87
E. LANGKAH – LANGKAH PENYELESAIAN 1. Langkah Pendahuluan. a. Ukur Ulang. Dugaan kuat yang telah menjadi pendapat umum adalah adanya penyimpangan terhadap izin HGU dari perkebunan besar, hutan tanaman industri. Penyimpangan tersebut mengenai luas dan batas-batas areal yang melebihi ketentuan-ketentuan di dalam izin HGU yang bersangkutan. Dugaan lain adalah terjadinya pembangunan perkebunan milik perorangan disekitar dan berbatas langsung dengan perkebunan (HGU). Sepintas lalu perkebunan tersebut adalah milih perusahaan dan termasuk HGUnya padahal kebun- kebun tersebut adalah milik perorangan baik dari oknum pejabat perusahaan maupun pihak lain. Oleh sebab itu seluruh HGU perkebunan dan HTI perlu diukur ulang secara akurat. b. Peninjauan HGU dan kerja sama. 1

Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Citation preview

Page 1: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

E. LANGKAH – LANGKAH PENYELESAIAN

1. Langkah Pendahuluan.

a. Ukur Ulang.

Dugaan kuat yang telah menjadi pendapat umum adalah adanya

penyimpangan terhadap izin HGU dari perkebunan besar, hutan tanaman

industri. Penyimpangan tersebut mengenai luas dan batas-batas areal yang

melebihi ketentuan-ketentuan di dalam izin HGU yang bersangkutan. Dugaan

lain adalah terjadinya pembangunan perkebunan milik perorangan disekitar

dan berbatas langsung dengan perkebunan (HGU). Sepintas lalu perkebunan

tersebut adalah milih perusahaan dan termasuk HGUnya padahal kebun-kebun

tersebut adalah milik perorangan baik dari oknum pejabat perusahaan maupun

pihak lain. Oleh sebab itu seluruh HGU perkebunan dan HTI perlu diukur

ulang secara akurat.

b. Peninjauan HGU dan kerja sama.

Bagi suatu HGU baik perkebunan maupun HTI yang menggunakan hutan

tanah ulayat diperlukan suatu peninjauan kembali HGU yang telah

dimilikinya, hal tersebut bukan sama sekali untuk mencabut HGU perusahaan

tetapi untuk dapat mencari suatu modus yang tidak merugikan masing-masing

pihak. Dalam hubungan ini salah satu yang dapat disarankan adalah

diwujudkan suatu kerja sama antara masyarakat dengan pihak perusahaan.

Sehingga dengan demikian dapat menjadi sarana keseimbangan dan keadilan

dalam mengusahakan dan menikmati kekayaan sebagai suatu amanah Tuhan.

1

Page 2: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

2

Bagi HGU yang telah habis masa berlakunya secara selektif dianjurkan

untuk tidak diperpanjang lagi paling sedikit luasnya dikurangi untuk dapat

memberi peluang bagi kepentingan masyarakat.

c. Bentuk Kerjasama yang ideal.

Sesuatu yang dianggap sangat ideal adalah apabila perusahaan pemegang

HGU bersedia membangun kerjasama dengan masyarakat melalui Perusahaan

Milik Desa (baca Undang-undang no. 32 tahun 2004 213 berbunyi sebagai

berikut :

1. Desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan

dan potensi desa.

2. Badan usaha milik desa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

3. Badan usaha milik desa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat

melakukan pinjaman sesuai peraturan perundang-undangan.

Pilihan ini dianggap ideal karena walaupun kerjasama tersebut bersifat

ekonomi namun diharapkan dapat menimbulkan motivasi untuk mengeratkan

hubungan sosial antara perusahaan dengan masyarakat setempat. Disamping

itu Desa sebagai unit pemerintahan diharapkan dapat membina

penyelenggaraan perusahaan dan dianggap representativ bagi suatu

pengawasan

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 3: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

3

d. Pemanfaatan Eks. HGU

Bagi perusahaan-perusahaan pemegang HGU yang sudah berakhir masa

berlakunya maka bekas HGU yang bersangkutan penggunaanya harus

disesuaikan dengan kebijaksanaan pemerintah dalam pemberdayaan

masyarakat pedesaan. Sehingga desa mempunyai potensi ekonomi dalam

mempersiapkan suatu otonomi desa dimasa mendatang. Prioritas penggunaan

eks. HGU diberikan kepada Badan Usaha Milik Desa dalam hal ini tentu saja

dapat melakukan kerjasama atau kemitraan dengan perusahaan-perusahaan

lain yang lebih berpengalaman dan memiliki modal yang memadai.

F. SUATU KONSEP PERATURAN DAERAH

a. Draft Rancangan Peraturan Daerah

Lembaga Adat Melayu Riau sadar akan tanggung jawabnya, baik

tanggung jawab sebagai suatu lembaga maupun tanggung jawab sebagai

pemegang amanah masyarakat hukum adat telah mempersiapkan Draft

Rancangan suatu Peraturan Daerah yang akan direkomendasikan kepada

Gubernur Propinsi Riau dan kepada DPRD Riau untuk dapat

dipertimbangkan. Harus diakui bahwa akan terdapat beberapa kekurangan dan

kelemahan dalam Draft Rancangan Peraturan Daerah ini, namun paling sedikit

dapatlah kiranya ditangkap jiwa yang terkandung didalamnya sebagai suatu

aspirasi, harapan, bahkan sebagai suatu jeritan penderitaan masyarakat.

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 4: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

4

b. Dasar Kewenangan

Titik tolak pertama adalah suatu kewenangan formal yang ditetapkan

dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

Dalam konsideran menimbang pada undang-undang tersebut disebutkan

sebagai berikut :

1. Bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai

dengan amanat Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, pemerintah daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan,

diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta

masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan

memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,

keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

2. Bahwa efesiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah

perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan

antara susunan pemerintahan dan antara pemerintahan daerah, potensi

keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global

dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah

disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan

otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan

negara.

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 5: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

5

Selanjutnya kewenangan dan penetapan suatu peraturan daerah diatur

dalam BAB VI pasal 136, 137, 139 dan seterusnya.

Yang terpenting dalam hubungan ini adalah ketentuan dalam pasal 139

ayat (1) yang berbunyi : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara

lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan

Perda “.

c. Konsep Peraturan Daerah

Berikut ini kami disampaikan suatu konsep peraturan daerah Propinsi Riau

tentang Tentang Penyediaan Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa. Konsep

Rancangan Peraturan Daerah Propinsi Riau ini dimaksudkan terutama untuk

dapat menangkap aspirasi dari masyarakat yang telahh diserap oleh Lembaga

Adat Melayu Riau. Sebagaimana dikemukakan terdahulu diharapkan dapat

dijadikan bahan pertimbangan dalam kebijaksaan meningkatkan kesejahteraan

masyarakat terutama di pedesaan.

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 6: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

6

RANCANGAN

PERATURAN DAERAH PROPINSI RIAU

TENTANG PENYEDIAAN HUTAN TANAH

KAWASAN USAHA DESA

Menimbang: a. Bahwa untuk mendukung pengembangan dan

peningkatan otonomi Desa perlu diupayakan

peningkatan Pendapatan Asli Daerah dalam Propinsi

Riau melalui usaha ekonomi yang dilaksanakan oleh

Badan Usaha Milik Desa sebagaimana diatur dalam

Bab XI pasal 2013 Undang-undang No. 32 tahun 2004

tentang pemerintahan daerah;

b. sesuai dengan potensi, kondisi dan lingkungan alam

Propinsi Riau usaha-usaha yang bersifat agrobisnis dan

agroindustri adalah jenis usaha ekonomi yang dapat

dikembangkan;

c. Guna Mendorong dan memotivasi program-program

Badan Usaha Milik Desa kepada masing2 desa propinsi

Riau dapat disediakan sebidang tanah atau lebih sesuai

dengan potensi dari wilayah pedesaan yang

bersangkutan.

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 7: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

7

Meningat: 1. Undang-undang nomor 61 tahun 1958 tentang

pembentukan daerah swatantra tingkat I Sumatera

Barat, Jambi, dan Riau. (Lembaran Negara Tahun 1958

No. 112; tambahan lembaran negara Nomor 1646);

2. Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang

pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI tahun 2004

nomor 123);

3. Undang-undang nomor 5 tahun 1990 tentang Undang-

undang Pokok Agraria;

4. Undang-undang nomor 44 tahun 1991 tentang

kehutanan;

5. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2000 Tentang

Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi

Sebagai Daerah Otonom;

6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44

Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan

Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Peraturan

Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden

(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 70);

7. Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 10 Tahun 1994

Tentang RencanaUmum Tata Ruang Propinsi Daerah

Tingkat I Riau (Lembaran Daerah 1994 Nomor 07);

8. ......................

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 8: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

8

9. Dst.

Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN DAERAH

PROPINSI RIAU

MEMUTUSKAN

Menetapkan: a. Peraturan Daerah Propinsi Riau Tentang Penyedia

Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa.

BAB I

KETENTUAN UMUM

PASAL 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

1. Daerah adalah Propinsi Riau sebagai daerah otonom;

2. Pemerintah Propinsi Riau adalah Pemerintahan Propinsi Riau;

3. Gubernur adalah Gubernur Riau;

4. Daerah Kabupaten/Kota adalah Daerah Kabupaten/Kota yang berada di

Propinsi Riau

5. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/Kota yang

berada di Propinsi Riau;

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 9: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

9

6. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota yang berada di Propinsi Riau;

7. Desa adalah sebagaimana yang dimaksud pada pasal 1 ayat 12 Undang-

undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

8. Pemerintahan Desa adalah sebagaimana diatur dalam pasal 202 Undang-

undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

9. Badan Usaha Milik Desa adalah sebagaimana diatur dalam Bab VI pasal

213 Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

10. Hutan tanah kawasan usaha desa adalah areal tanah dengan ukuran luas

tertentu yang peruntukannya bagi kepentingan usaha ekonomi desa dan

dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Desa.

