57
TELAAHAN ISU-ISU STRATEGIS BIDANG DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH PUSAT KAJIAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA 2014

TELAAHAN ISU-ISU STRATEGIS BIDANG DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAHdkk.lan.go.id/wp-content/uploads/2016/10/...dan-Otonomi-Daerah201… · Otonomi Daerah ..... iv Daftar Isi ... membawa

Embed Size (px)

Citation preview

TELAAHAN ISU-ISU STRATEGIS

BIDANG DESENTRALISASI DAN

OTONOMI DAERAH

PUSAT KAJIAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

2014

TELAAHAN ISU-ISU STRATEGIS

BIDANG DESENTRALISASI DAN

OTONOMI DAERAH

PUSAT KAJIAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

2014

ii

Perpustakaan Nasional RI, Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)

KATALOG DALAM TERBITAN

Lembaga Administrasi Negara, Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi

Daerah

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi

Daerah

Cetakan I, Jakarta, LAN Press

vi + 49 hlm : 14 x 20 cm

ISBN: 978-979-1301-31-2

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Editor

Ridwan Rajab

Tim Penulis

Edy Sutrisno, Widhi Novianto, Ani Suprihartini, Renny Savitri,

Rita Dwi KU, Maria Dika PS

Tim Support

Tri Murwaningsih, Nurlina, Dewi Prakarti U

Diterbitkan oleh: LAN Press

Jl. Veteran No. 10, Jakarta Pusat

Dilarang Keras memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku

ini tanpa izin dari penerbit

iii

iv

v

DAFTAR ISI

Sambutan Deputi Bidang Kajian Kebijakan ................................ iii

Pengantar Kepala Pusat Kajian Desentralisasi dan

Otonomi Daerah ....................................................................... iv

Daftar Isi ................................................................................ v

Daftar Tabel .............................................................................. vi

Daftar Gambar .......................................................................... vi

PENDAHULUAN ....................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................. 1

B. Tujuan Kegiatan ............................................................... 5

C. Bentuk Kegiatan ............................................................... 5

POLICY BRIEF .......................................................................... 7

A. Penguatan Pelaksanaan Desentralisasi dan

Otonomi Daerah di Indonesia ............................................ 7

B. Mencari Desain Alternatif Pemilihan Kepala

Daerah di NKRI ................................................................ 13

C. Aransemen Kelembagaan Kemaritiman ............................. 21

D. Pokok-Pokok Pemikiran dalam Mewujudkan

Kedaulatan Pangan ........................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 45

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Pengaturan/Kewenangan Kemaritiman .................... 26

Tabel 2 Institusi Kemaritiman .............................................. 28

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Aransemen Kelembagaan ......................................... 32

Gambar 2 Kementerian Teknis ................................................. 34

Gambar 3 Kementerian Koordinator ......................................... 35

Gambar 4 Dewan Maritim Nasional .......................................... 36

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tahun anggaran 2014, Pusat Kajian Desentralisasi dan

Otonomi Daerah melakukan kegiatan untuk membahas dan

mengkaji tentang isu-isu strategis yang berkaitan dengan

penyelenggaraan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah

di Indonesia. Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh kondisi bahwa

pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia

berlangsung dengan dinamika yang tinggi baik yang

disebabkan oleh kebijakan dari pemerintah pusat maupun oleh

pemerintahan daerah. UU Nomor 32 Tahun 2004 yang pada

tahun 2014 memasuki masa sepuluh tahun implementasinya

sedang dalam proses revisi di Dewan Perwakilan Rakyat.

Selama sepuluh tahun masa berlakunya undang-undang

tersebut, penyelenggaraan pemerintahan daerah belum

berjalan seperti yang diharapkan. Terdapat banyak persoalan

dan distorsi yang muncul dalam implementasi UU Nomor 32

Tahun 2004 sehingga dalam kegiatan kajian isu-isu strategis ini,

tim PKDOD menyelenggarakan seminar nasional dengan topik:

“Satu Dekade Implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004”

dengan mengundang narasumber pakar dan ahli di bidang

desentraslisasi dan otonomi daerah.

Isu strategis lain yang tidak kalah penting memiliki keterkaitan

dengan diterbitkannya UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang

2 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Aparatur Sipil Negara dan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa. Kedua undang-undang tersebut jelas akan menjadi

instrumen kebijakan pemerintah yang sangat penting karena

akan mempengaruhi kinerja penyelenggaraan pemerintahan

dan pembangunan ke depan. Oleh karena itu, kajian dan

pendalaman terhadap berbagai aspek yang dapat

mempengaruhi ketidakefektifan berjalannya undang-undang

tersebut harus dilakukan. Kegiatan isu-isu strategis pada tahun

2014 memasukkan kedua topik kebijakan tersebut sebagai

bagian dari isu-isu stratetgis yang dibahas. Undang-undang

Aparatur Sipil Negara sebagai kebijakan terkini menyangkut

tata kelola kepegawaian sipil di Indonesia sudah pasti

berhubungan erat dengan penyelenggaraan pemerintahan

daerah. Oleh karena itu, bagaimana manajemen aparatur sipil

negara pada level pemerintahan daerah terkait dengan

kewenangan yang harus dimiliki oleh daerah ini perlu dilakukan

kajian dan pembahasan yang mendalam.

Pada tahun 2014, Pemerintah dan DPR mengesahkan UU

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-undang ini

diharapkan menjadi momentum bagi kebangkitan Desa

menuju kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik, sebab

selama ini Desa masih dianggap wilayah yang tertinggal dilihat

dari infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan minimnya

fasilitas publik. Melalui undang-undang Desa, pemerintah akan

menggelontorkan dana Desa yang dapat dimanfaatkan oleh

Desa (perangkat dan masyarakat) untuk meningkatkan dan

mengembangkan kapasitas Desa sesuai dengan kebutuhan dan

karakteristik masing-masing Desa. Indonesia yang memiliki 79

ribu Desa lebih pada dasarnya memang harus memberikan

porsi yang memadai bagi Desa untuk dapat mengembangkan

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 3

kapasitas Desa menuju Desa yang mandiri dan kuat dalam

memenuhi kebutuhan masyarakat Desa, di bidang pelayanan

umum masyarakat, ketersediaan fasilitas publik, dan

infrastruktur Desa yang memadai.

Seiring dengan terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden

Republik Indonesia, terjadi pergeseran paradigma dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Berbagai anomali politik yang

mengiringi terpilihnya Joko Widodo tersebut mendorong

lawan-lawan politiknya mengusung pemilihan kepala daerah

tidak lagi dipilih secara langsung, akan tetapi dipilih oleh DPRD.

Segera topik ini menjadi diskusi publik yang hangat dan

menjadi polemik yang ramai dibicarakan oleh berbagai

kalangan dan masyarakat. Pihak yang menolak Pilkada

Langsung berpendapat bahwa Pilkada Langsung mengandung

banyak masalah, pemborosan anggaran, dan memicu korupsi

di daerah. Sementara itu, melalui Pilkada oleh DPRD, anggaran

pemilihan kepala daerah dapat dihemat dan merupakan upaya

mencegah demokrasi Indonesia menuju liberal. Kalangan yang

setuju dengan Pilkada langsung menganggap Pilkada melalui

DPRD tidak demokratis dan menggembosi upaya

pembangunan demokrasi di Indonesia, serta argumentasi lain

yang menyatakan Pilkada melalui DPRD menyuburkan praktek

suap serta kemungkinan terjadinya kooptasi kepala daerah

oleh DPRD.

Segala silang pendapat tentang Pilkada tersebut disebabkan

oleh tidak jelasnya konsep dan sistem Pilkada yang tepat bagi

Indonesia sebagai Negara Kesatuan terdesentralisasi. Apakah

Pilkada langsung lebih tepat digunakan bagi Indonesia atau

sebaliknya belum ada kajian yang komprehensif dan mendalam

4 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

terkait hal itu. Oleh karena itu, kajian terhadap Pilkada perlu

dilakukan untuk mencari dan menemukan desain yang tepat

bagi pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Indonesia.

Isu lain yang tidak kalah stratetgis untuk dikaji adalah

sehubungan dengan konstruksi kabinet yang akan disiapkan

oleh Presiden Joko Widodo pada lima tahun ke depan. Joko

Widodo sejak awal telah menyatakan akan membentuk

Kementerian Maritin dan Kementerian Kedaulatan Pangan.

Kedua kementerian ini merupakan instistusi baru dalam sejarah

kebinet yang pernah ada di Indonesia. Berdasarkan kondisi ini,

maka kedua kementerian tersebut perlu disiapkan desain

kelembagaannya berdasarkan atas prinsip-prinsip administrasi

dan tata negara sesuai dengan yang diinginkan oleh

pemerintahan Joko Widodo. Oleh karena itu, dalam rangka

menindaklanjuti hal tersebut, tim PKDOD juga melakukan

diskusi untuk membahas permasalahan tersebut untuk

memberikan sumbang saran kebijakan kepada pemerintah.

