t, p. agung

Embed Size (px)

Citation preview

A. Pendahuluan Bahasa di dunia tidaklah sama. Dalam suatu negara, beragam bahasa yang dipergunakan, bahkan pada suatu daerah tertentu beragam bahasa yang dapat kita dengar dipergunakan orang. Di Indonesia kita mengenal adanya bahasa nasional (= bahasa persatuan, bahasa resmi, bahasa negara, bahasa pengantar, bahasa kebudayaan ), dan juga bahasa daerah. Pada dasarnya bahasa tersebut mempunyai dua aspek mendasar, yaitu aspek bentuk dan makna. Aspek bentuk berkaitan dengan bunyi, tulisan maupun struktur bahasa, sedangkan aspek makna berkaitan dengan leksikal, fungsional maupun gramatikalnya. Apabila kita perhatikan dengan terperinci dan teliti bahasa itu dalam bentuk dan maknanya menunjukkan perbedaan antar pengungkapannya antara penutur yang satu dengan penutur yang lain. Perbedaan perbedaan bahasa itu menghasilkan ragam-ragam bahasa atau variasi bahasa. Variasi itu muncul karena kebutuhan penutur akan adanya alat komunikasi dan kondisi sosial, serta faktor-faktor tertentu yang mempengaruhinya, seperti letak geografis, kelompok sosial, situasi berbahasa atau tingkat formalitas, dan karena perubahan waktu. Keragaman bahasa tersebut merupakan subsistem-subsistem bahasa yang berbeda, yang banyak mengandung permasalahan yang kompleks, oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji dan menganalisis salah satunya, yakni tentang dialek. B. Permasalahan Mengingat kompleksitas permasalahan yang ada dalam dialektologi, maka makalah ini membatasi diri pada bagaimana langkah kerja dan aplikasi dalam penelitian dialek. C. Tujuan Tujuan penulisan makalah ini untuk menjelaskan langkah-langkah yang dapat ditempuh dan beberapa aplikasinya dalam penelitian dialek. D. Pembahasan Sebelum melangkah pada cara kerja penelitian dialek terlebih dahulu perlu penulis sampaikan konsep dasar dialektologi sebagai gambaran awal. 1.1. Konsep Dasar Dialektologi 1.1.1.1. Batasan Dialek Dialek berasal dari bahasa Yunani dialektos yang pada mulanya dipergunakan dalam hubungannya dengan keadaan bahasa Yunani pada waktu itu. Dialek merupakan variasi bahasa yang berbeda-beda menurut; variasi bahasa yang dipakai oleh kelompok bahasawan di tempat tertentu, atau oleh golongan tertentu dari suatu kelompok bahasawan, atau oleh kelompok bahasawan yang hidup dalam kurun waktu tertentu ( Kridalaksana, 1984: 38).

1.1.1.2. Ciri-ciri dialek Ciri-ciri utama dialek ialah perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan (Meilet 1967 : 70 yang dikutip oleh Ayatrohaedi, 1979 :2). Ciri lain yakni: Dialek ialah seperngkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yang memliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama,dan Dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa. 1.1.1.3. Faktor yang Mempengaruhi Ragam Bahasa Beberapa pendapat para ahli bahasa mengenai faktor-faktor peneyebab adanya ragam bahasa, antara lain dikemukakan oleh Kridalaksana (1970), Nababan (1991), Suwito (1992), dan Abdul Chaer (1995). Menurut Kridalaksana faktor-faktor tersebut adalah: waktu, tempat, sosio-budaya, situasi, dan sarana pengungkapan Menurut Nababn, faktor-faktor tersebut meliputi: daerah, kelompok, atau keadaan sosial, situasi dan tingkat formalitas, serta zaman yang berlainan. Menurut Suwito, meliputi faktor-faktor: penutur, sosietal, dan situasi tuturan. menurut Abdul Chaer , meliputi: keragaman sosial penutur dan keragaman fungsi bahasa. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi ragam bahasa, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yaitu faktor yang berada di luar sistem bahasa, meliputi: waktu, tempat, sosial-budaya, situasi dan sarana yang digunakan. Sedangkan faktor internal adalah faktor yang ada di dalam bahasa itu sendiri, misalnya mengenai variasi fonetis, variasi fonemis, dan variasi morfolois. 1.1.1.4. Ragam-Ragam Dialek Ragam-ragam dialek dapat digolongkan menjadi 3 kelompok golongan ( Ayatrohaedi, 1983:13) antara lain : Dialek 1. Di dalam kepustakaan dialektologi Roman, dialek ini disebut dalecte 1.yaitu dialek yang berbeda-beda karena keadaan alam sekitar tempat dialektersebut digunakan sepanjang perkembangan. Dialek itu dihasilkan karena adanya dua faktor yang salimg melengkapi, yaitu faktor waktu dan faktor tempat. Dialek 2. Dialek ini di dalam kepustakaan dialektologi Roman di sebut dialecte 2, regiolecte, atau dialecte regional, yaitu bahasa yang dipergunakan diluar daerah pakainya. Dialek Sosial Dialek sosal atau sosiolacte ialah ragam bahasa yang dipergunakan oleh kelompok tertentu, yang membedakan dari kelompok masyarakat lainnya. 1.1.1.5. Sumber-Sumber Kajian Penelitian Dialek

Sumber lisan. Sumber lisan memegang perana penting untuk penelitian dialek dan bahasa pada umumnya, yaitu para pemakai bahasa dan dialek tersebut. Sumber itu berupa bahasa atau dialek itu sendiri maupun hal-hal yang terkandung di dalamnya, seperti cerita rakyat,adat istiadat, kepercayaan dan perundangan. Sumbe tulis. Sumber tulis banyak sekali memberikan bantuan di dalam usaha penelitian sumber lisan, bahkan kadang-kadang penelitian bahasa dan dialek hanya dapat dilaksanakan berdasarkan sumber itu saja, misalnya penelitian mengenai struktur bahasa atau dialek dimasa lampau. Sumber tulis dapat dibagi 2 (dua) yaitu naskah, kamus dan atlas bahasa. Sosok suatu dialek atau bahasa terwjud berdasarkan adanya naskah, sedangkan kamus-kamus dialek merupakan sumber keterangan yang utama di dalam penelitian dialek. Sumber lisan sebagai bagian dari kajian dialektologi mengacu pada kajian tentang perbedanperbedaan bahasa sebagai manifestasi dari variasi dalam satu bahasa yang sama. Perbedaan dari varian itu meliputi : Perbedaan fonetik , polimorfisme atau alofonik. Perbedaan ini berada dibidang fonologi, si penutur dialek yang bersangkutan tidak menyadari adanya perbedaan tarsebut. Perbedaan semantik. Perbedaan onomasiologi yang menunjukan nama yang berbeda berdasarkan satu konsep yang diberikan di beberapa tempat yang berbeda. Perbedaan semasiologis yaitu pemberian nama yang sama untuk beberapa konsep yang berbeda. Perbedaan morfologis (Ayatrohaedi, 1983: 3-5). 1.2. Langkah Kerja Penelitian Dialektologi Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini adalah : memilih masalah kebahasaan yang akan diteliti; melakukan studi pendahuluan melalui studi pustaka, survey, dan berkonsultasi dengan para ahli bahasa maupun narasumber; merumuskan permasalahan-permasalahan yang akan dikaji atas dasar studi pendahuluan ; merumuskan anggapan dasar , posatulat, atau asumsi dasar sebagai pijakan yang kokoh bagi permasalahan yang akan dikaji ; memilih pendekatan yang berkaitan dengan metode dan teknik yang akan digunakan untuk penyediaan data, menganalisis data dan menyajikan hasil analisis data; mennetukan informan atau responden sebagai pembahan inti; menentukan dan menyusun instrumen penelitian yang berupa kartu data; daftar tanya variasi fonetis, kosakata, dan linambang; mencari dan mengumpulkan data; menganalisis data; membuat kesimpulan; menyusun laporan penelitian.

