19
SVLK Ku, SVLK Mu, SVLK Kita Semua Oleh : Rio R. Bunet 1 Mendapat kesempatan pelatihan di UK adalah bagai jendela emas. Negeri Sri Ratu Elizabeth itu sudah kondang punya tradisi dunia pendidikan unggul dan mengedepankan pendekatan ilmu interdisipliner, bahkan masih diberi embel-embel multipihak, tentu karena titipan DFID sebagai penyandang dana. Sambil pelatihan, dapat bertemu narasumber dunia untuk isu forest governance, mentor berpengalaman, praktisi berbagai negara dan berdiskusi di forum sekelas Catham House yang melegenda itu. Maka ketika konsep paper saya tentang strategi penggalangan sumberdaya untuk implementasi SVLK dan proses VPA, tidak ditampik panitia penyelenggara, saya sangat bersuka cita. Bahkan kemudian menyediakan dosen pendamping khusus dari Birmingham University. Sang dosen, Willem Van Eekellen dari Belanda bukan kepalang pengalamannya di dunia Resource Mobilization and program CSR. Selain mengajar, ia juga praktisi di berbagai perusahaan besar di Eropa, salah satunya Unilever.Singkat cerita, akhirnya saya terdampar di salah satu kamar di Kampus Universitas Wouverhampton UK, dengan satu tekad, ingin memberi sesuatu untuk kemajuan SVLK! Sepuluh hari berlalu, tibalah saat bertemu dengan sang dosen pembimbing. Pagi itu pada musim panas Juni 2011, angin dingin bertiup kencang berhembus hingga di halaman kampus. Kami duduk dibangku taman memulai diskusi. Meneer Willem tengah mempelajari skema yang saya sodorkan di selembar kertas. Ia menahan napasnya, sejenak menyeruput kopinya dengan tatapan mata tetap lurus pada kertas, sambil terus mendengar penjelasan saya. Kami berdiskusi panjang lebar dan diakhiri 1 Bergabung dengan Yayasan KEHATI sejak 1996 dengan jabatan terakhir manajer konservasi dan pemanfaatan keanekaragam hayati untuk kawasan Timur Indonesia. Bergabung dengan program MFP II pada 2008 sebagai Community Development Facilitator sebelum akhirnya menjabat Institutional Development Facilitator di MFP II pada awal 2010.

SVLKku, SVLKmu, SVLK kita semua

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Gagasan Penggalangan Sumberdaya untuk Sistem Verifikasi Legalitas Kayu

Citation preview

Page 1: SVLKku, SVLKmu, SVLK kita semua

SVLK Ku, SVLK Mu, SVLK Kita Semua

Oleh : Rio R. Bunet1

Mendapat kesempatan pelatihan di UK adalah bagai jendela emas.

Negeri Sri Ratu Elizabeth itu sudah kondang punya tradisi dunia pendidikan

unggul dan mengedepankan pendekatan ilmu interdisipliner, bahkan masih

diberi embel-embel multipihak, tentu karena titipan DFID sebagai

penyandang dana. Sambil pelatihan, dapat bertemu narasumber dunia untuk

isu forest governance, mentor berpengalaman, praktisi berbagai negara dan

berdiskusi di forum sekelas Catham House yang melegenda itu.

Maka ketika konsep paper saya tentang strategi penggalangan

sumberdaya untuk implementasi SVLK dan proses VPA, tidak ditampik

panitia penyelenggara, saya sangat bersuka cita. Bahkan kemudian

menyediakan dosen pendamping khusus dari Birmingham University. Sang

dosen, Willem Van Eekellen dari Belanda bukan kepalang pengalamannya di

dunia Resource Mobilization and program CSR. Selain mengajar, ia juga

praktisi di berbagai perusahaan besar di Eropa, salah satunya

Unilever.Singkat cerita, akhirnya saya terdampar di salah satu kamar di

Kampus Universitas Wouverhampton UK, dengan satu tekad, ingin memberi

sesuatu untuk kemajuan SVLK!

Sepuluh hari berlalu, tibalah saat bertemu dengan sang dosen

pembimbing. Pagi itu pada musim panas Juni 2011, angin dingin bertiup

kencang berhembus hingga di halaman kampus. Kami duduk dibangku

taman memulai diskusi. Meneer Willem tengah mempelajari skema yang

saya sodorkan di selembar kertas. Ia menahan napasnya, sejenak menyeruput

kopinya dengan tatapan mata tetap lurus pada kertas, sambil terus

mendengar penjelasan saya. Kami berdiskusi panjang lebar dan diakhiri

                                                                                                               1 Bergabung dengan Yayasan KEHATI sejak 1996 dengan jabatan terakhir manajer konservasi dan pemanfaatan keanekaragam hayati untuk kawasan Timur Indonesia. Bergabung dengan program MFP II pada 2008 sebagai Community Development Facilitator sebelum akhirnya menjabat Institutional Development Facilitator di MFP II pada awal 2010.

Page 2: SVLKku, SVLKmu, SVLK kita semua

dengan pertanyaan saya, “Is this doable?”. Pertanyaan ini dijawabnya sambil

tersenyum, “Yes, until you can proof it and make it operational”.

Diskusi singkat itu, kemudian mengantarkan hari demi hari saya

mengikuti pelatihan dan mempelajari berbagai literatur yang dikirimkannya

melalui surel. Hingga dua minggu berikutnya saya menyerahkan dan

mempresentasikan sebuah proposal berjudul “Developing Resources

Mobilization Strategy to Support A Public Private Partnership in Improving

Governance and Best Practices on Sustainable Forest Management Toward

FLEGT-VPA Implementation”

Setahun berlalu. Willem kemudian melalui surel membuat janji

menelpon saya. Ia memang ditugaskan memonitor perkembangan setiap

proposal yang dibuat murid bimbingannya. “Bagaimana proposal anda ?”.

Sayangnya memang tidak terjadi banyak perkembangan karena ketiadaan

partner diskusi dan kesempatan menyampaikan gagasan dalam forum yang

memadai sepanjang tahun-tahun berikutnya. Apalagi selain bukan tupoksi

sebagai fasilitator di program MFP, padatnya jadwal menyelesaikan berbagai

kegiatan menjelang akhir program dan persiapan menuju proses

penandatangan VPA dan ratifikasi, rasanya semakin mustahil saja

menindaklanjuti proposal saya.