Berdasarkan uraian di atas, dari serangkaian kegiatan yang

dilakukan melalui kajian isu-isu strategis, tim PKDOD

menyusun policy brief terhadap isu-isu sebagai berikut:

1. Penguatan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia

termasuk dalam hal ini adalah implementasi undang-

undang Desa;

2. Pemilihan kepala daerah (Pilkada);

3. Konstruksi Kelembagaan Kementerian Maritim; dan

4. Kedaulatan Pangan.

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 5

Keempat policy brief tersebut akan dikemas dalam laporan

tunggal tentang Isu-Isu Strategis Desentralisasi dan Otonomi

Daerah Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah 2014.

B. Tujuan Kegiatan

Tujuan pelaksanaan kegiatan kajian isu-isu strategis adalah:

1. Merumuskan rekomendasi kebijakan terkait dengan isu-isu

stretegis di bidang desentraslisasi dan otonomi daerah;

2. Menyusun Policy Brief untuk penguatan penyelenggaraan

desentralisasi dan otonomi daerah.

C. Bentuk Kegiatan

Kegiatan yang Dilakukan

1. Seminar Nasional: Satu Dekade Impmentasi UU Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

2. Diskusi Terbatas: Prospek Implementasi Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

3. Diskusi Terbatas:

a. Konstruksi Kementerian Kemaritiman

b. Tantangan Kedaulatan Pangan

4. Diskusi Terbatas: Mencari Jalan Tengah Pilkada di

Indonesia, UGM Yogyakarta.

5. Diskusi Terbatas: Mencari Desain Alternatif Pilkada

Indonesia, Unair Surabaya.

6 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 7

Policy Brief

PENGUATAN PELAKSANAAN

DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH DI

INDONESIA

Latar Belakang

Implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah memasuki usia satu dekade pada tahun

2014. Berbagai permasalahan mewarnai penyelenggaraan

pemerintahan daerah melalui undang-undang yang

menggantikan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah. Harapan terwujudnya praktek

penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih baik

dibandingkan masa-masa sebelumnya belum sepenuhnya

tercapai, mengingat problematika yang dihadapi dalam

konteks tata kelola pemerintahan baik di Pusat maupun Daerah

semakin kompleks.

Pasang surut penyelenggaraan pemerintahan daerah selama

sepuluh tahun terakhir menyisakan pekerjaan rumah yang tidak

ringan bagi pemerintah pusat. Problematika hubungan

pemerintah pusat - daerah, dan pembagian wewenang antara

pusat - daerah yang belum clear cut hingga saat ini seringkali

menimbulkan ketegangan antara pusat dan daerah. Semangat

reformasi yang diusung UU Nomor 32 Tahun 2004 di satu sisi

memberi harapan akan perbaikan sistem pemerintahan daerah,

8 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

namun di sisi lain juga menciptakan masalah-masalah baru baik

yang berskala lokal maupun nasional.

Pemekaran daerah yang seolah-olah tidak terkontrol,

khususnya pada level kabupaten/kota menimbulkan

permasalahan tersendiri ketika daerah-daerah hasil pemekaran

tersebut hingga 5 tahun penyelenggaraan pemerintahan tidak

mampu menunjukkan kemampuan yang memadai dalam

mengelola potensi di wilayahnya. Pelayanan publik masih

buruk dan tata kelola pemerintahan seringkali memperoleh

rapor merah. Tidak mengherankan jika terdapat laporan

menyatakan 80 persen daerah pemekaran gagal.

Permasalahan krusial lainnya adalah tingginya indeks

prevalensi korupsi di daerah. Persoalan korupsi di daerah

membawa implikasi mendalam bagi pelaksanaan

pemerintahan dan pembangunan, mengingat pelaku korupsi

sebagian besar melibatkan kepala daerah dan pejabat lainnya.

Kelindan permasalahan semakin kompleks dengan maraknya

politik kekerabatan yang memperparah terjadinya praktek

kolusi, nepotisme, dan kroniisme. Di daerah, lahir raja-raja kecil

berikut dinastinya yang menguasai birokrasi dan sumber daya

daerah. Fenomena ini terus tumbuh subur, sedangkan di satu

sisi instrumen pemerintah pusat untuk melakukan kontrol dan

pengawasan sangat terbatas.

Masih terdapat sejumlah isu dan permasalahan strategis

selama pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Di

antaranya adalah: 1) pemilihan kepala daerah langsung yang

hingga saat ini menuai pro kontra mengingat berbagai

permasalahan yang timbul sebagai dampak dari Pilkada

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 9

langsung tersebut; 2) Kedudukan ganda Gubernur sebagai

Wakil Pemerintah dan selaku Kepala Daerah belum

memberikan dampak yang signifikan bagi efektifitas

penyelenggaraan pemerintahan daerah maupun pemerintah

pusat; 3) Kepemimpinan dan inovasi daerah dalam percepatan

pembangunan yang masih lemah. Kepemimpinan dan inovasi

menjadi topik sentral beberapa tahun terakhir sebagai kritik

terhadap kompetensi dan kapasitas pemimpin daerah dalam

menyelenggarakan pemerintahan.

Arah Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Di luar permasalahan yang telah dikemukakan di atas, berbagai

isu strategis terkini yang sedang berkembang adalah: 1) Revisi

UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 2)

Pro kontra RUU Pilkada; 3) Implementasi UU Nomor 6 Tahun

2014 tentang Desa; 4) diberlakukannya ASEAN Economic

Community pada 2015; 5) disahkannya UU Nomor 5 Tahun 2014

tentang Aparatur Sipil Negara; 6) Kebijakan Otonomi Khusus;

7) Desentralisasi dan pembangunan wilayah perbatasan; serta

kasus-kasus lain yang seringkali muncul di daerah, seperti

konflik dan ancaman bencana alam.

Mencermati berbagai permasalahan dan isu strategis dalam

penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah di atas,

berikut disampaikan rekomendasi kebijakan untuk

memperkuat penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi

daerah:

10 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

1. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah,

perlu harmonisasi dan sinkronisasi terhadap beberapa

undang-undang yang berkait paut, yaitu: Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada,

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur

Sipil Negara, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

tentang Administrasi Pemerintahan untuk mewujudkan

sistem pemerintahan daerah yang sinergis, kuat, dinamis,

efektif, dan efisien sesuai dengan cita-cita Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

2. Polemik pilkada apakah dilakukan secara langsung atau

melalui DPRD perlu dicarikan jalan keluar berdasarkan

kajian mendalam untuk melahirkan konsep yang jelas

sebagai dasar pijakan dalam pelaksanaan pemilihan kepala

daerah di negara kesatuan yang terdesentralisasi seperti

Indonesia. Lebih daripada itu, pemerintah perlu me-

redesign konsep dan sistem Pilkada langsung sebagai

sebuah mekanisme demokratis untuk menjawab

kebutuhan lahirnya pemimpin daerah yang legitimate

secara etis dan moral.

3. Pemekaran daerah perlu dievaluasi secara mendalam,

parameter-parameter yang digunakan untuk persyaratan

pemekaran daerah harus jelas, terukur, dan dapat

dipertanggungjawabkan. Selain itu, apabila selama ini

mekanisme pengajuan daerah untuk mekar melalui dua

pintu, yaitu melalui pemerintah dan/atau DPR, maka ke

depan pengajuan pemekaran daerah seharusnya dilakukan

hanya pada satu pintu, yaitu melalui pemerintah. Hal ini

ditujukan untuk mengeliminir banyaknya usulan

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 11

pemekaran daerah yang terkesan tanpa kontrol dan

kendali.

4. Dalam rangka implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014

tentang Desa, Pemerintah perlu segera menerbitkan

Peraturan Pemerintah guna mendukung penjabaran UU

dimaksud, serta menyelenggarakan program-program

strategis yang dapat membantu Desa untuk berakselerasi

dalam mengimplementasikan UU Desa.

5. Program-program untuk akselerasi pengembangan

kapasitas Desa dan aparatnya diantaranya seperti:

a. Penyusunan modul pengembangan kapasitas Desa dan

aparatur Desa, meliputi: Pengembangan SDM aparat

Desa, pemanfaatan dana Desa, penguatan kapasitas

kelembagaan Desa, program pengembangan

partisipasi masyarakat Desa, dsb.

b. Pendampingan bagi aparat Desa dalam implementasi

undang-undang Desa;

6. Kebijakan desentralisasi asimetris melalui penyelenggaraan

Otonomi Khusus harus dilakukan melalui pertimbangan

yang jelas, berdasarkan kajian yang mendalam dan

komprehensif sebelum kebijakan tersebut diterapkan pada

daerah tertentu. Pemerintah dalam ini perlu mengeluarkan

kebijakan tentang kriteria dan batasan-batasan yang jelas

mengenai Otonomi Khusus, sebab ke depan kebijakan

Otonomi Khusus sangat mungkin dilaksanakan bukan

semata atas dasar latar belakang politik, namun dapat saja

atas dasar daerah yang memiliki latar belakang ekonomi.

