Upload
vukhanh
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TAFSIR SEMIOTIKA KEADILAN BERPOLIGAMI: STUDI PEMIKIRAN NASR
HAMID ABU ZAYD
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Disusun oleh:
NURUL FAUZIAH GUSMAYANTI
NIM: 1113034000136
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDYATULLAH JAKARTA
2018
i
ABSTRAK
Nurul Fauziah Gusmayanti
Tafsir Semiotika Keadilan Berpoligami: Studi Pemikiran Nasr Hâmid Abû
Zayd
Kajian ini mendiskusikan tentang semiotika keadilan berpoligami QS. (4):
3 dan 129 menurut Nasr Hâmid Abû Zayd berdasarkan perspektif semiotika Charles
Sanders Peirce, fokus kajian yang mendiskusikan bagaimana Abû Zayd membaca
wacana poligami sehingga berkesimpulan bahwa pernikahan dalam Islam adalah
monogami belum banyak dilakukan.
Dalam mendiskusikan kokus kajian di atas, penulis mengimplementasikan
tahap-tahap pembacaan semiotika Peirce sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan makna poligami dan juga keadilan secara umum
maupun keadilan pada ayat-ayat poligami.
2. Menganalisa, membaca juga mendeskripsikan wacana keadilan
berpoligami dengan menggunakan analisa semiotika Charles
Sanders Peirce dari redaksi ayat, asbabun nuzul dan juga mufassir
yang mewakili jamannya masing-masing (Al-Tabari, Al-Râzî,
Rasyîd Rida dan ‘Abduh) hal ini bertujuan untuk melihat fungsi
keadilan pada setiap-setiap jaman.
3. Mendeskripsikan pembacaan wacana keadilan berpoligami Abû
Zayd kemudian menganalisa dan membaca pembacaannya tersebut
dengan analisa semiotika Charles Sanders Peirce.
4. Melihat relevansi pembacaan Abû Zayd dengan para mufassir,
kemudian melakukan perbandingan antara mufassir dan Abû Zayd.
Penelitain deskriptif analitik ini menemukan bahwa argumentasi Abû Zayd
tentang penolakan poligami dan penawaran monogami sebagai alternatif konsep
pernikahan dalam Islam yang sesuai dengan semangat modernitas itu mengandung
kelemahan. Abû Zayd terkesan memaksakan untuk memahami term ( dan (تعدلوا
dalam satu makna yaitu keadilan yang mutlak tanpa membedakan makna (القسط)
keadilan material (القسط) dan makna keadilan immaterial ( Sementara .(تعدلوا
pembacaan peneliti dengan perspektif semiotika Peirce menemukan bahwa
perbedaan tersebut tidak terelakan, sehingga makna kedua term tersebut harus
dibedakan. Konsekuensinya poligami adalah bagian dari ajaran islam namun
dengan pemenuhan ketentuan dan syarat tertentu antara lain melindungi yang lemah
(anak yatim).
Kata kunci: Poligami, Keadilan, Abû Zayd, Semiotika Peirce
ii
ABSTRACT
Nurul Fauziah Gusmayanti
An Interpretation on Semiotics of Polygamy’s Justice: a study on Nasr Hâmid
Abû Zaid’s Perspective
The research discusses Semiotics of Polygamy’s Justice of QS. (4): 3 and
129 according to Nasr Hâmid Abû Zaid’s perspective on Charles Sanders Pierce’s
semiotics, in which its focus is to discuss how Abû Zaid reads and interprets
discourse of polygamy so that it takes conclusion that marriage in Islam based on
monogamous inclination is not yet done.
In discussing the focus of the research, the researcher implements the stages of
reading semiotics of Pierce as can be followed below:
1. to explain the meaning of polygamy and justice in general term as well as
justice in the verses of polygamy
2. to analyze, to read also to describe the discourse of polygamous justice by
using semiotic analysis of Charles Sanders Peirce from the verse content, its
historical revelation and also its interpreter’s which are representing their
respective time (Al-Tabarî, Al-Râzî, Rashîd Rida and ‘Abduh) and it aims
to see the function justice in every age.
3. to describe reading of discourse of polygamous justice according to Abû
Zaid and then to analyze and to read its interpreting based on Charles Sander
Pierce’s perspective.
4. to look at the relevance of Abû Zaid’s reading with other interpreters or
commentators of Quran and to compare their ideas with Abû Zaid’s
The descriptive analytic study finds that Abû Zayd's argument about refusal
of polygamy and offering of monogamy as an alternative to the concept of marriage
in Islam in accordance with the spirit of modernity has its weakness. Abû Zayd
seems to be impelled to understand the term (تعدلوا) and (القسط) in one sense that is
absolute justice without distinction between the meaning of material justice (القسط)
and the meaning of immaterial justice (تعدلوا). In addition to that, the researcher’s
reading based on Peirce's semiotic perspectives finds that the difference is
inevitable, so the meaning of both terms must be distinguished. Consequently
polygamy is part of the teachings of Islam but with the fulfillment of certain terms
and conditions, that is, to protect the weak (orphans)
Keywords: Polygamy, Justice, Abû Zayd, semiotic Pierce
iii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah swt., Dzat yang memberikan nikmat, yakni
hembusan nafas, pandangan mata, sehingga dapat memandang indahnya alam
semesta dan nikmat-nikmat lain yang tidak mampu dihitung oleh hamba-Nya.
Penulis panjatkan atas segala rahmat dan karunia-Nya. Ṣalawat serta salam
semoga selalu tercurahkan kepada sosok Raḥmatan li al-‘Âlamîn, cahaya di
atas cahaya, manusia paling sempurna, Nabi Muhammad saw., Rasul penutup
para Nabi, serta doa untuk keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga
zaman menutup mata.
Alḥamdulillâh, berkat rahmat dan ‘inayah Allah swt. penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini adalah karena keterlibatan
berbagai pihak yang jika tanpanya karya ini tidak akan terwujud. Kepada
beliau-beliau penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya.
Melalui upaya dan usaha yang melelahkan, akhirnya dengan limpahan
karunia-Nya lah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-
baiknya. Berbagai kesulitan, cobaan dan hambatan yang penulis rasakan
dalam penyusunan skripsi ini, alḥamdulillâh dapat teratasi berkat tuntunan
serta bimbingan-Nya dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosada, MA., selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
iv
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA., selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
beserta para pembantu Dekan.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir dan Ibu Drs. Banun Bina Ningrum, M. Pd., selaku
Sekretaris Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
4. Segenap jajaran dosen dan civitas akademik Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, terkhususnya jurusan Tafsir Hadis yang
dengan ikhlas dan tulus serta penuh sabar dalam mencurahkan dan
mendidik pada saya selama menimba ilmu di kampus tercinta ini.
5. Bapak Dr. Kusmana, MA., Ph.D, selaku dosen pembimbing skripsi
yang selalu memberikan didikasinya kepada penulis, bersabar
memberikan ilmu dan bimbingannya selama penulis berada di bawah
bimbingannya. Juga melalui beliau, tumbuh ide-ide baru, pemikiran
baru, sehingga penulis semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Kedua orang tuaku tercinta, ayahanda Agusman dan ibunda
Oktaviyanti yang telah mengarahkan, dengan penuh kasih sayang tanpa
pamrih, tak pernah lelah dan tak bosan dalam memberikan dukungan
moral maupun materil, serta do’a dan semangat yang selalu membanjiri
hati buah hatimu ini.
7. Adik-Adikku tercinta Nurul Desiana, Nurul Fadhila, dan Nurul Az-
Zahra, yang mana kalian selalu memberikan motivasi dan dukungan
lahir dan batin dalam penulisan skripsi ini.
v
8. Sahabat-sahabtku Wulan, Shafa, Adit, Shafer, Tuffa dan delela yang
selalu memberikan semangat dan meyakinkan penuils untuk
menyelesaikan skripsi ini.
9. Sahabat seperjuangaku Dewi Aprilia Ningrum dan Sadam Husein yang
telah memberikan support serta doanya dalam menyelesaikan tugas
akhir ini.
10. Seluruh teman-teman Jurusan Tafsir Hadits angkatan 2013 terutama
Ubaidillah Khan, Salman, Rino, dan Jaharatul Nabila, Arimah, Sherly,
Nurul Ihya terima kasih atas doa kalian dan dukungan kalian yang
semua nama-nama tidak saya sebutkan satu persatu.
11. Teman-teman dari KKN SANUBARI khususnya WANITA
TANGGUH SANUBARI; Revi, Oki, Delila, Fifi, dan Hani yang selalu
memberikan motivasi kepada saya.
12. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dan berperan dalam proses
penyelesaian skripsi ini, namun luput untuk penulis sebutkan, tanpa
mengurangi rasa hormat dan terima kasih penulis.
Akhir kata penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan
skripsi ini masih terdapat kekurangan dan bahkan tidak menutup
kemungkinan di dalamnya skripsi ini terdapat kekeliruan dan kesalahan. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritik dan sarannya untuk penulis yang
lebih baik lagi kedepannya dan harapan penulis semoga skripsi ini sedikit
banyak dapat bermanfaat bagi pembaca dan semoga Allah swt. selalu
vi
memberkahi dan membalas semua kebaikan pihak-pihak yang turut serta
membantu penyelesaian skripsi ini.
Âmîn yâ Rabb al-Âlamîn.
Ciputat, 11 Januari 2018
Nurul Fauziah Gusmayanti
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada
buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013/2014.
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
ts te dan es ث
j je ج
h h dengan garis di bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
ḏ de dengan garis di bawah ض
ṯ te dengan garis di bawah ط
ẕ zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
viii
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
apostrof ` ء
y ye ي
2. Vokal Tunggal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal
alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A fathah
I kasrah
U ḏammah و
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ي
au a dan u و
ix
3. Vokal panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a a dengan topi di atas ا
i i dengan topi di atas ي
u u dengan topi di atas و
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh: al-syamsiyyah bukan asy-
syamsiyyah, al-rijâl bukan ar-rijâl.
5. Tasydîd
Huruf yang ber-tasydîd ditulis dengan dua huruf serupa secara berturut-
turut, seperti السنة = al-sunnah.
6. Ta marbūṯah
Jika ta marbūṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf
tersebut dialih-aksarakan menjadi huruf /h/, seperti أبوهريرة = Abū Hurairah.
7. Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang,
maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,
bukan huruf awal atau kata sandangnya, seperti البخاري = al-Bukhâri.
x
DAFTAR ISI
ABSTRAK…………………………………………………………………………i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………iii
PEDDOMAN TRASLITRASI…………………………………………………...vii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………x
BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………………..1
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………...1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………..16
C. Batasan Masalah………………………………………………………….18
D. Tujuan dan Manfaat………………………………………………………19
E. Metodologi Penelitian……………………………………………………20
F. Kajian Pustaka……………………………………………………………23
G. Sistematika penulisan…………………………………………………….25
BAB II. Konsep Keadilan dalam al-Qur’an: Makna Terma dan
Tafsir…….............................................................................................................27
A. Pengertian Keadilan………………………………………………………27
B. Adil dalam al-Qur’an……………………………………………………..30
1. Secara Umum…………………………………………………….30
2. QS. An-Nissa ayat 3 dan 129……………………………………..35
C. Penafsiran keadilan dalam QS. An-Nissa ayat 3 dan 129............................41
1. Teks, Terjemahan dan Asbabun Nuzul QS. An-Nissa (4): 3 dan
129………………………………………………………………..41
2. Tafsir Ath-Thabari …………………………………….………....46
xi
3. Tafsir Ar-Razi ……………...........................................................49
4. Tafsir Al-Manar …………………………………….…………....52
BAB III. Nasr Hamid Abu Zaid dan Charles Sanders Peirce: Riwayat Hidup
dan Pemikiran ......................................................................................................60
A. Nasr Hamid Zaid ........................................................................................60
1. Riwayat Hidup ...............................................................................60
2. Pemikiran .......................................................................................67
B. Charles Sanders Peirce ...............................................................................77
1. Riwayat Hidup ...............................................................................77
2. Pemikiran .......................................................................................78
C. Aplikasi Semiotika dalam Kajian Tafsir ....................................................84
1. Aplikasi Semiotika dalam Kajian Tafsir Secara Umum…………84
2. Aplikasi Semiotika Charles Sanders Peirce Secara Umum……...87
3. Aplikasi Semiotika Charles Sanders Peirce atas Penafsiran QS. An-
Nissa (4): 3 dan 129 ……………………………………………..89
BAB IV. Aplikasi Semiotika Al-Qur’an Charles Sanders Peirce atas
Pemikiran Nasr HamidAbu Zayd tentang Poligami………………………...114
A. Metodologi ..............................................................................................114
B. Aplikasi Teori Charles Sanders Peirce Atas pemikiran Nasr Hamid Abu
Zayd tentang Keadilan………………………………………………….120
C. Relevansi Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid dengan Mufassir
lain............................................................................................................121
BAB V. PENETUP .............................................................................................130
A. Kesimpulan ………………………………………………………….….130
B. Saran …………………………………………………………………....133
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Semiotika, yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the
study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem
apa pun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-
tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna. Jika kita mengikuti Charles S., maka
semiotika tidak lain dari pada sebuah nama lain bagi logika, yakni “doktrin formal
tentang tanda-tanda” (the formal doctorine of signs); sementara bagi Ferdinand de
Saussure, semilogi adalah sebuah ilmu umum tentang tanda, “suatu ilmu yang
mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat” (a scince that studies the life of
signs within society).1
Dengan demikan, bagi Peirce semiotika adalah suatu cabang dari filsafat;
sedangkan bagi Saussure semilogi adalah bagian dari disiplin ilmu psikoligi sosial. Di
dalam perkembangan selanjutnya semiotika telah banyak dipengaruhi oleh
strukturalisme dan pasca kulturalisme seperti, misalnya, antropologi struktural Claude
Levi-Strauss, neo-Marxisme Louis Althusser, “arkeologi” Micheal Foucault, Neo-
Freudianisme Jacques Lacan, seta gramatilogi Jacques Derridda.2
Baik istilah semiotika maupun semiologi dapat digunakan untuk merujuk
kepada ilmu tentang tanda-tanda (the science of signs) tanpa adanya perbedaan
1 Kris Budiman, Semiotika Visual: konsep, Isu, dan Problem Ikonitas (Yogyakarta: Jalasutra,
2011), h. 3. 2 Budiman, Semiotika Visual…., h. 3.
2
pengertian yang terlalu tajam. Satu-satunya perbedaan diantara keduanya, menurut
Hawkes, adalah bahwa istilah semiologi lebih banyak dikenal di Eropa yang mewarisi
tradisi linguistik Saussurean; sementara istilah semiotika cenderung dipakai oleh para
penutur inggris atau mereka yang mewarisi tradisi Peircian.3 Semiotika pada dasarnya
dapat dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan (branches of inquiry), yakni
sintaktik, semantik, dan pragmatik.4
Semiotika adalah cabang ilmu yang mengkaji tentang tanda-tanda. Ilmu ini
menganggap bahwa fenomena sosial dan kebudayaan merupakan sekumpulan tanda-
tanda. Secara garis besar, ranah kajian semiotika dibagi menjadi dua, semiotika
signifikasi yang dimotori oleh Ferdinand de Saussure dan semiotika komunikasi yang
dimotori oleh Charles Sanders Peirce. Semiotika signifikasi ditekankan pada aspek
hubungan antara penanda dan petanda, sedangkan semiotika komunikasi ditekankan
pada aspek komunikasi. Semiotika mengkaji sistem-sistem, aturan-aturan atau
konvensi-konvensi yang memungkinkan suatu tanda dalam masyarakat memiliki arti,
sehingga semiotika pun memiliki ranah kajian yang begitu luas.5
Al-Quran dengan menggunakan bahasa sebagai media merupakan lahan subur
bagi kajian semiotika. Semiotika al-Quran dapat didefinisikan sebagai cabang ilmu
3 Budiman, Semiotika Visual…., h. 3.
4 Budiman, Semiotika Visual…., h. 3. 5 Ali Imron, Semiotika Al-Qur’an: Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf (Yogyakarta:
Teras, 2011), h. 33-34.
3
semiotika yang mengkaji tanda-tanda dalam al-Quran, diantaranya: kalimat, kata atau
huruf, dan totalitas struktur di dalamnya. Dalam kaitannya dengan hal di atas,6 Arkoun
mendasarkan sebuah hipotesis sebagai berikut: al-Quran mengandung sejumlah
pemaknaan potensial yang diusulkan kepada segala manusia. Pada tahap pemaknaan
ini, al-Quran mengacu pada agama transejarah yang tahap pemaknaannnya
diaktualisasikan dalam doktrin teologis, yuridis, filsafat, politis, etis, dan sebagainya
yang kurang lebih telah dirasuki oleh makna transendensi.7
Pembacaan semiotik tidak hanya menganalisis tanda-tanda dan mencari
tingkatan makna yang ada. Dalam kajian semiotika komunikasi, tanda-tanda tersebut
merupakan wahana untuk komunikasi. Semiotika al-Quran dapat menjadi cabang
bidang penerapan semiotika karena didalamnya terdapat tanda-tanda yang memiliki
arti. Anggapan seperti ini mempunyai implikasi bahwa al-Quran (tanda dan bahasanya)
dipandang sebagai sesuatu yang profan. Namun, anggapan seperti ini juga bukan
berarti menafikan sakralitas al-Quran dalam arti yang sebenarnya.8
Menganggap bahasa Arab seperti bahasa-bahasa di dunia pada umumnya
sebagai sebuah produk budaya memiliki sistem tanda yang menarik untuk dikaji.
Pandangan seperti ini menganggap al-Quran dengan bahasa Arabnya merupakan
sebuah tanda sehingga untuk menemukan arti (meaning) dan makna (sense) harus
dikaji sistem tanda yang ada didalamnya. Konsep-konsep yang berada di balik sistem
6 Ali Imron, Semiotika Al-Qur’an: Metode…., h. 33.
7 Muhammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru
(Jakarta: INIS, 1994)., h. 12. 8 Imron, Semiotika Al-Qur’an…., h. 22.
4
tanda pada bahasa al-Quran dicari dengan meneliti pola hubungan antara penanda dan
petanda.9
Pembacaan terhadap al-Quran dilakukan melalui dua tahap, yaitu pembacaan
heuristik dan pembacaan retroaktif. Pembacaan heuristik adalah pembacaan
berdasarkan konvensi bahasa, atau berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat
pertama. Pembacaan retroaktif adalah pembacaan berdasarkan sistem semiotik tingkat
kedua, atau berdasarkan konvensi di atas konvensi bahasa. Dua tahapan pembacaan di
atas menghasilkan tingkatan makna yang berbeda. Dapat pula dikatakan bahwa
pembacaan heuristik adalah pembacaan secara semantik, sedangkan pembacaan
retroaktif adalah pembacaan secara hermeneutik.10
Saat ini telah banyak pemikir muslim yang mencoba menafsirkan al-Quran dan
juga mencoba menjawab permasalahan-permasalahan umat Islam di zaman ini dengan
menggunakan metode hermeneutika dan juga semiotika seperti Muhammad Arkoun,
Nasr Hâmid Abû Zayd, Fazlur Rahmȃn, Amina Wadud, dan masih banyak lagi. Setelah
penulis membaca berbagai macam penafsiran dan juga pemikiran para pemikir muslim
tersebut, ada beberapa kesamaan dari mereka yaitu walaupun mereka menggunakan
teori hermaneutik atau semiotik yang berbeda, namun hampir sebagian besar dari
mereka mencoba menjawab permasalahan ummat mengenai poligami, datang dengan
jawaban yang sama yaitu menolak poligami dengan berbagai macam argumen mereka
9 Imron, Semiotika Al-Qur’an…., h. 31.
10 Imron, Semiotika Al-Qur’an…, h. 45.
5
masing-masing. Beberapa dari mereka tergolong dalam feminis muslim seperti Fazlur
Rahmȃn, Amina Wadud, dan Nâsr Hamid Abû Zayd.
Di antara sekian banyak tema mengenai relasi laki-laki dan perempuan yang
mendapatkan perhatian cukup serius dari feminis muslim adalah masalah poligami.
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani. Secara etimologis, poligami merupakan
derivasi dari kata apolus yang berarti banyak, dan gamos yang berarti istri atau
pasangan. Poligami bisa dikatakan sebagai mempunyai istri lebih dari satu secara
bersamaan.11 Adapun secara terminologis, poligami dapat dipahami sebagai suatu
keadaan di mana seorang suami memiliki istri lebih dari satu orang. Seorang suami
yang berpoligami dapat saja beristri dua orang, tiga orang, empat orang, atau bahkan
lebih dalam waktu bersamaan.12
Perdebatan seputar poligami yang selama ini terjadi, telah menyita perhatian
umat Islam, karena poligami dihubungkan dengan budaya Islam bahkan sunnah Nabi.
Secara historis praktek poligami sudah ada semenjak zaman pra-Islam. Poligami
dipraktekkan secara luas dikalangan masyarakat Yunani, Persia dan Mesir kuno. Di
Jazirah Arab sendiri sebelum Islam, masyarakat telah mempraktekkan poligami,
bahkan poligami yang tidak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata
11 Nasharuddin Baidan, Tafsir bi al-Ra’yi: Upaya penggalian konsep perempuan dalam al-
Qur’an : Mencermati Konsep Kesejajaran perempuan dalam al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), cet. I., h. 94. 12 Rodli Makmun, dkk., Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur (Ponorogo: STAIN
Ponorogo Press, 2009)., h. 15.
6
pemimpin suku ketika itu memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku
mempunyai istri sampai ratusan.13
Hampir semua agama mengakui keberadaan poligami, karena poligami sudah
dikenal oleh banyak kelompok masyarakat tertentu yang terdiri dari bangsa-bangsa,
bahkan agama katolik pun sebelum adanya konsili Vatikan, masyarkat Roma kuno
menganut poligami. Hal ini bisa terjadi karena beberapa aturan bagi perempuan
diantaranya, perempuan harus di bawah penjagaan dan perwalian laki-laki selama
hidupnya, serta tidak memiliki hak kepemilikan terhadap harta. Munculnya tradisi
monogami di Roma merupakan salah satu dampak dari peralihan sistem Negara yang
menjadi Republik, perubahan tersebut juga berdampak pada aturan yang mengurus
tentang hak dan tanggung jawab perempuan, diantaranya perempuan aristrokat
memiliki hak untuk mengajukan bercerai, perempuan Roma juga berhak atas
kepemilikan hartanya sendiri termasuk juga warisan.14
Sebenarnya tidak ada masalah baru dalam Islam, praktek poligami sesuai yang
disampaikan di atas, sudah ada semenjak zaman pra Islam. Namun yang perlu
diperhatikan adalah pembaharuan jika sekarang ini poligami menjadi masalah
kontemporer dalam Islam. Perbedaan penafsiran terhadap ayat poligami menyebabkan
silang pendapat diantaranya mempersoalkan syarat mutlak yang harus dipenuhi
poligami, yakni adil, yang dinukil dari surat al-Nisâ’ ayat 3. Kalangan tradisionalis
13 Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007).,
h. 45. 14 Iswanti, “Menimbang Perkawinan Monogami Dalam Agama Katolik”, Jurnal Perempuan
edisi 31, (2003)., h. 49.
7
beranggapan bahwa poligami merupakan perintah dan penekanan pada syarat untuk
adil pada surat al-Nisâ’ ayat 3, perintah itu adalah kewajiban masing-masing individu
yang berpoligami, sementara kalangan modernis beranggapan bahwa teks poligami
harus mempertimbangkan syarat mutlak adil yang berlandaskan kemaslahatan.
Poligami lahir dari kebudayaan yang tidak memiliki pemahaman kesetaraan,
dan cara berfikir patriarki sehingga cenderung memposisikan perempuan di bawah
otoritas kaum laki-laki, dengan tidak mengutamakan hak dan kebutuhan perempuan
secara adil. Sementara menikah adalah bersatunya dua insan yang memiliki
kesepakatan untuk hidup bersama dengan penuh cinta kasih demi terwujudnya
kemaslahatan yang diridhoi Allah, dan memuat semangat kesetaraan atas hak dan
kebutuhan. Syarat adil, yang dimaknai pada ayat tersebut bukan sekaligus sebagai
anjuran untuk berpoligami, hal tersebut dapat dilihat pada asbâb al-nuzûl (asbâb al-
wurûd) turunnya ayat tersebut.15
Untuk menjadi sebuah aturan, pemaknaan adil sebagai syarat dalam poligami
haruslah memiliki kajian yang komprehensif, sehingga tidak menimbulkan mudharat
dalam penerapannya. Konsep adil dalam poligami mengandung dua unsur jenis
keadilan, yakni keadilan etis, merupakan keadilan yang berlandaskan terhadap
kebajikan tertinggi yang menentukan perilaku manusia serta keadilan teologis yakni
keadilan yang sesuai dengan doktrin yang ditetapkan oleh para teolog berkaitan dengan
kehendak Allah. Artinya makna adil harus ditinjau dari semua aspek.
15 Musdah Mulia, Menggugat Poligami…., h. 46.
8
Dalam ayat-ayat poligami16 terdapat dua kata yang maknanya saling berdekatan
yaitu al-‘adl dan al-qisth yang dalam mayoritas terjemah al-Quran dan beberapa
literatur kitab tafsir kedua kata tersebut diartikan dengan satu kata saja yaitu adil, dan
makna adil di sini juga tidak hanya menempatkan sesuatu pada tempatnya, tapi ada
beberapa makna lain yang apabila ditelisik dalam kamus-kamus Arab, kitab akhlak dan
dilihat dari sisi penggunaannya dalam al-Quran masing-masing kata tersebut memiliki
signifikansi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sehingga untuk
mendapatkan makna yang lengkap dan komprehensif, perlu dilakukan kajian
mendalam tentang kedua kata tersebut berserta penggunaanya dalam al-Quran. Dalam
hal membedakan makna kata, perhatian terhadap makna kata juga telah dilakukan sejak
periode awal Islam, yaitu oleh para ahli bahasa Arab. Kaum muslim pada mulanya
ketika menghadapi kesulitan dalam memahami makna kata-kata asing dalam al-Quran,
mereka mencari referensi.
Makna kata tersebut dalam warisan sastra jahiliyah, khususnya puisi.17 Salah
satu ulama yang pertama kali dianggap telah melakukan evaluasi makna kata dengan
metode linguistik dalam proses penafsiran al-Quran adalah Ibn ‘Abbâs. Pada masanya
proses pengujian keotentikan arti dan pemantapan otoritas makna yang berhubungan
dengan kata-kata, bahasa, serta sastra arab klasik telah dimulai18. Dipilihnya kata al-
‘adl dan al-qisth karena kedua kata tersebut memainkan istilah penting dalam struktur
16 Q.S. Al-Nisâ’ ayat 3 dan 129 17 Sugeng Sugiyono, Lisan dan Kalam Kajian Semantik al-Qur’an (Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga Press, 2009)., h. 2.
18 Sugiyono, Lisan dan Kalam…, h. 2.
9
konsep linguistik dalam al-Quran yang sering tidak dipahami banyak orang. Pada
umumnya orang memahami al-‘adl dengan keadilan, begitu juga dengan al-qisth
dipahami dengan maka serupa. Padahal antara satu kata dengan kata yang lainnya
dalam al-Quran tidak bisa saling menggantikan, sehingga pada dasarnya masing-
masing kata tersebut memiliki makna yang berbeda namun jika dikonversikan ke dalam
bahasa Indonesia belum ditemukan padanan kata yang tepat. Oleh karena itu dalam
kerangka memahami makna kata al-‘adl dan al- qisth dengan pendekatan linguistik
diperlukan suatu proses yang tidak sederhana dan mudah. Oleh sebab itu diperlukan
semantik sebagai metode kajiannya. Problem ini diajukan untuk menemukan jawaban
tentang makna deskriptif dari masing-masing kata al-‘adl dan al-qisth.
Syaikh Muhammad ‘Abduh adalah salah satu dari sedikit ulama yang
mengharamkan poligami, dengan alasan bahwa syarat yang diminta adalah berbuat
adil, dan itu tidak mungkin bisa dipenuhi manusia seperti dinyatakan dalam QS. Al-
Nisâ: 129. ‘Abduh yang mantan Syaikh Al-Azhâr ini menjelaskan tiga alasan haramnya
poligami:
Pertama, syarat pertama poligami adalah berbuat adil, syarat ini mustahil bisa
dipenuhi seperti yang dikatakan dalam QS. Al-Nisâ: 129. Kedua, buruknya perlakuan
para suami yang berpoligami terhadap para istrinya, karena mereka tidak dapat
melaksanakan kewajiban memberi nafkah lahir dan batin secara baik dan adil. Dan
Ketiga, dampak psikologis anak-anak hasil poligami, mereka tumbuh dalam kebencian
dan pertengkaran karena ibu mereka bertengkar baik dengan suami atau dengan istrinya
10
yang lain. (Al-‘Amal Al-Kamilah/ Imâm Syaikh Muhammad ‘Abduh, Kairo, Dâr Asy-
Syurûq, 1933, II: 88-93).19
Argumen ‘Abduh inilah yang sering diusung oleh kaum sekuler liberal, untuk
menolak poligami, disamping dalih utama mereka adalah HAM dan Gender Equality
(Kesetaraan Gender). Padahal keadilan yang mustahil bisa dilakukan manusia bukan
keadilan dalam segala hal, seperti yang dikatakan sahabat Ibnu ‘Abbâs, yaitu keadilan
dalam hal mahabbah dan ghirah kepada istri-istri. Yang di tuntut oleh QS. Al-Nisâ: 129
adalah keadilan dalam memberi nafkah. “adil” juga tidak identik dengan “sama rata”.20
Selain, Muhammad ‘Abduh, Nasr Hâmid Abû Zayd (selanjutnya ditulis Abû Zayd)
juga merupakan salah satu cendikiawan muslim yang paling artikulatif menjelaskan
tentang isu poligami, terkait dengan ayat poligami.21
Abû Zayd mendiskusikannya dalam konteks kajiannya terhadap perundang-
undangan Tunisia yang menjadikan poligami sebagai tindakan kriminal.22 Dalam hal
ini, Abû Zayd menguraikan penafsirannya atas ayat tersebut dalam tiga langkah.
Pertama, konteks teks itu sendiri. Abû Zayd memulai kajiannya dengan
mempertanyakan “hilangnya” hukum menggauli “budak yang kamu miliki” (wa mâ
malakat aymânukum) di kalangan para Islamis sementara tetap mempertahankan
19 Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara jodoh, poligami dan perselingkuhan (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2007)., h. 119. 20 Jaiz, Wanita antara jodoh…, h. 119-120. 21 QS. Al-Nisâ’ (4): 3 dan 129. 22 Dalam perundang-undangan Tunisia dinyatakan bahwa laki-laki yang menikah padahal ia
dalam keadaan beristri dan akad nikah sebelumnya belum rusak, maka ia dihukum kurungan satu tahn
dan (dianggap) berhutang sebesar 24.000 Frank atau dihukum dengan salah satu jenis dari kedua jenis
hukuman itu walapun perkawinan barunya itu belum terjalin sesuai dengan hukum undang-undang.
Lihat Nur Ichwan dan Moch Syamsul Hadi, Dekontruksi Gender: Wacana Krtik Perempuan dalan Islam
(Yogyakarta: Samba, 2003)., h. 238.
11
praktek poligami, padahal teks tersebut memiliki tingkat kejelasan yang sama dengan
teks maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu sukai: dua, tiga, atau empat.
Bagi Abû Zayd, jawaban kalangan Islamis mengenai hal ini memperlihatkan kerancuan
cara pandang mereka bukan hanya terhadap teks tetapi terhadap kehidupan secara
umum.23
Abû Zayd menunjukkan hilangnya kesadaran historis dikalangan para Islamis
dalam memahami teks di atas. Menurutnya “hilangnya” hukum menggauli budak
perempuan ini diniscayakan oleh perjalanan kehidupan dan realitas manusia melalui
perjuangan untuk mengembalikan kebebasan mereka sebagai manusia merdeka. Dalam
konteks seperti ini pula poligami mestinya ditempatkan. Menurut Abû Zayd,
pembolehan poligami sampai dengan empat orang istri harus dipahami dan ditafsirkan
dalam konteks karakter hubungan-hubugan kemanusiaan khususnya hubungan laki-
laki dan perempuan di dalam masyarakat Arab pra-Islam. Dengan cara demikian, akan
terlihat bahwa pembolehan poligami merupakan “penyempitan” (taqyîd) terhadap
kepemilikan dan pengkondisian perempuan dalam masyarakat Arab pra-Islam,
khususnya jika perempuan itu berasal dari kelas sosial yang rendah.24
Selain itu, berbeda dengan tradisi poligami sebelum Islam yang tidak tunduk
terhadap parameter apa pun, termasuk mengenai jumlah isteri yang boleh dinikahi,
Islam membatasi parameter kaidah-kaidah adat yang tak terbatas untuk mencegah
pelechan terhadap perempuan. Dalam tradisi Arab sebelum Islam, perkawinan
23 Ichwan dan Hadi, Dekontruksi Gender…, h. 267-271. 24 Ichwan dan Hadi, Dekontruksi Gender…, h. 268.
12
poligami tidak dibatasi jumlahnya. Dalam konteks seperti inilah ayat tentang poligami
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Bagi Abû Zayd, interpretasi yang
dilakukan untuk membolehkan perkawinan poligami merupakan upaya untuk kembali
meletakkan dominasi laki-laki dan kesemena-menaanya terhadap eksistensi
perempuan.25
Dengan demikian, kebolehan perkawinan poligami hingga dengan empat isteri
secara historis lebih merupakan transisi (naqlah) dalam rangka pembebasan perempuan
dari keterkaitannya dengan laki-laki. Karena hal itu merupakan transisi ke arah
penyempitan, maka pembatasan nikah dengan satu perempuan dinilai sebagai transisi
alamiah (naqlah tabi’iyah) sejalan dengan cara yang sebelumnya ditempuh oleh
Islam.26
Kedua, konteks al-Quran secara keseluruhan. Hal ini dilakukan Abû Zayd
untuk mengungkapkan dimensi makna yang sangat penting dari teks, yaitu sesuatu
yang tersembunyi (al-mudmar) atau disembunyikan (al-maakut ‘anh). Dalam kaitan
ini, Abû Zayd meletakkan syarat keadilan sebagaimana tercantum dalam teks “Dan jika
kamu takut tidak bisa berlaku adil maka kawinilah seorang perempuan saja” sebagai
hal yang niscaya. Namun, dengan mengaitkan keniscayaan syarat keadilan itu dengan
teks “Dan kamu sekalian tidak akan bisa berlaku adil terhadap isteri-isteri kamu
walaupun kamu sangat menginginkannya,” Abû Zayd menegaskan bahwa al-Quran
25 Nasr Hâmid Abû Zayd, Dâwair al-Khawf: Qirâ’ah fî Khitâb al-Mar’ah (Beirut: al-Markaz
al-Saqâfî al-‘Arabî, 1999)., h. 217. 26 Moch. Nur Ichwan “Meretas Keserjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr
Hâmid Abû Zayd (Bandung: Teraju, 2003)., h. 140.
