Tato

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tato dayak

Citation preview

  • iUniversitas Indonesia

    UNIVERSITAS INDONESIA

    MAKNA SIMBOLIK TATO BAGI MANUSIA DAYAK DALAM KAJIAN HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR

    TESIS

    Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora

    RESTITUTA DRIYANTI 0806474470

    FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI FILSAFAT

    DEPOK JULI 2011

  • iiUniversitas Indonesia

    SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

    Saya yang bertandatangan di bawah ini dengan sebenarnya menyataan bahwa

    tesis ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku

    di Universitas Indonesia.

    Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan plagiarisme, saya akan

    bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh

    Universitas Indonesia kepada saya.

    Depok, 8 Juli 2011

    Restituta Driyanti

  • iiiUniversitas Indonesia

    HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

    Tesis ini adalah hasil karya sendiri,

    Dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang di rujuk

    telah saya nyatakan dengan benar.

    Nama : Restituta Driyanti

    Npm : 0806474470

    Tanda tangan :

    Tanggal : 8 Juli 2011

  • ivUniversitas Indonesia

  • vUniversitas Indonesia

    KATA PENGANTAR

    Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, Sang

    Empunya Hidup karena berkat rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan

    tesis yang berjudul Makna Simbolik Tato Bagi Manusia Dayak Dalam Kajian

    Hermeneutika Paul Ricoeur ini. Adapun penyusunan tesis ini merupakan salah satu

    syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam program studi Filsafat pada Program

    Pascasarjana Departemen Filsafat Universitas Indonesia.

    Dalam penyusunan tesis ini, berbagai pihak telah banyak memberikan

    dorongan, bantuan, serta masukan sehingga sangatlah tepat kiranya dalam

    kesempatan kali ini saya selaku penulis menyampaikan ucapan terimakasih sebesar-

    besarnya kepada : Dr. V. Irmayanti Meliono-Budianto sebagai pembimbing yang

    dengan kesabarannya telah banyak memberikan bimbingan, arahan juga pengetahuan

    sehubungan selama penyusunan dan penulisan tesis ini. Terimakasih banyak juga

    kepada Dr. Albertus Harsawibawa, Dr. Akhyar Yusuf Lubis, dan Dr. Embun

    Kenyowati Ekosiwi, yang telah berkenan menjadi penguji ahli pada sidang tesis saya.

    Di sela-sela kesibukan mereka yang padat saya bersyukur telah mendapat kesempatan

    untuk diuji dan diberi masukan oleh mereka sehubungan dengan penulisan tesis ini.

    Terimakasih tidak terhingga saya sampaikan kepada keluarga tercinta. Kepada

    Bapak Drs. Hardjito, Ibu Maria Nungkat B.A, dan kakak-kakakku Lisa Harmayanti

    S.E, Lusi Ernita S.Pt & Mateus Suseno S.Stp, dan adikku Renny Febriyanti. Berkat

    doa tiada henti, dukungan materi, dorongan semangat, dan kasih-sayang kalian saya

    akhirnya bisa menyelesaikan kuliah dan meraih gelar Magister Humaniora. Untuk

    kalian jugalah akhirnya tesis ini saya persembahkan.

  • viUniversitas Indonesia

    Kepada Alimizar Ariyoga, S.Hum, terimakasih untuk semua bantuan yang

    diberikan terutama dalam proses pembuatan tesis ini, dan terimakasih sudah menjadi

    bagian dari hidupku. Waktu dan kebersamaan yang telah kita lewati sampai dengan

    hari ini adalah bukti betapa pentingnya keberadaanmu bagiku. Allah always with u....!

    Kepada Andrey Emmanuel Vidella Samosir, M.Hum yang sebentar lagi akan

    menjadi Doktor, terimakasih untuk semua pelajaran berharga tentang hidup yang

    pernah diberikan, dan mohon maaf untuk semua kesalahan yang pernah saya lakukan.

    Sukses selalu untukmu, dan semoga kebahagiaan selalu menyertaimu dalam hidup.

    Kepada Fio P. Hasyim, M.Hum, terimakasih untuk kebersamaan kita selama

    kurang lebih 8 tahunan ini. Meskipun terkadang kita lost contact, but u always be my

    friend. Juga terimakasih kepada Sabrina Yolanda my partner in crime. Lama tidak

    bertemu ternyata ada banyak cerita yang harus kita bagi. Miss u, Nyong, wish u all

    the best..!! Kepada Sakinah Tumufus, Raditya Christian K., dan Irwansyah,

    terimakasih banyak untuk semua dukungan dan perhatian yang diberikan selama ini

    terutama saat terjadi hal-hal yang tidak beres. Kehadiran kalian mampu membuat

    saya lebih sabar dan tenang untuk berproses dalam melewati berbagai hambatan.

    Terimakasih juga saya tujukan kepada seluruh tenaga pengajar di

    Departement Filsafat, terutama Pak Vincent, Pak Hayon, Alm. Pak Boas, Alm. Pak

    Wayan, Pak Fuad, Pak Naupal, Mas Donny, Bu Margareth, Romo Mudji, Romo

    Moko, (terimakasih sudah membuat saya jatuh cinta pada hermeneutik dan Ricoeur),

    dll. Juga terimakasih kepada para staf terutama Mbak Mun (makasih ya mbak sudah

    mau direpotkan oleh saya), serta Mbak Dwi, Mbak Ima, dan Mbak Nur.

    Terimakasih kepada teman-teman seperjuangan Pascasarjana (S2) Filsafat

    angkatan 08; Pak Alfredo, Pak Harris, Pak Nasri, Pak Phillo, Mas Mulya, Mas

    Mansyuri, Mas Jufri, terimakasih untuk masa perkuliahan yang menyenangkan. Juga

    kepada teman-teman Pascasarjana (S3) Filsafat; Mbak Ria ( makasih ya mbak udah

    bikin aku berasa punya kakak di Jakarta..), Bu Rima, Bu Mieke, Pak Andrinof, Mas

    Firman, Mas Satrio, Pak Surya, dan kepada teman-teman Pascasarjana dari jurusan

  • viiUniversitas Indonesia

    lain, Rani dosen( makasih buat pertemanan kita), Pak Felix ( thanks for anything

    about Ricoeurnya) Mbak Wati, Stella, Hendra, Pak Otong, Mas Baim, Rani, James,

    Edo,dll.

    Special thanks saya ucapkan kepada Keluarga Besar Sejarah dari berbagai

    angkatan. Terimakasih kepada angkatan 04 Dien (Didit), Sulai (makasih buat

    pinjaman bukunya), Ivan, Adit, Franto, Arif, Wisnu, Eli, Mulya, Fikri, senang bisa

    kenal dan sempat berbincang-bincang dengan kalian. Angkatan 05; Yossi (makasih

    udah bantuin bikin lingkaran), Tomo, Dipo, Ronald, Mprie, Oki, Popon, Hendaru,

    Yahya, Bim-Bim, Hendra, Ria, Nadya, Syafa, makasih untuk keakraban yang telah

    terjalin. Angkatan 06; Rima (makasih untuk bantuan dadakannya pada saat mau

    sidang), Fira, Robi, Ari, Moti, Dina, Egi, Gembel, Yudo, Yoga, Ilo, Boik, Rifky,

    Dedi, Sukarno, Hasyim, Adi, Adit, dan yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu

    persatu, terimakasih banyak untuk persahabatan dan kedekatan kita selama ini.

    Angkatan 07; Gadis (nice girl), Ines, Ambon, Egar, Gem-Gem, Ika, Rayi, Aska

    (makasih udah nemuin hp-ku), Dodi, Wahyu, Bugil, Tiko, Tison, Limbong, dan lain-

    lain. Angkatan 08; Debby & Anggit (makasih untuk curhat2an kita selama ini ya..),

    Paskal, Cindy, Oli (makasih untuk stock film2nya), Gilang, Tanu, Miki, dll. Dan

    terimakasih kepada angkatan 09; Nabihah (makasih untuk perkenalan kita, dan maaf

    untuk segala sesuatu yang mungkin tidak berkenan) Ruri, Redi, Jiung, Koko, dll.

    Tidak lupa terimakasih kepada teman-teman S1 filsafat dari berbagai angkatan

    yang telah membuat saya jatuh cinta dan tergila-gila pada filsafat, mulai dari Frans,

    Mikha, Asep, Rangga, Tiwi, Upi, Hani, Erik, Iriyanto, Bimo, Cing, Claudia, dll yang

    tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Begitu juga kepada teman-teman sepermainan

    di Kansas, terimakasih sudah mau berbagi cerita dan mengisi hari-hari bersama mulai

    dari anak-anak FIB angkatan atas Berto, Pino, Akang, Billi, Udjo, James, Fajar,

    terutama teman-teman sastra Belanda angkatan 07 Winda, Elsa, Laras, Gita, Wangi,

    Ajeng, Gema, Wanted, Alvin, Gareng, Bakti (makasih buat pinjaman username-nya),

    angkatan 09 Titi dan Odi, juga kepada teman-teman jurusan lain, Dede, Amar, Edot

  • viiiUniversitas Indonesia

    (JIP), Andrey dan Yogi-Yogo (Arkeo), Reti, Dewi, Quita, Eno, Komeng, Tatang,

    terimakasih sudah meramaikan Kansas dan menjadikannya begitu hommy buatku.

    Last but not least, terimakasih kepada semua karyawan FIB, para satpam,

    petugas fotokopi, terutama mas di gedung 3, terlebih untuk pemilik kantin, Babe, mas

    Agus dan Empu, Kopral, Mas Kumis dan Marcopolonya, Pak Irin dan Mas Ari, Pak

    De, Tukang Sate, mas Roni, juga para penjual yang lain. Juga kepada penghuni

    Kansas yang lain terutama Menyong, Minying, dan Mya. Tetap semangat dan terus

    bertahan di Kansas ya, kehadiran kalian adalah obat stress paling ampuh bagiku.

    Saya menyadari bahwa secara keseluruhan penulisan tesis ini masih jauh dari

    sempurna, oleh karenanya kritik dan saran dari berbagai pihak sangat saya harapkan

    agar dapat lebih baik dalam penulisan-penulisan selanjutnya. Akhir kata semoga tesis

    ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi kita semua.

    Wassalam

    Depok, Juli 2011

    Restituta Driyanti

  • ixUniversitas Indonesia

    LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMISI

    __________________________________________________________________

    Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

    Nama : Restituta Driyanti

    NPM : 0806474470

    Program Studi : Filsafat

    Departemen : Filsafat

    Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya

    Jenis Karya : Tesis

    Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah yang berjudul :

    Makna Simbolik Tato Bagi Manusia Dayak Dalam Kajian Hermeneutika Paul Ricoeur

    Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/ pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

    Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

    Dibuat di : Depok

    Pada tanggal : 8 Juli 2011

    Yang menyatakan

    Restituta Driyanti

  • xUniversitas Indonesia

    ABSTRAK

    Nama : Restituta Driyanti

    Program Studi : Filsafat

    Judul Tesis : Makna Simbolik Tato Bagi Manusia Dayak Dalam Kajian Hermeneutika Paul Ricoeur

    Pentingnya pengaruh tato bagi manusia Dayak menunjukan bahwa tato sudah

    menjadi sesuatu yang bersifat religius dan magis, karena gambar yang digunakan

    berupa simbol-simbol yang terkait dengan alam dan kepercayaan masyarakat. Tato

    bagi manusia Dayak merupakan simbol dalam berinteraksi sosial antar komunitas.

    Oleh karena itu pemaknaan tato sebagai sebuah teks yang sarat akan makna simbolik

    diuraikan menggunakan metode hermeneutika Paul Ricoeur untuk mengungkap

    pengertian-pengertian mengenai apa yang ada di balik tato tersebut baik tersurat

    maupun tersirat.

    Kata Kunci : Makna Simbolik, Tato, Tato Dayak, Manusia Dayak, Hermeneutika, Paul Ricoeur

  • xiUniversitas Indonesia

    ABSRACT

    Name : Restituta Driyanti

    Study Program : Philosophy

    Thesis Title : The Symbolic Meaning Of Dayaks Tattoos In A Study Of Paul Ricoeurs Hermeneutics

    The importance of the human influence of Dayak tattoo shows that tattoos

    have become something that is religious and magical, because of the images used in

    the form of symbols associated with nature and the confidence of the public. Dayak

    tattoos for men is a symbol of the social interaction between the communities.

