19
TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN SPONSORING STATE DALAM KEGIATAN EKSPLORASI DAN EKSPLOITASI DI AREA DASAR LAUT INTERNASIONAL Stefan Bonardo, Melda Kamil Ariadno, Arie Afriansyah Ilmu Hukum, Hukum, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Skripsi ini membahas hal-hal apa saja yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban sponsoring state dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di area dasar laut Internasional (Kawasan) yang dilakukan oleh subjek hukum privat yang disponsori olehnya. Kawasan merupakan wilayah dasar laut yang terletak di luar yurisdiksi negara manapun dan menyimpan kekayaan sumber daya mineral yang begitu besar. International Seabed Authority melaui Bab XI dari UNCLOS 1982 merupakan lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengatur segala macam kegiatan eskplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral yang dilaksanakan di Kawasan. Salah satu fungsi dari International Seabed Authority adalah mempromosikan partisipasi efektif dari negara-negara berkembang untuk melakukan kegiatan di Kawasan. Akan tetapi sampai saat ini tidak banyak negara berkembang yang terlibat secara efektif dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di Kawasan. Minimnya partisipasi negara berkembang ini lebih disebabkan kepada kurang jelasnya tanggung jawab dan kewajiban negara-negara yang terlibat secara efektif dalam kegiatan di Kawasan. Kekurangjelasan ini menyebabkan banyak negara-negara berkembang tidak mampu untuk menakar apakah dirinya sanggup untuk terlibat dalam kegiatan di Kawasan. Dalam pembahasan demi pembahasan di skripsi ini, akan dijelaskan mengenai apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban dari negara-negara terkhusus sponsoring state dalam melakukan kegiatan di Kawasan berdasarkan Advisory Opinion dari Seabed Disputes Chamber tahun 2011. Secara ringkas, kejelasan mengenai tanggung jawab dan kewajiban negara dalam kegiatan di Kawasan membuat partisipasi negara-negara berkembang mulai bermunculan. ABSTRACT This undergraduate thesis discusses the responsibilities and obligations of Sponsoring State in accordance with activities of exploration and exploitation in International Seabed Area (The Area) carried by the private subject which is sponsored by such state. The Area is area of seabed that lies outside the jurisdiction of any state which holds extremely huge amount of mineral resources. International Seabed Authority through Part XI of UNCLOS 1982 is an institution authorized to organize all sorts of activities to explore and exploit the mineral resources in the Area undertaken. One of the functions of the International Seabed Authority is to promote the effective participation of developing countries to carry out activities in the Area. But until 2011, not many developing countries engage effectively in the activities of exploration and exploitation in the Area. The lack of participation of developing countries is due to the lack of clear responsibilities and obligations of the states that effectively engage in activities in Tanggung Jawab ..., Stefan Bonardo Toweula, FH UI, 2016

TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN SPONSORING STATE …

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN SPONSORING STATE …

TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN SPONSORING STATE DALAM KEGIATAN EKSPLORASI DAN EKSPLOITASI DI AREA DASAR LAUT

INTERNASIONAL

Stefan Bonardo, Melda Kamil Ariadno, Arie Afriansyah

Ilmu Hukum, Hukum, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, Depok, 16424, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak

Skripsi ini membahas hal-hal apa saja yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban sponsoring state dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di area dasar laut Internasional (Kawasan) yang dilakukan oleh subjek hukum privat yang disponsori olehnya. Kawasan merupakan wilayah dasar laut yang terletak di luar yurisdiksi negara manapun dan menyimpan kekayaan sumber daya mineral yang begitu besar. International Seabed Authority melaui Bab XI dari UNCLOS 1982 merupakan lembaga yang diberikan kewenangan untuk mengatur segala macam kegiatan eskplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral yang dilaksanakan di Kawasan. Salah satu fungsi dari International Seabed Authority adalah mempromosikan partisipasi efektif dari negara-negara berkembang untuk melakukan kegiatan di Kawasan. Akan tetapi sampai saat ini tidak banyak negara berkembang yang terlibat secara efektif dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di Kawasan. Minimnya partisipasi negara berkembang ini lebih disebabkan kepada kurang jelasnya tanggung jawab dan kewajiban negara-negara yang terlibat secara efektif dalam kegiatan di Kawasan. Kekurangjelasan ini menyebabkan banyak negara-negara berkembang tidak mampu untuk menakar apakah dirinya sanggup untuk terlibat dalam kegiatan di Kawasan. Dalam pembahasan demi pembahasan di skripsi ini, akan dijelaskan mengenai apa yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban dari negara-negara terkhusus sponsoring state dalam melakukan kegiatan di Kawasan berdasarkan Advisory Opinion dari Seabed Disputes Chamber tahun 2011. Secara ringkas, kejelasan mengenai tanggung jawab dan kewajiban negara dalam kegiatan di Kawasan membuat partisipasi negara-negara berkembang mulai bermunculan.

ABSTRACT

This undergraduate thesis discusses the responsibilities and obligations of Sponsoring State in accordance with activities of exploration and exploitation in International Seabed Area (The Area) carried by the private subject which is sponsored by such state. The Area is area of seabed that lies outside the jurisdiction of any state which holds extremely huge amount of mineral resources. International Seabed Authority through Part XI of UNCLOS 1982 is an institution authorized to organize all sorts of activities to explore and exploit the mineral resources in the Area undertaken. One of the functions of the International Seabed Authority is to promote the effective participation of developing countries to carry out activities in the Area. But until 2011, not many developing countries engage effectively in the activities of exploration and exploitation in the Area. The lack of participation of developing countries is due to the lack of clear responsibilities and obligations of the states that effectively engage in activities in

Tanggung Jawab ..., Stefan Bonardo Toweula, FH UI, 2016

Page 2: TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN SPONSORING STATE …

the Area. This lack of clarity led to many developing countries not to be able to measure whether they are have the capability to engage in activities in the Area. In the analysis in this paper, will be explained about what the responsibilities and obligations of states especially those sponsoring state in conducting activities in the area by the Advisory Opinion of the Seabed Disputes Chamber in 2011. In summary, the clarity regarding the responsibilities and obligations of the state in accordance with activities in The Area make the effective participation of developing countries began to appear.

