Tan Malaka Bapak Bangsa Merdeka 100%

Embed Size (px)

Citation preview

TAN MALAKA: BAPAK BANGSA MERDEKA 100%Oleh: Gilang Ramadhan (16/093020006971/III-I Pajak) Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi. Tan Malaka Tokoh yang saya pilih untuk tugas Personality Study ini adalah Tan Malaka. Tan Malaka adalah salah seorang founding father Republik ini. Tan adalah seorang pejuang, gerilyawan dan pahlawan kemerdekaan negara Indonesia. Tan juga dikenal sebagai seorang sosialis dan politisi. Tan Malaka termasuk pemikir yang diakui oleh banyak pihak karena banyak buku, brosur dan pamfletnya yang revolusioner, radikal dan sangat militan. Tan menjadi buronan di 11 negara, menguasai 8 bahasa dan memiliki lebih dari 20 nama samaran pada saat perjuangan melawan penjajah Belanda dulu. Tan juga adalah konseptor awal negara ini, Republik Indonesia, melalui brosurnya yang sangat terkenal bejudul Naar de Republiek Indonesia atau yang diterjemahkan sebagai Menuju Republik Indonesia. Karya besarnya ini ia buat sekitar tahun 1925 yang kemudian disusul oleh buku Massa Aksi tahun 1926, atau jauh lebih dahulu dari Muhammad Hatta menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) 7 tahun kemudian atau Soekarno yang menulis Menuju Indonesia Merdeka tahun 1933. Namun setelah Indonesia merdeka, Tan Malaka tidak mendapat penghargaan yang layak sampai-sampai ia harus disingkirkan oleh pihak-pihak yang tidak suka terhadapnya. Tan tewas terbunuh (dibunuh?) dalam pengejaran pasukan Brigade Sikatan, yang dipimpin Letkol Surachman, pada perang Gerilya Pembela Proklamasi sekitar Februari 1949. Meski pada akhirnya Tan diangkat menjadi Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno tahun 1963 dan predikat tersebut hanya bertahan sampai Orde Lama runtuh karena saat Presiden Soeharto berkuasa nama Tan tak boleh disebut akibat keterkaitan Tan dengan PKI. Dari kisah hidupnya dari penjara ke penjara, dari satu perantauan ke perantauan lain dan perjuangan gerilya Tan Malaka, membuat banyak orang (bahkan anak muda zaman sekarang) yang terinspirasi untuk terus melanjutkan perjuangannya melawan segala ketidakadilan dan penjajahan yang mengancam kemerdekaan 100% (istilah Tan Malaka dalam bukunya GERPOLEK) negara ini. Termasuk saya yang sempat membaca karya Tan yang berjudul GERPOLEK dan Madilog (belum selesai dibaca sampai tulisan ini dibuat). Kisah hidup Tan Malaka adalah sebuah kisah epik yang lebih heroik dari Che Guavara ataupun Sun Yat Sen bahkan kisah superhero Amerika dalam komik DC atau Marvel. Tan menjadi sosok militan dan revolusioner yang perlu diangkat kembali untuk menginspirasi bangsa ini untuk terus bergerak maju dan mampu benar-benar merdeka 100% seperti yang dicita-citakan oleh Tan serta mengingatkan kembali jika bangsa ini mempunyai hutang besar kepada Bapak Bangsa yang satu ini. Tan Kecil Kisah hidup Tan Malaka berawal dari sebuah kota kecil yang bernama Nagari Pandam Gadang, Kabupaten 50 Kota, Sumatra Barat, dekat Pegunungan Bukit Barisan. Tan kecil lahir pada tanggal 2

Juni 1897. Nama aslinya adalah Ibrahim Datuk Tan Malaka. Tan tumbuh berkembang di tengah adat budaya masyarakat Minangkabau umumnya yang menjunjung tinggi kemerdekaan setiap orang. Penduduk Nagari dikenal sangat toleran satu sama lain, tidak ada tingkatan sosial hanya ada fungsi sosial saja. Nagari tidak tunduk kepada pemerintah pusat. Segala aspek pemerintahan Nagari, persoalan dan kemajuan masyarakat, diselesaikan melalui musyawarah oleh kepala adat, ulama, dan cerdik pandai ketiga unsur tadi di balairung. Kedaulatan rakyat terwujud pada pemerintahan Nagari. Sesuai adat masyarakat Minangkabau, para orang tua di Nagari memberikan pendidikan mengaji dan pencak silat sebagai salah satu pembentukan karakter dan kepercayaan diri, termasuk pada diri Tan kecil sebagai bekal perantauannya kelak.