    Therefore the meaning of tattoos as a text that will be full of symbolic meaning using

    the methods described Paul Ricoeur hermeneutics to reveal notions about what is

    behind the tattoo is either express or implied.

    Key Words : The Symbolic Meaning, Tattoo, Dayaks Tattoos, Dayaks Human, Paul Ricoeurs Hermeneutics

  • xiiUniversitas Indonesia

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL................................................................................. .. i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME.. ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................. iv KATA PENGANTAR.............................................................................................. v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH.................................ix ABSTRAK................................................................................................................ x DAFTAR ISI.............................................................................................................xii DAFTAR BAGAN..xiv DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.............................................................................................1 1.2 Permasalahan ...8 1.3 Pertanyaan Penelitian...... 9 1.4 Thesis Statement.. 9 1.5. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 9 1.5.1 Tujuan Penelitian...... 9 1.5.2 Kegunaan Penelian10 1.6 Tinjauan Pustaka 10 1.7 Metode Penelitian... 11 1.8 Sistematika Penulisan 13 BAB II SIMBOL DALAM HERMENEUTIKA FENOMENOLOGI PAUL

    RICOEUR 2.1 Riwayat Hidup dan Karya-karya Paul Ricoeur. 15 2.2 Pemikiran Paul Ricoeur. 21 2.3 Hermeneutika Fenomenologi Menurut Paul Ricoeur ... 23 2.4 Simbol Menurut Paul Ricoeur.... 32 2.5 Penerapan Lingkaran Hermeneutika Ricoeur Pada Tato Dayak .. 38 2.5.1 Deskripsi Tato 39 2.5.2 Deskripsi Tato Dayak 42 BAB III TATO DAN MANUSIA DAYAK 3.1 Eksistensi Manusia Dayak. 47 3.2 Tato Dalam Kehidupan Manusia Dayak..... 55 3.3 Penggunaan Motif Tato Pada Manusia Dayak.. 58 3.4 Aspek Pragmatik Tato Dayak 63

  • xiiiUniversitas Indonesia

    BAB IV SIMBOL KEBERTUBUHAN DALAM TATO DAYAK 4.1 Tubuh Manusia Dayak Sebagai Media Tato.. 66 4.2 Tato Dayak Sebagai Simbol Religiusitas. 69 4.3 Tato Dayak Sebagai Simbol Siklus Kehidupan dan Kematian... 72 4.4 Tato Dayak Sebagai Simbol Eksistensi 74 4.5 Makna Simbolik Tato Dayak76 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan 82 5.2. Catatan Kritis 84

  • xivUniversitas Indonesia

    DAFTAR BAGAN

    Bagan 1 : Lingkaran Hermeneutik Pada Tato Dayak ...... 45 Bagan 2 : Tahapan Interpretasi Pada Tato Dayak .....46

  • xvUniversitas Indonesia

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1 : Proses Pembuatan Tato Tradisional ... 40 Gambar 2 : Burung Enggang . ... 54 Gambar 3 : Proses Pembuatan Tato Dayak ... 57 Gambar 4 : Tato di Pergelangan Kaki dan Betis Perempuan Dayak ..59 Gambar 5 : Tato Motif Bunga Terong ....... 60 Gambar 6 : Tato Motif Uker Degok . 61 Gambar 7 : Tato Di Tangan Ahli Pengobatan ... 62 Gambar 8: Para Panglima Dayak Dengan Tato Di Tubuh ... 63

  • 1Universitas Indonesia

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Masalah

    Saat ini semakin banyak dilakukan penelitian yang menempatkan kebudayaan

    sebagai teks yang dapat ditafsirkan. Penafsiran kebudayaan dalam bidang teori

    dilakukan melalui pendekatan hermeneutis.1 Pendekatan hermeneutis yang semakin

    berkembang dan menyerap gagasan strukturalis, pasca strukturalis, teori narasi, serta

    gagasan ilmu-ilmu sosial lainnya membuat upaya penafsiran terhadap kebudayaan

    menjadi semakin tidak dapat dibatasi. Dalam arti ini, manusia dengan segala

    peristiwa dan tindakan-tindakan di dalam hidupnya menjadi simbol-simbol berupa

    teks yang dapat ditafsirkan untuk menggali makna yang terkandung di dalamnya.

    Raymond Williams dalam Keywords (1976) menyebut tiga penggunaan istilah

    kebudayaan yang banyak dipakai dewasa ini. Pertama, mengenai perkembangan

    intelektual, spiritual dan estetik individu, kelompok atau masyarakat. Kedua,

    menangkap sejumlah aktivitas intelektual dan artistik serta produk-produknya,

    dimana dalam istilah ini kebudayaan dekat dengan kesenian. Ketiga mengenai seluruh

    cara hidup, aktivitas, kepercayaan, dan kebiasaan seseorang atau kelompok.2

    Antropolog A.L Kroeber dan C. Kluckhohn dalam Culture : A Critical

    Review of Concepts and Definitions (1952) mendata hingga 160 definisi kebudayaan .

    1Prinsip utama dari penelitian budaya yang menggunakan pendekatan hermeneutik ini adalah melihat fenomena budaya sebagai suatu teks. Tujuan peneliti budaya adalah membaca dan memahami fenomena budaya bukan sekedar menjelaskan. Dengan kata lain, bahwa hermeneutik berusaha mengungkap makna fenomena simbolik dalam masyarakat.2Philip Smith, Cultural Theory : An Introduction, Oxford & Masachusetts : Blackwell Publisher, 2001, hal 2.

  • 2Universitas Indonesia

    Dari sekian banyak definisi, mereka mengidentifikasikan enam pengertian utama

    kebudayaan secara deskriptif, historis, normatif, psikologis, struktural dan genetik.3

    Dalam perkembangan ilmu-ilmu budaya dan humaniora, C.A van Peursen

    meninjau pergeseran pergeseran arti kebudayaan yang menyangkut maksud kata dan

    isi konsep. Dari segi maksud kata dan isi konsep menurut van Peursen, dewasa ini

    kebudayaan diartikan sebagai perwujudan kehidupan setiap orang dan setiap

    kelompok orang yang berupaya mengolah dan mengubah alam sehingga

    membedakan dirinya dengan hewan. Kebudayaan adalah gejala manusiawi dari

    kegiatan berpikir (mitos, ideologi, dan ilmu), komunikasi (sistem masyarakat), kerja

    (ilmu alam dan teknologi), dan kegiatan-kegiatan lain yang lebih sederhana.4

    Dalam bukunya yang berjudul Interpretation of Culture, Clifford Geertz

    menegaskan bahwa kebudayaan adalah suatu dimensi yang aktif dan konstitutif dari

    kehidupan sosial lebih dari sekedar mekanisme penjamin integrasi sosial. Ia juga

    memahami budaya sebagai jaringan yang sangat kompleks dari tanda-tanda, simbol-

    simbol, mitos-mitos, rutinitas, dan kebiasaan-kebiasaan yang membutuhkan

    pendekatan hermeneutis.5

    Bagi Geertz kebudayaan memiliki sifat interpretatif, sebagai sebuah konsep

    semiotik, dan sebagai sebuah teks. Kebudayaan bukanlah sebatas pola perilaku

    yang nampak. Karena kebudayaan merupakan sebuah teks maka ia perlu ditafsirkan

    agar makna yang terkandung di dalamnya dapat ditemukan. Kebudayaan bagi Geertz

    adalah jaringan makna simbol yang perlu diuraikan dalam sebuah deskripsi

    mendalam (thick description). Geerts menyatakan bahwa kebudayaan sebagai suatu

    sistem makna dan simbol yang disusun dalam pengertian di mana individu-individu

    mendefinisikan dunianya, menyatakan perasaannya dan memberikan penilaian-

    penilaiannya; suatu pola makna yang ditransmisikan secara historik diwujudkan di

    3 Ibid hal 2-3 4Mudji Sutrisno, Filsafat Kebudayan, Jakarta : STF Driyarkara. 2003. 5 Clifford Geertz, Interpretation of Culture, (New York : Basic Books, 1973), Part IV Chapter 8 (Ideologi as a Cultural System).

  • 3Universitas Indonesia

    dalam bentuk-bentuk simbolik melalui sarana dimana orang-orang

    mengkomunikasikan, mengabadikannya, dan mengembangkan pengetahuan dan

    sikap-sikapnya ke arah kehidupan; suatu kumpulan peralatan simbolik untuk

    mengatur perilaku, sumber informasi yang ekstrasomatik. Karena kebudayaan

    merupakan suatu sistem simbolik, maka proses budaya haruslah dibaca,

    diterjemahkan, dan diinterpretasikan.6

    Konsep kebudayaan simbolik yang dikemukakan oleh Geertz di atas adalah

    suatu pendekatan hermeneutik yang lazim dalam tradisi strukturalisme. Pendekatan

    hermeunetik inilah yang kemudian menginspirasinya untuk melihat kebudayaan

    sebagai teks-teks yang harus dibaca dan diinterpretasikan. Dari Paul Ricoeur, Geertz

    mengambil gagasan bahwa ilmu pengetahuan manusia yang ada, bukan merupakan

    kumpulan pengalaman empiris tetapi sebagai suatu struktur fakta yang merupakan

    simbol dan hukum yang mereka beri makna. Dengan demikian tindakan manusia

    dapat menyampaikan makna yang dapat dibaca dan merupakan suatu perlakuan yang

    sama seperti kita memperlakukan teks tulisan.7

    Dunia kebudayaan adalah dunia penuh simbol dimana kita dapat membaca

    dan menemukan nilai-nilai sebagai ekspresi tindakan manusia. Manusia berpikir,

    berperasaan dan bersikap dalam ungkapan-ungkapan simbolis, sehingga bukan tanpa

    alasan apabila salah seorang filsuf yaitu Ernst Cassirer cenderung untuk menandai

    manusia sebagai animal symbolicum, dan mengadakan analisa tentang manusia

    dengan ciri tersebut sebagai titik tolaknya.8

    Manusia hidup dalam dunia simbolik. Bahasa, mitos, seni dan agama

    merupakan bagian dunia simbolik itu. Semuanya menjadi rangkaian yang saling

    terhubung yang memberi makna simbolik dalam pengalaman manusia. Lebih lanjut 6Adam Kuper, Culture, (Cambridge:Harvard University Press,1999), hal 98. 7Ibid, hal 82.8 Ernst Cassirer (28 Juli 1874 13 April 1945) adalah salah satu figur besar dalam pengembangan idealisme filosofis di pertengahan pertama abad ke-20, seorang filsuf Yahudi Jerman. Menggunakan tradisi neo-Kantianisme Marburg, ia mengembangkan suatu filosofi budaya sebagai teori simbol yang ditemukan di fenomenologi pengetahuan.

  • 4Universitas Indonesia

    Cassirer dalam bukunya Manusia dan Kebudayaan menekankan bahwa intelektualitas

    manusia membutuhkan simbol. Pengetahuan manusia pada hakikatnya merupakan

    pengetahuan simbolik.

    Pengetahuan simbolik memuat dua unsur yang bertentangan; yang riil dan

    yang mungkin nyata, lalu yang aktual dan yang ideal. Dengan mengikuti jalan pikiran

    Immanuel Kant, Cassirer menekankan kembali bahwa kedua hal itu merupakan

    dualisme dalam dasar pengetahuan manusia. Teori mengenai bentuk simbolik,

    mengharmonisasikan dualisme dalam pemikiran manusia. Pembahasan Cassirer yang

    baru tentang kebudayaan ialah bahwa ia melihat perkembangan kebudayaan dari segi

    simbolisme. Cassirer mengekspresikan hakikat simbolik pengalaman manusia sebagai

    berikut: manusia tidak lagi hidup semata-mata dalam semesta fisik, manusia hidup

    dalam semesta simbolik. Teori simbolik mengenai kebudayaan adalah suatu modal

    dari manusia sebagai spesies yang menggunakan simbol. 9

    Dari sudut etimologi simbol berasal dari kata symbollein (Yunani) yang

    artinya bertemu. Kata symbollein kemudian diartikan lebih luas lagi menjadi kata

    kerja symbola yang artinya tanda yang mengidentifikasi dengan membandingkan atau

    mencocokan sesuatu kepada bagian yang telah ada. Sementara itu simbol dalam

    pengertian sederhana adalah suatu istilah umum untuk berbagai hal yang diperoleh

    melalui pengalaman dimana suatu objek, tindakan, kata, gambar atau perilaku yang

    kompleks dipahami tidak terbatas pada makna yang dimilikinya namun juga dalam

    berbagai gagasan atau perasaan yang lain. Sedangkan berdasarkan definisi simbol,

    Levy menyatakan bahwa People buy things not only for what they can do, but also

    for what they mean.10 Dengan demikian, keberadaan simbol tidak dapat diartikan

    hanya sebagai sebuah gambar atau lambang kosong.

