2
Bagi seorang Ketut Su- bina, upaya menyeimbangkan aspek spiritual dan bisnis, juga tidak lepas dari ajaran yang diberikan Ida Pedanda Gede Sa- nur dari Gria Klempung, Bangli. Ida Pedanda yang dianggap se- bagai guru spiritualnya ini pernah mengajarkan, “Jika pada suatu hari nanti terjadi kegelapan saat berjalan, janganlah memaksakan diri untuk mencari alat penerang. Alat penerang itu akan datang dengan sendirinya dan tidak usah dicari kemana-mana. Kalau pun muncul setitik sinar terang, manfaatkan semaksimal mungkin karena itulah sesungguhnya yang akan dicari”. Maksud ajaran ini yaitu agar Ketut Subina bersabar ketika menghadapi sebuah mas- alah, serta yang paling penting bagaimana menyeimbangkan as- pek spiritual dan bisnis. Ketut Subina dilahirkan tanggal 22 Desember 1967 dari pasangan suami istri I Nengah Rendi dan Ni Nengah Simbreg di Kerambitan, Tabanan. Kedua orang tuanya berprofesi sebagai petani dan bahu-membahu meng- garap lahan pertanian untuk menopang kehidupan keluargan- nya. Meski sektor pertanian bisa memberikan penghidupan yang layak, namun Nengah Rendi juga melakoni pekerjaan sebagai penjual ayam, ayam petelur, dan bebek sebagai penghasilan tam- bahan. Kerasnya kehidupan yang dilakoni Nengah Rendi pada akh- irnya juga diteruskan pada Ketut Subina. Mulai kecil, pria yang memiliki hobi olahraga ini, su- dah terbiasa melakoni pekerjaan yang sesungguhnya merupakan pekerjaan orang dewasa. Mem- bantu memelihara ayam petelur serta membawa kotoran ayam ke sawah untuk digunakan se- bagai pupuk, sudah menjadi hal biasa baginya. Meski pekerjaan yang dihadapinya itu cukup be- rat, sama sekali ia tidak pernah mengeluh. “Saya yakin disiplin yang diterapkan ayah, sema- ta-mata ingin membentuk karak- ter pribadi saya. Saya diajarkan jangan cepat mengeluh, kendati beban menghadang,” kata Ketut Subina. Namun ia juga tidak me- mungkiri, di sela-sela kehidupan keras yang dijalaninya, sering juga mencuri waktu berenang di sungai atau bermain kartu. Selain figur seorang ayah, karakter kuat Ketut Subina juga dibentuk oleh kakeknya. Sang kakek merupakan sosok yang memiliki visi ke depan yang jelas dan memiliki naluri seo- TANPA ASPEK SPIRITUAL BISNIS TIDAK ADA ARTINYA Ibarat pepatah “Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Begitulah kiat yang diupayakan Ketut Subina dalam menjalankan roda bisnis Canggu Club yang dikendalikannya. Betapa tidak, meski usahanya lebih banyak bersentuhan dengan para wisatawan asing, pria paruh baya ini tetap memberikan nuansa dan spiritual khas Bali. Tujuannya, roda bisnis dapat berjalan seimbang dan memberikan manfaat bagi banyak orang. “Sudah menjadi prioritas kami, Canggu Club selain memberikan manfaat bagi orang-orang yang bekerja di dalamnya, juga bisa dirasakan oleh masyarakat yang berada di sekitar lokasi,” papar Ketut Subina mengenai konsepnya mengendalikan Canggu Club ke depan. Ketut Subina Ketut Subina bersama Komang Adi (Resident Manager Canggu Club), Kyle Parmley (Director of Membership, Event and Front Office), dan bersama beberapa staff Canggu Club. rang pebisnis. Di bawah bimb- ingan sang kakek, Ketut Subina diajarkan bagaimana caranya men- jual hasil bumi dari pertanian dan beras ke sejumlah warung. Jangan harap seorang Subina kecil dengan seenaknya bisa menikmati hasil la- han pertanian itu. Ia baru diperke- nankan makan, bila semua dagan- gannya habis terjual. Menginjak remaja, per- gaulannya makin bertambah. Ke- tut Subina mulai aktif mengikuti kegiatan kepramukaan dan paduan suara di SMP Kerambitan, tem- patnya menuntut ilmu. Bagi Ketut Subina semakin banyak mengikuti kegiatan, maka teman juga akan bertambah banyak. “Karakter saya semakin kuat serta mengetahui bagaimana caranya menghargai pi- hak lain,” katanya. Menempuh pendidikan yang jauh dari rumah, memaksa Ketut Subina harus berjalan kaki sekitar 30 menit untuk sampai ke seko- lah. Dalam perjalanannya menuju sekolah, ia harus melewati sebuah sungai lebar dengan arus sedikit kuat. Kondisi ini memaksanya ha- rus bergandengan tangan bersama teman-temannya agar bisa tiba di sekolah dengan aman. Kenangan ini tetap melekat dalam benaknya sampai kapan pun juga. Saking senangnya berinter- aksi, Ketut Subina pernah mendapat teguran dari gurunya. Ia terpaksa bolos dari mengikuti pelajaran, lantaran dalam waktu bersamaan ada kegiatan camping kepramu- kaan. Bukan itu saja, ia juga per- nah mengikuti track-trackan motor dari Ubung menuju Bajera tengah malam tanpa menggunakan helm pengaman, semata-mata menyalur- kan jiwanya yang meledak-ledak. Sambil menimba ilmu, Ke- tut Subina masih tetap diminta membantu pekerjaan di sawah. Hati kecilnya sempat protes karena tidak bisa bermain leluasa bersama teman-temannya yang lain. Mem- 12 TOKOH BALI EDISI X APRIL 2015 TOKOH PENGUSAHA INOVATIF