Tan adalah anak seorang pegawai pertanian Hindia Belanda sehingga ia mendapat kesempatan untuk sekolah di Sekolah Rajo, Bukittinggi. Kesempatan itu pun tidak lepas dari kecerdasan Tan sebagaimana diakui oleh guru Belandanya, Horensma. Atas jasa Horensma pula, Tandapat melanjutkan sekolahnya ke Negeri Belanda, di usia 17 tahun. Di negeri penjajah itu, Tan Malaka memperoleh ilmu pengetahuan dan ideologi yang menjadi titik perjuangannya sampai akhir hayat. Tan Malaka mendahului sekolah ke Negeri Belanda daripada Hatta, Nazir Datuk Pamuncak, Sjahrir, Abdul Rivai, Asaat, Ibrahim Taher, Zaharin Zain, Abdul Muis, dan Abdul Rivai. Negeri Belandalah, sebenarnya, yang membentuk wataknya: membaca, belajar, dan menderita. Dia menutupi kekurangan uang dengan mengajar bahasa Melayu, sambil berusaha menyelesaikan sekolah, dan berjuang melawan sakit bronkitis, yang bermula hanya karena tidak memiliki baju hangat pada musim dingin. Kembali dari Belanda Perang Dunia I meletus tahun 1914 di Eropa. Tan yang sudah menyelesaikan sekolahnya tahun 1915 terpaksa bertahan di Belanda hingga perang usai. Di masa-masa sulit seperti itu Tan berusaha untuk

hidup mandiri. Tan banyak berkenalan dengan ide-ide sosialisme dan komunisme pada saat itu. Sebenarnya Tan lebih tertarik pada kemajuan Amerika Serikat dan Jerman, hanya saja kesuksesan Revolusi Bolsyewik di Rusia tahun 1918 lebih mendorongnya semakin kiri. Meski perang berakhir tahun 1918, Tan baru pulang ke Tanah Air dua tahun kemudian. Sekembalinya Tan dari negeri Belanda, Tan memperoleh pekerjaan sebagai guru di sekolah yang didirikan oleh perusahaan perkebunan bernama Senembah May di Deli, Sumatra Utara. Meski anak pribumi, Tan dihargai gajinya sama layaknya guru dari Eropa. Kurang lebih 2 tahun bekerja sebagai guru dengan gaji tinggi tidak membuat Tan senang. Perbedaan jauh ekonomi antara orang-orang kolonial yang hidup mewah dengan kuli-kuli pribumi membuat muak Tan dan ia akhirnya memutuskan keluar untuk berlayar ke Jawa. Di Jawa, tepatnya Semarang, Tan bertemu dengan tokoh komunis Semaun. Semaun mengajak Tan bergabung dengan Partai Komunis Indonesia. Tan menjadi sosok yang bisa diandalkan dalam pergerakan revolusioner terhadap pemeritah kolonial Hindia Belanda oleh PKI. PKI pada masa itu adalah bagian dari Sarekat Islam. PKI dan SI sedang giat-giatnya melakukan pendidikan bagi masyarakat pribumi. Tan aktif mengajar untuk anak-anak masyarakat pribumi meski tidak dibayar sepeserpun. Tan hanya bertujuan untuk memberi kesempatan anak-anak tersebut bisa mendapat pekerjaan yang layak nantinya, melakukan kegemaran mereka dan memperbaiki nasib keluarganya. Untuk memuluskan tujuannya dalam mengajar, ruang rapat SI pun disulap menjadi kelas belajar. Sekolah tersebut dikenal sebagai Sekolah Tan Malaka . Pergerakan revolusi yang dilakukan oleh SI dan PKI tidak hanya di bidang pendidikan, tapi juga membina para buruh-buruh. Tan rajin membuat pamflet-pamflet yang menyulut semangat para buruh. Ia pun sering turun dalam berbagai demonstrasi buruh. PKI akhirnya memisahkan diri dari SI. Perpecahan terjadi ketika kongres PKI tahun 1925. Pertentangan antara tokoh-tokoh Islam dan Komunis kian meruncing. Padahal dalam kongres tersebut, Tan telah mengingatkan jika PKI dan SI mesti bersatu mengusir penjajah Belanda. Namun perbedaan idealisme terlalu besar sehingga peserta kongres tidak bisa menerimanya. PKI sendiri lebih condong pada kebijakan Lenin di Rusia untuk menjaga jarak dengan Islam. Pada kongres tersebut, Tan juga terpilih sebagai ketua PKI yang baru. Namun itu tak berlangsung lama, karena 3 bulan kemudian Tan dijatuhi hukuman pembuangan oleh pemerintah Hindia Belanda akibat keterlibatan dirinya pada aksi pemogoka buruh. Tan memilih Belanda sebagai tempat pelariannya. Sebelumnya Tan pun sempat mendekam dalam penjara di Bandung, Semarang dan Jakarta. Di Pelarian Pemerintah Hindia Belanda menjatuhi hukuman pembuangan kepada Tan Malaka. Tan pun pergi meninggalkan Indonesia ke negeri Belanda. Di sana ia hanya tinggal sebentar, hanya untuk menjadi juru kampanye Partai Komunis Belanda. Ia pergi ke Berlin dan berlanjut sampai Moskow. Kepergiannya ke Eropa tersebut juga dalam rangka memperdalam ilmu pengetahuannya mengenai komunisme. Di Moskow, Tan mengikuti sidang Komunis Internasional (Komintern) keempat. Dalam sidang tersebut, Tan berpidato menyarankan agar Komintern mau bekerja sama dengan Islam. Tan melakukan pembelaan terhadap Pan Islamisme yang dianggap sebagai lawan sejak sidang Komitern kedua. Dalam sidang tersebut, Tan juga terpilih sebagai wakil Komintern untuk Asia Tenggara dan

