Terapi koloid

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat

Citation preview

Pada sebagian besar kompleks model porcine, terdiri dari exteri orization sementara dari usus kecil yang disertai dengan meningkatnya pendarahan dan pengganti, larutan koloid, berbeda dengan larutan ringer asetat, menyebabkan perbaikan superior dari outp

PENGATURAN CAIRAN PADA PASIEN PENYAKIT KRITIS

John Lang MD. And Donald S,Proughs.MD

Pasien dengan penyakit kritis sulit dalam konsep pengaturan cairannya : kekurangan cairan dapat memperburuk hipoperfusi jaringan; kelebihan cairan dapat menyebabkan edema paru. Kita melihat sifat dari koloid, kristaloid, dan larutan hipertonis, dalam membicarakan terapi pengganti dan menyimpulkan dengan mempertimbangkan penilaian dan monitoring dari status cairan.

KOLOID,KRISTALOID, DAN LARUTAN HIPERTONIS

Dasar Fisiologi

Partikel aktif secara osmotik menarik air melewati membran semipermeabel hingga mencapai keseimbangan. Osmolaritas cairan menunjukkan jumlah partikel aktif terlarut perliter larutan. Osmolalitas suatu pengukuran jumlah partikel aktif terlarut perkilogram larutan, dapat diperlihatkan sebagai berikut :

Osmolalitas =(2[Na+] x 2) +(Glukosa/18) + (BUN/2,8)

Dimana osmolalitas dinyatakan dalam mOsm/kg, konsentrasi natrium (Na+) dinyatakan dalam mEq/L, glukosa serum dinyatakan dalam mg/dL, dan nitrogen urea darah (BUN) dinyatakan dalam mg/dL. Gula, alkohol, dan larutan radiografi meningkatkan ukuran osmolalitas, menyebabkan peningkatan osmolal gap antara pengukuran dan nilai yang di hitung.

Keadaan hiperosmolar terjadi bilamana konsentrasi dari partikel aktif secara osmotik tinggi. Uremia (peningkatan BUN) dan hipernatremia (peningkatan natrium serum) meningkatkan osmolalitas serum. Akan tetapi, karena urea terdistribusi ke seluruh cairan tubuh, peningkatan BUN tidak menyebabkan hipertonisitas, jadi ada redistribusi cairan secara osmotik dari volume intraseluler (ICV) ke volume ekstraseluler (ECV). Karena natrium sangat terbatas sebagian besar ke ECV, hipernatremia menyebabkan hipertonisitas. Istilah tonisitas juga dipakai untuk membandingkan tekanan osmotik larutan parenteral dengan plasma.

Sebagian kecil partikel aktif osmotik mengandung protein plasma yang penting dalam menentukan keseimbangan cairan antara cairan intraseluler (IF) dan volume plasma (PV) Koefisien refleksi (() menunjukkan permeabilitas dari membran kapiler untuk larutan individu, dengan 0 menunjukkan permeabilitas bebas dan 1,0 menunjukkan impermeabilitas lengkap ( albumin rata-rata ~ 0,7 pada berbagai kapiler. Karena konsentrasi protein kapiler melebihi konsentrasi protein interstitial, tekanan osmotik yang dipengaruhi oleh protein plasma (diistilakan tekanan osmotik koloid atau tekanan onkotik) lebih tinggi dibandingkan tekanan onkotik interstitial dan cenderung untuk menjaga PV. Laju filtrasi cairan dari kapiler kedalam ruang interstitial adalah akibat kombinasi beberapa faktor, meliputi tekanan osmotik koloid intravaskuler ke interstitial dan gradient hidrostatik antara tekanan intravaskuler dan tekanan interstitial. Laju filtrasi jaringan ke sistemik atau kapiler paru mengikuti hukum strarling dari filtrasi kapiler seperti dinyatakan dalam persamaan:

Q = kA [(Pc-Pi) + ((i-(c)]

Dimana Q adalah filtrasi cairan, k adalah koefisien filtrasi kapiler (hantaran air), A adalah luas membran kapiler, PC adalah tekanan hidtostatik kapiler, Pi adalah tekanan hidrostatik interstitial, (i adalah tekanan osmotik koloid interstitial, dan (c adalah tekanan osmotik koloid kapiler

Volume IF ditentukan oleh jumlah filtrasi kapiler dan aliran limfe. Pc, faktor yang meningkatkan filtrasi cairan, yang ditentukan oleh aliran kapiler, tahanan arteri, tahanan vena, dan tekanan vena (1). Jika filtrasi kapiler meningkat kecepatan filtrasi air dan natrium biasanya melebihi protein , menyebabkan dilusi dari (i, dan menjaga gradient tekanan onkotik,sebagai faktor yang paling kuat melawan filtrasi cairan. Ketika bersamaan aliran limfe meningkat, menjaga gradient tekanan onkotik membatasi akumulasi dari IF. Jika Pc meningkat disaat aliran limfatik maksimal kemudian terjadi akumulasi IF, maka, terbentuklah edema. Pada keadaan terjadi edema kronik, tekanan IF berkurang meningkatnya aliran limfatik seterusnya di latasi pembuluh limfatik (2). Peningkatan filtrasi cairan juga dilusi matriks proteoglican pada IF, peningkatan permabilitas kapiler, dehidrasi dari interstitial menurunkan permeabilitas vaskuler (1).

