52
TERBIT DUA BULANAN

TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

TERBIT DUA BULANAN

Page 2: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian
Page 3: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 1

Pembaca yang budiman,Setelah letusan Gunung Api Merapi mereda, tanah air

Indonesia kembali diguncang bencana alam besar: gempa bumi di Yogyakarta dan tsunami di kawasan selatan Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah. Sementara itu, ben-cana yang berkaitan dengan fenomena geologi, seperti semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, belum juga berhenti. Dalam suasana duka karena bencana-bencana tersebut, Warta Geologi (WG) kini hadir kembali menemui Anda semua.

Kita memang hidup di kawasan rawan bencana. Ka-rena itu, upaya-upaya pemahaman yang mendalam ten-tang bahaya-bahaya kebumian (geo-hazards) dan konsep penanganan bencana yang ditimbulkannya sangat pen-ting untuk terus menerus ditingkatkan. Di dalam peraturan tentang organisasi tatalaksana kepemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, aspek terkait geo-ha-zards ini tercakup dalam istilah “bencana geologi”. Da-lam peraturan tersebut, salah satu satuan kerja di bawah Badan Geologi bernama “Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi”.

Kinerja yang optimal dalam penanganan bencana memerlukan pemahaman yang lengkap tentang makna berbagai istilah dan implikasinya. Istilah-istilah seperti “bahaya” dan “bencana” menyiratkan tahap-tahap terten-tu dari langkah penanggulangan kejadian bencana, baik sebelum, selama, dan sesudahnya. Semuanya harus di-pahami secera proporsional. Sementara itu, hasil-hasil di bidang penanganan bencana, perlu disosialisasikan untuk diketahui bersama seluruh komponen masyarakat. Dengan demikian, sesesuai dengan falsafah bahwa pe-nanganan bencana merupakan tanggung jawab bersama seluruh lapisan masyarakat, setiap anggota masyarakat berpeluang mengetahui dan berkontribusi dalam penan-ganan bencana.

Fokus Kita WG edisi keempat ini memperbincangkan konsep penanganan bencana, bahaya geologi dan mitiga-si bencana geologi di Indonesia. Melalui kaji ulang tentang kebencanaan ini, khususnya bencana geologi, akan dipe-roleh umpan balik gambaran tentang apa yang dimiliki, kerangka persoalan yang dihadapi, agenda, dan prioritas pelaksanaan upaya dalam rangka mitigasi bencana geolo-gi dan kinerja manajemen bencana yang baik.

Pembaca yang budiman,Tatanan geologi Indonesia yang terletak di atas tiga

lempeng tektonik, selain memberikan sumber daya ke-bumian (geo-resources) yang kaya, dan lingkungan bumi (geo-environment) yang beranekaragam, juga ancaman bahaya kebumian (geo-hazards) yang sangat tinggi, baik ragam maupun persebarannya. Besarnya bahaya geologi Indonesia dan tingginya frekuensi kejadian bencana yang diakibatkannya merupakan bukti bahwa kita memang me-

mang hidup di wilayah yang rawan bencana.Dalam literatur-literatur tentang mitigasi bencana (lihat

misalnya: Wikipidea) dinyatakan bahwa mitigasi (bencana) adalah bagian dari manajemen bencana (disaster mana-gement) atau manajemen darurat (emergency manage-ment). Manajemen bencana meliputi: penyiapan, dukun-gan, dan pembangunan kembali suatu masyarakat yang terkena bencana alam (natural disaster) atau bencana buatan (man-made disaster). Manajemen bencana adalah suatu proses yang harus diselenggarakan terus menerus oleh segenap pribadi, kelompok, dan komunitas dalam mengelola seluruh bahaya (hazards) melalui usaha-usaha meminimalkan akibat dari bencana yang mungkin timbul dari bahaya tersebut (mitigasi).

Mitigasi adalah bagian atau salah satu tahap dalam penanganan bencana. Tahap mitigasi - dalam maknanya yang berarti kesiapsiagaan atau kewaspadaan - adalah cara yang murah dalam mengurangi akibat bahaya-bahaya yang dihadapi masyarakat dibandingkan dengan tindakan lainnya, seperti: evakuasi, rehabilitasim dan rekonstruksi. Mitigasi harus dilakukan baik secara bersama-sama mela-lui agenda Pemerintah, maupun sendiri-sendiri; baik saat dan paska kejadian, maupun sebelum kejadian. Karena itu, konsep mitigasi dan tahap lainnya dari manajemen bencana, serta irisan dan kesalingterkaitan diantara ta-hapan-tahapan tersebut perlu dipahami sebelumnya oleh siapa pun yang terlibat dalam penanganan bencana.

Seluruh geo-hazards atau potensi bencana (disaster) tersebut harus dinilai atau dievaluasi serta dikelola dengan baik agar tidak berkembang menjadi bencana. Penilaian tersebut berkenaan dengan aspek fi sik bumi sebagai fokus perhatiannya dikenal sebagai analisis geo-risk. Identifi kasi geo-risk, sebagaimana identifi kasi resiko-resiko lainnya, memang merupakan salah satu indikator berlangsungnya suatu mitigasi bencana dalam makna yang luas. Profi l WG kita kali ini tentang tokoh yang banyak berkiprah dalam ka-jian geo-risk melengkapi informasi yang diperlukan tentang mitigasi bencana, khususnya bencana geologi.

Pembaca yang budiman,Selain menampilkan profi l kita kali ini, Ir. Hardoyo R, fo-

kus kita, beberapa artikel khas kegeologian, WG edisi ke-empat ini juga menyajikan berita-berita di sekitar aktivitas unit-unit berikut staf-stafnya di lingkungan Badan Geologi menjelang peringatan ulang tahun kemerdekaan Republuk Indonesia yang ke-61, 17 Agustus 2006. Dalam WG edisi kali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan-laporan kegiatan koordinasi, dan kepemerintahan Badan Geologi. Selain itu, WG edisi ke-4 ini mulai menyajikan rubrik baru, yaitu: geologi populer dan wawasan.

Selamat menikmati Warta Geologi edisi keempat!

Oman Abdurahman

Bencana: Konsep Penanganan dan Mitigasinya

EDITORIAL

Page 4: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

PROFIL

WARTA GEOLOGI, JULI 20062

Dalam rangka menyiapkan bahan Profi l, WG yang diwakili oleh Joko Par-wata dan Bunyamin, telah diterima oleh Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling-kungan Geologi (PLG) untuk wawan-cara. Berikut ini transkripsi wawancara dengan beliau:

Tanya (T): Bisa bapak ceritakan tentang keluarga Bapak?

Jawaban ( J): Istri saya satu, namanya Endang Lestari sebagai ibu rumah tang-ga. Anak saya dua dan keduanya laki-laki. Anak-anak saya tidak ada yang mengik-uti jejak bapaknya. Anak yang pertama namanya Aditio Baskoro Hardoyo, bu-lan Agustus lalu baru lulus dari Desain Komunikasi Visual, STISI, Bandung. Dia memang punya hobby fotografi . Anak yang kedua, Pradipto Isworo Hardoyo, juga kuliah di jurusan yang sama dengan kakaknya tetapi sekarang baru Semester 5 di STTN. Sama dengan kakaknya, dia suka gambar tetapi gambar yang berge-rak, ya mungkin di bidang fi lm.

Pak Hardoyo bersama keluarga bertempat tinggal di Jln. Sepakbola No. 7 Arcamanik, Bandung 40293, Telepon: 022-7208732.

T: Asal Bapak?

J: Saya lahir di Solo. Istri juga asal Solo. Kami bertemu saat kuliah di UGM. Pak Hardoyo lahir di Surakarta (Solo) tang-gal 30 Oktober 1950.

T: Apa obsesi Bapak yang belum tercapai?

Profi l dalam kesempatan kali ini menampilkan Pak Hardoyo. Beliau memiliki nama lengkap Ir. Hardoyo Rajiowiryono, M.Sc., dan saat ini menyandang tugas sebagai Kepala Bidang Informasi pada Pusat Lin-gkungan Geologi, Badan Geologi.

Dalam lingkup tugas yang diembannya, Pak Hardoyo sebelumnya hin-gga saat ini terlibat secara aktif dalam kegiatan geo-risk (geohazard risk) yang merupakan kerja sama di bawah payung GTZ antara Pemerintah Jerman yang diwakili oleh BGR dan Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh DESDM (Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral). Kegiatan geo-risk sangat erat terkait - bahkan merupakan bagian dari - mitiga-si bencana. Sebagaimana akan kita lihat nanti, apa yang terkandung dalam Profi l kali ini menunjang Fokus Kita nomor ini yang membahas seputar mitigasi bencana geologi, khususnya berkenaan dengan aspek geo-risk.

Dalam pencarian bahan sumber penulisan Profi l WG kali ini, redak-si menggunakan metode wawancara seperti biasanya, namun dalam penuangannya ada sedikit perbedaan. Kali ini redaksi mencoba me-nurunkan hasil wawancara dengan cara hampir apa adanya sebagai-mana wawancara tersebut telah dilakukan. Beberapa tambahan narasi sebagai pengantar atau catatan, apabila dipandang perlu, disertakan pada setiap pertanyaan atau butir-butir substansi yang ditanyakan da-lam wawancara (tulisan miring). Selamat membaca!

Mengenalkan Geo-risk sebagai bagian dari Mitigasi Bencana

Ir. Hardoyo Rajiowiryono, M.Sc.

Page 5: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 3

PROFIL

Dalam jawaban Pak Hardoyo di bawah ini tergambar cita-cita beliau tentang peran geologi dalam pembangunan. Geologi seha-rusnya menjadi dasar pengembangan wila-yah/penataan ruang.

J: Saya ingin Peranan Geologi da-lam Penataan Ruang dan Lingkungan menonjol dalam pembangunan. Selama ini di Indonesia peranannya sangat ku-rang, karena disini kita punya kebiasaan “sesuatu” kalau belum diatur oleh institu-sinya, maka dianggap belum ada peratu-rannya. Kelemahannya di situ. Saya ambil contoh, di Malaysia ada yang namanya Town Planning Act. Di situ disebutkan bahwa “setiap pembangunan kota baru atau perluasan wilayah perkotaan harus memperhatikan kondisi bawah permu-kaan (sub surface)”. Dan setiap orang di sana sudah tahu bahwa kalau berbicara bawah permukaan itu berarti berbicara geologi. Dan departemen yang menanga-ni hal ini adalah Departemen Geologi Malaysia. Jadi kalau ada apa-apa ya...langsung ke Departemen Geologi-nya bukan ke yang lainnya. Sementara di In-donesia masing-masing sektor berusaha membuat peraturan, masing-masing pe-raturan itu tumpang-tindih dan berbeda. Dan kita (Badan Geologi red.) yang be-lum memiliki Undang-Undang Geologi, oleh orang dianggap tidak memiliki ke-wenangan untuk mengatur Geologi un-tuk macam-macam kegunaan, nah ini yang jadi masalah utama.

T: Oh, ya...bagaimana ceritanya Bapak bisa tertarik menjadi geolog?

Selain menceritakan asal mula ketertari-kannya dalam bidang geologi, Pak Hardoyo dalam jawaban beliau di bawah ini mence-ritakan hasil temuan (metode) beliau yang dijadikan rujukan dalam aplikasi geologi untuk tata ruang di Indonesia. Riwayat pendidikan dan karir beliau selengkapnya disertakan di bagian akhir jawaban ini se-bagai catatan tambahan.

J: Saya memang beda, sejak kelas 3 SMA saat kumpul-kumpul bersama te-man dan ditanya mau milih melanjutkan sekolah kemana. Kita berpikir bahwa Indonesia itu sumber dayanya sangat banyak. Kita ngertinya waktu itu cuman

sumber daya, belum tahu bagian-bagi-annya, apa yang di bawahnya, dll. Ya…. Sebetulnya saya sudah berpikir untuk mengembangkan resources Indonesia, khususnya bawah permukaan.

Setelah menamatkan SMA-nya, Pak Har-doyo melanjutkan pendidikannya di Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universi-tas Gajah Mada dan selesai sebagai sarjana geologi pada Tahun 1980. Kemudian beliau melanjutkan studinya di Department of Geology, University of Wollongong, Austra-lia dengan meraih gelar master science (ho-nours) in geology, majoring in environmen-tal geology, pada Tahun 1990.

Tahun 1978 sewaktu kuliah tingkat 5 saya bersama teman-teman diajak Caltex untuk keliling Indonesia melihat per-tambangan minyak. Ada 15 mahasiswa dari UGM, 15 dari ITB. Ya, ceritanya mau direkrut mereka. Setelah jalan-jalan

itu bukannya tertarik bekerja di permi-nyakan tetapi justru saya tidak tertarik kerja di sana karena suasana kerja yang tidak sesuai dengan hati. Waktu itu atu-rannya memang amat ketat. Para pegawai ditempatkan di mess khusus dan tidak bercampur dengan dunia luar.

Setelah itu saya mulai membaca mengenai berbagai hal, terutama tulisan-nya Pak Suharto Wongso Sentono dan Pak Mulyono Purbo, yang secara tidak langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian waktu membuat tesis, saya mengajukan judul Geologi untuk Tata Ruang, dan saya kira waktu itu meru-pakan tesis yang pertama dibuat maha-siswa.

Kemudian kerja membawa saya masuk ke Geologi (DGTL: Direktorat Geologi Tata Lingkungan) tahun 1981 dan kebe-tulan ditempatkan di geologi lingkungan. Apa yang membuat semakin mantap adalah hasil survei saya tahun 1983, dipa-

Page 6: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

PROFIL

WARTA GEOLOGI, JULI 20064

kai dasar untuk penyusunan Tata Ruang Kabupaten Serang dan Kota Cilegon. Se-mua departemen yang terlibat dan terkait melakukan rapat dipimpin langsung oleh Bapak Emil Salim. Hasil rapat ternyata memilih usulan metode dan survei saya. Ya, bangga karena dianggap terbaik oleh Bapak Emil Salim mengalahkan yang lain termasuk dari Kimpraswil.

Kelebihan survei saya adalah adanya faktor pendukung (supporting factor) dan faktor kendala (risk factor). Saya tunjuk-kan dalam usulan saya bagaimana topo-grafi nya, fondasinya, air tanahnya, dan rawan longsor atau tidak. Saya udah bisa ngomong begitu waktu itu. Di sini pan-tainya lunak..jadi rawan erosi. Ya..setiap tempat saya kasih skor, atau bobot se-hingga rapat yang dipimpin Bapak Emil Salim memilih usulan saya.

Ini yang sekarang saya tekuni dan kembangkan, apalagi dengan adanya Sistem Informasi Geografi s menjadi tool untuk analisis, metode ini jadi semakin berkembang.

Sejak masuk di DGTL (PLG seka-rang), DESDM, 1981, riwayat pekerjaan Pak Hardoyo berturut-turut adalah seba-gai berikut: Staf Seksi Geologi Lingkungan Pantai (1981-1993), Kepala Seksi Geologi Lingkungan Perkotaan (1993-1998), Ke-pala Sub Dit Analisis dan Informasi (1998-2001), Pejabat Harian (PH) Kepala Sub Direktorat Geologi Lingkungan Perkotaan dan Daerah (2000-2001), Kepala Sub Di-rektorat Geologi Lingkungan Perkotaan dan Regional (2001-2005), dan Kepala Bidang Informasi (2001-sekarang).

Di lingkungan tugas-tugas non struk-tural, Pak Hardoyo juga sangat aktif. Hal ini terlihat dari karir beliau sebagai be-rikut: Anggota Tim Teknis Amdal Departe-men Energi dan Sumber Daya Mineral (1993–kini), Pimpinan Redaksi Buletin Tata Lingkungan (1994-1998), Anggota Tim Penelitian Laut Indonesia (1994-1996), Anggota Tim Evaluasi Pembangu-nan Bandung Utara dan Kawasan Puncak (1977), Anggota Tim CCOP Coastplan Project (1997-1999), Anggota Redaksi Buletin Geologi Tata Lingkungan (1999-2005), PH Sekretaris Tim Teknis Amdal Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber-daya Mineral (2000-2005), dan Kepala Tim Indonesia untuk Geo-risk Project (2003–sekarang).

T : Selama ini (aplikasi metode tersebut-red) untuk daerah lain atau skala regional bagaimana?

J: Kelihatannya ada hal yang meng-gembirakan. Dengan adanya kegiatan sosialisasi kami juga mengundang sektor-sektor lain yang terkait seperti LH, PU, Bappeda, Bappedal, dan NGO ternyata banyak permintaan metode saya gunakan untuk diterapkan.

Satu lagi hal yang menggembirakan, ketika saya mewakili departemen untuk

presentasi-presentasi di Bappenas, saya banyak ketemu dengan NGO (LSM) dan salah satu dosen Planologi senior dari ITB Pak Tjuk Kuswartoyo yang tertarik dengan metode saya. Kebetulan beliau bekerja untuk UNDP, beliau selalu meminta bantuan saya untuk menerap-kan metode saya untuk Indonesia Timur.

Dan kemarin saat kegiatan rekon-struksi dan rehabilitasi Aceh, ternyata hasil survei di Aceh banyak sekali per-mintaan dan telah beredar luas di badan-badan internasional yang beroperasi di Aceh.

T: Dulu Bapak menjadi Kasub-dit Geologi Lingkungan seka-rang namanya menjadi Pokja, terobosan apa yang sedang Ba-pak kerjakan?

J: Sub bidang yang sedang saya pegang sekarang adalah Sub Bidang Informasi. Jadi saya mempunyai keleluasaan melakukan dalam penyebar-luasan informasi. Rencananya akan memperbanyak kegiatan sosialisasi. Karena kebutuhan masyarakat memang ada dua

jenis: hasil-hasil survei dan hasil peng-embangan. Masyarakat membutuhkan hasil-hasil survei geologi juga hasil peng-embangan atau riset di bidang Tata Ru-ang dan Lingkungan. Saya memberikan masukan agar pekerjaan teman-teman di bagi dua: tetap melakukan survei dan te-rus melakukan in-house riset untuk peng-embangan.

T: Kerjasama atau koordinasi dengan De-partemen PU bagaimana?

J: Secara umum belum, tetapi setelah berbagai kejadian bencana, kelihatannya teman-teman dari PU mulai menyadari pentingnya zoning bencana. Kita sambil menyiapkan rancangan Perpres Kawasan Lindung Geologi. Tampaknya peraturan ini banyak diadopsi oleh PU, kebetulan mereka sedang merevisi PP Tata Ruang dan menjanjikan peran aspek geologi akan semakin kuat.

Terobosan yang telah dirintis Pak Hardoyo dalam bidang sosialisasi aplikasi geologi untuk tata ruang diyakini akan terus ber-lanjut mengingat hubungan dan aktivitas beliau dalam organisasi-organisasi profesi dan kemasyarakatan cukup luas dan ba-nyak. Diantaranya, beliau telah dan sedang aktif dalam organisasi profesi dan kemasy-arakatan berikut: Anggota Pemuda Pelajar Indonesia (PP) Australia (1988 – 1990), Sekretaris PPI University of Wollongong (1989 – 1990), Anggota Ikatan Ahli Ge-ologi Indonesia (IAGI) (1995 – sekarang), Anggota Masyarakat Penginderaan Jauh Indonesia (MAPIN) (1977 – sekarang), Kepala Biro Publikasi IAGI merangkap Pimpinan Redaksi Majalah Geologi In-

“Saya ingin Peranan Geologi dalam Penataan

Ruang dan Lingkungan menonjol dalam pembangunan”

Page 7: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 5

PROFIL

donesia (1999 – 2002), dan Humas IAGI Pusat (2003 – 2005).

T: Apakah geo-risk itu?

Dalam jawaban Pak Hardoyo atas pertan-yaan tentang geo-risk di bawah ini tergam-bar bagaimana posisi kegiatan analisis geo-risk dalam mitigasi bencana atau lebih luas lagi: dalam manajemen bencana. Diketahui pula dari uraian beliau yang sejak Tahun 1993 sampai sekarang mengepalai Tim Indonesia untuk Geo-risk Project, bahwa mitigasi bencana atau manajemen bencana dengan geo-risk sebagai salah satu bagian kegiatannya merupakan alat ukur pencapa-ian ‘good local government’.

J: Geo-Risk ini sebetulnya kependek-an dari Geohazard Risk. Artinya, resiko ketika kita berdiam atau mengembang-kan kawasan yang rawan bencana. Geo-risk adalah nama kerja sama di bawah Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) – badan milik pemerintah Jer-man yang menangani kerja sama teknik internasional – yang merupakan program kerja sama teknis antara Pemerintah Jerman yang diwakili Bundesanstalf für Geowissenschaften und Rohstoff e (BGR) – Lembaga Pemerintah Jerman yang menangani Geosains dan Sumber Daya Alam – dengan Pemerintah Indonesia yang diwakili DESDM. Ada satu pro-gram utama yang bernama “Good Local Government”. Isi program tersebut adalah agar kinerja pemerintah daerah menjadi lebih baik, meningkat, dan lebih bijaksa-na. Salah satu kunci untuk mencapai good local government tersebut adalah jika Pe-merintah Daerah mau mengembangkan wilayah dan tata ruangnya secara benar, maka harus mempertimbangkan aspek-aspek geologi baik supporting mau pun geo-hazardnya. Jika hal itu dilaksanakan, berarti kita sudah melakukan mitigasi.

Personil yang terlibat dalam kerja sama tersebut adalah gabungan dari In-donesia dan Jerman. Melalui kerja sama terebut, diharapkan baik transfer ilmu maupun bantuan bagi daerah. Ada 2 hal utama yang kita inginkan: 1) menghitung economic losses, dan 2) menyiapkan dan membantu Pemda untuk mempersiapkan masyarakat agar mampu bertahan atau mampu memanage daerahnya apabila ter-jadi bencana. Dengan cara itu masyarakat

yang terkena bencana mampu dan cepat melakukan recovery. Ini yang dinamakan community base disaster risk management.

Proyek (geo-risk) ini mencakup ren-tang waktu yang panjang (multiyears), di-awali tahun 2003 sampai 2005, diperpan-jang lagi sampai 2006, dan jika memun-gkinkan akan diperpanjang sampai 2009. Ada 3 expatriat yang terlibat secara long term, yaitu: Manager Proyek (Dr. Ranke), 1 orang ahli database, dan 1 orang ahli GIS. Namun, yang disayangkan justru expert datangnya tidak pasti kadang 3 bu-lan sekali, sehingga kita tidak dapat mela-kukan transfer knowledge setiap saat.

T: Apa kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam geo-risk tersebut dan apa produk-produknya?

Dalam paragraf di bawah, Pak Hardoyo mengelaborasi lebih lanjut sekitar kegiatan geo-risk di 5 daerah di Indonesia sebagai percontohan.

J: Ada 5 (lima) pilot project geo-risk yang sudah dan sedang digarap. Yang sudah selesai kegiatannya adalah di Ende dan Maumere (NTT). Dari hasil yang sudah dicapai, dampaknya untuk Pemda cukup bagus dan metodenya banyak diaplikasikan. Bahkan sewaktu melakukan sosialisasi ke daerah, DPRDnya langsung memutuskan untuk menaikkan dana satlak dan memerintahkan Bappeda-nya untuk menggunakan informasi geologi sebagai basis penataan ruang.

Untuk tim Aceh kemarin memang kegiatan geo-risk tidak terkait, tapi ada kerjasama khusus antara PLG dengan Pemda Aceh terkait aplikasi geologi ling-kungan dalam penataan ruang, terutama dalam pengembangan aspek geotek-niknya.

Kembali ke geo-risk. Jadi, fokus geo-risk adalah memang menghindari ben-cana tetapi berbasis tata ruang dan pe-ningkatan atau penguatan kesadaran masyarakat. Dengan banyaknya bencana akhir-akhir ini juga ada perluasan mi-natan kerja. Walaupun fokusnya tetap di lima lokasi tadi, tapi daerah-daerah lain-nya yang potensial terkena bencana juga menjadi fokus garapan ke depan.

T: Terakhir kali, pak. Mungkin ada pesan dan kesan dari bapak?

J: (Sambil tersenyum) Saya tidak ada pesan, nanti takut dianggap menggurui.

Pak Hardoyo memang rendah hati. Beliau enggan menyampaikan pesan apa-apa kare-na khawatir dianggap menggurui. Namun, kita dapat menyimak pemikiran-pemikiran beliau lebih lanjut dalam karya tulis-karya tulis beliau yang cukup banyak jumlahnya. Beberapa karya tulis beliau dalam 3 (tiga) tahun terakhir adalah:

- 2004, Makalah berjudul Klasifi kasi Sebagai Dasar Kebijakan Konser-vasi dan Pengembangan Kawasan Karst dalam Kumpulan Makalah Workshop Nasional Pengelolaan Ka-wasan Karst.

- 2005, Makalah berjudul Evaluation of Engineering Geology on Land-slide Occurred at Th e Gombel Hill Area – Semarang dalam Proceeding of 3nd International Conference on Geotechnical Engineering (ISBN) No. 979-97161-2-8

- 2005, Buku Profi l Lingkungan Ge-ologi Pulau Jawa (sebagai Penyunt-ing),

- 2005, Atlas Informasi Geologi Lingkungan untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Provinsi NAD dan Pulau Nias (sebagai Penyunting),

- 2005, Atlas Informasi Geologi Lingkungan untuk Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pulau Alor dan Nabire (sebagai Penyunting).

Demikian melalui wawancara, kita telah mengenal Pak Hardoyo sebagai salah seorang yang telah merintis aplikasi geologi (lingkungan) dalam Tata Ruang di Indonesia berikut selintas gambaran pemikirannya di bidang tersebut. Semoga beliau yang akan memasuki masa pensiun pada akhir bulan Oktober 2006 nanti panjang umur, sehat selalu, dan senantiasa dalam lindungan Allah SWT serta tetap berkiprah dalam bidang geologi dan implementasinya untuk pembangunan.

Oman Abdurahman, Joko Parwata, Bunyamin

Page 8: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 20066

SEPUTAR KITA

Kerja Sama Teknik Jerman – Indonesia

PADA tanggal 6 – 8 Juni 2006 bertempat di gedung Badiklat-ESDM Jln. Gatot Subroto, Jakarta telah dilaksanakan Target Oriented Project Planning Workshop on Natural Disas-ter Management. Pembukaan dila-kukan oleh Kepala Badan Geologi, Bambang Dwiyanto M.Sc, dan setelah itu diikuti dengan sambutan-sambu-tan dari Andrea Heyn selaku Kon-sul Bidang Keilmuan dari Kedutaan Besar Jerman; Dr. Manfred Poppe, Good Local Governance-GTZ Projects; Dr. Volker Steinbach, Head of Sec-tion International Cooperation Europe, Asia, Oceania; dan Dr. Ulrich Ranke, Georisk Project Manager. Tujuan dari rapat kerja ini adalah untuk meny-amakan pandangan mengenai Geo-risk Project termasuk rencana kerja, susunan anggota tim, bidang yang akan dikembangkan dan penyediaan pera-latan, pelatihan serta penen-tuan tolok ukur dalam pemantauan dan evaluasi kemajuan proyek.

Proyek ini membantu pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten un-tuk menyusun pedoman dan mem-berikan rekomendasi dalam pengu-rangan resiko bencana sejak tahun 2003, dan pada saat ini telah me-masuki fase ke-2. Proyek ini dikelola di bawah kerja sama teknik antara Indonesia dan Jerman dengan Deut-sche Gessellschaaft fuer Technische Zusammenarbeit (GTZ) dari pihak Jerman sebagai pelaksananya.

Pemerintah Indonesia melaku-kan pendekatan kepada Pemerin-tah Jerman pada tahun 1998 untuk mengembangkan kerja sama antara kelompok masyarakat dan pemerin-tah daerah melalui suatu kegiatan pengelolaan perkotaan yang lebih efektif dan difokuskan dalam pengelo-laan resiko akibat bencana alam geo-logi. Pemerintah Indonesia menugas-kan Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral, yang sekarang menjadi Badan Geologi dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVG) dan Pusat Lingkungan Geologi (PLG) untuk mencari bantuan teknik dalam bidang ini melalui Ker-ja Sama Teknik Jerman-Indonesia. Di pihak Jerman, Federal Geological Survey (Bundensanstalt fuer Geowis-senschaften und Rohstoffe, BGR) dit-unjuk sebagai pelaksana. Perjanjian antara kedua belah pihak diimple-mentasikan dalam kerja sama teknik untuk pengembangan wilayah timur Indonesia (NTB-NTT).

Sejak awal 2003 sampai akhir 2004 dan sejak Desember 2005 hingga saat ini, kegiatan pemberian bimbingan untuk membantu daerah – daerah terpilih dalam meningkat-kan kemampuan teknis dan kompe-tensi kelembagaan menjadi lebih baik dan lebih beorientasi ke masyarakat dalam bidang pengelolaan bencana alam telah dilakukan. Daerah yang menjadi wilayah kerja adalah Sema-

rang (Jawa Tengah), Yogyakarta, Ka-bupaten Ende, dan Kabupaten Sik-ka. Georisk Project telah memetakan wilayah rawan bencana gunung api dari 3 gunung api (Iya, Kelimutu, dan Egon), kerentanan terhadap longsor, zona gempa dan tsunami di daerah Kabupaten Ende dan Kabupaten Sik-ka, Nusa Tenggara Timur. Satu tim juga bekerja untuk Community Base Disaster Risk Management (CBDRM) di Kabupaten Sikka and Yogyakarta, dan tim lainnya bekerja meneliti am-blesan tanah di daerah Semarang. Pengalaman-pengalaman itu mem-berikan indikasi yang jelas bagi arah proyek ini kedepan yang di diskusi-kan dalam rapat kerja ini.

Dalam kesempatan ini, mewakili Pemerintah Jerman, Mrs. Andrea Heyn secara simbolis menyerahkan beberapa seismograf kepada Badan Geologi yang diterima oleh Kepala Badan Geologi untuk dipasang dalam usaha pemantauan gunung–gunung api di Flores, dan dalam sambutan-nya Kepala Badan Geologi meminta agar proyek ini sampai tahun 2009 dapat menjadi tempat tukar menu-kar informasi yang pada gilirannya dapat menghasilkan suatu visi ke-depan bagaimana dan dengan target apa pengelolaan bencana yang ber-hubungan dengan geologi ini dapat dilaksanakan dengan baik di Indone-sia. WG(Igan SS).

MENYAMAKAN PANDANGAN MENGENAI GEORISK PROJECT

Page 9: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 7

SEPUTAR KITA

4th Indonesia PPM Case Study Workshop, 13-17 Juni 2006, Jakarta

WORKSHOP ke-4 studi kasus ce-kungan Kutai–Indonesia telah dilak-sanakan dengan sukses pada tanggal 13 – 17 Juni 2006 di Hotel Ciputra, Jakarta. Workshop yang berjudul IOR/EOR technologies and the role of the government in attracting addi-tional/new investments in a mature basin diikuti oleh 42 peserta berla-tar belakang teknis dan manajemen, perwakilan dari 8 negara CCOP.

Workshop ini diselenggarakan atas kerja sama antara CCOP dan PPTMBG “LEMIGAS”, terdiri dari presentasi, diskusi kelompok, dan kunjungan lapangan. Kegiatan ini secara resmi dibuka oleh Kepala Ba-dan Geologi, Bambang Dwiyanto, M.Sc. selaku Wakil Tetap Indonesia untuk CCOP. Hadir pula pada saat pembukaan Ms Marte Gerhardsen, Sekretaris Pertama Kedutaan Besar Norwegia di Jakarta, Dr Evita H Le-gowo, Kepala PPTMGB “LEMIGAS”, para tamu dari institusi yang berhu-bungan dengan minyak bumi di In-donesia, dan para peserta workshop.

