17
Komponen TB/DOTS, terdiri dari: 1. Jejaring TB: 1.1 Jejaring internal. 1.2 Jejaring eksternal. 2. Penemuan dan pengobatan kasus TB. 3. Pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) TB. 4. Laboratorium dan logistik TB. 1.1 Jejaring Internal. 1. Alur masuk pasien. 2. Manajemen pasien rawat inap. 3. Manajemen pasien rawat jalan. 4. Alur koordinasi dan komunikasi antar unit pelayanan langsung (laboratorium, pencatatan dan pelaporan oleh poli TB/DOTS dan ruang rawat inap, logistik, farmasi). 5. Penanggungjawab jejaring kerja masing-masing unit yang disahkan oleh SK.

Tahapan Pelaksanaan Program TB

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tahapan pelaksanaan program TB/DOTS bagi RS yang akan menjalani proses akreditasi. Tahapan dilaksanakan secara bertahap, sesuai degan fungsi satuan tugas masing-masing.

Citation preview

Tahapan pelaksanaan program TB:

Komponen TB/DOTS, terdiri dari:

Jejaring TB:

Jejaring internal.

1.2Jejaring eksternal.

Penemuan dan pengobatan kasus TB.

Pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) TB.

Laboratorium dan logistik TB.

1.1Jejaring Internal.

Alur masuk pasien.

Manajemen pasien rawat inap.

Manajemen pasien rawat jalan.

Alur koordinasi dan komunikasi antar unit pelayanan langsung (laboratorium, pencatatan dan pelaporan oleh poli TB/DOTS dan ruang rawat inap, logistik, farmasi).

Penanggungjawab jejaring kerja masing-masing unit yang disahkan oleh SK.

Gambar 1. Alur koordinasi pasien TB dalam skema rawat jalan.

Tersangka TB atau pasien TB dapat datang ke Poli Umum/UGD atau langsung ke poli spesialis (Penyakit Dalam, Paru, Obgyn, Anak, Bedah, Syaraf dan lain-lain). Mengisi form TB.06 (suspek/tersangka TB).Demi menghindari miskomunikasi, setiap pasien yang diduga TB oleh poliklinik yang bersangkutan, wajib dilaporkan kepada poli TB/DOTS (tertulis, format pelaporan menyusul) dan pasien juga diperiksa oleh poli TB/DOTS untuk perawatan bersama.Tersangka TB dari poli maupun rawat inap dikirim untuk dilakukan pemeriksaan penunjang (Laboratorium Mikrobiologi, PK, PA dan Radiologi) [pengisian form lab TB untuk pemeriksaan dahak [TB.05].Laboratorium mengisi form TB.05 bagian bawah dan register laboratorium TB (TB.04).Hasil pemeriksaan penunjang dikirim ke dokter yang bersangkutan. Diagnosis dan klasifikasi dilakukan oleh dokter poliklinik/rawat inap atau unit DOTS pengirim.

Pasien dirujuk ke poli TB/DOTS:Setuju dirawat di NH: registrasi, pengisian kartu pengobatan pasien TB (form TB.01), konseling dan penyuluhan tata cara minum obat (oleh dokter spesialis paru), durasi pengobatan, pentingnya adherence terhadap terapi, durasi pengobatan, prognosis terapi, penunjukkan PMO.Setuju dirawat di Puskesmas/Fasyankes lain: persiapan rujuk diagnosis (pengisian form rujukan/pindah pasien TB: TB.09) dan menghubungi wasor Dinkes Surabaya untuk berkoordinasi dengan Fasyankes terdekat dengan alamat tempat tinggal pasien (Gambar 2).Dalam proses pengobatan, pasien minta dirujuk terapi ke Puskesmas/Fasyankes lain: pengisian formulir hasil akhir pengobatan pasien TB pindahan (TB.10) [Gambar 2].Bagi pasien yang memilih diterapi OAT di RS NH namun tidak datang sesuai jadwal (berobat tidak teratur), maka perlu dilakukan koordinasi dan pelaporan kepada Wasor Dinas Kesehatan Kota Surabaya dan Puskesmas yang sesuai dengan alamat pasien untuk proses pelacakan.

Gambar 2. Alur rujukan pasien TB antar Fasyankes dalam kota Surabaya.

1.2Jejaring Eksternal.

Merupakan bentuk kerjasama dan koordinasi antara RS NH dan Dinas Kesehatan kota Surabaya dengan agenda kerja sebagai berikut:

RS NH mengadakan perjanjian kerjasama (memorandum of understanding/MoU)

dengan Dinkes kota Surabaya terkait pelaksanaan sistem TB/DOTS.Perjanjian kerjasama dilakukan apabila RS NH sudah menjalankan program

TB/DOTS dan sudah dievaluasi secara internal.