Dari kesebelas langkah di atas dapat dikelompokkan menjadi tiga tahapan, yaitu tahap persiapan ( 1-7), tahap pelaksanaan ( 8 ), dan tahap penyelesaian (10-11). 1.3. Contoh Aplikasi Penelitian Dialektologi 1.3.1 Materi / Bahan Materi atau bahan yang menjadi obyek sasaran penelitian adalah bahasa ilmiah yang dilisankan oleh penutur yang normal dalam situasi pemakaian yang wajar dan terhayati oleh peneliti. Dalam hal ini misalnya bahasa yang kan dikaji adalah bahasa Jawa Nelayan di Pesisir Cilacap. Materi tersebut termasuk ragam lisan yang merupakan obyek primer dalam linguistik. Hal itu menjadi prioritas dalam penelitian ini dengan alasan sebagai berikut : bahasa tulis ternyata adanya turunan dari bahasa lisan. bahasa tulis baru ada beberapa puluh abad yang lalu, sedangkan bahasa lisan telah ada beratusratus abad sepanjang sejarah kehidupan umat manusia, bahasa tulis tidak melingkupi semua masyarkat bahasa yang ada dimuka bumi, sedangkan bahasa lisan selalu menjadi pemilik yang tidak terpisahkan dari semua orang dalam lingkup masyarakat apapun, dan bahasa tulis masyarakat tertentu konon selalu dipelajari dan dikuasai setelah penuturnya memahami bahasa lisan masyarakat yang bersangkutan (Sudaryanto, 1988a : 42). 1.3.2 Populasi dan sampel 1.3.2.1 Populasi Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian (Arikunto, 1998: 115). Keseluruhan obyek penelitian tersebut dapat terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuhan-tumbuhan, gejalagejala, nilai test atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian (Nawawi, 1998 : 141). Populasi dalam penelitian dialek misalnya tuturan bahasa Jawa oleh masyarakat penutur di pesisir Cilacap. Masyarakat tersebut berdomisili di wilayah Kotif Cilacap. Populasi tersebut termasuk populasi tak terbatas dan bersifat homogen, yakni populasi yang tidak dapat ditentukan batas-batasnya, sehingga taidak dapat dinyatakan dalam bentuk jumlah yang tepat secara kuantitatif. Sifat homogennya terletak pada aspek kesamaan bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi, yakni subdialek bahasa Jawa Cilacap. 1.3.2.2 Sampel Sampel adalah sebagian wakil dari Populasi yang diteliti (Arikunto, 1998 : 117). Sampel merupakan bagian dari populasi yang benar-benar dapat berfungsi sebagai contoh atau dapat menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya. Karena itu sampel penelitian harus bersifat representatif. Mengingat kehomogenan populasi, tidak semua penutur dijadikan subyek penelitian, sebagai gantinya dipilih sampel. Teknik ini dipilih didasarkan pada anggapan dasar bahwa bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat nelayan dikawasan pesisir Cilacap relatif sama.

Sehubungan dengan hal penelitian Ragam Bahasa Jawa Nelayan Di Kawasan Pesisir Cilacap , sampel yang digunakan adalah segenap tuturan bahasa Jawa yang dipilih dari penutur masyarakat nelayan di Kecamatan Cilacap Selatan, Kecamatan Cilacap Tengah, dan Kecamatan Cilacap Utara (kesemuanya termasuk wilayah Kotif). Setiap kecamatan dipilih dua informan inti sebagai pembantu bahasa. Agar data yang diperoleh dari informan valid, terlebih dahulu ditentukan beberapa persyaratan bagi informan. Persyaratan tersebut menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan usia, pendidikan, asal-usul, kemampuan dan kemurnian bahasa informan. Hal tersebut sesuai dengan apa yang disarankan oleh Ayatrohaedi (1983 : 48) antara lain : 1) usia yang dianggap sangat sesuai bagi seorang informan adalah usia pertengahan (40-50 tahun); 2) pendidikan informan bukan pendidikan yang terlalu tinggi, ataupun buta huruf ; 3) asal-usul informan harus diusahakan dari desa atau tempat yang diteliti; 4) kemampuan informan mengenai bahasa dan dialeknya dengan baik; 5) kemurnian bahasa informan baik yakni sedikit sekali terkena pengaruh dari dialek atau bahasa yang dipergunakan didaerah tetangga. Persyaratan tersebut dipilih dengan beberapa pertimbangan antara lain : informan yang terlalu tua kurang ideal, karena mereka pada umumnya sudah tidak spontan, ingatanya sudah banyak berkurang, pendengaranya berkurang, ompong dan sebagainya, disamping ketahanan jasmani juga banyak sudah berkurang untuk menghadapi pekerjaan yang memerlukan banyak waktu dan ketentuan; informan yang terlalu muda kurang ideal, karena mereka sering merancukan pengertian dialeknya dengan bahasa baku, terutama jika mereka pernah bersekolah pengaruh bahasa baku itu akan lebih kuat kepada mereka; informan yang buta huruf kurang ideal, karena umumnya mereka sangat sukar ditanyai, dan tidak mempunyai kebiasaan untuk menerjemahkan bentuk-bentuk kalimat yang rumit; informan yang berprofesi sebagai guru atau orang ynag berpendidikan kurang ideal, karena tuturan yang diperoleh kurang meyakinkan apakah berdasarkan dialek ataukah didasarkan kepada bahan yang terdapat dalam buku; informan yang ahli dialek dan kaum cendekiawan kurang ideal, karena mereka biasanya merubah dahan dialek sebagaimana adanya, dengan apa yang menurut mereka lebih baik; informan yang pernah meninggalkan kampungnya cukup lama kurang ideal, karena dari mereka tidak dapat lagi diharapkan bahan yang asli dari daerahnya sendiri. Mereka sudah banyak terpengaruh oleh bahasa tempat mereka pernah tinggal; informan yang orang tuanya bukan pribumi kurang ideal, karena dari mereka besar sekali kemungkinan diperoleh bahan yang bercampur dengan dialek asal orangtuanya; informan yang termasuk kelompok orang kecil kurang ideal, karena mereka pada umumnya kurang biasa menghadapi orang asing sehingga mereka pada umumnya gugup dan tuturan mereka tidak langsung dan spontan (Pop dalam Ayatroehadi, 1983 : 49-50). Berdasarkan persyaratan dan beberapa pertimbangan diatas, yang dijadikan kriteria informan atau pembantu bahasa dalam penelitian ini adalah : penduduk asli kelahiran daerah yang diteliti; mobilitas rendah, tidak sering pergi keluar desa tempat tinggal, dan belum pernah menetap lama diluar desa tempat tinggal;