Sepanjang ingatan, saya pernah mempresentasikan gagasan itu kepada

Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, Tim EFI dari Belgia yang datang atau

sekedar mengirimkan konsep kepada kolega dan teman sejawat. Meski tak

banyak respon, keinginan untuk menyampaikan gagasan itu kepada banyak

pihak tetap menjadi perhatian saya. Melalui mimbar ini, keinginan berbagi

gagasan muncul lagi. Tidak muluk targetnya, ingin memberi sudut pandang

lain menyambut SVLK, dan menghentikan energi para pihak yang pro dan

kontra larut dalam situasi perdebatan, yang justru melemahkan kebijakan

SVLK bahkan proses negosiasi FLEGT VPA itu sendiri.

Modal Sosial Semakin Menguat

Bulan Juli tahun yang sama, tepat dua tahun sejak diundangkannya

Permenhut 38/2009, sebuah gawe besar multipihak kembali digelar. Dimulai

Page 3: SVLKku, SVLKmu, SVLK kita semua

melalui Konsultasi Publik Regional di berbagai daerah pada Mei 2011 dan

kemudian disusul konsultasi nasional di Jakarta, dimana stakeholder

kehutanan duduk bersama memberi input untuk membantu Kemenhut

mengakomodir usulan berbagai pihak yang concern dengan SVLK, hingga

akhirnya pada akhir 2011 proses revisi menelurkan Permenhut68/2011 dan

Perdirjen8/2011 (Revisi terbaru P68/2011 menjadi Permenhut45/Menhut-

II/2012 dan Perdirjen8/2012).

Momen itu terasa begitu istimewa, menunjukkan betapa besarnya

modal sosial stakeholder kehutanan mencurahkan tenaga, pikiran dan waktu

mengawal perbaikan kebijakan legalitas kayu. Jauh sebelumnya proses

konsultasi publik (2003-2007) telah dimulai untuk mewujudkan gagasan

sertifikasi legalitas kayu nasional. Gairah itu bahkan terus berlanjut pada

bulan Ramadhan 2012, dimana usulan dari asosiasi baik pengusaha besar,

pengrajin dan industri kecil terus memberi masukan demi penyempurnaan

SVLK agar lebih operasional, dan applicable. Lagi-lagi Kemenhut, Kemendag

dan Kemenprin harus duduk bersama dengan wakil ASMINDO Solo, APKJ

Jepara dan APIK Buleleng diawal minggu bulan puasa itu. Sebelumnya

jajaran Direktorat General Bina Usaha Kehutanan juga menerima tim studi

JAVLEC melaporkan situasi yang dialami pengelola hutan rakyat di Jawa.

Laporan itupun segera direspon dengan Kemenhut dengan memperbaiki

kebijakan SVLK agar memungkinkan pengelola hutan rakyat dan pengrajin

kecil meraih sertifikat.

Proses konsultasi dengan stakeholder tidak hanya terjadi di lingkungan

Kemenhut. Proses serupa juga dilakukan di Kemendag untuk merevisi

Permendag20/2008 sebagai konsekuensi dari adanya kebijakan SVLK, aturan

ekspor produk kayu juga harus diharmonisasikan.

Berbagai kegiatan dan proses multipihak terus mewarnai perjalanan

SVLK hingga saat ini, bahkan kian intensif memperkuat posisi Indonesia

dalam negosiasi VPA dengan benua biru Eropa. Menguatnya modal sosial itu

dapat terpapar sepanjang sejarah sejak Deklarasi Bali 2001 disusul

penyusunan konsep legalitas kayu hingga uji coba pengapalan produk

bersertifikat legalitas kayu ke negara tujuan di Eropa Oktober 2012.

Page 4: SVLKku, SVLKmu, SVLK kita semua

Modal sosial inilah yang menjadi dasar pemikiran mengembangkan

strategi penggalangan sumberdaya untuk SVLK agar tak menjadi sekedar

perangkat perbaikan tatakelola sektor kehutanan, tetapi mengangkatnya

lebih tinggi menjadi Nation Brand Indonesia !. (lihat boks 1)

Mendamaikan Kesenjangan dan Tantangan Implementasi SVLK

Boks  1  Babak  Sejarah  Perjalanan  Parapihak  Membangun  SVLK  

 Babak   pertama   gagasan   parapihak  mengembangkan   tools   perbaikan   tata   kelola   kehutanan  diawali  dari  Deklarasi  Bali  2001.   Stigma  bangsa  pencuri  kayu  atas  maraknya   illegal   logging  telah   mentautkan   kepedulian   berbagai   pihak   memulai   diskusi   panjang   yang   menghasilkan  pemikiran  sistem   legalitas  kayu.  Puncaknya  agresi  pembalakan   liar  dan  perdagangan   illegal  itu   memancing   seruan     dunia   internasional   untuk  menolak   produk   kayu   dari   hutan   tropis  Indonesia.   Tekanan   ini   memunculkan   komitmen   pemerintah   yang   dimuat   dalam   Bali  Declaration.   Gayut   dengan   komitmen   pemerintah,   stakeholder   kehutanan   yang   dimotori  masyarakat   madani   mengusulkan   dibangunnya   sistem   legalitas   kayu   Indonesia   untuk  memperbaikan   tata   kelola   sektor   kehutanan.   Periode   2003-­‐2007   adalah   sejarah   panjang  pembangunan  kehutanan  multipihak.  Babak  itu  menghasilkan  usulan  bersama  berupa  Sistem  Legalitas  Kayu  yang  kemudian  diserahkan  kepada  Kemenhut  untuk  diadopsi    Babak  kedua,  percepatan  adopsi  Sistem  Legalitas  Kayu  menjadi  Permenhut38/2009.    Setelah  praktis  hampir  selama  dua  tahun  proses  adopsi  mandeg,   jalan  ditempat,  Menhut  MS.  Kaban  akhirnya   menandatangani   kebijakan   itu   pada   Juni   2009.   Sejak   setahun   sebelum  ditandatangani  hingga  segera  setelah  diundangkannya  Permenhut38/2009  ditandai  berbagai  sosialisasi   SVLK,   pelatihan  dan  pengembangan  kapasitas   para  pelaku:   lembaga  penilai,   unit  manajemen,  pemantau  independen  hinggadinas  kehutanan  dan  pemda.  MFP  dan  mitra  kerja  di   level   regional   dan   nasional   berperan   penting   menyiapkan   awareness   parapihak   untuk  proses  ini.    Babak   ketiga,   sebenarnya   dimulai   sejak   Permenhut38/2009   ditetapkan,   yang   kemudian  memungkinkan  dibukanya  kembali   perundingan  FLEGT-­‐VPA  yang   sempat   terhenti.   Periode  ini  ditandai  dengan  berbagai  kerja  menyiapkan  berbagai  kondisi  dalam  perundingan  FLEGT-­‐VPA   dengan   menghadirkan   panel   of   expert   dari   kedua   pihak   untuk   mempelajari  kompatibilitas  Kebijakan  Tata  Usaha  Kayu  dan  SVLK.    Intensitas  perundingan  semakin  tinggi  hingga   dicapainya   kesepakatan   perundingan   pada   April   2011.   Bersamaan   dengan   itu  konsultasi   publik   regional   dan   nasionbal   di   gelar   untuk   perbaikan   SVLK   dan  menghasilkan  Permenhut68/2011  dan  Perdijen8/2011    Babak  keempat,  penguatan  dan  pelembagaan  komitmen,  ditandai  berbagai  kemajuan  dilevel  pemerintahan.   Konsultasi   multipihak   mengerucut   pada   pelembagaan   komitmen.   Di  kehutanan   berhasil  menambah   sub   direktorat   baru   Sistem   Informasi   Legalitas  Kayu   (SILK)  setelah   berhasil  memperoleh   restu  MENPAN.   SILK   juga  merupakan   jawaban   atas   roadmap  perundingan   FLEGT   VPA   dimana   disepakati   Indonesia   harus   memiliki   License   Information  Unit.   Tidak   cuma   disitu,   sebuah   sistem  on   line   terkoneksi  mulai   dari   Kemenhut,   Kemendag  dan   Bea-­‐Cukai,   Kemenkeu   untuk   memungkinkan   ekspor   perdagangan   kayu   legal.   Di  Kemendag  sendiri,  kemudian  merevisi  Permedag20/2008  menjadi  Permendag  64/2012  yang  memasukan  SVLK  sebagai  acuan  kebijakan  ekspor  kayu  legal,  yang  kemudian  disusul  dengan  uji   pengapalan   produk   kayu   bersertifikat   legalitas   kayu   ke   sembilan   negara   Eropa  melalui  empat  pelabuhan  di  Indonesia.      