7. Pemerintah pusat dan pemerintahan daerah perlu

melakukan sinergi dalam rangka ASEAN Economic

Community (Masyarakat Ekonomi ASEAN, MEA) yang akan

dilaksanakan pada tahun 2015, baik dalam konteks sinergi

12 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

kebijakan maupun implementasinya sehingga MEA dapat

memberi manfaat yang besar bagi masyarakat. Pada

derajat tertentu kampanye terhadap MEA perlu lebih

digencarkan mengingat nilai strategis dari MEA tersebut.

MEA dapat memberikan nilai tambah bagi bangsa dan

negara, namun pada sisi lain MEA juga dapat menjadi

hambatan bagi bangsa dan negara untuk lebih maju dan

berkembang.

¤¤¤¤¤¤

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 13

Policy Brief

MENCARI DESAIN ALTERNATIF PEMILIHAN KEPALA

DAERAH

DI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Latar Belakang

Pasca disahkannya undang-undang tentang pemilihan kepala

daerah (Pilkada) yang memutuskan untuk kembali dipilih oleh

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), polemik atas

undang-undang tersebut menyeruak ke publik. Sebagian

masyarakat, pengamat politik, aktivis pro demokrasi

berpendapat pemilihan kepala daerah melalui DPRD adalah

kemunduran demokrasi. Pilkada DPRD pada derajat tertentu

hanya akan menyuburkan praktek suap dan korupsi

transaksional antara anggota DPRD, elite partai, dan calon

kepala daerah untuk memenangkan kontestasi pemilihan kursi

kepala daerah, baik pada aras Gubernur, maupun

Bupati/Walikota. Kekhawatiran kubu penolak Pilkada DPRD

menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati/Walikota yang dipilih

oleh DPRD akan mudah menjadi sapi perah bagi anggota DPRD

sehingga akan mempengaruhi efisiensi dan efektifitas

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kubu pro Pilkada

DPRD berargumentasi, pelaksanaan Pilkada langsung

merupakan praktek demokrasi liberal yang tidak cocok

diterapkan di Indonesia.

14 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Berdasarkan kondisi tersebut, Pilkada langsung selama ini

ditengarai menimbulkan banyak persoalan, seperti: besarnya

biaya penyelenggaraan Pilkada sehingga menjadi beban APBD,

maraknya money politics di masyarakat pemilih, potensi konflik

yang timbul antar pendukung calon kepala daerah, potensi

korupsi yang dilakukan kepala daerah setelah menduduki

jabatan kepala daerah, dan berbagai pertimbangan lainnya. Pro

kontra tentang pelaksanaan Pilkada langsung sesungguhnya

sudah berlangsung lama, terlepas dari disahkannya undang-

undang pemilihan kepala daerah yang baru. Hal ini terjadi

disebabkan oleh belum mantapnya format pemilihan kepala

daerah yang tepat bagi negara kesatuan terdesentralisasi

dalam hal ini adalah Indonesia. Di samping itu, faktor legal

normatif yang tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa

kepala daerah harus dipilih langsung di dalam UUD 1945

menjadi salah satu penyebab terbukanya ruang perdebatan

tentang model pemilihan kepala daerah di Indonesia.

Diskursus tentang format pemilihan kepala daerah yang tepat

bagi Indonesia semakin mendapatkan tempat di ruang-ruang

publik mengingat jika dikaitkan dengan desain pemerintahan

daerah, Indonesia menganut Integrated Prefectoral System

yang menempatkan Gubernur, Bupati/Walikota sebagai kepala

daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah. Pada kondisi ini

terjadi dua titik ekstrim, yakni sebagai kepala daerah Gubernur,

Bupati/Walikota dapat dipilih langsung, sedangkan sebagai

wakil pemerintah Gubernur, Bupati/Walikota semestinya dipilih

oleh Pemerintah. Dalam konteks ini sangat dimungkinkan

terjadi penyesuaian format pemilihan kepala daerah

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 15

berdasarkan karakteristik sistem politik dan sistem

pemerintahan yang berlangsung di Indonesia.

Berdasarkan pengalaman dilaksanakannya Pilkada langsung

oleh rakyat, tampaknya mekanisme tersebut belum mampu

menjawab hakekat sesungguhnya dari tujuan

diselenggarakannya pemilihan kepala daerah, yaitu untuk

memilih kepala daerah yang memiliki integritas dan kapabilitas

yang mampu mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan rakyat

dan daerah. Kondisi sebaliknya justru terjadi, yaitu kepala

daerah yang tersangkut masalah korupsi jumlahnya ratusan

dan kemajuan daerah serta kesejahteraan masyarakat belum

terwujud secara nyata. Demikian juga Pilkada melalui DPRD,

melalui mekanisme ini politik transaksional membelenggu

kepala daerah sehingga kinerja kepala daerah tidak optimal

sebab terjebak oleh kooptasi politik yang dilakukan oleh

anggota DPRD. Di tengah kondisi kualitas anggota DPRD yang

belum sepenuhnya dapat diandalkan, maka kekhawatiran akan

lahirnya kepala daerah yang tidak memiliki independensi,

integritas, dan kapabilitas semakin kuat jika Pilkada dilakukan

melalui DPRD.

Mencari Kepala Daerah (Pemimpin) yang Legitimate

Melalui Pilkada

Persoalan Pilkada pada dasarnya bukan pada konteks langsung

atau tidak langsung, sebab dua mekanisme tersebut diakui

dalam konstitusi sebagai cara yang demokratis untuk memilih

kepala daerah. Namun demikian, keabsahan pelaksanaan

Pilkada belum berbanding lurus dengan derajat legitimasi

16 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

pemimpin daerah yang terpilih dalam ajang Pilkada (baik

langsung maupun tidak langsung). Pemimpin (kepala daerah)

yang legitimate bersumber dari keterpilihan seorang kepala

daerah yang dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan

moral. Dalam konteks Pilkada, saat ini kepala daerah yang

terpilih secara legitimate dan diakui secara etis dan moral

belum sepenuhnya terwujud, bahkan sulit terwujud.

Sumber legitimasi terletak pada keterlibatan masyarakat

dalam menggunakan hak pilihnya. Pada titik ini konsep tentang

representasi menjadi penting untuk didiskusikan, sebab tingkat

keterlibatan masyarakat dalam Pilkada pada sebagian besar

pelaksanaan Pilkada di Indonesia berada dikisaran angka 50-65

persen pemilih dalam suatu kontestasi pemilu lokal. Selain

representasi, legitimasi juga bersumber dari bagaimana hak

pilih yang dimiliki oleh masyarakat dapat dijalankan dengan

pantas dan sebaik-baiknya bagi pencapaian tujuan Pilkada itu

sendiri. Dalam konteks ini, pantas tidaknya hak pilih yang

digunakan jelas dipengaruhi di antaranya oleh sistem politik,

sistem Pilkada, dan kualitas calon kepala daerah yang

mengikuti Pilkada.

Dalam tataran sistem politik, pelaksanaan konsolidasi

demokrasi diwakilkan melalui partai politik (parpol).

Sayangnya, saat ini parpol tidak menjalankan peran dan

fungsinya seperti yang tertulis dalam anggaran dasar dan

anggaran rumah tangga parpol. Parpol saat ini terkesan minim

ideologi, tidak sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga

representasi yang mewakili masyarakat yang memiliki hak

politik. Struktur masyarakat tidak kompatibel dengan sistem

politik. Fungsi representasinya tidak jalan. Bagaimana dapat

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 17

membangun legitimasi, sedangkan lembaganya tidak

representatif. Repotnya, demokrasi yang berjalan saat ini

dipercaya prosesnya sudah final. Proses politik hanya dimaknai

sebagai kegiatan rutin 5 tahun, indikatornya hanya damai,

bukan pada legitimasi, hanya benar secara prosedural. Kepala

daerah yang terpilih secara etis dan moral belum tentu

legitimasinya diakui, sebab pelaksanaan Pilkada seringkali

berjalan tidak jujur, money politics dan kecurangan lainnya

mengiringi berjalannya Pilkada.