Pembicara utama dalam work-shop ini adalah Mr Gunnar Soi-

land, ahli geologi senior dari Norwe-gian Petroleum Directorate (NPD) dan Mr Egil Meisingset, Wakil Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Ke-mentrian Minyak Bumi dan Energi, Norwegia. Keduanya membagi penga-laman Norwegia dalam pengelolaan yang baik sumber daya minyak bumi, bagaimana mereka mempromosikan pengembangan dan penerapan dari teknologi baru untuk mendapatkan tambahan minyak bumi yang diambil dari lapisan batuan, dan bagaimana pemerintah bekerja sama dengan perusahaan minyak bumi berusaha untuk mencapai tujuan utama yaitu menciptakan nilai maksimum untuk masyarakat dari sumber daya mi-nyak bumi.

Presentasi dari negara-negara CCOP menitikberatkan pembahasan pada teknologi IOR/EOR, baik yang telah diterapkan ataupun yang ma-sih dalam penelitian. Beberapa pre-sentasi juga menyoroti kerja sama dan strategi pemerintah, yang didu-kung oleh kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan produksi mi-nyak bumi yang pada gilirannya da-

pat meningkatkan kondisi ekonomi negara yang bersangkutan. Diskusi kelompok dan presentasi disiapkan untuk membuka kesempatan bagi para peserta bertukar pengetahuan dan pengalaman dalam berbagai bi-dang yang berhubungan dengan to-pik workshop.

Secara umum, workshop ini mem-berikan kesempatan kepada para pe-serta untuk belajar dan mendapatkan informasi dalam penerapan teknologi baru dalam meningkatkan produksi minyak dan gas, dan juga informasi mengenai strategi pemerintah untuk menarik investasi tambahan maupun baru dalam bidang minyak dan gas bumi yang seperti yang telah dilaku-kan oleh Norwegia dan negara-negara CCOP lainnya.

Workshop ini diakhiri dengan kunjungan ke Taman Safari Indone-sia yang berlokasi di Bogor. Work-shop ini juga merupakan workshop terakhir dalam rangkaian studi ka-sus PPM Indonesia.

(Prima M. Hilman)

TEKNOLOGI TERKINI UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI MINYAK DAN GAS BUMI

Page 10: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 20068

SEPUTAR KITA

HATI-hati memilih teman. Salah memilih teman bahaya akibatnya. Ini berlaku terutama bagi anak-anak muda yang masih berjiwa labil dan kurang perhatian orang tua. Data se-buah polling terhadap para pecandu narkoba yang tertangkap mengun-gkapkan penyebaran narkoba paling banyak bermula dari ajakan teman.

Demikian disampaikan pada aca-ra ceramah “Bahaya Narkoba dan Permasalahannya” (4/7) di Audi-torium Badan Geologi yang diikuti oleh 267 putra-putri pegawai Badan Geologi. Hadir sebagai penceramah AKBP Drs. Asep Jaenudin dari Kasat Narkoba Polwiltabes Bandung dan Drs. Jhoni Alwi, S.H., Ketua Dewan Pengurus Pusat Gerakan Narkoba

CERAMAH BAHAYA NARKOBA DAN PERMASALAHANNYADI BADAN GEOLOGI

JANGAN SALAH PILIH TEMAN

Propinsi Jawa Barat. Lebih lanjut, Drs. Jhoni Alwi men-

gutarakan, untuk mencegahnya ada-lah dengan memperkuat keimanan, memilih lingkungan pergaulan yang sehat, dan menjalin komunikasi yang baik antar anggota keluarga.

Dalam acara tanya jawab ditam-pilkan tiga orang remaja yang per-nah terjerumus menjadi pemakai narkoba, dan saat ini sembuh setelah menjalani pengobatan. Selain itu di-gelar pula acara pemutaran fi lm ten-tang bahaya narkoba dan hiburan.

Acara yang digelar oleh Sub Unit Nasional Korpri Badan Geologi Bi-dang Pemberdayaan Perempuan ini ditutup dengan acara Door Prize. ***

(Lilies Marie)

GEMPA BUMI GUNCANG YOGYAKARTA DAN BANTUL

SAAT perhatian pemerintah dan masyarakat Indonesia tercurah kepa-da letusan dan penanganan letusan Gunung Merapi di Yogyakarta, pada hari Sabtu (27/05) bencana gempa bumi berkekuatan 6,2 Mw atau 5,6 Skala Richter secara tiba-tiba meng-guncang Yogyakarta dan Bantul. Akibat bencana ini sebanyak 5.400 orang tewas dan puluhan ribu rumah termasuk prasarana publik rusak.

Gempa bumi yang terjadi sekitar pukul 05.54 WIB pagi ini disebabkan oleh aktivitas patahan/sesar aktif di daerah bagian selatan Yogyakarta berarah barat daya-timur. Berda-sarkan pusat informasi gempa bumi USGS Amerika Serikat, gempa itu terjadi pada kedalaman 17,1 kilome-ter dengan lokasi pusat gempa terle-tak di dekat pantai pada koordinat 8,0070 LS - 110,2860 BT atau terletak pada posisi kurang lebih 25 kilometer

barat daya Yogyakarta dan sekitar 115 kilome-ter selatan Kota Sema-rang.

Getaran gempa bumi itu dirasa-kan oleh masyarakat Yogyakarta, pantai selatan Yogyakarta, Jawa Ti-mur bagian Selatan serta sebagian wilayah di Jawa Tengah. Goncangan gempa itu terasa kuat pada daerah-daerah yang disusun oleh endapan batugamping dan endapan gunung-api yang bersifat urai, sehingga ren-tan terhadap guncangan gempa bumi dan berpotensi merusak bangunan di atasnya. Gempa bumi itu bersumber di dekat pantai, sehingga tidak berpo-tensi menimbulkan tsunami, namun getaran gempa tersebut sangat besar, disebabkan oleh getaran yang besar dan kedalaman yang dangkal, maka gempa seperti ini dikategorikan seba-gai gempa bumi yang merusak.

Dalam peta wilayah gempa bumi merusak di Indonesia yang dikeluar-kan oleh Badan Geologi, gempa bumi di Yogyakarta termasuk dalam gempa bumi merusak tingkat tujuh dengan skala MMI (kerusakan) mencapai 6-7, dan Badan Geologi melalui PVG telah mengirimkan tim tanggap darurat ke lokasi gempa tersebut. Patahan aktif yang terpantau di daerah tersebut membentang mulai dari batas pantai Sabden-Bantul-Yogyakarta hingga mencapai Prambanan. Pada zona patahan tersebut terjadi kerusakan bangunan dan infrastruktur yang pa-rah sehingga menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa.

(Prima M. Hilam)

Tanya jawab dengan tiga remaja yang per-nah terjerumus narkoba.

Para peserta sedang menyaksikan pemutaran fi lm tentang bahaya narkoba.

Page 11: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 9

GEOLOGI POPULER

EVOLUSI DAN JEJAK PARA AHLI GEOLOGI

EVOLUSI adalah masalah klasik. Banyak orang menganggapnya se-buah teori belaka dan tak lebih dari cerita masa lalu. Karena itu, hanya segelintir orang yang mau menggali-nya lebih jauh. Namun, sesungguh-nya, sangatlah menarik untuk mem-pelajari berbagai teori asal-usul ke-hidupan serta spekulasinya terhadap perubahan-perubahan di permukaan bumi. Sejarah geologi dan aspek bio-logi menantang untuk dipelajari guna mengungkap sejarah kehidupan di alam.

Peneliti paska Darwin mencari formula baru untuk mempelajari evolusi dengan berusaha mencari kronologi-kronologi yang paling te-pat. Ahli evolusi berbeda pendapat dalam mengungkap teori tersebut. Banyak di antara kita sudah fami-liar dengan Henry Fairfi eld Osborn, penulis The History of Natural Sci-ence. Osborn mampu bercerita ber-bagai teori kehidupan di alam yang semuanya mengandung argumen

dalam berbagai citarasa. Akan tetapi, manakah diantara teori-teorinya itu yang benar? Apakah hanya sebuah whitewash atau kamufl ase?

Scientifi c blunder dan teori evo-lusi organik

Akhir-akhir ini banyak ilmuwan mengungkapkan bantahan terhadap teori-teori tentang evolusi yang telah bertahun-tahun dianut para ilmu-wan. Hal itu merupakan dinamika ilmu pengetahuan. Namun, ketika penemuan-penemuan baru dikemu-kakan dan membantah teori yang ada, biasanya pemilik atau penga-nut teori lama memberikan argumen yang merujuk ke peristiwa masa lalu yang tidak dapat dibuktikan kebenar-annya. Jadilah hal itu sebuah speku-lasi. Teori-teori yang dipertahankan semacam itu sekarang dikenal se-bagai The Chief of Scientifi c Blunder: kekeliruan ilmiah karena beberapa ketidaktelitian di awal tetapi diang-gap benar, dianut terus menerus dan tidak ada yang berusaha mengung-kapkan kebenarannya.

Banyak penulis mengatakan ba-hwa orang-orang Yunani Kuno ada-lah kaum evolusioner. Hal tersebut hanya sebagian yang benar. Orang-orang Yunani Kuno itu adalah pe-muja dewa dan mereka tentu mem-percayai berbagai hal yang terkait dengan kisah para dewa. Layaknya terhadap teori evolusi, mereka taat dan mempercayai para dewa secara turun-menurun. Aliran semacam ke-taatan kepada para dewa dari orang-orang Yunani Kuno inilah yang meru-pakan bagian terpenting dari sebuah kisah tentang teori evolusi organik. Oleh karena itu, hanya metoda natu-ralistiklah yang menstimulasi mere-ka menyusun skema perkembangan evolusi. Orang-orang Yunani telah

percaya secara turun-temurun ba-hwa hanya skenario evolusi organik yang mampu menjelaskan asal-usul kehidupan.

Bukan hanya katak dan makhluk melata lainnya, tetapi juga kehidupan kuda dan gajah di masa lalu --jika anda hanya memiliki sedikit waktu-- apakah kesemuanya akan tumbuh spontan dari tanah yang lembab? Bagaimana dengan manusia? Seperti yang mereka katakan tentang sebuah daratan yang tidak memiliki habitat asli, siapa yang tumbuh dari dalam tanah? Mereka – orang-orang Yunani itu - menyebutnya autochtones, bera-sal dari dua kata yang artinya tum-buh dari tanah oleh kekuatan dalam tanah itu sendiri. Dan, Nobel Athena digunakan untuk pakaian kebesaran pasukan “belalang” tempurnya un-tuk menunjukkan bahwa mereka bu-kan manusia asli dari Daratan Troya. Dengan kata lain, mereka adalah au-tochtones dari Yunani.

Kalau kita cermati, kisah tersebut memang dipenuhi nuansa takhayul. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Louis T. Moore, Bangsa Yunani se-benarnya tidak pernah punya bukti nyata skema evolusi organik. Tak seorang pun mampu mengemukakan bukti hingga ilmu kebumian - yang memberikan petunjuk penempa-tan fosil dalam suatu urutan waktu - sedikit demi sedikit berkembang. Metode fosil ini memberikan gamba-ran mengenai sekuen sejarah yang memungkinkan skema evolusi yang baik dapat disusun. Osborn dan para ahli evolusi mungkin tidak melihat kenyataan sejarah itu ketika mereka mengklaim bahwa leluhur Yunani juga mempercayai segala sesuatu tentang skema kehidupan berdasar-kan interpretasi fakta-fakta geologis dan biologis.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal“ (QS. Ali Imran 192)

Oleh: Joko Parwata

Henry Fairfi eld Osborn (1857-1935)

Page 12: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 200610

GEOLOGI POPULER

Buffon sebagai peneliti pertama se-jarah geologi

Peneliti pertama yang mempela-jari sejarah geologi adalah Count de Buffon (1707-1788), seorang ilmu-wan yang hidup sebelum Revolusi Pe-rancis atau 101 tahun sebelum Char-les Darwin. Buffon adalah ilmuwan terkemuka. Ia mampu membangun museum sejarah Kerajaan Perancis di Paris. Ia juga produktif menulis, di antaranya adalah 15 volume sejarah kehidupan yang kemudian disusun menjadi “Outline of Science”.

Buffon banyak melakukan pene-litian tentang teori kebumian, yang pada masa itu ilmu kebumian masih dipandang sebelah mata oleh para ilmuwan. Ilmuwan pada masa itu lebih tertarik untuk mempelajari bo-tani atau zoologi dan apa yang me-reka pelajari itu selalu menentukan terhadap spekulasi teori-teori pem-bentukan bumi tanpa ada sangga-han bahkan spekulasi-spekulasi itu tetap dikuti hingga para ilmuwan ter-sebut meninggal. Tulisan Buffon ke-mudian menjadi sangat terkenal dan berpengaruh terhadap cara pandang ilmuwan terkait batuan dan sejarah kehidupan di bumi. Untuk itu, Buf-fon-lah yang pantas diakui sebagai penemu teori evolusi organik.

Teori kulit bawang Wagner hingga Skala Mohs

Abraham Gottlob Werner (1749-1817), seorang guru mineralogi di Friberg, Jerman, dikenal sebagai pe-nemu ilmu geologi sebagai bagian ter-pisah dari ilmu alam. Werner sangat

menyenangi pelajaran tersebut dan mampu memikat murid-muridnya terhadap konsep baru yang berbeda dengan doktrin-doktrin lama. Kon-sep inilah yang kemudian dikenal sebagai Geognosy dan dipopulerkan oleh seorang muridnya Friderich Mohs (1773-1839), ahli mineralogi terkenal penemu Skala Mohs (skala geologi untuk menyatakan kekua-tan mineral). Pada masa itu terkenal semboyan para penganut Werner be-rikut: “The evil that men do lives after them, The good is of it interred with their bones”.

Melalui teori “Onion Coat” yang amat terkenal di masanya, Werner mencoba mengemukakan tentang berbagai batuan yang terbentuk di tempat asal. Dia meyakinkan bahwa material-material penyusun permu-kaan bumi terbentuk pada media cair terlarut dan terendapkan di bawah laut. Berbagai macam batuan menga-lami rombakan dan presipitasi secara bertahap sesuai kekuatannya. Batu-an yang banyak mengandung mine-ral kuarsa dan mineral bersifat asam lainnya lebih tahan daripada batuan yang bersifat basa. Material-material tersebut terendapkan di lautan be-bas sebagai senyawa kimia terlarut dan otomatis akan ditemukan secara alami sebagai sebuah urutan sejarah pengendapan dari setiap jenisnya se-suai tempat asalnya di seluruh bumi, semacam selubung kulit bawang.

Konsep onion coat masih dipakai dalam skala kecil hingga sekarang un-tuk menyebut pelapukan fi sik batuan beku, disebut onion coat weathering. Sungguh sayang perkembangan teori onion coat lamban di antara berba-gai studi dan teori lainnya berkaitan

dengan mineral dan batuan. Kebe-narannya terungkap setelah adanya pengajaran-pengajaran ilmu kebumi-an secara bertahap pada abad ke-19 M. Pendidikan dan penelitian mendo-rong orang untuk mempelajari lebih lanjut tentang batuan dan susunan batuan di sekitar lingkungannya.

Scientifi c blunder dalam teori ku-lit bawang

Ada beberapa kontradiksi dari teori Werner. Faktanya, Werner ti-dak pernah bepergian jauh dari tempat tinggalnya dan tentu saja ia tidak diberkati kekuatan suprana-tural untuk mengetahui kejadian di masa lampau. Kerena itu, beberapa peneliti menyatakan bahwa teorinya hanyalah sebuah perkiraan yang tak akan valid lagi terhadap fakta-fakta yang mungkin ditemukan suatu saat di Australia, India, Perancis atau se-bagian tempat di ujung Benua Eropa. Charles Lyell mengatakan, bisa jadi tidak jauh dari rumah Werner akan terlihat sekumpulan batuan yang sangat kontradiktif dengan teorinya. Namun, Alex van Humboldt dan be-berapa ahli ilmu alam mengatakan, mereka menemukan susunan batuan yang cocok dengan teori Werner.

Ditinjau dari aspek metodologi ilmiah modern, Werner melakukan kesalahan fatal. Ia mengambil kesim-pulan universal berdasarkan data yang terbatas dan mengabaikan ber-bagai hal yang kontradiktif dan be-lum ditemukan pendekatannya. Sci-entifi c blunder semacam ini banyak dilakukan oleh ilmuwan dahulu se-suai perkembangan pada zamannya. Dalam hal ini boleh kita katakan, ba-hwa mungkin kita masih hidup da-lam kepopuleran teori kulit bawang. Ya, kulit bawang yang terdiri dari komponen kulit bawang biologi dan mineralogi.

William Smith penemu teori ke-samaan waktu pembentukan lapi-san batuan

Secara bertahap selama dan sete-lah berakhirnya Perang Napoleon, sis-tem Werner mulai disesuaikan para peneliti untuk melakukan pendeka-tan klasifi kasi strata batuan berda-sar jenis-jenis fosil yang terkandung. Metode baru ini dikembangkan oleh Sir William Smith (1769-1838), seo-rang ahli bangunan dari Inggris Se-latan. Smith sangat menyukai pela-

Count de Buffon (1707-1788)

Abraham Gottlob Werner (1749-1817)

Page 13: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 11

GEOLOGI POPULER

jaran matematik untuk membantu pekerjannya sebagai konsultan sipil yang bertugas menggali kanal dan bendungan. Dia harus lebih banyak belajar untuk mengembangkan peng-etahuannya terhadap kondisi bawah tanah di berbagai tempat. Dia mela-kukan perjalanan keliling Inggris ba-gian selatan dan tengah hanya untuk menambah pengetahuannya.

Smith akhirnya menemukan sesu-atu yang aneh dalam batuan yang ia tidak tahu namanya, yang juga sama ditemukan pada singkapan batuan di tempat lain yang letaknya sangat jauh. Kedunya juga mengandung material (baca: fosil) yang sama. Dia mulai berpikir dan menarik kesimpu-lan bahwa dua lapisan di dua tempat berbeda itu sesungguhnya bersam-bung di bawah tanah. Lahirlah me-tode baru penyelidikan lapisan batu-an tertentu berdasarkan kandungan fosilnya yang tak terbatas oleh jarak, bahkan sampai ratusan mil atau le-bih jarak pemisah itu.

Metode Smith terbukti dapat di-terapkan secara universal dan sejak itu para ahli geologi memiliki sebu-ah sistem geologi yang dapat meng-asumsikan bahwa batuan di negara lain yang jauh, India, Inggris atau Amerika Latin dan di tempat lain-nya yang menunjukkan kandungan fosil sama, terbentuk pada waktu yang sama. Implikasinya, metode ini juga mengasumsikan bahwa batuan yang mengandung berbagai jenis fo-sil berlainan tidak diendapkan secara simultan, melainkan pada interval waktu sebelum atau sesudahnya. Panjang interval waktu ini kemudian dikenal sebagai “Smith Strata”, diten-tukan melalui skema kronologis ber-dasarkan jenis-jenis fosil yang hidup

dan terkubur dari masa ke masa.Kerancuan ilmiah Smith cikal bak-al lahirnya Teori Darwin

William Smith mengatakan ba-hwa ia menemukan gejala umum di Inggris. Bahwa, menurutnya, lapi-san batuan di Inggris memiliki ke-miringan ke timur atau tenggara dan ia membayangkan kalau di seluruah dunia lapisan-lapisan batuan akan selalu ditemukan dalam kondisi mi-rip: tidak hanya kesamaan sekuen, tapi semuanya memiliki kemiringan ke timur!! Itulah gambaran lain dari absurditas dari seorang yang dijuluki sebagai “Father of English Geology”.

Baron Cuvier (1769-1832) seo-rang ilmuwan besar Perancis, sangat mengagumi teori Smith dan men-jelaskan keberadaan fosil dengan pendekatan ilmiah. Ia mengajarkan konsepnya keseluruh dunia. Tetapi, kita harus memberikan catatan pan-jang tentang bagaimana kerancuan ide Smith menjadi dasar bagi Charles Darwin untuk mengambangkan teori evolusinya. Catatan panjang juga ha-rus kita berikan tentang bagaimana Darwin mempertahankan teorinya, mengingat prestasi teori tikus Darwin (Darwin’s Pet Theories) sebetulnya ti-dak terlalu baik.

Charles Lyell penemu “Theory of Uniformity” dan sanggahan ter-hadapnya

Orang yang benar-benar meletak-kan fondasi awal dan menyatakan kaitan penting antara geologi dan evolusi di dunia adalah Charles Lyell (1797-1875). Lyell adalah ilmuwan dan hulubalang Ratu Victoria yang dikebumikan di Westminster Abbey. Dia menempatkan fosil atau jejak

biologis yang telah dijabarkan dalam konsep teori kulit bawang dengan menambahkan bahwa semua peru-bahan geologis di waktu lampau ha-rus dapat dijelaskan oleh proses-pro-ses yang terjadi di lautan, sungai dan angin di masa kini dengan asumsi tidak adanya katastropis yang terjadi di masa lampau, tetapi mengakomo-dasi metode dan gaya-gaya alam yang berpengaruh dan dapat mengubah kondisi geologis dari waktu ke wak-tu. Sejak itu kita mempunyai konsep geologi modern yang disebut “Theory of Uniformity”, sebagai kebalikan dari paham katastropisme, yang sempat populer di antara para ahli geologi pada pertengahan abad ke-19 M.

Teori kulit bawang Werner menja-di lebih jelas dan nyata, setelah para ahli geologi di masa itu mengadopsi metode baru untuk mengidentifi kasi strata; tetapi penganut lama kurang

Sir Charles Lyell (1797-1875), pence-tus teori Uniformitarianism (sumber: Wikipedia).

Sketsa ketidakselarasan (unconformity) di Frederick Street, Edinburg digambar oleh James Hutton (sumber: koleksi USGS Museum).

Sir William Smith (1769-1838)

Page 14: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 200612

GEOLOGI POPULER

berfi kir dan keras hati memegang skema suksesi dari teori kulit ba-wang universal. Lebih nyata lagi ke-tika Herbert Spencer mengkritik ta-jam metode Lyell dan geolog lainnya yang sepaham – mereka yang tidak mampu menjelaskan katastropisme - dengan kata-katanya yang pedas: ”Must we not own that, though the onion coat hypothesis is dead, its spi-rit is traceable under a transcendental form, even in the conclusion form, even the conclusion of its antagonists?”

Charles Darwin dan Teori Evolusi-nya, sebuah suplemen?

Charles Darwin (1809–1882) memulai petualangan studinya di Edinburgh, tetapi setelah dua tahun mempelajari ilmu dasar ia jenuh dan bosan. Darwin lalu pindah ke Cam-bridge untuk belajar Ilmu Teologi dan berhasil menamatkan studinya di usia 22 tahun. Ia kemudian ditu-gaskan sebagai penyiar agama dan bergabung dengan awak kapal “Be-agle” yang mengantarnya mengeli-lingi Samudera Selatan selama lima tahun. Tahun 1836 Darwin kembali, dan semenjak itu ia tidak pernah keluar dari Inggris. Sebagai seorang misionaris, tugas-tugas Darwin se-betulnya kurang berhasil. Ia hanya melakukan observasi dan mencatat untuk dirinya saja.

Darwin sama sekali tidak punya latar belakang pendidikan tentang binatang, sehingga apa yang ia amati dan interpretasikan sebetulnya patut dipertanyakan. Darwin hanya menda-pat sedikit bimbingan pengetahuan geologi dari Sedgwick, seorang penga-jar di Universitas Cambridge. Untuk itu nampak jelaslah pada diri Darwin muda, dengan sedikit sentuhan ilmu geologi dan dasar-dasar biologi, beru-paya mereformasi teori saintifi k. Se-buah skema baru yang dikreasi oleh seorang pemuda yang belum genap tigapuluh tahun.

Darwin mulai mempelajari konsep Lyell “Principles of Geology” dalam perjalanannya ke Amerika Latin. Se-kembali dari perjalanan ia berusaha menggali konsep “Biological Onion-Coat Theory” dan “The Theory of Geo-logic Uniformity” yang tidak mampu menjelaskan adanya peristiwa ka-tastropisme di dunia. Dari hasil ka-jiannya ia berhasil mengemukakan konsep baru yang ia sebut “Natural Selection” yang merupakan teori le-

bih meyakinkan untuk menjelaskan bagaimana perubahan spesies terjadi dari waktu ke waktu. Jadi makin je-laslah bahwa anti pandangan Bible tentang geologi ditambah dengan se-dikit sentuhan konsep geologi yang ia dapatkan dari Lyell maupun ilmuwan lain sebelumnya, merupakan pondasi dasar Teori Evolusi Darwin. Teori ini sebetulnya hanyalah suplemen untuk menjelaskan metode yang lebih tepat tentang fakta-fakta yang diperoleh di alam berdasarkan teori-teori kebumi-an sebelumnya.

Teori kulit bawang Werner mau-pun teori evolusi nampak kontradik-tif dan tidak mampu menjelaskan ketika dari fakta yang ditemukan di alam, ditemukan beberapa contoh fosil yang sama pada batuan dengan

lapisan maupun tahapan evolusi yang sangat berbeda dengan kondisi standar. Kenyataan ini menjadi dis-kusi yang amat menarik dalam buku “The New Geology, a Textbook for Col-leges” (1923) dan “Evolutionary Geo-logy and New Catastrophism” (1926) yang mengupas tuntas kontradiktif teori evolusi.

PenutupKupasan ini masih banyak me-

ninggalkan pertanyaan dan belum ada jawaban pasti mengenai evolusi makhluk hidup di alam. Belum ada bukti dan data saintifi k serta intele-jen yang nyata dan dapat diamati un-tuk mendukung teori evolusi dalam menjelaskan perkembangan mak-hluk hidup di alam dari waktu ke waktu, terkecuali sebagian kecil dari skenario skematis Darwin.

Bagaimana dengan teori “The Cre-ation of God” yang dikumandangkan oleh ilmuwan Turki Harun Yahya dan akhir-akhir ini banyak menjadi perbincangan para ilmuwan? Kon-sep “Spontaneous Generation” juga pernah dilontarkan oleh Louis Pas-teur setengah abad yang lalu. Fak-tanya, sekarang banyak juga yang menganut ajaran-ajaran agama ba-hwa Tuhan menciptakan makhluk tidak hanya sekali, tetapi dari waktu ke waktu. Evolusi geologi dan biologi kini membuka banyak peluang bagi para ahli untuk mengembangkan konsep-konsep pemikiran baru dan menyajikan data-data saintifi k un-tuk mendukung konsep tersebut. Se-lamat Berburu!

(Dari berbagai sumber)

Charles Darwin (1809-1882)

Page 15: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 13

WAWASAN

Pendahuluan Peranan geologi sampai saat ini

dirasakan belum optimal dalam menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan guna meningkat-kan kesejahteraan rakyat. Banyak permasalahan yang berkaitan dengan kegeologian dirasakan belum dikelola secara tepat dan profesional sehingga diperlukan usaha untuk meningkat-kan kinerja penyelenggaraan bidang geologi. Dijumpai banyak masalah yang menjadi kendala belum opti-malnya pemanfaatan profesi, keahli-an, data dan informasi geologi untuk menunjang pembangunan dan mem-bantu masyarakat yang memerlukan peranan disiplin kegeologian.

Salah satu kendala yang dihadapi saat ini antara lain pemecahan per-masalahan yang sangat erat hubung-annya dengan masalah kegeologian yang belum terintegrasi secara na-sional. Secara kelembagaan, ken-dala tersebut adalah dijumpainya banyak kerancuan yang menyangkut kewenangan berbagai instansi yang menangani hal-hal yang berhubung-an dengan masalah geologi. Sebagai contoh, suatu lembaga yang tugas dan fungsinya bukan menangani bidang kebencanaan geologi, telah membe-rikan pernyataan berkaitan dengan kejadian gempa bumi yang menimpa beberapa wilayah di Indonesia akhir-akhir ini. Banyak lembaga yang telah memberikan pandangan yang ber-beda terhadap masalah aktual yang sangat berhubungan erat dengan ke-geologian, misalnya gempa bumi yang menyebabkan tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 di Aceh dan Nias, gempa yang melanda Yogyakarta dan sekitarnya tanggal 27 Mei 2006 dan kejadian geologi lainnya di beberapa wilayah di Indonesia. Memang, sudut pandang terhadap suatu kejadian geologi sangat multi interpretative

karena memang banyak faktor yang mempengaruhi peristiwa tersebut. Akan tetapi, analisa yang mendekati ketepatan sangat diperlukan teru-tama yang menyangkut kepenting-an publik, misalnya mitigasi dalam menangani bencana untuk memini-malkan korban atau kerugian harta benda akibat bencana tersebut.

Contoh betapa pentingnya pe-ranan geologi ditunjukkan oleh be-berapa kejadian yang menjadi topik pemberitaan di beberapa media. An-tara lain, terjadinya beberapa kali pe-ristiwa amblesan pada jalan tol Cipu-larang sekitar Km 91,6 yang kurang memperhitungkan data dan informa-si geologi, yaitu adanya sungai purba dan dijumpainya expansive clay di bawah fondasi jalan tol tersebut yang memerlukan special treatment (ter-lepas dari konstruksi fondasi jalan yang kurang tepat). Demikian pula peristiwa semburan lumpur panas bercampur gas di Porong, Sidoarjo, yang sudah berlangsung sejak 29 Mei 2006 dan telah menggenangi desa-desa di Kecamatan Porong dan sekitarnya hingga setinggi 6 meter (terlepas dari kemungkinan kesala-han teknik pemboran). Contoh lain adalah kasus Busang yang terjadi se-kitar tahun 1997, dimana terjadi pe-nentuan besar cadangan emas yang sangat over estimate sehingga saham perusahaan tersebut diperebutkan oleh banyak pihak dan sempat mem-pengaruhi bursa saham di New York. Kasus-kasus yang dicontohkan di atas berturut-turut menunjukkan belum optimalnya pemanfaatan data dan informasi geologi untuk kepen-tingan konstruksi jalan, eksplorasi migas, dan perhitungan cadangan mineral yang potensial. Apa yang menjadi fokus perhatian kita dalam uraian tersebut di atas adalah sebe-rapa jauh kompetensi profesi, data

dan informasi geologi dalam menga-tasi kasus-kasus seperti yang dicon-tohkan di atas.

Beberapa landasan pemikiranKejadian longsor atau gerakan

tanah di beberapa tempat di Indone-sia terbukti telah banyak menimbul-kan korban jiwa dan kerugian harta benda yang cukup besar. Kejadian bencana alam tersebut merupakan representasi dari kemampuan dan daya dukung alami dalam mengkon-servasi air, mencegah banjir dan long-sor yang semuanya sangat berkaitan dengan jenis tanah, kondisi geologi, topografi , hidrologi, dan faktor iklim. Pembangunan atau pengembangan sebuah kegiatan fi sik di lingkungan yang geologinya tidak mampu men-dukung atau menampung beban-be-ban tersebut menyebabkan bencana. Sebuah bencana akibat gabungan antara alam dan perbuatan manusia. Kondisi yang demikian mendorong di-perlukannya Peraturan Daerah yang mengatur wilayah-wilayah (zoning regulation) rawan bencana longsor atau gerakan tanah. Tentunya Pera-turan Daerah tersebut memerlukan payung hukum atau peraturan pe-rundang-undangan yang lebih tinggi dalam bentuk Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah atau bahkan Undang-Undang untuk memperkuat landasan yuridisnya dan konsekwen-si hukumnya jika terjadi pelangga-ran.

Kondisi lain yang dijumpai saat ini adalah belum maksimalnya peng-gunaan data dan informasi geologi se-bagai dasar perencanaan pembangu-nan wilayah (regional development act). Padahal, dalam forum Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BK-TRN) pernah ditegaskan bahwa da-lam penyusunan atau perencanaan Tata Ruang nasional yang menjadi

UU KEGEOLOGIAN: Bukankah suatu keniscayaan?