Keywords: The Area, Advisory Opinion 2011, responsibilities and obligations of sponsoring state

Pendahuluan

Dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982), Area Dasar Laut Internasional

disebut juga sebagai “Kawasan”. Dalam perkembangannya, diketahui bahwa Kawasan, termasuk

tanah dibawahnya mengandung kekayaan alam yang dapat dikomersilkan. Lebih lanjut, pada

UNCLOS 1982 definisi dari daerah dasar laut internasional terdapat dalam Pasal 1 (1) yang

menyatakan bahwa ”Area” means the seabed and ocean floor and subsoil thereof, beyond the

limits of national jurisdiction.” Dari ketentuan tersebut, dapat diartikan bahwa kawasan dasar

laut internasional terdiri dari dasar laut dan tanah dibawahnya yang terletak di luar batas

yurisdiksi nasional, yaitu di luar batas-batas zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang

berada di bawah yurisdiksi negara pantai. Dengan demikian, di Kawasan tidak terdapat

kedaulatan negara manapun, maupun hak-hak berdaulat suatu negara manapun secara eksklusif.

Kemudian, pengaturan yang lebih mendalam mengenai Kawasan terdapat dalam Bab XI

UNCLOS 1982 dan di dalam dua Annex-nya, yaitu Annex III tentang syarat-syarat utama dari

pemantauan, eksplorasi serta Annex IV tentang statuta dari Perusahaan, sebagai organ

pertambangan bawah laut dari Otorita. Melalui UNCLOS 1982, Kawasan ini diatur dengan tegas

sebagai common heritage of mankind atau warisan bersama umat manusia. Dalam perkembangan

mengenai pengaturan di Kawasan, pada pertengahan abad ke-20 di mana doktrin atas landasan

kontinen muncul dan diakui pada Konvensi Hukum Laut yang pertama, diyakini bahwa

eksplorasi dan eksploitasi atas kawasan dasar laut dan tanah dibawahnya yang berada diluar dari

yurisdiksi nasional suatu negara tidak dapat dipenuhi secara teknologi pada saat itu.

Tanggung Jawab ..., Stefan Bonardo Toweula, FH UI, 2016

Page 3: TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN SPONSORING STATE …

Lebih lanjut, dalam Bab XI UNCLOS 1982 diatur bahwa International Seabed Authority

(Otorita) merupakan badan yang berwenang untuk mengawasai segala macam eksplorasi dan

eksploitasi di Kawasan. Saat ini, sampai pada bulan November 2015, Otorita telah menjalin

kontrak dengan dua puluh (20) kontraktor yang disponsori oleh berbagai negara untuk melakukan

kegiatan eksplorasi terhadap polymetallic nodules, polymetallic sulphides dan cobalt-rich

ferromanganese. Dari dua puluh kontraktor ini, empat belas diantaranya adalah kontrak untuk

melakukan ekplorasi untuk polymetallic nodules di area Clarion-Clipperton dan area ditengah

Samudera Hindia. Empat kontrak untuk eklporasi polymetallic sulphides di daerah barat daya

Samudera Hindia, daerah tengah Samudera Hindia dan di daerah Samudera Atlantik. Sementara

dua kontrak sisanya adalah kontrak untuk eksplorasi cobalt-rich crusts di bagian barat Samudera

Pasifik.

Kontraktor-kontraktor ini disponsori oleh berbagai negara peserta UNCLOS 1982, baik

negara berkembang maupun negara maju. Seperti contohnya, Inggris, Singapura, Kiribati,

Jerman, dan berbagai negara lainnya. Setiap perusahaan-perusahaan dari berbagai negara peserta

UNCLOS 1982 yang ingin melakukan eksploitasi dan eksplorasi di daerah Kawasan, harus

mendapatkan izin dari Otorita yang dimuat dalam bentuk kontrak/perjanjian antara kontraktor

terkait dengan Otorita. Keberadaan kontrak antara Otorita dengan kontraktor ini memungkinkan

terjadinya sengketa diantara kedua belah pihak. Sehingga, untuk melakukan penyelesaian

sengketa tentang pemanfaatan kekayaaan di Kawasan tersebut, dibentuklah suatu Seabed

Disputes Chamber of the International Tribunal for the Law of the Sea (selanjutnya disebut The

Chamber) yang merupakan bagian dari International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS).

The Chamber mempunyai jurisdiksi atas kegiatan di Kawasan yang dilakukan oleh

negara, perusahaan, organisasi internasional atau kontrak-kontrak antara Otorita dengan pihak

lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 186-187 UNCLOS 1982. Lebih lanjut, dalam Pasal 191

UNCLOS 1982, dinyatakan bahwa Otorita memiliki kewenangan juga untuk mengeluarkan

Advisory Opinion yang diajukan oleh Majelis atau Dewan dari Otorita mengenai hal-hal hukum

yang berkaitan dengan ruang lingkup kegiatannya, yang dinyatakan dalam bentuk pendapat

hukum.

Tanggung Jawab ..., Stefan Bonardo Toweula, FH UI, 2016

Page 4: TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN SPONSORING STATE …

Pada tahun 2011, The Chamber telah satu kali menggunakan kewenangannya ini, dengan

menjawab pertanyaan diajukan oleh negara Nauru kepada Otorita yang kemudian diteruskan

kepada The Chamber.

Pengajuan odvisory opinion Nauru kepada The Chamber melalui Otorita ini

dilatarbelakangi oleh pengajuan rencana eksplorasi di Kawasan yang diajukan oleh beberapa

negara kepada Otorita. Mereka adalah Nauru Ocean Resources, Inc (perusahaan yang disponsori

oleh Nauru) dan Tonga Offshore Mining Ltd (perusahaan yang disponsori oleh Tonga). Akan

tetapi, pada tahun 2009, karena terdapat kekhawatiran mengenai pertanggungjawaban terhadap

kerusakan yang mungkin terjadi pada saat eksplorasi, permintaan tersebut ditangguhkan.

Kerusakan-kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi contohnya seperti kerusakan terhadap

lingkungan dan ekosistem laut yang sifatnya adalah kerusakan yang tidak dapat dikembalikan ke

kondisi semula (irreversible damage) yang memiliki nilai ganti rugi yang sangat besar. Potensi-

potensi ganti rugi yang sangat besar inilah yang menjadi alasan bagi Nauru dan Tonga untuk

mengajukan advisory opinion mengenai tanggung jawab dan kewajiban sponsoring state dalam

kegiatan di Kawasan kepada Otorita.

Sebelum melanjutkan proposal tersebut, Nauru mengajukan kepada Otorita agar Otorita

meminta advisory opinion dari the Chamber tentang kewajiban dari negara sponsor serta

kemungkinan pertanggungjawaban negara sponsor apabila terjadi kerusakan di Kawasan ketika

suatu kontraktor melakukan aktivitas di Kawasan. Hal ini dikarenakan kedua sponsoring state ini

khawatir mengenai kemungkinan konsekuensi mengenai pertanggungjawaban negara, dan

kemungkinan biaya pertanggungjawaban yang melebihi kemampuan finansial mereka. Kemudian

Nauru meminta Otorita untuk mengajukan advisory opinion kepada The Chamber berupa

beberapa pertanyaan hukum mengenai tanggung jawab dan pertanggungjawaban negara sponsor.

