Upload
fachri-latif
View
421
Download
11
Embed Size (px)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini masyarakat dunia menghadapi peningkatan ancaman dari
penyakit-penyakit menular (infeksius) yang bersumber dari hewan sebagai akibat
kerusakan lingkungan,pemanasan global, dan urbanisasi yang progresif. Pemicu
paling umum terhadap munculnya penyakit baru adalah pertumbuhan cepat
dalam populasi manusia dan hewan, urbanisasi yang cepat, sistem peternakan
yang berubah (intensifikasi peternakan), integrasi yang semakin mendekat antara
hewan domestik dan satwa liar, perusakan hutan, perubahan-perubahan dalam
ekosistem, dan globalisasi perdagangan hewan dan produk-produk hewan.
Dalam program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan
menular di tingkat nasional, terdapat 5 (lima) jenis penyakit hewan menular
strategis pada ruminansia yang perlu mendapat prioritas dan perhatian khusus
karena kerugian ekonomi dan dampak kesehatan masyarakat yangditimbulkan.
Kelima jenis penyakit tersebut adalah penyakit keluron menular (Brucellosis)
pada sapi potong dan sapi pera, penyakit radang limpa (Anthrax) pada
ruminansia, penyakit Jembrana, penyakit SE dan penyakit IBR. (Sjamsul, 2010)
Bruselosis merupakan salah satu penyakit zoonosis utama yang bisa
berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan perekonomian di banyak bagian
dunia (Agasthya et al. 2007). Agen patogen utama pada sapi adalah genus Brucella
abortus). Penyakit ini pada manusia dikenal dengan Malta fever, Mediterranean
fever dan Gilbaltar fever sesuai dengan nama daerah tempat pertama kali penyakit
ini ditemukan. Juga dikenal sebagai nama undulant fever karena gejala demam
dengan suhu yang bervariasi dan berulang pada orang yang terinfeksi (Megid et al.
2010). Infeksi penyakit ini ditularkan secara langsung maupun tidak langsung
melalui kontak dengan hewan atau produk hewan yang terinfeksi (WHO 2006).
Brucellosis atau penyakit keluron menular merupakan salah satu penyakit
hewan menular strategis karena penularannya yang relatif cepat antar daerah dan
lintas batas serta memerlukan pengaturan lalulintas ternak yang ketat
(DITJENNAK, 1988). Brucellosis mengakibatkan tingginya angka keguguran
pada sapi, pedet lahir mati/ lemah, infertilitas, sterilitas dan turunnya produksi
susu (HUBBERT et al., dalam Anonimus 2009).
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 1
Penyakit Brucellosis tersebar di seluruh dunia, diestimasikan 500.000
manusia terinfeksi setiap tahunnya di negara berkembang. Estimasi prevalensi
brucellosis pada manusia di negara industri, antara lain < 1 dari 100.000 manusia
terinfeksi di Inggris, Amerika dan Australia, serta > 70 dari 100.000 manusia
terinfeksi di Timur Tengah (Sriranganathan dkk.,2009). Infeksi pada manusia
dapat disebabkan oleh konsumsi produk hewan terkontaminasi, seperti susu non-
pasteurisasi dan keju. Resiko lain berada di pengolahan karkas hewan dan/atau
penanganan kesehatan hewan terkait dengan sekresi uterus atau abortus. Selain
itu, brucellosis pada manusia disebabkan akibat medik veteriner melakukan uji
coba modifikasi vaksin hidup (modified live vaccine) ataupun strain virulen
(Sriranganathan dkk dalam Mario Lintang, 2009).
Penderita yang dilaporkan terjadi di AS, kurang dari 120 kasus tiap
tahunnya; diseluruh dunia, penyakit ini terkadang tidak diketahui dan tidak
dilaporkan. Infeksi saluran kemih dilaporkan terjadi pada 2 – 20 % kasus dan
yang paling umum adalah orkitis dan epididimitis. Biasanya terjadi penyembuhan
tetapi bisa juga terjadi kecacatan. “Case Fatality Rate” dari bruselosis sekitar 2 %
atau kurang dan biasanya sebagai akibat dari endokarditis oleh infeksi Brucella
melitensis.
Di Arab Saudi meskipun kontrol dilakukan di banyak negara maju
penyakit ini tetap endemik, di mana sero-prevalensi nasional penyakit ini sekitar
15%. Penyakit ini dikenal melalui impor daging yang tidak terkendali pada
hewan yang kurang diskrining untuk penyakit ini. Brucella mellitensis tetap
menjadi penyebab utama brucellosis pada manusia di Arab Saudi, yakni 88-93%
dari semua kasus, meskipun infeksi campuran bersama dengan Brucella abortus
jarang terjadi. (Sabra M, 2012)
Beberapa wilayah di Indonesia masih menjadi wilayah yang endemis
Brucellosis seperti Pulau Jawa, beberapa wilayah di Sulawesi, Aceh, beberapa
wilayah di bagian timur lainnya. Adapun wilayah yang merupakan daerah bebas
adalah Pulau Bali, Bangka Belitung, Kepulauan Riau; dibebaskan Pulau Sumba
dan Lombok, Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Selatan), Sumatera Barat, Riau, dan Jambi.
Penyakit ini telah menjadi ancaman global karena penyebarannya dan
kemungkinan yang disepakati para pakar bahwa dimasa yang akan datang,
penyakit menular yang muncul dan sebagian besar bersumber hewan dapat
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 2
merupakan penyakit baru (emerging infectious diseases) atau penyakit menular
lama yang muncul kembali (re-emerging infectious diseases). Selain itu, Penyakit
zoonosis memiliki dampak yang luas tidak hanya pada sektor kesehatan, juga
pada sektor perekonomian, pariwisata, dan konservasi satwa liar. Meskipun
dampak yang ditimbulkan oleh penyakit zoonosis bersifat lintas sektor, namun
selama ini pengendalian zoonosis masih bersifat sektoral.
Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa 75% dari 130 penyakit baru di
Indonesia berasal dari hewan (zoonosis) sehingga peran aktif organisasi profesi
sangat diperlukan. Penanganan zoonosis memerlukan kerjasama berbagai pihak
untuk mempelajari etiologi, epidemiologi, dan siklus perkembangan serta model
transmisi agen penyakit dan vektornya; juga gejala klinik, metode diagnosis,
terapi dan pencegahan penyakit serta menghitung dampak negatif yang
diakibatkannya secara multi sektor. (Renstra Penyakit Zoonotic Terpadu, 2012)
Makalah ini akan membahas tentang survailans integrative Brucellosis
dan semua aspek terkait didalam penanggulangan serta pengendaliannya.
B. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui analisis situasi penyakit Brucellosis
b. Mengetahui definisi surveilans integratif penyakit Brucellosis
c. Mengetahui tujuan surveilans integratif penyakit Brucellosis
d. Mengetahui kajian dan kerjasama lintas sektor surveilans integratif penyakit
Brucellosis.
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Penyakit Brucellosis
Penyakit Keluron Menular (Brucellosis) disebabkan oleh mikroorganisme
berbentuk batang dari golongan Brucella, sehingga dinamai Brucellosis karena
penghargaan dan kenangan bagi di bidang peternakan mortalitas Brucellosis
tidaklah tinggi, Brucellosis dapat menyerang ternak-ternak Sapi, Kambing,
Domba, Kuda, Babi, dll. (Bruce dalam Julman, 2010). Hampir semua hewan
domestik dapat terinfeksi, kecuali kucing yang diketahui resisten terhadap
infeksi brucella. Infeksi pada hewan dapat menyebabkan abortus, anak lahir
lemah, infertilitas, kepincangan, penurunan produksi susu dan penurunan berat
badan, yang merupakan faktor penghambat utama dalam perdagangan ternak
(Radostits et al. dalam Omar, 2006).
Roza tahun 1958 bahwa sampai tahun 1957 bruselosis belum dimasukan
ke dalam daftar penyakit menular di Indonesia sedangkan penyakit ini
diidentifikasi sudah bersifat endemis pada banyak peternakan sapi perah di
Indnesia. diusulkan agar bruselosis segera diklasifikasikan sebagai penyakit
hewan menular dan pada tahun 1959 terbit surat keputusan menteri pertanian
No5494 C/SK/M tertanggal 4 Juli 1959 tentang Peraturan pengawasan dan
tindakan-tindakan terhadap hewan bruselosis (Putra et al. 2002).
Brucellosis adalah penyakit reproduksi menular ruminansia yang
disebabkan oleh kuman Brucella sp. Penyakit ini merupakan penyakit penting
di Indonesia yang dapat menular ke manusia (zoonotik) (Anonimus, 2004).
Brucellosis dilaporkan menyebar ke berbagai wilayah Indonesia sehingga
menimbulkan kerugian ekonomis yang cukup besar bagi pengembangan
peternakan akibat kematian dan kelemahan pedet, abortus, infertilitas,
sterilitas, penurunan produksi susu dan tenaga kerja ternak, serta biaya
pengobatan dan pemberantasan yang mahal (Gede Agung,2007)
B. Etiologi Brucellosis
Brucellosis disebabkan oleh bakteri Gram negatif dari genus Brucella.
Agen infeksi memiliki morfologi khas, seperti berbentuk cocobacilli dan
bersifat fakultatif intrasellular. Dasar untuk membedakan spesies pada genus
Brucella adalah hospes spesifik dan patogenesitas. Berdasarkan hospes
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 4
spesifik, bakteri ini dikelompokkan sebagai B. abortus (ternak ruminansia
besar), B. canis (anjing), B. melitensis (kambing dan domba), B. neomatae
(rodensia), B. ovis (domba) dan B. suis (babi) (Mario Lintang P, 2012).
Identifikasi kelompok dalam spesies Brucella lebih dikenal sebagai
variasi biovar. Identifikasi subspesies, B. Abortus diklasifikasikan menjadi
biovar 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 9, B. suis diklasifikasikan menjadi biovar 1, 2, 3, 4
dan 5, serta B. melitensis diklasifikasikan menjadi serotipe 1, 2 dan 3 (Verger
dkk.,1987). Secara lengkap, isolat Brucella dengan variasi spesies dan biovar
telah dikoleksi oleh American Type Culture Collection (ATCC) di Amerika,
National Collection of Type Cultures - Great Britain (NCTC) di Inggris dan
telah didistribusikan ke beberapa negara di dunia sebagai strain koleksi untuk
laboratorium diagnosis brucellosis manusia dan hewan. (Anonimus, 2005).
C. Gejala Brucellosis
Penyakit bakteri sistemik dengan gejala akut atau insidius, ditandai
dengan demam terus menerus, intermiten atau tidak tentu dengan jangka
waktu yang bervariasi. Gejala yang timbul berupa sakit kepala, lemah,
berkeringat, menggigil, arthralgia, depresi, kehilangan berat badan dan sakit
seluruh tubuh. (Hartigan dalam Mario Lintang P, 2012)
Infeksi supuratif terlokalisir dari organ tubuh termasuk hati dan ginjal
bisa terjadi; gejala sub klinis dan infeksi kronis yang terlokalisir juga bisa
terjadi. Penyakit ini bisa berlangsung beberapa hari, beberapa bulan atau
terkadang bertahun-tahun jika tidak diobati dengan tepat.(Abdillah F, 2011)
D. Masa Inkubasi Penyakit Brucellosis
Masa inkubasi dari bakteri penyakit ini sangat bervariasi dan sangat sulit
dipastikan, biasanya sekitar 5 – 60 hari, umumnya 1 – 2 bulan, terkadang
beberapa bulan serta Tidak ada bukti terjadi penularan dari orang ke orang.
