219
1 2013 mht—pageprint SURVEILANS EPIDEMIOLOGISurveilans Kesehatan Masyarakat

Surveilans Epidemiologi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Surveilans Epidemiologi

12013

mht—pageprint

—SURVEILANS EPIDEMIOLOGI—Surveilans Kesehatan Masyarakat

Page 2: Surveilans Epidemiologi

2SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT

— SURVEILANS EPIDEMIOLOGI —

UNIVERSITAS MOHAMMAD HUSNI THAMRIN

Jalan Raya Pondok Gede (Hek) No. 23-25, Kramat Jati,

Jakarta Timur

Page 3: Surveilans Epidemiologi

3SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT

— SURVEILANS EPIDEMIOLOGI —

Dosen Pembimbing :

drg. Trisna Budy Widjayanti, MARS

Koordinator Penyusun :

Nur Putri Lavenia Permata Sari

Tim Penyusun :

Mahasiswa Kesehatan Masyarakat — Reguler 7

UNIVERSITAS MOHAMMAD HUSNI THAMRIN

Jalan Raya Pondok Gede (Hek) No. 23-25, Kramat Jati,

Jakarta Timur

TAHUN 2013

Page 4: Surveilans Epidemiologi

4KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

memberikan petunjuk dan rahmat-Nya kepada kami sehingga dapat

menyelesaikan penyusunan diktat yang berjudul Surveilans Kesehatan

Masyarakat (Surveilans Epidemiologi).

Diktat ini secara khusus bertujuan untuk menunjang proses pembelajaran

matakuliah Surveilans Kesehatan Masyarakat (Surveilans Epidemiologi). Selain

itu, diktat ini bermanfaat bagi para mahasiswa Kesehatan Masyarakat untuk

memahami tentang pelaksanaan Epidemiologi yang diaplikasikan melalui sebuah

tahapan-tahapan penelitian pada suatu penyakit di daerah tertentu.

Kami mengucapkan terimakasih kepada Ibu drg. Trisna Budy Widjayanti,

MARS yang telah memberi dorongan dan membantu kami dalam mempelajari

Ilmu tentang Surveilans Kesehatan Masyarakat (Surveilans Epidemiologi) dan

kami mengucapkan terimakasih pula kepada Ibu Inggit Melianan Anggarini,

SKM, M.CommHealth selaku kepala program studi Kesehatan Masyarakat

Universitas Mohammad Husni Thamrin serta tidak lupa kami berterimakasih

kepada orang tua kami yang senantiasa memberikan dukungan moril maupun

materil dan doa tulusnya kepada kami, sehingga kami dapat melajutkan studi kami

ke jenjang yang lebih baik dari sebelumnya.

Kami menyadari bahwa diktat ini jauh dari kata sempurna. Dengan

demikian, kami sangat menunggu kritik dan saran yang positif dari para pembaca

untuk memperbaiki segala kekurangan yang terdapat pada diktat ini.

Koordinator Penyusun,

Nur Putri Lavenia Permata Sari

Page 5: Surveilans Epidemiologi

5DAFTAR ISI

COVER MAKALAH 1

JUDUL MAKALAH 2

KATA PENGANTAR 4

DAFTAR ISI 5

BAB I : Elemen dalam Surveilans Epidemiologi 11

oleh Dahlia Ratnasari, Diana, Egatha Vini Aprisa, dan Supriyanto

Sejarah Surveilans 11

Sejarah Perkembangan Surveilans 11

Pengertian Surveilans Epidemiologi 13

Konsep Surveilans 14

Perbedaan Survei, Monitoring, dan Surveilans 15

Konsep Surveilans 15

Jenis Surveilans 16

Indikator Kinerja Surveilans 18

Sumber Data dan Sumber Daya Surveilans 18

Sarana yang Diperlukan untuk Melaksanakan Penyelenggaraan Sistem

Surveilans Epidemiologi 19

Jejaring Surveilans Epidemiologi 21

Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi 21

BAB II : Langkah-Langkah Surveilans Epidemiologi 24

Page 6: Surveilans Epidemiologi

6oleh Apristya Dewi, Kurnia Rahmawati, dan Listyowati

Pengumpulan Data Surveilans Epidemiologi 24

Pengolahan Data Surveilans Epidemiologi 28

Analisis Data Deskriptif Surveilans Epidemiologi 35

Interpretasi secara Deskriptif dan Inferensial 36

Desiminasi Data Surveilans Epidemiologi 37

BAB III : Standar Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi menurut World Health

Organization 38

oleh Dwi Pungki Oktaviana, Evita Shafanida, dan Marliyana Safitri

Standar Pendekatan Surveilans menurut World Health Organization 38

Perencanaan Surveilans 39

Pelaksanaan Surveilans menurut World Health Organization 40

Desiminasi Surveilans 41

BAB IV : Surveilans Epidemiologi pada Penyakit Campak menurut World Health

Organization 43

oleh Ardikal, Aulia Ulfa Arsyidyanti, dan Nur Putri Lavenia Permata Sari

Pengertian Surveilans 43

Pengertian Surveilans Kesehatan Masyarakat 43

Pengertian Surveilans Epidemiologi 44

Standar Surveilans Epidemiologi pada Penyakit Campak menurut World

Health Organization 45

Perencanaan Surveilans Epidemiologi pada Penyakit Campak menurut

World Health Organization 45

Page 7: Surveilans Epidemiologi

7Jenis Surveilans Epidemiologi pada Penyakit Campak menurut World

Health Organization 46

Elemen Data Minimum pada Penyakit Campak menurut World Health

Organization 47

Analisis Data, Interpretasi, dan Laporan Surveilans Epidemiologi pada

Penyakit Campak menurut World Health Organization 49

Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi pada Penyakit Campak menurut

World Health Organization 50

Point Penting dalam Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi pada Penyakit

Campak menurut World Health Organization 52

Desiminasi Surveilans Epidemiologi pada Penyakit Campak menurut World

Health Organization 53

BAB V : Surveilans dan Kejadian Luar Biasa 55

oleh Erika Yuni Lumban Tobing, Mertisin Laoli, Wahyuni Megawati, dan

Yayang Belya Oktaviani

Definisi Surveilans Epidemiologi 55

Surveilans dan Kejadian Luar Biasa (KLB) 55

Ruang Lingkup Kejadian Luar Biasa (KLB) 56

Kriteria dan Klasifikasi Kejadian Luar Biasa (KLB) 57

Penyaki-Penyakit Menular yang Berpotensi Wabah atau Kejadian Luar

Biasa (KLB) 59

Peringatan Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (KLB) 50

Langkah-Langkah Menghadapi Kejadian Luar Biasa (KLB) 66

Page 8: Surveilans Epidemiologi

8Metode Penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB) 69

Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) 74

BAB VI : Surveilans pada Penyakit Kanker 76

oleh Erika Yuni Lumban Tobing, Mertisin Laoli, Wahyuni Megawati, dan

Yayang Belya Oktaviani

Definisi Kanker 76

Faktor-Faktor Penyebab Kanker 77

Surveilans Kanker 80

Kegiatan Pengendalian Kanker di Indonesia 81

Surveilans Mammograpic Meningkatkan Hasil Pasien Kanker

Payudara 85

BAB VII : Surveilans Perinatal 88

oleh Erika Yuni Lumban Tobing, Mertisin Laoli, Wahyuni Megawati, dan

Yayang Belya Oktaviani

Definisis Perinatal 88

Penyebab Kematian Perinatal 89

Kematian Ibu 90

Kematian Bayi 92

Surveilans Perinatal 92

Surveilans dan Sumber Informasi Kematian Ibu 95

BAB VIII : Surveilans of Occupational Health 100

oleh Chrysiane Florensia Sillety, Hari Pranindyo, Hartanti, dan Ria

Azhariah

Page 9: Surveilans Epidemiologi

9Ruang Lingkup Surveilans Keselamatan dan Kesehatan Kerja 100

Metode Surveilans Keselamatan dan Kesehatan Kerja 100

Persyaratan dan Teknik Pelaksanaan Surveilans Keselamatan dan Kesehatan

Kerja 102

Persiapan Pelaksanaan Surveilans Kesehatan Kerja 104

Contoh Surveilans Keselamatan dan Kesehatan Kerja 107

Data dan Informasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja 108

Dasar Hukum Keselamatan dan Kesehatan Kerja 109

Konsep dan Lingkup Sistem Informasi Keselamatan dan Kesehatan

Kerja 109

Data Dasar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (Input) 110

Data dan Indikator Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(Proses) 112

Data dan Indikator Keberhasilan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

(Output) 113

Sumber Data dan Pengumpulan Informasi Keselamatan dan Kesehatan

Kerja 115

Pengolahan, Analisis, dan Penyajian Data Keselamatan dan Kesehatan

Kerja 117

Sumber Pembelajaran, Metode, dan Media 118

BAB IX : Physical and Chemical Hazard of Enviroment 120

oleh Chrysiane Florensia Sillety, Hari Pranindyo, Hartanti, dan Ria

Azhariah

Page 10: Surveilans Epidemiologi

10Pengertian Bahaya Fisik 120

Macam-Macam Bahaya Fisik 122

Pengertian Bahaya Kimia 130

Macam-Macam Bahaya Kimia 131

DAFTAR PUSTAKA 133

BAB I

Elemen dalam Surveilans Epidemiolgi

Page 11: Surveilans Epidemiologi

11OLEH DAHLIA RATNASARI, DIANA, EGATHA VINI APRISA, DAN SUPRIYANTO

Sejarah Surveilans

Surveilans kesehatan masyarakat semula hanya dikenal dalam bidang

epidemiologi. Namun, dengan berkembangnya berbagai macam teori dan aplikasi

surveilans diluar bidang epidemiologi surveilans manjadi cabang ilmu tersendiri

yang diterapkan secara luas dalam bidang kesehatan masyarakat.

Kata surveilans semula berasal dari bahasa Perancis ‘surveillance‘ yang

secara harfiah dapat diartikan sebagai kata ‘mengamati tentang sesuatu’, yang

dalam bidang kesehatan masayarakat dapat diartikan sebagai upaya monitoring

kondisi kesehatan dimasyarakat, dimana hal tersebut bisa dipakai sebagai dasar

perencanaan. Namun dalam perjalanannya terjadi beberapa permasalahan yaitu

pertama perlu acuan dengan konsep dan definisi serta isi kegiatan yang dimengerti

oleh semua pihak, sebab ilmu kesehatan masyarakat melibatkan berbagai macam

keilmuan dan keahlian selain epidemiologi. Kedua masih sedikitnya informasi

atau tulisan yang secara sistematis melaporkan kegiatan surveilans di indonesia.

Sejarah Perkembangan Surveilans

Ada enam masa perkembangan surveilans

1. Abad keempat belas dan kelima belas

Dimulainya beberapa tindakan yang dianggap sebagai tindakan surveilans

antara lain pada tahun 1348 saat terjadi wabah penyakit pneumonia

(Pneumonia plague) diangkatlah pengawas kesehatan di negara republik

Venesia yang tugasnya mendeteksi dan menolak penumpang yang terkena

penyakit ini. Lalu tahun 1377 di Marseilles dan di Venise tahun 1403

dilakukan tindakan penahanan atau dikenal sebagai tindakan karantina yang

pertama kali dilakukan bagi penderita dan yang diduga sebagai penyebar

penyakit ini.

2. Abad keenam belas

Undang – undang kematian di London atau lebih dikenal dengan “London

Bills of Mortality” pada tahun 1532, namun untuk bidang kesehatan

Page 12: Surveilans Epidemiologi

12masyarakat beberapa abad kemudian manfaat ilmiahnya baru dirasakan, dan

di perkenalkan oleh Jhon Graunt

3. Abad ketujuhbelas

Pada abad ini pencatatan dilakukan secara sporadis dan hanya dilakukan bila

ada wabah pes, yang dilaporkan setip minggunya tentang orang – orang

yang dikubur dan penyebab kematiannya, lalu di susun laporan statistik

kematian dari beberapa paroki dan interpretasikan bagaimana keadaan

wabah pes di kota london. Laporan ilmiah pertama disusun oleh Jhon

Graunt pada tahun 1662, beliau memperlajari konsep jumlah dan pola

penyakit secara epidemiolagis, dalam buku yang berjudul Natural and

Political Observation on the Bills of Mortality

4. Abad kedelapan belas

Tahun 1776 Johan Peter Frank Melaksanakan tindakan surveilans dengan

mengangkat polisi kesehatan di Jerman, yang tugasnya berkaitan dengan

pengawasan kesehatan anak sekolah, pencegahan Kecelakaan, pengawasan

kesehatan ibu dan Anak, pemeliharaan sanitasi air dan limbah. Yang

dikemudian disusun menjadi buku yang menyajikan secara jelas dan rinci

tentang kebijaksanaan dalam kesehatan.

5. Abad kesembilan belas

Dalam buku “Superintendant of statistical Departement of the General

Registrar’s Office” pada tahun 1839 – 1879 di Inggris William Farr

mengumpulkan, mengolah, menganalisa, dan menginterpretasikan statistik

Vital serta menyebarluaskan hasilnya dalam bentuk laporan mingguan,

bulanan, dan tahunan. Karena Wiliian Farr dikenal sebagai pendiri Konsep

Surveilans secara modern.

6. Abad dua puluh

Peningkatan pemakaian konsep surveilans untuk pendekatan epidemi dan

pencegahan penyakit mulai dikenal pada abad dua puluh. Sebenarnya

beberapa negara sudah mulai dari tahun 1878, dan tahun 1925 di amerika

semua negara bagian harus melaporkan beberapa penyakit seperti penyakit –

Page 13: Surveilans Epidemiologi

13penyakit infeksi, demam kuning, pes dan cacar air. Dan untuk saat ini

penyakit yang dilaporkan bertambah banyak termasuk HIV dan AIDS.

Pengertian Surveilans Epidemiologi

Epidemiologi menurut WHO (World Health Organization) yaitu

Epidemiology is the study of the distribution and determinants of health-related

states or events (including disease), and the application of this study to the control

of diseases and other health problems. Various methods can be used to carry out

epidemiological investigations: surveillance and descriptive studies can be used

to study distribution; analytical studies are used to study determinants atau

Epidemiologi adalah studi tentang distribusi dan determinan negara yang

berhubungan dengan kesehatan atau kejadian (termasuk penyakit), dan aplikasi

penelitian ini untuk pengendalian penyakit dan masalah kesehatan lainnya.

Berbagai metode dapat digunakan untuk melakukan penyelidikan epidemiologi

pengawasan dan deskriptif studi dapat digunakan untuk mempelajari distribusi,

studi analitis digunakan untuk mempelajari faktor-faktor penentu. Sedangkan

Surveilans menurut WHO yaitu Public health surveillance is the continuous,

systematic collection, analysis and interpretation of health-related data needed

for the planning, implementation, and evaluation of public health practice. Such

surveillance can:

1. Serve as an early warning system for impending public health emergencies

2. Document the impact of an intervention, or track progress towards

specified goals

3. Monitor and clarify the epidemiology of health problems, to allow

priorities to be set and to inform public health policy and strategies.

atau dapat diartikan Surveilans kesehatan masyarakatadalahterus menerus,

pengumpulan, analisis dan interpretasi data yang berhubungan dengan kesehatan

yang diperlukan untukperencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi praktik kesehatan

masyarakat. Pengawasan tersebut dapat berupa:

1. Berfungsi sebagai sistem peringatan dini untuk keadaan darurat kesehatan

masyarakat yang akan datang.

Page 14: Surveilans Epidemiologi

142. Mendokumentasikan dampak intervensi atau melacak kemajuan menuju

tujuan tertentu.

3. Memantau dan memperjelas epidemiologi masalah kesehatan, untuk

memungkinkan prioritas harus ditetapkandan untuk menginformasikan

kebijakan kesehatan masyarakat dan strategi.

Jadi, Surveilans Epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan

terus menerus terhadap penyakit dan masalah-masalah kesehatan serta kondisi

yang memperbesar risiko terjadinya peningkatan dan penularan penyakit serta

masalah-masalah kesehatan tersebut. Agar dapat melakukan tindakan

penanggulangan secara efektif dan efesien melalui proses pengumpulan data,

pengolahan data dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggaraan

program kesehatan. Sistem surveilans epidemiologi merupakan tatanan prosedur

penyelenggaraan surveilans epidemiologi yang terintegrasi antara unit-unit

penyelenggara surveilans dengan laboratorium, sumber-sumber data, pusat

penelitian, pusat kajian dan penyelenggara program kesehatan meliputi tata

hubungan surveilans epidemiologi antar wilayah kabupaten/kota, profinsi dan

pusat.

Fungsi Surveilans

1. Menjelaskan pola penyakit yang sedang berlangsung.

2. Melakukan monitoring kecendrungan penyakit endemis.

3. Mempelajari riwayat alamiah penyakit.

4. Memberikan informasi dan data dasar untuk proyeksi yayasan kesehatan

dimasa yang akan dating.

5. Memantau pelaksanaan dan daya guna program pengendalian.

6. Membantu menetapkan masalah kesehatan prioritas (frekuensi kejadian :

kegawatan, biaya, dapat dicegah, dapat dikomukasikan, public intrest).

7. Dapat mengidentifikasi kelompok resiko tinggi.

Perbedaan Survei , Surveilans, dan Monitoring

1. Surveilans :

Page 15: Surveilans Epidemiologi

15A. Penilaian status kesehatan

B. Mengumpulkan, interprestasi data untuk mendeteksi kemungkinan

alternative penyelesain masalah kesehatan.

C. Tidak spesifik pada penyakit tapi beberapa factor yang menyebabkan

timbulnya penyakit.

2. Monitoring :

A. Penilaianstatuskesehatan

B. Evaluasi intervensi (tindakan)

C. Penilaiansecara terusmenerusprogrampelayanan

D. Penilaian secara terus menerus pada program pelayanan kesehatan

profesi kesehatan

3. Survei :

Kegiatan pengumpulan informasi yang berasal dari populasi dan sampel

A. Survei pemeriksaan atau penilitian secara komprehensif.

B. Survei yang dilakukan dalam melakukan penelitian biasanya

dilakukan dengan menyebarkan kuesioner atau wawancara, dengan

tujuan untuk mengetahui: siapa mereka, apa yang mereka pikir,

rasakan, atau kecenderungan suatu tindakan. Mereka pikir, rasakan,

atau kecenderungan suatu tindakan.

C. Survei lazim dilakukan dalam penelitian kuantitatif maupun

kualitatif. Dalam penelitian kuantitatif, survei lebih merupakan

pertanyaan tertutup, sementara dalam penelitian kualitatif berupa

wawancara mendalam dengan pertanyaan terbuka.

Konsep Surveilans

1. Surveilans : kegiatan yang terus menerus dalam pengumpulan, analisis,

interprestasi dan diseminasi data kesehatan

2. Pelayanan Kesehatan memakai data surveilans untuk menjelaskan dan

memonitor masalah dengan menyusun prioritas masalah, perencanaan,

implementasi dan evaluasi program kesehatan.

Page 16: Surveilans Epidemiologi

163. Proses penyakit : Patogen, host, reservoir, vector dan lingkungan, transmisi

penyakit, penyebarluasan penyakit.

4. Data prospektif dan dapat digunakan

5. Sistem dalam surveilans didasarkan pada informasi yang berasal dari

“Health Care Provide”, “Health care Agencies”, “Public Agencies”

Jenis Surveilans

1. Penerapan metode surveilans epidemiologi, tentu disesuaikan dengan kajian

atau dasar kejadian yang memerlukan kegiatan surveilans itu sendiri.

Sedikitnya ada 6 jenis surveilans dalam epidemiologi yang sering

digunakan, diantaranya sebagai berikut:

a. Surveilans Individu (individual surveillance) yaitu jenis surveilans

epidemiologi yang mendeteksi dan memonitor individu individu yang

mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar,

tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu

memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera terhadap

kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan.

b. Surveilans Penyakit (disease surveillance) yaitu jenis surveilans

epidemiologi yang melakukan pengawasan terus-menerus terhadap

distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui

pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-

laporan penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus

perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu.

c. Surveilans Sindromik (syndromic /multiple disease surveillance) yaitu

kegiatan yang melakukan pengawasan terus-menerus terhadap

sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masing-masing penyakit.

Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-indikator

kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum

konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-

indikator individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda,

Page 17: Surveilans Epidemiologi

17atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber,

sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.

d. Surveilans Laboratorium, jenis surveilans berbasis laboratorium

digunakan untuk mendeteksi dan memonitor penyakit infeksi. Sebagai

contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti

salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk

mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi outbreak

penyakit dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang

mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-klinik.

e. Surveilans Terpadu (integrated surveillance) yaitu menata dan

memadukan semua kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi

(negara/ provinsi/ kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik

bersama. Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan

personalia yang sama, melakukan fungsi mengumpulkan informasi

yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun

pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan

kebutuhan data khusus penyakit-penyakit tertentu.

f. Surveilans Global, yang terakhir adalah surveilans yang dilakukan

secara serempak di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi

kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional untuk

memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi batas-

batas negara. Kegiatannya ditujukan untuk mengawasi ancaman aneka

penyakit menular yang menyebar pada skala global, baik penyakit-

penyakit lama yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun

penyakit-penyakit yang baru muncul (newemerging diseases), seperti

HIV/AIDS, flu burung, dan SARS.

Indikator Kinerja Surveilans

Page 18: Surveilans Epidemiologi

18Indikator kinerja surveilansmerupakan ukuran kualitas suatu sistem kerja.

Secara operasional, suatu unit program apabila menyatakan besarnya masalah 

program, maka wajib didukung oleh sistem kerja informasi yang baik. Baik atau

tidak baiknya sistem kerja informasi ini, dinyatakan dengan ukuran atau indikator

kinerja surveilans.

Misalnya, angka kesakitan demam berdarah dengue (DBD) di Jakarta

adalah sebesar 225 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2010. Penyataan

besarnya angka kesakitan DBD ini, diperoleh dari pengumpulan data dari semua

rumah sakit atau hanya sebagian rumah sakit (kelengkapan laporan) ?, seberapa

akurat kasus DBD itu sesuai dengan definisi yang telah ditetapkan (keakuratan

pengisian variabel) ?, dsb. Kelengkapan laporan dan tingkat keakuratan pengisian

variabel DBD tersebut diatas merupakan indikator kinerja untuk mengukur mutu

laporan angka kesakitan DBD di Jakarta. Indikator kinerja ini yang disebut

“indikator kinerja surveilans DBD”

Indikator kinerja surveilans dapat digunakan sebagai bagian dari monitoring

dan evaluasi penyelenggaraan sistem surveilans. Data indikator kinerja surveilans

menurut karakteristik waktu dan tempat, dapat menuntun kepada sumber data

yang perlu mendapat pembinaan dan dukungan dalam  penyelenggaraan sistem

surveilans yang lebih baik

Indikator kinerja surveilans ini sering rancu dengan tujuan surveilans, dan

indikator kinerja program. Kerancuan ini dapat mengakibatkan timbulnya

kelemahan manajemen penyelenggaraan sistem surveilans, terutama

penyelenggaraan sistem surveilans yang berada dalam satu paket dengan

penyelenggaraan intervensi program.

Sumber Data Surveilans dan Sumber Daya Surveilans

1. Sumber Data Surveilans

Secara umum dalam sistem surveilans ada 10 elemen sumber data, yaitu :

a. Laporan Kematian

b. Laporan Penyakit

c. Laporan Wabah

Page 19: Surveilans Epidemiologi

19d. Laporan Hasil Pemeriksaan Laboratorium

e. Laporan Penyelidikan Peristiwa Penyakit

f. Laporan penyelidikan Wabah

g. Laporan Survey

h. Laporan Penyelidikan Dstribusi Vektor dan Reservoir Penyakit pada

Hewan

i. Laporan Penggunaan Obat Vaksin

j. Laporan Penduduk dan Lingkungan

2. Sumber Daya Surveilans

1. Sumber Daya Surveilans

Sumber daya penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi

kesehatan meliputi:

a. Tenaga ahli epidemiologi (S1, S2, dan S3).

b. Tenaga pelaksana surveilans epidemiologi terlatih asisten

epidemiologi lapangan, dan petugas puskesmas terlatih

surveilans epidemiologi.

c. Manajer unit kesehatan yang mendapat orientasi epidemiologi

d. Jabatan fungsional epidemiologi.

e. Jabatan fungsional entomologi

f. Jabatan fungsional sanitarian

g. Jabatan fungsional statistisi

h. Sumber daya manusia laboratorium

i. Sumber daya manusia lainnya yang terkait

2. Sumber Daya Manusia

Sarana yang Diperlukan untuk Melaksanakan Penyelenggaraan Sistem

Surveilans Epidemiologi

1. Administrasi Sarana Pusat

a. Jaringanelektromedia

b. Komunikasi(telepon,faksimili,SSBdantelekomunikasi lainnya)

c. Komputer dan perlengkapannya

Page 20: Surveilans Epidemiologi

20d. Referensisurveilansepidemiologi,penelitiandankajian kesehatan

e. Pedoman pelaksanaan surveilans epidemiologi dan program aplikasi

komputer

f. Peralatan kegiatan surveilans

g. Sarana transportasi

2. Administrasi Sarana Propinsi

a. Jaringan elektromedia

b. Komputerdanperlengkapannya

c. Komunikasi (telepon, faksimili, SSB dantelekomunikasi lainnya)

d. Referensi surveilans epidemiologi,penelitian dan kajian kesehatan

e. Pedoman pelaksanaan surveilans epidemiologi dan program aplikasi

computer

f. Peralatan pelaksanaan surveilans

g. Sarana transportasi

3. Administrasi Sarana Kabupaten/ Kota

a. Jaringan elektromedia

b. Komunikasi (telepon, faksimili, SSB dan telekomunikasi lainnya)

c. Komputer dan perlengkapannya

d. Referensi surveilans epidemiologi,penelitian dan kajian kesehatan

e. Pedoman pelaksanaan surveilans epidemiologi dan program

aplikasi komputer

f. Formulir perekaman data surveilans epidemiologi sesuai dengan

pedoman

g. Peralatan pelaksanaan surveilans

h. Sarana transportasi

4. Administrasi Sarana Puskesmas dan Rumah Sakit

a. Komputer dan perlengkapannya

b. Komunikasi (telepon, faksimili dan SSB)

c. Referensi surveilans epidemiologi, penelitian dan kajian kesehatan

d. Pedoman pelaksnaan surveilans epidemiologi dan program aplikasi

komputer

Page 21: Surveilans Epidemiologi

21e. Formulir perekaman data surveilans epidemiologi sesuai dengan

pedoman

f. Peralatan pelaksanaan surveilans epidemiologi diPuskesmas dan

Rumah Sakit

g. Sarana transportasi

5. Pembiayaan

Sumber biaya penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi kesehatan

terdiri sumber dana APBN, APBD Kabupaten/Kota, APBD Propinsi,

Bantuan Luar Negeri, Bantuan Nasional dan Daerah, dan swadaya

masyarakat.

Jejaring Surveilans Epidemiologi

Jejaring Kerja Surveilans Epidemiologi adalah pertukaran data dan informasi

epidemiologi, analisis dan peningkatan kemampuan surveilans epidemiologi yang

terdiri dari :

a. Jaringan kerjasama antara unit-unit surveilans dengan penyelenggara

pelayanan kesehatan, laboratorium dan unit penunjang lainnya.

b. Jaringan kerjasama antara unit-unit surveilans epidemiologi dengan pusat-

pusat penelitian dan kajian, program intervensi kesehatan dan unit-unit

surveilans lainnya.

c. Jaringan kerjasama unit-unit surveilans epidemiologi antara kabupaten/kota,

provinsi dan nasional.

d. Jaringan kerjasama unit surveilans dengan berbagai sector terkait nasional,

bilateral Negara, regional dan internasional.

Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi

Berdasarkan Metode Pelaksanaan

a. Surveilans Epidemiologi Rutin Terpadu

Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi terhadap beberapa kejadian,

permasalahan,dan ataufaktor risiko kesehatan.

b. Surveilans Epidemiologi Khusus

Page 22: Surveilans Epidemiologi

22Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi terhadap suatukejadian,

permasalahan, faktor risiko atau situasikhusus kesehatan.

c. Surveilans Epidemiologi Sentinel

Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi padapopulasi dan wilayah

terbatas untuk mendapatkan signal adanyamasalah kesehatan pada suatu

populasi atau wilayah yglebih luas.

d. Studi Epidemiologi

Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi untuk mengetahui gambaran

epidemiologi penyakit.

Berdasarkan Aktifitas Pengumpulan Data

a. Surveilans Aktif

Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi, dimana unit surveilans

mengumpulkan data dengan cara mendatangi unit pelayanan kesehatan,

masyarakat atau sumber datalainnya.

b. Surveilans Pasif

Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi, dimana unit surveilans

mengumpulkandata dengan cara menerima data tersebut dari unit

pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya.

Berdasarkan Pola Pelaksanaan

a. Pola kedaruratan

Kegiatan surveilans yang mengacu pada ketentuan yang berlaku untuk

penanggulangan KLB dan atau wabahdan atau bencanadan atau bencana

b. Pola selain kedaruratan

Kegiatansurveilans yang mengacu pada ketentuan yang berlaku untuk

keadaan diluar KLB dan atau wabah dan atau bencana

Berdasarkan Kualitas Pemeriksaan

a. Bukti klinis atau tanpa peralatan pemeriksaan

Kegiatan surveilans dimana data diperolehberdasarkan pemeriksaan klinis

atau tidak menggunakan peralatan pendukungpemeriksaan.

b. Bukti laboratorium atau dengan peralatan khusus

Page 23: Surveilans Epidemiologi

23Kegiatan surveilans dimana data diperolehberdasarkan pemeriksaan

laboratorium atau peralatan pendukung pemeriksaan lainnya.

BAB II

Langkah-Langkah Surveilans Epidemiologi

Page 24: Surveilans Epidemiologi

24OLEH APRISTYA DEWI, KURNIA RAHMAWATI, DAN LISTYOWATI

Pengumpulan Data Surveilans Epidemiologi

Pengumpulan Data adalah pencatatan insidensi berdasarkan laporan rumah

sakit, puskesmas, dan sarana pelayanan kesehatan lain, laporan petugas surveilans

di lapangan, laporan masyarakat, dan petugas kesehatan lain. Survei khusus, dan

pencatatan jumlah populasi berisiko terhadap penyakit yang sedang

diamati.Tehnik pengumpulan data dapat dilakukan dengan wawancara dan

pemeriksaan.Tujuan pengumpulan data adalah menentukan kelompok high risk.

Menentukan jenis dan karakteristik (penyebabnya).Menentukan reservoir

Transmisi Pencatatan kejadian penyakit; dan KLB.

