21
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tekanan Darah 2.1.1. Pengertian Tekanan Darah Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri. Tekanan puncak terjadi saat ventrikel berkontraksi dan disebut tekanan sistolik. Tekanan diastolik adalah tekanan terendah yang terjadi saat ventrikel beristirahat dan mengisi ruangannya. Tekanan darah biasanya digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik terhadap tekanan diastolik (Oxford, 2003). 2.1.2. Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah Menurut Kozier et al (2009), ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi tekanan darah, diantaranya adalah: 1. Umur Bayi yang baru lahir memiliki tekanan sistolik rata-rata 73 mmHg. Tekanan sistolik dan diastolik meningkat secara bertahap sesuai usia hingga dewasa. Pada orang lanjut usia, arterinya lebih keras dan kurang fleksibel terhadap darah. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan sistolik. Tekanan diastolik juga meningkat karena dinding pembuluh darah tidak lagi retraksi secara fleksibel pada penurunan tekanan darah. 2. Jenis Kelamin Berdasarkan Journal of Clinical Hypertension, Oparil menyatakan bahwa perubahan hormonal yang sering terjadi pada wanita menyebabkan wanita lebih cenderung memiliki tekanan darah tinggi. Hal ini juga menyebabkan risiko wanita untuk terkena penyakit jantung menjadi lebih tinggi (Miller, 2010). 3. Olahraga Aktivitas fisik meningkatkan tekanan darah. 4. Obat-obatan Banyak obat-obatan yang dapat meningkatkan atau menurunkan tekanan darah. Universitas Sumatera Utara

Tekanan Darah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tekanan Darah

Citation preview

Page 1: Tekanan Darah

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tekanan Darah

2.1.1. Pengertian Tekanan Darah

Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri.

Tekanan puncak terjadi saat ventrikel berkontraksi dan disebut tekanan sistolik.

Tekanan diastolik adalah tekanan terendah yang terjadi saat ventrikel beristirahat

dan mengisi ruangannya. Tekanan darah biasanya digambarkan sebagai rasio

tekanan sistolik terhadap tekanan diastolik (Oxford, 2003).

2.1.2. Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah

Menurut Kozier et al (2009), ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi

tekanan darah, diantaranya adalah:

1. Umur

Bayi yang baru lahir memiliki tekanan sistolik rata-rata 73 mmHg.

Tekanan sistolik dan diastolik meningkat secara bertahap sesuai usia

hingga dewasa. Pada orang lanjut usia, arterinya lebih keras dan kurang

fleksibel terhadap darah. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan

sistolik. Tekanan diastolik juga meningkat karena dinding pembuluh

darah tidak lagi retraksi secara fleksibel pada penurunan tekanan darah.

2. Jenis Kelamin

Berdasarkan Journal of Clinical Hypertension, Oparil menyatakan bahwa

perubahan hormonal yang sering terjadi pada wanita menyebabkan

wanita lebih cenderung memiliki tekanan darah tinggi. Hal ini juga

menyebabkan risiko wanita untuk terkena penyakit jantung menjadi lebih

tinggi (Miller, 2010).

3. Olahraga

Aktivitas fisik meningkatkan tekanan darah.

4. Obat-obatan

Banyak obat-obatan yang dapat meningkatkan atau menurunkan tekanan

darah.

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Tekanan Darah

6

5. Ras

Pria Amerika Afrika berusia di atas 35 tahun memiliki tekanan darah

yang lebih tinggi daripada pria Amerika Eropa dengan usia yang sama.

6. Obesitas

Obesitas, baik pada masa anak-anak maupun dewasa merupakan faktor

predisposisi hipertensi.

2.1.3. Dasar Pengukuran Tekanan Darah

Kecepatan aliran (velocity) suatu cairan dalam pembuluh akan

bergantung kepada isi aliran (flow) dan luas penampang pembuluh (area). Dalam

hal ini, kecepatan yang dimaksud adalah kecepatan linier yang mempunyai rumus

V= Q/A dengan V adalah kecepatan, Q adalah aliran, dan A adalah luas

penampang. Berdasarkan rumus di atas, dapat diketahui bahwa perubahan pada

luas penampang, misalnya penyempitan pembuluh, akan sangat mempengaruhi

kecepatan aliran (Singgih, 1989).

Apabila dikaji lebih jauh, kecepatan aliran berpengaruh pada tekanan sisi

(lateral pressure) pembuluh. Tekanan dalam pipa merupakan jumlah tekanan sisi

ditambah energi kinetik. Energi ini dapat dihitung berdasarkan viskositas cairan

dan kecepatan aliran (1/2 PV2 dengan P adalah viskositas cairan dan V adalah

kecepatan aliran). Kecepatan aliran yang berubah akan mempengaruhi energi

kinetik dan perubahan pada energi ini akan mempengaruhi tekanan sisi pembuluh.

Hal ini dikemukakan karena pada hakikatnya yang diukur pada pengukuran

tekanan darah secara tidak langsung adalah tekanan sisi pembuluh darah (Singgih,

1989).

