Upload
others
View
18
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TEKNOLOGI BUDIDAYA BAWANG MERAH VARIETAS LEMBAH PALU
Edisi Pertama
Tim Penulis: Muhammad Ansar Pasigai
Abdul Rahim Thaha Burhanuddin Nasir Sri Anjar Lasmini
Maemunah Bahrudin
Editor: Prof. Ir. Zainuddin Basri, Ph.D.
(Universitas Tadulako)
Penerbit
2016
Teknologi Budidaya Bawang Merah ‘Lembah Palu’ - 2016
ii
Perpustakaan Nasional RI. Katalog Dalam Terbitan (KDT) Teknologi budidaya bawang merah varietas lembah Palu. Muhammad Ansar Pasigai, dkk. Palu: Untad Press, 2016 ix hal. + 130 hal.; 15,5 x 23 cm ISBN: 978-602-8824-80-4 © Hak Cipta 2016 Judul Buku : Teknologi budidaya bawang merah varietas
lembah Palu Editor : Zainuddin Basri Layout Isi : - Desain Sampul : - Cetakan : Pertama 1. Non Fiksi i. Judul ii. Zainuddin Basri
Penerbit: UNTAD Press Jl. Soekarno Hatta KM. 9 Palu Sulawesi Tengah 94118
Kutipan Pasal 72: Sanksi Pelanggaran Undang-Undang Hal Cipta No. 19 Tahun 2002 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayar (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah)
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
Teknologi Budidaya Bawang Merah ‘Lembah Palu’ - 2016
iii
TEKNOLOGI BUDIDAYA BAWANG MERAH VARIETAS LEMBAH PALU
KATA PENGANTAR
Bawang merah varietas ‘lembah lalu’ telah dilepas
Kementerian Pertanian Republik Indonesia pada tahun
2011, sebagai varietas unggul nasional. Bawang merah
varietas ‘lembah palu’ sudah dikenal luas sebagai bahan
baku utama industri bawang goreng di Sulawesi Tengah.
Bawang goreng Palu yang diproduksi dari bawang merah
‘lembah palu’ selain memiliki rasa, aroma dan tekstur
yang khas, juga memiliki kualitas yang tetap baik
walaupun disimpan dalam jangka waktu lama (hingga
satu tahun), bila dikemas dengan cara yang baik.
Sentra pengembangan bawang merah di Sulawesi
Tengah, adalah kawasan Lembah Palu yang meliputi
wilayah Kota Palu, serta sebagian wilayah Kabupaten Sigi
dan Donggala. Pada umumnya bawang merah ‘lembah
palu’ diusahakan pada dataran rendah kurang dari 300 m
di atas permukaan laut dengan berbagai
permasalahannya, terutama ketersediaan air dan
kesuburan tanah yang rendah seringkali menjadi faktor
pembatas produksi. Rata-rata produktivitas tanaman
Teknologi Budidaya Bawang Merah ‘Lembah Palu’ - 2016
iv
bawang merah ‘lembah palu’ masih rendah yaitu hanya
berkisar 4,0-4,5 t/ha, sedangkan potensi hasilnya adalah
9,7 t/ha. Masih rendahnya produktivitas bawang merah
‘lembah palu’ selain disebabkan oleh kondisi lingkungan
tumbuh, juga disebabkan penerapan teknologi budidaya
yang belum optimal.
Komoditas bawang merah ‘lembah palu’ telah
ditetapkan sebagai salah satu komoditas unggulan daerah
yang perlu mendapat prioritas pengembangannya secara
berkelanjutan. Sekaitan hal tersebut Fakultas Pertanian
Universitas Tadulako telah menjadikan bawang merah
varietas ‘lembah palu’ sebagai komoditas kajian unggulan
bagi mahasiswa dan dosen agar komoditas bawang merah
‘lembah palu’ semakin berkembang di tengah masyarakat,
khususnya di Sulawesi Tengah.
Kehadiran buku “Teknologi Budidaya Bawang Merah
Varietas Lembah Palu’ ini merupakan sebuah kerinduan
atas ketersediaan referensi, khusunya tentang teknologi
budidaya bawang merah ‘lembah palu’ yang saat ini masih
sangat sulit ditemukan. Disamping itu, buku ini disusun
guna memenuhi kebutuhan mahasiswa dan peneliti serta
petani dan masyarakat dalam memperoleh informasi
teknologi budidaya bawang merah yang baik dan sesuai
dengan kondisi agroekosistem lahan sentra
pengembangan bawang merah di Lembah Palu.
Teknologi Budidaya Bawang Merah ‘Lembah Palu’ - 2016
v
Dalam hal penulisan dan isi buku “Teknologi
Budidaya Bawang Merah varietas Lembah Palu” edisi
perdana ini, penulis menyadari terdapat sejumlah
kekurangan dan kelemahannya. Untuk itu sangat
diharapkan sumbang saran yang bermanfaat bagi
perbaikan pada edisi revisi selanjutnya.
Atas segala partisipasi dari semua pihak, terutama
bapak Prof. Ir. Zainuddin Basri, Ph.D selaku Dekan
Fakultas Pertanian dan juga sebagai editor buku ini, atas
motivasi dan dorongannya yang tiada henti sehingga buku
ini dapat hadir dihadapan pembaca, penulis senantiasa
menyampaikan banyak terima kasih. Semoga kehadiran
buku ini dapat menambah khasanah keilmuan kita,
khususnya dalam mengembangkan komoditas bawang
merah ‘lembah palu’ yang menjadi kebangggan
masyarakat Sulawesi Tengah.
Palu, Agustus 2016
Tim Penyusun
Teknologi Budidaya Bawang Merah ‘Lembah Palu’ - 2016
vi
TEKNOLOGI BUDIDAYA BAWANG MERAH VARIETAS LEMBAH PALU
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul i
Prakata ii
Daftar Isi iv
Daftar Tabel vi
Daftar Gambar viii
Daftar Lampiran ix
1 PENDAHULUAN 1
1.1. Sejarah tanaman bawang merah
lembah palu 1
1.2. Karakteristik bawang merah lembah
palu 3
1.3. Kondisi pertanaman bawang merah
‘lembah palu’ 5
1.4. Nilai ekonomi bawang merah lembah
palu 7
1.5. Prospek dan kendala pengembangan
bawang merah lembah palu 8
2 GAMBARAN LOKASI DAN POTENSI
PENGEMBANGAN BAWANG MERAH
LEMBAH PALU 11
2.1. Iklim dan nerca air tahunan di
Lembah Palu. 11
Teknologi Budidaya Bawang Merah ‘Lembah Palu’ - 2016
vii
2.2. Karakteristik dan potensi sumber daya
lahan di Lembah Palu 15
2.3. Kondisi fisika kimia tanah di Lembah
Palu 18
2.4. Potensi pengembangan bawang merah
di Lembah Palu 19
3 BOTANI DAN SYARAT TUMBUH BAWANG
MERAH LEMBAH PALU 22
3.1. Botani bawang merah 22
3.2. Syarat tumbuh bawang merah secara
umum 26
3.3. Syarat agronomi tanaman bawang
merah lembah palu 31
4 PENGELOLAAN BENIH BAWANG MERAH 33
4.1. Pengantar 33
4.2. Syarat dan karakteristik benih bawang
merah ‘lembah palu’ 38
4.3. Sistem produksi benih bawang merah
‘lembah palu’ 49
4.4. Pengendalian mutu dan Penangkaran
Benih 57
5 PENGELOLAAN TANAH UNTUK
BUDIDAYA BAWANG MERAH 76
5.1. Pengantar 76
5.2. Syarat dan karakteristik tanah untuk
budidaya bawang merah ‘lembah palu’ 76
5.3. Peranan pengolahan tanah dalam
budidaya bawang merah ‘lembah palu’ 80
Teknologi Budidaya Bawang Merah ‘Lembah Palu’ - 2016
viii
5.4. Cara pengolahan tanag pada
pertanaman bawang merah ‘lembah
palu’ 82
5.5. Pola tanam dalam pertanaman
bawang merah ‘lembah palu’ 84
6. PENGELOLAAN AIR UNTUK BUDIDAYA
BAWANG MERAH 90
6.1. Pengantar 90
6.2. Kebutuhan air tanaman bawang
merah ‘lembah palu’ 91
6.3. Pengololaan air dalam budidaya
bawang merah ‘lembah palu’ 93
6.4. Cara pengairan pada pertanaman
bawang merah ‘lembah palu’ 97
6.5. Pengaruh Cara Pemberian Air serta
Lebar dan Tinggi Bedengan 100
7. KESUBURAN TANAH DAN PEMUPUKAN
BAWANG MERAH 106
7.1. Pengantar 106
7.2. Kebutuhan hara tanaman bawang
merah ‘lembah palu’ 108
7.3. Jenis Pupuk dan Peranannya dalam
budidaya bawang merah ‘lembah palu’ 111
7.4. Pemupukan pada tanaman bawang
merah ‘lembah palu’. 121
7.5. Cara Pemupukan pada tanaman
bawang merah ‘lembah palu’ 128
Teknologi Budidaya Bawang Merah ‘Lembah Palu’ - 2016
ix
8. PENGELOLAAN HAMA DAN PENYAKIT
BAWANG MERAH 130
8.1. Pengantar 130
8.2. Pengaruh hama dan penyakit pada
pertanaman bawang merah ‘lembah
palu’. 133
8.3. Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap tingkat serangan hama dan
penyakit pada pertanaman bawang
merah ‘lembah palu’ 134
8.4. Hama-hama penting tanaman bawang
merah ‘lembah palu’ dan cara
pengendaliannya
135
8.5. Penyakit tanaman bawang merah
‘lembah palu’ dan cara
pengendaliannya 142
9. PANEN DAN PASCA PANEN BAWANG
MERAH LEMBAH PALU 157
9.1. Pengantar 157
9.2. Umur panen dan kriteria panen
bawang merah ‘lembah palu’ 158
9.3. Cara panen bawang merah ‘lembah
palu’
161
9.4. Penanganan pasca panen pada
pertanaman bawang merah ‘lembah
palu’. 161
DAFTAR PUSTAKA / REFERENSI
1
BAB I.
PENDAHULUAN
1.1. Sejarah tanaman bawang merah ‘lembah palu’
Bawang merah varietas ‘lembah palu’ (Allium cepa
L. Var. Aggregatum) merupakan salah satu komoditas
hortikultura yang mempunyai kandungan gizi dan
senyawa yang tergolong zat non gizi serta enzim yang
berfungsi untuk terapi, meningkatkan dan
mempertahankan kesehatan tubuh serta memiliki aroma
khas yang digunakan untuk penyedap masakan dan
bahan baku utama industri bawang goreng.
Di Propinsi Sulawesi Tengah, khususnya di Lembah
Palu terdapat komoditas bawang merah unggul lokal
daerah yang sudah cukup dikenal sebagai sumber bahan
baku bawang goreng dan dikenal sangat khas
dibandingkan dengan bawang lain yang ada di tanah air.
Jenis bawang merah lokal Palu saat ini banyak diusahakan
di Lembah Palu (wilayah Kota Palu serta sebagian wilayah
Kab. Sigi dan Donggala).
Secara khusus ada dua jenis bawang lokal Palu
yang terdapat di kawasan Lembah Palu dan masyarakat
Sulawesi Tengah (suku kaili) memberikan nama untuk
jenis yang pertama adalah bawang “papaya” atau bawang
“tasima” dan jenis kedua adalah bawang “batu” atau
“tatua” yaitu bawang merah dengan umbi berwarna
2
keputih-putihan. Jika dibandingkan dengan jenis bawang
lainnya di Indonesia, jenis bawang merah lokal Palu
sangat baik sebagai bahan baku bawang goreng dengan
aroma yang khas, tekstur yang padat, rasanya gurih dan
tahan dalam penyimpanan setelah digoreng.
Secara umum produktivitas bawang merah ‘lembah
palu’ lebih rendah dari jenis bawang merah lainnya.
Bawang merah varietas Bima, Brebes, Philipine itu dapat
mencapai 20 t/ha, namun bawang merah ‘lembah palu’
hanya memiliki potensi produktivitas 9,7 t/ha, dan pada
tingkat petani produktivitas bawang merah ‘lembah palu’
hanya berkisar 4-5 ton/ha. Rendahnya produktivitas
bawang merah ‘lembah palu’ menyebabkan kebutuhan
bahan baku belum mampu dipenuhi secara kontinyu
industri bawang goreng yang ada di Kota Palu dan
sekitarnya. Rendahnya produktivitas bawang merah
‘lembah palu’ disebabkan penerapan teknik budidaya yang
belum sesuai standar teknis yang dianjurkan atau
direkomendasikan.
Upaya peningkatan hasil usahatani bawang merah,
tidak saja dinilai dari aspek kuantitasnya tetapi yang
paling utama adalah kualitasnya. Untuk dapat
memperoleh kuantitas dan kualitas hasil yang tinggi perlu
diikuti dengan penerapan Praktek Pertanian yang Baik
(Good Agriculture Practices/GAP) yang dapat diperoleh
melalui penerapan SOP (Standard Operating Procedure)
yang disusun secara spesifik untuk kondisi lahan,
3
tanaman dan sasaran pasar tertentu. Penerapan SOP
untuk budidaya bawang merah lokal Palu merupakan
suatu hal yang sangat penting, untuk memudahkan
komoditi ini meraih pasar ekspor, karena tujuan dari
penerapan GAP/SOP diantaranya adalah: (1)
meningkatkan produksi dan produktivitas, (2)
meningkatkan mutu produksi termasuk keamanan
konsumen, (3) meningkatkan efisiensi dan daya saing
produk, (4) memperbaiki efisiensi penggunaan
sumberdaya alam, (5) mempertahankan kesuburan lahan,
kelestarian lingkungan dan sistem produksi yang
berkelanjutan, (6) mendorong petani dan kelompok tani
untuk memiliki sikap mental yang bertanggung jawab
terhadap kesehatan dan keamanan diri dan lingkungan,
(7) meningkatkan peluang penerimaan oleh pasar
internasional, serta (8) memberi jaminan keamanan
terhadap konsumen. Dengan demikian kegiatan
penyusunan buku secara khusus mengenai “Standard
Operating Procedure (SOP) Budidaya Bawang Merah Lokal
Palu” menjadi penting untuk dilakukan.
1.2. Karakterisik bawang merah ‘lembah palu’
Setiap varietas bawang merah memiliki
karakteristik berbeda, termasuk morfologi dan kandungan
gizi (Wibowo, 1988). Bawang merah ‘lembah palu’ berasal
dan dikembangkan di kawasan Lembah Palu yang meliputi
daerah Kota Palu, Kabupaten Donggala dan Kabupaten
4
Sigi di Propinsi Sulawesi Tengah, dan telah ditetapkan
oleh Menteri Pertanian sebagai salah satu varietas unggul
nasional, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian
R.I. No. 1843/Kpts/ SR.120/4/2011 (Mentan, 2011).
Hasil deskripsi varietas menunjukkan bawang
merah ‘lembah palu’ memiliki karakteristik yaitu: tinggi
tanaman 20-34 cm, jumlah anakan 7-10 umbi per
rumpun, jumlah daun 20-40 helai per rumpun, panjang
daun 25-30 cm, lebar daun 0,5-0,6 cm, bentuk daun
silindris berlubang dan bewarna hijau muda; serta
memiliki bentuk umbi bulat agak lonjong, berwarna
merah pucat dan keputih-putihan, umbi berukuran
panjang 2,5-3,0 cm, diameter 1,5-2,5 cm, umur panen
65-70 hst., dan tidak berbunga dengan potensi hasil 9,7
ton/ha. Bawang merah ‘lembah palu’ dikembangkan pada
habitat aslinya, pada dataran rendah dengan ketinggian
tempat kurang dari 300 m dpl. (Diperta Sulteng, 2009).
Bawang wakegi di Indonesia pada umumnya
disebut bawang merah. Bawang merah varietas ‘lembah
palu’ termasuk jenis bawang wakegi (Sulistyaningsih et
al., 2008). Bawang wakegi (Allium L x Wakegi Araki,
2n=16, AF) yang merupakan bawang hasil persilangan
alami antara (A.cepa L. Kelompok Aggregatum, 2n=16,
AA) dan (A. fistulosum, 2n=16, FF) (Ganet, 1994).
5
1.3. Kondisi pertanaman bawang merah ‘lembah
palu’
Bawang merah ‘lembah palu’ diusahakan di
kawasan Lembah Palu Sulawesi Tengah, sejak sekitar 20
tahun yang lalu. Sentra produksi bawang merah ‘lembah
palu’ tersebar pada beberapa lokasi yaitu di Kota Palu
meliputi Kelurahan Kayumalue, Duyu, Tavanjuka dan
Petobo; di Kabupaten Donggala yaitu Desa Guntarano,
dan di Kabupaten Sigi yaitu Desa Maku, Solouve,
Bulupontu Jaya (Sidera) dan Olobojo. Produktivitas
bawang merah lokal Palu masih sangat rendah yakni hanya
3,5-4,5 t/ha sedangkan potensi hasilnya dapat mencapai
9,7 t/ha (Mentan, 2011), bahkan untuk skala penelitian
dapat mencapai 10-12 t/ha (BPTP Sulteng, 2004).
Adapun penyebab rendahnya hasil produksi bawang
merah ‘lembah palu’ masih sangat beragam, namun
penyebab utamnya adalah penerapan sistem budidaya dan
pasca panen yang belum optimal, seperti jaminan
ketersediaan benih bermutu dalam jumlah cukup sesuai
kebutuhan, teknis penggunaan bedengan (arah, bentuk
dan ukuran) yang belum sesuai kondisi agroekosistem
lahan, teknis pengairan dan konservasi air, teknis
pemupukan, pengendalian organisme pengganggu tanaman
(hama, penyakit dan gulma) yang belum optimal serta.
penanganan pasca panen yang belum baik. Disamping
faktor tersebut di atas, faktor iklim juga sering menjadi
penyebab kegagalan panen dan rendahnya hasil produksi
6
bawang merah terutama pada kondisi agroekosistem
lahan kering (Bahrudin dkk, 2009).
Upaya peningkatan produksi melalui program
perluasan areal tanam (ekstensifikasi) yang telah dilakukan
pemerintah daerah melalui Dinas Pertanian, nampak belum
dapat mengatasi keterbatasan produksi secara
berkesinambungan sepanjang tahun. Hal ini terjadi karena
upaya perluasan areal tanam tersebut tidak diikuti dengan
penerapan teknologi yang sesuai dengan standar sistem
budidaya bawang merah pada kondisi agroekosistem
lahan tertentu. Hal inilah yang mendorong perlunya
dilakukan kajian tentang potensi dan karakteristik
budidaya bawang merah yang telah dikembangkan di
Lembah Palu hingga saat ini.
Tabel 1. Luas tanam, luas panen, produksi dan produktivitas (t/ha) bawang merah di Lembah Palu tahun 2014
No. Kota/Kabupaten Luas
Tanam (Ha)
Luas Panen (Ha)
Produksi (ton)
Produktivitas (kw/ha)
1 Palu 243 192 686 35,70
2 Donggala 101 51 257 50,39
3 Sigi 2.614 1.495 11.960 80,00
Sumber : BPS Sulawesi Tengah (diolah), 2012.
Dari data diatas nampak bahwa Kabupaten Sigi
merupakan daerah pengembangan bawang merah
‘lembah palu’ terluas di Sulawesi Tengah. Berdasarkan
data luas tanam dengan luas panen dapat diketahui
7
bahwa tingkat kerusakan tanaman sampai gagal panen
dapat mencapai 50%. Faktor penyebab utama kegagalan
panen adalah karena serangan hama dan penyakit, cuaca
(musim hujan dan kekeringan) serta penerapan teknik
budidaya tanaman yang belum optimal.
1.4. Nilai ekonomi bawang merah lembah palu
Bawang merah varietas ‘lembah palu’ adalah
merupakan bahan baku utama bawang goreng,
sedangkan sebagai bawang sayur sangat jarang
dimanfaatkan oleh masyarakat. Harga bawang merah
‘lembah palu’ baik untuk tujuan bahan baku bawang
goreng maupun untuk digunakan sebagai benih sangat
berfluktuasi tergantung pada musim dan ketesediaan
bawang merah tersebut di tingkat petani. Untuk bahan
baku bawang goreng, harga bawang merah ‘lembah palu’
bervariasi antara Rp. 20.000- Rp. 30.000 per kg,
sedangkan bawang merah untuk benih harganya
bervariasi antara Rp. 40.000-Rp. 70.000 per kg.
Untuk produksi 1 kg bawang goreng diperlukan 3
kg bahan baku bawang merah ‘lembah palu’; sedangkan
harga jual bawang goreng bervariasi antara Rp. 250.000-
Rp. 300.000 per kg. Dengan demikian usaha bawang
goreng ini sangat diminati oleh masyarakat karena dapat
memberikan nilai ekonomi yang cukup tinggi. Dari kajian
aspek sosial-ekonomi diketahui bahwa bawang merah
varietas lokal Palu mempunyai peluang yang cukup baik
8
dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan petani
dan pendapatan daerah dengan R/C rasio antara 2,7-3,0
(BPTP Sulteng, 2004).
1.5. Prospek dan kendala pengembangan bawang
merah ‘lembah palu’
Bawang merah ‘lembah palu’ umumnya diusahakan
petani di lahan kering. Dari hasil penelitian Bahrudin dkk
(2009) diketahui bahwa di kawasan Lembah Palu yang
secara khusus meliputi Kota Palu, sebagian wilayah
Kabupaten Donggala dan Kabupaten Sigi adalah
merupakan wilayah sentra pengembangan bawang merah
‘lembah palu’, yaitu 95% petani mengusahakan bawang
merah pada lahan kering dan hanya 5% petani yang
mengusahakan pada lahan sawah. Pada sisi lain potensi
lahan kering di Sulawesi Tengah, khususnya di Kawasan
Lembah Palu yang sesuai untuk pengembangan bawang
merah masih cukup luas. Dengan demikian upaya
pengembangan bawang merah ‘lembah palu’ masih
memiliki prospek yang cukup baik. Hal ini ditunjang oleh
kondisi iklim di kawasan Lembah Palu seperti curah hujan,
suhu dan kelembaban udara yang sesuai dengan syarat
agronomis tanaman bawang merah ‘lembah palu’. Bawang
merah ‘lembah palu’ tumbuh baik pada dataran rendah
<450 m dpl., dengan suhu udara 27,7-30,0oC,
kelembaban udara 61,22-68,90% dan intensitas
9
penyinaran 692,00-626,33 µmol m-2.det-1 (Muhammad-
Ansar, 2012).
Bawang merah ‘lembah palu’ memiliki prospek
pengembangan yang sangat baik di masa yang akan
datang, karena bawang merah ‘lembah palu’ adalah
merupakan bahan baku utama industri bawang goreng di
Sulawesi Tengah. Bawang goreng yang bahan bakunya
dari bawang merah ‘lembah palu’ memiliki keunikan dan
sifat yang spesifik yaitu rasa gurih atau garing, serta
aromanya yang khas dan tidak akan berubah walaupun
disimpan lama, terutama jika dikemas dengan baik.
Oleh karena industri bawang goreng
semakin berkembang, maka kebutuhan bahan baku dari
bawang merah juga semakin meningkat. Bahkan
permintaan pasar ekspor dari beberapa negara di Asia dan
Eropa yang mulai terbuka, hingga saat ini belum dapat
dipenuhi, karena syarat ekspor, terutama kuantitas,
kualitas dan kontinuitas produk yang tidak/belum dapat
terjamin. Hal ini disebabkan oleh skala usaha petani yang
masih kecil dengan produktivitas yang masih rendah.
Rata-rata luas areal tanam petani bawang merah ‘lembah
palu’ hanya berkisar antara 0,10-0,25 Ha, sedangkan
produktivitasnya hanya berkisar antara 3,5-4,5 ton/ha
(Muhammad-Ansar, 2009). Produktivitas tanaman
bawang merah ‘lembah palu’ yang diperoleh petani masih
rendah dari potensinya yang dapat mencapai 9,7 t/ha
(Mentan, 2011).
10
Kendala utama pengembangan usahatani bawang
merah ‘lembah palu’ adalah ketersediaan air irigasi
sepanjang tahun. Hal ini sesuai hasil penelitian Puslittanak
(2004) bahwa kendala utama pengembangan bawang
merah di Lembah Palu adalah ketersediaan air yang
terbatas serta retensi unsur hara, terutama kandungan
nitrogen dan bahan organik menjadi faktor pembatas
utama, khususnya pada lahan kering yang merupakan
sentra produksi bawang merah ‘lembah palu’. Kendala
lainnya adalah seringnya terjadi serangan hama dan
penyakit yang melampaui batas ambang ekonomi,
sehingga seringkali menyebabkan penurunan hasil bahkan
kegagalan panen.
11
BAB II.
GAMBARAN LOKASI DAN POTENSI PENGEMBANGAN BAWANG MERAH LEMBAH PALU
2.1. Iklim dan nerca air tahunan Lembah Palu
Hasil analisis neraca air menunjukkan bahwa kadar
lengas tanah Lembah Palu sepanjang tahun selalu
dibawah kapasitas lapang dan tidak ada periode surplus
air. Selama bulan Januari hingga dekade pertama bulan
Februari terjadi penurunan kadar lengas tanah. Pada
periode ini, penurunan lengas tanah diikuti penurunan
kadar air tanah tersedia bagi tanaman, dan diharapkan
tidak mempengaruhi penurunan laju pertumbuhan
tanaman secara nyata. Kadar lengas tanah meningkat
mulai dekade kedua Februari hingga dekade pertama Mei.
Pada priode ini kadar lengas tanah di Lembah Palu
mendekati kadar air tanah pada keadaan kapasitas lapang
dan merupakan priode terbasah sepanjang tahun di
lembah Palu (Gambar 1).
Secara teoritis, pada dekade dua Februari hingga
dekade pertama Mei, tanaman bawang merah varietas
‘lembah palu’ akan mendapatkan jumlah air yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Walaupun
demikian, perlu diperhatikan waktu kejadian hujan.
Tanaman bawang merah varietas ‘lembah palu’ sangat
peka terhadap serangan cendawan bila hujan turun pada
siang hari yang dikuti oleh penyinaran matahari setelah
12
hujan (Bachri dkk., 2007). Oleh karena alasan tersebut
petani lebih menyukai apabila hujan lebih sedikit atau
tidak hujan sama sekali apabila tersedia air irigasi selama
priode pertumbuhan tanaman cukup memadai. Petani
bawang merah cenderung menghindari penanaman pada
saat curah hujan cukup tiggi, kecuali bila keadaan
memaksa, agar benih yang telah disiapkan tidak rusak
bila tidak segera ditanam.
Untuk mengatasi masalah ini, petani dihadapkan
pada dua pilihan; yakni menyiram tanaman dengan air
irigasi sebelum air hujan mengering pada seluruh bagian
tanaman atau menyemprot dengan fungisida pada
wilayah-wilayah yang tidak memiliki sumber air untuk
penyiraman. Hujan yang turun sepanjang hari dan
malam hari kemudian berhenti untuk beberapa hari
lamanya lebih baik daripada hujan yang diikuti penyinaran
matahari.
Lengas tanah menurun secara derastis mulai
dekade kedua Mei hingga mencapai titik terendah
dibawah titik layu permanen pada dekade ketiga
November. Pada Periode ini penanaman bawang merah di
Lembah Palu hanya dapat dilakukan bila tersedia air
irigasi untuk menambah kebutuhan air tanaman agar
tanaman dapat tumbuh secara normal.
13
Gambar 1. Neraca air lahan Lembah Palu
Dilihat dari aspek keseimbangan pola penyebaran
curah hujan dan pola evapotranspirasi potensial tahunan
(Gambar 2), tampak periode dimana kadar air tanah
cukup tersedia pada dekade ketiga bulan Februari hingga
dekade kedua bulan Mei dan dekade pertama bulan
Desember. Grafik hujan di atas evapotanspirasi
merupakan priode hujan di Lembah Palu. Namun
demikian, pada periode tersebut terkait dengan
rendahnya kemampuan tanah memegang air karena pada
umumnya tanah-tanah di Lembah Palu bertekstur kasar
dengan kadar C-organik rendah menyebabkan kadar
lengas tanah tetap di bawah kapasitas lapang seperti
ditunjukkan oleh neraca air tahunan Lembah Palu. Di
luar dekade-dekade tersebut merupakan periode defisit
air. Untuk pemenuhan kebutuhan pertanaman bawang
mutlak diperlukan air irigasi baik yang bersumber dari air
permukaan maupun yang bersumer dari air tanah. Pada
14
beberapa lokasi terdapat irigasi yang memanfaatkan
potensi air tanah misalnya di Desa Guntarano Kabupaten
Donggala dan di Desa Sidera Kabupaten Sigi, namun
hingga saat ini pemanfaatan potensi ini belum optimal,
karena biaya operasiona yang dinilai cukup tinggi oleh
petani.
Gambar 2. Grafik Pola curah hujan dan evapotranspirasi
tahunan di Lembah Palu
Grafik curah hujan di bawah evapotranspirasi
merupakan bulan kering (musim kemarau).
Evapotranspirasi aktual mengikuti sebaran hujan, karena
kejadian transpirasi berkaitan dengan ketersedian air
tanah pada daerah perakaran. Jika terjadi penurunan
kadar air tanah, maka terjadi tahanan untuk proses
evapotranspirasi. Selain itu, pada musim kering kerapatan
tanaman sudah berkurang atau panen, dengan demikian
transpirasi juga berkurang (Sarjiman dan Mulyadi, 2011).
15
2.2. Karakteristik dan Potensi Sumber Daya Lahan.
Peta kesesuaian lahan untuk tanaman bawang
merah merupakan salah satu kerangka acuan untuk
pengelolaan tanah dan air dalam budidaya bawang
merah. Peta kesesuaian lahan menguraikan secara rinci
tentang karakteristik tanah dan iklim yang dapat
membatasi pertumbuhan tanaman, sekaligus menentukan
tindakan pengelolaan yang diperlukan agar produktivitas
tanaman dapat ditingkatkan pada tingkat yang
menguntungkan petani secara ekonomi dan disisi lain
berkelanjutan secara ekologi.
Hasil evaluasi lahan untuk tanaman bawang merah
varietas ‘lembah palu’ yang memiliki potensi untuk
dikembangkan menunjukkan tingkat kesesuaian sesuai
marginal (S3) dan cukup sesuai (S2) (Tabel 2).
Tabel 2. Kesesuaian lahan aktual untuk pengembangan
bawang merah varietas ‘lembah palu’.
No Kesesuaian Lahan pada tingkat kelas
Luas (Ha)
1. Sesuai marginal/ Marginally
suitable (S3)
1.656,06
2. Cukup sesuai/moderately suitable
(S2)
903,74
Total sesuai marginal + cukup
sesuai (S3+S2)
2.559.80
Sumber: Dinas Pertanian dan Kehutanan Kota Palu (2006)
16
Faktor penghambat utama pada tingkat kelas terdiri
atas ketersediaan air (wa), retensi hara (nr) berkaitan
dengan pH, KTK dan kadar bahan organik, media
perakaran (rc) berkaitan erat dengan kedalaman efektif,
ada tidaknya bahan kasar dan tekstur sangat kasar.
Kelas cukup sesuai (S2) berada pada beberapa satuan
peta tanah/wilayah pengembangan Poboya, Tanamodin
di, Duyu, Watuela, Kawatuna, Petobo dan Kawatuna.
Distribusi atau sebaran kesuaian lahan untuk tanaman
bawang merah varietas Lembah Palu (Tabel 2).
Kelas kesesuaian lahan aktual dapat ditingkatkan
menjadi satu kelas lebih tinggi atau lebih baik melalui
perbaikan atau tambahan masukan, sejauh pertimbangan
secara ekonomi masih menguntungkan. Faktor-faktor
penghambat tersebut secara teknis dapat diatasi melalui
teknologi pemupukan, irigasi dan pengelolaan bahan
organik.
Dari Tabel 2, tertera luas lahan yang kelas
kesesuaiannya dapat diperbaiki atau ditingkatkan seluas
2.559,8 ha yang terdiri dari 1.656,06 dari kelas
kesesuaian marginal (S3) menjadi cukup sesuai (S2)
dengan input pengelolaan bahan organik, hara tanaman
dan air berada pada kawasan Watutela, Palu Timur.
Lahan cukup sesuai menjadi sangat sesuai (S1) seluas
903,48 ha dengan input pengelolaan bahan organik,
pemupukan dan air yang tersebar pada wilayah Poboya,
Palu selatan dan Pantoloan, Palu Timur.
17
Tabel 3. Sebaran kesesuaian lahan untuk pengembangan tanaman bawang merah varietas ‘lembah palu’
No. Lokasi/SPL Klas Uraian Faktor Penghambat
1 Kawasan Paboya, Palu Timur
S2 Cukup Sesuai
Ketersediaan air (wa) dan retensi hara (nr)
S3 Sesuai marginal
Kondisi perakaran (rc), kelerengan (eh) dan ketersediaan air (wa)
2 Kawasan Tanamodindi, Palu Timur
S2 Cukup sesuai
Ketersediaan air (wa) dan retensi hara (nr)
3 Kawasan Watutela, Palu Timur
S2 Cukup sesuai
Ketersediaan air (wa), dan retensi hara (nr)
4 Kawasan Palu Selatan
S2 Cukup sesuai
Ketersediaan air (wa) dan retensi hara (nr)
5 Kawasan Petobo Palu selatan
S2 Cukup sesuai
Ketersediaan air dan (wa) dan retensi hara (nr)
6 Kawasan Duyu Palu Barat
S2 Cukup Sesuai
Ketersediaan air (wa) dan retensi hara (nr)
Sumber: Dinas Pertanian Kota Palu (2006)
Berdasarkan hasil survei lapangan yang ditunjang
oleh hasil-hasil studi terdahulu menunjukkan bahwa
Lembah Palu didominasi oleh dua ordo tanah utama,
yakni Inceptisol dan Entisol. Diskripsi beberapa profil
tanah pada kategori subgroup yang dilakukan oleh staf
Balai Penelitian Tanah Bogor (2004) menyatakan bahwa
di lokasi sentra produksi bawang merah di Lembah Palu
merupakan subgroup Typic Eutrudept (Kambisol Eutrik).