Page 5: SVLKku, SVLKmu, SVLK kita semua

Kredibilitas SVLK telah menjadi tema sentral selama proses sosialisasi.

Gaung yang dikumandangkan adalah adanya pilar-pilar yang menjadi

elemen kredibilitas SVLK yaitu: Komite Akreditasi Nasional (KAN), Lembaga

Penilai Independen (LP PHPL dan LVLK) yang kompeten dan terakreditasi,

Unit Manajemen atau pemegang ijin yang comply pada aturan SVLK dan tata

usaha kayu, dan yang terakhir hadirnya Pemantau yang kompeten dan

independen dari kalangan masyarakat sipil, yang turut memantau proses

penerbitan sertifikasi legalitas kayu.

Sekjen Kemenhut, Hadi Daryanto, dalam salah satu kesempatan

sosialisasi SVLK di Bali 2009 menegaskan, SVLK mencerminkan

demokratisasi ekonomi. Pemerintah tak bisa lagi sepenuhnya mengontrol

semua rangkaian dan rantai ekonomi sektor kehutanan, dari mulai panen,

pengolahan hingga perdagangan kayu. “Negara sosialis-komunis saja runtuh,

karena pemerintahannya tidak mampu melindungi dominasi kebijakan

ekonominya dari mekanisme pasar dunia yang terbuka” katanya

menegaskan. Ia menambahkan prinsip pembeda dalam SVLK dengan praktik

sebelumnya. “Kalau dulu lembaga auditor bisa merangkap sebagai konsultan

pendamping melakukan pembinaan pada unit manajemen yang diaudit,

maka sekarang harus memilih dan memisahkan fungsinya sebagai auditor

independen dan konsultan unit manajemen yang diauditnya”. Jika

pilihannya menjadi Lembaga Auditor, maka lembaganya harus diakreditasi

oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Jika kedua fungsi itu dijalankan,

maka akan merusak kredibilitas SVLK itu sendiri. “Itu pun masih dimonitor

oleh pemantau independen” tegasnya lagi.

Lembaga Auditor semakin bermunculan di era awal pemberlakukan

SVLK sesuai mandat Permenhut38/2009. Animo lembaga auditor yang terus

mengajukan akreditasi kepada KAN selain dirangsang oleh aroma “bisnis

sertifikasi” mandatory di masa depan, juga merupakan respon positif bagi

lembaga konsultan / asesor yang melihat pentingnya pemisahan fungsi

konsultan pendamping dan auditor yang kredibel. Saat ini sudah ada

sepuluh lembaga auditor dan nampaknya jumlahnya terus bertambah.

Setidaknya ada empat lembaga audit lagi tengah menanti surat penetapan

Page 6: SVLKku, SVLKmu, SVLK kita semua

setelah melalui proses uji kompetensi oleh KAN akhir tahun ini. Animo

menjadi Auditor SVLK juga nampaknya semakin berkembang dengan ikut

sertanya lembaga audit asing salah satunya dari USA yang berminat

mengantongi akredinasi dari KAN. Kinerja lembaga auditor juga

ditunjukkan dengan semakin banyaknya jasa audit yang diminta mengaudit

pemegang ijin atau unit manajemen dari tahun ke tahun seiring

bertambahnya pemegang ijin mendapatkan sertifikat diantaranya: SFM 88

unit, Unit Kelola hutan 37 unit, hutan rakyat 14 unit dan industri pengolahan

kayu sebanyak 382 unit.      Masa  depan  lembaga  auditor  nampaknya  bakal  cerah  

dengan   semakin   meningkatnya   banjir   order   atas   minat   dan   kesadaran   unit  

manajemen  memiliki  sertifikat  legalitas  kayu  dan  pengelolaan  hutan  lestari.

Pemantau independen merepresentasikan masyarakat sipil yang

mengawasi sistem, memiliki posisi penting. Komplain atas ketidakpatuhan

dalam proses sertifikasi dapat dilaporkan oleh kelompok pemantau

independen sehingga dapat menggagalkan proses dan keputusan sertifikasi.

Disitulah sebenarnya kredibilitas SVLK dipertaruhkan. Maka kayu atau

produk kayu yang telah bersertifikat legal dipandang memiliki legitimasi

tinggi oleh para pihak dalam rantai ekonomi selanjutnya.

]Keberadaan pemantau independen adalah baru dalam sistem yang

diundangkan oleh Kemenhut. Karenanya sejalan dengan bergulirnya

kebijakan SVLK, kelompok pemantau independen harus mengembangkan

kompetensi dan kapasitas memadai agar dapat melakukan pemantauan

kredibel sehingga keberadaannya benar-benar mampu memperkuat SVLK,

serta memiliki agenda pemantauan berkelanjutan.