Implikasi Klinik

Jika permeabilitas kapiler utuh, koloid seperti albumin atau hydroexythil starch menambah PV melebihi IF. Konsentrasi larutan yang mengandung koloid (misalnya : albumin 25%) cukup untuk tekanan onkotik memindahkan volume substansial dari IF ke PV. Penambahan PV yang tidak disertai penambahan IF memberi beberapa keuntungan : kebutuhan cairan yang lebih sedikit, edema perifer sedikit dan akumulasi edema paru dan mengurangi masalah keterlambatan mobilisasi cairan.

Akan tetapi, penelitian exhausiv tidak dapat menentukan pilihan antara cairan yang mengandung koloid atau yang mengandung kristaloid yang sesuai hasil (Tabela1).

Tabel 1 :Keuntungan dan kerugian cairan intravena koloid dan kristal loid

Larutan Keuntungan Kerugian

Koloid Volume Infus Kecil Biayanya mahal

Meningkatkan volume Koagulopati (dextran > HES)

plasma lama Edema paru (kebocoran kapiler)

Edema perifer sedikit Menurunkan GFR

Diuresis osmotik (berat

molekul dextran kecil)

Kristaloid Biayanya murah Memperbaiki perubahan

hemodinamik sementara

Aliran urine besar Edema perifer(dilusi Protein)

Menggantikan cairan Edema paru (dilusi protein

Ditambah peningkatan PAOP)

interstital

HES. Hydroxyethyl starch; GFR, glomerular filtration rate; PAOP, pulmonary arterial occlusion pressure

Banyak penelitian terpusat pada efek dari 2 jenis cairan pada resiko edema paru, meskipun secara fisiologi banyak pertahanan yang melindungi sebelum terakumulasi pada IF yang menyebabkan edema paru yang jelas secara klinik. Larutan kristaloid yang menyertai edema paru, biasanya menyebabkan meningkatnya Pc, mungkin dikombinasikan dengan berkurangnya (c. Koloid juga dapat menyebabkan meningkatnya, durasi yang lama pada Pc. Selain itu, pada keadaan penyakit yang disertai dengan meningkatnya permeabilitas kapiler alveoli (seperti sepsis atau akut respiratory distress syndrom), infus koloid dapat memperburuk edema paru. Peningkatan permeabilitas mikrovaskuler menurunkan gradient antara (c dan (i. Jika ( mendekati 0 pada kesetimbangan starling, istilah ( ((i (c) mendekati 0. Tidak adanya gradient tekanan onkotik meningkatkan minimal gradient hidraulik yang dapat menyebabkan edema paru yang penting secara klinik.

Beberapa laporan yang terbaru dipublikasikan tentang terapi cairan dan acute respiratory distress syndrom (3 5) tidak menekankan pemilihan cairan (kristaloid, koloid atau hipertonis) tetapi memfokuskan pada keseimbangan cairan yang optimal. Pada penelitian yang penting diketahui penggunaan protokol penanganan retriksi cairan dan diuretik untuk membatasi akumulasi cairan. Pada kelompok yang mendapatkan retriksi cairan dan diuretik secara bermakna menurunkan cairan ekstravaskuler paru selama 24 jam dibanding yang menerima terapi standar, dan juga diperlukan interval singkat mekanisme ventilasi dan perawatan intensif (1). Akan tetapi, baik intensif care unit (ICU) maupun di Rumah sakit angka kematian berbeda antara kedua kelompok tersebut. Laporan serupa dipublikasikan dalam bentuk abstrak membandingkan 2 algoritma untuk diuretik dan pengaturan cairan, baik diuretik intermiten maupun infus furosemid yang berkelanjutan (5). Larutan dextrose mempengaruhi NaCl 0,9% dengan intent untuk membatasi intake cairan 500 sampai 750 mL/hari. Tekanan oklusi arteri paru (PAOP) secara umum dipertahankan pada 10 sampai dengan 12 mmHg, disamping mencoba untuk menghindari hipoperfusi organ vital. Pasien dengan intake dan output yang rendah dan dosis diuretik yang tinggi lama perawatan yang lebih pendek di ICU dan rumah Sakit tetapi angka kematian tidak berubah.

