Upload
khairunnisaicha
View
21
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Perbandingan Beberapa Metoda Praktis Polimerisasi
Hamidah Harahap
Renita Manurung
Program Studi Teknik Kimia
Fakultas Teknik
Universitas Sumatera Utara
1. POLIMERISASI CURAH (BULK POLYMERIZATION)
Cara yang langsung dan paling sederhana untuk mengubah monomer menjadi
polimer adalah polimerisasi curah (bulk), atau polimerisasi massa (mass
polymerization). Biasanya umpan untuk proses ini terdiri dari monomer, sejenis
inisiator yang dapat larut dalam monomer, dan suatu agen pemindah rantai (chain-
transfer agent).
Gambar Diagram Proses Polimerisasi Metil Metakrilat dengan Benzoil Peroksida Pada
Temperatur 50C dan Berbagai Konsentrasi Monomer di Dalam Benzen
Beberapa parsoalan serius dapat timbul dalam polimerisasi curah ini, terutama
bila melibatkan radikal bebas (free radical bulk polymerization). Salah satu persoalan
tersebut ditunjukkan pada gambar di atas yang memperlihatkan peristiwa polimerisasi
matil matakrilat (Lucite, Plexiglass, Perspex) dengan konsentrasi yang bervariasi, di
dalam benzen yang merupakan pelarut inert. Reaksi dipertahankan pada temperatur
tetap. Pada konsentrasi monomer yang lebih tinggi, laju polimerisasi mengalami
percepatan yang berbeda, yang tidak sesuai dengan pola kinetik klasik. Fenomena ini
dikenal dengan berbagai istilah : autoacceleration, efek gel (gel effect), atau efek
Tromsdorff.
Alasan-alasan yang menjelaskan gejala di atas berkaitan dengan perbedaan
antara tahap propagasi dan tahap terminasi, serta larutan polimer kental yang memiliki
viskositas sangat tinggi (misalnya 106 poise). Pada tahap propagasi sebuah molekul
monomer yang kecil dan suatu ujung rantai polimer yang sedang tumbuh saling
mendekat dan kemudian bergabung, sedangkan pada tahap terminasi ujung-ujung dua
buah rantai yang sedang tumbuh saling bergabung. Pada konsentrasi polimer yang
tinggi, ujung-ujung rantai polimer yang sedang tumbuh akan sangat sulit menyeret
rantainya melalui massa perintang (entangled mass) berupa rantai-rantai polimer yang
sudah selesai tumbuh (dead polymer chains) jauh melebihi kesulitan yang dialami
1
e-USU Repository 2005 Universitas Sumatera Utara
sebuah molekul monomer sewaktu melewati campuran reaksi. Jadi, laju reaksi
terminasi dibatasi bukan oleh sifat dasar reaksi kimianya melainkan oleh laju difusi
dari reaktan yang akan bereaksi, dengan demikian proses ini dikendalikan oleh
peristiwa ditusi (diffusion controned). Pada konsentrasi polimer yang sangat tinggi
dan temperatur yang lebih rendah ketimbang temperatur pada saat rantai polimer
menjadi immobile (Tg), tahap propagasi juga dikendalikan oleh peristiwa difusi,
hingga grafik konversi terhadap waktu menjadi datar.
Persoalan-persoalan di atas makin dipersulit oleh sifat inheren dari campuran
reaksi. Monomer-monomer vinyl memiliki panas polimerisasi eksotermis yang agak
tinggi, biasanya antara -10 kcal/gmol dan -12 kcal/mol. Sistem-sistem organik juga
memiliki kapasitas panas dan konduktifrtas termal yang rendah, yaitu sekitar setengah
dari sistem encer. Persoalan paling besar adalah, viskositas yang sangat tinggi
menyebabkan perpindahan panas konveksi tidak efektif. Akibat dari semua itu,
koefisien pindah panas keseluruhan (overall heat-transfer coefficients) biasanya
kurang dari 1 Btu/jam-ft2 0F, sehingga sulit untuk memindahkan panas yang
dihasilkan reaksi. Hal ini menyebabkan kenaikan temperatur dan selanjutnya kenaikan
laju reaksi serta peningkatan panas, yang pada akhirnya dapat menimbulkan bencana.
