18
PRAKTIKUM FISIOLOGI Modul Ginjal dan Cairan Tubuh 2011 SEKSI PENDIDIKAN 2009 Ade Ilyas Mukmin Anggi Puspita Nalia Pohan Dessy Framita Dina Elita Fitria Chandra Nugraheni Gusti Teguh Riyanto Kabisat Febiachrulia Karina Kalani Firdaus Monika Besti Yolanda Naela Himayati Afifa Qam Qam Qurratul Aini Rizka Ramadhani Tika Ayu Pratiwi Wahyu Permata Sari Zahra Suhardi FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA 2011

Tentir Praktikum Fisiologi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Modul ginjal dan cairan tubuh

Citation preview

  • PRAKTIKUM FISIOLOGI Modul Ginjal dan Cairan Tubuh 2011

    SEKSI PENDIDIKAN 2009 Ade Ilyas Mukmin

    Anggi Puspita Nalia Pohan Dessy Framita

    Dina Elita Fitria Chandra Nugraheni

    Gusti Teguh Riyanto Kabisat Febiachrulia

    Karina Kalani Firdaus Monika Besti Yolanda Naela Himayati Afifa

    Qam Qam Qurratul Aini Rizka Ramadhani Tika Ayu Pratiwi

    Wahyu Permata Sari Zahra Suhardi

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA 2011

  • Pada tentir kali ini hanya dijelaskan dasar teori secara singkat dan analisis hasil dan kesimpulan dari percobaan yang udah dilakukan. Jangan lupa tetep berpedoman pada buku teks dan BPP yaa..

    I. Praktikum Diuresis Pada percobaan yang ini seperti yang udah kita semua lakukan, ada empat perlakuan yang bertujuan untuk melihat pengaruhnya pada dieresis dari masing-masing OP. Ada perlakuan minum air 1 liter, perlakuan minum teh, minum air gula, dan olahraga anaerobik.

    a. Perlakuan Minum Air Jadi teorinya gini, tubuh manusia kan memiliki suatu sistem yang berfungsi untuk meregulasi osmolaritas plasma dan konsentrasi natrium di dalam plasma dengan cara menyesuaikan eksresi air melalui ginjal. Fungsi ini diperankan oleh kerja ADH. Ketika osmolaritas tubuh meningkat (berarti terjadi kekurangan cairan di dalam tubuh) di atas normal, hipofisis posterior akan mensekresi lebih banyak ADH sehingga permeabilitas tubulus kontortus distal (TKD) dan duktus koligens terhadap air akan meningkat. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya reabsorbsi air sebagai bentuk kompensasi tingginya osmolaritas agar osmolaritas kembali normal. Ketika terjadi kelebihan cairan di dalam tubuh, sekresi ADH akan dikurangi sehingga permeabilitas tubulus terhadap air berkurang dan jumlah urin yang disekresikan pun bertambah. Nah, tetapi jumlah zat terlarut yang ada di urin untuk diekresikan kan tetap atau tidak bertambah, sehingga osmolaritas urin akan turun. Terjadinya penurunan pada osmolaritas urin inilah yang menyebabkan penurunan berat jenis urin. Tubuh itu mampu mengekresikan sebanyak 20 L urin encer per harinya, dengan konsentrasi sekitar 50 mOsm/L. Jika seseorang meminum air sebanyak satu liter, volume urin akan naik sekitar enam kali normal dalam waktu 45 menit setelah air tersebut diminum, dan seperti yang tadi sudah dijelaskan, jumlah zat di dalam urin tidak akan berubah sehingga urin yang terbentuk akan sangat encer.

  • Mekanisme terbentuknya urin encer adalah sebagai berikut:

    Ketika urin memasuki Tubulus kontortus proksimal (TKP), konsentrasinya adalah 300 mOsm. Akibat terjadi penyerapan NaCl dan kegagalan penyerapan air, urin menjadi sangat encer. Di TKD, urin memiliki konsentrasi 100 mOsm dan terus berkurang di sepanjang duktus koligens dan menjadi 50 mOsm saat keluar dari kaliks minor. Seperti yang tadi sudah dijelaskan, terjadinya penurunan

    osmolaritas inilah yang menyebabkan penurunan berat jenis urin setelah mengkonsumsi air dalam jumlah yang besar. Kalau pada praktikum kan OP harus meminum air sebanyak 1 L. Nah, bagaimana dengan hasil percobaan yang telah dilakukan. Pada pelakuan ini saya mengambil sampel dari salah satu kelompok: KONTROL

    MINUM AIR

  • Pada hasil percobaan yang ditunjukkan di atas, maka pada perlakuan minum air 1L telah terjadi peningkatan volume urin secara bertahap dalam jangka waktu 120 menit setelah perlakuan. Hal ini sesuai dengan teori, bahwa air yang dikonsumsi terlebih dahulu akan masuk ke sistem pencernaan dan akan masuk ke sirkulasi. Hal ini menyebabkan peningkatan volume plasma dan akhirnya akan mengakibatkan penurunan osmolalitas plasma. Semua ketidakseimbangan ini otomatis akan mencetus tubuh untuk melakukan sesuatu untuk mempertahankan homeostasis donk. Oleh karena itu, sekresi ADH akan ditekan oleh input dari osmoreseptor reabsorpsi air di TKD dan duktus koligens berkurang. Volume urin yang diekresikan akan bertambah banyak dan urin semakin encer. Seperti pada penjelasan sebelumnya. Dari percobaan didapatkan bahwa:

    Pada U-60 pasca perlakuan, laju produksi urin mencapai maksimal, yaitu mencapai 10,3 mL/menit dengan Volume urin yang dihasilkan adalah 310 mL.

