Click here to load reader
Upload
phungkiet
View
363
Download
44
Embed Size (px)
Citation preview
TERORISME DAN TEKS KEAGAMAAN: STUDI KOMPARATIF
ATAS TERJEMAH AL-QUR’AN KEMENAG RI
DAN TERJEMAH TAFSIRIYAH MMI
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister Ilmu-Ilmu Humaniora (M.Hum)
Oleh
NASRULLAH NURDIN
NIM: 211-30222-0000-1
KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB
PASCASARJANA FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M.
ii
LEMBAR PERNYATAAN KARYA ASLI
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Tesis ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh Gelar Magister Strata 2 (Dua) di Pascasarjana Fakultas Adab
dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan Tesis ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Juknis (Petunjuk Teknis) Pascasarjana
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan (plagiat) dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Pascasarjana Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Kembangan Selatan, 1 Maret 2016
Nasrullah Nurdin
iii
LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING
Tesis saudara Nasrullah Nurdin (NIM: 211-30222-0000-1) yang berjudul “Terorisme dan
Teks Keagamaan: Studi Komparatif Atas Terjemah Al-Qur’an Kemenag RI dan Terjemah
Tafsiriyah MMI” telah diperiksa dan dinyatakan layak untuk diujikan ke Sidang Terbuka
Ujian Promosi Magister.
Jakarta, 4 April 2016
Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag.
NIP : 19690415 199703 1 004
iv
TERORISME DAN TEKS KEAGAMAAN: STUDI KOMPARATIF
ATAS TERJEMAH AL-QUR’AN KEMENAG RI
DAN TERJEMAH TAFSIRYAH MMI
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister Ilmu-Ilmu Humaniora (M.Hum)
Oleh
NASRULLAH NURDIN
NIM: 211-30222-0000-1
Di Bawah Bimbingan
PROF. DR. SUKRON KAMIL, M.AG.
NIP : 19690415 199703 1 004
KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB
PASCASARJANA FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H / 2016 M.
v
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Tesis ini berjudul TERORISME DAN TEKS KEAGAMAAN: STUDI KOMPARATIF
ATAS TERJEMAH AL-QUR’AN KEMENAG RI DAN TERJEMAH TAFSIRIYAH
MMI yang ditulis oleh Nasrullah Nurdin (NIM: NIM: 211-30222-0000-1 telah diperbaiki
sesuai dengan saran tim penguji dalam Ujian Promosi Magister Pascasarjana Fakultas Adab
dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Senin, 30 Mei 2016 sebagai syarat
untuk memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum).
Jakarta, 30 Mei 2016
Tim Penguji
Ketua Sidang, Pembimbing/Merangkap Penguji I,
Dr. Abdullah, M.Ag Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag
NIP: 19610825 199303 1 002 NIP: 19690415 199703 1 1004
Anggota,
Penguji II, Penguji III,
Dr. Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum Jajang Jahroni, Ph.D
NIP: 19791229 200501 1 004 NIP: 19670612 199403 1 006
Sekretaris Sidang,
Dr. M. Adib Misbachul Islam, M.Hum
NIP: 19730224 200801 1 009
vi
KATA-KATA MUTIARA
قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم :
إن الدين يسر، ولن يشاد الدين إال غلبو )رواه البخاري(
Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh agama adalah kemudahan. Siapa saja yang bertindak
ekstrim terhadapnya, pasti kalah.” (HR. Bukhârī).
"Setiap perbuatan terorisme dan radikalisme haruslah dipahami sebagai kriminalisasi yang
dilakukan oleh seseorang yang boleh jadi menganut agama tertentu. Terorisme dapat lahir
dari ketidakadilan, didesain dan dipelihara pihak-pihak tertentu untuk kepentingan tertentu.
Terorisme juga dapat lahir karena kebodohan dalam memahami agama.”
(Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA)
Imam Besar Masjid Istiqlal 2005-2016 dan Pemimpin Darus Sunnah International
Institute for Hadith Sciences Indonesia-Malaysia
Sumber: akun Twitter @AliMustafaYaqub.
If You Want to Stop Terrorism, Stop Killing Muslims !
(Jika Anda ingin menghentikan terorisme, berhentilah membunuhi orang Islam !)
Prof Noam Chomsky, Guru Besar Emiritus Linguistik di Institut Teknologi
Massachusetts Amerika Serikat.
Sumber: Youtube https://www.youtube.com/watch?v=dW0eiPiuUuk
vii
ABSTRAK
NASRULLAH NURDIN. NIM: 211-30222-0000-1
“TERORISME DAN TEKS KEAGAMAAN: STUDI KOMPARATIF ATAS TERJEMAH
AL-QUR’AN KEMENAG RI DAN TERJEMAH TAFSIRIYAH MMI” DI BAWAH
BIMBINGAN PROF. DR. SUKRON KAMIL, M.AG.
Tujuan penelitian ini membuktikan bahwa terjemah Al-Qur‟an Kemenag RI bukan
penyebab timbulnya aksi terorisme di Indonesia. Terorisme agama muncul di antaranya
faktor literal/tekstual dalam memahami teks keagamaan. Riset ini menegaskan, terjemah
tafsiriyah MMI yang mereka anggap sebagai solusi/koreksi bukan merupakan bentuk
deradikalisasi, sebab mereka sendiri termasuk kelompok Islam radikal.
Tesis ini berkesimpulan bahwa terjemah Al-Qur‟an Kemenag RI Tahun 2002
disusun menggabungkan dua metode sekaligus: harfiyah dan tafsiriyah. Redaksi ayat/nash
Al-Qur‟an yang bisa dialihbahasakan secara harfiyah, maka diterjemahkan secara harfiyah,
sedangkan yang tidak bisa, maka diterjemahkan secara tafsiriyah. Teknik penerjemahan ini
mendukung argumentasi ulama tafsir sebelumnya, semisal al-Syâthibī, Ibnu Qutaibah, dan al-
Marâghī. Dalam konteks Indonesia, metode ini pernah dilakukan A. Hassan dalam Al-Furqân
Tafsīr Al-Qur’an, T.M. Hasbi al-Shiddīqī dalam Tafsīr al-Bayân, dan M. Quraish Shihab
dalam Al-Qur’an dan Maknanya.
Riset ini berseberangan dengan teori strukturalisme Ferdinand de Saussure yang
menyarankan kajian bahasa bersifat intralinguistik yang sinkronik (ta’âshuriyyah), dan
berupaya memperkuat teori mentalistik atau kognitivistik (nazhariyyah ‘aqliyyah) Noam
Chomsky, yang memandang bahasa merefleksikan pikiran
penuturnya/penulisnya/penerjemahnya (mutakallim/kâtib/mutarjim). Dengan menggunakan
pendekatan kualitatif, jenis penelitian deskriptif-analitis berbasis ilmu humaniora, penulis
menganalisis dua variabel: hubungan terorisme dan terjemah Al-Qur‟an. Objek riset ini
adalah menganalisis terjemahan ayat-ayat jihâd melalui analisis semantik leksikal dan
gramatikal dengan membandingkan terjemah Al-Qur‟an Kemenag 2002 dan terjemah
tafsiriyah MMI 2013. Jenis semantik ini mengusung pengkajian suatu makna leksikal yang
ditentukan oleh kata, baik sebelum maupun sesudahnya dan mengkaji tata bahasa dalam
terjemahan MMI. Konteks yang dijadikan pijakan analisis adalah konteks sosio-historis-
kultural yang menyelimuti teks keagamaan tersebut. Gagasan ini juga yang dikemukakan
Benny Hoedoro Hoed, bahwa sebuah teks terjemahan dari bahasa sumber (BSu) ke bahasa
sasaran (BSa) memerlukan pemahaman semantik yang utuh.
Keywords: Terjemah Al-Qur’an, Semantik, Literalisme, Terorisme, dan Teks Keagamaan
viii
ABSTRACT
NASRULLAH NURDIN. NIM: 211-30222-0000.1
"TERRORISM AND RELIGIOUS TEXTS: COMPARATIVE STUDY OF MMI
CRITICISM AS AN ISLAMIC FUNDAMENTALISM TOWARDS THE QUR'AN
TRANSLATION OF MINISTRY OF RELIGIOUS AFFAIRS, RI" UNDER THE
GUIDANCE OF PROF. DR. SUKRON KAMIL, M.AG.
This study found that the Qur'an translation of the Ministry of Religious Affairs is not
the cause of terrorism acts in Indonesia. The religious terrorism emerged among
literal/textual factors in understanding the religious texts. This research confirmed that
MMI‟s tafsiriyah translation of which they consider as a solution/correction is not a form of
de-radicalization, because they themselves belong to the group of political Islamic radicalism.
This thesis revealed that the Qur'an translation of the Ministry of Religious Affairs
year 2002 was arranged by combination of two methods: harfiyah and tafsiriyah. Editor‟s
verse/nash of the Qur'an that can be translated as harfiyah is (then) translated as harfiyah, and
for those which cannot, then being translated as tafsiriyah. This translation technique
encourages the argumentation of earlier scholars‟ interpretations, such as al-Syâthibī, Ibnu
Qutaibah, and al-Marâghī. In the Indonesian context, this method had been implemented by
A. Hassan on Al-Furqân Tafsir Al-Qur’an, T.M. Hasbi al-Shiddīqī on Tafsir al-Bayân, and
M. Quraish Shihab on Al-Qur’an dan Maknanya.
This research is contrary to the structuralism theory of Ferdinand de Saussure who
suggested that the study of language is a synchronic intra-linguistics (ta’âshuriyyah), and
attempts to strengthen the mentalism or cognitivism (nazhariyyah ‘aqliyyah) theory of Noam
Chomsky, who views the language as a reflection to the speaker/author‟s (mutakallim/kâtib)
thoughts. By using a qualitative approach, the research type is descriptive-analytical with the
basis of humanities sciences, the author analyzed two variables: the relationship between
terrorism and translation of the Qur'an. This research analyzed the translation of jihâd verse
through the syntactical semantic analysis by comparing the Qur'an translation of the Ministry
of Religious Affairs year 2002 and MMI‟s tafsiriyah translations year 2013. This semantic
type is carrying a lexical meaning of which the assessment is determined by words, either
before or afterwards. Contextuality used as the basis of analysis is the context of socio-
historical-cultural that surrounds the religious texts. This idea was also expressed Benny
Hoedoro Hoed, that a translation from the source language text (BSu) to the target language
(BSa) requires the understanding of semantics and analysis processes of the BSU.
Keywords: Qur'an Translation, Semantics, Literalism, Terrorism and Religious Texts
ix
الملخص
حول انتقادات مجلس المجاىدين االندونيسى كاألصولية اإلسالمية رىاب والنص الديني: دراسة مقارنةاإل
على ترجمة القرآن الكريم لوزارة الشؤون الدينية باندونيسيا
تحت االشراف األستاذ الدكتور شكران كامل الماجستير***
لشؤون الدينية باندونيسيا ليست سببا لإلرىاب كشفت ىذه الدراسة على أن ترمجة القرآن الكرمي لوزارة ايف إندونيسيا. كان ظهور اإلرىاب الديىن بسبب العوامل العديدة، منها الفهم احلريف للنصوص الدينية. ويؤكد ىذا
التفسنية جمللس اجملاىدين االندونيسى الذي يعتربوهنا حال أو تصحيحا ال يشكل ضد البحث على أن الرتمجة .م أنفسهم ينتوون إ ى مجووعة من األوولية اإلسالمية السياسيةالتطرف، ألهن
جتوع 2002ىذه الدراسة تكشف على أن ترمجة القرآن الكرمي لوزارة الشؤون الدينية باندونيسيا سنة و تفسنيا، قد تكون الرتمجة حرفيا ان أمكن، و اال فتكون تفسنيا. ىذه التقنية ىف الرتمجة بن الطريقتن:حرفيا
أكدىا العلواء السابقون، منهم الشاطىب وابن قتيبة واملراغي. ويف إندونيسيا، هنج ىذا املنهج عبد اهلل حسن ىف حسيب الصديقي يف تفسن البيان وحمود قريش شهاب يف القرآن تفسنه الفرقان تفسن القرآن و تينكو حمود
.الكرمي ومعناه
ة تكون على أساس د دي سوسن الذي يؤكد أن دراسة اللغىذا البحث خيالف نظرية البنيوية لـفردينان، ويسعى إ ى تعزيز نظرية عقلية لـنعوم تشومسكي، الذي يرى أن اللغة تعكس أفكار التصورية التعاورية أو اللغوية
ا املستود من العلوم اإلنسانية مبنهج نوعى، حلل الكاتب من خالهل مقارنةة دراسة املتكلم هلا. كانت ىذه الرسالمتغنين: العالقة بن اإلرىاب وترمجة القرآن. يقارن ىذا البحث ترمجة آية اجلهاد بن ترمجة القرآن الكرمي لوزارة
من خالل التحليل 2002و ترمجة مجلس اجملاىدين االندونيسى سنة 2002الشؤون الدينية باندونيسيا سنة ل الكلوات، سواء قبلو أو بعده. مع استخدام سياق الداليل والنحوي. حدد النوع الداليل معنا معجويا من قب
االجتواعية والتارخيية والثقافية اليت حتيط بالنص الديين كأساس التحليل. وأعرب عن ىذه الفكرة بيين ىودورو تتطلب فهوا لغويا ومعناويا وتطبيقيا جبانب معرفة ىويد الذى يرى أن ترمجة النص من لغة األم إ ى لغة اهلدف
فات والتحاليل.املرتاد
: ترمجة القرآن، علم الداللة، احلرفية، اإلرىاب، النصوص الدينيةكلمات البحث
x
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Dalam Tesis ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke dalam huruf latin.
Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam Buku “Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah” yang diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
tahun 2007.
1. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin
T ط ا
Z ظ B ب
„ ع T ت
Gh غ Ts ث
F ف J ج
Q ق H ح
K ك Kh خ
L ل D د
M م Dz ذ
N ن R ر
W و Z ز
H ة S س
` ء Sy ش
Y ي S ص
D ض
xi
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
A. Vokal tunggal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
---- A Fathah
---- I Kasrah
----- U Dammah
B. Vokal rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي--- Ai a dan i
و--- Au a dan u
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu :
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
----ا/ي Â a dengan topi di atas
ي---- Î i dengan topi di atas
و--- Û u dengan topi di atas
xii
3. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu ال ,
dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf qamariyah.
Contoh : al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.
4. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah
tanda--- dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan
huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang
menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf
syamsiyah. Misalnya, kata رورة ,tidak ditulis ad-darûrah melainkan al- darûrah الض
demikian seterusnya.
5. Ta Marbûtah
Jika huruf Ta Marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (contoh No.1). hal yang sama juga berlaku, jika Ta
Marbûtah tersebut diikuti oleh (na’at) atau kata sifat (contoh No.2). namun jika huruf Ta
Marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi
huruf /t/ (contoh No. 3)
No. Kata Arab Alih Aksara
Tarîqah طريقة 1
al-jâmi’ah al-islâmiyah الجامعة اإلسالمية 2
wihdat al-wujûd وحدة الوجود 3
6. Huruf kapital
Mengikuti EYD bahasa Indonesia. Untuk proper name (nama diri, nama tempat, dan
sebagainya), seperti al-Kindi bukan Al-Kindi (untuk huruf “al” a) tidak boleh kapital.
xiii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur terpanjatkan kepada Allah SWT, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Tesis ini dengan baik dan cepat. Salawat dan salam terlimpahkan kepada suri
teladan (uswah hasanah) Sayyidina Rasulullah Muhammad SAW, Rasul terakhir tiada lagi
makhluk yang lebih mulia selain beliau (afdhal al-makhluqīn). Semoga kita termasuk orang-
orang yang mendapatkan syafa‟at-Nya di padang mahsyar kelak. Amin Ya Rabbal ‘Âlamin.
Salam ta’dzim dan rasa cinta kasih terhaturkan kepada dua inspirator gemilang
penulis yaitu Ayahanda Ustadz H. Nurdin Jasan dan Ibunda Ustadzah Hj. Syamsiah Saman
yang benar-benar menyentuh sanubari penulis dengan pesannya agar selalu beribadah,
belajar, dan bekerja atas nama Allah (fillâh, billâh, wa ilallâh) dan Rasul-Nya, doa keduanya
mendorong gerak tubuh ini dalam jalan yang diridhai-Nya. Keduanya dengan sentuhan
keikhlasan hati mendidik, membesarkan, dan memohonkan doa untuk penulis sejak 28 tahun
silam. Semoga kedua orangtua penulis dalam naungan Allah SWT, diberikan umur panjang,
rezeki yang halal, berkah, dijaga dari pintu neraka, dan masuk Jannat al-na’im. Amin.
Doa dan sayangku kepada dua adikku yang cantik nan cerdas; adinda Siti Robiah al-
Adawiyah, S.Pd.I dan adinda Siti Qotrun Nada serta keponakan Siti Aisyah Lutfiyah.
Dalam sekapur sirih ini, izinkan Penulis menghaturkan ekspresi terima kasih kepada:
1) Prof. Dr. H. Dede Rosyada, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
sedang berupaya keras melanjutkan cita-cita pendahulunya menjadikan UIN Jakarta
dari Teaching University menjadi Research University and World Class University.
2) Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
sekaligus pembimbing Tesis dan promotor Magister Humaniora. Masukan, saran, dan
kritik konstruktif yang telah diberikan amat bermanfaat bagi penulisan Tesis ini.
Begitu juga diucapkan kepada pembimbing Tesis lainnya, Prof. Dr. KH. Ahmad
Satori Ismail, MA., yang telah berkenan meluangkan waktu di tengah kesibukan
beliau.
3) Ketua Program dan Sekretaris Program Pascasarjana FAH, Dr. Abdullah, M.Ag., dan
Dr. Adib Misbahul Islam, M.Hum. Untuk keduanya, diucapkan terima kasih atas
arahan dan support-nya beserta segenap Dosen Pascasarjana FAH UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Bapak/Ibu Dosen Profesor dan Doktor tercinta atas perhatian
dan nasehatnya. Untuk dua penguji pendahuluan Tesis ini sekaligus penguji ujian
promosi Magister, Dr. Moch Syarif Hidayatullah, M.Hum dan Jajang Jahroni, Ph.D
Peneliti Senior PPIM, disampaikan terima kasih atas koreksi dan coretan evaluatifnya.
xiv
4) Tak lupa kepada Khadim al-Ma’had Darus Sunnah International Institute for Hadith
Sciences, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yakub, MA. Doaku selalu menyertaimu, Tuan
Guruku.
5) Penulis berhutang budi kepada Bapak Menteri Agama RI, Drs. H. Lukman Hakim
Saifuddin; Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Prof. H.
Abdurrahman Mas‟ud, Ph.D; Sekretaris Balitbang Dr. H. Rohmat Mulyana Sapdi,
M.Pd; Dirjen Bimas Islam Prof. Dr. H. Machasin, MA; Dr. H. Hamdar Arraiyyah,
M.Ag; H. Muharram Marzuki, Ph.D; Drs. H. Choirul Fuad Yusuf, M.A. Exclusively
for Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA selaku Imam Besar Masjid Istiqlal 2016-2020;
dan Prof. Dr. H. Mahfud, MD yang keduanya berkenan memberikan “jalan” dan
networking, Bpk Drs. Djubaidi Adih, M.Si sebagai Ketua BAZIS DKI; Ketua MUI
DKI Jakarta KH. Ahmad Syarifuddin Abdul Gani, MA; Rois Syuriah PWNU DKI
Jakarta KH. Mahfuz Asirun; KH. Drs. Imron Rosyadi, ZA; KH. Drs. Taufiqurrahman,
SQ (ustadz pantun). Tak lupa Dr. M. Yusuf di Kemenlu RI; dan Dr. H. Muchlis M.
Hanafi, MA di LPMQ Badan Litbang Kemenag RI; dan Dr. KH. Ahmad Lutfi
Fathullah, MA (Direktur Pusat Kajian Hadis).
Harapan sepenuh hati kepada pemegang tampuk jiwa ini, Allah SWT, semoga karya
ilmiah yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi peminat penerjemahan/penafsiran, kajian
gerakan keagamaan kontemporer di Indonesia, dan pecinta studi Al-Qur‟an. Pepatah Arab
menuturkan: (Idzâ tamma al-amru, bada naqsuhu, bila suatu perkara telai selesai, pasti ada
saja sisi kurangnya). Oleh karena itu, kritik konstruktif dan saran-saran dari semua khayalak
pembaca sangat dinantikan demi kesempurnaan Tesis ini.
Kembangan Selatan, 1 Januari 2016
Penulis
Nasrullah Nurdin
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………………. i
LEMBAR PERNYATAAN KARYA ASLI ……………………………………………… ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………………………………. iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN …………………………………………... v
LEMBAR KATA MUTIARA ……………………………………………………………. vi
ABSTRAK ………………………………………………………………………………… vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ………………………………………… x
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………. xiii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………..... xv
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………...…………………….. 1
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………….. 1
B. Identifikasi, Rumusan, dan Batasan Masalah …….................................... 11
C. Riset Terdahulu yang Relevan ………………………………………….. 14
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………………….. 26
E. Metodologi Penelitian …………………………………………………… 28
1. Objek dan Jenis Penelitian …………………………………………... 28
2. Sumber/Teknik Pengumpulan Data ………………………………..... 30
3. Teknik Penulisan/Metode Analisis Data …………………………….. 33
F. Sistematika Penulisan …………………………………………………… 37
xvi
BAB II KERANGKA TEORITIK FUNDAMENTALISME, TERORISME, DAN
TEKS KEAGAMAAN …………………………………………………….. 39
A. Sekilas Mengenai Fundamentalisme Islam ………………………………. 39
B. Klasifikasi Fundamentalisme Islam ……………………………………… 47
C. Terorisme dan Agama ……………………………………………………. 57
1) Keterkaitan Radikalisme dan Terorisme Agama …………………….... 61
2) Terorisme di Belahan Dunia …………………………………………... 64
3) Menelisik Definisi Terorisme dan Aksinya di Indonesia ……………... 76
4) Menginterpretasi Jihâd dan Terorisme secara Tepat ………………….. 90
5) Penerapan Jihâd yang Salah …………………………………………. 104
6) Penyebab Lahirnya Terorisme ……………………………………….. 109
7) Negara Islam: Doktrin Paling Strategis saat ini ……………………....116
D. Teks Keagamaan dan Pola Keislaman ………………………………….. 119
E. Teori Semantik Mentalisme Noam Chomsky (Kajian Kebahasaan) ……. 126
1. Pengantar Semantik …………………………………………………... 126
2. Teori Mentalistik dan Generatif-Transformatif Noam Chomsky …….. 144
3. Kritik atas Konsep Strukturalisme Ferdinand De Saussure
dan Behaviorisme Leonard Bloomfield …………………………........ 161
F. Ulasan Singkat Terjemah Harfiyah dan Tafsiriyah …………………........168
BAB III MMI SEBAGAI GERAKAN FUNDAMENTALISME ISLAM……….. 187
A. Memotret Profil MMI dari Dekat ………………………………………. 187
B. MMI sebagai Gerakan Fundamentalisme Islam …. ………….………… 196
a) Visi dan Ideologi MMI …………………………………………….…. 196
b) Misi MMI …………………………………………………………….. 200
xvii
c) Struktur Organisasi MMI ……………………………………………... 200
d) Basis Keanggotaan MMI ……………………………………….…….. 201
e) Kongres dan Sumber Dana MMI …………………………………….. 202
f) Estafet Kepemimpinan MMI …………………………………………. 203
C. Sekilas Penjelasan Al-Qur’an Tarjamah Tafsiriyah…………..……........ 212
BAB IV KRITIK MMI ATAS TERJEMAHAN AL-QUR’AN
KEMENAG RI………………..…... ………………………………………... 217
A. Terjemahan Al-Qur‟an Kemenag secara Umum …………………………... 222
B. Terjemahan Al-Qur‟an Kemenag dan Terorisme ……….......……………... 237
C. Menguji Terjemah Tafsiriyah MMI sebagai Deradikalisasi …...…...……... 246
D. Kategorisasi dan Identifikasi Ayat-Ayat Jihâd …..……………….………. 253
E. Studi Kasus Teks Terjemahan bernada Jihâd/Terorisme …………..……. 265
1) Ayat-Ayat Makkiyyah
Pertama, QS. al-‟Ankabût (29) : ayat 6 ....................................................... 270
Kedua, QS. al-‟Ankabût (29) : ayat 8 ........................................................... 272
Ketiga, QS. al-‟Ankabût (29) : ayat 69 ......................................................... 274
Keempat, QS. al-Nahl (16) : ayat 110 ........................................................... 276
Kelima, QS. al-Furqân (25) : ayat 52 ............................................................ 277
Keenam, QS. Luqmân (31) : ayat 15 ............................................................ 278
Ketujuh, QS. al-Nahl (16) : ayat 38 ............................................................... 279
Kedelapan, QS. al-‟Ankabût (29) : ayat 6 ..................................................... 280
Kesembilan, QS. al-Furq ân (25) : ayat 52 .................................................... 280
2) Ayat-Ayat Madaniyyah
Pertama, QS. al-Baqarah [2] : ayat 190-193 .................................................. 281
xviii
Kedua, QS. al-Shâf [61] : ayat 11 .................................................................. 286
Ketiga, QS. al-Anfâl [8] : ayat 39 ................................................................... 288
Keempat, QS. al-Taubah [9] : ayat 5 ............................................................... 290
Kelima, QS. al-Hajj [22] : ayat 78 ................................................................... 292
Keenam, QS. al-Tahrīm [66] : ayat 9 .............................................................. 294
Ketujuh, QS. al-Taubah [9] : ayat 20 .............................................................. 296
Kedelapan, QS. al-Taubah (9) : ayat 73 .......................................................... 297
Kesembilan, QS. Muhammad (47) : ayat 31 ................................................... 299
BAB V PENUTUP .................................................................................................. 302
A. Kesimpulan ........................................................................................... 302
B. Saran-saran / Rekomendasi ................................................................. 303
DAFTAR PUSTAKA ............... ...................................................................................... 304
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................................... 314
GLOSARIUM ..................................................................................................................... 316
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................................. 318
CURRICULUM VITAE .................................................................................................... 326
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Awal abad ke-21 sekarang ini, dunia masih terus menyaksikan rentetan perubahan
cepat dan mendasar yang pada gilirannya mempengaruhi proses transformasi pada
konfigurasi politik dan ekonomi global. Secara politik, muncul gelombang demokrasi yang
syarat dengan nilai-nilai kebebasan dan persamaan. Secara ekonomi, timbul gejala globalisasi
ekonomi pasar yang kental akan nuansa kapitalisme global dan pandangan bebas. Perubahan
politik dan ekonomi global tersebut telah menempatkan negara-negara pada pola hubungan
saling ketergantungan (interdependensi) dan saling keterkaitan (interlingkage). Bersamaan
dengan perubahan global ini, telah lahir pula isu baru yang sangat besar pengaruhnya
terhadap tatanan politik ekonomi global saat ini. Isu baru ini adalah isu seputar terorisme.
Meskipun isu mengenai terorisme telah ada secara dominatif pada masa Perang Dingin (cold
war) dan sesudahnya, namun klimaks dari menguatnya gejala ini adalah meletusnya tragedi
11 September 2001.1 Terorisme disebut sebagai ancaman non-tradisional (non-conventional
threats). Sulit disangkal, di era globalisasi ini terorisme justru bertambah kembang dengan
pesatnya.2
Diskursus terorisme dan jihâd semakin aktual pasca peristiwa 11 September 2001,
pengeboman WTC (World Trade Center), Menhattan, New York dan Gedung Pentagon,
Washington DC. WTC adalah simbol supremasi ekonomi Amerika, sementara Pentagon
merupakan ikon keperkasaan militer negeri Paman Sam tersebut. Peristiwa itu telah
menimbulkan dampak psikologis, perekonomian dunia dan ketegangan hubungan antara
1 Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2002: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia
(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 1-2. Tesis pada Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Konsentrasi Syariah. 2 Agus Surya Bakti, Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi
(Jakarta: Daulat Press, 2014), h. 2.
2
Amerika (Barat) dengan dunia Islam karena Presiden Amerika Serikat, George W. Bush
mengklaim bahwa pelaku pengeboman adalah jaringan Islam radikal (Al-Qaeda) pimpinan
Osamah bin Laden.3 Sebaliknya, kalangan Islam radikal meyakini bahwa perbuatan mereka
merupakan aktualisasi doktrin jihâd yang diperintahkan dalam Islam. Perdebatan terorisme
dan jihâd eksis ketika para pemikir terorisme, media massa, dan teroris, terutama dari
kalangan fundamentalis Muslim, memberikan argumentasi yang kontroversial tentang
paradigma terorisme dan jihâd.4
Menurut Ready Susanto, seperti dikutip Kasjim Salenda, pesawat yang menabrak
menara utara WTC New York tersebut adalah Boeing 767 American Airlines dengan nomor
penerbangan 11, jurusan Boston-Los Angeles (LA) pada pukul 08.48, menewaskan 92 orang
termasuk 9 orang kru dan 2 pilot, sementara pesawat yang menabrak selatan WTC yakni
Boeing 757 United Airlines dengan nomor penerbangan 175 jurusan Bandara Dulles,
Washington DC menuju Los Angeles pada pukul 09.05, yang menewaskan 65 orang
termasuk 7 kru dan 2 pilot. Adapun pesawat yang menabrak sisi barat Pentagon, Washington
DC pada pukul 09.40 adalah American Airlines dengan nomor penerbangan 77 jurusan
Virginia-Los Angeles, menewaskan 64 orang termasuk 4 kru dan 2 pilot. Satu pesawat
lainnya, United Airlines dengan nomor penerbangan 93 jurusan New Jersey-San Francisco
diarahkan ke Gedung Putih namun terjatuh di Stony Creek, Pennsylvania, yang menewaskan
45 orang termasuk 5 kru dan 2 pilot.5
3 Organisasi Al-Qaeda (tanzhim Al-Qaidah) menurut Syaikh Mamduh al-Harbi seperti dikutip Ali
Mustafa Yaqub bahwa organisasi ini dikenal dengan sebutan Laskar Islam (al-Jaisy al-Islamy) atau Front Islam
Dunia untuk Jihâd Melawan Yahudi dan Kristen (al-Jabhah al-Islâmiyyah al-„Âlamiyyah li al-Jihâd Dhidd al-
Yahûd wa al-Shâlibiyyah), alias Laskar Islam untuk Pembebasan Wilayah Palestina (al-Jaisy al-Islamy li Tahīr
al-Arâdhī al-Muqaddasah), alias Jaringan Usamah bin Laden (Syabakah Usamah bin Laden), Lembaga
Pemurnian Islam (al-Khalâsh al-Islâmy), dan Kelompok Penjaga Tempat-Tempat Suci. Lihat Ali Mustafa
Yaqub, Ijtihad, Terorisme, dan Liberalisme (Jakarta: Pustaka Darus Sunnah, 2015), h. 46-47. 4 Kasjim Salenda, Terorisme dan Jihâd dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI, 2009), h. 1-2. Buku ini berawal dari Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2008. 5 Kasjim Salenda, Terorisme dan Jihâd dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI, 2009), h. 4. Buku ini berawal dari Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2008.
3
Wajah Islam yang damai dan sejuk, kini telah tercoreng oleh munculnya berbagai
tindakan ekstrimisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok teroris atau individu
ekstrimis yang mengatasnamakan Islam. Sebut saja fenomena ISIS, peristiwa Charlie Hebdo,
dan serangan Paris yang belakangan ini meluas ke mana-mana termasuk bom Sarinah
Thamrin di Jakarta Pusat. Padahal perbuatan semacam itu tidak dapat diterima oleh seluruh
agama, bertentangan dengan hati nurani dan moralitas. Pergeseran politik dunia akibat
gelombang globalisasi memberi dampak besar bagi dunia dan Islam. Salah satu kondisi nyata
adalah konflik di negara-negara Timur Tengah yang digerakkan oleh kelompok radikal
menimpa hampir semua negara. Kondisi seperti itu mengakibatkan tergusurnya kekuatan
Islam Ahlussunnah wal Jamâ‘ah, demikian juga di kawasan Asia Tengah dan Asia Selatan.6
Islam dan umat Islam menjadi pihak yang tertuduh dalam aksi tersebut yang
sebelumnya dianggap sebagai ancaman bagi kehidupan masyarakat dunia. Berbagai stigma
dilekatkan. Islam identik dengan kekerasan, terorisme, fundamentalisme,7 radikalisme dan
sebagainya. Dengan menggalang kekuatan internasional, Amerika Serikat melancarkan
kampanye antiteror. Atas nama itu, Afganistan dan Irak diserang. Berbagai organisasi dan
gerakan keagamaan juga menjadi sasaran, terutama jaringan Al-Qaeda Internasional.
Tuduhan tersebut menemukan relevansinya dengan pernyataan para pelaku yang
menyebutkan motivasi keagamaan di balik aksi mereka, sehingga banyak pengamat
mengaitkan gerakan Islam garis keras dengan terorisme dan kekerasan. Kendati banyak
faktor yang melatarbelakanginya, seperti faktor politik, ekonomi, sosial, psikologi, dan
6 https://www.isomil.id/nu diunduh pada Senin, 25 April 2016, pukul 11.45 WIB.
7 Afadlal secara umum membagi kaum fundamentalis ke dalam dua golongan. Pertama, fundamentalis
yang hanya bergerak pada tataran pemurnian praktek keagamaan. Kelompok ini menekankan pada pemurnian
bentuk-bentuk peribadatan dari praktek-praktek yang disebut sebagai takhâyul, bid‟ah, dan khurâfat. Sementara
itu, kelompok kedua adalah fundamentalisme yang bercorak gerakan politik. Gerakan ini bercita-cita
menjadikan syariat Islam sebagai dasar dalam pengaturan kehidupan berbangsa dan bernegara secara formal
(pilar-pilar Negara). Kelompok ini menjadikan Islam sebagai ideologi yang harus diterapkan oleh sebuah
Negara. Lihat riset Afadlal dkk., dalam Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia Press, 2005), h. 280.
4
lainnya, tetapi faktor keyakinan dan pemahaman terhadap beberapa doktrin keagamaan
agaknya yang paling dominan. Seakan perlawanan menentang hegemoni suatu kekuatan
tertentu, yang notabene berbeda agama, dalam berbagai dimensi kehidupan mendapat
legitimasi dari teks-teks keagamaan, tentunya dengan pemahaman yang literal (nasshi),
parsial (juz‟i), dan ekstrim/berlebihan (tatharruf/ghuluw). Sehingga terkesan konflik bukan
lagi karena akumulasi berbagai kekecewaan akibat hegemoni pihak tertentu, tetapi seakan
meluas kepada konflik agama.8
Terorisme sebagai gerakan yang membawa ambisi kebenaran, menggunakan
pelbagai kendaraan. Ada yang menggunakan kendaraan agama, politik, dan ekonomi.
Apapun kendaraannya, terorisme menampilkan wataknya yang serba hegemonik, anarkis dan
radikal. Inilah kesan yang bisa ditangkap mengenai terorisme. Hampir seluruh gambarannya
buruk dan tidak manusiawi. Ironisnya, berbagai tindakan kekerasan dan terorisme dikaitkan
dengan Islam. Terorisme identik dengan Islam. Stigma ini diusung kalangan Barat, terutama
Amerika Serikat. Segala bentuk kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam atau kalangan
yang tidak sejalan dengan Amerika Serikat diklaim sebagai aksi terorisme.9 Dalam konteks
Indonesia, munculnya gerakan-gerakan Islam radikal terutama pasca Orde Baru tahun 1998,
dengan mengatasnamakan agama dan kelompok tertentu telah menimbulkan kerusakan pada
tata kehidupan bangsa yang sangat majemuk. Bangsa kita lebih mudah curiga terhadap
sesuatu yang “berbeda”, sesuatu yang dipandang “asing”. Bahkan, tak jarang perbedaan
yang terlanjur dipandang sebagai “yang asing” secara ekstrim juga disebut sebagai “sesat”.
Penyebutan diksi “sesat” dan “menyimpang” begitu mudah keluar untuk menyebut relasi
sosial yang heterogen ini. Pada saat yang bersamaan, radikalisme agama juga terindikasi
dipengaruhi konflik sektarian yang memang memiliki kesejarahan dalam perjalanan umat
8 Muchlis M. Hanafi, Islam, Kekerasan, dan Terorisme (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur‘an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015), h. 2-3. 9 Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2003: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia.
Tesis dipertahankan pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2004, dengan
mengambil konsentrasi Syariah, h. 4-5.
5
Islam. Konflik yang kini terjadi di beberapa negara muslim dan melibatkan sesama muslim
pula, telah dimaknai sebagai konflik teologis dan beberapa kalangan mencoba menariknya ke
dalam konteks keindonesiaan. Kelompok ini begitu massif melakukan propaganda dan
menggiring opini publik bahwa konflik tersebut adalah jihâd dalam memerangi kelompok
muslim tertentu.10
Pembacaan yang literal dan tidak holistik menjadi salah satu pemicu timbulnya
terorisme agama. Isu ini harus dihadapi oleh para pemikir agama, termasuk para sarjana
Muslim di era modern dan postmodern.11
Tantangan ini memang sangat berat. Masalah ini
merupakan isu modernitas yang belum ada pada masa sebelumnya, seperti isu kesetaraan
gender, hak asasi manusia, humanisme, liberalisme, sekularisme, pluralisme, dan isu-isu
modernitas lainnya. Hal ini semua menuntut para pemegang otoritas dan cendekiawan agama
untuk melakukan pembacaan kembali (rereading) terhadap kitab suci,12
sumber rujukan
agama mereka masing-masing. Bagi para sarjana Muslim modern, pembacaan ulang ini
bukan hanya berupa pembacaan yang berpijak pada otoritas teks semata (secara literal), tetapi
lebih dari itu mereka berusaha menunjukkan signifikansi dan nilai kontributif teks
keagamaan13
tersebut bagi kehidupan modern yang sedang dihadapi.
10
Lukman Hakim Saifuddin, kata Sambutan Radikalisme Agama dan Tantangan Kebangsaan, Menuju
Islam Indonesia yang Ramah dan Moderat (Jakarta: Direktur Jenderal Bimas Islam, 2014), h. vii – x. 11
Dalam catatan Alwi Shihab, pada 1960-an bangkit suatu gerakan kultural intelektual baru akibat rasa
cemas terhadap janji-janji gerakan modern yang dianggap gombal. Gerakan ini menamakan dirinya
posmodernisme. Gerakan ini secara konkret menunjukkan kepanikannya terhadap gerakan modern dengan suatu
aksi nyata di St. Louis, AS, pada tahun 1972. Gerakan modern atau modernitas tampil dalam sejarah sebagai
kekuatan progresif yang menjanjikan pembebasan manusia dari berbagai belenggu keterbelakangan dan
irasionalitas yang mengunggulkan rasio atau emosi, akal atas hati. Sebaliknya, posmodernisme menyanggah dan
menolak gerakan modern yang menempatkan akal (intellect/reason) di atas wahyu, gerakan ini menghidupkan
kembali relevansi nilai-nilai tradisional suci terhadap kehidupan manusia yang selama ini dicampakkan oleh
modernitas. Semangat baru kembali ditiupkan kepada nilai-nilai tradisional keagamaan. Iman dalam
posmodenisme sesuatu yang otentik, suci, agar kembali pada posisinya semula. Alwi Shihab, Islam Inklusif
Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1998), h. 50-53. 12
Kitab suci adalah sebuah teks, bila teks dipahami sebagai ―segala bentuk wacana yang dipancangkan
(fixed) melalui tulisan.‖ Teks berarti segala bentuk ‗produk‘ dari discourse, apakah berupa ucapan (speech),
tulisan (writing), gambar (visual text), bahkan benda-benda (artefact). Yasraf Amir Piliang, Agama dan
Tamasya Hermeneutika dalam pengantar buku Memahami Bahasa Agama (Bandung: Mizan, 2011), h. 17-18. 13 Teks keagamaan di sini adalah teks yang substansinya didominasi oleh tema dan topik-topik yang
bersumber pada satu agama atau lebih. Kitab suci adalah teks keagamaan yang bersumber pada satu agama.
Fokus pembicaraan kita akan difokuskan pada teks yang bersumber pada satu agama, khususnya Al-Qur‘an.
Tentu saja ada teks keagamaan yang bukan kitab suci, seperti karya teologis dan karya sastra keagamaan. Dunia
6
Dalam kasus lain yang sejenis, problem literalisme tersebut pada gilirannya
tersemat pada kelompok sosial/ormas Islam keagamaan fundamentalisme, dalam konteks
Indonesia yaitu fundamentalisme dakwahis (seperti salafi Jamaah Tabligh), fundamentalisme
Islam politis (seperti MMI dan HTI) dan fundamentalisme Islam jihadis (seperti Jamaah
Islamiyah, Ansharut Tauhid, dan NII) sebagaimana nanti akan diulas secara detail pada bab
II. Bahkan lebih dalam lagi, ditemukan sejumlah akar permasalahan yang melahirkan pola
keagamaan dan bahasa pada fundamentalisme jihadis yang melakukan terorisme atas nama
Islam. Tentu saja problem literalisme yang telah diungkap di atas itu berubah menjadi
radikalisme (salafi-jahadis) sampai bergeser pada aksi terorisme (jihadis-teroris) saat bertemu
faktor-faktor lain, yaitu perasaan adanya ketidakadilan, kerentanan, ketidakpercayaan dan
ketidakberdayaan. Sebagai muslim, kaum teroris seperti Imam Samudera, merasa
diperlakukan tidak adil oleh kekuatan Barat, terutama Amerika Serikat/USA (United State of
America).14
Dalam perjalanannya, literalisme (harfiyah) dalam memahami teks keagamaan
dalam konteks ini, kitab suci Al-Qur‘an, dipersoalkan oleh kelompok Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI). Dalam banyak literatur (sebagaimana nanti akan dipaparkan pada bab III),
ormas keagamaan Islam ini amat vokal dalam pemberlakuan syariat Islam di Indonesia.
Pendirian Negara Islam (Islamic state) dan penerapan syariat Islam menjadi isu politis yang
mereka cita-citakan karena mereka ingin mengganti NKRI yang berlandaskan ideologi
Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika (dasar-dasar Negara/pilar-pilar Negara)
yang sudah final dirumuskan oleh the founding fathers kita. Kelompok ini (MMI) masuk
teks keagamaan adalah teologi dan budaya agama tertentu, seperti Islam dan Kristiani. Oleh karena itu, untuk
memahami teks keagamaan kita wajib menguasai teologinya. Kalau tidak, bisa saja terjadi kesalahan dalam
menafsirkan teks atau bagian teks yang bersangkutan dan menafsirkan calon pembacanya. Benny Hoedoro
Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2006), h. 33-34. 14
Sukron Kamil, dkk., Pola Keagamaan dan Bahasa: Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks Keislaman
Kontemporer, dalam Laporan Penelitian Kompetitif Kolektif (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013),
h. iii.
7
dalam kategori ciri-ciri fundamentalisme Islam (penyebutan lain dari Islam radikal), yakni
gerakan ormas keagamaan yang sejak berdirinya tahun 2000 identik dengan kekerasan,
eksklusif, intoleran, anti modernitas, dan stigma negatif lainnya. Di sisi lain, istilah
fundamentalisme Islam menurut Asep Syamsul M. Romli, sebagaimana yang dikutip Arif
Gunawan Santoso (2015), adalah sebuah terminologi yang digunakan oleh Barat untuk
melakukan demonologi Islam. Label tersebut ditujukan kepada setiap kelompok mana saja
yang berjuang untuk pemberlakuan syariat Islam.15
Kelompok MMI sebagai fundamentalisme Islam menuding bahwa terjemah Al-
Qur‘an Kementerian Agama RI telah menyuburkan benih-benih radikalisme dan terorisme
agama di Indonesia. Penerjemahan Al-Qur‘an Kemenag dengan menggunakan metode
harfiyah (tekstualis/skriptualis) disebut-sebut sebagai faktor utamanya. Ditemukan ada
sekitar 3.229 jumlah keseluruhan ayat (dari 6.236 ayat) yang dipermasalahkan M. Thalib
selaku Amir MMI, baik dari aspek akidah, syariah, ekonomi, dan sosial dengan
mengelompokkan ayat-ayat pilihan serta prinsipil sebanyak 171 ayat dengan perincian 78
ayat di bidang akidah, 42 ayat di bidang syariah, 35 ayat bidang muamalah, dan bidang
ekonomi sebanyak 16 ayat.16
Kegelisahan M. Thalib dengan terjemahan Al-Qur‘an Kemenag
membuatnya kritis mendalami segala aspek kesalahan—baik faktor linguistik maupun
nonlinguistik—yang ada di dalamnya. Dalam masa kurang lebih 10 tahun, M. Thalib
akhirnya menerbitkan karyanya yaitu Al-Qur‘an Terjemah Tafsiriyah sebagai koreksi dan
alternatif terjemahan Al-Qur‘an Kemenag. Namun, sayangnya produk yang dihasilkannya ini
masih banyak menuai pro-kontra, komentar, kritik pedas, dan tanggapan dari para pengkaji
bahasa dan terjemah/tafsir Al-Qur‘an. Alih-alih sebagai terjemahan terbaik dengan
menggunakan pendekatan terjemah tafsiriyah, hasil terjemahan M. Thalib/MMI justru
15
Arif Gunawan Santoso, Pergeseran Strategi Fundamentalisme Islam: Studi HTI sebagai Gerakan
Sosial (Jakarta: A-Empat, 2015), h. 1. Buku ini merupakan Tesis yang dipertahankan pada Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2014. 16
M. Thalib, Koreksi Terjemah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI (Yogyakarta: Yayasan Islam Ahlu
Shuffah, 2013), h. 852-1025.
8
menimbulkan permasalahan baru yang bila ditelaah lebih dalam, maka didapati
terjemahannya cukup keras, ekstrim, bias dari penafsiran ulama tafsir yang menjadi
rujukannya (tidak sesuai dengan sebagian besar referensi kitab tafsir), dan cenderung
menggiring pembaca untuk mendukung garis-garis perjuangan atau basis idelologi MMI
sendiri yaitu penegakan syariat Islam, syariat perang, dan jihâd. Di sinilah letak
permalasahannya. Problem terorisme yang menurut mereka bersumber dari terjemahan Al-
Qur‘an Kemenag belakangan masuk menjadi ranah politis, seakan-akan MMI ingin
menunjukkan ke publik bahwa mereka bukan kelompok radikal, mereka menuding bahwa
pemerintahlah (melalui terjemah Al-Qu‘ran Kemenag) yang memberi andil munculnya
terorisme. Untuk itu mereka membuat Al-Qur‘an terjemah tafsiriyah, yang mana terjemahan
tafsriyah mereka sendiri lebih mencerminkan pola pikir penyusunnya/penerjemahnya, jauh
berbeda dari pola penerjemahan/penafsiran ulama pada umumnya.
Perlu diketahui, faktor umum kebringasan para teroris tidaklah diawali pada bacaan
mereka dari terjemahan Al-Qur‘an Kemenag semata-mata (an sich), kalaupun itu ada lagi-
lagi soal interpretasi dan sempitnya pemahaman agama seseorang saja, akan tetapi lebih
mengarah kepada fakta genealogi ekonomi dan politik global yang akhirnya mereka beraksi
kejam. Menurut Azyumardi Azra dalam KTT Madrid Summit 11 Maret 2005, akar-akar
terorisme sangat kompleks dan merupakan penggabungan dari sejumlah faktor: sosial,
psikologi, ketidakpuasan politik domestik dan internasional, ekonomi, kemiskinan,
keterbelakangan pendidikan, dan alienasi ketercerabutan budaya.17
Lebih luas lagi, pada
kerangka ini, fakta yang muncul, aksi teroris ini bisa dimaknai sebagai bentuk ketidakpuasan
pada kebijakan global yang lebih berpihak kepada kalangan borjouis yang akhirnya
merembes pada persoalan laten yaitu interpretasi nilai-nilai agama sebagai legitimasi
17
Azyumardi Azra, Jejak-Jejak Jaringan Kaum Muslim dari Australia hingga Timur Tengah (Jakarta:
Hikmah Mizan, 2007), h. 97-98.
9
tindakan mereka.18
Bahkan, Komaruddin Hidayat menambahkan, mengerasnya ideologi
Islam ini dipengaruhi juga oleh krisis Palestina-Israel yang tak kunjung selesai yang telah
membangkitkan solidaritas keislaman anti AS (Amerika Serikat) yang diyakini berada di
belakang Zionisme.19
Bertolak dari uraian dan hipotesa perdebatan ilmiah-akademik di atas, sangat
menarik untuk dikaji keterkaitan antara tindakan terorisme dan teks keagamaan, mengingat
terorisme semakin mengguncang rasa takut seluruh umat manusia dalam peta pemikiran
global abad 21 saat ini.20
Terlebih dalam konteks Indonesia, di mana aksi teror tidak ada
matinya, sekaligus penelitian ini menjawab stigma bahwa radikalisme agama dan terorisme
yang terjadi karena pemahaman agama seseorang yang kerdil, literalis, parsial, dan tidak
komprehensif. Dalam melakukan analisis riset ini, bertolak belakang dengan pendekatan teori
Ferdinand De Saussure yang menjelaskan bahwa perilaku bertutur (speech act) sebagai
rangkaian hubungan antara dua orang atau lebih seperti A dengan B. Perilaku bertutur ini
terdiri dari dua bagian kegiatan, yaitu bagian luar dan bagian dalam. Bagian luar dibatasi oleh
mulut dan telinga, sedangkan bagian dalam melingkupi jiwa dan akal pikiran yang terdapat
dalam otak pembicara dan pendengar. Jika A berbicara, maka B menjadi pendengar, dan jika
18
Keterangan ini sebagaimana yang diteliti Stephen Sulaiman Schwartz dan Stephen Vertigans dalam
riset M. Abzar Duraesa. Dalam penelusuran M Abzar Duraesa, ada sejumlah penelitian tentang teroris dan
perilaku terorisme dengan berbagai varian yang melatarbelakanginya. Di antaranya apa yang ditulis Babun
Suharto yang mengangkat “Kekerasan Atas Nama Agama: Akar Masalah dan Alternatif Solusinya” yang
dimuat dalam Jurnal Edu-Islamika: The Indonesian Journal of Education and Islamic Studies, Vol. 3, No. 1,
Maret 2012. Lalu Stephen Sulaiman Schwartz dengan tema “Dua Wajah Islam: Moderatisme vs
Fundamentalisme Dalam Wacana Global‖ dan Stepehen Vertigans tentang ―Militant Islam: a Sociology of
Characteristics; Causes and Cinsequences‖ yang dimuat di The Wahid Institute dan Center for Islamic
Pluralism, 2007. Lihat M. Abzar Duraesa, Teologi Terorisme di Indonesia: Identifikasi Terhadap
Perkembangan Teologi Terorisme di Kota Samarinda, paper Proceeding in Annual International Conference
(AICIS) XIV, Buku 4, Subtema: Multicultural Education in Indonesia: Challenges and Opportunities, (STAIN
Samarinda Balikpapan: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2014), h. 633. 19
Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta: Noura Books Mizan, 2012), h. 182. 20
Peristiwa terorisme paling terkini adalah apa yang terjadi di Brussels, Belgia. Serangan bom bunuh
diri di bandara Zaventem tersebut menelan korban 31 orang. Menurut mantan Kepala Keamanan Dalam Negeri
Perancis Bernard Cazeneuve sebagaimana dalam reportase harian Kompas, serangan Paris dan Brussels
dirancang oleh jaringan teroris yang sama dan paling berbahaya di Eropa. Disebutkan, dugaan pelakunya adalah
Ibrahim El Bakraoui dan Khalid El Bakroui, dua bersaudara pelaku serangan bom Belgia kemudian Saleh
Abdeslam yang bergabung dalam milisi Negara Islam di Suriah dan Irak (NIIS). Disunting dari Harian Kompas
dalam liputan Internasional, Minggu, 27 Maret 2016, h. 4.
10
B berbicara, maka A menjadi pendengar.21
Teori de Saussure dengan linguistik sinkronik
biasa disebut juga linguistik deskriptif (washfiyyah) berupaya mendeskripsikan bahasa secara
apa adanya pada suatu masa tertentu. Sebaliknya, riset ini mendukung teori mentalisme atau
kognitivisme (nazhariyyah „aqliyyah) Noam Chomsky yang mengungkapkan bahwa bahasa
merefleksikan pola pikir penuturnya, dan bahasa adalah cermin terbaik akal pikiran
manusia,22
diperkaya dengan pisau analisis semantik leksikal, gramatikal, dan semantik
kontekstual.
Selain itu, riset ini juga sebanding dengan pendekatan kebahasaan kontekstual
(tharīqah siyâqiyyah) seperti yang digagas oleh Firth.23
Bagaimana ketika seseorang
membaca teks-teks keagamaan, harus pula melihat konteks yang mengitarinya, tidak ditelan
mentah-mentah. Sebuah teks24
harus bisa dianalisis dari segala aspek (sosio-historis-
kultural). Makna teks harus diinterpretasikan dengan konteks. Sebab sangat berbahaya,
tatkala seseorang menelaah teks yang bernada perang dan menyuruh ber-jihâd—sebagai
doktrin paling utama/strategis oleh kaum jihadis/teroris ISIS—misalnya, maka dia akan
melakukan aksi keji dan memilukan hati seperti pengeboman. Keberadaan kelompok
keagamaan radikal ini dapat dikatakan sebagai bentuk perkembangan yang paling ekstrim
saat ini, sekaligus menakutkan karena mengakibatkan korban nyawa dari kalangan sipil,
21
Abdul Chaer, Psikololinguistik Kajian Teoritik (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 66. 22
Noam Chomsky, Knowledge of Languange: Its Nature, Origin, and Use (New York: Praeger
Publishers, 1986), h. 1. 23
Menurut Firth sebagaimana menurut S. Chapman, seperti dirujuk Muhbib Abdul Wahab, dalam
kajian linguistik yang paling penting adalah konteks. Karena konteks itu menjadi penentu makna bahasa.
Bahkan inti atau proses sentral studi linguistik adalah makna dan konteks. Muhbib Abdul Wahab, Metode
Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik Tammâm Hassân (Jakarta: Sekolah Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 51. Disertasi pada konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab. 24
Teks adalah fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa wacana lisan dalam bentuk tulisan,
sedangkan wacana (discourse) adalah suatu aktivitas sharing (saling berbagi dan tukar-menukar) pendapat dan
perasaan. Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika (Bandung: Mizan,
2011), h. 215.
11
kerusakan terhadap berbagai tempat bangunan (seperti tempat ibadah, kafe, restoran, mall,
dan lain-lain) dan kerugian secara material lainnya.25
B. Identifikasi,26
Rumusan, dan Batasan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, landasan
teoritis dan kasuistik literalisme teks terjemahan mutakhir, muncul permasalahan mendasar
yang menjadi central problem dan pokok penelitian ini (major research question), yaitu:
bagaimana korelasi antara terorisme dan teks keagamaan yang belakangan menjadi polemik
wacana dalam pola penerjemahan Al-Qur‘an Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan
Kementerian Agama RI? Kemudian apakah penerjemahan Al-Qur‘an yang dilakukan oleh
tim penerjemah Kemenag sudah sesuai dengan teori penerjemahan Al-Qur‘an secara ilmiah?
Pokok masalah tersebut selanjutnya dapat dijabarkan dalam rumusan masalah dengan
mengemukakan bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1) Bagaimana keabsahan argumen MMI bahwa terjemah Al-Qur‘an Kemenag telah
berperan dalam melahirkan terorisme Islam?
2) Bagaimana hasil terjemahan tafsiriyah MMI yang mereka anggap sebagai solusi
dalam memahami Al-Qur‘an, sementara mereka sendiri termasuk kelompok Islam
radikal?
25
Syamsul Arifin, Multikulturalisme dalam Skema Deradikalisasi Paham dan Gerakan Keagamaan
Radikal di Indonesia, paper dalam Proceeding Annual International Conference (AICIS) XIV, Buku 2 subtema:
Islamic Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems, Editor Muhammad Zain, dkk., (STAIN Samarinda
Balikpapan: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2014), h. 165. 26
Identifikasi berasal dari bahasa Inggris, identification yang berarti ‗penyamaan; mempersamakan;
meneliti dan menetapkan nama sesungguhnya. Identifikasi dalam bahasa Arab, sebagaimana dikutip Ismail
Lubis, sama dengan penegasan sesuatu masalah (حتقيق ذاتية الشيء). Jadi, identifikasi masalah dan ruang
lingkup pembahasan penetapan; penegasan masalah, dan pembatasan masalah yang akan dibahas dalam
penelitian ini. Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‟an Departemen Agama Edisi 1990 (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2001), h. 28.
12
Fokus kajian masalah27
ini dibatasi pada aspek penerjemahan ayat-ayat jihâd,
dengan membandingkan Terjemah Al-Qur‘an Kemenag RI Edisi Tahun 2002,28
dan Al-
Qur‘an Al-Karim Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‘an Lebih Mudah, Tepat
dan Mencerahkan Tahun 2013 milik MMI yang lebih ditekankan (stressing) pada aspek-
aspek yang telah teridentifikasi dalam poin di atas. Ruang lingkup pembahasan penelitian ini
diharapkan dilakukan secara komprehensif dan ilmiah dengan memadukan teori/teknik
penerjemahan Al-Qur‘an, ilmu tafsir dengan melihat asbâb nuzûl al-ayat, dan diperkaya
pendekatan linguistik/semantik (leksikal, gramatikal, dan kontekstual). Teori yang dipakai
dalam riset ini adalah teori mentalistik Noam Chomsky yang memandang bahasa jelas
mencerminkan pikiran penafsirnya atau penerjemahnya. Sebab, pikiran manusia menurut M.
Amien Rais sebagaimana yang diungkap Muhammad Chirzin, merupakan ekspresi proses
komunikasi pemikir dengan lingkungannya. Pemikiran yang radikal tidak akan pernah
muncul dalam situasi masyarakat yang mantap secara sosial, politik, dan ekonomi. Ideologi
atau pemikiran itu dikembangkan oleh manusia dalam memberikan jawaban terhadap situasi
yang berkembang.29
27
Karena penelitian ini bersifat kualitatif, maka ada dua hal penting yang perlu disorot dalam riset ini,
yaitu unit masalah dan kedua fokus kajian masalah yang dijadikan sebagai masalah utama (central problem)
yang dipilih, yang kemudian ditemukan solusinya melalui kajian ini. Untuk keduanya sudah dijelaskan di atas.
Menurut Lexy Moleong, fokus masalah telah ditentukan akan berfungsi selain tidak hanya membatasi studi,
melainkan juga untuk memenuhi kriteria inklusi-eksklusi atau memasukkan-mengeluarkan (inclusion-exclusion
criteria). Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 62. 28
Al-Qur‘an dan Terjemahnya Edisi Tahun 2002 ini tampil dengan format yang lebih tipis, yaitu 924
halaman (selain daftar kepustakaan), di mana ada pengurangan 370 halaman dari edisi sebelumnya Tahun 1990
sekitar 1.294 halaman. Untuk catatan kaki (footnote) juga berkurang, Tahun 1990 ada 1.610 footnote, namun
edisi 2002 ini hanya 930 footnote saja (berkurang 680). Selain aspek footnote yang diminimalisir, juga ada
mukadimah yang berjumlah 172 halaman dibuang. Khusus edisi Tahun 2002 ini, mukadimah yang berisikan
kajian Ulumul Qur‟an tidak dimuat, dan bagi mereka yang ingin mempelajarinya dipersilahkan untuk membaca
buku-buku Ulumul Qur‟an. Dengan demikian, penerjemahan ayat pula diusahakan lebih singkat dan padat,
sedangkan bagi mereka yang ingin mempelajarinya secara lebih mendalam, dipersilahkan membaca kitab-kitab
tafsir, termasuk Tafsir Al-Qur‟an Kementerian Agama RI. Al-Qur‟an dan Terjemahnya Edisi Tahun 2002 ini
harus disadari lebih praktis, mudah dibawa dan mudah dipelajari dan terbuka untuk penyempurnaan pada edisi-
edisi berikutnya. Lihat Kata Pengantar Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an dalam Al-Qur‟an dan
Terjemahnya, yang kemudian edisi Tahun 2002 ini dicetak sebanyak 400.000 eksemplar, dicetak oleh PT.
Sinergi Pustaka Indonesia dan diadakan oleh Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais
dan Binsyar), Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Ditjen Bimas Islam), Kementerian Agama
Republik Indonesia Tahun 2012, h. vi. 29
Muhammad Chirzin, Jihâd dalam Al-Qur‟an: Perspektif Modernis dan Fundamentalis, Jurnal
Hermenia, Kajian Islam Kontemporer, Vol. 2, No. 1, Januari-Juni 2003, h. 95.
13
Jenis semantik yang digunakan dalam Tesis ini menyarankan pengkajian atas satu
makna leksikal (makna dalam kamus) yang ditentukan kata dan atau kalimat sebelum dan
sesudahnya. Konteks yang dijadikan dasar analisis juga adalah konteks sosial budaya yang
melingkupi teks keagamaan saat teks itu lahir. Ini sesuai dengan konsep asbâb nuzûl al-ayat
dalam ranah ilmu tafsir di mana teks Al-Qur‘an muncul disesuaikan dengan latar belakang
sosio-historis-kulturalnya, begitu pula asbâb wurûd al-hadīs dalam domain kajian hadis.
Dalam teori kebahasaan modern, teori ini selaras dengan gagasan/teori kontekstual (siyâq)
sebagaimana disarankan oleh Firth dan Lyons.
Dengan begitu, kita bisa berasumsi apakah ‗tuduhan miring‘ MMI itu objektif atau
hanya sekadar persoalan ideologi penerjemahan/beda pemahaman saja, atau hanya beda
metode/teknik/prosedur penerjemahan saja,30
atau boleh jadi ada motif tertentu misalnya
sudah masuk ke dalam ranah politik sampai ‗berani‘ menuduh ada tim oknum siluman yang
menyelinap di tubuh Tim Ahli Penerjemah dan Penafsir Al-Qur‘an Kemenag RI. Pada
interpretasi selanjutnya diungkap bahwa segala bentuk penjelasan terhadap Al-Qur‘an adalah
upaya menyingkap tabir makna untuk memperoleh pesan dan petunjuk yang terkandung di
dalamnya. Varian bentuk dan motivasi penulisannya, sebagai contoh penulisan Al-Qur‘an
Tarjamah Tafsiriyah MMI31
itu pun turut mempengaruhi arah dan kecenderungan
30
Metode dan prosedur adalah dua istilah teknis dalam penerjemahan. Ada sisi perbedaan di antara
keduanya. Untuk metode (method) adalah suatu cara melakukan penerjemahan, bisa pula bermakna memberikan
penekanan terhadap bahasa sumber (BSu) dan memberikan penekanan terhadap bahasa sasaran. Adapun
prosedur (procedure) adalah perbuatan atau cara kerja dalam segala tindakan atau proses. Perbedaan antara
metode dan prosedur terletak pada satuan penerapannya. Metode penerjemahan berkenaan dengan keseluruhan
teks, sedangkan prosedur terjemahan berlaku untuk kalimat dan satuan-satuan bahasa yang lebih kecil seperti
klausa, frasa, kata, dan seterusnya. Sebagai metode, penerjemahan harfiyah dapat dianggap sebagai prosedur
penerjemahan yang paling penting karena pada dasarnya penerjemahan harfiyah dilakukan pada tataran klausa
atau kalimat. Lihat Rochayah Machali, Pedoman bagi Penerjemah (Jakarta: Grasindo Gramedia, 2000), h. 48-
49 dan 62-63. 31
Al-Qur‟an Al-Karim Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan
Mencerahkan disusun oleh Al-Ustadz Muhammad Thalib sebagai Penerjemah; kemudian Slamet Suripto
sebagai Asisten Penerjemah; Penyelaras Bahasa oleh Irfan Suryahardi ‗Awwas; Zaky Imadudin Rabbany selaku
Pemeriksa Khat Al-Qur‘an; lalu Abu Labib sebagai Penata Letak; dan Budi Yuwono bertugas sebagai Desain
Cover. Berdasarkan penelusuran Penulis, karya MMI ini sudah sampai cetakan keempat di mana Edisi I terbit
pada Muharram 1433 H/Desember 2011 M; Edisi II pada Rabi‘ul Awwal 1433 H/Februari 2012 M; Edisi III
pada bulan Rajab 1433 H/Mei 2012 M; dan Edisi IV terbit pada Rabi‘ul Awwal 1434 H/Februari 2013 M.
Diterbitkan oleh Penerbit Ma‘had An-Nabawy Markaz Pusat Majelis Mujahidin Indonesia, Alamat: Jl. Karanglo
14
penerjemahan ataupun penafsiran. Sebab, tak bisa kita pungkiri ada sejumlah karya
terjemahan atau tafsir Al-Qur‘an yang hadir ke permukaan dengan mengusung perspektif
tersendiri, baik dari segi pendekatan maupun latar belakang akademik penulisnya
(penerjemahnya atau penafsirnya). Bisa jadi juga, muncul dan terbit ke khalayak pembaca
sebagai reaksi terhadap karya yang sudah ada sebelumnya, semacam bantahan (counter
discourse) ataupun korektif.
C. Riset Terdahulu yang Relevan
Untuk mendapatkan hasil penulisan yang baik dan komprehensif, maka penulis
menggunakan acuan-acuan sebagai berikut: sejauh pengamatan penulis, ada sejumlah
penelitian terdahulu yang mengangkat isu-isu penerjemahan dan penafsiran Al-Qur‘an
Kemenag; tentang teori mentalisme Chomsky; terorisme dan isu deradikalisasi; membincang
bahasa dan pola keagamaan fundamentalisme Islam; serta riset yang menjadikan Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI) sebagai objek kajiannya. Oleh karena itu, penulis akan membuat
langkah-langkah riset terdahulu/kajian literatur ini agar lebih sistematis, kronologis, tematis,
dan komprehensif.
1) Kajian terdahulu yang mengangkat isu-isu terjemah Al-Qur‘an Kemenag
termutakhir, dan penafsiran Al-Qur‘an kontekstual kontemporer. Di antaranya adalah
Syahrullah, seorang Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menulis ―Tarjamah
Tafsiriyah Terhadap Al-Qur‘an: Antara Kontekstualisasi dan Distorsi,‖ yang dimuat dalam
Journal of Qur‟an and Hadith Studies. Ia menyoroti bahwa karya MMI ini memiliki beberapa
kelebihan dan juga kekurangan. Salah satu kelebihannya adalah M. Thalib mengetengahkan
sebuah kemasan terjemahan yang ringkas, namun berani memberi keputusan makna yang
tegas atas sebuah term atau ayat Al-Qur‘an. Dari segi kebahasaan, masih menurut Syahrullah,
No. 94 Kotagede, Yogyakarta, Tlp/Fax (0274) 451665 dan Hak Penerbitan dan Publikasi dipegang oleh
(Muassasah) Yayasan Ahlu Shuffah, Yogyakarta – Indonesia.
15
karya terjemahan ini terbilang istimewa. Upaya singkronisasi antara teks bahasa sumber
(source text) dengan bahasa sasaran (target text) bahkan dia menyebutnya bahasa ketiga,
secara leksikal dapat dikatakan tercapai dengan baik, dengan tidak membingungkan pembaca
yang hendak menerima dengan cepat keputusan makna di tengah pembacaannya terhadap
naskah terjemahan tafsiriyah dalam karya tersebut. Upaya pembedaan makna dari dua
kosakata yang umumnya diterjemahkan serupa dalam sebuah karya terjemahan lain dikemas
dengan redaksi yang mudah dipahami. Pemilihan kosakata (mufradât) yang tepat dalam
menyusun redaksi terjemahan menjadi kelebihan tersendiri dari karya terjemahan tafsiriyah
ini.32
Berikutnya Muchlis M. Hanafi, ―Problematika Terjemahan Al-Qur‘an: Studi pada
Beberapa Penerbitan Al-Qur‘an dan Kasus Kontemporer,‖ dalam Jurnal Suhuf Vol. 4, No. 2,
2011. Artikelnya mengulas seputar Problematika Terjemahan Al-Qur‘an mutakhir seperti
kasus Terjemahan Kemenag, Terjemah Al-Qur‘an per Kata terbitan Sygma (2007), Tafsir Al-
Qur‘an per Kata terbitan Penerbit Maghfirah (2009) dan Penerbit Kalim (2011), dan tak
kalah pentingnya Muchlis mengulas perseturuan Terjemah Al-Qur‘an Kemenag dengan
Tarjamah Tafsiriyah MMI. Ia mengemukakan bahwa Terjemah Al-Qur‘an Kemenag RI
bukanlah pemicu timbulnya gerakan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Boleh jadi
pemahaman agama yang kurang lengkap dan memadai ketika seseorang membaca terjemahan
kitab suci itu. 33 Riset yang sangat relevan dengan kasus terjemahan Al-Qur‘an Kementerian
Agama, adalah Ismail Lubis yaitu ―Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‘an Departemen Agama
Edisi 1990.‖ Disertasinya cukup komprehensif dalam menganalisis kesalahan dalam
terjemahan Al-Qur‘an Depag tersebut. Berkaitan dengan itu, judul buku menggunakan istilah
32
Syahrullah, Tarjamah Tafsiriyah terhadap Al-Qur‟an: Antara Kontekstualisasi dan Distorsi,
Bandung: Journal of Qur‘an and Hadith Studies, Vol. 2, No. 1, 2013, h. 60. 33
Muchlis M. Hanafi, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an; Studi pada Beberapa Penerbitan Al-
Qur‟an dan Kasus Kontemporer (Lajnah Pentashihahan Mushaf Al-Qur‘an: Jakarta, 2011), Jurnal Suhuf, vol 4,
No. 2, h. 169-170.
16
―falsifikasi‖ yang dapat diartikan memberikan gambaran kepada pembaca atas proses
penelitian terhadap ketidaktepatan penerjemahan Al-Qur‘an Depag edisi 1990.
Sebelumnya dibahas penerjemahan yang salah dalam Penerjemahan Al-Qur‘an
Depag Edisi Tahun 1990 dan sebab-sebab terjadinya penerjemahan yang salah. Dalam
disertasi doktoralnya bidang ilmu-ilmu agama Islam di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Ismail Lubis merumuskan identifikasi masalah, batasan masalah, dan ruang lingkup
pembahasan sekurang-kurangnya ada tujuh masalah yang perlu diselesaikan. (1) Kata yang
berlebihan dalam kalimat terjemahan karena mengandung arti yang sama, sehingga kalimat
terjemahan ayat tidak efektif, misalnya kalimat terjemahan ayat 71 surat al-Baqarah halaman
21, kalimat terjemahan ayat 99 surat Yunus halaman 322, kalimat terjemahan ayat 13 surat
al-Hujurât halaman 847, dan kalimat terjemahan ayat 111 surat al-An‘âm halaman 206. (2)
Frasa yang digunakan dalam kalimat terjemahan ayat tidak lazim digunakan dalam bahasa
Indonesia, yakni frasa berjalan di atas perut. Akibatnya membuat kalimat terjemahan ayat
tidak efektif karena frasa tersebut tidak mengandung makna ayat secara tepat dan tidak lazim
digunakan dalam bahasa Indonesia, misalnya kalimat terjemahan ayat 45 surat al-Nur
halaman 552. 34
Selanjutnya riset seputar ―Koherensi Terjemahan Al-Qur‘an: Analisis Struktural
Terjemahan Al-Qur‘an Depag RI Edisi Tahun 2002,‖ Tesis yang ditulis Tardi Mahasiswa SPs
UIN Jakarta 2008. Dalam penelitiannya, Tardi membuktikan bahwa Terjemahan Al-Qur‘an
Depag 2002 itu menggunakan teori-teori terjemahan secara umum yang ditawarkan oleh
Newmark. Teori tersebut dikembangkan melalui prosedur penerjemahan yang tidak hanya
mengikuti salah satu langkah, tetapi tiga langkah/strategi penerjemahan yaitu analisis,
transfer, dan restrukturisasi. Ketiga langkah ini dalam kesimpulannya tidak dapat
34
Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‟an Departemen Agama Edisi 1990 (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2001), h. 29-30.
17
memecahkan kesulitan penerjemahan dalam tataran kata, frasa, dan kalimat.35 Selain itu, Edi
Junaedi menulis ―Polemik Terjemahan Al-Qur‘an antara MMI dan Kementerian Agama
dalam Perspektif Percakapan.‖ Dalam bahasannya, dipaparkan seputar Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI), sebuah ormas yang lahir pada tahun 2000 di Yogyakarta dan dicap sebagai
organisasi radikal, pada bulan Agustus 2010, membuka polemik dengan Kementerian
Agama. Terjemahan Al-Qur’an Kemenag dianggap mereka mengalami kekeliruan karena
menggunakan tarjamah harfiyah, yang berpotensi melahirkan paham sesat bahkan sikap
radikal pada masyarakat. Dalam suratnya yang dikirimkan secara resmi kepada Menteri
Agama, MMI mengharapkan uji shahih secara publik hasil penelitian mereka atas
Terjemahan Al-Qur’an tersebut. Sejak itu terjadi ‚perang‛ wacana antara MMI dan
Kemenag RI soal terjemahan Al-Qur’an di media, terutama di Majalah Gatra. Akhirnya,
pada 29 April 2011, Kemenag melalui Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, membuka
ruang untuk berdialog secara ilmiah di TMII. 36
Selanjutnya, Istianah tentang ―Koreksi Muhammad Thalib terhadap Terjemah Al-
Qur‘an Kemenag RI‖, Tesis pada Program Studi Agama dan Filsafat Konsentrasi Studi Al-
Qur‘an dan Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015. Tesisnya menguraikan hal yang
melatarbelakangi Muhammad Thalib melakukan penerjemahan Al-Qur‘an, di antaranya
karena adanya penerjemahan Al-Qur‘an secara harfiyah yang dilakukan oleh Dewan
Penerjemah Depag RI, sedangkan metode penerjemahan yang satu ini adalah sesuatu yang
mustahil. Ia pun menyadari perlunya sebuah terjemah yang dapat membantu umat Islam non
Arab dalam memahami makna ayat-ayat Al-Qur‘an dengan benar, mudah, dan lebih cepat
tanpa melenceng dari maksud kalimat aslinya. Maka dari itu, ia melakukan alih bahasa
35
Tardi, Koherensi Terjemahan Al-Qur‟an: Analisis Struktural Terjemahan Al-Qur‟an Depag RI Edisi
Tahun 2002 (Jakarta: SPs UIN Jakarta, 2008). Tesis pada Konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab. 36
Edi Junaedi, Polemik Terjemahan Al-Qur‟an antara MMI dan Kementerian Agama dalam Perspektif
Percakapan (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 2. Tesis pada SPs UIN
Jakarta.
