19
PENDAHULUAN Latar Belakang Perairan laut di Indonesia menjadi habitat bagi berbagai jenis ikan. Jumlah jenis ikan yang ada di perairan laut dan payau Indonesia mencapai 3.720 spesies (Rueckert et al. 2008). Sumberdaya ikan di Indonesia cukup melimpah, termasuk di Perairan Banten. Perairan tersebut menjadi tempat kegiatan perikanan tangkap dan memiliki beberapa tempat pendaratan ikan. Ikan tongkol menjadi salah satu ikan target yang ditangkap di Selat Sunda, dan termasuk dalam 10 besar komoditi unggulan yang ditangkap di Teluk Banten (Ernaningsih et al. 2012). Ikan tongkol termasuk dalam keluarga Scombridae dengan ciri utama berupa garis serong berwarna hitam pada bagian punggung dan bintik hitam di antara sirip dada dan perut (Hidayat et al. 2018). Ikan ini menghabiskan sebagian besar waktunya di perairan pesisir (Masuswo dan Widodo 2016) dan sering dimanfaatkan sehari-hari sebagai ikan konsumsi. Pratama et al. (2011) menjelaskan bahwa ikan tongkol mengandung nutrisi yang cukup baik, salah satunya asam lemak tak jenuh. Hidayati et al. (2016) menjelaskan ikan tongkol adalah ikan pelagis dan merupakan salah satu komoditi perikanan yang sering diekspor oleh Indonesia. Negara target utama ekspor ikan tongkol dari Indonesia salah satunya adalah Jepang (Chodrijah et al. 2013). Salah satu masalah yang dapat merugikan berbagai aspek dari pengelolaan perikanan tongkol adalah adanya infeksi oleh parasit. Parasit adalah organisme yang hidup di atas atau di dalam organisme lain (inang), sebagian besar adalah cacing, dan telah beradaptasi untuk hidup sebagai parasit (memiliki alat penghisap, kait, atau menghasilkan banyak telur). Parasit mampu merubah sifat kimia dirinya agar sesuai dengan tubuh inangnya (Levine 1990). Biasanya dalam satu inang terdapat lebih dari satu parasit, dan hidup saling mempengaruhi. Keanekaragaman jenis parasit ikan cukup tinggi di perairan laut Indonesia. Kelimpahan parasit dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik, dan sangat bergantung pada ikan yang menjadi inangnya (Rueckert et al. 2008). Ekologi, migrasi, rekrutmen, dan kondisi lingkungan dari inang berkaitan dengan keberadaan parasit. Parasit yang ada di perairan menginfeksi ikan di berbagai tingkatan trofik. Rohde (2005) menjelaskan suhu dan kesuburan perairan adalah dua parameter lingkungan penting yang dapat mempengaruhi keberadaan cacing parasitik. Infeksi cacing parasitik pada ikan tongkol memiliki dampak terhadap aspek ekologis, ekonomis, maupun biologis. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat infeksi cacing seperti Didymozoon diverticulatum di Teluk Benggala (Madhavi dan Sai Ram 2000), Anisakis spp. di daerah Pekalongan (Linayati dan Madusari 2019), dan Anisakis simplex di daerah Aceh Besar (Hidayati et al. 2016). Beberapa jenis parasit pada penelitian yang sudah dilakukan tergolong dalam parasit zoonotik. Meski parasit lebih dikenal memberikan dampak negatif, beberapa penelitian menunjukkan bahwa parasit memiliki dampak positif. Kleinertz et al. (2012) menjelaskan parasit ikan dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator lingkungan. Beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Rueckert et al. (2008) di Segara

Templat tugas akhir S1 - IPB Repository

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Templat tugas akhir S1 - IPB Repository

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perairan laut di Indonesia menjadi habitat bagi berbagai jenis ikan. Jumlah

jenis ikan yang ada di perairan laut dan payau Indonesia mencapai 3.720 spesies

(Rueckert et al. 2008). Sumberdaya ikan di Indonesia cukup melimpah, termasuk

di Perairan Banten. Perairan tersebut menjadi tempat kegiatan perikanan tangkap

dan memiliki beberapa tempat pendaratan ikan. Ikan tongkol menjadi salah satu

ikan target yang ditangkap di Selat Sunda, dan termasuk dalam 10 besar komoditi

unggulan yang ditangkap di Teluk Banten (Ernaningsih et al. 2012).

Ikan tongkol termasuk dalam keluarga Scombridae dengan ciri utama berupa

garis serong berwarna hitam pada bagian punggung dan bintik hitam di antara sirip

dada dan perut (Hidayat et al. 2018). Ikan ini menghabiskan sebagian besar

waktunya di perairan pesisir (Masuswo dan Widodo 2016) dan sering dimanfaatkan

sehari-hari sebagai ikan konsumsi. Pratama et al. (2011) menjelaskan bahwa ikan

tongkol mengandung nutrisi yang cukup baik, salah satunya asam lemak tak jenuh.

Hidayati et al. (2016) menjelaskan ikan tongkol adalah ikan pelagis dan merupakan

salah satu komoditi perikanan yang sering diekspor oleh Indonesia. Negara target

utama ekspor ikan tongkol dari Indonesia salah satunya adalah Jepang (Chodrijah

et al. 2013). Salah satu masalah yang dapat merugikan berbagai aspek dari

pengelolaan perikanan tongkol adalah adanya infeksi oleh parasit.

Parasit adalah organisme yang hidup di atas atau di dalam organisme lain

(inang), sebagian besar adalah cacing, dan telah beradaptasi untuk hidup sebagai

parasit (memiliki alat penghisap, kait, atau menghasilkan banyak telur). Parasit

mampu merubah sifat kimia dirinya agar sesuai dengan tubuh inangnya (Levine

1990). Biasanya dalam satu inang terdapat lebih dari satu parasit, dan hidup saling

mempengaruhi. Keanekaragaman jenis parasit ikan cukup tinggi di perairan laut

Indonesia.

Kelimpahan parasit dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik, dan sangat

bergantung pada ikan yang menjadi inangnya (Rueckert et al. 2008). Ekologi,

migrasi, rekrutmen, dan kondisi lingkungan dari inang berkaitan dengan

keberadaan parasit. Parasit yang ada di perairan menginfeksi ikan di berbagai

tingkatan trofik. Rohde (2005) menjelaskan suhu dan kesuburan perairan adalah

dua parameter lingkungan penting yang dapat mempengaruhi keberadaan cacing

parasitik.

Infeksi cacing parasitik pada ikan tongkol memiliki dampak terhadap aspek

ekologis, ekonomis, maupun biologis. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan

bahwa terdapat infeksi cacing seperti Didymozoon diverticulatum di Teluk

Benggala (Madhavi dan Sai Ram 2000), Anisakis spp. di daerah Pekalongan

(Linayati dan Madusari 2019), dan Anisakis simplex di daerah Aceh Besar (Hidayati

et al. 2016). Beberapa jenis parasit pada penelitian yang sudah dilakukan tergolong

dalam parasit zoonotik.

Meski parasit lebih dikenal memberikan dampak negatif, beberapa penelitian

menunjukkan bahwa parasit memiliki dampak positif. Kleinertz et al. (2012)

menjelaskan parasit ikan dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator lingkungan.

Beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Rueckert et al. (2008) di Segara

Page 2: Templat tugas akhir S1 - IPB Repository

2

Anakan (Cilacap), menunjukkan parasit dapat digunakan dalam memantau biomasa

bakteri, logam berat, atau tekanan lingkungan lain. Parasit juga memiliki potensi

sebagai penanda suatu populasi ikan, seperti dalam penelitian Mattiucci et al.

(2014) yang membandingkan populasi ikan setuhuk di Laut Mediterania dan

Atlantik.

Jenis parasit yang sangat beranekaragam di perairan menjadi menarik untuk

diteliti, terutama di Perairan Banten. Informasi dari penelitian ini dapat dijadikan

salah satu acuan dalam pengelolaan perairan, dengan mengendalikan kemungkinan

ikan sebagai vektor penyakit baik bagi ekosistem maupun manusia yang

memanfaatkan sumber daya tersebut.

Rumusan Masalah

Parasit pada ikan laut tropis memiliki keragaman dan kelimpahan yang tinggi.

Jenis parasit dalam bidang pengelolaan sumber daya perairan masih belum banyak

diketahui. Parasit yang menginfeksi ikan di alam dapat menjadikan ikan tersebut

sebagai vektor penyakit bagi berbagai biota lain melalui interaksi ekologis yang

kompleks. Beberapa jenis cacing parasitik bersifat zoonotik, yang dapat berdampak

besar terhadap kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan.

Keberadaan parasit dapat digambarkan dengan berbagai parameter.

Parameter parasitologi yang meliputi prevalensi, intensitas, intensitas rataan, dan

kelimpahan rataan dapat digunakan untuk menggambarkan keberadaan parasit. Hal

tersebut disertai faktor kondisi ikan sebagai inang dari parasit, serta parameter

lingkungan yang meliputi suhu permukaan laut dan kesuburan.

Parameter parasitologi memberikan informasi terkait dampak yang dimiliki

oleh parasit yang ditemukan baik terhadap inang maupun lingkungannya. Faktor

kondisi dapat menjadi acuan dalam menilai kesehatan ikan sebagai inang. Suhu

permukaan laut dan kesuburan memberikan informasi tekait makrohabitat parasit.

Penelitian ini cukup penting untuk dilakukan agar diketahui keterkaitan antara

cacing parasitik dengan lingkungan dan inangnya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisis keragaman jenis cacing parasitik pada

ikan tongkol (Euthynnus affinis) dari Perairan Banten serta menduga korelasi

jumlah cacing parasitik terhadap kondisi biologis ikan sebagai inang dan

lingkungannya.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai cacing

parasitik yang menginfeksi ikan tongkol di Perairan Banten serta sebagai informasi

dalam melakukan pemantauan sebaran penyakit dan kondisi ekosistem perairan

tersebut.

Page 3: Templat tugas akhir S1 - IPB Repository

3

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Maret hingga Oktober 2020. Pengambilan

sampel ikan tongkol dari Teluk Banten dilakukan di Pelabuhan Perikanan

Nusantara (PPN) Karangantu pada bulan Maret 2020 dan dari Selat Sunda di

Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Muara Angke pada bulan Juli 2020. Identifikasi,

pengukuran morfometrik, pembedahan ikan tongkol, dan identifikasi cacing

parasitik dilakukan di Laboratorium Helmintologi, Divisi Parasitologi dan

Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Prosedur Pengambilan Data

Pengambilan sampel ikan

Sampel ikan tongkol (Gambar 1) diambil secara acak dengan ukuran relatif

seragam untuk dianalisis parasitnya. Pengambilan sampel ikan tongkol segar

dilakukan dengan membeli dari nelayan atau pedagang lokal yang ada di PPN

Karangantu sebanyak 30 ekor dan PPI Muara Angke sebanyak 15 ekor. Ikan yang

telah didapatkan kemudian didinginkan dalam cool box dan dibawa ke laboratorium.

Ikan disimpan dalam keadaan beku hingga pengamatan dilakukan.

Gambar 1 Ikan tongkol (Euthynnus affinis Cantor, 1849).

Pengamatan cacing parasitik

Pengamatan cacing parasitik mengacu pada Kleinertz et al. (2012). Panjang

total ikan tongkol diukur menggunakan mistar dengan ketelitian 0,05 cm dan bobot

total ikan tongkol diukur menggunakan neraca digital dengan ketelitian 0,01 gram.

Kulit, sirip, mata, nostril, rongga mulut, insang, dan operkulum diperiksa untuk

menemukan ektoparasit, sedangkan organ dalam diperiksa untuk menemukan

endoparasit. Ikan tongkol diletakkan pada alas berwarna hitam dan dibedah dengan

menggunting bagian bawah perut dari anus. Rongga tubuh diperiksa untuk

memastikan keberadaan cacing.

Usus dan lambung ikan tongkol masing-masing dibuka menggunakan

gunting bedah dan diletakkan di dalam botol bening terpisah. Larutan fisiologis

dituangkan ke dalam botol, dan botol ditutup. Botol dikocok hingga isi lambung

Page 4: Templat tugas akhir S1 - IPB Repository

4

dan usus keluar dari organ. Botol didiamkan hingga isi lambung dan usus

mengendap. Air dalam botol dibuang sedikit demi sedikit hingga tersisa sedikit air

dan endapan. Endapan dan air tersebut dituang ke dalam cawan Petri dan diamati

menggunakan mikroskop stereo.

Gonad, hati, dan empedu diletakkan pada cawan petri yang terpisah dan diberi

sedikit larutan fisiologis agar tidak kering. Organ tersebut kemudian ditekan

menggunakan cawan Petri lain hingga hancur dan diamati keberadaan cacingnya.

Organ insang digunting dan dipisahkan tiap lembarnya, kemudian diletakkan di

cawan Petri berisi larutan fisiologis dan diamati dengan mikroskop stereo.

Pengamatan organ menggunakan mikroskop dibantu dengan jarum bedah untuk

menggerakkan organ dalam cawan.

Proses pengawetan dan pewarnaan diacu dari Indaryanto et al. (2014). Cacing

yang didapatkan kemudian diambil menggunakan pipet tetes atau jarum bedah dan

diletakkan dalam cawan berisi larutan fisiologis sebelum diawetkan dengan etanol

70%. Pembuatan preparat dengan metode pewarnaan perlu dilakukan sebelum

proses identifikasi. KOH 10% dan minyak cengkeh digunakan sebagai pewarna

cacing Nematoda dan Acanthocephala. Spesimen yang didapatkan direndam dalam

KOH 10% selama 1–3 menit, kemudian dimasukkan ke cawan berisi minyak

cengkeh selama 1–3 menit. Kemudian direndam dalam beberapa cawan berisi

etanol bertingkat (70%, 85%, 90%, dan absolut) masing-masing 5 menit. Spesimen

yang sudah selesai direndam kemudian difiksasi dengan entellan.