Pada tanggal 6 Mei 2010, Otorita memformulasikan pertanyaan-pertanyaan Nauru ke

dalam tiga pertanyaan hukum, dan kemudian tiga pertanyaan hukum tersebut diteruskan kepada

The Chamber untuk dijawab dengan mengeluarkan advisory opinion. Sehingga kemudian

advisory opinion ini di daftarkan dalam ITLOS Case No.17.

Dengan demikian, berdasarkan pemaparan diatas, akan menarik apabila diadakan

pembahasan lebih lanjut mengenai tindakan hukum apa saja yang dapat dilakukan terhadap state

sponsoring persons or entities yang melakukan pelanggaran kewajiban aktivitas di Kawasan

Tanggung Jawab ..., Stefan Bonardo Toweula, FH UI, 2016

Page 5: TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN SPONSORING STATE …

dalam bentuk karya ilmiah yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Tanggung Jawab dan

Kewajiban Sponsoring State dalam Kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi di Area Dasar

Laut Internasional (Kawasan) Berdasarkan Advisory Opinion dari Seabed Disputes

Chamber Tahun 2011 (ITLOS Case No. 17).” Hal yang membedakan penelitian ini dengan

penelitian-penelitian sebelumnya yang membahas mengenai Kawasan adalah dalam karya ilmiah

ini dibahas dengan lebih spesifik mengenai tanggung jawab dan kewajiban sponsoring state

dalam kegiatan di Kawasan dengan mengacu kepada Advisory Opinion 2011 yang dikeluarkan

oleh Seabed Disputes Chamber.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk

mendapatkan jawaban atas beberapa pokok permasalahan, antara lain:

1. Bagaimanakah perkembangan pengaturan di Kawasan beserta peran pihak-pihak yang

terlibat dalam kegiatan di Kawasan dan jenis kegiatan yang dilangsungkan?

2. Bagaimanakah pengaturan mengenai sistem eksplorasi dan eksploitasi di Kawasan

beserta keterlibatan sponsoring state dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di

Kawasan?

3. Bagaimanakah pengaturan mengenai tanggung jawab dan kewajiban sponsoring state

dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di Kawasan berdasarkan Advisory Opinion

dari Seabed Disputes Chamber tahun 2011 (ITLOS Case No. 17)?

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Yuridis-Normatif, sehingga

sumber dan bahan hukum untuk mendukung penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

metode kepustaakaan. Metode ini digunakan dengan mengumpulkan data melalui dokumen dan

tulisan hukum lainnya untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok

pembahasan dalam penelitian ini. Dengan demikian, jenis data yang digunakan adalah data

sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

Bahan hukum primer adalah bahan bukum berupa ketentuan hukum yang berlaku dan

mengikat. Bahan hukum primer yang digunakan adalah ketentuan hukum yang terkait dengan

Tanggung Jawab ..., Stefan Bonardo Toweula, FH UI, 2016

Page 6: TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN SPONSORING STATE …

pokok permasalahan yang dibahas, seperti contohnya United Nations Convention on The Law of

The Sea 1982 (UNCLOS 1982), Implementation Agreement 1994 dan Advisory Opionion yang

dikeluarkan oleh Seabed Disputes Chamber pada tanggal 1 Februari 2011. Kemudian bahan

hukum sekunder yang digunakan adalah bahan hukum yang menjelaskan mengenai bahan primer

yang digunakan. Adapun bahan sekunder yang dimaksud adalah literatur berupa buku, artikel,

laporan-laporan penelitian atau jurnal ilmiah yang berkaitan erat dengan pokok permasalahan

yang dibahas dan sebagainya.

Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan

wawancara dengan narasumber. Studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan Penulis

untuk menghimpun informasi yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang sedang dibahas.

Data yang telah terkumpul kemudian dianalisa melalui pendekatan kualitatif, dengan cara

menelaah atau menganalisa data-data yang telah didapatkan. Pendekatan kualitatif digunakan

untuk menghasilkan data yang bersifat deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran

penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata.

 

Pembahasan

Pada saat laut mulai digunakan untuk melakukan kegiatan perdagangan melalui pelayaran

dan mulai digunakan sebagai sumber mata pencaharian seperti penangkapan ikan, semenjak itu

jugalah para ahli-ahli hukum mulai memberikan perhatian mengenai pentingnya keberadaan

hukum laut. Pada abad ke-7 sudah mulai dikenal Lex Rhodia atau Hukum Laut Rhodia yang

digunakan di Laut Tengah. Barulah kemudian pada abad ke-12, beberapa kompilasi peraturan-

peraturan yang digunakan di laut-laut Eropa mulai muncul.

Seperti contohnya, pada tahun 1949, diterbitkanlah hukum maritim yang berisikan

kompilasi pengaturan-pengaturan dari hakim-hakim, kapten-kapten kapal dan pedagang-

pedagang ternama yang dinamakan Consulate del Mare (Konsulat dari Lautan). Tak lama

kemudian, muncul Sea Code of Wisby yang merupakan himpunan hukum laut yang diterapkan di

daerah Eropa Utara. Di Indonesia sendiri, terdapat suatu kompilasi hukum laut yang dinamakan

“Hukum Laut Amanna Gappa” yang berasal dari daerah Wajo (Bugis) di daerah Sulawesi

Selatan.

Tanggung Jawab ..., Stefan Bonardo Toweula, FH UI, 2016

Page 7: TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN SPONSORING STATE …

Kemudian, pada abad ke-16 dan 17, banyak negara di Eropa yang ingin menerapkan

kekuasaannya atas wilayah perairan. Setidaknya, terdapat Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda

yang memperdebatkan mengenai kekuasaan di wilayah laut. Hal ini tercermin dalam karya

karangan seorang ahli hukum asal Belanda yaitu Hugo Grotius pada tahun 1609 yang berjudul

Mare Liberum atau The Freedom of The Seas yang pada intinya berbicara. Isu mengenai

kebebasan di wilayah laut ini semakin mencuat ketika Raja James I dari Inggris mendeklarasikan

bahwa penangkapan ikan di daerah pantai negara-negara yang berada di bawah kekuasaannya

hanya dapat dilakukan berdasarkan izin yang diberikan oleh Raja James I.

