16
101 Syarat pasal 51 ayat (2) KUHP, dikatakan melakukan perintah jabatan yang tidak sah menghapuskan dapat dipidananya seseorang. Dalam keadaan ini perbuatan orang ini tetap  bersifat melawan hukum, akan tetapi pembuatnya tidak dipidana, apabila memenuhi syarat : 1.  jika ia mengira dengan itikad baik bahwa perintah itu sah.  2.  perintah itu berada dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah. Sebagai contoh : seorang agen polisi mendapat perintah dari kepala kepolisian untuk menangkap seorang agitator dalam suatu rapat umum atau umumnya seorang yang dituduh telah melakukan kejahatan, tetapi ternyata perintah tidak beralasan atau tidak sah. Disini agen  polisi tidak dapat dipidana kar ena : ia patut menduga bahwa perintah itu sah dan pelaksanaan  perintah itu ada dalam batas wewenangnya. Contoh lainnya : Seorang kepala kantor memerintahkan kepada bendaharawan untuk mengeluarkan sejumlah uang guna sesuatu pembelian, misal : mobil, yang tidak masuk dalam mata-anggaran. Andaikata bendaharawan tiu melaksanakan perintah tersebut tapa akibatnya ? perintah tersebut tidak sah karena pembelian mobil itu tidak termasuk dalam wewenang  bendaharawan tersebut, sebabnya ialah pengeluaran dari pemerintah sudah ditentukan pos-  pos tertentu. Disini bendaharawan itu dapat dipidana, karena ia patut menduga bahwa  perintah itu tidak sah. Catatan : Mengenai ketaatan seorang bawahan kepada atasannya Hazewinkel-Suringa mengatakan,  bahwa ketaatan yang membuta tidak mendisculpeert” (tidak patut di pidananya perbuatan). Contoh lainnya : Seorang kepala polisi memerintahkan anak buahnya untuk memukuli seorang tahanan yang menjengkelkan. Andaikata bawahan ini mengira bahwa perintah itu sah maka ia tetap dapat dipidana, karena memukul seorang tahanan tidak termasuk wewenang dari seorang anggota  polisi. Sifat dari perbuatan seorang yang melakukan perbuatan kar ena perintah jabatan yang tidak sah ialah : perbuatannya tetap perbuatan yang melawan hukum, tetapi behubung dengan keadaan pribadinya maka ia tidak dapat dipidana. Keadaan tersebut adalah merupakan alasan  pemaaf. ALASAN PENGHAPUS PIDANA DI LUAR UU. Dimuka telah dibicarakan tentang alasan penghapus pidana yang berupa alasan  pembenar dan pemaaf (a tau alasan penghapus kesalahan) yang terdapat dalam KUHP, diluar undang-undang pun ada alasan penghapus pidana, misalnya :

Syarat Pasal 51 Ayat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

zz

Citation preview

Page 1: Syarat Pasal 51 Ayat

7/16/2019 Syarat Pasal 51 Ayat

http://slidepdf.com/reader/full/syarat-pasal-51-ayat 1/16

101

Syarat pasal 51 ayat (2) KUHP, dikatakan melakukan perintah jabatan yang tidak sah

menghapuskan dapat dipidananya seseorang. Dalam keadaan ini perbuatan orang ini tetap

 bersifat melawan hukum, akan tetapi pembuatnya tidak dipidana, apabila memenuhi syarat :

1.   jika ia mengira dengan itikad baik bahwa perintah itu sah. 

2.   perintah itu berada dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah. 

Sebagai contoh : seorang agen polisi mendapat perintah dari kepala kepolisian untuk 

menangkap seorang agitator dalam suatu rapat umum atau umumnya seorang yang dituduh

telah melakukan kejahatan, tetapi ternyata perintah tidak beralasan atau tidak sah. Disini agen

 polisi tidak dapat dipidana karena : ia patut menduga bahwa perintah itu sah dan pelaksanaan

 perintah itu ada dalam batas wewenangnya.

Contoh lainnya :

Seorang kepala kantor memerintahkan kepada bendaharawan untuk mengeluarkan sejumlah

uang guna sesuatu pembelian, misal : mobil, yang tidak masuk dalam mata-anggaran.

Andaikata bendaharawan tiu melaksanakan perintah tersebut tapa akibatnya ? perintah

tersebut tidak sah karena pembelian mobil itu tidak termasuk dalam wewenang

 bendaharawan tersebut, sebabnya ialah pengeluaran dari pemerintah sudah ditentukan pos-

 pos tertentu. Disini bendaharawan itu dapat dipidana, karena ia patut menduga bahwa

 perintah itu tidak sah.

Catatan : 

Mengenai ketaatan seorang bawahan kepada atasannya Hazewinkel-Suringa mengatakan,

 bahwa ketaatan yang membuta tidak mendisculpeert” (tidak patut di pidananya perbuatan).

Contoh lainnya :

Seorang kepala polisi memerintahkan anak buahnya untuk memukuli seorang tahanan yang

menjengkelkan. Andaikata bawahan ini mengira bahwa perintah itu sah maka ia tetap dapat

dipidana, karena memukul seorang tahanan tidak termasuk wewenang dari seorang anggota

 polisi. Sifat dari perbuatan seorang yang melakukan perbuatan karena perintah jabatan yang

tidak sah ialah : perbuatannya tetap perbuatan yang melawan hukum, tetapi behubung dengan

keadaan pribadinya maka ia tidak dapat dipidana. Keadaan tersebut adalah merupakan alasan

 pemaaf.