pendidikan maksimal tamatan Sekolah Dasar; umur antara 40-60 tahun ; sehat jasmani dan rohani, termasuk alat ucap pendengarannya; profesi sebagai nelayan; menguasai bahasa Jawa, serta tidak menguasai bahasa asing dan bahasa daerah lainya. 1.3.3 Metode dan Teknik Penelitian Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud atau cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (Depdikbud, 1995:652). Metode agar dapat bermanfaat haruslah digunakan dalam pelaksanaan yang konkret. Menurut Sudaryanto (1988a : 26) metode sebagai cara kerja haruslah dijabarkan sesuai dengan alat dan sifat alat yang dipakai. Jabaran metode sesuai dengan alat beserta sifat alat yang dimaksud disebut teknik. Dengan demikian orang dapat mengenal metode hanya lewat teknik-tekniknya; sedangkan teknik-teknik yang bersangkutan selanjutnya dapat dikenali dan diidentifikasi hanya melalui alatalat yang digunakan beserta sifat alat-alat yang bersangkutan. Sehubungan dengan hal itu metode yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada tahapan strategisnya, yaitu : (i) metode pengumpulan data, (ii) metode analisis data, dan (iii) metode penyajian hasil analisis data (Sudaryanto, 1988a : 57). Ketiga tahapan tersebut dilakukan dengan menerapkan metode dan teknik tertentu. Metode yang sering digunakan oleh para peneliti bahasa dalam penelitian dialek antara lain: metode deskriptif, observasi, survey, sedangkan teknik yang sering digunakan: wawancara, angket / daftar tanya, rekam, dokumentasi. Berikut metode dan teknik yang digunakan peneliti pada tahun 1981,1982, 1983, dan 1986 yang kami temukan: (observasi; teknik: wawancara, angket, Suwaji,dkk, 1981), deskriptif, angket nonkebahasaan maupun kebahasaan, wawancara, perekaman, dokumentasi, Hadiatmaja,1982), deskriptif (kepustakaan, observasi, rekaman Apituley,1983), (deskriptif struktural, observasi), wawancara langsung, rekam, daftar tanya, Kawi, 1983) deskriptif, kadir 1986) (survey, pungut) kepustakaan, wawancara, Sumarto, 1986). Lebih rinci lagi yang disarankan oleh Sudaryanto, 1988 tentang metode dan teknik dengan merinci tahapan-tahapan. Tahapan strategi yang pertama (penyediaan data) dilakukan dengan menggunakan metode simak dan metode cakap (Sudaryanto, 1988b : 2). Metode simak dilakukan dengan menyimak misalnya penggunaan bahasa atau tuuran masyarakat nelayan dikawasan Pesisir Cilacap. Penyimakan tersebut diwujudkan dengan teknik sadap sebagai teknik dasarnya, yakni menyadap pembicaraan seeorang atau beberapa orang. Penyadapan itu dilakukan dengan teknik SLC (Simak Libat Cakap) yakni peneliti terlibat langsung dalam pembicaraan dan menyimak pembicaraan tersebut. Metode cakap dilakukan dengan mengadakan percakapan antara peneliti dengan penutur. Percakapan tersebut diwujudkan dengan teknik pancing sebagai teknik dasarnya, yakni untuk memperoleh data peneliti memancing seseorang

atau beberapa orang untuk berbicara. Kegiatan memancing bicara itu dilakukan dengan teknik CS (Cakap Semuka), yakni peneliti mengadakan percakapan langsung dengan penutur atau nara sumber. Ketika peneliti sedang mengadakan penyimakan dan percakapan dilakukan juga perekaman dengan tape recorder dan pencatatan pada kartu data. Untuk melengkapi data, pada kesempatan lain ditempuh juga teknik SLBC ( Simak Bebas Libat Cakap), yakni peneliti hanya bertindak sebagai pemerhati, mendengarkan apa yang dikatakan oleh masyarakat nelayan dalam proses berdialog. Teknik ini juga dilakukan dengan pencatatan pada kartu data. Setelah pengumpulan data yang ditandai dengan pencatatan itu dirasa cukup kemudian dipilih dan dipilah-pilah dengan membuang yang tidak diperlukan serta menata dengan mengurutkan sesuai dengan bidang yang akan dikaji. Tahapan strategi yang kedua (analisis data) dilakukan dengan menggunakan metode padan yakni metode dengan alat penentunya diluar, terlepas, dan tidak menjual bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993 : 13). Metode yang dipilih adalah metode padan translasional yakni dengan membandingkan BJNPC dengan BJB (Bahasa Jawa Baku). Tahapan strategi Ketiga (penyajian hasil analisis data) dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif yakni memaparkan hasil penelitian berdasarkan pada fakta yang ada, yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya (Sudaryanto, 1988a : 62). Hal ini yang dideskripsikan dalam penelitian ini adalah : variasi fonetis, variasi fonemis, variasi morfologis, segi sintaksis, dan variasi semantis bahasa Jawa nelayan dikawasan pesisir Cilacap. 1.3.4 Deskripsi Hasil Analisis Hal-hal yang dideskripsikan meliputi: Variasi fonetis Variasi fonem Variasi morfologis Deskripsi kekhasan sintaksis Deskripsi variasi semantis Variasi fonetis dan variasi fonem, dijelaskan dalam bentuk distribusi vokal dan distribusi konsonan , ditampilkan dalam bentuk transkrip fonetis, dibuat tabel dan dibuktikan dengan pasangan minimal. Deskripsi variasi morfologis diuraikan proses pembentukan kata mulai dari pembubuhan afiksasi, reduplikasi sampai pada tataran komposisi. Deskripsi kekhasan sintaksis yang diuraiakan adalah tuturan yang berbentuk frasa dan tuturan yang berbentuk kalimat E. Simpulan Dari uraian pembahasan dan contoh di atas dapat kami simpulkan sebagai berikut. 1. Langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam penelitian dialektologi melalui tiga tahapan yaitu: a. Tahap persiapan Yaitu memilih masalah kebahasaan yang akan diteliti; melakukan studi pendahuluan melalui

studi pustaka, survey, dan berkonsultasi dengan para ahli bahasa maupun narasumber; merumuskan permasalahan-permasalahan yang akan dikaji atas dasar studi pendahuluan ; merumuskan anggapan dasar , posatulat, atau asumsi dasar sebagai pijakan yang kokoh bagi permasalahan yang akan dikaji; memilih pendekatan yang berkaitan dengan metode dan teknik yang akan digunakan untuk penyediaan data, menganalisis data dan menyajikan hasil analisis data; menentukan informan atau responden sebagai pembahan inti; menentukan dan menyusun instrumen penelitian yang berupa kartu data; daftar tanya variasi fonetis, kosakata, dan linambang. b. Tahap Pelaksanaan Yaitu mencari dan mengumpulkan data yang dilanjutkan dengan menganalisis data. c. Tahap Penyelesaian Yaitu membuat kesimpulan dan menyusun laporan penelitian. 2. Aplikasi Pengkajian dialek Populasi Berupa tuturan atau bahasa lisan Sampel Para penutur bahasa dengan kriteria persyarata tertentu Metode dan teknik Metode yang sering digunakan oleh para peneliti bahasa dalam penelitian dialek antara lain: metode deskriptif, observasi, survey, sedangkan teknik yang sering digunakan: wawancara, angket / daftar tanya, rekam, dokumentasi Dekripsi hasil penelitian Hal-hal yang dideskripsikan antara lain: Variasi fonetis, Variasi fonem, Variasi morfologis, Deskripsi kekhasan sintaksis, Deskripsi variasi semantis ---------DAFTAR PUSTAKA Ayatrohaedi, 1983. Dialektologi Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Chaer, Abdul & L. Agustina. 1995. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta Kridalaksana, Harimurti, 1984.Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Nababan. P.W.J. 1091. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum Sudaryanto, 1980. Aneka Konsep Kedataan lingual dalam Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 1988a.Metode Linguistik Bagian Pertama: Ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1988b. Metode Linguistik Bagian Kedua: Metode dan Aneka Teknik Mengumpulkan data. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistik.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

PENGERTIAN DIALEKTOLOGI

Dialektologi merupakan salah satu cabang Linguistik Historis. Keduanya cenderung menelaah masalah kesejarahan ragam-ragam bahasa. Dialektologi dapat disebut sebagai studi tentang dialek tertentu atau dialek-dialek suatu bahasa. Dalam arti luas penelitian dialektologi berupaya memerikan perbedaan pola linguistik, baik secara horisontal (diatopis) yang mencakup variasi geografis maupun yang vertikal (sintopis) yang mencakup variasi di suatu tempat. Variasi di suatu tempat yang bersifat sintopis ini dapat pula merambah pada kajian dialek sosial yang melibatkan faktor-faktor sosial.

