Upload
ngobao
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PRA-PERLAKUAN BAHAN DAN PENCERNAAN CAMPURAN (CO-
DIGESTION) JERAMI SORGUM-LUMPUR PADA PRODUKSI BIOGAS
AULIA ANGGRAINI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pra-perlakuan Bahan
dan Pencernaan Campuran (Co-digestion) Jerami Sorgum-Lumpur pada Produksi
Biogas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2013
Aulia Anggraini
NIM F34090040
ABSTRAK
AULIA ANGGRAINI. Pra-perlakuan Bahan dan Pencernaan Campuran (Co-
digestion) Jerami Sorgum-Lumpur pada Produksi Biogas. Dibimbing oleh
MUHAMMAD ROMLI dan SUPRIHATIN.
Jerami sorgum dan lumpur (sludge) merupakan biomassa pertanian yang
potensial untuk diolah menjadi biogas. Pra-perlakuan dan co-digestion digunakan
untuk mendukung peningkatan produksi biogas. Adapun tujuan dari penelitian ini
ialah untuk mengetahui pengaruh pra-perlakuan terhadap jerami sorgum, untuk
mengetahui pengaruh co-digestion jerami sorgum-lumpur pada produksi biogas,
serta untuk mendapatkan komposisi optimum dari proses co-digestion dilihat dari
total volume gas yang dihasilkan. Komposisi substrat berdasarkan presentase
perbandingan antara jerami sorgum dan lumpur, yaitu 100:0; 80:20; 60:40; dan
40:60 dengan 2 ulangan. Fermentasi dilakukan secara anaerob dan batch selama
102 hari dalam labu erlenmeyer 500 ml dan terendam dalam reaktor berisi air
bersuhu 36oC dengan TS substrat 12%. Analisis penelitian difokuskan pada
pengukuran biogas tiap komposisi substrat dan uji karakterisasi sampel komposisi
60:40 tiap 2 minggu. Hasil pengukuran total volume gas dalam L/kg TS biomassa
yaitu 66.9 komposisi 100:0; 122.3 komposisi 80:20; 115.4 komposisi 60:40; dan
13.4 komposisi 40:60. Berdasarkan hasil pengamatan maka komposisi optimum
pencampuran yaitu 80:20 yang memiliki total volume gas maksimum.
Kata kunci: produksi biogas, jerami sorgum, pra-perlakuan, lumpur, co-digestion
ABSTRACT
AULIA ANGGRAINI. Material Pretreatment and Co-digestion of Sorghum Stalk-
Sludge in Biogas Production. Supervised by MUHAMMAD ROMLI and
SUPRIHATIN
Sorghum stalk and sludge are potential agriculture biomass to be processed
into biogas. Pretreatment and co-digestion are used to support increased of gas
production. The aimed of this study are to determine effect of pretreatment of
sorghum stalk, to determine effect co-digestion of sorghum straw-sludge in biogas
production, and to get optimum composition look from volume total of gas
production. Substrates composition based on percentage comparison between
sorghum stalk and sludge, which is 100:0; 80:20; 60:40; and 40:60 with 2
repetition. Fermentation was conducted in anaerob and batches on 102 days
fermentation at Erlenmeyer flask of 500 ml and submerged in water-filled reactor
on temperature 36oC with initial TS of 12%. Analysis of research focused on
calculate of gas production from each substrate and characterisation sample
composition of 60:40 every 2 weeks. Volume totals of gas in L/kg TS biomass are
66.9 composition of 100:0; 122.3 composition of 80:20; 115.4 composition of
60:40; and 13.4 composition of 40:60. Based on result of observation that
optimum composition of mixing is 80:20 that have a maximum total gas volume.
Keywords : biogas production, sorghum stalk, pretreatment, sludge, co-digestion
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian
PRA-PERLAKUAN BAHAN DAN PENCERNAAN CAMPURAN (CO-
DIGESTION) JERAMI SORGUM-LUMPUR PADA PRODUKSI BIOGAS
AULIA ANGGRAINI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Pra-perlakuan Bahan dan Pencernaan Campuran (Co-digestion)
Jerami Sorgum-Lumpur pada Produksi Biogas
Nama : Aulia Anggraini
NIM : F34090040
Disetujui oleh
Prof. Dr. Ir. M. Romli, M.Sc.St
Pembimbing Akademik I
Prof. Dr.–Ing. Ir. Suprihatin
Pembimbing Akademik II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
Judul Skripsi : Pra-perlakuan Bahan dan Pencemaan Campuran (Co-digestion) J erami Sorgum-Lumpur pada Produksi Biogas
Nama Aulia Anggraini NIM : F34090040
Disetujui oleh
Prof. Dr. Ir. M. Romli, M.Sc.St Prof. Dr.-Ing. Ir. Suprihatin
Pembimbing Akademik I Pembimbing Akademik II
astiti Siswi Indrasti a Departemen
Tanggai Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT atas karuniaNya
sehingga penyusunan skripsi berjudul “Pra-perlakuan Bahan dan Pencernaan
Campuran (Co-digestion) Jerami Sorgum-Lumpur pada Produksi Biogas” berhasil
diselesaikan. Tema yang diangkat dalam penelitian dilaksanakan selama Februari
sampai September 2013.
Penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan teristimewa
kepada:
1. Prof. Dr. Ir. M. Romli, M.Sc.St sebagai dosen pembimbing utama.
2. Prof. Dr.-Ing. Ir. Suprihatin atas saran dan bantuan yang diberikan selaku
dosen pembimbing II.
3. Drs. Purwoko, MSi., atas saran dan bantuan yang diberikan terhadap
penelitian ini.
4. Dr. Ir. Supriyanto yang telah membantu dalam penyediaan bahan utama
berupa batang sorgum di Biotrop, Tajur, Bogor.
5. Rumah Potong Hewan Bogor yang telah membantu dalam penyediaan
bahan utama berupa limbah cair RPH di Bogor.
6. Agroedutourism Fakultas Perternakan (Laboratorium Fakultas Perternakan),
IPB yang telah membantu dalam penyediaan bahan berupa kotoran sapi di
Fakultas Perternakan, IPB, Bogor.
7. Ibunda Nining Prihanekowati beserta keluarga besar atas doa, semangat, dan
kasih sayangnya, serta Ayahanda Suharjono alm. atas inspirasinya.
8. Alfian, Fanty, Fatia, Agus, Nizar, Saibah, serta keluarga besar TIN 46 atas
keceriaan dan kenangan indah tak terlupakan.
9. Seluruh sanak dan kerabat yang tidak bisa disebutkan satu-persatu.
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan
kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang
teknologi industri pertanian dan pengelolaan industri biogas.
Bogor, November 2013
Aulia Anggraini
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Jerami Sorgum 2
Lumpur (Sludge) 3
Biogas 4
Pra-perlakuan (Pretreatment) 9
METODE 10
Waktu dan Tempat Penelitian 10
Bahan 10
Alat 10
Metode Penelitian 10
HASIL DAN PEMBAHASAN 13
Karakteristik Jerami Sorgum dan Lumpur (Sludge) 13
Proses Pra-perlakuan Pada Jerami Sorgum 15
Co-digestion Jerami Sorgum-Lumpur (Sludge) 20
Kinerja Digester Selama Fermentasi Anaerob 22
Karakteristik Perlakuan Komposisi Jerami Sorgum:Lumpur (Sludge) (60:40) 27
Karakteristik Digestat dan Leachate Seluruh Sampel H-102 32
SIMPULAN DAN SARAN 38
Simpulan 38
Saran 39
DAFTAR PUSTAKA 39
LAMPIRAN 42
RIWAYAT HIDUP 54
DAFTAR TABEL
1 Produksi biogas dan waktu tinggal dari berbagai bahan 3
2 Komposisi Biogas 4
3 Kondisi pengoperasian proses fermentasi anaerobik 8
4 Karakteristik bahan awal 14
5 Nilai suhu dan pH selama proses pra-perlakuan 16
6 Karakteristik jerami sorgum pra-perlakuan 18
7 Karakteristik substrat H-0 reaktor 21
8 Karakteristik digestat perlakuan komposisi 60:40 27
9 Karakteristik leachate perlakuan komposisi 60:40 28
10 Karakteristik digestat H-102 seluruh perlakuan 32
11 Karakteristik leachate H-102 seluruh perlakuan 35
12 Karakteristik VFA leachate perlakuan komposisi 80:20 H-102 36
13 Karakteristik digestat dan leachate H-102 perlakuan 80:20
beserta standar mutu pupuk organik 37
DAFTAR GAMBAR
1 Reaksi digester anaerobik 4
2 Proses fermentasi anaerobik 5
3 Penanganan awal bahan dan proses pra-perlakuan pada jerami sorgum 11
4 Proses pengkomposisian substrat hingga analisis sampel akhir reaktor 12
5 Proses fermentasi anaerob dalam reaktor shaker 13
6 Batang sorgum 14
7 Pengaruh proses pra-perlakuan 19
8 Reaksi keseluruhan pembentukan biogas 22
9 Grafik total volume gas kumulatif harian rata-rata (L/kg TS biomassa) 22
DAFTAR LAMPIRAN
1 Prosedur analisis 42
2 Neraca massa tahap pra-perlakuan 46
3 Neraca massa jumlah substrat perbandingan jerami:sludge (100:0) 46
4 Neraca massa jumlah substrat perbandingan jerami: sludge (80:20) 46
5 Neraca massa jumlah substrat perbandingan jerami: sludge (60:40) 46
6 Neraca massa jumlah substrat Perbandingan jerami: sludge (40:60) 47
7 Neraca massa jumlah substrat perbandingan jerami: sludge (60:40)
basis 60 gram 47
8 Kromatogram uji VFA standar 48
9 Kromatogram uji VFA perlakuan 60:40 H-14 49
10 Kromatogram uji VFA perlakuan 60:40 H-42 50
11 Kromatogram uji VFA perlakuan 60:40 H-102 51
12 Kromatogram uji VFA perlakuan 80:20 H-102 52
13 Hasil uji logam leachate perlakuan 80:20 53
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan jumlah penduduk dan taraf hidup masyarakat berpengaruh pada
tingkat konsumsi energi yang semakin tinggi sehingga menyebabkan terjadinya
krisis energi, terutama energi berbasis fosil. Secara umum sumber energi dibagi
menjadi dua golongan yaitu sumber energi tidak terbarukan (non renewable
energy source) dan energi terbarukan (renewable energy source). Sumber daya
energi berbasis fosil dapat habis sehingga menimbulkan permasalahan baru,
terutama ekonomi dan lingkungan. Oleh karena itu perlu adanya sumber energi
alternatif terbarukan yang ramah lingkungan. Salah satu sumber energi alternatif
terbarukan adalah biogas. Biogas adalah salah satu energi yang dibuat dengan
memanfaatkan limbah pertanian. Pembuatan biogas dengan mencampurkan
beberapa jenis limbah pertanian dalam satu sistem digester disebut juga co-
digestion. Salah satu limbah pertanian yang dapat digunakan yaitu jerami sorgum
(Sorghum Bicolor L) dan limbah cair rumah pemotongan hewan (RPH) atau
lumpur. Kedua limbah pertanian tersebut memiliki kelebihan berupa kandungan
nutrien yang dibutuhkan dalam produksi biogas.
Prinsip teknologi biogas dengan memanfaatkan proses fermentasi atau
pembusukan dari sampah organik secara anaerobik oleh bakteri metan sehingga
dihasilkan gas metan. Namun, kendala produksi biogas yang berasal dari limbah
padat berupa biomassa pertanian, yaitu rendahnya yield biogas yang dihasilkan
dibandingkan dengan yield biogas yang seharusnya diperoleh secara teoritis.
Menurut Arati (2009), tingkat perolehan (yield) biogas dapat mencapai 180-940 L
per kg bahan kering (TS), sedangkan pada hasil penelitian yang pernah dilakukan,
tingkat perolehan (yield) biogas yang dihasilkan berkisar antara 1.5-4.5 L per kg
bahan kering (TS). Rendahnya yield yang dihasilkan disebabkan karena hanya
sebagian kecil bahan organik biomassa pada limbah padat yang terdegradasi
menjadi biogas, sedangkan sebagian besar masih tertinggal dalam biomassa.
Dekomposisi bahan organik yang mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin
berlangsung sangat lambat. Oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan pra-
perlakuan pada jerami sorgum untuk meningkatkan bahan organik terlarut dan
reduksi ampas (padatan) yang dihasilkan.
Limbah industri berupa sludge merupakan limbah organik yang selama ini
belum banyak dimanfaatkan secara optimum menjadi suatu produk ekonomis.
Pemanfaatan sludge selama ini hanya sebagai bahan bangunan, seperti batako.
Adapun pemanfaatan lainnya menjadi pupuk organik. Kandungan nutrisi dalam
jerami sorgum dan sludge dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi oleh
mikroba penghasil metan. Menurut Yani dan Darwis (1990), mikroba yang
berperan dalam proses fermentasi anaerob membutuhkan nutrisi berupa sumber
karbon dan sumber nitrogen. Karbon digunakan sebagai energi sedangkan
nitrogen digunakan untuk membangun struktur sel. Dalam hal ini jerami sorgum
berperan sebagai penyedia karbon dan sludge sebagai penyedia nitrogen. Pada
penelitian ini akan dilakukan pencampuran keduanya agar dihasilkan total volume
gas yang optimum.
2
Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh pra-perlakuan terhadap jerami sorgum terhadap
produksi gas?
2. Bagaimanakah pengaruh co-digestion jerami sorgum-sludge dalam
produksi biogas?
3. Komposisi manakah yang optimum sehingga dapat menghasilkan total
volume gas maksimum?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui pengaruh pra-perlakuan
terhadap jerami sorgum, untuk mengetahui pengaruh co-digestion jerami sorgum-
sludge pada produksi biogas, serta untuk mendapatkan komposisi optimum dari
proses co-digestion dilihat dari total volume gas yang dihasilkan.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif sediaan sumber
energi yang berasal dari bahan alam yang dapat diperbaharui, sehingga dapat
bermanfaat bagi bidang lingkungan dan energi serta menambah daya guna limbah
pertanian dan industri.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi :
1. Pra-perlakuan pada jerami sorgum.
2. Co-digestion jerami sorgum-sludge dengan komposisi substrat (jerami
sorgum pra-perlakuan:sludge) yaitu 100:0, 80:20, 60:40, dan 40:60.
3. Pengukuran jumlah gas yang terbentuk tiap komposisi substrat dan
analisa uji karakteristik sampel komposisi 60:40 setiap 2 minggu, berupa
pH, kadar air, total solid, kadar abu, volatile solid, Total Kjedahl
Nitrogen (TKN), VFA, COD, dan BOD.
TINJAUAN PUSTAKA
Jerami Sorgum
Pertanian dan industri merupakan salah satu sektor yang turut
menyumbangkan limbah dengan jumlah yang tinggi. Salah satunya yaitu tanaman
sorgum (Sorghum Bicolor L) yang menghasilkan limbah padat berupa jerami.
Jerami sorgum belum banyak dimanfaatkan menjadi suatu produk potensial.
Menurut Febri (2011), dalam penelitiannya mengatakan bahwa jerami merupakan
bagian vegetatif dari tanaman padi (batang, daun, dan tangkai malai). Jerami
3
terdiri atas daun, pelepah daun, ruas atau buku. Adapun besarnya potensi produksi
biogas dari berbagai jenis bahan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Produksi biogas dan waktu tinggal dari berbagai bahan
Bahan Produksi Biogas
(L/kg TS)
Kadar Metana
(%)
Waktu Tinggal
(hari)
Pisang (buah dan daun) 940 53 15
Rumput 450-530 55-57 20
Jagung (batang secara
keseluruhan)
350-500 50 20
Jerami (dicacah) 250-350 58 30
Tanaman rawa 380 56 20
Kotoran ayam 300-450 57-70 20
Kotoran sapi 190-220 68 20
Sampah (fraksi organik) 380 56 25
Sumber : Arati (2009), modifikasi. *)TS= total solids/bahan kering
Menurut Yani dan Darwis (1990), mikroba yang berperan dalam proses
fermentasi anaerob membutuhkan nutrisi berupa sumber karbon dan sumber
nitrogen. Karbon digunakan sebagai energi sedangkan nitrogen digunakan untuk
membangun struktur sel. Dalam hal ini jerami sorgum berperan sebagai penyedia
karbon. Menurut Makarim (2007), setiap kilogram jerami dihasilkan 0.25 m3
gas
metan dan residunya mengandung 38% karbon (C). Unsur N banyak terbentuk
dari protein sedangkan unsur C banyak dibentuk oleh karbohidrat, selulosa,
lemak, asam-asam organik, dan alkohol (Susanto, dkk 1988). Namun dengan
adanya kandungan lignoselulosa tersebut membuat jerami sulit untuk
terdekomposisi. Menurut Makarim (2007), hanya 9-16% dari produksi total,
sehingga untuk mempercepat produksi gas jerami perlu dikomposkan terlebih
dahulu.
Lumpur (sludge)
Limbah cair Rumah Potong Hewan (RPH) merupakan limbah cair organik
yang berasal dari proses pengolahan air limbah atau Instalasi Penanganan Air
Limbah yang pada umumnya berupa lumpur atau sludge. Penelitian Zakiyah
(2011) melaporkan bahwa sludge merupakan endapan padat yang secara alami
berada di dalam air dan air limbah, atau benda yang bukan endapan padat tetapi
secara pengentalan kimia dan flokulasi biologi dapat mengendap dan dialirkan
dari air tangki pembuangan limbah. Lumpur (sludge) yang dihasilkan dari
pengolahan limbah cair perlu dilakukan pengolahan secara khusus agar sludge
tersebut dapat dimanfaatkan kembali untuk keperluan kehidupan manusia
(Sugiharto 1987). Sludge RPH Bogor berasal dari rumen, darah, dan sedikit
kotoran sapi sehingga memiliki kandungan protein yang tinggi yang dapat
dijadikan sebagai sumber nitrogen. Menurut Setiawan (1996), sludge memiliki
kelebihan lain yaitu setelah keluar dari digester biasanya sludge telah matang
karena telah mengalami proses penguraian di dalam alat.
4
Biogas
Menurut Wahyuni 2010, biogas adalah campuran gas yang dihasilkan dari
aktivitas bakteri metanogenik pada kondisi anaerobik atau fermentasi bahan-
bahan orgnanik. Bakteri metanogen bekerja dalam lingkungan yang tidak ada
udara (anaerob), sehingga proses ini disebut juga sebagai pencernaan anaerob
(anaerob digestion). Beberapa alasan yang dipakai untuk penggunaan proses
anaerobik dalam penanganan limbah antara lain tingginya laju reaksi
dibandingkan dengan proses aerobik, kegunaan dari produk akhirnya, stabilisasi
dari komponen organik dan memberikan karakteristik tertentu pada daya ikat air
produk yang menyebabkan produk dapat dikeringkan dengan mudah (Jenie 1993).