13
sesungguhnya memastikan sikap dan hampir mengabaikan (membatalkan) perkawinan
poligami.27
Penjelasan linguistik terhadap ayat di atas28, menurut Abû Zayd, menegaskan
bahwa syarat keadilan terhadap para isteri secara mutlak adalah tidak mungkin. Hal ini
terlihat dari struktur kalimat kondisional dalam fa in khiftum allâ ta’dilû fa wâhidah
kemudian melalui penggunaan adat al-syart “law” yang berfaedah untuk menghalangi
terjadinya akibat (jawâb) karena keterhalangan terjadinya syart. Kata “lan” yang
dipakai di awal teks (wa lan tastathî’û an ta’dilû bayna al-nisâ’ wa law harashtum)
menegaskan terjadinya suatu kejadian untuk masa sekarang dan masa yang akan datang
secara bersamaan. Dari sini Abû Zayd menegaskan bahwa jawâb al-syart dengan “lan”
yang didahulukan atas fi’il al-syart dengan “law” menegaskan ketidakmungkinan
ganda (al-nafy al-murakkab) pada level makna: ketidakmungkinan untuk bertindak adil
selamanya (nafy abadî) kepada dua isteri atau lebih dan ketidak mungkinan seorang
suami berkeinginan untuk berbuat adil kepada mereka.29
Selain itu, keadilan adalah prinsip esensial (al-mabda’) dalam Islam, sementara
itu poligami yang hanya berada dalam batas hukum kebolehan (al-ibâhah) tidak akan
naik menjadi prinsip. Poligami dalam hal ini hanyalah kejadian parsial relatif yang
dikondisikan oleh syarat-syarat yang bisa berubah-ubah karena darurat. Dengan
demikian, jika hukum ternyata bertentangan dengan prinsip maka hukum itu harus
“dikorbankan” (Idza ta’arada al-hukm ma’a al-mabda’ falâ budda al-tadhiyah bi al-
27 Ichwan dan Hadi, Dekontruksi Gender…., h. 271-273. 28 Q.S Al-Nisâ’ ayat 3 dan 129. 29 Ichwan dan Hadi, Dekontruksi Gender…., h. 272.
14
hukm). Dari analisis ini, Abû Zayd menegaskan bahwa hampir-hampir al-Quran secara
diam-diam atau implisit sebenarnya mengharamkan poligami.30
Abû Zayd menegaskan ketidaksetujuannya terhadap pandangan klasik yang
menyebut poligami saat ini dalam kategori kebolehan (al-ibâhah). Penjelasam Abû
Zayd menempatkan pembatasan poligami menjadi maksimal empat perempuan oleh
al-Quran sebagai bentuk penyempitan (al-taqyîd) terhadap poligami masyarakat Arab
pra-Islam yang tak terbatas. Penyempitan itu bertujuan untuk meluruskan hukum-
hukum sosial yang tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat atau tidak sejalan
dengan kesadaran yang ingin direalisasikan oleh al-Quran.31
Dengan demikian, poligami tidak bisa dimasukkan dalam kategori “al-
mubâhat” sebagaimana yang terdapat dalam fikih klasik. Oleh karenanya,
mengabaikan (membatalkan) perkawinan poligami tidak bisa disebut mengharamkan
hal-hal yang diperbolehkan oleh agama. justru mengabaikan poligami menjadi
perkawinan monogami (perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan saja)
merupakan bentuk “penyempitan” yang lain untuk disesuaikan dengan perkembangan
masyarakat. Dengan kata lain, “penyempitan” seperti ini bukan termasuk dalam
kategori hukum keagamaan (al-ahkâm al-dîniyyah) melainkan berada dalam hukum
kemasyarakatan (al-ahkâm al-madaniyyah).32
30 Abû Zayd, Dâwair al-Khawf…., h. 288-290. 31 Ichwan dan Hadi, Dekontruksi Gender…., h. 273. 32 Ichwan dan Hadi, Dekontruksi Gender….., h. 275-276.
15
Sebagai gantinya, Abû Zayd membangun penafsirannnya mengenai poligami
dalam kerangka pemikiran yang dipinjam dari ‘Adil Dahir. Dalam artikelnya yang
berjudul “An- La Ma’qul fî al-Harakat al-Islâmiyah al-Mu’âsirah”, Dahir membuat
pembedaan antara “al-mabda’” (prinsip), “al-qaidah” (kaidah), dan “al-hukm”
(hukum). Diantara contoh dari “al-mabda’” adalah keadilan, kebebaasan, hak hidup,
kebahagiaan. “al-qaidah” yang memiliki cakupan lebih sempit dari “al-mabda’”
dicontohkan dengan larangan mencuri, larangan berzina, larangan bersumpah palsu,
larangan menyusahkan orang lain, dan lain-lain yang jika dilakukan bisa merusak nilai-
nilai dalam “mabda’”, sedangkan “hukm” merupakan hal-hal yang kebolehannya
disebut dengan “al-darûrah”.33
Dalam konteks poligami, keadilan adalah mabda’. Sementara untuk memiliki
sampai empat isteri adalah hukm. Hukm tidak bisa menjadi qaidah apalagi menjadi
mabda’. Hukm adalah peristiwa spesifik dan relatif, tergantung pada perubahan kondisi
yang melingkupinya. Ketika terdapat kontradiksi antara mabda’ dan hukm, yang
terakhir ini haruslah dikalahkan untuk mempertahankan yang pertama. Walau al-Quran
tidak memerintahkan untuk mempertahankan yang pertama.34
Al-Quran tidaklah menetapkan hukm (tasyir) terkait dengan masalah poligami,
naun memang mengungkapkan sebuah limitasi terhadap poligami. Abû Zayd
berpendapat bahwa al-Quran melarang poligami secara tersamar (al-tahrîm al-dimmi).
33 Ichwan dan Hadi, Dekontruksi Gender…., h. 275-276. 34 Ichwan dan Hadi, Dekontruksi Gender…., h. 275-276.
16
Pada langkah ketiga, berdasarkan atas kedua langkah diatas Abû Zayd
mengusulkan pada sebuah pembahaaruan hukum Islam. Berdasarkan atas distingsi
‘Adil Dahir di atas, bahwa poligami haruslah diperlakukan sebagai hukm, yang tidak
dapat menjadi sebuah kaidah, apalagi mabda. Keadilanlah yang dapat menjadi mabda
yang harus dipertahankan dalam level kaidah dan hukum. Walaupun Abû Zayd
memberikan konklusi yang mengambang tentang argumennya tentang poligami ini
namun larangan pelarangan secara tersamar di atas, dan poligami sebagai hukum yang
tidak boleh merusak qa’idah dan mabda’, dapat disimpulkan bahwa poligami
dilarang.35
Abû Zayd merupakan cendikiawan muslim yang mampu menjawab isu tentang
poligami secara sistematis dan juga Abû Zayd merupakan salah satu feminis muslim
yang paling artikulatif dalam mendiskusikan ataupun menjawab isu-isu mengenai
perempuan. Meskipun berbagai pendapatnya banyak menuai kontroversi hingga
sempat membuatnya harus dideportasi dari negaranya.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut
mengenai “Tafsir Semiotika Keadilan Berpoligami: Studi Pemikiran Nasr Hâmid
Abû Zayd”.
B. Rumusan Masalah
Penulis menggunakan analisis semiotika untuk mengetahui tanda adil ( (تعدلوا
dan (القسط). Karena dalam agama Islam, tanda dan penandaan memainkan peran
35 Ichwan, Meretas Keserjanaan…, h. 142.
17
penting. Kata ayat yang arti dasarnya adalah tanda, terdapat ratusan kali dalam al-
Quran. Misalnya dalam QS. Al-Fhushilat/43: 53:
أو لم يكف برب ه ٱلحق ن لهم أن تنا في ٱلفاق وفي أنفسهم حتى يتبي هۥ على سنريهم ءاي ك أن
٥٣كل شيء شهيد
Artinya: Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)
Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi
mereka bahwa al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya
Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu
Maka semiotika menjadi wahana baru untuk ilmuan mengenal tanda atau teks
di dalam al-Quran terutama tanda adil ( Banyak ilmuan yang .(القسط) dan (تعدلوا
mempelajari ilmu tanda ini atau yang disebut ilmu semiotika. Diantaranya adalah
Ferdinand de Saussure, Umberto Eco, Roland Barthes dan Charles Sanders Peirce dan
lain-lain. Sebelumnya, penulis telah menyinggung bahwa bahwa cabang penyelidikan
semiotik ialah sintaktik, semantik dan pragmatik. Dari berbagai ilmuan semiotik,
penulis memilih semiotika Charles Sanders Peirce sebagai metode yang dipilih dalam
analisa penulis. Alasan penulis memilih teori Peirce dikarenakan; Pertama, ia
mempunyai arah metode yang berbeda dengan tokoh semiotik sebelumnya seperti
Ferdinand de Saussure, Louis Hjelmslev, Roland Barthes dan sebagainya. Kajian
semiotika sebelumnya terfokus pada teori kode, atau juga disebut dengan semiotika
signifikasi, yang dipelopori oleh Ferdinand de Saussure. Sedangkan fokus kajian Peirce
beralih kepada teori produksi tanda atau teori fungsi tanda, yang biasa disebut dengan
semiotika komunikasi. Salah satu ciri khas dari semiotika komunikasi Peirce ialah
kajian pragmatiknya untuk mengetahui hubungan antara pemakai bahasa dengan
lambang dalam pemakaiannya. Kedua, Charles Sanders Peirce juga merupakan
18
pencetus mazhab tersendiri dalam kajian semiotika, di mana sebelumnya para ahli
semiotika membaca tanda dibagi menjadi dua hal; penanda dan petanda, yang disebut
dengan semiotika mazhab diadik. Berbeda dengan ilmuan semiotika sebelumnya,
Peirce membagi tanda menjadi tiga hal; Representament, Objek, Interpretant, yang
disebut dengan semiotika mazhab triadik sehingga memiliki peluang untuk melakukan
sistematisasi pendalaman memahami atas tanda. Ketiga, tawaran penafsiran Abû Zayd
menarik untuk diapresiasi lebih lanjut dan pemahaman semiotika Peirce dapat
membantu penulis menganalisa konteks keadilan berpoligami yang digagas oleh Nasr
Hamid Abû Zayd lebih jauh lagi. Alasan-alasan ini yang membuat penulis
menggunakan teori semiotika Charles Sanders Peirce untuk menjadikan pisau analisis
dalam memahami makna keadilan berpoligami Abû Zayd. Oleh karena itu, penulis
membuat rumusan masalah mengenai “Bagaimana Aplikasi Teori Semiotika
Charles Sanders Peirce Terhadap Pemikiran Nasr Hâmid Abû Zayd tentang
Keadilan Berpoligami?”
C. Batasan masalah
Dalam mengkaji interpretasi kata adil dalam ayat-ayat poligami, penulis
memberikan pembatasan ayat-ayat poligami yang akan dianalisa menggunakan surat
Al-Nisâ’ (4): 3 dan 129.
Penulis menggunakan kedua ayat di atas karena, menurut penulis dua ayat ini
menekankan keadilan dalam poligami dan terdapat kata yang sama dalam dua ayat di
atas yaitu kata ( hal ini berhubungan dengan apa yang akan penulis kaji yaitu (تعدلوا
19
interpretasi kata adil ( dengan menggunakan analisis semiotika Charles Sanders (تعدلوا
Peirce.
Selain itu, penulis melihat ayat ini (QS. Al-Nisâ’:129) menegaskan adanya
hubungan berupa penjelasan tentang makna keadilan yang diungkap dalam ayat ketiga
surah Al-Nisâ’. Hubungan kesesuain antara ayat ke 3 dan ke 129 dalam surah al-Nisâ’
ini, di mana keadilan yang dipersyaratkan bagi pelaku poligami dijabarkan sebagai
keadilan yang tidak mungkin dapat diwujudkan, merupakan bukti bahwa kedua ayat
ini sangat berhubungan yang diposisikan sebagai pernyataan dan penjelasan.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Melihat dari permasalahan di atas dapat dijelaskan tujuan penulisan skripsi ini
sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui cara mengaplikasikan teori semiotika Charles Sander
Peirce terhadap ayat-ayat poligami dalam al-Quran.
b. Untuk mengetahui interpretasi makna kata adil ( -pada ayat (القسط) dan (تعدلوا
ayat poligami dalam al-Quran dan juga dalam ilmu semiotika khususnya
semiotika Charles Sanders Peirce.
c. Untuk berpartisipasi dan berkontribusi pada perdebatan wacana poligami.
d. Mengklarifikasikan kompleksitas persoalan keadilan dalam wacana
poligami.
e. Mendeskripsikan pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd tentang wacana poligami
20
2. Manfaat Penelitian
Dengan penelitian ini, diharapkan mampu memberikan kontribusi teoritis
maupun praktis antara lain:
a. Kegunaan teoritis penelitian ini sebagai pembahasan yang memperkuat
argumentasi bahwa al-Quran dapat di analisa menggunakan pendekatan atau
pisau analisa ilmu semiotika/semiologi di dalam menafsirkan al-Quran.
b. Kegunaan praktis adalah sebagai bahan tambahan ajar pada mata kuliah
tafsir seperti, semiotika, metodologi penelitian tafsir, dan pendekatan
modern di dalam penafsiran al-Quran.
E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan
Seperti yang kita ketahui dalam teori semiotika Peirce, Peirce membagi proses
pemahaman tanda pada tiga metode yaitu firstness (makna tanda potensi), secondness
(makna tanda yang sudah dikaitkan dengan makna potensi), dan thirdness (makna
kesepakatan). Firstness merupakan relasi antar elemen tanda yang bersifat Subyektf
(berdasarkan pengalaman pribadi) yang fokus kajiannya adalah agensi. Sementara
secondness adalah relasi antar elemen tanda yang bersifat material (terindra) yang
fokus kajiannya adalah obyek, dan thridness adalah relasi antar tanda yang bersifat
maknawi (interpretasi) fokus kajiannya pada teks, selain itu Peirce juga membagi tanda
tersebut kedala tiga tingkatan yaitu: Kepertamaan (Firstness), Kekeduaan
(Secondeness), Keketigaan (Thirdness). Model metode pertama terdiri dari qualisign
21
untuk Firstness, sinsign untuk Secondness, dan legisign untuk Thirdness. Dalam model
metode kedua Firstness menghubungkan pada ikon, Secondness pada indeks, dan
Thirdness pada simbol. Terakhir dalam metode ketiga Firstness menghubungkan
rheme, Secondness pada decisign, dan Thirdness pada argument.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kepertamaan (Firstness)
untuk melihat konteks dari ayat-ayat poligami itu sendiri, dan juga menggunakan
metode keketigaan (Thirdness) untuk menelaah pemikiran (interpretasi) feminis
muslim yaitu Abû Zayd dan juga para mufassir lainnya mengenai ayat-ayat poligami.
Selain itu, menurut hemat penulis teori semiotika Charles S. Peirce yang didalamnya
terdapat proses simiosis akan mampu membantu penulis untuk mendapatkan
pemaknaan ataupun interpretasi atas relevansi penafsiran Abû Zayd tentang keadilan
poligami. Teori semiotika Charles S. Peirce yang berlandaskan dengan logika dan
pragmatisme mampu membantu penulis untuk mendudukkan pemikiran Abû Zayd
dalam wacana poligami.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan data-data
kepustakaan (library research). Objek utama dalam penelitian ini adalah al-Quran dan
penafsirannya. Penulis akan menggunakan teori semiotik triadik Charles Sander Peirce
dalam memahami kata adil pada ayat-ayat poligami di al-Quran. Jadi dalam penelitain
akan berkonsentrasi pada pengolaan dari sumber data-data pustaka baik berupa buku,
jurnal maupun semua artikel yang berkaitan dengan pembahasan kata adil dalam
22
poligami dan semiotik, dengan fokus penafsiran keadilan berpoligami menurut Nasr
Hâmid Abû Zayd.
3. Sumber Data
a. Sumber Data Primer
1. Nashr Hāmid Abȗ Zayd, Dawāir al-Khauf: Qirā`at fī Khitāb al-Mar`ah
(Beirut; Al-Markaz al-Tsaqāfy al-‘Araby, 2004)
2. Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi, Dekonstruksi Gender:
Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, Yogyakarta: SAMHA, 2003.
Terjemahan Nashr Hāmid Abȗ Zayd, Dawāir al-Khauf: Qirā`at fī Khitāb
al-Mar`ah.
3. Ar-Razi, Fakhr al-Dîn. Al-Tafsîr al-Kabîr. Beirut: Dâr al-Fikr, 1995.
4. Ridha,Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Beirut: Dar al Ma’arifah.
5. Al-Thabari, Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Katsir ibn Ghalib al-
Amili Abu Ja’far. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayi al-Qur’an.
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder sebagai rujukan pembantu dalam penelitian ini adalah
merupakan buku-buku atau jurnal ilmiah yang berkaitan dengan penafsiran-penafsiran,
teori semiotik triadik, dan studi tentang tafsir ayat-ayat poligami dalam al-Quran.
Dalam penulisan skripsi digunakan pedoman penulisan dalam buku Pedoman
Akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2013/2014 Program Studi 1.
23
Penulis mengambil metodologi semiotik, khususnya semiotik yang
dikembangkan oleh Charles Sander Peirce, karena belum adanya penelitian ayat-ayat
poligami yang menggunakan mata pisau analisa ini, selain itu juga saya ingin
membuktikan bahwa metodologi ini mampu menawarkan kepada pembaca dalam
penafsiran tanda dari berbagai macam aspek, termasuk pembacaan ayat-ayat mengenai
kata adil dalam poligami.
F. Kajian Pustaka
Dalam peninjauan yang dilakukan oleh penulis terhadap buku-buku yang
membahas tentang poligami dan teori-teori semiotika, seperti karya Abduttawab
Haikal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW (poligami dakam Islam vs Monogami
Barat), Jakarta: CV. Pedoman ilmu jaya, 1993., Abdul Nasir Taufiq al-Atthar,
Polygami Ditinjau dari segi agama, sosial, dan perundang-undangan, Jakarta : Bulan
Bintang., Akhmad Muzakki, Kontribusi Semiotika dalam memahami Bahasa Agama,
Malang: UIN-Malang Press, 2007., Anik Farida, M.Hum., Menimbang Dalil Poligami
antara teks, konteks dan praktek, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembanan Agama
Jakarta, 2008., Rodli Makmun, dkk., Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur,
Ponorogo : STAIN PONOGORO PRESS, 2009., Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara
jodoh, poligami dan perselingkuhan, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007., Paul Ricouer,
Teori Interpretasi membelah makna dalam anatomi teks,Jogjakarta : IRCiSoD, 2014
Selain meninjau dari buku-buku, penulis juga meninjau dari skripsi-skripsi
yang berkaitan dengan poigami dan semiotika khususnya semiotika , diantaranya
adalah Konsep Berpoligami yang Adil: Study atas Penafsiran Sayyid Qutub Dalam
24
Tafsir fi dhilal al-Qur’an karya Fachrudin Nur Ubay, mahasiswa Universitas Islam
Negeri Jakarta Fakultas Ushuluddin, Poligami Dalam Perfektif Agama-Agama Semitik
karya Noviyanti Triastuti, mahasiswa Universitas Islam Negeri Jakarta Fakultas
Ushuluddin, Poligami dalam pandangan Isam Tinjauan Q.S An;Nisa’ (4): dan 129
karya Rita Sasmita Pritarim, Universitas Islam Negeri Jakarta fakultas Ushuluddin,
Poligami dalam Perfektif Pemikir Modern karya Munajat Adisaputra, Universitas
Islam Negeri Jakarta Fakultas Ushuluddin.
Selain meninjau skripsi-skripsi tentang poligami, menulis juga meninjau skripsi
mengenai semiotika al-Quran dan juga semiotika Charles Sander Peirce yaitu Hadis
Tentang Keutaaan Ibu Suatu Tinjauan dan Analsis Semiotik Charles S. Peirce karya
Lexi Zulkarnaen Hikmah, mahasiswa Universitas Islam Negeri Jakarta Fakultas
Ushuluddin. Pesan Semiotis Al-Qur’an: Analisis Strutural Q.S. Al-Lahab karya Irfan
Sanusi, dan juga skripsi yang berjudul Kisah Yusuf dalam Al-Qur’an Perfektif
Semiologi Roland Barthes karya Pipit Fitriyana.
Dalam beberapa karya yang telah penulis tinjau, penulis belum menemukan
tulisan yang menyinggung mengenai makna atau interpretasi dari kata adil yang
menggunakan analisisa semiotika Charles Sanders Peirce yang terdapat dalam surat
Al-Nisâ ayat 3 dan 129. Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis akan menggunakan
analisis semiotika Charles S. Peirce dalam mengakaji pemikiran keadilan berpoligami
menurut Abû Zayd. Penulis akan mencoba mengungkapkan apa alasan Abû Zayd
mengatakan bahwa monogami adalah makna yang tak tersirat dari al-Quran, selain itu
penulis juga akan mengungkapkan perbedaan penapat Abû Zayd dengan para mufassir
klasik, pertengahan abad dan juga kontemporer.
25
G. Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini akan saya sajikan menjadi lima bab. Masing-masing bab
memiliki beberapa sub bab.
Bab pertama, sebagaimana yang telah diuraikan di atas yaitu berisi
pendahuluan yang membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah,
pembatasan masalah, tujuan dan mafaat penelitian, metodologi penelitian dan
sistematika penulisan.
Bab kedua, membahas mengenai makna terma dan tafsir dari kata adil di dalam
al-Quran, deskripsi makna kata adil dalam pengertian secara umum maupun di dalam
QS. al-Nisâ ayat 3 dan 129 menurut para mufassir dalam berbagai zaman, yang diwakili
oleh al-Tabarî, al-Râzî, dan al-Manâr.
Bab tiga, pada bab ini penulis akan menguraikan beberapa riwayat hidup serta
pemikiran para tokoh semiotika yaitu Charles Sanders Peirce dan juga Nasr Hâmid Abû
Zayd. Selain membahas tentang riwayat hidup para tokoh tersebut, dalam bab ini juga
penulis menguraikan aplikasi semiotika dalam kajian tafsir dan aplikasi semiotika
Charles Sanders Peirce.
Bab empat, penulis akan membahas mengenai pengertian dan makna generik
serta proses semiosis, selain itu pada bab ini penulis akan menguraikan semiotika
penafsiran Nasr Hâmid Abû Zayd tentang keadilan dan dalam bab ini penulis juga akan
menguraikan relevansi semiotika Abû Zayd dan Amina Wadud dalam tafsir di
Indonesia .
26
Bab lima, adalah penutupan dan kesimpulan. Bab ini menjawab rumusan
masalah penelitian ini dan membarikan rekomendasi serta saran untuk penelitian lebih
lanjut.
27
BAB II
KEADILAN DALAM AL-QUR’AN: MAKNA TERMA DAN TAFSIR
A. Pengertian Keadilan
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) keadilan diartikan sama
berat; tidak berat sebelah; dan tidak memihak1, artinya tidak melebihi atau mengurangi
dari pada yang sewajarnya, berpihak dan berpegang pada kebenaran.2
Sementara itu Firdaus al-Hisyam dan Rudy Hariyono berpendapat bahwa kata
adil diartikan just, fair, impartial, rightful, lawful, honest (secara pantas, adil, tidak
berat sebelah, berdasarkan keadilan, hukum yang sah, lurus hati).3 Dalam kamus
Cambridge kata fair berarti treating everyone in the same way, so that no one has an
advantage (perbuatan seseorang dengan cara yang sama, sehingga tidak ada seorang
pun mendapatkan keuntungan).4 Maksud dari definisi tersebut adalah bahwa tidak ada
salah satu yang merasa diuntungkan dan yang lain dirugikan, melainkan keduanya
mendapatkan kepuasan dan kerelaan dari sebuah keputusan dan keputusan pun tidak
berat sebelah.
1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar bahasa Indonesia (Jakarta: Balai pustaka,
2015)., h. 4. 2 Peter Salin dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Jakarta: Modern
English Press, 2002)., h. 12. 3 Firdaus al-Hisyam dan Rudy Hariyono, Kamus Lengkap 3 Bahasa: Arab Indonesia Inggris
(Surabaya: Gitamedia Press, 2006)., h. 523. 4 Cambridge University, Cambridge School Dictionary (New York: Cambridge University
Press, 2008)., h. 273.
28
Pengertian di atas sejalan dengan pengertian yang telah dirumuskan dalam
hukum Islam bahwa adil adalah “mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari
segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah
dan tidak berbeda satu sama lain. Adil juga berarti “berpihak atau berpegang kepada
kebenaran.”5
Dalam ilmu sosial keadilan didefinisikan dengan adanya keseimbangan dan
pembagian yang proposional atas hak dan kewajiban setiap warga negara yang
mencangkup seluruh aspek kehidupan: ekonomi, politik, pengetahuan, dan
kesempatan. Definisi lain dari keadilan sosial adalah hilangnya monopoli dan
pemusatan salah satu aspek kehidupan yang dilakukan oleh kelompok atau golongan
tertentu.6
Dalam ilmu tasawuf keadilan didefinisikan dengan seseorang harus
mendapatkan haknya dan memberikan kewajibannya. Dalam hal ini, yaitu
mendamaikan perselisihan antara orang yang menzalimi dengan orang yang terzalimi.7
Karena kewajiban setiap muslim adalah menegakkan amr ma’rûf nahî munkar.
Sehingga ketika ia melihat kemunkaran/kezaliman, ia wajib melerainya.
Berbeda halnya dengan ilmu hadits keadilan diartikan sebagai sifat yang
tertancap dalam jiwa seseorang untuk senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri.
Menjauhi dosa besar seperti syirik, sihir, membunuh, memakan riba, memakan harta
5 Dahlan, et, al., (eds), Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid I., h. 25. 6 Komarudin Hidayat dan Azyumardi Azra, Pendidikan Kewargaanegaraan (Civic Education),
cet. 6 (Jakarta: Kencana, 2008)., h. 187. 7 Muhammad Yûsuf Mûsâ, Falsafah Al-Akhlâqiyah fî Al-Islâm (Mesir: Muassâsah Al-Khanaji,
1963)., h. 162.
29
anak yatim, melarikan diri sewaktu perang berkecamuk, menuduh zina wanita baik-
baik, menyakiti kedua orang tua dan mengharapkan kehalalan di al-Bait al-Harâm dan
menjauhi dosa kecil seperti mengurangi timbangan sebiji, mencuri sesuap makanan,
serta menjauhi perkara-perkara mubah yang dinilai mengurangi harga diri.8
Sedangkan dalam ilmu filsafat menurut Aristoteles seperti yang dikutip dari Ibn
Maskawaih keadilan terbagi menjadi tiga macam:
1. Keadilan yang dilakukan seorang hamba kepada Tuhannya. Dalam hal ini
seseorang mengerjakan secara terus-menerus perkara yang telah
diperintahkan/diwajibkan Tuhan kepada hamba-Nya.
2. Keadilan yang bersifat komutatif, yaitu keadilan yang mengatur hubungan
antara satu orang dengan yang lainnya dalam menegakkan hak-hak tiap
individu. Seperti dalam menghormati kepala negara/pemimpin, menunaikan
amanat dan menunaikan janji bermu’amalah. Keadilan ini lebih menuntut agar
semua orang menepati apa yang telah dijanjikannya.
3. Keadilan yang ditegakkan setiap orang dalam hal hutang-piutang dan wasiat.
Keadilan yang harus mereka tegakkan adalah dengan membayarkan hutangnya
dan menjalankan wasiatnya.9
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa keadilan dapat berupa
suatu tindakan seseorang untuk menunaikan hak dan kewajiban terhadap orang lain,
atau mendamaikan perselisihan secara tidak memihak, menegakkan kebenaran atau
8 Muhammad ‘Ajjaj Al-Khatîb, Ushûl Al-Hadîts, Penerjemah H.M Nur Ahmad Musyafiq,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007)., h. 203. 9 Kâmil Muhammad Muhammad ‘Araidah, Ibn Maskawaih Madzâhib Akhlâqiyah (Bairut: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.t.)., h. 287.
30
mengajak orang lain pada kebenaran dan menjauhi kejahatan, membayar hutang
piutang, dan juga menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah.
B. Adil dalam al-Quran
1. Secara Umum
Al-Quran adalah firman Allah yang terdiri dari susunan berbagai macam kata.
Banyaknya kata tersebut disesuaikan dengan teks dan konteksnya. Oleh karena itu
cukup banyak pula beberapa kata yang dianggap memiliki arti yang sama. Hal inilah
yang menjadi perdebatan para mufassir, karena ada anggapan bahwa kosakata yang
terdapat di dalam al-Quran memiliki sinonim. Ada pula mufassir yang berpendapat
bahwa tidak ada sinonimitas di dalam al-Quran.
‘Âisyah binti Syahtî menolak adanya sinonimitas kata di dalam al-Quran.
Menurutnya setiap kata memiliki arti dan makna tersendiri. Sehingga antara satu kata
dengan kata yang lainnya tidak memiliki kesamaan makna. Di dalam kitab Al-Burhân
fî ‘Ulûm Al-Qur’ân dijelaskan bahwa ada beberapa kata yang dianggap mutâradif
(sinonim).10 Seperti kata adil. Di dalam al-Quran banyak kata yang semakna dengannya
namun berbeda lafaznya yaitu kata ‘adl dan qist.
10 Adapun beberapa kata yang dianggap memiliki sinonim kata seperti kata al-khauf, di dalam
al-Quran kata ini disebutkan sebanyak 125 kali dengan berbagai derivasinya, kata al-khauf berarti takut
dan lafaz lain yang satu arti dengannya kurang lebih ada 8 kata, yaitu kata al-khasyyah, al-rubh, al-
rahbah, wajala, asy-syafaqah, hadzara, al-rau’u. Kata-kata tersebut memiliki makna yang sama dengan
kata al-khauf. Lihat Mannâ Khalîl al-Qaththân, Mabâhits fî Ulîmil Qur’ân (Mansyurat al-‘Asr al-Hadîts,
1973)., h. 204.
31
Kata adil dalam bahasa Indonesia awalnya diserap dari kata ‘adl dalam bahasa
Arab yang terambil dari kata ‘adala yang terdiri dari huruf ‘ain, dal dan lam. Rangkaian
huruf ini kemudian menghasilkan dua makna yang bertolak belakang yaitu “lurus dan
sama” serta “bengkok dan berbeda”.11 Dari makna pertama kata ‘adl bisa diartikan
sebagai menetapkan suatu hukum dengan benar. Jadi seorang yang ‘adl adalah berjalan
lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, ‘persamaan’ itulah yang
merupakan makna asal kata ‘adl.12 Kedua, ‘adl dalam arti kata ‘seimbang’. Bermakna
memberikan sesuatu kepada seseorang sesuai dengan kelayakan sehingga terdapat
kesesuain kedudukan dan fungsinya dibanding dengan individu lain.13 Sedangkan
dalam bahasa Inggris kata adil diterjemahkan sebagai just.14 Arti kata Inggris itu kira-
kira sama dengan yang dimaksud oleh kata adil dalam bahasa Indonesia.15
Kata al-‘adl bermakna al-istiwâ’ ( suatu keadaan yang sama/lurus.”16“ (اإلستواء
Makna ini berarti menetapkan hukum dengan benar. Jadi orang yang adil adalah
seseorang yang berjalan dan sikapnya selalu menggunakan ukuran sama. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa kata al-‘adl memiliki makna “persamaan”, dan inilah makna
asal kata al-‘adl yang menjadikan pelakunya tidak berpihak kepada salah satu.17
Sehingga ia hanya menegakkan keadilan terhadap orang yang bersalah sesuai dengan
11 Ibnu Fâris, Mu’jam Maqâyîs al-Lugah (t.t: t.p, t.th. Vol III)., h. 745. 12 Enslikopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati, 2007)., h. 5. 13 Hafidz Taqiyuddin, Argumen Keadilan dalam Hukum Waris Islam: Studi Konsep ‘Awl dan
Radd (Tangerang Selatan: Cinta Buku Media, 2014)., h.18. 14 John M.Echols dan Hassan Shadly, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka,
1996)., h. 338. 15 Dawam Rahardjo, Ensiklopedoa al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konspp-konsep
Kunci, (Jakarta, 2002)., h. 369. 16 Fâris, Mu’jam Maqâyîs…., h. 246 17 Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam…., h. 25
32
hukum yang telah ditetapkan di dalam al-Quran dan al-Sunnah. Menurut pendapat al-
Râghib al-Ashfahânî dalam kitabnya Al-Mufradât fî Gharîb Al-Qur’ân mengatakan
bahwa pengertian term ‘adl adalah
العدالةوالمعتدلة:لفظيقتضيمعنىالمساواة18
(al-Adalâh dan al-Mu’tadalah merupakan lafadz yang menunjukkan sama)
Kata ‘al-adl disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 28 kali pengulangan dengan
berbagai derivasinya, dan dengan derivasi makna terjemahan adil dan seimbang.