Semichon’s acetocarmin digunakan sebagai pewarna cacing Trematoda dan

Cestoda. Cacing yang ditemukan direndam dalam pewarna selama 15–20 menit,

kemudian dibilas dengan asam alkohol selama 5–7 menit. Spesimen kemudian

direndam dalam etanol bertingkat masing-masing 5 menit. Spesimen kemudian

direndam dalam xylol sampai spesimen terlihat transparan. Spesimen yang sudah

selesai direndam xylol kemudian difiksasi. Identifikasi cacing parasitik yang

didapatkan mengacu pada Hendrix (1994), Rohde (1978), Arai dan Smith (2016),

Liang-Sheng (1960), Gibson, (1996), Amin (1987), serta Amin dan Nahhas (1994).

Pengambilan data sekunder

Data sekunder yang digunakan berupa suhu permukaan laut dan klorofil-a.

Data parameter di kedua lokasi diambil dari situs oceancolor.gsfc.nasa.gov sesuai

dengan waktu pengambilan ikan tongkol di PPN Karangantu dan PPI Muara Angke.

Data dalam format SMI diunduh dan diolah menggunakan aplikasi SeaDAS,

kemudian diolah dengan aplikasi Microsoft Excel.

Analisis Data

Faktor kondisi

Faktor kondisi menggambarkan kondisi tubuh ikan melalui hubungan

panjang-bobot. Hal tersebut berkaitan dengan kegemukan dan kesehatan (Mulfizar

et al. 2014). Rumus yang digunakan untuk menghitung faktor kondisi ikan adalah

berikut.

K = W

L3 ×100

Page 5: Templat tugas akhir S1 - IPB Repository

5

Keterangan:

K : faktor kondisi

W : bobot total individu ikan (gram)

L : panjang total ikan (cm)

Prevalensi (P)

Prevalensi adalah jumlah individu inang yang terinfeksi parasit dibagi jumlah

individu inang yang diamati. Hasil prevalensi dinyatakan dalam %. Nilai prevalensi

mendeskripsikan keberadaan parasit pada inang, tanpa memperhatikan proses

infeksi pada inang terjadi. Rumus prevalensi menurut Bush et al. (1997) dapat

dinyatakan sebagai berikut.

Prevalensi (%) = n

N × 100

Keterangan:

n : jumlah ikan yang terinfeksi parasit jenis tertentu

N : jumlah ikan yang diamati

Kategori prevalensi menurut Williams dan Williams (1996) sebagai berikut:

Selalu : 100–99%

Hampir selalu : 98–90%

Biasa : 89–70%

Sering kali : 69–50%

Umum : 49–30%

Sering : 29–10%

Terkadang : 9–1%

Jarang : <1–0,1%

Sangat jarang : <0,1–0,01%

Hampir tidak pernah : <0,01%

Intensitas (I)

Bush et al. (1997) menjelaskan bahwa intensitas merupakan parameter yang

menggambarkan jumlah individu suatu spesies parasit pada satu individu inang.

Kleinertz et al. (2012) menjelaskan bahwa intensitas dituliskan dalam bentuk

rentang.

Kategori intensitas menurut Williams dan Williams (1996) sebagai berikut:

Sangat ringan : <1

Ringan : 1–5

Sedang : 6–50

Berat : 51–100

Sangat berat : 100+

Superinfeksi : 1.000+

Intensitas rataan (mI)

Intensitas rataan menurut Bush et al. (1997) merupakan jumlah parasit jenis

tertentu yang ditemukan pada keseluruhan individu inang yang terinfeksi jenis

parasit tersebut. Intensitas rataan adalah bentuk lain dari densitas yang dihitung

dengan satuan individu inang.

Page 6: Templat tugas akhir S1 - IPB Repository

6

Intensitas rataan (Ind/inang) = p

n

Keterangan:

p : jumlah parasit jenis tertentu

n : jumlah ikan yang terinfeksi parasit jenis tertentu

Kelimpahan rataan (mA)

Bush et al. (1997) menjelaskan kelimpahan rataan sebagai suatu bentuk

densitas, di mana kelimpahan suatu jenis parasit dihitung dalam keseluruhan

populasi ikan yang diamati. Berbeda dengan intensitas, kelimpahan dapat bernilai

0 sebab ikan yang tidak memiliki parasit pun masuk dalam perhitungan, sedangkan

intensitas hanya memperhitungkan ikan yang terinfeksi atau terinfestasi.

Kelimpahan rataan = p

N

Keterangan:

p : jumlah parasit jenis tertentu

N : jumlah ikan yang diamati

Korelasi peringkat spearman (rs)

Koefisien korelasi peringkat menurut Walpole (2015) merupakan salah satu

ukuran nonparametrik untuk mengetahui korelasi antar peubah menggunakan

peringkat. Koefisien tersebut didapatkan menggunakan rumus berikut.

rs = 6 ∑ di

2

n(n2-1)

Keterangan:

di : selisih antara peringkat bagi xi dan yi

n : jumlah pasangan data

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Deskripsi cacing parasitik

Cacing parasitik dari kelas Monogenea, Digenea, Acanthocephala, dan

Nematoda didapatkan menginfeksi ikan tongkol pada penelitian ini. Ikan tongkol

dari Teluk Banten diinfeksi oleh Monogenea dan Nematoda, sedangkan ikan

tongkol dari Selat Sunda diinfeksi oleh Digenea, Acanthocephala, dan Nematoda.

Cacing Hexostoma euthynni (Gambar 2) merupakan ektoparasit dan termasuk

dalam kelas Monogenea, dicirikan dengan adanya sebuah organ penghisap di

bagian posterior, bertubuh pipih, dan bersifat hermafrodit (Hendrix 1994). H.

euthynni termasuk ordo Polyopisthocotylida yang memiliki beberapa pasang alat

penghisap kompleks pada opisthaptornya, serta berkembang biak dengan cara

bertelur. Cacing ini termasuk dalam famili Hexostomatidae yang memiliki 8 alat

hisap berjajar secara paralel yang ukurannya tidak seragam.

Page 7: Templat tugas akhir S1 - IPB Repository

7

Gambar 2 Hexostoma euthynni dengan tubuh bagian posterior (a), anterior (b), dan

batil hisap (c).

Alat hisap cacing ini memiliki rangka yang disebut sclerite. Sclerite

berbentuk X pada bagian tengah dan dua sclerite berbentuk B di bagian kanan dan

kiri terdapat pada setiap alat hisap (Lampiran 1). Rohde (1978) menjelaskan hal ini

sebagai ciri utama yang membedakan H. euthynni dari spesies lainnya. Panjang

tubuh cacing yang ditemukan pada penelitian ini adalah 4,388–5,720 mm, dengan

lebar tubuh 1,374–1,478 mm. Hal ini sesuai dengan Millemann (1956) yang

mendeskripsikan cacing ini memiliki rentang panjang tubuh 3,57–5,85 mm dan

lebar tubuh 0,74–0,95 mm.

Ascaridoidea (Gambar 3) merupakan superfamili endoparasit yang tergolong

dalam kelas Nematoda, dicirikan dengan tubuh silindris tanpa ruas, simetri bilateral,

dan dilapisi oleh kutikula (Arai dan Smith 2016). Superfamili Ascaridoidea

memiliki bagian anterior yang terbagi menjadi 3 bagian bibir. Bentuk esofagusnya

silindris, sederhana, dan tanpa katup. Panjang tubuh larva cacing yang ditemukan

pada penelitian ini adalah 6,597–16,904 mm (Teluk Banten) dan 11,776–17,363

mm (Selat Sunda).