    9 Ernst Cassirer, Manusia dan kebudayaan : Sebuah Esai tentang Manusia, (Jakarta:PT Gramedia, 1987), hal 39. 10Sidney J. Levy, Simbols for Sale. Harvard Business Review, 1959 : hlm 118

  • 5Universitas Indonesia

    Konsep simbol dalam buku The Power of Symbols menunjukan bahwa simbol

    mempunyai sifat mengacu pada sesuatu yang tertinggi (ideal) atau menunjuk pada

    cakrawala yang lebih luas tanpa meninggalkan hubungan dengan yang sudah biasa

    dan menjadi tradisi. Simbol bukan merupakan sesuatu yang baru atau berbeda dari

    apa yang disimbolkan, melainkan masih memiliki pola hubungan keterwakilan atau

    paralelistis. Karenanya simbol tidak hanya bersifat universal tetapi juga mengandung

    dimensi partikular. 11

    Bagi Dillstone, penulis buku tersebut, simbol adalah kata atau citra atau

    kontruksi yang umum dan dipahami oleh akal budi dan dianggap sebagai kebenaran.

    Hal tersebut memang telah ada dan bahkan dinantikan, sebagaimana yang ada,

    dengan cara yang terbuka dihubungkan dengan yang tepat. Simbol memiliki pola

    hubungan yang ambigu dan multi interpretasi, berbeda dengan tanda, sinyal, isyarat

    dan penunjuk yang memiliki hubungan satu lawan satu. Oleh karena itu Dillistone

    kemudian mengkomparasikan pemikirannya dengan mendiskusikan konsep-konsep

    simbol dari beberapa pakar, baik antropolog sosial, teolog, maupun filsuf.12

    Pentingnya keberadaan simbol membuat Paul Ricoeur menempatkan simbol

    sebagai fokus utama dalam hermeneutikanya. Lebih lanjut lagi Ricoeur merumuskan

    simbol sebagai semacam struktur yang signifikan yang mengacu pada sesuatu secara

    langsung dan mendasar dengan makna literal dan ditambahkan dengan makna lain,

    yaitu makna yang mendalam kedua (secondary meaning) dan bersifat figuratif

    dimana itu hanya akan terjadi makna yang pertama dapat ditembus. Karena itulah ia

    mengatakan bahwa simbol selalu bermakna ganda dalam bidang kajian

    hermeneutik.13

    11 Heru S.P. Saputra, Simbol, Analogi, dan Alegori, ( Humaniora, Volume XV, No. 1/2003 ), hal 115.12 F. W. Dillistone, The Power of Symbols, ( Yogyakarta : Kanisius, 1986 ), hal 18.13 Irmayanti Meliono- Budianto, Ideologi Budaya, ( Jakarta : Kota Kita, 2004 ), hal 40.

  • 6Universitas Indonesia

    Seperti yang sudah dijelaskan diatas, manusia hidup dalam semesta simbolik

    dan menggunakan simbol dalam kehidupan. Dalam kehidupan kita, tubuh merupakan

    bagian dari materi yang tampak, dapat dipandang dan diraba. Karena tubuh

    merupakan materi yang tampak, maka tubuh dapat menjadi simbol nyata dalam

    penyampaian berbagai pesan. Akibat dari simbolisasi tersebut maka tubuh yang

    materi tersebut menjadi sangat hermeneutik, multiinterpretatif, bagi objek yang

    menafsirkannya.Salah satu contoh nyata yang menimbulkan multiinterpretasi

    terhadap tubuh adalah tato.

    Kata Tato sendiri menurut sejarah berawal dari bahasa Tahitian; Tatu atau

    Tatau yang artinya memberikan torehan tanda atau simbol.14 Tato adalah suatu tanda

    yang dibuat dengan memasukkan pigmen ke dalam kulit. Dalam istilah teknis, rajah

    adalah implantasi pigmen mikro. Tato dapat dibuat pada kulit manusia atau hewan.

    Tato pada manusia adalah suatu bentuk modifikasi tubuh, sementara tato pada hewan

    umumnya digunakan sebagai identifikasi.

    Tato digunakan sebagai simbol atau penanda dalam tubuh manusia, karena

    tato dapat bercerita mengenai pengalaman-pengalaman atau realitas yang ingin

    didapat oleh individu yang memakainya. Tato dapat menjadi sebuah ekspresi antara

    lain ekspresi rasa sayang terhadap anak, ekspresi rasa sayang dan cinta terhadap istri

    maupun pasangan, ataupun ungkapan sayang dan sakit hati karena cinta. Di sisi lain

    tato dipercaya dapat mendatangkan keberuntungan, menunjukan status sosial, juga

    menambah kecantikan, kedewasaan, dan harga diri pemiliknya.

    Selain itu tato juga bisa digunakan sebagai identitas, Identitas meliputi upaya

    mengungkapkan dan menempatkan individu-individu dengan menggunakan isyarat-

    isyarat nonverbal seperti pakaian dan penampilan. Banyak komunitas yang

    menjadikan tato sebagai salah satu ciri komunitas mereka. Walaupun tidak ada

    gambar tertentu yang menjadi keharusan untuk ditatokan di tubuh, komunitas punk,

    14The Art of New Zealand, ( Aikon Jour nal, Volume II, Juli 1996 ), hal 4.

  • 7Universitas Indonesia

    genk motor, atau anak-anak band banyak yang menggunakan tato ditubuhnya sebagai

    salah satu ciri kelompok mereka.

    Pemaknaaan akan tato tergantung pada apa yang dipercaya oleh masyarakat

    bersangkutan dimana setiap daerah umumnya memiliki persepsi yang berbeda-beda

    tentang tato. Pada tahap pemaknaan inilah orang lain berhak sepuasnya menafsirkan

    makna apa yang terkandung dalam tato yang melekat di tubuh seseorang. Tato

    bergambar bunga mawar tentu akan berbeda maknanya dengan tato bergambar bunga

    terong. Jadi ketika di tubuh fisik terdapat tato, maka padanya terdapat pemaknaan

    tekstual yang beragam, baik itu menyangkut nilai estetis, keberanian, ekspresi, seni,

    dan budaya. Karenanya pemaknaan tato sebagai simbol mengandung pengertian

    mengenai apa saja yang ada di balik tato, baik secara tersirat maupun tersurat.

    Keberadaan tato sebagai simbol menjadikannya produk budaya yang pada

    perkembangannya selalu mengalami pergeseran makna. Pada masyarakat tradisional

    tato merupakan identitas dalam masa peralihan sementara pada masa sekarang tato

    sudah dianggap sebagai seni dan keindahan yang menjadi bagian dari budaya popular

    dalam masyarakat.15

    Pada masyarakat tradisional, khususnya masyarakat Dayak, Kalimantan, tato

    merupakan bagian dari ritual tradisional yang terhubung dengan peribadatan dan juga

    kesenian. Ia melekat ditubuh secara permanen sehingga ia menjadi ikatan pertalian,

    penanda yang tidak terpisahkan hingga kematian, selain itu juga berfungsi

    menunjukkan status sosial pemakai maupun kelompok tertentu.

    15Tato memiliki makna sebagai budaya tanding (counter culture) dan budaya pop (pop culture).Budaya tanding adalah budaya yang dikembangkan oleh generasi muda sebagai jalan perjuangan melawan pengawasan kelompok dominan (orang tua, kalangan elite masyarakat, norma sosial yang ketat, dan sebagainya). Perjuangan yang ditunjukkan antara lain dalam bentuk pakaian, sikap, bahasa, musik, hingga gaya. Sementara budaya pop merupakan dialektika antara homogenisasi (penyeragaman) dan heterogenisasi (keragaman). Selain menjadi budaya tanding sebagai bentuk penentangan dan protes terhadap segala sesuatu yang berciri khas kemapanan, fenomena tato menjurus ke budaya pop karena mulai terikat oleh formula produksi yang telah diuji dan digunakan oleh berbagai kalangan.

  • 8Universitas Indonesia

    Bagi manusia Dayak tato dipercaya sebagai sesuatu yang sakral. Tato

    merupakan simbol ikatan pertalian yang tidak terpisahkan hingga kematian. Oleh

    karena itu pembuatan tato tidak bisa dilakukan sembarangan. Terdapat aturan-aturan

    tertentu dalam pembuatan tato, baik pilihan gambar, struktur sosial orang yang ditato,

    maupun penempatan tatonya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tato bagi

    manusia Dayak memiliki aspek ontologis dan metafisis sehingga dapat diketahui

    makna simbolik apa yang terkandung di dalam tato tersebut. Makna simbolik tato

    bagi manusia Dayak inilah yang kemudian akan dikaji menggunakan metode

    hermeneutika Paul Ricoeur.

    1.2 Permasalahan

    Gambar atau tanda di dalam tato merupakan simbol yang mewakili nilai-nilai

    tertentu. Meskipun simbol yang terlihat bukanlah nilai itu sendiri, namun keberadaan

    simbol tersebut dibutuhkan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai yang

    diwakilinya; dan merepresentasikan simbol tersebut secara nyata di atas kulit tubuh

    akan lebih memperkuat penghayatan akan nilai-nilai yang diwakilinya. Tato

    merupakan tanda atau penanda, sebuah karya seni hasil peradaban yang sekaligus

    juga merupakan sebuah media dalam masyarakat untuk saling mengenal,

    berkomunikasi, dan menunjukkan eksistensinya. Makna simbolik tato bagi manusia

    Dayak inilah yang akan dieksplorasi lebih mendalam di dalam penulisan tesis ini.

    Dipilihnya tato tradisional Dayak dalam penulisan tesis ini dikarenakan

    saratnya makna simbolik yang terkandung dalam tato tersebut. Mengacu pada

    pendapat Ricoeur yang menyatakan bahwa filsafat adalah sebuah hermeneutik, yaitu

    kajian atas makna yang tersembunyi di dalam teks, dimana teks itu sendiri

    mengandung makna, maka setiap kegiatan interpretasi itu adalah kegiatan untuk

    menyingkap makna yang masih tersirat dan tersembunyi di dalam teks. Tato bagi

    manusia Dayak adalah sebuah teks yang sarat akan makna simbolik sehingga dapat

    dilakukan kegiatan interpretasi terhadapnya.

  • 9Universitas Indonesia

    1.3 Pertanyaan Penelitian

    Bertitik tolak dari permasalahan di atas, maka penulis ingin mengajukan

    pertanyaan utama yaitu :

    Apakah makna simbolik tato bagi manusia Dayak dapat dijelaskan menggunakan

    metode hermeneutika Paul Ricoeur ?

    Berkaitan dengan pertanyaan utama tersebut maka akan muncul dua pertanyaan

    pendukung lainnya yaitu :

    1. Bagaimana eksistensi manusia Dayak?

    2. Bagaimana pengaruh tato dalam kehidupan manusia Dayak?

    1.4 Thesis Statement

    Tato memiliki makna simbolik yang terkait dengan kehidupan manusia

    Dayak. Tato diyakini sebagai simbol dan sarana untuk mengungkap keberadaan

    penguasa alam, dan juga dipercaya mampu menangkal roh jahat, serta mengusir

    penyakit ataupun roh kematian.

    I.5 Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

    1.5.1. Tujuan Penelitian

    Penulisan tesis ini memiliki tujuan sebagai berikut :

    1. Untuk mengetahui makna simbolik tato bagi manusia Dayak yang dikaji

    menggunakan metode hermeneutika Paul Ricoeur.