18
2.3. Kondisi fisika kimia tanah di Lembah Palu
Hasil analisis tingkat kesuburan tanah pada
beberapa lokasi pengembangan bawang merah di Lembah
Palu, yaitu di Desa Guntarano, Desa Taipa dan Kelurahan
Tondo menujukkan bahwa bahwa secara fisik tanah-tanah
tersebut lebih variatif terutama tekstur (pasir 47,56-
91,0%, debu 4,0-31,73% dan liat 5,0-31,02%). Tingkat
kesuburan tanah rendah ditandai oleh rendahnya
kandungan bahan organik dan N-total, P dan K tersedia
rendah dan KTK tanah rendah. Kadar fosfat dan kalium
potensial tanah (HCl 25%) tergolong sangat tinggi.
Pengekstrak HCl 25% melarutkan bentuk-bentuk senyawa
fosfat dan kalium mendekati kadar P dan K total dalam
tanah (Purnomo dkk., 2007). Oleh karena itu,
produktivitas lahan masih dapat ditingkatkan secara
optimal melalui penambahan unsur hara yang kurang dan
penambahan bahan organik.
Bawang merah varietas ‘lembah palu’ sangat
responsif terhadap pemupukan, baik organik maupun
anorganik. Pemberian pupuk organik setara dengan 12
t/ha menghasilkan umbi kering panen terbanyak, yaitu
5,64 t/ha dan berbeda nyata dengan hasil umbi yang
tidak dipupuk organik (Limbongan dan Monde, 1999).
Pemberian pupuk organik kascing (limbah organik yang
diuraikan oleh cacing tanah) pada bawang merah varietas
‘lembah palu’ telah dilakukan oleh Saidah (2001) dan
diperoleh bahwa pemberian kascing 12 ton/ha+ZA 300
19
kg/ha dapat menghasilkan umbi kering 4,05
t/ha,sedangkan kontrol hanya menghasilkan 1,2 t/ha.
Perbedaan hasil diantara kedua penelitian tersebut
menunjukkan adanya variasi kondisi tanah dan kualitas
pupuk organik yang digunakan oleh masing-masing
peneliti. Dari beberapa penelitian, kompos tidak
meningkatkan hasil bawang merah secara nyata, tetapi
mengurangi susut bobot umbi (dari bobot basah menjadi
bobot kering jemur) sebanyak 5% (Hidayat, 2004).
Secara umum karakeristik/sifat-sifat fisik tanah di
Lembah Palu lebih bervariasi dari satu tempat ke tempat
lain dengan kandungan pasir berkisar antara 47,56-
91,0%, debu 4,0-31,73% dan liat 5,0-31,02%, namun
beberapa sifat-sifat tanah memiliki status yang relatif
sama, diantaranya adalah pH tanah netral sampai agak
alkalis, kadar C-organik, N-total, dan KTK, KB, P-total dan
P-tersedia, dan K-tersedia semuanya rendah.
2.4. Potensi Pengembangan Bawang Merah
Varietas Lembah Palu
Potensi lahan di Lembah Palu untuk pengembangan
bawang merah varietas ‘lembah palu’ masih cukup luas,
yaitu sekitar 27.558,9 ha yang tersebar di tiga wilayah
Kabupaten/kota. Lahan potensial untuk pengembangan
bawang merah tersebut sebagian besar merupakan areal
persawahan, masing-masing sekitar 25.000 ha tersebar di
kabupaten. Donggala dan Kabupaten Sigi (Dinas Pertanian
20
Kab. Donggala, 2006). Potensi lahan di Kota Palu meliputi
2.558,9 ha yang terdiri dari 1.656,06 kelas sesuai
marginal (S3) dan 903 ha kelas cukup sesuai (S2). Jika
potensi lahan seluas 2.558,9 ha dapat dioptimalkan
penggunaannya, maka kebutuhan bahan baku pada
kondisi konvensional dengan hasil rata-rata 3-4 ton.ha-1,
maka akan diperoleh produksi sebesar 2.895 ton/musim
tanam. Bawang merah varietas ‘lembah palu’ dipanen
pada umur 70 hari, maka dalam 1 tahun (3 MT), kota Palu
dapat memperoduksi 8.685 ton umbi segar pertahun. Bila
tersedia bahan baku, setiap unit industri pegolahan
bawang goreng membutuhkan sekitar 200-300 kg/hari
(hasil wawancara dengan pelaku industri pengolahan
bawang goreng), maka dalam 1 bulan membutuhkan
bahan baku 6.000-9.000 kg atau 6-9 ton/bulan. Ini
berarti untuk memenuhi kebutuhan 45 unit industri
pengolahan bawang goreng yang ada di kota Palu pada
saat ini diperlukan 270-405 ton bahan baku setiap bulan
atau 3.240-4.860 ton/tahun. Dengan pemanfaatan lahan
yang tersedia di Kota Palu melalui program ektensifikasi
dengan teknologi petani (konvensional), seluruh
kebutuhan industri pengolahan bawang goreng sebanyak
45 unit dapat dipenuhi bahkan jumlah industri pengolahan
dapat bertambah jumlahnya sebanyak 35 unit industri
pegolahan bawang goreng sehingga menjadi 80 unit
produksi.
21
Selama ini respon pemerintah daerah sudah ada
yang ditandai dengan ditetapkannya Sentra
Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU)
Bawang merah Palu di Kecamatan Sigi-biromaru, Dolo dan
Tawaeli seluas 25.000 ha pada tahun 2006, namun
demikian, hingga saat ini program ini tidak berjalan
sebagaimana diharapkan. Faktor lain yang dapat
mempengaruhi pengembangan bawang merah varietas
‘lembah palu’ sebagai salah satu komoditas unggulan
Sulawesi Tengah adalah adanya alih fungsi lahan
pertanian khususnya areal pengembangan bawang merah
menjadi lahan non pertanian seperti areal pertambangan,
perdagangan, perumahan dan industri.
22
BAB III.
BOTANI DAN SYARAT TUMBUH
3.1. Botani Tanaman Bawang Merah
Secara umum bawang merah juga dikenal dengan
nama brambang (Jawa), bawang beureum (Sunda) dan
dalam bahasa Inggris disebut shallot. Secara khusus
bawang merah varietas ‘lembah palu’ termasuk
kelompok bawang wakegi.
Bawang wakegi adalah merupakan hasil
persilangan alami antara Allium cepa dan Allium
fistolosum dengan tetua (parent) adalah Allium cepa
dan diyakini termasuk dalam kelompok agregatum
(Aggregatum group) (Grenet, 1994). Klasifikasi bawang
merah (varietas lembah palu) adalah sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Asparagales
Famili : Amaryllidaceae
Sub Famili : Allioideae
Genus : Allium
Spesies : Allium cepa var. Aggregatum
(G. Don, 1827).
23
Di Indonesia telah dikenal lebih dari 20 varietas
lokal bawang merah yang ditanam di beberapa tempat
(Sunarjono dan Soedomo, 1983). Bawang merah
mempunyai ciri-ciri: menghasilkan beberapa umbi lapis
secara bergerombol yang berasal dari pangkal daun yang
bersatu, membentuk batang-batang semu dan berakar
serabut.
Bentuk daun bawang merah bulat kecil dan
memanjang seperti pipa, tetapi ada juga yang
membentuk setengah lingkaran pada penampang
melintang daun, bagian ujungnya meruncing, sedangkan
bagian bawahnya melebar dan membengkak, berwarna
hijau. Bagian pangkal umbi membentuk cakram,
merupakan batang pokok yang tidak sempurna
(rudimenter). Pada bagian bawah cakram akan tumbuh
akar-akar serabut dan bagian atasnya akan tumbuh
tunas-tunas lateral, membentuk cakram baru yang
kemudian dapat membentuk umbi lapis; dan dengan cara
ini tanaman bawang merah dapat membentuk rumpun
tanaman. Pada setiap umbi dijumpai tunas lateral
sebanyak 2-20 tunas yang akan tumbuh membesar
menjadi umbi (Rahayu dan Berlian, 2007).
Menurut Setyobudi (1984) tanaman bawang merah
mempunyai 3 (tiga) fase pertumbuhan, yaitu: (1) fase
pembentukan anakan, merupakan fase tumbuhnya tunas-
tunas dari batang semu bawang merah dan periode ini
terjadi pada awal pertumbuhan, yakni pada seperempat
24
umur tanaman, (2) fase pembentukan umbi, merupakan
tahap pembentukan umbi pada kelopak daun, fase ini
terjadi setelah fase pertama dan waktunya setengah umur
tanaman, dan (3) fase pengisian umbi dan penuaan,
merupakan tahap pembesaran umbi hingga mencapai
maksimal dan bersamaan dengan adanya penuaan pada
daun dan waktunya adalah seperempat akhir umur
tanaman. Secara khusus, umur panen untuk bawang
merah ‘lembah palu’ yang diusahakan pada dataran
rendah < 300 m dpl. adalah 65-70 hst. (BPTP Sulteng,
2004).
Bawang merah tergolong tanaman sepanjang
tahun (annual plants), oleh karena itu produksi bawang
merah dapat dipenuhi setiap waktu. Tanaman bawang
merah ini tersebar luas mulai dari dataran rendah
sampai dataran tinggi, namun produksinya 71%
terdapat di dataran rendah (0-400 m dpl), sisanya
terdapat di dataran sedang dan dataran tinggi.
Anatomi daun bawang ditunjukkan tipe jaringan
sebagian besar dam berwarna hijau Terdapat lapisan
terluar yang dilapisi dengan kutikula lilin yang terdiri
atas banyak stomata cekung. Di bawahnya terdapat
tiga atau empat dari sel palisade yang berbentuk lajur.
Dalam lapisan palisade terdapat beberapa sel
memanjang yang saling berhubungan yang disebut
lacitifiers. Lacitifiers tersebut mengandung cairan
seperti susu yang akan keluar jika daun bawang
25
dipotong melintang. Cairan ini kaya akan sulfur yang
mengandung komponen rasa (flavour). Di bawah sel
palisade terdapat dua lapisan sel yang lebih besar
dan bulat yang dikelilingi oleh banyak ruang udara
antar sel. Banyak kloroflas dibentuk dalam sel ini,
dekat dengan dinding sel bersesuaian dengan ruang
udara. Di bawah lapisan. klorofil padat terdapat
seberkas pembuluh yang dikelilingi oleh sel parenkim
besar, pembuluh tersebut dikelilingi oleh lapisan
kompak dari sel yang memanjang yang membentuk
pelepah. Kloroflas pada lapisan sel ini menunjukkan
adanya pati.
Bawang merah dikarakteristikkan dengan bau dan
rasa yang tajam (pungent) dari komponen alliaceous.
Umbinya terbentuk dari penebalan dasar dari daun-
daun yang berdampingan/berdempetan pada tangkai
yang berbentuk kerucut, akar-akarnya meluas hanya
pada kedalaman yang rendah (dangkal). Substansi
pungent (terdapat pada bawang merah) dapat
meningkatkan sekresi air liur, merangsang sekresi
pankreas, meningkatkan sirkulasi darah, mengeluarkan
agent toxic (zat racun) dan merangsang sistem
kekebalan anti bakteri.
26
3.2. Syarat Tumbuh Tanaman Bawang Merah
3.2.1.Iklim
Pada umumnya tanaman bawang merah sangat
rentan terhadap kondisi iklim yang ekstrim, terutama
curah hujan yang tinggi, karena akan menyebabkan
daunnya mudah rusak atau menguning dan
mempengaruhi laju fotosintesis, sehingga menghambat
pertumbuhan dan perkembangan umbi, bahkan umbi
yang sudah terbentuk menjadi busuk. Curah hujan yang
sesuai untuk pertumbuhan tanaman bawang merah
‘lembah palu’ adalah antara 1.000-2.500 mm/tahun,
dengan intensitas sinar matahari penuh lebih dari 12 jam
sehari. Oleh sebab itu, tanaman ini tidak memerlukan
naungan atau pohon peneduh. Intensitas atau lamanya
penyinaran sinar matahari diperlukan tanaman untuk
proses fotosintesis dan pembentukan umbi. Bawang
merah yang ditanam di daerah yang tidak cukup
mendapat sinar matahari, misalnya tempat yang teduh
sering berkabut atau terlindung pepohonan, pembentukan
umbinya tidak sempurna, sehingga ukurannya menjadi
kecil-kecil, karena proses fotosintesis tidak berjalan
secara optimal.
Menurut Cys et al. (1993) kondisi lingkungan
dengan persediaan air yang cukup sangat sesuai untuk
pertumbuhan awal tanaman bawang merah, selanjutnya
kondisi panas dan kering diperlukan pada fase
27
pematangan, panen dan pengeringan. Bawang merah
menghendaki curah hujan 800-2500 mm/tahun
(Suyatno, 1984). Curah hujan optimum adalah 350-600
mm selama satu siklus pertumbuhan. Bawang merah
sangat peka dengan panjang hari, yaitu panjang hari 12-
13 jam diperlukan dalam periode pembentukan hasil (Cys
et al. 1993).
Bawang merah sangat sesuai ditanam di daerah
dataran rendah kurang dari 400 m dpl. yang suhu
udaranya relatif lebih tinggi dibandingkan pada dataran
tinggi, serta menghendaki udara kering, dan sinar
matahari yang cerah. Bawang merah yang ditanam di
daerah dengan suhu udara rendah dan dingin
pertumbuhannya terhambat, bahkan tanaman tidak dapat
menghasilkan umbi.
Suhu udara yang optimal untuk pertumbuhan
tanaman bawang merah adalah 23-32 oC, sedangkan suhu
rata-rata yang baik untuk menghasilkan umbi yang
banyak adalah 30oC (Sunarjono dan Soedomo, 1983).
Suhu udara yang ideal untuk tanaman bawang merah
secara umu adalah 25o-30oC, namun masih toleran
terhadap temperatur rendah 22oC, walaupun hasilnya
tidak begitu baik. Bawang merah yang ditanam di daerah
dengan suhu di bawah 22oC, pembentukan umbinya
terhambat, bahkan sering tidak membentuk umbi sama
sekali atau yang aktif adalah pertumbuhan vegetatifnya
saja. Untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik
28
serta hasil produksi yang optimal, secara umum tanaman
bawang merah menghendaki kelembapan udara nisbi
antara 60%-70%.
Faktor iklim lainnya yang seringkali berpengaruh
pada pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah
adalah angin. Hal ini dapat disebabkan karena sistem
perakaran tanaman bawang merah adalah akar serabut,
dengan kedalaman perakaran yang kurang dalam,
sehingga angin yang berhembus kencang dapat secara
langsung menyebabkan kerusakan tanaman, bahkan
tanaman seringkali roboh atau tercabut dari media tanam.
Angin juga berpengaruh terhadap kondisi tanah dan
proses fisiologis tanaman, yang selanjutnya secara tidak
langsung juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman.
Angin berhembus kencang dalam waktu lama khususnya
pada siang hari akan mempercepat proses penguapan air,
sehingga tanah menjadi cepat kering dan mengeras,
menyebabkan komposisi udara dan air dalam tanah
menjadi tidak seimbang. Akibatnya, kebutuhan air dan
oksigen untuk pernafasan akar tanaman menjadi tidak
tercukupi dan menghambat pertumbuhan tanaman dan
menurunkan hasil tanaman bawang merah. Pada fase
awal pertumbuhan tanaman bawang merah
membutuhkan lengas tanah yang tinggi, kemudian secara
berangsur akan menurun pada fase pematangan,
pembesaran umbi dan menjelang panen.
29
3.2.2.Tanah
Pada umumnya tanaman bawang merah dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik pada semua jenis
lahan, termasuk lahan sawah, tanah tegalan atau lahan
pekarangan. Bawang merah banyak diusahakan pada
tanah aluvial, karena jenis tanah ini mempunyai
penyebaran paling luas, sekitar 70,25 juta ha atau 37,5 %
dari luas daratan Indonesia (Puslitbangtanak, 2000). Jenis
tanah Inceptisol memiliki kelas tekstur beragam mulai
dari klei, lom sampai berpasir (Subagyo et al. 2004).
Brady (1990) dan Sanchez (1992) menyatakan bahwa
tanah bertekstur pasir mempunyai produktivitas rendah,
karena rendahnya kandungan nitrogen, daya simpan
lengas dan kapasitas pertukaran kation (KPK) rendah,
menyebabkan efisiensi penambahan hara rendah, karena
rendahnya kandungan bahan organik dan lempung,
sehingga daya menahan hara rendah akibatnya banyak
hara yang ikut terlindi bersama air perkolasi.
Syarat tanah yang baik untuk bawang merah
adalah subur, gembur dan banyak mengandung bahan
organik atau humus. Tanah dengan kandungan bahan
organik cukup dapat dengan mudah mengikat air (porous)
serta mempunyai aerasi (peredaran oksigen) yang baik.
Jenis tanah yang dapat memenuhi persyaratan tersebut
diatas, mampu mendukung petumbuhan dan
perkembangan tanaman bawang merah, sehingga
30
menghasilkan umbi yang banyak dengan kualitas yang
baik.
Tekstur tanah lom (loamy) lebih sesuai untuk
bawang merah, dengan kedalaman lapisan tanah cukup
untuk mendukung pertumbuhan perakaran tanaman,
yang dapat tumbuh maksimum hingga 0,5 m. Jenis tanah
yang paling sesuai untuk tanaman bawang merah adalah
tanah jenis dengan tekstur lempung berpasir atau
lempung berdebu, karena jenis tanah mempunyai sistem
tata udara (aerasi) dan tata air (drainase) cukup baik.
Kondisi tanah jenis ini juga tidak akan menyebabkan
genangan air yang akan menyebabkan timbulnya
berbagai macam organisme pengganggu tanaman,
terutama cendawan yang merusak tanaman beserta
umbinya.
Tanaman bawang merah akan tumbuh baik pada
tanah dengan kisaran pH optimum 5,8-7,0, tetapi
tanaman bawang merah masih toleran terhadap tanah
dengan pH 5,5. Kriteria pH yang baik adalah 5,5-8,2
dengan pH optimum adalah 6,0-7,8 (Cys et al., 1993).
Nilai kadar garam yang tidak menurunkan hasil apabila
daya hantar listrik (electrical conduction) kurang dari 1,2
dS/m; dan hasil akan menurun 10 % pada 1,8 dS/m, 25
% pada 2,8 dS/m, 50 % pada 4,3 dS/m dan 100 % pada
6,0 dS/m. Tanah yang masam dengan nilai pH <5,5 akan
menyebabkan garam aluminium (Al) dalam tanah bersifat
racun (toxic), sehingga tanaman tumbuh kerdil,
31
sebaliknya jika tanah terlalu basa dengan nilai pH >7
akan menyebabkan tanaman tidak dapat menyerap unsur
hara Mangan (Mn), sehingga tanaman mengalami
kekurangan unsur hara Mn, dan umbi bawang merah yang
dihasilkan berukuran kecil-kecil; selanjutnya bawang
merah tanggap terhadap pemberian hara mikro, seperti:
Cu dan Mo, sedangkan Bo diperlukan 0,1-0,5 ppm di
dalam tanah dan toleran dengan konsentrasi tinggi (Cys
et al., 1993).
3.3. Syarat Agronomi Bawang Merah Lembah Palu
Tanaman bawang merah varietas ‘lembah palu’
tidak dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di
sembarang tempat atau daerah. Tanaman bawang merah
varietas ‘lembah palu’ menuntut persyaratan-persyaratan
tertentu, terutama persyaratan ekologi (lingkungan).
Kegagalan akan terjadi apabila budidaya yang dilakukan
tidak memperhatikan lingkungan yang sesuai dengan sifat
tanaman. Tanaman akan tumbuh merana dan
produksinya rendah, bahkan sering kali tidak
menghasilkan umbi bila persyaratan tumbuhnya tidak
terpenuhi.
Tanaman bawang merah Palu sangat sesuai jika
ditanam di dataran rendah dengan ketinggian kurang dari
400 meter dari permukaan laut (mdpl.) (Mentan, 2011),
namun dapat juga tumbuh pada ketinggian di atas 400
mdpl hingga 1.100 mdpl., tetapi perlu diikuti dengan
32
teknologi modifikasi lingkungan mikro, seperti pemberian
sungkup dan mulsa, walaupun hasilnya secara kuantitas
maupun kualitas lebih rendah dibandingkan jika ditanam
di dataran rendah (Bahrudin dan Muhammad-Ansar,
2015). Bawang merah ‘lembah palu’ membutuhkan iklim
yang kering dengan intensitas penyinaran yang tinggi dan
harus ditunjang dengan ketersediaan air tanah yang
cukup. Dengan demikian budidaya bawang merah di
Lembah Palu dapat dikembangkan. Bawang merah
‘lembah palu’ yang ditanam di dataran rendah 100 m dpl.
akan memberikan hasil lebih tinggi jika kondisi lengas
tanah selalu dalam kondisi kapasitas lapangan
(Muhammad-Ansar, 2012).
Dengan demikian untuk budidaya bawang merah
‘lembah palu’ faktor lingkungan tumbuh harus menjadi
perhatian utama, yaitu aspek tanah serta aspek iklim,
terutama ketinggian tempat, curah hujan, suhu udara dan
tanah, kelembapan udara dan tanah, intensitas sinar
matahari dan angin.
Ketinggian tempat di atas permukaan laut
berpengaruh terhadap umur panen bawang merah
‘lembah palu’. Umur panen bawang merah yang ditanam
pada dataran tinggi (800 m dpl.) rata-rata lebih lama 5-
10 hari dibandingkan jika ditanam di dataran rendah (100
m dpl.), dan kadar air umbi lebih tinggi pada dataran
tinggi, namun ukuran umbi yang dihasilkan tidak berbeda
nyata (Muhammad Ansar, 2012) .
33
BAB IV.
PENGELOLAAN BENIH BAWANG MERAH
4.1. Pengantar
Benih adalah aspek penting dalam keberhasilan
budidaya, karena keunggulan benih baru akan terlihat
sesudah tanaman memasuki umur produksi dan sebagai
salah satu sarana budidaya tanaman yang mempunyai
peranan dalam upaya peningkatan produksi dan mutu
hasil produksi. Selanjutnya akan meningkatkan
pendapatan petani dan kesejahteraan masyarakat. Benih
merupakan awal kehidupan suatu tanaman seperti dalam
istilah disebutkan “Beginning of Life” artinya awal
kehidupan. Benih merupakan awal kehidupan dari suatu
kegiatan budidaya tanaman. Artinya bahwa dengan benih
maka suatu tanaman dapat meneruskan sifat-sifat yang
dimilikinya.
Menurut Undang-Undang Sistem Budidaya
Tanaman, yang dimaksud dengan benih adalah tanaman
atau bagian dari tanaman yang digunakan untuk
mengembangbiakkan tanaman tersebut. Bawang merah
Lembah Palu tidak memiliki biji sehingga yang digunakan
sebagai benih adalah benih vegetatif yaitu berupa umbi
semu.
Pembangunan pertanian nasional bertujuan
mengatasi kekurangan pangan dalam jumlah dan mutu
melalui sistem perbenihan tanaman. Untuk mencapai
34
tujuan tersebut maka sistem perbenihan diarahkan ke
pengembangan sistem yang murah, tepat waktu dan
mudah dijangkau petani. Sistem tersebut menjadi salah
satu strategi pembangunan dibidang hortikultura.
Benih yang dimaksud adalah yang mampu memberi
hasil maksimal sesuai potensi hasilnya. Food and
Agriculture organization (FAO) melaporkan bahwa terjadi
kemerosotan produksi sekitar 2,6% pada tiap generasi
pertanaman. Kemerosotan tersebut diakibatkan
penggunaan benih yang kurang terkontrol mutunya.
Penggunaan benih bermutu dapat mengurangi resiko
kegagalan budidaya. Benih bermutu lebih tahan terhadap
serangan hama dan penyakit serta mampu tumbuh baik
pada kondisi lahan yang kurang menguntungkan.
Permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan
budidaya tanaman terkait dengan penggunaan benih
unggul meliputi ; informasi benih unggul yang masih
terbatas sehingga pengetahuan masyarakat akan manfaat
benih unggul bermutu masih rendah, terbatasnya
ketersediaan benih bermutu, lokasi sumber benih yang
tidak sesuai dengan daerah pengembangan, mahalnya
harga benih, belum tersedianya sumber benih jenis
tertentu.
Sampai saat ini masih banyak petani yang tetap
menggunakan benih lokal sebagai benih yang diperoleh
dari hasil panen sebelumnya. Secara tradisional petani
melakukan pemilihan pada waktu pemungutan hasil atau
35
panen, seperti pemilihan hasil seleksi untuk benih bawang
merah. Benih yang berasal dari tanaman yang baik
disisihkan, dirawat dan disimpan dengan baik, dengan
cara tersebut tingkat mutu dan hasil tanaman belum tentu
baik, jika dibandingkan dengan benih yang telah melalui
tahapan pengujian mutu. Penggunaan benih asalan atau
benih ilegitim banyak terjadi disebabkan oleh kesenjangan
permintaan dan kemampuan produksi benih, kurang
informasi dan pengetahuan mengenai bahan tanam yang
baik dan benar, harga benih ilegitim lebih murah
dibanding benih unggul, dan prosedur pembelian benih
dari produsen yang ditunjuk pemerintah dianggap masih
banyak masalah oleh sebagian konsumen. Akibatnya
dapat menurunkan produktivitas dan merusak citra
produsen benih yang dipalsukan.
Kebijakan pemerintah dalam mendukung program
perbenihan melalui menyediakan benih unggul dan
bermutu melalui prinsip 6(enam) tepat (waktu, jumlah,
lokasi, jenis, mutu dan harga). Strategi pengembangan
pola kemitraan usaha dengan swasta/penangkar
benih/asosiasi petani di wilayah pengembangan dapat
menjadi salah satu acuan bagi pemerintah untuk
mendorong industri perbenihan yang menyediakan benih
yang terjamin mutunya. Wujud dari pola kemitraan usaha
tersebut salah satunya adalah melalui pengembangan
industri perbenihan dan Model Waralaba; (Franchising).
36
Dengan usaha tersebut diatas diharapkan akan tercipta
usaha perbenihan yang profesional.
Adapun untuk mengantisipasi atau mengurangi
peredaran dan penggunaan benih ilegitim adalah dengan
melakukan peran dan program produksi benih kedepan
yang sesuai dengan Permentan Nomor
08/Permentan/SR.120/3/2015 seperti:
1. Pasal 7 ayat (1) Produsen benih yang akan
memproduksi benih harus menguasai lahan, sarana
pengolahan benih, dan sarana penunjang yang
memadai sesuai dengan jenis benihnya, serta tenaga
yang mempunyai pengetahuan di bidang perbenihan.
2. Pasal 15 ayat (1) Untuk memproduksi benih bina
mengikuti prosedur baku sertifikasi benih bina atau
sistem standarisasi nasional.
3. Pasal 15 ayat (2) Proses sertifikasi benih bina
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Pemeriksaan terhadap:
- Kebenaran sumber benih;
- Lapangan dan pertanaman;
- Isolasi tanaman agar tidak terjadi persilangan liar;
- Alat panen dan pengolaahan benih;
- Tercampurnya benih; dan
- Pengolahan benih untuk tanaman pangan.
b. Pengujian laboratorium untuk menguji mutu benih
yang terdiri atas mutu fisik, fisiolagis, dan/atau
37
tanpa kesehatan benih, sedangkan untukkemurnian
genetik diambilkan dari hasil pemeriksaan
lapangan.
c. Pengawasan pemasangan label.
Dengan demikian peranan pemerintah sangat
dibutuhkan dalam penanganan benih tanaman
sehingga dapat menghasilkan benih yang unggul
dan bermutu. Penggunaan teknologi yang baik
untuk menghasilkan benih yang baik juga sangat
dibutuhkan serta kerja sama antar pihak-pihak
yang terkait dapat mengurangi penggunaan bibit
palsu yang beredar sehingga benih dapat
menunjang peningkatan produksi.
Secara umum, klasifikasi benih adalah sebagai berikut:
1. Benih Pejenis (BS), yaitu benih yang dihasilkan oleh
pemulia tanaman. Perbanyakan benih tersebut
diselenggarakan atas bimbingan dan pengawasan
pemulia tanaman.
2. Benih Dasar (BD), berupa benih keturunan benih
pejenis. Perbanyakan benih dasar dilakukan oleh
institusi dan lembaga pemerintah dan atau swasta
yang memenuhi persyaratan, di bawah pengawasan
Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih atau Lembaga
yang berwenang.
3. Benih Pokok (BP), berupa benih keturunan benih dasar
atau benih pejenis. Perbanyakan benih pokok
38
dilakukan oleh lembaga pemerintah dan swasta di
bawah pengawasan Balai Pengawasan dan Sertifikasi
Benih atau Lembaga berwenang.
4. Benih Sebar (BR), yaitu benih keturunan dari benih
pokok. Perbanyakan benih sebar dilakukan oleh
lembaga pemerintah atau swasta penangkar benih di
bawah pengawasan Balai Pengawasan dan Sertifikasi
Benih.
4.2. Perkembangan perbenihan bawang merah
Lembah Palu
Bawang merah vaietas lembah palu dikembangkan
pada beberapa lokasi sentra produksi di kawasan Lembah
Palu, diantaranya yaitu: Tavanjuka, Kayumalue, Duyu,
Solouve, Guntarano, Bulupontu Jaya dan Olobojo. Hasil
penelitian Bahrudin dkk (2014) menunjukkan bahwa
terjadi perbedaan nyata asal benih dengan vigor dan
viabilitanya, dimana benih bawang merah asal Solouwe
memiliki viabilitas dan vigor tinggi ditunjukkan dengan
daya kecambah, kecepatan berkecambah, indeks vigor
hipotetik dan berat kering tanaman lebih tertinggi, diikuti
oleh umbi yang berasal dari Tavanjuka, Duyu dan
Kayumalue. Benih bawang merah ‘lembah palu’ asal
Bulupontu Jaya dan Olobojo memiliki viabilitas dan vigor
sangat rendah dibandingkan dengan lokasi sumber umbi
lainnya di Lembah Palu.
39
Faktor utama penyebab produktivitas bawang
merah ‘lembah palu’ semakin rendah adalah karena
kemurnian bibit yang diusahakan pada beberapa sentra
semakin menurun karena tercampur dengan bibit bawang
merah lain yang produktivitas dan mutunya rendah dan
tidak lagi sesuai dengan karaktaristik bawang merah
‘lembah palu’.
Bawang merah varietas Lembah Palu, merupakan
bawang yang tidak dapat berbunga. Akibatnya, bawang
ini tidak memiliki biji sehingga memiliki keragaman
genetik yang sempit. Hingga saat ini perbanyakan bawang
Lembah Palu diperbanyak secara vegetatif menggunakan
umbi. Perbanyakan dengan umbi memiliki kelemahan
dimana umbi tersebut kemungkinan telah terinfeksi
patogen. Cara perbanyakan lain adalah dengan biji yang
lebih murah namun penyediaan biji bawang merah
Lembah Palu tidak dapat dilakukan, hal ini disebabkan
oleh genetik dari bawang tersebut. Teknik in vitro
merupakan cara lain yang dapat menyediakan sejumlah
bibit tanaman dalam waktu yang relatif cepat, bebas dari
patogen (jamur dan bakteri) atau virus, klonal dan
tersedia tanpa dipengaruhi musim.
Penelitian dasar yang telah dilakukan dalam rangka
penyediaan benih bermutu antara lain: mencari
lingkungan mikro yang sesuai untuk pembentukan benih
bawang merah dan upaya melindungi dari gangguan
organisme pengganggu tanaman (OPT). Mencari lokasi
40
adaptif untuk pembentukan dan penyimpanan umbi benih.
Dari beberapa hasil penelitian diperoleh bahwa ada
keterkaitan antara kearifan lokal masyarakat dengan
ketersedian benih bawang merah. Berdasarkan hal
tersebut maka penelitian selanjutnya merujuk dan
memadukan antara kearifan lokal dan teknologi produksi
benih serta teknologi kultur jaringan guna penyediaan
benih bawang merah.
Untuk menemukan tanaman induk sebagai bahan
eksplan maka dilakukan penelitian disentra pertanaman
bawang merah. Pertanaman bawang merah di Lembah
Palu tersebar di 21 lokasi pada tiga wilayah kabupaten
yaitu: Kota Madya Palu, Kabupaten Donggala dan
Kabupaten Sigi, namun dari 21 lokasi tersebut hanya
enam wilayah yang kontinyu melakukan pertanaman,
ditunjukkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengaruh berbagai wilayah produksi sumber benih terhadap: jumlah anakan, jumlah umbi (buah), diameter umbi (cm) dan hasil (t ha-1)
41
Upaya untuk mengetahui wilayah adaptif,
kebutuhan hara kalium dan ukuran umbi calon umbi benih
telah dilakukan seperti ditujukkan pada Tabel 4 dan Tabel
5.
Tabel 5. Pengaruh ketinggian tempat tanam, ukuran umbi dan dosis kalium terhadap hasil (t ha-1)
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-masing kombinasi perlakuan berarti tidak berbeda nyata (Duncan’s multiple range test P<0,05). U1=1,7 g/umbi - 2,3 g/umbi, U2= 2,4 g/umbi – 3,0 g/umbi.