2.1.4. Alat Ukur Tekanan Darah

Hingga saat ini, alat ukur yang masih diandalkan untuk mengukur

tekanan darah secara tidak langsung ialah sfigmomanometer air raksa. Kadang-

kadang dijumpai sfigmomanometer dengan pipa air raksa yang letaknya miring

terhadap bidang horisontal (permukaan air) dengan maksud untuk memudahkan

pembacaan hasil pengukuran oleh pemeriksa. Untuk sfigmomanometer jenis ini,

perlu dilakukan koreksi skala ukurannya karena seharusnya pipa air raksa tegak

lurus terhadap permukaan air (Singgih, 1989).

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Tekanan Darah

7

Menurut laporan WHO, yang penting ialah lebar kantong udara dalam

manset harus cukup lebar untuk menutupi 2/3 panjang lengan atas. Demikian pula,

panjang manset harus cukup panjang untuk menutupi 2/3 lingkar lengan atas.

Ukuran manset tersebut bertujuan agar tekanan udara dalam manset yang ditera

dengan tinggi kolom air raksa, benar-benar seimbang dengan tekanan sisi

pembuluh darah yang akan diukur (Singgih, 1989).

2.1.5. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Pada Pengukuran

Menurut Singgih (1989), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

pengukuran tekanan darah agar hasil pengukurannya lebih akurat, yaitu:

1. Ruang pemeriksaan.

Suhu ruang dan ketenangan ruang periksa yang nyaman harus

diperhatikan. Suhu ruang yang terlalu dingin dapat meningkatkan

tekanan darah.

2. Alat

Alat yang sebaiknya digunakan adalah sfigmomanometer dengan pipa air

raksa yang tegak lurus dengan bidang horisontal. Hindarkan paralaks

sewaktu membaca permukaan air raksa. Gunakan manset dengan lebar

yang dapat mencakup 2/3 panjang lengan atas serta panjang yang dapat

mencakup 2/3 lingkar lengan. Penggunaan manset yang lebih kecil akan

menghasilkan nilai yang lebih tinggi daripada yang sebenarnya.

3. Persiapan

Apabila diperlukan dan keadaan pasien memungkinkan, sebaiknya

dipersiapkan dalam keadaan basal karena biasanya hanya diperlukan nilai

tekanan darah sewaktu, maka pengaruh kerja jasmani, makan, merokok

dihilangkan terlebih dahulu sebelum diukur.

4. Jumlah pengukuran

Apabila memungkinkan, dilakukan pengukuran sebanyak tiga kali untuk

diambil nilai rata-ratanya. Apabila pasien menderita hipertensi,

dianjurkan untuk mengukur dalam 3 hari berturut-turut.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Tekanan Darah

8

5. Tempat pengukuran

Pengukuran dilakukan pada lengan kanan dan kiri bila dicurigai terdapat

peningkatan tekanan darah. Kesenjangan nilai lengan kanan dan kiri

dapat ditimbulkan karena coarctatio aorta. Posisi orang yang diperiksa

sebaiknya dalam posisi duduk. Dalam keadaan ini, lengan bawah sedikit

fleksi dan lengan atas setinggi jantung. Hindarkan posisi duduk yang

menekan perut, terutama pada orang yang gemuk. Untuk pasien

hipertensi, terutama yang sedang dalam pengobatan, perlu diukur dalam

posisi berbaring dan pada waktu 1-5 menit setelah berdiri.

6. Pemompaan dan pengempesan manset

Manset seharusnya dipompa dan dikempeskan sebelum mengukur

tekanan darah pasien. Hal ini untuk menghindarkan kesalahan nilai

karena rangsang atau reaksi obstruksi sirkulasi darah. Pemompaan

dilakukan dengan cepat hingga 20-30 mmHg di atas tekanan pada waktu

denyut arteri radialis tidak teraba. Pengempesan dilakukan dengan

kecepatan yang tetap (konstan) 2-3 mmHg tiap detik. Pengempesan yang

terlalu cepat akan mengakibatkan nilai diastolik yang lebih rendah

daripada yang sebenarnya.

2.2. Hipertensi

2.2.1. Definisi Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang menetap yang penyebabnya

masih tidak diketahui (hipertensi esensial, idiopatik, atau primer) maupun yang

berhubungan dengan penyakit yang lain (hipertensi sekunder) (Dorland, 2009).

Hipertensi juga dapat didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah

arteri di atas batas normal yang diharapkan pada kelompok usia tertentu (Oxford,

2003).

2.2.2. Klasifikasi Hipertensi

Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

1. Hipertensi primer (esensial) adalah hipertensi yang tidak diketahui

penyebabnya. Lebih dari 90 % pasien dengan hipertensi merupakan

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Tekanan Darah

9

hipertensi tipe ini. Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi

untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum ada satu

teori yang menegaskan patogenesis hipertensi ini. Faktor genetik

memegang peranan penting dalam jenis hipertensi ini. Apabila ditemukan

gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan

poligenik, orang tersebut mempunyai kecenderungan untuk memiliki

hipertensi esensial. Banyak karakteristik genetik dari gen-gen ini yang

mempengaruhi keseimbangan natrium atau mengubah ekskresi kallikrein

urin, pelepasan nitric oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan

angiotensinogen.

2. Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang merupakan akibat kelainan

penyakit ataupun obat tertentu yang bisa meningkatkan tekanan darah.