Sebagian parasit yang menginfeksi ikan tongkol dari Selat Sunda tergolong

dalam famili Anisakidae, genus Anisakis (Gambar 4). Spesimen yang ditemukan

memiliki larva tooth (Lampiran 2) pada bagian anterior dan mucron (Lampiran 3)

pada bagian posterior. Panjang tubuh larva Anisakis sp. yang ditemukan adalah

15,663–17,080 mm dengan lebar tubuh 0,523–0,757 mm. Hal ini sesuai dengan

deskripsi oleh Abdelsalam et al. (2020), yang menjelaskan cacing ini memiliki

panjang tubuh 16,4–23,6 mm dengan lebar tubuh 0,54–0,8 mm.

Page 8: Templat tugas akhir S1 - IPB Repository

8

Gambar 3 Ascaridoidea dengan tubuh bagian anterior (a) dan posterior (b).

Gambar 4 Anisakis sp. dengan tubuh bagian anterior (a) dan posterior (b).

Jenis cacing Nematoda lain yang ditemukan adalah Camallanus sp. dari

perairan Teluk Banten. Camallanus sp. (Gambar 5) merupakan jenis endoparasit

yang biasa ditemui pada saluran pencernaan ikan. Cacing ini termasuk dalam filum

Nemathelminthes. Camallanus sp. termasuk dalam kelas Chromadorea dan ordo

Rhabditida. Famili Camallanidae dicirikan dengan rongga mulut mengeras dan

tidak ditemukannya bibir. Cacing ini digolongkan dalam Camallanus sebab

memiliki bukaan mulut yang seperti celah dan katup mulut yang menyambung.

Liang-Sheng (1960) menjelaskan cacing Camallanus sp. dapat dikenali

dengan bentuk mulut melingkar atau memanjang. Ukuran panjang tubuh dari cacing

Camallanus sp. pada penelitian ini adalah 4,78 mm dan lebar 0,201 mm. Cacing ini

mampu melubangi dinding usus dan mengambil makanannya. Tubuh cacing ini

dilapisi oleh kutikula yang kuat untuk mencegah tubuhnya hancur di dalam tubuh

inangnya.

Page 9: Templat tugas akhir S1 - IPB Repository

9

Gambar 5 Camallanus sp. (A) Tubuh cacing yang terdiri dari bagian anterior (a)

dan posterior (b). (B) Bagian anterior cacing dengan mulut yang

mengeras (c).

Lecithocladium sp. (Gambar 6) merupakan cacing Digenea yang memiliki

dua alat hisap. Alat hisap oral berfungsi untuk memindahkan makanan ke dalam

sistem pencernaan dan alat hisap ventral berfungsi untuk menempelkan tubuh pada

organ inangnya (Rohde 2005). Menurut Gibson (1996), cacing ini bersifat

hermafrodit, tubuhnya memiliki ecsoma yang terkadang tereduksi. Spesimen yang

ditemukan pada penelitian ini memiliki panjang total tubuh dan ecsoma 10,040–

11,594 mm dengan lebar 0,351–0,438 mm dan panjang ecsoma 5,82–7,325 mm.

Ukuran alat hisap oral lebih besar dibandingkan alat hisap ventral.

Gambar 6 Lecithocladium sp. dengan bagian tubuh anterior (a) posterior (b), oral

sucker (c), dan ventral sucker (d).

Endoparasit lain yang ditemukan pada penelitian ini adalah Rhadinorhynchus

sp. (Gambar 7) dan Neorhadinorhynchus sp. (Gambar 8) yang tergolong dalam

filum Acanthocephala. Jenis ini dicirikan dengan adanya probosis yang dilapisi oleh

sejumlah duri. Neorhadinorhynchus sp. memiliki beberapa ciri pembeda dari jenis

lainnya, antara lain kelenjar semen berjumlah 4 dengan bentuk tubular (Lampiran

4), tubuh tidak berduri, serta terdapat 25 buah dalam 1 baris duri pada probosis

(Amin dan Nahhas 1994). Ukuran tubuh Neorhadinorhynchus sp. pada penelitian

ini antara 5,142–8,072 mm dengan probosis 0,773–0,944 mm.

Page 10: Templat tugas akhir S1 - IPB Repository

10

Gambar 7 Rhadinorhynchus sp. dengan bagian anterior (a) dan posterior (b).

Gambar 8 Neorhadinorhynchus sp. dengan probosis pada bagian anterior (a), ujung

posterior (b), leminsci (c), testes (d), dan kelenjar semen (e).

Rhadinorhynchus sp. dicirikan dengan probosis dan tubuhnya yang relatif

panjang, serta permukaan tubuh dilengkapi duri (Lampiran 5). Panjang tubuh

Rhadinorhynchus sp. pada penelitian ini sebesar 8,006–11,368 mm dengan probosis

1,039–1,291 mm. Perhitungan parameter parasitologi dilakukan untuk tiap jenis

parasit yang ditemukan. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 1 untuk ikan

tongkol dari Teluk Banten dan Tabel 2 untuk ikan tongkol dari Selat Sunda. Data

morfometrik ikan tongkol dan keberadaan parasit pada tiap ikan tercantum pada

Lampiran 6 dan Lampiran 7.

Tabel 1 Prevalensi (P), intensitas (I), intensitas rataan (mI), dan kelimpahan

rataan (mA) dari ikan tongkol Teluk Banten Jenis/taksa Mikrohabitat P (%) I (ind) mI mA

Monogenea

Hexostoma euthynni Insang 16,67 1–2 1,60 0,27

Nematoda

Ascaridoidea Usus dan rongga

tubuh 16,67 1–2 1,20 0,20

Camallanus sp. Usus 3,33 1 1 0,03

Parasit ikan tongkol dari Teluk Banten dengan nilai prevalensi tertinggi ialah

H. euthynni dan Ascaridoidea yaitu 16,67%, sedangkan nilai prevalensi terendah

ada pada jenis Camallanus sp. sebesar 3,33%. Cacing H. euthynni dan Ascaridoidea

yang menginfeksi ikan tongkol memiliki intensitas 1–2 individu pada satu ekor ikan,

Page 11: Templat tugas akhir S1 - IPB Repository

11

sedangkan cacing Camallanus sp. memiliki intensitas hanya 1 individu pada satu

ekor ikan. Nilai mI dan mA tertinggi terdapat pada cacing H. euthynni sebesar 1,60

dan 0,27, sedangkan cacing Camallanus sp. memiliki nilai yang terendah sebesar 1

dan 0,03.

Tabel 2 Prevalensi (P), intensitas (I), intensitas rataan (mI), dan kelimpahan

rataan (mA) dari ikan tongkol Selat Sunda Jenis/taksa Mikrohabitat P (%) I (ind) mI mA

Digenea

Lecithocladium sp. Lambung 13,33 2–18 10 1,33

Acanthocephala

Neorhadinorhynchus sp. Usus dan pilorus 53,33 1–154 40,13 21,40

Rhadinorhynchus sp. Usus dan lambung 13,33 1 1 0,13

Nematoda

Ascaridoidea Gonad, usus, dan

lambung 46,67 1–5 2,14 1

Anisakis sp. Hati 46,67 2–17 8,14 5,18

Jenis parasit yang menginfeksi ikan tongkol dari Selat Sunda dengan nilai

prevalensi tertinggi adalah Neorhadinorhynchus sp. sebesar 53,33% dengan

intensitas 1–154 individu pada satu ekor ikan. Parasit dengan nilai prevalensi

terendah adalah Rhadinorhynchus sp. sebesar 13,33% dengan intensitas 1 individu

dalam satu ekor ikan. Jenis Neorhadinorhynchus sp. juga memiliki nilai mI dan mA

tertinggi dibanding jenis lain yang ditemukan.