Oleh: M. Taufi k

Page 16: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 200614

WAWASAN

basis Rencana Tata Ruang Wilayah jangan sampai melupakan data dan informasi kegeologian. Dalam kon-teks penentuan zonasi kawasan pe-runtukan pertambangan, memang kita agak kesulitan menentukan ba-tas-batas zona tersebut, kecuali un-tuk lokasi dimana penyebaran mine-ralnya sudah diketahui melalui kegi-atan eksplorasi. Pengalokasian suatu kawasan untuk peruntukan tambang mineral yang baru pada tahap inven-tarisasi, dimana lokasi dan penye-barannya belum diketahui secara pasti, sulit dilakukan. Dalam kai-tan ini yang menjadi kendala dalam pengembangan sumber daya geologi yang potensial adalah munculnya UU tentang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 yang melarang kegiatan penambangan terbuka di daerah hu-tan lindung. Meskipun tujuan UU ini pada prinsipnya meminimalisir ting-kat kerusakan kawasan hutan khu-susnya hutan lindung, tetapi secara alamiah kontradiktif dengan pola penyebaran mineral, terutama mine-ral logam yang umumnya menempati daerah bertopografi tinggi dan mem-punyai kelerengan yang terjal. Dae-rah-daerah tersebut biasanya sudah ditetapkan sebagai hutan lindung, sehingga kegiatan eksplorasi bahkan identifi kasi sumber daya mineral di daerah tersebut sulit dilakukan.

Masalah yang tak kalah penting-nya adalah kaitan antara cekungan geologi, terutama cekungan Tersier, dalam hubungannya dengan ce-kungan yang diidentifi kasi meng-andung cadangan minyak dan gas bumi (migas), baik yang cadangan-nya sudah terbukti (proven reserve) maupun yang baru bersifat potensi (potential reserve). Peranan informasi geologi untuk identifi kasi cekungan migas tersebut menjadi sangat pen-ting dan bersifat strategis terutama yang menyangkut daerah frontier atau wilayah yang berbatasan dengan negara lain, karena sifat penyebaran cekungan yang tidak mengenal batas wilayah negara.

Beberapa pertimbangan diperlu-kannya UU Kegeologian

Wilayah Indonesia memiliki tatanan geologi yang khas dan rumit sebagai akibat interaksi pertemuan antara tiga mega lempeng tektonik dunia, yaitu Lempeng Samudra Pa-sifi k, Lempeng Benua Indo-Austra-lia, dan Lempeng Benua Eurasia.

Tatanan geologi tersebut telah menja-dikan Indonesia sebagai negara yang kaya sumber daya alam dalam wujud mineral dan sumber daya energi yang bernilai ekonomi tinggi. Namun, kon-disi tersebut juga menyimpan elemen dinamika bumi yang memunculkan daerah-daerah rawan bencana alam (bencana geologi) yang dapat menim-bulkan korban jiwa dan harta cukup besar.

Disamping hal-hal tersebut dia-tas, interaksi antara ketiga mega-lempeng dunia itu telah menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara geografi s dan geologis mem-punyai tatanan yang unik dan kom-pleks, sehingga memiliki spektrum yang sangat beraneka ragam ditin-jau dari pola penyebaran penduduk, adat-istiadat, sumberdaya mineral dan energi, peluang terjadinya ben-cana geologi, dan keanekaragaman fl ora-fauna tropis yang jarang atau bahkan tidak dijumpai di belahan dunia yang lain. Potensi yang be-sar ini merupakan modal dasar bagi pembangunan nasional yang berkela-njutan untuk meningkatkan kesejah-teraan masyarakat Indonesia.

Dari beberapa contoh yang telah diuraikan di atas, kebutuhan akan pengaturan masalah kegelogian se-cara nasional dirasakan cukup men-desak. Dalam hal ini kebutuhan ter-hadap suatu Undang Undang (UU) sangat ditentukan oleh aspirasi para pemangku kepentingan (stake hol-der). Sebab, UU tersebut akan men-gatur apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh anggota masyarakat. Hal ini mem-bawa kepada konsekuensi adanya reward-punishment, sehingga masya-rakat dapat mengerti dan mematuhi UU tersebut.

Bagaimana dengan UU Kegeolo-gian? Masyarakat mana yang kira-kira memerlukan UU tersebut untuk membantu mereka menyelesaikan semua permasalahan yang berkai-tan dengan kegeologian di Indonesia? Dalam hal apa kira-kira masyarakat tersebut memerlukan keberadaan UU tersebut? Jawaban atas pertanya-an-pertanyaan mendasar tersebut harus diakomodasikan secara tepat agar UU tersebut betul-betul dapat diimplementasikan dan digunakan secara efektif sebagai payung hukum bagi peraturan di bawahnya (PP, Perpres, Perda, dan lain-lain). Perlu dipikirkan juga apakah jika geologi

diundangkan malah dapat memper-sempit ruang gerak kegiatan bidang tersebut? Dan apakah aspek geo-sains dari kegeologian dapat dibuat regulasinya?

Selanjutnya, pembuatan suatu undang-undang harus memper-timbangkan beberapa aspek yaitu: aspek hukum, ekonomi, sosiologi dan politik. Aspek hukum meny-angkut dukungan keterkaitan kai-tan dengan UU lain, terutama UUD. Aspek ekonomi mempertimbangkan apakah produk hukum tersebut da-pat memberikan kontribusi kepada peningkatan kesejahteraan masya-rakat? Adapun ditinjau dari aspek sosiologi mempertimbangkan apakah produk hukum ini akan memberikan manfaat dalam peningkatan kese-jahteraan sosial? Adapun indikator politik yang diperlukan antara lain dukungan politik dan dukungan as-pirasi masyarakat terhadap penting-nya diterbitkan RUU Kegeologian.

Peraturan dalam bidang kegeologian di beberapa negara

Di bawah ini diberikan beberapa contoh regulasi di bidang kegeologian di beberapa negara, terutama yang menyangkut peranan/fungsi data dan informasi geologi:

a. United Stated Geological Sur-vey (Amerika Serikat) telah menge-luarkan regulasi di bidang geologi yang sangat spesifi k misalnya yang menyangkut perencanaan tata ruang berbasis lingkungan geologi (environ-mental geology);

b. Republik Rakyat Cina dalam Mineral Resources of Law menekan-kan tentang tugas pemerintah dalam penyusunan rencana pengembangan dan pemanfaatan sumber daya mi-neral. Pemanfaatan sumber daya mi-neral oleh perseorangan atau badan usaha harus mendapatkan ijin dari pemerintah, dan pemerintah harus melakukan pengawasan yang serius dalam pemanfaatan sumber daya mi-neral tersebut.

c. Pemerintah Cina juga telah menetapkan Regulation on Adminis-tration of Geological Data yang bertu-juan untuk membenahi sistim peng-administrasi-an data geologi serta memberikan perlindungan secara penuh terhadap data geologi yang di-terima. Data geologi yang dimaksud adalah berupa laporan fi nal yang berisi diagram, gambar, produk au-

Page 17: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 15

WAWASAN

dio visual, medium elektromagnetik, data fi sik berupa: inti pemboran, spe-simen, sayatan tipis dan contoh yang dihasilkan dari penyelidikan geologi. Disamping itu pemerintah diharus-kan melakukan penyusunan suatu sistim informasi data geologi dan mensosialisasikan sistim penyusun-an atau pelaporan data geologi yang seragam. Data geologi yang dimaksud meliputi data geologi migas, coal bed methane dan mineral radioaktif; dan data geologi kelautan.

PenutupPengaturan dalam bidang kegeo-

logian yang lebih tegas dan kompre-hensif terhadap aspek-aspek yang menjadi fokus perhatian sebagai-mana dalam uraian diatas menjadi kebutuhan dengan memperhatikan kondisi bidang kegeologian saat ini yang terkait erat dengan hak, ke-wajiban dan peran masyarakat pe-mangku kepentingan (stake holder) di bidang kegeologian. Dari pemba-hasan sebelumnya mengenai bebe-rapa kendala yang dijumpai dalam pengembangan bidang kegeologian dan beberapa kondisi nyata yang me-nyangkut pengelolaan kegeologian secara nasional, maka di masa men-datang ”Keberadaan UU Kegeologi-an merupakan suatu keniscayaan untuk direalisasikan“. Untuk itu, Rancangan Undang-undang (RUU)

Kegeologian sudah semestinya diper-siapkan sejak saat ini. Beberapa hal yang penting sebagai muatan materi dalam penyusunan RUU Kegeologian adalah sebagai berikut:

• Masalah penetapan kawasan rawan bencana geologi yaitu letusan gunung api, gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor (yang dalam RUU Penataan Ruang dimasukkan seba-gai kawasan lindung); dalam RUU Kegeologian harus didefi nisikan se-cara lebih lengkap supaya lebih im-plementatif. Meskipun bencana geo-logi tersebut sulit diprediksi kapan terjadinya, tetapi dengan pendekatan kegeologian diharapkan ada langkah-langkah lebih kongkrit yang tujuan-nya untuk mengurangi dampak me-rusak bencana tersebut dan jatuh-nya korban.

• Penggunaan data dan informasi geologi yang saat ini belum dilakukan secara optimal sebagai dasar peren-canaan pembangunan wilayah agar ditingkatkan pengaturannya dalam UU Kegeologian tersebut.

• Diperlukannya pengaturan da-lam penyusunan rencana pengem-bangan dan pemanfaatan sumber daya mineral secara sistimatik, meli-puti pengaturan administrasi, penye-ragaman dalam penyusunan data dan informasi geologi beserta upaya-upaya sosialisinya.

• Mengoptimalkan kompetensi bi-

dang kegeologian dalam mengatasi atau memecahkan permasalahan untuk kepentingan konstruksi (pra-sarana jalan, jembatan, bangunan); dan eksplorasi migas dan penentuan cadangan mineral yang potensial se-suai standard minimal yang harus dipenuhi.

• Menonjolkan peranan informasi geologi untuk identifi kasi cekungan migas yang penting dan strategis terutama yang menyangkut daerah frontier atau wilayah yang berbatas-an dengan negara lain.

Untuk mempersiapkan RUU Ke-geologian tersebut langkah yang pa-ling penting saat ini adalah menyu-sun Naskah Akademis yang meru-pakan bahan materi sebagai dasar perumusan pengaturan hukum. Naskah Akademis RUU Kegeologian harus memuat informasi tentang geologi secara komprehensif dan mencakup seluruh aspek-aspeknya, mudah dipahami baik oleh masyara-kat umum maupun oleh aparatur ne-gara sehingga dapat ditindaklanjuti secara efektif. Konsepsi pengaturan penyelenggaraan bidang kegeologian harus merupakan penjabaran dari berbagai konsep atau teori yang ter-kait dan analisis terhadap berbagai aspek yang perlu dikembangkan da-lam penyelenggaraan bidang kegeolo-gian.

Seorang fi lsuf termasyur dan beradab ketika datang berkunjung ke kampung Nasruddin bertanya tempat yang enak untuk makan. Nasruddin memberitahu sebuah tempat dan sang fi lsuf, yang haus akan perbincangan, mengajak Mullah Nasruddin untuk menemaninya. Sebagai sebuah kewajiban, Mullah Nasruddin menemani sang fi lsuf ke restoran tersebut, lalu bertanya kepada pelayan hidangan spesial hari itu.

“Ikan! Ikan segar!” jawab pelayan.“Pesan dua,” mereka berkata.Beberapa menit kemudian, si pelayan membawa sebuah piring besar dengan

dua ekor ikan di atasnya, ukuran salah satu ikan lebih kecil daripada yang satunya lagi. Tanpa ragu-ragu, Mullah Nasruddin mengambil ikan yang lebih besar dan meletakkannya di piringnya. Sang fi lsuf, melihat Nasruddin dengan tatapan penuh tidak percaya, kemudian mengatakan bahwa tindakan Nasruddin itu selain egois juga melanggar prinsip-prinsip umum mengenai moral, agama, dan etika. Nasrudin dengan tenang mendengarkan seluruh penjelasan sang fi lsuf, dan saat sang fi lsuf itu selesai mengeluarkan nasehat-nasehatnya, Nasruddin bertanya,

“Jadi anda sendiri akan memilih ikan yang mana?”“Sebagai manusia yang alim, tentu saya akan memilih ikan yang lebih kecil.” “Kalau begitu ambillah ikan yang kecil itu,“ kata Nasruddin seraya meletakkan

ikan yang kecil itu dalam piring fi lsuf yang alim itu.

Nasruddin Hoja

Page 18: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 200616

FOKUS KITA

MENGENAL KONSEP PENANGANAN BENCANA, BAHAYA GEOLOGI,

DAN MITIGASI BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA

Oleh: Eddy Mulyadi, Oman Abdurahman, Prima Muharam Hilman, Priatna

“KINI pendapatan wisata di le-reng Gunung Api Merapi itu berkali-kali lipat dari pendapatan sebelum terjadinya letusan gunung tersebut bulan Mei yang lalu”, demikian seo-rang rekan kerja sekaligus sahabat kami dari BPPTK Yogyakarta, mem-buka pembicaraan pada suatu ke-sempatan belum lama ini. “Padahal waktu kami nyatakan status lokasi tersebut sebagai status awas, di saat Merapi sedang dalam puncak letus-annya, para petugas wisata tersebut seolah tak berkenan”, sang sahabat melanjutkan ceritanya. “Begitulah keadaan alam, berkah dan bencana seperti dua sisi dari satu mata uang yang sama. Kita harus sadar, was-pada, dan siap siaga bahwa kemura-hannya sekali waktu dapat berganti dengan bahayanya yang mungkin berkembang menjadi bencana”. De-mikian rekan kerja tadi menutup cerita sekitar Merapi setelah gunung api tersebut melewati masa pertun-jukan bahayanya di bulan Mei 2006.

Cerita di atas mengantarkan kita pada perbincangan di seputar ben-cana geologi sebagai bagian tak terpisahkan dari aspek geologi lain-nya. Bencana geologi berkembang dari bahaya geologi (geo-hazard) yang menimbulkan korban jiwa maupun harta benda. Geo-hazard adalah po-tensi yang secara inheren terkandung dalam fenomena geologi. Kondisi geo-logi Indonesia memang mengandung potensi bahaya geologi (geo-hazard) yang sewaktu-waktu dapat ber-kembang menjadi bencana (disaster) seperti letusan gunung api. Karena itu, mitigasi bencana geologi sangat penting untuk melindungi kehidupan dan penghidupan masyarakat Indo-nesia.

Fokus kita kali ini akan berta-masya di seputar khazanah konsep penanganan bencana (manajemen

bencana), bahaya geologi, dan mitiga-si bencana geologi kita. Pembahasan dimulai dengan penyamaan persepsi tentang istilah-istilah baku dalam mitigasi bencana, mengenal konsep penanganan atau manajemen benca-na, identifi kasi bahaya dan bencana geologi, serta mitigasi bencana geo-logi. Bagian pertama dan kedua dari tulisan ini lebih banyak disarikan dari beberapa rujukan penting, ter-utama Modul Pelatihan Manajemen Bencana (Disaster Management Train-ing Programme; DMTP), PBB (http://www.undmtp.org) dan kamus online Wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Emergency_management).

GEOLOGI, GEO-HAZARD, “BENCANA GEOLOGI”, DAN PEMBANGUNAN

Bahaya dan Bencana: Terminologi dan Penyamaan Persepsi

Kata “bencana geologi” terdiri atas kata “bencana” dan “geologi”. Terda-pat istilah lain yang terkait dengan “bencana geologi”, antara lain: “ba-haya” atau “risiko” (geo-hazard, geo-risk) dan “mitigasi” (mitigation). Se-belum kita menyoroti persoalan ben-cana geologi, kiranya kita perlu me-nyamakan persepsi terlebih dahulu tentang istilah-istilah atau termino-logi terkait bencana geologi. Dengan demikian kita harapkan terbangun satu pemahaman yang sama mana-kala istilah-istilah tersebut diguna-kan dalam tulisan ini selanjutnya.

GeologiGeologi menurut defi nisi umum

adalah: “sains atau studi ilmiah ten-tang komposisi, struktur, dan se-jarah bumi (science of composition, structure, and history of the earth)”. Istilah “geologi” terkadang dimaksud-

kan sebagai: “gambaran keadaan tentang bawah permukaan bumi”. Contoh: Geologi Indonesia: gambaran keadaan bawah permukaan bumi In-donesia, Geologi Amerika: gambaran keadaan bawah permukaan bumi Amerika, dst.

Berdasarkan defi nisi geologi, as-pek bahaya atau bencana alam yang bersumber dari atau terjadi di bumi relevan untuk diterangkan oleh geo-logi, yakni dari segi komposisi dan struktur (batuan) penyusun tempat terjadinya bencana, proses yang me-nimbulkannya, dan sejarah kejadian-nya di masa lalu. Bahaya atau ben-cana alam yang dimaksud adalah le-tusan gunung api, gempa bumi, tsu-nami, dan gerakan tanah atau tanah longsor.

Selain informasi aspek bahaya geologi (geo-hazard), terdapat dua manfaat atau aplikasi umum lain-nya dari kajian geologi, yaitu: sum-ber daya geologi (geo-resources), dan lingkungan geologi (geo-environment). Ketiga aspek pemanfaatan informasi geologi tersebut tentu saja didasari oleh sains geologi (geo-science) seba-gai dasar keilmuannya. Kajian sains geologi dan aplikasinya sudah seha-rusnya ditujukan untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup masyara-kat. Hubungan ini dilukiskan seba-gaimana pada Gambar 1.

Selain istilah “geologi”, ada istilah penting lainnya yang perlu dipahami terlebih dahulu makna dan penggu-naannya yang umum dalam kaitan-nya dengan perbincangan seputar bahaya atau bencana geologi dan mi-tigasinya.

Fenomena AlamSuatu gempa bumi yang dahsyat

pada suatu area yang tidak berpeng-huni adalah sebuah fenomena alam saja dan tidak termasuk bahaya

Page 19: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 17

FOKUS KITA

maupun bencana. Dengan demikian fenomena alam adalah: “proses alam yang ekstrim yang tidak memberikan ancaman terhadap manusia dan har-ta bendanya”. Demikianlah, sebuah peristiwa banjir yang tejadi di daerah yang tidak berpenghuni adalah satu contoh fenomena alam. Keberadaan manusia atau penduduk dengan pe-rilaku serta harta benda yang dimili-kinya di suatu tempat serta fenomena alam yang terjadi di tempat tersebut merupakan faktor-faktor sebab aki-bat munculnya kondisi bahaya atau bencana geologi dari peristiwa alam tersebut.

Bahaya Geologi (geo-hazards)Hazards menurut kamus, An

English – Indonesian Dictionary (John M. Echol dan Hassan Shadily, 1975), misalnya, diartikan sebagai “bahaya” atau “risiko”. Dalam bentuk kata kerja transitif, kata hazard berarti: “mengambil risiko”. Adapun kata sifat dari kata tersebut (hazardous) bermakna: “berbahaya”, “penuh risiko”, atau “risiko”.

Dalam modul pelatihan manaje-men bencana dari DMTP (Disaster Management Training Programme), PBB, terdapat defi nisi-defi nisi yang terkait dengan “bahaya” dan sejenis-nya dalam kerangka mitigasi benca-na. “Bahaya” – menurut modul terse-but – adalah: “kejadian yang jarang atau ekstrim dari lingkungan karena ulah manusia atau karena alam yang merugikan dan mempengaruhi ke-hidupan manusia, harta benda atau aktivitas pada tingkat yang menye-

babkan satu bencana” Dalam Wikipedia, hazard diartikan

sebagai: “bahaya-bahaya” (dangers), “risiko-risiko” (risks), masalah-masa-lah (problems). Selanjutnya, disebut-kan bahwa “bahaya” adalah: “suatu sumber dari kerugian atau kerusakan atau kejahatan (harm) yang poten-sial” (http://en.wikipedia.org/wiki/Hazard). A natural hazard, misalnya, didefi nisikan sebagai (terjemahan): “sebuah bahaya atau sumber bahaya alam terutama yang mengancam ke-selamatan hidup manusia”. Dengan demikian, geo-hazards, bermakna: “bahaya-bahaya atau risiko-risiko yang berhubungan dengan fenomena-bumi atau bahaya beraspek geologi”.

Selanjutnya, dalam kamus on-line Wikipedia tersebut dikemukakan bahwa bahaya (hazard) memiliki tiga model:

1. Model Dormant: “Apabila tidak ada orang di sekitar, maka ti-dak ada risiko” (there are no people around; there is no risk),

2. Model Armed: “Apabila ada seorang manusia atau sebuah ma-syarakat di sekitar, maka terdapat risiko (there is a person or people in the vicnity; there is risk),

3. Model Aktif: “waktu reaksi manusia yang terlalu lamban dalam menghadapi efek dari bahaya ter-tentu, maka sangat terlambat untuk mencegah akibat-akibat dari bahaya tersebut” (human reaction time is too slow to combat the effect of the ha-zard; it is too late to prevent the conse-quences of the hazard).

Berdasarkan defi nisi-defi nisi ter-sebut di atas, tampak bahwa dalam penggunaan istilah “bahaya” (hazard) berlaku hal-hal berikut: mengandung pengertian potensi terjadinya benca-na atau ancaman bagi kelangsungan hidup manusia dimana tingkatan ben-cananya sangat bergantung pada ke-beradaan orang dan kecepatan waktu reaksi manusia dalam menghadapi-nya; pengertiannya belum menyirat-kan adanya korban atau kerugian harta benda dan lingkungan, melain-kan baru sampai tahap ancaman.

Bencana Kata “bencana” dalam bahasa Ing-

gris, sebagaimana menurut kamus, adalah disaster. Kata yang aslinya dari bahasa Latin itu menurut kam-us berarti: “bencana”, “kemalangan”, atau “malapetaka”. Arti kata terse-but dalam bahasa Inggris adalah:

great destruction, distress, misfor-tune, dengan sinonimnya: calamity, cataclysm, catastrophe, tragedy (The American Heritage Dictionary). Dalam kaitannya dengan mitigasi, secara teknis, bencana (disaster) bermakna: “akibat dari bahaya alami (natural hazards) atau bahaya karena per-buatan manusia (man-made hazard) yang bersifat negatif pada kehidup-an masyarakat dan lingkungannya” (http://en.wikipedia.org/wiki/Disas-ter_management).

Dalam modul pelatihan mitigasi bencana dari DMTP, bencana dide-fi nisikan sebagai: “gangguan serius yang menimpa suatu masyarakat yang mengakibatkan kerugian besar, baik manusia, harta benda, maupun lingkungannya dengan besaran yang melampaui kemampuan masyarakat tersebut untuk menanggulanginya secara mandiri”. Defi nisi tersebut me-nyiratkan bahwa peristiwa bencana melibatkan waktu yang intens (“sang-at”: sangat pendek, sangat dahsyat, dst) dan tingkat urgensi tertentu.

Dalam kaitannya dengan bahaya dan kerentanan, bencana yang di-alami oleh suatu masyarakat se-cara sederhana dapat didefi nisikan sebagai akibat bertemunya bahaya yang menimpa dan kerentanan ter-hadap bahaya tadi yang melekat pada masyarakat tersebut. Secara “matematis” defi nisi ini dirumuskan sebagai: bencana = bahaya + keren-tanan. Kita akan mengupas lebih lanjut defi nisi tersebut pada bagian selanjutnya dari tulisan ini.

Berdasarkan sumbernya, terda-pat tiga jenis bencana: Pertama, ben-cana alam (natural disaster), yaitu bencana yang murni disebabkan oleh peristiwa alam, contoh gempa bumi yang menelan korban. Kedua, benca-na akibat ulah manusia (man-made disaster) seperti kebakaran. Ketiga, bencana kompleks, yaitu bencana yang diakibatkan oleh gabungan an-tara perilaku alam dan ulah manusia, sebagai contoh: banjir akibat hujan diluar normal dan penggundulan hu-tan. Namun sebuah defi nisi bencana yang lebih luas menyimpulkan bah-wa pada dasarnya semua bencana itu disebabkan oleh ulah manusia. Sebab, manusia yang tertimpa ben-cana itu sebelumnya telah memilih, apapun alasannya, berdomisili atau berada di tempat kejadian alam yang menyebabkan bencana.

Dari defi nisi bencana dan apa yang

Gambar 1. Geo-hazards, geo-resources, geo-environment, dan geo-science yang seharusnya dikelola secara terintegrasi agar memberikan keamanan dan kesejahteraan kepada masyarakat (Jahmasy).

Page 20: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 200618

FOKUS KITA

tersirat di dalamnya, tampak bahwa dalam penggunaan istilah “bencana” (disaster) terkandung makna atau pengertian berikut: 1) gangguan yang serius terhadap berfungsinya masya-rakat; 2) kerugian besar pada manu-sia (terbunuh atau luka-luka), harta benda, dan lingkungannya; dan 3) masyarakat yang mengalaminya tak mampu menanggulangi gangguan ter-sebut apabila hanya mengandalkan kekuatannya sendiri.

Darurat (Emergency)Terkait keadaan “bencana” adalah

suatu keadaan “darurat”. Suatu ben-cana dapat berupa bagian dari satu keadaan darurat (emergency). Ma-najemen bencana (disaster manage-ment) - yang meliputi kegiatan miti-gasi - adalah bagian dari manajemen darurat (emergency management). Suatu keadaan darurat (emergency) adalah sebuah situasi yang meru-pakan ancaman serta merta (saat itu juga) bagi hidup manusia atau kerusakan serius pada harta benda dan lingkungan manusia (http://en.wikipedia.org/wiki/Emergencies). Atau, suatu situasi seperti benca-na alam atau bencana buatan yang menuntut bantuan segera (http://en.wiktionary.org/wiki/emergency). Suatu keadaan darurat ditandai dengan:

- Kondisi penurunan kemampuan penanganan bencana atau bahaya yang jelas dan nyata dari satu kelom-pok manusia atau masyarakat

- Kemampuan penanganan ba-haya atau bencana hanya bersifat bertahan karena bantuan-bantuan atau inisiatif-inisiatif kelompok ma-nusia atau masyarakat lain (inter-vensi dari luar)

Penyamaan Persepsi: Bencana Geologi

Istilah “bencana geologi” saat ini telah resmi digunakan oleh Pemerin-tah sebagaimana dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mi-neral Nomor 30 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departe-men Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM No. 30 Tahun 2005). Dalam Pasal 503 peraturan tersebut dinyatakan bahwa salah satu unit di lingkungan Badan Geologi adalah Pu-sat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG-singkatan resminya: PVG). Istilah “bencana geologi” dan bagian-bagiannya, seperti “bencana

gunung api”, “bencana gempa bumi”, “bencana tsunami”, dan “bencana gerakan tanah”, termuat dalam pa-sal 542, pasal 543, pasal 544, pasal 557, pasal 558, pasal 559, dan pasal 560 dari Permen ESDM No. 30 Ta-hun 2005. Terkait dengan semakin banyaknya bencana alam beraspek geologi akhir-akhir ini serta sering tampilnya wakil-wakil dari pihak Pe-merintah untuk memberi penjelasan terhadap peristiwa tersebut di ber-bagai media masa, istilah bencana geologi pun kini sudah mulai dikenal masyarakat luas.

Untuk penyamaan persepsi dan pemahaman tentang “bencana geolo-gi”, kita akan merujuk kembali defi -nisi geologi dan bencana yang telah dikutip di atas. Dengan demikian, “bencana geologi” adalah “akibat dari bahaya (hazard) alam beraspek geologi (geo-hazards) dan bahaya akibat ulah manusia berkaitan dengan kesiapan menghadapi bahaya tersebut yang bersifat negatif pada kehidupan ma-syarakat dan lingkungannya”. Atau, “bencana geologi” adalah “gangguan serius yang timbul dari peristiwa ge-ologi dan ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapinya yang meng-akibatkan kerugian besar baik pada manusia, harta benda, maupun ling-kungannya dengan intensitas yang melampaui kemampuan masyarakat

tersebut untuk menanggulanginya secara mandiri”.

Secara sederhana bencana geologi dapat disebutkan sebagai: “bencana alam yang disebabkan oleh proses geologi”. Meskipun bencana geologi adalah bencana alam, tetap berlaku prinsip bahwa bencana selalu ter-kait dengan perbuatan atau pilihan-pilihan yang dilakukan oleh manusia sebagaimana telah dikemukakan se-belumnya.

Dari semua paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa fenomena alam dapat berkembang menjadi ba-haya, misalnya bahaya gunung api. Sebagian dari bahaya tersebut ke-mudian berubah menjadi bencana, dan dari keadaan bencana tersebut mungkin muncul keadaan darurat (Gambar 2). Di antara bahaya dan bencana mungkin berupa bahaya dan bencana beraspekkan geologi yang kita menyebutnya masing-masing sebagai “bahaya geologi” (geo-hazard) dan “bencana geologi”. Dalam Gam-bar 2, sebagian dari perbuatan ma-nusia sangat membahayakan dan di antara yang membahayakan tersebut berkembang menjadi bencana karena ulah manusia (man-made disaster). Selanjutnya, keadaan bencana ini mungkin berkembang menjadi ke-adaan darurat. Irisan di antara dua rangkaian kejadian tersebut memun-

Gambar 2. Ilustrasi dalam siklus kejadian alam (A) dan siklus perbuatan manusia (B) masing-masing terdiri atas: fenomena alam (1A), fenomenana ulah manusia (1B), bahaya alam (2A), bahaya akibat ulah manusia (2B), bencana alam (3A), bencana ulah manusia (3B), gabungan bencana alam dan bencana ulah manusia (4); dan keadaan darurat (5). Keadaan darurat (5) dan bencana gabungan (4) adalah bagian dari bencana (3), sebagaimana bencana adalah bagian dari bahaya (2), dan bahaya ialah bagian dari fenomena (1); hal itu berlaku baik untuk siklus kejadian alam (A) maupun siklus perbuatan manusia (B).

Page 21: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 19

FOKUS KITA

culkan urutan yang sama: bencana gabungan, maupun keadaan daru-rat gabungan akibat alam dan akibat ulah manusia.

Persoalan BencanaDari pemahaman kita tentang

terminologi tampak bahwa sampai tahap bahaya, suatu kejadian alam atau perbuatan manusia belum-lah menimbulkan korban manusia atau kerugian harta benda dan ling-kungan. Namun, ketidak-siapan da-lam menghadapi suatu bahaya dapat mengakibatkan bahaya tersebut ber-kembang menjadi bencana. Dengan kata lain, tingkatan skala bencana akan sangat bergantung pada kon-disi masyarakat, lokasi kejadian dan lingkungannya, kecenderungan ben-cana sebagai interaksi diantara ma-nusia dan lingkungannya, serta sia-pa saja yang paling terpengaruh oleh bencana-bencana itu. Aspek-aspek tersebut merupakan masalah dalam kebencanaan.

Bencana adalah “Bagian” dari Kehidupan Normal

Dalam modul pelatihan manaje-men bencana dari DMTP dinyatakan sejak awal bahwa salah satu sebab mengapa masyarakat rentan ter-hadap bencana adalah karena ben-cana-bencana dan emergensi terlalu sering dianggap sebagai kejadian-kejadian yang menyimpang atau di-

pisahkan dari keadaan sebaliknya: “kehidupan normal”. Padahal, seha-rusnyalah bencana dianggap sebagai bagian dari kehidupan normal dan harus dikelola sehari-hari sebagai-mana bagian kehidupan normal lain-nya.