Sedangkan kata al-qist (القسط) yang terdiri dari tiga huruf yaitu qaf, sin, dan ta’ adalah
kosakata bahasa Arab yang berbentuk masdar yang memiliki dua makna berbeda.19
Berdasarkan derivasinya, kata al-qist memiliki dua makna yang bertentangan yaitu جار
20 Menurut al-Sya’ rawi kata al-qisth yang bermakna adil.(adil dan menyimpang) وعدل
berasal dari kata قسطا -ي قسط -أقسط sedangkan yang bermakna menyimpang berasal dari
kata 21.قسط-يقس ط -قسطا Menurut pendapat al-Raghib al-Ashfahani dalam kitabnya Al-
Mufradât fi Gharîb Al-Qur’an mengatakan bahwa keadilan dengan menggunakan term
qisth diartikan: النصببالعدل (bagian atau yang dibagikan secara adil.22
Dalam kamus Al-Munawwir kata al-qist memilki banyak arti. Secara etimologi
kata al-qisth bermakna ( صيب al-nasîb artinya bagian dan ada beberapa makna yang (الن
18 Abû al-Qâsim al-Husain bin Muhammad (ar-Râgib al- Ashfahânî), Al-Mufradât fî Gharîb
Al-Qur’ân (T.tp, Maktabâh Nazar Mushtâfa al-Bâz, t.t)., h. 422. 19 Fâris, Mu’jam Maqayis…., h. 86. 20 Ahmad bin Muhammad bin ‘Alî al-Muqrî al-Fayyûmî, Al-Misbâh Al-Munîr (Beirut: Dâr al-
Kutub al-Ilmiyah, 1994)., h. 503 21 Muhammad Mutawalli Al-Sya’rawi, Tafsîr A-Sya’rawi, jilid 4 (T.tp.: Dâr at-Tafiqîyyah lî at-
Turats, t.t.)., h. 30 22 Abu al-Qâsim, Al-mufradât fî Gharîb Al-Qur’an, h. 521.
33
semakna dengannya. Seperti al-qist dapat bermakna (المقدار) al-miqdâr artinya kadar,
jumlah, ( ) ,al-mîzân artinya neraca, timbangan (الميزان زق ,al-rizq artinya rezeki (الر
( جم al-najm artinya angsuran, cicilan.23 Elias A. Elias dan Edwar E. Elias (الن
mengartikan al-qisth adalah fair and square24 (dengan jujur).25
Di dalam kitab Tâj Al-Arûs karya al-Zabîdî diterangkan bahwa kata al-qist
digunakan untuk menerangkan keadilan yang terkait tentang pembagian
saja واأقسط وا قسم واعدل وا،وإذا وإذاحكم (bila memutuskan perkara mereka memutuskannya
dengan adil, apabila mereka membaginya dengan merata) artinya apabila mereka
membagi (sesuatu) mereka membaginya dengan adil. Sedangkan kata al-‘adl
digunakan untuk menegakkan keadilan secara lurus, sesuai dengan hukum syar’i,
seperti hukum qisâs, jinayah, dan sebagainya. Adanya persamaan dalam memberikan
balasan/ganjaran. Jika hal itu baik, maka katakan baik dan jika hal itu buruk, maka
katakan buruk.
Dalam kamus al-Furûq al-Lughawîyah perbedaan antara lafadz القسط dan العدل
adalah : Kalau lafadz القسط mengandung pengertian keadilan yang jelas (tampak) dan
zahir (terlihat oleh panca indera). Sebagian dari maknanya adalah terlihat dari
ungkapan, takaran dan timbangan itu dinamakan juga) سمي المكيال قسطا والميزان قسطا
qisthan/keadilan), karena hal tersebut menggambarkan keadilan dalam timbangan yang
23 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Qamus ‘Arabi-Induniai (Yogyakarta: Pustaka
Progresif, 1984)., h. 1202. 24 Elias A. Elias dan Edwar E. Elias, Qamus Al-Ilyâs Al-Ashrî Injilizi- Arabî (Bairut: Dâr al-
Jil, 1934)., h. 265. 25 Peter Salim, Adavced English-Indonesia Dictionary (Jakarta: Modern English Press, 1991).,
h. 822.
34
bisa dilihat secara zahir/jelas (dengan menggunakan mata). Sedangkan lafadz العدل
adalah keadilan yang bersifat abstrak (tersembunyi dan tidak terlihat). Karena itu, kita
katakan “القسط” adalah bagian yang bentuk/wujudnya jelas dan digunakan untuk
membagi sesuatu yang kongkrit.26
Dalam kamus Lisân al-‘Arab perbedaan keduanya adalah kalau القسط bermakna
timbangan/takaran, yang terambilkan dari istilah القسطdan العدل (timbangan/takaran
yang seimbang). Allah menghendaki untuk menurunkan atau mengangkat timbangan
amal para hamba yang terangkat kepada-Nya. Ini hanya sebagai perumpamaan dalam
penggunaan lafadz القسط. Ada juga yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
itu adalah bahagian dari rizki yang merupakan bagian dari tiap-tiap makhluk, baik القسط
sedikitnya ataupun banyaknya. Seperti itu juga, lafadz tersebut juga bisa dimaknakan
sebagai bagian/nasib seperti dalam ungkapan “masing-masing orang mengambil
qisthahu” artinya mengambil bagiannya. Sehingga dengan demikian kata al-qisth itu
digunakan untuk segala sesuatu yang bisa ditakar/ditimbang, baik benda cair seperti air
ataupun tidak. Sementara lafadz العدل bermakna adil dalam artian abstrak (digunakan
untuk mengukur sesuatu yang tidak bisa diperkirakan secara jelas dan kasat mata).27
Pengertian ini mirip dengan apa yang terdapat dalam kitab al-Furûq al-Lughawîyah.
Sedangkan dalam kitab al-Mu’jam al-Wasît lafadz القسط bermakna
seimbang/adil. Dia berbentuk masdar (kata dasar) yang mensifati kata sebelumnya baik
26 Abî Hilâl al-Hasân ibn Abdillâh ibn Sahl al-‘Askarî, al-Furûq al-Lughawîyah (Beirut: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2010)., h. 263. 27 Ibn Manzûr , Lisân al-‘Arab (Beirut: Dâr Shadir, 1414)., h. 377.
35
yang berbentuk tunggal, tatsniah (dua), dan jama’ (plural). Misalnya dikatakan ميزان
dan ,(dua timbangan yang seimbang) ميزانان القسط ,(satu timbangan yang seimbang) قسط
Sebagian ungkapan yang lain .(beberapa timbangan yang seimbang) موازين قسط
tersebut dalam al-Quran ونضع الموازين القسط ليوم القيامة (dan Kami letakkan timbangan-
timbangan yang seimbang pada hari kiamat). Alhasil istilah “seimbang” dalam
persoalan timbangan, baik terhadap benda cair ataupun tidak diistilahkan dengan lafadz
bermakna keseimbangan/kesetaraan. Digunakan العدل Sementara itu lafadz 28.القسط
untuk menyebut kata-kata yang tidak bisa ditimbang secara zahir seperti seseorang itu
adil dalam berjalan, dalam menimbang, dalam beribadah, dan lain sebagainya.29
Jadi, perbedaan makna kata القسط adalah keadilan yang dapat dilakuan dalam
hal materi seperti pembagian waris, wakku, dan lain-lain (sesuatu yang terukur dan
terlihat) sementara kata العدل adalah keadilan yang bersifat abstrak.
2. Adil dalam QS. al-Nisâ’ ayat 3 dan 129
Kata ‘adl di dalam al-Quran memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu
pula pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan).
Kata ‘adl di dalam berbagai bentuknya terulang 28 kali di dalam al-Quran, menurut
penelitian M. Quraish Shihab bahwa paling tidak ada empat makna keadilan yaitu ‘adl
di dalam arti sama, ‘adl di dalam arti “seimbang”, ‘adl di dalam arti perhatian terhadap
hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya, ‘adl di dalam
28 Syauqi Daîf, al-Mu’jam al-Wasît, (Mesir: Dâr al-Da’wah, t.t), vol. 2., h. 734. 29 Syauqi Daîf, al-Mu’jam al-Wasît…., h. 588.
36
arti “yang dinisbahkan kepada Allah” . ‘adl di dalam arti ‘sama’. Pengertian ini yang
paling banyak terdapat di dalam al-Quran, antara lain pada QS. Al-Nisâ’ (4): 3, 58, dan
129.30
ن ٱلنساء مثنى مى فٱنكحوا ما طاب لكم م ع فإن وإن خفتم ألا تقسطوا في ٱليت ث ورب وثل ألا تعولوا لك أدنى نكم ذ حدة أو ما ملكت أيم ٣خفتم ألا تعدلوا فو
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya.(Q.S. Al-Nisâ: 3)
Ayat ini menerangkan keadilan seorang wali anak yatim terhadap anak yatim
yang berada di bawah tanggungannya. Menurut Ibn ‘Âsyûr keadilan yang dimaksud
adalah keadilan yang dituntut kepada seorang wali atas anak yatim yang berada dalam
tanggungannya dalam mengelolah hartanya31 dan tidak dianjurkan untuk menikahinya
dengan alasan banyak harta dan kecantikannya. Wali tetap harus menjaga harta anak
yatim tanggungannya walaupun sedikit hartanya dan kurang cantik.32 Jika seorang wali
tidak mampu berbuat adil terhadap anak yatim tangguhannya dalam menjaga hartanya,
maka hendaklah ia menikahi wanita lain yang baik menurutnya. Hal ini juga berkaitan
30 Enslikopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata…, h. 6. 31 Dalam kitab Al-Shahih Al-Bukhari diterangkan asbâb an-nuzûl ayat ini berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh ‘Âisyah. ‘Urwah bertanya kepada ‘Âisyah tentang ayat ini, kemudian ia
menjawabnya: “Wahai anak saudara perempuanku, ini adalah anak yatim perempuan yang berada
dibawah tanggungan walinya, dan ia hendak menyatukan haratnya dengan harta anak yatim itu serta ia
kagum akan kecantikan sang anak. Lalu ia berkeinginan untuk menikahinya dengan tidak berlaku adil
yaitu dengan tidak memberinya mahar hingga Ia memberinya seperti ia memberi suatu kepada yang
lainya. Hal inilah yang dilarang untuk menikahi seorang anak yatim perempuan kecuali ia dapat berlaku
adil dengan memberikan mahar kepadanya. Oleh karena itu mereka memerintahkan untuk menikahi
wanita lain yang baik bagi mereka selain dari anak yatim perempuan. Lihat Ibn ‘Âsyûr, Tafsir At-Tahrîr
wa At-Tanwîr, h.222. 32 Ibn ‘Âsyûr, Tafsir At-Tahrîr wa At-Tanwîr, h.222.
37
tentang kehawatiran seorang wali. Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat ar-Râzî,
33 az-Zamakhsyarî, 34 al-Âlûsî, 35 dan Thabâthabâi.36
Thabâthabâi’ menjelaskan bahwa ketidakadilan sang wali adalah setelah
mengambil harta anak yatim tersebut. Sehingga ia jatuh miskin dan tidak memiliki
harta untuk menafkahi dirinya sendiri dan tidak ada yang menyukainya. Pada saat
itulah wali datang kepadanya dan menikahinya.37 Hal tersebut mengindikasikan bahwa
sang wali telah memakan dengan zalim harta anak yatim dan mencampur hartanya
dengan harta sang anak. Allah telah berfirman dalam QS. an-Nisâ/4:2 dan ayat 10
bahwa tidak boleh bagi seorang wali anak yatim memakan dan mencampur hartanya
dengan harta anak yatim.
مى وءاتوا لوا ٱليت لهم ول تتبدا يب ب ٱلخبيث أمو ه ٱلطا لكم إنا أمو لهم إلى كان ۥول تأكلوا أمو ٢حوبا كبيرا
“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka,
jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan
harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan
memakan) itu, adalah dosa yang besar.38
ل ٱلاذين إنا مى يأكلون أمو ما يأكلون في بطونهم نارا وسيصلون سعيرا ٱليت ١٠ظلما إنا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk
ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).39
33 Fakhruddîn, Tafsîr Al-Fakhr Ar-Râzî: At-Tafsîr Al-Kabir wa Mafâtih Al-Ghaib, h.177 34 Az-Zamakhsyarî, Tafsîr Al-Kasyasyâf ‘an Haqâiq Ghawâmidh At-Ta’wîl wa ‘Uyûn Al-
Aqâwîl fî Wujûh At-Ta’wîl, h. 457. 35 Al-Âlûsî, Rûh Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’an, h.166. 36 At-Thabâthabâî, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’an, h. 166. 37 At-Thabâthabâî, Al-Mîzân fî Tafsîr Al-Qur’an, h. 166.
38 QS. An-Nisâ/4:2 39 QS. An-Nisâ/4:10
38
Pada ayat sebelumnya QS. An-Nisâ/4:3 diterangkan dua perkara keadilan,
pertama, keadilan dengan menggunakan term al-‘adl. Kata ‘adl. Kata ‘adl pada ayat
ini menerangakan keadilan yang dilakukan oleh seorang suami kepada istri. Hal ini
sering terjadi pada bangsa Arab bahwa seorang laki-laki dari bangsa Arab telah
menikahi 10 atau lebih orang perempuan. Namun ia tidak mampu berbuat adil terhadap
para istrinya. Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada para suami untuk menikahi
seorang perempuan saja.
Menurut Ibn ‘Âsyûr jika seorang suami khawatir tidak dapat berlaku adil maka
hendaknya ia menikahi satu orang perempuan saja atau seorang budak. Kekhawatiran
yang dimaksud adalah tidak dapat berbuat adil terhadap beberapa istri yang telah
dinikahinya, yaitu dengan adanya persamaan perlakuan suami terhadap mereka. Seperti
dalam hal memberi nafkah, pakaian, kegembiraan, dan hubungan seksualitas. Allah
telah mensyariatkan bahwa boleh menikahi perempuan lebih dari satu hanya bagi
orang-orang yang mampu berbuat adil. Hal ini bertujuan untuk kemaslahatan bersama,
diantaranya untuk memperbanyak populasi umat dengan bertambahnya jumlah
kelahiran, menjamin kehidupan para wanita pada tiap-tiap generasi karena jumlh
kelahiran wanita lebih banyak dari pada laki-laki, masa hidup wanita lebih lama dari
pada laki-laki menurut kebiasaan, dan mengurangi perzinahan.40
Menurut al-Âlûsî kehawatiran akan berbuat tidak adil terhadap beberapa istri
sama seperti kekhawatiran akan berbuat tidak adil terhadap hak-hak anak yatim.41Al-
40 Ibn ‘Âsyûr, Tafsir At-Tahrîr wa At-Tanwîr, h.226 41 Al-Âlûsî, Rûh Al-Ma’ânî fî Tafsîr Al-Qur’an Al-‘Azhîm wa As-Sab’ Al-Matsânî, h.406
39
Razî berpendapat jika kamu takut akan tidak berbuat adil dalam menjaga hak-hak anak
yatim maka jadilah kamu orang-orang yang takut untuk berbuat zina dan nikahilah
wanita-wanita yang baik menurutmu, tetapi bukan wanita-wanita yang muhrim (yang
diharamkan untuk dinikahi).42
Sementara itu, dalam surah al-Nisâ’ ayat 129 disebutkan:
تعدلوا بين ٱلنساء ولو حرصتم فل تميلوا كلا ٱلميل فتذروها كٱلمعلاقة ولن تستطيعوا أن
حيما كان غفورا را قوا فإنا ٱللا ١٢٩وإن تصلحوا وتتا
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Al-Nisâ’: 129)
Kata ‘adl dalam pada ayat ini diartikan ‘sama’. Menurut al-Baidâwî43 kata ‘adl
pada ayat ini adalah tidak condong sedikitpn kepada salah satu istri sebagaimana yang
dilakukan oleh Rasulullah dengan membagikan bagiannya/haknya terhadap para
istrinya “Ya Allah, inilah pembagianku yang aku mampu, maka janganlah engkau cela
aku pada sesuatu yang Engkau mampu dan tidak ku mampu.” (Abû Dâud berkata; yaitu
hati).
Hal ini mengindikasikan bahwa rasul membagi hak dan kewajiban para istri
dengan adil dalam hal kasih sayang. Begitupun yang maksud ayat ini bahwa jika
seorang suami memiliki dua istri maka hendaklah dia berlaku adil dengan
42 Fakhruddîn, Tafsîr Al-Fakhr Ar-Râzi: Al-Tafsîr Al-KabIr wa Mafâtîh Al-Ghaib, h.178. 43 Al-Baidâwî, Anwar At-Tanzil wa Isrâr At-Ta’wil (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Alâmîah, t.t)., h.
309.
40
semampunya, tidak condong berbuat baik kepada salah satunya dan membenci lainnya.
Rasulullah besabda “Barangsiapa yang memiliki dua orang istri kemudian ia cenderung
kepada salah seorang diantara keduanya, maka ia akan datang pada hari Kiamat dalam
keadaan sebelah badannya miring.” Dapat disimpulkan bahwa makna kata ‘adl
berkaitan dengan sesuatu yang bersifat immateri yaitu bersifat abstrak dan keadilan
dengan menggunakan term al- ‘adl sangat sulit untuk dilakukan.
Ayat ini44 juga menegaskan adanya hubungan berupa penjelasan tentang makna
keadilan yang diungkap dalam ayat ketiga surah al-Nisâ’. Hubungan kesesuain antara
ayat ke-3 dan ke-129 dalam surah al-Nisâ’ ini,45 di mana keadilan yang dipersyaratkan
bagi perilaku poligami dijabarkan sebagai keadilan yang tidak mungkin dapat
diwujudkan, merupakan bukti bahwa kedua ayat tersebut sangat berhubungan yang
diposisikan sebagai pernyataan dan penjelasannya. Dengan demikian, kemandirian
ayat poligami menjadi sesuatu yang tidak terbantahkan sebagai satu tema hukum dalam
ajaran Islam.46
44 QS. Al-Nisâ’ ayat 129 45 Keterkaitan kedua ayat diatas, dalam pembahasan ini tidak dimaksudkan untuk mengulas
tentang makna keadilan itu sendiri, tetapi hanya sekedar membuktikan adanya keterkaitan keduanya. 46 Makmun, dkk., Poligami…., h. 29-30.
41
B. Penafsiran Keadilan dalam QS. Al-Nisâ’ ayat 3 dan 129
1. Teks, Terjemahan dan Asbâb al-Nuzûl QS. Al-Nisâ’ (4): 3 dan 129
ع فإن وإن خفتم ث ورب ن ٱلنساء مثنى وثل مى فٱنكحوا ما طاب لكم م ألا تقسطوا في ٱليت
ألا تعولوا لك أدنى نكم ذ حدة أو ما ملكت أيم ٣خفتم ألا تعدلوا فو
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya”. (Q.S. Al-Nisâ’: 3)
Ayat ini dilatarbelakangi oleh beberapa riwayat yang mempunyai redaksi yang
berbeda-beda sebagai asbâb al-nuzûlnya. Diantaranya :47
1. Riwayat dari Âisyah :
وإن:"عائشة عن عروة، عن الزهري، عن معمر، عن املبارك، ابن حدثنا قال، محيد ابن حدثنا هي أخيت، ابن يا: فقالت ،"النساء من لكم طاب ما فانكحوا اليتامى يف تقسطوا أال خفتم صداقها، سنة من بأدىن ينكحها أن ويريد ومجاهلا، ماهلا يف فريغب وليها، حجر يف تكون اليتيمة من سواهن ما ينكحوا أن وأمروا الصداق، إكمال يف هلن يقسطوا أن إال ينكحوهن أن فنهوا
48.النساء
Artinya : Telah bercerita kepada kami Ibn Humaid, ia berkata : Telah bercerita
kepada kami Ibn al-Mubârak, dari Ma’mar, dari al-Zuhrî, dari ‘Urwah, dari
‘Âisyah terkait ayat ke-3 Surah al-Nisâ’ lalu berkata : Ketahuilah bahwa dulu
ada seorang anak dari saudara perempuanku, dia seorang perempuan yatim
yang berada dalam lindungan walinya, namun sang wali berkeinginan untuk
menguasai harta dan kecantikannya, sehingga ia berniat untuk menikahinya
dengan mahar yang sangat rendah. Namun mereka (para wali itu) dilarang
untuk menikahi mereka kecuali jika mereka bisa berlaku adil terhadap
47 A. Mujab Mahali, Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman al-Qur’an surat al-Baqarah- al-Nâs
(Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002)., h. 205-206. 48 Hadis ini diriwayatkan oleh Imâm al-Thabarî dalam kitabnya Tafsîr al-Thabarî dengan tujuh
sanad, baik yang lengkap ataupun yang dipotong. Hadis tersebut berstatus sahih. Demikian juga, hadis
tersebut diriwayatkan oleh Imâm al-Bukhârî dalam Shahîh al-Bukhârî sebanyak 12 kali. Begitu juga
Imâm al-Baihaqî dalam Sunan Al-Kubra-nya dengan sanad yang bermacam-macam., h. 358.
42
perempuan-perempuan yatim tersebut dengan menyempurnakan mahar
mereka. Jika mereka tidak mampu, maka mereka diperintahkan untuk menikahi
perempuan lain selain perempuan-perempuan yatim tersebut.
2. Hadis Riwayat ‘Ikrimah :
مسعت قال، مساك عن شعبة، حدثنا قال، جعفر بن حممد حدثنا قال، املثىن بن حممد حدثنا قريش من الرجل كان: قال ،"اليتامى يف تقسطوا أال خفتم وإن:"اآلية هذه يف يقول عكرمة فنزلت: قال األيتام، مال على فيميل ماله، فيذهب األيتام، عنده ويكون النسوة، عنده يكون 49".النساء من لكم طاب ما فانكحوا اليتامى يف تقسطوا أال خفتم وإن:"اآلية هذه
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn al-Mutsannâ, ia
berkata : telah bercerita kepada kami Muhammad ibn Ja’far, ia berkata : telah
bercerita kepada kami Syu’bah, dari Simâk, ia berkata : saya mendengar
‘Ikrimah berkata terkait ayat surah al-Nisâ’ ayat ke-3, ada seorang laki-laki dari
golongan Suku Quraisy mempunyai beberapa orang istri dan pada saat yang
sama ia juga mempunyai tanggungan beberapa orang anak yatim. Lalu harta
pribadinya habis, sehingga dia melirik harta anak-anak yatim yang ia jaga, maka
turunlah ayat tersebut.
3. Hadis riwayat Sa’îd ibn Jubair :
كان قال، جبري بن سعيد عن أيوب، عن علية، ابن حدثنا قال، إبراهيم بن يعقوب حدثين وإن:"فنزلت اليتامى، فذكروا: قال عنه، ينهوا أو بشيء يؤمروا أن إال جاهليتهم، على الناس خفتم فإن ورباع وثالث مثىن النساء من لكم طاب ما فانكحوا اليتامى يف تقسطوا أال خفتم
فكذلك اليتامى، يف تقسطوا ال أن خفتم فكما: قال ،"أميانكم ملكت ما أو فواحدة تعدلوا أال 50.النساء يف تقسطوا ال أن فخافوا
Artinya : Telah menceritakan kepada saya Ya’qûb ibn Ibrâhîm, ia berkata : telah
bercerita kepada kami Ibn ‘Ulayyah, dari Ayyûb, dari Saîd ibn Jubair, ia berkata
: adalah manusia pada masa jahiliyyah, mereka diperintah untuk sesuatu dan
dilarang juga untuk sesuatu tersebut, lalu ia melanjutkan, maka mereka
menyebutkan bahwa hal itu adalah perkara tentang anak-anak yatim, maka
turunlah ayat surah al-Nisâ’ ayat ke-3. Sedangkan terkait potongan ayat, “maka
nikahilah perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat.” hingga
akhir, ia berkata : maka sebagaimana kamu khawatir tidak bisa berlaku adil
49 Hadis ini dirawayatkan oleh Imam al-Tabarî dalam kitabnya Tafsîr al-Tabarî., h. 361. 50 Hadis ini dirawayatkan oleh Imam al-Tabarî dalam kitabnya Tafsîr al-Tabarî., h. 363.
43
terhadap anak-anak yatim, maka seperti demikian maka takutlah kalau kamu
tidak bisa berlaku adil terhadap istri-istri kamu.
لا ٱلميل فتذروها كٱلمعلاقة ولن تستطيعوا أن تعدلوا بين ٱلنساء ولو حرصتم فل تميلوا ك
حيما كان غفورا را قوا فإنا ٱللا ١٢٩وإن تصلحوا وتتا
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu
terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (Al-Nisâ’: 129)
Ayat ini mempunyai asbâb al-Nuzûl sebagai berikut :51
قال الوهاب عبد حدثنا قال، بشار ابن وحدثنا علية ابن حدثنا قال، إبراهيم بن يعقوب حدثين نسائه بني يقسم كان وسلم عليه اهلل صلى اهلل رسول أن: قالبة أيب عن أيوب، حدثنا مجيعا،
لك فيما ت لمين فال أملك، فيما ق سمي هذا اللهم: يقول مث فيعدل، 52.أملك وال ت Artinya : telah menceritakan kepadaku Ya’qûb ibn Ibrâhîm, ia berkata : telah
menceritakan kepada kami Ibn ‘Ulayyah, dan telah bercerita kepada kami ibn
Basysyâr, ia berkata : telah bercerita kepada kami ‘Abd al-Wahhâb, keduanya
berkata : telah bercerita kepada kami Ayyûb, dari Abî Qilâbah bahwa
Rasûlullâh SAW telah berusaha membagi waktunya untuk para istrinya dengan
adil, kemudian ia berkata : Ya Allah ini adalah usahaku dalam membagi sesuatu
yang aku miliki (waktu dan nafkah), maka janganlah engkau menghukumku
dalam hal yang Engkau miliki dan tidak aku miliki (kecenderungan hati dan
cinta).
Selanjutnya, penulis akan mendeskripsikan penafsiran ulama yang berbeda
zaman mengenai keadilan dalam QS. An-Nisa ayat 3 dan 129. Kitab tafsir yang diteliti
untuk mendeskripsikan penafsiran tersebut ialah Jami’ al-Bayān fī Tafsīr Al-Qur`an
51 Mahali, Asbabun Nuzul…, h. 280-281.
52 Hadis ini diriwayatkan oleh Imâm al-Tabarî dalam Tafsîr al-Tabarî, Imâm Abû Dâud dalam
Sunan Abî Dâud, Imâm al-Nasâ’i dalam kitab Sunan al-Nasâ’i, Imâm Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu
Mâjah, Imâm al-Tirmidzî dalam Sunan al-Tirmidzî, Imâm al-Baihaqî dalam Sunan al-Kubra. Imâm Ibn
Hajar dalam Fath al-Barî berkata : Hadis ini diriwayatkan oleh empat orang imam dan dishahihkan oleh
Ibnu Hibbân dan Imâm Hakîm.
44
karya Ibnu Jarir al-Tabarī (224-310 H./838-922 M.), Tafsīr al-Kabīr karya Fakhruddin
al-Rāzī (lahir 545 H./1150 M.), dan Tafsīr al-Manār karya Muhammad Abduh dan
Rasyīd Ridā. Alasan mengapa tiga kitab tafsir tersebut yang dipakai ialah: Pertama,
mayoritas ulama menilai kitab tafsir al-Tabarī sebagai kitab tafsir yang mengumpulkan
hadis sebagai sumber tafsir atau disebut juga dengan tafsir bi al-ma’tsur, meskipun
kemudian pengarangnya juga melakukan ijtihad dan memilih pendapat yang dinilainya
lebih kuat. Kitab tafsir ini dalam perkembangannya dijadikan sebagai sumber rujukan
baik oleh mufassir yang menggunakan riwayat maupun yang menggunakan akal
(ra’yu). Selain itu, para sarjana Barat juga menggunakannya sebagai sumber informasi
yang utama. 53
Kedua, dalam Tafsīr al-Kabīr, al-Rāzī dalam menafsirkan teks al-Qur`an banyak
menggunakan argumentasi teologi dan filsafat sehingga tidak sedikit ulama yang
mengategorikan tafsir ini sebagai kitab tafsir yang bernuansa falsafī. Di samping itu,
al-Rāzī juga sangat menonjol dalam melakukan munasabah (mencari korelasi makna),
baik antara satu ayat dengan ayat lain maupun antara surat dengan surat lain, dalam
membahas suatu masalah. Hal ini menjadikan pembahasannya terhadap suatu ayat
mengenai masalah tertentu terlihat komprehensif, komulatif, dan tuntas. Dengan
demikian secara general karakteristik kitab tafsir ini adalah keluasan dan kedalaman
53 Kitab ini banyak digunakan untuk mengetahui jenis-jenis qira’ah dan memahami
perbandingan riwayat sabab al-nuzȗl. Sebagai kitab tafsir klasik, maka kitab ini juga dipakai untuk
memahami makna kosakata (mufradāt) ayat-ayat al-Qur’an, seperti yang umu dipahami di kalangan ahli
linguistic, bahwa kosakata cenderung mengalami pengembangan makna. Jika terdapat perbedaan di
kalangan ulama tafsir tentang makna sebuah kosakata, maka penulis merujuk pada tafsir ini, karena tafsir
ini lebih dekat masanya kepada Rasulullah. Lihat Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan; Bias
Laki-laki dalam Penafsiran (Yogyakarta; LKiS, 2003), h. 13
45
pembahasan, terbuka dalam mengemukakan pendapat, mendalam adu argumentasinya,
menggunakan berbagai variasi metode penafsiran, banyak mengungkapkan perbedaan
qira’at, banyak memaparkan riwayat-riwayat, dan berkecenderungan terhadap aliran
ortodoks Sunni, terutama aliran Asy’ariyah yang berusaha membela dan
mempertahankan mazhab Syafi’i. 54
Ketiga, kitab Tafsīr al-Manār ditulis pada saat perkembangan pemikiran Islam
memasuki era modern, yaitu era umat Islam tergugah dan bangkit untuk melakukan
reformasi, modernisasi, dan purifikasi ajaran Islam, setelah sekian lama mengalami ke-
jumud-an. Selain itu tafsir ini memperkenalkan dirinya sebagai sebagai salah satu kitab
tafsir yang menghimpun riwayat-riwayat shahih dan pandangan akal yang tegas
menjelaskan hikmah-hikmah syariat dan sunnatullah terhadap manusia, dan
menjelaskan fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk yang final untuk seluruh manusia, dan
bisa operasional dalam berbagai ruang dan waktu. Tafsir ini merupakan salah satu tafsir
yang berorientasi pada sastra-budaya dan kemasyarakatan (tafsīr al-adabī wa al-
ijtima’ī); suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat al-Qur’an pada
segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya
dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur’an.55
54 Tafsir ini juga biasa disebut Mafātih al-Ghaib. Tafsir ini digunakan sebagai rujukan dalam
melacak berbagai pendapat para ulama tentang suatu masalah, karena salah satu cirri kitab tafsir ini
adalah perbandingan. Kekhususan lainnya ialah di dalam mengemukakan pendapat para ulama, al-Razī
berupaya memelihara jarak dengan pendapat ulama yang dikemukakannya sehingga tidak tampak
keberpihakannya pada salah satu pendapat. Kalaupun ia mendukung salah satu pendapat ia memberikan
argumentasi yang kuat atau alasan dukungannya. Lihat Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan,
h 13. 55 Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan, h. 14
46
2. Tafsîr Al-Tabarî
a. Al-Nisâ’ : 3
Dari semua riwayat yang dipaparkan oleh al-Tabarî dalam kitab tafsirnya, Abû
Ja’far al-Tabarî berpendapat bahwa pendapat yang yang paling benar adalah pendapat
yang menyatakan bahwa jika seorang wali khawatir tidak bisa berlaku adil terhadap
anak-anak yatim, maka demikian pulalah hendaknya mereka khawatir terhadap istri-
istrinya. Sehingga janganlah mereka (para wali) menikahi anak-anak yatim hingga
mereka yakin bahwa mereka tidak akan berbuat zalim terhadap anak-anak yatim
tersebut dari satu hingga empat orang sekaligus. Namun jika para wali tersebut masih
khawatir dengan satu orang misalnya, maka janganlah nikahi ia, tetapi cukuplah bagi
mereka hamba sahaya yang mereka miliki. Sesungguhnya hal itu lebih aman dan
menentramkan bagi mereka. Adapun alasan al-Tabarî mengatakan bahwa pendapat ini
benar karena Allah mengawali ayat sebelumnya dengan larangan memakan harta anak-
anak yatim tanpa alasan yang benar serta menyampurkannya dengan harta lain selain
harta mereka. Lalu Allah berfirman, “Maka berikanlah terhadap anak-anak yatim
tersebut harta mereka dan janganlah kalian menyampurkan harta yang buruk dengan
yang baik dan juga jangan memakan harta mereka ke dalam harta kalian,
sesungguhnya hal tersebut termasuk dosa yang sangat besar”.56
Kemudian Allah mengingatkan mereka bahwa jika mereka bertakwa kepada
Allah dalam hal ini, maka jauhilah dosa tersebut. Sehingga hal yang wajib bagi mereka
56 Abû Ja’far al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayi al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyyah, 1987). Juz VII., h. 358.
47
sebenarnya adalah bertakwa kepada Allah dan berhati-hati dalam urusan perempuan
sebagaimana mereka berhati-hati dalam urusan anak-anak yatim. Selain itu Allah juga
mengingatkan mereka bagaimana cara menyelamatkan diri dari sifat aniaya terhadap
perempuan sebagaimana mereka juga ingin selamat dalam sifat zalim terhadap harta
anak-anak yatim.
al-Tabarî berkata:“menikahlah kalian (laki-laki) jika kalian sudah merasa aman
dari sifat aniaya terhadap perempuan, (jika tidak) maka Saya tidak akan
membolehkan kalian untuk menikahi mereka. Sementara itu Saya halalkan bagi
kalian (yang sudah merasa yakin untuk tidak berlaku zalim terhadap istrinya)
untuk menikahi dua, tiga, hingga empat orang perempuan sekaligus. Namun
jika perasaan untuk tidak bisa berlaku adil itu masih ada, maka cukup dengan
satu orang istri saja sesuai dengan kesanggupan. Dan jika dengan satu orang
juga masih belum yakin, maka janganlah menikahi mereka, akan tetapi
cukuplah bagi kalian hamba sahaya yang kalian miliki, karena tanggungjawab
terhadap mereka tidak seberat tanggungjawab kepada perempuan-perempuan
merdeka, karena mereka hakikatnya adalah milik dan harta kalian.”57
Dari pendapat diatas dapat kita simpulkan bahwa al-Tabarî memahami ayat di
atas dalam konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim yang ada dalam asuhan
walinya, dan juga perempuan-perempuan lain yang menjadi istri mereka. Dia
menafsirkan ayat tersebut dengan kewajiban berlaku adil terhadap perempuan yang
dikawini. Apabila seorang laki-laki tidak dapat berbuat adil terhadap anak yatim yang
dikawininya, maka hendaklah ia mengawini perempuan- perempuan lain yang ia sukai,
dua, tiga ataupun empat. Namun, jika dia khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap
mereka, maka nikahilah satu orang saja. Jika masih khawatir tidak bisa berlaku adil
walupun terhadap satu orang saja, maka janganlah kamu menikahinya. Akan tetapi
bersenang-senanglah dengan budak yang mereka miliki, karena budak-budak itu
57 al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân…, h. 367.