Untuk menguji serta mengkaji calon umbi benih
yang telah dibudidayakan pada berbagai wilayah
ketinggian, maka dilanjutkan dengan penyimpanan calon
umbi benih tersebut pada ketinggian yang sama dan
hasilnya ditunjukkan pada Tabel 4 dan Tabel 5. Untuk
menguji serta mengkaji calon umbi benih yang telah
dibudidayakan dan disimpan pada berbagai wilayah
ketinggian, maka dilakukan penanaman umbi benih
42
tersebut pada ketinggian 300 m dpl dan hasilnya
ditunjukkan pada Tabel 4. Lokasi ketinggian tempat
penanaman dan penyimpanan adaptif, penggunaan
ukuran umbi benih dan pemberian kalium sesuai
kebutuhan tanaman. Kombinasi tersebut merupakan
suatu kombinasi yang tidak dapat terpisahkan dalam
memperbaiki dan meningkatkan mutu umbi benih
bawang merah Lembah Palu. Usaha untuk memperoleh
benih bebas virus maka dilakukan penelitian peningkatan
kualitas benih melalui teknologi kultur jaringan, seperti
yang terlihat pada Gambar 3 dan Gambar 4, Tabel 5 dan
Tabel 7.
Gambar 3.a. Permukaan umbi yang mulai berubah membentuk struktur seperti kalus. b. Bentuk seperti tunas abnormal dari watery callus. c. Kalus globular yang muncul lebih lambat. d. Kalus embrigenik sebagai sumber explan.
Kalus berbentuk globular, berwarna kekuningan,
remah sampai agak kompak, terbentuk lebih lambat,
sekitar minggu ke 3-4, mula-mula sekitar bagian pangkal
umbi yang mulai kehilangan bentuk aslinya (Gambar 3c).
Kalus tipe inilah yang bersifat embriogenik, yang
kemudian berkembang menjadi tunas (Gambar 3d).
43
Tabel 6. Pengaruh ketinggian tempat tanam, ukuran umbi dan dosis kalium terhadap kekerasan umbi (mm N-1)
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing- masing kombinasi perlakuan berarti tidak berbeda nyata (Duncan’s multiple range test, P<0,05). U1= 1,7 g/umbi - 2,3 g/umbi, U2= 2,4 g/umbi – 3,0 g/umbi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan
kinetin sampai 0.50 mg/L pada media dasar MS, memacu
embrio globular untuk beregenerasi membentuk embrio
dewasa berbentuk bipolar. Struktur bipolar dari embrio
tersebut kemudian berkecambah membentuk bakal tunas
mikro (Gambar 4).
44
Gambar 4. A. Embryo globular sebagai eksplan. B. Embryo bipolar. C. Tunas Dari watery callus. D. Tunas dari kalus embriogenik.
Hasil analisis keragaman terhadap persentase
embrio dewasa, yaitu embrio yang beregenerasi
membentuk embrio bipolar menunjukkan bahwa
konsentrasi kinetin yang diaplikasikan sangat nyata
mempengaruhi persentase embrio dewasa 6 minggu
setelah kultur.
Tabel 7. Persentase embrio dewasa 6 minggu setelah kultur.
Perlakuan Rata-rata persentase embrio dewasa (%)*
Kinetin 0,00 ppm 2,960b
Kinetin 0,25 ppm 26,173a
Kinetin 0,50 ppm 26,913a
*Keterangan: Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada DMRT 1%.
Hasil uji lanjut DMRT pada taraf 1% atas perbedaan
rata-rata persentase embrio dewasa akibat penambahan
kinetin dapat dilihat pada Tabel 7 di atas. Hasil analisis
keragaman terhadap persentase embrio dewasa yang
berkecambah, yaitu embrio dewasa yang membentuk
45
tunas menunjukkan bahwa konsentrasi kinetin yang
diaplikasikan sangat nyata mempengaruhi persentase
embrio dewasa yang bertunas 8 minggu setelah kultur.
Sementara itu 2,4-D yang diaplikasikan pada kisaran
konsentrasi yang sama dan interaksi antara kedua zat
pengatur tumbuh tersebut, tidak berpengaruh pada
persentase embrio dewasa yang bertunas seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 8.
Tabel 8. Pengaruh ketinggian tempat simpan, asal mutu benih dan cara simpan terhadap total padatan terlarut (obrix) 8 MSP
Keterangan: Nilai yang diikuti huruf sama pada masing- masing kombinasi
perlakuan berarti tidak berbeda nyata (DMRT, P<0,05). U1= umbi kecil, U2= umbi besar, K1= 100 kg KCl/ha, K2= 150 kg KCl/ha, K3= 200 kg KCl/ha, K4= 250 kg.
46
Tabel 9. Persentase embrio dewasa berkecambah 8 minggu setelah kultur
Perlakuan Rata-rata persentase
embrio dewasa berkecambah(%)*
Kinetin 0,00 ppm 0,000 b
Kinetin 0,25 ppm 43,220 a
Kinetin 0,50 ppm 43,318 a
*Keterangan: Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada DMRT 1%.
Tabel 10. Pengaruh ketinggian tempat simpan, asal mutu benih dan cara simpan terhadap persentase umbi rusak (%)
47
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing-
masing kombinasi perlakuan berarti tidak berbeda nyata (Duncan’s multiple range test, P<0,05). U1= umbi kecil, U2= umbi besar, K1= 100 kg KCl/ha, K2= 150 kg KCl/ha, K3= 200 kg KCl/ha, K4= 250 kg KCl/ha
48
Tabel 11.
Budid
aya d
an P
ascapanen
Pro
duksi B
enih
Baw
ang M
era
h
L
em
bah
Palu
pad
a W
ilayah 3
00 m
dpl
Kete
rangan:
DT=
daya t
um
buh,
KB=
kecepata
n b
erk
ecam
bah,
KA=
kadar
air,
T
PT=
tota
l padata
n t
erl
aru
t, KU
= k
ekera
san u
mbi, M
ST=
min
ggu s
ete
lah t
anam
.
49
Tabel 12. Pengaruh asal mutu benih terhadap kadar air umbi (%), kekerasan umbi (mmN-1), total padatan terlarut (obrix), berat kering tanaman (g), dan hasil (t ha-1)
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada masing- masing kombinasi perlakuan berarti tidak berbeda nyata (Duncan’s multiple range test, P<0,05). T1= 100 m dpl, T2= 300 m dpl, T3=500 m dpl, U1= umbi kecil, U2= umbi besar, K1= 100 kg KCl/ha K2= 150 kg KCl/ha, K3= 200 kg KCl/ha, K4= 250 kg KCl/ha.
4.3. Syarat dan karakteristik benih bawang merah Lembah Palu
Bawang merah di Indonesia terdapat 165 klon dan
26 klon diantaranya yang tersebar di Sumatera, Jawa
Barat dan Sulawesi merupakan klon bawang wakegi. Asal
mula bawang wakegi berasal dari hibridisasi alami antara
Allium fistulosum dan Allium ascalonicum Berdasarkan
dendogram hubungan kekerabatan berdasarkan kariotipe
dan analisis RAPD bawang merah Lembah Palu, berada
satu kluster dengan bawang Sumenep dan Palasa
50
merupakan dan merupakan kelompok bawang Wakegi.
Jumlah kromosom bawang Lembah Palu yaitu: 2n = 16,
dengan rumus kariotipe 12 m + 4 sm. Bawang wakegi
yang banyak dibudidayakan di Indonesia tidak dapat
berbunga, akibatnya, bawang wakegi memiliki
keragaman genetik yang sempit. Apabila ditanam secara
terus menerus menggunakan umbinya dapat menurunkan
produksi bawang wakegi.
Untuk menghasilkan benih bermutu tinggi, maka
produksi benih hendaknya dilakukan di daerah yang
memiliki persyaratan lingkungan yang sesuai, yaitu
lingkungan yang paling adaftif bagi budidaya dan
pascapanen bawang merah.Umumnya perbanyakan benih
bawang merah ditingkat petani dilakukan secara
konvensional, dengan melakukan perbanyakan dengan
dua tujuan yaitu umbi untuk komsumsi dan umbi untuk
benih.
Tabel 13. Spesifikasi persyaratan mutu umbi
51
Standarisasi mutu benih berdasarkan mutu fisik
umbi untuk bawang merah sampai saat ini belum
tersedia. Persyaratan mutu umbi yang dikeluarkan oleh
Pemerintah (SNI 2004 a-c) umumnya menekankan pada
penyakit dan jamur yang terikut pada umbi (Tabel 13).
Benih diperoleh dari tanaman induk melalui proses
seleksi calon benih sejak dipertanaman hingga panen.
Kegiatan seleksi tersebutbertujuan untuk memilih umbi
yang sehat, warna cerah, menyisihkan umbi tipe
simpang,dan umbi berwarna kusam dan cacat.
Dalam memproduksi benih bermutu tidak terlepas
dari penentuan masak fisiologis,karena waktu panenyang
tepat menentukan tingkat mutu fisiologis suatu
benih.Tolok ukur yang digunakanuntuk menentukan jika
benih tersebut telah mencapai tingkat masak fisiologis
pada umbi antara lain: berat kering benih, persentase
kandungan kadar air, daya tumbuh dan kecepatan
berkecambah. Selanjutnya pada calon umbi benih bawang
merah terukur melalui kandungan total padatan terlarut
atau total soluble solid (TSS), tingkat kekerasan umbi dan
kadar air.
Ukuran benih merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi perbedaan vigor, hasil dan mutu. Ukuran
benih menjadi faktor penting dalam memaksimalkan hasil
dan sering dipakai sebagai indikasi benih bermutu.
Sebaliknya ukuran umbi benih merupakan salah satu
faktor penentu mutu umbi bawang merah. Umumya pada
52
umbi benih berukuran besar terdapat kecenderungan
untuk dapat menyediakan cadangan makanan yang lebih
banyak. Pada varietas bawang merah berukuran besar
membutuhkan umbi benih sekitar 1,3 - 2,6 t ha-1. Benih
yang digunakan terseleksi dari pertanaman sehat, dan
dipanen jika telah mencapai tingkat masak fisiologis yaitu
pada umur ± 70 - 75 hari.
Umbi benih yang berukuran besar mempunyai
berat umbi yang lebih besar dibanding umbi benih
berukuran kecil. Dengan demikian, berat umbi suatu
benih juga akan memberi pengaruh terhadap kevigoran
umbi benih. Umbi yang lebih besar dapat menghasilkan
ukuran kecambah dua kali lipat dengan kemampuan
berfotosintesis lebih tinggi dibandingkan dengan umbi
kecil.
Ukuran umbi benih berkorelasi positif dengan
kandungan cadangan makanan. Cadangan makanan akan
mempengaruhi berat suatu benih. Kondisi ini akan
mempengaruhi kecepatan tumbuh benih dan hasil per
hektar. Umbi benih yang berukuran besar akan memiliki
persediaan stock makanan yang lebih banyak dan pada
akhirnya berpotensi menghasilkan perkecambahan
tanaman yang sempurna.
Jumlah umbi bawang per rumpun berkisar 2–8
umbi, berarti semakin banyak jumlah umbi yang
dihasilkan maka berat dan ukuran per umbinya semakin
kecil. Berat umbi benih siap tanam per rumpun berkisar
53
2,6 g - 14,8 g. Umbi untuk benih sebaiknya diambil dari
tanaman yang anakannya tidak terlalu banyak.
Untuk mematahkan dormansi umbi maka calon
benih dilakukan penyimpanan selama ±2 bulan. Benih
bawang berumur pendek mudah kehilangan viabilitas dan
vigornya, terutama apabila penyimpanannya kurang baik.
Viabilitas dan vigor benih akan mundur bila dibiarkan
dalam tempat terbuka. Setelah panen benih disimpan
dalam waktu kurang lebih dua bulan pada suhu kamar.
Mundurnya viabilitas benih juga disebabkan oleh kondisi
lingkungan yang tidak optimum. Proses kemunduran
benih akan terus berlangsung selama penyimpanan
sampai akhirnya mati. Salah satu indikasi dari
kemunduran benih adalah penurunan perkecambahan dan
perkecambahan benih tidak normal.
Penyimpanan benih bertujuan untuk
mempertahankan viabilitas dari suatu benih atau lot benih
dalam periode simpan yang sepanjang mungkin. Viabilitas
benih yang dipertahankan adalah viabilitas maksimum
benih yang dicapai pada saat benih mencapai tingkat
masak fisiologis. Selain itu penyimpanan benih bertujuan
untuk menyediakan cadangan atau stock benih bermutu
dari satu musim ke musim berikutnya, serta untuk
menyediakan benih dengan mutu yang tetap baik untuk
musim tanam berikutnya. Penyimpanan juga dilakukan
apabila jumlah benih yang diproduksi lebih banyak dari
pada jumlah yang dibutuhkan. Sebaliknya untuk bawang
54
merah penyimpanan umbi benih juga bertujuan untuk
mematahkan dormansinya. Dormansi umbi dapat
berlangsung ± 60 hari – 80 hari.
Hasil penelitian Muhammad Ansar dkk. (2015)
menunjukkan bahwa umur panen 65-70 hari setelah
tanam dengan lama simpan 30-40 hari setelah panen
menghasilkan vigor dan viabilitas umbi bawang merah
varietas ‘lembah palu’ lebih baik, yakni memiliki daya
kecambah tertinggi (100%), sebaliknya umur panen 75
hari setelah tanam mengalami penurunan daya kecambah
6-17%, jika disimpan selama 50-60 hari setelah panen;
serta waktu tumbuh dan kecepatan berkecambah lebih
baik dibandingkan perlakuan lainnya.
Daya simpan benih adalah kemampuan benih untuk
dapat mempertahankan viabilitasnya selama kurun
waktu tertentu, dan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain faktor genetik misalnya struktur, komposisi
kimia benih. Pada faktor lapang misalnya cara
memproduksi benih di lapang, sedangkan faktor kondisi
penyimpanan benih misalnya tempat penyimpanan benih.
Penyimpanan benih memerlukan berapa pertimbangan
dalam hal kadar air, hal ini diakibatkan oleh persentase
kandungan kadar air benih. Penyimpanan benih yang
berkadar air tinggi beresiko untuk terserang cendawan
lebih tinggi.
55
Benih memiliki kemampuan untuk
menyeimbangkankan kandungan kadar air dengan
lingkungan sekitarnya, akibatnya benih akan mengalami
deteorasi tergantung dari besar kecilnya faktor
kelembaban relatif udara dan suhu lingkungan dimana
benih tersebut disimpan. Dalam lot benih yang telah
mundur, benih tersebut akan mengalami kehilangan daya
tumbuh yang paling awal. Mundurnya viabilitas benih
merupakan proses yang berjalan bertingkat dan kumulatif
akibat perlakuan yang diberikan kepada benih tersebut.
Benih bawang merah Lembah Palu setelah
penjemuran memiliki kadar air sekitar 76%-80%. Kadar
air tinggi menyebabkan benih tersebut mudah
berkecambah (45 hari setelah panen), dan terserang
mikroba (benih busuk) di penyimpanan. Hal ini menjadi
permasalahan pada pembenihan bawang merah antara
lain : umur simpan sangat pendek 45 - 60 hari; susut
bobot sangat tinggi lebih dari 30%; serangan hama dan
penyakit di penyimpanan.
Penyimpanan bawang merah pada suhu 30OC
memberikan kualitas baik, karena setelah delapan minggu
penyimpanan kekerasan umbinya masih tinggi (2,5
mm/50 g/10”), kerusakan rendah (5%) dan VRS tinggi
(69,01 mikrogrek/g). Bawang merah yang disimpan pada
suhu 20OC lebih baik dibanding penyimpanan pada suhu
0OC dan 10OC.
56
Persentase kadar air dan nilai susut umbi benih
bawang merah Lokal Palu selama penyimpanan untuk
pematahan dormansi tergantung pada varietas dan
lamanya benih tersebut disimpan. Varietas Lembah Palu
dan Palasa yang disimpan selama 60 hari, persentase
kadar airnya menurun sekitar 74% – 76%, namun
persentase nilai susut varietas Lembah Palu lebih besar
yaitu: 50%, sedangkan varietas Palasa hanya: 35%. Daya
tumbuh varietas varietas Lembah Palu dan Palasa setelah
mengalami penyimpanan selama 60 hari semakin baik
pada kelembaban udara 61% dan Suhu 310C.
Mutu bawang menurun dicirikan dengan penurunan
kadar air tinggi, tumbuhnya tunas, pelunakan umbi,
tumbuhnya akar, busuk, susut bobot sangat tinggi lebih
dari 30%. Ciri lain mutu umbi yang mulai menurun adalah
rendahnya toleransi terhadap kondisi simpan yang kurang
sesuai dan kondisi sub optimum selama perkecambahan.
Umur simpan umbi yang sangat pendek tidak dapat
dirubah karena memang secara genetis umbi bawang
merah berair. Kriteria umbi benih bermutu bawang merah
Lembah Palu ditunjukkan pada Tabel 14.
57
Tabel 14. Kriteria umbi benih bermutu bawang merah Lembah Palu
No. Peubah Pengamatan Kriteria Benih Bermutu Bawang Lembah Palu
1. Ukuran umbi benih 2,40 – 3,00 g umbi-1
2. Daya tumbuh 90, 60 – 98,29%
3. Kecepatan berkecambah 16,31 – 18,02% hari-1
4. Kekerasan umbi* 25,57 – 26,19 mmN -1
5. Kadar air umbi* 72, 15 – 72,34%
6. Total Padatan Terlarut* 21,73 – 23,07 obrix
Keterangan: * saat penyimpanan
4.4 Sistem produksi benih bawang merah
Lembah Palu
4.4.1. Standar Operasional Prosedur (SOP) budidaya produksi benih
Standar Operasional Prosedur (SOP) budidaya
bawang merah Lembah Palu meliputi: Pemilihan wilayah
ketinggian dari permukaan laut, penyiapan dan
pembersihan lahan serta pengolahan tanah, penyiapan
benih, penanaman, pemupukan dasar, pengairan,
pemupukan susulan, penyiangan dan pengendalian
organisme pengganggu tanaman, dan panen.
1. Pemilihan lokasi
Wilayah yang sesuai untuk produksi benih bawang
merah Lembah Palu adalah pada ketinggian 300 m
58
dpl, dengan agroklimat: suhu 26,60oC – 29,00oC,
kelembaban 80,40% - 83,30%, curah hujan 99,68
mm/bulan, KTK tanah 21,50 me/100g. Lahan bebas
dari nematoda dan penyakit busuk umbi.
2. Penyiapan dan pembersihan lahan serta pengolahan
tanah
Penyiapan dan pengolahan tanah meliputi
pembersihan lahan, pengolahan tanah, pembuatan
parit dan bedengan. Pengolahan tanah dilakukan
dengan cara mencangkul ataupun membajak tanah
sedalam 20 – 30 cm ( tinggi bedengan) dan lebar
bedengan 100 cm. Jarak antar bedengan 40 – 50 cm,
dibuat parit serta bedengan dibuat melintang arah
timur barat. Panjang bedengan
menyesuaikan/tergantung luas lahan.
3. Penyiapan benih
Benih yang dipilih mempunyai kriteria sebagai berikut:
1) Umbi benih telah disimpan ± 2 bulan, 2) berukuran
kecil ± 1,7 g – 2,3 g umbi-1 dan berukuran besar ±
2,4 g – 3,0 g umbi-1, 3) warna benih mengkilat,
bernas, dan bentuk umbi seragam, 4) umbi benih siap
tanam ditandai bagian tengah umbi sudah berwarna
hijau. 5) ujung umbi benih telah dipotong 1/3 bagian.
6) Bebas organisme penggangu, sehat, tidak cacat,
serta tidak mengandung hama dan
penyakit.Kebutuhan umbi benih sekitar 500 kg – 850
kg ha-1.
59
4. Penanaman
Siram bedengan dengan air yang bersih sebelum
penanaman dimulai Buatlah lubang tanam/jarak
tanam (15x15) cm sedalam umbi bawang Pembuatan
lubang benih pada bedengan dengan menggunakan
tugal.Benamkan umbi bawang dalam lubang tanam
dengan posisi tegak dan agak ditekan sedikit ke
bawah hingga ujung umbi rata dengan permukaan
tanah. Satu lubang berisi satu umbi benih.
5 Pemupukan
Sebelum penanaman benih maka: 1) lahan ditaburi
pupuk kandang sebanyak 10 t ha-1, 2) setelah
tanaman berumur 15 hari maka diberi pupuk urea:
200 kg ha-1, SP-36: 150 kg ha-1, ZA: 200 kg ha-1,
2/3 % KCl 150 kg ha-1 untuk umbi benih besar dan
250 kg ha-1 untuk umbi benih kecil, dan sisanya 1/3
bagian diberikan pada umur 40 hari setelah tanam.
Pupuk diberikan secara larikan pada lubang sedalam 5
cm diantara tanaman.
6. Pengairan
Cara pengairan dapat dilakukan secara leb,
penggenangan bedengan ataupun cara springkel.
Bedengan disiram sampai basah secara merata setiap
3 hari sekali atau sesuai kebutuhan.
60
7. Penyiangan dan pengendalian organisme pengganggu
tanaman (OPT), serta rouging
Untuk membersihkan areal pertanaman dari gulma
maka dilakukan penyiangan sebanyak 2- 3 kali, dan
sekaligus melakukan seleksi terhadap pertanaman
dengan membuang tanaman yang menyimpang dari
bentuk normal, serta membuang tanaman yang
terserang hama penyakit. Pengendalian OPT
disesuaikan dengan tingkat serangan OPTnya.
Melakukan pemeliharaan yang lebih intensif.
Gambar 5. Standar Operasional Prosedur Budidaya Produksi Benih Bawang Merah Lembah Palu.
61
8. Panen
Panen dilakukan pada saat tidak turun hujan. Penen
merupakan kegiatan pengambilan umbi yang sudah
menunjukkan ciri masak optimal yang dicirikan umbi
sudah terangkat ke atas permukaan tanah, 80% -
90% daun telah berwarna kekuningan dan batang
rebah. Tanaman dipanen pada umur ≥70
hari,diseleksi berdasarkan ukuran umbinya.
4.4.2. Standar Operasional Prosedur (SOP)
pascapanen produksi benih
Standar Operasional Prosedur (SOP) pascapanen
bawang merah Lembah Palu merupakan tindakan yang
dilakukan setelah panen meliputi: pembersihan, sortasi,
grading, peyimpanan.
1. Pembersihan dan pengeringan
Langkah pertama adalah membersihkan umbi bawang
merah dari kotoran yang melekat setelah proses
panen kemudian dijemur bersama daunnya
Membersihkan umbi bawang merah dari kotoran yang
melekat setelah proses panen kemudian dijemur
bersama daunnya. Proses penjemuran pembersihan
dan pengeringan dilakukan bersamaan dengan dijajar
berbaris selebar bedegan dengan umbi bawang
ditutup 1/3 dari daun cabutan berikutnya dan
dikeringkan selama tiga hari. Proses pengeringan
62
dihentikan apabila umbi sudah terlihat megkilap,
hingga mendapatkan kadar air 80%.
2. Sortasi dan grading
Sortasi dan grading dilakukan umtuk memisahkan dan
mengelompokkan calon umbi benih berdasarkan
ukurannya. Umbi berukuran kecil ± 1,7 g – 2,3 g
umbi-1 dan berukuran besar ± 2,4 g – 3,0 g umbi-1.
Gambar 6. Standar Operasional Prosedur Pascapanen Produksi Benih Bawang Merah Lembah Palu pada Wilayah 300 m dpl.
63
3. Penyimpanan
Penyimpanan dilakukan dengan cara meletakkan umbi
pada rak penyimpanan bertingkat dan tiap 1 minggu
sekali dilakukan kontrol,tempat penyimpanan bersih.
Lokasi penyimpanan memiliki beberapa persyaratan
yaitu suhu ruang berkisar antara 27–30oC dengan
kelembaban 71-79%. Umbi besar diikat pada daun
dalam satu untaian dengan ukuran 250 g/ikat,
kemudian simpan secara digantung dan yang
disimpan secara hampar dengan menyebar umbi
besar ataupun kecil dengan ketebalan 3-5 cm pada
rak-rak penyimpanan.
4.5. Pengendalian Mutu dan Penangkaran Benih
Dalam industri benih, pengendalian mutu memiliki
tiga aspek penting, yaitu: (1) penetapan standar
minimum mutu benih yang dapat diterima, (2) perumusan
dan implementasi sistem dan prosedur untuk mencapai
standar mutu yang telah ditetapkan dan memeliharanya,
dan (3) pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi
sebab-sebab adanya masalah dalam mutu dan cara
memecahkannya. Aspek pertama merupakan kewajiban
lembaga pengawas benih, yang di Indonesia secara
operasional berada di tangan Balai Pengawasan dan
Sertifikasi Benih (BPSB). Pengendalian mutu oleh pihak ini
disebut juga pengendalian mutu eksternal. Aspek kedua
dan ketiga merupakan kewajiban produsen benih yang
disebut pula dengan kegiatan pengendalian mutu internal.
64
Pengendalian mutu merupakan salah satu teknik
pengelolaan yang paling menentukan dalam bisnis benih.
Tetapi, hal ini sering tidak dipandang sebagai sumber
daya oleh produsen benih, kecuali oleh perusahaan benih
yang besar. Pengendalian mutu merupakan suatu
kegiatan yang dapat dilakukan oleh produsen benih kecil
sekalipun.
Gagasan mutu tinggi dan konsep aplikasi
pengendalian mutu harus merasuk ke semua fase bisnis
benih dan tidak terbatas pada keinginan sementara saja
serta sedikit pengujian rutin setelah benih berada di
penyimpanan atau saluran pemasaran. Kepedulian
tentang mutu benih dan tindakan untuk menjamin bahwa
standar tercapai dan terpelihara dimulai dengan seleksi
benih untuk ditanam, kemudian meluas melalui budidaya,
pemanenan, pengeringan, pengolahan (pembersihan),
penyimpanan, dan distribusi, dan berakhir dengan
keragaan benih yang memuaskan di lapangan produksi
petani.
Teknik pengawasan mutu bukan merupakan hal
yang asing bagi produsen benih dan pedagang benih.
Tetapi umumnya, kegiatan ini sering dilakukan secara
tidak menyeluruh di setiap aspek kegiatan produksi benih,
sejak penyiapan lapang produksi sampai benih siap
disalurkan. Mutu benih yang jelek kebanyakan sering
merupakan hasil dari tidak melakukan sutu kegiatan atau
melakukannya dengan tidak benar. Pengendalian mutu
65
semestinya mengkoordinasikan seluruh kegiatan yang
diarahkan pada pencapaian standar mutu menjadi usaha
yang komprehensif, sistematis, dan berkelanjutan.
Pengendalian mutu berurusan dengan perhatian
dan upaya pada berbagai kegiatan yang termasuk dalam
bisnis benih. Prosedur yang digunakan dalam
mengendalikan mutu berkisar dari yang sederhana,
seperti pengontrolan sewaktu-waktu terhadap gulma yang
berbahaya, sampai yang kompleks, seperti perancangan
ulang sampai tuntas atas sistem penanganan dan
pengangkutan benih untuk meminimumkan kerusakan
benih. Pengendalian mutu berusaha menghindarkan
timbulnya masalah atau, jika masalah itu tidak dapat
dihindarkan, mengurangi pengaruhnya.
Perilaku atau cara pengelolaan merupakan faktor
dalam mengembangkan program pengendalian mutu yang
efektif. Tidak mungkin membangun suatu jenis program
pengendalian mutu, kecuali jika pengelolaan terikat pada
standar mutu tertentu. Keterikatan ini harus sungguh-
sungguh dan konsisten. Sering terjadi bahwa pengelolaan
hanya memberikan perhatian pada mutu ketika timbul
masalah yang serius, bahkan dibarengi dengan banyak
keluhan, atau ketika ada hal-hal yang tidak memuaskan.
Tetapi, jika musim tanam telah berakhir dan masalah
telah teratasi, maka semua perhatianpun berakhir;
masalah yang timbul dilupakan sehingga menjadi masalah
66
lagi dan menimbulkan situasi yang sama pada musim
berikutnya.
Program pengendalian mutu sebagian besar
didasarkan pada pemerikan, pengambilan contoh yang
terjadwal tepat, pengujian dan interpretasi hasil
pengujian. Karena produsen benih kebanyakan harus
tergantung pada laboratorium pengujian benih untuk
informasi yang diperlukan agar pengendalian mutu
berjalan, maka pemahaman atas hasil pengujian benih
juga sangat penting. BPSB menyampaikan hasil dari
pengujian tanpa memberikan komentar atau saran atas
hasil pengujian itu. Karena itu, produsen benih atau
penangkar benih harus dapat menginterpretasi hasil
pengujian itu, yang lazimnya dilakukan oleh seseorang
yang bertanggung jawab atas pengendalian mutu.
Lokasi penangkaran dan standarisasi mutu benih
bawang merah Lembah Palu hingga saat ini belum
tersedia. Dilain pihak sentra pertanaman bawang merah
cukup banyak yaitu 21 lokasi pertanaman. Lokasi
tersebut tersebar di wilayah Lembah Palu yang berada di
tiga wilayah kabupaten yaitu: Kabupaten Donggala,
Kabupaten Sigi dan Kota Palu. Implikasi dari kondisi
tersebut menyebabkan terjadinya ketidaksinambungan
penanaman bawang merah. Pada 2013 terjadi
ketidaksinambungan penanaman di 14 lokasi sentra
pertanaman. Salah satunya diakibatkan oleh
ketidaktersediaan benih saat dibutuhkan.
67
Ketidaktersedian benih mengakibatkan penanaman
bawang tidak pernah terpenuhi dari luas lahan
pertanaman tersedia. Persentase luas lahan yang
ditanami hanya ± 47,84%(2011); 54,52% (2012); dan
35,43% (2013) dari lahan tersedia. Penurunan areal
pertanaman serta rendahnya produktivitas menyebabkan
pasokan bahan baku industri bawang goreng tidak
terpenuhi.
Gambar 7. Peta Wilayah Pertanaman dan Calon Benih Bawang Merah
Penggunaan benih tidak bermutu oleh Petani
terlihat dari semakin menurunnya produksi per hektar.
Produksi adalah parameter vigor penting dan umum
digunakan untuk menentukan perbedaan genetik. Benih
vigor mampu menghasilkan produksi tinggi dalam waktu
tertentu. Untuk dapat menilai perbedaan hasil diantara
68
berbagai varietas, maka varietas-varietas tersebut
biasanya ditanam pada lingkungan yang sama dan
kemudian hasilnya dibandingkan.
Selain itu teknologi budidaya seperti produksi benih
umbi (waktu penyimpnan dan ukuran benih umbi),
pemupukan, pengairan dan waktu panen yang diterapkan
oleh petani menunjukkan keragaman di masing-masing
sentra produksi. Perbedaan ketinggian tempat
penanaman dan teknologi budidaya tersebut di atas
secara langsung akan berdampak pula terhadap
keragaman kontinuitas, kuantitas dan kualitas umbi
bawang merah.
Kondisi tersebut menyebabkan tidak tersediaanya
benih bermutu saat penanaman. Ketidaktersediaan benih
bermutu menyebabkan petani menggunakan benih dari
umbi komsumsi ataupun umbi yang tidk memenuhi
standar industri bawang goreng (Θ< 1,53 cm). Umbi
komsumsi memiliki kadar air tinggi mengakibatkan benih
tersebut mudah berkecambah (45 hari setelah panen),
mudah terserang mikroba sehingga benih busuk di
penyimpanan, umur simpan sangat pendek; susut bobot
tinggi lebih dari 30%; serangan hama dan penyakit di
penyimpanan. Implikasi penggunaan benih produk
komsumsi menyebabkan penurunan mutu dan
keragaman mutu benih.
69
Upaya mengatasi keragaman mutu benih dapat
dilakukan melalui pemanfaatan JABALSIM (Jalur benih
langsung antar musim) dan ketersediaan penangkaran
benih. Penangkaran benihdapat menjadi cikal bakal
lahirnya industri benih. Keaktifan petani memanfaatkan
JABALSIM dan tersediannya penangkaran akan
mengatasi kekurangan benih bermutu. Penangkaran
tersebut dapat dilakukan di lima lokasi (300 m dpl) sentra
pertanaman.
Tata cara untuk menjadi penangkar benih
bawang merah telah di atur oleh pemerintah, meliputi
persyaratan administrasi dan perdoman bagi penangkar
benih.
A. Administrasi Menjadi Penangkar
Prosedur administrasi yang wajib di penuhi oleh
penangkar atau produsen dalam industri benih bawang
merah adalah sebagai berikut.
1. Pemohon diperkenankan menjadi penangkar atau
produsen benih bina atau benih yang telah dilepas oleh
pemerintah adalah perorangan atau badan hukum atau
instansi pemerintah. Pemohon serifikasi baik
perorangan atau bersama, wajib mengajukan
permohonan untuk menjadi penangkar benih.
2. Pemohon dipersyaratkan memenuhi ketentuan-
ketenentuan sebagai berikut: menguasai lahan untuk
penangkaran benih, memiliki sumber benih, mampu
memelihara dan mengatur lahan dan pertanamannya,
70
mempunyai fasilitas penangkaran, mematuhi
petunjulk, dan bersedia membayar biaya administrasi.
3. Pemohon sertifikasi mengajukan permohonan secara
langsung kepada penyelenggara setifikasi, yaitu Balai
pengawasan dan Sertifikasi benih di wilayah provinsi
setempat. Untuk mempermudah dan memperoleh
layanan seperlunya pemohon sertifikasi dapat
menghubungi petugas pengawas benih di wilayah kerja
kabupaten tempat akan diselenggarakannya
penangkaran benih bawang merah. Dari petugas
tersebut akan diperoleh formulir yang harus diisi dan
dilengkapi oleh pemohon.
