Tantangan Dunia Penyiaran Indonesia.rtf Yose

Embed Size (px)

Citation preview

Tantangan Dunia Penyiaran IndonesiaOleh Taufiqurrahman Selasa, 18 Mei 2010

Amanat yang dikandung oleh UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran di Indonesia menyebutkan bahwa sistem penyiaran nasional harus mendukung terwujudnya cita-cita nasional yang tercantum dalam Pancasila dan UUD 1945. Dunia penyiaran dibangun guna memberikan perlindungan informasi yang positif, berkualitas, dan sehat bagi segenap warga bangsa dan memajukan kesejahteraan umum melalui penyediaan informasi yang memberdayakan rakyat.

Media, baik cetak maupun elektronik, sangat mewarnai perubahan di masyarakat. Kebebasan media perlu diakomodasi dan perlu dipantau agar tidak kebablasan. Dalam praktiknya, kebebasan itu tidak boleh menjadi liberal, sehingga membahayakan norma-norma agama, nasionalisme, dan kemanusiaan yang hidup dan tumbuh kembang dalam masyarakat.

Untuk itu, berbagai perangkat perundang-undangan telah dikeluarkan, seperti UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan ragam peraturan pemerintah lainnya. Secara filosofis, publik memiliki hak yang dilindungi undang-undang untuk mendapatkan informasi, utamanya dari badan-badan publik (UU No 14/2008 pasal 4 ayat 1).

Pada era globalisasi dan keterbukaan saat ini, pemain-pemain penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, swasta, maupun komunitas lainnya, sedemikian ramai. Karena itu, diperlukan sebuah arah penyiaran yang selaras dengan keterbukaan global, namun tetap menjaga nilai-nilai bangsa.

Di wilayah-wilayah politik, keterbukaan diperlukan guna menciptakan mekanisme kendali terhadap penguasa negara. Di wilayah hiburan (entertainment), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus mampu menciptakan hiburan yang lebih sehat daripada kondisi yang ada pada saat ini. Secara sederhana, kualitas suatu bangsa dapat terlihat dari apa yang ia tonton atau ia baca.

Program-program seperti sinetron dan lainnya hanya mengumbar urusan percintaan, kekerasan, impian-impian kemewahan, sementara sebagian besar rakyat Indonesia masih harus berjuang untuk keluar dari kemiskinan. Skenario cerita yang terlalu sederhana, penuh dengan mistis, pergaulan yang liberal/permisif, dan lainnya hanya menawarkan hedonisme. Jika demikian halnya, sesungguhnya para pemain penyiaran (publik, swasta, berlangganan, dan komunitas) telah memberikan kontribusi yang tidak baik bagi perkembangan peradaban bangsa Indonesia.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, bangsa ini dapat berkembang menjadi bangsa yang tidak memiliki karakter, pemalas, dan berpikir instan. Komisi Penyiaran Indonesia berperan paling strategis untuk membina watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kesejahteraan umum (UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, pasal 3 dan pasal 5).

Secara riil, gambaran muatan/konten acap kali menjadi bagian yang paling penting bagi para pemirsa/pembaca. Bagian inilah yang langsung bersentuhan dan memengaruhi realitas kehidupan mereka. Memang tidak mudah menyiapkan sebuah program yang berkualitas, misalnya pada program televisi, mulai dari sisi skenario, pengambilan gambar, proses editing, hingga sulih suara/sub-title.

Itu semua tentu membutuhkan sikap kehati-hatian agar program yang akan ditayangkan tidak menuai protes dan sanksi. Pencarian iklan yang dapat mendukung bertayangnya suatu program tentu bukan menjadi urusan penting bagi pemirsa. Komisi Penyiaran Indonesia bersama pihak-pihak terkait lainnya, seperti Dewan Pers, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo), Komisi I DPR, dan asosiasi jurnalis terkait misalnya, memiliki kewajiban moral untuk membenahi pilar-pilar hukum yang menjadi landasan bergeraknya penyiaran yang berkualitas di Indonesia.

Saat ini perkembangan teknologi telah menjadikan banyak aspek kehidupan terkait. Dengan demikian, ide untuk menjadikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kovergensi (gabungan UU ITE, UU Telekomunikasi, UU Penyiaran), atas dasar pertimbangan aspek filosofis, sosiologis, dan yuridisnya, untuk menjadi undang-undang merupakan hal yang sangat relevan. Pertanyaannya, bagaimana mengenai ketumpangtindihan beberapa poin substansial terhadap undang-undang lain yang berlaku. Misalnya, UU Pers (UU No 40/1999) dan Undang-Undang Hak Cipta (UU No 19/2002).

Tantangan lainnya adalah keberanian untuk membuat terobosan diizinkannya lembaga penyiaran asing di Indonesia, yang terlebih dahulu harus disiapkan dan dimatangkan playing ground-nya. Sebagian dari masyarakat kita sudah lama menikmati lembaga penyiaran asing berupa program hiburan, seperti Channel FoxCrime, HBO, STAR World, AXN, AXN Beyond, FX, Hallmark, SciFi, dan sebagainya. Yang sifatnya berita juga sudah banyak kita nikmati, seperti CNN, Bloomberg, Sky News, Fox News, Euronews, Al Jazeera International, dan sebagainya.

Karena itu, publik sepatutnya tidak juga terhalangi untuk mendapatkan keterbukaan informasi dan hiburan yang sehat. Bangsa Indonesia perlu segera mengubah mind-set-nya sebagai warga dunia yang lebih efektif, tidak hanya melulu disuguhi isu-isu nasional belaka. Diizinkannya lembaga penyiaran asing beroperasi di Indonesia akan menjadikan tingkat kualitas kompetisi yang makin ketat, dan itu akan meningkatkan aneka ragam lembaga penyiaran di Indonesia.

Dunia penyiaran di Indonesia terus berkembang di tengah isu digitalisasi dunia penyiaran dan hambatan terlaksananya sistem stasiun jaringan (SSJ). Efisiensi kanal analog kepada teknologi digital akan memberikan kekayaan informasi yang lebih besar, yang dapat diberikan oleh perusahaan dan organisasi penyedia informasi (content provider).

Pemerintah bersama pihak-pihak terkait harus berperan maksimal dalam mengikuti perkembangan kecanggihan teknologi. Ini penting mengingat teknologi di satu sisi dapat mempercepat pertumbuhan kesejahteraan masyarakat, di tengah dunia yang telah mengalami keterbukaan/globalisasi. Mungkin, kita dapat mengambil pelajaran dari cara kerja Federal Communications Commission (FCC) di Amerika Serikat tentang penataan akomodasi perkembangan teknologi yang cepat dengan kebutuhan masyarakat yang segera terhadap teknologi.