  • 10Universitas Indonesia

    2. Untuk mengetahui eksistensi manusia Dayak

    3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh tato bagi manusia Dayak.

    1.5.2 Kegunaan Penelitian

    Secara teoretis penelitian ini memiliki empat manfaat sebagai berikut :

    1. Menambah wawasan pembaca dalam memahami makna simbolik tato Dayak.

    2. Memberikan sumbangan pikiran dan memperkaya ilmu pengetahun filsafat

    khususnya pada bidang hermeneutika.

    3. Menjadi bahan studi komparatif bagi peneliti-peneliti lain yang mengkaji makna

    tato tertentu dalam mengungkapkan simbol identitas budaya suatu etnis.

    4. Menjadi sumbangan pemikiran sekaligus bahan pertimbangan dalam menentukan

    langkah-langkah kebijakan pelestarian hasil budaya yang menjadi simbol identitas

    dan lambang budaya bangsa terutama bagi pemerintah daerah setempat.

    I. 6. Tinjauan Pustaka

    Untuk mengetahui dan memahami Makna Simbolik Tato bagi Manusia Dayak

    dalam Kajian Hermeneutika Paul Ricoeur ini. maka pembacaan tulisan tentang Tato,

    manusia Dayak, dan hermeneutika Paul Ricoeur penting untuk dilakukan. Pada

    dasarnya dengan membaca karya-karya tersebut pemahaman akan tato, eksistensi

    manusia Dayak, dan masalah hermeneutika secara umum berikut hermeneutika Paul

    Ricoeur dapat dimengerti dan dikaji secara mendalam. Terdapat tiga sumber pustaka

    yang menjadi sumber pokok berkaitan dengan penulisan tesis ini, yang pertama

    adalah buku The Symbolism of Evil karangan Paul Ricoeur yang membahas mengenai

    simbol-simbol kejahatan, kedua adalah buku Tato karangan Hatib Abdul Kadir Olong

    yang membahas mengenai tato, dan yang ketiga adalah buku Manusia Daya :

    Dahulu, Sekarang dan Masa Depan karangan Mikhail Coomans. Walaupun demikian

  • 11Universitas Indonesia

    pembacaan literatur lain tetap diperlukan untuk memperkuat dan memperjelas

    pemahaman tersebut termasuk dengan membaca penelitian-penelitian terdahulu yang

    berkaitan dengan penulisan tesis ini.

    Selain itu juga terdapat dua karya ilmiah yang ditemukan penulis mengenai

    tato, yang pertama adalah Eksistensi Tato sebagai Salah Satu Karya Seni Rupa

    Tradisional Masyarakat Mentawai karya Adi Rosa yang merupakan Tesis pada

    Program Studi Seni Rupa di Institut Teknologi Bandung. Yang kedua adalah

    Fenomena Tren Tato dan Pergeseran Makna Seni Tato Ditinjau dari Teori

    Postmodernisme dan Teori Semiotik Pierce karya R. R. Early Dinda Puspita yang

    merupakan Skripsi pada Program Studi Sastra Jerman di Universitas Indonesia. Yang

    membedakan penelitian ini dengan dua penelitian sebelumnya adalah upaya penulis

    untuk menemukan makna simbollik dibalik tato bagi manusia Dayak, dan melakukan

    kajian filosofis terhadap makna simbolik tato tersebut menggunakan metode

    hermeneutika Paul Ricoeur.

    1. 7 Metode Penelitian

    Metode penelitian yang digunakan penulis untuk melakukan penelitian ini

    adalah studi kepustakaan, dan metode hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur.

    Data-data kepustakaan yang dikumpulkan berupa buku, artikel, literatur, maupun

    penelitian-penelitian terdahulu mengenai tato dan kehidupan manusia Dayak dan

    metode hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur. Metode hermeneutika

    fenomenologi Paul Ricoeur dipilih penulis untuk menjelaskan makna simbolik tato

    Dayak karena dalam pemikirannya, Ricoeur menggunakan simbol-simbol untuk

    menafsirkan fenomena yang ada. Tato Dayak adalah sebuah fenomena yang sarat

    akan makna simbolik sehingga metode hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur

    dianggap tepat untuk menjelaskan makna simbolik apa yang terkandung dalam tato

    Dayak tersebut. Adapun interpretasi dalam metode hermeneutika fenomenologi

    tersebut digunakan sebagai pendekatan filosofis untuk membaca data-data

  • 12Universitas Indonesia

    kebudayaan dan fenomena-fenomenanya. Pendekatan filosofis yang dimaksud adalah

    permasalahan-permasalahan tersebut diuraikan secara sistematis dan inventif.

    Ricoeur sendiri dalam bukunya The Symbolism of Evil, menggunakan metode

    hermeneutika untuk mengungkapkan pengalaman pengalaman tentang kejahatan

    dalam kebudayaan-kebudayaan besar masa lalu, baik berupa simbol-simbol primer

    (noda, dosa, dan kebersalahan), maupun simbol-simbol sekunder (mitos-mitos yang

    menceritakan asal usul dan cara mengatasi kejahatan).

    Kejahatan sebagai pengalaman manusia yang paling eksistensial dinyatakan

    dalam bahasa pengakuan lewat simbol dan mitos kejahatan. Simbol dan mitos

    mengisahkan awal dan akhir kejahatan. Analisis Ricoeur tentang simbol dan mitos

    kejahatan menggambarkan dua tendensi. Pertama, tendensi yang melihat kejahatan

    sebagai pengalaman primer manusia. Kedua tendensi untuk mendudukkan kejahatan

    dalam manusia dan membuat manusia menjadi penyebabnya.

    The Symbolism of evil merupakan garis besar perkembangan pengalaman

    manusia. Masing-masing simbol menggambarkan tiga tahap perkembangan sejarah :

    kebudayaan kuno, agama monotheis, dan pengalaman sekular personal. Gambaran

    Ricoeur mengenai manusia tidak berhenti pada manusia yang mampu berbuat jahat

    karena kebebasannya yang tertawa. Kejahatan tidak hanya dilihat sebagai tindakan

    manusia, tetapi dalam gambaran kejahatan sebagai penodaan, manusia berada dalam

    situasi jahat dan tersentuh oleh kejahatan, yang menular. Lebih lanjut Ricoeur juga

    menggambarkan kejahatan dan sekaligus pengharapan : dosa dan penebusan,

    perbudakan dan pembebasan, pengasingan dan kembali, rasa salah dan pembenaran.

    Simbol-simbol itu harus ditafsirkan dalam totalitasnya, bukan secara terpisah.

    Dengan demikian penulis berharap analisis Ricoeur tentang simbol kejahatan dalam

    hubugannya dengan eksistensi manusia tersebut dapat digunakan untuk memahami

    makna simbolik Tato bagi manusia Dayak.

  • 13Universitas Indonesia

    Dengan penjelasan ini, orang dapat mengeksplisitkan atau menguraikan

    proposisi dan makna teks. Sedangkan dengan pemahaman orang dapat memahami

    dan mengerti sebagai keseluruhan dari mata rantai makna parsial teks dalam tindakan

    sintesis. Lebih jauh teks ditempatkan dalam konteks sosial. Dengan begitu konsep

    tindakan penuh makna sebagai teks menurut Ricoeur berarti mengizinkan teks

    memberikan kepercayaan kepada diri manusia dengan cara yang objektif. Dengan

    penjelasan tersebut Ricoeur mengatakan bahwa memahami teks berarti memahami

    individu.

    Oleh karena itu, untuk membahas alur pemikiran Paul Ricoeur secara lebih

    mendalam, dimana di dalam pemikirannya tersebut terdapat metode hermeneutika

    fenomenologi yang digunakan sebagai kerangka teori untuk membahas permasalahan

    dalam penulisan tesis ini, maka penulis akan membuat bab tersendiri, yaitu Bab II.

    1.8. Sistematika Penulisan

    Bab 1 yaitu Pendahuluan merupakan penjelasan dari latar belakang

    permasalahan penulisan tesis ini. Di dalamnya juga akan dijelaskan rumusan

    permasalahan yang terdiri atas permasalahan, pertanyaan penelitian dan thesis

    statement untuk menjadi panduan dalam penulisan. Selanjutnya akan dipaparkan

    tinjauan pustaka, teori dan metode penelitian tesis berikut dengan sistematika

    penulisan agar dapat menghasilkan penulisan yang sistematis.

    Bab 2 berjudul Simbol Kejahatan dalam Hermeneutika Fenomenologi Paul

    Ricoeur dimana dalam bab ini akan diuraikan keseluruhan perkembangan pemikiran

    Paul Ricoeur. Penulisan bab ini berisikan biografi Paul Ricoeur hingga akhir

    hayatnya, penjelasan mengenai latar belakang pemikiran filsafat Ricoeur termasuk

    siapa saja tokoh-tokoh yang mempengaruhinya, dan uraian mengenai metode

    hermeneutika fenomenologi yang digunakan Ricoeur untuk melakukan interpretasi

    terhadap sebuah teks.

  • 14Universitas Indonesia

    Bab 3 dengan judul Tato dan Manusia Dayak akan menguraikan penjelasan

    mengenai tato dan manusia Dayak. Di dalamnya terdapat penjelasan mengenai

    manusia Dayak dan kehidupannya, gambaran umum tato Dayak, cara pembuatannya,

    berikut aturan-aturan apa saja yang terdapat dalam proses pembuatan tato. Selain itu

    akan dibahas juga mengenai beberapa motif yang digunakan pada tato Dayak dan

    kegunaan tato Dayak ditinjau dari aspek pragmatiknya.

    Bab 4 dengan judul Simbol Kebertubuhan dalam tato Dayak akan membahas

    mengenai filsafat kebertubuhan manusia Dayak dalam hubungannya dengan tato

    sebagai Simbol Religiusitas, sebagai Simbol Siklus Kehidupan dan Kematian, serta

    sebagai Simbol Eksistensi. Selanjutnya akan diperoleh makna simbolik tato Dayak

    yang merupakan interpretasi keseluruhan terhadap tato Dayak menggunakan metode

    hermeneutika Paul Ricoeur.

    Bab 5 merupakan bab penutup, dimana pada bagian akhir tesis ini terdapat

    dua subbab yaitu Subbab 5.1 yang merupakan Kesimpulan dari seluruh penulisan

    tesis, dan diikuti dengan Subbab 5.2 yaitu Catatan kritis

  • 15Universitas Indonesia

    BAB 2

    SIMBOL DALAM HERMENEUTIKA FENOMENOLOGI

    PAUL RICOEUR

    Bab ini akan menguraikan pandangan dan pemikiran Paul Ricoeur mengenai

    simbol kejahatan dalam hermeneutika fenomenologi sebagai metode interpretasi.

    Dalam hubungannya dengan penulisan tesis ini, uraian pandangan dan pemikiran

    Ricoeur tersebut menjadi acuan teoritis dalam membahas makna simbolik tato bagi

    manusia Dayak. Selain itu, riwayat hidup Ricoeur juga akan dibahas bersama dengan

    pembahasan karya-karyanya supaya keutuhan pemikirannya yang berhubungan erat

    dengan kondisi sosial, budaya, maupun politik dapat dipahami dengan baik.

    Pemikiran Ricoeur dapat dikategorikan ke dalam salah satu cabang filsafat

    yaitu filsafat manusia. Dalam filsafat manusia, orisinalitas pemikirannya terlihat dari

    pembahasannya mengenai filsafat kehendak dimana di dalamnya terdapat

    pembahasan mengenai fenomena kejahatan pada eksistensi manusia dalam karyanya

    The Symbolism of Evil. Untuk itu ia merefleksikan kejahatan melalui simbol dan

    mitos yang dijelaskan lebih mendalam lewat metode hermeneutika fenomenologi.

