Upload
abdul-muis
View
54
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tato dayak
Citation preview
iUniversitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
MAKNA SIMBOLIK TATO BAGI MANUSIA DAYAK DALAM KAJIAN HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora
RESTITUTA DRIYANTI 0806474470
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI FILSAFAT
DEPOK JULI 2011
iiUniversitas Indonesia
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertandatangan di bawah ini dengan sebenarnya menyataan bahwa
tesis ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku
di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan plagiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
Universitas Indonesia kepada saya.
Depok, 8 Juli 2011
Restituta Driyanti
iiiUniversitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya sendiri,
Dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang di rujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Restituta Driyanti
Npm : 0806474470
Tanda tangan :
Tanggal : 8 Juli 2011
ivUniversitas Indonesia
vUniversitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, Sang
Empunya Hidup karena berkat rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan
tesis yang berjudul Makna Simbolik Tato Bagi Manusia Dayak Dalam Kajian
Hermeneutika Paul Ricoeur ini. Adapun penyusunan tesis ini merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam program studi Filsafat pada Program
Pascasarjana Departemen Filsafat Universitas Indonesia.
Dalam penyusunan tesis ini, berbagai pihak telah banyak memberikan
dorongan, bantuan, serta masukan sehingga sangatlah tepat kiranya dalam
kesempatan kali ini saya selaku penulis menyampaikan ucapan terimakasih sebesar-
besarnya kepada : Dr. V. Irmayanti Meliono-Budianto sebagai pembimbing yang
dengan kesabarannya telah banyak memberikan bimbingan, arahan juga pengetahuan
sehubungan selama penyusunan dan penulisan tesis ini. Terimakasih banyak juga
kepada Dr. Albertus Harsawibawa, Dr. Akhyar Yusuf Lubis, dan Dr. Embun
Kenyowati Ekosiwi, yang telah berkenan menjadi penguji ahli pada sidang tesis saya.
Di sela-sela kesibukan mereka yang padat saya bersyukur telah mendapat kesempatan
untuk diuji dan diberi masukan oleh mereka sehubungan dengan penulisan tesis ini.
Terimakasih tidak terhingga saya sampaikan kepada keluarga tercinta. Kepada
Bapak Drs. Hardjito, Ibu Maria Nungkat B.A, dan kakak-kakakku Lisa Harmayanti
S.E, Lusi Ernita S.Pt & Mateus Suseno S.Stp, dan adikku Renny Febriyanti. Berkat
doa tiada henti, dukungan materi, dorongan semangat, dan kasih-sayang kalian saya
akhirnya bisa menyelesaikan kuliah dan meraih gelar Magister Humaniora. Untuk
kalian jugalah akhirnya tesis ini saya persembahkan.
viUniversitas Indonesia
Kepada Alimizar Ariyoga, S.Hum, terimakasih untuk semua bantuan yang
diberikan terutama dalam proses pembuatan tesis ini, dan terimakasih sudah menjadi
bagian dari hidupku. Waktu dan kebersamaan yang telah kita lewati sampai dengan
hari ini adalah bukti betapa pentingnya keberadaanmu bagiku. Allah always with u....!
Kepada Andrey Emmanuel Vidella Samosir, M.Hum yang sebentar lagi akan
menjadi Doktor, terimakasih untuk semua pelajaran berharga tentang hidup yang
pernah diberikan, dan mohon maaf untuk semua kesalahan yang pernah saya lakukan.
Sukses selalu untukmu, dan semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dalam hidup.
Kepada Fio P. Hasyim, M.Hum, terimakasih untuk kebersamaan kita selama
kurang lebih 8 tahunan ini. Meskipun terkadang kita lost contact, but u always be my
friend. Juga terimakasih kepada Sabrina Yolanda my partner in crime. Lama tidak
bertemu ternyata ada banyak cerita yang harus kita bagi. Miss u, Nyong, wish u all
the best..!! Kepada Sakinah Tumufus, Raditya Christian K., dan Irwansyah,
terimakasih banyak untuk semua dukungan dan perhatian yang diberikan selama ini
terutama saat terjadi hal-hal yang tidak beres. Kehadiran kalian mampu membuat
saya lebih sabar dan tenang untuk berproses dalam melewati berbagai hambatan.
Terimakasih juga saya tujukan kepada seluruh tenaga pengajar di
Departement Filsafat, terutama Pak Vincent, Pak Hayon, Alm. Pak Boas, Alm. Pak
Wayan, Pak Fuad, Pak Naupal, Mas Donny, Bu Margareth, Romo Mudji, Romo
Moko, (terimakasih sudah membuat saya jatuh cinta pada hermeneutik dan Ricoeur),
dll. Juga terimakasih kepada para staf terutama Mbak Mun (makasih ya mbak sudah
mau direpotkan oleh saya), serta Mbak Dwi, Mbak Ima, dan Mbak Nur.
Terimakasih kepada teman-teman seperjuangan Pascasarjana (S2) Filsafat
angkatan 08; Pak Alfredo, Pak Harris, Pak Nasri, Pak Phillo, Mas Mulya, Mas
Mansyuri, Mas Jufri, terimakasih untuk masa perkuliahan yang menyenangkan. Juga
kepada teman-teman Pascasarjana (S3) Filsafat; Mbak Ria ( makasih ya mbak udah
bikin aku berasa punya kakak di Jakarta..), Bu Rima, Bu Mieke, Pak Andrinof, Mas
Firman, Mas Satrio, Pak Surya, dan kepada teman-teman Pascasarjana dari jurusan
viiUniversitas Indonesia
lain, Rani dosen( makasih buat pertemanan kita), Pak Felix ( thanks for anything
about Ricoeurnya) Mbak Wati, Stella, Hendra, Pak Otong, Mas Baim, Rani, James,
Edo,dll.
Special thanks saya ucapkan kepada Keluarga Besar Sejarah dari berbagai
angkatan. Terimakasih kepada angkatan 04 Dien (Didit), Sulai (makasih buat
pinjaman bukunya), Ivan, Adit, Franto, Arif, Wisnu, Eli, Mulya, Fikri, senang bisa
kenal dan sempat berbincang-bincang dengan kalian. Angkatan 05; Yossi (makasih
udah bantuin bikin lingkaran), Tomo, Dipo, Ronald, Mprie, Oki, Popon, Hendaru,
Yahya, Bim-Bim, Hendra, Ria, Nadya, Syafa, makasih untuk keakraban yang telah
terjalin. Angkatan 06; Rima (makasih untuk bantuan dadakannya pada saat mau
sidang), Fira, Robi, Ari, Moti, Dina, Egi, Gembel, Yudo, Yoga, Ilo, Boik, Rifky,
Dedi, Sukarno, Hasyim, Adi, Adit, dan yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu
persatu, terimakasih banyak untuk persahabatan dan kedekatan kita selama ini.
Angkatan 07; Gadis (nice girl), Ines, Ambon, Egar, Gem-Gem, Ika, Rayi, Aska
(makasih udah nemuin hp-ku), Dodi, Wahyu, Bugil, Tiko, Tison, Limbong, dan lain-
lain. Angkatan 08; Debby & Anggit (makasih untuk curhat2an kita selama ini ya..),
Paskal, Cindy, Oli (makasih untuk stock film2nya), Gilang, Tanu, Miki, dll. Dan
terimakasih kepada angkatan 09; Nabihah (makasih untuk perkenalan kita, dan maaf
untuk segala sesuatu yang mungkin tidak berkenan) Ruri, Redi, Jiung, Koko, dll.
Tidak lupa terimakasih kepada teman-teman S1 filsafat dari berbagai angkatan
yang telah membuat saya jatuh cinta dan tergila-gila pada filsafat, mulai dari Frans,
Mikha, Asep, Rangga, Tiwi, Upi, Hani, Erik, Iriyanto, Bimo, Cing, Claudia, dll yang
tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Begitu juga kepada teman-teman sepermainan
di Kansas, terimakasih sudah mau berbagi cerita dan mengisi hari-hari bersama mulai
dari anak-anak FIB angkatan atas Berto, Pino, Akang, Billi, Udjo, James, Fajar,
terutama teman-teman sastra Belanda angkatan 07 Winda, Elsa, Laras, Gita, Wangi,
Ajeng, Gema, Wanted, Alvin, Gareng, Bakti (makasih buat pinjaman username-nya),
angkatan 09 Titi dan Odi, juga kepada teman-teman jurusan lain, Dede, Amar, Edot
viiiUniversitas Indonesia
(JIP), Andrey dan Yogi-Yogo (Arkeo), Reti, Dewi, Quita, Eno, Komeng, Tatang,
terimakasih sudah meramaikan Kansas dan menjadikannya begitu hommy buatku.
Last but not least, terimakasih kepada semua karyawan FIB, para satpam,
petugas fotokopi, terutama mas di gedung 3, terlebih untuk pemilik kantin, Babe, mas
Agus dan Empu, Kopral, Mas Kumis dan Marcopolonya, Pak Irin dan Mas Ari, Pak
De, Tukang Sate, mas Roni, juga para penjual yang lain. Juga kepada penghuni
Kansas yang lain terutama Menyong, Minying, dan Mya. Tetap semangat dan terus
bertahan di Kansas ya, kehadiran kalian adalah obat stress paling ampuh bagiku.
Saya menyadari bahwa secara keseluruhan penulisan tesis ini masih jauh dari
sempurna, oleh karenanya kritik dan saran dari berbagai pihak sangat saya harapkan
agar dapat lebih baik dalam penulisan-penulisan selanjutnya. Akhir kata semoga tesis
ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi kita semua.
Wassalam
Depok, Juli 2011
Restituta Driyanti
ixUniversitas Indonesia
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMISI
__________________________________________________________________
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Restituta Driyanti
NPM : 0806474470
Program Studi : Filsafat
Departemen : Filsafat
Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya
Jenis Karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah yang berjudul :
Makna Simbolik Tato Bagi Manusia Dayak Dalam Kajian Hermeneutika Paul Ricoeur
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/ pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 8 Juli 2011
Yang menyatakan
Restituta Driyanti
xUniversitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Restituta Driyanti
Program Studi : Filsafat
Judul Tesis : Makna Simbolik Tato Bagi Manusia Dayak Dalam Kajian Hermeneutika Paul Ricoeur
Pentingnya pengaruh tato bagi manusia Dayak menunjukan bahwa tato sudah
menjadi sesuatu yang bersifat religius dan magis, karena gambar yang digunakan
berupa simbol-simbol yang terkait dengan alam dan kepercayaan masyarakat. Tato
bagi manusia Dayak merupakan simbol dalam berinteraksi sosial antar komunitas.
Oleh karena itu pemaknaan tato sebagai sebuah teks yang sarat akan makna simbolik
diuraikan menggunakan metode hermeneutika Paul Ricoeur untuk mengungkap
pengertian-pengertian mengenai apa yang ada di balik tato tersebut baik tersurat
maupun tersirat.
Kata Kunci : Makna Simbolik, Tato, Tato Dayak, Manusia Dayak, Hermeneutika, Paul Ricoeur
xiUniversitas Indonesia
ABSRACT
Name : Restituta Driyanti
Study Program : Philosophy
Thesis Title : The Symbolic Meaning Of Dayaks Tattoos In A Study Of Paul Ricoeurs Hermeneutics
The importance of the human influence of Dayak tattoo shows that tattoos
have become something that is religious and magical, because of the images used in
the form of symbols associated with nature and the confidence of the public. Dayak
tattoos for men is a symbol of the social interaction between the communities.
Therefore the meaning of tattoos as a text that will be full of symbolic meaning using
the methods described Paul Ricoeur hermeneutics to reveal notions about what is
behind the tattoo is either express or implied.