Situasi ini menimbulkan perdebatan hukum antara Belanda yang dipimpin oleh Hugo

Grotius melalui karyanya Mare Liberum yang hendak mempertahankan kebebasan atas wilayah

laut untuk melawan praktek pembatasan penangkapan ikan yang dilakukan oleh Inggris.

Setelahnya, banyak ahli hukum yang berusaha menerapkan konsep-konsep dasar tentang hukum

laut. Para ahli hukum pada umumnya mengelompokkan teori-teori mengenai lautan ke dalam

empat bagian, yaitu:

a. Perairan pedalaman;

b. Laut teritorial;

c. Zona tambahan;

d. dan Laut bebas.

Isu mengenai pentingnya pengaturan yang jelas mengenai wilayah laut mulai menjadi

perhatian banyak negara ketika laut mulai digunakan untuk melakukan kegiatan perdagangan

melalui pelayaran dan mulai digunakan sebagai sumber mata pencaharian seperti penangkapan

ikan. Barulah pada tanggal 13 Maret – 12 April 1930, di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa

(LBB) dilangsungkan konferensi internasional tentang hukum laut yang membahas masalah laut

teritorial di Den Haag yang dinamakan Codification Conference. Konferensi Den Haag ini

kemudian menjadi cikal bakal beberapa pengaturan mengenai hukum laut yang terdapat di

UNCLOS 1982.

Selanjutnya, pada bulan Maret 1958, berbagai negara menyepakati untuk mengadakan

konferensi hukum laut yang bertempat di Jenewa. Kesepakatan untuk mengadakan konferensi

hukum laut ini diambil berdasarkan rekomendasi dari International Law Commission (ILC) yang

menyarankan untuk diadakannya suatu konferensi internasional tentang hukum laut, yang

Tanggung Jawab ..., Stefan Bonardo Toweula, FH UI, 2016

Page 8: TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN SPONSORING STATE …

akhirnya diwujudkan dalam tiga Konferensi Hukum Laut PBB yang nantinya akan melahirkan

UNCLOS 1982.

UNCLOS 1982 dilahirkan dari Konferensi Hukum Laut PBB yang ke-3. Dalam

Konferensi Hukum Laut I dan Konferensi Hukum Laut II, tidak ada pengaturan yang mengenai

status hukum area dasar laut internasional atau area dasar laut yang berada diluar batas landas

kontinen. Pembentukan UNCLOS 1982, diawali dari kesadaran negara-negara akan kekayaan

alam yang luar biasa yang terdapat di wlayah laut, ditambah lagi setelah dalam sebuah ekspedisi

ditemukan nodul-nodul polimental (polymetallic nodules) yang memiliki nilai komersil yang

begitu tinggi.

Sekitar tahun 1960-1970, terdapat beberapa pandangan dari berbagai negara mengenai

status hukum dari area dasar laut internasional. Untuk mengatasi perbedaan pandangan dari

berbagai Negara mengenai status Kawasan, Majelis Umum PBB berdasarkan rekomendasi dari

Seabed Committee, pada tahun 1970 mengeluarkan General Assembly Resolution 2749 yang

berjudul Declaration of Principles Governing the Seabed and the Ocean Floor, and the Subsoil

Thereof, beyond the Limits of National Jurisdiction, yang pada prinsipnya berisikan tentang:

- Tidak satupun negara yang dapat menuntut kedaulatan dengan cara apapun di daerah

tersebut.

- Semua kegiatan yang berhubungan dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya

yang terdapat di Kawasan akan diatur melalui suatu rezim internasional.

- Area dasar laut internasional (Kawasan) yang dieksplorasi dan dieksploitasi

dipergunakan untuk maksud-maksud damai oleh semua negara tanpa perbedaan.

- Eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan terhadap sumber daya di Kawasan tersebut,

harus ditujukan untuk kepentingan umat manusia.

Dari deklarasi terhadap resolusi ini akhirnya dilahirkanlah International Seabed Authority

(ISA) yang selanjutnya disebut sebagai Otorita yang dalam UNCLOS 1982 merupakan badan

yang berwenang untuk mengawasi segala macam bentuk kegiatan yang dilakukan di Kawasan.

Konferensi Hukum Laut III yang pada akhirnya melahirkan Konvensi Hukum Laut 1982

(UNCLOS 1982) disetujui pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika. Pada hari

pertama konvensi ini dibuka untuk penandatanganan, terdapat 119 negara yang ikut serta

menandatangani konvensi ini. Ketentuan di UNCLOS 1982 terkhusus pada Bagian XI kemudian

mengalami beberapa perubahan setelah keberadaan Implementation Agreement 1994. Latar

Tanggung Jawab ..., Stefan Bonardo Toweula, FH UI, 2016

Page 9: TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN SPONSORING STATE …

belakang diadakannya Implementation Agreement 1994 ini dikarenakan terdapat beberapa negara

yang menolak untuk menyetujui rancangan Konvensi Hukum Laut sebagai hasil dari Konferensi

Hukum Laut III terutama pada bagian sistem eksplorasi dan eksploitasi di Kawasan yang diatur

pada Bab XI.

Kawasan, yang melalui UNCLOS 1982 dideklarasikan sebagai common heritage of

mankind atau warisan bersama umat manusia memiliki rezim khusus yang mengatur bagaimana

pengambilan sumber daya alam di daerah dasar laut internasional. Berdasarkan pengaturan dari

rezim tersebut, terdapat beberapa pihak yang dapat terlibat dalam kegiatan di Kawasan tersebut

seperti yang tercantum dalam Pasal 153 (2) UNCLOS 1982. Pihak-pihak tersebut yaitu:

a. International Seabed Authority (Otorita);

b. The Enterprise (Perusahaan);

Dasar hukum keberadaan Perusahaan dalam UNCLOS 1982 terdapat di Pasal 158

(2) UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa “there is hereby established the

Enterprise, the organ through which the Authority shall carry out the functions

referred to in Pasal 170, paragraph 1.” Perusahaan adalah organ otonom Otorita

yang dirancang untuk melakukan kegiatan pertambangan, baik secara langsung atau

melalui usaha patungan (joint venture) dengan perusahaan nasional atau swasta, sesuai

dengan Pasal 153 (2) (a) UNCLOS 1982. Lebih lanjut, dalam Pasal 170 (1) UNCLOS

1982 diatur secara khusus mengenai fungsi dan tugas dari Perusahaan yaitu:

“1. The Enterprise shall be the organ of the Authority which shall carry out activities in the Area directly, pursuant to Article 153, paragraph 2(a), as well as the transporting, processing and marketing of minerals recovered from the Area.”