Metode dan Teknik Penelitian Dialektologi Metode yang digunakan dalam penelitian dialektologi dibagi ke dalam tiga tahapan, yaitu tahap penyediaan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data. Tahap penyediaan data, langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan daerah pengamatan yang akan diambil. Langkah lanjutannya untuk penyediaan data digunakan metode cakap yaitu pengumpulan data lingual dengan melakukan percakapan antara peneliti dengan penutur sebagai narasumber. Teknik dasar metode ini adalah teknik pancing (elisitasi), dan teknik lanjutannya adalah teknik cakap semuka, teknik rekam, dan teknik catat. Berkaitan dengan metode cakap, Mahsun (2005:121-125) berpendapat bahwa teknik cakap semuka, teknik catat, dan teknik rekam cukup ideal karena peneliti dapat secara langsung mengetahui kondisi geografis daerah pengamatan. Begitu pula dengan teknik catat, peneliti dapat langsung mencatat realisasi fonem-fonem tertentu dengan langsung memperhatikan organ wicara narasumber yang menghasilkan bunyi-bunyi tertentu. Selanjutnya, teknik rekam digunakan untuk mendukung pelaksanaan teknik catat, yaitu pengecekan kembali data-data yang telah dicatat dengan rekaman yang dihasilkan dengan alat rekam. Tahap analisis catat, untuk menentukan unsur-unsur bahasa yang berbeda digunakan metode padan intralingual dengan teknik dasar hubung banding intralingual dan teknik lanjutan hubung banding. Realisasi metode ini dilakukan dengan cara pengkaidahan data, dan tabulasi data. Metode yang digunakan dalam analisis yaitu penentuan isolek sebagai bahasa, dialek, atau subdialek adalah metode dialektometri dan metode berkas isoglos. Metode leksikostatistik adalah metode pengelompokan bahasa yang dilakukan dengan menghitung persentase perangkat kognat (cognate) (Mahsun, 1995:115). Menurut Danie (dalam Mahsun, 1995:116) metode dialektometri merupakan ukuran statistik yang digunakan untuk melihat berapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat pada tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul.

Penghitungan dialektometri dapat dilakukan dengan segitiga antardaerah pengamatan dan permutasi antardaerah pengamatan (Mahsun, 1995:118-119). Tahap terakhir hasil analisis data, penelitian ini menggunakan metode informal dan metode formal. Dalam metode ini kaidah-kaidah dapat disajikan dengan cara perumusan menggunakan katakata biasa, termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis, dan perumusan dengan menggunakan tanda atau lambang (Mahsun, 1995:148). Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis; Sebuah Pengantar. Jogjakarta, UGM Press. Pengembangan kerangka konseptual tentang metode, khususnya dalam kajian bahasa secara sinkronis, dilakukan dengan telaah kritis terhadap konsep-konsep yang diajukan Dr. sudaryanto, tentang metode linguistik yang tertuang dalam: (a) Metode Linguistik Bagian Pertama: Ke Arah Memahami Metode Linguistik (1988a); (b) Metode Linguistik Bagian Kedua: Metode dan Aneka Teknik Pengumpulan Data (1988b); (c) Aneka Konsep Kedataan Lingual dalam Linguistik (1990); (d) Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa (1991); (e) Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis (1993). Ada yang menarik dari konsep metode yang diusulkan dalam buku yang ditulis Mahsun, yaitu dijadikannya metode introspeksi dan metode distribusi/agi, beserta teknik-tekniknya, sebagai masing-masing metode dan teknik dalam pengumpulan data, bukan untuk analisis data seperti yang dikembangkan Sudaryanto. Adapun untuk analisis bahasa secara kuantitatif, penulis buku ini mengritisi metode penentuan status isolek sebagai dialek atau bahasa yang diajukan Guiter dengan metode dialektometrinya. Apabila Guiter mengusulkan perbedaan kategori kuatitatif untuk perbedaan fonologi dengan perbedaan leksikon dalam penentuan status isolek sebagai dialek atau bahasa, justeru Mahsun menolak pembedaan itu. Hal ini disebabkan, alasan Guiter untuk memberi bobot tinggi pada perbedaan fonologi, sehingga karenanya persentase perbedaan fonologi untuk kategori perbedaan bahasa, lebih kecil , yaitu sebesar 17% ke atas (bandingkan dengan persentase leksikon untuk perbedaan bahasa sebesar 81% - 100%), yang didasarkan pada asumsi bahwa perbedaan fonologi itu lebih teratur dibandingkan dengan perbedaan leksikon, sesungguhnya kurang beralasan. Tidak semua perbedaan fonologi berlangsung secara teratur, jauh lebih banyak perbedaan fonologi yang bersifat sporadis daripada perbedaan yang bersifat teratur. Sebelum sampai pada uraian metode dan teknik yang dapat digunakan dalam Penelitian bahasa, baik pada tahap pengumpulan, analisis, maupun penyajian hasil analisis, penulis mencoba memberikan wawasan filosofis tentang persoalan penelitian bahasa. Itu sebabnya, dalam bab pertama, penulis memaparkan hal-Hal yang terkait dengan masalah: penelitian dan penelitian bahasa; masalah dan sumber masalah dalam penelitian bahasa; hipotesis dan teori dalam penelitian bahasa; metode, data, dan teori dalam penelitian bahasa; ihwal data dan objek penelitian; sumber data: populasi, sampel, dan informan; hakikat penelitian bahasa; dan beberapa tahapan dalam pelaksanaan penelitian bahasa. Selain itu, buku ini juga menuntun dengan contohcontoh konkret bagaimana merumuskan: latar belakang, masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode; bahkan disertai contoh proposal yang utuh. Oleh karena itu, buku ini tidak hanya bermanfaat bagi para calon sarjana S1, S2, dan S3 yang akan

menyelesaikan tugas akhirnya, tetapi juga bermanfaat bagi para peneliti yang berminat pada masalah penelitian bahasa.

Perkembangan Dialektologi 1800-19505 Mei 2011 oleh nyanyianbahasa Melody Violine Rangkuman Bacaan Dialektologi Perkembangan Dialektologi 1800-1950 Meskipun dalam waktu singkat dan tidak berkala, perbedaan lokal dalam tuturan telah menarik perhatian selama berabad-abad (Petyt, 1980: 37). Misalnya, komentar-komentar tentang ciri-ciri bahasa kedaerahan mungkin telah ada sejak abad ke-12 (Petyt, 1980: 37). Pada abad ke-18 telah muncul sejumlah daftar kata dialek yang sepertinya khusus bagi daerah (locality) tertentu saja (Petyt, 1980: 37). Bagaimanapun, perkembangan filologi bandingan pada abad ke-19 memberikan rangsangan terbesar bagi dialektologi karena filolog menginginkan data yang paling murni dari setiap bahasa (Petyt, 1980: 37). Para filolog menyari bahwa dialek sering melestarikan bentuk-bentuk yang lebih tua dan lebih teratur daripada bahasa standar (Petyt, 1980: 37-38). Berkat meningkatnya ketertarikan terhadap dialek, muncul lebih banyak daftar kata dialek dan tatabahasa dialek (Petyt, 1980: 38). Pada 1821 Johann Andreas Schmeller menerbitkan The Dialects of Bavaria, yaitu sebuah penyajian bahasa Jerman secara historis-geografis-gramatikal dan memasukkan sebuah peta kecil yang mengklasifikasi dialek-dialek Bavaria (Petyt, 1980: 38). Lebih dari lima puluh tahun kemudian, yaitu pada 1873, L. Liebich melakukan survei dialek pertama dengan mengirim kuesioner lewat pos kepada guru-guru SD di semua wilayah berbahasa Jerman di Alsace (Petyt, 1980: 39). Empat peristiwa penting, baik bagi linguistik secara umum maupun dialektologi, terjadi pada 1876. Pertama, Eduard Sievers menerbitkan Elements of Phonetics yang membantu fonetik menjadi ilmu yang lebih tepat dan ini menjadi alat yang penting bagi semua investigasi linguistik (Petyt, 1980: 39). Kedua, kelompok neogrammarian mengusulkan aksioma hukumhukum fonetik tidak mengenal kekecualian (Petyt, 1980: 39). Ketiga, Jost Winteler dari Swis (murid Sievers) menerbitkan sebuah monograf tentang dialek Kerenzen di Kanton, Glarus yang menjadi model bagi banyak kajian-kajian lain tentang dialek satu daerah (Petyt, 1980: 39). Keempat, Georg Wenker dari Dsseldorf mulai mengerjakan survei dialek-dialek di daerah itu (Petyt, 1980: 39). Survei yang dikerjakan oleh Wenker inilah yang berkembang menjadi survei dialek besar pertama (Petyt, 1980: 40). Wenker mengirim kuesioner ke setiap desa yang punya sekolah (Petyt, 1980: 40). Pada saat itu ilmu fonetik dan sistem transkripsi fonetik relatif belum berkembang, maka guru-guru yang