Kurang dari 10 % pasien menderita jenis hipertensi ini. Pada kebanyakan

kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit

renovaskular adalah penyebab hipertensi sekunder yang paling sering.

Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat

menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan

tekanan darah. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka

dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau

mengobati/mengoreksi kondisi penyakit yang mendasarinya merupakan

tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder ini (Muchid et al,

2006).

Berdasarkan bentuknya, hipertensi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :

1. Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) yaitu peningkatan tekanan

diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik. Biasanya ditemukan

pada anak-anak dan dewasa muda.

2. Hipertensi campuran (sistolik dan diastolik yang meninggi) yaitu

peningkatan tekanan darah pada sistolik dan diastolik.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Tekanan Darah

10

3. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) yaitu peningkatan

tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik. Umumnya

ditemukan pada usia lanjut (Phibbs, 2007).

Berdasarkan kriteria tekanan darahnya dalam JNC 7 (2003), Hipertensi

dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Prahipertensi. Tekanan darahnya dari 120/80 mmHg sampai 139/89

mmHg.

2. Hipertensi tingkat I. Tekanan darahnya dari 140/90 mmHg sampai

159/99 mmHg.

3. Hipertensi tingkat II. Tekanan darahnya melebihi 160/100 mmHg.

2.2.3. Etiologi Hipertensi

Berdasarkan Kumar et al (2004), hipertensi memiliki beberapa etiologi,

yaitu :

1. Faktor genetik. Beberapa mutasi genetik pada gen-gen pengatur tekanan

darah akan menyebabkan sebuah keluarga lebih rentan terhadap

Hipertensi daripada keluarga yang tidak memiliki riwayat hipertensi.

2. Faktor fetal. Menurut penelitian, berat badan lahir yang rendah

mempunyai risiko mengalami kejadian hipertensi yang lebih tinggi. Ini

berhubungan dengan adanya kelainan pada sistem pembuluh darahnya.

3. Faktor lingkungan :

a. Obesitas. Orang yang gemuk lebih sering mengalami kejadian hipertensi

dibandingkan dengan orang yang kurus.

b. Alkohol. Banyak penelitian menunjukkan adanya hubungan antara

meminum alkohol dengan kejadian hipertensi.

c. Asupan garam. Semakin tinggi asupan garam yang diterima oleh

seseorang, peluang untuk terjadinya hipertensi semakin besar.

d. Stres. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa stres dapat

mengakibatkan kenaikan tekanan darah.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Tekanan Darah

11

e. Mekanisme humoral. Sistim saraf pusat memegang peranan penting

dalam pengaturan tekanan darah. Jika sistem ini terganggu, maka

pengaturan tekanan darah juga terganggu.

f. Resistensi insulin. Hubungan antara diabetes dengan hipertensi telah

lama diketahui dan salah satu ciri pada diabetes adalah hiperinsulinemia

sehingga resistensi insulin juga akan memiliki hubungan dengan

terjadinya kejadian hipertensi.

2.2.4. Faktor Risiko Hipertensi

Faktor-faktor risiko yang mendorong timbulnya hipertensi adalah:

1. Faktor risiko, seperti diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas,

merokok, dan genetik.

2. Sistem saraf simpatis (tonus simpatis dan variasi diurnal).

3. Keseimbangan antara modulator, vasodilatasi, dan vasokontriksi.

4. Pengaruh sistem endokrin setempat yang berperan pada sistem renin,

angiotensin, dan aldosteron (Yogiantoro, 2009).

Gambar 2.1. Faktor-faktor yang Berpengaruh pada Pengendalian Tekanan Darah.

Dikutip dari: Yogiantoro, M., 2006. Hipertensi Esensial. In: Sudoyo, A. W., et al eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 5th ed. Jilid II. Jakarta: Interna Publishing, 1079-1085.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Tekanan Darah

12

Selain itu, menurut Sigarlaki (2006), faktor pemicu hipertensi dapat

dibedakan atas yang tidak terkontrol (seperti keturunan, jenis kelamin, dan umur)

dan yang dapat dikontrol (seperti kegemukan, kurang olahraga, merokok, serta

konsumsi alkohol dan garam). Akan tetapi, hipertensi ini dipengaruhi oleh faktor

risiko ganda, baik yang bersifat endogen seperti neurotransmiter, hormon dan

genetik, maupun yang bersifat eksogen seperti rokok, nutrisi dan stres.

2.2.5. Patogenesis Hipertensi

Menurut Yusuf (2008), tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung

dan tahanan perifer. Di dalam tubuh, terdapat sistem yang berfungsi mencegah

perubahan tekanan darah secara akut. Sistem tersebut ada yang langsung bereaksi

ketika terjadi perubahan tekanan darah dan ada juga yang bereaksi lebih lama.

Sistem yang cepat tersebut antara lain refleks kardiovaskular melalui baroreseptor,

refleks kemoreseptor, respon iskemia susunan saraf pusat, dan refleks yang

berasal dari atrium, arteri pulmonalis, dan otot polos. Sistem lain yang kurang

cepat merespon perubahan tekanan darah melibatkan respon ginjal dengan

pengaturan hormon angiotensin dan vasopresor.