(Abdillah F, 2011)
E. Cara Penularan
Penularan terjadi karena kontak dengan jaringan, darah, urin, sekrit
vagina, janin yang digugurkan, dan terutama plasenta (melalui luka di kulit)
dan karena mengkonsumsi susu mentah dan produk susu (keju yang tidak di
pasturisasi) dari binatang yang terinfeksi. Penularan melalui udara oleh
binatang terjadi di kandang, dan pada manusia terjadi di laboratorium dan
tempat pemotongan hewan.
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 5
Beberapa kasus penularan terjadi karena kecelakaan karena tertusuk
jarum suntik pada saat menangani vaksin brusella strain 19, risiko yang sama
dapat terjadi pada waktu menangani vaksin Rev-1. Pada sapi penularannya
terjadi per oral. Sapi yang mengalami keguguran oleh brucellosis
mengeluarkan bakteri Br. abortus dalam jumlah besar melalui membran fetus,
cairan reproduksi, urine dan feses.
F. Upaya Penanganan Brucellosis
Penyakit Keluron Menular (Brucellosis) dapat dilakukan penanganan
sebagai berikut (Subronto dalam Abdilillah, 2011):
a) Pemeriksaan Serologik
Dilakukan dengan uji aglutinisasi cepat (slide/plate agglutination test) dan
uji aglutinasi tabung (tube agglutination test)
b) Vaksinasi dengan Strain 19
Vaksinasi ini akan merangsang tubuh membentuk antibody 1gM, 1gG1,
1gG2.
c) Pada penderita hewan kesayangan (Anjing) dapat dicoba dengan
memberikan suntikan dengan Antibiotika Streptomisin dan
Chlortetrasiklin berbarengan (kombinasi), hasilmya cukup memuaskan.
d) Pemeriksaan Patologis – Anatomis
Perubahan di dalam rahim : perubahan patologis yang di temukan di
dalam rahim yang berisi janin terdiri dari proses degenerasi melemak
dan nekrose dari berkas-berkas korion, perubhan tersebut disertai
dengan pengeluaran eksudat yang bersifat purulen, yang pada suatu
saat menyebabkan terpisahnya kotiledon maternal dan kotiledon
fetal.
Perubahan di dalam kelenjar limfe dan limpa : hewan yang menderita
brucellosis, reaksi jaringan mungkin berupa sebagai granuloma yang
bersifat infektif ringan, yang dapat mlanut menjadi nekrotik.
Higromata : terbentuk terutama pada sendi lutut. Lesi berbentuk
sebagai regangan sedarhana atas bungakus sinovia pada pesendiaan,
berisi cairan yang jernih atau jonjot fibrin maupun nanah.
Lesi pada hewan jantan : pada hewan jantan Br. Abortus dapat
menyebabkan abses serta nekrose pada buah pelir dan kelenjar-
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 6
kelenjar kelamin tambahan. Mani yang di ambil dari pejantan
penderita mungkin mengandung kuman Brucellosis Abortus.
e) Pemeriksaan Mikroskopik
Preparat tempel tersebut yang tersebut yang terbaik diwarnai dengan
metode koster.
f) Pemeriksaan Biakan Kuman
Media khusus untuk membiakan kuman yang harus digunakan
dipersiapkan dari pepton, serum, infusi hati, dll.
g) Uji Antibodi Fluoresen
Merupakan cara yang cepat untuk mengatahui adanya kuman brucella
dari preparat tempel yang diambil dari lambung janin, membran janin
dan sebagainya.
h) Uji Aglutinasi Serum (UAS)
i) Uji Ikat Komplemen (Complement fixation test, CFT)
j) Uji Pelat Rose Bengal (UPRB)
k) Uji Cincin Air Susu (UCAS, Milk Ring Test)
G. Strategi Pencegahan dan Pengendalian BruselosisPencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan
termasuk bruselosis merupakan tujuan utama dari pelayanan kesehan hewan.
Pemilihan strategi dalam pencegahan, pengendalian dan pemberantasan
penyakit hewan menjadi sangat penting dan sering menjadi penyebab
kontroversi diantara pengambil keputusan. Strategi yang akan dilaksanakan
harus sesuai dengan kualitas instansi pelayanan kesehatan hewan, sumber
daya ekonomi yang tersedia dan Pelaku kebijakan lingkungan kebijakan
Kebijakan Publik prevalensi penyakit. Kerjasama dengan petani menjadi
sangat penting sebagai dasar untuk melaksanakan program strategi ini
(Blasco 2010).
a) Strategi Pencegahan
Menurut WHO (2006) Pencegahan penyakit akan selalu lebih ekonomis
dan praktis daripada pengendalian dan pemberantasan. Strategi
pencegahan bruselosis meliputi :
• Seleksi pada hewan ternak pengganti. Ternak harus bebas bruselosis
dan harus berasal dari peternakan yang bebas bruselosis pula.
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 7
• Isolasi ternak pengganti setidaknya selama 30 hari dan dilakukan
pemeriksaan secara serologis.
• Pencegahan kontak dengan ternak lain
• Pengawasan secara periodik pada sapi (setidaknya empat kali per
tahun) dan pemotongan bersyarat pada hewan dengan prosedur
skrining serologis sederhana seperti RBT dan CFT.
• Melakukan disposal pada material bekas aborsi (fetus, plasenta dan
organ lainnya) dengan cara penguburan atau pembakaran serta
desinfeksi daerah yang terkontaminasi secara menyeluruh.
b) Strategi Pengendalian
Menurut WHO (2006) Tujuan dari program pengendalian hewan
adalah untuk mengurangi dampak dari penyakit dan konsekuensi
ekonomi. Eliminasi penyakit dari populasi bukanlah tujuan dari program
kontrol, kejadian penyakit masih ada dalam populasi dengan prevalensi
yang dapat diterima. Program pengendalian memiliki durasi yang tidak
terbatas dan perlu dipertahankan bahkan setelah "tingkat yang dapat
diterima" infeksi telah tercapai, sehingga penyakit tidak muncul kembali.