18
seluruh ayat-ayat Al-Qur‘an ke dalam bahasa Indonesia secara tafsiriyah. Lebih dari itu,
Muhammad Thalib menegaskan bahwa apa yang dilakukannya merupakan koreksi atas
terjemah versi Kemenag RI (selanjutnya akan disebut dengan QTK/Al-Qur‘an Terjemah
Kemenag) dan juga sebagai counter attack atas pemikiran-pemikiran sekuler dan liberal di
Indonesia yang semakin gencar mendeskreditkan Al-Qur‘an sebagai kitab suci yang
mengandung unsur-unsur kekerasan dan kebencian terhadap non Islam.37
Kemudian riset Moch. Nur Ichwan tentang ―Negara, Kitab Suci dan Politik:
Terjemah Resmi Al-Qur‘an di Indonesia.‖ Dalam pembahasannya, penulis menyampaikan
bahwa dalam penerjemahan Al-Qur‘an, salah satunya yang diterbitkan Depag RI,
memungkinkan adanya keterpengaruhan terjemah tersebut dengan unsur lain seperti misalnya
politik, di mana melalui hasil karya terjemah Al-Qur‘an ini, pemerintah juga ingin
menunjukkan eksistensinya sebagai pelindung Islam dan masyarakat muslim yang
merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Hal itu dilandasi pada bacaannya terkait Al-
Qur‘an dan Terjemahnya tahun 1974, halaman 129. Bunyinya sebagai berikut: ―Terjemah al-
Qur‟an ini disusun dan diterbitkan oleh pemerintah, dengan maksud agar terjemah al-
Qur‟an ini dapat dipelajari secara merata oleh seluruh rakyat Indonesia dengan mudah.
Terjemah ini disusun oleh para ahli menurut vaknya masing-masing. Pelaksanaannya
diserahkan kepada suatu Lembaga Negara yang diberi nama: Lembaga Penyelenggaraan
Penterjemah Kitab Suci Al-Qur‟an.” Pada penelitiannya, Moch. Nur Ichwan mengungkapkan
sejarah terjemahan Al-Qur‘an di Indonesia, perdebatan boleh dan tidaknya sebuah kitab suci
diterjemahkan, dan yang terpenting aspek sebuah Al-Qur‘an dan Terjemahnya milik Depag
RI sebagai sebuah karya yang memiliki otoritas yang besar, di mana karya tersebut
diterjemahkan oleh ulama-ulama terkenal, yang kebanyakan terkait dengan Institut Agama
Islam Negeri (IAIN), pakar bahasa serta para ahli tafsir lainnya. Tak bisa disangkal bahwa
37
Istianah, Koreksi Muhammad Thalib terhadap Terjemah Al-Qur‟an Kemenag RI (Yogyakarta:
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015), h. 5-6. Tesis pada SPs UIN Yogyakarta.
19
Al-Qur‘an dan Terjemahnya versi Depag adalah yang paling terkenal yang diterbitkan di
Indonesia. Kitab suci tersebut diterbitkan tidak hanya oleh Depag sendiri, tetapi juga oleh
beberapa pihak swasta dan organisasi Islam tertentu. Karya agung itu juga merupakan
terjemahan versi Indonesia yang paling banyak dipergunakan oleh berbagai homepage Islam
di internet.38
Asyhari tentang ―Korelasi Tarjamah Harfiyah dan Ekstrimisme: Studi Kritis
terhadap Al-Qur‘an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI.‖ Ia menyoroti keberadaan
terjemah Al-Qur‘an Kemenag ternyata membawa dampak negatif bagi umat Islam, sebab
berkurangnya minat umat Islam untuk mempelajari kitab-kitab para ulama terdahulu dan para
Kiai.39
Ibrahim Syuaib Z, mengangkat bahasan ―Dakhil al-Naqli dalam Al-Qur‘an dan
Tafsirnya Departemen Agama RI Edisi 2004‖. Pengertian al-dakhil dalam tafsir adalah
Penafsiran Al-Qur‘an dengan al-ma‟tsûr yang tidak sahih, atau bisa juga diartikan penafsiran
Al-Qur‘an dengan al-ma‟tsûr yang sahih akan tetapi tidak memenuhi syarat-syarat
penerimaan atau penafsiran dengan pendapat yang salah. Masalah yang diangkat dalam
penelitian ini adalah kemungkinan keberadaan al-dakhil al-naqli dalam sepuluh juz pertama
Al-Qur‘an dan Tafsirnya Departemen Agama RI Edisi 2004, bentuk dan faktornya.
Kemungkinan itu dijaring dengan sembilan bentuk al-dakhil al-naqli. Contoh kerja penelitian
ini sebagai berikut; bila Al-Qur‘an dan Tafsirnya merujuk hadis dalam menafsirkan ayat,
maka diteliti kualitas kesahihannya. Bila data-data yang ditemukan menunjukkan bahwa
hadis tersebut dhaif yang tidak layak dijadikan hujjah, maka tafsir dikategorikan sebagai
dakhil al-naqli pertama. Setelah dilakukan penelitian dan pembahasan terhadap pokok
38
Moch. Nur Ichwan, Negara, Kitab Suci, dan Politik: Terjemah Resmi Al-Qur‟an di Indonesia,dalam
buku Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, Penyunting: Henri Chambert-Loir (Jakarta:
Kepustakaan Populer (KPG) Gramedia, Forum Jakarta-Paris bekerja sama dengan Pusat Bahasa, dan
Universitas Padjajaran Bandung, 2009), h. 417-419. 39
Asyhari, Korelasi Tarjamah Harfiyah dan Ekstrimisme: Studi Kritis terhadap Al-Qur‟an Terjemah
Kementerian Agama RI (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2015), h. 3. Proposal Disertasi pada SPs UIN Sunan
Ampel.
20
permasalahan ternyata dalam sepuluh juz pertama Al-Qur‘an dan Tafsirnya Departemen
Agama RI Edisi 2004 terdapat 16 (enam belas) tafsir dakhil al-naqli.40 Sebagai pamungkas
apa yang ditulis Abdullah Saeed, seorang Guru Besar Arab dan Islamic Studies di University
of Melbourne, Australia. Beliau menulis Tafsir Kontekstual Al-Qur‘an Abad 21 sekaligus
menyoroti perkembangan tafsir al-Qur‘an serta mengangkat perdebatan mutakhir tentang
pendekatan-pendekatan baru dalam ilmu tafsir.41
2) Kajian terdahulu yang mengangkat tema Teori Linguistik, Pemikiran dan
Orientasi Semantik. Adalah Muhbib Abdul Wahab tentang ―Metode Penelitian dan
Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik Tammâm Hassân.‖ Disertasi doktoralnya ini
dilatarbelakangi oleh stigma negatif bahwa bahasa Arab terutama Nahwu dianggap sulit
dipelajari. Padahal, setiap bahasa di dunia ini memiliki tingkat kesulitan dan kemudahan
masing-masing, sesuai dengan karakteristik bahasa itu sendiri. Sementara itu, penelitian
nahwu merupakan penelitian yang syarat dengan perdebatan dan kontroversi. Pada saat yang
sama, materi nahwu yang diajarkan di lembaga-lembaga penelitian masih cenderung
berorientasi kepada aspek mabna, dan belum dilandasi oleh hasil-hasil penelitian yang
memadai. Metode pembelajarannya pun dipandang belum efektif, fungsional, dan
kontekstual.42
Orientasi pemikiran Semantik misalnya, Zulkifli Agus, ―Orientasi Pemikiran
Semantik Ibnu Jinnī: Analisis Buku al-Khashâis; Suatu Tinjauan dari Segi Makna.‖ Salah
satu tujuannya adalah mengkaji pemikiran Ibnu Jinnī tentang semantik baik dari segi leksikal,
struktural dan makna sosial. Kemudian untuk mengetahui metode yang digunakan oleh Ibnu
40
Ibrahim Syuaib Z, “Dakhil al-Naqli Dalam Al-Qur‟an dan Tafsirnya Departemen Agama RI Edisi
2004”. (Bandung: UIN Sunan Gunung Djati, 2009), h. 2. Laporan hasil penelitian. 41
Abdullah Saeed, Reading the Qur‟an in the Twenty-First Century: A Contextualist Approach, dalam
versi terjemahan Indonesia Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, Penerjemah: Ervan Nurtawab (Bandung:
Mizan Media Utama, 2016), h. 12. 42
Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik
Tammâm Hassân (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. xv. Disertasi pada
SPs UIN Jakarta, konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab.
21
Jinnī dalam menetapkan suatu arti kata dalam kalimat maupun wacana.43
Riset ―Pemikiran
Semantik Jalâluddīn al-Suyûthī: Kajian Kitab al-Muzhir.‖ Tesis ini ditulis oleh Ahyani, yang
ingin membuktikan bahwa al-Suyûthī produktif dalam menyumbangkan pemikiran orisinil
dan benar peranannya dalam perkembangan ilmu kebahasaan, khususnya dalam konteks
semantik bahasa Arab. Penelitian ini juga membuktikan tidak adanya hal baru dari kitab al-
Muzhir dan karya al-Suyûthī lainnya ketika dia menguraikan teori tentang rolling (al-isytiqâq
al-akbar) dari Ibnu Jinnī dan Ibnu Fâris, selain penambahan bentuk baru derivasi, yakni
dalam konteks makna, sebagaimana ahyani tidak menemukan hal baru dalam pembahasan al-
„âmm wa al-khâs, selain penambahan bab yang berbeda dari apa yang disebutkan al-Tsa‘âlibī
pada pembahasan al-Kulliyyât.44
3) Kajian terdahulu yang membahas radikalisme agama, terorisme, dan
deradikalisasi, yaitu Tim Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI.
Buku ini merupakan kumpulan materi hasil Seminar Nasional tentang Fenomena Bahaya
ISIS bagi NKRI dan Islam rahmatan lil „âlamin pada tanggal 9 Agustus 2014 di Auditorium
KH. M. Rasjidi Thamrin, yang telah disempurnakan dan dilengkapi dengan tulisan-tulisan
lain yang terkait. Banyak perspektif dan gagasan menarik dari para narasumber terkait
dengan isu mutakhir gerakan radikalisme agama di Indonesia. Buku ini disebarluaskan
kepada masyarakat sebagai salah satu upaya Ditjen Bimas Islam yang telah berkontribusi
dalam pencegahan munculnya gerakan radikalisme berbasis agama dan tantangan kebangsaan
serta beberapa pemikiran menyimpang dan menggoyangkan pilar-pilar kenegaraan dan
merusak keutuhan NKRI, terutama agama Islam yang luhur ini. Buku ini mengupas
radikalisme agama dalam sejarah Islam, apa itu radikalisme, genealogi radikalisme agama,
43
Zulkifli Agus, Orientasi Pemikiran Semantik Ibnu Jinnī: Analisis Buku al-Khashâis; Suatu Tinjauan
dari Segi Makna (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 14. Tesis UIN
Jakarta. 44
Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâl al-Dīn al-Suyûtī: Kajian Kitab al-Muzhir (Jakarta: Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. v. Tesis UIN Jakarta.
22
faktor pemicu radikalisme agama dalam Islam, ISIS dan fenomena radikalisme modern.
Kemudian bagaimana menyikapi agama dan menerapkan nilai-nilai Islam untuk konteks
keindonesiaan dan kebangsaan, bagaimana memahami Islam yang rahmatan lil „âlamin,
Indonesia dan model moderasi Islam, dan NKRI sebagai semangat kekhalifahan.45
Soal terorisme oleh Rohmawati dengan tema, ―Wacana Terorisme di Indonesia
1999-2003: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia‖. Dalam risetnya dijelaskan sejumlah
fenomena terorisme di Indonesia serta dilihat dari peta gerakan terorisme global, dan kapan
Indonesia mulai terperangkap dalam jaringan terorisme sekaligus faktor-faktor yang dapat
menimbulkan tindak terorisme.46
Lalu ―Profil Keagamaan Terpidana Terorisme di
Indonesia.‖ Kajian ini merupakan hasil penelitian berkaitan dengan terpidana terorisme yang
bermotif keagamaan, sehingga yang diteliti dan dikaji adalah profil keagamaannya. Dalam
temuan riset ini dijumpai bahwa masing-masing pelaku terorisme dan jihadis tidak berangkat
dari ruang kosong. Mereka melandasi perbuatannya dengan suatu faham keagamaan yang
dikemas secara baik dan tidak kalah logisnya dibanding dengan logika mereka yang
menentangnya.47
Kajian terkait deradikalisasi adalah karya Nasaruddin Umar. Beliau menulis
―Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‘an dan Hadis.‖ Buku ini diharapkan bisa menjadi acuan
perbandingan dengan buku-buku yang berbahasa Indonesia yang agaknya terlalu
―bersemangat‖ untuk memperjuangkan Islam. Padahal, Al-Qur‘an dan pengalaman
Rasulullah SAW menunjukkan bahwa jihâd itu tidak mesti harus selamanya dengan
kekerasan, apalagi untuk melayangkan jiwa-jiwa yang tak berdosa. Selain itu, penulisnya
45
Tim Ahli Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia,
Radikalisme Agama dan Tantangan Kebangsaan, Editor: Jaja Zarkasyi dan Thobib al-Asyhar (Jakarta: Ditjen
Bimas Islam, 2014), h.vii-xii. 46
Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2003: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia.
(Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 9. Tesis SPs UIN Jakarta. 47
Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Profil Keagamaan Terpidana Terorisme di
Indonesia (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, 2015), h, iii dan x.
23
juga berharap buku ini bisa memberikan pemahaman yang komprehensif dan sebagai counter
terhadap berbagai buku lainnya.48
Mayjen TNI bintang dua yang cukup fenomenal Agus
Surya Bakti (SB), menulis penanggulangan terorisme. Bukunya ―Merintis Jalan Mencegah
Terorisme, Sebuah Bunga Rampai.‖ Buku ini layak menjadi bacaan yang memadai dan
menjadi referensi berharga bagi semua pihak untuk menangkap dan memahami fenomena
gerakan radikal yang menggunakan simbol agama atau yang mengatasnamakan agama. Buku
ini merupakan bunga rampai yang diekspresikan oleh seorang pengambil/pembuat kebijakan
(policy maker) dalam pencegahan terorisme di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT).49
Satu lagi buku referensi yang sangat representatif untuk riset terdahulu, ditulis
Agus SB yaitu ―Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan dan Deradikalisasi.‖ Buku ini
adalah perwujudan dari pengalaman empiris yang dialami oleh Agus SB yang diberikan
amanah sebagai Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT.
Pengalaman menjabat sebagai Deputi I BNPT telah memberikan pengalaman sekaligus
membentuk pemahaman komprehensif penulis, mengenai kebijakan penanggulangan
terorisme, khususnya dalam bidang pencegahan terorisme. Penulis juga mengulas mengenai
strategi deradikalisasi. Strategi ini ditujukan kepada kelompok masyarakat yang telah
terpapar oleh ideologi radikal terorisme. Strategi ini bertujuan untuk mengurangi tingkat
radikal (less radical) dari napi, mantan napi, keluarga dan jaringan kelompok teroris tersebut
agar tidak kembali terjerumus ke dalam lingkaran terorisme yang memicu permusuhan
sesama anak bangsa karena cenderung merasa paling benar di jalan yang salah.50
4) Riset terdahulu yang mengupas gerakan dan pola keagamaan kontemporer,
fundamentalisme Islam; dan kajian kritis terhadap MMI. Yakni dari Pusat Pengkajian Islam
48
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis, Kata Pengantar: Dr. H. Susilo
Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia ke-6 (Jakarta: Quanta Gramedia, 2014), h. xii. 49
Agus SB, Merintis Jalan Mencegah Terorisme: (Sebuah Bunga Rampai) (Jakarta: Semarak Lautan
Warna, 2004). 50
Agus SB, Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi (Jakarta:
Daulat Press, 2014), h. xiii.
24
dan Masyarakat (PPIM) yang diedit oleh Jamhari dan Jajang Jahroni, ―Gerakan Salafi
Radikal di Indonesia.‖ Buku ini mengulas kelompok-kelompok Islam garis keras di dunia
sunni sekarang ini berkaitan dengan reformulasi ideologi salaf, sebuah paham yang
mengajarkan umat Islam agar mencontoh perilaku Nabi Muhammad SAW dan para sahabat.
Ideologi salaf yang pada awalnya menekankan pada pemurnian akidah, mengalami
metamorfosa pada abad ke-20. Salafisme tidak hanya gerakan purifikasi keagamaan semata,
tapi menjadi ideologi perlawanan terhadap berbagai paham yang tidak sesuai dengan nilai-
nilai agama. Buku ini mencoba menjelaskan fenomena gerakan Islam radikal dalam bingkai
kehidupan sosial politik masyarakat Muslim Indonesia, dalam kerangka kehidupan berbangsa
dan bernegara, dan dalam hubungannya dengan kelompok mayoritas Muslim di negeri ini
yang dikenal dengan moderat dan toleran. Setelah memetakan empat kelompok salafi radikal
di Indonesia (FPI, Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia dan Hizbut Tahrir), buku ini
selanjutnya dilengkapi dengan data survei PPIM UIN Jakarta mengenai Islam dan
Konsolidasi Demokrasi di Indonesia. Temuan menunjukkan bahwa meskipun dalam beberapa
tahun terakhir Indonesia dilanda fenomena gerakan salafi radikal, tapi ternyata survei
membuktikan bahwa mayoritas muslim Indonesia masih setia dengan ideologi Islam yang
moderat dan toleran.51
Wacana Islam radikal dipaparkan dengan sangat apik oleh Khamami Zada, ―Islam
Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia.‖ Buku ini, menjelaskan
hampir semua corak dan ragam gerakan-gerakan Islam ―radikal‖ di tanah air yang kini dapat
disaksikan aksi-aksinya. Mereka menjangkau mulai dari persoalan umat yang sederhana
hingga yang pelik, seperti demokrasi, dari persoalan domestik (dalam negeri) hingga
persoalan dunia Islam, terutama Palestina dan Afghanistan. Kehadiran Islam radikal ini
dalam wacana perpolitikan kita, menurut penulisnya, karena didorong dua faktor; interen dan
51
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2004), h.
xi.
25
eksteren.52
Selain itu, Tesis Arif Gunawan Santoso di SPs UIN Jakarta. Judulnya:
―Pergeseran Strategi Fundamentalisme Islam: Studi HTI sebagai Gerakan Sosial”.
Menurutnya, gerakan fundamentalisme Islam seringkali dimaknai secara pejoratif. Gerakan
ini diasosiasikan sebagai gerakan politis yang seringkali memaksakan kehendak dengan
menggunakan aktivitas kekerasan dalam mencapai tujuannya. Selain itu, gerakan ini juga
selalu dianggap sebagai kelompok eksklusif, intoleran, dan anti modernitas. Namun
demikian, di tengah stigma yang disematkan ke dalam gerakan fundamentalisme Islam,
gerakan HTI ini terbukti mampu menunjukkan eksistensinya. Di era reformasi, gerakan ini
seolah mendapat momentum untuk menunjukkan eksistensi diri. Tidak hanya itu, reformasi
telah menjadi media yang cukup menguntungkan bagi tumbuh dan berkembangnya gerakan
fundamentalisme. Selain faktor sistem politik yang terbuka, gerakan ini ternyata tidak
berorientasi politik. Tesis ini membuktikan bahwa gerakan fundamentalisme Islam juga
menjalankan fungsi sosial budaya. Bahkan fungsi inilah yang menyebabkan gerakan ini
mampu eksis dalam berbagai kondisi sosial politik. 53
Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu yang telah dipaparkan di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa riset terhadap penafsiran Al-Qur‘an dan gerakan fundamentalis
Islam MMI lebih banyak muncul dan mendominasi dibanding melihatnya dari aspek
semantik (‗ilm al-dalâlah). Adapun korpus penelitian penulis kali ini meneropong lebih jauh
karya Tarjamah Tafsiriyah MMI dari segi semantik leksikal dan gramatikal, terutama soal
Penerjemahan Al-Qur‘an dan Terorisme dengan basis pendekatan kebahasaan modern,
diperkaya dengan alat analisis Noam Chomsky sebagai pintu memahami teks-teks
keagamaan. Pemilihan tema Tesis ini menjadi amat penting dikarenakan M. Thalib pun
52
Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Jakarta:
Teraju Grup Mizan Publika, 2002), h. viii. 53
Arif Gunawan Santoso, Pergeseran Strategi Fundamentalisme Islam: Studi HTI sebagai Gerakan
Sosial (Jakarta: Penerbit A-Empat, 2015), h. 1. Tesis ini telah dipertahankan pada Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
26
menamai buah tangannya tersebut dengan ―Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami
Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan Mencerahkan.” Di situ tertera kata makna Al-
Qur‟an yang tidak lain adalah fokus kajian dalam disiplin ilmu Semantik, yang lagi-lagi
mengulas soal makna. Di sinilah letak kebaruan, orisinalitas, dan sisi distingtif riset ini
dibanding penelitian-penelitian sejenis lainnya.
Meskipun demikian, ada delapan penelitian yang berusaha mengelaborasi serta
mengeksplorasi Penerjemahan Al-Qur‘an Kemenag dan Linguistik/Semantik Kontekstual,
Penafsiran Al-Qur‘an Kontemporer, Isu Terorisme dan Deradikalisasi dan Studi Gerakan
Fundamentalisme Islam (MMI) tersebut, terutama yang bertalian dengan Terjemah Tafsiriyah
MMI dan Terjemah Al-Qur‘an Kemenag RI yang berkaitan dengan teks-teks keagamaan
bernada jihâd (perang), yaitu apa yang diteliti oleh Syahrullah, Ismail Lubis, Muhbib Abdul
Wahab, Rohmawati, Jamhari dan Jajang Jahroni, Sukron Kamil, dkk, Nasaruddin Umar, dan
Tim Peneliti buku Ilusi Negara dari The Wahid Institute dan Maarif Institute. Dengan
demikian, semoga semakin memperkaya literatur/studi kepustakaan dalam kepenulisan Tesis
ini dan mewarnai cakrawala keilmuan bagi kalangan akademis serta siapa saja yang ingin
mengenal lebih jauh persoalan Penerjemahan Al-Qur‘an, Literalisme, Terorisme, Semantik,
Teks Keagamaan, dan gerakan fundamentalisme Islam. Terkait penamaan judul riset yaitu:
“Terorisme dan Teks Keagamaan: Studi Komparatif Atas Terjemah Al-Qur‟an Kemenag
RI dan Terjemah Tafsiriyah MMI.”
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berkaitan dengan pokok permasalahan serta rumusan masalah di atas, maka tujuan
penulisan Tesis ini adalah: menjelaskan latar belakang argumentasi dan temuan MMI atas Al-
Qur‘an dan Terjemahnya yang diterbitkan Kementerian Agama RI yang isinya diduga
27
mengandung radikalisme agama dan pemicu terorisme. Dalam perspektif mereka, Islam
selalu acap kali dijadikan objek isu terorisme dan deradikalisasi. Mencari sebabnya, pihak
MMI berkesimpulan ada keterkaitan dengan Terjemah Al-Qur‘an Kemenag RI. Ada terjemah
yang salah karena diterjemahkan secara harfiyah/literal, dan kesalahan itu berkisar pada
aspek akidah, syariah, sosial, dan ekonomi.
Di samping itu, semoga riset ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran ilmiah
dalam kajian penerjemahan dan penafsiran, terutama yang bertalian dengan teks-teks
penerjemahan Al-Qur‘an bernuansa jihâd, terorisme, dan perang. Penelitian ini diharapkan
dapat menghasilkan semangat dan kesadaran untuk terus berupaya mendialogkan serta
mendekatkan pemahaman Terjemahan Al-Qur‘an yang ramah, moderat (tawassuth), toleran
(tasâmuh), keseimbangan (tawâzun/i‟tidâl), dan terbuka dengan dinamika di tengah-tengah
masyarakat Indonesia yang multikultur, multietnik, dan multiras serta multirelijius.
Kemudian lebih luas, sejatinya kajian ini ingin membahas persoalan aktual yang terkait
dengan Terjemah dan Tafsir Al-Qur‘an dalam menjawab tantangan zaman. Selanjutnya,
penulis menjelaskan bantahan dan tanggapan Kementerian Agama atas tuduhan MMI yang
berkesimpulan ada keterkaitan terorisme dengan Terjemah Al-Qur‘an milik Kementerian
Agama RI melalui data faktual-empirisisme, fakta termutakhir, otentik, serta objektif-kritis.
Selain itu, semoga riset ini dapat menjadi salah satu referensi dalam mengurai
problematika nasional yakni gejala radikalisme dan terorisme yang berjubah agama yang
semakin mencekam keamanan, rasa kenyamaan, dan menumbuhkan disintegrasi NKRI.
Semoga terorisme benar-benar hilang dari bumi pertiwi Indonesia tercinta ini. Diharapkan
pula nantinya, penelitian ini berguna sekaligus berkontribusi besar bagi segenap pembuat
kebijakan (policy maker), terlebih kepada Badan Intelijen Negara (BIN) yang dipimpin
Bapak Sutiyoso, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang baru
dilantik Presiden RI Ir. H. Joko Widodo di Istana Negara yaitu Bapak Tito Carnavian beserta
28
jajarannya, Tim Anti Teror Densus 88, Polri, dan pemerintah yang diwakili Kementerian
Agama untuk membuat tahapan-tahapan jitu dalam memberangus terorisme di Indonesia.
E. Metodologi Penelitian
1) Objek dan Jenis Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, penulis melakukan langkah kerja yang dimulai
dari teknik pengumpulan data, dengan memperoleh data primer (al-mashdar al-awwal) dan
data sekunder (al-mashdar al-tsâni), menuliskan, lalu mengklasifikasikan bahan pustaka
(literature) dengan studi kepustakaan (library research), kemudian menelusuri berbagai
sumber terpercaya-relevan, aktual lagi faktual, buku-buku terkini, jurnal kajian Islam (Islamic
studies) terakreditasi nasional dan terindeks Internasional (DOAJ/SCOPUS), majalah, koran
ter-update, menelusuri data via situs/laman website online,54
artikel termutakhir teks-teks
Terjemahan Al-Qur‘an yang mengungkap ayat-ayat jihâd, dan teori Semantik/kebahasaan
modern, kesemua data itu dianalisis sekaligus dipaparkan/ditampilkan, salah satunya
membedah bangunan dasar terorisme tersebut, sehingga dengan mengetengahkannya
diharapkan memberikan cakrawala dan informasi yang lebih akurat dan valid tentang
kajian/objek yang sedang dibahas.
Secara sederhana, kajian ini juga berusaha menjembatani antara normativitas teks
ilahi dengan historisitas realitas empiris gerakan fundamentalisme agama MMI dengan cara
‖memadukan‖ pendekatan tekstual (normative) dan pendekatan kontekstual (historis-empiris)
54
Perkembangan internet yang sudah semakin maju pesat serta telah mampu menjawab berbagai
kebutuhan masyarakat saat ini memungkinkan para akademisi mau ataupun tidak menjadikan media online
seperti internet sebagai salah satu medium atau ranah yang sangat bermanfaat bagi penulusuran informasi, mulai
dari informasi teoritis maupun data-data primer atau sekunder yang diinginkan peneliti untuk kebutuhan
penelitian. Sehubungan dengan itu, maka mau ataupun tidak, kita harus menciptakan metode untuk
memanfaatkan data online yang begitu banyak tersebar di internet dan begitu banyak yang dapat dimanfaatkan.
Pada mulanya banyak akademisi meragukan validitas data online sehubungan apabila data atau informasi itu
digunakan dalam karya-karya ilmiah, seperti penelitian, karya tulis, skripsi, tesis, maupun disertasi. Namun,
ketika media internet berkembang begitu pesat dan sangat akurat, maka keraguan menjadi sirna, kecuali bagi
kalangan akademisi konvensional-ortodoks yang kurang memahami perkembangan teknologi informasi sajalah
yang masih mempersoalkan akurasi media online sebagai sumber data. Norman K. Denzin and Yvonna S.
Lincoln (Editors), The Sage Handbook of Qualitative Research (California USA: Sage Publication, 2005), h. 85.
29
yang ditawarkan oleh ulama tafsir Al-Qur‘an dan teori Semantik mentalistik/kognitivistik
(nazhariyyah ‟aqliyyah) yang digagas Noam Chomsky secara simultan, ilmiah, objektif, dan
komprehensif. Demikian pula dokumen-dokumen yang ada yang berkaitan dengan dinamika
Terjemah Al-Qur‘an sebagai representasi bahasan akan diungkap secara kritis. Penelitian ini
bersifat kualitatif dengan memadukan beberapa analisis secara sistematis, menampilkan data
dan informasi hasil-hasil riset representatif dan akurat sesuai dengan fakta-fakta, sifat-sifat
dan jenis data/objek studi yang akan diteliti.55
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif–analisis. Dalam konteks
ini, berarti penulis menyajikan data-data yang telah diperoleh tentang terorisme dan teks-teks
keagamaan, bagaimana pengaruh pemahaman seseorang dalam menginterpretasi ayat-ayat
bernada jihâd atau perang (qitâl), serta persoalan munculnya gerakan keagamaan
fundamentalisme Islam politis di Indonesia pasca Orde Baru. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif. Pemilihan pendekatan ini didasarkan pada pertimbangan untuk
menjawab masalah dan tujuan penelitian, yaitu variabel hubungan terorisme dan
penerjemahan Al-Qur‘an, serta pengaruh teks-teks keagamaan terhadap munculnya
radikalisme/terorisme agama. Apakah benar faktor pembacaan seseorang terhadap teks-teks
keagamaan yang keliru dapat memicu aksi terorisme? Adakah faktor keterpengaruhan lain
sampai munculnya terorisme? Penggunaan pendekatan kualitatif menurut Lexy J. Moleong
dipergunakan pada tiga pertimbangan pokok; pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih
mudah apabila berhadapan dengan gejala yang kompleks. Kedua, metode ini menyajikan
secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode ini lebih
peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan
terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.56
Selain itu pertimbangan lainnya ialah bahwa
55
Sumaidi Suyasubrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Rajawali Press, 1989), h. 19 – 20. 56
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 4-8.
30
pendekatan kualitatif dapat menampilkan data-data dan informasi pada tingkat abstraksi yang
lebih tinggi.
2) Sumber / Teknik Pengumpulan Data
Yang dimaksud dengan sumber data dalam riset ini adalah buku-buku atau
sesuatu yang dapat dijadikan rujukan untuk memenuhi keperluan penelitian yang terdiri dari
sumber primer (primary resources) dan sumber sekunder (secondary resources) serta
wawancara (interview)57
dengan sumber informasi kunci (key informants) yakni pihak
Kemenag RI yang diwakili Muchlis M. Hanafi dan Irfan S. Awwas dari MMI.
A. Sumber-sumber primer, meliputi:
(1) Buku-buku yang khusus mengulas soal penerjemahan Al-Qur‘an dan
penafsirannya, Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama Edisi Tahun 2002; Al-
Qur‟an dan Tafsirnya Kementerian Agama Tahun 2012; serta Al-Qur‟an Tarjamah
Tafsiriyah MMI terbitan keempat Tahun 2013. Oleh karena terjemahan tidak dapat
dipisahkan dari gramatika bahasa sumber (Bsu), sejumlah kitab tafsir yang dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‘an secara langsung terkait dengan masalah gramatikal dirujuk
pula, misalnya Tafsīr al-Jalâlain58
karya Imâm Jalâluddīn al-Suyûthī dan Imâm Jalâluddīn al-
Mahallī (W. 864/1459); Marâh Labīd al-Tafsīr al-Munīr li Ma‟âlim al-Tanzīl buah karya
57
Wawancara melalui teknologi via type recorder/rekaman di handphone, melalui surat elektronik
misalnya email, fax, atau situs jejaring media sosial seperti BBM, Whatsapp, atau situs web saat ini menjadi
andalan sebagai satu sarana pengumpulan informasi, dengan begitu hal tersebut boleh saja dilakukan dalam
riset. Perangkat lunak yang memungkinkan peneliti untuk menyimpan data wawancara dengan
responden/informan pun kini tersedia dalam chatting. Fontana dan Frey, Wawancara: Dari sikap netral hingga
keterlibatan Politis dalam The Sage Handbook of Qualitative Research by Norman K. Denzin and Yvonna S.
Lincoln (Editors) (California USA: Sage Publication, 2005), h. 87. 58
Menurut Azyumardi Azra, kitab Tafsīr Jalâlain ini ditulis oleh dua orang Jalâl, dua tokoh utama
yang kepadanya sebagian besar ulama terkemuka kita dalam jaringan ulama melacak silsilah intelektual dan
spiritual mereka. Lebih jauh lagi, menurut Johns, seperti ditilik Azra, Tafsīr Jalâlain merupakan Tafsīr Al-
Qur‟an yang sangat bagus, jelas, dan ringkas. Pengarangnya memberikan asbâb al-nuzûl (latar belakang
pewahyuan) ayat-ayat yang sangat membantu pemahaman lebih sempurna atas penafsiran yang dikemukakan.
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar
Pembaruan Islam Indonesia, Edisi Perenial (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h, 258-259.
31
Syaikh Nawawi al-Bantanī (lebih dikenal dengan laqob Sayyid Ulama Hijâz).59
Selain itu
juga dirujuk kitab-kitab mu‟tabar dan mu‟tamad seperti Tafsīr al-Thabarī, Tafsīr al-Qurtubī,
dan Tafsīr Ibnu Katsīr.
(2) Kamus-kamus Arab-Indonesia-Inggris, atau Kamus Arab (klasik, modern dan
kontemporer) dan Indonesia saja, Kamus Linguistik serta Kamus Istilah Keagamaan
(kontemporer), untuk membedah makna jihâd, perang, kekerasan, dan sekaligus
membedakannya dengan terorisme, seperti Kitab al-Ta‟rīfât Ali al-Jurjâni; al-Mu‟jam al-
Mufahras li Alfâdz al-Qur‟an al-Karīm bi Hâsyiyah al-Mushaf al-Syarīf Syaikh Muhammad
Fu‘âd Abd al-Bâqī; Kamus al-Maurid Arab-Inggris-Indonesia Munir Ba‘albaki dan Rohi
Ba‘albaki yang diterjemahkan Achmad Sunarto; Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia oleh
KH. Ahmad Warson Munawwir; Kamus Kontemporer (Kamus al-‟Ashri) Arab-Indonesia
yang ditulis Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor; Kamus Syawarifiyyah Kamus Modern
Sinonim Arab-Indonesia oleh Kamaluddin Nurdin Marjuni; Kamus Kontemporer Arab-
Indonesia Istilah Politik dan Ekonomi (al-Mu‟jam al-‟Arabiy al-Indûnisi al-Mu‟âshir fī al-
Mushtalahât al-Siyâsiyyah wa al-Iqtishâdiyyah) Muhammad Nafis Juwaini; Kamus
Linguistik Harimurti Kridalaksana; Kamus Indonesia Arab (Istilah Umum dan Kata-Kata
Populer) oleh M. Abdul Ghaffar E.M; dan Kamus Istilah Keagamaan (kontemporer) Islam,
Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu yang disusun Tim Ahli Pusat Penelitian
Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, cetakan
kedua, tahun 2015.
59
Abdurrahman Mas‘ud mengungkapkan bahwa Syaikh Nawawi al-Bantanī menjadi ulama Jawa
kenamaan lagi „alim yang pada abad XIX mendapat julukan (laqob) Sayyid Ulama al-Hijâz, menjadi seorang
guru yang sangat termasyhur baik di Mekkah maupun di Madinah. Salah satu karyanya, Safīnah al-Najât
diselesaikan dalam rentang waktu dua bulan selama studinya di bawah bimbingan seorang „alim di kota
Mekkah, yaitu Syaikh Dahlan. Syaikh Nawawi al-Bantanī menghabiskan waktu 30 tahun untuk kegiatan belajar
dan menulis, serta memberi ‗mata kuliah‘ antara tahun 1860 sampai 1870. Karyanya yang lain, Marâh Labīd
Tafsīr al-Nawawī, sebuah kita tafsir yang cukup besar terdiri dari dua jilid, ditulis dalam bahasa Arab telah
digunakan secara luas di berbagai Negara muslim. Syaikh Nawawi adalah model bagi orang Jawa yang ada di
Arab maupun di Jawa serta tidak terbantah lagi pengaruh dan kontibusi besarnya bagi perkembangan tipikal
ulama Sunni Jawa, misalnya mengorbitkan Hadratus Syaikh M. Hasyim Asy‘ari (1871-1947) yang telah
menjadi Pendiri Organisasi NU pada tahun 1926. Abdurrahman Mas‘ud, Dari Haramain ke Nusantara: Jejak
Intelektual Arsitek Pesantren (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 22-23.
32
B) Sumber-sumber sekunder (secondary resources) yaitu data-data
pendukung terhadap objek penelitian yang sedang dilakukan, di antaranya mencakup:
(1) Buku-buku yang mengulas Tafsir Kontekstual Abad ke-21, asbâb al-nuzûl,
misalnya Al-Qur‟an Abad 21 (Tafsir Kontekstual) oleh Abdullah Saeed; Asbâb al-Nuzûl oleh
al-Wâhidī al-Naisabûrī. (2) Buku-buku yang mengupas fundamentalisme Islam, radikalisme
dan terorisme, dan deradikalisasi pemahaman Al-Qur‘an dan hadis. Oleh karena itu, langkah-
langkah yang penulis ambil untuk mengumpulkan data adalah sebagai berikut: Pertama,
memanfaatkan Terjemah Al-Qur‘an Kemenag yang sudah diterbitkan. Kedua, menelusuri
koleksi data/objek penelitian seputar problem penerjemahan Al-Qur‘an dan polemik
terorisme dalam teks-teks keagamaan dengan menyusuri lemari buku di sejumlah
perpustakaan, terutama Perpustakaan Nasional RI Salemba Raya, lalu Perpustakaan Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Pusat, Perpustakaan Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Qur‘an (LPMA) dan Museum Istiqlal (TMII), Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta kampus 1, Perpustakaan Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta kampus 2, Perpustakaan Pascasarjana Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan
Yayasan Umum Islam Iman Jama Lebak Bulus Jakarta Selatan, dan Library of Anas Corner
Jakarta Barat.
Terdapat dua pertimbangan dalam hal memilih metode/teknik pengumpulan data
dan informasi, yaitu hubungan antara pertanyaan penelitian (research question), dan
penggunaan sumber-sumber informasi dengan metode yang beragam. Untuk itu, agar
memperoleh informasi yang memadai dari segenap pertanyaan penelitian ini, maka
dimungkinkan mengombinasikan dua teknik, yaitu: studi dokumentasi dan studi literatur
yang relevan. Studi/metode dokumentasi yakni dengan merujuk sumber-sumber dimaksud
antara lain buku-buku yang mengungkap teori kebahasaan modern, kajian radikalisme dan
terorisme dalam teks keagamaan, kitab-kitab tafsir terkemuka, dan juga jurnal kajian ilmiah.
33
Seperti diketahui bahwa metode dokumentasi berarti mengumpulkan data-data yang bersifat
benda mati sebagai dokumentasi yang berupa catatan, transkrip, surat kabar, agenda, rapat
dan sebagainya guna menunjang serta memperkuat pengumpulan data yang ada sebagaimana
teori yang dicetuskan Suharsimi Arikunto.60
Kemudian studi literatur yakni tahapan-tahapan riset dengan cara mempelajari
tulisan-tulisan, riset-riset termutakhir berkenaan dengan tafsir Al-Qur‘an, terjemah Al-
Qur‘an, faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi teroris, pemanfaatan Al-Qur‘an dan
hadis digital (software/aplikasi). Pengumpulan data diperkaya juga melalui selective coding,
yaitu memilih secara selektif kasus-kasus yang sesuai dengan topik pembahasan terhadap
semua data. Secara garis besar, penulis menganalisis studi kasus61
kajian Terjemah Al-Qur‘an
Kemenag dan Al-Qur‘an Tarjamah Tafsiriyah MMI terutama ayat-ayat bernada jihâd yang
telah ditetapkan dengan berangkat pada pisau analisis kebahasaan/linguistik dan teori
penerjemahan. Untuk memperkaya kajian, bisa saja dikomparasi objek ayat terjemah yang
sudah difokuskan dengan menganalisis terjemah Al-Qur‘an sejenis dalam Al-Qur‟an dan
Maknanya buah pemikiran Quraish Shihab dan Qur‟an Karim karya Mahmud Yunus.
3) Teknik Penulisan/Metode Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif–analitis (descriptive analysis)
dengan pendekatan normatif–realitas berbasiskan studi ilmu-ilmu humaniora. Analisa itu
dimaksudkan untuk menghasilkan proposisi-proposisi teoritis tentang terorisme dan teks-teks
keagamaan. Karena itu proses analisis yang ditempuh merupakan langkah-langkah tertentu
60
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h.
206. 61
Studi kasus adalah salah satu strategi dan metode analisis data kualitatif yang menekankan pada
kasus-kasus khusus yang terjadi pada objek analisis. Studi kasus pun dapat dilakukan pada penelitian dengan
sumber data yang sangat kecil seperti satu orang, satu keluarga, satu RT, satu RW, satu desa/kelurahan, satu
kecamatan, satu kabupaten, satu provinsi, satu Negara, dan bahkan satu benua. Burhan Bungin, Penelitian
Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya (Jakarta: Prenada Media Group,
2007), h. 229.
34
seperti metode deskriptif, metode interpretasi, dan juga komparatif. Data-data yang telah
dikumpulkan dari berbagai sumber (primer-sekunder) dirangkaikan ke dalam hubungan-
hubungan data dan fakta, sehingga membentuk pengertian-pengertian yang kemudian
dituangkan ke dalam bentuk penulisan deskriptif-analitis, yakni penelitian yang berusaha
menuturkan pemecahan suatu masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan
subjek serta objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya saja.62
Pada
penelitian deskriptif yaitu dengan cara mengumpulkan data yang terkait dengan ayat-ayat
terjemahan yang mengandung unsur terorisme (ayat jihâd) untuk kemudian
membandingkannya; antara terjemahan Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI
dan Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah milik MMI. Setelah itu penulis mendeskripsikan masalah
tersebut dengan data yang ada dalam teori semantik leksikal, gramatikal, dan kontekstual
sehingga maksud dan tujuan penelitian tercapai.
Dalam penelitian ini, pengolahan data dilakukan dengan cara memeriksa seluruh
data yang terkumpul untuk dipilih berdasarkan sub-sub pokok bahasan dalam perumusan
masalah. Analisis data merupakan kegiatan yang berkaitan dengan data yang meliputi
pengorganisasian, pengklasifikasian, mensintesakannya, mencari pola-pola hubungan,
menemukan apa yang dianggap penting dan apa yang telah dipelajari serta pengambilan
keputusan yang akan disampaikan kepada orang lain.63 Dikarenakan kualitatif, maka analisis
datanya bersifat iteratif atau berkelanjutan yang kemudian dikembangkan sepanjang program.
Dengan kata lain, analisis data tidak dilakukan setelah pengumpulan data selesai saja, akan
tetapi dilaksanakan/ditampilkan mulai penetapan masalah, pengumpulan data, dan setelah
62
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2003),
h. 63. 63
Noeng Muhadjir, Metode Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996), h. 30.
35
data dikumpulkan. Dengan begitu, peneliti dapat mengatahui kekurangan data yang harus
dikumpulkan dan juga mengetahui metode mana yang harus dipakai pada tahap berikutnya.
Kegiatan analisis data dalam riset ini menggunakan tiga tahapan; yaitu reduksi
data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Reduksi data merupakan usaha
menyederhanakan temuan data dengan cara mengambil intisari data sehingga ditemukan tema
pokoknya, yaitu fokus masalahnya, dan juga pola-polanya. Hal ini senada dengan yang
dikemukakan Miles dan Huberman dalam Rohmawati (2008) dan dipotret pula M. Abzar
Duraesa (636: 2014), bahwa reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstarakan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan
lapangan. Dalam proses reduksi data, penulis menganalisis bahan-bahan yang telah
terkumpul, menyusunnya secara sistematis dan menonjolkan pokok-pokok permasalahannya.
Untuk jelasnya, analisis data model Miles dan Huberman dapat dilihat di bawah ini:
Gambar 1.
Teori Miles dan Huberman untuk analisis data, M. Abzar Duraesa (636: 2014):
Reduksi data adalah proses penyederhanaan data, memilih hal-hal pokok yang
sesuai dengan fokus penelitian. Jadi, dengan cara ini data penelitian yang sangat banyak,
Pengumpulan
Reduksi
Penyajian Data
Kesimpulan-
Kesimpulan
penarikan/verifikasi
36
dipilih sesuai dengan kriteria penelitian ini yaitu penanggulangan teroris dan konsep tentang
teologi teroris yang dibangun sehingga dapat dianalisis dengan mudah. Reduksi data ini
bukan merupakan suatu kegiatan yang terpisah dan berdiri sendiri dari proses analisis data,
akan tetapi merupakan bagian dari proses analisis itu sendiri. Display data adalah suatu
proses pengorganisasian data sehingga mudah dianalisis dan disimpulkan. Proses ini
dilakukan dengan cara membuat gambar, tabel, matrik, atau grafik. Dengan demikian, penulis
dapat menguasai data dan tidak tenggelam dalam tumpukan data yang begitu banyak.
Sedangkan dalam mengambil kesimpulan data dan verifikasi, merupakan langkah ketiga
dalam proses analisis. Langkah ini dimulai dengan mencari pola, tema, hubungan, hal-hal
yang sering timbul, dan sebagainya yang mengarah pada penanggulangan teroris dan konsep
tentang teologi teroris, dan kemudian diakhiri dengan menarik kesimpulan sebagai hasil dari
temuan di lapangan.64
Data dipolakan, difokuskan, dan disusun secara sistematis tersebut diambil
kesimpulan sehingga makna baru data bisa ditemukan. Namun, kesimpulan itu bersifat
sementara saja dan masih bersifat umum. Agar kesimpulan diperoleh secara final, maka data
lainnya perlu dicari. Data baru tersebut bertugas melakukan pengujian terhadap berbagai
kesimpulan tentatif tadi.65
Strategi analisis data dilakukan dengan dua cara pula; yaitu
pemetaan dan kategorisasi data. Data atau informasi yang dikumpulkan terlebih dahulu
dipetakan yang pada akhirnya menghasilkan pengelompokkan yang sesuai dengan
pembabakan data yang telah dirancang. Kemudian, data serta informasi dikategorisasikan,
mana ayat-ayat/teks-teks terjemah yang bercorak jihadisme/terorisme yang diperdebatkan
64
M. Abzar Duraesa, Teologi Terorisme di Indonesia: Identifikasi terhadap Perkembangan Teologi
Terorisme di Kota Samarinda, paper Proceeding AICIS XIV, Buku 4 Subtema: Multicultural Education in
Indonesia: Challenges and Opportunities, Editor: Muhammad Zain, Mukhammad Ilyasin dan Mustakim,
Kerjasama Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI dengan STAIN Samarinda, 2014, h.
636. 65
Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2003: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia
(Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 24-25. Tesis pada SPs UIN Jakarta,
konsentrasi Syariah.
37
untuk seterusnya dianalisis sesuai dengan kontekstualisasinya. Secara teknis, penulisan Tesis
ini mengacu pada ‖Buku Pedoman Penulisan Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi) yang berlaku di lingkungan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center of Quality and Assurance (CeQDA) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.‖
F. Sistematika Penulisan
Agar pembaca mendapatkan gambaran yang utuh dan komprehensif tentang isi
penelitian ini, penulis beranggapan perlu menjabarkan sistematika penulisannya. Penelitian
ini terdiri dari lima bab dengan sistematika sebagai berikut :
Bab Pertama, untuk mengantar para pembaca dan pemerhati ilmu spesifik
penerjemahan Al-Qur‘an ini kepada gambaran umum (generale picture) tentang pokok
pembahasan dan penyajian hasil penelitian sementara (hipotesa). Pada bab ini dipaparkan
latar belakang masalah; identifikasi permasalahan, rumusan dan batasan masalah; riset
terdahulu yang relevan demi mencari titik persamaan dan perbedaan dalam riset ini.; tujuan
dan kegunaan penelitian; metodologi penelitian yang digunakan, sumber/teknik pengumpulan
data, dan sistematika pembahasan. Bab I ini merupakan kerangka penelitian yang menjadi
dasar-dasar bagi bab-bab selanjutnya.
Bab Kedua, merupakan kerangka teori yang merupakan alat pengupas terhadap
masalah yang akan ditelaah, sehingga riset memperoleh hasil yang maksimal. Pada bab ini,
Penulis memberikan sketsa umum tentang Kerangka Teoritik. Ada dua bahasan besar yang
terdiri dari sub-sub bahasan dan perdebatan terkini seputar fundamentalisme Islam,
klasifikasi fundamentalisme Islam, terorisme dan agama, dan teks keagamaan. Bagaimana
korelasi terorisme dan teks-teks keagamaan, adakah keterpengaruhannya. Selain, itu
38
interpretasi makna jihâd perang pun ditampilkan secara gamblang, wacana pendirian Negara
Islam (Islamic state), terorisme di belahan dunia, menelisik definisi terorisme dan aksinya di
Indonesia, penyebab munculnya terorisme agama, dan ulasan singkat tentang terjemah
harfiyah dan tafsiriyah.
Bab Ketiga, pada bab ini dipaparkan sketsa Al-Qur‘an Tarjamah Tafsiriyah
MMI, dilanjutkan pada bahasan profil MMI dan agenda formalisasi syariat Islam, bagaimana
latar belakang lahirnya MMI sekaligus memotret MMI sebagai serakan fundamentalisme
Islam politis. Pada bab ini, bisa menjadi bahan untuk kepentingan analisis bab IV.
Bab Keempat, dalam bab ini penulis mengulas kritik MMI terhadap
penerjemahan Al-Qur‘an Kemenag, lalu masuk kategorisasi dan identifikasi objek riset ini
yaitu ayat-ayat jihâd (makkiyyah dan madaniyyah), lalu menimbang parameter kritik MMI,
menguji terjemah tafsiriyah MMI sebagai deradikalisasi, dan studi kasus teks terjemahan
ayat-ayat Al-Qur‘an yang berbasis jihâd dan analisisnya. Pembahasan ayat-ayat yang
mengandung unsur terorisme dibedah secara apik dengan pisau analisis yang tajam.
Bab Kelima, adalah penutup. Yang sub kajiannya adalah tentang kesimpulan dan
rekomendasi yang ditawarkan. Sebagai penutup pembahasan ini akan ditarik sebuah
kesimpulan sebagai sintesa dari seluruh hasil analisis yang telah dilakukan. Kemudian
diajukan saran-saran serta masukan konstruktif dan daftar pustaka yang representatif sebagai
bahan rujukan dalam akhir kepenulisan penelitian ini.
39
BAB II
KERANGKA TEORITIK FUNDAMENTALISME, TERORISME,
DAN TEKS KEAGAMAAN
Pada bagian pertama, kita telah mendiskusikan latar belakang masalah, pokok permasalahan,
identifikasi masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan, dan manfaat penelitian
sebagai bangunan dasar untuk selanjutnya menggali lebih dalam bahasan demi bahasan pada
riset ini. Dalam bab kedua ini, lebih lanjut penulis akan mendedahkan perdebatan-perdebatan
mutakhir seputar fundamentalisme Islam, klasifikasi fundamentalisme Islam di Indonesia,
terorisme, dan agama. Perbincangan itu dibagi ke dalam lima tema besar: teks keagamaan,
pola keislaman, pengantar semantik, teori mentalistik generatif-transformatif Noam
Chomsky, kritik atas konsep strukturalisme Ferdinand de Saussure dan behaviorisme
Bloomfield, dan sekilas mengenai terjemah harfiyah dan tafsiriyah. Dengan demikian, akan
tergambar secara utuh bagaimana perdebatan-perdebatan ilmiah tersebut berlangsung.
A. Sekilas Mengenai Fundamentalisme Islam
Salah satu fenomena Islam di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru (1998) adalah
menguatnya fundamentalisme Islam (al-ushûliyyah al-islâmiyyah). Fenomena ini bisa dilihat
dari fenomena munculnya Laskar Jihâd (LJ), Front Pembela Islam (FPI), dan Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI). Ketiganya memiliki persamaan agenda yang mengklaim tengah
berjuang untuk menegakkan syariat Islam sebagai manhaj salaf (cara hidup Islam ortodoks di
masa Nabi SAW dan khulafâ al-râsyidīn). Ekspresi gerakan ketiga organisasi ini memang
berbeda. MMI, misalnya, ingin memperjuangkan agenda penerapan syariat tradisional Islam
yang harfiyah lewat cara damai dalam bingkai sistem politik demokrasi yang diusung Orde
40
Reformasi.66
Sementara Laskar Jihâd (LJ) dan Front Pembela Islam (FPI) sering
menampilkan tindak kekerasan. FPI banyak melakukan razia terhadap tempat hiburan yang
diduga sebagai sarang maksiat yang dalam praktiknya tidak dibarengi perundingan yang
memadai. Sedangkan kelompok Laskar Jihâd adalah kelompok yang tampaknya paling
banyak mengkirim laskarnya ke Maluku, Ambon (sebanyak 1300 orang yang dikirim secara
bergilir dari anggotanya yang berjumlah sekitar 10.000 orang) untuk ikut membantu kaum
muslimin dalam konflik berdarah yang berbau agama.67
Bahkan lewat pimpinannya Ja‘far
Umar Thalib,68
Laskar Jihâd pernah melakukan eksekusi hukum rajam (istilah teknis dalam
bab hudûd/jinâyah, yaitu dilempar dengan batu hingga mati) di Maluku kepada Abdullah,
pengikutnya yang sudah berkeluarga dan berzina. Karena itu, ia pun sempat diancam oleh
pemerintah dengan pasal 359 KUHP tentang tindak penganiyaan sampai meninggal. Namun,
ketiga ormas radikal itu melihat penerapan syariat Islam secara menyeluruh sebagai solusi
krisis bagi Indonesia.
Secara harfiyah, fundamentalis berarti sekelompok orang yang taat dan setia pada
dasar-dasar ajaran agamanya, dengan kata lain mereka yang berpegang teguh kepada
fundamen-fundamen pokok Islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur‘an dan hadis Nabi
Muhammad SAW. Bisa pula diartikan: kembali kepada fundamen-fundamen keimanan;
penegakan kekuasaan politik ummah; dan pengukuhan dasar-dasar otoritas yang absah
(syar‟iyyah al-hukm). Formulasi ini, seperti terlihat, menekankan dimensi politik gerakan
66
Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik: Agama dan Negara, Demokrasi, Civil Society,
Syariah dan HAM, Fudamentalisme, dan Antikorupsi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 263. 67
Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini: Islam dan Negara, Dakwah dan Politik, HMI,
Anti-Korupsi, Demokrasi, NII, MMI, dan Perda Syariah (Jakarta: Pusat Studi Indonesia Arab (PSIA) UIN
Jakarta, 2013), h. 163. 68
Ja‘far Umar Thalib termasuk tokoh kontroversial, arsitek Laskah Jihâd (LJ). Secara singkat,
pendidikan formalnya dimulai dari Pesantren al-Irsyâd, lalu Pendidikan Guru Agama (PGA) yang kemudian
dilanjutkan ke Pesantren Persis (Persatuan Islam) di Bangil. Dari Bangil, tahun 1983, Ja‘far hijrah ke Jakarta
dan kuliah di LIPIA. Di sinilah, ia mulai berkenalan dengan ide-ide salafi-wahabi. Dari sini, ia mendapat
beasiswa dari Arab Saudi untuk melanjutkan studinya di Maududi Institute, Lahore, Pakistan. Selama di
Pakistan, ia pernah mengikuti latihan mujâhidīn bersama-sama dengan rekannya dari Afghanistan, Pakistan,
Mesir, Burma, Sudan, Thailand, dan Filipina. Din Wahid, Pentas Jihâd Gerakan Salafi Radikal Radikal
Indonesia, Studia Islamika, Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 14, No. 2, 2007, h, 349-350.
41
Islam, ketimbang aspek keagamaannya.69
Istilah fundamentalis bukan berasal dari
terminologi Islam, akan tetapi berasal dari kata bahasa Inggris yaitu fundament. Dalam
bahasa Arab, kaum fundamentalis disebut dengan ushûliyyûn (yang berpegang pada dasar-
dasar agama) yang hampir sama dengan istilah salafi (ortodoksi Islam), meski tidak sama
persis. Namun, pengertian fundamentalis yang secara harfiyah positif, yaitu konsisten dengan
ajaran dasar agama, kemudian dalam pergerakannya/perjalanannya mengalami konotasi
negatif.70
Sebagaimana dijelaskan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), seperti yang
dikutip Sukron Kamil, fundamentalisme adalah paham atau gerakan keagamaan yang bersifat
kolot dan reaksioner, yang selalu merasa perlu kembali pada ajaran agama yang asli seperti
yang tersurat dalam kitab suci yang cenderung memperjuangkan keyakinannya secara
radikal.71
Kamus Webster dalam Sukron Kamil, menjelaskan kata fundamentalis dengan
menunjuk pada dua arti, yaitu: (1) ‗‘gerakan Protestanisme pada abad ke-20 yang
menekankan penafsiran pada Alkitab secara literal/harfiyah sebagai sesuatu yang mendasar
bagi hidup dan pengajaran Kristen.‖ (2) ―Suatu gerakan atau sikap yang menekankan
ketelitian dan ketaatan secara harfiyah terhadap sejumlah prinsip-prinsip dasar.72
Dalam
pengertian ini Sukron Kamil mengkategorisasikan fundamentalisme sebagai fenomena
agama-agama. Di sisi lain, ada pendapat yang mengemuka bahwa fundamentalisme adalah
fenomena yang tidak hanya soal fenomena keagamaan saja, melainkan sosial-politik, dan
juga budaya. Adalah Yusril Ihza Mahendra yang menuturkan hal itu. Akan tetapi, Yusril
69
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam (Jakarta: Paramadina University, 1996), h. 109. 70
Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, h. 164. Lihat pula dalam Sukron Kamil, dkk,
Laporan Penelitian Kolektif Kompetitif, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab
dalam Teks-Teks Keagamaan Kontemporer (Jakarta: Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2013), h. 15 71
Sukron Kamil, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI): Profil dan Agenda Penerapan Syariat Islam
dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru, Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, Editor: Imam Tolkhah
dan Neng Dara Affiah (Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama, 2007), h. 63. 72
Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik: Agama dan Negara, Demokrasi, Civil Society,
Syariah dan HAM, Fudamentalisme, dan Antikorupsi (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 249-
250.
42
mengulasnya dengan membandingkan antara disiplin kajian modernisme dan
fundamentalisme. Keduanya merupakan dua fenomena global yang dapat dijumpai dalam
berbagai masyarakat yang menganut ―agama-agama dunia‖, seperti Yahudi, Hindu, Kristen73
dan Islam. Dalam hubungannya dengan agama yang disebutkan terakhir ini, kedua fenomena
itu telah banyak diperbincangkan oleh media massa, masyarakat luas dan juga kalangan
intelektual. Keduanya digunakan untuk membedakan dua kecenderungan pemikiran yang ada
dalam masyarakat pemeluk agama dan diterapkan untuk mengamati pemikiran keagamaan
dalam masyarakat muslim.74
Sebelum beranjak pada ulasan serta diskusi fundamentalisme yang lebih jauh,
penulis ingin menghadirkan perdebatan-perdebatan menarik juga yang mana telah ditelaah
Yusril dalam karyanya. Ia mengatakan bahwa modernisme (dalam istilah Arab dikenal tajdīd,
ishlâh, atau salaf) dan fundamentalisme (dalam terminologi Arab dikenal dengan al-
ushûliyyah al-islâmiyah, al-ba‟ats al-islâmī/kebangkitan Islam, atau shahwah
islâmiyah/kebangunan Islam) bukanlah istilah yang berasal dari perbendaharaan kata dalam
bahasa masyarakat muslim. Kedua istilah itu dimunculkan oleh kalangan akademisi Barat
dalam konteks sejarah keagamaan dalam masyarakat mereka sendiri. Modernisme, pada
awalnya diartikan sebagai aliran keagamaan yang melakukan penafsiran terhadap doktrin
agama Kristen untuk menyesuaikannya dengan perkembangan pemikiran modern. Adapun
fundamentalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada ―fundamen‖ agama
Kristen melalui penafsiran terhadap kitab suci agama itu secara rigid dan literalis.75
73
Bukti paling sahih kasuistik fundamentalisme Kristen seperti pada era Presiden George W. Bush
yang menjadi pendukung utama rezim neo-imperialis ini. Di dunia Islam, secara sporadis sejak beberapa tahun
terakhir, dalam catatan Ahmad Syafi‘i Ma‘arif, gejala fundamentalisme ini sangat dirasakan. Yang paling
ekstrim di antara mereka mudah terjatuh ke dalam perangkap terorisme. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan
Islam Transnasional di Indonesia, Editor: KH. Abdurrrahman Wahid (Jakarta: The Wahid Institute dan Ma‘arif
Institute, 2009), h. 8. 74
Muhammad Chirzin, Jihâd dalam Al-Qur‟an: Pespektif Modernis dan Fundamentalis, Hermenia,
Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 2, No. 1, Januari-Juni 2003, h. 96. 75
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam (Jakarta: Paramadina
University, 1999), h. 3-5.
43
Istilah modernisme dan fundamentalisme kemudian digunakan oleh sarjana-
sarjana Orientalis dan pakar ilmu sosial dan kemanusiaan Barat untuk membedakan dua
kecenderungan pemikiran yang hampir sama dengan apa yang dijumpai dalam agama Kristen
itu, di dalam masyarakat yang memeluk agama lain. Hal serupa juga mereka terapkan untuk
mengamati pemikiran keagamaan dalam masyarakat-masyarakat muslim. Sungguh pun
demikian, dalam perkembangan ilmu sosial dan kemanusiaan masa kini, baik ilmuan Barat
maupun Muslim telah menggunakan istilah yang tidak sama dalam mengkategorikan kedua
aliran/faham tersebut. Istilah ―modernisme‖ sering juga diganti dengan istilah-istilah lain,
seperti “reformism”, “reawakening”, “renaissance”, dan “renewal”. Sedangkan istilah
―fundamentalisme‖ sering diganti pula dengan istilah-istilah “revivalisme”, “militancy”,
“reasertion”, dan “resurgence”, “activism”, dan “reconstruction”.76
Definisi lain dapat dirujuk pada Masykuri Abdillah bahwa fundamentalisme
adalah sebuah gerakan keagamaan yang pada mulanya menjadi aktif di berbagai kalangan
Lembaga Protestan di Amerika Serikat setelah perang tahun 1914-1918. Gerakan mereka
didasarkan pada ketaatan yang keras kepada ajaran-ajaran tertentu yang dipegangi menjadi
dasar kepercayaan Kristen (misalnya, pemahaman ke dalam kitab suci yang literal). Gerakan
ini berhadapan dengan liberalisme dan modernisme. Sebaliknya, fundamentalisme Islam
berhadapan dengan liberalisme tetapi tidak pada modernisme sepanjang tidak bertentangan
dengan syariat. Istilah yang lebih akurat untuk mendeskripsikan pandangan yang maju,
interpretatif dan bahkan inovatif, membutuhkan rekonstruksi tatanan sosial. Jadi, dalam
pengertian Barat, ia betul-betul menyerupai gerakan pembebasan Katolik daripada
fundamentalisme Protestan. Secara umum, dapat dikatakan bahwa apa yang disebut dengan
‗fundamentalis Muslim‘ menolak istilah dan konsep demokrasi. Para fundamentalis Islam
yang dirujuk di sini, adalah mereka yang membela doktrin Islam dan yang menegaskan
76 Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam (Jakarta: Paramadina
University, 1999), h. 6.
44
superioritas Tuhan, melakukan usaha-usaha untuk mengimplementasikannya secara total.
Untuk mendukung keyakinan ini, mereka pada akhirnya menolak tatanan yang dibuat oleh
manusia untuk digunakan sebagai dasar sistem sosial Islam.77
Kecenderungan utama fundamentalisme Islam menurut Farid Esack, sebagaimana
yang dinyatakan Muhammad Chirzin, adalah memiliki komitmen pada praktik keagamaan
ketat, komitmen untuk menaati teks apa adanya, komitmen untuk menegakkan negara Islam
(Islamic state) dengan kedaulatan di tangan Tuhan, berpandangan bahwa Islam mampu
menjawab semua persoalan umat manusia sepanjang masa, perlunya menerapkan syariat
yang dipraktikkan dalam era Nabi Muhammad SAW di Madinah, bermusuhan dengan semua
yang menolak pandangan mereka, dan menyangkal kebaikan apapun yang terdapat pada non-
Islam. Secara sosiologis, fundamentalisme terkait dengan fenomena sektarianisme. Orang-
orang yang ada di luar mereka dianggap bukan orang beriman sebenarnya. Fundamentalisme
historis berarti keagamaan konservatif yang berusaha kembali pada asal-usul suatu keimanan
dengan kerinduan pada zaman khulafâ al-râsyidīn. Dalam arti politik, fundamentalisme
menunjuk pada usaha untuk melakukan revolusi atas nama agama. Fundamentalisme berakar
pada gerakan-gerakan dalam sejarah Islam sebagai perlawanan terhadap kelas penguasa yang
dianggap menyimpang, seperti kehadiran golongan Khawârij yang menentang Khalīfah Ali
bin Abi Thâlib.78
Ada sejumlah teori yang telah membahas fundamentalisme yang muncul di dunia
Islam. Yang paling banyak dikutip adalah kegagalan umat Islam menghadapi arus modernitas
yang dinilai sangat menyudutkan Islam. Karena ketidakberdayaan menghadapi arus panas itu,
golongan fundamentalis mencari dalil-dalil agama untuk ―menghibur diri‖ dalam sebuah
dunia yang dibayangkan belum tercemar. Jika sekadar ―menghibur‖, barangkali tidak akan
77 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia
terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993) (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 9.
78 Muhammad Chirzin, Jihâd dalam Al-Qur‟an: Pespektif Modernis dan Fundamentalis, Hermenia,
Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 2, No. 1, Januari-Juni 2003, h. 98-99.
45
menimbulkan banyak masalah. Tetapi sekali mereka menyusun kekuatan politik untuk
melawan modernitas melalui berbagai cara, maka benturan dengan golongan muslim yang
tidak setuju dengan cara-cara mereka tidak dapat dihindari. Ini tidak berarti bahwa umat
Islam yang menentang cara-cara mereka itu telah lalu dalam modernitas. Golongan penentang
ini tidak kurang kritikalnya menghadapi arus modern ini, tetapi cara yang ditempuh dikawal
oleh kekuatan nalar dan pertimbangan yang jernih, sekalipun tidak berhasil.
Teori lain mengatakan bahwa membesarnya gelombang fundamentalisme di
berbagai negara muslim terutama didorong oleh rasa kesetiakawanan terhadap nasib yang
menimpa saudara-saudaranya di Palestina, Kashmir, Afghanistan, dan Iraq. Perasaan solider
ini sesungguhnya dimiliki oleh seluruh umat Islam sedunia. Tetapi yang membedakan adalah
sikap yang ditunjukkan oleh golongan mayoritas yang sejauh mungkin menghindari
kekerasan dan tetap mengibarkan panji-panji perdamaian, sekalipun peta penderitaan umat di
kawasan konflik itu sering tidak tertahankan lagi. Jika dikaitkan dengan kondisi Indonesia
yang relatif aman, kemunculan kekuatan fundamentalisme, dari kutub yang lunak sampai ke
kutub yang paling ekstrim (terorisme), sesungguhnya berada di luar penalaran. Kita ambil
misalnya praktek bom bunuh diri sambil membunuh manusia lain (kasus bom Bali, JW
Marriot, dan lain-lain), sama sekali tidak bisa difahami. Indonesia bukan Palestina, bukan
Kashmir, bukan Afghanistan, dan bukan Iraq, tetapi praktik biadab itu dilakukan di sini?
Teori ketiga, khusus di Indonesia, maraknya fundamentalisme di Nusantara lebih
disebabkan oleh kegagalan negara mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya
keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. Korupsi masih
menggurita adalah bukti nyata dari kegagalan itu. Semua orang mengakui kenyataan pahit ini.
Namun karena pengetahuan golongan fundamentalis ini sangat miskin tentang peta sosiologis
Indonesia yang memang tidak sederhana, maka mereka menempuh jalan pintas bagi tegaknya
keadilan; melaksanakan syariat Islam melalui kekuasaan. Jika secara nasional belum
46
mungkin, maka diupayakan melalui perda-perda (peraturan daerah). Dibayangkan dengan
pelaksanaan syariah ini, Tuhan akan meridai Indonesia. Anehnya, semua kelompok
fundamentalis ini anti demokrasi, tetapi mereka memakai lembaga negara yang demokratis
untuk menyalurkan cita-cita politiknya.79
Berdasarkan definisi di atas dan literatur lain yang telah disebutkan, ada beberapa
ciri fundamentalisme termasuk di dalamnya fundamentalisme Islam. Yaitu: 1) Cenderung
menafsirkan teks-teks keagamaan80
secara rigid (kaku) dan literalis (tekstual); 2) cenderung
memonopoli kebenaran atas tafsir agama (menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas
tafsir agama yang paling absah), sehingga menganggap sesat kelompok lain yang tidak
sealiran; 3) meniscayakan hubungan yang harmonis antara agama dan negara; 4) memiliki
pandangan yang stigmatis terhadap Barat (baik sebagai ide seperti pluralisme maupun
sebagai tatanan sosial politik, di mana Barat dipandang sebagai monster imperialis yang
sewaktu-waktu mengancam akidah dan eksistensi mereka; 5) mendeklarasikan perang
terhadap paham dan tindakan sekular, dan terakhir 6) cenderung radikal (menggunakan cara-
cara kekerasan, termasuk penafsiran agama yang cenderung keras, kasar juga batinnya)
dalam memperjuangkan nilai-nilai yang diyakininya, khususnya dalam berhadapan dengan
modernitas dan sekularitas yang dinilainya menyimpang dan merusak keimanan.81
Tampaknya, karena kompleksitas ontologis yang dipengaruhi oleh realitas
fundamentalisme sebagai entitas intelektual dan gerakan yang berkembang dari masa ke
masa, sebagian kalangan ahli Islam, melihat bahwa radikalisme sebagai ciri fundamentalis
kontemporer tidak disepakati sebagai ciri fundamentalisme secara umum. Muhammad Sa‘id
79
Ahmad Syafi‘i Ma‘arif, dalam Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di
Indonesia, Editor: KH. Abdurrrahman Wahid, Epilog: Ahmad Syafi‘i Ma‘arif dan KH. Ahmad Mustofa Bisri
(Jakarta: The Wahid Institute dan Ma‘arif Institute, 2009), h. 8-9. 80
Dalam penerjemahan teks keagamaan, pemahaman atas konsep-konsep teologi menentukan
bagaimana memahami teks asli dan bagaimana menetapkan terjemahannya/maksudnya/interpretasinya. Di
samping itu, kita juga harus memahami alat kebahasaan yang digunakan dalam komunikasi tertulis ataupun
lisan. Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2006), h. 34. 81
Sukron Kamil, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI): Profil dan Agenda Penerapan Syariat Islam
dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru, Upaya Merambah
Dimensi Baru Islam (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2007), h. 64 .
47
al-Asymawī pun misalnya, beliau mengatakan bahwa ada perbedaan antara “activist political
fundamentalism” dan “rationalist spiritualist fundamentalist”. Istilah pertama merujuk pada
sekelompok muslim yang memperjuangkan Islam sebagai kekuatan politik. Sedangkan istilah
berikutnya merujuk pada sekolompok muslim yang menginginkan kembali pada ajaran Al-
Qur‘an dan hadis sebagaimana dipraktikkan generasi pertama (al-salaf al-shâlih). Dalam
sejarah Islam, kelompok pertama sebagaimana yang diperlihatkan gerakan Salafiyah Ibn
Taimiyah. Pembedaan lain disampaikan oleh Bruce Lawrence. Ia membagi kaum
fundamentalis, terutama fundamentalisme agama secara umum pada tiga bagian: yakni
fundamentalisme literalis, fundamentalisme teroris, dan fundamentalisme aktivis politik.82
B. Klasifikasi Fundamentalisme Islam
Pada perkembangan selanjutnya, gerakan fundamentalisme mengalami
pergeseran dan perubahan orientasi. Jika gerakan Wahabi tidak menjadikan aktifitas politik
sebagai basis perjuangannya, maka corak gerakan fundamentalisme pada era awal abad 20
lebih mencirikan gerakan politik sebagai basis purifikasi pemahaman Islam. Para pemikir
seperti Jamâluddin al-Afghânī,83
Ayatullah Khomaeni, al-Maududi, Hasan al-Banna, Sayyid
Qutub, merupakan inspirator bagi gerakan fundamentalisme Islam modern. Taqiyyuddīn al-
Nabhâni melihat fundamentalisme Islam sebagai reaksi yang timbul atas dilenyapkannya
institusi khilâfah Islam pada awal abad ke-20.