Pada hipertensi primer terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi

tekanan darah berupa faktor genetik yang menimbulkan perubahan pada ginjal

dan membran sel, aktivitas saraf simpatis, dan sistem renin angiotensin yang

mempengaruhi keadaan hemodinamik, asupan natrium dan metabolisme natrium

dalam ginjal serta obesitas dan faktor endotel.

Pada tahap awal hipertensi primer, curah jantung meninggi sedangkan

tahanan perifer normal yang disebabkan peningkatan aktivitas simpatis. Pada

tahap selanjutnya, curah jantung menjadi normal sedangkan tahanan perifer yang

meninggi karena refleks autoregulasi melalui mekanisme konstriksi katup

prakapiler. Kelainan hemodinamik ini juga diikuti dengan perubahan struktur

pembuluh darah (hipertrofi pembuluh darah) dan jantung (penebalan dinding

ventrikel).

Stres dengan peninggian aktivitas simpatis dan perubahan fungsi

membran sel dapat menyebabkan konstriksi fungsional dan hipertrofi struktural.

Faktor lain yang berperan adalah endotelin yang bersifat vasokonstriktor.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Tekanan Darah

13

Berbagai promoter pressor-growth bersamaan dengan kelainan fungsi membran

sel yang mengakibatkan hipertrofi vaskular akan menyebabkan peninggian

tahanan perifer serta tekanan darah.

Mengenai kelainan fungsi membran sel, Garay (1990) dalam Yusuf

(2008) telah membuktikan adanya defek transportasi ion Na+ dan Ca2+ untuk

melewati membran sel. Defek tersebut dapat disebabkan oleh faktor genetik atau

peninggian hormon natriuretik akibat peninggian volume intravaskular. Selain itu,

terjadi perubahan intraselular dimana kenaikan Na+ intraselular akibat

penghambatan pompa Na+ akan meningkatkan ion Ca2+ intraselular sehingga

menyebabkan perubahan dinding pembuluh darah maupun konstriksi fungsional

yang mengakibatkan peninggian tahanan darah dan tekanan darah yang menetap.

Sistem renin angiotensin aldosteron juga memegang peranan penting

dalam penyakit ini dimana renin akan melepaskan angiotensin I dan angiotensin

converting enzym akan mengkonversi angiotensin I menjadi angiotensin II yang

mempunyai efek vasokonstriksi kuat dan angiotensin II juga menyebabkan sekresi

aldosteron yang berfungsi meretensi Na+ dan air.

Studi pasien Framingham yang dilakukan oleh The National Heart, Lung

and Blood Institute (NHLBI) juga melaporkan adanya korelasi antara gangguan

toleransi glukosa dengan hipertensi. Selain itu, ada juga yang melaporkan bahwa

pada pasien hipertensi, kadar insulin darah meningkat setelah dilakukan

pembebanan glukosa pada tes toleransi glukosa oral. Pada keadaan

hiperinsulinemia, terjadi pengaktifan saraf simpatis, peningkatan reabsorpsi

natrium oleh tubulus proksimal dan gangguan transportasi membran sel berupa

penurunan pengeluaran natrium dari dalam sel akibat kelainan pada sistem Na+/K+

ATPase dan Na+/H+ exchanger dan terganggunya pengeluaran ion Ca2+ dari dalam

sel. Akibatnya, terjadi peningkatan sensitivitas otot polos pembuluh darah

terhadap zat vasokonstriktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan

kontraktilitas. Sementara itu, kadar ion H+ yang rendah dalam sel akan

meningkatkan sintesis protein, proliferasi sel dan hipertrofi pembuluh darah.

Faktor lingkungan (stres psikososial, obesitas dan kurang olahraga) juga

berpengaruh pada timbulnya hipertensi. Olahraga yang teratur serta isotonik akan

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Tekanan Darah

14

menurunkan tahanan perifer sehingga tidak terjadi peningkatan tekanan darah.

Selain itu, rokok dan alkohol juga memiliki hubungan dengan kejadian hipertensi

dimana pada orang yang peminum alkohol serta perokok akan lebih mudah

menderita hipertensi dibandingkan dengan orang yang tidak merokok atau

meminum alkohol.

Semua ini akan mengakibatkan peningkatan tahanan perifer sehingga

akan terjadi peningkatan tekanan darah. Paparan yang terus menerus ini akan

mengakibatkan seseorang menderita hipertensi. Apabila tidak diobati dan dijaga,

orang tersebut akan menderita berbagai komplikasi yang akan mengakibatkan

kematian.

Gambar 2.2. Mekanisme Patofisiologi dari Hipertensi.

Dikutip dari: Muchid, A., et al, 2006. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan

2.2.6. Diagnosis Hipertensi

Data diperoleh melalui anamnesis mengenai keluhan pasien, riwayat

penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin,

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Tekanan Darah

15

dan prosedur diagnostik lainnya. Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi

pengukuran tekanan darah yang benar, pemeriksaan funduskopi, perhitungan BMI

(Body Mass Index) yaitu berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan (meter

kuadrat), auskultasi arteri karotis, abdominal, dan bruit arteri femoralis. Selain itu,

pemeriksaan juga meliputi palpasi pada kelenjar tiroid, pemeriksaan lengkap

jantung dan paru-paru, pemeriksaan abdomen untuk melihat pembesaran ginjal,

massa intraabdominal dan pulsasi aorta yang abnormal, palpasi ekstremitas bawah

untuk melihat adanya edema dan denyut nadi, serta penilaian neurologis.