Harapan tinggi peran pemantau independen dalam memonitor proses

sertifikasi itu tidak disertai dengan dukungan sumberdaya memadai. Selain

terbatas, sumberdaya yang mereka gunakan biasanya berasal dari program

lembaga donor, bahkan swadaya seadanya. Kekurangan amunisi di tengah

makin maraknya unit manajemen/pemegang ijin mengajukan sertifikat

legalitas dapat berakibatnya lemahnya pemantauan dan bisa berujung pada

lemahnya kepercayaan pasar atau negara konsumen pada SVLK.

Page 7: SVLKku, SVLKmu, SVLK kita semua

Untuk menjadi seorang pemantau, perlu pelatihan dan pengalaman

lapang untuk menguji kompotensi peran mereka dalam sistem legalitas kayu

sebelum mereka benar-benar mampu menjalani peran pemantauan. Meski

secara nasional kemudian kelompok pemantau independen ini kemudian

mampu menghimpun kekuatan dalam jaringan kerja lebih luas, namun tak

dapat dipungkiri --tanpa mengecilkan peran mereka menggalang

sumberdaya-- dukungan lembaga donor atas keberadaannya masih menjadi

penyokong utama peran mereka. Meski begitu lembaga donor juga punya

keterbatasan pendanaan dan waktu serta tidak bebas kepentingan politik

tertentu yang juga dikuatirkan melemahkan peran dan fungsi pemantau

independen dalam implementasi SVLK. Jika itu terjadi, akan menjadi

ancaman tersendiri bagi kepentingan nasional.

Kondisi itu diperparah dengan belum adanya praktik dimana revenue

hasil perdagangan kayu legal dapat digunakan untuk mendukung peran

lembaga pemantau independen dalam sebuah program yang transparan.

Dukungan pendanaan dari anggaran pemerintah jika ada, dikuatirkan justru

membuat lembaga pemantau kehilangan independensinya. Perdebatan

tentang hal tersebut mewarnai diskusi di forum pembentukan jaringan

pemantauan independen pada tahap-tahap awal. Namun lembaga swadaya

masyarakat yang banyak terlibat mengembangan jejaring pemantauan itu

juga belum menemukan jalan keluar memperoleh sumberdaya yang

dibutuhkan. Untuk eksis menjalankan organisasi saja sudah merupakan

beban tersendiri bagi banyak LSM di negeri ini. Meski begitu hingga saat ini,

dengan keterbatasan yang ada, setidaknya banyak LSM telah bergabung

sebagai anggota jaringan pemantau independen siap menghadapi berbagai

tantangan di depan.

Unit manajemen, termasuk pengelola hutan rakyat dan industri kecil

dalam SVLK merupakan pilar penting lainnya, karena merekalah yang

dikenai kewajiban melaksanakan SVLK dan patuh pada kebijakan terkait.

Sepanjang pengamatan, unit manajemen skala besar, tidak memiliki banyak

hambatan dalam mengimplementasi SVLK, khususnya jika perusahaan itu

sudah menjalankan corporate governance dengan baik. Namun fakta

Page 8: SVLKku, SVLKmu, SVLK kita semua

menunjukkan masih ada perusahaan besar/asosiasi yang menolak SVLK

dengan berbagai argumen. Keluhan paling kerap disampaikan adalah proses

sertifikasi berbiaya tinggi, membebani perusahaan, sementara tidak ada

jaminan perusahaan memperoleh premium price seperti diharapkan. Apalagi

adanya SVLK belum tentu dapat menghapus modus pungutan liar yang

sudah membudaya. Ironisnya, bagi banyak perusahaan praktek pungutan liar

yang dilakukan oleh aparat seringkali dianggap kelaziman, tanpa

memikirkan bahwa SVLK dapat digunakan sebagai tools untuk menghapus

ekonomi biaya tinggi dari aktivitas palak oknum aparat.

Kegalauan lainnya dari unit manajemen datang dari perusahaan atau

industri yang bermitra dengan banyak pelaku usaha kecil/pengrajin kecil

pemasok sebagian produk kayu untuk pengolahan lebih lanjut yang juga

terkena wajib SVLK. Beban itu tak mungkin ditanggung asosiasi, pun untuk

menyiapkan mitra kerja dan industrinya bersertifikat butuh waktu panjang.

Sudah terbayang kerugian karena kehilangan order atau karena kehilangan

pasokan dari mitra kerjanya/UKM yang bakal mati karena kebijakan SVLK

yang tidak bisa dipenuhinya. Lagi-lagi keterbatasan modal bakal mengganjal

mereka memperoleh sertifikat legalitas.

Pengelola hutan rakyat dan industri pengrajin kecil (UKM) adalah

unit manajemen yang paling rentan atas kebijakan SVLK. Selain tak punya

modal besar, minimnya pengetahuan dan awareness akan kebijakan SVLK

menjadi hambatan tersendiri. Selama ini para pengelola hutan rakyat dengan

bantuan pendampingan LSM berlahan tapi pasti justru menunjukkan kinerja

baik dalam pengelolaan hutan lestari. Tak jarang dengan bantuan program

dari donor, mereka berhasil memperoleh sertifikat skema voluntary seperti

FSC dan LEI. Belakangan setelah fasilitasi MFP selama 2010-2012, ada sekitar

sepuluh hutan rakyat mampu lolos dari proses audit dan berhasil

memperoleh Sertifikat Legalitas Kayu. Tapi jumlah itu tak seberapa

dibanding banyaknya pengelola hutan rakyat di pelosok nusantara, Belum

lagi industri pengrajin kecil/UKM yang juga terkena wajib SVLK. Direktur

BPPHH, Dwi Sudartho mengatakan “jumlah pengrajin kecil /UKM di Jepara

saja ada 12.000 lebih, jangankan bersertifikat, ijin usaha saja mereka tak

Page 9: SVLKku, SVLKmu, SVLK kita semua

punya. Kita perlu dukungan semua pihak untuk menyelamatkan industri

kecil dan perekonomian kita” paparnya dalam sebuah seminar.

Meski mampu meraih sertifikat legalitas kayu, pengelola hutan rakyat

masih dirundung sial. Kayu mereka tidak dihargai selayaknya oleh industri

besar yang mengincar kayu bersertifikat. Disinsentive itu menimbulkan

kerugian tak terkira. Perputaran keuntungan dari penjualan kayu di

manajemen hutan rakyat tidak mampu membiayai resertifikasi (proses

penerbitan sertifikasi setelah habis masa berlaku) sehingga oleh LVLK yang

menerbitkan sertifikasinya terpaksa harus di suspend. Hal itu di alami oleh

unit manajemen hutan rakyat di Gunung Kidul, Blora, Wonosobo dan

Lampung. Jika kondisi ini terus berlangsung, bukan tak mungkin unit

pengelola hutan rakyat lainnya di Konawe Selatan, Malang, Madiun dan

lainnya akan mengalami nasib serupa. Langkah Kemenhut untuk membantu

sebanyak mungkin proses sertifikasi “gratis” dari program MFP bagi

pengelola hutan rakyat lainnya patut diacungi jempol. Namun tanpa strategi

pendanaan dan perencanaan matang, semua upaya tadi akan berakhir seiring

berakhirnya masa berlakunya sertifikasinya.