    2.1 Riwayat Hidup dan Karya-karya Paul Ricoeur

    Paul Ricoeur, atau lengkapnya Jean Paul Gustave Ricoeur, adalah seorang

    filsuf kontemporer asal Perancis. Namanya barangkali tidak dikenal luas seperti filsuf

    Perancis lainnya yaitu Jean-Paul Sartre ataupun Michel Foucault. Akan tetapi

    kalangan intelektual dan akademis dunia mengakuinya sebagai salah seorang filsuf

    yang paling mengesankan pada abad ke-20, baik karena inovasi pemikiran yang

    dibawanya maupun karena luasnya cakupan bidang yang digelutinya. Pengaruhnya

    tidak dapat diabaikan dalam studi filsafat, ilmu-ilmu sosial, linguistik, ilmu-ilmu

    budaya, ilmu sejarah, psikoanalisa, teologi, etika dan ilmu politik. Tidak

    mengherankan ketika dia meninggal pada 20 Mei yang lalu di Chatenay-Malabry,

    Perancis, Perdana Menteri Perancis, Jean-Pierre Raffarin mengeluarkan pernyataan:

  • 16Universitas Indonesia

    "Hari ini kita tidak sekedar kehilangan seorang filsuf; seluruh tradisi humanis Eropa

    sedang berduka untuk salah seorang juru bicaranya yang paling berbakat".16

    Paul Ricoeur dilahirkan di Valence, Perancis Selatan pada tanggal 27 Februari

    1913. Ia berasal dari keluarga Kristen Protestan yang saleh dan dianggap sebagai

    salah seorang cendekiawan Protestan yang terkemuka di Prancis. Usia dua tahun ia

    sudah menjadi seorang yatim piatu. Ibunya meninggal karena sakit ketika ia berusia

    tujuh bulan dan ayahnya, seorang guru bahasa Inggris terbunuh pada Perang Dunia

    Pertama. Ricoeur dan kakak perempuannya dibesarkan oleh bibi dan kakek dari pihak

    ayah. Ricoeur dibesarkan di Rennes, Perancis. Di Lycee ia berkenalan dengan filsafat

    untuk pertama kalinya melalui R. Dalbiez, seorang filsuf beraliran thomistis yang

    terkenal karena dialah salah seorang Kristen pertama yang mengadakan suatu studi

    besar tentang Psikoanalisa Freud.

    Ricoeur mendapatkan gelar filsafatnya pada tahun 1933, lalu ia mendaftar

    pada Universitas Sorbonne di Paris guna mempersiapkan diri untuk agregasi filsafat

    yang diperoleh pada tahun 1935. Di Paris inilah ia berkenalan dengan Gabriel Marcel

    yang nantinya akan banyak mempengaruhi pemikirannya secara mendalam. Pada

    tahun 1937-1939 ia memenuhi panggilan untuk bergabung dalam wajib militer. Pada

    waktu mobilisasi ia masuk lagi ketentaraan Prancis dan dijadikan tahanan perang

    sampai akhir perang pada tahun 1945. dalam tahanan Jerman inilah ia banyak

    mempelajari karya-karya Husserl, Heidegger dan Jaspers. Bersama teman semasa

    tahanannya, Mikel Dufrenne, ia menulis buku Karl Jaspers et la philosophie de

    lexistence (1947). Pada tahun yang sama diterbitkan lagi satu buku yang berjudul

    Gabriel Marcel et Karl Jaspers, studi perbandingan antara dua tokoh eksistensialisme

    yang menarik banyak perhatian pada waktu itu.

    16Ignas Kleden, Paul Ricoeur : Jalan Melingkar Dalam Filsafat, dalam http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/06/06/KL/mbm.20050606.KL115600.id, diakses pada 1 Juni 2011 pukul 10.30 WIB.

  • 17Universitas Indonesia

    Setelah perang usai ia menjadi dosen pada Collge Cvenol, pusat Protestan

    internasional untuk pendidikan dan kebudayaan di Chambon-sur-Lignon. Pada tahun

    1948 ia menggantikan Jean Hyppolite sebagai professor filsafat di Universitas

    Starbourg. Pada tahun 1950 Ricoeur memperoleh gelar Docteur s lettres dan

    tesisnya dimasukkan ke dalam jilid pertama dari Philosophie de la volont (Filsafat

    Kehendak) yang diberi anak judul Le volontaire et linvolontaire (1950) (yang

    dikehendaki dan yang tidak dikehendaki); dan sebagai tesis tambahan adalah

    terjemahan karya Husserl Ideen I dengan pendahuluan dan komentar, yang sudah

    mulai ia kerjakan saat masih menjadi tahanan di Jerman. Pada tahun itu tesis

    utamanya dibukukan dengan judul yang sama. Dalam buku ini ia membahas suatu

    deskripsi murni tentang kehendak dan aktus-aktusnya. Deskripsi murni dipahami

    dalam arti fenomenologis, yaitu deskripsi dari sudut pandangsubyek bagi siapa

    sesuatu tampak. Dengan dua karya ini ia dianggap sebagai ahli fenomenologi

    terkemuka.17

    Sekitar tahun 1950an ia juga mulai menyenangi membaca karya-karya filsafat

    dari mulai Plato hingga Kant, Hegel, dan Nietzsche yang membawanya mendapatkan

    pemahaman yang menyeluruh tentang perkembangan filsafat barat. Sehingga hal ini

    pula yang membuat dirinya tidak pernah terjebak pada satu aliran saja, bahkan pada

    suatu waktu ia mempelajari filsafat analitis yang merupakan aliran yang banyak

    berkembang di Inggris seperti Wittgenstein, Austin, Searly. Selain filsafat ia juga

    memperhatikan masalah-masalah politik, sosial, budaya, pendidikan dan teologi. Ia

    dianugerahi gelar doktor teologi honoris causa oleh Universitas Katolik Nijmegen,

    Belanda atas kontribusinya dalam bidang teologi.18

    17Paul Ricoeur, Phenomenology and Hermeneutics dalam The Nous, Vol.9, No. 1( March, 1975), Blackwell Publishing, diakses dari http://www.jstor.org/stable/2214343, 12 Juni 2011, 13.45 WIB, hal. 85-88.18John McCarthy, The Density of Reference: Paul Ricoeur on Religious Textual Reference dalam International Journal for Philosophy of Religion, Vol. 26, No. 1 (Aug., 1989), Springer, diakses dari http://www.jstor.org/stable/40018846, 12 juni 2011, 14.05 WIB, hal. 1

  • 18Universitas Indonesia

    Ricoeur sempat menjabat sebagai dekan Fakultas Sastra di Universitas

    Sorbonne. Karena pada saat itu banyak kejadian dimana para mahasiswa

    memberontak dikarenakan sistem pendidikan yang tidak memuaskan dan dekan

    mengundurkan diri maka Ricoeur di angkat sebagai dekan untuk kurun waktu satu

    tahun. Namun karena terjadi kembali pemberontakan mahasiswa dan Ricoeur merasa

    tidak nyaman maka ia mengundurkan diri. Ia kemudian banyak mengajar di

    Universitas Leuven, lalu kemudian kembali lagi ke Paris dan setiap beberapa bulan ia

    mengajar di Universitas Chicago.

    Setelah itu Ricoeur seringkali diundang sebagai pembicara mengenai

    beraneka ragam tema pada kongres, seminar, maupun lokakarya baik di dalam

    maupun di luar negeri. Ia selalu mempresentasikan dirinya sebagai filsuf yang

    berusaha menyoroti tema yang bersangkutan dari sudut pandang filosofisnya. Ia juga

    banyak menulis dan sekaligus menjadi editor dalam majalah Esprit, yang didirikan

    pada tahun 1932 oleh Emmanuel Mounier (1905-1950), seorang tokoh personalisme

    Kristen dan majalah Christianisme social, yang diorganisir oleh gerakan sosial

    Protestan di Perancis. Selain itu pada tahun 1955 ia mempublikasikan buku History

    And Truth. Buku ini merupakan kumpulan karangannya mengenai masalah sosial dan

    politik.

    Pada tahun 1956 Ricoeur diangkat sebagai professor filsafat di Universitas

    Sorbonne. Pada tahun 1960 ia menerbitkan buku Philosophie de la volonte jilid 2

    dengan anak judul Finitude et culpabilite ( Keberhinggaan dan Kesalahan ). Buku

    jilid kedua ini terdiri dari dua bagian (dua buku tersendiri) yang berjudul Falilble

    Man : Philosophy of the Will ( Manusia yang dapat salah ) dan The Symbolism of Evil

    (Simbol-simbol kejahatan). Pada Falilble Man : Philosophy of the Will ia membahas

    eksistensi manusia dari sudut metode fenomenologi Husserl dan metode

    transsendental Kant. Sedangkan dalam The Symbolism of Evil ia membahas kejahatan

    konkret dalam eksistensi manusia.

    Sementara itu pada tahun 1966 ia mengajar di Nanterre dan tahun 1969

    terpilih menjadi dekan. Namun tahun 1970 ia berhenti sebagai dekan akibat

    kerusuhan mahasiswa dan pindah ke Universitas Louvain, Belgia. Pada tahun 1973 ia

  • 19Universitas Indonesia

    kembali ke Nanterre sebagai professor metafisik sambil mengajar paruh waktu di

    Universitas Chicago. Dalam periode ini ia banyak memberi perhatian pada problem

    bahasa dan hermeneutika. Ricoeur adalah penulis yang aktif. Ia menulis banyak buku

    dan essay tentang isu-isu terkait. Bibliografinya mencakup lebih dari selusin buku

    dan beratus-ratus essai, diantaranya : 19

    1. Gabriel Marcel and Karl Jaspers. Philosophie du mystre et philosophie du paradoxe. Paris: Temps Prsent, 1948.

    2. Entretiens sur l'Art et la Psychanalyse (sous la direction de Andre Berge, Anne Clancier, Paul Ricoeur et Lothair Rubinstein (1964), Mouton, Paris, La Haye 1968.

    3. Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary, trans. Erazim Kohak. Evanston: Northwestern University Press, 1966 (1950).

    4. History and Truth, trans. Charles A. Kelbley. Evanston: Northwestern University press. 1965 (1955).

    5. Fallible Man, trans. Charles A. Kelbley, with an introduction by Walter J. Lowe, New York: Fordham University Press, 1986 (1960).

    6. The Symbolism of Evil, trans. Emerson Buchanan. New York: Harper and Row, 1967 (1960).

    7. Freud and Philosophy: An Essay on Interpretation, trans. Denis Savage. New Haven: Yale University Press, 1970 (1965).

    8. The Conflict of Interpretations: Essays in Hermeneutics, ed. Don Ihde, trans. Willis Domingo et al. Evanston: Northwestern University Press, 1974 (1969).

    9. Political and Social Essays, ed. David Stewart and Joseph Bien, trans. Donald Stewart et al. Athens: Ohio University Press, 1974.

    10. The Rule of Metaphor: Multi-Disciplinary Studies in the Creation of Meaning in Language, trans. Robert Czerny with Kathleen McLaughlin and John Costello, S. J., London: Routledge and Kegan Paul 1978 (1975).

    11. Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Fort Worth: Texas Christian Press, 1976.

    12. Patocka, Philosopher and Resister. Telos 31 (Spring 1977). New York: Telos Press.

    13. The Philosophy of Paul Ricur: An Anthology of his Work, ed. Charles E. Reagan and David Stewart. Boston: Beacon Press, 1978.

    14. Essays on Biblical Interpretation (Philadelphia: Fortress Press, 1980) 15. Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and

    Interpretation, ed., trans. John B. Thompson. Cambridge: Cambridge University Press, 1981.

    19John B. Thompson, (ed) dalam Paul Ricoeur,Hermeneutics & Human Sciences,(London:Cambridge U.P,1981),hal 2-4.

  • 20Universitas Indonesia

    16. Time and Narrative (Temps et Rcit), 3 vols. trans. Kathleen McLaughlin and David Pellauer. Chicago: University of Chicago Press, 1984, 1985, 1988 (1983, 1984, 1985).

    17. Lectures on Ideology and Utopia, ed., trans. George H. Taylor. New York: Columbia University Press, 1985.

    18. From Text to Action: Essays in Hermeneutics II, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson. Evanston: Northwestern University Press, 1991 (1986).

    19. l'cole de la philosophie. Paris: J. Vrin, 1986. 20. Le mal: Un dfi la philosophie et la thologie. Geneva: Labor et Fides,

    1986. 21. Oneself as Another (Soi-mme comme un autre), trans. Kathleen Blamey.