4. Surat permohonan dikirim laaangsung ke Balai
pengawassan dan Sertifikasi Benih atau dikirim
melaului petugas pengawas benih setempat. Dengan
cara tersebut, pemhon akan tercatat sebagai
penangkar atau produsen benih. Penangkar benih
pemula akan memperoleh pembinaan secara intensif,
sedangkan penangkar benih yang telah
berpengalaman tetap memperoleh pembinaan
seperlunya.
5. Selama pelaksanaan penangkaran benih, penangkar
atau produsen benih wajib mengajukan permohonan
kepada Balai pengawasan dan Sertifikasi Benih, perihal
sebagai berikut:
71
a. permohonan pemeriksaan lapangan untuk
sertifikasi fase pendahuluan;
b. permohonan pemeriksaan lapangan untuk
sertifikasi fase vegetatif;
c. permohonan pemeriksaan lapangan untuk
sertifikasi fase berbunga;
d. permohonan pemeriksaan lapangan untuk
sertifikasi fase menjelang panen;
e. permohonan pemeriksaan alat-alat panen;
f. permohonan pemeriksaan alat-alat untuk
memproses benih
g. permohonan untuk pengambilan contoh benih
B. Pedoman Bagi Penangkar Benih Bawang Merah
Beberapa pedoman yang harus diketahui oleh
penangkar benih bawang merah adalah sebagai berikut.
1. Benih sumber bawang merah untuk penangkaran
benih adalah benih dari varietas yang telah dilepas
oleh pemerintah sebagai varietas unggul. Benih
sumber berasal dari kelas diatasnya, yang dibuktikan
dengan label atau keterangan dari pemulia. Jika benih
sumber bawang merah langka, pemohon boleh
mengajukan perbanykan benih dengan menggunakan
benih dari kelas yang sama, namun harus di
konsultasikan kepada Balai Sertifikasi dan
Pengawasan Benih.
72
2. Areal yang digunakan untuk penangkaran benih
bawang merah adalah tanah bero, tanah bekas
tanaman lain, atau tanah bekas tanaman yang
sejenis.
3. Pertanaman bawang merah untuk penangkaran benih
harus terpisah dari pertanaman bawang merah yang
lain. Jarak antara keduanya paling tidak 100 m (untuk
benih umbi) dan 400 m (untuk benih biji). Hal ini
penting agar benih bawang merah tidak tercampur
atau terkontaminasi dengan varietas yang lain.
4. Pemeliharaan tanaman harus dilakukan secara intensif
agar dapat memenuhi syarat lapangan. Pertanaman
harus dibersihkan dari gangguan rumput-rumput liar
dan diadakan seleksi atau roguing terhadap tanaman
yang sakit, tanaman tipe simpang, dan tanamann
varietas lain. Pelaksanaan roguing harus
memperhatikan keseragaman pertumbuhan, warna
daun warna batang, warna umbi, dan kesehatan
tanaman.
5. Perlengkapan yang berupa peralatan tanam benih,
wadah benih, alat panen, dan perlengkapan untuk
memproduksi benih harus bebas dari campuran
varietas lain. Khusus peralatan untuk memproses
benih, sebelum digunakan harus diperiksa kebersihan
dan kelayakannya oleh petugas pengawas benih dari
Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih
73
6. Sebelum disimpan di gudang, umbi calon benih harus
dikelompokkan menurut ukuran umbi, dengan kriteria
berat 2 g – 5 g/umbi dan 5 g – 7 g/umbi.
7. Contoh benih adalah wakil dari kelompok benih yang
akan diuji di laboratorium, untuk keperluan sertifikasi.
Contoh ini diambil dari setiap kelompok benih yang
selesai diproses. Pengambilan contoh dilakukan oleh
pengawas benih atas permintaan dari penangkar atau
produsen benih.
8. Produksi kelompok benih bawang merah yang
berbentuk biji tidak boleh lebih dari 0,5 ton dan
kelompokbenih bawang merah yang berupa umbi
tidak boleh lebih dari 20 ton. Wadah tempat benih dan
pengaturan letak kelompok benih di gudang harus
dilakukan sedemikian rupa sehingga yang berbentuk
umbi paling sedikit sebanyak 1.000 g dari setiap
kelompok benih yang berbentuk biji paling sedikit 75
g dari setiap kelompok benih.
9. Label berlaku paling lama enam bulan setelah panen,
baik untuk benih bawang merah berbentuk umbi
maupun untuk benih bawang merah berbentuk biji.
Selama label berlaku, diperlukan pengujian ulang
untuk mengecek keberadaan benih bojo atau benih
umbi bawang merah.
10. Standar uji di lapangan dan uji di laboratorium untuk
benih bawang merah berupa umbi maupun biji adalah
sebagai berikut.
74
a. Standar lapangan untuk penangkaran benih umbi
sama dengan standar lapangan untuk penangkaran
benih biji bawang merah. Standar lapangan yang
harus dipenuhi untuk masing-masing kelas benih
dalam pelaksanaan penangkaran benih ditunjukkan
dalam Tabel 15.
b. Standar laboratorium meliputi standar
laboratorium penangkaran benih umbi bawang
merah yang ditunjukkan dalam Tabel 15 dan
standar laboratorium penangkaran benih biji
bawang merah yang ditunjukkan dalam Tabel 15.
Tabel 15. Standar Lapangan dalam Penangkaran Benih Bawang Merah
No. Faktor Kelas benih
Benih dasar
Benih pokok
Benih sebar
1.
Jarak isolasi minimum (m): Penangkaran Benih umbi Penangkaran Benih biji
100 400
100 400
100 400
2. Campuran varietas lain dan tipe simpang (%)
0,0 0,5 0,1
3.
Penyakit (% maksimum): Blorok Botrytis alili Alternaria porri Karat
0,1 0,0 0,5 0,0
0,1 0,0 0,5 0,0
0,1 0,0 0,5 0,0
75
Tabel 16. Standar Laboratorium dalam Penangkaran Benih Umbi Bawang Merah
No. Faktor Kelas benih
Benih dasar
Benih pokok
Benih sebar
1. Campuran varietas lain dan tipe simpang (%) 0,0 0,5 0,1
2. Penyakit (% maksimum): Blorok Botrytis alili Alternaria porri Karat
1,0 0,0 0,5 0,0
1,0 0,1 0,5 0,0
1,0 0,0 0,5 0,0
Tabel 17. Standar Laboratorium dalam Penangkaran Benih Biji Bawang Merah
No. Faktor Kelas benih
Benih dasar
Benih pokok
Benih sebar
1. Kadar air (maks; %)
9,0 9,0 9,0
2. Benih murni (min; %)
98 98 97
3. Kotoran benih (maks; %)
2,0 2,0 3,0
4. Benih varietas lain (maks %)
0,0 0,5 1,0
5. Daya tumbuh (min; %)
70 65 60
76
BAB V.
PENGELOLAAN TANAH UNTUK BUDIDAYA
BAWANG MERAH
5.1. Pengantar
Untuk budidaya bawang merah dibutuhkan lahan
yang bersih (steril) dari benda-benda asing yang
berpotensi menjadi sumber penyebaran hama dan
penyakit, karena tanaman bawang merah sangat peka
terhadap gangguan hama dan penyakit. Pembersihan
lahan adalah kegiatan membersihkan lahan dari segala
sesuatu yang tidak diperlukan karena akan mengganggu
proses pengolahan tanah. Agar diperoleh lahan yang
bersih dari hal-hal atau sesuatu yang tidak diperlukan dan
akan mengganggu pertumbuhan dan hasil tanaman, baik
gangguan fisik seperti batu-batuan, maupun gangguan
biologis seperti pohon, semak ataupun gulma.
5.2. Syarat dan karakteristik tanah untuk budidaya
bawang merah ‘lembah palu’
Tanah yang ideal untuk pertumbuhan dan produksi
bawang merah secara maksimal adalah tanah gembur,
subur, banyak mengandung bahan organik atau humus,
karena akan mendorong perkembangan umbi sehingga
hasil bawang merah menjadi lebih tinggi dan tanah
dengan kondisi drainasi dan aerasi yang baik sangat
diutamakan (Wibowo, 1988). Bawang merah dapat
77
tumbuh pada kisaran jenis tanah yang lebih luas, yang
penting memiliki aerasi baik, subur dan mampu
menyediakan air yang cukup dan mempertahankannya
dalam waktu relatif lama.
Tekstur tanah lom (loamy) lebih sesuai untuk
bawang merah, dengan kedalaman lapisan tanah cukup
untuk mendukung pertumbuhan perakaran tanaman,
yang dapat tumbuh maksimum hingga 0,5 m. Kriteria
lain yang diperlukan adalah pH antara 5,5-8,2 dengan pH
optimum adalah 6,0-7,8 (Cys et al., 1993). Nilai kadar
garam yang tidak menurunkan hasil apabila daya hantar
listrik (electrical conduction) kurang dari 1,2 dS/m; dan
hasil akan menurun 10 % pada 1,8 dS/m, 25 % pada 2,8
dS/m, 50 % pada 4,3 dS/m dan 100 % pada 6,0 dS/m.
Pada fase awal pertumbuhan tanaman bawang
merah membutuhkan lengas tanah yang tinggi, kemudian
secara berangsur akan menurun pada fase pematangan,
pembesaran umbi dan menjelang panen. Bawang merah
tanggap terhadap pemberian hara mikro, seperti: Cu dan
Mo, sedangkan B diperlukan 0,1-0,5 ppm di dalam tanah
dan toleran dengan konsentrasi tinggi (Cys et al., 1993).
Bawang merah banyak diusahakan pada tanah alluvial
(Inceptisols atau Entisols) , karena jenis tanah ini
mempunyai penyebaran paling luas, sekitar 70,25 juta ha
atau 37,5 % dari luas daratan Indonesia (Puslitbangtanak,
2000). Ordo tanah Inceptisol memiliki kelas tekstur
78
beragam mulai dari klei, lom sampai berpasir (Subagyo et
al. 2004). Brady (1990) dan Sanchez (1992) menyatakan
bahwa tanah bertekstur pasir (Subordo Psamment)
mempunyai produktivitas rendah, karena rendahnya
kandungan nitrogen, daya simpan lengas dan kapasitas
pertukaran kation (KPK) rendah, menyebabkan efisiensi
penambahan hara rendah, karena rendahnya kandungan
bahan organik dan lempung, sehingga daya menahan
hara rendah akibatnya banyak hara yang ikut terlindi
bersama air perkolasi. Untuk meningkatkan produktivitas
tanah ini mutlak dilakukan penambahan bahan organic
dalam jumlah yang signifikan pada setiap musim tanam
Tanaman bawang merah dapat tumbuh dengan
baik di lahan sawah, atau lahan kering, asalkan keadaan
tanahnya subur, gembur dan banyak mengandung bahan
organik, mudah mengikat air (porous) serta mempunyai
aerasi (peredaran oksigen) yang baik. Tanah yang
memenuhi persyaratan tersebut sangat mendukung
perkembangan tanaman bawang merah, sehingga dapat
menghasilkan pertumbuhan dan umbi yang banyak
dengan berkualitas yang baik. Tipe tanah yang paling
cocok untuk tanaman bawang merah adalah tanah
dengan tekstur lempung berpasir atau lempung berdebu,
karena tanah tipe ini mempunyai sistem aerasi dan
drainase (pengairan) cukup baik. Tanah tipe ini juga tidak
akan menyebabkan adanya genangan air yang dapat
79
menyebabkan becek. Genangan air dan tanah yang terus
menerus becek menyebabkan timbulnya berbagai macam
organisme pengganggu (pathogen), terutama cendawan
yang merusak tanaman sehingga produksinya menurun.
Menurut Rahayu dan Berlian (2007), tanaman
bawang merah dapat tumbuh baik pada tanah dengan
kisaran pH optimum 5,8-7,0; tetapi tanaman bawang
merah masih toleran terhadap tanah dengan pH 5,6.
Tanah yang asam dengan nilai pH di bawah 5,6 akan
menyebabkan garam aluminium (Al) dalam tanah berada
dalam bentuk yang larut dan bersifat racun sehingga
tanaman tumbuh kerdil. Tanah yang bersifat alkalis
dengan nilai pH di atas 7 menyebabkan tanaman tidak
dapat menyerap ion mangan (Mn), sehingga tanaman
kekurangan unsur hara Mn. Akibatnya, umbi yang
dihasilkan berukuran kecil-kecil dan menyebabkan
produksinya rendah baik kualitas maupun kuantitasnya.
Oleh sebab itu, kontrol terhadap pH tanah pada lahan
yang akan ditanami bawang sangat penting artinya. Pada
tanah yang terlalu asam harus dilakukan pengapuran 2-4
minggu sebelum tanam atau dengan pemberian bahan
organic jika kapur sulit diperoleh.
Aplikasi kapur dilakukan ketika cuaca cukup cerah
atau ketika tidak hujan. Pengapuran tanah jangan
dilakukan ketika bawang merah sudah ditanam karena
akar bawang merah tidak tahan terhadap pengapuran
80
secara langsung. Tanah yang bersifat alkalis (basa)
dengan pH di atas 7 dapat diperbaiki dengan pemupukan
dari garam pupuk yang bereaksi masam misalnya Urea,
ammonium sulfat (ZA), ammonium nitrat atau pupuk
yang mengandung belerang atau elemental belerang agar
nilai pHnya turun. Sebaliknya pada tanah masam,
sebaiknya dipilih pupuk yang bereaksi alkalis atau pupuk
dari garam yang bereaksi netral. Jika tidak ada pilihan
lain, pemakaian urea sebagai suber nitrogen juga dapat
dilakukan asalkan diikuti dengan pemberian CaCO3 yang
jumlahnya setera dengan kemasaman yang ditimbulkan
akibat pemberian urea tsb.
5.3. Peranan pengolahan tanah dalam budidaya
bawang merah ‘lembah palu’
Membajak adalah kegiatan mengolah tanah untuk
menciptakan media tanam yang sesuai dengan kondisi
lingkungan, terutama sifat fisik tanah yang dikehendaki
oleh tanaman bawang merah, agar dapat tumbuh dan
berkembang dengan baik. Pengolahan tanah yang
dilakukan secara intensif, perlu memperhatikan kadar air
tanah pada saat melakukan pengolahan tanah. Mengolah
tanah pada kondisi tanah terlalu basah atau terlalu kering
tidak dianjurkan. Pengolahan tanah pada saat tanah
terlalu basah akan menghasil bongkah ketika tanah
kembali kering. Mengolah tanah pada kadar air yang
terlalu kering akan menyebabkan struktur tanah menjadi
81
rusak. Pengolahan tanah sebaiknya dilakukan pada kadar
air dibawah kapasitas lapang dan di atas titik layu.
Apakah tanah gembur atau remah setelah pengolahan
tanah dilakukan sangat tergantung oleh tingkat
perkembangan struktur tanah. Tanah-tanah yang
strukturnya telah berkembang baik akibat pengelolaan
bahan organic yang baik selama proses kultivasi
berlangsung cenderung menghasilkan hasil olah tanah
yang baik dan gembur. Tanah yang gembur menyebabkan
air lebih mudah terserap dan sirkulasi udara lancar
sehingga berpengaruh positif terhadap kegiatan-kegiatan
organisme tanah dalam membantu proses nitrifikasi dan
penguraian bahan-bahan organik. Selain itu, oksigen yang
cukup tersedia dalam tanah dapat menghindarkan
tanaman dari keracunan, terhambatnya pertumbuhan
akar, dan tanah menjadi longgar. Akibatnya, bibit bawang
merah dapat dengan mudah ditanam, akar dapat
berkembang lebih pesat dan sehat, tanah mudah
menyerap air, sirkulasi udara lancar, unsur hara tersedia
bagi tanaman, sehingga kebutuhan tanaman untuk
pertumbuhan dan perkembangannya dapat tercukupi.
Pengolahan tanah secara baik dan benar akan
memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan
kandungan humusnya. Pengolahan tanah akan
menghancurkan sisa-sisa tanaman, dapat mengatur
permukaan tanah sesuai dengan kebutuhan, dan
mengatur kelembapannya. Pengolahan tanah sebaiknya
82
dilakukan pada saat tanah agak kering, agar lebih mudah
dibajak. Tanah yang basah, bila dibajak akan menjadi
lengket dan keras. Pengolahan tanah secara tidak
langsung juga memberantas gulma atau tanaman
pengganggu yang merugikan tanaman pokok karena
terjadi persaingan untuk mendapatkan air, unsur hara dan
sinar matahari.
5.4. Cara pengolahan tanah pada pertanaman bawang merah ‘lembah palu’
Standar penyiapan lahan untuk penanaman bawang
merah lembah palu, yaitu lahan calon lokasi penanaman
harus bersih dari hal-hal yang dapat mengganggu proses
pengolahan tanah, sehingga dapat diperoleh hasil
pengolahan tanah yang baik. Tumbuhan berupa semak
dipangkas/dipotong dan sisa potongannya di buang ke
luar areal lahan dan yang berupa daun-daunan dibiarkan
terbenam ke dalam tanah. Jika terdapat bagian tanaman
yang agak keras dan sulit untuk hancur (terdekomposisi)
dapat dibakar di sekitar lahan.
Pengolahan tanah diawali dengan cara tanah
dibajak sedalam kurang lebih 20-30 cm dengan
menggunakan traktor atau bajak tradisional yang ditarik
dengan hewan (sapi). Pada umumnya, pada sentra
pengembangan bawang merah di Lembah Palu,
pengolahan tanah dilakukan menggunakan traktor agar
lebih hemat dan efesien, apalagi pada aeral penanaman
83
yang luas, sebaiknya menggunakan traktor. Pembajakan
dilakukan secara bertahap. Pembajakan pertama
bertujuan untuk membalik lapisan tanah. Setelah dibajak,
tanah dibiarkan selama 5 hingga 7 hari agar bongkahan-
bongkahan akibat pembajakan mendapat cukup angin dan
sinar matahari secara langsung sehingga berbagai macam
patogen yang terdapat dalam tanah menjadi mati dan
zat-zat racun seperti asam sulfida yang terkandung di
dalam tanah dapat menguap atau teroksidasi, sehingga
tidak membahayakan bagi tanaman bawang merah yang
akan ditanam di lahan tersebut. Pengolahan tanah
selanjutnya, bertujuan untuk membongkar dan
menghancurkan bongkahan-bongkahan tanah.
Pengolahan tanah ini dilakuan dengan traktor dengan
arah pengolahan tanah memotong arah pengolahan tanah
tahap pertama. Agar pengolahan tanah sempurna,
bongkahan-bongkahan tanah yang tidak dapat
dihancurkan dengan traktor, perlu dihancurkan dengan
menggunakan cangkul. Setelah pengolahan tanah kedua,
tanah yang telah diolah dibiarkan lagi selama 5-7 hari
agar tanah menjadi kering. Jika masih terdapat
bongkahan-bongkahan tanah maka dilakukan
penghancuran tanah dengan cangkul sampai diperoleh
struktur tanah yang gembur.
84
5.5. Pembuatan Bedengan
Setelah struktur tanah yang remah diperoleh,
kemudian dibentuk bedengan-bedengan. Dengan
pembajakan yang dalam, kita dapat membuat batas-batas
selokan antar bedengan. Ada dua faktor penting yang
harus diperhatikan dalam membuat bedengan, yaitu
ukuran dan arah bedengan.
a. Ukuran Bedengan
Bedengan sebagai tempat penanaman sebaiknya
dibuat dengan lebar 80 cm agar air irigasi dapat meresap
sampai ke tengah bedengan secara sempurna. Bedengan
yang terlalu lebar akan menyulitkan penyiangan dan bila
pemberian air dilakukan dengan sistem ”lab”, maka tidak
bisa mengairi bedengan secara sempurna. Ukuran lebar
bedengan bervariasi antara 80-120 cm, tergantung pada
cara pengairannya. Bila pengairan dilakukan dengan cara
penyiraman dengan menggunakan gembor, maka
bedengan dapat dibuat lebih lebar hingga 120 cm,
sedangkan jika menggunakan sistem lab, maka ukuran
bedengan harus lebih sempit, agar air yang tergenang
dalam parit disekitar bedengan dapat dengan cepat
membasahi seluruh bagian bagian bedengan, terutama
pada bagian tengah bedengan. Untuk panjang bedengan
dapat disesuaikan dengan kondisi lahan setempat atau
dengan mempertimbangkan efisiensinya. Bedengan yang
terlalu panjang dapat menjadi kurang efisien karena jarak
85
untuk berpindah dari satu bedengan lainnya menjadi lebih
jauh. Tinggi bedengan untuk pertanaman bawang merah
‘lembah palu’ dapat berkisar antara 20-25 cm. Hal ini
tergantung pada musim dan cara pemberian air. Pada
kondisi curah hujan tinggi bedengan harus dibuat lebih
tinggi dan parit dibuat lebih dalam, agar bedengan tidak
mudah tergenang air. Demikian pula jika menggunakan
sistem pengairan dengan cara lab, maka bedengan harus
dibuat jangan terlalu tinggi agar air dapat dengan mudah
menggenangi bedengan. Ukuran lebar selokan atau parit
dibuat 30-40 cm dengan kedalaman 25-30 cm. Pada saat
membuat membuat parit atau selokan, sebaiknya tanah
galian diletakkan di kiri-kanan selokan. Untuk
pembuangan air, buatlah saluran di sekeliling petak-petak
bedengan selebar 60 cm dengan kedalaman 60 cm agar
lahan terhindar dari genangan air, terutama pada musim
hujan.
Untuk pertanaman bawang merah ‘lembah palu’
yang diusahakan pada lahan kering dengan pengairan
sistem kincir (sprinkle) umumnya digunakan ukuran lebar
bedengan 100-110 cm atau sekitar 7-8 baris tanaman per
bedengan.
b. Arah Bedengan
Arah bedengan berpengaruh terhadap penyebaran
sinar matahari ke seluruh tanaman. Arah bedengan yang
salah menyebabkan penyebaran sinar matahari tidak
86
merata ke seluruh tanaman sehingga dapat menurunkan
produksi karena proses fotosintesis pada sebagian
tanaman tidak berlangsung sempurna. Agar seluruh
tanaman memperoleh sinar matahari secara merata,
bedengan dibuat membujur arah timur-barat. Arah
bedengan juga berhubungan erat dengan sistem
pengairan. Bila pengairan dilakukan dengan sistem
”gembor”, arah bedengan tidak menjadi masalah, namun
jika pengairan dilakukan dengan sistem “lab”, maka arah
panjang bedengan sebaiknya tidak searah dengan aliran
air, karena tanah yang dekat dengan sumber air menjadi
jenuh dan mendorong perkembangan cendawan.
Akibatnya, terjadi pembusukan pangkal batang sehingga
tanaman menjadi layu, daun menguning, dan akhirnya
akan mati.
Pada sentra-sentra pengembangan bawang merah
di Lembah Palu ditemukan cara pembuatan bedengan
serta arah bedengan yang berbeda-beda. Di wilayah
pengembangan bawang merah di Desa Guntarano dan
sekitarnya yang merupakan lahan kering dengan sistem
penberian air dengan cara mengalirkan air ke dalam
petakan lahan, maka dibuat “bedengan dalam” yang
menyerupai petakan-petakan sawah berukuran kecil,
yang bertujuan untuk menampung dan mengalirkan air ke
dala bedengan. Agar air dengan mudah mengalir ke
dalam bedengan maka arah bedengan dibuat searah
dengan kemiringan lahan atau searah dengan aliran air.
87
Cara ini tentunya bertentangan dengan kaidah konservasi
tanah, karena dengan cara ini air yang masuk ke dalam
petakan lahan dengan mudah membawa lapisan tanah
subur ke arah yang lebih rendah atau terjadi proses erosi
pada lahan tersebut, sehingga kesuburan lahan tidak
dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang lama.
Kondisi ini menyebabkan produktivitas tanah dan
tanaman bawang merah menjadi rendah, terutama jika
tidak diikuti dengan pemupukan dengan dosis yang relatif
tinggi. Penelitian Bahrudin dkk. (2009) yang dilakukan di
Desa Guntarano yang merupakan salah satu lokasi sentra
bawang merah ‘lembah palu’ diperoleh bahwa tidak ada
interaksi nyata antara bentuk dan arah bedengan
terhadap pertumbuhan dan hasil bawang merah ‘lembah
palu’; namun bentuk ‘bedengan dalam’ dapat
menghasilkan pertumbuhan dan hasil bawang merah lebih
tinggi jika dibandingkan dengan bentuk bedengan tinggi.
5.6. Pola tanam dalam pertanaman bawang merah ‘lembah palu’
Bawang merah lembah palu umumnya diusahakan
dengan pola tanam monokultur, baik dengan sistem
rotasi dengan tanaman lain seperti tomat, cabe, jaung
dan sayur-sayuran, maupun dengan sistem berurutan
dengan tanaman bawang merah selama 2-3 kali
setahun. Beberapa petani bawang merah juga
mengembangkan pola tanam tumpangsari dengan pola
88
sisipan (relay planting). Tanaman bawang merah
seringkali ditumpangsarikan dengan tanaman cabai dan
jagung. Tanaman bawang merah ditanam secara sisipan
dengan cara tanaman bawang merah ditanam menjelang
tanaman cabe, tomat atau jagung dipanen atau setelah
memasuki fase generatif. Hal ini dimaksudkan untuk
mengoptimalkan potensi sumber lahan, air dan unsur
hara pada suatu lahan budidaya.
Pengolahan tanah sejak dari awal hingga terbentuk
bedengan-bedengan memerlukan biaya cukup besar. Oleh
karena itu, bedengan harus dapat digunakan untuk
menanam bawang merah lebih dari satu kali dalam satu
tahun. Berdasarkan pengamatan di lapangan, sebagian
besar petani bawang merah melakukan rotasi tanaman
dengan komoditas hortikultura, kecuali tanaman padi
pada musim penghujan.
Pola tanam adalah urut-urutan tanam dan
pergiliran tanaman pada lahan yang sama dalam waktu 1
tahun. Dengan pola tanam, pengaturan jenis tanaman
dapat disesuaikan dengan permintaan pasar dan
ketersediaan bibit bawang merah pada musim tanam
berikutnya terjamin. Sistem pola tanam yang baik, yang
disertai dengan produksi dan harga yang baik, akan
memberikan keuntungan cukup besar.
Setelah tanaman pertama dipanen, lahan diolah
ringan atau pengolahan tanah minimum (minimum tillage)
dan diberi sedikit pupuk kandang (kotoran ayam),
89
terutama untuk tanaman melon atau cabai “Hot beauty”.
Para petani di Lembah Palu pada umumnya tidak
memberikan pupuk kandang lagi pada tanaman bawang
merah kedua (setelah tanam pertama panen), karena
kandungan pupuk kandangnya masih dianggap cukup.
Parit untuk pembuangan air dibersihkan dari rerumputan
agar aliran air menjadi lancar.
90
BAB VI.
PENGELOLAAN AIR UNTUK BUDIDAYA
BAWANG MERAH 6.1. Pengantar
Peranan air sangat penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, karena merupakan pereaksi
alamiah yang berkemampuan besar dan berperan sangat
luas. Air di dalam tanaman berfungsi sebagai penyusun
utama protoplasma (85-90 %), pelarut, medium tempat
reaksi-reaksi berlangsung dan mengatur turgor sel
jaringan (Kramer, 1980); penyusun utama sel tumbuhan
yang berfungsi antara lain sebagai pengatur
penggembungan jaringan dan penting untuk proses
fisiologi seperti pembelahan sel, respirasi dan fotosintesis
(Levitt, 1980). Air merupakan unsur penting dalam
tanaman terutama pada jaringan meristematik, pelarut
dalam proses fotosintesis dan proses hidrolitik dalam
perubahan pati menjadi gula, bagian esensial yang
menstabilkan turgor sel tanaman, pengatur suhu bagi
tanaman karena kemampuannya dalam menyerap panas
yang baik serta berperan sebagai media transpor bagi
garam-garam, gas dan material lainnya dalam tubuh
tanaman (Jumin, 2002). Air dalam tanaman juga
berfungsi sebagai pelarut gas-gas, mineral dan larutan
lain, yang bergerak dari suatu sel ke sel lain, sehingga
translokasi dapat terjadi (Suseno, 1974).
91
Kebutuhan air tanaman merupakan jumlah air yang
harus tersedia untuk mengimbangi air yang hilang akibat
evapotranspirasi (Sasrodarsono dan Takeda, 1978). Air
tersedia bagi tanaman merupakan air yang dapat
diabsorbsi oleh tanaman. Kadar air tanah berbeda antara
kapasitas lapang (pF 2,54) dan titik layu permanen (pF
4,2). Lengas tanah adalah air yang terdapat dalam tanah
yang terikat oleh ikatan matrik, osmosis dan kapiler
(Notohardiprawiro, 1983).
Jumlah air dalam tanaman lebih banyak pada
jaringan yang masih aktif melakukan proses fisiologis
dibandingkan dengan jaringan yang tua maupun organ
penyimpanan makanan (Dwidjoseputro, 1981). Tanaman
akan beradaptasi secara fisiologis dan morfologis terhadap
kekurangan air dengan cara menutup stomata lebih awal
untuk mengurangi hilangnya air dan penutupan stomata
akan mengurangi pengambilan CO2, sehingga laju
fotosintesis akan menurun yang akan mengakibatkan
terganggunya proses pertumbuhan dan produksi (Kramer,
1980).
6.2. Kebutuhan air tanaman bawang merah ‘lembah palu’
Air sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan tanaman bawang merah. Bawang merah
tidak tahan terhadap kekeringan karena sistem
perakarannya yang dangkal terutama pada awal
92
pertumbuhan dan pembentukan umbi. Bawang merah
juga tidak tahan terhadap curah hujan yang tinggi atau
air yang berlebihan sehingga lebih banyak dibudidayakan
di musim kemarau daripada musim hujan. Bawang merah
sangat sesuai ditanam pada kondisi 100% kapasitas
lapang untuk menjaga kelembaban tanah sehingga
penanaman bawang merah diusahakan pada musim
kemarau. Bawang merah memerlukan penyiraman setiap
hari untuk meningkatkan hasil umbi, sedangkan
penanaman di musim hujan diperlukan selokan air lebih
dalam dan bedengan lebih tinggi agar tanaman tidak
tergenang air.
Periode kritis pengumbian bawang merah adalah
saat pertumbuhan umbi yaitu 35-50 hari setelah tanam,
karena pada periode tersebut, bawang merah
membutuhkan banyak pasokan air dan hara. Irigasi selama
pembentukan umbi menyebabkan stomata tetap terbuka
sehingga tidak ada penuaan daun dini. Irigasi yang tidak
teratur selama pembentukan dan pembesaran umbi dapat
menyebabkan bentuk umbi yang tidak normal dan pecah
serta timbulnya umbi samping. Irigasi menjelang panen
harus dihentikan karena akan mempengaruhi kualitas dan
penyimpanan umbi.
Pengairan pada bawang merah dilakukan dengan
penyiraman dan atau penyediaan air di parit-parit antar
bedengan (dileb) agar air meresap sampai akar tanaman
93
sehingga pertumbuhan dan perbanyakan umbi dapat
berjalan dengan optimal. Parit yang dalam sekitar 50-70
cm pada antar bedengan digunakan sebagai
penampungan air untuk pengairan di musim kemarau dan
sebagai sarana pembuangan air saat volume air
meningkat pada musim hujan .
6.3. Pengololaan air dalam budidaya bawang merah ‘lembah palu’
Untuk memperoleh pertumbuhan dan hasil yang
maksimal, pemberian air perlu dilakukan secara tepat
sesuai kebutuhan tanaman pada setiap fase
pertumbuhannya. Air tersedia bagi tanaman kadar air
antara antara kapasitas lapangan dengan titik layu
permanen. Pencapaian kondisi lengas tanah yang sesuai
dengan kondisi kebutuhan tanaman selama pertumbuhan
dapat dilakukan melalui sistem pengairan dan drainase.
Namun demikian kondisi tersebut dapat menyulitkan bila
ketersediaan air terbatas untuk pengairan saat musim
kemarau atau terjadinya kelebihan air saat musim hujan.
Kebutuhan air tanaman berbeda pada setiap jenisnya,
fase fenologi tumbuhnya serta jenis tanahnya. Tanah
yang memiliki kandungan liat, pasir, dan debu berbeda
memiliki kekuatan memegang air yang berbeda.
Pengairan akan sangat bermanfaat jika dilakukan secara
bijaksana pada lahan-lahan dengan kondisi ketersediaan
air terbatas. Pada kondisi tersebut, efisiensi penggunaan
94
air selain dapat menjaga atau meningkatkan produktivitas
tanaman, luasan pertanaman dapat pula ditingkatkan.
Suplai air yang tidak mencukupi kebutuhan secara
penuh dapat menyembabkan terjadi stress pada tanaman.
Hal ini berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan maupun
produksinya. Pengaruh intensitas dan waktu stres ini
sangat penting untuk diperhatikan oleh para petani. Pada
umumnya, bawang merah varietas ‘lembah palu’ sangat
peka terhadap air dan pupuk. Oleh karena itu, pengairan
dan pemupukannya harus sungguh-sungguh diperhatikan
agar kualitas dan kuantitas produksinya tetap tinggi.
Air diberikan dengan cara mengalirkan melalui
selokan-selokan antar bedengan sebatas perakaran dan
dibiarkan meresap dalam bedengan hinggah basah, atau
dengan cara menyiram dengan gembor. Pemberian air
sebaiknya dilaksanakan pada sore hari dengan interval
pelaksanaan 3-7 hari sekali, tergantung kondisi hujan.