Isi perjanjian kerjasama adalah meliputi:

Alur koordinasi dan komunikasi RS NH dengan Dinkes kota Surabaya

terkait pencatatan dan pelaporan, pemeriksaan laboratorium, dan logistik

OAT.

Penujukan penanggungjawab jejaring eksternal program TB/DOTS dari RS

NH. Penanggungjawab harus merupakan individu yang memahami seluruh

mekanisme, alur, dan sistem TB/DOTS serta diutamakan yang telah

mengikuti pelatihan TB/DOTS.

Gambar 3. Alur koordinasi bertingkat mulai level RS, Dinkes Kota, Dinkes Provinsi, hingga Kemenkes.

Penemuan dan Pengobatan Kasus TB.

Penemuan kasus TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif.

Penemuan kasus diawali dengan identifikasi suspek TB, yakni:

Gejala utama: batuk berdahak selama dua minggu atau lebih.

Gejala tambahan:

Gejala respiratorik: dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas dan rasa nyeri dada.

Gejala sistemik: badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat pada malam hari walaupun tanpa kegiatan, demam meriang yang berulang lebih dari sebulan.

Di negara endemis TB seperti di Indonesia, setiap orang yang datang ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan gejala tersebut di atas, harus dianggap sebagai seorang suspek TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung terlebih dahulu.

Seseorang yang menderita TB ekstraparu mungkin mempunyai keluhan / gejala terkait dengan organ yang terkena, misalnya :

Pembesaran pada getah bening yang kadang juga mengeluarkan nanah.Nyeri dan pembengkakan sendi yang terkena TB.Sakit kepala, demam, kaku kuduk dan gangguan kesadaran apabila selaput otak atau otak terkena TB.Petugas kesehatan agar menjaring suspek dengan cara menanyakan setiap orang dewasa yang datang berobat ke Fasyankes, termasuk pasien dan anggota keluarga yang menyertainya, apakah mereka mempunyai keluhan batuk. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh petugas yang meregistrasi pasien atau perawat yang memberi pelayanan kepada pasien.

Diagnosis TB Paru pada Orang Dewasa (Gambar 4):Semua suspek TB harus diperiksa 3 spesimen dahak idealnya dalam waktu 2 hari berturut-turut, yaitu Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS). Seandainya kondisi tersebut tidak dapat dipenuhi, maka rentang waktu antara fiksasi spesimen Sewaktu (S) yang pertama dan yang kedua tidak lebih dari 7 hari. Bila melebihi rentang waktu tersebut maka pengambilan spesimen dahak Sewaktu (S) pertama harus diulang kembali dari awal.

Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditetapkan dengan penemuan kuman TB (BTA). Pada Program Nasional Pengendalian TB, penemuan BTA diperoleh melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung yang merupakan cara diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks dapat pula digunakan namun hanya digunakan sebagai sarana penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.

Dalam upaya penegakan diagnosis TB, sebaiknya tidak hanya berdasarkan pemeriksaan rontgen thoraks saja. Karena rontgen thoraks tidak selalu memberikan gambaran proses spesifik TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis atau underdiagnosis. Diagnosis TB Ekstra paru pada Orang Dewasa:Seseorang dicurigai menderita TB ekstraparu apabila ditemukan gejala-gejala antara lain: nyeri dada (TB pleura/pleuritis), pembesaran kelenjar getah bening superfisial (limfadenitis TB), gibbus (spondilitis TB) dan lain-lain.

Penetapan diagnosis pasti sering sulit dilakukan , sedangkan diagnosis kerja dapat ditetapkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) setelah dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosis penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada cara pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain.

Seorang pasien TB ekstraparu sangat mungkin secara bersamaan juga menderita TB Paru, oleh karena itu harus dilakukan pemeriksaan dahak. Diagnosis TB pada anak:Berdasarkan sistem skoring (Tabel 1).Berdasarkan sarana penunjang diagnostik lainnya (misal: line probe asssay/ LPA, nucleic acid amplification test (NAAT)).Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Apabila di fasilitas kesehatan tersebut tidak tersedia tenaga dokter, pelimpahan wewenang terbatas

dapat diberikan pada petugas kesehatan terlatih strategi DOTS untuk

menegakkan diagnosis dan tatalaksana TB anak mengacu pada Pedoman

Nasional.

Anak didiagnosis TB jika jumlah skor 6 (skor maksimal 13)

Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak tersebut.

Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak BTA (+) atau uji tuberkulin dengan ditambah 3 gejala klinis lainnya, diobati sebagai pasien TB Anak.

Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut

Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada faskes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis, diterapi dan dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.

Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak

Semua bayi dengan reaksi cepat (