TANPA ASPEK SPIRITUAL BISNIS TIDAK ADA ARTINYA

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TANPA ASPEK SPIRITUAL BISNIS TIDAK ADA ARTINYA

Bagi seorang Ketut Su-bina, upaya menyeimbangkan aspek spiritual dan bisnis, juga tidak lepas dari ajaran yang diberikan Ida Pedanda Gede Sa-nur dari Gria Klempung, Bangli. Ida Pedanda yang dianggap se-bagai guru spiritualnya ini pernah mengajarkan, “Jika pada suatu hari nanti terjadi kegelapan saat berjalan, janganlah memaksakan diri untuk mencari alat penerang. Alat penerang itu akan datang dengan sendirinya dan tidak usah dicari kemana-mana. Kalau pun muncul setitik sinar terang, manfaatkan semaksimal mungkin karena itulah sesungguhnya yang akan dicari”. Maksud ajaran ini yaitu agar Ketut Subina bersabar ketika menghadapi sebuah mas-alah, serta yang paling penting bagaimana menyeimbangkan as-pek spiritual dan bisnis.

Ketut Subina dilahirkan tanggal 22 Desember 1967 dari pasangan suami istri I Nengah Rendi dan Ni Nengah Simbreg di Kerambitan, Tabanan. Kedua orang tuanya berprofesi sebagai petani dan bahu-membahu meng-garap lahan pertanian untuk menopang kehidupan keluargan-nya. Meski sektor pertanian bisa memberikan penghidupan yang layak, namun Nengah Rendi

juga melakoni pekerjaan sebagai penjual ayam, ayam petelur, dan bebek sebagai penghasilan tam-bahan.

Kerasnya kehidupan yang dilakoni Nengah Rendi pada akh-irnya juga diteruskan pada Ketut Subina. Mulai kecil, pria yang memiliki hobi olahraga ini, su-dah terbiasa melakoni pekerjaan yang sesungguhnya merupakan pekerjaan orang dewasa. Mem-bantu memelihara ayam petelur serta membawa kotoran ayam ke sawah untuk digunakan se-bagai pupuk, sudah menjadi hal biasa baginya. Meski pekerjaan yang dihadapinya itu cukup be-rat, sama sekali ia tidak pernah mengeluh. “Saya yakin disiplin yang diterapkan ayah, sema-ta-mata ingin membentuk karak-ter pribadi saya. Saya diajarkan jangan cepat mengeluh, kendati beban menghadang,” kata Ketut Subina. Namun ia juga tidak me-mungkiri, di sela-sela kehidupan keras yang dijalaninya, sering juga mencuri waktu berenang di sungai atau bermain kartu.

