30
TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG PENDIDIKAN I. PENDAHULUAN Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan. Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya yang terjadi. Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri, perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi. Gelar dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status

TAFSIR AYAT

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TAFSIR AYAT

TAFSIR AYAT-AYAT TENTANG  PENDIDIKAN

I. PENDAHULUAN

Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan

berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan

kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun institusi-institusi pendidikan saat

ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum

memproduksi individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang

mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi

pendidikan.

Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai

kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya yang

terjadi. Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang

memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-

individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang

akan memakmuran diri, perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis

dan dianggap sebagai sebuah investasi. Gelar dianggap sebagai tujuan utama, ingin

segera dan secepatnya diraih supaya modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai

keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang

memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan

mereka sebagai individu-individu yang beradab. Pendidikan yang bertujuan pragmatis

dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma pendidikan Barat yang

sekular.

Dalam budaya Barat sekular, tingginya pendidikan seseorang tidak

berkorespondensi dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan.

Dampak dari hegemoni pendidikan Barat terhadap kaum Muslimin adalah banyaknya

dari kalangan Muslim memiliki pendidikan yang tinggi, namun dalam kehidupan nyata,

mereka belum menjadi Muslim-Muslim yang baik dan berbahagia. Masih ada

kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih dengan rendahnya moral serta

Page 2: TAFSIR AYAT

akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan visi dan misi pendidikan yang

pragmatis. Sebenarnya, agama Islam memiliki tujuan yang lebih komprehensif dan

integratif dibanding dengan sistem pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan

para anak didik yang memiliki paradigma yang pragmatis.

Dalam makalah ini penulis berusaha menggali dan mendeskripsikan tujuan

pendidikan dalam Islam secara induktif dengan melihat dalil-dalil naqli yang sudah ada

dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, juga memadukannya dalam konteks kebutuhan dari

masyarakat secara umum dalam pendidikan, sehingga diharapkan tujuan pendidikan

dalam Islam dapat diaplikasikan pada wacana dan realita kekinian.

II. PEMBAHASAN

1. Kandungan Al-Qur’an Surat al-Dzariyat [51] ayat 56

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi

kepada-Ku.” (Q.S. al-Dzariyat [51] : 56)

Ayat ini dengan sangat jelas mengabarkan kepada kita bahwa tujuan penciptaan

jin dan manusia tidak lain hanyalah untuk “mengabdi” kepada Allah SWT. Dalam

gerak langkah dan hidup manusia haruslah senantiasa diniatkan untuk mengabdi

kepada Allah. Tujuan pendidikan yang utama dalam Islam menurut Al-Qur’an adalah

agar terbentuk insan-insan yang sadar akan tugas utamanya di dunia ini sesuai dengan

asal mula penciptaannya, yaitu sebagai abid. Sehingga dalam melaksanakan proses

pendidikan, baik dari sisi pendidik atau anak didik, harus didasari sebagai pengabdian

kepada Allah SWT semata.

Mengabdi dalam terminologi Islam sering diartikan dengan beribadah. Ibadah

bukan sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan dan

ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa

seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi. Ibadah juga merupakan

dampak keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan

yang tidak terjangkau dan tidak terbatas. Ibadah dalam pandangan ilmu Fiqh ada dua

Page 3: TAFSIR AYAT

yaitu ibadah mahdloh dan ibadah ghoiru mahdloh. Ibadah mahdloh adalah ibadah

yang telah ditentukan oleh Allah bentuk, kadar atau waktunya seperti halnya sholat,

zakat, puasa dan haji. Sedangkan ibadah ghoiru mahdloh adalah sebaliknya, kurang

lebihnya yaitu segala bentuk aktivitas manusia yang diniatkan untuk memperoleh

ridho dari Allah SWT.

Segala aktivitas pendidikan, belajar-mengajar dan sebagainya adalah termasuk

dalam kategori ibadah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW :

( البر ( عبد ابن رواه مسلمة و مسلم كل على فريضة العلم طلب

“Menuntut ilmu adalah fardlu bagi tiap-tiap orang-orang Islam laki-laki dan

perempuan” (H.R Ibn Abdulbari)

( الترمذى ( رواه يرجع حتى الله سبيل فى فهو العلم طلب فى خرج من

“Barangsiapa yang pergi untuk menuntut ilmu, maka dia telah termasuk golongan

sabilillah (orang yang menegakkan agama Allah) hingga ia sampai pulang kembali”.

(H.R. Turmudzi)

Pendidikan sebagai upaya perbaikan yang meliputi keseluruhan hidup individu

termasuk akal, hati dan rohani, jasmani, akhlak, dan tingkah laku. Melalui

pendidikan, setiap potensi yang di anugerahkan oleh Allah SWT dapat dioptimalkan

dan dimanfaatkan untuk menjalankan fungsi sebagai khalifah di muka bumi.

Sehingga pendidikan merupakan suatu proses yang sangat penting tidak hanya dalam

hal pengembangan kecerdasannya, namun juga untuk membawa peserta didik pada

tingkat manusiawi dan peradaban, terutama pada zaman modern dengan berbagai

kompleksitas yang ada.

Dalam penciptaaannya, manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan dengan dua

fungsi, yaitu fungsi sebagai khalifah di muka bumi dan fungsi manusia sebagai

makhluk Allah yang memiliki kewajiban untuk menyembah-Nya. Kedua fungsi

tersebut juga dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya berikut,

Page 4: TAFSIR AYAT

“…’Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’…”

[Q.S Al-Baqarah(2): 30]. Ketika Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka

bumi dan dengannya Allah SWT mengamanahkan bumi beserta isi kehidupannya

kepada manusia, maka manusia merupakan wakil yang memiliki tugas sebagai

pemimpin dibumi Allah.