Kecepatan pemerintah menyiapkan fundamental bagi keberadaan teknologi IPTV dan IP-Phone harus segera dituntaskan. Teknologi telah menjadi barang yang lumrah di kawasan lain. Untuk itu, dibutuhkan keberanian pemerintah untuk melepas dan membuka kemudahan akses teknologi kepada masyarakat dan penyelenggara telekomunikasi di Indonesia. ***

Penulis adalah Ketua Divisi Kerja Sama Internasionaldan Hubungan Luar Negeri CIDE

Tantangan KPID di tengah Era Konvergensi Media (sebuah catatan lama)

Dunia penyiaran saat ini dihadapkan pada perubahan akan struktur media dengan struktur yang baru karena terpicu oleh kemajuan teknologi. Perubahan ini menyentuh sendi kehidupan masyarakat dalam melakukan komunikasi, yang kemudian membawa pengaruh dunia penyiaran, baik dari sisi pengelolaan dan maupun distribusi. Masyarakat yang tadinya hanya sebagai penonton atau pendengar, kini dapat dengan leluasa terlibat secara aktif dan menjadi bagian dalam content penyiaran. Fenomena ini disebut sebagai konvergensi.

Kristomo (2010) menyebutkan bahwa konvergensi media membawa arti tentang penggabungan media telekomunikasi tradisional dengan internet sekaligus. Artinya semua informasi maupun data diubah dari format analog ke format digital sehingga dikirim ke satuan bit (binay digit), dan mengarah pada penciptaan produk aplikatif yang mampu melakukan fungsi audiovisual sekaligus komputasi. Perubahan ini memungkinkan media masa berbasiskan internet sehingga kemudian memiliki fitur baru untuk membentuk publik agar melakukan kebiasaan baru dalam mengakses program siaran. Misalnya, saat ini orang bisa mendengarkan radio tidak hanya melalui radio saja. Masyarakat penikmat program siaran pada era ini sekarang dengan mudah ikut serta dalam siaran di televisi atau radio, melalui kemudahan internet. Disatu sisi, partisipasi publik yang lebih terbuka dengan berbagai alternatif distribusi ini membawa angin segar bagi perubahan yang menggembirakan dan senafas dengan semangat reformasi. Namun demikian perubahan ini berdampak pada tidak ada lagi yang dapat mengatur atau membatasi publik untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan.

Demikian konvergensi media yang mendorong perubahan radikal, telah menggabungkan sifat-sifat media menjadi lebih mudah diakses dan dinikmati, sekaligus membutuhkan mekanisme kontrol baru yang berbeda.

Data Internet World Stats (IWS) pada tahun 2009 lalu, Indonesia disebut sebagai negara pengguna internet urutan kelima terbanyak di Asia, dan urutan kelima belas besar pengakses internet terbanyak di dunia. Dari data tersebut, didapatkan angka pengguna situs jejaring sosial yakni facebook di Indonesia telah mencapai 20 juta orang.

Seolah tak ingin ketinggalan dan mengikuti selera pasar, berbagai radio dan televisi mulai muncul dalam situs sosial tersebut. Mengingat media memiliki pengaruh besar dalam membentuk mental masyarakat, perkembangan dunia penyiaran yang merapatkan diri pada berbagai situs jejaring sosial idealnya dianggap sebagai peluang untuk memajukan bangsa. Ide-ide kreatif dapat muncul dari partisipasi masyarakat yang terbuka luas melalui konvergensi media, dan struktur baru ini mengundang pula sisipan program siaran baik yang positif atau negatif. Yang terakhir, tentu tidak diharapkan bagi tumbuh kembang bangsa Indonesia dan secara khusus masyarakat Jawa Tengah.

Masyarakat Jawa Tengah membutuhkan program siaran yang sarat informasi mengenai perubahan yang tengah terjadi akibat era global, sekaligus informasi mengenai bagaimana seharusnya masyarakat itu sendiri menjadi filter atas budaya baru yang muncul dan berkembang. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi setiap insan yang bekerja di bidang penyiaran. Baik bagi pengelola lembaga penyiaran atau production house yang memproduksi tayangan bagi publik. Di tengah ketatnya persaingan ekonomi dan bisnis yang berdampak pada pembiayaan program siaran, kecenderungan pengelola bisnis siaran seringkali memilih untuk memproduksi siaran yang berbudget rendah namun mampu mencapai rating tinggi. Hasilnya sudah dapat ditebak, program siaran yang muncul adalah program hiburan yang tanpa bobot, dan hal ini berlangsung terus menerus ditengah pergeseran global dunia.

Integrasi dunia penyiaran model lama dengan internet tidak selamanya cukup mudah dan murah, terutama bagi pengelola radio siaran swasta. Pada kenyataannya sebagian besar pengelola radio siaran swasta memulai usaha berbadan hukum perseroan terbatas itu karena dorongan hobi. Kini dengan makin bermunculannya pilihan dan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan layanan siaran yang kredibel dan up to date, kebutuhan pengelola radio pada manajemen yang profesional makin bertambah besar. Dari sisi lain, hidup radio siaran swasta bergantung sepenuhnya pada pendapatan iklan. Mekanisme pasar yang sederhana pun sering terlihat pada berbagai pengelolaan radio : iklan sedikit, penyiar yang tidak kompeten, dan hasilnya adalah program siaran yang hanya menyuguhkan hiburan tanpa muatan untuk peningkatan informasi bagi masyarakat.

Menjaga eksistensi lembaga penyiaran di Jawa Tengah idealnya dilakukan sekaligus pada dua sisi. Yang pertama adalah sisi masyarakat dan yang kedua kepada pengelola lembaga penyiaran. Masyarakat berhak mendapatkan program siaran yang dirancang dengan target capaian tertentu. Artinya siaran yang telah menggunakan frekuensi publik tidak bisa dirancang asal jadi, atau asal mengudara, dan hanya untuk memenuhi kuota jam siaran. Masyarakat juga membutuhkan hiburan sehat yang memiliki makna ganda sebagai ajang rekreasi, bersosialisasi, termasuk mendapat informasi yang membangun. Masyarakat juga berhak untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan program pemerintah dengan kemasan yang menarik dan tidak membosankan tetapi justeru memancing peran serta masyarakat agar terlibat secara langsung dalam membantu mensukseskan program pemerintah. Program Bali nDesa Mbangun nDeso atau Program Provinsi Jawa Tengah sebagai Provinsi Vokasi akan dapat terlaksana dengan kecepatan dua kali lipat sebagai akibat partisipasi langsung masyarakat. Kekuatan ini terletak pada media penyiaran sebagai akselerator.