A. Sumber Data Surveilans

Salah satu system pengumpulan data yang dilakukan secara terus menerus

dalam epidemiologi dikenal dengan surveilans. Sebagai sumber data

surveilans, WHO merekomendasikan 10 macam sumber data yang dapat

dipakai :

1. Data mortaliatas

2. Data morbiditas

3. Data pemeriksaan laboratorium

4. Laporan penyakit

5. Penyelidikan peristiwa penyakit

6. Laporan wabah

7. Laporan penyelidikan wabah

8. Survey penyakit, vector dan reservoir

9. Pengunaan obat, vaksin dan serum

10. Demografi dan lingkungan

B. Macam-macam sumber data menurut (Kepmenkes RI

No.1116/Menkes/SK/VIII/2003):

1. Data kesakitan yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan

dan masyarakat.

Page 25: Surveilans Epidemiologi

252. Data kematian yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan

serta laporan kantor pemerintah dan masyarakat.

3. Data demografi yang dapat diperoleh dari unit statistik kependudukan

dan masyarakat

4. Data geografi yang dapat diperoleh dari unit unit meteorologi dan

geofisika

5. Data laboratorium yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan

dan masyarakat.

6. Data kondisi lingkungan

7. Laporan wabah

8. Laporan penyelidikan wabah/KLB

9. Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan

10. Studi epidemiology dan hasil penelitian lainnya

11. Data hewan dan vektor sumber penular penyakit yang dapat diperoleh

dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat.

12. Laporan kondisi pangan

C. Metode Pengumpulan Data

Dalam surveilans, data dikumpul melalui sistem pelaporan yang

ada.Berdasarkan keperluannya, pengumpulan data untuk surveilans

dibedakan menurut sumber data yaitu primer dan sekunder.Data primer

dikumpulkan secara langsung dari penderita di lokasi dan sarana kejadian

penyakit. Data sekunder dikumpulkan dari sumber data laporan rutin yang

ada atau sumber khusus tambahan lain sesuai variabel yang diperlukan.

Surveilans secara rutin sering menggunakan cara ini. Ada data tersier yaitu

data yang diambil dari hasil kajian, analisis data atau makalah yang telah

dipublikasikan.Besarnya sumber data sangat tergantung pada populasi, yaitu

data yang diambil dari semua penduduk merupakan data yang diamati atau

yang berisiko terkena penyakit (reference population) di suatu wilayah

dimana penyakit terjadi (desa, kecamatan, kebupaten, provinsi atau negara).

Sistem surveilans rutin di kabupaten menggunakan cara ini melalui

laporan sarana kesehatan (Puskesmas) yang menjangkau seluruh wilayah

Page 26: Surveilans Epidemiologi

26kabupaten. Dalam survei khusus, cara ini jarang dilakukan karena mahal

dan membutuhkan waktu lama. Untuk data sampel, yaitu data yang diambil

dari sebagian penduduk atau sebagian puskesmas yang dianggap mewakili

seluruh penduduk atau wilayah dimana kejadian penyakit berlangsung atau

berisiko terkena penyakit. Dalam survei khusus cara ini sering dilakukan

karena lebih cepat dan murah. Bila menggunakan sampel, pemilihan sampel

basanya dilakukan mengikuti ketentuan statistik. Pertama, perlu menentukan

unit sampel yang akan dipilih yaitu sampel perorangan atau kelompok

(kluster), sehingga langkah selanjutnya dapat membuat daftar unit sampel

secara berurutan, dan menetapkan besar atau jumlah sampel.

Besar sampel ditentukan oleh populasi penduduk yang akan diwakili

dan perkiraan besarnya prevalensi dari penyakit yang dipantau. Umumnya

makin besar jumlah sampel, maikin baik informasi yang dihasilkan tentang

penduduk yang diwakilinya.Bandingkan besar sampel dan ketepatan hasil

(lebar range prevalensi yang dihasilkan) pada tabel tertentu. Kemudian unit

sampel dipilih sesuai jumlah yang ditentukan, yang bisa dilakukan secara

aak (random), sistematik (pilihan berselang seling) atau kombinasi cara

tersebut. Cara ini memberikan sampel yang dapat mewakili semua populasi

yang diamati.Kadang-kadang sampel terpaksa dipilih sesuai kepentingan

pengamatan (selektif, purposive), biasanya bila penyakit sangat jarang

terjadi.Cara ini mewakili populasi yang diamati.

Sampel dapat berganti setiap waktu dan setiap pengamatan, atau dapat

berupa sampel tetap untuk diikuti terus selama periode pengamatan

(sentinel, kohort).Data dapat dikumpulkan sesaat, yaitu data tentang

kejadian penyakit atau kematian yang dikumpul pada tempat dan saat

kejadian penyakit sedang berlangsung (cross sectional).Data penyakit sesaat

tersebut (prevalens) dapat dikumpul dalam suatu periode waktu yang

singkat (misalnya 1 hari, disebut point prevalence) atau periode yang lebih

panjang (minggu, bula, tahun, disebut period prevalence).Data kejadian di

waktu lalu, yaitu data yang dikumpul tentang kejadian penyakit atau

kematian yang sudah terjadi pada waktu lalu (restrospective).

Page 27: Surveilans Epidemiologi

27Untuk mencari faktor risiko penyebab penyakit atau kematian

sedangkan data kejadian di waktu mendatang, yaitu data yang dikumpul

tentang kejadian penyakit atau kematian yang sedang berlangsung dan akan

terjadi pada waktu mendatang yang periodenya telah ditetapkan sebelumnya

(prospective). Tujuannya adalah memantau besarnya pengaruh suatu faktor

risiko atau intervensi program tertentu timbulnya penyakit atau

kematian.Sifat kejadian penyakit yang dipantau berdasarkan data kasus

lama, yaitu penderita yang sudah menderita sakit (dan saat ini masih sakit,

sudah sembuh atau sudah meniggal) sejak sebelum pengumpulan data

dilakukan.Penemuan kasus lama dapat dipakai untuk menialai efektivitas

pengobatan, pelaksanaan pengobatan standar, resistensi, adanya pengaruh

faktor risiko lingkungan dan perilaku sehingga sakit berlangsung lama.

Sedangkan kasus baru, yaitu penderita yang baru menderita sakit pada saat

peiode pengumpulan data dilakukan selanjutnya cara penemuan kasus baru,

terutama bila terjadi dalam waktu singkat. Dipakai untuk menilai adanya

KLB atau wabah di suatu tempat, yang memerlukan tindak lanjut.

D. Alat pengumpulan Data

Untuk pengumpulan data surveilans diprlukan alat bantu yang harus

disiapkan lebih dulu. Alat bantu pengumpulan data dapat berupa daftar

register penderita, kuesioner, formulir, tabel atau cheklist yang memuat

variabel yang berkaitan dengan penyakit yang diamati. Alat bantu baku

disediakan untuk pengumpulan data rutin. Pada KLB/ wabah perlu

dibuatkan alat bantu baru tentang faktor penyebab dan faktor risiko

penularan yang berkaitan dengan penyakit pada KLB/wabah tersebut.

Pengumpulan data membutuhkan serangkaian kegiatan pengelolaan

tersendiri oleh tim surveilans meliputi perencanaan kegiatan,

pengorganisasian, pembiayaan dan penjadwalan, pelaksanaan, pengawasan,

dan evaluasi hasil pengumpulan data. Pengumpulan data pada Surveilans

Epidemilogi Terpadu pada unit surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

menyimpulkan data dari :

1. Laporan bulanan Puskesmas (form 4, STP.Plus)

Page 28: Surveilans Epidemiologi

282. Laporan bulanan rumah sakit (form 5a dan 5b, STP.RS)

3. Laporan bulanan laboratorium (form 6a. STP.Lab 1 dan form 6b.

STP.Lab 2)

4. Laporan mingguan PWS-KLB (form 3. PWS-KLB).

Pada Puskesmas dan rumah sakit sentinel melaporkan laporan bulanan

dari pelayanan kesehatan swasta. Praktik pengumpulan data dari laporan

puskesmas, meringkas dalam bentuk tabel.Dari penjelasan tersebut maka

dapat dirumuskan tujuan dari pengumpulan data adalah menentukan

kelompok/golongan populasi yang berisiko (umur, sex, bangsa, pekerjaan

dan lainnya), menentukan jenis agent dan karakteristiknya, menentukan

reservoir infeksi, memastikan penyebab trasmisi, dan mencatat kejadian

penyakit.

E. Waktu Pengumpulan Data

Waktu pengumpulan data pada sistem surveilans meliputi :

1. Rutin bulanan. Laporan yang berkaitan dengan perencanaan dan evaluasi

program dari sumber data yang dilakukan oleh Puskesmas yaitu SP2TP

(Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas).

2. Rutin harian dan mingguan. Laporan tersebut berkaitan dengan Sistem

Kewaspadaan Dini (SKD) dari kejadian Luar Biasa (KLB).

3. Insidensitil adalah laporan sewaktu-waktu seperti laporan W1 untuk

Kejadian Luar Biasa (KLB).

4. Laporan berdasarkan hasil survei.

Pengolahan Data Surveilans Epidemiologi

Pengolahan data merupakan bagian yang amat penting dalam metode

ilmiah, karena dengan pengolahan data, data tersebut dapat diberi arti dan makna

yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian. Data mentah yang telah

dikumpulkan perlu dipecah-pecahkan dalam kelompok-kelompok, diadakan

kategorisasi, dilakukan manipulasi serta diperas sedemikian rupa sehingga data

tersebut mempunyai makna untuk menjawab masalah dan bermanfaat untuk

menguji hipotesa atau pertanyaan penelitian.

Page 29: Surveilans Epidemiologi

29Mengadakan manipulasi terhadap data mentah berarti mengubah data

mentah tersebut dari bentuk awalnya menjadi suatu bentuk yang dapat dengan

mudah memperlihatkan hubungan-hubungan antara fenomena. Beberapa tingkatan

kegiatan perlu dilakukan, antara lain memeriksa data mentah sekali lagi,

membuatnya dalam bentuk tabel yang berguna, baik secara manual ataupun

dengan menggunakan komputer.

Setelah data disusun dalam kelompok-kelompok serta hubungan-hubungan

yang terjadi dianalisa, perlu pula dibuat penafsiran-penafsiran terhadap hubungan

antara fenomena yang terjadi dan membandingkannya dengan fenomena-

fenomena lain di luar penelitian tersebut. Berdasarkan pengolahan data tersebut,

perlu dianalisis dan dilakukan penarikan kesimpulan hasil penelitian.

Pengolahan data secara sederhana diartikan sebagai proses mengartikan

data-data lapangan sesuai dengan tujuan, rancangan, dan sifat penelitian. Misalnya

dalam rancangan penelitian kuantitatif, maka angka-angka yang diperoleh melalui

alat pengumpul data tersebut harus diolah secara kuantitatif, baik melalui

pengolahan statistik inferensial maupun statistik deskriptif. Lain halnya dalam

rancangan penelitian kualitatif, maka pengolahan data menggunakan teknik non

statitistik, mengingat data-data lapangan diperoleh dalam bentuk narasi atau kata-

kata, bukan angka-angka. Mengingat data lapangan disajikan dalam bentuk narasi

kata-kata, maka pengolahan datanya tidak bisa dikuantifikasikan. Perbedaan ini

harus dipahami oleh peneliti atau siapapun yang melakukan penelitian, sehingga

penyajian data dan analisis kesimpulan penelitian relevan dengan sifat atau jenis

data dan prosedur pengolahan data yang akan digunakan. Di atas dikatakan bahwa

pengolahan data diartikan sebagai proses mengartikan data lapangan, yang berarti

supaya data lapangan yang diperoleh melalui alat pengumpul data dapat dimaknai,

baik secara kuantitatif maupun kualitatif, sehingga proses penarikan kesimpulan

penelitian dapat dilaksanakan.

Makna penelitian yang diperoleh dalam pengolahan data, tidak sampai

menjawab pada analisis “kemengapaan” tentang makna-makna yang diperoleh.

Misalnya dalam rancangan penelitian kuantitatif, maka angka-angka yang

Page 30: Surveilans Epidemiologi

30diperoleh melalui alat pengumpul data tersebut harus diolah secara kuantitatif,

baik melalui pengolahan statistik inferensial maupun statistik deskriptif.

A. Statistik deskriptif yang bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang

keadaan yang berkaitan dengan penyakit dan kesehatan masyarakat

berdasarkan hasil pengamatan yang nyata. Misalnya, jumlah kematian

karena penyakit tertentu yang terjadi disuatu rumah sakit, banyaknya

penderita yang membutuhkan rawat inap dalam satu tahun, atau jumlah

tempat tidur yang tersedia di suatu rumah sakit, dan lain-lain. Informasi

demikian bersifat administratif.

B. Statistik inferensial yang ditujukan untuk menarik kesimpulan ciri-ciri

populasi yang dinyatakn dengan parameter populasi melalui perhitungan-

perhitungan statistik sampel. Hal ini dilakukan untuk menguji hipotesis

berdasarkan teori estimasi dan distribusi probabilitas (to extrapolate) atau

untuk membandingkan khasiat obat, prosedur pengobatan, metode

pengobatan, dan lain-lain (to contrast).

1. Jenis Data

a. Data kualitatif

Data yang berhubungan dengan kategorisasi, karakteristik berwujud

pertanyaan atau berupa kata-kata.Contonya wanita itu cantik, pria itu

tampan, baik, buruk, rumah itu besar dan sebagainya. Data ini

biasanya didapat dari wawancara yang bersifat subyektif sebab data

tersebut ditapsirkan lain oleh orang yang berbeda. Data kualitatif

dapat diangkakan dalam bentuk ordinal atau rangking.

b. Data kuantitatif

Data kuantitaif merupakan data yang dihasilkan dari pengukuran,

dapat berupa bilangan bulat atau desimal. Berbeda dengan data

kualitatif, data kuantitatif hasilnya dinyatakan dalam kuantitas

numerik terhadap ciri tertentu yang disebut variabel, misalnya jumlah

bakteri yang terdapat dalam sampel air. Pada umumnya, dalam studi

tentang perjalanan penyakit terdapat sejumlah variabel, baik yang

berkaitan langsung dengan penyakitnya maupun yang tidak berkaitan

Page 31: Surveilans Epidemiologi

31langsung dengan penyakit yang diderita. Misalnya, jenis kelamin,

temperatur, umur pendidikan, dan pekerjaan. Dari uraian diatas

jelaslah bahwa meringkas data kuantitatif lebih kompleks dan tidak

semudah meringkas data kualitatif

2. Langkah-Langkah Pengolahan Data

a. Penyusunan data

Data yang sudah ada perlu dikumpulkan semua agar mudah untuk

mengecek apakah semua data yang dibutuhkan sudah terekap

semua.Kegiatan ini dimaksudkan untuk menguji hipotesis

penelitian.Penyusunan data harus dipilih data yang ada hubungannya

dengan penelitian, dan benar-benar otentik.Adapun data yang diambil

melalui wawancara harus dipisahkan antara pendapat responden dan

pendapat interviwer.

b. Klasifikasi data

Klasifikasi data merupakan usaha menggolongkan, mengelompokkan,

dan memilah data berdasarkan pada klasifikasi tertentu yang telah

dibuat dan ditentukan oleh peneliti. Keuntungan klasifikasi data ini

adalah untuk memudahkan pengujian hipotesis.

c. Pengolahan data

Pengolahan data dilakukan untuk menguji hipotesis yang telah

dirumuskan. Hipotesis yang akan diuji harus berkaitan dan

berhubungan dengan permasalahan yang akan diajukan. Semua jenis

penelitian tidak harus berhipotesis akan tetapi semua jenis penelitian

wajib merumuskan masalahnya, sedangkan penelitian yang

menggunakan hipotesis adalah metode eksperimen. Jenis data akan

menentukan apakah peneliti akan menggunakan teknik kualitatif atau

kuantitatif. Data kualitatif diolah dengan menggunakan teknik

statistika baik statistika non parametrik maupun statistika parametrik.

Statistika non parametrik tidak menguji parameter populasi akan tetapi

yang diuji adalah distribusi yang menggunakan asumsi bahwa data

yang akan dianalisis tidak terikat dengan adanya distribusi normal

Page 32: Surveilans Epidemiologi

32atau tidak harus berdistribusi normal dan data yang banyak digunakan

untuk statistika non parametrik adalah data nominal atau data ordinal.

d. Interpretasi hasil pengolahan data

Tahap ini menerangkan setelah peneliti menyelesaikan analisis

datanya dengan cermat. Kemudian langkah selanjutnya peneliti

menginterpretasikan hasil analisis akhirnya peneliti menarik suatu

kesimpulan yang berisikan intisari dari seluruh rangkaian kegiatan

penelitian dan membuat rekomendasinya. Menginterpretasikan hasil

analisis perlu diperhatikan hal-hal antara lain: interpretasi tidak

melenceng dari hasil analisis, interpretasi harus masih dalam batas

kerangka penelitian, dan secara etis peneliti rela mengemukakan

kesulitan dan hambatan-hambatan sewaktu dalam penelitian.

3. Pengolahan Data Penelitian Secara Kualitatif dan Kuantitatif

a. Pengolahan Data Kualitatif

Pengolahan data kualitatif dalam penelitian akan melalui tiga kegiatan

analisis yakni sebagai berikut.

i. Reduksi Data

Reduksi data dapat diartikan sebagai suatu proses pemilihan

data, pemusatan perhatian pada penyederhanaan data,

pengabstrakan data, dan transformasi data kasar yang muncul

dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Dalam kegiatan reduksi

data dilakukan pemilahan-pemilahan tentang: bagian data yang

perlu diberi kode, bagian data yang harus dibuang, dan pola

yang harus dilakukan peringkasan. Jadi dalam kegiatan reduksi

data dilakukan: penajaman data, penggolongan data, pengarahan

data, pembuangan data yang tidak perlu, pengorganisasian data

untuk bahan menarik kesimpulan. Kegiatan reduksi data ini

dapat dilakukan melalui: seleksi data yang ketat, pembuatan

ringkasan, dan menggolongkan data menjadi suatu pola yang

lebih luas dan mudah dipahami.

ii. Penyajian Data

Page 33: Surveilans Epidemiologi

33 Penyajian data dapat dijadikan sebagai kumpulan

informasi yang tersusun sehingga memberikan kemungkinan

adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan

tindakan.Penyajian yang sering digunakan adalah dalam bentuk

naratif, bentuk matriks, grafik, dan bagan.

b. Pengolahan Data Kuantitatif

i. Mengelompokkan Data

Ada dua jenis data, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif.

Data kualitatif tidak memerlukan perhitungan matematis.

Sebaliknya, data kuantitatif memerlukan adanya perhitungan

secara matematis. Oleh sebab itu, data kuantitatif perlu diolah

dan dianalisis antara lain dengan statistik. Untuk mengolah dan

menganalisis data, ada dua macam statistik, yaitu statistik

deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif digunakan

untuk mendeskripsikan variabel penelitian melalui

pengukuran.Statistik inferensial digunakan untuk menguji

hipotesis dan membuat generalisasi.

ii. Kegiatan Awal dalam Mengelompokkan Data

Agar data dapat dikelompokkan secara baik, perlu dilakukan

kegiatan awal sebagai berikut.

Editing, yaitu memeriksa data yang telah dikumpulkan

baik berupa daftar pertanyaan, kartu atau buku register.

Kegiatan memerikasa data ialah :

Menjumlah data, menghitung banyaknya lembaran

daftar pertanyaan yang telah diisi untuk mengetahuia

apakah sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan.

Bila terdapat kekurangan maka dapat segera dicari

sebabnya lalu diatasi. Sebaliknya, bila terdapat

jumlah berlebih yang mungkin terjadi karena

pencatatan ganda atau pencacatan subjek studi yang

Page 34: Surveilans Epidemiologi

34tidak termasuk dalam sampel maka dapat segera

diketahui dan diambil tindakan.

Melakukan koreksi, proses membenarkan atau

menyelesaikan hal-hal yang salah atau kurang jelas.

Misalnya, memeriksa apakah semua pertanyaan

telah diisi dan apakah isi jawaban sesuai dengan

pertanyaan atau terdapat tulisan yang kurang jelas

atau terdapat kesalahan dalam pengisian, misalya,

umur balita 4,5 tahun ditulis 45 tahun. Untuk

menyelesaikan masalah tersebut dapat dinyatakan

kembali kepada responden, tetapi bila cara tersebut

tidak dapat dilakukan karena responden tidak dapat

dihubungi maka penyelesaian dilakukan oleh

peneliti, apakah dibuang atau diganti dengan yang

lain.

Coding, yaitu kegiatan memberikan kode pada setiap data

yang terkumpul di setiap instrumen penelitian. Kegiatan

ini bertujuan untuk memudahkan dalam penganalisisan

dan penafsiran data. Contohnya, misalkan tingkat

pendidikan diberi kode seperti ini :

Tidak sekolah kode 0

SD kode 1

SLTP kode 2

SLTA kode 3

PT/Akademi kode 4

Lain-lain kode 5

Tabulating (penyusunan data), yaitu pengorganisasian data

sedemikian rupa agar degan mudah dapat dijumlah,

disusun, dan ditata untuk disajikan dan dianalisis. Proses

tabulasi dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain

Page 35: Surveilans Epidemiologi

35dengan metode Tally, menggunakan kartu, dan

menggunakan komputer.

iii. Pengolahan Statistik Sederhana

Pengolahan statistik adalah cara mengolah data kuantitatif

sehingga data mempunyai arti. Biasanya pengolahan data

dilakukan dengan beberapa macam teknik, misalnya

distribusi frekuensi (sebaran frekuensi) dan ukuran

memusat (mean, median, modus).

c. Menarik Kesimpulan/Verifikasi

Sejak langkah awal dalam pengumpulan data, peneliti sudah mulai

mencari arti tentang segala hal yang telah dicatat atau disusun menjadi

suatu konfigurasi tertentu. Pengolahan data kualitatif tidak akan

menarik kesimpulan secara tergesa-gesa, tetapi secara bertahap

dengan tetap memperhatikan perkembangan perolehan data.

Analisis Deskriptif Data Surveilans Epidemiologi

Analisis Deskriptif merupakan bentuk analisis data penelitian untuk menguji

generalisasi hasil penelitian berdasarkan satu sample.

A. Jenis-Jenis Analisis Deskriptif Data

1. Analisis Data Menurut Waktu

Analisis ini membandingkan jumlah kasus yang diterima selama

interval waktu tertentu dan membandingkan jumlah kasus selama

periode waktu sekarang dengan jumlah yang dilaporkan selama

interval waktu yang sama dalam periode waktu tertentu.

2. Analisis Data Menurut Tempat

Yaitu dengan mengetahui tempat pemajan terjadi, bukan tempat

laporan berasal, mengetahui kemungkinan sumber-sumber

pencegahan akan menjadi sasaran yang efektif, menggunakan

computer dan perangkat lunak untuk pemetaan spasial,

memungkinkan analisis yang lebih canggih.

Page 36: Surveilans Epidemiologi

36Analisis deskriptif karakteristik tempat mengacu pada kasus

pemetaan.Jika jumlah kasus aktual digunakan, peta dot density paling

cocok.Namun, tingkat sering digunakan untuk menjelaskan populasi

yang mungkin berbeda di seluruh wilayah geografis.Peta ini disebut

daerah-peta atau peta choropeth.Setiap kali struktur penduduk

mungkin berbeda di seluruh wilayah geografis, harga standar perlu

digunakan untuk membandingkan pola penyakit.

3. Analisis Data Menurut Orang

Analisis ini menggunakan data umur, jenis kelamin, rasa tau entitas,

status perkawinan, pekerjaan, tingkat pendapatan, dan

pendidikan.Semua data dari orang tersebut harus terlengkapi untuk

dapat mengetahui sebab kasus terjadi.

Interpretasi secara Deskriptif dan Interferensial

Interpretasi Data merupakan suatu kegiatan yang menggabungkan hasil

analisis dengan pernyataan,kriteria ,atau standar tertentu untuk menemukan

makna dari data yang dikumpulkan untuk menjawab permasalahan pembelajaran

yang sedang diperbaiki.

Interpretasi data perlu dilakukan peneliti untuk memberikan arti mengenai

bagaimana tindakan yang dilakukan mempengaruhi peserta didik.

Interpretasi data juga penting untuk menantang guru agar mengecek

kebenaran asumsi atau keyakinan yang dimilikinya

A. Teknik Dalam Melakukan Interpretasi Data

1. Menghubungkan data dengan pengalaman diri guru atau peneliti

2. Mengaitkan temuan (data) dengan hasil kajian pustaka atau teori

terkait.

3. Memperluas analisis dengan mengajukan pertanyaan mengenai

penelitian dan implikasi hasil penelitian.

4. Meminta nasihat teman sejawat jika mengalami kesulitan

Diseminasi Data Surveilans Epiemiologi

Page 37: Surveilans Epidemiologi

37Menurut Depkes RI (2003), diseminasi adalah suatu kegiatan yang

ditujukan kepada kelompok target atau individu agar mereka

memperoleh informasi, timbul kesadaran, menerima, dan akhirnya memanfaatkan

informasi tersebut. Dan diseminasi data Surveilans adalah penyebar luasan

informasi, yang baik harus dapat memberikan informasi yang mudah dimengerti

dan dimanfaatkan dalam menentukan arah kebijakan kegiatan, upaya

pengendalian serta evaluasi program,contohnya:

1. Membuat suatu laporan hasil kajian yang disampaikan kepada atasan

2. Membuat laporan kajian untuk seminar dan pertemuan

3. Membuat suatu tulisan di majalah rutin

4. Memanfaatkan media internet

BAB III

Page 38: Surveilans Epidemiologi

38Standar dan Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi

menurut Standar World Health Organization

OLEH DWI PUNGKI OKTAVIANA, EVITA SHAFANIDA, DAN MARLIYANA SAFITRI

Standar Pendekatan Surveilans Menurut WHO

1. Pendekatan Surveilans Individu

Pada jaman dahulu, Pendekatan Surveilans yang digunakan adalah

Mendeteksi dan Memonitor individu – individu yang mempunyai kontak

dengan penyakit – penyakit serius, seperti misalnya Pes, Cacar, TBC,

Typhus, Demam Kuning, dll. Hal ini disebut ”Individual Surveillance

Approach”. Rasionalisasinya adalah Bahwa pendeteksian gejala pada

kesempatan pertama (dini) memungkinkan isolasi segera terhadap kontak,

dan penyakit dapat dikendalikan. Contoh klasik pendekatan surveilans

individu adalah Karantina.

2. Pendekatan Surveilans Penyakit

Sejak tahun 1950, Amerika Serikat telah menerapkan pendekatan baru

dalam Surveillance yang disebut ”Disease Surveillance Approach”

(Langmuir 1976). Pendekatan ini mencakup kegiatan antara lain :

a. Pengumpulan data yang relevan secara sistematis,

b. Evaluasi data terus – menerus,

c. Desiminasi data kepada pihak terkait.

Rasionalisasipendekatan ini adalah bahwa institusi / instansi yang

berwenang yang memiliki informasi yang baik dan lengkap tentang

distribusi dan kecenderungan penyakit, akan mampu mengambil tindakan

perbaikan/penanggulangan yang tepat.

3. Pendekatan Surveilans Terpadu

WHO (2001/2002) mengintroduksikan suatu pendekatan baru yaitu :

”Integrated Surveillance Approach” dengan Multi-Disease Approach ;

Page 39: Surveilans Epidemiologi

39Syndromic Surveillance Approach. Pendekatan ini menekankan Koordinasi,

Integrasi dan Sinergi dari semua kegiatan surveilans. Ciri – ciri Pendekatan

Surveillans Terpadu adalah Memonitor Kumpulam Gejala, bukan

memonitor suatu penyakit. Contoh : Sistem Surveilans Terpadu melaporkan

Accute Flaccid Paralysis = AFP bukan Folio ;

Keuntungan Pendekatan ini adalah :

a. Mencegah keterlambatan pemeriksaan laboratorium lintas penyakit,

b. Mengisi kesenjangan surveilans antar penyakit

Perencanaan Surveilans

Perencanaan kegiatan surveilans dimulai dengan penetapan tujuan surveilan

dilanjutkan dengan penentuan definisi kasus, perencanaan perolehan data, teknik

pengumpulan data, teknik analisis dan mekanisme penyebarluasan informasi.

Mind mapping dari Pertimbangan dalam Perencanaan Sistem Surveilans

Pelaksanaan Surveilans Menurut WHO

Pelaksanaan sistem surveilans (WHO,1999) adalah sebagai berikut:

a. Pengumpulan Data

Page 40: Surveilans Epidemiologi

40Pengumpulan data merupakan komponen yang sangat penting karena

kualitas informasi yang diperoleh sangat ditentukan oleh kualitas data yang

dikumpulkan. Data yang dikumpulkan harus jelas, tepat dan ada

hubungannya dengan penyakit yang bersangkutan. Oleh karena itu untuk

dapat menjalankan surveilans yang baik pengumpulan data harus

dilaksanakan secara teratur dan terus-menerus. Tujuan pengumpulan data:

1 Menentukan kelompok atau golongan populasi yang mempunyai

resiko terbesar terkena penyakit seperti jenis kelamin, umur, suku,

pekerjaan dan lain-lain.

2 Menentukan jenis agent atau penyebab penyakit dan karakteristiknya.

3 Menentukan reservoir infeksinya

4 Memastikan keadaan yang menyebabkan kelangsungan transmisi

penyakit.

5 Mencatat kejadian penyakit, terutama pada kejadian luar biasa.

Sumber data yang dikumpulkan barlainan untuk tiap jenis penyakit. Sumber

data system surveilans terdiri dari 10 elemen yaitu:

a. Pencatatan kematian

b. Laporan penyakit, merupakan elemen yang terpenting dalam

surveilans. Data yang diperlukan : nama penderita, umur, jenis

kelamin, alamat, diagnosis dan tanggal mulai sakit.

c. Laporan kejadian luar biasa atau wabah.

d. Hasil pemeriksaan laboratorium.

e. Penyelidikan peristiwa penyakit menular.

f. Penyidikan kejadian luar biasa atau wabah.

g. Survey : memerlukan tenaga, biaya dan fasilitas.

h. Penyelidikan tentang distribusi vektor dan reservoir penyakit pada

hewan.

i. Data penggunaan obat- obatan, serum dan vaksin.

j. Data kependudukan dan lingkungan.

b. Pengolahan, analisa dan interpretasi data

Page 41: Surveilans Epidemiologi

41Data yang terkumpul segera diolah, dianalisa dan sekaligus diinterpretasikan

berdasarkan waktu, tempat dan orang, kemudian disajikan dalam bentuk

teks, tabel, spot map dan lain-lain agar bisa menjawab masalah-masalah

yang ada, sehingga segera dilakukan tindakan yang cepat dan tepat.