Di banyak negara, metode untuk pengendalian bruselosis didukung
oleh peraturan pemerintah/perundang-undangan tetapi ada di sebagian
negara yang tidak. Oleh karena itu, prosedur untuk pengelolaan populasi
ternak yang terinfeksi sangat bervariasi. Namun demikian, ada beberapa
prinsip yang berlaku, yaitu:
1) Pengurangan paparan Brucella sp. dan
2) Meningkatkan perlawanan terhadap infeksi hewan dalam populasi.
Prosedur Ini selanjutnya dapat diklasifikasikan pada kategori umum
yaitu test and Isolation/slaughter, higiene lingkungan, pengendalian
lalulintas hewan, vaksinasi serta surveilans untuk menentukan status
daerah yang diperlukan dalam menentukan kebijakan.
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 8
BAB III
PEMBAHASAN
A. Analisis Situasi
Penyakit-zoonosis di Indonesia cenderung menjadi epidemi/mewabah dan
selebihnya bersifat endemik yang menyebar secara sporadik dan perlahan, namun
pasti menggerogoti kesehatan masyarakat. Harus diakui bahwa pendekatan
penanganan zoonosis baik di sektor kesehatan maupun di sektor pertanian, sejauh
ini masih lebih bersifat insidental, parsial dan kasuistik, belum kepada pendekatan
yang benar-benar preventif, holistik dan terintegrasi. Situasi ini sangat tidak
mendukung bagi dicapainya kinerja yang optimal. Dengan kata lain, pendekatan
dalam pengendalian zoonosis masih lebih banyak kepada tindakan kuratif
daripada pendekatan preventif.(Abdillah, 2011)
Situasi ini sangat tidak menguntungkan karena berakibat kurangnya
kesempatan bagi masyarakat luas untuk ikut berpartisipasi dalam proses
pengendalian penyakit. Dalam rangka pengendalian zoonosis, pendekatan di
kesehatan manusia cenderung bersifat kuratif sehingga berakibat melemahnya
penerapan sistem surveilans dan respon cepat di lapangan.
Sektor kesehatan yang masih tetap memberikan perhatian pada penyakit-
penyakit tersebut karena menimbulkan dampak terhadap kesehatan masyarakat.
Perbedaan pertimbangan mengenai prioritas zoonosis yang bernilai strategis bagi
keduanya perlu disepakati untuk ditangani bersama. Pengendalian zoonosis di
dalam negeri sudah sangat mendesak dibeberapa daerah karena penyakit tersebut
sudah menyatu dengan kondisi sosial budaya serta di pengaruhi oleh tingkat
kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Di Indonesia telah menyebar di 26 propinsi, secara ekonomi dan sosial
menimbulkan kerugian besar. Jika pengendalian tidak dilakukan kerugian
ekonomi akibat penyakit ini dapat mencapai 385 milyar per tahun. Sampai saat ini
wilayah yang bebas dari penyakit Brucellosis adalah Propinsi Bali, sedangkan
Pulau lombok telah berhasil dibebaskan pada tahun 2002 dan P. Sumbawa bebas
pada awal tahun 2006. Meskipun demikian, kemungkinan timbulnya wabah
Brucellosis harus tetap diwaspadai karena pemberantasan penyakit yang tidak
optimal dan seksama akan memperluas penyebaran penyakit. (Sjamsul B, 2010)
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 9
B. Situasi Endemisitas
Di Indonesia, bruselosis secara serologis diketahui pertama kali pada tahun
1953, ditemukan pada sapi perah di Grati, kabupaten pasuruan, Jaawa Timur. B.
abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Pada tahun 1940 penyakit bruselosis
juga dilaporkan di Sumatera Utara dan Aceh, dikenal dengan nama sebutan sakit
sane (radang sendi) atau sakit burut (radang testis). Dilihat dalam daftar penyakit
hewan menular yang diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda yang tertuang
staatsblaad 1912 No.432 dan 435, penyakit ini belum terdaftar dalam staatsblaad
tersebut.
Gambar 1. Peta Distribusi Bruselsosis Secara Serologis (PerkembanganKasus
Brucellosis 1 Januari s.d. 31 Desember 2010 (Data: Kementerian Pertanian)
Perkembangan penyakit brucellosis sangat cepat, pada awal tahun 2010
brucellosis hanya terdeteksi di 5 provinsi tetapi pada akhir tahun 2010 kasus
brucellosis telah terdeteksi di 10 provinsi walaupun hewan yang terjangkit
penyakit tersebut langsung dipotong (Ditjennakeswan 2010).
Untuk tahun 2010, jumlah kasus brucellosis sebanyak 558 untuk 10
Provinsi (Banten, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam, Nusa Tenggara
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 10
Timur, dan Sulawesi Selatan). Sampai Bulan Oktober 2011, jumlah yang
tercatat 106 kasus untuk 5 Provinsi (Jawa Timur, Kalimantan Selatan,
Nanggroe Aceh Darussalam, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah).
Namun demikian, data yang disediakan Kementerian Pertanian tidak dapat
mewakili nasional karena diperoleh dari survey di beberapa provinsi. Selain
itu, dari data tersebut tidak bisa melihat kecenderungan perkembangan kasus
brucellosis karena perbedaan provinsi yang disurvei setiap tahunnya. Oleh
karena itu, data ini hanya dapat menggambarkan jumlah kasus brucellosis
yang terdata.
C. Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis
Surveilans adalah suatu kegiatan yang bersifat rutin dan teratur, tepat dan
menyeluruh berupa pencatatan, pengamatan, dan pelaporan (RR) yang cermat dan
lengkap mengenai distribusi, frekuensi, dan faktor yang mempengaruhi masalah
kesehatan untuk kepentingan baik perencanaan maupun intervensi. Sedangkan
integratif adalah suatu keterpaduan dalam beberapa hal.