ALASAN PENGHAPUS PIDANA DI LUAR UU.

Dimuka telah dibicarakan tentang alasan penghapus pidana yang berupa alasan

 pembenar dan pemaaf (atau alasan penghapus kesalahan) yang terdapat dalam KUHP, diluar 

undang-undang pun ada alasan penghapus pidana, misalnya :

Page 2: Syarat Pasal 51 Ayat

7/16/2019 Syarat Pasal 51 Ayat

http://slidepdf.com/reader/full/syarat-pasal-51-ayat 2/16

102

a.  hak dari orang tua, gurur untuk menertibkan anak-anak atau anak didiknya

(tuchtrecht);

b.  hak yang timbul dari pekerjaan (beroepsrecht) seorang dokter, apoteker, bidan dan

 penyelidik ilmiah (misalnya untuk vivisectie);

c.  ijin atau persetujuan dari orang yang dirugikan kepada orang lain mengnai suatu

 perbuatan yang dapat dipidana, apabila dilakukan tanpa ijin atau persetujuan (consent of the victim);

d.  mewakili urusan orang lain (zaakwaarneming);

e.  tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang materiil (arrest dikter hewan);

 f.  tidak adanya kesalahan sama sekali (avas, pada arrest susu dan air).

ALASAN PENGHAPUS PIDANA PUTATIEF DAN AVAS. 

Ada kemungkinan bahwa seseorang mengira telah berbuat sesuatu dalam daya paksa

atau dalam keadaan pembelaan darurat atau dalam menjalankan undang-undang atau dalam

melaksanakan perintah jabatan yang sah, pada kenyataannya ialah bahwa tidak ada alasan penghapus pidana tersebut dalam hal ini ada alasan penghapus pidana yang  putatief .

Dapatkah orang tersebut dipidana ? sesuai dengan pendapat MJ van Bemmelen orang tersebut

tidak dapat dijatuhi pidana, apabila dapat diterima secara wajar bahwa ia boleh berbuat

seperti itu. Ia dapat berlindung pada “taksi” (avas). Menurut Jan Remmelink, AVAS

merupakan singkatan dari afwezigheid van alle schuld , jika ada kasus-kasus di mana kita

dapay membuktikan bahwa tiada kesalahan sama sekali maka kita dapat menggunakan avas

untuk : kasus-kasus khusus, terjadi eror fact (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi

factual) atau eror yuridis (kekeliruan yang berkenaan dengan situasi yuridis). Alasan

 penghapus pidana putatief merupakan alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf.

Page 3: Syarat Pasal 51 Ayat

7/16/2019 Syarat Pasal 51 Ayat

http://slidepdf.com/reader/full/syarat-pasal-51-ayat 3/16

103

BAB XIV

GUGURNYA KEWENANGAN MENUNTUT DAN MENJALANKAN PIDANA 

A.  GUGURNYA KEWENAGAN MENUNTUT. 

Pada prinsipnya kewenangan melakukan penuntutan hadir seketika ada dugaan

terjadinya tindak pidana. Disini dianggap bahwa kepentingan umum dianggap langsung

terkena sehingga pihak yang terkena tindak pidana itu harus menerima adanya penuntutan

sekalipun ia sendiri tidak menghendakinya. Namun demikian terdapat beberapa hal yang

menjadi dasar atas gugurnya kewenangan jaksa untuk melakukan penuntutan menurut

KUHP adalah :

a.  Tidak adanya pengaduan dalam hal delik aduan (pasal 72-75 KUHP)

 b.   Ne bis in idem (pasal 76 KUHP)

c. 

Matinya terdakwa (pasal 77 KUHP)

d.  Daluwarsa (pasal 78 KUHP)

e.  Telah ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk 

 pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja (pasal 82 KUHP).

Sementara ketentuan diluar KUHP adalah :

a.  Abolisi

 b.  Amnesti

Delik Aduan.

Kewenangan melakukan penuntutan pada prisipnya tidak berhubungan dengan

kehendak perorangan kecuali dalam beberapa delik tertentu diantaranya perzinahan

(pasal 284), persetubuhan terhadap anak dibawah umur (pasal 287-288), untuk 

melarikan wanita (pasal 332), pencemaran nama baik (319) dan lain-lain.

I.1. Bentuk Delik Aduan

Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, delik aduan dibagi dalam dua bentuk :

a.  Delik Aduan Absolut

Dalam hal dianggap bahwa kepentingan orang yang terkena tindak pidana itu

melebihi kerugian yang diderita oleh umum, maka hukum memberikan pilihan

kepadanya untuk mencegah atau memulai suatu proses penuntutan.

Misal :

Seorang perempuan muda yang telah disetubuhi boleh memilih untuk menikahi

laki-laki yang menyetubuhinya daripada pelaku dijatuhi pidana.