Sebagai salah satu elemen penting dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah dan pembangunan demokrasi, Pilkada

perlu terus disempurnakan untuk mewujudkan proses

kontestasi pemilihan kepala daerah yang lebih baik melalui

kajian-kajian yang serius dan mendalam. Melalui kajian dan

pembahasan tersebut, diharapkan dapat dirumuskan format

yang sesuai dengan konsep yang jelas terhadap sistem Pilkada

untuk memilih kepala daerah di Indonesia. Pertanyaan yang

harus dijawab apabila pilkada langsung ditetapkan secara

permanen sebagai satu-satunya mekanisme untuk mengisi

jabatan kepala daerah adalah bagaimana supaya Pilkada dapat

melahirkan pemimpin daerah yang kredibel, kapabel, dan

memiliki legitimasi yang kuat di masyarakat, serta bagaimana

agar Pilkada langsung tersebut dapat dilaksanakan dengan

jujur, tidak mengeluarkan biaya yang dapat menyedot APBD

melalui sistem Pilkada yang rapi dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan paparan di atas, maka rekomendasi kebijakan

terhadap pemilihan kepala daerah di Indonesia, adalah sebagai

berikut:

18 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

1. Pilkada dilaksanakan secara langsung. Pilkada langsung

adalah pilihan yang paling rasional dan sesuai dengan

kebutuhan pembangunan demokrasi di Indonesia. Pada

konteks derajat legitimasi di mata rakyat, Pilkada langsung

juga memiliki derajat legitimasi yang lebih tinggi

dibandingkan jika pemilihan kepala daerah dilakukan oleh

DPRD.

2. Mengatur ketentuan Pilkada Langsung secara eksplisit di

dalam UUD 1945. Sumber perdebatan antara Pilkada

langsung dan tidak langsung adalah Pasal 18 ayat (4) UUD

1945 yang menyatakan: Gubernur, Bupati dan Walikota

masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah

Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.

Klausul ini tidak tegas, apabila memang Pemerintah, DPR,

dan elemen masyarakat menyepakati bahwa pemilihan

kepala daerah dilaksanakan secara langsung, maka

seharusnya klausul tersebut diatur secara eksplisit di UUD

1945.

3. Merumuskan dan mendesain kembali konsep dan sistem

Pilkada di Indonesia secara jelas berdasarkan kondisi aktual

Indonesia, meliputi pemetaan konteks lokal, sistem politik,

anggaran, kebutuhan akan terpenuhinya legitimasi etis dan

moral, kebutuhan akan lahirnya pemimpin daerah yang

berintegitas dan kapabel, dan variabel-variabel lainnya.

4. Merumuskan aturan yang lebih ketat terhadap dana dan

biaya Pilkada, misalnya melalui Pilkada serentak,

pembatasan modal dan biaya kampanye bagi calon kepala

daerah, transparansi biaya/mahar politik terhadap partai

politik, transparansi dana-dana sponsor, dsb. Hal ini untuk

mewujudkan Pilkada yang murah, menekan cost yang

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 19

tinggi yang dapat memberikan dampak positif bagi kepala

daerah dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

5. Perlu merumuskan regulasi Pilkada yang dapat melahirkan

kepala daerah dengan kapabilitas dan integritas yang

tinggi, mengeliminir potensi munculnya dinasti politik yang

dapat menjadi sumber KKN.

6. Mengkaji dan mengembangkan Pilkada asimetris, dengan

mempertimbangkan keberagaman konteks lokal dan

demokratisasi lokal. Indonesia dengan keragaman geografi

dan demografi memungkinkan untuk dilakukan Pilkada

yang tidak seragam secara nasional, melainkan sesuai

dengan kondisi, karakteristik, dan kebutuhan masyarakat

lokal.

7. Melakukan konstruksi ulang terhadap cara kerja

Pemerintah, penyelenggara Pilkada, maupun rakyat dalam

rangka pelaksanaan Pilkada. Demokrasi perlu dibangun

sebagai gerakan bottom up. Sistem harus dibangun

kembali, sistem Pilkada mesti didesain kembali sesuai

dengan kebutuhan pembangunan demokrasi di Indonesia.

¤¤¤¤¤¤

20 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 21

Policy Brief

ARANSEMEN KELEMBAGAAN KEMARITIMAN

Latar Belakang

Posisi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia

seharusnya menjadi kekuatan penting yang dapat dimaksimalkan

dalam pembangunan. Limpahan kekayaan yang terkandung di

laut secara utuh, baik di dalam, di dasar, maupun di atas

permukaan laut merupakan potensi ekonomi yang mampu

memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian nasional.

Berbagai kekayaan laut ini sebenarnya telah dieksploitasi dan

dimanfaatkan sejak dahulu hingga sekarang baik melalui

metode produksi yang tradisional bahkan berbasis teknologi

dewasa ini.

Sekelompok kalangan meyakini bahwa nilai ekonomis kekayaan

sumber daya alam laut melebihi dari kekayaan serupa yang ada di

daratan. Bahkan ada yang mengatakan kekayaan yang ada di

laut dianggap tidak akan pernah ada habisnya. Tentu saja

kalau pendapat ini benar maka paling tidak dapat menepis

kekhawatiran kita akan kelangkaan atau hampir punahnya

sumber daya yang ada di daratan. Pertanyaannya, apakah

kekayaan laut tersebut telah mampu didayagunakan sebagai

modal pembangunan untuk mencapai kesejahteraan bangsa,

atau kalaupun sudah didayagunakan, sudahkah ia berimplikasi

positif terhadap kemajuan ekonomi masyarakatnya.

22 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Perspektif ekonomi paling sederhana memberikan tuntunan

tentang bagaimana suatu ekonomi bekerja dari tiga kondisi dasar

yaitu, apa yang harus diproduksi, bagaimana berproduksi, dan

untuk siapa produksi tersebut. Jawaban dari kombinasi ketiga

pertanyaan tersebut dapat dikaitkan dengan kemampuan

Indonesia sebagai negara kepulauan, terutama membahas

apakah pembangunan hari ini telah menempatkan sektor

kelautan sebagai modal pembangunan yang unggul. Dalam istilah

lain, memampukan bidang kelautan menjadi sektor pemimpin

(leading sector) dalam kegiatan perekonomian nasional.

Pembangunan identik dengan bagaimana suatu negara dapat

menggunakan kapasitas sumber dayanya secara optimal dalam

berproduksi, atau paling tidak dalam menyediakan iklim yang

kondusif bagi kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif.

Produksi sektor kelautan secara kuantitatif barangkali tidak

mengalami masalah, walaupun kerap ada kesenjangan antara

potensi dan realisasi. Namun demikian, apabila ditelaah lebih

seksama pada isu peruntukan manfaat, maka sektor

kelautan kelihatan mengalami gangguan, terutama pada tataran

bagaimana dan siapa yang berproduksi. Hal ini sedikitnya dapat

menjelaskan kenyataan tentang ketimpangan sosial ekonomi

antara penduduk di wilayah daratan dengan kepulauan, atau

secara makro mengapa kontribusi sektor kelautan masih kurang

signifikan dibandingkan dengan sektor-sektor lain dalam

pembentukan PDB. Dalam skala yang lebih luas, isu peruntukan

manfaat ini juga berkaitan dengan faktor-faktor lain seperti daya

saing domestik dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) bidang

kelautan yang rendah.

Kalau harus membuat perbandingan, maka barangkali

Indonesia boleh jadi salah satu dari sedikit negara di dunia yang

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 23

sangat beruntung karena warisan kekayaan alamnya yang

berlimpah ruah, di darat maupun di laut. Kita juga patut bersyukur

berkat warisan perjuangan para diplomat ulung Indonesia, maka

konsepsi negara kepulauan Indonesia diakui secara luas di dunia

internasional melalui Konvensi Hukum Laut Internasional

(UNCLOS). Deklarasi UNCLOS III yang mengukuhkan eksistensi

Indonesia sebagai Negara Kepulauan patut disyukuri karena hal

tersebut secara substansial berdampak pada semakin luasnya

klaim wilayah laut yang dimiliki oleh Indonesia. Saat ini, Indonesia

memiliki luas laut sebesar 5,8 Juta km² yang terdiri dari Laut

Territorial dengan luas 0.8 juta km2, Laut Nusantara seluas 2.3

juta km2 dan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km2. Di

samping itu, Indonesia memiliki pulau sebanyak kurang lebih

17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km. Dengan

keunggulan sebagai negara kepulauan, wajar sekali jika

pembangunan ekonomi yang diharapkan dapat bertumpu pada

sektor kelautan.

Dengan kekayaan laut yang sangat melimpah, ironisnya

pembangunan ekonomi nasional masih belum mampu

memberikan dampak positif yang kuat terhadap kesejahteraan

masyarakat. Gambaran nyata kondisi ini sejalan dengan

pendapat bahwa pengelolaan sektor kelautan belum digarap

dengan penuh perhatian dan kemauan. Ironisme paling kentara

terlihat pada potret sebagian besar nelayan Indonesia yang

masih bergelut dengan kemiskinan, padahal produksi perikanan

terus mengalami peningkatan. Daya saing domestik lemah

menyebabkan kegiatan pengangkutan (transportasi laut) maupun

eksploitasi sumber daya mineral di wilayah perairan nasional

masih lebih banyak dilakukan oleh pihak asing. Kekalahan

dalam kompetisi ekonomi berbasis maritim juga terjadi di

24 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

sektor industri dan jasa kelautan mulai dari hulu (upstream)

maupun hilir (downstream).