Jadi surveilans integratif Brucellosis adalah suatu kegiatan yang menghasilkan
suatu informasi dari hasil pencatatan, pengamatan, dan pelaporan mengenai
distribusi, frekuensi, dan faktor risiko penyakit Brucellosis dimana dalam hal
intervensi dan pencegahan penyakit ini dilakukan keterpaduan antara lintas sektor
sehingga menghasilkan suatu perencanaan yang mampu menangani masalah
kesehatan dalam hal ini penyakit.
D. Langkah Dasar Untuk Mendesain Sistem Surveilans Brucellosis
Sistem tes surveilans brucellosis seharusnya berimbang antara
sensitivitasnya dan spesifitasnya dan harus terstandarisasi. Sedangkan sistem
surveilansnya sendiri harus fleksibel dengan motto adaptasi dan bukan adopsi.
Tradisionalnya terdapat dua sistem surveilans brucellosis, yaitu surveilans pasif
dan aktif. Surveilans pasif (monitoring) adalah sistem rutin yang kegiatannya
dilaporkan baik dari departemen kesehatan atau departemen peternakan dimana
surveilans aktif digunakan untuk menunjang dan melengkapi data yang diperoleh
dari surveilans pasif yang dilakukan dengan cara investigasi secara langsung,
survey, atau studi epidemiologi.
Survei pasif biasanya dilakukan lebih murah daripada survey aktif. Tapi dari
segi sensitivitas dan spesifisitas biasanya tidak diketahui. Surveilans aktif lebih
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 11
spesifik dan sensitive, dan hasil kegiatan lebih dapat diukur. Kedua sistem
tersebut, adalah penting dan harus terintegrasi semaksimal mungkin. Infeksi dari
penyakit brucellosis biasanya bersifat kronik baik pada manusia maupun hewan,
gejala dan masa inkubasi bervariasi, dan hasil dari tes laboratorium bersifat
essensial. Terdapat sepuluh langkah dasar dalam mendesain dan mengkoordinasi
sistem surveilans brucellosis, diantaranya adalah :
1. Identifikasi indikator kesehatan dari manusia dan hewan. Surveilans harus
selalu berorientasi pada outcome dan fokus pada kejadian yang berasosiasi
dengan penyakit yang disurvei.. Hilangnya hari yang digunakan untuk
bekerja pada manusia, dan berkurangnya fertility, dan kesuburan pada
binatang. Indikator surveilans dapat berbentuk :
a) Numerikal, seperti jumlah yang terinfeksi, dll.
b) Rasio, seperti jumlah kasus baru yang diidentifikasi pada tahun tersebut
yang dibandingkan dengan jumlah kasus yang sama pada tahun
sebelumnya.
c) Rate atau persentase. Idealnya, ukuran rasio lebih disukai. Insiden rate
akan sangat berguna untuk merefleksikan dinamika penyakit brucellosis
atau infeksi pada sistem surveilans dibandingkan dengan prevalens rate.
Semua indikator tersebut harus dievaluasi secara periodik untuk memastikan
indikaor tersebut masih sesuai dengan tujuan awal dilakukan surveinya.
2. Menetapkan Tujuan Utama Secara Jelas
Untuk brucellosis, tujuan dapat termasuk :
a) Determinasi dari insiden dan prevalensi dari manusia yang terinfeksi,
binatang, kelompok binatang, desa, jalan, dsb.
b) Mandeteksi apakah kasus tesebut menjadi wabah, sporadic, atau kasus
endemis.
c) Identifikasi vehicle dan rute transmisi ke manusia, apakah termasuk
foodborbe, airborne, atau kontak dengan binatang.
d) Memonitoring tren penyakit jangka pendek dan jangka panjang
berdasarkan lokasi dan waktu.
3. Mengembangkan definisi kasus secara spesifik.
Untuk penyakit manusia, kumpulan gejala spesifik dan tanda dan tes
laboratorium diperlukan untuk mendeskripsikan possible, probable, atau
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 12
confirmed case. Pada binatang, isolasi spesies brucella digunakan dengan
atau tanpa tes serologi. Apapun sistem yang digunakan haruslah
komprehensif dan bermutu. Dengan kata lain, untuk binatang dapat positif,
negative, atau uncertain. Harus ada batasan waktu dan berapa lama binatang
dikategorikan menjadi uncertain. Sedangkan kasus aborsi dapat digunakan
sebagai sistem surveilans sentinel.
4. Mengidentifikasi sumber data yang ada atau mengembangkan sistem
pengumpulan data baru termasuk diagram alirnya.
Sistem pengumpulan data yang baru harus dilakukan secara hati – hati untuk
melihat apakah beberapa atau seluruh sistem pengumpulan data dapat
diadaptasi untuk surveilans brucellosis. Sebagai contoh, apabila kunjungan
rutin pada peternakan dilakukan untuk melakukan vaksinasi sekaligus dapat
dilakukan pengambilan sampel darah untuk dilakukan pengamatan brucella
dalam waktu yang bersamaan.
5. Tes awal / Uji coba awal (pilotest) metode surveilans yang kita buat di
lapangan.
Dalam melaksanakansurveilans, selalu ditemukan masalah yang tidak
diduga – duga sebelumnya, terutama pada sistm yang baru dibentuk. Jadi,
pilotest selalu dibutuhkan. Sebagai contohnya, pre-test kuesioner, form, dan
program computer. Kesalahan terbesar dapat diakibatkan minimnya
partisipasi masyarakat, terutama jika pemilik peternakan tidak percaya dan
tidak kooperatif.
6. Mendefinisikan peraturan tes laboratorium pada sistem brucellosis surveilans.Direktur dari laboratorium kesehatan dan peternakan harus selalu dilibatkan
pada tahap perencanaan. Identifikasi sumber daya yang sekarang dan telah
ada baik pada wilayah regional dan pusat menginventarisi sumber daya yang
ada pada laboratorium daerah dan pusat termasuk pelatihan, perlengkapan,
reagensia, dan ketersediaan. Semua uji yang dilakukan harus terdokumentasi
berdasarkan SOP termasuk program kualitas kontrolnya.