sekaligus menjadi buronan paling dicari. Terpilihnya Tan sebagai wakil Komintern juga membuat permasalahan intern di tubuh PKI di Indonesia. Banyak pemimpin PKI yang tidak suka atas hal tersebut dan pembelaan Tan pada Islam sehingga timbul semacam konflik antara Tan dan PKI. Tan kemudian melanjutkan berkelana ke Asia Timur, ke China tepatnya. Di China ia bertemu dengan tokoh idola yang banyak meng-influnce dirinya, Sun Yat Sen. Sut Yat Sen adalah seorang dokter yang berhasil melakukan revolusi di China sehingga China merdeka tahun 1912. Mereka berdiskusi mengenai rencana kemerdekaan Indonesia. Meski Sun Yat sen menyarankan agar bekerja sama dengan Jepang, Tan menolak hal tersebut karena bagi Tan bekerja sama dengan Jepang sama saja seperti keluar mulut buaya masuk mulut harimau. Selama di China, Tan banyak melakukan hubungan politik dengan para tokoh komunis di sana. Tan pun didaulat untuk menjadi Ketua Organisasi Buruh Lalu Lintas Biro Kanton pada Konferensi Serikat Buruh Merah pada Juni 1924. Tan banyak membuat tulisan, baik berupa brosur, pamflet, koran maupun buku. Di sana lah ia membuat Naar de Republiek Indonesia, sebuah buku penggagas negara Indonesia. Sayangnya di China inilah kesehatan Tan mulai terganggu di bagian paru-parunya. Dokter yang menangani Tan menyarankan Tan beristirahat di daerah tropis. Tan kemudian berencana pulang ke Jawa, Indonesia. Ia meminta izin ke Komintern Pusat di Moskow dan pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Pemerintah Hindia Belanda menolak permintaan tersebut. Tan pun memutuskan untuk pergi ke Filipinan. Di Filipina ia berhasil ditangkap oleh polisi Filipina kemudian dikembalikan ke China lagi. Terjadi kekacauan di Shanghai, Tan memutuskan hijrah ke Hongkong tapi sial polisi Hongkong (yang dikuasai Inggris) berhasil menangkapnya. Untungnya ia tidak diserahkan ke pemerintah Hindia Belanda tapi dibuang kembali ke Shanghai. Di tengah perjalanan kapal untuk membuang Tan ke Shanghai, Tan berhasil meloloskan diri ke darat setelah mengecoh polisi-polisi rahasia Hongkong. Ia bertemu dengan Sinse Choa, seorang tabib dari Desa Chia Be. Penyakitnya bisa diobati oleh tabib tersebut dengan ramuan bebek dan penyu. Tahun 1937, Tan keluar dari China berpindah ke Rangoon, Burma.