Dalam pandangan bencana seba-gai bagian dari kehidupan normal, bencana dianggap sebagai konsekue-nsi-konsekuensi dari cara-cara ma-syarakat membangun diri mereka sendiri, baik secara ekonomi mau-pun sosial; pola interaksi antara masyarakat dan negara; dan pola-pola hubungan yang terjadi antara para pembuat keputusan. Dengan demikian, suatu bencana banjir atau letusan gunung api, misalnya, bu-kanlah bencana dalam dan dari di-rinya sendiri. Bencana muncul dari fakta bahwa masyarakat atau ke-lompok-kelompok tertentu manusia terpaksa menetap di daerah-daerah yang rentan terhadap dampak dari sungai yang mengamuk atau letusan gunung api.

Gambar 3 di bawah ini, yang dikutip dari modul mitigasi bencana DMTP. memberikan diagram dalam pandangan bencana sebagai ba-gian dari kehidupan normal. Dalam ilustrasi tersebut telah dinyatakan dengan tegas perbedaan yang penting antara bahaya (hazard) dan bencana (disaster). Ilustrasi dalam Gambar 3 juga menyatakan pengaruh dari ba-

haya terhadap bencana sebagai tolok ukur yang penting untuk mengeta-hui kerentanan masyarakat. Dalam diagram tersebut tampak kombinasi dari kekuatan-kekuatan yang saling berlawanan; dan kerentanan dili-hat sebagai gerak maju dari tiga ta-hapan:

1. Penyebab-penyebab yang men-dasari, yaitu: sekumpulan faktor-fak-tor yang sudah mengakar dalam ma-syarakat yang secara bersama-sama membentuk dan mempertahankan kerentanan

2. Tekanan-tekanan yang dina-mis: satu proses perubahan yang memungkinkan penyebab negatif masuk ke dalam kondisi-kondisi yang tidak aman. Proses ini disebab-kan mungkin karena kurangnya pe-layanan-pelayanan atau fasilitas da-sar atau mungkin sebagai akibat dari serangkaian kekuatan makro.

3. Kondisi-kondisi tidak aman: konteks kerentanan ketika orang-orang atau harta benda terbuka ter-hadap risiko bencana. Dalam hal ini, lingkungan fi sik yang mudah rusak adalah satu bagiannya, sedangkan faktor-faktor yang lain mencakup ekonomi yang tidak stabil dan ting-katan pendapatan yang rendah.

Faktor-faktor Sebab-Akibat BencanaTelah menjadi pengetahuan ber-

sama, bahwa besarnya bencana diu-kur dari jumlah kematian, kerusa-

RANGKAIAN KERENTANAN

1 2 3Penyebab yang

mendasari* Kemiskinan* Akses yang terbatas terhadap

- tenaga listrik- sumber daya

* Ideologi* Sistem Ekonomi* Faktor-faktor pra Kondisi umum

Tekanan-tekanan yang Dinamis

- Institusi lokal- Pendidikan- Pelatihan- Keterampilan yang memadai

- Investasi lokal- Pasar lokal- Kebebasan pers- Kekuatan makro (ekspansi penduduk, urbanisasi, degradasi lingkungan)

Kondisi-kondisi Tidak Aman

* Lingkungan fi sik yang rentan:- lokasi yang

berbahaya- infrastruktur &

bangunan yang berbahaya

* Ekonomi lokal yang rentan:

BENCANA

=

KERENTANAN

+

BAHAYA

Kejadian-kejadian pemicu:

- Gempa bumi- Angin kencang- Banjir- Letusan gunung api

- Tanah longsor- Kekeringan- Perang, Konfl ik sipil

- Kecelakaan teknologi

Gambar 3. Diagram yang memperlihatkan rangkaian kerentanan dengan puncaknya yang berpadu dengan bahaya me-nimbulkan bencana (Sumber: DMTP).

Page 22: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 200620

FOKUS KITA

kan, atau biaya-biaya kerugian yang ditimbulkannya. Namun demikian, tingkat keamanan terhadap bencana dan intensitas bencana itu sendiri terkait erat dengan kondisi kondisi masyarakat dan lingkungan yang terkena bencana tersebut. Sebagai contoh, peluang ekonomi telah me-maksa penduduk menempati daerah pantai jauh sampai ke bibir pantai, sehingga pada saatnya bahaya tsu-nami muncul, terjadi bencana besar karena banyaknya korban jiwa dan harta benda yang diakibatkannya. Jelaslah, bahwa terdapat sebab-aki-bat kejadian dan intensitas bencana yang mengukuhkan kembali kenya-taan bahwa pada dasarnya bencana terjadi tidak semata-mata karena faktor alam. DMTP mengenali tujuh faktor yang menyebabkan dampak bencana menjadi lebih besar dalam kehidupan suatu masyarakat. Ketu-juh faktor itu adalah: 1) Kemiskinan, 2) Pertambahan penduduk, 3) Urba-nisasi yang cepat, 4) Perubahan-pe-rubahan dalam praktek budaya, 5) Degradasi lingkungan, 6) Kurangnya kesadaran dan informasi, dan 7) Pe-rang dan kerusuhan sipil.

Kemiskinan adalah faktor utama dari dampak suatu bencana. Ke-miskinan pada umumnya menjadi-kan orang rentan terhadap dampak bahaya. Kemiskinan menjelaskan mengapa orang-orang terpaksa hidup di atas bukit-bukit yang cenderung terkena bencana tanah longsor. Atau, mengapa orang-orang tinggal di dekat sebuah gunung api walau-pun mereka tahu bahwa gunung api tersebut sering meletus dan menim-bulkan bencana.

Pertambahan penduduk yang cepat mengakibatkan besarnya keru-gian-kerugian dari satu bencana. Hal ini dapat dimengerti sebab semakin banyak orang atau bangunan berada di suatu tempat kejadian bencana, maka semakin besar kemungkinan korban atau kerugian akibat benca-na tersebut, baik jiwa maupun harta benda. Pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan lebih banyak orang akan terkena pengaruh dari suatu bencana, sebab pertumbuhan penduduk yang tinggi menyebabkan lebih banyak orang yang terpaksa hidup dan bekerja di daerah-daerah yang tidak aman.

Urbanisasi yang cepat meru-pakan salah satu faktor pertumbu-han penduduk yang cepat di suatu

daerah atau lokasi dan terkait erat dengan kemiskinan di daerah asal. Keadaan ini umumnya terjadi di ne-gara-negara berkembang. Urbanisasi yang cepat menyebabkan konsen-trasi manusia pada daerah-daerah urban tertentu, umumnya di perko-taan, menempati daerah yang rawan bencana seperti daerah rawan banjir. Jumlah penduduk kota yang banyak juga menimbulkan kemiskinan per-kotaan yang pada akhirnya meny-ebabkan bencana gabungan antara bencana alam dan bencana karena ulah manusia.

Perubahan budaya - tidak ter-elakkan terjadi di semua masyara-kat. Transisi-transisi ini disebabkan baik oleh urbanisasi (perubahan cara hidup pedesaan kepada cara hidup perkotaan), peningkatan kehidup-an ekonomi, dan – secara umum – transisi dari masyarakat non-in-dustri ke masyarakat industri. Satu contoh dari dampak perubahan bu-daya adalah penggunaan bahan-ba-han dan desain-desain bangunan yang baru dalam satu masyarakat yang sudah terbiasa dengan materi-materi dan desain tradisional. Hal ini sering meningkatkan kerentanan ter-hadap bencana. Pada akhirnya masa bencana pun seringkali lebih panjang karena mekanisme penanggulangan bencana secara tradisional dalam masyarakat berdsangkutan pun su-dah hilang seiring perubahan budaya tersebut.

Degradasi lingkungan telah ter-bukti banyak menimbulkan bencana. Penggundulan hutan yang menye-babkan bencana tanah longsor dan banjir adalah contoh nyata. Demikian pula rusaknya lingkungan pantai – sebagai contoh rusaknya rawa-rawa bakau - menurunkan kemampuan wilayah pantai tersebut dalam mena-han gelombang tsunami.

Kurangnya kesadaran dan in-formasi dapat pula menjadi penye-bab terjadinya bencana. Dalam si-tuasi ini, orang-orang yang rentan terhadap bahaya-bahaya tidak tahu bagaimana cara melepaskan diri atau mengambil tindakan-tindakan perlindungan dari bencana. Ketidak-tahuan ini tidak selalu berkorelasi dengan kemiskinan, melainkan da-pat semata-mata akibat kurangnya kesadaran akan tindakan-tindakan yang aman dalam keadaan bencana. Misalnya, kesadaran untuk mendiri-kan bangunan yang aman terhadap

bencana. Dalam situasi yang lain, sebagian orang mungkin tidak tahu tentang arah-arah evakuasi dan prosedur-prosedur yang aman da-lam penyelamatan diri. Atau, seba-gian penduduk mungkin tidak tahu kemana mereka meminta bantuan pada saat mengalami tekanan berat akibat bencana. Kurangnya pemaha-man terhadap ancaman bencana da-pat mengakibatkan menipisnya kesa-daran terhadap upaya penyelamatan diri dari bencana.

Perang dan kerusuhan sipil da-pat dianggap sebagai bahaya, yaitu kejadian-kejadian yang ekstrim yang pada saatnya dapat mengakibat-kan bencana. Faktor-faktor sebab dan akibat dari perang dan perseli-sihan sipil mencakup kompetisi un-tuk memperebutkan sumber-sumber daya yang terbatas, kurangnya tole-ransi terhadap agama atau etnis, dan perbedaan-perbedaan ideologis. Ba-nyak dari kondisi tersebut merupa-kan hasil sampingan dari faktor-fak-tor sebab akibat bencana yang telah disebutkan sebelumnya. Bencana dan Pembangunan

Hubungan antara bencana dan pembangunan akhir-akhir ini telah menjadi perhatian utama organisasi-organisasi pemerhati bencana di ting-kat internasional. PBB melaui DMTP, misalnya, menjadikan topik hubung-an bencana dan pembangunan se-bagai sokoguru konsep dan materi pelatihan manajemen bencana yang dikembangkannya. Hal ini karena banyak bencana yang menyebabkan kematian, kehancuran, terhapusnya hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan selama bertahun-ta-hun, dan kemunduran pembangun-an di dunia ketiga. Pada akhirnya, bencana menjadikan pemborosan sumber-sumber daya pembangunan yang berharga.

Lama sebelumnya, hubungan sebab akibat antara bencana dan pembangunan ekonomi dan sosial banyak diabaikan. Para perencana pembangunan seolah-olah tidak mempedulikan bencana, kecuali berharap bahwa di masa yang akan datang bencana serupa tidak teru-lang lagi. Atau, kalau pun terjadi lagi, diharapkan ada negara-negara donor yang akan membantu pemu-lihan akibat bencana tersebut. Pro-gram-program pembangunan tidak

Page 23: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 21

FOKUS KITA

dinilai dalam konteks pembangunan. Tidak diperhitungkan apakah penga-ruh bencana terhadap program-pro-gram pembangunan atau pengaruh pembangunan terhadap munculnya faktor-faktor yang mempengaruhi bencana. Bencana hanya dilihat dari sisi respon darurat bukan dalam kon-teks pembangunan jangka panjang yang menganggap bencana sebagai bagian dari keadaan normal. Komu-nitas yang berada di bawah tekanan bencana dianggap tak layak terlibat dalam peningkatan pembangunan jangka panjang. Hal demikian kini mulai ditinggalkan.

Konsep hubungan pembangunan dengan bencana yang didukung oleh PBB sekarang ini telah mempertim-bangkan bencana sebagai bagian dari keadaan normal. Yakni, bahwa bencana beserta segenap potensinya harus dikelola. Konsep tersebut telah melibatkan hubungan yang lengkap antara bencana dana pembangu-nan sebagaimana dalam Gambar 4. Dalam gambar tersebut, hubungan antara bencana dan pembangunan tersebut dapat diringkaskan sebagai berikut:

1) Pembangunan dapat menye-babkan kerentanan masyarakat ter-hadap bencana (-+);

2) Pembangunan dapat me-ngurangi kerentanan masyarakat terhadap bencana (++);

3) Bencana dapat memberikan peluang pada pembangunan (+-);

4) Bencana dapat memundur-kan pembangunan (--).

Sebagai contoh kasus negatif posi-tif (-+) adalah: penataan ruang pantai yang tidak mempertimbangkan po-tensi bencana tsunami di pantai ter-sebut dapat menyebabkan banyak-nya jumlah korban pada saat terjadi tsunami di pantai tersebut. Ulasan se-lengkapnya tentang empat hubungan

antara bencana dan pembangunan (hubungan ++, +-, dan -+) dapat di-lihat pada (http://www.undmtp.org). Dalam manajeman bencana yang menganggap bencana sebagai bagian dari kehidupan normal, pembangun-an diarahkan untuk mempertinggi aspek + dari pembangunan dan me-ngurangi aspek negatif nya; serta me-ningkatkan sisi negatif dari bencana dan mengukuhkan sisi postif (+) dari bencana.

Peraturan Perundang-undangan tentang Manajemen Bencana

Hingga saat ini indonesia belum memiliki landasan hukum yang ter-kait dengan kebencanaan sebagai dasar hukum pengelolaan bencana. Di sisi lain, kejadian bencana dengan korban jiwa maupun harta benda besar akhir-akhir ini sering terjadi dan sangat memerlukan penangan-an yang terkonsep, terintegrasi, dan efektif.

Akibat belum adanya landasan hukum kebencanaan, maka pelaksa-naan mitigasi dan penanganan ben-cana dirasakan belum fokus, menye-luruh, dan menyentuh kepentingan langsung korban beserta masyakat di sekitarnya yang terkena dampak ben-cana. Masyarakat pun belum terlibat secara penuh dengan mobilisasi po-tensinya masing-masing. Kini sudah saatnya landasan hukum penangan-an bencana diterbitkan.

Sebagai dasar penyusunan lan-dasan hukum (peraturan perundang-undangan) tentang mitigasi dan pen-anganan bencana adalah UU Dasar 1945 Pasal 28G, ayat 1 (amandemen kedua). Dalam ketentuan tersebut diamanatkan bahwa: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri priba-di, keluarga, kehormatan, marta-bat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak mem-

peroleh rasa aman dan pelindungan dari ancaman ketakutan untuk ber-buat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Untuk itu, berkaitan dengan bencana, sudah saatnya diterbitkan landasan hukum guna pelaksanaan mitigasi yang ter-integrasi dengan mempertimbangkan tugas dan fungsi berbagai instansi Pemerintah/Negara serta masyarakat umum dalam penanganan bencana.

Meskipun sampai saat ini belum terdapat landasan hukum penan-ganan bencana, namun perbincan-gan dan usaha-usaha ke arah itu sudah mulai menggelinding. Antara lain usulan-usulan yang disampai-kan oleh Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana yang telah menyusun sebuah draft terkait (Ba-kornas PB). Landasan hukum terse-but terdapat dalam konsep “Mitigasi Bencana” yang dihasilkan oleh Ba-kornas PB.

BENCANA DAN KONSEP LANGKAH-LANGKAH PENANGANANNYA

Bencana sudah tentu memerlukan penanganan yang serius. Karakteris-tik umum bencana - yang disarikan dari pengantar modul manajemen bencana PBB - menjadikan penanga-nan bencana harus dilakukan secara terkonsep dan dikelola dengan se-baik-baiknya. Hal ini mengingat ba-hwa: 1) bencana adalah masalah yang berkembang yang akan menarik per-hatian terus menerus secara mening-kat bagi pemerintah nasional mau-pun internasional; 2) Program-pro-gram pembangunan di daerah yang cenderung terkena bencana akan terpengaruh oleh bencana-bencana; dan, 3) bencana adalah kejadian yang tidak biasa yang memerlukan tang-gapan yang tidak biasa pula. Karena itu, dalam melaksanakan tanggapan yang memadai terhadap bencana, Pe-merintah dan siapa pun yang terlibat tidak dapat menggantungkan pada prosedur normal. Dengan kata lain, siapa pun atau lembaga apa pun yang akan menangani bencana ha-ruslah belajar dan mempraktekkan keterampilan dan perilaku khusus dalam menangani bencana;

Lebih jauh lagi, bencana terkait dengan empat prioritas penting: 1) orang-orang yang terusir, 2) pen-gungsi dan mereka yang kembali (dari pengungsian), 3) wanita dan

Gambar 4. Hubungan antara bencana dan pembangunan. Dalam gambar, bencana dianggap sebagai unsur negatif (-) dan pembangunan sebagai unsur positif (+). Matrik irisan dari dua bidang – dan + tersebut menghasilkan 4 hubungan sebagaimana telah dsiebutkan sebelumnya. Pengaruh bencana yang negatif (--) pada pembangunan, misalnya: hilangnya sumber-sumber daya, gangguang terhadap program-program pembangunan, menurunnya iklim invenstasi, menurunnya sektor informal, dan destabilisasi politik. Sumber: DTMP (http://www.undmtp.org).

Page 24: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 200622

FOKUS KITA

pembangunan, 4) perlindungan ling-kungan. Keempat isu tersebut saling terkait dan saling melengkapi. Ma-syarakat dunia sangat menaruh mi-nat dalam persoalan bencana. Setiap pemerintahan pun dituntut untuk membuktikan kemampuan mereka dan memperlihatkan citra yang po-sitif terhadap penanganan bencana. Kinerja penanganan bencana pada akhirnya menjadi ukuran penting ke-berhasilan suatu Pemerintahan (good governance).

Berdasarkan kenyataan di atas, bencana-bencana dapat dipandang sebagai serangkaian tahap-tahap (fase-fase) dalam rentangan (konti-num) waktu. Mengidentifi kasi dan memahami tahap-tahap bencana tersebut diperlukan untuk menge-nali kebutuhan-kebutuhan terkait dengan penanganan bencana dan memberikan konsep tentang aktivi-tas manajemen bencana yang mema-dai. Bagian dua tulisan ini mengupas selintas tentang tahapan manajemen bencana sebagai dasar memahami penempatan peran dan langkah-langkah bidang geologi dalam miti-gasi bencana.

Tahap-tahap Penanganan Bencana (Manajemen Bencana)

Manajemen Bencana adalah se-kumpulan kebijakan dan keputusan-keputusan administratif dan aktivi-tas-aktivitas operasional yang ber-hubungan dengan berbagai tahapan dari semua tingkatan (penanganan)

bencana. Manajemen bencana meli-puti mitigasi bencana. Dalam tinjau-an mitigasi bencana selanjutnya, kita akan menganggap bahwa bencana-bencana pada dasarnya mewujud sebagai akibat ulah manusia. Hal ini karena manusia telah memilih - apa pun alasannya – untuk berada atau bertempat tinggal dimana fenomena alam yang menyebabkan pengaruh-pengaruh merugikan terhadap diri-nya itu terjadi. Terkait dengan taha-pan manajemen, harus dipahami pula makna dari istilah-istilah risiko, kerentanan, dll..

Siklus pada Gambar 5 menggam-barkan tahapan-tahapan manajemen bencana sebagaimana diusulkan oleh modul pelatihan manajemen bencana dari PBB, yaitu: “United Nations Disas-ter Management Training Programme (DMTP). Tahapan bencana dari DMTP tersebut membedakan jenis bencana yang datang secara cepat (Gambar 5a.) dan bencana yang datang secara lambat (Gambar 5b.). Jenis bencana yang cepat meliputi semua bencana geologi (letusan gunung api, gempa bumi, tsunami, dan gerakan tanah). Bencana yang lambat antara lain: ke-laparan dan wabah penyakit.

Berdasarkan pada Gambar 5a, pada serangan bencana yang cepat, terdapat lima tahapan manajemen bencana, dengan satu fase kejadian bencana itu sendiri dengan dampak-nya. Kelima tahapan tersebut sesuai urut-urutannya dan bergerak secara melingkar (siklus) adalah: Fase Ban-tuan, Fase Rehabilitasi, Fase Rekon-

struksi, Fase Mitigasi, dan Fase Ke-siapan. Adapun dalam serangan bencana yang lambat, terdapat enam fase (termasuk satu fase dalam ke-adaan bencana). Keenam fase terse-but secara berurutan dan bergerak melingkar (siklus) adalah: Fase Emergensi atau Darurat (di tengah keadaan bencana), Fase Bantuan, Fase Rehabilitasi, Fase Mitigasi, Fase Kesiapan, dan Fase Peringatan Dini. Dalam serangan bencana yang cepat pada umumnya sangat sulit untuk melakukan peringatan dini dan tin-dakan darurat.

Dalam siklus manajemen benca-na, urutan-urutan sebagaimana dise-butkan di atas bergerak dari keadaan yang paling kritis, yaitu keadaan ter-timpa bencana (dampak bencana, dan atau emergensi) sampai pada keadaan aman dan kesiapan. Dalam siklus tersebut terlihat pula bahwa tindakan mitigasi dilakukan pada keadaan jauh dari bencana, yaitu se-belum atau sesudah datang bencana. Namun, kesimpulan yang terakhir ini tidak mutlak, karena, dalam berbagai defi nisi sebagaimana akan dibahas selintas nanti, ada pendapat yang menyebutkan bahwa tindakan mi-tigasi mencakup pengertian umum, yaitu tindakan mengurangi dampak bencana kapan saja dan dimana saja, sehingga pada prinsipnya semua ta-hapan penanganan bencana dapat disebut sebagai mitigasi bencana.

Siklus manajemen bencana seperti diuraikan di atas juga menunjukkan bahwa dalam konsep pengelolaan bencana, perhatian terhadap benca-na tidak dilepaskan dari pembangu-nan sehari-hari. Dengan kata lain, bencana dianggap sebagai bagian dari situasi normal yang harus sen-antiasa diperhatikan baik dalam keadaan aman (sebelum terjadinya bencana) maupun dalam keadaan mulai adanya ancaman bahaya dan berlanjut sampai terjadinya bencana, saat bencana, dan setelah keadaan bencana.

Siklus manajemen bencana dari DMTP sebagaimana pada Gambar 5 bukanlah siklus yang baku yang te-lah disepakati oleh semua kalangan. Tahapan tersebut lebih merupakan usulan yang diharapkan mengarah kepada suatu konsensus bersama langkah-langkah penanganan ben-cana. Walau demikian, sebuah siklus tahapan manajemen darurat – yang didalamnya terkandung manajemen

Gambar 5. Siklus manajemen bencana: a. serangan bencana yang cepat, b. serangan bencana yang lambat (Sumber DMTP, http://www.undmtp.org/modules_i.htm )

a b

Page 25: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 23

FOKUS KITA

bencana - mengingat keadaan daru-rat adalah bagian dari keadaan ben-cana - yang lebih sederhana seku-rang-kurangnya tetap mengandung beberapa tahapan bagian dari siklus seperti pada Gambar 6. Tahapan-ta-hapan tersebut selalu diperlukan da-lam manajemen bencana.

Berdasarkan Gambar 6, manaje-men bencana sekurang-kurangnya harus terdiri atas langkah-langkah: Tanggap Darurat, Pemulihan, Miti-gasi, dan Kesiapan.

Sebuah siklus tahapan penangan-an bencana yang lebih sederhana di-kemukakan oleh Direktorat Vulka-nologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVG, Badan Geologi sekarang), DES-DM dalam buku “Gempa Bumi dan Tsunami”, hasil kerjasama instansi tersebut dengan PGRI dan Yaya-san SAMPAI, Jakarta, Tahun 2005. Dalam siklus penanganan bencana – yang dikhususkan untuk bencana alam (terkait fenomena atau bahaya) geologi - itu, langkah penanganan bencana hanya dibedakan menjadi tiga tahap (Gambar 7). Ketiga tahap tersebut adalah:

1) Saat terjadi bencana, meliputi: tanggap darurat dan evakuasi; 2) Sesudah terjadi bencana, meliputi: penyelidikan, rehabilitasi, dan rekon-struksi, dan 3) sebelum terjadi benca-na atau mitigasi.

Ilustrasi pada Gambar 7 menunjukkan siklus tahapan penanganan bencana dari Direkto-rat Vulkanologi dan Mitigasi Benca-

na Geologi (DVMBG), Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral (DJGSM), 2005 (sekarang: PVG, Badan Geologi). Penanganan bencana dibagi menjadi 3 langkah: 1) saat terjadi bencana, 2) saat sesudah bencana, dan 3) miti-gasi (sebelum terjadi bencana).

Pengertian Tahapan-tahapan dalam Manajemen Bencana

Di bawah ini dikemukakan peng-ertian-pengertian istilah yang di-gunakan dalam tahapan penanganan bencana. Pengertian yang dibahas di-batasi pada tiga tahapan saja, yaitu: Tanggap Darurat, Rehabilitasi dan Rekonstruksi, dan Mitigasi. Hal ini mengingat ketiga tahapan tersebut sudah merangkum tahapan-tahapan lainnya. Tanggap Darurat mencakup atau menjelaskan juga tahapan Pe-ringatan Dini, Evakuasi dan Ban-tuan; tahapan Rehabilitasi dan Re-konstruksi meliputi tahapan Pemuli-han (Recovery); dan tahapan Mitigasi mencakup tahapan Kesiap-siagaan (Preparedness) sampai Peringatan Dini. Rujukan pengertian tersebut adalah tiga sumber, yaitu: 1) materi pelatihan manajeman bencana dari PBB (DMTP), 2) Ensiklopedia online Wikipedia (Wikipedia), dan 3) buku “Gempabumi dan Tsunami” dari DESDM, 2005 (DESDM, 2005). Da-lam setiap tahapan diupayakan su-atu identidikasi tentang kaitan atau kontribusi informasi geologi terhadap langkah-langkah kegiatan dalam ta-hapan penanganan bencana.

• Tanggap Darurat Tahapan “tanggap darurat” berka-

itan dengan tindakan yang harus di-dahulukan saat menjelang, berhada-pan dengan, dan setelah kejadian bencana. Dalam modul DMTP, tang-gap darurat bencana adalah jumlah total tindakan yang dilakukan oleh orang-orang atau institusi-instutusi dalam menghadapi bencana. Tindak-an-tindakan tersebut meliputi: pe-ringatan dini akan datangnya suatu kejadian yang mengancam atau keja-dian itu sendiri jika kejadian itu mun-cul tanpa peringatan, tindakan-tindak-an darurat, dan bantuan. Tanggap darurat adalah implementasi dari ren-cana-rencana kesiapan menghadapi bencana dan prosedur-prosedurnya sehingga sangat erat terkait dengan tahapan kesiap-siagaan menghadapi bencana. Akhir dari tahapan tanggap darurat adalah tahapan rehabilitasi bencana.

Menurut Wikipedia, tanggap darurat (respon) meliputi mobil-isasi pelaku-pelaku pertama tang-gap darurat dan pelayanannya (tim SAR, polisi, relawan) yang diperlukan dalam wilayah bencana. Rencana latihan tanggap darurat perlu dikem-bangkan dan dilaksanakan dalam tahap kesiapsiagaan. Jenis, jumlah, dan besaran bantuan yang diberikan juga satuan yang dilibatkan sangat bergantung kepada intensitas dam-pak atau kerugian akibat bencana.

Menurut modul DMTP, tujuan tanggap darurat adalah: 1) menjamin

Gambar 6. Siklus tahapan dalam manajemen darurat: Tanggap daru-rat, pemulihan, Mitigasi, dan Kes-iapan (Sumber: Wikipedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Mitigation)

Gambar 7. Tahapan manajemen bencana (Sumber: Buku “Gempabumi dan Tsunami, DVMBG, DJGSM, DESDM bekerjasama dengan PGRI dan Yayasan SAMPAI)

Page 26: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 200624

FOKUS KITA

jumlah korban yang mungkin dapat diselamatkan secara maksimal, men-jaga kesehatan mereka dalam segala kondisi dengan peluang yang terbaik, 2) menetapkan kembali kemandirian pelayanan yang penting secepat mun-gkin untuk semua kelompok popula-si dengan perhatian khusus terhadap mereka yang kebutuhannya paling banyak; yang paling rentan dan ku-rang mampu; 3) memperbaiki kemba-li atau mengganti infrastruktur yang rusak dan menggerakkan kembali aktivitas-aktivitas ekonomi, melak-sanakan kegiatan yang menunjang tujuan-tujuan pembangunan jangka panjang dan mengurangi kerentanan terhadap bahaya-bahaya yang berpo-tensi merusak yang mungkin muncul kambali. Tindakan-tindakan dalam tanggap darurat meliputi: 1) peringat-an (penyebaran informasi untuk ben-cana dengan serangan mendadak, dan peringatan dini untuk bencana dengan sarangan lambat), 2) evakua-si atau migrasi, 3) menggerakkan tim SAR, 4) pengkajian paska bencana, 5) bantuan emergensi, 6) komunikasi dan manajemen informasi, 7) respon terhadap yang selamat dan penangan-annya, 8) keamanan, 9) manajemen operasi-operasi emergensi, dan 10) rehabilitasi dan rekonstruksi.

Tahapan tanggap darurat me-mang lebih banyak terkait dengan manajemen penanganan korban ben-cana langsung saat kejadian. Dalam hal ini, keterkaitan langsung bidang geologi dengan tahapan tersebut ada pada tujuan-tujuan nomor 2) dan 3) pada uraian tersebut di atas. Sedang-kan kontribusi bidang geologi dengan lingkup kegiatan tahapan tanggap darurat secara khusus antara lain dalam: peringatan dan peringatan dini, pengkajian paska bencana, komunikasi dan manajemen infor-masi, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Bentuk-bentuk kontribusinya secara nyata antara lain: penilaian besar-nya kerusakan secara keseluruhan dari aspek geologi, identifi kasi dan pengembangan sumber daya un-tuk mengurangi risiko-risiko yang mendesak (misal: air tanah sebagai sumber air keperluan para korban dan kebutuhan tahap rekonstruksi, rehabilitasi), pencarian lokasi untuk evakuasi yang aman dari sudut pan-dang geologi, serta kontribusi dalam mengantisipasi masalah serius yang mungkin timbul.

Dalam fase peringatan, misalnya,

kajian geologi dapat berkontribusi terhadap perkiraan ancaman bencana untuk menentukan tindakan-tindakan perlindungan kehidupan. Sedangkan dalam fase emergensi, informasi geologi dapat memberikan masukan bagi upaya identifi kasi, gambaran dan pengukuran populasi penduduk yang berisiko terhadap bahaya atau bencana.

• Rehabilitasi dan RekonstruksiRehabilitasi dan rekonstruksi ada-

lah tahapan berikutnya setelah fase “tanggap darurat” menurut modul DMTP dan tahap setelah terjadinya bencana dari DESDM. Dalam modul tersebut dinyatakan bahwa rehabi-litasi dan rekonstruksi merupakan bagian terbesar dari tahapan pemu-lihan (recovery). Karena itu, padanan untuk kedua tahapan tersebut ada-lah tahapan pemulihan sebagaimana dalam Wikipedia. Tahapan rehabili-tasi dan rekonstruksi dilaksanakan segera setelah tahapan darurat dan difokuskan pada aktivitas-aktivitas yang memungkinkan para korban dapat memulai lagi kehidupannya dan sarana-sarana penghidupannya berlangsung kembali secara normal.

Dalam modul DMTP, rehabilitasi dinyatakan sebagai tindakan-tinda-kan yang dilakukan setelah terjadi suatu bencana untuk memungkin-kan pelayanan-pelayanan dasar berfungsi kembali, membantu para korban dengan usaha mandiri me-reka memperbaiki tempat tinggal dan fasilitas-fasilitas masyarakatnya dan memberikan fasilitas guna ke-bangkitan kembali aktivitas-aktivitas ekonomi mereka sehari-hari (terma-suk pertanian). Rehabilitasi memu-satkan tindakan-tindakannya pada upaya mengembalikan penduduk yang terkena dampak bencana untuk memulai kehidupan yang kurang le-bih normal. Dengan demikian, tahap rehabilitasi dapat dianggap sebagai fase transisi antara bantuan segera (darurat) dan bantuan yang lebih be-sar dari rekonstruksi jangka panjang dan upaya-upaya pembangunan ber-kelanjutan.