Pada pasien bedah berada pada resiko untuk terjadi edema paru, kateterisasi arteri pulmonal dapat membantu penanganan. Tekanan oklusi arteri pulmonal dipertahankan pada level rendah yang cocok dengan perfusi sistemik yang adekuat. Secara teoritis monitoring hemodinamik yang berpasangan dengan ekspansi volume dengan koloid (untuk menjaga (c) akan memperkecil pembentukan edema. Akan tetapi, virgilio dkk (6) tidak menemukan korelasi pada pasien bedah antara fraksi shunt intra pulomonal (Qs/Qt) dan gradien antara (c dan PAOP (gambar 1).

Hipoproteinemia pada pasien penyakit kritis dapat disertai dengan terjadinya edema paru (7) dan meningkatnya angka kematian (8). Akan tetapi, pemberian kristaloid atau koloid dapat mempercepat edema paru pada pasien. Dengan kelainan katup jantung, menurunkan kemampuan ventrikel kiri, atau kegagalan ventrikel kiri. Setelah secara eksperimen meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler, Pearl dkk (9) tidak menemukan perbedaan antara meningkatnya cairan ekstravaskuler paru yang disebabkan oleh koloid atau kristaloid.

Banyak literatur yang berhubungan dengan terapi cairan dan kerusakan paru yang difokuskan pad strategis memperlambat progresif terjadinya edema paru yang jelas. Akan tetapi, beberapa peneliti memfokuskan pembersihan cairan dari alveoli. Mackersie dkk (10) baru saja mempelajari beberapa efek larutan koloid dan NaCl 0,9% pada pembersihan cairan alveoli. Lobus bawah dari kelinci terisi dengan kuantitatif standar dari tiap-tiap cairan (4 mL/kg), menjaga tetap gradient antara kapiler alveoli dan tekanan onkotik. Periode untuk menghitung cairan pembersih lebih dari 3 jam dengan menggunakan teknik gravimetrik. Tegangan permukaan diukur menggunakan gelombang surfaktomektri, dan inflamasi saluran napas dapat dinilai dengan menghitungan jumlah leukosit dari spesimen bilasan bronkoalveolar. Dextran dan NaCl 0,9% membersihkan alveoli lebih cepat dibandingkan dengan hidrixythyl starch (HES) dan larutan plasma. Tegangan permukaan tetap rendah pada NaCl, dextran dan kelompok HES bila dibandingkan dengan kelompok plasma, yang mana menunjukkan peningkatan tegangan permukaan. Akan tetapi, semua cairan menyebabkan respon inflamasi, kelompok plasma secara bermakna lebih menampakkan neutrophils, mungkin menggambarkan meningkatnya kerusakan paru. Peneliti terbaru menyimpulkan bahwa larutan yang mengandung protein, terjadi akumulasi pada rongga alveoli, secara bermakna direabsorbsi lebih lambat dibandingkan NaCl atau dextran. Mekanisme yang mungkin menurunkan pembersihan alveoli oleh larutan yang mengandung protein adalah dihambat oleh surfaktant, menyebabkan meningkatnya tegangan permukaan alveoli yang menghambat pembersihan pada edema alveoli.

Belakangan ini peneliti lain membandingkan larutan kristaloid dan larutan koloid menunjukkan kelebihan koloid. Marisuki dkk (11) memperlihatkan sepsis pada domba, dengan membandingkan resusitasi binatang dengan larutan Ringer laktat, dengan resusitasi penta starch secara bermakna mengurangi kerusakan microvaskuler ekstrapulmonal dan parenkim. Ini menyebabkan perubahan oksigenasi jaringan yang lebih baik, yang mana faktor ini dapat mencegah atau menurunkan insiden atau memperberat dari berbagai macam disfungsi sistem organ. Memperbaiki, hemodinamik menjadi stabil pada binatang percobaan untuk hemodilusi isovolemik, dextran 60, bila dibandingkan dengan larutan Ringer laktat memberikan stabilitas hemodinamik pada volume total yang hilang dan memperbaiki perfusi jaringan dan oksigenasi (12).

Hydroxyethyl Starch, secara umum paling banyak digunakan sintetik koloid di Amerika, lebih murah dibandingkan albumin. Akan tetapi pada dosis yang besar secara laboratorium menyebabkan koagulopati (13), HES 6,0%, digunakan pad volume (10 15 mL/kg), tidak disertai dengan koagulopati yang penting secara klinik pada pasien yang sedang menjalani perbaikan aneurisma abdominal (14), pembedahan mayor abdomen (15) atau pembedahan jantung (16). Pada pasien trauma dan sepsis, Boldt dkk (17) membandingkan HES dengan albummin resusitasi yang lama. Keadaan awal kardiorespirasi dan perfusi splanikus yang bervariasi tidak ada perbedaan yang bermakna. Akan tetapi, selama tahap awal dari resusitasi, perbedaan bermakna menekankan HES muncul dan terus-menerus selama waktu mengamatinya. Perbedaan variasi pada jantung meliputi peningkatan kardia indeks pada kelompok HES (sepsis dan trauma), menurunnya tahanan vasuker sistemik pada kedua kelompok HES, dan meningkatnya fraksi ejection ventrikel kanan pada kelompok HES-sepsis. Perbedaan lain yang bermakna nampak adalah meningkatnya ratio PaO2/FiO2 pada kedua kelompok HES, meningkatnya indeks pemberian oksigen pada kedua kelompok HES dan meningkatnya indeks konsumsi oksigen.