BAB II

PROSES DAN TATA CARA PENYEDIAAN HUTAN

TANAH KAWASAN USAHA DESA

PASAL 2

1. Dengan surat keputusan Gubernur kepada setiap desa dalam wilayah

Propinsi Riau dapat disediakan 1 (satu) bidang tanah atau lebih untuk

digunakan bagi kepentingan Badan Usaha Milik Desa yang bersangkutan

dan untuk selanjutnya disebut Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa;

2. Tata cara, persyaratan-persyaratan, serta proses untuk mendapatkan Hutan

Tanah Kawasan Desa sebagai dimaksud ayat 1 (satu) pasal ini, akan diatur

dan ditetapkan dalam suatu peraturan Bupati/Walikota yang bersangkutan.

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 10: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

10

BAB III

PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN

TANAH KAWASAN USAHA DESA

PASAL 3

1. Penggunaan dan pemanfaatan Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa haruslah

direncanakan dan diupayakan sedemikian rupa yang diarahkan kepada

usaha-usaha ekonomi untuk dapat meningkatkan pendapatan asli desa;

membina kesadaran masyarakat dalam membina kerja sama, kesatuan dan

persatuan dengan tetap memelihara lingkungan hidup secara baik.

2. Pemerintah Desa menyerahkan pemakaian Hutan Tanah Kawasan Usaha

Desa kepada Badan Usaha Milik Desa mempersiapkan program tentang

penggunaan Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa tersebut.

3. Penyerahan Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa dari pemerintah Desa

kepada Badan Usaha Milik Desa ditetapkan dan diatur dalam suatu

peraturan desa.

4. Untuk kepentingan kepastian hukum kepada pemerintahan desa dapat

diberikan hak guna usaha atas Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

5. Badan Usaha Milik Desa dalam melaksanakan pengelolaan dan

pemanfaatan Hutan Tanah Kawasan Usaha Desanya melalui pemerintahan

desa dapat meminta bantuan tekhnis dari instansi terkait;

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 11: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

11

6. Dalam pengelolaan dan pemanfaatan Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa

Badan Usaha Milik Desa dapat mengadakan kerjasama dengan pihak

ketiga seperti Badan-badan usaha yang bersifat koperasi atau badan usaha

lainnya. Ketentuan-ketentuan dan persyaratan tentang kerjasama tersebut

haruslah dituang dalam satu surat perjanjian yang menetapkan antara lain

tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak;

7. Perjanjian kerja sama sebagaimana pada ayat 6 pasal ini berlaku setelah

mendapat persetujuan dari Bupati/Walikota yang bersangkutan

BAB IV

KERJA SAMA ANTAR BADAN USAHA MILIK DESA

PASAL 4

1. Badan Usaha Milik Desa dalam pengelolaan dan pemanfaatan Hutan

Tanah Kawasan Usaha Desa dapat melakukan kerjasama dengan Badan

Usaha Milik Desa Lainnya;

2. Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan pada pasal 3 ayat 6 dan 7

kerja sama antar Badan Usaha Milik Desa dalam satu kecamatan berlaku

setelah mendapat persetujuan dari Bupati/Walikota.

3. Kerja sama antar Badan Usaha Milik Desa antar Kabupaten berlaku

setelah mendapat persetujuan dari Gubernur.

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 12: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

12

BAB V

HAPUSNYA HUTAN TANAH

KAWASAN USAHA DESA

PASAL 5

1. Hapusnya suatu Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa dapat terjadi

disebabkan:

a. Pencabutan hak atas Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa tersebut

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Oleh karena satu dan lain hal atau oleh adanya kejadian yang

mengakibatkan hilangnya sebagian atau seluruh Hutan Tanah Kawasan

Usaha Desa tersebut

2. Dalam hal terjadinya pemekaran desa atau perubahan batas wilayah desa

maka keberadaan Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa yang bersangkutan

diatur dengan peraturan Bupati/Walikota.

3. Apabila pemekaran desa atau perubahan batas wilayah desa tersebut

meliputi antar Kabupaten/Kota maka keberadaan Hutan Tanah Kawasan

Usaha Desa yang bersangkutan diatur dengan peraturan Gubernur.

BAB VI

KETENTUAN-KETENTUAN PENUTUP

PASAL 6

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 13: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

13

1. Sebelum terbentuknya Badan Usaha Milik Desa sebagaimana dimaksud

pasal 1 ayat 9 Peraturan Daerah Propinsi ini, pemerintah desa

berkewajiban memelihara dan mengawasi Hutan Tanah Kawasan Usaha

Desa yang telah disediakan.

2. Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa yang telah disediakan haruslah segera

didaftarkan kepada Kantor Badan Pertanahan Kabupaten/Kota.

3. Segala biaya pendaftaran dan pemetaan Hutan Tanah Kawasan Usaha

Desa dibebankan kepada APBD Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

PASAL 7

Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini lebih lanjut akan

diatur dalam peraturan Gubernur.

PASAL 8

Peraturan Daerah ini mulai berlaku semenjak tanggal diundangkan agar

setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan

Daerah ini dalam Lembaran daerah Propinsi Riau.

Ditetapkan : DI PEKANBARU

Pada tanggal : 2005

GUBERNUR RIAU

H.M. RUSLI ZAINAL

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 14: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

14

Diundangkan : DI PEKANBARU

Pada tanggal : 2005

SEKRETARIS DAERAH PROVINSI RIAU

H.R. BAMBANG MIT

Pembinga Utama Madya

Nip. 070004045

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 15: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

15

LEMBARAN DAERAH PROVINSI RIAU TAHUN 2005

PENJELASAN ATAS

PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU

NOMOR : ............................. TAHUN 2005

TENTANG

PENYEDIAAN HUTAN TANAH KAWASAN USAHA DESA

I. PENJELASAN UMUM

1. Penyelenggaraan otonomi desa untuk dapat meningkatkan kesejahteraan

masyarakat hanya akan terwujud apabila didukung oleh suatu pendapatan

asli desa itu sendiri.

Adalah tidak mungkin suatu pembangunan desa dan peningkatan

kesejahteraan masyarakatnya semata-mata dibebankan kepadan Anggaran

Pemerintah (APBN) dan Pemerintah Daerah (APBD). Selama puluhan

tahun, pemerintah desa tidak pernah dapat meningkatkan pendapatan asli

daerahnya secara memadai. Padahal wilayah desa-desa tersebut

mempunyai sumber daya alam yang cukup dan seyogyanya dapat

menyumbang bagi peningkatan pendapatan asli desa tersebut.

2. Terbentuknya Badan Usaha Milik Desa sebagaimana diatur dalam pasal

213 Undang-undang nomor 32 tahun 2004, memberikan kesempatan

kepada desa-desa dalam Propinsi Riau untuk dapat ikut serta dalam usaha2

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 16: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

16

ekonomi sehingga pada gilirannya Badan Usaha Milik Desa mampu

menjadi sumber asli pendapatan asli desa.

3. Pengalaman selama ini dalam pengelolaan usaha-usaha ekonomi oleh

Koperasi Unit Desa (KUD) selalu terbentur pada kekurangan modal dan

manajemen usaha. Dengan penyediaan Hutan Tanah Kawasan Usaha Desa

dalam wilayah desa tersebut diharapkan Badan Usaha Milik Desa dapat

berkembang sebagai suatu perusahaan yang modern. Ketentuan tentang

dapatnya dilakukan kerja sama Badan Usaha Milik Desa dengan pihak

ketiga diharapkan akan dapat membina suatu manajemen perusahaan dan

peningkatan sumber daya manusia baik secara kuantitatif maupun

kualitatif.

4. Sesuai dengan lingkungan dan sumber daya alam dikawasan pedesaan

maka jenis usaha ekonomi yang menjadi prioritas adalah jenis usaha yang

bersifat agraris dan argo industri. Walaupun tidak tertutup kemungkinan

untuk melaksanakan usaha-usaha ekonomi lainnya.

Untuk hal tersebut ketersediaan tanah sebagai lahan usaha adalah sesuatu

yang mutlak dan diharapkan dengan ditetapkannya Peraturan Daerah

Propinsi ini secara bertahap dapat diatasi.

5. Bila kepada perusahaan-perusahaan besar dan menengah termasuk BUMN

(PTPN) dapat diberikan HGU dalam skala besar maka wajarlah kepada

Badan Usaha Milik Desa melalui pemerintah desa diberikan pula

kesempatan, kendatipun perlu dalam suatu pembinaan dan pengawasan.

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 17: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

17

G. PENUTUP

Pada bagian akhir dari pokok-pokok pikiran ini perlu kembali

dikemukakan bahwa suatu penyelesaian yang adil beradab berdaya guna dan

berhasil guna perlu segera dimulai secara sistematis. Penyelesaian yang

sedang dihadapi ini memang bagaikan suatu tantangan yang sangat berat.

Namun itu adalah suatu keharusan.

Kepada lembaga Adat Melayu Riau dikabupaten/kota dikecamatan

terutama di desa-desa diminta agar tetap menjaga kebersamaan, persatuan dan

kesatuan. Demikian pula kepada pimpinan perusahaan yang dalam pokok-

pokok pikiran ini mungkin banyak tersinggung diharapkan agar dapat berpikir

secara jernih dalam suatu kebersamaan.

Terhadap pemerintah diingatkan bahwa dari pengalaman selama ini baik

secara regional maupun lokal banyak yang dapat diambil hikmahnya.

Pemerintah harus berdiri paling depan dalam mengupayakan penyelesaian

yang adil beradab berdaya guna dan berhasil guna.

Tidak berkelibihan kiranya bahwa penyelesaian permasalahan Hutan

Tanah Ulayat Masyarakat Melayu Riau merupakan juga suatu panggilan

sejarah. Hanya kebersamaan, keikhlasan dan kemauan politik pemerintah yang

akan dapat menentukan tingkat keberhasilannya.

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 18: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

18

BAGIAN 5

UPAYA STRATEGIS UNTUK MEMBINA

KEADILAN DAN KESEIMBANGAN

DALAM MASYARAKAT

Oleh : Drs Djoko Sidik Pramono, MM

A. PENDAHULUAN

Program transmigrasi sebagai sub sistem dari sistem Pembangunan

Nasional merupakan upaya strategis untuk dikembangkan dalam rangka

menciptakan lapangan kerja baru, mengurangi pengangguran, mengurangi

penduduk miskin dan mendukung dan mendukung pembangunan daerah.

