Upload
rio-runet-rovihandono
View
217
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Gagasan Penggalangan Sumberdaya untuk Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
Citation preview
SVLK Ku, SVLK Mu, SVLK Kita Semua
Oleh : Rio R. Bunet1
Mendapat kesempatan pelatihan di UK adalah bagai jendela emas.
Negeri Sri Ratu Elizabeth itu sudah kondang punya tradisi dunia pendidikan
unggul dan mengedepankan pendekatan ilmu interdisipliner, bahkan masih
diberi embel-embel multipihak, tentu karena titipan DFID sebagai
penyandang dana. Sambil pelatihan, dapat bertemu narasumber dunia untuk
isu forest governance, mentor berpengalaman, praktisi berbagai negara dan
berdiskusi di forum sekelas Catham House yang melegenda itu.
Maka ketika konsep paper saya tentang strategi penggalangan
sumberdaya untuk implementasi SVLK dan proses VPA, tidak ditampik
panitia penyelenggara, saya sangat bersuka cita. Bahkan kemudian
menyediakan dosen pendamping khusus dari Birmingham University. Sang
dosen, Willem Van Eekellen dari Belanda bukan kepalang pengalamannya di
dunia Resource Mobilization and program CSR. Selain mengajar, ia juga
praktisi di berbagai perusahaan besar di Eropa, salah satunya
Unilever.Singkat cerita, akhirnya saya terdampar di salah satu kamar di
Kampus Universitas Wouverhampton UK, dengan satu tekad, ingin memberi
sesuatu untuk kemajuan SVLK!
Sepuluh hari berlalu, tibalah saat bertemu dengan sang dosen
pembimbing. Pagi itu pada musim panas Juni 2011, angin dingin bertiup
kencang berhembus hingga di halaman kampus. Kami duduk dibangku
taman memulai diskusi. Meneer Willem tengah mempelajari skema yang
saya sodorkan di selembar kertas. Ia menahan napasnya, sejenak menyeruput
kopinya dengan tatapan mata tetap lurus pada kertas, sambil terus
mendengar penjelasan saya. Kami berdiskusi panjang lebar dan diakhiri
1 Bergabung dengan Yayasan KEHATI sejak 1996 dengan jabatan terakhir manajer konservasi dan pemanfaatan keanekaragam hayati untuk kawasan Timur Indonesia. Bergabung dengan program MFP II pada 2008 sebagai Community Development Facilitator sebelum akhirnya menjabat Institutional Development Facilitator di MFP II pada awal 2010.
dengan pertanyaan saya, “Is this doable?”. Pertanyaan ini dijawabnya sambil
tersenyum, “Yes, until you can proof it and make it operational”.
Diskusi singkat itu, kemudian mengantarkan hari demi hari saya
mengikuti pelatihan dan mempelajari berbagai literatur yang dikirimkannya
melalui surel. Hingga dua minggu berikutnya saya menyerahkan dan
mempresentasikan sebuah proposal berjudul “Developing Resources
Mobilization Strategy to Support A Public Private Partnership in Improving
Governance and Best Practices on Sustainable Forest Management Toward
FLEGT-VPA Implementation”
Setahun berlalu. Willem kemudian melalui surel membuat janji
menelpon saya. Ia memang ditugaskan memonitor perkembangan setiap
proposal yang dibuat murid bimbingannya. “Bagaimana proposal anda ?”.
Sayangnya memang tidak terjadi banyak perkembangan karena ketiadaan
partner diskusi dan kesempatan menyampaikan gagasan dalam forum yang
memadai sepanjang tahun-tahun berikutnya. Apalagi selain bukan tupoksi
sebagai fasilitator di program MFP, padatnya jadwal menyelesaikan berbagai
kegiatan menjelang akhir program dan persiapan menuju proses
penandatangan VPA dan ratifikasi, rasanya semakin mustahil saja
menindaklanjuti proposal saya.
Sepanjang ingatan, saya pernah mempresentasikan gagasan itu kepada
Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, Tim EFI dari Belgia yang datang atau
sekedar mengirimkan konsep kepada kolega dan teman sejawat. Meski tak
banyak respon, keinginan untuk menyampaikan gagasan itu kepada banyak
pihak tetap menjadi perhatian saya. Melalui mimbar ini, keinginan berbagi
gagasan muncul lagi. Tidak muluk targetnya, ingin memberi sudut pandang
lain menyambut SVLK, dan menghentikan energi para pihak yang pro dan
kontra larut dalam situasi perdebatan, yang justru melemahkan kebijakan
SVLK bahkan proses negosiasi FLEGT VPA itu sendiri.
Modal Sosial Semakin Menguat
Bulan Juli tahun yang sama, tepat dua tahun sejak diundangkannya
Permenhut 38/2009, sebuah gawe besar multipihak kembali digelar. Dimulai
melalui Konsultasi Publik Regional di berbagai daerah pada Mei 2011 dan
kemudian disusul konsultasi nasional di Jakarta, dimana stakeholder
kehutanan duduk bersama memberi input untuk membantu Kemenhut
mengakomodir usulan berbagai pihak yang concern dengan SVLK, hingga
akhirnya pada akhir 2011 proses revisi menelurkan Permenhut68/2011 dan
Perdirjen8/2011 (Revisi terbaru P68/2011 menjadi Permenhut45/Menhut-
II/2012 dan Perdirjen8/2012).
Momen itu terasa begitu istimewa, menunjukkan betapa besarnya
modal sosial stakeholder kehutanan mencurahkan tenaga, pikiran dan waktu
mengawal perbaikan kebijakan legalitas kayu. Jauh sebelumnya proses
konsultasi publik (2003-2007) telah dimulai untuk mewujudkan gagasan
sertifikasi legalitas kayu nasional. Gairah itu bahkan terus berlanjut pada
bulan Ramadhan 2012, dimana usulan dari asosiasi baik pengusaha besar,
pengrajin dan industri kecil terus memberi masukan demi penyempurnaan
SVLK agar lebih operasional, dan applicable. Lagi-lagi Kemenhut, Kemendag
dan Kemenprin harus duduk bersama dengan wakil ASMINDO Solo, APKJ
Jepara dan APIK Buleleng diawal minggu bulan puasa itu. Sebelumnya
jajaran Direktorat General Bina Usaha Kehutanan juga menerima tim studi
JAVLEC melaporkan situasi yang dialami pengelola hutan rakyat di Jawa.