pH mucosa lambung, ukuran dari perfusi splanikus, meningkat (tanda dari perfusi membaik) pada kelompok HES-sepsis, sedangkan menurunnya kelompok albumin sepsis (pertanda dari menurunnya perfusi). Penulis menyimpulkanHES paling sedikit kemanjurannya seperti albumin pada pasien. Tambahan untuk perbaikan memungkinkan pada perubahan kardiorespirasi, penelitian lain memperlihatkan HES mengurangi berbagai macam respon inflamasi yang mana dapat memberikan untuk perbaikan perfusi mikrosirkulasi, kemungkinan menurunnya resiko dari berbagai macam disfungsi sistem organ (18).

Bagian yang sulit dalam memberikan penjelasan keunggulan dari cairan kristaloid atau koloid adalah secara langsung diakibatkan oleh kesulitan menjelaskan persamaan pokok yang secara klinik sesuai model percobaan (19). Belakangan ini berkembang bentuk repilakasi keadaan klinik, memungkinkan membandingkan secara akurat dari larutan kristaloid dan koloid. Pada binatang infus dengan lipopolisakarida E. coli dimana menggambarkan beberapa aspek klinik sepsis, secara klinik sesuai dengan larutan Ringer laktat atau HES 6,0% menyebabkan efek yang sama pada bagian akhir kritis dari pelepasan oksigen yang mana diharapkan menyebabkan perbedaan akumulasi cairan ekstravaskuler (20). Pada sebagian besar model porcine kompleks, terdiri dari exteri orization sementara dari usus kecil yang disertai dengan meningkatnya pendarahan dan pengganti, larutan koloid, berbeda dengan larutan Ringer asetat, menyebabkan perbaikan dari output jantung, pemberian oksigen, konsumsi oksigen (21). Lebih lanjut pemeriksaan memakai model ini adalah sangat penting.

Salah satu yang membangkitkan minat dengan majunya penelitian koloid adalah pemakaian pentafraction, tanda-tanda umum molekul HES dari ukuran yang spesifik antara (100.000 1.000.000 Daltons) secara aktual dapat menetralkan peningkatan permeabilitas kapiler yang menyertai bermacam-macam lesi, termasuk iskemia miokardial (22) dan endotoksin yang merusak paru (23). Jika data ini dapat dikonfirmasikan pada keadaan klinik yang disertai dengan peningkatan permeabilitas, pentafraction dapat memberikan keuntungan terapi mayor.

Usaha untuk menyusun pedoman praktek untuk penggunaan dari albumin, koloid non protein dan larutan kristalolid, kelompok dari 26 universitas hospital (University Hospital Consortium) secara ekstensif melihat tepat penggunaan dari terapi cairan ini untuk berbagai macam masalah klinik, termasuk syok hemoragik dan non hemoragik. Dasar Tinjauan dan Literatur 1977 sampai 1993, mereka menghasilkan pedoman yang berhubungan bagaimana penggunaan cairan (Tabel 2).

Tabel 2.Ikhtisar ringkasan dari UHC pedoman untuk penggunaan dari albumin koloid non protein dan larutan kristaloid

Indikasi PenggunaanKeadaan yang mana larutan dianjurkan

AlbuminKoloid Non ProteinKristaloid

Pembedahan jantung

Iskemia serebral Tidak cocok seperti pump larutan volume primer

Third-line untuk resusi-tasi cairan postoperasi

Third-line dapat di-gunakan pada pasien dengan HCt < 40% dan kontraindikasi NPCSecond-line pada kombinasi dengan kristaloid pump primer

Second-line dapat diguna-kan pada pasien dengan HCt < 40% First-line pump primer

First-line untuk resusitasi cairan postoperasi

First-line untuk me-nyebabkan hipervolemi dan hemodilusi

Syok Hemorragic

Syok non Hemorragic (gangguan distribusi)

Transplantasi organ

Berat nekrosis pankreatitis

Trauma suhu

Third-line pada saat produksi darah tidak ada, keperluan natrium dibatasi dan kontraindikasi NPC

Third-line, cocok pada kapiler bocor dengan edemaperifer atau edema paru, atau jika > 2L dari pemberian kristaloid tanpa efek dan jika kontraindikasi NPC

Tidak cocok untuk transplantasi ginjal, dapat digunakan pada transplantasi hati jika albumin serum < 2,5 g/dL, PAOP < 12 mmHg dan HCt > 30%

Cocok

Pilihan ke-3, digabung dengan kristaloid jika luas luka bakar > 50% BSA > 24 jam setelah kebakaran dan kristaloid gagal mem-perbaiki hipovolemi dan jika kontraindikasi NPCSecond-line dengan kristaloid ketika produksi darah tidak ada