    Urin pada U-60 tersebut encer, dan dibuktikan dengan warnanya yang lebih jernih jika dibandingkan dengan urin sebelum perlakuan.

    BJ pada U-60 juga memberikan hasil yang lebih rendah dibandingkan dengan U sebelum perlakuan. Udah disebutkan berkali-kali bahwa penurunan BJ berhubungan dengan berkurangnya osmolaritas urin. Jadi, semakin banyak partikel zat terlarut dalam suatu larutan, maka akan semakin tinggi massa dan berat jenis larutan tersebut.

    Parameter lain: Berat badan. Nah, pada OP yang minum air bisa kita amati bahwa BB sebelum perlakuan adalah 59,6. Tapi pada saat OP sudah meminum air sebanyak 1 L, BB meningkat menjadi 60,4 (peningkatan adalah 1 kg, di mana 1 L air kan setara dengan 1 kg air). Peningkatan BB ini ada hubungannya dengan volume plasma darah. BB kemudian secara perlahan turun secara bertahap, dan pada menit ke 120, BB mulai kembali ke BB semula.

    Kalau untuk tekanan darah dan pH urin, bisa kita lihat sedikit berfluktuasi. Jadi, perubahan pH urin ada hubungannya dengan perubahan pH plasma. Tapiii, akibat adanya sistem buffer plasma, maka pengenceran plasma akibat meningkatnya volume plasama tidak memberikan perubahan pH yang cukup bermakna. Begitu juga dengan tekanan darah yang diatur oleh sistem saraf simpatis untuk menurunkan curah jantung serta tahanan perifer.

    Tapi sebenarnya, banyak faktor yang mempengaruhi kecocokan hasil praktikum ini dengan teori sebenarnya yang berlaku. Tapi, kira-kira beginilah pengaruh perlakuan terhadap dieresis OP.

    b. Perlakuan Minum Air Teh Teh adalah senyawa diuretik karena di dalamnya mengandung methylxanthine yang dapat menghambat penyerapan kembali garam-garam dan air dalam ginjal. Di dalam the juga mengandung suatu substansi yang disebut teofilin. Nah, teofilin ini adalah salah satu senyawa

  • golongan xanthine atau methyxanthine tadi. Taukah kamu kalo teofilin ini struktur kimia dan sifat farmakologinya sama dengan kafein, dan fungsinya juga mirip yaitu untuk relaksan otot polos, stimulant otot jantung, dan bronchodilator.

    Bagaimana kerja teofilin ini? Nah, ternyata si teofilin ini diketahui dapat menghambat reseptor adenosine, lalu mengontrol reabsorpsi ion Na+ dan air di TKP sehingga reabsorpsi ion Na+ terhambat. Hal ini akan berakibat pada peningkatan eksresi Na+ dan air di dalam urin. Penghambatan reabsorpsi Na+ dan air di TKP akan meningkatkan osmolaritas caira (hiperosmotik) di dalam tubulus sehingga terjadi pergeseran air dari cairan interstisial ke dalam tubulus untuk menetralisir keadaan tersebut. Dengan berpindahnya air dari cairan interstisial ke tubulus, volume urin yang akan dieksresikan juga bertambah. Namun, asal tau saja bahwa teofilin ini sebenernya masih digolongkan ke dalam diuretik lemah lho.

    Ini hasil percobaan salah satu kelompok dengan kontrol yang sama dengan yang di atas:

    Nah, seperti yang udah disebutkan sebelumnya bahwa teofilin akan meningkatkan GFR. Selain itu, konsumsi the akan meningkatkan volume plasma sehingga menurunkan osmolalitas plasma yang akan dideteksi oleh osmoreseptor dan menginduksi produksi urin. Dari hasil percobaan bisa didapatkan:

    Pada U-30 hingga U-60 terjadi peningkatan produksi urin jika dibandingkan dengan U sebelum perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa efek teofilin bekerja maksimal pada U-60. Setelah U-60, produksi urin kembali menurun hingga menit ke 120.

    BJ terendah terlihat jelas pada produksi urin yang maksimal. Pada saat U-60, urin yang diproduksi kan paling tinggi, nah pada saat itu BJ paling rendah. Yah, tau kan kenapa.

    Warna urin juga paling jernih terlihat pada U-60, karena peningkatan volume urin yang dieksresikan. Nah, udah pada paham donk kenapa warnanya lebih jernih. Sama kayak pembahasan sebelumnya juga.

    Berat badan juga turun paling banyak pada U-60 karena pengeluaran urin yang banyak juga.

  • Nah, tambahan dari pleno kita kemarin, ada beberapa hasil yang pengaruh diuresis dari teh ini tidak terlalu signifikan. Hal itu bisa disebabkan oleh beberapa hal:

    Status dehidrasi dari si OP. Jadi walaupun dia sudah minum air teh seperti OP yang lainnya, tapi kalo dari dalam tubuhnya sendiri mendeteksi adanya kekurangan cairan, maka tubuh tetap akan berusaha mempertahankan homeostasis dengan mengurangi cairan yang keluar.