Konfrontasi dengan PKI Pemberontakan PKI gagal di Banten dan Sumatera Barat pada tahun 1926-1927 cukup mengguncang pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Mereka pun memburu pemimpin PKI dan antek-anteknya, juga kaum pergerakan secara keseluruhan. Sejak itu pemrintah kolonial bertindak bengis dan makin represif. Setiap pergerakan nasional ditindas, dan partai-partai politik yang tak mau bekerja sama dengan pemerintah dilarang. Proses ini berjalan sampai akhir tahun 1930. Orang-orang PKI menuduh Tan Malaka sebagai biang penyebab kegagalan pemberontakan. Ia dimusuhi dan dicap pengkhianat partai, Trotsky dari Indonesia (Trotsky adalah seorang komunissosialis Rusia yang memiliki ide berbeda dengan Lenin). Padahal, sejak semula Tan bukan saja tak setuju, melainkan juga berupaya mencegah rencana pemberontakan yang dirancang oleh kelompok Prambanan itu. Kelompok ini terdiri atas tokoh terkemuka PKI seperti Semaun, Alimin Prawirodirdjo, Musso, dan Darsono yang mendeklarasikan rencana pemberontakan di Prambanan tahun 1926. Tan berargumen jika kekuatan pergerakan belum cukup matang sehingga tidak diperlukan suatu pemberontakan. Menurutnya, masih diperlukan pembenahan organisasi partai guna menggalang basis massa yang kuat dan meluas, bahkan di luar kelompok komunis. Tan, sebagai pemimpin paling terkemuka PKI saat itu, menganjurkan untuk sementara waktu para pemimpin pergerakan tersebut memperkuat organisasi dan tetap melakukan aksi-aksi pemanasan dan agitasi di tempatnya masing-masing. Pendirian ini telah diutarakannya kepada Alimin dan lainnya tapi diabaikan. Dari tempat persembunyiannya di Singapura, Tan menulis pandangannya lewat sebuah risalah bertajuk Massa-Actie (Massa Aksi; buku ini kasih influnce luar biasa buat Bung Karno). Dalam buku kecil itu ia menampik rencana kelompok Prambanan seraya menyimpulkan bahwa rencana pemberontakan itu merupakan tindakan yang bisa menjadi bumerang terhadap partai sendiri, bahkan juga terhadap semua partai nasionalis. PKI hancur dan para aktivis partai masuk penjara atau ada juga yang dibuang ke Digul. Bulan Juli tahun 1927 atau sebulan sebelum Tan Malaka ditangkap di Filipina, Tan bersama Subangkat dan Djamaludin Tamim mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok. Ini adalah respon yang Tan berikan atas bunuh diri PKI dan keinginannya untuk tetap melanjutkan perjuangannya melalui partai. PARI ini diharapkan oleh Tan mampu menampung perbedaan sikap politik antara komunis di Indonesia dan Komintern menyangkut Islam. PARI hanya bertahan sampai tahun 1935 setelah Subangkat dan Djamaludin Tamim ditangkap pemerintah Hindia Belanda. Atas pendirian PARI itu Tan menuai banyak kecaman dari berbagai kalangan komunis Indonesia dan Komitern setelah PARI hancur oleh pemerintah kolonial. PKI yang kemudian dipimpin Muso sangat mengecam Tan dan mulailah perselisihan antara Muso dan Tan. Madilog Berbicara tentang Tan Malaka rasanya kurang afdol jika tidak membahas mengenai Madilog. Madilog adalah karya terbesar yang Tan buat seumur hidupnya. Madilog merupakan akronim dari materialisme, dialektika dan logika. Madiloga adalah panduan cara berpikir yang Tan Malaka tulis dalam rentang waktu tahun 1942 sampai 1943 sekembalinya dari pelariannya. Tan menulis Madilog sebagai panduan cara berpikir yang realistis, pragmatis, dan fleksibel. Ini adalah hasil buah pikiran, pengalaman dan ilmu pengetahuan dari perantauannya yang berasal dari pemikiran Barat untuk mengikis nilai-nilai feodalisme, mental budak, dan kultus takhayul yang, menurut Tan, menjangkiti

rakyat Indonesia. Tan berpendapat dari zaman dahuku sampai penjajahan Jepang, bangsa Indonesia tidak mempunyai riwayat kesejarahan sendiri selain perbudakan. Tak mengherankan bila budaya bangsa ini berubah menjadi pasif dan menafikan sama sekali penggunaan asas eksplorasi logika sains. Madilog juga adalah sintesis perantauan dari seorang Tan yang berlatar belakang budaya Minangkabau. Ini dijelaskan ke dalam dua sense of extreme urgency point pemikiran Tan Malaka demi Madilog dapat diterima dan bertumbuh kembang di Indonesia. Pertama, Madilog lahir melalui sintesis pertentangan pemikiran di antara dua kubu aliran filsafat, yaitu Hegel dengan Marx-Engels. Hegel dengan filsafat dialektika (tesis, antitesis, dan sintesis) dengan kebenaran yang menyeluruh hanya dapat tercapai melalui perkembangan dinamis, dari taraf gerakan yang paling rendah menuju taraf gerakan yang paling tinggi. Semua berkembang, terus-menerus, berubah tapi berhubungan satu sama lain. Hegel lebih memfokuskan pemikiran bahwa untuk mencapai kebenaran mutlak, pemikiran lebih penting daripada benda (material). Sementara bagi Marx-Engels, proses dialektika ini lebih cocok diterapkan dalam ranah material melalui revolusi perpindahan dominasi kelas yang satu ke kelas yang lain sampai tercapai suatu bentuk kelas yang sebenarnya, yaitu masyarakat tanpa kelas. Dalam Madilog, Tan mencoba mensintesiskan kedua pertentangan aliran filsafat ini untuk mengubah mental budaya pasif menjadi kelas sosial baru berlandaskan sains; bebas dari alam pikiran mistis. Logika ilmiah dikedepankan, pikiran kreatif dieksplorasi dengan langkah dialektis dari taraf perpindahan gerakan kelas sosial dari tingkatannya yang paling rendah sampai paling tinggi berupa kelas sosial baru yang berwawasan Madilog. Inilah proses merantau secara pemikiran karena berbagai benturan ide yang terjadi. Kedua, identitas budaya Minangkabau tentang konsep rantau. Nilai penting konsep rantau dalam budaya Minangkabau adalah mengidentifikasi setiap penemuan baru selama merantau demi pengembangan diri. Karakter masyarakat Minangkabau adalah dinamis, logis, dan antiparokial. Konflik batin khas perantau ditepisnya dengan tradisi berpikir rasional, didukung dengan basis pendidikan guru, yang mengharuskan Tan menanamkan cara berpikir yang logis. Sementara itu, merantau adalah juga mencari keselarasan hidup yang tersusun dari dinamika pertentangan dan penyesuaian. Pandangan kebudayaan Minangkabau yang umum berlaku di masa mudanya membuatnya memahami baik dinamisme Barat maupun dinamisme alam Minangkabau di dalam suatu cara pandang terhadap dunia yang terpisahkan. Tan menulis Madilog ini dimulai ketika ia bermukim di Rawajati. Selain dari pemikirannya sendiri, Madilog juga adalah hasil kesimpulan dari buku-buku yang Tan baca di Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (sekarang Museum Nasional) ditambah pengalaman saat Tan dalam pelarian. Selama menulis Madilog, Tan selalu berdiskusi dengan sejumlah pemuda. Dia banyak bercerita tentang kesengsaraan penduduk di bawah penguasaan Jepang. Ternyata kegiatan Tan tersebut terendus oleh Asisten Wedana Pasar Minggu. Asisten tersebut pernah datang dan menggeledah tempat tinggal Tan. Namun, tidak diketemukan apapun karena Tan telah menyembunyikan naskah-naskahnya di kandang ayam. Asisten Wedana itu kemudian meminta maaf kepada Tan. Tan pernah membawa naskah Madilog ke Bayah, Banten Selatan. Madilog juga