Sekedar mengutip pernyataan Schildknecht tentang polimerisasi curah berskala
laboratorium : "Jika suatu polimerisasi curah dari monomer yang reaktif ingin
dilaksanakan secara cepat dan sempurna, peneliti harus bersiap-siap kehilangan
peralatannya, polimernya, atau bahkan dirinya sendiri".
lIIustrasi: Kenaikan temperatur maksimum yang mungkin dalam polimerisasi batch
dapat dihitung atas dasar asumsi tidak ada panas yang dipindahkan dari sistem, atau
kenaikan temperatur terjadi secara adiabatik. Perkiraan kenaikan temperatur adiabatik
untuk polimerisasi curah dari stiren, Hp = -16,4 kkal/gmol, berat molekul = 104.
Analisa : Polimerisasi 1 mol stiren melepaskan 16,400 cal (asumsi konversi
sempurna). Tanpa perpindahan panas, seluruh energi akan digunakan untuk
memanaskan campuran reaksi. Kapasitas panas senyawa-senyawa organik seringkali
sulit ditentukan, dan karena massa reaksi sedang berubah dari monomer menjadi
polimer yang secara umum memiliki perbedaan kapasitas panas, kapasitas panas
massa reaksi berubah dengan konversi dan mungkin juga dengan temperatur. Sebagai
pendekatan, kapasitas panas sebagian besar sistem organik cair dapat dianggap
sebesar 0,5 cal/g0C sehingga:
16.400
315C
Tmaks =
(104)(0,5)
Perlu diingat bahwa titik didih normal stiren adalah 146C.
Masalah-masalah yang disebutkan di atas dapat dielakkan dengan beberapa cara :
a. Paling tidak satu dimensi dari massa reaksi harus kecil, sehingga panas dapat
dikonduksikan keluar. Lembaran-lembaran polimetilmetakrilat dicetak, di antara
lempengan gelas, pada ketebalan maksimum sekitar 1 inci.
b. Laju reaksi diusahakan serendah mungkin dengan memilih temperatur dan
konsentrasi inisiator yang rendah. Pendekatan ini sebenarnya tidak
menguntungkan secara ekonomis.
c. Penggunaan sirup, bukan monomer murni. Sirup yang dimaksud adalah larutan
polimer dalam monomer. Sirup dapat dibuat dengan dua cara : (1) dengan
membiarkan monomer mengalami konversi parsial dalam sebuah ketal, atau (2)
2
e-USU Repository 2005 Universitas Sumatera Utara
dengan melarutkan polimer yangn belum dicetak ke dalam monomernya. Dengan
penggunaan sirup, seolah-olah sebagian konversi sudah dilaksanakan sehingga
sebagian pembangkitan panas terpotong dan konsentrasi monomer sisa pada akhir
polimerisasipun menjadi lebih rendah. Densitas suatu massa reaksi meningkat
dengan orde 10 - 20% pada selang konversi polimerisasi 0% - 100 %, sehingga
penggunaan sirup memberikan keuntungan lain yaitu mengurangi pengerutan
(shrinkage) yang dapat terjadi pada saat pencetakan polimer.
d. Pelaksanaan reaksi secara kontinu, dengan permukaan pindah panas per unit
konversi yang luas.
Polimerisasi curah pada umumnya digunakan untuk memperoleh benda-benda
dengan bentuk yang diinginkan dengan melaksanakan polimerisasi langsung dalam
cetakan. Beberapa contoh misalnya pengecoran, potting, dan pengkapsulan
(encapsulation) komponen-komponen elektrik dan pengresapan (impregnation)
bahan-bahan penguat (reinforcing agents) yang dilakukan dengan polimerisasi.
Polimerisasi ini juga digunakan secara luas untuk memproduksi resin-resin
termosetting, yang dilaksanakan sampai suatu tingkat konversi mendekati titik gel
(gel point) dalam reaktor. Proses sambung-silang (crosslinking) berlanjut sampai
selesai di dalam cetakan.
Polimerisasi curah kontinu menjadi makin penting dalam produksi senyawa-
senyawa bahan cetak yang termoplastik. Suatu proses curah sinambung ditunjukkan
oleh gambar di bawah ini.