membalas kuesioner itu harus berusaha sebisanya dengan ortografi atau ejaan (Petyt, 1980: 40). Meskipun demikian, lebih dari 52.000 kuesioner diisi dan dikirimkan kembali kepada Wenker (Petyt, 1980: 40). The University of Marburg menjadi tempat Wenker (dibantu oleh Ferdinand Wrede mulai 1887) menyunting dan menerjemahkan banyaknya data yang telah dia terima (Petyt, 1980: 40). Sayangnya, dia meninggal pada tahun 1911 ketika proyek ini masih jauh dari selesai (Petyt, 1980: 40). Selepas kematian Wenker, Wrede menggantikan posisinya sebagai direktur Linguistic Atlas of the German Empire (Petyt, 1980: 40). Posisi Wrede diteruskan oleh Walter Mitzka pada 1933 (Petyt, 1980: 40). Peta-peta bahasa mulai muncul pada akhirnya, tapi hanya sebagian kecil diterbitkan sebelum proyek tersebut dihentikan pada 1956 (Petyt, 1980: 40). Sekitar dua puluh tahun setelah Wenker memulai survei di Jerman, survei nasional besar kedua dimulai di Prancis (Petyt, 1980: 40). Pada tahun 1888 Gaston Paris mengumumkan di koran sebuah permintaan untuk mengerjakan survei dialek-dialek setempat di Prancis sebelum dialekdialek tersebut kalah dari Bahasa Prancis Standar (Petyt, 1980: 40). Permintaan ini diterima oleh seorang sarjana Swis bernama Jules Gilliron. Dia pernah menerbitkan sebuah atlas bahasa pada 1880 yang meliputi 25 daerah di wilayah berbahasa Prancis di Swis, tepatnya di selatan Rhone (Petyt, 1980: 41). Tidak seperti Wenker, Gilliron menggunakan metode investigasi langsung dengan mengutus Edmond Edmont yang merupakan seorang fonetisi amatir (Petyt, 1980: 41). Dengan sepeda, mulai 1897 Edmont melakukan survei ke 639 daerah pedesaan di Prancis dan daerah-daerah berbahasa Prancis di Belgia, Swis, dan Italia (Petyt, 1980: 41). Setelah proyek ini selesai, Edmont berangkat lagi pada usia lebih dari 60 tahun untuk melakukan survei di 44 daerah di Korsika untuk Atlas Linguistique de la Corse yang diterbitkan pada 1914 (Petyt, 1980: 41). Hasil kerja Gilliron dan Edmont ini selesai pada 1901 dan peta-petanya diterbitkan antara 1902 dan 1910 (Petyt, 1980: 41). Dua murid Gilliron, yaitu Karl Jaberg dan Jakob Jud menyempurnakan metode guru mereka saat mereka mengerjakan dialek-dialek Italia di Italia dan Swis Selatan (Petyt, 1980: 42). Mereka menginvestigasi 405 daerah dengan kuesioner sekitar 2.000 butir dengan tiga pekerja lapangan (Petyt, 1980: 42). Ketua pekerja lapangan mereka, Paul Scheuermeier, membuat tulisan tentang Pengamatan dan Pengalaman Pribadi yang bersifat instrukstif dan menghibur tentang pekerjaan ini (Petyt, 1980: 42). Atlas yang disusun oleh Jaberg dan Jud pun terbit dalam delapan volume antara 1928 dan 1940 (Petyt, 1980: 42). Sebagian orang menganggap atlas Gilliron terlalu luas dan mempunyai kelemahan-kelemahan lain, sehingga terbitlah sejumlah atlas regional, yang dimulai oleh Albert Dauzat pada 1939 dengan judul Atlas Linguistique Rgional de la France (Petyt, 1980: 42-43). Atlas regional ini pada awalnya hanya direncanakan berisi dua belas survei regional, tapi pada tahun 1970-an sebanyak 23 wilayah sudah berada dalam berbagai tahap pengerjaan (Petyt, 1980: 42). Banyak dari hal-hal yang baik dalam cara kerja Gilliron dipertahankan, tapi berbagai perbaikan diusulkan, misalnya perbaikan teknik kerja lapangan, investigasi pendahuluan sebelum survei utama, pengurangan dan penambahan butir tanyaan, juga pemisahan kuesioner menjadi bagian umum dan bagian khusus daerah tertentu (Petyt, 1980: 43). Semua daerah yang telah disurvei

oleh Gilliron pun diperiksa kembali untuk melihat perubahan apa saja yang telah muncul selama setengah abad (Petyt, 1980: 43). Di Jerman lebih dari tiga puluh proyek yang ditujukan untuk mengumpukan kosakata daerah secara individual dimulai sebelum Perang Dunia Kedua (Petyt, 1980: 43). Masyarakat Dialek Amerika (American Dialect Society) didirikan pada 1889 dan Dialect Notes mulai diterbitkan, tapi masih agak lama sebelum dilaksanakannya sebuah survei berskala luas (Petyt, 1980: 43). Hans Kurath menjadi direktur proyek Linguistic Atlas of the United States and Canada, tapi survei dilakukan secara regional, bukan keseluruhan (Petyt, 1980: 43). Kerja lapangan untuk proyek tersebut dimulai pada 1931 oleh sembilan pekerja lapangan yang melakukan 416 wawancara (Petyt, 1980: 43). Sebelum mulai mengerjakan proyek tersebut, Kurath berdiskusi dengan Jaberg dan Jud, serta ketua pekerja lapangan mereka, yaitu Scheuermeier (Petyt, 1980: 44). Mereka sadar bahwa situasi dialek di Amerika berbeda kalau dibandingkan dengan kebanyakan negara Eropa (Petyt, 1980: 44). Oleh karena itu, mereka memutuskan bahwa survei Amerika tidak boleh terbatas kepada orang desa berpendidikan rendah sebagaimana biasanya dalam survei Eropa (Petyt, 1980: 44). Kajian dialek regional di Inggris sempat terhambat oleh junjungan terhadap Bahasa Inggris Standar (Petyt, 1980: 68). Namun, sejak abad ke-14 beberapa penulis sudah menyadari adanya perbedaan dialek dalam bahasa Inggris (Petyt, 1980: 69). Usaha pertama terhadap dialek-dialek bahasa Inggris secara umum dilakukan oleh Alexander Gil dengan bukunya yang berjudul Logonomia Anglica diterbitkan pada 1619 (Petyt, 1980: 69). Masyarakat Dialek Inggris (English Dialect Society) didirikan pada 1870 dan English Dialect Dictionary (diedit oleh Joseph Wright) diselesaikan pada 1905 (Petyt, 1980: 70). Perkembangan signifikan berikutnya terjadi pada 1948 ketika Eugen Dieth dan Harold Orton bekerja sama dalam proyek The Survey of English Dialects (Petyt, 1980: 88). Survei yang dilakukan dalam proyek ini dianggap tradisional oleh Petyt (1980: 89-90) karena dikonsentrasikan kepada generasi tertua penutur pedesaan. Terlebih lagi, pertanyaan-pertanyaan fonologisnya lebih diarahkan untuk menemukan turunan-turunan bunyi historis Bahasa Inggris Zaman Pertengahan daripada sistem yang ada masa kini di setiap daerah (Petyt, 1980: 90). Menurut Petyt (1980: 45), prinsip-prinsip Gilliron perlu ditilik lebih lanjut karena inilah yang menjadi pola proyek-proyek dialektologi berikutnya. Gilliron menetapkan titik daerah yang diinvestiasi dengan cara yang cukup mekanis, yaitu pola geometris, meskipun belakangan disesuaikan oleh Edmont sebagai pekerja lapangan (Petyt, 1980: 46). Sekarang ini, daerah bisa ditentukan terlebih dulu sebagaimana yang dilakukan oleh Gilliron, namun biasanya itu dilakukan setelah survei rintisan (Petyt, 1980: 46). Mengenai metode, Gilliron (dalam Petyt, 1980: 46) bersikeras survei dialektologi harus dilakukan dengan metode langsung demi memperoleh semua informasi yang dibutuhkan dan mengklarifikasi hal-hal yang meragukan dalam tanggapan informan (Petyt, 1980: 46). Meskipun demikian, Petyt (1980: 46) menyebutkan bahwa metode tidak langsung masih cocok untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya pengumpulan data leksikal.