Selain figur seorang ayah, karakter kuat Ketut Subina juga dibentuk oleh kakeknya. Sang kakek merupakan sosok yang memiliki visi ke depan yang jelas dan memiliki naluri seo-

TANPA ASPEK SPIRITUAL BISNIS TIDAK ADA ARTINYA

Ibarat pepatah “Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung”. Begitulah kiat yang diupayakan Ketut Subina dalam menjalankan roda bisnis Canggu Club yang dikendalikannya. Betapa tidak, meski usahanya lebih banyak bersentuhan dengan para wisatawan asing, pria paruh

baya ini tetap memberikan nuansa dan spiritual khas Bali. Tujuannya, roda bisnis dapat berjalan seimbang dan memberikan manfaat bagi banyak orang. “Sudah menjadi prioritas kami, Canggu Club selain memberikan manfaat bagi orang-orang yang bekerja di dalamnya, juga bisa

dirasakan oleh masyarakat yang berada di sekitar lokasi,” papar Ketut Subina mengenai konsepnya mengendalikan Canggu Club ke depan.

Ketut Subina

Ketut Subina bersama Komang Adi (Resident Manager Canggu Club), Kyle Parmley (Director of Membership, Event and Front Office), dan bersama beberapa staff Canggu Club.

rang pebisnis. Di bawah bimb-ingan sang kakek, Ketut Subina diajarkan bagaimana caranya men-jual hasil bumi dari pertanian dan beras ke sejumlah warung. Jangan harap seorang Subina kecil dengan seenaknya bisa menikmati hasil la-han pertanian itu. Ia baru diperke-nankan makan, bila semua dagan-gannya habis terjual.

Menginjak remaja, per-gaulannya makin bertambah. Ke-tut Subina mulai aktif mengikuti kegiatan kepramukaan dan paduan suara di SMP Kerambitan, tem-patnya menuntut ilmu. Bagi Ketut Subina semakin banyak mengikuti

kegiatan, maka teman juga akan bertambah banyak. “Karakter saya semakin kuat serta mengetahui bagaimana caranya menghargai pi-hak lain,” katanya.

Menempuh pendidikan yang jauh dari rumah, memaksa Ketut Subina harus berjalan kaki sekitar 30 menit untuk sampai ke seko-lah. Dalam perjalanannya menuju sekolah, ia harus melewati sebuah sungai lebar dengan arus sedikit kuat. Kondisi ini memaksanya ha-rus bergandengan tangan bersama teman-temannya agar bisa tiba di sekolah dengan aman. Kenangan ini tetap melekat dalam benaknya sampai kapan pun juga.

Saking senangnya berinter-aksi, Ketut Subina pernah mendapat teguran dari gurunya. Ia terpaksa bolos dari mengikuti pelajaran, lantaran dalam waktu bersamaan ada kegiatan camping kepramu-kaan. Bukan itu saja, ia juga per-nah mengikuti track-trackan motor dari Ubung menuju Bajera tengah malam tanpa menggunakan helm pengaman, semata-mata menyalur-kan jiwanya yang meledak-ledak.

Sambil menimba ilmu, Ke-tut Subina masih tetap diminta membantu pekerjaan di sawah. Hati kecilnya sempat protes karena tidak bisa bermain leluasa bersama teman-temannya yang lain. Mem-

1 2 TOKOH BALI EDISI X APRIL 2015

TOKOH

PENGUSAHA

INOVATIF

Page 2: TANPA ASPEK SPIRITUAL BISNIS TIDAK ADA ARTINYA

bantu pekerjaan di sawah dan memelihara ayam petelur merupakan rutinitas sehari-harinya. Namun lingkungan keluarga yang kental dengan kerja keras dan atmos-fer sebagai pebisnis tradisional pada akhirnya semakin memperkuat karakter kehidupannya. Lama kelamaan se-buah pekerjaan yang awalnya dibenci justru dirasakann-ya memberikan kepuasan. “Kok, enak rasanya menjual barang bisa dapat duit,” kenangnya.