Laporan itupun segera direspon dengan Kemenhut dengan memperbaiki
kebijakan SVLK agar memungkinkan pengelola hutan rakyat dan pengrajin
kecil meraih sertifikat.
Proses konsultasi dengan stakeholder tidak hanya terjadi di lingkungan
Kemenhut. Proses serupa juga dilakukan di Kemendag untuk merevisi
Permendag20/2008 sebagai konsekuensi dari adanya kebijakan SVLK, aturan
ekspor produk kayu juga harus diharmonisasikan.
Berbagai kegiatan dan proses multipihak terus mewarnai perjalanan
SVLK hingga saat ini, bahkan kian intensif memperkuat posisi Indonesia
dalam negosiasi VPA dengan benua biru Eropa. Menguatnya modal sosial itu
dapat terpapar sepanjang sejarah sejak Deklarasi Bali 2001 disusul
penyusunan konsep legalitas kayu hingga uji coba pengapalan produk
bersertifikat legalitas kayu ke negara tujuan di Eropa Oktober 2012.
Modal sosial inilah yang menjadi dasar pemikiran mengembangkan
strategi penggalangan sumberdaya untuk SVLK agar tak menjadi sekedar
perangkat perbaikan tatakelola sektor kehutanan, tetapi mengangkatnya
lebih tinggi menjadi Nation Brand Indonesia !. (lihat boks 1)
Mendamaikan Kesenjangan dan Tantangan Implementasi SVLK
Boks 1 Babak Sejarah Perjalanan Parapihak Membangun SVLK
Babak pertama gagasan parapihak mengembangkan tools perbaikan tata kelola kehutanan diawali dari Deklarasi Bali 2001. Stigma bangsa pencuri kayu atas maraknya illegal logging telah mentautkan kepedulian berbagai pihak memulai diskusi panjang yang menghasilkan pemikiran sistem legalitas kayu. Puncaknya agresi pembalakan liar dan perdagangan illegal itu memancing seruan dunia internasional untuk menolak produk kayu dari hutan tropis Indonesia. Tekanan ini memunculkan komitmen pemerintah yang dimuat dalam Bali Declaration. Gayut dengan komitmen pemerintah, stakeholder kehutanan yang dimotori masyarakat madani mengusulkan dibangunnya sistem legalitas kayu Indonesia untuk memperbaikan tata kelola sektor kehutanan. Periode 2003-‐2007 adalah sejarah panjang pembangunan kehutanan multipihak. Babak itu menghasilkan usulan bersama berupa Sistem Legalitas Kayu yang kemudian diserahkan kepada Kemenhut untuk diadopsi Babak kedua, percepatan adopsi Sistem Legalitas Kayu menjadi Permenhut38/2009. Setelah praktis hampir selama dua tahun proses adopsi mandeg, jalan ditempat, Menhut MS. Kaban akhirnya menandatangani kebijakan itu pada Juni 2009. Sejak setahun sebelum ditandatangani hingga segera setelah diundangkannya Permenhut38/2009 ditandai berbagai sosialisasi SVLK, pelatihan dan pengembangan kapasitas para pelaku: lembaga penilai, unit manajemen, pemantau independen hinggadinas kehutanan dan pemda. MFP dan mitra kerja di level regional dan nasional berperan penting menyiapkan awareness parapihak untuk proses ini. Babak ketiga, sebenarnya dimulai sejak Permenhut38/2009 ditetapkan, yang kemudian memungkinkan dibukanya kembali perundingan FLEGT-‐VPA yang sempat terhenti. Periode ini ditandai dengan berbagai kerja menyiapkan berbagai kondisi dalam perundingan FLEGT-‐VPA dengan menghadirkan panel of expert dari kedua pihak untuk mempelajari kompatibilitas Kebijakan Tata Usaha Kayu dan SVLK. Intensitas perundingan semakin tinggi hingga dicapainya kesepakatan perundingan pada April 2011. Bersamaan dengan itu konsultasi publik regional dan nasionbal di gelar untuk perbaikan SVLK dan menghasilkan Permenhut68/2011 dan Perdijen8/2011 Babak keempat, penguatan dan pelembagaan komitmen, ditandai berbagai kemajuan dilevel pemerintahan. Konsultasi multipihak mengerucut pada pelembagaan komitmen. Di kehutanan berhasil menambah sub direktorat baru Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) setelah berhasil memperoleh restu MENPAN. SILK juga merupakan jawaban atas roadmap perundingan FLEGT VPA dimana disepakati Indonesia harus memiliki License Information Unit. Tidak cuma disitu, sebuah sistem on line terkoneksi mulai dari Kemenhut, Kemendag dan Bea-‐Cukai, Kemenkeu untuk memungkinkan ekspor perdagangan kayu legal. Di Kemendag sendiri, kemudian merevisi Permedag20/2008 menjadi Permendag 64/2012 yang memasukan SVLK sebagai acuan kebijakan ekspor kayu legal, yang kemudian disusul dengan uji pengapalan produk kayu bersertifikat legalitas kayu ke sembilan negara Eropa melalui empat pelabuhan di Indonesia.
Kredibilitas SVLK telah menjadi tema sentral selama proses sosialisasi.
Gaung yang dikumandangkan adalah adanya pilar-pilar yang menjadi
elemen kredibilitas SVLK yaitu: Komite Akreditasi Nasional (KAN), Lembaga
Penilai Independen (LP PHPL dan LVLK) yang kompeten dan terakreditasi,
Unit Manajemen atau pemegang ijin yang comply pada aturan SVLK dan tata
usaha kayu, dan yang terakhir hadirnya Pemantau yang kompeten dan
independen dari kalangan masyarakat sipil, yang turut memantau proses
penerbitan sertifikasi legalitas kayu.