    Bisa juga terjadi sebenarnya status hidrasinya bagus, tetapi air banyak keluar melalui insensible water loss. Nah, lagi-lagi air akan tetep ditahan untuk tidak keluar banyak.

    c. Perlakuan Minum Air Gula Saat meminum air gula, maka kadar glukosa di dalam darah akan meningkat. Glukosa akan mengalami proses reabsorpsi di TKP. Nah, prosesnya ini bersifat transpor aktif sekunder saat berada di ultrafiltrat. Transport glukosa ini difasilitasi oleh carrier SGLT yang dibantu oleh pompa Na+K+. glukosa akan ditranspor memasuki sel tubulus bersama dengan ion Na. Pompa Na+K+ fungsinya adalah untuk memompa ion Na keluar dari sel menuju cairan interstisial agar ion Na tidak menumpuk di dalam sel. Selanjutnya, glukosa mengikuti gradient konsentrasi, berpindah menuju kapiler peritubular dan kembali ke peredaran darah. Penyerapan glukosa bersifat obligat, artinya yaitu pada kondisi normal, glukosa akan direabsorpsi seluruhnya sehingga di urin tidak akan ditemukan di urin. Tapiiii, ada kondisi tertentu di mana kadar glukosa terlalu tinggi sehingga gagal direabsorpsi seluruhnya sehingga menyebabkan terdapat glukosa di dalam urin. Hal ini bisa terjadi karena terbatasnya carrier glukosa yang ada. Batasan reabsorpsi ini disebut dengan Tm (transport maximum). Tm glukosa berkisar pada leve; 3755 mg/min. Dibutuhkan kadar glukosa dalam darah pada kisaran 300 mg / 100 mL untuk mencapai Tm. Namun, pada kenyataannya, tidak dibutuhkan kadar setinggi ini untuk mendapatkan kandungan glukosa pada urin sebab tidak semua unit filtrasi memiliki Tm yang sama dan tidak semua carrier dapat bekerja pada kapasitas maksimum. Karena itu, pada kadar glukosa 180 mg / 100 mL biasanya sudah dapat dijumpai kandungan glukosa pada urin. Gimana hasil percobaannya? Silahkan cek di tabel bawah:

  • Nah, berdasarkan percobaan, bisa didapatkan: Efek glukosa pada jumlah urin adalah justru menurunkan diuresis. Pada U-30 sudah

    terlihat jumlah urin yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan sebelum perlakuan. Selisihnya sekitar 23 mL. Pada U-60 sampai U-120 juga semakin terlihat kadar urin yang semakin menurun. Dengan mengkonsumsi air gula maka kadar glukosa dalam darah juga meningkat dan osmolaritas juga bertambah, yang selanjutnya akan dideteksi oleh osmoreseptor di hipotalamus sehingga memicu keluarnya ADH. Sehingga, terjadi peningkatan reasorbsi air di tubulus koligens untuk mencegah air keluar.

    Glukosa di urin negatif, hal ini menunjukkan bahwa glukosa yang dikonsumsi masih berada di bawah Tm maka tidak akan keluar lewat urin, melainkan direabsorpsi total.

    Tambahan juga dari pleno kemarin, glukosa kan direabsorpsi total, sehingga kadar glukosa di darah akan meningkat. Tetapi, hal ini akan memicu sekresi dari insulin dari kelenjar pankreas, yang nantinya glukosa akan disimpan dalam bentuk lain oleh insulin sehingga kadar glukosa di darah akan menurun perlahan.

    Tetapi ada pengecualian untuk orang yang memiliki penyakit DM, glukosa di dalam darah dapat meningkat sampai kadar yang sangat tinggi, menyebabkan muatan glukosa yang difiltrasi melebihi Tm nya, dan akibatnya adalah terjadi eksresi glukosa di dalam urin. Glukosa yang tinggi yang berada di dalam tubulus akan menarik air ke dalam tubulus sehingga dapat terjadi diuresis osmotik.

    Hubungan antara BJ dan volume urin juga bisa kita lihat hubungannya di sini. Semakin banyak volume urin yang keluar atau semakin encer urinnya, maka BJ nya juga semakin kecil. Sebaliknya, semakin sedikit volume urin yang keluar, maka BJ semakin besar.

    d. Perlakuan Olahraga Anaerobik Selama berolahraga, sejumlah besar darah disalurkan ke otot-otot untuk memasok

    oksigen dan nutrien serta membuang zat sisa yang tertimbun akibat peningkatan aktivitas. Namun, terdapat keterbatasan kardiovaskuler mengenai jumlah yang dapat disalurkan ke otot. Pada saat kontraksi mendekati maksimum, pembuluh darah yang terdapat di otot hampir tertutup oleh kontraksi yang sangat kuat sehingga penyaluran (fosforilasi oksidatif) tidak dapat mengimbangi kebutuhan ATP. Seiring dengan peningkatan aktivitas olahraga, serat-serat otot semakin mengandalkan glikolisis untuk menghasilkan ATP. Glikolisis tidak membutuhkan oksigen (anaerob) dan berjalan lebih cepat daripada fosforilasi oksidatif sehingga sesuai untuk kegiatan fisik yang berat dalam waktu singkat. Hasil akhir dari glikolisis adalah asam laktat yang diubah menjadi asam piruvat.

    Namun, tidak semua asam laktat dapat diubah menjadi asam piruvat dengan cepat. Apabila melebihi kapasitas katabolisme asam laktat karena glikolisis meningkat, asam laktat akan diserap darah. Hal tersebut akan menurunkan pH darah karena menaikkan kadar []. Keadaan ini menimbulkan asidosis dan merangsang sistem buffer untuk mengembalikan pH

  • darah normal yang berakibat pengeluaran [] melalui urin. Dengan kata lain, semakin rendah pH darah (asidosis), semakin banyak [] yang dikeluarkan sehingga pH darah kembali normal.