dibawanya bertualang ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tan baru memperkenalkan Madilog tiga tahun setelah kemunculannya. Proklamasi dan Sekitarnya Akhirnya Tan Malaka pulang ke Indonesia setelah ia merasa cukup dengan pelariannya. Pemerintah Hindia Belanda pun sudah terusir dari bumi Indonesia digantikan oleh imperialisme Jepang. Tan berpikir revolusi Indonesia sudah sangat dekat. Oleh karena itu, ia pulang untuk menjadi bagian dari revolusi tersebut. Tan memilih menetap di Rawajati, seperti yang sudah diceritakan di bagian sebelumnya, untuk membidani Madilog. Madilog menjadi benda pusaka Tan yang selalu dibawa kemana pun pergi. Kabar kepulangannya masih ia rahasiakan karena ingin melihat situasi dan kondisi di Indonesia dulu dan trauma dirinya sebagai buronan politik di luar negeri. Setelah Jepang hadir di Nusantara, warna politik Indonesia lebih condong ke Soekarno, Hatta dan tokoh-tokoh lainnya. Tokoh-tokoh tersebut lebih memilih jalur diplomatis untuk mendapat kemerdekaan dari Jepang. Hal tersebut sangat bertentangan dengan harapan Tan yang ingin terus berjuang melalui jalan revolusi oleh diri sendiri (keinginan tersebut terilhami oleh rakyat Filipina, sewaktu ia berkunjung ke Filipina, yang memiliki motto Kemerdekaan oleh diri sendiri, penuh dan menyeluruh). Selain itu ada beberapa tokoh-tokoh yang lebih muda memilih melakukan revolusi dari bawah tanah seperti Sutan Sjahir Bung Kecil. Tokoh-tokoh muda ini menganut paham sosialisdemokrat. Namun bagi Tan mereka juga tak ubahnya seperti Yudas, karena masih berpandangan pragmatis. Selain menyusun Madilog, sebenarnya tidak begitu jelas apa yang dilakukan Tan pada saat menjelang dan hari H revolusi Agustus 1945. Pengalaman hidup selama 20 tahun sebagai buronan di luar negeri membuat Tan tidak bisa hidup normal lagi. Tan menjadi cenderung tertutup dan terlalu berhati-hati pada siapa saja. Hal tersebut yang membuat Tan tidak jelas melakukan apa sekitaran Proklamasi. Kemunculannya sekitar proklamasi terjadi satu minggu setelah 17 Agustus 1945, tepatnya 25 Agustus 1945 Tan berkunjung ke rumah Achmad Soebardjoi. Tan diperkenalkan kepada tokohtokoh elit politik saat itu oleh Achmad Subardjo beberapa hari kemudian. Tan sempat bertemu dengan Soekarno. Mereka berbincang tentang ide-ide revolusi. Meski sesungguhnya terdapat pandangan tidak setuju Tan atas sikap Soekarno yang masih mau berdiplomasi dengan Belanda. Tan pun pernah ditawari oleh Soekarno untuk sebuah jabatan tidak resmi di luar kabinet, tapi Tan menolak. Kemudian sebulan setelah proklamasi, 19 September 1945, Tan berada di belakang layar Rapat Akbar di Lapangan Ikada. Tan memobilisasi massa yang kebanyakan pemuda secara besar-besaran Ditangkap dan Dibunuh (?) Sekitar Januari tahun 1946 di Serang, Banten, Tan bertemu dengan Sjahrir, orang yang pernah menawarinya menjadi ketua Partai Sosialis. Tan mengajak Sjahrir untuk bersama-sama menyingkirkan Soekarno sebagai pemimpin revolusi. Hal itu dikarenakan Ta muak dengan diplomasi pemerintah yang dipimpin Soekarno kepada Belanda. Namun Sjahir menolaknya dengan halus dan menasehati Tan agar mau berkeliling Jawa terlebih dahulu sebelum mengambil sikap.