Adapun rekonstruksi adalah kon-truksi permanen atau penggantian bangunan-bangunan fi sik yang ru-sak parah, pembangunan kembali semua sarana pelayanan-pelayanan dan infrastruktur lokal secara total, dan penguatan ekonomi. Rekon-struksi harus secara penuh dipadu-

kan kedalam rencana pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan dengan memperhatikan risiko-risiko bencana di masa mendatang, dan mengurangi risiko-risiko tersebut melalui tindakan-tindakan mitigasi yang memadai. Bangunan yang ru-sak tidak mesti dibangun kembali sesuai aslinya dan di lokasi sebelum-nya. Rekonstruksi mungkin meliputi penggantian pengaturan sementara yang dibuat sebagai tindakan tang-gap darurat atau rehabilitasi.

Dalam Wikipedia dinyatakan bahwa tujuan dari rehabilitasi dan rekonstruksi (pemulihan) adalah untuk mengembalikan daerah yang terkena bencana pada keadaan-nya semula. Fokus pemulihan ber-beda dengan fokus tanggap daru-rat. Usaha-usaha pemulihan sangat fokus pada isu-isu dan keputusan yang harus dibuat setelah kebutu-han mendadak terpenuhi. Usaha pemulihan pertama-tama ditujukan pada tindakan-tindakan yang meli-batkan pendirian kembali bangunan-bangunan/harta benda yang hancur, penciptaan kembali lapangan kerja, dan perbaikan terhadap infrastruk-tur penting. Dinyatakan pula bahwa salah satu aspek yang penting dalam upaya pemulihan adalah mengambil keuntungan dari kesempatan yang terbuka untuk mengimplementasi-kan langkah-langkah mitigasi yang mungkin tidak populer. Sebab, pen-duduk yang terkena bencana lebih mungkin menerima perubahan yang mengandung langkah mitigasi ketika sebuah bencana yang baru terjadi masih segar dalam ingatan mereka.

Dalam tindakan pemulihan geologi dapat berperan dalam proses mendiri-kan kembali bangunan-bangunan dan infrastruktur, terutama dalam hal pe-milihan lokasi yang relatif aman dari risiko bencana, dan penataan ruang. Geologi juga dapat memberikan kon-tribusinya untuk implementasi lang-kah-langkah mitigasi yang diterapkan dalam tahapan tersebut. Dengan kata lain, geologi dapat berperan dalam dan kajian dampak dari bencana ter-hadap program-program pembangu-nan yang sedang berjalan dan identi-fi kasi peluang-peluang pembangunan yang baru yang muncul karena ben-cana

• Mitigasi Bencana- Makna luas dan makna sempit, risiko dan kerentanan (DMTP)

Page 27: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 25

FOKUS KITA

Mitigasi secara ringkas bermak-na tindakan pengurangan. Dalam kaitannya dengan bencana, mitigasi berarti upaya untuk mengurangi dampak atau akibat bencana. Seba-gaimana dinyatakan dalam modul DMTP, mitigasi adalah salah satu hubungan positif antara bencana-bencana dengan pembangunan. Pe-merintah, institusi-institusi di tengah masyarakat dapat menggunakan sumber daya pembangunan yang ter-sedia untuk mengurangi risiko mela-lui proyek-proyek mitigasi.

Ada dua pengertian mitigasi yang perlu dipertimbangkan: Miti-gasi dalam pengertian luas dan miti-gasi dalam arti yang sempit. Mitigasi dalam pengertian yang paling luas mencakup seluruh upaya-upaya atau tindakan-tindakan yang ditujukan guna mengurangi akibat atau dampak dari suatu bencana. Dalam penger-tian pertama ini, mitigasi dilak-sanakan pada waktu jauh sebelum terjadi bencana (tindakan pra-ben-cana). Namun, keadaan pra bencana ini sesungguhnya juga merupakan keadaan setelah bencana dari ben-cana periode sebelumnya. Pengertian mitigasi yang paling luas mencakup semua tindakan-tindakan kesiapan dan pengurangan risiko jangka pan-jang.

Mitigasi dalam arti yang sempit di-maksudkan sebagai tindakan-tinda-kan yang dilakukan untuk mengura-ngi baik penderitaan manusia maupun kerugian harta benda sebagai akibat dari fenomena alam yang ekstrim (bencana). Dalam pengertian sempit ini, mitigasi bermakna: pengurangan risiko (jangka pendek). Dalam hal ini mitigasi meliputi aktivitas-aktivitas, tindakan-tindakan dan dukungan bagi perlindungan yang luas mulai dari pembangunan fi sik untuk mere-dam gelombang tsunami, bangunan tahan gempa, sampai pada prosedur seperti teknik-teknik yang standar untuk menggabungkan penilaian ba-haya kedalam perencanaan penggu-naan lahan (tata ruang).

Beberapa prinsip mitigasi se-bagaimana dalam modul DMTP adalah: 1) pemahaman yang penuh terhadap sifat bencana, mengin-gat tipe-tipe bahaya yang dihadapi tidaklah sama untuk setiap dae-rah/wilayah, 2) prioritas pada peny-elamatan hi-dup manusia dan men-gurangi gangguan ekonomi akibat bencana, dan 3) menjadikan daerah-

daerah yang paling banyak terancam oleh bahaya atau dipengaruhi oleh bencana seba-gai sasaran utama mitigasi. Pemahaman sifat-sifat ben-cana meliputi: bagaimana bahaya itu muncul (penyebab bencana), ke-mungkinan terjadinya bencana dan besarannya (penyebaran geografi s, ukuran atau tingkat keparahan, dan kemungkinan frekuensi kemuncu-lannya), mekanisme fi sik kerusakan, unsur-unsur dan aktivitas-aktivitas yang paling rentan ter-hadap penga-ruh-pengaruhnya, dan kemungkinan konsekuensi-konsekuensi kerusakan (akibat sosial ekonomi dari bencana). Dalam upaya pemahaman menyelu-ruh terhadap sifat bencana, suatu sajian informasi dengan bahasa yang sedapat mungkin dipahami berbagai pihak yang terlibat perlu disusun oleh institusi yang bertanggungjawab dan disampaikan kepada pihak-pi-hak terkait untuk digunakan dalam rangka penanganan bencana. Tabel 1 menyajikan bentuk sajian informasi untuk pemahaman sifat bencana di-maksud.

Risiko adalah kerugian-kerugian yang diperkirakan (kehilangan ke-hidupan, orang-orang yang terluka, kerusakan properti dan gangguan aktivitas ekonomi) yang disebabkan oleh satu bahaya khusus. Risiko adalah hasil dari adanya bahaya dan kerentanan. Adapun Kerentanan adalah tingkat kerugian sebagai aki-bat dari satu fenomena yang berpo-tensi merusak. Kerentanan biasanya dinyatakan dengan angka persentase,

contoh: mulai dari 0% hingga 100%. Penilaian kerentanan merupakan as-pek penting dari perencanaan mitiga-si yang efektif. Kerentanan secara ti-dak langsung menyatakan baik kera-wanan terhadap kerusakan fi sik dan kerusakan ekonomi dan kurangnya sumber-sumber daya untuk pemuli-han (akibat bencana) secara cepat.

Upaya mitigasi yang efektif adalah dengan cara mengurangi tingkat kerentanan masyarakat dan unsur-unsur yang berisiko daripada men-gurangi tingkat bahaya (beberapa jenis bahaya - seperti gempa bumi - bahkan tidak mungkin dicegah atau dikurangi). Upaya pengurangan risiko dengan meminimalkan tingkat kerentanan akan lebih efektif berha-sil apabila dilakukan dengan cara-cara aktif atau apa yang diidentifi kasi oleh DMTP sebagai “tindakan-tinda-kan mitigasi aktif”.

- Langkah fi sik dan tak fi sik, risiko bahaya spesifi k, dan kesiapan (Wiki-pedia)

Dalam Wikipedia, usaha mitigasi dinyatakan sebagai upaya untuk mencegah bahaya secara serempak berkembang menjadi bencana atau mengurangi efek dari bencana ke-tika hal itu terjadi. Tahapan mitigasi dibedakan dari tahapan yang lain oleh karena fokusnya pada langkah-langkah jangka panjang dalam rang-ka pengurangan atau penghilangan risiko. Implementasi strategi mitigasi dapat dianggap sebagai bagian dari proses pemulihan jika hal itu di-

Jenis Bencana : .....................................

Mekanisme Kerusakan : .....................................

Parameter Kedahsyatan : .....................................

Penyebab : .....................................

Pengkajian Bahaya dan Teknik-Teknik Pemetaan : .....................................

Potensi Pengurangan Bahaya : ......................................

Serangan dan Peringatan : ......................................

Elemen-elemen yang paling berisiko : ......................................

Strategi-strategi Mitigasi Utama : ......................................

Partisipasi Masyarakat : ......................................

Tabel 1. Jenis Bencana dan Parameter untuk Pemahaman Bencana

Page 28: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 200626

FOKUS KITA

laksanakan segera setelah kejadian bencana. Namun, usaha-usaha un-tuk mengurangi atau menghilang-kan risiko yang dilakukan sepanjang waktu atau dalam tahap apa pun tetap dapat dianggap sebagai usaha mitigasi.

Wikipedia membagi mitigasi ke-dalam langkah-langkah mitigasi fi -sik (structural mitigative measures) dan langkah-langkah mitigasi tak fi sik (non-structural mitigative mea-sures). Mitigasi fi sik menggunakan solusi teknologi, seperti bendungan pengelak banjir. Sedangkan langkah mitigasi tak fi sik meliputi peraturan, rencana tata guna lahan, tata ruang, dan asuransi, sebagai contoh: pen-cadangan lahan tak penting – seperti taman – untuk digunakan sebagai zona penampung banjir. Mitigasi adalah metode yang paling efi sien untuk pengurangan dampak dari ba-haya. Namun, mitigasi tak selamanya cocok, khususnya mitigasi fi sik yang dapat menimbulkan pengaruh buruk pada ekosistem.

Satu penanda bahwa mitigasi te-lah dilaksanakan adalah kegiatan identifi kasi risiko. Pengkajian risiko fi sik merujuk kepada proses identi-fi kasi dan evaluasi bahaya-bahaya. Dalam kajian risiko, diidentifi kasi berbagai bahaya, seperti gempa bumi, letusan gunung api, banjir, di suatu wilayah tertentu. Setiap bahaya ter-sebut memberikan sebuah risiko bagi penduduk di daerah yang dikaji. Risi-ko bahaya khusus (Rh) menggabung-kan kemungkinan (probabilitas) ba-haya (H) dan tingkatan dampak dari bahaya tertentu (Vh), sebagaimana dalam persamaan di bawah ini: Rh = H x Vh. Dalam persamaan, Risiko dari suatu bahaya (Rh) sama dengan ha-sil perkalian antara bahaya tersebut dengan kerentanan penduduk ter-hadapnya. Untuk menghitung nilai risiko sebagaimana dalam persama-an di atas dapat digunakan pemodel-an katastrofi (catastrophe modeling). Semakin tinggi risiko tersebut, maka semakin mendesak untuk menda-hulukan kerentanan bahaya khusus tersebut sebagai target mitigasi dan usaha-usaha kesiapan. Demikian pula, tidak ada kerentanan berarti tidak ada risiko yang harus diper-hitungkan, contoh: gempa bumi di pulau yang tidak didiami penduduk.

Mitigasi dapat pula meliputi ta-hapan Kesiapan. Dalam tahap Ke-siapan, pengelola keadaan darurat

mengembangkan rencana aksi yang akan dijalankan ketika serangan bencana tiba. Langkah-langkah Kesi-apan yang umum meliputi: pemeliha-raan harta benda, pelatihan pelayan-an darurat, pengembangan latihan tentang metode-metode pemberian peringatan darurat, perlindungan darurat, dan rencana evakuasi bagi penduduk; persediaan pasokan ma-kanan dan peralatan, pengembangan dan praktek koordinasi lintas institu-si, dst. Satu langkah yang efi sien da-lam Kesiapan adalah pembentukan dan operasi sebuah Pusat Operasi Darurat (POD) yang digabung dengan praktek dari azas “luas daerah” (re-gion-wide) untuk mengelola keadaan darurat. Tujuan pembentukan insti-tusi sejenis POD adalah untuk meng-koordinasikan aktivitas-aktivitas dari tahapan tanggap darurat berikut ba-gian-bagiannya.

- Upaya-upaya mengurangi akibat bencana sebelum terjadi bencana (DESDM)

Sebagaimana tampak pada Gam-bar 7, konsep mitigasi bencana-khu-susnya bencana geologi, lebih khusus lagi gempa bumi dan tsunami – dari DESDM lebih menitikberatkan pada mitigasi dalam arti yang luas. Dalam hal ini, mitigasi adalah bagian dari manajeman penanggulangan benca-na yang ditempatkan sebagai upaya-upaya sebelum terjadinya bencana.

Mitigasi dalam konsep DESDM ini meliputi: a) penyelidikan, b) peme-taan, c) pemantauan, d) komunikasi, e) pelatihan, f) sosialsiasi, dan g) pe-ringatan dini. Adapun strategi yang diambil adalah strategi kewilayahan. Yakni, bahwa mitigasi bencana geolo-gi (gempa bumi dan tsunami, letusan gunung api dan tanah longsor) me-nitikberatkan pada identifi kasi ting-kat kerentanan suatu wilayah ter-hadap terjadinya bencana tersebut, serta menyiapkan masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam menganti-sipasi kemungkinan terjadinya ben-cana. Paparan selanjutnya tentang mitigasi bencana (geologi) dari ESDM akan dikemukakan pada Bagian Mi-tigasi Bencana Geologi.

Konsep dan Strategi Penanganan Bencana Geologi

Sebuah konsep dan strategi penanganan, penanggulangan atau manajemen bencana geologi barang-

kali diperlukan jika istilah “bencana geologi” secara konsisten terus di-gunakan. Konsep dan strategi di-maksud secara substansi sudah termuat dalam modul-modul atau rujukan-rujukan terkait manajemen bencana alam atau secara umum: manajemen bencana (disaster mana-gement). Bencana geologi oleh PBB dimasukkan sebagai jenis bencana alam dengan serangan bencana yang cepat dan tingkat bahayanya tidak memiliki peluang untuk dicegah atau dikurangi.

Konsep dan strategi manajemen bencana geologi sudah tentu me-ngandung konsep dan strategi miti-gasi bencana geologi. Dalam kaitan-nya dengan maksud mitigasi ben-cana sebagai langkah terus menerus dilakukan guna mengurangi risiko bencana melalui berbagai kegiatan, maka bidang geologi sudah nyata merupakan rujukan yang penting dalam setiap langkah mitigasi terse-but. Bidang geologi menempati peran yang sangat besar dalam memberi-kan pemahaman mengenai: penye-bab bahaya; penyebaran geografi s, ukuran atau tingkat keparahan, dan kemungkinan frekuensi kemunculan bahaya; mekanisme fi sik kerusakan, unsur-unsur dan aktivitas-aktivitas yang paling rentan terhadap penga-ruh-pengaruhnya. Idealnya konsep dan strategi mitigasi bencana geologi menyediakan informasi fi sik alam yang komprehensif guna mengurangi tingkat kerentanan masyarakat yang dikelilingi oleh potensi dan ancaman bencana alam letusan gunung api, gempa bumi dan tsunami, dan tanah longsor.

BAHAYA DAN BENCANA GEOLOGI: RISIKO HIDUP DI ATAS MEGA

LEMPENG TEKTONIK

Posisi geografi s Indonesia terletak di atas tiga mega lempeng tektonik besar yang aktif - lempeng Indo-Aus-tralia, Eurasia, dan Pasifi k - mengha-silkan variasi dan kompleksitas geolo-gi, konfi gurasi, struktur, proses, dan dinamika geologi yang tinggi. Kondisi ini, di satu sisi, memberikan keun-tungan berupa kekayaan berbagai sumber daya geologi (geo-resources), lingkungan geologi (geo-environment), selain tentunya sains geologi (geo-science). Di sisi lain, kondisi geologi yang kompleks dan dinamis terse-

Page 29: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 27

FOKUS KITA

but menyebabkan begitu rentannya wilayah Indonesia terhadap bahaya geologi (geo-hazard) seperti letusan gunung api, gempa bumi, tsunami, gerakan tanah. Itulah kenyataan yang harus selalu disadari oleh kita. Bahwa sebenarnya ancaman bahaya geologi adalah bagian dari kehidupan sehari-hari kita. Bahaya geologi dan bencana yang ditimbulkannya meru-pakan risiko kita yang hidup di atas tiga lempeng tektonik aktif di dunia.

Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, dalam manajemen ben-cana sangatlah penting membedakan antara bahaya dan bencana. Karena, berdasarkan hal itu kita dapat me-ngetahui tingkat potensi bencana dan langkah mitigasinya, di antara-nya melalui pengurangan kerentanan masyarakat terhadap ancaman ben-cana tersebut. Identifi kasi bahaya dan bencana diperlukan baik dalam rangka mitigasi bencana, maupun manajemen bencana. Bagian ini akan mengulas bahaya dengan penekanan pada bahaya dan bencana geologi yang terjadi di wilayah Indonesia.

Posisi dan Fungsi Identifi kasi Bahaya dalam Manajemen Bencana

Gambar 8 menyajikan kembali ta-hapan-tahapan manajemen bencana kaitannya dengan bahaya (B, BB, dan BBB). Berdasarkan batasan setiap tahapan, informasi tentang bahaya sangat diperlukan terutama pada ta-hapan pemulihan (meliputi tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi), miti-

gasi, dan kesiapsiagaan. Pada Gambar 8, implementasi dan

informasi bahaya geologi diperlukan dalam penanganan bencana tahap pemulihan dengan besaran yang re-latif rendah (B), pada tahap mitigasi dengan intensitas lebih tinggi (BB), dan dalam tahap kesiapan dengan intensitas paling tinggi (BBB). Hal itu apabila kita meninjau mitigasi dalam arti yang sempit. Adapun dalam arti mitigasi yang luas, implementasi in-formasi bahaya geologi diperlukan setiap waktu dengan intensitas yang relatif sama guna pengurangan risiko bencana jangka panjang secara opti-mal.

Dalam tahapan pemulihan, infor-masi geologi diperlukan misalnya da-lam penempatan bangunan-bangun-an infrastruktur, tata ruang untuk pemukiman kembali, dll. Pada tahap mitigasi dalam makna yang sem-pit, informasi geologi sangat berpe-ran antara lain dalam pembuatan bangunan peredam gelombang tsu-nami, bangunan tahan gempa, dll. Adapun dalam tahapan kesiapan, informasi geologi diperlukan untuk penyebaran informasi adanya anca-man bencana secara cepat, namun tidak menyebabkan kepanikan, penyusunan rencana evakuasi, pem-berian bantuan, dan tindakan-tinda-kan emergensi lainnya. Bahaya Geologi di antara Bahaya Alam Lainnya

Bahaya geologi sebagaimana di-

nyatakan dalam modul pelatihan manajemen bencana dari PBB (Disas-ter Management Training Programme; DMTP) meliputi gempa bumi, tsu-nami, letusan gunung api, dan tanah longsor. Dalam modul DMTP tersebut, PBB membagi bahaya ke dalam lima kelompok penting dan harus diper-hatikan berdasarkan kriteria terten-tu. Kelima kelompok bahaya itu ada-lah: 1) Bahaya Geologi (gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, dan tanah longsor); 2) Bahaya Iklim (ba-dai tropis, banjir, kekeringan); 3) Ba-haya Lingkungan (polusi lingkungan, penebangan hutan, desertifi kasi atau penggurunan, dan wabah hama); 4) Wabah Penyakit; dan 5) Kecelakaan industri dan Kimia. Adapun kriteria yang dimaksud adalah bahwa bahaya tersebut paling banyak muncul, ting-ginya frekuensi jenis bahaya tersebut berkembang menjadi bencana, dan seringnya bahaya tersebut mendapat perhatian skala internasional.

Dalam penjelasan lebih lanjut tentang kriteria “mendapat perhatian yang luas”, PBB dalam DMTP telah menyusun bahaya-bahaya ke dalam kategori berikut: 1) Serangan bahaya mendadak, 2) Serangan bahaya yang perlahan-lahan, 3) Bahaya teknologi, 4) Bahaya perang dan kerusuhan si-pil, dan 5) Epidemi. DMTP selanjutnya menyatakan bahwa bahaya geologi (gempa bumi, tsunami, letusan gu-nung api, tanah longsor); merupakan serangan bahaya mendadak. PBB se-lanjutnya sangat menganjurkan agar setiap masyarakat/negara mengenali dan menentukan bahaya apa yang harus menjadi perhatian utama untuk masing-masing masyarakat/bangsa/negara.

Bahaya-bahaya alam yang menja-di perhatian PBB terkait erat dengan bencana-bencana yang besar dan manarik perhatian komunitas luas, yakni bahaya-bahaya yang mem-pengaruhi populasi yang besar dan yang memerlukan bantuan dari luar komunitas yang terkena. Karena ting-kat kerentanan yang melekat pada masyarakat terkena bahaya tersebut, bahaya-bahaya itu pun menjadi ben-cana besar. Memang sangatlah tipis perbedaan antara bahaya dan ben-cana ketika tingkat kerentanan ma-syarakat yang menghadapinya sudah sedemikian tinggi. Pada gilirannya, bahaya pun menjadi bencana.

Dalam modul DMTP disajikan data 15 gempa bumi besar yang ter-

Gambar 8. Ilustrasi menunjukkan posisi dan fungsi identifi kasi bahaya dalam tahapan penanganan bencana.

BB

BBBB

Page 30: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 200628

FOKUS KITA

jadi di 15 negara dalam kurun waktu 1972 – 1995 yang menyebabkan to-tal kematian sebanyak 1,5 jiwa, dan total kerugian harta benda mencapai nilai US $ 200 juta. Sumber yang sama menyajikan data kejadian tsu-nami besar antara 1945 - 1994 se-banyak 9 kejadian yang terjadi di 9 wilayah negara berbeda dengan jum-lah korban meninggal sebanyak lebih dari 15.000 orang dan kerugian harta benda antara 1992-1993 saja menca-pai US $ 1 juta.

Dalam aspek bencana letusan gu-nung api, DMTP dalam modul yang sama menyajikan data pilihan sejak tahun 79 sampai 1991 yang menca-tat 10 kejadian letusan gunung api dengan korban meninggal lebih dari 211.000 orang. Dalam data bencana letusan gunung api tersebut, Indo-nesia menduduki dua tempat tera-tas dalam hal jumlah korban, yaitu: letusan Gunung Tambora (1815) dengan korban sebanyak 95.000 orang dan Gunung Krakatau (1883) dengan korban sebanyak 36.000 orang. Penyebab kematian untuk Tambora adalah tefra, tsunami, dan kelaparan; sedangkan untuk Kraka-tau adalah tsunami yang dipicu oleh letusan gunung api. Dalam modul yang sama, DMTP menyajikan data 6 kejadian longsor besar di 5 negara yang berbeda antara 1970 – 1991, dengan kematian yang diakibatkan-nya total mencapai 33.000 orang dan kerugian lebih dari US$ 21 juta.

Jumlah korban dan kerugian aki-bat bahaya geologi yang berkembang menjadi bencana akan meningkat berlipat ganda apabila catatan data dilanjutkan sampai Tahun 2005. Terutama setelah peristiwa gempa bumi dan tsunami yang paling dah-syat di Provinsi Nanggroe Aceh Da-russalam (NAD) dan Sumatera Utara pada akhir Tahun 2004.

Paparan pada sub bagian ini me-negaskan kembali dua hal. Pertama, bahwa, bahaya geologi merupakan jenis serangan bahaya mendadak. Secara umum, kecil peluang untuk implementasi peringatan dini secara efektif, terutama pada kasus gempa bumi, tsunami, dan tanah longsor. Kedua, bahaya gempa bumi, tsuna-mi, letusan gunung api, dan tanah longsor merupakan bahaya alam yang menjadi perhatian dunia. Hal itu mengingat bahwa bahaya geo-logi sering berubah menjadi bencana yang menimpa suatu masyarakat,

merusak populasi besar serta me-merlukan bantuan pihak luar ma-syarakat itu dalam usaha pemulihan paska bencana.

Karakteristik Umum Bahaya Geologi

DMTP merekomendasikan satu penyajian indikasi tentang karakte-ristik dasar dari setiap jenis bahaya dan berbagai tindakan yang diper-lukan untuk menghadapi bencana yang ditimbulkannya (Tabel 2 sampai Tabel 5). Dipesankannya bahwa ben-cana mempunyai pengaruh-penga-ruh tidak langsung yang dapat ber-tahan bahkan setelah bencana ter-sebut secara serta merta ditangani. Masalah perpindahan penduduk se-telah serangan bencana yang men-dadak, seperti gempa bumi dan tsu-nami mungkin terus berlanjut me-skipun telah dilaksanakan tindakan bantuan darurat, program-program pemulihan, dan bahkan rehabilitasi. Dampak tambahan dapat mengubah serangan bencana mendadak menja-di situasi darurat yang berkesinam-bungan.

Isu lebih lanjut yang harus di-ingat adalah berkenaan dengan kon-sekuensi dari satu serangan benca-na yang mendadak ketika bantuan pertolongan terhambat oleh adanya konfl ik sipil yang menyebabkan ak-ses ke lokasi bersangkutan menjadi tidak mungkin. Dengan kata lain, da-lam penanganan bencana, terdapat banyak pertentangan. Meskipun de-mikian, karakteristik dasar dari se-tiap jenis bencana khusus dan emer-gensi dan tindakan-tindakan respon yang memadai dapat disusun berda-sarkan kriteria dari masing bahaya sebagaimana berikut ini:

• Fenomena sebab akibat• Pengaruh dan karakteristik

umum• Kemungkinan peramalan• Faktor-faktor yang memberi an-

dil pada kerentanan• Pengaruh-pengaruh khusus

(yang ditimbulkannya)• Tindakan pengurangan risiko

yang mungkin• Tindakan kesiapan khusus• Kebutuhan umum paska ben-

cana Dijelaskan lebih lanjut dalam

model DMTP bahwa jenis-jenis ben-cana yang berbeda-beda mempunyai pengaruh-pengaruh khusus yang

unik. Semua tindakan-tindakan ke-siapan, pengaruh risiko, dan respon paska bencana dan emergensi harus mempertimbangkan dan mengantisi-pasi hal-hal berikut:

1) Pengaruh gabungan dari je-nis bencana yang berbeda muncul secara gabungan, misal: gempa bumi dan tanah longsor;

2) Pengaruh bencana yang be-rurutan, yaitu etika satu bencana menyebabkan muncul bencana yang lain yang mengikutinya, sebagai con-toh: gempa bumi yang menyebabkan tsunami;

3) Kedahsyatan dari dampak aktual sebuah bencana terhadap masyarakat bergantung pada faktor-faktor organisasi dan manusia serta faktor-faktor topografi s dan alam.

Karakterisasi dasar dari setiap je-nis bahaya (potensi bencana) adalah salah satu hal yang harus dilakukan dalam urutan tahap-tahap manaje-men bencana. Tabel penyajian ka-rakteristik umum bencana geologi di bawah ini dikutip dari modul DMTP beberapa modifi kasi (perbaikan dan konsistensi terjemahan).

Implementasi karakter bahaya tersebut harus pula disesuaikan dengan kekhasan dari kondisi se-tempat. Setiap potensi bahaya atau bencana geologi pada kenyataannya memiliki karakter khas masing-ma-sing. Dengan demikian, Tabel 2 sam-pai Tabel 5 itu merupakan panduan umum untuk penyajian karakter da-sar setiap bahaya geologi.

Bahaya Geologi IndonesiaBangsa Indonesia memang di-

takdirkan untuk hidup di wilayah tektonik aktif yang setiap saat berpo-tensi menimbulkan bencana geologi. Oleh karena itu, kita memang harus mengenal dan akrab dengan potensi bencana geologi atau fenomena geo-logi yang berpotensi menimbulkan bahaya geologi (geo-hazards). Bebe-rapa fenomena geologi yang sewak-tu-waktu dapat berkembang menjadi bahaya geologi dan berlanjut menjadi bencana geologi yang berada di seki-tar kita adalah:

• Sebanyak 79 gunung api ak-tif yang tersebar di Busur Vulkanis Sumatera-Jawa-Bali -NTT-Sulawesi sampai ke Maluku. Sebaran dan jum-lah gunung api aktif (Tipe-A) beserta gunung api jenis lainnya. Akhir-akhir ini empat di antaranya, yaitu Gu-

Page 31: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 29

FOKUS KITA

Jenis bahaya geologi I Letusan Gunung Api

Fenomena sebab akibat : Magma dan gas-gas yang terlarut terdorong oleh tekanan hingga keluar lewat lubang vulkanik (kawah)

Pengaruh dan karakteristik umum :

• Tipe gunung api • Magma yang mengalir keluar pada permukaan adalah lava dan

semua partikel padat yang dikeluarkan adalah tephra• Kerusakan sebagai akibat dari jenis material yang dikeluarkan

seperti: abu, aliran abu panas (ledakan gas yang mengandung abu dan bagian-bagian kecil partikel; awan panas), lahar, runtuhan, dan aliran lava

Kemungkinan Peramalan :

• Studi sejarah geologi tentang gunung api – terutama sekali yang terletak di jalur vulkanik yang dapat diidentifi kasi dengan jelas, seiring dengan aktivitas seismic dan observasi-observasi lainnya, dapat mengindikasikan satu gunung api yang akan muncul

• Tidak atau belum ada indikator yang dapat dipertanggung-jawabkan yang telah ditemukan dan tanda-tanda awal letusan gunung api tidak selalu muncul

Faktor-faktor yang memberi andil pada kerentanan

:

• Tempat hunian yang berada di lereng gunung api• Tempat hunian pada jalur aliran lahar dan jalur aliran lava• Bangunan dengan rancangan atap yang tidak kuat menampung

akumulasi debu• Adanya material yang dapat terbakar• Tidak-adanya rencana evakuasi atau sistem peringatan

Pengaruh-pengaruh khusus yang merugikan :

• Korban dan kesehatan – Kematian yang disebabkan oleh aliran abu panas, aliran lahar dan kemungkinan aliran lava dan gas-gas beracun. Luka-luka yang disebabkan oleh batu-batu yang berjatuhan, terbakar; kesulitan bernafas karena gas dan abu

• Hunian, infrastruktur dan pertanian – Kerusakan total atas segala sesuatu yang berada pada jalur abu/awan panas, lahar, atau aliran lava (daerah bahaya); runtuhnya bangunan karena beban lahar/abu basah, banjir, tertutupnya jalan atau sistem komunikasi

• Tanaman pangan dan cadangan pangan – Rusaknya tanaman pangan yang berada pada jalur aliran abu dapat mematahkan atau mematikan padi dan cabang-cabang pohon, ternak mungkin menhirup gas beracun atau abu; sawah dan lahan berumput dapat terkontaminasi atau hancur terkena abu/awan panas

Kemungkinan tindakan pengurangan risiko :

• Perencanaan penggunaan lahan untuk tempat tinggal di sekitar gunung api

• Tindakan-tindakan perlindungan struktural

Tindakan-tindakan kesiapan khusus :

• Rencana-rencana darurat gunung api nasional• Pengawasan gunung api dan sistem peringatan• Pelatihan aparat pemerintah dan partisipasi masyarakat dalam

SAR, pemadaman api

Kebutuhan-kebutuhan khusus paska bencana :

• Peringatan dan evakuasi• Bantuan medis• SAR• Pemberian makanan, air dan tempat perlindungan• Relokasi korban• Menyediakan bantuan fi nansial

Alat-alat penilaian dampak : • Survei udara dan daratan untuk menilai kerusakan

• Evaluasi rencana evakuasi dan respon emergensi

Tabel 2. Karakteristik dasar (karakteristik umum) bahaya Letusan Gunung Api

Salah satu karakter khas bahaya Gunung Api Merapi adalah awan panas (Gambar 9A) dan karakter khas bahaya Gunung Api Kelut adalah danau kawah (Gambar 9B).