Gambar Diagram Proses Polimerisasi Curah dari Stiren
Konversi dilaksanakan sampai 40% deism suatu tangki berpengaduk. Massa
reaksi kernudian dilewatkan menuruni suatu menara dengan temperatur yang
meningkat, untuk menjaga viskositas pad a tingkat yang maish dapat dikendalikan den
untuk memperbesar konversi. Menara tersebut dapat berupa kolom sederhana yang
memanfaatkan gravitasi untuk mengalirkan campuran reaksi, atau dapat juga
dilengkapi dengan bilah-bilah spiral yang berputar pelan mengeruk dinding menara
sehingga membantu terjadinya peerpindahan panas den mendorong massa reaksi ke
bawah. Massa reaksi diumpankan dari menara ke suatu ekstruder pada konversi yang
lebih besar dari 95%. Konversi tambahan terjadi dalam ekstruder, dan suatu sistem
vakum menghisap keluar mpnomer tak bereaksi yang dapat didaur ulang. Helaian
polomer leleh yang keluar dan ekstruder lalu didinginkan dengan air, dipotong-potong
3
e-USU Repository 2005 Universitas Sumatera Utara
menjadi pelet kasar berukuran 1/8 x 1/8 x 1/8 inci dan kemudian dijual kepada
pemroses lanjut sebagai "bubuk" bahan cetakan (molding powder). Lembaran-
lembaran (sheets) juga dicetak secara kontinu dari sirup di antara ban beralan yang
dibuat dari lembaran logam.
Keunggulan polimerisasi curah :
1. Karena hanya melibatkan monomer, inisiator, den mungkin bahan pemindah
rantai (chain-transfer agents), dengan polimerisasi ini dapat diperoleh polimer
semumi mungkin. Hal ini penting dalam aplikasi di bidang listrik dan optik.
2. Berbagai benda langsung dapat dicetak sebaik mungkin. Proses ini merupakan
satu-satunya cara mendapatkan benda-benda cetakan seperti itu tanpa berbagai
perlakuan terhadap bahan yang lebih besar.
3. Polimerisasi curah memberikan yield per volum reaktor paling besar.
Kekurangan polimerisasi curah hujan antara lain:
1. Seringkali sulit dikendalikan.
2. Untuk mengendalikannya, proses harus dilaksanakan perlahan, yang secara
ekonomis jelas tidak menguntungkan.
3. Sulit mendapatkan sekaligus laju dan panjang rata-rata rantai yang tinggi karena
efek-efek penghambat dari konsentrasi inisiator.
4. Akan sulit untuk menghilangkan sisa monomer yang tidak bereaksi. Hal ini akan
sangat penting, misalnya, jika polimer yang dihasilkan akan digunakan dalam
proses-proses yang melibatkan persentuhannya dengan makanan.
Sebagian besar polimerisasi curah dilaksanakan secara homogen. Tetapi jika
polimer yang dihasilkan tidak larut dalam monomernya, dan mengendap pada saat
reaksi berlangsung, proses tersebut kadang-kadang disebut sebagai polimerisasi curah
heterogen (heterogeneous bulk) atau polimerisasi pengendapan (precipitation
polymerization). Dua contoh polimerisasi semacam itu misalnya polyakrilonitril dan
polyvinyl chlorida (PVC). PVC diproduksi secara komersial dengan proses curah
heterogen, yang memungkinkan pengontrolan ukuran partikel dan porositas untuk
absorpsi plasticizer yang dapat digolongkan dalam kategori ini pula.
2. POLIMERISASI LARUTAN
Penambahan pelarut inert pada polimerisasi curah mengurangi berbagai
persoalan yang timbul dalam sistem tersebut. Hal itu mengurangi kecenderungan
autoacceleration pada adisi radikal babas. Pengencer inert meningkatkan kapasitas
panas campuran reaksi tanpa memberikan kontribusi pada pembangkitan panas, dan
juga mengurangi viskositas massa reaksi pada konversi tertentu. Selain itu, panas
polimerisasi dapat dihilangkan secara mudah dan efisien dengan merefluks pelarut
tersebut. Jadi, bahaya akibat reaksi yang berlebihan dapat dihindari.
Illustrasi : Perkirakan kenaikan temperatur adiabatik untuk polimerisasi larutan 20%
berat stiren dalam suatu palarut organik inert.