    Saat berolahraga, jumlah keringat meningkat akibat mekanisme untuk menurunkan suhu tubuh. Ketika berkeringat, tubuh tidak hanya mengeluarkan air, tetapi juga garam (NaCl) sehingga kadarnya dalam plasma dan cairan ekstraseluler menurun. Hal ini memacu ginjal untuk mengatur sekresi garam dan air melalui mekanisme ADH (Anti Diuretic Hormone) dan aldosteron. Mekanisme pengaturan melalui aldosteron yaitu melalui mekanisme Renin-Angiotensin-Aldosteron yang menyebabkan peningkatan reabsorbsi Na yang diikuti reabsorbsi air, sehingga menurunkan volume urine yang diekskresikan. Ginjal mengatur keseimbangan cairan melalui pengaturan pengeluaran urin. Selama exercise, filtrasi glomerulus dan aliran darah renal menurun, sehingga pengeluaran urin pun berkurang. Pengukuran berat badan merupakan salah satu metode sederhana dan efektif untuk menilai keseimbangan air.

    Ini hasil percobannya: Berat Badan pk 12.00: 74,3

    Dari percobaan ini didapatkan: Volume urin cenderung menurun, demikian pula dengan laju filtrasi glomerulus. Hal ini

    diakibatkan volume cairan berkurang setelah exercise akibat pengeluaran keringat, maupun pengeluaran melalui urin. Pengeluaran tersebut tidak diimbangi oleh asupan cairan yang cukup sehingga tubuh akan cenderung mencegah pengeluaran air berlebihan. Selain itu, exercise juga mengakibatkan aliran darah ke renal berkurang akibat peningkatan aliran darah ke otot, sehingga laju filtrasi glomerulus berkurang yang akan berakibat pada penurunan volume urin.

    Tetapi, pada U-30 pasca perlakuan, volume dan laju produksi urin meningkat. Hal ini dapat diakibatkan oleh adanya asupan cairan sebelum dilakukan exercise. Namun, pada U-120 pasca perlakuan, OP lain dengan perlakuan sama mengalami peningkatan volume

    Waktu

    Pengambilan

    Volume

    Urin

    (ml)

    Periode

    Pengambilan

    (menit)

    Laju

    Produksi

    Urin

    (ml/menit) BJ Warna pH Glukosa

    Berat

    Badan

    (kg)

    Tekanan

    Darah

    (mmHg)

    U-pra 12.00 130 1,030 Kuning 6,0 - 74,2 128/88

    U-0 12.54 15 54 0,27 1,030 Kuning 5,0 - 74,05 122/86

    Pelaksanaan

    Perlakuan

    pk. 13.40 s/d

    pk. 14.00

    U-30' pasca

    perlakuan 14.30 42 96 0,43 1,025 Kuning 6,0 - 74,17 120/80

    U-60' pasca

    perlakuan 14.58 8 28 0,28 1,030 Kuning 6,0 - 74,05 120/84

    U-90' pasca

    perlakuan 15.30 9 32 0,28 1,025 Kuning 6,0 - 74,1 120/90

    U-120' pasca

    perlakuan 16.00 7,4 30 0,24 1,030 Kuning 6,0 - 74 110/90

    Volume urin total dalam 120

    menit 81,4

  • dan laju produksi urin. Hal ini dapat dipengaruhi berbagai faktor seperti usia dan keadaan lingkungan.

    Glukosa pada urin negatif, karena OP normal dan tidak ada asupan glukosa berlebihan sehingga reabsorbsi glukosa di tubulus proksimal dapat terjadi secara maksimal.

    Keasaman urin seharusnya bertambah pada saat pengambilan urin pertama setelah exercises yang ditandai dengan menurunnya pH, hal ini karena adanya penumpukan asam laktat sebagai hasil dari metabolisme anaerobik. Kemudian, pada pengambilan urin selanjutnya, keasamannya akan kembali berkurang karena asam laktat telah diekskresikan semua, sehingga pH akan mengalami peningkatan.

    Materi Tambahan:

    Penggunaan Metode Klirens untuk Menghitung Fungsi Ginjal Klirens ginjal terhadap suatu zat adalah volume plasma yang dibersihkan secara menyeluruh dari suatu zat oleh ginjal per satuan waktu. Sebenarnya sih tidak ada volume plasma yang secara menyeluruh dibersihkan dari suatu zat. Tap konsep ini berguna untuk menghitung fungsi eksresi ginjal dan menghitung kecepatan aliran darah yang melalui ginjal, dll. Rumusnya: Cs x Ps = Us x V Di mana: Cs = nilai klirens suatu zat s Ps = konsentrasi zat dalam plasma Us = konsentrasi zat dalam urin V = kecepatan aliran urin

    Klirens inulin dapat digunakan untuk memperkirakan GFR. Bila suatu zat difiltrasi secara bebas dan tidak direabsorpsi atau disekresikan oleh tubulus ginjal, maka kecepatan zat tersebut diekresikan ke dalam urin (Us x V) sama dengan kecepatan filtrasi zat tersebut oleh ginjal (GFR x Ps). sehingga: GFR x Ps = Us x V Makanya GFR ini bisa dihitung sebagai klirens zat dengan persamaan:

    Cs = GFR =

    Contoh soal (hehe): Konsentrasi plasma adalah 1 mg/mL, konsentrasi urin adalah 125 mg/mL, dan kecepatan aliran urin adalah 1 mL/menit. Jadi, klirens inulin bisa dihitung dengan rumus di atas.