Beberapa pendekatan dalam kuesioner Gilliron telah ditinggalkan, misalnya meminta informan untuk sekadar menerjemahkan sebuah bentuk dari Bahasa Prancis Standar ke dalam dialek setempat (Petyt, 1980: 46-47). Pendekatan lainnya yang telah ditinggalkan adalah merekam tanggapan pertama informan karena bisa saja informan salah ingat atau latah mengikuti lafal pekerja yang mewawancarainya (Petyt, 1980: 47). Anggapan Gilliron bahwa hanya boleh ada satu pekerja lapangan yang bukan linguis profesional juga diragukan karena tidak praktis dan Edmont sendiri terpengaruh latar belakang Prancis Utaranya (Petyt, 1980: 48). Tidak seperti Gilliron yang hanya menggunakan satu informan untuk satu daerah, kebanyakan survei berikutnya pun menggunakan informan sebanyak dua orang atau lebih karena belum tentu satu orang itu tahu setiap butir yang ditanyakan (Petyt, 1980: 49). Kesimpulan yang ditarik oleh Petyt (1980: 49) adalah perencanaan dan pelatihan yang hati-hati memang penting agar waktu, uang, dan usaha tidak sia-sia, tetapi perencanaan tidak perlu terlalu kaku karena modifikasi perlu dibuat saat proyek berjalan. Petyt, K.M. 1980. The Study of Dialect: An Introduction to Dialectology.London: Andr Deutsch Limited.

Perkembangan Dialektologi Dialektologi banyak mendapat perhatian dari para ahli bahasa menjelang abad ke-19. Dua tokoh terkenal yang dianggap sebagai bapak ilmu geografi dialek adalah Gustav Wenker dan Jules Louis Gillieron. Wenker mengirimkan daftar tanyaan (kuisioner) kepada para guru di daerah Renia (Jerman) pada tahun 1876, sedangkan Gillieron di daerah Vionnaz (Swiss) pada 1880. Metode yang digunakan adalah metode pupuan (angket) lapangan untuk pembuatan atlas bahasa. Kedua penelitian inilah yang mengawali penelitian dialektologi yang kemudian mempengaruhi penelitian dialek di negara-negara lain. Berikut adalah gambaran singkat penelitian geografi dialek sesudah dan sebelum tahun 1875. Masa Sebelum 1875. Sebelum tahun 1875, tulisan-tulisan mengenai dialek hampir selalu dikaitkan dengan ilmu bahasa bandingan dan filologi, terutama bahasa-bahasa Indo Eropa. Tulisan-tulisan tersebut pada umumnya berakhir dengan adanya dugaan bahwa bahasa-abahsa atau dialek yang ditelaah tersebut berkerabat. Penerjemahan naskah Decamerone ke dalam 12 dialek Italia pada tahun 1584 dilakukan dengan menggunakan metode pupuan sinurat (angket koresponden), berpengaruh besar terhadap terbitnya karya-karya sejenis setelahnya. Kemudian, metode pupuan lapangan dilakukan pertama kali oleh Martin Sarmiento (Spanyol) pada tahun 1730. Lalu ia menganjurkan para pemuda menguasai bahasa Latin melalui bahasa ibunya masing-masing, mengusulkan penyusunan kamus bahasa-bahasa Roman, serta memerhatikan bunyi untuk menentukan asal-usul kata. Pandangan yang menginginkan penghapusan dialek diutarakan oleh pendeta Jean Baptiste Gregoire di Perancis yang melakukan pupuan sinurat, yaitu terjun langsung ke lapangan dengan menanyai informan untuk mengetahui pandangan orang mengenai dialeknya masing-masing, lalu, ia mengusulkan kepada Dewan Nasional untuk melenyapkan dialek pada tahun 1790. Pandangan pelenyapan dialek ini ditentang keras oleh para ahli sastra, yakni Charles Nodier, J.F.

Schnakenburh, dan Pierquin de Gembloux karena akan mengurangi penguasaan terhadap suatu bahasa sebab tidak mempelajarinya dari dialek . Perbedaan antara bahasa dan dialek sering kali dikaburkan dengan unsur yang bersifat politis. Gerakan kebangsaan di Denmark menjelang abad ke-18 yang diarahkan untuk menentang pengaruh Jerman telah memperkuat kesadaran kesatuan Skandinavia, hingga mendukung adanya penelitian dialek. Pupuan sinurat yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri Perancis dapat menjelaskan batas-batas bahasa Perancis yang membedakan dengan bahasa-bahasa lainnya dalam peta geografi. Kenyataannnya batas bahasa berbeda dengan garis perbatasan negara. Kaidah fonetik dalam dialektologi dikembangkan kali pertama oleh Franz Bopp, yang kemudian diikuti oleh para peneliti lain, seperti Friedrich Diez, Brugmann, Osthoff, Braune, Sievers, dan Paul. Sementara itu, kemungkinan untuk membuat peta bahasa dikemukakan oleh Baron Claude Francois Etienne Dupin pada tahun 1814 yang mengeluarkan perintah untuk mempelajari dialek. Di samping itu, Dessire Monnier melihat adanya kemungkinan peta tersebut secara fonetik (peta fonetik). Masuknya unsur folklore mendapat perhatian dari N.St. des Etangs pada tahun 1845. Bernadino Biondelli yang terbit pada tahun 1853 di Italia, bahannya dikumpulkan dengan menggunakan metode pupuan sinurat dan metode pupuan lapangan. Gagasan-gagasannya kemudian mempengaruhi kajian dialektologi Italia. Salah satu pendapatnya adalah bahawa bahan dialek harus dikumpulkan langsung dari tuturan tanpa menggunakan dokumen tertentu. Masa Sesudah 1875 Masa sesudah 1875 terbagi atas aliran Jerman dan Perancis. Aliran Jerman Das Rhenischen Platt adalah buah karya Gustav Wenker, seorang filsuf Jerman pada tahun 1876. tulisan tersebut adalah hasil pemetaan fonetik bahasa rakyat di daerah Renia. Sampel dilakukaan dengan mengirimkan daftar tanyaan berupa 40 kalimat sederhana kepada para guru di daerah tersebut. Wenker mengumpulkan bahan dengan cara yang sama untuk daerah Jerman Tengah dan Utara pada tahun 1881 dan Jerman Selatan pada 1887. Daftar tanyaan yang berisi 335 patah kata yang terdapat dalam 40 buah kalimat dalam bahasa satra Jerman. Metode yang dipakai adalah metode pupuan sinurat dengan mengirimkan daftar tanyaan tersebut melalui para penilik sekolah agar diteruskan kepada para guru yang bersangkutan. Akan tetapi, kecaman terhadap metode pupuan sinurat menimbulkan kecaman oleh Karl Haag. Langkah baru yang diambil adalah menggunakan metode pupuan sinurat dan pupuan lapangan sekaligus, yang dilakukan oleh Gustav Wenker dan Ferdinand Wrede. Hasilnya diumumkan dalam rangkaian Deutsche Dialektgeographie yang terbit pada 1908. Lalu, masalah fonetik juga lebih diperluas. Wenker dan murid-muridnya kemudian menghubungkan antara sejarah dengan bahasa. Penjurusan ke arah geografi budaya dilandasi oleh kenyataan bahwa penelitian dialek di Jerman