82
Sukron Kamil, Pemikiran Politik Islam Tematik, h. 250. Selain itu lihat penulis yang sama dalam
Islam dan Politik di Indonesia Terkini, h. 167, dan buku Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru: Upaya
Merambah Dimensi Baru Islam, h. 64. 83
Menurut Jajang Jahroni, modernisme Islam tidak bisa dipisahkan dari tiga tokoh Timur Tengah:
Jamâluddin al-Afghânī, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha. Al-Afghânī adalah seorang tokoh
Pan-Islamisme yang memberi inspirasi terhadap gerakan perlawanan terhadap penjajahan Barat di banyak
negeri Islam. Adapun Abduh adalah seorang pemikir yang mencoba mempertemukan Islam dengan modernitas.
Dan yang terakhir, Rasyid Ridha, adalah seorang ulama yang mencari otentisitas agama lewat akidah salaf.
Ketiga tokoh ini, tidak diragukan lagi telah menyediakan cetak biru bagi perkembangan gerakan modernisme
Islam di dunia muslim termasuk di Indonesia. Jajang Jahroni, Modernisme dan Radikalisme Islam di Indonesia:
Menafsirkan Warisan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Studia Islamika PPIM UIN Jakarta, Indonesian
Journal for Islamic Studies, Vol. 11, No. 3, 2004, h, 578.
48
Fundamentalisme Islam tidak hadir pada ruang hampa. Gerakan ini lahir sebagai
respon atas realitas kehidupan yang lahir dari modernitas yang melanda seluruh penjuru
negeri. Brian Beary dan Aris Humaidi mengajukan dua faktor penyebab utama munculnya
fundamentalisme Islam. Faktor pertama adalah sebagai respon atas tindakan dunia Barat,
khususnya Amerika, terhadap dunia Islam. Perlakuan diskriminatif yang ditunjukkan oleh
Barat, terutama Amerika dan Israel, terhadap umat Islam mendapatkan respon dari umat
Islam dengan berdirinya gerakan-gerakan fundamentalisme. Mereka hadir sebagai upaya
perlawanan terhadap hegemoni Amerika dan Israel terhadap dunia Islam. Faktor kedua
adalah bahwa gerakan fundamentalisme Islam hadir sebagai reaksi atas modernitas.
Sebagaimana dipahami bahwa modernitas tidak hanya membawa dampak positif.
Modernitas juga telah menghadirkan dampak negatif berupa rusaknya tatanan kehidupan
bermasyarakat. Oleh karena itu, gerakan fundamentalisme Islam bereaksi atas ekses negatif
yang ditimbulkan. Reaksi yang dilatarbelakangi basis ideologi Islam tersebut pada akhirnya
menempuh penolakan modernitas secara menyeluruh. Reaksi atas modernitas juga lahir
karena ketidakmampuan dunia Islam dalam menghadapi modernitas dan perubahan.
Syamsul Bakri dalam Arif Gunawan Santoso (2014) menyatakan bahwa faktor
sosial politik, emosi keagamaan, kultural, ideologi keagamaan, kebijakan pemerintah, dan
faktor media massa Barat telah melahirkan fundamentalisme Islam. Syamsul Arifin melihat
bahwa fundamaentalisme Islam tidak bisa dilepaskan dari faktor pemahaman keagamaan. Ini
dikarenakan di dalam ajaran agama terdapat aspek ortodoksi dan sekaligus aspek
ortopraksis. Aspek ortodoksi memuat ajaran-ajaran yang menuntut penerimaan doktrin-
doktrin agama sebagai sebuah kepercayaan. Sementara itu ortopraksis merupakan aspek
yang menuntut pelaksanaan sebuah ajaran keagamaan sebagai bukti dari adanya
kepercayaan. Pandangan berbeda diungkapkan oleh Taqiyyuddīn al-Nabhânī. Dalam
pandanganya, gerakan fundamentalisme Islam modern merupakan respon langsung atas
49
runtuhnya kekhilafahan Turki Utsmani. Runtuhnya kekhilafahan Turki Utsmani telah
mendorong lahirnya berbagai macam gerakan keagamaan di dunia Islam. Gerakan ini lahir
sebagai upaya untuk mengembalikan kejayaan Islam. Berdasarkan beberapa pandangan para
sarjana, akar fundamentalisme dapat ditelusuri berdasarkan kategori sebagaimana
diungkapkan oleh Bruce Lawrence dan ICG (International Crisis Group). Untuk gerakan
fundamentalisme literalis/dakwahis, akar gerakan ini dapat ditelusuri dari gerakan
Wahabisme. Gerakan yang kemudian dikenal dengan gerak salafi ini merupakan embrio awal
dari fundamentalisme Islam yang bergerak secara literalis/dakwahis.
Dilihat dari faktor penyebab munculnya, fundamentalisme Islam dapat dibagi
dalam dua faktor. Faktor pertama adalah faktor yang menjadi entry point. Faktor ini
merupakan penyebab awal munculnya gerakan fundamentalisme Islam. Faktor ini bukanlah
faktor inti, melainkan faktor perantara. Faktor perantara tersebut adalah faktor yang berasal
dari eksternal umat Islam, yaitu faktor sosial politik berupa respon atas tidakan Barat
terhadap dunia Islam, penolakan terhadap sekulerisme, modernitas, kegagalan ideologi Barat
dalam menghadirkan kesejahteraan dan keamanan, dan faktor westernisasi dunia Islam, serta
faktor eksternal lainnya. Faktor ini merupakan pemicu munculnya gerakan fundamentalisme
Islam. Sementara itu, faktor kedua adalah faktor inti, faktor yang menjadi penyebab genuine
fundamentalisme Islam. Faktor ini berasal dari internal pemahaman umat Islam terhadap
ajaran serta norma yang terkandung dalam agama Islam. Sikap pandang skriptualis, literal,
dan purifikasi agama serta keyakinan akan kebenaran ajaran agama menjadi faktor kuat yang
melahirkan sikap millitansi serta keras dalam beragama.84 Fenomena fundamentalisme Islam
kontemporer, sebagai diakui Naisbitt, Aburdene, dan Oliver Roy, terkait dengan realitas
sosial politik. Gerakan ini merupakan counter trend (reaksi balasan) terhadap globalisasi
84
Arif Gunawan Santoso, Pergeseran Strategi Fundamentalisme Islam: Studi HTI sebagai Gerakan
Sosial (Jakarta: Penerbit A-Empat, 2015), h. 22-26. Tesis dipertahankan pada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2014.
50
yang berarti homogenisasi global Barat, khususnya Amerika Serikat, reaksi terhadap
imperialisme kultural yang telah mengorupsi peraturan konservatif Islam, dan juga reaksi
terhadap kegagalan nation state dalam membawa negara dan bangsa pada kehidupan sosial
ekonomi yang lebih baik. Dalam sejarah Timur Tengah (al-syarq al-awsath),
fundamentalisme Islam selain terkait dengan kegagalan modernisasi rezim yang berkuasa
seperti yang diperlihatkan Revolusi Iran di bawah Ayatullah Khomeini juga menurut Bassam
Tibi, terkait dengan kekalahan militer Arab di tangan Israel pada Perang Juni 1976. Sebagai
produk dialog antara teks dan konteks, fenomena fundamentalisme pun sebagaimana diakui
Karen Amstrong, bukan saja ada dalam Islam, tetapi juga ada dalam agama Buddha, Hindu,
Kong Hu Cu, dan Yahudi yang sama-sama menolak butir-butir nilai-nilai budaya liberal,
berperang atas nama agama, dan berusaha membawa hal-hal yang sakral ke dalam urusan
politik dan negara.
Pada agama yang terakhir disebut, misalnya, gejala fundamentalisme tersebut
antara lain bisa dilihat dari peristiwa 25 Februari 1994. Pada peristiwa tersebut, sekelompok
fundamentalis Yahudi melakukan penembakan secara brutal terhadap ratusan warga muslim
Palestina yang sedang melakukan salat subuh di Masjid Hebron yang menewaskan 63 orang.
Bahkan, kata fundamentalisme itu sendiri diperkenalkan oleh Protestanisme Amerika,
terutama Gereja Baptist, Desciple, Persbyterian, sebagai perlawanan terahadap kaum liberal
yang menurut mereka telah merusak keimanan Kristen.85
Sama dengan pemikir-pemikir
modernis, pemikir-pemikir fundamentalis yakin pada Islam sebagai agama yang menyeluruh,
mencakup seluruh aspek kehidupan. Islam dipandang sebagai sebuah sistem, mencakup
seluruh wilayah kultural (cultural universal). Tapi pemikir-pemikir fundamentalis juga
menekankan perbedaan (distinctiveness) dan pertentangan antara Islam dan Barat, dan yakin
85
Sukron Kamil, Majlis Mujahidin Indonesia (MMI): Profil dan Agenda Penerapan Syariat Islam
dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru, Upaya Merambah
Dimensi Baru Islam, h. 64 – 67.
51
pada kebenaran Islam yang menghadapi tantangan dari Barat. Dalam wilayah politik, kaum
fundamentalis cenderung menghindar dari setiap ide yang dipandang terbaratkan, dan karena
itu dianggap tidak Islami. Dengan pemahaman atas Islam secara literal dan tekstual, kaum
fundamentalis lebih berupaya mengembangkan konsep-konsep mereka sendiri dari perspektif
Islam sebagai alternatif atas konsep-konsep Barat.86
Dalam persepektif kesejarahan, fundamentalisme dapat dikonsepsikan sebagai
satu usaha yang sungguh-sungguh untuk menjaga, membela dan melestarikan kemurnian
Islam dari pengaruh-pengaruh asing dengan cara kembali pada pondasi-pondasi skriptual
(secara sederhana berarti pemahaman berdasar bunyi teks apa adanya). Sumber-sumber
skriptual yang merupakan fundamen-fundamen Islam adalah Al-Qur’an dan hadis.
Fundamentalisme skriptual, sesungguhnya menjadi instrumen yang tangguh dalam
menyebarkan Islam di kalangan strata masyarakat bawah dari masyarakat kota sepanjang
sejarah penyebaran Islam, dan juga telah menjadi bagian yang integral dari proses-proses
Islamisasi yang intensif. Di belakang proyek Islamisasi konservatif yang dijalankan Negara
saat itu, terdapat banyak kelompok yang menaruh harapan dan kemudian mengafiliasikan
diri ke dalamnya, atau paling tidak merasa tengah menapaki arah yang sama. Hal semacam
ini, dipandang oleh banyak kalangan sebagai hal yang sangat menjijikkan. Umat Islam yang
selama ini dipaksa bermain di pinggiran dan tidak diberikan banyak kesempatan dalam
konstelasi politik nasional, menemukan jalan untuk menaiki panggung politik, sosial, dan
ekonomi nasional. Kelompok-kelompok yang menaruh harapan tersebut datang dari
berbagai segmen kekuatan masyarakat.87
Di Indonesia, yang termasuk fundamentalisme Islam dakwahis secara umum
tersemat pada kelompok Jamaah Tabligh, sedangkan fundamentalisme Islam politis adalah
86
M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 140. 87
Wakhid Sugiyarto, Direktori Paham, Aliran dan Gerakan Keagamaan di Indonesia, Editor: Wakhid
Sugiyarto dan Syaiful Arif (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama RI, 2012), h. 141-142.
52
kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia
(MMI). Secara umum, HTI sebanding dengan MMI. MMI menekankan doktrin keharusan
mendirikan daulah Islâmiyah (negara Islam). Bagi MMI, meskipun daulah Islâmiyah
(negara Islam) dalam Al-Qur‘an tidak ada perintahnya yang jelas (qath‟î) untuk ditegakkan,
tetapi kedudukannya sebagai wasâ‟il (perantara atau institusi) bagi tegaknya kewajiban dari
Allah seperti qishâsh (hukuman yang sebanding) dan rajam, menjadikannya sebagai sesuatu
yang wajib ditegakkan pula. Hal ini karena hukum pidana Islam (jinâyah) semisal qishâsh
dan rajam sama wajibnya dengan salat untuk dilaksanakan (QS. 4: 45).88
Jika tidak, maka hal
itu merupakan pengingkaran (kekufuran) terhadap syarî‟ah (QS. al-Mâidah [5] : 44, 45, dan
47)89
dan merupakan dosa, karena telah menyalahi perintah Tuhan. Lebih dari itu,
pengingkaran terhadap pidana Islam juga mengakibatkan lahirnya kepemimpinan yang sesat
dan Tuhan pun kemudian memberi adzab (siksa) dengan krisis yang berkepanjangan hingga
dewasa ini. Pada saat Tuhan telah memberi adzab ini, sebagaimana dijelaskan QS. 23 : 64-
65,90
Tuhan tidak lagi memperkenankan doa hamba-Nya. Bagi MMI, Al-Qur‘an adalah kitab
suci yang sempurna, yang harus diimani secara keseluruhan. Tidak boleh diimani sebagian
88
Berikut ini ayatnya:
ه أ ع لله ٱ ا ثأ ع ئ ذ ىه ف و ١ لل ٱث ب ف و ٥٤ ا ظ١ش لل ٱث Terjemah: “Dan Allah lebih mengetahui tentang musuh-musuhmu. Cukuplah Allah menjadi pelindung
dan cukuplah Allah menjadi penolong (bagimu).” (QS. al-Nisâ [4] : 45). 89
Berikut ini ayatnya:
ئب ض ٱ بأ ى ز س هذ ف١ ب خ س ه ه ٠ ح ٱ ث ب ىه ٱ ج١ ا أ ع ز٠ ه ا ز٠ شث ٱ بده ج بسه ح ل ٱ ١
ب ا زهح ع ٱ ث فظه ا لل ٱ ت وز به و ١ ا ع ذ ا ر خ ف ل ء شه ه خ ٱ بط ٱ ش ل ش ا ر ش ز شه ثأ ٠ب ر ١ل بث ل
٠ ح ب ىه ي ث ض لله ٱ أ ه ه ئه ف أ ى ٱ ه ز ج ٥٥ فشه و ١ ب ع ف١ ب ١ ٱ ظ ف ٱث ظ ف ٱ أ ٱث ع
١ ع
ه ٱ ل ٱث ل ٱ ل ٱث رهه ل ٱ ره ٱث غ ح ٱ غ شه بص جه لظ ذق ف ر ظ ۦث ه ح ف فبس ۥ ه و ىه٠ ح
ب ض ث لله ٱ ي أ ه ه ئه ف أ ٱ ه
ظ ه ل ف١ ٥٤ ب اث ع ء ش ث ٱ ثع١غ ش ل ٠ ذ ب بهظ ٠ ث ١ ٠ ذ ٱ ى ز خ س
ار ١ ء ٱ ه ل ج١ س هذ ف١ ه ل ذ هظ ب ب ٠ ث ١ ٠ ذ ٱ هذ خ ى س ز عظ خ زم١ ٥٤ ه ١ ح ىه ه أ
ٱ ل ب ج١ ي ث ض لله ٱ أ ف١ ب ىه٠ ح ي ث ض لله ٱ أ ه ه ئه ف أ ٱ ه
ف ٥٤ غمه90
Berikut ini ayatnya:
ز ا ح ز ئر ز بأ خ ه ف١ ٱث ش ز اة ا ع ئر ه ئ شه ئ ل ٤٥ ٠ ج ار ج ٱ شه ١ ب ئىه ل شه ظ ٤٤ ره
Terjemah: “Sehingga apabila Kami timpakan siksaan kepada orang-orang yang hidup bermewah-
mewah di antara mereka, seketika itu mereka berteriak-teriak meminta tolong. Janganlah kamu berteriak-teriak
meminta tolong pada hari ini! Sungguh, kamu tidak akan mendapat pertolongan dari Kami.“ (QS. al-
Mukminûn [23] : 64-65).
53
dan diingkari sebagian lainnya sebagaimana yang dilakukan kaum Yahudi (QS. 2 : 85).91
Semuanya merupakan sesuatu yang tak ada tawar menawar untuk ditegakkan (iqâmah al-
dîn). Semua urusan kaum Muslimin hendaknya diserahkan kepada Allah, lewat ajarannya
dalam Al-Qur‘an (QS. al-Ahzâb [33] : 36).92
Itu berarti penegakan syariat Islam secara
komprehensif, termasuk hukum pidananya yang mesti diberlakukan sebagai hukum positif.
Alasannya, pertama, menurut MMI, Islam adalah agama yang mengatur dunia dan akhirat.
Kedua, secara historis daulah Islam, dari masa Nabi, khulafâ‟ al-râsyidīn hingga Usmani,
mengakui supremasi syarî‟ah secara komprehensif. Ketiga, fenomena globalisasi yang
memungkinkan kekuatan thâghût (setan) semakin berani menawarkan alternatif sekularnya.
Untuk merealisir hal itu, MMI bersedia mengikuti sistem politik yang ada, tidak menempuh
jalur kekerasan.93
Adapun yang termasuk fundamentalis jihadis di Indonesia adalah NII (negara
Islam Indonesia). Menurut temuan riset Sukron Kamil, NII memiliki pandangan: pertama,
keharusan mengikrarkan iman, yaitu persaksian Allah sebagai Tuhan dan Muhammad
sebagai Rasulullah di hadapan aktivis organisasi ini, karena mereka mengklaim dirinya
91
Berikut ini ayatnya:
ثه زه ل أ ر م ء إه ه زه ىه فهغ رهخ أ ىه بف ش٠م شجه د٠ ر ظ ش ١ شه ٱث ع ل ذ ٱ ث ئ عه
٠ أ وه أهع ره رهف ش ذهه ه ش ح ١ ه ع ئخ ىه ه اجه أ ف زهإ ش ه ر ى ت ىز ٱ غ ثج ع ب غ ثج ع فهشه ا ف ض ءه ج
ه ٠ ف ه ر ع ىه ٱ ف خض ئل ١ ٱ ح ح ١ ب ذ ٠ ٱ خ م١ د ٠هش ذ ئ اة ٱ أ ش ز ب ع ثغ لله ٱ ب ف ر ع ع ه
٥٤ Terjemah: “Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (sesamamu) dan mengusir segolongan
dari kamu dari kampung halamannya. Kamu saling membantu (menghadapi) mereka dalam kejahatan dan
permusuhan. Dan jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal kamu dilarang
mengusir mereka. Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian (yang
lain)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain
kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat.
Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Baqarah [2] : 85).
92
Berikut ini ayatnya:
ب ب إ و ه ل إ خ ه ا ئر ه لله ٱ ل ؼ ه عه س ۥ أ شاأ ه ٠ ىه ه حه خ١ ش ٱ أ ش ض ٠ ع
ه لل ٱ عه س ف م ذ ۥ ػ ل ػ ج١ ٦٤ ب
93
Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam
Teks-Teks Keislaman Kontemporer (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2013). Dalam Laporan Penelitian
Kompetitif Kolektif Direktorat PTAI Pendidikan Islam Kemenag Tahun 2013, h. 22-23.
54
sebagai pelanjut kenabian, dengan merujuk QS. al-Qashash: 75. Kegiatan ini oleh para aktivis
NII disebut dengan istilah taslîm. Bagi aktivis NII, kaum Muslimin di luar NII, karena belum
mengucapkan syahâdat di hadapan mereka, dianggapnya sebagai kafir (non Islam). Dalam
praktik, prosesi taslîm adalah prosesi seseorang yang telah bersedia bergabung dengan
gerakan dan ini disebut dengan prosesi bai‟at (sumpah setia) kepada pemimpin organisasi.
Berbeda secara ekstrim dengan bai‟at kepada mereka sebagai sebuah keharusan agama, maka
bagi para aktivisnya, keharusan taat atau ber-bai‟at terhadap negara Indonesia tidak ada.
Argumennya adalah karena negara ini tidak dipimpin oleh orang-orang yang taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, sebuah negara yang tidak berdasarkan syariat Islam.
Selain itu, sebagai kafir (non Islam), kaum Muslimin di luar angggota NII, halal
darah dan hartanya. Kedua, ideologi selain Islam merupakan bentuk berhala masa kini, yang
karenanya Burung Garuda dan Pancasila juga termasuk kategori berhala tersebut. Mereka
juga mengartikan kata Islam dalam ayat inna ad-dîn „inda Allâh al-Islâm adalah agama,
keyakinan, pandangan hidup, dan ideologi. Ketiga, doktrin yang berisi 3 prinsip nilai, yaitu
prinsip persamaan, di mana manusia hanya dibedakan karena ketakwaannnya saja; prinsip
persaudaraan; dan keharusan berdakwah pada masyarakat sekeliling. Praktik dari 3 prinsip
ini, di tingkat bawah sangat tampak, tetapi di tingkat elitenya semakin hilang. Dalam
menjalankan dokrinnya, NII adalah organisasi bawah tanah, atau tanzhīm sirri, sebagai
organisasi rahasia dan tertutup. Untuk kepentingan organisasi pun, seorang aktivis NII boleh
berbohong, selain boleh mengambil harta orang di luar anggota NII dan boleh membunuhnya
karena dianggap kafir.
Menurut Nasir Abbas, mantan aktivis Jamaah Islamiyyah, Jamaah Islamiyyah
adalah faksi NII yang didirikan 1994, yang di antara programnya adalah takwînul quwwah wa
istikhdâmuh (membentuk kekuatan seperti kelompok bersenjata dan menggunakannya saat
dibutuhkan). Kebalikan dari fundamentalisme/radikalisme Islam di atas adalah moderatisme
55
Islam. Moderatisme Islam dalam riset ini adalah kelompok keislaman yang tidak memiliki
ciri-ciri/ukuran fundamentalisme/radikalisme Islam, kecuali ciri penggunaan teknologi yang
memang netral. Yang termasuk moderatisme dalam riset ini adalah NU (Nahdhatul Ulama)
sebagai faksi Islam tradisional dan Muhammadiyah sebagai faksi Islam modernis. Keduanya
merupakan model Islam mainstream di Indonesia.
Ada banyak faktor pendorong yang mengakibatkan lahir dan berkembangnya
fundamentalisme Islam (kebalikan moderatisme) dalam tiga bentuk itu. Antara lain adalah
doktrin fundamentalisme agama, terutama dari Sayyid Qutub, aktivis Ikhwan al-Muslimin
yang dieksekusi mati tahun 1966 oleh Pemerintah Jamal ‗Abd an-Nashir, karena
pandanganya dalam buku Ma‟alim fî at-Tharîq (Rambu-Rambu [Petunjuk] Menuju Jalan
Lurus). Gagasan utama buku ini adalah pencanangan kekuasaan mutlak Allah (al-
hâkimiyyah) lewat doktrin lâ hukma illâ li Allâh (tidak ada hukum kecuali hukum Allah)
sebagai ciri berlangsungnya pemerintahan-Nya. Menurut Qutub, saat ini, masyarakat Muslim
sedang berada dalam kondisi Jahiliyyah seperti sebelum Islam ada, bahkan lebih buruk lagi.
Termasuk kategori Jahiliyyah juga sebagian apa yang selama ini dianggap Islam, karena telah
bercampur dengan non Islam, terutama Yunani dan Kristiani. Tugas utama seorang Muslim
adalah mengubah realitas Jahiliyyah agar kembali pada Islam. Qutub pun memahami jihad
bukan dalam arti bertahan tetapi opensif, yaitu proklamasi atas pembebasan manusia dari
menghamba selain kepada Tuhan atau memerangi setiap kelompok yang menolak penerapan
kaidah Islam yang benar yang disepakati. Selain itu, Sayyid Qutub menafsirkan kata yahkum
dalam QS 5: 44,45, 46, bukan dengan arti ―memutuskan‖ tetapi ―memerintah‖ bukan dengan
hukum yang diwahyukan Allah sebagai tindakan kafir. Meskipun Qutub tidak secara eksplisit
menganjurkan serangan terhadap pemerintahan Nashir, tetapi argumen-argumennya
memberikan dasar bagi organisasi radikal Islam setelehanya pada periode Sadat untuk
56
melakukannya. Pandangannya itu kemudian menjadi proyek tandingan melawan proyek
modernisasi yang dilakukan rezim Nashir dan setelahnya di Mesir.
Selain faktor doktrin, sebagaimana diakui Naisbitt, Aburdene, dan Oliver Roy,
fenomena radikalisme Islam kontemporer, terutama di dunia Islam, terkait dengan realitas
sosial politik. Gerakan ini merupakan counter trend (reaksi balasan) terhadap globalisasi
yang berarti homogenisasi global Barat, khususnya Amerika Serikat; reaksi terhadap
imperialisme kultural yang telah mengorupsi peraturan konservatif agama; dan juga reaksi
terhadap kegagalan nation state dalam membawa negara dan bangsa pada kehidupan sosial
ekonomi yang lebih baik. Menurut Bernard Lewis, selain kegagalan modernisasi ekonomi
yang diperparah oleh tingginya angka kelahiran, yang juga mempengaruhi munculnya
radikalisme Islam adalah gagalnya modernisasi dalam bidang politik, terutama untuk kasus
Timur tengah. Masih kuatnya tirani di Timur tengah mempengaruhi suburnya radikalisme
Islam. Dalam sejarah Timur Tengah, radikalisme Islam, selain terkait dengan kegagalan
modernisasi rezim yang berkuasa—seperti yang diperlihatkan Revolusi Iran di bawah
Ayatullah Khomeini dalam menggulingkan Syah Reza—juga menurut Basam Tibi, terkait
dengan kekalahan militer Arab di tangan Israel pada Perang Juni 1976. Namun demikian,
Oliver Roy menolak relasi antara kemiskinan dan radikalisme Islam. Menurut Roy,
penelitiannya menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara kemiskinan dengan radikalisasi.
Ia lebih percaya bahwa radikalisme Islam muncul karena sebagai reaksi terhadap imperialis,
gerakan ketiga di dunia terhadap Barat dan khususnya Amerika Serikat.94
94
Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam
Teks-Teks Keislaman Kontemporer (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2013). Dalam Laporan Penelitian
Kompetitif Kolektif Direktorat PTAI Pendidikan Islam Kemenag Tahun 2013, h. 23-25.
57
B. Terorisme dan Agama95
Beberapa sarjana melihat aksi kekerasan yang mengatasnamakan agama
(fundamentalisme Islam) berakar pada gerakan Khawârij yang lahir pada masa pemerintahan
Khalīfah Ali bin Abi Thalib. Kekacauan politik pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib
merupakan faktor penyebab munculnya fundamentalisme. Diangkatnya Ali bin Abi Thalib
sebagai khalīfah menggantikan Utsman bin Affan yang terbunuh telah meningkatkan
ketegangan antara Ali dengan Muawiyah bin Abi Sofyan. Ketegangan ini dipicu oleh sikap
politik khalīfah Ali yang cenderung membiarkan pembunuh Usman bin Affan membuat
pihak Muawiyah marah. Ketegangan kedua kelompok ini sampai menimbulkan peperangan
di antara mereka yang berimplikasi terbunuhnya beberapa pendukung keduanya, termasuk
golongan sahabat. Peristiwa ini akhirnya terselesaikan dengan kedamaian kedua kelompok
yang terkenal dengan peristiwa tahkīm (arbitrase/perundingan).
Di tengah kekacauan politik akibat peristiwa tahkīm tersebut, muncul sebuah
gerakan yang kemudian dikenal dengan sebutan Khawârij.96 Kelompok ini pada mulanya
merupakan pendukung Ali bin Abi Thalib yang membelot. Penyebab membelotnya
kelompok ini adalah karena ketidakpuasan atas keputusan Ali yang menerima hasil tahkīm
tersebut. Kelompok ini berpandangan bahwa baik Muawiyah dan Ali bin Abi Thalib telah
95
Menurut M. Quraish Shihab, kata Agama terdiri dari kata ―A‖ yang berarti tidak dan ―Gama” yang
berarti kacau, sehingga agama bermakna ―tidak kacau‖ atau bisa diistilahkan sebagai tuntunan yang melahirkan
keteraturan/ketiadaan kekacauan. Pakar lain berpendapat, kata ―agama‖ terambil dari bahasa Indo-Germania
yang berarti ―jalan‖ sehingga ―agama‖ adalah jalan menuju kebahagiaan/nirwana. Dalam bahasa Al-Qur‘an,
kata ―agama‖ ditunjuk dengan kata دين (dīn). Huruf د )dal), ي (ya), dan ن (nun), mengandung arti hubungan
antara dua pihak, yang salah satu keduanya mempunyai kedudukan lebih tinggi. M. Quraish Shihab, dalam kata
pengantar buku Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta: Noura Books, 2012), h. 6. 96
Khawârij adalah suatu aliran sempalan yang muncul karena kecewa terhadap arbitrase (tahkīm) yang
dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib dan Mu‘awiyah bin Abi Sufyan pada perang Siffīn (37 H/658 M). Khawârij
memandang bahwa Ali, Mu‘awiyah, ‗Amr bin ‗Ash dan Abu Musa al-‗Asy‘ari dan lain-lain yang menerima
arbitrase adalah kafir berdasarkan tafsir literal mereka atas QS. al-Mâidah/5: 44. Karena Ali dan lainnya
dianggap telah keluar dari Islam, maka mereka dianggap telah murtad (apostase) yang mesti dibunuh. Dalam
perkembangannya, yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan Al-
Qur‘an, tetapi orang yang berbuat dosa besar atau murtakib al-kabâir, juga dipandang kafir. Muchlis M. Hanafi,
Tafsir terhadap Dasar-Dasar Ideologi Takfir Kelompok Islam Radikal, dalam Suhuf, Jurnal Kajian Al-Qur‘an,
Volume 7, No. 2, November 2014, h. 158.
58
kafir dan meninggalkan hukum Islam. Ciri utama dari kelompok ini adalah paham takfīrī.
Yaitu paham yang senang mengkafirkan setiap kelompok atau individu yang tidak sesuai
dengan pemahaman kelompoknya. Dengan jargon ‚la hukma Illa Allâh‛ (tiada hukum selain
hukum Allah) kelompok ini telah menorehkan sejarah sebagai kelompok fundamentalisme
pertama dalam sejarah Islam. Gerakan fundamentalisme Islam selalu mengalami
perkembangan dan perubahan orientasi. Dengan semangat tajdīd
(pembaharuan/modernisme), gerakan ini selalu hadir pada setiap kurun sejarah peradaban
Islam. Dalam konteks gerakan fundamentalisme modern, beberapa sarjana berpendapat
bahwa akar fundamentalisme yang berkembang pada era modern berakar pada gerakan
keagamaan Wahabisme. Gerakan ini memfokuskan diri pada ajakan untuk meneladani para
salaf. Gerakan ini menjadikan pemahaman-pemahaman Muhammad ibn Abdul Wahab
(1703-1792), Ibnu Taimiyah, Ibnu Bâz, al-Albâni, Ibnu Utsaimin, dan Ibnu Fauzân sebagai
standar kebenaran dalam memahami Islam. Gerakan ini menekankan pada purifikasi
pengamalan peribadatan Islam dari pengaruh paham-paham yang tidak berlandaskan pada
ajaran Islam.97
Gerakan ini terbagi dua yakni gerakan Wahabi Haraki dan Wahabi Tarbawi.
Dalam rangka purifikasi ajaran Islam, Wahabi Haraki mengumandangkan jihâd dengan cara
yang destruktif dan ofensif, antara lain dengan terjadinya pertumpahan darah di Mekkah dan
di Madinah berbarengan dengan penghancuran monumen historis yang dianggap sebagai
penyimpangan ajaran agama yang murni. Sedangkan gerakan Wahabi Tarbawi
melaksanakan jihâd melalui prasarana pendidikan, ibadah, pengadaan buku dan brosur untuk
mensosialisasikan dan berdakwah tentang ide dan pemahaman mereka.98
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, bahwa berkaitan dengan
fundamentalisme Islam yang akrab dilabeli pada pembacaan literalis terhadap teks-teks
97
Arif Gunawan Santoso, Pergeseran Strategi Fundamentalisme Islam: Studi HTI sebagai Gerakan
Sosial (Jakarta: A-Empat, 2015), h. 22-23. 98
Kasjim Salenda, Terorisme dan Jihâd dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI, 2009), h. 7.
59
keagamaan, maka kemunculan gerakan radikal dan terorisme secara sporadis di berbagai
belahan dunia tidak muncul dari ruang kosong. Akar masalahnya harus diteliti secara cermat,
hati-hati, dan adil. Cermat dalam arti jangan sampai terjebak dalam mengurai asal-usul
gerakan terorisme dengan menyalahkan atau menuduh kelompok lain secara membabi buta.
Hati-hati, karena isu terorisme menjadi isu yang sangat sensitif, dan adil dalam arti harus bisa
mendudukkan persoalan terorisme ini secara proporsional, sehingga tidak merugikan orang
atau kelompok yang tidak bersalah. Kenyataan yang muncul di tengah masyarakat
internasional sekarang ini adalah sikap gegabah yang menuduh Islam sebagai biang keladi
munculnya gerakan terorisme. Hanya karena sekelompok kecil orang yang mengakui muslim
dan melakukan tindakan terorisme. Islam pun kemudian dianggap sebagai ancaman bagi
ketenteraman dan kedamaian umat manusia di seluruh dunia. Mereka yang tidak memliki
pemahaman yang benar tentang Islam, akan sangat mudah menerima pandangan-pandangan
atau stigma negatif yang disebarkan oleh pihak yang tidak menyukai Islam.99
Oleh karena itu, perlu diupayakan sebuah tindakan konkret berupa sosialisasi
tentang Islam yang ‗benar‘ ke seluruh masyarakat internasional. Mengenalkan wajah Islam
yang moderat (tawassuth), Islam yang ‗benar‘ sebagaimana yang Rasulullah SAW
contohkan, yang lemah lembut, ramah, walaupun misalkan harus keras namun membawa
rahmat ini memang harus dikenalkan ke publik, terutama masyarakat Barat. Hal demikian
pula menjadi isu sentral dalam Konferensi ke-4, International Conference of Islamic Scholars
(ICIS) di Malang, Jawa Timur. Dunia Islam dalam beberapa dekade terakhir hancur porak-
poranda karena diadu domba. Karenanya, ulama berkewajiban memberikan pemahaman
moderasi Islam, terutama kawasan Islam di Asia Tenggara bisa dijadikan model wajah Islam
99 Berita paling teranyar adalah ceramah pidato pencapresan Donald Trump yang mengatakan bahwa
jika saya terpilih nanti menjadi Presiden Amerika Serikat, ke depan umat Islam atau masyarakat muslim tidak
boleh masuk ke Amerika. Diunduh dari http://news.detik.com/bbc-world/3091179/larang-muslim-masuk-ke-
amerika-trump-dikecam-pro-yahudi, Rabu, 20 Januari 2016 pukul 12.56 WIB.
60
yang moderat. Kita tahu bahwa Asia Tenggara merupakan wilayah dengan banyak penduduk
muslim. Sekitar sepertiga penduduk muslim dunia tinggal di Asia Tenggara. Terlebih bangsa
kita Indonesia sebagai Negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Corak keagamaan yang
dianut oleh mayoritas Muslim di kawasan ini sangat toleran, damai, dan berperadaban.
Bahkan, dunia Islam berharap besar kebangkitan Islam akan muncul dari kawasan ini, begitu
kata Direktur Foundation Cultural Azzagra, Spanyol, A Romero Roman.
Pandangan tersebut bukan tanpa alasan. Umat Islam di Asia Tenggara,
menurutnya, memiliki modal sejarah, potensi sosial, dan realitas aktual yang membuktikan
wajah Islam yang ramah tersebut. Ia melihat, geliat peradaban Islam (Islam hadhârī) terkini
yang menggembirakan, mulai dari Indonesia, Malaysia, dan Singapura, Asia Tenggara Masa
Depan. Konsep Islam berperadaban yakni Islam tidak hanya dipahami sebagai sebuah doktrin
teologi, tetapi sebagai jalan hidup yang integral. Pentingnya kasih sayang (rahmah) sebagai
fondasi penguatan Islam yang moderat. Kasih sayang itu harus menjadi asas dalam berbagai
lini kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam bidang pendidikan. Pendidikan
menurut Abdullah Ahmad Badawi, berkontribusi besar dalam membangun generasi dan SDM
yang unggul. Melalui pendidikan yang berbasis kasih sayang pula, moderasi Islam bisa
direalisasikan. Selain itu, Hassan Wirajuda Mantan Menteri Luar Negeri RI, mengatakan
bahwa peran pendidikan itu tak hanya dimiliki oleh institusi formal, tetapi juga ulama. Kaum
agamawan didorong memberikan pemahaman yang moderat (tawassuth), cinta perdamaian
(mahabbah), dan toleran (tasâmuh).100
Mengedepankan nilai-nilai Islam sebagai agama yang rahmatan lil „âlamin juga di
antara cara menanggulangi gerakan radikalisme agama ini. Radikalisme dalam bahasa Arab
dikenal dengan sebutan syiddah al-tanattu‟ yang memiliki semantikal keras, eksklusif,
berpikiran sempit, rigid, serta memonopoli kebenaran. Muslim radikal adalah orang Islam
100
Khazanah Harian Umum REPUBLIKA, Rabu 25 November 2015/13 Shafar 1437 H.
61
yang berpikiran sempit, kaku dalam memahami Islam, serta bersifat eksklusif dalam
memandang agama-agama lainnya. Kelompok radikal selalu ada pada setiap agama, termasuk
dalam agama Islam. Dalam sejarahnya, kelompok radikal muncul semenjak terbunuhnya
Khalifah Usman bin Affan, menyusul kemudian terbunuhnya Ali ibn Abi Thalib yang
dilakukan oleh umat Islam sendiri. Saat itu, radikal diwakili oleh kelompok Khawârij
sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.101
1) Keterkaitan Radikalisme dengan Terorisme Agama
Dalam Islam memang tidak dikenal istilah radikal. Sebab yang radikal/keras bukan
Islam sebagai agama, melainkan pemeluknya. Pada masa lalu, istilah Islam garis keras ini
belum ada. Yang ada istilah Islam ekstrim. Kata ekstrim, berasal dari bahasa Inggris yakni
extreme yang berarti keras, berlebihan, berada di ujung atau di pinggir. Dengan arti yang
sama, dalam bahasa Arab disebut tatharruf (berawal dari kata tharaf, berarti pinggir atau
ujung), sedang pelakunya disebut mutatharrif. Dalam teks-teks agama (Al-Qur‘an dan hadis),
istilah tatharruf sering disebut dengan kata-kata ghuluw, tasydīd, dan tanattu‟ artinya sikap
berlebih-lebihan dalam beragama. Adakalanya istilah faham garis keras ini disebut pula
dengan fanatik. Ada pula yang menerjemahkannya dengan ekstrimitas keagamaan (al-
tatharruf al-dīnī). Tetapi istilah ini tampaknya perlu diluruskan, karena seperti disinggung di
atas, bahwa yang ekstrim itu bukan agamanya, melainkan pemeluknya dalam beragama.102
Perkataan radikal berasal dari bahasa Latin yaitu radix yang artinya akar. Dan
dalam bahasa Inggris, kata radikal dapat bermakna ekstrim, menyeluruh, fanatik,
revolusioner, ultra dan fundamental. Radikal dalam The Fontana Dictionary of Modern
Thought seperti dikutip Imam Tolkhah, diartikan sebagai tindakan-tindakan dan pandangan-
101 Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan
Aspirasi (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), h. 100. 102
Ali Mustafa Yaqub, Menanggulangi Faham Islam Radikal dalam buku Haji Pengabdi Setan
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 40-41.
62
pandangan politis yang cenderung ekstrim. Sedangkan radicalism artinya doktrin atau
praktek penganut paham radikal atau paham ekstrim. Berkembangnya gerakan sosial yang
bersifat radikal tersebut, termasuk gerakan Islam radikal dan organisasi lain mencuat secara
dramatis sejak adanya krisis ekonomi, sosial budaya dan politik menjelang runtuhnya rezim
kuat Orde Baru, hingga lahirnya rezim-rezim yang relatif rentan pada awal era reformasi.
Rezim kuat ini ditandai dengan adanya hegemoni rezim penguasa terhadap berbagai sektor
kehidupan, terutama ideologi, politik, ekonomi, sosial dan keamanan, sehingga tidak ada
kekuatan oposisi yang muncul ke permukaan. Hegemoni ini berlangsung di bawah satu orang
Presiden selama kurang lebih 30 tahun. Sedangkan rezim lemah ditandai dengan sering
munculnya kerusuhan-kerusuhan sosial, tindakan-tindakan anarkis dari berbagai kelompok
masyarakat dan cepatnya pergantian pimpinan Negara, presiden, serta rendahnya
kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.103
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), seperti dikutip Tim Direktorat
Jenderal Bimas Islam, radikalisme adalah paham atau aliran yang menghendaki perubahan
sosial dan politik, dengan cara menggunakan tindakan kekerasan sebagai batu loncatan untuk
menjustifikasi keyakinan mereka yang dianggap benar. Dari sini, radikalisme bisa dipahami
sebagai paham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan revolusi besar-
besaran, sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan yang signifikan. Definisi yang terakhir
ini cenderung bermakna positif yang bisa melahirkan kemajuan besar bagi peradaban dunia.
Kecenderungan makna radikalisme yang melahirkan bias politik maupun ekonomi, pada
dasarnya tidak lepas dari pandangan para penganutnya, yang memiliki argumentasi berbeda
untuk memaknai gerakan radikalisme yang tumbuh pesat di kalangan umat Islam. Tidak
heran bila pandangan positif dan negatif terhadap munculnya gerakan radikalisme sangat
bergantung pada keyakinan dasar penganutnya.
103
Imam Tolkhah, Dimensi Baru Gerakan Islam Radikal Pasca Orde Baru dalam buku Gerakan
Keislaman Pasca Orde Baru: Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, Editor: Imam Tolkhah dan Neng Dara
Affiah (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2005), h. 23-24.
63
Pada dasarnya, perlu dibedakan antara radikal, radikalisme, dan radikalisasi.
Menurut KH Hasyim Muzadi, Mantan Ketua PBNU dan Anggota Wantimpres RI, pada
dasarnya seseorang yang berpikir radikal (berpikir mendalam, sampai ke akar-akarnya)
boleh-boleh saja, dan memang berpikir sudah seharusnya seperti itu. Katakanlah misalnya,
seseorang yang dalam hatinya berpandangan bahwa Indonesia mengalami banyak masalah
ekonomi, pendidikan, hukum, dan politik, disebabkan Indonesia tidak menerapkan syariat
Islam, oleh karena itu, misalnya, dasar Negara Indonesia harus diganti dengan sistem
pemerintahan Islam (khilâfah islâmiyyah). Pendapat radikal seperti itu sah-sah saja. Sekeras
apapun pernyataan di atas jika hanya dalam wacana atau pemikiran, tidak akan menjadi
persoalan publik. Sebab, pada hakikatnya, apa yang muncul dalam benak atau pikiran tidak
dapat diadili (kriminalisasi pemikiran), karena tidak termasuk tindak pidana. Kejahatan
adalah suatu tindakan (omissi). Dalam pengertian ini, seseorang tidak dapat dihukum hanya
karena pikirannya, melainkan harus ada suatu tindakan atau kealpaan dalam betindak.
Adapun term ―radikalisme‖, masih menurut KH Hasyim Muzadi
mendefinisikannya, ―radikal dalam paham atau ismenya‖. Biasanya mereka akan menjadi
radikal secara permanen. Radikal sebagai isme ini dapat tumbuh secara demokratis, force
(kekuatan) masyarakat dan teror. Dengan kata lain, radikalisme adalah radikal yang sudah
menjadi ideologi dan mazhab pemikiran. Seorang berpotensi menjadi radikal dan penganut
paham radikal (radikalisme), tergantung apakah lingkungan (habitus) mendukungnya atau
tidak. Sedangkan yang dimaksud dengan radikalisasi, menurut Wantimpres ini adalah
seseorang yang tumbuh menjadi reaktif ketika terjadi ketidakadilan di masyarakat. Biasanya
radikalisasi tumbuh berkaitan dengan ketidakadilan ekonomi, politik, lemahnya penegakan
hukum dan seterusnya. Jadi, jangan dibayangkan ketika teroris sudah ditangkap, lalu
radikalisme hilang. Sepanjang keadilan dan kemakmuran belum terwujud, radikalisasi akan
selalu muncul di masyarakat. Keadilan itu menyangkut banyak aspek, baik aspek hukum,
64
politik, pendidikan, sosial, hak asasi, maupun budaya. Hukum itu berbeda dengan keadilan.
Hukum adalah aspek tertentu, sedangkan keadilan adalah akhlak dari hukum itu.104
Terorisme dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime), karena
dampak (impact) yang diakibatkan aksi dan tindakan terorisme tidak saja menyebabkan
kehilangan nyawa. Akan tetapi, kehilangan material juga, dampak psikologis, budaya, agama
hingga persoalan ideologis. Dalam ruang lingkup yang lebih luas, terorisme sebagai salah
satu jenis dari Activities of Transnational/Criminal Organizations, yang merupakan kejahatan
yang sangat ditakuti karena ancaman dan akibat yang ditimbulkannya cukup luas. Ancaman
tersebut meliputi ancaman terhadap kedaulatan sebuah negara, keamanan masyarakat,
individu, mengganggu stabilitas ketahanan nasional, nilai-nilai demokratis, dan lembaga-
lembaga publik, ekonomi nasional, dan arah laju perkembangan.
2) Terorisme di Belahan Dunia
Islamofobia kini kian meningkat ketika terjadi penembakan di pusat layanan difabel
San Bernardino, California, Amerika Serikat. Istilah Islamofobia (rasa takut terhadap agama
Islam) menjadi kata yang kerap ditemui pada paruh akhir tahun 2015. Bahkan awal 2016,
intensitas Islamofobia tak juga mereda. Ketakutan akan tindakan kekerasan yang dikaitkan
dengan Islam pun mengemuka, sampai-sampai di Brussels, Belgia, mereka membatalkan
perayaan malam Tahun Baru 2016. Pihak berwenang Belgia mengatakan bahwa pertunjukan
kembang api dan perayaan menyambut tahun baru tidak akan dilakukan setelah mengungkap
dugaan rencana teror yang diarahkan ke ibu kota pada saat liburan tahun baru.
Berbeda dengan di Paris, pertunjukan kembang api tahunan di Champs-Elysees juga
dibatalkan. Sebanyak 11 ribu aparat polisi, tentara, dan pemadam kebakaran akan berpatroli
di ibu kota Perancis tersebut. Kemudian, lapangan Merah Moskow, Rusia, yang biasanya
104
Tim Penyusun buku Radikalisme Agama dan Tantangan Kebangsaan Direktorat Jenderal Bimas
Islam Kementerian Agama, Editor: Jaja Zarkasyi dan Thobib al-Asyhar, Prolog: Menteri Agama RI (Jakarta:
Bimas Islam, 2014), h. 3-5.
65
menjadi tempat berkumpul masyarakat untuk memperingati malam tahun baru akan ditutup
untuk umum pada tanggal 31 Desember 2015. Sementara di Wina, Austria, juga
meningkatkan pengamanan sebelum perayaan. Selain itu, polisi di Munich, Jerman,
memperingatkan serangan teror yang telah direncanakan dan meminta orang-orang untuk
menghindari keramaian. Polisi dalam kicauan Twitter-nya mengatakan, stasiun utama kota
dan stasiun Pasing telah dievakuasi dan mengatakan kereta tidak lagi berhenti di sana. Dalam
sebuah unggahan di Facebook, pihak berwenang mengaku memiliki informasi serius
serangan ISIS itu telah direncanakan padaa saat malam Tahun Baru. Seperti dilansir Harian
Umum Republika, semenjak serangan Paris, Prancis, pada tanggal 13 November 2015 yang
telah menewaskan 129 jiwa akibat penembakan massal yang dilakukan kelompok militan
ISIS, bangunan resmi dan tempat ibadah di Eropa dan Amerika bahkan di dunia, menjadi
sasaran empuk yang dapat mengkerdilkan dan memojokkan agama Islam. Seluruh dunia
berkabung dan mengutuk peristiwa tersebut dan mengaitkannya dengan agama Islam yang
dituding melegalkan term jihâd dan qitâl dengan membunuh orang-orang yang dianggap
musuh agama ini. Padahal, ketika penembakan terjadi, Muslim asal Al-Jazair bernama Safer
saat itu sedang bekerja di belakang bar restoran Casa Nostra. Hal ini dilakukan menurut
mereka sebagai perlawanan dan perang terhadap terorisme.105
Pada perkembangan mutakhir ini, kekerasan atas nama agama atau teror yang
terjadi di belahan dunia seringkali diidentikkan dengan umat Islam. Hal itu terlihat dari upaya
pencarian tokoh muslim yang diduga berada di balik berbagai peristiwa yang meresahkan
bangsa, termasuk umat Islam sendiri. Kenyataan ini tentu saja merugikan Islam dan umat
Islam, karena ada kesan bahwa Islam identik dengan kekerasan, intoleran, anarkis, dan
kasar.106
Terkait masalah terorisme, terutama kejadian mutakhir dalam dua minggu
105
Harian Umum REPUBLIKA, Islamofobia dan Standar Ganda Terorisme, dimuat pada kolom
Internasional, Rabu 6 Januari 2016, h. 9. 106
Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa image negatif tersebut muncul karena dalam Islam
dikenal adanya ajaran jihâd, bahkan dalam sejumlah hadis dan kitab fiqih (yurisprudensi Islam) ada penjelasan
66
belakangan ini, yakni tragedi bom Paris dan sekitarnya yang telah menewaskan 129 orang
jiwa di tujuh tempat107
di Perancis, Jum‘at malam, yang diduga dilakukan oleh gerakan
militan teroris yang mengatasnamakan diri dari ideologi agama. Seperti diberitakan bahwa
yang melakukan aksi keji itu ialah kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS).108
Semua agama tidak membenarkan tindakan terorisme, dengan dalih apapun. Islam
pun mengutuk keras perbuatan keji itu. Dalam Al-Qur‘an ditegaskan bahwa membunuh satu
manusia yang tidak berdosa ibarat membunuh seluruh manusia di muka bumi ini. (QS. al-
Mâidah [5] : 32) seperti ayat berikut:
khusus mengenai tema itu, yaitu kitâb al-Jihâd atau bâb al-Jihâd atau fasal-fasal. Dalam disiplin ilmu Fiqih,
ulasan mengenai tema jihâd dipaparkan secara terang-benderang, dan komprehensif. Misalnya dalam kitâb
Nihâyat al-Zain fī Irsyâd al-Mubtadiīn, Syarah „ala Qurrat al-„Ain bi Muhimmât al-Dīn fī al-Fiqh „ala
Madzhab al-Syâfi‟ī, karya masterpiece Syaikh Nawawi al-Bantanī. Beliau memulai bahasan jihâd dengan Bâb
al-Jihâd diawali hukumnya, lalu golongan yang wajib ber-jihâd. Syaikh Nawawi al-Bantanī, Nihâyat al-Zain fi
Irsyâd al-Mubtadiīn (Beirût: Dâr al-Fikr, 2005), h. 328-334. Selain itu penulis dapati juga dalam kitab Fiqih
yang lain, misalnya bahwa jihâd itu wajib, dan kewajiban itu terfokus pada tujuh persyaratan sampai pada
pembagian ghanīmah (harta rampasan perang), lihat kitâb buah karya Taqiyyuddīn al-Dimasyqī, Kifâyat al-
Akhyâr fī Halli Ghâyat al-Ikhtishâr (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), h. 165-178. 107
Adapun tujuh tempat itu seperti diberitakan Koran TEMPO, yaitu 1) Stadion Stade De France. 2)
Restoran Le Carillon dan Le Petit Cambodge. 3) Area Veneu De La Republique. 4) Bar La Belle Equipe. 5)
Café Camptoir Voltaire. 6) Gedung Konser Bataclan Theater. 7) Jalan Beaumarchais Boulevard. Selama dua
pekan itu, teror ISIS benar-benar membuat geram pemimpin Negara Eropa. Perjalannya dimulai pada 31
Oktober 2015, pesawat Airbus Metrojet Rusia yang mengangkut 224 orang rute Sharm el-Sheikh St Petersburg,
Rusia, jatuh di Semenanjung Sinai, Mesir. Tim investigasi yakin 99 persen bahwa penyebabnya adalah bom di
koper. Kelom pok teroris Mesir pendukung ISIS mengklaim bertanggung jawab. Kemudian pada 12 November
2015, ISIS merilis video berupa ancaman menyerang Rusia dan di wilayahnya. Dua bom bunuh diri di Beirut
Lebanon yang menewaskan 43 orang dan puluhan lainnya terluka, lokasinya di wilayah Hezbollah, penyokong
Damaskus. Lalu pada tanggal 13 November, terjadi serangan teroris di tujuh tempat, di Paris, Perancis.
Puncaknya, 14 November 2015 empat anggota milisi ISIS tewas saat penggebrekan oleh polisi Turki di
perbatasan Turki-Suriah. TEMPO, Senin 16 November 2015, edisi No. 5092 tahun XIV. 108
Dilansir dari Harian KOMPAS pada Senin 16 November 2015. Kejadian terorisme ini sontak
mendapatkan perlawanan dari pemimpin Negara di dunia. Pemimpin dunia yang menghadiri Konferensi Tingkat
Tinggi (KTT) G-20, di Antalya, Turki, Minggu, bersatu mengumumkan perlawanan terhadap terorisme.
Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengecam serangan itu sebagai tindakan biadab dan menyerukan
semua Negara bersatu dan meningkatkan usaha menghancurkan ISIS. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
berharap KTT G-20 bisa memberi pesan kuat melawan terorisme. Terorisme tidak hanya menyerang Perancis,
tetapi ―kemanusiaan kita semua‖. Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa terorisme global bisa
diatasi jika semua bangsa bersatu. Adapun Presiden Dewan Eropa Donald Tusk meminta agar dunia fokus
melawan terorisme. Sementara itu Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Din Syamsuddin mengatakan terorisme
dalam berbagai bentuk, motif, dan siapapun pelakunya tidak dapat dibenarkan. Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, Haedar Nashir mengecam keras tragedi di Paris. Serangan itu bertentangan dengan nilai agama
dan kemanusiaan secara universal. Haedar meminta serangan teror itu tidak dikaitkan dengan agama Islam. Di
Eropa, Islam telah diterima sebagai kelompok yang adaptif dengan kehidupan berbangsa di sana.
67
ز ج ه ر أ ج بو ع ش ئع ث ه ء٠ ٱ في فساد أو س نف ر بغي اس نف قتل من ۥأ ض ر ل
م ذ ا جميع لناس ٱ ياأح فكأنما ياهاأح ومن اجميع لناس ٱ قتل فكأنما ب ر ج ء ه ب ه عه ٱث سه ذ ج ١ ثه
ث١ش ئ او غ ع س ل ٱ ف ه ر ذ ث ع ه ه ٦٣ شفه
―Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa
membunuh seseorang, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan
dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya Rasul Kami telah
datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Tetapi
kemudian banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.‖ (QS. al-
Mâidah [5] : 32).
terlebih korban terorisme tidak hanya puluhan, bahkan ratusan nyawa. Ketika dunia dipenuhi
dengan ancaman teror, agama sebagai ajaran cinta dan kasih sayang menjadi sirna, karena itu
agama sebagai ajaran cinta dan kasih sayang harus dihidupkan kembali untuk melawan
ancaman ideologi teror tersebut. Terorisme telah melahirkan sekat dan jarak cinta antar
sesama manusia. Islam menawarkan cinta kasih dan perdamaian untuk meredam terorisme.109
Gambaran dan stigma negatif terhadap Islam sebagai agama teror berkembang
luas di Barat, terutama di Amerika Serikat, pasca peristiwa 11 September 2001. Pada saat itu,
dunia digemparkan oleh peristiwa bom bunuh diri spektakuler yang menghancurkan menara
kembar WTC (World Trade Center) di New York yang menjadi simbol kapitalisme global
dan kemajuan perekonomian dan gedung markas besar pertahanan USA Pentagon, Amerika
Serikat. Ibukota USA hancur lebur ditabrak oleh pesawat jet komersial yang sampai saat ini
masih misterius. Upaya menabrakkan pesawat kedua gedung pencakar langit tersebut telah
melumpuhkan, untuk sementara waktu urat saraf penting di Negeri Paman Sam itu. WTC
sebagai pusat saraf ekonomi dan Pentagon sebagai pusat militer Amerika telah melumpuhkan
keangkeran dan arogansi negara adidaya (super power) tersebut dalam tata pergaulan dunia
internasional. Osamah bin Laden dan Jaringan Internasional Al-Qaeda sering disebut-sebut
109
Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respons Islam Terhadap Isu-Isu Aktual
(Jakarta: Serambi, 2014), h. 126-127.
68
sebagai aktor di balik tragedi kemanusiaan yang spektakuler tersebut. Lebih tragis lagi,
ratusan, mungkin ribuan, umat Islam yang berwajah (beridentitas) dari Timur Tengah, baik di
Amerika Serikat maupun di Eropa ditangkap, disiksa, dan ditahan. Dan pada tanggal 7
Oktober 2001, Amerika Serikat dan sekutunya menyerbu dan menghancurkan Afghanistan
serta membubarkan Taliban. Namun sampai detik ini tidak ditemukan fakta di lapangan dan
diuji di depan sidang pengadilan secara terbuka bahwa Osamah bin Laden dan Al-Qaeda
adalah pelaku teror 11 September 2001.110
Sebelum terjadi peristiwa 9 September, di Amerika Serikat telah berkembang
wacana tentang pembenturan peradaban atau konflik peradaban (clash of civilization) yang
diungkapkan oleh Samuel P. Huntington, seorang analis politik sekaligus penasehat George
W Bush (mantan Presiden Amerika Serikat). Dalam risalah buku berjudul The Clash of
Civilization and the Remaking of World Order (1996), Huntington menyatakan bahwa
sumber konflik yang dominan dewasa ini bukan sesuatu yang bersifat ideologis dan
ekonomis, melainkan kultural. Konflik akan terjadi antara negara dan kelompok berbagai
peradaban yang berbeda. Huntington mendefinisikan peradaban sebagai entitas kultural
tertinggi dan identitas terbesar yang dimiliki manusia. Ia mengidentifikasi tujuh peradaban
besar, yaitu: Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavia-Ortodoks, dan Amerika Latin.
Dari tujuh peradaban besar itu, Huntington secara provokatif menilai bahwa Islam merupakan
peradaban yang paling potensial mengancam peradaban Barat yang kini sedang berada di
puncak kekuasaannya. Tesis Huntington111
di atas kemudian diterima luas di Amerika
110
Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2002, Tesis SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada konsentrasi Syariah tahun 2004, h. 2.
111
Selain Huntington, para futurolog lainnya semisal Alvin Toffler dalam Future Shock dan Third
Wave-nya, Jhon L. Esposito dengan Islamic Threat: Myth or Reality-nya serta Mark Jurgensmeyer dengan The
New Cold War-nya, semuanya menggambarkan bahwa Islam sebagai sebuah ideologi yang siap menjadi pesaing
baru dalam menghadapi peradaban Barat, setelah jatuhnya Komunisme sebagai sebuah sistem dan Sosialisme
sebagai sebuah ideologi. Lihat M. Adlin Sila, Profil Keagamaan Terpidana Terorisme di Nusakambangan Jawa
Tengah (kasus Amrozi dan Mukhlas) dalam buku Profil Keagamaan Terpidana Terorisme di Indonesia, Editor:
Wakhid Sugiyarto (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI, 2015), h. 45.
69
Serikat. Akibatnya, bisa ditebak, Islam menjadi kambing hitam dari seluruh oposisi terhadap
peradaban Barat. Islam disebut-sebut sebagai dalang dari seluruh aksi kerusuhan dan
radikalisme di dunia. Umat Islam yang tinggal di negara Barat dimusuhi, dihina, dan
dicurigai setiap aktivitasnya. Mereka tidak lagi mendapatkan apa yang digembor-gemborkan
Barat sebagai kebebasan untuk semua (freedom for all).
Terlepas dari beberapa kritik yang kemudian dialamatkan kepada Huntington, satu
hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pasca runtuhnya komunisme di Soviet,
kecurigaan terhadap Islam semakin menguat. Oleh Barat, Islam dipandang sebagai kekuatan
besar yang harus diwaspadai. Hal ini terjadi karena setelah keruntuhan komunisme di Soviet.
Barangkali belum ada satu kekuatan besar yang mampu menegasi dominasi dan hegemoni
Barat. Jauh sebelum berakhirnya Perang Dingin (cold war), para sarjana yang concern
terhadap fenomena gerakan politik global telah mengakui politisasi agama sebagai fenomena
global yang baru. Para sarjana ini berupaya untuk mendeskripsikan dan menganalisis
gelombang baru itu sebagai fundamentalisme agama. Namun, tema fundamentalisme agama,
menurut Bassam Tibi, sebagaimana dikutip Ali Masykur Musa, menjadi problematis lantaran
penerapannya yang sensasional pada Revolusi Ayatullah di Iran pada tahun 1979 dan iklim
fanatisme dan ekstremisme agama yang berlanjut di sana. Satu dekade berikutnya, pasca
runtuhnya Tembok Berlin, beberapa pengamat dari sayap kiri membantah bahwa dengan
runtuhnya komunisme, Barat telah kehilangan musuhnya. Sejak saat itu, Barat kemudian
mengintai satu kekuatan raksasa baru yang akan menggantikan ancaman komunisme, dan
fundamentalisme Islam dipandang memiliki kualifikasi yang tepat.
Barat perlu mengidentifikasi musuh baru untuk menjamin kontinuitas serta
hegemoni politik dan militer mereka tidak terganggu. Asumsi ini diterima secara taken for
granted (apa adanya) oleh beberapa pemangku kepentingan militer di Barat. Willy Claes
(mantan Sekretaris Jenderal NATO) menyebut fundamentalisme Islam sebagai ancaman
70
utama bagi peradaban Barat berikutnya. Pertanyaannya, tepatkah fundamentalisme Islam
dijadikan sebagai musuh bersama (common enemy) masyarakat dunia hanya karena
menentang Barat dan meyakini bahwa dunia tengah menyaksikan keruntuhannya, dan karena
itu para fundamentalis ingin segera memproklamasikan tatanan baru untuk menggantikan
tatanan dunia Barat yang sudah tidak dipercayai. Bryan S. Turner menengarai runtuhnya
komunisme Soviet menjadikan kedudukan global Islam amat penting, tetapi bermasalah. Bisa
diasumsikan bahwa dengan adanya sejarah dunia Islam sejak Revolusi Perancis, Islam kini
berfungsi sebagai alternatif besar, bahkan barangkali satu-satunya alternatif dari hegemoni
kapitalis Barat. Beberapa pemikir Islam, seperti Ali Shari‘ati, menyatakan bahwa Islam
secara konsisten dan terus-menerus menentang sekularisme, komunisme, dan konsumerisme
dunia Barat. Dengan demikian, peran Islam sebagai kekuatan oposisi menjadi sangat
signifikan dan diperhitungkan dalam percaturan politik global.
Tesis Huntington dengan telak menyerang Islam sebagai agama kebencian. Islam
yang dipersepsi Huntington adalah agama yang keras dan menakutkan; suatu agama yang
disebarkan dengan pedang dan akan melawan seluruh capaian modernitas dan kemajuan
Barat. Tidak mengherankan kalau kemudian tesisnya ini banyak dikritik. John L. Esposito,
misalnya, mempertanyakan validitas argumen yang dikemukakan Huntington. Menurutnya,
berbagai gerakan yang ada tidaklah menakutkan seperti yang umumnya digambarkan oleh
media-media massa di Barat. Menyamakan berbagai gerakan itu dengan ancaman
khomeinisme, terorisme, ekstremisme, fundamentalisme, dan sejenisnya merupakan sebuah
simplikasi yang berlebihan.
Dalam jangka panjang, pandangan monolitik seperti ini akan merugikan
kepentingan umat manusia secara keseluruhan, sebab yang akan berlangsung adalah
―penyetanan‖ satu sama lain (mutual satanization) dan penghancuran satu sama lain (mutual
assured destruction). Esposito juga menyatakan bahwa berbagai gerakan yang ia sebut
71
dengan istilah revivalisme Islam yang muncul di banyak belahan dunia lebih tepat untuk
disebut sebagai sebuah ―tantangan‖ (challenge) daripada ―ancaman‖ (threat), karena gerakan-
gerakan tersebut lebih merupakan gerakan sosial bukan gerakan politik yang berorientasi
pada pembentukan tatanan masyarakat yang islami.112
Perkembangan terorisme termutakhir abad ini, munculnya gerakan Islam radikal
yaitu Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS). Gerakan Islam garis ekstrim ini menjadi teror
menakutkan karena telah menanamkan pengaruhnya di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Gerakan ISIS tidak akan pernah berhenti sebelum cita-cita besarnya tercapai untuk
membentuk khilâfah islâmiyah yaitu kepemimpinan universal bagi seluruh umat muslim yang
bertanggungjawab mengimplementasikan syariat Islam di seluruh dunia. Secara normatif dan
historis, Negara Islam (Islamic state) atau khilâfah islâmiyah yang menjadi cita-cita besar
ISIS ternyata tidak memiliki legitimasi dalam ajaran Islam maupun dalam sejarah peradaban
Islam. Selain itu, apa yang dicita-citakan ISIS itu tidak memiliki bentuk kejelasan (hanya
semu), baik dari segi mekanisme dan teknis penerapannya, argumentasi naqlī yang menjadi
pijakannya (yang bersumber dari Al-Qur‘an dan hadis) maupun individu-individu yang ada di
dalamnya. Dari segi sistem politik, ISIS sebenarnya mengajak kita melakukan langkah
mundur. Sebab, sistem politik pemerintahan yang kita pakai saat ini di Indonesia jauh lebih
baik dari apa yang diperjuangkan ISIS, bahkan selaras dengan nilai-nilai keislaman.113
112
Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara: Respons Islam Terhadap Isu-Isu Aktual
(Jakarta: Serambi, 2014), h. 129-132. 113
Abdul Waid, ISIS: Perjuangan Islam Semu dan Kemunduran Sistem Politik (Menyoal Nilai-Nilai
Keislaman ISIS Secara Normatif dan Historis dan Mengkomparasikannya Dengan Sistem Politik Kekinian),
paper in Annual International Conference (AICIS), XIV, Buku 3, Subtema: Nusantara Islamic Civilization:
Value, History, and Geography, Editor: Muhammad Zain, dkk, (STAIN Samarinda Balikpapan: Direktorat
Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2014), h. 131.
72
Berikut ini daftar aksi teror terhadap kemanusiaan di Dunia.114
Tabel. 1
Daftar Peristiwa Ledakan Bom di Seluruh Dunia
No Tanggal Aksi Teror Deskripsi/Keterangan
1 Konflik Israel-Palestina 1967-sekarang Konflik Palestina-Israel ini sudah berlangsung
kurang lebih 31 tahun sejak invasi Israel ke
sejumlah negara Arab pada tahun 1967. Sudah
ribuan orang tewas baik dari pihak Palestina
maupun Israel dan rata-rata adalah warga sipil.
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) menyebut
korban tewas pada 2014 adalah jumlah
tingginya perang Palestina-Israel sejak tahun
1967. Menurut PBB, pada 2014, jumlah total
korban tewas mendekati 2.200 orang.
Penderitaan 1,8 juta penduduk Palestina di Jalur
Gaza meningkat dan mengalami keadaan
terburuk sejak tahun 1967. Lebih dari 1.500
warga Palestina tewas pada 2014, 550 kurang
lebih di antaranya adalah anak-anak, lebih dari
11.000 orang cedera, dan sekitar 100.000 orang
kehilangan tempat tinggal.
2 Pengeboman Sinagoga di Antwerp, Belgia
(1981)
Sebuah teror bom mengerikan terjadi pada
tahun 1981 di Kota Antwerp, Belgia. Kejadian
mengerikan ini membunuh sekitar 100 orang
akibat ledakan dari sebuah mobil van yang
masuk ke area Sinagoga saat sedang ada
perayaan besar. Setelah itu mobil mendadak
meledak dan membuat banyak orang meninggal
di tempat.
3 Tragedi Lockerbie (21 Desember 1988) 21 Desember 1988 pesawat Boeing 747-100
dari maskapai Pan American World Airways
dari Bandara International Heathrow, London
ke Bandara International Jhon F. Kennedy,
New York, meledak di udara pada saat terbang
di atas Lockerbie, Dumfries dan Galloway,
Skotlandia, ketika sebuah 340-450 gram
peledak plastik diledakkan di tempat kargo
depan. Sebanyak 271 penumpang meninggal
dalam tragedi ini.
4 Bom Oklahoma City (19 April 1995) Kasus ini adalah serangan teroris domestik
terbesar kedua dalam sejarah Amerika Serikat
yang menewaskan 168 orang. Bom tersebut
diletakkan dalam sebuah truk sewaan,
diledakkan di jalan depan gedung tersebut pada
19 April 1995 pukul 09.02 pagi waktu setempat
114
Sumber (source): The War on Rocks, sebagaimana yang dikutip oleh Tim Redaksi Liputan Koran
SINDO MNC Group Jakarta, kolom Topik Pilihan, Senin 16 November 2015, h. 8-9.
73
(local time). Bom mobil tersebut berisi 2.300
kg bahan peledak, dibuat dari amonia nitrat,
sejenis pupuk yang digunakan dalam pertanian,
dan nitrometan, sejenis bahan bakar untuk
mobil balap.
5 7 Agustus 1998 Pengeboman Kedubes AS di Kenya dan
Tanzania. Sebanyak 200 orang tewas dan lebih
dari 1.000 orang luka-luka setelah serangan
bom di dua Kedubes (embassy) AS di Kenya
dan Tanzania. Laman stasiun televisi BCC
mengungkapkan bahwa dua insiden itu terjadi
bersamaan dalam selisih beberapa menit.
Ledakan pertama terjadi di Kedubes AS di Dar
es Salaam, ibukota Tanzania. Lima menit
kemudian, bom menghancurkan gedung
Kedubes AS di ibukota Kenya, Nairobi.
Ledakan Nairobi melukai Duta Besar AS,
Prudence Bushnell.
6 Tragedi WTC 11 September 2001 Serangan 11 September 2001 adalah
serangkaian empat serangan bunuh diri yang
telah diatur terhadap beberapa target di New
York dan Washington DC Amerika Serikat
pada 11 Spetember 2001. Para pembajak
sengaja menabrakkan dua pesawat ke Menara
Kembar World Trade Center di New York City
USA. Menurut Laporan tim investigasi 911,
sekitar kurang lebih 3.000 orang tewas dalam
serangan ini.
7 Perang Afganistan (2001-sekarang) Setelah serangan terhadap gedung WTC 11
September 2001, Amerika Serikat memulai
kampanye perang Melawan Terorisme. Mereka
di Afganistan memiliki tujuan menggulingkan
kekuasaan Taliban yang dituduh melindungi
Al-Qaeda serta untuk menangkap Osamah bin
Laden. Sekitar 15.000 pasukan tewas yang
terdiri atas Amerika Serikat, NATO, dan
pasukan keamanan Afganistan dan 50.000
pasukan luka-luka. Korban sipil diperkirakan
mencapai 20.000 orang tewas dan ratusa ribu
lainnya cidera.
8 Bom Bali, Indonesia (tahun 2002) Bom ini terjadi pada malam hari 12 Oktober
2002 di Bali yang telah menewaskan 202 orang
dan melukai 209 lainnya, kebanyakan
merupakan wisatawan asing. Peristiwa ini
sering dianggap sebagai peristiwa terorisme
terparah dalam sejarah Indonesia.
9 Teror di Moskow, Rusia (2002) Pada 23 Oktober 2002, teroris Chechnya yang
berjumlah 50 orang menyandera sekitar 700
warga Rusia di Bali-Bearing Palnt‘s Palace of
74
Culture, sebuah gedung teater megah di
Moskow. Dalam penyanderaan itu, militer
Chechnya meminta pasukan Rusia menarik diri
dari wilayahnya yang terletak di utara
pegunungan Kaukasus. Setelah 57 jam
penyanderaan, pada 26 Oktober 2002, pasukan
khusus Rusia, Spetsnaz, yang mengirim Alpha
Group dan Vympel, berhasil membebaskan
ratusan orang yang disandera. Operasi ini harus
dibayar mahal dengan tewasnya 120 sandera
akibat baku tembak.
10 Serangan bom di Istanbul Turki (2003) Pada 15 November hingga 20 November 2003,
sebanyak empat truk bom meledak di sekitar
Kota Istanbul, Turki. Serangan itu menewaskan
total 57 orang dan 700 lainnya mengalami luka
serius. Pemerintah Turki meyakini militan Al-
Qaeda berada di balik serangan itu.
11 Invasi Amerika Serikat ke Irak (2003) Saat menginvasi Irak pada 2003, Amerika
Serikat memiliki tiga dalih yakni
menghancurkan senjata pemusnah massal,
menyingkirkan ancaman teroris internasional
dan membebaskan rakyat Irak dari penindasan
rezim Saddam Hussein dengan cara
memulihkan demokrasi di Irak. Dari tiga alasan
itu ternyata semuanya dipenuhi kebohongan.
Sekitar setengah juta orang tewas di Irak akibat
tragedi perang Irak sejak invasi pasukan AS
dari 2003-pertengahan 2011. Bahkan hingga
kini meski perang sudah usai, namun Irak
masih dilanda konflik sektarian
berkepanjangan.
12 Bom Madrid, Spanyol (2004) Peristiwa peledakan bom Madrid pada 11
Maret 2004, terdiri dari beberapa ledakan di
dalam empat kereta komuter. Terdapat 192
korban jiwa dan 2.050 korban luka-luka.