Dari sisi pengelola lembaga penyiaran, dengan adanya serbuan pergeseran teknologi informasi dan menyatukan berbagai fungsi media kedalam satu gadget saja, perlu kejelian untuk tidak membiarkan begitu saja hukum rimba yang mungkin akan terjadi pada lembaga penyiaran konvensional. Siapa kuat, dia yang bertahan. Lembaga penyiaran yang telah memiliki ijin frekuensi dan ijin siaran merupakan bagian dari tanggung jawab regulator. Dalam konteks ini adalah penguatan dan penajaman pada pengelolaan manajemen, yang terkait pada tiga aspek utama yakni : SDM, program siaran, dan pemanfaatan teknologi.

Penguatan manajemen pada aspek sumberdaya manusia atau SDM mengacu pada ketersediaan penyiar dan program siaran sebagai ujung tombak lembaga penyiaran. Mereka bagai magnet yang akan menarik perhatian masyarakat, sehingga memampukan masyarakat menerima dengan jelas dan baik hampir semua informasi yang diterima. Penyiar yang kompeten merupakan kebutuhan mutlak pada era digital ini, mengingat posisinya sebagai jembatan antara dunia luar dan masyarakat. Penyiar tidak hanya diharapkan dapat berbicara secara personal kepada masyarakat dengan tujuan yang lebih makro, tetapi ia sekaligus menjadi simbol bagi sukses tidaknya sebuah program siaran yang dirancang. Aspek kedua adalah manajemen program siaran, yang mengacu pada kebutuhan penguatan (bukan sekedar kontrol dan monitor) akan materi siaran itu sendiri. Fenomena mengenai program siaran yang menonjolkan sisi negatif dalam bentuk kemiskinan, kebodohan, tindakan asusila telah dikemas dalam tayangan yang justru berkesan mengeksploitir. Namun tayangan seperti ini laris di tingkat rating program siaran. Masyarakat Indonesia yang menurut data Bappenas (2010) sebagian besar berasal dari pendidikan sekolah dasar, akan terhibur dengan tayangan ini meskipun tidak ada unsur edukasinya.

Aspek manajemen yang ketiga, dalam upaya penguatan pengelola lembaga penyiaran adalah pemanfaatan teknologi yang seringkali membawa arti investasi yang lebih besar. Tidak saja pada radio, televisi lokal akan menghadapi problematika yang sama. Tanpa sentuhan teknologi baru, media mereka akan terlihat ketinggalan jaman, sementara mengejar dengan pertarungan teknologi membutuhkan dana yang tidak sedikit. Demi image, beberapa stasiun radio mengusung slogan hot spot di lingkungan siaran mereka. Tentu tidak semua pengelola radio bisa mengusahakan fasilitas ini. Disinilah peran regulator ditunggu dan diharapkan sehingga mampu melindungi lembaga penyiaran yang sudah mengantongi ijin legal beroperasi. Karena, sangat mudah untuk gulung tikar atau berganti kepemilikan daripada mempertahankan dan berupaya dengan inovasi yang strategic sehingga melampaui persoalan yang hampir homogen ini.

Tantangan KPID

Dalam era konvergensi media yang memungkinkan perubahan distribusi siaran kedalam struktur baru yang makin terbuka, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah atau KPID dihadapkan berbagai tantangan untuk menjaga integritas bangsa melalui program siaran. Tantangan KPID dalam ikut mewujudkan masyarakat Jawa Tengah yang kompeten, sejahtera, dan memiliki basis ekonomi kerakyatan yang tangguh sesuai misi pemerintah provinsi, seyogyanya ikut diterjemahkan dalam program kerja KPID sebagai regulator lembaga penyiaran di Jawa Tengah. Lembaga penyiaran memiliki kekuatan persuasif sehingga bisa menggerakkan massa, memberikan edukasi, dan bahkan membantu aparat keamanan menjaga ketertiban wilayah, adalah berbagai unsur kekuatan lembaga penyiaran yang tumbuh atau surutnya merupakan bagian dari tanggung jawab KPID.

Pada masa dimana media menjadi lebih variatif dan meninggalkan cara-cara serta kebiasaan konvensional, telah menumbuhkan kebutuhan baru akan sebuah sistem yang mengayomi dan memperkuat sekaligus menjaga bobot informasi dan program siaran yang sampai tersaji kepada masyarakat Jawa Tengah. KPID secara khusus diundang untuk lebih meningkatkan inovasinya dalam figur lembaga yang menjadi representasi antara masyarakat dan pemerintah. Sebagai lembaga negara yang bertugas memastikan industri penyiaran berkembang secara sehat dan memberi nilai tambah kepada masyarakat, KPID menjadi tumpuan untuk tidak berhenti pada persoalan-persoalan lama yang melakukan fungsi kontrol program siaran, tetapi juga mengembangkan sistem untuk memastikan alur dua arah antara lembaga penyiaran dan masyarakat yang kini berlangsung tidak saja melalui jalur konvensional, agar tetap pada batasan dan koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Martabat sebagai negara kesatuan yang perlu terjaga melalui ranah penyiaran menjadi amanah bagi KPID dan sebaiknya dijalankan dengan paradima global. Pergeseran pembatasan kanal frekuensi siaran dengan kepemilikannya saat ini telah menghadapi tantangan baru. Pada era konvergensi media ini, setiap orang di Jawa Tengah dapat dengan mudah mengakses siaran radio dari belahan negara lain di dunia. Siaran dari Amerika Serikat, Arab Saudi, Inggris atau negara manapun dapat diakses menggunakan alat komunikasi sederhana seperti handphone. Disini perlu kearifan lokal yang terus dikumandangkan melalui lembaga penyiaran Indonesia, sehingga mampu membekali masyarakat dengan semangat nasionalisme dan memilih hanya yang terbaik bagi dirinya.

Demi terciptanya penyiaran yang bermartabat, KPID juga akan ideal jika memberikan perhatian kepada kompetensi SDM dari penyiar yang menjadi ujung tombak lembaga penyiaran. Hal ini sesuai dengan semangat Pemerintah Provinsi untuk mengembangkan sumberdaya manusia yang kompeten secara berkelanjutan. Salah satunya dapat dilakukan dengan melibatkan kerjasama antar stakeholders dan mendorong terwujudnya Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) bidang penyiaran, yang disusun oleh para pakar bidang industri penyiaran, serta mendorong terbangunnya Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Penyiar. Keberadaan SKKNI bidang penyiaran nantinya akan menjadi dasar pelaksanaan uji kompetensi bagi penyiar dan awak siaran lain. Sementara keberadaan LSP Penyiar akan menjadi lembaga uji sekaligus mengeluarkan sertifikat kompetensi bagi para penyiar.