    Cs = 125 mg/mL x 1 mL/ menit : 1 mg/mL = 125 mL/menit

  • Jadi, 125 mL plasma yang mengalir melalui ginjal harus difiltrasi untuk membawa inulin yang tampak dalam urin. Sebenarnya inulin bukanlah satu-satunya zat yang dapat digunakan untuk menghitung GFR. Ohya, inulin ini sebenarnya adalah suatu molekul polisakarida, dan inulin ini tidak dihasilkan oleh tubuh, jadi untuk menghitung GFR ini inulin harus dimasukkan ke dalam plasma melui intravena.

    Saran aja sih, sebaiknya teman-teman baca lebih lengkap lagi tentang klirens ini. Kali aja keluar kayak sumatif kemarin. tapi mudah-mudahan nggak deh.

    Praktikum Physio Ex

    A. Pengaruh Diameter Arteriol Afferen Terhadap GFR

    Dari data tersebut, terlihat bahwa semakin tinggi afferent radius (jari-jari afferent), maka semakin tinggi pula glomerular pressure (tekanan glomerulus). Hal tersebut dapat terjadi karena jumlah darah yang masuk dari afferent lebih banyak daripada yang keluar ke efferent, sehingga darah akan cenderung menumpuk di glomerulus dan mengakibatkan tekanannya naik. Peningkatan tekanan ini akan menyebabkan GFR naik, sehingga volume urin yang keluar pun semakin banyak.

    Landasan Teori:

    Perubahan tekanan hidrostatik glomerulus merupakan mekanisme utama dalam mengatur GFR. Naiknya tekanan hidrostatik glomerulus akan meningkatkan GFR, sementara penurunan tekanan hidrostatik glomerulus akan menurunkan GFR. Tekanan hidrostatik glomerulus sendiri ditentukan oleh 3 hal, yaitu:

    1) Tekanan arteri Naiknya tekanan arteri cenderung meningkatkan tekanan hidrostatik glomerulus, sehingga meningkatkan GFR. Meskipun demikian, efek ini akan segera diseimbangkan oleh mekanisme autoregulasi.

  • 2) Tahanan arteriol afferent Naiknya tahanan arteriol afferent akan menurunkan tekanan hidrostatik glomerulus, sehingga menurunkan GFR. Sebaliknya, dilatasi arteriol afferent akan meningkatkan tekanan hidrostatik glomerulus, dan pada akhirnya akan meningkatkan GFR.

    3) Tahanan arteriol efferent Naiknya tahanan arteriol efferent akan meningkatkan tekanan hidrostatik glomerulus, sehingga meningkatkan GFR. Sebaliknya, dilatasi arteriol efferent akan menurunkan tekanan hidrostatik glomerulus, dan pada akhirnya akan menurunkan GFR.

    Selain tekanan hidrostatik glomerulus, GFR juga ditentukan oleh tekanan osmotik koloid. Normalnya, sekitar 20% cairan di dalam kapiler glomerulus akan terfiltrasi ke dalam kapsul Bowman, sehingga menyebabkan penumpukan protein plasma yang tidak terfiltrasi dan memekatkan konsentrasi darah di glomerulus. Semakin tinggi fraksi filtrasi (banyaknya zat yang terfiltrasi), semakin tinggi pula tekanan osmotik koloid, dan pada akhirnya akan menurunkan GFR.

    Konstriksi arteriol efferent akan meningkatkan tahanan aliran darah dari kapiler glomerulus. Hal ini akan meningkatkan tekanan hidrostatik glomerulus, sehingga GFR akan sedikit meningkat, tetapi hal ini hanya terjadi selama kenaikan tahanan efferent tersebut tidak terlalu banyak menurunkan aliran darah renal. Meskipun demikian, karena konstriksi arteriol efferent juga menurunkan aliran darah, fraksi filtrasi dan tekanan osmotik koloid pun meningkat seiring dengan meningkatnya tahanan arteriol efferent (darah di dalam kapiler glomerulus menjadi semakin kental/pekat akibat penumpukan protein yang tidak terfiltrasi). Oleh karena itu, jika konstriksi arteriol efferent menjadi terlalu kuat (tahanan meningkat lebih dari 3 kali lipat dari tahanan normal), peningkatan tekanan osmotik koloid tersebut akan melebihi peningkatan tekanan hidrostatiknya. Ketika hal ini terjadi, GFR justru akan menurun. Jadi, pada level konstriksi yang sedang, terdapat sedikit peningkatan GFR, tetapi dengan konstriksi yang kuat, justru terjadi penurunan GFR.

    B. Pengaruh Tekanan Darah Sistemik Terhadap GFR

    Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa semakin tinggi tekanan darah sistemik (beaker pressure), maka semakin tinggi pula tekanan glomerulus (glomerular pressure), sehingga GFR semakin tinggi dan pada akhirnya volume urin pun bertambah.

  • Landasan Teori:

    Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, naiknya tekanan arteri akan meningkatkan tekanan hidrostatik glomerulus, sehingga akan meningkatkan GFR. Peningkatan GFR tersebut tidak hanya terjadi akibat peningkatan tekanan hidrostatik glomerulus, tetapi juga dipengaruhi oleh tekanan osmotik koloid plasma. Semakin tinggi tekanan arteri (semakin banyak aliran darah plasma), maka semakin sedikit protein plasma yang menumpuk di glomerulus (semakin rendah tekanan osmotiknya), sehingga meningkatkan GFR.