Peristiwa ini serangan teroris terparah di Eropa
setelah peristiwa Lockerbie pada 21 Desember
1988.
13 Bom Karachi, Pakistan (2007) Pada 18 Oktober 2007, 139 orang terbunuh
dalam serangan bom mobil di Kota Karachi,
Pakistan. Militan Al-Qaeda dan Taliban
diyakini bertanggungjawab atas serangan itu.
14 Serangan Mumbai, India (28 Nov 2008) Pada tahun 2008, India terguncang akibat
penembakan brutal di Mumbai yang
menyebabkan 174 orang meninggal dunia.
Kejadian ini dinobatkan sebagai kejadian teror
terburuk dalam sejarah India pada tahun 2000-
an. Namun, di tempat sama sekitar 15 tahun
silam pernah terjadi aksi teror super
75
mengerikan di mana anggota keluarga teroris
melakukan pengeboman di hampir seluruh
wilayah dalam waktu 75 menit.
15 Serangan Boko Haram di Negeria (2009) Lebih dari 5.000 orang telah terbunuh akibat
serangan teror yang dilakukan pejuang Boko
Haram di Negeria sejak tahun 2009 hingga saat
ini.
16 Perang Suriah (2011) Perang Suriah awalnya dipicu keinginan rakyat
Suriah menghendaki perubahan dari penguasa
otoriter serta dipicu angin perubahan di dunia
Arab (Arab spring). Namun, kini perang Suriah
justru meluas dan menghadapkan antara
Amerika Serikat dengan sekutunya yang
mendukung oposisi Suriah melawan
pemerintah Suriah dengan dukungan Rusia dan
China. Organisasi masyarakat dunia,
Observatorium HAM untuk Suriah (SOHR),
menyebutkan, jumlah korban tewas akibat
perang di Suriah selama 4 tahun sudah
mencapai 320.000 orang dan ribuan warga yang
mengungsi ke berbagai belahan dunia.
17 Serangan ISIS (2011) Kelompok militan ISIS telah membunuh ribuan
orang menggunakan banyak serangan bom saat
berupaya menguasai seluruh wilayah Suriah
dan Irak. Bahkan kelompok ekstrimis telah
melebarkan sayapnya dengan mencoba
menguasai banyak wilayah seperti Mesir,
Libya, Nigeria, dan Somalia.
18 Pembunuhan Massal di Peshawar, Pakistan
(2014)
Pada tanggal 16 Desember 2014, lebih dari 145
orang termasuk 132 orang anak sekolah berusia
antara delapan sampai 18 tahun, dan beberapa
orang karyawan di sekolah, dibunuh secara
massal di sebuah sekolah di Kota Peshawar,
Pakistan. Serangan itu dilakukan tujuh pria
bersenjata yang diyakini merupakan militan
Taliban Pakistan.
Tabel 2.
Negara dan Kasus Kematian Akibat Terorisme (sepanjang tahun 2013)115
No Negara Total Kematian (jiwa) Presentase Total
Kematian
1 Thailand 292 orang 1,6 %
2 Yaman 291 orang 1,6 %
3 Filipina 292 orang 1,6 %
115
Dilansir dari sumber (source): Global Terrorism Index, sebagaimana yang dikutip oleh Tim Redaksi
Liputan Koran SINDO, kolom Topik Pilihan, Senin 16 November 2015, h. 8-9.
76
4 India 404 orang 2,2 %
5 Somalia 405 orang 2,3 %
6 Suriah 1.078 orang 6,0 %
7 Nigeria 1.826 orang 10,2 %
8 Pakistan 2.1345 orang 13,1 %
9 Afganistan 3.111 orang 17,3 %
10 Irak 6.362 orang 25,4 %
Berdasarkan fakta di atas, jenis dan tipe serangan terorisme di belahan dunia
beraneka ragam dan dikerucutkan seperti berikut ini: jenis serangan bersenjata; bermotif
pembunuhan; pengeboman; menyerang fasilitas umum; pembajakan; penculikan; serangan
non bersenjata. Kemudian, indeks terorisme global menunjukkan, aksi terorisme justru
meningkat drastis ke tingkat amat mencemaskan. Tahun 2013 tercatat 10.000 kali serangan
teror yang menewaskan 18.000 orang. Jika disimpulkan, perang melawan teror ternyata
menciptakan lebih banyak teror. Dalam indeks juga disebutkan, 80 % organisasi teroris
menghentikan aksinya karena mereka telah mencapai target yang digariskan. Hanya 10 %
organisasi teroris menghentikan aksinya karena mereka telah mencapai target yang
digariskan. Menurut catatan lain dari sebuah database aksi terorisme, Global Terrorism
Database (GTD), sejak 1970 sampai tahun 2012, telah tercatat 113.000 aksi terorisme. Secara
rinci dari 113.000 serangan teroris terdiri dari 52.000 pengeboman, 14.400 pembunuhan,
5.600 penculikan. Negara-negara yang paling menderita akibat aksi terorisme, yakni Irak,
Pakistan, Nigeria, Suriah, dan juga Afghanistan.116
3) Menelisik Definisi Terorisme dan aksinya di Indonesia
Wacana tentang terorisme telah muncul sejak ribuan tahun silam dan menjadi
legenda dunia, disebutkan Adjie Suradi seperti dalam Kasjim Salenda, praktek aksi terorisme
telah eksis sejak kekaisaran Romawi, masa kekuasaan Tiberius (14-37 M) dan Caligula (37-
116
Dilansir dari sumber (source): Global Terrorism Index dan The War on Rocks, sebagaimana yang
dikutip oleh Tim Redaksi Liputan Koran SINDO MNC Group Jakarta, kolom Topik Pilihan, Senin 16
November 2015, h. 8-9.
77
41 M) dengan cara membunuh, mengintimidasi, mengasingkan, dan merampas harta milik
para oposan. Akan tetapi, hingga kini belum ada satu kesepakatan dari semua pihak tentang
apa sebenarnya yang dimaksud dengan terorisme, baik dalam hukum internasional, berbagai
organisasi yang berskala internasional maupun regional. Kendati demikian, para pakar
politik, hukum, bahasa, dan sosiologi mengemukakan rumusan istilah terorisme sesuai
dengan persepsi dan latar belakang keilmuannya.117
Dalam kamus Oxford, kata terrorist dalam Muchlis M. Hanafi diartikan dengan
orang yang melakukan kekerasan terorganisasi untuk mencapai tujuan politik tertentu.
aksinya disebut terrorism, yaitu penggunaan kekerasan dan kengerian atau ancaman,
terutama untuk tujuan-tujuan politis. Sementara dalam bahasa Arab, istilah yang populer
untuk aksi ini adalah al-Irhâb, dan pelakunya disebut al-Irhâby. Para penyusun kamus al-
Mu‟jam al-Wasīth masih dalam kutipan Muchlis M. Hanafi, memberikan makna kata al-
Irhâby dengan sifat yang dimiliki oleh mereka (perorangan maupun kelompok) yang
menempuh kekerasan dan menebar kecamasan untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik. Al-
Irhâb dengan pengertian semacam ini tidak ditemukan penggunaannya dalam pengertian
modern dalam Al-Qur‘an dan kamus-kamus bahasa Arab klasik, sebab ini merupakan istilah
baru yang belum dikenal pada masa lampau. Bahkan penggunaan kata ini (irhâb) dalam
bentuk derivasinya (kata turunannya), yakni turhibûn atau lainnya, dalam Al-Qur‘an seperti
pada surat al-Anfâl [8]: 60 bermakna positif.118
Sebab melalui ayat ini, Allah memerintahkan
117
Kasjim Salenda, Terorisme dan Jihâd dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama RI, 2009), h. 76.
118
Ayat tersebut berbunyi:
ا أ عذ ه ب زهز ط ع ع ٱ ح له ث بؽ ١ ٱ س رهش خ جه ۦث ذه لل ٱ ع وه ذه ع اخ ء ش٠ ل ده
ه ر ع ه ه ٠ ع لله ٱ ه ه ب ا فمه ره ف ء ش ج١ ف لل ٱ ع ئ ١ ٠ه ىه زه أ رهظ ل ه ٤٦
Terjemah: “Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan
kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan
orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah
78
umat beriman untuk mempersiapkan diri dengan berbekal kekuatan apa saja yang dapat
menggentarkan (turhibûn) musuh Allah dan musuh mereka. Tidak jauh berbeda dengan
pengertian di atas, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam Muchlis M. Hanafi,
mendefinisikan teror dengan usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh
seseorang atau golongan. Makna terorisme adalah: penggunaan kekerasan untuk
menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik).119
Terorisme menurut Azra seperti dikutip Rohmawati, merupakan masalah moral
yang sangat sulit sehingga mengakibatkan terjadinya kesulitan dalam mendefinisikannya.
Sampai detik ini, belum ditemukan definisi yang diakui secara universal. Pendefinisian yang
ada masih bersifat subjektif dan relatif, tergantung kepada subjek yang mendefinisikannya.
Sebagai sebuah paham, terorisme selalu identik dengan teror, kekerasan, intimidasi, dan
ekstrimitas. Para pelakunya disebut sebagai teroris. Karena itu, terorisme seringkali
menimbulkan konsekuensi negatif bagi kemanusiaan. Terorisme kerap menjatuhkan korban
kemanusiaan dalam jumlah yang tak terhitung. Dalam insiden WTC dan Bom Bali,
membuktikan bahwa ribuan nyawa manusia yang tak berdosa raib akibat ulah para teroris.
Orangtua-renta, dewasa, anak muda, dan bayi turut menanggung akibat dari pertarungan
politik dan ideologi. Pada titik ini, terorisme mendapat sorotan yang serius dari masyarakat
dunia, karena cara-cara yang ditempuh para teroris dapat mewujudkan instabilitas,
kekacauan, dan kegelisahan yang berkepanjangan. Masyarakat senantiasa dihantui perasaan
was-was dan tidak aman. Namun, pertanyaan yang muncul kemudian, ―Siapa sebenarnya
yang melakukan aksi-aksi terorisme?‖ Pada tahap ini, kita akan memasuki kerumitan
tersendiri, sebab identifikasi terorisme tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan.
niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan).” (QS. al-Anfâl [8] :
60).
119
Muchlis M. Hanafi, Islam, Kekerasan dan Terorisme (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur‘an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015), h. 9-11.
79
Apalagi, jikalau menyangkut sebuah kelompok atau negara tertentu, niscaya dibutuhkan data-
data yang akurat dan tepat.
Konsepsi teror dan terorisme merupakan masalah yang sulit sehingga
mengakibatkan terjadinya kesulitan dalam mendefinisikannya. Tarik ulur seputar terorisme
apakah bermakna positif atau negatif berlangsung hingga kini, tergantung siapa yang
memunculkan dan yang membuat definisinya. Sulit sekali menarik definisi objektif dan
akurat tanpa terkandung di dalamnya sentimen yang sarat ideologi atau kepentingan. Usaha-
usaha untuk mendefinisikan terorisme ini sering didasarkan pada asumsi bahwa sejumlah
tindakan kekerasan terutama yang menyangkut politik (political violence) ada yang dapat
dibenarkan (justifiable) dan ada yang tidak dapat dibenarkan (unjustifiable). Kekerasan yang
dikategorikan sebagai tindakan yang tidak dapat dibenarkan inilah yang sering disebut
sebagai teror atau terorisme. Namun, untuk menentukan standar dan ukuran yang jelas dari
masing-masing kategori tidaklah mudah sebab subjek yang mendefinisikan mempunyai
determinasi yang kuat dalam menentukan mana yang justifiable dan mana unjustifiable.
Dengan demikian, menurut Azra seperti dalam Rohmawati, batas dan standar tindakan
kekerasan bersifat relatif, tergantung siapa yang mengelompokkan. Kekerasan politik yang
bagi sebagian orang dianggap unjustifiable mungkin dianggap justifiable bagi pihak
lainnya.120
Subjektifitas dan relativitas pendefinisan teror dan terorisme terlihat jelas pada
pandangan orang, misalnya terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan Organisasi
Pembebasan Palestina (PLO). Di satu pihak, khususnya Barat, memandang aksi kekerasan
oleh PLO–atau garis keras PLO–sebagai terorisme. Bahkan, laporan Departemen Luar Negeri
Amerika Serikat memasukkan PLO sebagai organisasi teroris yang tidak memiliki legitimasi
politik yang menggunakan metode kekerasan yang tidak sah untuk mencapai tujuan-
120
Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2002: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia
(Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 27-28. Tesis pada konsentrasi Syariah.
80
tujuannya yang tidak dapat dibenarkan. Sebaliknya, pihak yang lain memandang PLO
sebagai wakil sah rakyat Palestina yang tertindas. Tindakan kekerasan yang dilakukan adalah
untuk mencapai tujuan-tujuan yang adil, sah, dan tidak terelakan. Dari pandangan yang
subjektif dan relatif ini, menurut Juliet Lodge seperti dalam Rohmawati, kita dihadapkan
pada dilema: “one man‟s terrorist is another man‟s freedom fighter” (seorang teroris adalah
pejuang kemerdekaan bagi pihak lain). Dengan demikian, pengertian teror dan terorisme
terletak pada pembenaran (justifiable) moral yang mendefinisikannya.
Istilah terorisme sendiri baru populer pada tahun 1973 sebagai akibat revolusi
Perancis, tepatnya ketika Robespierre mengumumkan era baru yang disebut Reign of Terror
(10 Maret 1793-27 Juli 1794). Teror menjadi agenda penting para pengawal revolusi dan
menjadi keputusan pemerintah untuk mengukuhkan stabilitas politik. Sasarannya bukan
hanya politik, tetapi juga tokoh-tokoh moderat, pedagang, agamawan, dan lain sebagainya.
Selama berlangsung Revolusi Perancis, Robespierre dan yang sejalan dengannya seperti St.
Just dan Couthon melancarkan kekerasan politik dengan membunuh 1366 penduduk
Perancis, laki dan perempuan, hanya dalam waktu 6 minggu terakhir masa teror. Bahkan
dalam sidang umum PBB melalui Dewan Khusus Terorisme Internasional pernah membahas
isu terorisme internasional pada tahun 1972. Perdebatan tentang definisi terorisme mengalami
deadlock. Akhinya sidang memandang tidak mungkin untuk memutuskan sebuah definisi
yang dapat disepakati bersama dan dapat mengakomodir berbagai persepsi yang ada.
Menurut Charles W. Kegley Jr, penulis buku International Terrorism: Characteristics,
Causes, Control, sebagaimana dikutip Alif Arrosyid (2008), mengatakan: “There is no single
definition of terrorism that can possibly cover all the varieties of terrorism that have
appeared throughout history.” ―(Tidak ada definisi tunggal tentang terorisme yang bisa
81
mencakup semua isi fenomena terorisme yang telah muncul sepanjang sejarah).‖121
Di
Indonesia sendiri, bahkan di kalangan pakar sosial-politik Barat, belum ada kesepakatan
tentang definisi terorisme. Karena belum ada formulasi definisi yang jelas dan baku yang
diakui secara universal inilah telah berdampak pada biasnya pemahaman masyarakat dunia
terhadap berbagai upaya memerangi terorisme, sehingga merugikan pihak tertentu dan tidak
menutup kemungkinan terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan definisi yang
jelas, gamblang, transparan, dan diterima secara universal, kita tidak akan salah menunjuk
orang atau kelompok tertentu sebagai teroris dan memeranginya. Meskipun demikian,
setidaknya ada beberapa definisi yang dapat penulis suguhkan dalam penelitian ini agar bisa
memberikan gambaran tentang apa dan bagaimana sebenarnya terorisme.
Sebelum melangkah lebih jauh tentang pendefinisian terorisme, agaknya perlu
diungkapkan perbedaan antara teror dan terorisme. Sebagai metode kekerasan, teror dan
terorisme memiliki pengertian yang berbeda meski asal-usul namanya sama-sama berasal dari
bahasa Latin, “terrere” yang berarti menimbulkan ketakutan yang mendalam. Penggunaan
kekerasan atau teror tidak langsung merupakan terorisme karena aksi teror merupakan
aktivitas yang dilakukan untuk tujuan-tujuan kriminal yang bercorak spontan dan tidak
terorganisir rapi serta cenderung bersifat personal/perorangan. Sebaliknya, terorisme bersifat
sistematis, terorganisir rapi dan dilakukan oleh sebuah organisasi atau kelompok sebagai
pelaku dari aktivitas teror tersebut. Makna kata teror dan terorisme telah mengalami
perubahan yang cukup signifikan sejak akhir abad ke-19. Dalam Webster‟s International
Dictionary seperti dirujuk Rohmawati, edisi 1890 memberikan definisi teror sebagai
“Extreme fear, fear that agitates body and mind; violent dread; fright” (rasa takut yang luar
biasa, rasa takut yang mengganggu tubuh dan pikiran, ketakutan yang mendalam). Pada
perkembangan selanjutnya, Webster‟s New Twentieth Century Dictionary meng-cover
121
Alif Arrosyid, Respons Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Aksi Terorisme di Indonesia 2000-2005
(Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2008), awal bab II, t.h. Tesis di SPs UIN Jakarta.
82
pengertian yang sama secara esensial: 1) Intens fear (rasa takut yang mendalam); 2) a person
or thing that causes intense fear (seseorang atau sesuatu yang menimbulkan rasa takut yang
mendalam); 3) a period characterized by political executions, as during the French
Revolution (suatu periode yang ditandai dengan eksekusi politik yang berlangsung selama
Revolusi Prancis); 4) a program of terrorism or a party, group, etc, resorting to this (suatu
program terorisme atau suatu partai, kelompok, dan lain-lain yang menggunakan tindakan
kekerasan/terorisme). Dengan penambahan akhiran “isme” pada kata teror, timbul perbedaan
pengertian di kalangan para ilmuan. Menurut Rourke masih dalam Rohmawati, terorisme
merujuk pada “aksi-aksi kekerasan secara luas yang dapat menimbulkan ketakutan yang
besar secara kontinyu (berlanjut) yang dilakukan oleh suatu kelompok terhadap kelompok
lain.” Adapun Noam Chomsky juga memberikan definisi terorisme sebagai berikut:
“Penggunaan intimidasi atau ancaman dengan menggunakan cara-cara kekerasan secara
sistematis yang dilakukan oleh sekelompok, baik suatu penguasa maupun negara atau
mereka yang tidak berkuasa atau sedang menjadi oposisi terhadap penguasa.” Istilah
terorisme mulai digunakan pada akhir abad ke-18 terutama untuk menunjukkan aksi-aksi
kekerasan yang dilakukan pemerintah (penguasa) yang ditujukan untuk menjamin ketaatan
rakyat.122
Dalam kajian akademis, memang dibedakan antara teror dan terorisme. Ada yang
memandang bahwa terorisme adalah bentuk pemikiran, sedangkan teror adalah aksi atau
tindakan yang terorganisir. Kebanyakan memang memandang teror bisa terjadi tanpa adanya
terorisme. Teror menjadi unsur asli yang melekat pada terorisme. Terorisme adalah puncak
aksi kekerasan. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan.
Menyitir Rikard Bagun, seperti dalam Said Aqil Siradj, terorisme tidak sama dengan
intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan
122
Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2002, Tesis pada SPs UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, tahun 2005, h. 29-39.
83
terorisme tidak. Kaum teroris hanya ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas
memperhatikan perjuangan mereka. Kaum teroris modern justru suka mengeluarkan
pernyataan dan tuntutan. Mereka ingin menarik perhatian masyarakat luas dan memanfaatkan
media massa untuk menyuarakan pesan perjuangannya.
Cara pandang dalam ―tatapan akademis‖ tersebut perlu dikedepankan. Ini dalam
rangka membedakan dari ―tatapan ideologis‖ yang eksklusif dan cenderung reaktif. Ketika
terjadi bom di Alam Sutera, sontak dari kalangan ini menyebutnya (kaum akademisi) sebagai
titik balik yang bisa meruntuhkan stigmatisasi agama dalam isu terorisme. Stigmatisasi yang
dituduhkan sebenarnya terlalu berlebihan. Negara memahami teroris bisa datang dari mana
saja. Namun, menyitir Brian Michael Jenkins, teroris tidak jatuh dari langit, mereka muncul
dari seperangkat keyakinan yang dipegang kuat. Mereka adalah radikal. Kemudian mereka
menjadi teroris. Aksi teror yang muncul akibat ideologis inilah yang selama ini muncul di
negeri kita. Peristiwa bom, hingga penembakan terhadap aparat, telah terkuak dilakukan oleh
mereka yang berasal dari jaringan radikal keagamaan. Walaupun model jaringan sudah mulai
melemah, sel-selnya masih bergerak hingga metamorfosis terorisme ―sel hantu‖ yang
berangkat dari individu. Di sinilah perlu pembacaan secara bijak. Pemerintah sudah
mengeluarkan Perppu Antiterorisme yaitu Perppu No. 1 Tahun 2002 dan Perppu No.2 Tahun
2002, dan kita sudah punya UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
sebagai dasar hukum di Indonesia. Ada unsur-unsur terorisme yang telah ditetapkan, yaitu
perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sistematis dengan maksud untuk
menghancurkan kedaulatan bangsa dan negara dengan membahayakan kedaulatan bangsa dan
negara. Dan itu dilakukan dengan menggunakan kekerasan, menimbulkan suasana teror atau
rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal,
dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda dari orang lain
(Pasal 1 Ayat 1). Dikeluarkannya Perppu itu tidaklah lain karena untuk memproteksi
84
masyarakat dari masalah terorisme yang muncul pascareformasi pada tahun 1999 hingga
2003, khususnya pada tahun 2000-2002, kemudian tahun 1999 adalah era transisi demokrasi
yang ditandai oleh lahirnya gerakan-gerakan militan Islam yang secara sosiologis muncul
karena merasa tertindas atau tertekan selama rezim Orde Baru.
Di era Orde Lama, bentuk pola aksi teror didominasi oleh aksi-aksi separatis yang
marak terjadi di masa itu. Aksi-aksi ini mayoritas dilakukan oleh organisasi seperti
PRRI/Permesta, PKI, dan DI/TII. Aksi-aksi yang dilakukan berorientasi pada penggulingan
pemerintahan yang sah, mengingat masih labilnya kondisi politik di masa itu. Naiknya
Mayjen TNI Soeharto, yang sebelumnya menjabat sebagai Pangkostrad, menjadi Presiden RI
menggantikan Ir. Soekarno membuka babak baru dalam sistem pemerintahan NKRI. Di masa
Orde Baru, terjadi perubahan drastis dan menyeluruh di berbagai bidang, terutama di bidang
ekonomi dan politik.123
Tahun 2000 diasumsikan sebagai indikasi awal dan menjadi stimulan
bagi kerja jaringan terorisme di Indonesia. Dan selanjutnya, tahun 2002 meletus tragedi
kemanusiaan yaitu Bom Bali yang sangat hebat di Indonesia di mana dampaknya pada krisis
multidimensional yang dialami bangsa kita. Kejahatan teror akan terus beralih rupa. Bisa saja
ada pergeseran motif politik menuju motif ekonomi, atau berwujud kejahatan transnasional
melalui kejahatan dunia maya. Dan, dari yang berakar etnosentrisme beralih wajah menjadi
kejahatan katarsis (amuk personal). Kita perlu mewaspadai, perubahan demografis akibat
mobilitas manusia secara massif bisa memengaruhi keamanan nasional. Pertumbuhan
populasi yang tidak terkendali juga bisa meningkatkan peluang instabilitas, radikalisme, dan
terorisme.124
Dalam perjalanan sejarahnya, bangsa dan negara Indonesia kita tak lepas dari
guncangan teror bom. Dari mulai tahun 2000 sampai sekarang sudah banyak korban tewas
123
Agus Surya Bakti, Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi
(Jakarta: Daulat Press, 2014), h. 10-11. 124
Said Aqil Siradj Ketua PBNU, Membaca Bom Alam Sutera, artikel kolom Opini Harian KOMPAS
pada Rabu, 4 November 2015.
85
dari masyarakat sipil, polisi, dan warga asing. Berikut ini daftar peristiwa ledakan teroris
yang pernah terjadi di Indonesia.
Tabel. 3
Daftar Peristiwa Ledakan Bom di Indonesia
No Tanggal Kejadian Deskripsi/Keterangan
1 1 Agustus 2000 Bom meledak di Kedutaan Besar
(Kedubes/Embassy) Filipina. Bom meledak dari
sebuah mobil yang diparkir di depan rumah
Dubes Filipina, Menteng, Jakarta Pusat. 2 orang
tewas, dan 21 orang luka-luka. Termasuk Dubes
Filipina, Leonides T Caday
2 27 Agustus 2000 Sebuah granat meledak di Kompleks Kedutaan
Besar Malaysia, Kuningan Jakarta. Tidak ada
korban jiwa
3 13 September 2000 Bom meledak di lantai parkir Bursa Efek Jakarta
(BEJ), 10 orang tewas dan 90 orang luka-luka,
baik luka berat maupun luka ringan. 161 mobil
rusak, dan sarana gedung rusak berat.
4 24 Desember 2000 Serangan bom meledak pada malam Natal di
Jakarta, Bandung, Ciamis, Bekasi, Sukabumi,
Mataram, Pematang-Siantar, Medan, Mojokerto,
Batam, dan Pekanbaru. Aksi pengeboman ini
terjadi bersamaan dengan memanasnya konflik
horizontal bernuansa agama di Maluku dan
sekitarnya. 16 jiwa tewas, 96 orang luka-luka,
dan 37 mobil rusak.
5 22 Juli 2001 bom meledak di Gereja Santa Anna dan gereja
Huria Kristen Batak Protestan (KHBP) di
Kawasan Kalimalang, Jakarta Timur. 5 orang
meninggal dunia.
6 31 Juli 2001 bom meledak di Gereja Bethel Tabernakel
Kristus Alfa Omega, Jl. Gajah Mada Semarang,
Jawa Tengah
7 23 September 2001 bom meledak di Plaza Atrium Senen, Jakarta
Pusat. Ledakan tersebut menyebabkan 6 orang
terluka dan merusak beberapa mobil.
8 12 Oktober 2001 Sebuah bom meledak di KFC Makassar yang
mengakibatkan kaca-kaca, langit-langit, dan
lampu neon pecah.
9 6 November 2001 bom rakitan meledak di halaman Australian
International School (AIS), Pejaten, Jakarta
Selatan.
86
10 12 Oktober 2002 bertempat di Paddy‘s Pub dan Sari Club (SC) di
Jalan Legian, Kuta, Bali yang mengguncang
Bom. Dua bom meledak spektakuler dalam
waktu yang hampir bersamaan yaitu pukul 23.05
WITA. Lebih dari 200 orang tewas, dan 200
lebih lainnya luka berat maupun ringan dalam
peristiwa yang dikenal dengan Bom Bali Satu.
Jumlah korban dan dampak/implikasinya
mendunia. Turis mancanegara menjadi takut
berkunjung ke Indonesia.
11 3 Februari 2003 bom rakitan meledak di Lobi Wisma Bayangkari
Mabes Polri Jakarta.
12 27 April 2003 bom meledak di bandara Soekarno Hatta
Cengkareng tereminal 2F, 2 orang luka berat,
dan 8 lainnya luka sedang dan ringan.
13 5 Agustus 2003 bom berkekuatan tinggi meledak di kawasan
Hotel JW Marriot kawasan Mega Kuningan.
Bom meledak sekitar pukul 12.45 WIB.
Sebanyak 14 orang tewas, dan sekitar 150 orang
cedera.
14 10 Januari 2004 bom meledak di sebuah cafe Palopo, Sulawesi. 4
orang tewas.
15 9 September 2004 bom meledak di Kedubes Australia Jl. HR
Rasuna Said, Kuningan Jakarta Selatan. Akibat
peristiwa itu 6 orang tewas.
16 28 Mei 2005 bom meledak di tentena, Poso, Sulawesi Tengah.
22 orang tewas.
17 1 Oktober 2005 bom meledak di RAJA‘s Bar dan Restaurant,
Kuta Square, daerah pantai Kuta, Bali dan di
Nyoman Café Jimbaran. 22 orang tewas dalam
peristiwa yang dikenal dengan Bom Bali Dua
18 22 Maret 2006 sekitar pukul 19.00 WITA, bom meledak di pos
kamling dusun Landangan, Desa Toni,
Kecamatan Poso Pesisir.
19 1 Juli 2006 sebuah bom meledak di Gereja Kristen Sulawesi
Tengah (GKST) Eklesia jalan Pulau Seram,
Poso. Tidak ada korban jiwa maupun kerusakan
materil.
20 3 Agustus 2006 bom meledak di Stadion Kasintuwu Poso. Tidak
ada korban jiwa dalam peristiwa itu
21 6 September 2006
bom meledak di Tangkura Poso Pesisir Selatan
22 17 Juli 2009 terjadi ledakan bom di Hotel Ritz Carlton dan
JW Marriot, Jakarta. Seperti diketahui 9 korban
87
tewas.
23 pada 15 April 2011 tiga bom meledak di tiga kota di Indonesia. Bom
pertama, meledak di Masjid Malporesta Cirebon.
Peristiwa ini menewaskan pelaku teror
pengeboman dan melukai 25 orang. Kedua, kota
Tangerang di mana polisi berhasil menggagalkan
aksi pemboman terhadap Gereja Christ
Cathedral. Kota berikutnya adalah Solo. Sebuah
bom bunuh diri kembali diledakkan di GBIS
Kepunten Solo, Jawa Tengah. Satu orang pelaku
tewas dalam peristiwa ini sedangkan 28 orang
lainnya terluka.
24 19 Agustus 2012 pengeboman terjadi di Pospom Gladak, Solo
Jawa Tengah. Tidak ada korban dalam peristiwa
tersebut.
25 3 Juni 2013. bom bunuh diri di halaman Mapolres, Poso
Sulawesi Tengah
26 4 Agustus 2013 Ledakan terjadi di Vihara Ekayana Amara jalan
Mangga II/8 RT 08/08 Kelurahan Duri Kepa,
Tanjung Duren, Jakarta Barat, pada pukul 18.50
WIB. Satu paket bom gagal meledak dam 3
orang luka-luka
Sumber: http://news.detik.com/read/2009/07/17/161656/1167203/10/data-ledakan-bom-di-
indonesia-2000-2009.125
Selain itu data didapat dan disarikan dari Tim Redaksi Sindo serta Litbang
Kompas. 126
Di bumi Indonesia, apa yang diharapkan dari pemuka agama tidak lain adalah
mencegah timbulnya penafsiran-penafsiran keagamaan yang dapat mengacu ke arah
radikalisme dan kekerasan. Dalam lingkungan Islam, di atas pundak pemuka agama terletak
kewajiban untuk mensosialisasikan konsep moderasi yang menghindari sikap ekstrem atau
berlebihan dalam kedua sisinya, guna menciptakan masyarakat penengah dan adil, atau dalam
bahasa Al-Qur‘an yaitu ummatan wasathan (QS. al-Baqarah [2] : 143). Segala bentuk
moderasi keagamaan, baik dalam menilai, berinteraksi dengan kelompok lain, maupun dalam
menjalankan tuntunan agama perlu mendapat tekanan. Untuk itu, usaha-usaha untuk mencari
titik temu dalam ajaran agama-agama dunia guna mencegah terjadinya kekerasan atau
125
Sumber kejadian bom dapat dilihat pula
http://news.detik.com/read/2009/07/17/161656/1167203/10/data-ledakan-bom-di-indonesia-2000-2009 diakses
10 Juni 2014 pukul 12.07 WIB. 126
Tim Redaksi SINDO, Teror Bom yang Guncang Indonesia, Topik Pilihan Koran SINDO, pada
Jum‘at 15 Januari 2016, h. 8-9.
88
radikalisme perlu terus ditingkatkan. Dan sebelum melangkah ke arah itu, rekonsiliasi intern
dari setiap kelompok harus menjadi prioritas utama dalam agenda tiap agama. Dalam bahasa
Islam popular upaya tersebut dikenal dengan istilah taqrīb baina al-madzâhib (pendekatan
antar sekte/mazhab). Kiranya dengan pendekatan ini benih radikalisme keagamaan akan
dapat kita bendung agar tidak tumbuh di tanah air kita.127
Terkait terorisme di Indonesia, dalam catatan Kepolisian Negara Republik
Indonesia, sepanjang tahun 2015 telah menangkap 74 orang terduga teroris, yang 65 di
antaranya ditetapkan sebagai tersangka. Polisi juga terus mencegah aksi keji terorisme ini
dengan kontinyu dan mengawasi pergerakan kelompok NIIS di tanah air. Terbukti, polisi
juga mencegah sembilan teror. Karena itu, penanganan tindak pidana terorisme dan
deradikalisasi tetap menjadi skala prioritas Polri di tahun 2016 dan selanjutnya sampai
terkikis habis. Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti menjelaskan dari 74 orang yang
ditangkap, 9 orang di antaranya dipulangkan karena tidak cukup bukti. Jumlah itu termasuk
10 terduga teroris yang ditangkap pada operasi 18-23 Desember 2015 terkait dengan rencana
aksi teror yang didukung kelompok militan ISIS dan jaringan Jamâah Islâmiyah (JI). Aksi
teror yang dicegah kepolisian antara lain penangkapan terduga teroris yang akan melakukan
teror jelang perayaan hari Kemerdekaan RI di Solo, Jawa Tengah, penangkapan empat orang
di Tasikmalaya Jawa Barat yang diduga merencanakan aksi jelang Natal, serta penangkapan
satu orang di Bekasi Jawa Barat yang akan dieksekusi menjelang akhir tahun atau saat
pergantian awal tahun baru.
Menurut Badrodin Haiti, selama pencegahan terorisme periode 2004-2015,
sebanyak 35 polisi meninggal dunia dan 67 polisi lainnya luka-luka. Penyebabnya antara lain
aksi baku tembak dengan kelompok radikal teroris tersebut. Dari 171 aksi terorisme yang
diungkap pada sepanjang tahun 2000-2015, Polri telah menangkap 1.064 terduga teroris. Dari
127
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1997), h.
149.
89
jumlah itu, 451 orang sudah bebas dari penjara. Selain itu, saat ini dari data Polri, sebanyak
408 Warga Negara Indonesia (WNI) berada di Suriah bergabung dengan NIIS (Negara Islam
Iraq-Suriah). Adapun di Tanah Air, Indonesia, terdapat 543 orang yang menjadi kelompok
inti NIIS, 246 orang penduduk NIIS, dan 296 orang menjadi simpatisan kelompok itu. Dalam
menyampaikan refleksi akhir tahun kinerja Kepolisian di Mabes Polri Jakarta, dihadiri oleh
Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irfan Idris yang
mengatakan kepolisian harus bersinergi dan berkoordinasi dengan Detasemen khusus 88 anti
teror untuk melaksanakan program deradikalisasi.128
Di negeri kita, belum berselang lama, juga pernah terjadi kasus teror bom di ITC
Depok, Jawa Barat, yang hingga kini pelakunya belum tertangkap. Dalam sederet contoh
kasus tersebut, motif (faktor pemicu) menjadi penting dalam membaca misteri di balik
sebuah aksi. Terbacalah beberapa motif (faktor pendorong), seperti depresi, penggunaan
akibat narkoba, xenofobia, kriminal dan juga motif rasial, politik dan keagamaan. Begitu pun,
adanya dampak yang ditimbulkan akibat aksi tersebut menjadi hitung-hitungan dalam
pembacaannya. Keragaman motif dan dan kekuatan dampak ini menandakan, dalam aksi
kekerasan tidak semua aksi kekerasan semata dapat dinyatakan sebagai aksi teroris.
Mengapa? Aksi teroris yang bersumbu dari ―paham teror‖ mempunyai ―daya ledak‖ secara
masif sehingga membawa pada keguncangan stabilitas negara. Bom Bali, misalnya
ditetapkan sebagai ―dampak nasional‖ karena dampaknya yang sangat besar bagi negara.129
Berita paling termutakhir di awal tahun 2016 apa yang terjadi di kawasan jalan protokol
Sarinah MH Thamrin. Ledakan bom dan baku tembak itu menewaskan tujuh orang
meninggal, lima di antaranya teroris dan satu warga asing, dan satu lagi warga negara
Indonesia seorang office boy (OB) pada sebuah perkantoran Sarinah yang waktu itu
128
Source: dilansir dari Harian Nasional KOMPAS dalam berita Politik dan Hukum, Rabu 30
Desember 2015, h. 5. 129
Said Aqil Siradj Ketua Umum PBNU, Membaca Bom Alam Sutera, artikel OPINI dimuat di Harian
KOMPAS, Rabu 4 November 2015.
90
berkerumunan dengan masyarakat melihat peristiwa nahas, dan sekitar 20 orang luka-luka.130
Serangan bom di jalan Thamrin diduga melibatkan dua kelompok di Jakarta dan Cirebon.
Para saksi yang ditangkap mengungkap skema perencanaan. Menggunakan cara dan bahan-
bahan sederhana, biaya perakitan bom tak sampai 2 juta rupiah. Bahkan dalam laporan utama
Majalah Tempo, kepolisian republik Indonesia menyebutkan para pelaku teror di kawasan
Thamrin, Jakarta, beberapa bulan lalu, terhubung dengan sejumlah pentolan kelompok
radikal Tanah Air pendukung Negara Islam Iraq dan Suriah (ISIS). Setelah peristiwa
berdarah itu, belasan orang ditangkap di sejumlah tempat. Sebagian dari mereka pemain yang
disebut-sebut berhulu ke Aman Abdurahman, pemimpin Jamaah Ansharut Daulah yang kini
mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Kembang Kuning, Nusakambangan, Cilacap.131
4) Menginterpretasi Jihâd dan Terorisme secara Tepat
Meskipun ‗mungkin benar‘ bahwa sebagian tindakan terorisme dilakukan oleh para
fundamentalis yang menjustifikasi gerakannya sebagai jihâd fī sabīlillah, namun konsep
jihâd sendiri itu harus dipahami secara komprehensif. Hampir bisa dipastikan, istilah jihâd
merupakan salah satu konsep Islam yang paling sensitif, sering disalahpahami,
diselewengkan dan dicemarkan, khususnya di dunia Barat modern. Pertanyaan penting yang
dapat kita ajukan kepada penganjur radikalisme atau terorisme yang notabene beragama
Islam adalah apakah benar tindakan mereka itu jihâd seperti yang diajarkan Islam? (meskipun
secara sadar dan penuh keyakinan bahwa para teroris itu tidak memiliki jubah agama
apapaun). Jangan-jangan para teroris yang mengaku berjihad itu tidak memahami makna
jihâd yang sebenarnya. Mereka hanya tahu kulitnya saja, tanpa mengetahui isinya. Lebih
berbahaya lagi, kalau ternyata apa yang mereka sebut sebagai jihâd itu ternyata adalah upaya
penyelewengan teks (nash) Al-Qur‘an dan hadis (pendistorsian).
130
Headline News pada Harian Umum Republika, Jumat 15 Januari 2016 / 4 Rabi‘ul Awwal 1437 H,
nomor 12 Tahun ke-24. 131
Majalah TEMPO, edisi 4448/25-31 Januari 2016, h. 30-33.
91
Dalam Al-Qur‘an dan hadis memang terdapat ayat-ayat dan matan (teks hadis)132
yang memerintahkan umat Islam untuk berjihad. Namun, ayat dan matan yang berkaitan
dengan konsep jihâd atau peperangan (qitâl)133
seringkali ditafsirkan secara serampangan.
Penafsiran secara subjektif dan jauh dari nilai ilmiah inilah yang kemudian menjadi justifikasi
sekaligus stimulus bagi banyak gerakan politik (harakah siyâsiyah) Islam yang pada
gilirannya mencoreng wajah umat Islam secara keseluruhan. Dari sini kemudian muncul
gerakan-gerakan yang mempolitisasi agama yang pada hakikatnya bertentangan dengan
substansi agama itu sendiri dan kepentingan politik sekaligus dengan cara menafsirkan ayat-
ayat Al-Qur‘an dan menggunakan hadis-hadis untuk melegitimasi kepentingan gerakan
tersebut.
Oleh sebab itu, diperlukan peninjauan ulang terhadap pemaknaan konsep jihâd
pada pemikiran klasik yang sudah sekian lama ditulis dan dipaparkan oleh para ulama yang
kredibel dan autentik. Dibutuhkan semacam langkah kembali pada nilai-nilai pemahaman
modern dan kontemporer. Menoleh makna dasar jihâd, pada prinsipnya jihâd berkonotasi
pada upaya pengekangan hawa nafsu yang dimulai dari kondisi individu dan kemudian bisa
mengkristal secara kolektif. Makna dasar ini penting untuk tetap dipegang, sebab pemaknaan
ini mempunyai filosofi tentang eksistensi diri manusia sendiri. Dalam arti manusia terdapat
sifat-sifat yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, diperlukan upaya netralisasi dan
132
Dalam literatur kitab hadis, pembahasan mengenai hadis-hadis jihâd ini diberikan space yang cukup
besar. Biasanya dimulai dengan Kitâb al-Jihâd, atau Kitâb Fadhâil al-Jihâd, dan Bâb seperti Bâb mâ dzukira
anna Abwâba al-Jannah tahta Dzhilâl al-Suyûf. Tercantum kitab Tuhfah al-Ahwadzī bi Syarhi Jâmi‟ al-Tirmidzī
(Syarah Sunan al-Tirmidzī), oleh Imam al-Mubârakfûrī (Kairo: Dâr al-Hadīs, 2001), juz ke-5, h. 595-597. 133
Yang menjadi central problem adalah kata qitâl yang tidak boleh diartikan secara tekstual, harus
kontesktual. Penelitian/pendekatan bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadis yang tertuju pada beberapa
objek: misalnya struktur bahasanya apakah susunan kata dalam matan hadis itu sesuai dengan kaidah bahasa
Arab atau tidak? Lalu apakah menggunakan kata-kata yang lazim dipergunakan bangsa Arab pada masa Nabi
Muhammad SAW atau menggunakan kata-kata baru yang muncul dan dipergunakan dalam literatur modern?
Kemudian apakah redaksi hadis tersebut menggambarkan bahasa kenabian? Dan terakhir apakah makna kata
tersebut misalnya dalam kasuistik ini qitâl, ketika diucapkan oleh Nabi Muhammad SAW, sama dengan makna
yang dipahami oleh pembaca terjemahan hadis itu atau penelitinya, hal ini dilakukan demi menjaga otentisitas
hadis dan jauh dari unsur politik. Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 76.
92
pembersihan diri secara kontinu agar eksistensi tersebut bisa terjaga dan berkembang secara
sehat.
Rupanya wacana tentang jihâd telah menarik atensi ilmuwan dan para pengamat
Barat (Orientalis, mustasyriqûn) untuk menelusurinya lebih dalam. Kalangan orientalis
mengumandangkan bahwa Islam disebarkan dengan pedang. Bagi mereka, menurut
Azyumardi Azra sebagaimana dirujuk Enizar, ketika mendengar ungkapan jihâd, maka
muncul dalam ingatan mereka adalah angkatan perang muslim yang menyerbu ke berbagai
wilayah dengan tujuan memaksa nonmuslim untuk memeluk Islam.134
Dapat diasumsikan
bahwa nilai atraktif yang berkelindan di balik doktrin jihâd dalam Islam ini dilatari oleh dua
asumsi. Pertama, secara tekstual, Al-Qur‘an dan hadis selaku pedoman dominan dasar ajaran
Islam banyak mengurai tentang jihâd, sehingga memicu penggelut studi keislaman, baik dari
kalangan ilmuan Muslim maupun non Muslim, untuk menemukan konteks pemaknaan dari
signifikansinya dalam kehidupan kekinian. Kedua, menggejalanya paradigma keislaman yang
revolusioner, skriptualis, ataupun radikal di kalangan umat Islam. Fenomena keislaman
seperti ini, tak ayal telah meminimalisasi keagungan risalah Islam yang dikenal ―ramah‖ dan
―damai‖.
Dalam hal ini, Dawam Rahardjo dalam Nasaruddin Umar, menyebut lima ilmuwan
Barat (orientalis) yang mengulas doktrin jihâd. Di antara yang tertua adalah karya Andrean
Reland (1718) yang mengulas hukum perang melawan Kristen yang membahas masalah
jihâd sebagai doktrin utamanya. Dalam konteks Indonesia, Snouck Hurgronje dalam bukunya
De Achehers (1894) yang mengurai doktrin jihâd dalam konteks masyarakat Aceh. Ilmuan
lainnya adalah H. TH. Bobbrink (1901) yang menulis sebuah penelitian disertasi mengenai
gerakan Cheragh ‗Ali di India yang memfokuskan kajiannya pada doktrin jihâd.
134
Enizar, Jihad ! the Best Jihad for Moslems (Jakarta: Amzah Bumi Aksara, 2007), h. xii.
93
Tokoh selanjutnya adalah A.J. Wensinck (1930) yang menghasilkan sebuah buku
pedoman tentang hadis yang dalam versi Inggrisnya dijuduli The Handbook of Early
Muhammadan Tradition. Buku ini juga memuat banyak uraian ―jihâd‖, kendati harus
merujuknya pada entri ―perang‖. Ilmuan lainnya adalah Rudolf Peters dari Universitas
Amsterdam dalam sebuah satu karyanya yang berjudul Islam and Colonialism: The Doctrine
of Jihâd in Modern History (1979). Karya ini lebih menitikberatkan pada relasi antara Islam
dan kolonialisme Barat, khususnya dampak kolonialisme terhadap Islam. Dalam Tesis ini,
penulis mencoba menghadirkan pemikiran keislaman dari seorang ilmuan kontemporer yang
terbilang kontroversial. Tokoh tersebut menamai dirinya Mark A. Gabriel yang hingga kini
belum diketahui nama aslinya. Ia adalah seorang pemikir liberal di tengah kelompok dan
lingkungan Muslim garis keras di Mesir. Dalam bukunya yang terkenal Islam and Terrorism
(2002) yang setebal 235 halaman. Gabriel secara lugas mengukuhkan terjadinya relasi antara
Islam dan terorisme, mulai dari akar terorisme dalam Islam hingga perkembangan jihâd di era
kontemporer. Paling tidak, sejumlah pemikiran Gabriel akan penulis sajikan sebagai starting
point untuk dievaluasi secara sistematis.
Gabriel menyoroti eksistensi surat al-Qitâl sebagai nama lain dari surat
Muhammad (47). Dari artinya, dapat dipahami bahwa surat al-Qitâl artinya adalah
peperangan, dan tidak dijumpai nama surat lainnya yang bernuansa perdamaian. Berdasar
pada penamaan surah ini, Gabriel dengan tegas menyatakan bahwa jihâd dan perang
merupakan ajaran paling utama dalam Islam. Atas dasar itu juga, Gabriel menilai sejarah
Islam sebagai ―sungai darah‖ (a river of blood). Lebih dari itu, ia menyatakan bahwa
(doktrin) Islam-lah agama yang berada di balik segala tindak terorisme, bukan kaum
Muslimin. Gabriel berpandangan bahwa motif utama dari jihâd adalah untuk membasmi
manusia yang tidak menerima Islam sebagai agamanya. Ia memahami bahwa praktik jihâd di
zaman Nabi Muhammad SAW adalah memerangi warga Kristen dan Yahudi ataupun orang-
94
orang yang menyembah berhala. Salah satu ayat Al-Qur‘an yang dijadikan legitimasi
pandangan bias Gabriel terhadap Islam adalah QS. al-Anfâl [8] : 39, yaitu:
ل ه زه ز ل ح خ فز ر ىه ٠ ىه ه ٱ ٠ ه ذ ۥوه لل ٱ ف ا ا ز ب لل ٱ ف ا ٠ ع ث ه ث ظ١ش
٦٦
―Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata
untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha
Melihat apa yang mereka kerjakan.‖ (QS. al-Anfâl [8] : 39).
Dalam ayat ini, term “jihad” dimaknai dengan term “struggle” yang didefinisikan
sebagai berikut:
“Fighting anybody who stands in the way of spreading Islam. Or fighting anyone
who refuse to enter into Islam.”
“Memerangi orang yang menghalangi penyebaran Islam. Atau, memerangi orang
yang menolak untuk masuk Islam.”
Di samping itu, Gabriel juga menyatakan bahwa wahyu yang turun kepada Nabi
Muhammad SAW yang menceritakan perihal Yahudi tidak pernah bernilai positif, tetapi
setelah Muhammad berhijrah ke Madinah, wahyu Al-Qur‘an yang menyebut term “Ahlul
Kitâb” bahkan menjadi sangat dimusuhi. Di antara ayat yang dimaksud adalah QS. al-Anfâl
[8] : 39 di atas. Pandangan lainnya adalah doktrin jihâd dalam Islam lebih memprioritaskan
membunuh musuh, ketimbang menjadikannya tawanan perang, sebagaimana termaktub
dalam QS. al-Anfâl [8] : 67, yaitu:
ب ب و أ ج أ ع ۥ ه ٠ ىه ش ز ٠هث ح ع س ل ٱ ف خ ع رهش٠ذه ش ٱ ع لله ٱ ١ بذ
ح ل ٱ ٠هش٠ذه ض٠ض لله ٱ خش ع ى١ ٤٤ ح
―Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan
Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.‖ (QS. al-Anfâl [8] : 67).
Penulis berasumsi mengutip Nasaruddin Umar, bahwa paradigma keislaman ala Mark
Gabriel ini adalah paradigma yang banyak dipahami oleh mayoritas orientalis, terutama
95
terkait dengan doktrin jihâd dan perang135
dalam Islam. Penyebutan Mark A. Gabriel sebagai
pengantar dalam uraian ini tidaklah bermaksud menafikan pemikiran Orientalis lainnya,
tetapi telah dianggap representatif untuk mengetahui permasalahan krusial yang patut
dievaluasi secara sistematis terkait dengan doktrin jihâd.136
Berikut ini pengulasan tentang
terminologi jihâd serta prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai rujukan dalam membedah
semantikal jihâd sampai ke akar-akarnya. Ulasan tersebut sangat penting mengingat
pemaknaan dan pengaplikasian jihâd dalam wacana global internasional dan regional terjadi
pergeseran, agar Islam benar-benar tercermin sebagai agama yang rahmatan lil „âlamīn,
bukan agama teror.
Makna jihâd yang berasal dari term j-h-d, jahada, yajhadu, juhdan, wa jihâdan,
bila kita telaah dalam kamus mempunyai turunan kata (musytaq/derivasi) dari akar kata
jâhada, yujâhidu, jihâdan, wa mujâhadatan lalu mujâhid (pelaku, pejuang di jalan Allah,
orang yang melakukan aksi jihâd).
137ماىد -ة د اى م و -ااد ه ج – د اى ي – د اى ج
berusaha dengan sungguh-sungguh بزيادة األلف. يف األمر مبعت : جد جهد جاىد : أولو
دة عليها.، وىو : ما كانت أحرف ماضيو ثالثة فقط من غت زياد ثالثي جهد وزنو كتب مر
135
Di antara matan hadis bernada jihâd/perang yang bisa dianalisis lewat pendekatan bahasa yakni
hadis dalam Sahīh Muslim Kitâb al-Īmân, bab al-Amr bi qitâl al-Nâs hatta Yaqûlû: Lâ ilâha illa Allâh. Hadis
tersebut berbunyi: ―Aku diperintahkan untuk memerangi manusia (non-muslim) sampai mereka benar-benar
mengucapkan syahadat, lalu mengakui bahwa Muhammad utusan Allah, mereka mendirikan salat, dan
mengeluarkan zakat. Apabila mereka melakukan perintah itu, maka selamatlah jiwa (darah) dan harta benda
mereka karena memeluk Islam, dan semua urusannya milik Allah.‖ (HR. Muslim). Lihat Muslim al-Naisabûrī,
al-Jâmi‟ al-Sahīh al-Musamma Sahīh Muslim (Semarang: Toha Putra, t.t), juz ke-1, h. 38. 136
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis, Pengantar: Dr. H. Susilo
Bambang Yudhoyono Presiden RI ke-6 (Jakarta: Quanta Kompas Gramedia, 2014), h. 86-90. 137
Kata ini seimbang (wazan) dalam bidang ilmu Shorof, dengan kata قاتل ي قاتل مقات لة وقتاال مقاتل yakni masuk dalam pembahasan kedua (al-mabhats al-tsâni), mazīd al-tsulâsī bi harfin wâhidin (dengan
tambahan satu huruf setelah fa‟ fi‟il dan sebelum „ain fi‟il, lihat dalam Shorof Praktis: Metode Krapyak, oleh
Muhtarom Busyro, Pengantar: KH. Ahmad Warson Munawwir dan KH. Atabik Ali (Yogyakarta: Menara
Kudus, 2007), h. 82.
96
Kata jahada sepadan (wazan/seimbang) dengan kata kataba yang merupakan
tsulasi mujarrad, di mana huruf madhi-nya hanya tiga huruf saja tanpa ada tambahan.138
Adapun derivasi-nya seperti berikut di bawah ini:
mencurahkan segala kemampuanل وسعو : ذجاىد : ب
perjuangan/berjuang di jalan Allahاجلهاد يف سبيل اهلل :
percurahan tenaga, pikiran untuk mengambil hukum (bukan qoth‟ī) dari اإلجتهاد إصطالحا :
suatu dalil139
Dalam kamus Kontemporer Arab-Indonesia, makna jihâd seperti di bawah ini:
tanah yang keras, tidak bertumbuh-tumbuhجهاد ج جهد :
140 جهاد : جهاد يف سبيل اهلل Jihâd, perjuangan, jihâd (berjuang di jalan Allah)
Dalam versi lain, secara praktis, makna jihâd diinterpretasikan oleh al-Jurjâni, yaitu:
seruan atau panggilan menuju agama Allah yang benar: ين الق عاء إل الد اجلهاد : ىو الد 141
Pemaknaan jihâd dipaparkan juga dalam kamus al-Maurid, disebutkan:
: jihad; holy war; struggle (jihad; perang suci; perjuangan) جهاد
;hard work effort; endeavor; attempt; exertion; strain :جهد
138 Syaikh Musthafâ al-Ghalâyainī, Jâmi‟ al-Durûs al-„Arabiyyah: Mausû‟ah fī Tsalâtsati Azjâ‟ (Kairo:
Dâr al-Hadīs, 2005), h. 44. 139
KH. Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), h. 217-218. 140
Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus (al-„Ashri) Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta:
Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 1998), h. 702. 141
Ali al-Jurjâni, al-Ta‟rīfât (Beirût: Dâr al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 2003), h. 84.
97
penggunaan; ketegangan; bekerja dengan keras)142 (Usaha; upaya; percobaan;
Dalam Kamus Istilah Kegamaan (KIK), makna jihâd diinterpretasikan: (1) perjuangan
tiada henti dengan mencurahkan segala yang dimilikinya, baik nyawa, harta, maupun ilmu,
hingga tercapai apa yang diperjuangkan dengan niat semata-mata mengharap rida Allah, (2)
perjuangan menegakkan kalimah Allah.143
Jihâd dalam Al-Qur‘an adalah jalan terbaik untuk
umat Islam demi merengkuh kesenangan di akhirat kelak, di mana di dalamnya manusia akan
melihat sorga yang di bawahnya ada sungai-sungai yang mengalir. Balasan tersebut akan
diberikan kepada mereka yang mau berjihad/berjuang dengan harta dan jiwa mereka di dunia
ini. Perhatikan firman Allah (QS. al-Shâf [61] : 10-12)
ٱ أ ٠ ب٠ ه ز٠ ا ا ء ىه أ ده ح رج ع ج١ىه ش ره اة ز ع ١ رهإ ٠٦ أ ه لل ٱث
عه س رهج ۦ ف ذه ج١ لل ٱ ع ثأ ىه فهغىه أ ر ١ ىه ش خ ئ ىه زه ر ع وه ه فش ٠ غ ٠٠ ىه
ث ىه ه ٠هذ ره خ ىه شر ج ذ ج غ شه ل ٱ ز بر ح ف ؽ ١ج خ ى ذ ذ ج ع ٱ ه ر ه ٱ صه ف ظ١ ع
٠٣
―Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan
menguntungkan yang akan dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu)
kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan ber-jihâd di jalan Allah dengan harta
dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika mau mengetahui. Niscaya Allah
mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai dan ke tempat-tempat tinggal yang baik di dalam surga
‗Adn. Itulah kemenangan yang agung.‖ (QS. al-Shâf [61] : 10-12).
Di dalam Al-Qur‘an Al-Karim, term jihâd disebutkan sebanyak 41 kali, 9 di
antaranya ada dalam ayat Makkiyah dan sisanya 32 kali disebut dalam ayat Madaniyyah.144
Ayat-ayat yang berbicara tentang jihâd di antaranya adalah (QS. al-‗Ankabût [29]: 6). Seperti
di bawah ini ayatnya:
142 Munir Ba‘albaki dan Rohi Ba‘albaki, Kamus al-Maurid Arab-Inggris-Indonesia, Penerjemah:
Achmad Sunarto (Surabaya: Halim Jaya, 2006), h. 267. 143
Choirul Fuad Yusuf, dkk., Kamus Istilah Keagamaan (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha,
Khonghucu) (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian
Agama Republik Indonesia, 2015), h. 81. 144
M. Fuâd Abd al-Bâqī, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdz al-Qur‟an al-Karīm (Kairo: Dâr el-Hadith
Publishing, 2007), h. 224-225.
98
ب ذ ج ف ذه ٠هج ف ا ۦ غ لل ٱ ئ غ ع ٱ ع ١ ٤
―Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk
dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan
sesuatu) dari semesta alam. (QS. al-‗Ankabût [29]: 6).
Ayat lain yang bertemakan jihâd dan mengangkat senjata untuk berperang adalah
seperti tercantum di bawah ini:
أهر ٠هم ز٠ ه ز ه ثأا ه ظه ئ لل ٱ ظ ع ٱ ٦٦ م ذ٠ش ش ا أهخ ز٠ شجه
د٠ ١ ش ك ش ثغ ا أ ئل ح ه ث ب ٠ مه لله ٱ س ف ل هث ع بط ٱ لل ٱ عه د ذ غ ثج ع ؼ هذ عه ط
ث١ ع ط غ د شه ٠هز جذه ث١ش لل ٱ ه ع ٱ ف١ ب و ا و ش ظه ١ لله ٱ ه شه ظه ۥ ٠ لل ٱ ئ ض٠ض م ع
٥٦
―Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya
mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong
mereka itu. (Yaitu) Orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka
tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah
Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan
sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja,
rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak
disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong
(agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.‖ (QS.
al-Hajj [22] : 39-40.
Jihâd secara leksikal (makna dalam kamus) adalah ―mengerahkan upaya‖,
―berusaha‖, ―berjuang keras‖, atau lebih tepatnya ia melukiskan usaha maksimal untuk
melawan sesuatu yang salah. Para ahli linguistik membedakan definisi jahd dan juhd.
Menurut Ibnu Manzhûr, seperti disitir Nasaruddin Umar, mereka memaknai juhd dengan
kemampuan/kekuatan (thâqah), sedangkan jahd dengan rintangan (masyaqqah). Ada juga
yang mengartikan sebaliknya, yaitu term jahd diartikan sebagai ‗rintangan‘, sedangkan juhd
dengan ‗kemampuan‘. Jika dikatakan jâhada fi al-amr, berarti ia akan bersungguh-sungguh
dalam urusan tersebut, sehingga merasa lelah karena berusaha maksimal mungkin untuk
memperolehnya. Jika dikaitkan dengan musuh, maka frasa jâhada al-„aduwwa diartikan
99
sebagai ―membunuh musuh, mencurahkan segenap tenaga untuk memeranginya, dan
mengeluarkan segenap kesungguhuhan dalam membela diri dari serangannya.‖145
Konotasi yang dimiliki kata jihâd sangat komprehensif. Pertama, mujâhadah,
perang spiritual melawan dorongan hawa nafsu atau upaya sungguh-sungguh membangun
nilai spiritual manusia. Kedua, ijtihâd, mencurahkan kemampuan guna menjustifikasikan
hukum yang cukup rumit melalui metode yang ketat dan diproyeksikan untuk mencetuskan
pendapat independen dalam yurisprudensi Islam (hukum fiqih), yakni dengan metode analogi
(qiyâs) dengan menggunakan fondasi ratio-legis („illat) yang terpetik dari Al-Qur‘an dan
hadis, membangun sisi intelektualitas seseorang. Ketiga, amar ma‟ruf nahi munkar;
perjuangan menciptakan lingkungan sosial yang memungkinkan kaum muslimin untuk
mengimplementasikan kewajiban-kewajiban syariat, serta menyesuaikan dengan norma-
norma etiknya. Keempat, qitâl fī sabīlillah; perang146
untuk membela agama dari sesuatu
yang mengancamnya dengan kode etik yang telah dijelaskan dari Al-Quran dan hadis.
Adapun jihâd secara terminologis menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaylī,
sebagaimana dikutip Tim Kodifikasi Lajnah Bahtsul Masâil Ponpes Lirboyo Kediri, yaitu
mencurahkan kemampuan untuk menolak agresi orang-orang kafir dengan jiwa raga dan
harta. Sedangkan menurut KH Said Aqil Siradj, jihâd merupakan ―upaya pencurahan tenaga
secara fisik yang diproyeksikan untuk mengimplementasikan pesan-pesan Tuhan di muka
bumi guna mengakurasikan tugas manusia sebagai khalifah-Nya. Adapun berperang dengan
145
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media
Komputindo Gramedia, 2014), h. 84-85. 146
Dalam kamus bahasa Arab, istilah teknis perang adalah qitâl, di sisi lain acap kali ditemukan tidak
selamanya begitu, terkadang menggunakan istilah غزوة ج غزوات yang bermakna peperangan, serangan,
ekspedisi, agresi, dan perang itu sendiri, misalnya dalam frasa dan bahkan terkadang ,(perang badar) ر د ب ة و ز غ
menggunakan istilah lain seperti ت ف ص ة ع ق و dalam contoh bentuk idhâfah ini ات ع ق ج و ة ع ق و (perang shiffīn).
Lihat dalam M. Napis Djuaeni, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Istilah Politik-Ekonomi) Jakarta: Mizan
Publika, 2006), h. 559 dan 830-831. Sebagai sebuah kasus, Ibnu Hajar al-‗Asqallânī, memasukkan hadis-hadis
tentang perang dalam Kitâb al-Maghâzī, dengan pengulasan berikutnya Bâb Qisshati Ghazwati Badr (Bab
Kisah perang Badar), tidak menggunakan Kitâb al-Qitâl. Lihat Ibnu Hajar al-‗Asqallânī, Fath al-Bâri bi Syarhi
Sahīh al-Bukhârī (Kairo: Dâr al-Hadīs, 2004), juz ke-7, h. 320 dan 327.
100
mengangkat senjata hanyalah salah satu dari beberapa model jihâd. Seperti halnya masalah
lain, jihâd diinstrusikan secara gradual (tadarruj, bertahap). Berikut ini fase-fase jihâd dalam
wahana dakwah Islam yang dirumuskan ulama. Pertama, fase deffensive (difâ‟i); kedua, fase
izin berjihad; ketiga, fase wajib jihâd; keempat, fase terakhir serta munculnya mazhab
deffensive (difâ‟i), dan offensive (hujûmi).147
Dalam konteks berperang, terminologi jihâd menurut Hanafiyyah didefinisikan
sebagai usaha dakwah untuk mengajak kepada agama yang haq (benar) dan memerangi orang
yang menolak dan menentangnya baik dengan turun langsung ke medan perang atau dengan
wujud partisipasi lain. Mâlikiyyah mendefinisikan jihâd sebagai peperangan antara umat
Islam melawan kuffâr yang tidak memiliki ikatan rekonsiliasi damai dengan Islam dengan
tujuan li i‟lâi kalimâtillah (untuk meninggikan kalimat-kalimat Allah). Menurut Hanâbilah,
jihâd adalah agresi umat Islam yang diarahkan hanya kepada orang kafir, sehingga menurut
versi ini perang menghadapi pemberontak (bughât), qutho‟ al-tharīq (perampok jalanan)
bukan termasuk jihâd. Sedangkan terminologi jihâd menurut Syâfi‘iyyah adalah perang
melawan kuffâr untuk melindungi eksistensi agama.
Dari variasi bahasa yang digunakan masing-masing mazhab dalam
mendeskripsikan jihad di atas, maka amaliah nyata untuk media mengekspresikan jihâd bagi
individu atau kelompok Islam dapat dimanifestasikan dalam bentuk: a) menunjukkan
masyarakat kepada ajaran tauhid dan ajaran Islam melalui media pendidikan, diskusi,
penelitian atau meluruskan pemahaman, penyimpangan dan kesesatan akidah umat. b) jihâd
dengan harta yang dialokasikan untuk kebutuhan dana sosial menegakkan masyarakat yang
kuat. c) dengan perang difâ‟i (defensif) yakni jihâd diizinkan hanya sebatas untuk membela
diri dari serangan musuh, tidak boleh mendahului menyerang, tidak boleh membunuh lawan
147
Tim Kodifikasi Purna Siswa Lirboyo Kediri, Kontekstualisasi Turats; Telaah Regresi dan Progresif,
Editor: KH. Said Aqil Siradj (Lirboyo: Madrasah Hidâyatul Mubtadīn Kediri Jawa Timur, 2005), h. 225-227.
Lihat pula dalam Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi,
bukan Aspirasi (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), h. 105.
101
yang telah menyerah atau membunuh selain pasukan perang. d) dengan perang hujûmi
(ofensif) yakni umat Islam boleh diizinkan melancarkan serangan terlebih dahulu kepada
orang-orang kafir atau musyrik. e) dengan perang habis-habisan atau perang total.148
Jihâd tidak identik dengan perang angkat senjata, pendefinisian itu bisa juga
diaplikasikan secara kontekstual untuk membela tanah air Indonesia tercinta, seperti yang
dahulu pernah digemakan Rais Akbar Nahdlatul Ulama (NU), Hadratus Syaikh KH.
Mohammad Hasyim Asy‘ari, yakni pada tahun 1945. Tatkala serdadu (pasukan) sekutu yang
dipelopori Inggris datang ke Surabaya Jawa Timur pada November 1945, beliau secara tegas
mengeluarkan resolusi jihâd guna memerangi sesuatu. Perang yang dimaksud beliau, sama
sekali tidaklah dimaksudkan untuk membela nama agama semata, tetapi juga untuk membela
tanah air dan bangsa. Pasalnya, dalam pandangan NU seperti ditegaskan dalam muktamarnya
di Banjarmasin pada tahun 1936, membela tanah air dan bangsa berarti juga melindungi
semua komunitas, baik Muslim, Kristen, Hindu, Buddha, Khonghucu, aliran kepercayaan,
maupun komunitas adat lainnya.149
Menurut Mufti Besar Mesir, Syaikh Ali Jum‘ah dalam Muchlis M. Hanafi,
menyebutkan 6 (enam) syarat dan etika perang (jihâd/qitâl) dalam Islam yang
membedakannya dengan terorisme (irhâbiyyah),150
yakni: pertama, cara dan tujuannya jelas
148
Tim Kodifikasi DIFA Madrasah Hidâyatul Mubtadīn, Dimensi Doktrinal Studi Metodologis
Dinamika Fenomenal (Lirboyo: Kediri Jawa Timur, 2007), h. 116-118. 149
Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan
Aspirasi (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), h. 107. Di sisi lain, penggemaan persoalan perang faktanya dalam
sejarah menjadi salah satu tema yang kerap muncul di kalangan umat Islam, di antaranya adalah khotbah
dorongan berjihad (khutbah al-hats „ala al-jihâd). Riset Moch Syarif Hidayatullah berkesimpulan bahwa
khotbah berjenis ini tidak terlalu banyak ditemukan yang terdokumentasi dalam bentuk tertulis, meskipun
praktiknya mungkin banyak, terutama saat isu terkait terorisme dan semangat anti-Amerika Serikat hangat
diperbincangkan. Sejauh ini baru khotbah dorongan berjihad (KDJ) yang berasal dari Aceh Abad XIX yang
dapat ditemukan. Moch Syarif Hidayatullah, Khotbah Berjihad Perang Aceh Abad XIX (Jakarta: Puslitbang
Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2013), h. 6. Buku ini bermula
dari Disertasi di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI Depok, 2013. 150
Tindakan terorisme dalam bahasa Arab disebut Irhâbiyyah, pelakunya disebut irhâbī. Kata irhâbī
dalam tataran disiplin ilmu shorof (morfologis), berasal dari kata arhaba-yurhibu-irhâban. Adapun kata Arhaba
( ب ى ر أ ) sinonim dengan kata: (rowwa‟a) ع و ر , (ar‟aba) ب ع ر أ , (khowwafa) ف و خ , dan afza‟a ع أف ز yakni
menakut-nakuti, menggertak. Lihat Kamaluddin Nurdin Marjuni, Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern
Sinonim Arab-Indonesia (Jakarta: Ciputat Press, 2009), h. 48.
102
dan mulia; kedua, perang/pertempuran hanya diperbolehkan dengan pasukan yang
memerangi, bukan penduduk sipil; ketiga, perang harus dihentikan bila pihak lawan telah
menyerah dan memili damai; keempat, melindungi tawanan perang dan memperlakukannya
secara manusiawi; kelima, memelihara lingkungan, antara lain untuk membunuh binatang
tanpa alasan, membakar pohon, merusak tanaman, mencemari air dan sumur, merusak
rumah/bangunan; keenam, menjaga hak kebebasan beragama para agamawan dan pendeta
dengan tidak melukai mereka.
Dari sini sangat jelas perbedaan antara jihâd dengan pengertian perang dan
terorisme. Karena itu, salah satu butir hasil keputusan sidang Majma‟ al-Fiqh al-Islâmī
nomor 128 tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan Kekerasan Internasional, poin kelima
menyatakan, ―Perlu diperjelas pengertian beberapa istilah seperti jihâd,151
terorisme, dan
kekerasan yang banyak digunakan media massa. Istilah-istilah tersebut tidak boleh
dimanipulasi dan harus dipahami sesuai pengertian yang sebenarnya.‖152
Dalam pandangan Syaikh Yûsuf al-Qardhâwi, terdapat empat definisi yang
berbeda antara jihâd (al-jihâd), peperangan (al-qitâl), perang (al-harb), kekerasan (al-„unf),
dan terorisme (al-irhâb). Jihâd adalah bentuk isim mashdar dari kata jâhada, yujâhidu,
jihâdan, mujâhadah. Secara etimologi, jihâd berarti mencurahkan usaha (badzl al-juhd),
kemampuan, dan tenaga. Jihâd secara bahasa berarti menanggung kesulitan. Kata jihâd
kemudian lebih banyak digunakan dalam arti peperangan (qitâl) untuk menolong agama dan
membela kehormatan umat. Akan tetapi, dalam penjelasan selanjutnya, kita akan tahu bahwa
151
Dalam disiplin ilmu Fiqih, ulasan mengenai tema jihâd dipaparkan secara terang-benderang, dan
komprehensif. Misalnya dalam kitâb Nihâyat al-Zain fī Irsyâd al-Mubtadiīn, Syarah „ala Qurrat al-„Ain bi
Muhimmât al-Dīn fī al-Fiqh „ala Madzhab al-Syâfi‟ī, karya masterpiece Syaikh Nawawī al-Bantanī. Beliau
memulai bahasan jihâd dengan Bâb al-Jihâd diawali hukumnya, lalu golongan yang wajib ber-jihâd. Syaikh
Nawawī al-Bantanī, Nihâyat al-Zain fi Irsyâd al-Mubtadīn (Beirût: Dâr al-Fikr, 2005), h. 328-334. Selain itu
penulis dapati juga dalam kitab Fiqih yang lain, misalnya bahwa jihâd itu wajib, dan kewajiban itu terfokus pada
tujuh persyaratan sampai pada pembagian ghanīmah (harta rampasan perang), lihat kitâb buah karya
Taqiyyuddīn al-Dimasyqī, Kifâyat al-Akhyâr fī Halli Ghâyat al-Ikhtishâr (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), h. 165-
178. 152
Muchlis M. Hanafi, Islam, Kekerasan dan Terorisme (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur‘an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015), h. 33-34.
103
di dalam Al-Qur‘an dan sunnah (hadis), jihâd memiliki makna yang lebih luas lagi daripada
peperangan. Al-Qardhâwī mengutip Ibn al-Qayyim bahwa jihâd terbagi ke dalam tiga belas
tingkatan, di antaranya jihâd melawan hawa nafsu, jihâd dakwah dan penjelasan, dan jihâd
sabar. Sedangkan peperangan (qitâl) adalah bagian terakhir dari jihâd, yaitu berperang
dengan menggunakan senjata untuk menghadapi musuh. Makna inilah yang banyak dipahami
oleh orang-orang. Akan tetapi, baik dari segi derivasi maupun makna, peperangan (qitâl)
berbeda dengan jihâd. Al-Qitâl adalah isim mashdar dari kata qâtala-yuqâtilu-qitâlan-
muqâtalah. Dari segi makna, ia tidak sama dengan jihâd. Sebab, kata qâtala tidak sama
dengan jâhada. Al-Qitâl diambil dari kata al-qatl, sedangkan al-jihâd diambil dari kata al-
juhd. Kata al-qitâl dan berbagai derivasinya disebutkan dalam Al-Qur‘an sebanyak 67 kali.