Key Words : The Symbolic Meaning, Tattoo, Dayaks Tattoos, Dayaks Human, Paul Ricoeurs Hermeneutics
xiiUniversitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................. .. i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME.. ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................. iv KATA PENGANTAR.............................................................................................. v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.................................ix ABSTRAK................................................................................................................ x DAFTAR ISI.............................................................................................................xii DAFTAR BAGAN..xiv DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.............................................................................................1 1.2 Permasalahan ...8 1.3 Pertanyaan Penelitian...... 9 1.4 Thesis Statement.. 9 1.5. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 9 1.5.1 Tujuan Penelitian...... 9 1.5.2 Kegunaan Penelian10 1.6 Tinjauan Pustaka 10 1.7 Metode Penelitian... 11 1.8 Sistematika Penulisan 13 BAB II SIMBOL DALAM HERMENEUTIKA FENOMENOLOGI PAUL
RICOEUR 2.1 Riwayat Hidup dan Karya-karya Paul Ricoeur. 15 2.2 Pemikiran Paul Ricoeur. 21 2.3 Hermeneutika Fenomenologi Menurut Paul Ricoeur ... 23 2.4 Simbol Menurut Paul Ricoeur.... 32 2.5 Penerapan Lingkaran Hermeneutika Ricoeur Pada Tato Dayak .. 38 2.5.1 Deskripsi Tato 39 2.5.2 Deskripsi Tato Dayak 42 BAB III TATO DAN MANUSIA DAYAK 3.1 Eksistensi Manusia Dayak. 47 3.2 Tato Dalam Kehidupan Manusia Dayak..... 55 3.3 Penggunaan Motif Tato Pada Manusia Dayak.. 58 3.4 Aspek Pragmatik Tato Dayak 63
xiiiUniversitas Indonesia
BAB IV SIMBOL KEBERTUBUHAN DALAM TATO DAYAK 4.1 Tubuh Manusia Dayak Sebagai Media Tato.. 66 4.2 Tato Dayak Sebagai Simbol Religiusitas. 69 4.3 Tato Dayak Sebagai Simbol Siklus Kehidupan dan Kematian... 72 4.4 Tato Dayak Sebagai Simbol Eksistensi 74 4.5 Makna Simbolik Tato Dayak76 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan 82 5.2. Catatan Kritis 84
xivUniversitas Indonesia
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 : Lingkaran Hermeneutik Pada Tato Dayak ...... 45 Bagan 2 : Tahapan Interpretasi Pada Tato Dayak .....46
xvUniversitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Proses Pembuatan Tato Tradisional ... 40 Gambar 2 : Burung Enggang . ... 54 Gambar 3 : Proses Pembuatan Tato Dayak ... 57 Gambar 4 : Tato di Pergelangan Kaki dan Betis Perempuan Dayak ..59 Gambar 5 : Tato Motif Bunga Terong ....... 60 Gambar 6 : Tato Motif Uker Degok . 61 Gambar 7 : Tato Di Tangan Ahli Pengobatan ... 62 Gambar 8: Para Panglima Dayak Dengan Tato Di Tubuh ... 63
1Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Saat ini semakin banyak dilakukan penelitian yang menempatkan kebudayaan
sebagai teks yang dapat ditafsirkan. Penafsiran kebudayaan dalam bidang teori
dilakukan melalui pendekatan hermeneutis.1 Pendekatan hermeneutis yang semakin
berkembang dan menyerap gagasan strukturalis, pasca strukturalis, teori narasi, serta
gagasan ilmu-ilmu sosial lainnya membuat upaya penafsiran terhadap kebudayaan
menjadi semakin tidak dapat dibatasi. Dalam arti ini, manusia dengan segala
peristiwa dan tindakan-tindakan di dalam hidupnya menjadi simbol-simbol berupa
teks yang dapat ditafsirkan untuk menggali makna yang terkandung di dalamnya.
Raymond Williams dalam Keywords (1976) menyebut tiga penggunaan istilah
kebudayaan yang banyak dipakai dewasa ini. Pertama, mengenai perkembangan
intelektual, spiritual dan estetik individu, kelompok atau masyarakat. Kedua,
menangkap sejumlah aktivitas intelektual dan artistik serta produk-produknya,
dimana dalam istilah ini kebudayaan dekat dengan kesenian. Ketiga mengenai seluruh
cara hidup, aktivitas, kepercayaan, dan kebiasaan seseorang atau kelompok.2
Antropolog A.L Kroeber dan C. Kluckhohn dalam Culture : A Critical
Review of Concepts and Definitions (1952) mendata hingga 160 definisi kebudayaan .
1Prinsip utama dari penelitian budaya yang menggunakan pendekatan hermeneutik ini adalah melihat fenomena budaya sebagai suatu teks. Tujuan peneliti budaya adalah membaca dan memahami fenomena budaya bukan sekedar menjelaskan. Dengan kata lain, bahwa hermeneutik berusaha mengungkap makna fenomena simbolik dalam masyarakat.2Philip Smith, Cultural Theory : An Introduction, Oxford & Masachusetts : Blackwell Publisher, 2001, hal 2.
2Universitas Indonesia
Dari sekian banyak definisi, mereka mengidentifikasikan enam pengertian utama
kebudayaan secara deskriptif, historis, normatif, psikologis, struktural dan genetik.3
Dalam perkembangan ilmu-ilmu budaya dan humaniora, C.A van Peursen
meninjau pergeseran pergeseran arti kebudayaan yang menyangkut maksud kata dan
isi konsep. Dari segi maksud kata dan isi konsep menurut van Peursen, dewasa ini
kebudayaan diartikan sebagai perwujudan kehidupan setiap orang dan setiap
kelompok orang yang berupaya mengolah dan mengubah alam sehingga
membedakan dirinya dengan hewan. Kebudayaan adalah gejala manusiawi dari
kegiatan berpikir (mitos, ideologi, dan ilmu), komunikasi (sistem masyarakat), kerja
(ilmu alam dan teknologi), dan kegiatan-kegiatan lain yang lebih sederhana.4
Dalam bukunya yang berjudul Interpretation of Culture, Clifford Geertz
menegaskan bahwa kebudayaan adalah suatu dimensi yang aktif dan konstitutif dari
kehidupan sosial lebih dari sekedar mekanisme penjamin integrasi sosial. Ia juga
memahami budaya sebagai jaringan yang sangat kompleks dari tanda-tanda, simbol-
simbol, mitos-mitos, rutinitas, dan kebiasaan-kebiasaan yang membutuhkan
pendekatan hermeneutis.5
Bagi Geertz kebudayaan memiliki sifat interpretatif, sebagai sebuah konsep
semiotik, dan sebagai sebuah teks. Kebudayaan bukanlah sebatas pola perilaku
yang nampak. Karena kebudayaan merupakan sebuah teks maka ia perlu ditafsirkan
agar makna yang terkandung di dalamnya dapat ditemukan. Kebudayaan bagi Geertz
adalah jaringan makna simbol yang perlu diuraikan dalam sebuah deskripsi
mendalam (thick description). Geerts menyatakan bahwa kebudayaan sebagai suatu
sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian di mana individu-individu
mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-
penilaiannya; suatu pola makna yang ditransmisikan secara historik diwujudkan di
3 Ibid hal 2-3 4Mudji Sutrisno, Filsafat Kebudayan, Jakarta : STF Driyarkara. 2003. 5 Clifford Geertz, Interpretation of Culture, (New York : Basic Books, 1973), Part IV Chapter 8 (Ideologi as a Cultural System).
3Universitas Indonesia
dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana dimana orang-orang
mengkomunikasikan, mengabadikannya, dan mengembangkan pengetahuan dan
sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk
mengatur perilaku, sumber informasi yang ekstrasomatik. Karena kebudayaan
merupakan suatu sistem simbolik, maka proses budaya haruslah dibaca,
diterjemahkan, dan diinterpretasikan.6
Konsep kebudayaan simbolik yang dikemukakan oleh Geertz di atas adalah
suatu pendekatan hermeneutik yang lazim dalam tradisi strukturalisme. Pendekatan
hermeunetik inilah yang kemudian menginspirasinya untuk melihat kebudayaan
sebagai teks-teks yang harus dibaca dan diinterpretasikan. Dari Paul Ricoeur, Geertz
mengambil gagasan bahwa ilmu pengetahuan manusia yang ada, bukan merupakan
kumpulan pengalaman empiris tetapi sebagai suatu struktur fakta yang merupakan
simbol dan hukum yang mereka beri makna. Dengan demikian tindakan manusia
dapat menyampaikan makna yang dapat dibaca dan merupakan suatu perlakuan yang
sama seperti kita memperlakukan teks tulisan.7
Dunia kebudayaan adalah dunia penuh simbol dimana kita dapat membaca
dan menemukan nilai-nilai sebagai ekspresi tindakan manusia. Manusia berpikir,
berperasaan dan bersikap dalam ungkapan-ungkapan simbolis, sehingga bukan tanpa
alasan apabila salah seorang filsuf yaitu Ernst Cassirer cenderung untuk menandai
manusia sebagai animal symbolicum, dan mengadakan analisa tentang manusia
dengan ciri tersebut sebagai titik tolaknya.8
Manusia hidup dalam dunia simbolik. Bahasa, mitos, seni dan agama
merupakan bagian dunia simbolik itu. Semuanya menjadi rangkaian yang saling
terhubung yang memberi makna simbolik dalam pengalaman manusia. Lebih lanjut 6Adam Kuper, Culture, (Cambridge:Harvard University Press,1999), hal 98. 7Ibid, hal 82.8 Ernst Cassirer (28 Juli 1874 13 April 1945) adalah salah satu figur besar dalam pengembangan idealisme filosofis di pertengahan pertama abad ke-20, seorang filsuf Yahudi Jerman. Menggunakan tradisi neo-Kantianisme Marburg, ia mengembangkan suatu filosofi budaya sebagai teori simbol yang ditemukan di fenomenologi pengetahuan.
4Universitas Indonesia
Cassirer dalam bukunya Manusia dan Kebudayaan menekankan bahwa intelektualitas
manusia membutuhkan simbol. Pengetahuan manusia pada hakikatnya merupakan
pengetahuan simbolik.
Pengetahuan simbolik memuat dua unsur yang bertentangan; yang riil dan
yang mungkin nyata, lalu yang aktual dan yang ideal. Dengan mengikuti jalan pikiran
Immanuel Kant, Cassirer menekankan kembali bahwa kedua hal itu merupakan
dualisme dalam dasar pengetahuan manusia. Teori mengenai bentuk simbolik,
mengharmonisasikan dualisme dalam pemikiran manusia. Pembahasan Cassirer yang
baru tentang kebudayaan ialah bahwa ia melihat perkembangan kebudayaan dari segi
simbolisme. Cassirer mengekspresikan hakikat simbolik pengalaman manusia sebagai
berikut: manusia tidak lagi hidup semata-mata dalam semesta fisik, manusia hidup
dalam semesta simbolik. Teori simbolik mengenai kebudayaan adalah suatu modal
dari manusia sebagai spesies yang menggunakan simbol. 9
Dari sudut etimologi simbol berasal dari kata symbollein (Yunani) yang
artinya bertemu. Kata symbollein kemudian diartikan lebih luas lagi menjadi kata
kerja symbola yang artinya tanda yang mengidentifikasi dengan membandingkan atau
mencocokan sesuatu kepada bagian yang telah ada. Sementara itu simbol dalam
pengertian sederhana adalah suatu istilah umum untuk berbagai hal yang diperoleh
melalui pengalaman dimana suatu objek, tindakan, kata, gambar atau perilaku yang
kompleks dipahami tidak terbatas pada makna yang dimilikinya namun juga dalam
berbagai gagasan atau perasaan yang lain. Sedangkan berdasarkan definisi simbol,
Levy menyatakan bahwa People buy things not only for what they can do, but also
for what they mean.10 Dengan demikian, keberadaan simbol tidak dapat diartikan
hanya sebagai sebuah gambar atau lambang kosong.