Second-line untuk adanya kebocoran kapiler dengan edema perifer dan atau edema paru, atau jika > 2L pemberian kristaloid tanpa efek

Data kurang

Data kurang

Second-line digabung dengan kristaloid jika luas luka bakar > 50% BSA > 24 jam setelah kebakaran dan kristaloid gagal untuk memperbaiki hipovolemiFirst-line untuk awal resusitasi, menjamin kapasitas oksigen adkuat, faktor pembekuan dan trombosit

First-line untuk adanya kebocoran kapiler dengan edema perifer dan atau edema paru, atau jika > 2L pemberian kristaloid tanpa efek

Data kurang

Data kurang

First-line untuk resusitasi awal (24 jam pertama setelah kebakaran)

NPC, nonprotein colloid; BSA, body surface area; Hct, hematokrit; PAOP, pulmonary arterial occlusion pressure; UHC, university hospital consortium

Tekanan Intrakranial

Karena membran kapiler serebral, sawar darah otak adalah sangat tidak permeabel untuk protein, dokter menilai pemberian larutan yang mengandung koloid kurang meningkatkan tekanan intracranial (ICP) dibandingkan larutan kristaloid. Anestesi pada kelinci, plasmapheresis mengurangi osmolalitas plasma menjadi 13m Osm/kg (nilai dasar = 295 m Osm/kg), meningkatan kadar cairan kortikal dan ICP; mengurangi tekanan osmotik koloid dari 20 ke 7 mmHg menyebabkan perubahan yang tidak bermakna pada salah satu variabel (24). Hal yang serupa dari cairan otak dan ICP dari tekanan osmotik koloid dapat diperlihatkan dengan lamanya hipoalbunemia (25) dan pada binatang setelah iskemik otak depan (26) dan trauma cryogenic fokal (27)

TERAPI CAIRAN PENGGANTI

Syaratsyarat Pemeliharaan Untuk Cairan, Natrium dan Kalium

Pada orang dewasa sehat, kecukupan air adalah perlu untuk mengimbangi yang hilang melalui gastrointestinal 100 sampai 200 ml/hari, insesibel losses 500 sampai 1000 ml/hari (sebagian dari pernapasan dan dari kulit) dan kehilangan urine lebih dari 1000 ml/hari dapat menunjukkan ketidakmampuan untuk merubah garam atau air atau tidak sesuai respon fisiologi untuk menambah ECV.

Keseimbangan natrium dijaga oleh mekanisme ginjal meskipun berbagai macam variasi intake natrium. Ekskresi natrium dapat menurun HES)

Dioresis osmotik

Mengurangi cross match (dextron)

Hipertonisitasi

HES, Hidroxyethyl Starch

Hal yang menarik dari resusitasi hipertonis menurut Velasco dkk (36) yang menggunakan volume kecil (6,0 mL/kg) dari NaCl 7,5% hipertonis sebagai resusitasi pada anjing yang mengalami pendarahan. NaCl hipertonis mengembalikan tekanan darah sistolis dan cardiak output dan peningkatan aliran darah mesenterika menjadi lebih besar dibandingkan kontrol, semua binatang bertahan, walaupun, osmolalitas serum setelah penanganan melebihi 330 m Osm/kg, tidak ada binatang menunjukkan efek berlawanan yang diakibatkan hipertonisitas akut. Mekanisme larutan NaCl hipertonis memperbaiki hemodinamik adalah menambah PV (37).

Larutan hipertonis dapat juga memperbaiki mikrovaskuler dan fungsi jantung. Belakangan ini eksperimental in vivo terbu

l

8T

(

$

ing pada manusia .

Larutan hipertonis berefek pada hemodinamik serebral, pada sebagian karena hubungan timbal balik antara osmolitas plasma dan cairan otak (24). Selama resusitasi pada syok hemoragik dengan larutan Ringer laktat, ICP meningkat, tetapi ICP tetap tidak berubah jika NaCl 7,5% pada volume cukup sebanding untuk memperbaiki sistim hemodinamik (40). Perdarahan pada binatang percobaan akibat trauma otak cairan otak kurang dari otak yang tidak mengalami trauma (tetapi mirip trauma otak) sesudah resusitasi dengan larutan hiperosmotik (41). Anjing dengan massa lesi intracranial, larutan hipertonis mengembalikan aliran darah regional serebral lebih baik dibanding larutan hipotonis (40).