Page 32: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 200630

FOKUS KITA

Jenis bahaya geologi II : Gempa bumi

Fenomena sebab akibat : Pergeseran atau perpindahan batuan kerak bumi di sepanjang daerah patahan yang bergetar hingga kembali kedalam susunan kesetimbangan yang baru

Pengaruh dan karakteristik umum :

• Bergetarnya bumi yang disebabkan oleh gelombang pada bagian bawah hingga bagian permukaan bumi

• Kerentanan permukaan bumi• Goncangan• Tsunami• Gempa bumi, vibrasi• Likuifaksi• Tanah longsor

Kemungkinan peramalan :

Kemungkinan pemunculannya dapat ditentukan, tetapi waktu yang tepat kemunculannya tidak dapat dipastikan. Peramalan didasarkan pada pemantauan aktivitas seismik, sejarah gempa yang sudah terjadi dan daerah yang dipengaruhinya, dan observasi

Faktor-faktor yang memberi andil pada kerentanan :

• Lokasi hunian di daerah seismik• Bangunan-bangunan yang tidak tahan terhadap gerakan tanah• Kompleks bangunan yang padat dengan tingkat hunian yang tinggi• Kurangnya akses terhadap informasi tentang risiko gempa

Pengaruh-pengaruh khusus yang merugikan :

• Kerusakan fi sik – Kerusakan atau hilangnya bangunan atau infrastruktur; kebakaran, jebolnya bendungan, tanah longsor, kemungkinan terjadinya banjir

• Korban – Sering kali banyak, khususnya di dikat pusat gempa atau pada daerah-daerah yang berpenduduk tinggi atau di sekitar bangunan-bangunan yang tidak tahan gempa

• Kesehatan umum – Luka karena retak tulang merupakan masalah umum. Ancaman berikutnya: banjir, cadangan air yang terkontaminasi, dan rusaknya fasilitas-fasilitas sanitasi

• Cadangan air – Kemungkinan munculnya masalah serius yang disebabkan oleh rusaknya sistem-sistem air (perpipaan, irigasi), polusi pada sumber-sumber air dan perubahan tata air

Kemungkinan tindakan pengurangan risiko :

• Pemetaan bahaya• Pelatihan dan program kesadaran umum• Penilaian dan pengurangan kerentanan struktural• Kontrol penggunaan lahan atau zonasi, peraturan• Pembangunan dan asuransi

Tindakan-tindakan kesiapan khusus : Peringatan akan bahaya gempa dan program-program

Kebutuhan-kebutuhan khusus paska bencana :

• Mencari dan menyelamatkan (SAR)• Bantuan medis emergensi• Kebutuhan-kebutuhan pemulihan kerusakan dan survei penilaian• Reparasi dan rekonstruksi• Pemulihan ekonomi

Alat-alat penilaian dampak : • Skala (Mercalli yang dimodifi kasi, MSK), formulir kegunaan dan kerusakan

Tabel 3. Karakteristik dasar (karakteristik umum) Bahaya Gempa Bumi

Page 33: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 31

FOKUS KITA

Jenis bahaya geologi III Tsunami

Fenomena sebab akibat :

• Gerakan patahan di dasar laut yang disertai gempa• Tanah longsor yang muncul di bawah laut, atau di atas laut yang kemudian

masuk ke dalam laut• Aktivitas volkanik di laut, pantai atau di dekat pantai• Meteor yang jatuh ke dalam laut

Pengaruh dan karakteristik umum :

• Gelombang tsunami jarang tampak di luat yang dalam• Banyak gelombang tsunami yang berukuran panjang gelombang sampai 160

km; terdiri atas 10 atau lebih puncak gelombang bergerak pada kecepatan 800 km/jam dalam perairan laut dalam, dan kecepatan tersebut berkurang ketika mendekati pantai

• Banyak gelombang tsunami menghantam pantai dalam bentuk gelombang yang pecah atau mungkin membanjir daratan. Pengaruh banjir bergantung pada bentuk garis pantai dan tinggi gelombang tsunaminya

Kemungkinan peramalan :

• Sistem peringatan tsunami di Pacifi k memantau aktivitas seismik dan menyatakan peringatan dan pengawasan

• Gelombang yang digerakkan oleh gempa lokal dapat menghantam pantai terdekat dalam hitungan menit sehingga tidak memungkinkan untuk memberi peringatan

• Peramalan-peringatan dini efektif untuk daerah yang jauh dari sumber gempa yang menimbulkan tsunami; dan tidak efektif untuk daerah yang dekat sumber gempa tsb.

Faktor-faktor yang memberi andil pada kerentanan :

• Lokasi hunian pada daerah pantai yang rendah• Kurangnya bangunan yang tahan terhadap tsunami• Kurangnya sistem peringatan dini & rencana evakuasi yg tepat• Ketidaksadaran umum akan kekuatan tsunami yang dapat merusak (bahaya

tsunami)

Pengaruh-pengaruh khusus yang merugikan :

• Kerusakan fi sik – Kekuatan air dapat meruntuhkan segala sesuatu yang berada pada jalurnya, tetapi sebagian besar kerusakan bangunan dan infrastruktur adalah karena banjir yang ditimbulkannya. Berbaliknya gelombang dari pantai dapat menghilangkan batuan di permukaan bumi, menghancurkan pelabuhan dan bangunan-bangunan, serta menyebabkan kapal-kapal saling bertabrakan

• Korban dan kesehatan umum – Kematian muncul terutama karena hanyut & luka-luka akibat benturan dengan puing-puing

• Cadangan air – Kontaminasi karena garam dan puing-puing atau sampah dapat menyebabkan kekurangan air bersih yang layak dikonsumsi

• Tanaman pangan dan cadangan pangan – Hasil panen, cadangan pangan, alat-alat pertanian, nelayan, dan ternak mungkin hilang. Lahan dapat menjadi tidak subur karena terkontaminasi oleh air garam

Kemungkinan tindakan pengurangan risiko :

• Perlindungan bangunan dan rumah-rumah di sepanjang pantai yang berada pada jangkauan gelombang tsunami

• Membangun penghalang: bangunan pemecah gelombang, dll

Tindakan-tindakan kesiapan khusus : • Pemetaan bahaya, perencanaan arah (rute) evakuasi

• Pendidikan masyarakat (sosialisasi)

K e b u t u h a n - k e b u t u h a n khusus paska bencana :

• Peringatan dan evakuasi• SAR• Bantuan medis• Melakukan penilaian bencana• Menyediakan makanan, air, dan tempat berlindung

Alat-alat penilaian dampak : • Survei udara daerah pantai, survei kerusakan, evaluasi sistem, peringatan, dan rencana evakuasi

Tabel 4. Karakteristik dasar (karakteristik umum) bahaya Tsunami

Page 34: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 200632

FOKUS KITA

Jenis bahaya geologi IV Tanah Longsor (gerakan tanah)

Fenomena sebab akibat :

Meluncurnya tanah dan bebatuan pada lereng sebagai akibat getaran-getaran yang muncul secara alami, perubahan-perubahan secara langsung kandungan air, hilangnya daya dukung sekitar, pengisian beban, pelapukan, atau perubahan yang dilakukan manusia terhadap jalur-jalur air dan komposisi penyusun lereng tempat tanah dan batuan tersebut berada

Pengaruh dan karakteristik umum :

• Tanah longsor berbeda-beda jenisnya (luncuran, jatuhan/ tumbang, menyebar kesamping, mwngalir), dan mungkin factor yang tak langsung mempengaruhinya berupa badai yang kencang, gempa bumi, dan letusan gunung api

• Kejadian tanah longsor lebih menyebar dibanding kejadian geologi lainnya

Kemungkinan peramalan :

• Frekuensi kemunculan, tingkat dan konsekuensi dari tanah longsor dapat diperkirakan

• Daerah-daerah yang berisiko tinggi dapat ditetapkan berdasarkan informasi dari bidang geologi, geomorfologi, hidrologi, hidrogeolog, klimatologi, dan kondisi vegetasi

Faktor-faktor yang memberi andil pada kerentanan :

• Tempat tinggal yang dibangun pada lereng terjal, tanah lembek, atau puncak batu karang

• Daerah hunian yang dibangun pada dasar lereng yang terjal, sekitar muara-muara sungai di lembah-lembah

• Jalan-jalan & jalur-jalur komunikasi di daerah pegunungan• Bangunan dengan pondasi yang lemah• Jalur-jalur pipa yang ditanam dalam tanah, dan pipa-pipa tersebut

mudah patah• Kurangnya pemahaman akan bahaya longsor

Pengaruh-pengaruh khusus yang merugikan :

• Kerusakan fi sik – Segala sesuatu yang berada di atas atau pada jalur tanah longsor akan mengalami kerusakan. Puing-puing dapat menutup jalan-jalan, jalur-jalur komunikasi atau jalur pipa air. Pengaruh-pengaruh tidak langsung dapat berupa kerugian produktivitas pertanian atau lahan-lahan hutan, banjir, dan berkurangnya nilai-nilai harta benda atau kekayaan

• Korban – Kematian terjadi karena runtuhnya lereng. Luncuran puing-puing atau aliran lumpur yang hebat telah membenuh beribu-ribu orang

Kemungkinan tindakan pengurangan risiko :

• Pemetaan bahaya• Legislasi dan peraturan penggunaan lahan• Asuransi

Tindakan-tindakan kesiapan khusus :

• Pendidikan masyarakat (sosialisasi)• Pemantauan• Sistem peringatan• Sistem evakuasi

Kebutuhan-kebutuhan khusus paska bencana :

• SAR (penggunaan peralatan untuk memindahkan tanah)• Bantuan medis• Emergensi tempat berlindung bagi yang tidak memiliki tempat tinggal

Alat-alat penilaian dampak : • Formulir-formulir pengkajian kerusakan

Tabel 5. Karakteristik dasar (karakteristik umum) bahaya Tanah Longsor

Page 35: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 33

FOKUS KITA

nung Talang, Gunung Merapi, Gu-nung Guntur, dan Gunung Karang-etan sedang dimonitor secara intensif karena peningkatan aktivitasnya;

• Ribuan kilometer jalur patahan regional yang membentang dari Sa-bang sampai Jayapura yang beraso-siasi dengan ratusan patahan aktif sebagai sumber gempa bumi. Bebe-rapa patahan besar di lepas pantai juga berpotensi menimbulkan gempa bumi yang dapat memicu tsunami.

• Ribuan titik kawasan rawan longsor yang tidak saja berasosiasi dengan kemiringan lereng, namun juga diakibatkan oleh karakteristik sifat fi sik batuan, kondisi hidrogeo-logi dan kehadiran jalur patahan.

Jumlah 79 gunung api aktif di In-donesia tersebar mulai dari Pulau Su-matera, Jawa, Bali, hingga Halmahe-

ra, sebagaimana pada Tabel 6. Pulau Jawa merupakan pulau dengan jum-lah gunung api aktif terbanyak, yaitu sebanyak 21 buah.

Dari jumlah 79 gunung api ak-tif tersebut, 11 di antaranya saat ini merupakan gunung api yang te-rus diwaspadai oleh PVG karena aktivitasnya. Kesebelas gunung api tersebut adalah: Karangetang (Su-lawesi Utara), Talang (Sumatera Ba-rat), Dempo (Sumatera Barat), Bromo (Jawa Timur), Merapi (Jawa Tengah), Semeru (Jawa Timur), Anak Krakatau (Lampung), Lokon (Sulawesi Utara), Soputan (Sulawesi Utara), Dukono (Maluku Utara), dan Ibu (Maluku Utara). Selain itu, akhir-akhir ini, empat gunung api sebagaimana dise-butkan sebelumnya sedang diawasi secara ketat mengingat aktivitasnya. Keempat gunung api tersebut adalah:

Gunung Talang (Sumatera Barat), Gu-nung Guntur (Jawa Barat), Gunung Merapi (Jawa Tengah), dan Karang-etang (Sulawesi Utara).

Potensi gempa bumi dan tsunami, serta tanah longsor yang tinggi di seluruh wilayah Indonesia sebagai akibat dari posisi geologis dan geo-grafi s Indonesia. Secara geologi, In-donesia terletak di zona tumbukan 3 mega lempeng tektonik yang aktif. (Gambar 10). Ketiga zona tumbukan lempeng tektonik tersebut adalah:

1) Zona tumbukan yang me-manjang mulai dari Barat di seba-lah barat Pulau Sumatera ke selatan Pulau Jawa, Bali, Kepulauan NTB, NTT dan terus berlanjut sampai ke Pulau Banda. Zona tumbukan ini merupakan hasil dari pertemuan an-tara lempeng Australia yang menun-jam ke lempeng Eurasia di lepas pantai bagian barat Pulau Sumatera. Peristiwa bencana dahsyat tsunami Aceh yang baru lalu adalah akibat dari aktivitas tumbukan ini yang menghasilkan gempa dan tsunami;

2) Zona tumbukan tumbukan antara lempeng Pasifi k dengan lem-peng Eurasia dan lempeng Australia. Lokasinya terletak di bagian utara Papua, dimulai dari sebelah timur Pulau Mindanau, ke selatan, berbe-lok ke timur di sekitar leher Papua. Zona tumbukan ini aktif dan sering menimbulkan bencana, antara lain gempa Nabire;

3) Zona tumbukan di sebelah utara Pulau Sulawesi yang merupa-kan penunjaman lempeng Pasifi k ke lempeng Eurasia (Pulau Sulawesi).

Beberapa patahan besar di le-

Daerah Tipe – A Tipe – B Tipe – C JumlahSumatera 13 12 6 31Jawa 21 9 5 35Bali 2 - - 2Lombok 1 - - 1Sumbawa 2 - - 2Flores 16 3 5 24Laut Banda 8 1 - 9Sulawesi 6 2 5 13Kepulauan Sangihe 5 - - 5Halmahera 5 2 - 7Jumlah 79 29 21 174

Sumber: ”Gunungapi”, Pusat Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, DESDM

Tabel 6. Jumlah dan Sebaran Gunung api & Gunung api Aktif (Tipe – A) di Indonesia

Gambar 9. A. Gunung Merapi, Jawa Tengah saat letusannya tahun 2006. Awan panas yang disemburkannya merupakan karakter khas bahaya Gunung api Merapi. B. Gunung Kelut, Jawa Timur, merupakan gunung yang menyimpan potensi bahaya. Riwayatnya mencatat ribuan korban akibat letusannya sejak 1586

Page 36: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 200634

FOKUS KITA

pas pantai yang berasoasi dengan zona tumbukan tersebut juga ber-potensi menimbulkan gempa bumi yang dapat memicu tsunami. Akibat dari akivitas lempeng tektoniknya, di wilayah Indonesia terdapat jalur-jalur patahan aktif yang berasosiasi dengan sumber-sumber gempa bumi. Sedikitnya, terdapat 11 jalur patahan aktif yang sewaktu-waktu dapat me-micu sumber-sumber gempa bumi (Gambar 11) juga tanah longsor. Kesebelas jalur patahan atau sesar aktif tersebut adalah:

1) Sesar Besar Sumatera (J.A. Katili, 1973) atau Sesar Semangko. Sesar ini merupakan sesar geser je-nis dekstral, berasosiasi dengan zona tumbukan di sebelah barat Pulau Su-

matera. Sesar ini memanjang mulai dari wilayah Aceh melalui Tarutung, sebelah barat Danau Toba, Padang, wilayah sekitar Kerinci, Bengkulu sampai Lampung dan berasosiasi dengan munculnya pegunungan Bu-kit Barisan. Sesar ini sering menim-bulkan bencana (Gempa bumi Taru-tung, Liwa, dll.)

2) Sesar Cimandiri (Puslitbang Geologi/Pusat Survei Geologi). Se-sar ini memanjang mulai dari sekitar Sungai Cimandiri (sekitar perbatasan Bogor-Pandeglang) sampai laut di se-latan Pelabuhanratu (Sukabumi), merupakan sesar naik dan sesar ge-ser;

3) Sesar Baribis (Puslitbang Geologi/Pusat Survei Geologi). Se-

sar ini memanjang arah barat laut – tenggara, melintas wilayah Brebes sampai Cilacap, Jawa Tengah

4) Sesar Naik Busur Belakang Flores (Silver, 983). Sesar ini meru-pakan sesar naik, terdapat di sebelah utara Pulau Flores dengan bagian se-latan relatif;

5) Sesar Palu – Koro (J.A. Katili, 1978). Sesar ini merupakan sesar ge-ser yang memanjang mulai dari bagi-an sebelah barat lengan utara Pulau Sulawesi, melintasi kota Palu, bagian tengah Sulawesi hingga ke teluk Bone (Gambar 12);

6) Sesar Sorong (W. Hamilton, 1978), merupakan sesar geser yang melintasi Papua bagian Barat (Kabu-paten Sorong);

Gambar 10. Zona subduksi yang mengelilingi wilayah di Indonesia. Sumber: Courtesy, J. A. Katili, 2006.

Gambar 11. Ribuan titik pusat sumber gempa bumi besar-kecil di wilayah Indonesia. Sumber: Courtesy, J. A. Katili, 2006.

Gambar 12. Sesar Palu, salah satu bahaya geologi yang harus diwaspadai berikutnya. Pada Gambar diperlihatkan hasil foto citra landsat daerah Palu, Sulwesi Tengah. Tampak sesar Palu – Koro yang memanjang mulai dari bagian sebelah barat lengan utara Pulau Sulawesi, melintasi kota Palu, bagian tengah Sulawesi hingga ke teluk Bone. Sesar aktif ini meupakan bahaya geologi yang harus diwaspadai, terutama karena melintasi daerah-daerah padat penduduk seperti Kota Palu. Sumber: Courtesy J.A. Katili.

Page 37: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 35

FOKUS KITA

7) Sesar Ransiki (W. Hamilton, 1978), merupakan sesar geser lanjut-an Sesar Sorong yang melintasi leng-kungan kepala burung Papua bagian timur, arah utara selatan;

8) Sesar Tarera – Aiduna (Visser dan Hermes, 1962), merupakan sesar geser timur – barat di bagian leher se-latan kepala burung Papua (wilayah Kabupaten Nabire);

9) Sesar di Pegunungan Jaya-wijaya, merupakan sesar geser yang memanjang arah timur – barat, ter-dapat di sepanjang pegunungan Ja-wawijaya, Papua bagian tengah (Ka-bupaten Timika dan sekitarnya);

10) Sesar Sorong – Maluku (Ha-milton, 1978), merupakan sesar ge-ser lanjutan dari sesar Sorong, me-manjang arah timur – barat, mulai dari kepala burung (Sorong) sampai ke Kepulauan Maluku (sebelah utara Pulau Bacan);

11) Sesar Sula – Sorong (Hamil-ton, 1978), merupakan sesar geser lanjutan sesar Sorong dan Sorong – Maluku, memanjang arah timur – barat mulai dari Pulau Bacan (Ma-luku) hingga lengan timur Pulau Su-lawesi – laut Banggai – Sula, Sulawesi Tengah;

Tatanan tektonik Indonesia seba-gaimana disebutkan di atas menye-babkan beberapa daerah di Indone-sia rawan terhadap bencana gempa bumi. Tingkat kerawanan tersebut didasarkan kepada kejadian gem-pabumi di masa lalu. Wilayah yang rawan bencana gempa bumi di Indo-nesia tersebar mulai dari Pulau Su-matera sampai Papua, yaitu: Nang-groe Aceh Darussalam (NAD), Suma-tera Utara, Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan wilayah Papua.

Selain kasus tsunami Krakatau, 1883, seluruh bencana tsunami di Indonesia disebabkan oleh gempa bumi yang terjadi di lautan. Bencana tsunami yang terjadi di Indonesia se-bagian besar diakibatkan oleh gempa bumi dangkal, kurang dari 33 km yang terjadi di dasar laut. Besaran-nya berkisar 6 hingga 9 Skala Rich-ter (SR), intensitas gempa antara VII hingga IX skala MMI (Modifi ed Mer-calli Intensity), dan jenis mekanisme adalah patahan naik.

Wilayah rawan bencana tsunami ditentukan berdasarkan sejarah ke-jadian tsunami, morfologi pantai, mi-

salnya pantai landai atau teluk, dan berhadapan langsung dengan sum-ber gempa bumi penyebab tsunami. Di Indonesia wilayah rawan bencana tsunami meliputi 18 wilayah, yaitu: Nanggroe Aceh Darussalam, Sumate-ra Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung-Banten, Jawa Tengah Bagi-an Selatan, Jawa Timur Bagian Sela-tan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku Selatan, Biak-Yapen, Fak-Fak (Papua) dan Balikpa-pan (Kalimantan Timur).

Berdasarkan data dari NOAA – USA, 2005, kejadian tsunami di Indonesia mencapai 11% dari seluruh kejadian tsunami di seluruh dunia selama 400 tahun. Angka persentase frekuensi tsunami ini menempati urutan ke-4 setelah Jepang (17%), Amerika Selatan (15%), dan Kepulauan Solomon (13%).

Aktivitas pusat-pusat gempa dan patahan bergabung dengan kondisi iklim dan tatanan air, serta vegetasi tutupan lahan di Indonesia telah me-nyebabkan kawasan kita ini banyak memiliki daerah rawan bencana tanah longsor. Hasil penelitian PVG dan PLG (dalam periode sebelum ta-hun 2006), telah mengidentifi kasi lebih dari 800 lokasi bahaya tanah longsor, yang tersebar mulai dari Sumatera hingga NTT. Daerah ra-wan bahaya longsor tersebut adalah: Jawa Tengah (327 lokasi), Jawa Ba-rat (276 lokasi), Sumatera Barat (100 lokasi), Sumatera Utara (53 lokasi), Yogyakarta (30 lokasi), Kalimantan Barat (23 lokasi), dan sisanya terse-bar di NTT, Riau, Kalimantan Timur, Bali, dan Jawa Timur.

Tingkat bahaya geologi sebagai-mana tersebut dan kerentanan ma-syarakat di sekitarnya dengan inten-sitasnya masing-masing telah me-nyebabkan risiko bencana geologi. Dalam beberapa kejadian fenomena alam ekstrim dari bahaya geologi ter-sebut telah menyebabkan bencana geologi, mulai dari tingkat biasa sam-pai dahsyat.

Bencana GeologiBahaya geologi – suatu ancaman

laten untuk wilayah Indonesia - da-lam perjalanan sejarah, beberapa di antaranya berkembang menjadi ben-cana geologi. Letusan Gunung Kraka-tau, 1883 dengan korban tercatat 36

ribu orang; gempa bumi Yogyakarta, 2006, dengan korban jiwa saja men-capai lebih dari 6.000 orang. Gempa bumi hebat yang disusul dengan tsunami dahsyat di Aceh, Desember 2004, telah menelan korban terbesar hingga saat ini, lebih dari 250.000 orang meninggal dan ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal. Bencana tanah longsor di daerah Sin-jai, Sulawesi Selatan, 2006, dengan korban jiwa ratusan orang.

Letusan gunung apiBencana akibat letusan gunung

api mungkin muncul dari karakteris-tik bahaya gunung api sebagai berikut (lihat pula Tabel 1, baris ketiga): jenis gunung api, aliran lava, tefra, aliran abu panas, aliran awan panas, aliran lahar, dan runtuhan. Adapun faktor-faktor yang memberi andil pada ke-rentanan – sehingga apabila bahaya datang akan menimbulkan bencana – adalah (Tabel 1, baris kelima): tem-pat hunian yang berada di lereng gu-nung api, tempat hunian pada jalur aliran lahar dan jalur aliran lava, ba-ngunan dengan rancangan atap yang tidak kuat menampung akumulasi debu, adanya material yang dapat terbakar, dan tidak-adanya rencana evakuasi atau sistem peringatan.

Bahaya gunung api telah menye-babkan bencana gunung api dalam skala kecil hingga besar. Catatan akibat letusan gunung api sebagai-mana dalam buku ”Data Dasar Gu-nung api”, Direktorat Vulkanologi (DV), Ditjen Pertambangan Umum (DPU), Dep. Pertambangan dan Ener-gi (DPE), atau Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi, DESDM sekarang, 1979, telah memberikan data menge-nai korban jiwa akibat bencana alam sejak tahun 1586 (letusan yang terca-tat menyebabkan korban manusia). Tidak kurang dari 62.000 orang telah menjadi korban sejak tahun 1586 sampai 1994 akibat letusan dari 12 gunung api yang tersebar mulai dari Sumatera hingga Maluku Utara. Ta-bel 7 menyajikan bahaya yang telah berkembang menjadi bencana geologi letusan gunung api yang besar di In-donesia berdasarkan rujukan terse-but.

Berdasarkan data pada Tabel 7, kita mengetahui daerah rawan ben-cana gunung api di masa lalu sampai 25 tahun terakhir adalah wilayah-wilayah: Tapanuli Selatan (Sumatera

Page 38: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 200636

FOKUS KITA

Utara), Rejang Lebong dan Selat Sun-da, Banten dan Jawa Barat bagian barat laut (Bengkulu dan Lampung; Banten dan Jawa Barat), Cikunir dan Cisurupan dan (Tasikmalaya dan Garut, Jawa Barat), Sleman (Yogya-karta), Magelang, Boyolali dan Klaten (Jawa Tengah), Kediri (Jawa Timur), Karangasem (Bali), Bima, Pulau Sum-bawa dan Pulau Lombok (NTB), Ke-pulauan Sangihe (Sulawesi Utara), dan Halmahera, Pulau Ternate (Ma-luku Utara). Adapun jenis penyebab utama kematian korban beragam mulai dari letusan langsung, lahar

letusan, aliran lava, awan panas, dan lahar hujan; masing-masing bergan-tung jenis gunung api dan tipe letus-annya.

Gempa bumi Gempa bumi besar di wilayah

Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Pulau Nias dan sebagian Sumatera Utara, Desember 2004, merupakan bagian dari bencana gempa yang sering melanda wilayah Indonesia, khususnya Pulau Sumatera. Cata-tan gempa bumi di Indonesia dapat ditelusuri mulai Tahun 1775, yaitu

ketika gempa bumi tektonik di laut sekitar Gunung api Gamalama terja-di dan mengakibatkan tanah amblas yang menelan korban sebanyak 141 orang (”Data Dasar Gunung api”, Di-rektorat Vulkanologi (DV), Ditjen Per-tambangan Umum (DPU), Dep. Per-tambangan dan Energi (DPE), 1979).

Catatan gempa bumi yang relatif lengkap adalah gempa bumi yang ter-jadi di jaur-jalur gempa Pulau Suma-tera yang diselidiki oleh Dr. Danny H. Natawijaya bersama koleganya dari ”Earthquake Research Team”, LIPI-CALTECH, 2004. Gambar 13 mem-

No Tahun Gunung api Tipe Gunung apiLokasi

JumlahKorban(jiwa)

Keterangan (Lokasi Bencana, Penyebab Utama Kematian)

1

1586

1919

1966

KelutStrato + danau

kawahKediri, Jawa Timur

10.000 (kl)5.160

210

? ?? ?Jatilengger & KedawungLahar letusan

2

1672

1930 - 1931

1954

1994

Merapi Strato + kubahPerbatasan:DIY, Magelang, Boyolali, Klaten,Yogyakarta – Jawa Tengah

300

1.369

64

66

?Awan panas, lahar hujan?Lahar hujan?Awan panas?Awan panas

3

1711

1856

1892

AwuStrato + danau

kawah

Kep. SangiheTahuna (Taruna), Peta,Sulawesi Utara

3.000

2.806

1.532

Kendhar (2030 org), Koloza (70 org), Taruna (408 org) Awan panas, lahar letusanTrijang, Pembalarian, dll Awan panas, lahar letusan, lahar hujanMala, Akembuala, dllLahar

4 1775 Gamalama StratoHalmahera,Maluku Utara 30-40

Halmahera Aliran lava

51760

1861Kie Besi Strato + danau P. Makian, Maluku Utara

2.000

300

P. Makian (?)?P. Makian (?)Lahar (?), terkubur dalam laut

6 1815 Tambora Strato + kalderaSangar, Bima, P. SumbawaNTB

92.000 Sanggar, P. Sumbawa, dan P. Lombok :Letusan (10.000 org), kelaparan dan penyakit (38.000 org & 44.000 org)

7 1822 GalunggungStrato + kubah

dan sumbat lavaGarut dan Tasikmalaya,Jawa Barat

4.011Cikunir, Tasikmalaya:Awan panas, hujan abu, banjir lahar (lahar hujan)

8 1833 Kaba Strato Rejang Lebong, Bengkulu 36Kp. Talang :Banjir danau kawah, genangan air 36 kaki

9 1871 Ruang Strato + doma lava Kep. Sangihe Sulawesi Utara 4 - 400Buhias, Sangihe:Tsunami karena gempa pra letusan di laut (?)

10 1879 Sorik MarapiStrato + danau

kawahKota Nopan dan Natal, Tapanuli Selatan 180

Sibangor, Tapanuli SelatanLahar hujan

11 1883 Krakatau Strato Selat Sunda, Lampung 36.417Pantai Selat Sunda dan Barat Laut Jawa :Tsunami akibat runtuhan

12 1963 Agung StratoRendang, Karangasem,Bali

1.148Rendang dan sekitarnya:Awan panas, (820), piroklastika 163 org), lahar (165 org)

Tabel 7. Bencana letusan gunung api di Indonesia antara 1500 – 2000 M. (Sumber: Buku ”Data Dasar Gunungapi Indonesia”, DV, 1979, dan sumber lainnya)

Page 39: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 37

FOKUS KITA

perlihatkan posisi dan tahun keja-dian gempa bumi di Pulau Sumatera yang mencatat sebanyak 25 kali keja-dian gempa bumi mulai 1822 hingga 1997.

Bencana gempa bumi muncul dari sumber-sumber atau “mesin pembunuh” yang dipicu gempa, an-tara lain: reruntuhan bangunan, ja-tuhan benda-benda, kecelakaan lalu lintas, serta kepanikan massa. Selain

itu, tanah amblas, likuifasi, retakan tanah, pergeseran tanah dan longso-ran akibat gempa bumi dapat menye-babkan korban jiwa disamping keru-gian harta benda.

DVMBG, DJGSM (PVMBG seka-rang) dalam buku “Gempa bumi dan Tsunami”, 2005 menyajikan data bencana gempa bumi yang pernah terjadi di Indonesia sejak 1924 hing-ga 2004, sebagaimana disajikan pada

Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8, di luar kejadian gempa Aceh yang disusul oleh tsunami dahsyat, bencana gem-pabumi di Indonesia telah mencapai korban meninggal lebih dari 7.755 orang. Wilayah persebaran bencana tersebut mulai dari Aceh (NAD), Nias (Sumatera Utara), Padang (Sumatera Barat), Kerinci (Jambi), Bengkulu, Liwa (Lampung), Bantul, Sleman (Yo-gyakarta), Wonosobo, Klaten (Jawa Tengah), Alor (NTB), Majene (Su-lawesi Tengah), Nabire dan Kurima (Papua). Adapun besaran gempanya bervariasi mulai dari 6 SR sampai dengan 9 SR.