Dari pengaturan tersebut dapat dilihat bahwa Perusahaan adalah organ dari Otorita

yang memiliki fungsi untuk melakukan kegiatan-kegiatan di Kawasan secara langsung

mengenai pengangkutan, pengolahan dan pemasaran mineral yang diperoleh dari

Kawasan.

c. State Party (Negara Anggota) dalam hal ini sponsoring state;

Negara-negara anggota dari UNCLOS 1982 melalui pemerintah negaranya dapat

langsung terlibat dalam kegiatan di Kawasan. Hal ini dilakukan oleh negara-negara

seperti India dan Korea. Selain dilakukan oleh negara peserta UNCLOS 1982 tersebut

secara langsung, negara-negara peserta di UNCLOS 1982 dapat terlibat dalam

Tanggung Jawab ..., Stefan Bonardo Toweula, FH UI, 2016

Page 10: TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN SPONSORING STATE …

kegiatan di Kawasan melalui kegiatan sponsorship dengan cara menjadi sponsoring

state.

Dalam penelitian ini, dibahas mengenai peran negara anggota UNCLOS 1982

sebagai sponsoring state. Sponsoring state atau negara sponsor adalah negara yang

menjadi sponsor suatu subjek hukum privat untuk melakukan kegiatan di daerah dasar

laut Internasional. Dalam melakukan kewajibannya, sponsoring state memiliki

beberapa kewajiban dan hak yang harus dipenuhi sebelum mereka melakukan

aktivitasnya di Kawasan. Pasal 153 (2) (b) UNCLOS 1982, dinyatakan bahwa

kegiatan yang dilangsungkan di Kawasan juga harus melibatkan:

“in association with the Authority by States Parties, or state enterprises or natural or juridical persons which possess the nationality of States Parties or are effectively controlled by them or their nationals, when sponsored by such States, or any group of the foregoing which meets the requirements provided in this Part and in Annex III.”

Dari ketentuan tersebut, dapat dilihat bahwa apabila terdapat suatu subjek hukum

privat (baik itu badan hukum atau pribadi kodrati) yang hendak melakukan kegiatan di

Kawasan, maka subjek hukum privat tersebut harus mendapatkan sponsor dari sebuah

negara peserta UNCLOS 1982 atau berbagai negara-negara peserta UNCLOS 1982

(apabila badan hukum bersifat multinasional). Melihat dari pengaturan yang terdapat

dalam Pasal 153 (2) (b) UNCLOS 1982 tersebut, dapat diketahui bahwa sponsoring

state memiliki peran yang sangat penting dalam kegiatan yang dilangsungkan di

Kawasan. Pembahasan lebih mendalam mengenai peran sponsoring state dalam

kegiatan di Kawasan beserta tanggung jawab dan kewajiban yang dimilikinya akan

dikemukakan selanjutnya.

d. State Enterprise or Natural or Judicial Persons (Subjek Hukum Privat).

Dalam Pasal 153 (2) (b) UNCLOS 1982, dinyatakan bahwa kegiatan di Kawasan

dilangsungkan oleh Perusahaan yang merupakan perpanjangan tangan dari Otorita dan

bekerja sama dengan negara peserta UNCLOS 1982, atau subjek hukum privat (baik

itu badan hukum maupun pribadi kodrati) dari negara peserta tersebut. Dari

pengaturan tersebut diketahui bahwa yang dimaksud dengan subjek hukum privat

adalah subjek hukum privat yang memiliki nasionalitas dari negara peserta UNCLOS

Tanggung Jawab ..., Stefan Bonardo Toweula, FH UI, 2016

Page 11: TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN SPONSORING STATE …

1982, atau dikontrol secara efektif oleh negara/negara-negara (apabila perusahaan

multinasional) peserta UNCLOS 1982.

Selanjutnya, mengenai sistem eksplorasi dan eksploitasi di area dasar laut internasional,

dalam UNCLOS 1982, inti pengaturan mengenai sistem eksplorasi dan ekploitasi di Kawasan

terdapat di Pasal 153 dan Annex III yang kemudian direvisi dan dilengkapi dengan keberadaan

Implementation Agreement 1994. Berdasarkan dalam Pasal 153 (2) UNCLOS 1982 sistem

eksplorasi dan eskploitasi di Kawasan dilakukan dengan menggunakan “sistem paralel” dengan

tiga metode yang ditawarkan. Tiga metode tersebut yaitu:

1. Otorita melakukan aktivitas di Kawasan langsung melalui badan operasional

pertambangannya (mining arm) yaitu Perusahaan dengan melakukan joint ventures.

2. Kontrak antara Otorita dengan Negara-negara peserta 1982 atau entitas lainnya

sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 153 (2) (b) UNCLOS 1982.

Apabila entitas-entitas ini merupakan subjek hukum privat, maka subjek hukum

privat ini harus disponsori oleh negara peserta UNCLOS 1982. Negara yang

mensponsori subjek hukum privat ini disebut sponsoring state. Metode operasional

ini, sesuai dengan Pasal 153 (3) UNCLOS 1982, mewajibkan pihak-pihak yang

hendak melakukan kegiatan di Kawasan (operators) untuk mengadakan sebuah

kontrak dengan Otorita yang berupa rencana kerja. Rencana kerja ini membutuhkan

persetujuan dari Dewan Otorita setelah berkonsultasi dengan Komisi Legal dan

Teknis Otorita.

3. Kegiatan di Kawasan dapat dilakukan dengan melakukan joint-arrangement

(perencanaan bersama) antara Otorita bersama dengan Negara-negara peserta

UNCLOS 1982 atau entitas lainnya sesuai dengan ketentuan mengenai entitas lain

tersebut yang tercantum dalam Pasal 153 (2) (b) UNCLOS 1982.

Pemohon kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di Kawasan dalam kontraknya harus dapat

memenuhi beberapa kualifikasi tertentu, seperti contohnya kualifiaksi keuangan dan kualifikasi

dalam bidang teknis. Dalam hal pemohon bukanlah Perusahaan (The Enterprise) Otorita,

pemohon yang merupakan subjek hukum privat hanya dapat dikatakan memiliki kualifikasi untuk

melakukan kegiatan di Kawasan apabila subjek hukum privat tersebut memiliki nasionalitas atau

dikontrol secara efektif oleh negara peserta UNCLOS 1982 dan disponsori oleh pemerintah

negaranya. Rencana kerja dari pemohon harus memuat ketentuan bahwa:

Tanggung Jawab ..., Stefan Bonardo Toweula, FH UI, 2016

Page 12: TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN SPONSORING STATE …

(a) menerima sebagai suatu yang dapat dipaksakan dan sesuai dengan kewajiban-

kewajiban yang berlaku yang timbul dari ketentuan-ketentuan Bab XI, ketentuan-

ketentuan, peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur Otorita, keputusan-keputusan

badan-badan Otorita, dan ketentuan-ketentuan kontraknya dengan Otorita;

(b) menerima pengawasan oleh Otorita atas kegiatan-kegiatannya di Kawasan,

sebagaimana yang diijinkan oleh Konvensi ini;

(c) memberikan suatu jaminan tertulis kepada Otorita bahwa kewajiban-kewajibannya

berdasarkan kontrak akan dipenuhi dengan itikad baik;

(d) memenuhi ketentuan-ketentuan tentang alih teknologi sebagaimana diatur dalam

Implementation Agreement 1994.