Seusai menamatkan pendidikan SMP, Ketut Subi-na kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Wirabak-ti, Denpasar. Di sela-sela waktu senggangnya, ia sering mengajak teman-temannya ke Kuta untuk bergaul den-gan bule. Dari awalnya sekadar cas cis cus, pada akh-irnya menjadi tertarik untuk menekuni sektor pariwisata.

Ketertarikannya pada bidang pariwisata, juga dipengaruhi oleh pamannya yang lebih dahulu terjun di dunia pariwisata sebagai guide senior Jepang dan memiliki sebuah hotel. Ketut Subina yang tinggal ber-sama pamannya sering disuruh membuat sarapan untuk para tamu yang menginap dan pada akhirnya sering diberikan tip.

Karena pamannya berprofesi sebagai guide turis Jepang, maka kebanyakan tamu yang menginap adalah wisatawan dari Negeri Sakura. Ketut Subina mulai be-lajar mengantar wisatawan Jepang pada sejumlah lokasi wisata yang memberikan komisi bagi dirinya. Hasil ker-ja keras sebagai guide dadakan sering dinikmati bersama teman-temannya untuk sekadar makan-makan. Namun begitulah lantaran sudah asyik menikmati hasil sebagai guide, Ketut Subina memutuskan tidak melanjutkan pen-didikan ke jenjang lebih tinggi. “Paman saya sempat kecewa karena saya memutuskan tidak melanjutkan pen-didikan. Namun setelah saya jelaskan semuanya, paman saya tersebut akhirnya bisa memaklumi,” katanya.

Selepas SMA, Ketut Subina mulai membangun masa depan dari nol. Setiap pagi ia bekerja pada proyek bangunan dan menjelang sore menjadi waitress di resto-ran hingga larut malam. Waktu itu Denpasar tidak seramai sekarang. Wisatawan masih dekat dengan mas-yarakat. Seusai sebagai buruh bangunan, profesi berikut yang dijalaninya adalah sebagai sopir sekaligus guide. Menjadi guide bukan semata-mata upah yang dikejarn-ya, melainkan bagaimana caranya memberikan kepuasan kepada wisatawan. Ditanya mengapa lebih tertarik men-jadi guide Jepang, pria yang akrab dipanggil Sunok San ini menyatakan, wisatawan Jepang lebih mudah diatur dan sangat menjunjung nilai-nilai kejujuran.

Ketut Subina secara jujur mengakui pada hotel pamannya itulah tempatnya belajar secara otodidak ten-tang bisnis perhotelan. Ia mulai belajar menjadi seorang waitress, restaurant cashier, receptionist sampai dipercaya menjadi Front Office Manager setara General Manager saat ini. Proses belajar dari bawah benar-benar men-dorong Ketut Subina agar tidak menjadi orang man-ja. Salah satu GM tempatnya menimba ilmu sekaligus memberikan inspirasi adalah Frank Ramanelli. Ketut Su-bina mendapatkan pelajaran bagaimana cara berpakaian

yang rapi dan bersih akan mempresentasikan pelayanan yang profesional. “Dari awalnya sekadar coba-coba, saya akhirnya belajar bagaimana mengelola hotel secara professional,” jelasnya.