Faktor kondisi ikan tongkol

Panjang total dan bobot total yang telah diukur kemudian digunakan untuk

menghitung faktor kondisi. Nilai rataan faktor kondisi ikan tongkol dari Teluk

Banten dan Selat Sunda berbeda. Hasil perhitungan faktor kondisi dapat dilihat

pada Tabel 3.

Tabel 3 Nilai faktor kondisi ikan tongkol di kedua lokasi

Parameter Nilai Rataan

Teluk Banten Selat Sunda

Faktor Kondisi 1,4433 ± 0,091 1,5504 ± 0,286

Hasil perhitungan faktor kondisi ikan tongkol dari Teluk Banten

menunjukkan nilai rataan 1,4433, dengan nilai tertinggi sebesar 1,6231 dan nilai

terendah sebesar 1,2544. Berbeda dengan hasil dari ikan tongkol dari Selat Sunda

yang memiliki nilai rataan 1,5504, dengan nilai tertinggi sebesar 1,8514 dan nilai

terendah 1,0120.

Suhu permukaan laut dan kesuburan

Suhu dan eutrofikasi menjadi dua faktor lingkungan yang berpengaruh

terhadap keberadaan parasit (Rohde 2005). Klorofil-a digunakan untuk menentukan

tingkat kesuburan perairan. Rentang dan rataan suhu permukaan laut serta klorofil-

a telah tercantum dalam Tabel 4.

Page 12: Templat tugas akhir S1 - IPB Repository

12

Tabel 4 Nilai suhu dan klorofil-a di kedua lokasi

Parameter Perairan Nilai Rataan

Teluk Banten Selat Sunda

Suhu (oC) 29,9–32,6 (30,2 ± 0,213) 29,8–30,8 (29,9 ± 0,102)

Klorofil-a (mg m-3) 0,60–2,96 (1,31 ± 0,799) 0,48–4,70 (1,06 ± 0,763)

Rata-rata suhu permukaan laut di Teluk Banten sebesar 30,2oC, sedangkan di

Selat Sunda sebesar 29,9 oC. Nilai tersebut jika dibandingkan dengan baku mutu

yang mengacu pada KepMen LH No. 51 tahun 2004 sudah sesuai untuk kehidupan

biota laut. Nilai klorofil-a pada Teluk Banten sebesar 0,60–2,96 mg m-3 dengan

rata-rata 1,31 mg m-3, sedangkan pada Selat Sunda sebesar 0,48–4,70 mg m-3

dengan rata-rata 1,06 mg m-3. Nilai klorofil-a dapat menentukan tingkat kesuburan

perairan tersebut. Irawati (2014) menjelaskan perairan dengan kadar klorofil-a <1

mg m-3 tergolong oligotrofik, ≥1–3 mg m-3 tergolong mesotrofik, ≥3–5 mg m-3

tergolong eutrofik, dan >5 mg m-3 tergolong hipereutrofik. Perairan Teluk Banten

dan Selat Sunda berdasarkan kategori tersebut tergolong dalam perairan mesotrofik.

Pembahasan

Cacing parasitik yang menginfeksi ikan tongkol dapat memberikan beragam

dampak. Beberapa penelitian yang telah dilakukan mencatat H. euthynni ditemukan

menginfeksi ikan dari genus Euthynnus, seperti pada Euthynnus alletteratus dari

pesisir Rio de Janeiro, Brazil (Justo dan Kohn 2015), Euthynnus lineatus dari

perairan Baja California (Millemann 1956), dan Euthynnus alletteratus affinis di

Kepulauan Heron, Australia (Rohde 1978). Catatan H. euthynni pada ikan tongkol

di Teluk Banten belum ditemukan selain dari penelitian ini.

Nilai prevalensi yang didapatkan pada penelitian ini sebesar 16,67% yang

artinya cacing ini sering menginfeksi ikan tongkol. Hasil tersebut tidak berbeda

jauh dari hasil penelitian Justo & Kohn (2015) dengan ikan satu genus sebesar

16,1%. Dampak yang diberikan oleh H. euthynni pada ikan tongkol adalah

terganggunya proses pertukaran gas pada insang. Suwignyo et al. (2005)

menjelaskan bahwa parasit dari kelompok Monogenea memakan lendir dan sel

pada permukaan tubuh ikan, sehingga kemampuan insang dalam proses respirasi

menurun.

Prevalensi Camallanus sp. pada penelitian ini adalah 3,33% yang artinya

cacing ini terkadang menginfeksi ikan tongkol dari Teluk Banten. Hidayati et al.

(2016) menjelaskan Camallanus sp. memang menjadi salah satu jenis parasit yang

umum ditemukan pada ikan tongkol yang hidup di perairan bebas, namun belum

ditemukan catatan Camallanus sp. menginfeksi ikan tongkol dari Teluk Banten

selain di penelitian ini. Jenis Camallanus sp. dapat mengganggu pertumbuhan ikan

tongkol sebab nutrisi yang didapat dari makanan diambil oleh cacing ini. Hakim et

al. (2019) juga menjelaskan bahwa cacing ini dapat menyebabkan kerusakan pada

saluran pencernaan ikan.

Superfamili Ascaridoidea yang didapatkan pada penelitian ini juga ditemukan

pada ikan tongkol dari TPI Lhoknga Aceh Besar Hidayati et al. (2016) dan TPI

Pekalongan (Linayati dan Madusari 2019). Nilai prevalensi Ascaridoidea dalam

penelitian ini sebesar 16,67% (Teluk Banten) dan 46,67% (Selat Sunda) yang

Page 13: Templat tugas akhir S1 - IPB Repository

13

artinya cacing ini sering menginfeksi ikan tongkol dari Teluk Banten dan umum di

Selat Sunda. Jenis Anisakis sp. dari Selat Sunda memiliki nilai prevalensi sebesar

46,67%. Nilai yang didapatkan berbeda dengan ikan tongkol dari TPI Lhoknga

Aceh Besar yang mencapai 86,66% dan TPI Pekalongan yang mencapai 85%.

Siklus hidup cacing Ascaridoidea terdiri atas empat tahap (Klimpel dan Palm

2011). Sebagai parasit heteroksenosa, cacing Ascaridoidea dan Nematoda lainnya

harus hidup dalam lingkungan yang dapat mendukung kehidupan seluruh inangnya

(perantara dan definitif). Ketika cacing Ascaridoidea sudah menemukan inangnya,

mereka akan menginfeksi saluran pencernaan, di mana mereka memiliki

kemampuan untuk merusak dinding usus untuk mengambil makanan. Tubuhnya

dilapisi oleh lapisan kutikula yang tebal dan fleksibel, sehingga mampu bertahan

dalam tubuh inangnya (Suwignyo et al. 2005).