Sekjen Kemenhut, Hadi Daryanto, dalam salah satu kesempatan
sosialisasi SVLK di Bali 2009 menegaskan, SVLK mencerminkan
demokratisasi ekonomi. Pemerintah tak bisa lagi sepenuhnya mengontrol
semua rangkaian dan rantai ekonomi sektor kehutanan, dari mulai panen,
pengolahan hingga perdagangan kayu. “Negara sosialis-komunis saja runtuh,
karena pemerintahannya tidak mampu melindungi dominasi kebijakan
ekonominya dari mekanisme pasar dunia yang terbuka” katanya
menegaskan. Ia menambahkan prinsip pembeda dalam SVLK dengan praktik
sebelumnya. “Kalau dulu lembaga auditor bisa merangkap sebagai konsultan
pendamping melakukan pembinaan pada unit manajemen yang diaudit,
maka sekarang harus memilih dan memisahkan fungsinya sebagai auditor
independen dan konsultan unit manajemen yang diauditnya”. Jika
pilihannya menjadi Lembaga Auditor, maka lembaganya harus diakreditasi
oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). Jika kedua fungsi itu dijalankan,
maka akan merusak kredibilitas SVLK itu sendiri. “Itu pun masih dimonitor
oleh pemantau independen” tegasnya lagi.
Lembaga Auditor semakin bermunculan di era awal pemberlakukan
SVLK sesuai mandat Permenhut38/2009. Animo lembaga auditor yang terus
mengajukan akreditasi kepada KAN selain dirangsang oleh aroma “bisnis
sertifikasi” mandatory di masa depan, juga merupakan respon positif bagi
lembaga konsultan / asesor yang melihat pentingnya pemisahan fungsi
konsultan pendamping dan auditor yang kredibel. Saat ini sudah ada
sepuluh lembaga auditor dan nampaknya jumlahnya terus bertambah.
Setidaknya ada empat lembaga audit lagi tengah menanti surat penetapan
setelah melalui proses uji kompetensi oleh KAN akhir tahun ini. Animo
menjadi Auditor SVLK juga nampaknya semakin berkembang dengan ikut
sertanya lembaga audit asing salah satunya dari USA yang berminat
mengantongi akredinasi dari KAN. Kinerja lembaga auditor juga
ditunjukkan dengan semakin banyaknya jasa audit yang diminta mengaudit
pemegang ijin atau unit manajemen dari tahun ke tahun seiring
bertambahnya pemegang ijin mendapatkan sertifikat diantaranya: SFM 88
unit, Unit Kelola hutan 37 unit, hutan rakyat 14 unit dan industri pengolahan
kayu sebanyak 382 unit. Masa depan lembaga auditor nampaknya bakal cerah
dengan semakin meningkatnya banjir order atas minat dan kesadaran unit
manajemen memiliki sertifikat legalitas kayu dan pengelolaan hutan lestari.
Pemantau independen merepresentasikan masyarakat sipil yang
mengawasi sistem, memiliki posisi penting. Komplain atas ketidakpatuhan
dalam proses sertifikasi dapat dilaporkan oleh kelompok pemantau
independen sehingga dapat menggagalkan proses dan keputusan sertifikasi.
Disitulah sebenarnya kredibilitas SVLK dipertaruhkan. Maka kayu atau
produk kayu yang telah bersertifikat legal dipandang memiliki legitimasi
tinggi oleh para pihak dalam rantai ekonomi selanjutnya.
]Keberadaan pemantau independen adalah baru dalam sistem yang
diundangkan oleh Kemenhut. Karenanya sejalan dengan bergulirnya
kebijakan SVLK, kelompok pemantau independen harus mengembangkan
kompetensi dan kapasitas memadai agar dapat melakukan pemantauan
kredibel sehingga keberadaannya benar-benar mampu memperkuat SVLK,
serta memiliki agenda pemantauan berkelanjutan.
Harapan tinggi peran pemantau independen dalam memonitor proses
sertifikasi itu tidak disertai dengan dukungan sumberdaya memadai. Selain
terbatas, sumberdaya yang mereka gunakan biasanya berasal dari program
lembaga donor, bahkan swadaya seadanya. Kekurangan amunisi di tengah
makin maraknya unit manajemen/pemegang ijin mengajukan sertifikat
legalitas dapat berakibatnya lemahnya pemantauan dan bisa berujung pada
lemahnya kepercayaan pasar atau negara konsumen pada SVLK.
Untuk menjadi seorang pemantau, perlu pelatihan dan pengalaman
lapang untuk menguji kompotensi peran mereka dalam sistem legalitas kayu
sebelum mereka benar-benar mampu menjalani peran pemantauan. Meski
secara nasional kemudian kelompok pemantau independen ini kemudian
mampu menghimpun kekuatan dalam jaringan kerja lebih luas, namun tak
dapat dipungkiri --tanpa mengecilkan peran mereka menggalang
sumberdaya-- dukungan lembaga donor atas keberadaannya masih menjadi
penyokong utama peran mereka. Meski begitu lembaga donor juga punya
keterbatasan pendanaan dan waktu serta tidak bebas kepentingan politik
tertentu yang juga dikuatirkan melemahkan peran dan fungsi pemantau
independen dalam implementasi SVLK. Jika itu terjadi, akan menjadi
ancaman tersendiri bagi kepentingan nasional.
Kondisi itu diperparah dengan belum adanya praktik dimana revenue
hasil perdagangan kayu legal dapat digunakan untuk mendukung peran
lembaga pemantau independen dalam sebuah program yang transparan.