Bila proses sertifikasi masih mengandalkan dana dari donor, maka

sesungguhnya pengelola hutan rakyat dan UKM pengrajin kecil lainnya

menghadapi persoalan serius atas kebijakan SVLK. Jangankan untuk

membiayai re-sertifikasi, untuk memperoleh sertifikasi legalitas kayu saja

banyak diantara pengelola hutan rakyat dan industri pengrajin kecil tidak

mampu membayarnya.

Gairah pengelola hutan rakyat dan industri pengrajin kecil meraih

sertifikasi legalitas perlu mendapat dukungan sumberdaya, setidaknya dalam

menyiapkan kapasitas dan kemampuan kelembagaan untuk melakukan

perbaikan manajemen hingga dilakukan penilaian proses sertifikasi. Tanpa

dukungan sumberdaya yang memadai, supply kayu legal dari hutan rakyat

untuk industri kayu khususnya di Jawa tak akan mampu diserap. Padahal

kontribusi kayu dari hutan rakyat untuk memenuhi industri besar cukup

signifikan. Studi yang dilakukan Perkumpulan JAVLEC pada pertengahan

2012 menyebutkan di Pulau Jawa saja, produksi kayu rakyat dapat mencapai

Page 10: SVLKku, SVLKmu, SVLK kita semua

lebih dari 6.7 juta m3 pertahun atau setara dengan nilai produktivitas 1,63

m3/ha/tahun dan hampir separuhnya diserap oleh industri kecil perajin dan

pengelolaan kayu berorientasi ekpor di Jawa Tengah (28,2%) dan Jawa Timur

(57,7%) bahkan ditengarai pula kebutuhan itu akan terus bertambah di masa

depan

Jika kondisi seperti di atas terus berjalan tanpa solusi, bukan mustahil

kelangkaan pasokan kayu legal dari hutan rakyat maupun produk kayu dari

pengrajin kecil/UKM kepada industri besar dapat berdampak anjloknya

perekonomian lokal. Dukungan dan keberpihakan Kemenhut juga

diperlukan untuk membantu pengelola hutan rakyat meraih pasar lebih luas.

Hasil studi JAVLEC, Jogjakarta merekomendasikan, Kemenhut harusnya

mewajibkan industri besar dengan kapasitas produksi diatas 6000m3

mengambil pasokan kayu legal dari hutan rakyat sehingga mampu

memompa roda ekonomi unit pengelola hutan rakyat.

Dibalik cerita pilu tadi, masih terselip cerita lara lainnya. Para

pemegang ijin yang telah bersertifikat legalitas pun mereka masih

menanggung beban. Ketika telah patuh pada aturan, biaya sertifikasi sudah

dikeluarkan, sertifikasi telah diperoleh, namun “cap kayu legal” tidak bisa

meluncur di pasar global, karena berbagai kebijakan terkait belum

operasional (setelah Permenhut38 diterbitkan Juni 2009, kebijakan ekspor

kayu legal Permendag64/2012 baru ditandatangani pada 23 Oktober 2012).

Namun ada pula cerita menggembirakan dalam perjalanan SVLK ini.

Kemenhut mempunyai inistiatif “mewajibkan” kantor di lingkup Kemenhut

untuk menggunakan kayu legal untuk pengadaan barangnya. Inisiatif itu

bahkan telah dijabarkan dalam sebuah studi untuk mengembangkan

Government procurement Policy menggunakan kayu legal untuk pembangunan

dan pengadaan barang di sektor pemerintahan. Tantangan mewujudkan

inisiatif ini perlu dilanjutkan bahkan bukan tidak mungkin dikembangkan

pada Privat procurement policy di masa depan.

Diluar dinamika yang dihadapi keempat pilar SVLK tadi, ramai pula

silang sengketa dari stakeholder lainnya. Misalnya, di tengah berbagai

kemajuan, dukungan dan perkembangan SVLK serta proses negosiasi VPA

Page 11: SVLKku, SVLKmu, SVLK kita semua

kini, justru makin terlihat gelaja penolakan kuat atas SVLK. Asmindo,

misalnya dalam berbagai kesempatan menyatakan ketidaksiapan

mengimplementasi SVLK sesuai jadwal yang ditetapkan pemerintah.

Sementara Asosiasi lainnya (APHI, APKINDO, GPEI dan lainnya) termasuk

KADIN Indonesia justru mendeklarasikan kesiapan dan dukungan mereka

atas SVLK. Demikian pula kritik terhadap kebijakan SVLK juga datang dari

kalangan rimbawan dan kelompok akademisi.

Meski ada kesenjangan sebenarnya peluang dan tantangan untuk

mensinergikan kekuatan stakeholder tetap terbuka. Modal sosial yang ada

telah teruji mengantar SVLK eksis hingga saat ini justru harus diperbesar

dengan mengajak semua pihak lainnya berkontribusi mendongkrak

perekonomian nasional. Dibalik kesenjangan itu sejatinya ada saling

ketergantungan antara pemegang ijin /unit manajemen, termasuk pengelola

hutan rakyat dengan industri pengolahan kayu; industri kecil dengan

industri besar dan eksportir; serta kehadiran pemantau independen pada

seluruh rantai sistem pemantauan.

Berdasarkan hal tersebut, sudah waktunya seluruh stakeholder mencari

jalan keluar dengan menempatkan SVLK ke ranah ekonomi, pasar dan

menciptakan rules of the game baru yang memungkinkan sinergi seluruh

stakeholder dan pelaku ekonomi memberi kontribusi positif memutar roda

ekonomi bangsa melalui pembangunan industri kehutanan yang tangguh

dan lestari. Dalam wawancara Tempo TV, Dr. Agus Sarsito, Chief of

Negotiator Indonesia mengatakan SVLK dibangun melalui multi-stakeholders

consultation dan di dalam proses implementasinya melibatkan multi-

stakeholders sehingga menjadi new positioning, dan competitive advantage buat

Indonesia karena SVLK ini unik, hanya dimiliki Indonesia. “Tidak ada negara

lain yang punya dan mampu membangun sistem seperti kita” ujarnya

meyakinkan.