Program transmigrasi telah dilaksanakan sejak masa kolonial, yaitu sekitar

tahun 1905 dan pada masa setelah kemerdekaan Indonesia dimulai lagi sejak

tahun 1950. Setelah itu penyelenggaraan transmigrasi berlanjut terus dan

mencapai puncaknya pada masa Pelita III dimana berhasil memindahkan dan

menempatkan sejumlah 500.000 kepala keluarga. Hal ini dapat dianggap

sebagai prestasi yang dapat memberikan kontribusi pada pembangunan

nasional. Namun demikian harus diakui pula adanya beberapa Unit

Pemukiman Transmigrasi menghadapi permasalahan sehingga tidak dapat

berkembang seperti yang diharapkan. Salah satu permasalahan yang menonjol

adalah pertanahan.

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 19: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

19

B. HAKEKAT TRANSMIGRASI

Pada hakekatnya penyelenggaraan Transmigrasi merupakan kombinasi

antara upaya pemanfaatan SDA dan SDM dengan bantuan IPTEK, yang

terdiri dari kegiatan-kegiatan :

1. Pemanfaatan Ruang

2. Pemindahan dan Penempatan

3. Pemberdayaan Kawasan

Sedangkan tujuan penyelenggaraan transmigrasi sepert yang

disebutkan dalam UU No. 15 tahun 1997 tentang ketransmigrasian adalah:

1. Meningkatkan kesejahteraan Masyarakat

2. Mendukung Pembangunan Daerah

3. Memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa

C. VISI DAN MISI

Sebagai langkah awal kebijakan pembangunan kawasan transmigrasi

dalam kerangka otonomi daerah telah dirumuskan visi dan misi

Pembangunan Kawasan Transmigrasi yaitu “Kawasan Transmigrasi

sebagai Pusat-Pusat Ekonomi didaerah sesuai kebutuhan pengembangan

daerah yang bersangkutan, secara berkesinambungan dan peduli

lingkungan”.

Sedangkan misinya adalah sebagai berikut :

1. Mewujudkan pelayanan dan administratif yang didukung tersedianya

data dan informasi yang akurat dan informative, personil yang handal

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 20: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

20

dan sarana/prasarana yang memadai serta unit kerja yang kolaboratif

guna mendorong terlaksanya pemberdayaan sumber daya kawasan

transmigrasi.

2. Mengidentifikasi potensi kawasan dan merencanakan pengembangan

kawasan strategis, cepat tumbuh, tertinggal dan perbatasan.

3. Menyediakan kebijakan peningkatan kualitas perencanaan dan

pembangunan kawasan yang memenuhi standar kelayakan untuk

pemukiman dan pengembangan usaha ekonomi yang berkelanjutan.

4. Mewujudkan pengembangan komoditas unggulan, kapasitas lahan dan

diversifikasi usaha dikawasan transmigrasi serta peningkatan kapasitas

masyarakat dalam pengembangan usaha ekonomi.

5. Mewujudkan investasi dan kemitraan usaha mempercepat

pembangunan kawasan transmigrasi.

6. Mengendalikan dan megelola fungsi lingkungan hidup dikawasan

transmigrasi.

D. KONSEP PENYELENGGARAAN TRANSMIGRASI

Penyelenggaraan transmigrasi dalam upaya pemanfaatan ruang kedepan

sama seperti yang selama ini dilaksanakan yaitu dengan pendekatan

kewilayahan, akan tetapi apabila pada PJP I perencanaan dan

pembinaan/pemberdayaan masyarakatnya dilaksanakan secara ekslusif,

kedepan baik perencanaan maupun pemberdayaan terintegrasi dengan desa

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 21: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

21

sekitar/penduduk sekitar yang membentuk satu kesatuan hamparan dalam

satu wilayah atau dapat disebut Kawasan Transmigrasi.

Secara ringkas Konsepsi Penyelenggaraan Transmigrasi dapat

divisualisasikan dalam tabel berikut :

URAIAN KBI KTI

A. Pembangunan

Kawasan Trans

Skala kecil Skala besar

B. Dalam Rangka

Membangun Pusat-

pusa pertumbuhan

Program transmigrasi

mendukung pusat-pusat

pertumbuhan yang sudah ada

Program transmigrasi

berfungsi untuk

mengembangkan pusat-

pusat pertumbuhan baru

c. Optimalisasi

pemanfaatan lahan

untuk pertanian

Program intensifikasi Program Ekstensifikasi

d. Jenis transmigrasi

yang dikembangkan

TSM > TSB, Sedangkan

TSB > TU

TU lebih besar dari TSB

dan TSM

e. Skala prioritas

komoditas yang

dikembangkan dalam

rangka perluasan areal

pertanian baru

Dengan urutan : Tan, pangan,

perkebunan, perikanan dan

peternakan

Dengan urutan :

Perikanan, kelautan,

peternakan dan Tan,

Pangan

f. Fasilitas penanaman

investasi

Kredit bunga komersial Subsidi dan tax holiday

g. Pemberian izin HGU 30-50 Tahun Lebih dari 50 tahun

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 22: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

22

E. PROSEDUR PENYELENGGARAAN TRANSMIGRASI

Dalam penyelenggaraan transmigrasi ada beberapa tahapan yang

ditempuh, adapun tahapan/prosedur pembangunan kawasan transmigrasi

yang harus dilalui adalah sebagai berikut :

1. Seleksi Kawasan

a. Identifikasi potensi kawasan (SDA, sosial, ekonomi dan budaya).

b. Delinasi struktur calon kawasan

c. Studi pra kelayakan

d. Pembentukan dan penetapan kawasan

2. Pelayanan investasi dan kemitraan

a. Promosi/sosialisasi

b. Pelayanan dan penetapan calon investor

c. Pencadangan/izin lokasi

3. Perencanaan detail

a. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana

Pemantauan Lingkungan (RPL)

b. Master Plan/RTPKT

c. RTUPT/Redesign RTSP dan Rentek sarana dan prasarana

4. Penyusunan program dan kegiatan pembangunan

a. Perencanaan detail sudah dilaksanakan

b. Program dari sejak pembangunan infrastruktur, penyiapan lahan

pemukiman, pembangunan rumah dan fasilitas umum, pengerahan

dan penempatan serta pembinaan dan pemberdayaan masyarakat.

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 23: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

23

c. Pendanaan melalui kontribusi budget antara APBD dan SAPBN

atau sumber dana lain.

5. Pembentukan Unit Pengelola Kawasan (UPK)

a. UPK adalah lembaga pemerintah, semi pemerintah atau swasta

yang dibentuk oleh Pemda

b. Pemerintah Pusat dapat memberikan bantuan dalam bentuk

pedoman bimbingan/arahan, pelatihan, supervisi dan pengawasan

6. Pengarahan Transmigran/Penduduk

a. Identifikasi potensi perpindahan

b. Komunikasi, informasi, edukasi (KIE)

c. Sosialisasi, penyuluhan dan motivasi

d. Registrasi/pendataan

7. Penyiapan pemukiman

a. Penyiapan dan pematangan lahan

b. Pembangunan prasarana

c. Pembangunan sarana (rumah dan fasilitas umum)

8. Penyerasian kompetensi calon transmigran

a. Pelayanan pendaftaran seleksi

b. Pelatihan

9. Perpindahan dan penempatan

10. Proses pembinaan/pemberdayaan kawasan dan masyarakat

transmigrasi

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 24: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

24

F. AREAL UNTUK PENYELENGGARAAN TRANSMIGRASI

1. Areal yang digunakan

Pemanfaatan areal yang digunakan dalam penyelenggaraan transmigrasi,

adalah sebagai berikut :

a. Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) dan Lokasi Permukiman

Transmigrasi (LPT) harus ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan

tidak harus dalam PERDA tersendiri namun dapat satu kesatuan

dengan Peraturan Daerah Rencana Umum Tata Ruang Wilayah

Provinsi/Kabupaten.

b. Calon lokasi transmigrasi yang berdekatan dengan kawasan hutan

lindung dan kawasan konservasi agar diberi jarak minimal sebagai

berikut :

1) Hutan Lindung = 500 Meter

2) Konservasi = 1-2 Km

c. Konservasi tanah, air dan lingkungan sesuai dengan ketentuan yang

berlaku perlu dipertahankan keadaan vegetasi hutan serta pembukaan

hutan dan penyiapan lahan permukiman pada areal hutan sekurang-

kurangnya sebesar :

1) 100 meter dikiri kanan tepi sungai

2) 50 meter dikiri kanan tepi anak sungai

3) 200 meter disekeliling mata air

4) 200 meter disepanjang tepi pantai

5) 500 meter disepanjang tepi waduk

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 25: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

25

6) Dua kali dalamnya jurang ditepi jurang.

2. Ketentuan Pelepasan Areal

Dasar hukum Kebijakan Pertanahan Nasional tertuang pasal 33 ayat 3

UUD 1945 yang kemudian diwujudkan dalam UU Nomor 5 tahun 1960,

tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) yang selanjutnya

dirumuskan dalam Kebijakan dan strategi pertanahan Nasional melalui

Ketetapan MPR Nomor : IV/MPR/1978 yang menekankan perlunya

penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah

disamping menjaga kelestariannya. Tujuan dari penyiapan areal untuk

permukiman transmigrasi diarahkan adanya tersebut kemudian dituangkan

dalam “Catur Tertib pertanahan, yaitu :

- Tertib Administrasi Pertanahan

- Tertib Hukum Pertanahan

- Tertib Penggunaan Pertanahan, serta

- Tertib Pemeliharaan Tanah dengan Lingkungan Hidup

Sejalan dengan Kebijakan Pertanahan tersebut di atas, maka kebijakan

tanah tersebut dapat dituangkan dalam surat-surat Menteri Tenaga

Kerja dan Transmigrasi, yang meliputi sebagai berikut :

a. Pencadangan tanah untuk lokasi permukiman transmigrasi

merupakan satu kawasan permukiman dengan daya tampung ±

2000 KK

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 26: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

26

b. Pencadangan tanah diprioritaskan pada tanah Negara atau tanah

masyarakat yang dapat dijadikan tanah Negara melalui pelepasan

hak.

c. Pencadangan tanah hendaknya memperhatikan asset pendukung

antara lain meliputi prasarana jalan dan irigasi

d. Luas pencadangan tanah yang diusulkan harus memperhatikan

ketentuan pertanahan, yaitu :

1) Pencadangan Areal transmigrasi dengan luas < 5.000 Ha

pelaksanaan SICA dilakukan oleh Kantor Dinas Nakertrans

setempat.