48
adalah miliknya dan merupakan hartanya, yang demikian itu lebih dekat pada
keselamatan dari dosa, aniaya, dan penyelewengan terhadap perempuan.
b. Al-Nisâ’ : 129
Al-Tabarî berpendapat bahwa para suami tidak akan sanggup untuk
menyamakan semua istri-istrinya dalam hal cinta dan kasih sayang, sehingga yang
dituntut dari para suami adalah berusaha sekeras mungkin untuk menyamakan
perlakuan terhadap para isteri dengan cara bersikap sama terhadap masing-masing dari
mereka, para suami tidak akan mampu belaku adil dalam perkara hati sekalipun mereka
telah berusaha sekuat tenaga untuk itu, karena persoalan kecenderungan hati bukanlah
kuasa mereka, namun perkara yang muncul secara natural dalam hati seseorang.58
Al-Tabarî berkata : Sesungguhnya Allah telah memerintahkan melalui firman-
Nya dalam surat al-Nisâ’ ayat ke-129 tersebut akan para suami untuk berlaku
adil terhadap para istri mereka sesuai dengan kemampuan mereka seperti
membagi jatah harian (nafkah batin), nafkah lahir, tidak berlaku aniaya
terhadap fisik mereka. Dan Allah memaafkan mereka dari hal yang tersembunyi
seperti rasa cinta dan kasih sayang yang terselip dalam hati mereka terhadap
masing-masing istrinya.59
Dari pemaparan al-Tabarî di atas dapat kita lihat bahwa menurut al-Tabarî
berlaku adil terhadap istri dalam hal cinta dan kasih sayang adalah hal yang tidak
mungkin atau tidak akan mampu dilakukan oleh seorang suami, ketidakmampuan
berlaku adil dalam hal cinta dan kasih sayang ini, jangan sampai membuat suami
58 al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân…., h. 566-567. 59 al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân…., h. 570
49
berlaku tidak adil dalam hal materi seperti pembagian harta, waktu dan ha-hal bersifat
materi
3. Tafsir Fakhruddîn Al-Râzî
a. Al-Nisâ’ : 3
Berbeda dengan al-Tabarî, al-Râzî menambahkan bahwa firman Allah :
ت قسط وا jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil(وإنخفت مألا ( sebagai syarat, dan
م واما طابلك sebagai (Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi) فانكح
suatu kebolehan. Dengan demikian, mesti ada keterangan yang jelas tentang bagaima
na sebenarnya hubungan antara kebolehan menikahi perempuan-perempuan yang
disukai (beristri sampai empat atau poligami) dengan syarat tersebut.60
Menurut al-Râzî, untuk menjawab pertanyaan tersebut, dikalangan para
mufassir ada empat alasan61 :
1. Karena adanya wali yang tertarik kepada kecantikan dan harta anak yatim
perempuan dan bermaksud menikahinya tetapi enggan membayar mahar.
2. Karena adanya lelaki yang berpoligami tetapi tidak memberi hak-hak istri-
istrinya dan tidak berlaku adil terhadap mereka.
3. Karena adanya lelaki yang enggan menjadi wali disatu sisi bagi anak-anak
yatim perempuan, disisi yang lain dia menginginkan untuk menikahinya
akan tetapi dia takut tidak bisa berlaku adil terhadap hak-hak anak yatim,
60 Fakhr al-Dîn al-Râzî, Al-Tafsîr al-Kabîr (Beirut: Dâr al-Fikr, 1995). Juz IX, h. 178. 61 Al-Râzî, Al-Tafsîr…., h. 178.
50
sementara dia takut juga dari dosa zina, maka hendaknya menikahi saja
perempuan-perempuan yang dihalalkan baginya.
4. Karena adanya seorang lelaki yang berpoligami serta mengayomi
anak-anak yatim tetapi tidak mampu memberikan nafkah kepada istri-istri
mereka, maka mereka mengambil harta anak anak yatim yang ada padanya
untuk diberikan kepada istri-istri mereka. Ketika seorang lelaki tidak
mampu berlaku adil terhadap harta anak yatim karena banyak istri maka dil
arang untuk berpoligami.62
Berdasarkan penjelasan di atas, al-Râzî memahami ayat ini masih dalam
kaitannya dengan perintah berlaku adil terhadap anak-anak yatim dan juga keharusan
berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yang dinikahi, al-Râzî menyatakan bahwa
keadilan merupakan pilar atau syarat utama bagi seorang yag hendak melakukan
poligami. Karena menurutnya apabila seorang laki-laki khawatir tidak mampu berlaku
adil terhadap anak-anak yatim yang akan dikawininya, maka hendaklah ia mengawini
perempuan-perempuan lain sebanya yang ia sukai dua, tiga, maupun empat orang istri
agar hilang kekhawatiran tersebut. Namun jika masih khawatir tidak bisa berlaku adil
terhadap empat orang istri maka seorang istri lebih baik bagi mereka. Kemudian Al-
Râzî memperingatkan bahwa batas maksimal empat orang istri, dan batas minimal satu
orang istri. Sedangkan diantara dua batas tersebut (dua atau tiga orang istri) itu boleh-
boleh saja, asal orang tersebut mampu berlaku adil.
62 Al-Râzî, Al-Tafsîr…., h. 179
51
b. Surat Al-Nisâ’ Ayat 129
Menurut al-Râzî potongan pertama dalam ayat ini
واأنتعدل وابينالنساءولوحرصت م“ mempunyai dua catatan:63 ولنتستطيع
1. Ayat tersebut menyebutkan bahwa kalian (manusia) secara adat dan naluri
alamiyah tidak akan sanggup bersikap adil terhadap istri-istri kalian,
sehingga ketika kalian tidak sanggup melakukannya maka kalian tidak
ditaklif (dibebani) untuk melakukannya. Kaum Mu’tazilah berpendapat
bahwa hal ini tergolong sebagai pensyariatan sesuatu yang tidak mungkin
dilakukan oleh manusia.
2. Mereka juga tidak akan sanggup untuk berlaku adil dalam perkataan dan
perbuatan, karena perbedaan rasa terhadap masing-masing mereka secara
otomatis akan menyebabkan perbedaan sikap terhadap masing-masingnya.
Karena secara rasio, tindakan tidak akan mungkin muncul tanpa didorong
oleh faktor yang melatarinya.
Al-Râzî berpendapat terkait dengan ungkapan "الميل ك لا تميل وا "فال mengandung
makna bahwa kalian tidak dilarang untuk mencintai secara lebih salah seorang dari
istri-istri kalian, karena persoalan hati bukan menjadi urusan kalian. Namun kalian
dilarang untuk menampakkan perbedaan rasa cinta itu secara nyata kepada mereka,
baik dalam hal perkataan atau sifat. Dari pendapat al-Râzî dapat kita lihat bahwa
keadilan yang dimaksud dalam ayat ini adalah keadilan dalam segi immateri namun,
63 Al-Râzî, Al-Tafsîr…., Juz XI, h. 68.
52
dengan bijak al-Râzî menyatakan bahwa ketidakmampuan berlaku adil dalam perihal
cinta jangan sampai membuat seseorang tidak mampu berlaku adil dalam perihal
perilaku terhadap istri-istrinya.64
4. Tafsir Al-Manâr
a. Al-Nisâ’ : 3
Rasyîd Ridâ berpendapat bahwa ayat ini pada awalnya berbicara tentang wasiat
untuk menjaga anak yatim, baik harta maupun kesucian mereka. Yang dimaksud
dengan istilah yatim di sana adalah para yatim perempuan dan yang dimaksud dengan
perempuan di sana adalah perempuan yang bukan yatim. Artinya adalah jika kalian
khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim, maka
bermuamalahlah (berinteraksilah) dengan mereka sebagaimana kalian bermuamalah
dengan perempuan selain mereka dalam memberikan mahar pernikahan mereka atau
dalam persoalan lainnya dan bahkan harus lebih baik lagi. Namun jika kalian tidak
sanggup untuk itu, maka jangan nikahi mereka, tapi menikahlah dengan perempuan
lain yang dihalalkan bagi kamu dan menarik perhatian kamu selain perempuan-
perempuan yatim tersebut.65
Sementara itu Muhammad ‘Abduh menyikapi penyebutan perihal poligami
dalam konteks ayat yang dikaitkan dengan kasus anak-anak yatim serta larangan
memakan harta meraka sekalipun lewat jalan pernikahan melalui perkataannya:
“Jika kalian merasa takut dari memakan harta istri kalian yang yatim, maka
janganlah kalian menikahi mereka! Karena sesungguhnya Allah telah
menjadikan alternatif bagi kalian terkait dengan anak yatim dengan
64 Al-Râzî, Al-Tafsîr…., h. 68.
65 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr (Beirut: Dâr al Ma’arifah)., Juz IV, h. 245.
53
membolehkan kalian menikah dengan empat orang perempuan selain mereka
secara sekaligus. Namun, jika kalian khawatir tidak bisa berlaku adil terhadap
mereka semua, maka satu istri saja lebih baik. Standar takut dari ketidakadilan
bisa diketahui dengan sangkaan kuat atau keragu-raguan terkait hal itu, bahkan
juga bisa diketahui lewat kebimbangan untuk melakukannya. Akan tetapi,
syariat Islam mentolerir kebimbangan, karena sedikit sekali ilmu yang bisa
memastikan hal ini. Maka hal yang dibolehkan untuk seorang laki-laki dalam
kasus ini adalah ia menikah dengan perempuan kedua atau lebih dengan catatan
dia yakin terhadap dirinya bahwa dia sanggup untuk berbuat adil (tidak ragu-
ragu).”66
Kemudian ‘Abduh melanjutkan penjelasannya : Ketika Allah berfirman, “Maka
jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukup menikah dengan satu orang
perempuan.”,67 Ia menjelaskan sebabnya melalui perkataan ذلكأدنيألتعولوا, artinya hal
itu lebih dekat dari tidak berlaku zalim, maka Allah jadikan usaha preventif agar tidak
berbuat zalim menjadi alasan pensyariatan menikah dengan satu perempuan saja.
Asumsi ini diperkuat dengan adanya syarat untuk berlaku adil serta penegasan bahwa
sikap adil itu sebagai hal yang sangat berat dan tidak mudah sebagaimana yang
disinggung oleh Allah pada surat al-Nisâ’ ayat 129 (tafsiran ayat ini sudah disebutkan
di tafsiran ayat ke 129 yang saya kirim minggu lalu). Muhammad ‘Abduh juga
mengatakan : Barang siapa yang merenungkan kedua ayat di atas (al-Nisâ’ ayat ke 3
dan 129), niscaya dia akan mengetahui bahwa pembolehan poligami dalam Islam dikait
dengan syarat yang ketat, seolah-olah ia hanyalah pintu darurat yang diperbolehkan
bagi orang yang membutuhkannya dengan syarat dia yakin bisa berlaku adil. Manakala
seseorang merenungi ketatnya syarat ini pada zaman sekarang serta kemudaratan yang
mungkin saja muncul akibat poligami, niscaya dia akan memastikan bahwa tidak
66 Rasyîd Ridâ, al-Manâr…., h. 348.
54
seorangpun yang mampu mengkampanyekan syariat poligami tersebut. Karena sebuah
rumah yang didalamnya ada dua orang istri tidak akan mungkin tetap dalam kondisi
aman dan tentram serta juga tidak berjalannya aturan yang dibikin oleh sang suami,
bahkan sang suami bisa saja bekerja sama dengan salah seorang dari keduanya untuk
memusuhi yang lain. Kemudian permusuhan itu menjalar kepada anak-anak keduanya,
sehingga dengan demikian mudarat poligami berkembang dari individu menuju rumah
dan dari rumah menuju keturunan (umat/antar keluarga).68
Muhammad ‘Abduh melanjutkan keterangannya:
“Poligami pada awal Islam memiliki beberapa faedah yang terpenting di
antaranya adalah untuk menghubungkan keturunan dan memperbanyak
kerabat. Tidak ada di dalamnya hal-hal negatif seperti yang ada pada zaman
sekarang, karena sesungguhnya agama menjadi tempat sandaran bagi
perempuan dan laki-laki sehingga pilihan berpoligami tidak merusak tatanan
keberagamaan mereka. Adapun hari ini kemudaratan poligami berefek terhadap
anak dari masing-masing istri hingga ke orangtua dan karib kerabat mereka. Hal
itu membangkitkan permusuhan dan kekacauan antara mereka semua, bahkan
bisa menimbulkan pencurian, perzinaan, kebohongan, khianat, rasa takut, kata-
kata kasar, serta yang paling parah, berupa saling bunuh-bunuhan.”69
Hal itu semua pernah terjadi di berbagai pengadilan yang ada yang mengurusi
persoalan-persoalan tersebut. Hal itu juga disebabkan oleh kurangnya rasa
keberagamaan dari masing-masing pihak, sehingga mengunggulkan egonya masing-
masing saja. Sehingga dengan demikian, sekali lagi tidak ada kesempatan bagi kita
untuk mengkampanyekan gerakan berpoligami kepada masyarakat.70 Maka sudah
menjadi kewajiban ulama untuk memikirkan masalah ini khususnya para ulama-ulama
mazhab karena agama sejatinya diturunkan untuk kemaslahatan manusia dan kebaikan
68 Rasyîd Ridâ, al-Manâr….., h. 348-349. 69 Rasyîd Ridâ, al-Manâr….., h. 349. 70 Rasyîd Ridâ, al-Manâr….., h. 349-350
55
mereka serta menolak kemudaratan. Apabila dalam sebuah kasus terdapat kemudaratan
yang muncul belakangan, maka hal itu akan menghendaki adanya perubahan terhadap
hukum dari kasus tersebut agar bisa diimplementasikan dalam era kekinian.
Berdasarkan keterangan ini, dapat diketahui bahwa Muhammad ‘Abduh menghukumi
poligami dengan hukum haram jika sang suami tidak dapat berlaku adil.71
Ini merupakan pendapat Muhammad ‘Abduh yang disampaikan pada
ceramahnya yang pertama tentang surat al-Nisâ’ ayat 3. Kemudian diceramahnya yang
kedua dia menjelaskan: “Telah berlalu keterangan bahwa kebolehan poligami dikait
dengan syarat-syarat yang sangat ketat (sulit untuk dicapai yaitu adil teradap para
istri)”.
Syekh Muhammad ‘Abduh melanjutkan keterangannya:
“Adapun potongan ayat أيمان ك م ملكت ما diatafkan (dihubungkan) kepada أو
potongan ayat فواحدة yang artinya maka cukuplah bagimu satu orang istri saja
yang diperlakukan secara adil, ini berlaku untuk laki-laki yang menikah dengan
banyak perempuan atau cukuplah bagi kalian untuk menggauli budak-budak
kalian saja dengan tanpa syarat apapun. Hal itu lebih aman agar kalian tidak
berlaku zalim terhadap banyak perempuan, karena berlaku adil terhadap para
budak tidaklah diwajibkan karena mereka tidak berhak untuk mendapatkannya.
Hanya saja yang wajib diberikan kepada mereka adalah kecukupan (materi)
semata. Hal ini bukan berarti kebolehan kaum muslimin semenjak masa-masa
awal berkembangnya Islam untuk berlebih-lebihan dalam menggauli budak
dengan cara yang benar ataupun tidak ketika hal itu mengakibatkan
kemudaratan sebagaimana yang telah disaksikan bersama pada saat ini. Rasyid
Rida kurang sependapat dengan ‘Abduh tentang menikahi atau menggauli
budak”72
Sementara itu Rasyîd Ridâ berpendapat Sesungguhnya syariat poligami
berseberangan dengan kaedah asal pernikahan karena seyogyanya seorang laki-laki
71 Rasyîd Ridâ, al-Manâr……, h. 350.
72 Rasyîd Ridâ, al-Manâr……, h. 350.
56
hanya mempunyai satu orang istri saja, sebagaimana halnya seorang istri hanya
mempunyai seorang suami saja. Namun kemudaratan (faktor sosial) telah
menyebabkan hukum tersebut menjadi berubah, terlebih pada umat yang sering
mengadakan perperangan seperti umat Islam pada awal-awal perkembangannya.
Sehingga dengan demikian poligami itu dibolehkan karena darurat, akan tetapi
disyaratkan dalam pelaksanaanya untuk tidak berlaku zalim.73
Menurut Rasyîd Ridâ bersikap adil antara dua orang istri itu mustahil karena
ketika seorang suami menikahi istri kedua, otomatis ia akan membenci istri yang
pertama. Maka bagaimana mungkin ia bisa bersikap adil antara keduanya padahal
Allah telah memerintahkannya untuk bersikap adil. Maka yang lebih baik adalah dia
menikah dengan satu orang perempuan saja.74
Dari pemaparan ‘Abduh dan Rasyîd Ridâ di atas dapat kita lihat bahwa kedua
mufassir ini sepakat bahwa syarat kebolehan berpoligami adalah berlaku adil terhadap
para istri, jika seseorang tidak mampu berlaku adil maka haram baginya untuk
melakukan poligami sementara bagi yang mampu berlaku adil, poligami merupakan
pilihan darurat (seperti yang telah di jelaskan ‘Abduh di atas) dan tujuan berpoligami
jelas untuk menolong anak-anak atau perempuan yatim.
b. Al-Nisâ’ : 129
Ayat ini merupakan fatwa lain yang tidak berkaitan langsung dengan dua ayat
sebelumnya. Namun latar belakang ayat ini didasari oleh pertanyaan beberapa orang
yang memiliki dua atau lebih istri sebelum turunnya ayat surah al-Nisâ ayat ke 3. Ayat
73 Rasyîd Ridâ, al-Manâr….., h. 350-351.
74 Rasyîd Ridâ, al-Manâr…., h. 350
57
ini juga dilatarbelakangi dari sikap beberapa orang yang berpoligami setelah mereka,
namun berniat untuk dapat berlaku adil kepada seluruh istri-istri mereka. Akan tetapi
setelah mereka usahakan, mereka kewalahan dan merasa berat untuk dapat berlaku adil
kepada seluruh istri tersebut, terutama dalam hal yang bersifat perasaan atau
hati/kecenderungan. Mereka sanggup berlaku adil dalam pembagian jatah, materi, dan
segala yang bisa terlihat, namun lagi-lagi mereka merasa gagal dalam menata hati agar
menyamaratakan semua istri dalam pandangan hati/perasaan mereka. Karena semua itu
adalah naluriah hati, mereka tidak bisa mengaturnya sedemikian rupa sesuai dengan
ikhtiar dan usaha mereka. Maka oleh sebab itu, Allah Swt memberi keringanan kepada
orang-orang yang bertakwa yang selalu bertekad untuk menjaga diri dari ketidakadilan
dalam hal cinta dan kecenderungan hati. Allah menjelaskan bahwa keadilan yang
paripurna terhadap para istri merupakan sebuah hal yang tidak mungkin dicapai oleh
seseorang (suami), sehingga Ia tidak menghisap seorang hamba karena kecenderungan
naluriah ini.75
Seolah-olah Allah berkata:
Manakala kalian berkeinginan untuk menjadikan perkara adil terhadap
seluruh istri sama seperti adilnya dua daun timbangan yang mempunyai berat
yang sama, maka ketahuilah bahwa kalian sekali-kali tidak akan dapat
melakukannya. Mungkin kalian sanggup melakukannya dalam hal-hal yang
bersifat materi, tapi dalam hal immateri seperti keridaan, kasih sayang, rasa
cinta, dan lain-lain, pasti kalian tidak akan bisa melakukannya. Sehingga jika
kondisinya demikian, maka dalam faktanya janganlah kalian terlalu cenderung
kepada istri yang kalian cintai dan menjauhkan diri dari mereka yang kurang
kalian cintai. Hal tersebut dapat membuat mereka (yang kurang kalian cintai)
akan sakit dan merasa menjadi wanita yang terkatung-katung tanpa ada
kejelasan. Seolah-olah mereka bukan lagi menjadi seorang istri namun juga
tidak ditalak. Keringanan yang diberikan kepada kalian (untuk tidak berlaku
adil) hanya dalam persoalan kecenderungan hati saja, yaitu persoalan yang
75 Rasyîd Ridâ, al-Manâr…., Juz. V., h. 448.
58
ikhtiar manusia tidak ada di dalamnya, tidak dalam persoalan yang bersifat
materi dan terlihat. Maka dalam persoalan materi dan segala tingkah laku
yang terlihat ini, kalian wajib berlaku adil terhadap semua mereka.76
Jika kalian bisa melakukan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan dan
ketidakadilan, maka Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Artinya jika kalian
selalu menjaga diri dan memperbaiki pola interaksi dengan para istri serta takut untuk
berbuat zalim terhadap salah seorang di antara mereka serta mengutamakan salah satu
dari mereka dari yang lain dalam hal interaksi keseharian yang bersifat ikhtiyariah (bisa
dipilih/diusahakan) seperti pembagian jatah dan nafkah, maka Allah akan mengampuni
kalian khususnya dalam hal ketidakadilan kalian dalam mengatur hati untuk mencintai
masing-masingnya, karena sesungguhnya Allah mempunyai sifat maha pemberi
ampunan dan sangat penyayang terhadap para hambanya.77
Sebagian kalangan mengira bahwa ayat ini menjadi dalil larangan untuk
berpoligami, apalagi kalau dikaitkan dengan anjuran untuk ber-monogami saja kalau
khawatir tidak bisa berlaku adil sebagaimana yang diisyaratkan oleh surah Al-Nisâ’
ayat ke-3. Seolah-olah, menurut mereka, berpoligami adalah sebuah pekerjaan yang
tidak boleh, karena orang yang khawatir tidak bisa berlaku adil tidak dibolehkan
baginya untuk menikahi lebih dari seorang perempuan. Selain itu, Allah juga telah
memberitahukan bahwa keadilan adalah sebuah hal yang tidak mungkin bisa dilakukan
oleh seseorang, dalam artian tidak mungkin seseorang bisa meyakinkan dirinya untuk
bisa berlaku adil terhadap para istrinya. Maka perasaan untuk tidak bisa berlaku adil
76 Rasyîd Ridâ, al-Manâr….., h. 448-449.
77 Rasyîd Ridâ, al-Manâr…., h. 449.
59
itu merupakan sebuah keyakinan yang sudah pasti ada. Sehingga cukuplah dengan
analisa ini, poligami pada dasarnya adalah terlarang (haram), karena dikhawatirkan
akan menimbulkan kezaliman serta ketidakadilan.78
Menurut Rasyîd Ridâ analisa ini bisa saja benar jika ayat ini hanya sampai pada
redaksi حرصت م ولو النساء بين تعدل وا أن وا تستطيع saja. Namun kenyataannya, Allah ولن
menambah redaksi ayat tersebut dengan ungkapan علاقة كالم وها فتذر الميل ك لا تميل وا .فال
Sehingga keadilan yang tidak bisa dilakukan oleh seorang suami itu adalah keadilan
yang bersifat paripurna yang diinginkan oleh mereka yang mempunyai sifat wara dan
ketakwaan yang tinggi dalam beragama, sebagaimana yang telah kami jelaskan
sebelumnya. Hal ini bersifat pasti, terlihat dari teks “wa law harastum” (sekalipun
kalian berharap akan hal itu), karena keadilan hakiki tergolong hal yang bersifat abstrak
(tidak kasat mata), tidak mudah seseorang bisa menyeimbangkan hati dan perasaannya
agar tetap mencintai secara merata seluruh istri-istrinya. Namun Allah menjelaskan
(kepada mereka yang mempunyai sifat wara dan ketakwaan yang tinggi dalam
beragama tersebut) pada ayat ini tentang apa yang Ia maksud dengan adil itu sendiri,
yaitu adil dalam prilaku dan interaksi sosial yang terlihat, bukan dalam persoalan yang
abstrak yang tidak bisa dilihat. Karena hal yang terakhir ini tidak mungkin bisa
dilakukan oleh manusia. Allah tidak membebani seorang hamba kecuali sesuai dengan
tingkat kemampuannya.79
78 Rasyîd Ridâ, al-Manâr…., h. 449.
79 Rasyîd Ridâ, al-Manâr…., h. 449.
60
BAB III
NASR HÂMID ABÛ ZAYD DAN CHARLES SANDER PEIRCE:
RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRAN
1. Nasr Hâmid Abû Zayd
A. Riwayat Hidup
Nasr Hâmid Abû Zayd lahir di Kairo, tepatnya di sebuah tempat bernama
Quhafa dekat Tanta pada 10 Juli tahun 1943. Ia anak yang pendiam, dan suka sekali
pada sastra. Sedari muda, ia sangat tertarik dengan kajian bahasa dan filsafat. Ia
bahkan fokus pada perangkat metodologi analisa wacana dan dinamika teori teks
dalam semiotika. Jelas, pikirannya menginduk ke Perancis dengan tokoh besar
Derrida, Arkoun dan pengagum Hasan Hanafî. Tak heran, untuk memperkuat
minatnya itu, ia masuk ke Fakultas Sastra Universitas Kairo dan kemudian
mengabdi di sana.1 Pendidikan tingginya mulai S1, S2 dan S3 dalam jurusan Bahasa
dan Sastra Arab di selesaikannya di Universitas Kairo dengan predikat Highest
Honour. Ia pernah tinggal di Amerika selama 2 tahun (1978-1980), saat
memperoleh beasiswwa untuk penelitian doktoralnya di Institut of Midlle Eastern
Studies University of Pennsylvania Philadelphia USA.2
Gejolak sosial politik di Mesir kala itu, selama kurun waktu 1947-1961, di
tengah perlawanan terhadap tentara Israel pada satu sisi dan pertikaian antar elit
1 Wikipedia, the free encyclopedia, Nasr Hâmid Abû Zayd. Lihat juga:
http://www.mesias.8k.com/abuzayd.htm dan lihat juga: Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam
Studi al-Quran,(T.tp: Gema Insani, 2005)., h. 4 2 Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an; Teori Hermeneutika Nasr
Hâmid Abû Zayd (Bandung: Teraju, 2003)., h. 18
61
politik dan elit agamawan di sisi lain3, telah mengusik kesadaran Abû Zayd untuk
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Di usia 11 tahun, tepatnya tahun 1954 ia
resmi menjadi anggota sebuah organisasi Islam yang cukup berpengaruh yaitu
Ikhwân al-Muslimîn4. Saat itu, organisasi tersebut dipimpin oleh Sayyid Qutb dan
ia mulai tertarik pada pemikiran Sayyid Qutb, terutama yang tertuang dalam
karyanya al-Islâm wa al-‘Adâlah al-Ijtimâ’iyyah (Islam dan Keadilan Sosial),
karena di dalamnya lebih menekankan keadilan manusiawi dalam menafsirkan
Islam5.
Sebagai seorang aktifis pembela keadilan, ia juga pernah merasakan
kehidupan getir di balik jeruji besi penjara meski hanya satu hari. Saat Ikhwân al-
Muslimîn tengah konflik dengan pemerintah setempat. Dengan alasan gerakan ini
telah berupaya memusuhi dan mengancam pemerintahan, akhirnya mereka
melakukan penangkapan besar-besaran terhadap anggota Ikhwân, termasuk Abû
Zayd kecil. Kemudian keesokan harinya dibebaskan mengingat usianya masih di
3 Riza Sihbudi, Indonesia Timur Tengah Masalah dan Prospek (Jakarta: Gema Insani Press,
1997)., h. 28. 4 Pendirinya adalah Syaikh Hasan al-Bannâ` (1324-1368 H/ 1906-1949) dari Mesir. Ikhwân
al-Muslimîn merupakan gerakan sosial politik keagamaan yang paling berpengaruh di Mesir, pernah
juga terlibat dalam satuan khusus tentara membantu membantu Palestina di tahun 1948, gerakan ini
menurut pendirinya adalah geraan da’wah salafiyyah, tarîqah sunniyyah, haqîqah sufiyyah, lembaga
politik, klub olahraga, lembaga ilmiah dan kebudayaan, perserikatan ekonomi dan pemikiran sosial.
Ia menekankan kepada pentingnya penelitian dan pembahasan terhadap dalil serta pentingnya
kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah dan membersihkan dari segala bentuk kemusyrikan untuk
mencapai kesempurnaan tauhid. Ikhwân menerapkan tasawuf sebagai sarana pendidikan dan
peningkatan jiwa seperti pernah dilakukan para ahli tasawuf terdahulu yang aqidahnya benar dan
jauh dari segala bentuk bid’ah, khurafat, menghina diri dan sifat negatif. Gerakan ini mulanya
berskala internasional. Lihat buku yang disusun oleh Lembaga Pengkajian dan Penelitian WAMY,
“Ikhwân al-Muslimîn”, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (Akara Ideologis dan
Penyebarannya), terj. A. Najiyulla (Jakarta Timur: al-I’tishom Cahaya Umat, 2002)., h. 7-13. 5 Moch Nur Ichwan, Hermeneutika Qur’an Nasr Hâmid Abû Zayd: Menuju Kesarjanaan
Qur’an Kritis (Thesis, 2000)., h. 13.
62
bawah umur. Sebelumnya, pengalaman pahit ini juga pernah dialami oleh ayahnya,
seorang aktifis Ikhwân al-Muslimîn6.
Abû Zayd mulai mengenal teori-teori Hermeneutika ketika berada di
Universitas Pennsylvania itu. Ia mengakui, bahwa Hermeneutika telah membuka
cakrawala dunia baru kepadanya. Ia menyatakan: “Aku banyak membaca sendiri,
khususnya di dalam bidang filsafat dan Hermeneutika. Hermeneutika, ilmu
menafsirkan teks-teks, telah membuka cakrawala dunia baru kepadaku.” (I did a lot
of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics.
Hermeneutics, the science of interpreting texts, opened up a brandnew world for
me). Sekembalinya dari Amerika, Abû Zayd menyelesaikan disertasi Doktornya
pada tahun 1980 dengan judul “Falsafah al-Ta’wîl: Dirâsah fî Ta’wîl AI-Quran
`inda Muhy al-Dîn ibn `Arabî” (Filsafat Hermeneutika: Studi Terhadap
Hermenutika al-Quran menurut Ibn Arabi). Ia mengklaim bahwa dirinyalah yang
pertama kali menulis tentang Hermeneutika di dalam bahasa Arab dengan
tulisannya “al-Hirminiyutiga wa Mu’dilât Tafsîr al-Nâs” (Hermeneutika dan
Problema Penafsiran Teks) pada tahun 19817. Di dalam karya tersebut, Abû Zayd
memaparkan secara ringkas berbagai teori penafsiran yang telah dilakukan oleh
Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Emilio Betti, Hans Georg
Gadamer, Paul Ricoeur dan Eric D. Hirsch.8
6 Ichwan, Hermeneutika Qur’an…., h. 13 7 Makalah-nya yang berjudul “al-Hirminiyutiga wa Mu’dilât Tafsîr al-Nâs”
(Hermeneutika dan Problema Penafsiran Teks) dapat kita temukan di buku Isykaliyah al-Qirâ’ah
wa Alliyah al-Ta’wîl edisi terjemahan Indonesia oleh Muhammad Mansur (PT. Lkis Pelangi Aksara,
Yogyakarta, 2004)., h. 3-64. 8 Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an (t.t: Gema Insani, 2005)., h. 5
63
Ia kemudian membuat komunitas kritis dalam lingkungannya. Kajiannya
masih seputar wilayah teks, dengan menggali kembali warisan-warisan intelektual
Islam sebagai teks yang harus dikeluarkan dari wacana ideologis. Ia berusaha
mencari tafsir yang ke luar dari hanya pengenalan teks semata, memasuki sisi ikutan
sejarah-politik dan watak ekonomi. Abû Zayd percaya, peradaban selalu
membentuk teks-teks keagamaan tadi. Secara sederhana, proyek kajian Abû Zayd
adalah mencoba membongkar konsep keyakinan. Ia percaya, banyak teks yang
hanya diyakini tanpa upaya pemahaman yang konkret adalah keimanan tanpa
landasan. Maka, segera bukunya terbit, Imâm al-Syâfi’î, Kemodernan,
Eklektisisme-Arabisme yang memicu masalah itu.9
Dan ketika Abû Zayd mendapatkan kesempatan untuk promosi guru
besarnya di Universitas Kairo tempatnya belajar dan mengabdi, Abû Zayd
mengajukan buku itu beserta bukunya yang lain berjudul Naqd al-khitâb al-Dîni,
untuk keperluan pengujian.10
Hari itu datang, tanggal 16 Desember 1993. Namun ternyata forum akhirnya
tidak berjalan sebagaimana yang dia inginkan. Dr. ‘Abd al-Sabur Syahin sebagai
penilai (muqarrir), menilai karya-karya Abû Zayd berkadar ilmiah rendah dan telah
keluar dari kerangka keimanan. Bukunya yang pertama bahkan telah menghina
Imâm al-Syâfi’î dengan tuduhan keji. Ajakan Abû Zayd untuk membebaskan diri
dari kekuasaan teks, di mata Shabur, hal itu adalah ajakan untuk berpaling dari al-
Quran. Kesimpulan yang sama, celakanya, juga diikuti penilai yang lain, Dr.
9 Ichwan, Hermeneutika Qur’an…, h. ix. 10 Lihat: http://www.mesias.8k.com/abuzayd.htm, lihat juga: Charles Hirschkind, heresy or
hermeneutics, the case of nasr hâmid abû zayd, EHR, volume 5, issue 1: Contested Polities Updated
February 26, 1996., h. 465-469
64
Muhammad Baltaqî, Dr. Isma’îl salim, Dr. Sya’ban Isma’îl, Dr. Muhammad
Syuk’ah. Karier akademik Abû Zayd pun tamat. Ia kemudian dikafirkan11.