Keberhasilan parapihak menghasilkan SVLK dan bangkit dari

keterpurukan akibat praktek illegal logging mendapat pujian dari Dubes EU,

Mr. Julian Wilson. “ I do think for the first time in my professional career, I’ve seen

a moment where an environmental issue can be turned to the competitive advantage

Page 12: SVLKku, SVLKmu, SVLK kita semua

of a country. So, everybody can see a win-win from environment”, ungkapnya

dalam sebuah wawancara. Agus Sarsito menambahkan, persoalan koordinasi

antar instansi adalah kunci keberhasilan mendorong SVLK di masa depan.

“Indonesia ini kalau bisa berkoordinasi dengan baik antar sektor atau antar

institusi di kementerian saja, akan signifikan hasilnya!”

Stakeholder kehutanan bersama pemerintah pernah memainkan jurus

hard approach memberantas illegal logging melalui penegakan hukum. Soft

approach memperbaikan sistem dan kebijakan diantaranya melalui SVLK.

Mungkin kini saatnya kita perlu cara baru yang out of the box menggunakan

pendekatan ekonomi kreatif untuk melambung SVLK. Kenapa tidak?.

Model Konseptual: Investasi Hijau Hutan Tropis Indonesia

Upaya pemerintah mencari solusi dari semua kendala yang ada

memerlukan cara pandang baru. Selama ini berbagai upaya mencari jalan

keluar atas kebijakan SVLK dan ekspor kayu hanya terfokus pada

penyelesaian bersifat “akomodatif” atas berbagai kepentingan. Sudah

saatnya energi parapihak dicurahkan untuk mengangkat SVLK sebagai

“nation brand” produk kayu Indonesia, bukan berhenti pada fokus kebijakan

legalitas kayu yang sifatnya teknis.

Pemerintah dapat lebih kreatif menggagasnya, dengan menggandeng

keterlibatan stakeholder lainnya yang memiliki power (uang, knowledge dan

political ability) seperti lembaga keuangan, Perbankan, hingga Kementrian

teknis dan yang memiliki otoritas moneter seperti Kementerian Keuangan,

Bank Indonesia, Badan Penanaman Modal dan sektor privat lainnya.

Keterlibatan stakeholder tadi diharapkan dapat membawa kebijakan SVLK

masuk dalam pusaran pekonomian nasional khususnya untuk sektor

kehutanan di hulu dan industri ehutanan di hilir.

Melalui Surat Menteri Bersama (Kementerian teknis: Kemenhut,

Kemendag, Kemenprin dan Kementerian pemilik otoritas moneter:

Kemenkeu, Bank Indonesia, Badan Penanaman Modal dan lainnya) dapat

disiapkan kebijakan untuk mengembangkan portfolio Investasi Hijau untuk

pengelolaan hutan lestari menggunakan kebijakan kayu legal. Portfolio

Page 13: SVLKku, SVLKmu, SVLK kita semua

investasi hijau dimaksud bukanlah barang baru di Indonesia. Yayasan WWF

Indonesia punya program Nusa Hijau (Indonesia Forest Trade Network)

yang diluncurkan 2003, Yayasan KEHATI punya reksadana kehati lestari,

keduanya dimaksudkan untuk menggalang sumberdaya bagi pelestarian

hutan tropis dan kenakaragaman hayati didalamnya. Program Nusa Hijau

milik WWF Indonesia misalnya, merupakan bagian dari Global Forest Trade

Network jaringan kerjasama global WWF dengan pemerintah, perusahaan

dan masyarakat bertujuan mempromosikan pengelolaan hutan lestari dan

mengurangi praktek illegal logging. Program itu pada 2006 berhasil menarik

PT Sumalindo Jaya Lestari II sebagai partisipan pertamanya. Hutan seluas

267.000 ha di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur milik PT Sumalindo

kemudian berhasil memperoleh sertifikat FSC dan melalui program Nusa

Hijau kayu bersertifikat dipromosikan ke pasar lebih luas. Program Nusa

Hijau selain memfasilitasi jaringan pemasaran kayu legal antar

perusahaan/organisasi yang memiliki komitmen pengelolaan hutan

bertanggungjawab, juga memberikan dukungan pada pelatihan sertifikasi

hutan, pengelolaan informasi, publikasi dan pengusahaan hutan skala kecil

dan hutan yang dikelola masyarakat. Didukung jaringan yang terdapat di 30

negara dalam jaringan Forest Trade Network mampu melibatkan partisipasi

lebih kurang 300 perusahaan/organisasi dengan nilai perdagangan kayu

legal mencapai 18,1 milyar dolar US dalam setahun (www.wwf.or.id/?3002)

Reksadana Kehati Lestari, merupakan salah satu bentuk trust fund yang

merupakan kerjasama Yayasan KEHATI dengan PT Bahana TWC,

perusahaan sekuritas berhasil mendapatkan dukungan dari investor dari

berbagai perusahaan dan perbankan membuat pundi Mutual fund bernama

Reksadana KEHATI Lestari pada awal 2007. Kemudian Yayasan KEHATI

mengembangkan index Sustainable and Responsible Investement atau

dikenal juga dengan SRI-KEHATI. Index SRI-KEHATI yang sudah masuk

dalam Bursa Efek Indonesia itu dimaksudkan menjadi parameter bagi para

investornya agar dalam menginvestasikan dana perusahaannya senantiasa

juga disertai akan kesadaran akan aspek lingkungan dan komunitas

disamping tatakelola perusahaan yang baik. Index SRI-KEHATI juga menjadi

Page 14: SVLKku, SVLKmu, SVLK kita semua

parameter dan “saringan” calon investor yang memiliki peringkat baik h

memenuhi kriteria environment conservation, community development,

corporate governance, workplace principles, administrative princles and

human rights. Dalam sebuah pertemuan promosi atas indeks SRI-KEHATI

Juni 2011, Direktur Yayasan KEHATI, MS. Sembiring menyampaikan “Sudah

saatnya sekarang komunitas bisnis berpartisipasi dalam konservasi

kenaekaragaman hayati melalui invetasi yang bertanggungjawab” KEHATI

senantiasa mengedukasi publik tentang keberadaan indeks SRI KEHATI

bekerjasama dengan Bursa Efek Indonesia, dan mendapat tanggapan positif

dari investor di pasar bursa. Sejak diluncurkan 2009, pertumbuhan indeks itu

meningkat hingga 199% di tahun 2011. Lebih dari itu Yayasan KEHATI

berhasil menggandeng mitra investasi baru Mega Capital Indonesia yang

mempublikasikan indeks SRI-KEHATI dengan produk invsetasinya Mega

SRI Harmony. (Press release KEHATI, Juni 2011)