Laju karier Ketut Subina memang cukup pesat. Pada usia muda sekitar 21 tahun sebuah jabatan meng-giurkan Front Office Manager dipegangnya. Posisi strat-egis itu memungkinkan baginya bersentuhan langsung dengan para relasinya. Suatu hari ada seorang pegawai bank yang mencari nasabah secara door to door, yang kemudian diketahui bernama Ni Wayan Sukarmi. Pada pandangan pertama itu, Ketut Subina merasa yakin inilah wanita yang pantas menjadi pendamping hidup dirinya. Merasa yakin sudah terjadi kecocokan, sebulan pacaran langsung mantap menikah. Semuanya di luar perenca-naan yang tadinya mau menikah ketika usia menginjak 30 tahun. “Sesungguhnya banyak perempuan asing ter-tarik menjadikan saya sebagai pendamping hidupnya. Tapi saya yakin sepenuhnya bahwa dialah yang pantas menjadi istri saya,” kata Subina, seraya menjelaskan Ni Wayan Sukarmi memiliki kelebihan dalam hal pemaha-man budaya Bali dan pintar dalam mengelola keuangan.

Pernikahannya berlangsung 1 November 1989. Meski pernah menjabat sebagai Front Office Manager, di awal pernikahannya Ketut Subina terpaksa tinggal di sebuah rumah kost. Ia pun merasakan bagaimana suka dukanya tinggal di rumah milik orang lain. Kemauan-nya untuk bekerja keras memaksa dirinya harus pulang malam setiap malam. Kondisi ini seringkali mengundang protes dari istrinya. Namun setelah dijelaskan begitulah lika-liku kehidupan seorang guide, istrinya bisa mengerti dan memahami sosok Ketut Subina. Dari pernikahannya tersebut akhirnya dikaruniai tiga putri dan seorang putra.

Sebagai suami bertanggung jawab dan ingin men-coba mandiri, Ketut Subina memutuskan ke luar dari perusahaan keluarga. Sebuah perusahaan Jepang yang berlokasi di Nusa Dua kemudian mengajaknya ber-gabung serta menawarkan jabatan manajer. Di sinilah ilmu penting kembali diperolehnya tentang bagaima-na cara mengelola bisnis dengan baik, disiplin, dan konsisten sesuai perjanjian yang telah disepakati. Hal yang penting bagaimana menghormati seorang senior, sebagaimana halnya tradisi Jepang yang terus dipertah-ankan hingga kini. “Meski menjabat sebagai manajer dengan gaji yang sangat cukup, saya tetap menjalank-an profesi sebagai guide freelance, “ katanya dengan senyum.

Usaha kerasnya membuahkan hasil. Tabungannya mulai merangkak naik. Akhirnya Ketut Subina memu-tuskan membeli tanah di sekitar Sesetan. Di sinilah kebanggaan sang kakek terlihat ketika melihat cucunya secara perlahan mulai berhasil mandiri. Kakeknya yang senang melihat keberhasilannya, kemudian membawakan bahan-bahan bangunan yang sudah dibongkar.

Perjalanan bisnis Ketut Subina penuh dengan liku-liku. Banyak tantangan yang mesti dihadapinya. Berawal dari pertemuannya dengan pemain football profesional bernama Anthony Kevin Smith. Dari kerja

samanya itu kemudian dibangun bisnis yang melayani kepentingan teman-teman Tony Smith sendiri yang seba-gian besar olahragawan. Satu per satu bisnis dan travel agent, sport centre, restoran, dan hotel didirikan guna melayani wisatawan asal Australia. Ketut Subina dipan-dang mampu bertindak sebagai eksekutor atas semua konsep bisnis Tony Smith menjadi kenyataan.

Terhitung setahun yang lalu, pria yang kelihatan jauh lebih muda dibandingkan usianya ini, dipercaya sebagai direktur Canggu Club. Teringat akan pesan guru spiritualnya, Ketut Subina melaksanakan berbagai yadnya seperti mecaru, melaspas, ngenteg linggih dan sejumlah kegiatan yadnya lainnya. Pihaknya juga mere-lokasi Pura Amerta Sari ke tempat yang jauh lebih representatif. Tujuannya agar terjadi harmonisasi antara Bhuwana Agung dan Alit, sehingga bisnis yang dijalank-an dapat berjalan dengan lancar. “Saya teringat betul kejadian sewaktu Bom Bali I dan II. Bisnis yang saya rintis bertahun-tahun hancur dalam sekejap. Bisnis tidak abadi tetapi Kuasa Tuhan Yang Maha Esa tetap abadi mengatur roda kehidupan,” uraianya.