Laode (2005) mencatat adanya beberapa faktor yang

melemahkan pembangunan sektor maritim (kelautan) di

Indonesia. Di antaranya, pertama, belum adanya terobosan

kebijakan yang mampu mengikat dan memayungi instrumen

ekonomi maritim, seperti sektor perikanan, pertambangan

dan energi lepas pantai, pariwisata bahari, transportasi laut dan

kepelabuhanan, serta sumber daya manusia di sektor maritim.

Dampaknya, persepsi tentang ekonomi maritim secara

kelembagaan masih sangat parsial sehingga tolok ukur

ekonomi maritim dilihat hanya dari satu organisasi

kementerian saja, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Padahal dari segi tupoksi dan kewenangan, kapabilitas

kementerian ini sangat terbatas untuk mengakomodir urusan

lintas sektoral dan instansi kelembagaan pemerintah lainnya

dalam mengembangkan ekonomi maritim.

Kedua, kebijakan maritim tidak menjadi payung politik bagi

pembangunan ekonomi sehingga kelembagaan yang terlibat

dalam sektor maritim juga akan mengalami disorientasi.

Padahal, kepentingan kolektif maritim perlu diorganisir secara

terpadu. Untuk itu, negara perlu berani menegaskan kebijakan

maritim sebagai platform pembangunan ekonomi.

Ketiga, terjadinya backwash effect secara massive yang

menempatkan sektor maritime, khususnya perikanan sebagai

sektor pengurasan sebagai akibat dari tingkat kebocoran

sektoral (sectoral leakages) yang terjadi sehingga

menyebabkan sektor perikanan menjadi kerdil dan marjinal.

Kebocoran sektoral ini dimaknai dalam dua hal, yaitu: (1)

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 25

hubungan antara pemilik kapal dengan nelayan, yang cenderung

menempatkan pemilik kapal sebagai pihak yang menikmati

benefit lebih banyak dari pada nelayan yang hanya memenuhi

standar hidup minimum kebutuhannya; dan (2) feedback nilai

ekonomi perikanan terhadap perbaikan infrastruktur publik di

komunitas nelayan sulit terjadi.

Keempat, faktor Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) yang diharapkan menjadi saluran membagi kemakmuran

secara adil nampaknya masih sulit diwujudkan karena wajah

APBN yang continental oriented dan selalu menempatkan sektor

maritime, termasuk provinsi berbasis maritim dan pulau-pulau

kecilnya, termarjinalisasi dalam pembagian sarana dan prasarana

pembangunan.

Selain permasalahan tersebut, pengelolaan kemaritiman tidak

diatur secara khusus dalam undang-undang, tetapi termaktub

dalam berbagai peraturan perundangan, misalnya tentang

pelayaran, perikanan, wilayah negara, pertambangan, pariwisata,

kelautan, kepelautan, kepelabuhanan, dan berbagai peraturan

perundangan lainnya yang terkait hukum laut.

Kebijakan kemaritiman yang diharapkan adalah menjawab

beberapa persoalan terkait kepentingan ekonomi sektoral di

bidang maritim, keutuhan dan kedaulatan wilayah negara,

kelestarian sumber daya dan lingkungan, serta penyelesaian konflik

sosial akibat pemanfaatan ruang laut yang sama dengan

kepentingan yang berbeda. Penanganan berbagai persoalan

tersebut memerlukan kebijakan teritorial yang jelas dan tepat.

26 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Tabel 1. Pengaturan/Kewenangan Kemaritiman

No. Bidang Pengaturan/Kewenangan

1. Perhubungan

Laut

UU No. 1/1973 tentang Landas

Kontinen dan UU No. 17/2008 tentang

Pelayaran

2. Industri

Kelautan

UU No. 17/2008 tentang Pelayaran, UU

No. 31/2004 tentang Perikanan

sebagaimana diubah dengan UU No.

45/2009; dan UU No. 5/1984 tentang

Perindustrian

3. Perikanan UU No. 31/2004 tentang Perikanan

sebagaimana diubah dengan UU No.

45/2009 dan UU No. 27/2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

pulau Kecil sebagaimana diubah

dengan UU No. 1/2014

4. Wisata bahari UU No. 10/2009 tentang

Kepariwisataan dan UU No. 27/2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir

dan Pulau-pulau Kecil sebagaimana

diubah dengan UU No. 1/2014

5. Energi dan

Sumber Daya

Mineral

UU No. 22/2001 tentang Minyak dan

Gas Bumi dan UU No. 4/2009 tentang

Mineral dan Batubara

6. Bangunan

Laut

UU N0.17/2008 tentang Pelayaran

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 27

7. Jasa Kelautan UU No. 17/2008 tentang Pelayaran dan

UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar

Budaya, UU No. 27/2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

pulau Kecil sebagaimana diubah

dengan UU No. 1/2014

8. Bio Teknologi

dan Bio

Farmakologi

Kelautan

UU No. 18/2002 tentang Sistem

Nasional Penelitian, Pengembangan

dan Penerapan IPTEK dan UU No.

27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

sebagaimana diubah dengan UU No.

1/2014

9. Pengawasan

dan

Pemanfaatan

Sumber Daya

Alam Hayati

dan

Ekosistemnya

UU No. 2/2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia, UU No. 3

/2002 tentang Pertahanan Negara, UU

No. 34/2004 tentang TNI, UU No.

17/2008 tentang Pelayaran, UU No.

31/2004 tentang Perikanan

sebagaimana diubah dengan UU No.

45/2009

10 Kelautan UU No... /2014 tentang Kelautan

(belum diundangkan)

Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014

Berbagai peraturan perundangan tersebut telah menjadi landasan

kebijakan pembangunan maritim, tetapi bersifat parsial dan

sektoral. Hal ini menyebabkan kewenangan dalam pengelolaan

kemaritiman terbagi dalam beberapa institusi. Berdasarkan

28 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

identifikasi LAN, lebih dari 20 institusi yang terlibat dalam

penanganan kemaritiman.

Tabel 2. Insitusi Kemaritiman

Sumber : Lembaga Administrasi Negara, 2014

Berdasarkan analisis kelembagaan, terlihat bahwa kelembagaan

yang terlibat dalam penanganan kemaritiman masih

terfragmentasi dan belum tercipta sinergitas. Dilihat dari aspek

integrasi kelembagaan, kondisi empiris menunjukkan bahwa

banyak institusi yang telibat, namun tidak berhubungan satu

dengan lainnya sehingga masih bersifat konfliktif. Kalaupun ada,

hubungan di antara institusi tersebut masih terlihat longgar dan

belum terlihat adanya integrasi yang baik.

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, kondisi saat ini masih

terdapat benturan kebijakan yang satu dengan yang lainnya dan

belum ada norma dan kebijakan dari institusi-institusi yang

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 29

terintegrasi. Implikasi dari kebijakan yang sektoral tersebut adalah

institusi-institusi tersebut hanya berpihak pada kepentingan sektor

dan belum memberi dukungan kepada visi nasional (whole of

government).

Janji Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla

berencana menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia

disambut dan diberikan apresiasi baik oleh banyak kalangan.

Sudah saatnya Indonesia memiliki sistem kemaritiman yang kuat

dan tangguh di tengah problematika pengelolaan dan

pemanfaatan laut yang saat ini jauh dari apa yang diharapkan.

Kepemimpinan dengan visi yang kuat kepada pembangunan

berbasis maritim diyakini dapat menjadi jalan keluar untuk

mempercepat kemajuan ekonomi nasional. Hal ini sejalan

dengan realitas yang mendera sektor sumber daya daratan yang

dari waktu ke waktu dapat mengalami penurunan nilai ekonomi.

Fenomena kompetisi yang semakin padat terhadap perburuan

rente ekonomi di daratan cenderung semakin meningkat seiring

dengan adanya pertambahan penduduk. Konflik kepentingan

yang eksesif terhadap penguasaan sumber daya di daratan juga

telah menyebabkan ketidakseimbangan ekologis yang

mengkhawatirkan, yang berujung pada tingginya intensitas

bencana alam di daratan seperti banjir, longsor, kekeringan,

kebakaran hutan, polusi udara dan wabah penyakit. Oleh karena

itu, tersedianya potensi ekonomi laut yang belum digarap dengan

maksimal menjadi tantangan strategis yang harus dijawab.

30 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Arah Penataan Kelembagaan Kemaritiman

Keprihatinan terhadap sektor kelautan nasional

mengharuskan adanya kebijakan strategis untuk mempercepat

pengembangan keunggulan di berbagai sub- sektor kelautan.

Kesadaran terhadap pergeseran paradigma pembangunan yang

berorientasi kontinental (land-based development) menjadi

berorientasi laut (ocean-based development) semestinya dapat

diwujudkan dalam bentuk dukungan kebijakan yang bersifat

komprehensif dan konkrit, sistematis, tidak parsial apalagi

sporadis. Ekonomi kelautan atau berbasis kemaritiman tidak lagi

dijadikan sektor pinggiran, melainkan sebagai arus utama dalam

kebijakan pembangunan. Pola pikir pembangunan yang selama

ini terlalu dominan secara continental nyata-nyata tidak mampu

membawa kesejahteraan. Oleh karena itu, diperlukan

kepemimpinan yang berani untuk mengaktualisasikan

reorientasi semangat kelautan dalam kebijakan-kebijakan

strategis pembangunan. Dengan demikian, kebangkitan ekonomi

maritim tidak lagi menjadi sekedar jargon di setiap pergantian

pemerintahan.