tampaknya dibatasi oleh faktor kesejarahan. Wrede meneruskan usaha-usaha Wenker yang meninggal pada 1991, yang kemudian menerbitkan buku pertama atlas bahasa Jerman. Wrede bekerja di sebuah pusat untuk atlas dan semua kegiatan penelitian dialek Jerman di Marburg yang didirikan pada 1920. Pada tahun 1921 lembaga Marburg memprakarsai kelahiran atlas kata (wordatlas) atau geografi kata (wortgeographie). Wrede menerbitkan buku pertama atlas bahasa Jerman pada 1921. Arah lain perkembangan geografi dialek yang dikembangkan Wenker adalah atlas etnografi dialek. Metode pupuan sinurat yang dilakukannya kemudian disempurnakan dengan gambar-gambar yang memudahkan pembahan agar tidak salah mengartikan dalam daftar tanyaan. Selain di Jerman, geografi dialek juga berkembang di beberapa negara lain, yaitu Swiss (atlas folklore Swiss), Belanda, dan Slowakia. Aliran Perancis Jules Louis Gillieron melakukan penelitian lapangan di daerah Vionnaz (Swiss) yang menghasilkan Patois de la commune de Vionnaz (Bas-Valais) (Paris, 1880) yang kemudian menjadi landasan penelitian-penelitian selanjutnya. Sasaran utamanya adalah gejala-gejala fonetik, yang kemudian lahir buah karyanya yang lain, Petit atlas phonetique du Valai roman (sud du Rhone) (Paris, 1880). Dalam penelitiannya Gillieron memilih 200 kata untuk menentukan kaidah fonetik. Kata-kata tersebut adalah kata-kata yang umum dikenal di suatu daerah. Pada tahun 1887, pendeta P.J. Rousselot menulis Introduction a l etude des patois (Revue des patois gallo-romans). Salah satu gagasannya adalah setiap kata yang dikumpulkan hendaknya dilakukan dengan melakukan obrolan langsung, sehingga seorang peneliti harus mempunyai kemampuan meneliti, cara memberi keterangan, dan mengetahui masalah yang diteliti dengan baik. Pengumpulan bahan untuk pembuatan Atlas linguistique de France(ALF) baru dimulai pada 1897 oleh Edmond Edmont. Dalam penyusunan kamus selama 4 tahun di seluruh Perancis tersebut, Edmont tidak mencari bahan di kota sebab orang di kota jarang menggunakan dialek. Di samping itu, Edmont hanya mengumpulkan bahan dari satu orang, meskipun ia menggunakan pembahan sampai empat orang. Jawaban yang masuk dimuat dalam peta yang menggunakan alih tulis fonetis. Albert Dauzat menyarankan agar pengumpulan bahan didasarkan kepada daftar tanyaan umum yang sebagian besar diambil dari daftar tanyaan ALF dan sebagian lagi dari pertanyaan yang bertalian khusus dengan daerah penelitian. Karyanya: Nouvel atlas linguistique de France par regions pada tahun 1939. Usaha-usaha yang dilakukan oleh para ahli dari Jerman dan Perancis terhadap dialektologi menyebabkan perkembangan yang pesat setelah tahun 1875. Istilah aliran hanya diberikan untuk membedakan metode yang dipakai. Aliran Jerman menggunakan metode pupuan sinurat, sedangkan aliran Perancis menggunakan metode lapangan. Perbedaan pandangan tersebut tidak

menyurutkan usaha-usaha para ahli setelah masa tersebut terhadap ketertarikan pada bidang dialektologi. Hasil dari penelitian terdahulu, pada masa sekarang penelitian dialek difokuskan pada kata, bukan kalimat. Penulisan dalam bentuk fonetis juga masih dipakai sampai saat ini.dan kebudayaan. SUMBER BACAAN Ayatrohaedi. 1988. Dialektologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departeman Pendidikan http://thegarfield.blogspot.com/2007/09/sejarah-penelitian-dialek.html

Dasar Penelitian DialektologiDasar Penelitian Dialektologi

Dialektologi merupakan ilmu tentang dialek (dialecte); atau cabang dari linguistik yang mengkaji perbedaan-perbedaan isolek dengan memperlakukan perbedaan tersebut secara utuh. Sebagai cabang dari linguistik, maka dengan sendirinya dialektologi dalam kajiannya selalu bertumpu pada konsep-konsep yang dikembangkan dalam linguistik (Mahsun, 1995:15). Konsepkonsep tersebut dimanfaatkan dalam kerangka deskripsi perbedaan unsur-unsur kebahasaan di antara daerah pengamatan dalam penelitian. Deskripsi perbedaan unsur kebahasaan mencakup semua bidang yang termasuk dalam kajian linguistik, yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikon. Deskripsi perbedaan linguistik yang akan dibahas adalah deskripsi unsur kebahasaan yang dikaji dalam penelitian ini, yaitu perbedaan fonologi dan leksikon. Perbedaan fonologi perlu dibedakan dengan perbedaan leksikon mengingat dalam penentuan isolek sebagai bahasa, dialek, atau subdialek dengan menggunakan dialektometri. Pada tataran leksikon, perbedaan-perbedaan fonologi (termasuk morfologi) dianggap tidak ada (Ayatrohaedi, 1985: 246-247). Mahsun (1995: 24) menyatakan bahwa leksem-leksem yang merupakan realisasi dari satu makna terdapat di antara daerah-daerah pengamatan itu ditentukan sebagai perbedaan fonologis apabila: 1. Perbedaan yang terdapat pada leksem-leksem yang menyatakan makna yang sama itu muncul secara teratur atau merupakan korespondensi. 2. Perbedaan di antara leksem-leksem yang menyatakan makna yang sama itu berupa variasi jika perbedaan itu hanya terjadi pada satu atau dua bunyi.