Ghozali melukiskan tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya dan

nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya, yakni

memberi petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud di balik itu

membentuk individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan takwa.

Dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, pada umumnya para ulama

berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah ”untuk beribadah kepada

Allah SWT”. Kalau dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan diarahkan untuk

mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa,

maka dalam konteks pendidikan Islam justru harus lebih dari itu, dalam arti,

pendidikan Islam bukan sekedar diarahkan untuk mengembangkan manusia yang

beriman dan bertaqwa, tetapi justru berusaha mengembangkan manusia menjadi

imam/pemimpin bagi orang beriman dan bertaqwa (waj’alna li al-muttaqina imaama).

Untuk memahami profil imam/pemimpin bagi orang yang bertaqwa, maka kita

perlu mengkaji makna takwa itu sendiri. Inti dari makna takwa ada dua macam yaitu;

itba’ syariatillah (mengikuti ajaran Allah yang tertuang dalam al-Qur’an dan Hadits)

dan sekaligus itiba’ sunnatullah (mengikuti aturan-aturan Allah, yang berlalu di alam

ini), Orang yang itiba’ sunnatullah adalah orang-orang yang memiliki keluasan ilmu

dan kematangan profesionalisme sesuai dengan bidang keahliannya. Imam bagi

orang-orang yang bertaqwa, artinya disamping dia sebagai orang yang memiki profil

sebagai itba’ syaria’tillah sekaligus itba’ sunnatillah, juga mampu menjadi pemimpin,

penggerak, pendorong, inovator dan teladan bagi orang-orang yang bertaqwa.

2. Kandungan Al-Qur’an Surat al-Baqarah [2] ayat 247

Page 5: TAFSIR AYAT

“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah Telah mengangkat

Thalut menjadi rajamu.” mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami,

padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang

diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” nabi (mereka) berkata:

“Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas

dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang

dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.”

(Q.S. al-Baqarah [2] : 247)

Ayat ini menerangkan mengenai kisah pengangkatan Thalut sebagai raja Bani

Israil. Allah menceritakan kisah ini dengan sangat indah, dimana orang yang

berpendidikan dan mempunyai fisik kuatlah yang pantas menjadi pemimpin dan

melaksanakan titah sebagai khalifah fil ardl.

Nabi Syamuil mengatakan kepada Bani Israil, bahwa Allah SWT telah

mengangkat Thalut sebagai raja. Orang-orang Bani Israil tidak mau menerima Thalut

sebagai raja dengan alasan, bahwa menurut tradisi, yang boleh dijadikan raja itu

hanyalah dari kabilah Yahudi, sedangkan Thalut sendiri adalah dari kabilah

Bunyamin. Lagi pula disyaratkan yang boleh menjadi raja itu harus seorang hartawan,

sedang Thalut sendiri bukan seorang hartawan. Oleh karena itu secara spontan

mereka membantah, “Bagaimana Thalut akan memerintah kami, padahal kami lebih

berhak untuk mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang dia pun tidak diberi

kekayaan yang cukup untuk menjadi raja?”

Nabi Syamuil menjawab bahwa Thalut diangkat menjadi raja atas pilihan Allah

SWT karena itu Allah menganugerahkan kepadanya ilmu yang luas dan tubuh yang

perkasa sehingga ia mampu untuk memimpin Bani Israil. Dari ayat ini diambil

pengertian bahwa seorang yang akan dijadikan raja ataupun pemimpin itu hendaklah

memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

1. Kekuatan fisik sehingga mampu untuk melaksanakan tugasnya sebagai kepala negara.

Page 6: TAFSIR AYAT

2. Ilmu pengetahuan yang luas, mengetahui di mana letaknya kekuatan umat dan kelemahannya, sehingga dapat memimpinnya dengan penuh kebijaksanaan.

3. Kesehatan jasmani dan kecerdasan pikiran. 4. Bertakwa kepada Allah supaya mendapat taufik daripada-Nya untuk mengatasi

segala kesulitan yang tidak mungkin diatasinya sendiri kecuali dengan taufik dan hidayah-Nya.

Manusia sebagai khalifah di bumi bisa melaksanakan amanah memakmurkan

bumi jika manusia tersebut mempunyai 4 karakter diatas. Karakter-karakter tersebut

hanya bisa diperoleh dengan pendidikan yang baik dan usaha yang terus menerus.

Pendidikan jasmani akan menghasilkan raga yang sehat, kuat dan tangguh.

Pendidikan rohani akan menghasilkan pengetahuan yang luas, akhlak yang baik dan

ketaqwaan kepada Sang Kholik. Kedua jenis pendidikan ini saling terkait dan sama

pentingnya untuk menghasilkan manusia-manusia paripurna yang bisa mengemban

amanat sebagai khalifah. Adapun harta kekayaan tidak dimasukkan menjadi syarat

untuk menjadi raja (pemimpin) karena bila syarat-syarat yang empat tersebut telah

dipenuhi, maka mudahlah baginya untuk mendapatkan harta yang diperlukan sebab

Allah Maha Luas Pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.

Hujair A.H. Sanaky menyebut istilah tujuan pendidikan Islam dengan visi dan

misi pendidikan Islam. Menurutnya sebenarnya pendidikan Islam telah memiki visi

dan misi yang ideal, yaitu “Rohmatan Lil ‘Alamin”. Selain itu, sebenarnya konsep

dasar filosofis pendidikan Islam lebih mendalam dan menyangkut persoalan hidup

multi dimensional, yaitu pendidikan yang tidak terpisahkan dari tugas kekhalifahan

manusia, atau lebih khusus lagi sebagai penyiapan kader-kader khalifah dalam rangka

membangun kehidupan dunia yang makmur, dinamis, harmonis dan lestari

sebagaimana diisyaratkan oleh Allah dalam al Qur’an. Pendidikan Islam adalah

pendidikan yang ideal, sebab visi dan misinya adalah “Rohmatan Lil ‘Alamin”, yaitu

untuk membangun kehidupan dunia yang yang makmur, demokratis, adil, damai, taat

hukum, dinamis, dan harmonis.