Page 4: Syarat Pasal 51 Ayat

7/16/2019 Syarat Pasal 51 Ayat

http://slidepdf.com/reader/full/syarat-pasal-51-ayat 4/16

104

Delik aduan absolute ini dapat dijumpai antara lain dalam ketentuan pasal 293

(perbuatan cabul terhadap anak dibawah umur) pasal 322 (pelanggaran kewajiban

menyimpan rahasia), pasal 335 (1) & (2) (perbuatan tidak menyenangkan) atau

 pasal 369 (pengancaman).

 b.  Delik Aduan relative

Karakter delik aduan ini tidak terletak pada sifat kejahatan yang dilakukan

melainkan pada hubungan antara pelaku / pembantu dan korban. Baik hubungan

karena keturunan / darah atau dalam hal hubungan perkawinan. Dalam hal relasi

antara sifat keperdataan yang lahir dari h8ubungan tersebut dapat menjadi alasan

dalam mencegah terjadinya penuntutan. Kebanyakan delik-delik ini terkait dengan

delik dibidang harta benda (pasal 367 KUHP).

II.2. Yang berhak mengadu (subyek).

Ketentuan umum dalam pasal 72 KUHP menentukan :

1)  Jika ybs. Belum 18 th / belum cukup umur / dibawah pengampunan (pasal 72)

:

  Oleh wakil yang sah dalam perkara perdata;

  Wali pengawas / pengampu

  Istrinya

  Keluarga sedaraj garis lurus

 

Keluarga sedarah garis menyimpang sampai derajat ke-3

2)  Jika ybs meninggal pasal 73 oleh :

  Orang tuanya

  Anaknya, atau

  Suami / istri (kecuali ybs tidak menghendaki).

Disamping ketentuan umum tersebut diatas , ada pula ketentuan-ketentuan khusus,

misalnya :

  Untuk perzinahan (pasal 284).

Yang berhak mengadu hanya suami / istri yang tercemar (ketentuan pasal 72

dan 73 diatas tidak berlaku).

Penarikan kembali pengaduan dapat dilakukan, sewaktu-waktu, selama

 pemeriksaan dalam siding pengadilan belum dimulai (ayat 4). Jadi ketentuan

 pasal 75 KUHP tidak berlaku.

Page 5: Syarat Pasal 51 Ayat

7/16/2019 Syarat Pasal 51 Ayat

http://slidepdf.com/reader/full/syarat-pasal-51-ayat 5/16

105

  Untuk melarikan wanita (pasal 332)

Yang berhak mengadu :

  Jika belum cukup umur oleh : wanita ybs, atau orang yang harus

memberi ijin bila wanita itu kawin  Jika sudah cukup umur, oleh : wanita ybs, atau suaminya.

II.3. Tenggang waktu pengajuan pengaduan (pasal 74)

a.  Bertempat tinggal di Indonesia 6 bulan sejak mengetahui

 b.  Bertempat tinggal di luar Indonesia 9 bulan sejak mengetahui adanya

kejahatan.

II.4. Penarikan kembali aduan.

Dibuatnya suatu pengaduan tidak dengan serta merta berarti bahwa ijin memberikan

kewenangan penuntutan dilakukan secara final. Memang selayakanya pengaduan

mencakup pelaporan (aangifte) dengan permohonan dilakukannya penuntutan

(verzoek tot vervolging). Bila pengaduan sudah disampaikan, pada dasarnya jaksa

 penuntut umum tak perlu menunggu lewatnya daluarsa menarik adauan, meskipun

undang-undang memberikan jangka waktu 3 bulan (pasal 75). Akan tetapi jika aduan

tersebut ditarik kembali, maka kewenangan menuntut menjadi hapus.

B.  NE BIS IN IDEM (PASAL 76)

Arti sebeanarnya dari neb is in idem ialah “tidak atau jangan dua kali yang sama”. Sering

 juga digunakan istilah “nemodebet bis vexari” (tidak seorangpun atas perbuatnya dapat

diganggu / dibahayakan untuk kedua kalinya) yang dalam literature Angka Saxon

diterjemahkan menjadi “No one could be put twice in jeopardy for tha same offerice”. 

Dasar pikiran atau ratio dari azas ini ialah :

a) 

Untuk menjaga martabat pengadilan (untuk tidak memerosotkan kewibawaan Negara);

 b)  Untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah mendapat keputusan.

Diakuinya azas Neb is in idem ini terlihat dalam rumusan pasal 76 KUHP yang berbunyi

(ayat (1) sub 1) sbb :

“Kecuali dalam hal putusan haikm masih mungkin diulangi (herzeining), orang tidak 

 boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya

telah diadili dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap”. 

Page 6: Syarat Pasal 51 Ayat

7/16/2019 Syarat Pasal 51 Ayat

http://slidepdf.com/reader/full/syarat-pasal-51-ayat 6/16

106

Dengan demikian penuntutan terhadap seseorang dapat hapus berdasar neb is in idem,

apabila dipenuhi syarat-syarat sbb :

  Ada putusan yang berkekuatan hukum tetap;

  Orang terhadap siap putusan itu dijatuhkan adalah sama;

 

Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputusterdahulu itu.

Dengan adanya syarat ini berarti terhadap putusan tersebut harus sudah tidak ada alat

hukum / upaya hukum (rechtsmiddel) yang dapat dipakai untuk merubah keputusan

tersebut. Ada pendapat bahwa peninjauan kembali (herzeining) merupakan salah satu

upaya hukum, sehingga pengecualian yang tersebut dalam pasal 76 itu (yaitu adanya

herzeining merupakan pengecualian terhadap azas ne bis in idem) sebenarnya tidak perlu.