Selain dampak terhadap inangnya, beberapa jenis Ascaridoidea juga dapat

memberi dampak terhadap manusia sebab sifatnya yang zoonotik. Linayati dan

Madusari (2019) menjelaskan salah satu spesies dari superfamili ini yaitu Anisakis

simplex dapat menyebabkan penyakit anisakiasis bagi manusia jika terkonsumsi,

dengan gejala di antaranya diare, muntah, dan reaksi alergik lainnya. Metode

preventif yang dapat dilakukan adalah dengan proses pendinginan daging ikan pada

suhu -20oC selama satu hingga beberapa hari, atau pemanasan pada suhu >60oC

selama 10 menit (Rohde 2005).

Neorhadinorhynchus sp. adalah cacing yang paling banyak ditemukan pada

penelitian ini, dengan prevalensi 53,33% yang mengartikan cacing ini sering kali

menginfeksi ikan tongkol dari Selat Sunda. Prevalensi Rhadinorhynchus sp. lebih

rendah yaitu 6,67% yang mengartikan cacing ini terkadang menginfeksi ikan

tongkol dari Selat Sunda. Dampak Acanthocephala yang menempel pada organ

menurut Rohde (2005) dapat merusak jaringan organ dalam, hal ini bergantung dari

ukuran Acanthocephala yang menginfeksi. Jenis dengan ukuran lebih besar seperti

Rhadinorhynchus sp. dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih parah

dibanding Neorhadinorhynchus sp..

Secara keseluruhan, prevalensi dan intensitas lebih tinggi pada ikan tongkol

dari Selat Sunda. Faktor inang dapat mempengaruhi hal tersebut, seperti variasi

makanan, masa hidup yang panjang, luas daerah migrasi, kebiasaan bergerombol,

dan ukuran tubuh (Rohde 1984). Kondisi lingkungan menurut Rueckert et al.

(2008) juga berpengaruh terhadap jumlah jenis parasit yang menginfeksi suatu ikan

Jumlah cacing parasitik ikan tongkol tidak berkorelasi dengan faktor kondisi

rataan, baik di Selat sunda (rs = 0,0143) maupun Teluk Banten (rs = 0,1000). Hal ini

dapat dijelaskan oleh nilai prevalensi tiap jenis parasit yang di bawah 90%. Tingkat

infeksi yang ditimbulkan parasit akan parah jika prevalensinya 90–100% (hampir

selalu dan selalu menginfeksi), sehingga dampak terhadap perubahan biologis

inangnya tidak signifikan jika prevalensinya rendah. Nilai faktor kondisi yang

didapatkan bernilai lebih dari 1, hal ini menunjukkan bahwa ikan tongkol dari Teluk

Banten dan Selat Sunda dalam kondisi yang gemuk (Arifah et al. 2015).

Ukuran ikan tongkol yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 20,6–25

cm dari Teluk Banten dan 36,1–38,7 cm dari Selat Sunda. Hasil penelitian ini

menunjukkan adanya peningkatan jumlah cacing parasitik pada ikan yang lebih

besar ukurannya. Hasil penelitian Madhavi dan Sai Ram (2000) mendapatkan

bahwa parasit yang menginfeksi ikan tongkol dalam kelompok ukuran <30 cm

memiliki nilai prevalensi dan intensitas rataan yang lebih rendah. Ikan dengan

Page 14: Templat tugas akhir S1 - IPB Repository

14

ukuran yang lebih besar memiliki kebiasaan makan yang lebih kompleks, sehingga

kemungkinan interaksi dengan parasit lebih tinggi (Rohde 1984). Ikan yang lebih

besar juga berumur lebih tua, sehingga dapat mengakumulasi lebih banyak parasit

selama hidupnya (Santos-Bustos et al. 2020).

Analisis menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu jumlah parasit yang

ditemukan tidak berkorelasi terhadap panjang total ikan tongkol dari Teluk Banten

(rs = -0,0958) dan Selat Sunda (rs = 0,0275), serta dengan bobot total ikan tongkol

dari Teluk Banten (rs = 0,1333) dan Selat Sunda (rs = -0,1220). Meskipun jumlah

parasit dan ukuran tubuh ikan lebih umum berbanding lurus (Rohde 1984), namun

tidak menutup kemungkinan hal sebaliknya terjadi. Dapat diduga ada faktor lain

yang mungkin lebih mempengaruhi.

Ikan tongkol merupakan ikan karnivora yang oportunistik, dengan makanan

berupa ikan kecil, udang, dan cephalopoda (Collette dan Nauen 1983). Hal ini

sesuai dengan jenis parasit yang ditemukan, di mana inang perantaranya merupakan

makanan bagi ikan tongkol. Ascaridoidea memiliki siklus hidup tak langsung

dengan inang perantara berupa copepoda, ikan kecil, ikan predator, dan

cephalopoda (Klimpel dan Palm 2011). Lecithocladium sp. membutuhkan moluska

sebagai inang perantara dan Acanthocephala membutuhkan avertebrata kecil

seperti krustasea (Rohde 1993).

Ikan tongkol biasa bermigrasi dan membentuk kelompok multispesies dengan

Scombridae lainnya, seperti ikan tuna sirip kuning. Satu kelompok ikan tongkol

dapat terdiri dari 100 hingga 5.000 ekor (Ardelia et al. 2017). Sifat berkelompok

dan bermigrasi ini dapat meningkatkan kemungkinan untuk terinfeksi parasit.

Ketika ikan tongkol bermigrasi, ada kemungkinan kelompok tersebut melewati

perairan yang dihidupi inang perantara atau larva parasit. Kepadatan populasi dapat

mempermudah perpindahan parasit dari satu inang ke inang lainnya (Rohde 1993).

Nematoda, Acanthocephala, dan Digenea memiliki siklus hidup yang

kompleks (Rohde 2005). H. euthynni meskipun juga memiliki fase hidup bebas di

perairan. Hal ini mengharuskan cacing-cacing ini untuk berada di perairan yang

mendukung siklus hidup beserta seluruh inangnya (Sures 2008). Sebagai contoh,

oncomiracidium dari H.euthynni dan Monogenea lainnya bergantung pada arus,

cahaya, dan kimia perairan untuk menemukan inangnya. Teluk Banten dengan luas

10x15 km dan kedalaman <20 m (Febrianessa et al. 2020), lebih mungkin untuk

memiliki pergerakkan air lemah. Namun adanya polutan yang terakumulasi di

perairan akibat kegiatan industri telah mencemari Teluk Banten (Wisha et al. 2015).

Cacing H. euthynni tetap dapat bertahan hidup dalam kondisi tersebut sebab

kemampuan adaptasi ektoparasit yang lebih tinggi terhadap tekanan lingkungan

(Sures 2008).

Suhu permukaan laut dan klorofil-a tidak berkorelasi terhadap jumlah parasit

yang menginfeksi ikan tongkol di Teluk Banten dan Selat Sunda (rs = 0,5033). Hal

ini diduga perbedaan suhu permukaan laut dan klorofil-a di kedua lokasi tidak jauh

berbeda, sehingga terdapat kemungkinan adanya pengaruh dari parameter kualitas

air lain yang tidak diamati pada penelitian ini. Hasil ini juga sesuai dengan

Indaryanto et al. (2014) yang menjelaskan kondisi perairan di Indonesia cenderung

stabil sebab berada di iklim tropis.