1. Kandungan Al-Qur’an Surat al-Qashash [28] ayat 26

Page 7: TAFSIR AYAT

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai

orang yang bekerja (pada kita), Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang

kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.

Rupanya orang tua itu (Nabi Syuaib) tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak

pula mempunyai pembantu. Oleh sebab itu yang mengurus semua urusan keluarga itu

hanyalah kedua putrinya saja, sampai keduanya terpaksa menggembala kambing

mereka, di samping mengurus rumah tangga. Terpikirlah salah seorang putri itu untuk

memintanya supaya datang memenuhi undangan bapaknya alangkah baiknya kalau

Musa yang nampaknya amat baik sikap dan budi pekertinya dan kuat tenaganya

diangkat menjadi pembantu di rumah ini. Putri itu mengusulkan kepada bapaknya

angkatlah Musa itu sebagai pembantu kita yang akan mengurus sebagian urusan kita

sebagai penggembala kambing, mengambil air dan sebagainya. Saya lihat dia seorang

yang jujur dapat dipercaya dan kuat juga tenaganya. Usul itu berkenan di hati

bapaknya, bahkan bapaknya bukan saja ingin mengangkatnya sebagai pembantu,

malah ia hendak mengawinkan putrinya itu dengan Musa dan sebagai maharnya

Musa harus bekerja di sana selama delapan tahun dan bila Musa menyanggupi

sepuluh tahun dengan suka rela itulah yang lebih baik.

Ayat di atas mengisahkan mengenai pelarian Nabi Musa dari kejaran tentara

Fir’aun untuk dibunuh hingga akhirnya bertemu dengan dua putri dari Nabi Syuaib

dan membantunya mengambilkan air minum untuk ternaknya. Nabi Syuaib adalah

seorang pemuka agama dan masyarakat di negeri Madyan. Konon Nabi Musa adalah

seorang yang gagah perkasa, kuat, pandai memimpin dan jujur lagi dapat dipercaya.

Karena sifat-sifat terpuji itulah yang membuat anak gadis Nabi Syuaib terkesima dan

Nabi Syuaib juga berencana menikahkan salah satu diantara anak gadisnya dengan

Nabi Musa.

Ibnu Taimiyah dalam bukunya as-Syiasah Asyriyyah merujuk pada ayat di atas,

demikian juga ucapan penguasa Mesir ketika memilih dan mengangkat Nabi Yusuf

A.S sebagai kepala badan logistik negara. “Maka tatkala raja telah bercakap-cakap

dengan dia (Yusuf), dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari Ini menjadi

Page 8: TAFSIR AYAT

seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami” (Q.S. Yusuf [12] :

54). Hal ini menegaskan bahwa pentingnya kedua sifat tersebut, yaitu kuat dan

dipercaya, untuk dimiliki oleh orang yang diberi amanat mengemban tugas berat.

Pengertian kuat disini adalah kekuatan dalam berbagai aspek dan bidang. Oleh

karena itu terlebih dahulu harus dilihat bidang apa yang akan ditugaskan kepada yang

dipilih. Sedangkan kepercayaan tersebut diatas yang dimaksud adalah integritas

pribadi dari orang yang diberi amanat. Di zaman modern sekarang ini diperlukan

orang-orang yang ahli di bidangnya masing-masing dan mempunyai integritas pribadi

yang unggul dan terpuji guna mengembangkan segala aspek kehidupan yang lebih

bermakna. Diharapkan orang mukmin mempunyai spesialisasi tertentu di bidang iptek

dan punya integritas pribadi tangguh untuk mengembangkan ummat Islam menuju

kejayaan. Mukmin kuat dalam berbagai bidang lebih baik dibandingkan dengan

mukmin lemah, hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW : “Dari Abu Hurairah R.A

bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih

dicintai Allah daripada orang mukmin yang lemah, dan masing-masing mempunyai

kebaikan. Gemarlah kepada hal-hal yang berguna bagimu. Mintalah pertolongan

kepada Allah dan janganlah menjadi lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu, jangan

berkata: Seandainya aku berbuat begini, maka akan begini dan begitu. Tetapi

katakanlah: Allah telah mentakdirkan dan terserah Allah dengan apa yang Dia

perbuat. Sebab kata-kata seandainya membuat pekerjaan setan.” (H.R. Muslim).

1. Kandungan Al-Qur’an Surat Ali Imron [3] ayat 19

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih

orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada

mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir

terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”

Ayat diatas menunjukkan sebagai berita dari Allah SWT yang menyatakan bahwa

tidak ada agama yang diterima dari seseorang di sisi-Nya selain Islam, yaitu

mengikuti para Rasul yang diutus oleh Allah SWT di setiap masa, hingga diakhiri

dengan Nabi Muhammad SAW yang membawa agama yang menutup semua jalan

Page 9: TAFSIR AYAT

lain kecuali jalan yang telah ditempuhnya. Karena itu, barangsiapa yang menghadap

kepada Allah – sesudah Nabi Muhammad SAW diutus – dengan membawa agama

yang bukan syariatnya, maka hal itu tidak diterima oleh Allah.

Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas membaca firman Allah diatas dengan

innahu yang di-kasrah-kan dan anna di-fathah-kan, artinya “Allah telah menyatakan,

begitu pula para malaikat dan orang-orang berilmu, bahwa agama yang diridloi di sisi

Allah adalah Islam”. Sedangkan menurut jumhur ulama’, mereka membacanya

kasrah, yaitu ‘innad diina’ sebagai kalimat berita. Bacaan tersebut kedua-duanya

benar, tetapi menurut bacaan jumhur ulama lebih kuat.