Hipertensi seringkali disebut silent killer karena pasien dengan hipertensi

esensial biasanya tidak ada gejala (asimtomatik). Penemuan fisik yang utama

adalah meningkatnya tekanan darah. Pengukuran rata-rata dua kali atau lebih

dalam waktu dua kali kontrol dilakukan untuk mendiagnosis hipertensi. Tekanan

darah ini digunakan untuk mendiagnosis dan mengklasifikasikan sesuai dengan

tingkatnya.

Pemeriksaan laboratorium rutin yang direkomendasikan sebelum

memulai terapi antihipertensi adalah urinalisis, kadar gula darah dan hematokrit,

kalium, kreatinin, kalsium serum, profil lemak (setelah puasa 9–12 jam) termasuk

HDL, LDL dan trigliserida, serta elektrokardiogram. Pemeriksaan pilihan yang

biasanya dilakukan adalah pengukuran ekskresi albumin urin atau rasio

albumin/kreatinin.

Selain itu, melalui anamnesis, didapatkan riwayat penyakit untuk

membedakan penyebab yang mungkin. Anamnesis dan pemeriksaan fisik harus

meliputi hal-hal, seperti otak (stroke, TIA, dementia), mata (retinopati), jantung

(hipertropi ventrikel kiri, angina atau pernah infark miokard, pernah

revaskularisasi koroner), ginjal (penyakit ginjal kronis) dan penyakit arteri perifer

(Muchid et al, 2006).

2.3. Kecemasan

2.3.1. Definisi Kecemasan

Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya anxiety berasal dari Bahasa

Jerman dari kata angst yang artinya ketakutan. Secara konseptual, kecemasan

berarti suatu perasaan emosional yang seperti rasa takut (Hamlin et al, 1986).

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Tekanan Darah

16

Menurut Post (1978) dalam Trismiati (2004), kecemasan adalah kondisi

emosional yang tidak menyenangkan yang ditandai oleh perasaan-perasaan

subjektif seperti ketegangan, ketakutan, kekhawatiran dan juga ditandai dengan

aktifnya sistem saraf pusat. Freud juga menggambarkan dan mendefinisikan

kecemasan sebagai suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yang diikuti oleh

reaksi fisiologis tertentu, seperti perubahan detak jantung dan pernafasan.

Menurut Freud, kecemasan melibatkan persepsi tentang perasaan yang tidak

menyenangkan dan reaksi fisiologis. Dengan kata lain, kecemasan adalah reaksi

atas situasi yang dianggap berbahaya.

Lefrancois (1980) juga menyatakan bahwa kecemasan merupakan reaksi

emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan ketakutan. Hanya saja,

menurut Lefrancois, pada kecemasan, bahaya bersifat kabur, misalnya ada

ancaman, adanya hambatan terhadap keinginan pribadi, adanya perasaan-perasaan

tertekan yang muncul dalam kesadaran. Tidak jauh berbeda dengan pendapat

Lefrancois adalah pendapat Johnston yang menyatakan bahwa kecemasan dapat

terjadi karena kekecewaan, ketidakpuasan, perasaan tidak aman atau adanya

permusuhan dengan orang lain. Kartono (1981) juga mengungkapkan bahwa

neurosa kecemasan ialah kondisi psikis dalam ketakutan dan kecemasan yang

kronis, walaupun tidak ada rangsangan yang spesifik. Menurut Wignyosoebroto

(1981), ada perbedaan mendasar antara kecemasan dan ketakutan. Pada ketakutan,

yang menjadi sumber penyebabnya selalu dapat ditunjuk secara nyata, sedangkan

pada kecemasan, sumber penyebabnya tidak dapat ditunjuk dengan tegas, jelas

dan tepat (Trismiati, 2004).

Menurut Kaplan, Saddock, dan Grebb (1994) dalam Fausiah et al (2008),

kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam dan

merupakan hal normal yang terjadi yang disertai perkembangan, perubahan,

pengalaman baru, serta dalam menemukan identitas diri dan hidup.

2.3.2. Tingkat Kecemasan

Menurut Dalami et al (2009), tingkat kecemasan dapat dibagi menjadi:

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Tekanan Darah

17

1. Kecemasan Ringan

Kecemasan ringan adalah perasaannya merasa ada sesuatu yang berbeda

dan membutuhkan perhatian khusus. Stimulasi sensori meningkat dan

membantu individu memfokuskan perhatian untuk belajar, bertindak,

menyelesaikan masalah, merasakan, dan melindungi dirinya sendiri.