Jadi menurut pendapat ini, dengan adanya herzeining berarti putusan itu memang belum

 berkelanjutan dari tuntutan hukum yang pertama, jadi bukan merupakan tuntutan hukum

yang kedua kali.

B.1. Adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap;

Keputusan hakim (yang berkekuatan hukum tetap) yang dimaksud disini adalah

keputusan terhadap perbuatan atau perkara ybs, yaitu yang dapat berupa :

I.  Pembebasan (vrijspraak) pasal 191 (1) KUHAP (dulu 313 RIB).

II.  Pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van allerechtvervolging) pasal 191

ayat (2) KUHAP (dulu 314 RIB);

III.  Penjatuhan pidana pasal 193 ayat (1) KUHAP (dulu 315 RIB).

Jadi keputusan-keputusan tersebut sudah mengandung penentuan terbukti tidaknya tindak 

 pidana atau kesalahan terdakwa. Azas ne bis in idem tidak berlaku untuk keputusan

hakim yang belum berhubungan dengan pokok perkara, yang biasanya disebut

“penetapan- penetapan” (beschikking), misalnya :

a.  Tentang tidak berwenangnya hakim untuk memeriksa perkara yang bersangkutan;

 b.  Tentang tidak diterimanya tuntutan Jaksa karena terdakwa tidak melakukan

kejahatan;

c.  Tetang tidak diterimanya perkara karena penuntutan sudah daluwarsa.

Adanya penetapan-penetapan serupa itu tidak merupakan alasan untuk adanya neb is in

idem. Jadi pasal 76 KUHP tidak mengenai penetapan-penetapan. Perlu pula diperhatikan

Page 7: Syarat Pasal 51 Ayat

7/16/2019 Syarat Pasal 51 Ayat

http://slidepdf.com/reader/full/syarat-pasal-51-ayat 7/16

107

 bahwa putusan-putusan hakim seperti dikemukakan diatas adalah putusan yang

menyangkut perkara pidana, jadi keputusan mengenai hukum pidana.

Apabila misalnya seorang pengendara motor menabrak penjual soto dan dia dituntut

secara perdata untuk memberi ganti rugi, maka putusan hakim mengnai hal ini tidak 

menghalangi untuk dilakukannya penuntutan dalam perkara pidananya. Jadi dalam hal ini

tidak ada neb is in idem.

Begitu pula sebaliknya, apabila yang diputus adsalah perkara pidananya lebih dulu, maka

 putusan ini tidak merupakan alasan untuk neb is in idem dalam perkara gugatan perdata.

Jadi tegasnya pasal 76 KUHP hanya berlaku untuk perkara-perkara pidana.

Adanya keputusan hakim yang menjadi syarat neb is in idem ini tidak hanya keputusan

hakim Indonesia, tetapi dapat juga keputusan hakim Negara lain (hakim asing). Hal ini

disebut dalam pasal 76 (2) dengan syarat putusan hakim asing tersebut harus berupa :

a)  Putusan yang berupa pembebasan;

Dengan syarat-syarat diatas, maka apabila keputusan hakim asing yang berupa

 pemidanaan baru sebagian dijalani, maka orang tersebut di Indonesia dapat

dituntut lagi. Dalam pengertian “telah dijalani seluruhnya” putusan hakim asing

itu, menurut Pompe termasuk pidana bersyarat (V.V. = voorwaardelijke

veroordelling) dan pelepasan bersyarat (V.I. = voorwaardelijke invrijheidstelling).

 b) 

Putusan yang berupa pelepasan dari tuntutan hukum;

Orang yang dituntut harus sama. Ini merupakan segi subyektif dari persyaratan

neb is in idem. Apabila misalnya A dan B melakukan tindak pidana bersama-

sama, akan tetapi yang tertangkap dan dituntut pidana baru A, maka dalam hal B

kemudian tertangkap ia tetap masih dapat dituntut walaupun misalnya A

dibebaskan.

c)  Putusan berupa pemidanaan :

- Yang sekuruhnya telah dijalani, atau

-Yang telah diberi ampun (grasi), atau;

- Yang wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena kadaluwarsa.

B.2. Perbuatan (yang dituntut kedua kali) adalah sama dengan yang pernah diputus terdahulu

itu.

Harus ada  feit  / perbuatan yang sama. Ini segi obyektif dari neb is in idem  (objective

identiteit). Masalah ini merupakan masalah yang paling sukar, seperi halnya dijumpai

dalam concursus/ gabungan tindak pidana.

Page 8: Syarat Pasal 51 Ayat

7/16/2019 Syarat Pasal 51 Ayat

http://slidepdf.com/reader/full/syarat-pasal-51-ayat 8/16

108

Misal :

A melakukan pemerkosaan dijalan umum (pasal 285 dan 281). Seandainya Jaksa hanya

menuntut berdasar pasal 285 (perkosaan) saja dan ternyata tidak terbukti, sehingga

terdakwa lepas dari segala tuntutan, maka apakah Jaksa masih dapat menuntut yang

kedua kalinya berdasar pasal 281 (melanggar kesusilaan dimuka umum) ? dan pakah

 putusan yang pertama merupakan res judicata (putusan yang neb is in idem)?