2) Pencadangan Areal Transmigrasi dengan Luas < 5.000 Ha

pelaksanaan SICA dilakukan oleh Pusat.

e. Terhadap usulan calon lokasi transmigrasi baru dan belum ada

surat keputusan pencadangan areal, maka perlu dilakukan SICA

areal transmigrasi.

f. SK pencadangan areal yang telah mencapai waktu dari 5 tahun,

agar diperbaharui dimana jangka waktu berlakunya disesuaikan

dengan instruksi Menteri yang berlaku.

g. Bagi calon lokasi transmigrasi yang telah ada rekomendasi Bupati,

agar dilakukan kegiatan penjajagan untuk kemudian dilakukan

SICA dan diproses menjadi SK. Pencadangan aral dari Gubernur

h. Pencadangan areal tanah yang tumpang tindih dengan kepentingan

suatu organisasi/badan hukum swasta, penyelesaiannya dilakukan

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 27: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

27

dengan melepaskan kepentingan badan tersebut atas areal tanah

tersebut dengan kompensasi melalui kesepakatan.

i. Pencadangan areal yang diberikan kepada investor (seperti

PIRTRANS) pelepasan kawasan hutan dan pembebasan tanahnya

menjadi tanggungjawab pihak swasta/investor.

3. Penyediaan Tanah untuk Penyelenggaraan Transmigrasi

a. Tanah yang dipergunakan untuk penyelenggaraan transmigrasi adalah

berasal dari tanah negara (yang dikuasai langsung oleh negara) dan

atau tanah hak, baik tanah hak adat, tanah perorangan, ataupun tanah

badan hukum. Perolehan dengan cara recognitie atau kompensasi.

b. Perolehan tanah yang berasal dari tanah hak adat atau tanah hak ulayat

harus memperhatikan ketentuan pasal 5 peraturan Menteri Negara

Agraria Nomor 5 Tahun 1999 yaitu harus dibuktikan bahwa tanah

tesebut merupakan tanah ulayat dengan dilakukan penelitian oleh

pemerintah daerah setempat dengan melibatkan pemuka masyarakat

setempat serta akademisi, yang hasilnya dituangkan dalam Peraturan

Daerah. Jika memang terbuka adanya hak ulayat yang bersangkutan

maka perolehan tanahnya dilakukan melalui acara pelepasan hak yang

dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan (diwakilkan

kepada adat/kepala desa) dengan pemberian ganti rugi yang sesuai

ketentuan/peraturan perundang-undangan yang berlaku (ganti rugi

dalam bentuk pembangunan fasilitas umum).

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 28: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

28

c. Perolehan tanah yang berasal dari kawasan hutan didahului dengan

pelepasan kawasan hutan didahului dengan pelepasan kawasan hutan

sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. Apabila tanah yang disediakan tersebut benar-benar clear and clean

maka Badan Pertanahan Nasional (BPN) akan menerbitkan Sertifikat

Hak Pengelolaan (HPL) atas nama Departemen Tenaga Kerja dan

Transmigrasi.

Pemberian hak pengelolaan tersebut sekaligus memberikan

kewenangan kepada Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi

untuk merencanakan peruntukan dan menggunakannya untuk

penyelenggaraan program transmigrasi sesuai rencana tata ruang

wilayah/daerah.

e. Bagian-bagian dari bidang HPL diberikan kepada transmigran dalam

bentuk lahan pekarangan dan lahan usaha sesuai pola transmigran yang

dikembangkan. Lahan pekarangan dan lahan usaha tersebut, apabila

data fisik dan yuridis secara lengkap dan tidak ada tuntutan dari pihak

lain, maka didaftar dalam buku tanah BPN untuk diterbitkan Sertifikat

Hak Milik atas nama Transmigran.

4. Perencanaan Areal untuk Penyelenggaraan Transmigrasi

Pencadangan dan pengadaan tanah merupakan tahapan pertama yang

harus dilaksanakan dalam penyediaan areal untuk permukiman

transmigrasi. Dalam pencadangan dan pengadaan tanah untuk

pengembangan dan pembangunan permukiman lokasi transmigrasi

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 29: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

29

berpedoman pada Keputusan Bersama Menteri Transmigrasi dengan

Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor SKB.114 / MEN /1992 tentang

Pencadangan Tanah Pengurusan Sertifikasi SK.24 Tahun 1992

Hak Atas Tanah Lokasi Permukiman Transmigrasi, Kawasan yang

ditetapkan menjadi kaeasan Transmigrasi harus merupakan kawasan yang

clear and clean

- Kejelasan Areal (Clear) : Areal yang akan diprogramkan sebagai

pemukiman transmigrasi harus sudah jelas letak, luas, dan batas-batas

fisiknya serta sudah dipetakan.

- Areal Yang Bersih (Clean) : Areal yang dicadangkan untuk

pemukiman transmigrasi harus bebas dari hak-hak atas tanah, baik

perorangan, masyarakat maupun badan hukum serta tidak berada pada

kawasan hutan yang dipertahankan statusnya sebagai hutan tetap.

Dalam pelaksanaan program transmigrasi diharapkan dapat

mengikutsertakan dan memberdayakan masyarakat disekitar lokasi.

Dengan demikian dalam pencadangan dan pengadaan tanah untuk

pengembangan dan pembangunan lokasi permukiman transmigrasi,

rancangan prosedurnya sebagai berikut :

a. Calon lokasi permukiman transmigrasi merupakan usulan masyarakat

yang ditujukan kepada Bupati yang dilampiri Berita Acara Penyerahan

Tanah, pernyataan mendukung sepenuhnya program transmigrasi dan

pernyataan tidak akan menuntut ganti rugi tanah dan tanam tumbuh.

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 30: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

30

b. Bupati mengeluarkan izin Prinsip Penetapan atas lokasi kawasan yang

diusulkan masyarakat.

c. Setelah keluar izin Prinsip Penetapan atas lokasi kawasan transmigrasi

tersebut dilakukan kegiatan Identifikasi yang melibatkan instansi

terkait di Kabupaten dan Propinsi untuk mendapatkan areal yang

potensial dengan memperhatikan :

a) Status kawasan hutan

b) Status peruntukan lahan

c) Kondisi fisik kawasan

d) Kondisi sosial, ekonomi dan budaya dari masyarakat disekitar

lokasi

d. Kawasan hutan yang dapat dikembangkan digunakan untuk program

transmigrasi adalah kawasan hutan yang tidak dipertahankan statusnya

sebagai kawasan hutan tetap. Pada dasarnya adalah Kawasan Hutan

yang dapat di Konversi (HPK). Untuk calon lokasi kawasan

transmigrasi yang berada dalam kawasan hutan, harus didahului

dengan pelepasan kawasan hutan, sesuai dengan mekanisme dan

prossedur yang terdapat dalam Kepututsan Bersama Menteri

Transmigrasi dan Pemukiman perambah Hutan dengan Menteri

Kehutanan Nomor : SKB.126/MEN/1994 tentang Pelepasan Areal

Hutan untuk 422/KPTS-II/1994 pemikiman Transmigrasi/

e. Calon lokasi yang sudah dilakukan identifikasi tersebut diproses

penerbitan Surat Keputusan Pencadangan Areal dari Gubernur

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 31: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

31

berdasarkan bahan-bahan yang dipersiapkan oleh Kanwil Badan

Pertanahan Nasional.

G. UPAYA STRATEGIS UNTUK MEMBINA KEADILAN DAN

KESEIMBANGAN

Sesuai dengan sarana pembangunan transmigrasi sebagaimana dimaksud

dalam pasal 4, UU Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian yaitu : (1)

meningkatkan kemampuan dan produktivitas transmigran dan masyarakat

sekitarnya, (2) membangun kemandirian, (3) mewujudkan integrasi

permukiman kawasan transmigrasi, (4) sosial, ekonomi, dan budaya

(sosekbud) mampu tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan, maka

pembangunan kawasan transmigrasi didasarkan pada Rencana Kerangka

Satuan Kawasan Pengembangan (RKSKP) Rencana Teknis Satuan

Permukiman Transmigrasi (RTSP).

Guna mewujudkan hal tersebut maka dalam pembangunan permukiman

transmigrasi dilaksanakan dengan memperhatikan azas keadilan dan

keseimbangan dalam masyarakat.

Upaya-upaya strategis yang dilakukan meliputi pemberian kompensasi,

recognisi dan tanam tumbuh, Penggantian lokasi/lahan kepada penyedia tanah

untuk penyelenggaraan transmigrasi, pemanfaatan bersama fasilitas umum

antara umum antara transmigran dengan masyarakat sekitarnya, dan integrasi

antara permukiman baru (transmigrasi) dengan desa, serta penetapan

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 32: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

32

komposisi yang ideal transmigran yang berasal dari daerah pengirim dan

daerah penerima.

Upaya strategis untuk membina keadilan dan keseimbangan dalam

masyarakat adalah :

1. Penyediaan tanah yang dipergunakan untuk pembangunan

permukiman transmigrasi, baik pada tahap pengadaan tanahnya

maupun penanganan sengketa/tuntutan ganti rugi oleh masyarakat adat

maupun pribadi. Pelaksanaan azas keadilan dan kesimbangan

diwujudkan dengan kedudukan yang seimbang antara masyarakat

atau pribadi yang mcnycrahkan tanahnya untuk program transmigrasi

dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Pemerintah).

Pemerintah dan masyarakat adat bersama-sama bermusyawarah untuk

mencapai sepakat dalam penetapan recognitie (penghargaan), yang

diberikan tidak dalam bentuk uang tetapi dalam bentuk pembangunan

fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat masyarakat setempat.

(Pasal 14 Kepres Nomor. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan tanah

bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum) sedangkan

untuk tanah-tanah hak pribadi penetapan kompensasi juga

dimusyawarahkan untuk mencapai kesepakatan bersama.