9 Ernst Cassirer, Manusia dan kebudayaan : Sebuah Esai tentang Manusia, (Jakarta:PT Gramedia, 1987), hal 39. 10Sidney J. Levy, Simbols for Sale. Harvard Business Review, 1959 : hlm 118
5Universitas Indonesia
Konsep simbol dalam buku The Power of Symbols menunjukan bahwa simbol
mempunyai sifat mengacu pada sesuatu yang tertinggi (ideal) atau menunjuk pada
cakrawala yang lebih luas tanpa meninggalkan hubungan dengan yang sudah biasa
dan menjadi tradisi. Simbol bukan merupakan sesuatu yang baru atau berbeda dari
apa yang disimbolkan, melainkan masih memiliki pola hubungan keterwakilan atau
paralelistis. Karenanya simbol tidak hanya bersifat universal tetapi juga mengandung
dimensi partikular. 11
Bagi Dillstone, penulis buku tersebut, simbol adalah kata atau citra atau
kontruksi yang umum dan dipahami oleh akal budi dan dianggap sebagai kebenaran.
Hal tersebut memang telah ada dan bahkan dinantikan, sebagaimana yang ada,
dengan cara yang terbuka dihubungkan dengan yang tepat. Simbol memiliki pola
hubungan yang ambigu dan multi interpretasi, berbeda dengan tanda, sinyal, isyarat
dan penunjuk yang memiliki hubungan satu lawan satu. Oleh karena itu Dillistone
kemudian mengkomparasikan pemikirannya dengan mendiskusikan konsep-konsep
simbol dari beberapa pakar, baik antropolog sosial, teolog, maupun filsuf.12
Pentingnya keberadaan simbol membuat Paul Ricoeur menempatkan simbol
sebagai fokus utama dalam hermeneutikanya. Lebih lanjut lagi Ricoeur merumuskan
simbol sebagai semacam struktur yang signifikan yang mengacu pada sesuatu secara
langsung dan mendasar dengan makna literal dan ditambahkan dengan makna lain,
yaitu makna yang mendalam kedua (secondary meaning) dan bersifat figuratif
dimana itu hanya akan terjadi makna yang pertama dapat ditembus. Karena itulah ia
mengatakan bahwa simbol selalu bermakna ganda dalam bidang kajian
hermeneutik.13
11 Heru S.P. Saputra, Simbol, Analogi, dan Alegori, ( Humaniora, Volume XV, No. 1/2003 ), hal 115.12 F. W. Dillistone, The Power of Symbols, ( Yogyakarta : Kanisius, 1986 ), hal 18.13 Irmayanti Meliono- Budianto, Ideologi Budaya, ( Jakarta : Kota Kita, 2004 ), hal 40.
6Universitas Indonesia
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, manusia hidup dalam semesta simbolik
dan menggunakan simbol dalam kehidupan. Dalam kehidupan kita, tubuh merupakan
bagian dari materi yang tampak, dapat dipandang dan diraba. Karena tubuh
merupakan materi yang tampak, maka tubuh dapat menjadi simbol nyata dalam
penyampaian berbagai pesan. Akibat dari simbolisasi tersebut maka tubuh yang
materi tersebut menjadi sangat hermeneutik, multiinterpretatif, bagi objek yang
menafsirkannya.Salah satu contoh nyata yang menimbulkan multiinterpretasi
terhadap tubuh adalah tato.
Kata Tato sendiri menurut sejarah berawal dari bahasa Tahitian; Tatu atau
Tatau yang artinya memberikan torehan tanda atau simbol.14 Tato adalah suatu tanda
yang dibuat dengan memasukkan pigmen ke dalam kulit. Dalam istilah teknis, rajah
adalah implantasi pigmen mikro. Tato dapat dibuat pada kulit manusia atau hewan.
Tato pada manusia adalah suatu bentuk modifikasi tubuh, sementara tato pada hewan
umumnya digunakan sebagai identifikasi.
Tato digunakan sebagai simbol atau penanda dalam tubuh manusia, karena
tato dapat bercerita mengenai pengalaman-pengalaman atau realitas yang ingin
didapat oleh individu yang memakainya. Tato dapat menjadi sebuah ekspresi antara
lain ekspresi rasa sayang terhadap anak, ekspresi rasa sayang dan cinta terhadap istri
maupun pasangan, ataupun ungkapan sayang dan sakit hati karena cinta. Di sisi lain
tato dipercaya dapat mendatangkan keberuntungan, menunjukan status sosial, juga
menambah kecantikan, kedewasaan, dan harga diri pemiliknya.
Selain itu tato juga bisa digunakan sebagai identitas, Identitas meliputi upaya
mengungkapkan dan menempatkan individu-individu dengan menggunakan isyarat-
isyarat nonverbal seperti pakaian dan penampilan. Banyak komunitas yang
menjadikan tato sebagai salah satu ciri komunitas mereka. Walaupun tidak ada
gambar tertentu yang menjadi keharusan untuk ditatokan di tubuh, komunitas punk,
14The Art of New Zealand, ( Aikon Jour nal, Volume II, Juli 1996 ), hal 4.
7Universitas Indonesia
genk motor, atau anak-anak band banyak yang menggunakan tato ditubuhnya sebagai
salah satu ciri kelompok mereka.
Pemaknaaan akan tato tergantung pada apa yang dipercaya oleh masyarakat
bersangkutan dimana setiap daerah umumnya memiliki persepsi yang berbeda-beda
tentang tato. Pada tahap pemaknaan inilah orang lain berhak sepuasnya menafsirkan
makna apa yang terkandung dalam tato yang melekat di tubuh seseorang. Tato
bergambar bunga mawar tentu akan berbeda maknanya dengan tato bergambar bunga
terong. Jadi ketika di tubuh fisik terdapat tato, maka padanya terdapat pemaknaan
tekstual yang beragam, baik itu menyangkut nilai estetis, keberanian, ekspresi, seni,
dan budaya. Karenanya pemaknaan tato sebagai simbol mengandung pengertian
mengenai apa saja yang ada di balik tato, baik secara tersirat maupun tersurat.
Keberadaan tato sebagai simbol menjadikannya produk budaya yang pada
perkembangannya selalu mengalami pergeseran makna. Pada masyarakat tradisional
tato merupakan identitas dalam masa peralihan sementara pada masa sekarang tato
sudah dianggap sebagai seni dan keindahan yang menjadi bagian dari budaya popular
dalam masyarakat.15
Pada masyarakat tradisional, khususnya masyarakat Dayak, Kalimantan, tato
merupakan bagian dari ritual tradisional yang terhubung dengan peribadatan dan juga
kesenian. Ia melekat ditubuh secara permanen sehingga ia menjadi ikatan pertalian,
penanda yang tidak terpisahkan hingga kematian, selain itu juga berfungsi
menunjukkan status sosial pemakai maupun kelompok tertentu.
15Tato memiliki makna sebagai budaya tanding (counter culture) dan budaya pop (pop culture).Budaya tanding adalah budaya yang dikembangkan oleh generasi muda sebagai jalan perjuangan melawan pengawasan kelompok dominan (orang tua, kalangan elite masyarakat, norma sosial yang ketat, dan sebagainya). Perjuangan yang ditunjukkan antara lain dalam bentuk pakaian, sikap, bahasa, musik, hingga gaya. Sementara budaya pop merupakan dialektika antara homogenisasi (penyeragaman) dan heterogenisasi (keragaman). Selain menjadi budaya tanding sebagai bentuk penentangan dan protes terhadap segala sesuatu yang berciri khas kemapanan, fenomena tato menjurus ke budaya pop karena mulai terikat oleh formula produksi yang telah diuji dan digunakan oleh berbagai kalangan.
8Universitas Indonesia
Bagi manusia Dayak tato dipercaya sebagai sesuatu yang sakral. Tato
merupakan simbol ikatan pertalian yang tidak terpisahkan hingga kematian. Oleh
karena itu pembuatan tato tidak bisa dilakukan sembarangan. Terdapat aturan-aturan
tertentu dalam pembuatan tato, baik pilihan gambar, struktur sosial orang yang ditato,
maupun penempatan tatonya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tato bagi
manusia Dayak memiliki aspek ontologis dan metafisis sehingga dapat diketahui
makna simbolik apa yang terkandung di dalam tato tersebut. Makna simbolik tato
bagi manusia Dayak inilah yang kemudian akan dikaji menggunakan metode
hermeneutika Paul Ricoeur.
1.2 Permasalahan
Gambar atau tanda di dalam tato merupakan simbol yang mewakili nilai-nilai
tertentu. Meskipun simbol yang terlihat bukanlah nilai itu sendiri, namun keberadaan
simbol tersebut dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai yang
diwakilinya; dan merepresentasikan simbol tersebut secara nyata di atas kulit tubuh
akan lebih memperkuat penghayatan akan nilai-nilai yang diwakilinya. Tato
merupakan tanda atau penanda, sebuah karya seni hasil peradaban yang sekaligus
juga merupakan sebuah media dalam masyarakat untuk saling mengenal,
berkomunikasi, dan menunjukkan eksistensinya. Makna simbolik tato bagi manusia
Dayak inilah yang akan dieksplorasi lebih mendalam di dalam penulisan tesis ini.
Dipilihnya tato tradisional Dayak dalam penulisan tesis ini dikarenakan
saratnya makna simbolik yang terkandung dalam tato tersebut. Mengacu pada
pendapat Ricoeur yang menyatakan bahwa filsafat adalah sebuah hermeneutik, yaitu
kajian atas makna yang tersembunyi di dalam teks, dimana teks itu sendiri
mengandung makna, maka setiap kegiatan interpretasi itu adalah kegiatan untuk
menyingkap makna yang masih tersirat dan tersembunyi di dalam teks. Tato bagi
manusia Dayak adalah sebuah teks yang sarat akan makna simbolik sehingga dapat
dilakukan kegiatan interpretasi terhadapnya.
9Universitas Indonesia
1.3 Pertanyaan Penelitian
Bertitik tolak dari permasalahan di atas, maka penulis ingin mengajukan
pertanyaan utama yaitu :
Apakah makna simbolik tato bagi manusia Dayak dapat dijelaskan menggunakan
metode hermeneutika Paul Ricoeur ?
Berkaitan dengan pertanyaan utama tersebut maka akan muncul dua pertanyaan
pendukung lainnya yaitu :
1. Bagaimana eksistensi manusia Dayak?
2. Bagaimana pengaruh tato dalam kehidupan manusia Dayak?
1.4 Thesis Statement
Tato memiliki makna simbolik yang terkait dengan kehidupan manusia
Dayak. Tato diyakini sebagai simbol dan sarana untuk mengungkap keberadaan
penguasa alam, dan juga dipercaya mampu menangkal roh jahat, serta mengusir
penyakit ataupun roh kematian.
I.5 Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1.5.1. Tujuan Penelitian
Penulisan tesis ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui makna simbolik tato bagi manusia Dayak yang dikaji
menggunakan metode hermeneutika Paul Ricoeur.
10Universitas Indonesia
2. Untuk mengetahui eksistensi manusia Dayak
3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh tato bagi manusia Dayak.