Dukungan pendanaan dari anggaran pemerintah jika ada, dikuatirkan justru
membuat lembaga pemantau kehilangan independensinya. Perdebatan
tentang hal tersebut mewarnai diskusi di forum pembentukan jaringan
pemantauan independen pada tahap-tahap awal. Namun lembaga swadaya
masyarakat yang banyak terlibat mengembangan jejaring pemantauan itu
juga belum menemukan jalan keluar memperoleh sumberdaya yang
dibutuhkan. Untuk eksis menjalankan organisasi saja sudah merupakan
beban tersendiri bagi banyak LSM di negeri ini. Meski begitu hingga saat ini,
dengan keterbatasan yang ada, setidaknya banyak LSM telah bergabung
sebagai anggota jaringan pemantau independen siap menghadapi berbagai
tantangan di depan.
Unit manajemen, termasuk pengelola hutan rakyat dan industri kecil
dalam SVLK merupakan pilar penting lainnya, karena merekalah yang
dikenai kewajiban melaksanakan SVLK dan patuh pada kebijakan terkait.
Sepanjang pengamatan, unit manajemen skala besar, tidak memiliki banyak
hambatan dalam mengimplementasi SVLK, khususnya jika perusahaan itu
sudah menjalankan corporate governance dengan baik. Namun fakta
menunjukkan masih ada perusahaan besar/asosiasi yang menolak SVLK
dengan berbagai argumen. Keluhan paling kerap disampaikan adalah proses
sertifikasi berbiaya tinggi, membebani perusahaan, sementara tidak ada
jaminan perusahaan memperoleh premium price seperti diharapkan. Apalagi
adanya SVLK belum tentu dapat menghapus modus pungutan liar yang
sudah membudaya. Ironisnya, bagi banyak perusahaan praktek pungutan liar
yang dilakukan oleh aparat seringkali dianggap kelaziman, tanpa
memikirkan bahwa SVLK dapat digunakan sebagai tools untuk menghapus
ekonomi biaya tinggi dari aktivitas palak oknum aparat.
Kegalauan lainnya dari unit manajemen datang dari perusahaan atau
industri yang bermitra dengan banyak pelaku usaha kecil/pengrajin kecil
pemasok sebagian produk kayu untuk pengolahan lebih lanjut yang juga
terkena wajib SVLK. Beban itu tak mungkin ditanggung asosiasi, pun untuk
menyiapkan mitra kerja dan industrinya bersertifikat butuh waktu panjang.
Sudah terbayang kerugian karena kehilangan order atau karena kehilangan
pasokan dari mitra kerjanya/UKM yang bakal mati karena kebijakan SVLK
yang tidak bisa dipenuhinya. Lagi-lagi keterbatasan modal bakal mengganjal
mereka memperoleh sertifikat legalitas.
Pengelola hutan rakyat dan industri pengrajin kecil (UKM) adalah
unit manajemen yang paling rentan atas kebijakan SVLK. Selain tak punya
modal besar, minimnya pengetahuan dan awareness akan kebijakan SVLK
menjadi hambatan tersendiri. Selama ini para pengelola hutan rakyat dengan
bantuan pendampingan LSM berlahan tapi pasti justru menunjukkan kinerja
baik dalam pengelolaan hutan lestari. Tak jarang dengan bantuan program
dari donor, mereka berhasil memperoleh sertifikat skema voluntary seperti
FSC dan LEI. Belakangan setelah fasilitasi MFP selama 2010-2012, ada sekitar
sepuluh hutan rakyat mampu lolos dari proses audit dan berhasil
memperoleh Sertifikat Legalitas Kayu. Tapi jumlah itu tak seberapa
dibanding banyaknya pengelola hutan rakyat di pelosok nusantara, Belum
lagi industri pengrajin kecil/UKM yang juga terkena wajib SVLK. Direktur
BPPHH, Dwi Sudartho mengatakan “jumlah pengrajin kecil /UKM di Jepara
saja ada 12.000 lebih, jangankan bersertifikat, ijin usaha saja mereka tak
punya. Kita perlu dukungan semua pihak untuk menyelamatkan industri
kecil dan perekonomian kita” paparnya dalam sebuah seminar.
Meski mampu meraih sertifikat legalitas kayu, pengelola hutan rakyat
masih dirundung sial. Kayu mereka tidak dihargai selayaknya oleh industri
besar yang mengincar kayu bersertifikat. Disinsentive itu menimbulkan
kerugian tak terkira. Perputaran keuntungan dari penjualan kayu di
manajemen hutan rakyat tidak mampu membiayai resertifikasi (proses
penerbitan sertifikasi setelah habis masa berlaku) sehingga oleh LVLK yang
menerbitkan sertifikasinya terpaksa harus di suspend. Hal itu di alami oleh
unit manajemen hutan rakyat di Gunung Kidul, Blora, Wonosobo dan
Lampung. Jika kondisi ini terus berlangsung, bukan tak mungkin unit
pengelola hutan rakyat lainnya di Konawe Selatan, Malang, Madiun dan
lainnya akan mengalami nasib serupa. Langkah Kemenhut untuk membantu
sebanyak mungkin proses sertifikasi “gratis” dari program MFP bagi
pengelola hutan rakyat lainnya patut diacungi jempol. Namun tanpa strategi
pendanaan dan perencanaan matang, semua upaya tadi akan berakhir seiring
berakhirnya masa berlakunya sertifikasinya.
Bila proses sertifikasi masih mengandalkan dana dari donor, maka
sesungguhnya pengelola hutan rakyat dan UKM pengrajin kecil lainnya
menghadapi persoalan serius atas kebijakan SVLK. Jangankan untuk
membiayai re-sertifikasi, untuk memperoleh sertifikasi legalitas kayu saja
banyak diantara pengelola hutan rakyat dan industri pengrajin kecil tidak
mampu membayarnya.