2. Penanganan sengketa pertanahan, antara masyarakat atau pribadi

dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, mengutamakan

azas keadilan dan keseimbangan. Apabila musyawarah tidak

menemukan jalan keluar yang disepakati bersama maka penyelesaian

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 33: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

33

dilakukan melalui pengadilan yang berwenang. Hal tersebut Sebagai

wujud penegakan hukum (law enforcement).

3. Integrasi antara permukiman baru (transmigrasi) dengan desa

didasarkan pada rencana tata ruang permukiman kawasan transmigrasi

yang menselaraskan ruang lingkup dan ruang gerak antara transmigran

dengan masyarakat Sekitamya, sehingga permukiman transmigrasi

bukan merupakan permukiman yang ekslusif, tetapi menyatu dan

saling mendukung dengan desa. Hal ini diwujudkan dengan

pembangunan sarana fasilitas umum yang menjangkau permukiman

transmigrasi dan desa, sehingga dapat termanfaatkan secara optimal.

4. Pemanfaatan bersama fasilitas umum (pasar, rumah ibadah, sarana

pendidikan, sarana kesehatan, Sarana Olahraga, dermaga/sarana

perhubungan) antara transmigran dengan masyarakat sekitamya

merupakan upaya integrasi kehidupan, baik sosial, ekonomi, dan

budaya sebagai Wujud pembangunan manusia berdasarkan keadilan

dan keseimbangan dalam masyarakat.

5. Komposisi yang berimbang antara transmigran dari daerah pengirim

dengan transmigran dari daerah penerima, khususnya dari segi jumlah,

sehingga diharapkan dapat terjadi kerjasama yang saling

menguntungkan (simbiosa mutualisme) sesuai dengan latar belakang

keterampilan dan pengetahuannya khususnya dibidang pertanian.

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 34: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

34

BAGIAN 6

PERLINDUNGAN HUTAN TANAH

ULAYAT

DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI

MANUSIA

Oleh: Dr. Safroedin Bahar

1. Pendahuluan.

Sebagai pembuka kata dapat saya sampaikan bahwa dari kasus-kasus

pertanahan yang diadukan kepada Komnas HAM, proporsi kasus-kasus yang

menyangkut masalah hak atas tanah ulayat yang bersifat kolektif dari

masyarakat hukum adat, selain semakin lama semakin banyak juga tidak

jarang semakin mencekam, karena tidak jarang-jarang kasus tersebut

beriringan dengan kekerasan yang memakan korban nyawa dan harta. Belum

terdapat tanda-tanda bahwa konflik masalah pertanahan ini akan menyurut

dalam waktu singkat.

Dalam tebaran geografisnya, sebagian besar kasus-kasus ini berada di

daerah-daerah di luar Pulau Jawa. Besar kemungkinannya hal itu terkait

dengan struktur sosial masyarakat hukum adat-atau the indigenous peoples-

yang mendiami kawasan tersebut. Seperti kita ketahui, tatanan masyarakat di

luar Jawa selain didasarkan pada konsep kewilayahan seperti di Pulau Jawa,

juga atau terutama didasarkan pada extended family system dengan

kepemilikan kolektif terhadap tanah dengan segala kandungan isinya. Dalam

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 35: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

35

literatur hukum adat yang berkembang pada atau sejak zaman kolonial Hindia

Belanda dahulu masyarakat demikian disebut sebagai masyarakat yang

bersifat teritorial geneologis.

Hak atas tanah ulayat memang bersifat hak kolektif, bukan merupakan hak

yang bersifat individual yang bersifat seperti yang lazim kita kenal dalam

sistem hukum Barat. Adanya hubungan struktural yang amat erat antara

masyarakat yang bersangkutan dengan lingkungan yang menghidupinya

mempunyai implikasi bahwa masalah hak atas tanah ulayat tidak dapat dan

tidak boleh dipahami dan ditangani secara terpisah dari masyarakat hukum

adat itu sendiri.

Perlu kita perhatikan bahwa dalam stadium awalnya kasus-kasus

pelanggaran terhadap hak atas tanah ulayat ini bisa mengambil bentuk

(sekedar) pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya, yang sesungguhnya

relatif mudah diselesaikan, baik pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan

swasta maupun oleh instansi pemerintah. Namun dalam stadium lanjutan,

kasus-kasus tanah ulayat ini bisa berujung pada terjadinya pelanggaran hak

sipil dan politik, sehubungan dengan terjadinya kekerasan, yang tidak jarang

memakan korban nyawa dan harta benda. Bila tidak ditangani- dengan baik,

tidak jarang rangkaian kasus-kasus pelanggaran hak sipil dan polilik tersebut

akan berakumulasi dan berkembang menjadi pelanggaran hak asasi manusia

yang berat, khususnya bila pelanggaran tersebut dilakukan secara sistematis

atau meluas. Oleh karena itulah, untuk memperoleh gambaran menyeluruh

dari masalah perlindungan terhadap hutan tanah ulayat dari masyarakat hukum

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 36: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

36

adat ini kita perlu menelaahnya secara sistematis, holistik, komprehensif, dan

integral dalam konteks kenegaraan.

Harus kita akui, bahwa dalam tatanan yang bersifat sentralistik dan

berorientasi urban, yang pemah kita anut dalam bentuk yang sangat ekstrim

antara tahun 1959-1999, masyarakat hukum adat serta haknya atas hutan tanah

ulayat menempati posisi pinggiran (periferal). Seluruh keputusan yang

menyangkut masyarakat hokum adat serta tanah ulayatnya dirancang, dibuat,

ditetapkan dan dikendalikan dari ibukota, baik di ibukota negara, maupun di

ibukota propinsi dan kabupaten, tanpa melibatkan perwakilan dari

masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Dalam pandangan para

pambuat keputusan yang secara pribadi hidup dalam sistem sosial dan dengan

pola berpikir yang amat berbeda dengan masyarakat hukum adat yang akan

diaturnya itu, warga masyarakat hukum adat dilihat sekedar sebagai massa

abstrak dan himpunan individu yang terlepas-lepas dan bukan sebagai suatu

kolektivitas dengan identitas tersendiri, dan dipandang dapat diperintah dari

jauh dengan cara remote control.

Seperti dapat diduga, dalam pembuatan keputusan yang bersifat non

partisipatif tersebut aspirasi dan kepentingan masyarakat hukum adat, yang

umumnya tidak mempunyai bargaining power yang memadai untuk

menghadapi kekuatan-kekuatan politik dan kekuatan-kekuatan ekonomi yang

berpusat di daerah urban, dalam kurun 40 tahun tersebut secara terus menerus

terdesak ke belakang dengan berbagai akibat negatifnya yang kita rasakan dan

kita saksikan bersama dewasa ini.

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 37: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

37

Baru setelah berhasilnya gerakan Reformasi pada tahun 1998 mulai

terdapat momentum untuk menempatkan kembali posisi masyarakat hukum

adat pada tempatnya yang benar, yang dasar-dasamya sudah terdapat dalam

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah yang

sekarang telah disempurnakan menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun

2004. Dewasa ini, masalah yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat dan

tanah ulayatnya sudah dapat ditangani secara sistemik dalam kerangka

otonomi daerah, yang jelas bukan saja lebih paham tetapi juga akan lebih

committed kepada terpenuhinya kepentingan orang banyak. Lebih dari itu,

berdasar pasal 51 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

Konstitusi, masyarakat hukum adat yang telah memenuhi syarat menurut

peraturan perundang-undangan, yang merasa hak-hak konstitusinya telah

dilanggar, dapat mengajukan pengaduan secara formal sebagai pemohon

kepada mahkamah tersebut. Dengan perkataan lain, secara formal dan diatas

kertas, posisi masyarakat hukum adat serta hak ulayatnya dewasa ini

sesungguhnya sudah jauh lebih kuat dibandingkan dengan dasawarsa-

dasawarsa yang lalu.

Namun, koreksi mendasar terhadap pelanggaran struktural dan sistemik

terhadap hak atas tanah ulayat, yang telah berlangsung demikian lama, masih

memerlukan waktu untuk dapat selesai secara tuntas. Salah satu agenda

penting yang harus diacarakan sebagai perioritas adalah sebagai melakukan

harmonisasi hukum, sehubungan dengan adanya inkonsistensi dan

inkoheresi, baik antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 38: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

38

lain, maupun antara norma yang terkandung dalam peraturan perundang-

undangan tersebut dengan kenyataaannya dalam praktek. Harmonisasi hukum

ini perlu dilakukan oleh lembaga legislatif, lembaga ekseksutif, maupun

lembaga yudikatif, dengan dorongan dan partisipasi dari unsur-unsur

masyarakat sendiri sebagai stake holders.

Sebagai state auxiliary agency yang setingkat dengan lembaga negara

lainnya dan dibentuk khusus untuk ikut menciptakan kondisi yang kondusif

untuk terlindunginya hak asasi manusia, sambil menangani kasus-kasus

pengaduan yang disampaikan, dalam dua tahun terakhir ini Komnas HAM

tclah mengadakan kajian menyeluruh terhadap masalah agraria ini,

bekerjasama dengan instansi-instansi Iainnya. Sebagai tindak lanjut dari kajian

yang komprehensif ini, secara formal Komnas HAM telah menyarankan

kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk membentuk sebuah badan

khusus yang bersifat terpadu tetapi temporer, yang dinamakan Komisi

Nasional Untuk Penyelesaian Kanflik Agraria (KNuPKA).

Pembentukan badan khusus ini diperlukan sehubungan dengan demikian

besarnya magnitude dan kompleksnya masalah sengkata pertanahan ini, yang

diperkirakan mustahil dapat diselesaikan secara mendasar bersamaan dengan

demikian banyak masalah pelanggaran hak asasi manusia yang harus ditangani

oleh Komnas HAM. Sehubungan dengan terjadinya pergantian presiden,

Komnas HAM merencanakan untuk mengajukan kembali pembentukan

komisi nasional ini bersama dengan berbagai saran lain mengenai hak asasi

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 39: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

39

manusia yang memerlukan perhatian dan penanganan oleh presiden yang baru

beserta kabinet beliau.

Dalam makalah ini diusahakan menyajikan pandangan menyeluruh, walau

secara singkat saja, terhadap latar belakang masalah serta kerangka solusi

yang telah dan sedang dikembangkan Komnas HAM untuk ikut melindungi

hak masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya.