Penyelesaian : Dalam 100 g. massa reaksi, terdapat 20 g. stiren, sehingga energi yang
dibebaskan pada saat stiren terkonversi sempurna menjadi polimer adalah :
20 x 16.400/104 = 3150 cal.
4
e-USU Repository 2005 Universitas Sumatera Utara
Kenaikan temperatur adiabatik adalah :
Tmaks = 3150/(0,5 x 100) = 630C
Keunggulan polimerisasi larutan antara lain:
1. Pengendalian dan pemindahan panas lebih mudah.
2. Perancangan sistem reaktor akan lebih mudah, karena reaksi-reaksi yang terjadi
mengikuti hubungan-hubungan kinetika yang telah dikenal.
3. Larutan polimer yang diinginkan, untuk beberapa aplikasi tertentu, misalnya
pernis, dapat langsung diperoleh dari reaktor.
Kekurangan polimerisasi larutan antara lain:
1. Penggunaan pelarut akan menurunkan laju reaksi dan panjang rata-rata rantai,
karena laju dan sekaligus panjang rata-rata rantai polimer sebanding dengan [M]
(dalam adisi radikal bebas). Penurunan Xn juga akan terjadi jika pelarut berperan
sebagai bahan pemindah rantai (chaian-transfer agent).
2. Pelarut yang mahal, mudah terbakar, bahkan mungkin juga beracun, diperlukan
dalam jumlah besar.
3. Pemisahan polimer dan recovery pelarut memerlukan teknologi ekstra.
4. Pemisahan sisa pelarut den monomer mungkin akan sulit dilakukan.
5. Penggunaan pelarut inert dalam massa reaksi megurangi yield per volum reaktor.
Polimerisasi ionik merupakan proses larutan yang agak eksklusif. Sebagian
besar polimerisasi Zeigler - Natta juga merupakan proses larutan, meskipun beberapa
di antaranya dilaksanakan tanpa pelarut. Gambar berikut melukiskan sebuah proses
tipikal yang memanfaatkan suatu sistem katalis Zeigler - Natta.
Gambar Diagram Proses Polimerisasi
Pemindahan panas dari reaktor dapat ditakukan dengan merefluks pelarut,
menggunakan jaket-jaket pendingin atau dengan alat pemindah panas eksternal, atau
kombinasi dari berbagai cara tersebut. Bila produk yang diinginkan merupakan suatu
polimer kristalin, reaksi dapat dilaksanakan pada temperatur yang cukup rendah
sedemikian rupa sehingga polimer langsung mengendap saat terbentuk menghasilkan
slurry, bukan suatu larutan homagen. Katalis biasanya dideaktifasi menggunakan
metanol atau asam kemudian disaring, disentrifugasi, atau diendapkan. Namun
demikian, perkembangan akhir-akhir ini lebih ditekankan pada peningkatan yield
katalis (gram polimer yang dihasilkan per gram katalis) sehingga tahap deaktifasi
5
e-USU Repository 2005 Universitas Sumatera Utara
katalis yang sulit dan mahal tersebut dapat dihilangkan. Recovery pelarut dan
monomer yang tak bereaksi dilakukan pada proses stripping menggunakan air panas
dan kukus (steam), menyisakan slurry polimer yang kemudian dikeringkan sehingga
berbentuk "remah-remah". Bila bahan berupa karet, remah-remah itu dipadatkan lalu
digulung, sedangkan bahan plastik biasanya dicetak dalam bentuk pelet. Desain
reaktor untuk proses-proses baru dilaksanakan secara kontinu.
3. POLIKONDENSASI
ANTAR-MUKA
(INTERFACIAL
POLYCONDENSATION)
Salah satu variasi dari polimerisasi larutan dikenal sebagai polikondensasi
antar-muka, dan telah digunakan dalam laboratorium sejak lama, dan belakangan juga
diterapkan untuk keperluan komersial. Salah satu monomer dari suatu pasangan
kondensasi dilarutkan dalam suatu cairan, sedang monomer pasangannya dilarutkan
dalam cairan yang lain. Kedua pelarut itu tidak saling larut. Polimer yang terbentuk
tidak larut pula dalam kedua cairan tersebut, dan terbentuk di daerah antar-muka dari
keduanya. Salah satu fasa biasanya juga dibubuhi bahan yang dapat bereaksi dengan
molekul kondensasi untuk mendorong reaksi mencapai kesempurnaan. Salah satu
contoh proses seperti itu adalah pembuatan nilon 6/10 dari heksametilen diamin dan
sebacoyl chlorida (bentuk khlorida asam dari asam sebacic).