Dalam buku itu, Abû Zayd memang megkritisi Imâm al-Syâfi’î, dan
mengatakan ulama itu telah secara sepihak menempatkan budaya Quraisy sebagai
sentral penafsiran pada al-Quran. Ia menilai al-Syâfi’î telah membakukan model
pemaknaan al-Quran, teorisasi sunnah sebagai sumber tasyri’ yang otoritatif dan
memperluas sunnah sampai dengan Ijmâ’, tapi menolak qiyâs. “akibatnya, tak bisa
dibedakan lagi mana teks yang primer dan sekunder. Ini menunjukkan watak
moderat al-Syâfi’î hanya semu karena argumentasinya hanya mengutip sosiologis
Quraisy”, kritiknya. Pandangan inilah yang membuat Syahin dan Muhammad
Imarah menjadi emosi. Imarah misalnya, menilai Abû Zayd telah merusak
sakralitas al-Quran dan menyatakan al-Quran bukan ciptaan Tuhan tapi produk
budaya Arab, khususnya Quraisy12. Abû Zayd melawan, menyatakan pada publik:
“I’m sure that I’m a Muslim. My worst fear is that people in Europe may
consider and treat me as a critic of Islam. I’m not. I’m not a new Salman
Rushdie, and don’t want to be welcomed and treated as such. I’m a
researcher. I’m critical of old and modern Islamic thought. I treat the
Qur’an as a nass (text) given by God to the Prophet Mohamed. That text is
put in a human language, which is the Arabic language. When I said so, I
was accused of saying that the Prophet Mohamed wrote the Qur’an. This is
not a crisis of thought, but a crisis of conscience”. (Aku yakin bahwa aku
seorang Muslim. Saya paling takut jika orang-orang di Eropa
memperlakukan saya sebagai seorang kritikus Islam. Aku tidak demikian.
Aku bukan Salman Rushdie yang baru, dan tidak ingin harus
diterima dan diperlakukan seperti itu. Aku seorang peneliti. aku kritis
terhadap pemikiran Islam klasik dan modern. Aku memperlakukan al-Quran
sebagai nas (teks) yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Teks
itu dimasukkan dalam bahasa manusia, yaitu bahasa Arab. Ketika aku bilang
begitu, aku dituduh mengatakan bahwa Nabi Muhammad menulis al-Quran.
Ini bukan krisis pemikiran, tapi krisis hati nurani)13.
11 Hirschkind, heresy or hermeneutics…, h. 469-472. 12 Hirschkind, heresy or hermeneutics…., h. 469-472. 13 Hirschkind, heresy or hermeneutics…., h. 469.
65
Polemik pun bertebaran di media massa. Dr. Syahin menjadikan kasus Abû
Zayd ini tema dalam khotbah salat Jum’at di masjid ‘Amr bin al-As, ia memang
imam tetap di sana. Dan dalam waktu singkat, publik pun terbelah, antara yang
simpati dengan Abû Zayd dan kelompok pembencinya. Kelompok pembencinya
mengumpulkan semua tulisan kecaman dan menjadikannya sebuah buku Qisah Abû
Zayd wa Inhisaru al-Almaniyah fî Jamî’ati al-Qâhirah, Kisah Abû Zayd dan
Kehancuran Sekularisme di Universitas Kairo. Buku ini diberi pengantar oleh Dr.
Syahin sendiri dengan kecaman yang sangat pedas. Buku-buku lain pun terbit, Abû
Zayd kian terperosok. Namun, pendukung Abû Zayd tak mau kalah, juga
menerbitkan buku al-Qaul al-Mufîd, Ucapan yang Berguna. Abû Zayd sendiri tak
menyerah, ia ajukan banding kepengadilan untuk mendapatkan haknya sebagai
pengajar di Universitas. Tapi, keputusan pengadilan justru memperburuk
keadaannya. vonis murtad jatuh, dan hukum diterapkan: ancaman kematian,
keharusan perceraian, dan konsekuensi lain dari kemurtadan. Abû Zayd
menangis14.
Pertengkaran ini memuncak dalam sidang banding, dan Abû Zayd
menyambut debat itu dengan kajian yang kian cemerlang, Al-Tafkîr fî zamân al-
Takfîr (Pemikiran di Masa Pengkafiran). Disinilah, ia melontarkan pidato yang
amat terkenal itu: “Ilmu, tidak akan memberikan kepadamu sebagian dirinya,
kecuali kamu menyerahkan seluruh dirimu kepadanya. Jika kamu telah
menyerahkan kepadanya seluruh dirimu, maka dengan pemberian dirinya
kepadamu yang sebagian itu saja, ia sungguh-sungguh menempatkanmu dalam
bahaya”. Dan memang, meski argumentasi buku itu demikian kuatnya dan tak
14 Hirschkind, heresy or hermeneutics…., h. 463-475
66
terbantahkan, Abû Zayd tetap saja dikalahkan. Kekalahannya sekali lagi
membuktikan tesisnya tentang “keyakinan tanpa pemahaman”. Ia kembali
dikafirkan, dan dinilai murtad. Konsekuensinya menurut hukum di sana, sebagai
seorang yang murtad, perkawinannya dibatalkan. Seorang murtad dinilai tak boleh
menikahi wanita muslimah. Dan ketika tangan pengadilan akan memutus
pernikahannya, tahun 1995, ia dengan berat hari “mengungsi” ke Leiden, Belanda,
di mana pemikiran seliar apa pun, sepanjang ada arguemntasinya, bisa tumbuh
merdeka15. Ia harus hidup sebagai ilmuwan yang hidup di negeri orang selama
kurang lebih enam tahun16.
Karya tulis Nasr Hâmid Abû Zayd yang telah diterbitkan antara lain:
a. The al-Qur’an: God and Man in Communication (2000), Leiden
b. Al-Khitâb wa al-Ta’wîl (2000), Dar el-Beida
c. Dawâir Al-Khawf: Qirâ’ah fî Khitâb al-Mar’ah (1999)
d. Al-nas, al-Sultah, al-Haqîqah: al-Fikr al-dîni bayna Irâdah al-Ma’rifah wa
Iradâh al-Haymanah (1995)
e. Al-Tafkîr fî Zamân al-Takfîr: Didda al-Lahl wa al-Zayf wa al-Khurafat
(1995)
f. Naqd al-Khithâb al-Dîni (1994)
15 Hirschkind, heresy or hermeneutics…., h. 463-475. 16 Phil HM. Nur Kholis, Nashr Abû Zayd, beberapa pembacaan terhadap Turats Arab,
sebuah pendahuluan pada terjemahan buku Isykaliyah al-Qira’ah wa Alliyat al-Ta’wil (PT. Lkis
Pelangi Aksara, Yogyakarta,2004)., h. xxv.
67
g. Mafhum al-Nas: Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’an (1990)
h. Al-Ittijah al-‘Aqli fî al-Tafsîr: Dirâsat fî Qadiyyst al-Majaz ‘Nda al-
Mu’tazlat (1982)
i. Falsafat al-Ta’wîl: Dirâsat fî Ta’wîl al-Qur’an ‘Inda Muhyi al-Dîn Ibnu
‘Arabî (1983)
Abû Zayd meninggal pada hari senin 5 juli 2010, akibat serangan virus
langka yang secara medis belum ditemukan cara pengobatannya.17
B. Pemikiran Nasr Hâmid Abû Zayd
• Konsep Wahyu dan Teks al-Quran
Kajian tentang tekstualitas al-Quran sebenarnya bukan merupakan hal baru.
Pengkaji al-Quran muslim kontemporer semisal Mohammed Arkoun, Muhammad
Syahrûr, serta Fazlur Rahmân juga lekat dengan bahasan tersebut. Disini penulis
hanya akan memfokuskan kapan tekstualitas al-Quran dalam pemikiran Nasr
Hâmid Abû Zayd.
Istilah teks (text, wording, phrase) dalam bahasa Arab disebut al-nass.
Dalam bahasa Arab klasik kata “nass" tersebut berarti “"mengangkat" (to raise, to
lift). Pada perkembangan selanjutnya. kata tersebut memiliki berbagai konotasi. Ia
mengalami pergeseran konotasi secara semantik dari suatu yang bersifat fisik
(physical things) kepada wilayah gagasan-gagasan (field of ideas). Namun perlu
diketahui, bahwa kata naas itu sesungguhnya setara dengan apa yang disebut text.
Untuk Itu. sebuah pernyataan yang menegaskan bahwa “tidak diperkenankan untuk
17 Henry Shalahuddin, Al-Qur’an di Hujat (Depok: Al-Qalam, 2007)., h. 246.
68
melakukan ijtihad ketika masih ada teks” (lâ ijtihâd fî mâ fîhi al- nass), adalah
sebagai prinsip yang menegaskan istilah teks kepada makna semantik klasik saja.
Padahal prinsip itu tidak dapat digunakan pada wacana Islam kontemporer. Apabila
prinsip dari pemaknaan tersebut diberlakukan, maka merupakan suatu bentuk
manipulasi samantik, terutama ketika kata nass hanya ditetapkan kepada al-
Quran18.
Teks al-Quran sebagai pesan berarti bahwa masyarakat yang menjadi
sasarannya adalah seluruh manusia, manusia yang terkait dengan sistem bahasa
yang sama dengan teks, dan yang terkait dengan peradaban di mana hahasa tersebut
dianggap sebagai sentralnya19. Karena itu, penelusuran konsep teks oleh Abû Zayd
ini sesungguhnya bertujuan untuk pertama, menelusuri relasi dan kontak sistematis
(al 'alaqât al murakkabât) antara teks dan kebudayaan yang mempengaruhi
pembentukan teks tersebut. Kedua. teks sebagai bentuk dan kebudayaan20. Pada
tujuan yang kedua ini, pembahaan konsep teks difokuskan kepada aspek yang
terkait dengan masalah kebudayaan dan tradisi. tepatnya masalah historisitas,
otoritas. dan konteks21.
Kenyataan yang menunjukkan bahwa teks al-Quran senantiasa mempunyai
hubungan dialektika dengan masyarakat Arab di masa pewahyuan rnerupakan hal
nyata yang memberikan pengertian bahwa secara tidak langsung teks al-Quran
18 Abû Zayd, The Textuality of the Qur’an: an Introduction to the Translation, (t. tp., t.th).,
h. 1., dalam Hilman Latief, Nasr Hâmid Abû Zayd :Kritik Teks Keagamaan, Cet. 1 (Yogyakarta:
Elsaq Press, 2003)., h. 93. 19 Abû Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulûmul Qur’an, diterj. dari Mafhûm
al-Nas: Dirâsat fî Ulûm al-Qur’an, oleh Khoiron Nahdliyyin, Cet. I (Yogyakarta: LKIS, 2001)., h.
69. 20 Abû Zayd, Mafhûm al-Nas: Dirâsat fî Ulûm al-Qur’an (Beirut: Al-Markaz al-Saqâfî al-
‘Arabî, 2000)., h. 28. 21 Abû Zayd, Mafhûm al-Nas…., h. 28.
69
dibentuk oleh realitas peradaban Arab yang ada di satu sisi, namun di sisi lain juga
teks al-Quran berperan dalam perombakan peradaban lewat pesan atau konsep-
konsep yang ditawarkan dari al-Quran itu sendiri. Jadi proses keduanya saling
terkait. tidak bisa dipisahkan. Oleh karena proses inilah, lalu Nasr Hâmid Abû Zayd
mengatakan bahwa al Quran merupakan produk budaya (muntij al-tsaqâfî). Ide
dasar pemikiran tersebut berasumsi bahwa inspirasi al-Quran adalah Tuhan, akan
tetapi ketika memasuki realitas semesta, wahyu tersebut tersejarahkan dan
termanusiakan oleh "intervensi" budaya dalam bingkai sistem bahasa.22 Pernyataan
Nasr yang menuai banyak kritik dari kalangan penentangnya ini sesungguhnya
mempresentasikan sisi kognitif pengertian al-Quran, yang bisa ditelusuri
diantaranya melalui paradigma teori semiotik. Teks dapat dikatakan sebagai fiksasi
atau pelembagaan sebuah wacana lisan. Sedangkan wacana dalam hal ini adalah
aktivitas sharing pendapat atau pemikiran, dalam arti bahwa wacana merupakan
medium bagi proses dialog antar berbagai individu untuk memperkaya wawasan
dan pemikiran dalam rangka mencari kebenaran. Teks Juga lebih dekat kepada
konsep langue atau sistem tanda yang rnemisahkan dari parole, yaitu sebuah event
(peristiwa) wacana. Oleh karena itu, teks cenderung kehilangan dimensi
spontanitasnya karena subjek pembicara atau penulis tidak hadir. Namun, teks tetap
menjadi bagian dan sebuah wacana yang hidup sehingga dengan demikim dibalik
teks terdapat mata rantai psikologis yang perlu dipertimbangkan oleh
22 Nasr Hamid Abû Zayd, Al-Nass, al-Haqîqat: Al-Fikr al-Dîni bain Irâdat al-Ma’rifat wa
Irâdat al-Haiminat (Beirut: Markaz al-Tsaqâfî al-Arabî, 1994)., h. 74.
70
pembacanya23. Berikut ini adalah bagan untuk menjelaskan tindak komunikasi
wahyu menurut Nasr Hâmid Abû Zayd:
Diagram Tindak Komunikasi Wahyu24
• Semiotika al-Quran (Makna dan Signifikansi)
Pembicaraan mengenai ‘makna’ dan ‘signifikansi’ merupakan dua konsep
penting dalam teori hermeneutika Abû Zayd. Kedua terma ini diperkenalkan dalam
wacana hermeneutik Barat oleh E. D. Hirsch, Jr, dalam Validity in Interpretation,
yaitu:
Bukanlah makna teks yang berubah, namun signifikansinya (yang berubah)
bagi penulisnya. Pembedaan ini teramat sering diabaikan. Makna adalah
makna yang direpresentasikan oleh sebuah teks; ia adalah apa yang
dipresentasikan oleh tanda-tanda. Signifikansi, pada sisi lain, menamai
sebuah hubungan antara makna itu dan seseorang, atau sebuah persepsi,
situasi, atau sesuatu yang dapat dibayangkan…Signifikansi selalu
mengimplikasikan sebuah hubungan, dan satu kutub konstan yang tak
berubah dari hubungan itulah apa yang dimaksud oleh teks. Kegagalan
23 Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kaja Hermeneutik (Jakarta:
Paramadina, 1996)., h. 146-147. 24 Diagram mengutip dari Ichwan, Meretas Kesarjanaan…, h. 74.
Al-Qur’an: Pesan Allah: Pembicara /
Pengirim Pesan
Muhammad:
Penerima
Jibril: Channel
Bahasa Arab: Code
71
untuk mempertimbangkan pembedaan yang simple dan esensi ini telah
menjadi sumber kekacauan yang luar biasa dalam teori hermeneutika.25
Menurut kutipan dari Hirsch di atas, makna adalah apa yang dipresentasikan
oleh teks, sedangkan signifikansi adalah apa yang muncul dalam hubungan antara
makna dan pembaca. Abû Zayd memberikan penjelasan lebih mengenai dua term
tersebut dalam kitabnya, Naqd al-Khitāb al-Dīnī:
Abu Zayd berkata: Perbedaan antara “Ma’na” dan “Maghza”, terletak pada
dua aspek. Pertama, “Ma’na” mempunyai watak historis, ia tidak mungkin
diungkapkan tanpa pemahaman yang memadai terhadap konteks internal
bahasa (al-siyaq al-lughawi al-dakhili) dan konteks eksternal sosial-budaya
(al-siyaq al-tsaqafi al-ijtima’i al-khariji). Dengan bahasa lain, “Ma’na”
adalah pemahaman terhadap teks yang didapatkan dari konteks internal
bahasa dan konteks eksternal sosial-budaya bahasa. Sedangkan “Maghza”
(signifikansi) mempunyai watak kontemporer, ia merupakan hasil
pembacaan yang berbeda dengan masa terbentuknya teks. Yaitu
pemahaman terhadap teks sesuai dengan kondisi kekinian melalui perspektif
pembaca. Kedua, “Ma’na” memiliki watak yang bersifat statis-relatif (al-
stabit al-nisbi), Statis berarti ia merupakan makna asli, relatif karena
memiliki keterbatasan ruang dan waktu. “Ma’na” merupakan arti asli teks
yang sebenarnya, dimanapun teks berada, “Ma’na” selalu menyertai teks
tersebut. Sedangkan “signifikansi” bersifat dinamis dan terus bergerak
mengikuti perputaran cakrawala pembaca yang terus berubah.
Dari sinilah kita bisa melacak, mengapa pemahaman Abu Zaid bahwa
makna bersifat statis, yakni hampir-hampir tak berubah karena historisitasnya,
sedangkan yang dinamis adalah signifikansinya. Namun demikian, Abu Zaid
tampaknya tidak mau terpaku pada teori Hirsch tersebut di atas. Dia berupaya
mengusulkan “tiga level makna” suatu pesan, yang inheren di dalam teksteks
keagamaan, termasuk teks al-Qur’an. Tiga level makna yang dimaksud adalah:
25 E.D. Hirsch, Jr, Validity in Interpretation (New Haven and London: Yale University Pr
ess, 1967/1978)., dalam Ichwan, Meretas Keserjanaan., h. 89.
72
a. Level pertama adalah makna yang hanya menunjuk kepada bukti atau fakta
historis (syawāhid tārikhiyyah), yang tidak dapat diinterpretasikan secara
metaforis.
b. Level kedua adalah makna yang menunjuk kepada bukti atau fakta sejarah
dan dapat diinterpretasikan secara metaforis.
c. Level ketiga adalah makna yang bisa diperluas berdasarkan signifikansi
yang diungkap dari konteks sosio-kultural di tempat teks muncul. Pada level
terakhir ini, makna haruslah diperoleh secara objektif, sehingga signifi kansi
dapat diturunkan darinya secara lebih valid. Namun, signifikansi tidak boleh
merusak makna. Signifi kansi memberikan sedikit ruang bagi subjektivitas
pembaca, yang diarahkan oleh makna yang diderivasi secara objektif itu.26
Pembedaan level makna menurut Abû Zayd, di sisi lain juga berati bahwa
makna suatu pesan tidak selalu menuntut ditariknya suatu signifikansi, seperti pada
level makna yang pertama, misalnya dan ini hanya merupakan salah satu
kemungkinan dari ketiga level makna di atas.
• Dekonstruksi Gender
Sebelum masuk pembahasan, perlu dijelaskan lebih dahulu bahwa yang
dimaksud dengan istilah dekonstruksi gender ini bukanlah meninjau kembali
apakah gender dalam Islam diperlukan atau tidak. Akan tetapi, ia lebih diarahkan
kepada penyorotan benang kusut posisi dan peran perempuan, baik dalam ranah
domestik maupun publik, dengan mengajukan sebuah kerangka gagasan dari nilai-
nilai humanisme. Tentunya dalam hal ini, tidak bisa lepas dari pembacaan kembali
26 Nashr Hāmid Abȗ Zayd, Naqd al-Khitāb al-Dīnī (Kairo; Sinā li al-Nasyr., h. 210
73
(re-reading) terhadap al-Quran sebagai Kitab Suci dengan semangat pembebasan.
Makna-makna patriarkis dan misoginis yang diklaim berasal dari al-Quran
merupakan hasil dari siapa, bagaimana, dan dalam konteks apa orang membaca dan
menyimpulkannya. Makna-makna itu juga terkait erat dengan peran masyarakat
penafsir dan negara dalam membentuk pengetahuan dan otoritas keagamaan yang
memungkinkan diterapkannya model pembacaan yang patriarkis dan misoginis.
Maka tidak menutup kemungkinan bahwa praktek kebudayaan Muslim yang
selama ini bercorak patriarkis dan misoginis pada dasarnya bukan bersumber dari
teks Kitab Suci melainkan dari penafsirannya. Kritik Abû Zayd atas wacana
perempuan dalam Islam merupakan bagian dari upaya dekontruksi gender-nya yang
dapat dijumpai dalam master piece-nya Dawâir al-Khauf: Qirâ’ah fî Khitâb al-
Mar’ah27, di samping itu juga karya-karyanya yang lain.28
Tulisan Kritik Wacana perempuan dalam Islam ini muncul setelah ada
dorongan dari sahabat karibnya Prof. Hasan Yagi, seorang direktur penerbitan di
pusat kebudayaan Arab (Al- Markâz al-Saqâfî al-‘Arabî) melalui pertemuannya di
dalam pameran buku internasional Frankfurt. Pada saat itulah Abû Zayd
27 Menurut penerjemah, Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi, dijumpai upaya
dekonstruksi gender oleh Nasr Hâmid Abû Zayd meliputi isu penting dalam wacana feminisme
Muslim. Diawali dengan prolog yang meninjau kembali kisah Adam dan Hawa yang berkembang
dalam masyarakat, dengan melakukan kritik terhadap penafsiran at-Tabari terhadap kisah itu yang
dianggapnya banyak bersumber dari Bibel. Hal ini menghantarkan dekonstruksi gender-nya yang
terbagi dalam dua bagian, yakni pertama: perempuan dalam wacana krisis. Bagian kedua; kekuasaan
dan hak: idealitas teks dan krisis realitas. Yang masing-masing terdiri dari beberapa bab. Lebih
jelasnya lihat dalam Nasr Hâmid Abû Zayd, Dawâir al-Khauf: Qirâ’ah fî Khitâb al-Mar’ah, Terj.
Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi, Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan
dalam Islam, (Yogyakarta: SAMHA, 2003).
28 Karya-karya yang mendukung karakteristik analisisnya dalam Dawair al-Khauf juga
dipengaruhi oleh karya terdahulunya tentang perempuan yang berjudul al-Mar’ah fî Khitâb al-
Azmah: Perempuan di dalam wacana krisis di Kairo pada 1994. Kemudian teks al-Ittijâh al-‘Agli fî
al-Tafsîr: Dirâsah fî Qadhiyyat al-Majâz fî Al-Qur’an ‘Inda al-Mu’tazilah (Rasionalisme dalam
tafsir, studi problem metafor menurut Mu’tazilah.
74
menyerahkan semua tulisannya dalam Bahasa Arab –baik yang sudah
dipublikasikan maupun yang belum– di mana sebagian besarnya ditulis sebelum
dikeluarkannya “vonis pengadilan” terhadap aspek-aspek pemikirannya.29 Dalam
tulisannya ia menjelaskan bahwa persoalan mendasar dalam wacana keagamaan
adalah wacana tentang perempuan yang bersifat sektarian- rasialistik, dalam
pengertian bahwa ia memperbincangkan keabsolutan perempuan dan
menempatkannya dalam hubungan komparatif dengan keabsolutan laki-laki. Ketika
suatu pola hubungan bahwa antara laki-laki dan perempuan saling berhadapan atau
bertentangan telah terdefinisikan, dan dari situ salah satunya harus tunduk dan
takluk pada yang lain dan masuk secara patuh ke dalam wilayah otoritasnya.30
Menurutnya di dalam penekanan wacana “ekualitas” (al-musâwah) dan
“kemitraan” (al-musyârakah) adanya rasa superior, yakni wacana tentang
sentralitas laki-laki. Ketika perempuan dikatakan mempunyai posisi sejajar maka
yang dimaksud adalah kesejajaran yang diukur dengan ukuran laki-laki. Dan ketika
perempuan dibolehkan bekerjasama maka yang dimaksud adalah bahwa ia
mengabdi kepada laki-laki31. Kritik Abû Zayd terhadap wacana perempuan dalam
Islam dilakukan melalui ijtihadnya mengenai pemahaman, interpretasi dan tafsir
aqidah berangkat dari kesadaran yang tidak mungkin diingkari oleh kaum
muslimin, baik historis, sosiologis, politis, intelektual, dan kultural. Dengan
29 Nashr Hāmid Abȗ Zayd, Dawāir al-Khauf: Qirā`at fī Khitāb al-Mar`ah (Beirut; Al-
Markaz al-Tsaqāfy al-‘Araby, 2004), h.13 30 Ichwan dan Hadi, Dekontruksi Gender…, h. XXXIV. 31Ichwan dan Hadi, Dekontruksi Gender…, h. 51-68.
75
mempublikasikan kajian-kajian mengenai metodologi tafsir dan takwil didalam
budaya Arab-Islam pada satu sisi dan Barat-Kristen pada sisi yang lain32.
Abû Zayd melontarkan kritik sebagai implementasi dari ijtihadnya itu
dengan Bahasa yang terang-terangan tanpa ditutup-tutupi sebagaimana
pengakuannya dalam pengantar buku33. Di dalam keterus terangannya ia berpijak
pada dua titik tolak utama. Pertama, kepercayaan yang mendalam akan solidaritas
Islam dan kekuatannya dalam jiwa manusia jika didasarkan atas akal dan kekuatan
dan lemah argumen serta kacaunya pemahaman kaum muslim atas Islam. Kedua,
dengan adanya iman pada diri seseorang tidak menjauhi pemahaman, penjelasan
dan interpretasi karena kepastian-kepastian iman keagamaan adalah aqidah dan
ibadah. Adapun pengujian dan hipotesis dilakukan melalui dua pendekatan:
pertama, membaca apa yang ditulis ulama terdahulu. Kedua, memperbincangkan
pendapat-pendapat mereka dalam perspektif kontemporer. Hal tersebut dilakukan,
mengingat tradisi pemikiran yang sebelumnya dilakukan dengan pembacaan kritis
dengan wujud karya-karya monumentalnya dalam konteks ruang lingkup dan
interaksi budayanya, harus kehilangan makna daya kritisnya akibat ketertundukan
pada belenggu tradisi yang diyakini kebenaran sahihnya. Sehingga kecenderungan
untuk sekedar mengulang-ulang bahkan meringkasnya tampak lebih dominan
dibandingkan dengan upaya kritis membaca kembali warisan-warisan intelektual
(turats) dalam konteks kekinian. Dengan demikian, kajian gender tentang
32 Abû Zayd membedakan antara tafsir dan takwil, yakni; al-tafsir berarti mengungkap
sesuatu yang tersembunyi melalui tanda yang bermakna bagi mufassir melalui mana ia dapat sampai
pada makna yang tersembunyi atau samar. Sedang al-ta’wil berarti kembali kepada sesuatu
(perbuatan atau perkataan) untuk menyingkap makna yang ditujukan (dilâlah) atau sumber (al-asl),
dan signifikansi (al-maghza) atau implikasi (al-‘aqîbah). Lihat Ilham B. Saenong, Hermeneutika
Pembebasan; Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi (Jakarta: Teraju, 2002)., h.59. 33 Saenong, Hermeneutika Pembebasan….., h. 59.
76
perempuan dalam Islam mutlak dilakukan pembacaan ulang. Bahwa selama ini
kajian gender yang terkodifikasi hanya sekedar kutipan dan ringkasan dari apa yang
sudah dilakukan ulama terdahulu, semisal dari al-Nawâwî dalam kitabnya, Uqûdul
Lujain fî Bayâni Huqûqi al-Zaujain, tanpa mau melihat setting sosialnya, di mana
tantangan kultural dan sosiologis masa sekarang sangat berbeda jauh dari tantangan
yang pernah dihadapi pada masa silam ketika tersusunnya karya tersebut.34
Realitas adanya perubahan kondisi sosial dan membaiknya kedudukan
perempuan dalam masyarakat, maka tidak menutup kemungkinan untuk membaca
teks-teks keagamaan dalam makna historisnya dengan maksud menemukan esensi
dan mengungkapkan yang tetap (immutable), ketentuan-ketentuan yang tidak bisa
berubah (unchangeable dictates) yang tersembunyi di balik kesementaraan dan
perubahan35. Konteks sosio-kultural mempunyai andil besar dalam menafsirkan
sebuah kitab al-Quran. Ketika “teks” harus dipaksa untuk berpisah dengan kondisi
obyektif-historisnya ke dalam wilayah politik untuk melindungi dari kehancuran
dan kemusnahan. Sehingga dalam kondisi seperti ini, al-Quran akhirnya hanya
menjadi mushaf yang kering dan terpisahkan antara teks dan realitas36. Imbasnya
teks-teks agama mengalami transformasi dari obyek yang harus dipahami dan
ditafsirkan sekedar menjadi hiasan yang antik. Padahal, seperti apa yang dikatakan
oleh Abû Zayd bahwa al-Quran sebagai produk budaya (muntaj tsaqâfî) dan pada
akhirnya membentuk budaya (muntij tsaqâfî) yang mempunyai peluang untuk
34 Ichwan dan Hadi, Dekontruksi Gender…., h. 4-49. 35 Saenong, Hermeneutika Pembebasan …., h. 42. 36 Makna teks (nas) dengan musaf (buku) terdapat perbedaan. Distingsi teks lebih merujuk
kepada “makna” (dalâlah) yang memerlukan pemahaman, penjelasan dan interpretasi sedangkan
mushaf lebih merujuk kepada “benda” baik yang bersifat estetik maupun mistik.
77
dikaji dan ditafsirkan, karena ekspresi hubungan dialektiknya antara teks budaya
dan realitas dengan konteks historisnya.37
2. Charles Sander Pierce
A. Biografi Charles Sander Peirce
Charles Sanders Peirce lahir dalam sebuah keluarga intelektual pada tahun
1839. Ayahnya, Benjamin, adalah seorang professor matematika di Harvard. Pada
tahun 1859, 1862, dan 1863 secara berturut-turut, ia menerima gelar B.A., M.A.,
dan B.Sc. dari Universitas Harvard. Selama lebih dari tiga puluh tahun, yaitu antara
1858-1860 dan tahun 1861-1891, Peirce banyak melakukan tugas astronomi dan
geodesi untuk survey Pantai Amerika Serikat (United States oast Survey). Dari
tahun 1879 sampai tahun 1884, ia menjadi dosen paruh waktu dalam bidang logika
di Universitas Johns Hopkins (Lechte, 2001: 222)38.
Peirce adalah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal dan
multidimensional. Namun, sikapnya yang temperamental karena penyakit syaraf
yang diidapnya membuatnya dijauhi oleh para koleganya. Puncaknya, ia
dikeluarkan sebagai dosen dari Universitas Johns Hopkins.
Meskipun Peirce menerbitkan tulisan lebih dari sepuluh ribu halaman cetak,
namun ia tidak pernah menerbitkan buku yang berisikan telah tentang masalah yang
37 Ichwan dan Hadi, Dekonstruksi Gender….., h. 68-80.
38 Menurut Lechte (2001: 222), kualifikasi dan kemampuasn Peirce yang dideskripsikan di
atas tidak perlu menampilkan keterpelajaran klasik yang datang dari karya-karyanya. Ia tidak hanya
menerjemahkan istilah “semiotika” yang sekarang jadi popular itu, dari bahasa Yunani Kuno, tetapi
ia juga menjadi seorang pemikir tentang karya-karya Kant dan Hegel yang ia baca dalam bahasa
Jerman, dan ia juga agak terpengaruh oleh filsafat Yohanes Duns Scotus, khususnya istilah Scotus,
haecceity ini juga mengingatkan kita akan singularitas.
78
menjadi bidangnya. Oleh karena itu, dalam kaitan dengan karyanya tentang tanda,
pemikiran Peirce harus dianggap selalu berada dalam proses dan terus mengalami
modifikasi dan penajaman lebih lanjut. Selain itu, Peirce sering memberikan kesan
bahwa ia selalu merasa perlu untuk memulai perenungannya dengan satu
pertanyaan, seolah setiap kali ia bertemu dengan hadirin yang baru (maka perlu ada
pengulangan). Seolah-olah perumusan yang sudah dilakukan sebelumnya dianggap
kurang mantap (maka perlu ada perubahan dan penajaman). Singkatnya, di sini
tidak ada dokumen Peircean yang sistematis dan definitive mengenai sifat tanda;
yang ada hanyalah peninjauan ulang secara terus menerus dan inovatif sekaligus
berulang.
B. Pemikiran Charles Sanders Peirce
• Mengenal Semiotik
Mungkin sejak manusia pertama hidup di bumi, ketika itu pula manusia
mampu melakukan komunikasi. Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh
komunikasi. Manusia dengan perantaraan tanda-tanda, dapat melakukan
komunikasi dengan sesamanya.39 Menurut Berger tanda-tanda adalah sesuatu yang
berdiri pada sesuatu yang lain atau menambahkan dimensi yang berbeda pada
sesuatu, dengan memakai segala apapun yang dapat dipakai untuk mengartikan
sesuatu lainnnya.40
Sebetulnya gagasan mengenai pemikiran manusia dan fungsi komunikasi
dengan memahami tanda-tanda berlangsung lama dalam tradisi barat. Seorang
39 Alex Sobur, Semitika Komnikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006)., h. 15. 40 Arthur Asa Berger, Tanda-tanda Dalam Kebudayan Kontemporer, Penerjemah: M. Dwi
Marianto dan Sunarto (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000)., h. 1
79
tokoh Sofis, Prodicus, mendasari pengajarannya bahwa pemilihan kata-kata yang
tepat sangat penting bagi efektifnya sebuah komunikasi. Selain itu, Plato,
menyarankan untuk memisahkan antara objek dan nama yang digunakan untuk
menandai objek tersebut, ia menyatakan:
“Any name which yo give, in my opinion, is the right one, and if you change
that and give another, the new name is as correct as the old”
Aristoteles megetahui tanda kebahasaan berasal dari instrumen alam dan ia
mengamati bahwa pikiran manusia diteruskan oleh penggunaan tanda-tanda serta
bahwa kata-kata yang terucap merupakan simbol dari pengalaman mental. Semiotik
mulai dibicarakan dengan baik pada abad pertengahan yang termuat pada tulisan
karya Roger Bacon De Signis, Bacon membedakan tanda-tanda alam (seperti asap
menandakan adanya api), dari tanda-tanda tersebut menyebabkan komunikasi
manusia (baik tanda-tanda verbal maupun non-verbal). Ia mengenalkan model
semiotik triadik yang menggambarkan hubungan antara tanda, objek yang dituju,
dan interpretasi manusia. Model triadik inilah yang menjadikan konsep dasar studi
semiotik modern. Setelah itu seorang filosof Inggris, John Locke pada akhirnya
memberikan sebuah nama untuk studi mengenai tanda-tanda. Dalam Essay
Concerning of Human Understanding, ia menyatakan bahwa “semiotike doctrine of
signs” akan menjadi salah satu cabang dari tiga cabang utama ilmu bersamaan
dengan filsafat alam dan etika praktis.41
Baik istilah semiotika maupun semiologi dapat digunakan untuk merujuk
kepada ilmu tentang tanda-tanda (the sience of signs) tanpa adanya pengertian yang
41 Martin Ryder, “Semiotik Languange and Culture,” artikel diakses pada tanggal 21
Januari 2008 dari http://carbon .cudenever.edu/~mryder/semiotikcs_este.html
80
terlalu tajam. Satu-satunya perbedaan diantara keduanya, menurut Hawkes adalah
bahwa istilah semiologi lebih banyak dikenal di Eropa yang mewarisi tradisi
linguistik Saussurean; sementara itu istilah semiotika cenderung dipakai oleh
penutur bahasa Inggris atau mereka yang mewarisi tradisi Peircean.42
Semiologi dan semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni
loika, retorika, dan poetika. Akar namanya sendiri adalah semeion tampaknya
diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan pehatiannya
terhadap simptomatologi dan diagnostik iferensial.43
Semiotika yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the
study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem
apapun yang memungkinkan seseorang memandang entitas-entitas tertentu sebagai
tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna.