Gairah pengelola hutan rakyat dan industri pengrajin kecil meraih
sertifikasi legalitas perlu mendapat dukungan sumberdaya, setidaknya dalam
menyiapkan kapasitas dan kemampuan kelembagaan untuk melakukan
perbaikan manajemen hingga dilakukan penilaian proses sertifikasi. Tanpa
dukungan sumberdaya yang memadai, supply kayu legal dari hutan rakyat
untuk industri kayu khususnya di Jawa tak akan mampu diserap. Padahal
kontribusi kayu dari hutan rakyat untuk memenuhi industri besar cukup
signifikan. Studi yang dilakukan Perkumpulan JAVLEC pada pertengahan
2012 menyebutkan di Pulau Jawa saja, produksi kayu rakyat dapat mencapai
lebih dari 6.7 juta m3 pertahun atau setara dengan nilai produktivitas 1,63
m3/ha/tahun dan hampir separuhnya diserap oleh industri kecil perajin dan
pengelolaan kayu berorientasi ekpor di Jawa Tengah (28,2%) dan Jawa Timur
(57,7%) bahkan ditengarai pula kebutuhan itu akan terus bertambah di masa
depan
Jika kondisi seperti di atas terus berjalan tanpa solusi, bukan mustahil
kelangkaan pasokan kayu legal dari hutan rakyat maupun produk kayu dari
pengrajin kecil/UKM kepada industri besar dapat berdampak anjloknya
perekonomian lokal. Dukungan dan keberpihakan Kemenhut juga
diperlukan untuk membantu pengelola hutan rakyat meraih pasar lebih luas.
Hasil studi JAVLEC, Jogjakarta merekomendasikan, Kemenhut harusnya
mewajibkan industri besar dengan kapasitas produksi diatas 6000m3
mengambil pasokan kayu legal dari hutan rakyat sehingga mampu
memompa roda ekonomi unit pengelola hutan rakyat.
Dibalik cerita pilu tadi, masih terselip cerita lara lainnya. Para
pemegang ijin yang telah bersertifikat legalitas pun mereka masih
menanggung beban. Ketika telah patuh pada aturan, biaya sertifikasi sudah
dikeluarkan, sertifikasi telah diperoleh, namun “cap kayu legal” tidak bisa
meluncur di pasar global, karena berbagai kebijakan terkait belum
operasional (setelah Permenhut38 diterbitkan Juni 2009, kebijakan ekspor
kayu legal Permendag64/2012 baru ditandatangani pada 23 Oktober 2012).
Namun ada pula cerita menggembirakan dalam perjalanan SVLK ini.
Kemenhut mempunyai inistiatif “mewajibkan” kantor di lingkup Kemenhut
untuk menggunakan kayu legal untuk pengadaan barangnya. Inisiatif itu
bahkan telah dijabarkan dalam sebuah studi untuk mengembangkan
Government procurement Policy menggunakan kayu legal untuk pembangunan
dan pengadaan barang di sektor pemerintahan. Tantangan mewujudkan
inisiatif ini perlu dilanjutkan bahkan bukan tidak mungkin dikembangkan
pada Privat procurement policy di masa depan.
Diluar dinamika yang dihadapi keempat pilar SVLK tadi, ramai pula
silang sengketa dari stakeholder lainnya. Misalnya, di tengah berbagai
kemajuan, dukungan dan perkembangan SVLK serta proses negosiasi VPA
kini, justru makin terlihat gelaja penolakan kuat atas SVLK. Asmindo,
misalnya dalam berbagai kesempatan menyatakan ketidaksiapan
mengimplementasi SVLK sesuai jadwal yang ditetapkan pemerintah.
Sementara Asosiasi lainnya (APHI, APKINDO, GPEI dan lainnya) termasuk
KADIN Indonesia justru mendeklarasikan kesiapan dan dukungan mereka
atas SVLK. Demikian pula kritik terhadap kebijakan SVLK juga datang dari
kalangan rimbawan dan kelompok akademisi.
Meski ada kesenjangan sebenarnya peluang dan tantangan untuk
mensinergikan kekuatan stakeholder tetap terbuka. Modal sosial yang ada
telah teruji mengantar SVLK eksis hingga saat ini justru harus diperbesar
dengan mengajak semua pihak lainnya berkontribusi mendongkrak
perekonomian nasional. Dibalik kesenjangan itu sejatinya ada saling
ketergantungan antara pemegang ijin /unit manajemen, termasuk pengelola
hutan rakyat dengan industri pengolahan kayu; industri kecil dengan
industri besar dan eksportir; serta kehadiran pemantau independen pada
seluruh rantai sistem pemantauan.
Berdasarkan hal tersebut, sudah waktunya seluruh stakeholder mencari
jalan keluar dengan menempatkan SVLK ke ranah ekonomi, pasar dan
menciptakan rules of the game baru yang memungkinkan sinergi seluruh
stakeholder dan pelaku ekonomi memberi kontribusi positif memutar roda
ekonomi bangsa melalui pembangunan industri kehutanan yang tangguh
dan lestari. Dalam wawancara Tempo TV, Dr. Agus Sarsito, Chief of
Negotiator Indonesia mengatakan SVLK dibangun melalui multi-stakeholders
consultation dan di dalam proses implementasinya melibatkan multi-
stakeholders sehingga menjadi new positioning, dan competitive advantage buat
Indonesia karena SVLK ini unik, hanya dimiliki Indonesia. “Tidak ada negara
lain yang punya dan mampu membangun sistem seperti kita” ujarnya
meyakinkan.
Keberhasilan parapihak menghasilkan SVLK dan bangkit dari
keterpurukan akibat praktek illegal logging mendapat pujian dari Dubes EU,
Mr. Julian Wilson. “ I do think for the first time in my professional career, I’ve seen
a moment where an environmental issue can be turned to the competitive advantage
of a country. So, everybody can see a win-win from environment”, ungkapnya
dalam sebuah wawancara. Agus Sarsito menambahkan, persoalan koordinasi
antar instansi adalah kunci keberhasilan mendorong SVLK di masa depan.
“Indonesia ini kalau bisa berkoordinasi dengan baik antar sektor atau antar
institusi di kementerian saja, akan signifikan hasilnya!”
Stakeholder kehutanan bersama pemerintah pernah memainkan jurus
hard approach memberantas illegal logging melalui penegakan hukum. Soft
approach memperbaikan sistem dan kebijakan diantaranya melalui SVLK.