Asam klorida dilarutkan, misalnya dalam CCl4, dan diamin dilarutkan di
dalam air, bersama-sama dengan sejumlah NaOH untuk mengambil HCl. Dalam suatu
demonstrasi, lapisan cair perlahan diapungkan di atas lapisan organik dalam sebuah
gelas kimia. Reaktan berdifusi ke bidang antar-muka, kemudian bereaksi dengan
sangat cepat membentuk film polimer. Polimer dapat ditarik dan bidang antar-muka
dengan sangat hati-hati dalam bentuk helaian kopong yang mengandung sejumlah
besar cairan. Polimer baru akan terbentuk di bidang antar-muka menggantikan
polimer yang telah diambil. Secara komersial akan lebih mudah jika kedua fasa
diaduk.
Salah satu keuntungan dari teknik ini adalah reaksi-reaksinya berlangsung
sangat cepat pada temperatur ruang dan tekanan atmosfir, berlawanan dengan
polikondensasi yang pada umumnya harus dilaksanakan dalam jangka waktu lama,
temperatur tinggi, dan tekanan vakum. Perbedaan ini seimbang dengan biaya untuk
penyediaan monomer khusus, seperti asam khlorida di atas, dan kebutuhan untuk
pemisahan dan daur ulang pelarut serta monomer yang tak bereaksi.
4.
POLIMERISASI SUSPENSI, MANIK-MANIK ATAU MUTIARA
(SUSPENSION, BEAD, OR PEARL POLIMERIZATION)
Pada saat membahas polimerisasi curah, dijelaskan bahwa salah satu cara
memudahkan pemindahan panas adalah dengan memilih salah satu dimensi massa
reaksi yang kecil. Hal ini dilakukan dalam polimerisasi suspensi sampai tingkat
ekstrem yang masih masuk akal, dengan jalan membuat suspensi monomer dalam
bentuk tetesan berdiameter 0,01 sampai 1 mm di dalam cairan bukan pelarut yang
inert (hampir selalu digunakan air). Dengan cara ini setiap tetesan berperan sebagai
satu reaktor curah tetapi dengan dimensi yang sangat kecil sehingga pemindahan
6
e-USU Repository 2005 Universitas Sumatera Utara
panas tidak menjadi mesalah dan panas dapat disingkirkan dari medium suspensi inert
yang memiliki viskositas rendah.
Karakteristik penting dari sistem ini adalah, suspensi yang terbentuk tidak
stabil secara termodinamik dan harus dijaga dengan pengadukan dan dengan
menambahkan bahan pensuspensi. Umpan yang biasa digunakan dapat terdiri dari:
Dalam proses ini digunakan dua jenis bahan pensuspensi. Suatu keloid
pelindung (protective colloid) merupakan polimer yang larut dalam air dan berfungsi
meningkatkan viskositas fasa air (continuous water phase). Koloid ini secara
hidrodinamika menghalangi penggabungan tetesan monomer; tetapi bersifat inert
terhadap reaksi polimerisasi. Garam anorganik halus seperti MgCO3 juga digunakan.
Garam ini akan terkumpul pada bidang antar-muka tetesan monomer-air karena
pengaruh tegangan permukaan, dan mencegah penggabungan tetesan yang dapat
terjadi akibat tumbukan. Untuk menjaga kestabilan sistem, kadang-kadang juga
digunakan suatu larutan penyangga pH (buffer).
Fasa monomer tersuspensi di dalam air pada perbandingan volum sekitar %
monomer/air. Reaktor dibersihkan (purge) dengan nitrogen kemudian dipanaskan
untuk memulai reaksi. Pada reaksi berlangsung pengendalian temperatur dalam
reaktor dimudahkan dengan tambahan kapasitas panas dari air, dan viskositas massa
reaksi yang rendah - terutama fasa yang kontinu yang memungkinkan pemindahan
panas melalui suatu jaket.