Pembangunan ekonomi maritim dapat dimaknai secara paralel

dengan tinjauan perspektif yang diberikan di atas. Dalam definisi

yang lebih kontekstual, pembangunan ekonomi maritim ingin

menjadikan kekayaan potensi kemaritiman sebagai landasan

untuk mengadakan ketersediaan infrastruktur yang berkualitas,

terutama di sektor kemaritiman sehingga iklim bisnis dan

investasi maritim yang baik akan berkembang. Dengan

sendirinya, pembangunan ekonomi maritim juga akan membawa

industri pada kebutuhan akan sumber daya manusia

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 31

kemaritiman dan inovasi teknologi yang berbasis pada

pendidikan kemaritiman yang unggul dan modern. Jika proses ini

dapat berlangsung, maka pembangunan ekonomi maritim

dipastikan akan dapat membawa masyarakat ke arah

kemakmuran.

Secara normatif, pembangunan ekonomi maritim harus pula

diartikulasikan sebagai pendekatan kebijakan pembangunan

yang di-implementasikan oleh negara secara sistematis dan

komprehensif dengan mendayagunakan seluruh potensi laut

baik dengan kekayaan sumber daya hayati, sumber daya non

hayati, energi kelautan, maupun jasa lingkungan yang dimilikinya.

Menempatkan ekonomi maritim sebagai arus utama dalam

kegiatan ekonomi pembangunan juga mengharuskan

kepemimpinan negara ini berani melakukan terobosan walaupun

boleh jadi membawa tensi perubahan yang drastis, progresif, dan

jika perlu radikal.

Sebagai perbandingan, negara-negara yang berhasil menjadikan

sektor maritimnya sebagai tulang punggung ekonomi nasional

kini justru berhasil menjadi negara yang (mendekati) maju.

Contoh terdekat adalah Singapura, Malaysia, dan banyak

negara Eropa yang unggul dalam memanfaatkan sektor kelautan

sebagai basis perekonomiannya.

Referensi lain tentang pendekatan kebijakan maritim yang

progresif bahkan radikal ditempuh oleh Korea Selatan. Negara ini

diakui sebagai salah satu negara maritim terkuat di Asia hari ini

karena berani melakukan terobosan kebijakan kemaritimannya,

terutama pada tataran kelembagaan yang dianggap sebagai

faktor elementer pembangunan. Dalam Seung-Jun Kwak,. et al

(2004), Korea Selatan sejak tahun 1996 telah melebur berbagai

32 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

fungsi di sektor kemaritiman yang selama ini terpencar di tiga

belas kementerian di bawah satu lembaga kementerian yang

diberi nama Kementerian Urusan Maritim dan Perikanan (the

Korean Ministry of Maritime Affairs and Fisheries (MOMAF).

Hasilnya, sejak tahun 1998, industri maritim Korea telah

menjadi yang terbaik ke-10 di dunia, dengan prestasi terbaik di

dunia dalam hal volume kapasitas pesanan pada industri galangan

kapal, tercatat sebagai yang ke-6 di dunia dalam perdagangan

kargo di laut, dan kapasitas kapal terbesar ke-8 serta produsen

perikanan terbesar ke-11 di dunia.

Paradigma pengelolaan maritim saat ini, paling tidak meliputi

empat aspek penting (business process), yaitu keamanan,

keselamatan, pengusahaan, dan konservasi. Berkaitan dengan hal

tersebut, maka aransemen kelembagaan dalam pengelolaan

maritim seharusnya mengacu pada 4 aspek tersebut (Gambar 1).

Gambar 1. Aransemen Kelembagaan

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 33

Dalam rangka penataan kelembagaan, diusulkan beberapa

alternatif arasemen kelembagaan dalam pengelolaan maritim

adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengoptimalkan kontribusi sumberdaya

kelautan/maritim dan perikanan dalam perekonomian

nasional disarankan memperkuat dan merevitalisasi

kelembagaan Kementerian teknis/lembaga yang sudah ada

:

Revitalisasi fungsi-fungsi terkait pengelolaan wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil, tata ruang dan zonasi pesisir

dan laut, perikanan tangkap, perikanan budidaya,

peningkatan nilai tambah (pengolahan dan pemasaran)

hasil kelautan dan perikan-an dan pengembangan

sumberdaya laut non-konvensional

Merespon kebutuhan nasional yang mendesak, seperti

tingginya biaya logistik dan transportasi laut dan

konektivitas antar pulau, sebagian fungsi terkait

pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, tata

ruang dan zonasi pesisir dan laut, perikanan tangkap,

perikanan budidaya, peningkatan nilai tambah (pengolahan

dan pemasaran) hasil kelautan dan perikanan dan

pengembangan sumberdaya laut non-konvensional.

34 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Gambar 2. Kementerian Teknis

2. Pembangunan kemaritiman harus dikelola secara multi

sektor. Perlu sinergi dan penguatan koordinasi, sehingga

dipandang perlu membentuk Kementerian Koordinator

Bidang Maritim. Adapun tujuan pebentukan Kementerian

Koordinator Bidang Maritim antara lain :

a. Menguatkan kelembagaan maritim untuk

memperkokoh sistem pembangunan berbasis

konsep Negara kepulauan

b. Meningkatkan efektivitas koordinasi kebijakan,

program, dan kegiatan di bidang maritime lintas

sektoral, antar Negara dan dengan lembaga

internasional

c. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya laut,

yang meliputi ruang, sumber daya alam, dan jasa

untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang

tinggi, pemerataan dan kesejahteraan rakyat

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 35

d. Memperkuat Indonesia sebagai Negara maritim

dan perannya dalam hubungan internasional

Gambar 3. Kementerian Koordinator

3. Membentuk suatu badan yang langsung dipimpin Presiden,

misalnya merevitalisasi Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN)

yang telah ada menjadi Dewan Maritim Nasional yang

langsung dipimpin Presiden yang bertugas menyusun dan

menetapkan kebijakan kemaritiman nasional 25 tahun ke

depan dan peta-jalan pembangunan maritim. Keputusan

Dewan dilaksanakan oleh masing-masing kementerian

teknis. Dewan ini bertugas :

a. Merumuskan visi pembangunan dan kebijakan

jangka panjang dalam pembangunan Maritim dan

Kelautan

36 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

b. Melakukan review dan harmonisasi peraturan

perundangan agar sesuai dengan visi dan kebijakan

c. Melakukan penataan kelembagaan maritim untuk

memastikan terciptanya lembaga pengalolaan

maritim yang solid, efisien, dan efektif

d. Menyelesaikan konflik kepentingan antar pelaku

kemaritiman

e. Keanggotaan dewan terdiri dari Menteri dan

Kepala LPNK yang terlibat dalam pengelolaan

fungsi kemaritiman, dan stakeholders strategis

(pelaku usaha, masyarakat sipil) dan didukung oleh

tanki pemikir kebijakan

Gambar 4. Dewan Maritim Nasional

¤¤¤¤¤¤

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 37

Policy Brief

POKOK-POKOK PEMIKIRAN

DALAM MEWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN

Latar Belakang

Pada masa kampanye Pemilihan Umum Presiden 2014, persoalan

kedaulatan pangan lantang disuarakan oleh kedua calon presiden

yang sedang bersaing. Sampai hari ini tidak ada satupun yang bisa

menyangkal komitmen presiden terpilih dalam soal kedaulatan

pangan. Isu mengenai pangan yang mencakup sektor-sektor

pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan menjadi jargon

politik yang mereka suarakan untuk menarik perhatian rakyat.

Kedaulatan Pangan juga mempunyai tantangan dan persoalan

penyediaan pangan masa depan yang harus menjadi perhatian

pokok di tengah impor pangan yang tak terkontrol. Pada titik ini,

isu kedaulatan pangan telah menjadi kebenaran publik yang

mampu masuk dan terserap dalam pemikiran dan agenda elite

politik.

Soal pangan adalah soal politik karena menyangkut urusan asasi

dari manusia untuk bisa hidup dan bekerja. Ketidakmampuan

sebuah rezim dalam mengelola urusan pangan rakyatnya,

berpotensi menjadi sumber instabilitas nasional. Oleh karena itu,

memberikan perhatian yang lebih besar pada persoalan pangan

38 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

bukan saja dapat mendorong kesejahteraan rakyat, tetapi juga

memastikan salah satu faktor instabilitas itu tidak berkembang.

Atas dasar itulah, isu pangan layak dijadikan sebagai isu strategis

lintas kelembagaan, lintas instansi negara dan kementerian.