    Ketika darah mengalir dari arteriol afferent melalui kapiler glomerulus menuju arteriol efferent, konsentrasi plasma atau tekanan osmotic koloid meningkat sekitar 20%. Hal ini terjadi karena sekitar 20% cairan di dalam kapiler terfiltrasi ke dalam kapsul Bowman, sehingga meningkatkan konsentrasi protein plasma glomerular yang tidak terfiltrasi. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi tekanan osmotik koloid kapiler glomerulus, yaitu tekanan osmotik koloid plasma arterial (sistemik), dan fraksi plasma yang terfiltrasi oleh kapiler glomerulus (fraksi filtrasi). Naiknya tekanan osmotik koloid plasma arterial akan meningkatkan tekanan osmotik koloid kapiler glomerulus, sehingga menurunkan GFR. Naiknya fraksi filtrasi juga meningkatkan konsentrasi protein plasma, sehingga meningkatkan tekanan osmotik koloid glomerulus dan pada akhirnya akan menurunkan GFR.

    Fraksi filtrasi didefinisikan sebagai jumlah cairan yang terfiltrasi (GFR) dibagi aliran plasma darah renal. Berdasarkan pengertian tersebut, fraksi filtrasi akan meningkat jika GFR meningkat atau aliran plasma darah renal menurun. Sebagai contoh, penurunan aliran plasma renal (jika tidak terjadi perubahan GFR) cenderung akan meningkatkan fraksi filtrasi, sehingga akan meningkatkan tekanan osmotik koloid kapiler glomerulus dan cenderung menurunkan GFR. Oleh karena itu, perubahan aliran darah renal juga dapat mempengaruhi GFR terlepas dari pengaruhnya dalam perubahan tekanan hidrostatik glomerulus. Akibatnya, meningkatnya aliran darah menuju glomerulus cenderung meningkatkan GFR, dan menurunnya aliran darah menuju glomerulus cenderung menurunkan GFR, bahkan walaupun tidak terjadi perubahan tekanan hidrostatik.

    C. Autoregulasi GFR Terhadap Perubahan Tekanan Darah

  • GFR memiliki mekanisme umpan balik yang menyebabkan GFR cenderung konstan meskipun terjadi perubahan tekanan darah sistemik. Dari data tersebut, terlihat bahwa peningkatan tekanan darah akan meningkatkan GFR, tetapi kondisi ini hanya terjadi jika diameter arteriol afferent dan efferent tidak berubah (tidak mengalami konstriksi ataupun dilatasi). Oleh karena itu, peningkatan GFR akibat naiknya tekanan darah akan diimbangi dengan perubahan diameter arteriol afferent dan efferent sehingga menurunkan kembali GFR hingga mencapai keadaan semula. Jika GFR naik akibat tekanan darah naik, maka arteriol afferent akan konstriksi dan arteriol efferent akan dilatasi sehingga menurunkan GFR. Sebaliknya, jika GFR turun akibat turunnya tekanan darah, maka arteriol afferent akan dilatasi dan arteriol efferent akan konstriksi, sehingga menaikkan aliran darah.

    Landasan teori:

    Untuk menjalankan peran autoregulasinya, ginjal memiliki mekanisme umpan balik yang menghubungkan perubahan dalam konsentrasi natrium klorida di makula densa dengan pengaturan tahanan arteriol renal. Umpan balik ini membantu memastikan jumlah natrium klorida yang melewati tubulus distal tetap konstan dan membantu mencegah fluktuasi ekskresi renal yang mungkin dapat terjadi. Pada berbagai kondisi, umpan balik ini meng-autoregulasi aliran darah renal dan GFR secara paralel (menaikkan keduanya secara bersamaan, ataupun menurunkan keduanya secara bersamaan). Meskipun demikian, karena mekanisme ini spesifik dilakukan untuk menstabilkan aliran natrium klorida dalam tubulus distal, terdapat suatu kondisi di mana GFR di-autoregulasi dengan mengorbankan perubahan dalam aliran darah renal. Mekanisme umpan balik tubuloglomerular memiliki dua komponen yang berperan bersama-sama dalam menjaga GFR, yaitu mekanisme umpan balik arteriol afferent dan mekanisme umpan balik arteriol efferent.

    Kompleks jukstaglomerular terdiri dari sel-sel makula densa di bagian awal tubulus proksimal, dan sel-sel jukstaglomerular di dinding arteriol afferent dan efferent. Makula densa merupakan sekelompok sel-sel epitel khusus di tubulus distal yang menempel pada arteriol afferent dan efferent.

    Sel-sel makula densa dapat merasakan perubahan volume urin yang mengalir ke tubulus distal melaui jalur persinyalan yang belum sepenuhnya dipahami. Studi eksperimental menunjukkan bahwa penurunan GFR akan memperlambat aliran urin di ansa Henle, sehingga menyebabkan meningkatnya reabsorpsi natrium dan klorida di ansa Henle pars asenden, dan pada akhirnya akan menurunkan konsentrasi natrium klorida pada urin yang melewati sel-sel macula densa. Penurunan konsentrasi natrium klorida ini menginisiasi sinyal dari macula densa dan mengakibatkan dua efek, yaitu:

    1) Penurunan tahanan terhadap aliran darah di dalam arteriol afferent, sehingga meningkatkan tekanan hidrostatik glomerulus dan membantu menormalkan GFR

  • 2) Pelepasan renin dari sel-sel jukstaglomerular arteriol afferent dan efferent. Renin yang dilepaskan dari sel-sel ini kemudian berfungsi sebagai enzim untuk meningkatkan pembentukan angiotensin I, yang akan dikonversi menjadi angiotensin II. Pada akhirnya, angiotensin II akan mengkonstriksikan arteriol efferent, sehingga meningkatkan tekanan hidrostatik glomerulus dan mengembalikan GFR menjadi normal.