Kemudian Allah SWT memberitakan bahwa orang-orang yang telah diberikan Al-

Kitab kepada mereka di masa-masa yang lalu, mereka berselisih pendapat hanya

setelah hujjah ditegakkan atas mereka, yakni sesudah para Rasul diutus kepada

mereka dan kitab-kitab samawi diturunkan buat mereka. Sebagian dari mereka

merasa dengki terhadap sebagian yang lainnya, lalu mereka berselisih pendapat dalam

perkara kebenaran. Hal tersebut terjadi karena terdorong oleh rasa dengki, benci dan

saling menjatuhkan, hingga sebagian dari mereka berusaha menjatuhkan sebagian

yang lain dengan menentangnya dalam semua ucapan dan perbuatannya, sekalipun

benar. Terhadap orang-orang yang ingkar kepada ayat-ayat Allah yang telah

diturunkan, maka sesungguhnya Allah akan membalas perbuatannya dan melakukan

perhitungan terhadapnya atas kedustaannya itu, dan akan menghukumnya akibat ia

menentang Kitab-Nya.

Keterangan di atas menunjukkan kedengkian dan kebencian umat Yahudi dan

Nasrani terhadap umat Islam pada zaman sekarang setelah hujjah dan penjelasan

datang pada mereka tentang kebenaran Islam. Walaupun mereka diberi akal dan

pengetahuan oleh Allah SWT, tetapi karena hatinya tertutup oleh rasa sombong dan

dengki terhadap Islam sehingga tidak mau menerima kebenaran Islam. Pengetahuan

yang mereka peroleh digunakan untuk menuruti hawa nafsu mereka belaka, seperti

dapat kita lihat di negara-negara yang mayoritas penduduknya Yahudi dan Nasrani.

Pengetahuan yang telah diperoleh untuk memperkaya diri, menyombongkan diri

Page 10: TAFSIR AYAT

bahkan saling berusaha menguasai dan menjajah diantara satu dengan lainnya dalam

segala bidang kehidupan. Sehingga pengetahuan yang mereka peroleh kering dari

makna serta membuat semakin kehilangan arah ke-ilahi-an dan miskin dimensi

transendental.

Tujuan pendidikan ala Al-Qur’an jelas beda dengan konsep pendidikan di Barat

yang mengedepankan materialistik. Dengan bekal pendidikan dan pengetahuan yang

didapat dari proses belajar-mengajar secara Islami diharapkan akan terbentuk muslim

yang lebih tangguh, berpengetahuan luas dan yakin akan kebenaran ajaran Islam.

Pengetahuan yang didapatpun akan lebih didayagunakan untuk kemaslahatan umat

Islam pada khususnya dan rahmatan lil alamin pada umumnya.

III. ANALISIS KRITIS AYAT-AYAT TUJUAN PENDIDIKAN

Tujuan adalah suatu yang diharapakan tercapai setelah sesuatu kegiatan selesai

atau tujuan adalah cita, yakni suasana ideal itu nampak yang ingin diwujudkan. Dalam

tujuan pendidikan, suasana ideal itu tampak pada tujuan akhir (ultimate aims of

education). Adapun tujuan pendidikan adalah perubahan yang diharapkan pada subjek

didik setelah mengalami proses pendidikan, baik pada tingkah laku individu dan

kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya dimana

individu hidup, selain sebagai arah atau petunjuk dalam pelaksanaan pendidikan, juga

berfungsi sebagai pengontrol maupun mengevaluasi keberhasilan proses pendidikan.

Sebagai pendidikan yang notabenenya Islam, maka tentunya dalam merumuskan

tujuan harus selaras dengan syari’at Islam. Adapun rumusan tujuan pendidikan Islam

yang disampaikan beberapa tokoh adalah :

1. Ahmad D Marimba; tujuan pendidikan Islam adalah; identiuk dengan tujuan hidup

orang muslim. Tujuan hidup manusia munurut Islam adalah untuk menjadi hamba

allah. Hal ini mengandung implikasi kepercayaan dan penyerahan diri kepada-Nya .

Page 11: TAFSIR AYAT

2. Dr. Ali Ashraf; “tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang menyerahkan

diri secara mutlak kepada Allah pada tingkat individu, masyarakat dan kemanusiaan

pada umumnya”.

3. Muhammad Athiyah al-Abrasy. “the fist and highest goal of Islamic is moral

refinment and spiritual, training” (tujuan pertama dan tertinggi dari pendidikan

Islam adalah kehalusan budi pekerti dan pendidikan jiwa)”

4. Syahminan Zaini; “Tujuan Pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang

berjasmani kuat dan sehat dan trampil, berotak cerdas dan berilmua banyak, berhati

tunduk kepada Allah serta mempunyai semangat kerja yang hebat, disiplin yang

tinggi dan berpendirian teguh”.

Dari berbagai pendapat tentang tujuan pendidikan Islam diatas, dapat disimpulkan

bahwa tujuan pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang sehat jasmani dan

rohani serta moral yang tinggi, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat, baik

sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat.

Page 12: TAFSIR AYAT

Tafsir Ayat-Ayat tentang Keadilan

BAB I

PENDAHULUAN

<!--[if !supportLists]-->A. <!--[endif]-->Latar Belakang

Pergaulan antar manusia tentunya pasti menimbulkan sebuah masalah. Ibarat

kata lidah saja tergigit apatah lagi suami istri. Begitu juga suami istri saja ada masalah,

apatah lagi antar masyarakat yang tidak ada hubungan tali kasih, tentunya dengan mudah

wujudnya sebuah permasalahan.