Langkah ini merupakan loncatan strategis yang melibatkan banyak pihak, dimana KPID sebagai simpul utama sebaiknya terlibat didalamnya sebagai fasilitastor ataupun pengerak. Pergeseran mekanisme penyediaan tenaga penyiar akan memutus mata rantai konvensional yang selama ini terjadi dalam pendidikan calon penyiar. Lembaga diklat yang khusus mendidik calon penyiar saat ini masih sangat jarang jumlahnya di Jawa Tengah. Dengan keberadaan SKKNI dan LSP penyiar, KPID secara langsung telah menjadi lembaga yang memperkuat industri penyiaran dalam konteks ketersediaan penyiar kompeten dan siap kerja. Dalam konteks yang lain, pelaksanaan uji kompetensi bagi penyiar nantinya diharapkan mampu meningkatkan bargaining power bagi para penyiar kepada pengelola bisnis radio, sehingga profesi penyiar yang menjadi ujung tombak lembaga penyiaran tidak dipandang sebelah mata karena numenerasi yang tidak terstandarisasi.

Strategi Penyiaran Berbasis Pendidikan dan Budaya

Penyiaran adalah pentas atau panggung yang dikemas melalui frekuensi publik dan dapat dinikmati secara cuma-cuma. Sebagai bagian dari pentas, penyiaran terkait langsung dengan bagaimana mengemas sebuah program siaran yang menarik minat audience, mengajak audience terlibat, dan pada akhirnya mempengaruhi audience untuk percaya atau menerima informasi yang ditawarkan. Begitu strategisnya peran penyiaran dalam struktur masyarakat, sehingga adakalanya mengundang interest bagi pihak tertentu untuk memiliki lembaga penyiaran dan melakukan propaganda seperti yang menjadi tujuan. Bagi Indonesia, kepemilikian lembaga siaran harus bersih dari kepentingan golongan tertentu dan bebas dari kepentingan kelompok, sekaligus dituntut untuk mampu memberikan layanan yang optimal untuk memanjakan audience. Karakter audience yang membutuhkan program siaran sesuai dengan gaya hidup mereka, pendidikan, dan pergaulan melahirkan serangkaian segmentasi bagi penciptaan program siaran. Makin mendekati karakter audience, makin program siaran disukai. Bagaimana menciptakan program siaran yang dapat memenuhi selera para pihak termasuk para pembeli iklan merupakan pertanyaan setiap pengelola industri penyiaran.

Tak ada mantra paling ajaib yang dengan begitu saja dapat menyulap program siaran mendapat rating tinggi. Namun demikian, kata kunci Kemasan Program, akan tetap menjadi pintu masuk pertama bagi kesuksesan sebuah program siaran. Ditengah harapan pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan menjaga budaya bangsa, lembaga penyiaran memiliki kesempatan besar untuk mewujudkan harapan terciptanya masyarakat yang bermartabat, sejahtera, dan memiliki pengetahuan dan pendidikan yang memadai. Peluang ini tidak selamanya ditangkap oleh pengelola lembaga penyiaran, yang kerap kali memilih untuk mendesain program yang monoton, dan seragam antar industri. Beberapa stasiun radio memilih untuk siaran lagu dan berkirim salam, dengan alasan program seperti ini yang akan menarik perhatian khalayak. Alasan ini, menandakan ketidakmampuan pengelola dalam mengenali karakter audience-nya, yang bagaimanapun segmentasi pendengarnya, seharusnya akan mampu menerima informasi yang disampaikan oleh penyiar.

Bagi stasiun televisi hal ini tak jauh berbeda. Ketika program siaran human interest yang disiarkan dalam bentuk reality show mulai marak, maka beberapa televisi lokal mulai meniru dengan sedikit kreatifitas, yang kadang justru tidak pas bagi kondisi lokal. Keprihatinan akan minimnya pemahaman pengelola dalam menciptakan dan mengemas program siaran dengan unsur edukasi dan budaya tanpa meninggalkan unsur hiburan perlu mendapatkan tanggapan yang serius. Sehingga selain melindungi lembaga penyiaran yang ada di Jawa Tengah, sudah menjadi tugas regulator penyiaran untuk memperkuat skill dan knowledge bagi pengelola lembaga siaran dalam setiap segi manajemen demi layanan optimal bagi masyarakat sekaligus membawa masyarakat kepada tatanan sosial yang lebih berkembang dan berbudaya.

Supaya posisi dan regulasi aturan tentang Penyiaran lebih jelas, pemerintah harus melakukan Revisi UU Penyiaran No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Demikian kata BAMBANG SUBIANTORO Pengamat Media dan Penyiaran.

Kalau UU Penyiaran direvisi, hubungan kelembagaan dan kewenangan tentang Penyiaran juga akan lebih jelas. Apalagi, selama ini UU Penyiaran belum mampu meng-cover kemajuan teknologi informasi. Misalnya, belum adanya aturan tentang munculnya teknologi radio dan video streaming.

Kepada Suara Pasuruan, mantan Dirjen Sarana Komunikasi dan Desiminasi Informasi (SKDI) Kemenkominfo ini menyatakan rasa optimismenya, kalau Revisi UU no 32 tentang Penyiaran, bisa memperbaiki Penyiaran di Indonesia. Asalkan, dilakukan secara komprehensif yang bisa meningkatkan kualitas Penyiaran. Contoh, UU tentang Pornografi yang selama ini masih bersifat ambigu.

Selama tata cara pembuatan dan aturan di dalam UU ditaati semua pihak, Revisi UU Penyiaran, tidak akan ada masalah. Minimal, dalam pembuatan/ penyusunan Revisi UU, DPR harus punya naskah akademis. Sehingga ada pijakan dalam penentuan pasal-pasal di dalam UU.

Supaya dalam pelaksanaannya Revisi UU Penyiaran bisa dilaksanakan dinamis, semua masyarakat harus memahami betul. Kalau Penyiaran, milik bersama. Sekaligus alat demokratisasi yang akan menjadikan masyarakat Indonesia hidup lebih baik.

Sebagai Praktisi Penyiaran, BAMBANG SUBIANTORO berharap, penyiaran di masa depan didukung tiga hal. Diantaranya, didukung regulasi yang benar-benar melindungi penyelenggaraan Penyiaran. Sekaligus melindungi penerima informasi.

Sementara itu, DJOKO CAHYONO Praktisi Penyiaran menilai, wacana Revisi UUPenyiaran oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, adalah satu hal yang sia-sia! Karena, sampai sekarang, manfaat Amandemen atau Revisi UU No 32 tentang Penyiaran itu sendiri masih belum ada kejelasan. Sehingga dikhawatirkan, wacana Revisi UU No 32 sangat berpotensi tidak akan terlaksana dengan baik.