    Kedua komponen mekanisme umpan balik tubuloglomerular ini memberikan sinyal umpan balik pada arteriol afferent dan efferent untuk autoregulasi GFR yang efisien selama terjadi perubahan dalam tekanan arteri. Ketika kedua mekanisme tersebut berfungsi bersama, perubahan GFR yang terjadi hanya beberapa persen saja, bahkan meskipun terjadi fluktuasi tekanan arteri yang besar antara 75-160 mmHg.

    D. Pengaruh Gradien Konsentrasi Interstitial Terhadap Volume Urin

    Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi gradien konsentrasi interstitial, maka semakin tinggi pula konsentrasi urin yang dihasilkan, tetapi dengan volume yang lebih sedikit. Hal ini terjadi karena reabsorpsi air di dalam tubulus terjadi secara pasif dan bergantung pada gradien kosentrasi interstitial. Urin yang masuk ke dalam tubulus distal dan duktus koligens bersifat hipotonik dengan konsentrasi 100 mOsm, karena natrium di dalamnya telah direabsorpsi secara aktif di ansa Henle pars asenden. Ketika urin hipotonik tersebut masuk ke dalam tubulus distal dan duktus koligen, air di dalam urin akan mengalami osmosis ke dalam cairan interstitial yang bersifat hipertonik. Osmosis ini akan terus berlanjut sampai konsentrasi urin sama dengan konsentrasi interstitial. Jadi, jika gradien konsentrasi interstitial sebesar 300 mOsm, maka air dari urin akan berosmosis hingga konsentrasi urin mencapai 300 mOsm. Jika gradien konsentrasi interstitial sebesar 1200 mOsm, maka air dari urin akan berosmosis ke interstitial sampai konsentrasi urin mencapai 1200 mOsm. Dengan gradien konsentrasi yang sangat besar tersebut, jelas bahwa air yang berosmosis (direabsorpsi) akan lebih banyak, sehingga volume urin akan menjadi lebih sedikit, tetapi konsentrasinya lebih pekat, sesuai dengan gradien konsentrasi interstitial.

    Mekanisme tersebut hanya dapat terjadi jika ada ADH. ADH merupakan hormon yang berperan dalam pembentukan kanal air pada membran tubulus, sehingga air dapat berosmosis.

  • Tanpa ADH tidak akan ada kanal air, sehingga air tidak dapat berosmosis meskipun dengan gradien konsentrasi yang sangat tinggi.

    E. Pengaruh Glukosa Carrier Protein

    Percobaan ini dilakukan dengan memberikan glucose carrier protein pada tubulus ginjal dengan jumlah yang berbeda. Carrier protein tersebut berperan dalam reabsorpsi glukosa di dalam tubulus. Pada percobaan pertama, ketika carrier diberikan dalam jumlah yang sedikit, masih terdapat glukosa di dalam urin. Artinya, jumlah carrier protein tersebut belum cukup untuk mereabsorpsi seluruh glukosa yang terfiltrasi. Kemudian carrier protein perlahan-lahan ditambah, sehingga jumlah glukosa di dalam urin pun berkurang dan pada akhirnya mencapai nilai 0 (tidak tersisa/tereabsorpsi seluruhnya).

    Perhatikan volume urin yang dihasilkan. Ada tidaknya glukosa di dalam urin pada percobaan terlihat tidak berpengaruh terhadap volume urin yang dihasilkan. Namun, pada pasien diabetes, di mana terdapat glukosa di dalam urin, volume urin yang dihasilkan jelas lebih banyak daripada individu normal. Hal tersebut terjadi karena adanya diuresis osmotik. Adanya glukosa dalam urin akan meningkatkan konsentrasi urin tersebut, sehingga perbedaan konsentrasi antara urin dan interstitial menjadi berkurang, dan pada akhirnya mengurangi volume air yang berosmosis dari urin ke interstitial. Terhambatnya proses reabsorpsi tersebut akan menyebabkan volume urin yang dihasilkan menjadi lebih banyak. Jadi, semakin kecil konsentrasi glukosa dalam urin, maka semakin banyak air yang direabsorpsi, dan semakin sedikit urin yang dihasilkan.

    Pada percobaan ini, terlihat bahwa meskipun glukosa dalam darah telah direabsorpsi seluruhnya, volume air yang dihasilkan tidak berkurang. Hal ini terjadi karena percobaan tersebut dilakukan dalam kondisi tidak ada ADH. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ADH berperan dalam menyediakan pintu untuk osmosis air. Tanpa ADH, tidak akan terjadi reabsorpsi air, sehingga ada tidaknya glukosa dalam urin menjadi tidak berpengaruh terhadap volume dan konsentrasi urin yang dihasilkan.

    F. Pengaruh Hormon Terhadap Volume Dan Konsentrasi Urin

  • Perhatikan data pada baris pertama dan kedua. Pada baris kedua, percobaan dilakukan hanya dengan menambhkan aldosteron, tanpa ADH. Hasilnya, terlihat bahwa konsentrasi potassium/kalium mengalami kenaikan, sedangkan volume urin berkurang. Dengan meningkatnya jumlah kalium dalam urin dan berkurangnya jumlah air dalam urin, maka urin seharusnya menjadi lebih pekat (konsentrasi meningkat), tetapi pada percobaan tersebut tampak tidak ada perubahan dalam konsentrasi urin. Hal ini terjadi karena aldosteron meningkatkan reabsorpsi natrium dari urin melalui pompa Na+-K+ ATPase. Oleh karena itu, natrium dalam urin semakin berkurang, tetapi kalium/potassium dalam urin semakin bertambah, sehingga konsentrasi urin tidak berubah. Sementara itu, reabsorpsi natrium akan diikuti dengan reabsorpsi air secara osmosis, sehingga volume urin berkurang, tetapi tidak terlalu signifikan karena perbedaan konsentrasi yang terjadi akibat reabsorpsi natrium tidak terlalu besar.