Jika mengikuti Pierce, maka semiotika tidak lain daripada sebuah nama lain
dari logika, yakni doktrin formal tentang tanda-tanda (the formal doctrine of signs);
sementara bagi Saussure, semiologi adalah ilmu umum tentang tanda “suatu ilmu
yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di dalam masyarakat” (a science that studies
the life of signs within society). Dengan demikian, bagi Pierce semiotika adalah
cabang dari filsafat; sedangkan bagi Saussure semiologi adalah bagian dari disiplin
psikoligi sosial. Di dalam perkembangan selanjutnya semiotika juga telah banyak
dipengaruhi oleh srtukturalisme dan post-strukturalisme seperti misalnya,
42 Budiman, Semiotika Visual (Yogyakarta: Buku Baik, 2004), Simptomatologi adalah ilmu
tentang gejala-gejala penyakit, lihat J.S Badudu, Kamus Kata-kata Serapan Asing Dalam Bahasa
Indonesia (Jakarta: P.T. Kompas Media Nusantara,2003). Sedangkan doagnostik infersial adalah
penarikan kesimpulan terhadap jenis penyakit dari tanda atau gejala yang tampak. Lihat J.S. Badudu,
Kamus Kata-kata Serapan Asing., h. 58 dan 152. 43 Kurniawan, Semiollogi Roland Barthes (Magelang: Indonesia Tera, 2001)., h. 49.
81
antropologi srukturalisme Calude Levi Strauss, neo Marsisme-nya Louis Althusser,
neo-Freudianisme Jacques Lacan, serta gramatologi Jacques Derrida.44
• Teori Semiotika Charles Sanders Peirce
Bagi Peirce segala sesuatu adalah tanda. Dengan perantaraan tanda-tanda
kita dapat melakukan komunikasi. Namun tanda tidak hanya dipakai dalam
komunikasi saja, tetapi kita juga menggunakan tanda dalam kehidupan sehari-hari,
yaitu apabila kita mencoba memahami dunia, dan apabila kita sadar atau tidak
dalam tindakan ditentukan oleh cara kita menginterpretasikan tanda.
Menurut Piece kita berpikir hanya dalam tanda. Dan ia pun yakin bahwa
segala sesuatu adalah tanda. Peirce mendefinisikan tanda sebagai berikut:
“I define a sign as anything which is so determined by something else, called
its Object, and so determines an effect upon a person, which effect, I call its
Interpretant, that the latter is thereby mediately determined by former”.
“Saya mendefinisikan tanda sebagai apa pun yang ditentukan oleh sesuatu
yang lain, yang disebut Objek, dan menentukan suatu pengaruh pada
seseorang, yang pengaruh itu saya sebut Interpretant, yang mana
Interpretant ditentukan oleh Objek”. 45
Dari definisi di atas disebutkan bahwa apapun dapat menjadi tanda. Yang
dimaksud apapun di sini tidak hanya benda fisik yang dapat menjadi tanda, namun
pikiran pun dapat menjadi tanda, seperti yang dikatakan Peirce bahwa semua
pemikiran adalah tanda. Jadi tanda tidak hanya berbentuk khusus seperti: signal,
simtom, paraf, pernyataan linguistik, dan lain-lain.
Dengan ini, Peirce melihat tanda dalam mata rantai tanda yang tumbuh.
Maka Peirce menjabarkan tanda ini dalam bentuk tripihak/ (triadic) yaitu firstness,
44 Budiman, Semiotika Visual…., h. 3-4. 45 Fariz Pari, Epistimologi Semiotik Peirce (Jabaru:Kopi Center, 2012)., h. 28.
82
secondness, dan thirdness. Dari situ kemudian dihasilkan tiga trikotomi: trikotomi
pertama adalah qualisign, sinsign, dan legisign; trikotomi kedua adalah ikonis,
indeks, dan simbol; trikotomi ketiga adalah term (rheme), proposisi (dicent), dan
argument.46
Dengan kata lain, sebuah tanda senantiasa memiliki tiga dimensi yang saling
terkait: Representamen (R) sesuatu yang dapat dipersepsi (perceptible), Objek (O)
sesuatu yang mengacu kepada hal lain (referential), dan interpretan (I) sesuatu yang
dapat diinterpretasi (interpretable).47 Relasi ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Tipologi tanda Pierce menurut berbagai trikotomi48
Relasi dan
Kategori Proses Tipologi Fungsi
Kategori
Kehadiran
(Fenomenoligi)
Tanda dengan
ground
menghasilkan
pemahaman
(firstness)
Penampila
n relevansi
untuk
subjek
dalam
konteks
1.Qualisign
2.Sinsign
3.Legisign
1.Predikat
2.Objek
3.Kode,
Konvensi
1. Firstness 2. Secondness 3. Thirdness
Tanda dengan
objek
(secondness)
Proses
representa
si objek
oleh tanda
1.Ikon
2.Indeks
3.Simbol
1.Kemiripan
2.Petunjuk
3.Konvensi
1. Firstness
2. Secondness 3. Thirdness
Tanda dengan
interpretan
dengan
subjek
(thirdness)
Proses
interpretas
i oleh
subjek
1.Rheme
2.Dicisign
3. Argument
1.Kemungkin
an
2.Preposisi
3.Kebenaran
1. Firstness 2. Secondness 3. Thirdness
46 T. Christomy & Untung Yuwono, Semiotika Budaya ( Depok: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2010)., h.
115-116. 47 Christomy & Yuwono, Semiotika Budaya…., h. 117. 48 Fariz Pari, Epistimologi Semiotik Peirce: Kajian Terapan teori Semiotik (Tesis S2
Fakultas Pascasarjana Univesitas Indonesia, 1994)., h. 29.
83
Dari proses di atas dapat kita lihat bahwa Peirce membagi proses
pemahaman tanda pada tiga metode yaitu Firstness merupakan relasi antar elemen
tanda yang bersifat Subyektif (berdasarkan pengalaman pribadi) yang fokus
kajiannya adalah agensi. Sementara Secondness adalah relasi antar elemen tanda
yang bersifat material (terindra) yang fokus kajiannya adalah obyek, dan Thridness
adalah relasi antar tanda yang bersifat maknawi (interpretasi) fokus kajiannya pada
teks, selain itu Peirce juga membagi tanda tersebut kedalam tiga tingkatan yaitu:
Kepertamaan (Firstness), Kekeduaan (Secondeness), Keketigaan (Thirdness).
Model metode pertama terdiri dari qualisign untuk Firstness, signsin untuk
Secondness, dan legisign untuk Thirdness. Dalam model metode kedua Firstness
menghubungkan pada ikon, Secondness pada indeks, dan Thirdness pada simbol.
Terakhir dalam metode ketiga Firstness menghubungkan rheme, Secondness pada
decisign, dan Thirdness pada argument.
Trikatomi Peirce di atas disebut juga dengan semiosis. Dengan kata lain,
proses semiosis adalah sebuah rangkaian yang tidak berujung-pangkal (tanpa
akhir); sebuah semiosis yang tanpa batas (unlimited semiosis)49 Proses yang tidak
terbatas tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
49 Benny H. Hoed, Semiotik & Dinamika Sosial Budaya (Depok, Komunitas Bambu,
2008)., h. 117.
84
O1 O2 O3 O4
• Aplikasi Semiotika dalam Kajian Tafsir
1. Aplikasi Semiotika dalam Kajian Tafsir Secara Umum
a. Semiotika Ferdinand De Saussure
Saussure dianggap sebagai bapak semiologi, dengan teori semiotiknya yang
terkenal dengan Strukturalisme50 Saussure mendefinisikan tanda linguistik sebagai entitas
dua sisi (diadik). Sisi pertama disebutnya dengan Penanda (signifier). Penanda adalah
aspek material dari sebuah tanda. Sebagaimana kita menangkap bunyi saat orang berbicara.
Bunyi ini muncul dari getaran pita suara (yang tentu saja bersifat material). Sisi kedua
adalah apa yang disebut Saussure sebagai Petanda (signified). Petanda merupakan konsep
mental, seperti ketika kita menyebut kata “kucing” (yang disusun dari penanda k-u-c-i-n-
g), adalah apa yang terkesankan pada pendengar, bukanlah kucing yang sesungguhnya,
melainkan sebuah konsep tentang “kucing”, seperti bertaring, berkaki empat, menggigit,
ekornya selalu bergoyang, mengeong dan suka kencing atau buang air besar kucing-
kucingan.
Satu hal yang sangat penting juga pada kajian Saussure tentang tanda
linguistik adalah adanya sifat arbitrer yang mengaitkan antara penanda dan
50 Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir Al-Qur’an
Kontemporer “ala” M. Syahrur (el SAQ Press dan TH Press. Yogyakarta. 2007)., h. 100.x
R1 I1/ R2 I2/ R3 I3/R4 I4/R
n+1
85
petanda. Dia menjelaskan bahwa pada dasarnya setiap fenomena bahasa (language)
selalu dibentuk oleh dua faktor, yaitu Parole (ekspresi kebahasaan)
dan Langue (sistem pembedaan di antara tanda-tanda) yang kemudian terjadi
semacam konvensi yang tidak disadari yang membentuk sistim bahasa tersebut
kemudian akhirnya dipatuhi. Bahasa merupakan gabungan sintagmatis dari adanya
gabungan penanda dan petanda yang kemudian terdapat sinkronisasi yang bisa
dipahami.
Contoh dalam al-Qur’an yaitu firman Allah dalam surat al-Anfâl ayat 60.
وا وأعد ا م ٱستطعتملهم باط ر ومن ة قو بهيلٱلخمن ۦترهبون كمٱللعدو وعدو وءاخرينمندونهملتعلمونهم منشيءفيسبيلٱلل وماتنفقوا ٱلليعلمهم يوف
٦٠وأنتملتظلمونمإليك
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang
orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah
mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan
dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)
Dari ayat di atas, pembahasan pokok dan menarik untuk dikaji secara
semiotik adalah kata ترهبون yang secara akar bahasa berasal dari kata ترهبون yang
diartikan takut/gentar. Sedangkan kata ترهبون mayoritas mufassir mengartikan
menakut-nakuti. Lafadz ترهبون berposisi sebagai sebuah penanda karena bersifat
material, sedangkan petanda dari lafadz tersebut berupa konsep yang muncul dari
kata ترهبون bisa berupa tindakan menakut-nakuti saja, dan bisa juga muncul konsep
dalam benak kita yaitu menakut-nakuti dengan adanya unsur goncangan dan
mungkin juga menakut-nakuti dengan adanya unsur teror. Karena menurut
Saussure hubungan antara penanda ترهبون dengan petanda yang berupa konsep
“menakut-nakuti” itu bersifat mana-suka atau arbitrer (sewenang-wenang)
86
Dan ketika ayat tersebut disusun menurut sintagmatis secara linier, maka timbullah
makna asosiatif paradigmatis yang berupa pikiran-pikiran yang menentukan makna dari
ayat tersebut, yang akhirnya akan memunculkan berbagai makna berbeda tentang
bagaimana menggambarkan konsep “menakut-nakuti”, sesuai dengan konsep masing-
masing yang dipikirkan.
b. Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes adalah seorang tokoh semiotika penganut madzhab
Strukturalisnya Saussure, jadi tidak jauh berbeda dengan konsep Strukturalis ala
Saussure yang tetap menganggap bahwa dalam tanda linguistik terdapat dua sisi
yang saling berhubungan, yaitu penanda yang diistilahkan oleh Barthes
dengan Expression, dan petanda yang diistilahkan dengan Content, kemudian
keduanya terjadi Relasi (hubungan) yang menimbulkan makna Denotasi atau
makna sebenarnya. Kesatuan expression yang berhubungan dengan content yang
kemudian menimbulkan makna denotasi disebut sebagai sistem I, sedangkan dari
sistem I ini kemudian berhubungan dengan content kedua yang akhirnya
memunculkan makna konotasi atau makna tidak sebenarnya. Dan kesatuan proses
tadi sampai timbulnya makna konotasi kemudian disebut sistem II. Makna konotasi
yang terus menerus akan menjadi mitos, dan mitos yang terus-menerus akan
menjadi ideologi.
Ketika Saussure hanya berhenti sampai pada hubungan penanda dan
petanda, maka Barthes meneruskan konsentrasinya pada makna konotasi yang
timbul dari hubungan antara kedua tanda linguistik tersebut. Jika content berubah-
ubah dari expresi yang tunggal, maka content-content tersebut dinamakan dengan
87
makna Konotasi, sedangkan jika content-nya tetap dan expresinya yang berubah-
ubah, maka itu dinamakan dengan Metabahasa.
Teori ini jika kita terapkan pada ayat di atas adalah, tidak begitu jauh
berbeda dengan konsep penanda dan petanda ala Saussure. Seperti yang ada pada
lafadz ترهبون ini berposisi menjadi penanda yang dalam bahasa Barthes adalah
expression atau ucapan, sedangkan petanda yang berupa konsep yang dalam bahasa
Barthes adalah content atau isi adalah konsep tentang “menakut-nakuti”. Adanya
hubungan antara expresi dan content kemudian memunculkan makna denotasi yaitu
makna menakut-nakuti yang sesungguhnya.
Dari makna denotasi tersebut, maka muncullah makna konotasi dari ترهبون
yang bisa berupa menakut-nakuti dengan teror statement, menakut-nakuti dengan
pelecehan, menakut-nakuti dengan ancaman, menakut-nakuti dengan penyerangan
atau bahkan menakut-nakuti dengan tindakan pengeboman. Maka semua itu
dinamakan makna konotasi. Dan jika content-nya tetap yaitu konsep tentang
“menakut-nakuti”, akan tetapi expresinya berbeda-beda, seperti kata menghujat,
mengancam, menghardik, meneror, menyerang, atau mengebom, maka hal tersebut
dinamakan metabahasa.
3. Aplikasi Semiotika Charles Sanders Peirce dalam Kajian Tafsir
Secara Umum
Berbeda dengan apa yang diungkapkan Saussure yang meyakini bahwa
tanda memiliki dua sisi keterkaitan. Konsep semiotika yang dianut Peirce adalah
bahwa teori tanda dibentuk oleh hubungan tiga sisi. Tiga sisi hubungan tersebut
adalah Representamen (oleh Peirce disebut juga “tanda”) yang berhubungan dengan
Objek (sesuatu yang dirujuk oleh tanda atau representamen), yang dengan
88
hubungan tersebut membuahkan Interpretant (sesuatu yang diserap oleh benak kita,
sebagai hasil penghadapan kita dengan tanda itu sendiri).
Wujud Interpretant yang tersamar, memungkinkan ia menjelma menjadi
Tanda/Representamen baru. Dan hasilnya adalah satu mata rantai semiosis. Ini
menempatkan Interpretant dalam satu hubungan dengan Objek lain, yang pada
gilirannya akan melahirkan Interpretant baru. Interpretant ini nantinya
ditransformasi menjadi Tanda/Representamen yang berhubungan dengan Objek
berikutnya, yang mengakibatkan lahirnya Interpretant lain. Ini terus berlangsung
tanpa batas yang disebut dengan unlimited semiosis atau mata rantai semiotika
tanpa batas.
Aplikasi teori Peirce ini pada contoh ayat di atas adalah, jika kita membahas
lafadz ترهبون yang berposisi sebagai Representamen/Tanda, kemudian tanda ini
berhubungan dengan Objek yang berupa ‘kekuatan militer”, maka akan
membuahkan Interpretant berupa “menakut-nakuti” dengan kesiapan kekuatan
militer”. Ini merupakan hubungan tanda sederhana yang dibentuk oleh tiga sisi
Dari tiga sisi hubungan tanda ini, bisa menjadi mata rantai semiotika yang
panjang dan bahkan tanpa batas. Lafadz ترهبون yang menjadi
Representament/Tanda berhubungan dengan Objek berupa “kekuatan militer”,
maka membuahkan Interpretant berupa “menakut-nakuti dengan kekuatan militer”.
Interpretant ini ditransformasi menjadi Representament baru yang berhubungan
dengan Objek berupa “meneror”, maka membuahkan Interpretant baru berupa
“menakut-nakuti dengan teror”. Interpretant ini ditransformasi menjadi
Representament baru yang berhubungan dengan Objek berupa “menyerang”, maka
89
membuahkan Interpretant baru lagi berupa “menakut-nakuti dengan mengebom”,
dan begitu seterusnya.
Maka tidaklah suatu hal yang aneh jika dari ayat tersebut terjadi perbedaan
pemaknaan lafadz ترهبون yang berarti “menakut-nakuti”, tergantung Objek yang
dirujuk oleh masing-masing kepala. Para mufassir konvensional mengkonsepsikan
dengan Objek “persiapan militer yang kokoh”, maka timbullah Interpretant ترهبون
lafadz ترهبون adalah “menakut-nakuti dengan kekuatan militer”. Berbeda dengan
itu, kelompok kaum muslim radikal mengkonsepsikan ترهبون dengan Objek
“penyerangan”, maka timbullah Interpretant lafadz ترهبون adalah “menakut-nakuti
dengan penyerangan”. Maka tidaklah mengherankan jika mereka melakukan
tindakan terorisme dengan melakukan pengeboman ataupun dengan cara lain, hal
ini tidak lain adalah karena perbedaan konsepsi Objek dari Representamen lafadz
نترهبو .
Ketiga uraian tentang kajian semiotika dalam studi al-Quran di atas
memberikan gambaran kepada pemerhati kajian tafsir al-Quran bahwa dengan
pendekatan semiotika seseorang yang mengkaji satu kata dalam al-Quran yang
dianggap sebagai tanda atau simbol akan melahirkan multi makna dan penafsiran
yang berbeda.
4. Aplikasi Semiotika Charles Sanders Peirce atas Penafsiran QS.
Al-Nisâ` (4): 3 dan 129.
Seperti telah dikemukakan dalam bab sebelumnya bahwa, setiap tanda
memerlukan interpretasi. Suatu tanda berfungsi karena ada orang yang
menginterpretasikannya dalam pikirannya. Jika tidak ada interpretasi berarti tanda
90
tidak berfungsi sebagai tanda. Hubungan tanda dengan interpretasi dalam
terminologi C. S. Peirce adalah hubungan triadik, yaitu antara tanda, objeknya, dan
interpretant yaitu interpretasi oleh individu atau subjek dalam pikirannya. Proses
pemaknaan atau interpretasi suatu tanda oleh subjek atau individu disebut semiosis.
Proses semiosis pada semiotika Charles Sanders Peirce merupakan proses
pemahaman pada satu tanda, Peirce membagi proses pemahaman tanda pada tiga
metode yaitu Firstness merupakan relasi antar elemen tanda yang bersifat Subyektf
(berdasarkan pengalaman pribadi) yang fokus kajiannya adalah agensi. Sementara
Secondness adalah relasi antar elemen tanda yang bersifat material (terindra) yang
fokus kajiannya adalah obyek, dan Thridness adalah relasi antar tanda yang bersifat
maknawi (interpretasi) fokus kajiannya pada teks, selain itu Peirce juga membagi
tanda tersebut kedalam tiga tingkatan yaitu: Kepertamaan (Firstness), Kekeduaan
(Secondeness), Keketigaan (Thirdness). Model metode pertama terdiri dari
qualisign untuk Firstness, sinsign untuk Secondness, dan legisign untuk Thirdness.
Dalam model metode kedua Firstness menghubungkan pada ikon, Secondness pada
indeks, dan Thirdness pada simbol. Terakhir dalam metode ketiga Firstness
menghubungkan rheme, Secondness pada decisign, dan Thirdness pada argument.
Dan seperti yang telah penulis paparkan bahwa untuk mengetahui makna awal dari
kata القسط dan العدل dalam al-Quran pada ayat-ayat poligami maka penulis akan
menggunakan metode kepertamaan (Firtness) dari semiotika Peirce, berikut
langkah-langkanya:
91
a. Makna Generik (Firstness)
Untuk mengetahui mendapatkan pemahaman awal (makna awal) dari kata
generik kata القسط dan العدل dalam al-Qur’an pada ayat-ayat poligami, maka penulis
mengacu pada dimensi makna ayat tersebut (redaksi ayat) dan juga asbâb al-nuzûl
dua ayat poligami51.
1. Dimensi Makna Ayat (Mencari Makna Awal) QS. Al-Nisâ` (4): 3 dan 129
Untuk menelaah makna awal dari kata القسط dan العدل dalam Qur’an pada
ayat-ayat poligami maka penulis akan mencarinya melalui redaksi ayat tersebut.
Ayat Al-Qur’an Subjek Represent
amen
Objek Interpretasi
في تقسطوا أل خفتم وإنفٱنكحوا ماطابلكم مى ٱليت ع ثورب وثل نٱلنساءمثنى محدة فو تعدلوا أل خفتم فإنلك ذ نكم أيم ملكت ما أو
تعولوا أل ٣أدنى“Dan jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim
(bilamana kamu
mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi:
dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku
adil, maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-
budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya”.(Q.S. Al-
nisâ`: 3)
Wali
anak
yatim
تقسطوا
Anak-
anak
yatim
berlaku adil
terhadap anak-
anak yatim
dalam segi
hak-hak
mereka.
51 Surat al-Nisâ` Ayat 3 dan 129.
92
تعدلوا أن تستطيعوا ولنفل بينٱلنساءولوحرصتمفتذروها ٱلميل كل تميلوا تصلحوا وإن كٱلمعلقةغفورا كان ٱلل فإن قوا وتت
حيما ١٢٩ر
“Dan kamu sekali-kali
tidak akan dapat berlaku
adil di antara isteri-
isteri(mu), walaupun
kamu sangat ingin berbuat
demikian, karena itu
janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang
kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan
jika kamu mengadakan
perbaikan dan memelihara
diri (dari kecurangan),
maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (Q.S.
Al-nisâ`: 129)
Suami ت عدلوا أن Istri Seorang suami
tidak akan
mampu
berlaku adil
terhadap istri-
istrinya
a) Proses Semiosis QS. al-Nisâ` (4): 3
O
Anak Yatim Perempuan
dan para istri
R تقسطوا
(Qualisign)
I Wali anak yatim
harus berlaku adil
terhadap anak yatim
perempuan yang
hendak di nikahinya
93
I Seorang suami tidak akan
mampu berlaku adil
terhadap istri-istrinya
Lafadz تقسطوا yang menjadi Representament/Tanda yang pada proses ini di
kategorikan sebagai qualisign (karena sumber / tanda yang kita ambil langsung dari
ayat Qur’an itu sendiri) kemudian tanda ini berhubungan dengan Objek “Anak
yatim perempuuan”, maka membuahkan Interpretant “Wali anak yatim yang harus
berlaku adil terhadap anak yatim yang hendak dinikahinya. Dari proses semiosis di
atas dapat kita lihat bahwa jika kita melihat dari redaksi ayat, maka ayat ini
berbicara tentang perlindungan atas hak-hak anak yatim.
b). Proses Semiosis QS. al-Nisâ` (4): 129
O
Para Isteri
Lafadz تعدلوا أن yang menjadi Representament/Tanda yang pada proses ini
di kategorikan sebagai qualisign (karena sumber / tanda yang kita ambil langsung
dari ayat al-Quran itu sendiri) kemudian tanda ini berhubungan dengan Objek “Istri-
istri”, maka membuahkan Interpretant “Seorang suami tidak akan mampu berlaku
adil terhadap para istrinya”. Dari proses semiosis di atas dapat kita lihat bahwa jika
kita melihat dari redaksi ayat, maka ayat ini menegaskan bahwa seorang suami tidak
akan mampu berlaku adil kepada para istrinya.
R تعدلوا أن
(Qualisign)
)
94
1. Makna Konteks Awal Ayat QS. Al-Nisâ` (4): 3
Menurut hemat penulis antara satu riwayat dan yang lainnya mengenai
asbâb al-nuzûl saling mendukung satu sama lain dimana semua riwayat tersebut
merincikan riwayat sebelumnya dan subyek dari asbâb al-nuzûl adalah wali para
anak yatim perempuan.
Lafadz تقسطوا yang menjadi Representament/Tanda yang pada proses ini di
kategorikan sebagai sinsign (karena sumber / tanda yang kita ambil dari asbâb al-
nuzûl (konteks) ayat Quran itu sendiri) kemudian tanda ini berhubungan dengan
Objek “Anak yatim perempuuan kaya (pada masa sahabat)”, maka membuahkan
Interpretant “Wali anak yatim yang harus berlaku adil terhadap anak yatim yang
hendak dinikahinya”.
Dari proses semiosis asbâb al-nuzûl di atas dapat kita lihat bahwa yang
melatarbelakangi turunnya ayat ini karena terjadinya ketidak-adilan yang dilakukan
oleh seorang wali laki-laki dari suku Quraisy yang terhadap perempuan yatim kaya
yang masih dalam lindungan wali tersebut. Dari proses semiosis yang penulis
R تقسطوا
(Sinsign)
I Wali anak yatim harus berlaku
adil terhadap anak yatim
perempuan yang hendak di
nikahinya
O
Anak Yatim Perempuan Kaya
(pada masa sahabat)
95
lakukan dapat kita simpulkan bahwa dari segi historitas ayat ini diturunkan
sebenarnya adalah salah satu cara Allah melindungi anak yatim perempuan kaya
dari ketidak-adilan sang wali.
2. Makna Konteks Awal Ayat QS. Al-Nisâ` (4): 129
Ayat ke 129 diturunkan sehubungan dengan ‘Âisyah binti Abû Bakar
Shiddîq, istri Rasulullah SAW. Rasulullah SAW mencintai ‘Âisyah melebihi
kecintaanya terhadap istri-istri yang lain. Oleh sebab itu setiap saat Rasulullah
SAW berdoa: “Ya Allah, inilah giliranku sesuai dengan kemampuan yang ada pada
diriku. Janganlah Engkau memaksakan sesuatu yang menjadi perintah-Mu di atas
kemampuan yang ada pada diriku”. (HR. Ibnu Hâtim dari Abû Zar’ah), dari Ibnu
Syaibah dari Husain al-Ju’fi dari Zaydah dari ‘Abd al-‘Azîz bin Râfi’ dari Ibnu Abî
Mulaikah).52 Jika pada ayat 3 subyeknya adalah wali anak yatim, maka pada ayat
129 ini subyeknya dari asbâb al-nuzûl nya adalah Rasulullah SAW.
52 Mahali, Asbabun Nuzul.
O Cinta/ Kasih sayang
R تعدلوا أن
(Sinsign)
)
I Ketidakmampuan seorang suami
(Nabi SAW) berlaku Adil terhadap
Isteri-isteri beliau dalam hal
pembagian kasih sayang
96
Lafad أن yang menjadi Representament/Tanda pada proses ini di تعدلوا
kategorikan sebagai Sinsign (karena sumber / tanda yang kita ambil langsung dari
asbâb al-nuzûl (konteks) ayat tersebut kemudian tanda ini berhubungan dengan
Objek “cinta/kasih sayang” maka membuahkan Interpretant “ketidakampuan Nabi
berlaku adil dalam hal pembagian kasih sayang”.
Dari proses semiosis Asbâb al-Nuzûl di atas dapat kita lihat alasan turunnya
ayat ini karena doa Nabi yang berkeluh kesah dan mengaku kepada Allah
bahwasanya Rasul memang mampu berlaku adil kepada para istrinya dalam segi
materi (waktu dan nafkah), namun Rasulullah tidak mampu berbohong bahwa di
dalam hati Rasulullah sangat mencintai ‘Âisyah. Dari proses semiosis yang penulis
lakukan dapat kita lihat bahwa dari latar belakang ayat ini, pesan yang ingin Allah
sampaikan kepada kita adalah penegasan Allah bahwa berlaku adil dalam segi
immateri memang tidak akan mungkin dilakukan.
• Analisa Perbandingan Redaksi Ayat dan Asbâb al-Nuzûl QS. Al-
Nisâ` (4): 3
Dari proses semiosis antara redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl yang telah
dilakukan oleh penulis, dapat kita lihat bahwa kedua proses semiosis di atas
sebenarnya saling mendukung dan menjelaskan, selain itu dari proses di atas dapat
kita lihat bahwasanya persamaan/kesepakatan (legisign) yang disepakati dari
redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl adalah pada surat Al-Nisâ` (4): 3 berbicara
mengenai perlindugan (keadilan) yang harus dilakukan untuk anak yatim
perempuan. Hal ini akan penulis tunjukkan dengan proses semiosis sebagai berikut:
97
Lafadz تقسطوا yang menjadi Representament/Tanda yang pada proses ini di
kategorikan sebagai Qualisign (karena sumber / tanda yang kita ambil dari redaksi
ayat Qur’an itu sendiri) kemudian tanda ini berhubungan dengan Objek “Anak
yatim perempuuan”, maka membuahkan Interpretant “Keadilan kepada para istri
menjadi dasar keadilan kepada anak yatim perempuan”. Interpretant ini
ditransformasi menjadi Representament baru “Keadilan kepada anak yatim
perempuan" yang pada proses ini di kategorikan sebagai Sinsign (karena sumber /
tanda yang kita ambil dari Asbâb al-nuzûl (konteks) ayat al-Qur’an itu sendiri)
kemudian tanda ini berhubungan dengan Objek “Anak yatim perempuan kaya (pada
masa sahabat”, maka membuahkan Interpretant baru yang pada proses ini di
kategorikan sebagai Legisgn (karena interpretan tersebut diambil berdasarkan
persamaan/ kesepakatan yang terlihat antara redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl) yaitu
R3 I2 Poligami dimaksudkan untuk
melindungi anak yatim
perempuan kaya (pada masa
sahabat/awal Islam)
(Legisign)
O
Anak Yatim Perempuan
kaya (pada masa sahabat)
R1 تقسطوا
(Qualisign)
R2 Keadilan kepada anak
yatim perempuan
O
Anak Yatim Perempuan
dan para istri
REDAKSI AYAT ASBABUN NUZUL
I1 Keadilan kepada para istri
menjadi dasar keadilan
kepada anak yatim
perempuan
(Sinsign)
98
”Poligami dimaksudkan untuk melindungi anak yatim perempuan kaya (pada masa
sahabat/awal Islam).”
Pada proses semiosis perbandingan di atas penulis tidak menuliskan proses
semiosis pada redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl karena menurut penulis pada proses
semiosis tersebut memiliki kesamaan sehingga penulis hanya menuliskan semiosis
penggabungan antara redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl lalu setelah itu penulis
melanjutkan dengan memaparkan persamaan (kesepakatan) dari kedua proses
semiosis tersebut.
• Analisa Perbandingan Redaksi Ayat dan Asbâb al-Nuzûl QS. Al-
Nisâ` (4): 129
Dari proses semiosis antara redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl yang telah
dilakukan oleh penulis, dapat kita lihat bahwa kedua proses semiosis di atas
sebenarnya saling mendukung dan menjelaskan, selain itu dari proses di atas dapat
kita lihat bahwasanya persamaan/kesepakatan (legisign) yang disepakati dari
redaksi ayat dan asbabun nuzul adalah pada surat Al-Nisâ` (4): 129 berbicara
mengenai ketidakmampuan seorang suami untuk berlaku adil dalam hal pembagian
rasa kasih sayang dan cinta kasih. Hal ini akan penulis tunjukkan dengan proses
semiosis sebagai berikut.
99
Lafadz تعدلوا أن yang menjadi Representament/Tanda yang pada proses ini di
kategorikan sebagai Qualisign (karena sumber / tanda yang kita ambil dari redaksi
ayat Qur’an itu sendiri) kemudian tanda ini berhubungan dengan Objek “para
Isteri”, maka membuahkan Interpretant “ketidakmampuan Nabi SAW berlaku adil
terhadap istri-istrinya”. Interpretant ini ditransformasi menjadi Representament
baru “Nabi SAW tidak mampu Adil terhadap istri-istrinya” yang pada proses ini
dikategorikan sebagai Sinsign (karena sumber / tanda yang kita ambil dari Asbâb
al-nuzûl (konteks) ayat al-Quran itu sendiri) kemudian tanda ini berhubungan
dengan Objek “cinta/kasih sayang”, maka membuahkan Interpretant baru yang
pada proses ini di kategorikan sebagai Legisgn (karena interpretan tersebut diambil
berdasarkan persamaan/ kesepakatan yang terlihat antara redaksi ayat dan asbâb al-
nuzûl) yaitu ”keidakampuan suami berlaku adil dalam hal pembagian kasih
sayang”.
O2 Rasa Cinta/ Kasih sayang Nabi
SAW
O1 Para isteri
REDAKSI AYAT ASBÂB AL-NUZÛL
R1 تعدلوا أن
(Qualisign)
)
I1 Ketidakmampuan
Nabi SAW berlaku
Adil terhadap istri-
istrinya (Sinsign)
R2 Nabi SAW tidak
mampu Adil terhadap
istri-istrinya
I2 / (R3) Ketidakmampuan Nabi SAW
berlaku Adil terhadap para isterinya
dalam hal pembagian kasih sayang (Legisign)
100
Pada proses semiosis perbandingan di atas penulis tidak menuliskan proses
semiosis pada redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl karena menurut penulis pada proses
semiosis tersebut memiliki kesamaan sehingga penulis hanya menuliskan semiosis
penggabungan antara redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl lalu setelah itu penulis
melanjutkan dengan memaparkan persamaan (kesepakatan) dari kedua proses
semiosis tersebut.