Pada periode kritis, yaitu fase perbanyakan, ketika
tanaman berumur 7-20 hari, dan fase pembesaran umbi
pada saat tanaman bawang merah berumur 35-50 hari,
diperlukan pengairan dengan interval 2-4 hari sekali. Pada
akhir pemasakan umbi, tanaman hanya memerlukan
sedikit air karena air yang berlebih dapat menyebabkan
busuk umbi.
Pengairan sangat penting dalam menunjang
keberhasilan panen. Air tidak hanya berfungsi sebagai
95
pengatur suhu tanah dan iklim mikro agar sesuai dengan
kebutuhan tanaman, tetapi juga dapat membersihkan
tanah dari kotoran yang merugiakan, misalnya garam-
garam ataupun asam-asam yang terlalu tinggi. Air juga
dapat menekan pertumbuhan gulma, hama, dan penyakit
tanaman, serta membuang racun berbahaya yang ada
dalam tanah. Oleh karena itu, kebutuhan air harus
disesuaikan dengan kondisi tanah dan kebutuhan
tanaman. Apabila kekurangan air harus ditambah dan bila
kelebihan harus dikurangi, sehingga kebutuhan air bagi
tanaman dapat dicapai secara optimal.
Air memberikan keuntungan yang besar bagi
tanaman, tetapi sekaligus membawa risiko. Jika air yang
mengalir mengandung bahan-bahan beracun, seperti
garm-garam atau bibit penyakit, dapat menghambat
bahkan merusak pertumbuhan tanaman. Di samping itu,
sering terjadi pula pencucian unsur hara dan erosi pada
lahan. Oleh karena itu, pemberian air harus dilakukan
dengan hati-hati dan sumber air yang digunakan harus
memenuhi persyaratan teknis yang sehat untuk tanaman.
Untuk menghindari dampak negatif, air pengairan harus
memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut.
a. Air tidak mengandung zat-zat yang beracun yang dapat
membahayakan pertumbuhan tanaman dan
berpengaruh buruk terhadap tanah.
96
b. Sumber air tidak berasal dari saluran pembuangan
limbah industri yang sangat membahayakan karena
zat-zat beracun yang dikandungnya.
Sistem pengairan yang baik memungkinkan
perbaikan peredaran udara dalam tanah dan
meningkatkan kegiatan jasad renik sehingga
mempercepat proses pelapukan bahan-bahan organis
menjadi bahan yang siap dipergunakan oleh tanaman.
Selain itu, air dapat melarutkan unsur-unsur hara yang
diperlukan dan meningkatkan pertumbuhan akar.
Tanaman yang dapat menyerap air serta unsur hara lebih
banyak produksinya dapat meningkat. Sistem pengairan
yang tidak memenuhi persyaratan teknis akan
menurunkan produksi, baik mutu maupun jumlahnya.
Sistem pengairan yang jelek juga dapat menyebabkan
genangan air secara terus-menerus sehingga tanah
menjadi becek. Akibatnya, tanaman mudah terserang
berbagai macam penyakit, terutama yang disebabkan
oleh cendawan atau jamur.
Hasil penelitian Muhammad Ansar dkk (2013)
menunjukkan bahwa (1) penggunaan sungkup plastik
bening yang diikuti dengan pemberian mulsa jerami padi
meningkatkan diameter helai daun; (2) penggunaan
sungkup plastik bening menghasilkan tinggi tanaman,
jumlah daun, jumlah umbi per rumpun dan bobot umbi
segar panen per hektar lebih tinggi dibandingkan tanpa
97
sungkup, dan (3) mulsa jerami padi dan mulsa plastik
hitam menghasilkan jumlah dan panjang helai daun dan
bobot segar umbi per rumpun bawang merah varietas
Lembah Palu lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa
mulsa.
6.4. Cara pengairan pada pertanaman bawang merah ‘lembah palu’
Bawang merah ‘lembah palu’ membutuhkan air
dalam jumlah yang cukup sejak awal pertumbuhan hingga
menjelang panen. Cara pemberian air pada bawang
merah bermacam-macam, tergantung ketersediaan air
irigasi dan kebiasaan petani. Pemberian air dapat
dilakukan dengan cara: (1) Menyiram dengan
penggenangan/leb yaitu dengan cara memasukkan air
melalui parit-parit disekeliling bedengan dan dibiarkan air
meresap ke daerah perakaran tanaman atau air yang
tergenang diparit ditimba menggunakan gayung dan
menyiram tanaman bawang merah hingga tanah basah
dalam bedengan basah secara merata, (2) Memberikan
air irigasi dengan sistem aliran permukaan pada setiap
petakan penanaman dan cara ini banyak dilakukan pada
daerah curah hujan rendah dan ketersediaan air irigasi
terbatas; (3) Menyiram menggunakan gembor, yaitu air
diambil dari sumber air (sumur, kolam buatan atau parit)
menggunakan gembor kemudian air disiramkan kepada
tanaman bawang merah; (2) Menyiram tanaman
98
menggunakan kincir (sprinkle) yang sumber air berasal
dari sistem perpipaan atau dari kolam penampungan air
kemudian dipompa menggunakan DAP (pompa air).
Cara pengairan dengan sistem penggenangan/leb,
maupun dengan cara disiram menggunakan gembor,
masing-masing mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Untuk cara leb sebaiknya dilakukan pada
kondisi tanah yang porous, sehingga air yang tergenang
cepat habis (tuntas), walaupun cara ini membutuhkan
waktu yang lebih pendek dibandingkan cara
disiram. Sedangkan cara siram menggunakan gembor,
membutuhkan tenaga lebih banyak dan waktu lebih
lama. Namun pada kondisi dan daerah tertentu kedua
cara tersebut biasanya dilakukan secara bersamaan.
Hal yang penting diperhatikan dalam pengairan
adalah memastikan bahwa kebutuhan tanaman terhadap
air dapat terpenuhi sesuai umur dan fase
pertumbuhannya. Air yang diberikan pada tanaman
walaupun dengan cara penggenangan/leb, namun harus
segera meresap ke dalam tanah. Bila tidak demikian
maka tanaman akan menjadi busuk dan sebagai sumber
penyakit. Oleh karena itu pembuatan bedengan sangat
diperlukan pada budidaya bawang merah. Hal ini
berhubunga sifat tanaman bawang merah yang
membentuk umbi di dalam tanah sehingga air yang terlalu
banyak akan membuat umbi menjadi busuk.
99
Pada musim kemarau, pengairan dapat diberikan
setiap hari sejak tanaman ditanam hingga tanaman
membentuk umbi dan dikurangi setelah umbi
terbentuk. Namun walaupun musim kemarau, bila kondisi
tanah setelah diairi dan selang dua hari tanah masih
basah, maka tanaman tidak perlu diairi. Oleh karena itu
dituntut kepekaan petani dalam mengamati kebutuhan air
bagi tanamannya.
Untuk musim hujan pengairan yang dibutuhkan
lebih sedikit yaitu selang dua hari sekali. Seperti di atas
maka yang penting melihat kondisi kelembaban tanah,
bila tanah masih lembab sebaiknya tidak perlu
diairi. Yang penting diamati yaitu setelah turun hujan,
sebaiknya tanaman bawang merah disirami dengan air
bersih yang tujuannya untuk menghilangkan inokulum
dari penyakit yang kemungkinan menempel di daun.
Hasil penelitian Bahrudin dan Muhammad Ansar
(2014) menunjukkan: (1) pemberian air irigasi dengan
sistem sprinkle selama 0,5 jam per tiga hari sekali dan
diikuti dengan pemberian pupuk organik bokashi pupuk
kandang 15 ton/ha menghasilkan daun bawang merah
lebih luas dibanding dengan kombinasi perlakuan lainnya;
sedangkan pemberian air 1,5 jam per tiga hari sekali
dengan mulsa plastik hitam menghasilkan bobot kering
total per tanaman bawang merah ‘lembah palu’ lebih
tinggi dibandingkan dengan tanpa mulsa; serta pemberian
100
pupuk organik 15 ton/ha diikuti dengan pemberian mulsa
plastik dan jerami padi menghasilkan kadar air umbi lebih
tinggi dibanding tanpa diikuti pemberian mulsa dan tanpa
pupuk organik. (2) Pemberian air irigasi sistem sprinkle
0,5 jam setiap 3 hari sekali menghasilkan luas daun total
per tanaman, lilit umbi dan bobot umbi per perumpun
lebih tinggi, sebaliknya pemberian air 1,5 jam per tiga
hari sekali cenderung menurunkan hasil tanaman bawang
merah ‘lembah palu’; (3) Pemberian pupuk organik 15 ton
per hektar menghasilkan daun lebih luas 5% dibanding
tanpa pupuk organik; dan (4) penggunaan mulsa organik
jerami padi dan mulsa anorganik (plastik hitam dan
perak) menghasilkan lilit umbi lebih besar dibandingkan
tanpa mulsa, dan hasil umbi bawang merah ‘lembah palu’
diperoleh tertinggi dengan penggunaan mulsa plastik
perak (9,04 t/ha) dan berbeda nyata dengan tanpa mulsa
(7,47 t/ha), namun tidak berbeda nyata dengan mulsa
jerami padi (8,42 t/ha) dan plastik hitam (8,89 t/ha).
6.5. Pengaruh Cara Pemberian Air serta Lebar dan Tinggi Bedengan
Cara pemberian air serta ukuran bedengan
pertanaman bawang merah berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah ‘lembah
palu’. Hasil penelitian Bahrudin dan Muhammad Ansar
(2011) menujukkan bahwa cara pemberian air
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman bawang
101
merah ‘lembah palu’, terutama terhadap panjang daun,
berat kering bakal umbi dan berat kering total tanaman.
Pemberian air dengan cara digembor memberikan daun
bawang lebih panjang dibandingkan dengan pemberian air
dengan cara digenangi, walaupun secara statistik relatif
tidak berbeda nyata. Cara pemberian air secara nyata
berpengaruh pula terhadap berat kering bakal umbi pada
umur 35 dan 45 HST., dimana pemberian air dengan cara
digembor menghasilkan berat kering bakal umbi lebih
tinggi dan berbeda nyata dengan pemberian air dengan
cara digenangi. Selanjutnya, berat kering total tanaman
bawang merah ‘lembah palu’ diperoleh lebih tinggi pada
pemberian air dengan cara digembor dan berbeda nyata
dengan pemberian air secara genangan terutama pada
umur 35 dan 45 HST. Hal ini menunjukkan bahwa
tanaman bawang merah lebih menyukai lingkungan yang
relatif kering dibandingkan dengan kondisi tergenang.
Pengairan dengan sistem genangan dalam parit
akan memberikan kondisi lengas tanah selalu dalam
keadaan kapasitas lapang (field capacity) secara terus
menerus, bahkan dapat menimbulkan kondisi jenuh yang
dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan
sistem perakaran karena terjadinya kondisi anerob.
Sistem tersebut akan membentuk ruang lapisan oksidasi
dan reduksi, dimana pada lapisan jenuh air tanah akan
berada dalam kondisi tereduksi dan yang tidak jenuh akan
102
berada pada kondisi oksidasi. Tanah tergenang
merupakan kondisi dengan air jenuh yang tinggi.
Keadaan tersebut memberikan pengaruh perubahan
terhadap sifat-sifat tanah yang dapat membatasi
pertumbuhan tanaman. Menurut Cannel dan Jackson
(1981) pada tanah tergenang, selain penurunan difusi
oksigen masuk ke dalam tanah, difusi gas misalnya CO2
keluar tanah juga akan terhambat, sehingga gas tersebut
akan terakumulasi. Pada tanah yang baru saja tergenang
lebih dari 50% gas terlarut di dalam air tanah
kemungkinan adalah CO2. Sebagian besar akar tanaman
tidak mampu menahan keadaan tersebut. Saat terjadi
genangan, struktur tanah rusak akibat daya rekat agregat
lemah oleh adanya air, sehingga lebih menghalangi difusi
udara (Mikkelsen, 1987).
Tinggi bedengan mempunyai fungsi ganda dalam
mengurangi air berlebih. Parit di antara bedengan dapat
berfungsi sebagai saluran pembuangan air berlebih di atas
permukaan tanah (surface drainage). Tinggi bedengan
juga dapat menurunkan tinggi muka air tanah pada
bedengan melalui proses rembesan air berlebih (seepage)
atau melalui sisi-sisi bedengan (subsurface drainage).
Tinggi muka air tanah adalah penting untuk
mendapat perhatian. Tinggi muka air tanah menunjukkan
permukaan daerah tanah yang jenuh air dan harus
dipelihara pada tingkat tertentu untuk meyakinkan
103
kelembaban optimum dari bedengan tanpa menyebabkan
penjenuhan daerah perakaran dan potensi kehilangan
hara. Pada daerah ini, pori diisi oleh air dan menghasilkan
cukup 02 yang penting bagi pertumbuhan dan respirasi
akar. Tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman
ditunjukkan dengan keadaan air dan udara yang
seimbang yaitu pori terisi air minimum 10% dan udara
minimum 10% atau lebih. Kondisi demikian dapat
mengefisienkan penyerapan hara bagi tanaman.
Bedengan yang rendah dapat meningkatkan tinggi
muka air tanah. Air bergerak ke atas permukaan tanah
dengan gaya kapiler. Makin kecil ukuran pori tanah, makin
cepat air naik ke permukaan tanah. Semakin dekat jarak
antara permukaan tanah dengan tinggi muka air tanah,
kadar air tanah makin tinggi dan pori yang berisi udara
makin sedikit. Pada umumnya tanaman tidak mampu
menggunakan air dengan tinggi muka air tanah yang
berjarak lebih dari 1,5 m dari permukaan tanah. Tinggi
muka air tanah yang balk untuk tanaman sayuran
termasuk bawang merah adalah 3-45 cm. Ketersediaan
air pada tanaman bawang merah diharapkan tidak lebih
dari 15,36-25,6 cm dari permukaan tanah, karena
kedalaman perakaran bawang merah sekitar 15-30 cm .
Penelitian tentang tinggi bedengan pada bawang
merah belum banyak dilakukan. Penelitian Bahrudin, dkk
(2011) yang dilakukan di Desa Solouve menunjukkan
104
bahwa tinggi bedengan dengan lebar bedengan setinggi
20 cm dapat menurunkan hasil umbi sedangkan hasil
umbi pada tinggi bedengan 30 cm tidak berbeda nyata
dengan tinggi bedengan 20 cm.
Air yang berlebih pada bedengan yang rendah
sebenarnya tidak meracuni tanaman, tetapi kekurangan
oksigen dalam tanah dapat mengganggu pertumbuhan
tanaman karena proses pernafasan perakaran tanaman
terganggu. Apabila bedengan terlalu rendah, ada
kemungkinan hara mobil banyak yang tercuci Kahat
nitrogen pada saat penggenangan dapat disebabkan
karena denitrifikasi dan pencucian sehingga terjadi
penurunan absorbsi dan translokasi N dalam jaringan
tanaman.
Apabila tinggi bedengan terlalu besar, tanaman
cepat mengalami kekeringan karena kemampuan air
untuk menjenuhi daerah perakaran tanaman diatasnya
menjadi rendah. Stres air dapat menyebabkan stomata
daun menutup sehingga menghambat masuknya CO2.
Keadaan ini dapat menurunkan tekanan parsial CO2 di
dalam ruang interseluler daun yang secara tidak langsung
mengurangi aktivitas fotosintesis.
Tanah galian parit untuk membuat bedengan yang
tinggi umumnnya berupa tanah subsoil yang kurang subur
sehingga kurang baik digunakan untuk media tumbuh
tanaman. Pada sistem tumpang sari bawang merah dan
105
padi dengan bedengan bawang merah yang tinggi,
petakan padi akan mengalami kehilangan tanah topsoil
yang subur, sedangkan bedengan bawang merah
mendapat tanah galian subsoil yang kurang subur
sehingga secara keseluruhan kesuburan tanah menjadi
rendah.
106
BAB VII.
KESUBURAN TANAH DAN PEMUPUKAN
7.1. Pengantar
Kemampuan manusia untuk mengidentifikasi dan
mengenali masalah-masalah yang terkait dengan
karakteristik iklim, tanah dan tanaman sangat diperlukan
sebagai dasar dalam menentukan tindakan pengelolaan
yang diperlukan dalam suatu kegiatan usahatani yang
menguntungkan dan berkelanjutan. Tidak kurang dari 50
faktor iklim, tanah dan tanaman yang mempengaruhi
pertumbuhan dan potensi hasil tanaman (Havlin, Beaton,
Tisdale dan Nelson, 2005), dimana sebagian besar
diantaranya tidak dapat dikontrol dan dikendalikan oleh
oleh manusia. Faktor-faktor yang dapat dikontrol oleh
manusia misalnya ketersediaan air dengan irigasi,
kekurangan hara tertentu dengan pemupukan dan atau
pengapuran dan pemberian bahan organik, tata udara
dengan pengolahan tanah atau dengan pemberian bahan
organik dan lain-lain.
Potensi produksi pertanian di wilayah tropika
seperti Indonesia sebenarnya lebih tinggi dibandingkan
dengan wilayah iklim lainnya. Kondisi iklim khususnya
curah hujan, suhu udara dan penyinaran matahari yang
berlimpah dan kontinyu memungkinkan tanaman dapat
berproduksi sepanjang tahun. Sejumlah permasalahan
terkait dengan sifat tanah yang membatasi pertumbuhan
107
dan hasil tanaman di wilayah tropika seyogyanya perlu
mendapat perhatian dan dikelola dengan baik sehingga
dapat menciptakan lingkungan tumbuh yang optimal
untuk menopang pertumbuhan dan hasil tanaman.
Berbeda dengan wilayah lain di Indonesia, Lembah
Palu juga terletak di wilayah tropika bahkan dilewati oleh
garis khatuliswa dimana intensitas penyinaran dan suhu
udara cukup tinggi dan kontinyu sepanjang tahun, namun
curah hujan di wilayah ini relatif rendah sehingga air pada
batas-batas tertentu menjadi kendala dalam budidaya
tanaman, termasuk budidaya bawang merah. Walaupun
demikian, sebagian wilayah Lembah Palu memiliki potensi
air tanah yang cukup besar yang dapat dikembangkan
sebagai sumber air pengairan sehingga wilayah ini tetap
memiliki potensi pengembangan pertanian khususnya
untuk tanaman-tanaman hortikultura seperti bawang
merah yang memang cocok dengan karakter iklim
tersebut.
Problema lain di Lembah Palu sebagai wilayah
sentra pengembangan bawang merah, terletak pada
sumber daya tanah yang memiliki berbagai kendala
diantaranya adalah:
Kandungan bahan organik tanah secara alamiah
rendah.
Tekstur tanah umumnya kasar (Lempung liat berpasir,
Pasir berlempung, Lempung berpasir, dll.).
Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah umumnya rendah.
108
pH tanah (H2O) berkisar antara 6,3 – 7,9; pH (KCl 1
N) berkisar 5,3 – 7,2.
Kadar P2O5 (Olsen) pada umumnya berkisar antara
sangat rendah hingga sedang, kecuali pada beberapa
tempat ditemukan adanya akumulasi P akibat
pemupukan P pada setiap musim tanam.
Kadar K2O total (HCl 25%) tinggi, K2O tersedia
(Morgan) umumnya rendah, kecuali pada beberapa
tempat berkadar sedang dan tinggi.
Basa-basa dapat tukar pada umumnya rendah hingga
sedang, kecuali pada beberapa tempat berstatus
tinggi.
KTK tanah pada umumnya rendah (10,70–14,94
cmol/kg), namun pada beberapa tempat tinggi
(28,31- 39,77 cmol/kg).
7.2. Kebutuhan hara tanaman bawang merah
‘lembah palu’
Pemberian pupuk pada tanaman bawang merah
‘lembah palu’ menurut rekomendasi (BPTP Biromaru,
1999), yaitu 100 kg urea.ha-1, 200 kg ZA.ha-1, 150 kg
SP-36.ha-1, 100 kg KCl.ha-1 dan pupuk kandang 15 ton ha-
1. Penelitian pada tanah Inceptisol menyimpulkan bahwa
bobot kering tanaman umur 1 bulan, bobot kering umbi
saat panen, bobot umbi kering eskip dan kelas umbi
dipengaruhi secara nyata oleh sulfur, blotong dan
intraksinya, sedangkan susut umbi tidak dipengaruhi oleh
109
sulfur, blotong dan intraksinya. Pemberian belerang
dengan dosis 40 ppm dan blotong 75 g/pot menghasilkan
umbi kering eskip dengan bobot tertinggi (Muhammad
dkk., 2003).
Bawang merah varietas ‘lembah palu’ sangat
respon terhadap pupuk organik maupun pupuk anorganik.
Pemberian pupuk organik 12 ton.ha-1 menghasilkan bobot
umbi kering panen sebesar 5,64 ton.Ha-1, berbeda nyata
dengan kontrol. Respon tanaman terhadap pemupukan
anorganik terlihat pada takaran pupuk 90 kg N ha-1 + 80
kg P2O5 ha-1 + 70 kg K2O dan diberi tambahan pupuk
organik sebanyak 12 ton.ha-1. Penambahan takaran pupuk
tidak meningkatkan bobot kering panen umbi (Limbongan
dan Maskar, 2003). Pemberian pupuk organik kascing
setara dengan 12 t.ha-1 + 300 kg ZA dapat menghasilkan
bobot umbi kering panen sebesar 4,05 t ha-1, sedangkan
tanpa kascing dan ZA hasilnya hanya 1,20 t.ha-1 (Saidah,
2002). Dengan inovasi teknologi hemat air dan
pemupukan (150 kg ZA, 50 kg urea, 300 kg SP36, dan
200 kg KCl ha-1 serta 10 ton pupuk kandang ha-1 dapat
menghasilkan bawang merah varietas ‘lembah palu’
sebesar 7,3 t.ha-1, sedangkan pada lahan yang dikelola
tanpa inovasi teknologi menghasilkan 5,0 t.ha-1 atau
mengalami peningkatan sebesar 46%. Dengan sentuhan
teknologi pada tanah bertekstur kasar (Entisol) dan
mengalami cekaman air, produksi bawang merah varietas
‘lembah palu’ dapat ditingkatkan (Purnomo dkk., 2007).
110
Hasil penelitian staf Balai Penelitian Tanah Bogor di
Desa Guntarano menunjukkan bahwa fosfat dan kalium
potensial tanah (HCl 25%) tergolong sangat tinggi, tetapi
ketersediaannya (P-Olsen dan K-NH4-acetat 1N, pH 7)
tergolong rendah. Untuk tumbuh secara normal, maka P
dan K harus diberikan. Kadar Ca dan Mg tergolong sangat
tinggi, sehingga bukan menjadi kendala pertumbuhan
tanaman (Purnomo dkk., 2007). Hasil kajian pemupukan
Subdinas hortikultura bekerjasama dengan staf pengajar
jurusan BDP Fakultas Pertanian Universitas Tadulako dan
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi
Tengah dan Sumber-sumber lain yang relevan yang
tertuang dalam Standard Operating Procedure (SOP)
budidaya bawang merah varietas ‘lembah palu’. Uraian
standar pemupukan pada tanaman bawang merah
varietas ‘lembah palu’ berdasarkan SOP tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut:: 10-30 ton ha-1 pupuk
organik, 100-200 kg.ha-1 Urea, 100-250 kg.ha-1 KCl,
150-300 kg.ha-1 SP-36, 100-250 kg.ha-1 ZA, dan pupuk
pelengkap cair sesuai anjuran pabrik (Dinas Pertanian dan
Peternakan Kab. Donggala, 2005).
Hasil penelitian Muhammad Ansar dkk (2014)
menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik padat 30
t/ha yang diikuti dengan pemberian pupuk NPK
(15:15:15) sebanyak 200 kg/ha menghasilkan berat umbi
eskip per rumpun tertinggi. Pemberian pupuk organik
padat dari bokashi pupuk kandang kambing sebanyak 30
111
t/ha menghasilkan jumlah daun dan jumlah umbi lebih
banyak serta berat umbi eskip per rumpun lebih tinggi
dan nyata berbeda dengan tanpa pupuk organik padat.
Pemberian pupuk NPK 100-200 kg/ha menghasilkan
jumlah daun dan jumlah umbi per rumpun bawang merah
lebih banyak serta berat umbi segar per hektar lebih
tinggi dan berbeda nyata dengan tanpa pupuk NPK.
Pemberian pupuk organik cair dari limbah kotoran ternak
sapi sebanyak 20-40 ml/l air menghasilkan tanaman
bawang merah lebih tinggi, jumlah umbi lebih banyak,
berat umbi eskip per rumpun dan berat umbi segar per
hektar lebih tinggi dan nyata berbeda dengan tanpa
pupuk organik cair.
7.3. Jenis Pupuk dan Peranannya Dalam Budidaya Bawang Merah ‘lembah palu’
7.3.1. Peranan pupuk anorganik
Penggunan pupuk anorganik dalam jumlah besar
dalam jangka waktu lama dapat memberikan dampak
negatif terhadap lingkungan hidup, khususnya terhadap
tanah. Untuk penggunaan pupuk hendaknya
diperhitungkan sesuai dengan kebutuhan tanaman, status
hara dalam tanah, karakter tanah, karakter tanaman, dan
tingkat produksi yang diinginkan, setiap jenis tanaman
memerlukan jumlah dan jenis pupuk yang berbeda-beda,
tergantung status hara dalam tanah. Pemberian pupuk
yang berlebihan tanpa memperhatikan jenis pupuk,
112
macam pupuk, dosis pupuk, cara aplikasi dan waktu
aplikasi yang tepat selain tidak efektif dan efesien
kemungkinan juga dapat mengakibatkan tanaman
keracunan. Penggunaan pupuk yang berkadar nitrogen
tinggi akan mendorong penurunan ratio C/N tanah
sebagai akibat mineralisasi bahan organik tanah yang
berlangsung lebih cepat. Implikasi lebih jauh adalah
tekstur tanah tidak dapat berkembang yang pada
akhirnya akan mengakibatkan tanah mudah menjadi
padat atau keras. Tanah yang mengeras sukar diolah,
terutama pada musim kemarau, sedangkan pada musim
hujan kapasitas infiltrasi tanah cepat menurun sehingga
akan memicu terjadinya erosi tanah. Disamping itu
kemungkinan pori-pori tanah tertutup oleh sisa-sisa
pupuk kimia yang tidak larut sempurna dan tidak terserap
oleh tanaman. Akibatnya, pertukaran udara dan air di
dalam tanah tidak lancar sehingga terjadi akumulasi
residu pupuk yang akhirnya akan meracuni tanah, air, dan
tanaman itu sendiri. Dampak negatifnya cukup luas, baik
bagi kehidupan organisme tanah yang bermanfaat
maupun terhadap kehidupan manusia. Oleh karena itu,
pemupukan hendaknya dilakukan dengan cermat dan
hati-hati agar tidak menimbulkan pemborosan yang akan
menambah biaya produksi. Sebaliknya, pemupukan yang
dilakukan dengan baik dan benar dapat meningkatkan
produksi dan pendapatan per satuan luas yang tinggi
serta memberikan keuntungan yang lebih tinggi.
113
Penggunaan pupuk yang benar sesuai dengan jenis,
macam, cara, waktu dan dosisnya sangat berpengaruh
baik terhadap kehidupan tanaman, karena:
a. Dapat menggantikan unsur hara yang hilang atau
habis, sehingga dapat mempertahankan
keseimbangan unsur hara dalam tanah dan
kesuburan tanah meningkat;
b. Dapat memperbaiki struktur tanah sesuai dengan
yang dikehendaki oleh tanaman;
c. Dapat meningkatkan daya ikat terhadap air sehingga
kebutuhan tanaman terhadap air dapat tercukupi;
d. Dapat mengikat fraksi-fraksi tanah;
e. Dapat mengurangi bahaya erosi karena tanaman
menjadi subur;
f. Dapat meningkatkan produksi, baik kuantitas
maupun kualitasnya.
Tanah-tanah di Lembah Palu pada umumnya
memiliki karakter fisik yang kurang baik dengan tingkat
kesuburan tanah alamiah yang rendah. Tanah-tanah di
lembah Palu didominasi oleh fraksi debu dan pasir
sehingga menyebabkan kapasitas tukar kation tanah
rendah yang berarti kemampuan memegang air dan
haranya juga rendah. Keadaan ini diperburuk oleh kadar
C-organik alamiah tanah juga rendah. Oleh karena itu,
penggunaan pupuk anorganik perlu memperhatikan dosis,
jenis, macam, cara dan waktu aplikasi yang tepat dan
114
pada saat yang sama upaya peningkatan kemampuan
tanah memegang air dan hara harus ditingkatkan melalui
aplikasi pupuk organik. Dengan demikian, penggunaan
pupuk anorganik ditujukan untuk memperbaiki status
hara dalam tanah agar sesuai dengan tuntutan kebutuhan
tanaman, sedangkan pemberian pupuk organik ditujukan
selain untuk menambah hara tanaman juga untuk
meningkatkan kemampuan tanah memegang air dan
hara, agar efisiensi dan efektivitas pemupukan dapat
ditingkatkan.
Untuk menambah unsur hara yang diperlukan,
tanaman perlu diberi pupuk tambahan terutama pupuk
Nitrogen (N), Fosfor (P), dan Kalium (K) yang masing-
masing terdapat dalam bentuk Urea, ZA, SP-36/SP-18,
dan KCl atau pupuk majemuk NPK. Kandungan unsur hara
untuk setiap jenis pupuk adalah : (a) Pupuk Urea
mengandung 45% N; (b) ZA mengandung 21% N dan
24% S; (c) SP-36 mengandung 36% P2O5; dan (d) KCl
mengandung 50% K2O.
Pemupukan dinyatakan berhasil apabila tanaman
menunjukan perubahan-perubahan, baik secara
morfologis maupun fisiologis, serta menunjukan
pertumbuhan dan perkembangan yang baik. Sebaliknya,
pemupukan dianggap tidak berhasil apabila tanaman yang
dipupuk tidak menunjukan adanya pertumbuhan dan
perkembangan yang lebih baik.
115
Pemupukan berimbang di lahan kering atau tegalan
perlu mempertimbangkan status hara dalam tanah dan
kebutuhan tanaman bawang merah pada tingkat hasil
yang optimal. Pupuk anorganik yang mengandung
nitrogen memiliki potensi untuk memasamkan tanah. Oleh
karena itu penggunaan pupuk urea, ZA, Amonium Nitrat
pada tanah yang bereaksi masam (pH (H2O) <5,7) harus
diikuti dengan penambahan CaCO3 setara dengan
kamasaman yang ditimbulkannya (eqivalen nilai
kemasaman) oleh pupuk tersebut, agar kemasaman tanah
tidak semakin menurun. Sebaliknya pada tanah alkalis,
penggunaan pupuk anorganik yang mengandung nitrogen
dapat menurunkan pH tanah pada kisaran yang lebih baik
untuk pertumbuhan tanaman.
Tanaman bawang merah yang telah dipupuk
berdasarkan jenis, macam, cara, waktu, dan dosis pupuk
yang tepat tentu akan tumbuh dan berkembang secara
baik. Tanda-tanda bawang merah ‘lembah palu’ yang
tumbuh baik adalah daun berwarnah hijau, tanaman
tumbuh tinggi, dan jumlah anakan per rumpun bisa lebih
dari 30 helai per tanaman.
7.3.2. Peranan Pupuk organik
Pupuk organik adalah pupuk yang terbuat atau
diproduksi dari bahan-bahan organik. Bahan organik
merupakan bahan sisa makhluk hidup yang menjadi
sumber energi bagi organisme yang bersifat heterotropik.
116
Bahan organik yang telah mengalami proses pembusukan
oleh mikroorganisme pengurai mengalami perubahan
warna, rupa, tekstur dan kadar airnya tidak serupa lagi
dengan bahan aslinya. Hasil akhir pembusukan bahan
organik adalah humus yang menjadi media
penyimpanan hara bagi tanaman karena pada permukaan
humus terdapat muatan listrik baik positif maupun
negatif yang berasal dari ionisasi gugus-gugus fungsional
seperti gugus karboksilat, phenol dan amin.
Humus merupakan salah satu komponen tanah
yang penting dalam kesuburan tanah. Humus besifat
sebagai switter ion (amfoter) tergantung pH tanah. Bila
pH tanah dibawah titik isoelektris, humus bermutan listrik
positif sehingga akan meningkatkan daya sanggah tanah
terhadap hara yang bermuatan listrik negatif seperti NO3-
,SO4=, H2PO4-, Cl- dan lain-lain. Jika pH tanah diatas titik
isoelektris, humus bermuatan listrik negatif sehingga
akan meningkatkan daya sanggah tanah terhadap hara
yang bermuatan listrik positif seperti NH4+, Ca++, Mg++,
K+ dan lain-lain. Hara tanaman yang diretensi oleh humus
tidak mudah hilang karena pengaruh pencucian.
Bahan organik dapat mempengaruhi sifat fisik,
kimia, dan biologi tanah. Bahan organik antara lain dapat
berfungsi memperbaiki struktur tanah dan mengurangi
terjadinya erosi, menjaga kelembaban tanah dan
menstabilkan temperatur tanah, meningkatkan
117
ketersediaan hara, menawarkan sifat racun hara tertentu,
seperti Al dan Fe serta meningkatkan efisiensi
pemupukan, memperbaiki aktivitas mikroorganisme
tanah, dan memperlambat kehilangan biodegradasi
pestisida dan ekosistem.
Pemberian bahan organik dapat memperbaiki
struktur tanah yang padat menjadi gembur dengan
menyediakan ruang untuk udara dan air. Ruang yang
berisi udara (pori makro) akan mendukung pertumbuhan
bakteri aerob yang berada di akar, sedangkan air yang
tersimpan di dalarn ruang tanah (pori mikro) menjadi
persediaan bagi tanaman. Bahan organik yang telah
menjadi humus mempunyai permukaan yang khas dan
bersifat hidrofilik, sehingga mempunyai kemampuan
menyerap banyak air. Humus dapat menyerap air hingga
20 kali lipat dari bobotnya.