Berbicara mengenai komplikasi susunan syaraf pusat akibat hipertonisitas dan hipernatremia akibat hipertonis NaCl, Wisner dan teman-temannya menunjukkan penggunaan energy phospate nuclear magnetic resonance spectroscopy, menurunkan pH intraseluler setelah resusitasi NaCl hipertonis dibandingkan dengan larutan Ringer laktat (42). Akan tetapi penurunan ini tidak ditandai dengan glikolisis anaerobik, tetapi meningkatkan konsentrasi ion hidrogen intraseluler yang menyebabkan sel dehydrated secara osmotik (42). Pada manusia resusitasi dengan NaCl hipertonis, secara akut meningkatan natrium serum dari 155 sampai 160 mEq/L terbukti tidak merugikan (43,44). Myelinolisis pontine central, komplikasi dari koreksi cepat yang berat, hyponatremia kronik (45) tidak dapat diobservasi trial klinik pada resusitasi hipertonis.

Komplikasi non central nervous system juga dapat terjadi. Huang dkk (46) belakangan ini membandingkan penggunaan NaCl hipertonis dengan larutan Ringer laktat yang memerlukan resusitasi untuk luka bakar akut. Gagal ginjal, yang mana konstribusi angka kematian tinggi terjadi pada 40% pasien yang mendapatkan NaCl hipertonis dibandingkan dengan 10,1% pada kelompok Ringer laktat. Akan tetapi, ini menunjukkan penemuan terbaru pada pasien luka bakar, terdapat hipotesa bahwa hipernatremia sebagai akibat NaCl hipertonis menyebabkan disfungsi ginjal yang bisa menyebabkan kegagalan ginjal.

Sayangnya, perbaikan sistem hemodinamik yang dihasilkan dari resusitasi hipertonis berlangsung singkat. Setelah perbaikan awal, aliran darah otak dan kardiak output menurun dengan cepat setelah diberikan resusitasi dosis tunggal pada anjing yang mengalami hipovolemik dengan salah satu NaCl 0,8% atau NaCl 7,2% (40). Strategi untuk memperpanjang efek sistemik lebih 30 60 menit meliputi terus-menerus infus NaCl hipertonis, berikutnya Infus darah atau cairan konvensional, atau penambahan koloid pada resusitasi hipertonis. Perdarahan pada binatang percobaan, penambahan dextran 6,0%, NaCl 7,0 sampai 7,5% meningkatkan lamanya perbaikan hemodinamik ketika dibandingkan dengan volume NaCl hipertonis, Natrium bikarbonat atau Natrium Klorida/Natrium asetat (47). Belakangan ini penelitian secara random, oleh Vassar dkk (43) untuk mengevaluasi efek dari 250 ml natrium klorida dengan dan tanpa dextran 6% dan 12% 70 untuk resusitasi pra rumah sakit bagi pasien-pasien hipotensi trauma. Penambahan dextran tidak memperbaiki tekanan darah perubahan jika hanya pemberian dengan NaCl hipertonis. Pada kelompok kecil pasien dengan Glasgow Coma Scale Score < 8, tetapi tanpa trauma anatomi yang berat, nampaknya menguntungkan dengan resusitasi hipertonis (43). Matox dkk (44) melaporkan perbaikan bertahan pada pasien trauma dengan resusitasi awal NaCl 7,5% dan memerlukan pembedahan.

Observasi terakhir berhubungan dengan yang memerlukan resusitasi hiperosmotik pada perdarahan yang tidak terkontrol (43), dimana pengembalian tekanan darah meningkatkan pendarahan dan dapat mengakibatkan kematian (48). Pada pasien dengan trauma penetrasi pada torso, Bickell dkk (49) melaporkan cepatnya resusitasi pra rumah sakit tidak memperbaiki angka kematian dibandingkan dengan resusitasi awal hanya setelah tiba di rumah sakit.

Keberhasilan klinik dari resusitasi hipertonis dibandingkan dengan cairan konvensional tidak sempurna karena banyak studi pra klinik membandingkan efek bolus tunggal dari percobaan dan cairan kontrol. Bedanya resusitasi cairan di klinik berlanjut sampai tidak ada tambahan cairan yang diperlukan. Sebuah percobaan yang merupakan simulasi resusitasi di klinik pilihan yang wajib di antara bermacam-macam tujuan yang diperoleh pada resusitasi. perbandingan dari 2 atau lebih regimen resusitasi lebih mengubah dibandingkan satu variabel dapat menyebabkan kesimpulan umum yang salah. Sebagai contoh karena cairan hipertonis mengurangi tahanan vaskuler sistemik, ejection sistolik ventrikel dapat membaik, berperan untuk menurunkan PAOP1, secara teori, oleh karena itu cairan penting untuk menyamakan tekanan hasil pengisian yang dihasilkan oleh cairan koloid.

Apakah dokter secara terus-menerus menggunakan cairan hipertonis atau kombinasi hipertonis/hiperonkotik untuk resusitasi yang akan datang ? Selama belum ada keputusan lebih jauh dari kerja praklinik, secara teoritis keuntungan dari penggunaan cairan menunjukkan hal yang sangat atraktif pada resusitasi akut bagi pasien hipovolemik mengurangi komplikasi intracranial.