Berdasarkan hasil analisa dan interpretasi data, dibuat tanggapan dan saran-

saran dalam menentukan tindakan pemecahan masalah yang ada.

c. Penyebarluasan Informasi dan umpan balik.

Hasil analisa dan interpretasi data selain terutama dipakai sendiri oleh

unit kesehatan setempat untuk keperluan penentuan tindak lanjut, juga untuk

disebarkluaskan dengan jalan dilaporkan kepada atasan sehagai infomasi

lebih lanjut, dikirimkan sebagai umpan balik (feed back) kepada unit

kesehatan pemberi laporan. Umpan balik atau pengiriman informasi kembali

kepada sumber-sumber data (pelapor) mengenai arti data yang telah

diberikan dan kegunaannya setelah diolah, merupakan suatu tindakan yang

penting, selain tindakan follow up.

Diseminasi Surveilans

Diseminasi (Bahasa Inggris: Dissemination) adalah suatu kegiatan yang ditujukan

kepada kelompok target atau individu agar mereka memperoleh informasi, timbul

kesadaran, menerima, dan akhirnya memanfaatkan informasi tersebut.Diseminasi

adalah proses penyebaran inovasi yang direncanakan, diarahkan, dan dikelola.

Tahap - tahap diseminasi data antara lain:

a. Menetapkan yang hendak dikomunikasikan dengan tujuan untuk

menentukan etiologi dan riwayat aiamiah penyakit serta untuk mendeteksi

dan mengendalikan epidemic.

b. Menentukan kepada siapa infomasi harus disampaikan : praktisi kesehatan

masyarakat, penyedia yankes, organisasi profesi dan organisasi sukarela,

pembuat kebijakan, media, public, pendidik.

c. Memilih sarana publikasi apakah media elektronik,atau media massa

d. Memaparkan pesan. Pesan seharusnya dinyatakan : dengan menggunakan

format grafik dan peragaan visual lainnya (harus jelas dan sederhana),

Page 42: Surveilans Epidemiologi

42pertimbangan satu penolakan tujuan komunikasi (apa yang baru ? ; siapa

yang dipengaruhi ? ; apa pekerjaan yang terbaik ? )

e. Menilai dampak dari pesan yang dibuat : apakah informasi surveilans telah

dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi

(evaluasi proses) dan apakah informasi itu mempunyai efek yang

menguntungkan atas masalah kesmas atau kondisi yang menjadi perhatian

(evaluasi dampak).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam diseminasi data kita

mempunyai komponen kunci antara lain: · Media · Audiens · Respon · Penilaian

proses.

BAB IV

Page 43: Surveilans Epidemiologi

43Standar dan Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi

pada Penyakit Campak

menurut World Health Organization

OLEH ARDIKAL, AULIA ULFA ARSYIDYANTI, DAN NUR PUTRI LAVENIA PERMATA SARI

Pengertian Surveilans

Menurut World Health Organization (2004), surveilans adalah proses

pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistemik dan terus

menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat

mengambil tindakan.

Berdasarkan definisi diatas dapat diketahui bahwa surveilans adalah suatu

kegiatan pengamatan penyakit yang dilakukan secara terus menerus dan sistematis

terhadap kejadian dan distribusi penyakit serta faktor-faktor yang

mempengaruhinya pada masyarakat sehingga dapat dilakukan penanggulangan

untuk dapat mengambil tindakan efektif.

Pengertian Surveilans Kesehatan Masyarakat

Menurut The Centers for Disease Control, surveilans kesehatan masyarakat

adalah : “The ongoing systematic collection, analysis and interpretation of health

data essential to the planning, implementation, and evaluation of public health

practice, closely integrated with the timely dissemination of these data to those

who need to know. The final link of the surveillance chain is the application of

these data to prevention and control.”

Pengertian Surveilans Epidemiologi

Page 44: Surveilans Epidemiologi

44Menurut Karyadi (1994), surveilans epidemiologi adalah : Pengumpulan

data epidemiologi yang akan digunakan sebagai dasar dari kegiatan-kegiatan

dalam bidang penanggulangan penyakit, yaitu :

1. Perencanaan program pemberantasan penyakit. Mengenal epidemiologi

penyakit berarti mengenal masalah yang kita hadapi. Dengan demikian

suatu perencanaan program dapat diharapkan akan berhasil dengan baik.

2. Evaluasi program pemberantasan penyakit. Bila kita tahu keadaan

penyakit sebelum ada program pemberantasannya dan kita menentukan

keadaan penyakit setelah program ini, maka kita dapat mengukur dengan

angka-angka keberhasilan dari program pemberantasan penyakit tersebut.

3. Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB). Suatu sistem surveilans yang

efektif harus peka terhadap perubahan-perubahan pola penyakit di suatu

daerah tertentu. Setiap kecenderungan peningkatan insidens, perlu

secepatnya dapat diperkirakan dan setiap KLB secepatnya dapat diketahui.

Dengan demikian suatu peningkatan insidens atau perluasan wilayah suatu

KLB dapat dicegah”.

Menurut Nur Nasry Noor (1997), surveilans epidemiologi adalah

pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap semua aspek penyakit

tertentu, baik keadaan maupun penyabarannya dalam suatu masyarakat tertentu

untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangannya.

Menurut World Health Organization, surveilans epidemiologi adalah suatu

proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data kesehatan secara

sistematis, terus menerus dan penyebarluasan informasi kepada pihak terkait

untuk melakukan tindakan.

Menurut The Center of Disease Control, surveilanns epidemiologi adalah

pengumpulan, analisis dan interpretasi data kesehatan secara sistematis dan terus

menerus, yang diperlukan untuk perencanaan, implementasi dan evaluasi upaya

kesehatan masyarakat, dipadukan dengan diseminasi data secara tepat waktu

kepada pihak-pihak yang perlu mengetahuinya.

Page 45: Surveilans Epidemiologi

45Standar Surveilans Epidemiologi pada Penyakit Campak Menurut World

Health Organization

Global Measles Mortality and Regional Elimination Strategic Plan 2001-

2005 (WHO/V&B/01.13) berusaha untuk mengurangi jumlah kematian akibat

campak hingga setengahnya pada tahun 2005 (dibandingkan dengan perkiraan

sampai dengan tahun 1999) dan untuk mencapai dan mempertahankan gangguan

transmisi campak adat (indigenous) di daerah geografis yang luas dengan tujuan

diadakannya tahap eliminasi.

Surveilans untuk campak harus berkembang dengan setiap fase control

campak. Negara-negara di fase penurunan angka kematian, dimana penyakit ini

endemik pada Negara-negara tersebut sebaiknya berkonsentrasi pada peningkatan

cakupan imunisasi campak rutin dan fokus upaya imunisasi supplemtal di daerah

dengan angka kematian campak yang tinggi.

Negara-negara dengan kontrol lebih lanjut untuk campak pada tahap

eliminasi yang mencapai tingkat tinggi kekebalan populasi campak dan insiden

rendah dengan atau tanpa wabah periodik. Surveilans di negara-negara ini harus

digunakan untuk mengidentifikasi populasi tinggi resiko dan untuk memprediksi

dan mencegah wabah potensial. Negara-negara dimana tujuannya untuk benar-

benar mengganggu transmisi campak (atau negara dengan kejadian yang sangat

rendah) memerlukan surveilans berbasis kasus intensif untuk mendeteksi,

menyelidiki dan mengkonfirmasi setiap kasus campak yang dicurigai di

masyarakat.

Perencanaan Surveilans Epidemiologi pada Penyakit Campak Menurut

World Health Organization

Definisi Kasus pada Penyakit Campak menurut World Health Organization

1. Kasus Klinis

Setiap orang yang didiagnosa oleh dokter mengalami infeksi campak atau

setiap orang dengan demam, terdapat ruam makulo papular (non-vesikular),

batuk, coryza (hidung meler) atau konjungtivitis (mata merah).

2. Klasifikasi Kasus

Page 46: Surveilans Epidemiologi

46Negara disarankan untuk menggunakan skema klasifikasi klinis sampai

program mereka memenuhi dua kriteria berikut:

a. Rendahnya tingkat insiden campak.

b. Akses ke laboratorium campak mahir.

Skema klasifikasi laboratorium harus digunakan oleh negara-negara dalam insiden

rendah atau fase eliminasi.

I. Skema klasifikasi klinis

a. Dikonfirmasi secara klinis: Sebuah kasus yang memenuhi definisi

kasus klinis

b. Discarded : Sebuah kasus yang tidak memenuhi definisi kasus klinis.

II. Klasifikasi laboratorium

Klasifikasi laboratorium juga dapat digunakan untuk investigasi wabah.

a. Dikonfirmasi secara laboratorium : Sebuah kasus yang memenuhi

definisi kasus klinis dan dikonfirmasi laboratorium.

b. Dikonfirmasi secara epidemiologi : Sebuah kasus yang memenuhi

definisi kasus klinis dan terkait dengan kasus dikonfirmasi

laboratorium.

c. Dikonfirmasi secara klinis : Sebuah kasus yang memenuhi definisi

kasus klinis dan yang tidakada spesimen darah yang memadai diambil.

d. Bukan kasus campak (discarded) : Sebuah kasus tersangka yang tidak

memenuhi definisi klinis atau laboratorium.

Jenis Surveilans Epidemiologi pada Penyakit Campak menurut World Health

Organization

1. Fase Penurunan Angka Kematian (Mortality Reduction Phase)

Ketika campak endemik, pelaporan bulanan rutin data agregat pada kasus

campak klinis direkomendasikan oleh kabupaten, kelompok usia dan status

imunisasi. Hanya wabah (tidak tiap kasus) harus diselidiki. Selama wabah

itu berguna untuk mencoba untuk mendokumentasikan kematian campak.

Konfirmasi laboratorium dapat dicoba dengan sampling sekitar 10 kasus per

wabah. Dalam keadaan khusus, isolasi strain liar dari kasus-kasus tertentu

Page 47: Surveilans Epidemiologi

47yang terjadi dalam wabah dapat dilakukan untuk mengaktifkan karakterisasi

genetik beredar virus campak dan menentukan pola ekspor dan impor bagi

negara-negara di insiden rendah atau fase eliminasi.

2. Fase Rendahnya Kejadian atau Eliminasi (Low-Incidence or Elimination

Phase)

Kasus berbasis surveilans harus dilakukan dan setiap kasus harus dilaporkan

dan diselidiki segera (dan juga termasuk dalam sistem pelaporan mingguan).

Spesimen laboratorium harus dikumpulkan dari setiap kasus tersangka

sporadis. Diduga wabah campak harus dikonfirmasi dengan melakukan

serologi pada 5-10 kasus pertama saja. Urin, nasofaring maupun limfosit

spesimen (untuk pendeteksian virus dan Karakterisasi genetik) harus

dikumpulkan dari kasus sporadic/wabah (sekitar 10 kasus dari setiap rantai

penularan) mengkarakterisasi virus dan sirkulasi pola impor.

3. Selama Semua Fase (During All Phase)

Situs pelaporan yang ditunjuk di semua tingkatan harus melaporkan pada

frekuensi tertentu (misalnya mingguan atau bulanan) bahkan jika ada nol

kasus (sering disebut sebagai "pelaporan nol").

Elemen Data Minimum pada Penyakit Campak menurut World Health

Organization

1. Pengumpulan Data Penyakit Campak

a. Jumlah kasus menurut kelompok usia dan status imunisasi;

b. Jumlah campak dosis vaksin diberikan kepada bayi usia di bawah 12

bulan dan anak usia 12-23 bulan.

2. Basis Data Kasus

a. Unik identifier.*

b. Wilayah geografis (misalnya, kabupaten dan provinsi).*

c. Tanggal lahir.*

d. Sex 1 = laki-laki, Sex 2 = perempuan, Sex 9 = tidak diketahui

e. Tanggal timbulnya ruam.*

Page 48: Surveilans Epidemiologi

48f. Jumlah campak sebelum dosis vaksin yang diterima : 9 = tidak

diketahui.*

g. Tanggal penerimaan dosis terakhir.

h. Tanggal pemberitahuan.

i. Tanggal pemeriksaan perkara.**

j. Tanggal pengambilan spesimen darah.*

k. Tanggal spesimen darah dikirim ke laboratorium.

l. Tanggal spesimen darah yang diterima oleh laboratorium.

m. Kondisi darah spesimen pada penerimaan: 1 = memadai; 2 = tidak

memadai; 9 = tidak diketahui.

n. Tanggal campak hasil serologi dilaporkan.

o. Hasil serologi campak : 1 = positif; 2 = negatif; 3 = tidak diuji; 4 = tak

tentu; 9 = tidak diketahui.*

p. Hasil diferensial Serologi (membuat variabel terpisah untuk setiap

penyakit): 1 = positif; 2 = negative; 3 = tidak diuji; 4 = tak tentu; 9 =

tidak diketahui.

q. Koleksi spesimen untuk kultur virus atau identifikasi: 1 = ya; 2 = tidak.

r. Spesimen tipe : 1 = urin; 2 = pernafasan; 3 = limfosit.

s. Tanggal spesimen diterima untuk biakan virus atau identifikasi.

t. Hasil campak virus budaya atau identifikasi: 1 = positif; 2 = negative;

3 = tidak diuji; 9 = tidak diketahui.

u. Klasifikasi akhir: 1 = klinis dikonfirmasi; 2 = yang dikonfirmasi

laboratorium; 3 = epidemiologis terkait dengan kasus dikonfirmasi

laboratorium; 9 = dibuang.*

v. Sumber infeksi diidentifikasi: 1 = ya; 2 = tidak; 9 = tidak diketahui.

Catatan :

Dalam setiap tahap, kelengkapan dan ketepatan waktu bulanan (fase

penurunan angka kematian) atau (insiden rendah atau fase penghapusan)

mingguan pelaporan campak sebaiknya dipantau. Untuk menghindari

perubahan-perubahan dalam bentuk dan instrumen pengumpulan data

lainnya, negara-negara cenderung segera bergerak ke fase eliminasi,

Page 49: Surveilans Epidemiologi

49mungkin ingin pindah ke data berbasis kasus sementara masih dalam fase

kontrol jika hal ini tidak terlalu memberatkan.

Keterangan :

* Variabel penting untuk dikumpulkan

** Investigasi harus mencakup kunjungan rumah tangga dan mencari

kasus tambahan dalam rumah tangga

Analisis Data, Interpretasi, dan Laporan Surveilans Epidemiologi pada

Penyakit Campak menurut World Health Organization

1. Fase Penurunan Angka Kematian (Mortality Reduction Phase)

a. Jumlah kasus dan angka insiden per bulan dan tahun, dan wilayah

geografis

b. Usia tertentu, tingkat kejadian spesifik, jenis kelamin dan kabupaten

khusus

c. Campak cakupan vaksin tahun dan wilayah geografis.

d. Tingkat putus sekolah campak DTP1 dan campak BCG.

e. Kelengkapan atau ketepatan pelaporan waktu bulanan.

f. Proporsi wabah yang dikenal dikonfirmasi oleh laboratorium

g. Proporsi kasus menurut kelompok umur dan status imunisasi.

Kelompok usia inti disarankan: 0-8 bulan , 9-11 bulan , 1-4 tahun , 5-9

tahun , 10-14 tahun , 15-19 tahun , 20-24 tahun, 25 tahun ke atas.

2. Fase Rendahnya Kejadian atau Eliminasi (Low-Incidence or Elimination

Phase)

Fase ini sama seperti fase penurunan angka kematian, yakni Kasus

berbasis surveilans harus dilakukan dan setiap kasus harus dilaporkan dan

diselidiki segera (dan juga termasuk dalam sistem pelaporan mingguan).

Spesimen laboratorium harus dikumpulkan dari setiap kasus tersangka

sporadis. Diduga wabah campak harus dikonfirmasi dengan melakukan

serologi pada 5-10 kasus pertama saja. Urin, nasofaring maupun limfosit

spesimen (untuk pendeteksian virus dan Karakterisasi genetik) harus

dikumpulkan dari kasus sporadic/wabah (sekitar 10 kasus dari setiap

Page 50: Surveilans Epidemiologi

50rantai penularan) mengkarakterisasi virus dan sirkulasi pola impor. Lalu di

tambah dengan Indikator Kinerja dengan target ≥ 80%

a. Persentase dari laporan mingguan yang diterima.

b. Persentase kasus* diberitahukan ≤ waktu 48 jam setelah onset ruam.

c. Persentase kasus* diselidiki dengan kunjungan rumah ≤ waktu 48

jam setelah pemberitahuan.

d. Persentase kasus* dengan** spesimen yang memadai dan hasil

laboratorium dalam waktu 7 hari.

e. Persentase dari kasus yang dikonfirmasi dengan sumber infeksi

diidentifikasi.

Keterangan :

* Semua kasus yang memenuhi definisi kasus klinis

** Sebuah spesimen adekuat adalah spesimen darah dalam waktu 28 hari

dikumpulkan dari timbulnya ruam

Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi pada Penyakit Campak menurut

World Health Organization

Kegiatan surveilans campak dalam program eradikasi campak adalah :

1. Surveilans Rutin, dilaksanakan terutama oleh surveilans puskesmas serta

surveilans kabupaten/kota.

2. Sistem Kewaspadaan Dini KLB Campak. Dalam mengantisipasi

kemungkinan terjadinya KLB perlu dilaksanakan kegiatan kewaspadaan

dini KLB. Strategi dalam SKD-KLB campak adalah :

a. Pemantauan Populasi Rentan

Populasi rentan (susceptible) atau tak terlindungi imunisasi campak

dapat dihitung dengan rumus :

Prc = Px – 0,85 ( Cix .Px ) – BS – AM

Keterangan :

Prc = Jumlah populasi rentan campak pada tahun (x)

Px = Jumlah populasi bayi pada tahun (x)

Ci.x = % cakupan imunisasi tahun (x)

Page 51: Surveilans Epidemiologi

51BS = Jumlah Bayi sakit campak selama periode thn x

AM = Jurnlah Bayi meninggal selama periode tahun (x)

Batas nilai populasi rentan adalah = 5%. contoh perhitungan lihat

lampiran.

Dalam pemantauan populasi rentan dilakukan juga pemantauan

terhadap :

i. Status Gizi Balita

ii. Keterjangkaun Pelayanan Kesehatan (Asesibilitas)

iii. Kelompok Pengungsi

b. Pemantauan Kasus Campak melalui PWS Campak

Apabila ditemukan satu (1) kasus pada desa dengan cakupan tinggi

(>90%), masih perlu diwaspadai pula mengingat adanya kemungkinan

kesalahan rantai dingin vaksin atau karena cakupan imunisasi yang

kurang dipercaya.

Menurut WHO, apabila ditemukan satu (1) kasus pada satu wilayah,

maka kemungkinan ada 17-20 kasus di lapangan pada jumlah

penduduk rentan yang tinggi.

3. Penyelidikan dan Penanggulangan KLB

Dalam tahap reduksi campak maka setiap KLB campak harus dapat

dilakukan penyelidikan epidemiologi baik oleh surveilans puskesmas

maupun bersama-sama dengan surveilans dinas kesehatan. lndikasi

penyelidikan KLB Campak dilakukan apabila hasil pengamatan SKD

KLB/PWS kasus campak ditemukan indikasi adanya peningkatan kasus

dan penyelidikan Pra KLB menunjukkan terjadi KLB, atau adanya laporan

peningkatan kasus atau kematian campak dari masyarakat, media masa dll.

4. Strategi penanggulangan KLB Campak :

a. Penyelidikan Epidemiologi KLB campak

KLB campak harus segera diselidiki untuk melakukan diagnosa secara

dini (early diagnosis), agar penanggulangan dapat segera

dilaksanakan.

b. Penanggulangan KLB campak

Page 52: Surveilans Epidemiologi

52Penanggulangan KLB campak didasarkan analisis dan rekomendasi

hasil penyelidikan KLB campak, dilakukan sesegera mungkin agar

transmisi virus dapat dihentikan dan KLB tidak meluas serta

membatasi jumlah kasus dan kematian. KLB campak harus segera

didiagnosa secara dini (early diagnosis) dan segera ditanggulangi (out

break respons) agar KLB tidak meluas dan membatasi jumlah kasus

dan kematian.

c. Pemeriksaan Laboratorium

Untuk mendukung diagnosa campak pada saat KLB, maka perlu

dilakukan pemeriksaan laboratorium, yaitu dengan mengambil

spesimen. darah sebanyak 10-15 penderita baru, dan waktu sakit kasus

kurang dari 21 hari, serta beberapa sampel urine kasus campak untuk

isolasi virus.

Point Penting dalam Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi pada Penyakit

Campak menurut World Health Organization

1. Tahap Penurunan Angka Kematian

Memantau kejadian, cakupan menilai kemajuan, (yaitu penurunan insiden

dan meningkatkan coverage) dan mengidentifikasi daerah beresiko tinggi

atau dengan kinerja program rendah. Menggambarkan epidemiologi

perubahan campak dalam hal usia, status imunisasi dan periode

interepidemic . Membantu dalam penentuan kelompok usia yang optimal

untuk menjadi sasaran kesempatan kedua untuk imunisasi campak

(termasuk kampanye vaksinasi massal)

2. Tahap Rendahnya Kejadian atau Eliminasi (Low Insidence or Elimination

Phase)

Mengidentifikasi rantai penularan. Memantau epidemiologi (kelompok

usia beresiko, periode interepidemic, status imunisasi) campak dan

mempercepat kegiatan imunisasi sesuai untuk mencegah mewabahnya.

Gunakan data epidemiologi untuk mengklasifikasikan kasus ( lihat bagian

aspek khusus). Gunakan indikator kinerja untuk menilai kualitas

Page 53: Surveilans Epidemiologi

53pengawasan dan mengidentifikasi daerah-daerah yang memerlukan

penguatan.

3. Selama Semua Fase (During All Phase)

Mendeteksi dan menyelidiki wabah untuk memastikan manajemen kasus

yang tepat, dan menentukan mengapa KLB terjadi (misalnya kegagalan

untuk vaksinasi, kegagalan vaksin atau akumulasi susceptibles).

Diseminasi Surveilans Epidemiologi pada Penyakit Campak menurut World

Health Organization

Diseminasi adalah Penyebarluasan informasi surveilans kepada pihak yang

berkepentingan (stakeholders), agar dapat dilakukan action secara cepat dan tepat.

Stakeholder adalah adalah orang-orang dan atau badan yang berkepentingan atau

terlibat dalam pelaksanaan program pembangunan kesehatan. Berikut beberapa

stakeholder dan peranannya dalam Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi

(PD3I).

PD3I adalah salah satu program Nasional yang indikator keberhasilannya

tergantung dari kabupaten/kota untuk menggerahkan desa-desanya agar dapat

mencapai UCI (Universal Child Immunization) yaitu cakupan imunisasi harus

mencapai diatas 80% dari seluruh sasaran populasinya. Penyakit campak termasuk

ke dalam PD3I, karena penyakit ini disamping dapat menimbulkan kematian,

kesakitan juga kecatatan, bahkan apabila tidak ditangani secara maksimal dapat

menular dan mengakibat kejadian luar biasa (KLB). Ada beberapa stakeholder

yang dapat berperan dalam penyakit campak antara lain :

a. Dinas kesehatan, membuat dan menetapkan kebijakan tentang

pemberian imunisasi, penyebarluasan informasi (misal promosi

kesehatan melalui iklan/poster tentang program imunisasi massal),

pembinaan dan pengawasan pelaksanaan imunisasi, penyediaan vaksin

serta alat suntik.

b. Dinas pendidikan membuat program pemberian imunisasi pada

sekolah dasar.

Page 54: Surveilans Epidemiologi

54c. Puskesmas, membuat program pengontrolan pemberian imunisasi pada

masyarakat, pembinaan kader posyandu, pendistribusian vaksin serta

alat suntik bagi posyandu, serta pengawasan pelaksanaan kegiatan

imunisasi posyandu.

d. Posyandu, membuat program pemberian imunisasi dasar secara

berkala kepada bayi dan balita,serta membuat program penyuluhan

pemberian imunisasi kepada ibu dan remaja maupun masyarakat

e. Kelurahan, bekerjasama dengan RW mengadakan program posyandu.

f. Kader kesehatan, memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang

pentingnya imunisasi sehingga diharapkan masyarakat bersedia

mengikuti imunisasi.

g. Keluarga, mengikutsertakan anggota keluarganya dalam kegiatan

imunisasi.

Page 55: Surveilans Epidemiologi

55BAB V

Surveilans dan Kejadian Luar Biasa (KLB)

OLEH ERIKA YUNI LUMBAN TOBING, MERTISIN LAOLI, WAHYUNI MEGAWATI,

DAN YAYANG BELYA OKTAVIANI

Defenisi Surveilans Epidemiologi

World Health Organization (1968), mengemukakan pengertian surveilans

sebagai suatu kegiatan pengumpulan data yang sistematis dan menggunakan

informasi epidemiologi untuk perencanaan, implementasi, dan penilaian

pemberantasan penyakit. Oleh karena itu perlu di kembangkan suatu definisi

surveilans epidemiologi yang lebih mengedepankan analisis atau kajian

epidemiologi serta pemanfaatan informasi epidemiologi, tanpa melupakan

pentingnya kegiatan pengumpulan dan pengolahan data.

Dapat disimpulkan , surveilans atau surveilans epidemiologi adalah kegiatan

analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-

masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan

penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat

melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses

pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada

penyelenggara program kesehatan.

Surveilans dan Kejadian Luar Biasa (KLB)

Kejadian luar biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya

kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis dalam kurun waktu dan

daerah tertentu. (Kep. Dirjen PPM&PLP No.451-I/PD.03.04/1991 Pedoman

Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan KLB). Untuk penyakit-penyakit

endemis, maka KLB didefinisikan sebagai : suatu peningkatan jumlah kasus yang

melebihi keadaan biasa, pada waktu dan daerah tertentu. Pada penyakit yang lama

Page 56: Surveilans Epidemiologi

56tidak muncul atau baru pertama kali muncul di suatu daerah (non-endemis),

adanya satu kasus belum dapat dikatakan sebagai suatu KLB. 

Untuk keadaan tersebut definisi KLB adalah : suatu episode penyakit dan

timbulnya penyakit pada dua atau lebih penderita yang berhubungan satu sama

lain. Hubungan ini mungkin pada faktor saat timbulnya gejala (onset of illness),

faktor tempat (tempat tinggal, tempat makan bersama, sumber makanan), faktor

orang (umur, jenis kelamin, pekerjaan dan lainnya).

Uraian tentang batasan Wabah atau KLB tersebut di atas terkandung arti

adanya kesamaan pada ciri-ciri orang yang terkena, tempat dan waktunya. Untuk

itu dalam mendefinisikan KLB selalu dikaitkan dengan waktu, tempat dan orang.

Selain itu terlihat bahwa definisi KLB ini sangat tergantung pada kejadian

(insidensi) penyakit tersebut sebelumnya (Barker, 1979; Kelsey, et al., 1986).

Di Indonesia definisi wabah dan KLB diaplikasikan dalam Undang-undang

Wabah, 1984 sebagai berikut :

Wabah adalah peningkatan kejadian kesakitan/kematian, yang meluas

secara cepat baik dalam jumlah kasus maupun luas daerah penyakit, dan dapat

menimbulkan malapetaka.

Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya suatu kejadian

kesakitan/kematian dan atau meningkatnya suatu kejadian kesakitan/kematian

yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok penduduk dalam kurun

waktu tertentu. Terlihat adanya perbedaan definisi antara Wabah dan KLB.

Wabah harus mencakup jumlah kasus yang besar, daerah yang luas dan waktu

yang lebih lama, dengan dampak yang timbulkan lebih berat.

Ruang Lingkup Kejadian Luar Biasa

Ruang lingkup KLB tidak hanya sebatas pada penyakit infeksi menular saja, ada

tiga kategori penyakit yang masuk dalam KLB, yaitu :

1. Penyakit menular :misalnya Flu Burung (Avian Influenza).

2. Penyakit tidak menular : misalnya gizi buruk, keracunan makanan,

keracunan pestisida.

Page 57: Surveilans Epidemiologi

573. Bencana alam disertai dengan wabah penyakit : misalnya bencana alam

banjir yang menimbulkan penyakit penyakit kencing tikus (Leptospirosis).

Kriteria dan Klasifikasi Kejadian Luar Biasa (KLB)

1. Kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB)

Kejadian luar biasa meliputi hal yang sangat luas, maka untuk

mempermudah penetapan diagnosis KLB, ada 7 kriteria Kejadian Luar

Biasa (KLB) Menurut Permenkes 1501 Tahun 2010 adalah :

A. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak

ada atau tidak dikenal pada suatu daerah.

B. Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun

waktu dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis

penyakitnya.

C. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan

dengan periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau

minggu menurut jenis penyakitnya.

D. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 bulan menunjukkan

kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata

jumlah per bulan dalam tahun sebelumnya.

E. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 tahun

menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-

rata jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya.

F. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1

kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% atau lebih

dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode

sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.

G. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu

periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu

periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.

Page 58: Surveilans Epidemiologi

582. Klasifikasi Kejadian Luar Biasa (KLB)

A. Menurut Penyebab

Toksin InfeksiToksin

BiologisToksin Kimia

Entero toxin,

missal yang

dihasilkan oleh

Staphylococus

aurerus, Vibrio,

Kholera,

Eschorichia,

Shigella

Virus Racun jamur

Zat kimia

organic : logam

berat seperti air

raksa, timah,

logam, dll…

Exotoxin (bakteri),

misal yang

dihasilkan oleh

Clostridium

botulinum

Bakteri Racun ikan Cyanide

Clostridium

perfringensProtozoa Alfatoxin Nitrit, pestisida

Endotoxin Cacing,

planktonPlankton CO ,CO2 , HCN

B. Menurut Sumber Kejadian Luar Biasa (KLB)

1. Manusia

Misalnya : jalan napas, tenggorokan, tangan, tinja, air seni,

muntahan, seperti : Salmonella, Shigella, Staphylococus,

Streptoccocus, Protozoa, Virus Hepatitis.

2. Kegiatan manusia

misalnya : Toxin biologis dan kimia (pembuangan tempe

bongkrek, penyemprotan, pencemaran lingkungan, penangkapan

ikan dengan racun).

Page 59: Surveilans Epidemiologi

593. Binatang

seperti : binatang piaraan, ikan, binatang mengerat, contoh :

Leptospira, Salmonella, Vibrio, Cacing dan parasit lainnya,

keracunan ikan/plankton

4. Serangga (lalat, kecoa, dan sebagainya)

misalnya : Salmonella, Staphyloccoccus, Streptoccoccus.

5. Udara

misalnya : Staphyloccoccus, Streptococcus, Virus, pencemaran

udara.

6. Permukaan benda-benda/alat-alat

misalnya : Salmonella.