Kecemasan ringan ini berhubungan dengan ketegangan akan peristiwa

kehidupan sehari-hari. Pada tingkat ini, lahan persepsi melebar dan

individu akan berhati-hati dan waspada.

a. Respon fisiologis

• Sesekali nafas pendek

• Nadi dan tekanan darah naik

• Gejala ringan pada lambung

• Muka berkerut dan bibir bergetar

• Ketegangan otot ringan

• Rileks atau sedikit gelisah

b. Respon kognitif

• Mampu menerima rangsang yang kompleks

• Konsentrasi pada masalah

• Menyelesaikan masalah secara efektif

• Perasaan gagal sedikit

• Waspada dan memperhatikan banyak hal

• Terlihat tenang dan percaya diri

• Tingkat pembelajaran optimal

c. Respon perilaku dan emosi

• Tidak dapat duduk tenang

• Tremor halus pada tangan

• Suara kadang-kadang meninggi

• Sedikit tidak sabar

• Aktivitas menyendiri

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Tekanan Darah

18

2. Kecemasan Sedang

Kecemasan sedang merupakan perasaan yang mengganggu dan merasa

ada sesuatu yang benar-benar berbeda. Individu menjadi gugup atau

agitasi, misalnya, seorang wanita mengunjungi ibunya untuk pertama kali

dalam beberapa bulan dan merasa bahwa ada sesuatu yang sangat

berbeda. Ibunya mengatakan bahwa berat badannya turun banyak tanpa

ia berupaya menurunkannya. Pada tingkat ini, lahan persepsi terhadap

lingkungan menurun. Individu lebih memfokuskan pada hal yang penting

saat itu dan menyampingkan hal yang lain.

a. Respon fisiologis

• Ketegangan otot sedang

• Tanda-tanda vital meningkat

• Pupil dilatasi, mulai berkeringat

• Sering mondar-mandir, memukulkan tangan

• Suara berubah: suara bergetar, nada suara tinggi

• Kewaspadaan dan ketegangan meningkat

• Sering berkemih, sakit kepala, pola tidur berubah, nyeri punggung

b. Respon kognitif

• Lapang persepsi menurun

• Tidak perhatian secara selektif

• Fokus terhadap stimulus meningkat

• Rentang perhatian menurun

• Penyelesaian masalah menurun

• Pembelajaran berlangsung dengan memfokuskan

c. Respon perilaku dan emosi

• Tidak nyaman

• Mudah tersinggung

• Kepercayaan diri goyah

• Tidak sadar

• Gembira

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Tekanan Darah

19

3. Kecemasan Berat

Kecemasan berat dialami ketika individu yakin bahwa ada sesuatu yang

berbeda dan ada ancaman. Dia memperlihatkan respon takut dan stres.

Ketika individu mencapai tingkat tertinggi kecemasan dan panik berat,

semua pemikiran rasional berhenti dan individu tersebut mengalami

respon fight, flight atau freeze yakni, kebutuhan untuk pergi secepatnya,

tetap ditempat dan berjuang, atau menjadi beku atau tidak dapat

melakukan sesuatu.

a. Respon fisiologis

• Ketegangan otot berat

• Hiperventilasi

• Kontak mata buruk

• Pengeluaran keringat meningkat

• Bicara cepat, nada suara tinggi

• Tindakan tanpa tujuan dan serampangan

• Rahang menegang, menggetakkan gigi

• Kebutuhan ruang gerak meningkat

• Mondar-mandir, berteriak

• Meremas tangan, gemetar

b. Respon kognitif

• Lapang persepsi terbatas

• Proses berpikir terpecah-pecah

• Sulit berpikir

• Penyelesaian masalah buruk

• Tidak mampu mempertimbangkan informasi

• Hanya memperhatikan ancaman

• Praokupasi dengan pikiran sendiri

• Egosentris

c. Respon perilaku dan emosi

• Sangat cemas

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Tekanan Darah

20

• Agitasi

• Takut

• Bingung

• Merasa tidak adekuat

• Menarik diri

• Penyangkalan

• Ingin bebas

2.3.3. Faktor Predisposisi Kecemasan

Menurut Dalami et al (2009), faktor predisposisi kecemasan dapat dibagi

menjadi:

1. Teori Psikoanalitik

Kecemasan merupakan konflik emosional antara dua elemen

kepribadian, yaitu ide, ego dan super ego. Ide melambangkan dorongan

insting dan impuls primitif. Super ego mencerminkan hati nurani

seseorang dan dikendalikan oleh norma budaya seseorang. Ego

digambarkan sebagai mediator antara ide dan super ego. Kecemasan

berfungsi untuk memperingatkan ego tentang suatu budaya yang perlu

segera diatasi.

2. Teori Interpersonal

Kecemasan terjadi dari ketakutan akan penolakan interpersonal. Hal ini

juga dihubungkan dengan trauma pada masa pertumbuhan, seperti

kehilangan dan perpisahan. Individu yang mempunyai harga diri rendah

biasanya sangat mudah mengalami kecemasan yang berat.

3. Teori Perilaku

Kecemasan merupakan hasil frustasi dari segala sesuatu yang

mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang

diinginkan. Teori ini meyakini bahwa manusia yang pada awal

kehidupannya dihadapkan pada rasa takut yang berlebihan akan

menunjukkan kemungkinan kecemasan yang berat pada kehidupan

dewasanya.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Tekanan Darah

21

4. Kajian Biologis

Otak mengandung reseptor spesifik untuk benzodiazepin. Reseptor ini

diduga berperan dalam membuat kecemasan.