Mungkin kini saatnya kita perlu cara baru yang out of the box menggunakan
pendekatan ekonomi kreatif untuk melambung SVLK. Kenapa tidak?.
Model Konseptual: Investasi Hijau Hutan Tropis Indonesia
Upaya pemerintah mencari solusi dari semua kendala yang ada
memerlukan cara pandang baru. Selama ini berbagai upaya mencari jalan
keluar atas kebijakan SVLK dan ekspor kayu hanya terfokus pada
penyelesaian bersifat “akomodatif” atas berbagai kepentingan. Sudah
saatnya energi parapihak dicurahkan untuk mengangkat SVLK sebagai
“nation brand” produk kayu Indonesia, bukan berhenti pada fokus kebijakan
legalitas kayu yang sifatnya teknis.
Pemerintah dapat lebih kreatif menggagasnya, dengan menggandeng
keterlibatan stakeholder lainnya yang memiliki power (uang, knowledge dan
political ability) seperti lembaga keuangan, Perbankan, hingga Kementrian
teknis dan yang memiliki otoritas moneter seperti Kementerian Keuangan,
Bank Indonesia, Badan Penanaman Modal dan sektor privat lainnya.
Keterlibatan stakeholder tadi diharapkan dapat membawa kebijakan SVLK
masuk dalam pusaran pekonomian nasional khususnya untuk sektor
kehutanan di hulu dan industri ehutanan di hilir.
Melalui Surat Menteri Bersama (Kementerian teknis: Kemenhut,
Kemendag, Kemenprin dan Kementerian pemilik otoritas moneter:
Kemenkeu, Bank Indonesia, Badan Penanaman Modal dan lainnya) dapat
disiapkan kebijakan untuk mengembangkan portfolio Investasi Hijau untuk
pengelolaan hutan lestari menggunakan kebijakan kayu legal. Portfolio
investasi hijau dimaksud bukanlah barang baru di Indonesia. Yayasan WWF
Indonesia punya program Nusa Hijau (Indonesia Forest Trade Network)
yang diluncurkan 2003, Yayasan KEHATI punya reksadana kehati lestari,
keduanya dimaksudkan untuk menggalang sumberdaya bagi pelestarian
hutan tropis dan kenakaragaman hayati didalamnya. Program Nusa Hijau
milik WWF Indonesia misalnya, merupakan bagian dari Global Forest Trade
Network jaringan kerjasama global WWF dengan pemerintah, perusahaan
dan masyarakat bertujuan mempromosikan pengelolaan hutan lestari dan
mengurangi praktek illegal logging. Program itu pada 2006 berhasil menarik
PT Sumalindo Jaya Lestari II sebagai partisipan pertamanya. Hutan seluas
267.000 ha di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur milik PT Sumalindo
kemudian berhasil memperoleh sertifikat FSC dan melalui program Nusa
Hijau kayu bersertifikat dipromosikan ke pasar lebih luas. Program Nusa
Hijau selain memfasilitasi jaringan pemasaran kayu legal antar
perusahaan/organisasi yang memiliki komitmen pengelolaan hutan
bertanggungjawab, juga memberikan dukungan pada pelatihan sertifikasi
hutan, pengelolaan informasi, publikasi dan pengusahaan hutan skala kecil
dan hutan yang dikelola masyarakat. Didukung jaringan yang terdapat di 30
negara dalam jaringan Forest Trade Network mampu melibatkan partisipasi
lebih kurang 300 perusahaan/organisasi dengan nilai perdagangan kayu
legal mencapai 18,1 milyar dolar US dalam setahun (www.wwf.or.id/?3002)
Reksadana Kehati Lestari, merupakan salah satu bentuk trust fund yang
merupakan kerjasama Yayasan KEHATI dengan PT Bahana TWC,
perusahaan sekuritas berhasil mendapatkan dukungan dari investor dari
berbagai perusahaan dan perbankan membuat pundi Mutual fund bernama
Reksadana KEHATI Lestari pada awal 2007. Kemudian Yayasan KEHATI
mengembangkan index Sustainable and Responsible Investement atau
dikenal juga dengan SRI-KEHATI. Index SRI-KEHATI yang sudah masuk
dalam Bursa Efek Indonesia itu dimaksudkan menjadi parameter bagi para
investornya agar dalam menginvestasikan dana perusahaannya senantiasa
juga disertai akan kesadaran akan aspek lingkungan dan komunitas
disamping tatakelola perusahaan yang baik. Index SRI-KEHATI juga menjadi
parameter dan “saringan” calon investor yang memiliki peringkat baik h
memenuhi kriteria environment conservation, community development,
corporate governance, workplace principles, administrative princles and
human rights. Dalam sebuah pertemuan promosi atas indeks SRI-KEHATI
Juni 2011, Direktur Yayasan KEHATI, MS. Sembiring menyampaikan “Sudah
saatnya sekarang komunitas bisnis berpartisipasi dalam konservasi
kenaekaragaman hayati melalui invetasi yang bertanggungjawab” KEHATI
senantiasa mengedukasi publik tentang keberadaan indeks SRI KEHATI
bekerjasama dengan Bursa Efek Indonesia, dan mendapat tanggapan positif
dari investor di pasar bursa. Sejak diluncurkan 2009, pertumbuhan indeks itu
meningkat hingga 199% di tahun 2011. Lebih dari itu Yayasan KEHATI
berhasil menggandeng mitra investasi baru Mega Capital Indonesia yang
mempublikasikan indeks SRI-KEHATI dengan produk invsetasinya Mega
SRI Harmony. (Press release KEHATI, Juni 2011)
Pada prinsipnya pengembangan Portfolio investasi hijau untuk
memperkuat sinergi kemitraan publik dan sektor kemitraan turut
berkontribusi—dengan mengambil dua contoh praktik yang ada, memiliki
peluang keberhasilan – seharusnya semakin memompa semangat para pihak
di Indonesia. Liberia, negara yang baru saja mengakhiri perang saudara telah
unjuk gigi mengembangkan program penggalangan setor hutan yang
melibatkan desa adat dan operator logging di hutan (lihat boks 2). SVLK
dapat digunakan sebagai pintu masuk calon investor sekaligus menegaskan
dukungan bagi pelaksanaan kebijakan legalitas kayu untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional. Investor yang berasal dari industri
kehutanan akan semakin tertarik bergabung bukan hanya melihat prospek
bisnis investasi semata, tetapi diiringi komitmen kuat mengimplementasikan
SVLK sebagai sistem yang kredibel dan berpangsa pasar global.