• Analisa Perbandingan Ayat-ayat Poligami
Terdapat perbedaan makna term adil ( تعدلوا) dan (القسط). Pada dua ayat ini,
setelah melihat dan membaca latar belakang turunnya dua ayat tentang poligami di
atas dapa kita simpulkan bahwa dari segi asbâb al-nuzûl surat Al-Nisâ` (4): 3
diturunkan untuk melindungi anak yatim perempuan kaya dari ketidak-adilan yang
dilakukan oleh walinya (dengan cara menikahi perempuan yatim tersebut), jadi
keadilan yang dimaksud pada ayat ini adalah perlakuan adil (tidak membeda-
bedakan) antara anak yatim dan juga istri-istri lain. Sementara itu, dari segi asbâb
al-nuzûl surat Al-Nisâ` (4): 129 diturunkan untuk menjawab doa (pegakuan) Nabi
SAW atak ketidakmampuan beliau utnuk berlaku adil terhadap istri-istrinya dalam
hal cinta dan kasih sayang, dan hal ini menunjukan bahwa Allah pun tidak memaksa
manusia untuk berlaku adil dalam hal cinta dan kasih sayang karena berlaku adil
dalam pembagian kasih sayang dan cinta adalah hal yang sulit untuk dilakukan
manusia. Namun, ketidakmampuan tersebut jangan sampai membuat sikap kita
terhadap orang lain pun menjad tidak adil (berpihhak pada satu pihak).
Dari kedua asbâb al-nuzûl ayat di atas dapat kita lihat bahwa keadilan yang
dimaksud pada surat Al-Nisâ` (4): 3 adalah keadilan yang bersifat terlihat dan
101
terukur (hal ini dapat dilihat karena ayat ini memerintahkan untuk berlaku/
memperlakukan anak yatim secara adil) sedangkan pada surat Al-Nisâ` (4): 129
keadilan yang dimaksud adalah yang bersifat abstrak (tak terlihat/immateri).
b. Aplikasi Semiotika Charles Sanders Peirce atas Penafsiran al-Tabarî pada
QS. Al-Nisâ` (4): 3 dan 129
1. QS. Al-Nisâ` (4): 3
al-Thabarî memahami ayat ini dengan melihat asbâb al-nuzûl juga riwayat-
riwayat para sahabat mengenai ayat ini, dan dari sekian banyak riwayat al-Tabarî
memahami ayat ini dalam konteks perlakuan terhadap anak-anak yatim yang ada
dalam asuhan walinya, dan juga perempuan-perempuan lain yang menjadi istri
mereka. Dia menafsirkan ayat tersebut dengan kewajiban berlaku adil terhadap
perempuan yang dikawini. Apabila seorang laki-laki tidak dapat berbuat adil
terhadap anak yatim yang dikawininya, maka hendaklah ia mengawini perempuan-
perempuan lain yang ia sukai, dua, tiga ataupun empat. Namun, jika dia khawatir
tidak dapat berlaku adil terhadap mereka, maka nikahilah satu orang saja. Jika
masih khawatir tidak bisa berlaku adil walaupun terhadap satu orang saja, maka
janganlah kamu menikahinya. Akan tetapi bersenang-senanglah dengan budak
yang mereka miliki, karena budak- budak itu adalah miliknya dan merupakan
hartanya, yang demikian itu lebih dekat pada keselamatan dari dosa, aniaya, dan
penyelewengan terhadap perempuan.
102
Lafad تقسطوا yang menjadi Representament/Tanda yang pada proses ini
dikategorikan sebagai rheme (karena kata ini memungkinkan seorang mufassir
untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut) kemudian tanda ini berhubungan
dengan Objek “Anak yatim perempuan dan para isteri”, maka membuahkan
Interpretant “Seorang suami harus berlaku adil terhadap anak yatim perempuan
yang hendak dinikahinya dan juga para isterinya” yang pada proses ini disebut
dengan argumen (karena interpretasi ini merupakan argumen dari al-Thabarî
mengenai makna kata adil dalam ayat tersebut).
Dari proses semiosis diatas dapat kita lihat bahwa al-Thabarî memaknai
keadilan yang dimaksud pada ayat ini adalah keadilan yang bersifatnya terlihat dan
terukur (seperti pembagian waktu dan harta). Kemudian, keadilan yang terlihat dan
terukur kemudian keadilan ini merupakan hal yang harus mampu dilakukan oleh
seorang suami yang hendak berpoligami.
2. QS. Al-Nisâ` (4): 129
Dari pemaparan at-Thabari di atas dapat kita lihat bahwa menurut al-Thabarî
berlaku adil terhadap istri dalam hal cinta dan kasih sayang adalah hal yang tidak
R تقسطوا
(Rheme)
)
I Seorang suami harus berlaku adil
terhadap anak yatim perempuan
yang hendak di nikahinya dan
juga para isterinya
(Argumen)
O
Anak Yatim Perempuan dan para isteri
103
mungkin atau tidak akan mampu dilakukan oleh seorang suami, ketidakmampuan
berlaku adil dalam hal cinta dan kasih sayang ini, jangan sampai membuat suami
berlaku tidak adil dalam hal materi seperti pembagian harta, waktu dan ha-hal
bersifat materi.
Lafadz أن yang menjadi Representament/Tanda yang pada proses ini تعدلوا
dikategorikan sebagai rheme (karena kata ini memungkinkan seorang mufassir
untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut) kemudian tanda ini berhubungan
dengan Objek “para isteri”, maka membuahkan Interpretant “ketidakmampuan
suami berlaku adil terhadap istri-istrinya” yang pada proses ini disebut dengan
argumen (karena interpretasi ini merupakan argumen dari al-Thabarî mengenai
makna kata adil dalam ayat tersebut). Interpretant ini ditransformasi menjadi
Representament baru “Suami tidak mampu adil terhadap istri-istrinya” yang
kemudian tanda baru ini berhubungan dengan Objek “cinta/kasih sayang”, maka
membuahkan Interpretant baru yaitu “keidakampuan suami berlaku adil dalam hal
O2 Cinta/ Kasih sayang
R1 تعدلوا أن
(Rheme)
)
I1 Ketidakmampuan
Suami berlaku Adil
terhadap istri-istrinya
(Argumen)
I2 / (R3) Ketidakmampuan Suami berlaku
Adil terhadap para isterinya dalam
hal pembagian kasih sayang (Argumen)
O1 Para isteri
R2 Suami tidak mampu
Adil terhadap istri-
istrinya
104
pembagian kasih sayang” yang pada proses ini disebut dengan argumen (karena
interpretasi ini merupakan argumen dari al-Thabarî mengenai makna kata adil
dalam ayat tersebut).
Dari proses semiosis penafsiran al-Thabarî dapat kita lihat bahwa al-Thabarî
memaknai kata adil dalam ayat ini sebagai adil yang bersifat abstrak (tidak terlihat
dan terukur) seperti perasaan dan kasih sayang, yang harus kita ketahui bahwa
sebelum al-Thabarî mengatakan atau memaparkan tafsirnya, al-Thabarî terlebih
dahulu memaparkan pendapat-pendapat para sahabat, tabi’in, dan para penafsir lain
tentang ayat ini.
c. Aplikasi Semiotika Charles Sanders Peirce atas Penafsiran al-Râzî pada
QS. Al-Nisâ` (4): 3 dan 129
1. QS. Al-Nisâ` (4): 3
Berdasarkan penjelasan di atas, al-Râzî memahami ayat ini masih dalam
kaitannya dengan perintah berlaku adil terhadap anak-anak yatim dan juga
keharusan berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yang dinikahi, al-Râzî
menyatakan bahwa keadilan merupakan pilar atau syarat utama bagi seorang yang
hendak melakukan poligami. Karena menurutnya apabila seorang laki-laki
khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap anak-anak yatim yang akan
dikawininya, maka hendaklah ia mengawini perempuan-perempuan lain yang ia
sukai dua, tiga, maupun empat orang istri agar hilang kekhawatiran tersebut.
Namunn jika masih khawatir tidak bisa berlaku adil terhadap empat orang istri
maka seorang istri lebih baik bagi mereka. Kemudian al-Râzî memperingatkan
bahwa batas maksimal empat orang istri, dan batas minimal satu orang istri.
105
Sedangkan diantara dua batas tersebut (dua atau tiga orang istri) itu boleh-boleh
saja, asal orang tersebut mampu berlaku adil.
Lafadz تقسطوا yang menjadi Representament/Tanda yang pada proses ini
dikategorikan sebagai rheme (karena kata ini memungkinkan seorang mufassir
untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut) kemudian tanda ini berhubungan
dengan Objek “Syarat”, maka membuahkan Interpretant “mampu berlaku adil
syarat yang wajib bagi seorang suami yang hendak berpoligami (menikah lagi) ”
yang pada proses ini disebut dengan argumen (karena interpretasi ini merupakan
argumen dari al-Râzî mengenai makna kata adil dalam ayat tersebut)..
Dari proses semiosis yang di atas, ditemukan bahwa al-Râzî dan Al-Tabarî
memahami sama makna kata adil pada ayat ini, yaitu keadilan dalam bentuk yang
terlihat dan terukur (waktu, harta, dan lain-lain). Namun, yang membedakan
diantara kedua penafsir ini adalah jika Al-Tabarî menyatakan bahwa mampu
berlaku adil dalam hal materi adalah hal yang harus dilakukan seorang suami
kepada istri, sementara al-Râzî berpendapat bahwa keharusan suami berlaku adil
terhadap istri-istri dan juga perempuan yang hendak dinikahinya adalah suatu pilar
utama atau syarat utama bagi para suami yang hendak berpoligami. Menurut
R تقسطوا
(Rheme)
)
I Mampu berlaku adil merupakan syarat
yang wajib bagi seorang suami yyang
hendak berpoligami (menikah lagi)
(Argumen)
O
Syarat
106
penulis suatu hal yang wajar jika al-Râzî berpendapat demikian karena tafsir ini
merupakan tafsir yang bercorak fiqih.
2. QS. Al-Nisâ` (4): 129
Al-Râzî berpendapat terkait dengan ungkapan " فال تميلوا كل الميل" mengandung
makna bahwa kalian tidak dilarang untuk mencintai secara lebih salah seorang dari
istri-istri kalian, karena persoalan hati bukan menjadi urusan kalian. Namun kalian
dilarang untuk menampakkan perbedaan rasa cinta itu secara nyata kepada mereka,
baik dalam hal perkataan atau sifat. Dari pendapat al-Râzî dapat kita lihat bahwa
keadilan yang dimaksud dalam ayat ini adalah keadilan dalam segi immateri
namun, dengan bijak al-Râzî menyatakan bahwa ketidakmampuan berlaku adil
dalam perihal cinta jangan sampai membuat seseorang tidak mampu berlaku adil
dalam perihal prilaku terhadap istri-istrinya
O2 Cinta/ Kasih sayang
R1 تعدلوا أن
(Rheme)
)
I1 Ketidakmampuan suami berlaku Adil
terhadap istri-istrinya
(Argumen)
I2 / (R3) Ketidakmampuan suami berlaku
Adil terhadap para isterinya dalam
hal pembagian kasih sayang (Argumen)
O1 Para isteri
R2 Suami tidak mampu
Adil terhadap istri-
istrinya
107
Lafadz أن yang menjadi Representament/Tanda berhubungan yang pada تعدلوا
proses ini dikategorikan sebagai rheme (karena kata ini memungkinkan seorang
mufassir untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut) dengan Objek “para isteri”,
maka membuahkan Interpretant “ketidakmampuan suami berlaku adil terhadap
istri-istrinya” yang pada proses ini disebut dengan argumen (karena interpretasi ini
merupakan argumen dari al-Razi mengenai makna kata adil dalam ayat tersebut).
Interpretant ini ditransformasi menjadi Representament baru “suami tidak mampu
berlaku adil terhadap istri-istrinya” yang berhubungan dengan Objek “cinta/kasih
sayang”, maka membuahkan Interpretant baru yaitu “keidakampuan suami berlaku
adil dalam hal pembagian kasih sayang” yang pada proses ini disebut dengan
argumen (karena interpretasi ini merupakan argumen dari al-Razi mengenai makna
kata adil dalam ayat tersebut).
Dari proses semiosis di atas, dapat kita lihat bahwa al-Râzî dan Al-Tabarî
memiliki penafsiran pemaknaan kata adil pada ayat ini yaitu adil dalam pembagian
rasa cinta (kasih sayang) yang memang tak akan mampu dilakukan oleh manusia.
d. Aplikasi Semiotika Charles Sanders Peirce atas Penafsiran al-Manâr pada
QS. Al-Nisâ` (4): 3 dan 129
1. QS. Al-Nisâ` (4): 3
Dari pemaparan ‘Abduh dan Rasyîd Ridhâ pada BAB II dapat kita lihat
bahwa kedua mufassir ini sepakat bahwa syarat kebolehan berpoligami adalah
berlaku adil terhadap para istri, jika seseorang tidak mampu berlaku adil maka
haram baginya untuk melakukan poligami sementara bagi yang mampu berlaku
adil, poligami merupakan pilihan darurat (seperti yang telah di jelaskan ‘Abduh di
atas) dan tujuan berpoligami jelas untuk menolong anak-anak atau perempuan
yatim.
108
Lafadz تقسطوا yang menjadi Representament/Tanda yang pada proses ini
dikategorikan sebagai rheme (karena kata ini memungkinkan seorang mufassir
untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut) kemudian tanda ini berhubungan
dengan Objek “Syarat”, maka membuahkan Interpretant “mampu berlaku adil
syarat yang wajib bagi seorang suami yang hendak berpoligami (menikah lagi) ”
yang pada proses ini disebut dengan argumen (karena interpretasi ini merupakan
argumen dari Rasyîd Ridhâ dan ‘Abduh mengenai makna kata adil dalam ayat
tersebut).
Dari proses semiosis yang di atas dapat kita lihat bahwa Rasyîd Ridhâ,
‘Abduh dan al-Râzî sepakat bahwa makna kata adil pada ayat ini bermakna keadilan
dalam bentuk yang terlihat dan terukur (waktu, harta, dan lain-lain). Selain itu Al-
Manâr dan al-Râzî pun sama-sama berpendapat bahwa keharusan suami berlaku
adil terhadap istri-istri dan juga perempuan yang hendak dinikahinya adalah suatu
pilar utama atau syarat utama bagi para suami yang hendak berpoligami.
R تقسطوا
(Rheme)
)
I Mampu berlaku adil merupakan syarat
yang wajib bagi seorang suami yyang
hendak berpoligami (menikah lagi)
(Argumen)
O
Syarat
109
2. QS. Al-Nisâ` (4): 129
Menurut Rasyîd Ridhâ keadilan yang tidak bisa dilakukan oleh seorang
suami itu adalah keadilan yang bersifat paripurna yang diinginkan oleh mereka
yang mempunyai sifat wara` dan ketakwaan yang tinggi dalam beragama,
sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya. Hal ini bersifat pasti, terlihat
dari teks “wa law harastum” (sekalipun kalian berharap akan hal itu), karena
keadilan hakiki tergolong hal yang bersifat abstrak (tidak kasat mata), tidak mudah
seseorang bisa menyeimbangkan hati dan perasaannya agar tetap mencintai secara
merata seluruh istri-istrinya. Namun Allah menjelaskan (kepada mereka yang
mempunyai sifat wara` dan ketakwaan yang tinggi dalam beragama tersebut) pada
ayat ini tentang apa yang ia maksud dengan adil itu sendiri, yaitu adil dalam prilaku
dan interaksi sosial yang terlihat, bukan dalam persoalan yang abstrak yang tidak
bisa dilihat. Karena hal yang terakhir ini tidak mungkin bisa dilakukan oleh
manusia. Allah tidak membebani seorang hamba kecuali sesuai dengan tingkat
kemampuannya.
O2 Cinta/ Kasih sayang
R1 تعدلوا أن
(Rheme)
)
I1 Ketidakmampuan
suami berlaku
Adil terhadap
istri-istrinya
(Argumen)
I2 / (R3) Ketidakmampuan suami berlaku
Adil terhadap para isterinya dalam
hal pembagian kasih sayang (Argumen)
O1 Para Isteri
R2 Suami tidak
mampu Adil
terhadap istri-
istrinya
110
Lafadz أن yang menjadi Representament/Tanda yang pada proses ini تعدلوا
dikategorikan sebagai rheme (karena kata ini memungkinkan seorang mufassir
untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut) kemudian tanda ini berhubungan
dengan Objek “para isteri”, maka membuahkan Interpretant “ketidakmampuan
suami berlaku adil terhadap istri-istrinya” yang pada proses ini disebut dengan
argumen (karena interpretasi ini merupakan argumen dari Rasyîd Ridhâ dan
‘Abduh mengenai makna kata adil dalam ayat tersebut). Interpretant ini
ditransformasi menjadi Representament baru “Suami tidak mampu adil terhadap
istri-istrinya” yang berhubungan dengan Objek “cinta/kasih sayang”, maka
membuahkan Interpretant baru yaitu “keidakampuan suami berlaku adil dalam hal
pembagian kasih sayang” yang pada proses ini disebut dengan argumen (karena
interpretasi ini merupakan argumen Rasyîd Ridhâ dan ‘Abduh mengenai makna
kata adil dalam ayat tersebut).
Dari proses semiosis di atas, dapat kita lihat bahwa Al-manâr memaknai
kata adil pada ayat ini yaitu adil dalam pembagian rasa cinta (kasih sayang) yang
memang tak akan mampu dilakukan oleh manusia.
• Analisa Perbandingan
Dari semua tafsir pada surat al-Nisâ` ayat 3 yang telah penulis teliti dengan
menggunakan metode semiotika Charles Sander Peirce, penulis melihat dan
menemukan bahwa dari ketiga tafsir yang mewakili jamannya tersebut sebenarnya
tidak saling kontradiktif melainkan saling mendukung satu sama lain dan
membentuk symbol baru, dan hal ini dapat penulis buktikan melalui proses semiosis
dibawah ini:
111
•
•
•
Lafadz تقسطوا yang menjadi Representament/Tanda yang pada proses ini di
kategorikan sebagai Qualisign (karena sumber / tanda yang kita ambil dari redaksi
ayat Qur’an itu sendiri) kemudian tanda ini berhubungan dengan Objek “Anak
yatim perempuuan”, maka membuahkan Interpretant “Keadilan kepada para istri
menjadi dasar keadilan kepada anak yatim perempuan” yang pada proses ini di
kategorikan sebagai Sinsign (karena sumber / tanda yang kita ambil dari Asbâb al-
nuzûl (konteks) ayat al-Quran itu sendiri). Interpretant ini ditransformasi menjadi
Representament baru “Keadilan kepada anak yatim perempuan” kemudian tanda
ini berhubungan dengan Objek “Anak yatim perempuan kaya (pada masa sahabat)”,
maka membuahkan Interpretant baru yang pada proses ini di kategorikan sebagai
Legisgn (karena interpretan tersebut diambil berdasarkan persamaan/ kesepakatan
REDAKSI AYAT ASBÂB AL-NUZÛL Al-TABARÎ Al-RÂZÎ dan Al-
MANÂR O
Anak Yatim
Perempuan dan para
istri
O
Anak Yatim
Perempuan kaya
(pada masa sahabat)
O
Anak Yatim
Perempuan dan
para istri
O
Syarat
R1 تقسطوا
(Qualisign)
I1 Keadilan
kepada para
istri menjadi
dasar keadilan
kepada anak
yatim
perempuan
(Sinsign)
I3 Seorang suami
harus berlaku
adil terhadap
anak yatim
perempuan
yang hendak di
nikahinya dan
juga para
isterinya
(Argumen)
R5/ I4 Mampu
berlaku adil
merupakan
syarat yang
wajib bagi
seorang
suami yang
hendak
berpoligami
(menikah
lagi)
(Argumen)
R2 Keadilan
kepada
anak yatim
perempuan
I2 Poligami
dimaksudkan
untuk melindungi
anak yatim
perempuan kaya
(pada masa
sahabat/awal
Islam)
(Legisign)
R3 Melindungi
anak yatim
perempuan dari
keinginan sang
wali yang
hendak berlaku
tidak adil
terhadapnya.
R4 Adil terhadap
anak yatim
perempuan
yang hendak
dinikahi dan
juga para isteri
112
yang terlihat antara redaksi ayat dan asbâb al-nuzûl) yaitu “Poligami dimaksudkan
untuk melindungi anak yatim perempuan kaya (pada masa sahabat)” yang
kemudian tanda ini menjadi representamen baru “Melindungi anak yatim
perempuan dari keinginan sang wali yang hendak berlaku tidak adil terhadapnya”
berhubungan dengan Objek “Anak yatim perempuan dan para isteri”, maka
membuahkan Interpretant baru “Seorang suami harus berlaku adil terhadap anak
yatim perempuan yang hendak dinikahinya dan juga para isterinya” yang pada
proses ini disebut dengan argumen (karena interpretasi ini merupakan argumen dari
al-Tabari mengenai makna kata adil dalam ayat tersebut), lalu tanda ini menjadi
represetamen baru “adil terhadap anak yatim perempuan yang hendak dinikahi dan
para istri” berhubungan lagi dengan Objek “Syarat”, maka membuahkan
Interpretant baru “mampu berlaku adil syarat yang wajib bagi seorang suami yang
hendak berpoligami (menikah lagi) ” yang pada proses ini disebut dengan argumen
(karena interpretasi ini merupakan argumen dari ar-Râzî, Rasyîd Ridhâ dan ‘Abduh
mengenai makna kata adil dalam ayat tersebut).
Dari proses semosis di atas dapat kita lihat bahwa antara redaksi ayat sampai
dengan penafsiran para mufassir, semuanya saling menguatkan dan saling
mendukung satu sama lain, oleh karena itu ketika dijajarkan maka kita bisa melihat
keterkaitan dan saling mendukung di antara para mufassir.
Sementara itu, pada ayat 129 penulis melihat bahwa sebenarnya semua
mufassir di atas sepakat bahwa sebenarnya makna kata adil pada ayat ini adalah adil
dalam bentuk abstrak (tidak terlihat dan terukur) dan ketiganya sepakat bahwa
keadilan dalam pembagian hal-hal yang bersifat abstrak ini sulit untuk dilakukan
oleh seseorang, namun ketiakmampuan berlaku adil dalam hal yang bersifat abstrak
113
jangan sampai membuat seseorang bersikap tidak adil dalam segi yang terlihat dan
terukur (seseorang harus tetap berlaku adil dalam perlakuannya meskipun tidak
mampu berlaku adil dalam hal cinta maupun kecondongan hati).
114
BAB IV
APLIKASI SEMIOTIKA AL-QUR’AN CHARLES SANDERS
PEIRCE ATAS PEMIKIRAN NASR HÂMID ABÛ ZAYD
TENTANG KEADILAN BERPOLIGAMI
A. Metodologi
Seperti yang telah penulis paparkan pada bab III bahwa dalam segi penafsiran
Nasr Hâmid Abû Zayd meminjam teori makna dan signifikansi dari Hirch tentang
makna dan sigfikansi yang menurut Abû Zayd, makna adalah “makna kontekstual
original yang hampir-hampir mapan (fixed) disebabkan oleh historisitasnya”,
sedangkan signifikansi bisa berubah (changeable). Berdasarkan kategorisasi antara
makna dan signifikansi itulah, Nasr Hâmid Abû Zayd mencoba mendefinisikan ‘tiga
level makna pesan’ yang inheren di dalam teks-teks keagamaan, yaitu:1
a. Level pertama adalah makna yang hanya menunjuk kepada “bukti/fakta
historis” (syawâhid tarîkhiyyah), yang tidak dapat diinterpretasikan secara
metaforis.
b. Level kedua, makna yang menunjuk kepada “bukti/fakta historis” dan dapat
diinterpretasikan secara metaforis.
c. Level ketiga adalah makna yang bisa diperluas berdasarkan atas “signifikansi”
yang dapat diungkap dari konteks sosio-kultural di mana teks itu berada.
1 Nashr Hāmid Abȗ Zayd, Naqd al-Khitāb al-Dīnī (Kairo; Sinā li al-Nasyr, ), h. 210
115
Pada level terakhir di atas, makna haruslah diperolah secara objektif, sehingga
signifikansi dapat diturunkan darinya secara valid. Namun, signifikansi tidak boleh
merusak makna. Makna berdasarkan atas teks, sementara signifikansi berdasarkan atas
pembaca dan proses pembacaan. Signifikansi memberikan ruang bagi subjektifitas
pembaca yang diarahkan oleh makna yang objektif itu. Pembedaan level makna
menurut Abû Zayd, di sisi lain juga berati bahwa makna suatu pesan tidak selalu
menuntut ditariknya suatu signifikansi, seperti pada level makna yang pertama,
misalnya dan ini hanya merupakan salah satu kemungkinan dari ketiga level makna di
atas.
Untuk lebih memahami metodologi Nasr Hâmid Abû Zayd, disini penulis Abû
Zayd terhadap ayat poligami, seperti yang kita ketahui di dalam al-Quran hanya surat
Al-Nisâ` (4): 3 yang membahas mengenai poligami sementara itu banyak cendikiawan
muslim yang mendiskusikan poligami dengan surat Al-Nisâ` (4): 129 karena menurut
beberapa cendikiawan muslim kedua ayat ini saling berkaitan, termasuk juga bagi Nasr
Hâmid Abû Zayd.
Sebelum memaparkan secara rinci mengenai metodologi Abû Zayd dalam
mendiskusikan isu tentang poligami, perlu diingat bahwa Abû Zayd mendiskusikan isu
poligami ini dengan melihat realita sosial yang ada di Tunisia yaitu adanya perundang-
undangan baru (Undang-Undang No. 46 Tahun 1964), dimana dalam undang-undang
tersebut terdapat aturan tentang larangan poligami.
Menurut Abû Zayd, dalam mendiskusikan ayat poligami di atas dibagi menjadi
tiga langkah. Pertama, konteks teks itu sendiri. Dia mengkontraskan absennya praktek
hukum memiliki ‘yang dimiliiki tangan kananmu’ (budak perempuan atau tawanan
116
perang) sebagai ‘selir’ dalam wacana Islamis pada satu sisi, dan untuk
mempertahankan poligami: “makna nikahilah perempuan-perampuan yang kamu
sukai: dua, tiga, atau empat,“ pada sisi lain. Menurut Abû Zayd, ada sesuatu yang
hilang, yakni kesadaran akan historisitas teks-teks keagamaan, bahwa ia adalah teks
linguistik dan bahwa bahasa adalah produk sosial dan kultur. Abû Zayd berargumen
bahwa izin bagi seorang laki-laki untuk menikah dengan hingga empat istri haruslah
diletakkan dalam konteks hubungan antar manusia, khususnya hubungan antara laki-
laki dan perempuan sebelum kedatangan Islam. Dalam periode pra-Islam, hukum
kesukuan sangatlah dominan dan poligami tidak dibatasi.
Dalam konteks ini izin untuk memiliki istri sampai empat dipahami sebagai
awal upaya penghormatan kepada kaum perempuan. Abû Zayd, menyarankan bahwa
pembahasan ini harus dipahami sebagai awal pembebasan terhadap perempuan dari
dominasi kaum laki-laki.2
Kedua, meletakkan teks dalam konteks secara keseluruhan. Dengan ini, Abû
Zayd berharap bahwa “yang tak terkatakan” atau yang implisit dapat diungkapkan.
Teks al-Qur’an sendiri juga menyarankan untuk hanya memiliki seorang istri jika
suami takut tidak bisa berbuat adil: “jika kamu takut tidak akan bisa bertindak adil
(terhadap mereka), maka seorang saja.” dalam ayat yang lain juga dipertegas bahwa:
“kamu tidak akan bisa berbuat adil diantara istri-istri kamu meskipun kamu sangat
berkeinginan untuk melakukannya.(QS. Al-Nisa’ (4): 129). Analisis linguistik dari ayat
poligami adalah tidak mungkin bersikap adil kepada istri. Penggunaan klausa
2 Nashr Hāmid Abȗ Zayd, Dawāir al-Khauf: Qirā`at fī Khitāb al-Mar`ah (Beirut; Al-Markaz
al-Tsaqāfy al-‘Araby, 2004), h. 288
117
kondisional (pengandaian) dan penggunaan partikel kondisional Law (jika)
menandakan penegasian terhadap jawâb al-syart (konklusi dari klausa kondisional)
disebabkan karena adanya penegasian terhadap kondisi (syart) itu. Yang harus
diperhatikan adalah penggunaan partikel lan (tidak akan pernah) yang berfungsi
sebagai koroborasi (ta’yîd) di awal kalimat, ini menunjukkan bahwa “dapat bertindak
adil” tidak akan pernah terjadi. Disini Abû Zayd menyimpulkan bahwa terdapat negasi
ganda: pertama, negasi total terhadap kemungkinan bertindak adil terhadap dua istri
atau lebih, dan kedua, negasi terhadap kemungkinan memiliki keinginan yang kuat
untuk berlaku adil terhadap mereka3.
Abû Zayd meminjam distingsi ‘Adil Dhahir tentang mabda’ (prinsip), qa’îdah
(kaidah), hukm (hukum). Keadilan, kebebasan, hak untuk hidup, dan kebahagiaan,
termasuk dalam katagori mabda’, qa’îdah adalah derivasi dari mabda’ dan tidak boleh
bertentangan dengannya, Misalnya: “jangan mencuri, jangan berzina, jangan membuat
kesaksian palsu, jangan mengganggu orang lain,” adalah termasuk mabda’.4 Dalam
konteks yurisprudensi Islam, tujuan universal syarî’at (al-maqâsid al-kulliyyah li al-
syarî’ah) sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Syatibî dalam al-Muwaffaqat, yakni
perlindungan terhadap agama (hifz al-dîn), jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz al-‘aql),
keturunan (hifz al-nasl) dan harta (hifz al-mâl).5 Sementara Abû Zayd menawarkan tiga
prinsip universal dalam hukum Islam. Pertama, rasionalisme (‘aqliyyah) sebagai lawan
dengan jâhiliyyah, dalam pengertian mentalitas kesukuan dan tindakan emosional.
3 Nashr Hāmid Abȗ Zayd, Dawāir al-Khauf: Qirā`at fī Khitāb al-Mar`ah, h. 289 4 Nashr Hāmid Abȗ Zayd, Dawāir al-Khauf: Qirā`at fī Khitāb al-Mar`ah, h. 292 5 Abî Ishâq al-Syatibî, Al-Muwaffaqat fî Ushu al-Syarî’ah, (Libanon: Dâr Al-Kitâb Al-
‘alâmiyyah, t.th), juz II.
118
Kedua, kebebasan (hurriyyah), yang dilawankan dengan segala bentuk perbudakan
(‘ubudiyyah). Ketiga, keadilan (‘adâlah) sebagaimana dilawankan dengan eksploitasi
manusia (zulm).6
Dalam konteks poligami, keadilan adalah mabda’ (prinsip) sementara untuk
memiliki sampai empat istri adalah hukm. Hukm tidak menjadi qa’îdah apalagi mabda’.
Hukm adalah peristiwa spesifik dan relatif, tergantung perubahan kondisi yang
melingkupinya. Ketika terjadi kontradiksi antara mabda’ dan hukm, yang terakhir harus
dikalahkan untuk mempertahankan yang pertama. Abû Zayd berpendapat bahwa al-
Qur’an melarang poligami secara tersamar dengan kata lain limitasi itu sesungguhnya
mengindikasikan pelarangan (pengharaman) secara tersamar (al-tahrîm al-dimmi).
Langkah ketiga, berdasarkan kedua langkah tersebut, Abû Zayd mengusulkan
sebuah pembaharuan hukum Islam. Dalam hukum Islam klasik, poligami
diklasifikasikan di bawah bab “hal-hal yang diperbolehkan” (al- mubâhat). Terma
“pembolehan”, menurut Abû Zayd, tidaklah sesuai karena pembolehan terkait dengan
hal yang tidak dibicarakan oleh teks, sementara pembolehan poligami dalam al-Qur’an
pada hakekatnya adalah sebuah pembatasan dari poligami yang tak terbatas yang telah
dipraktekkan sebelum datangnya Islam. Pembatasan tidak berarti pembolehan. Namun
demikian, poligami tidak masuk dalam bab “pelarangan (pengharaman) terhadap hal
yang diperbolehkan” (tahrîm al-mubâhat). Dalam hal ini Abû Zayd berpendapat bahwa
6 Moch. Nur Ichwan “Meretas Keserjanaan Kritis; Teori Hermeneutika Nasr Hâmid Abû Zayd
(Jakarta: Teraju, 2003)., H. 141
119
poligami sebagai hukm tidak boleh merusak qa’îdah dan mabda’, sehingga poligami
dilarang.7 Dibawah ini adalah diagram tentang interpretasi ayat poligami:
7 Nashr Hāmid Abȗ Zayd, Dawāir al-Khauf: Qirā`at fī Khitāb al-Mar`ah, h. 290
Praktek poligami pra- Islam: Poligami
tidak terbatas
Islam membatasi poligami: empat istri
dengan syarat suami bisa bertindak
adil
Poligami dilarang
Tujuan akhir legilasi Islam: monogami
Sikap adil dalam poligami tidaklah
mungkin: monogami lebih ditekankan
Makna
Signifikansi
“Yang tak terkatakan”
Arah Teks
120
B. Aplikasi Teori Charles Sanders Peirce Atas pemikiran Nasr Hâmid Abû Zayd
tentang Keadilan Berpoligami
1. Proses semiosis pemikiran Nasr Hâmid tentang poligami
Setelah melihat metodologi dan Cara Abû Zayd dalam mendiskusikan isu
poligami, disini penulis akan mendeskripsikan pemikiran Abû Zayd dengan metode
semiotika Charles S. Peirce, sebagai berikut:
Lafadz فإن خفتم ألا تعدلوا (pada surat Al-Nisâ` (4): 3 dikategorkan oleh
Abû Zayd sebagai Fi’il Syarth (sementara itu pada proses semiotika Peire pendapat
Nasr ini temasuk pada kategori rheme karena kata ini memungkinkan seorang mufassir
untuk menafsirkan makna dari ayat tersebut. Kemudian tanda ini berhubungan dengan
Objek “ فواحدة ” yang menurut Abû Zayd kata tersebut adalah Jawâb Syart, maka
R1
فإن خفتم ألا تعدلوا
Fi’il syarth (ayat 3
surat Al-Nisâ` )
(Rheme)
)
I1 / ( R2 )
Keadilan
merupakan syarat
utama dalam hal
berpoligami
(Argumen)
I2 / ( R3 )
Keadilan merupakan syarat utama bagi
seorang laki-laki yang hendak berpoligami
namun pada ayat 129 ditegaskan melalui
kata ولن yang menunjukkan bahwa
ketidak mungkinan seseorang berlaku adil
(Argumen)
O
تعدلوا أن تستطيعوا ولن
Surat Al-Nisâ` Ayat 129
O
فواحدة
Jawab syarth (yang terdapat
pada surat Al-Nisâ` ayat 3
121
membuahkan Interpretant “Keadilan merupakan syarat utama dalam hal berpoligami”
yang pada proses ini disebut dengan argumen (karena interpretasi ini merupakan
argumen dari Abû Zayd mengenai makna kata adil dalam ayat tersebut). Interpretant
ini ditransformasi menjadi Representament baru yang berhubungan dengan Objek
“ تعدلوا أن تستطيعوا ولن ” (lafadz yang terdapat pada surat Al-Nisâ` (4): 129, maka
membuahkan Interpretant baru yaitu “Keadilan merupakan syarat utama bagi seorang
laki-laki yang hendak berpoligami namun pada ayat 129 ditegaskan melalui kata ولن
yang menunjukkan bahwa ketidakmungkinan seseorang berlaku adil” yang pada proses
ini disebut dengan argumen (karena interpretasi ini merupakan argumen Abû Zayd
mengenai makna kata adil dalam ayat tersebut (QS. Al-Nisâ` (4):3 dan 129).