Menurut Indartono (2006), teknologi biogas pada dasarnya memanfaatkan
proses pencernaan yang dilakukan oleh bakteri metanogen yang produknya berupa
gas metan (CH4). Pambudi (2008) menyebutkan bahwa energi yang terkandung
dalam biogas tergantung dari konsentrasi metana (CH4). Kandungan metana yang
tinggi mempunyai energi (nilai kalor) yang besar, sedangkan kandungan metana
yang rendah mempunyai energi (nilai kalor) yang rendah. Penjelasan mengenai
komposisi biogas ditunjukkan oleh Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Biogas
Komponen Jumlah
Metana (CH4) 55-75%
Karbon dioksida (CO2) 25-45%
Karbon monoksida (CO) 0-0.3%
Nitrogen (N) 1-5%
Hidrogen (H) 0-3%
Hidrogen sulfida (H2S) 0.1-0.5%
Oksigen (O2) Sedikit
Sumber: Karellas et.al (2010)
Penggunaan bahan baku berupa bahan organik yang berfungsi sebagai
sumber karbon dan nitrogen merupakan sumber kegiatan dan pertumbuhan
mikroorganisme (Noegroho 1980). Proses produksi biogas merupakan proses
biologis karena adanya proses pendegradasian substrat organik sebagai sumber
karbon yang merupakan sumber aktivitas dan pertumbuhan bakteri. Substrat
organik akan mengalami perombakan oleh bakteri metan pada tahap fermentasi
anaerob dan kemudian menghasilkan campuran gas berupa gas metan (CH4),
CO2, H2S, H2, dan N2. Secara sederhana keseluruhan reaksi penguraian senyawa
organik secara anaerob dapat dilihat pada Gambar 1.
anaerob
Bahan organik CH4 + CO2 + H2 + N2 + H2S
mikroorganisme
Gambar 1. Reaksi digester anaerobik
5
Namun secara kompleks tahap digester anaerobik pada proses fermentasi
anaerobik dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Proses fermentasi anaerobik
Sumber : De Wilde dan Vanhille (1985)
Menurut Haq dan Soedjono (2009), penguraian bahan-bahan organik
menjadi biogas dibagi menjadi 4 tahap yaitu hidrolisis, asidogenensis,
asetogenesis, dan metanogenesis yang berlangsung terus secara berantai sampai
pada suatu keadaan dimana tidak ada lagi bahan organik yang dapat dihidrolisa.
1. Hidrolisis
Menurut Barnett et al. (1978), pada tahap ini terjadi pelarutan bahan-
bahan organik mudah larut dan pemecahan bahan organik kompleks menjadi
kompoen monomer atau dimerik yang dapat larut dalam air. Pemecahan
molekul-molekul organik kompleks tersebut dilakukan oleh enzim
ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri selulolitik, proteolitik, dan lipolitik.
Bakteri selulolitik memecah selulosa menjadi glukosa, bakteri proteolitik
memecah protein rantai panjang menjadi protein sedehana, serta bakteri
lipolitik memecah lemak menjadi asam lemak. Produk dari tahap hidrolisis
berupa molekul sederhana berfungsi mendukung proses reduksi limbah total,
menstabilkan, serta merupakan sumber energi penting bagi komponen sel
bakteri.
2. Asidogenesis
Pada tahap asidogenesis, bakteri asedogenik mengubah produk dari tahap
hidrolisis menjadi asam lemak mudah menguap, yang mengandung banyak
asam asetat dan sedikit asam butirat, propionat, serta laktat. Menurut Bryant
(1987) bakteri yang berperan dalam tahap asidogenesis adalah bakteri
asedogenik seperti Syntrophoma nas wolfei. Tahap asidogenik menghasilkan
produk berupa alkohol, karbondioksida (CO2), hidrogen, dan amoniak.
Terbentuknya produk berupa asam asetat dan hidrogen tersebut menyebabkan
terjadinya penurunan pH pada proses awal tahap asidogenesis. Menurut
Sathianathan (1975), jika bakteri terus aktif maka akan terjadi penimbunan
6
asam asetat dan hidrogen sehingga menimbulkan penurunan pH yang
mengakibatkan penghambatan pertumbuhan mikroba.
3. Asetogenesis
Produk yang terbentuk pada tahap asidogenesis berupa etanol dan
hidrogen tidak dapat langsung digunakan sebagai substrat dalam pembentukan
gas metan. Oleh karena itu etanol membutuhkan proses oksidasi terlebih
dahulu agar dapat diolah menjadi substrat pembentuk gas metan. Menurut
Weismann (1991), pada tahap ini asam lemak akan menguap untuk digunakan
sebagai energi oleh beberapa bakteri obligat anaerobik, tetapi bakeri-bakteri
tersebut hanya mampu mendegradasi asam lemak menjadi asam asetat. Bakteri
yang berperan pada tahap asetogenis ialah bakteri asetogenik yaitu
Acetobacterium woodii dan Syntrophobacter wolnii. Produk utama yang
dihasilkan pada tahap ini yaitu asam asetat, hidrogen, dan karbondiooksida.
4. Metanogenesis
Metanogenesis merupakan tahap akhir dalam keseluruhan proses
konversi anaerobik yaitu penguraian dan perombakan bahan organik menjadi
gas metan. Produk samping dari tahap ini yaitu karbondiooksida, air serta
beberapa jumlah kecil senyawa gas lainnya. Menurut Yani dan Darwis (1990),
kelompok bakteri penghasil metana dinamakan bakteri metanogen. Adapun
bakteri metanogen tersebut diantaranya, Methanobacterium, Methanosarcina,
Methanococcus. Bakteri metanogenik mensintesis senyawa dengan berat
molekul rendah menjadi senyawa dengan berat molekul tinggi, misalnya
bakteri ini menggunakan hidrogen, CO2, dan asam asetat untuk membentuk
metana dan CO2 (Amaru, 2004). Bakteri metanogen secara alami dapat
diperoleh dari air bersih, endapan air laut, sapi, kambing, lumpur (sludge)
kotoran anaerob ataupun TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
Proses produksi biogas sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan
diantaranya parameter fisik maupun kimia. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi biogas meliputi:
1. Starter
Starter yang mengandung bakteri metana diperlukan untuk mempercepat
proses fermentasi anaerob. Beberapa jenis starter antara lain:
Starter alami, yaitu lumpur aktif sebagai lumpur kolam ikan, air
comberan atau cairan septic tank, sludge, timbunan kotoran, dan
timbunan sampah organik.
Starter semi buatan, yaitu dari fasilitas biodigester dalam stadium aktif.
Starter buatan, yaitu bakteri yang dibiakkan secara laboratoriun dengan
media buatan.
2. Komposisi nutrien
Menurut Hartono (2009), parameter penting pada proses anaerobik
adalah total bahan organik yang merupakan ukuran suatu material seperti
karbohidrat, protein, dan lemak. Seluruh substrat itu dapat dikonversi menjadi
asam-asam teruapkan dan metan. Ketersediaan nutrisi yang cukup berpengaruh
pada gas metan yang akan dihasilkan.
3. Ukuran bahan
Peningkatan laju produksi biogas dapat ditingkatkan melalui pemberian
perlakuan pendahuluan atau pretreatment bagi bahan yang akan dijadikan
substrat. Salah satu proses pretreatment pada bahan yaitu dengan pengecilan
7
ukuran bahan atau pemotongan dan pencacahan. Proses pengecilan bahan
bertujuan untuk menghancurkan struktur organik kompleks menjadi molekul
sederhana sehingga mikroorganisme lebih mudah mendegradasi bahan. Bahan
dengan ukuran yang lebih kecil akan lebih cepat terdekomposisi dibanding
bahan dengan ukuran yang lebih besar. Sulaeman (2007), menjelaskan bahwa
bahan dengan ukuran lebih kecil memiliki luas kontak permukaan yang lebih
besar dibandingkan bahan berukuran besar. Selain itu Wahyuni (2009)
menerangkan bahwa degradasi dan potensi produksi biogas dari limbah
berserat dapat secara signifikan meningkat dengan perlakuan awal yaitu
memperkecil ukuran partikel.
4. Rasio C/N
Hubungan antara jumlah karbon dan nitrogen yang terdapat pada bahan
organik dinyatakan dalam rasio karon/nitrogen (C/N). Apabila rasio C/N sangat
tinggi, nitrogen akan dikonsumsi sangat cepat oleh bakteri metan sampai batas
persyaratan protein dan tidak lama bereaksi ke arah kiri pada kandungan
karbon dalam bahan. Sebagai akibatnya produksi metan akan menjadi rendah,
sebaliknya apabila rasio C/N sangat rendah, nitrogen akan bebas dan akan
terakumulasi dalam bentuk amonia (NH4) yang berdampak pada
meningkatanya pH pada digester (Wahyuni, 2009).
Ketersediaan nutrisi yang cukup berpengaruh pada gas metan yang akan
dihasilkan. Syarat ideal C/N untuk proses digesti sebesar 25–30. Oleh karena
itu, untuk mendapatkan produksi biogas yang tinggi, maka penambangan
bahan yang mengandung karbon (C) seperti jerami atau N (misalnya urea)
perlu dilakukan untuk mencapai rasio C/N tersebut. Dalam sistem biodigesti
yang bekerja dengan baik, karbon adalah satu-satunya unsur yang hilang dalam
jumlah besar. Nitrogen dan fosfor akan tersisa dalam jumlah yang sama tapi
dalam konsentrasi yang lebih tinggi.
5. Temperatur
Hartono (2009) menyatakan bahwa berdasarkan temperatur operasinya,
proses anaerob secara garis besar diklasifikasikan menjadi tiga yaitu psycrofil,
mesofil, dan termofil. Pada umumnya digester anaerob beroperasi pada
temperatur mesofil yaitu 20-45°C. Kondisi ini dipilih karena mikroba-mikroba
di alam lebih banyak yang bersifat mesofil daripada psychrofil dan termofil.
Selain itu, sludge retention time (SRT) dalam digester mesofil (4-6 minggu)
juga lebih pendek daripada dalam digester psychrofil (12 minggu) dengan suhu
5-25°C, sedangkan temperatur termofil yaitu 50-70°C. Laju degradasi bahan
organik pada temperatur termofil lebih cepat daripada sistem psychrofil dan
mesofil. Oleh karena itu SRT termofil juga sangat singkat, namun pengendalian
temperatur termofil lebih sulit dan mahal daripada mesofil dan psycrhofil.
Kondisi pengoperasian proses fermentasi anaerobik dapat dilihat pada Tabel 3.
8
Tabel 3. Kondisi pengoperasian proses fermentasi anaerobik
Parameter Nilai
Suhu
Mesoilik 35oC
Termofilik 54oC
pH 7 – 8
Waktu retensi 10-30 hari
Laju pembebanan 0.07 - 0.16 kg.VS/m3/hari
Hasil biogas 0.28 - 0.69 m3/kg.VS
Kandungan metana 60 - 70%
Sumber: Engler et.al (2000)
6. Nilai pH
Pertumbuhan mikroorganisme selama proses fermentasi anaerob sangat
dipengaruhi oleh perubahan nilai pH. Apabila senyawa yang bersifat asam
mudah menguap diproduksi dalam laju yang cepat melebihi kebutuhan, maka
fermentasi akan tidak stabil. Menurut Buren (1979), kestabilan pH fermentasi
dapat dijaga dengan menggunakan kapasitas penyangga (buffer capacity).
Menurut Yani dan Darwis (1990), nilai pH terbaik untuk suatu digester yaitu
sekitar 7.0. Bila pH di bawah 6.5 maka aktivitas akan menurun, sedangkan
nilai pH di bawah 5.0 fermentasi akan terhenti.
7. Kadar air
Menurut Haq dan Soedjono (2009), dekomposisi bahan organik oleh
mikroorganisme tergantung kadar air. Kelembaban 36-99% akan menaikkan
produksi gas 67%. Kenaikan tersebut dicatat pada rentang kelembaban 60-78%
dan cenderung sama pada kelembaban yang lebih tinggi. Sisa kelembaban
dapat menghambat aktivitas methanogen. Menurut Triyanto (1992), bahan
umpan yang baik mempunyai kandungan padatan 7-9%. Selain itu Rahman
(2007) mengatakan bahwa mikroorganisme pembusuk akan tumbuh subur pada
bahan yang memiliki kadar air sekitar 90%. Hal ini menunjukkan bahwa bahan
sangat mudah mengalami proses pembusukkan atau pendegradasian secara
mikrobiologi.
8. Inhibitor
Menurut Wahyuni (2009), ion mineral, logam berat, dan detergen
merupakan beberapa material racun yang memengaruhi pertumbuhan bakteri.
Bakteri metanogen lebih sensitif terhadap racun daripada bakteri penghasil
asam. Amonia (NH4) pada konsentrasi 50-200 mg/l dapat merangsang
pertumbuhan mikroba. Namun apabila konsentrasinya diatas 1500 mg/l akan
mengakibatkan keracunan.
9. Pengadukan
Proses pengadukan pada saat tahap pencampuran substrat yang akan
masuk ke dalam proses fermentasi anaerob bertujuan untuk mendapatkan
homogenitas yang tepat bagi campuran substrat sehingga bakteri anaerobik
dapat melakukan proses penguraian bahan organik dengan merata. Selain itu
pengadukan berfungsi untuk memberikan kondisi berupa temperatur dan pH
yang seragam bagi proses fermentasi anaerob.
9
10. Waktu tinggal di dalam digester
Nur Zakiyah (2011) melaporkan bahwa waktu tinggal di dalam digester
adalah rata-rata periode waktu input masih berada dalam digester dan proses
fermentasi oleh bakteri metanogen. Menurut Wahyuni (2009), waktu tinggal
juga dipengaruhi oleh suhu. Suhu di atas 35oC mengakibatkan produksi gas
menjadi rendah. Selain itu Anonim (2006) menyebutkan bahwa pada
umumnya biogas masing-masing variasi mulai terbentuk pada hari pertama
setelah pengisian dan terus meningkat secara signifikan hingga akhirnya
mencapai kondisi statis. Pengetahuan mengenai waktu pencapaian kondisi
statis berimplikasi pada pengetahuan waktu tinggalnya (HRT). Hal ini
berfungsi sebagai jadwal pengisian substrat jika akan diaplikasikan di
lapangan.
Pra-perlakuan
Dekomposisi bahan organik yang mengandung selulosa, hemiselulosa dan
lignin berlangsung sangat lambat. Taherzadeh dan Karimi (2008) menyatakan
untuk mempercepat proses degradasi bahan organik mengandung lignoselulosa
perlu dilakukan pra-perlakuan bahan baku. Pra-perlakuan merupakan suatu
perlakuan khusus terhadap biomassa yang memiliki banyak selulosa, lignin, dan
hemiselulosa. Pra-perlakuan bertujuan untuk menghilangkan lignin dan
hemiselulosa, serta mengurangi kritalinitas selulosa. Beragamnya bahan
lignoselulosa membuat tidak ada satupun metode perlakuan pendahuluan yang
berlaku secara umum karena berbeda bahan baku akan memerlukan perlakuan
pendahuluan yang berbeda pula (Samsuri, 2007). Pra-perlakuan yang dipilih pada
penelitian ini adalah pencacahan dan pengomposan parsial (biooksidasi parsial).
Menurut Soepardi (1983), proses dekomposisi bahan organik sangat tergantung
oleh faktor lingkungan, temperatur lingkungan dan kelembaban dapat merangsang
kegiatan metabolisme mikroorganisme sehingga mempercepat laju mineralisasi
(perombakan bahan organik menjadi CO2, air, dan nutrien). Selama proses
pengomposan terjadi kehilangan CO2 dan H2O cukup banyak sehingga mengalami
penyusutan jumlah bahan (bobot) bahan dan kehilangan tersebut dapat mencapai
20-40% dari bobot semula karena terjadi perombakan bahan organik dan
penguapan dan mungkin juga akan kehilangan sebanyak 50% bila bahan organik
tersebut telah mengalami dekomposisi.
Pengomposan dapat berlangsung dalam kondisi aerob dan anaerob, dan dari
temperatur mesofilik ke temperatur thermofilik tergantung pada mikroorganisme
yang terlibat, aerasi dan tingkat kelembaban lingkungan serta bahan baku kompos.
Pengomposan secara anaerob menghasilkan gas metan (CH4), CO2, dan senyawa
asam organik dengan berat molekul rendah (asam asetat, asam propionat, asam
butirat, dan asam laktat). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses
pengomposan antara lain aerasi, kadar air bahan, suhu, rasio C/N, dan mikroba
perombak (Gaur, 1983).
10
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 dan selesai pada akhir
September 2013. Penelitian ini sendiri dilaksanakan di Laboratorium Bioindustri
dan Laboratorium Teknologi Manajemen Lingkungan (TML), Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Bahan
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah padat
pertanian berupa jerami sorgum dari Biotrop di daerah Tajur, Bogor, dan limbah
cair RPH atau sludge yang diambil dari Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)
RPH Bogor, serta kotoran sapi yang diambil dari Fakultas Perternakan IPB.
Sedangkan bahan-bahan kimia yang digunakan adalah larutan inokulum Biofarm,
larutan trace elements, larutan P (KH2PO4), gas nitrogen, H2SO4 0.02 N, NaOH 6
N, Asam Borat 2%, H2SO4 pekat, larutan K2Cr2O7 0.0167 M, reagen H2SO4 (asam
COD), larutan FAS 0.1 M, seed, Alkali Iodjida, MnSO4, Na2SO3, indikator
amilum, indikator ferroin, indikator mengsell dan aquades.
Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini dibagi menjadi alat yang
digunakan dalam proses pra-perlakuan, fermentasi anaerob, serta uji analisis. Alat
yang digunakan dalam proses pra-perlakuan yaitu bin (wadah berlubang banyak)
dan baskom, gunting, sekop, plastik, gelas ukur 10 ml, termometer, kertas pH dan
timbangan analitik. Alat pendukung proses fermentasi anaerob yaitu baskom,
gelas ukur 50 ml, Erlenmeyer 100 ml, Elenmeyer 500 ml, selang plastik, leher
angsa, dan shaker. Sedangkan alat untuk uji analisis yaitu oven, labu takar 50 ml,
labu takar 1 liter, pH meter, kertas pH, gelas ukur 500 ml, labu kjedahl, botol
winkler, destilator, pipet serologi, cawan porselen, kertas saring milliopore 0.45 µ,
kertas saring milliopore 0.2 µ, deksikator, tanur, dan GC.
Metode Penelitian
Tahap pertama pada penelitian ini adalah uji karakterisasi bahan awal.
Analisis awal dilakukan untuk mengetahui karakteristik bahan yang digunakan
yaitu jerami sorgum dan sludge. Uji karakterisasi tersebut terdiri atas uji pH,
kadar air, TS (Total Solids), VS (Volatile Solids), kadar abu, dan Total Kjedahl
Nitrogen (TKN) yang bertujuan untuk menentukan variasi komposisi substrat
yang akan masuk dalam proses fermentasi anaerob. Prosedur analisis yang
diujikan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Adapun diagram proses pra-
perlakuan dapat dilihat pada Gambar 3.