Pemberian bahan organik pada tanah dengan
kandungan liat tinggi dapat memperbaiki porositas tanah
sehingga kelebihan air dapat dihilangkan atau di
drainase, sedangkan pada tanah berpasir, dapat
menahan air lebih baik, mempertahankan perakaran agar
tidak mudah kekeringan serta mencegah kehilangan hara
melalui pencucian. Bahan organik pada tanah dengan
kandungan liat tinggi kurang berperan terhadap kapasitas
tukar kation (KTK), tetapi penting dalam menciptakan
struktur tanah yang baik.
118
Bahan organik dapat menyediakan hara yang
diperlukan bagi tanaman. Selain mengandung hara
makro, bahan organik juga mengandung hara mikro
seperti Ca, Mg, Cu, Mn. Humus dapat rnenahan hara
menjadi bentuk tidak terlarut, tidak menguap, dan tidak
rnudah tercuci air hujan. Dengan demikian, makin tinggi
kadar bahan organik, makin banyak hara dapat ditahan
sehingga bahan organik dapat berfungsi sebagai media
penyimpanan hara dan pemupukan anorganik dapat
lebih efisien. Penambahan bahan organik setiap tahun
dapat menurunkan penggunaan pupuk anorganik yang
diberikan. Ion-ion toksik seperti Fe dan Al diikat oleh
humus menjadi organo-kompleks, sehingga
kelarutannya menjadi rendah dan fosfat yang semula
terfiksasi oleh Fe atau Al menjadi tersedia bagi
tanaman.
Pupuk kandang merupakan salah satu bahan
organik yang dihasilkan dari campuran kotoran hewan
dengan sisa makanan jerami dan urine yang telah
mengalami pembusukan. Secara kimiawi, Pupuk
kandang yang baik adalah yang mengandung air 30-
40%, bahan organik 60-70%, N 1,5-2,0%, P205 0,5-
1,0%, dan K20 0,5-1,0%.
Dampak positif yang telah banyak dilaporkan,
pupuk kandang mempunyai beberapa kelemahan antara
lain kadar hara yang tersedia bagi tanaman relatif lebih
sedikit dibandingkan pupuk anorganik, dan jika diberikan
119
dalam jumlah besar, dapat menurunkan kualitas air
apabila berdekatan dengan sumber air, meningkatkan
populasi jamur dalam tanah, dan dapat membawa benih
gulma.
Faktor yang mempengaruhi kualitas pupuk
kandang adalah macam dan sumber makanan ternak,
unsur dan keadaan ternak, jenis ternak, tahap
dekomposisi, dan penanganan sebelum pupuk digunakan.
Keunggulan setiap jenis pupuk kandang kotoran temak
bervariasi.
Tabel 18 menampilkan kandungan hara dari setiap
jenis ternak penghasil pupuk kandang. Hal yang
terpenting dalam penggunaan bahan organik adalah
bagaimana menghasilkan bahan organik secara in-situ
dalam jumlah cukup dan berkualitas.
Tabel 18. Kandungan hara dari bebagai jenis pupuk
kandang
No. Jenis Pupuk
Kandang
Nisbah Padatan / Cairan
H2O (%)
N (%)
P (%)
K (%)
1. Sapi perah 80:20 85 22,0 2,60 13,7 2. Sapi 80:20 85 26,2 4,50 13,0 3. Unggas 100:0 62 65,8 13,7 12,8 4. Babi 60:40 85 28,4 6,80 19,9 5. Domba 67:53 66 30,6 6,70 39,7 6. Kuda 80:20 66 32,8 4,30 24,2
Hal ini karena sebagian besar tanah di Indonesia
pada kondisi kekurangan hara, kering, dan struktur
120
tanahnya padat, karena didominasi oleh unsur liat
sehingga dibutuhkan bahan organik dalam jumlah
cukup besar yaitu 20-30 t/ha, sedangkan menurut
ketersediaannya sangat tergantung dengan populasi
ternak yang ada dan biaya transportasi dari areal
peternakan ke lahan pertanian. Pupuk kandang dan
kotoran sapi umumnya lebih banyak tersedia
dibandingkan kotoran ternak yang lain.
Dosis pupuk adalah jumlah pupuk yang harus
diberikan untuk suatu tanaman atau suatu lahan
tertentu, Jumlah pupuk kandang yang digunakan
tergantung kepada jenis tanah, jenis tanaman yang
diusahakan dan banyaknya pupuk yang tersedia. Dosis
pupuk kandang yang terlalu rendah tidak akan
memberikan efek terhadap pertumbuhan dan hasil
tanaman, tetapi dosis yang terlalu tinggi di samping
ketersediaannya yang terbatas, juga dapat
mencemarkan Iingkungan dan tidak ekonomis. Dosis
pupuk kandang lebih banyak ditentukan oleh
pertimbangan ekonomi. Oleh karena kandungan haranya
yang tidak seimbang, dosis pupuk kandang dalam
takaran sedang lebih menguntungkan untuk
mengimbangi pupuk anorganik, Dosis pupuk kandang
sapi 10-15 t/ha dikombinasikan dengan pupuk anorganik
untuk tanaman bawang merah dapat memberikan hasil
dan pendapatan yang tinggi.
121
Pupuk kandang biasa digunakan sebagai pupuk
dasar dengan dosis masih bervariasi 5-30 t/ha pada
tanaman bawang merah. Pupuk kandang dapat
memperbaiki tekstur dan struktur tanah serta
mempengaruhi ukuran dan bentuk umbi, sehingga
kualitas umbi bawang merah meningkat, Pupuk kandang
ayam dengan dosis 30 t/ha dapat meningkatkan bobot
basah umbi bawang merah, tetapi tidak berbeda nyata
jika dibandingkan dengan dosis 10 dan 20 t/ha.
7.4. Aplikasi Pupuk Pada Tanaman Bawang Merah
‘Lembah Palu’
7.4.1. Aplikasi pupuk anorganik
Pupuk anorganik pada umumnya akan
menampakkan hasil pemupukan yang cepat dibandingkan
dengan pupuk organik, namun akan cepat hilang akibat
tercuci oleh air. Pemberian pupuk anorganik secara
berlebihan memberikan dampak serius bagi tanah. Pupuk
anorganik jika digunakan dalam jangka panjang akan
membuat tanah menjadi keras dan menurunkan stabilitas
agregat tanah (Humberto dan Alan, 2013).
Pemupukan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
hara yang tidak mencukupi di dalam tanah agar produksi
meningkat. Unsur hara umumnya telah tersedia di dalam
tanah, tetapi karena secara terus menerus diserap oleh
tanaman maka jumlahnya berkurang. Tanaman
memerlukan unsur hara makro dan unsur hara mikro
122
untuk pertumbuhannya. Unsur hara yang paling banyak
dibutuhkan yaitu unsur hara yang terdiri dari nitrogen
(N), fosfor (P), kalium (K), belerang atau sulfur (S),
kalsium (Ca), dan magnesium (Mg).
Pemupukan NPK mampu meningkatkan produksi
tanaman, sehingga dapat disimpulkan bahwa
penambahan pupuk dengan dosis tertentu dapat
mengoptimalkan produksi berbagai jenis tanaman
(Subhan dan Nurtika, 2004).
Pupuk NPK berbentuk butiran yang mengandung
unsur hara nitrogen, fosfor, dan kalium. Pupuk ini sangat
baik untuk mendukung masa pertumbuhan tanaman,
selain itu keuntungannya adalah unsur hara makro yang
disumbangkan dapat memenuhi kebutuhan hara
tanaman. Pupuk NPK mengandung unsur hara makro
yang secara umum dibutuhkan oleh tanaman, dan dapat
memberikan keseimbangan hara yang baik untuk
pertumbuhan dan produksi tanaman bawang merah.
7.4.2. Aplikasi pupuk organik
Pupuk organik adalah pupuk yang sebagian besar
atau seluruhnya terdiri dari bahan organik yang berasal
dari sisa-sisa atau seresah tanaman atau kotoran hewan
yang telah melalui proses, dapat berbentuk padat atau
cair yang digunakan untuk menyuplai bahan organik
yang bertujuan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan
biologi tanah (Suriadiakarta dkk, 2006).
123
Dalam hal ini peranan bahan organik tanah
menjadi penting bukan hanya sebagai sumber hara,
tetapi juga dalam memperbaiki sifat fisik, kimia dan
biologi tanah (Hakim dkk., 1986). Pemberian bahan
organik pada tanah-tanah di Lembah Palu memberi
pengaruh positif, terutama untuk:
Meningkatkan kemampuan tanah memegang air
Meningkatkan kemampuan tanah memegang kation
(KTK)
Meningkatkan infiltrasi air
Meningkatkan populasi dan aktivitas organisme
tanah
Mendorong pembentukan struktur tanah
Menambah hara ke dalam tanah
Memberi warna gelap/hitam pada tanah
Meningkatkan daya sanggah tanah
Semakin tinggi kadar bahan organik tanah
semakin tinggi pula kemampuan tanah memegang air.
Hal ini berkaitan dengan semakin tingginya kadar humus
tanah sebagai hasil akhir proses dekomposisi bahan
organik tanah. Humus tanah merupakan senyawa
kompleks dengan berat molekul besar, berwarna kelam
sampai hitam dengan kapasitas tukar kation tinggi (200-
300 me/100 g humus).
124
Peningkatan kadar humus tanah berdampak pada
peningkatan kapasitas tukar kation tanah (KTK) sehingga
meningkatkan pula kemampuan tanah menyangga
kation-kation hara tanaman. Hal ini menjadi sangat
penting pada tanah-tanah yang bertekstur kasar dengan
kandungan liat dan bahan organik yang rendah seperti
halnya pada tanah-tanah di Lembah Palu.
Perlakuan pemberian bahan organik juga dapat
meningkatkan C organik tanah, N total, dan P tersedia
(Raihan dan Nurtitayani, 2002). Penggunaan pupuk
organik juga dapat mengurangi dosis penggunaan pupuk
anorganik. Produk dari hasil pupuk organik juga lebih
sehat, dan ramah lingkungan serta sedikit mengurangi
dampak negatif dari bahan kimia yang berbahaya bagi
manusi dan lingkungan (Susetya, 2001).
Implikasi lebih jauh adalah efisiensi pemupukan
menjadi lebih tinggi terutama kation-kation yang berasal
dari pupuk anorganik (urea, SP-36, KCl, (NH4)2SO4,
dsb.), sehingga ketersedian dan serapan hara bagi
tanaman menjadi lebih optimal dan pada sisi lain jumlah
kation hara yang berpotensi hilang melalui pencucian
dapat diminimalisasi.
125
a. Aplikasi Pupuk Organik Padat
Salah satu sumber pupuk organik padat adalah
pupuk kandang, pupuk kandang fermentasi, bokashi dan
pupuk hijau.
Bedengan yang telah bersih dari rumput diberi
pupuk organik, baik berupa pupuk kandang, pupuk
kandang fermentasi dengan EM4 atau pupuk bokashi,
yaitu sebanyak 15-30 ton per hektar yang ditaburkan
pada permukaan bedengan secara merata, pada saat
seminggu sebelum tanam. Setiap satu meter persegi
lahan memerlukan pupuk kandang sebanyak 1,5-3,0 kg.
Setelah pupuk ditabur, kemudian dicampur dengan tanah
di permukaan bedengan hingga rata sambil memecah-
mecah bongkahan tanah yang masih besar.
Pupuk kandang memiliki beberapa kelebihan
dibandingkan dengan pupuk anorganik, yaitu :
1. Dapat memperbaiki struktur tanah;
2. Menambah unsur hara;
3. Menambah kandungan humus atau bahan organik;
dan
4. Memperbaiki kehidupan jasad renik yang hidup
dalam tanah,
Selain itu, proses kerja pupuk kandang lambat,
sehingga kandungan nitrogen di dalamnya akan dilepas
secara pelan-pelan sehingga sangat menguntungkan
pertumbuhan tanaman. Berdasarkan proses
126
pelapukannya, pupuk kandang dibagi menjadi 2 jenis,
yaitu:
1. Pupuk panas, yaitu pupuk yang proses penguraian
oleh jasad renik berlangsung secara cepat sehingga
terbentuk panas. Contoh: kotoran kambing, kotoran
kuda.
2. Pupuk dingin, yaitu pupuk yang proses penguraian
oleh jasad renik berlangsung secara lambat, sehingga
tidak terbentuk panas. Contoh : kotoran sapi, ayam,
babi, dan kerbau.
Olehnya, bila hendak menggunakan pupuk panas,
misalnya kotoran kambing, harus betul-betul sudah
matang. Pupuk panas yang belum matang dapat merusak
akar tanaman karena pupuk panas yang sedang
mengalami proses penguraian suhunya dapat mencapai
75oC. Pupuk kotoran ayam sangat baik bagi pertumbuhan
tanaman karena mempunyai kandungan nitrogen dan
fosfor lebih tinggi daripada kotoran hewan lainnya.
b. Aplikasi pupuk organik cair (POC)
Penggunaan pupuk organik yang lebih efektif atau
efisien adalah dalam bentuk pupuk cair. Pupuk cair lebih
mudah diserap oleh tanaman karena unsur-unsur di
dalamnya sudah terurai. Tanaman tidak hanya menyerap
hara melalui akar tapi juga bisa melalui daun-daun
tanaman. Penggunaan pupuk cair lebih mudah pekerjaan
127
dan penggunaannya, dalam sekali pemberian pupuk
organik cair melakukan tiga tipe macam proses sekaligus,
yaitu: memupuk tanaman, menyiram tanaman dan
mengobati tanaman (Pratama, 2008).
Pemberian pupuk organik cair bermanfaat untuk
meningkatkan kesuburan tanah dan memperbaiki kondisi
biologis dan kimia tanah sehingga unsur hara dalam
tanah bisa dimanfaatkan tanaman secara maksimal serta
dapat meningkatkan produktivitas tanaman, membantu
mengikat nitrogen dari udara bebas, membantu
melarutkan fosfor di dalam tanah dan mempercepat
masa panen.
Herbafarm merupakan salah satu jenis pupuk
organik cair baru yang diproduksi oleh PT. Sido Muncul
yang mengandung nutrisi organik dan mikroorganisme
tanah yang diformulasi dari hasil produk samping jamu
yang berbahan baku tanaman obat dan rempah-rempah
(Wedari, 2012). Herbafarm adalah pupuk organik cair
plus bio protectant, diproses dari hasil samping produk
jamu berbahan baku tanaman obat dan rempah melalui
Biological Complex Process (BCP).
Pupuk organik cair herbafarm mengandung unsur
hara makro dan mikro yang dibutuhkan oleh tanaman,
mengandung asam humat, asam fulvat, dan hormon
tanaman, dan mengandung mikroba biofertilizer yang
sangat berperan dalam penambatan maupun penyerapan
128
hara oleh tanaman. Pupuk organik cair dapat mengubah
tanah menjadi lebih gembur, meningkatkan pH tanah,
dan mikroba yang berguna dapat berkembang dengan
baik, sedangkan patogen tanah dapat ditekan
perkembangannya. Berdasarkan hasil penelitian Mutia
(2013), pupuk organik cair herbafarm dapat
meningkatkan hasil bawang merah dengan bobot kering
umbi sebesar 12,28 ton/ha.
7.5. Cara Pemupukan pada tanaman bawang
merah ‘lembah palu’,
Upaya meningkatkan produktivitas lahan melalui
pemberian bahan organik dan pemupukan mutlak
diperlukan. Kombinasi pupuk organik dan pupuk
anorganik menjadi keharusan untuk meningkatkan
produktivitas tanah-tanah di Lembah Palu, khususnya
pada sentra pengembangan bawang merah varietas
‘lembah palu’. Pemberian pupuk organik diperlukan untuk
meningkatkan kemampuan tanah menyangga ion-ion
hara dan air, sedangkan pemupukan anorganik
diperlukan untuk meningkatkan kadar ion-ion hara yang
statusnya rendah dalam tanah.
Keberhasilan pemupukan sangat ditentukan oleh
cara penggunaan dan penempatan pupuk yang tepat.
Pupuk yang disebarkan di permukaan tanah akan
memberikan hasil yang berbeda dibandingkan dengan
pupuk yang dibenamkan dalam tanah. Cara pemupukan
129
yang dapat dilakukan pada tanaman bawang merah
‘lembah palu’, ada tiga cara yaitu:
a. Penugalan (Banding)
Pupuk ditempatkan dalm jalur-jalur yang dibuat di
dekat tanaman dengan jarak 5 cm dari rumpun tanaman
dengan kedalaman lubang 3-5 cm. Lubang tempat pupuk
diletakkan, dibuat dengan cara ditugal menggunakan alat
tugal dari kayu yang diruncingkan ujungnya.
b. Pembenaman (Bedding)
Pupuk dibenamkan pada alur-alur di antara barisan
tanaman. Alur-alur untuk menempatkan pupuk berupa
parit yang berukuran kira-kira 3 cm dengan kedalaman 5
cm, dan berjarak 3-5 cm dari rumpun tanaman bawang
merah. Pembuatan alur harus dilakukan dengan hati-hati
agar tidak memutus atau merusak akar serabut yang
menjalar ke samping.
c. Melalui Daun (Foliar)
Pemupukan melalui daun dilakukan dengan cara
disemprotkan langsung pada tanaman, terutama
penggunaan pupuk dalam jumlah kecil. Unsur hara mikro
yang biasa digunakan terdapat pada pupuk pelengkap
cair (PPC) dan pemupukan biasanya dilakukan
bersamaan dengan penyemprotan pestisida. Agar
pestisida dan pupuk lebih efektif kerjanya, ketika
menyemprot dapat ditambah zat perekat, misalnya
agristik. Pupuk daun yang diberikan bermacam-macam
seperti Gandasil (D) dan/atau (B), Vitabloom.
130
BAB VIII.
PENGELOLAAN HAMA DAN PENYAKIT BAWANG MERAH
8.1. Pengantar
Pengendalian hama dan penyakit adalah tindakan
untuk menekan gangguan/serangan hama dan penyakit
tanaman bawang merah, guna mempertahankan produksi
secara maksimal. Sistem pengendalian hama yang
dianjurkan adalah “Pengendalian Hama Terpadu” yang
lebih mengutamakan peletarian lingkungan hidup.
Sebagai tanaman budidaya, bawang merah tidak luput
gangguan hama dan penyakit yang dapat menurunkan
hasil bahkan pada gangguan yang hebat dapat
menyebabkan gagal panen. Oleh karena itu upaya
pencegahan dan pengendalian hama harus dilakukan
secara intensif sejak dini agar kerugian yang ditimbulkan
dapat ditekan seminimal mungkin. Agar
gangguan/serangan hama dan penyakit dapat terkendali
di bawah ambang ekonomi, hasil produksi tanaman
bawang merah meningkat dan kelestarian lingkunga
dapat tetap terpelihara.
Pengendalian hama dan penyakit bertujuan
melindungi tanaman dari kerusakan yang disebabkan oleh
organisme pengganggu. Perlindungan tanaman tidak
dimaksudkan untuk meningkatkan produksi per satuan
luas dan persatuan waktu, tetapi bersifat mengamankan
131
atau membatasi kehilangan hasil sekecil mungkin agar
target produksi yang tinggi dan berkualitas baik dapat
tetap dicapai seperti yang diharapkan. Oleh karena itu,
perlindungan tanaman berupa pencegahan dan
pengendalian hama dan penyakit perlu dilakukan secara
intensif sejak awal pertumbuhan tanaman.
Kerusakan tanaman pada umumnya disebabkan
oleh dua faktor utama, yaitu faktor biotik dan abiotik.
Faktor biotik adalah golongan bakteri, virus, dendawan
(jamur), insekta, nematode, gulma, sedangkan faktor
abiotik adalah tanah, oksigen, air, suhu, udara, sinar
matahari, kelembapan dan lain-lain.
Perlindungan tanaman dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu preventif dan kuratif. Cara preventif bertujuan
mencegah tumbuhnya hama dan penyakit sebelum
tanaman terinfeksi (sakit). Tindakan preventif dapat
dilakukan dengan mengolah tanah secara intensif,
menanam jenis atau varietas tahan penyakit, mengatur
jarak tanam dengan baik, menanam tepat pada
waktunya, sistem pengairan yang baik, dan pergiliran
tanaman dengan tujuan memutus siklus hidup hama dan
penyakit. Tindakan kuratif adalah tindakan dengan tujuan
melindungi dan menyembuhkan tanaman yang telah
terinfeksi hama dan penyakit, dengan cara biologis,
mekanis dan kimia.
Cara biologis adalah pengendalian hama dan
penyakit dengan tetap memelihara kelestarian hewan-
132
hewan predatornya atau hewan lain yang menjadi musuh
alaminya. Cara mekanis adalah cara pengendalian yang
dilakukan secara langsung dengan membunuh hama dan
memangkas bagian tanaman yang telah terinfeksi atau
sakit, terutama yang disebabkan oleh cendawan, virus,
dan bakteri. Cara kimia adalah cara pengendalian dengan
menggunakan bahan-bahan kimia beracun, seperti
insektisida untuk membunuh serangga, fungisida untuk
memberantas cendawan, bakterisida untuk memberantas
bakteri, dan herbisida untuk memberantas rumput atau
gulma.
Pengendalian secara kimiawi sampai saat ini
dipandang paling efektif untuk mengendalikan hama dan
penyakit yang menyerang tanaman, walaupun
mempunyai pengaruh negatif terhadap lingkungan.
Penggunaan bahan kimia beracun sedapat mungkin
dihindari, kecuali tidak ada pilihan lain untuk
menyelamatkan produksi hasil-hasil pertanian. Agar
penggunaan pestisida efektif dan memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya dan tidak banyak merugikan pihak
lain, maka penggunaan pestisida tersebut harus dilakukan
secara bijaksana dengan tetap mempertimbangkan,
mempertahankan, dan memelihara kelestarian
lingkungan, terutama ekosistem pertanian agar tidak
membahayakan produsen maupun konsumen. Untuk
mencapai sasaran tersebut, penggabungan atau
kombinasi antara pengendalian secara biologis, mekanis
133
dan kimia secara terpadu merupakan penanganan yang
baik dilakukan untuk menyelamatkan kelestarian
lingkungan hidup. Namun, jika terpaksa harus
menggunakan pestisida sebagai salah satu alternatif,
penggunaannya harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut.
a. Gunakan pestisida pada waktu yang tepat, yaitu pada
waktu timbuleksploitasi hama dan penyakit.
b. Gunakan pestisida secara selektif, yakni pestisida
yang berdaya racun tinggi, tetapi hanya membunuh
hama sasaran.
c. Gunakan pestisida dengan dosis seminimal mungkin,
yakni penggunaan pestisida dengan dosis yang sesuai
dengan lingkungan setempat.
d. Gunakan pestisida sesuai dengan luas areal dan pada
daerah tanaman yang terserang saja.
Jenis-jenis hama dan penyakit yang umumnya
menyerang tanaman bawang merah adalah golongan
serangga (insekta), cendawan, dan nematoda.
8.2. Pengaruh hama dan penyakit pada pertanaman bawang merah ‘lembah palu’.
Serangan hama dan penyakit pada pertanaman
bawang merah Lembah Palu banyak meresahlan petani
bawang merah. hal tersebut sangat berdampak pada
pendapatan petani. Hama ulat bawang dan lalat
pengorok daun merupakan 2 jenis hama yang setiap kali
134
petani melakukan kegiatan penanaman bawang selalu
mengancam pertanaman bawang merah petani.
serangan hama ulat bwang ditemukan mulai menyerang
pertanaman bwang merah Lembah Palu pada umur 10
hari setelah tanam sampai dengan menjelang panen,
sedangkan lalat pengorok daun seringkali menyerang
pada tanaman bawang merah umur 14 hari setelah
tanam. akibat serangan kedua jenis hama tersebut
menyebabkan kerugian petani cukup besar, bahkan
sampai menggagalkan panen.
Untuk serangan penyakit, banyak ditemukan
penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh jamur
Fusarium oxysporium dan penyakit bercak ungu (trotol)
yang disebabkan oleh jamur Alternaria porri. keduan
jenis penyakit tersebut tergologn sebagai penyakit
penting pada pertanaman bawang merah Lembah Palu.
8.3. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat serangan hama dan penyakit pada pertanaman bawang merah ‘lembah palu’
Banyak faktor yang menyebakan perkembangan
hama dan penyakit pada tanaman bawang merah
Lembah Palu, diantaranya adalah :
1. Kondisi Iklim Lembah Palu; kondisi iklim Lembah
Palu yang meliputi Donggala, Sigi, dan Kota Palu
tergolong iklim kering dengan sedikit hari hujan.
kondisi tersebut menyebabkan perkembangan hama
135
dan penyakit sangat pesat sehingga pertanaman
bawang merah senantiasa menjadi sasaran letupan
hama dan penyakit
2. Cara budidaya tanaman bawang merah oleh
masyarakat; cara budidaya yang tidak bersamaan
(waktu tanam) dalam satu hamparan yang sering
dilakukan oleh petani di Sulwesi Tengah khususnya
di Lembah Palu menyebabkan kondisi ekologis yang
sangat disukai oleh hama dan penyakit.
ketersediaan sumber makanan bagi hama dan
penyakit sangat mendukung perkembangan hama
dan penyakit.
8.4. Hama-hama penting pada tanaman bawang merah ‘lembah palu’ dan cara pengendaliannya
Beberapa hama yang sering menyerang tanaman
bawang merah diantaranya adalah sbb.
1. Lalat Penggorok Daun (Liriomyza huidobrensis)
Gejala seragan :
Lalat penggorok daun memiliki panjang sekitar 2 mm.
Sebagian besar tubuh hama ini berwarna hitam
mengilap. Telur berwarna putih bening. Larva bewarna
putih susu atau putih kekuningan. Puparium berwarna
kuning keemasan hingga cokelat-kekuningan. Lalat
betina menyerang tanaman dengan menusuk
permukaan bawah daun dengan menggunakan alat
peletak telur (ovipositor). Daun bawang merah yang
136
terserang ditandai dengan adanya bintik-bintik putih
akibat tusukan ovipositor lalat betina dan liang korokan
larva yang berkelok-kelok pada daun tanaman bawang
merah. Serangan berat mengakibatkan hampir seluruh
helaian daun penuh dengan korokan, sehingga menjadi
kering dan berwarna cokelat seperti terbakar. Larva
yang baru keluar dari telur langsung menyerang
tanaman dengan menggorok jaringan mesofil daun dan
akan tinggal di dalam kerokan selama hidupnya dan
setelah tua akan keluar dari liang untuk
berkepompong.
Gambar 8. Hama Penggorok daun
(Lalat Liriomyza)
Gambar 9. Kerusakan yang
ditimbulkan oleh serangan Lalat Liriomyza
Cara Pengendalian:
1. Budidaya tanaman secara sehat, dengan penerapan
teknik budidaya yang baik, pemupukan berimbang,
sanitasi kebun dari gulma.
2. Penggunaan perangkap likat berwarna kuning,
karena serangga ini tertarik pada warna kuning.
Lalat akan terbang menuju perangkap dan akan
137
menempel pada perekat yang sudah dipasang
sebelumnya.
3. Pengendalian secara fisik dengan menggunakan
jaring kain yang diberi larutan tapioka/kanji, dan
serangga akan menempel pada kain yang telah
diberi kanji tersebut.
4. Pemanfaatan musuh alami, antara lain capung,
laba-laba semut dan kepik. Musuh-musuh alami ini
harus dilindungi dari penggunaan pestisida.
5. Penggunaan insektisida antara lain: Bancol 50 WP,
Trigard 75 WP, Agrimec 18 EC dan Mitac 200 EC
atau yang berbahan aktif bensultap, klorfenapir dan
siromazin. Penggunaan bahan-bahan kimia ini
adalah merupakan alternatif terakhir.
Gambar 10. Perangkat likat warna kuning
(Yellow trap)
Gambar 11. Sungkup jala (screen)
penghalau Lalat Liriomyza
2. Ulat Bawang (Spodoptera exigua Hun)
Gejala Serangan:
Ulat bawang dikenal juga dengan nama ulat daun.
Larva atau ulat muda menyerang tanaman dengan
138
melubangi daun, menggerek permukaan bagian dalam
daun dan memisahkan epidermis bagian luar daun
sehingga bagian tersebut nampak lebih transparan.
Serangan berat dapat menurunkan hasil lebih dari
50%.
Pengendalian :
Pengendalian hama bawang dapat dilakukan dengan:
(a) Pergiliran tanaman dengan bukan tanaman inang
seperti palawija, (b) penanaman serempak
sehamparan, (c) pengumpulan dan pemusnahan
kelompok telur dan ulat bawang.
Untuk pengendalian imago ulat bawang dapat
menggunakan perangkap lampu yang dipasang secara
serentak pada satu hamparan. Penggunaan musuh
alami capung, kepik parasitoid Polites sp. Lalat
Tritaxys braueri, Lebah Telenomus sp. dan agen
hayati SE-NPV.
Pengendalian secara kimiawi dapat dilakukan dengan
pestisida (insektisida) Larvin 375 AS, Hostation 40 EC,
Orthene 75 SP, Cascade 50 EC, Factal 150 SC dan
Buldok 25 EC. Atau yang berbahan aktif profenofos,
betasiflutrin, tiodikarb dan karbofuran.
139
Gambar 12.
Telur Spodotepra exigua
Gambar 13.
Larva Spodotepra exigua
Gambar 14. Daun bawang terserang Ulat
Bawang (Spodoptera exigua Hubn)
Gambar 15. Gejala serangan Ulat Bawang
(Spodoptera exigua Hubn)
3. Trips (Trips tabacci Lind)
Gejala Serangan:
Trips dikenal sebagai hama putih. Serangan hama ini
menimbulkan noda putih mengilat. Ulat bawang
dikenal juga dengan nama ulat daun. Larva atau ulat
muda seperti perak pada daun, yang kemudian
berubah menjadi kecoklat-coklatan. Serangan berat
akan menyebabkan daun bawang merah berubah
140
menjadi putih. Serangan biasa terjadi pada musim
kemarau sedangkan pada musim penghujan relatif
tidak ada serangan hama ini.
Gambar 16
Nimfa Thrips dewasa (Thrips tabaci Lind)
Gambar 17 Perangkat likat warna
kuning (Yellow trap) untuk
mengendalikan Thrips
Pengendalian :
Pengendalian hama trips dapat dilakukan dengan: (a)
Pergiliran tanaman dengan bukan tanaman inang
seperti palawija, (b) penanaman dilakukan pada
musim kemarau, (c) Menggunakan musuh alami
kumbang macan/kumbang helm predator
Coccinellidae.
Melakukan pengamatan perkembangan hama ini di
lahan minimal interval seminggu dua kali. Melakukan
pemasangan perangkap berwarna kuning berperekat
sebanyak 80-100 buah/hektar, atau menggunakan
lampu perangkap. Gunakan Nematoda Entomo
Patogen (NEP) bila telah dijumpai populasi hama dan
apabila polulasi dan serangan terus meningkat dapat
141
dilakukan pengendalian dengan insektisida efektif
berbahan aktif betaslifutrin, piraklos. Atau
menggunakan insektisida antara lain Bayrusil 250 EC,
Meathrin 50 EC dan Mesurol 50 WP.
4. Ulat Tanah (Agrotis ipsilon)
Gejala Serangan:
Ulat tanah juga dikenal dengan nama ulat pemotong
(cutworm). Serangan hama ini dengan cara
memotong bagian pangkal batang sehingga tanaman
rebah. Meskipun tanaman masih bisa tumbuh kembali
namun pertumbuhannya terhambat. Ulat bersembunyi
dalam tanah dan aktif menyerang pada sore atau
malam hari.
Gambar 18.
Ulat Tanah (Agrotis ipsilon), aktif menyerang pada sore dan
malam hari
Gambar 19. Lampu perangkap untuk
mengendalikan ulat tanah dan ulat bawang
Pengendalian :
Pengendalian ulat tanah dapat dilakukan dengan: (a)
melakukan sanitasi kebun, melakukan reguing, (b)
142
mengumpulkan dan membunuh ulat-ulat yang telah
ditemukan, (c) Melakukan pengolahan tanah sebaik-
baiknya sehingga pupa maupun ulat mati terkena
sinar matahari, (d) Menggunakan lampu perangkap
seperti pengendali pada ulat bawang, (d)
Menggunakan musuh alami Coccinella repanda,
Goniophona, Tritaxys braneri, dan (e) menggunakan
pengendalikan secara kimiawi dengan insektida
antara lain Dipterek 95 SC, Dursban 90 EC dan
Hostation 40 EC.
8.5. Penyakit Penting pada tanaman bawang merah ‘lembah palu’ dan cara pengendaliannya
1. Layu Fuzarium /Grey Leat Spot (Fusarium
oxysporum Hanz)
Penyebab: Cendawan (Fusarium oxyporum Hanz.)
Gejala Serangan:
Daun bawang menguning dan terpelintir, layu,
tanaman mudah tercabut pada dasar umbi,
sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan akar.
Umbi yang terserang akan menampakan dasar
umbi yang putih, karena massa cendawan dan
umbi membusuk dimulai dasar umbi.
Serangan lebih lanjut menyebabkan kematian,
dimulai dari ujung daun kemudian menjalar
kebagian bawah.
143
Gejala terjadi ketika tanaman di lahan. Bila
serangan terjadi pada umbi bawang merah di
gudang penyimpanan, infeksi biasanya dimulai dari
akar atau luka pada umbi sehingga umbi
membusuk.