Fenomena ini sejak dulu memiliki jalan keluar, yaitu penyelesaian secara

hukum. Dalam sejarah, penetapan sebuah ketentuan hukum adalah melalui peradilan,

sama ada bentuknya itu secara formal seperti di peradilan yang diiktiraf negara, maupun

peradilan non formal seperti mediasi maupun abritase.

Penyelesaian secara hukum ini tentunya harus berdasarkan keadilan. Lebih-

lebih lagi adil merupakan hak azazi manusia. Bukan hanya filsafat modern yang

menetapkan itu, akan tetapi banyak sekali ayat dalam Alquran – sebagai sumber utama

muslim – mewajibkan menghukumi sesuatu perkara harus dengan adil.

Pemahaman adil dalam menghukumi ini tentunya memerlukan pentafsiran

yang valid, karena batasan adil sendiri masih sangat umum dan terdapat banyak versi.

Hanya dengan meneliti tafsir ahkam bagi ayat-ayat tentang adil sahaja yang dapat

menghasilkan konsep menghukumi dengan adil dalam Islam.

B. Fokus Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat banyak ayat tentang adil yang

ditemukan oleh penulis dalam Alquran. Setelah dibaca setiap satunya, maka penulis

memfokus masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Menyampaikan amanat dan menghukum

dengan adil.

Page 13: TAFSIR AYAT

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Perlakuan sama di dalam peradilan dan

persaksian.

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Keadilan tidak hanya bagi orang Islam.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Menyampaikan Amanat dan Menghukum dengan Adil

Allah SWT berfirman dalam surah al-Nisâ` ayat 58 sebagai berikut:

*ْن) َأ /اِس, الَّن )ن* *ي ب 1م) *م)ت ح*َك ,َذ*ا و*ِإ ,ه*ا ْه)ل* َأ ,ل*ى ِإ *اِت, *م*اَن اَأْل) 1َؤ*ُّد9وا ُت ْن)

* َأ 1م) ك م1ر1( *ْأ ي /ه* الل ,ْن/ ِإ

ا *ِص,ير< ب م,يع<ا س* *اْن* ك /ه* الل ,ْن/ ِإ ,ه, ب 1م) *ع,ُظ1َك ي ,ع,م/ا َن /ه* الل ,ْن/ ِإ )ع*د)ِل, ,ال ب 1م1وا *ْح)َك ُتTerjemahan: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.

Sebuah riwayat yang menceritakan ayat tentang memberikan amanat dan hak

kepada yang berhak serta menghukum dengan adil ini adalah sebuah kisah ketika

terjadinya pembukaan kota Mekkah. Ketika itu, penjaga ka’bah adalah ‘Utsmân bin ‘Abd

al-Dâr. Beliau mengunci ka’bah. Maka ‘Abbâs mengambil dengan paksa kunci tersebut.

Lalu Rasulullah mengutus ‘Alî RA untuk meminta ‘Abbâs mengembalikan kunci tersebut

dan meminta maaf kepada ‘Utsmân bin ‘Abd al-Dâr. Setelah itu, ‘Alî RA pun

menceritakan pada ‘Utsmân bin ‘Abd al-Dâr bahwa ayat ini diturunkan kepadanya. Maka

‘Utsmân bin ‘Abd al-Dâr pun memeluk Islam.<!--[if !supportFootnotes]-->[1]<!--

[endif]-->

Walaupun ayat ini diturunkan oleh sebab yang tertentu, akan tetapi ayat ini

tetap berlaku secara umum dan bukan hanya tertakluk pada sebab kisah ini. Ini

dikarenakan oleh sebuah kaedah dalam ‘ulûm al-Qur`ân yang berbunyi “ بعموم العبرة

السبب بخِصوص ال <--[endif]--!>[2]<--[if !supportFootnotes]--!>.”اللفظ

Page 14: TAFSIR AYAT

Perintah awal dari ayat ini adalah supaya menjalani amanat dengan

memberikannya kepada ahlinya bagi setiap muslimin. Sama ada hak bagi dirinya sendiri

maupun hak bagi orang lain serta hak Allah secara umum.<!--[if !supportFootnotes]--

>[3]<!--[endif]-->

Contoh menjaga amanah dalam hak Allah adalah seperti mematuhi

perintahnya dan menjauhi larangannya. Menjaga amanah bagi hak manusia itu sendiri

adalah seperti tidak melakukan kecuali apa yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat.

Sedangkan menjaga amanah bagi orang lain adalah seperti tidak menipu ketika

bermuamalat, berjihad, dan nasihat.Setelah menetapkan amanah, maka datanglah giliran

menghukumi dengan adil diantara manusia. Dalam firman Allah yang berbunyi “ 1م) *م)ت ”ح*َك

adalah merupakan fi’il mâdli yang bertemu dengan dlamîr muttashil “َأَنتم”. Ia memiliki

arti yaitu ”القضاء“ menghukumi. Asal usulnya bermakna yaitu ”المَّنع“ mencegah.

Contohnya: “ مَّنعته ِإَذا بَكذا عليه *م)ت1 حَكمت و*ح*َك َذ*ل,َك* م,ن) وج, )خ1ر1 ال ع*ل*ى *ق)د,ر) ي *م) ف*ل ف,ه, خ,اَل* م,ن)

Oم, ح*اك *ا *َن ف*ْأ *ه1م) )َّن *ي ب ف*ِص*ل)ت1 , )ق*و)م ال )ن* *ي :yang berarti ”ب “aku menghukum terhadapnya begini

ketika akau menghalangnya dari melakukan sebaliknya, maka dia tidak mampu

melakukan selain itu. Dan aku menghukum di antara kaum yaitu memutuskan di antara

mereka maka aku adalah seorang hakim”.Secara istilah, kata menghukumi atau dalam

bahasa Arab yang lebih dikenali dengan kata itu ”القضاء“ adalah memisah

pertengkarang/persengketaan dan menghilangkan perselisihan. Ia adalah dituntut dalam

Islam berdasarkan firman Allah “ َأراك بما الَّناِس بين لتْحَكم بالْحق الَكتاب ِإليَك َأَنزلَّنا ِإَنا

“ Menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaylî, bahwa kata “adil” di dalam ayat ini adalah.”الله

طريق َأقرب من صاحبه ِإلى الْحق yaitu “memberikan hak kepada pemiliknya ”ِإيِصاِل

dengan jalan yang terdekat”.Keadilan adalah merupkan asas kepimpinan. Ia adalah asal

dari dasar-dasar hukum di dalam Islam. Wajib ada bagi masyarakat sosial agar yang

lemah dapat mengambil haknya. Yang kuat tidak merampas dari yang lemah.