2.3.4. Klasifikasi Kecemasan

Freud dalam Andri et al (2007) mengemukakan tiga klasifikasi

kecemasan yaitu:

1. Kecemasan Realitas

Kecemasan ini merupakan kecemasan atau rasa takut akan bahaya-

bahaya nyata di dunia luar, seperti banjir, gempa, runtuhnya gedung-

gedung. Kecemasan realitas ini merupakan yang paling pokok karena

dari kedua kecemasan yang lain, kecemasan neurotis dan moral, berasal

dari kecemasan yang realistis ini. Kecemasan realitas yang dialami oleh

ibu hamil adalah takut mati, trauma kelahiran, perasaan bersalah atau

berdosa, dan sebagainya.

2. Kecemasan Neurotis.

Kecemasan ini timbul karena pada masa kecil, terjadi konflik antara

pemuasan instingtual dan realitas. Pada masa kecil, terkadang beberapa

kali, seorang anak mengalami hukuman dari orang tua akibat pemenuhan

kebutuhan id yang implusif terutama yang berhubungan dengan

pemenuhan insting seksual atau agresif. Anak biasanya dihukum karena

secara berlebihan mengekspresikan impuls seksual atau agresifnya itu.

Kecemasan atau ketakutan itu berkembang karena adanya harapan untuk

memuaskan impuls id tertentu. Kecemasan neurotik yang muncul adalah

ketakutan akan terkena hukuman karena memperlihatkan perilaku

impulsif yang didominasi oleh id. Hal yang perlu diperhatikan adalah

ketakutan terjadi bukan karena ketakutan terhadap insting tersebut tapi

merupakan ketakutan atas apa yang akan terjadi bila insting tersebut

dipuaskan. Konflik yang terjadi adalah antara id dan ego yang diketahui

mempunyai dasar dalam realitas.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Tekanan Darah

22

3. Kecemasan Moral

Kecemasan ini merupakan hasil dari konflik antara id dan super ego.

Secara dasar, ini merupakan ketakutan akan suara hati individu sendiri.

Ketika individu termotivasi untuk mengekspresikan impuls instingtual

yang berlawanan dengan nilai moral yang terdapat dalam super ego

individu itu, maka ia akan merasa malu atau bersalah. Pada kehidupan

sehari-hari, ia akan menemukan dirinya sebagai conscience stricken.

Kecemasan moral menjelaskan bagaimana berkembangnya super ego.

Biasanya individu dengan kata hati yang kuat akan mengalami konfllik

yang lebih hebat daripada individu yang mempunyai kondisi toleransi

moral yang lebih longgar. Kecemasan moral juga mempunyai dasar

dalam kehidupan nyata. Anak-anak akan dihukum bila melanggar aturan

yang ditetapkan orang tua mereka. Orang dewasa juga akan mendapatkan

hukuman jika melanggar norma yang ada di masyarakat. Rasa malu dan

perasaan bersalah menyertai kecemasan moral. Dapat dikatakan bahwa

yang menyebabkan kecemasan adalah kata hati individu itu sendiri.

Freud mengatakan bahwa super ego dapat memberikan balasan yang

setimpal jika ada pelanggaran terhadap aturan moral.

2.3.5. Diagnosis Kecemasan

Menurut Dacey (2000), dalam mengenali gejala kecemasan dapat ditinjau

melalui tiga komponen, yaitu:

1. Komponen psikologis: kegelisahan, gugup, tegang, cemas, rasa tidak

aman, takut, dan cepat terkejut.

2. Komponen fisiologis: jantung berdebar, keringat dingin pada telapak

tangan, tekanan darah tinggi (mudah emosi), respon kulit terhadap aliran

galvanis (sentuhan dari luar) berkurang, gerakan peristaltik (gerakan

berulang-ulang tanpa disadari) bertambah, gejala somatik atau fisik (otot

dan sensorik), masalah pernafasan, masalah pencernaan, masalah

perkemihan dan kelamin.

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Tekanan Darah

23

3. Komponen sosial: sebuah perilaku yang ditunjukkan oleh individu di

lingkungannya. Perilaku itu dapat berupa tingkah laku (sikap) dan

gangguan tidur.

2.4. Korelasi Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi terhadap

Kecemasan

Korelasi tekanan darah pada pasien hipertensi terhadap kecemasan

memang sedikit sulit untuk dijelaskan. Hal ini dikarenakan belum banyaknya

penelitian yang meneliti dan menjelaskan korelasi tekanan darah pada pasien

hipertensi terhadap kecemasan secara jelas. Menurut Feng et al (2012), beberapa

penelitian menunjukkan adanya korelasi tekanan darah pada pasien hipertensi

terhadap kejadian kecemasan. Salah satu mekanismenya adalah melalui

keterlibatan angiotensin II yang dimediasi oleh Hypothalamic Pituitary Adrenal

(HPA) dan sympatho-adrenal axis. Selain diekspresikan oleh ginjal, angiotensin II

ini juga ada di otak. Efek angiotensin II ini ditentukan oleh reseptornya, yaitu

AT1R dan AT2R. AT1R ini diekspresikan di organ subfornical, paraventricular

nucleus, nucleus tractus solitarius, HPA axis, dan amygdala. AT1R inilah yang

memegang peranan penting dalam korelasi tekanan darah pada pasien hipertensi

terhadap kecemasan.