Dalam hal ini, publik akan dirugikan, ketika DPR menjadikan UU No 32 sebagai hak inisiatif. Yang pada akhirnya, berpotensi besar menimbulkan konflik antara pemerintah dengan Komisi Penyiaran Indonesia, dalam hal Ijin Penyiaran.

Sebagai Praktisi Penyiaran, JOKO pesimis, wacana Amandemen atau Revisi UU Penyiaran, bisa terlaksana dengan baik. Karena, sampai sekarang, anggota Komisi 1 DPR yang mengerti tentang Penyiaran, sangat sedikit. Sehingga, mustahil kalau mereka nantinya bisa melaksanakan Revisi UU No 32 tentang Penyiaran.

Untuk itu, harusnya, yang dilakukan pemerintah sekarang, melaksanakan secara konsisten UU Penyiaran sekaligus menginventarisirnya. Sesudah diketahui kelemahan-kelemahannya, baru kemudian pemerintah boleh melakukan Amandemen atau Revisi.

Selama UU Penyiaran tidak dilaksanakan secara konsisten, Revisi UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, tidak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, justru akan menimbulkan masalah baru dalam aturan Penyiaran. Kalau toh semisal UU Penyiaran jadi direvisi, JOKO mengatakan, dalam aplikasinya nanti bisa dipastikan, tidak akan ada pengawasan di dalam tubuh DPR.

Di sisi lain, JOKO CAHYONO Praktisi Penyiaran mengatakan, terlepas dari publik yang berpotensi besar dirugikan ketika UU Penyiaran benar-benar akan direvisi, ada sisi positif yang akan diperoleh masyarakat. Minimal, secara tidak langsung, mereka mendapat edukasi dan informasi, tentang esensi dan manfaat penyiaran. Kalau semisal nantinya Revisi UU tidak membuahkan hasil positif, masyarakat berhak melakukan Yudicial Review, melalui prosedur hukum yang ada. Apakah kemudian Mahkamah Konstitusi akan melakukan pembatalan UU, atau ada beberapa pasal yang direvisi. (EKA MARIA)

DAFTAR ISI

COVER.....................................................................................................................i

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI...........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................1

1.1 Latar Belakang Masalah.........................................................................1

1.2 Perumusan Masalah................................................................................2

1.3 Kerangka Pemikiran...............................................................................2

1.4 Tujuan Makalah......................................................................................2

1.5 Sistematika Penulisan.............................................................................3

BAB II ISI DAN PEMBAHASAN.....................................................................4

2.1 Sejarah Yogyakarta................................................................................4

2.2 Kondisi Geografi....................................................................................6

2.3 Perekonomian.........................................................................................8

2.4 Sosial Budaya.......................................................................................11

2.5 Tata Ruang dan Infrastruktur...............................................................16

2.6 Pemerintahan Daerah Istimewa............................................................18

BAB III PENUTUP...........................................................................................23

3.1 Kesimpulan...........................................................................................23

3.2 Saran......................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................24

Revisi UU Penyiaran dan Tantangan KPI

Oleh Rusdin Tompo

Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran

KPID Sulawesi Selatan

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tengah menghadapi tantangan berat justru ketika lembaga negara independen itu hendak melakukan penegakkan hukum penyiaran. Keputusan KPI menghentikan penyiaran Headline News Metro TV selama tujuh hari, dan mengharuskan lembaga penyiaran swasta itu menyampaikan permohonan maaf sebanyak tiga kali sehari selama tiga hari berturut-turut, justru dinilai oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan beberapa wartawan senior sebagai bentuk ancaman terhadap kebebasan pers.

Sikap tegas KPI diambil karena Metro TV terbukti telah menayangkan secara detail dan vulgar cuplikan adegan video porno ketika menyampaikan pemberitaan tentang razia video porno di sebuah warnet di Trenggalek, Jawa Timur. Penayangan materi pornografi seperti ini jelas dilarang oleh UU Penyiaran (Pasal 36 ayat 5 huruf b) dan Peraturan KPI tentang Standar Program Siaran (Pasal 17 huruf k). Tak ayal, kasus ini kemudian memunculkan polemik seputar kewenangan KPI dan Dewan Pers. Bagi KPI, semua pelanggaran di ranah penyiaran (TV dan radio) berada di bawah kewenangannya. Sementara Dewan Pers menganggap, sepanjang terkait dengan karya jurnalistik atau praktik jurnalisme maka hal itu berada dalam cakupan otorisasi Dewan Pers.

Munculnya sengketa kewenangan antara KPI-Dewan Pers dapat dibaca sebagai akibat tumpang tindihnya regulasi. Sinyalemen ini sudah dikemukakan oleh Paulus Widiyanto dari Masyarakat Komunikasi dan Informasi (MAKSI) Masyarakat Cipta Media (MCM) dalam presentasinya pada Rapat Koordinasi (Rakornas) KPI di Bandung, 5-8 Juli 2010. Paulus bahkan menilai, sejumlah rumusan dalam UU Penyiaran belum final, tidak jelas, ambigu, dan tidak tegas. Artinya, rumusan-rumusan dimaksud harus direvisi, diformulasikan ulang sesuai tuntutan zaman.

Rakornas KPI itu memang meninggalkan setumpuk agenda krusial yang belum terjawab. Situasi ini mengingatkan saya pada pernyataan Hinca IP Pandjaitan bahwa sampai sepuluh tahun ke depan kita masih akan sibuk mengurai belukar masalah penyiaran. Kalimat yang dilontarkan dalam sebuah kesempatan makan malam di Makassar itu, seperti menyadarkan saya untuk terus awas terhadap arah perubahan regulasi penyiaran, yang kini sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Maklum saja, dalam Rakornas itu, rencana revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menjadi salah satu tema utama yang serius dibahas. Indikasinya, banyak narasumber yang diberi alokasi waktu untuk gelar wacana seputar revisi UU tersebut. Selain dari KPI, ada unsur pemerintah, perwakilan industri, dan organisasi masyarakat urun rembug memberi masukan berdasarkan perspektif masing-masing.

Meski revisi yang bakal dilakukan hanya bersifat terbatas tapi kata-kata mantan Menkominfo Sofyan Jalil, patut diresapi. Dikatakan, Ibarat nyamuk satu tapi temannya banyak. Kita ubah satu pasal, pasal-pasal lain ikut diubah. Berdasarkan usulan KPI pada Rakornas tersebut, paling tidak terdapat sekira 30 item dari 64 pasal UU Penyiaran akan mengalami perubahan, mulai dari sekadar koreksi redaksional, perubahan substantif pasal-pasal tertentu, hingga pengembangan atau pembuatan bab dan pasal-pasal baru.