11
Gambar 3. Penanganan awal bahan dan proses pra-perlakuan pada jerami sorgum
Tahap selanjutnya yaitu proses pra-perlakuan yang diawali dengan
pencacahan jerami sorgum hingga berukuran 1 cm, kemudian cacahan jerami
sorgum tersebut dikeringkan dalam oven. Pengeringan bertujuan hanya untuk
meningkatkan daya simpan jerami sorgum. Pada penelitan ini digunakan jerami
sorgum kering sebanyak 550 gram sehingga ketika ingin dilakukan proses pra-
perlakuan, jerami sorgum terlebih dahulu direndam selama 30 menit dalam air
sebanyak 7 liter yang sebelumnya telah dibungkus dengan kain. Perendaman di
dalam air berfungsi agar tercipta kondisi yang lembab saat dilakukan pra-
perlakuan pada jerami sorgum, sebab jerami sorgum merupakan limbah padat
pertanian yang tergolong kering karena hanya mengandung 27.40% kadar air.
Banyaknya jumlah air yang terserap oleh jerami sorgum adalah sebanyak 3 liter.
Setelah itu jerami sorgum cacah kering dicampur dengan inokulum Biofarm
dengan perbandingan antara larutan inokulum : bahan : air adalah 1 liter untuk 1
ton bahan dengan penambahan air sebanyak 20 liter. Proses perhitungan
banyaknya inokulum yang ditambahkan untuk proses pra-perlakuan disajikan
pada Lampiran 2. Perhitungan dilakukan menggunakan basis bahan 550 gram
(jerami sorgum kering) sehingga yang digunakan ialah 0.55 ml larutan inokulum
Biofarm dengan penambahan air 11 ml. Adanya perendaman dan penambahan
inokulum Biofarm menyebabkan peningkatan bobot jerami sorgum menjadi
11750.84 gram dan merupakan bobot jerami sorgum H-0 pra-perlakuan. Proses
pra-perlakuan dilakukan di dalam bin berlubang selama 9 hari dan disimpan di
dalam ruangan tertutup. Selama proses pra-perlakuan berlangsung dilakukan uji
suhu dan pH setiap harinya.
Tahap selanjutnya yaitu proses persiapan substrat yang akan difermentasi
secara anaerob. Proses pencampuran jerami sorgum produk proses pra-perlakuan
dan sludge dengan perbandingan jerami:sludge 100:0, 80:20, 60:40, dan 40:60
kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 500 ml. Basis substrat yang
12
digunakan adalah 300 gram. Perhitungan banyaknya jerami sorgum dan sludge
yang akan dimasukkan pada masing-masing komposisi dapat dilihat di Lampiran
3, 4, 5, 6 dan 7. Setiap perlakuan dilakukan dengan dua kali pengulangan. Namun
khusus untuk perlakuan 60:40 dibuat dalam basis 60 gram dalam labu erlenmeyer
100 ml sebanyak 4 buah dan akan dianalisis tiap dua minggu. Adapun diagram
proses pengkomposisian dan fermentasi anaerob dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Proses pengkomposisian substrat hingga analisis sampel akhir reaktor
Setiap komposisi perlakuan dilakukan dengan pengulangan dua kali
sehingga hasil total volume gas kumulatifnya dapat dirata-rata dan diperoleh total
volume gas yang mewakili tiap perlakuan. Oleh karena itu dalam grafik total
volume dan laju produksi gas terdapat error bars dengan menggunakan standar
deviasi. Error bars tiap data gas semua perlakuan dihitung standar deviasi dari
tiap rata-rata total volume gas perharinya kemudian diplotkan bersama data gas
pada grafik kumulatif gas tersebut. Error bars (standar deviasi) yang digunakan
pada tiap grafik sampel perlakuan menunjukkan besarnya variasi dari data-data
hasil pembentukan gas yang dilakukan sebanyak dua ulangan tersebut. Apabila
besarnya error bars semakin kecil, maka besarnya variasi data pun semakin kecil.
Begitu pula apabila error bars semakin besar, maka besarnya variasi data juga
semakin besar.
Proses fermentasi anaerob substrat dilakukan secara batch selama 102 hari
dalam labu erlenmeyer 500 ml dan 100 ml dan dibuat terendam dalam reaktor
shaker berisi air bersuhu 36oC. Setelah itu dilakukan pengukuran jumlah gas yang
13
dihasilkan oleh setiap perlakuan hingga H-102 fermentasi. Selanjutnya tahap
ketiga yaitu melakukan uji karakteristik sampel perlakuan 60:40 tiap dua minggu
dan uji karakteristik seluruh sampel pada H-102. Proses fermentasi anaerob dalam
reaktor shaker disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5. Proses fermentasi anaerob dalam reaktor shaker
Adapun sampel yang diujikan pada H-102 fermentasi serta sampel
perlakuan komposisi 60:40 tiap dua minggu analisis terdiri dari digestat dan
leachate. Beberapa jenis parameter analisis yang diujikan terhadap digestat
substrat yaitu pH, kadar air, padatan total, padatan organik, kadar abu, dan total
kjedahl nitrogen. Sedangkan khusus untuk perlakuan yang memiliki total volume
gas terbaik di akhir fermentasi akan dilakukan uji analisis logam dan VFA
(Volatile Fatty Acid) terhadap leachatenya.
Jenis parameter analisis yang diujikan terhadap leachate substrat yaitu VFA,
COD, BOD dan TKN. Sampel analisis digestat mewakili sampel analisis substrat,
karena digestat yang diujikan berasal dari substrat dalam erlenmeyer tanpa ada
proses pemisahan spesifik. Sedangkan sampel analisis leachate berasal dari lindi
yang sebelumnya telah diambil dari dalam substrat erlenmeyer tanpa ada proses
pemisahan spesifik. Setelah itu leachate dilakukan proses penyaringan sesuai
dengan uji analisis yang akan dilakukan. Analisis uji VFA digunakan leachate
hasil dari penyaringan dengan menggunakan kertas saring milliopore 0.2 µ dan
untuk uji analisis COD dan BOD menggunakan kertas milliopore 0.45 µ. Analisis
BOD dilakukan khusus pada seluruh perlakuan pada H-102. Penggunaan kertas
millioprore 0.2 µ dalam penyaringan sampel leachate uji VFA bertujuan agar
tidak adanya mikroorganisme yang ikut tersaring ke dalam sampel karna dapat
mempengaruhi dan mengganggu proses analisis VFA yang dilakukan
menggunakan GC. Sedangkan penyaringan menggunakan kertas saring 0.45 µ
untuk uji COD dan BOD bertujuan agar diperoleh sampel yang jernih dan hasil
COD yang teliti.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Jerami Sorgum dan Lumpur (Sludge)
Pada penelitian digunakan bahan utama limbah padat pertanian berupa
jerami sorgum dan sludge. Kedua bahan tersebut dipilih karena jumlahnya yang
14
melimpah dan belum termanfaatkannya dengan baik menjadi produk potensial.
Jerami sorgum diperoleh dari Biotrop di daerah Tajur, Bogor. Jerami sorgum ini
dipanen selama 70 hari dari yang semestinya 3 bulan atau 90 hari. Pada awalnya
batang sorgum dipotong menjadi batang sorgum tipis kemudian dicacah hingga
berukuran ±1 cm. Setelah itu batang sorgum dikeringkan dalam oven selama 3
hari hingga kadar air tertentu. Pengeringan bertujuan untuk meningkatkan daya
simpan jerami sorgum. Batang sorgum dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Batang sorgum
Bahan utama lainnya yaitu sludge diperoleh dari Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL) RPH Bogor dan diambil dalam keadaan IPAL tidak sedang
beroperasi. Pada penelitian ini juga digunakan penambahan kotoran sapi yang
diperoleh dari Fakultas Perternakan IPB. Kotoran sapi digunakan sebagai
inokulum yang bertujuan untuk meningkatkan kandungan mikroorganisme
pengurai di dalam substrat karena banyak mengandung bakteri pembentuk asam
dan metan. Hal ini disebabkan karena kotoran sapi telah teraklimatisasi sehingga
kandungan dan keadaan yang ada di dalam kotoran sapi telah disesuaikan terlebih
dahulu selama di proses dalam perut sapi. Oleh karena itu kondisi dan kandungan
dari kotoran sapi tersebut sesuai dengan proses anaerobik. Hal ini yang menjadi
dasar banyaknya penggunaan inokulum kotoran sapi sebagai inokulum dalam
pembuatan biogas fermentasi anaerob.
Analisis karakteristik bahan baku terdiri dari kadar air, padatan total,
padatan organik, kadar abu, dan total kjedahl nitrogen. Hasil analisis karakteristik
tersebut dapat menunjukkan kandungan bahan organik yang ada pada tiap bahan.
Selain itu hasil analisis karakteristik berupa kadar air dan padatan total bahan akan
digunakan dalam perhitungan besarnya tiap bahan yang akan masuk dalam
pengkomposisian antara jerami sorgum dan sludge di proses fermentasi anaerob.
Hasil analisis karakteristik bahan awal dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Karakteristik bahan awal
Bahan
Parameter analisis (%wb)
Kadar
air
TS Kadar
abu
VS TKN
Jerami Sorgum 27.40 ±
0.10
72.60 ±
0.10
2.97 ±
0.27
69.63
± 0.17
0.12 ±
0.02
Sludge 87.43 ±
0.02
12.57 ±
0.02
9.58 ±
0.26
2.99 ±
0.25
0.21 ±
0.01
15
Analisis kadar air bertujuan untuk mengetahui besarnya kandungan air yang
ada di dalam bahan. Berdasarkan hasil terlihat bahwa jerami sorgum dan sludge
memiliki kadar air (wb) yaitu 27.40% dan 87.43%, sehingga %TS dari jerami
sorgum dan sludge yaitu 72.60%. dan 12.57%. Besarnya kandungan air dan
padatan total pada jerami sorgum dan sludge akan berpengaruh pada perhitungan
banyaknya bahan yang akan masuk ke reaktor.
Tingginya presentase padatan total dari jerami sorgum menunjukkan bahwa
jerami sorgum memiliki kandungan bahan organik yang tinggi. Hal ini disebabkan
karena sebagian kandungan dari padatan total ialah volatile solid. Pada produksi
biogas volatile solid inilah yang akan digunakan oleh mikroorganisme sebagai
bahan makanan pada proses penguraian bahan organik menjadi metan. Oleh
karena itu sesuai dengan hasil pada tabel 4, nilai volatile solid yang tinggi pada
jerami sorgum yaitu 69.63% (wb) menunjukkan besarnya kandungan bahan
organik pada jerami sorgum atau 96% besarnya kandungan volatile solid pada
padatan total. Sedangkan kandungan volatile solid pada sludge hanya 24% dari
padatan totalnya. Bahan organik merupakan zat yang akan dirombak oleh
mikroorganisme penghasil metan menjadi biogas. Tingginya nilai bahan organik
mengidentifikasikan bahwa jerami sorgum dapat menjadi sumber karbon potensial
pada proses produksi biogas.
Bahan utama lainnya yaitu sludge memiliki nilai kadar abu yang tinggi yaitu
9.58% atau 76% dari padatan totalnya, dan sisanya sebesar 24% adalah bahan
organik yang terkandung di dalam sludge. Selain tingginya nilai kadar abu,
adanya kandungan nitrogen yang tinggi pada sludge yaitu 0.21% (wb) atau 1.67%
(db). Besarnya kandungan nitrogen pada sludge lebih besar dibandingkan dengan
kandungan pada jerami sorgum yang hanya 0.17% (db). Oleh karena itu tingginya
kandungan nitrogen pada sludge akan digunakan sebagai salah satu sumber nutrisi
untuk mendukung aktifitas metabolisme mikroorganisme dalam mengurai dan
mendegradasi bahan organik selama fermentasi.
Adanya pencampuran (co-digestion) jerami sorgum dan sludge akan
berpengaruh pada total volume dan laju produksi gas yang dihasilkan. Dengan
kata lain bahan organik yang terkandung di dalam jerami sorgum akan menjadi
bahan makanan yang akan dikonsumsi oleh mikroorganisme dan kemudian
dikonversi menjadi gas metan, sedangkan adanya kandungan nitrogen dalam
sludge akan mempercepat proses laju pembentukan gas metan. Oleh karena itu
kedua limbah pertanian ini berpotensial untuk dikonversi menjadi biogas.
Proses Pra-perlakuan Pada Jerami Sorgum
Jerami sorgum merupakan limbah padat pertanian yang mengandung bahan
organik yang cukup tinggi yaitu 69.63% (wb). Menurut Samsuri (2007),
beragamnya bahan lignoselulosa membuat tidak ada satupun metode perlakuan
awal yang berlaku secara umum, karena berbeda bahan baku akan memerlukan
perlakuan yang berbeda pula
Menurut Makarim (2007), jerami sulit untuk terdekomposisi sehingga untuk
mempercepat produksi gas dari jerami perlu dilakukan pengomposan terlebih
dahulu. Proses pendekomposisian bahan organik yang mengandung selulosa,
hemiselulosa, dan lignin berlangsung sangat lambat. Menurut Taherzadeh dan
16
Karimi (2008), bahwa untuk mempercepat proses degrdasi bahan organik
mengandung lignoselulosa perlu dilakukan pretratment bahan baku. Selama
proses pra-perlakuan berlangsung jerami sorgum mengalami penguraian bahan
organik yang mengandung selulosa, hemiselulosa, dan lignin. . Oleh karena jerami
sorgum mengandung lignoselulosa maka dilakukan pra-perlakuan yang diawali
dengan proses pengecilan ukuran bahan kemudian pretreatment selama 9 hari.
Proses pra-perlakuan diawali dengan tahap pencacahan dan pengeringan
batang sorgum hingga menjadi jerami sorgum kering. Proses pencacahan batang
sorgum hingga ±1 cm bertujuan agar jerami sorgum lebih memiliki luas kontak
permukaan yang lebih besar sehingga lebih mudah bagi mikroorganisme dalam
mendekomposisi bahan organik pada saat proses pra-perlakuan. Sedangkan proses
pengeringan berfungsi untuk meningkatkan umur simpan jerami sorgum.
Pada penelitan ini digunakan jerami sorgum kering sebanyak 550 gram
sehingga ketika ingin dilakukan proses pra-perlakuan, jerami sorgum terlebih
dahulu direndam selama 30 menit dalam air sebanyak 7 liter yang sebelumnya
telah dibungkus dengan kain. Perendaman di dalam ini berfungsi agar tercipta
kondisi yang lembab saat dilakukan proses pra-perlakuan pada jerami sorgum,
sebab jerami sorgum merupakan limbah padat pertanian yang tergolong kering
karena hanya mengandung 27.40% kadar air. Banyaknya jumlah air yang terserap
oleh jerami sorgum adalah sebanyak 3 liter. Setelah itu jerami sorgum cacah
kering dicampur dengan inokulum Biofarm dengan perbandingan antara larutan
inokulum : bahan : air adalah 1 liter untuk 1 ton bahan dengan penambahan air
sebanyak 20 liter. Perhitungan dilakukan menggunakan basis bahan 550 gram
(jerami sorgum kering) maka digunakan 0,55 ml larutan inokulum Biofarm dan
penambahan air 11 ml. Adanya perendaman dan penambahan inokulum Biofarm
menyebabkan peningkatan bobot jerami sorgum menjadi 11750.84 gram dan
merupakan bobot jerami sorgum H-0 pra-perlakuan.
Proses pra-perlakuan dilakukan selama 9 hari dalam bin berlubang yang
diwadahi dengan baskom dan ditutup dengan plastik berlubang-lubang, kemudian
disimpan dalam lemari. Penambahan inokulum Biofarm bertujuan untuk
meningkatkan keragaman mikroorganisme pendegradasi. Adanya mikroorganisme
pendegradasi berfungsi dalam proses delignifikasi, menurunkan derajat
polimerisasi selulosa, serta hidrolisis hemiselulosa menjadi senyawa organik
sederhana. Penambahan inokulum Biofarm pada proses pra-perlakuan dapat
mempercepat aktifitas mikroorganisme dalam mendegradasi bahan lignoselulosa
pada jerami sorgum menjadi senyawa yang dibutuhkan oleh mikroorganisme
penghasil metan dalam proses fermentasi anaerob.
Adanya aktifitas metabolisme mikroorganisme selama pra-perlakuan
membuat terjadinya perubahan kondisi di dalam jerami sorgum. Salah satu
parameter yang mengalami perubahan selama proses pra-perlakuan yaitu nilai
suhu dan pH. Menurut Soepardi (1983), proses dekomposisi bahan organik sangat
tergantung oleh faktor lingkungan, temperatur lingkungan dan kelembaban dapat
merangsang kegiatan metabolisme mikroorganisme sehingga mempercepat laju
demineralisasi (perombakan bahan organik menjadi CO2, air, dan nutrient).
Adapun besarnya nilai suhu dan pH selama proses pra-perlakuan berlangsung
dapat dilihat pada Tabel 5.
17
Tabel 5. Nilai suhu dan pH selama proses pra-perlakuan
Hari ke- Parameter
Suhu pH
0 28.0 6
1 29.0 4.5
2 30.5 4.5
3 29.0 5
4 28.0 6
5 29.0 7
6 29.0 6.5
7 30.5 6
8 29.0 6
9 29.0 6.5
Pada Tabel 5 terlihat bahwa besarnya perubahan nilai suhu dan pH selama
pra-perlakuan cenderung fluktuatif. Adanya peningkatan suhu bahan dari 28oC
menjadi 30.5oC dan penurunan pH dari 6 menjadi 4.5 pada awal proses pra-
perlakuan menunjukkan adanya proses biooksidasi parsial. Hal ini disebabkan
karena perubahan kedua nilai parameter hanya terjadi secara parsial, berbeda
halnya dengan proses pengomposan sempurna. Pemakaian inokulum Biofarm
pada proses pra-perlakuan cukup efektif dalam memicu terjadinya proses
biooksidasi parsial pada bahan yang diindikasikan dengan adanya peningkatan
suhu dan penurunan nilai pH pada masa awal proses pra-perlakuan meskipun
kedua paramater tersebut kembali ke kondisi awal pada akhir masa pra-perlakuan.
Selama proses pra-perlakuan terdapat dua fase aktifitas mikroorganisme
dalam proses pendegradasian yaitu fase mesofilik (23-45oC) dan fase termofilik
(45-65oC). Kisaran temperatur ideal pada bahan yang dipra-perlakuan adalah 55-
65oC. Pada temperatur tersebut, mikroorganisme dapat berkembangbiak secara
optimum sehingga menghasilkan enzim untuk menguraikan bahan organik paling
efektif daya urainya. Pada saat fase mesofilik, fungi dan bakteri pembentuk asam
mengubah bahan makanan yang tersedia di dalam jerami sorgum menjadi asam
amino, gula, dan asam lemak. Hal inilah yang menyebabkan pH jerami sorgum
pada awal proses pra-perlakuan menjadi menurun.
Aktifitas mikroorganisme ini menghasilkan panas dan mengawali fase
termofilik di dalam tumpukan jerami sorgum yang dipra-perlakuan. Oleh karena
itu suhu pada awal proses pra-perlakuan menjadi meningkat. Namun peningkatan
suhu pada fase ini hanya sampai 30.5oC yang menandakan proses pra-perlakuan
yang terjadi hanya parsial. Pada fase ini bakteri termofilik mulai berperan dalam
merombak protein dan karbohidrat nonselulosa seperti hemiselulosa. Bakteri
Thermofilik actinomycetes mulai tumbuh dan jumlahnya terus bertambah karena
bakteri ini tahan terhadap panas. Sebagian dari bakteri ini mampu merombak
selulosa, tetapi jamur ini akan merombak hemiselulosa dan selulosa (Nan
Djuarnani, 2004). Penurunan suhu disebabkan karena pada akhir reaksi dihasilkan
air. Faktor lain yang mempengaruhi besarnya kedua parameter tersebut sehingga
bernilai fluktuatif yaitu karena terlalu lamanya proses pra-perlakuan ini
berlangsung yaitu selama 9 hari.