STATUS CAIRAN :

PENILAIAN DAN MONITORING

Hipovolemi dan Hipoperfusi Jaringan

Dua metode berbeda yang digunakan dalam menilai volume intravaskuler yang adekuat. Pertama, penilaian konvensional klinik adalah tepat untuk semua pasien, kedua, tujuan langsung penatalaksanaan hemodinamik, lebih penting bagi pasien bedah resiko tinggi.

Penilaian Klinik Konvensional

Kuantifikasi klinik volume darah dan ECV adalah sulit. Para dokter harus mengetahui terlebih dahulu tempat yang mengalami defisit seperti kehilangan berlarut-larut pada gastrointestinal, obstruksi usus, perforasi usus, preparasi usus preoperasi, hipertensi kronik, pemakaian diuretik kronik, sepsis, luka bakar, pankreatitis dan trauma. Tanda-tanda fisik dari hipovolemi adalah tidak sensitif dan tidak spesifik. Tanda-tanda yang mendukung meliputi oligouri, hipotensi supine dan tilt tes positif. Oligouri menunjukkan hipovolemi, meskipun pada pasien hipovolemi belum tentu oligouri dan pasien normovolemik mungkin oligouri karena kegagalan ginjal atau stress menyebabkan respon endokrin (50). Hipotensi supine berimplikasi pada kekurangan volume darah > 30%. Akan tetapi tekanan darah arteri pada kisaran normal dapat menyebabkan hipotensi relatif pada usia lanjut atau pada pasien hipertensi kronik. Penurunan substansial volume darah dan hipoperfusi organ dapat terjadi walaupun gambaran tekanan darah dan heart rate normal.

Test tilt, salah satu dari metode sederhana dalam menilai penurunan volume intravaskuler, ditandai dengan respon positif dengan meningkatnya heart rate > 20 kali/menit dan penurunan tekanan darah sistole > 20 mmHg maka subyek ditetapkan pada posisi positif tersebut. Akan tetapi, insiden tinggi dari positif palsu dan negatif palsu ditemukan terbatas pada tes ini. Dewasa muda sehat dapat mengatasi kehilangan volume darah secara akut sekitar 20%, sementara hanya takikardi dan hipotensi postural yang terlihat. Perbedaan 10 30% pasien lanjut usia dapat memperlihatkan perubahan tekanan darah ortostatik walaupun volume darah normal. Pengambilan 500 ml volume darah tergolong pada peningkatan besar heart rate jika berdiri dibanding sebelum pengambilan darah tetapi tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada respon tekanan darah atau kardiak indeks.

Bukti laboratorium mendukung hipovolemi atau penurunan ECV meliputi hemokonsentrasi, azotemia, natrium urine yang rendah, alkolisis metabolik dan asidosis metabolik. Hematokrit, indikator lemah dari volume intravaskuler, yang mana sebenarnya tidak ada perubahan nyata pada perdarahan akut lanjut terjadi hemodilusi sebagai akibat pemberian cairan atau pergeseran cairan dari ruang interstitial ke intravaskuler. Jika volume intravaskuler dikembalikan, pengukuran hematokrit menggambarkan jumlah sel darah merah lebih akurat.

Pengukuran BUN dan kreatinin serum (SCr) memerlukan kehati-hatian dalam menginterpretasi. Nitrogen urea darah, normalnya 8,0 sampai 20 mg/dL, meningkat pada hipovolemi, intake protein yang berlebihan, perdarahan gastrointestinal atau meningkatkan katabolisme dan menurun pada disfungsi hati yang berat. Kreatinin serum, hasil dari katabolisme otot dapat rendah pada dewasa tua, perempuan dn pasien lemah atau malnutrisi. Bedanya pada otot atau katabolisme akut, SCr dapat melebihi kisaran normal (0,5 1,5 mg/dL0 karena pemecahan otot lebih cepat. Ratio dari BUN dengan SCr melebihi dari nilai normal (10 20) mendukung dehidrasi atau faktor lain yang merubah konsentrasi serum. Oligouri prerenal, mempertinggi reabsorbsi natrium sehingga natrium di urine berkurang 400; ratio kreatinin urine/plasma > 40 : 1). Akan tetapi, sensitivitas dan spesifitas dari pengukuran natrium urine, osmolitas dan ratio kreatinin dapat terjadi kesalahan pada keadaan akut. Walaupun hipovolemik tidak umum menyebabkan alkalosis metabolik, penurunan ECV adalah stimulasi kuat untuk pemeliharaan dari alkalosis metabolik. Hipovolemi yang berat dapat menyebabkan hipoperfusi sistemik dan asidosis laktat.