Sebelum akhirnya sebuah rencana kerja mendapatkan persetujuan dari Otorita, rencana

kerja tersebut harus melalui proses pertimbangan terlebih dahulu dari Komisi Legal dan Teknis.

Setelah itu, Dewan lah yang memberikan keputusan apakah sebuah rencana kerja dapat diterima

atau ditolak setelah terlebih dahulu mendapatkan rekomendasi dari Komisi Legal dan Teknis.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sistem eksplorasi dan ekspolitasi di Kawasan

dilakukan dengan menggunakan sistem paralel, yang berarti kegiatan tersebut dapat dilakukan

oleh Perusahaan dan subjek hukum privat lainnya. Dalam hal kegiatan di Kawasan hendak

dilakukan oleh subjek hukum privat, negara peserta UNCLOS 1982 harus berperan sebagai

negara yang mensponsori subjek hukum privat tersebut.

Tujuan dari ketentuan mengenai sponsoring state yang melakukan sponsorship ini adalah

agar ketentuan yang terdapat pada UNCLOS 1982 yang pada dasarnya hanya mengikat negara

peserta UNCLOS 1982, dapat dipenuhi juga oleh subjek hukum privat yang melakukan

eksplorasi dan eksploitasi di Kawasan, dengan cara melakukan perjanjian sponsorship antara

sponsoring state dengan kontraktor/subjek hukum privat yang disponsori olehnya. Lebih lanjut,

perjanjian sponsorship tersebut juga berarti sponsoring state menjamin bahwa subjek hukum

yang disponsori olehnya memiliki kemampuan finansial dan teknis yang memadai untuk

melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di Kawasan dan memiliki kemampuan untuk

menanggung setiap resiko kerugian yang mungkin timbul dari kegiatan yang dilakukan

kontraktor/subjek hukum privat.

Mengacu kepada penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa sponsoring state memiliki peran

yang sangat penting di Kawasan. Jika dihubungkan dengan Otorita, maka bahwa peran

Tanggung Jawab ..., Stefan Bonardo Toweula, FH UI, 2016

Page 13: TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN SPONSORING STATE …

sponsoring state dalam kegiatan di Kawasan adalah untuk membantu Otorita melakukan

pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan yang dilangsungkan di Kawasan. Salah satu hal harus

dilakukan oleh sponsoring state adalah memastikan dengan hukum nasionalnya, bahwa subjek

hukum privat yang disponsorinya akan tunduk kepada ketentuan UNCLOS 1982. Maksudnya

adalah sponsoring state dalam sistem hukum nasionalnya harus membentuk peraturan-peraturan

mengenai pertambangan yang mengikat subjek hukum privat, di mana peraturan-peraturan

tersebut harus mengadopsi ketentuan-ketentuan yang terdapat di UNCLOS 1982.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dalam pendahuluan, Nauru mengajukan

beberapa pertanyaan kepada Otorita yang intinya berisikan mengenai tanggung jawab dari

sponsoring state dalam hal kegiatan di area dasar laut internasional. Dikeluarkannya advisory

opinion ini setidaknya mencatat empat sejarah tersendiri bagi ITLOS. Pertama, dalam sejarah

berdirinya ITLOS, kasus ini adalah pertama kalinya ITLOS menggunakan jurisdiksinya untuk

mengeluarkan advisory opinion. Kedua, dalam penanganan kasus ini, pertama kalinya ITLOS

menyelesaikan sebuah kasus dengan keputusan yang bulat tanpa adanya separate opinions.

Separate opinion adalah pendapat hukum yang dinyatakan oleh seorang Hakim dengan cara

terpisah dari pendapat hukum Hakim lainnya. Hakim yang melakukan separate opinion, setuju

dengan penerapan hukum suatu putusan, namun memiliki pendapat tersendiri mengenai alasan

penerapan hukum tersebut.

Ketiga, pertama kalinya dalam sejarah penanganan kasus oleh ITLOS, terdapat organisasi

non-pemerintahan, yaitu Greenpeace International dan World Wide Fund, yang melakukan

pengajuan tertulis kepada ITLOS mengenai penanganan kasus ini. Keempat dan yang terakhir, ini

pertama kalinya dalam sejarah ITLOS terdapat pengajuan lisan yang diselenggarakan secara

langsung melalui internet.

Lebih lanjut, dilihat dari latar belakangnya, diajukannya pertanyaan-pertanyaan dalam

advisory opinion ini mengacu kepada ketentuan di UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa

Kawasan dan semua kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah warisan bersama umat

manusia. Pada dasarnya, ketentuan ini merupakan pencapaian yang signifikan dari perkembangan

hukum internasional selama abad ke-20. Di UNCLOS 1982, dinyatakan secara tegas bahwa

keberadaan pengaturan mengenai Kawasan di UNCLOS 1982 sendiri bertujuan untuk

mempromosikan partisipasi yang efektif dan pertimbangan khusus terhadap negara berkembang

dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di Kawasan. Akan tetapi, sampai tahun 2015 ini,

Tanggung Jawab ..., Stefan Bonardo Toweula, FH UI, 2016

Page 14: TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN SPONSORING STATE …

tercatat baru tiga negara berkembang (Nauru, Tonga, dan Kiribati) yang telah berpartisipasi

secara aktif dalam kDalam Advisory Opinion 2011 yang dikeluarkan oleh Seabed Disputes

Chamber, yang berjudul “Responsibilities and Obligations of States Sponsoring Persons or

Entities with respect to Activities in The Area” ini, terdapat tiga pertanyaan yang diajukan kepada

Seabed Disputes Chamber, di mana jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini menentukan apa

yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban sponsoring state. Pertanyaan-pertanyaannya adalah

sebagai berikut: Pertanyaan-pertanyaannya adalah sebagai berikut:

1. What are the legal responsibilities and obligations of States Parties to the Convention with respect to the sponsorship of activities in the Area in accordance with the Convention, in particular Part XI, and the 1994 Agreement relating to the Implementation of Part XI of the United Nations Convention on The Law of The Sea of 10 December 1982?