Ukuran manik-manik tergantung pada tingkat pengadukan, sifat dasar
monomer, dan sistem suspensi. Pada saat konversi 20% -70% , pengadukan menjadi
sangat panting. Pada saat konversi di bawah 20% fasa organik masih cukup cair untuk
kembali terdispersi, den diatas 70%, partikel-partikel menjadi cukup kaku sehingga
dapat mencegah penggumpalan, tetapi jika pengadukan terhenti atau berkurang
diantara kedua batas konversi itu, partikel-partikel yang lengket akan bergabung atau
menggumpal menjadi gumpalan massa yang cukup besar dan manik-manik yang
terbentuk pun akan lebih besar. Lagi-lagi menurut Schildknecht, "Suatu polimerisasi
yang tak terkendali dan menghasilkan gumpalan polimer yang besar seperti itu,
mungkin memerlukan bor bertekanan udara atau alat pertambangan yang lain untuk
menyelamatkan peralatan polimerisasi".
Oleh karena hampir semua sistem aliran memiliki ruang stagnan yang relatif
lebih banyak, sehingga pelaksanaan polimerisasi suspensi secara kontinu menjadi
tidak praktis. Reaktor-reaktor yang digunakan biasanya dilengkapi dengan jaket, dan
merupakan ketel baja bahan karat yang berkapasitas sampai 30.000 galon. Manik-
manik polimer disaring dan disentrifugasi dan dicuci dengan air untuk menghilangkan
7
e-USU Repository 2005 Universitas Sumatera Utara
keloid pelindung atau dibilas dengan asam encer untuk mengurangi MgCO3. Manik-
manik itu sangat mudah ditangani pada saat masih basah, tetapi cenderung menaikkan
muatan statis pada saat kering, sehingga cenderung saling lengket ataupun menempel
pada benda-benda lain. Manik-manik itu dapat dicetak langsung, diekstrusi dan
dicacah untuk membentuk "bubuk" bahan cetakan, atau digunakan sebagai resin
penukar ion atau bahan pembuat cangkir-cangkir busa polystiren dan gabus
penyangga kemasan.
Resin-resin penukar ion pada dasarnya merupakan manik-manik hasil suspensi
dari sambung-silang polistiren yang diperoleh dengan polimerisasi menggunakan
sedikit divinil benzen, yang kemudian diolah secara kimiawi untuk mendapatkan
fungsi yang dibutuhkan.
Untuk mengurangi tahanan perpindahan massa dalam proses penukaran ion,
suatu pelarut inert dapat ditambahkan ke dalam fasa suspensi organik. Pada saat
polimerisasi selesai, pelarut tersebut dipisahkan, menyisakan manik-manik yang
sangat berpori, sehingga memiliki permukaan internal sangat luas (macro reticular).
Manik-manik busalgabus merupakan polistiren linier yang mengandung bahan-bahan
inert penghembus cairan (inert liquid blowing agents), biasanya pentan. Pentan
tersebut dapat ditambahkan ke dalam monomer bahan polimerisasi, tetapi yang lebih
umum adalah menambahkannya ke dalam reaktor setelah polimerisasi, agar
teradsorpsi oleh manik-manik polystiren. Bila dipertemukan dengan kukus dalm suatu
cetakan, manik-manik itu menjadi lunak dan berbusa, serta mengembang karena
bahan penghembus yang menguap, sehingga terbentuk cangkir-cangkir gabus maupun
benda-benda gabus (foam) yang lain.
Keunggulan utama dari polimerisasi suspensi adalah :
1. Pemindahan diperoleh dalam bentuk yang mudah dilakukan.
2. Polimer diperoleh dalam bentuk yang mudah ditangani dan seringkali dapat
langsung digunakan.
Kekurangannya antara lain:
1. Yield per volum reaktor rendah.
2. Polimer yang dihasilkan sedikit kurang murni dibandingkan dengan hasil
polimerisasi curah, karena sisa-sisa bahan pensuspensi yang teradsorpsi di
permukaan partikel.
3. Polimerisasi tidak dapat dilaksanakan secara kontinu menggunakan beberapa
faktor batch secara berurutan.