1.5.2 Kegunaan Penelitian
Secara teoretis penelitian ini memiliki empat manfaat sebagai berikut :
1. Menambah wawasan pembaca dalam memahami makna simbolik tato Dayak.
2. Memberikan sumbangan pikiran dan memperkaya ilmu pengetahun filsafat
khususnya pada bidang hermeneutika.
3. Menjadi bahan studi komparatif bagi peneliti-peneliti lain yang mengkaji makna
tato tertentu dalam mengungkapkan simbol identitas budaya suatu etnis.
4. Menjadi sumbangan pemikiran sekaligus bahan pertimbangan dalam menentukan
langkah-langkah kebijakan pelestarian hasil budaya yang menjadi simbol identitas
dan lambang budaya bangsa terutama bagi pemerintah daerah setempat.
I. 6. Tinjauan Pustaka
Untuk mengetahui dan memahami Makna Simbolik Tato bagi Manusia Dayak
dalam Kajian Hermeneutika Paul Ricoeur ini. maka pembacaan tulisan tentang Tato,
manusia Dayak, dan hermeneutika Paul Ricoeur penting untuk dilakukan. Pada
dasarnya dengan membaca karya-karya tersebut pemahaman akan tato, eksistensi
manusia Dayak, dan masalah hermeneutika secara umum berikut hermeneutika Paul
Ricoeur dapat dimengerti dan dikaji secara mendalam. Terdapat tiga sumber pustaka
yang menjadi sumber pokok berkaitan dengan penulisan tesis ini, yang pertama
adalah buku The Symbolism of Evil karangan Paul Ricoeur yang membahas mengenai
simbol-simbol kejahatan, kedua adalah buku Tato karangan Hatib Abdul Kadir Olong
yang membahas mengenai tato, dan yang ketiga adalah buku Manusia Daya :
Dahulu, Sekarang dan Masa Depan karangan Mikhail Coomans. Walaupun demikian
11Universitas Indonesia
pembacaan literatur lain tetap diperlukan untuk memperkuat dan memperjelas
pemahaman tersebut termasuk dengan membaca penelitian-penelitian terdahulu yang
berkaitan dengan penulisan tesis ini.
Selain itu juga terdapat dua karya ilmiah yang ditemukan penulis mengenai
tato, yang pertama adalah Eksistensi Tato sebagai Salah Satu Karya Seni Rupa
Tradisional Masyarakat Mentawai karya Adi Rosa yang merupakan Tesis pada
Program Studi Seni Rupa di Institut Teknologi Bandung. Yang kedua adalah
Fenomena Tren Tato dan Pergeseran Makna Seni Tato Ditinjau dari Teori
Postmodernisme dan Teori Semiotik Pierce karya R. R. Early Dinda Puspita yang
merupakan Skripsi pada Program Studi Sastra Jerman di Universitas Indonesia. Yang
membedakan penelitian ini dengan dua penelitian sebelumnya adalah upaya penulis
untuk menemukan makna simbollik dibalik tato bagi manusia Dayak, dan melakukan
kajian filosofis terhadap makna simbolik tato tersebut menggunakan metode
hermeneutika Paul Ricoeur.
1. 7 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan penulis untuk melakukan penelitian ini
adalah studi kepustakaan, dan metode hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur.
Data-data kepustakaan yang dikumpulkan berupa buku, artikel, literatur, maupun
penelitian-penelitian terdahulu mengenai tato dan kehidupan manusia Dayak dan
metode hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur. Metode hermeneutika
fenomenologi Paul Ricoeur dipilih penulis untuk menjelaskan makna simbolik tato
Dayak karena dalam pemikirannya, Ricoeur menggunakan simbol-simbol untuk
menafsirkan fenomena yang ada. Tato Dayak adalah sebuah fenomena yang sarat
akan makna simbolik sehingga metode hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur
dianggap tepat untuk menjelaskan makna simbolik apa yang terkandung dalam tato
Dayak tersebut. Adapun interpretasi dalam metode hermeneutika fenomenologi
tersebut digunakan sebagai pendekatan filosofis untuk membaca data-data
12Universitas Indonesia
kebudayaan dan fenomena-fenomenanya. Pendekatan filosofis yang dimaksud adalah
permasalahan-permasalahan tersebut diuraikan secara sistematis dan inventif.
Ricoeur sendiri dalam bukunya The Symbolism of Evil, menggunakan metode
hermeneutika untuk mengungkapkan pengalaman pengalaman tentang kejahatan
dalam kebudayaan-kebudayaan besar masa lalu, baik berupa simbol-simbol primer
(noda, dosa, dan kebersalahan), maupun simbol-simbol sekunder (mitos-mitos yang
menceritakan asal usul dan cara mengatasi kejahatan).
Kejahatan sebagai pengalaman manusia yang paling eksistensial dinyatakan
dalam bahasa pengakuan lewat simbol dan mitos kejahatan. Simbol dan mitos
mengisahkan awal dan akhir kejahatan. Analisis Ricoeur tentang simbol dan mitos
kejahatan menggambarkan dua tendensi. Pertama, tendensi yang melihat kejahatan
sebagai pengalaman primer manusia. Kedua tendensi untuk mendudukkan kejahatan
dalam manusia dan membuat manusia menjadi penyebabnya.
The Symbolism of evil merupakan garis besar perkembangan pengalaman
manusia. Masing-masing simbol menggambarkan tiga tahap perkembangan sejarah :
kebudayaan kuno, agama monotheis, dan pengalaman sekular personal. Gambaran
Ricoeur mengenai manusia tidak berhenti pada manusia yang mampu berbuat jahat
karena kebebasannya yang tertawa. Kejahatan tidak hanya dilihat sebagai tindakan
manusia, tetapi dalam gambaran kejahatan sebagai penodaan, manusia berada dalam
situasi jahat dan tersentuh oleh kejahatan, yang menular. Lebih lanjut Ricoeur juga
menggambarkan kejahatan dan sekaligus pengharapan : dosa dan penebusan,
perbudakan dan pembebasan, pengasingan dan kembali, rasa salah dan pembenaran.
Simbol-simbol itu harus ditafsirkan dalam totalitasnya, bukan secara terpisah.
Dengan demikian penulis berharap analisis Ricoeur tentang simbol kejahatan dalam
hubugannya dengan eksistensi manusia tersebut dapat digunakan untuk memahami
makna simbolik Tato bagi manusia Dayak.
13Universitas Indonesia
Dengan penjelasan ini, orang dapat mengeksplisitkan atau menguraikan
proposisi dan makna teks. Sedangkan dengan pemahaman orang dapat memahami
dan mengerti sebagai keseluruhan dari mata rantai makna parsial teks dalam tindakan
sintesis. Lebih jauh teks ditempatkan dalam konteks sosial. Dengan begitu konsep
tindakan penuh makna sebagai teks menurut Ricoeur berarti mengizinkan teks
memberikan kepercayaan kepada diri manusia dengan cara yang objektif. Dengan
penjelasan tersebut Ricoeur mengatakan bahwa memahami teks berarti memahami
individu.
Oleh karena itu, untuk membahas alur pemikiran Paul Ricoeur secara lebih
mendalam, dimana di dalam pemikirannya tersebut terdapat metode hermeneutika
fenomenologi yang digunakan sebagai kerangka teori untuk membahas permasalahan
dalam penulisan tesis ini, maka penulis akan membuat bab tersendiri, yaitu Bab II.
1.8. Sistematika Penulisan
Bab 1 yaitu Pendahuluan merupakan penjelasan dari latar belakang
permasalahan penulisan tesis ini. Di dalamnya juga akan dijelaskan rumusan
permasalahan yang terdiri atas permasalahan, pertanyaan penelitian dan thesis
statement untuk menjadi panduan dalam penulisan. Selanjutnya akan dipaparkan
tinjauan pustaka, teori dan metode penelitian tesis berikut dengan sistematika
penulisan agar dapat menghasilkan penulisan yang sistematis.
Bab 2 berjudul Simbol Kejahatan dalam Hermeneutika Fenomenologi Paul
Ricoeur dimana dalam bab ini akan diuraikan keseluruhan perkembangan pemikiran
Paul Ricoeur. Penulisan bab ini berisikan biografi Paul Ricoeur hingga akhir
hayatnya, penjelasan mengenai latar belakang pemikiran filsafat Ricoeur termasuk
siapa saja tokoh-tokoh yang mempengaruhinya, dan uraian mengenai metode
hermeneutika fenomenologi yang digunakan Ricoeur untuk melakukan interpretasi
terhadap sebuah teks.
14Universitas Indonesia
Bab 3 dengan judul Tato dan Manusia Dayak akan menguraikan penjelasan
mengenai tato dan manusia Dayak. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai
manusia Dayak dan kehidupannya, gambaran umum tato Dayak, cara pembuatannya,
berikut aturan-aturan apa saja yang terdapat dalam proses pembuatan tato. Selain itu
akan dibahas juga mengenai beberapa motif yang digunakan pada tato Dayak dan
kegunaan tato Dayak ditinjau dari aspek pragmatiknya.
Bab 4 dengan judul Simbol Kebertubuhan dalam tato Dayak akan membahas
mengenai filsafat kebertubuhan manusia Dayak dalam hubungannya dengan tato
sebagai Simbol Religiusitas, sebagai Simbol Siklus Kehidupan dan Kematian, serta
sebagai Simbol Eksistensi. Selanjutnya akan diperoleh makna simbolik tato Dayak
yang merupakan interpretasi keseluruhan terhadap tato Dayak menggunakan metode
hermeneutika Paul Ricoeur.
Bab 5 merupakan bab penutup, dimana pada bagian akhir tesis ini terdapat
dua subbab yaitu Subbab 5.1 yang merupakan Kesimpulan dari seluruh penulisan
tesis, dan diikuti dengan Subbab 5.2 yaitu Catatan kritis
15Universitas Indonesia
BAB 2
SIMBOL DALAM HERMENEUTIKA FENOMENOLOGI
PAUL RICOEUR
Bab ini akan menguraikan pandangan dan pemikiran Paul Ricoeur mengenai
simbol kejahatan dalam hermeneutika fenomenologi sebagai metode interpretasi.
Dalam hubungannya dengan penulisan tesis ini, uraian pandangan dan pemikiran
Ricoeur tersebut menjadi acuan teoritis dalam membahas makna simbolik tato bagi
manusia Dayak. Selain itu, riwayat hidup Ricoeur juga akan dibahas bersama dengan
pembahasan karya-karyanya supaya keutuhan pemikirannya yang berhubungan erat
dengan kondisi sosial, budaya, maupun politik dapat dipahami dengan baik.
Pemikiran Ricoeur dapat dikategorikan ke dalam salah satu cabang filsafat
yaitu filsafat manusia. Dalam filsafat manusia, orisinalitas pemikirannya terlihat dari
pembahasannya mengenai filsafat kehendak dimana di dalamnya terdapat
pembahasan mengenai fenomena kejahatan pada eksistensi manusia dalam karyanya
The Symbolism of Evil. Untuk itu ia merefleksikan kejahatan melalui simbol dan
mitos yang dijelaskan lebih mendalam lewat metode hermeneutika fenomenologi.