7. Air

misalnya : Vibrio Cholerae, Salmonella.

8. Makanan atau Minuman

misal : keracunan singkong, jamur, makanan dalam kaleng.

C. Menurut Wabah Penyakit

Kholera

Demam

Berdarah

Dengue

Rabies Meningitis

PES Campak Malaria Encephalitis

Demam Kuning Polio Influensa SARS

Demam

Bolak-BalikDifteri Hepatitis Anthrax

Tifus Bercak

WabahPertusis Tipus Perut

Penyakit-Penyakit Menular yang Berpotensi Wabah atau Kejadian Luar

Biasa (KLB)

1. Penyakit karantina atau penyakit wabah penting, meliputi : DHF, Campak,

Rabies, Tetanus Neonatorum, diare, pertusis, poliomyelitis.

Page 60: Surveilans Epidemiologi

602. Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat atau

mempunyai mortalitas tinggi, dan penyakit yang telah masuk program

eradikasi/eliminasi dan memerlukan tindakan segera, meliputi : Malaria,

Frambosia, Influenza, Anthrax, Hepatitis, Typhus,abdominalis,

 meningitis, Keracunan, Encephalitis, Tetanus.

3. Penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa penyakit penting.

4. Penyakit-penyakit menular yang tidak berpotensi menimbulkan wabah dan

KLB tetapi diprogramkan, ditingkat kecamatan dilaporkan secara bulanan

melalui RR terpadu Puskesmas ke Kabupaten, dan seterusnya secara

berjenjang sampai ke tingkat pusat. Penyakit tersebut meliputi : Cacing,

Lepra, Tuberculosa, Syphilis, Gonorhoe, Filariasis & AIDS, dll.

Jika peristiwa Kejadian Luar Biasa (KLB) atau wabah dari penyakit yang

bersangkutan sudah berhenti (insidensi penyakit sudah kembali pada keadaan

normal), maka penyakit tersebut tidak perlu dilaporkan secara mingguan lagi.

Sementara itu, laporan penyakit setiap bulan perlu dilaporkan ke Puskesmas oleh

Bidan desa/petugas di Poskesdes.

Peringatan Kewaspadaan Dini  KLB

Peringatan kewaspadaan dini KLB dan atau  terjadinya peningkatan KLB

pada daerah tertentu dibuat untuk jangka pendek (periode 3-6 bulan yang akan

datang) dan disampaikan kepada semua unit terkait di Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi, Departemen Kesehatan, sektor terkait

dan  anggota masyarakat, sehingga mendorong peningkatan kewaspadaan dan

kesiapsiagaan terhadap KLB di Unit Pelayanan Kesehatan dan program terkait

serta peningkatan kewaspadaan masyarakat perorangan dan kelompok.

Peringatan kewaspadaan dini KLB dapat juga dilakukan terhadap penyakit

berpotensi KLB dalam jangka panjang (periode 5 tahun yang akan datang), agar

terjadi kesiapsiagaan yang lebih baik serta dapat menjadi acuan perumusan

perencanaan strategis program penanggulangan KLB.

Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan terhadap KLB

Page 61: Surveilans Epidemiologi

61Kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap KLB meliputi peningkatan

kegiatan surveilans untuk deteksi dini kondisi rentan KLB; peningkatan kegiatan

surveilans untuk deteksi dini KLB; penyelidikan epidemiologi adanya dugaan

KLB;  kesiapsiagaan menghadapi KLB dan mendorong segera dilaksanakan

tindakan penanggulangan KLB.

1. Deteksi Dini Kondisi Rentan KLB

Deteksi dini kondisi rentan KLB merupakan kewaspadaan terhadap

timbulnya kerentanan masyarakat, kerentanan lingkungan-perilaku, dan

kerentanan pelayanan kesehatan terhadap KLB dengan menerapkan cara-

cara surveilans epidemiologi atau Pemantauan Wilayah Setempat (PWS)

kondisi rentan KLB.

Identifikasi timbulnya kondisi rentan KLB dapat mendorong

upayaupaya pencegahan terjadinya KLB dan meningkatkan kewaspadaan

berbagai  pihak terhadap KLB.

A. Identifikasi Kondisi Rentan KLB

Mengidentifikasi secara terus menerus perubahan kondisi lingkungan,

kuwalitas dan kwantitas pelayanan kesehatan, kondisi status kesehatan

masyarakat yang  berpotensi menimbulkan KLB di daerah. 

B. Pemantauan Wilayah Setempat Kondisi Rentan KLB

Setiap Sarana Pelayanan Kesehatan merekam data perubahan kondisi

rentan KLB menurut desa atau kelurahan atau lokasi tertentu lainnya,

menyusun tabel dan grafik pemantauan wilayah setempat kondisi

rentan KLB.

Setiap kondisi rentan KLB dianalisis terus menerus dan sistematis

untuk mengetahui secara dini adanya ancaman KLB.

Penyelidikan Dugaan Kondisi Rentan KLB dilakukan dengan cara

a. Sarana Pelayanan Kesehatan secara aktif mengumpulkan informasi

kondisi rentan KLB dari berbagai sumber termasuk laporan perubahan

kondisi rentan oleh masyarakat perorangan atau kelompok.

b. Di Sarana Pelayanan Kesehatan, petugas kesehatan meneliti serta

mengkaji data kondisi rentan KLB, data kondisi kesehatan lingkungan

Page 62: Surveilans Epidemiologi

62dan perilaku masyarakat, status kesehatan masyarakat, status

pelayanan kesehatan.

c. Petugas kesehatan mewawancarai pihak-pihak terkait yang patut

diduga mengetahui adanya perubahan kondisi rentan KLB.

d. Mengunjungi daerah yang dicurigai terdapat perubahan kondisi rentan

KLB.

2. Deteksi Dini Kejadian Luar Biasa (KLB)

Deteksi dini KLB merupakan kewaspadaan terhadap timbulnya KLB

dengan mengidentifikasi kasus berpotensi KLB, pemantauan wilayah

setempat terhadap penyakit-penyakit berpotensi KLB dan penyelidikan

dugaan KLB.

A. Identifikasi Kasus Berpotensi KLB

Setiap kasus berpotensi KLB yang datang ke Unit Pelayanan

Kesehatan, diwawancarai kemungkinan adanya penderita lain di

sekitar tempat tingggal, lingkungan sekolah, lingkungan perusahaan

atau asrama yang kemudian dapat disimpulkan dugaan adanya KLB.

Adanya dugaan KLB pada suatu lokasi tertentu diikuti dengan

penyelidikan.

B. Pemantauan Wilayah Setempat Penyakit Berpotensi KLB

Setiap Unit Pelayanan Kesehatan merekam data epidemiologi

penderita penyakit berpotensi KLB menurut desa atau kelurahan.

Setiap Unit Pelayanan Kesehatan menyusun tabel dan grafik

pemantauan wilayah setempat KLB sebagaimana lampiran grafik

PWS-KLB.

C. Setiap Unit Pelayanan Kesehatan melakukan analisis terus menerus

dan sistematis terhadap perkembangan penyakit yang berpotensi KLB

di daerahnya untuk mengetahui secara dini adanya KLB. Adanya

dugaan peningkatan penyakit dan faktor resiko yang berpotensi KLB

diikuti dengan penyelidikan. 

D. Penyelidikan Dugaan KLB

Penyelidikan dugaan KLB dilakukan dengan cara :

Page 63: Surveilans Epidemiologi

63a. Di Unit Pelayanan Kesehatan, petugas kesehatan menanyakan

setiap pengunjung Unit Pelayanan Kesehatan tentang

kemungkinan adanya peningkatan sejumlah penderita penyakit

yang diduga KLB pada lokasi tertentu.

b. Di Unit Pelayanan Kesehatan, petugas kesehatan meneliti

register rawat inap dan rawat jalan terhadap kemungkinan

adanya peningkatan kasus yang dicurigai pada lokasi tertentu

berdasarkan alamat penderita, umur dan jenis kelamin atau

karakteristik lain.

c. Petugas kesehatan mewawancarai kepala desa, kepala asrama

dan setiap orang yang mengetahui keadaan masyarakat tentang

adanya peningkatan penderita penyakit yang diduga KLB.

d. Membuka pos pelayanan di lokasi yang diduga terjadi KLB dan

menganalisis data penderita berobat untuk mengetahui

kemungkinan adanya peningkatan penyakit yang dicurigai.

e. Mengunjungi rumah-rumah penderita yang dicurigai atau

kunjungan dari rumah ke rumah terhadap semua penduduk

tergantung pilihan tim penyelidikan.

3. Deteksi Dini KLB melalui Pelaporan Kewaspadaan KLB oleh Masyarakat

Laporan kewaspadaan KLB merupakan laporan adanya seorang atau

sekelompok penderita atau tersangka penderita penyakit  berpotensi KLB

pada suatu daerah atau lokasi tertentu. Isi laporan kewaspadaan terdiri dari

jenis penyakit; gejala-gejala penyakit; desa/lurah, kecamatan dan

kabupaten/kota tempat kejadian; waktu kejadian; jumlah penderita dan

jumlah meninggal. Perorangan dan organisasi yang wajib membuat Laporan

Kewaspadaan KLB antara lain :

A. Orang yang mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita

penyakit berpotensi KLB, yaitu orang tua penderita atau tersangka

penderita, orang dewasa yang tinggal serumah dengan penderita atau

tersangka penderita, Ketua Rukun Tetangga, Ketua Rukun Warga,

Page 64: Surveilans Epidemiologi

64Ketua Rukun Kampung atau Kepala Dukuh yang mengetahui adanya

penderita atau tersangka penderita tersebut.

B. Petugas kesehatan yang memeriksa penderita, atau memeriksa bahan-

bahan pemeriksaan penderita penyakit berpotensi KLB, yaitu dokter

atau petugas kesehatan, dokter hewan yang memeriksa hewan sumber

penyakit menular berpotensi KLB dan petugas laboratorium yang

memeriksa spesimen penderita atau tersangka penderita penyakit 

berpotensi KLB.

C. Kepala stasiun kereta api, kepala pelabuhan laut, kepala bandar udara,

kepala terminal kendaraan bermotor, kepala asrama, kepala sekolah,

pimpinan perusahaan, kepala kantor pemerintah dan swasta,  kepala 

Unit Pelayanan Kesehatan.

D. Nakhoda kapal,  pilot pesawat terbang, dan pengemudi angkutan

darat.

4. Kesiapsiagaan Menghadapi KLB

Kesiapsiagaan menghadapi KLB dilakukan terhadap sumber daya

manusia, sistem konsultasi dan referensi, sarana penunjang, laboratorium

dan anggaran biaya, strategi dan tim penanggulangan KLB serta jejaring

kerja tim penanggulangan KLB Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat.

A. Kesiapsiagaan Sumber Daya Manusia.

Tenaga yang harus disiapkan adalah tenaga dokter, perawat,

surveilans epidemiologi, sanitarian dan entomologi serta tenaga lain

sesuai dengan kebutuhan. Tenaga ini harus menguasai pedoman

penyelidikan dan penanggulangan KLB yang diprioritaskan di

daerahnya.Pada daerah yang sering terjadi KLB harus memperkuat

sumber daya manusia sampai di Puskesmas, Rumah Sakit dan bahkan

di masyarakat, tetapi pada KLB yang jarang terjadi memerlukan

peningkatan sumber daya manusia di Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi dan atau di Departemen

Kesehatan saja.

B. Kesiapsiagaan Sistem Konsultasi dan Referensi

Page 65: Surveilans Epidemiologi

65Setiap KLB mempunyai cara-cara penyelidikan dan penanggulangan

yang berbeda-beda, bahkan setiap daerah memiliki pola KLB yang

berbeda-beda juga. Oleh karena itu, setiap daerah harus

mengidentifikasi dan bekerjasama dengan para ahli, baik para ahli

setempat, Kabupaten/Kota atau Propinsi lain, nasional dan

internasional, termasuk rujukan laboratorium. Kesiapsiagaan juga

dilakukan dengan melengkapi kepustakaan dengan referensi berbagai

jenis penyakit berpotensi KLB.

C. Kesiapsiagaan Sarana Penunjang dan Anggaran Biaya

Sarana penunjang penting yang harus dimiliki adalah peralatan

komunikasi, transportasi, obat-obatan, laboratorium, bahan dan

peralatan lainnya, termasuk pengadaan anggaran dalam jumlah yang

memadai apabila terjadi suatu KLB.

D. Kesiapsiagaan Strategi dan Tim Penanggulangan KLB

Setiap daerah menyiapkan pedoman penyelidikanpenanggulangan

KLB dan membentuk tim penyelidikanpenanggulangan KLB yang

melibatkan lintas program dan UnitUnit Pelayanan Kesehatan.

E. Kesiapsiagaan Kerjasama Penanggulangan KLB

Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat. Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota; Dinas Kesehatan Propinsi dan Departemen

Kesehatan melalui Ditjen PPM&PL serta unit terkait membangun

jejaring kerjasama penanggulangan KLB.

5. Tindakan Penanggulangan KLB Yang Cepat dan Tepat.

Setiap daerah menetapkan mekanisme agar setiap kejadian KLB dapat

terdeteksi dini dan dilakukan tindakan penanggulangan dengan cepat dan

tepat.

6. Advokasi dan Asistensi Penyelenggaraan SKD-KLB

Penyelenggaraan SKD-KLB dilaksanakan terus menerus secara

sistematis di tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota dan di masyarakat

yang membutuhkan dukungan politik dan anggaran yang memadai di

Page 66: Surveilans Epidemiologi

66berbagai tingkatan tersebut untuk menjaga kesinambungan penyelenggaraan

dengan kinerja yang tinggi.

7. Pengembangan  SKD-KLB Darurat

Apabila diperlukan untuk menghadapi ancaman terjadinya KLB

penyakit  tertentu yang sangat serius dapat dikembangkan dan atau

ditingkatkan SKD-KLB penyakit tertentu dan dalam periode waktu terbatas

dan wilayah terbatas.

Langkah Langkah Mengahadapi KLB

Didalam epidemiologi prinsip dasar dalam mengahadapi wabah umumnya sama,

pada penyakit menular maupun pada penyakit tidak menular.

1. Garis besar pelacakan wabah / Kejadian Luar Biasa

Pengumpulan data dan informasi secara saksama langsung di lapangan

/ tempat kejadian, yang disusul dengan analisis data yang teliti dengan

ketajaman pemikiran merupakan landasan dari suatu keberhasilan

pelacakan. Dengan demikian maka dalam usaha pelacakan suatu peristiwa

luar biasa atau wabah, diperluakan adanya suatu garis besar tentang

sistematika langkah langkah yang pada dasarnya harus ditempuh dan

dikembangkan dalam setiap usaha pelacakan.

Langkah langkah ini hanya merupakan pedoman dasar yang kemudian

harus dikembangkan sendiri oleh setiap investigator (pelacak) dalam

menjawab setiap pertanyaan yang mungkin timbul dalam kegiatan

pelacakan tersebut. Walaupun penentuan langkah langkah tersebut sangat

bergantung pada tim pelacak, namun beberapa hal yang bersifat prinsip

dasar seperti penentuan diagnosis serta penentuan adanya wabah harus

mendapatkan perhatian lebih awal dan harus ditetapkan sedini mungkin.

2. Analisis situasi awal

Pada tahap awal pelacakan suatu situasi yang diperkirakan bersifat wabah

atau situasi luar biasa, diperlukan sekurang kurangnya empat kegiatan awal

yang bersifat dasar dari pelacakan.

a. Penentuan / penegakan diagnosis

Page 67: Surveilans Epidemiologi

67Untuk kepentingan diagnosis maka diperlukan penelitian/ pengamatan

klinis dan pemeriksaan laboratorium. Harus diamati secara tuntas

apakah laporan awal yang diperoleh sesuai dengan keadaan yang

sebenarnya (perhatikan tingkat kebenarannya). Umumnya wabah

penyakit demam berdarah harus jelas secara klinis maupun

laboratorium. Hal ini mengingat bahwa gejala demam berdarah dapat

didiagnosis secara tidak tepat, di samping itu pemeriksaan

laboratorium kadang kadang harus dilakukan lebih dari satu kali.

b. Penentuan adanya wabah

Sesuai dengan definisi wabah atau kejadian luar biasa (KLB) maka

untuk menentukan apakah situasi yang sedang dihadapi adalah wabah

atau tidak, perlu diusahakan untuk melakukan perbandingan keadaan

jumlah kasus sebelumnya untuk melihat apakah terjadi kenaikan

frekuensi yang istimewa atau tidak. Artinya apakah jumlah kasus yang

dihadapi jauh lebih banyak dari sebelumnya, atau apakah jumlah

kasus lebih tinggi dari yang diperkirakan (estimated) sebelumnya.

c.  Uraian keadaan wabah

Bila keadaan dinyatakan wabah ,segera melakukan uraian keadaan

wabah berdasarkan tiga unsur utama yakni waktu, tempat dan orang.

Membuat kurva epidemic dengan menggambarkan penyebaran kasus

menurut waktu mulainya timbul gejala penyakit. Di samping itu,

gambarkan penyebaran sifat epidemic berdasarkan penyebaran kasus

menurut tempat/ secara geografis (spot map epidemi).

3. Analisis lanjutan

Setelah melakukan analisis awal dan menetapkan adanya situasi

wabah maka selain tindak pemadaman wabah, perlu dilakukan pelacakan

lanjut serta analisis situasi secara berkesinambungan.

Ada beberapa hal pokok yang perlu mendapatkan perhatian pada

tindak lanjut tersebut.

A. Usaha penemuan kasus tambahan

Page 68: Surveilans Epidemiologi

68Untuk usaha penemuan kasus tambahan, harus ditelusuri

kemungkinan dengan menggunakan berbagai cara, antara lain :

a. Adakan pelacakan ke rumah sakit dan ke dokter praktik umum

setempat untuk mencari kemungkinan mereka menemukan

penderita penyakit yang sedang diteliti dan belum termasuk

dalam laporan yang ada.

b. Adakan pelacakan dan pengawasan yang intensif terhadap

mereka yang tanpa gejala atau mereka dengan gejala ringan/

tidak spesifik, tetapi mempunyai potensi menderita atau

termasuk kontak dengan penderita. Keadaan ini sering dijumpai

pada beberapa penyakit tertentu yang selain penderita dengan

klinis jelas, juga kemungkinan adanya penderita dengan gejala

ringan dan tanpa gejala kunig, di mana diagnosis pastinya hanya

mungkin ditegakkan dengan melalui pemeriksaan laboratorium

B. Analisis data

Lakukan analisis data secara berkesinambunagn sesuai dengan

tambahan informasi yang didapatkan dan laporkan hasil interpretasi

data tersebut.

C. Menegakkan hipotesis

Berdasarkan hasil analisis dari seluruh kegiatan, dibuatlah keputusan

hasil analisis yang bersifat hipotesis tentang keadaan yang

diperkirakan. Dalam hal ini harus diperhatikan bahwa kesimpulan dari

semua fakta yang ditemukan dan diketahui harus sesuai dengan apa

yang tercantum dalam hipotesis tersebut.

D.  Tindakan pemadaman wabah dan tindak lanjut

Tindakan pemadaman suatu wabah diambil berdasarkan hasil analisis

dan sesuai denga keadaan wabah yang terjadi. Harus diperhatikan

bahwa setiap tindakan pemadaman wabah disertai dengan berbagai

kegiatan tindak lanjut ( follow up) sampai keadaan sudah normal

kembali. Biasanya kegiatan tindak lanjut dan pengamatan dilakukan

sekurang kurangnya dua kali masa tunas penyakit yang mewabah.

Page 69: Surveilans Epidemiologi

69Setelah keadaan normal, maka untuk beberapa penyekit tertentu yang

mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah (keadaan luar biasa)

susulan, harus disusunkan suatu program pengamatan yang

berkesinambungan dalam bentuk surveilans epidemiologi, terutama

pada kelompok dengan resiko tinggi.

Pada akhir setiap pelacakan wabah, harus dibuat laporan lengkap yang

kemudian dikirim kepada semua instansi terkait. Laporan tersebut meliputi

berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya wabah, analisis dan evaluasi upaya

yang telah dilakukan serta saran saran untuk mencegah berulangnya kejadian luar

biasa untuk masa yang akan datang.

Metodologi Penyelidikan KLB

Tingkat atau pola dalam penyelidikan KLB ini sangat sulit ditentukan,

sehingga metoda yang dipakai pada penyelidikan KLB sangat bervariasi. Menurut

Kelsey et al., 1986; Goodman et al., 1990 dan Pranowo, 1991, variasi tersebut

meliputi :

1. Rancangan penelitian, dapat merupakan suatu penelitian prospektif atau

retrospektif tergantung dari waktu dilaksanakannya penyelidikan. Dapat

merupakan suatu penelitian deskriptif, analitik atau keduanya.

2. Materi (manusia, mikroorganisme, bahan kimia, masalah administratif),

3. Sasaran pemantauan, berbagai kelompok menurut sifat dan tempatnya

(Rumah sakit, klinik, laboratorium dan lapangan).

Setiap penyelidikan KLB selalu mempunyai tujuan utama yang sama yaitu

mencegah meluasnya dan terulangnya KLB di masa yang akan datang dengan

tujuan khusus :

1. Diagnosis kasus-kasus yang terjadi dan mengidentifikasi penyebab

penyakit.

2. Memastikan keadaan tersebut merupakan Kejadian Luar Biasa.

3. Mengidentifikasikan sumber dan cara penularan.

4. Mengidentifikasi keadaan yang menyebabkan Kejadian Luar Biasa.

Page 70: Surveilans Epidemiologi

705. Mengidentifikasikan populasi yang rentan atau daerah yang berisiko akan

terjadi Kejadian Luar Biasa (CDC, 1981; Bres, 1986).

Metodologi atau langkah-langkah yang harus dilalui pada penyelidikan KLB,

seperti berikut :

Tabel 1 : langkah-langkah Penyelidikan KLB

NO Langkah-langkah Penyelidikan KLB

1 Persiapan penelitian lapangan

2 Menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB

3 Memastikan Diagnose Etiologis

4 Mengidentifikasikan dan menghitung kasus atau paparan

5 Mendeskripsikan kasus berdasarkan orang, waktu, dan tempat

6 Membuat cara penanggulangan sementara dengan segera (jika diperlukan)

7 Mengidentifikasi sumber dan cara penyebaran

8 Mengidentikasi keadaan penyebab KLB

9 Merencanakan penelitian lain yang sistematis

10 Menetapkan saran cara pencegahan atau penanggulangan

11 Menetapkan sistim penemuan kasus baru atau kasus dengan komplikasi

12Melaporkan hasil penyelidikan kepada Instansi kesehatan setempat dan

kepada sistim pelayanan kesehatan yang lebih tinggi

Sumber : CDC, 1979; Barker, 1979; Greg, 1985; Mausner and Kramer, 1985;

Kelsey et al., 1986; Goodman et al., 1990.

Pada pelaksanaan penyelidikan KLB, langkah-langkah tersebut tidak harus

dikerjakan secara berurutan, kadang-kadang beberapa langkah dapat dikerjakan

secara serentak. Pemastian diagnose dan penetapan KLB merupakan langkah awal

yang harus dikerjakan (Mausner and Kramer, 1985; Vaughan and Marrow, 1989).

1. Persiapan Penelitian Lapangan

Sebelum penyelidikan KLB dilaksanakan perlu adanya persiapan dan

rencana kerja. Persiapan lapangan sebaiknya dikerjakan secepat mungkin,

dalam 24 jam pertama sesudah adanya informasi (Kelsey., 1986), Greg

Page 71: Surveilans Epidemiologi

71(1985) dan Bres (1986) mengatakan bahwa persiapan penelitian lapangan

meliputi :

A. Pemantapan (konfirmasi) informasi.

Informasi awal yang didapat kadang-kadang tidak lengkap, sehingga

diperlukan pemantapan informasi untuk melengkapi informasi awal,

yang dilakukan dengan kontak dengan daerah setempat. Informasi

awal yang digunakan sebagai arahan untuk membuat rencana kerja

(plan of action), yang meliputi informasi sebagai berikut :

a. Asal informasi adanya KLB. Di Indonesia informasi adanya

KLB dapat berasal dari fasilitas kesehatan primer (laporan W1),

analisis sistem kewaspadaan dini di daerah tersebut (laporan

W2), hasil laboratorium, laporan Rumah sakit (Laporan KD-RS)

atau masyarakat (Laporan S-0).

b. Gambaran tentang penyakit yang sedang berjangkit, meliputi

gejala klinis, pemeriksaan yang telah dilakukan untuk

menegakan diagnosis dan hasil pemeriksaannya, komplikasi

yang terjadi (misal kematian, kecacatan. Kelumpuhan dan

lainnya).

c. Keadaan geografi dan transportasi yang dapat digunakan di

daerah/lokasi KLB.’

B. Pembuatan rencana kerja

Berdasar informasi tersebut disusun rencana penyelidikan (proposal),

yang minimal berisi :

a. Tujuan penyelidikan KLB

b. Definisi kasus awal

c. Hipotesis awal mengenai agent penyebab (penyakit), cara dan

sumber penularan

d. Macam dan sumber data yang diperlukan

e. Strategi penemuan kasus

f. Sarana dan tenaga yang diperlukan.

Page 72: Surveilans Epidemiologi

72Definisi kasus : definisi kasus sangat berguna untuk arahan pada

pencarian kasus nantinya. Mengingat informasi yang didapat mungkin

hanya merupakan persangkaan penyakit tertentu atau gejala klinis yang

ditemui, maka definisi kasus sebaiknya dibuat longgar, dengan

kemungkinan kasus-kasus lain akan masuk. Perbaikan definisi kasus akan

dilakukan setelah pemastian diagnosis, pada langkah identifikasi kasus dan

paparan.

Hipotesis awal, hendaknya meliputi penyakit penyebab KLB, sumber

dan cara penularan. Untuk membuat hipotesis awal ini dapat dengan

mempelajari gejala klinis, ciri dan pola epidemiologis penyakit tersangka.

Hipotesis awal ini dapat berubah atau lebih spesifik dan dibuktikan pada

waktu penyelidikan (Bres, 1986).

Tujuan penyelidikan KLB selalu dimulai dengan tujuan utama mengadakan

penanggulangan dan pengendalian KLB, dengan beberapa tujuan khusus, di

antaranya :

A. Memastikan diagnosis penyakit

B. Menetapkan KLB

C. Menentukan sumber dan cara penularan

D. Mengetahui keadaan penyebab KLB

Pada penyelidikan KLB diperlukan beberapa tujuan tambahan yang

berhubungan dengan penggunaan hasil penyelidikan. Misalnya untuk

mengetahui pelaksanaan program imunisasi, mengetahui kemampuan sistem

surveilans, atau mengetahui pertanda mikrobiologik yang dapat digunakan

(Goodman et al., 1990).

2. Strategi dalam Penyelidikan KLB

Strategi penemuan kasus, strategi penemuan kasus ini sangat penting

kaitannya dengan pelaksanaan penyelidikan nantinya. Pada penyelidikan

KLB pertimbangan penetapan strategi yang tepat tidak hanya didasarkan

pada bagaimana memperoleh informasi yang akurat, tetapi juga harus

dipertimbangkan beberapa hal yaitu :

A. Sumber daya yang ada (dana, sarana, tenaga)

Page 73: Surveilans Epidemiologi

73B. Luas wilayah KLB

C. Asal KLB diketahui

D. Sifat penyakitnya.

Beberapa strategi penemuan kasus yang dapat digunakan pada

penyelidikan KLB dengan beberapa keuntungan dan kelemahannya (Bres,

1986) :

Tabel 2. Strategi Pencarian Kasus

NO Strategi Keuntungan Kerugian

1 Penggunaan data fasilitas kesehatan Cepat Terjadi bias seleksi kasus

2Kunjungan ke RS atau fasilitas kesehatan Lebih mudah untuk

mengetahui kasus dan kontak Hanya kasus-kasus yang berat

3Penyebaran kuesioner pada daerah yang terkena Cepat, tidak ada bias

menaksir populasi Kesalahan interpretasi pertanyaan

4

Kunjungan ke tempat yang diduga sebagai sumber penularan Mudah

untuk menge-tahui hubungan kasus dan kontak Terjadi bias seleksi

dan keadaan sudah spesifik

5

Survai masyarakat (survai rumah tanggal, total survai) Dapat dilihat

keadaan yang sebenarnya Memerlukan waktu lama, memerlukan

organisasi tim dengan baik

6Survai pada penderita Jika diketahui kasus dengan pasti Memerlukan

waktu lama, hasil hanya terbatas pada kasus yang diketahui

7

Survai agent dengan isolasi atau serologi Kepastian tinggi, di-

gunakan pada penyakit dengan carrier Mahal, hanya dilakukan jika

pemerik saan lab dapat dikerjakan

Sumber : Bres, 1986.

3. Pertemuan dengan pejabat setempat.

Pertemuan dimaksudkan untuk membicarakan rencana dan pelaksanaan

penyelidikan KLB, kelengkapan sarana dan tenaga di daerah, memperoleh

izin dan pengamanan.

A. Pemastian Diagnosis Penyakit

Page 74: Surveilans Epidemiologi

74Cara diagnosis penyakit pada KLB dapat dilakukan dengan

mencocokan gejala /tanda penyakit yang terjadi pada individu,

kemudian disusun distribusi frekuensi gejala klinisnya.

Cara menghitung distribusi frekuensi dari tanda-tanda dan gejala-

gejala yang ada pada kasus adalah sebagai berikut :

a. Buat daftar gejala yang ada pada kasus

b. Hitung persen kasus yang mempunyai gejala tersebut

c. Susun ke bawah menurut urutan frekuensinya.

B. Penetapan KLB

Penetapan KLB dilakukan dengan membandingkan insidensi

penyakit yang tengah berjalan dengan insidensi penyakit dalam

keadaan biasa (endemik), pada populasi yang dianggap berisiko, pada

tempat dan waktu tertentu.

Dalam membandingkan insidensi penyakit berdasarkan waktu

harus diingat bahwa beberapa penyakit dalam keadaan biasa

(endemis) dapat bervariasi menurut waktu (pola temporal penyakit).

Penggambaran pola temporal penyakit yang penting untuk

penetapan KLB adalah, pola musiman penyakit (periode 12 bulan) dan

kecenderungan jangka panjang (periode tahunan – pola maksimum

dan minimum penyakit). Dengan demikian untuk melihat kenaikan

frekuensi penyakit harus dibandingkan dengan frekuensi penyakit

pada tahun yang sama bulan berbeda atau bulan yang sama tahun

berbeda (CDC, 1979).