Terlestarilah keamanan. Seluruh syariat yang datang dari Allah (seperti agama Yahudi

dan Nasrani) itu mewajibkan mendirikan keadilan. Maka dari itu, wajib bagi hakim dan

perangkat pemerintahan melestarikan keadilan sehingga hak-hak tersentuh ahlinya.Dalam

membahas tentang adil ini, Alquran menyebutkannya di lebih dari satu tempat. Seperti

contoh Surah al-Nahl ayat 90 yang berbunyi:

Page 15: TAFSIR AYAT

اء, )ف*ْح)َش* ال ع*ن, )ه*ى *َّن و*ي *ى ب )ق1ر) ال َذ,ي *اء, ,يت و*ِإ اْن, ,ح)س* و*اِإْل) )ع*د)ِل, ,ال ب م1ر1( *ْأ ي /ه* الل ,ْن/ ِإ

وْن /ر1 *ذ*ك ُت 1م) /َك *ع*ل ل 1م) *ع,ُظ1َك ي *ْغ)ِي, )ب و*ال *ر, )َك )م1َّن و*الTerjemahan: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

Kata adil menurut `Ibn ‘Athiyyah: “telah berkata al-Qâdlî `Abû Muhammad:

Adil adalah melakukan segala perkara yang difardukan dari segi akidah dan syariat,

kehidupan sesama manusia di dalam melaksanakan amanat dan meninggalkan

kezaliman, memberikan sesuatu yang hak”.<!--[if !supportFootnotes]-->[9]<!--[endif]-->

B. Perlakuan Sama di Dalam Peradilan dan Persaksian

Allah SWT berfirman dalam surah al-Nisâ` ayat 138 sebagai berikut:

و, * َأ 1م) َك )ف1س, َن

* َأ ع*ل*ى *و) و*ل /ه, ,ل ل ه*د*اء* ُش1 )ق,س)ِط, ,ال ب ق*و/ام,ين* 1وا 1وَن ك 1وا م*َّن* َآ /ذ,ين* ال 9ه*ا ي

* َأ *ا ي)ه*و*ى ال ,ع1وا /ب *ت ُت ف*اَل* ,ه,م*ا ب و)ل*ى

* َأ /ه1 ف*الل ا ف*ق,ير< و)* َأ ,ي̂ا َغ*َّن 1ن) *َك ي ,ْن) ِإ ,ين* ب ق)ر*

* و*اَأْل) )ن, ,د*ي )و*ال الا ,ير< ب خ* *ع)م*ل1وْن* ُت ,م*ا ب *اْن* ك /ه* الل ,ْن/ ف*ِإ 1ع)ر,ُض1وا ُت و)

* َأ )و1وا *ل ُت ,ْن) و*ِإ 1وا *ع)د,ل ُت ْن)* َأ

Terjemahan: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.

Sebab turunya ayat ini ditakhrîj `Ibn Jarîr dari al-Sadiyyi. Ketika ayat ini

diturunkan, terdapat dua orang lelaki yang sedang bersengketa yaitu satu kaya dan satu

fakir. Sedangkan Nabi Muhammad SAW menyebelahi yang fakir, dengan pandangan

orang fakir tidak mungkin menzalimi yang kaya. Maka Allah enggan menerimanya

kecuali menegakkan keadilan dalam arti seimbang di antara yang kaya dan fakir.<!--[if !

supportFootnotes]-->[10]<!--[endif]-->

Dalam ayat ini, kata adil digunakan dengan kata “القسِط” yang secara bahasa

memiliki arti adil, seimbang, tengah-tengah di dalam segala perkara.<!--[if !

supportFootnotes]-->[11]<!--[endif]--> Ini sama seperti yang terdapat di dalam surah al-

`A’râf ayat 29:

Page 16: TAFSIR AYAT

*ه1 ل ل,ِص,ين* م1خ) و*اُّد)ع1وه1 bِج,د م*س) d1ل ك )د* َّن ع, 1م) و1ج1وْه*َك ق,يم1وا* و*َأ )ق,س)ِط, ,ال ب dِي ب ر* م*ر*

* َأ ق1ل)*ع1وُّد1وْن* ُت 1م) ك

* *د*َأ ب *م*ا ك الدdين*Terjemahan: Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)".

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah SWT memerintah hambanya yang

mukmin agar menjadi orang yang benar-benar menegakkan keadilan. Dalam hal, keadilan

yang dimaksud Allah SWT adalah seimbang dengan tidak condong ke kanan atau ke

kiri.<!--[if !supportFootnotes]-->[12]<!--[endif]-->

Menurut Wahbah al-Zuhaylî, bahwa ayat ini menegaskan dua hal:<!--[if !

supportFootnotes]-->[13]<!--[endif]-->

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Penekanan untuk sangat-sangat di dalam

menegakkan keadilan dan membantu, bukan menyulitkan atau berpaling di dalam

peradilan. Dalam hal ini, keadilan dalam Islam tidak hanya diperuntukan bagi orang

muslim, tapi juga non muslim.