Gambar 20.
Penyakit Layu Fuzarium (Fusarium oxysporum Hanz)
Daun bawang merah yang terserang menjadi layu.
Kelayuan dimulai dari ujung daun. Penyebabnya
adalah cendawan Fusarium sp. yang mempunyai
miselium seperti benang berwarna putih dan akan
berubah warna menjadi kecoklatan.
Bentuk dan Bioekologi
Cendawan membentuk klamidospora dan dapat
bertahan lama didalam tanah.
Cendawan meginfeksi dengan cara menembus
jaringan pada dasar batang tanpa ada luka
sebelumnya.
144
Panetrasi dipermudah bila terdapat luka.
Serangan cendawan pada umbi sangat lambat,
sehingga tidak menampakan gejala, namun setelah
disimpan dan bibit ditanam dilapangan, maka
gejala akan timbul.
Kelembaban yang tinggi didalam tanah akan
memacu perkembangan penyakit.
Inang lain
Mempunyai banyak tanaman inang dari keluarga
Solanacearum seperti cabe, kentang, tomat dan
terung-terungan lain serta bawang-bawangan.
Pengendalian
Cara kultur teknis:
1. Pegiliran tanaman dengan jenis tanaman yang
bukan inang dan tidak menanam bawang merah
pada lahan terserang/endemic dalam jangka
waktu lama.
2. Penanaman bibit tanaman yang toleran atau
resisten terhadap serangan trips.
3. Menggunakan bibit yang bebas penyakit.
Cara fisik dan mekanis:
1. Tanaman yang terserang segera dicabut dan
dimusnahkan dengan dibakar berikut tanah
sekitar perakarannya.
2. Drainase dipertahankan dalam keadaan baik.
145
3. Menjaga tanaman tidak terluka akibat
perlakuan pemeliharaan.
Cara biologi:
1. Memanfaatkan musuh alami parasitoid,
predator dan pathogen.
2. Memanfaatkan aneka tanaman biopestisida
selektif.
Cara kimia:
1) Memberi pelakuan bibit sebelum ditanam
dengan fungisida selektif dan efektif.
2) Apabila cara pengendalian lainnya tidak mampu
menekan serangan layu fusarum sampai
mencapai 10%, aplikasi fungisida selektif dan
efektif sesuai dosis/konsentrasi yang
direkomendasi.
2. Antraknosa (Colletrotichum gloeospoiroides)
Penyebab: Cendawan (Colletotrichum gloeospooifrs
(Penz) Sacc).
Gejala Serangan:
Terjadi bercak-bercak putih tidak beraturan pada
daun terserang dengan ukuran kurang 1-2mm.
bercak-bercak tersebut berkembang dan melebar
kemudian berubah warna menjadi putih kehijauan.
Bercak-bercak kecil pada daun-daun muda atau
anakan akan menjadi sumber infeksi.
146
Daun yang sakit kemudian mongering dan gugur.
Serangan pada tangkai daun menyebabkan daun
layu dan rontok.
Tanaman bawang dapat mati mendadak, karena
daun bagian bawah pangkal mengecil.
Pada bagian bunga terjadi bintik-bintik kecill
berwarna hitam terutama pada keadaan cuaca
lembab dan dapat menyebabkan rontoknya bunga.
Apabila terinfeksi berlanjut, spora akan terlihat
dangan koloni berwarna merah muda kemudian
berubah menjadi coklat gelap dan akhirnya menjadi
kehitam-hitaman.
Bentuk dan Bioekologi
Konidia dapat membentuk apresoria yang
dirangsang oleh keadaan suhu, kelembaban dan
nutrisi yang cocok.
Pada saat perkecambahan apresoria akan cepat dan
mudah menginfeksi inangnya.
Serangan tertekan bila mengalami cekaman musin
kemarau, drainase baik dan gulma terkendali.
Inang lain
Bawang putih, sirsak, jeruk, mangga, manggis, leci,
keweni, rambutan, apokat, jambu biji, delima,
anggrek.
Candawan penyebab dapat bertahan berbulan-
bulan pada ranting-ranting mati.
147
Pengendalian
Cara kultur teknis:
1) Menggunakan benih sehat, bebas penyakit dan
kultivar resisten.
2) Merecanakan waktu tanam dengan tepat
(kemarau).
3) Melakukan pergiliran tanaman dengan
tanaman bukan inang.
4) Sanitasi lahan dengan membakar sisa tanaman
sakit dan pemeliharaan drainase sebaik
mungkin.
5) Tidak mengusahakan bawang merah secara
monokultur didaerah basah/lembab.
6) Jarak tanam yang paling cocok (tidak terlalu
rapat) sesuai kondisi daerah setempat, sanitasi
terhadap gulma dan pemeliharaan tanamanan
sebaik-baiknya.
7) Jika terjadi hujan pada siang hari, segara
siram dengan air bersih untuk mencuci
pathogen yang menempel pada daun.
Cara biologi:
1) Memanfatkan musuh alami parasitoid Aphytis
sp.
2) Memanfaatkan musuh alami predator family
Coccinellidae, seperti Coccinella repanda, C.
148
transversalis; family: Syrphidae, Crysophidae
dan Lycosidae.
3) Memanfaatkan aneka tanaman biopestisida
selektif.
Cara kimiawi:
Aplikasi fungisida dapat dilakukan dengan:
1) Daun mengalami malformasi dan terjadi gugur
daun.
2) Gejala terjadi pada malai bunga dan kondisi
lingkungan menguntungkan bagi
perkembangan penyakit.
3) Hujan turun secara terus menerus selama 1-2
hari, sehingga kelembaban menjadi tinggi.
3. Embun Tepung/Powdery Mildew
Penyebab: Cendawan Sercospora duddie
Gejala
Pada serangan awal pucuk muda permukaan
ditutupi bulu-bulu halus/lapisan massa dari konidia
(spora) cendawan yang berbentuk tepung berwarna
ungu.
Dibawah lapisan tepung, jaringan tanaman
berwarna hijau kebasahan dan kemudian
berkembang menjadi kecoklatan.
Daun yang terserang mengeriput, layu dan
selanjutnya daun menjadi kering.
149
Serangan berat menyebabkan pertumbuhan
tanaman menjadi terhambat dan menjalar ke umbi
hingga membusuk (tetapi lapisan luarnya
mongering dan berkerut).
Bentuk dan Bioekologi
Apresorium membulat, konidium berbentuk tong
dengan ujung-ujung yang membulat, tidak
berwarna, berbutir halus.
Konidium membentuk rantai yang terdiri atas 4-8
konidium, penyebarannya dipencarkan oleh angin.
Serangan penyakit ini dipengaruhi oleh ketinggian
tempat (jarang terjadi didataran rendah).
Perkembangan pathogen didukung oleh anakan dan
kelembaban tinggi.
Inang lain
Belum diketahui.
Pengendalian
Cara kultur teknis:
1. Penanaman sebaiknya pada musim kemarau.
2. Menggunakan bibit sehat dan bebas penyakit.
3. Melakukan pergiliran tanaman dengan tanaman
bukan inang.
4. Pengaturan jarak tanam (tidak terlalu rapat)
untuk mengurangi kelembaban udara.
150
Cara fisik dan mekanis:
1. Sanitasi lingkungan dengan mengumpulkan
pucuk dan daun yang terinfeksi serta tidak
produktif, selanjutnya dibakar untuk membunuh
pathogen.
2. Menjaga kondisi agroklimat disekitar tanaman
agar tetap kering dengan saluran drainase.
Cara biologi:
1. Memanfaatkan musuh alami parasitoid selektif.
2. Memanfaatkan aneka tanaman biopestisida
selektif.
Cara kimiawi:
1. Memberikan perlakuan benih sebelum tanam
dengan fungisida.
2. Untuk mencegah serangan penyakit ini, lakukan
penghembusan serbuk belerang dengan dosis
20-30 kg/ha atau yang direkomendasi.
3. Menggunakan fungisida selektif dan efektif pada
bagian pucuk dan daun tanaman terinfeksi
sesuai dosis/konsentrasi yang direkomendasi.
151
4. Bercak Trotol/Alternaria
Penyebab: Cendawan (Alternaria porri)
Gejala
Terjadi bercak-becak melekuk pada daun, berwarna
putih atau kelabu. Pada saat cuaca lembab,
permukaan bercak dapt berwarna coklat atau
hitam.
Pada serangan lanjut terdapat bercak-bercak
menyerupai cicin berwarna agak ungu dengan tepi
agak merah atau keunguan dan dikelilingi oleh
bagian berwarna kuning yang dapat meluas keatas
atau kebawah bercak dan ujung daunnya
mongering.
Serangan trotol menyebabkan infeksi pada umbi,
diawali dari bagian leher umbi ditandai berwarna
kuning atau merah kecoklatan, sehinggga umbi
membusuk dan berair.
Serangan berat mengakibatkan jaringan umbi
mongering dan berwarna gelap.
Bentuk dan Bioekologi
Konidium dan konidiofor berwarna hitam atau
coklat, konidium berbentuk gada yang berseklat-
sekat pada salah satu ujungnya membesar dan
tumpul, ujung lainnya menyempit dan agak
panjang.
152
Konidium dapat disebarkan oleh angin dan
menginfeksi tanaman melalui stomata atau luka
yang terjadi pada tanaman.
Pathogen dapat bertahan dari musim ke musim
pada sisa tanaman.
Keadaan cuaca yang lembab, mendung, hujan
rintik-rintik dapat mendorong perkembangan
penyakit.
Kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan
pathogen adalah keadaan drainase tanah yang
buruk, suhu 30° - 32° C, pemupukan dengan dosis
N tinggi yang tidak berkembang.
Inang lain
Bawang putih, sirsak, jeruk, mangga, manggis, leci,
keweni, rambutan, apokat, jambu biji, delima,
anggrek.
Cendawan penyebab dapat bertahan berbulan-
bulan pada ranting-ranting mati.
Pengendalian
Cara kultur teknis:
1) Menggunakan benih sehat, bebas penyakit dan
kultivar resisten.
2) Merencanakan waktu tanam dengan tepat
(kemarau).
153
3) Melakukan pergiliran tanaman dengan tanaman
bukan inang.
Cara fisik dan mekanis:
1) Sanitasi lahan dengan membakar sisa tanaman
sakit dan pemeliharaan drainase sebaik mungkin.
2) Jarak tanam yang paling cocok (tidak telalau
rapat) sesuai kondisi daerah setempat, sanitasi
terhadap gulma dan pemeliharaan tanaman
sebaik-baiknya.
3) Menjaga lahan tidak tergenangdengan drainase
yang baik.
4) Jika terjadi hujan pada siang hari, segara siram
dengan air bersih untuk mencuci pathogen yang
menempal pada daun.
Cara biologi:
1) Memanfaatkan musuh alami parasitoid dan
pathogen antagonis.
2) Memanfaatkan aneka tanaman biopestisida
selektif.
Cara kimiawi:
Apliklasi fungisia dapat dilakukan apabila:
a. Daun mengalami malformasi dan terjadi gugur
daun.
154
b. Gejala terjadi pada malai bunga dan kondisi
lingkungan menguntungkan bagi perkembangan
penyakit.
c. Hujan turun secara terus menerus selama 1-2
hari, sehingga kelembaban menjadi tinggi
5. Bercak Ungu (Alternaria porri)
Gejala Serangan:
Salah satu jenis gangguan yang biasa ditemui pada
daun adalah bercak ungu. Penyakit ini menyebabkan
daun-daun bawang merah mati, dan menyerang tanaman
bawang merah selama pertumbuhan sampai hasil panen
berupa umbi di penyimpanan. Penyebabnya adalah
cendawan Alternaria porri, yang memiliki bagian tubuh
yang menyerupai cendawan Alternaria Solani pada
tanaman kentang. Cendawan ini akan banyak menyerang
pada kondisi lingkungan yang lembab atau pada saat
curah hujan tinggi.
Gejalanya, muncul bercak melekuk pada daun,
berwarna putih atau kelabu. Pada serangan lebih lanjut
terdapat bercak menyerupai cincin, berwarna agak ungu
dengan tepi agak merah atau keunguan dan dikelilingi
oleh bagian yang berwarna kuning dan dapat meluas ke
atas atau ke bawah bercak dan ujung daun mengering.
Ujung daun yang mengering dapat patah pada saat atau
setelah panen, dan biasanya menimbulkan infeksi pada
155
umbi, sehingga umbi membusuk dan berair yang bermula
pada bagian leher umbi dan berwarna kuning atau merah
kecoklatan. Serangan ini dapat merusak dan menurunkan
mutu umbi, karena umbi menjadi kering. Serangan ini
dapat merusak dan menurunkan mutu umbi, karena umbi
menjadi kering.
Gambar 21.
Bercak ungu (Alternarian porri)
yang menyerang umbi
Ujung daun yang mengering dapat patah pada saat
atau setelah panen, dan biasanya menimbul-kan infeksi
pada umbi, sehingga umbi membusuk dan berair yang
bermula pada bagian leher umbi dan berwarna kuning
atau merah kecoklatan.
Pengendalian
a. Melakukan pergiliran tanaman dengan tanaman
palawija untuk menekan perkembangan jamur,
156
terutama dimusim hujan yang kelembaban udaranya
tinggi.
b. Menggunakan umbi dari kultivar yang toleran
terhadap serangan penyakit.
c. Menggunakan benih dari tanaman yang sehat, tidak
kropos dan tidak terdapat luka pada kulit
umbi/terkelupas dan warnanya mengkilap.
d. Melakukan sanitasi dan pembersihan lahan,
membakar sisa-sisa tanaman yang sakit.
e. Menjaga kelembaban lahan dengan cara mengindari
genangan pada bedengan serta memperbaiki saluran
drainase.
f. Melakukan penyiraman di pagi hari dan tidak
melakukan penyiraman di sore atau malam hari.
g. Jika terjadi hujan di siang hari, maka tanaman segera
disiram dengan air bersih untuk menghindari patogen
yang akan menempel pada daun.
h. Menggunakan pupuk organik dengan penambahan
agens hayati Trichoderma pada setiap lubang
tanaman.
i. Apabila masih ditemukan serangan atau serangan
telah melampaui ambang ekonomi, dapat dilakukan
penyemprotan dengan fungisida efektif yang berbahan
aktif klorotalonil, mankoseb, promineb, difenokonazol.
j. Merek fungisida yang dapat dugunakan diantaranya
adalah Antracol 70 WP, Difolaton 4F, Dithane M45,
Orthocide 50 WP, Topsin M70 WP.
157
BAB IX.
PANEN DAN PASCA PANEN 9.1. Pengantar
Pelaksanaan panen dan pascapanen merupakan
rangkaian kegiatan yang harus dilakukan secara cermat
dan hati-hati agar hasil yang diperoleh tetap memiliki
kualitas yang baik. Pemanenan sayuran dan buah-buahan
sebaiknya tidak dilakukan pada waktu hujan atau sesaat
sesudah hujan. Demikian juga, pemanenan bawang
merah sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari saat
cuaca cerah.
Penanganan panen dan pascapanen merupakan
suatu rangkaian kegiatan produksi tanaman. Kegiatan
ini perlu mendapat perhatian dan dilakukan secara
cermat agar hasil pertanian tidak mengalami kerusakan
dan kehilangan, sehingga menyebabkan terjadinya
susut pascapanen (postharvest losses). Susut
pascapanen dapat dikategorikan menjadi 3 macam,
yang masing-masing mempunyai implikasi ekonomis
yaitu (1) susut fisik (kuantitatif), yang dapat diukur
dengan berat, (2) susut kualitas karena ada perubahan
wujud, cita rasa, warna dan tekstur dan (3) susut nilai
gizi. Adapun penyebab terjadinya susut pascapanen ini
antara lain disebabkan karena luka mekanis, tercecer,
serangan mikroba, insekta, rodentia serta proses
fisiologis.
158
Hasil panen harus dilindungi dari lingkungan yang
merusak seperti suhu dan kelembaban serta dari
serangan mikrobia pembusuk. Penanganan pascapanen
seperti pengeringan, penyimpanan, pengemasan dan
pengolahan harus dilakukan secara tepat, sedemikian
rupa sehingga dapat diperoleh bahan baku yang
berkualitas untuk industri pengolahan.
9.2. Umur panen dan kriteria panen bawang merah ‘lembah palu’
Perlakuan panen akan mempengaruhi hasil
produksi dan proses penanganan selanjutnya. Dalam
pemanenan beberapa hal yang perlu diperhatikan antara
lain waktu atau umur panen serta cara pemanenan.
Umur panen bawang merah sangat ditentukan oleh
ketinggian tempat penanaman dan varietasnya. Tanaman
bawang merah yang ditanam di dataran tinggi memiliki
umur lebih panjang dibandingkan dengan tanaman
bawang merah yang ditanam di daerah dataran rendah.
Di dataran tinggi tanaman bawang merah biasanya
memiliki umur panen lebih lama beberapa hari jika
dibandingkan dengan yang ditanam pada dataran rendah.
Hal ini juga sangat tergantung pada jenis atau
varietasnya (berumur pendek atau berumur panjang),
umur panen bawang merah juga tergantung pada tempat
penanaman dan kesuburan tanahnya. Varietas yang
berumur pendek seperti bawang merah varietas ‘lembah
159
palu’ yang diperuntukkan sebagai bahan baku bawang
goreng dapat dipanen pada umur sekitar 60-65 hari,
sedangkan untuk bibit dipanen pada umur 70-85 hari
setelah tanam. Bawang merah ‘lembah palu’ yang
ditanam di dataran tinggi (800 m dpl.) dipanen setelah
umur 70-75 hari, sedangkan jika ditanam di dataran
rendah (100 m dpl.) dapat dipanen pada umur 60-65 hari
setelah tanam (Muhammad-Ansar, 2012). Tanaman
bawang merah yang tanamannya tumbuh subur umurnya
juga relatif lebih panjang karena pertumbuhan
vegetatifnya sangat aktif.
Tanaman bawang merah yang siap dipanen ditandai
dengan daun tanaman mulai menguning, pangkal daun
sudah lemas jika dipegang, dan daun bagian atas mulai
rebah. Keadaan daun yang telah menguning rata-rata
telah mencapai 75%-85% dari jumlah tanaman. Selain
itu, sebagian besar umbi sudah tampak di permukaan
tanah, lapisan umbi penuh berisi, dan warna umbi merah
mengkilat.
Gambar 22.
Ciri-ciri siap panen: daun nampak mulai layu dan terkulai
Gambar 23. Umbi nampak mulai
terangkat ke atas permukaan tanah
160
Untuk mengetahui tingkat kemasakan umbi
bawang merah, dapat juga dilihat dari keadaan fisik
tanaman maupun umbinya. Menurut Wibowo (1993),
jika 60-70 persen dari seluruh tanaman daun-daunnya
menguning atau mengering dan batang leher umbi
terkulai maka saat panenpun tiba. Pemanenan sebaiknya
dilakukan pada pagi hari saat kondisi cuaca cerah, tidak
hujan, dan daun tidak berembun lagi. Selain itu,
keadaan tanah harus kering agar umbi tidak cepat
busuk.
Sesuai dengan kriteria tersebut, pada umumnya
bawang merah sudah dapat dipanen pada umur 60-70
hari setelah tanam. Umbi yang dipanen terlalu muda
kurang baik kualitasnya karena akan cepat lunak dan
keriput ketika dikeringanginkan. Bawang merah yang
dipanen cukup umur memiliki umbi yang keras, padat,
tidak mudah keriput dan membusuk, serta tahan lama
simpan. Jika hendak digunakan untuk bibit, umbi harus
dipanen tua. Apabila bawang merah diusahakan secara
intensif dan tidak ada gangguan hama dan penyakit,
produksi umbi bisa mencapai 8-14 ton/ha, tergantung
pada varietasnya. Untuk bawang merah ‘lembah palu’
memiliki potensi hasil 9,7 ton/ha, namun hasil budidaya
bawang merah oleh petani hanya dapat mencapai 3,5-5,0
t/ha.
161
9.3. Cara panen bawang merah lembah palu
Pemungutan hasil sebaiknya dilakukan pada saat
cuaca cerah dan tidak hujan, dan sebaiknya pada pagi
atau sore hari. Beberapa hari sebelum pemanenan
sebaiknya seluruh tanaman disemprot dengan larutan
natrium maleat hydrazine (MH 10) agar umbi tidak
bertunas selama dalam penyimpanan. Panen dapat
dilakukan dengan mencabut seluruh tanaman secara hati-
hati agar tidak ada umbi yang tertinggal di dalam tanah.
Di lahan yang tanahnya padat, pemanenan dapat
dilakukan dengan menggunakan pacul, garpu tanah, atau
alat pencungkil yang bagian ujungnya pipih dan agak
runcing. Bawang merah yang telah dicabut segera diikat
bagian batangnya dalam beberapa rumpun. Selanjutnya,
seluruh umbi dimasukkan ke dalam karung. Selama
dalam pengangkutan ke tempat penampungan
diusahakan agar tidak ada umbi yang tercecer.
9.4. Penanganan Pascapanen
Setelah dipanen, bawang merah perlu
mendapatkan penanganan yang hati-hati agar kualitasnya
dapat terjaga tetap baik. Penanganan tersebut
diantaranya meliputi pembersihan, pengeringan,
penyimpanan, dan pengemasan.
a. Pembersihan
Umbi bawang merah setelah dipanen dibersihkan
bersama-sama pada saat pengikatan (kaili: bembeng).
162
Kotoran yang menempel pada umbi dibersihkan,
kemudian akarnya dipotong dengan pisau atau gunting
yang tajam. Pekerjaan berikutnya adalah pengikatan/
bembeng, yaitu batang bawang merah yang sudah kering
bersama daunnya sekitar satu genggam diikat menjadi
satu. Setiap dua ikat diikat lagi menjadi satu agar mudah
digantuntungkan di para-para. Umbi bawang merah yang
daunnya rusak langsung dipotong (jawa/kaili: diprotol)
dari batangnya, kemudian dijemur. Alas tempat
penjemuran harus bersih dan kering, misalnya karung
plastik atau alas anyaman bambu (gedheg).
b. Pengeringan
Bawang merah yang telah dipanen harus segera
dikeringkan untuk mencegah kerusakan yang disebabkan
oleh cendawan atau bakteri pembusuk. Bawang merah
yang masih segar perlu dilayukan atau diperam selama
dua hari, kemudian dijemur dengan cara dihamparkan di
atas tikar bambu atau sejenisnya. Selama penjemuran
diusahakan agar bawang merah tidak bertumpuk-tumpuk
untuk menghindari terjadinya kerusakan umbi. Dalam
penyimpanan posisi umbi harus terlindung oleh daun.
Dengan cara demikian, penguapan air dari umbi
berlangsung memakan waktu sekitar 3-4 hari.
Pengeringan bawang merah dihentikan jika kulitnya telah
kelihatan mengilap dan bila digesek-gesekkan satu
dengan yang lain terdengar suara gemerisik.
163
Pengeringan adalah proses pengeluaran air dari
suatu bahan pertanian menuju kadar air keseimbangan
dengan udara sekeliling atau pada tingkat kadar air
dimana mutu bahan pertanian dapat dijaga dari serangan
jamur, aktivitas serangga dan enzim (Henderson dan
Perry 1976). Secara tradisional, pengeringan dilakukan
dengan sinar matahari, tetapi sekarang beberapa
makanan didehidrasi dibawah kondisi pengeringan dengan
menggunakan aneka ragam metode pengeringan (Buckle
et al., 1987).
Proses pengeringan dapat dilakukan dengan cara
pengeringan sinar matahari atau diangin-anginkan di
tempat yang teduh. Pengeringan sistem kedua lebih lama,
tetapi akan memberikan hasil yang lebih baik
Bawang merah yang baru dipanen disusun rapi
dengan susunan daun pada baris kedua menutup umbi
baris pertama, dan daun baris ketiga menutup umbi baris
kedua, demikian seterusnya. Penyusunan seperti ini
bertujuan mencegah luka bakar pada umbi, di samping
untuk mengeringkan batangnya sehingga ketika diikat
atau dibembeng betul-betul kuat. Lama penjemuran
biasanya cukup dilakukan selama 2-3 hari jika kondisi
cuaca cerah.
Tujuan utama pengeringan adalah mengurangi
kadar air bahan sampai batas dimana perkembangan
mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat
menyebabkan pembusukan terhambat atau terhenti.
164
Dengan demikian bahan yang dikeringkan dapat
mempunyai waktu simpan yang lama (Taib et al., 1988).
Pengeringan dapat dilakukan dengan beberapa
cara, yakni penjemuran, pengasapan, dan pengeringan
dengan alat mekanis.
b.1. Penjemuran
Penjemuran bawang merah sudah dianggap cukup
kering kalau beratnya sudah susut sampai 15-20%.
Kalau cuaca sedang cerah dengan sinar matahari cukup,
bawang merah sudah cukup kering setelah dijemur 3-4
hari (Wibowo, 1993), sedangkan menurut Soetiarso
(1998) bawang merah yang sudah dijemur selama 3-
4 hari (daun masih agak kehijauan dan lembab, pada
umbi masih ada tanah yang menempel) disebut kering
lokal, sedangkan kering eskip adalah bawang merah
yang sudah dijemur sekitar 7 hari (daun sudah kering,
kulit luar umbi sudah mengelupas, umbi sudah bersih
dari tanah dan akar). Bawang merah yang sudah kering,
umbinya nampak mengkilat, padat dan keras, wamanya
merah, batang leher umbi keras dan kering dan kalau
dipegang terasa gemerisik kering.
Cara pengeringan yang dilakukan petani
umumnya dimulai dengan proses pelayuan selama 2-3
hari di bawah terik matahari. Pelayuan dilaksanakan
dalam barisan yang berjumlah 5-7 baris dan disusun
sedemikian rupa sehingga umbi tertutupi oleh daun,
165
dengan demikian umbi dapat terhindar dari sengatan
matahari langsung. Sengatan matahari yang langsung
selama proses pelayuan dapat mengakibatkan terjadinya
keriput dan rusaknya jaringan pelindung pada umbi
sehingga menyebabkan pudarnya warna kulit umbi
(Sunarjono et al., 1995).
Pengaruh lain yang ditimbulkan dari pelayuan
adalah adanya perubahan bentuk/ukuran pada umbi
dimana bagian pangkal umbi kelihatan agak lonjong
tetapi setelah dilakukan pelayuan akan kelihatan
membesar dan agak rata. Setelah proses pelayuan,
umbi bawang merah mengalami penyusutan sebesar
18,19-20,00% dan setelah proses pengeringan 23,81-
36,11% (Musaddad dan Histifarina 1998).
Menurut Muchtadi (1992), pelayuan sayur-
sayuran umbi dan umbi lapis (bulb) merupakan cara
yang paling efektif untuk menutup kembali permukaan
kulit yang teluka atau tergores. Proses penyembuhan
ini diperlukan agar luka atau goresan tersebut tidak
memperpendek umur simpan. Pembentukan epidermis
selama proses pelayuan dapat diaktifkan dengan suhu
dan kelembaban yang tinggi. Perubahan lain yang
terjadi selama proses pelayuan adalah menurunnya
kadar air, terutama pada bawang putih dan bawang
merah. Selain memperpanjang masa simpan, proses
pelayuan juga berguna untuk mencegah pertumbuhan
kapang. Setelah bawang merah mengalami proses
166
pelayuan, dilanjutkan dengan proses penjemuran di
bawah sinar matahari selama 7-10 hari (Musaddad dan
Histifarina, 1998).
b.2. Pengeringan Mekanis
Umbi bawang merah dapat juga dikeringkan
dengan alat pengering mekanis. Alat pengering ini dapat
dibuat dari beberapa sumber panas, seperti kompor,
listrik dan batubara.
Currah dan Proctor (1990), mengemukakan bahwa
bawang merah yang dikeringkan pada suhu 25°C dengan
kelembaban 60-75% dapat mencegah pertunasan dan
pertumbuhan jamur. Selanjutnya Musaddad dan
Histifarina (1998), menyimpulkan bahwa pengeringan
dengan oven dryer pada suhu 46°C selama 16 jam
merupakan perlakuan yang lebih baik dilihat dari susut
bobot, pertunasan dan kebusukan dibandingkan dengan
pengeringan sinar matahari. Proses pelayuan ini berakhir
jika umbi mencapai susut bobot 35% (Tjiptono 1986).
Untuk Pengeringan dengan sumber panas
kompor, suhu diatur sekitar 34-35°C dan biasanya dalam
waktu 12 jam umbi bawang merah sudah cukup kering,
yaitu beratnya susut sekitar 15-20% (Wibowo 1999).
Sanguansri dan Gould (1992) melaporkan bahwa
pelayuan dengan menggunakan udara panas dapat
mengurangi susut bobot dan mempertahankan warna.
167
b.3. Pengasapan
Pengasapan dapat dilakukan di tempat khusus
atau di atas dapur dengan membuat para-para dari
kayu sebagai tempat untuk menggantungkan ikatan-
ikatan bawang merah. Asap berasal dari tungku yang
bahan bakarnya kayu atau sekam. Agar pengasapan
dapat berlangsung dengan baik, panas ruangan diatur
antara 34-35°C. Dalam waktu sekitar 12 jam, umbi
sudah kering apabila panas ruangan dapat
dipertahankan normal (Rahayu dan Berlian 1998).
c. Penyimpanan
Penyimpanan merupakan salah satu cara untuk
mempertahankan mutu produk yang masih hidup,
memperpanjang daya guna, menghindarkan
melimpahriya produk di pasaran saat panen raya dan
menjaga kesinambungan pemasaran, sehingga fluktuasi
harga dapat terkendali serta sebagai upaya untuk
menjaga kuantitas, kualitas dan kontinyuitas bahan
baku industri.
Bawang merah memerlukan kondisi penyimpanan
yang memadai agar mutunya relatif bertahan. Suhu
yang terlalu tinggi menyebabkan tingginya susut bobot
dan menyebabkan umbi menjadi kisut. Sedang
kelembaban relatif yang terlalu tinggi memberi peluang
yang baik bagi pertumbuhan jamur dan kapang serta
merangsang tumbuhnya tunas dan akar (Ryal dan
Lipton 1978).
168
Proses fisiologis dan patologis yang berjalan
dalam penyimpanan bawang merah berkaitan dengan
proses fisis yaitu pertukaran panas dan uap air yang
mempengaruhi lingkungan penyimpanan. Seiring dengan
berjalannya waktu, perkecambahan dan perkembangan
akar akan terjadi pada umbi. Ukuran umbi, tekanan
kulit akan berubah, dan kulit menjadi retak. Hal ini akan
meningkatkan konduktivitas kulit terhadap uap air,
mempercepat kehilangan air dari umbi. Oleh karena
terjadi pertunasan, respirasi dan output panas akan
meningkat, karbondioksida dan uap air dari umbi juga
meningkat. (Burton 1982). Kelembaban relatif (Relatif
Humidity/RH) penyimpanan 65-70% akan menjaga
kulit fleksibel dan elastik. Pada RH rendah kulit
menjadi sangat rapuh dan rnudah retak, yaitu ketika
kandungan airnya dibawah 20% (Currah dan Proctor
1990).
Secara tradisional, hasil panen bawang
merah disimpan di ruang dapur dengan
menggantungkannya pada rentangan tali. Penyimpanan
demikian dapat bertahan selama 6 bulan karena udara di
sekitarnya dikeringkan oleh panas tungku dapur, sehingga
bakteri dan cendawan tidak dapat berkembang dengan
baik.
Karmakar dan Joshi (1941), dikutip dalam
Salunkhe dan Desai (1990), melaporkan bahwa
penyimpanan bawang merah pada suhu 30°C tidak
169
akan mengurangi jumlah padatan terlarut tetapi akan
menurunkan kandungan gula reduksi. Pada tingkat
kemasakan optimal, umbi bawang biasanya berada
dalam masa dorman. Waktu dorman (istirahat)
berbeda untuk setiap jenis bawang, serta bergantung
pada lahan tempat tumbuh dan kondisi penyimpanan.
c.1. Penyimpanan di Atas Perapian
Penyimpanan di atas perapian merupakan cara
yang umum dilakukan oleh petani yang sebagian besar
ditujukan untuk penyediaan bibit. Selain Iebih murah
dan mudah dilakukan, cara penyimpanan ini relatif
dapat mempertahankan mutu. Hubungannya terhadap
perlindungan mutu diduga oleh terbakarnya
selulosa/lignin ungu sehingga terurai menjadi senyawa
yang dapat merupakan bahan pengawet, mencegah
pertunasan dan serangan hama. Namun demikian,
ternyata cara ini menimbulkan kehilangan hasil yang
cukup tinggi (20-70%) selama 2 bulan penyimpanan
(Musaddad dan Sinaga 1995).
c.2. Penyimpanan di Ruang Berventilasi
Kondisi ruang/gudang penyimpanan yang baik
adalah bersih, kering dan tidak lembab. Kondisi ini
dapat diperoleh dengan menciptakan sirkulasi dan
ventilasi udara yang memadai. Kelembaban yang terlalu
tinggi disertai suhu yang tinggi, dapat menyebabkan
terjadinya pembusukan umbi atau tumbuhnya tunas.
170
Suhu yang baik untuk menyimpan bawang merah
adalah 30-34°C dan kelembabannya 65-75% (Wibowo,
1993).
Gambar 22.
Cara penyimpanan umbi bawang merah dengan cara
menggantung pada rak dalam gudang penyimpanan
Gambar 23. Cara penyimpanan umbi
bawang merah dengan cara menghamparkan pada rak
dalam gudang penyimpanan
Menurut Rukrnana (1994) ikatan bawang merah
dapat disimpan dalam rak-rak di gudang penyimpanan
yang bersuhu 25-30°C, kelembaban 70-80%, sedangkan
Rahayu dan Berlian (1998) menyatakan bahwa suhu
ruang penyimpanan bawang merah hendaknya berkisar
antara 25-30°C, kelembabannya 60-80%. Dalam kondisi
yang baik, bawang merah ‘lembah palu’ dapat disimpan
selama 4 bulan.