2. What is the extent of liability of a State Party for any failure to comply with the provisions of the Convention, in particular Part XI, and the 1994 Agreement, by an entity whom it has sponsored under Article 153, paragraph 2 (b), of the Convention?

3. What are the necessary and appropriate measures that a sponsoring state must take in order to fulfill its responsibility under the Convention, in particular Article 139 and Annex III, and the 1994 Agreement? Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, apa yang menjadi kewajiban-kewajiban dari

sponsoring state adalah sebagai berikut:

A. Pertanyaan pertama

Pertanyaan pertama berisikan pertanyaan mengenai kewajiban utama sponsoring state.

Dalam jawaban pertanyaan pertama ini, terdapat dua jenis kewajiban utama yang dimiliki oleh

sponsoring state. Dua jenis tersebut yaitu:

• Kewajiban sponsoring state untuk memastikan ketundukan kontraktor yang

disponsorinya terhadap ketentuan yang terdapat dalam kontrak dan kewajiban-

kewajiban yang diatur dalam UNCLOS 1982 dan ketentuan terkait. Kewajiban ini

adalah kewajiban due diligence. Sponsoring state terikat untuk melakukan usaha-

usaha terbaik yang dimungkinkan untuk menjamin pemenuhan kewajiban kontraktor.

Standar dari due diligence ini dapat berubah sewaktu-waktu. Unsur penting dalam

hal pemenuhan kewajiban due diligence yang dimiliki oleh sponsoring state yaitu

memastikan kepatuhan kontraktor kepada UNCLOS 1982 dan peraturan terkait,

dengan cara membentuk peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum

nasionalnya dengan mengadopsi ketentuan UNCLOS 1982 dan peraturan terkait.

Tanggung Jawab ..., Stefan Bonardo Toweula, FH UI, 2016

Page 15: TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN SPONSORING STATE …

• Jenis yang kedua adalah kewajiban langsung (direct obligations) dari sponsoring

state. Kewajiban langsung ini merupakan kewajiban yang dimiliki oleh sponsoring

state untuk memastikan bahwa kontraktor yang disponsorinya akan melakukan

tindakan-tindakan tertentu. Pemenuhan kewajiban langsung ini merupakan salah satu

faktor yang relevan untuk menentukan pemenuhan kewajiban due diligence dari

sponsoring state. Kewajiban-kewajiban langsung terpenting yang dimiliki oleh

sponsoring state untuk memastikan bahwa kontraktor yang disponsorinya akan

melakukan tindakan-tindakan tertentu berupa:

1) Kewajiban untuk membantu Otorita.

2) Kewajiban untuk menjamin apabila terdapat perintah darurat dari Otorita untuk

perlindungan lingkungan laut.

3) Kewajiban untuk memastikan ketersediaan upaya untuk kompensasi.

4) Melakukan pendekatan pencegahan (precautionary approach).

5) Melakukan praktik-praktik lingkungan terbaik (best environmental practices).

6) Melakukan analisa dampak lingkungan (environmental impact assessment).

B. Pertanyaan kedua

Dalam pertanyaan kedua dijelaskan bahwa selain dua jenis kewajiban utama yang

terdapat dalam pertanyaan pertama, sponsoring state juga berpotensi untuk memiliki kewajiban

sekunder. Kewajiban sekunder ini akan muncul apabila kewajiban-kewajiban utama dari

sponsoring state tidak dipenuhi. Dalam hal ini, kewajiban sekunder muncul apabila sponsoring

state gagal untuk memenuhi kewajiban utamanya dan kegagalan tersebut berdampak langsung

terhadap kerugian yang terjadi sebagai akibat dari kegiatan yang dilakukan oleh kontraktor yang

disponsori olehnya. Kewajiban sekunder sponsoring state ini berupa pemberian kompensasi

terhadap kerugian yang timbul akibat dari kegiatan yang dilakukan oleh kontraktor yang

disponsori olehnya.

C. Pertanyaan ketiga

Jawaban pada pertanyaan ketiga pada dasarnya sudah dijawab dalam pertanyaan pertama.

Akan tetapi, dalam jawaban pertanyaan ketiga ini ditegaskan bahwa kewajiban due diligence

yang dimiliki oleh sponsoring state berupa pengadopsian UNCLOS 1982 dalam sistem hukum

nasional juga harus diikuti dengan langkah-langkah evaluatif dan administratif dari sponsoring

Tanggung Jawab ..., Stefan Bonardo Toweula, FH UI, 2016

Page 16: TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN SPONSORING STATE …

state untuk memastikan bahwa pengadopsian UNCLOS 1982 dilakukan dengan efektif di

negaranya.

Kesimpulan

Untuk memudahkan pembaca dalam mengetahui apakah yang menjadi tanggung jawab

dan kewajiban sponsoring state dalam kegiatan di Kawasan berdasarkan Advisory Opinion 2011,

berikut adalah tabel yang berisikan jawaban dari tiap-tiap pertanyaan dalam Advisory Opinion

2011 tersebut.

Pertanyaan Jawaban

Pertanyaan 1

“legal

responsibilities

and

obligations”

Kewajiban utama:

1. Kewajiban untuk memastikan yang merupakan kewajiban

due diligence yang unsur utamanya adalah pengadopsian

UNCLOS 1982 dalam sistem hukum nasional.

2. Kewajiban-kewajiban langsung berupa untuk memastikan

kontraktor yang disponsorinya melakukan tindakan-tindakan

tertentu yang berupa:

a. Kewajiban untuk membantu Otorita untuk mengontrol

kegiatan di Kawasan;

b. Kewajiban untuk menjamin apabila terdapat perintah

darurat dari Otorita untuk perlindungan lingkungan laut;

c. Kewajiban untuk memastikan ketersediaan upaya untuk

kompensasi;

d. Pendekatan pencegahan (precautionary approach);

e. Praktik-praktik lingkungan terbaik (best environmental

practices);

f. Analisa mengenai dampak lingkungan (environmental

impact assessment).

Pertanyaan 2

“liability”

Kewajiban sekunder yang muncul apabila kewajiban utama gagal

dipenuhi, berupa kompensasi atau ganti rugi terhadap kerusakan

lingkungan.