Jawaban terhadap masalah ini tergantung atau berkisar pada apa yang dimaksud dengan

“feit”. Kalau kasus diatas dipandang sebagai concursus realis, sehingga dapat dikatakan

terdakwa melakukan beberapa perbuatan, maka dimungkinkan ada penuntutan lagi. Akan

tetapi apabila dipandang sebagai concursus idealis, dimana hanya dipandang ada satu

 perbuatan, maka hanya dimungkinkan adanya satu kali penuntutan saja.

Catatan :

- Apabila dipandang sebagai concursus realis, maka tidak ada neb is in idem;

- Apabila dipandang sebagai concursus idealis, maka ada neb is in idem;

Dalam yurisprudensi, ajaran  feit  materiil pada neb is in idem telah ditinggalkan pada

tahuan 1932, yaitu dengan Arrest HR 27 Juni 1932.

Kasusnya : Orang yang sedang mabuk ditempat umum mengganggu ketentraman umum,telah memukul dada dan menendang kaki seorang anggota polisi yang sedang

menjalankan tugasnya.

Mula-mula terdakwa diputus dan dipidana karena menganiaya polisi (pasal 356 sub. 2),

kemudian oleh jaksa dituntut lagi mengenai menggangu ketentraman umu dalam keadaan

mabuk (pasal 492). Tuntutan kedua ini oleh pengadilan diterima dan terdakwa dijatuhi

 pidana. Terdakwa banding, dan pengadilan tinggi menyatakan ada ne bis in idem. Jaksa

mengajukan kasasi ke Hoge Raad dengan mengatakan bahwa perbuatan terdakwa itu

merupakan dua perbuatan dipandang dari sudut hukum pidana, jjadi disini tidak ada

 perbuatan yang sama, seperti dimaksud dalam pasal 76 HR melihat disini juga ada 2

 perbuatan yang mempunyai cirri yang berlainan, sehingga tuntutan jaksa dapat diterima.

Persoalan  feit  / perbuatan pada pasal 76, disamping berlkaitan erat de4ngan masalah

concursus, juga berhubungan dengan masalah, alternativitas dalam tuduhan dapat

meliputi masalah :

a.  Perbuatannya/ketentuan yang dilanggar :

Misal : perbuatan A sebenarnya dapat dikualifisir dalam 3 kemungkinan yaitu :

Page 9: Syarat Pasal 51 Ayat

7/16/2019 Syarat Pasal 51 Ayat

http://slidepdf.com/reader/full/syarat-pasal-51-ayat 9/16

109

1)  Dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain (pasal 338),

2)  Karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain (pasal 359),

3)  Dengan sengaja menganiaya yang berakibat mati (pasal 351 ayat (3)).

 b.  Waktu terjadinya tindak pidana

Misal seorang dituntut telah melakukan pencurian pada tgl 1 Juni 1979, tetapididalam surat tuduhan tercantum tgl 1 Juli 1979. apabila terdakwa dibebaskan

unutk tuduhan pencurian tercantum tgl. 1 Juni, Jaksa tidak dapat menuntut lagi

 berdasar tgl. Yang betul. Disini ada neb is in idem. Dalam hala ini sebenarnya

sebelum ada putusan, jaksa dapat mengajukan permintaan unutk “merubah surat

tuduhan berdasar pasal 282 HIR, asal Feitnya tetap.

c.  Tempat terjadinya tindak pidana.

Misal semula terdakwa dituduh mencuri di taman Diponegoro, kemudian

dibebaskan. Jaksa kemudian mengajukan tuduhan lagi. Berdasar tempat

 pencurian yang sebenarnya dilakukan yaitu di Stadion Diponegoro. Disinipun ada

neb is in idem.

Kesukaran dan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perkataan ” feit” dirubah

menjadi “strafbaar feit”. Dengan perubahan ini menurut Pompe, penerapan pasal

76 lebih mudah. Namun diakui bahwa itu berarti menyempitkan berlakunya pasal

76, artinya kemungkinana penuntutan kembali menjadi longgar. Tetapi menurut

Pompe, halangan dalam penuntutan baru, dapat lebih merugikan kepentingan

umum dari pada mengulangi percobaan untuk penerapan undang-undang pidanadengan setepat-tepatnya.

C.  MATINYA TERDAKWA (PASAL 77) DAN MATINYA TERPIDANA (PASAL 83).

Hal ini wajar karena KUHP berpendirian bahwa yang dapat menjadi subyek hukum

hanyalah orang dan pertanggungan jawab bersifat pribadi. Dalam hal ini tidak ada suatu

tanggungjawab pidana diwariskan. Konsekwensi dari pemikiran ini adalah bahwa

kematian seorang tersangka atau terdakwa menyebabkan kewenangan seorang Jaksa

 penuntut menjadi gugur. Sementara kematian seseorang terpidana menyebabkan

kewajiban menjalankan pidana menjadi terhapuskan.

D.  DALUWARSA (VERJARING).

D.1 Daluwarsa Penuntutan. 

Ditetapkannya lemabga daluarsa penuntutan dalam KUHP pada dasarnya dilandasi

oleh beberapa pemikiran yaitu :

  Dalam kenyataannya perputaran waktu tidak hanya secara perlahan

menghapuskan akibat tindak pidana yang terjadi akan tetapi jugamengahpuskan keinginan untuk melakukan pembalasan.

Page 10: Syarat Pasal 51 Ayat

7/16/2019 Syarat Pasal 51 Ayat

http://slidepdf.com/reader/full/syarat-pasal-51-ayat 10/16

110

  Berjalannya waktu sekaligus menghapuskan jejak-jejak tindak pidana yang

menyebabkan kesulitan pembuktian.