Mochamad Riyanto, yang mewakili KPI, menjelaskan bahwa secara mendalam seharusnya muatan materi hukum atau kaedah-kaedah hukum di dalam perubahan UU Penyiaran menggambarkan kerangka akuntabilitas media dengan dua tipe. Pertama, tipe model of rules yang berdimensi rule centered, yaitu orientasi pengaturan sistem penyiaran dengan memusatkan pada ketaatan peraturan perundang-undangan, prosedur yang benar, serta yurisdiksi dan kewenangan yang tegas. Kedua, tipe legal realism, artinya bahwa UU Penyiaran harus membentuk pola pikir atau nalar hukum yang mencakup pengetahuan dalam konteks sosial dan professional responsibility yang bersentuhan dengan teknologi yang melibatkan penerapan pengetahuan (technology involves the application of knowledge). Sekaitan dengan itu, ditawarkan dua pendekatan perubahan UU Penyiaran. Pertama, pendekatan integrasi di mana UU Penyiaran, UU Telekomunikasi, UU ITE di-converge. Kedua, perubahan yang bersifat menyempurnakan, mengubah atau merevisi pasal-pasal yang saling beririsan (interface).

Sistem Stasiun Jaringan

KPI telah menyiapkan daftar inventarisasi masalah (DIM) rancangan perubahan UU Penyiaran, di antaranya menyangkut penyelenggaraan siaran melalui sistem stasiun jaringan (SSJ), sebagaimana diatur dalam Pasal 31. KPI mengusulkan agar stasiun TV swasta yang menyelenggarakan SSJ wajib mencantumkan logo lembaga penyiaran lokal sepanjang siarannya. Penayangan logo ini untuk mempertegas bahwa stasiun TV tersebut sudah berbadan hukum lokal. Hal itu sekaligus mengimplikasikan telah terbangun pola kemitraan antara stasiun TV yang menjadi induk jaringan dengan anggota jaringannya.

Walaupun SSJ merupakan perintah UU Penyiaran, namun pelaksanaannya berlangsung alot dan cenderung terjadi tarik-ulur. SSJ yang sejatinya mulai berlangsung akhir 2007, dimentahkan oleh pemerintah melalui Permen Kominfo No. 32/2007 yang mengatur mengenai penyesuaian penerapan SSJ. Pemerintah terkesan memanjakan industri dengan membolehkan mereka tetap bersiaran secara tersentralisasi, yang jelas-jelas tidak senapas dengan spirit desentralisasi penyiaran. Padahal, sejatinya pelaksanaan SSJ merupakan implementasi prinsip keberagaman kepemilikan dan keberagaman isi siaran.

Baru pada akhir Desember 2009, 10 stasiun TV berbasis di Jakarta dipaksa mengikuti pelaksanaan SSJ, setelah keluarnya Permen Kominfo No. 43/2009. Itu pun, belum seluruhnya menyelesaikan proses perizinan pada tahapan evaluasi dengar pendapat (EDP) di KPID setempat. Berdasarkan data ATVSI, jumlah stasiun relai yang belum berubah menjadi stasiun lokal berjaringan sebanyak 41 stasiun di seluruh Indonesia. Pihak industri mengaku cukup hati-hati melaksanakan SSJ, lantaran arah regulasi penyiaran kita belum fokus, apakah akan konsisten pada pelaksanaan SSJ atau akan dilakukan migrasi penyiaran dari analog ke digital.

Digitalisasi Penyiaran

Digitalisasi penyiaran memang termasuk aspek yang mendapat perhatian di dalam usulan revisi UU Penyiaran. Hal ini penting mengingat definisi lembaga penyiaran hanya disebutkan adalah penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran berlangganan, seperti diatur pada Pasal 1 poin 9. Ketentuan ini belum mencakup penyiaran digital, yang membedakan antara network provider dan content provider.

Freddy H Tulung, Dirjen SKDI Depkominfo, menyebut sedikitnya ada enam alasan, mengapa migrasi penyiaran itu sudah harus dilakukan, yakni 1) tuntutan perkembangan global; 2) harmonisasi frekuensi di daerah perbatasan dengan negara tetangga; 3) mengatasi keterbatasan kanal frekuensi; 4) efisiensi infrastruktur (penggunaan tower bersama); 5) kualitas gambar dan suara yang jauh lebih baik (tidak noise dan tidak ghosting); dan 6) penerimaan lebih stabil dalam keadaan mobile.

Pada praktiknya, penyiaran digital ini sudah dimulai pelaksanaannya oleh TVRI, pada pertengahan Agustus 2008, bertepatan dengan penyelenggaraan Olimpiade Beijing, China. Dalam proses siaran digital itu, TVRI menggunakan beberapa kanal. Satu kanal berisi TVRI Nasional, kanal dua bermaterikan siaran TVRI DKI yang bergantian dengan siaran olimpiade, kanal berikutnya diisi RRI Nasional dan Pro 2, serta satu kanal lagi dipersiapkan untuk datcasting yang bentuknya dapat berupa informasi prakiraan cuaca, dan sebagainya.

Meski pemerintah telah membuat pilot project digitalisasi penyiaran dan berharap pada tahun 2015 nanti kita sudah akan mengucapkan selamat tinggal pada teknologi penyiaran konvensional, kenyataannya regulasi menyangkut hal ini tidak memadai. Pemerintah bahkan belum maksimal melakukan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka dapat memasuki transisi dari penyiaran analog ke digital. Sebab, secara teknis, hanya pesawat TV yang memiliki perangkat set top box saja yang bisa menangkap siaran TV digital. Padahal, masih banyak masyarakat kita memiliki pesawat TV analog, dan jenis pesawat TV seperti ini masih dijual di pasaran.

Konvergensi Media

Persoalan lain, yang sangat krusial dibahas terkait rencana revisi UU Penyiaran adalah menyangkut persoalan konvergensi media mengingat, saat ini, kita sudah bisa menonton TV dan mendengarkan radio melalui internet dan HP. Jika merujuk pada pendekatan integrasi maka pilihan regulasinya menjadi satu. Namun wacana untuk membuat sebuah RUU Konvergensi juga mengemuka, sehingga memunculkan pertanyaan, apakah Indonesia akan mengarah pada single regulatory frame work atau multiple regulatory frame work.

Sejak 1990-an, istilah konvergensi paling umum dipakai dalam perkembangan teknologi digital, integrasi teks, angka, bayangan dan suara, serta unsur yang berbeda-beda dalam media (Briggs dan Burke, 2006). Kini, kata konvergensi digunakan baik untuk organisasi maupun untuk proses, terutama sekali bersatunya industri media dan telekomunikasi. Kata ini belakangan dikaitkan dengan rencana amandemen UU Penyiaran, khususnya mengenai pasal-pasal yang mengatur tentang radio komunitas dan lembaga penyiaran berlangganan. Menurut KPI, dalam konteks perkembangan teknologi multimedia, terminologi luas jangkauan wilayah terbatas seperti disebut dalam Pasal 21 ayat (1) perlu diubah atau dihilangkan. Sebab, sebuah radio komunitas sekalipun bisa diterima jauh dari wilayah jangkauan siarnya jika memanfaatkan teknologi streaming.