Penelitian dialektologi bersifat diakronis. Mahsun (1995: 13) berpendapat, karena pembicaraan secara diakronis dimungkinkan dapat dilakukan jika telah tersedia bahan (hasil) yang bersifat sinkronis. Dengan demikian, ancangan teoretis yang digunakan dalam analisis data berupa ancangan sinkronis dan ancangan diakronis. Ayatrohaedi. 1983. Dialektologi Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis; Sebuah Pengantar. Jogjakarta, UGM Press.

pada 5/24/2010 07:21:00 PM

A. Pengertian Dialektologi Pada dasarnya dialektologi merupakan ilmu tentang dialek; atau cabang dari linguistik yang mengaji perbedaan-perbedaan isolek dengan memerlakukan perbedaan tersebut secara utuh (Mahsun, 1995: 11). Istilah isolek dalam pengertian ini digunakan sebagai istilah netral untuk perbedaan dialek atau bahasa, seperti yang disarankan oleh Hudson (dalam Mahsun, 1995: 11). Dialektologi adalah cabang linguistik yang memelajari variasi-variasi bahasa dengan memerlakukannya sebagai struktur yang utuh (Kridalaksana, 2001: 42). Dialektologi ingin memelajari serta membanding-bandingkan bahasa-bahasa yang masih serumpun untuk mencari titik persamaan dan titik-titik perbedaannya. Dialektologi disebut pula variasi bahasa berdasarkan geografi, tetapi hendaknya kita ingat bahwa dialektologi tidak sama dengan studi tentang dialek (Pateda, 1988: 51). Dialektologi sebenarnya merupakan salah satu cabang dari Linguistik Historis. Keduanya cenderung menelaah masalah kesejarahan ragam-ragam bahasa (Poedjosoedarmo dalam Laksono, 2009: 1). Secara umum, dialektologi bisa dinamakan sebagai sebuah kajian tentang dialek-dialek suatu bahasa. Sedangkan definisi secara luas, penelitian tentang dialektologi berupaya untuk menjelaskan tentang perbedaan pola-pola linguistic, baik yang dilakukan secara diatopis yang mencakup variasi geografis maupun yang dilakukan secara sintopis, yang melibatkan factor-faktor social (Poedjosoedarmo dalam Laksono, 2009: 2).

A. Pengertian Sosiolinguistik Sosiolinguistik merupakan disiplin ilmu antara sosiologi dan linguistik, dua bidang ilmu empiris yang memunyai kaitan yang erat. Sebagai objek dalam sosiolinguistik, bahasa tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan dalam Linguistik Umum, melainkan dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat manusia. Setiap kegiatan masyarakat manusia dimulai dari upacara pemberian nama bayi yang baru lahir sampai upacara pemakaman jenazah tertentu tidak akan terlepas dari penggunaan bahasa. Oleh karena itu, bagaimanapun rumusan mengenai sosiolinguistik yang diberikan para pakar tidak

akan terlepas dari persoalan hubungan bahasa dengan kegiatan-kegiatan atau aspek-aspek kemasyarakatan. Sosiolinguistik adalah ilmu yang memelajari ciri dan berbagai variasi serta bahasa, hubungan diantara para bahasawan dengan cirri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa (Kridalaksana dalam Chaer dan Agustina, 2004: 3). Sosiolinguistik adalah kajian tentang cirri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakaian bahasa karena ketiga unsure ini saling berinteraksi, berubah, dan saling mengubah satu sama lain dalam satu masyarakat (Fishman dalam Chaer dan Agustina, 2004: 3). Menurut Rene Appel, Gerad Hubert, dan Greus Meijer (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 4) sosiolinguistik adalah kajian mengenai bahasa dan pemakainya dalam konteks social dan kebudayaan. Sosiolinguistik adalah subdisiplin ilmu bahasa yang memelajari factor-faktor social yang berperan dalam penggunaan bahasa dan pergaulan social (Booij, Kersten, dan Verkuyl dalam Chaer dan Agustina, 2004: 4). Sosiolinguistik adalah pengembangan sub bidang linguistic yang memfokuskan penelitian pada variasi ujaran serta mengajinya dalam suatu konteks social. Sosiolinguistik meneliti korelasi antara factor-faktor social itu dengan variasi bahasa (Hicerson dalam Chaer dan Agustina, 2004: 4). Studi Interdisipliner yang menggarap masalah-masalah kebahasaan dalam hubungannya dengan masalah-masalah social dikenal dengan sebutan sosiolinguistik (Suwito, 1983: 4). Sosiolinguistik merupakan cabang linguistik yang mengaji hubungan antara bahasa dan masyarakat penuturnya. Ilmu ini merupakan kajian kontekstual terhadap variasi penggunaan bahasa masyarakat dalam sebuah komunikasi yang alami. Variasi dalam kajian ini merupakan masalah pokok yang dipengaruhi atau memengaruhi perbedaan aspek sosiokultural dalam masyarakat. Sosiolinguistik adalah variasi bahasa yang dipengaruhi oleh budaya. Dalam hal ini bahasa berhubungan erat dengan masyarakat suatu wilayah sebagai subyek atau pelaku sebagai alat komunikasi dan interaksi antara kelompok yang satu dengan yang lain. Selain empat varian yang telah disebutkan tadi, ada Bahasa Baku atau Bahasa standar adalah ragam bahasa yang diterima untuk dipakai dalam situasi resmi, seperti dalam perundangundangan, surat-menyurat, dan rapat resmi. Bahasa baku terutama digunakan sebagai bahasa persatuan dalam masyarakat bahasa yang mempunyai banyak bahasa. Bahasa baku umumnya ditegakkan melalui kamus(ejaan dan kosakata), tata bahasa, pelafalan, lembaga bahasa, status hukum, serta penggunaan di masyarakat(pemerintah, sekolah,dll). Bahasa baku tidak dapat dipakai untuk segala keperluan, tetapi hanya untuk komunikasi resmi, wacana teknis, pembicaraan di depan umum, dan pembicaraan dengan orang yang dihormati. Dari definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa sosiolinguistik adalah cabang ilmu linguistic yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan factor-faktor social di dalam suatu masyarakat tutur.

A. Perbedaan dan Persamaan Dialektologi dan Sosiolinguistik Secara ringkas dan terperinci bisa dilihat, perbedaan antara dialektologi dengan sosiolinguitik antaralain sebagai berikut: No. 1. Berdasarkan Objek kajian Dialektologi Memelajari perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang terdapat dalam satu bahasa yang disebabkan faktor geografis (Mahsun, 1995: 18) Diatopis (Laksono, 2009: 12) Sosiolinguistik Memelajari perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang disebabkan oleh faktor social (Mahsun, 1995: 18)

2.

Sifatnya

Sintopis (Laksono, 2009: 2)

Secara ringkas dan terperinci bisa dilihat, persamaan antara dialektologi dengan sosiolinguitik antaralain sebagai berikut: No. 1. 2. 3. Dialektologi dan Sosiolinguistik Sama-sama cabang dari ilmu linguistik (Mahsun, 1995: 18) Sama-sama membahas perbedaan unsur-unsur kebahasaan (Mahsun, 1995: 18) Terjadinya interseksi antara kedua bidang itu (Laksono, 2009: 3)

A. Hubungan Dialektologi dan Sosiolinguistik Dialektologi dan sosiolinguistik merupakan sama-sama cabang ilmu linguistik yang memelajari tentang perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang terdapat dalam satu bahasa. Perbedaan antara kedua disiplin ilmu linguistik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, kalau dialektologi memelajari perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang terdapat dalam satu bahasa yang disebabkan oleh faktor geografis, sedangkan kalau sosiolinguistik memelajari perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang disebabkan oleh faktor sosial (Mahsun, 1995: 18). Dialektologi ingin memelajari serta membanding-bandingkan bahasa-bahasa yang masih serumpun untuk mencari titik persamaan dan titik-titik perbedaannya. Dialektologi disebut pula variasi bahasa berdasarkan geografi, tetapi hendaknya kita ingat bahwa dialektologi tidak sama dengan studi tentang dialek (Pateda, 1988: 51). Walaupun antara dialektologi dan sosiolinguistik memunyai perbedaan, namun tidak menutup kemungkinan adanya pemanfaatan studi sosiolinguistik dalam kajian dialektologi, seperti dalam memelajari pengaruh antardialek. Selain

itu, perbedaan geografis bisa dijelaskan sebagai dasar perbedaan dari sosiolinguitik. Perhatikanlah skema di bawah ini! Social variasi bahasa geografi Sosiolinguistik dialektologi DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik: Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Laksono, Kisyani dan Agusniar Dian Savitri. 2009. Dialektologi. Surabaya: Unesa University Press. Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pateda, Mansoer. 1988. Linguistik (Sebuah Pengantar). Bandung: Angkasa. PT Rineka Cipta. Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik: Teori dan Problema. Surakarta: Henarry Offset.