C. Relevansi Pemikiran Nasr Hâmid Abû Zayd dengan Mufassir lain
Sebelum memaparkan proses semiosis pemikiran Abû Zayd, penulis sengaja
memberikan sajian lengkap tentang argument-argumen dan langkah-langkah Abû Zayd
menjawab isu poligami, hal ini bertujuan untuk memudahkan penulis dalam melakukan
pengaplikasian semiotika Charles Sander Pierce terhadap pemikiran Abû Zayd
mengenai keadilan poligami. Setelah melakukan proses semiosis serta membaca
argumen Nasr dapat kita lihat bahwa keadilan atau kata adil yang dimaksud oleh
seorang Abû Zayd adalah adil dalam bentuk immateri (seperti rasa kasih sayang dan
juga cinta), hal ini dapat kita lihat melalui argument Abû Zayd yang menghubungkan
makna adil yang ada dalam Al-Nisâ` (4): 3 dengan makna kata adil pada Al-Nisâ` (4):
129. Hal inilah yang membuat interpretasi Abû Zayd berbeda dengan mara mufassir
lain.
122
Setelah melihat pemaparan Nasr Hâmid Abû Zayd di atas, penulis berpendapat
bahwa ada sesuatu yang terlupakan (terlewatkan) oleh Abû Zayd ketika mendiskusin
isu poligami. Dalam mendiskusikan poligami, Abû Zayd melihat konteks realita sosial
pada masanya (mendiskusikan poligami dengan melihat perubahan undang-undanag
Tunisia) dan melihat budaya pernikahan (poligami pra-Islam dan setelah datangnya
islam). Namun, Abû Zayd tidak mendiskusikan isu poligami dan keadilan poligami
dengan melihat realita sosial saat ayat poligami turun (Asbâb al-Nuzûl), menurut
penulis hal inilah yang membuat interpretasi Abû Zayd mengenai ayat berbeda dengan
para mufassir lain seperti al-Tabarî, al-Râzî, dan al-Manâr. Seperti yang penulis
paparkan pada bab II bahwa sebelum memaparkan penafsiran tentang ayat poligami,
para mufassir seperti al-Tabarî, al-Râzî, dan al-Manâr terlebih dahulu menyinggunng
mengenai asbâb al-nuzûl ayat-ayatnya. Dan disini penulis akan mendeskripsikan
metodologi para mufassir terssebut ketika menafsirkan ayat-ayat poligami:
1. Al-Tabarî
Dalam menafsirkan QS. Al-Nisâ` (4): 3 al-Tabarî terlebih dahulu memaparkan
asbâb al-nuzûl ayat dan juga riwayat-riwayat maupun pendapat-pendapat para sahabat
maupun tabi’in, dan lain-lain kemudian barulah al-Tabarî memaparkan pendapatnya
(penafsirannya) tentang ayat tersebut. Dari semua riwayat yang dipaparkan oleh al-
Tabarî dalam kitab tafsirnya, Abû Ja’far al-Tabarî berpendapat bahwa pendapat yang
yang paling benar adalah pendapat yang menyatakan bahwa jika seorang wali khawatir
tidak bisa berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka demikian pulalah hendaknya
mereka khawatir terhadap istri-istrinya. Sehingga janganlah mereka (para wali)
123
menikahi anak-anak yatim hingga mereka yakin bahwa mereka tidak akan berbuat
zalim terhadap anak-anak yatim tersebut dari satu hingga empat orang sekaligus.
Namun jika para wali tersebut masih khawatir dengan satu orang misalnya, maka
janganlah nikahi ia, tetapi cukuplah bagi mereka hamba sahaya yang mereka miliki.
Sesungguhnya hal itu lebih aman dan menentramkan bagi mereka. Adapun alasan al-
Tabarî mengatakan bahwa pendapat ini benar karena Allah Swt mengawali ayat
sebelumnya dengan larangan memakan harta anak-anak yatim tanpa alasan yang benar
serta menyampurkannya dengan harta lain selain harta mereka. Lalu Allah berfirman,
“Maka berikanlah terhadap anak-anak yatim tersebut harta mereka dan janganlah
kalian menyampurkan harta yang buruk dengan yang baik dan juga jangan memakan
harta mereka ke dalam harta kalian, sesungguhnya hal tersebut termasuk dosa yang
sangat besar”.8
Dari pendapat al-Tabarî di atas dapat kita lihat bahwa keadilan yang dimaksud
pada ayat ini adalah keadilan yang besifat material (terindera) karena pada
pemaparannya al-Tabarî menekankan keadilan pada cara memperlakukan anak-anak
yatim.
Sementara itu pada ayat 129 al-Tabarî pun menafsirkan ayat ini dengan terlebih
dahulu melihat asbabun nuzul ayatnya dan juga menuliskan riwayat-riwayat dan
pendapat-pendapat para sahabat, tabi’in, dan lain-lain mengenai ayat ini setelah itu
barulah al-Tabarî memaparkan tafsirnya tentang ayat ini. Menurut al-Tabarî keadilan
8 Muhammad ibn Jarîr ibn Yazîd ibn Katsîr ibn Ghalib al-Amili Abû Ja’far al-Tabarî , Jamî’
al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayi al-Qur’an., h. 368.
124
yang dimaksud pada ayat ini adalah keadilan dalam hal kasih sayang dan juga cinta
kasih yang memang akan sulit dilakukan oleh manusia. Namun, menurut al-Tabarî
ketidakmungkinan seorang suami membagi kasih sayang terhadap istri-istrinya
membuat seorang suami berlaku tidak adil dalam hal pembagian waktu dan harta.
2. Al-Râzî
Al-Râzî menafsirkan surat Al-Nisâ` (4): 3 dengan memilahnya menjadi
beberapa persoalan yang berkaitan dengan cara memperlakukan anak yatim dan juga
beliau memaparkan asbabun nuzul dari ayat tersebut. Menurut penulis dari pemaparan
Al-Râzî mengenai ayat ini, Al-Râzî memaknai keadilan pada ayat ini sama seperti al-
Tabari yaitu keadilan yang sifatnya material (terindera) seperti harta dan waktu. Hal ini
dapat dilihat karena dalam persoalan yang dibahas oleh Al-Râzî berkenaan dengan
keadilan untuk memperlakukan anak yatim dengan semestinya. Selain itu berbeda
dengan al-Tabarî, Al-Râzî menambahkan bahwa firman Allah:
jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil( وإن خفتم ألا تقسطوا ( sebagai syarat,
dan فانكحوا ما طاب لكم (Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi)
sebagai suatu kebolehan. Dengan demikian, mesti ada keterangan yang jelas tentang
bagaimana sebenarnya hubungan antara kebolehan menikahi perempuan-perempuan
yang disukai (beristri sampai empat atau poligami) dengan syarat tersebut. D ari
n diatas dapat kita lihat bahwapemapara Al-Râzî menempatkan keadilan dalam
berpoligami ad laki-alah satu syarat yang harus dapat dilakukan oleh suami atau laki
berpoligamiyang hendak
125
3. Al-Manâr
Dalam menafsirkan ayat poligami QS. Al-Nisâ` (4): 3 dan 129 ‘Abduh dan
Rasyîd Ridâ terlebih dahulu melihat konteks ayat tersebut dengan memaparkan asbâb
al-nuzûl ayat tersebut, setelah itu barulah kedua mufassir ini mendiskusikannya dengan
realita sosial pada masa mereka menafsirkan ayat tesebut.
Menurut penulis, bagi ‘Abduh dan Rasyîd Ridâ keadilan yang dimaksud pada
QS.Al-Nisâ` (4): 3 adalah keadilan yang bersifat material (terindera) seperti keadilan
dalam pembagian harta dan waktu. Hal ini terlihat karena dalam tafsirnya, ‘Abduh
menyikapi penyebutan perihal poligami dalam konteks ayat yang dikaitkan dengan
kasus anak-anak yatim serta larangan memakan harta meraka sekalipun lewat jalan
pernikahan melalui perkataannya:
“Jika kalian merasa takut dari memakan harta istri kalian yang yatim, maka
janganlah kalian menikahi mereka! Karena sesungguhnya Allah telah
menjadikan alternatif bagi kalian terkait dengan anak yatim dengan
membolehkan kalian menikah dengan empat orang perempuan selain mereka
secara sekaligus. Namun, jika kalian khawatir tidak bisa berlaku adil terhadap
mereka semua, maka satu istri saja lebih baik. Standar takut dari ketidakadilan
bisa diketahui dengan sangkaan kuat atau keragu-raguan terkait hal itu, bahkan
juga bisa diketahui lewat kebimbangan untuk melakukannya. Akan tetapi,
syariat Islam mentolerir kebimbangan, karena sedikit sekali ilmu yang bisa
memastikan hal ini. Maka hal yang dibolehkan untuk seorang laki-laki dalam
kasus ini adalah ia menikah dengan perempuan kedua atau lebih dengan catatan
dia yakin terhadap dirinya bahwa dia sanggup untuk berbuat adil (tidak ragu-
ragu).”9
Sementara itu Rasyîd Ridâ berpendapat bahwa ayat ini pada awalnya berbicara
tentang wasiat untuk menjaga anak yatim, baik harta maupun kesucian mereka. Yang
dimaksud dengan istilah yatim di sana adalah para yatim perempuan dan yang
9 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr, Beirut: Dâr al Ma’arifah., h. 348
126
dimaksud dengan perempuan di sana adalah perempuan yang bukan yatim. Artinya
adalah jika kalian khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan
yatim, maka bermuamalahlah (berinteraksilah) dengan mereka sebagaimana kalian
bermuamalah dengan perempuan selain mereka dalam memberikan mahar pernikahan
mereka atau dalam persoalan lainnya dan bahkan harus lebih baik lagi. Namun jika
kalian tidak sanggup untuk itu, maka jangan nikahi mereka, tapi menikahlah dengan
perempuan lain yang dihalalkan bagi kamu dan menarik perhatian kamu selain
perempuan-perempuan yatim tersebut.10
Dari argumen ‘Abduh dan Rasyîd Ridâ di atas, dapat kita lihat bahwa kedua
mufassir ini menempatkan keadilan sebagai suatu syarat mutlak ketika seorang suami
hendak berpoligami, pendapat ‘Abduh dan Rasyîd Ridâ ini sama dengan pendapat Al-
Râzî yang juga menempatkan keadilan sebagai syarat utama dalam poligami.
Sementara itu ‘Abduh menjelaskan tiga alasan haramnya poligami:
Pertama, syarat pertama poligami adalah berbuat adil, syarat ini mustahil bisa
dipenuhi seperti yang dikatakan dalam QS.Al-Nisâ`: 129. Kedua, buruknya perlakuan
para suami yang berpoligami terhadap para istrinya, karena mereka tidak dapat
melaksanakan kewajiban memberi nafkah lahir dan batin secara baik dan adil. Dan
Ketiga, dampak psikologis anak-anak hasil poligami, mereka tumbuh dalam kebencian
dan pertengkaran karena ibu mereka bertengkar baik dengan suami atau dengan istrinya
yang lain. (Al-‘Amal Al-Kamîlah/ imâm Syaikh Muhammad ‘Abduh, Cairo, Dâr Asy-
Syurûq, 1933, II: 88-93).11
10 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr, Beirut: Dâr al Ma’arifah., h. 348-350.
127
Dari penjelasan ‘Abduh di atas dapat kita lihat bahwa meskipun ‘Abduh
berargumen bahwa keadilan yang dimaksud pada QS. Al-Nisâ` (4): 3 sebagai suatu
keadilan yang bersifat terindera seperti pembagian harta dan juga waktu, dan pada QS.
Al-Nisâ`: 129 adalah keadilan yang bersifat abstrak (tidak terindera) seperti keadilan
dalam pembagian kasih sayang dan cinta kasih, menurut ‘Abduh ketidakmampuan
seseorang dalam berlaku adil pada pembagian kasih sayang akan membuat seseorang
menjadi tidak adil dalam pembagian harta dan juga waktu. Hal ini dapat dibuktikan
dengan pernyataan abduh yang menyatakan bahwa sebuah rumah yang di dalamnya
ada dua orang istri tidak akan mungkin tetap dalam kondisi aman dan tentram serta
juga tidak berjalannya aturan yang dibikin oleh sang suami, bahkan sang suami bisa
saja bekerja sama dengan salah seorang dari keduanya untuk memusuhi yang lain.
Kemudian permusuhan itu menjalar kepada anak-anak keduanya, sehingga dengan
demikian mudarat poligami berkembang dari individu menuju rumah dan dari rumah
menuju keturunan (umat/antar keluarga).12
Ketika mufassir lain seperti Al-Tabari, Al-Râzî serta ‘Abduh dan Rasyîd Ridâ
memaknai kata adil pada surat Al-Nisâ` dengan keadilan yang bersifat terindra (terlihat
dan terukur) seperti adil dalam hal pembagian waktu, harta dan perlakuan terhadap
semua istri, namun Abû Zayd menghubungkan kata adil tersebuut dengan kata adil
pada surat Al-Nisâ` (4): 129 yang menurutnya sebuah penegasan bahwa keadilan yang
digambarkan pada Al-Nisâ` (4): 3 tidak akan mungkin dapat dilakukan oleh seorang
11 Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara jodoh, poligami dan perselingkuhan, Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2007., h. 119.
12 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr, Beirut: Dâr al Ma’arifah., Juz. V, h. 448.
128
suami. Padahal seperti yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya bahwa para
mufasir sepakat bahwa makna kata adil pada surat Al-Nisâ` (4): 129 adalah adil dalam
perihal pembagian rasa kasih sayang dan cinta kasih yang memang akan sulit untuk
dilakukan oleh manusia, bukan hanya mufassir yang beranggapan demikian, jika kita
lihat dari asbâb al-nuzûl maka konteks turunnya surat tersebut adalah untuk penegasan
bahwa seseorang tidak akan mungkin berlaku adil dalam pembagian kasih sayan,
namun ketidakmampuan ini lantas membuat seorang suami berlaku (bersikap) tidak
adil terhadap isterinya dalam hal pembagian waktu dan harta.
Berdasarkan analisa di atas penlis menilai bahwa Abû Zayd memaknai
keadilan dalam kedua ayat ini dengan keadilan yang mutlak tidak seperti para mufassir
lain yang memaknai keadilan pada ayat ini secara proposional, dan hal inilah yang
menunjukkan bahwa Abû Zayd tidak sebijak para mufassir terdahulunya dala
menjawab isu mengenai keadilan berpoligami.
Selain itu, menurut penulis ketika Nasr Hâmid Abû Zayd mendiskusikan
keadilan dalam berpoligami, dia berangkat dari keadilan yang bersifat abstrak/
immateri (tidak terindera) seperti keadilan dala hal kasih sayang. Hal ini dapat dilihat
dari argumen Abû Zayd yang menyatakan bahwa lafadz فإن خفتم ألا تعدلوا (pada surat Al-
Nisâ` (4): 3 dikategorkan oleh Abû Zayd sebagai Fi’il Syarth padahal seperti yang kita
ketahui dalam beberapa kamus yang penulis tulis pada bab II kata ( تعدلوا) maknanya
adalah keadilan yang bersifat abstrak (tidak terindera) seperti keadilan dalam
pembagian kasih sayang dan cinta kasih hal inilah yang membuat interpretasi Abû Zayd
berbeda dengan para Mufasir lain.
129
Menurut penulis argumentasi Abû Zayd tentang penolakan poligami dan
penawaran monogami sebagai alternatif konsep pernikahan dalam Islam yang sesuai
dengan semangat modernitas itu mengandung kelemahan. Abû Zayd terkesan
memaksakan untuk memahami term ( تعدلوا) dan (القسط) dalam satu makna yaitu keadilan
yang mutlak tanpa membedakan makna keadilan material (القسط) dan makna keadilan
immaterial ( تعدلوا). Sementara pembacaan peneliti dengan perspektif semiotika Peirce
menemukan bahwa perbedaan tersebut tidak terelakan, sehingga makna kedua term
tersebut harus dibedakan. Konsekuensinya poligami adalah bagian dari ajaran Islam
namun dengan pemenuhan ketentuan dan syarat tertentu antara lain melindungi yang
lemah (anak yatim).
130
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan proses semiosis pada bab sebelumnya mengenai pemikiran
Abû Zayd tentang keadilan berpoligami, penulis berpendapat bahwa ada sesuatu yang
terlupakan (terlewatkan) oleh Abû Zayd ketika mendiskusikan wacana poligami.
Dalam mendiskusikan poligami, Abû Zayd melihat konteks realita sosial pada masanya
(mendiskusikan poligami dengan melihat perubahan undang-undanag Tunisia) dan
melihat budaya pernikahan (poligami pra-Islam dan setelah datangnya islam). Namun,
Abû Zayd tidak mendiskusikan isu poligami dan keadilan poligami dengan melihat
realita sosial saat ayat poligami turun (asbâb al-Nuzûl), menurut penulis hal inilah yang
membuat interpretasi Abû Zayd mengenai ayat berbeda dengan para mufassir lain
seperti al-Tabarî, al-Râzî, dan al-Manâr. Seperti yang penulis paparkan pada bab II
bahwa sebelum memaparkan penafsiran tentang ayat poligami, para mufassir seperti
al-Tabarî, al-Râzî, dan al-Manâr terlebih dahulu menyinggunng mengenai asbâb al-
Nuzûl ayat-ayatnya.
Selain itu setelah melakukan proses semiosis, penulis melihat bahwa dari semua
mufassir yang ditulis pada skripsi ini memaknai lafadz القسط dan العدل pada ayat 3 surat
al-Nisâ’ adalah keadilan dalam bentuk yang terlihat dan dapat diukur seperti
pembagian waktu dan harta, selain itu berlaku adil adalah suatu kewajiban bagi seorang
suami yang hendak berpoligami. Penulis juga melihat dan menemukan bahwa dari
ketiga tafsir yang mewakili jamannya tersebut sebenarnya tidak saling kontradiktif
131
melainkan saling mendukung satu sama lain. Dan semua mufassir yang penulis tulis
pun setuju bahwa konteks pada surat al-Nisâ’ (4): 3 adalah untuk melindungi anak
yatim, berbeda dengan Abû Zayd yang membaca asbâb al-Nuzûl ayat hanya sebagai
suatu penjelasan mengenai pembatasan jumlah istri kemudian lalu mendiskusikan
konteks asbâb al-Nuzûl ayat dengan undang-undang Tunisia yang melarang poligami
dan penghapusan undang-undang tentang perbudakan. Menurut penulis perbedaan
pengambilan konteks ayat inilah yang membuat perbedaan interpretasi antara Abû
Zayd dan Mufassir lain. Dari proses semiosis di bab sebelumnya penulis melihat bahwa
para mufasir dan juga Abû Zayd sepakat kebolehan berpoligami bergantung pada
syarat keadilan, yaitu seorang suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya
dalam hal pembagian harta dan waktu.
Sementara itu, pada ayat 129 penulis melihat bahwa sebenarnya semua
mufassir di atas sepakat bahwa sebenarnya makna kata adil pada ayat ini adalah adil
dalam bentuk abstrak (tidak terlihat dan terukur) dan ketiganya sepakat bahwa keadilan
dalam pembagian hal-hal yang bersifat abstrak ini sulit untuk dilakukan oleh seseorang,
namun ketidakmampuan berlaku adil dalam hal yang bersifat abstrak jangan sampai
membuat seseorang bersikap tidak adil dalam segi yang terlihat dan terukur (seseorang
harus tetap berlaku adil dalam perlakuannya meskipun tidak mampu berlaku adil dalam
hal cinta maupun kecondongan hati). Pemaknaan yang dilakukan oleh para mufassir
ini berbeda dengan Abû Zayd, karena dari pemaparannya Abû Zayd terlihat
menerjemahkan keadilan sebagai keadilan yang mutlak dimana keadilan yang
dimaksud oleh Abû Zayd ini tidak akan mungkin dilakukan oleh manusia.
132
Menurut penulis argumentasi Abû Zayd tentang penolakan poligami dan
penawaran monogami sebagai alternatif konsep pernikahan dalam Islam yang sesuai
dengan semangat modernitas itu mengandung kelemahan. Abû Zayd terkesan
memaksakan untuk memahami term ( dalam satu makna yaitu keadilan (القسط) dan (تعدلوا
yang mutlak tanpa membedakan makna keadilan material (القسط) dan makna keadilan
immaterial ( Sementara pembacaan peneliti dengan perspektif semiotika Peirce .(تعدلوا
menemukan bahwa perbedaan tersebut tidak terelakan, sehingga makna kedua term
tersebut harus dibedakan. Konsekuensinya poligami adalah bagian dari ajaran Islam
namun dengan pemenuhan ketentuan dan syarat tertentu antara lain melindungi yang
lemah (anak yatim).
Penulis setuju dengan pendapat para mufassir (al-Tabarî, Al-Râzî, ‘Abduh, dan
Rasyîd Ridâ) yang menyatakan bahwa keadilan pada ayat 129 ini adalah keadilan yang
bersifat tak dapat dilihat dan tak dapat dihitung (abstrak/immateri), namun
ketidakmampuan berlaku adil dalam hal ini tidak lantas membuat seseorang
menampakkannya dalam prilaku sehari-hari. Contoh terdekat adalah orang tua kita
terkadang memiliki kecendrungan hati pada satu anak namun kecenderungan itu tak
dinampakkan dalam prilakunya, karena setiap orang tua pasti memperlakukan anaknya
dengan sama (adil).
133
B. Rekomendasi
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang konsep keadilan di dalam al-
Qur’an yang dianalisa melalui teori semiotika, khususnya semiotika
Charles Sanders Peirce, dan tulisan ini dapat dijadikan langkah awal untuk
berpijak demi mengembangkan kajian tersebut.
2. Penelitian ini hanyalah bagian kecil dari usaha untuk membaca ulang atau
mendeskripsikan secara rinci tentang pemikiran Abu Zayd yang
kontraversi, karena seperti yang kita ketahui bahwa masih banyak
pemikiran Abu Zayd yang kontraversi tentang wacana-wacana yang ada di
Islam seperti talak, hak waris, dan lain-lain dan oleh sebab itu menurut
penulis, mesti ada penelitian lebih lanjut untuk membaca ulang pemikiran-
pemikiran Abu Zayd yang kontraversi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abû Zayd, Nasr Hâmid. Dâwair al-Khawf: Qirâ’ah fî Khitâb al-Mar’ah. Beirut: al-
Markaz al-Saqâfî al-‘Arabî. 1999.
-------------. The Textuality of the Qur’an: an Introduction to the Translation.
-------------. Tekstualitas Al-Qur’an: Kritik Terhadap Ulûmul Qur’an. Penerjemah
Khoiron Nahdliyyin. Cet. I. Yogyakarta: LKIS. 2001.
-------------. Mafhûm al-Nas; Dirâsat fî Ulûm al-Qur’an. Beirut: Al-Markaz al-
Saqâfî al-‘Arabî. 2000.
-------------. Al-Nass, al-Haqîqat: Al-Fikr al-Dîni bain Irâdat al-Ma’rifat wa Irâdat
al-Haiminat. Beirut: Markaz al-Tsaqâfî al-Arabî. 1994.
-------------. Dawâir al-Khauf: Qirâ’ah fî Khitâb al-Mar’ah. penerjemah Moch. Nur
Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi. Yogyakarta: SAMHA. 2003.
-------------. Naqd al-Khitâb al-Dîni. Penerjemah Khoirun Nahdiyin. Kritik Wacana
Agama. Yogyakarta; LkiS. 2003.
Ahmad, bin Muhammad bin ‘Alî al-Muqrî al-Fayyûmî. Al-Misbâh Al-Munîr.
Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah. 1994.
‘Araidah, Kâmil Muhammad Muhammad. Ibn Maskawaih Mazahib Akhlaqiyah.
Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Arkoun, Muhammad. Nalar Islami dan Nalar Modern; Berbagai Tantangan dan
Jalan Baru. Jakarta: INIS. 1994.
Armas, Adnin. Metodologi Bibel dalam Studi al-Quran. Gema Insani. 2005.
Badudu, J.S. Kamus Kata-kata Serapan Asing Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta:
P.T. Kompas Media Nusantara. 2003.
Baidan, Nasharuddin. Tafsir bi al-Ra’yi, Upaya penggalian konsep perempuan
dalam al-Qur’an; Mencermati Konsep Kesejajaran perempuan dalam al-
Qur’an. cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999.
Al-Baidâwî. Anwar At-Tanzil wa Isrâr At-Ta’wil. Beirut: Dâr al-Kutub al-
‘Alâmîah.
Berger, Arthur Asa. Tanda-tanda Dalam Kebudayan Kontemporer. Penerjemah M.
Dwi Marianto dan Sunarto. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 2000.
Budiman, Kris. Semiotika Visual; konsep, Isu, dan Problem Ikonitas. Yogyakarta:
Jalasutra. 2011.
Cambridge University. Cambridge School Dictionary. New York: Cambridge
University Press. 2008.
Christomy, T. dan Yuwono, Untung. Semiotika Budaya. Depok: Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Budaya Fakultas Ilmu pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia. 2010.
Daîf, Syauqi al-Mu’jam al-Wasît. vol. 2. Mesir: Dâr al-Da’wah.
Dahlan. Ensiklopedia Hukum Islam.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
pustaka. 2015.
Echols, John M. dan Shadly, Hassan. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka. 1996.
Elias, Elias. A. dan Elias, Edwar E. Qamus Al-Ilyâs Al-Ashrî Injilizi- Arabî. Bairut:
Dâr al-Jil. 1934.
Enslikopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati. 2007.
al-Hasân, Abî Hilâl ibn Abdillâh ibn Sahl al-‘Askarî. al-Furûq al-Lughawîyah.
Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah. 2010.
Hidayat, Komarudin dan Azra, Azyumardi. Pendidikan Kewargaanegaraan (Civic
Education). cet. 6. Jakarta: Kencana. 2008.
----------. Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kaja Hermeneutik. Jakarta:
Paramadina. 1996.
Hirschkind, Charles. heresy or hermeneutics, the case of nasr hâmid abû zayd.
EHR. volume 5. issue 1: Contested Polities. (February 26, 1996).
al-Hisyam, Firdaus dan Hariyono, Rudy. Kamus Lengkap 3 Bahasa; Arab
Indonesia Inggris. Surabaya: Gitamedia Press. 2006.
Hoed, Benny H. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
2008.
http://www.mesias.8k.com/abuzayd.htm
al-Husain, Abû al-Qâsim bin Muhammad (ar-Râgib al- Ashfahânî). Al-Mufradât fî
Gharîb Al-Qur’ân. Maktabâh Nazar Mushtâfa al-Bâz.
Ibnu ‘Arabi. Isykaliyah al-Qirâ’ah wa Alliyah al-Ta’wîl. Penerjemah Muhammad
al-Mansur. Yogyakarta: PT. Lkis Pelangi Aksara. 2004.
Ibnu Fâris. Mu’jam Maqâyîs al-Lugah. Vol III.
Ibn Manzûr. Lisân al-‘Arab. Beirut: Dâr Shadir. 1414.
Ichwan, Moch. Nur. “Meretas Keserjanaan Kritis al-Qur’an; Teori Hermeneutika
Nasr Hâmid Abû Zayd. Bandung: Teraju. 2003.
------------------------. Moch Nur Ichwan, Hermeneutika Qur’an Nasr Hâmid Abû
Zayd: Menuju Kesarjanaan Qur’an Kritis. Thesis. 2000.
Ichwan, Nur dan Hadi, Moch Syamsul. Dekontruksi Gender: Wacana Krtik
Perempuan dalan Islam. Yogyakarta: Samba. 2003.
Imron, Ali. Semiotika Al-Qur’an; Metode dan Aplikasi Terhadap Kisah Yusuf
Yogyakarta: Teras. 2011.
Iswanti. “Menimbang Perkawinan Monogami Dalam Agama Katolik,” Jurnal
Perempuan edisi 31. (2003).
Jaiz, Hartono Ahmad. Wanita antara jodoh, poligami dan perselingkuhan. Jakarta:
Pustaka al-Kautsar. 2007.
Al-Khatîb, Muhammad ‘Ajjaj. Ushûl Al-Hadîts. Penerjemah H.M Nur Ahmad
Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2007.
Kurniawan. Semiollogi Roland Barthes. Magelang: Indonesia Tera. 2001.
Latief, Hilman. Nasr Hâmid Abû Zayd :Kritik Teks Keagamaan. Cet. 1.
Yogyakarta: Elsaq Press. 2003.
Lembaga Pengkajian dan Penelitian WAMY, ““Ikhwân al-Muslimîn”, Gerakan
Keagamaan dan Pemikiran (Akara Ideologis dan Penyebarannya),
Penerjemah A. Najiyulla. (Jakarta Timur: al-I’tishom Cahaya Umat. 2002.
Mahali, A. Mujab. Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman al-Qur’an surat al-Baqarah-
al-Nâs. Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2002.
Makmun, Rodli. dkk. Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur. Ponorogo:
STAIN Ponorogo Press. 2009.
Mubarok, Ahmad Zaki. Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir Al-
Qur’an Kontemporer “ala” M. Syahrur. el SAQ Press dan TH Press:
Yogyakarta. 2007.
Mulia, Siti Musdah. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
2007.
Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir Qamus ‘Arabi-Induniai. Yogyakarta:
Pustaka Progresif. 1984.
Mûsâ, Muhammad Yûsuf. Falsafah Al-Akhlâqiyah fî Al-Islâm. Mesir: Muassâsah
Al-Khanaji. 1963.
Pari, Fariz. Epistimologi Semiotik Peirce. Jabaru: Kopi Center. 2012.
-------------. Epistimologi Semiotik Peirce: Kajian Terapan teori Semiotik. Tesis S2
Fakultas Pascasarjana Univesitas Indonesia. 1994.
al-Qaththân, Mannâ Khalîl. Mabâhits fî Ulîmil Qur’ân. Mansyurat al-‘Asr al-
Hadîts, 1973.
Rahardjo, Dawam. Ensiklopedoa al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konspp-
konsep Kunci. Jakarta. 2002.
al-Râzî, Fakhr al-Dîn. Al-Tafsîr al-Kabîr. Beirut: Dâr al-Fikr. 1995.
Ridhâ, Muhammad Rasyîd. Tafsîr al-Manâr. Beirut: Dâr al Ma’arifah.
Ryder, Martin “Semiotik Languange and Culture,” artikel diakses pada tanggal 21
Januari 2008 dari http://carbon
.cudenever.edu/~mryder/semiotikcs_este.html.
al-Sâbûnî, Muhammad Alî. Rawâ’iul Bayân, Tafsîr Ayât al-Ahkâm min al-Qur’ân.
vol. 2. Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah.
Saenong, Ilham. B. Hermeneutika Pembebasan; Metodologi Tafsir Al-Qur’an
Menurut Hassan Hanafi. Jakarta: Teraju. 2002.
Salin, Peter dan Salim, Yenny. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer .Jakarta:
Modern English Press. 2002.
Salim, Peter. Adavced English-Indonesia Dictionary. Jakarta: Modern English
Press. 1991.
Shalahuddin, Henry. Al-Qur’an di Hujat. Depok: Al-Qalam. 2007.
Sihbudi, Riza. Indonesia Timur Tengah Masalah dan Prospek. Jakarta: Gema
Insani Press. 1997.
Sobur, Alex. Semitika Komnikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2006.
Sugiyono, Sugeng. Lisan dan Kalam Kajian Semantik al-Qur’an. Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga Press. 2009.
Al-Sya’rawi, Muhammad Mutawalli. Tafsîr Asy-Sya’rawi. Dâr at-Tafiqîyyah lî at-
Turats.
al-Syatibî, Abî Ishâq. Al-Muwaffaqat fî Ushu al-Syarî’ah. Libanon: Dâr Al-Kitâb
Al-‘alâmiyyah.
al-Tabarî, Abû Ja’far. Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayi al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-
Kutub al-Ilmiyyah. 1987.
Taqiyuddin, Hafidz. Argumen Keadilan dalam Hukum Waris Islam; Studi Konsep
‘Awl dan Radd. Tangerang Selatan: Cinta Buku Media. 2014.
Tim Penyusun. Pedoman Akademik Program Strata 1 Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah. Jakarta: UIN Jakarta. 2013.