Begitupun dengan pasal mengenai lembaga penyiaran berlangganan (Pasal 26 ayat (1)) diusulkan untuk menambah lembaga penyiaran berlangganan melalui multimedia guna mengantisipasi maraknya penggunaan internet sebagai media penyiaran (IPTV). Hukum memang selalu tertatih-tatih mengikuti perkembangan masyarakat, dan terutama kemajuan teknologi yang begitu dinamis.

Penguatan KPI

Dalam menghadapi tren penyiaran seperti itu, diperlukan regulator yang punya legitimasi hukum yang kuat. Karena itu, pasal-pasal yang mengatur hubungan KPI Pusat-KPID juga diminta untuk diperjelas, apakah akan tetap bersifat koordinasi atau struktural dalam satu jalur komando. Pengaturan hubungan keduanya juga menyangkut kewenangan KPI Pusat dalam membuat peraturan KPI atas usul KPID. Usulan lain, yakni mencakup penambahan tugas dan kewajiban KPI melakukan penelitian dan pengawasan terhadap audit rating untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat.

Dalam rangka penguatan KPI, juga diusulkan agar masa tugas anggota KPI diubah dari 3 tahun menjadi 5 tahun untuk menjamin kontinuitas kerja, sekaligus untuk mengawal rumusan kebijakan yang telah diputuskan. Selain itu, revisi juga diikhtiarkan akan mencakup sumber pembiayaan KPID serta penegasan bahwa pimpinan dan anggota KPI adalah pejabat Negara.(*)

Memenangkan Martabat Penyiaran Daerah

Oleh : Zelfeni Wimra

Pengamat Penyiaran

Padang Ekspres Senin, 14/10/2013 11:14 WIB 71 klik

Memenangkan martabat penyiaran sebagai media pemersatu bangsa yang berkearifan merupakan salah satu tujuan dari keberadaan Komisi Penyiaran di Indonesia. Dalam perjalanan regulasinya, telah lahir Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 yang mengatur, mengawasi, dan mengendalikan lembaga penyiaran. Mengingat Indonesia adalah negara kesatuan yang berdiri atas dasar Bnineka Tunggal Ika, maka undang-undang ini pun menganut asas yang sama, yakni berbhineka dalam isi siaran (diversity of content) serta berbhineka dalam kepemilikan lembaga siaran (diversity of ownwership).

Kebhinekaan dalam makna filosofis adalah sebuah titik puncak di mana penyiaran nasional itu sesungguhnya adalah puncak dari penyiaran-penyiaran daerah. Tanpa keteraturan lembaga penyiaran yang menyeluruh ke seantero daerah di Indonesia, dipastikan, sulit mewujudkan martabat penyiaran yang muaranya adalah sebagai media pemersatu bangsa; media penghubung lintas budaya; media yang mengangkat kualitas hidup dan martabat kemanusiaan.

Memulai kegiatan memenangkan martabat bangsa melalui pengaturan, pengawasan, dan pengendalian lembaga penyiaran di Indonesia ini, lebih tepat dilakukan dengan mengukur kebutuhan bersiaran di daerah. Mekanisme bersiaran seperti apa sesungguhnya yang dinilai bermartabat oleh daerah-daerah di Indonesia? Kompetisi antara Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, Lembaga Penyiaran Komunitas, dan Lembaga Penyiaran Berlangganan tidak serta merta dipandang aman. Sebab, regulasi penggunaan frekuensi juga memungkinkan eksistensi Lembaga Penyiaran Asing merebut peran penting. Dalam konteks ini, Komisi Penyiaran Daerah mesti punya rumusan konsep yang secara ideologis dan praktis mampu menjadi solusi bagi kompleksitas persoalan bersiaran. Rumusan tersebut mengandung visi memenangkan martabat penyiaran daerah menuju martabat penyiaran nasional.

Media penyiaran (radio dan televisi) memiliki potensi sangat strategis dalam memproduksi ide dan pesan yang bermartabat dimaksud. Ruang pandang, ruang dengar, bahkan ruang berpikir masyarakat penonton berhubungan langsung dengan ide-ide dan pesan-pesan yang terkandung dalam sebuah siaran. Proses ini bisa dilangsungkan secara terus-menerus mengingat media penyiaran memproduksi ide dan pesan tersebut setiap hari. Apabila ide dan pesan sebuah siaran baik, dampaknya diharapkan baik. Sebaliknya, apabila ide dan pesannya tidak baik, dikhawatirkan dampaknya juga tidak baik terutama bagi dinamika dan harmonisasi pertumbuhan kualitas kehidupan masyarakat. Pertanyaannya, apakah ada jaminan bahwa setiap produksi siaran yang langsung tersaji ke ruang tamu bahkan di kamar rumah setiap orang tersebut berdampak baik atau tidak baik? Bagaimana pula status budaya lokal dalam menjaga martabatnya sebagai sistem kearifan masyarakat?

Menjawab pertanyaan di atas, diperlukan rumusan konsep yang tujuannya mengawal progresivitas media penyiaran dalam bersiaran. Pengawalan tersebut dilakukan secara praktis dan terus menerus, seiring dengan gerak laju media penyiaran. Di Indonesia, berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2002, jaminan pengawasan, pengembangan isi siaran serta status kepemilikan lembaga siaran dibebankan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Komisi ini diamanatkan bekerja sama dengan pemerintah dalam proses penguatan regulasi hingga pengawasan lembaga penyiaran. Kerja sama tersebut berasaskan kebhinekaan yang melekat pada tubuh NKRI. Sebagaimana telah dikemukakan pada pendahuluan, terdapat kebhinekaan di bidang isi siaran (diversity of content) dan kebhinekaan di bidang kepemilikan lembaga penyiaran (diversity of ownwership).

Akan tetapi, pada perkembangannya, Undang-Undang No 32 Tahun 2002 ini tengah melewati proses pengujian. Sejumlah pengamatan yang digulirkan kritikus media mengungkapkan, terdapat sejumlah pasal yang belum matang. Pasal-pasal tersebut antara lain Pasal 14 ayat 10 tentang Lembaga Penyiaran Publik; Pasal 18 Ayat 3 tentang Cakupan Wilayah Siaran; Pasal 18 Ayat 4 tentang Penguasan dan Pembatasan Lembaga Penyiaran Swasta; Pasal 29 Ayat 2 tentang Tata Cara dan Perizinan Lembaga Penyiaran Berlangganan; Pasal 31 ayat 4 tentang Sistem Stasiun Berjaringan; Pasal 33 ayat 8 tentang Ketentuan Tentang Tata Cara Persyaratan Perizinan Penyelenggaraan Penyiaran; Pasal 30 ayat 3 tentang Pedoman Kegiatan Peliputan Lembaga Penyiaran Asing; Pasal 32 Ayat 8 tentang Rencana Dasar Teknik Penyiaran dan Persyaratan Teknis Perangkat Penyiaran; dan Pasal 55 ayat 3 tentang Sanksi-Sanksi dalam Pelanggaran UU Penyiaran.