Peningkatan suhu perairan dapat meningkatkan keberadaan cacing Nematoda

dan Digenea (Rohde 2005), serta Acanthocephala (Hassanine 2006). Hal ini

dijelaskan oleh Macnab dan Barber (2011), yaitu peningkatan suhu dapat membuat

Page 15: Templat tugas akhir S1 - IPB Repository

15

pertumbuhan dan perkembangan cacing lebih cepat. Cacing parasitik yang lebih

cepat bertumbuh dan berkembang tentu dapat lebih cepat pula dalam bereproduksi.

Peningkatan suhu dapat pula mempengaruhi imunitas ikan dalam mengendalikan

keberadaan cacing parasitik pada tubuhnya.

Eutrofikasi dapat meningkatkan keberadaan sebagian besar jenis cacing

parasitik (Rohde 2005). Eutrofikasi dapat meningkatkan kelimpahan Nematoda,

Trematoda, dan Acanthocephala. Budria (2017) menjelaskan bahwa eutrofikasi

mempengaruhi keberadaan fitoplankton pada perairan, sehingga komposisi jaring

makanan yang ada di perairan dapat terpengaruhi. Kondisi tersebut dapat

meningkatkan kesempatan cacing untuk menemukan inang perantara dan

memenuhi siklus hidupnya.

Perairan dengan suhu yang lebih tinggi dan lebih subur dapat meningkatkan

keragaman cacing parasitik. Perbedaan jenis cacing yang ditemukan dapat

menandakan bahwa ikan tongkol yang digunakan dalam penelitian ini

kemungkinan berasal dari dua stok yang berbeda. Hal ini disebabkan ikan tongkol

dan cacing yang ditemukan memiliki area endemik yang sama. Ikan akan terinfeksi

jenis parasit tertentu jika keduanya berada dalam area endemik yang sama, di mana

area endemik adalah lingkungan dengan kualitas air dan keberadaan inang yang

mendukung siklus hidup parasit (Rohde 2005).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Jenis cacing parasitik yang ditemukan pada ikan tongkol dari Teluk Banten dan

Selat Sunda berbeda. Taksa yang ditemukan pada penelitian ini adalah Nematoda,

Monogenea, Acanthocephala, dan Digenea. Cacing parasitik dengan prevalensi,

intensitas, dan kelimpahan tertinggi adalah Hexostoma euthynni dari Teluk Banten,

dan Neorhadinorhynchus sp. dari Selat Sunda. Jumlah cacing parasitik di kedua

lokasi pada penelitian ini tidak berkorelasi terhadap faktor kondisi, panjang total,

dan bobot total ikan, maupun suhu permukaan laut dan klorofil-a.

Saran

Perlu dilakukan tindakan preventif terhadap aktivitas antropogenik yang

mungkin merubah kondisi alami perairan Teluk Banten dan Selat Sunda agar

keberadaan parasit tidak bertambah. Hal tersebut dapat dilakukan dengan studi

kolaborasi multidisiplin keilmuan. Selain itu, harus selalu ditingkatkan kesadaran

masyarakat akan pentingnya mengolah ikan dengan baik guna menghindari

zoonosis.

Page 16: Templat tugas akhir S1 - IPB Repository

16

DAFTAR PUSTAKA

Abdelsalam M, Attia MM, Mahmoud MA. 2020. Comparative morphomolecular

identification and pathological changes associated with Anisakis simplex larvae

(Nematoda: Anisakidae) infecting native and imported chub mackerel

(Scomber japonicus) in Egypt. Regional Studies in Marine Science. 39: 1–9.

Amin OM. 1987. Key to the families and subfamilies of Acanthocephala, with the

erection of a new class (Polyacanthocephala) and a new order

(Polyacanthorhynchida). The Journal of Parasitology. 73(6): 1216–1219.

Amin OM, Nahhas FM. 1994. Acanthocephala of marine fishes off Fiji Islands,

with the descriptions of Filisoma longcementglandatus n. sp.,

Neorhadinorhynchus macrospinosus n. sp. (Cavisomidae), and gravid females

of Rhadinorhynchus johnstoni (Rhadinorhynchidae); and keys to species of the

genera Filisoma and Neorhadinorhynchus. The Journal of Parasitology. 80(5)

768–774.

Arai HP, Smith JW. 2016. Guide to the Parasites of Fishes of Canada Part V:

Nematoda. Auckland (NZL): Magnolia Press.

Ardelia V, Vitner Y, Boer M. 2016. Biologi reproduksi ikan tongkol Euthynnus

affinis di Perairan Selat Sunda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis.

8(2): 689–700.

Arifah PN, Solichin A, Widyoroni N. 2015. Biologi ikan tongkol (Euthynnus

affinis) yang tertangkap payang di TPI Tawang, Kabupaten Kendal.

Diponegoro Journal of Maquares. 4(3): 58–64.

Budria AO, Lafferty KD. Lotz JM, Shostak AW. 1997. Parasitology meets ecology

on its own terms: Margolis et al. revisited. The Journal of Parasitology. 83(4):

575.

Bush AO, Lafferty KD, Lotz JM, Shostak AW. 1997. Parasitology meets ecology

on its own terms: Margolis et al. revisited. The Journal of Parasitology.

83(4):575–583.

Chodrijah U, Hidayat T, Noegroho T. 2013. Estimasi parameter populasi ikan

tongkol komo (Euthynnus affinis) di perairan Laut Jawa. BAWAL. 5(3): 167–

174.

Collette BB, Nauen CE. 1983. Scombrids of the world. An annotated and illustrated

catalogue of tunas, mackerels, bonitos, and related species known to date. FAO

Species Catalogue. 125(2): 32–34.

Ernaningsih D, Simbolon D, Wiyono ES, Purbayanto A. 2012. Komoditi unggulan

perikanan tangkap di Teluk Banten. Buletin PSP. 20(2): 181–192.

Febrianessa N, Sulistiono, Samosir AM, Yokota M. 2020. Heavy metal (Pb, Hg)

contained in blue swimming crab (Portunus pelagicus Linnaeus, 1758) in

Cengkok Coastal Waters, Banten Bay, Indonesia. Indonesian Journal of

Marine Sciences. 25(4):157–164.

Gibson DI. 1996. Guide to the Parasites of Fishes of Canada Part IV Trematoda.

Ottawa (CA): NRC Research Press.

Hakim LN, Irawan H, Wulandari R. 2019. Identifikasi intensitas dan prevalensi

endoparasit pada ikan bawal bintang Trachinotus blochii di budidaya Kota

Tanjungpinang. Intek Akuakultur. 3(1) 45-55.

Page 17: Templat tugas akhir S1 - IPB Repository

17

Hassanine RME. 2006. Acanthocephalans from Red Sea fishes. Family

Cavisomidae Meyer, 1932: the seasonal cycle of Diplosentis nudus (Harada,

1938) Pichelin et Cribb, 2001 in a definitive fish host, and a comment on

Scerocollum Schmidt et Paperna, 1978. Acta Parasitologica. 51 (2): 123–129.

Hendrix SS. 1994. Marine floral and fauna of the Eastern United States

Platyhelminthes: Monogenea. NOAA Technical Report NMFS 121.