18
Proses biooksidasi parsial selama tahap pra-perlakuan berpengaruh pada
adanya perubahan karakteristik pada jerami sorgum. Reaksi yang terjadi selama
proses pra-perlakuan adalah sebagai berikut:
Hasil karakteristik jerami sorgum pada awal dan setelah pra-perlakuan
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Karakteristik jerami sorgum pra-perlakuan
Bahan
Parameter analisis (%wb)
Kadar air TS Kadar abu VS TKN
Jerami sorgum H-0 75.36 ±
0.00
24.64 ±
0.00
1.72 ±
0.00
22.91 ±
0.00
0.05 ±
0.02
Jerami sorgum H-9 77.58 ±
0.00
22.42 ±
0.00
1.08 ±
0.06
21.34 ±
2.24
0.02 ±
0.00
Selama proses pra-perlakuan berlangsung, terjadi penurunan bobot jerami
sorgum yang dipra-perlakuan secara drastis yaitu 11750.84 gram pada H-0
menjadi 1691.55 gram pada H-9. Adanya penurunan bobot tersebut disebabkan
karena adanya aktifitas mikroorganisme dalam pendegradasian bahan organik
yang terdapat di dalam jerami sorgum sehingga membuat berkurangnya volatile
solid pada jerami sorgum dan padatan total sehingga berpengaruh dengan
berkurangnya bobot jerami sorgum setelah pra-perlakuan H-9.
Berdasarkan hasil analisis karakteristik pada Tabel 6 terlihat bahwa terjadi
peningkatan kandungan air pada H-0 ke H-9 (wb) yaitu 75.36% menjadi 77.58%.
Peningkatan nilai kadar air ini disebabkan karena adanya air yang dihasilkan
sebagai hasil utama pada reaksi yang terjadi selama proses pra-perlakuan
berlangsung. Peningkatan kadar air sebesar 2.95% ini juga disebabkan karena
terlalu lamanya waktu pra-perlakuan yaitu selama 9 hari sehingga membuat
jerami sorgum yang dipra-perlakuan menghasilkan H2O cukup banyak.
Menurut Sun dan Cheng (2002) dalam Harmsen et al. (2010), tujuan dari
proses pra-perlakuan adalah untuk memecah lignin, memecah struktur kristal
selulosa, meningkatkan porositas bahan, memecah hemiselulosa, dan
depolimerisasi hemiselulosa. Pada penelitian ini perlakuan biooksidasi parsial
sengaja diberikan pada jerami sorgum agar kandungan bahan organik (VS) pada
bahan tidak terlalu banyak yang hilang karena terurai oleh bakteri pengurai. Jika
terjadi maka dapat berpengaruh pada produksi biogas saat fermentasi anaerob.
Hasil pada Tabel 6 memperlihatkan bahwa proses biooksidasi parsial pada tahap
19
pra-perlakuan tidak menurunkan bahan organik (volatile solid) jerami sorgum
secara signifikan karena hanya menurunkan volatile solid dari 22.91% (wb) pada
H-0 menjadi 21.34% (wb) pada H-9 atau jika dilihat berdasarkan TS/VS maka
92.98% pada H-0 menjadi 88.73% pada H-9 atau hanya sebesar 6.85% selama 9
hari pra-perlakuan.
Penurunan volatile solid yang tidak terlalu signifikan tersebut disebabkan
karena pra-perlakuan yang diberikan pada jerami sorgum hanya terjadi secara
parsial. Dengan kata lain hanya menyebabkan struktur lignoselulosa jerami
sorgum lebih terbuka serta meningkatnya tingkat porositas lignoselulosa pada
jerami sorgum. Adanya peningkatan tingkat porositas lignoselulosa akan lebih
memudahkan mikroorganisme penghasil metan untuk mendegradasi bahan
organik hasil pendegradasian pra-perlakuan tersebut saat proses fermentasi
anaerobik. Ini akan berpengaruh dalam mempersingkat fase lag dan meningkatkan
fase eksponensial dalam produksi biogas selama fermentasi sehingga dapat
meningkatkan total volume gas yang dihasilkan. Ilustrasi pengaruh pra-perlakuan
disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Pengaruh proses pra-perlakuan
Sumber : Jaka Abdillah dan Gawa R. Mahadin (2011)
Selain itu hasil pada tabel di atas memperlihatkan bahwa terjadi penurunan
nilai kadar abu dari 1.72% (wb) atau 7.1% (db) pada H-0 menjadi 1.08% (wb)
atau 4.7% (db) setelah 9 hari pra-perlakuan dengan tingkat penurunan kandungan
abu sebesar 37.21%. Proses penyisihan mineral ini disebut demineralisasi.
Kandungan mineral (abu) sangat menentukan terhadap kualitas produk hasil pra-
perlakuan, apabila tingkat penyisihan mineral (demineralisasi) tinggi maka
kandungan mineral pada produk pra-perlakuan semakin kecil sehingga kualitas
produk pra-perlakuan yang akan dijadikan umpan pada tahap fermentasi anaerob
semakin baik. Proses demineralisasi dalam proses pra-perlakuan memanfaatkan
kemampuan mikroba dalam mendegradasi mineral pada jerami sorgum.
Penurunan kandungan abu dalam bahan tersebut sebagai hasil reaksi antara asam
dengan mineral yang ada di jerami sorgum. Penurunan kandungan abu terjadi
seiring dengan meningkatnya kandungan asam yang diproduksi oleh bakteri pada
fase mesofilik dalam jerami sorgum pra-perlakuan.
Hasil pada Tabel 6 memperlihatkan adanya penurunan nilai total nitrogen
dari H-0 sebesar 0.05% (wb) atau 0.22% (db) menjadi 0.02% (wb) atau 0.08%
(db) pada H-9. Hal tersebut menunjukkan bahwa penurunan nilai nitrogen
20
mengindikasikan adanya penggunaan nitrogen sebagai salah satu nutrisi dalam
aktifitas metabolisme bakteri untuk mendegradasi bahan organik. Selama proses
penguraian tahap pra-perlakuan, mikroorganisme menggunakan nitrogen sebagai
sumber nutrisi atau sebagai zat pembangun sel mikroorganisme dan sintesis
protein. Oleh karena itu penggunaan nitrogen oleh mikroorganisme menyebabkan
penurunan jumlah nitrogen di dalam bahan. Sedangkan adanya penurunan nilai
kadar nitrogen pada jerami sorgum segar ke jerami sorgum H-0 pra-perlakuan dari
0.12% (wb) atau 1.67% (db) menjadi 0.05% (wb) atau 0.22% (db) menandakan
bahwa sudah adanya proses penguraian bahan organik pada jerami sorgum dengan
adanya penambahan inokulum biofarm yang mengandung nitrogen pada hari ke-0
atau saat ditambahkannya inokulum Biofarm. Inokulum biofarm ini bermanfaat
dalam menambahkan nutrien ke dalam jerami sorgum sehingga berfungsi dalam
mempercepat aktifitas mikroorganisme pengurai dalam proses biooksidasi parsial.
Co-digestion Jerami Sorgum-Lumpur (Sludge)
Produksi biogas menggunakan campuran dua bahan atau lebih (co-
digestion) dapat menghasilkan total produksi gas yang bervariasi. Pencampuran
bahan-bahan tersebut harus sesuai dengan beberapa persyaratan produksi gas atau
pertumbuhan normal bakteri metan yang sesuai. Co-digestion merupakan salah
satu cara untuk meningkatkan produksi biogas karena dapat menciptakan
kandungan nutrisi yang optimum pada susbtrat sehingga dapat mendukung
aktifitas metabolismenya mikroorganisme selama fermentasi. Pada penelitian ini
substrat berasal dari pencampuran dua bahan yaitu sludge dan jerami sorgum
setelah pra-perlakuan.
Pencampuran sludge dengan jerami sorgum hasil pra-perlakuan
mempengaruhi total volume dan laju produksi gas yang dihasilkan. Hal ini
dipengaruhi oleh kandungan kandungan karbon dalam jerami sorgum dan nitrogen
dalam sludge. Menurut Yani dan Darwis (1990), mikroba yang berperan dalam
proses fermentasi anaerob membutuhkan nutrisi berupa sumber karbon dan
sumber nitrogen. Unsur N banyak terbentuk dari protein sedangkan unsur C
banyak dibentuk oleh karbohidrat, selulosa, lemak, asam-asam organik, dan
alkohol (Susanto, dkk 1988). Karbon akan menjadi sumber makanan dan energi
bagi mikroorganisme dalam pembentukan gas metan, sedangkan adanya
kandungan nitrogen dalam sludge akan mempercepat laju pengkonversian
senyawa organik sederhana menjadi gas metan.
Pengkomposisian substrat yang berasal dari co-digestion jerami sorgum
hasil pra-perlakuan dengan sludge berdasarkan perbandingan jerami
sorgum:sludge, diantaranya komposisi 100:0; 80:20; 60:40: dan 40:60. Dengan
demikian tingkat rasio pencampuran antara jerami sorgum:sludge akan
mempengaruhi tingkat aktifitas metabolisme bakteri anaerobik selama proses
fermentasi anaerob sehingga akan berpengaruh pada kinerja digester dalam
produksi biogas. Pencampuran jerami sorgum-sludge bertujuan agar diperoleh
komposisi optimum yang menghasilkan jumlah gas maksimum. Adapun hasil
karakteristik dari tiap komposisi pada H-0 reaktor ada pada Tabel 7.
21
Tabel 7. Karakteristik substrat H-0 reaktor
Bahan Parameter analisis (%wb)
pH Kadar air TS Kadar abu VS TKN
100/0 7.2 85.02 ±
0.00
14.98 ±
0.00
0.98 ±
0.00
13.99 ±
0.00
0.04 ±
0.02
80/20 7.3 85.82 ±
0.00
14.18 ±
0.00
1.97 ±
0.00
12.22 ±
0.00
0.04 ±
0.01
60/40 7.3 86.05 ±
0.00
13.95 ±
0.00
3.39 ±
0.00
10.55 ±
0.00
0.05 ±
0.00
40/60 7.2 85.97 ±
0.00
14.03 ±
0.00
3.83 ±
0.45
10.19 ±
0.27
0.05 ±
0.00
Hasil analisis karakteristik tersebut menggambarkan kondisi yang
diberikan terhadap substrat yang akan dilakukan proses fermentasi anaerob. Nilai
pH yang relatif netral bertujuan agar mikroorganisme dapat tumbuh optimum.
Menurut Yani dan Darwis (1990), nilai pH terbaik untuk suatu digester yaitu
sekitar 7.0. Pada Tabel 7 terlihat bahwa semua perlakuan komposisi masih berada
dalam pH netral sehingga kondisi ini dapat mendukung aktifitas bakteri anaerob
selama proses fermentasi.
Kondisi lain yang diinginkan yaitu presentase padatan total sebesar 12%.
Menurut Van Buren (1979), agar dapat beraktifitas normal, bakteri penghasil
biogas memerlukan substrat dengan kadar air 90% dan kadar padatan 8-10%.
Menurut Romli (2013), nilai TS umpan dibawah 10% dikategorikan sebagai
fermentasi basah, sedangkan diatas 20% dikategorikan sebagai fermentasi kering.
Tingginya kadar air pada fermentasi basah menjamin terjadinya kontak interaksi
antara mikroorganisme dengan substrat, sedangkan rendahnya kadar air pada
fermentasi kering membuat rendahnya kontak antara bakteri dengan substrat. Oleh
karena itu besarnya jumlah bahan yang akan dicampurkan menjadi substrat akan
dihitung berdasarkan presentase kadar air dan padatan total masing-masing bahan
yang kemudian disesuaikan dengan presentase padatan total yang diinginkan yaitu
12%. Nilai TS tersebut memberikan kondisi semi kering pada saat fermentasi
anaerob. Kondisi ini diberikan agar susbtrat tidak mengalami kelebihan atau
kekurangan kandungan air. Selain itu agar intensitas kontak antara bakteri anaerob
dengan substrat tetap terjamin sedangkan ukuran volume reaktor yang digunakan
masih dalam skala yang tidak perlu terlalu besar.
Pada Tabel 7 terlihat bahwa besarnya nilai bahan organik dan total
nitrogen tergantung pada banyaknya jerami sorgum atau sludge yang
ditambahkan. Peningkatan nilai kandungan nitrogen seiring dengan semakin
besarnya jumlah sludge yang ditambahkan. Semakin besar nilai bahan organik
menunjukkan semakin besar presentase jerami sorgum yang digunakan. Adapun
besarnya kandungan volatile solid tiap perlakuan dalam (db) ialah 93.43% untuk
komposisi 100:0; 86.13% untuk komposisi 80:20; 75.65% untuk komposisi 60:40;
dan 72.66% untuk komposisi 40:60. Besarnya jumlah jerami sorgum dan sludge
yang ditambahkan berpengaruh pada jumlah nutrien yang akan digunakan
mikroorganisme dalam mendegradasi bahan organik selama proses fermentasi
anaerob. Jumlah bahan yang akan digunakan dari tiap masing-masing sampel
dapat dilihat pada lampiran 3-7.
22
Kinerja Digester Selama Fermentasi Anaerob
Pada proses fermentasi anaerob, senyawa organik dari jerami sorgum hasil
pretreatment yang telah mengalami biooksidasi parsial akan didekomposisi
menjadi gas metan oleh adanya aktifitas mikroorganisme penghasil biogas. Reaksi
dekomposisi ini memiliki jalur metabolik yang cukup kompleks. Secara umum
reaksi dekomposisi anaerobik digolongkan menjadi empat tahapan, yaitu tahap
hidrolisis, tahap pembentukan asam (asidogenesis), tahap pembentukan asetat
(asetogenesis) dan tahap pembentukan metana (metanogenesis) (Gijzen, 1987).
Menurut Kadir (1987), komponen utama biogas adalah CH4 (55-65%), CO2 (36-
45%), N2 (0-3%), H2 (0-1%), O2 (0-1%), dan H2S (0-1%). Adapun reaksi
keseluruhan ada di Gambar 7.
Gambar 8. Reaksi keseluruhan pembentukan biogas
Perlakuan komposisi substrat 100:0; 80:20; 60:40; dan 40:60 dilakukan
dengan pengulangan dua kali sehingga hasil total volume gas kumulatifnya dapat
dirata-rata dan diperoleh total volume gas yang mewakili tiap perlakuan. Oleh
karena itu dalam grafik total volume dan laju produksi gas terdapat error bars
dengan menggunakan standar deviasi. Error bars tiap data gas semua perlakuan
dihitung standar deviasi dari tiap rata-rata total volume gas perharinya kemudian
diplotkan bersama data gas pada grafik kumulatif gas tersebut. Error bars (standar
deviasi) yang digunakan pada tiap grafik sampel perlakuan menunjukkan besarnya
variasi dari data-data hasil pembentukan gas yang dilakukan sebanyak dua
ulangan tersebut. Apabila besarnya error bars semakin kecil, maka besarnya
variasi data pun semakin kecil. Begitu pula apabila error bars semakin besar,
maka besarnya variasi data juga semakin besar. Adapun grafik total volume dan
laju pembentukan gas disajikan pada Gambar 8.
Gambar 9. Grafik total volume gas kumulatif harian rata-rata (L/kg TS biomassa)
23
Berdasarkan grafik pada Gambar 8, total volume gas rata-rata tiap sampel
komposisi dalam L/kg TS biomassa secara berurutan yaitu 66.9 untuk komposisi
100:0; 122.3 untuk komposisi 80:20; 115.4 untuk komposisi 60:40; dan 13.4
untuk komposisi 40:60. Grafik tersebut memeperlihatkan bahwa semakin lama
proses fermentasi anaerob berpengaruh pada produksi gas kumulatif yang semakin
meningkat. Selain itu grafik memperlihatkan bahwa gas sudah mulai dihasilkan
pada H-0 pada semua sampel komposisi. Namun, produksi gas yang besar pada
awal proses bukan bearti memiliki kandungan metan (CH4) yang besar, karena
bisa jadi gas yang dihasilkan adalah CO2 dan H2S. Menurut Care (2011), gas yang
pertama terbentuk belum bisa dimanfaatkan karena didominasi oleh CO2,
selanjutnya biogas terbentuk pada hari ke 4-5 sesudah biodigester terisi penuh dan
mencapai puncak pada hari ke 20-25.
Perlakuan susbtrat komposisi 100:0 menunjukkan bahwa telah terjadi fase
lag yang cukup lama yaitu lebih dari 1 bulan karena total volume gas yang
dihasilkan hanya 6.4 L/kg TS biomassa dengan laju produksi gas 0.21 L/hari.
Setelah itu fase eksponensial yang ditandai dengan adanya peningkatan total
volume gas yang terjadi pada hari ke-30 hingga hari terakhir fermentasi hari ke-
102 yaitu 66.9 L/kg TS biomassa dengan laju produksi gas 0.89 L/hari.
Berdasarkan hasil tersebut maka terlihat bahwa laju proses pembentukan gas
perlakuan 100:0 berjalan secara lambat, walaupun besarnya total volume
pembentukan gas terus mengalami peningkatan hingga hari terakhir fermentasi.
Hal ini disebabkan karena pada perlakuan ini besarnya umpan yang dimasukkan
sebagai substrat adalah 100% jerami sorgum sehingga menyebabkan besarnya
kadar volatile solid substrat tinggi. Tingginya jumlah bahan organik menunjukkan
bahwa semakin banyak pula bahan organik yang akan dikonversi oleh
mikroorganisme anaerob menjadi metan sehingga total volume gas yang terbentuk
hingga hari terakhir fermentasi akan semakin bertambah. Namun tidak adanya
penambahan sludge pada substrat jerami sorgum ini menyebabkan tingkat laju
pembentukan gas perlakuan ini cenderung lambat. Perlakuan komposisi 100:0
merupakan salah satu dari dua perlakuan yang memiliki error bars yang besar.
Hal ini terlihat pada grafik Gambar 8 yang memperlihatkan bahwa besarnya error
bars pada perlakuan ini mulai meningkat setelah hari ke-27. Besarnya error bars
ini menunjukkan cukup besarnya variasi data yang dihasilkan oleh perlakuan
100:0.
Perlakuan susbtrat komposisi 80:20 memperlihatkan bahwa telah terjadi
fase lag hanya selama 2 minggu dan menghasilkan total volume produksi gas 7.2
L/kg TS biomassa dengan besarnya laju produksi gas 0.51 L/hari. Total volume
dan laju produksi gas perlakuan 80:20 selama fase lag merupakan yang terbesar
dibanding dengan perlakuan lainnya. Selain itu lamanya fase lag berlangsung
secara singkat dan cenderung tidak berbeda dengan perlakuan 60:40 yang hanya 2
minggu. Setelah itu total volume produksi gas meningkat dengan tajam pada fase
eksponensial hingga hari ke-81 yaitu menjadi 117.4 L/kg TS biomassa dengan
laju produksi sebesar 1.65 L/hari. Laju produksi gas perlakuan ini selama fase
eksponensial masih lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan 60:40.