  Bahwa pelaku setelah bertahun-tahun menyembunyikan diri sudah cukup

terhukum dengan kehidupan yang tidak tenang dan penuh kecemasan.

 Namun demikian yang utama dari ketiga lasan itu adalah kebutuhan untuk memidanadan kesulitan pembuktian menjadi alasan utama. Karena itu adagium punier non

(simper) necesse est  (menghukum tidak selamanya perlu) menajdi dasar dari

keberadaan lembaga ini.

D.1.1. Tenggang Waktu Daluwarsa Penuntutan. 

Tenggang waktu daluwarsa ditetapkan dalam pasal 78 (1), yaitu :

  Untuk semua pelanggaran dan kejahatan percetakan : sesudah 1 tahun;

 

Untuk kejahatan yang diancam denda, kurungan atau penjara maksimum 3tahun : daluwarsanya sesudah 6 tahun;

  Untuk kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun daluwarsanya

12 tahun;

  Untuk kejahatan yang diancam pidana mati atau seumur hidup : daluwarsanyasesudah 18 tahun.

Menurut pasal 79, tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan

dilakukan, kecuali dalm hal-hal tertentu yang disebut dalam pasal tersebut yang

menyangkut vorduurende delict  (delik berlangsung terus lihat penjelasan dalam bab

tetang jenis delik). Adapun yang diatur dalam pasal 79 adalah :

- Kejahatan terhadap mata uang (pasal 244) perhitungan daluwarsa didasarkan pada waktu setelah uang dipakai atau diedarkan;

- Kejahatan terhadap kemerdekaan seseorang (pasal 328, 329, 330 dan 333),

daluwarsa dihitung keesokan hari setelah orang tersebut dibebaskan atau

ditemukan meninggal dunia;

- Kejahatan terhadap register kependudukan (pasal 556-558 a), sehari setelah

data tersebut dimasukkan dalam catatan register.

D.1.2. Pencegahan dan penangguhan.

a. Pencegahan (stuiting). 

Menurut pasal 80 (1) tenggang daluwarsa terhenti / tercegah (gestuit) apabila

ada tindakan penuntutan (daad van vervolging). Pada mulanya tindakan

 penuntutan diartikan secara luas yaitu mencakup juga tindakan-tindakan

 pengusutan (daad van opsporing). Tetapi yurisprudensi kemudian menerima

 pendapat yang lebih sempit, yaitu hanya perbuatan-perbuatan penuntut umum

yang langsung menyangkutkan hakimdalam acara pidana (misal menyerahkan

 perkara ke siding, mendakwa / mengajukan tuduhan, memohon revisi), jaditindakan pengusutan tidak lagi dianggap termasuk tindakan penuntutan.

Page 11: Syarat Pasal 51 Ayat

7/16/2019 Syarat Pasal 51 Ayat

http://slidepdf.com/reader/full/syarat-pasal-51-ayat 11/16

111

Menurut pasal 80 (2) sesudah terjadinya pencegahan (stuiting) mulai berjalan

tenggang daluwarsa yang baru, jadi selama terhentinya selama ada tindakan

 penuntutan tenggang waktunya tidak dihitung.

b. Penangguhan (scorsing). 

Menurut pasal 81 (1) tenggang daluwarsa penuntutan tertunda/tertangguhkan

(geschorst) apabila ada perselisihan praejudisiil, yaitu perselisihan menurut

hukum perdata yang terlebih dulu harus diselesaikan sebelum acara pidana

dapat diteruskan. Dalam hal ada penundaan/pertangguhan (schorsing) maka

tenggang waktu yang telah dilalui, sebelum diadakannya penundaan, tetap

diperhitungkan terus. Hanya saja selama acara hukum perdata berlangsung dan

 belum selesai, tenggang daluwarsa tuntutan pidana, dipertangguhkan. Hal ini

dimaksudkan agar terdakwa tidak diberi kesempatan untuk menunda-nunda

 penyelesaian perkara perdatanya dengan perhitungan dapat dipenuhinyatenggang daluwarsa penuntutan pidana.

D.2. Daluwarsa Pemidanaan. 

Sama dengan daluarsa penuntutan maka landasan pemikiran atas daluarsa pemidanaan

didasarkan kepada dua hal yaitu :

1.  dalam kenyataannya perputaran waktu tidak hanya secara perlahan

menghapuskan akibat tindak pidana yang terjadi akan tetapi juga

menghapuskan keinginan unutk melakukan pembalasan2.   bahwa pelaku setetlah bertahun-tahun menyembunyikan diri sudah cukup

terhukum dengan kehidupan yang tidak tenang dan penuh kecemasan.

Perbedaannya disini adalah alasan kesulitan pembuktian tetunya tidak lagi relevan

disini.

D.2.1. Daluwarsa kewenangan menjalankan pidana.

Tenggang waktu daluwarsanya diatur dalam pasal 84 (2), yaitu :

  untuk semua pelanggaran : daluwarsanya 2 tahun.

  Untuk kejahatan percetakan : daluwarsanya 5 tahun.

  Untuk kejahatan lainnya : daluwarsanya sama dengan daluwarsa penuntutan

(lihat pasal 78 ) ditambah sepertiga.