Penanggulangan KLB

Penanggulangan KLB dikenal dengan nama Sistem Kewaspadaan Dini

(SKD-KLB), yang dapat diartikan sebagai suatu upaya pencegahan dan

penanggulangan KLB secara dini dengan melakukan kegiatan untuk

mengantisipasi KLB. Kegiatan yang dilakukan berupa pengamatan yang

sistematis dan terus-menerus yang mendukung sikap tanggap/waspada yang cepat

dan tepat terhadap adanya suatu perubahan status kesehatan masyarakat. Kegiatan

Page 75: Surveilans Epidemiologi

75yang dilakukan adalah pengumpulan data kasus baru dari penyakit-penyakit yang

berpotensi terjadi KLB secara mingguan sebagai upaya SKD-KLB. Data-data

yang telah terkumpul dilakukan pengolahan dan analisis data untuk penyusunan

rumusan kegiatan perbaikan oleh tim epidemiologi (Dinkes Kota Surabaya,

2002). 

Undang-undang No. 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular serta

Peraturan Menteri Kesehatan No. 560 tahun 1989, maka penyakit DBD harus

dilaporkan segera dalam waktu kurang dari 24 jam. Undang-undang No. 4 tahun

1984 juga menyebutkan bahwa wabah adalah kejadian berjangkitnya suatu

penyakit menular dalam masyarakat, yang jumlah penderitanya meningkat secara

nyata melebihi dari keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta

dapat menimbulkan malapetaka. Dalam rangka mengantisipasi wabah secara dini,

dikembangkan istilah kejadian luar biasa (KLB) sebagai pemantauan lebih dini

terhadap kejadian wabah. Tetapi kelemahan dari sistem ini adalah penentuan

penyakit didasarkan atas hasil pemeriksaan klinik laboratorium sehingga

seringkali KLB terlambat diantisipasi (Sidemen A., 2003).

Badan Litbangkes berkerja sama dengan Namru 2 telah mengembangkan

suatu sistem surveilans dengan menggunakan teknologi informasi (computerize)

yang disebut dengan EWORS (Early Warning Outbreak Recognition System).

EWORS adalah suatu sistem jaringan informasi yang menggunakan internet yang

bertujuan untuk menyampaikan berita adanya kejadian luar biasa pada suatu

daerah di seluruh Indonesia ke pusat EWORS secara cepat (Badan Litbangkes,

Depkes RI). Melalui sistem ini peningkatan dan penyebaran kasus dapat diketahui

dengan cepat, sehingga tindakan penanggulangan penyakit dapat dilakukan sedini

mungkin. Dalam masalah DBD kali ini EWORS telah berperan dalam hal

menginformasikan data kasus DBD dari segi jumlah, gejala/karakteristik penyakit,

tempat/lokasi, dan waktu kejadian dari seluruh rumah sakit DATI II di Indonesia

(Sidemen A., 2003)

Page 76: Surveilans Epidemiologi

76BAB VI

Surveilans pada Prnyakit Kanker

OLEH ERIKA YUNI LUMBAN TOBING, MERTISIN LAOLI, WAHYUNI MEGAWATI,

DAN YAYANG BELYA OKTAVIANI

Definisi Kanker

Kanker adalah istilah umum untuk satu kelompok besar penyakit yang dapat

mempengaruhi setiap bagian dari tubuh. Istilah lain yang digunakan adalah tumor

ganas dan neoplasma. Salah satu fitur mendefinisikan  kanker adalah

pertumbuhan sel - sel baru secara abnormal yang tumbuh melampaui batas

normal, dan yang kemudian dapat menyerang bagian sebelah tubuh

dan  menyebar ke organ lain (National Cancer Institute, 2009).

Kanker adalah suatu istilah untuk penyakit di mana sel - sel membelah

secara abnormal tanpa kontrol dan dapat menyerang jaringan di

sekitarnya.    Proses ini disebut metastasis. Metastasis merupakan penyebab utama

kematian akibat kanker  (WHO, 2009).

Dalam keadaan normal, sel hanya akan membelah diri jika ada penggantian

sel-sel yang telah mati dan rusak. Sebaliknya sel kanker akan membelah terus

meskipun tubuh tidak memerlukannya, sehingga akan terjadi penumpukan sel

baru yang disebut tumor ganas. Penumpukan sel tersebut mendesak dan merusak

jaringan normal, sehingga mengganggu organ yang ditempatinya. Kanker dapat

terjadi diberbagai jaringan dalam berbagai organ di setiap tubuh, mulai dari kaki

sampai kepala. Bila kanker terjadi di bagian permukaan tubuh, akan mudah

diketahui dan diobati. Namun bila terjadi didalam tubuh, kanker itu akan sulit

diketahui dan kadang - kadang tidak memiliki gejala. Kalaupun timbul gejala,

biasanya sudah stadium lanjut sehingga sulit diobati.

Page 77: Surveilans Epidemiologi

77Jenis - jenis kanker yang telah dikenal saat ini yaitu :

1. Karsinoma

Yaitu jenis kanker yang berasal dari sel yang melapisi permukaan tubuh

atau permukaan saluran tubuh, misalnya jaringan seperti sel kulit, testis,

ovarium, kelenjar mucus, sel melanin, payudara, leher rahim, kolon, rectum,

lambung, pancreas, dan esofagus.

2. Limfoma

Yaitu jenis kanker yang berasal dari jaringan yang membentuk darah,

misalnya jaringan limfe, lacteal, limfa, berbagai kelenjar limfe, timus, dan

sumsum tulang. Limfoma spesifik antara lain adalah penyakit Hodgkin

(kanker kelenjar limfe dan limfa)

3. Leukemia

Kanker jenis ini tidak membentuk massa tumor, tetapi memenuhi pembuluh

darah dan mengganggu fungsi sel darah normal.

4. Sarkoma

Yaitu jenis kanker dimana jaringan penunjang yang berada dipermukaan

tubuh seperti jaringan ikat, termasuk sel - sel yang ditemukan diotot dan

tulang.

5. Glioma

Yaitu kanker susunan syaraf, misalnya sel-sel glia (jaringan penunjang) di

susunan saraf pusat.

6. Karsinoma in situ

Yaitu istilah yang digunakan untuk menjelaskan sel epitel abnormal yang

masih terbatas di daerah tertentu sehingga masih dianggap lesi prainvasif

(kelainan/luka yang belum menyebar)

Faktor-Faktor Penyebab Kanker

Penyebab kanker biasanya tidak dapat diketahui secara pasti karena

penyebab kanker dapat merupakan gabungan dari sekumpulan faktor, genetik dan

lingkungan. Namun ada beberapa faktor yang diduga meningkatkan resiko

terjadinya kanker, sebagai berikut :

Page 78: Surveilans Epidemiologi

781. Faktor keturunan

Faktor genetik menyebabkan beberapa keluarga memiliki resiko lebih

tinggi untuk menderita kanker tertentu bila dibandingkan dengan keluarga

lainnya. Jenis kanker yang cenderung diturunkan dalam keluarga adalah

kanker payudara, kanker indung telur, kanker kulit dan kanker usus besar.

Sebagai contoh, risiko wanita untuk menderita kanker meningkat 1,5 s/d 3

kali jika ibunya atau saudara perempuannya menderita kanker payudara.

2. Faktor Lingkungan

a. Merokok sigaret meningkatkan resiko terjadinya kanker paru - paru,

mulut, laring (pita suara), dan kandung kemih.

b. Sinar Ultraviolet dari matahari.

c. Radiasi ionisasi (yang merupakan karsinogenik) digunakan dalam

sinar rontgen dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga nuklir dan

ledakan bom atom yang bisa menjangkau jarak yang sangat jauh.

Contoh, orang yang selamat dari bom atom di Hiroshima dan

Nagasaki pada Perang Dunia II, berisiko tinggi menderita kanker sel

darah, seperti Leukemia.

3. Faktor Makanan yang mengandung bahan kimia.

Makanan juga dapat menjadi faktor risiko penting lain penyebab kanker,

terutama kanker pada saluran pencernaan. Contoh jenis makanan yang

dapat menyebabkan kanker adalah :

a. Makanan yang diasap dan diasamkan (dalam bentuk acar)

meningkatkan resiko terjadinya kanker lambung.

b. Minuman yang mengandung alkohol menyebabkan berisiko lebih

tinggi terhadap kanker kerongkongan.

c. Zat pewarna makanan.

d. Logam berat seperti merkuri yang sering terdapat pada makanan laut

yang tercemar seperti: kerang, ikan, dsb.

e. Berbagai makanan (manis,tepung) yang diproses secara berlebihan.

4. Virus

Virus yang dapat dan dicurigai menyebabkan kanker antara lain :

Page 79: Surveilans Epidemiologi

79a. Virus Papilloma menyebabkan kutil alat kelamin (genitalis) agaknya

merupakan salah satu penyebab kanker leher rahim pada wanita.

b. Virus Sitomegalo menyebabkan Sarkoma Kaposi (kanker sistem

pembuluh darah yang ditandai oleh lesi kulit berwarna merah).

c. Virus Hepatitis B dapat menyebabkan kanker hati.

d. Virus Epstein - Bar (di Afrika) menyebabkan Limfoma Burkitt,

sedangkan di China virus ini menyebabkan kanker hidung dan

tenggorokan. Ini terjadi karena faktor lingkungan dan genetik.

e. Virus Retro pada manusia misalnya virus HIV menyebabkan limfoma

dan kanker darah lainnya.

5. Infeksi

a. Parasit Schistosoma (bilharzia) dapat menyebabkan kanker kandung

kemih karena terjadinya iritasi menahun pada kandung kemih. Namun

penyebab iritasi menahun lainnya tidak menyebabkan kanker.

b. Infeksi oleh Clonorchis yang menyebabkan kanker pankreas dan

saluran empedu.

c. Helicobacter Pylori adalah suatu bakteri yang mungkin merupakan

penyebab kanker lambung, dan diduga bakteri ini menyebabkan

cedera dan peradangan lambung kronis sehingga terjadi peningkatan

kecepatan siklus sel.

6. Faktor perilaku

a. Perilaku yang dimaksud adalah merokok dan mengkonsumsi makanan

yang banyak mengandung lemak dan daging yang diawetkan juga

peminum minuman beralkohol.

b. Perilaku seksual yaitu melakukan hubungan intim diusia dini dan

sering berganti ganti pasangan.

7. Gangguan keseimbangan hormonal

Hormon estrogen berfungsi merangsang pertumbuhan sel yang cenderung

mendorong terjadinya kanker, sedangkan progesteron melindungi

terjadinya pertumbuhan sel yang berlebihan. - Ada kecenderungan bahwa

kelebihan hormon estrogen dan kekurangan progesteron menyebabkan

Page 80: Surveilans Epidemiologi

80meningkatnya risiko kanker payudara, kanker leher rahim, kanker rahim

dan kanker prostat dan buah zakar pada pria.

8. Faktor kejiwaan, emosional

Stres yang berat dapat menyebabkan ganggguan keseimbangan seluler

tubuh. Keadaan tegang yang terus menerus dapat mempengaruhi sel,

dimana sel jadi hiperaktif dan berubah sifat menjadi ganas sehingga

menyebabkan kanker.

9. Radikal bebas

Radikal bebas adalah suatu atom, gugus atom, atau molekul yang

mempunyai electron bebas yang tidak berpasangan dilingkaran luarnya.

Sumber - sumber radikal bebas yaitu :

a. Radikal bebas terbentuk sebagai produk sampingan dari proses

metabolisme.

b. Radikal bebas masuk ke dalam tubuh dalam bentuk racun-racun

kimiawi dari makanan , minuman, udara yang terpolusi, dan sinar

ultraviolet dari matahari.

c. Radikal bebas diproduksi secara berlebihan pada waktu kita makan

berlebihan (berdampak pada proses metabolisme) atau bila kita dalam

keadaan stress berlebihan, baik stress secara fisik, psikologis, maupun

biologis.

Surveilans Kanker

Surveilans Kanker memberikan potret kuantitatif kanker dan penentu dalam

populasi tertentu. Fungsi inti surveilans kanker adalah pengukuran kejadian

kanker, morbiditas, kelangsungan hidup, dan kematian bagi orang-orang dengan

kanker. Ini juga mencakup penilaian predisposisi genetik, faktor risiko lingkungan

dan perilaku, praktek skrining, dan kualitas perawatan dari pencegahan melalui

paliatif. Surveilans Kanker memberitahu kita di mana kita berada dalam upaya

untuk mengurangi beban kanker dan juga menghasilkan pengamatan yang

Page 81: Surveilans Epidemiologi

81membentuk dasar untuk penelitian kanker dan intervensi untuk pencegahan

kanker dan kontrol.

Kegiatan Pengendalian Kanker di Indonesia

Kanker merupakan salah satu penyakit penyebab kematian yang

mendapatkan perhatian serius dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Beberapa program pengendalian pun telah disusun dan diterapkan sejak lima

tahun yang lalu.

Program pengendalian kanker secara terorganisir sudah dilakukan sejak

sekitar lima tahun terakhir di Indonesia, sejalan dengan dibentuk dan aktifnya

Direktorat Pengedalian Penyakit Tidak Menular di DitJen P2PL.

Beban ekonomi pengobatan kanker tidak hanya berdampak terhadap sistem

kesehatan, tetapi juga untuk individu dan rumah tangga mereka yang terkena

kanker. Dampak ini akan dirasakan paling kuat di kelompok sosioekonomi

rendah, khususnya (meskipun tidak secara eksklusif) di negara-negara

berpenghasilan rendah dan menengah di mana jaring pengaman sosial, seperti

asuransi kesehatan universal kurang tersedia. Sebagai konsekuensinya, kanker

bisa menjadi penyebab utama kemiskinan.

Mengingat pasien kanker membutuhkan perawatan jangka panjang, maka

dibutuhkan tambahan beban ekonomi tersendiri bagi diri pasien dan keluarga.

Oleh karenanya, diperlukan upaya pengendalian dari adanya penyakit ini.

Berikut lima kegiatan pengendalian kanker yang telah disusun dan

dilaksanakan di Indonesia, yaitu:

1. Program promotif dan pencegahan

Penyebab utama kanker adalah penerapan gaya hidup yang tak sehat.

Maka, promotif dan pencegahan merupakan salah satu program penting

sebagai upaya pengendalian kanker. “Kementerian Kesehatan telah

memperkuat sosialisasi pengendalian kanker di berbagai daerah. Pedoman

pengendalian faktor risiko kanker telah disusun untuk petugas kesehatan,

kader, anak usia sekolah, dan masyarakat yang berisiko tinggi,” jelas

Tjandra.

Page 82: Surveilans Epidemiologi

82Program promotif dan pencegahan dilaksanakan Kementerian

Kesehatan bekerja sama dengan lintas program, lintas sektor, organisasi

pemerintah, swasta, dan masyarakat. Konten program promotif dan

pencegahan yang telah dilaksanakan meliputi Kampanye Nasional Program

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), dan advokasi kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok (KTR). “Upaya pengendalian merokok, peningkatan aktivitas

fisik, dan peningkatan konsumsi sayur buah telah terintegrasi dalam

program PHBS,” jelas Tjandra.

Selain kampanye PHBS, program lainnya adalah advokasi kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok (KTR). KTR telah dilakukan Kementerian

Kesehatan kepada Pemerintah Daerah. Setiap daerah diharapkan

mempunyai kebijakan KTR pada fasilitas pelayanan kesehatan, sekolah,

tempat bermain anak, dan tempat ibadah. “Pada saat ini, sebanyak 43

Kabupaten/Kota di 21 provinsi telah mempunyai peraturan penerapan KTR

di daerah masing-masing,” katanya.

2. Program Deteksi dan Tindak Lanjut Dini

Program deteksi dini dilaksanakan untuk beberapa kanker yang dapat

dideteksi secara dini, seperti kanker leher rahim, kanker payudara, kanker

kolorektal, kanker orofaring, dan retinoblastoma. Beberapa jenis kanker

yang telah diadakan program deteksi dini oleh pemerintah adalah kanker

payudara dan kanker leher rahim.

Deteksi dini dan skrining kanker leher rahim dilakukan dengan

metode Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) dan jika ditemukan IVA positif,

maka dilakukan krioterapi dengan metode kunjungan tunggal. Pertimbangan

menggunakan metode IVA didasarkan pada efisiensi, efektivitas, dan

fisibilitas dalam pelaksanaan skrining kanker leher rahim di seluruh pelosok

Tanah Air, yang umumnya belum terjangkau fasilitas pemeriksaan patologi

anatomi. Pada daerah perkotaan yang mempunyai atau dekat dengan

fasilitas pemeriksaan patologi anatomi, sebagian masyarakat melakukan

deteksi dini kanker leher rahim dengan pemeriksaan pap smear.

Page 83: Surveilans Epidemiologi

83Deteksi dini kanker payudara menggunakan metode pemeriksaan

klinis payudara oleh petugas terlatih/Clinical Breast Examination (CBE)

dan SADARI. Kegiatan ini dilaksanakan di puskesmas, praktik dokter, bidan

swasta, dan rumah sakit. Provider kegiatan ini adalah dokter umum dan

bidan. Mammografi digunakan untuk pemeriksaan lanjutan kanker payudara

pada fasilaitas kesehatan lebih tinggi (rumah sakit). “Program deteksi dan

tindak lanjut dini kanker payudara dan kanker leher rahim telah

dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan melalui kerja sama dengan

berbagai profesi dan pihak lainnya. Program deteksi dini kanker dapat

dikembangkan berdasarkan prevalensi kanker di masing-masing daerah dan

ketersediaan sumber daya,” lanjut Tjandra.

Program deteksi dini kanker telah dicanangkan oleh Ibu Negara

Indonesia sebagai program nasional pada 21 April 2008. Sampai 2011,

program telah dikembangkan di 310 Puskesmas pada 84 kabupaten/kota di

17 provinsi, yaitu provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera

Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Barat, DKI

Jakarta, Bali, Kaimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimanatan Selatan,

Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Lampung, dan Banten.

“Program deteksi dini kanker dapat dikembangkan berdasarkan prevalensi

kanker di masing-masing daerah dan ketersediaan sumber daya. Selain

deteksi dini, buku saku untuk masyarakat untuk dapat melakukan deteksi

dini sendiri pun dibagikan,” tutupnya.

Sebagai penyakit penyebab kematian, pemerintah menyusun beberapa

program pengendalian terhadap kanker. Terdapat lima program yang telah

diupayakan untuk dapat mengendalikan peningkatan pasien kanker. Risiko

kanker dapat terjadi sepanjang usia kehidupan, mulai janin dalam

kandungan hingga lanjut usia. Faktor risiko kanker dapat ditemukan di

mana-mana, baik disadari maupun tidak. Karena itu, sasaran pengendalian

faktor risiko kanker diterapkan untuk semua kelompok usia. Kementerian

Kesehatan telah memperkuat sosialisasi pengendalian kanker di berbagai

daerah. Pedoman pengendalian faktor risiko kanker telah disusun untuk

Page 84: Surveilans Epidemiologi

84petugas kesehatan, kader, anak usia sekolah, dan masyarakat yang berisiko

tinggi. Berikut lanjutan lima kegiatan pengendalian kanker yang telah

disusun dan dilaksanakan di Indonesia yang dipaparkan Prof dr Tjandra

Yoga Aditama, SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE, Direktur Jenderal

Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian

Kesehatan RI dalam rilis yang diterima Okezone.

3. Surveilans dan Registrasi Kanker

Surveilans dan registrasi kanker merupakan langkah penting lainnya

dalam program pengendalian kanker. “Registrasi kanker telah dimulai sejak

1970-an. Pertama kali, dilakukan survai frekuensi kanker di Semarang pada

1970. Kemudian dikembangkan registrasi kanker berbasis populasi di Kota

Semarang sampai 1989. Terdapat juga beberapa registrasi kanker berbasis

rumah sakit yang mempunyai sarana patologi anatomi,” tutur Tjandra. Lebih

lanjut, Tjandra menjelaskan, bahwa salah satu upaya dalam program

surveilans pada 2006, Yayasan Kanker Indonesia bekerja sama dengan

Ikatan Ahli Patologi Anatomi Indonesia mengembangkan registrasi kanker

berbasis data patologi anatomi yang didapat dari 13 RS di Indonesia yang

memiliki unit kanker.

Walaupun baru diterapkan di DKI Jakarta, Rumah Sakit Kanker

Dharmais telah mengembangkan Sistim Registrasi Kanker di Indonesia atau

disebut Srikandi. “Pada 2007 Kementerian Kesehatan berkolaborasi dengan

World health Organization (WHO) Indonesia mengembangkan suatu model

registrasi kanker, berbasis rumah sakit dan populasi di DKI Jakarta.

Untuk kepentingan validnya dan komprehensifnya data kanker,

kegiatan registrasi kanker berbasis rumah sakit dan populasi perlu

dilaksanakan secara berkesinambungan. Data tersebut akan menjadi sumber

informasi untuk mengembangkan dan mengevaluasi program pengendalian

kanker. Kegiatan tersebut perlu mendapatkan dukungan dari pihak-pihak

terkait,” paparnya.

4. Diagnosis dan Pengobatan

Page 85: Surveilans Epidemiologi

85Pada saat ini berbagai rumah sakit di Indonesia sudah mempunyai

kemampuan untuk diagnosis dan pengobatan berbagai jenis kanker.

“Diagnosis pasti kanker dengan pemeriksaan patologi anatomik dapat

dilakukan di banyak laboratorium di negara kita. Pembedahan kanker dan

pemberian kemoterapi juga sudah lama dilakukan di berbagai rumah sakit di

Indonesia,” jelasnya. Tjandra memaparkan bahwa saat ini Indonesia telah

mempunyai 21 pusat radiasi, dengan 16 LINAC, 17 telecobalt, dan 45

radiologis kanker yang tersebar di beberapa rumah sakit yang mempunyai

unit kanker. Kendati demikian, diakui Tjandra, bahwa peningkatan kualitas

dan kuantitas sumberdaya dan fasilitas diagnostik dan pengobatan masih

perlu ditingkatkan. “Tentu kita masih memerlukan lebih banyak lagi

kelengkapan fasilitas untuk diagnosis dan pengobatan kanker, serta sumber

daya manusia untuk menangani kanker di banyak rumah sakit, terutama di

luar pulau Jawa,” katanya.

5. Pelayanan Paliatif

Perawatan paliatif sangat diperlukan karena sebagian besar penderita

kanker yang berada pada stadium lanjut sulit disembuhkan, sehingga usaha

mengatasi gejala dan mencukupi kebutuhan penderita, serta keluarga dalam

fase terminal menjadi penting. “Pada saat akhir kehidupannya, penderitaan

terhadap rasa sakit, nyeri, atau hal-hal lainnya perlu segera dicarikan jalan

keluarnya. Kementerian Kesehatan telah mengembangkan pedoman

pelayanan paliatif di rumah sakit. Ikatan pelayanan paliatif yang

berkontribusi dalam pelayanan paliatif sudah dibentuk. Namun, pelayanan

paliatif untuk terus meningkatkan kegiatan maka diperlukan pengembangan

program pelayanan paliatif baik di rumah sakit maupun di masyarakat,”

tutup Tjandra.

Surveilans Mammograpic Meningkatkan Hasil Pasien Kanker Payudara

Surveilans adalah Pengamatan terus menerus dan dilaksanakan secara

sistematis terhadap penyakit atau masalah kesehatan serta faktor-faktor yang

mempengaruhinya agar dapat dilakukan tindakan perbaikan atau penelitian ,

Page 86: Surveilans Epidemiologi

86melalui kegiatan pengumpul-an, pengolahan dan analisis/interpretasi data,

desiminasi informasi dan komunikasi keberbagai pihak terkait. Manfaat surveilans

mengamati kecenderungan penyakit dan masalah kesehatan, memperkirakan besar

masalah penyakit dan masalah kesehatan Prediksi adanya KLB Mengamati

kemajuan Program Pencegahan/pemberantasan yang sedang dilaksanakan

Perencanaan.

Mammograpic adalah Mammografi adalah proses pemeriksaan payudara

manusia menggunakan sinar-X dosis rendah (umumnya berkisar 0,7 mSv).

Mammografi digunakan untuk melihat beberapa tipe tumor dan kista, dan telah

terbukti dapat mengurangi mortalitas akibat kanker payudara. Selain mammografi,

pemeriksaan payudara sendiri dan pemeriksaan oleh dokter secara teratur

merupakan cara yang efektif untuk menjaga kesehatan payudara.

Beberapa negara telah menyarankan mammografi rutin (1-5 tahun sekali)

bagi perempuan yang telah melewati paruh baya sebagai metode screening untuk

mendiagnosa kanker payudara sedini mungkin.

Penelitian baru yang dipublikasikan dalam Teknologi Kesehatan Penilaian

2011; vol. 15:34 telah menemukan bahwa pengawasan menggunakan mamografi

meningkatkan peluang kelangsungan hidup pasien kanker payudara. Penelitian ini

didanai oleh Institut Kesehatan Nasional Penelitian Kesehatan Teknologi

Penilaian (NIHR HTA) program. Sekitar 45.000 wanita didiagnosa menderita

kanker payudara di Inggris setiap tahun. Hasil yang membaik dan banyak wanita

tidak menderita kekambuhan. Untuk memastikan bahwa setiap kambuh terdeteksi

dini, perempuan diberikan rutin menindaklanjuti janji sampai tiga tahun.

Penelitian yang dipimpin oleh Profesor Fiona Gilbert dari University of Aberdeen,

bertujuan untuk menentukan metode yang paling efektif dan hemat biaya

pengobatan surveilans kanker payudara berikut, dalam hal frekuensi, keamanan

efektivitas, dan efisiensi. "Saat ini perdebatan seputar proses tindak lanjut dalam

hal frekuensi dan metode deteksi," komentar Profesor Gilbert. "Deteksi dini

kanker primer dan sekunder meningkatkan kemungkinan bertahan hidup, tetapi

frekuensi mammographic bahwa pengawasan harus digunakan tidak jelas. "Para

peneliti melakukan dua tinjauan sistematis dan disurvei ahli bedah payudara dan

Page 87: Surveilans Epidemiologi

87ahli radiologi untuk menentukan praktik saat ini dan perkiraan biaya-efektivitas.

Mereka juga model data pasien dari sejumlah sumber, termasuk Kanker West

Midlands Satuan Intelijen Registry Kanker Payudara.

Hasil survei menunjukkan bahwa sementara ada kesamaan, penggunaan

pengawasan mammographic berbeda dalam hal memulai, durasi frekuensi, dan

debit. Data dari tinjauan sistematis menunjukkan bahwa pengawasan

mammographic meningkatkan kemungkinan bertahan hidup dibandingkan untuk

mengikuti-up yang tidak termasuk ini dan MRI adalah cara yang paling akurat

untuk mendeteksi pertumbuhan baru. Namun, khasiat kombinasi mode surveilans

lain, seperti pemeriksaan klinis, tidak jelas. Data pasien menunjukkan bahwa

wanita yang memiliki tumor sekunder yang lebih kecil (kurang dari 10mm

diameter) memiliki kesempatan lebih tinggi untuk bertahan hidup.

Mammographic surveilans ditemukan untuk biaya-efektif bila diberikan

secara 12 bulan. Hal ini paling baik digunakan untuk perempuan yang lebih

mungkin untuk mengembangkan tumor sekunder atau primer, tetapi lebih biaya

efektif bila digunakan setiap tiga tahun untuk perempuan yang mungkin untuk

mengembangkan pertumbuhan yang lain. "Hasil penelitian kami menunjukkan

bahwa pengawasan mammographic adalah cara yang efektif dan biaya-efektif

untuk mendeteksi pertumbuhan baru," kata Profesor Gilbert. "Penelitian kami

memiliki potensi untuk mempengaruhi cara di mana tindak lanjut janji diatur di

masa depan."

Sebagai hasil dari pertanyaan yang diajukan oleh penelitian ini, program

HTA telah mengeluarkan panggilan untuk proposal pada rezim surveilans kanker

payudara dini.

Page 88: Surveilans Epidemiologi

88BAB VII

Surveilans Perinatal

OLEH ERIKA YUNI LUMBAN TOBING, MERTISIN LAOLI, WAHYUNI MEGAWATI,

DAN YAYANG BELYA OKTAVIANI

Definisi Perinatal

Perinatal atau parilahir merupakan periode yang muncul sekitar pada waktu

kelahiran (5 bulan sebelumnya dan satu bulan sesudahnya). Perinatal mempunyai

periode yang dinamakan periode perinatal. Periode perinatal didefinisikan sebagai

masa sejak janin mampu hidup di luar kandungan hingga akhir hari ke-7 setelah

kelahiran. Menentukan usia janin sebenarnya merupakan hal sulit karena hal

tersebut tergantung pada umur kehamilan dan fasilitas pelayanan khusus yang

tersedia. Oleh sebab itu, akan lebih mudah untuk menggunakan berat lahir dalam

menentukan usia janin. Di Negara maju, bayi dapat bertahan hidup sejak usia 22

minggu umur kehamilan (berat mencapai 500 gram) sedangkan di Negara

berkembang, bayi di harapkan untuk mampu bertahan hidup sejak usia kehamilan

28 minggu (dimana berat telah mencapai 1000 gram) (WHO,2001).

Kematian perinatal adalah kematian dalam masa kehamilan 28 minggu

sampai bayi lahir dan berusia 7 hari. Kematian perinatal ditentukan dengan

menghitung jumlah kematian masa perinatal tersebut di bagi dengan jumlah bayi

lahir hidup dan lahir mati. Sedangkan angka kematian perinatal adalah (AKP)

adalah jumlah kematian perinatal di kalikan 1000dan kemudian dibagi dengan

jumlah bayi lahir hidup dan lahir mati pada tahun yang sama. AKP = jumlah

kematian perinatal x 1000 jumlah lahir mati + jumlah lahir hidup. AKP perlu

diketahui karena dapat merefleksikan tingkat kesehatan ibu hamil dan bayinya

Page 89: Surveilans Epidemiologi

89serta standar pelayanan yang di berikan. Angka ini juga merupakan salah satu

indicator terbaik dari status social ekonomi masyarakat, daerah, dan Negara.

Wiknjosastro (2005) menyatakan bahwa untuk dapat memahami kematian

perinatal maka ada definisi-definisi yang lazim dipakai seperti kelahiran hidup,

kematian janin, kelahiran mati, kematian perinatal dini, dan kematian perinatal.

A. Kelahiran hidup (live birth) adalah keluarnya hasil konsepsi secara

sempurna dari ibunya tanpa memandang lamanya kehamilan dan sudah

terpisah dari ibunya bernafas atau menunjukan tanda-tanda kehidupan

seperti denyutan tali pusat atau pergerakkan otot, tidak peduli apakah tali

pusat telah dipotong atau belum.

B. Kematian janin (foetal death) adalah kematian hasil konsepsi sebelum

dikeluarkan dengan sempurna dari ibunya tanpa memandang tuanya

kehamilan. Kematian dinilai dengan fakta bahwa sedudah di pisahkan dari

ibunya janin tidak bernafas atau menunjukkan tanda-tanda kehidupan

seperti denyut jantung, kontraksi otot, dll.