Namun peningkatan total volume gas setelah hari ke-81 mulai melambat hingga
hari ke-102 dan mencapai 122.3 L/kg TS biomassa.
Perlakuan komposisi 80:20 menghasilkan laju produksi gas yang lebih cepat
dan pada akhirnya menghasilkan total volume gas kumulatif yang paling besar
24
dibandingkan dengan perlakuan komposisi lainnya. Total volume dan laju
pembentukan gas yang optimum ini disebakan karena terpenuhinya nutrisi
optimum yang dibutuhkan mikroorganisme anaerob selama proses fermentasi.
Oleh karena itu komposisi substrat yang terdiri dari 80% jerami sorgum dan 20%
sludge merupakan komposisi ideal subtrat yang dimasukkan ke dalam reaktor. Hal
ini menandakan bahwa besarnya jumlah bahan organik jerami sorgum pada
substrat diimbangi dengan adanya penambahan sludge yang sesuai. Dengan kata
lain adanya penambahan sludge dengan jumlah ideal menyebabkan kandungan
nitrogen di dalamnya berpengaruh pada aktifitas metabolisme mikroorganisme
anaerob yang secara optimum mempercepat pendegradasian bahan organik. Selain
perlakuan komposisi 100:0, perlakuan komposisi 80:20 juga memiliki error bars
yang besar. Hal ini dapat terlihat pada grafik yang menunjukkan bahwa semakin
setelah hari ke-30 maka besarnya error bars perlakuan 100:0 semakin besar,
sedangkan pada awal waktu fermentasi hingga hari ke-30 besarnya error bars
masih kecil. Dengan demikian besarnya variasi data pada perlakuan ini meningkat
seiring dengan lamanya waktu fermentasi.
Perlakuan substrat komposisi 60:40 menghasilkan laju produksi gas yang
cenderung tidak berbeda dengan perlakuan komposisi 80:20. Hal ini dikarenakan
grafik pembentukan gas 60:40 masih dalam range error bars (standar deviasi)
perlakuan 80:20. Selain itu jika dilihat pada Gambar 8, grafik pembentukan gas
perlakuan 60:40 cenderung tidak berbeda dengan perlakuan 80:20. Grafik
perlakuan 60:40 menunjukkan variasi data yang cukup kecil sesuai dengan error
bars yang diperlihatkan pada gambar di atas. Tingkat variasi data yang rendah
sudah terlihat sejak awal waktu fermentasi hingga akhir waktu fermentasi. Pada
perlakuan komposisi 60:40, fase lag perlakuan komposisi ini terjadi selama 2
minggu dan memiliki total volume gas kumulatif yang berada di bawah perlakuan
komposisi 100:0 yaitu hanya 1.9 L/kg TS biomassa dengan besarnya laju produksi
gas 0.14 L/hari. Besarnya laju produksi gas selama fase lag tersebut lebih rendah
dibanding dengan perlakuan 80:20. Namun setelah minggu ke-2 total volume
produksi gas meningkat tajam pada fase eksponensial hingga hari ke-55 yang
mencapai 104.6 L/kg TS biomassa dengan laju produksi gas sebesar 2.89 L/hari.
Besarnya laju produksi gas perlakuan 80:20 selama fase eksponensial adalah yang
terbesar dibanding dengan perlakuan lainnya. Selain itu total volume gas pada
fase eksponensial perlakuan 60:40 sempat lebih besar dibandingkan dengan
perlakuan 80:20 yaitu pada hari ke-28 hingga hari ke-55.
Peningkatan laju dan total volume pembentukan gas perlakuan 60:40
disebabkan karena jumlah penambahan sludge pada substrat jerami sorgum
sebesar 40% dari komposisi substrat, jumlah tersebut lebih besar dibanding
dengan perlakuan 80:20 yang hanya 20% dari komposisi substrat. Oleh karena itu
tingginya jumlah nitrogen yang terkandung di dalam substrat perlakuan 60:40
membuat laju pendegradasian bahan organik menjadi lebih cepat. Tingginya laju
pembentukan gas ini membuat total volume gas yang terbentuk juga meningkat.
Namun setelah hari ke-71 laju produksi gas semakin lambat hingga hari ke-91
yang mencapai 115.3 L/kg TS biomassa. Hal ini menandakan bahwa telah
banyaknya bahan organik yang terdegradasi oleh mikroorganisme menjadi gas.
Besarnya total volume gas yang terbentuk masih di bawah perlakuan komposisi
80:20. Penurunan laju dan total volume pembentukan gas ini disebabkan karena
komposisi substrat 60:40 ini sudah tidak ideal bagi aktifitas metabolisme
25
mikroorganisme. Selain itu banyaknya bahan organik yang telah terdegradasi di
awal fermentasi membuat susbtrat minim bahan organik. Oleh karena itu pada
grafik terlihat bahwa setelah hari ke-91 terjadi fase stationer hingga hari ke-102
laju produksi gas kumulatif melambat dan hanya mencapai 115.4 L/kg TS
biomassa.
Perlakuan substrat komposisi 40:60 menghasilkan laju dan total produksi
gas terkecil. Hal ini terlihat pada grafik di atas yang menunjukkan bahwa fase lag
terpanjang dimiliki oleh perlakuan yaitu selama 38 hari yang hanya menghasilkan
total volume gas sebesar 1.8 L/kg TS biomassa dengan laju produksi gas 0.05
L/hari. Setelah itu fase eksponensial hanya terjadi dari hari ke-39 ke hari ke-66
yang hanya mencapai 12.6 L/kg TS biomassa dengan besarnya laju produksi gas
0.35 L/hari. Besarnya laju dam total volume produksi gas perlakuan 40:60 baik
pada fase lag maupun fase stasioner merupakan yang terendah dibandingkan
dengan perlakuan lainnya. Selain itu perlakuan komposisi ini memiliki fase
stationer terpanjang yang terjadi setelah hari ke-66 hingga akhir fermentasi pada
hari ke-102 dengan total volume gas kumulatif hanya 13.4 L/kg TS biomassa.
Rendahnya laju dan total volume pembentukan gas ini disebabkan karena substrat
yang dimasukkan hanya terdiri dari 40% jerami sorgum, sedangkan penambahan
sludge sangat tinggi yaitu 60% dari komposisi substrat. Rendahnya kandungan
bahan organik pada substrat menyebabkan rendahnya kandungan bahan organik
yang akan didegradasi oleh mikroorganisme anaerob sehingga berpengaruh pada
rendahnya total volume gas yang dihasilkan. Hal tersebut diperparah dengan
tingginya kandungan nitrogen pada substrat yang berasal dari sludge sehingga
menyebabkan adanya kelebihan kandungan nitrogen pada substrat.
Kelebihan kandungan nitrogen dapat menjadi inhibitor bagi aktifitas
metabolisme mikroorganisme selama proses fermentasi. Adanya kelebihan
kandungan nitrogen ini dapat menyebabkan inhibisi amonia atau proses dimana
nitrogen akan dibebaskan dan berakumulasi dalam bentuk ammonium (CH4+) dan
ammonia bebas (NH3), yang dimana NH3 dapat menjadi inhibitor selama proses
fermentasi karena bersifat permeabel dan toksik sehingga dapat menyebabkan
peningkatan pH. Jika pH lebih tinggi dari 8,5 maka akan mengakibatkan pengaruh
yang negatif pada populasi bakteri metanogen sehingga akan mempengaruhi laju
pembentukan biogas dalam reaktor. Selain itu senyawa NH3 dapat berdifusi ke
dalam sel mikroorganisme sehingga menyebabkan ketidakseimbangan proton
serta defisiensi kalium. Selain itu jika konsentrasinya sudah mencapai 1.7-14 g/L
maka Total Ammonia Nitrogen (TAN) dapat mengakibatkan penurunan produksi
metan hingga 50% (Anonim, 2013). Oleh karena itu pada grafik di atas
menunjukkan bahwa hasil total volume dan laju pembentukan gas perlakuan
40:60 sangat rendah. Selain itu grafik pembentukan gas perlakuan 40:60
menunjukkan variasi data yang cukup kecil sesuai dengan error bars yang
diperlihatkan pada gambar di atas. Tingkat variasi data yang rendah sudah terlihat
sejak awal waktu fermentasi hingga akhir waktu fermentasi.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas terlihat bahwa co-
digestion jerami sorgum yang telah mengalami pra-perlakuan dengan sludge dapat
mempengaruhi total volume dan laju pembentukan gas yang dihasilkan.
Walaupun besarnya total volume dan laju pembentukan gas tiap perlakuan
komposisi tidak serupa. Pengaruh pencampuran kedua bahan ini menyebabkan
adanya kandungan mikro nutrien yang dibutuhkan bakteri dalam mengoksidasi
26
material organik serta adanya transformasi nutrisi sehingga sangat baik jika
digunakan sebagai material bibit pada proses fermentasi anaerob dalam produksi
biogas. Selain itu menurut Setiawan (1996), sludge memiliki kelebihan lain yaitu
setelah keluar dari digester biasanya sludge telah matang karena telah mengalami
proses penguraian di dalam alat. Adapun bakteri yang umum dijumpai adalah
Zooglea, Pseudomonas, Flavobacterium, Alcaligenes, Bacillus, Achromobacter,
Corynebacterium, Comomonas, Brevibacterium, dan Acinetobacter. Banyaknya
kandungan bakteri yang berperan dalam oksidasi material organik dan
transformasi nutrisi membuat sludge sangat baik jika digunakan sebagai material
bibit pada proses fermentasi anaerob dalam produksi biogas.
Pencampuran jerami sorgum-sludge dengan komposisi pencampuran 80:20
dan 60:40 berpengaruh positif terhadap kinerja digester dalam mempersingkat
fase lag, mempercepat laju pembentukan biogas, serta meningkatkan yield biogas
umpan. Pengaruh positif dengan adanya pencampuran jerami sorgum-sludge ini
lebih disebabkan karena adanya keseimbangan komposisi substrat dalam umpan,
terutama komposisi antara karbon dan nitorgen. Oleh karena itu rasio C/N substrat
merupakan faktor penting yang berpengaruh pada aktifitas metabolisme
mikroorganisme dalam produksi gas.
Pencampuran antara 20% sludge ke dalam 80% jerami sorgum setelah pra-
perlakuan dengan basis 300 gram memiliki laju produksi optimum sehingga
menghasilkan total volume gas kumulatif maksimum. Dengan demikian perlakuan
komposisi jerami sorgum:sludge 80:20 memiliki jumlah nutrisi optimum yang
dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk aktifitas metabolisme pertumbuhannya
dalam mendegradasi bahan organik sehingga mendukung terbentuknya total
volume dan laju produksi gas secara maksimal. Namun jika komposisi optimum
tersebut tidak terpenuhi lagi maka akan berpengaruh negatif terhadap kinerja
digester dalam proses pembentukan gas. Oleh karena itu komposisi 60:40 tidak
lagi ideal sehingga menyebabkan total volume dan laju pembentukan gas
cenderung menurun dan rendah. Hal ini disebabkan karena banyaknya bahan
organik yang telah terdegradasi di awal fermentasi sehingga membuat susbtrat
minim bahan organik. Sama halnya dengan komposisi 60:40, total volume dan
laju produksi gas pada sampel komposisi 100:0 dan 40:60 berada di bawah sampel
komposisi optimum. Adanya kelebihan atau kekurangan salah satu dari kedua
nutrisi tersebut sangat berpengaruh pada total volume dan laju produksi gas yang
dihasilkan
Apabila kandungan nilai karbon terlalu tinggi dibanding nitrogen maka
nitrogen akan dikonsumsi dengan cepat oleh bakteri metanogen untuk memenuhi
kebutuhan pertumbuhannya dan hanya sedikit yang bereaksi dengan karbon,
akibatnya gas yang dihasilkan menjadi rendah. Sebaliknya jika nitrogen terlalu
besar maka dapat terjadi inhibisi ammonia yang dapat menjadi inhibitor bagi
aktifitas metabolisme mikroorganisme selama proses fermentasi anaerob.
Rendahnya total gas dan laju produksi gas yang dihasilkan dipengaruhi oleh
beberapa faktor perlakuan awal bahan yang digunakan, diantaranya kondisi sludge
yang sedang tidak beroperasi di dalam unit pengelolaan limbah sehingga tidak
terlalu banyak mengandung zat pengurai yang baik untuk menghidrolisis bahan
yang masih baru dan jerami sorgum yang hanya dipanen selama 70 hari dari yang
semestinya 3 bulan atau 90 hari sehingga lebih berair dan berpengaruh pada
produksi gas.
27
Karakteristik Perlakuan Komposisi Jerami Sorgum:Lumpur (60:40)
Pertumbuhan gas akan optimum jika substrat yang dimasukkan memiliki
nutrisi yang optimum. Oleh karena itu pada awal penelitian difokuskan bahwa
sampel dengan komposisi 60:40 karena dianggap memiliki perbandingan yang
cukup ekstrim sehingga dianalisis tiap 2 minggu, dimulai dari hari ke-0 (H-0);
minggu ke-2 (H-14); minggu ke-4 (H-28); minggu ke-6 (H-42); minggu ke-12 (H-
84) dan hari ke-102 (H-102). Karakteristik dilakukan terhadap digestat dan
leachate dari substrat. yang dilakukan terhadap digestat berupa kadar air, %TS,
%VS, kadar abu, dan TKN, sedangkan karakteristik terhadap leachate berupa
COD dan VFA.
Adanya karakteristik pada sampel 60:40 tiap dua minggu ini menunjukkan
reaksi yang terjadi selama proses fermentasi anaerob dalam reaktor. Selain itu
karakteristik ini dapat menerangkan proses pembentukan gas metan yang berasal
dari proses pendegradasian bahan organik oleh mikroorganisme. Dengan kata lain
hasil karakteristik sampel komposisi 60:40 tiap dua minggu ini dapat menjadi
parameter pertumbuhan gas metan dan aktifitas metabolisme mikroorganisme
selama proses fermentasi anaerob di reaktor sehingga menyebabkan adanya
perubahan kondisi dan kinerja substrat ketika dalam reaktor anaerobik. Hasil
karakteristik digestat perlakuan komposisi 60:40 disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Karakteristik digestat perlakuan komposisi 60:40
Bahan
Parameter analisis (%wb)
pH Kadar air TS Kadar abu VS TKN
H-0 7.3 86.05 ±
0.00
13.95 ±
0.00
3.39 ±
0.00
10.55 ±
0.00
0.05 ±
0.00
H-14 7 86.44 ±
0.03
13.56 ±
0.03
3.23 ±
0.36
10.33 ±
0.32
0.05 ±
0.00
H-28 8 86.45 ±
0,01
13.55 ±
0.01
3.25 ±
0.21
10.30 ±
0.21
0.05 ±
0.00
H-42 8 86.46 ±
0,01
13.54 ±
0.01
3.33 ±
0,17
10.20 ±
0.16
0.06 ±
0.00
H-84 8 87.94 ±
0.35
12.06 ±
0.35
2.43 ±
1.28
9.63 ±
1.63
0.07 ±
0,00
H-102 8 91.74 ±
0.04
8.26 ±
0.04
2.06 ±
0.27
6.21 ±
0.23
0.09 ±
0.01
Sedangkan hasil karakteristik leachate perlakuan komposisi 60:40 disajikan
pada Tabel 9.
28
Tabel 9. Karakteristik leachate perlakuan komposisi 60:40
Parameter
Nilai (mg/L)
Hari
ke-0
Hari
ke-14
Hari
ke-28
Hari
ke-42
Hari
ke-84
Hari
ke-102
80:20
Hari
ke-102
COD - 9509 1132 5077 2587 1947 4552
VFA - 599.6 - 1130 - 182.1 108.5
Asetat - 299.1 - 305.3 - 107.6 53.2
Propionat - 116 - 633.4 - 58.1 41.7
iso-Butirat - 20.3 - 13.9 - 1.0 0.7
n-Butirat - 65.6 - 62.2 - 3.5 4.8
iso-Valerat - 36.3 - 64.9 - 5.9 4.3
n-Valerat - 62.3 - 50.3 - 6.0 3.9
Hasil karakteristik pada Tabel 8 memperlihatkan bahwa adanya reaksi yang
terjadi selama fermentasi anaerob sehingga menyebabkan terjadinya perubahan
kondisi dan nilai karakteristik substrat pada beberapa parameter. Pada tabel
terlihat bahwa nilai pH substrat cenderung menurun pada dua minggu awal yaitu
dari 7,3 menjadi 7. Menurut Buyukkamaci dan Fillibeli (2004), nilai pH pada
awal perlakuan menunjukkan proses pengasaman dan perubahan bahan organik.
Penurunan pH substrat menjadi asam menunjukkan bahwa fermentasi masih
berada dalam tahap asidifikasi, dimana bakteri asedogenik mendekomposisi bahan
menjadi asam-asam lemak yang mudah menguap yang mengandung banyak asam
asetat dan sedikit asam butirat, propionat, serta laktat. Selain itu pembentukan
asam laktat oleh bakteri asetogenik di tahap asetogenesis penting untuk kelanjutan
produksi gas metana pada tahap metanogenesis. Banyaknya pembentukan asam
organik ini belum dapat diimbangi oleh kinerja bakteri metanogen dalam
mengkonsumsi asam organik menyebabkan adanya akumulasi VFA (Volatile
Fatty Acid). Perubahan nilai pH memiliki korelasi dengan perubahan total VFA
substrat. VFA merupakan parameter untuk membuktikan terjadinya perombakan
selama proses pembentukan biogas. Analisis VFA dilakukan pada awal fermentasi
(hari ke-14), tengah fermentasi (hari ke-42), dan akhir fermentasi (hari ke-102)
yang bertujuan untuk mengetahui penurunan dan kenaikan nilai VFA substrat.
Hasil pada Tabel 9 memperlihatkan total VFA pada hari ke-14 adalah 599.6
mg/L. Kandungan VFA yang paling dominan adalah asam asetat sebesar 299.1
mg/L dan sisanya adalah asam propionat, iso-Butirat, n-Butirat, n-Valerat, dan
iso-Valerat. Total VFA meningkat pada hari ke-42 menjadi 1130 mg/L, begitu
pula dengan nilai asam asetat yang turut meningkat menjadi 305.3 mg/L walaupun
asam organik yang dominan adalah asam propionat sebesar 633.4 mg/L.