2.1 Riwayat Hidup dan Karya-karya Paul Ricoeur
Paul Ricoeur, atau lengkapnya Jean Paul Gustave Ricoeur, adalah seorang
filsuf kontemporer asal Perancis. Namanya barangkali tidak dikenal luas seperti filsuf
Perancis lainnya yaitu Jean-Paul Sartre ataupun Michel Foucault. Akan tetapi
kalangan intelektual dan akademis dunia mengakuinya sebagai salah seorang filsuf
yang paling mengesankan pada abad ke-20, baik karena inovasi pemikiran yang
dibawanya maupun karena luasnya cakupan bidang yang digelutinya. Pengaruhnya
tidak dapat diabaikan dalam studi filsafat, ilmu-ilmu sosial, linguistik, ilmu-ilmu
budaya, ilmu sejarah, psikoanalisa, teologi, etika dan ilmu politik. Tidak
mengherankan ketika dia meninggal pada 20 Mei yang lalu di Chatenay-Malabry,
Perancis, Perdana Menteri Perancis, Jean-Pierre Raffarin mengeluarkan pernyataan:
16Universitas Indonesia
"Hari ini kita tidak sekedar kehilangan seorang filsuf; seluruh tradisi humanis Eropa
sedang berduka untuk salah seorang juru bicaranya yang paling berbakat".16
Paul Ricoeur dilahirkan di Valence, Perancis Selatan pada tanggal 27 Februari
1913. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan dianggap sebagai
salah seorang cendekiawan Protestan yang terkemuka di Prancis. Usia dua tahun ia
sudah menjadi seorang yatim piatu. Ibunya meninggal karena sakit ketika ia berusia
tujuh bulan dan ayahnya, seorang guru bahasa Inggris terbunuh pada Perang Dunia
Pertama. Ricoeur dan kakak perempuannya dibesarkan oleh bibi dan kakek dari pihak
ayah. Ricoeur dibesarkan di Rennes, Perancis. Di Lycee ia berkenalan dengan filsafat
untuk pertama kalinya melalui R. Dalbiez, seorang filsuf beraliran thomistis yang
terkenal karena dialah salah seorang Kristen pertama yang mengadakan suatu studi
besar tentang Psikoanalisa Freud.
Ricoeur mendapatkan gelar filsafatnya pada tahun 1933, lalu ia mendaftar
pada Universitas Sorbonne di Paris guna mempersiapkan diri untuk agregasi filsafat
yang diperoleh pada tahun 1935. Di Paris inilah ia berkenalan dengan Gabriel Marcel
yang nantinya akan banyak mempengaruhi pemikirannya secara mendalam. Pada
tahun 1937-1939 ia memenuhi panggilan untuk bergabung dalam wajib militer. Pada
waktu mobilisasi ia masuk lagi ketentaraan Prancis dan dijadikan tahanan perang
sampai akhir perang pada tahun 1945. dalam tahanan Jerman inilah ia banyak
mempelajari karya-karya Husserl, Heidegger dan Jaspers. Bersama teman semasa
tahanannya, Mikel Dufrenne, ia menulis buku Karl Jaspers et la philosophie de
lexistence (1947). Pada tahun yang sama diterbitkan lagi satu buku yang berjudul
Gabriel Marcel et Karl Jaspers, studi perbandingan antara dua tokoh eksistensialisme
yang menarik banyak perhatian pada waktu itu.
16Ignas Kleden, Paul Ricoeur : Jalan Melingkar Dalam Filsafat, dalam http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/06/06/KL/mbm.20050606.KL115600.id, diakses pada 1 Juni 2011 pukul 10.30 WIB.
17Universitas Indonesia
Setelah perang usai ia menjadi dosen pada Collge Cvenol, pusat Protestan
internasional untuk pendidikan dan kebudayaan di Chambon-sur-Lignon. Pada tahun
1948 ia menggantikan Jean Hyppolite sebagai professor filsafat di Universitas
Starbourg. Pada tahun 1950 Ricoeur memperoleh gelar Docteur s lettres dan
tesisnya dimasukkan ke dalam jilid pertama dari Philosophie de la volont (Filsafat
Kehendak) yang diberi anak judul Le volontaire et linvolontaire (1950) (yang
dikehendaki dan yang tidak dikehendaki); dan sebagai tesis tambahan adalah
terjemahan karya Husserl Ideen I dengan pendahuluan dan komentar, yang sudah
mulai ia kerjakan saat masih menjadi tahanan di Jerman. Pada tahun itu tesis
utamanya dibukukan dengan judul yang sama. Dalam buku ini ia membahas suatu
deskripsi murni tentang kehendak dan aktus-aktusnya. Deskripsi murni dipahami
dalam arti fenomenologis, yaitu deskripsi dari sudut pandangsubyek bagi siapa
sesuatu tampak. Dengan dua karya ini ia dianggap sebagai ahli fenomenologi
terkemuka.17
Sekitar tahun 1950an ia juga mulai menyenangi membaca karya-karya filsafat
dari mulai Plato hingga Kant, Hegel, dan Nietzsche yang membawanya mendapatkan
pemahaman yang menyeluruh tentang perkembangan filsafat barat. Sehingga hal ini
pula yang membuat dirinya tidak pernah terjebak pada satu aliran saja, bahkan pada
suatu waktu ia mempelajari filsafat analitis yang merupakan aliran yang banyak
berkembang di Inggris seperti Wittgenstein, Austin, Searly. Selain filsafat ia juga
memperhatikan masalah-masalah politik, sosial, budaya, pendidikan dan teologi. Ia
dianugerahi gelar doktor teologi honoris causa oleh Universitas Katolik Nijmegen,
Belanda atas kontribusinya dalam bidang teologi.18
17Paul Ricoeur, Phenomenology and Hermeneutics dalam The Nous, Vol.9, No. 1( March, 1975), Blackwell Publishing, diakses dari http://www.jstor.org/stable/2214343, 12 Juni 2011, 13.45 WIB, hal. 85-88.18John McCarthy, The Density of Reference: Paul Ricoeur on Religious Textual Reference dalam International Journal for Philosophy of Religion, Vol. 26, No. 1 (Aug., 1989), Springer, diakses dari http://www.jstor.org/stable/40018846, 12 juni 2011, 14.05 WIB, hal. 1
18Universitas Indonesia
Ricoeur sempat menjabat sebagai dekan Fakultas Sastra di Universitas
Sorbonne. Karena pada saat itu banyak kejadian dimana para mahasiswa
memberontak dikarenakan sistem pendidikan yang tidak memuaskan dan dekan
mengundurkan diri maka Ricoeur di angkat sebagai dekan untuk kurun waktu satu
tahun. Namun karena terjadi kembali pemberontakan mahasiswa dan Ricoeur merasa
tidak nyaman maka ia mengundurkan diri. Ia kemudian banyak mengajar di
Universitas Leuven, lalu kemudian kembali lagi ke Paris dan setiap beberapa bulan ia
mengajar di Universitas Chicago.
Setelah itu Ricoeur seringkali diundang sebagai pembicara mengenai
beraneka ragam tema pada kongres, seminar, maupun lokakarya baik di dalam
maupun di luar negeri. Ia selalu mempresentasikan dirinya sebagai filsuf yang
berusaha menyoroti tema yang bersangkutan dari sudut pandang filosofisnya. Ia juga
banyak menulis dan sekaligus menjadi editor dalam majalah Esprit, yang didirikan
pada tahun 1932 oleh Emmanuel Mounier (1905-1950), seorang tokoh personalisme
Kristen dan majalah Christianisme social, yang diorganisir oleh gerakan sosial
Protestan di Perancis. Selain itu pada tahun 1955 ia mempublikasikan buku History
And Truth. Buku ini merupakan kumpulan karangannya mengenai masalah sosial dan
politik.
Pada tahun 1956 Ricoeur diangkat sebagai professor filsafat di Universitas
Sorbonne. Pada tahun 1960 ia menerbitkan buku Philosophie de la volonte jilid 2
dengan anak judul Finitude et culpabilite ( Keberhinggaan dan Kesalahan ). Buku
jilid kedua ini terdiri dari dua bagian (dua buku tersendiri) yang berjudul Falilble
Man : Philosophy of the Will ( Manusia yang dapat salah ) dan The Symbolism of Evil
(Simbol-simbol kejahatan). Pada Falilble Man : Philosophy of the Will ia membahas
eksistensi manusia dari sudut metode fenomenologi Husserl dan metode
transsendental Kant. Sedangkan dalam The Symbolism of Evil ia membahas kejahatan
konkret dalam eksistensi manusia.
Sementara itu pada tahun 1966 ia mengajar di Nanterre dan tahun 1969
terpilih menjadi dekan. Namun tahun 1970 ia berhenti sebagai dekan akibat
kerusuhan mahasiswa dan pindah ke Universitas Louvain, Belgia. Pada tahun 1973 ia
19Universitas Indonesia
kembali ke Nanterre sebagai professor metafisik sambil mengajar paruh waktu di
Universitas Chicago. Dalam periode ini ia banyak memberi perhatian pada problem
bahasa dan hermeneutika. Ricoeur adalah penulis yang aktif. Ia menulis banyak buku
dan essay tentang isu-isu terkait. Bibliografinya mencakup lebih dari selusin buku
dan beratus-ratus essai, diantaranya : 19
1. Gabriel Marcel and Karl Jaspers. Philosophie du mystre et philosophie du paradoxe. Paris: Temps Prsent, 1948.
2. Entretiens sur l'Art et la Psychanalyse (sous la direction de Andre Berge, Anne Clancier, Paul Ricoeur et Lothair Rubinstein (1964), Mouton, Paris, La Haye 1968.
3. Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary, trans. Erazim Kohak. Evanston: Northwestern University Press, 1966 (1950).
4. History and Truth, trans. Charles A. Kelbley. Evanston: Northwestern University press. 1965 (1955).
5. Fallible Man, trans. Charles A. Kelbley, with an introduction by Walter J. Lowe, New York: Fordham University Press, 1986 (1960).
6. The Symbolism of Evil, trans. Emerson Buchanan. New York: Harper and Row, 1967 (1960).
7. Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, trans. Denis Savage. New Haven: Yale University Press, 1970 (1965).
8. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, ed. Don Ihde, trans. Willis Domingo et al. Evanston: Northwestern University Press, 1974 (1969).
9. Political and Social Essays, ed. David Stewart and Joseph Bien, trans. Donald Stewart et al. Athens: Ohio University Press, 1974.
10. The Rule of Metaphor: Multi-Disciplinary Studies in the Creation of Meaning in Language, trans. Robert Czerny with Kathleen McLaughlin and John Costello, S. J., London: Routledge and Kegan Paul 1978 (1975).
11. Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Fort Worth: Texas Christian Press, 1976.
12. Patocka, Philosopher and Resister. Telos 31 (Spring 1977). New York: Telos Press.
13. The Philosophy of Paul Ricur: An Anthology of his Work, ed. Charles E. Reagan and David Stewart. Boston: Beacon Press, 1978.
14. Essays on Biblical Interpretation (Philadelphia: Fortress Press, 1980) 15. Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and
Interpretation, ed., trans. John B. Thompson. Cambridge: Cambridge University Press, 1981.
19John B. Thompson, (ed) dalam Paul Ricoeur,Hermeneutics & Human Sciences,(London:Cambridge U.P,1981),hal 2-4.
20Universitas Indonesia
16. Time and Narrative (Temps et Rcit), 3 vols. trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer. Chicago: University of Chicago Press, 1984, 1985, 1988 (1983, 1984, 1985).
17. Lectures on Ideology and Utopia, ed., trans. George H. Taylor. New York: Columbia University Press, 1985.
18. From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press, 1991 (1986).
19. l'cole de la philosophie. Paris: J. Vrin, 1986. 20. Le mal: Un dfi la philosophie et la thologie. Geneva: Labor et Fides,
1986. 21. Oneself as Another (Soi-mme comme un autre), trans. Kathleen Blamey.