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Seumpama dalam peradilan hakim harus bersikap

adil, maka persaksian juga harus dengan yang hak walau terhadap diri sendiri, orang tua

atau kerabat. Ini dikarenakan hak itu unggul dan tidak diungguli oleh yang lain.

Ulama fiqh menuturkan beberapa perkara yang berkaitan dengan syahadah

bagi orang tua atau terhadap orang tua. Mereka berkata tidak ada khilaf di dalam

persaksian seorang anak terhadap orang tua. Perkara ini jelas diperbolehkan (diterima).

Walaupun persaksian itu merugikan orang tua, tidak lain ini demi kebaikan mereka. Ini

senada dengan ayat “ َنeeارا وَأْهليَكم َأَنفسeeَكم if]--!>”قeeوا !supportFootnotes]-->[14]<!--

[endif]-->.<!--[if !supportFootnotes]-->[15]<!--[endif]-->

Sedangkan persaksian kedua orang tua terhadap anak, ini terjadi perbedaan

pendapat. Menurut al-Zuhrî, ulama salaf soleh memperkenan persaksian seperti ini. Ini

berdasarkan ayat “ لله ُشهدَآء بالقسِط قوامين Lalu jelaslah dari manusia beberapa .”كوَنوا

Page 17: TAFSIR AYAT

perkara yang memungkinkan terjadi penuduhan. Maka persaksian tuduhan itu harus

ditinggal. Oleh karena itu tidak diperbolehkan untuk persaksian anak, kedua orang tua,

saudara, suami-istri. Ini adalah mazhab al-Hasan, al-Nakha’î, al-Sya’bî, Syuraih, Mâlik,

al-Tsaurî, al-Syâfi’î, `Ibn Hanbal, `Abî Hanîfah, dan murid-muridnya.<!--[if !

supportFootnotes]-->[16]<!--[endif]-->

Sebagian kaum membenarkan persaksian setengah dari mereka terhadap

setengah yang lain ketika mereka itu adil. Ini diriwayatkan oleh ‘Umar bin al-Khathâb

dam ‘Umar bin ‘Abd al-‘Azîz, juga ditegaskan `Ishâq dan al-Muzanni. Imam al-Syâfi’I

membenarkan persaksian kedua mereka karena mereka berdua adalah orang lain (

<--[endif]--!>[17]<--[if !supportFootnotes]--!>.(َأجَّنبِي

Terdapat sebuah hadis riwayat Abû Daud seperti berikut:

ع*ن) م1وس*ى )ن1 ب )م*اْن1 *ي ل س1 *ا *َّن ح*د/َث bد اُش, ر* )ن1 ب م1ْح*م/د1 *ا *َّن ح*د/َث ع1م*ر* )ن1 ب ح*ف)ُص1 *ا *َّن ح*د/َثُّد/ ر* /م* ل و*س* )ه, *ي ع*ل /ه1 الل ص*ل/ى /ه, الل س1وِل* ر* ْن/

* َأ ج*دdه, ع*ن) ,يه, ب* َأ ع*ن) bب( ع*ي ُش1 )ن, ب ع*م)ر,و

)ت, *ي )ب ال ْه)ل,* َأْل, ,ع, )ق*اَن ال ه*اُّد*ة* ُش* ُّد/ و*ر* خ,يه,

* َأ ع*ل*ى )ْغ,م)ر, ال و*َذ,ي *ة, ,َّن اِئ )خ* و*ال ,ن, اِئ )خ* ال ه*اُّد*ة* ُش*. )ر,ْه,م) ,ْغ*ي ل ْه*ا ج*اَز*

* و*َأ

Hadis ini adalah hujjah bagi orang yang memperbolehkan kesaksiannya ayah

pada anaknya karena dia menarik kemanfaatan dengan kesaksiannya. Ini dikarenakan

sudah wataknya ayah cinta pada anaknya dan condong padanya.<!--[if !

supportFootnotes]-->[18]<!--[endif]-->

Selain dari surah al-Nisâ` ayat 138 ini, Surah al-Mâ`idah ayat 8<!--[if !

supportFootnotes]-->[19]<!--[endif]-->, Surah al-Hujjarât ayat 9<!--[if !

supportFootnotes]-->[20]<!--[endif]--> juga memiliki tafsiran yang sama.

Menurut catatan Imam Fakhr al-Dîn al-Râzî; Imam al-Syafi’i berkata tentang

persamaan hak dalam peradilan:<!--[if !supportFootnotes]-->[21]<!--[endif]-->

: الدخوِل فِي َأُشياء خمسة فِي الخِصمين بين يسوي َأْن للقاُضِي يَّنبْغِيوالْحَكم ، مَّنهما واالستماع ، عليهما واالقباِل ، يديه بين والِجلوِس ، عليه

عليهماTerjemahan: Sebaiknya bagi hakim itu memberi persamaan di antara kedua orang yang berperkara dalam lima hal, yaitu dalam masuk ke hadapannya, duduk di hadapannya, menerima keduanya, mendengar dari keduanya, dan menghukumi keduanya.

Page 18: TAFSIR AYAT

Imam Fakhr al-Dîn al-Râzî menegaskan inilah yang dimaksud dari firman

Allah SWT “ بالعeeدِل ُتْحَكمeeوا َأْن الَّنeeاِس بين حَكمتم if]--!>.”وِإَذا !supportFootnotes]--

>[22]<!--[endif]-->

C. Keadilan Tidak Hanya Bagi Orang Islam

Allah SWT berfirman dalam Surah al-Mâ`idah ayat 42 sebagai berikut:

)ه1م) ع*َّن ع)ر,ْض)* َأ و)* َأ *ه1م) )َّن *ي ب 1م) ف*اح)َك اء1وك* ج* ,ْن) ف*ِإ ,لس9ْح)ت, ل 1وْن* /ال ك

* َأ *ذ,ب, )َك ,ل ل م/اع1وْن* س*,ْن/ ِإ )ق,س)ِط, ,ال ب *ه1م) )َّن *ي ب 1م) ف*اح)َك *م)ت* ح*َك ,ْن) و*ِإ <ا )ًئ ي ُش* وك* *ض1ر9 ي *ن) ف*ل )ه1م) ع*َّن 1ع)ر,ْض) ُت ,ْن) و*ِإ

)م1ق)س,ِط,ين* ال 1ْح,ب9 ي /ه* اللTerjemahan: Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka Maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.