2. Posisi Konstitusional Masyarakat Hukum Adat Serta Tanah

Ulayatnya

a. Dinamika Wawasan tentang Masyarakat Hukum Adat.

Kelihatannya ada perkembangan atau perubahan dalam wawasan bangsa

kita terhadap masyarakat hokum adat Dalam merencanakan format negara

baru yang akan dibentuk pasca Perang Dunia Kedua, patut dicatat bahwa para

Pendiri Negara dalam tahun 1945 dahulu menerima keberadaan masyarakat

hukum adat ini seperti apa adanya tanpa memberikan kondisionalitas apapun

juga. Dalam penjelasan Undang-undang Dasar 1945 masyarakat hukum adat

ini disebut dengan berbagai istilah seperti streak en looale

rechisgemeenschappen, zelfhasturande landschappen en

volksgemeenschappen, yang dalam istilah asli disebut dengan berbagai nama

seperti desa, marga, nagari dan yang sejenis dengan itu.

Dapat diduga bahwa sebagai generasi yang menguasai literatur hukum

adat yang berkembang dalam zaman kolonial, para Pendiri Negara tersebut

mempunyai pemahaman yang lumayan mendalam terhadap masyarakat

hukum adat dan tanah ulayat Tentang masyarakat hukum adat Penjelasan

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 40: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

40

undang-Undang Dasar 1945 yang sekarang sudah dihapuskan itu menjelaskan

”Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat

dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia

menghormati daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara

yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingat hak-hak asal usul daerah

tersebut. Penghormatan terhadap masyarakat hukum adat serta haknya atas

tanah ulayat masih kita dapati dalam Undang-undang N 0. 5 Tahun 1960

Tentang Pokok-pokok Agraria, yang dipersiapkan sejak tahun 1948.

Namun karena berbagai faktor terlihat terjadi semacam pengikisan

pengakuan terhadap masyarakat hukum adat ini, baik secara formal dalam

bentuk diundangkannya berbagai peraturan perundang-undangan yang

mengabaikan eksistensi masyarakat hukum adat serta haknya atas tanah ulayat

itu, maupun secara mendasar terhadap status dan posisi kenegaraan dari

masyarakat hukum adat itu sendiri. Hal yang terakhir ini terlihat pada

klausula yang bersifat kondisional, yang terdapat pada Pasal 18 B Undang-

undang Dasar 1945, yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya

"sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan undang-

undang " Anak kalimat yang terakhir ini tidak terdapat dalam Undang-undang

Dasar 1945 sebelum diamandemen.

Terkandung dalam klausula baru ini adalah implikasi normatif bahwa

tidak dengan sendirinya suatu masyarakat hukum adat yang ada secara de

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 41: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

41

facto akan diakui coute que coute sebagai masyarakat hukum adat secara de

iure menurut Undang-Undang Dasar ini. Banyak masalah ikutan dapat muncul

dari adanya kondisionalitas terhadap masyarakat hukum adat ini, yang harus

kita bedah secara amat kritis karena menyangkut kepentingan orang banyak.

Pertama, sebagai masyarakat yang didasarkan pada konsep teritorial-

geneologis, secara teoretikal dan faktual sungguh sangat kecil kemungkinan

tidak ’hidup’-nya lagi suatu masyarakat hukum adat, karena teorinya akan

selalu ada, dan walaupun jumlah warga suatu suku bisa menyusut dan

berkembang, pasti ada keturunan mereka yang masih hidup. Sudah barang

tentu dalam keadaan yang amat sangat luar biasa hal itu bisa saja terjadi

seperti jika seluruh kampung halaman masyarakat hukum adat tersebut hancur

luluh dilantak bencana alam yang dahsyat, atau dihancurkannya masyarakat

hukum adat tersebut secara sistematis dan meluas sampai punah, dengan

catatan bahwa yang terakhir ini merupakan suatu genosida, salah satu bentuk

pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Adalah sangat aneh kalau hal yang

luar biasa ini dijadikan sebagai salah satu tolok ukur dalam mengakui

eksistensi masyarakat hukum adat.

Kedua, apa persisnya yang dimaksud dengan sesuai dengan perkembangan

masyarakat? Perkembangan masyarakat mana yang dimaksudkan untuk

dijadikan tolok ukur? Masyarakat urban ? Seandainya memang itu yang

dimaksudkan, apakah adil dan tepat ukuran tersebut diterapkan dalam

konteks bangsa Indonesia yang bermasyarakat majemuk dan hidup dalam

berbagai taraf perkembangan budaya, sejak dari masyarakat yang praktis

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 42: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

42

masih hidup dalam zaman batu ini sampai pada yang sudah sepenuhnya hidup

dalam era tekhnologi informasi generasi ke tiga? Apakah suatu masyarakat

hukum adat yang dinilai sesuai atau belum sesuai dengan perkembangan,

lantas secara otomatis tidak lagi merupakan suatu masyarakat hukum adat

menurut undang-undang, dan oleh karena itu gugur seluruh haknya? sudahkan

kita pikirkan baik-baik reaksi dari warga masyarakat hukum adat yang

terancam kehilangan eksistensi, identitas kultural, dan haknya atas

kepemilikan, yang secara langsung atau tidak langsung akan merupakan

pelanggaran hak asasi manusia yang berat?

Ketiga, apakah persisnya yang dimaksud ”sesuai dengan prinsip Negara

Kesatuan Republik Indonesia", sehubungan dengan adanya perubahan

mendasar paradigma politik dalam kurun pasca Reformasi? Apakah Negara

Kesatuan Republik yang ditata secara sangat sentralistik, seperti yang terdapat

antara tahun 1959-1998, ataukah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

dioperasikan dengan otonomi daerah yang Iuas, rill, dan bertanggung jawab

seperti yang ditata sejak tahun 1999?

Keempat, apakah untuk meperoleh pengakuan sebagai masyarakat hukum

adat itu diperlukan suatu Undang-undang yang khusus mengatur eksistensi

dan hak masyarakat hukum adat ini, seperti yang dilakukan di Republik

Filipina dengan The Indigenous People, Righth Act (IPRA), 1997, ataukah

cukup dengan melaksanakan norma-norma yang tercantum dalam undang-

undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah? Bagaimana

caranya mengatasi inkoherensi dan inkoherensi yang terdapat pada berbagai

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 43: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

43

undang-undang sektoral lainnya, yang secara sistematik menjadi dasar dari

telanggarnya hak-hak masyarakat hukum adat ini terhadap tanah ulayat ?

Keseluruhan masalah ikutan ini masih beIum terjawab secara mendasar

sampai saat ini, yang perlu-bahkan sangat perlu-kita renungkan, kita bahas,

kita carikan dan kita sepakati solusinya yang terbaik, untuk selanjutnya kita

laksanakan secara terencana dan berkelanjutan.

b. Dinamika Wawasan tentang Masyarakat Hukum Adat.

Jika kita telaah baik-baik berbagai kasus pelanggaran berkepanjangan

terhadap hak atas tanah ulayat masyarakat hukum adat ini, cepat atau lambat

kita akan menyadari bahwa akar masalahnya terletak pada perbedaan Visi dan

Persepsi terhadap tanah pada khususnya dan terhadap masyarakat hukum adat

pada umumnya, antara tataran elite pengambil keputusan yang berkiprah pada

suprastruktur politik, dengan rakyat yang berada pada tataran infrastruktur

politik.

Bagi instansi pemerintah pusat dan dunia usaha, sebagai institusi modern

yang dirancang dan dioperasikan secara rasional dan berkerja secara abstrak

dari kejauhan, dengan nama apapun juga tanah atau lahan tidak lebih dan

tidak kurang dari sekedar asset ekonomi, yang boleh dikapling, dibeli dan

dijual tanpa ada kaitan dengan berbagai sisi psikologis, sisi sosial, apalagi sisi

mistisnya yang akan dipandang sekedar sebagai tetek bengek belaka. Visi dan

persepsi tersebut terlihat jelas baik dalam berbagai peraturan perundang-

undangan maupun dalam kebijakan pemerintahan sejak tahun 1967, yang

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 44: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

44

diadakan untuk memfasilitasi investasi yang diperlukan untuk pembangunan

ekonomi. Para pejabat pemerintah yang menganut visi dan persepsi ini tidak

akan dapat mengerti visi dan persepsi yang bukan saja bersifat non-ekonomis,

tetapi juga bisa bersifat mistis dan religius, yang dianut oleh Warga

masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya.

Warga masyarakat hukum adat tidak berfikir seperti, tataran elite itu. Di

Papua, misalnya penduduk setempat memandang tanah ulayatnya sebagai

”ibu" yang harus dihormati dan dipelihara. Di Kalimantan, masyarakat

pendukung budaya Dayak menyatakan bahwa hutan merupakan bagian

menyeluruh dari keseluruhan budayanya. Bisa dibayangkan bagaimana reaksi

penduduk terhadap tanah ulayatnya yang dirampas dengan sewenang-wenang,

baik atas nama ’pembangunan nasional’ atau atas nama lainnya. Suatu kasus

pelanggaran hak masyarakat hukum adat dan tanah ulayatnya yang cukup

menyolok, yang dapat menunjukkan betapa seriusnya hal ini dapat kita baca

dimedia massa adalah kasus pelanggaran hak masyarakat hukum adat Kajang

di kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan pada tahun 2003, atau yang

dialami oleh masyarakat hukum adat Colol di Manggarai pada tahun 2004.

Kesewenang-wenangan tersebut bisa dan sudah terjadi sejak dari

penyusunan naskah akademis suatu rancangan undang-undang,

pembahasannya didewan perwakilan rakyat, dan pelaksanaannya oleh cabang

eksekutif dan cabang yudikatif pemerintahan. Kesewenang-wenangan tersebut

akan terlihat secara amat telanjang sewaktu perusahaan-perusahaan swasta

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 45: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

45

mengerahkan ’satpam’-nya untuk menguasai tanah ulayat masyarakat adat,

atau pada saat pemerintah mengerahkan aparat keamanan untuk meredam

kemarahan masyarakat hukum adat yang merasa tanah ulayatnya telah

dirampas dengan sewenang-wenang.