7. Mengontrol validitas sistem
Baik menggunakan catatan ataupun computer, error selalu dapat terjadi.
Orang yang paling bertanggungjawab pada database seurvailans harus
berhubungan degan seorang epidemiologis mengembangkan sistem
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 13
checking error secara rutin termasuk data yang hilang sehingga kesalahan
besar dapat dicegah.
8. Analisis dan Interpretasi data surveilans.
Kegiatan ini harus dilakukan secara tepat. Pemilihan metode analisis data
dan interpretasi data harus dilakukan untuk mempermudah teknik
pengendalian yang nantinya akan dilakukan. Analisis dan interpretasi pada
area yang luas dapat dilakukan dengan cara maping untuk mengetahui
penyebaran penyakit.
9. Mengambangkan metode diseminasi.
Diseminasi harus dilakukan secara tepat untuk dapat dilakukan
pengendalian. Apakah dilakukan dengan surat berita, siposkan, fax, email,
atau disuratkan secara elektronik pada level daeah. Atau sistem yang lebih
kompleks pada pengambil keputusan. Media massa seperti Koran, radio,
televisi, internet, dapat digunakan ntuk menginformasikan kepada public
terutama pada produsen daging dan peternakan.
10. Evaluasi sistem surveilans brucellosis
Idealnya, evaluasi sistem surveilans harus dilakukan pada interval tertentu
oleh individu maupun kelompok yang memiliki pengalaman epidemiologi
brucellosis. Pihak – pihak yang bertanggngjawab pada sistem haru
mempertanyakan pada komponen dokumen yang antara lain :
a) Deskripsi kejadian kesehatan di bawah sistem survailans dalam bentuk
jumlah kasus, insiden, dan prevalen. Indikator performance, diagnostic
yang berhubungan dengan indicator juga harus berhubungan dengan
tujuan.
b) Deskripsi sistem harus dievaluasi, termasuk tujuan dan definisi kasus
kejadian kesehatan dalam survailans. Diagram alir sistem harus
tersedia. Setiap komponen dalam diagram alir harus dideskripsikan
secara detail, dan bersamaan dengan overview dan bagaimana sistem
beroperasi.
c) Mengindikasikan kegunaan dari sistem dengan cara mendeskripsikan
aksi yang diambil oleh decision maker dan lainnya sebagai hasil dari
informasi yang didapatkan dari data survailans.
d) Mengevaluasi sistem secara keseluruhan pada atribut di bawah ini :
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 14
1) Simplisity
2) Fleksibility
3) Acceptability
4) Sensitivity
5) Predictive value
6) Positive resource
7) Representativness, dan
8) Timeliness
e) Mendeskripsikan sumber daya yang digunakan oleh operator sistem dan
apabila memungkinkan memprediksikan biaya yang diperlukan.
f) Membuat list keismpulan dan rekomendasi.
E. Tujuan Surveilans Integratif Brucellosis
Tujuan utama dari human surveillance Brucellosis adalah untuk
mengidentifikasi infeksi baru pada manusia. Hal ini biasanya dilaporkan sebagai
kasus per 100.000 populasi. Tujuan lainnya adalah untuk mendeterminasi apakah
infeksi adalah utamanya berasal dari makanan atau berasal dari lainnya. Jika
berasal dari makanan apakah infeksi tersebut berasal dari produksi rumahan atau
komersial food. Surveilans rutin terhadap makanan yang beresiko tinggi biasanya
mahal dan tidak menjamin 100% keamanan makanan yang dapat dilakukan saat
Hazard Analisis And Critical Control Point (HACCP) program, seperti
memonitor treatment pemanasan dan pemasakan. Tujuan kedua adalah apakah
infeksi pada manusia didahului pada infeksi yang tidak terukur sebelumnya pada
binatang.
Indikator survailans pada manusia :
1) Performance Based Indicators Jumlah kasus baru (confirmed) per
100.000 populasi yang dibandingkan dengan tahun sebelumnya atau batas
waktu yang sama dengan sebelumnya.
2) Diagnostic Based Indicator Termasuk :
a) Proporsional comparisons : suspected, probable, and confirm.
b) Comparison of source of report, seperti physicans, rumah sakit, ahli
pengobatan, dsb.
c) Comparison of probable source, seperti foodborne, kontak dengan
hewan, dsb.
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 15
3) Indikator berdasarkan sumber daya termasuk:
a) Jumlah test bacteriological, relative pada jumlah tes serologis.
b) Jumlah kasus kultur positif, dalam hubungannya terhadap jumlah
kultur yang diperiksa.
F. Kajian Surveilans Integratif Brucellosis
Gambar 2. Mekanisme Koordinasi Lintas Sektor (Sumber: Restra Penyakit Zoonotik 2012)
Mekanisme koordinasi/ komando yang dirumuskan (Gambar 2) adalah pada
tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat. Dinas Kesehatan (Dinkes) dan DINPKH
(Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan atau Dinas yang menaungi fungsi Kesehatan
Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner) beserta Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) dan Lembaga Non Pemerintah (LNP) terkait lainnya pada tingkat
Kabupaten/Kota ataupun Provinsi dikoordinasikan sesuai dengan pengaturan Perpres
no.30 tahun 2011 tentang pengendalian zoonosis yang pelaksanaan koordinasi lintas
sektor dilaksanakan melalui wadah koordinasi Komisi Nasional Pengendalian
Zoonosis pada tingkat pusat.