Chicago: University of Chicago Press, 1992 (1990). 22. A Ricur Reader: Reflection and Imagination, ed. Mario J. Valdes. Toronto:
University of Toronto Press, 1991. 23. Lectures I: Autour du politique. Paris: Seuil, 1991. 24. Lectures II: La Contre des philosophes. Paris: Seuil, 1992. 25. Lectures III: Aux frontires de la philosophie. Paris: Seuil, 1994. 26. The Philosophy of Paul Ricur, ed. Lewis E. Hahn (The Library of Living
Philosophers 22) (Chicago; La Salle: Open Court, 1995) 27. The Just, trans. David Pellauer. Chicago: University of Chicago Press, 2000
(1995). 28. Critique and Conviction, trans. Kathleen Blamey. New York: Columbia
University Press, 1998 (1995). 29. Thinking Biblically, (with Andr LaCocque). University of Chicago Press,
1998. 30. La mmoire, l'histoire, l'oubli. Paris: Seuil, 2000. 31. Le Juste II. Paris: Esprit, 2001. 32. Reflections on the Just, trans. David Pellauer. University of Chicago Press,
2007. 33. Living Up to Death, trans. David Pellauer. University of Chicago Press, 2009.
Selain menulis dan mengajar, Ricoeur juga adalah anggota beberapa lembaga
akademis dan mendapat penghargaan dari The Hegel Award (Stuttgart), The Karl
Jaspers Award (Heidelberg), The Leopold Lucas Award (Tobingen),dan The Grand
Prix de l Academie francaise. Bersama Francois Wahl ia menjadi editor pada
Lordre d philosophique di Paris.
21Universitas Indonesia
2.2. Pemikiran Paul Ricoeur
Pemikiran filosofis Ricoeur dapat dikategorikan dalam cabang filsafat yaitu
filsafat manusia. Pemikirannya tentang filsafat manusia tampak dalam karya-
karyanya yaitu Freedom and Nature : The voluntary and the Involuntary, Falible
Man : Philosophy of the Will, dan The Symbolism of Evil. 20
Dalam lingkup filsafat manusia Ricoeur membahas Filsafat kehendak
(philosophy of will) yang dihubungkan dengan tiga persoalan eksistensi manusia yang
diungkapkan yaitu yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki,
keberhinggaan dan kebersalahan dan kejahatan. Ricoeur menegaskan bahwa
filsafat kehendak merefleksikan dimensi afektif dan kehendak pada eksistensi
manusia (to reflect upon the affective and volitional dimensions of human existence).
Filsafat kehendak ini memfokuskan pada persoalan tindakan dan motif (action and
motive), keinginan dan hasrat (need and desire), kesenangan dan kesakitan (pleasure
and pain). Ia membahas persoalan-persoalan tersebut dari perspektif fenomenologi.
Dengan fenomenologi ini ia berusaha menjelaskan fenomena persoalan-persoalan
tersebut dan menghubungkannya pada proses kesadaran subyektif.
Pertama yang dikehendaki (voluntary) dijelaskan dan dipahami oleh
Ricoeur dengan menjelaskan dan memahami yang tidak dikehendaki (involuntary)
dalam karyanya Freedom and Nature : The Voluntary and the Involuntary. Dalam
menjelaskan kehendak (will) manusia dengan fenomenologi, Ricoeur mengikuti
pemikiran fenomenologi Husserl, untuk membedakan pemikirannya dari pemikiran
eksistensialis dan menegaskan bahwa fenomenologi harus struktural .21 Ia
membuka struktur dasar terhadap kehendak pada tingkat kemungkinan esensial
(essential possibility) yaitu struktur kehendak yang timbal-balik antara yang
20Walter James Lowe, The Coherence of Paul Ricoeur dalam The Journal of Religion, Vol. 61, No. 4 (Oct., 1981), The University Of Chicago Press, diakses dari http://www.jstor.org/stable/1202836, 12 juni 2011, 14.15 WIB, hal.38421 Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary, trans. Erazim Kohak, (Evanston: Northwestern University Press, 1966), hal 215.
22Universitas Indonesia
dikehendaki dan yang tidak dikehendaki. Dengan adanya dualisme itu, ia mencari
hakekat (eidos) pada diri manusia.
Melalui analisis yang mendalam, Ricoeur menemukan bahwa dalam tindakan
kehendak kesadaran melekat pada unsur yang tidak dikehendaki (in the act of
willing, consciousness to the element of involuntary life). Tindakan manusia tampak
pada waktu ia berkehendak ( I will). Dapat dikatakan bahwa will ini sejajar dengan
cogito dalam pengertian Descartes. Sedangkan untuk menjelaskan yang tidak
dikehendaki, Ricoeur menggunakan metode partisipasi eksistensialis Gabriel
Marcel dalam menganalisis tubuh karena metode fenomenologi sudah tidak memadai
lagi. Dengan metode ini Ricoeur menyatakan bahwa penyatuan kesadaran ke dalam
tubuh dan tubuh dalam kesadaran amat diperlukan. Dengan cara itu yang tidak
dikehendaki melekat pada yang dikehendaki. Yang dikehendaki diinterpretasikan
sebagai kebebasan (freedom), sedangkan yang tidak dikehendaki diinterpretasikan
sebagai keniscayaan (nature). Menurutnya kebebasan yang dikehendaki itu bersifat
manusiawi dan tidak Ilahi.22
Kedua, keberhinggaan dan kebersalahan (finitude and gulit). Persoalan ini
dianalisis secara kritis oleh Ricoeur ketika membahas karyanya Falilble Man :
Philosophy of Will. Dalam karyanya itu ia mengatakan bahwa manusia yang dapat
salah merupakan ciri eksistensi manusia sebagai sumber kejahatan. Kebersalahan ini
terletak pada usaha manusia yang tidak pernah berhasil mendamaikan keberhinggaan
dan ketidakberhinggaan. Kebersalahan ini merupakan kelemahan konstitusional yang
memasuki struktur dasar kehendak, sehingga manusia dimasuki kejahatan.23
Ketiga, kejahatan (evil). Ricoeur membahas persoalan kejahatan pada
eksistensi manusia dalam karyanya yang berjudul The Symbolism of Evil. Ia
memperlihatkan bagaimana pengakuan kejahatan manusia dalam kesadaran agama,
bukan pada tataran filsafat. Dalam membahas kejahatan itu Ricoeur menggunakan
22 Ibid, hal 486.23 Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles A. Kelbley, with an introduction by Walter J. Lowe, (New York: Fordham University Press, 1986 (1960)), hal xvi
23Universitas Indonesia
metode hermeneutika karena metode fenomenologi saja tidak cukup memadai. Untuk
itu ia merefleksikan kejahatan melalui hermeneutika fenomenologi pada simbol dan
mitos.
2.3. Hermeneutika Fenomenologi menurut Ricoeur
Kekhususan pemikiran Ricoeur dalam hermeneutika adalah pandangannya
yang menggabungkan antara fenomenologi dan metode hermeneutika sehingga
memunculkan pandangan mengenai hermeneutika fenomenologi. Bertitik tolak dari
pemikiran Ricoeur dalam melihat fenomena budaya, yaitu interpretasi terhadap
fenomena budaya sebagai bagian dari kehidupan manusia, pemahaman akan hidup
yang ditampilkan lewat salah satu ritual atau prosesi adat akan dapat dipahami
dengan baik apabila dilakukan dengan menembus kesadaran manusia. Dalam hal
inilah simbol berfungsi sebagai perantara supaya orang dapat memahami sesuatu
dengan lebih baik.
Menurut Ricoeur terdapat dua jalan yang menjadi dasar diletakannya
hermeneutika ke dalam fenomenologi. Jalan pertama disebutnya sebagai jalan
pendek (short route) dan jalan kedua disebutnya sebagai jalan panjang (long
route).24Yang dimaksud dengan jalan pendek adalah ontologi pemahaman.
Pemahaman tidak lagi dihubungkan dengan cara mengetahui tetapi lebih mengarah
pada cara berada. Mengapa? Sebab pemahaman adalah salah satu aspek proyeksi
Dasein (proyeksi manusia seutuhya) dan keterbukaannya terhadap being." Dengan
begitu, "Pertanyaan tentang kebenaran bukan lagi menjadi pertanyaan tentang
metode, melainkan pertanyaan tentang pengejawantahan being untuk being, yang
eksistensinya terkandung di dalam pemahaman terhadap being. Hal itu sebab kita
memahami manusia dari segala aspek yang ia miliki, manusia seutuhnya, manusia
sebagai Dasein : sejarahnya, cara hidupnya, cita-citanya, gaya penampilan,
keburukannya, serta segala sesuatu yang membuatnya menjadi khas. Oleh sebab itu,
kita memahami manusia sebagaimana ia "menjadi".Dalam hal ini, hermeneutika 24Joseph Bleicher, Contemporary Hermeneutics, ( London : Routledge & Kegan Paul, 1980), hal 238-244.
24Universitas Indonesia
ketika "memahami" manusia dan hasil kerja budayanya, termasuk di dalamnya
kesusastraan, yakni dengan jalan melakukan interpretasi.
Akan tetapi analisis tentang Dasein kurang dapat menjawab pertanyaan-
pertanyaan seperti bagaimana kita dapat sampai pada pengertian yang jelas akan
sebuah teks, juga pada pengertian sebuah upacara, lalu bagaimana konflik interpretasi
yang saling bertentangan dapat diselesaikan. Atas dasar argumentasi inilah Ricoeur
mengajukan jalan panjang. Jalan panjang merupakan refleksi di tingkat ontologi
dimana refleksi tersebut terjadi secara bertahap melalui interpretasi dan pemahaman,
dari tahap literal atau literal, ke tahap refleksi fenomenologi dan tahap eksistensial.
Untuk mengkaji hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur, tidak perlu
menghubungkannya dengan perkembangan hermeneutika sebelumnya. Karenanya
posisi hermeneutika Paul Ricoeur sepenuhnya ditempatkan terpisah dari
hermeneutika sebelumnya, yaitu hermeneutika teori penafsiran kitab suci,
hermeneutika metode filologi, hermeneutika pemahaman linguistik, hermeneutika
fondasi dari ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften), dan hermeneutika
fenomenologi dasein.25
Menurut Ricoeur hermeneutika tidak dapat dilepaskan dari fenomenologi.
Fenomenologi merupakan asumsi dasar yang tak tergantikan bagi hermeneutika. Di
sisi lain, fenomenologi tidak dapat menjalankan programnya untuk memahami
berbagai fenomena secara utuh dan menyeluruh tanpa penafsiran terhadap
pengalaman-pengalaman subyek. Untuk keperluan penafsiran itu dibutuhkan
hermeneutika. Secara umum, fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana
manusia sebagai subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Menurut Ricoeur
sejauh tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan manusia, hermeneutik terlibat
di sana. Jadi pada dasarnya fenomenologi dan hermeneutik saling melengkapi.
Dengan dasar itu, Ricoeur mengembangkan metode hermeneutika fenomenologi.
25 Richard E. Palmer, Hermeneutics:Interpretation Theory in Schleimacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer, ( Northwestern Universitiy Press, Evanston, 1969 ), hal 38-47.
25Universitas Indonesia
Dalam hermeneutika fenomenologi, Ricoeur menekankan pentingnya
pemahaman tentang distanciation (pengambilan-jarak). Kembalinya hermeneutik
kepada fenomenologi terjadi melalui pengambilan-jarak. Setiap pemaknaan yang
dilakukan oleh kesadaran melibatkan saat pengambilan-jarak dari obyek yang diberi
makna, pengambilan-jarak dari pengalaman yang dihayati sambil tetap tertuju
kepadanya. Pengambilan-jarak sangat jelas terlihat dalam bahasa.Tanda linguistik
hanya dapat merujuk kepada hal yang bukan benda. Tanda itu merujuk kepada
konsep atau makna dari benda-benda. Jadi dalam tanda itu terkandung negativitas
tertentu, meniadakan obyek-obyek yang dihayati melalui pengalaman. Dalam kajian
linguistik, semuanya terjadi dalam pengandaian bahwa subyek yang berbicara
memiliki ruang kosong tempat bermulanya penggunaan tanda, ruang kosong yang
memutus hubunganya dengan pengalaman yang dihayati dengan maksud untuk
memasuki semesta simbolik.26
Fenomenologi dapat dipahami sebagai penguatan eksplisit dari peristiwa
virtual yang tampil sebagai tindakan yang khas, sebagai gerak-gerik filosofis.