Lalu perang (al-harb). Peperangan (al-qitâl) yang berarti pertarungan militer tidak
sama dengan perang (al-harb) dalam pemahaman zaman sekarang. Sebab, peperangan bukan
sebuah kelaziman yang harus dilakukan dalam perang zaman modern, meskipun ia tidak bisa
lepas dari perang. Pada dasarnya, perang bersifat militer dan menggunakan berbagai jenis
senjata. Akan tetapi, pada zaman sekarang dikenal perang-perang yang lain, seperti perang
kebudayaan, perang media massa, perang ekonomi, dan perang fisik. Perang pun biasanya
dilakukan selama beberapa waktu, sebagaimana perang bangsa Arab jahiliyah atau perang
Al-Basus antara bakr dan Taghlab lalu pernag Dunia I (1914-1919) dan perang Dunia II
(1939-1945).
Kata perang (al-harb) disebutkan oleh Al-Qur‘an sebanyak enam kali. Kemudian
kekerasan (al-„unf), kekerasan berarti kasar (al-syiddah wa al-ghalzhah). Kata ini merupakan
lawan dari halus (al-rifq) dan lemah lembut (al-layyin). Kata ini tidak ada dalam Al-Qur‘an,
baik dalam bentuk mashdar, fi‟il, ataupun shifat. Yang terakhir adalah terorisme (al-irhâb),
secara etimologi, al-irhâb diambil dari kata arhaba-yurhibu-irhâban yang berarti khawwafa-
yukhawwifu-takhwīfan. Maknanya adalah memberikan ketakutan. Fi‟il tsulâsi-nya adalah
104
rahiba yang berarti khâfa (takut). Lawan dari takut adalah aman. Yang dimaksud dengan
terorisme dalam pembahasan kali ini adalah menciptakan kondisi takut kepada orang-orang
yang disebabkan oleh aktivitas militer, baik individu maupun kelompok. Pada dasarnya,
tindakan teror adalah dilarang. Akan tetapi, teror ini bisa menjadi boleh jika dilakukan untuk
tujuan-tujuan yang disyariatkan dan dengan menggunakan cara-cara yang disyariatkan. Jika
tujuannya disyariatkan, tetapi caranya tidak, atau keduanya disyariatkan, dalam pandangan
Islam, hal tersebut adalah haram.153
5) Penerapan Jihâd yang Salah
Di Indonesia sendiri, acap kali sebagian umat Islam memahami agama secara
sepotong-potong. Umat Islam perlu introspeksi diri dalam pemahaman keagamaan dan cara
belajar agamanya. Sehingga tidak mengambil ayat Al-Qur‘an dan hadis Nabi secara tidak
utuh, dan mengambil ayat tanpa mengaitkan dengan ayat yang lain dalam tema yang sama,
atau mengambil hadis tanpa melihat hadis yang lain sebagai komparasi literatur (dirâsah
muqâranah). Ada sebagian umat Islam Indonesia, yang memahami agama secara substansi
sehingga lepas makna teksnya. Adapula penafsiran agama yang hanya mengambil dari makna
tekstualnya, sehingga buta untuk membaca kontekstualnya. Kesimpulan yang diambil dari
Al-Qur‘an dan hadis Rasulullah SAW hanya pemahaman yang sesuai dengan suasana diri
dan selera hati, dan tentunya berdasarkan latar belakang keilmuannya (background
knowledge), bahkan pribadinya saja tidak mau mengikuti penafsiran sahabat Nabi, tâbi‟in,
tâbi‟it tâb‟in, dan ulama-ulama yang sudah diakui integritas dan kredibilitas keilmuannya.
Pemahaman agama Islam itu harus holistik dan komprehensif (syâmil wa
mutakâmil). Wajib mengaitkan suatu teks dengan konteks turunnya teks, bahkan juga harus
153
Syaikh Yûsuf al-Qardhâwī, Fiqh al-Jihâd: Dirâsah Muqâranah li Ahkâmihi wa Falsafatihi fī Dhau‟
Al-Qur‟an wa al-Sunnah diterjemahkan Irfan Maulana Hakim dan Arif Munandar Riswanto menjadi Fiqih
Jihâd: sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihad Menurut Al-Qur‟an dan Sunnah (Bandung: Mizan,
2009), h. xxv-xxxi.
105
dikorelasikan dengan konteks sosial-budaya yang dialami. Pemahaman Islam yang utuh dan
paripurna akan melahirkan keberagaman yang menjadi rahmat bagi semesta alam.154
Interpretasi pemahaman keagamaan sejatinya menggunakan pendekatan yang menjembatani
antara normativitas teks ilahi dengan historisitas realitas-empiris dan juga memadukan
pendekatan tekstual (normative) dengan pendekatan kontekstual (historis-empiris) secara
simultan. Tidak ada agama yang mengajarkan terorisme, kekerasan, dan kasar. Agama adalah
sumber kedamaian dan ketenteraman, tetapi sebagian orang ada yang keliru dalam
menafsirkan agama. Pemahaman yang keliru itu karena terjadi tafsiran monopolistic,
misalnya atas penafsiran dan Terjemahan Al-Qur‘an pada ayat yang bertemakan perang (qitâl
dan derivasinya), jihâd, khalīfah, khilâfah dan fitnah/adu domba. Radikalisme ialah ibu
kandung dari terorisme meski tidak semua radikalis merupakan teroris. Menurut Irfan Idris,
Direktur Jenderal Deradikalisasi BNPT, radikalisme menjadi negatif saat digunakan dengan
cara mengatasnamakan agama. Itu sebabnya, terorisme memiliki dua ciri, yaitu mudah
memberikan gelar kafir (takfīr) kepada kelompok lain yang tidak sealiran/sepaham, dan
memahami makna jihâd secara sempit. Ini adalah salah satu contoh dari paham radikalisme
berjubah agama.155
Keterlibatan individu dalam organisasi Islam radikal dan kesediannya melakukan
aksi kekerasan dengan menggunakan modus teror selalu mengundang pertanyaan. Di antara
pertanyaan yang muncul adalah tentang kekuatan yang mampu menggerakkan seseorang
bertindak dengan begitu tenang, sementara resiko besar akan menimpa dirinya dan orang lain.
pembahasan pada bagian ini coba menguak pertanyaan tersebut. Ada dua hal yang ingin
diungkap. Pertama, justifikasi agama yang memberikan pembenaran terhadap aksi yang
dilakukan individu. Kedua, gerakan kolektif atau gerakan sosial (social movement) sebagai
suatu mekanisme yang digunakan oleh organisasi Islam radikal untuk mewujudkan cita-
154
Cholil Nafis, Islam Wasathi versus Islamofobia, kolom Opini Harian Umum REPUBLIKA, Rabu 25
November 2015/ 13 Shafar 1437 H. 155
Jurnal Bimas Islam Kementerian Agama, Edisi XXXIII, November 2015 M / Muharram 1437 H.
106
citanya yang di antaranya meniscayakan keberadaan individu yang memiliki karakter jihadis.
Individu dengan karakter demikian bisa dicermati pada kutipan di bawah ini:
“Saudaraku, aku wasiatkan kepada antum dan seluruh umat Islam yang telah
mengazzamkan dirinya kepada jihad dan mati syahid untuk terus berjihad dan
bertempur melawan setan akbar, Amerika dan Yahudi laknat. Saudaraku, jagalah
selalu amalan wajib dan sunnah harian antum semua. Sebab dengan itulah kita
berjihad dan sebab itulah kita mendapat rezeki mati syahid. Janganlah anggap remeh
amalan sunnah akhi, sebab itulah yang akan menyelamatkan kita semua dari bahaya
futur dan malas. Hati. Saudaraku, jagalah salat malammu kepada Allah Azza
Wajalla. Selalulah isi malammu sujud kepada-Nya dan pasrahkan diri antum semua
sepenuhnya kepada kekuasaannya. Ingatlah saudaraku, tiada kemenangan melainkan
dari Allah semata. Kepada antum semua yang telah mengikrarkan dirinya untuk
bertempur habis-habisan melawan anjing-anjing kekafiran, ingatlah perang belum
usai. Janganlah takut cercaan orang-orang yang suka mencela, sebab Allah di
belakang kita. Janganlah kalian bedakan antara sipil kafir dengan tentara kafir,
sebab yang ada dalam Islam hanyalah dua, adalah Islam atau kafir. Saudaraku,
jadilah hidup antum penuh dengan pembunuhan terhadap dengan orang-orang kafir.
Bukankah Allah telah memerintahkan kita untuk membunuh mereka semuanya,
sebagaimana mereka telah membunuh kita dan saudara kita semuanya. Bercita-
citalah menjadi penjagal orang-orang kafir. Didiklah anak cucu antum semua
menjadi penjagal dan teroris bagi seluruh orang-orang kafir. Sungguh saudaraku,
predikat itu lebih baik bai kita daripada predikat seorang muslim, tetapi tidak peduli
dengan darah saudaranya yang dibantai oleh kafirin laknat. Sungguh gelar teroris itu
lebih mulia daripada gelar ulama. Namun mereka justru menjadi penjaga benteng
kekafiran.”
Kutipan langsung yang cukup panjang di atas, bersumber dari MuslimDaily.Net yang
dipublikasikan pada 9 November 2008. Judul yang dipilih MuslimDaily.Net adalah surat
wasiat Imam Samudera. Nama Imam Samudera sangat popular dan merupakan salah satu
orang yang paling diburu oleh pihak keamanan bersama pelaku lain peledakan Paddy‟s Pub
dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali, pada tanggal 12 Oktober 2002 yang
kemudian dikenal dengan Bom Bali I. Bom Bali I merupakan serangkaian tiga peristiwa
pengeboman yang terjadi pada Sabtu malam, 12 Oktober 2002. Aksi teror di salah satu
destinasi wisatawan asing itu menewaskan 202 orang yang sebagian besar
berkewarganegaraan asing. Sedangkan, sekitar 300 orang mengalami luka-luka, serta
menghancurkan 47 bangunan. Pada 26 Nopember 2002, Imam Samudera alias Hudama alias
107
Abdul Aziz merupakan salah satu tokoh utama di balik peledakan itu, ditangkap Tim
Gabungan Antiteror Bom dan Buser Polwil Banten di Pelabuhan Penyeberangan Merak-
Bakauheni. Pada 9 November 2008, Imam Samudera bersama dua terpidana mati lainnya
yang terkait dengan Bom Bali I, Amrozi, Ali Ghufron alias Mukhlas, dieksekusi mati.
Pada usia yang tergolong remaja (teenager) itu, seperti diceritakan Muhammad
Haniff Hassan, sebagaimana dikutip Syamsul Arifin, etos jihad Imam Samudera mulai
terbentuk. Semangat atau etos jihâd Imam Samudera mulai terasah setelah membaca buku
Abdullah Azzam yang terkenal, Tanda-Tanda Kekuasaan Allah Dalam Jihâd Afghanistan
(Allah‟s Signs in the Afghan Jihâd). Setiap kali selesai membaca buku itu, lanjut Muhammad
Haniff Hassan, Imam Samudera berdoa agak kelak dapat datang ke Afghanistan sebagai
syahīd yang dijanjikan surga oleh Allah. Imam Samudera memang tidak dapat mewujudkan
hasrat jihâd dan mimpi indahnya sebagai mati syahīd156 yang akan dijemput oleh bidadari
dari surga di medan perjuangan Afghanistan, tetapi justru harus mengakhiri hidupnya setelah
diberondong peluru yang diselesaikan oleh Tim eksekutor hukuman mati, hukuman yang
harus diterima setelah terlibat dalam aksi teror di Bali pada 2002. Tetapi, kendati tidak
menjadi syahīd di Afghanistan, Imam Samudera tetap meyakini bahwa apa yang telah
dilakukan bersama kawan-kawannya di Bali merupakan perwujudan jihâd (aktualisasi dari
pemahaman jihâd). Bacalah pengakuan Imam Samudera dalam buku yang ditulisnya sendiri,
Aku Melawan Teroris:
“Berdasarkan niat atau rencana target, jelas bom Bali merupakan jihad fi sabilillah,
karena yang jadi sasaran utama adalah bangsa-bangsa penjajah seperti Amerika dan
sekutunya. Ini semakin jelas dengan adanya pembantaian massal terhadap umat
Islam di Afghanistan pada bulan Ramadhan tahun 2001 yang disaksikan oleh hampir
seluruh umat manusia di segala penjuru bumi. Bangsa-bangsa penjajah pembantai
156
Bom syahīd secara tegas para fuqahâ (ahli Fiqih) memaparkan bahwa membunuh orang-orang
muslim tak berdosa adalah haram karena tergolong perbuatan destruktif (mafsadah), kecuali ketika mereka
dijadikan perisai oleh tentara kafir. Tim Kodifikasi Lirboyo, Pengantar: Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj,
Kontekstualisasi Turats; Telaah Regresif dan Progresif (Perumus Lajnah Bahtsul Masâil Ponpes Lirboyo Purna
Siswa: Kediri Jatim, 2005), h. 273.
108
kaum lemah dan bayi-bayi tak berdosa itulah yang disebut kaum musyrikin (kaum
kafir) yang berhak diperangi sebagaimana dalam firman Allah:… “dan perangilah
kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kaum semuanya dan
ketahuilah bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.” (QS. al-Taubah
[9] : 36).
Kurang lebih setahun setelah terbitnya buku Aku Melawan Teroris, Penerbit
Pustaka Qaulan Sadida menerbitkan buku berjudul, Mereka adalah Teroris ! Bantahan
terhadap Buku Aku Melawan Teroris ! Sebagaimana judulnya, buku yang ditulis oleh
Luqman bin Muhammad Ba‘abduh ini merupakan bantahan terhadap buku Aku Melawan
Teroris. Salah satu pandangan yang dibantah secara keras oleh Luqman bin Muhammad
Ba‘abduh adalah aksi teror di Bali yang diyakini sebagai jihâd oleh Imam Samudera. Luqman
mengkritik tindakan Imam Samudera, karena tidak saja telah menodai nama harum jihâd,
akan tetapi juga mengaburkan makna jihâd di mata umat Islam. Keyakinian Imam Samudera
bahwa orang kafir boleh diperangi, juga mendapatkan bantahan dari Luqman bin
Ba‘abduh…‟‟tidak semua orang kafir itu diperangi. Ada beberapa kriteria dan batasan yang
harus diperhatikan dalam hal ini.”
Tidak diketahui secara pasti apakah Imam Samudera membaca buku yang
menyerang keyakinannya itu (buku bantahan). Tetapi bisa dipastikan, kalau saja
membacanya, Imam Samudera tetap bergeming dengan keyakinan yang dipegang secara kuat
sejak usia remaja. Individu yang telah direkrut dan terlibat demikian dalam pada jaringan dan
organisasi terorisme, biasanya sulit mengkorvensi keyakinannya dengan keyakinan yang
lebih moderat. Keyakinan yang dipegang teguh oleh Imam Samudera juga akan dijumpai
pada orang lain dan terus berkelanjutan sampai kapan pun. Dalam konteks ini, kekhawatiran
sejumlah kalangan terhadap keberlanjutan radikalisme dan terorisme di Indonesia cukup
tinggi, karena selalu ada saja faktor-faktor yang dapat menggerakkannya seperti keberadaan
dan perluasan pengaruh ISIS. Melihat analisa dengan disertai data serta fakta yang aktual-
109
objektif terkait pemicu radikalisme dan teorisme yang terjadi secara ilmiah pada gilirannya
menjawab tudingan miring MMI terkait problem kebahasaan Terjemah Al-Qur‘an Kemenag
RI. Dari hipotesa di atas, sangat tidak tepat bila Terjemah Al-Qur‘an Kemenag menjadi
penyebab munculnya aksi brutal dan kejam (terorisme) di negeri ini. Di antara sebab-sebab
yang telah disebutkan di atas menjadi counter discourse terhadap kesimpulan semu pola
keagamaan organisasi fundamentalisme Islam politis tersebut. Sebab-sebab terjadinya
terorisme menjadi sangat penting untuk diketahui, karena dengan mengetahui sebab-sebab
yang melatarbelakanginya, maka dapat ditemukan langkah-langkah atau strategi yang tepat
dan efektif untuk memberantasnya.
6) Penyebab Lahirnya Terorisme
Fenomena aksi terorisme yang sering terjadi pada awal abad 21 ini disebabkan
banyak faktor yang berjalin kelindan. Karena itu, penting sekali dikemukakan di sini
sejumlah akar penyebab munculnya terorisme. Dalam lawatan ke Indonesia pertengahan
Februari 2016 lalu, Grand Syaikh (Imam Besar) Universitas al-Azhar Kairo Mesir, Syaikh
Ahmad Muhammad Ahmad al-Thayyeb, seperti dalam wawancara eksklusif dengan Majalah
Tempo, mengatakan bahwa gerakan Islam radikal dan sebagainya, seperti jaringan terorisme
itu, memiliki agenda terselubung, tujuannya menciptakan kekacauan di negara-negara Arab,
menciptakan suasana tidak stabil, dan mengubah peta geografis batas-batas di kawasan
tersebut. Sebut saja ISIS, mereka melakukan manipulasi terhadap metode Islam yang moderat
dan toleran. Munculnya gerakan-gerakan bersenjata ini (terorisme) disebabkan oleh banyak
hal, antara lain: keputusasaan yang dialami oleh generasi muda, pendudukan Zionis terhadap
Palestina, keterbelakangan ekonomi, dan pengangguran.
Lanjut Grand Syaikh Universitas al-Azhar Kairo Mesir tersebut, untuk menghadapi
genomena global semacam ini, yang pertama perlu kita lakukan adalah menjalin persatuan.
110
Kemudian, kedua, menjalin kerja sama dengan negara lain, negara-negara Barat, ataupun
negara-negara Islam. Kita juga perlu menyelesaikan persoalan umat Islam yang bertikai. Itu
perlu diselesaikan. Lalu sebarkan pemahaman yang benar bahwa Islam ataupun agama
samawi lainnya hadir untuk membawa rahmat dan kasih sayang, menciptakan perdamaian di
antara umat manusia. Lalu ajarkan pemahaman bahwa Islam agama toleran dan
mengharamkan segala hal tentang terorisme. Kita juga harus membentengi ruang gerak
mereka dengan mengepung konsep-konsep dasar atau teologis mereka yang menjadi pijakan
gerakan terorisme itu, khususnya yang terkait dengan pengkafiran.157
Secara umum,
munculnya tindakan terorisme disebabkan satu atau lebih dari faktor-faktor berikut di bawah
ini: Pertama, persoalan ideologi. Ideologi menurut Yunanto dalam buku ‗Gerakan Militan
Islam di Indonesia dan di Asia Tenggara‟ sebagaimana dikutip Rohmawati adalah
seperangkat kepercayaan yang menjadi dasar dari tindakan seseorang, sekelompok partai,
atau negara. Ideologi berfungsi memberikan konsepsi, arah, tujuan, serta memberikan alasan
dan pengaturan-pengaturan terhadap gerakan dan didesain dari aktivitas gerakan. Ia juga
dapat berfungsi sebagai lem yang merekatkan individu yang terlibat dalam kegiatan. Ideologi
adalah salah satu alasan yang digunakan orang atau kelompok tertentu (jaringan teroris)
untuk melakukan tindakan kekerasan atau terorisme. Kelompok yang menggunakan ideologi
sebagai dasar aksi penebaran tindakan kekerasan tercermin dari gerakan Zionis Israel dan
juga gerakan komunis yang banyak tersebar di seluruh penjuru dunia, terutama sebagai
bagian perluasan pengaruh dari negara-negara komunis seperti Uni Soviet dan RRC. Ini
terjadi terutama pada masa Perang Dingin. Alasan ideologi juga digunakan oleh beberapa
gerakan militan Islam untuk menjustifikasi tindakan yang bernuansa kekerasan, serta
dijadikan motivasi dan arah dalam aktivitas radikalnya. Oleh karena itu, sebarkan ideologi
Pancasila. Pancasila adalah dasari ideologi bangsa Indonesia yang merupakan kontrak sosial
157
Disarikan dari laporan wawancara mendalam Majalah TEMPO dengan Grand Syaikh al-Azhar
Kairo, Mesir, dimuat pada Edisi Khusus 4502/7-13 Maret 2016, h. 164-167.
111
seluruh elemen bangsa Indonesia dalam mendirikan negara. Pada saat ini, kelompok Islam
radikal berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan syariat Islam, dan menggantikan
sistem pemerintahan yang berdasarkan UUD 1945 dengan sistem pemerintahan Islam
(khilâfah islâmiyah). Penanggulangan terorisme dan pemikiran radikalisme diharapkan akan
dapat memahamkan kelompok radikal bahwa Pancasila bukanlah seperti yang mereka
pikirkan selama ini, karena secara esensial Pancasila sudah berjalan dengan ajaran Islam.158
Kedua, soal perjuangan agama. Contoh kelompok-kelompok yang melandaskan
diri pada perjuangan agama tertentu adalah kelompok-kelompok Islam radikal yang
berkembang di seluruh dunia terutama yang memiliki penduduk mayoritas beragama Islam.
Tujuan perjuangan kelompok tersebut adalah membangun negara Islam yang menerapkan
hukum atau syariat Islam secara murni dalam hukum negara. Tujuan tersebut biasanya
muncul disebabkan oleh ketidakpuasan kelompok-kelompok tersebut terhadap kebijakan-
kebijakan pemerintah yang dinilai terlalu sekuler dan banyak didekte oleh kebijakan
modernisasi negara-negara Barat, sehingga memarjinalkan kepentingan kaum Muslimin
fundamentalis. Kelompok tersebut kemudian dikategorikan sebagai kelompok Muslim
radikal karena cara-cara yang mereka gunakan dalam upaya mencapai tujuannya kerap kali
melalui aksi kekerasan yang menimbulkan teror, baik secara langsung kepada pemerintah
maupun masyarakat luas. Kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok ini adalah
Al-Qaeda, HAMAS, Jamâah Islâmiyah (JI), dan yang paling terbaru adalah ISIS di Timur
Tengah yang jaringannya meluas hingga ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Di samping
itu pemahaman agama yang benar juga perlu dikedapankan. Sebab aksi terorisme dan
kekerasan kerap kali menjadi pilihan cara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari sebuah
organisasi radikal. Mereka secara umum bercita-cita sebuah tatanan masyarakat atau negara
yang sesuai dengan keyakinan dan perjuangan mereka. Lihat saja bagaimana mereka tidak
158
Agus Surya Bakti, Merintis Jalan Mencegah Terorisme, sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Semarak
Lautan Warna Press, 2014), h. 31.
112
mau menerima sistem hukum dan konsep pemerintahan demokrasi yang sudah berlaku di
Indonesia misalnya. Hukum dan dasar negara yang ada dianggap buatan orang kafir yang
sekuler dan layak diperangi. Pengelolaan tata negara juga kebarat-baratan, karenanya dalam
pandangan mereka harus diubah menjadi sistem syariat Islam.
Ketiga, adanya faktor ketidakadilan. Munculnya aksi-aksi terorisme dalam suatu
negara itu terkait dengan kebijakan (policy), aturan, hukum pemerintah, atau pembangunan
nasional yang tidak adil dalam kondisi realistis tatanan masyarakat yang pluralistik yang
berlangsung lama dan tidak ada harapan adanya perubahan. Mereka (kelompok) yang
termarjinalkan dan sakit hati terhadap pemerintah tidak bisa menyelesaikan permasalahan
secara adil. Aksi-aksi kekerasan, menurut mereka merupakan satu-satunya cara untuk
melakukan protes terhadap pemerintah. Dalam konteks Indonesia, kita bisa melihat gerakan
separatis yang melakukan aksi-aksi kekerasan dengan tujuan melepaskan diri dari wilayah
negara berdaulat tempat mereka tinggal. Dasar perjuangan dari gerakan ini biasanya
merupakan pencampuran antara kepentingan religius, etnis, dan dipengaruhi oleh
kesenjangan ekonomi. Gerakan tersebut seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, dan
Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) di Papua. Selain itu, juga ada gerakan separatis yang
identik dengan pengajaran agama seperti kelompok Moro di Filipina Selatan atau Pattani di
Thailand. Dalam konteks global, ketidakadilan ini juga dicontohkan oleh Amerika Serikat
sebagai negara adidaya yang memiliki super power untuk mengatur dunia. Kebijakan luar
negeri AS selama ini sangat menyakiti hati umat Islam di dunia. Sebagai contoh, perlakuan
AS yang diskriminatif terhadap Afghanistan atau Irak, bertolak belakang dengan sikap
mereka terhadap perlaku Israel yang secara kasat mata berbuat semena-mena kepada rakyat
Palestina. Kekecewaan umat Islam tersebut kemudian melahirkan kelompok-kelompok
113
radikal yang berusaha melawan AS dan sekutunya atas perlakuan tidak adilnya terhadao
dunia Islam.159
Keempat, adanya kegaduhan sistem sosial-politik. Penggunaan kekerasan dan
terorisme, khususnya dalam tradisi Islam modern, itu lebih banyak dipengaruhi oleh
tantangan sistem sosial politik yang dihadapi, terutama hubungannya dengan negara.
Lemahnya proses demokratisasi di banyak negara Muslim telah menciptakan frustasi dari
sebagian masyarakat karena aspirasinya tidak ditampung oleh lembaga demokrasi yang ada.
Pasca koloniasi, banyak negara Muslim yang belum secara penuh menerapkan demokrasi
sebagai sarana mengakomodasi kepentingan masyarakat. Ketika demokrasi tersebut
diterapkan dan gerakan-gerakan Islam politik berhasil masuk ke dalam kekuasaan secara
demokratis, pemerintahan yang berkuasa cenderung untuk tidak mengakuinya baik didukung
maupun tidak oleh Barat. Di sisi lain, sebagian gerakan-gerakan Islam politik ini sering
melihat bahwa kuatnya posisi negara tersebut karena dukungan pemerintahan Barat. Di sini
Barat dipersepsikan sebagai pihak yang berperan untuk tidak menerima gerakan Islam, baik
melalui cara demokratis maupun nondemokratis. Ketika cara-cara demokratis konstitusional
dihambat, sebagian dari gerakan ini menempuh cara-cara kekerasan untuk menperjuangkan
tujuan politiknya.
Dalam rangka mencapai tujuan politiknya, maksud-maksud suatu kelompok
melakukan tindakan kekerasan dan terorisme antara lain sebagai berikut:
1. Memperoleh keuntungan melalui konsesi-konsesi tertentu, seperti uang tebusan,
pembebasan tahanan politik, penyebarluasan pesan dan sebagainya; 2. Memperoleh publisitas
(publish) luas. Teroris ingin menarik perhatian masyarakat luas kepada aspirasi perjuangan
dan pengakuan terhadap eksistensinya sebagai pihak yang bersengketa. Karena biasanya
159
Alif Arrosyid, Respons Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Aksi Terorisme di Indonesia tahun 2000-
2005 (Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), t.h. Tesis di SPs UIN Jakarta.
114
kelompok teroris itu kecil, selain tidak memiliki penopang dana yang kuat maka untuk
maksud itu, aksi terorisme yang dilakukan haruslah cukup dramatik dan menggemparkan
agar di blow up oleh media massa.; 3. Menimbulkan kekacauan luas, demoralisasi, dan
disfungsi sistem sosial. Ini adalah maksud tipikal dari kaum revolusioner, nihilis, dan anarkis,
akan tetapi strategi ini sering gagal. Masyarakat yang sebelumnya mungkin bersimpati
dengan tujuan perjuangan kaum disiden (orang yang tidak mau menurut pemerintahnya
karena dianggap pemerintah itu salah (keliru), dan thâgût (pembangkang) itu akan ikut
membantu penguasa memberantas terorisme yang membabi buta.
4. Memancing retalisasi dan atau kontra teror dari pemerintah sedemikian rupa
sehingga menimbulkan situasi yang akan menguntungkan para teroris yang pada akhirnya
bahkan mungkin dapat menggulingkan pemerintah; 5. Memaksakan kepatuhan dan ketaatan.
Ini adalah maksud yang tipikal dari suatu pemerintah yang totaliter/fasis/diktator/monolitik.
Teror yang dilakukan oleh pemerintah (state terrorism) terhadap rakyatnya sendiri bertujuan
untuk menancapkan kekuasaan mutlak pada rakyat. Cara ini juga dipakai oleh organisasi
teroris untuk maksud-maksud yang sama di kalangan para anggotanya; 6. Menghukum yang
bersalah, atau dipandang sebagai simbol dari sesuatu yang jahat/salah, seperti orang-orang
yang tidak setuju dengan tujuan perjuangan mereka, bekerja sama dengan penguasa bergaya
hidup yang bertentangan dengan paham mereka dan sebagainya.160
Kelima, lemahnya sistem negara, dalam arti lemah sisi pertahanan dan keamanan
negara, terlebih lagi ketahanan pemikiran dan pemahaman keagamaan . Serangan teroris
bersenjata yang seringkali mengincer target lunak (soft targets) sangat membahayakan
keselamatan seluruh warga negara. Serangan teroris seringkali tidak spesifik diarahkan pada
kelompok tertentu. Serangan tersebut dilakukan pada target tanpa membedakan antara
160
Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2002: Respons Cendekiawan Muslim Indonesia
(Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 47-51. Tesis di SPs UIN Jakarta.
115
kombatan dan non-kombatan. Oleh karena itu, seringkali jatuh korban dari masyarakat yang
tidak memiliki keterlibatan dengan kelompok-kelompok yang pada dasarnya menjadi sasaran
teroris itu sendiri.161
Negara yang kuat adalah negara yang mampu mengayomi dan
mengontrol rakyatnya, memberikan hak-hak dan mampu memaksa mereka untuk
menjalankan kewajiban sebagai warga negara. Sebaliknya, negara yang lemah sulit sekali
mengontrol dan menjalankan fungsi-fungsi negara dengan semestinya. Situasi seperti ini
kemudian banyak dimanfaatkan oleh kelompok atau organisasi tertentu untuk merapatkan
barisan, memoblisasi anggota, dan melakukan gerakan-gerakan tertentu dengan leluasa tanpa
khawatir akan dibasmi oleh negara. Apalagi jika kepentingan politik elit tertentu dari
penguasa negatif ikut bermain mata dengan mereka. Wahasil mereka akan semakin leluasa
melakukan berbagai rencananya.
Sebagai contoh, terlepas dari berbagai kritikan dan resistensinya, masa rezim
Soeharto sangat kuat mengontrol berbagai elemen masyarakat. Karenanya, pada masa itu
organisasi-organisasi Islam garis keras tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan
diri. Karenanya, hampir tidak pernah ada pada masa itu peledakan bom, sweeping massa,
mobilisasi jihâd, dan sebagainya. Sementara pasca rezim Soeharto, seiring isu demokratisasi
yang semakin menguat, tanpa disadari negara begitu lemah untuk mengontrol mereka.
Berbagai organisasi Islam garis keras tiba-tiba bermunculan. Mereka bahkan secara terang-
terangan mempertontonkan kekuatannya dengan dalih agama. Tak jarang mereka mengambil
alih tugas-tugas kepolisian maupun TNI dalam hal yang berkaitan dengan ketertiban sipil.
Parahnya, kekuatan mereka ini kemudian dimanfaatkan oleh elit penguasa tertentu untuk
161
Agus Surya Bakti, Merintis Jalan Mencegah Terorisme: Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: Semarak
Lautan Warna Press, 2014), h. 33-34.
116
kepentingan politiknya. Sehingga yang terjadi kemudian simbiosis mutualisme antara elite
dengan organisasi Islam garis keras tersebut.162
7) Negara Islam: Doktrin Paling Strategis saat ini
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Masa kenabian itu ada di tengah-tengah
kalian, keberadaannya atas kehendak Allah. Allah mengangkat-Nya apabila Ia menghendaki
untuk mengangkat-Nya. Kemudian masa khalīfah yang mengikuti jejak kenabian (khilâfah al-
minhâj al-nubuwwah), adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia
menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa kerajaan yang menyombong, otoriter
(mulkan jabariyyan), adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia
menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa khilâfah yang mengikuti jejak kenabian
(khilâfah „ala minhâj al-nubuwwah). Kemudian beliau (Nabi) diam.” (HR. Ahmad dan
Baihaqi dari Nu‘man bin Basyir dari Hudzaifah bin Yaman). Sabda Nabi Muhammad SAW
di atas adalah sebuah berita ‗langit‘ yang diterima beliau untuk mengabarkan atas datangnya
suatu sistem kepemimpinan dalam lingkungan umat Islam. Era kenabian, semua sepakat
yakni sejak pengangkatan beliau sebagai Nabi, hingga wafatnya Rasulullah SAW (2 Rabi‘ul
Awwal 11 H/8 Juni 632 M). Tentu saja masa setelah beliau wafat, sebagaimana dinyatakan
dalam hadis di atas, adalah masa khilâfah yang mengikuti jejak kenabian. Pada masa ini ada
empat orang khalīfah yaitu Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq, Sayyidina Umar bin Khattab,
Sayyidina Usman bin Affan, dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Kepemimpinan empat orang
khalifah ini disebut juga khulafâ al-rasyidûn, yang berarti khalifah-khalifah yang mendapat
petunjuk.
162
Arif Arrosyid, Respons Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Aksi Terorisme di Indonesia tahun 2000-
2005 (Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), t.h.
117
Setelah masa khulafâ al-râsyidīn tentu masa-masa kerajaan yang beliau sebut
mulkan adhan dan dilanjutkan masa kerajaan mulkan jabariyyan. Dalam sejarah, kita
mengetahui bahwa setelah khulafâ al-rasyidīn adalah khilafah bani Umayyah selama 90
tahun (661-750 M) di Damasykus. Dilanjutkan dari tahun 756-1031 di Kordoba, Spanyol.
Setelah bani Umayyah runtuh digantikan oleh Daulah Abbasiyyah, berdiri selama 750-1258
M, dan pusat pemerintahannya berada di Baghdad.163
Hizbut Tahrir (selain MMI yang
dikelompokkan sebagai fundamentalisme Islam politis) mengadopsi pendapat bahwa hanya
dengan Khilafah-lah syariat Islam dapat diterapkan secara menyeluruh. Khilafah
didefinisikan sebagai kepemimpinan umum dalam Islam di dunia untuk menegakkan hukum
syariat Islam, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Berdasarkan definisi tersebut,
terdapat tiga ciri utama sistem khilafah. Pertama, khilafah merupakan kepemimpinan umum
bagi kaum muslimin seluruh dunia. Negara global tersebut dipimpin oleh satu orang khalifah
untuk seluruh umat Islam. Dalam pandangan HT, berdasarkan hadis nabi, haram hukumnya
umat Islam dipimpin oleh lebih dari satu pemimpin. Umat Islam hanya diperbolehkan
memiliki satu orang pemimpin yang mengatur urusan-urusan mereka di dunia. Dengan
demikian, khilafah yang ingin di bangun adalah satu bentuk pemerintahan global yang
bertolak belakang dengan bentuk negara bangsa. Berdasarkan argumentasi tersebut, HT
berpandangan bahwa paham nasionalisme yang berakar pada konsep negara bangas
merupakan paham yang bertentangan dengan Islam dan haram untuk diyakini. Dengan kata
lain, paham yang dianut oleh HT adalah paham anti nasionalisme dan menolak konsep negara
bangsa Dalam pandangannya, nasionalisme merupakan salah satu faktor eksternal yang
berperan dalam menghancur-kan institusi khilafah tahun 1924.164
163
Ahmad Syafi‘i Mufid, Berfikir Jihadis Divonis Teroris, Perjalanan Hidup Aktivis Muslim Indonesia
dalam buku Profil Keagamaan Terpidana Terorisme di Indonesia (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2015), h. xv-xvi. 164
Arif Gunawan Santoso, Pergeseran Strategi Fundamentalisme Islam: Studi HTI sebagai Gerakan
Sosial (Jakarta: A-Empat, 2015), h. 90-91.
118
Negara Islam (daulah islâmiyah) atau (sistem kepemerintahan Islam/khilâfah
islâmiyah) dan jihâd hanyalah dua doktrin di antara senarai doktrin lainnya yang dipegang
oleh organisasi garis keras dan disebarkan kepada pihak di luar, baik secara individual
maupun kelembagaan. Selain kedua doktrin tersebut masih ada doktrin lainnya. Kajian yang
dilakukan Solahuddin seperti dikutip Syamsul Arifin terhadap salafī jihadisme ditemukan
empat doktrin kunci; yaitu: 1) Qitâl fī Sabīlillah, perang di jalan Allah SWT. 2) jihâd fardhu
„ain, jihâd merupakan kewajiban individual bagi setiap muslim untuk merebut kembali
wilayah Islam yang dikuasai oleh kaum kafir, baik kâfir ajnabī (kafir asing) maupun kâfir
mahallī (kafir tempatan) seperti para penguasa murtad yang memerintah negeri-negeri Islam,
3) irhâbiyah (terorisme). Terorisme bahkan sasarannya kaum sipil diperbolehkan sebagai
bentuk aksi qishâsh atau balas dendam, 4) tauhīd hâkimiyyah. Menurut doktrin ini,
kedaulatan merupakan milik Allah mutlak dan karenanya hukum yang dijalankannya
hanyalah hukum yang berasal dari Allah. Konsep ini berasal dari Sayyid Qutub dan Abul
A‘la al-Maududi, dan keduanya menjadikan konsep hakimiyyah sebagai bagian dari tauhid.
Konsep inilah, tauhīd al-hâkimiyyah, yang dikritik oleh kelompok salafi. Kelompok salafi
menuduh bahwa konsep ini dijadikan legitimasi teologis untuk tujuan-tujuan politiknya.165
Perwujudan doktrin ini adalah dengan mendirikan negara Islam (Islamic state) atau daulah
islâmiyah dalam nama syariat Islam untuk diterapkan. Bagi pihak yang menolak doktrin ini,
dinyatakan kâfir kendati memeluk agama Islam.166
165
Din Wahid, Pentas Jihâd Gerakan Salafi Radikal Indonesia, Studia Islamika PPIM UIN Jakarta,
Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 14, No. 2, 2007, h, 355. 166
Menurut Azyumardi Azra, dalam konteks di Indonesia, masih ada kalangan kecil Muslim kita yang
memandang pentingnya kesatuan antara Islam dan Negara (din wa daulah). Bahkan salah satu masalah ideologis
dan sekaligus keamanan menyangkut Islam politik Indonesia dalam masa kontemporer, termasuk era reformasi
adalah masih bertahannya sel-sel sisa gerakan Negara Islam Indonesia, biasa disingkat NII, yang sering juga
disebut sebagai Darul Islam (DI, ranah Islam, atau Negara Islam ideal). NII diproklamasikan oleh Sekarmaji
Marijan Kartosuwiryo (1905-1962) pada Agustus 1949 di Cimambang, Jawa Barat. Azyumardi Azra,
Kartosuwiryo dan NII: Kajian Ulang, dalam Studia Islamika PPIM UIN Jakarta, Indonesian Journal for Islamic
Studies, Volume 21, No. 1, 2014, h, 177-182.
119
Kajian Petrus Reihard Golose menemukan doktrin yang secara substantif memiliki
kesamaan dengan doktrin yang dikemukakan Solahuddin, yaitu 1) daulah islâmiyah. Tujuan
yang ingin dicapai oleh organisasi garis keras adalah mendirikan negara Islam yang
melampaui batas-batas negara. Dalam imajinasi organisasi garis keras, negara Islam kelak
dipimpin oleh seorang khalīfah (dengan sistem khilâfah islâmiyah, bukan pancasila misalnya
kalau konteks Indonesia). 2) hijrah. Doktrin ini menuntut setiap muslim meninggalkan
kenikmatan duniawi untuk berjuang di jalan Allah. Untuk melakukan hijrah, setiap muslim
perlu berpegang teguh terhadap nilai-nilai sebagai berikut: al-wala‟ wal bara‟ (loyal dan
memberi dukungan kepada kelompok dan tidak bersekutu dengan orang-orang yang dianggap
kafir; takfir (menyatakan pihak lain yang tidak sepaham dengannya). Jamâ‟ah (meyakini
bahwa umat Islam merupakan satu kesatuan); bai‟at (bersumpah setia kepada pemimpin dan
organisasi); 3) makna jihâd. Doktrin ini menuntut perjuangan secara nyata (fisik dan materi)
melawan musuh-musuh Allah. Untuk melakukan jihâd ini, pelakunya bahkan didoktrin
melakukan aksi bunuh diri sebagai salah satu cara mencapai kesyahidan (istisyhâd).167
C. Teks Keagamaan dan Pola Keislaman
Perjalanan sejarah di satu sisi telah melahirkan nilai-nilai dan capaian
kumulatifnya, dan teks keagamaan di sisi lain, tetaplah sama seperti sejak masa formatifnya.
Kenyataan bahwa teks (nash) bersifat terbatas, sedangkan realitas (wâqi‟‟i) terus
berkembang, menuntut para sarjana Muslim, khususnya di bidang tafsir Al-Qur‘an untuk
melakukan penafsiran (interpretation) yang cocok dengan denyut nadi perkembangan zaman.
Berbeda dengan para mufassir sebelumnya yang lebih banyak bergulat pada tataran bahasa
167
Syamsul Arifin, Multikulturalisme dalam Skema Deradikalisasi Paham dan Gerakan Keagamaan
Radikal di Indonesia, Proceeding Annual International Conference (AICIS), buku ke-2, Subtema: Islamic
Jurisprudence in Resolving Contemporary Problems (STAIN Samarinda Balikpapan: Direktorat Pendidikan
Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2014) h. 175-176.
120
dan perdebatan teologis, penekanan para sarjana Muslim modern dalam mengkaji Al-Qur‘an
adalah pada pentingnya melihat teks Al-Qur‘an dalam hubungannya dengan konteks.168
Agama, seperti dinyatakan banyak orang, dapat dilihat sebagai instrumen ilahiah
untuk memahami dunia. Islam, dibandingkan dengan agama-agama lain, sebenarnya
merupakan agama yang paling mudah untuk menerima premis semacam ini. Alasan
utamanya terletak pada ciri Islam yang paling menonjol, yaitu sifatnya yang ―hadir di mana-
mana‖ (omnipresence). Ini sebuah pandangan yang mengakui bahwa ―di mana-mana‖,
kehadiran Islam selalu memberikan ―panduan moral yang benar bagi tindakan manusia.‖
Pandangan ini telah mendorong sejumlah pemeluknya untuk percaya bahwa Islam mencakup
cara hidup yang total. Penubuhannya dinyatakan dalam syariah (hukum Islam). Bahkan
sebagian kalangan Islam melangkah lebih jauh dari itu: mereka menekankan bahwa ―Islam
adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah
kehidupan.‖ Tak diragukan lagi, mereka percaya akan sifat Islam yang sempurna dan
menyeluruh sehingga, menurut mereka, Islam meliputi tiga ―D‖ yang terkenal itu; yaitu din,
agama; dunya, dunia; dan daulah, negara. Dalam konteksnya yang sekarang, tidaklah terlalu
mengejutkan, meskipun kadang-kadang mengkhawatirkan, bahwa dunia Islam kontemporer
menyaksikan sebagian umat Islam yang ingin mendasarkan seluruh kerangka kehidupan
sosial, ekonomi, dan politik pada ajaran Islam secara eksklusif, tanpa menyadari
keterbatasan-keterbatasan dan kendala-kendala yang bakal muncul dalam praktiknya.
Ekspresi-ekspresi dapat ditemukan dalam istilah-istilah simbolik yang dewasa ini populer
seperti revivalisme Islam, kebangkitan Islam, revolusi Islam, atau fundamentalisme Islam.169
168
Cucu Surahman, Tafsir Kontekstual Jaringan Islam Liberal (JIL): Telaah atas Konsep Syariat Islam
dan Hudûd, dalam Journal of Qur‟an and Hadith Studies - Vol. 2, No. 1, 2013, h. 63. 169
Gambaran tentang sifat-sifat gerakan Islam ini dalam pandangan Deliar Noer bisa membingungkan
karena dikesankan ajaran Islam itu pun bisa bermacam-macam. Selain tiga nama gerakan itu, ada lagi penamaan
gerakan Islam baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri. Misalnya, Islam liberal, Islam ekstrim, Islam
skriptualis, Islam politik (yang sering dipertentangkan, sekurang-kurangnya dibedakan dari Islam kultural),
Islam inklusif, Islam substansialistik, Islam militan, Islam radikal, Islam formalistik, dan banyak istilah lain.
Acap kali pula, penamaan yang diletakkan ini lebih memandang sudut tertentu dari gerakan yang dimaksud,
sedangkan inti atau isinya bisa sama, sekurang-kurangnya dalam pemahaman. Penamaan itu pula yang lebih
121
Pandangan holistik terhadap Islam sebagaimana diungkapkan di atas mempunyai
beberapa implikasi. Salah satu di antaranya, pandangan itu telah mendorong lahirnya sebuah
kecenderungan untuk memahami Islam dalam pengertiannya yang ―literal‖, yang hanya
menekankan dimensi ―luar‖-nya. Dan kecenderungan seperti ini telah dikembangkan
sedemikian jauh sehingga menyebabkan terabaikannya dimensi ―kontekstual‖ dan ―dalam‖
dari prinsip-prinsip Islam. Karena itu, apa yang mungkin tersirat di balik ―penampilan-
penampilan tekstual‖-nya, hampir-hampir terabaikan, jika bukan terlupakan, maknanya.
Dalam contohnya yang ekstrem, kecenderungan seperti ini telah menghalangi sementara
kaum muslim untuk dapat secara jernih memahami pesan-pesan Al-Qur‘an sebagai instrumen
ilahiah yang memberikan panduan nilai-nilai moral dan etis yang benar bagi kehidupan
manusia. Mengakui syariah sebagai suatu sistem kehidupan yang menyeluruh merupakan
suatu hal, sementara memahaminya secara benar adalah hal yang lain lagi. Ada sejumlah
faktor yang mempengaruhi dan membentuk hasil pemahaman umat Islam terhadap syariah.
Situasi sosiologis, kultural, dan intelektual, atau apa yang disebut Mohammed Arkoun seperti
kutipan Bahtiar Effendi, sebagai ―estetika penerimaan‖ (aesthetic of reception), sangat
berpengaruh dalam menentukan bentuk dan isi pemahaman. Dalam kritik-kritiknya, Arkoun
mengatakan bahwa selama ini perhatian begitu besar dicurahkan oleh para sejarawan. Karena
begitu, orang-orang Islam pada umumnya mengabaikan unsur-unsur aesthetic reception,
yakni ―bagaimana sebuah diskursus–terucap maupun tertulis–diterima oleh pendengar atau
pembaca. Soal ini, merujuk pada kondisi persepsi masing-masing budaya, atau lebih
tepatnya, masing-masing tingkatan budaya yang berhubungan dengan masing-masing
kelompok sosial pada setiap fase perkembangan sejarah. Kecenderungan intelektual yang
berbeda—apakah motifnya untuk mengetahui makna doktrin yang sebenarnya, yang secara
dikaitkan dengan suara dari sesuatu kelompok-apakah keras atau lunak, apakah dengan nada memerintah atau
memaksa atau dengan nada untuk menumbuhkan kepahaman. Akibatnya, seseorang bisa juga menjadi bingung
dibuatnya. Yang jelas, umat pun termasuk Indonesia, kurang menyatu, memperlihatkan lebih banyak keasingan
antara sesama. Lihat Deliar Noer, kata pengantar dalam buku Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan
Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Jakarta: Teraju Mizan, 2002), h. xiii-xiv.
122
literal terekspresikan dalam teks, atau untuk mengetahui prinsip-prinsip umum dari suatu
doktrin, di luar ekspresi literer dan tekstualnya—dalam upaya untuk memahami syariah dapat
berujung pada pemahaman yang berbeda mengenai suatu doktrin. Karenanya, kendatipun
setiap orang Islam menerima prinsip-prinsip umum yang tertuang dalam syariah, pemahaman
mereka tentang ajaran Islam diwarnai perbedaan-perbedaan.170
Benny Hoedoro Hoed mengatakan bahwa teks keagamaan adalah teks yang
subtansinya didominasi oleh tema dan topik-topik yang bersumber pada satu agama atau
lebih. Kitab suci adalah teks keagamaan yang bersumber pada satu agama. Pembicaraan kita
akan difokuskan pada teks yang bersumber pada satu agama, khususnya Al-Qur‘an. Tentu
saja ada teks keagamaan yang bukan kitab suci, seperti karya teologis dan karya sastra
keagamaan. Dunia teks keagamaan adalah teologi dan budaya agama tertentu, seperti Islam
dan Kristiani. Oleh karena itu, untuk memahami teks keagamaan wajib menguasai
teologinya. Kalau tidak, bisa saja terjadi kesalahan dalam menafsirkan teks atau bagian teks
yang bersangkutan dan menafsirkan calon pembacanya. Dalam penerjemahan teks
keagamaan, pemahaman konsep-konsep teologi menentukan bagaimana memahami teks asli
dan bagaimana menetapkan terjemahannya. Di samping itu, kita juga harus memahami alat
kebahasaan (retorika) yang digunakan dalam komunikasi tertulis ataupun lisan. Selain itu,
masalah pokok yang kita hadapi dalam penerjemahan kitab suci kelihatannya ada pada
pembacanya, yakni yang berkaitan dengan keberterimaan dan penafsiran. Dalam keadaan
demikian, penjelasan dan penafsiran oleh orang-orang yang mempunyai kompetensi dan
otoritas dalam agama yang bersangkutan menjadi ―penerjemah‖ dan rujukan bagi umat yang
hanya dapat membaca dalam bahasa terjemahannya, dalam hal ini Al-Qur‘an terjemahan dari
lembaga atau orang-orang yang dianggap mempunyai otoritas tersebut.
170
Bahtiar Effendi, Agama dan Politik: Mencari Keterkaitan yang Memungkinkan antara Doktrin dan
Kenyataan Empirik, dalam kata pengantar buku M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Ciputat:
Logos Wacana Ilmu, 2001), h. ix- xiii.
123
Kemudian, hal yang menarik untuk dikaji lebih mendalam adalah metafora yang
digunakan dalam Al-Qur‘an dan penafsirannya yang terwujud dalam terjemahan bahasa
Indonesianya. Metafora (majâz) lainnya yang menarik adalah penggambaran Allah yang
seolah-olah memiliki tangan (QS. Ali Imrân: 73); wajah (QS. al-Qashâsh: 88); dan mata (QS.
Hûd: 37). Padahal, dalam teologi Islam, Allah itu tidak berbentuk sama sekali. Ternyata,
dalam terjemahannya hanya kata tangan yang muncul dalam terjemahan Indonesianya,
sedangkan yang lain muncul dengan tafsirannya yaitu ―Allah‖ (untuk wajah) dan
―pengawasan‖ (untuk mata). Di sini penerjemah memperhatikan segi keberterimaan oleh
umat pembaca yang sudah diajari agar memandang Allah sebagai ―zat‖ yang tidak berbentuk.
Dalam hal ini, wajah, tangan, dan mata dipahami dan ditafsirkan sebagai metafora.
Sementara itu, dalam tulisan keagamaan Islam dan sastra, tidak jarang kita menemukan frasa
wajah Tuhan, tangan Tuhan, dan mata Tuhan, tetapi umumnya dipahami sebagai metafora.
Lalu, dalam penerjemahan teks keagamaan, ―jarak budaya‖ dan ―jarak waktu‖ harus
mendapat perhatian yang cukup agar penerjemahan dapat berhasil baik.171
Sebagaimana halnya Al-Qur‘an, kitab-kitab agama lain juga memiliki dimensi
kemanusiaan. Tanpa keterlibatan dan interaksi manusia dengan teks-teks keagamaan tersebut,
pesan-pesannya, tidak akan dimengerti, dicerna, dihayati apalagi diamalkan. Namun, karena
tingkat intelektualitas dan kedalaman spiritualitas manusia berbeda, dengan sendirinya kadar
pemahaman dari hasil interaksi tersebut berbeda pula. Salah satu yang menimbulkan
pemahaman beragam adalah sulitnya dipastikan apakah suatu teks harus dipahami secara
literal atau simbolis. Sebab, pada dasarnya, teks-teks keagamaan bagaikan samudera luas dari
kata-kata yang terkadang diuntai dalam kalimat-kalimat perlambang, dan tidak jarang
diungkapkan dalam kata-kata yang mengandung metafor atau makna bersayap. Jelasnya,
171
Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 2006), h. 33-38.
124
suatu teks hanya dapat dimengerti kandungannya secara pasti oleh wujud yang
menciptakannya.
Sebagai akibat dari perbedaan pemahaman dan sudut pandang atas teks-teks
tersebut, konflik intern dalam suatu kelompok keagamaan sering tak terelakkan. Dalam
lingkungan Kristen, misalnya, kita dapati gereja-gereja Ortodoks, Roman Katolik, Anglikan,
Protestan, berikut sekian banyak afiliasinya. Dalam Islam, kita dapati dua kelompok besar;
Sunnah, Syiah dengan aneka ragam cabangnya. Demikian pula, dalam lingkungan agama
Budha kita dapati Theravadam Mahayana dan Hinayana, dan di Hindu ada Vaishnavisme,
Shaivisme, dan Saktisme sebagai sekte-sekte utamanya. Sehubungan dengan luasnya
spektrum pemahaman teks-teks keagamaan kita jumpai dalam literatur ilmu Al-Qur‘an,
misalnya tema-tema tafsīr dan ta‟wīl. Tafsīr, menurut sementara ahli, menunjuk kepada
penjelasan aspek lahiriyah (eksoteris) pesan-pesan teks, sedang ta‟wīl menunjuk kepada
pengertian aspek batiniah (esoteris) teks. Di samping itu, Al-Qur‘an sendiri membagi teks-
teks kepada dua kategori: muhkam (tidak mengandung arti beragam) dan mutasyâbih (yang
dapat memberi sekian banyak arti).
Tingkat daya persepsi dan pengertian penerima teks membuat perbedaan
pemahaman teks lebih runyam lagi. Menurut Ibnu Arabi, sufi besar Islam (1165-1240), setiap
teks Al-Qur‘an mengandung tujuh tingkat pengertian yang berbeda akibat perbedaan
kapasitas daya tangkap penerima teks tersebut. Daya tangkap Jibril yang menerima Al-
Qur‘an dari Allah berbeda dengan daya tangkap Nabi Muhammad yang menerimanya dari
Jibril. Lalu, daya resap sahabat Nabi yang menerimanya dari Nabi, berbeda pula. Begitu
seterusnya, kapasitas dan kadar pemahaman para ahli, manusia biasa, juga bertingkat dan
berbeda. Karena itu, hampir semua teks suci memiliki khazanah yang kaya dengan aneka
ragam corak dan penekanan penafsiran. Penafsiran itu antara lain mencakup penekanan aspek
sastra bahasa, filsafat, teologi, tasawuf, sosial-budaya, dan lain sebagainya. Karena itu,
125
keragaman pemahaman terhadap teks keagamaan dalam suatu kelompok keagamaan adalah
sangat wajar, dan dapat dimengerti. Apalagi jika perbedaan-perbedaan itu tidak menyentuh
prinsip-prinsip dasar ajaran agama yang bersangkutan.172
Oleh sebab itu, gagasan tentang pentingnya melakukan deradikalisasi penafsiran Al-
Qur‘an terkait ayat-ayat yang terkesan ―radikal‖ menjadi sangat penting agar seseorang tidak
terdorong melakukan tindak kekerasan atas nama agama. Sebab bagaimanapun produk tafsir
(begitu juga terjemahan) ikut berperan dalam memberikan warna pemahaman Islam kepada
masyarakat. Jika mereka lebih sering dikenalkan model pemahaman Islam yang radikal dan
tidak toleran, niscaya mereka akan tumbuh menjadi muslim/muslimah yang radikal dan tidak
toleran. Sebaliknya, jika kita lebih banyak memperkenalkan nilai-nilai Islam yang moderat
dan toleran berbasis pada nilai Al-Qur‘an yang rahmatan lil „âlamin (rahmat bagi semesta
alam), diharapkan kelak mereka menjadi muslim atau muslimah yang toleran di tengah
masyarakat Indonesia yang multikultur173
dan tetap komitmen (committed) terhadap ajaran
Islam. Dengan begitu, maka visi dan misi Islam sebagai agama rahmatan lil „âlamin
(peaceful Islam) dapat teraktualisasi secara nyata di tengah-tengah kehidupan masyarakat
Indonesia yang multikultur dan multi agama. Pendek kata, meneguhkan kembali wajah Islam
172
Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, 1998), h.
61-62. 173
Indonesia menjadi teladan multikulturalisme karena terbentuk dengan kekayaan etnis, agama, dan
tradisi. Bangsa Indonesia unik dari segi kebangsaan dan kesatuan sehingga bisa menjadi teladan dalam melawan
narasi intoleransi. Seyogyanya dikembangkan cita-cita nasionalisme dalam semangat keagamaan yang damai.
Negara-negara Eropa terbentuk dari kebudayaan monolitik. Multikulturalisme merupakan sesuatu yang baru
bagi mereka sehingga ada kedatangan orang-orang yang berbeda suku bangsa, rasa tau agama ke wilayah
mereka, kata Robert Hefner, seorang Antropolog dari Universitas Boston Amerika Serikat dalam ceramah
bertema “Gagasan dan Kelompok Intoleran di Indonesia Beserta Tantangan ke Depan” yang digelar Grup
Mizan di Jakarta, Rabu 13 Januari 2016. Hefner mengungkapkan, sekarang saatnya bagi Indonesia tampil dan
menunjukkan kepada dunia bahwa nasionalisme bisa dicapai tanpa bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan.
Keragaman yang ada justru memperkuat semangat untuk bersatu dan membentuk identitas kebangsaan
Indonesia. ―Ini yang membedakan Indonesia dari Yugoslovia dan Uni Soviet. Jika dilihat berdasarkan deskripsi
Tariq Ramadhan dalam bukunya Radical Reform bahwa Indonesia adalah satu-satunya Negara dengan
penduduk Muslim terbesar di dunia yang sukses menggabungkan duniawi yang empiris dengan cita-cita yang
normatif. Tafsir keagamaan bisa dibahas dan disandingkan dengan metode ilmiah. Indonesia bisa meninjau
kembali tafsir-tafsir keagamaan yang moderat (tawassuth) untuk diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari.
Negeri ini juga dinilai berhasil dengan organisasi masyarakat keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah, yang memperjuangkan cita-cita keagamaan melalui pendidikan dan layanan kesehatan bagi
publik. Suasana persahabatan dan bernegara memiliki unsur multikulturalisme yang tinggi. Dimuat pada Harian
Umum KOMPAS, Kamis 14 Januari 2016.
126
yang teduh, santun, toleran, dan damai harus menjadi komitmen bersama, tanpa kehilangan
wibawa dan harga diri di mata umat yang lain.174
Berkaitan dengan sub tema pembahasan yaitu teks keagamaan dan pola
keislaman, maka jelas terdapat relasi/hubungan antara bahasa yang dalam hal ini terfokuskan
pada teks keagamaan (kitab suci) dan pola keagamaan seseorang. Suatu teks keagamaan
dapat mempengaruhi pola keagamaan/cara pandang (mindset) seseorang atau suatu kelompok
sosial masyarakat. Pemahaman setiap individu terhadap teks kitab suci Al-Qur‘an tentu
berbeda-beda dan tentunya akan membuahkan/memperlihatkan pola keagamaannya dalam
kehidupannya sehari-hari. Dan ini merupakan bagian dari ekspresi bahasa non verbal melalui
tindakan nyata. Ada yang secara literal memahaminya dan ada juga yang kontekstual. Selain
itu, ada bahasa verbal yang dikemukakan melalui komunikasi tindak tutur. Seperti nanti akan
dijelaskan secara terperinci dalam bab selanjutnya, bahwa kualitas/kemampuan komunikasi
mencerminkan pola pikir seseorang. Bahasa yang runut, sistematis, dan logis, menunjukkan
sang pembicaranya/penuturnya memiliki cara pandang yang baik pula. Begitu juga
sebaliknya, bila bahasa yang diucapkan keras, kasar, dan cenderung radikal/ekstrim maka
hasilnya pun akan terlihat dalam tindakannya. Teroris yang melakukan aksi pengeboman
tidaklah lain menegaskan bahwa pemahaman dia yang sempit dan tekstualis atas teks-teks
keagamaan, khususnya yang bercorak dorongan jihâd.
D. Teori Semantik Mentalisme Noam Chomsky (Kajian Kebahasaan)
1. Pengantar Semantik
Dalam berbagai kepustakaan linguistik175
disebutkan bidang studi linguistik yang
objek penelitiannya makna bahasa juga merupakan satu tataran linguistik. Kalau istilah ini
174
Abdul Mustaqim, Deradikalisasi Penafsiran Al-Qur‟an Dalam Konteks Keindonesiaan yang
Multikultur, Suhuf, Jurnal Kajian Al-Qur‘an, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an, Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, Vol. 6, No. 2, 2013, h. 150.
127
tetap dipakai tentu harus diingat bahwa status tataran semantik dengan tataran fonologi,
morfologi, dan sintaksis tidaklah sama, sebab secara hierarkial satuan bahasa yang disebut
wacana dibangun oleh kalimat; satuan kalimat dibangun oleh klausa; satuan klausa dibangun
oleh frase; satuan frase dibangun oleh kata; satuan kata dibangun oleh morfem; satuan
morfem dibangun oleh fonem; dan akhirnya satuan fonem dibangun oleh fon atau bunyi.
Dari bangun-membangun kebahasaan itu, kita bisa bertanya, di manakah letaknya
semantik? Setiap bahasa memiliki ciri-ciri yang khas dalam bidang semantik, sesuai dengan
pengalaman-pengalaman ekstra linguistiknya, dan ciri-ciri khas yang dipengaruhi oleh
struktur bahasa dan lingkungannya masing-masing.176
Semantik dengan objeknya yakni
makna, berada di seluruh atau di semua tataran fonologi, morfologi, dan sintaksis. Oleh
karena itu, ―penamaan‖ tataran untuk semantik agak kurang tepat, sebab dia bukan satu
tataran dalam arti unsur pembangun satuan lain yang lebih besar, melainkan merupakan unsur
yang berada pada semua tataran itu, meskipun sifat kehadirannya pada tiap tataran itu tidak
sama. Oleh karena itu pula, barangkali, para linguis strukturalis tidak begitu peduli dengan
masalah makna ini, karena dianggap tidak termasuk atau menjadi tataran yang sederajat
dengan tataran yang bangun-membangun itu. Hockett (1954), salah seorang tokoh strukturalis
175
Kata ―linguistik‖ berasal dari kata Latin, lingua, yang berarti bahasa. Kata ini masih dijumpai dalam
banyak bahasa yang berasal dari bahasa Latin, misalnya Perancis (langue, langage, parole), kalau Italia
(lingua), atau Spanyol (lengua), dan dulu bahasa Inggris juga pernah meminjam dari bahasa Perancis kata yang
sekarang berbunyi ―language‖. Sesuai dengan asal ―Latin/Roman‖ itu, ilmu bahasa dikenal dalam bahasa
Inggris dengan linguistics dan linguistique yang dipungut dari bahasa Perancis. Istilah linguistics dalam bahasa
Inggris berkaitan dengan kata language itu, seperti dalam bahasa Perancis istilah linguistique berkaitan dengan
langage. Linguistik dalam bahasa Indonesia adalah nama bidang ilmu, dan kata sifatnya adalah ―linguistis‖ atau
―linguistik‖, merupakan ilmu yang mempelajari bahasa secara ilmiah, menjadikan bahasa sebagai objek dan
tujuan kajian ilmiah sebagaimana adanya (deskriptif) sehingga dapat diungkap hakikat bahasa itu. Lihat J.W.M.
Verhaar, Asas-Asas Linguistik Umum (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), h. 3. Linguistik dalam
bahasa Arab disebut „ilm al-lughah. Linguistik mengalami perkembangan berarti pada akhir abad ke-18, ketika
William Jones (W. 1793) meneliti dan menemukan bahasa Sansekerta. Jika sebelumnya metode penelitian
linguistik cenderung subyektif, maka sejak itu metodenya bersifat obyektif. Obyektivitas metode penelitian
linguistik menurut Muhammad Shalah al-Dīn Mushthafâ Bakr, dalam Muhbib, dapat diwujudkan berkat
penelitian perbandingan antara bahasa Sansekerta dengan bahasa-bahasa Indo-Eropa, dan memperoleh hasil
yang ilmiah karena didasarkan atas observasi, eksperimen, dan deskripsi. Salah satu metode linguistik yang
dominan mulai abad ke-19 adalah metode deskriptif (manhaj washfī). Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian
dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik Tammam Hassan (Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2008), h. 45. Disertasi Dalam Bidang Ilmu Agama Islam.
176
Gorys Keraf, Linguistik Bandingan Tipologi (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1990), h. 122.
128
sebagaimana yang dikutip Abdul Chaer, menyatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem yang
kompleks dari kebiasaan-kebiasaan. Sistem bahasa itu terdiri dari lima subsistem, yaitu
subsistem gramatika, fonologi, morfofonemik, semantik, dan fonotik.
Bila digambarkan maka teori Hockeet (1954) dalam Abdul Chaer, berdasarkan
penelitian penulis bisa dirumuskan dari bagan berikut ini:
Gambar 2.
Sistem bahasa teori Hockeet (1954) dalam Abdul Chaer (2007)
Subsistem Gramatika
Sistem bahasa Subsistem Fonologi bersifat sentral
Subsistem Morfofonemik
Subsistem Semantik
Subsistem Fonotik bersifat periferal
129
Menurut kaum strukturalis objek makna dalam semantik tidak bisa diamati secara
empiris
Gambar 3.
Satuan bahasa (wacana) teori Hockeet (1954) dalam Abdul Chaer (2007)
Kalimat
Klausa Frasa Kata
Morfem
Fonem
Fon / bunyi
Subsistem gramatika, fonologi, dan morfofonemik bersifat sentral. Sedangkan
subsistem semantik dan fonetik bersifat periferal. Mengapa subsistem semantik disebut
bersifat periferal? Karena seperti pendapat kaum strukturalis umumnya, bahwa makna yang
menjadi objek semantik adalah sangat tidak jelas, tak dapat diamati secara empiris,
sebagaimana subsistem gramatika (morfologi dan sintaksis). Demikian juga dengan
Chomsky, bapak linguistik transformasi, dalam bukunya yang pertama (1957) tidak
menyinggung-nyinggung masalah makna. Baru kemudian dalam bukunya yang kedua (1965)
beliau menyatakan bahwa semantik merupakan salah satu komponen dari tata bahasa (dua
komponen lain adalah sintaksis dan fonologi) dan makna kalimat sangat ditentukan oleh
komponen semantik ini. Sejak Noam Chomsky menyatakan betapa pentingnya semantik
dalam studi linguistik, maka studi semantik sebagai bagian dari studi linguistik menjadi
130
semarak.177
Kajian makna dalam lingkup bahasa Arab sudah dilakukan sejak abad pertama
hijriah (permulaan Islam), yakni berupa upaya para ahli agama untuk memahami dan
memberikan interpretasi terhadap teks Al-Qur‘an. Proses itu terlihat dari usaha para linguis
dan ulama menyusun kitab mu‟jam, gharīb, tata bahasa (qawâ‟id), „ilm al-Ma‟âni dan
sebagainya sebagai usaha memahami makna teks berbahasa Arab, bahkan di antara linguis
Barat mencatat bahwa sebenarnya proses itu dimulai sejak pra-Islam. Jaroslav Stetkevych
seperti dalam Ahyani menegaskan:
“Semantic changes and developments are an old process in the Arabic language.
Since pre-Islamic times until the present moments, the changes and meanings of
words has been so great that it now requires a special philological background to be
able to read and properly understand poets Imru „al-Qays, al-Nabighah, or anfara.”
Sebagaimana ditemukan dalam literatur-literatur mengenai sastra Arab, nama-nama
yang disebut Stetkevych tersebut adalah di antara para ahli bahasa (penyair) Arab pra-Islam.
Bagi Stetkevych prosesnya perkembangan semantik Arab di awal-awal Islam dan masa-masa
berikutnya, tidak dapat dilepaskan dari peran ahli sya‘ir Arab pra-Islam walaupun secara
sistematis belum mengkaji mengenai makna bahasa.178
Semantik secara etimologi dalam
bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris ‗Semantics‘ dari bahasa Yunani yaitu ‗Sema‘
(nomina) yang berarti „tanda‟, atau dari verba „Samaino‟ yang berarti ‗menandai‘, berarti;
padanan dalam bahasa Arabnya yakni dilâlah. Kata semantik dalam terminologi dipakai
untuk ―ilmu bahasa yang mempelajari makna‖ („ilm al-dilâlah).179
Istilah ini sendiri muncul
pada tahun 1894 yang diprakarsai oleh „American Philologial Association‟. Harimurti
Kridalaksana sebagaimana dikutip Ahyani mendefinisikan semantik dalam dua sisi pandang,
177
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2007), h. 284-285. 178
Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddīn al-Suyûthī (Kajian Kitab Al-Muzhir) (Jakarta: Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 25. Tesis dipertahankan dalam Bidang Pendidikan
Bahasa Arab 179
Al-Jurjânī mendefinisikan „ilm al-Dilâlah yaitu:
طابق مقتضى الال علم يعرف بو أحوال اللفظ العريب الذي ي Al-Jurjânī, al-Ta‟rīfât (Beirût: Dâr al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 2003), h. 158.
131
yang pertama sebagai ―bagian dari struktur bahasa yang berhubungan dengan makna dan juga
dengan struktur makna suatu wicara‖. Yang kedua, sistem dan penyelidikan makna dan arti
dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya.180
Mengenai objek kajian semantik yang ada pada kebanyakan literatur-literatur ilmu
bahasa, tercatat bahwa semantik terbangun oleh beberapa unsur satuan-satuan bahasan
kebahasaan (linguistik) minor yang dapat dianggap sebagai faktor-faktor perubah atau
pembentuk makna. Di samping itu, sering juga disinggung macam, relasi dan keluasan
cakupan makna pada suatu kata atau kalimat. Dalam hal ini Stephen Ullman seperti dalam
Ahyani menyatakan adanya tipologi pemaknaan bahasa berdasarkan frekuensi relatif dari
kata-kata transparan dan non-transparan, kata-kata khusus (Naw‟u) dan generik (Jins); upaya
khusus untuk meningkatkan efek emotif. Efek emotif adalah akibat yang ditimbulkan bahasa
sebagai alat yang pengungkap perasaan atau emosi, hal ini sangat dipengaruhi oleh intonasi
penutur ketika ia menuturkan suatu kalimat, kasus polisemi, homonim, dan ketergantungan
kata dan peranan konteks dalam menentukan makna.181
Kajian semantik adalah makna yang
sering disebut ‗tanda‘ atau dalam bahasa Arab dikenal dalâlah. Secara praktis, semantik
dalam ranah bahasa Arab adalah ‗ilm al-dalâlah. Pembahasan mengenai disiplin ilmu ini
sering dikaitkan dengan sejarah munculnya ilmu perkamusan/leksikologi („ilm al-mu‟jam)
dalam bahasa Arab. Hal ini dapat dimengerti karena memang salah satu dari fungsi kamus itu
sendiri ialah mengungkap makna-makna yang belum jelas/belum bisa dipahami secara
langsung. Ali al-Khûli mendefinisikan sebagaimana yang dikutip H.R. Taufiqurrochman,
makna/tanda (meaning) adalah:
من الكلمة أو العبارة أو اجلملة فهمو الشخصاملعت أو الداللة : ما ي
180
Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddīn al-Suyûthī (Kajian Kitab Al-Muzhir), h. 23. 181
Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddīn al-Suyûthī (Kajian Kitab Al-Muzhir), h. 26
132
Artinya: “Makna/tanda adalah sesuatu yang dipahami seseorang, baik berasal dari
kata, ungkapan, maupun kalimat.”182
Menurut al-Ashfahâni seperti yang dituturkan Syihabuddin, secara etimologi
(kebahasaan), kata ma‟na berasal dari ,yang salah satu maknanya ialah melahirkan عت
seperti yang terdapat dalam ungkapan عنت األرض بالنبات „anatil ardhu binnabât (tanah
menumbuhkan tanaman). Karena itu, makna diartikan sebagai perkara yang dilahirkan dari
tuturan. Perkara tersebut ada di dalam benak manusia sebelum diungkapkan dalam sarana
bahasa. Sarana ini berubah-ubah sesuai dengan perubahan makna tersebut di dalam benak.
Perkara yang terdapat di dalam benak disimpulkan sebagai hasil pengalaman yang diolah
secara tepat.183
Lebih spesifik, definisi makna/tanda menurut al-Khûli, seperti dalam H.R.
Taufiqurrochman, yaitu:
يعرب عن العالقة بت الدال )أي الكلمة( واملدلول يذوالاملعت أو الداللة : ما تنقلو الكلمة
عليو )أي الشيء أو الشخص أو املفهوم خارج اللغة(Artinya: “Makna/tanda adalah sesuatu yang dipindahkan kata atau sesuatu yang
diungkap dari (hasil) hubungan antara penanda (kata) dengan petanda (benda atau
seseorang atau sesuatu yang dipahami di luar bahasa).‖184
Dalam pengertian (disiplin bahasa
Yunani), kata semantik (semantic) secara etimologi berasal dari kata sema dalam bentuk
nominanya yang berarti ‗tanda‘ atau dalam bentuk verbanya samaino yang memiliki arti
„menandai‟ atau „berarti‟ atau „melambangkan‟. Kata semantik ini disepakati sebagai istilah
182
H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (UIN Malang Press : Suksess Offset, 2008), h. 23. 183
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia: Teori dan Praktek (Bandung: Humaniora, 2005), h.
19-20. 184
H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (UIN Malang Press: Suksess Offset, 2008), h. 24.