Peningkatan total VFA ini menyebabkan penurunan nilai pH yang
menunjukkan bahwa adanya akumulasi pembentukan asam organik yang belum
terdekomposisi oleh bakteri anaerobik menjadi gas metan. Sebagaimana telah
dinyatakan oleh Romli (2013) bahwa bakteri asidogen memiliki laju pertumbuhan
yang lebih tinggi dibanding dengan bakteri metanogen. Angga (2011) melaporkan
bahwa ketika pH turun akibat akumulasi VFA, maka alkalinitas yang ada dalam
29
sistem akan menetralkan asam dan menghambat penurunan pH lebih lanjut. Selain
itu Romli (2010) menerangkan bahwa sistem penanganan anaerobik memiliki
kapasitas untuk menyangga pH karena adanya alkalinitas yang dihasilkan oleh
kesetimbangan karbon dioksida dan ion karbonat dengan ion ammonium sebagai
kation utamanya. Dalam reaktor, karbon dioksida ada dalam kesetimbangan
dengan asam karbonat, yang terdisosiasi memberikan hidrogen dan ion karbonat.
Proses anaerobik juga mengandung sistem penyangga berbasis asam-asam lemah
lainnya, ammonia dan asam-asam ortofosfat serta asam-asam mudah menguap,
tetapi sistem asam karbonat adalah yang memiliki peranan paling penting (Romli,
2010).
Jika hasil pada Tabel 8 dan 9 dihubungkan dengan grafik Gambar 8 maka
terlihat saat memasuki hari ke-21 hingga hari ke-102 terjadi penurunan total
volume dan laju produksi gas serta diikuti penurunan total kandungan asam
organik pada perlakuan 60:40 pada H-102 sebesar 182.1 mg/L dengan kandungan
asam organik dominan berupa asam asetat yaitu 107.6 mg/L. Penurunan nilai
VFA yang terjadi pada perlakuan komposisi 60:40 serupa dengan yang terjadi
pada perlakuan komposisi 80:20. Jika dibandingkan dengan perlakuan komposisi
60:40 maka komposisi 80:20 memiliki jumlah VFA yang lebih rendah. Besarnya
jumlah VFA pada perlakuan komposisi 80:20 ialah 108.5 mg/L dengan jenis asam
organik dominan yaitu asam asetat sebesar 50.3. mg/L. Adanya penurunan nilai
VFA menandakan bahwa sebagian asam asetat telah terkonversi oleh bakteri
metanogen menjadi metan. Sedangkan sisanya masih akan diproses kembali
menjadi asam asetat sehingga memungkinkan perlakuan komposisi 80:20 dan
60:40 masih akan mengalami pembentukan gas walaupun secara lambat. Selain
itu lebih rendahnya nilai VFA perlakuan 80:20 dibanding 60:40 menunjukkan
bahwa jumlah asam asetat yang terdapat dalam perlakuan 80:20 lebih banyak
yang telah dikonversi oleh bakteri metanogen menjadi metan dibandingkan
dengan perlakuan 60:40. Oleh karena itu jika dilihat pada grafik pertumbuhan gas
maka total volume yang dihasilkan pada perlakuan 80:20 lebih tinggi
dibandingkan perlakuan 60:40.
Seiring dengan adanya penurunan nilai VFA terjadi peningkatan nilai pH
menjadi basa pada perlakuan 60:40 yaitu 8. Peningkatan nilai pH ini karena
adanya aktifitas bakteri metanogen dalam merombak asam asetat, CO2, dan
hidrogen pada proses metagonesis untuk menghasilkan metana sehingga nilai
keasaman berangsur-angsur akan menuju pH yang lebih basa. Perubahan pH
menjadi 8 masih dalam optimum produksi biogas, karena menurut Buyukkamaci
dan filibeli 2004, bakteri metanogen bisa tumbuh pada pH 6.5-8.5.
Menurut Van Buren (1979), agar dapat beraktifitas normal, bakteri
penghasil biogas memerlukan substrat dengan kadar air 90% dan kadar padatan 8-
10%. Oleh karena kondisi awal padatan total yang diinginkan yaitu 12% maka
besarnya nilai kadar air awal berkisar pada 88%. Pengaturan padatan total tersebut
bertujuan agar selama proses fermentasi anaerob berlangsung tidak terjadi
kekurangan atau kelebihan air pada substrat yang dapat mengakibatkan aktifitas
metabolisme bakteri metan terganggu. Hasil analisis pada Tabel 8 menunjukkan
bahwa besarnya kadar air perlakuan 60:40 mengalami peningkatan (wb) yaitu dari
86.05% pada H-0 menjadi 86.44 pada H-14; 86.45% pada H-28; 86.46% pada H-
42; 87.94% pada H-84; dan 91.74% pada H-102. Peningkatan kadar air
berbanding terbalik dengan nilai padatan total yang kian menurun (wb) yaitu dari
30
13.95% pada H-0 menjadi 13.56 pada H-14; 13.55% pada H-28; 13.54% pada H-
42; 12.06% pada H-84; dan 8.26% pada H-102.
Besarnya presentase penurunan nilai padatan total perlakuan 60:40 selama
102 fermentasi hari yaitu sebesar 40.79%, sedangkan besarnya nilai presentase
peningkatan kadar air hanya 6.61%. Penurunan nilai padatan total dan
peningkatan kadar air menunjukkan adanya aktifitas metabolisme mikroorganisme
dalam mendegradasi senyawa organik makro menjadi mikro molekul yang lebih
sederhana. Pada proses hidrolisis terdapat perombakan protein menjadi asam-
asam amino, karbohidrat menjadi glukosa, serta lemak menjadi asam lemak.
Senyawa mikro molekul tersebut kemudian akan melalui proses pengasaman
hingga menghasilkan asam asetat lalu akan dikonversi oleh bakteri metan hingga
menghasilkan metan dan hasil samping berupa uap air.
Penurunan nilai padatan total mengindikasikan terjadinya penurunan
kandungan volatile solid. Produksi gas yang dihasilkan semakin lama semakin
meningkat hingga akhirnya akan kembali menurun. Penurunan produksi gas
menunjukkan bahwa bahan organik yang ada pada substrat telah sebagian
didegradasi oleh bakteri. Sebagian besar padatan total akan digunakan oleh bakteri
untuk berkembangbiak. Padatan yang digunakan disebut juga volatile solid atau
padatan organik. Volatile solid berasal dari kandungan organik bahan. Volatile
Solid (VS) merupakan bahan makanan untuk proses hidrolisis dan pembentukan
asam secara anaerob (Hartono 2009). Hasil pada tabel 7 menunjukkan adanya
penurunan nilai VS dari mulai H-0 hingga H-102 yaitu dari 10.55% (wb) atau
75.65% (db) menjadi 6.21% atau 58.53% (db). Besarnya penurunan nilai padatan
organik selama 102 hari fermentasi mencapai 41.14%. Presentase nilai penurunan
volatile solid tersebut cenderung masih rendah jika dibandingkan dengan
penurunan kandungan bahan organik sempurna yaitu 100%. Adapun menurut
Romli (2013), efisiensi penyisihan bahan organik dalam digester dipengaruhi oleh
banyak faktor. Selain terkait dengan kualitas umpan, desain dan kondisi operasi
digester juga sangat berpengaruh terhadap efisiensi penyisihan. Rendahnya
efisiensi penurunan volatile solid pada penelitian ini dimungkinkan disebabkan
oleh desain digester yang tidak berpengaduk ketika di dalam reaktor fermentasi
dan tidak adanya resirkulasi lindi yang dapat menghasilkan efek pengadukan.
Penurunan volatile solid menunjukkan adanya bahan organik yang terurai
oleh aktivitas metabolisme bakteri selama proses fermentasi anaerob. Penurunan
nilai VS ini berhubungan dengan produksi gas pada suatu unit digester. Pada
Gambar 8 terlihat bahwa saat perlakuan 60:40 memasuki H-21, H-42, H-84, dan
H-102 grafik produksi gas terus mengalami peningkatan. Dengan kata lain
semakin meningkatnya total volume dan laju produksi gas maka VS akan semakin
menurun.
Menurut Wahyuni (2010) dalam Haryati (2006), bakteri yang terlibat dalam
proses anaerobik membutuhkan beberapa elemen yang sesuai dengan kebutuhan
organisme hidup seperti sumber makanan dan kondisi lingkungan yang optimum.
Aktivitas mikroorganisme membutuhkan nutrisi berupa karbon sebagai penyedia
energi untuk pertumbuhan dan nitrogen sebagai zat pembangun sel
mikroorganisme dan sintesis protein. Karbon yang terdapat dalam bahan organik
akan didegradasi oleh mikroorganisme anaerob menjadi metan, sedangkan
nitrogen berpengaruh pada laju pembentukan gas. Berdasarkan hasil analisis
selama fermentasi kandungan karbon organik berkurang dan nitrogen organik
31
relatif tetap. Penurunan nilai volatile solid mengidentifikasikan penurunan jumlah
karbon organik. Sedangkan untuk mengetahui kandungan nitrogen organik dalam
bahan digunakan metode Total Kjedahl Nitrogen (TKN). Berdasarkan Tabel 8,
hasil total nitrogen substrat cenderung meningkat berturut-turut yaitu 0.05% (wb)
atau 0.36% (db) di H-14; 0.05% (wb) atau 0.38 (db) di H-28; 0.06% (wb) atau
0.42% (db) di H-42; 0.07% (wb) atau 0.61% (db) di H-84; serta 0.09% di H-102.
selama 102 hari yaitu sebesar 106.52% dari total nitrogen H-0 reaktor. Nilai N
total yang semakin meningkat ini seiring dengan lamanya waktu fermentasi, hal
ini berbanding terbalik dengan kandungan C atau nilai VS.
Namun secara keseluruhan selama fermentasi terjadi penurunan total
nitrogen pada H-0 ke H-102 yaitu 0.05% (wb) atau 3.38% (db) di H-0 menjadi
0.61% (db) di H-84; serta 0.09% di H-102. Nitrogen digunakan oleh bakteri
metan sebagai nutrisi dalam proses pendegradasian bahan organik. Oleh karena itu
peningkatan total nitrogen selama fermentasi terjadi secara tidak signifikan.
Penyebabnya karena bakteri anaerob mengkonsumsi karbon sekitar 30 kali lebih
cepat dibandingkan nitrogen. Oleh karena itu unsur N cenderung tertahan dalam
tumpukan fermentasi dan selama proses dekomposisi unsur N yang hilang hanya
5% sedangkan unsur C yang hilang sebanyak 50% (Alexander, 1977).
Semakin lama proses fermentasi semakin banyak pula bahan organik yang
dikonversi menjadi metan. Namun dalam prosesnya unsur nitrogen yang terdapat
di dalam substrat tidak semuanya digunakan sebagai sumber nutrisi. Dengan kata
lain penggunaan unsur nitrogen sebagai nutrisi oleh mikroorganisme dalam proses
fermentasi anaerob tidak sebanyak penggunaan karbon organik. Oleh karena itu
menyebabkan unsur N banyak yang tertumpuk di dalam substrat sehingga
terakumulasi dan menjadi tinggi jumlahnya sedangkan nilai bahan organik terus
menurun.
Proses pendegradasian substrat yang mengandung bahan organik oleh
mikroba dengan menggunakan nitrogen selama fermentasi menyebabkan adanya
perubahan terhadap jumlah COD pada leachate substrat. Nilai COD menunjukkan
banyaknya bahan organik terlarut yang terkandung dalam leachate substrat.
Tingginya nilai COD pada minggu ke-2 yaitu sebesar 9509 mg/L disebabkan
karena adanya kandungan senyawa terlarut hasil dari proses hidrolisis pada
substrat, seperti glukosa, asam amino, dan asam lemak. Senyawa terlarut tersebut
akan menjadi umpan pada tahap asetogenik untuk menghasilkan produk berupa
asam organik dan alkohol. Adanya kandungan asam organik tersebut
menyebabkan adanya kandungan VFA pada leachate substrat. Nilai VFA dan
COD berperan dalam menggambarkan proses pembentukan biogas.
Berdasarkan hasil yang telah diuraikan pada Tabel 9, besarnya nilai VFA
pada minggu ke-2 yaitu 599.6 mg/L belum terlalu tinggi jika dibandingkan
dengan minggu ke-6 yaitu 1130 mg/L. Hal disebabkan karena masih adanya
sebagian asam organik dan alkohol yang belum dikonversi menjadi VFA. Namun
asam organik dan alkohol tersebut tidak dapat langsung dikonversi menjadi
metana. Oleh karena itu asam lemak akan didegradasi menjadi asam asetat,
sedangkan alkohol akan diooksidatif menjadi asam asetat. Pembentukan asam
asetat tersebut menyebabkan meningkatnya nilai asam asetat dalam VFA pada
minggu ke-6 yaitu menjadi 305.3 mg/L sehingga berpengaruh pada peningkatan
nilai VFA di minggu ke-6. Adanya peningkatan nilai VFA seiring dengan adanya
32
peningkatan nilai COD dari minggu ke-4 ke minggu ke-6 yaitu menjadi 5077
mg/L.
Peningkatan kedua parameter tersebut menandakan bahwa semakin
tingginya jumlah padatan organik terlarut yang terdapat di dalam leachate
substrat. Menurut Triyanto (1992), kenaikan nilai COD bukan disebabkan oleh
hadirnya senyawa-senyawa organik sederhana akibat hidrolisis polimer organik
tetapi senyawa tersebut belum dirombak lebih lanjut oleh bakteri menjadi biogas.
Oleh karena itu peningkatan nilai COD pada substrat ini mengindikasikan adanya
penambahan kandungan senyawa organik yang baru terdegradasi pada proses
asetogenik. Selain itu dengan adanya kenaikan nilai COD substrat bukan berarti
konsumsi senyawa organik oleh mikroorganisme berhenti, namun laju penguraian
senyawa organik kompleks menjadi senyawa sederhana lebih cepat dibanding
konsumsi substrat oleh mikroorganisme.
Asam asetat yang telah terbentuk akan dikonversi menjadi metan dan
karbondiooksida sehingga menyebabkan terjadinya penurunan nilai VFA menjadi
182.1 mg/L dan nilai COD menjadi 1947 mg/L pada hari H-102 fermentasi. Oleh
karena itu jika dilihat pada Tabel 9 maka secara keseluruhan terjadi penurunan
nilai COD dan VFA selama proses fermentasi anaerob walaupun besarnya
penurunan nilai COD dan VFA relatif fluktuatif dari awal fermentasi anaerob
hingga akhir proses fermentasi anaerob (H-102). Penurunan kedua nilai parameter
tersebut disebabkan adanya penurunan jumlah bahan organik terlarut di dalam
leachate substrat akibat adanya aktifitas bakteri metanogen dalam merombak
bahan organik terlarut berupa VFA menjadi metan dan karbondiooksida.
Karakterisitik Digestat dan Leachate Seluruh Sampel H-102
Romli (2010), digestat merupakan lumpur yang terdiri dari padatan tak
tercerna, massa sel, nutrient terlarut, bahan inert, dan air. Digestat dengan kualitas
baik dapat digunakan untuk perbaikan struktur tanah dan yang kurang baik dapat
digunakan untuk landfilling atau bioremediasi tanah. Lindi adalah larutan dari
hasil pembusukan bahan-bahan organik yang berasal dari tanaman, kotoran
hewan, dan manusia yang kandungan unsur haranya lebih dari satu unsur. Hasil
karakteristik yang terjadi pada digestat H-102 seluruh sampel perlakuan dapat
dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Karakteristik digestat H-102 seluruh perlakuan
Bahan
Parameter analisis (%wb)
pH Kadar air TS Kadar
abu
VS TKN
100/0 8 87.06 ±
0.44
12.94 ±
0.44
1.20 ±
0.46
11.74
± 0.03
0.14 ±
0.01
80/20 7.5 89.22 ±
1.28
10.78 ±
1.27
1.49 ±
0.14
9.29 ±
1.12
0.11 ±
0.01
60/40 8 91.74 ±
0.04
8.26 ±
0.04
2.06 ±
0.27
6.21 ±
0.23
0.09 ±
0.01
40/60 7.5 88.14 ±
0.11
11.87 ±
0.11
3.19 ±
0.38
8.66 ±
0.46
0.11 ±
0.01
33
Hasil pada Tabel 10 memperlihatkan adanya aktifitas mikroorganisme
selama fermentasi berlangsung yang menyebabkan adanya perubahan kondisi
nilai karakteristik awal substrat pada beberapa parameter. Nilai pH seluruh sampel
perlakuan pada H-102 cenderung meningkat yaitu dari 7,2 menjadi 8 untuk
komposisi 100:0; 7.3 menjadi 7.5 untuk komposisi 80:20; 7.3 menjadi 8 untuk
komposisi 60:40; dan 7.2 menjadi 7.5 untuk komposisi 40:60. Hal tersebut
menunjukkan adanya aktifitas metabolisme bakteri metanogen dalam merombak
asam asetat, CO2, dan hidrogen dalam tahap metanogenesis untuk menghasilkan
metana sehingga nilai keasaman berangsur-angsur akan menuju pH yang lebih
basa. Perubahan pH menjadi 8 masih dalam optimum produksi biogas, karena
menurut Buyukkamaci dan filibeli (2004), bakteri metanogen bisa tumbuh pada
pH 6.5-8.5.
Adanya aktifitas mikroorganisme dalam mendegradasi bahan organik
selama proses fermentasi menyebabkan adanya peningkatan kadar air dan
penurunan padatan total dari H-0 hingga H-102. Besarnya presentase peningkatan
kadar air selama 102 hari fermentasi untuk setiap perlakuan yaitu hanya sebesar
2.40% untuk komposisi 100:0; 3.96% untuk komposisi 80:20; 6.61% untuk
komposisi 60:40; dan 2.52% untuk komposisi 40:60. Peningkatan kadar air ini
berhubungan dengan adanya penurunan padatan total. Hal ini disebabkan sebagian
dari padatan total merupakan bahan organik yang akan didegradasi oleh
mikroorganisme untuk menjadi metan. Adapun besarnya presentase penurunan
padatan total seluruh sampel perlakuan selama 102 hari fermentasi yaitu sebesar
13.62% untuk komposisi 100:0; 23.98% untuk komposisi 80:20; 40.79% untuk
komposisi 60:40; dan 15.40% untuk komposisi 40:60.
Berdasarkan besarnya nilai presentase yang telah diuraikan di atas maka
perlakuan komposisi 80:20 dan 60:40 memiliki nilai peningkatan kadar air dan
penurunan padatan total yang tinggi. Hal ini menunjukkan mikroorganisme telah
berkembangbiak dengan baik sehingga dapat mendegradasi sebagian padatan total
yang berupa bahan organik secara maksimal. Proses pendegradasian tersebut
menghasilkan hasil samping berupa air sehingga menyebabkan kandungan air
dalam digestat meningkat. Adanya peningkatan nilai kadar air dan penurunan nilai
padatan total substrat mengindikasikan terjadinya produksi gas.
Penurunan padatan total tersebut menunjukkan bahwa adanya penurunan
bahan organik. Hal tersebut disebabkan karena sebagian dari total padatan adalah
bahan organik atau volatile solid yang merupakan bahan yang akan dikonversi
oleh mikroorganisme menjadi metan. Volatile Solid (VS) merupakan bahan
makanan untuk proses hidrolisis dan pembentukan asam secara anaerob (Hartono
2009). Selain itu di dalam VS juga terkandung bahan organik karbon. Adapun
penurunan kandungan volatile solid pada H-0 ke H-102 dalam (db) ialah 93.43%
menjadi 78.97% untuk komposisi 100:0; 86.13% menjadi 68.91% untuk
komposisi 80:20; 75.65% menjadi 58.53% untuk komposisi 60:40; dan 72.66%
menjadi 63.93% untuk komposisi 40:60.