C. Kelahiran mati (stillbirth) adalah kelahiran hasil konsepsi dalam keadaan

mati yang telah mencapai umur kehamilan 28 minggu (atau berat badan

lahir lebih atau sama dengan 1000 gram).

Kematian perinatal dini (early neonatal death) adalah kematian bayi dalam

7 hari pertama kehidupannya. Sedangkan kematian perinatal (perinatal mortality)

adalah bayi lahir mati dan kematian bayi dalam 7 hari pertama sesudah lahir.

Penyebab Kematian Perinatal

Masalah kematian ibu dan bayi di Indonesia yang masih tinggi merupakan

fokus utama pemecahan masalah kesehatan di Indonesia. Mortalitas dan

morbiditas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di negara

berkembang. Menurut SDKI (2003) terdata 307 per 100.000 kelahiran hidup dan

angka kematian perinatal adalah 35 per 1000 kelahiran hidup. Angka Kematian

Ibu (AKI) tahun 2005 mencapai 262/100000 kelahiran hidup, tahun 2006

mencapai 255/100000 kelahiran hidup dan tahun 2007 mencapai 248/100000

kelahiran hidup (SDKI 2006/2007).

Page 90: Surveilans Epidemiologi

90Ini berarti kemampuan untuk memberikan pelayanan kesehatan masih

memerlukan perbaikan kesehatan yang bersifat menyeluruh dan lebih bermutu.

Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan

indikator penting untuk menilai tingkat kesejahteraan suatu negara dan status

kesehatan masyarakat. Angka kematian bayi sebagian besar adalah kematian

neonatal yang berkaitan dengan status kesehatan ibu saat hamil, pengetahuan ibu

dan keluarga terhadap pentingnya pemeriksaan kehamilan dan peranan tenaga

kesehatan serta ketersediaan fasilitas kesehatan.

Kematian Ibu

Kematian pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di negara

berkembang. Di negara berkembang sekitar 25 – 50% kematian terjadi pada

wanita usia subur. Kematian saat melahirkan biasanya menjadi faktor utama

kematian wanita muda pada masa puncak produktivitasnya. Angka kematian ibu

merupakan tolok ukur untuk menilai keadaan pelayanan obstetri disuatu negara.

Bila AKI masih tinggi berarti sistim pelayanan obstetri masih buruk, sehingga

memerlukan perbaikan.

Kematian ibu adalah kematian seorang wanita yang terjadi saat hamil,

bersalin dan masa nifas (dalam 42 hari) setelah persalinan. Jumlah kematian ibu

melahirkan di Indonesia mencapai angka yang spektakuler yaitu 307 per 100.000

kelahiran dari rata – rata kelahiran sekitar 3-4 juta setiap tahun.

Angka yang dihimpun dari Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia

(SDKI) tahun 2003 menunjukkan sekitar 15.000 ibu meninggal karena melahirkan

setiap tahun atau 1.279 setiap bulan atau 172 setiap pekan atau 43 orang setiap

hari atau hampir 2 orang ibu meninggal setiap jam.

Berdasarkan penyebabnya Kematian ibu bisa dibedakan menjadi langsung dan

tidak langsung.

1. Penyebab Langsung.

a. Perdarahan (42%).

b. Keracunan kehamilan/eklamsi (13%).

c. Keguguran/abortus (11%).

Page 91: Surveilans Epidemiologi

91d. Infeksi (10%).

e. Partus lama/persalinan macet (9%).

f. Penyebab lain (15%).

2. Penyebab tidak langsung

a. Pendidikan ibu-ibu terutama yang ada di pedesaan masih rendah.

Masih banyaknya ibu yang beranggapan bahwa kehamilan dan

persalinan merupakan sesuatu yang alami yang berarti tidak

memerlukan pemeriksaan dan perawatan, serta tanpa mereka sadari

bahwa ibu hamil termasuk kelompok risiko tinggi. Ibu hamil memiliki

risiko 50 % dapat melahirkan dengan selamat dan 50 % dapat

mengakibatkan kematian.

b. Sosial ekonomi dan sosial budaya Indonesia yang mengutamakan

bapak dibandingkan ibu, sebagai contoh dalam hal makanan, sang

bapak didahulukan untuk mendapat makanan yang bergizi sedangkan

bagian yang tertinggal diberikan kepada ibu, sehingga angka anemia

pada ibu hamil cukup tinggi mencapai 40 %.

c. “4 terlalu “dalam melahirkan, yaitu terlalu muda, terlalu tua, terlalu

sering dan terlalu banyak.

d. “3 terlambat”, yaitu terlambat mengambil keputusan, terlambat untuk

dikirim ke tempat pelayanan kesehatan dan terlambat mendapatkan

pelayanan kesehatan.

Selain itu 60 – 70% ibu yang melahirkan masih ditolong oleh dukun

tradisionil. Tiga terlambat ini juga sangat dipengaruhi oleh dana dari keluarga ibu

bersalin, walaupun cepat dirujuk, tetapi oleh karena tidak tersedianya uang maka,

niat merujuk dibatalkan sendiri oleh keluarganya. Dana yang diperlukan tidak saja

untuk transportasi dan biaya perawatan di puskesmas atau RS, tetapi diperlukan

juga untuk keluarga yang mengantar, sehingga jumlah dana yang dibutuhkan

cukup besar. Dana sehat yang diperoleh dari masyarakat dan pemerintah masih

sangat terbatas (20%), sehingga faktor dana ini masih merupakan kendala yang

memerlukan perhatian yang serius.

Page 92: Surveilans Epidemiologi

92Kematian Bayi

Kematian bayi adalah kematian yang terjadi saat setelah bayi lahir sampai

bayi belum berusia tepat 1 tahun. Angka Kematian Bayi (AKB) 35 per 1.000

kelahiran hidup. Penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) dan angka kematian

balita (Akba) pada kurun waktu yang sama cukup tajam, yaitu AKB dari 51 per

1.000 menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup, dan Akba 82,6 per 1.000 menjadi 46

per 1.000 kelahiran hidup pada kurun waktu yang sama. Angka kematian bayi

baru lahir (neonatal) penurunannya lambat, yaitu 28,2 per 1.000 menjadi 20 per

1.000 kelahiran hidup.

Target nasional 2010 Angka Kematian Bayi adalah 40/1.000 sedangkan

target nasional 2010 Angka Kematian Balita adalah 58/1.000. Penyebab Kematian

Bayi meliputi asfiksi, infeksi, hipotermi, BBLR, trauma persalinan, penyebab lain

pemberian makan secara dini, pengetahuan yang kurang tentang perawatan bayi,

tradisi (masyarakat tidak percaya pada tenaga kesehatan), serta sistem rujukan

yang kurang efektif.

Surveillans Perinatal

Kegiatan Pengendalian Perinatal di Indonesia

1. Pengendalian Angka Kematian Ibu

Pendekatan yang dikembangkan untuk menurunkan angka kematian

ibu yang disebut MPS atau Making Pregnancy Safer. Tiga pesan kunci

dalam MPS yang perlu diperhatikan adalah :

a. Setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan yang terlatih.

b. Setiap komplikasi obstetric dan neonatal mendapat pelayanan yang

adekuat (memadai).

c. Setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan

kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi

keguguran.

Page 93: Surveilans Epidemiologi

93Sedangkan strategi dalam menurunkan AKI adalah Peningkatan

cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir yang cost

efektif dan didukung oleh:

a. Kerjasama lintas program dan lintas sektor terkait, mitra lain,

pemerintah dan swasta.

b. Pemberdayaan perempuan dan keluarga.

c. Pemberdayaan masyarakat.

Kegiatan yang dilakukan dalam menurunkan AKI yaitu :

a. Peningkatan kualitas dan cakupan pelayanan, melalui:

1) Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan antara lain berupa

penyediaan tenaga bidan di desa, kesinambungan keberadaan

bidan desa, penyediaan fasilitas pertolongan persalinan pada

polindes/pustu dan puskesmas, kemitraan bidan dan dukun bayi,

serta berbagai pelatihan bagi petugas.

2) Penyediaan pelayanan kegawatdaruratan yang berkualitas dan

sesuai standar, antara lain bidan desa di polindes/pustu,

puskesmas PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency

Dasar), Rumah sakit PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatal

Emergency Kualitas) 24 jam.

3) Mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan dan

penanganan komplikasi keguguran, antara lain dalam bentuk

KIE untuk mencegah terjadinya 4 terlalu, pelayanan KB

berkualitas pasca persalinan dan pasca keguguran, pelayanan

asuhan pasca keguguran, meningkatkan partisipasi aktif pria.

4) Pemantapan kerjasama lintas program dan sektor, antara lain

dengan jalan menjalin kemitraan dengan pemda, organisasi

profesi (IDI, POGI, IDAI, IBI, PPNI), Perinasia, PMI, LSM dan

berbagai swasta.

5) Peningkatan partisipasi perempuan, keluarga dan masyarakat,

antara lain dalam bentuk meningkatkan pengetahuan tentang

tanda bahaya, pencegahan terlambat 1 dan 2, serta menyediakan

Page 94: Surveilans Epidemiologi

94buku KIA. Kesiapan keluarga dan masyarakat dalam

menghadapi persalinan dan kegawatdaruratan (dana,

transportasi, donor darah), jaga selama hamil, cegah 4 terlalu,

penyediaan dan pemanfaatan yankes ibu dan bayi, partisipasi

dalam jaga mutu pelayanan.

b. Peningkatan kapasitas manajemen pengelola program, melalui

peningkatan kemampuan pengelola program agar mampu

melaksanakan, merencanakan dan mengevaluasi kegiatan (P1 – P2 –

P3) sesuai kondisi daerah.

Sosialisasi dan advokasi, melalui penyusunan hasil informasi cakupan

program dan data informasi tentang masalah yang dihadapi daerah sebagai

substansi untuk sosialisasi dan advokasi. Kepada para penentu kebijakan

agar lebih berpihak kepada kepentingan ibu dan anak.

2. Pengendalian Angka Kematian Bayi

Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah kematian bayi yaitu :

a. Peningkatan kegiatan imunisasi pada bayi.

b. Peningkatan ASI eksklusif, status gizi, deteksi dini dan pemantauan

tumbuh kembang.

c. Pencegahan dan pengobatan penyakit infeksi.

d. Program Manajemen Tumbuh kembang Balita sakit dan Manajemen

Tumbuh kembang Balita Muda.

e. Pertolongan persalinan dan penatalaksanaan Bayi Baru lahir dengan

tepat.

f. Diharapkan keluarga memiliki pengetahuan, pemahaman, dan

perawatan pasca persalinan sesuai standar kesehatan.

g. Menerapkan program ASUH (Awal Sehat Untuk Hidup Sehat) yang

memfokuskan kegiatan pada keselamatan dan kesehatan bayi baru

lahir (1-7 hari).

h. Keberadaan Bidan Desa.

i. Perawatan neonatal dasar meliputi perawatan tali pusat, pencegahan

hipotermi dengan metode kanguru, menyusui dini, usaha bernafas

Page 95: Surveilans Epidemiologi

95spontan, pencegahan infeksi, penanganan neonatal sakit, audit

kematian neonatal.

j. Mengintensifkan kegiatan kunjungan rumah 7 hari pertama pasca

persalinan berisi pelayanan dan konseling perawatan bayi dan ibu

nifas yang bermutu.

Partisipasi masyarakat dalam mencegah kematian bayi yaitu dengan :

a. Menyebarluaskan pengetahuan tentang pentingnya 7 hari pertama

pasca persalinan bagi kehidupan bayi selanjutnya.

b. Meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kunjungan rumah 7 hari

pertama pasca persalinan oleh Bidan di Desa.

c. Mencatat dan melaporkan adanya ibu hamil, ibu melahirkan, dan bayi

meninggal pada bidan di Desa, agar diperoleh masukan untuk

merencanakan tindakan/ kunjungan dan memecahkan sekaligus

mengantisipasi masalah kematian bayi.

d. Mendukung dan mempertahankan keberadaan bidan di desa.

Surveilans dan Sumber Informasi Kematian Ibu

Surveilans kematian ibu selain merupakan sebuah komponen sistem

informasi kesehatan, juga merupakan suatu proses yang berlangsung terus

menerus secara berkesinambungan untuk mengidentifikasi kematian ibu terkait

kehamilan, mengkaji faktor-faktor penyebab kematian, mengumpulkan,

menganalisis dan menginterpretasikan data, melaporkan temuan dan membuat

rekomendasi tindakan berdasarkan informasi yang diperoleh dengan tujuan untuk

pengendalian dan mencegah kejadian kasus kematian berulang dimasa mendatang.

Dalam pelaksanaannya, surveilans kematian melakukan empat tahapan

proses kegiatan, antara lain : (a) identifikasi kasus kematian terkait kehamilan. (b)

investigasi terhadap penyebab kematian baik medis dan non medis. (c) analisis

data. (d) tindakan (diseminasi rekomendasi, intervensi dan evaluasi). setiap

kematian ibu harus diselidiki. Penyelidikan memberikan informasi tentang

permasalahan yang memicu kematian dan memberi petunjuk intervensi untuk

mencegah kematian semacam itu di masa mendatang. Ketika kematian wanita usia

Page 96: Surveilans Epidemiologi

96reproduksi ditemukan dan dipastikan berhubungan dengan kehamilan, investigasi

kematian ibu harus dilakukan seperti berikut:

1. Penyebab medis kematian, investigasi harus menentukan penyebab medis

atau pathophysiologis kematian sespesifik mungkin dan

menggolongkannya sebagai kematian obstetric langsung atau tidak

langsung. Mekanisme penentuan penyebab medis kematian dipengaruhi

apakah wanita itu dirawat di rumah sakit atau tidak.

2. Penyebab non-medis kematian, penyebab kematian non-medis lebih

penting dalam menentukan apakah seorang wanita hidup atau meninggal

daripada kondisi medisnya sendiri. Sehingga, penyelidikan perlu

dilakukan untuk mengurangi kematian ibu, seperti keterlambatan

penemuan masalah dan pengambilan keputusan, dan akses terhadap

pelayanan rujukan dan Logistik.

Menurut Berg, dkk (1998) sumber informasi kasus kematian ibu dapat diperoleh

dari empat sumber antara lain :

1. Akte kematian adalah catatan vital berfungsi sebagai landasan surveilans

epidemiologi kematian ibu. Secara teoritis, temuan kematian ibu

seharusnya mudah jika setiap kematian didaftarkan dan memiliki sebab

kematian yang akurat tercantum dalam akta kematian.

2. Pencatatan RS adalah kematian ibu yang terjadi di RS biasanya lebih

mudah diidentifikasi. Umumnya, catatan rumah sakit berisi informasi

berharga mengenai faktor-faktor penyebab kematian. Cara rumah sakit

menemukan dan melaporkan kematian ibu tergantung pada ukuran

pelayanan persalinan, apakah catatan medis pasien dan catatan

kematiannya disimpan secara manual atau dalam computer.

3. Identifikasi kematian masyarakat adalah Kematian ibu yang terjadi di luar

rumah sakit adalah hal yang paling sulit untuk diidentifikasi dan

memerlukan pendekatan yang kreatif saat dilakukan surveilans. Namun

demikian, penting dilakukan untuk mengidentifikasi kematian itu dan

menyelidikinya, khususnya di wilayah dimana persalinan dilakukan di

rumah.

Page 97: Surveilans Epidemiologi

974. Sistem Surveilans Formal adalah kematian wanita usia reproduksi atau

kematian karena kehamilan dan komplikasinya terdapat pada daftar

penyakit yang bisa dicatat dalam akte kematian (pencatatan sipil) yang

harus dilaporkan kepada sistem surveilans yang dilakukan pemerintah.

Jika sistem itu berfungsi sebagaimana yang direncanakan, sistem ini bisa

mengatasi kelemahan yang berkaitan dengan metode identifikasi kematian.

Data hasil surveilans kematian ibu dapat dianalisa dan dimanfaatkan untuk

kepentingan program. Data dalam bentuk jumlah kematian dan informasi dari

investigasi, dapat dianalisa baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Analisis secara kuantitatif, dilakukan dengan mengkaji kasus berdasarkan

karakteristik dasar kaidah pendekatan epidemiologi, seperti faktor orang, tempat

dan faktor waktu.  Pada faktor ORANG antara lain meliputi aspek usia, suku,

status pendidikan, status sosial ekonomi, faktor TEMPAT seperti aspek tempat

tinggal, tempat persalinan, kematian; faktor  WAKTU seperti tahun, musim, hari,

jam, dan lainnya. Analisa data dilakukan dengan melakukan perbandingan dan

mengkaji faktor-faktor yang terkait dengan kematian ibu meliputi: a) menilai

kecenderungan kematian ibu sepanjang waktu di wilayah tertentu b)

membandingkan resiko kematian ibu diantara wilayah yang berbeda c)

membandingkan data diantara kelompok populasi berbeda, yang ditentukan oleh

karakteristik seperti usia, suku, tempat tinggal, dan lain-lain.

Pada analisis data surveilans kematian ibu, setiap kasus harus dinilai satu

per satu untuk menentukan faktor-faktor medis dan non medis yang menyebabkan

kematian, khususnya faktor-faktor yang bisa dicegah. kemudian dapat

dikelompokkan untuk menemukan pola atau faktor yang sama. Hal ini bisa

dilakukakan secara kuantitatif (misal, menentukan apakah kelompok tertentu

adalah wanita yang mungkin meninggal) dan secara kualitatif (misal, menentukan

skenario mana yang menyebabkan kematian).

Selain itu, salah satu tujuan utama surveilans adalah pemanfaatan informasi

yang terkumpul untuk merencanakan, menerapkan dan mengevaluasi strategi-

strategi intervensi untuk meningkatkan kesehatan ibu dan mengurangi kematian

dan kesakitan ibu. Data surveilans membantu mengidentifikasi dan

Page 98: Surveilans Epidemiologi

98memprioritaskan permasalahan di semua tingkat sistem pelayanan kesehatan.

Informasi ini dapat digunakan untuk mengembangkan intervensi-intervensi dalam

meningkatkan kesehatan ibu dan menurunkan angka kematian dan kesakitan ibu.

Dengan pemanfaatan informasi, tenaga kesehatan dapat memprioritaskan faktor-

faktor yang paling berpengaruh terhadap kematian ibu dan yang berpotensi dapat

dicegah.

Untuk kepentingan pengolahan data diatas, penting untuk memastikan

didapatkannya data kematian ibu ini. Data ini antara lain diperoleh dari data

Pelaporan Kematian Ibu. Menurut Depkes (1996) sistem pencatatan dan pelaporan

kematian ibu menggunakan beberapa instrument berikut  :

a) Register kohort ibu (RKI).Register ini digunakan untuk mencatat seluruh

ibu hamil di wilayah kerja bidan di desa. Data ibu hamil ini kemudian

dimasukkan ke dalam RKI, dengan mencantumkan nama ibu dan

suaminya, alamat dan umur ibu. Dengan RKI, memungkinkan

terpantaunya kejadian komplikasi obstetri yang menjadi penyebab

kematian ibu pada masa hamil/ bersalin/ nifas.

b) Otopsi verbal kematian ibu (OM). Kuesioner ini digunakan oleh bidan

untuk menelusuri penyebab kematian ibu yang terjadi di masyarakat dan

faktor-faktor yang melatarbelakangi kematiannya. Bidan di desa yang

telah memantau ibu sejak hamil secara kohort sampai melewati masa nifas

dengan menggunakan RKI diharapkan akan mengetahui setiap kejadian

kematian ibu yang terjadi di wilayahnya. Setiap kematian ibu ini perlu

ditelusuri penyebab dan faktor yang melatarbelakanginya, dengan

menggunakan kuesioner otopsi verbal kematian ibu.

Sedangkan menurut Depkes (2002) bahwa pencatatan dan pelaporan kasus

kematian ibu, meliputi tahap pencatatan dan tahap pelaporan:. Pada tahap

pencatatan, dilakukan pada tingkat Puskesmas maupun tingkat Rumah Sakit. Pada

tingkat Puskesmas, dilakukan dengan menggunakan Form R (Formulir Rujukan

Maternal dan Perinatal). Formulir ini dipakai oleh puskesmas, bidan di desa

maupun swasta, untuk merujuk kasus ibu maupun perinatal. Juga dengan Form

Page 99: Surveilans Epidemiologi

99OM (Formulir Otopsi Verbal Maternal) : digunakan untuk otopsi verbal ibu

hamil/ bersalin/ nifas yang meninggal.

Sedangkan pada tingkat Rumah Sakit, menggunakan Form MP (Formulir

Maternal dan Perinatal), untuk mencatat data dasar semua ibu bersalin/ nifas/ dan

perinatal yang masuk ke Rumah Sakit. Pengisian dapat dilakukan oleh bidan dan

perawat. Juga dengan Form MA (Formulir Medical Audit), untuk menulis hasil/

kesimpulan dari audit maternal maupun audit perinatal, yang diisi oleh dokter

yang bertugas di Bagian Kebidanan dan Kandungan (kasus ibu) atau Bagian Anak

(kasus perinatal).

Pada tahap pelaporan, dilakukan secara berjenjang, yaitu :

1. Laporan dari RS Kabupaten/Kota ke Dinkes (Lap RS). Laporan bulanan

ini berisi informasi mengenai kesakitan dan kematian serta sebab kematian

ibu dan bayi baru lahir Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan serta

Bagian Anak.

2. Laporan dari Puskesmas ke Dinkes Kabupaten/ Kota (Lap Pusk). Laporan

bulanan ini berisi informasi yang sama diatas, dan jumlah kasus yang

dirujuk ke RS kab./ kota.

Laporan dari Dinkes Kabupaten/Kota ke Dinkes Propinsi. Laporan triwulan ini berisis informasi mengenai kasus ibu dan perinatal yang ditangani oleh RS Kab/ Kota, Puskesmas, dan unit pelayanan KIA lainya (bila ada), serta tingkat kematian dari tiap jenis komplikasi.

Page 100: Surveilans Epidemiologi

100BAB VIII

Surveilans of Occupational Health

OLEH CHRYSIANE FLORENSIA SILETTY, HARI PRANINDYO, HARTANTI, DAN RIA AZHARIAH

Ruang Lingkup Surveilans K3

Secara garis besar ruang lingkup surveilans K3 terbagi dua, yaitu :

1. Surveilans Efek Kesehatan dan Keselamatan

Pengumpulan, analisis & diseminasi/komunikasi data kesehatan (data

penyakit) dan data keselamatan (data kecelakaan) spesifik untuk populasi

pekerja berisiko dengan cara sitematik dan berksinabungan yang dapat

digunakan bagi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program K3 di dunia

usaha dan dunia kerja

2. Surveilans Hazard Kesehatan dan Keselamatan

Identifikasi hazard, pengukuran pajanan, analisis dan diseminasi atau

komunikasi hazard kesehatan dan keselamatan yang spesifik bagi populasi

pekerja berisiko dengan cara sistematik dan berkesinambungan digunakan

bagi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program K3 di dunia usaha dan

dunia kerja

Metode Surveilans K3

Dalam rangka pemantauan hazard dan risiko yang ada di tempat kerja, maka

hal penting yang harus dilakukan adalah melakukan Surveilans Keselamatan dan

Kesehatan Kerja. Surveilans K3 terdiri dari strategi-strategi dan metode untuk

mendeteksi dan menilai secara sistematis dampak dari suatu pekerjaan terhadap

kesehatan dan keselamatan pekerja. Dengan surveilans maka dilakukanlah

pengumpulan, analisis, interpretasi data, dan penyebaran informasi agar dapat

Page 101: Surveilans Epidemiologi

101diambil tindakan segera yang diyakini dapat mencegah pekerja dari penyakit dan

kecelakaan.

Step awal dalam kegiatan ini adalah dengan melakukan rekognisi faktor

risiko, kemudian melakukan analisis, dan komunikasi yang nantinya diharapkan

dapat dikembangkannya sistem pengumpulan, analisis dan diseminasi serta

komunikasi data kesehatan dan keselamatan di tempat kerja

Kegiatan Program meliputi rekognisi, analisis data kesehatan seluruh

pekerja berisiko, dan komunikasi pada seluruh pihak yang berkepentingan.

Metode yang digunakan untuk pelaksanaan Program Occupational Health

surveilans adalah dengan melakukan identifikasi faktor risiko di tempat kerja dan

identifikasi pekerja di populasi yang berisiko, yaitu:

1. Data Faktor Risiko Lingkungan Kerja

2. Data Pemantauan Higiene Industri

3. Data Pemantauan Ergonomi

4. Data Pemantauan Stres Kerja

5. Data Pemeriksaan Kesehatan Sebelum Bekerja, Berkala, Khusus, Return to

Work, PHK/Pensiun

6. Analisis & Komunikasi Trend Faktor Risiko & Status Kesehatan, Hubungan

Antara Faktor Risiko & Efek Kesehatan

Objek Surveilans Kesehatan Kerja adalah sebagai berikut;

1. Pekerja

2. Lingkungan kerja

3. Pekerjaan

Pengukuran Pajanan pada Pekerja:

1. Noise dosimeter

2. Personal dust sampler

3. Pengukuran dengan Spirometer

4. Pengukuran logam berat di urine & darah

Pengukuran Pajanan pada Lingkungan Kerja:

1. Kebisingan di lingkungan kerja

2. Debu di lingkungan kerja

Page 102: Surveilans Epidemiologi

1023. Temperatur di lingkungan kerja`

4. Logam berat di lingkungan kerja

Berdasarkan pekerjaan, tergantung lama pajanan orang pada pekerjaan

tersebut, dijelaskan dalam bentuk hitungan atau fungsi dari pajanan dan tahun,

yaitu:

“Pajanan X Tahun = Person–Years”

Adapun pengukuran Pajanan juga ada dua macam, yakni:

1. Pajanan  sesaat

2. Pajanan kumulatif

Pajanan rata-rata berdasarkan:

1. Sampel area

2. Sampel individu (toksikan), misalnya:

a. azide iodide pada urine karena karbondisulfida

b. asam t-t mukonat dalam urine karena benzene

Persyaratan dan Teknik Pelaksanaan

Persyaratan untuk Mengadakan Surveilans K3 di Tempat Kerja adalah sebagai

berikut:

1. Ada penyakit maupun cedera yang dapat diidentifikasi atau adanya

dampak negatif pada pekerja lain yang dinilai dapat merugikan

2. Efek penyakit dan/atau cedera  tersebut terkait dengan eksposur/pajanan di

tempat kerjanya.

3. Ada kemungkinan atau probability bahwa efek penyakit dan/atau cedera

tersebut berpotensi dapat terjadi

4. Ada beberapa teknik yang berlaku untuk mendeteksi indikasi dari efek

penyakit dan/atau cedera tersebut.

Teknik Surveilans kesehatan harus:

1. Sensitif

2. Spesifik

3. Mudah untuk dilakukan dan diinterpretasikan

Page 103: Surveilans Epidemiologi

1034. Aman

5. Non-invasif

6. Dapat diterima.

Manfaat sumber data yang tersedia untuk keperluan aksi. Data yang

tersedia atau didapat, digunakan untuk mengatasi masalah K3 berdasarkan

evidence, dengan menyusun upaya promotif, prevetif, kebijakan, perencanaan

program antara lain seperti berikut.

1. Mengolah data sebagai alat/metode guna pemantauan penyakit atau

masalah K3 di wilayah setempat

2. Memantau kemajuan pelayanan K3 dan cakupan indikator K3 secara

teratur (bulanan) dan terus menerus.

3. Menilai kesenjangan pelayanan K3 terhadap standar pelayanan K3.

4. Menilai kesenjangan pencapaian cakupan indikator K3 terhadap target

yang ditetapkan, antara lain seperti berikut:

a. Konsentrasi debu, pelarut organik, pestisida, uap logam atau bahan

kimia lainnya di udara lingkuan kerja dibandingkan dengan nilai

ambang batas yang diperkenankan

b. Tingkat pajanan bising, panas, atau getaran pada individu

kelompok pekerja berisiko dibandingkan dengan nilai ambang

batas yang diperkenankan.

c. Hasil pantauan biomarker timah hitam, benzene, aseton, inhibitor

kolinesterase  atau bahan kimia lainnya dalam spesimen cairan

tubuh pekerja dibandingkan dengan indeks pajanan biologik

d. Tingkat kekerapan dan tingkat keparahan absenteisme yang

terekam dibandingkan dengan standar atau target yang ditetapkan

e. Tingkat kekerapan dan tingkat keparahan kecelakaan yang terekan

dibandingkan dengan stanar atau target yang ditetapkan

5. Menilai Prevalens dan insiden penyakit spesifik yang diduga berkaitan

dengan pajanan hazard di tempat kerja

Page 104: Surveilans Epidemiologi

1046. Menentukan sasaran individu, kelompok kerja, jenis pekerjaan dan

wilayah prioritas yang akan ditangani secara intensif berdasarkan besarnya

kesenjangan.

Menilai keberhasilan pencapaian target, mengevaluasi dan menyusun strategi

perbaikan secara terus menerus.

Persiapan Pelaksanaan Surveillans Kesehatan Kerja

1. Penilaian risiko kesehatan atau HRA yang dilakukan berdasarkan hazard

yang teridentifikasi oleh tim HI. Apabila belum ada, proses identifikasi

hazard dan penilaian risiko serta HRA dilakukan oleh tim multidisiplin

yang anggotanya terdiri dari wakil pimpinan dan pelaksana dari unit kerja

terkait bagian kesehatan, keselamatan, HI ataupun lingkungan dan

ergonomis.

2. Perencanaan program

Setelah mendapatkan HRA, penaggungjawab surveilans Kesja yang adalah

Dokter Kesehatan kerja Dan HI yang akan menyusun program awalan

hingga menetapkan pekerja yang berisiko, penetapan jenis hazard dan efek

kesehatan.

3. Penetapan pekerja yang beresiko

4. Penetapan jenis Hazard dan efek kesehatan yang dipantau.

Tabel 1 Cara penyajian data mengenai jenis Hazard yang dipantau.