Hidayat T, Noegroho T, Chodrijah U. 2018. Biologi ikan tongkol komo (Euthynnus

affinis) di Laut Jawa. Jurnal Pengelolaan Perikanan Tropis. 2(1): 30–36.

Hidayati N, Bakri M, Rusli, Fahrimal Y, Hambal M, Daud R. 2016. Identifikasi

parasit pada ikan tongkol (Euthynnus affinis) di Tempat Pelelangan Ikan

Lhoknga Aceh Besar. Jurnal Medika Veterinaria. 10(1): 5–8.

Indaryanto FR, Wardiatno Y, Tiuria R. 2014. Struktur komunitas cacing parasitik

pada ikan kembung (Rastrelliger spp.) di Perairan Teluk Banten dan Pelabuhan

Ratu. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 19(1): 1–8.

Justo MCN, Kohn A. 2015. Diversity of Monogenoidea parasitizing scombrid

fishes from Rio de Janeiro coast, Brazil. The Journal of Biodiversity Data.

11(3): 1–7.

Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan

Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta (ID):

Kementerian Lingkungan Hidup.

Kleinertz S, Damriyasa IM, Hagen W, Theisen S, Palm HW. 2012. An

environmental assessment of the parasite fauna of the reef-associated grouper

Epinephelus areolatus from Indonesian water. Journal of Helminthology.

88(2014): 50–63.

Klimpel S, Palm HW. 2011. Anisakid nematode (Ascaridoidea) life cylces and

distribution: increasing zoonotic potential in the time of climate change?.

Progress in Parasitology. 201–222. DOI: 10.1007/978-3-642-21396-0.

Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Yogyakarta (ID): Gadjah

Mada University Press.

Liang-Sheng Y. 1960. On a reconstruction of the genus Camallanus Railliet and

Henry, 1915. Journal of Helminthology. 34: 117–124.

Linayati L, Madusari BD. 2019. Prevalence and distribution of Anisakis sp worms

in internal organs of Tuna (Euthynnus affinis) at fish auction in Pekalongan

City. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science. 399: 1–6.

Macnab V, Barber I. 2011. Some (worms) like it hot: fish parasites grow faster in

warmer water, and alter host thermal preferences. Global Change Biology.

18(5): 1540–1548.

Madhavi R, Sai Ram BK. 2000. Community structure of helminth parasites of the

tuna, Euthynnus affinis, from the Visakhapatnam coast, Bay of Bengal. Journal

of Helminthology. 74: 337–342.

Masuswo R, Widodo AA. 2016. Karakteristik biologi ikan tongkol komo

(Euthynnus affinis) yang tertangkap jaring insang hanyut di Laut Jawa. BAWAL.

8(1): 57–63.

Mattiucci S, Garcia A, Cipriani P, Santos MN, Nascetti G, Cimmaruta R. 2014.

Metazoan parasite infection in the swordfish, Xiphias gladius, from the

Mediterranian Sea and comparison with Atlantic populations: implications for

its stock characterization. Parasite. 21(35): 1–12.

Page 18: Templat tugas akhir S1 - IPB Repository

18

Millemann RE. 1956. Notes on the genus Hexostoma (Monogenea:

Hexostomatidae) with a rediscription of H. euthynni Meserve, 1938. The

Journal of Parasitology. 42(3): 316–319.

Mulfizar, Muchlisin ZA, Dewiyanti I. 2012. Hubungan panjang berat dan faktor

kondisi tiga jenis ikan yang tertangkap di perairan Kuala Gigieng, Aceh Besar,

Provinsi Aceh. Depik. 1(1): 1–9.

Pratama RI, Awaluddin MY, Ishmayana S. 2011. Komposisi asam lemak ikan

tongkol, layur, dan tenggiri dari Pameungpeuk, Garut. Jurnal Akuatika. 2(2):

108–115.

Rohde K. 1978. Monogenea of Australian marine fishes. The genera Dionchus,

Sibtrema, and Hexostoma. Publications of the Seto Marine Biological

Laboratory. 24(4-6) 349–367.

Rohde K. 1984. Ecology of marine parasites. Helgoländer Meeresunters. 37: 5–33.

Rohde K. 1993. Ecology of Marine Parasites an Introduction to Marine

Parasitology. Wallingford (UK): CAB INTERNATIONAL.

Rohde K. 2005. Marine Parasitology. Collingwood (AU): CSIRO Publishing.

Rueckert S, Hagen W, Yuniar AT, Palm HW. 2008. Metazoan fish parasites of

Segara Anakan Lagoon, Indonesia, and their potential use as biological

indicators. Regional Environmental Change. DOI: 10.1007/s10113-008-0076-

2.

Santos-Bustos NG, Violante-González S, Monks S, Rojas-Herrera AA, Flores-

Rodríguez P, Rosas-Acevedo JL, Villalba-Vasquez PJ. 2020. Parasite

communities of striped bonito Sarda orientalis (Pisces: Scombridae) on the

Pacific Coast of Mexico. New Zealand Journal of Zoology. DOI:

10.1080/03014223.2020.1792515.

Sures B. 2008. Interactions between parasites and pollutants in the aquatic

environment. Environmental Parasitology. 15(3): 434–438.

Suwignyo S, Widigdo B, Wardiatno Y, Krisanti M. 2005. Avertebrata Air Jilid 1.

Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Walpole RE. 2015. Pengantar Statistika Edisi ke-3. Jakarta (ID): PT Gramedia

Pustaka Utama.

Williams EH, Williams LB. 1996. Parasites of Offshore Big Game Fishes of Puerto

Rico and the Western Atlantic. Puerto Rico (US): Department of Natural and

Environmental Resources.

Wisha UJ, Husrin S, Prihantono J. 2015. Hidrodinamika perairan Teluk Banten

pada musim peralihan (Agustus-September). Jurnal Ilmu Kelautan. 20(2)101–

112.

Page 19: Templat tugas akhir S1 - IPB Repository

24

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Agustus

1998 sebagai anak pertama dari pasangan bapak Eras Wahyu

Pambudi dan ibu Susilowati. Pendidikan sekolah menengah atas

(SMA) ditempuh di sekolah SMA Lazuardi Global Islamic

School, dan lulus pada tahun 2016. Pada tahun 2016, penulis

diterima sebagai mahasiswa program sarjana di Departemen

Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Talenta

Masuk IPB (UTMI). Selama mengikuti program sarjana, penulis

pernah menjadi panitia divisi medis pada Masa Pengenalan Kampus Mahasiswa

Baru angkatan 54 (2017), Panitia C-DAY (2018) serta Pekan Olahraga Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan (2018). Penulis juga aktif menjadi pengurus

Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumber Daya Perairan dalam divisi informasi

dan komunikasi (2017–2018 dan 2018–2019) Penulis juga pernah menjadi asisten

praktikum mata kuliah Avertebrata Air (2018), Ekologi Perairan (2018–2019),

Fisiologi Hewan Air (2019), Konservasi Sumber Daya Hayati Perairan (2020), serta

koordinator asisten praktikum Iktiologi Fungsional (2020). Penulis melakukan

penelitian berjudul “Keragaman Cacing Parasitik pada Ikan Tongkol (Euthynnus

affinis Cantor, 1849) dari Perairan Banten, Indonesia” untuk menyelesaikan studi

sarjana.