Maksud dari isu strategis lintas kelembagaan adalah bahwa sebagai

sebuah gagasan, diskursus tentang kedaulatan pangan harus

bersifat hegemonik. Dalam artian gagasan tersebut harus bisa

mengatasi problem-problem struktural yang biasa dihadapi dalam

sistem birokrasi modern dan juga struktur sosial masyarakat.

Sebuah cara, dengan mana gagasan bisa dimaknai dan dimengerti

oleh berbagai pihak, lintas kepentingan, lintas kelas sosial, lintas

identitas. Dengan dipahaminya gagasan tersebut, harapannya akan

muncul suasana batin kolektif yang dapat memicu munculnya

sebuah tindakan nyata untuk menyelesaikan sebuah persoalan.

Pada titik inilah, gagasan kedaulatan pangan mesti dapat

diletakkan agar tidak hanya menjadi jargon semata. Persoalannya,

bagaimana dapat memastikan bahwa presiden yang baru, dapat

meletakkan gagasan tentang kedaulatan pangan jadi arus utama

atau jadi hegemonik. Dalam konteks tersebut, yang jauh lebih

esensial adalah sejauhmana gagasan tentang kedaulatan pangan

menjadi kesadaran setiap pihak yang memiliki wewenang dan

kapasitas untuk menangani kebijakan tersebut. Singkatnya, jika

presiden benar-benar ingin menciptakan kedaulatan pangan, maka

harus dipastikan terlebih dahulu agar yang terlibat dalam

menjalankan agenda kekuasaan, mengerti dan memahami apa

yang dimaksud dengan kedaulatan pangan tersebut.

Selanjutnya, Presiden juga harus memastikan bahwa setiap

lembaga atau kementerian yang nantinya berhubungan dengan

persoalan kedaulatan pangan, baik yang langsung ataupun tidak

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 39

langsung memiliki strategi yang terintegrasi untuk bersama-sama

mencapai target-target yang telah ditentukan. Presiden baru harus

menjadi dirigen yang andal dalam menciptakan kedaulatan

pangan. Karena persoalan pangan itu sendiri bersifat lintas

klasifikasi sosial di dalam masyarakat, maka upaya untuk

menyelesaikan permasalahannya juga semestinya lintas sektoral.

Pada titik ini, selain orang-orang yang berintegritas, Presiden juga

harus memastikan bahwa struktur kementerian teknis yang secara

langsung berhubungan dengan persoalan pangan dan pertanian

dalam arti luas, seperti pertanian, perkebunan, peternakan,

perikanan dan kelautan, mesti dikoordinir oleh orang yang juga

memahami dan mengerti aspek-aspek strategis dalam mencapai

agenda kedaulatan pangan.

Selain itu, instansi dan lembaga lain yang tidak secara langsung

berkaitan dengan persoalan pangan dan pertanian, tetapi kerap

menjadi kunci dalam memajukan sektor pertanian juga mesti

didukung oleh orang-orang yang paham tentang kedaulatan

pangan itu sendiri. Sebut saja Kementerian Pekerjaan Umum,

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil, Kementerian BUMN,

Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perhubungan,

Kementerian Perdagangan, Bank Indonesia, BPN, BULOG, BPS dan

instansi lainnya, harus dipastikan memahami jargon-jargon politik

presiden tentang kedaulatan pangan pada saat pemilu kemarin.

Meskipun mereka tidak secara langsung bersentuhan dengan

persoalan pangan dan pertanian, tetapi gugus tugas mereka

menentukan keberhasilan pencapaian agenda kedaulatan pangan

itu sendiri. Hanya dengan jalan itu, upaya pencapaian kedaulatan

pangan mendapat dukungan yang optimal dari semua instansi

pemerintah. Di sisi lain, posisi organisasi-organisasi masyarakat

yang selama ini telah konsisten dalam mendorong agenda

40 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

kedaulatan pangan menjadi semakin penting di era pemerintahan

baru nanti. Selain menjadi mitra strategis, mereka juga bisa

menjadi kelompok penekan untuk memastikan bahwa kedaulatan

pangan adalah harga mati yang harus diperjuangkan secara

konsisten oleh presiden baru. Setiap kementerian dan lembaga

mesti didorong untuk terlibat secara optimal dalam mendukung

agenda tersebut.

Terdapat tujuh prasyarat utama untuk menegakkan kedaulatan

pangan menurut Serikat Petani Indonesia, antara lain adalah:

1) Pembaruan Agraria

2) Adanya hak akses rakyat terhadap pangan

3) Penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan

4) Pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang

diperdagangkan

5) Pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi

6) Melarang penggunaan pangan sebagai senjata

Pada prinsipnya kedaulatan pangan adalah kemandirian petani

untuk memenuhi kebutuhan pangan (nasional), tanpa ada campur

tangan pemenuhan pangan dari pihak luar negeri. Pentingnya

peningkatan produksi rakyat dan persaingannya di tingkat dunia

mendorong rakyat untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas

produksi pertanian termasuk kedaulatan pangan demi pemenuhan

kebutuhan dalam negeri sendiri. Untuk mewujudkan hal tersebut

perlu dukungan dari berbagai pihak, diantaranya :

1. Kebijakan Pemerintah di bidang pendayagunaan dan

kepemilikan tanah yang lebih pro petani.

2. Kebijakan pendampingan bagi petani supaya dapat

mendayagunakan hasil pertanian lebih inovatif, efektif, efisien.

3. Penyediaan tempat bagi pemasaran hasil pertanian.

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 41

4. Kebijakan subsidi pupuk, benih, dan akses untuk mendapat

kredit serta penyediaan pupuk dan benih tersebut di lokasi

pertanian.

5. Kebijakan ini harus disosialisasikan dan didukung berbagai

elemen pemerintah dan masyarakat supaya hasilnya bagus dan

maksimal.

Prinsip Kedaulatan Pangan :

1. Fokus pada orang dan Hak atas Pangan, dari pada komoditas

ekspor.

2. Menghormati hak petani dan melindunginya, bukan membuat

miskin dan mengusir dari lahan pertaniannya.

3. Sistem pangan berbasis lokal, bukan mempromosikan

perdagangan global yang tidak fair.

4. Dikuasai oleh petani lokal, bukan perusahaan agribisnis

multinasional dari negara lain.

5. Membangun dan melestarikan pengetahuan dan ketrampilan

lokal, bukan teknologi industrial kapitalistik seperti GMOs.

6. Bekerja dengan metabolisme alam, bukan menggunakan

metode yang merusak fungsi berharga ekosistem (seperti

energy intensive monocultures and livestock factories)

Data dan isu tentang permasalahan dalam kedaulatan pangan :

1. Kedaulatan pangan merupakan visi, cita-cita, dan harapan yang

sarat dengan nilai luhur, budaya, kehormatan, merupakan

sebuah kelembagaan yang seharusnya mempengaruhi,

membentuk sikap dan perilaku orang untuk mencapai visi

tersebut.

2. Jika kedaulatan pangan belum menjadi visi, cita-cita atau

harapan kebanyakan orang maka upaya mencapai kedaulatan

42 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

pangan akan terasa sangat berat; sekalipun sudah ada

Kementerian Kedaulatan Pangan (pada kenyataannya, tidak

ada kementerian khusus menangani kedaulatan pangan pada

Kabinet Kerja), tetapi tetap menjadi urusan Kementerian

Pertanian.

3. Apalah arti sebuah wadah bernama “kedaulatan pangan” jika

orang yang menahkodai dan para aktor yang memainkan peran

dalam wadah tersebut tidak mengerti, tidak memahami, dan

tidak memiliki cita-cita untuk mewujudkan kedaulatan pangan.

4. Value “kedaulatan pangan” tidak akan mewarnai dan

mempengaruhi tindakan para aktor tersebut.

5. Bahkan, bisa jadi kedaulatan pangan disalahmaknai sehingga

menjauh dari value kedaulatan pangan itu sendiri.

Berdasarkan pernyataan tersebut perlu kita perhatikan lebih lanjut,

ternyata harapan rakyat akan adanya perhatian lebih kepada petani

khususnya untuk mendukung kesuksesan program kedaulatan

pangan sangat diharapkan, ada Kementerian Khusus yang

menangani hal ini. Namun demikian, ternyata dalam Kabinet baru

tidak ada Kementerian Kedaulatan Pangan, melainkan tugas dan

fungsinya melekat pada Kementerian Pertanian Dirjen di

Kementerian Pertanian yang mengurusi Kedaulatan Pangan turut

diharapkan punya peran untuk mendukung program ini.

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 43

Mekanisme membangun kedaulatan pangan

Sehubungan dengan kondisi yang ada dan rencana ke depan

supaya perhatian mengarah pada Kedaulatan Pangan, maka

beberapa hal yang direkomendasikan antara lain:

1. Pemanfaatan lahan pertanian semaksimal mungkin untuk

penyediaan pangan dalam negeri dengan tidak

mengalihfungsikan lahan untuk keperluan di luar pertanian.