Komisi Provinsi Pengendalian Zoonosis pada tingkat provinsi dan Komisi
Kabupaten/Kota pada tingkat Kabupaten/Kota. Sifat koordinasi yang dilakukan dalam
wadah koordinasi tersebut bersifat koordinatif fungsional dan berubah menjadi
komando operasional saat keadaan wabah dengan mempertimbangkan tingkatan
prevalensi wabah yang terjadi. Pejabat struktural di daerah provinsi atau
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 16
kabupaten/kota yang mengoordinasikan pengendalian zoonosis secara lintas sektor
adalah sekretaris daerah (Sekda) atau pejabat yang memiliki fungsi koordinatif sesuai
dengan peraturan Gubernur dan Bupati/Walikota yang mengacu kepada Perpres
nomor 30 tahun 2011. Hasil koordinasi pelaksanaan pengendalian dan perkembangan
zoonosis dilaporkan secara berkala atau sewaktu-waktu kepada Gubernur dan
Bupati/Walikota yang menjabat secara ex officio sebagai ketua komisi pengendalian
zoonosis Provinsi dan ketua komisi pengendalian zoonosis Kabupaten/Kota.
Gubernur mengoordinasikan Bupati/Walikota di wilayah provinsi dalam pelaksanaan
pengendalian zoonosis.
Bupati melaporkan hasil pelaksanaan pengendalian zoonosis kepada
Gubernur. Gubernur melaporkan hasil pengendalian zoonosis dalam wilayah provinsi
kepada Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua Komisi
Nasional Pengendalian Zoonosis. Instansi pemerintah pusat melaporkan hasil
pengendalian zoonosis sesuai tupoksinya kepada Menko Kesra dalam sidang Komisi
Nasional Pengendalian Zoonosis. Hasil Sidang Komnas Pengendalian Zoonosis
dilaksanakan oleh instansi anggota Komnas Pengendalian Zoonosis sesuai tupoksinya
masing-masing. Hasil sidang Komnas disampaikan kepada Komisi Provinsi sebagai
acuan dalam pengendalian zoonosis. Menko Kesra selaku ketua Komnas melaporkan
pengendalian zoonosis nasional kepada Presiden.
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 17
SurvailansEntomologi
Data yang dibutuhkan:Data Hewan ReservoarData RBT dan CFTData PenderitaDemografiPerilaku
PusatData RBT dan CFT
Konfirmasi Lab. Keswan
Pemeriksaan
Specimen reservoar
Konfirmasi UPT
BPPV
SurvailansReservoar
Konfirmasi Balai
Kesehatan Hewan
Gambar 3. Alur Strategi Kebjakan untuk pengendalian Bruselosis. (Sumber : Abellan 2002)
Berbagai negara atau daerah yang berbeda dalam suatu negara mungkin
memerlukan strategi yang berbeda dalam melaksanakan program pencegahan dan
pengendalian brucellosis. Strategi bisa tergantung pada epidemiologi dan kondisi
sosial ekonomi. Keputusan mengenai strategi yang tepat untuk pengendalian
dan/atau pemberantasan brucellosis biasanya tanggung jawab pemerintah pusat
meskipun ada beberapa negara yang mendelegasikan kepada daerah atau provinsi
serta dibuat berlaku untuk individu atau masyarakat pulau.
Dari gambar 2 mengenai alur skema lintas sektor dalam pengendalian
penyakit Zonotik di Indonesia serta gambaar 3, maka penulis mencoba
memberikan alur integritas mengenai penyakit Brucellosis secara khusus dimana
dapat dilihat pada gambar 4 (Alur Integritas Surveilans Brucellosis).
Gambar 4. Alur Integritas Surveilans Brucellosis
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 18
Gambar 4 menunjukkan alur integritas pelaksanaan surveilans Brucellosis.
Surveilans Brucellosis terdiri dari surveilans resorvoar, entomologi, surveilans
penderita, surveilans perilaku, sosial ekonomi, dan surveilans pelaksanaan program.
Surveilans entomologi melakukan pemeriksaan spesimen nyamuk dengan
menggunakan data entomologi. Kemudian survey ini dikonfirmasi oleh data UPT
BPPV (Balai Penyelidikan dan Pengujian Veteriner) dan laboratorium Kesehatan
Hewan. Selain itu, kerjasama lintas sektor sangat dibutuhkan untuk menangani
penularan brucellosis dan melibatkaan stakeholder dalam pengendalian dan jika perlu
juga terliba dalam pengawas dimana pengawasan ini bertujuan untuk meminimalisir
terjadinya penularan Brucellosis.
Stakeholder adalah orang yang berkepentingan atau berwenang dalam melakukan
tindakan/ action secara tepat dan cepat dalam mengatasi masalah penyakit termasuk
Brucellosis. Stakeholders dalam sistem kesehatan terdapat 2 jenis, yaitu :
1. Stakeholders aktif, yang dapat menjadi stakeholder kunci. Stakeholders ini pada
umumnya yang mempunyai kewenangan resmi seperti Depkes, Dinkes,
Dinkeswan dinas peternakan, perkebunan, dan lain lain.
2. Stakeholders pasif, yang dapat disebut stakeholder pendukung. Pada umumnya
kelompok ini sebagai kelompok target dari implementasi sistem kesehatan serta
Lembaga Non-Pemerintah (LPN). Misalnya kelompok masyarakat dan swasta,
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 19
yang pada umumnya tidak memiliki kewenangan resmi. Stakeholder ini dapat
juga mendekati stakeholders aktif jika memiliki kepentingan dan pengaruh untuk
mendapatkan pengakuan dari stakeholder lainnya.
Beberapa stakeholders dan peranan yang dapat dilakukan oleh stakeholders
tersebut dalam masalah Brucellosis adalah :
1. Stakeholders aktif
Dinas yang terkait dalam stakeholders dan peranan dalam masalah Brucellosis:
a. Pemerintah
Pemerintah kota/kabupaten berwenang dalam masalah kebijakan-
kebijakan pencegahan dan pengendalian Brucellosis. Kebijakan ini menjadi
langkah represif untuk penanganan dan pengendaaliaan Brucellosis dari
Pemerintah kota/kabupaten langsung ke masyarakat. Bentuk peran lainnya
adalah pengalokasian dana untuk program pengendalian penyakt tersebut.