    Chicago: University of Chicago Press, 1992 (1990). 22. A Ricur Reader: Reflection and Imagination, ed. Mario J. Valdes. Toronto:

    University of Toronto Press, 1991. 23. Lectures I: Autour du politique. Paris: Seuil, 1991. 24. Lectures II: La Contre des philosophes. Paris: Seuil, 1992. 25. Lectures III: Aux frontires de la philosophie. Paris: Seuil, 1994. 26. The Philosophy of Paul Ricur, ed. Lewis E. Hahn (The Library of Living

    Philosophers 22) (Chicago; La Salle: Open Court, 1995) 27. The Just, trans. David Pellauer. Chicago: University of Chicago Press, 2000

    (1995). 28. Critique and Conviction, trans. Kathleen Blamey. New York: Columbia

    University Press, 1998 (1995). 29. Thinking Biblically, (with Andr LaCocque). University of Chicago Press,

    1998. 30. La mmoire, l'histoire, l'oubli. Paris: Seuil, 2000. 31. Le Juste II. Paris: Esprit, 2001. 32. Reflections on the Just, trans. David Pellauer. University of Chicago Press,

    2007. 33. Living Up to Death, trans. David Pellauer. University of Chicago Press, 2009.

    Selain menulis dan mengajar, Ricoeur juga adalah anggota beberapa lembaga

    akademis dan mendapat penghargaan dari The Hegel Award (Stuttgart), The Karl

    Jaspers Award (Heidelberg), The Leopold Lucas Award (Tobingen),dan The Grand

    Prix de l Academie francaise. Bersama Francois Wahl ia menjadi editor pada

    Lordre d philosophique di Paris.

  • 21Universitas Indonesia

    2.2. Pemikiran Paul Ricoeur

    Pemikiran filosofis Ricoeur dapat dikategorikan dalam cabang filsafat yaitu

    filsafat manusia. Pemikirannya tentang filsafat manusia tampak dalam karya-

    karyanya yaitu Freedom and Nature : The voluntary and the Involuntary, Falible

    Man : Philosophy of the Will, dan The Symbolism of Evil. 20

    Dalam lingkup filsafat manusia Ricoeur membahas Filsafat kehendak

    (philosophy of will) yang dihubungkan dengan tiga persoalan eksistensi manusia yang

    diungkapkan yaitu yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki,

    keberhinggaan dan kebersalahan dan kejahatan. Ricoeur menegaskan bahwa

    filsafat kehendak merefleksikan dimensi afektif dan kehendak pada eksistensi

    manusia (to reflect upon the affective and volitional dimensions of human existence).

    Filsafat kehendak ini memfokuskan pada persoalan tindakan dan motif (action and

    motive), keinginan dan hasrat (need and desire), kesenangan dan kesakitan (pleasure

    and pain). Ia membahas persoalan-persoalan tersebut dari perspektif fenomenologi.

    Dengan fenomenologi ini ia berusaha menjelaskan fenomena persoalan-persoalan

    tersebut dan menghubungkannya pada proses kesadaran subyektif.

    Pertama yang dikehendaki (voluntary) dijelaskan dan dipahami oleh

    Ricoeur dengan menjelaskan dan memahami yang tidak dikehendaki (involuntary)

    dalam karyanya Freedom and Nature : The Voluntary and the Involuntary. Dalam

    menjelaskan kehendak (will) manusia dengan fenomenologi, Ricoeur mengikuti

    pemikiran fenomenologi Husserl, untuk membedakan pemikirannya dari pemikiran

    eksistensialis dan menegaskan bahwa fenomenologi harus struktural .21 Ia

    membuka struktur dasar terhadap kehendak pada tingkat kemungkinan esensial

    (essential possibility) yaitu struktur kehendak yang timbal-balik antara yang

    20Walter James Lowe, The Coherence of Paul Ricoeur dalam The Journal of Religion, Vol. 61, No. 4 (Oct., 1981), The University Of Chicago Press, diakses dari http://www.jstor.org/stable/1202836, 12 juni 2011, 14.15 WIB, hal.38421 Paul Ricoeur, Freedom and Nature: The Voluntary and the Involuntary, trans. Erazim Kohak, (Evanston: Northwestern University Press, 1966), hal 215.

  • 22Universitas Indonesia

    dikehendaki dan yang tidak dikehendaki. Dengan adanya dualisme itu, ia mencari

    hakekat (eidos) pada diri manusia.

    Melalui analisis yang mendalam, Ricoeur menemukan bahwa dalam tindakan

    kehendak kesadaran melekat pada unsur yang tidak dikehendaki (in the act of

    willing, consciousness to the element of involuntary life). Tindakan manusia tampak

    pada waktu ia berkehendak ( I will). Dapat dikatakan bahwa will ini sejajar dengan

    cogito dalam pengertian Descartes. Sedangkan untuk menjelaskan yang tidak

    dikehendaki, Ricoeur menggunakan metode partisipasi eksistensialis Gabriel

    Marcel dalam menganalisis tubuh karena metode fenomenologi sudah tidak memadai

    lagi. Dengan metode ini Ricoeur menyatakan bahwa penyatuan kesadaran ke dalam

    tubuh dan tubuh dalam kesadaran amat diperlukan. Dengan cara itu yang tidak

    dikehendaki melekat pada yang dikehendaki. Yang dikehendaki diinterpretasikan

    sebagai kebebasan (freedom), sedangkan yang tidak dikehendaki diinterpretasikan

    sebagai keniscayaan (nature). Menurutnya kebebasan yang dikehendaki itu bersifat

    manusiawi dan tidak Ilahi.22

    Kedua, keberhinggaan dan kebersalahan (finitude and gulit). Persoalan ini

    dianalisis secara kritis oleh Ricoeur ketika membahas karyanya Falilble Man :

    Philosophy of Will. Dalam karyanya itu ia mengatakan bahwa manusia yang dapat

    salah merupakan ciri eksistensi manusia sebagai sumber kejahatan. Kebersalahan ini

    terletak pada usaha manusia yang tidak pernah berhasil mendamaikan keberhinggaan

    dan ketidakberhinggaan. Kebersalahan ini merupakan kelemahan konstitusional yang

    memasuki struktur dasar kehendak, sehingga manusia dimasuki kejahatan.23

    Ketiga, kejahatan (evil). Ricoeur membahas persoalan kejahatan pada

    eksistensi manusia dalam karyanya yang berjudul The Symbolism of Evil. Ia

    memperlihatkan bagaimana pengakuan kejahatan manusia dalam kesadaran agama,

    bukan pada tataran filsafat. Dalam membahas kejahatan itu Ricoeur menggunakan

    22 Ibid, hal 486.23 Paul Ricoeur, Fallible Man, trans. Charles A. Kelbley, with an introduction by Walter J. Lowe, (New York: Fordham University Press, 1986 (1960)), hal xvi

  • 23Universitas Indonesia

    metode hermeneutika karena metode fenomenologi saja tidak cukup memadai. Untuk

    itu ia merefleksikan kejahatan melalui hermeneutika fenomenologi pada simbol dan

    mitos.

    2.3. Hermeneutika Fenomenologi menurut Ricoeur

    Kekhususan pemikiran Ricoeur dalam hermeneutika adalah pandangannya

    yang menggabungkan antara fenomenologi dan metode hermeneutika sehingga

    memunculkan pandangan mengenai hermeneutika fenomenologi. Bertitik tolak dari

    pemikiran Ricoeur dalam melihat fenomena budaya, yaitu interpretasi terhadap

    fenomena budaya sebagai bagian dari kehidupan manusia, pemahaman akan hidup

    yang ditampilkan lewat salah satu ritual atau prosesi adat akan dapat dipahami

    dengan baik apabila dilakukan dengan menembus kesadaran manusia. Dalam hal

    inilah simbol berfungsi sebagai perantara supaya orang dapat memahami sesuatu

    dengan lebih baik.

    Menurut Ricoeur terdapat dua jalan yang menjadi dasar diletakannya

    hermeneutika ke dalam fenomenologi. Jalan pertama disebutnya sebagai jalan

    pendek (short route) dan jalan kedua disebutnya sebagai jalan panjang (long

    route).24Yang dimaksud dengan jalan pendek adalah ontologi pemahaman.

    Pemahaman tidak lagi dihubungkan dengan cara mengetahui tetapi lebih mengarah

    pada cara berada. Mengapa? Sebab pemahaman adalah salah satu aspek proyeksi

    Dasein (proyeksi manusia seutuhya) dan keterbukaannya terhadap being." Dengan

    begitu, "Pertanyaan tentang kebenaran bukan lagi menjadi pertanyaan tentang

    metode, melainkan pertanyaan tentang pengejawantahan being untuk being, yang

    eksistensinya terkandung di dalam pemahaman terhadap being. Hal itu sebab kita

    memahami manusia dari segala aspek yang ia miliki, manusia seutuhnya, manusia

    sebagai Dasein : sejarahnya, cara hidupnya, cita-citanya, gaya penampilan,

    keburukannya, serta segala sesuatu yang membuatnya menjadi khas. Oleh sebab itu,

    kita memahami manusia sebagaimana ia "menjadi".Dalam hal ini, hermeneutika 24Joseph Bleicher, Contemporary Hermeneutics, ( London : Routledge & Kegan Paul, 1980), hal 238-244.

  • 24Universitas Indonesia

    ketika "memahami" manusia dan hasil kerja budayanya, termasuk di dalamnya

    kesusastraan, yakni dengan jalan melakukan interpretasi.

    Akan tetapi analisis tentang Dasein kurang dapat menjawab pertanyaan-

    pertanyaan seperti bagaimana kita dapat sampai pada pengertian yang jelas akan

    sebuah teks, juga pada pengertian sebuah upacara, lalu bagaimana konflik interpretasi

    yang saling bertentangan dapat diselesaikan. Atas dasar argumentasi inilah Ricoeur

    mengajukan jalan panjang. Jalan panjang merupakan refleksi di tingkat ontologi

    dimana refleksi tersebut terjadi secara bertahap melalui interpretasi dan pemahaman,

    dari tahap literal atau literal, ke tahap refleksi fenomenologi dan tahap eksistensial.

    Untuk mengkaji hermeneutika fenomenologi Paul Ricoeur, tidak perlu

    menghubungkannya dengan perkembangan hermeneutika sebelumnya. Karenanya

    posisi hermeneutika Paul Ricoeur sepenuhnya ditempatkan terpisah dari

    hermeneutika sebelumnya, yaitu hermeneutika teori penafsiran kitab suci,

    hermeneutika metode filologi, hermeneutika pemahaman linguistik, hermeneutika

    fondasi dari ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften), dan hermeneutika

    fenomenologi dasein.25

    Menurut Ricoeur hermeneutika tidak dapat dilepaskan dari fenomenologi.

    Fenomenologi merupakan asumsi dasar yang tak tergantikan bagi hermeneutika. Di

    sisi lain, fenomenologi tidak dapat menjalankan programnya untuk memahami

    berbagai fenomena secara utuh dan menyeluruh tanpa penafsiran terhadap

    pengalaman-pengalaman subyek. Untuk keperluan penafsiran itu dibutuhkan

    hermeneutika. Secara umum, fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana

    manusia sebagai subyek memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Menurut Ricoeur

    sejauh tentang makna dan pemaknaan yang dilakukan manusia, hermeneutik terlibat

    di sana. Jadi pada dasarnya fenomenologi dan hermeneutik saling melengkapi.

    Dengan dasar itu, Ricoeur mengembangkan metode hermeneutika fenomenologi.

    25 Richard E. Palmer, Hermeneutics:Interpretation Theory in Schleimacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer, ( Northwestern Universitiy Press, Evanston, 1969 ), hal 38-47.