AktivitasHazard

Teridentifikasi

Hazard yang

dipantau

Antisipasi efek

kesehatan

Survei dan

pembukaan

hutan

Racun flora

fauna

Debu dari

kerak bumi

Vibrasi

kendaraan

Bising

kendaraan

Racun flora

Debu

Vibrasi

Bising

Postur

Janggal

Iritasi kulit

Pneumokoniosis

Gangguan syaraf

tepi

Penurunan

pendengaran

CTD

Page 105: Surveilans Epidemiologi

105Ergonomik

Pengupasa

n kerak

bumi

Debu

Vibrasi

Bising

Postur

janggal

Pneumokoniosis

Gangguan syaraf

tepi

Penurunan

pendengaran

CTD

5. Penetapan Jenis pemeriksaan kesehatan

Tabel 2 Contoh Jenis pemeriksaan kesehatan berdasarkan hazard spesifik

Hazard Jenis pemeriksaan

Bising Audiometri, kuesioner

Debu Spirometri. Foto toraks dan kuesioner

Ultra Violet Mata dan kuit

Virus Hepatitis

B

HBsAg, HBcAg, SGOT dan SGPT

Pelarut organik Nerologic, iritasi mata dan saluran pernafasan,

fungsi ginjal dan hati, spirometri, dan pemantauan

biologic

 Tabel 3 Contoh Jenis pemeriksaan kesehatan berdasarkan hazard spesifik

Jabatan Jenis pemeriksaan

Pengguna

respirator

Fungsi paru

Off shore Audiogram, Fungsi paru, drugs dan alcohol

Supir Visus, audiogram, drugs dan alcohol

Welders Urinalisis dan Biomonitoring

Fire fighter Audiogram dan fungsi paru

6. Komunikasi untuk mendapatkan dukungan dan komitmen

Melibatkan seluruh pemangku kepentingan khusunya pemimpin tertinggi

dan pekerja. Sebelum penyusunan proposal program, hendaknya dilakukan

komunikasi berjenjang.

7. Pembentukan tim surveilans

Page 106: Surveilans Epidemiologi

106Profesi utama yang bertanggungjawab dalah doketr, perawat kesja, HI dan

ergonomis. Dan membutuhkan keterlibatan manajer SDM untuk

menentukan penempatan SDM. Supervisor untuk mengawas hazard dan

pekerja serta memastikan pekerja terlibat aktif dalam surveilans kesehatan

kerja.

8. Hasil pemeriksaan kesehatan dan informed concern.

Tahapan Pelaksanaan Surveillans Kesehatan Kerja:

1) Tahap pengumpulan data

a. Data Faktor Risiko

Dikumpulkan dengan survey jalan selintas, interview, chemical

inventory, tinjauan dokumen seperti safet data sheet.

b. Data gangguan kesehatan

Dikumpulkan dengan survey jalan selintas, notulen rapat P2K3

dan data pemeriksaan kesehatan pekerja.

c. Data pemantauan biologic

Biasanya data ini didapat dari HI atau pengukuran dengan

melibatkan Laboratorium Provider. Sedangkan Informasi

penanda kimia didapat dari ACGIH dan NIOSH

2) Tahap analisis data dan surveilans PAK

Dilakukan analisis trend dan interaksi pajanan, hasil pemantaun

biologic dan efek kesehatan yang ditimbulkan, baik perorangan

maupun kelompok.

Analisis hasil surveilans hazard adalah membandingkan dengan

nilai ambang batas.

Analisis hasil surveilans efek kesehatan akan didapat apa,

siapa, di mana, bilamana  gangguan kesehatan terjadi sehingga

didapat data distribusi frekuensi penyakit berdasarkan beberapa

factor risiko.

Surveilans hazard kesehatan di lingkungan dapat menjawab

intensitas, pajanan dan surveilans efek kesehatan pada pekerja

menyediakan data status kesehatan pekerja.

Page 107: Surveilans Epidemiologi

107Menggabungkan data surveilans hazard dan surveilans efek

kesehatan dapat dilakukan analisis epidemiologi untuk

menjelaskan mengapa dan bagaiman  suatu gangguan kesehatan

timbul.

Lebih lanjut dapat dilakukan pebandigan risiko relative pada

pekerja terpajan dan tidak terpajan maka akan lebih jelas hubungan

atau asosiasi antara factor risiko dan efek yang ditimbulkan.

3) Tahap pelaporan dan pemanfaatan hasil surveilans untuk perbaikan

Pelaporan ini dilakukan pada forum yang melibatkan semua

manajemen.Hasil analisis dikomunikasikan dalam bentuk agregat

dengan kode etik dan menjunjung privasi.

Penyampaian manfaat yang tinggi dan menguntungkan banyak pihak harus

dilakukan untuk kesuksesan pelaksanaan rekomendasi, terkait program kesehatan

yang diencanakan.

Contoh Surveilans K3

1) Pada suatu perusahaan minyak dan gas bumi, ditemukan peningkatan dari

tahun ke tahun penyakit Jantung Koroner, setiap tahunnya ada sekitar 11-

12 kasus baru yang terdiagnosa positif PJK. Melihat pekerja yang terpajan

dengan bahan kimia BTX, adanya bising, panas serta stress pada pekerja

yang cukup tinggi, maka lakukan telaah terhadap surveilans Kesehatan

Kerja yang sudah dilakukan perusahaan.

Metode surveilan, sumber data, teknik dan instrumen yang

digunakan dalam pengumpulan data sehingga tindakan segera yang dapat

mencegah pekerja dari penyakit dan kecelakaan.

2) Pada suatu perusahaan konstruksi, ingin diketahui keluhan akan efek

kesehatan pada operator alat berat berdasarkan ketajaman pendengaran,

fungsi pendengaran, fungsi pernafasan serta keluhan gangguan otot dan

tulang.

Page 108: Surveilans Epidemiologi

108Metode surveilan, sumber data, teknik dan instrumen yang

digunakan dalam pengumpulan data sehingga tindakan segera yang dapat

mencegah pekerja dari penyakit dan kecelakaan dapat diambil

3) Pada sebuah perusahaan tambang batubara, sudah tersedia Program

Surveilans Kesehatan pada Pekerja, pelajari dengan detil program, yang

meliputi :

a. Program Surveillance'X-ray Pekerja Batubara

Informasi tentang disediakannya rontgen dada gratis untuk

penambang batu bara bawah tanah.

b. Program Nasional Otopsi Pekerja Batubara

Ketika seorang penambang batubara meninggal, keluarga dapat mengatur untuk

minta dilakukan otopsi gratis. Hasilnya dapat membantu mendapatkan klaim dan

juga membantu para ilmuwan dan dokter belajar lebih banyak tentang penyakit 

pada pekerja batubara 'pneumokoniosis  atau' penyakit Black lung.

Data dan Informasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Belum tersedianya gambaran permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja

(K3) di tingkat nasional, propinsi dan Kota maka diperlukan tersedianya data yang

benar benar nyata di masyarakat. Petugas kesehatan yang bertanggung jawab pada

wilayah kerjanya,  memerlukan data dasar tentang masyarakat pekerja di wilayah

kerjanya.

Data dasar dibutuhkan sebagai dasar dari Penilaian Risiko atau dikenal Risk

Assesment. Secara teoritis peniliaian risiko merupakan fokus utama dalam

penyelenggaraan pelayanan K3 berbasis bukti (Evidence based). Beraneka

ragamnya jenis dan tempat kerja di masyarakat Indonesia menjadikan beraneka

ragam pula jenis bahaya (hazard) yang ada di tempat kerja hingga jenis  risiko

yang diterima masyarakat pekerjapun menjadi spesifik yang berakibat pola

penyakit dan cedera yang ada di tempat kerja sangat tergantung dari perubahan

kondisi yang ada di tempat kerja tersebut.

Selanjutnya, dari data dasar ditentukan data yang perlu terus dipantau, maka perlu

dikembangkan sisterm informasi K3, yang mencakup input, proses dan output.

Page 109: Surveilans Epidemiologi

109Implementasi pelaksanaan sistem informasi K3 berdasarkan kebutuhan data

berbasis bukti (Evidence based) yang dapat memberi data akurat cepat, tepat dan

secara ilmiah dapat dipertanggung jawabkan dengan jalan melakukan kegiatan

survei Baseline Data (survei cepat) yang difokuskan pada wilayah setempat, yang

selanjutnya dapat digunakan di tingkat kabupaten/kota atau sebagai angka

propinsi atau nasional jika digabung dari berbagai Kabupaten/Kota.

Dasar Hukum

1. UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan pasal 11 yang menyatakan bahwa

pengurus diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat

kerja yang dipimpinnya.

2. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Bab XII tentang Kesehatan Kerja

yang terdiri dari 3 pasal yaitu pasal 164-166, antara lain menetapkan pengelola

tempat kerja wajib menaati standar kesehatan kerja dan menjamin lingkungan

kerja yang sehat, bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan kerja, wajib

melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan,

peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja.

3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1075 / MENKES /

SK / VII / 2003 tentang Pedoman Sistem Informasi Manajemen Kesehatan

Kerja, maka diperlukan informasi yang akurat, tepat waktu dalam sistem

informasi sumber daya manusia yang dilakukan secara berkelanjutan.

4. Keputusan Presiden No. 22 tahun 1993 tentang Penyakit yang timbul Karena

Hubungan Kerja

Keputusan Menteri Kesehatan No. 691 A/MENKES/SK/XII/1980 tentang

Pelaporan Rumah Sakit.

Konsep dan Lingkup Sistem Informasi K3

Sistem informasi K3 adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem

informasi kesehatan yang telah ada di Departemen Kesehatan seperti Sistem

Informasi Kesehatn (SIK), Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS), dan Sitem

Page 110: Surveilans Epidemiologi

110Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS) yang khusus menangani komunitas

pekerja baik di sector usaha formal maupun informal.

Untuk memperoleh berbagai data dan informasi K3 perlu dilakukan

kegiatan pencatatan dan pelaporan secara baik dan benar serta profesional tentang

data dasar kesehatn kerja dan penyakit akibat kerja serta kejadian kecelakaan kerja

terutama yang menumbulkan penyakit atau cedera pada pekerja, agar dapat

diketahui peta masalah K3 di suatu wilayah kerja yang merupakan sumber

informasi yang vital bagi pelaksanaan program K3 setempat. Secara keseluruhan,

data ini dapat digunakan oleh penentu kebijakan di tingkat yang lebih tinggi,

tentunya dengan kompilasi seluruh data, seperti di tingkat Kabupaten/Kota bahkan

ke tingkat nasional.

Lingkup Sistem Informasi K3 mencakup informasi kesehatan dan informasi

keselamatan di tempat kerja. Secara sistem, dalam lingkup wilayah kerja terbatas

seperti desa yang menjadi tanggung jawab Bidan di Desa, informasi K3 mencakup

informasi dasar (input),  informasi pelaksanaan pelayanan (proses), informasi

tingkat keberhasilan jangka pendek yang langsung dapat diukur (output), dan

tingkat keberhasilan jangka panjang yang memerlukan waktu untuk mencapainya

(outcome).

Data Dasar (Input)

Data Dasar Wilayah Kerja digunakan sebagai dasar analisis kebutuhan dan

pemetaan masalah, data dasar wilayah kerja yang terkait dengan K3 antara lain

mencakup data seperti berikut.

a. Data Demografi

Data dan informasi tentang keadaan penduduk usia kerja, angkatan kerja,

penyebaran pekerja berdasarkan jenis pekerjaan yang ada di setiap desa, bila

memungkinkan data di kecamatan dan Kabupaten/Kota. Di samping itu,

data tentang jenis kelamin, tingkat pendidikan dan status sosial pekerja

dapat membantu dalam perencanaan program agar lebih fokus.

b. Data Jenis dan Jumlah Perusahaan

Page 111: Surveilans Epidemiologi

111Data jenis dan jumlah perusahaan baik di sector formal maupun informal,

diperlukan untuk membuat peta hazard di tempat kerja dan pekerja berisiko.

1) Jumlah dan jenis perusahaan/industri besar

2) Perusahaan atau tempat kerja yang tinggi tingkat risikonya (hazardous

or high tisk)

3) Perusahaan atau tempat kerja yang padat karya

4) Perusahaan atau tempat kerja yang menghasilkan Pendapatan Asli

Daerah (PAD) tertinggi

5) Jumlah dan demografi pekerja di tempat kerja tertentu.

Klasifikasi tempat kerja yang sering digunakan adalah berdasarkan

Klasifikasi Industri yang dikeluarkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik)

yaitu 18 (delapan belas) klasifikasi tempat kerja, seperti berikut.

1) Pertanian, perburuan dan kehutanan

2) Perikanan

3) Pertambangan dan penggalian

4) Industri pengolahan

5) Listrik, gas dan air

6) Konstruksi

7) Perdagangan besar dan eceran

8) Penyediaan akomodasi dan penyediaan makan dan minum

9) Transportasi, pergudangan dan komunikasi

10) Perantara keuangan

11) Real estate, usaha persewaan dan jasa perusahaan

12) Administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib

13) Jasa pendidikan

14) Jasa Kesehatan dan kegiatan sosial

15) Jasa kemasyarakatan, sosial, budaya dan perorangan lainnya

16) Jasa perorangan yang melayani rumah tangga

17) Badan internasional dan ekstrainternasional

18) Pekerjaan lain

a. Akses pelayanan K3

Page 112: Surveilans Epidemiologi

112Termasuk keberadaan dan kemudahan akses fasilitas kesehatan kerja

seperti Klinik Peursahaan, Klinik Kesehatan Kerja, rumah sakit dan

Puskesmas yang memberi pelayanan K3; serta fasilitas penanggulangan

kebakaran, kesiapan penanggulangan bencana atau keadaan darurat

(emergency preparedness).

b. Akses jaminan sosial

Jaminan sosial dibutuhkan bila upaya pencegahan gagal dan pekerja jatuh

sakit, cedera, cacat atau meninggal, diperlukan data jumlah pekerja yang

tercakup dalam jaminan Askes bagi PNS, pensiun dan TNI polri; jumlah

peserta PT Jamsostek, askes mandiri, yang terdata sebagai peserta

Jamkesmas, serta berapa persen yang belum memiliki asuransi kesehatan.

c. Gambaran wilayah/lokasi kerja

Selain batas kerja, diperlukan denah wilayah (upayakan gambar GPS)

kerja dan penyebaran tempat kerja terutama yang padat karya dan/atau

berisiko tinggi.

Data dan Indikator Pelaksanaan K3 (Proses)

Upaya K3 menekankan upaya promotif dan preventif, pelaksanaan K3

yang baik menentukan keberhasilan dalam pengendalian risiko. Di sektor formal

ada instrumen audit, yaitu di tingkat nasional berupa Sistem Manajemen

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) dan di tingkat internasional dikenal

dengan Occupational Health and Safety Adminstration Series (OHSAS 18000).

Intinya adalah pelaksanaan manajemen risiko dari semua hazard di tempat kerja,

yaitu penilaian risiko dan pengendalian hazard. Di Indonesia, pelaksanaan SMK3

adalah wajib dan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Data ini perlu

dimutkhirkan minimal satu kali dalam satu tahun yang dilakukan auditor internal,

satu kali dalam tiga tahun oleh auditor eksternal. Data audit ini digunakan untuk

tindakan perbaikan dan pencegahan.

Di ranah publik, terutama di sektor informal dan sentra industri UMKM,

pelaksanaan K3 dilakukan oleh Puskesmas setempat bila tersedia SDMnya. Data

dan indikator pelaksanaan K3 di Puskesmas seperti berikut.

Page 113: Surveilans Epidemiologi

113a. Tersedianya data yang terkait dengan input, proses dan output upaya K3

b. Persentasi sarana pelayanan kesehatan dasar yang telah melaksanakan

pelayanan kesehatan kerja atau K3

c. Persentase jumlah Puskesmas yang telah mendapatkan pembinaan upaya

kesehatan kerja (UKK) atau K3

d. Persentase jumlah Puskesmas yang telah melaksanakan UKK atau K3

e. Persentase jumlah tempat kerja yang telah mendapatkan pembinaan UKK atau

K3

f. Persentase jumlah tempat kerja yang telah melaksanakan UKK atau K3

g. Jenis pelayanan K3 komprehensif yang diberikan yaitu promotif, preventif,

kuratif dan rehabilitatif

h. Data dan informasi tentang penyebaran tenaga kesehatan kerja atau tenaga K3

bagi upaya pengembangan Program Kesehatan Kerja atau K3 di setiap

Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat.

i. Persentase pekerja yang mendapatkan pelayanan kesehatan kerja atau K3.

j. Persentase pekerja yang mendapatkan Jaminan sosial di bidang K3 baik askes

Jamsostek atau asuransi lainnya.

Data dan Indikator Keberhasilan K3 (Output)

Keberhasilan upaya K3 biasanya berupa output atau luaran dari upaya K3

yang dilaksanakan, diukur dari beberapa  indikator seperti berikut.

a. Kadar atau intensitas pajanan di lingkungan kerja berada di bawah Nilai

Ambang Batas

b. Kadar biomarker bahan kimia di bawah Indeks Pajanan Biologik

c. Jumlah kunjungan pekerja ke poliklinik atau berobat jalan.

d. Jumlah pekerja yang dirawat di rumah sakit.

e. Biaya pengobatan dan perawatan

f. Pola penyakit pekerja, tren prevalensi dan insiden penyakit akibat kerja dan

penyakit terkait kerja, cedera atau penyakit akibat kecelakaan kerja

g. Tingkat kekerapan dan tingkat keparahan kejadian kecelakaaan di tempat

kerja

Page 114: Surveilans Epidemiologi

114I. Tingkat Kekerapan Kecelakaan (Accident Frequency Rate), yaitu rata-

rata jumlah kecelakaan dalam 1 periode dibandingkan dengan jumlah

pekerja berisiko. Formula perhitungan frequency rate adalah sebagai

berikut.

                               

            Jumlah kejadian kecelakaan dalam 1 periode

Frequency Rate = -----------------------------  x 100%

                                      Jumlah pekerja (populasi berisiko)

II. Tingkat Keparahan Kecelakaan (Accident Severity Rate), ialah rata-rata

jumlah hari sakit dalam waktu tertentu. Formula perhitungan severity

rate adalah sebagai berikut.

                               

                Jumlah hari hilang akibat kecelakaan

Severity Rate = ---------------------------------  x 1.000.000

                                    Jumlah hari kerja total + hari lembur

h. Tingkat kekerapan dan tingkat keparahan absenteisme

I. Non Effective Rate, yaitu rata-rata waktu kerja yang hilang, dalam

satuan hari atau jam, dibandingkan dengan waktu kerja total. Formula

perhitungannya seperti berikut.

                            

                             Hari hilang karena absen sakit

Non Effective Rate = ----------------------------  x 100%

                                                Hari kerja total + hari lembur

II. Frekuensi Rate Absensi Sakit (Sickness Abcence Frequency Rate),

yaitu rata-rata jumlah insidens absensi (surat keterangan sakit) per

orang atau jumlah spell dalam 1 periode dibandingkan dengan jumlah

pekerja. Formula perhitungan frequency rate adalah sebagai berikut.

                               

Page 115: Surveilans Epidemiologi

115                                 Jumlah spell dalam 1 periode

Frequency Rate = ----------------------------  x 100%

                                         Jumlah pekerja (populasi berisiko)

III. Durasi Absensi Sakit (Severity Rate atau disebut Sickness Abcence

Rate), ialah rata-rata jumlah hari sakit dalam waktu tertentu. Formula

perhitungan severity rate adalah sebagai berikut.

                                 

               Jumlah hari hilang akibat absensi sakit

Severity Rate = ------------------------------ x 100%

          (Jumlah hari kerja total x jumlah pekerja) + hari Lembur

IV. Durasi Spell, merupakan rata-rata jumlah hari absen sakit tiap spell

(surat keterangan sakit). Formula perhitungan durasi spell adalah

sebagai berikut.

                          Jumlah hari hilang karena absensi sakit

Durasi Spell = --------------------------------- x 100%

                         Jumlah spell absensi dalam 1 periode

Sumber Data dan Pengumpulan Informasi K3

Data yang dibutuhkan untuk pemantauan wilayah setempat di bidang K3,

bisa didapat dari berbagai sumber baik di desa maupun di perusahaan. Data dasar

di ranah publik bisa didapat dari Kantor Desa, atau di Kantor Kabupaten/Kota,

seperti demografi, denah lokasi atau wilayah perusahaan. Sedangkan di

perusahaan formal bisa didapat dari bagian personalia atau Human Resource

Department (HRD). Data tentang kegiantan K3 yang telah dilaksanakan di ranah

publik bisa didapat dari Puskesmas setempat, Dinas Kesehatan atau Dinas

Ketenaga-kerjaan ditingkat Kabupaten/Kota; sedangkan di sector formal bisa

Page 116: Surveilans Epidemiologi

116didapat dari bagian Kesehatan, Keselamatan dan Lingkunga (HSE) atau Panitia

Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3).

Data demografi tidak terlalu sulit didapat, namun data jumlah dan jenis

perusahaan serta kegiatna dan indikator K3 sering kali tidak ada. Bidan di desa

dapat berkeliling untuk mengenal kegiatan ekonomi yang dominan di desa, sering

kali secara kasat mata dapat diidentifikasi, dengan melakukan suvei cepat dan

mewawancarai beberapa orang di jalan dan diverifikasi dengan tokoh masyarakat

atau pamong di desa. Bila memungkinkan, cara yang terbaik untuk pengumpulan

data adalah menggunakan kuesioner dengan teknik self assessment dan

diverifikasi oleh pewawancara dan/atau surveior, ceklis survei jalan selintas (SJS)

atau dikenal dengan walk through survei,dan observasi.

Tabel 1 Contoh Sumber dan Instrumen Pengumpulan Data

No Data yang dikumpulkan Sumber/Instrumen

1 Demografi pekerja F -   Data dari HRD

-   Kuesioner

I-   Data dari Desa

-   Kuesioner

2 Data faktor risiko di tempat

kerja 

F -   Data dari HSE/ P2K3

-   Kuesioner dan SJS

I

-   Data dari Puskesmas/Desa

-   Kuesioner dan SJS

3 Data keluhan gangguan

kesehatan dan pola penyakit F

-   Data rekam medik, medikal cek

up

-   Klim asuransi

-   Kuesioner dan SJS

I-   Data Puskesmas

-   Kuesioner dan SJS

Page 117: Surveilans Epidemiologi

1174 Data kecelakaan

F-   Data HSE/ P2K3

-   Klim asuransi

-   Kuesioner dan SJS

I-   Data Puskesmas

-   Kuesioner dan SJS

5 Gambaran kebijakan dan

program K3F

-   Kuesioner, bukti fisik

dariHSE/P2K3

I - Puskesmas, Dinkes / Disnaker

6 Gambaran kebijakan dan

program K3 di Puskesmas,

Dinkes/ Disnaker

Bukti fisik dan wawancara

7 Pelaksanaan K3 F

I

Kuesioner, wawancara, bukti fisik

dan observasi

Pengolahan, Analisis, dan Penyajian Data K3

Data frekuensi distribusi, disajikan dalam bentuk tabulasi dan diagram

(Gambar 3.1, Tabel 3.2). Analisis tingkat asosiasi atau hubungan antara tingkat

pajanan atau tingkat risiko (yang bersifat multifaktor) sebagai variabel

independen, dan tingkat kekerapan kecelakaan atau tingkat keparahan absensi dan

indikator output lainnya sebagai variabel dependen, dilakukan dengan

menggunakan kaidah epidemiologi.

Data disajikan dalam bentuk yang komunikatif, ternyata rangkuman

eksekutif dan one sheet diagram yang komunikatif sangat disenangi karena

memacu orang berpikir holistik dan komprehensif; namun perlu dilampirkan

dengan narasi yang komprehensif dan komunikatif pula. Diperlukan keterampilan

komunikasi efektif baik lisan maupun tulisan dalam menyampaikan informasi

yang didapat dari hasil surveilans.

Page 118: Surveilans Epidemiologi

118Tabel 2. Distribusi Karakteristik Demografi Responden di Desa X 2009

berdasarkan Sektor Formal dan Informal.

Umur

Sektor Umur

<15

tahun

15-24

tahun

25-34

tahun

35-44

tahun

45-54

tahun

55-64

tahun

>=65

tahun

formal

(211) N 0 19 77 67 42 6 0

% 0% 9% 36% 32% 20% 3% 0%

informal

(96) N 1 29 28 19 7 8 4

% 1% 30% 29% 20% 7% 8% 4%

Tabel 3 Gambaran faktor risiko di Puskesmas berdasarkan hasil SJS

Urutan Faktor Risiko di Tempat Kerja Populasi Berisiko

1 Ergonomi 26 %

2 Biologi 20 %

3 Kimia 12 %

4 Stres kerja 25 %

5 Lain-lain 11 %

6 Bising dan Panas 6 %

Sumber Pembelajaran, Metode, dan Media

1. Sumber Pembelajaran

a. Buku referensi

b. Modul Komunikasi Efektif

c. Internet

2. Metoda Pembelajaran:

a. Kuliah

b. Tanya Jawab

c. Diskusi Kelompok,

d. Main peran

Page 119: Surveilans Epidemiologi

119e. Praktik Lapangan

f. Tugas Kelompok

g. Latihan Kasus

3. Media Pembelajaran:

a. Flip chart

b. Flash card

c. Komputer-LCD,

d. Sarana bermain peran

BAB IX

Page 120: Surveilans Epidemiologi

120Physical and Chemical Hazard of Enviroment

OLEH CHRYSIANE FLORENSIA SILETTY, HARI PRANINDYO, HARTANTI, DAN RIA AZHARIAH

Pengertian Bahaya Fisik

Potensi bahaya fisik, yaitu potensi bahaya yang dapat menyebabkan

gangguan-gangguan kesehatan terhadap tenaga kerja yang terpapar, misalnya:

terpapar kebisingan intensitas tinggi, suhu ekstrim (panas & dingin),

intensitas penerangan kurang memadai, getaran, radiasi.

a. Radiasi

Radiasi adalah pancaran energi melalui suatu materi atau ruang

dalam bentuk panas, partikel atau gelombang elektromagnetik/cahaya

(foton) dari sumber radiasi. Ada beberapa sumber radiasi yang kita

kenal di sekitar kehidupan kita, contohnya adalah televisi, lampu

penerangan, alat pemanas makanan (microwave oven), komputer, dan

lain-lain

b. Kebisingan

Bising adalah campuran dari berbagai suara yang tidak dikehendaki

ataupun yang merusak kesehatan, saat ini kebisingan merupakan

salah satu penyebab penyakit lingkungan (Slamet, 2006). Sedangkan

kebisingan sering digunakan sebagai istilah untuk menyatakan suara

yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh kegiatan manusia atau

aktifitas- aktifitas alam (Schilling, 1981). Kebisingan dapat diartikan

sebagai segala bunyi yang tidak dikehendaki yang dapat memberi

pengaruh negatif terhadap kesehatan dan kesejahteraan seseorang

maupun suatu populasi.Aspek yang berkaitan dengan kebisingan

antara lain : jumlah energi bunyi, distribusi frekuensi, dan lama

pajanan.

c. Penerangan/Pencahayaan (Illuminasi)

Page 121: Surveilans Epidemiologi

121Penerangan yang kurang di lingkungan kerja bukan saja akan

menambah beban kerja karena mengganggu pelaksanaan pekerjaan

tetapi juga menimbulkan kesan kotor. Oleh karena itu penerangan

dalam lingkungan kerja harus cukup untuk menimbulkan kesan yang

higienis. Disamping itu cahaya yang cukup akan memungkinkan

pekerja dapat melihat objek yang dikerjakan dengan jelas dan

menghindarkan dari kesalahan kerja. Berkaitan dengan pencahayaan

dalam hubungannya dengan penglihatan orang didalam suatu

lingkungan kerja maka faktor besar-kecilnya objek atau umur pekerja

juga mempengaruhi. Pekerja di suatu pabrik arloji misalnya objek

yang dikerjakan sangat kecil maka intensitas penerangan relatif harus

lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas penerangan di pabrik

mobil. Demikian juga umur pekerja dimana makin tua umur

seseorang, daya penglihatannya semakin berkurang. Orang yang

sudah tua dalam menangkap objek yang dikerjakan memerlukan

penerangan yang lebih tinggi daripada orang yang lebih muda.

Akibat dari kurangnya penerangan di lingkungan kerja akan

menyebabkan kelelahan fisik dan mental bagi para karyawan atau

pekerjanya. Gejala kelelahan fisik dan mental ini antara lain sakit

kepala (pusing-pusing), menurunnya kemampuan intelektual,

menurunnya konsentrasi dan kecepatan berpikir. Disamping itu

kurangnya penerangan memaksa pekerja untuk mendekatkan

matanya ke objek guna memperbesar ukuran benda. Hal ini

akomodasi mata lebih dipaksa dan mungkin akan terjadi penglihatan

rangkap atau kabur.

d. Getaran

Getaran mempunyai parameter yang hampir sama dengan bising

seperti: frekuensi, amplitudo, lama pajanan dan apakah sifat getaran

terus menerus atau intermitten.

Page 122: Surveilans Epidemiologi

122Metode kerja dan ketrampilan memegang peranan penting dalam

memberikan efek yang berbahaya. Pekerjaan manual menggunakan “powered

tool” berasosiasi dengan gejala gangguan peredaran darah yang dikenal

sebagai ”Raynaud’s phenomenon” atau ”vibration-induced white fingers

(VWF)”.

Peralatan yang menimbulkan getaran juga dapat memberi efek negatif

pada sistem saraf dan sistem musculo-skeletal dengan mengurangi kekuatan

cengkram dan sakit tulang belakang. Contoh : Loaders, forklift truck,

pneumatic tools, chain saws.

Efek getaran terhadap tubuh tergantung besar kecilnya frekuensi yang

mengenai tubuh:

1. 3 . 9 Hz

Akan timbul resonansi pada dada dan perut.

2. 6 . 10 Hz

engan intensitas 0,6 gram, tekanan darah, denyut jantung, pemakaian O2

dan volume perdenyut sedikit berubah. Pada intensitas 1,2 gram terlihat

banyak perubahan sistem peredaran darah.

3. 10 Hz

Leher, kepala, pinggul, kesatuan otot dan tulang akan beresonansi.

4. 13 . 15 Hz

Tenggorokan akan mengalami resonansi.

5. < 20 Hz

Tonus otot akan meningkat, akibat kontraksi statis ini otot menjadi lemah,

rasa tidak enak dan kurang ada perhatian.

Macam–Macam Bahaya Fisik

1. Kebisingan

Bunyi adalah sesuatu yang tidak dapat kita hindari dalam kehidupan

sehari-hari, termasuk di tempat kerja.Bahkan bunyi yang kita tangkap

melalui telinga kita merupakan bagian dari kerja misalnya bunyi telepon,

bunyi mesin ketik / komputer, mesin cetak, dan sebagainya.Namun sering

Page 123: Surveilans Epidemiologi

123bunyi-bunyi tersebut meskipun merupakan bagian dari kerja kita tetapi

tidak kita inginkan, misalnya teriakan orang, bunyi mesin diesel yang

melebihi ambang batas pendengaran, dan sebagainya.Bunyi yang tidak

kita inginkan atau kehendaki inilah yang sering disebut bising atau

kebisingan.Kebisingan dapat diartikan sebagai segala bunyi yang tidak

dikehendaki yang dapat memberi pengaruh negatif terhadap kesehatan dan

kesejahteraan seseorang maupun suatu populasi.Kualitas bunyi ditentukan

oleh 2 hal yakni frekuensi dan intensitasnya.Frekuensi dinyatakan dalam

jumlah getaran per detik yang disebut hertz (Hz), yaitu jumlah gelombang-

gelombang yang sampai di telinga setiap detiknya.Biasanya suatu

kebisingan terdiri dari campuran sejumlah gelombang dari berbagai

macam frekuensi. Sedangkan intensitas atau arus energi per satuan luas

biasanya dinyatakan dalam suatu logaritmis yang disebut desibel (dB).