Tanggung Jawab ..., Stefan Bonardo Toweula, FH UI, 2016

Page 17: TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN SPONSORING STATE …

Pertanyaan 3

“necessary

and

appropriate

measures”

Kewajiban due diligence berupa pengadopsian UNCLOS 1982

dalam sistem hukum nasional juga harus diikuti dengan langkah-

langkah evaluatif dan administratif dari sponsoring state untuk

memastikan bahwa pengadopsian UNCLOS 1982 dilakukan dengan

efektif di negaranya.

Daftar Referensi

BUKU

Anand, R.P. Legal Regime of Seabed and The Developing Countries. New Delhi: Thompson Press Limited, 1975.

Anwar, Chairul. Horizon Baru Hukum Laut Internasional. Jakarta: Karya Unipress, 1989.

Cassese, A. International Law. Oxford: Oxford University Press, 2005.

Churchill, R.R, dan A. V. Lowe. The Law of The Sea. United Kingdom: Manchester University Press, 1999.

Colombos, C. John. International Law of The Sea. London: Longemans, Green & Co.Ltd, 1967.

Danusaputro, ST Munajat. Wawasan Nusantara dalam Hukum Laut Internarsional. Bandung: Penerbit Alumni, 1982.

Earney, Fillmore C.F. Petroleum and Hard Mineral From The Sea. New York: H.V Winston & Sons, 1980.

Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional Indonesia Buku ke-7. Bandung: P.T. Alumni, 2010.

Hollick, Ann. U.S. Foreign Policy and The Law of The Sea. New Jersey: Princeton University Press, 1981.

Koers, Albert W. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press, 1991.

Kusumaatmaja, Mochtar. Masalah Lebar Laut Teritorial pada Konperensi-Konperensi Hukum Laut Jenewa Tahun 1958 dan 1960. Bandung: PT. Penerbitan Universitas, 1982.

_____. Hukum Laut Internasional. Bandung: Binacipta, 1986.

Tanggung Jawab ..., Stefan Bonardo Toweula, FH UI, 2016

Page 18: TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN SPONSORING STATE …

_____, dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT Alumni, 2003.

Mamudji, Sri. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Rembe, N.S. Africa and the International Law of The Sea : A Study of the Contribution of the African State to The Third United Nations Conference on the Law of the Sea. Belanda: Sijthoff Publishing. 1980.

Sands, Phillipe. Principles of International Environmental Law. Cambridge: Cambridge University Press, 2003.

Shaw, Malcolm. International Law 5th Edition. Cambridge: Cambridge University Press, 2003.

Shon, Louis B. Et.al. Law of the Sea in a Nutshell, United States of America: West Publishing Co, 2010.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 2006.

_____, dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Press,2006.

Starke, J.G. An Introduction to International Law. London: Butterworths, 1977.

Summers, Lionel. The International Law of Peace. New York: Oceana, 1973.

Tanaka, Yoshifumi. The International Law of The Sea. Cambridge: Cambridge University Press, 2012.

Tasrif, S. Hukum Internasional Tentang Pengakuan dalam Teori dan Praktek. Bandung: Abardin, 1987.

Von Glahn, Gerhard. Law Among Nations: An Introduction to Public International Law. New York: New York Press, 1965.

ARTIKEL DAN JURNAL

Anton, Donald K., Robert A. Makgill, dan Cymie R. Payne. “Advisory Opinion on Responsibility and Liability for International Seabed Mining (ITLOS Case No. 17): International Environmental Law in the Seabed Disputes Chamber”. ANU College of Law Research Paper. (Australia: April 2011).

Arrow, Dennis W. “Seabed: Sovereignty And Objective Regimes”, Fordham International Law Journal. Vol. 7. (Amerika Serikat: 1983).

Tanggung Jawab ..., Stefan Bonardo Toweula, FH UI, 2016

Page 19: TANGGUNG JAWAB DAN KEWAJIBAN SPONSORING STATE …

Boyle, Alan E. “Disputes Settlement and the Law of the Sea Convention Problems of Fragmentation and Jurisdiction”. Cambridge University Press. Vol. 46, No. 1. (Inggris: 1997).

Esposito, Carlos. “Advisory Opinion and Jurisdiction of the International Tribunal for the Law of the Sea.” Makalah disampaikan pada Law Of The Sea Institute Conference On “Institutions And Regions In Ocean Governance”. Hamburg, 5-6 Oktober 2010).

Freestone, David. “Advisory Opinion of the Seabed Disputes Chamber of the International Tribunal for the Law of the Sea on “Responsibilities and Obligations of States Sponsoring Persons and Entities With Respect to Activities in the Area.” ASIL Insights, Vol. 15, Issue. 7, (9 Maret 2011).

Hardy, Michael. The Law of The Sea and The Prospects for Deep Seabed Mining : The Position of European Community.” Ocean Development and International Law. Vol. 17. (1986).

Hayashi, Moritaka. “Japan and Deep Seabed Mining”, Ocean Development and International Law. Vol. 17. (1986).

Korman, Aaron, dan Giselle Barcia. “Rethinking Climate Change: Towards an International Court of Justice Advisory Opinion.” The Yale Journal of International Law Online. (Amerika Serikat: 2012).

Larson, David I. “Reagan Administration & Law of The Sea: Ocean Development And International Law 11”. Boston College Third World Law Journal.Vol. 4. Issue. 1.(Amerika Serikat: 1982).

Malone, J.L. “Statement before The House Foreign Affairs Committee on 23 February 1982.” Department of State Bulletin. No. 2062. (Amerika Serikat: 1982).

_____. “Statement before The House Foreign Affairs Committee on 23 August 1982.” Department of State Bulletin. No. 2067. (Amerika Serikat: 1982).

Mensah, Thomas A. “The Jurisdiction of the International Tribunal for the Law of the Sea.” Mohr Siebeck GmbH & Co. KG. Vol. 63. (April 1999).

Shon, Louis B. “Peaceful Settlement of Disputes in Ocean Conflicts Does UNCLOS III Point the Way?”. Duke University School of Law. Vol. 46, No. 2. (Amerika Serikat: 1983)

Spriggs II, James F, dan David R. Stras. “Explaining Plurality Decisions”. The Georgetown Law Journal. Vol. 99. (Amerika Serikat: 2011).

Tanaka, Yoshifumi. “Obligations and Liability of Sponsoring States Concerning Activities In The Area: Reflections On The Itlos Advisory Opinion Of 1 February 2011.” T.M.C. Asser Instituut and Contributors. (Belanda: 2013).

Vromman, Pia. “UNCLOS: Responsibilities and Obligations of Sponsoring States – ITLOS Advisory Opinion.” Environmental Policy and Law. Vol. 42. (2012).

Tanggung Jawab ..., Stefan Bonardo Toweula, FH UI, 2016