133
yang digunakan pada disiplin linguistik untuk menyebut salah satu ilmu bahasa yang
mengulas makna. Semantik ini merupakan bagian dari tiga tataran analisa bahasa yang
meliputi fonologi, morfologi-sintaksis, dan semantik itu sendiri.185
Hubungan antara
lafal/bahasa (intra-lingual) dengan sesuatu yang ada di luar bahasa (ekstra-lingual) dikenal
dengan teori „semantic tringle‟ (Mutsallats al-Ma‟na) yaitu segitiga bermakna yang
menghubungkan antara 3 aspek dasar yaitu: 1) simbol/kata/signifiant/penanda (dâl/‟alâmah)
yang terdiri dari bunyi bahasa, tulisan, isyarat, dan sebagainya, seperti: kata dalam pensil,
kitab (buku), dan lain-lain. 2) konsep/benak/pikiran/mind (syu‟ûr/fikrah) yang ada di dalam
diri manusia ketika memahami simbol/kata. 3) acuan/benda/sesuatu/referen/signify/petanda
(madlûl/musyâr ilaih) yang ditunjuk dari simbol/kata tersebut.
Dalam bahasa semiotika, tanda (sign) terdiri dari dua unsur yang tidak bisa
dipisahkan yaitu penanda (signifiant) dan petanda (signify). Penanda adalah aspek material
dari bahasa sedangkan petanda adalah makna (konsep) yang ada dalam pikiran (mind).
Perhatikan ilustrasi teori Ogden dan Richards (1923) yaitu ‗segitiga bermakna‘ seperti dalam
Muhammad Ali al-Khûli yang dikutip H.R. Taufiqqurochman, pada gambar di bawah ini:
Gambar 4.
Semantic Tringle/Segitiga bermakna teori Ogden dan Richards (1923)
(konsep, benak, pikiran / أواملد لول الفكرة و الشعور )
185
T. Fatimah Djajasudarma, Semantik I; Pengantar ke Arah Ilmu Makna (Bandung: Eresco, 1993), h.
1.
Referen/acuan
benda/sesuatu ( مدلول أو شئ (خارج أو املشار إليو
مثلث (pensil) قلم املعت
/الكلمة الرمز
(simbol/kata)
134
Menurut teori „semantic tringle‟ di atas, hubungan yang terjalin antara sebuah
‗kata/simbol‘ dengan ‗acuan/benda/hal/peristiwa‘ di luar bahasa tidak bersifat langsung
(muqattha‟ah/terputus), tetapi ada media yang terletak di antara keduanya, yaitu
benak/pikiran/konsep. Kata hanya merupakan lambang (simbol) yang berfungsi
menghubungkan konsep/pikiran dengan acuan/benda. Tidak semua kata/simbol memiliki
acuan/benda. Misalnya, kata ‗walaupun‘, aduh, sekalipun bermakna, tetapi tidak menunjuk
sesuatu, tidak ada referennya. Berbeda dengan kata ‗pensil‘ yang memiliki referen, sebab ia
menunjuk pada sesuatu (sebuah benda yang terbuat dari kayu dan biasa digunakan untuk
menulis). Apabila kata/simbol dalam realita memiliki acuan dan melahirkan makna, maka
makna itu disebut dengan makna referensial. Makna referensial (al-ma‟na al-marja‟ī) adalah
makna yang berhubungan langsung dengan kenyataan atau referent (acuan). Makna
referensial juga disebut makna kognitif (al-ma‟na al-ma‟rifī), makna afektif (al-ma‟na al-
wujdânī) dan makna emotif (al-ma‟na al-„âthifī).186
Salah satu ciri yang sekaligus menjadi hakikat setiap bahasa adalah bahwa bahasa itu
bersifat dinamis. Menurut Chaer dan Agustina seperti dikutip H.R. Tauqurrochman, yakni
bahwa bahasa itu tidak terlepas dari berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu
dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada semua tataran linguistik yaitu fonologi,
morfologi, sintaksis, semantik dan leksikon. Kedinamisan setiap bahasa itu terjadi karena
bahasa merupakan hasil kebudayaan manusia. Manusia adalah makhluk dinamis dan kreatif
yang cenderung kepada perubahan dan statis. Oleh karena itu, bahasa akan mengalami
perkembangan secara terus-menerus sesuai dengan perkembangan pemikiran dan kebutuhan
manusia sebagai pemakai bahasa. Menurut Abdul Chaer seperti dalam H.R.
Taufiqurrochman, kemungkinan perubahan makna kata disebabkan beberapa faktor, yaitu:
pertama, perkembangan Iptek, kedua, perkembangan sosial budaya, ketiga, perkembangan
186
H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (UIN Malang Press: Suksess Offset, 2008), h. 25-
26.
135
pemakaian kata, keempat, perkembangan tanggapan indera dan kelima adanya asosiasi.
Faktor penyebab perubahan makna disebabkan antara lain; 1) faktor bahasa yang meliputi
perubahan pada aspek bahasa; perubahan pada kata yang sering dipakai; pengelompokam
kata pada bidang tertentu; perubahan kata yang beindikator ‗serupa‘ dan tak serupa; 2) faktor
sejarah yang mencakup benda berubah tetapi lafalnya tetap; perubahan sikap manusia
terhadap sesuatu; perubahan pengetahuan manusia terhadap sesuatu; 3) faktor sosial budaya,
4) faktor kemajuan Iptek, 5) faktor kebutuhan kata baru, 6) faktor para penutur bahasa yang
terbagi kepada aspek pertukaran tanggapan indera; asosiasi perasaan para penutur bahasa; 7)
faktor bahasa asing.187
Banyak teori tentang makna yang telah dikemukakan orang. Untuk permulaan
barangkali kita ikuti saja pandangan seorang Bapak atau pelopor Linguistik Modern yakni
Ferdinand De Saussure (dengan teori deskriptif/strukturalis) yang memberikan definisi
makna yaitu merupakan suatu konsep, pengertian, ide, atau gagasan yang terdapat dalam
sebuah satuan ujaran, baik berupa kata, gabungan kata, maupun satuan yang lebih besar
lagi.188
Penyematan pelopor linguistik modern melalui karyanya yang hebat, yaitu Course de
Linguistique Generale (1916), dan juga karena pandangan-pandangannya yang relatif baru
mengenai bahasa yang dimuat dalam buku itu. Pandangannya di antaranya adalah mengenai
(1) telaah sinkronik (al-tazâmuniyyah), dan diakronik (al-ta‟âqubiyyah) dalam studi bahasa,
(2) perbedaan langage, langue, dan parole, (3) perbedaan antara signifiant dan signifie
sebagai bentuk signe linguistique, dan (4) hubungan sintagmatik dan hubungan asosiatif atau
paradigmatik.189
Karena bahasa itu digunakan untuk berbagai kegiatan dan keperluan dalam
kehidupan bermasyarakat, maka makna bahasa itu pun menjadi bermacam-macam bila dilihat
187
H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (UIN Malang Press: Suksess Offset, 2008), h. 93-
111. 188
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 286. 189
Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 66.
136
dari segi atau pandangan yang berbeda. Berbagai jenis makna telah dikemukakan orang
dalam berbagai buku linguistik atau semantik dan secara umum terbagi kepada tiga macam;
makna leksikal ( dan makna kontekstual ;(املعاين التكيبية) makna gramatikal ; ( املعجمية ايناملع
.Namun ada yang menambahkan pula dengan aspek ketaksaan makna .(املعاين السياقية)
Adapun makna leksikal ( املعجمية املعاين )190
adalah makna yang dimiliki atau ada pada
leksem meski tanpa konteks apapun. Misalnya, leksem kuda memiliki makna leksikal ‗sejenis
binatang berkaki empat yang biasa dikendarai‘; pensil bermakna leksikal yaitu sejenis alat
tulis yang terbuat dari kayu dan arang‘ dan air bermakna leksikal ‗sejenis barang cair yang
biasa digunakan untuk keperluan sehari-hari, dan kata ‗istana‟ yang memiliki makna
bangunan untuk tempat tinggal kepala negara.191
Dengan contoh itu dapat juga dikatakan
bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil
observasi indera kita, makna yang sesuai dengan konsepnya, atau makna apa adanya. Kamus-
kamus dasar biasanya hanya memuat makna leksikal yang dimiliki oleh kata yang
dijelaskannya. Oleh karena itulah, barangkali banyak orang yang mengatakan bahwa makna
leksikal adalah makna yang ada dalam kamus (al-ma‟na al-mu‟jamī). Pendapat ini kalau
begitu, memang tidak salah, namun perlu diketahui bahwa kamus-kamus yang bukan dasar,
juga ada yang memuat makna-makna lain yang bukan leksikal, seperti makna kias dan
makna-makna yang terbentuk secara metaforis.
190
Makna leksikal dalam literatur lain disebut pula makna deskriptif atau makna denotatif, yang
merupakan relasi kata dengan konsep benda/peristiwa atau keadaan yang dilambangkan dengan kata tersebut.
Sumber informasi ini dapat dimanfaatkan dalam suatu komunikasi. Misalnya makna leksikal kata seniman
adalah ‗orang yang menciptakan karya seni‘. Di dalam komunikasi kata seniman dapat menyempit maknanya
bergantung pada konteks pembicaraan. Lihat Setiawati Darmojuwono, Semantik, dalam Pesona Bahasa:
Langkah Awal Memahami Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 114-115. 191
Abdul Chaer, Leksikologi dan Leksikografi Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 116.
137
Definisi lain juga diberikan para ahli. Makna leksikal (makna asâsiyah atau
mu‟jamiyah) atau disebut juga makna denotatif atau vocabulary meaning) adalah makna yang
secara inheren dimiliki oleh sebuah leksem. Makna leksikal juga bermakna makna yang
sesuai dengan referensinya dan sesuai dengan hasil observasi alat indera. Dengan kata lain,
adalah makna yang melekat pada suatu kata.192
Makna leksikal ini dapat juga diartikan
sebagai makna kata secara lepas di luar konteks kalimatnya. Makna leksikal ini terutama
yang berupa kata dalam kamus biasanya sebagai makna pertama dari kata atau entri yang
terdaftar dalam kamus itu. Dalam bahasa Indonesia, misalnya ‗bagian tubuh dari leher ke
atas‘ adalah makna leksikal dari kata ‗kepala‘, sedang makna ‗ketua‘ atau ‗pemimpin‘
bukanlah makna leksikal, sebab untuk menyatakan makna ‗ketua‘ atau ‗pemimpin‘, kata
‗kepala‘ itu harus bergantung dengan unsur lain, seperti dalam frase ‗kepala madrasah‘ atau
‗kepala kantor‘. Untuk bisa meresapi makna suatu ujaran adalah dengan memahami makna
leksikal setiap butir kata yang digunakan. Bila kita tidak mengetahui makna leksikalnya kita
bisa melihat di kamus atau bertanya kepada yang mengerti. Namun, terkadang dijumpai
sejumlah kasus dalam studi semantik yang menyangkut makna leksikal ini. Kasus-kasus itu
adalah kasus kesinoniman, keantoniman, kehomoniman, kehiponiman, dan kehiperniman.193
Bidang yang meneliti semantik leksikal menurut asas-asasnya dinamai ―leksikologi‖.
Tujuan yang lebih praktis, yaitu menyusun kamus, dikenal sebagai ―leksikografi‖.
Leksikografi adalah leksikologi terapan. Oleh karena perkamusan adalah tugas praktis, asas-
asas leksikologis harus dilengkapi dengan (dan untuk sebagian bahkan diganti oleh) tuntutan-
tuntutan praktis pemakaian kamus. Misalnya, dalam pembuatan kamus Indonesia, tidak
masuk akal untuk memasukkan semua verba yang berawalan men- di bagian huruf M, atau
semua verba yang berawalan ber- di bagian huruf B. lebih praktislah bila (misalnya)
menyusul dimasukkan pada kata pokok, atau entri, susul, dan demikian pula kata membantu
192
Moch Syarif Hidayatullah, Cakrawala Linguistik Arab (Tangerang: Al-Kitabah, 2012), h. 110. 193
Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddīn al-Suyûthī (Kajian Kitâb al-Muhir) (Jakarta: Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 57-58. Tesis di SPs UIN Jakarta.
138
pada bantu, menolong pada tolong, menjual pada jual, dan berjuang pada juang. Makna
leksikal dalam deskripsi linguistik lazimnya dimarkahi dengan tanda petik tunggal, misalnya
kita mengatakan bahwa kata rumah memiliki makna rumah. Semantik leksikal secara
leksikologis mencakup segi-segi yang agak banyak jumlahnya. Antara lain, ada pokok-pokok
berikut: makna dan referensi; denotasi dan konotasi; dan analisis ekstensional dan analisis
intensional; analisis kompensional; makna dan pemakaiannya; dan kesinoniman,
keantoniman, kehomoniman, dan kehiponiman.194
Berbeda dengan makna leksikal, makna gramatikal ( اين التكيبيةاملع ) baru ada kalau
terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi.
Umpamanya, dalam proses afiksasi ber- dengan kata dasar baju melahirkan makna
gramatikal ‗mengenakan atau memakai baju‘; dengan dasar kuda melahirkan makna
gramatikal ‗mengendarai kuda‘; dengan dasar rekreasi melahirkan makna gramatikal
‗melakukan rekreasi‘. Tampaknya makna-makna gramatikal yang dihasilkan dalam proses
gramatikal ini berkaitan erat dengan fitur makna yang dimiliki setiap butir leksikal dasar.
Fitur adalah ciri-ciri semantik yang dimiliki secara inheren oleh kata-kata itu sehingga
membedakan kata-kata itu satu dari yang lainnya.
Oleh karena itu kita mencoba menerangkan dulu apa saja fitur-fitur makna itu.
a. Fitur makna
Makna setiap butir leksikal dapat dianalisis atas fitur-fitur makna yang membentuk
makna secara keseluruhan butir leksikal itu seutuhnya. Misalnya dalam bahasa Arab ada إمرأة
dan ولد jika dianalisis fitur-fitur semantiknya yang dibatasi pada aspek manusia, laki-laki,
194
J. W. M. Verhaar, Asas-Asas Linguistik Umum (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2004),
h. 388-389.
139
sudah dewasa, atau seorang yang disimpulkan dengan makna ‗perempuan dewasa‘.
Sedangkan walad adalah seorang manusia, laki-laki dan belum dewasa yang disimpulkan
dengan makna anak laki-laki.
b. makna fitur gramatikal afiksasi
Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada bentuk dasar. Afiksasi merupakan
salah satu proses penting dalam pembentukan kata dan penyampaian makna. Jenis afiks dan
makna gramatikal yang dihasilkan cukup banyak dan beragam. Satu hal yang jelas makna
afiks yang dihasilkan mempunyai kaitan dengan fitur semantik bentuk dasarnya. Misalnya:
penambahan preposisi pada term kata benda (األمساء), األحرف املعاين pada األفعال (kata kerja
tertentu), maka pada beberapa kasus akan menimbulkan perbedaan dan perubahan makna dari
makna semula. Contoh pergeseran makna seperti pada kasus:
di pihak / mendukung: تعصب لو
melawan: تعصب على
menghubungkan: وصل
sampai : وصل إل
a. Makna gramatikal derivasi
Terjadinya derivasi (isytiqâq/musytâq) pada sebuah akar kata bahasa Arab akan
mengakibatkan pergeseran, penambahan bahkan perubahan makna.
d. makna gramatikal komposisi
140
Butir leksikal dalam setiap bahasa adalah terbatas, padahal konsep-konsep yang
berkembang dalam kehidupan manusia terus bertambah. Oleh karena itu, selain dengan
proses afiksasi dan proses reduplikasi banyak juga dilakukan proses komposisi untuk
menampung konsep-konsep yang baru muncul itu, atau belum ada kosakatanya. Dalam hal
ini seperti term القطار al-Qithâr yang dulunya dipakaikan untuk iring-iringan unta, sekarang
dipakai untuk alat transportasi kereta, karena juga berupa rangkaian (lokomotif). Demikian
halnya dengan term-term yang dipakaikan untuk alat-alat baru seperti الاسوب ,الطائرة dan
dulu „kereta‟ digunakan untuk menampung konsep kendaraan beroda yang ditarik اجلوال
kuda. Kemudian dengan hadirnya kereta yang ditarik oleh lokomotif bertenaga uap
muncullah istilah ‗kereta api‘. Dalam perkembangannya muncul istilah-istilah seperti kereta
barang, kereta penumpang, kereta bisnis, kereta eksekutif, dan lain-lain.
e. Makna gramatikal sintaksis
Pada bahasa Arab, makna sintaksis tidak terlahir dari satuan-satuan struktur kalimat
tapi juga dipengaruhi unsur keadaan, situasi dan kondisi penutur yang menurut linguis Arab
klasik maupun modern sangat mempengaruhi warna makna kalimat.
f. Kasus kepoliseman
Polisemi adalah bila sebuah kata mempunyai makna lebih dari satu.
Selain itu, ada jenis makna yang namanya makna kontekstual. Kontekstual, menurut
Tammam Hasasan seperti dikutip Ahyani, berarti al-tatâbu‟ (التتابع), al-Īrad (اإليراد), -al التوايل
tawâli‟ (runtun/sistematis; yang dalam hal ini mengandung dua pengertian; pertama,
runtunnya unsur-unsur struktur kalimat dalam wacana yang disebut dengan siyâq al-nash
141
,dan yang kedua, runtunnya kejadian yang diungkapkan bahasa ,(konteks bahasa) سياق النص
yang disebut dengan siyâq al-mauqif (konteks kejadian/situasi kajian dalam penetapan suatu
makna atau سياق املوقف). Sehingga makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam
satu konteks. Dell Hymes dalam artikelnya masih dalam Ahyani mengatakan bahwa kita baru
bisa menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam konteks
kalimatnya.195
Dalam nazham ma‟âni, Imam al-Suyûthī dalam rujukan Ahyani
mengungkapkan:
وحده علم بو قد تعرف # أحوال لفظ عريب يؤلف
# حال وحدى سامل ومرتضى دما هبا تطابق ملقتضى
حيصر يف أحوال اإلسناد ويف # أحوال مسند إليو فاعرف
“salah satunya ilmu untuk mengetahui
Rangkaian susunan kata-kata bahasa Arab
Yang disesuaikan dengan tuntutan konteks
Rinciannya tepat, jelas dan singkat
Dalam hal menerangkan predikat dan subjek”
Untuk memberikan makna dan interpretasi yang tepat dan komunikatif pada kalimat,
seorang pendengar dan pembaca harus memperhatikan konteks kalimat secara utuh. Melihat
rangkaian kalimat dengan kalimat berikutnya, mencari hubungan dan ide pokok dari
kumpulan kalimat tersebut, lebih-lebih lagi kalau memungkinkan untuk mencari latar
belakang sosial yang menyebabkan suatu kalimat ditulis atau diungkapkan. Pada proses
pemaknaan suatu teks, berdasarkan teori konteks harus memperhatikan prinsip-prinsip yakni
195
Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddin al-Suyûthī (Kajian Kitab Al-Muzhir) (Jakarta: SPs UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 57-62.
142
metode kata) الطريقة اليت تستعمل هبا ,(penggunaan kata dalam bahasa) إستعماهلا يف اللغة
dipergunakan), ديوي تؤ ذالدور ال (eksistensi yang diperankan). Sehingga akan didapatkan
makna yang sesuai dengan penutur/penulis ketika mengungkapkan bahasanya.196
Makna kontekstual secara aplikatif sebenarnya bukan merupakan hal baru dalam
bahasa Arab, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kajian keislaman
pendekatan konteks dipergunakan oleh para mufassir, muhaddits dan fuqahâ dalam proses
interpretasi teks-teks dalil dan pengambilan hukum (istinbâth al-hukm). Al-Suyûthī
menegaskan bahwa sebelum interpretasi pada sebuah ayat, seseorang tidak akan mampu
memberikan pemaknaan yang tepat pada kata-kata dan rangkaian kalimatnya sebelum
melihat secara sempurna konteks bahasa yang menyangkut rangkaian dan hubungan kalimat
itu dengan kalimat sebelumnya dan sosial yang melatarbelakangi ayat itu diturunkan (asbâb
al-nuzûl), begitu juga berlaku bagi asbâb al-wurûd dalam kajian ilmu hadis.197
Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu
konteks. misalnya, makna kata kepala yang dibicarakan sebagai contoh pada berikut:
196
Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddīn al-Suyûthī (Kajian Kitab Al-Muzhir) (Jakarta: SPs UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 175-176 dan h. 217-218. 197
Memahami hadis dengan benar juga tidak kalah pentingnya selain menginterpretasi teks suci Al-
Qur‘an. Al-Qur‘an dan hadis adalah dua sumber ajaran Islam yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. mengakui
Al-Qur‘an, mengharuskan pula mengakui hadis, begitu pula sebaliknya. Ini sesuai dengan perintah Al-Qur‘an
kepada umat Islam, untuk mengambil apa-apa yang bersumber dari Nabi SAW. Ini berarti, pengingkaran
terhadap hadis, merupakan tindakan penentangan terhadap pesan-pesan Al-Qur‘an. Sebagai sesuatu yang sangat
urgen dalam Islam, sudah seyogyanya umat Islam memahami secara benar pesan-pesan keagamaan yang
disampaikan oleh Nabi SAW melalui sejumlah hadis-Nya. Ini perlu ditekankan kembali karena ternyata masih
banyak umat Islam yang memahami hadis secara tidak tepat dan tidak benar, sehingga pesan-pesan yang
disampaikannya pun hambar begitu saja dan bahkan sesat-menyesatkan (dhollun mudhillun). Karena itu, agar
hadis dipahami secara benar, maka perlu dilakukan upaya pemahaman secara benar dan komprehensif. Misalnya
upaya pemahaman hadis melalui telaah historis, tekstualitas maupun kontekstualitas, perbandingan riwayat
(muqaranat al-riwayat), atau pendekatan-pendekatan yang lain. yang dimaksud dengan pemahaman tekstualitas
(lafzhiyyah/harfiyyah), yakni pemahaman seperti apa adanya makna hadis itu. namun, bila pendekatan tekstual
tidak bisa ditempuh, maka kita membutuhkan kontekstual. Pendekatan kontekstual mencakupi poin-poin sebagai
berikut; sabab wurud al-hadis (mengetahui latar belakang historis munculnya hadis), kemudian berdasarkan
aspek geografi, „illat al-kalam (kausalitas kalimat), dan aspek sosio-kultural. Belum lagi ditambah dengan
muatan kontroversalitas hadis, seperti problem hadis versus al-Qur‘an, hadis versus hadis, hadis versus nalar,dan
jam‟ul riwayat (mengkompromikan beberapa riwayat). Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2006), h. 151-162.
143
a. Rambut di kepala nenek belum ada yang putih
b. Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu
c. Nomor teleponnya ada pada kepala surat itu
Ada sisi perbedaan yang cukup mencolok bila kalimat dari contoh-contoh di atas
dilihat dari aspek kontekstualnya. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya,
yakni berkaitan dengan waktu, tempat, dan lingkungan penggunaan bahasa itu.198
Dunia
ilmu, termasuk linguistik,199
bukan merupakan kegiatan yang statis, melainkan merupakan
kegiatan yang dinamis, berkembang terus, sesuai dengan filsafat ilmu itu sendiri yang selalu
ingin mencari kebenaran yang hakiki. Begitulah, linguistik struktural lahir karena tidak puas
dengan pendekatan dan prosedur yang digunakan linguistik tradisional dalam menganalisis
bahasa. Sekian puluh tahun linguistik struktural digandrungi sebagai satu-satunya aliran yang
pantas diikuti dalam menganalisis bahasa, walaupun model struktural itupun tidak hanya satu
macam. Kemudian orang pun merasa bahwa model struktural juga banyak kelemahannya,
sehingga orang mencoba merevisi model struktural itu di sana-sini, sehingga lahirlah aliran
lain yang agak berbeda, meski masih banyak persamaannya, dengan model struktural semula.
Perubahan total terjadi dengan lahirnya linguistik transformasional yang mempunyai
pendekatan dan cara yang berbeda dengan linguistik struktural. Namun, kemudian model
transformasi ini pun dirasakan orang banyak kelemahannya, sehingga orang membuat model
lain pula, yang dianggap lebih baik, misalnya model semantik generatif, model tata bahasa
kasus, model tata bahasa relasional, dan model tata bahasa stratifikasi.
198
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 289 – 290. 199
Menurut Harimurti, linguistik (linguistics) adalah ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara
ilmiah (istilah ini pertama kali muncul pada tahun 1808 dalam majalah ilmiah yang disunting oleh Johann
Severin Vater dan Friedrich Justin Bertuch). Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008), h. 144.
144
2. Teori Mentalistik dan Generatif Transformatif Noam Chomsky
Berkaitan dengan persoalan makna (bahasa/semantik), Noam Chomsky terkenal
dengan teori gramatika generatif–transformatifnya (tahwīliyyah, grammatical
transformations) dan struktur batin/dalam (al-binyah al-„âmiqah, deep structure).200
Pandangannya tentang bahasa cenderung mentalistik atau kognitivistik (nazhariyyah
„aqliyyah). Menurutnya, realitas mental mendasari perilaku aktual (the mental reality
underlying actual behavior). Setiap manusia memiliki kaidah-kaidah universal secara natural
(terwaris) yang menjadi dasar perilaku bahasa manusia, dan kaidah-kaidah itu cukup kaya
dan patut dipertimbangkan dalam kecepatan proses pembelajaran bahasa. Menurut Chomsky,
bahasa merupakan cermin terbaik akal manusia (languanges are the best mirror of the human
mind).201
Teori generatif-transformatif yang diletakkan oleh Chomsky adalah teori modern
paling menonjol yang mencerminkan kemampuan akal, membicarakan masalah kebahasaan
dan pemerolehannya, serta hubungannya dengan akal dan pengetahuan manusia. Menurut
teori ini, kapasitas genetik manusia sejak lahir juga memengaruhi kemampuannya untuk
memahami bahasa di sekitar sehingga hasilnya adalah sebuah konstruksi sistem bahasa yang
tertanam dalam diri. Selain itu, Noam Chomsky dengan keras menentang teori pembiasaan
operan dalam pemerolehan bahasa sebagaimana dikemukakan oleh Skinner. Menurut
Chomsky tidak ada gunanya menjelaskan proses pemerolehan bahasa tanpa mengetahui
dengan baik apa sebenarnya bahasa sebagai benda yang sedang diperoleh itu. Untuk dapat
menerangkan hakikat proses pemerolehan bahasa di samping memahami apa sebenarnya
bahasa itu, seseorang tidak boleh menyampingkan pengetahuan mengenai struktur dalam
organisme (manusia) yaitu bagaimana cara-cara orang memperoleh masukan (input)
200 Noam Chomsky, Aspects of The Theory of Syntax (Cambridge Massachusetts Institute of
Technology: The M.I.T. Press ,1965), h. 128.
201 Noam Chomsky, Knowledge of Language: Its Nature, Origin, and Use (New York: Praeger
Publishers, 1986), h. 1.
145
informasi, dan bagaimana cara-cara perilaku berbahasa itu diatur. Semua cara ini ditentukan
oleh struktur awal yang dibawa sejak lahir yang sangat rumit dan proses perkembangannya
diatur menurut proses pematangan genetik dan pengalaman-pengalaman yang telah lalu.
Sama halnya dengan Piaget, Chomsky juga tidak pernah memperkenalkan teori
pemerolehan dan pembelajaran bahasa secara khusus. Namun, karena teori linguistik yang
diperkenalkannya dan juga artikel ulasannya mengenai buku Skinner ―Verbal Behavior‖
(1957) dalam ―Language‖ (1959) telah mengubah secara drastis perkembangan
psikolinguistik, maka satu teori pemerolehan dan pembelajaran bahasa oleh beberapa
kalangan dapat disimpulkan dari teori generatif transformasinya. Teori ini digolongkan ke
dalam kelompok teori kognitif karena teori ini menekankan pada otak (akal, mental) sebagai
landasan dalam proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa. Bagi Chomsky, kemampuan
berbahasa pada manusia bukanlah produk (setting) alam, melainkan potensi bawaan manusia
sejak lahir. Ia mengemukakan teori ini sebagai hasil dari penelitiannya terhadap
perkembangan berbahasa seorang anak dalam pemerolehan bahasa berdasarkan teori
hipotesis atau teori kodrati (innate). Melalui pendekatan nativis, Chomsky mengemukakan
adanya ciri-ciri bawaan bahasa untuk menjelaskan pemerolehan bahasa asli pada anak dalam
tempo begitu singkat sekalipun ada sifat abstrak dalam kaidah-kaidah bahasa tersebut.
Masalah penting lain yang dibahas dalam teori generatif transformatif adalah daya kreativitas
dalam bahasa. Dilihat dari segi semantik, tata bahasa dari suatu bahasa adalah satu sistem
rumus atau kaidah yang menyatakan persamaan atau keterkaitan antara bunyi (bahasa) dan
makna (bahasa) dalam bahasa itu. Dilihat dari segi daya kreativitas, tata bahasa adalah sebuah
alat perancang yang khusus menerangkan dengan jelas pembentukan kalimat-kalimat
gramatikal (yang jumlahnya tidak terbatas) dan menjelaskan struktur setiap kalimat.
Chomsky menyebut alat perancang ini dengan istilah tata bahasa generatif .
146
Teori generatif-transformatif, yang sebenarnya lebih condong pada pembahasan
tentang pemerolehan bahasa ibu, dewasa ini sering digunakan dalam penelitian pembelajaran
bahasa asing oleh beberapa kalangan akademisi. Padahal, Chomsky sendiri dalam teorinya
tidak pernah menjelaskan secara eksplisit tentang pembelajaran bahasa dan ia lebih
berorientasi pada pemerolehan bahasa (language acquisition). Namun demikian, beberapa
kalangan menganggap bahwa teori generatif-transformatif tetap relevan untuk digunakan
dalam pembelajaran bahasa asing. Pembelajaran bahasa Arab sebagai bahasa asing
merupakan salah satu objek kajian yang sering direlevansikan dengan teori generative
transformatif. Hal ini berawal dari hipotesis Chomsky yang mengatakan bahwa bahasa itu
bersifat universal. Bahasa Arab sendiri memang memiliki karakteristik yang unik dan
universal. Dikatakan unik karena bahasa Arab memiliki ciri khas yang membedakannya
dengan bahasa lainnya, sedangkan universal berarti adanya kesamaan nilai antara bahasa
Arab dengan bahasa lainnya.
Berangkat dari karakteristik unik dan universal bahasa Arab, subbab ini akan
mengkaji lebih dalam apakah teori generatif transformatif Chomsky relevan dalam konteks
pembelajaran bahasa Arab sebagai bahas asing ataukah hanya dalam batas proporsinya.202
Bahasa merupakan proses mental yang kompleks. Pandangan ini mengantarkannya kepada
pengetahuan mengenai proses produksi bahasa. Karena itu, ia menaruh perhatian terhadap
aspek psikologi bahasa dan teorinya difokuskan pemerolehan (acquisition) anak terhadap
bahasa ibunya. Teorinya mengenai pemerolehan bahasa ini dikategorikan sebagai teori
nativistik (al-nazhariyyah al-fithriyyah). Teori ini membenarkan pendefinisian manusia
dalam buku-buku keagamaan dan literatur Arab dimana manusia sering didefinisikan sebagai
hayawân nâthiq (hewan yang nâthiq). Nâthiq, dalam bahasa Arab, maknanya ada dua,
berbicara dan berfikir logis.
202
Bagus Andrian Permata, Teori Generatif-Transformatif Noam Chomsky dan Relevansinya Dalam
Pembelajaran Bahasa Arab, Jurnal Empirisma Vol. 24, No. 2, Juli 2015, h. 179-181.
147
Berdasarkan analisis etimologi kata nâthiq ini, berbicara atau berbahasa terkait
dengan pikiran. Kemampuan pikir bukan saja ukuran yang membedakan manusia dengan
hewan, selain kemampuan nurani (integritas)-nya, melainkan juga untuk melihat kemampuan
pikir seseorang, lihat saja bahasa yang diucapkan/ditulisnya. Bahasa yang runut dan logis,
menunjukkan penutur atau penulisnya mempunyai pikiran yang baik. Demikian sebaliknya.
Kemampuan berbahasa yang buruk, meski tidak selalu, menunjukkan kemampuan pikir yang
tidak baik. Kebudayaan dalam arti sempit, yaitu pola pikir dan pola rasa seseorang atau
kelompok sosial tertentu, karenanya, bisa dilihat dari ucapan atau tulisannnya. Teori yang
sebanding dengan teori Chomsky yang menyarankan kajian atas sisi ekstrinsikalitas bahasa
adalah teori kontekstual (siyâq) yang juga dipakai dalam riset ini, sebagaimana disarankan
ahli bahasa semisal Firth. Menurut Firth, Berry Rogghe, dan juga Ullmann, makna sebuah
bahasa tidak akan terungkap, kecuali dengan melihat: pertama konteksnya dalam satuan
bahasa di seputarnya, baik sebelum maupun sesudahnya. Teori ini mementingkan kajian
fenomena bahasa lewat analisis atas tindak bahasa sintaktikal dan analisis atas wacana yang
dikandungnya. Kedua, menganalisis hal-hal di luar bahasa. Bagi Firth, makna bahasa adalah
fungsi dalam konteks. Ia menekankan kesejajaran konteks internal dan formal kebahasaan
dan konteks situasi eksternalnya.203
John R. Firth (1890-1960) guru besar pada Universitas London, sangat terkenal
terkenal dengan teori fonologi prosodi. Karena itulah, aliran yang dikembangkannya dikenal
dengan nama aliran prosodi; tetapi di samping itu dikenal pula dengan nama aliran Firth, atau
aliran Firthian, atau aliran London. Fonologi prosodi adalah suatu cara untuk menentukan arti
pada tataran fonetis. Fonologi prosodi sendiri terdiri dari satuan-satuan fonematis dan satuan
prosodi. Satuan-satuan fonematis berupa unsur-unsur segmental, yaitu konsonan dan vokal,
sedangkan satuan prosodi berupa ciri-ciri atau sifat-sifat struktur yang lebih panjang daripada
203
Sukron Kamil, dkk., Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam
Teks-Teks Keislaman Kontemporer (Jakarta: Laporan Penelitian Kompetitif-Kolektif UIN Syarif Hidayatullah,
2013), h. 2-3.
148
suatu segmen tunggal. Ada tiga macam pokok prosodi, yaitu (1) prosodi yang menyangkut
gabungan fonem: struktur kata, struktur suku kata, gabungan konsonan, dan gabungan vokal;
(2) prosodi yang terbentuk oleh sendi atau jeda; dan (3) prosodi yang realisasi fonetisnya
melampaui satuan yang lebih besar daripada fonem-fonem suprasegmental. Selain terkenal
dengan teori prosodinya, Firth juga terkenal dengan pandangannya mengenai bahasa.
Pandangannya mengenai bahasa dapat ditelusuri dalam bukunya yang berjudul The Tongues
of Man and Speech (1934) dan Papers in Linguistics (1951). Firth berpendapat telaah bahasa
harus memperhatikan komponen sosiologis. Tiap tutur harus dikaji dalam konteks situasinya,
yaitu orang-orang yang berperan dalam masyarakat, kata-kata yang mereka ungkapkan, dan
hal-hal lain yang berhubungan.204
Firth juga dikenal dengan teori analisis fonetik dan teori
konteks situasi (context of situation, siyâq al-mawqif/al-hâl). Aliran utamanya adalah
pragmatisme dan disebut juga aliran sosial Inggris (al-madrasah al-ijtimâ‟iyyah al-
Injliziyyah). Pada tahun 1944, ia mendirikan sekolah linguistik deskriptif (descriptive
linguistic school) di London, sehingga metode penelitian linguistik yang menjadi
kecenderungannya adalah metode deskriptif.
Teori konteks Firth banyak didasari atau diinspirasi oleh pendapat Bronislow
Kasper Malinowsky (1884-1942), seorang antropolog asal Polandia, yang mendeskripsikan
bagaimana bahasa dan penutur bahasa itu disikapi dan diperlukan oleh masyarakatnya.
Ancangan etnografi penuturan timbul dari tradisi etnografi pada umunya dalam antropologi.
Menurutnya, bertutur saja ―to tell‖ tetapi juga ―to do‖. Hal ini didasari oleh pengamatannya
pada masyarakat primitif. Dengan demikian, kata-kata pun menjadi alat bertindak. Menurut
Firth, sebagaimana penuturan Roger T. Bell, seperti dirujuk Muhbib, konteks situasi (siyâq
al-hâl, atau menurut Tammâm Hassân, Siyâq al-Mawqif), merupakan salah bentuk asbtraksi
dari lingkungan atau sarana di mana penuturan bahasa itu terjadi. Konteks situasi meliputi
204
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 355-356.
149
segala aktivitas berbahasa, lisan maupun tulisan. Komponen yang ada dalam konteks situasi
meliputi: (a) ciri-ciri partisipasi yang relevan, kepribadian yang meliputi tindak verbal dan
nonverbal; (b) obyek-obyek yang relevan; dan (c) akibat dari tindak verbal.
Teori konteks situasi menjadi dasar teori linguistiknya. Ia menolak setiap usaha
untuk memisahkan bahasa dari konteksnya dalam kehidupan manusia dan budaya. Ia
menekankan bahwa makna adalah jantung dari kajian linguistik. Dalam konteks ini, ia
memperkenalkan dua kolokasi (collocation, sanding kata, tadhâmm) untuk menerangkan arti;
yaitu arti gramatikal dan arti fonologis. Firth juga menolak distingsi (pembedaan) antara
langue dan parole yang dibuat oleh Ferdinand de Saussure sebelumnya dan distingsi antara
competence dan performance yang dibuat oleh Noam Chomsky sesudahnya. Karena,
menurutnya bahasa bukan entitas yang otonom (otonomous entity), dan tidak bisa distudi
sebagai sistem mental (mental system). Ia juga tidak sependapat dengan aliran Behaviorisme
yang menganggap bahasa sebagai bagian dari perilaku yang terbentuk karena faktor
lingkungan, karena menurutnya bahasa merupakan serangkaian peristiwa di mana pembicara
(penutur bahasa) mengekspresikan dirinya, salah satu bentuk perilaku, dan cara melakukan
suatu perbuatan. Bahasa mempunyai fungsi, bukan sekedar alat komunikasi. Oleh sebab itu,
linguistik seharusnya memfokuskan pada kajian peristiwa penuturan bahasa. Dalam konteks
ini, ia sangat menekankan pada aplikasi teknik semantik (al-wasīlah al-dalâliyyah, the
technique of semantics) dengan memperhatikan kata-kata kunci seperti: fonologi, fonem,
penuturan, konsonan, vokal, fonetik, dan sebagainya.205
Lanjut pada pendekatan analisis riset ini, Avram Noam Chomsky, lahir pada 7
Desember 1928 di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat.206
Mengutip Mansur Pateda
dalam Bagus Andrian Permata (2015), ia dibesarkan di tengah keluarga yang
205
Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik
Tammâm Hassân (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 51-52. Disertasi S3
pada SPs UIN Jakarta dalam Bidang Ilmu Agama Islam. 206
Sumber: Noam Chomsky - Wikipedia, the Free Encyclopedia_unduh 8 April 2016, pkl 09.25 WIB.
150
berlatarbelakang pendidikan tinggi dari pasangan William Zev Chomsky dan Elsie
Simonofsky, seorang profesor linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts (MIT) dan
murid Z.S. Harris.207
Ayahnya seorang ahli bahasa Ibrani. Ia sangat mendorong anaknya
untuk menekuni bahasa Ibrani; dan darinya Chomsky mulai mempelajari historical linguistics
(„ilm al-lughah al-târīkhī). Pada usia 10 tahun, ia sudah diminta ayahnya untuk membaca
proofs dari naskah buku David Kimhi‟s Hebrew Grammar. Delapan tahun kemudian ia
mendaftarkan diri pada Universitas Pennsylvania di bawah bimbingan Zellig Harris (1909-
1992). Sebelum masuk kuliah, gurunya itu (Harris) telah mempercayakan pada Chomsky
untuk membaca naskah buku Method‟s in Structural Linguistics, yang sebenarnya merupakan
benih aliran transformasi. Pengaruh Harris tampak pada Tesis MA. Chomsky sudah tidak
tertarik pada deskripsi, tetap pada eksplanasi dari bahasa. Dia tidak lagi memperhatikan
prosedur penemuan (discovery procedure), tetapi lebih menitikberatkan pada prosedur
penilaian (evaluation procedure). Dia tidak perduli bagaimana seseorang mencapai suatu
hasil, tetapi yang penting adalah bahwa hasil itu haruslah yang terbaik di antara hasil-hasil
yang ada.
Embrio dari jalan pikiran Chomsky, dalam catatan Muhbib, dituangkan dalam naskah
setebal 900 halaman, The Logical Structure of Linguistic Theory yang tidak pernah
mendapatkan penerbit karena keradikalan penulisnya. Setelah mulai mengajar di
Massachusset Institute of Technology, ia baru menerbitkan karya pertamanya, Syntactic
Structure (1975). Puncak dari teori generative-transformatif-nya adalah ketika ia menerbitkan
Aspects of the Theory of Syntax (1965). Menarik dicatat, bahwa Chomsky tidak hanya
menguasai bahasa Ibrani, tetapi juga pernah belajar Al-Ajrumiyah (Jurûmiyyah, kitab Nahwu
dasar) kepada Franz Rosenthall yang juga cukup menguasai bahasa Arab. dapat dipastikan
bahwa Chomsky juga memahami bahasa Arab, karena bahasa Ibrani dan Arab termasuk
207 Bagus Andrian Permata, Teori Generatif-Transformatif Noam Chomsky dan Relevansinya dalam
Pembelajaran bahasa Arab, dalam Jurnal Empirisma, Vol. 24, No. 2, Juli 2015, h. 181.
151
rumpun Semit. Para ahli nahwu (nuhât) Ibrani pernah tinggal dan bergumul di lingkungan
Muslim Spanyol, dan mendasarkan penelitian nahwu mereka pada metode nahwu Arab
sehingga sangat mungkin ketika menulis Tesis Magisternya, Chomsky banyak mendapat
inspirasi dari sistem gramatika bahasa Arab.208
Chomsky mengisyaratkan bahwa teori
mengenai bahasa apapun mempunyai tiga cabang utama yang menjadi poros penelitian
bahasa, yaitu : 1) teori konstruksi/struktur bahasa, 2) teori pemerolehan bahasa dan 3) teori
penggunaan bahasa. Dalam menjelaskan teorinya tentang pemerolehan bahasa (language
acquisition), Chomsky juga mengkritik dan menentang teori pembiasaan operan (operant
conditioning) dalam pemerolehan bahasa yang dicetuskan oleh B.F. Skinner (1938),209
yaitu
tentang pembiasaan operan untuk suatu prosedur di mana seseorang dapat mengontrol
tingkah laku organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dala lingkungan
yang relatif bebas.210
Menurut Chomsky, dalam memperoleh bahasa ibunya, anak tidak pasif
saja menunggu stimulus dari luar dirinya (seperti pendapat Skinner dan pengikut aliran
Behaviorisme), melainkan aktif dan kreatif. Kalau hanya pasif saja, tidak mungkin dalam
waktu yang relatif singkat (dari umur 18 bulan sampai dengan 42 bulan atau 3,5 tahun) anak
kecil sudah mampu menguasai gramatika yang begitu rumit.
Kemampuan anak memperoleh bahasa sedemikian cepat itu bukan karena faktor
eksternal, melainkan karena faktor bawaan (al-qudrah al-fithriyyah). Menurut innates
hypothesis (hipotesis bawaan) yang dimajukan oleh Chomsky, manusia sejak lahir itu telah
dilengkapi dengan suatu kompetensi bawaan yang khas (qudrah lughawiyyah fithriyyah),
yang memungkinkan untuk menciptakan dan memperoleh bahasa. Menurutnya, anak kecil itu
208
Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik
Tammam Hassan (Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 55. Disertasi Dalam Bidang Ilmu
Agama Islam.
209
Kevin C. Costley, Avram Noam Chomsky and His Cognitive Development Theory, paper in
Arkansas Tech University, 10 Juni 2013, h, 2. 210
Bagus Andrian Permata, Teori Generatif-Transformatif Noam Chomsky dan Relevansinya dalam
Pembelajaran bahasa Arab, Jurnal Empirisma, Vol. 24, No. 2, Juli 2015, h. 179.
152
memiliki perangkat pemerolehan bahasa, yang terkenal dengan LAD211
(Language
Acquisition Device atau wasīlah iktisâb al-lughah). Jadi, tidak seperti pendapat
Behaviorisme, anak dilahirkan dalam kondisi seperti kertas kosong, melainkan sudah dibekali
potensi alami – yang dalam istilah Tammam disebut sâliqah lughawiyyah.
Menurut Chomksy, pembicaraan/penuturan yang didengar oleh anak kecil itu masuk
melalui LAD, dan melalui LAD inilah tercipta pemikiran mengenal kaidah-kaidah bahasa
secara tidak disadari (la syu‟urui). Kaidah-kaidah natural yang merupakan perangkat
pemerolehan bahasa itu pada diri anak, dan kaidah-kaidah yang diperoleh dari bahasa tertentu
itulah yang kemudian membentuk gramatika bahasa itu. Oleh karena itu, komponen bahasa
menurut Chomsky terdiri dari tiga komponen, yaitu syntactic component, phonological
component, dan semantic component. Dari ketiga komponen ini, komponen yang dianggap
paling sentral adalah sintaktik, sedangkan komponen fonologi dan semantik hanya diberi
status interpretif saja. Dalam komponen sintaktik terdapat dua subkomponen: yaitu
subkomponen dasar dan subkomponen transformasi. Struktur luar (al-binyah al-sâthhiyyah,
surface structure) ditentukan oleh subkomponen dasar dan kemudian dikirim ke komponen
semantik untuk mendapatkan interpretasi semantiknya. Bila diperlukan transformasi, struktur
batin/dalam (al-binyah al-„âmiqah, deep structure) dikirim ke subkomponen transformasi
untuk mendapatkan struktur lahir. Struktur lahir ini kemudian dikirim ke komponen fonologi
untuk mendapatkan interpretasi fonologinya. Setelah interpretasi semantik dan fonologi
diperoleh, barulah kalimat yang diinginkan itu terbentuk.
Kompetensi atau kecakapan adalah suatu proses generatif, dan bukan ―gudang‖ yang
berisi kata-kata, frase-frase, atau kalimat-kalimat seperti konsep langue dalam teori linguistik
211
Teori LAD psiko-linguistik, Chomsky seperti dalam Ahyani menyebutkan bahwa transformasi
generatif tidak terbatas kepada unsur-unsur satuan bahasa yang akhirnya menelurkan teori semantik REST
(Revesed Extended Standard Theory) yang menekankan perlunya pragmatic dan „the mind‟ (minda) manusia,
walaupun cakupannya hanya sampai pada konteks bahasa sebuah teks. Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddīn
al-Suyûthī (Kajian Kitab Al-Muzhir) (Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 43. Tesis
dipertahankan pada Bidang Pendidikan Bahasa Arab.
153
De Saussure.212
Kompetensi berbahasa (linguistic competence) merupakan salah satu sistem
kaidah atau rumus yang dapat kita sebut tata bahasa dari bahasa penutur itu.
Kompetensi/kualitas bahasa seseorang mengekspresikan jalan pikiran penuturnya.213
Tata
bahasa suatu bahasa adalah uraian (deskripsi) kompetensi penutur-pendengar yang ideal; dan
uraian ini harus mampu memberikan uraian struktur tiap-tiap kalimat yang tidak terbatas
jumlahnya, serta dapat menjelaskan bagaimana kalimat-kalimat ini dipahami oleh penutur-
pendengar yang ideal itu.
Dari segi semantik,214
tata bahasa suatu bahasa adalah satu sistem rumus atau kaidah
yang menyatakan persamaan atau keterkaitan antara bunyi dan makna dalam bahasa itu.
Sedangkan dari segi daya kreatifitas tata bahasa adalah sebuah alat perancangan yang khusus
menerangkan dengan jelas pembentukan kalimat-kalimat gramatikal (yang jumlahnya tidak
terbatas) dan menjelaskan struktur setiap kalimat itu. alat perancangan inilah yang diberi
nama ―tata bahasa generatif‖ oleh Chomsky, untuk membedakan dari pernyataan deskriptif
yang hanya menggunakan sekumpulan unsur yang muncul dari uraian-uraian struktur yang
konteksnya sangat beragam. Tata bahasa generatif sebagai alat perancangan ini merupakan
satu system rumus yang tepat dan jelas yang dapat digunakan dalam gabungan baru yang
belum pernah dicoba untuk membentuk kalimat-kalimat baru. Rumus-rumus ini dapat juga
digunakan untuk menentukan struktur dan bentuk fonetik kalimat ini, dan menunjuk
penafsiran-penafsiran semantik kalimat-kalimat baru, serta menolak urutan struktur yang
212
Selain diungkap Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori
Linguistik Tammam Hassan, ada kajian menarik yang ditulis peneliti Jepang dalam membedah teori/konsep
Ferdinand De Saussure dan Noam Chomsky. Naoki Araki, Saussure and Chomsky: Langue and l-Language,
Department of Information System and Management, dalam Bull. Hiroshima Institute of Technology Japan,
Research, Vol. 49, 2015, h. 1-11. 213
Noam Chomsky, Language and Mind (UK: Cambridge University Press, 2006), h. 4. 214
Semantik (semantics) menurut Harimurti Kridalaksana memiliki dua definisi. Pertama, bagian
struktur bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara.
Kedua, sistem dan penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya. Adapun
semantik generatif (generative semantics) adalah teori semantik dalam aliran transformasi generatif yang
menganggap bahwa tidak perlu ada pembedaan antara tingkat semantik dan tingkat struktur batin karena
keduanya adalah sama sehingga sintaksis jauh lebih abstrak. Harimurti Kridalaksana, Kamus Lingustik (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 216-217.
154
bukan milik bahasa itu. Menurut Chomsky, prinsip-prinsip dasar organisasi linguistik adalah
keuniversalan linguistik yang olehnya disebut tata bahasa universal (al-qawâid al-kulliyyah).
Tata bahasa merupakan satu sistem yang merupakan bagian dari organisasi intelek nurani
(struktur dalam) yang bersifat universal, berlaku pada semua bahasa di muka bumi. Tata
bahasa mempunyai peranan penting dalam pemerolehan bahasa; dan peranan ini sama dengan
yang dimainkan oleh tata bahasa generatif transformasi, misalnya dalam pengenalan bentuk-
bentuk fonetik sebuah kalimat karena rumus-rumus tata bahasa itu digunakan dalam analisis
sintaksis kalimat itu untuk mengenal isyarat-isyarat fonetik itu.
Dari uraian tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa proses belajar bahasa, menurut
Chomsky, adalah proses pembentukan kaidah (rule formation process) bukan proses
pembentukan kebiasaan (habit formation process), seperti pendapat Behaviorisme.
Menurutnya, manusia mempunyai innate capacity, suatu kemampuan bawaan untuk
memahami dan menciptakan ungkapan-ungkapan baru. Inti gramatika generatif-transformatif
adalah bahwa bahasa dapat dipelajari secara matematis (olah otak) dengan melahirkan
berbagai kalimat–yang jumlahnya bisa tidak terbatas–ketika sebuah kalimat itu didengar, lalu
mentransformasikannya ke dalam bentuk dan kalimat lain dengan menggunakan kaidah-
kaidah tertentu. Gramatika Generatif-Transformasi mempunyai tiga sendi utama. Pertama,
kaidah struktur ungkapan, kaidah yang menjelaskan bahwa kalimat itu terstruktur dari
ungkapan-ungkapan, sedangkan ungkapan-ungkapan itu terbentuk dari kata-kata. Kedua,
kaidah transformasi, yaitu sejumlah aturan yang harus diterapkan secara ketat. Sebagian
kaidah itu bersifat obligatori (ijbârī/ إجباري) dan sebagian yang lain bersifat opsi
(ikhtiyârī/ إختياري ). Ketiga, kaidah-kaidah morfologi bunyi, kaidah yang menetapkan bentuk
akhir suatu kata yang diucapkan atau ditulis. Pada tahap berikutnya, menurut Chomsky,
155
seperti yang dikutip Muhbib, gramatika mempunyai tiga komponen utama, yaitu: sintaksis,
semantik, dan fonologi dengan tetap mengacu kepada dua kaidah transformasi yakni kaidah
obligatori dan kaidah opsi. Pola-pola transformasi kalimat itu dapat dikembangkan melalui:
(1) delasi (al-hadzaf (2) ;كتب أمحد درسا menjadi كتب أمحد درسا جديدا :seperti ( فذال
penempatan ( حاللاال ) seperti: اهلل مسيع عليم predikatnya ditempati dengan kata lain, sehingga
menjadi (3) ;اهلل غفور رحيم perluasan ( تساعاال ) seperti perluasan dengan sifat atau idhafah
;باب الفصل مفتوح menjadi الباب مفتوح atau اجلامعة الكبتة مشهورة :menjadi اجلامعة مشهورة
(4) reduksi (االختصار), kebalikan dari poin 3, seperti رئيس القرية جديد menjadi الرئيس جديد;
(5) penambahan (الزيادة), yakni penambahan unsur baru dalam kalimat dengan struktur ‗athfi,
misalnya: الطالب نشيط menjadi: نشيطانالطالب واملدرس ; dan (6) permutasi (إعادة التتيب),
misalnya dengan merubah jumlah ismiyyah menjadi jumlah fi‟liyyah atau sebaliknya seperti:
215 .حيضرون الطالب menjadi حيضر الطالب
215
Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik
Tammam Hassan (Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 55-59. Disertasi Dalam Bidang Ilmu
Agama Islam.
156
Jadi, teori Chomsky seperti dikutip Muhbib216
tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 5.
Model Pola Transformasi Noam Chomsky
Transformation
Meaning / al-Ma‟na Spoken or Written Expression
Dapat dikatakan tata bahasa transformasi lahir dengan terbitnya buku Noam
Chomsky yang berjudul Syntactic Structure pada tahun 1957, yang kemudian
diperkembangkan karena adanya kritik dan saran dari berbagai pihak, di dalam buku
Chomsky yang kedua yang berjudul Aspect of the Theory of Syntax pada tahun 1965. Nama
yang dikembangkan untuk model tata bahasa yang dikembangkan oleh Chomsky ini adalah
Transformational Generative Grammar, tetapi dalam bahasa Indonesia lazim disebut tata
bahasa transformasi atau tata bahasa generatif. Menurut Chomsky salah satu tujuan dari
penelitian bahasa adalah untuk menyusun tata bahasa dari bahasa tersebut. Bahasa dianggap
sebagai kumpulan kalimat yang terdiri dari deretan bunyi yang mempunyai makna. Maka
kalau begitu, tugas tata bahasa haruslah dapat menggambarkan hubungan bunyi dan arti
dalam bentuk kaidah-kaidah yang tepat dan jelas. Setiap tata bahasa dari suatu bahasa,
menurut Chomsky, merupakan teori dari bahasa itu sendiri, dan harus mempunyai dua syarat:
di antaranya adalah pertama, kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat
diterima oleh pemakai bahasa tersebut, sebagai kalimat yang wajar dan tidak dibuat-buat, dan
kedua tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa, sehingga satuan atau istilah
216
Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu, h. 55-59.
Deep Structure/
Al-Binyah al-„Âmiqah
Surface Structure/
Al-Binyah Al-
Sâthhiyyah
157
yang digunakan tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja, dan semuanya ini harus
sejajar dengan teori linguistik tertentu.
Sejalan dengan konsep langue dan parole dari Ferdinand De Saussure, maka
Chomsky membedakan adanya kemampuan (competence) dan perbuatan berbahasa
(performance). Kemampuan adalah pengetahuan yang dimiliki pemakai bahasa mengenai
bahasanya, sedangkan perbuatan berbahasa adalah pemakaian bahasa itu sendiri dalam
keadaan yang sebenarnya. Dalam tata bahasa generatif ini, maka yang menjadi objeknya
adalah kemampuan ini, meskipun perbuatan berbahasa juga penting, dan yang perlu dan
menarik bagi seorang peneliti bahasa adalah sistem kaidah yang dipakai si pembicara untuk
membuat kalimat yang diucapkannya. Jadi, tata bahasa harus mampu menggambarkan
kemampuan si pemakai bahasa untuk mengerti kalimat yang tidak terbatas jumlahnya, yang
sebagian besar, barangkali, belum pernah didengarnya atau dilihatnya. Pada dasarnya setiap
kita mengucapkan suatu kalimat, kita telah membuat kalimat baru yang berbeda dari sekian
banyak kalimat yang pernah kita ucapkan atau tuliskan. Kemampuan seperti ini, yakni
mampu membuat kalimat-kalimat baru, disebut aspke kreatif bahasa. Dengan kata lain,
menurut aliran Chomsky ini, sebuah tata bahasa hedaknya terdiri dari sekelompok kaidah
yang tertentu jumlahnya, tetapi dapat menghasilkan kalimat yang tidak terbatas jumlahnya.
Hal ini dapat kita bandingkan dengan kemampuan dalam mengalikan bilangan. Setiap orang
yang telah menguasai perkalian 0-9, tentu akan dapat mengalikan perkalian lain, misalnya
19x37, atau 125x4319. Kemampuan untuk mendapatkan jawaban yang benar bukanlah
karena dia telah pernah melihat atau melakukan perkalian tersebut, tetapi karena kaidah
perkalian 0-9 telah dikuasai.217
Dalam disiplin linguistik modern, ada beberapa teori yang dipakai untuk memahami
makna, antara lain: Pertama, teori referensial (نظرية إشارية) menurut Salim Sulaiman al-
217
Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2007), h. 363 – 365.
158
Khammas, sebagaimana yang dikutip H.R. Taufiqurrochman, yaitu teori pertama yang
berusaha memahami hakikat makna. Teori ini berpendapat bahwa makna sebuah ungkapan
kata/kalimat ialah apa yang dirujuknya atau untuk apa ungkapan dipakai.218
Umpamanya,
ungkapan ―si manis‖ berarti kucing yang bernama si manis. ―Kucing‖ adalah jenis kucing
atau sifat-sifat yang dipunyai kucing. Menurut teori referensial, sebuah makna tergantung
pada sesuatu/acuan yang ditunjukkan oleh kata atau kalimat dan sesuatu itu berada di luar
kata atau bahasa. Acuan sesuatu yang berada di luar, jelas tidak terbatas. Karena itu, teori ini
berupaya membatasi acuan dengan cara mengklasifikasikan dalam beberapa hal, yaitu: isim
alam; kata kerja; kata sifat; ahwal; dan isim jenis. Dalam memahami makna, teori referensial
melakukan analisis terhadap acuan, sehingga makna adalah hubungan antara bahasa/kata
dengan benda/acuan, sebagaimana teori ―segitiga makna‖ yang telah dipaparkan secara
gamblang di atas. Kelemahan teori referensial adalah adanya ketidaksamaan antara kata dan
acuan. Selain itu adanya perbedaan antara makna dan acuan; jumlah makna ada satu;
terkadang sebuah acuan telah lenyap dan tinggal maknanya.219
Kedua, teori konseptual (نظرية تصورية) adalah teori konseptual, teori ideasional, teori
intensional, dan teori mentalistik (mentalism theory). Menurut teori ini, makna suatu
ungkapan ialah ide atau konsep yang dikaitkan dengan ungkapan itu dalam pikiran orang
yang mengetahui ungkapan itu. Berarti, makna berada di dalam benak atau pikiran manusia
(dzihniyah), ketika sebuah kata didengar oleh pendengar atau dipikirkan oleh pembicara.
Menurut al-Juwainī dan al-Râzī seperti dalam H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi
Bahasa Arab, kata-kata mufrad (tunggal) tidak ditujukan pada acuan di luar bahasa, akan
tetapi pada makna-makna yang terkonsep di dalam pikiran. Pendapat yang sama dikatakan al-
Baidhâwi, Ibnu Zamalkanī, dan al-Qurtubī. Al-Râzī berargumen bahwa seseorang yang
218
H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (UIN Malang Press: Suksess Offset, 2008), h. 38. 219
H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (UIN Malang Press: Suksess Offset, 2008), h. 38-
41.
159
melihat sesuatu dari kejauhan, ia mengiranya batu, lalu ia berkata batu. Ketika jaraknya lebih
dekat, ia meyakininya pohon, lalu berkata pohon. Di saat jaraknya lebih dekat lagi, ia berpikir
kuda, lalu berkata kuda. Kemudian, jika ia telah sampai dan mengetahui bahwa sesuatu itu
adalah manusia, ia pun berkata manusia. Hal ini menunjukkan bahwa lafal/kata dapat berubah
sesuatu dengan makna yang terkonsep dalam benak seseorang, bukan pada benda/acuan yang
berada di luar. Kekurangan teori konseptual antara lain: a. makna yang diajukan oleh teori ini
bersifat tidak jelas, karena konsep/benak seseorang dapat berbeda-beda dan berbilang untuk
satu acuan/benda. Misalnya ketika mendengar kata segitiga, maka ungkapan ini pada benak
seseorang dengan orang lain dapat berbeda-beda. Ada yang membayangkan segitiga sama
kaki, segitiga sama sisi dan sebagainya. Secara hemat, ia berada di dalam benak/konsep/ide
manusia yang dapat berbeda dan berubah-ubah dalam mengacu pada satu kata; b. adanya
beberapa ungkapan yang berbeda-beda terkadang hanya memiliki satu makna konseptual; c.
ada beberapa kata/lafal yang memiliki makna konseptual yang sifatnya tidak jelas dan masih
kontradiktif di kalangan manusia. Terutama, kata-kata seperti: raksasa, besar, dan lain-lain.
demikian juga kata-kata yang bersifat mentalistik (aqliyah), seperti cinta, jujur, sakit hati,
ragu dan lain sebagainya.
Ketiga, teori behavioris (نظرية سلو كية). Teori ini mengatakan bahwa makna suatu
ungkapan ialah rangsangan (matsīr) yang menimbulkannya, atau respon (istijâb) yang
ditimbulkannya, atau kombinasi dari rangsangan dan respon pada waktu pengungkapan
kalimat itu. Dengan teori ini, berarti lingkungan memiliki andil besar dalam pembentukan
bahasa dan makna. Bahasa menunjukkan kualitas pembicara. Artinya kepribadian seseorang
bisa diamati dan dianalisis dari tutur katanya, dari bacaan yang digemarinya, juga karakter
bahasa yang ada, karena setiap bahasa memiliki muatan filsafat yang akan membentuk sifat
masyarakatnya, dan pada gilirannya, secara dialektis masyarakat akan membentuk karakter
160
bahasa yang ada. Ibarat sebuah disket/memori komputer, perasaan, pikiran, dan perilaku kita,
disadari atau tidak, banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang termuat dalam bahasa. Tindakan
berbahasa akan masuk dan terekam dalam sistem memori, kemudian berproses
mempengaruhi program perasaan dan pikiran yang diteruskan output-nya dalam bentuk
ucapan dan perilaku.220
Keempat, (نظرية سياقية), menurut teori ini cara untuk memahami makna bukan
dengan melihat, mendeskripsikan atau mendefinisikan acuan/benda. Akan tetapi, makna
dipahami melalui konteks kebahasaan (siyâq lughawī) yang digunakan dan konteks situasi-
kondisi (siyâq hâl-mawqif) pada saat ungkapan itu terjadi. Oleh karena itu, studi tentang
makna perlu menganalisis konteks kebahasaan dan konteks situasi-kondisi secara sekaligus,
tepat, dan cermat. Konteks (siyâq) menurut bahasa berarti kesesuaian dan hubungan. Di sini,
konteks berarti lingkungan kebahasaan (intra-lingual) dan luar kebahasaan (ekstra lingual)
yang meliputi wacana dan mengungkap maknanya. Cakupan konteks bahasa (siyâq lughawī)
antara lain bagian-bagian bahasa seperti: kosakata, kalimat dan wacana. Unsur-unsur intra-
lingual dibedakan menjadi enam aspek yaitu struktur fonem (تركيب صويت), struktur morfologis
تركيب معجمي() struktur leksikal ,(تركيب رموي) struktur sintaksis ,(تركيب صريف) , unsur idiomatik
.dan unsur pragmatik ,(مصاحبة(
Selain itu ada konteks situasi-kondisi (siyâq mawqif-hâl). Unit-unit yang ada di
dalam sebuah ungkapan kalimat (bahasa) bukan sekedar susunan beberapa kata. Akan tetapi,
lebih daripada itu, unit-unit intra-lingual juga berhubungan dengan hal-hal lain di luar
kebahasaan (ekstra-lingual). Makna leksikal (arti kamus) tidak bisa mencakup makna utuh
220
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika (Bandung: Mizan,
2011), h. 119.
161
sebuah ungkapan, sebab unsur-unsur lain di luar bahasa juga memberi andil besar dalam
memahami makna. Misalnya, unsur kepribadian penutur, pribadi mendengar, hubungan antar
kedua pihak, situasi dan kondisi pada saat ungkapan terjadi, seperti: pakaian, tempat, mimik
wajah, dan sebagainya, semua turut mempengaruhi makna sebuah ungkapan.
Teori konseptual berpendapat, mempercayai makna hanya sebatas pada ungkapan
bahasa merupakan pemahaman yang salah, sebab antara ungkapan bahasa dan konteks bahasa
adalah dua unsur yang mesti ada dan keduanya saling melengkapi. Aspek konteks yang perlu
dipertimbangkan dalam memahami makna, antara lain: bahasa perbuatan (kalâm al-fi‟il);
karakter penutur bahasa (thabī‟ah al-mutahadditsīn); karakter tema pembicaraan (thabī‟ah
al-Asyyâ‟); aksi/situasi bahasa (al-af‟âl al-mushâhabah li al-kalâm); dan waktu pembicaraan
(zamân al-kalâm). Selain itu, ada juga yang namanya kontaeks sosial-budaya (siyâq tsaqafī-
ijtimâ‟i), yakni situasi sosial budaya kondisi pada saat ungkapan bahasa terjadi. Makna
sebuah ungkapan dapat berubah karena perbedaan aspek sosial atau budaya.221
3. Kritik atas Konsep Strukturalisme Ferdinand de Saussure dan
Behaviorisme Leonard Bloomfield
Linguistik tradisional selalu menerapkan pola-pola tata bahasa Yunani dan Latin
dalam mendeskripsikan suatu bahasa, maka linguistik strukturalis tidak lagi melakukan hal
demikian. Linguistik strukturalis berusaha mendeskripsikan suatu bahasa berdasarkan ciri
atau sifat khas yang dimiliki bahasa itu. Pandangan ini adalah sebagai akibat dari konsep-
konsep atau pandangan-pandangan baru terhadap bahasa dan studi bahasa yang dikemukakan
oleh de Saussure. Ferdinand de Saussure sering disebut sebagai Bapak atau Pelopor
Linguistik Modern, berkat karyanya yang diterbitkan oleh murid-muridnya. Course de
Linguistique Generale (1916), yang disusun dan diterbitkan oleh Charles Bally dan Albert
221
H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab (UIN Malang Press: Suksess Offset, 2008), h. 44-
50.
162
Sechehay tahun 1915 (jadi, dua tahun setelah de Saussure meninggal) berdasarkan catatan
kuliah selama dirinya memberi kuliah di Universitas Jenewa tahun 1906-1911. Buku tersebut
sudah diterjemahkan oleh Wade Baskin (terbit 1966) dan juga ke dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat (terbit 1988). Pandangan-pandangannya yang relatif baru
mengenai bahasa yang dimuat dalam buku itu. Pemikirannya itu, di antaranya sebagai
berikut, yaitu pertama, telaah simbolik (al-tazâmuniyyah) dan diakronik (al-ta‟âqubiyyah)
dalam studi bahasa, kedua, perbedaan antara langage, langue, dan parole, dan ketiga,
perbedaan signifiant dan signifie, sebagai pembentuk signe linguistique, dan keempat,
hubungan sintagmatik dan hubungan asosiatif atau paradigmatik.
Yang dimaksud dengan la langue adalah keseluruhan sistem tanda yang berfungsi
sebagai alat komunikasi verbal antara para anggota suatu masyarakat bahasa, sifatnya
asbtrak. Sedangkan yang dimaksud dengan la parole adalah pemakaian atau realisasi langue
oleh masing-masing anggota masyarakat bahasa, sifatnya konkret karena parole itu tidak lain
daripada realitas fisis yang berbeda dari orang yang satu dengan orang yang lainnya. Dalam
hal ini yang menjadi objek telaah linguistik adalah langue yang tentu saja dilakukan melalui
parole karena parole itulah wujud bahasa yang konkret, yang dapat diamati dan diteliti.
Signifiant adalah citra bunyi atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran kita.
Sedangkan signifie adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita. Untuk
lebih jelas, ada yang menyamakan signie itu sama dengan kata, signifie sama dengan makna,
dan significant sama dengan bunyi bahasa dalam bentuk urutan fonem-fonem tertentu.222
Teori Ferdinand de Saussure tentang bahasa cenderung menganggap bahasa sebagai
simbol yang bermakna. Bahasa tidak dapat dipisahkan dari penuturnya yang hidup dalam
lingkungan sosialnya. Kajian bahasa dapat didekati secara sinkronik dan diakronik. Bahasa
terdiri dari struktur-struktur yang membentuknya, seperti bunyi bahasa (ujaran), kata-kata,
222
Abdul Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 66. Lihat pula Abdul
Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 346-348.
163
frasa, dan kalimat. Makna bahasa dapat dilihat dari hubungan antara petanda dan penanda,
hubungan antara keduanya bersifat arbitrer, dan dapat dianalisis melalui segmentasi dan
klasifikasi. Secara umum, teori yang dimajukan adalah strukturalisme.223
Dalam studi bahasa, asal usulnya bisa dilacak dari teori strukturalisme De Saussure
(1857-1913). Ia menyarankan kajian bahasa bersifat intralinguistik yang sinkronik
(ta‟ashurîyyah), yaitu kajian atas bahasa sebagai tindak bahasa atau kata apa adanya,
berdasarkan fenomena bahasa yang tampak, baik sebagai fonologi, morfologi, sintaksis, dan
semantik, yang terikat oleh ruang dan waktu. Bahasa tidak harus dilihat dalam hubungannya
dengan fungsi pendidikan atau tujuan-tujuan lain di luar dirinya. Teori de Saussure yang
sering disebut teori deskriptif (washfiyyah) ini ingin membebaskan kajian bahasa dari
lingkungan ilmu-ilmu lain seperti psikologi, sejarah, filsafat, atau ilmu kebudayaan lain.
Teori yang menekankan ekstrinsikalitas bahasa, bagi de Saussure, kurang meyakinkan,
bahkan tidak ilmiah. Teori deskriptif de Saussure ini, terutama menolak teori historisitas
bahasa yang mengkaji perubahan bahasa sepanjang masa, baik fonologi, morfologi, sintaksis,
dan sistem sintaktikalnya. Kajian historis bahasa, karena mengkaji bahasa dalam jangka
waktu yang panjang (diakronik/târîkhiyyah) dinilai sulit diukur dan kajian bahasa yang
bersifat ektralinguisitik kurang empirik. Karenannya, dinilai de Saussure tidak ilmiah.224
Dalam pengertian bahasa dengan tindak tutur dalam konteks kebahasaan di atas,
relasinya dengan pola keagamaan, dalam studi bahasa (linguistik), bisa dikaji dengan banyak
teori. Di antaranya adalah teori mentalistik (nazhariyyah „aqliyyah) atau transformatif
(tahwîliyyah) Noam Chomsky (Lahir 1928) yang menolak teori deskriptif De Saussure yang
lahir sebelumnya. Dalam teorinya, Chomsky memandang bahasa merefleksikan pikiran
penutur/penulisnya. Bahasa merupakan ungkapan dan respon kejiwaan penulis/penuturnya
223
Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik
Tammâm Hassân (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 68. 224
Sukron Kamil, dkk, Pola Keagamaan dan Bahasa, Laporan Penelitian Kompetitif-Kolektif UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, h. 1-2.
164
atas rangsangan lingkungan yang melatari. Berbeda dengan teori deskriptif De Saussure,
objek kajian bahasa, berdasarkan teori ini, adalah seputar pengetahuan para penggunanya
dengan memahami bentuk-bentuk kalimat yang lahir karena adanya kompetensi dan
performance. Kompetensi adalah kemampuan seseorang dalam mengungkapkan perasaan
dan pikiran kepada lawan bicara/audiensnya dimana lawan bicara/audiensnya bisa
memahami. Kompetensi kebahasaan seseorang ini terkait dengan intuisi. Sedangkan
performance adalah penggunaan real atau perwujudan berbahasa dalam berragam situasi.
Pandangan Chomsky tentang kompetensi dan performance membawanya pada kesimpulan
bahwa bahasa manusia, menurutnya, lebih banyak berasal dari faktor bawaan ketimbang yang
lain seperti struktur sosial seperti diyakini Durkheim. Bahasa seseorang ditentukan lebih
banyak secara genetis. Sebab itu, teorinya sering disebut juga teori genetis. Seorang anak,
baginya, belajar bahasa bukan dari nol, melainkan hanya menyeleksi pilihan-pilhan khusus
dari suatu tatanan yang sudah dispesifikasi sebelumnya. Dalam berbahasa, seorang anak sama
dengan mengubah tombol saklar dari sebuah kotak saklar untuk menyesuaikan parameter-
parameter bahasa yang dipelajari‖. Dalam khazanah Arab, teorinya ini hampir sama dengan
teori Ibn Faris (941-1004) dalam as-Shahibi-nya. Baginya, meski bahasa berkembang sesuai
dengan perklembangan manusia penggunannya, bahasa adalah tauqifi (sebagai faktor
bawaan). Yang dijadikan rujukannya adalah QS al-Baqarah/2: 31, yiatu ayat: ―Dia (Allah)
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda di dunia) seluruhnya‖.