Pada prinsipnya pengembangan Portfolio investasi hijau untuk

memperkuat sinergi kemitraan publik dan sektor kemitraan turut

berkontribusi—dengan mengambil dua contoh praktik yang ada, memiliki

peluang keberhasilan – seharusnya semakin memompa semangat para pihak

di Indonesia. Liberia, negara yang baru saja mengakhiri perang saudara telah

unjuk gigi mengembangkan program penggalangan setor hutan yang

melibatkan desa adat dan operator logging di hutan (lihat boks 2). SVLK

dapat digunakan sebagai pintu masuk calon investor sekaligus menegaskan

dukungan bagi pelaksanaan kebijakan legalitas kayu untuk mendorong

pertumbuhan ekonomi nasional. Investor yang berasal dari industri

kehutanan akan semakin tertarik bergabung bukan hanya melihat prospek

bisnis investasi semata, tetapi diiringi komitmen kuat mengimplementasikan

SVLK sebagai sistem yang kredibel dan berpangsa pasar global.

Strategi penggalangan sumberdaya bersama dalam bentuk investasi

dapat menawarkan alternatif solusi kolektif bagi semua pihak. Pemerintah

dapat menjadi lead agency dalam memprakarsai Investasi Hijau dan program

Green Trust Fund itu. Pemerintah misalnya dapat mengeluarkan regulasi yang

dapat memberi keringanan pajak bagi investasi hijau ini untuk menarik

Page 15: SVLKku, SVLKmu, SVLK kita semua

investor atau pemodal. Misi sosial dari investasi hijau ini adalah revenue dari

hasil investasi secara kolektif dapat digunakan untuk mendukung program

peningkatan kapasitas dan kelembagaan bagi unit pengelola hutan rakyat,

pengrajin kecil/UKM dan kelompok pemantau independen (receiving end).

Industri kehutanan bermodal kuat dihimbau untuk berinvestasi sebagai

bentuk komitmen melaksanakan kebijakan SVLK hutan sekaligus sebagai

dukungan atas SVLK sebagai investor utama. Lembaga lainnya: perbankan,

lembaga keuangan atau program CSR dari sektor privat dan lembaga donor

atau entitas bisnis lainnya dapat menjadi investor pendukung. Incentive bagi

investor yang berbasis industri kayu harus dipikirkan oleh Pemerintah

sebagai regulator agar investasi ini menarik investor lain lebih banyak lagi

khususnya untuk industri kehutanan.

Manfaat investasi ini bagi industri kehutanan selain untuk memperbesar

aset atau modal perusahaan, juga memberi jaminan penyiapan pembiayaan

sertifikasi/re-sertifikasi perusahaannya pada tahun-tahun berikutnya.

Dengan begitu industri kehutanan dapat merencanakan pembiayaan

sertifikasi lebih terjadwal, dan sekaligus mendapat incentive dari keuntungan

investasi. Secara nasional manfaat trust fund ini juga dapat dikembangkan

untuk mendukung pengembangan Procument Policy bagi pemerintah dan

sektor privat di

seantero nusantara,

sehingga penghargaan

dan penggunaan kayu

legal mampu

mendongkrak pasar

kayu domestik

sekaligus

mempromosikan SVLK

itu sendiri.

Untuk

melaksanakan misi

sosial dari diperlukan

Box2.  Liberian  Trust  Fund  for  community  forest  The  ministry  of  forestry  of  Liberia  now  have  special  account  to  channeling  the  fund  from  timber  company  to  help  community  around  the  forest  that  affected  the  logging  activities.  The  regulation  no  111-­‐10  established  August  2010  has  successful  to  bring  private  engagements  to  build  the  social  justice  in  communities  welfare  by  regulated  the  private  sector  to  share  revenue  by  paying  the  stump  fee,  and  each  per  m3    exported  timber  for  $1  for  medium  company  and  $1,5  for  big  timber  company.  Each  timber  company  responsible  for  the  community  around  the  concessioner  areas.  John  Deah  –  Liberian  Timber  Company,  spokes  at  Chatham  House  20/6  that  the  representative  committee  members  (NGO/CSO,  private  sector  and  government)  become  board  governance  of  the  trust  fund  operation.  He  said  “the  committee  has  special  account  and  all  receipt  goes  to  ministry  of  forestry  offices  to  be  administered  to  perform  the  transparency  practices”.  In  the  other  hand  as  stipulated  at  the  regulation,  the  committee  shall  open  to  the  public  forum  of  the  information  related  the  trust  fund  that  had  been  granted  to  support  the  community  program.    Sumber:  Wawancara  pribadi  dengan  John  Deah  dan  berbagai  dokumen  delegasi  Liberia  di  Chatham  House,  Juni  2011)  

Page 16: SVLKku, SVLKmu, SVLK kita semua

lembaga pengelola yang memiliki kapasitas dan profesionalisme sebagai

Fund Manager dan akan bekerjasama dengan Pengelola Program Trust Fund.

Lembaga pengelola dimaksud harus independen, kredibel dan mendapat

dukungan dari pemerintah dan perwakilan investor. Program disusun dan

dikelola secara transparan oleh semacam dewan perwakilan/wali amanah

sehingga gerakan ini menjadi bagian dari tata kelola pemerintahan dalam

bidang investasi ramah lingkungan dan sosial.

Program ini menawarkan solusi jangka panjang bagi kelangkaan

pendanaan, sekaligus memastikan proses sertifikasi di hutan rakyat berjalan

dan industri kecil/UKM, sehingga dapat menjadi pengungkit semakin

meningkatnya pasokan kayu legal dari hutan rakyat ke industri kayu besar.

Di sisi lain program juga harus mampu menawarkan pendanaan bagi upaya

peningkatan kapasitas SDM dan kelembagaan kelompok/jaringan pemantau

agar mereka juga mampu mengembangkan strategi dan program resource

mobilization untuk kemandirian.

Kelompok pemantau independen tidak perlu takut kehilangan

independensinya, karena dana yang digunakan merupakan hasil investasi

yang dikelola transparan melalui program yang kredibel berbasis pasar.

Dengan begitu peran pemantau independen dimasa depan dapat terus

berlanjut, semakin kompeten dan kredibel tanpa khawatir terhenti karena

masalah kelangkaan sumberdaya.