Selanjutnya dengan ukuran intensitas bunyi atau desibel ini dapat

ditentukan apakah bunyi itu bising atau tidak.Dari ukuran-ukuran ini dapat

diklasifikasikan seberapa jauh bunyi-bunyi di sekitar kita dapat diterima/

dikehendaki atau tidak dikehendaki/bising.

Skala Intensitas Kebisingan/Skala Intensitas Desibel Batas Dengar

Tertinggi

No. SumberSkala DB Batas

Dengar Tertinggi

1. Halilintar 120 DB

2. Meriam 110 DB

3. Mesin Uap 100 DB

4. Jalan yang ramai 90 DB

5. Pluit 80 DB

6. Kantor Gaduh 70 DB

7. Radio 60 DB

8. Rumah Gaduh 50 DB

9. Kantor pada umumnya 40 DB

10. Rumah Tenang 30 DB

Page 124: Surveilans Epidemiologi

12411. Kantor perorangan 20 DB

12.Sangat tenang , Suara daun jatuh,

Tetesan air 10 DB

Aspek yang berkaitan dengan kebisingan antara lain : jumlah energi bunyi,

distribusi frekuensi,dan lama pajanan. Kebisingan dapat menghasilkan

efek akut seperti masalah komunikasi, turunnya konsentrasi, yang pada

akhirnya mengganggu job performance tenaga kerja.Pajanan kebisingan

yang tinggi (biasanya >85 dBA) pada jangka waktu tertentu dapat

menyebabkan tuli yang bersifat sementara maupun kronis. Tuli permanen

adalah penyakit akibat kerja yang paling banyak di klaim .Contoh :

Pengolahan kayu, tekstil, metal, dll. Kebisingan mempengaruhi kesehatan

antara lain dapat menyebabkan kerusakan pada indera pendengaran sampai

kepada ketulian. Dari hasil penelitian diperoleh bukti bahwa intensitas

bunyi yang dikategorikan bising dan yang mempengaruhi kesehatan

(pendengaran) adalah diatas 60 dB. Oleh sebab itu, para karyawan yang

bekerja di pabrik dengan intensitas bunyi mesin diatas 60 dB maka harus

dilengkapi dengan alat pelindung (penyumbat) telinga guna mencegah

gangguan pendengaran.Disamping itu kebisingan juga dapat mengganggu

komunikasi. Dengan suasana yang bising memaksa pekerja berteriak

didalam berkomunikasi dengan pekerja lain. Kadang-kadang teriakan atau

pembicaraan yang keras ini dapat menimbulkan salah komunikasi (miss

communication) atau salah persepsi terhadap orang lain. Oleh karena

sudah biasa berbicara keras di lingkungan kerja sebagai akibat lingkungan

kerja yang bising ini maka kadang-kadang di tengah-tengah keluarga juga

terbiasa berbicara keras. Bisa jadi timbul salah persepsi di kalangan

keluarga karena dipersepsikan sebagai sikap marah.Lebih jauh kebisingan

yang terus-menerus dapat mengakibatkan gangguan konsentrasi pekerja

yang akibatnya pekerja cenderung berbuat kesalahan dan akhirnya

menurunkan produktivitas kerja. Kebisingan terutama yang berasal dari

alat-alat bantu kerja atau mesin dapat dikendalikan antara lain dengan

menempatkan peredam pada sumber getaran atau memodifikasi mesin

Page 125: Surveilans Epidemiologi

125untuk mengurangi bising. Penggunaan proteksi dengan sumbatan telinga

dapat mengurangi kebisingan sekitar 20-25 dB. Tetapi penggunaan

penutup telinga ini pada umumnya tidak disenangi oleh pekerja karena

terasa risih adanya benda asing di telinganya. Untuk itu penyuluhan

terhadap mereka agar menyadari pentingnya tutup telinga bagi

kesehatannya dan akhirnya mau memakainya.

2. Getaran

Getaran mempunyai parameter yang hampir sama dengan bising seperti:

frekuensi, amplitudo, lama pajanan dan apakah sifat getaran terus menerus

atau intermitten. Metode kerja dan ketrampilan memegang peranan

penting dalam memberikan efek yang berbahaya. Pekerjaan manual

menggunakan “powered tool” berasosiasi dengan gejala gangguan

peredaran darah yang dikenal sebagai ”Raynaud’s phenomenon” atau

”vibration-induced white fingers (VWF)”. Peralatan yang menimbulkan

getaran juga dapat memberi efek negatif pada sistem saraf dan sistem

musculo-skeletal dengan mengurangi kekuatan cengkram dan sakit tulang

belakang.Contoh : Loaders, forklift truck, pneumatic tools, chain saws.

3. Radiasi Non Mengion

Radiasi non mengion antara lain : radiasi ultraviolet, visible radiation,

inframerah, laser, medan elektromagnetik (microwave dan frekuensi

radio).

a. Radiasi infra merah dapat menyebabkan katarak.

b. Laser berkekuatan besar dapat merusak mata dan kulit.

c. Medan elektromagnetik tingkat rendah dapat menyebabkan kanker.

Contoh :

i. Radiasi ultraviolet : pengelasan.

ii. Radiasi Inframerah : furnacesn atau tungku pembakaran

iii. Laser : komunikasi, pembedahan

4. Pencahayaan atau Penerangan (Illuminasi)

Tujuan pencahayaan :

Page 126: Surveilans Epidemiologi

126a. Memberi kenyamanan dan efisiensi dalam melaksanakan pekerjaan

b. Memberi lingkungan kerja yang aman

Efek pencahayaan yang buruk

mata tidak nyaman, mata lelah, sakit kepala, berkurangnya kemampuan

melihat, dan menyebabkan kecelakaan.

Keuntungan pencahayaan yang baik

meningkatkan semangat kerja, produktivitas, mengurangi kesalahan,

meningkatkan housekeeping, kenyamanan lingkungan kerja, mengurangi

kecelakaan kerja.

Penerangan yang kurang di lingkungan kerja bukan saja akan

menambah beban kerja karena mengganggu pelaksanaan pekerjaan tetapi

juga menimbulkan kesan kotor. Oleh karena itu penerangan dalam

lingkungan kerja harus cukup untuk menimbulkan kesan yang higienis.

Disamping itu cahaya yang cukup akan memungkinkan pekerja dapat

melihat objek yang dikerjakan dengan jelas dan menghindarkan dari

kesalahan kerja.

Berkaitan dengan pencahayaan dalam hubungannya dengan

penglihatan orang didalam suatu lingkungan kerja maka faktor besar-

kecilnya objek atau umur pekerja juga mempengaruhi. Pekerja di suatu

pabrik arloji misalnya objek yang dikerjakan sangat kecil maka intensitas

penerangan relatif harus lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas

penerangan di pabrik mobil.Demikian juga umur pekerja dimana makin

tua umur seseorang, daya penglihatannya semakin berkurang. Orang yang

sudah tua dalam menangkap objek yang dikerjakan memerlukan

penerangan yang lebih tinggi daripada orang yang lebih muda. Akibat dari

kurangnya penerangan di lingkungan kerja akan menyebabkan kelelahan

fisik dan mental bagi para karyawan atau pekerjanya. Gejala kelelahan

fisik dan mental ini antara lain sakit kepala (pusing-pusing), menurunnya

kemampuan intelektual, menurunnya konsentrasi dan kecepatan berpikir.

Disamping itu kurangnya penerangan memaksa pekerja untuk

mendekatkan matanya ke objek guna mmeperbesar ukuran benda. Hal ini

Page 127: Surveilans Epidemiologi

127akomodasi mata lebih dipaksa dan mungkin akan terjadi penglihatan

rangkap atau kabur.

Untuk mengurangi kelelahan akibat dari penerangan yang tidak cukup

dikaitkan dengan objek dan umur pekerja ini dapat dilakukan hal-hal

sebagai berikut :

1. Perbaikan kontras dimana warna objek yang dikerjakan kontras dengan

latar belakang objek tersebut. Misalnya cat tembok di sekeliling tempat

kerja harus berwarna kontras dengan warna objek yang dikerjakan.

2. Meningkatkan penerangan, sebaiknya 2 kali dari penerangan diluar

tempat kerja. Disamping itu di bagian-bagian tempat kerja perlu

ditambah dengan dengan lampu-lampu tersendiri.

3. Pengaturan tenaga kerja dalam shift sesuai dengan umur masing-masing

tenaga kerja. Misalnya tenaga kerja yang sudah berumur diatas 50 tahun

tidak diberikan tugas di malam hari.Disamping akibat-akibat

pencahayaan yang kurang seperti diuraikan diatas, penerangan /

pencahayaan baik kurang maupun cukup kadang-kadang juga

menimbulkan masalah apabila pengaturannya kurang baik yakni silau.

Silau juga menjadi beban tambahan bagi pekerja maka harus dilakukan

pengaturan atau dicegah.

Pencegahan silau dapat dilakukan antara lain :

1. Pemilihan jenis lampu yang tepat misalnya neon. Lampu neon

kurang menyebabkan silau dibandingkan lampu biasa.

2. Menempatkan sumber-sumber cahaya / penerangan sedemikian rupa

sehingga tidak langsung mengenai bidang yang mengkilap.

3. Tidak menempatkan benda-benda yang berbidang mengkilap di

muka jendela yang langsung memasukkan sinar matahari

4. Penggunaan alat-alat pelapis bidang yang tidak mengkilap.

5. Mengusahakan agar tempat-tempat kerja tidak terhalang oleh

bayangan suatu benda. Dalam ruangan kerja sebaiknya tidak terjadi

bayangan-bayangan.

Page 128: Surveilans Epidemiologi

128Penerangan yang silau buruk (kurang maupun silau) di lingkungan

kerja akan menyebabkan hal-hal sebagai berikut :

1. Kelelahan mata yang akan berakibat berkurangnya daya dan efisiensi

kerja.

2. Kelemahan mental

3. Kerusakan alat penglihatan (mata).

4. Keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala di sekitar mata.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas maka dalam mendirikan

bangunan tempat kerja (pabrik, kantor, sekolahan, dan sebagainya)

sebaiknya mempertimbangkan ketentuan-ketentuan antara lain

sebagai berikut :

a. Jarak antara gedung dan abngunan-bangunan lain tidak

mengganggu masuknya cahaya matahari ke tempat kerja.

b. Jendela-jendela dan lubang angin untuk masuknya cahaya matahari

harus cukup, seluruhnya sekurang-kurangnya 1/6 daripada luas

bangunan. Apabila cahaya matahari tidak mencukupi ruangan

tempat kerja, harus diganti dengan penerangan lampu yang cukup.

c. Penerangan tempat kerja tidak menimbulkan suhu ruangan panas

(tidak melebihi 32 derajat celsius).

d. Sumber penerangan tidak boleh menimbulkan silau dan bayang-

bayang yang mengganggu kerja.

e. Sumber cahaya harus menghasilkan daya penerangan yang tetap

dan menyebar serta tidak berkedip-kedip.

5. Bau-Bauan

Yang dimaksud bau-bauan dalam kaitannya dengan kesehatan

kerja Yang dimaksud bau-bauan dalam kaitannya dengan kesehatan kerja

adalah bau-bauan yang tidak enak di lingkungan kerja dan mengganggu

kenyamanan kerja.Selanjutnya bau-bauan ini dapat mengganggu kesehatan

dan produktivitas kerja.Bau-bauan sebenarnya merupakan jenis

pencemaran udara yang tidak hanya mengganggu penciuman tetapi juga

dari segi higiene pada umumnya.

Page 129: Surveilans Epidemiologi

129Cara pengukuran bau-bauan yang dapat mengklasifikasikan derajat

gangguan kesehatan belum ada sehingga pengukurannya masih bersifat

objektif.Hal ini disebabkan karena seseorang yang mencium bau tertentu

dan merasa tidak biasa dengan bau tersebut, apabila sudah lama atau biasa

mencium bau aneh tersebut maka akhirnya menjadi terbiasa dan tidak

mencium bau yang aneh tersebut. Orang yang bekerja di lingkungan yang

berbau bensin atau oli, mula-mula merasakan bau tersebut tetapi lama-

kelamaan tidak akan merasakan bau tersebut meskipun bau tersebut tetap

di lingkungan kerja itu. Hal ini disebut penyesuaian penciuman.Dalam

kaitannya dengan kesehatan kerja atau dalam lingkungan kerja, perlu

dibedakan antara penyesuaian penciuman dan kelelahan

penciuman.Dikatakan penyesuaian penciuman apabila indera penciuman

menjadi kurang peka setelah dirangsang oleh bau-bauan secara terus-

menerus, seperti contoh pekerja tersebut diatas.

Sedangkan kelelahan penciuman adalah apabila seseorang tidak

mampu mencium kadar bau yang normal setelah mencium kadar bau yang

lebih besar. Misalnya orang tidak mencium bau bunga setelah mencium

bau yang kuat dari bangkai binatang.Ketajaman penciuman seseorang

dipengaruhi oleh faktor psikologis sewaktu-waktu, misalnya emosi,

tegangan, ingatan, dan sebagainya. Orang yang sedang mengalami

ketegangan psikologis atau stress, ia tidak dapat mencium bau-bauan yang

aneh, yang dapat dicium oleh orang yang tidak dalam keadaan tegang.

Disamping itu penciuman juga dapat dipengaruhi oleh kelembaban

udara.Pada kelembaban antara 40-70 % tidak mempengaruhi penciuman

tetapi dibawah atau diatas kelembaban itu dapat mempengaruhi

penciuman. Pengendalian bau-bauan di lingkungan kerja dapat dilakukan

antara lain :

1. Pembakaran terhadap sumber bau-bauan misalnya pembakaran butil

alkohol menjadi butarat dan asam butarat.

Page 130: Surveilans Epidemiologi

1302. Proses menutupi yang didasarkan atas kerja antagonistis diantara zat-zat

yang berbau. Kadar zat tersebut saling menetralkan bau masing-masing.

Misalnya bau karet dapat ditutupi atau ditiadakan dengan paraffin.

3. Absorbsi (penyerapan), misalnya penggunaan air dapat menyerap bau-

bauan yang tidak enak.

4. Penambahan bau-bauan kepada udara yang berbau untuk mengubah zat

yang berbau menjadi netral (tidak berbau). Misalnya menggunakan

pengharum ruangan.

Alat pendingin ruangan (air conditioning) disamping untuk menyejukkan ruangan

juga sebagai cara deodorisasi (menghilangkan bau-bauan yang tidak enak) di

tempat kerja.

Pengertian Bahaya Kimia

Potensi bahaya kimia, yaitu potensi bahaya yang berasal dari bahan-bahan

kimiayang digunakan dalam proses produksi. Potensi bahaya ini dapat

memasuki atau mempengaruhi tubuh tenga kerja melalui : inhalation (melalui

pernafasan), ingestion (melalui mulut ke saluran pencernaan), skin contact

(melalui kulit). Terjadinya pengaruh potensi kimia terhadap tubuh tenaga kerja

sangat tergantung dari jenis bahan kimia atau kontaminan, bentuk potensi

bahaya debu, gas, uap. asap; daya racun bahan (toksisitas); cara masuk ke

dalam tubuh. Jalan masuk bahan kimia ke dalam tubuh dapat melalui:

1. Pernapasan (inhalation)

2. kulit (skin absorption)

3. Tertelan (ingestion)

4. Racun dapat menyebabkan efek yang bersifat akut,kronis atau kedua-

duanya.

Macam–Macam Bahaya Kimia

Adapun potensi bahaya yang bisa ditimbulkan oleh bahan kimia adalah

Page 131: Surveilans Epidemiologi

131a. Korosi

Bahan kimia yang bersifat korosif menyebabkan kerusakan pada

permukaan tempat dimana terjadi kontak. Kulit, mata dan sistem

pencernaan adalah bagain tubuh yang paling umum terkena.

Contoh : konsentrat asam dan basa , fosfor.

b. Iritasi

Iritasi menyebabkan peradangan pada permukaan di tempat kontak. Iritasi

kulit bisa menyebabkan reaksi seperti eksim atau dermatitis. Iritasi pada

alat-alat pernapasan yang hebat dapat menyebabkan sesak napas,

peradangan dan oedema (bengkak)

Contoh :

1. Kulit : asam, basa, pelarut, minyak .

2. Pernapasan : aldehydes, alkaline dusts, amonia, nitrogen dioxide,

phosgene, chlorine ,bromine, ozone.

c. Reaksi Alergi

Bahan kimia alergen atau sensitizers dapat menyebabkan reaksi alergi

pada kulit atau organ pernapasan.

Contoh :

1. Kulit : colophony (rosin), formaldehyde, logam seperti chromium atau

nickel, epoxy hardeners, turpentine.

2. Pernapasan : isocyanates, fibre-reactive dyes, formaldehyde, nickel.

d. Asfiksiasi

Asfiksian yang sederhana adalah inert gas yang mengencerkan atmosfer

yang ada, misalnya pada kapal, silo, atau tambang bawah tanah.

Konsentrasi oksigen pada udara normal tidak boleh kurang dari 19,5%

volume udara.Asfiksian kimia mencegah transport oksigen dan oksigenasi

normal pada darah atau mencegah oksigenasi normal pada kulit.Contoh :

1. Asfiksian sederhana : methane, ethane, hydrogen, helium.

2. Asfiksian kimia : carbon monoxide, nitrobenzene, hydrogen cyanide,

hidrogen sulphide.

Page 132: Surveilans Epidemiologi

132e. Kanker

Karsinogen pada manusia adalah bahan kimia yang secara jelas telah

terbukti pada manusia.Kemungkinan karsinogen pada manusia adalah

bahan kimia yang secara jelas sudah terbukti menyebabkan kanker pada

hewan.

Contoh :

1. Terbukti karsinogen pada manusia : benzene (leukaemia); vinylchloride

(liver angiosarcoma); 2-naphthylamine, benzidine (kanker kandung

kemih); asbestos (kanker paru-paru , mesothelioma);

2. Kemungkinan karsinogen pada manusia : formaldehyde, carbon

tetrachloride, dichromates, beryllium.

f. Efek Reproduksi

Bahan-bahan beracun mempengaruhi fungsi reproduksi dan seksual dari

seorang manusia.Perkembangan bahan-bahan racun adalah faktor yang

dapat memberikan pengaruh negatif pada keturunan orang yang terpapar,

sebagai contoh :aborsi spontan.

Contoh : Manganese, carbondisulphide, monomethyl, dan ethyl ethers dari

ethylene glycol, mercury. Organic mercury compounds, carbonmonoxide,

lead, thalidomide, pelarut.

g. Racun Sistemik

Racun sistemik adalah agen-agen yang menyebabkan luka pada organ atau

sistem tubuh.

Contoh :

Otak : pelarut, lead, mercury, manganese

Sistem syaraf peripheral : n-hexane, lead, arsenic, carbon disulphide

Sistem pembentukan darah : benzene, ethylene glycol ethers

Ginjal :cadmium,lead, mercury, chlorinated hydrocarbons

Paru-paru : silica, asbestos, debu batubara (pneumoconiosis)

DAFTAR PUSTAKA

Page 133: Surveilans Epidemiologi

133Abu Zhafran (2011) – diunduh melalui

abuzhafran.blogspot.com/2011/01/diskripsi-sistem- surveilans.html?m1

nurfaizinyunus.blogspot.com/2011/11/surveilans-epidemiologi.html?m=1

www.kesehatanmasyarakat.com/2009/04/surveilans-kesehatan-masyarakat-hal-

hal.html?m=1)

Abu Zafran (2011) Diskripsi Sistem Surveilans diunduh melalui

http://abuzhafran.blogspot.com/2011/01/diskripsi-sistem-surveilans.html

pada 16 September 2013

Analisis Deskriptif Data Surveillans Epidemiologi. Diunduh dari : Fahra (2012)

http://fahrarien.blogspot.com.

Anonim (-) - diunduh melalui http:// hand-out -surveilans-epidemiologi-smt-iv-

20082

Anonim (-) - diunduh melalui

http://dunia-khayalanqyu.blogspot.com/2010/12/kejadian-luar-biasa.html,

pada tanggal 03 November 2013.

Anonim (-) - diunduh melalui

http://ajenglyandra.blogdetik.com/2013/04/09/surveilans-epidemiologi-dan-

kejadian-luar-biasa/, pada tanggal 03 November 2013.

Anonim (-) - diunduh melalui

http://pramana-d-t-fkm11.web.unair.ac.id/artikel_detail-71308-Umum-

Kejadian%20Luar%20Biasa%20(KLB).html, pada tanggal 2013.

Page 134: Surveilans Epidemiologi

134 Anonim (-) - diunduh melalui http://www.who.int/tobacco/research/youth/

health_effects /en/index.html . [di akses 28 Des 2012], pada tanggal 30

September 2013.

Anonim (-) American Industrial Hygiene Association, Biological Monitoring

Committee diunduh melalui http://www.aih.org pada 3 Oktober 2013

Anonim (-) - diunduh melalui www.who.org.int/en/

Anonim (-) - diunduh melalui

http://dynastyuzays.blogspot.com/2013/03/pengertian-diseminasi.html

Anonim (-) - diunduh melalui

http://cutlelacassanova.blogspot.com/2013/05/surveilan-epidemiologi.html,

pada tanggal 03 November 2013.

Anonim (-) - diunduh melalui

http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK No. 1116 ttg

Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan

Anonim (-) - diunduh melalui

http://agus34drajat.files.wordpress.com/2011/03/jenis-penyelenggaraan-se

Anonim (-) http://okleqs.wordpress.com/category/identifikasi-bahaya/ pada 3

Oktober 2013

Anonim (-) - diunduh melalui

http://www.who.int/topics/public_health_surveillance/en/

Anonim (-) - diunduh melalui www.cancerhelps.com/ kanker .htm pada tanggal 03

november 2013

Page 135: Surveilans Epidemiologi

135Anonim (-) - diunduh melalui

http://ajenglyandra.blogdetik.com/2013/04/09/surveilans-epidemiologi-dan-

kejadian-luar-biasa/, pada tanggal 03 November 2013.

Anonim (-) - diunduh melalui http://www.muslimedica.com/2012/11/pengertian-

kejadian-luar-biasa-klb.html pada tanggal 03 NOVEMBER 2013.

Anonim (-) - diunduh melalui www.wordpress.com, pada tanggal 03 November

2013

Anonim (-) - diunduh melalui www.datakompas.com, pada tanggal 03 November

2013

Anonim (-) - diunduh melalui http://akmal-rsfr.blogspot.com/2013/01/makalah-

kanker-paru.html, pada tanggal 30 September 2013.

Anonim (-) - diunduh melalui

http://www.news-medical.net/news/20110929/13775/Indonesian.aspx pada

tanggal 30 September 2013.

Anonim (-) - diunduh melalui http://www.news-medical.net/news, pada tanggal 03

November 2013.

Anonim (-) - diunduh melalui http://kesmas-unsoed.info/2011/05/makalah-

kanker-gizi-diit.html, pada tanggal 03 November 2013.

Anonim (-) - diunduh melalui http://www.surveillance.cancer.gov/html, pada

tanggal 03 November 2013.

Page 136: Surveilans Epidemiologi

136Anonim (-) - diunduh melalui

http://helpingpeopleideas.com/publichealth/index.php/2012/10/investigasi-

dan-data-kematian-ibu/ml, pada tanggal 30 September 2013.

Anonim (-) - diunduh melalui http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com/html, di

unduh pada tanggal 30 September 2013.

Anonim (-) - diunduh melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Perinatal/html, pada

tanggal 30 September 2013.

Anonim (2008) IDENTIFIKASI BAHAYA. diunduh melalui – pada 3 Oktober

2013

Anonim (2012) Surveilans Campak diunduh melalui

http://surveilansmaros.wordpress.com/2011/08/09/surveilans-campak/ pada

2 Oktober 2013

Aria Gusti (2011) Manajemen Risiko dalam Keselamatan dan Kesehatan Kerja

diunduh melalui http://ariagusti.wordpress.com/2011/01/07/manajemen-

risiko-dalam-keselamatan-dan-kesehatan-kerja/ pada 3 Oktober 2013

Behrman. Kliegman. Arvin. (2000). Ilmu Kesehatan Anak (Nelson Textbook of

Pediatrics). EGC. Jakarta.

Bidan Menyongsong Masa Depan, PP IBI. Jakarta.

Budiarto,Eko,Dewi Anggraeni.2003.Pengantar Epidemiologi.Jakarta:EGC.

Bung ‘okles (2008) Pengenalan Bahaya di Lingkungan Kerja diunduh melalui

http://okleqs.wordpress.com/2008/05/23/pengenalan-bahaya-di-lingkungan-

kerja/ pada 3 Oktober 2013

Page 137: Surveilans Epidemiologi

137Departemen Kesehatan Republik Indonesia & WHO Indonesia, 2003. diunduh

melalui

http://www.litbang.depkes.go.id/tobaccofree/media/FactSheet/FactInd/

7_konsumsi_prevalensi.pdf. [diakses 29 des 2012], pada tanggal 30

September 2013.

Depkes RI. (2006). Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan

Anak (PWS-KIA). Direktorat Bina Kesehatan Anak, Direktorat Bina

Kesehatan Masyarakat, Jakarta.

Depkes RI, (2006) Modul Manajemen Terpadu Balita Sakit, Direktorat Bina

Kesehatan Anak, Direktorat Bina Kesehatan Masyarakat, Jakarta.

Depkes. (2007). Kurikulum dan Modul Pelatihan Bidan Poskesdes dan

Pengembangan Desa Siaga. Depkes. Jakarta.

Depkes RI. (2007) Rumah Tangga Sehat Dengan Perilaku Hidup Bersih dan

Sehat. Pusat Promosi Kesehatan.

Depkes RI. (2003). Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta.

Diseminasi diunduh dari : http://www.wikiapbn.com/artikel/Diseminasi Referansi

dari : Jennet, P. A., & Premkumar, K. (1996). Technology-based

dissemination. Canadian Journal of Public Health, 87(6), S5-S10.

Ellis Septianessi (2011) Epidemiologi Penyakit Menular di unduh melalui

http://epidemiologiunsri.blogspot.com/2011/11/campak.html pada 2

Oktober 2013

Page 138: Surveilans Epidemiologi

138Escuderol, H.G., Chen, M.I., Leo, Y.S. Surveillance of Severe Acute Respiratory

Syndrome (SARS) in the Postoutbreak Period. Singapore Medical Journal.

2005:165.

Gordis, Leon. Epidemiology. USA: Saunders Company, 1996.

Isolation Techniques for Use in Hospitals, 2d ed., Atas kebaikan Center for

Disease Control, Atlanta, Ga., 1975.

Keputusan menteri kesehatan republik indonesia, nomor 1479/menkes/sk/x/2003

tentang pedoman penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi penyakit

menular dan penyakit tidak menular terpadu

Khairil Ardhi (-) Surveilans Epidemiologi Campak diunduh melalui

http://id.scribd.com/doc/110152124/Surveilans-Epidemiologi-Campak pada

16 September 2013

Kunoli, Firdaus J.2013.Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular : Untuk

Mahasiswa Kesehatan Masyarakat.Jakarta:CV. Trans Info Media

Kurniawidjaja, L.Meily. Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja. Jakarta : UI Press.

2010

Kurniawidjaja LM. Teori dan Aplikasi Kesehatan Kerja. Jakarta: UI Press: 2010

Lauwerys, R.R., Hoet, P. Industrial Chemical Exposure Guidelines for Biological

Monitoring 3rd Edition. USA: CRC Press LLC; 2001.

Macam – Macam Sumber Data. Diambil dari : Kepmenkes RI Nomor :

1116/Menkes/SK/VIII/2003.

Page 139: Surveilans Epidemiologi

139Metode Pengumpulan Data. Diambil dari : Weraman, Pius.2010.Dasar

Surveillans Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Gramata Publishing

Mukono, 2000, Surveilans Epidemiologi, -

NIOSH (2012) Coal Workers' Health Surveillance Program diunduh melalui –

pada 3 Oktober 2013

NIOSH Surveillance, Content source: Centers for Disease Control and Prevention,

2011

Noor, Nur Nasry. 2008. EPIDEMIOLOGI. PT. Rineka Cipta : Jakarta.

Occupational Health Surveillance, Department of Health New York, 2008

Pelczar,Michael J.2005.Dasar-dasar Mikrobiologi.Jakarta:UI-Press.

Pengertian Pengumpulan Data SE, Diunduh dari : Blog Kesmas (2013)

http://www.blogkesmas.com.

Pengolahan data dan kegitan pengolahan data diambil dari : Budiarto

Eko.2001.Biostatistika.Bandung : Penerbit Buku Kedokteran

Pengolahan Data Surveillans Epidemiologi. Diunduh dari : Nurfaizin Yunus

(2011) http://Nurfaizin Yunus blogspot.com.

Prof.DR.Nur Nasry Noor,M.PH. 2008. EPIDEMIOLOGI. PT. Rineka Cipta :

Jakarta.

Pius Weraman.2010. DASAR SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT. PT.

Gramata Publishing : Jakarta.

Page 140: Surveilans Epidemiologi

140Rusli Mustar (2008) Pengaruh Kebisingan Dan Getaran Terhadap Perubahan

Tekanan Darah Masyarakat Yang Tinggal Di Pinggiran Rel Kereta Api

Lingkungan XIV Kelurahan Tegal Sari Kecamatan Medan Denai Tahun

2008.Managemen Kesehatan Lingkungan Industri.USU. Sumatera Utara.

Simadibrata, M.K., Setiati, S. Ilmu Penyakit Dalam .Ed 4. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Sumber Data Surveillans diunduh dari : Tri Numiningsih (2011) http://

Trihantala.Blogspot.com.

Sutomo,Adi Heru,dkk.2007.Epidemiologi Kebidanan.Yogyakarta:Fitramaya.

Weraman, Pius.2010.Dasar Surveilans Kesehatan Masyarakat.Jakarta:Gramata

Publising

WHO.1997.WHO Recommended Surveillance Standart.Geneva.

WHO.1999.WHO Recommended Surveillance Standards, The united Kingdom of

Great Britain.

WHO.2004.WHO comprehensive assessment of the National Disease surveilans

in Indonesia.Washington DC