Fenomenologi menjalin sifat tematik dari apa yang tadinya hanya bersifat operatif,
membuat makna tampil sebagai makna. Hermeneutik memperluas gerak-gerik
filosofis ini ke dalam ranah historis dan secara lebih umum lagi ke dalam ilmu-ilmu
tentang manusia. Dari sisi hermeneutik, dapat dipahami bahwa pengalaman yang
dihayati sebagai obyek dari fenomenologi berhubungan dengan kesadaran yang
ditujukan untuk mempertahankan kebergunaan historis. Dengan demikian,
pengambilan-jarak hermeneutis ditujukan terhadap rasa kepemilikan masa lalu
Hermeneutik bermula ketika kita memutus hubungan kepemilikan kita dengan masa
lalu agar dapat memaknainya. Hermeneutik dan fenomenologi sama-sama
memungkinkan subyek untuk memaknai pengalaman yang dihayatinya dan
kepemilikannya akan tradisi historis.
26Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics I, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston: Northwestern University Press, 1991), hal 88.
26Universitas Indonesia
Hermeneutika dan fenomenologi juga sama-sama memandang bahwa
pemaknaan linguistik merupakan watak turunan dari pengalaman yang dihayati.
Dalam upaya memahami fenomena, kesadaran yang selalu tertuju kepada obyek
menggunakan perangkat-perangkat perseptualnya (noesis) untuk memperoleh
gambaran perseptual yang lengkap tentang fenomena (noema). Pembentukan
gambaran perseptual yang lengkap itu mensyaratkan perlengkapan linguistik yang
memadai untuk melakukan pengartian, predikasi, hubungan sintaktik dan sebagainya
agar gambaran itu dapat diartikulasikan. Dari sisi hermeneutik, penempatan linguistik
sebagai kendaraan yang digunakan untuk memahami analisis terhadap gambaran
perseptual pra-lingusitik merupakan prinsip yang mendasari proses penafsiran.
Ricoeur juga menunjukkan bagaimana hubungan antara hermeneutik dan
fenomenologi terlihat dalam penggunaan konsep Lebenswelt (dunia-kehidupan)
dalam fenologi yang oleh hermeneutik dipahami sebagai perbendaharaan makna,
surplus kesadaran dalam pengalaman hidup yang memungkinkan objetivikasi dan
pemaknaan yang kaya terhadap fenomena dalam kehidupan manusia. Dengan konsep
Lebenswelt itu, dimungkinkan pengembangan fenomenologi persepsi yang membawa
fenomenologi kepada hermeneutik untuk memahami pengalaman historis. Dengan
demikian, fenomenologi dan hermeneutik merupakan dua hal yang tak terpisahkan
dan selalu bersama-sama dalam upaya memahami fenomena dan memahami manusia
melalui ilmu-ilmu tentang manusia.27
Dengan hermeneutika fenomenologinya Ricoeur kemudian mendefinisikan
teks sebagai ...any discourse fixed by writing. Teks adalah diskursus yang
dimantapkan dalam bentuk tulisan. Diskursus diartikan sebagai peristiwa bahasa atau
penggunaan bahasa sebagai lawan dari sistem bahasa atau sistem kode linguistik.
Diskursus menunjukkan bahasa sebagai peristiwa, bukan sebagai sistem. Satuan
terkecil dari gramatika bahasa yang melandasi teks adalah kata sedangkan satuan
terkecil dari diskursus adalah kalimat. Teks merupakan hasil pengambilan-jarak
terhadap pengalaman yang dihayati dalam dunia. Dengan istilah teks, Ricoeur juga
merujuk kepada pengalaman dan tindakan manusia yang akan ditafsirkan. 27Ibid, hal 86.
27Universitas Indonesia
Pengalaman dan tindakan manusia mengandung pemaknaan linguistik, oleh karena
itu keduanya merupakan diskursus.28
Pengambilan-jarak mengindikasikan adanya pemutusan hubungan antara
pengalaman dan tindakan yang hendak dipahami dengan dunia. Dengan kata lain,
pengalaman dan tindakan sebagai diskursus di sini dibekukan menjadi teks atau
dalam bentuk-bentuk linguistik yang dapat dibaca. Ricoeur mengenakan sifat-sifat
teks ke dalam tindakan.
Seperti halnya teks merupakan diskursus yang dibekukan, tindakan juga pada
awalnya adalah sebuah diskursus dalam arti peristiwa tindakan yang terjadi dalam
waktu, melibatkan aktor-aktor tertentu (pelaku maupun yang terkena tindakan)
dengan maksud-maksud tertentu pula. Pemantapan tindakan menjadikan tindakan tak
lagi hanya merujuk pada satu peristiwa tertentu, dengan demikian tindakan pun
terkena sifat-sifat teks. Ricouer menjelaskan sifat-sifat itu sebagai berikut:29
1. Tindakan bermakna baru menjadi objek ilmu melalui objektivikasi
yang oleh Ricoeur disejajarkan dengan pemantapan diskursus ke
dalam tulisan.
2. Seperti makna teks yang lepas dari intensi penulisnya, makna tindakan
juga lepas dari intensi pelakunya. Otonomisasi ini menghasilkan
objektivitas tindakan. Tindakan manusia meninggalkan jejak pada
sejarah berupa rekaman pada diri orang-orang. Sebagai rekaman,
tindakan itu sudah lepas dari intensi penulisnya. Makna tindakan tidak
lagi sama dengan intensi otentik si pelaku awal.
3. Tindakan bermakna yang menjadi objek ilmu pengetahuan sosial,
tidak lagi mengacu pada relevansi situasi awal. Kepentingan tindakan
jadi keluar dari relevansi situasi awal, melampaui kondisi-kondisi
sosial yang melahirkan tindakan itu. Di sini terlihat, suatu tindakan
yang dimantapkan tidak hanya mencerminkan zamannya, namun
membukakan suatu kenyataan dan kemungkinan baru juga.
28 Ibid, hal 145. 29Ibid, hal 150-156.
28Universitas Indonesia
4. Pada akhirnya, tindakan manusia dalam bentuknya yang objektif
menyapa siapa saja yang membacanya. Tindakan manusia, seperti
juga teks, merupakan karya terbuka, serta menanti penafsiran dan
pemaknaan yang segar dari praksis aktual.
Dengan demikian setelah dimantapkan sebagai teks, pengalaman dan tindakan
manusia dapat menjadi terbuka untuk ditafsirkan dan hasil penafsirannya mencakup
makna obyektif dan makna subyektik. Makna obyektif berbeda dengan makna
subyektifnya tetapi keduanya saling melengkapi dan memperkaya penafsiran.
Pemahaman yang tepat tidak dapat dihasilkan hanya dengan kembali pada intensi
orang yang mengalami atau pembuat tindakan. Konstruksi makna yang dilakukan
harus berbentuk proses dialektika antara pendugaan dan pengesahan. Rekonstruksi
teks sebagai keseluruhan harus bersifat daur ulang dalam arti makna keseluruhan
harus tampak dalam bagian-bagiannya. Sebaliknya, keseluruhan dibangun dari
rincian-rinciannya. Di sini tak bisa ditentukan secara gamblang patokan untuk
menentukan bagian mana yang paling penting dan mana yang tidak penting, mana
yang hakiki, dan mana yang artifisial. Keseluruhannya harus dipahami secara
mendalam.
Selanjutnya Ricoeur kemudian menempatkan penafsiran kepada "tanda, atau
simbol, yang dianggap sebagai teks". Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah
"interpretasi atas ekspresi-ekspresi kehidupan yang ditentukan secara linguistik. Hal
itu disebabkan seluruh aktivitas kehidupan manusia berurusan dengan bahasa,
bahkan semua bentuk seni yang ditampilkan secara visual pun diinterpretasi dengan
menggunakan bahasa. "Manusia pada dasamya merupakan bahasa, dan bahasa itu
sendiri merupakan syarat utama bagi pengalaman manusia," kata Paul Ricoeur.30
30 E. Sumaryono, Hermeneutika : Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1999), hal 107.
29Universitas Indonesia
Interpretasi dilakukan dengan cara pcrjuangan melawan distansi kultural,
yaitu penafsir harus mengambil jarak agar ia dapat melakukan interpretasi dengan
baik. Dalam interpretasi seorang pembaca atau penafsir itu masih membawa sesuatu
yang oleh Heideger disebut vorhabe (apa yang ia miliki), vorsicht (apa yang ia lihat),
dan vorgrif (apa yang akan menjadi konsepnya kemudian). Hal itu artinya, seseorang
dalam interpretasi tidaklah dapat menghindarkan diri dari "prasangka".31
Memang, setiap kali kita membaca suatu teks, tidak dapat menghindar dari
"prasangka" yang dipengaruhi oleh kultur masyarakat, tradisi yang hidup dari
berbagai gagasan.Walaupun begitu, menurut Paul Ricoeur, "sebuah teks harus kita
tafsirkan dalam bahasa dan tidak pemah tanpa pengandaian, dan diwamai dengan
situasi kita sendiri dalam kerangka waktu yang khusus".32 Karenanya, sebuah teks
selalu berdiri di antara penjelasan struktural dan pemahaman hermeneutika, yang
saling berhadapan. Penjelasan struktural bersifat objektif, sedangkan pemahaman
hermeneutika memberi kesan kita subjektif.
Dikotomi antara objektivitas dan subjektivitas ini oleh Paul Ricoeur
diselesaikan dengan jalan "sistem bolak-balik", yakni penafsir melakukan
"pembebasan teks" (dekontekstualisasi) dengan maksud untuk menjaga otonomi teks
ketika penafsir melakukan pemahaman terhadap teks; dan melakukan langkah
kembali ke konteks (rekontekstualisasi) untuk melihat latarbelakang terjadinya teks,
atau semacamnya. Dekontekstualisasi maupun rekontekstualisasi itu bertumpu pada
otonomi teks yang terdiri dari tiga macam, yakni:33
1. Intensi atau maksud pengarang (teks), 2. Situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks (konteks), dan 3. Untuk siapa teks itu dimaksudkan (kontekstualisasi).
31 Ibid, hal 107.32 Ibid, hal 108.33 Ibid, hal 109.
30Universitas Indonesia
Kontekstualisasi yang dimaksudkan adalah bahwa materi teks "melepaskan
diri" dari pengetahuan yang terbatas dari pengarangnya. Selanjutnya,teks tersebut
membuka diri34 terhadap kemungkinan dibaca dan ditafsirkan secara luas oleh
pembaca yang berbeda-beda, inilah yang dimaksudkan dengan rekontekstualisasi.