Strategi penggalangan sumberdaya bersama dalam bentuk investasi
dapat menawarkan alternatif solusi kolektif bagi semua pihak. Pemerintah
dapat menjadi lead agency dalam memprakarsai Investasi Hijau dan program
Green Trust Fund itu. Pemerintah misalnya dapat mengeluarkan regulasi yang
dapat memberi keringanan pajak bagi investasi hijau ini untuk menarik
investor atau pemodal. Misi sosial dari investasi hijau ini adalah revenue dari
hasil investasi secara kolektif dapat digunakan untuk mendukung program
peningkatan kapasitas dan kelembagaan bagi unit pengelola hutan rakyat,
pengrajin kecil/UKM dan kelompok pemantau independen (receiving end).
Industri kehutanan bermodal kuat dihimbau untuk berinvestasi sebagai
bentuk komitmen melaksanakan kebijakan SVLK hutan sekaligus sebagai
dukungan atas SVLK sebagai investor utama. Lembaga lainnya: perbankan,
lembaga keuangan atau program CSR dari sektor privat dan lembaga donor
atau entitas bisnis lainnya dapat menjadi investor pendukung. Incentive bagi
investor yang berbasis industri kayu harus dipikirkan oleh Pemerintah
sebagai regulator agar investasi ini menarik investor lain lebih banyak lagi
khususnya untuk industri kehutanan.
Manfaat investasi ini bagi industri kehutanan selain untuk memperbesar
aset atau modal perusahaan, juga memberi jaminan penyiapan pembiayaan
sertifikasi/re-sertifikasi perusahaannya pada tahun-tahun berikutnya.
Dengan begitu industri kehutanan dapat merencanakan pembiayaan
sertifikasi lebih terjadwal, dan sekaligus mendapat incentive dari keuntungan
investasi. Secara nasional manfaat trust fund ini juga dapat dikembangkan
untuk mendukung pengembangan Procument Policy bagi pemerintah dan
sektor privat di
seantero nusantara,
sehingga penghargaan
dan penggunaan kayu
legal mampu
mendongkrak pasar
kayu domestik
sekaligus
mempromosikan SVLK
itu sendiri.
Untuk
melaksanakan misi
sosial dari diperlukan
Box2. Liberian Trust Fund for community forest The ministry of forestry of Liberia now have special account to channeling the fund from timber company to help community around the forest that affected the logging activities. The regulation no 111-‐10 established August 2010 has successful to bring private engagements to build the social justice in communities welfare by regulated the private sector to share revenue by paying the stump fee, and each per m3 exported timber for $1 for medium company and $1,5 for big timber company. Each timber company responsible for the community around the concessioner areas. John Deah – Liberian Timber Company, spokes at Chatham House 20/6 that the representative committee members (NGO/CSO, private sector and government) become board governance of the trust fund operation. He said “the committee has special account and all receipt goes to ministry of forestry offices to be administered to perform the transparency practices”. In the other hand as stipulated at the regulation, the committee shall open to the public forum of the information related the trust fund that had been granted to support the community program. Sumber: Wawancara pribadi dengan John Deah dan berbagai dokumen delegasi Liberia di Chatham House, Juni 2011)
lembaga pengelola yang memiliki kapasitas dan profesionalisme sebagai
Fund Manager dan akan bekerjasama dengan Pengelola Program Trust Fund.
Lembaga pengelola dimaksud harus independen, kredibel dan mendapat
dukungan dari pemerintah dan perwakilan investor. Program disusun dan
dikelola secara transparan oleh semacam dewan perwakilan/wali amanah
sehingga gerakan ini menjadi bagian dari tata kelola pemerintahan dalam
bidang investasi ramah lingkungan dan sosial.
Program ini menawarkan solusi jangka panjang bagi kelangkaan
pendanaan, sekaligus memastikan proses sertifikasi di hutan rakyat berjalan
dan industri kecil/UKM, sehingga dapat menjadi pengungkit semakin
meningkatnya pasokan kayu legal dari hutan rakyat ke industri kayu besar.
Di sisi lain program juga harus mampu menawarkan pendanaan bagi upaya
peningkatan kapasitas SDM dan kelembagaan kelompok/jaringan pemantau
agar mereka juga mampu mengembangkan strategi dan program resource
mobilization untuk kemandirian.
Kelompok pemantau independen tidak perlu takut kehilangan
independensinya, karena dana yang digunakan merupakan hasil investasi
yang dikelola transparan melalui program yang kredibel berbasis pasar.
Dengan begitu peran pemantau independen dimasa depan dapat terus
berlanjut, semakin kompeten dan kredibel tanpa khawatir terhenti karena
masalah kelangkaan sumberdaya.
