm h3 atas = 153 mm h3 bawah = 10 mm

Luas atas = 13

x 45 (75 + 4(161) + 2(178) + 4(153) + 90)

= 15 (75 + 644 + 356 + 612 + 90)

= 26.655 mm2

Luas bawah = 13

x 45 (75 + 4(14) + 2(7) + 4(10) + 90)

= 15 (75 + 56 + 14 + 40 + 90)

= 4.125 mm2

Luas Area Basah = 26.655 – 4.125

= 22.530 mm2

mg H2O = 22.530−8,0

0,0948 = 237.573,84 mg

Kelompok A5

a = 40 mm h1 atas = 154 mm h1 bawah = 33 mm

ho = 75 mm h2 atas = 196 mm h2 bawah = 3 mm

hn = 99 mm h3 atas = 169 mm h3 bawah = 13 mm

Luas atas = 13

x 40 (75 + 4(154) + 2(196) + 4(169) + 99)

= 403

(75 + 616 + 392 + 676 + 99)

= 24.773,33 mm2

20

Luas bawah = 13

x 40 (75 + 4(33) + 2(3) + 4(13) + 99)

= 403

(75 + 132 + 6 + 52 + 99)

= 4.853,33 mm2

Luas Area Basah = 24.773,33 – 4.853,33

= 19.920 mm2

mg H2O = 1.992−8,0

0,0948 = 210.042,19 mg

6.2. Jurnal6.3. Vyper6.4. Laporan Sementara