Chomsky pun kemudian menyarankan menginterogasi fenomena bahasa (struktur
kalimat) yang dikaji dengan mengubahnya dalam bentuk kalimat lain, baik karena opsional
maupun keharusan. Yang opsional misalnya dengan mengubah kalimat aktif dengan pasif,
kalimat berita dengan kalimat tanya, atau mengubah kalimat positif dengan negatif, karena
sesungguhnya manusia dalam berkomunikasi dengan bahasa hanya menangkap
pikiran/gagasan. Bahasa dalam hal ini bisa berubah sesuai konteks. Sedangkan kalimat yang
165
wajib diubah berlaku untuk struktur kalimat yang salah, baik karena secara logika kacau
maupun karena tidak sesuai aturan kebahasaan. Transformasi bahasa juga bisa dilakukan
dengan membuang, mengganti, memperluas, meringkas, dan menambah kata atau kalimat. Ia
juga membagi kalimat pada dua bagian: struktur sederhana (struktur lahir) dan struktur dalam
(struktur batin). Struktur yang lahir tegasnya adalah apa yang ditulis atau yang diungkap.
Sementara struktur batin adalah makna bahasa. Teori mentalistik Chomsky di atas
sesungguhnya melanjutkan dan mengaskan teori ideasi Plato. Dalam teori ini, bahasa
bersumber dan berhubungan dengan gagasan/ide-ide. Bahasa bukan saja alat/media untuk
menyampaikan pikiran, melainkan kajian atas penggunaan bahasa dengan harus merujuk
pada pikiran. Gagasan atau ide-ide merupakan titik sentral yang melahirkan dan menentukan
analisis bahasa. Gagasan adalah cermin yang tampak yang menunjukkan keadaan batin
internal penutur/penulisnya. Berkomunikasi lewat bahasa karenanya, merupakan bentuk
komunikasi pikiran.
Teori mentalistik dan kontekstual, terutama konteks budaya, yang terdapat dalam
kajian linguistik di atas dalam sosiologi sebanding dengan teori tindakan dari Max Weber
(1864-1920). Menurutnya, struktur sosial adalah produk tindakan, produk dari pilihan yang
dimotivasi. Bagaimanapun tindakan manusia sebagai masyarakat, termasuk tindakan
bahasanya, merupakan tindakan mental. Karenanya, tugas ilmu sosial, tegas Weber, adalah
mencari makna di balik tindakan, termasuk tindakan bahasa. Setiap tindakan, tegas Weber,
memiliki alasan-alasan, kejadin historis yang mempengaruhi, dan tujuan. Weber menyebut
metodenya sebagai verstehen, yaitu kemampuan untuk masuk ke dalam kehidupan mental
pelaku/penulis/penutur atas dasar tanda-tanda yang diberikannya. Sebab itulah, ia
memandang kapitalisme bukan sebagai mode produksi seperti ilmuan sosial lain, melainkan
sikap/semangat, suatu cara memandang sesuatu. Kapitalisme pun dilihat sebagai proses
rasionalisasi ekonomi. Ia pun meneliti kapitalisme kaitannya dengan etika Protestanisme.
166
Baginya, meskipun faktor lain seperti kondisi material dan kepentingan-kepentingan
ekonomi ikut berpengaruh, tetapi bisa dipastikan bahwa etika Protestan yang tertera dalam
teks-teks kegamaannya merupakan salah satu faktor yang mendorong berkembangnya
kapitalisme di Barat. ini artinya agama (teks-teks bahasa Protestanisme) menjadi landasan
dalam praktik ekonomi kapitalisme bagi pelakunya. Argumennya, karena teks-teks etika
Agama Protestan, terutama Calvinisme, mendorong semangat untuk maju, menekankan pada
usaha menghindari kemalasan atau kenikmatan semaunya, menekanakan rajin bekerja, dan
menekankan pada usaha membatasi konsumsi agar uang yang ada bisa diinvestasikan
kembali. Bagi umat Prostestan, Tuhan hanya memberi peluang kepada hambanya yang yang
mau bekerja keras. Bekerja dalam pandangan Protestanisme sebagaimana tertera dalam teks
keagamaannya merupakan sebuah tugas suci dan sebagai panggilan Tuhan. Bekerja juga
merupakan prasyarat untuk mencapai keselamatan. Orang yang tidak mau bekerja dianggap
sebagai orang yang melanggar aturan/teks agama, mengikarainya, dan melanggar perintah
Tuhan. Dalam teks-teks agama ini, karena seoarang tidak mengetahui takdirnya, maka tugas
manusia mencari takdir yang terbaik untuk dirinya. Selain itu, teks-teks keagamaan
Calvisnime yang dibawa John Calvin (1509-1564) juga mengibarkan semangat belajar dan
mengizinkan pengambilan bunga uang, sesuatu yang dikutuk oleh moralis Katolik
sebelumnya. Bunga yang dihalalkan dalam reinterpretasi teks keagaman Calvinisme inilah
salah satu faktor penting berkembangnya kapitalisme di Barat.225
Adapaun Leonard Bloomfield (1887-1948) mendasarkan teorinya tentang bahasa
pada input psikologi yang pada waktu itu dominan, yaitu aliran Behaviorisme. Dalam konteks
ini, Bloomfield menghendaki supaya ilmu bahasa mengikuti metode ilmu eksakta yang ketat
(obyek yang diteliti dapat diamati dan diukur). Dengan teori tingkah laku (behaviorisme) ia
menyetujui makna-makna bahasa. Menurutnya, studi bunyi-bunyi ujaran tanpa
225
Sukron Kamil, Pola Keagamaan dan Bahasa: Studi Kontekstual Kata Serapan Arab dalam Teks-
Teks Keislaman Kontemporer (Jakarta: Laporan Penelitian Kompetitif-Kolektif UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2013), h. 27-31.
167
mempertimbangkan makna adalah sebuah abstraksi dalam penggunaan aktual, bunyi-bunyi
ujaran itu merupakan ekspresi sebagai tanda. Makna, menurutnya, merupakan bentuk
linguistik sebagai situasi di mana pembicara mengekspresikannya dan sebagai respon yang
seterusnya memanggil pendengarnya. Situasi pembicara dan respon pendengarnya berada
dalam suatu urutan koordinasi. Ilustrasinya: stimulus pembicara ⤇ pembicaraan ⤇ respon
pendengar. Makna sebagai sebuah bentuk bahasa (linguistic form) dapat dianalisis dari segi
situasi di mana pembicara mengekspresikannya. Pembicara tidak hanya hadir dengan ide
(pesan) yang hendak disampaikan, akan tetapi juga menunjukkan situasi tertentu.
Inti teori aliran Behaviorisme tersebut adalah bahwa perilaku manusia (al-sulûk al-
insânī, nazhariyyah sulûkiyyah) itu terbentuk sebagai respon terhadap adanya stimulus.
Bahasa termasuk salah satu bentuk perilaku manusia. Sejak terbitnya Language karya
Bloomfield pada tahun 1933, linguistik struktural di Amerika mengalami kemajuan yang
cukup pesat. Sejak itu ditemukan konstruk-konstruk teoritik seperti fonem dan morfem,
pemisahan tahap analitik (analytic levels) untuk subkomponen fonemik, morfemik, dan
sintaktik; di samping juga penemuan konsep relativitas linguistik dari berbagai bahasa-bahasa
non Eropa, penerapan konsep teoritik pada pengajaran bahasa. Implikasi dari temuan
tersebut, antara lain mengandung penerus Bloomfield seperti Charles Fries (1887-1967),
Robert Lado (1915-1995), Wilga Rivers, dan Nelson Brooks membuat pendekatan lisan (oral
approach) sebagai satu-satunya metode pengajaran bahasa ―yang benar‖ pada saat itu. Teori
Bloomfield yang ―disinergikan‖ dengan teori Skinner (1904-1990) tentang belajar bahasa
menyatakan bahwa pemerolehan bahasa itu mirip dengan pemerolehan kebiasaan yang lain,
melalui stimulus, respon, dan reinforcement (ta‟ziz, peneguhan). Bahasa dinilai sebagai
bagian dari kebiasaan atau perilaku bahasa yang dapat diperoleh (dipelajari) oleh anak kecil
secara bertahap (gradual) melalui pendengaran (istimâ‟), peniruan/imitas (muhâkat),
peneguhan (ta‟zīz), dan pengulangan (takrâr), hingga akhirnya bahasa itu dapat dikuasai
168
dengan baik (menjadi kebiasaan). Perilaku bahasa, menurut Bloomfield, dirumuskan dan
dilambangkan dengan S (stimulus) ⤇ R (respon) r….s ⤇ R. Karena itu, menurutnya, bahasa
merupakan sekumpulan ujaran yang muncul dalam suatu masyarakat tutur (speech
community). Ujaran inilah yang diharus dikaji untuk mengetahui bagian-bagiannya. Bahasa
adalah sekumpulan data yang mungkin muncul dalam suatu masyarakat. Data ini merupakan
ujaran-ujaran yang terdiri dari ptongan perlaku (tabiat) yang disusun secara linear.226
Teori
behavioral (نظرية سلو كية) dalam filsafat bahasa juga, yang berpandangan bahwa makna
paling mendasar dari sebuah ungkapan terletak pada pesan yang dikehendaki oleh pembicara
dalam rangka mempengaruhi perilaku pendengar atau pembicara. Semua ucapan maupun
permintaan pada dasarnya memuat pernyataan dan permintaan yang menghendaki respons
dari pihak pendengar atau pembicara. Artinya, dalam bahasa selalu terkandung makna
behavioral karena adanya tuntutan kepada orang lain untuk melakukan sesuatu.227
E. Ulasan Singkat Terjemah Harfiyah dan Tafsiriyah
Dalam konteks penerjemahan, suatu hal yang urgen untuk menerjemahkan Al-
Qur‘an ke dalam bahasa adalah yang bisa dipahami oleh setiap pemilik bahasa, karena intinya
Al-Qur‘an diturunkan adalah untuk dipahami kandungan ayatnya oleh ummat dan masyarakat
pembaca. Untuk itu, istilah menerjemahkan Al-Qur‘an memiliki beberapa pengertian dan
metode/cara yang harus ditempuh yaitu:
(a) Terjemah harfiyah (literal translation)
Adapun terjemah harfiyah yaitu menerjemahkan Al-Qur‘an ke dalam bahasa
sasaran (Bsa) sesuai dengan mufradât (kosakata) ataupun susunan kalimat yang sesuai
226
Muhbib Abdul Wahab, Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Tammâm Hassân
(Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, 2008), h. 48-49. Disertasi pada Pendidikan Bahasa Arab. 227
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika (Bandung: Mizan,
2011), h. 123.
169
dengan bahasa aslinya. Terjemah harfiyah dapat diartikan juga dengan memindahkan
pengertian dari satu bahasa ke bahasa lain sambil tetap memelihara susunannya dan sekalian
makna asli yang terkandung dalam teks yang ingin diterjemahkan. Penerjemahan dilakukan
dengan mengkonversi konstruksi gramatika bahasa sumber ke dalam konstruksi bahasa
penerima yang paling dekat. Terjemah harfiyah (literal/letterleijk) digunakan sebagai tahap
awal dari kegiatan penerjemahan untuk memecahkan kerumitan struktur nash (teks). Kategori
ini melingkupi terjemahan-terjemahan yang sangat setia terhadap teks sumber. Kesetiaan
biasanya digambarkan oleh ketaatan penerjemah terhadap aspek tata bahasa teks sumber
seperti urutan-urutan bahasa, bentuk frasa, bentuk kalimat dan sebagainya. Bagaimana dalam
konteks penerjemahan Al-Qur‘an bila menggunakan teori terjemah harfiyah ini? sudah dapat
dipastikan hasil terjemahannya menjadi saklek dan kaku karena penerjemah memaksakan
aturan-aturan tata bahasa Arab (gramatical arabic) ke dalam bahasa Indonesia yang tentunya
keduanya memiliki perbedaan yang mendasar.
Menurut al-Zarqânī, terjemahan seperti ini tak ubahnya dengan kegiatan mencari
padanan kata. Terjemahan seperti ini disebut juga terjemahan lafziyah atau musâwiyah. Al-
Zarqânī mengatakan:228
و وضع املرادف فهي تشبلتمجة الرفية ىي اليت تراعى فيها حماكاة األصل يف نظمو وترتيبو، فا
.يسميها مساوية، وبعضهم ترمجة لفظيةالتمجة ىذه ، وبعض الناس يسمىمكان مرادفو Terjemahan harfiyah dilakukan dengan cara memahami arti kata demi kata yang
terdapat dalam teks terlebih dahulu. Setelah benar-benar dipahami, dicarilah padanan kata
(murâdif) dalam bentuk bahasa penerima (Bpe), dan disusun sesuai dengan urut-urutan kata
bahasa sumber (Bsu) meskipun maksud kalimat menjadi tidak jelas. Sebenarnya terjemahan
harfiyah dalam pengertian urut-urutan kata dan cakupan makna persis seperti bahasa sumber
228
Syaikh Muhammad Abdul ‗Azhīm al-Zarqânī, Manâhil al-„Irfân fī „Ulûm al-Qur‟an (Kairo: Dâr al-
Hadīs, 2001), juz ke-2, h. 95-96.
170
(Bsu) tidak mungkin dilakukan, sebab masing-masing bahasa (bahasa sumber dan bahasa
penerima) selain mempunyai ciri khas sendiri dalam urut-urutan kata, adakalanya masing-
masing ungkapan mempunyai makna yang mengandung nuansa tersendiri.229
Terjemah ini disebut juga sebagai terjemah lafziyah, menerjemahkan sesuai dengan
susunan dan struktur bahasa asal. Al-Zahabī seperti dalam Tim Tafsir Al-Qur‘an
Kementerian Agama, membagi terjemah harfiyah ini ke dalam dua model yaitu harfiyah bi
al-misl, yaitu terjemahan yang dilakukan apa adanya sesuai dengan bahasa asal dan harfiyah
bighairil misl, yaitu terjemahan yang sedikit longgar keterikatannya dengan susunan dan
struktur bahasa asal yang diterjemahkan.230
Terjemahan harfiyah bisa saja dirubah sedikit
agar berterima di dalam BSa (bahasa sasaran), sehingga terjemahan BSa: misalnya ذلك البيت
menjadi terjemahan yang berterima; rumah itu di (itu rumah di depan masjid) أمام املسجد
depan masjid. Perubahan terjemahan harfiyah ini disebut oleh Larson seperti dikutip Tardi,
sebagai terjemahan harfiyah yang dimodifikasi (modified literal translation). Istilah
terjemahan harfiyah menurut Nida, Taber, dan Larson, masih dalam kutipan Tardi, ini disebut
dengan terjemahan kata-demi-kata oleh Newmark, karena dalam terjemahan ini tata bahasa
BSu dan susunan katanya dipertahankan di dalam BSa.231
Dalam kegiatan penerjemahan, setiap jenis nash sepatutnya diperlakukan secara
khusus. Perlakuan ini menyangkut masalah teoritis yang bertalian dengan metode dan
prosedur penerjemahan, kualifikasi penerjemah, dan proses penerjemahan. Karena itu,
penerjemahan nash keagamaan berbeda dengan penerjemahan nash ilmiah, nash sastra, dan
229
Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‟an Departemen Agama Edisi 1990 (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2001), h. 60-61.
230 Tim Tafsir Al-Qur‘an, Mukadimah Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Kemenag (Edisi yang disempurnakan),
(Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI, 2012), h. 31-32. 231
Tardi, Koherensi Terjemahan Al-Qur‟an: Analisis Struktural Terjemahan Al-Qur‟an Depag RI Edisi
Tahun 2002 (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 23-24. Tesis pada SPs
UIN Jakarta, konsentrasi Pendidikan Bahasa Arab.
171
jenis nash lainnya. Perbedaan perlakuan ini erat dengan karakteristik isi dan bahasa yang
mengungkapkan isi itu. Nash sastra misalnya, memiliki fungsi menghibur dan mendidik.
Fungsi yang demikian dimainkan dengan bahasa yang memperhatikan unsur-unsur
keindahan. Penerjemahan dilakukan dengan perlu berupa menjalankan kedua fungsi tersebut
di dalam bahasa terjemahan yang indah.
Demikian pula halnya penerjemahan (nash) teks keagamaan, misalnya dalam konteks
ini adalah nash Al-Qur‘an dan hadis Rasul, yang memerlukan penanganan tersendiri. Bagi
orang Islam, nash Al-Qur‘an memiliki aneka dimensi dan fungsi yang perlu dijaga dan diraih
manfaatnya. Agar segala kebaikan Al-Qur‘an, kedalaman makananya, dan keindahan
bahasanya tetap terpelihara, maka metode, prosedur, dan teknik penerjemahannya serta
kualifikasi penerjemahnya pun perlu dirumuskan terlebih dahulu. Di samping itu, cara
pandang (mindset) penerjemah nash-nash keagamaan tentu saja berbeda dengan cara pandang
penerjemah nash sastra atau penerjemah teks pada umumnya. Penerjemah nash keagamaan
dituntut untuk jujur dan berniat dakwah, bukan semata-mata untuk mencari keuntungan
materil. Oleh karena itu, kiranya perlu disajikan pembahasan tentang hukum, menerjemahkan
nas keagamaan dengan segala aspeknya.
Banyak argumentasi yang dilontarkan para ulama tafsir tentang penggunaan
terjemahan Al-Qur‘an secara harfiyah, sebab hal itu sangat mustahil dilakukan. Berikut ini
beberapa pandangannya: menerjemahkan Al-Qur‘an dengan mengungkapkan makna dan
maksudnya ke dalam bahasa lain, baik secara harfiah maupun tafsiriyah. Hukum
menerjemahkan dengan cara seperti ini adalah mustahil untuk dilakukan dan haram menurut
syara‟ karena faktor-faktor di bawah ini. a) makna-makna Al-Qur‘an tidak mungkin dapat
diungkapkan melalui terjemahan. Demikian pula dengan tiga maksud utama Al-Qur‘an
sebagai hidayah, sebagai mukjizat Nabi SAW, dan sebagai ibadah dengan membacanya. b)
Penerjemahan dengan pengertian seperti itu berarti menyerupai Al-Qur‘an. Hal demikian
172
mustahil dilakukan. c) Jika perbuatan seperti itu mustahil dilakukan, maka melakukan sesuatu
yang mustahil adalah diharamkan oleh Islam. Allah melarang manusia menjerumuskan diri
ke dalam kebinasaan, lihat QS. al-Baqarah ayat 195 di bawah ini:
ا فمه أ ف ج١ ل لل ٱ ع ا ره ثأ ٠ مه ٱ ئ ذ٠ىه خ ز أ ح هى غه ا ح ٱ ٠هحت لل ٱ ئ ه ٠٦٤ غ١
Allah tidak membebani manusia di luar batas kemampuannya. d) Terjemahan dapat
melalaikan umat dari Al-Qur‘an itu sendiri. e) Al-Qur‘an dapat disebarkan bukan dengan
terjemahannya. Nabi SAW sendiri, beliau adalah manusia yang paling mengerti Al-Qur‘an—
tidak menerjemahkan Al-Qur‘an tatkala menyeru bangsa Arab, asing, dan para pemuka
masyarakat. Demikian pula halnya dengan para sahabat.232
Universitas Al-Azhar Kairo Mesir
telah lama menaruh perhatian terhadap masalah penerjemahan Al-Qur‘an. Karena itu,
diselenggarakanlah diskusi, dialog, dan seminar yang membahas masalah tersebut. Dari
kegiatan ini dapat disimpulkan fatwa berikut berkenaan dengan penerjemahan Al-Qur‘an ke
bahasa asing dan hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah itu.
a. Dalam menafsirkan ayat Al-Qur‘an sedapat mungkin dihindari istilah-istilah ilmiah
kecuali sebatas tuntutan agar lebih dipahami; b. tidak boleh menyuguhkan pandangan-
pandangan ilmiah. Ketika menafsirkan Surat al-Ra‟d, misalnya, tidak perlu disajikan
pandangan ahli astronomi. Penafsiran cukup dilakukan dengan menjelaskan ayat itu ke dalam
bahasa Arab; c. ketika ada beberapa masalah yang perlu diperdalam secara ilmiah, sebaiknya
dibentuk komisi yang bertugas menyusun masalah itu dan menempatkannya sebagai catatan
bagi tafsiran yang telah diberikan; d. komisi itu tidak boleh tunduk kecuali kepada apa yang
dikemukakan oleh ayat yang mulia. Karena itu, komisi jangan terikat oleh suatu mazhab fiqih
atau mazhab teologi tertentu; e. tafsiran dilakukan berdasarkan pada Qiraat Hafash, bukan
Qiraat lainnya kecuali sebatas kebutuhan konteks; f. menghindari pemaksaan dalam
pengaitan surat atau ayat yang satu dengan surat atau ayat yang lain; g. hendaknya disajikan
232
Syihabudin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek) (Bandung: Humaniora, 2005), h.
163-166.
173
sebab-sebab turunnya ayat guna mendukung pemahaman pembaca akan makna ayat; h. pada
saat melakukan penafsiran, hendaknya satu atau sekelompok ayat yang berkenaan dengan
topik tertentu disajikan lebih dahulu. Sajian ini diikuti dengan penjelasan makna kosa kata
yang rumit secara cermat. Setelah itu, barulah makna ayat ditafsirkan dengan jelas, yang
didukung dengan ayat lain yang terkait dan dengan sebab turunnya ayat; i. hendaknya pada
permulaan surat disajikan hal-hal yang berkaitan dengan masalah surat Makkiyyah atau
Madaniyyah dan alasan surat itu digolongkan ke dalam salah satunya; j. sebuah tafsir
hendaknya didahului dengan pengantar yang menyajikan pengertian Al-Qur‘an, kandungan
utama Al-Qur‘an, dan metode penafsiran yang digunakan dalam tafsir tersebut.
Di samping acuan di atas, pembahasan para ulama Al-Azhar pun merekomendasikan
sebuah metode penafsiran makna Al-Qur‘an. Metode ini diuraikan dalam langkah-langkah
seperti berikut. Pertama, membahas sebab turunnya ayat (asbâb al-nuzûl), menafsirkan ayat
dengan hadis dan perkataan para sahabat, meneliti periwayatan hadis dan ucapan tersebut,
menggunakan riwayat yang paling sahih dalam menafsirkan ayat dan menjelaskan kekuatan
atau kelemahan riwayat itu. Kedua, membahas kosa kata Al-Qur‘an secara lughawi,
membahas karakteristik struktur ayat yang ditafsirkan dilihat dari segi ilmu balaghah, dan
menyajikannya. Ketiga, membahas pendapat ahli tafsir dan memilih pandangan yang paling
kuat. Begitu yang ditulis al-Zarqânī, sebagaimana yang dikutip Syihabuddin. Uraian di atas
menegaskan bahwa hampir setiap aspek penerjemahan Al-Qur‘an terkait dengan hukum
syariat. Konsep penerjemahan, metode penerjemahan, dan kualifikasi penerjemah berkaitan
dengan hukum wajib dan haram. Penerjemahan Al-Qur‘an tidak dapat ditelaah dari segi teori
terjemah belaka. Karena itu, penerjemahan Al-Qur‘an perlu dipandang sebagai satu
pendekatan untuk memahami Al-Qur‘an. Demikianlah, penerjemahan Al-Qur‘an sebagai nas
keagamaan, baik secara harfiah maupun tafsiriyah, adalah tidak sama dengan
174
menafsirkannya dengan bahasa Arab atau asing. Menafsirkan Al-Qur‘an dengan bahasa asing
adalah sama dengan menafsirkannya dengan bahasa Arab.233
Penerjemahan Al-Qur‘an baik secara harfiah maupun tafsiriyah dengan pengertian
seperti yang dianut oleh masyarakat pada umumnya, yaitu kegiatan alih bahasa hendaknya
memenuhi seluruh makna dan maksud Al-Qur‘an. Perbedaan antara terjemah harfiah dan
terjemah tafsiriyah hanyalah dalam aspek bentuk. Pada terjemah harfiah, urutan dan
sistematika nas sumber benar-benar diperhatikan, sedangkan terjemah harfiah tidak
demikian. Jadi, penerjemahan Al-Quran yang dibolehkan ialah penerjemahan dalam arti
menyampaikan nas Al-Qur‘an dan menafsirkannya sedangkan penerjemahan dengan arti
mengalihkannya ke bahasa asing adalah dilarang. Yang dibolehkan adalah menerjemahkan
Al-Qur‘an dengan makna menafsirkannya dengan bahasa asing.234
Berkaitan dengan tafsir/penafsiran, Amin al-Khûli seperti yang dikutip Istianah,
mengatakan: bahwa dalam ilmu pengetahuan, konteks sosial-politik, dan aktivitas penafsir
akan mewarnai dan memengaruhi praktik penafsiran Al-Qur‘an yang dilakukan. Pandangan
ini mengarahkan pada satu pemahaman konseptual bahwa penafsiran, dalam konteks ini
penerjemahan secara umum, tidak bisa dilepaskan dari basis sosial-politik, asal-usul, serta
genealogi keilmuan penafsir atau penerjemah. Pandangan semacam ini sejalan dengan yang
dikemukakan Karl Mannheim, bahwa pengetahuan manusia tidak bisa lepas dari subjektivitas
individu yang mengetahuinya. Pengetahuan dan eksistensi merupakan dua hal yang tidak bisa
dipisahkan. Latar belakang sosial dan psikologis subjek yang mengetahui tidak bisa
dilepaskan dari proses terjadinya pengetahuan.
233
Perlu diketahui bahwa dalam bahasa Arab terdapat lafaz-lafaz yang memiliki dua bentuk makna.
Sebagaimana yang diutarakan al-Zahabī, sebagaimana dikutip Saifuddin, pertama, makna asli (dalâlah
ashliyyah), yakni lafaz yang dapat dipahami secara langsung dan ditemukan padanannya dalam bahasa lain.
kedua, makna sekunder (dalâlah tsanawiyyah), yaitu lafaz yang sulit dapat dipahami langsung tanpa melihat
secara keseluruhan kalimat dan konteks pembicaraan. Lihat Saifuddin, Tradisi Penerjemahan Al-Qur‟an ke
Dalam Bahasa Jawa: Suatu Pendekatan Filologis (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an, 2013),
Jurnal Suhuf, Vol. 6, No. 2, h. 241-242. 234
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Teori dan Praktek) (Bandung: Humaniora, 2005), h.
174 – 177.
175
Demikian juga pada aktivitas ‗penerjemahan sebagai bagian dari proses penafsiran, di
mana Richard E. Palmer masih dalam Istianah menyatakan bahwa ―menafsirkan‖ (to
interpret) secara filosofis juga bermakna menerjemahkan (to translate), karena pada dasarnya
―menerjemahkan‖ merupakan bentuk khusus dari proses interpretatif dasar, ―membawa
sesuatu untuk dipahami.‖ ketika teks tertulis dalam bahasa asing, maka ia akan menimbulkan
perbedaan perspektif dan horizon yang tak terelakkan, sehingga dibutuhkan proses
―membawa‖ bahasa asing tersebut ke dalam mediasi bahasa lain untuk dapat dipahami.
Tindakan penerjemahan pun bukan sekadar persoalan mekanis mencari makna dan
menemukan sinonim kata, akan tetapi, seorang penerjemah pun harus mampu melebur dalam
horizon ―pemahaman‖ di dalam teks. Dengan demikian, penerjemahan juga merupakan
proses penafsiran. Selain itu, penerjemahan juga berkaitan dengan ‗makna‖, karena
menentukan makna memiliki peranan penting dalam proses penerjemahan. Dengan demikian,
‗menerjemahkan‘ suatu bahasa tidaklah sesederhana memindahkan makna yang ada di balik
kata atau kalimat bahasa sumber (BSu) dalam bahasa sasaran (BSa), melainkan juga proses
mentransfer pesan dan gagasan dengan segala aspeknya. Oleh karenanya, ketepatan dalam
menentukan makna menjadi syarat penting dalam menjaga kandungan teks dari distorsi dan
tentunya menentukan kualitas hasil terjemahan.
Berkaitan dengan penerjemahan Al-Qur‘an, proses penerjemahan menjadi sesuatu
yang unik, di satu sisi proses ini dianggap hal yang profan, di sisi lain aktivitas ini dipandang
sesuatu yang sakral dan tak jarang menimbulkan kontroversi, karena bahasa Al-Qur‘an
diyakini berdimensi ilahi sehingga proses penerjemahannya pun menjadi sesuatu yang
krusial. Dimensi ilâhiyah yang terkandung dalam bahasa Al-Qur‘an menjadikannya memiliki
muatan makna yang begitu luas, dan proses penerjemahannya menjadi proses pembatasan
makna. Karena adanya pembatasan makna sebagaimana diuraikan di atas, maka sangatlah
wajar jika apa yang disodorkan oleh sebuah karya penerjemahan sangat terbatas, dan
176
penerjemahan tidak mencukupi dalam upaya pemahaman yang komprehensif terhadap
kandungan Al-Qur‘an. Akan tetapi, bukan berarti umat Islam non-Arab ataupun yang tidak
menguasai bahasa Arab tidak dapat memahami Al-Qur‘an, hanya saja pemahamannya masih
terbatas pada penerjemahan saja.235
Harus dipahami bahwa ada 2 makna dalam setiap bahasa. Primer (awwaly atau ashly)
yang bisa dipahami langsung melalui zahir lafal tersebut, tanpa perantara, dan kedua makna
sekunder (tsânawī/tâbi‟ī) yang berupa makna kedua dan seterusnya di balik makna asli. Jika
dikatakan Umar pergi, seketika dari lafal tersebut kita pahami kepergian Umar. Bila ada yang
mengatakan, ―di ruangan ini ada singa‖ tentu yang dimaksud bukan makna sesungguhnya,
yaitu keberadaan hewan yang bernama singa di ruangan ini, akan tetapi seseorang yang gagah
sekali dan berani. Contoh yang pertama disebut makna primer, dan yang kedua disebut
sekunder.236
Keberadaan dua makna ini nampaknya disepakati oleh para ulama. Imam al-
Syâtibī seperti dirujuk Muchlis M. Hanafi, mengemukakan bahwa lafal-lafal dalam bahasa
Arab memliki dua bentuk makna denotative; yaitu primer (dalâlah asliyah) yang dapat
dipahami langsung dan ditemukan padanannya dalam bahasa lain, dan sekunder (dalâlah
tâbi‟ah/tsânawiyah) yang menjadi kekhasan bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Qur‘an
dan hanya dapat dipahami dengan mengetahui karakteristik keindahan bahasanya. Makna
primer bisa dengan mudah diungkapkan ke dalam bahasa-bahasa lain, dan itu tidak masalah.
Misalnya, ketika ingin menjelaskan umar berdiri, semua bahasa bisa
mengungkapkannya. Tetapi di dalam bahasa Arab ada penekanan-penekanan tertentu dengan
memperhatikan siapa yang diajak bicara dan apa yang ingin ditekankan. Bila sekadar ingin
memberitahu cukup dikatakan “qāma „umar”. Tetapi bila yang diajak berbicara mengingkari
235 Istianah, Koreksi Muhammad Thalib terhadap Terjemah Al-Qur‟an Kemenag RI (Sekolah
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2015), h. 20-22. Tesis pada Program Studi Agama dan Filsafat, Konsentrasi
Studi Al-Qur‘an dan Hadis. 236
Muchlis M. Hanafi, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an: Studi pada Beberapa Penerbitan Al-
Qur‟an dan Kasus Kontemporer, dalam Jurnal Suhuf Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an (LPMA), Vol. 4,
No. 2, Tahun 2011, h. 172-173.
177
maka dikatakan, “inna „umara qā‟imun” atau “innamā qāma „umar”, dan seterusnya. Para
ahli bahasa modern, seperti Larson, lanjut Muchlis, juga membedakan makna primer dan
sekunder yang lazimnya lebih dikenal dengan sebutan makna ―referensial‖ dan ―konotatif‖.
Makna referensial adalah makna dasar yang dapat dilihat dalam makna leksikal, gramatikal,
atau tekstual (konteks dari teks). Sedangkan makna jenis kedua dapat dilihat pada adanya
makna tambahan seperti makna sosiokultural. Sebagai contoh, makna kata ―kursi‖ yang
mempunyai makna referensial atau makna primer ―tempat duduk‖, namun juga dapat
mempunyai makna konotatif atau sekunder, misalnya dalam kalimat ―ia baru mendapatkan
kursi yang empuk dalam perusahaan itu; proyek miliaran banyak yang diserahkan
kepadanya.‖
Makna-makna yang timbul karena memperhatikan penekanan-penekanan tertentu dan
kondisi orang yang diajak bicara (mitra tutur/mukhâtab) akan berbeda cara pengungkapannya
antara satu bahasa dengan bahasa lainnya, sebab setiap bahasa memiliki karakter dan ciri
tersendiri. Perbedaan itu bisa lahir karena perbedaan tingkat kecerdasan orang yang
memahami, dan kepandaian serta kepiawaian si pembicara (mutakallim) dalam memilih kata-
kata. Ungkapan yang memiliki dua makna tersebut tentu ada di semua bahasa, apalagi dalam
bahasa Arab yang sangat kaya kosakata dan memiliki banyak keunikan. Kekayaan dan
keunikan bahasa Arab misalnya, terlihat pada beberapa kosakata dan sinonimnya. Kata tinggi
saja mempunyai enam puluh sinonim, bahkan konon kata singa bersinonim lima ratus, dan
kata yang menunjuk kepada aneka pedang ditemukan sebanyak lebih kurang 1000 kata.
Menurut De Hammaer, kata yang menunjuk unta dan keadaannya ditemukan sebanyak 5644
kata. Ada yang memperkirakan kosakata bahasa Arab berjumlah tidak kurang dari 25 juta
kosakata. Sinonim-sinonim tersebut tidak selalu sepenuhnya mempunyai arti yang sama. Kata
jalasa dan qa„ada sama-sama diterjemahkan ―duduk‖, tetapi penggunaannya berbeda. Jalasa
untuk duduk dari yang semula berbaring, dan qa‟ada untuk duduk dari yang semula berdiri.
178
Selain itu bahasa Al-Qur‘an juga banyak menggunakan bentuk majāz (metafor),
musytarak (satu kata dengan dua makna atau lebih yang berbeda), adhdād (satu kata dengan
dua makna yang bertolak belakang) dan kekhasan lainnya yang tidak ditemukan dalam
bahasa lain. Atas dasar itu para ulama sepakat menyatakan banyak kata dan ungkapan dalam
bahasa Arab, lebih-lebih Al-Qur‘an yang dinilai memiliki kualitas sastra tinggi, yang tidak
ditemukan padanannya dalam bahasa lain. Ungkapan ―menjadikan tangan terbelenggu di
leher‖ dan ―membentangkan tangan selebar-lebarnya‖ seperti dalam Q.S. al-Isrā‘ /17: 29
tentu sulit dipahami dalam bahasa lain bahwa yang dimaksud adalah sifat terlalu pelit/kikir
dan sifat boros.
Karena itu, mengutip Ibnu Qutaibah, setelah menjelaskan kedua makna di atas al-
Syâthibī mengatakan sebagaimana dikutip Muchlis M. Hanafi:
يعت على ىذا الوجو الثاين، فأما على الوجو وقد نفى ابن قتيبة إمكان التمجة ىف القرآن،
األول فهو دمكن، ومن جهتو صح تفست القرآن وبيان معناه للعامة ومن ليس لو فهم يقوى على
وكان ذلك جائزا باتفاق أىل اإلسالم ، فصار ىذا اإلتفاق حجة ىف صحة التمجة حتصيل معانيو ،
]٤٦/ ٢املوافقات[على املعت األصلي
Artinya: “Ibnu Qutaibah menafikan kemungkinan Al-Qur‟an diterjemahkan, yaitu
dalam bentuk makna kedua (makna sekunder). Adapun makna pada bentuk yang pertama
(makna asli) dimungkinkan, dan atas dasar itu dibenarkan menafsirkan Al-Qur‟an dan
menjelaskan maknanya untuk orang awam dan yang tidak memiliki kemampuan untuk
menggali makna-makna Al-Qur‟an. Ini dibolehkan berdasarkan kesepakatan umat/ulama
Islam. Kesepakatan ini pula yang menjadi dasar kebolehan/kebenaran terjemah pada makna
primer.”237
237
Muchlis M. Hanafi, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an: Studi pada Beberapa Penerbitan Al-
Qur‟an dan Kasus Kontemporer, h. 173-175.
179
Melihat karakter bahasa Al-Qur‘an yang sedemikian rupa tentu tidak mungkin untuk
dapat menerjemahkannya secara apa adanya, yaitu dengan pengertian ―pengalihan
kalimat/kata dari bahasa pertama kepada kesamaannya dalam bahasa kedua, baik dalam tata
bahasanya maupun arti per kata‖ yang lazim disebut terjemah harfiyah, atau menurut huruf,
kata demi kata (tidak menurut makna yang terkandung dalam kalimat)‖. Terjemah harfiyah
tentu akan mengabaikan sekian banyak makna sekunder dalam Al-Qur‘an, baik yang timbul
karena karakteristik bahasa Arab yang menggunakan bentuk-bentuk majāz, musytarak dan
lainnya, atau yang timbul dari hasil ijtihad dan istimbat hukum di balik lafal yang zahir.
Tetapi itu tidak berarti Al-Qur‘an tidak dapat diterjemahkan. ―Salah jika ada yang
beranggapan Al-Qur‘an secara keseluruhan tidak mungkin diterjemahkan karena
kemukjizatan yang dimilikinya‖, demikian kata Syaikh Musthafâ al-Marāghī, dalam kutipan
Muchlis, ulama besar Mesir yang pernah menjadi Grand Syaikh/pemimpin tertinggi Al-
Azhar. ―yang benar, lanjut al-Marāghī, Al-Qur‘an mungkin diterjemahkan dari segi makna
primernya (al-ashliy), dan mustahil dapat diterjemahkan makna sekundernya‖. Di tempat lain
dalam bukunya Bahtsun fī Tarjamat al-Qur‟an al-Karīm wa Ahkāmiha, ia mengatakan,
―sebagian ayat Al-Qur‘an mungkin diterjemahkan secara harfiyah, dan sebagian lainnya tidak
mungkin‖. Bahkan kemungkinan menerjemahkan Al-Qur‘an secara harfiyah, menurut al-
Marāghī terbuka di banyak ayat, meskipun ia juga mengakui tidak mungkin menerjermahkan
keseluruhan Al-Qur‘an secara harfiyah. Yang tidak dapat diterjemahkan secara harfiyah tentu
harus diterjemahkan secara tafsiriah. Berikut ungkapan al-Marāghī dalam bukunya:
إن االدعاء بأن القرآن الكرمي كلو ال ميكن ترمجتو ألنو معجز، ادعاء خاطئ، بل الق أن
.إنو ميكن ترمجتو من ناحية الدالالت األصلية، ويستحيل ترمجتو من ناحية الدالالت التابع : يقال
ى ٣٢٢٥ل ىدية ملة األزىر مانية لشهر شوا ،٥٣ .، ص”حبث يف ترمجة القرآن الكرمي وأحكامها"
180
Artinya: “Mengatakan Al-Qur‟an seluruhnya tidak mungkin dapat diterjemahkan
karena sifatnya sebagai mukjizat adalah keliru. Yang benar, memungkinkan diterjemahkan
dari sisi makna primer, dan mustahil diterjemahkan dari sisi makna sekunder.”
Lanjut Syaikh Musthafâ al-Marâgī dalam Muchlis M. Hanafi:
ترمجة حرفية، وبعضها ال ميكن أن يتجم ترمجة حرفية إن بعض آيات القرآن ميكن أن تتجم “
“)٢٤. ص( ".Artinya: “Sebagian ayat Al-Qur‟an mungkin diterjemahkan secara harfiah, dan
sebagian lainnya tidak”.
ورمن نعتف بأن التمجة الرفية متعذرة يف كل القرآن، ودمكنة يف آيات كثتة أو يف أكثر
)٥٧.ص". (آيات القرآنArtinya: “Kami mengakui, terjemahan harfiah tidak mungkin dapat dilakukan
terhadap keseluruhan Al-Qur‟an, tetapi untuk banyak ayat, atau sebagian besar ayat al-
Qur‟an dimungkinkan.”
Pandangan-pandangan Syaikh Musthafâ al-Marâgī di atas membatalkan apa yang
dikemukakan oleh M. Thalib, dalam tulisannya di Majalah Gatra edisi 10 November 2010
yang berjudul ―Beda Terjemah Memunculkan Masalah‖ sebagai jawaban atas tulisan penulis
di majalah yang sama edisi 20 Oktober 2010 yang berjudul ―Beda Terjemah Bukan
Masalah‖. Di situ ia menyatakan, ―Syaikh Akbar Muhammad Musthafâ al-Marâgī
berpendapat, terjemah Al-Qur`an secara harfiyah tidak boleh. Yang dibolehkan adalah
terjemah secara maknawiyah atau tafsiriyah‖. M. Thalib tidak merujuk ke buku asli al-
Marâgī, tetapi dari tulisan Raudhah Abdul Karim Fir`aun, Tarjamat al-Qur`an al-Karīm:
Hukmuha wa Daruratuhā, Yordania, Februari 2007. Penggunaan sumber sekunder juga
dilakukan oleh M. Thalib ketika mengutip pandangan al-Syâtibī yang dikutipnya dari Dr. A.
Qadir Sulami, Tarjamah Tafsiri al-Qur`an al-Karim baina al-Ijâzah wa al-Imtinā`, Majallah
181
Hawliyyatit Turâts, 2005, hlm. 3. Oleh karena itu wajar terjadi apa yang ditulis oleh M.
Thalib, ―Kutipan pendapat para ulama itu berbeda dari yang ditulis Muchlis M Hanafi,
seorang pakar tafsir, pada Gatra 20 Oktober 2010, sekalipun nama-nama ulamanya sama‖,
sebab penulis menggunakan sumber primer, sementara M. Thalib menggunakan sumber
sekunder.‖238
Diakui ulama sepakat terjemah harfiah hukumnya haram, karena tidak mungkin untuk
dilakukan. Ini tidak perlu diperdebatkan. Tetapi melihat uraian di atas, yang diharamkan
adalah untuk keseluruhan Al-Qur‘an, tidak untuk sebagiannya. Perlu juga dipahami, polemik
tentang terjemah yang pernah terjadi bukan semata-mata soal harfiah atau tafsiriah, tetapi
juga tentang upaya menjadikan terjemahan itu sebagai pengganti Al-Qur‘an. Bila dicermati
argumentasi yang dikemukakan oleh mereka yang melarang terjemahan, khususnya di awal
abad keduapuluh, pelarangan terjemah harfiyah didasari pada keberatan dan kekhawatiran
bahwa terjemah tersebut dijadikan sebagai Al-Qur‘an yang mempunyai nilai ibadah jika
dibaca. Terjemah dimaksud tentunya untuk keseluruhan Al-Qur‘an. Syaikh Rasyid Ridha
seperti dikutip Muchlis, misalnya, setelah menyampaikan argumentasi yang melarang
terjemahan ia mengatakan, ―Inti beberapa alasan yang melarang terjemahan Al-Qur‘an untuk
umat Islam agar dapat menjadi Al-Qur‘an Latin, sebagai pengganti Al-Qur‘an yang
berbahasa Arab‖. Di tempat terpisah ia mengatakan:
―Tidak boleh terjemahan itu dikatakan sebagai Al-Qur‘an atau kitab suci. Menyandarkan itu
kepada Allah adalah sebuah kebohongan dan pengingkaran terhadap kitab suci. Umat Islam
sepakat, tidak boleh hukumnya mengganti sebuah lafal Al-Qur‘an dengan lafal lain dalam
bahasa Arab, seperti ar-rayb diganti dengan asy-syakk.‖
Kekhawatiran yang sama bila Al-Qur‘an diterjemahkan juga dikemukakan oleh
Syaikh Muhammad Abu Zahrah. Ia mengatakan:
238
Muchlis M. Hanafi, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an: Studi pada Beberapa Penerbitan Al-
Qur‟an dan Kasus Kontemporer, h. 175-177.
182
―Tidak boleh menerjemahkan Al-Qur‘an dan menganggapnya sebagai Al-Qur‘an, sebab itu
tidak memelihara Al-Qur‘an dari penggantian dan penyimpangan. Al-Qur‘an akan mengalami
seperti yang dialami Taurat dan Injil. Naskah asli Injil dengan empat versi yang ada dan
berbahasa Ibrani hilang. Yang ada terjemah dalam bahasa Yunani, yang kemudian
diterjemahkan ke bahasa-bahasa lain. Al-Qur‘an akan mengalami hal yang sama bila
diterjemahkan. Tetapi sejak awal jalan ke arah itu tertutup, sebab terjemah tidak mungkin
dapat dilakukan.‖
Ketika berbicara tentang hukum terjemahan harfiyah, Syaikh al-Zarqānī mengatakan:
―Jika pintu terjemahan dibuka maka banyak orang akan melakukan itu. Setiap kelompok akan
menerjemahkannya ke bahasa masing-masing, sehingga akan muncul banyak versi
terjemahan yang pasti berbeda-beda. Perbedaan terjemah itu akan memunculkan perselisihan
di kalangan umat Islam seperti yang dialami umat Yahudi dan Nasrani seputar Taurat dan
Injil. Umat Islam akan tercerai-berai, dan akan mudah dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam
untuk memecah belah, sehingga yang satu mengatakan kepada yang lain, ‗Al-Qur‘an kami
lebih baik daripada Al-Qur‘an kalian‘.‖
Kekhawatiran itu secara fakta tidak terjadi. Umat Islam sangat paham bahwa
terjemahan Al-Qur‘an, apa pun bentuknya (harfiyah atau tafsiriyah), bukanlah Al-Qur‘an dan
tidak berkedudukan sebagai pengganti Al-Qur‘an yang memiliki kesucian. Terjemahan tidak
akan mampu mengangkut semua makna yang terkandung dalam retorika Al-Qur‘an dan
menampung semua pesan-pesannya. Terjemahan Al-Qur‘an, apa pun bentuknya, hanyalah
sebuah hasil pemahaman seorang penerjemah dengan segala keterbatasannya dan kesan yang
bisa ditangkapnya dari Firman Allah.239
Ustadz M. Thalib mengatakan bahwa al-Marâgī mengharamkan terjemah harfiyah.
Akan tetapi, menurut Muchlis M. Hanafi yang merujuk di buku aslinya, banyak pernyataan
al-Marâghī juga menegaskan terjemah harfiyah dimungkinkan.240
Lalu kenapa muncul
perbedaan pendapat tentang ini di kalangan ulama? larangan terjemah harfiyah didasari
kekhawatiran bahwa hasil terjemah itu dianggap Al-Qur‘an. Kekhawatiran itu secara fakta
tidak terjadi. Untuk itu, ditegaskan bahwa terjemah, apapun bentuknya, bukan Al-Qur‘an dan
239
Muchlis M. Hanafi, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an: Studi pada Beberapa Penerbitan Al-
Qur‟an dan Kasus Kontemporer, h. 177-178. 240
Berdasarkan hasil wawancara (interview) dengan Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an,
Muchlis M. Hanafi, di Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Pusat, Jl. M. H. Thamrin Lt 17, pada
Selasa, 22 Maret 2016 pukul 10.00 WIB.
183
tidak mungkin menjadi pengganti Al-Qur‘an. Kemudian apakah terjemah Kemenag harfiyah
atau bukan?
(b) Terjemah ma‟nawiyah atau tafsiriyah
Terminologi terjemah ma‟nawiyah atau tafsiriyah adalah menerangkan atau
menjelaskan makna yang terkandung dalam satu buku dengan bahasa lain tanpa
memerhatikan susunan dan jalan bahasa aslinya dan juga tanpa memerhatikan sekalian
makna yang dimaksudnya. Terjemah model ini lebih mengedepankan maksud atau isi
kandungan bahasa asal, tidak terikat dengan susunan dan struktur kalimat. Dalam istilah lain,
terjemah ini dikenal dengan terjemah bebas. Sifat terjemah ini lebih luas dan elastis dalam
menangkap dan mengungkap makna kandungan ayat Al-Qur‘an. Hanya saja, mesti dibedakan
dengan istilah tafsir itu sendiri.
Baik al-Zarqânī maupun Mannâ‘ al-Qatthân, dalam Ismail Lubis (2001), sama-
sama menamakan terjemahan tafsiriyah dengan nama maknawiyah. Perbedaan pendapat
mereka cuma terletak dalam hal keterangan. Al-Zarqânī menamakan terjemahan tafsiriyah
dengan nama maknawiyah disertai keterangan, yakni terjemahan tersebut mengutamakan
kejelasan makna, sedangkan Mannâ‘ al-Qatthân tanpa alasan dan keterangan yang jelas.
Pemberian nama terjemahan tafsiriyah oleh al-Zarqânī bukan tanpa alasan dan keterangan
yang logis. Ahli ilmu Al-Qur‘an ini memberi nama jenis terjemahan kedua ini dengan
terjemahan tafsiriyah, karena titik yang digunakan oleh penerjemah dalam memperoleh
makna dan maksud yang tepat, mirip dengan teknik penafsiran, padahal bukan semata-mata
tafsir. Teknik terjemahan tafsiriyah ialah dengan cara memahami maksud teks bahasa sumber
(Bsu) terlebih dahulu. Setelah benar-benar dipahami, maksud tersebut disusun dalam kalimat
bahasa penerima (Bpe) tanpa terikat dengan urut-urutan kata atau kalimat bahasa sumber
184
(Bsu).241
Dengan pemaparan tersebut, bisa disimpulkan bahwa istilah terjemah harfiyah yang
diutamakan adalah ketepatan dari segi bahasa aslinya, sedangkan pada terjemah tafsiriyah
yang lebih dipentingkan ialah ketepatan/kesesuaian dari segi makna atau isi kandungan
bahasa aslinya. Berikut ini pendefinisan kedua istilah tersebut sebagaimana yang tertulis
dalam karya Syaikh Muhammad Ali al-Shâbûnī:
)الرفية( أن يتجم القرآن بألفاظو ومفردات و ومجلو وتركيبو ترمجة طبق بالقسم األول واملراد
)التفستية( فهو يتجم معت وأما القسم الثاين . األصل إل اللغة اإلذملزية، أو األملانية، أو الفرنسية
وإمنا يكون مهو املعت، فيتجم القرآن بألفاظ ال ، األيآت الكرمية، حبيث ال يتقيد اإلنسان باللفظ
.يتقيد هبا املفردات والتاكيب، وإمنا يعمد إل األصل فيفهمو242
Al-Zahabī dalam al-Tafsīr wa al-Mufassirûn, seperti dalam Muqadimah Tafsīr Al-
Qur‟an Kemenag RI, mengemukakan ada perbedaan antara tafsir dengan tarjamah tafsiriyah
yaitu:
a. Terletak pada kedua bahasa yang digunakan. Bahasa tafsir dimungkinkan sama
dengan bahasa yang asli, sedangkan tarjamah tafsiriyah menggunakan bahasa yang berbeda
dari bahasa asli yang diterjemahkan. Oleh karena itu, kitab-kitab tafsir berbahasa Indonesia
seperti Tafsīr Al-Azhar karya Buya Hamka, lebih tepat disebut sebagai tarjamah tafsiriyah.
Sedangkan Tafsīr Mafâtihul Gaib karya Fakhruddin al-Râzī dan Tafsīr al-Marâghī dan lain-
lain barulah disebut dengan tafsir dalam arti yang sesungguhnya.
b. Dalam tafsir, sebagaimana yang dinyatakan dalam Tim Tafsir Al-Quran Kemenag,
pembaca suatu kitab tafsir dimungkinkan untuk melakukan kroscek kepada teks aslinya
manakala ada keraguan atau kekeliruan di dalamnya, sedangkan tarjamah tafsiriyah sangat
241
Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‟an Departemen Agama Edisi 1990 (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2001), h. 62. 242
Syaikh Muhammad Ali al-Shâbûnī, al-Tibyân fī „Ulûm al-Qur‟an (Jakarta: Dâr al-Kutub al-
Islâmiyyah, 2003), h. 210-211.
185
sulit untuk melacak aslinya ketika ada keraguan atau kesalahan di dalamnya karena umumnya
pembaca pun tidak mengerti bahasa aslinya (yakni bahasa Arab). Terjemah harfiyah bagi Al-
Qur‘an boleh jadi dilakukan dengan menerjemahkan seluruh ayat-ayat Al-Qur‘an dalam
bahasa lain kata per-kata dengan memerhatikan gaya bahasanya (uslûb), sehingga
keseluruhan terjemahan itu betul-betul mengandung pengertian yang asli dari Al-Qur‘an itu,
baik dari segi bahasanya maupun syariatnya. Pekerjaan ini walau bagaimanapun dilakukan
dengan teliti dan secermat mungkin dan dikerjakan oleh para ahlinya, namun tak akan
mungkin sesuai benar dengan apa yang dikehendaki oleh Al-Qur‘an itu secara tepat, sebab:
- Tak ada bahasa yang tepat untuk menyalin makna yang terkandung dalam
bahasa yang diterjemahkan; Ayat Al-Qur‘an menunjukkan kebenaran risalah Nabi dan
sekaligus adalah mukjizat (hal yang luar biasa) dan tak mungkin dicontoh manusia dan tak
mungkin diterangkan dengan tepat secara mutlak; Ayat Al-Qur‘an berfungsi sebagai
hidayah/pembimbing bagi kesejahteraan manusia di bumi dan akhirat dan pemahaman bahasa
Arab terhadap ayat itu tidaklah mungkin cocok secara mutlak dengan pemahaman dari bahasa
orang yang menerjemah. Bahkan, sesama Arab pun tidak mungkin diperoleh kesepakatan
tentang pengertian suatu makna yang terkandung dalam suatu ayat. Berdasarkan kenyataan di
atas, kita harus beranggapan bahwa tidak ada Terjemah Al-Qur‟an243
yang sempurna, siapa pun yang
mengerjakannya dan kita juga harus beranggapan bahwa terjemah harfiyah Al-Qur‟an bukanlah
Tafsir yang sebenarnya. Adapun terjemah ma‟nawiyah atau tafsiriyah hanya mementingkan apakah
dengan bahasa yang dihidangkannya orang telah mengerti dengan kandungan Al-Qur‘an itu secara
243
Ketika dilakukan revisi total terhadap Al-Qur‟an dan Terjemahnya yang kemudian menghasilkan
rekomendasi untuk edisi revisi pada tahun 2004, tim revisi atau penyempurna Terjemah Al-Qur‟an Kementerian
Agama RI telah melakukan banyak pertemuan dengan sejumlah Ulama dan para Ahli Al-Qur‘an (dalam
Mukernas Alim Ulama Al-Qur‘an atau Halaqah Ulama Nusantara) untuk mendapatkan dan menampung
beberapa masukan, saran, dan kritik. Salah satu catatan dan masukan penting diberikan oleh delegasi Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Barat. Mereka menganggap Terjemah Al-Qur‟an Kemenag RI ini telah
menyalahi format Al-Qur‘an sebenarnya, karena format Al-Qur‘an adalah dari sebelah kanan dulu baru ke kiri
(tayamun), sementara Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag ini sebaliknya, dari sebelah kiri baru ke kanan
(tasyamul). Mereka mengusulkan agar format Al-Qur‟an dan Terjemahnya versi Kemenag RI ini mengikuti
format dari kanan ke kiri. Apabila tidak demikian, maka nama kitab Terjemah Al-Qur‟an ini perlu diganti
menjadi Terjemahnya dan Al-Qur‟an, bukan Al-Qur‟an dan Terjemahnya. Ali Mustafa Ya‘qub, Terjemah Al-
Qur‟an dari Masa ke Masa, Mukernas Ulama Al-Qur‘an, Makalah disampaikan di kabupaten Serang, Provinsi
Banten 2013.
186
tepat dan benar menurut keyakinannya. Kadang-kadang penerjemah terpaksa memberikan arti
terhadap ayat yang secara harfiyah tidak cocok dengan teks aslinya. Jadi, pada terjemah harfiyah yang
dipentingkan adalah ketepatan segi bahasa, sedangkan pada tafsiriyah yang diperhatikan adalah
ketepatan dari segi makna. Umumnya, kedua cara ini digabungkan sehingga sasaran penerjemah
yakni ketepatan bahasa dan makna tercapai. Yakni ayat-ayat diterjemahkan dahulu menurut apa
adanya, lalu untuk terjemahan tafsiriyah (bila ada) ditempatkan pada catatan kaki. Begitulah sistem
yang ditempuh oleh kebanyakan penerjemah kita, termasuk Terjemah Al-Qur‟an yang dikerjakan oleh
Tim Departemen Agama. Bagaimana membedakan antara terjemah harfiyah dengan terjemah
tafsiriyah. Untuk lebih jelasnya, baiklah penulis sebutkan sebuah contoh yaitu firman Allah yang
berbunyi:
ل ر ج غ ٠ ذ ن ع خ ه همه ئ ل عه بغهط ر ج ذ ف ز م ؾ ج غ ٱ وه عه ه ح ب ٣٦ غهسا
“Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan
pula engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela
dan menyesal.” (QS. al-Isrâ : [17] : 29).
Terjemah di atas disebut terjemah harfiyah, yakni larangan Allah SWT kepada
seseorang yang mengikatkan tangan ke leher atau membukanya lebar-lebar, sesuai dengan
teksnya. Akan tetapi, bilamana kita terjemahkan: “dan janganlah kamu kikir dan jangan pula
kamu terlalu pemurah”. Maka terjemahan ini disebut terjemah tafsiriyah, karena tidak sesuai
dengan teks aslinya. Akan tetapi, itulah yang dikehendaki ayat. Jadi, pada kasus terjemah
harfiyah yang dipentingkan adalah ketepatan segi bahasa, sedangkan pada terjemah tafsiriyah
yang diperhatikan adalah ketepatan dari segi makna.244
244
Tim Tafsir Al-Quran Kemenag, Mukadimah Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Edisi yang disempurnakan),
(Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI, 2012), h. 33-34.
187
BAB III
MMI SEBAGAI GERAKAN FUNDAMENTALISME ISLAM
Dalam bagian kedua/bab kedua, penulis telah mengetengahkan serta menghadirkan
kerangka konseptual dan geliat perdebatan-perdebatan mutakhir terkait fundamentalisme
Islam, klasifikasi fundamentalisme Islam, terorisme, dan teks keagamaan. Sub bahasan
lainnya diulas pula yang terkonsentrasi mengenai persoalan gerakan keagamaan di Indonesia,
pendekatan semantik mentalisme (kajian kebahasaan) sebagai pisau analisis. Pada bab ketiga
ini, penulis akan menyuguhkan ke pembaca seputar track record gerakan Islam radikal MMI,
dan MMI sebagai kelompok Islam fundamentalis. Selanjutnya, dipaparkan bagaimana agenda
formalisasi syariat Islam. Sebagai pamungkas diulas setting sosiokultural M. Thalib dan
karyanya Al-Qur‘an Tarjamah Tafsiriyah sebagai korpus data yang dikaji dalam Tesis ini.
A. Memotret Profil MMI dari Dekat
Hidup di bawah naungan syariat Islam bagi sebagian kaum muslimin adalah sebuah
cita-cita. Kekuatan cita-cita ini berbanding lurus dengan kadar keimanan yang tertanam di
dalam jiwa. Sebab penerimaan seseorang terhadap ajaran Islam mengharuskan ia menerima
syariat Islam. Sebagai bukti kekuatan cita-cita tersebut, meski rintangan apapun didesain
untuk memupus cita-cita tersebut dari dalam hati, usaha itu tak akan pernah berhasil. Ilustrasi
dan gambaran itulah yang mendorong lahirnya Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Orde
Baru yang sangat keras membasmi semua gerakan yang dianggap radikal, termasuk Islam,
hanya memaksa gerakan Islam menerapkan klanestine. Ketika jatuhnya Soeharto (Orde Baru)
tepatnya pada tahun 1998, gerakan Islam yang semula underground pun bermunculan. Selain
itu lahir pula organisasi-organisasi Islam yang baru seperti Laskar Jihâd (LJ), Front Pembela
Islam (FPI), dan MMI itu sendiri. Kemunculan gerakan radikal ini menarik perhatian banyak
188
ahli, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, dengan mengemukakan sejumlah analisis
dan teori. Secara umum, analisis mereka bertumpu pada ephoria politik yang diperlihatkan
umat Islam. Rezim pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan represif hampir tidak
memberikan peluang sama sekali bagi warganya untuk mengekspresikan pendapat-
pendapatnya yang berbeda dari keinginan rezim. Setelah jatuhnya Orde Baru, umat Islam
melihat peluang untuk lebih mengekspresikan aspirasi mereka melalui berbagai sarana,
seperti partai politik dan ormas. Hal ini juga terkait dengan lemahnya negara selama periode
reformasi ini.245
Era reformasi membuka peluang bagi gerakan-gerakan keagamaan yang
dikategorikan radikal untuk tampil secara bebas.
Meskipun penduduk Indonesia mayoritas muslim, bahkan terbesar di dunia,
penerapan syariat Islam masih saja dianggap sebagai sebuah hantu. Penegakan syariat Islam
biasa dikesankan sebagai potong tangan, diidentikkan dengan cambuk, rajam dan berbagai
kesan seram lainnya. Berkaitan dengan pencitraan demikian, MMI sebagai institusi yang
mengusungnya kerap dianggap sebagai sebuah institusi yang intoleran.246
Di sisi lain, bangsa
ini telah sepakat menjadikan negara ini sebagai negara hukum dengan ideologi pancasila serta
sistem demokrasinya, bahkan Hefner dalam Jamhari dan Jajang Jahroni (2004), mengatakan
Indonesia adalah sedikit di antara negara-negara Muslim yang bisa menerima isu-isu
demokrasi dan globalisasi. Kedua aspek tersebut (pancasila dan demokrasi) sangat berkaitan
erat di mana hukum dijadikan panglima sedangkan demokrasi dijadikan sebuah sistem yang
dapat mengakomodir, memberi rasa kebebasan dalam berpikir, memberi hak-hak pada
masyarakat yang minoritas (persamaan hak) atau dalam arti singkatnya demokrasi yang
berupa suara/kedaulatan rakyat juga harus memiliki arti sebuah perjuangan haruslah
245
Din Wahid, Pentas Jihâd Gerakan Salafi Radikal Indonesia, dalam Studia Islamika PPIM UIN
Jakarta, Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 14, No. 2, 2007, h. 345. 246
Budi Prasetyo, Toleransi Majelis Mujahidin Indonesia Dalam Kebaragaman, Sosial, Budaya, dan
Politik dalam Jurnal Studi Islam Profetika, Vol 14, No. 1, Juni 2013, h. 40.
189
bersandar pada perjuangan kerakyatan atau berpikir kepada kaum lemah dan tertindas, bukan
justru sebaliknya malah terjadi sebuah elitis-demokrasi.247
Dengan sebuah kesepakatan (konstitusi) bahwa negara ini menggunakan sistem
demokrasinya, tentu menjadi sebuah wadah atau bejana yang maha besar di mana di
dalamnya tumbuh, hidup, dan berkembang berbagai entitas berupa golongan, pemikiran,
gerakan, organisasi-organisasi, LSM-LSM, sampai dengan yang berbentuk aliran-aliran.
Kenyataan ini adalah buah karya dari adanya sistem demokrasi yang ada saat ini di mana
keran yang dulunya ditutup rapat-rapat pada masa Orba saat ini di masa yang sering disebut
zaman reformasi, dibuka dengan selebar-lebarnya. Ruang demokrasi adalah salah satu ruang
yang memberikan sebuah kebebasan untuk berpikir, berpendapat, dan berserikat yang
baginya sebuah keniscayaan yang naluriah dibangun oleh manusia, dalam kehidupan manusia
pra sejarah sampai manusia modern hingga saat ini adalah sebuah keberlangsungan yang
tiada usai dalam berserikat/berkelompok untuk dapat mewujudkan keinginannya. Kenyataan
ini menunjukkan pada dunia bahwa tujuan akan dapat tercapai dengan mudah jika melalui
instrumen yang disebut organisasi, gerakan, kelompok dan sejenisnya. Pada aspek lain,
kebebasan berpikir dinyatakan jelas dalam Al-Qur‘an, begitu pula kebebasan berpendapat
dan berserikat yang diatur dalam konstitusi negara Indonesia melalui UUD 1945 Bab X A
pasal 28 E di mana setiap orang boleh berpendapat sesuai dengan hati nuraninya.
Dari konsekuensi logis di atas, maka lahir dan berkembanglah gerakan
radikal/organisasi Islam Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang merupakan hasil dalam
bejana besar yang bernuansa sistem demokrasi yang memberikan kebebasan dan berserikat.
Dan kalau ditelaah secara mendalam, semangat serta perjuangan organisasi atau gerakan
Islam ini setidaknya dalam konteks keindonesiaan sudah ada sejak awal negara ini merdeka,
hal ini terlihat dalam perjalanan sejarah perdebatan negara Islam atau penerapan syariat Islam
247 Hartono, Kontestasi Penerapan Syariat Islam di Indonesia Dalam Perspektif Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) (Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga, 2010), h. 21-22. Tesis di SPs UIN Yogyakarta.
190
sebagai dasar negara di Indonesia. Negara Islam dengan cara mempraktekkan syariat Islam
seolah menjadi primadona yang selalu ingin diperjuangkan untuk benar-benar terwujud oleh
sebagian masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik itu pada awalnya
melalui organisasi-organisasi kemasyarakatan, keagamaan, ataupun gerakan politik yang
mengatasnamakan partai Islam, organisasi Islam, dan masyarakat Islam.248
Sejauh menyangkut gerakan Islam radikal di Indonesia kontemporer, Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI) barangkali bisa disebut sebagai yang terpenting dalam
menyuarakan pemberlakuan syariat Islam di Indonesia. Dibanding organisasi Islam lain,
dalam catatan Jamhari dan Jajang Jahroni, MMI memiliki akar historis demikian jelas, yang
bisa dilacak pada gerakan pemberontakan Dârul Islâm (DI) pada era 1950-an. Hasrat
mendirikan negara Islam, yang menjadi prasyarat utama bagi tegaknya syariat Islam, adalah
agenda perjuangan utama MMI yang dirumuskan mengacu pada upaya serupa yang telah
dilakukan sejumlah tokoh Muslim garis keras yang tergabung dalam gerakan Negara Islam
Indonesia (NII). Selain itu, hal tersebut juga bisa dilihat dari tokoh-tokoh utama MMI, yang
berasal dari mereka yang pernah mengisi daftar panjang pemerintah Indonesia Orde Baru
untuk orang-orang yang melakukan gerakan melawan negara. Untuk hanya menyebut dua
tokoh utama, Abu Bakar Ba‘asyir249
dan Irfan S. Awwas—yang menjadi orang pertama dan
kedua di tubuh MMI—pernah terlibat dalam upaya perlawanan ideologis terhadap
pemerintah Indonesia Orde Baru. Dan karena itu pula keduanya juga pernah mengalami
hukuman penjara. Di samping itu, dan mungkin terpenting, mereka—lebih khususnya Abu
248
Hartono, Kontestasi Penerapan Syariat Islam di Indonesia Dalam Perspektif Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) (Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga, 2010), h. 326. Tesis di SPs UIN Yogyakarta. 249
Abu Bakar Ba‘asyir termasuk ideolog modern Indonesia dari kelompok garis keras yang mendorong
pengikutnya untuk melakukan aksi kekerasan dan teror dengan mendasarkan diri pada ideologi ala Timur
Tengah dengan penafsiran dasar-dasar Islam secara kaku. Adam James Fenton dari Charles Darwin University,
Australia, Change and Continuity in Indonesian Islamist Ideology and Terrorist Strategies, dalam Al-Jâmi‟ah
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Journal of Islamic Studies, Vol. 52, No. 1, 2014 M/1435 H, h. 2.
191
Bakar Ba‘asyir—yang memiliki jaringan dan bahkan menjadi bagian dari gerakan NII yang
juga mengagendakan pendirian negara Islam Indonesia.
Oleh karena itu, lagi-lagi dibanding organisasi Islam lainnya, MMI bisa disebut
sebagai memiliki hubungan langsung dengan gerakan Islam yang mencitakan negara Islam
dalam sejarah Indonesia kontemporer. Jadi, dalam beberapa segi penting, MMI bisa disebut
sebagai perwujudan kembali gerakan Islam radikal dalam sejarah Islam Indonesia. Bagian ini
diarahkan untuk menghadirkan satu pembahasan komprehensif tentang MMI. Pembahasan
meliputi baik sejarah dan jaringan MMI maupun sifat dari agenda perjuangan yang hendak
dicapai.250
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) didirikan secara resmi pada Senin 7 Agustus
2000 M atau pada 7 Jumadil Ula 1421 H di Yogyakarta pada saat Kongres Majelis Mujahidin
Indonesia I, tanggal 5-7 Agustus 2000. Kantor Pusatnya berada di Yogyakarta, yang
beralamat di Markaz Pusat Majelis Mujahidin Indonesia. Jl. Karanglo No. 94 Kotagede,
Yogyakarta. Telp/Faks (0274) 451665. Email : [email protected]. Media center
Markaz LPW Jabodetabek. Jl. Siliwangi Raya Blok D3, No 7, Pamulang Permai I, Pamulang
Barat, Tangerang Selatan Banten, Phone/Fax: (021) 7416144. Email:
[email protected]. 251
Penggagas lahirnya MMI adalah para pemuda aktifis Jogja di awal tahun 80-an
yang telah kembali ke dunia bebas setelah bertahun-tahun meringkuk di penjara Orde Baru.
Setelah mereka bebas di pertengahan tahun 90-an, mereka aktif berdiskusi seputar perjuangan
mereka. Lama mereka tidak segera muncul karena mencari format perjuangan yang sesuai
dengan konteks zaman. Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) menurut Abdulloh Fuadi
sebagaimana dikutip Edi, sejauh penelusurannya pada artikel, buku, dan hasil penelitian
250
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), cet ke-1, h. 47-48. 251
M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan
Mencerahkan (Yogyakarta: Yayasan Islam Ahlus Suffah, 2013), h. ii. Rujuk pula website MMI,
http://www.majelismujahidin.com/ diunduh pada 28 Oktober 2015, pukul 08.46 WIB. Lihat pula dalam Sukron
Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, h. 169.
192
tentang gerakan organisasi ini, ditemukan 2 nama yang dikonotasikan padanya, yakni
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Majelis Mujahidin (MM). Hasil penelitian Fuadi
menunjukkan bahwa nama MMI disematkan oleh selain anggotanya, yang merujuk pada
nama kongres pertamanya yaitu ‚Kongres Mujahidin Indonesia I‛ (Mujahidin Congress I of
Indonesia). MMI merupakan sebuah organisasi kemasyarakatan yang usianya relatif masih
baru (belum genap 12 tahun), tetapi kiprahnya sudah banyak dikenal masyarakat, bukan
hanya dalam skala nasional bahkan sudah sampai tingkat internasional.
Namanya mencuat terutama terkait dengan keberadaaan Abu Bakar Ba’asyir,
Ketua Umum pertamanya, yang terendus oleh intelijen dalam dan luar negeri memiliki peran
dalam beberapa kasus teror yang terjadi di Indonesia sepuluh tahun terakhir. Karena itulah,
di antaranya, yang membuat Ormas ini dicap sebagai organisasi radikal. Majelis Mujahidin
Indonesia lahir pada tahun 2000 di Yogyakarta. Kongres pertamanya digelar pada tanggal 5-
7 Agustus 2000 M, bertepatan dengan 5-7 Jumadil Awal 1421 H, di Gedung Mandala Bhakti
Wanitatama Yogyakarta, dengan mengusung tema ‚Menegakkan Syariat Islam‛ (Islamic
Law Enforcement). Upacara pembukaannya diklaim oleh mereka telah berlangsung semarak
dan dihadiri lebih dari 1.800 peserta dari 24 Provinsi dan mewakili beberapa elemen
organisasi kemasyarakatan (Ormas) dan organisasi politik (Orpol) Islam seperti Laskar
Santri, Laskar Jundullah (tentara/pasukan Allah), Kompi Badr, Brigade Taliban, Komando
Mujahidin, dan Partai Keadilan.252
Beberapa utusan organisasi keislaman diundang dari luar
negeri. Kongres Mujahidin I itulah yang kemudian mengamanatkan kepada 32 tokoh Islam
Indonesia yang tercatat sebagai Ahlul Halli wal ‘Aqdi (AHWA) untuk meneruskan misi
penegakan syariat Islam melalui wadah yang disebut sebagai Majelis Mujahidin.253
252
Edi Junaedi, Polemik Terjemahan Al-Qur‟an antara MMI dan Kementerian Agama dalam
Perspektif Percakapan (Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 3. Tesis UIN Jakarta. 253
Reslawati, Pandangan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Pusat terhadap Wawasan Kebangsaan
di Yogyakarta, dalam buku Mereka Membicarakan Wawasan Kebangsaan, Editor: Asnawati dan Achmad
193
Menurut hasil penelitian Tim Ilmuan Sosial LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia), kelahiran MMI dilatari oleh keprihatinan sebagian tokoh Islam akan lemah
bahkan terpinggirkannya umat Islam dalam peran pembangunan bangsa Indonesia yang lagi
terpuruk mengalami krisis multidimensi, terutama selama pemerintahan Orde Baru.