Dalam website PVMBG, http://www.vsi.esdm.go.id, disajikan infor-masi tentang “gempa bumi yang me-rusak” di Indonesia yang dibagi keda-lam 17 wilayah gempa bumi (WGB). Ketujuh belas WGB tersebut adalah: 1) Aceh, 2) Sumatera Utara, 3) Suma-tera Barat dan Jambi, 4) Bengkulu, 5) Lampung (dan Sumatera Selatan), 6) Jawa Barat (termasuk DKI Jakarta), 7) Jawa Tengah bagian Utara, 8) Jawa Tengah bagian Selatan dan Yogyakar-ta, 10) Bali, 11) NTT (termasuk NTT), 12) Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, 13) Sulawesi Tengah, 14) Sulawesi Utara), 15) Maluku Selatan, 16) Maluku Utara, dan 17) Papua. Rentang tahun kejadian gempa yang tercatat tidak seragam untuk seluruh wilayah, ada yang mulai dari tahun 1756 (untuk WGB Bengkulu) sam-pai tahun 2005 (untuk WGB Maluku Selatan). Berdasarkan data tersebut, diolah suatu data yang menyajikan data rentang waktu kejadian gempa, jumlah total kejadian gempa dalam rentang waktu tersebut; rentang ko-ordinat gempa, rentang kedalaman pusat gempa, rentang besaran (Skala Richter) dan tingkat kerusakan akibat gempa (Skala MMI), jumlah kerugian

Gambar 13. Peta catatan gempa bumi di Pulau Sumatera, 1822 – 1997. Elip berwarna kuning menunjukkan gempa bumi – gempa bumi besar sepanjang patahan Sumatera. Warna-warna bayangan di sepanjang lepas pantai Sumatera menunjukkan gempa-bumi besar yang terjadi di sepanjang zona subduksi Sumatera. Sumber: Courtesy Katili, 2006.

No Tahun Lokasi Kekuatan (SR) Jumlah Korban Keterangan1 1924 Wonosobo, Jawa Tengah - 7272 1926 Padang Panjang, Sumatra Barat 7 3543 1969 Majene, Sulawesi Tengah - 644 1989 Kurima, Papua 6 1205 1994 Liwa, Lampung 6,8 2076 1995 Kerinci, Jambi 7 847 1998 Mangole, Maluku Selatan 8,3 348 2000 Bengkulu 7,3 999 2004 Nabire, Papua 7 3310 2004 Alor, NTB 7,5 3311 2004 Nias, Aceh, Sumatera Utara 9,0 > 250.000 Gempa disusul tsunami besar12 2006 Yogyakarta – Klaten 6,9 > 6.000

Tabel 8. Beberapa kejadian gempa bumi dan korbannya di Indonesia

Page 40: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 200638

FOKUS KITA

yang dibatasi hanya pada korban ma-nusia meninggal dan luka-luka; serta lokasi yang paling sering mengalami gempa yang tercatat untuk setiap wi-layah gempa. Keseluruhan data yang diolah dari sumber website PVG ter-sebut disajikan pada Tabel 9.

Berdasarkan data pada Tabel 9, jumlah korban manusia akibat ben-cana gempa di Indonesia sejak Tahun 1756 hingga Tahun 2005 ada seba-nyak lebih dari 7.932 orang mening-gal (sebagian di antaranya hilang), dan 15.665 orang luka-luka berat dan ringan. Angka yang akurat boleh jadi lebih dari catatan tersebut, menging-at luasnya cakupan wilayah penca-tatan dan perkembangan teknologi yang tidak merata untuk setiap wi-layah gempa. Akibat bencana dalam data tersebut tidak mencantumkan besaran kerugian (dalam nilai uang) harta benda (rumah dan bangunan lain yang rusak, sarana dan fasilitas umum) yang karena struktur data sumbernya belum memungkinkan hal itu dilakukan. Data pada Tabel 9 juga menginformasikan rentang ko-ordinat lokasi kejadian gempa, keda-laman pusat gempa, besaran gempa, dan lokasi yang paling sering meng-alami gempa untuk setiap wilayah gempa di Indonesia.

Suatu sumber catatan gempa yang patut dijadikan rujukan adalah web-site kamus terbuka atau kamus on-line Wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Earthquakes) dalam sebu-ah link yang ada pada website terse-but tersedia data dan informasi gem-pa yang terjadi di wilayah Indonesia. Data yang tercatat dalam sumber tersebut ada sebanyak 318 kejadian gempa yang meliputi rentang waktu mulai dari Tahun 1629 sampai Ta-hun 2006, mulai dari koordinat la-titude – 15,000 sampai 14,080 dan longitude mulai dari 94,600 sampai 139,200. Struktur data berturut-tur-ut menyajikan informasi sbb: waktu kejadian (tahun, bulan, hari, jam, menit, dan detik), asosiasi gempa (tsunami atau vulkanisme), lokasi gempa (nama, latitude, longitude), parameter gempa (kedalaman pusat gempa, besaran dalam skala Richter, tingkat keruksakan atau skala MMI), dan akibat gempa yang memuat in-formasi korban meninggal, korban luka-luka, nilai kerusakan, dan ru-mah yang hancur yang masing-ma-sing dinyatakan dalam jumlah dan skala “De”. Dengan kelengkapan data

tidak seluruhnya tersedia, kecuali nama gempa dan tahun kejadian.

Berdasarkan analisis singkat ter-hadap data yang bersumber dari Wi-kipedia tersebut diperoleh informasi sebagai berikut (dalam kurun waktu 1629 – 2006, jumlah kejadian gempa 318 kali): 1) terdapat sebanyak 167 kejadian gempa (52,5%) yang beraso-siasi dengan tsunami, dua peristiwa gempa (0,6%) berasosiasi dengan vulkanisme (dan tsunami sekaligus), dan sisanya tidak ada data; 2) dari 177 (55,7% data) kejadian gempa yang memiliki data kedalama pusat gempa, diperoleh kedalaman pusat gempa 0 – 30 km sebanyak 56 peris-tiwa gempa (31,6%), kedalaman 31 - 60 km sejumlah 82 peristiwa (46,3%), kedalaman 61 – 90 km sebanyak 20 peristiwa (11,3%), dan kedalaman le-bih dari 90 km sejumlah 19 peristiwa gempa (10,7%). Dari analisis yang sama diperoleh informasi tentang pengaruh gempa dalam kurun wak-tu 1629 – 2000 terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya sbb: 1) korban manusia meninggal total ter-catat sebanyak 153.440 orang (skala De 1 sampai 3), 2) korban luka-luka total tercatat sejumlah 42.181 orang (skala De 1 sampai 3) kerusakan ru-mah tercatat sebanyak 139.666 buah (skala De 1 sampai 3); dan 4) nilai kerugian total tercatat sebanyak US $ 3,712,000,000 (skala De 1 sampai 4).

Bencana gempa bumi muncul dari sumber-sumber atau “mesin pembunuh” yang dipicu oleh gempa tersebut, antara lain: tanah longsor, tsunami, reruntuhan bangunan, ja-tuhan benda-benda, kecelakaan lalu lintas, serta kepanikan massa. Selain itu, tanah amblas, likuifasi, retakan tanah, dan pergeseran tanah akibat gempa bumi dapat menyebabkan korban jiwa disamping kerugian har-ta benda. Untuk kepentingan miti-gasi, setiap gempa bumi idealnya ter-catat dalam katalog gempa bumi un-tuk setiap daerah. Catatan dimaksud memuat informasi: waktu kejadian, nama, lokasi, dan koordinat pusat gempa, kedalaman pusat gempa, pa-rameter pengaruh bagi kehidupan manusia (jumlah korban meninggal, luka-luka, kerusakan harta benda, dan nilai seluruh kerusakan). In-formasi tersebut sangat diperlukan, baik untuk ketajaman peramalan kejadian gempa yang akan datang maupun dalam menentukan lang-

kah-langkah bantuan peringatan dini (jika memungkinkan), tanggap daru-rat, evakuasi, rekonstruksi, pemulih-an, rehabilitasi, dan kesiapsiagaan (sosialisasi, dll).

Tsunami Bencana tsunami di Indonesia

sebagaimana di tempat lain pada umumnya berkaitan dengan keja-dian gempa bumi, yaitu gempa bumi dangkal, kurang dari 33 km yang ter-jadi di dasar laut. Magnituda gempa tersebut berkisar 6 hingga 9 Skala Richter, intensitas gempa antara VII hingga IX skala MMI (Modifi ed Mer-calli Intensity), dan jenis mekanisme adalah patahan naik. Kejadian tsu-nami diakibatkan oleh letusan gu-nung api di Indonesia hanya terca-tat ketika Gunung Krakatau di Selat Sunda meletus tahun 1883.

Sebagaimana dalam uraian ten-tang gempa bumi, dalam kurun waktu antara 1629 sampai 2006 di Indonesia tercatat sebanyak 167 gempa bumi berasosiasi dengan ke-jadian tsunami dan sebanyak 2 keja-dian gempa bumi berasosiasi dengan kejadian tsunami dan vulkanisme. Dengan demikian, Indonesia dalam kurun waktu antara 1629 sampai 2006 mengalami tidak kurang dari 169 kejadian tsunami besar dan ke-cil, baik yang menimbulkan korban maupun tidak.

Tidak semua tsunami menimbul-kan korban manusia maupun ke-rusakan harta benda. Tsunami NAD, Pulau Nias dan sebagian Sumatera Utara, Desember 2004, merupakan tsunami terbesar di Indonesia ba-hkan di dunia dengan korban yang meninggal tidak kurang dari 250.000 orang (Gambar 14). Tabel 10 ber-sumber dari buku “Gempa bumi dan Tsunami”, DVMBG, 2005 ditambah dengan data terakhir peristiwa tsu-nami Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat, menyajikan data bencana tsu-nami yang pernah terjadi di Indone-sia sejak 1883 hingga 2006. Berda-sarkan Tabel 10, peristiwa tsunami di Indonesia antara 1883-2006 sedi-kitnya telah menyebabkan bencana korban manusia meninggal lebih dari 289.626 orang.

Berdasarkan sejarah dan catatan bencana tsunami (morfologi pantai, jarak landaan, dll), DVMBG (PVG sekarang) telah mengidentifi kasi wilayah rawan bencana tsunami. Di Indonesia wilayah rawan bencana

Page 41: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 39

FOKUS KITA

Tabel 9. Gempa bumi dan akibatnya di 17 wilayah gempa bumi Indonesia diolah dari sumber: http://www.vsi.esdm.go.id

No

Wilayah Gempa

Rentang Catatan Waktu

Kejadian

Jumlah Total

Kejadian

Rentang Koordinat Pusat Gempa

Rentang Kedalaman

Pusat Gempa (KM)

Rentang Besaran dan Kerusakan

Gempa(SR/MMI)

Jumlah Kerugian

(OM = orang meninggal; OL = orang luka-

luka*)

Lokasi paling sering terkena

gempa

Keterangan (kelengkapan

data)

1 Aceh 1907 s.d. 2003 85,8º LU - 93,27º BT

s.d. 6,1º LU - 97,7º BT

32 - 132 5,2–6,8 SRV–VIII MMI

OM = 12 OL = 179 Banda Aceh (3x) - KP = 1

2 Sumatera Utara 1843 s.d. 1987 151,0º LU - 90º BT

s.d.2,0º LU - 99,3º BT

30 - 62 5,4–6,6 SRV- VIII MMI

OM = 69 OL = 145 Tapanuli (8x)

- KP = 7 - KD = 11- BG = 11

3 Sumatera Barat dan Jambi 1822 s.d. 2004 13

0,4º LU - 99,7º BTs.d.

2,1º LS - 101,3º BT12 - 54 3,3–7,0 SR

III – IX MMIOM = > 749 OL = > 1900 Padang (3x)

- KP = 4- KD = 5- BG = 3

4 Bengkulu 1756 s.d. 1979 153,5º LS - 100,5º BT

s.d.3,8º LS - 102,8º BT

33 - 70 5,8 – 8,8 SRVI - IX MMI

OM = 24OL = 20 Bengkulu (5x)

- KP = 5- KD = 4- BG = 3

5Lampung-Sumatera Selatan

1852 s.d. 1994 45,0º LS - 104,2º BT

s.d. 4,97º LS - 104,3º BT

23 5,9 SRVII - IX MMI

OM = 207OL = > 2000

Sumatera Selatan (2x)

- KP = 2- KD = 3- BG = 3

6 Jawa Barat 1833 s.d. 2005 296,5º LS -105,3º BT

s.d.8,25º LS - 108,8º BT

<10 - 73,3 4,4–6,4 SRIII – IX MMI

OM = 22OL = 72 Bandung (4x)

- KP = 13- KD = 15- BG = 14

7 Jawa Tengah bagian Utara 1821 s.d. 1992 13

7,3° LS - 108,09° BTs.d.

8,7° LS - 110.43° BT35 - 58,3 5,2–5,6 SR

VI – IX MMIOM = 728

OL = 6 Bantar Kawung (2x)- KP = 6- KD = 10- BG = 10

8Jawa Tengah bag. Selatan - Yogyakarta

1926 s.d. 1981 128,6º LS - 109,9º BT

s.d.7,7º LS - 109,2º BT

- 5,6 SRIV – IX MMI

OM = 218OL = 2.096 Yogyakarta (3x)

- KP = 8- KD = 12- BG = 11

9 Jawa Timur 1926 s.d. 2003 178,62° LS - 111,25° BT

s.d.8,5° LS - 113,5° BT

18 - 33 5,9 – 7,2 SRIV - IX MMI

OM = 273OL = 545

Tulungagung (2x),Malang (2x)

- KP = 7- KD = 15- BG = 14

10 Bali 1862 s.d. 2004 128,25° LS - 115,3° BT-

s.d.8,9° LS - 115,8° BT

- 5 SRVII – IX MMI OM = 2059

OL = 4050-

- KP = 5- KD = 7- BG = 6

11 NTB dan NTT 1837 s.d. 2004 218,2º LS - 115,9º BT

s.d.10,2° LS - 126,36° BT 10 - 179

5,0 – 7,0 SRV – IX MMI

OM = 2734 OL = 2383 Flores (4x)

- KP = 3- KD = 6- BG = 3

12

Sulawesi Selatan- Sulawesi Tenggara

1828 s.d. 1985 43,1º LS - 118,5º BT

s.d.2,1º LS - 119,67º BT 17 - 51 5,7 SR

V – IX MMIOM = 122OL = 197

-

- KP = 1- KD = 2- BG = 3

13 Sulawesi Tengah 1910 s.d. 1968 162,9° LS - 118,7° BT

s.d.0,9 ° LS - 123,4° BT

5 - 95 4,7 - 6 SRIV – IX MMI

OM = 304OL = 433

Mamaju (2x)Una-una (2x)Donggala(2x)

- KP = 1- KD = 5- BG = 5

14 Sulawesi Utara 1845 s.d. 1991 111,4° LU - 121,1° BT

s.d.3,6°LU - 126,7°BT 26 - 118

4,9 – 7 SRV – IX MMI

OM = 9OL = 140 Gorontalo (4x)

- KP = 2- KD = 5- BG = 5

15 Maluku Selatan 1830 s.d. 2005 192,1o LS - 124,9o BT

s.d.5o LS - 131,5o BT 13 - 33

5 – 8,5 SRIV – IX MMI

OM = 41OL = 221 Ambon (8x)

- KP = 12- KD = 13- BG = 12

16 Maluku Utara 1858 s.d. 2003 152o LS - 126o BT

s.d.2,4o LU - 128,8o BT 10 - 64

5,1 – 7 SRVI – VIII MMI

OM = 43OL = 172

Ternate (4x)Sanana (3x)

- KP = 6- KD = 6- BG = 6

17 Papua 1914 s.d. 2002 20 1,71º LS - 134,97º BT s.d.

4,45o LS - 143,9o BT10 - 102 5,2 – 8,2 SR

V – IX MMIOM =318OL = 1106

Rasinki (4x)Sentani (3x)

Biak (2x)Wamena (2x)Nabire (2x)

- KP = 3- KD = 4- BG = 3

Keterangan:- Jumlah total kejadian gempabumi meliputi gempabumi susulan- Rentang waktu catatan akhir untuk beberapa wilayah gempa belum memasukkan data terbaru - Rentang koordinat lokasi pusat gempa berdasarkan bujur timur terkecil sampai terbesar untuk setiap wilayah- KM = kilometer; SR = Skala Richter; MMI = Modifi ed Mercally Intensity atau satuan tingkat kerusakan akibat goncangan gempa bumi.- Kerugian tidak termasuk kerusakan hartabenda; OM = orang mati termasuk yang hilang; OL = orang luka baik berat maupun ringan- Kelengkapan data: - KP = data pusat gempa yang tidak tersedia; - KD = data kedalaman gempa yang tidak tersedia; - BG = data besaran gempa yang tidak tersedia. Contoh: - KP

= 6 maksudnya: dalam rentang waktu catatan gempa bersangkutan tidak tersedia data pusat gempa sebanyak 6 kejadian gempa.- Data untuk Jawa Tengah-Yogyakarta tidak termasuk gempabumi Yogyakarta, Tahun 2006.

Page 42: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 200640

FOKUS KITA

tsunami tersebut meliputi 18 wilayah, yaitu: Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung-Banten, Jawa Tengah Bagian Selatan, Jawa Timur Bagian Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawe-si Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Maluku Se-latan, Biak-Yapen, Fak-Fak, dan Ba-likpapan.

Tanah Longsor Bencana tanah longsor atau gerak-

an tanah merupakan akibat serang-an bahaya tanah longsor terhadap suatu komunitas berpadu dengan tingkat kerentanan komunitas ter-sebut yang berada pada keadaan ti-dak aman. Bahaya gerakan tanah itu

sendiri adalah bahaya yang muncul dari perpindahan materi pembentuk lereng berupa batuan, bahan rom-bakan, tanah, atau campuran ma-terial-material tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng.

Pada prinsipnya tanah longsor terjadi bila gaya pendorong pada le-reng lebih besar daripada gaya pena-han. Gaya penahan umumnya di-pengaruhi oleh kekuatan batuan dan kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong dipengaruhi oleh besar-nya sudut lereng, air, beban serta be-rat jenis tanah- batuan. Secara ring-kas dapat disimpulkan bahwa fak-tor-faktor penyebab terjadinya tanah longsor adalah: hujan, lereng terjal, tanah yang kurang padat dan tebal, batuan yang kurang kuat, jenis tata

lahan, getaran, susut muka air danau atau bendungan, adanya beban tam-bahan, pengikisan atau erosi, adanya material timbunan pada tebing, bekas longsoran lama, dan adanya bidang tidak sinambung (diskontinuitas).

Bencana tanah longsor sering ter-jadi dan cukup banyak menimbulkan korban. Kejadian tanah longsor ini ti-dak hanya berkaitan dengan fenome-na geologi (jenis batuan, tatanan hi-drogeologi, patahan aktif sebagai pe-micu, dst), namun dipengaruhi pula oleh kondisi-kondisi geografi (curah hujan), dan tataguna lahan (kondisi tutupan lahan/vegetasi, dll). Pada Tabel 11 disajikan kejadian bencana alam tanah longsor di beberapa tem-pat di Indonesia dari 2003 sampai 2005. Berdasarkan tabel tersebut,

Gambar 14. Kerusakan akibat bencana tsunami Aceh di Sungai Krueng Raya, Banda Aceh: menunjukkan bagaimana muara sungai memudahkan masuknya landaan tsunami hingga jauh ke daratan. (Sumber: Dok. DESDM, 2005)

No. Tahun Tempat

Besaran Gempa Pemicu

(SR)

Korban meninggal(orang)

1 1883 Gunung Krakatau - 36.0002 1833 Sumbar, Bengkulu, Lampung 8,8 Tak tercatat3 1938 Kep. Kai-Banda 8,5 Tak tercatat4 1967 Tinambung - 585 1968 Tambu, Sulteng 6 2006 1977 Sumbawa 6,1 1617 1992 Flores 6,8 2.0808 1994 Banyuwangi 7,2 3779 1996 Toli-toli 7 9

10 1996 Biak 8,2 16611 2000 Banggai 7,3 5012 2004 Nanggroe Aceh Darussalam 9 250.00013 2006 Pengandaran 7,2 525

Tabel 10. Korban tsunami yang signifi kan di Indonesia (Sumber: DVMBG, 2005 dengan tambahan data Tahun 2006)

No PROPINSI JmlKejadian

Korban JiwaRH RR RT LPR

(Ha)JL(m)MD LL

1 JAWA BARAT 77 166 108 198 1751 2290 140 705

2 JAWA TENGAH 15 17 9 31 22 200 1 75

3 JAWA TIMUR 1 3 - - 27 - 70 -

4 SUMATERA BARAT 5 63 25 16 14 - 540 60

5 SUMATERA UTARA 3 26 - 1 40 8 - 80

6 SULAWESI SELATAN 1 33 2 10 - - - -

7 PAPUA 1 3 5 - - - - -

J U M L A H 103 411 149 256 1854 2498 751 920

Tabel 11. Daftar kejadian, korban, dan kerugian harta benda akibat bencana tanah longsor di Indonesia, 2003 – 2005

Page 43: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 41

FOKUS KITA

dalam 3 tahun di Indonesia terjadi 103 kali kejadian bencana tanah longsor dengan totak korban mening-gal sebanyak 411 orang, luka-luka sejumlah 149 orang, rumah hancur sebanyak 256 buah, dan lahan per-tanian yang rusak seluas 751 hektar. Dari Tabel 9 juga kita peroleh bebera-pa lokasi yang sering dilanda benca-na tanah longsor, yaitu: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan Papua.

Jumlah korban akan semakin bertambah banyak apabila catatan kejadian bencana dilanjutkan sampai Tahun 2006. Beberapa kejadian tanah longsor besar di Tahun 2006 telah menimbulkan korban meninggal ratusan orang seperti di Sinjai, Sulawesi Selatan, dan Jember, Jawa Timur.

Bencana tanah longsor, meskipun kejadiannya dipengaruhi pula oleh kemiringan lereng dan kondisi tanah tutupan, namun juga diakibatkan oleh karakteristik sifat fi sik batuan, kondisi hidrogeologi dan kehadiran jalur patahan. Oleh karen itu, kon-tribusi bidang geologi dalam manaje-men penanganan becana tanah long-sor sangat diperlukan.

----------------Bahaya dan bencana geologi serta

kondisi geografi s Indonesia yang ter-letak di daerah tropis, benar-benar menjadikan wilayah Indonesia rawan bahaya dan bencana geologi. Suatu risiko yang nyata dari kenyataan hidup di atas lempeng tektonik aktif. Untuk kepentingan mitigasi, data dan informasi setiap bencana tersebut harus tersedia dan disajikan dengan standar penyajian sebagaimana disa-rankan oleh PBB atau badan resmi dunia lainnya terkait bencana.

MITIGASI BENCANA GEOLOGI: DARI PENYELIDIKAN HINGGA

PERINGATAN DINI

Mitigasi mencakup makna yang luas. Setiap usaha yang ditujukan guna mengurangi dampak atau ri-siko bencana merupakan bagian dari langkah mitigasi. Bagian ini akan mengemukakan beberapa langkah mitigasi yang sudah dilaksanakan di Indonesia melalui Pusat Vulka-nologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG, temasuk nama-nama orga-nisasi tersebut sebelumnya), Badan Geologi, DESDM. Sebelumnya, kita

akan mengulang kembali pengertian mitigasi – untuk mengingatkan kem-bali cakupan maknanya – dan meli-hat prinsip-prinsip mitigasi bencana tsunami serta lingkup kegiatan miti-gasi.

Mengulang Pengertian MitigasiMitigasi secara bahasa adalah

kata serapan dari Bahasa Inggris “Mi-tigation”. Menurut Merriam-Webster Online Dictionary “Mitigation” memiliki arti: 1. to cause to become less harsh or hostile dan 2. to make less severe or painful. Jika diartikan secara be-bas arti kata mitigasi dalam bahasa Indonesia adalah: “suatu tindakan untuk membuat suatu kondisi men-jadi kurang kasar, kurang merusak, atau tidak terlalu menyakitkan”.

Dengan berjalannya waktu, istilah mitigasi umumnya selalu dikaitkan dengan kebencanaan baik itu ben-cana alam (natural disasters) maupun bencana akibat perbuatan manusia (man-made disasters). Sebagaimana menurut DMTP, PBB, 1994, mitigasi bencana adalah istilah yang diguna-kan untuk menunjuk pada semua tin-dakan guna mengurangi dampak dari satu bencana yang dapat dilakukan sebelum bencana itu terjadi, terma-suk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan risiko jangka panjang”

Sedangkan Encyclopedia Online Wikipedia mendefi nisikan mitigasi sebagai: “usaha untuk menghindar-kan berkembangnya bahaya menjadi bencana, atau mengurangi risiko saat terjadinya bencana”. Mitigasi adalah bagian yang tak terpisahkan dari suatu usaha pengelolaan bencana (disaster management) dengan fokus utama pada pengamatan jangka pan-jang untuk mengurangi atau meng-hilangkan risiko. Penerapan strategi mitigasi yang dilakukan setelah ter-jadinya bencana merupakan bagian dari proses pemulihan. Akan tetapi, karena usaha-usaha tersebut ditu-jukan guna mengurangi atau meng-hilangkan risiko, maka semuanya dapat disebut sebagai usaha-usaha mitigasi.

Dari dua defi nisi di atas tampak jelas bahwa tujuan utama dari miti-gasi adalah mengurangi atau bahkan menghilangkan risiko yang diakibat-kan oleh suatu bencana, baik pada saat sebelum terjadi, saat terjadinya, maupun setelah terjadinya bencana. Jika dihubungkan dengan tugas dan

fungsi dari Badan Geologi melalui Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Ben-cana Geologi (PVMBG) maka mitigasi bencana yang dikelola oleh institusi ini adalah mitigasi bencana geologi yang meliputi mitigasi untuk gunung api, gempa bumi, tsunami, dan ge- rakan tanah (tanah longsor).

Prinsip-prinsip Mitigasi: Tinjauan khusus untuk Bencana Tsunami

Setiap usaha jangka panjang, apalagi usaha yang berkenaan urus-an penyelamatan kehidupan dan penghidupan manusia dari suatu serangan bahaya, tentulah memiliki prinsip-prinsip atau langkah-lang-kah dasar. Demikian pula, mitigasi bencana geologi, ia telah diupayakan berlandaskan pada prinsip-prinsip tertentu yang sudah teruji sebe-lumnya. Namun, mengingat sumber bencana itu banyak dan kompleks, penetapan prinsip-prinsip tersebut bukanlah hal yang mudah. Di bawah ini disajikan prinsip mitigasi bencana berkenaan dengan bencana tsunami sebagai perbandingan, dikutip dari buku ”Tsunami”, karya Subandono Diposaptono dan Budiman, 2006:

”Amerika Serikat sejak Maret 2001 mengembangkan program mitigasi bencana tsunami. Program itu didesa-in oleh tim yang berasal dari pakar-pakar NOAA, Oregeon, dan Wash-ington. Tujuannya, membantu ma-syarakat pesisir mengenali bahaya tsunami, kerentanan, dan melakukan upaya mitigasi melalui perencanaan tata guna lahan, perencanaan wila-yah, dan desain bangunan. Pedoman ini ditujukan kepada pemerintah dae-rah yang terkait dengan fungsi peren-canaan, permintakatan, pengaturan bangunan, community development, tata guna lahan, dan fungsi terkait lainnya di wilayah pesisir. Secara umum, pedoman itu disusun berda-sarkan tujuh prinsip dasar.

Prinsip pertama, mengetahui risiko tsunami baik tingkat bahaya, keren-tanan, maupun ketahanannya. Proses untuk memperoleh informasi bahaya tsunami lokal dilakukan dengan mem-persiapkan studi skenario kerusakan akibat tsunami. Strategi penerapan informasi untuk mengurangi kerusak-an di masa mendatang meliputi empat hal. Pertama, memasukkan informasi bahaya tsunami dalam proses peren-canaan jangka pendek dan panjang.

Page 44: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 200642

FOKUS KITA

Kedua, menggunakan informasi ba-haya tsunami untuk membangun dukungan publik dan politik terkait dalam upaya-upaya mitigasi. Ketiga, memperkirakan kerusakan yang akan datang dengan mengevaluasi tingkat efektivitas upaya-upaya pencegahan kerusakan. Dan keempat, secara pe-riodik melakukan evaluasi kembali tingkat kerentanan masyarakat pe-sisir dan ketahanannya.

Prinsip kedua, menghindari pembangunan baru di daerah run-up tsunami untuk meminimalkan keru-gian akibat tsunami pada masa men-datang. Proses memahami konteks lo-kal, memahami trade-off, melakukan review dan up dating safety element, melakukan review dan up dating tata guna lahan yang ada dan rencana-rencana yang lain, melakukan review dan up dating zonasi yang ada, sub-divisi dan peraturan lainnya, serta merencanakan rekonstruksi paska tsunami. Sementara itu, strategi khu-sus yang dipakai dalam perencanaan tata guna lahan guna mengurangi risi-ko tsunami terdiri dari: (a) merancang daerah rawan tsunami untuk penggu-naan ruang terbuka, (b) mendapatkan daerah rawan tsunami untuk penggu-naan ruang terbuka, (c) memperketat bangunan melalui pengaturan tata guna lahan, (d) mendukung perenca-naan tata guna lahan melalui peng-anggaran, serta (e) mengadaptasi pro-gram-program lain.

Prinsip ketiga adalah menata pembangunan baru di daerah run-up tsunami untuk meminimalkan ke-rusakan tsunami di masa depan. Pro-ses penerapan strategi perencanaan wilayah meliputi pembuatan project review process yang kooperatif, kom-prehensif, dan integratif, pemahaman kondisi aerah lokal, serta pemilihan strategi mitigasi. Strategi khusus yang bisa diterapkan dalam perencanaan wilayah untuk mengurangi risiko ba-haya tsunami adalah dengan cara menghindari daerah genangan, mem-perlambat arus, mengarahkan gelom-bang, dan memblok gelombang.

Prinsip keempat: merancang dan membuat bangunan baru untuk me-minimalkan kerusakan akibat tsu-nami. Proses penerapan strategi pe-rancangan konstruksi meliputi: (a) mengadopsi dan menerapkan aturan bangunan (building code) dan standar perancangan yang sesuai, (b) aturan dan standar semua bahaya-bahaya potensial, (c) menerapkan informasi

bahaya tsunami lokal yang valid, (d) memilih intensitas kejadian, dan (e) mendefi nisikan tingkat kinerja bangunan. Strategi khusus yang bisa dilakukan dalam perancangan dan pembangunan dalam rangka mengu-rangi risiko bahaya tsunami dilakukan dengan memilih desain yang sesuai berdasarkan efek tsunami yang bisa ditimbulkan. Strategi ini merancang bangunan-bangunan besar. Di sam-ping itu perlu juga melakukan penga-wasan terhadap pembangunan untuk menjamin persyaratan terpenuhi.

Prinsip kelima adalah melindungi aset-aset yang sudah dibangun dari kerusakan akibat tsunami. Upaya itu meliputi pembangunan kembali, retro-fi tting, dan perencanaan kembali tata guna lahan. Tingkat kerawanan bisa meminimalkan melalui upaya-upaya pembaruan yang meliputi: (a) inven-tarisasi daerah rawan tsunami dan properti yang ada di dalamnya, (b) mengevaluasi dan merevisi rencana dan peraturan berkaitan dengan isu-isu pembangunan kembali, retrofi t-ting, an reuse, serta (c) menerapkan informasi bahaya tsunami lokal yang valid. Strategi khusus yang perlu diperbaharui guna mengurangi ri-siko bahaya tsunami bisa ditempuh dengan mengadopsi program khusus dan peraturan pembangunan, meng-gunakan strategi pembangunan kem-bali untuk mengurangi risiko tsunami, menggunakan insentif atau dukungan dana lainnya guna mendukung upaya pencegahan kerusakan, serta meng-adopsi dan menjalankan aturan khu-sus mengenai retrofi tting bangunan yang sudah ada. Selain itu, juga di-butuhkan arsitektur dan ahli bangu-nan untuk merancang upaya perlin-dungan pembangunan yang efektif.