Sebelum dalam pengelolaannya, Canggu Club dikenal sangat eksklusif dan menjadi prioritas utama bagi para pebisnis melakukan transaksi karena member Canggu Club rata-rata olahragawan dan pebisnis. Ke-tut Subina menyadari betul akan terjadi kerugian jika konsep seperti itu tetap dipertahankan. Berbagai macam fasilitas pendukung telah dibangun, dengan satu harapan roda bisnisnya cepat melaju. Konsep one stop destination menjadi prioritasnya. Saat ini di Canggu Club terdapat bowling centre, splash waterpark, trampoline, dan lapan-gan tenis indoor.

Visi perubahan yang dikembangkan Canggu Club akhirnya tetap jalan sepanjang musim serta memberikan keuntungan yang tidak sedikit bagi masyarakat sekitarn-ya. Canggu Club bahkan kini menjadi ikon pariwisa-ta Canggu dan dipastikan turut memberikan kontribusi menaikkan pendapatan masyarakat. Masyarakat yang sebelumnya takut terjun ke bisnis sekarang berani ber-bisnis, menyewakan tanah, dan membangun villa atau guesthouse.

Sebagai seorang direktur, Ketut Subina tidak per-nah menjaga jarak dengan para bawahannya. Baginya menghargai potensi staf justru dapat memaksimalkan hasil kinerja. Di kalangan para karyawan, ia memang dikenal sebagai seorang motivator. Saat karyawann-ya menghadapi masalah, selalu diberikan jalan keluar, namun Ketut Subina tetap menekankan bahwa hanya orang bodoh yang menyerah dengan persoalan yang ada, persoalan bukan untuk dihindari, tetapi dicarikan solusi pemecahannya.

Ditanya pandangannya terhadap menjamurnya pembangunan hotel di sejumlah tempat, Ketut Subina menyatakan suatu saat pasti akan berdampak negatif bila tidak dikendalikan lajunya. Menurutnya, pembangunan hotel yang tidak terkendali dipastikan akan menciptakan persaingan tidak sehat. Terhadap semua pelaku pariwisa-ta diharapkan memiliki kesamaan visi dalam memban-gun Bali ke depan.

Pemerintah mestinya bertindak tegas dalam men-gatur pertumbuhan hotel. Ketut Subina sangat setuju dengan program pemerintah bahwa pembangunan sektor pariwisata haruslah ramah lingkungan dan turut mele-starikan budaya Bali. Budaya asing yang masuk tetaplah harus disaring serta disesuaikan dengan budaya asli Indonesia. Akan sangat keliru kalau budaya asli bangsa Indonesia menjadi tamu di rumahnya sendiri. “Pengusa-ha dan pemerintah harus bersinergi meningkatkan SDM, demi kemajuan Bali pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Aktifitas kesenian di Banjar-Banjar dan sanggar mesti mendapat perhatian serius,” sarannya.

Seiring laju usaha yang mulai mendatangkan ha-sil, Ketut Subina mengaku masih memiliki hutang ke-pada almarhum kakeknya. Dalam sebuah kesempatan, kakeknya berpesan tidak boleh melupakan orang tidak mampu jika sudah berhasil dalam mengarungi kerasnya kehidupan ini. Untuk membayar hutangnya tersebut, ia merencanakan akan membangun sebuah panti sosial di daerah kelahirannya di Tabanan. Saat ini, Canggu Club sudah sering berbagi rezeki dengan anak panti asuhan, panti jompo, serta yayasan sosial lainnya. Malah dalam sebuah kesempatan, pihak Canggu Club memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak-anak panti asu-han untuk bermain di sejumlah wahana yang dimiliki Canggu Club.

Antonius Hendrianto

EDISI X APRIL 2015 EDISI X APRIL 2015 TOKOH BALI 1 3