Besarnya penurunan jumlah kandungan volatile solid dalam substrat selama
102 hari fermentasi sebesar 16.08% untuk komposisi 100:0; 23.98% untuk
komposisi 80:20; 41.14% untuk komposisi 60:40; dan 15.01% untuk komposisi
40:60. Presentase nilai penurunan volatile solid tersebut cenderung masih rendah
jika dibandingkan dengan penurunan kandungan bahan organik sempurna yaitu
100%. Adapun menurut Romli (2013), efisiensi penyisihan bahan organik dalam
34
digester dipengaruhi oleh banyak faktor. Selain terkait dengan kualitas umpan,
desain dan kondisi operasi digester juga sangat berpengaruh terhadap efisiensi
penyisihan. Rendahnya efisiensi penurunan volatile solid pada penelitian ini
dimungkinkan disebabkan oleh desain digester yang tidak berpengaduk ketika di
dalam reaktor fermentasi dan tidak adanya resirkulasi lindi yang dapat
menghasilkan efek pengadukan.
Penurunan nilai VS ini berhubungan dengan produksi gas pada suatu unit
digester. Tingginya penurunan VS pada seluruh perlakuan mempengaruhi total
volume dan laju produksi gas seluruh perlakuan tersebut. Jika besarnya presentase
penurunan nilai VS di atas dihubungkan dengan grafik pada Gambar 8 maka
perlakuan 80:20 dan 60:40 memiliki total volume dan laju produksi gas terbesar
dengan presentase penurunan VS yang besar pula. Perlakuan 80:20 memiliki
komposisi nutrisi optimum karena tingginya jumlah bahan organik dalam substrat
diimbangi dengan banyaknya nitrogen dari sludge yang ditambahkan ke dalam
substrat sehingga laju pendegradasian bahan organik berjalan secara optimum.
Sedangkan total volume gas perlakuan 60:40 masih berada di bawah perlakuan
komposisi 80:20, walaupun laju dan total volume gas perlakuan 60:40 sempat
lebih cepat dan lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena komposisi substrat 60:40
sudah tidak ideal bagi aktifitas metabolisme mikroorganisme sehingga
menunrunkan laju dan total volume produksi gas. Tingginya jumlah suldge yang
dimasukkan ke dalam substrat membuat perlakuan 60:40 memiliki laju
pendegradasian bahan organik yang cepat sehingga membuat banyaknya bahan
organik yang terdegradasi. Oleh karena banyaknya bahan organik yang telah
terdegradasi di awal fermentasi membuat susbtrat perlakuan 60:40 minim bahan
organik.
Tidak adanya penambahan sludge pada perlakuan 100:0 membuat
lambatnya proses penurunan VS sehingga berpengaruh rendahnya total volume
dan laju gas yang dihasilkan. Namun karena tingginya kandungan bahan organik
pada perlakuan 100:0 menyebabkan total volume dan laju produksi gas perlakuan
ini mengalami peningkatan walaupun secara lambat. Hal ini hampir serupa dengan
perlakuan 40:60 yang memiliki penurunan bahan organik yang rendah sehingga
berpengaruh pada total volume dan laju produksi gas yang rendah pula.
Rendahnya bahan organik yang terkandung di dalam substrat tidak diimbangi
dengan tingginya jumlah sludge yang ditambahkan ke umpan. Tingginya jumlah
sludge hanya menjadi inhibitor karena dapat menyebabkan inhibisi amonia pada
substrat sehingga berpengaruh pada rendah dan lambatnya total dan laju produksi
gas yang kecil.
Hasil keseluruhan menunjukkan bahwa semakin lama waktu tinggal digester
dalam reaktor fermentasi anaerob menyebabkan nilai VS semakin menurun
sehingga berpengaruh pada meningkatnya total volume dan laju produksi gas
yang dihasilkan. Penurunan nilai volatile solid tersebut mengindikasikan bahan
organik dalam substrat dapat terdegradasi dengan baik oleh mikroorganisme
sehingga berpotensi menghasilkan biogas. Dengan demikian kandungan padatan
organik dalam substrat mengalami proses pendegradasian menjadi senyawa
volatile fatty acid, alkohol, CO2 dan H2 pada tahap asidogenesis, yang kemudian
ketiga produk hasil tahap asidogenesis tersebut akan terlebih dahulu didegradasi
menjadi asam asetat pada tahap asetogenesis dan kemudian akan dikonversi
menjadi CH4 dan CO2 oleh bakteri metanogen pada tahap metanogenesis. Oleh
35
karena itu, penurunan nilai VS ini menunjukkan adanya aktifitas mikroorganisme
selama fermentasi anaerob.
Aktivitas mikroorganisme membutuhkan nutrisi berupa karbon sebagai
penyedia energi dan nitrogen sebagai zat pembangun sel mikroorganisme. Selama
proses fermentasi anaerob terjadi perubahan kandungan jumlah nitrogen dalam
digester. Proses fermentasi menyebabkan kandungan karbon organik berkurang
dan nitrogen organik relatif tetap. Oleh karena itu untuk mengetahui kandungan
nitrogen organik dalam bahan digunakan metode Total Kjedahl Nitrogen (TKN)
pada digestat dan leachate substrat tiap sampel. Berdasarkan Tabel 10 total
nitrogen seluruh perlakuan substrat cenderung meningkat pada H-102. Adapun
besarnya presentase peningkatan total nitrogen pada digestat seluruh sampel
perlakuan selama 102 hari fermentasi yaitu sebesar 348.28% untuk komposisi
100:0; 169.23% untuk komposisi 80:20; 106.52% untuk komposisi 60:40; dan
129.17% untuk komposisi 40:60. Sedangkan berdasarkan Tabel 11, kandungan
total nitrogen pada leachate untuk semua perlakuan (wb) secara berturut-turut
pada ulangan 1 dan 2 yaitu 0.13 dan 0.15 untuk perlakuan 100:0; 0.08 dan 0.08
untuk perlakuan 80:20; 0.09 dan 0.05 untuk perlakuan 60:40; serta 1.19 dan 1
untuk perlakuan 40:60.
Semakin lama proses fermentasi semakin banyak pula bahan organik yang
dikonversi menjadi metan. Namun dalam prosesnya unsur nitrogen yang terdapat
di dalam substrat tidak semuanya digunakan sebagai sumber nutrisi. Nilai N total
yang semakin meningkat ini seiring dengan lamanya waktu fermentasi, hal ini
berbanding terbalik dengan C atau nilai VS yang cenderung menurun. Unsur N
banyak yang tertumpuk di dalam substrat sehingga terakumulasi dan menjadi
tinggi jumlahnya sedangkan nilai bahan organik terus menurun. Penyebabnya
karena unsur N cenderung tertahan dalam tumpukan fermentasi dan selama proses
dekomposisi unsur N yang hilang hanya 5% sedangkan unsur C yang hilang
sebanyak 50% (Alexander, 1977). Hal ini disebabkan karena bakteri anaerob
mengkonsumsi karbon sekitar 30 kali lebih cepat dibandingkan nitrogen. Hasil
karakteristik leachate dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil karakteristik VFA pada
leachate khusus untuk perlakuan komposisi 80:20 disajikan pada Tabel 12.
Tabel 11. Karakteristik leachate H-102 seluruh perlakuan
Bahan TKN (mg/L) COD (mg/L) BOD (mg/L)
100:0 (1) 130 8129 4995
100:0 (2) 150 7080 6993
80:20 (1) 80 4049 2997
80:20 (2) 80 4552 666
60:40 (1) 80 1427 1332
60:40 (2) 20 1941 1665
40:60 (1) 90 1710 1332
40:60 (2) 50 1563 999
36
Tabel 12. Karakteristik VFA leachate perlakuan komposisi 80:20 H-102
Parameter (mg/L)
VFA 108.5
Asetat 53.2
Propionat 41.7
iso-Butirat 0.7
n-Butirat 4.8
iso-Valerat 4.3
n-Valerat 3.9
Proses pendegradasian substrat oleh mikroba selama fermentasi
menyebabkan penurunan jumlah kandungan bahan organik, sehingga berpengaruh
juga pada nilai COD dan BOD. Kedua parameter tersebut menunjukkan jumlah
padatan organik yang terdapat di dalam substrat sehingga dapat mengetahui
jumlah oksigen kimia dan oksigen biologi yang dibutuhkan dalam mendegradasi
bahan organik di lingkungan. Nilai COD dan BOD berperan dalam
menggambarkan pembentukan biogas. Hasil pada tabel 11 memperlihatkan bahwa
adanya penurunan tehadap nilai COD. Besar kecilnya nilai COD dan BOD pada
H-102 berpengaruh pada laju produksi gas yang ada pada setiap perlakuan
sehingga berpengaruh pada produksi gas yang telah dihasilkan.
Berdasarkan hasil pada Tabel 11 terlihat bahwa pada perlakuan 100:0
ulangan 1 dan 2 serta perlakuan 80:20 ulangan 1 dan 2 memiliki nilai COD dan
BOD yang tinggi hingga H-102. Jika dihubungkan dengan grafik pada Gambar 8
di atas maka keempat sampel tersebut memiliki laju pertumbuhan gas yang sedang
meningkat hingga H-102. Namun khusus untuk perlakuan komposisi 80:20 jika
dilihat dari jumlah VFA pada Tabel 12 maka hanya sebesar 108.5 mg/L yang
menandakan bahwa jumlah asam organik pada perlakuan tersebut rendah. Hal
inilah yang akan berpengaruh pada laju pembentukan gas perlakuan 80:20 yang
mulai lambat dan stationer. Hal ini berbeda dengan laju pembentukan gas pada
perlakuan komposisi 100:0 yang semakin meningkat.
Tingginya nilai COD dan BOD keempat sampel perlakuan 100:0 ulangan 1
dan 2 serta perlakuan 80:20 ulangan 1 dan 2 menandakan bahwa masih banyaknya
senyawa kimia dan biologi organik yang belum dirombak oleh mikroorganisme
untuk dikonversi menjadi biogas. Di lain hal tingginya nilai COD dan BOD pada
substrat ini mengindikasikan adanya penambahan kandungan senyawa organik
yang berasal dari tahap awal perlakuan anaerob yang belum dirombak menjadi
metan. Oleh karena itu keempat sampel tersebut masih dapat menghasilkan
produksi gas yang lebih besar lagi. Sedangkan rendahnya nilai COD dan BOD
pada perlakuan 60:40 ulangan 1 dan 2 serta perlakuan 40:60 ulangan 1 dan 2
menunjukkan bahwa bakteri pengurai mulai berkembang biak dan banyak
menggunakan oksigen dalam merombak senyawa-senyawa organik, sehingga
penurunan nilai COD dan BOD bergantung pada besarnya bahan organik yang
telah terdekomposisi. Hal ini berpengaruh pada total volume dan laju produksi
biogas yang dihasilkan. Oleh karena itu sampel perlakuan 60:40 ulangan 1 dan 2
memiliki laju produksi gas yang mulai lambat pada H-71 dan mulai stasioner pada
H-91 hingga H-102. Sedangkan perlakuan 40:60 ulangan 1 dan 2 mulai memasuki
tahap stasioner pada H-66 hingga H-102. Selain itu rendahnya nilai COD dan
37
BOD pada perlakuan 40:60 disebabkan karena rendahnya bahan organik yang
terdapat dala substrat perlakuan tersebut.
Selain menghasilkan sumber energi alternatif yang dapat diperbaharui,
teknologi biogas juga memberikan keuntungan lain berupa digestat dan lumpur
atau leachate yang dihasilkan pada effluent biogas yang dapat dimanfaatkan
sebagai pupuk organik. Lamanya proses fermentasi anaerob berpengaruh pada
kandungan logam mineral yang terkandung di dalam substrat. Adanya kandungan
nitrogen pada digestat dan logam mineral pada leachate substrat dapat
dimanfaatkan sebagai nutrisi dalam pupuk organik. Pupuk organik dapat
mendukung penyuplaian unsur hara atau nutrisi yang dibutuhkan saat tumbuh
kembang tanaman pada tanah. Sebagian dari unsur hara atau nutrisi yang
dibutuhkan terdiri dari unsur-unsur esensial, yang meliputi unsur makro dan
mikro. Unsur makro terdiri dari nitrogen (N), phosfor (P), kalium (K), sulfur (S),
kalsium (Ca), dan magnesium (Mg). Sedangkan unsur mikro terdiri dari besi (Fe),
boron (B), tembaga (Cu), mangan (Mn), seng (Zn), dan molibedenum (Mo).
Adanya penyediaan nutrisi berpartisipasi aktif dalam menunjang
produkstifitas tanah untuk menghasilkan biomass dan produktifitas yang baik bagi
tanaman. Berdasarkan Angga (2011) yang melaporkan bahwa unsur N berguna
untuk pertumbuhan tanaman. Tanaman yang kekurangan N akan terus mengecil,
bahkan secara tepat berubah menjadi kuning karena N yang tersedia tidak cukup
untuk membentuk protein klorofil. Selain nitrogen unsur penting lain yang
berpengaruh bagi pertumbuhan tanaman ialah fosfat (P). Unsur P berfungsi
sebagai pemindah energi yang tidak dapat diganti dengan unsur hara lain.
Kekurangan unsur P akan menyebabkan tanaman tidak tumbuh maksimal atau
tidak akan mampu menyempurnakan proses reproduksi yang normal. Namun
pemanfaatan digestat dan leachate sebagai pupuk organik dapat terjadi jika jumlah
kandungan beberapa unsurnya sesuai dengan standar pupuk cair organik. Adapun
hasil karakteristik digestat dan leachate H-102 perlakuan 80:20 beserta standar
mutu pupuk organik disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Karakteristik leachate H-102 perlakuan 80:20 beserta standar mutu
pupuk organik
Parameter Satuan Leachate
sampel
Permentan No.
28/Permentan/OT.140/2/2009
pH 7.5 4-8
Nitrat mg/L 37,76 -
Nitrit mg/L 0,312 -
Ammoniak mg/L 15,96 -
Nitrogen mg/L 8121.735 <20000
Seng mg/L 0,016 min 0, maks 5000
Tembaga mg/L 0,064 min 0, maks 5000
Mangan mg/L <0,017 min 0, maks 5000
Cobalt mg/L 0,060 min 0, maks 20
Boron mg/L <0,020 min 0, maks 2500
Molybdinum mg/L <0,020 min 0, maks 10
Besi mg/L 4,84 min 0, maks 8000
Phosfor mg/L 2,78 <20000
Kalium mg/L 58,1 <20000
38
Berdasarkan hasil karakteristik logam organik pada Tabel 13 menunjukkan
bahwa beberapa parameter karakteristik pada lindi perlakuan 80:20 sudah
mendekati standar mutu pupuk cair organik yang diberikan oleh Permentan No.
28/Permentan/OT.140/2/2009. Nilai total nitrogen yang ada pada leachate
memenuhi standar mutu yang ada. Selain itu besarnya nilai phosfor dan kalium
masih juga memenuhi syarat standar mutu yang ada walaupun besarnya nilai
kedua unsur tersebut masih terlalu rendah. Berdasarkan hasil tersebut maka
leachate hasil fermentasi anaerob ini sudah cukup memenuhi baku mutu yang
ditetapkan oleh standar mutu pupuk cair organik dari Permentan
No.28/Permentan/OT.140/2/2009. Oleh karena itu digestat hasil effluent digester
ini dapat dimanfaatkan sebagai pupuk cair organik. Namun jika ingin
menghasilkan nilai yang sempurna agar tepat dan sesuai dengan standar baku
mutu yang ada maka dapat dilakukan proses composting lanjutan.
Selain itu berdasarkan data pada Tabel 10 maka secara berturut-turut total
nitrogen pada digestat setiap perlakuan dalam (mg/L) diantaranya 130 untuk
100:0 (1); 150 untuk 100:0 (2); 80 untuk 80:20 (1); 80 untuk 80:20 (2); 80 untuk
60:40 (1); 20 untuk 60:40 (2); 90 untuk 40:60 (1); dan 50 untuk 40:60 (2). Total
nitrogen yang dimiliki digestat seluruh perlakuan masih dalam standar mutu yang
ada sehingga digestat hasil effluent fermentasi tersebut dapat dimanfaatkan
sebagai pupuk organik. Namun jika unsur N pada digestat ingin ditingkatkan
maka dapat dilakukan proses composting lanjutan agar mengalami proses
dekomposisi lanjutan pada bahan organik yang ada pada digestat.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pra-perlakuan pada jerami sorgum hanya menyebabkan penurunan volatile
solid secara parsial karena hanya menyebabkan struktur lignoselulosa lebih
terbuka dan meningkatnya tingkat porositas lignoselulosa pada jerami sorgum.
sehingga memudahkan mikroorganisme penghasil metan untuk mendegradasi
bahan organik saat proses fermentasi anaerobik. Pengaruhnya dalam
mempersingkat fase lag dan meningkatkan fase eksponensial produksi biogas
sehingga dapat meningkatkan total volume gas yang dihasilkan.
Co-digestion jerami sorgum-sludge berpengaruh positif pada kinerja
digester selama fermentasi anaerob berupa total volume dan laju produksi gas
yang dihasilkan. Hasil fermentasi anaerob selama 102 hari menunjukkan bahwa
pada sampel perlakuan 100:0; 80:20; 60:40; dan 40:60 terjadi produksi gas
walaupun besarnya laju dan total volume produksi gas tidak serupa antar
perlakuan. Sampel perlakuan 80:20 dan 60:40 cenderung tidak berbeda dan
memiliki fase lag yang lebih singkat serta laju dan total volume produksi gas yang
tinggi. Total volume gas optimum dimiliki oleh sampel perlakuan 80:20 yaitu
122.3 L/kg TS biomassa, sedangkan produksi gas sampel perlakuan 60:40 hanya
115.4 L/kg TS biomassa. Hasil perlakuan 60:40 tidak lagi ideal karena komposisi
nutrisi yang tidak optimum. Total volume produksi gas perlakuan 100:0 yaitu 66.9
39
L/kg TS biomassa. Total volume dan laju produksi gas terendah dimiliki oleh
perlakuan 40:60 yaitu 13.4 L/kg TS biomassa.
Peningkatan total volume dan laju produksi gas dengan sistem co-digesion
merupakan pengaruh dari penambahan sludge sebagai penyedia nitrogen ke dalam
jerami sorgum pra-perlakuan sebagai penyedia bahan organik dan karbon. Dengan
demikian sampel komposisi perlakuan 80:20 memiliki jumlah nutrisi optimum
yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk proses pendegradasian, sehingga
mendukung terbentuknya total volume dan laju produksi gas secara maksimal.
Adanya pembentukan total volume dan laju produksi gas tiap perlakuan
menunjukkan adanya aktifitas mikroorganisme dalam mendegradasi bahan
organik selama fermentasi yang berpengaruh pada adanya perubahan terhadap
nilai pH, kadar air, dan TKN yang menjadi meningkat. Sebaliknya nilai %TS,
%VS, VFA dan COD semakin menurun.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai produksi biogas dengan
desain digester yang berpengaduk ketika di dalam reaktor fermentasi sehingga
memungkinkan adanya resirkulasi digester yang dapat meningkatkan efisiensi
pendegradasian bahan organik didalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2013. Inhibitor pada Proses Anaerob dalam
http://www.airlimbah.com/2012/09/28/inhibitor-pada-proses-anaerob/.