Prinsip keenam, lebih hati-hati da-lam menempatkan dan merancang in-frastruktur dan fasilitas-fasilitas pen-ting sehingga bisa meminimalkan ke-rusakan akibat tsunami. Proses pene-rapan strategi penerapan infrastruk-tur dan lokasi fasilitas penting meli-puti: (a) memahami mitigasi tsunami, (b) memahami karakteristik bahaya tsunami terhadap infrastruktur dan fasilitas penting, (c) mengadopsi kebi-jakan manajemen risiko yang kompre-hensif. Strategi khusus di bidang in-frastruktur dan fasilitas penting guna mengurangi risiko bahaya tsunami di-antaranya dengan menempatkan in-frastruktur dan fasilitas penting baru di luar daerah rawan tsunami atau

melakukan perancangan yang dapat menahan gaya-gaya tsunami, melin-dungi atau merelokasi infrastruktur dan fasilitas penting yang sudah ada, serta merencanakan tanggap darurat dan pemulihan.

Prinsip ketujuh, merencanakan evakuasi. Proses penerapan strategi evakuasi secara vertikal meliputi: (a) inventarisasi bangunan-bangun-an yang ada, (b) menjamin standar yang memadai untuk diterapkan pada bangunan-bangunan baru, (c) menunjuk personil pelayanan tang-gap darurat untuk memimpin program evakuasi, dan (d) memecahkan kem-bali isu-isu terkait. Strategi khusus secara evakuasi vertikal guna mengu-rangi risiko bahaya tsunami dilaku-kan dengan cara: (1) mengidentifi kasi bangunan-bangunan spesifi k yang digunakan sebagai vertical shelter, (2) bekerja sama membuat prosedur dengan pemilik bangunan, (3) menja-min adanya prosedur untuk menerima dan menyebabkan peringatan, (4) me-nerapkan infornmasi yang efektif dan program-program pendidikan, serta (5) memelihara program alam jangka panjang”.

Lingkup MitigasiSebagaimana telah disampaikan

dalam bagian 2, Gambar 7, konsep mitigasi bencana-khususnya benca-na geologi, lebih khusus lagi gempa bumi dan tsunami – dari PVMBG, Badan Geologi, DESDM – lebih me-nitikberatkan pada mitigasi dalam arti yang luas. Dalam hal ini, miti-gasi adalah bagian dari manajeman penanggulangan bencana yang di-tempatkan sebagai upaya-upaya se-belum terjadinya bencana.

Berdasarkan konsep dan penga-laman yang telah dilaksanakan, se-bagaimana disajikan pada Gambar 7, maka lingkup mitigasi bencana geo-logi adalah: 1) penyelidikan, 2) peme-taan, 3) pemantauan, 4) komunikasi, 5) pelatihan, 6) sosialisasi, dan 7) peringatan dini. Ketujuh langkah mi-tigasi ini dipadukan dengan strategi kewilayahan. Yakni, mitigasi benca-na geologi (gempa bumi dan tsunami, letusan gunung api dan tanah long-sor) menitikberatkan pada identifi ka-si tingkat kerentanan suatu wilayah terhadap terjadinya bencana masing-masing bencana, serta menyiapkan masya-rakat dan Pemerintah Daerah dalam mengantisipasi kemungkinan

Page 45: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 43

FOKUS KITA

awal telah tersedia peta daerah ba-haya atau daerah bahaya sementara untuk 65 buah gunung api yang ada di Indonesia sebagaimana disajikan dalam buku ”Data Dasar Gunungapi Indonesia” tersebut diatas dan saat ini sebanyak 21 dari daerah-daerah tersebut telah diperbaharui dan di-beri nama baru sebagai ”kawasan ra-wan bencana gunung api”. Pemetaan juga telah menghasilkan Peta Geologi Gunung Api yang diperlukan untuk bahan dasar pemantauan dan penga-matan gunung api. Hingga saat ini telah diselesaikan sebanyak 11 lem-bar Peta Geologi Gunung Api, 13 Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Api, dan 1 Peta Risiko Bencana Gu-nung Api. Kesemua peta-peta terse-but disajikan dalam website PVMBG (http://www.vsi.esdm.go.id).

Pemantuan telah dilaksanakan secara rutin untuk seluruh gunung api Indonesia sebagaimana telah disinggung di muka. Demikian pula komunikasi, pelatihan, dan sosiali-sasi rutin dilaksanakan oleh PMVBG, terutama dalam kondisi menghadapi ancaman bahaya dari gunung api yang aktivitasnya mulai menunjuk-kan peningkatan dari keadaan nor-mal.

Dalam langkah peringatan dini, PVMBG, Badan Geologi, telah mene-tapkan satu standar yang berkaitan dengan tingkat aktivitas sebuah gu-nung api, terdiri atas 4 tahapan, yai-tu: tahap-tahap aktif normal, waspa-da, siaga, dan awas (http://merapi.vsi.esdm.go.id/?volcano/early_war-ning.htm). Implementasi dari pering-atan dini tersebut telah cukup berha-sil dalam mitigasi bencana Gunung Api Merapi, Pulau Jawa. Memang, mitigasi bencana gunung api yang lebih komprehensif telah dilakukan untuk gunung api Merapi berkaitan dengan karakter gunung api tersebut yang frekuensi letusannya termasuk tinggi (4 – 5 tahun sekali untuk letu-san besar). Sejumlah informasi pen-ting contoh upaya mitigasi gunung api dari Gunung Api Merapi dapat di-lihat dalam website BPPTK, PVMBG (http://www.bpptk.esdm.go.id//).

Salah satu contoh Peta Kawa-san Rawan Bencana Gunung Api adalah adalah Peta Daerah Bahaya Gunung Api Guntur, Jawa Barat, sebagaimana pada Gambar 15. Dari peta tersebut tampak bahwa daerah bahaya dalam warna merah muda adalah daerah yang harus diwaspa-

terjadinya bencana tersebut. Mitigasi yang telah banyak dilakukan, meli puti ketujuh lingkup tersebut di atas adalah mitigasi di bidang bencana le-tusan gunung api.

Hasil-hasil dari upaya mitigasi yang telah dilaksanakan sebagaima-na dalam lingkup kegiatan di atas, dipaparkan di bawah ini dengan penyajian lebih menitikberatkan pada lingkup penyelidikan dan pemetaan.

Mitigasi Bencana GeologiMitigasi Bencana Gunung Api

Di dalam buku kecil (panduan sosialisasi bencana) ”Gunungapi”, PVMBG, dikemukakan langkah-lang-kah mitigasi bencana gunung api yang meliputi tindakan sebelum, selama, dan sesudah gunung api meletus. Langkah mitigasi sebelum gunung api meletus meliputi: 1) pemantauan dan pengamatan kegiatan pada se-mua gunung api aktif, 2) pembuatan dan penyediaan Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung Api dan Peta Zona Risiko Bahaya Gunung Api yang di-dukung dengan Peta Geologi Gunung Api; 3) Melakukan penyelidikan dan penelitian geofi sika dan geokimia gu-nung api, 4) Melaksanakan prosedur tetap penanggulangan bencana letu-san gunung api, 5) Melakukan pem-bimbingan dan pemberian informasi gunung api, dan 6) Melakukan pe-ningkatan sumber daya manusia dan pendukungnya (sarana dan prasara-na untuk pengamatan, penyelidikan dan penelitian kegunungapian).

Menjelang dan selama terjadi-nya bencana letusan gunung api, langkah-langkah berikut dilaksana-kan: 1) Membentuk tim gerak cepat, 2) Meningkatkan pemantauan dan pengamatan didukung oleh perala-tan yang memadai, 3) Meningkatkan pelaporan dan frekuensi pelaporan sesuai kebutuhan, dan 4) Memberi-kan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah terkait sesuai prosedur. Ada-pun langkah mitigasi sesudah ben-cana letusan gunung api meliputi: 1) Menginvetarisir data mencakup data sebaran dan volume hasil letus-an, 2) Mengidentifi kasi daerah yang terkena dan terancan bahaya, 3) Memberikan saran penanggulangan bahaya berikutnya, 4) Memberikan rekomendasi penataan kawasan jangka pendek dan jangka panjang, 5) Memperbaiki fasilitas pemantauan gunung api yang rusak, 6) Menurun-

kan status kegiatan gunung api bila keadaan aktivitas gunung api sudah menurun, dan 7) Melanjutkan lang-kah pemantauan rutin.

Sebagian besar letusan gunung api diawali dengan berubahnya kon-disi geokimia dan geofi sika yang dapat diukur, untuk itu usaha mitigasi yang paling utama dalam mengurangi risiko akibat letusan gunung api adalah dengan melaku-kan pemantauan dan pengamatan yang terus menerus terhadap kon-disi geokimia dan geofi sika berupa monitoring seismik, pengukuran perubahan bentuk puncak gunung api, pencatatan perubahan kondisi geokimia dan geoelektrik, dan lain-lain. Dengan melakukan hal tersebut maka status dari gunung api dapat ditentukan dan prakiraan mengenai kemungkinan terjadinya letusan da-pat diramalkan.

Usaha mitigasi bencana gunung api di Indonesia melalui langkah pengamatan gunung api telah dilak-sanakan sejak jaman Hindia Belanda dengan dibangunnya beberapa pos pengamatan gunung api dari tahun 1920 - 1941, yaitu Pos Gunung Kra-katau di Pulau Panjang, Pos Gunung Tangkubanparahu, Pos Gunung Pa-pandayan, Pos Kawah Kamojang, Pos Gunung Merapi (Babadan, Krinjing, Plawangan, Ngepos), Pos Gunung Kelut, Pos Gunung Semeru, dan Pos Kawah Ijen. Saat ini PVMBG telah memiliki 69 pos pengamatan gunung api di seluruh wilayah Indonesia untuk mengamati gunung-gunung api yang dianggap memiliki potensi membahayakan bagi manusia dan harta benda. Dalam usaha mitigasi, PVMBG telah melakukan pemetaan kawasan rawan bencana untuk se-tiap gunung api tersebut.

Secara umum, ketujuh lingkup mitigasi tersebut di atas telah dilak-sanakan dalam mitigasi bencana le-tusan gunung api. Penyelidikan telah menghasilkan data dasar gunung api Indonesia sebagaimana tersaji dalam buku ”Data Dasar Gunungapi Indo-nesia”, terbitan Direktorat Vulkanolo-gi (PVMBG sekarang), 1979 dan disu-sul oleh berbagai penyelidikan yang intensif hingga sekarang, khususnya untuk sejumlah gunung api Indone-sia yang sangat aktif (http://portal.vsi.esdm.go.id/joomla/). Pemetaan menghasilkan peta-peta yang terma-suk kategori peta kawasan rawan bencana gunung api. Dalam tahap

Page 46: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 200644

FOKUS KITA

dai terhadap ancaman awan panas, aliran lava, dan lontaran piroklastik, sedangkan daerah waspada dibagi menjadi tiga, yang pertama meru-pakan daerah yang memiliki potensi terkena lontaran piroklastik berupa lingkaran konsentris berjari-jari 5 km yang dibatasi oleh wilayah be-rarsir. Daerah kedua adalah daerah dengan potensi terkena jatuhan piro-klastik berupa lingkaran konsentris berjari-jari 8 km yang dibatasi oleh garis berwarna kuning. Sedangkan, daerah ketiga yang dibatasi oleh wi-layah berwarna biru adalah daerah yang harus diwaspadai karena ber-potensi sebagai wilayah yang terkena lahar bila turun hujan.

Dalam peta itu, juga dicantum-kan lokasi dari pemukiman atau per-kampungan berupa titik berwarna hitam, sehingga dapat diperkirakan kampung-kampung mana saja yang masuk ke dalam daerah bahaya dan daerah waspada, dari sisi mitigasi in-formasi ini sangat penting mengingat fungsi mitigasi adalah untuk mengu-rangi atau bahkan menghilangkan risiko akibat bencana bagi manusia. Dari peta ini dapat diperkirakan wi-layah mana saja yang harus diko-songkan jika terjadi letusan, serta wilayah mana saja yang aman dan

dapat dipakai sebagai tempat pen-gungsian, selain itu juga dengan di-cantumkannya infrastruktur dalam hal ini jalan maka dapat pula dibuat rute pengungsian dan rute pemberi-an bantuan dengan lebih efektif dan efi sien.

Mitigasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami

Indonesia yang terletak di antara tumbukan tiga lempeng, lempeng

benua Eurasia, lempeng samudera Pasifi k, dan lempeng samudera Indo-Australia merupakan wilayah yang sangat aktif secara seismik. Kondisi ini menyebabkan seluruh wilayah Kepulauan Indonesia, kecuali Pulau Kalimantan, memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya suatu gempa bumi (Gambar 16). Dari gambar di atas tampak bahwa wilayah yang di-batasi dengan garis merah merupa-kan wilayah yang aktif secara seis-

Gambar 15. Peta Daerah Bahaya Gunung Api Guntur, Jawa Barat.

Gambar 16. Kawasan rawan bencana Geo-Teknik.

Page 47: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 45

FOKUS KITA

mik, titik-titik kuning menunjukkan pusat gempa yang pernah terjadi, titik berwarna merah adalah lokasi dari gempa-gempa dalam.

Beberapa dari gempa yang pernah terjadi diikuti pula oleh terjadinya tsunami. Kejadian terbesar gempa bumi yang diikuti oleh tsunami yang terjadi di Indonesia adalah gempa bumi di Aceh dan Sumatera Utara yang terjadi pada tanggal 26 Desem-ber 2004 dengan magnitudo menca-pai 9,1 (skala USGS) dan mengaki-batkan jatuhnya korban meninggal Indonesia saja sebanyak 167.000 orang lebih dan total korban mening-gal mencapai 250.000 orang lebih di 14 negara.

Dengan melihat kondisi Indone-sia yang aktif secara tektonik maka usaha mitigasi gempa bumi sangat diperlukan. Sampai saat ini, tekno-logi yang ada belum dapat meramal-kan kapan suatu gempa bumi akan terjadi, yang dapat dilakukan dalam usaha mitigasi adalah: 1) memeta-kan wilayah rawan gempa bumi dari hasil studi gempa bumi yang pernah terjadi dan melakukan studi menge-nai pergerakan lempeng tektonik serta penelaahan patahan-patahan aktif, 2) memantau aktivitas seismik dengan menggunakan seismograf atau alat-alat lainnya, dan 3) mela-kukan obervasi ilmiah berbasis ma-syarakat seperti melakukan penga-matan peningkatan kekeruhan air sumur dan melakukan pencatatan tingkat gas radon yang masuk ke da-lam sumur.

Gempa bumi dan dengan demikian juga tsunami merupakan peristiswa alam yang kejadiannya sulit dira-malkan. Hingga saat ini belum ada seorang pun ilmuwan yang mampu memprediksikan secara tepat wak-tu terjadinya gempa bumi. Namun, dengan mengamati catatan sejarah gempabumi dan tsunami, para ilmu-wan dapat mengetahui tempat-tem-pat yang rawan bencana gempa bumi dan tsunami. Untuk itu, dalam rang-ka mitigasi diperlukan upaya-upaya pengamatan tinggi gelombang dan batas landaan dari kejadian tsunami masa lalu yang akan berguna un-tuk memperkirakan dan mengurangi dampak tsunami di masa depan.

Secara langkah pembangunan fi sik, mitigasi gempa bumi berhu-bungan dengan bidang-bidang di luar ilmu kebumian terutama dengan bidang teknik sipil dan arsitektur

menyangkut pada penentuan spe-sifi kasi struktur bangunan tahan gempa. Beberapa jenis bangunan se-perti bangunan pemecah gelombang, bangunan tempat penyelamatan diri, dinding penahan laju tsunami, dan rumah-rumab atau bangunan fasili-tas umum dengan tiang-tiang yang tinggi dan kokoh perlu dilaksanakan dalam rangka mengurangi korban dan kerugian akibat bencana tsuna-mi. Usaha lain yang harus dilakukan dalam rangka mitigasi adalah mela-kukan sosialisasi kepada masyara-kat mengenai bahaya-bahaya yang terkait dan mitigasi bencana serta tindakan-tindakan kesiapan.

Mitigasi untuk bahaya tsunami dapat ditempuh dengan melakukan pengamatan terjadinya gempa bumi,

terutama yang terjadi di laut dan me-miliki kriteria untuk membangkitkan tsunami. Salah satu pusat pengama-tan tsunami di dunia adalah Indian Ocean Tsunami Warning System (IOT-WS) yang dibangun oleh UNESCO setelah peristiwa gempa bumi dan tsunami di Aceh. Pusat peringatan ini mulai beroperasi pada bulan Juni 2006, sistem peringatan ini terdiri dari 25 stasiun seismograf dan 3 sen-sor laut dalam yang menyampaikan data pengukuran ke Pusat Informasi Tsunami di 26 negara. Gambar 17 menunjukkan sistem peringatan dini untuk tsunami yang diterapkan oleh IOTWS.

Gambar 18 adalah peta yang menunjukkan daerah rawan gempa bumi berdasarkan data gempa bumi

Gambar 17. Sistem Peringatan Dini untuk Tsunami IOTWS.

Gambar 18. Peta wilayah rawan Gempa Bumi.

Page 48: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 200646

FOKUS KITA

merusak yang terjadi dari tahun 1756 – 2004 yang terdapat dalam Kata-log Gempa Bumi Merusak Indonesia yang diterbitkan oleh PVMBG. Wila-yah rawan ditunjukkan dengan kotak bergaris merah. Gambar 19 adalah peta yang menunjukkan wilayah ra-wan tsunami di Indonesia berdasar-kan pada data tsunami yang pernah terjadi dan ketinggian muka air yang pernah tercapai. Wilayah rawan dit-unjukkan dengan kotak bergaris me-rah. Sedangkan Gambar 20 adalah peta yang menunjukkan sesar-sesar yang dapat mengakibatkan gempa atau terpicu oleh gempa. Sesar aktif digambarkan sebagai garis berwarna merah, sedangkan sesar-sesar tidak aktif, akan tetapi memiliki potensi menjadi aktif jika terpicu oleh gempa digambarkan sebagai garis berwarna

abu-abu. Salah satu contohnya ada-lah Sesar Opak di Yogyakarta yang bergerak akibat terpicu oleh gempa dan menyebabkan kerusakan yang cukup besar ketika terjadi gempa pada tanggal 27 Mei 2006 di daerah tersebut.

Mitigasi Bencana Gerakan TanahBerbeda dari bencana gunung api

maupun gempa bumi dan tsunami, bencana gerakan tanah yang umum-nya berupa longsoran tanah merupa-kan suatu bencana yang sebaran wi-layah terjadinya cukup luas sehingga menyebabkan kerugian properti yang lebih banyak dibandingkan dengan bencana geologi lainnya.

Langkah-langkah mitigasi gera-kan tanah sebagaimana dalam buku kecil ”Gerakan Tanah ” (PVMBG) di-

bagi menjadi langkah-langkah sebe-lum, saat terjadi dan sesudah terjadi bencana. Langkah-langkah sebelum terjadi bencana meliputi: pemetaan, penyelidikan, pemeriksaan, peman-tauan, dan sosialisasi. Adapun lang-kah-langkah selama dan sesudah ter-jadi bencana meliputi: tanggap daru-rat, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

Tahapan tanggap darurat ada-lah penyelematan dan pertolongan korban secepatnya supaya korban tidak bertambah banyak. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam tindakan tanggap darurat antara lain adalah: kondisi medan, kondisi bencana, peralatan, dan informasi tentang bencana. Tahapan tanggap darurat dilaksanakan melalui koor-dinasi dengan instansi lain dan Pe-merintah Daerah yang mengalami bencana.

Upaya pemulihan korban dan prasarananya meliputi pemulihan kondisi sosial, ekonomi, pemukiman penduduk, dan sarana transportasi. Kontribusi bidang geologi dalam ta-hapan rehabilitasi antara lain terda-pat dalam upaya pengkajian kondisi tanah longsor dan teknik pengendali-annya agar tanah longsor tidak ber-kembang, serta penentuan lahan un-tuk relokasi penduduk apabila tanah longsor sulit dikendalikan.

Dalam tahapan rekonstruksi, penguatan bangunan infrastruktur di daerah rawan gerakan tanah ti-dak menjadi pertimbangan utama mengingat kerentanan bangunan-bangunan yang berada pada jalur tanah longsor hampir 100%. Bebera-pa tindakan yang penting dilakukan dalam tahap rekonstruksi adalah: 1) perbaikan drainase tanah dengan cara menambah material yang mam-pu menyerap air; 2) momodifi kasi le-reng, yakni pengurangan sudut le-reng sebelum dilakukan pembangun-an di atas lereng tersebut; 3) peng-hijauan kembali lereng-lereng yang berpotensi mengalami longsor, dan 4) menstabilkan lokasi hunian, anta-ra lain dengan pembangunan beton penahan tembok.

Mitigasi bencana gerakan tanah sangat penting untuk menghindari terjadinya kerugian harta dan nyawa yang lebih banyak lagi. Perkiraan po-tensi bahaya gerakan tanah dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa faktor, yaitu:

1. Faktor geologi berupa penga-matan: a) litologi dengan mengetahui

Gambar 19 . Peta Wilayah Rawan Tsunami Indonesia.

Gambar 20. Peta Sesar Aktif dan Sebaran Pusat Gempa Bumi merusak wilayah Indonesia.

Page 49: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 2006 47

FOKUS KITA

kekuatan, daya serap, dan sensifi tas terhadap pelapukan kimia dan fi sika yang dapat mempengaruhi stabilitas lereng; b) struktur batuan dan tanah yang dapat mempengaruhi stabilitas mencakup urutan stratigrafi , peru-bahan fasies, rekahan dan lipatan.

2. Faktor geomorfologi, informasi geomorfologi yang paling penting da-lam memperkirakan potensi tanah longsor adalah sejarah terjadinya longsor pada suatu daerah. Informasi geomorfologi lainnya mencakup keta-jaman dan bentuk lereng juga pen-ting dalam memperkirakan potensi longsor.

3. Faktor hidrologi dan klimato-logi, pengamatan sumber, gerakan, jumlah dan tekanan air menjadi fak-tor penting, selain itu pola iklim yang digabung dengan tipe tanah dapat menyebabkan tipe longsor yang ber-beda-beda.

4.Faktor vegetasi, tanaman yang terdapat di lereng dapat memberi-kan pengaruh positif maupun negatif

bagi kestabilan lereng. Sebagai con-toh, akar dapat mengurangi aliran air permukaan dan meningkatkan kohe-si tanah, sebaliknya akar juga dapat memperbesar retakan pada batuan dan meningkatkan peresapan.

PVMBG dalam usaha mitigasi bencana gerakan tanah telah mener-bitkan Peta Prakiraan Wilayah Poten-si Terjadinya Gerakan Tanah, salah satu contoh adalah Gambar 21.

Dalam gambar di atas tampak wi-layah yang memiliki potensi gerakan tanah rendah digambarkan sebagai wilayah yang dibatasi oleh daerah dengan simbol arsir mendatar, wi-layah dengan potensi gerakan tanah sedang dengan simbol arsir miring, dan wilayah dengan potensi gerakan tanah tinggi digambarkan dengan simbol arsir menyilang.

Dengan adanya peta tersebut maka dapat diantisipasi wilayah mana saja yang memiliki potensi ge-rakan tanah tinggi dan mempersi-apkan masyarakat di tempat-tempat

tersebut untuk mewaspadai terjadi-nya longsoran tanah, terutama pada saat musim penghujan.

PENUTUP: URGENSI DATA, INFORMASI, DAN SOSIALISASI

UNTUK MITIGASI BENCANA GEOLOGI

Mitigasi bencana geologi merupa-kan bagian dari manajemen benca-na. Dalam pengelolaan penanganan bencana ini prinsip dasar yang ha-rus dianut adalah bahwa penanga-nan bencana merupakan tanggung jawab bersama. Kebersamaan dan sinergi, baik antar instansi Pemerin-tah, antara Pemerintah dengan lem-baga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun antar berbagai kom-ponen masyarakat dalam penanga-nan bencana mutlak diperlukan un-tuk seluruh jenis bencana. Untuk itu, peranan data dan informasi serta sosialisasi mutlak sangat diperlukan.

Gambar 21. Peta Prakiraan Wilayah Potensi terjadi gerakan tanah pada bulan Nopember 2005, Jawa Barat dan Banten.

Page 50: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian

WARTA GEOLOGI, JULI 200648

FOKUS KITA

Bagian akhir tulisan tentang penge-nalan konsep penanganan, bahaya dan bencana geologi ini meringkas-kan salah satu unsur yang penting dalam mitigasi bencana, yaitu: data, informasi dan sosialisasi.

Penyajian Data dan InformasiSeluruh langkah dalam tahapan

mitigasi bencana sangat bergantung kepada beberapa lengkap data dan informasi tentang bahaya dan ben-cana di suatu lokasi, tak terkecuali untuk kasus mitigasi bencana geolo-gi. Dalam kaitannya dengan bencana, UNDP (salah satu badan dari PBB) melalui Disaster Manajemen Training Programme (DMTP) telah menyusun modul pelatihan manajemen benca-na. Dalam modul tersebut terdapat struktur informasi dasar yang perlu disediakan di setiap wilayah negara terkait bencana yang sering muncul di masing-masing wilayah negara di dunia. Dipandang dari sudut data dan informasi, seluruh kandungan isi modul tersebut dapat dipandang sebagai saran untuk setiap Peme-rintahan agar menyediakan sumber daya informasi bencana-bencana yang sering atau potensial terjadi di wilayahnya masing-masing sesuai dengan struktur data dan informasi tersebut. Salah satu struktur data dan informasi tersebut berkenaan dengan bahaya dan bencana geologi. Untuk keperluan tersebut, basis data tentang bencana juga perlu dileng-kapi. Di bawah ini beberapa cuplikan dari struktur data dasar yang diperlu-kan dalam kaitannya dengan bahaya dan bencana geologi menurut DMTP dan sumber lainnya yang relevan.

- Data dan Informasi Bahaya Geologi

Dalam penyajian data dan in-formasi bahaya geologi, selain data dan informasi yang sifatnya teknis ilmiah, koordinasi dan kebersama-an penanganan bencana geologi sa-ngat memerlukan data dan informasi mendasar yang sifatnya umum dan mudah dipahami. DMTP telah mere-komendasikan suatu penyajian data dan informasi dasar yang bersifat umum dan mudah dipahami terse-but yang mengandung butir-butir berikut ini guna kepentingan miti-gasi: jenis bahaya geologi, fenomena sebab akibat, pengaruh dan karak-teristik umum, mungkinan perama-lan, faktor-faktor yang memberi andil

pada kerentanan, pengaruh-penga-ruh khusus yang merugikan, kemun-gkinan tindakan pengurangan resiko, tindakan-tindakan kesiapan khusus, kebutuhan-kebutuhan khusus paska bencana, dan alat-alat (instrumen) pe-nilaian dampak.

Tampak bahwa dalam upaya me-lengkapi format data tersebut, tidak ada satu instansi pun yang dapat bekerja secara sendirian. Kerjasama sangat diperlukan dari berbagai in-stansi Pemerintah, bahkan antar Pe-merintah, LSM, swasta dan masya-rakat luas guna memperoleh data dan informasi selengkap-lengkapnya. Sebagai contoh, apabila terdapat 79 gunung api yang aktif dan perlu di-waspadai, maka akan terdapat se-banyak 79 tabel bahaya gunung api. Demikian pula untuk jenis bahaya geologi lainnya, masing-masing ha-rus memiliki database bahaya seb-agaimana tabel 3-5.

- Data dan Informasi Bencana Geologi

Dalam penyajian data dan infor-masi bencana geologi, sebagaimana dalam penyajian data bahaya geologi dalam kaitannya dengan koordinasi manajemen bencana, selain data dan informasi yang sifatnya teknis il-miah, diperlukan juga struktur dan format data yang sifatnya umum, namu mendasar. Salah satu format data tentang bencana geologi yang disarankan oleh UNDP, PBB mela-lui DMTP adalah data dan informasi yang meliputi: mekanisme kerusakan, parameter kedahsyatan, penyebab, pengkajian bahaya dan teknik-tek-nik pemetaan, potensi pengurangan bahaya, serangan dan peringatan, elemen yang paling berisiko, strategi-strategi utama untuk mitigasi, partisi-pasi masyarakat (Lihat Tabel 1).

Sebagaimana halnya data dan in-formasi bahaya geologi, dalam upaya melengkapi format data bencana geo-logi pun meniscayakan suatu kerjasa-ma antar berbagai instansi Pemerin-tah, Pemerintah dengan LSM, swasta dan masyarakat luas guna mempero-leh data dan informasi tersebut. Da-lam konteks Otonomi Daerah, setiap Pemerintah Daerah dituntut untuk memahami data dasar untuk setiap bencana yang sering atau potensial terjadi di daerahnya masing-ma-sing, meliputi baik bencana gunung api, gempa bumi, tsunami, maupun tanah longsor atau gerakan tanah.

Sosialisasi Aspek terakhir yang perlu dike-

mukakan dalam kaitannya dengan mitigasi bencana adalah sosialisasi. Urgensi sosialisasi sedemikian nyata dalam manajemen bencana, meng-ingat penanganan bencana pada prinsipnya adalah tanggungjawab bersama. Sedikitnya ada empat ala-san lain mengapa sosialisasi bencana sangat penting dan mendesak untuk senantiasa dilaksanakan, yaitu:

- Untuk membangun pemahaman bersama tentang berbagai aspek, meliputi sebab-sebab, karakter, dan potensi keruksakan akibat bencana secara ilmiah sehingga terbangun kesadaran pentingnya kesiapsiagaan di tengah masyarakat dan meng-hindarkan jatuhnya korban akibat panik dan implikasi ketidaktahuan lainnya;

- Untuk membangun kerjasama dan koordinasi perencanaan penang-gulangan bencana secara mandiri setiap kelompok masyarakat untuk wilayahnya masing-masing, sehingga pada saatnya datang bencana ma-syarakat tidak terlalu bergantung ke-pada pihak luar. Dengan demikian, jatuhnya korban yang lebih banyak akibat bencana dapat dihindari;

- Untuk saling tukar informasi antara informasi yang sifatnya ilmiah dan teknis dengan informasi keka-yaan budaya atau kearifan lokal yang telah terbukti atau potensial mampu berperan dalam mitigasi bencana. Melalui sosialisasi, kearifan lokal da-pat diintegrasikan dan dikukuhkan dalam program mitigasi bencana, serta disebarluaskan kepada seluruh lapisan masyarakat;

- Untuk menyediakan bahan dan materi guna keperluan simulasi menghadapi bencana. Melalui sosia-lisasi, simulasi-simulasi yang dilak-sanakan oleh berbagai pihak yang peduli terhadap bencana dapat lebih terarah.

Berbagai media dapat digunakan untuk keperluan sosialisasi, mulai dari media klasik seperti buku, sam-pai media komunikasi modern seperti fi lm dan animasi. Berbagai kelompok sasaran masyarakat dapat dilibatkan dalam sosialisasi dimaksud seperti para guru dari berbagai tingkatan sekolah, anak-anak sekolah berbagai tingkatan, para pemuda, karang tar-una, ibu-ibu PKK, kelompok ulama dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya, serta aparat Pemerintah Daerah. **

Page 51: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian
Page 52: TERBIT DUA BULANAN - · PDF filekali ini pembaca juga disuguhi berita-berita dan laporan- ... Pak Hardoyo di gedung Pusat Ling ... langsung saya anggap sebagai guru saya. Kemudian