  • 25Universitas Indonesia

    Dalam hermeneutika fenomenologi, Ricoeur menekankan pentingnya

    pemahaman tentang distanciation (pengambilan-jarak). Kembalinya hermeneutik

    kepada fenomenologi terjadi melalui pengambilan-jarak. Setiap pemaknaan yang

    dilakukan oleh kesadaran melibatkan saat pengambilan-jarak dari obyek yang diberi

    makna, pengambilan-jarak dari pengalaman yang dihayati sambil tetap tertuju

    kepadanya. Pengambilan-jarak sangat jelas terlihat dalam bahasa.Tanda linguistik

    hanya dapat merujuk kepada hal yang bukan benda. Tanda itu merujuk kepada

    konsep atau makna dari benda-benda. Jadi dalam tanda itu terkandung negativitas

    tertentu, meniadakan obyek-obyek yang dihayati melalui pengalaman. Dalam kajian

    linguistik, semuanya terjadi dalam pengandaian bahwa subyek yang berbicara

    memiliki ruang kosong tempat bermulanya penggunaan tanda, ruang kosong yang

    memutus hubunganya dengan pengalaman yang dihayati dengan maksud untuk

    memasuki semesta simbolik.26

    Fenomenologi dapat dipahami sebagai penguatan eksplisit dari peristiwa

    virtual yang tampil sebagai tindakan yang khas, sebagai gerak-gerik filosofis.

    Fenomenologi menjalin sifat tematik dari apa yang tadinya hanya bersifat operatif,

    membuat makna tampil sebagai makna. Hermeneutik memperluas gerak-gerik

    filosofis ini ke dalam ranah historis dan secara lebih umum lagi ke dalam ilmu-ilmu

    tentang manusia. Dari sisi hermeneutik, dapat dipahami bahwa pengalaman yang

    dihayati sebagai obyek dari fenomenologi berhubungan dengan kesadaran yang

    ditujukan untuk mempertahankan kebergunaan historis. Dengan demikian,

    pengambilan-jarak hermeneutis ditujukan terhadap rasa kepemilikan masa lalu

    Hermeneutik bermula ketika kita memutus hubungan kepemilikan kita dengan masa

    lalu agar dapat memaknainya. Hermeneutik dan fenomenologi sama-sama

    memungkinkan subyek untuk memaknai pengalaman yang dihayatinya dan

    kepemilikannya akan tradisi historis.

    26Paul Ricoeur, From Text to Action: Essays in Hermeneutics I, trans. Kathleen Blamey and John B. Thompson (Evanston: Northwestern University Press, 1991), hal 88.

  • 26Universitas Indonesia

    Hermeneutika dan fenomenologi juga sama-sama memandang bahwa

    pemaknaan linguistik merupakan watak turunan dari pengalaman yang dihayati.

    Dalam upaya memahami fenomena, kesadaran yang selalu tertuju kepada obyek

    menggunakan perangkat-perangkat perseptualnya (noesis) untuk memperoleh

    gambaran perseptual yang lengkap tentang fenomena (noema). Pembentukan

    gambaran perseptual yang lengkap itu mensyaratkan perlengkapan linguistik yang

    memadai untuk melakukan pengartian, predikasi, hubungan sintaktik dan sebagainya

    agar gambaran itu dapat diartikulasikan. Dari sisi hermeneutik, penempatan linguistik

    sebagai kendaraan yang digunakan untuk memahami analisis terhadap gambaran

    perseptual pra-lingusitik merupakan prinsip yang mendasari proses penafsiran.

    Ricoeur juga menunjukkan bagaimana hubungan antara hermeneutik dan

    fenomenologi terlihat dalam penggunaan konsep Lebenswelt (dunia-kehidupan)

    dalam fenologi yang oleh hermeneutik dipahami sebagai perbendaharaan makna,

    surplus kesadaran dalam pengalaman hidup yang memungkinkan objetivikasi dan

    pemaknaan yang kaya terhadap fenomena dalam kehidupan manusia. Dengan konsep

    Lebenswelt itu, dimungkinkan pengembangan fenomenologi persepsi yang membawa

    fenomenologi kepada hermeneutik untuk memahami pengalaman historis. Dengan

    demikian, fenomenologi dan hermeneutik merupakan dua hal yang tak terpisahkan

    dan selalu bersama-sama dalam upaya memahami fenomena dan memahami manusia

    melalui ilmu-ilmu tentang manusia.27

    Dengan hermeneutika fenomenologinya Ricoeur kemudian mendefinisikan

    teks sebagai ...any discourse fixed by writing. Teks adalah diskursus yang

    dimantapkan dalam bentuk tulisan. Diskursus diartikan sebagai peristiwa bahasa atau

    penggunaan bahasa sebagai lawan dari sistem bahasa atau sistem kode linguistik.

    Diskursus menunjukkan bahasa sebagai peristiwa, bukan sebagai sistem. Satuan

    terkecil dari gramatika bahasa yang melandasi teks adalah kata sedangkan satuan

    terkecil dari diskursus adalah kalimat. Teks merupakan hasil pengambilan-jarak

    terhadap pengalaman yang dihayati dalam dunia. Dengan istilah teks, Ricoeur juga

    merujuk kepada pengalaman dan tindakan manusia yang akan ditafsirkan. 27Ibid, hal 86.

  • 27Universitas Indonesia

    Pengalaman dan tindakan manusia mengandung pemaknaan linguistik, oleh karena

    itu keduanya merupakan diskursus.28

    Pengambilan-jarak mengindikasikan adanya pemutusan hubungan antara

    pengalaman dan tindakan yang hendak dipahami dengan dunia. Dengan kata lain,

    pengalaman dan tindakan sebagai diskursus di sini dibekukan menjadi teks atau

    dalam bentuk-bentuk linguistik yang dapat dibaca. Ricoeur mengenakan sifat-sifat

    teks ke dalam tindakan.

    Seperti halnya teks merupakan diskursus yang dibekukan, tindakan juga pada

    awalnya adalah sebuah diskursus dalam arti peristiwa tindakan yang terjadi dalam

    waktu, melibatkan aktor-aktor tertentu (pelaku maupun yang terkena tindakan)

    dengan maksud-maksud tertentu pula. Pemantapan tindakan menjadikan tindakan tak

    lagi hanya merujuk pada satu peristiwa tertentu, dengan demikian tindakan pun

    terkena sifat-sifat teks. Ricouer menjelaskan sifat-sifat itu sebagai berikut:29

    1. Tindakan bermakna baru menjadi objek ilmu melalui objektivikasi

    yang oleh Ricoeur disejajarkan dengan pemantapan diskursus ke

    dalam tulisan.

    2. Seperti makna teks yang lepas dari intensi penulisnya, makna tindakan

    juga lepas dari intensi pelakunya. Otonomisasi ini menghasilkan

    objektivitas tindakan. Tindakan manusia meninggalkan jejak pada

    sejarah berupa rekaman pada diri orang-orang. Sebagai rekaman,

    tindakan itu sudah lepas dari intensi penulisnya. Makna tindakan tidak

    lagi sama dengan intensi otentik si pelaku awal.

    3. Tindakan bermakna yang menjadi objek ilmu pengetahuan sosial,

    tidak lagi mengacu pada relevansi situasi awal. Kepentingan tindakan

    jadi keluar dari relevansi situasi awal, melampaui kondisi-kondisi

    sosial yang melahirkan tindakan itu. Di sini terlihat, suatu tindakan

    yang dimantapkan tidak hanya mencerminkan zamannya, namun

    membukakan suatu kenyataan dan kemungkinan baru juga.

    28 Ibid, hal 145. 29Ibid, hal 150-156.

  • 28Universitas Indonesia

    4. Pada akhirnya, tindakan manusia dalam bentuknya yang objektif

    menyapa siapa saja yang membacanya. Tindakan manusia, seperti

    juga teks, merupakan karya terbuka, serta menanti penafsiran dan

    pemaknaan yang segar dari praksis aktual.

    Dengan demikian setelah dimantapkan sebagai teks, pengalaman dan tindakan

    manusia dapat menjadi terbuka untuk ditafsirkan dan hasil penafsirannya mencakup

    makna obyektif dan makna subyektik. Makna obyektif berbeda dengan makna

    subyektifnya tetapi keduanya saling melengkapi dan memperkaya penafsiran.

    Pemahaman yang tepat tidak dapat dihasilkan hanya dengan kembali pada intensi

    orang yang mengalami atau pembuat tindakan. Konstruksi makna yang dilakukan

    harus berbentuk proses dialektika antara pendugaan dan pengesahan. Rekonstruksi

    teks sebagai keseluruhan harus bersifat daur ulang dalam arti makna keseluruhan

    harus tampak dalam bagian-bagiannya. Sebaliknya, keseluruhan dibangun dari

    rincian-rinciannya. Di sini tak bisa ditentukan secara gamblang patokan untuk

    menentukan bagian mana yang paling penting dan mana yang tidak penting, mana

    yang hakiki, dan mana yang artifisial. Keseluruhannya harus dipahami secara

    mendalam.

    Selanjutnya Ricoeur kemudian menempatkan penafsiran kepada "tanda, atau

    simbol, yang dianggap sebagai teks". Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah

    "interpretasi atas ekspresi-ekspresi kehidupan yang ditentukan secara linguistik. Hal

    itu disebabkan seluruh aktivitas kehidupan manusia berurusan dengan bahasa,

    bahkan semua bentuk seni yang ditampilkan secara visual pun diinterpretasi dengan

    menggunakan bahasa. "Manusia pada dasamya merupakan bahasa, dan bahasa itu

    sendiri merupakan syarat utama bagi pengalaman manusia," kata Paul Ricoeur.30

    30 E. Sumaryono, Hermeneutika : Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 1999), hal 107.

  • 29Universitas Indonesia

    Interpretasi dilakukan dengan cara pcrjuangan melawan distansi kultural,

    yaitu penafsir harus mengambil jarak agar ia dapat melakukan interpretasi dengan

    baik. Dalam interpretasi seorang pembaca atau penafsir itu masih membawa sesuatu

    yang oleh Heideger disebut vorhabe (apa yang ia miliki), vorsicht (apa yang ia lihat),

    dan vorgrif (apa yang akan menjadi konsepnya kemudian). Hal itu artinya, seseorang

    dalam interpretasi tidaklah dapat menghindarkan diri dari "prasangka".31

    Memang, setiap kali kita membaca suatu teks, tidak dapat menghindar dari

    "prasangka" yang dipengaruhi oleh kultur masyarakat, tradisi yang hidup dari

    berbagai gagasan.Walaupun begitu, menurut Paul Ricoeur, "sebuah teks harus kita

    tafsirkan dalam bahasa dan tidak pemah tanpa pengandaian, dan diwamai dengan

    situasi kita sendiri dalam kerangka waktu yang khusus".32 Karenanya, sebuah teks

    selalu berdiri di antara penjelasan struktural dan pemahaman hermeneutika, yang

    saling berhadapan. Penjelasan struktural bersifat objektif, sedangkan pemahaman

    hermeneutika memberi kesan kita subjektif.

    Dikotomi antara objektivitas dan subjektivitas ini oleh Paul Ricoeur

    diselesaikan dengan jalan "sistem bolak-balik", yakni penafsir melakukan

    "pembebasan teks" (dekontekstualisasi) dengan maksud untuk menjaga otonomi teks

    ketika penafsir melakukan pemahaman terhadap teks; dan melakukan langkah

    kembali ke konteks (rekontekstualisasi) untuk melihat latarbelakang terjadinya teks,

    atau semacamnya. Dekontekstualisasi maupun rekontekstualisasi itu bertumpu pada

    otonomi teks yang terdiri dari tiga macam, yakni:33

    1. Intensi atau maksud pengarang (teks), 2. Situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks (konteks), dan 3. Untuk siapa teks itu dimaksudkan (kontekstualisasi).

    31 Ibid, hal 107.32 Ibid, hal 108.33 Ibid, hal 109.

  • 30Universitas Indonesia

    Kontekstualisasi yang dimaksudkan adalah bahwa materi teks "melepaskan

    diri" dari pengetahuan yang terbatas dari pengarangnya. Selanjutnya,teks tersebut

    membuka diri34 terhadap kemungkinan dibaca dan ditafsirkan secara luas oleh

    pembaca yang berbeda-beda, inilah yang dimaksudkan dengan rekontekstualisasi.