Dengan jalan "sistem bolak-balik" itu, seorang hermeneutis harus melakukan
pembacaan "dari dalam" teks tanpa masuk atau menempatkan diri dalam teks
tersebut, dan cara pemahamannya pun tidak dapat lepas dari kerangka kebudayaan
dan sejarahnya sendiri. Karenanya, untuk dapat berhasil pembacaan "dari dalam" itu,
menurut Paul Ricoeur, "ia harus dapat menyingkirkan distansi yang asing, harus
dapat mengatasi situasi dikotomis, serta harus dapat memecahkan pertentangan tajam
antara aspek-aspek subjektif dan objektif." Hal ini hanya dapat dilakukan dengan cara
"membuka diri terhadap teks yang berarti kita mengijinkan teks memberikan
kepercayaan kepada diri kita," kata Paul Ricoeur.35
Untuk memahami teks tersebut diperlukan dialektika distansiasi dan
apropriasi serta dialektika penjelasan dan pemahaman. Dalam The interpretation
Theory : discourse and the surplus meaning , apropriasi adalah partner otonomi
semantic yang membebaskan teks dari pengarangnya. Sedangkan dengan distansiasi
teks dapat diselamatkan dari kerenggangan budaya dan meletakannya dalam
proksimitas baru. Proksimitas ini mempertahankan dan memelihara jarak kultural dan
memasukan hal kelainan (otherness) menjadi kemilikan (owness).36
34 Yang dimaksudkan dengan "membuka diri terhadap teks" adalah proses meringankan dan mempermudah isi teks dengan cara menghayatinya. Hal itu disebabkan bahwa dalam interpretasi terhadap teks, kita tidak perlu bersikap seakan-akan menghadapi teks yang kaku, tetapi kita harus dapat membaca ke dalam teks itu. Kita juga harus mempunyai konsep-konsep yang kita ambil dari pengalaman-pengalaman kita sendiri yang tidak mungkin kita hindarkan keterlibatannya sebab konsep-konsep ini dapat kita ubah atau disesuaikan tergantung pada kebutuhan teks. Namun, di sini kita juga masih berkisar pada teks sekalipun dalam interpretasi kita juga membawa segala kekhususan ruang dan waktu kita. 35 Ibid, hal 110. 36 Paul Ricoeur, The Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Fort Worth: Texas Christian Press, 1976. Hal 43
31Universitas Indonesia
Dalam konsep dialektika penjelasan (explanation-erklaren) dan pemahaman
(understanding-verstehen), pemahaman adalah untuk membaca apa peristiwa
diskursus itu yang merupakan ucapan dari diskursus. Sedangkan penjelasan adalah
untuk membaca apa otonomi verbal dan tekstual itu yang merupakan makna obyektif
dari diskursus.37Dengan penjelasan ini, orang dapat mengeksplisitkan atau
menguraikan proposisi dan makna teks. Sedangkan dengan pemahaman orang dapat
memahami dan mengerti sebagai keseluruhan dari mata rantai makna parsial teks
dalam tindakan sintesis. Lebih jauh teks ditempatkan dalam konteks sosial. Dengan
begitu konsep tindakan penuh makna sebagai teks menurut Ricoeur berarti
mengizinkan teks memberikan kepercayaan kepada diri manusia dengan cara yang
objektif. Dengan penjelasan tersebut Ricoeur mengatakan bahwa memahami teks
berarti memahami individu.
Selanjutnya Paul Ricoeur melalui bukunya The Interpretation Theory:
Discourse and the Surplus of Meaning menghubungkan hal tersebut pada langkah
pemahaman yang berlangsung mulai dari "penghayatan terhadap simbol-simbol",
sampai ke tingkat gagasan tentang "berpikir dari simbol-simbol" seperti berikut ini :38
1. Langkah simbolik atau pemahaman dari simbol-simbol; 2. Pemberian makna oleh simbol serta "penggalian" yang cermat atas makna; 3. Langkah filosofis, yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik
tolaknya
Ketiga langkah tersebut erat hubungannya dengan langkah pemahaman
sebagai jalan panjang menuju tahapan interpretasi. yakni interpretasi semantik,
interpretasi refleksif, interpretasi dan eksistensial atau ontologis. Interpretasi literal
adalah interpretasi yang bertitik tolak pada sejumlah bentuk-bentuk simbolik yang
berasal dari simbol literal. Interpretasi refleksi adalah interpretasi yang berawal dari
interpretasi semantik dan bertitik tolak pada kesadaran manusia, dimana terdapat
tahapan refleksi terhadap kesadaran manusia. Dalam tahapan ini manusia dapat
37Ibid Hal 71-72. 38 Ibid, hal 111.
32Universitas Indonesia
merasakan kesadaran bahwa dirinya dapat salah bertindak. Sedangkan interpretasi
eksistensial adalah interpretasi yang dibangun di atas interpretasi sebelunya.
Interpretasi eksistensial berusaha menemukan makna dengan mengadakan refleksi
terhadap makna yang kedua yaitu makna yang berada pada subyektifitas kesadaran
manusia. Dengan demikian tahap ini merupakan suatu tahap refleksi yang mendalam
terhadap dibongkarnya subyektivitas manusia dalam hubunngannya dengan
kesadaran manusia. Tahap ini merupakan tahap terpenting karena pada tahap ini
keberadaan eksistensial makna yang sesungguhnya dari simbol-simbol tertentu dapat
dipahami dengan lebih mendalam.
Karenanya, Paul Ricoeur menegaskan bahwa "pemahaman itu pada dasamya
merupakan cara berada (mode of being) atau "cara menjadi". Namun, bagaimana
pernyataan Paul Ricoeur ini dapat diterima sebab pemahaman hanya dapat terjadi
pada tingkat pengetahuan, dan cara pemahaman selalu mendapat bantuan dari
pengetahuan? Tentang pendapatnya yang mengatakan bahwa "pemahaman
merupakan cara berada atau cara 'menjadi', dan bukan cara mengetahui atau cara
memperoleh pengetahuan" ini, Paul Ricoeur hanya ingin membuka kesadaran kita
bahwa hermeneutik adalah sebuah metode yang sejajar dengan metode di dalam
sains. Ia tidak ingin metode hermeneutika ini menjadi metode yang kaku dan
terstruktur sebagaimana yang terdapat di dalam ilmu ilmiah lainnya.
2.4. Simbol Menurut Paul Ricoeur
Ricoeur mengatakan bahwa semua yang ada ini harus dilihat atau diwakili
oleh simbol-simbol. Pada mulanya simbol adalah tanda dan diekspresikan dan
dikomunikasikan dengan makna tertentu. Meskipun simbol memiliki elemen dari dari
alam semesta seperti udara, air bulan ataupun benda-benda, tetap saja ia memilliki
dimensi simbolik. Setiap tanda yang memiliki arti, tujuan tertentu di belakang benda
tersebut. Simbol dapat dipahami dengan baik bila berawal dari yang literal dan karena
adanya keadaan yang bertentangan dengan makna yang kedua, maka akan ditemukan
makna yang lebih dalam darinya.
33Universitas Indonesia
Simbol juga dapat memperjelas hubungan antara makna literal dan makna
simbolik. Obyektivitas makna tergantung pada bagaimana proses itu sendiri
bergantung yaitu antara relasi pertentangan antara makna kedua dengan makna
pertama. Makna simbolik ditentukan di dalam proses itu sendiri dan berasal dari
makna literal dan pertentangan dengan yang dipertentangkan. Ricoeur merumuskan
simbol sebagai semacam struktur signifikan yang mengacu pada sesuatu, secara
langsung dan mendasar dengan makna literal dan ditambahkan dengan makna yang
mendalam yang hanya akan terjadi apabila makna yang pertama atau makna literal
dapat ditembus. Dalam menemukan makna dari simbol literal, terkadang akan
muncul makna kiasan. Ricoeur dalam hal ini menganjurkan untuk menolak makna
kiasan tersebut karena simbol dan makna kiasan tidak bertitik tolak pada hal yang
sama. Simbol mendahului hermenutik, sedangkan kiasan sifatnya hermeneutik.
Simbol dihadirkan dengan makna transparan yang berbeda, sehingga munculnya
makna dari simbol yang literal tidak bisa diinterpretasi secara kiasan.39
Dalam pemikirannya mengenai Filsafat Kehendak, Ia menerangkan tentang
simbol-simbol kejahatan yang di tulis dalam Symbolism of Evil. Dalam buku ini ia
menerangkan bahwa bagaimana manusia mengalami kejahatan atau lebih tepat lagi
bagaimana manusia mengakui kejahatan. Kejahatan yang dimaksudkan oleh
Ricoeur disini adalah merupakan hal-hal yang tidak beres di dunia dan mengacu pada
hal-hal seperti ketidakbahagiaan, dosa, kematian, ataupun penderitaan.
Bagi Ricoeur sendiri kejahatan haruslah bertitik tolak pada manusia konkret,
artinya manusia beragama yang mengalami kejahatan atau bagaimana ia mengakui
kejahatannya. Pengalaman tentang kejahatan bersifat simbolis karena manusia
mengakui kesalahannya dengan bahasa. Melalui bahasa simbolik pemahaman yang
lebih lanjut tentang kejahatan akan dapat terkuak.
39Hubungan yang erat antara makna pertama dan makna kedua, dan adanya proses pertentangan pada keduanya menghasilkan hubungan simbolik yang sangat mendalam dan melahirkan makna yang sangat mendalam. Dalam hal inilah Ricoeur membuat perbedaan khhusus antara simbol dan mitos. Mitos lebih mengarah pada cerita-cerita yang mungkin saja kiasan, sementara simbol lebih radikal daripada mitos. Karenanya mitos hanyalah bagian dari simbol yang berkembang dalam bentuk narasi dan diartikulasikan dalam ruang dan waktu.
34Universitas Indonesia
Ada tiga macam simbol dalam mengungkapkan pengalamannya tentang kejahatan
sebagai berikut :
1. Noda ( Stain ).
Dalam simbol noda kejahatan dipahami sebagai sesuatu yang merugikan yang
datang dari luar dan dengan cara magis menimpa serta mencemarkan manusia.
Kejahatan disini masih merupakan suatu kejadian obyektif. Jadi berbuat jahat
berarti melanggar suatu orde atau tata susunan yang tetap harus dipertahankan
dan perlu dipulihkan kembali. Dalam bahasa simbol, noda ini dapat dikatakan
sebagai sesuatu yang tabu.40
2. Dosa ( Sin ).
Dalam simbol dosa kejahatan dipahami sebagai putusnya hubungan antara
manusia dengan Tuhan. Berbuat jahat tidak lagi berarti melanggar suatu tata
susunan yang magis dan anonim, melainkan ketidaktaatan terhadap Tuhan
yang telah mengadakan suatu perjanjian dengan manusia. Dosa merupakan
ketidaksetiaan manusia terhadap Tuhan yang setia. Dalam hal ini dosa
dipahami sebagai ketiadaan (nothingness).41
3. Kebersalahan (Guilt).
Pada simbol kebersalahan, kejahatan dipahami sebagai suatu pengkhianatan
terhadap hakekat diri sendiri yang sebenarnya. Akan tetapi kebersalahan
tersebut tidak sama dengan salah ( fault). Dalam konteks kebersalahan,
kejahatan dihayati sebagai suatu penghianatan terhadap hakekat manusia yang
sebenarnya, bukan seperti dosa sebagai suatu pemberontakan terhadap Tuhan.
Kesempurnaan manusia tercapai dengan memenuhi peraturan-peraturan dan
perintah-perintah Tuhan secara seksama, tetapi dengan melanggar peraturan-
peraturan dan perintah-perintah itu manusia tidak bersalah terhadap Tuhan,
melainkan terhadap diri manusia sendiri.42 Dalam memahami kejahatan,
simbol noda, dosa, dan kebersalahan merupakan simbol primer.
40 Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, trans. Emerson Buchanan, ( New York: Harper and Row, 1967), hal 35-36.41 Ibid, hal 6342 Ibid, hal 100-101.
35Universitas Indonesia
Setelah mengungkapkan simbol-simbol yang melambangkan kejahatan
manusia, maka Ricoeur mengun