Tan ditangkap di Madiun sekitar Maret tahun 1946. Tan dituduh melakukan pengorganisiran agitasi yang mempersulit diplomasi Kabinet Sjahir. Tan dijebloskan ke penjara di Mojokerto. Pengikut Tan pun ikut dijebloskan ke penjara 4 bulan kemudian dengan tuduhan melakukan kudeta. Dua setengah tahun kemudian, Tan dibebaskan untuk menyeimbangkan situasi akibat pemberontakan PKI yang dipimpin Muso sekitar September 1948. Respon cepat segera Tan berikan setelah mengevaluasi situasi Indonesia pasca Perjanjian Linggarjati 1947 dan Renville 1948. Tan mendirikan Partai Murba tanggal 7 November 1948 di Yogyakarta. Partai ini juga merupakan perwujudan dari cita-cita Tan dalam bukunya yang berjudul Gerpolek. Namun kebersamaan Tan dan partai barunya tersebut tidak berlangsung lama. Serangan umum Belanda 19 Desember 1948 di Yogyakarta membuat Tan harus bergerak ke arah Jawa Timur. Pada 9 Februari 1949 di Desa Tegoran, Kediri, Tan diundang untuk menghadiri rapatt koordinasi para komandan yang bergerilya di daerah itu. Ternyata, rapat itu menjadi ajang agitasi politik bagi Tan yang berpidato selama lebih sejam. Pada malam itulah tanpa dinyatakan secara formal dibentuk Gabungan Pembela Proklamasi Letkol Surachmad, komandan Wehrkreisse di daerah tersebut mengeluarkan surat perintah rahasia yang mencap gerakan Tan Malaka sebagai mengancam eksistensi RI. Ia lapor kepada Kol Sungkono bahwa tindakan keras akan dilakukan terhadap Tan Malaka dan pengikutnya. Hasilnya pada malam 21 Februari 1949, Letnan Dua Sukotjo dan anak buahnya menangkap Tan Malaka di Desa Selongpanggung, dekat Tonggoel. Tan Malaka dieksekusi oleh anak buahnya bernama Suradi Tekebek. Meski dibunuh di sekitar Selopanggung, makam Tan Malak belum jelas berada di sana atau bukan. Tes DNA atas mayat di di Desa Selopanggung tidak menyebutkan secara pasti bahwa itu adalah Tan. Melalui Keputusan Presiden RI No 53 tanggal 28 Maret 1968, Tan Malaka ditetapkan sebagai salah seorang pahlawan nasional kemerdekaan Indonesia. Kisah Cinta Sang Revolusioner Ini adalah tambahan di balik layar kisah perjuangan Tan Malaka. Saya mendapat cerita ini dari sebuah artikel di internet. Bagi saya ini juga penting untuk lebih memperlihatkan siapa Tan sebenarnya. Sampai akhir hayatnya, Tan adalah seorang jomblo tulen, yang tidak pernah menikah. Di balik semua itu, ternyata Tan tidak menutup hati untuk perempuan. Hanya saja kegagalan dalam urusan asmara sering menimpanya. Setelh tamat bersekolah di sekolah Rajo, Tan dianugrahi gelar Datuk oleh pemimpin di Nagari Pandam Gadang. Namun Tan menolak menerima gelar itu. Hal tersebut membuat marah ibunya dan memaksa Tan untuk langsung menikah jika tidak mau menerima gelar tersebut. Tan pun akhirnya menyerah dan menerima gelar Datuk tersebut. Alasannya ia tidak ingin menikah dengan orang yang tidak ia cintai. Tan menyukai teman sekolahnya dulu bernama Syarifah Nawawi. Syarifah adalah gadis Minangkabau pertama yang mengecap pendidikan ala Eropa. Tan dan Syarifah pun terpisah ribuan mil karena tan melanjutkan sekolahnya ke Belanda. Tapi hal itu bukan halangan bagi Tan untuk terus menjalin hubungan. Ia rajin mengirim surat kepada Syarifah,