    Dengan jalan "sistem bolak-balik" itu, seorang hermeneutis harus melakukan

    pembacaan "dari dalam" teks tanpa masuk atau menempatkan diri dalam teks

    tersebut, dan cara pemahamannya pun tidak dapat lepas dari kerangka kebudayaan

    dan sejarahnya sendiri. Karenanya, untuk dapat berhasil pembacaan "dari dalam" itu,

    menurut Paul Ricoeur, "ia harus dapat menyingkirkan distansi yang asing, harus

    dapat mengatasi situasi dikotomis, serta harus dapat memecahkan pertentangan tajam

    antara aspek-aspek subjektif dan objektif." Hal ini hanya dapat dilakukan dengan cara

    "membuka diri terhadap teks yang berarti kita mengijinkan teks memberikan

    kepercayaan kepada diri kita," kata Paul Ricoeur.35

    Untuk memahami teks tersebut diperlukan dialektika distansiasi dan

    apropriasi serta dialektika penjelasan dan pemahaman. Dalam The interpretation

    Theory : discourse and the surplus meaning , apropriasi adalah partner otonomi

    semantic yang membebaskan teks dari pengarangnya. Sedangkan dengan distansiasi

    teks dapat diselamatkan dari kerenggangan budaya dan meletakannya dalam

    proksimitas baru. Proksimitas ini mempertahankan dan memelihara jarak kultural dan

    memasukan hal kelainan (otherness) menjadi kemilikan (owness).36

    34 Yang dimaksudkan dengan "membuka diri terhadap teks" adalah proses meringankan dan mempermudah isi teks dengan cara menghayatinya. Hal itu disebabkan bahwa dalam interpretasi terhadap teks, kita tidak perlu bersikap seakan-akan menghadapi teks yang kaku, tetapi kita harus dapat membaca ke dalam teks itu. Kita juga harus mempunyai konsep-konsep yang kita ambil dari pengalaman-pengalaman kita sendiri yang tidak mungkin kita hindarkan keterlibatannya sebab konsep-konsep ini dapat kita ubah atau disesuaikan tergantung pada kebutuhan teks. Namun, di sini kita juga masih berkisar pada teks sekalipun dalam interpretasi kita juga membawa segala kekhususan ruang dan waktu kita. 35 Ibid, hal 110. 36 Paul Ricoeur, The Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning. Fort Worth: Texas Christian Press, 1976. Hal 43

  • 31Universitas Indonesia

    Dalam konsep dialektika penjelasan (explanation-erklaren) dan pemahaman

    (understanding-verstehen), pemahaman adalah untuk membaca apa peristiwa

    diskursus itu yang merupakan ucapan dari diskursus. Sedangkan penjelasan adalah

    untuk membaca apa otonomi verbal dan tekstual itu yang merupakan makna obyektif

    dari diskursus.37Dengan penjelasan ini, orang dapat mengeksplisitkan atau

    menguraikan proposisi dan makna teks. Sedangkan dengan pemahaman orang dapat

    memahami dan mengerti sebagai keseluruhan dari mata rantai makna parsial teks

    dalam tindakan sintesis. Lebih jauh teks ditempatkan dalam konteks sosial. Dengan

    begitu konsep tindakan penuh makna sebagai teks menurut Ricoeur berarti

    mengizinkan teks memberikan kepercayaan kepada diri manusia dengan cara yang

    objektif. Dengan penjelasan tersebut Ricoeur mengatakan bahwa memahami teks

    berarti memahami individu.

    Selanjutnya Paul Ricoeur melalui bukunya The Interpretation Theory:

    Discourse and the Surplus of Meaning menghubungkan hal tersebut pada langkah

    pemahaman yang berlangsung mulai dari "penghayatan terhadap simbol-simbol",

    sampai ke tingkat gagasan tentang "berpikir dari simbol-simbol" seperti berikut ini :38

    1. Langkah simbolik atau pemahaman dari simbol-simbol; 2. Pemberian makna oleh simbol serta "penggalian" yang cermat atas makna; 3. Langkah filosofis, yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik

    tolaknya

    Ketiga langkah tersebut erat hubungannya dengan langkah pemahaman

    sebagai jalan panjang menuju tahapan interpretasi. yakni interpretasi semantik,

    interpretasi refleksif, interpretasi dan eksistensial atau ontologis. Interpretasi literal

    adalah interpretasi yang bertitik tolak pada sejumlah bentuk-bentuk simbolik yang

    berasal dari simbol literal. Interpretasi refleksi adalah interpretasi yang berawal dari

    interpretasi semantik dan bertitik tolak pada kesadaran manusia, dimana terdapat

    tahapan refleksi terhadap kesadaran manusia. Dalam tahapan ini manusia dapat

    37Ibid Hal 71-72. 38 Ibid, hal 111.

  • 32Universitas Indonesia

    merasakan kesadaran bahwa dirinya dapat salah bertindak. Sedangkan interpretasi

    eksistensial adalah interpretasi yang dibangun di atas interpretasi sebelunya.

    Interpretasi eksistensial berusaha menemukan makna dengan mengadakan refleksi

    terhadap makna yang kedua yaitu makna yang berada pada subyektifitas kesadaran

    manusia. Dengan demikian tahap ini merupakan suatu tahap refleksi yang mendalam

    terhadap dibongkarnya subyektivitas manusia dalam hubunngannya dengan

    kesadaran manusia. Tahap ini merupakan tahap terpenting karena pada tahap ini

    keberadaan eksistensial makna yang sesungguhnya dari simbol-simbol tertentu dapat

    dipahami dengan lebih mendalam.

    Karenanya, Paul Ricoeur menegaskan bahwa "pemahaman itu pada dasamya

    merupakan cara berada (mode of being) atau "cara menjadi". Namun, bagaimana

    pernyataan Paul Ricoeur ini dapat diterima sebab pemahaman hanya dapat terjadi

    pada tingkat pengetahuan, dan cara pemahaman selalu mendapat bantuan dari

    pengetahuan? Tentang pendapatnya yang mengatakan bahwa "pemahaman

    merupakan cara berada atau cara 'menjadi', dan bukan cara mengetahui atau cara

    memperoleh pengetahuan" ini, Paul Ricoeur hanya ingin membuka kesadaran kita

    bahwa hermeneutik adalah sebuah metode yang sejajar dengan metode di dalam

    sains. Ia tidak ingin metode hermeneutika ini menjadi metode yang kaku dan

    terstruktur sebagaimana yang terdapat di dalam ilmu ilmiah lainnya.

    2.4. Simbol Menurut Paul Ricoeur

    Ricoeur mengatakan bahwa semua yang ada ini harus dilihat atau diwakili

    oleh simbol-simbol. Pada mulanya simbol adalah tanda dan diekspresikan dan

    dikomunikasikan dengan makna tertentu. Meskipun simbol memiliki elemen dari dari

    alam semesta seperti udara, air bulan ataupun benda-benda, tetap saja ia memilliki

    dimensi simbolik. Setiap tanda yang memiliki arti, tujuan tertentu di belakang benda

    tersebut. Simbol dapat dipahami dengan baik bila berawal dari yang literal dan karena

    adanya keadaan yang bertentangan dengan makna yang kedua, maka akan ditemukan

    makna yang lebih dalam darinya.

  • 33Universitas Indonesia

    Simbol juga dapat memperjelas hubungan antara makna literal dan makna

    simbolik. Obyektivitas makna tergantung pada bagaimana proses itu sendiri

    bergantung yaitu antara relasi pertentangan antara makna kedua dengan makna

    pertama. Makna simbolik ditentukan di dalam proses itu sendiri dan berasal dari

    makna literal dan pertentangan dengan yang dipertentangkan. Ricoeur merumuskan

    simbol sebagai semacam struktur signifikan yang mengacu pada sesuatu, secara

    langsung dan mendasar dengan makna literal dan ditambahkan dengan makna yang

    mendalam yang hanya akan terjadi apabila makna yang pertama atau makna literal

    dapat ditembus. Dalam menemukan makna dari simbol literal, terkadang akan

    muncul makna kiasan. Ricoeur dalam hal ini menganjurkan untuk menolak makna

    kiasan tersebut karena simbol dan makna kiasan tidak bertitik tolak pada hal yang

    sama. Simbol mendahului hermenutik, sedangkan kiasan sifatnya hermeneutik.

    Simbol dihadirkan dengan makna transparan yang berbeda, sehingga munculnya

    makna dari simbol yang literal tidak bisa diinterpretasi secara kiasan.39

    Dalam pemikirannya mengenai Filsafat Kehendak, Ia menerangkan tentang

    simbol-simbol kejahatan yang di tulis dalam Symbolism of Evil. Dalam buku ini ia

    menerangkan bahwa bagaimana manusia mengalami kejahatan atau lebih tepat lagi

    bagaimana manusia mengakui kejahatan. Kejahatan yang dimaksudkan oleh

    Ricoeur disini adalah merupakan hal-hal yang tidak beres di dunia dan mengacu pada

    hal-hal seperti ketidakbahagiaan, dosa, kematian, ataupun penderitaan.

    Bagi Ricoeur sendiri kejahatan haruslah bertitik tolak pada manusia konkret,

    artinya manusia beragama yang mengalami kejahatan atau bagaimana ia mengakui

    kejahatannya. Pengalaman tentang kejahatan bersifat simbolis karena manusia

    mengakui kesalahannya dengan bahasa. Melalui bahasa simbolik pemahaman yang

    lebih lanjut tentang kejahatan akan dapat terkuak.

    39Hubungan yang erat antara makna pertama dan makna kedua, dan adanya proses pertentangan pada keduanya menghasilkan hubungan simbolik yang sangat mendalam dan melahirkan makna yang sangat mendalam. Dalam hal inilah Ricoeur membuat perbedaan khhusus antara simbol dan mitos. Mitos lebih mengarah pada cerita-cerita yang mungkin saja kiasan, sementara simbol lebih radikal daripada mitos. Karenanya mitos hanyalah bagian dari simbol yang berkembang dalam bentuk narasi dan diartikulasikan dalam ruang dan waktu.

  • 34Universitas Indonesia

    Ada tiga macam simbol dalam mengungkapkan pengalamannya tentang kejahatan

    sebagai berikut :

    1. Noda ( Stain ).

    Dalam simbol noda kejahatan dipahami sebagai sesuatu yang merugikan yang

    datang dari luar dan dengan cara magis menimpa serta mencemarkan manusia.

    Kejahatan disini masih merupakan suatu kejadian obyektif. Jadi berbuat jahat

    berarti melanggar suatu orde atau tata susunan yang tetap harus dipertahankan

    dan perlu dipulihkan kembali. Dalam bahasa simbol, noda ini dapat dikatakan

    sebagai sesuatu yang tabu.40

    2. Dosa ( Sin ).

    Dalam simbol dosa kejahatan dipahami sebagai putusnya hubungan antara

    manusia dengan Tuhan. Berbuat jahat tidak lagi berarti melanggar suatu tata

    susunan yang magis dan anonim, melainkan ketidaktaatan terhadap Tuhan

    yang telah mengadakan suatu perjanjian dengan manusia. Dosa merupakan

    ketidaksetiaan manusia terhadap Tuhan yang setia. Dalam hal ini dosa

    dipahami sebagai ketiadaan (nothingness).41

    3. Kebersalahan (Guilt).

    Pada simbol kebersalahan, kejahatan dipahami sebagai suatu pengkhianatan

    terhadap hakekat diri sendiri yang sebenarnya. Akan tetapi kebersalahan

    tersebut tidak sama dengan salah ( fault). Dalam konteks kebersalahan,

    kejahatan dihayati sebagai suatu penghianatan terhadap hakekat manusia yang

    sebenarnya, bukan seperti dosa sebagai suatu pemberontakan terhadap Tuhan.

    Kesempurnaan manusia tercapai dengan memenuhi peraturan-peraturan dan

    perintah-perintah Tuhan secara seksama, tetapi dengan melanggar peraturan-

    peraturan dan perintah-perintah itu manusia tidak bersalah terhadap Tuhan,

    melainkan terhadap diri manusia sendiri.42 Dalam memahami kejahatan,

    simbol noda, dosa, dan kebersalahan merupakan simbol primer.

    40 Paul Ricoeur, The Symbolism of Evil, trans. Emerson Buchanan, ( New York: Harper and Row, 1967), hal 35-36.41 Ibid, hal 6342 Ibid, hal 100-101.

  • 35Universitas Indonesia

    Setelah mengungkapkan simbol-simbol yang melambangkan kejahatan

    manusia, maka Ricoeur mengun