Secara skematis, model konsep investasi ini dapat dipelajari di bawah
ini
Menetapkan Langkah Berikut
Dibawah ini beberapa saran / panduan untuk memulai analisis stakeholder dan dapat dikembangkan lebih lanjut sesuai kebutuhan, termasuk memetakan beberapa kegiatan terkait yang dapat memperkuat inisiatif ini sbb:
Kelompok Target Lingkup Kegiatan Terkait Manfaat pengembangan Baseline Private Sector: Khususnya Industri Kehutanan dan Pemilik Konsesi Kawasan Hutan (sebagai investor utama) dan lembaga keuangan, perbankan, program CSR dan entitas bisnis
• Identifikasi kelompok target sebagai prospek pengembangan Trust Fund
• Pengembangan Program CSR Perusahaan lebih baik, terhubung dengan aktifitas perusahaan
• Pengembangan private procurement policy dalam
• Memelihara asset perusahaan dan menyiapkan pendanaan untuk sertifikasi berkelanjutan
• Memberi dukungan bagi pengembangan kapasitas dan kelembagaan unit hutan rakyat, UKM
• Sudah ada dukungan dari Asosiasi Industri Kehutanan yang mendukung SVLK dan FLEGT VPA
• Sudah ada Trust Fund untuk konservasi hutan dan Biodiversity
lainnya (investor pendukung)
penggunaan kayu legal sehingga memberi wadah bagi perusahaan bergabung dengan inisiatif ini
sebagai mitra bisnis • Menguatkan
keterlibatan private sector dalam Sustainable Forest Management
• Mengembangkan pengelolaan resiko deforestasi yang applicable bagi industri kehutanan dan sektor privat lain terkait (misalnya bank kreditur sektor kehutanan dan energi/mineral)
di Indonesia dimana banyak perusahaan dan perbankan berkontribusi sebagai investor
Pemerintah Pusat dan Daerah (termasuk perusahaan daerah milik pemerintah seperti Bank Pemda)
• Memberi edukasi dan mengadvokasi keluarnya kebijakan procurement sektor pemerintah
• Mengembangkan inisiatif sistem pendanaan bagi dukungan berjalannya kebijakan dan praktek procurement policy penggunaan kayu legal bagi instansi pemerintah
• Mengembangkan penggalangan sumberdaya/dana pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung berjalannya procurement policy
• Mengembangkan transparansi dan dialog terkait pembangunan inisiatif procurement policy dan prosedur pelaksanaannya.
Studi terkait pengembangan inisiatif procurement policy sudah dilakukan Kemenhut/BUK dan menghasilkan sejumlah rekomendasi yang perlu ditindaklanjuti.
Kelompok Pemantau Independen dan Lembaga Swadaya Masyarakat
• Identifikasi peran dan kontribusi signifikan dari kelompok pemantau independen kehutanan dalam lingkup SVLK maupun pembangunan kehutanan Indonesia
• Mengidentifikasi dan mengembangkan program penguatan kapasitas pemantau kelembagaan yang terhubung dengan upaya pengembangan strategi penggalang sumberdaya dan kemandirian kelompok/jaringan pemantau independen di Indonesia
• Membangun pendekatan programatik dalam kerja-kerja pemantauan kehutanan yang memungkinkan kelompok pemantau -independen atau LSM menerapkannya dalam strategi penggalangan sumberdaya.
Sudah ada jaringan pemantau independen yang memiliki anggota hampir disetiap provinsi, disertai pelatihan peningkatan kompotensi pemantau.
Industri /pengrajin kecil (UKM) dan unit pengelola Hutan rakyat
Pengembangan pelatihan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan: seperti pelatihan COC, Sertifikasi Mandatory dan
• Tersedia dukungan pendanaan untuk pengembangan usaha/wirausaha kehutanan
Sudah lebih dari 130 pengelola hutan rakyat dan lebih dari 95 industri/ pengrajin kecil UKM
Voluntary, training pengembangan Unit Koperasi sektor kehutanan, Pelatihan komunikasi bisnis dan wirausaha pengrajin kecil, dan training market intelligent and market access development etc.
berkelanjutan • Tersedia dukungan
dana untuk proses memperoleh sertifikat legalitas kayu.
• Memastikan industri/pengrajin kecil UKM dan unit pengelola hutan rakyat memperoleh peningkatan kinerja atas kepatuhan atas kebijakan legaitas kayu dan proses sertifikasi.
mendapat pelatihan terkait SVLK. 10 unit pengelola hutan rakyat dan 2 Industri Menengah telah meraih sertifikat SVLK 2010-2011.
Lembaga Donor, inisiator/pengelola program Trust Fund
• Memprakarsai komunikasi dan promosi untuk memasarkan strategi pengembangan “green trust fund”
• Pengembangan Trust Fund dan pelibatan sektor privat sebagai pendukung/investor
• Mengembangkan program strategis dengan pendekatan programatik yang sesuai dengan peran dan kontribusi kelompok pengelola hutan rakyat dan UKM, kelompok pemantau serta perusahaan milik pemerintah pusat/daerah
• Membuat risk assessment analysis bterkait implementasi SVLK dan VPA
• Mengembangkan instrumen investasi hijau atau Green Trust Fund di Indonesia
• Mengembangkan best practices bagi inisiatif penguatan public private partnership dalam memperbesar modal sosial dalam kegiatan penyelamatan hutan tropis Indonesia.
• Diversifikasi produk investasi hijau melalui portfolio investasi yang ramah lingkungan dan sosial.
• Sudah ada lembaga penyandang dana/yayasan yang memiliki program trust fund melalui portfolio investasi.
• Indonesia telah memiliki Sustainable Responsible Index di Bursa Efek Indonesia (Indonesia Stock Exchange)
Memperkenalkan sebuah gagasan bukanlah perkara mudah. Namun bukan hal yang muskil pula untuk memulainya. Siapa pun yang mengambil inisiatif untuk memulainya dapat mengawalinya dengan melakukan analisa stakeholder, sehingga teridentifikasi calon target grup dan peran yang diharapkan. Kelompok stakeholder yang menjadi target adalah mereka yang akan menjadi investor dan kelompok yang akan menerima dukungan dari kegiatan atau program pengembangan kapasitas kelembagaan (Receiving end). Selain memperkenalkan gagasan, sejatinya harus ada lembaga atau instansi yang berani tampil mengambil peran sebagai promotor untuk memprakarsai pengembangan strategi dan rencana kerja penggalangan sumberdaya hingga menjadi pundi-pundi yang siap diisi para investor. Perjalanan itu tentu masih sangatlah panjang. Selamat mencoba!