yang melanjutkan pendidikan ke sekolah guru di Salemba School, Batavia. Tapi cinta itu ternyata bertepuk sebelah tangan. Syarifah tidak pernah membalas surat Tan. Pada akhirnya Syarifah menikah dengan Bupati Cianjur. Tan kemudian mulai membuka hatinya untuk gadis lain: Fenny Struyvenberg, mahasiswi kedokteran berdarah Belanda. Dia terlihat sering datang ke pondokan Tan. Dengan Fenny, Tan kabarnya menjalin hubungan cukup serius. Fenny bahkan sempat ke Indonesia menyusul Tan. Di Rusia, sewaktu menghadiri sidang Komunis Internasional dan tinggal tiga tahun, Tan diberitakan sempat berhubungan dengan seorang perempuan sana. Dalam autobiografi Tan, Dari Penjara ke Penjara, Tan menulis nama-nama perempuan di sekitar hidupnya. Tapi tak ada penjelasan apakah hubungan itu juga dilandasi cinta. Di Kanton, misalnya, ia menyebut Nona Carmen, anak perempuan Rektor Universitas Manila yang memberi petunjuk masuk Filipina, merawat, dan mengajarinya bahasa Tagalog. Di Cina, pada 1937, ada gadis 17 tahun yang ia sebut AP sering datang mengadu dan meminta diajari bahasa Inggris. Sesudah Proklamasi 1945, Tan diberitakan memiliki hubungan serius dengan Paramita Rahayu Abdurrachman, keponakan Ahmad Soebardjo. Dia tinggal di paviliun rumah Achmad Soebardjo di Cikini. Tan sering datang ke sana entah hanya untuk berdiskusi dengan Achmad Soebarjo atau juga sambil bertemu Paramita. Di lain cerita, Syarifah sudah menjadi janda dengan tiga anak. Wiranatakoesoema, sang Bupati Cianjur menceraikannya pada tahun 1924 karena menganggap Raden Ayu ini tak bisa mengikuti tata krama Sunda. Cinta lama Tan pun bersemi kembali. Tan mendatangi ibunya dan meminang, tapi lagilagi ditolak. Analisa Kepribadian Tan Malaka Kita dapat melihat kepribadian Tan Malak menurut berbagai teori kepribadian. Teori kepribadian yang digunakan dalam analisa ini adalah Teori Psikoanalisa, Teori Behavioristik dan Teori Humanistik. Teori Psikoanalisa Menurut Teori Psikoanalisa ini Tan memiliki kecenderungan pada superegonya. Hal ini bisa dilihat dari beberapa kepribadian Tan yang religius (meski dirinya adalah seorang komunis), suka berpetualang, pendiam, kritis, sabar, ulet, terencana dan misterius. Hal tersebut berasal dari banyak faktor diantaranya pendidikan yang tinggi karena keluarganya adalah keluarga terhormat di Nagari Pandam Gadang, pedidikan Islam khas masyarakat Minangkabau, tradisi merantau suku Minangkabau, buku bacaan dan tokoh-tokoh di sekitar hidupnya, peristiwa revolusi yang banyak terjadi disekitarnya dan trauma saat ia menjadi buronan selama 20 tahun di luar negeri. Karena faktor-faktor tersebut memberi kekuatan lebih kepada superego dibanding id dan ego kepribadian Tan. Pada dasarnya kemunculan sikap dan perilaku menurut teori ini selalu dilatar belakangi oleh dialog antara id, ego dan superego. Id Tan secara umum adalah ambisi dalam revolusi di Indonesia secepatnya oleh bangsa Indonesia sendiri, meyeluruh dan absolut (pengaruh ini didapat Tan secara pasti dari revolusi yang terjadi di Filipina). Namun Tan berusaha tidak terburu-buru untuk mewujudkannya meskipun menurut ego yang ia miliki dia mampu seperti rekan-rekannya di PKI yang