5. POLIMERISASI EMULSI
Ketika suplai karet alam dari Timur dihambat oleh Jepang selama PD II,
Amerika Serikat tidak memilliki bahan penggantinya. Keberhasilan Program
Cadangan Karet, dalam mengembangkan pengganti sinstetis yang sesuai dan fasilitas-
fasilitas produksinya , merupakan salah satu hasil yang menonjol dari para ahli kimia
den rekayasawan (enggineers). Karet kopolimer stiren-butadien GR S (Government
Rubber-Styrene) atau sekarang dikenal sebagai SBR (Styrene Butadiene Rubber) -
dikembangkan selama berperang - masih merupakan karet sintetik yang paling
panting dan masih diproduksi bersama-sama dengan berbagai jenis polimer, sebagian
besar menggunakan proses polimerisasi yang dikembangkan kemudian.
Belakangan ini polimerisasi emulsi mulai tergeser oleh proses-proses
polimerisasi yang lain. Meskipun demikian, pengetahun mengenai sisa monomer yang
dalam jumlah sangat kecil sekalipun dapat menimbulkan efek-efek yang secara
8
e-USU Repository 2005 Universitas Sumatera Utara
fisiologis berbahaya, rnembuat orang kembali tertarik untuk menggunakan
polimerisasi emulsi. Partikel-partikel lateks yang berukuran sangat kecil memberikan
jalur difusi yang sangat pendek untuk menyingkirkan molekul-molekul kecil dari
polimer dengan cara, misalnya, stripping menggunakan kukus, memperkecil residu
monomer yang tertinggal.
Pada banyak aplikasi, polimer padat harus diambil dari lateksnya. Cara paling
mudah adalah dengan spray-drying, tetapi karena tak satu pun usaha dilakukan untuk
menghilangkan sabun, produk yang diperoleh dengan menambahkan sejenis bahan
yang dapat berperan paling tidak sebagai pelarut persist bagi polimer, misalnya
aseton. Penambahan ini membuat partikel bersifat lengket dan mengalami
penggumpalan. Lateks kemudian dikoagulasi dengan menambahkan suatu asam,
misalnya asam sulfat, yang akan mengubah sabun menjadi bentuk hidrogen yang tak
larut, atau dengan menambahkan garam elektrolit yang akan memecah stabilizing
double layers pada partikel, hingga memungkinkan partikel tersebut dapat
menggumpal oleh tarikan-tarikan elektrostatik. Cara pertama meninggalkan bahan-
bahan tak larut yang teradsorpsi di permukaan partikel, tetapi kadang-kadang hal ini
malah menguntungkan; misalnya asam lemak dapat berperan sebagai pelumas dalam
produksi ban. "Remah-remah" polimer yang terkoagulasi (kemudian dicuci,
dikeringkan, kemudian dikemas atau diproses lebih lanjut.
Keunggulan polimerisasi emulsi adalah :
1. Pengendalian mudah : viskositas massa reaksi jauh lebih kecil ketimbang larutan
dengan konsentrasi yang sebanding; air menambah kapasitas panas; dan massa
reaksi dapat direfluks.
2. Dengan menggunakan konsentrasi sabun yang tinggi dan konsentrasi bibit yang
rendah, akan diperoleh sekaligus laju polimerisasi dan panjang rata-rata rantai
yang tinggi.
3. Produk lateks sering dapat langsung digunakan, juga dapat jadi bahan pembantu
untuk mendapatkan senyawa-senyawa yang seragam melalui master-hatching.
4. Ukuran partikel lateks yang kecil akan menurunkan jumlah residu monomer.
Kekurangan polimerisasi emulsi antara lain:
1. Sulit untuk memperoleh polimer yang mumi. Permukaan partikel-partikel kecil
yang sangat luas memberikan ruang yang sangat besar bagi zat-zat pengotor yang
teradsorpsi meliputi penarikan air oleh sisa sabun, yang dalam jumlah sangat
kecilpun dapat menimbulkan masalah.
2. Diperlukan teknologi untuk mengambil polimer padat.
3. Air dalam massa reaksi menurunkan yield per volume reaktor.
DAFTAR PUSTAKA
C.E. Schildnecht, Polymer Processes, Interscience, New York, 1956.
H. D. Anspon, Manufacture of Plastics, W. M. Smith, Reinhold, New York, 1964.