2. Penggalakan konsumsi makanan lokal kepada masyarakat

sehingga makanan lokal menjadi tuan rumah di negara sendiri.

3. Memberi arahan ke petani agar melakukan intensifikasi dan

diversifikasi pertanian dengan melakukan pendampingan (oleh

penyuluh pertanian di masing-masing Desa binaan) kepada

petani supaya memanfaatkan teknologi sehingga hasil

pertanian lebih bagus, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

4. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan pembatasan impor

bahan pangan/hortikultura, serta memaksimalkan hasil

pertanian sendiri. Contohnya, buah lokal dipromosikan serta

ditingkatkan kualitasnya dan mengurangi import buah.

5. Pemerintah harus membuat aturan serta dikawal pihak yang

berwenang untuk membuat kebijakan yang pro petani dalam

hal kepemilikan dan pendayagunaan lahan untuk pertanian.

6. Perlu diperhatikan juga peningkatan kualitas dan kuantitas

pasar tradisional sebagai tempat terdekat dengan rakyat dalam

melakukan proses jual beli sehingga akses untuk mendapatkan

bahan makanan (lokal) yang dibutuhkan lebih mudah.

7. Manajemen pasar tradisional perlu ditingkatkan.

8. Kemasan bahan makanan yang dipasarkan dibuat menarik

sehingga membuat rakyat tertarik untuk membeli.

44 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

9. Penguatan koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah

(provinsi, kabupaten/kota) dan koordinasi antar instansi yang

terlibat secara langsung ataupun tidak dalam kedaulatan

pangan

10. Peraturan yang dibuat pemerintah (Pusat, Daerah) tentang

kedaulatan pangan, baik yang sudah dibuat maupun belum,

sebisa mungkin tetap dilakukan koordinasi:

- Kebijakan yang sudah terlanjur dibuat bisa dilakukan

koordinasi antar Instansi sehingga yang bertentangan bisa

dikomunikasikan lagi sehingga hasilnya sama-sama

mendukung program peningkatan kualitas dan kuantitas

kedaulatan rakyat

- Kebijakan Pusat serta Daerah (provinsi, kabupaten/kota)

yang bertentangan perlu dikoordinasikan lagi sehingga

saling menguatkan demi kesuksesan program kedaulatan

pangan dan menghindari tumpang tindih peran masing-

masing pihak

¤¤¤¤¤¤

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 45

DAFTAR PUSTAKA

I. Isu Aktual : Pemerintah Daerah

1. UU No. 32 Tahu 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

2. Naskah dari Narasumber pada kegiatan Seminar Nasional:

Satu Dekade implementasi UU No. 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah.

a. Gamawan Fauzi ( Menteri Dalam Negeri )

“ Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan

Otonomi Daerah di Indonesia “

b. Prof. Dr. Irfan Ridwan maksum M.Si (Dosen

Universitas Indonesia)

“Perkembangan Penyelenggaraan Pemerintah

Daerah di Indonesia”.

c. Drs. Agun Gunanjar Sudarsa (Ketua Komisi II DPR RI)

“Membangun Inndonesia Sejahtera”

d. Dr. Eko Prasetyanto, PP, M.Si, MA (Kementrian

Dalam Negeri)

“Implementasi Undang-undang No. 6 Tahun 2014

tentang Desa dan Implikasinya bagi Penyelenggaraan

pemerintahan Daerah”.

e. Pof. (Ris) Ikrar Nusa Bhakti Ph.D (Lembaga Ilmu

Pengetahun Indonesia)

“Korupsi dan Politik Kekerabatan di Daerah”

f. Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MPS (Kepala Lembaga

Adminstrasi Negara)

“:ASN, Netralisasi Birokrasi, dan Otonomi Daerah”

46 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

II. Isu Aktual : Prospek Implementasi UU No. 6 Tahun 2014

entang Desa

1. UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa

2. Naskah dari Narasumber pada kegiatan Focus Group

Discussion Prospek implementai UU No. 6 Tahun 2014

Tentang Desa :

a. Dr. Eko Prasetyanto, PP, M.Si, MA (Kemnetrian

Dalam Negeri)

“Permaslahan dan Tantangan Aparatur dan

Masyarakat Desa dalam Implementasi Undan-

undang Desa”

b. Dr. Hanid Nurcholis, M.Si (Universitas Terbuka)

“Pemernintahan Desa : Unit Pemerintahan Palsu

Dalam Sistem Adminsitrasi NKRI”

c. Robert Endi Jaweng, M.Si (KPPOD)

“Keuangan Desa dalam UU No. 6 Tahun 2014 –

Beberapa Isu Krusial dan Masukan”

III. Isu Aktual : Pemilihan Kepala Daerah

1. Naskah dari Narasumber pada Kegiatan Focus Group

Discussion : “Mencari Jalan Tengah Pemilihan Kepala

Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”,

Yogyakarta, 29 Oktober 2014.

a. Prof. Dr. Purwo Santoso (Dosen Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Univesitas Gajah Mada/Fisipol UGM)

“Memperdalam Demokrasi Melalui Reformulasi

Skema Pemilihan Kepala Daerah”

b. Ari Sujito, M.Si (Dosen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Univesitas Gajah Mada/Fisipol UGM)

“Parpol dan Pemilu dalam Sistem Demokrasi”

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 47

2. Naskah dari Narasumber pada kegiatan Focus Group

Discussion : Mencari Desain Alternatif Pemilihan Kepala

Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”,

Surabaya, 29 November 2014 :

a. Prof. Ramlan Surbakti (Dosen Universitas Airlangga)

b. Drs. Haryadi, M.Si (Dosen Universita Airlangga)

“Desain Pilkada dalam konteks NKRI”

IV. Isu Aktual : Aransemen Kelembagaan Dalam Mewujudkan

Kedaulatan Pangan

1. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), Pasal 3 ayat (1)

dan Pasal 3d PP No. 224 /1961 jo. PP No. 41/1964

2. Bahan dari internet :

a. Kompas.com, Desember 2014, berita : Kunjungan

Wakil Presiden Jusuf Kalla ke Pabrik Gula (PG)

Subang milik PT PG Rajawali, anakusaha PT RNI

Persero di kecamatan Purwodadi, kabupaten Subang

b. Neraca, jumat, 31 Oktober 2014, berita : Regulasi

Sektor Peretanian Masih Belum Sinergis,

Produktivitas Petani Terhambat

c. Vivanews, September 2013, berita : Kepala Bdan

Pusat Statistik (BPS). Suryamin , Sabtu 7 September

2013 , menyampaikan bahwa dalam satu daekade

terakhir jumlah rumha tangga petani turun hingga 5

juta orang. “Jumlah rumah tangga petani turun

sebesar 5,05 juta orang, yaitu dari 31,17 juta orang

pada 2003 menjadi 26,13 juta orang pada 2013. Rata-

rata penurunannya sebesar 1,75 persen per tahun,”

ujar Suryamin di Bogor, Jawa Barat.

48 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah

3. Naskah dari Narasumber pada kegiatan Focus Group

Discussion (FGD) Hari/tanggal : Rabu/1 Oktober 2014 yang

diselengarakan oleh Lembaga Administrasi Negara (Pusat

Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah) bertempat di

hotel Sahira Bogor :

a. Aceng Hidayat (Dept. Ekonomi Sumberdaya dan

Lingkungan IPB)

“Kelembagaan Kedaulatan Pangan”

b. Tejo Pramono (Serikat Petani Indonesia)

“Transformasi Kelembagaan dalam Melaksanakan

Kedaulatan Pangan”

V. Isu Aktual : Potennsi, Permasalahan, dan Tantangan

Kemaritiman Indonseia

1. Naskah dari Narasumber pada kegiatan Focus Group

Discussion (FGD), Hari/tanggal : Rabu/ 1 Oktober 2014

yang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara

(Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah)

bertempat di Hotel Sahira, Bogor :

a. Ir. Saut P. Hutagalung, M.Sc (Direktur jenderah

Penngolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan

Kementrian Kelautan dan Perikanan)

“Potensi, Permasalahan, dan Tantangan

Kemaritiman”

b. Prof. Dr. Indra Jaya (Dosen Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan IPB)

Potensi

Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 49

2. Naskah dari Narasumber pada kegiatan Dialog Maritim di

Jakarta, September 2014 :

a. Radial Huda (Praktisi Maritim) “Penguatan Sektor

Maritime”

b. Sri Hadiati WK (Lembaga Administrasi Negara) “Arah

dan Startegi Kelembagaan Maritim”

3. Naskah dari Narasumber pada kegiatan yang diadakandi

Universitas Nasional (Unas) , 9 Oktober 2014 :

a. Agus Dwiyanto (Lembaga Administrasi Negara)

“Mengembangkan Kelembagaan Kementrian

Maritim yang Solid, Efisien dan Efektif”

b. Naskah dari Laksamana TNI Dr. Marsetio (Kepala Staf

Angkatan Laut), “Membangun Kedaulatan Maritim

Nusantara”