Sebab turunnya ayat ini adalah terhadap orang Yahudi. Adanya hakim dari

kalangan Yahudi ketika didatangi orang yang batil di dalam dakwaannya disebabkan

suap maka hakim itu tetap mendengarkan ucapan orang tersebut, dan percaya

terhadapnya. Hakim itu tidak berpaling dari pertikaiannya. Maka hakim ini memakan

barang haram dan mendengarkan sebuah penipuan. Dan adanya ahli fakir dari orang

Yahudi itu mengambil dari orang kaya Yahudi harta supaya menegakkan pada apa yang

mereka mau bagi golongan Yahudi. Mereka mendengarkan dari orang kaya Yahudi itu

penipuan-penipuan demi melariskan pemahaman Yahudi dan mencacatkan Islam. Ahli

fakir itu memakan uang haram yang mereka ambil dari mereka. Mereka mendengarkan

penipuan. Inilah yang ditunjukkan dengan firman Allah “ 1وْن* /ال *ك َأ *ذ,ب, )َك ,ل ل م/اع1وْن* س*

,لس9ْح)ت, Ada suatu pendapat bahwa ia dinisbatkan kepada mereka yang berpegangan .”ل

pada Taurat yang membuat mereka memakan riba sebagaimana firman Allah SWT: “

عَّنه َنهوا وقد الربوا <--[endif]--!>[23]<--[if !supportFootnotes]--!>.”وَأخذْهم

Menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaylî; ayat ini menunjukkan kaum Yahudi

menghukumi Nabi Muhammad SAW, kemudian Nabi menghukumi mereka dengan apa

yang ada di dalam kitab Taurat. Maka ketika ada “ الذمة mengangkat permasalahan ”َأْهل

Page 19: TAFSIR AYAT

kepada imam, maka jika yang mereka angkat itu berupa kezaliman seperti membunuh

dan lain-lain yang berhubungan dengan tindak pidana, maka imam harus menghukumi di

antara mereka dan melarang mereka menghukumi sendiri tanpa ada perbedaan pendapat

ulama.<!--[if !supportFootnotes]-->[24]<!--[endif]-->

Seumpama bukan berupa tindak pidana, maka imam diperkenankan memilih

sama ada menghukumi atau tidak menurut Imam Malik dan Imam al-Syafi’i. ini

berdasarkan ayat “ )ه1م) ع*َّن ع)ر,ْض)* َأ و)* َأ *ه1م) )َّن *ي ب 1م) ف*اح)َك اء1وك* ج* ,ْن) Menurut Imam al-Syafi’I .”ف*ِإ

tidak boleh menghukumi mereka bagi masalah hudud. Sedangkan menurut Abû Hanîfah

tetap menghukumi mereka dalam keadaan apa pun itu. ini berdasarkan ayat “ احَكم وَأْن

اللeeeeeه َأَنeeeeeزِل بمeeeeeا if]--!>”بيَّنهم !supportFootnotes]-->[25]<!--[endif]-->.<!--[if !

supportFootnotes]-->[26]<!--[endif]-->

Ayat ini juga menegaskan bolehnya proses abritase (tahkîm) di dalam Islam.

Menurut Imam al-Syafi’I, abritase itu boleh, akan tetapi ia tidak tetap. Hanya saja ia

adalah fatwa. Ini dikarenakan orang yang abritase tidak mengajukan perkara mereka ke

pemimpin atau para hakim. Mereka juga tidak mengambil kekuasaan hukum.Selain dari

itu, ayat “ للسْحت َأكلوْن للَكذب ini ”سمعوْن menunjukkan banyaknya orang Yahudi

mendengarkan kebohongan, dan banyaknya mereka makan harta haram seperti suap

dalam peradilan, mendengar ahli dukun, dan lain-lain yang telah disebutkan.Suap

diharamkan dalam hal apapun. Suap kadang terjadi di dalam menghukum dan peradilan.

Ia diharamkan bagi yang menyuap juga yang disuap. Nabi Muhammad SAW bersabda:

فِي – َأحمد رواه بيَّنهما يمَشِي الذي والراِئش والمرُتَشِي الراُشِي الله لعنصْحيح . حديث وْهو َثوباْن عن مسَّنده

Apabila hakim – yang disuap – seumpama menghukum terhadap penyuap dengan

apa yang hak, maka ia adalah fasiq, karena menerima suap untuk menghukumi

sesuai yang diingini. Seumpama dia sampai menghukum dengan kebatilan, maka

ia adalah fasiq juga, dikarenakan dia mengambil suap dan menghukum dengan

kebatilan.Suap juga kadangkala terjadi pada selain menghukumi dan peradilan,

semisal seseorang menyuap hakim agar dia menghilangkan kezaliman yang terjadi

terhadapnya. Maka suap ini adalah yang diharamkan terhadap penerimanya dan

Page 20: TAFSIR AYAT

tidak diharamkan terhadap pemberinya, seperti apa yang dikatakan hasan: “ بْأِس ال

عرُضه به يِصوْن ما ماله من الرجل يدفع Ketika adanya `Ibn Mas’ûd berada di .”َأْن

Etopia, beliau menyuap dengan dua dinar lalu berkata: “dosa hanya terhadap

penerima bukan pemberi