    Perhatikan data pada baris pertama dan ketiga. Pada baris ketiga, percobaan hanya dilakukan dengan menambahkan ADH, tanpa aldosteron. Hasilnya, terlihat bahwa volume urin yang dihasilkan menjadi 10 kali lipat lebih sedikit, dengan konsentrasi urin yang sama dengan gradien konsentrasi interstitial. Hal ini menunjukkan bahwa air dalam urin mengalami osmosis ke interstitial sampai urin menjadi lebih pekat sepekat interstitial (1200 mOsm).

    Sementara itu, terlihat bahwa konsentrasi potassium juga meningkat 10 kali lipat. Artinya, jumlah potassium di dalam urin sebenarnya sama sekali tidak berubah. Ingat, penambahan volume hingga mencapai 10 kali lipat akan mengubah konsentrasi zat terlarut menjadi 10 kali lipat lebih sedikit (10 kali lebih encer). Sebaliknya, jika volume air menjadi 10 kali lipat lebih sedikit, maka konsentrasi zat terlarut menjadi 10 kali lipat lebih banyak (10 kali lipat lebih pekat), tetapi jumlah zat terlarut itu sendiri sebenarnya tidak bertambah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pemberian ADH tidak akan mempengaruhi jumlah zat terlarut, tetapi mempengaruhi jumlah air yang direabsorpsi, sehingga berperan dalam pemekatan maupun pengenceran urin.

    Landasan Teori:

    Aldosteron, hormon yang disekresikan oleh sel-sel korteks adrenal di zona glomerulosa, merupakan regulator yang penting untuk reabsorpsi natrium dan sekresi kalium oleh tubulus renal. Action site aldosteron terutama di sel-sel principal duktus koligens. Aldosteron meningkatkan reabsorpsi natrium dan sekresi kalium dengan menstimulasi pompa Na+-K+ ATPase pada membran epitel duktus koligens sisi basolateral (sisi yang menghadap ke cairan interstitial). Aldosteron juga meningkatkan permeabilitas membran sisi luminal (sisi yang

  • menghadap ke lumen). Jadi, natrium akan berdifusi dari lumen ke dalam cairan intrasel, kemudian akan dikeluarkan ke dalam cairan interstitial melalui pompa Na+-K+ ATPase. Jika tidak ada aldosteron, maka akan terjadi kehilangan natrium dari tubuh dalam jumlah yang banyak, disertai dengan akumulasi kalium. Sebaliknya, sekresi aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium dan deplesi kalium.

    ADH merupakan hormon yang berfungsi untuk meningkatkan reabsorpsi air dengan meningkatkan permeabilitas epitel tubulus distal dan duktus koligens terhadap air. Efek ini membantu tubuh untuk menjaga air pada kondisi-kondisi tertentu, seperti dehidrasi. Jika tidak ada ADH, permeabilitas tubulus distal dan duktus koligen terhadap air menjadi rendah, sehingga menyebabkan ginjal mengekskresikan urin encer dalam jumlah yang banyak. Oleh karena itu, ADH berperan penting dalam mengatur derajat pengenceran maupun pemekatan urin. ADH mengikat reseptor V2 pada tubulus distal dan duktus koligens, sehingga meningkatkan pembentukan cyclic AMP (cAMP) dan mengaktifkan protein kinase. Hal ini akan menstimulasi pergerakan protein intraseluler yang disebut dengan aquaporin-2 (AQP-2), ke sisi luminal membran sel. Molekul AQP-2 akan berkelompok bersama-sama dan bergabung dengan membran sel melalui eksositosis untuk membentuk kanal air yang memfasilitasi difusi air ke dalam sel dengan cepat. Selain itu, terdapat aquaporin lainnya, yaitu AQP-3 dan AQP-4 , di sisi basolateral membran sel yang memfasilitasi air untuk keluar dari sel dengan cepat, meskipun aquaporin tersebut diyakini tidak diregulasi oleh ADH. Peningkatan jumlah ADH juga menyebabkan peningkatan pembentukan protein AQP-2 pada sel-sel tubulus renal dengan menstimulasi transkripsi gen AQP-2. Ketika konsentrasi ADH menurun, molekul AQP-2 diambil kembali ke dalam sitoplasma, sehingga menghilangkan kanal air dari membran luminal dan menurunkan permeabilitas air.

    Daftar Pustaka

    1. Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology, 11th Edition. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2006. p. 318-320, 323-324, 342-343.

    2. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology [e-book]. 11th ed. USA: Elsevier;2006.

    3. Tortora GJ, Derrickson BH. Principles of anatomy and physiology. Vol 2. 12 th ed. USA: John Wiley & Sons;2009. P. 657-8, 1042-1044.

    4. Sherwood L. Human physiology: from cells to systems. 7th ed. USA: Brooks/Cole;2010. p. 530-2, 539-541.

    5. Ganong WF. Review of medical physiology. 22nd Ed. USA: The McGraw-Hill Companies; 2005. [e-book].

    Oleh : Monika Besti Yolanda dan Ade Ilyas Mukmin Semoga membantu..