Hasil penelitian Musaddad dan Sinaga (1994)
menunjukkan bahwa penyimpanan bawang merah pada
suhu 30°C dan kelembaban 70% memberikan kualitas
yang baik, karena setelah 8 minggu penyimpanan
diperoleh kekerasan yang rnasih tinggi (2,5
mm/50g/10") kerusakan rendah (5%) dan VRS tinggi
171
69,01 mikrogrek/gram). Sedangkan Sinaga dan Hartuti
(1991) menyimpulkan bahwa cara penyimpanan terbaik
ditunjukkan oleh bawang merah berdaun yang
digantung, karena selama penyimpanan diperoleh
tingkat kerusakan, susut bobot dan kadar air yang
rendah serta kadar total padatan terlarut yang tinggi.
c.3. Penyimpanan Dingin
Kondisi penyimpanan dingin untuk bawang merah
adalah pada suhu sekitar 0°C dan kelembabannya 65%.
Pada suhu 10-15°C umbi bawang merah akan cepat
tumbuh dan membentuk tunas (Wibowo 1999).
Penyimpanan dingin untuk bawang merah yang
dianjurkan oleh Pantastico (1993 ) adalah pada suhu 0°C
dengan RH 70-75%. Pada kondisi ini umur simpan
bawang merah 20-24 minggu.
Bahan dapat didinginkan menggunakan udara
dingin, air dingin, kontak evaporatif, pendinginan
vakum). Wills et al. (1981) mengemukakan bahwa laju
pendinginan hasil segar tergantung pada 5 faktor:
1) Kecepatan transfer panas dari bahan (tergantung
bentuk dan ukuran).
2) Perbedaan suhu antara bahan dan medium
pendingin.
3) Kecocokan medium pendingin dan komoditas.
4) Kecepatan aliran medium pendingin.
5) Sifat medium pendingin.
172
d. Keadaan gudang atau ruang penyimpanan
Ruang penyimpanan atau gudang harus memiliki
ventilasi agar pertukaran udara didalamnya berjalan
lancer sehingga ruangan cukup kering dan tidak lembap.
Gudang atau ruang penyimpanan harus bersih dari segala
kotoran agar hama atau bibit-bibit penyakit tidak
terbawa. Bangunan gudang dibuat dari bahan pilihan yang
dapat berfungsi sebagai isolator, misalnya papan kayu,
agar udara di dalam tidak banyak yang keluar sehingga
temperaturnya tetap stabil. Atap dibuat dari bahan yang
dapat menyerap panas, misalnya seng, dapat
menciptakan temperature ruang yang sesuai. Selain itu,
gudang atau ruang penyimpanan sebaiknya dibangun di
tempat terbuka agar dapat menerima sinar matahari
secara langsung sehingga dapat menyerap panas lebih
banyak. Gudang sebaiknya dilengkapi dengan rak-rak
untuk menempatkan bawang merah yang hendak
disimpan, baik dalam bentuk protolan maupun dalam
bentuk ikatan.
Sebelum digunakan, seluruh ruangan dalam
gudang harus difumigasiterlebih dahulu dengan pestisida
tablet, yaitu Photoxin 55% dengan dosis 1-3 tablet untuk
setiap 1 m3 ruangan. Pengasapan atau fumigasi harus
dilakukan dengan hati-hati karena pestisida ini sangat
berbahaya dan dapat meracuni pemakainya. Oleh sebab
itu, gunakan masker atau penutup hidung ketika
melakukan fumigasi agar terhindar dari keracunan.
173
Setelah semua persyaratan teknis terpenuhi, bawang
merah dapat segera dimasukkan untuk disimpan dalam
gudang pada para-para yang telah disiapkan.
e. Suhu dan kelembapan ruangan
Suhu dan kelembapan dalam gudang sangat
berpengaruh terhadap tingkat kerusakan bawang merah
selama dalam penyimpanan. Suhu dan kelembapan yang
terlalu tinggi dapat mempercepat busuknya umbi dan
tumbuhnya tunas sehingga kualitasnya menjadi jelek. Jika
udara dalam gudang terlalu kering (suhu tinggi) dan
kelembapan udara rendah, basahi lantai dengan air atau
alirkan/hembuskan uap air ke dalam ruangan agar
kelembapan udara dapat meningkat. Jika kelembapan
terlalu tinggi, turunkan dengan cara mengalirkan zat yang
bersifat higroskopis, yaitu CaCl2 atau berikan batu kapur
di lantai gudang. Suhu ruang yang baik untuk
penyimpanan bawang merah berkisar antara 30oC-34oC,
dengan kelembapan udara nisbi antara 65%-75%.
f. Keadaan bawang merah
Keadaan atau kondisi bawang merah yang akan
disimpan dalam gudang sangat berpengaruh terhadap
daya simannya. Bawang merah yang masih basah lebih
pendek daya simpannya, walaupun gudang atau ruang
penyimpanan telah memenuhi persyaratan teknis. Umbi
bawang merah yang kadar airnya masih tinggi mudah
terserang oleh penyakit busuk umbi yang disebabkan oleh
174
cendawan Aspergillus niger. Demikian pula, bila dalam
penyimpanan terdapat bawang merah yang rusak atau
terkena penyakit, maka daya simpannya juga menjadi
lebih pendek karena tertular oleh penyakit. Oleh sebab
itu, bawang merah yang akan disimpan dalam gudang
harus cukup kering dan kadar airnya sekitar 80%-85%
atau beratnya sudah susut sekitar 15%-20%. Selain itu,
bawang merah yang baik dan akan disimpan harus sudah
benar-benar bebas dari bawang merah yang rusak dan
terkena penyakit.
Sortasi dan Grading
Setelah umbi bawang merah kering, selanjutnya
dilakukan sortasi atau grading. Kegiatan sortasi
dimaksudkan untuk memilah-milahkan umbi yang
bermutu baik dari umbi yang bermutu rendah.
Jika akan langsung dikonsumsi, bawang merah
segera dipotong daun batangnya sekitar ±0,5 cm diatas
umbi. Demikian juga akar-akar yang masih panjang.
Pemotongan dilakukan dengan menggunakan pisau yang
tajam atau gunting. Selanjutnya, bawang merah dipisah-
pisahkan menurut standar mutu. Sementara, jika akan
disimpan, bawang merah biasanya diikat
(kaili=dibembeng) setelah sebagian daun dipotong hingga
tinggal setengahnya.
175
DAFTAR REFERENSI
Agata J. Just M V. Jadwiga Z. 2005. Characterization Of A Nucleopolyhedrovirus Isolated From The Labolatory Rearing Of The Beet Armyworm Spodoptera exigua (Hbn.) In Poland. Journal of Plant Protection Research 44 (4).
Aitkenhead, P., Baker, C.R.B and Chickera, G.W.D. (1974) An outbreak of Spodoptera litura, a new pest under glass in Britain. Plant Pathol. 23:117-118.
Andi. M. A dan Syarifuddin, 2007. Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan, PPLH Regional Sulawesi, Maluku dan Papua, Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI dan Masagena Press. Makasar.
Arifin, M. 1991. Bioekologi, serangan dan pengendalian hama pemakan daun kedelai.Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Malang, 8-11Agustus 1991.
Arifin, N.S. and Okubo, H. 1996. Geographical distribution of allozyme patterns in shallot (Allium cepavar. ascalonicumBacker) and wakegi onion (A. × wakegi Araki). Euphytica. Vol.9(1): 305-313.
Bahrudin, I. Wahyudi, Muhammad-Ansar dan S. Sanrang, 2009. Kajian SOP (Standard Operating Procedure) Sistem Budidaya dan Pasca Panen Bawang Merah Lokal Palu di Sulawesi Tengah. Hibah kompetitip Penelitian Sesuai Prioritas Nasional BATCH II. Laporan Penelitian LPPM Universitas Tadulako. Palu.
Bahrudin, Muhammad-Ansar dan I. Madauna, 2014. Kajian Viabilitas dan Vigor Benih Asal Dari Berbagai Sentra Bawang Merah Varietas Lembah Palu. Prosiding Seminar Nasional PERHORTI, Universitas Brawijaya. Malang.
176
Bahrudin dan Muhammad-Ansar, 2015. Aplikasi Sungkup Plastik Dan Mulsa Untuk Meningkatkan Adaptasi Tanaman Bawang Merah Varietas ‘Lembah Palu’ Pada Dataran Medium. Prosiding Seminar Nasional PERHORTI, IPB Bogor, 19-21 Nopember 2015.
Bakhri, S., Chatidjah, A. Ardjanhar, dan J.G. Kindangen. 2000. Penerapan paket teknologi budi daya bawang merah dan kentang di Sulawesi Tengah. Prosiding Aplikasi Paket Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. hlm. 37–46.
Basuki, R.S.2010. Sistem pengadaan dan distribusi bibit bawang merah pada tingkat Petani di Kabupaten Brebes. J. Hort. 20 (2) : 186 – 195.
Benkeblia, N., P. Varoquaux, N. Shiomi, and H. Sakai. 2002. Storage technology of onion bulbs c.v. Rouge Amposta: effects of irradiation, maleic hydrazide and carbamate isopropyl, N- phenyl (CIP) on respiration rate and carbohydrates. International Journal of Food Science and Technology. 37: 169 – 175.
BPTP Sulteng. 2004. Satu Dasawarsa Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta.
Brady, N.C. 1990. The nature and properties of soils. The MacMillan Publishing Company. New York.
Buckle KA., RA. Edward, GH. Fleet, M. Woott. 1987. Ihnu Pangan. N Pumomo dan Adiono, penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari: Food Science.
177
Budi, A.S., Afandhi, A. and Puspitarini, R.D. (2013) Patogenisitas Jamur Entemopatogen Beauveria bassiana Balsamo (Deuteromycetes : Moniliales) Pada Larva Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera : Noctuidae). Jurnal HPT Volume 1 Nomor 1.
Burton WG. 1982. Post Harvest Physiology of Food Crops. UK: Longman. Hartow.
Cahyono, B. 1996. Budidaya Bawang merah Dataran Rendah Usaha Mengembangkan,Memasarkan dan Analisis Produksi. C.V. Aneka: Solo.
Comadug, V. S and M.B. Simon. 2002. Storage duration, growth & yield of shallot. Philippine Journal of Crop Science. 27(3): 15-21.
Curah L, FJ Proctor. 1990. Onion in Tropical Regions. Natural Recources Institut (NRI). Buletin XII (35): 65-70
Cys, E van Ranst, J. Debaveye and F. Beernaert. 1993. Land evaluation. Part III Crop Requirements. Agricultural Publications–No 7; General Administration for Development Cooperation. Belgium.
Dinas Pertanian Kab. Donggala, 2006. Laporan Tahunan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kab. Donggala. Donggala.
Dinas Pertanian Kota Palu, 2006. Data Base Pertanian, Kehutanan dan Kelautan Kota Palu. Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kelautan Kota Palu. Palu.
Diperta Sulteng. 2009. Standard Operating Procedure (SOP) Budidaya Bawang Merah Varietas Palu. Dinas Pertanian Propinsi Sulawesi Tengah. Palu.
Diperta Sulteng. 2010. Laporan Tahunan. Dinas Pertanian Sulawesi Tengah.
Dwidjoseputro, D. 1981. Pengantar fisiologi tumbuhan. Gramedia. Jakarta.
178
Erythrina., 2011. Perbenihan dan budidaya bawang merah. Seminar nasional inovasi teknologi pertanian untuk menunjang ketahanan pangan dan swasembada beras berkelanjutan di Sulawesi Utara. Hlm: 74- 84.
Ganet, J., 1994. Allodiploid nature of Allium wakegi Araki revealed by genomic in situ hybridization and localization of 5S and 18S rDNAs. Biological Institute, Faculty of Education, Ehime University, Matsuyama, Japan. Aug:69(4):407-15.
Gomez, K.A. and A.A.Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Terjemahan: Endang Syamsuddin and Justika S. Baharsjah. UI-Press. Jakarta. Hlm: 342-360.
Hadid,A. dan Maemunah, 2001. Pertumbuhan dan hasil tanaman bawang merah dengan modifikasi iklim mikro. J.Agroland 8(4): 377-384.
Hakim, N., M.Y. Nyakpa, A.M. Lubis, S.G. Nugroho, M.R. Saul, M.A. Diha, G.B. Hong & H.H. Bailey. 1986. Dasar-dasar ilmu tanah. Universitas Lampung. Lampung.
Hartati, 2009 dalam Siti.F 2011. Toksisitas Nematoda Entomopatogen (Steinernema Spp) Hasil Biakan Pada Media Kuning Telur Terhadap Hama Tanaman Sawi (Spodoptera Litura). Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Surabaya 2011.
Havlin, J. L., J. D. Beaton, S. L. Tisdale and W. L. Nelson. 2005. 2005. Soil Fertility and Fertilizers. An Introduction to Nutrient Management. Pearson Education, Inc., Upper Sadle River, New Jersey 07458.
Henderson SM, RL Perry. 1976. Agricultural Process Enginering. USA: The AVI Publi. Company incorporatiaon. Westport Connecticut.
179
Hidayat, A. 2004. Budidaya Bawang Merah. Beberapa hasil Penelitian di Kabupaten Brebes. Makalah disampaikan pada Temu Teknologi Budidaya Bawang Merah. Direktorat Tanaman Sayuran dan Bio Farmaka, Brebes 3 September 2004.
Histifarina D, D Musaddad. 1998. Pengaruh Cara Pelayuan Daun, Pengeringan, dan Pemangkasan Daun Terhadap Mutu dan Daya Simpan Bawang Merah. J. Hort. 8 (1): 1036-1047.
Humberto, B. C., dan JS. Alan. 2013. Implications of Inorganik Fertilization of Irrigated Corn on Soil Properties: Lessons Learned after 50 years, Journal of Environment Quality, Vol 42, no. 3, pp. 861.
Islam, M.A., A.T.M. Shamsuddoha, M.S.I. Bhuiyan and M. Hasanuzzaman. 2008. Response of summer onion to potash and its application Methods. American- Eurasian Journal of Agronomy. 1 (1): 10 – 15.
Jumin, H.B. 2002. Agroekologi. Suatu pendekatan fisiologis. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Kalshoven, L.G.E. (1981) The Pets of Crops In Indonesia. Revised And Translated by P.A. Van der Laan. PT. Ictiar Baru. Van Hoeve. Jakarta.
Kalshoven. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Baru – Van Hoeve.
Kementerian Pertanian. 2015. Berita Resmi PVT Pendaftaran Varietas Lokal Bawang Merah Lembah Palu. No. Publikasi: 040/BR/PVL/ 04/2015.
Kramer, P.J. 1980. Plant and soil water relationships. A Modern Synthesis. TataMcGrow-Hill. Publ. Co. LTD. New Delhi.
Lasa R. Caballero P. Williams T. 2007.A Juvenile Hormone Analogs Greatly Increase The Production of A Nucleopolyhedrovirus. Journal of Bio. Control 4 (1): 389-396.
180
Levitt, L. 1980. Responses of plants to environment stresses. Dep. Of Plant Biology. Carnages Ins. Of Washington Standford, California, MD.
Limbongan, J. an A. Monde. 1999. Pengaruh pupuk organik dan anorganik terhadap pertumbuhan dan produksi bawan merah kultivar Palu. J. Hortikultura 9 (3): 212-219.
Limbongan, J. dan Maskar, 2003. Potensi pengembangan dan ketersediaan teknologi bawang merah Lembah Palu di Sulawesi Tengah. J. Litbang Pertanian. 22 (3) ): 103-108.
Limbongan, J. dan Maskar, 2003. Potensi pengembangan dan ketersediaan teknologi bawang merah Palu di Sulawesi Tengah. Jurnal Litbang Pertanian 22(3):103-108.
Maemunah dan Bustami, M.U., 2013. Strategi perbanyakan bawang merah Lembah Palu melalui kultur jaringan untuk menyediakan benih berkualitas. Laporan akhir penelitian Hibah Bersaing 2013. Universitas Tadulako. Palu.
Maemunah dan M.S. Saleh. 2007. Potensi pengembangan dan hasil penelitian bawang merah unggulan Sulawesi Tengah.. Prosiding Hasil-Hasil Penelitian dan Pengembangan di Sulawesi Tengah.hal. 108-113.
Maemunah dan M.S. Saleh. 2007. Potensi pengembangan dan hasil penelitian bawang merah unggulan Sulawesi Tengah.. Prosiding Hasil-Hasil Penelitian dan Pengembangan di Sulawesi Tengah.hal. 108-113.
Maemunah dan Nurhayati. 2011. Vigor kekuatan tumbuh (vkt) bibit bawang goreng lokal Palu terhadap kekeringan. J.Agrivigor. 11(1): 8 – 16.
Maemunah, 2015. Perbaikan teknologi produksi bawang merah Lembah Palu. Disertasi. Program Doktoral Sains Pertanian. Universitas Brawijaya, Malang.
181
Maemunah, dan Ramal Yusuf., 2015. Perbanyakan embrio somatik bawang merah Lembah Palu sebagai upaya penyediakan benih berkualitas. Laporan akhir penelitian Hibah Bersaing 2015. Universitas Tadulako. Palu.
Maemunah, 2010. Viabilitas dan vigor bibit bawang merah pada berbagai varietas setelah penyimpanan. J.Agroland 17 ( 1): 18 – 22.
Maemunah, 2014. Produksi benih dan kearifan lokal dalam perbaikan mutu benih bawang lokal Palu. Prosiding seminar nasional “PERHORTI, Malang 5-7 November 2014 ISBN 978-979-508-017-6 226.
Maemunah, Hadid, A, Lapanjang, I., Nurhayati, Yusuf, R., Bustami, M.U. 2016. Perkembangan teknologi produksi benih dan kearifan lokal dalam perbaikan mutu benih bawang lokal Palu. Prosiding seminar nasional “PERAGI BOGOR ,27 April 2016. ISBN 978-979-508-017-6 226.
Maemunah, T.Wardiyati, B.Guritno and A. N. Sugiarto, 2015. The influence of storage area, storage method and seed quality character on the quality of shallot seed. Int. J. Adv. Res. Biol.Sci. 2(1): (2015): 158–164.
Marwoto dan Suharsono. (2008) Strategi dan Komponen Teknologi Pengendalian Ulat Grayak (Spodoptera litura Fabricius) pada Tanaman Kedelai. J. Litbang. Pertanian. 27: 131-136.
Maskar dan Y.P. Rahardjo. 2008. Budidaya Bawang Merah Lokal Palu dalam Petunjuk Teknis Teknologi Pendukung Pengembangan Agribisnis di Desa P4MI inAmran Muis, C. Khairani, Sukarjo dan Y. P. Rahardjo (ed), Prosiding. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. hal. 64–76.
182
Maskar, Sumarni, A. Kadir dan Chatijah. 1999. Pengaruh ukuran bibit dan jarak tanam terhadap hasil panen bawang merah verietas lokal Palu. Prosiding Seminar Nasional. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah.hal. 25-28.
Mentan. 2011. Surat keputusan menteri pertanian tentang pelepasan bawang merah varietas Lembah Palu sebagai varietas unggul. Menteri Pertanian Republik Indonesia. Jakarta.
Miyahara, Y., Wakikado, T. and Tanaka, A. (1971) [Seasonal changes in the number and size of the egg-masses of Prodenia litura]. Japanese J.Appl. Entomol. Zool. 15: 139-143.
Moekasan, T.K. dan L. Prabaningrum. 1997. Panduan Teknis : Penerapan PHT pada sistem tanam tumpanggilir bawang merah dan cabai. Kerjasama Balitsa dengan Novartis Crop Protection. 70 hal.
Muchtadi D. 1992. Fisiologi Pascapanen Sayuran dan Buah-buahan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor.
Muhammad, H. , S. Sabihan, A. Rachim, dan H. Adijuwana. 2003. Pengaruh Pemberian Sulfur dan Blotong terhadap pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah pada Tanah Inceptisol. J.Hort. 13 (2): 95-104.
Muhammad Ansar, 2008. Pengaruh lama waktu pemberian air dan dosis pupuk kalium terhadap pertumbuhan dan hasil bawang merah. Jurnal AgroUPY Yogyakarta. Volume 2, Nomor 1.
Muhammad Ansar, 2009. Kajian aspek fisiologi tiga varietas lokal bawang merah pada keragaman ketinggian tempat. Prosiding Kongres dan Semnas Perhorti. IPB. Bogor.
Muhammad Ansar, 2011. Pertumbuhan, hasil dan kualitas umbi bawang merah pada kadar air tanah dan ketinggian tempat berbeda. Jurnal Agrivigor UNHAS. Volume 10, Nomor 2.
183
Muhammad-Ansar, Tohari, B.H. Sunarjanto dan E. Sulistyani. 2011. Pengaruh lengas tanah terhadap pertumbuhan dan hasil tiga varietas lokal bawang merah pada ketinggian tempat berbeda. J. Agroland.18 (1): 8 – 14.
Muhammad-Ansar, 2012. Pertumbuhan dan hasil bawang merah pada keragaman ketinggian tempat. Disertasi. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Muhammad-Ansar, Bahrudin dan I. Wahyudi, 2013. Modifikasi Lingkungan Mikro Menggunakan Sungkup Plastik dan Mulsa Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah Varietas Lembah Palu Pada Agroekosistem Lahan Sawah. Jurnal Agroland UNTAD. Volume 20, Nomor 1.
Muhammad-Ansar, Bahrudin dan I. Wahyudi, 2014. Pengujian Pemupukan Spesifik Pada Kondisi Agroekosistem Lahan Kering Sentra Pengembangan Bawang Merah Varietas Lembah Palu. Prosiding Seminar Nasional PERHORTI. Universitas Brawijaya. Malang.
Muhammad-Ansar, Bahrudin dan I. Wahyudi, 2015. Pengaruh Umur Panen dan Lama Penyimpanan Terhadap Viabilitas Dan Vigor Benih Bawang Merah ‘Lembah Palu’. Prosiding Seminar Nasional PERHORTI, IPB Bogor, 19-21 Nopember 2015.
Murata and Tojo. (2002) Utilization of Lipid for Flight and Reproduction Spodoptera litura (Lepidoptera : Noctuidae). J. Entomol. 99: 221-224.
Musaddad D, RM Sinaga. 1994. Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Mutu Umbi Bawang Merah (Allium ascalonicunzL.).Bul. Pend. Hort. 26 (2) :134-141.
184
Musaddad D, RM Sinaga. 1995. Panen dan Penanganan Segar Bawang Merah. Di dalam Teknologi Produksi Bawang Merah. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Mutia. O., 2013. Pengaruh Konsentrasi Pupuk Organik Cair Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Varietas Bawang Merah (Allium ascalonicum L.). Universitas Tamansiswa. Padang.
Nabi, Ghulam., S.J. Rab A, Abbas, Farhattullah, F. Munsif and I.H. Shah. 2010. Influence of different dosis of potash on the quantity, quality and storage life of onion bulbs. J. Bot. 42(3): 2151-2163.
Nasir, B. 2007. Penggunaan Bioinsektisida Berbahan Aktif Beauveria bassiana Untuk Pengendalian Hama Spodoptera exiqua Hubner (Lepidoptera : Noctuidae) pada Tanaman Bawang Merah. J. AGROLAND (14)1:312-319.
Nasir, B. dan A. Wahid, 1998. Pengendalian Hama Ulat Bawang (Spodoptera exigua Hbn.) Dengan Bioinsektisida Bacillus thuringiensis Berl. dan Beauveria bassiana. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Tadulako. Palu.
Nasir, B. dan A. Wahid, 1998. Pengendalian Hama Ulat Bawang (Spodoptera exigua Hbn.) Dengan Bioinsektisida Bacillus thuringiensis Berl. dan Beauveria bassiana. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Tadulako. Palu
Nasir, B., 2004. Penggunaan Bioinsektisida Berbahan Aktif Beauveria bassiana Untuk Pengenndalian Hama Spodoptera exiqua Hubner. (Lepidoptera : Noctuidae) pada Tanaman Bawang Merah J. AGROLAND Vol 11(1): 56-62.
185
Nasir, B., F. Pasaru dan Nurlela 2005. Efektivitas Berbagai Jenis Bioinsektisida Berbahan Aktif Bacillus thuringiensis Berl. Terhadap Perkembangan Populasi dan Tingkat Serangan Hama Ulat Bawang (Spodoptera exiqua, Hubner. Fakultas Pertanian Untad. Palu.
Nasir, B., Zulkifly dan Zalri 2008. Virulensi Isolat Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. (Deuteromycetes: Moniliales) pada Berbagai Masa Inkubasi terhadap Mortalitas Larva Spodoptera exigua Hbn. (Lepidoptera: Noctuidae). Fakultas Pertanian Untad. Palu.
Notohardiprawiro, R.M.T. 1983. Selidik cepat ciri tanah di lapangan. Lab. Pedologi Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta. Ghalia Indonesia. 94p.
Nuralam, M,. 2011. Strategi penyediaan bibit bawang merah Lembah Palu di Desa Bulupontu Jaya Kecamatan Birimaru Kabupaten Sigi. Agroland.18 (2) : 134 – 142.
Pantastico ERB. 1993. Fisiologi Pascapanen,. Penanganan dan Pemanfaatan Buah-buahan dan sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Kamarijani, penerjemah. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Terjemahan dart: Postharvest Physiology, Handling and Utilization of Tropical and Sub Tropical Fruits and vegetables.
Patena, L.F., Bernardita A dela Rosa and Teresita L. Rosario, 1991. In vitro respon of garlic (Allium sativum L.) and shallot (Allium ascalonicum L.) to 6-benzylaminopurine, kinetin, 2-isopentenyladenine, 1-naphthalene acetic acid and mannitol. Phillip J. Crop Sci. 26 (1) Pg 25-28.
Pracaya. 2005. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta.
186
Pratama,Y .S. 2008. Pembuatan Pupuk Organik dan Anorganik Cair Dari Limbah Sayuran. 50 Hal.
Purnomo, J., S. Sutomo, W. Hartatik dan A. Rachman, 2007. Pengelolaan Kesuburan Tanah untuk Bawang Merah di Kabupaten Donggala. Proceeding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Lahan Marginal. Balai Penelitian Tanah Bogor.
Puslitbangtanak. 2000. Atlas sumberdaya tanah. Explorasi Indonesia skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Puslitbangtanak. 2004. Profil Sumberdaya Lahan Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Rahayu, E. dan N. Berlian, V.A. 1998. Bawang Merah. Bogor: Penebar Swadaya.
Rahayu, E. dan N. Berlian, V.A.. 2004. dalam Fauzi, Baharuddin A. 2014. Efektivitas Nematoda Entomopatogen pada Hama Bawang Merah Spodoptera exigua. Skripsi, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang. Dr. Ir. Dyah Rini Indriyanti, M.P dan Dr. Sri Ngabekti, M.S.
Rahayu, E. dan N. Berlian, V.A. 2007. Bawang Merah. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rahim, A.,S. Baja, M. Mustafa dan B. Ibrahim. 2012. Daya adaptasi dan potensi hasil bawang merah varietas Lembah Palu. http:/pasca.unhas.ac.id/jurnal/files. (03/03/ 2012).
Raihan, S. dan Nurtiyanti. 2002. Pengaruh Pemberian Bahan Organik Terhadap N dan P Tersedia Tanah Serta Hasil Beberapa Varietas Jagung di Lahan Pasang Surut Sulfat Masam. Agrivita 23 : 13-19.
187
Rajiman. 2010. Pengaruh pemupukan anorganik terhadap kualitas umbi bibit bawang merah. Jurnal llmu-Ilmu Pertanian. 6 ( l) : 79 – 90.
Ramakrishnan, M., S. Antony Ceasar, V. Duraipandiyan, Melvin A. Daniel and S. Ignacimuthu, 2013. Efficacious somatic embryogenesis and fertile plant recovery from shoot apex explants of onion (Allium cepa L.). In Vitro Cell.Dev.Biol.
Rauf, 2003. dalam R. Rustam dkk. 2009. Studi Lalat Penggorok Daun Liriomyza spp. Pada Pertanaman Bawang Daun, dan Parasitoid Opius chromatomyiae Belokobyskij dan Wharton (Hymenoptera:Braconidae). J hpt Tropika, ISSN 1411-7525 Vol. 9, No.1:22-31, Maret 2009.
Rauf, A. 1999. Dinamika Populasi Spodoptera exigua (Hubner) (Lepidoptera:Noctuidae) Pada Pertanaman Bawang Merah Di Dataran Rendah.Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 11(2):39-47(1999).
Rukmana R. 1994. Bawang Merah Budidaya dan Pengolahan Pascapanen. Kanisius. Yogyakarta.
Ryal AL, WJ Lipton. 1972. Handling, Transportation and Storage of Fruit and Vegetables. USA: AVI Publishing Inc. Westport. Connecticut.
Saidah, 2001. Kajian Pemberian Kasting dan ZA terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah Kultivar Lokal Palu. Thesis Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Saidah. 2002. Pengaruh pemberian kascing dan ZA terhadap produksi bawang merah kultivar lokal Palu. J. Agroland 9 (4): 354-360. Desember 2002.
Salunke DK, BB Desai. 1984. Postharvest Biotechnology of Vegetables. Volume I. Florida: CRC Press. Inc.
Sanchez, P.A. 1992. Properties and Management of soils in the tropics (Sifat dan pengelolaan tanah tropika). Alih bahasa: Dra. J.T. Jayadinata, M.Sc.). Penerbit ITB. Bandung.
188
Sanguansri P, LU Gould. 1992. Onion, Artificial Curing System and Obyective Quality Evaluation. Di dalam: Horticultur abstract 62 (11) : 1071
Sarjiman dan Mulyadi. 2011. Analisis Neraca Air Lahan Kering pada Iklim Kering untuk Mendukung Pola Tanam. http;//www.yahoo.com.dikunjungi 11 April 2011.
Sasrodarsono, S. dan T. Takeda. 1978. Hidrologi pengairan. PT. Pradnya Paramitra. Jakarta. 226 hal.
Setiadi, 2004., Bertanam Cabai. Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta.
Setyowati, M. Sulistyaningsih, E. Dan Purwantoro, A. 2013. Induksi poliploidi dengan kolkisina pada kultur meristem batang bawang wakegi (Allium x wakegi Araki) Ilmu Pertanian. Vol.16 (1): 58–76.
Setyobudi, L. 1984. Bawang merah. Balai Penelitian Tanaman Horticultura. Malang, 4h.
Sinaga RM, N Hartuti. 1991. Pengaruh Cara Penyimpanan terhadap Mutu Bawang Merah. Bul. Penel. Hort. 20 (1).
Singh, S.P. and A.B. Verma. 2001. Response of onion (Allium cepa) to potassium application. Indian Journal of Agronomy. 46:182-185.
Sintim, H.O., Tashiro, T. and Motoyama, N. (2009) Response of the cutworm Spodoptera litura to sesame leaves or crude extracts in diet. 13pp. J.Insect Sci. 9: 52.
Soetiarso, TA. 1998. Pen2asaran Bawang Merah dan Cabai Merah. Bandung: Balai Penelitian Tanaman Sayuran.
Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2004. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. Hal 21-65. Dalam A. Adimihardja et al., (penyunting). Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
189
Subhan dan N. Nurtika. 2004. Penggunaan Pupuk NP Cair dan NPK (15-15-15) untuk Meningkatkan Hasil dan Kualitas Buah Tomat Varietas Oval. Jurnal Hortikultura. Vol 14 (4) : 253-257.
Sulistyaningsih, E., Y. Takatori, S. Isshiki and Y. Tashiro. 2008. Identification of wakegi onion in Indonesia by GISH. Spring Meeting Japanese Sociaty for Horticultural Science. Japan. P 070.
Sumiati, E.,N. Sumarni dan Hidayat. 2004. Perbaikan teknologi produksi umbi bibit bawang merah dengan ukuran umbi bibit, aplikasi ZPT, dan unsur hara mikroelement. J. Hort. 14 (1) : 25 – 32.
Sunaryono, H. dan P. Soedomo. 1983. Budidaya Bawang Merah. CV. Sinar Baru, Bandung.
Suriadikarta., D. Ardi., dan R.D.M. Simanungkalik. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Jawa Barat.
Suseno, H. 1974. Fisiologi Tumbuhan. Metabolisme dasar dan beberapa aspeknya. Departemen Botani, Institur Pertanian Bogor. Bogor.
Susetya, S.P. 2001. Panduan Lengkap Membuat Pupuk Organik. Pustaka Baru. Yogyakarta.
Suyatno. 1984. Bercocok Tanam Bawang Merah. Departemen Pertanian. Jakarta.
Taib G, G Said, S Wiraatmaja. 1987. Operasi Pengeringan pada Hasil Pertanian. Jakarta: PT. Mediyatama Sarana Perkasa.
Wedari, N. 2012. Pupuk Bio Organik Herbafarm. http//www. herbefarmnutriend.com/ infoherbafarm. html. [3 Februari 2016].
Wibowo S. 1999. Budidaya Bawang : Bawang Putih, Bawang Merah, Bawang Bombay. Bogor: PT Penebar Swadaya.
190
Wibowo S. 2004. Budidaya Bawang. Jakarta : Penebar Swadaya.
Wibowo. 1988. Budidaya Bawang Putih, Bawang Merah dan Bawang Bombay. Penebar Swadaya. Jakarta.
Wills RH, Lee TH Lee, D Grajham, WB Mc Glasson, EG. Ha11.1981. Postharvest An Introduction to the physiology and Handling of Fruit and Vegetable. Australia: New South Wales University Press.