Diakses 31 Oktober 2013.
Agung, Pambudi. 2008. Pemanfaatan Biogas sebagai Energi Alternatif.
Universitas Surakarta.
Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. Second Edition. Jhon
Willey and Sons, New York.
Amaru K. 2004. Rancang bangun dan uji kinerja bioreaktor plastik polyethilene
skala kecil (Studi Kasus Ds. Cidatar Kec. Cisurupan Kab. Garut).
[Skripsi]. Universitas Padjajaran, Bandung. Tidak Diterbitkan.
Angga, Y., A. 2011. Desain Proses Produksi Biogas dari Jerami Padi dan Sampah
Pasar dengan Sistem Fermentasi Media Padat [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Arati J. M. 2009. Evaluating The Economic Feasibility Of Anaerobik Digestion
Of Kawangware Market Waste [tesis]. Manhattan: Kansas State
University.
Barnett, A., L. Pyle and S. K. Subramanian. 1978. Biogas Technology in The
Third World: A Multidisciplinary Review. International Development
Research Centre. Ottawa.
Buren, A. V. 1979. A Chinese Biogas Manual. Intermediate Technology
Publication Ltd. London.
40
Buyukkamaci N, Fillibeli A. 2004. Volatile fatty acid formation in an anaerobic
hybrid reactor. Process Biochemistry 39: 1040-1047.
Bryant, M.P. 1987. Microbial Methane Production, Theoritical Aspects.J. Am.Sci.
Care K. 2011. Cara Mudah Membuat Digester Biogas.
De Wilde B, S.Vanhille. 1985. Research and Development of Rural Energy in
Indonesia. Bogor: ATA-251.
Djuarnani, N. 2004. Cara Cepat Membuat Kompos. P.T. Agromedia Pustaka,
Jakarta.
Engler CR, M.J. MC. Farland, dan RD. Lacewell. 2000. Economic and
Environmental Impact of Biogas Production and Use.
http://dallas.edu/biogas/eaei.html. (20 Sepetember 2013). Gaur, A.C. 1983. A Manual of Rural Composting. Food and Agricultural
Organization, Rome.
Gijzen, H. J. 1987. Anaerobic Digestion of Cellulosic Waste by Rumen-Derived
Process. Koninklijke Bibliotheek. Den Haag.
Harmsen, P., Huijgen W., Bermundez, L., and Bakker, R. 2010. Literature Review
of Physical and Chemical Pra-perlakuan Processes for Lignocellulosic
Biomass. Wageningen UR Food & Biobased Research, 1184.
Haq PS dan Soedjono ES. 2009. Potensi lumpur tinja manusia sebagai penghasil
biogas. Jurusan Teknik Lingkungan. FTSP-ITS, Surabaya.
Hartono R dan T Kurniawan. 2009. Produksi Biogas dari Jerami Padi dengan
Penambahan Kotoran Kerbau. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia
Indonesia; Bandung, 19-20 Okt 2009. ISBN 978-979-98300-1-2. Haryati T. 2006. Biogas : Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber Energi
Alternatif. J Wartazoa 16:160 – 169. Indartono, Y. S. 2006. Reaktor Biogas Skala Kecil/Menengah. http: //www.indeni.
org/content/view/63/48/. [8 September 2013]
Jaka A dan Gawa RM. 2011. Natrium Hidroksida (NaOH) sebagai Hidrolisa Basa
dalam Pretreatment Produksi Biogas dengan Bahan Baku Eceng Gondok
(Eichornia Crassipes). ITS-Undergraduate-3100012045672.
Jenie BSL. dan W.P. Rahayu. 1991. Penanganan Limbah Industri Pangan. PT.
Trubus Agriwidya, Ungaran.
Kadir, A. 1987. Energi. Universitas Indonesia-Press. Jakarta.
Karellas SB. 2010. Development of an investment decision tool for biogas
production from agricultural waste. Jurnal Renewable and Sustainable
Energy Reviews 14 : 1273-1282.
Makarim. 2007. Jerami Padi : Pengelolaan dan Pemanfaatan. Bogor: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Noegroho Hadi Hs., 1980, Teknologi Gas Bio sebagai Sumber Energi danPengembangan
Desa , LPL, No. IV tahun XIII, LEMIGAS, Jakarta
Prajayana, F. I. 2011. Kajian Konversi Limbah Padat Jerami Padi Menjadi Biogas.
[Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.
Rahman AN. 2007. Pembuatan Biogas dari Sampah Buah-buahan melalui
Fermentasi Aerobik dan Anaerobik. [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Reith, J. H., H. Den Uil, H. Van Veen, W. T. A. M. De Laat, J. J. Niessem, E. De
Jong, H. W. Elbersen, R. EUSTHUIS, J. P. Van Dikjen and L.
Raamsdonk. 2003. Coproduction of Bio-ethanol, Electricity and Heat from
41
Biomass Residues. Proceedings of the 12th European Conference on
Biomass and Energy. Industry and Climate Protection, 17-21 June 2002,
Amsterdam, The Netherlands : 1118-1123.
Romli M. 2010. Teknologi Penanganan Limbah Anaerobik. Bogor: TML
Publikasi.
Romli. M. 2013. Co-Digestion Jerami Sorgum-Sludge untuk Produksi Biogas.
[Jurnal]. Bogor.
Samsuri, M., M. Gozan, R. Mardias, M. Baiquni, H. Hermansyah, A. Wijanarko,
B. Prasetya, dan M. Nasikin. 2007. Pemanfaatan selulosa bagas untuk
produksi etanol melalui sakarifikasi dan fermentasi serentak dengan enzim
xylanase. Makara Teknologi 11(1): 17−24. Sathianathan, M. A. 1975. Biogas Echiefemens and Challanges. Di dalam Triyanto.
1992. Mempelajari Cara Pembuatan Biogas Melalui Proses ’Rumen Derived
anaerobic Digestion’ (RURAD). Skripsi. Departemen Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor.
Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah. UI Press, Jakarta.
Sulaeman D. 2007. Pengomposan: salah satu alternatif pengolahan sampah
organik dalam http://agribisnis.Deptan.go.id/Pustaka/dede. (Diakses 20
Oktober 2013)
Susanto, Joko P dan Hendra Tjahjono. 1988. Penelitian pembuatan biogas dari
batang pisang. Majalah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi No.
XXIX.
Taherzadeh, M. J. and Karimi, K. 2008. Pra-perlakuan of Lignocellulosic Wastes
to Improve Ethanol and Biogas : A Review, International Journal of
Molecular Sci , 9, 1621-1651.
Triyanto. 1992. Mempelajari Cara Pembuatan Biogas Melalui Proses Rumen
Derived Anaerobic Digestion (RUDAD) [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Wahyuni. 2009. Biogas. Jakarta : Penebar Swadaya.
Wahyuni S. 2010. Biogas. Jakarta : Penebar Swadaya.
Weismann U. 1991. Anaerobic Tratment of Industrial Wastewater. Institut fur
Verhahrentechnik, Berlin.
Yani M, Darwis A. A. 1990. Diktat Teknologi Biogas. Bogor : Pusat Antar
Universitas Bioteknologi-IPB.
Zakiyah, N. 2011. Pengaruh Penambahan Sludge pada Konversi Jerami Padi
Menjadi Biogas [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
42
Lampiran 1. Prosedur analisis
A. Kadar Air (SNI 01-2891-1992)
Sampel sebanyak 3-5 gram ditimbang di dalam cawan alumunium kering
yang telah diketahui beratnya. Kemudian dipanaskan di dalam oven pada
suhu 105˚C sampai kering (3-5 jam). Setelah kering, cawan berisi sampel
kemudian didinginkan di dalam desikator. Setelah dingin, cawan berisi
sampel yang telah kering ditimbang beberapa kali ulangan hingga diperoleh
bonot tetap. Perhitungan kadar air sebagai berikut:
Kadar air dalam basis basah :
Kadar air (%) = W- (W1-W2) x 100%
W
Total Soilid (%) = W1-W2 x 100%
W
Dimana W adalah bobot contoh sebelum dikeringkan. W1 adalah bobot
contoh dan cawan setelah dikeringkan, sedangkan W2 adalah bobot cawan
kosong.
B. Kadar Abu (SNI 01-2891-1992)
Sampel sebanyak 2–3 gram ditimbang dalam cawan porselen yang kering
dan telah diketahui beratnya. Sampel kemudian dipijarkan di dalam tanur
pada suhu 550oC sampai diperoleh warna abu keputih-putihan. Selanjutnya
sampel didinginkan pada desikator lalu ditimbang.
Kadar Abu (%) = W3 x 100%
(W1-W2)
TVS (%) = (W1-W2)-(W3) x 100%
(W1-W2)
Keterangan :
W1 = bobot contoh dan cawan kosong (g)
W2 = bobot cawan kosong (g)
W3 = bobot hasil tanur (abu) (g)
Atau Total Padatan Organik (TVS) = 100 - (kadar air + kadar abu)
C. pH
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter dan kertas pH.
D. COD terlarut (APHA, 2005)
Metode pengukuran COD yaitu sebanyak 1-2 ml sampel dipipet ke dalam
tabung reaksi yang berisi 1.5 ml pereaksi K2Cr2O7 dan 3.5 larutan asam tutup
tabung, kemudian aduk dengan cara membalikkan tabung. Tabung
dimasukkan ke dalam COD reaktor selama 2 jam pada suhu 150oC. Tabung
didinginkan dan isi tabung dituang ke dalam erlenmeyer 100 ml dan bilas
dengan aquades. Kemudian titrasi dengan larutan FAS 0.01 M dengan 1-2
43
tetes indikator ferroin. Catat jumlah FAS yang digunakan dan kadar COD
dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Kadar COD = (ml blanko-ml sampel) x M FAS x 8000 x P
ml sampel
Keterangan : P = Pengenceran
Sebelum digunakan untuk titrasi, larutan FAS perlu distandarisasi.
Standarisasi dilakukan sama seperti langkah-langkah penentuan COD, namun
sampelnya adalah akuades serta tanpa adanya pemanasan.
E. BOD5 (APHA, 2005)
Metode pengukuran BOD yaitu sampel yang telah diencerkan kemudian
ditambah larutan buffer 1 ml, FeCl3 1 ml, CaCl2 1 ml, MgSO4 1 ml dan seed 1
ml. Selanjutnya dimasukkan ke dalam botol winkler dan ditutup. Kemudian
tutup winkler dibuka dan ditambah MnSO4 1 ml dan alkali ajida 1 ml
selanjutnya ditutup lagi dan dikocok. Hasil pencampuran tadi dituang ke
erlenmeyer 500 ml untuk yang jernih dan endapannya tetap di tabung winkler
dan dimasukkan H2SO4 pekat 1 ml. Endapan tadi dimasukkan ke erlenmeyer
500 ml tadi, dikocok dan ditetesi 3 tetes larutan kanji kemudian dititrasi
dengan larutan tiosulfat hingga berwarna jernih. Pengukuran tadi dilakukan
untuk H0 dan H5. Sampel H5 diinkubasi pada lemari pendingin 20˚C.
Blanko, sampel diganti dengan aquades.
Kadar BOD (mg/l) = ((DO0-DO5) - (DO0 blanko-DO5blanko) x (1-P))
P
Keterangan:
DO = (ml tio x 8000 x 0,25)
ml sampel
P = Faktor pengenceran = (1/pengenceran)
F. Kadar Nitrogen (AOAC 1984)
Sebanyak 0.1-0.5 g sampel dimasukan ke dalam labu Kjeldahl kemudian
ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat dan 1 g katalis CuSO4.NaSO4. Larutan
tersebut kemudian didestruksi hingga jernih. Hasil destruksi ditambahkan
dilarutkan dengan akuades <25 ml kemudian dimasukkan ke dalam tabung
destilasi. Pasang tabung destilasi dan labu Erlenmeyer pada alat semi destilasi.
Atur waktu destilasi selama 4 menit (7 menit pada awal running). Atur proses
destilasi secara otomatis dengan menekan tombol auto sehingga proses
destilasi otomatis beralan sesuai dengan urutan pengeluaran NaOH 6 N ke
dalam tabung destilasi dan pengeluaran asam borat 2% ke dalam labu
Erlenmeyer. Biarkan proses destilasi berlangsung hingga warna asam borat
2% dalam labu Erlenmeyer berubah dari ungu menjadi hijau muda. Larutan
hasil destilasi dititrasi dengan larutan H2SO4 0.02 N terstandarisasi. Hitung
volume H2SO4 yang digunakan untuk titrasi. Lakukan prosedur yang sama
pada blanko. Kadar nitrogen dihitung dengan rumus :
44
%N = (titrasi sampel – titrasi blanko) x 14 x N H2SO4 x 100
mg sampel
G. VFA (Volatile Fatty Acid)
Analisis VFA dilakukan di Pusat Penelitian dan Pengenmbangan
Perternakan (PUSLITBANGNAK) Bogor. VFA (Volatile Fatty Acid)
merupakan hasil fermentasi karbohidrat atau protein oleh mikroba dalam
rumen yang terdiri dari asam astetat, asam propionat, asam iso propionat,
asam butirat, asam iso butirat, asam valirat, dan asam iso valirat. Senyawa ini
dapat dianalisi dengan menggunakan alat gas kromatografi (GC). Sistem
pemisahan ini berdasarkan sifat partisi dan absorpsi zat terhadap dua fasa
yang berbeda, yaitu fase diam (kolom) dan fase bergerak (gas). Adanya
perbedaan partisi atau absoprsi pada kedua fase tersebut memunculkan peak
(puncak) pada layar monitor. Dengan membaca kromatogram standar VFA
yang konsentrasinya sudah diketahui maka konsentrasi VFA sampel dapat
diukur.
Adapun status dan kondisi alat yang digunakan yaitu:
Gas Chromatogrraphy Chrompack 9002
GC merek : Buker
Column Capilary : WCOT fused silica 25 m x 0.32 mm ID Coating
FFAP-CB for free fatty acid
Detektor merek: : FiD
Suhu kolumn : 115oC
Suhu injektor : 270oC
Suhu detektor : 270oC
Sedangkan bahan dan kondisi saat digunakan dalam proses uji VFA ini
yaitu:
Standar : VFA rumen standar (Supelco)
Fase gerak (gas pembawa)
Laju alir N2 : 30 ml/menit
Laju alir H2 : 40 ml/menit
Laju alir O2 : 250 ml/menit
Fase diam
saat running sampel : BR-Wax Fame product Bruker berbentuk
capillary colom
saat preparasi sampel : Asam sulfo-5- salisiliat dihidrat
Cara Kerja :
Larutan contoh atau rumen dipipet sebanyak 1 ml ke dalam tabung
eppendorf
Ditambahkan kira-kira 30 mg asam sulfo- 5- sallisilat dihidrat
kemudian dikocok
Selanjutnya disentrifuse selama 10 menit pada 12000 rpmdengan
suhu 7o C
Sebelum injeksi larutan contoh atau rumen terlebih dahulu di
injeksikan larutan standarVFA rumen
45
Larutan contoh atau rumen yang telah jernih di injeksikan 1µl ke
dalam Gas Chromatografi.
Rumus perhitungan:
VFA (mM) = Luas area VFA contoh x Konsentrasi standar VFA
Luas area standar VFA x BM
Dimana:
VFA = Terdiri dari Asam asetat, propionat, n-butirat, iso-butirat, n-
Valerat dan iso-valerat
BM = Berat Molekul VFA parsial
Konsentrasi VFA standar 1 mg/ml = 1000 µg/ml
46
Lampiran 2. Neraca massa tahap pretreatment
Tahap Pratreatment
Jumlah penambahan air untuk perendaman jerami sorgum kering: 1,7 liter
Jumlah penambahan zat kimia:
Basis 550 gram
Larutan komposting 0.550 ml
Air 11 ml
Jumlah Penambahan Inokulum 11.550 ml
Lampiran 3. Neraca massa jumlah substrat perbandingan jerami:sludge (100:0)
Jumlah zat kimia yang ditambahkan:
Basis 300 gram
trace elements 6 ml
P (KH2PO4) 5 ml
Jumlah jerami sorgum dan sludge yang masuk ke dalam reaktor:
Jerami 149,69 gram
sludge 0 gram
air 150,31 gram
Lampiran 4. Neraca massa jumlah substrat perbandingan jerami:sludge (80:20)
Jumlah zat kimia yang ditambahkan:
Basis 300 gram
trace elements 6 ml
P (KH2PO4) 5 ml
Jumlah jerami sorgum dan sludge yang masuk ke dalam reaktor:
Jerami 132.42 gram
sludge 33.10 gram
air 134.48 gram
Lampiran 5. Neraca massa jumlah substrat perbandingan jerami:sludge (60:40)
Jumlah zat kimia yang ditambahkan:
Basis 300 gram
trace elements 6 ml
P (KH2PO4) 5 ml
Jumlah jerami sorgum dan sludge yang masuk ke dalam reaktor:
Jerami 110.99 gram
sludge 74.00 gram
air 115.01 gram
47
Lampiran 6. Neraca massa jumlah substrat perbandingan jerami:sludge (40:60)
Jumlah zat kimia yang ditambahkan:
Basis 300 gram
trace elements 6 ml
P (KH2PO4) 5 ml
Jumlah jerami sorgum dan sludge yang masuk ke dalam reaktor:
Jerami 83.92 gram
sludge 125.87 gram
air 90.21 gram
Lampiran 7. Neraca massa jumlah substrat perbandingan jerami: sludge (60:40)
basis 60 gram
Jumlah zat kimia yang ditambahkan:
Basis 60 gram
trace elements 6 ml
P (KH2PO4) 5 ml
Jumlah jerami sorgum dan sludge yang masuk ke dalam reaktor:
Jerami 22.19 gram
sludge 14.80 gram
air 23.01 gram
48
Lampiran 8. Kromatogram uji VFA standar
49
Lampiran 9. Kromatogram uji VFA perlakuan 60:40 H-14
50
Lampiran 10. Kromatogram uji VFA perlakuan 60:40 H-42
51
Lampiran 11. Kromatogram uji VFA perlakuan 60:40 H-102
52
Lampiran 12. Kromatogram uji VFA perlakuan 80:20 H-102
53
Lampiran 13. Hasil uji logam leachate perlakuan 80:20
54
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 8 November 1991 dari ayah
Soehardjono dan ibu Nining Prihanekowati. Penulis adalah putri kedua dari tiga
bersaudara. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 97 Jakarta dan pada tahun
yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui
jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum mata
kuliah Bioindustri 2012-2013. Pada tahun 2012 penulis melaksanakan Praktik
Lapangan di PT Fajar Surya Wisesa Tbk dengan judul Mempelajari dan
Mengamati Teknologi Proses Pengolahan Limbah Cair PT. Fajar Surya Wisesa
Tbk. Penulis juga menjadi panitia sekaligus anggota Forum Bioremediasi
Nasional 2013.