Seperti yang telah diketahui sebelumnya, pengeluaran renin yang dapat

disebabkan oleh aktivasi saraf simpatis, penurunan tekanan arteri ginjal, dan

penurunan asupan garam ke tubulus distal akan melepaskan angiotensin I yang

selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II oleh angiotensin converting

enzym. Angiotensin II yang terus menerus dihasilkan menyebabkan semakin

meningkatkan tahanan perifer melaui vasokonstriksi dan meningkatnya retensi air

dan garam melalui pengaruh aldosteron sehingga tekanan darah semakin

meninggi.

Pengeluaran angiotensin II ini tidak hanya mempengaruhi tekanan darah

bahkan juga akan mempengaruhi respon kecemasan. Pengeluaran angiotensin II di

otak yang meningkatkan aktivitas HPA axis akan meningkatkan respon stres dan

cemas. Angiotensin II yang ada di perifer juga akan meningkatkan respon cemas

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Tekanan Darah

24

melalui pengaktifan AT1R di otak depan. Selain itu, Dorsomedial Hypothalamus

(DMH) dan amygdala juga mengekspresikan AT1R. DMH juga memegang

peranan penting dalam respon panik yang diinduksi oleh laktat atau angiotensin II

melalui jalur osmosensitive periventricular dan sinyalnya akan diteruskan ke otak

depan dimana sebagai tempat untuk merespon cemas. Oleh karena itu, angiotensin

II baik sentral maupun perifer memiliki keterlibatan dalam gangguan kecemasan

yang dimediasi oleh AT1R.

Hubungan ini menunjukkan bahwa pasien hipertensi yang mengalami

kecemasan akan semakin meningkat tekanan darahnya sehingga akan

menyebabkan pasien tersebut mengalami komplikasi hipertensi lebih dini dan

terjadi kegagalan terapi secara fisik dan psikis.

Gambar 2.3. Korelasi Tekanan Darah terhadap Kecemasan

Dimodifikasi dari: Feng L., et al, 2012. The Link Between Angiotensin II-Mediated Anxiety and Mood Disorders with NADPH Oxidase-Induced Oxidative Stress. Int. J. Physiol. Pathophysiol. Pharmacol. 4 (1): 28-35. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22461954 [Accessed 27 April 2012]

2.5. GAD (Generalized Anxiety Disorders) 7

Skala pengukuran kecemasan ini pertama kali ditemukan oleh Robert L.

Spitzer bersama peneliti lain pada tahun 2006. Skala pengukuran ini dibuat

dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya kelainan GAD dan sampai saat itu,

belum ada pengukuran yang sederhana yang bisa mengukur GAD secara cepat.

Pada saat itu, pengukuran kecemasan sangat jarang dilakukan oleh para dokter

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Tekanan Darah

25

karena pengukuran yang ada pada saat itu sangatlah panjang sehingga membuang

waktu para dokter, melelahkan dan jarang berguna sebagai pengukuran diagnostik

dan tingkat keparahan kelainan tersebut. Berdasarkan masalah tersebut, Robert

kemudian merancang beberapa pertanyaan dasar yang diambil dari skala GAD

terdahulu sesuai dengan tanda-tanda yang ada pada pasien GAD yang kemudian

diberikan kepada 2740 pasien yang dipilih dari 15 klinik di Amerika Serikat dan

dibandingkan dengan diagnosis yang telah dilakukan oleh dokter. Pada akhirnya,

skala pengukuran ini diakui kesahihannya dan kemampuannya dalam menentukan

diagnostik dan keparahan dari pasien tersebut. Robert memberi nama

kuesionernya dengan nama GAD 7.

Sesuai dengan namanya, kuesioner GAD 7 ini terdiri atas 7 pertanyaan.

Pilihan yang ada pada setiap pertanyaan adalah “tidak pernah”, “beberapa hari”,

“lebih dari separuh waktu yang dimaksud”, dan “hampir setiap hari”. Skornya

untuk masing-masing pertanyaan adalah 0-3 sehingga rentang skornya adalah dari

0 sampai 21. Pertanyaan yang ada dalam kuesioner tesebut adalah dalam 2

minggu ini, apakah pasien :

1. Merasa gelisah, cemas atau amat tegang

2. Tidak mampu menghentikan atau mengendalikan rasa khawatir

3. Terlalu mengkhawatirkan berbagai hal

4. Sulit untuk santai

5. Sangat gelisah sehingga sulit untuk duduk diam

6. Menjadi mudah jengkel atau lekas marah

7. Merasa takut seolah-olah sesuatu yang mengerikan mungkin terjadi

Interpretasi GAD 7 ini adalah jika skornya 0-7, maka tidak ada kelainan

dan jika skornya di atas 8, maka seseorang memiliki kemungkinan untuk memiliki

kelainan kecemasan. Selain itu, kuesioner ini juga bisa mengukur tingkat

keparahan dari kecemasan seseorang dimana jika skornya 0-4, orang tersebut

memiliki kecemasan minimal, skor 5-9 untuk kecemasan ringan, skor 10-14 untuk

kecemasan sedang dan skor 15 ke atas untuk kecemasan berat.

Universitas Sumatera Utara