Adekuatnya resusitasi cairan peripeoratif haruslah ditetapkan melalui evaluasi variabel klinik yang muliputi heart rate, tekanan darah arteri, jumlah urine, oksigenasi arteri dan pH. Takikardi adalah tidak sensitif, tidak spesifik sebagai indikator hipovolemi. Pemeliharaan tekanan darah disertai tekanan vena sentral 6 12 mmHg, lebih kuat mendukung penggantian yang adekuat. Selama hipovolemi yang berat pengukuran tidak langsung tekanan darah dapat bermakna. Pengukuran secara langsung tekanan arteri adalah lebih akurat dibandingkan secara indirect dan menyebabkan perolehan sampel darah arteri yang memuaskan.

Jumlah urine biasanya menurun tajam pada hipovolemi sedang dan berat. Dengan demikian tidak adanya glikosuri atau pemberian diuretik, jumlah urine 0,5 sampai 1,0 mL/kg/jam mendukung adekuatnya perfusi ginjal. pH arteri dapat menurun hanya bila hipoperfusi jaringan yang berat. Kardiak output bisa normal walaupun aliran darah regional sangat kurang. Desaturusi hemoglobin vena, indikator spesifik untuk perfusi sistemik yang kurang, gambaran rata-rata perfusi erbagai macam organ dan tidak dapat menggantikan mengawasi regional seperti pengeluaran urine.

Tujuan Pengaturan Langsung

Tidak ada pengawasan intraoperativ yang sensitif dan spesifik untuk mendeteksi hipoperfusi pada semua pasien. Terlebih pada gagal ginjal akut, gagal hati dan sepsis dapat menyebabkan hipoperfusi sub klinik. Suatu indikator perfusi jaringan, suplay oksigen (DO2) secara teoritis menarik mencapai poin akhir untuk resusitasi, kombinasi tunggal istilah kardia indeks (CI) dan kandungan oksigen arteri (CaO2) menurut persamaan :

DO2 = CI x CaO2 x 10

Dimana 10 faktor koreksi CaO2, biasanya dinyatakan dalam mLO/dL sampai mL/L.

Karena resusitasi cairan menggunakan kristaloid, koloid atau larutan hipertonis meningkatkan kardiac output dan menurunkan konsentrasi hemoglobin, digunakan DO2 bertujuan dapat lebih baik untuk mengunakan CI tanpa mengingat penurunan CaO2.

Pada pasien bedah resiko tinggi, rata-rata kardiac output dan DO2 yang besar mampu bertahan dari yang lebih rendah (53,54). Satu kunci variabel yang menggolongkan kemampuan bertahan satu DO2 ( 600 mLO2 min-1m2 (sesuai dengan CI 3,0 L min-1m2, konsentrasi hemoglobin 14 g/dL dan saturasi oksihemoglobin 98%). Pada perbandingan dengan kelompok kontrol yang mendapatkan pengawasan konvensional, termasuk kateterisasi vena sentral kelompok pasien bedah resiko tinggi yang mencapai DO2 ( 600 mLO2min-1m2 memiliki kemampuan bertahan lebih tinggi dan komplikasi rendah (53). Kelompok kontrol kedua dengan kateterisasi arteri pulmonal tanpa petunjuk penatalaksanaan yang spesifik tidak memperlihatkan kemampuan bertahan lebih baik atau komplikasi lebih sedikit. Data-data tersebut mendukung bahwa keagresifan, tujuan langsung sokongan hemodinamik pada pasien bedah resiko tinggi akan membatasi angka kesakitan dan kematian yang merupakan akibat hipoperfusi klinik yang tidak jelas. Pengaturan serupa menggambarkan perbaikan hasil pada pasien dengan sepsis (54).

Akan tetapi baru-baru ini trial klinik memberikan kontroversi umum. Boyd dkk (55) melakukan penelitian pada 107 pasien secara random mendapatkan pengobatan konvensional atau pemberian O2 ( 600 mL min-1m2 dan menunjukkan penurunan angka kematian dan komplikasi pada pasien yang diberi O2 level tinggi. Hayes dkk (56) yang secara random 109 pasien mendapatkan pengobatan konvensional atau intervensi untuk mempertahankan oksigen ( 600 mL min-1m2 memakai kombinasi dari volume dan debutamin menunjukkan peningkatan angka kematian pada kelompok pengobatan yang dipertahankan pada level tinggi dan spekulasi agresif menaikkan DO2 dapat membahayakan. Gattitoni dkk (57), pada jumlah yang lebih besar, trial multisenter dilakukan pada pasien kritis menemukan bahwa tidak ada bukti dimana pemberian DO2 memperbaiki hasil. Heyland dkk (58) menyimpulkan analisis studi yang dapat dipelajari bahwa pemeliharaan agresif DO2 mungkin tidak berhasil walaupun data sebagian besar mengharapkan pada pasien-pasien resiko tinggi pembedahan.

Kesimpulan

Pemberian terapi cairan dengan hati-hati sangat penting untuk membatasi kesakitan dan kematian pada pasien-pasien bedah kritis. Pemeliharaan perfusi sistemik merupakan strategi kritis menghindari shok dan konsekuensi lanjut dari kegagalan berbagai macam sistem organ.

11