Demikianlah, agak sukar bagi kita untuk membantah kenyataan bahwa

baik sadar maupun tidak sadar cepat atau lambat, kebijakan negara cq

kebijakan pemerintahan yang tidak bersahabat dengan aspirasi dan

kepentingan rakyatnya ini bersumber dari fonomena yang dalam konteks yang

lebih besar disebut Samuel P. Huntington sebagai clash of civilizations,

sebagai benturan kebudayaan, hanya dalam ukuran mini. Benturan

kebudayaan yang bersifat mendasar tersebut terjadi antara jajaran pemerintah

pusat dan dunia bisnis yang berorientasi urban dan kosmopolitan pada sisi

yang satu dengan masyarakat hukum adat, yang bagaimanapun juga akan

berorientasi rural dan lokal pada sisi yang lain. Hal tersebut jelas tidak sehat

bagi suatu negara nasional yang sejak awalnya memilih format negara

kesatuan.

Ringkasnya, akar masalah pelanggaran terhadap hak tradisional

masyarakat hukum adat ini merupakan salah satu aspek saja dari kompleksitas

masalah struktural dan sistemik yang lebih besar, yang mungkin bisa kita

pandang sebagai suatu dalil yaitu hukum alienasi - atau keterasingan

structural - antara kelompok elite dengan massa dalam proses integrasi

nasional, yang sudah tentu tidak akan kita bahas dalam kesempatan ini. Yang

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 46: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

46

perlu kita bahas dalam kesempatan ini adalah landasan dan mekanisme

perlindungan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya.

3. Mekanisme Perlindungan terhadap Masyarakat , Hukum Adat dan

Hak atas Tanah Ulayatnya dari Perspektif Hak Asasi Manusia

a. Makna Perspektif Hak Asasi Manusia

Mungkin besar manfaatnya jika kita menyamakan pengertian terhadap apa

yang kita maksud dengan ‘hak asasi manusia’ dan perspektif hak asasi

manusia ini.

Hak asasi manusia bisa dipandang sebagai suatu credo, aksioma, atau

evidensi yang dianut oleh dunia beradab bahwa seluruh manusia mempunyai

seperangkat hak yang melekat dengan dirinya sebagai manusia, terlepas dari

suku, agama, ras, etnik, jenis kelamin atau faktor-faktor pembeda lainnya.

Deklarasi Universal Hak Asasi manusia tersebut sebagai common standards of

achievement for all peoples and all nations. Tidaklah berkelebihan jika

dikatakan bahwa dalam wacana hak asasi manusia ini seluruh umat manusia

dipandang sabagai manusia yang utuh dan bermartabat, tanpa diskriminasi

apapun juga.

Sudah barang tentu, agar dapat diwujudkan secara efektif kedalam

kenyataan, idealisme yang muncul dari kenegerian yang timbul dari

kebrutalan Perang Dunia Kedua di benua Eropa itu perlu dituangkan kedalam

berbagai instrumen hukum internasional maupun – atau terlebih-lebih - hukum

nasional. Keseluruhannya itu memerlukan rangkaian negosiasi yang

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 47: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

47

mendalam, yang tidak jarang memerlukan waktu yang panjang. Khususnya

oleh karena adanya perbedaan latar belakang ideologi, sejarah, serta

kebudayaan dari negara-negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa itu.

Walaupun demikian, dalam kurun waktu 60 tahun setelah terbentuknya

Perserikatan Bangsa-Bangsa paela saat ini telah dapat dihasilkan rangkaian

instrumen hukum internasional hak asasi manusia, sebagian lagi mengikat

secara hukum. Produk hukum internasional hak asasi manusia ini berkembang

secara terus menerus, yang mengharuskan kita untuk mempelajarinya secara

berkelanjutan.

Dalam perlindungan hak asasi manusia ini ada suatu perkembangan

penting yang perlu kita perhatikan, yaitu tentang peranan negara serta

pemerintah. Dalam babak awal perkembangannya sampai sekitar tahun 1986,

asumsi yang melekat dalam hukum internasional hak asasi manusia ini

khususnya hak sipil dan politik - adalah bahwa negara serta pemerintah secara

otomatis (berpotensi) menjadi pelanggar, atau perpetator, terhadap hak asasi

manusia itu, karena itu harus diwaspadai. Bahwa negara dan pemerintahnya

memang berpotensi menjadi pelanggar hak asasi manusia tidaklah dapat

dibantah. Namun secara perlahan-lahan disadari bahwa negara serta

pemerintahnya juga berpotensi untuk melindungi dan memenuhi hak azasi

manusia juga sama tidak dapat dibantahnya. Peran negara yang lebih

konstruktif ini terutama penting dalam perlindungan dan pemenuhan hak

ekonomi, sosial dan budaya. Perlu kita ingat bahwa secara konseptual negara

dan pemerintah itu memang dibentuk selain untuk memberikan jaminan

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 48: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

48

keamanan, juga untuk memberi peluang guna terwujudnya kesejahteraan bagi

rakyatnya.

Sejak tahun 1993, khususnya dalam Deklarasi Wina dan Program Aksi

1993, peran konstruktif negara dan pemerintah dalam melindungi dan

memenuhi hak asasi manusia semakin mengemuka dan semakin penting.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia juga

menganut pendirian bahwa negara serta pemerintahnya - baik ditingkat pusat

maupun ditingkat daerah - memiliki tanggung jawab utama untuk

terlindungnya hak asasi manusia tersebut. Sehubung dengan itu, dalam

makalah ini akan kita bahas perlindungan tanah ulayat serta masyarakat

hukum adat ini dari perspektif hak asasi manusia dalam konteks kenegaraan

ini, khususnya peran Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Daerah, Komnas

HAM dan Perwakilan Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi, serta lembaga-

lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa.

b. Pemerintah Daerah

Tidaklah berkelebihan jika dikatakan bahwa pemerintah - terutama

pemerintah daerah kabupaten/kota serta desa - merupakan lini pertama untuk

melindungi hak masyarakat hukum adat serta tanah ulayat. Jajaran pemerintah

daerah ini mempunyai kewenangan yang amat luas untuk mengatur dan

mengurus rumah tangganya sendiri. Sudah barang tentu asuransi tersebut

hanya akan terwujud jika potensi benturan kebudayaan antara tataran elite dan

masa rakyatnya dapat diperkecil, dalam arti para pembuat keputusan di Ibu

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 49: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

49

Kota Provinsi, Kabupaten dan Kota selain mampu memahami juga mampu

mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat hukum adat tersebut.

Namun, mengigat adanya ’hukum keterasingan elite dari masa' yang saya

tegarai di depan, agar dapat memperjuangkan aspirasi dan kepentingan

kolektifnya secara efektif dan efisien dalam wacana lembaga legislatif dan

lembaga eksekutif dalam pemerintah daerah, kelihatannya ada kebutuhan bagi

masyarakat hukum data untuk mendayagunakan hak sipil dan politiknya

dengan secara formal dan modern menata dan mengorganisasikan dirinya

secara lebih melembaga. Hanya dengan cara seperti itu masyarakat hukum

adat ini akan kelihatan dan terdengar oleh para pengambil keputusan di ibu

kota. Perjuangan masyarakat untuk secara efektif memperoleh pengakuan

terhadap eksistensi, identitas kultural dan hak-haknya itu akan amat sulit

untuk berhasil selama masyarakat hukum adat yang bersekala relatif kecil itu

masih berkiprah secara informal dan secara sendiri-sendiri.

Dalam konteks inilah bisa kita pahami tumbuh dan berkembangnya

berbagai organisasi warga masyarakat hukum adat yang berskala Provinsi,

seperti Lembaga Adat Melayu Riau di Provinsi Riau, Lembaga Kerapatan

Adat Alam Minangkabau di Provinsi Sumatera Barat, Majelis Rakyat Papua di

Provinsi Papua, lembaga-lembaga sejenis yang telah atau akan terbentuk di

provinsi-provinsi lainnya. Seiring dengan itu secara perlahan-lahan dewasa ini

ditingkat nasional sudah tumbuh dan mulai berkembang sebuah lembaga

swadaya masyarakat yang mengabdikan diri untuk masyarakat hukum adat ini,

yaitu Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang sampai tahun lalu

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 50: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

50

berhasil membangun jaringan dengan sekitar 900 buah masyarakat hukum

adat di seluruh Indonesia. Jumlah ini relatif kecil, namun keberadaan lembaga

ini sudah lumayan bermanfaat.

c. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Secara pribadi saya menilai, keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

berdasar Undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan

Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD merupakan suatu babak penting

dalam perkembangan sejarah ketatanegaraan kita. Setelah demikian lama

hidup dalam tatanan kenegaraan yang sangat sentralistik, yang membuka

peluang bagi tumbuh dan berkembangnya pemerintahan yang bercorak

oteritarian, akhirnya telah dapat dibentuk sebuah lembaga negara yang

mempunyai kewenangan penuh untuk membela dan memperjuangkan

kepentingan masyarakat didaerah-daerah.

Salah satu misi yang dapat dibebankan kepada anggota DPD ini adalah

untuk memperjuangkan agenda hukum dalam rangka pembaruan agraria

kedalam Badan Legislatif DPR-RI, khususnya agar berbagai undang-undang

yang selama ini ditegarai sebagai pangkal bala yang merugikan kepentingan

masyarakat hukum adat dapat diamandemen dalam waktu yang tidak terlalu

lama, khususnya undang-undang dalam bidang kehutanan, perkebunan, dan

pertambangan, yang langsung atau tidak langsung telah menjadi alas baik dari

terjadinya konflik dan kekerasan yang telah demikian banyak memakan

korban.

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 51: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

51

Sekedar sebagai catatan kecil, mengingat kecenderungan keterasingan elite

dan massa rakyat yang terlihat sebagai faktor konstan dalam kehidupan

kenegaraan di Indonesia, perlu diupayakan agar para anggota DPD yang

dipilih secara perseorangan ini selain benar-benar berpeduli dengan aspirasi

dan kepentingan masyarakat daerah yang diwakilinya, juga secara struktural

selalu mempunyai hubungan dengan konstituennya didaerah, termasuk dengan

masyarakat hukum adat. Sampai sedemikian jauh belum terlalu jelas

bagaimana caranya hal itu akan terlaksana. Bila hal itu tidak dibenahi, tidak

mustahil terjadi para anggota DPD yang bersidang dikompleks Senayan yang

nyaman itu akan lupa dengan masalah yang dihadapi masyarakat yang

diwakilinya.