1) Bupati : memberikan surat keputusan atau kebijakan kepada setiap
kecamatan agar berperan aktif dalam pengendalia penyakit Brucellosis.
2) Kecamatan : memberikan surat keputusan atau kebijakan dari bupati
kepada desa/kelurahan.
3) Kelurahan : melaksanakan surat keptusan atau kebijakan mengenai
pengenalan, pengendalian dan penanganan brucellosis dengan cara
memberitahukan kepada perangkat desa, tokoh masyarakat, tempat
pemtongan hewan, pedagang daging di pasar tradisional untuk waspada.
b. Dinas Kesehatan
Dinas Kesehatan merupakan penyelenggara kegiatan surveilans
berkoordinasi dengan DINPKH (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan atau
Dinas yang menaungi fungsi Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat
Veteriner) terhadap penyakit brusellosis. Kedua sektor ini bekerjasama dalam
membentuk UPT BPPV dengan melakukan sensus dan resampling yang
dilakukan di kabupaten tempat reaktor hewan dengan menempatkan beberapa
petugas BPPV yang terlatih (para dokter hewan) untuk menyisir , menguji
RBT di tempat dan menandai sapi-sapi reaktor.
c. Puskesmas
Puskesmas sebagai bagian dari dinas Kesehatan, melakukan sosialisasi
dengan warga tentang bahaya Infeksi Brucellosis. Perannya yaitu memberikan
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 20
penyuluhan langsung terhadap masyarakat yang bekerja sama dengan kader
masyarakat dengan metode .
d. Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan
Dinas Peternakan dan Karantina Hewan menjalin komitmen dengan
pemasok untuk melakukan uji RBT dan uji konfirmatif dengan CF sapi/
hewan reservoir untuk lebih meningkatkan jaminan bahwa sapi bibit yang
masuk dan akan disebarkan ke peternak memang benar-benar bebas
brucellosis, dan tidak ada tersembunyi sapi karier yang false negatif uji.
2. Stakeholders pasif
Stakeholder pasif yang dimaksud disini adalah masyarakat. Adapun peranan
masyarakat dalam program Brucellosis yaitu :
1) Membantu dinas kesehat hewan melakukan pennyedian vaksin dalam
memberantas reaktor virus melalui kegiatan pengawasan serta penanganan
lalu lintas daging sapi di pasaran.
2) Membantu petugas kesehatan dalam hal pelaporan kasus Brucellosis jika
ada termasuk kasus suspek ke pihak yang berwenang.
3) Mengikuti program pemerintah dalam penyuluhan dan pengendalian
penyakit Brucelloisis.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Brucellosis merupakan penyakit zoonosis yang dapat menular dari hewan ke
manusia. Rendahnya publikasi brucellosis pada manusia serta tidak adanya
laporan kasus brucellosis pada manusia di Indonesia adalah sebagai penyebab
kurang dikenalnya brucellosis oleh masyarakat.
2. Jumlah kasus Brucellosis masi banyak terjadi di wilayah Indonesia. Sebanyak
558 untuk 10 Provinsi dan Sampai Bulan Oktober 2011, jumlah yang tercatat
106 kasus untuk 5 Provinsi yakni Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Nanggroe
Aceh Darussalam, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tengah.
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 21
3. Surveilans integratif Brucellosis adalah suatu kegiatan yang menghasilkan
suatu informasi dari hasil pencatatan, pengamatan, dan pelaporan mengenai
distribusi, frekuensi, dan faktor risiko penyakit Brucellosis dimana dalam hal
intervensi dan pencegahan penyakit ini dilakukan keterpaduan antara lintas
sektor sehingga menghasilkan suatu perencanaan yang mampu menangani
masalah kesehatan dalam hal ini penyakit.
4. Tujuan utama dari human surveillance Brucellosis adalah untuk
mengidentifikasi infeksi baru pada manusia. Hal ini biasanya dilaporkan
sebagai kasus per 100.000 populasi serta untuk mendeterminasi apakah infeksi
utamanya adalah berasal dari makanan atau berasal dari lainnya.
5. Adapun bentuk surveilans integratif Brucellosis yaitu kerjasama lintas sektor
atau stakeholder dalam menangani masalah ini. Adapun stakeholder yang
berperan yaitu Dinas Kesehataan Hewan, Pemerintah, Dinas Kesehatan,
Puskesmas, UPT BPPV (Balai Penyelidikan dan Pengujian Veteriner)Dinas
Peternakan, balai laboratorium kesehatan Hewan dan juga masyarakat.
B. Saran
1. Pengendalian brucellosis pada hewan dengan program eradikasi yang
komperhensif berupa eliminasi hewan positif brucellosis secara serologis dan
melalui program vaksinasi dapat menanggulangi kejadian brucellosis pada
manusia .
2. Kerjasama lintas sektor dalam menangani masalah Brucellosis sebaiknya lebih
ditingkatkan lagi mengingat Brucellosis merupakan salah satu penyakit yang
endemis. Menggaet juga lebih banyak LSM untuk membantu penanganan dan
pengawannya. Dengan meningkatnya kerjasama lintas sektor maka diharapkan
tidak ada lagi daerah endemis Brucellosis yang baru atau berkurangnya status
endemisitas penyakit ini di suatu daerah.
3. Kelengkapan pencatatan dan pelaporan kasus brucellosis yang lebih baik dapat
berpengaruh terhadap program-program yang akan dilakukan dalam rangka
penanganan penyakit brucellosis.
4. Apabila pelaksanaan kegiatan di daerah tidak optimal, perlu dipertimbangkan
perubahan kebijakan terhadap PHM (Penyakit Hewan Menular) yaitu
Brucellosis. Strategis termasuk yang bersifat zoonosis yaitu dari program
pemberantasan menjadi program pengendalian. Sangat strategis untuk
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 22
melibatkan peran dan keikutsertaan Depdagri dalam pengendalian PHM
Strategis termasuk yang zoonosis.
Surveilans Integratif Penyakit Brucellosis | 23