langsung gegabah melakukan pemberontakan tahun 1926-1927. Karena superego yang dimiliki Tan telah terbentuk dari berbagai macam kekuatan dan berhasil menahan id-nya, Tan lebih memilih untuk bersabar dalam berjuang dan tetap berhati-hati bertindak. Contoh lain kecenderungan Tan pada superegonya adalah ketika Tan berpidato di depan sidang Komintern. Dalam pidatonya itu, Tan mengkritik kebijakan Komintern yang tidak mau bekerja sama dengan Islam dalam revolusi. Meski Tan adalah seorang Marxis (id-nya untuk mewujudkan keadilan sosial) dan secara kenyataan dia tidak bisa melawan Komintern sendirian (ego-nya gagal mewujudkan keinginan id), Tan adalah seorang muslim hasil didikan masyarakat Minangkabau yang sangat Islami. Benih-benih hukum Islam pada diri Tan menjadi aturan bagi superegonya untuk melawan id-nya. Teori Behavioristik Menurut teori ini, kepribadian seseorang diperoleh dari cara belajar atau dengan bahasa lain melalu proses stimulus-respon ditambah dengan penguatan. Kepribadian Tan memang banyak terpengaruh oleh banyak hal. Lingkungan tempat tinggal Tan di Nagari Pandam Gadang banyak memberi pelajaran dan pembentukan karakter seorang Tan Malaka. Ini merupakan kepribadian dasar seorang Tan sebelum dia sekolah di Sekolah Rajo. Sekolah Rajo memberikan stimulus bagi Tan yang direspon oleh Tan dengan kecerdasannya. Pengaruh pendidikan di Belanda juga berpengaruh pada Tan. Tan menjadi lebih open-minded. Revolusi Bolsyewik di Rusia memberikan ilham pada Tan dan membuat Tan lebih revolusioner dalam cita-citanya memerdekakan bangsanya. Bacaan-bacaan Marxisnya membuat diri Tan semakin kiri. Banyak stimulus yang diterima oleh Tan dan pada akhirnya menjadikan Tan sebagai pribadi yang revolusioner. Tan pun mengalami penguatan. Sifat dasarnya yang pendiam menjadi lebih ke arah paranoid karena trauma pelariannya sebagia buronan di banyak negara. Teori Humanistik Teori Humanistik ini lebih memanusiakan manusia. Kita dapat melihat karakteristik Tan Malaka dari kisah hidupnya di atas. Kepribadian Tan tergambar jelas dalam setiap peristiwa yang menimpanya. Kepribadiannya tersebut adalah hasil pemikiran manusia yang unik dan berbeda dengan yang lain. Dengan pikiran, manusia bisa lebih mengekspresikan kepribadiannya. Tan banyak mendapat referensi dari pengalaman hidupnya dan referensi itu membuat Tan berpikir untuk bertindak. Seperti yang dikemukan oleh A. Maslow manusia memiliki lima tingkatan kebutuhan. Kelima tingkatan tersebut sangat berpengaruh pada pembentukan aktualisasi diri seseorang. Tan telah mencapai tahap aktualisasi dengan pribadinya yang revolusioner. Dari tingkat kebutuha fisiologis, tidak ada masalah untuk dipenuhi oleh Tan. Tan kecil tumbuh berkembang di keluarga yang memiliki pekerjaan di perusahaan Belanda. Meski Tan hidup diperantauan Tan tidak pernah kekurangan perbekalan untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya. Naik ke tingkat berikutnya kebutuhan akan keamanan, Tan memiliki masalah cukup serius pada tingkat ini karena ia menjadi buronan di 11 negara dalam kurun waktu 20 tahun. Di pelariannya tersebut menumbuhkan sikap paranoid dan terlalu waspada pada orang lain. Ia menjadi tidak terbuka serta misterius. Pada tingkat kebutuhan akan cinta, Tan tergolong gagal dalam urusan asmara dengan lawan jenis. Tapi rasa cintanya itu dia alihkan pada bangsanya. Hasilnya Tan lebih banyak memikirkan kemerdekaan Indonesia dan menumbuhkan sikap nasionalisnya yang besar. Kemudian pada tingkat kebutuhan akan dihargai, Tan merupakan sosok yang disegani baik sewaktu di PKI, Komintren, zaman Proklamasi hingga akhir

hayatnya. Banyak orang yang mengagumi Tan karena kecerdasannya yang tergambar dalam karyakarya hasil pemikirannya. Malah banyak orang yang rela menjadi pengikutnya, itulah karisma sorang Tan. Terakhir kebutuhan akan aktualisasi diri, Tan sebenarnya adalah sosok pendiam tapi dia dapat secara spontan meledak-ledak mengungkapkan ide-idenya. Dia pun sangat berani untuk berkonfrontasi dengan pihak-pihak yang tidak suka dengannya. Penutup Tan merupakan sosok yang komplek dan kadang berparadok. Warisan budaya Minangkabau dan pedidikan Islam begitu lekat pada dirinya sehingga membentuk dasar dari kepribadian Tan. Sekolah di Eropa san juga telah memberik efek besar pada pandangan hidup Tan ditambah banyak revolusi yang terjadi di sekitarnya lebih menumbuhkan nasionalisnya. Menjadi buronan di 11 negara dan keluar masuk penjara membuat Tan trauma dan Tan memilih menjadi lebih pasif dalam bergaul. Ia terlalu was-was dengan orang asing. Namun dibalik semua itu Tan adalah sosok revolusioner yang amat jarang ditemukan di Indonesia bahkan dunia. Kisah hidupnya pun lebih hebat dari fiksi, pendapat A. Poeze penulis biografinya. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari kisah hidup seorang Tan Malaka, Bapak Bangsa yang ingin merdeka 100%

Berterang-teranglah dalam gelap, dan bergelap-gelaplah dalam terang. - Tan Malaka