Oleh karena itu akan sangat bermanfaat jika para anggota DPD ini selain

mengangkat sebuah staf kecil didaerah pemilihannya juga membuat sebuah

website sebagai sarana untuk menginformasikan kegiatannya serta untuk

menampung keluhan dan pengaduan dari konstituennya. Dengan demikian

komunikasi berlanjut akan dapat dipelihara dengan baik.

d. Komnas HAM dan Perwakilan Komnas HAM

Dalam organisasi Komnas HAM yang baru, perlindungan terhadap

masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya ini menjadi bidang tugas dari

dua sub komisi, yaitu Sub Komisi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang

memusatkan perhatian pada pengkajian perangkat lunak yang terkait dengan

hak masyarakat hukum adat, termasuk tanah ulayatnya, dan Sub Komisi

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 52: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

52

Perlindungan Kelompok Khusus, yang memusatkan perhatian pada

pamantauan dilapangan dan kasus-kasus pelanggaran hak masyarakat hukum

adat.

Sesuai dengan mandat pembentukannya, dalam menangani pengaduan

terhadap kasus-kasus yang menyangkut hak masyarakat hukum adat Komnas

HAM berfungsi dan berwenang untuk mengadakan pengkajian, pendidikan

dan penyuluhan, pemantauan, dan mediasi. Akhir tahun 2004 dan awal tahun

2005 ini Komnas HAM telah mengadakan serangkaian pengkajian mendasar

mengenai masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya, baik untuk

menyusun dan merumuskan kertas posisi yang akan dipargunakan dalam

menangani hak masyarakat hukum adat ini, maupun sebagai masukan bagi

instansi lain yang terkait. Sekedar sebagai catatan kecil dapat saya

informasikan bahwa selain dengan datang sendiri atau mengirimkan surat

pengaduan ke Komnas HAM, dalam bulan-bulan mendatang Komnas HAM

membuka kesempatan bagi masyarakat untuk menyampaikan pengaduannya

melalui electronic complaint handling system yang sekarang ini sedang

dikembangkan dan hampir mendekati penyelesaiannya.

Dalam keseluruhan kegiatan ini, Kornnas HAM ada kalanya dapat bahkan

perlu berkerjasama dengan instansi lainnya pemerintahan maupun instansi non

pemerintahan. Iika terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat, Komnas

HAM berwenang untuk mengadakan penyelidikan pro justica, yang akan

berujung pada penyerahan berkas kepada Jaksa Agung.

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 53: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

53

Mengingat luasnya wilayah Indonesia, Undang-undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia memberi mandat kepada Komnas HAM

untuk membentuk perwakilan di daerah-daerah, baik atas permintaan daerah

yang bersangkutan maupun atas pertimbangan sendiri. Pada saat ini sudah ada

empat buah perwakilan Komnas HAM, yaitu di Provinsi Sumatera Barat,

Kalimantan Barat, Maluku, dan Papua dan sedang dipertimbangkan untuk

membentuk perwakilan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta,

dan Nusa Tenggara Timur.

Sampai saat ini belmn demikian banyak pengaduan yang diterima oleh

Komnas HAM dari masyarakat di Provinsi Riau, baik tentang kasus-kasus

pelanggaran eksistensi, identitas kultural, serta hak masyarakat hukum adat

pada umumnya, maupun tentang hak atas tanah ulayat pada khususnya. Hal ini

bisa mempunyai beberapa arti, antara lain karena memang tidak ada masalah

pelanggaran hak asasi manusia yang perlu dilaporkan kepada Komnas HAM,

atau masalahnya sudah dapat diselesaikan sendiri oleh jajaran pemerintah

daerah, atau masyarakat Riau memutuskan untuk memendam rasa.

Namun, seandainya untuk melindungi hak-haknya masyarakat hukum adat

Melayu Riau memandang perlu untuk dibentuknya Perwakilan Komnas HAM

di propinsi ini, kehendak tersebut dalam diajukan kepada Gubernur serta

DPRD Propinsi Riau untuk selanjutnya diusulkan kepada Komnas HAM di

Jakarta. Saya telah melaporkan kepada Sidang Paripurna Komnas HAM apa

yang saya dan saya dengar dalam kunjungan saya bulan Desember 2004 dan

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 54: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

54

bulan januari 2005 yang lalu, dan pada dasamya Komnas HAM membuka

peluang untuk itu.

e. Mahkamah Konstitusi.

Lembaga negara yang dibentuk dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun

2003 berdasar Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 ini merupakan wahana

lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat hokum adat dalam

membela hak-haknya, tentunya termasuk hak atas tanah ulayat. Seperti kita

ketahui bersama, berdasar Pasal 51 Undang-Undang tersebut masyarakat

hukum adat diakui secara formal sebagai pemohon, seandainya mereka

menilai hak-hak konstitusionalnya telah dilanggar. Kelihatannya belum

banyak masyarakat hukum adat yang memanfaatkan peluang ini.

f. Lembaga-lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa

Bersisian dengan empat lembaga nasional tersebut diatas, bersama dengan

demikian banyak indigenous peoples lainnya didunia masyarakat hukum adat

di Indonesia berhak dan berpeluang untuk memanfaatkan pelayanan berbagai

lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa, yang sejak tahun 1994 memberikan

perhatian yang lebih besar terhadap masyarakat hukum adat ini. Pada saat

bahkan sudah ada suatu Working Group khusus untuk menangani masalah

yang diajukan oleh masyarakat hukum adat ini, termasuk masalah communal

land rights. Dasawarsa 1994-2004 yang lalu bahkan ditetapkan sebagai

Dasawarsa Masyarakat Hukum Adat atau The Decade of Indigenous Peoples.

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 55: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

55

Berbagai instrument Perserikatan Bangsa-Bangsa telah dikembangkan untuk

melindungi masyarakat hukum adat serta hak-haknya, antara lain Konvensi

ILO Nomor 169 Tahun 1989 dan Draft Declaration on the Rights of

Indigenous Peoples.

Naskah yang terakhir ini mcmuat ringkasan dari seluruh wawasan dan

pengalaman yang berkembang ditingkat antar bangsa dalam upaya melindungi

masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya. Akan besar manfaatnya bagi

kita jika kita kutip kandungan Bab 2 Pasal 7 dari naskah tersebut, tentang hal-

hal yang dapat menyebabkan terjadinya pemusnahan etnis dan penghancuran

etnis tentunya termasuk masyarakat hukum adat yang merupakan bagian dari

etnis tersebut sebagai berikut :

1. Setiap tindakan yang mempunyai tujuan atau akibat yang mencabut

masyarakat hukum adat dan integritas mereka sebagai masyarakat yang

khas atau dari identitas atau dari nilai-nilai budaya mereka.

2. Setiap tindakan yang mempunyai tujuan atau akibat yang merampas tanah,

wilayah, atau sumber daya yang mereka kuasai.

3. Setiap béntuk pemindahan penduduk yang mempunyai tujuan atau akibat

yang melanggar atau mengancam hak-hak mereka.

4. Setiap bentuk asimilasi atau percampuran oleh melalui mekanisme

legislatif, administratif, atau yang lainnya.

5. Setiap bentuk propaganda yang diarahkan kepada masyarakat hukum adat.

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 56: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

56

4. Sekedar Tanggapan terhadap Prakara Lembaga Adat Melayu.

Riau untuk Menyelesaikan Masalah Hak Tanah Ulayat. Saya telah

membaca dengan cermat dan dengan penuh minat keseluruhan persiapan

Seminar Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Melayu Riau tentang Hutan

Tanah Ulayat yang kita selenggarakan dalam dua hari ini, termasuk

Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Riau Tentang Penyediaan Hutan Tanah

Kawasan Usaha Desa. Secara umum saya memperoleh kesan bahwa langkah-

langkah yang telah diambil telah sesuai dengan apa yang memang seyogyanya

diambil, sebagai berikut:

a. Baik masalah yang dihadapi mengenai hak tanah ulayat maupun gagasan

solusi yang dipilih telah ditempatkan dalam konteks hukum positif yang

tepat, yaitu dalam konteks otonomi daerah berdasar Undang-undang

Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.

b. Empat prinsip penyelesaian yang dikembangkan untuk menyelesaikan

masalah yaitu berwawasan nasional, kebersamaan, berhasil guna dan

berdaya guna, dan berkekuatan hukum tidak hanya relevan dalam

menyelesaikan masalah hak masyarakat adat di Provinsi Riau, tetapi juga

dapat dimanfaatkan dalam penyelesaian kasus-kasus sejenis di provinsi

lainnya.

c. Konsep langkah-langkah penyelesaian yang terdiri dari mengadakan ukur

ulang, peninjauan HGU dan kerjasama, mengadakan kerjasama yang ideal

antara pemegang HGU dengan masyarakat desa berdasar Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004, serta pemanfaatan lahan-lahan eks HGU untuk

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat

Page 57: Tanah Ulayat Dan Keberadaan Masyarakat Adat

57

memberdayakan masyarakat hukum adat dipedesaan merupakan langkah

langkah yang selain rasional juga dapat dilaksanakan.

d. Gagasan mcmbentuk badan usaha milik desa sekaligus mempersiapkan

scbuah rancangan peraturan daerah yang diperlukan untuk itu jelas

merupakan suatu langkah terobosan, bukan saja untuk memelihara watak

kolektif dari masyarakat hukum adat, tetapi juga untuk menempatkannya

sebagai bagian Menyeluruh dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Pasal

53 dari Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang- undangan memang memberi peluang untuk

partisipasi masyarakat dalam keseluruhan proses penyusunan peraturan

perundang-undangan ini, bukan hanya ditingkat pusat, tetapi juga ditingkat

daerah dan desa.

e. Pemrakarsa seluruh kegiatan ini telah mengadakan pendekatan yang baik

dengan seluruh pihak yang terkait, sehingga besar kemungkinannya solusi

yang dipilih akan dapat dilaksanakan dengan baik.

Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Adat