Page 17: SVLKku, SVLKmu, SVLK kita semua

Secara skematis, model konsep investasi ini dapat dipelajari di bawah

ini

Menetapkan Langkah Berikut

Dibawah ini beberapa saran / panduan untuk memulai analisis stakeholder dan dapat dikembangkan lebih lanjut sesuai kebutuhan, termasuk memetakan beberapa kegiatan terkait yang dapat memperkuat inisiatif ini sbb:

Kelompok Target Lingkup Kegiatan Terkait Manfaat pengembangan Baseline Private Sector: Khususnya Industri Kehutanan dan Pemilik Konsesi Kawasan Hutan (sebagai investor utama) dan lembaga keuangan, perbankan, program CSR dan entitas bisnis

• Identifikasi kelompok target sebagai prospek pengembangan Trust Fund  

• Pengembangan Program CSR Perusahaan lebih baik, terhubung dengan aktifitas perusahaan  

• Pengembangan private procurement policy dalam

• Memelihara asset perusahaan dan menyiapkan pendanaan untuk sertifikasi berkelanjutan

• Memberi dukungan bagi pengembangan kapasitas dan kelembagaan unit hutan rakyat, UKM

• Sudah ada dukungan dari Asosiasi Industri Kehutanan yang mendukung SVLK dan FLEGT VPA

• Sudah ada Trust Fund untuk konservasi hutan dan Biodiversity

Page 18: SVLKku, SVLKmu, SVLK kita semua

lainnya (investor pendukung)

penggunaan kayu legal sehingga memberi wadah bagi perusahaan bergabung dengan inisiatif ini

sebagai mitra bisnis • Menguatkan

keterlibatan private sector dalam Sustainable Forest Management

• Mengembangkan pengelolaan resiko deforestasi yang applicable bagi industri kehutanan dan sektor privat lain terkait (misalnya bank kreditur sektor kehutanan dan energi/mineral)

di Indonesia dimana banyak perusahaan dan perbankan berkontribusi sebagai investor

Pemerintah Pusat dan Daerah (termasuk perusahaan daerah milik pemerintah seperti Bank Pemda)

• Memberi edukasi dan mengadvokasi keluarnya kebijakan procurement sektor pemerintah

• Mengembangkan inisiatif sistem pendanaan bagi dukungan berjalannya kebijakan dan praktek procurement policy penggunaan kayu legal bagi instansi pemerintah

• Mengembangkan penggalangan sumberdaya/dana pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung berjalannya procurement policy

• Mengembangkan transparansi dan dialog terkait pembangunan inisiatif procurement policy dan prosedur pelaksanaannya.  

Studi terkait pengembangan inisiatif procurement policy sudah dilakukan Kemenhut/BUK dan menghasilkan sejumlah rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti.

Kelompok Pemantau Independen dan Lembaga Swadaya Masyarakat

• Identifikasi peran dan kontribusi signifikan dari kelompok pemantau independen kehutanan dalam lingkup SVLK maupun pembangunan kehutanan Indonesia

• Mengidentifikasi dan mengembangkan program penguatan kapasitas pemantau kelembagaan yang terhubung dengan upaya pengembangan strategi penggalang sumberdaya dan kemandirian kelompok/jaringan pemantau independen di Indonesia

• Membangun pendekatan programatik dalam kerja-kerja pemantauan kehutanan yang memungkinkan kelompok pemantau -independen atau LSM menerapkannya dalam strategi penggalangan sumberdaya.

Sudah ada jaringan pemantau independen yang memiliki anggota hampir disetiap provinsi, disertai pelatihan peningkatan kompotensi pemantau.

Industri /pengrajin kecil (UKM) dan unit pengelola Hutan rakyat

Pengembangan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan: seperti pelatihan COC, Sertifikasi Mandatory dan

• Tersedia dukungan pendanaan untuk pengembangan usaha/wirausaha kehutanan

Sudah lebih dari 130 pengelola hutan rakyat dan lebih dari 95 industri/ pengrajin kecil UKM

Page 19: SVLKku, SVLKmu, SVLK kita semua

Voluntary, training pengembangan Unit Koperasi sektor kehutanan, Pelatihan komunikasi bisnis dan wirausaha pengrajin kecil, dan training market intelligent and market access development etc.

berkelanjutan • Tersedia dukungan

dana untuk proses memperoleh sertifikat legalitas kayu.

• Memastikan industri/pengrajin kecil UKM dan unit pengelola hutan rakyat memperoleh peningkatan kinerja atas kepatuhan atas kebijakan legaitas kayu dan proses sertifikasi.

mendapat pelatihan terkait SVLK. 10 unit pengelola hutan rakyat dan 2 Industri Menengah telah meraih sertifikat SVLK 2010-2011.

Lembaga Donor, inisiator/pengelola program Trust Fund

• Memprakarsai komunikasi dan promosi untuk memasarkan strategi pengembangan “green trust fund”

• Pengembangan Trust Fund dan pelibatan sektor privat sebagai pendukung/investor

• Mengembangkan program strategis dengan pendekatan programatik yang sesuai dengan peran dan kontribusi kelompok pengelola hutan rakyat dan UKM, kelompok pemantau serta perusahaan milik pemerintah pusat/daerah

• Membuat risk assessment analysis bterkait implementasi SVLK dan VPA

• Mengembangkan instrumen investasi hijau atau Green Trust Fund di Indonesia

• Mengembangkan best practices bagi inisiatif penguatan public private partnership dalam memperbesar modal sosial dalam kegiatan penyelamatan hutan tropis Indonesia.

• Diversifikasi produk investasi hijau melalui portfolio investasi yang ramah lingkungan dan sosial.

• Sudah ada lembaga penyandang dana/yayasan yang memiliki program trust fund melalui portfolio investasi.

• Indonesia telah memiliki Sustainable Responsible Index di Bursa Efek Indonesia (Indonesia Stock Exchange)

Memperkenalkan sebuah gagasan bukanlah perkara mudah. Namun bukan hal yang muskil pula untuk memulainya. Siapa pun yang mengambil inisiatif untuk memulainya dapat mengawalinya dengan melakukan analisa stakeholder, sehingga teridentifikasi calon target grup dan peran yang diharapkan. Kelompok stakeholder yang menjadi target adalah mereka yang akan menjadi investor dan kelompok yang akan menerima dukungan dari kegiatan atau program pengembangan kapasitas kelembagaan (Receiving end). Selain memperkenalkan gagasan, sejatinya harus ada lembaga atau instansi yang berani tampil mengambil peran sebagai promotor untuk memprakarsai pengembangan strategi dan rencana kerja penggalangan sumberdaya hingga menjadi pundi-pundi yang siap diisi para investor. Perjalanan itu tentu masih sangatlah panjang. Selamat mencoba!