Terdapat kekhawatiran akan terjadinya negosiasi kewenangan antara KPI, pemerintah, dan lembaga penyiaran yang secara pragmatis juga menganut ideologi pasar. Keadaan semacam ini, sebut saja sebuah percaturan penyiaran, pada galibnya akan bermuara kepada pemenangan ideologi atau kepentingan. Dari aspek industrial, ada juga aspek ideologis. Gambar dan suara bisa dipakai untuk melakukan propaganda. Pertempuran sejati yang berlangsung saat ini adalah memperebutkan siapa yang akan diperkenankan mengontrol citra dunia, yang dengan itu akan dapat menjual gaya hidup tertentu, budaya tertentu, produk-produk tertentu, dan gagasan-gagasan tertentu (Barber, 1996).

Tatanan dan tuntunan kehidupan masyarakat yang semula bergerak atas keraifan lokal melaju ke dalam lingkaran industri yang hanya mengenal untung dan rugi. Tatanan dan tuntunan tadi berhadapan langsung dengan tontonan. Kebhinekaan isi tontonan (diversity of content) yang dihormati Undang-Undang penyiaran di Indonesia mesti ditafsirkan dari perspektif kearifan lokal yang secara ideologis sedang terancam.

Sudah menjadi topik perbincangan umum, seorang anak di zaman ini lahir dari rumah yang di dalamnya televisi rata-rata menyala tujuh jam setiap harinya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, sebagian besar kisah mengenai orang-orang, kehidupan, dan nilai-nilai bukannya diceritakan oleh orang tua, didapatkan di sekolah, dari rumah ibadah, atau orang-orang lainnya di komunitas yang memiliki sesuatu untuk disampaikan, tetapi sekelompok konglomerasi di kejauhan, di balik frekuensi yang memiliki sesuatu untuk didagangkan (Gerbner, 1997).

Amati pula misalnya setiap episode sinetron diisi dengan situasi konflik emosional seperti perkawinan, penculikan, perceraian, kesembuhan tak terduga, tiba-tiba harus menjadi ayah, percintaan-percintaan baru, penipuan, kecelakaan mobil, keguguran, meninggalnya kekasih baru, dan lain sebagainya (Smiers, 2009). Martabat apa sebenarnya yang hendak dituju oleh isi siaran semacam ini?

Robert Scheer (1993), dalam tulisannya Violence is Us mengemukakan relitas tontonan yang mengerikan. Dikatakannya, argumen yang menguraikan apa yang ditonton bukanlah penentu gerakan sosial semakin sulit diterima maknanya. Sebab, di rumah-rumah, ketika di televisi ada film dengan adegan pensil yang menusuk mata ditampilkan apa adanya. Ada darah yang muncrat. Kucing dilempar ke dalam mesin cuci diikuti dengan cekikikan edan tanpa persetujuan. Pada kenyataannya, anak-anak selalu menonton film kartun dan film lainnya yang di dalam ceritanya terdapat tokoh dengan tubuh terkoyak-koyak atau meledak berkeping-keping. Bahkan hal tersebut menjadi lebih biadab lagi sekarang ini, dengan jauh lebih banyak darah yang tertumpah serta gambar-gambar yang lebih mengerikan dan lebih menjijikkan.

Berpijak pada pikiran norma sosial, kebudayaan, kearifan lokal, kebijaksanaan spiritual, terasa ironis ketika di atas semua itu ada gerakan korporasi lintas kultural yang maksud utamanya adalah menjual. Itikad korporasi hanya berdagang. Sukar memenangkan pendidikan dan penguatan nilai budaya dalam konteks ini. Wacana yang menguat hanyalah bagaimana meningkatkan rating siaran, capaian penjualan iklan. Harus diakui, ada tujuan-tujuan tersembunyi dari pelaku indutri dan pemburu kekuasaan disektor logam, minyak, listrikda kimia (Horkheimer, 2002).

Menghadapi realitas fungsi tontonan sebagai pembawa ide dan pesan yang sedang diperebutkan oleh pelaku industri tetap saja kembali kepada sikap budaya yang berakar pada masyarakat lokal. Di Sumatera Barat, terdapat kearifan lokal yang secara khusus digantungkan kepada budaya Minangkabau. Salah satunya adalah falsafah Adat Basandi Syara, Syara Basandi Kitabullah. Falsafah ini tentu harus mengalami proses pemaknaan yang akan menjiwai setiap peraturan daerah dalam rangka penguatan kehidupan berbangsa.

Percaturan Penyiaran Daerah

Sejatinya, penyiaran ditinjau dari berbagai sudut pandang tidak bisa dilepaskan dari dua unsur elementer: industri dan ideologi. Penulis setuju mengatakan, bawah kompleksitas penyiaran adalah sebuah percaturan. Ada strategi, langkah-langkah, dan target-target pemenangan ideologi di dalamnya. Dimulai dari itikad memangkan martabat penyiaran daerah dengan menggantungkannya pada pemaknaan falsafah, kearifan budaya, dan hukum yang hidup di tengah masyarakatnya.

Kegiatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI-D) Sumatera Barat dalam mengatur, mengawasi, dan mengandalikan kegiatan penyiaran hakikatnya merupakan kerja kolektif karena secara normatif melibatkan unsur Pemerintah Daerah, Ormas, tokoh agama, adat, dan masyarakat secara luas. Inti kerja kolektif adalah mengutamakan tujuan bersama. Secara struktural-fungsional, KPI-D selaku sentral kegiatan di daerah tetap berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari visi dan misi serta tugas pokok dan fungsi KPI Pusat.

Melibatkan unsur pemerintah daerah beserta tokoh masyarakat prinsipnya menghormati demokratisasi. Pelaksanaannya harus proporsional dan profesional. Independensi komisi tetap penting ditempatkan pada ruang tersendiri. Sementara itu, kemitraan dengan pemerintah daerah serta elemen masyarakat adalah kunci keberhasilan mencapai tujuan bersama dengan visi: memenangkan martabat penyiaran daerah menuju kehidupan berbangsa yang berbudaya luhur. (*)

[ Red/Administrator ]