Pada ayat (3) ditetapkan bahwa :

“tidak ada daluwarsa untuk kewenangan mejalankan hukuman mati”. 

Menurut pasal 85 (1) tenggang daluwarsa dihitung mulai pada keesokan harinya

sesudah putusan hakim dapat dijalankan. Ini tidak sama dengan putusan hakim

Page 12: Syarat Pasal 51 Ayat

7/16/2019 Syarat Pasal 51 Ayat

http://slidepdf.com/reader/full/syarat-pasal-51-ayat 12/16

112

yang inkracht van gewijsde (putusan ayat berkekuatan tetap). Pada umumnya

memang putusan hakim yang berkakuatan hukum tetap. Tetapi ada putusan hakim

yang sudah dapat dieksekusi sebelum keputusan itu berkekuatan tetap, yaitu

“verstek -vonnis” (keputusan diluar hadirnya terdakwa). 

D.2.2. Pencegahan Dan Penagguhan Daluwarsa Pemidanaan.

a.   pencegahan (stuiting)

 pencegahan (stuiting) terhadap daluwarsa hak untuk menjalankan /

mengeksekusi pidana dapat terjadi dalam dua hal (pasal 85 ayat (2)) yaitu :

1)  Jika terpidana melarikan diri selama menjalani pidana.

Dalam hal ini, tenggang daluwarsa baru dihitung pada keesokan

harinya setelah melarikan diri.

2)  Jika pelepasan bersyarat dicabut

Dalam hal ini, maka pada esok harinya setelah pencabutan, mulai

 berlaku tenggang daluwarsa baru.

Dengan demikian selama ada pencegahan, maka jangka lewat waktu yang telah

dilalui hilang sama sekali (tidak dihitung).

 b.   penagguhan (schorsing).

Penundaan (schorsing) terhadap daluwarsa hak untuk mengeksekusi pidana

dapat terjadi dalam dua hal (pasal 33 ayat (3) yaitu :

  selama perjalanan pidana ditunda menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku;

  selama terpidana dirampas kemerdekaannya (ada calon tahanan),

walaupun perampasan kemerdekaan itu berhubung dengan pemidanaan

lain.

A.  Ketentuan Gugurnya Kewenangan Menuntut Dan Menjalankan Pidana di luar KUHP.

E.1. Grasi.

Grasi tidak menghilangkan putusan hakim ybs. Keputusan hakim tetap ada, tetapi

 pelaksanaannya dihapuskan atau dikurangi / diringankan. Jadi grasi dari presiden,

dapat berupa :

  Tidak mengeksekusi seluruhnya,

 

Hanya mengeksekusi sebagian saja

Page 13: Syarat Pasal 51 Ayat

7/16/2019 Syarat Pasal 51 Ayat

http://slidepdf.com/reader/full/syarat-pasal-51-ayat 13/16

113

  Mengadakan komutasi yaitu jenis pidananya diganti, misal penjara diganti

kurungan, kurungan diganti dengan denda, pidana mati diganti penjara

seumur hidup.

Dasar pemikiran lembaga grasi menurut Remelink adalah keadaan pada waktu hakim

menjatuhkan putusan tidak atau kurang diperhatikan atau mungkin pertimbangan dan

yang bila (secara memadai sebelumnya ia keathui, akan mendorongnya menjatuhkan

 pidana atau tindakan lain atau bahkan untuk tidak menjatuhkan sanksi sekalipun.

Grasi dapat dikabulkan manakala hukuman yang dijatuhkan dianggap tidak akan

mencapai tujuan atau sasaran pemidanaan itu sendiri.

Perihal prosedur Grasi diatur dalam undang-undang 22 tahun 2002, menurut

ketentuan pasal 2 ayat (2) grasi hanya dapat dimohonkan bagi terpidana yang dijatuhi

 pidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling rendah 2 tahun. Dalam pasal 2

ayat (3) permohonan grasi hanya dapat diajukaqn 1 (satu) kali, kecuali dalam hal :

I.  Terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat waktu 2

(dua) tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut;

II.  Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara

seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima.

Sementara pasal 3 permohonan grasi tidak menunda pelaksanaan putusan

 pemidanaan bagi terpidana, kecuali dalam hal putusan pidana mati.

Permohonan grasi oleh terpidana atau kuasa hukumnya atau oleh keluarga terpidana,

dengan persetujuan terpidana (pasal 6 (1-2)) kecuali dalam hal terpidana dijatuhi

 pidan mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa

 persetujuan terpidana (pasal 6 ayat (3)).

Permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan pasal 7 diajukan secara

tertulis oleh terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya kepada Presiden. Salinan

 permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada

 pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada

Mahkamah Agung. Permohonan grasi dan slinannya sebagaimana dimaksud padaayat (1) dan ayat (2) dapat disampaikan oleh terpidana melalui Kepala Lembaga

Pemasyarakatan sebagaimana dimaksudkan pada ayat (3), Kepala Lembaga

Pemasyarakatan menyampaikan permohonan grasi tersebut kepada Presiden dan

salinannya dikirimkan kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat

 pertama paling lambat 7 hari terhitung sejak diterimanya permohonan grasi dan

salinannya.

Dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) haru terhitung sejak tanggal

 penerimaan salinan permohonan grasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 8,

 penagdilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan berkas perkara

Page 14: Syarat Pasal 51 Ayat

7/16/2019 Syarat Pasal 51 Ayat

http://slidepdf.com/reader/full/syarat-pasal-51-ayat 14/16

114

terpidana kepada Mahkamah Agung. Dan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tigta)

 bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara

sebagaimana dimaksud dalam pasal 9, Mahkamah Agung mengirimkan

 pertimbangan tertulis kepada Preisden. Presiden memberikan keputusan atas

 permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Jangkawaktu pemberian atau penolakan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling

lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung,

keputusan Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi.

E.2. Amnesti.

Amnesti dapat didefinisikan sebagai pernyataan umum (yang diterbitkan dalam suatu

aturan perundang-undangan) yang memuat pencabutan senua akibat pemidanaan dari

suatu delik tertentu atau satu kelompok delik tertentu, demi kepentingan semua

terpidana maupun bukan, terdakwa ataupun bukan, mereka yang identitasnyadiketahui ataupun tidak namun bersalah melakukan tindakan tersebut. Oleh karena

itu amnesti mencakup perkara dalam fase ante sentantiam (sebelum dijatuhkanya

 putusan) maupun post sentantiam (pasca proses ajudikasi).

Dalam praktek amnesti diberikan karena alasan politik.

E.3. Abolisi.

Seperti halnya grasi dan amnesti, abolisi merupakan hak prerogative presiden yang

ditetapkan dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Abolisi mengandung pengertian

 penghapusan yang diberikan kepada perseorangan yang mencakup penghapusan

seluruh akibat penghukuman seluruh akibat penjatuhan putusan, termasuk putusan itu

sendiri. Abolisi dengan demikian berlaku ante sentiam yang berkaitan dengan

dilepaskannya kewenangan melakukan penuntutan atau pelanjutan dari penuntutan

yang sudah dimulai.

Page 15: Syarat Pasal 51 Ayat

7/16/2019 Syarat Pasal 51 Ayat

http://slidepdf.com/reader/full/syarat-pasal-51-ayat 15/16

115

BAB XV

R E S I D I V E

( PENGULANGAN TINDAK PIDANA)

1.  PENGERTIAN

Residive atau pengulangan terjadi apabila seseorang yang melakukan suatu tindak 

 pidana dan telah dijatuhi pidana dengan putusan hakim yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap ( MKHT) atau “in kracht van gewijsd e”, kemudian melakukan

tindak pidana lagi.

Perbedaannya dengan Concursus Realis ialah pada Residive sudah ada putusan

Pengadilan berupa pemidanaan yang telah MKHT sedangkan pada Concursus Realis

terdakwa melakukan beberapa perbuatan pidana dan antara perbuatan sang satu

dengan yang lain belum ada putrusan Pengadilan yang MKHT.

Residive merupakan alasan untuk memperberat pidana yang akan dijatuhkan.

Dalam ilmu hukum pidana dikenal ada dua sistem residive ini, yaitu :

1.  Sistim Residive Umum

Menurut sistem ini, setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan

dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk memperberat pidana

yang akan dijatuhkan. Jadi tidak ditentukan jenis tindak pidana dan tidak ada

daluwarsa dalam residivenya.

2. 

Sistem Residive KhususMenurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan pemberatan

 pidana. Pemberatan hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan

terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu

yang tertentu pula.

2.  MENURUT KUHP

Dalam KUHP ketentuan mengenai Residive tidak diatur secara umum tetapi diatur 

secara khusus untuk kelompok tindak pidana tertentu baik berupa kejahatan maupun

 pelanggaran.

Disamping itu di dalam KUHP juga memberikan syarat tenggang waktu pengulangan

yang tertentu. Jadi dengan demikian KUHP termasuk ke dalam sistem Residive

Khusus.

a.  Residive Kejahatan.

Residive terhadap kejahatan dalam pasal : 137(2), 144(2), 155(2), 161(2),

163(2), 208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis (2).

Page 16: Syarat Pasal 51 Ayat

7/16/2019 Syarat Pasal 51 Ayat

http://slidepdf.com/reader/full/syarat-pasal-51-ayat 16/16

116

Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila ada pengulangan menjadi alasan

 pemberat. Perlu diingat bahwa mengenai tenggang waktu dalam residive

tersebut tidak sama, misalnya :

i.  Pasal : 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321 tenggang waktunya dua

tahun ;ii.  Pasal 154, 157, 161, 163 dan 393 tenggang waktunya lima tahun.

iii.  Sedangkan untuk residive yang diatur dalam Pasal 486, 477 dan

488 KUHP mensyaratkan bahwa tindak pidana yang diulangi

termasuk dalam kelompok jenis tindak pidana tersebut.

 b.  Residive Pelanggaran

Residive dalam pelanggaran ada 14 jenis tindak pidana, yaitu :

Pasal : 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, 549

KUHP.

Syarat-syarat Recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing pasal

yang bersangkutan.

3. RECIDIVE DI LUAR KUHP

Recidive diluar KUHP antara lain diatur di dalam Undang-Undang:

i.  Tindak Pidana Narkotika (UU 22 / 1997), Pasal 78 s/d 85, dan pasal

87;Tenggang waktu lima tahun. Ancaman pidana ditambah sepertiga

ii.  Tindak Pidana Psikotropika (UU No.5/1997), Pasal 72, ancaman pidana

ditambah sepertiga.