Karenanya, pasca Orde Baru muncul di kalangan umat Islam pembicaraan bagaimana
mengangkat citra dan meningkatkan peran mereka sehingga menjadikan Islam sebagai
rahmatan lil ‘âlamin. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, umat Islam memikirkan dan
mengupayakan bagaimana menciptakan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr, sebuah
negeri yang bukan saja menyejahterakan umat Islam tetapi juga menciptakan kedamaian
bagi seluruh warga bangsa ini. Dan, dibicarakan juga bagaimana peran ulama, intelektual,
dan tokoh-tokoh Islam dalam proses tersebut. Atas dasar pemikiran itulah, diambil inisiatif
untuk mengumpulkan seribu ulama dari seantero nusantara lintas organisasi, partai, dan
kelompok sektarian dengan membuat sebuah Kongres yang kemudian terlahir Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI) itu, di mana Abu Bakar Ba’asyir terpilih secara aklamasi
sebagai Ketua Umumnya.254
Memasuki masa reformasi yang ditandai dengan banyaknya
organisasi Islam yang sama-sama hendak memperjuangkan syariat Islam mendorong diskusi
semakin intensif. Tidak hanya dari Jogja, mereka pun mengundang kolega dan kenalan dari
berbagai daerah. Di antara tokoh yang sejak awal terlibat dalam membidani kelahiran MMI di
antaranya adalah Deliar Noor, Syahirul Alim, Mursalin Dahlan, Mawardi Noor dan lain-
lain.255
Kelahiran organisasi Islam atau ormas ini dilatari oleh berbagai faktor. Antara lain:
pertama, obsesi kalangan muda, yang kemudian menjadi pelopor dan pengurus MMI, pada
akhirnya daulah islâmiyah atau Islamic state (negara Islam), baik dalam pengertian nasional
Rosidi (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015), h.
120. 254
Edi Junaedi, Polemik Terjemahan Al-Qur‟an antara MMI dan Kementerian Agama dalam
Perspektif Percakapan (Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), h. 4. Tesis UIN Jakarta. 255
Budi Prasetyo, Toleransi Majelis Mujahidin Indonesia Dalam Kebaragaman, Sosial, Budaya, dan
Politik, h. 41.
194
maupun internasional yang rencananya akan berpusat di Palestina. Kedua, adanya stigma
buruk yang dilabelkan pada gerakan Islam Indonesia yang ingin membentuk daulah
islâmiyah (negara Islam) yang melahirkan Islamophobia dan selalu dihubungkan dengan DI/
TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) Kartosuwiryo.
Ketiga, realitas peminggiran Islam, baik dalam pengertian hukum maupun
penganutnya. Dalam pengertian ―hukum‖ (syariat), Indonesia tidak islami karena yang
berlaku bukanlah hukum Islam dan pada tahun 2000 tidak ada satu partai pun yang
memperjuangkan itu. sedangkan dalam pengertian ―penganut Islam‖, kaum muslim sebagai
mayoritas bangsa ini telah dimanipulasi, dirampas, dan diperkosa oleh minoritas tertentu
selama berpuluh-puluh tahun. Keempat, krisis multidimensi yang menimpa Indonesia dewasa
ini yang tidak bisa diselesaikan Pemerintahan Gus Dur pada waktu itu karena manajemen dan
komitmen Islamnya yang lemah. Hal ini karena akar krisis adalah karena kontaminasinya
akidah kaum muslim Indonesia oleh berbagai hal, dicampakkannya syariat Islam dalam
hukum positif Indonesia, dan karena konspirasi Barat-Zinonis bisa dilihat dari fenomena
beberapa tokoh Yahudi yang dijadikan Gus Dur sebagai Presiden pada saat itu sebagai
penasehatnya. Mereka itu antara lain George Soros, Henry Kissinger, dan Lee Kuan Yew
yang dalam kenyataan mereka justru menginginkan Indonesia mengalami disintegrasi dengan
memprovokasi daerah-daerah lewat isu daya alam.256
Obsesi dan realitas itu mendapatkan momentumnya ketika Orde Reformasi lahir
dengan mengusung demokrasi. Hal ini karena orde ini berbeda dengan rezim Orde Lama dan
Orde Baru yang melakukan de-Islamisasi secara besar-besaran dengan salah satunya tidak
memberikan tempat sama sekali bagi gerakan politik Islam. Pada masa pemerintahan
Reformasi yang diawali oleh Habibie, gerakan itu mendapatkan tempat yang memadai. Bagi
MMI, era reformasi merupakan momentum yang memungkinkan semua orang bersikap
256
Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, Islam dan Negara; Dakwah dan Politik;
HMI; Anti Korupsi; Demokrasi; NII; MMI; dan Perda Syari‟ah (Jakarta: Pusat Studi Indonesia dan Arab
(PSIA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013), h. 170.
195
transparan dalam mengekspresikan ide dan keyakinannya, termasuk Partai Komunis
Indonesia (PKI) sekalipun.
Karena itu, pada 5-7 Agustus 2000 diadakanlah kongres di Yogyakarta yang
dihadiri sekitar 1200 peserta, meski yang diundang hanya 1000 orang. Tema sentral kongres
yang kemudian menjadi tujuan dan agenda utama dan pertama pendirian organisasi adalah
tathbīq al-syarī‟ah (penerapan syariat/ajaran Islam) secara kâffah (komprehensif), tidak
secara parsial sebagaimana selama ini dipahami. Seperti diketahui umum, negara selama ini
hanya menerapkan ajaran ibadah dan sebagian perdata Islam, terutama yang ada potensi
keuangan seperti zakat, haji dan NTCR (Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk), dan di akhir Orde
Baru perbankan syari‘ah. Tujuan kongres dalam hal ini ingin menuntaskan agenda penerapan
syariat Islam hingga penerapan hukum pidana klasik. Menurut juru bicaranya, MMI meyakini
bahwa penerapan syariat Islam secara menyeluruh merupakan satu-satunya jalan yang akan
menyelesaikan ―biang kerok‖ persoalan yang menimpa Indonesia seperti KKN (korupsi,
kolusi, dan nepotisme) dan perzinaan. Ini sebagaimana yang ditunjukan hadis Nabi yang
memperlihatkan tingkat efektifitas penerapan syariah Islam secara utuh (kâffah) dalam
menyelesaikan berbagai persoalan. Sabda Nabi: “Satu hukum dari hukum yang telah
ditetapkan Allah lebih baik daripada hujan 40 malam (yang membersihkan kotoran).”
Hukum rajam misalnya, akan membersihkan kemaksiatan berupa zina. Begitu juga dengan
hukum potong tangan. Di Indonesia, jika kedua hukum itu diterapkan, niscaya negeri ini akan
terbebas dari lokalisasi prostitusi dan para koruptor-koruptor. Efektifitas ini bisa dipahami
karena adalah sesuatu yang logis bahwa suatu produk seperti komputer harus dioperasikan
sesuai dengan aturan yang membuatnya. Jika manusia dipercayai sebagai produk Tuhan maka
mengatur berbagai persoalan kehidupannya juga harus sesuai dengan aturan penciptanya
(Tuhan atau al-Khâliq). Hal ini menueurt para aktivis MMI, sebagaimana Firman Allah:
196
“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada hukum Allah bagi orang yang yakin.” (QS. al-Mâidah [5] ayat 50).
Ayat tersebut berbunyi:
ى ٱ أ ف حه ٠ ج ١خ ج غه ه أ ح غ ى لل ٱ ب حه م له ٤٦ ٠ه
"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin.‖ (QS. al-Mâidah
[5] : 50).
Kongres yang menjadi hari lahir MMI itu agaknya melahirkan pencerahan strategi
terutama bagi peserta mantan anggota Dârul Islâm/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang
telah terbagi ke dalam faksi-faksi, termasuk KW 9 Abu Toto yang memiliki Pesantren al-
Zaitun, yang masing-masing faksi merasa paling berhak mewarisi tahta DI/TII. Hal ini karena
dalam kongres tersebut dibahas pertimbangan tathbīq al-syarī‟ah dalam kerangka logika
demokrasi yang damai dan meniscayakan prinsip mayoritas. Mengingat masyarakat muslim
adalah mayoritas dan mereka adalah golongan Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah yang taat, maka
hal itu akan menguntungkan bagi realisasi tujuan gerakan organisasi. Logika demokrasi
proporsional itu—yang memungkinkan logisnya aspirasi Islam dalam konteks masyarakat
Indonesia yang mayoritas muslim, sebagaimana logisnya aspirasi Kristen dalam negara
demokrasi yang bangsanya mayoritas Kristen seperti Amerika Serikat—diharapkan juga
dipahami bangsa Indonesia non muslim.257
B. MMI sebagai Gerakan Fundamentalisme Islam
a) Visi dan Ideologi MMI
Adapun strategi dasar MMI dengan operasionalisasi pendekatan struktural
meliputi kegiatan utama: yaitu membangun dan melakukan konsolidasi, kristalisasi serta
257
Sukron Kamil, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI): Profil dan Agenda Penerapan Syariat Islam
dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru, Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, Editor: Imam Tolkhah
dan Neng Dara Affiah (Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama, 2007), h. 68 – 71. Lihat pula dalam penulis
yang sama, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, h. 170-172.
197
pembinaan pada kekuatan sosial-politik yang ada untuk tegaknya syariat Islam, serta
mengembangkan kemampuan tansīq dalam memberikan arahan sosial sesuai dengan syariat
Islam pada pemerintahan yang sedang berjalan.258
Ormas Islam keagamaan ini mengusung
visi untuk formalisasi syariat Islam dalam kehidupan umat Islam di Indonesia secara kâffah
(komprehensif, menyeluruh, utuh), sebagaimana yang selalu dituliskan sebagai slogannya.
Seiring dengan tujuan didirikannya organisasi, doktrin MMI yang ditekankan kepada
pengurus dan anggotanya adalah doktrin keharusan mendirikan daulah islâmiyah (negara
Islam).
Bagi MMI, meskipun tidak terdapat perintah tegas (qath‟ī) untuk menegakkan
daulah islâmiyah (Islamic state) tetapi kedudukannya sebagai wasâil (perantara atau institusi)
bagi tegaknya kewajiban dari Allah seperti qishâsh (hukuman yang sebanding) dan rajam,
menjadikannya sebagai sesuatu yang wajib ditegakkan pula. Hal ini karena hukum pidana
Islam (jinâyah) semisal qishâsh dan rajam sama wajibnya dengan salat untuk dilaksanakan
(QS. al-Nisâ [4] : 45). Berikut ayatnya:
ه أ ع لله ٱ ا ثأ ع ذ ئىه ف و ١ لل ٱث ب ف و ٥٤ ا ظ١ش لل ٱث
―Dan Allah lebih mengetahui (dari pada kamu) tentang musuh-musuhmu. Dan
cukuplah Allah menjadi pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi
Penolong (bagimu).‖ (QS. al-Nisâ [4] : 45).
Jika tidak, maka hal itu merupakan pengingkaran (kekufuran) terhadap syariat (QS. al-
Mâidah [5] : 44), berikut redaksi ayat dan petikan terjemahannya:
ئب ض ٱ بأ ى ز س هذ ف١ ب خ س ه ه ٠ ح ٱ ث ب ىه ٱ ج١ ا أ ع ز٠ ه بدها ز٠
شث ٱ ب ج بسه ح ل ٱ ١ ا زهح ع ٱ ث فظه ا لل ٱ ت وز به و ١ ا ع ذ ا ر خ ف ل ء شه ه بط ٱ ش
خ ٱ ل ش ا ر ش ز شه ثأ ٠ بر ١ل بث ل ٠ ح ب ىه ي ث ض لله ٱ أ ه ه ئه ف أ ى ٱ ه ٥٥ فشه
―Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk
dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-
orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang
258
Reslawati, dalam Mereka Membicarakan Wawasan Kebangsaan, h. 121.
198
alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan
memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu
janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah
kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak
memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang kafir.‖ (QS. al-Mâidah [5] : 44).
lalu ayat 45 dan 47), berikut ayatnya:
ز ج و ١ ب ع ف١ ب ١ ٱ ظ ف ٱث ظ ف ٱ أ ٱث ع ١ ه ٱ ل ٱث ل ٱ ع ل ٱث ره
ه ل ره
ٱ ٱث غ ح ٱ غ شه بص جه لظ ذق ف ر ظ ۦث ه ح ف فبس ۥ ه و ب ىه٠ ح ي ث ض لله ٱ أ
ه ه ئه ف أ ٱ ه
ظ ه ٥٤
satu lagi berbunyi :
١ ح ىه ٱ ه أ ل ب ج١ ي ث ض لله ٱ أ ف١ ب ىه٠ ح ي ث ض لله ٱ أ ه ه ئه ف أ ه
ف ٱ ٥٤ غمه
dan merupakan dosa, karena telah menyalahi perintah Allah SWT. Lebih dari itu,
pengingkaran terhadap pidana Islam juga mengakibatkan lahirnya kepemimpinan yang sesat
dan Allah pun kemudian memberi azab dengan krisis yang berkepanjangan hingga dewasa
ini. pada saat Allah telah memberi azab ini, sebagaimana dijelaskan (QS. al-Mukminûn [23] :
ayat 64-65), yang teksnya adalah:
ز ا ح ز ئر ز بأ خ ه ف١ ٱث ش اة ز ا ع ئر ٠ ج ه ه ل ٤٥ ئش ئ شه ٱا ر ج ١ ب ئىه
ل شه ظ ٤٤ ره
―Hingga apabila Kami timpakan azab, kepada orang-orang yang hidup mewah di
antara mereka, dengan serta merta mereka memekik minta tolong. Janganlah
kamu memekik minta tolong pada hari ini. Sesungguhnya kamu tiada akan
mendapat pertolongan dari Kami.‖ (QS. al-Mukminûn [23] : ayat 64-65).
Allah tidak akan lagi memperkenankan doa hamba-Nya. Bagi MMI, Al-Qur‘an adalah kitab
suci yang sempurna, yang harus diimani secara keseluruhan. Tidak boleh diimani sebagian
dan diingkari sebagian lainnya sebagaimana yang dilakukan kaum Yahudi (QS. al-Baqarah
[2] : ayat 85). Allah SWT berfirman:
199
ثه زه ل أ ر م ء إه ه زه ىه فهغ رهخ أ ىه بف ش٠م شجه د٠ ر ظ ش ١ شه ع
ٱث ل ذ ٱ ث ئ عه ٠ أ وه أهع ره رهف ش ذهه ه ش ح ١ ه ع ئخ ىه ه اجه أ ف زهإ ش ه ت ىز ٱ غ ثج ع
ر ى ب غ ثج ع فهشه ا ف ض ءه ج ه ٠ ف ه ر ع ىه ٱ ف خض ئل ١ ٱ ح ح ١ ب ذ ٠ ٱ خ م١ د ٠هش
ذ ئ اة ٱ أ ش ز ب ع ثغ لله ٱ ب ف ر ع ع ه ٥٤
―Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan
mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu
membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika
mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir
mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al
Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi
orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan
dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.
Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.‖ (QS. al-Baqarah [2] : 85).
Semuanya merupakan sesuatu yang tidak ada tawar-menawar untuk ditegakkan (iqâmat al-
dīn). Semua urusan kaum muslim hendaknya diserahkan kepada Allah, lewat ajarannya
dalam Al-Qur‘an (QS. al-Ahzâb [33] : ayat 36). Allah SWT berfirman:
ب ب إ و ه ل إ خ ه ا ئر ه لله ٱ ل ؼ عهه س ۥ أ شاأ ه ٠ ىه ه حه ٱ خ١ ش
أ ش ه لل ٱ ض ٠ ع عه س ف م ذ ۥ ػ ل ػ ج١ ٦٤ ب
―Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan
yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan,
akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata.‖ (QS. al-Ahzâb [33] : 36).
Itu berarti penegakan syariat Islam secara komprehensif termasuk hukum pidananya yang
mesti diberlakukan sebagai hukum positif. Alasannya, pertama, menurut MMI, Islam adalah
agama yang mengatur dunia dan akhirat. Kedua, secara historis, daulah Islam dari masa
Nabi, khulafâ al-râsyidīn, hingga Usmani mengaku supremasi syariat secara komprehensif.
200
Ketiga, fenomena, globalisasi yang memungkinkan kekuatan thâgut (setan/berhala) semakin
berani menawarkan alternatif sekulernya.259
b) Misi MMI
Adapun misi MMI adalah berjuang menyatukan potensi dan kekuatan mujahidin
agar syariat Islam menjadi sumber rujukan tunggal bagi sistem dan kebijakan kenagaraan
Indonesia dan di dunia. Majelis Mujahidin Indonesia berusaha mewujudkan cita-cita
besarnya itu melalui dakwah dan jihâd. Dakwah didefinisikan sebagai sosialisasi kewajiban
setiap muslim untuk menerapkan syariat Islam. Sedangkan jihâd dipahami sebagai bentuk
usaha serius untuk menerapkan syariat Islam. Dalam mencapai misi utama Majelis Mujahidin
menggunakan dua pendekatan sosial, yakni pendekatan struktural dan pendekatan kultural.
Pendekatan struktural, maksudnya kekuasaan negara diupayakan dipegang oleh seorang
muslim yang jelas komitmennya terhadap Islam, dan siap memberlakukan syariat Islam
dalam lingkup sosial kenegaraan sehingga kehidupan bernegara benar-benar dapat dikelola
sesuai dengan ajaran yang dituntunkan oleh Allah SWT. Oleh karena Islam bersifat
“rahmatan lil „âlamin” maka dengan berlakunya syariat Islam, akan menjamin datangnya
keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
c) Struktur Organisasi MMI
Secara umum struktur organisasi MMI ini terbagi kepada dua bagian; pertama,
Ahlul Halli wal „Aqdi dan Lajnah Tanfīziyyah. (1). AHWA (Ahlul Halli wal „Aqdi) atau
lembaga legislatif dipimpin oleh Abu Bakar Ba‘asyir dengan anggota antara lain Deliar Noer,
A.M. Saefudin, KH. Mawardi Noor, Abu Muhammad Jibril, dan Muchtar Naim. (2). Lajnah
259
Sukron Kamil dalam Majelis Mujahidin Indonesia (MMI): Profil dan Agenda Penerapan Syariat
Islam dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru, Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, h. 71-72.
Penambahan sumber terutama teks Al-Qur‘an berasal dari aplikasi software Al-Qur‟an in the Word yang pada
sumber aslinya tidak ditampilkan. Hal ini untuk memudahkan penelitian saja.
201
Tanfīdziyah atau lembaga eksekutif diketuai oleh Irfan Suryahardi ‗Awwas dengan Wakil
Ketua KH. Asep Maoshul Affandi, Sekretaris Shobbarin Syakur, dan Bendahara Drs.
Toffandi.
d) Basis Keanggotaan MMI
Kendati tidak terdapat data yang otentik, jumlah anggota MMI diperkirakan
cukup besar, baik yang berdomisili di dalam maupun di luar negeri. Hal ini bisa dilihat dari
peserta yang hadir dalam kongres MMI serta dari semaraknya kegiatan-kegiatan yang digelar
mereka. Kepemimpinan dan keanggotaan MMI teratur secara rapi, karena pada Konggres I di
Jogjakarta, diputuskan bahwa MMI merupakan organisasi aliansi gerakan (tansīq amalī) yang
sifatnya universal, tidak dibatasi suku atau etnis, bangsa maupun negara. Tansīq ini bisa
diikuti oleh organisasi maupun nasional. Untuk menjadi anggota MMI syaratnya adalah
muslim, dan mau berkomitmen tinggi untuk memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Dilihat
dari latar belakang ekonomi, anggota MMI berasal dari kalangan ekonomi menengah ke
bawah.
Dilihat dari background knowledge-nya, pengurus Ahlul Halli wal „Aqdi terdiri atas
S1, S2, dan S3, lajnah tanfīdziyah mayoritas Strata 1, dan masa anggotanya rata-rata dari
SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas). Dari latar belakang sosial keagamaan, anggota MMI
beraneka ragam. Ada dari NU, Muhammadiyah, Persis, dan lain-lain. dari NU misalnya KH
Alawi Muhammad dari Madura, yang mengirim utusannya ke kongres. Mereka adalah NU
yang setuju dengan tathbīq al-syarī‟ah, bukan dari kalangan KH Hasyim Muzadi dan Gus
Dur yang tidak setuju. Mereka adalah dari komponen masyarakat perkotaan dan pedesaan
yang Akidahnya Ahlus Sunnah wal Jama‟ah dalam arti salafiyyah (ortodoksi) yang tidak
mengenal tharīqah (tarekat). Kendati begitu, pakaiannya tetap Indonesia modern seperti kaos
oblong. Islam bagi MMI bukan di luar tetapi di dalam. Demikian pula dengan latar belakang
202
partai politiknya, dari berbagai partai politik yang ada di MMI. Mereka disatukan oleh
kesiapan ―mewakafkan‖ diri untuk tegaknya syariat yang harus dimulai dari pribadi lalu
keluarga.260
e) Kongres dan Sumber Dana MMI
Sebagai sebuah organisasi gerakan, MMI memiliki jaringan nasional seperti
dengan laskar atau lembaga Islam lainnya, dan jaringan internasional seperti dengan kaum
muslim di Malaysia, Jerman, dan Australia. Namun, jaringan itu tidaklah mengikat karena
hubungan MMI dengan laskar atau lembaga lain pada level lokal atau nasional, misalnya
adalah hubungan aliansi strategis (tansīq „amalī) yang tidak harus melebur menjadi satu. Hal
ini karena peleburan merupakan sesuatu yang absurd seperti absurd-nya menyatakan NU
dengan Muhammadiyah. Demikian juga hubungan MMI dengan partai politik. Bahkan
dengan partai, bukan saja tidak ada afiliasi tetapi juga MMI tidak percaya mereka bisa
menegakkan syariat Islam, meskipun MMI berusaha mendorongnya agar mengakomodasi
aspirasi syariat Islam. Paling tidak, dengan berusaha mengembalikan Piagam Jakarta. Karena
aliansi itu, MMI membatasai gerakan hanya pada tathbīq al-syarī‟ah. MMI, dengan
demikian, tidak akan mengambil kavling gerakan lain seperti FPI yang anti kemaksiaatan,
DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) yang concern dengan dakwah, dan Muhammadiyah
yang terkenal dengan gerakan sosial-pendidikannya. MMI dalam konteks ini melakukan
koordinasi dan saling mengingatkan jika terjadi penyelewengan terhadap Islam. Mengenai
sumber pendanaan (fundraising), MMI memperolehnya dari masyarakat. MMI yakin bahwa
masyarakat sesungguhnya kaya karena fenomena membludaknya calon jamaah haji
menunjukkan demikian. Dari merekalah MMI, memperoleh dana 500 juta untuk kongres,
meskipun orang-orang yang tidak senang terhadap MMI menuduh MMI yang tidak-tidak,
260
Sukron Kamil, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI): Profil dan Agenda Penerapan Syariat Islam
dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru, Upaya Merambah Dimensi Baru Islam, h. 74-75. Lihat juga
dalam Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, h. 174-175.
203
mengingat MMI mengadakan kongres di saat krisis ekonomi. Sumber lain tentu saja diterima
MMI sejauh halal dan tidak mengikat. MMI mendapatkan bantuan dari jaringannya dengan
kaum muslim di Malaysia, Singapura, Jerman, dan Australia dan salah satunya berkat
komunikasi internet. Selama ini, MMI belum mendapat bantuan dari negara-negara teluk di
Timur Tengah.261
f) Estafet Kepemimpinan MMI
Kepemimpinan di MMI sudah mengadopsi pola “separation of powers”. Artinya,
kekuasaan eksekutif, legislatif, dan judikatif terpisah, sejajar dan setara. Ini merupakan
struktur keorganisasian modern. Pola kepemimpinan ini mereka sebut dengan kepemimpinan
kolektif, di mana tidak ada personal yang benar-benar memiliki kekuasaan yang mutlak. Di
dalam institusi MMI, teori ini diwujudkan dengan membagi struktur kepengurusan kepada
dua komponen, yaitu Ahlul Halli wal „Aqdi yang disingkat dengan AHWA dan Lajnah
Tanfīdziyah. AHWA berfungsi sebagai lembaga legislatif. Ia memiliki beberapa tugas, antara
lain: menetapkan kodifikasi hukum Islam, memfatwakan pelaksanaan syariat Islam, memilih
badan pelaksana (lajnah tahfīz), mengawasi, mengontrol, dan meminta pertanggungjawaban
Lajnah Tanfīdzi. Sedangkah lajnah tanfīziyah berfungsi sebagai lembaga eksekutif MMI
yang bertugas untuk menjalankan segala keputusan musyawarah AHWA, mengajukan saran
dan usulan kepada AHWA dan bertanggungjawab kepada AHWA.
Kehadiran MMI menarik perhatian dari para ulama Indonesia, sehingga melahirkan
berbagai macam pandangan publik terhadap MMI. Karena mujâhidin secara literal bermakna
orang-orang yang berjihad. Dengan mengusung nama ini muncul bermacam-macam
spekulasi di tangah masyarakat muslim Indonesia, dan pada umumnya negatif. Ada di
antaranya yang menilai dan mengasosiasikan Majelis Mujahidin Indonesia dengan NII-nya
261
Sukron Kamil, Islam dan Politik di Indonesia Terkini, h. 173-174.
204
(Negara Islam Indonesia) milik Kartosuwiryo. Senada dengan tuduhan tersebut, Muh
Nursalim menyatakan bahwa Konggres MMI I adalah proyek yang direncanakan oleh salah
satu Faksi NII yakni Faksi Abdullah Sungkar. Ada hal yang lain dengan penilaian terhadap
MMI yang dilakukan oleh Maftuh Abegebriel, ia secara terbuka melemparkan tuduhan bahwa
MMI adalah saudara kembar Jamâ‟ah Islâmiah. Di dalam tulisannya yang dimuat dalam
buku Negara Tuhan, ia menyatakan, ―.. maka sebenarnya al-Jamâ‟ah al-Islâmiyah ini bukan
tidak mungkin sudah ―nikah‖ dengan MMI yang berpusat di Jogjakarta lewat sebuah khitbah
yang berlabel “tansīq baina al-Jamâ‟ah”. Lebih dalam lagi, Abegebriel menyatakan ―tidak
begitu salah jika disimpulkan bahwa JI (Jamaah Islamiyah) dan MMI adalah Mukhtalifah al-
Asmâ wal Lughah, Muttahidah al-Asykâl wal Aghrâd, berbeda dalam nama dan bahasa, akan
tetapi sama dalam bentuk dan tujuan/cita-cita.
Sedikit berbeda dengan Abegebriel seperti dalam Budi Prasetyo, yang
menyimpulkan bahwa MMI dan JI adalah saudara kembar. Abdus Salam mengingatkan,
―Bisa saja aktifis-aktifis Islam berhaluan keras di Indoneisa yang aktif di Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI), MMI, FPI, Ikhwanul Muslimin Indonesia dan ormas-ormas radikal lainnya
diracuni oleh doktrin Jamaah Islamiyah. Pandangan yang lebih ramah diberikan Syaiful
Mujani, ―gerakan Islamis pasca Soeharto seperti KISDI, FPI, Laskar Ahlus Sunnah wal
Jama‟ah, MMI, HTI, dan lain-lain berjuang menegakkan syariah Islam secara damai.262
Dalam konteks ini patut dicatat posisi Pancasila yang membentuk ―segitiga emas‖
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, Pancasila sebagai pandangan-dunia
(Weltanschauung) bangsa. Ini terkait dengan nilai-nilai budaya yang membentuk pola pikir
dan orientasi normatif masyarakat Indonesia. Soekarno dengan bernas menyebut pandangan-
dunia ini sebagai ketuhanan yang berkebudayaan. Artinya, Pancasila yang bersila pertama
ketuhanan dan berujung pada keadilan sosial, merupakan pandangan-dunia ketuhanan yang
262
Budi Prasetyo, Toleransi Majelis Mujahidin Indonesia Dalam Kebaragaman, Sosial, Budaya, dan
Politik h. 42.
205
dipraksiskan pada pembentukan kebudayaan manusiawi. Dalam terang ini, ketuhanan dan
kemanusiaan tidak bisa terpisah. Sebab ketundukan kepada Tuhan, dibuktikan melalui
pembangunan kehidupan yang manusiawi. Kedua, Pancasila sebagai dasar negara. Ia
merupakan norma dasar negara (Staatfundamental norm) yang melandasi konstitusi dan
yurisdiksi. Penempatan Pancasila sebagai dasar negara merupakan penegakan pandangan-
dunia Pancasila pada level kenegaraan dan hukum. Ketiga, Pancasila sebagai ideologi
nasional263
yang menjadi garis politik segenap aktivitas sosial-politik warga negara
Indonesia. Ketika sebuah gerakan keagamaan mengusung ideologi non-Pancasila, ia
menentang semua posisi Pancasila di atas. Hal ini tentu bermasalah sebab gerakan ini tidak
berangkat dari pandangan-dunia kebudayaan Indonesia, sehingga mengusung cita-cita politik,
di luar kesejarahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketika kaum radikal Islam
menolak Pancasila, maka mereka menolak sifat dasar Islam yang selaras dengan Pancasila.
Mereka menolak bahwa iman kepada Allah haruslah diamalkan melalui
perlindungan terhadap kaum fakir, hamba sahaya, dan anak yatim, sebagaimana termaktub
dalam al-Baqarah [2] : 177 yang berbunyi:
ا أ جش ٱ ظ ١ ۞ ره ىه جه ه ش ٱ لج غ ٱ شق شة جش ٱ ى ا لل ٱث ء
ٱ ٱ خش ل ٱ ١ خ ٱ ت ىز ٱ ئى ار ج ء بي ٱ ع ج ۦحه مهش ٱ ر ١ ز ٱ ث
غ ٱ ٱ ث ٱ ى١ غب ٱ غج١ ف ئ١ ل بة ٱ ش أ ل ب ٱ ار ح ظ ء ٱ فه ٱ ح ضو ه ثع ذ
ا ع ئر ظ ٱ ذها ب ج أ ٱ ف جش٠ ء ؼشا ٱ ء ع ح١ ط ج أ ٱ
ٱ ئه أه ز٠ا له ذ ط
أه ه ئه ه
ٱ زمه ٠٤٤ ه
263 Hasil survei nasional bertajuk “Islam dan Kebangsaan” yang diselenggarakan oleh Pusat
Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tahun 2007 menunjukkan bahwa mayoritas responden (84,7 %) lebih mendukung NKRI dan Pancasila
ketimbang beraspirasi Negara Islam (22,8 %). Survei berlangsung Maret-April 2007 dengan jumlah responden
1.200 orang tersebar di semua provinsi. Berasal dari kota (42 %) dan desa (58 %), serta pria (50 %), dan wanita
(50%) berusia 17-60 tahun. Lihat majalah Gatra seperti dalam As‘ad Sa‘id Ali. Hasil survei tersebut
memperkuat survei yang dikerjakan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2006 yang terdiri dari 69,6 %
responden masih mengidealkan sistem kenegaraan berdasarkan Pancasila, lalu 11,5 % menginginkan seperti
Negara Islam, dan hanya 3,5 % menginginkan Indonesia seperti Negara demokrasi Barat. Adapun survei LSI
dilakukan di tiga puluh tiga (33) provinsi pada 28 Juli – 3 Agustus 2006 dengan metode multi-stage random
sampling dan wawancara tatap muka dengan margin error sebanyak 3,8 %. Jumlah responden 700 orang. As‘ad
Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Bangsa (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2010), h. 1.
206
―Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan
tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan
orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar
dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang
yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.‖ (QS al-
Baqarah [2] : 177).
Dalam muktamar di Banjarmasin pada tahun 1935, Nahdlatul Ulama (NU)
memutuskan untuk tidak mendukung terbentuknya Negara Islam, melainkan mendorong
umat Islam untuk mengamalkan ajaran agamanya demi terbentuknya masyarakat yang Islami
dan sekaligus membolehkan pendirian Negara bangsa. Sepuluh tahun kemudian, tokoh-tokoh
muslim Nusantara yang terlibat dalam proses kemerdekaan menerima konsep Negara
Pancasila yang disampaikan Soekarno, dan kebanyakan pemimpin organisasi Islam ketika itu
menerima gagasan Soekarno tersebut. Berdasarkan konsep kebangsaan yang kental dengan
nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa inilah, pada tanggal 17 Agustus 1945—atas nama
bangsa Indonesia—Soekarno dan Muhammad Hatta—memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia, sebuah Negara bangsa yang mengakui dan melindungi keragaman budaya, tradisi,
dan keagamaan yang sudah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia.
Gagasan Negara bangsa ini adalah buah dari pahit getir pengalaman sejarah
Nusantara sendiri. Pada satu sisi, sejarah panjang Nusantara yang pernah melahirkan dan
mengalami peradaban-peradaban besar Hindu, Budha, dan Islam semasa masa kerajaan
Sriwijaya, Aceh, Makassar, Goa, Mataram II, dan lain-lain telah memperkuat kesadaran
tentang signifikansi melestarikan kekayaan dan keragaman budaya dan tradisi bangsa.
Sementara pada sisi yang lain, dialog terus-menerus antara Islam sebagai seperangkat ajaran
agama dan nasionalisme yang berakar kuat dalam pengalaman bangsa Indonesia, telah
menegaskan kesadaran bahwa Negara bangsa yang mengakui dan melindungi beragam
207
keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia merupakan pilihan tepat bagi bangunan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pepatah Mpu Tantular, ajaran dan gerakan Sunan
Kalijogo, serta keteladanan lain semacamnya dengan tepat mengungkapkan kesadaran
spiritual yang menjadi landasan kokoh Indonesia modern dan melindunginya dari perpecahan
sejak proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945. Dengan segenap hubungan fluktuatif yang
terjadi, semua ini bukanlah sebuah proses yang mudah, ini merupakan fakta historis yang
harus kita sadari dan pahami. Beberapa periode sejarah Nusantara berlumur darah akibat
konflik yang terjadi—antara lain—atas nama agama. Para ulama seperti Abikusno
Tjokrosujono, KH. A. Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, KH. A. Wahid Hasyim, Ki Bagus
Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Teuku Mohammad Hassan, dan tokoh-tokoh penting
Pendiri Bangsa lainnya, sadar bahwa Negara yang akan mereka perjuangkan dan pertahankan
bukanlah Negara yang didasarkan pada dan untuk agama tertentu, melainkan Negara bangsa
yang mengakui dan melindungi segenap agama, beragam budaya dan tradisi yang telah
menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia. Para pendiri bangsa sadar bahwa di
dalam Pancasila tidak ada prinsip yang bertentangan dengan ajaran agama. Sebaliknya,
prinsip-prinsip dalam Pancasila justru merefleksikan pesan-pesan utama semua agama, yang
dalam ajaran Islam dikenal sebagai maqâshid al-syarī‟ah, yaitu kemasalahatan umum (al-
mashlahah al-„âmmah, the common good). Dengan kesadaran demikian mereka menolak
pendirian atau formalisasi agama dan menekankan substansinya. Mereka memposisikan
Negara sebagai institusi yang mengakui keragaman, mengayomi semua kepentingan, dan
melindungi segenap keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia. Dengan cara demikian,
melalui Pancasila mereka menghadirkan agama sebagai wujud kasih sayang Tuhan bagi
seluruh makhluk-Nya (rahmatan lil „âlamīn) dalam arti sebenarnya. Dalam konteks ideal
Pancasila ini, setiap orang bisa saling membantu untuk mewujudkan dan meningkatkan
208
kesejahteraan duniawi, dan setiap orang bebas beribadah untuk meraih kesejahteraan ukhrawi
tanpa mengabaikan yang pertama.264
Seperti yang telah dipaparkan pada latar belakang, kelahiran, agenda utama, dan
strategi yang digunakan MMI, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas dalam Sukron
Kamil, MMI merupakan metamorfosis gerakan Islam Indonesia sebelumnya yang ingin
mendirikan negara Islam (Islamic state). Paling tidak dalam pengertian, MMI sebagai
gerakan yang mengakui supremasi syariat (ajaran Islam) secara komprehensif, meskipun
berbeda dalam strategi gerakan yang dipakai. Dalam seminar tentang penegakan syariat Islam
yang berlangsung di Yogyakarta pada 5 September 2007, Sidiq al-Jawi dari HTI dan Irfan
Awwas dari MMI menyatakan bahwa mereka memiliki tujuan yang sama, yakni menegakan
khilâfah islâmiyah, walaupun dengan mtode yang berbeda. HTI dengan cara menegakkan
khilâfah di Indonesia, MMI dengan cara memformalkan syariah Islam dalam perundang-
undangan di Indonesia.
Menurut pendapat dua orang ini, hukum hanya dari Allah, maka tidak ada hukum
selain dari Allah di muka bumi ini. hukum yang bukan dari Allah adalah sesat dan kafir, tidak
perlu ditaati. Ketaatan harus kepada hukum Allah saja. Oleh sebab itu, jika ada orang Islam
yang tidak setuju dengan khilâfah Islam dan formalisasi syariat Islam di Indonesia, maka
sejatinya dia adalah orang-orang yang memisahkan agama dan negara. MMI dan HTI juga
menolak Negara Pancasila yang dianggapnya telah merusak Indonesia, dan ini semua akibat
kaum nasionalis sekuler seperti Soekarno, Hatta, dan para pimpinan nasional lain di
Indonesia. MMI dan HTI berpandangan bahwa untuk menyelamatkan Indonesia tidak lain
kecuali dengan syariat Islam dan khilâfah islâmiyah, sebab hanya Islam yang mampu
menjawab semua masalah di Indonesia. Penegakan syariat Islam hukumnya wajib, sebab
Islam itu kâffah, tidak bisa pilih-pilih. Bagi MMI dan HTI, penegakan syariat Islam tidak
264
KH. Abdurrahman Wahid, Musuh Dalam Selimut, dalam buku Ilusi Negara Islam: Ekspansi
Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Editor: KH. Abdurrahman Wahid, Prolog: Ahmad Syafii Maarif dan
Epilog: KH. A. Mustofa Bisri (Jakarta: The Wahid Institute dan Maarif Institute, 2009), h. 15-17.
209
akan sempurna tanpa adanya kekuatan dari negara yang mendukungnya. Karena itu, ujarnya,
agar syariat Islam bisa tegak sempurna di Indonesia, tidak ada lain kecuali Indonesia harus
menjadi negara Islam atau khilâfah islâmiyah, bukan negara Pancasila seperti sekarang ini
yang membuat sengsara banyak orang Islam.265
Menurut MMI, Islam mengajarkan kepada manusia mulai dari penyucian diri
(individu) sampai pada mengatur masyarakat dan negara (politik) yang menjadi kewajiban
bagi umat Islam di manapun mereka berada. Totalitas Islam inilah yang diyakini oleh Irfan S.
‗Awwas, Ketua Lajnah Tanfiziyah MMI, bahwa Islam mengatur seluruh kehidupan
masyarakat, baik sosial, ekonomi, dan politik. Dari sinilah, Islam kemudian memiliki
konsepsi bersatunya agama dan negara. Bahkan, M. Thalib, mempertanyakan dasar
pemisahan agama dari negara, atau konsepsi agama merupakan urusan pribadi dan negara
merupakan urusan orang banyak, atau Tuhan hanyalah layak berada di masjid saja,
sedangkan kehidupan manusia yang sangat kompleks hanya diurus melalui keterampilan dan
logika manusia sendiri. Latar belakang logika semacam ini oleh M. Thalib muncul akibat
semboyan yang terkenal sekuler, ―give to God wether for God, give to the caesar wether for
caesar.‖266
Bagi MMI, formalisasi syariat Islam pada level negara (tathbīq al-syarī‟ah) yang
berarti mendirikan sebuah negara Islam, merupakan agenda dan orientasi perjuangan yang
akan dilakukan267
. Hal itu dipahami tidak saja sebagai kewajiban asasi setiap Muslim, tapi
sekaligus sebagai satu-satunya jalan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang adil.
265
Tim Peneliti Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Editor: KH.
Abdurrahman Wahid, Prolog: Ahmad Syafii Maarif, dan Epilog: KH. A. Mustofa Bisri (Jakarta: The Wahid
Institute dan Maarif Institute, 2009), h. 161-162. 266
Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Jakarta:
Teraju Mizan, 2002), h. 102-103. 267
Islam dan Negara adalah dua entitas yang sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia senantiasa di
dalam pergumulan. Salah satu puncak pergumulan keduanya adalah Sidang Majelis Konstituante (1956-1959).
Di forum itu, kelompok Islam memperjuangkan Islam sebagai dasar Negara. Sementara kelompok nasionalis
sekular bersikukuh menjadikan Pancasila sebagai dasar Negara. Karena sama-sama bersikeras, maka Presiden
Soekarno mengambil alih agenda Majelis dengan mengeluarkan Dekrit Presiden yang memutar negara kembali
ke UUD 1945. Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, dkk, Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan
Pemikiran Islam Kontemporer (Jakarta: Paramadina University, 2005), h. xi.
210
Oleh karena itu, MMI menjadikan berlakunya syariat Islam sebagai satu keharusan, atau mati
dalam perjuangan (jihâd fī sabīlillah) untuk tujuan itu. Program penegakan syariat Islam yang
dikehendaki MMI mencakup lingkup pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara secara
keseluruhan. Pembentukan negara Islam itu sendiri dimaksudkan untuk mewujudkan negeri
yang aman, sejahtera dan selalu dalam jalur yang diridhai Allah SWT. Untuk mewujudkan
cita-cita itu, program penegakan syariat Islam dilaksanakan secara simultan dan terpadu
dalam lingkup yang meliputi: 1) penegakan syariat Islam di bidang politik, budaya, dan
pertahanan-keamanan negara yang didukung oleh pemantapan tauhid akidah Islam yang
benar di kalangan umat Islam. 2) sosialisasi syariat Islam secara menyeluruh (kâffah) pada
semua komponen bangsa secara efektif dan efisien. 3) pengembangan dan peningkatan
kemampuan umat dalam upaya menegakkan syariat Islam.268
Di sisi lain, penerapan syariat
Islam bukan tanpa soal, malah cenderung problematik. Upaya penerapan syariat Islam tentu
akan menemui berbagai kendala, mengingat banyak permasalahan yang mungkin muncul,
seperti: apakah penerapan syariat Islam itu memiliki pola atau model yang baku? Dalam
konteks apa syariat Islam itu diterapkan atau diberlakukan? Bagaimana menyikapi
persinggungan antara syariat Islam dan penerapan hukum positif yang dibentuk oleh negara?
Jika memang syariat Islam diterapkan—terutama dalam lingkup negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam seperti Indonesia—siapa saja pihak-pihak, atau kelompok yang
merasa diuntungkan atau dirugikan? Inilah beberapa permasalahan yang sering muncul dalam
perdebatan seputar penerapan syariat Islam.
Penerapan syariat Islam tidak lepas dari aspek historis dan sosiokultural di masa
Nabi Muhammad SAW. Jika dikaitkan dengan realitas historis, persoalan syariat juga masih
menyisakan banyak ketidakjelasan sekaligus ketidaktegasan, terutama dalam hubungannya
dengan peraturan yang ditetapkan oleh para pemimpin umat Islam. Artinya, syariat Islam
268
Jamhari dan Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004), h. 67-68.
211
pada dasarnya belum memiliki ketetapan dan prosedur yang baku sebagai sebuah pola atau
model bagi umat Islam, baik dimulai di masa Nabi SAW, khulafa rasyidun, hingga praktik
yang dijalankan di beberapa negara Timur Tengah. Atas dasar realitas kesejarahan yang tidak
memberi model baku bagi penerapan syariat Islam itulah, beberapa pemikir Islam
kontemporer yang berhaluan liberal seperti Nurcholis Madjid, Wahid, dan Wahib, misalnya,
menolak secara tegas penerapan syariat Islam beserta sistem pemerintahan yang religius-
legalistik. Penolakan itu bisa merujuk pada realitas historis seputar kebijakan Nabi SAW
terhadap piagam Madinah, sistem khilafah sebagai bentuk pemerintahan di masa sahabat,
maupun pada aspek sosial-politik lainnya atau penolakan itu juga berangkat dari pembacaan
mereka terhadap model khilafah yang memang tidak memiliki prosedur yang tetap dan baku,
karena hanya dinyatakan dalam sebuah diktum seperti musyawarah sehingga pada dasarnya
tidak ada yang namanya model negara Islam (Islamic state), meski pada masa Nabi atau
sistem khilafah yang mirip dengan konsep teokrasi memang hanya berlaku dalam konteks
saat itu yang tidak harus dikaitkan dengan persoalan sosial politik umat Islam di masa
sekarang. Perlunya penerapan syariat Islam secara substantif, kontekstual, dan rasional, harus
dan perlu diterapkan agar benturan kebijakan dan kepentingan dengan warga negara
nonmuslim bisa diperkecil. Bahkan, benturan dengan komunitas muslim sendiri. Pentingnya
menampilkan aspek substantif dari syariat Islam, tidak serta merta menghilangkan peran
negara sama sekali. Negara bisa saja ikut andil di dalamnya, selama masih pada batas-batas
yang bisa diterima oleh semua pihak. Keikutsertaan negara pada persoalan syariat lebih
mengarah pada mediasi, fasilitasi, dan akomodasi bagi kepentingan umat beragama, termasuk
Islam. Hal ini karena Indonesia tidak menganut konsep negara sekuler, sebagaimana juga
tidak menganut negara Islam. Pada batas-batas tertentu, Indonesia menganut atau
menerapkan nilai-nilai sekularistik, dan secara bersamaan juga menganut nilai-nilai religius.
212
Kenyataan ini harus dipertimbangkan dalam hubungannya dengan penerapan syariat Islam di
Indonesia.269
C. Sekilas Penjelasan Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriah
Al-Qur‘an Al-Karim Tarjamah Tafsiriyah karya Muhammad Thalib ini telah
terbit dalam 2 (dua) versi. Pertama, edisi spesial Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah dan koreksi
Tarjamah harfiah Al-Qur‟an Kemenag RI ukuran 21 x 14 cm, xlvi + 614 halaman yang
dicetak sebanyak 10.000 eksemplar. Kedua, edisi istimewa Al-Qur‟an Al-Karim Tarjamah
Tafsiriyah270
dan Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI (digabung menjadi satu
buku) ukuran 25 x 17 cm, xlviii + 1067 halaman juga 10.000 eksemplar. Adapun grand
launching karya ini dilaksanakan di The Sultan Hotel, Jakarta pada 31 Oktober 2011 yang
dihadiri oleh perwakilan Kemenag RI, Majelis Ulama Indonesia, Hibut Tahrir Indonesia
(HTI), Kodam, Kepolisian RI, BNPT, dan sejumlah tokoh lainnya.
269
Halid Alkaf, Liberalisme Islam Indonesia: Studi tentang Pemikiran dan Gerakan Islam Liberal di
Indonesia (Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 33-34. Disertasi pada Bidang
Keislaman. 270
Edisi istimewa ini yang penulis gunakan sebagai objek kajian dalam melakukan riset Tesis ini.
Untuk jumlah halaman setelah penulis lihat di footnote ada 1067 halaman disertai beberapa lampiran, seperti
Surat menyurat antara MMI dan MUI, MMI dan Kemenag RI, dan argumentasi bantah-membantah dengan
kritis antara pakar penerjemah/tim penafsir Al-Qur‘an Kemenag RI dengan ahli bahasa MMI. Edisi ini sejatinya
gabungan antara Al-Qur‟an Al-Karim Tarjamah Tafsiriyah dan Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an
Kemenag RI. Karya Ustadz Muhammad Thalib yang ada di tangan penulis ini terdiri dari beberapa nama tim
ahli. Yakni, Penerjemah: Al-Ustadz Muhammad Thalib; Asisten Penerjemah: Slamet Suripto; Penyelaras
Bahasa: Irfan Suryahardi ‗Awwas; Pemeriksa Khat Al-Qur‟an: Zaky Imaduddin Rabbany; Penata Letak: Abu
Labib; Desain Cover: Budi Yuwono. Karya masterpiece ini sudah dicetak sebanyak empat kali yang bila
dirunutkan dari awal edisi I dicetak pada Muharram 1433 H/Desember 2011 M; edisi II, Rabi‘ul Awwal 1433 H
/ Februari 2012 M; edisi III, Rajab 1433 H / Mei 2012 M; Edisi IV, Rabi‘ul Awwal 1434 H / Februari 2013 oleh
Penerbit Ma‘had An-Nabawy, Markaz Pusat Majelis Mujahidin yang beralamat di Jl. Karanglo No. 94
Kotagede, Yogyakarta, Indonesia. Tlp/Faks: (0274) 451665. Menurut rumor yang beredar, seperti pihak
percetakan Faris, yang berbicara kepada penulis bahwa Al-Qur‘an MMI yang diditerbitkan serta dipublikasi
Yayasan Ahlu Suffah ini tidak mendapatkan izin tashih dari Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an (LPMA)
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI sehingga tidak ada ACC terbit lagi, dengan segala
pertimbangan dan kebijakan pemerintah. Belakangan juga karena faktor politis takut memperbelah ukhuwwah
ummat Islam Indonesia.
213
Buah tangan Ustadz Muhammad271
Thalib ini disusun berdasarkan tata urutan Mushaf
Utsmani, mulai dari QS. al-Fâtihah [1] hingga QS. al-Nâs [114]. Metode penulisannya sama
dengan Al-Qur‘an dan Terjemahnya milik pemerintah, yaitu Kementerian Agama RI, yakni
ayat Al-Qur‘an tersusun berdasarkan format Mushaf Al-Qur‘an Utsmani dengan dibubuhi
terjemahan pada sisi kiri, kanan dan bawahnya. Perbedaannya adalah karya Ustadz M. Thalib
ini tidak menggunakan catatan kaki (footnote) sama sekali, sebagaimana lazimnya banyak
dijumpai dalam sejumlah karya Terjemahan Al-Qur‘an terbitan Kemenag RI. Karena
tergolong ringkas dan padat, karya terjemahan ini terdiri dari 1 volume saja.
Bila kita telisik lebih dalam sebelum masuk pada QS. al-Fâtihah, sang penerjemah
menjelaskan hukum atau fatwa larangan tarjamah Al-Qur‘an harfiyah dengan bahasa Arab
beserta artinya yang mana merupakan hasil tim fatwa komite tetap lembaga riset ilmiah, Arab
Saudi. Setelah itu disusul paparan metode tafsiriyah di zaman sahabat Nabi Muhammad
SAW; pedoman tarjamah tafsiriyah Al-Qur‘an yang meliputi pengertian tarjamah Al-Qur‘an;
perbedaan tafsir dengan tarjamah tafsiriyah; perbedaan tarjamah yang memunculkan
perbedaan pemahaman; pola kalimat bahasa Arab dan bahasa Indonesia; istilah-istilah baku
dalam Al-Qur‘an; karakteristik dan misi Al-Qur‘an; hukum tarjamah Al-Qur‘an, dan kitab
referensi yang digunakan. Paparan ini akan memberi petunjuk (guidance) kepada seluruh
pembaca perihal karakteristik karya terjemahan tersebut. Lebih lanjut, sang penerjemah juga
membeberkan pengantar tambahan lainnya seperti Ulumul Qur‘an yang mencakup sejarah
turunnya Al-Qur‘an (asbâb al-nuzûl); ayat pertama dan terakhir yang diturunkan; pembagian
Al-Qur‘an; cara Al-Qur‘an turun ke bumi; pengumpulan Al-Qur‘an; ringkasan sejarah
271 Ada dua versi cetakan karya MMI. Al-Qur‟anul Karim Tarjamah Tafsiriyah, karya monumental
pertama dan satu-satunya di Indonesia, sebagai revolusi pemahaman makna Al-Qur‘an. Terbit dalam 2 versi: -
Spesial Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah dan Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI. Ukuran 21 x
14 cm, xlvi + 614 halaman. Harga Rp 150.000,-/paket. -Istimewa Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah dan Koreksi
Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI. Ukuran 25 x 17 cm, xlvi + 714 halaman. Harga Rp 195.000,-/ paket
214
tentang pembukuan Al-Qur‘an, serta kajian khusus asbâb al-nuzûl; kemudian uraian ringkas
tentang sejarah Nabi Muhammad SAW juga turut dideskripsikan yang mencakup kelahiran
dan keluarga Nabi Muhammad SAW; masa muda dan pernikahannya; pengangkatannya
menjadi seorang Rasul; misi dakwahnya; peristiwa Isra‘ dan Mi‘raj; ajaran Islam masuk
Madinah; hijrah kaum muslim dan Rasulullah SAW; intimidasi kaum kafir Quraisy, hijrah ke
Madinah; sejumlah peperangan di zaman Nabi Muhammad SAW; penaklukan kota Mekah;
haji wada‘; dan wafatnya Rasulullah SAW.
Untuk memperkaya khazanah pembaca, diulas pula tentang metode memahami Islam
berikut kelebihan dan kelemahannya yang mencakup metode asâsī, „amalī, târikhī, ‗ulûm al-
Islâm, muqâranah, taqlīd, bâtini, dan syâmil–mutakâmil. Di samping itu, pembaca juga akan
terbantu dalam pencarian judul yang hendak dicari terjemahannya karena dilengkapi dengan
daftar judul dengan berdasarkan pembagian juz mushaf Al-Qur‘an.272
Pada setiap awal
penerjemahan, nama surat ditampilkan dan disebutkan artinya seperti QS. al-Fâtihah (surah
pembuka), QS. al-Baqarah (sapi betina), al-A‟râf (bukit antara Surga dan Neraka), kecuali
surah tertentu yang tidak dituliskan terjemahannya misalnya Qâf, Nûn dan QS. Yâsin. Status
setiap surah berupa makkiyah atau madaniyyah juga disebutkan setelah penyebutan nama
surah, berikut jumlah ayatnya. Awal surat yang terdiri dari huruf muqatta‟at (huruf yang
terpisah-pisah) hanya diterjemahkan sesuai huruf yang ada, semisal alif lam mīm (QS. Al-
Baqarah), alif lam mīm shâd (QS. al-A‘râf), Qâf (QS. Qâf). Adapun di bagian akhir karya
terjemahan ini dicantumkan indeks tematik Al-Qur‘an. Indeks ini sangat membantu dalam
pengelompokkan pembahasan ayat-ayat Al-Qur‘an berdasarkan topik tertentu, serta penulisan
harakah, keterangan ayat-ayat sajadah dan tanda-tanda waqaf. Sejumlah literatur bacaan
juga menjadi penambah kualitas karya ini, yang dijadikan dasar pijakan yang terdiri dari dua
belas karya tafsir; baik klasik maupun kontemporer, yaitu: Tafsīr al-Tabarī karya Abu Ja‘far
272
Lihat Muhammad Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah disertai Koreksi Terjemah Harfiyah Al-
Qur‟an Kemenag RI (Yogyakarta: Ma‘had al-Nabawī Markaz Majelis Mujahidin, 2013), h. iii-xxxiv.
215
Muhammad ibn Jarīr al-Tabarī; Tafsīr Bahr al-„Ulûm karya Al-Samarqandī; Tafsīr al-Durr
al-Mantsûr karya al-Suyûthi; Tafsīr al-Jalâlain karya al-Mahallī dan al-Suyûthi; Tafsīr al-
Qur‟an al-„Azhīm karya Imam Ibnu Katsīr; Tafsīr Ma‟âlim al-Tanzīl karya al-Baghawī;
Tafsīr al-Muharrar al-Wajīz karya Ibnu ‗Athiyyah; Tafsīr al-Jawâhir al-Hisan karya al-
Tsa‘âlabi; Tafsīr al-Muntakhab terbitan Kementerian Waqaf Mesir; Tafsīr al-Mishbâh al-
Munīr karya Tim Ulama India; al-Tafsīr al-Wajīz karya Syaikh Wahbah al-Zuhaylī; Tafsīr al-
Muyassar karya Râbithah „Âlam Islâmī.
Adapun sumber bacaan lainnya sebagai penunjang adalah al-Tafsīr wa al-Mufassirûn
karya al-Dzahabī; al-Tibyân fī „Ulûm al-Qur‟an karya al-Shâbunī; kitab hadis Sahīh Bukharī;
kitab hadis Sahīh Muslim; Tarjamah al-Qur‟an: Dhawâbit wa Ahkâm karya Sulthan ibn
Abdullah al-Hamdani; Qâmus al-Mu‟jam al-Wasīt karya Ibrahim Unais, dkk; Qâmus al-
Qur‟an Ishlâh al-Wujûh wa al-Nazhâir karya al-Husaini ibn Muhammad al-Damaghani;
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Jakarta (2008); Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta (1990).273
Bila ditelaah lebih
lanjut, karya yang menjadi stressing (titik tekan) karya MMI ini adalah terkait persoalan tata
bahasa Indonesia, logika bahasa Indonesia, sastra Arab, latar belakang turunnya ayat, maksud
ayat, bidang akidah, bidang syariah, bidang mu‘amalah (hubungan sosial dan ekonomi).
Untuk memastikan kesalahan terjema, M. Thalib merujuk pula maksud ayat dalam bahasa
Arabnya sehingga memudahkan untuk mengoreksi serta menemukan kesalahan
terjemahannya. Lebih lengkapnya, akan penulis suguhkan pada bab empat.
Ada sejumlah alasan penting mengemukakan setting Al-Qur‘an Tarjamah Tafsiriyah.
Pertama, posisi M. Thalib di MMI sebagai Amir (Ketua), meskipun belakangan beredar isu
bahwa ia sempat mundur dari jabatannya sebagai Amir MMI yang telah ditampuknya selama
273
Al-Ustadz Muhammad Thalib, Al-Qur‟an Al-Karim: Tarjamah Tafsiriyah, Memahami Makna Al-
Qur‟an Lebih Mudah dan Cepat (Yogyakarta: Yayasan Islam Ahlu Suffah & Pusat Studi Islam An-Nabawi,
2013), h. xviii.
216
4 tahun terakhir. Ia mengajukan surat resign atau pengunduran diri ke Ahlul Halli Wal „Aqdi
(AHWA) pada 14 Juni 2012 dengan alasan tidak adanya suasana enjoy/bersahabat (nyaman)
dalam kerja sama dengan Lajnah Tanfīziyah Pusat MMI.274
Kedua, karenanya, karya Al-
Qur‘an Tarjamah Tafsiriyah ini sebenarnya (bukan mutlak milik) MMI, tetapi pemiliknya
sesungguhnya adalah Ustadz M. Thalib, penyebutan Al-Qur‘an MMI secara ideologis saja,
karena ini tidak lain dunia organisasi yang digelutinya; MMI sebuah organisasi keagamaan
yang cukup radikal dan kerap kasar/cenderung ekstrim dalam pemikiran dan berbagai
pernyataannya dengan wacana formalisasi syariat Islam di Indonesia yang seirama dengan
perjuangan HTI, dan FPI, atau dengan kata lain M. Thalib bukanlah representasi utuh dari
organisasi MMI. Namun begitu, rentang waktu yang lama untuk meneliti kekurangan-
kekurangan terjemah Al-Qur‘an Kemenag patut diapresiasi. Sejumlah tokoh nasional dan
agamawan memberikan testimoni dan ada juga yang melayangkan kritik pedasnya untuk Al-
Qur‘an Tarjamah Tafsriyah ini.
274
Lihat Herry Mohammad, dkk., Mundur bukan Karena Uzur, dalam Majalah Gatra, edisi 11 Juli
2012, h. 90-91.
217
BAB IV
KRITIK MMI ATAS TERJEMAHAN AL-QUR’AN KEMENAG RI
Ketika disuguhi sebuah teks, entah buku ataupun kitab suci, muncul pertanyaan di
benak kita, siapakah sesungguhnya subjek yang berbicara dan siapakah objek yang hendak
disapa oleh teks itu? Disadari atau tidak, ketika seseorang membaca sebuah buku sedikitnya
di sana terdapat tiga subjek yang terlibat dalam membangun makna yang masing-masing
mempunyai dunianya sendiri. Jika pikiran kita hanya tertuju dan terpusat pada buku, maka
sesungguhnya kita sudah berasumsi bahwa buku mempunyai eksistensi yang otonom, yang
bisa berbicara sendiri dan untuk memahami isinya kita tidak harus mengaitkan dengan subjek
pengarangnya. Bukankah kita adakalanya tenggelam dalam sebuah buku tanpa pernah
bertanya secara kritis, siapakah pengarangnya? Kepada siapa buku ini sesungguhnya
ditujukan?
Sebuah buku begitu selesai ditulis oleh pengarangnya dan kemudian diluncurkan
ke tengah masyarakat, maka ia telah menjadi milik publik. Ia akan berbicara sendiri
menyampaikan isinya melalui sistem tanda yang dimilikinya, dalam wadah bahasa yang
bersifat lokal. Asumsi ini tentu saja mengandung banyak kebenaran, meskipun juga memiliki
kelemahan. Sisi kebenarannya terletak terutama pada kenyataan bahwa kita bisa menghargai
sebuah buku dan bisa berguru pada buku-buku tanpa harus bertemu dengan pengarangnya
untuk mengecek benar-salahnya isi buku serta menanyakan apa motifnya menulis sebuah
buku. Tetapi, tidakkah sebuah teks yang hadir di depan kita bisa menipu atau, setidaknya,
tidak mampu mengungkapkan sebuah realitas yang utuh? Dengan ungkapan lain, sejauh
mana sebuah teks bisa dipercaya validitas dan akurasi derajat kebenaran yang
disampaikannya?
218
Pertanyaan di atas mengajak kita menggugat otonomi sebuah teks, karena, pada
dasarnya teks hanyalah sebagian dari pikiran pengarangnya, di samping juga sebuah teks
tidak selalu akurat dalam menghadirkan sebuah realitas atau menyajikan sebuah konsep. Di
balik sebuah teks, sesungguhnya terdapat sekian banyak variabel serta gagasan yang hendak
disajikan oleh pengarangnya. Menyadari bahwa teks dan pengarangnya saling bertautan
namun jarang sekali keduanya hadir bersama-sama di hadapan kita sebagai pembacanya,
maka dalam setiap pemahaman dan penafsiran sebuah teks, faktor subjektivitas pembaca
menjadi sangat berperan. Membaca berarti juga menafsirkan. Lebih jauh lagi, membaca dan
menafsirkan sesungguhnya juga ―menulis ulang‖ dalam bahasa mental dan bahasa pikir sang
pembaca yang hanya saja tidak dituliskan. Ketika sebuah teks hadir di depan kita, maka teks
menjadi berbunyi dan berkomunikasi hanya ketika kita membacanya dan membangun makna
berdasarkan sistem tanda yang ada. Jadi, makna itu muncul dari pertautan antara teks, pikiran
pengarang, dan benak pembacanya.275
Ketiga variabel itu, yaitu the world of the text, the world of the author, dan the
world of the reader, masing-masing merupakan titik pusaran tersendiri, meskipun
kesemuanya saling mendukung—bisa juga malah menyesatkan—pihak pembaca dalam
memahami sebuah teks. Bahkan, terdapat sebuah pendapat ekstrim yang menyatakan bahwa
―pikiran yang diucapkan dan dituliskan pasti mengandung kebohongan.‖ Mengapa demikian?
Karena ketika pikiran diungkapkan dengan kata-kata, ia selalu melibatkan pilihan kata dan
kalimat yang dianggap tepat dengan mempertimbangkan keadaan pendengar atau
pembacanya.276
Al-Qur‘an adalah sebuah teks, dan seperti juga semua teks yang lain, ia
membutuhkan penafsiran. Bahkan, upaya memahami Al-Qur‘an secara sederhana pun
hakikatnya adalah sebuah kegiatan penafsiran. Setiap kali seseorang membaca sebuah teks
275
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta: Teraju Mizan, 2004), h. 1-3. 276
Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika (Bandung: Mizan,
2011), h. 63.
219
dan mendengarkan pembicaraan orang lain, sejatinya mereka sedang memahami kata-kata
itu. Setiap individu belajar memproses informasi dengan cara tertentu dalam rangka
―membentuk‖ makna dari teks, meski mereka biasanya tidak menyadari proses ini. Para
pembaca Al-Qur‘an pun sebetulnya bukanlah para pengkaji yang netral dan objektif, namun
menjadi penafsirnya, dengan membawa bias dan cakrawalanya sendiri dalam menafsirkan
teks tersebut. Karena perbedaan pengalaman, kesan, nilai, dan lingkungan kultural, tiap-tiap
individu akan ―membentuk‖ makna dengan cara yang berbeda untuk mencapai pemahaman
mereka terhadap teks. Namun, subjektivitas penafsiran ini tidaklah berarti bahwa tiap-tiap
pemahaman memiliki keabsahan dan kualitas yang setara.
Para sarjana Muslim menganggap Al-Qur‘an sebagai sebuah teks yang kompleks.
Dalam usaha memahami maknanya, mereka telah berkontribusi besar dalam mengembangkan
literatur tafsir Al-Qur‘an selama 1400 tahun terakhir. Di masa modern, para sarjana Muslim
terus mengembangkan usaha untuk memahami dan menafsirkan Al-Qur‘an secara
keseluruhan, dan menentukan relevansi atas teks-teks Al-Qur‘an yang khusus. Dalam banyak
hal demikian, banyak sarjana juga mengembangkan teori-teori mengenai karakteristik
kebahasaan dan makna yang menawarkan cara-cara baru dalam memahami Al-Qur‘an secara
lebih baik.277
Teks menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Ajaran-ajaran utama
Islam ada dalam bentuk teks, yaitu Al-Qur‘an dan hadis. Orang-orang Islam sangat bangga
menyebut dirinya sebagai Ahlul Kitâb ‗orang-orang yang sangat menghormati kitab‘ atau
secara sederhana, ‗masyarakat teks‘. Al-Qur‘an juga menyebut para pengikut agama lain,
terutama Yahudi dan Kristen sebagai Ahlul Kitâb hanya karena sebagai umat Islam, mereka
juga menjadikan teks (kitab suci) sebagai pusat dari kesadaran beragama mereka. Bagi Ahlul
Kitâb, dunia langit hanya bisa diketahui lewat teks yang dibawa oleh para Nabi. Teks adalah
dâl (yang menunjuk, atau kehadiran sebuah tanda, signifier) dari madlûl (objek yang
277
Abdullah Saeed, Reading the Qur‟an in the Twenty-First Century: A Contextualist Approach,
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ervan Nurtawab, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual
(Bandung: Mizan Pustaka, 2016), h. 27-28.
220
ditunjuk, signified) yaitu makna abadi yang ada di dalam diri Tuhan. Bagi orang Islam, setiap
kata atau kalimat yang ada dalam Al-Qur‘an disebut ayat atau ‗tanda‘. Tanda dari suatu
makna abadi. Memang benar bahwa makna abadi itu bisa diketahui lewat ciptaan Tuhan
seperti gunung dan langit (benda-benda ciptaan ini juga disebut ayat atau persisnya ayat
kauniyah ‗tanda-tanda alam‘. Akan tetapi, ayat yang paling utama adalah teks Al-Qur‘an.
Bisa dikatakan bahwa tanpa teks ini, tidak ada Islam dan masyarakat Muslim. Masyarakat
Islam sebagai masyarakat yang eksistensinya bergantung pada teks diperkuat oleh hadis. Al-
Qur‘an yang jumlah ayatnya hanya sekitar 6.600 dan ada pendapat menyebutkan 6.666
dengan 114 surat dan 30 juz, bukanlah sebuah teks yang bisa menjelaskan semua realitas atau
ajaran dengan detail. Kalau tidak jelas, ke mana mereka harus mencari kejelasan. Berbagai
jawaban dikemukakan, ada yang merujuk pada tradisi atau konteks lokal sebagai penjelas,
seperti yang nampak terjadi pada mazhab Mâlikī yang sangat mengutamakan tradisi dan
praktek lokal Madinah. Ada juga yang merujuk pada akal seperti yang ada dalam mazhab
Hanafī. Ada juga yang menggunakan ijmâ‟ (sebuah kesepakatan atau consensus masyarakat
Muslim dalam memahami teks sebagaimana yang dikembangkan oleh mazhab Syâfi‘ī. Dan
ada juga yang menjadikan kata-kata dan perbuatan Rasul sebagai pegangan, yang kemudian
disebut hadis. Maka hadis yang dibukukan pada abad ke-3 H/ 9 M itu kini menjadi rujukan
sekunder setelah Al-Qur‘an.278
Al-Qur‘an adalah wahyu ilahi yang berisi nilai-nilai universal kemanusiaan. Ia
diturunkan untuk dijadikan petunjuk, bukan hanya untuk sekelompok manusia ketika ia
diturunkan, tetapi juga untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Namun demikian, Al-
Qur‘an bukanlah kitab ensiklopedi yang memuat segala hal. Al-Qur‘an semestinya tidak
ditonjolkan sebagai kitab antik yang harus dimitoskan, karena hal tersebut bisa menciptakan
jarak antara Al-Qur‘an dengan realitas sosial. Kendati Al-Qur‘an di satu pihak diidealisasi
278
Fuad Jabali, Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang dalam Jurnal Lektur Keagamaan Vol 7 No.
1, (Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2009), h. 1-2.
221
sebagai sistem nilai sakral dan transendental; sementara di pihak lain realitas sosial yang
harus dibimbingnya begitu pragmatis, rasional, dan materialistis. Seolah-olah nilai-nilai Al-
Qur‘an yang dialamatkan kepada manusia berhadap-hadapan dengan realitas itu. Karena itu,
perlu adanya tafsir untuk mengungkap, menjelaskan, memahami, dan mengetahui prinsip-
prinsip kandungan Al-Qur‘an tersebut. Al-Qur‘an dalam tradisi keilmuan Islam, telah
melahirkan sederet teks turunan yang demikian mengagumkan. Teks-teks turunan itu
merupakan karya-karya spektakuler yang lahir dari tangan-tangan ulama dengan beragam
model dan metode.279
Al-Qur‘an Al-Karim yang diturunkan dengan bahasa Arab, memiliki uslûb-uslûb280
bahasa yang tinggi yang terdiri dari atas uslûb-uslûb bayâniyyah, ma‟âniyyah, dan
badī‟iyyah, di samping uslûb-uslûb yang lainnya yang lebih mudah ditangkap pengertiannya.
Al-Qur‘an yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW sekaligus petunjuk umat
manusia kapan dan di mana pun, memiliki pelbagai macam keistimewaan. Keistimewaan
tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang unik memesonakan, dan pada saat yang sama
mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapapun yang memahami bahasanya,
walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda akibat berbagai faktor.
Redaksi ayat-ayat Al-Qur‘an, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak
dapat dijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini
kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam hal Al-Qur‘an, para sahabat
Nabi sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya,
serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosakatanya, tidak jarang berbeda
279
Hasani Ahmad Said, Diskursus Munâsabah Al-Qur‟an: Tinjauan Kritis terhadap Konsep dan
Penerapan Munâsabah dalam Tafsīr al-Mishbâh (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Kegamaan
Kementerian Agama RI, 2014), h. 4-5. 280
Kata uslûb (bentuk jamaknya ialah asâlīb) secara sederhana dapat diartikan sebagai ―cara, jalan”
atau “jalan yang terbentang”. Kata ini dipadankan dengan kata style dalam bahasa Inggris. Menurut pengertian
istilah terminologis, uslûb berarti cara yang ditempuh oleh seseorang untuk mengungkapkan ide dan pikirannya
yang dituangkan baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Dalam ilmu bahasa, istilah ini dikenal dengan sebutan
“gaya bahasa” sebagaimana yang diungkap Muhammad Hasan Abdullah dalam Muqaddimah fi al-Naqd al-
Adabī, lihat Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur‟an: Upaya Menafsirkan Al-Qur‟an dengan
Pendekatan Kebahasaan (Jakarta: Fitra Publishing, 2006), h. 1-2.
222
pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah
yang mereka dengar atau mereka baca itu.281
Sebagai pembuka bab empat, pengantar di atas sungguh cocok dalam menyisir
halaman per halaman berikut ini.
A. Terjemahan Al-Qur’an Kemenag secara Umum
Bagi kaum muslimin, Al-Qur‘an adalah petunjuk (hudan) untuk menuntun umat
manusia menuju jalan yang benar. Al-Qur‘an juga berfungsi sebagai pemberi penjelasan
(tibyân) terhadap segala sesuatu, dan sebagai pembeda (furqân) antara kebenaran dan
kebatilan. Keindahan bahasa, kedalaman makna, keluhuran nilai, dan keragaman tema di
dalam Al-Qur‘an tidak akan pernah kering untuk terus diperdalam, dikaji, diteliti, dan
dimaknai dengan lebih mendalam. Oleh karena itu, upaya menghadirkan pesan-pesan Al-
Qur‘an merupakan proses yang tidak akan pernah berakhir selama manusia hidup di muka
bumi ini. Al-Qur‘an adalah kitab suci bagi umat Islam yang berisi pokok-pokok ajaran
tentang akidah, syari‟ah, akhlak, kisah-kisah dan hikmah dengan fungsi pokoknya sebagai
hudan (petunjuk) bagi umat manusia demi mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat. Sebagai kitab suci, Al-Qur‘an harus dimengerti maknanya dan dipahami dengan baik
maksudnya oleh setiap orang Islam untuk kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu usaha Departemen Agama (kini: Kementerian Agama) dalam rangka
memasyarakatkan Al-Qur‘an sebagai kitab suci umat Islam adalah menerjemahkan arti
kandungan kitab suci tersebut dan menafsirkannya.282
281
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 2007), h. 112-113. 282
Bahkan dalam terbitan terbaru Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Presiden RI ke-6 Susilo Bambang
Yudoyono menyambut baik Penyempurnaan dan Penerbitan Tafsir ini, sebuah karya masterpiece yang disusun
oleh para Pakar dan Ulama Indonesia secara bersama-sama di bawah koordinasi Kemenag RI ini merupakan
bagian dari upaya untuk meningkatkan iman, ilmu, dan amal saleh kaum muslimin di tanah air. Presiden dan
segenap kaum muslimin di Indonesia tentu sangat bangga karena Para Ulama kita telah mampu melahirkan
Tafsīr Al-Qur‟an dalam bahasa Indonesia yang sangat lengkap dan monumental. Para Ulama terkemuka, seperti
223
Karya terjemahan Al-Qur‘an Kementerian Agama RI yang biasa disebut Al-Qur‘an
dan Terjemahnya selesai disusun oleh sebuah tim yang terdiri dari beberapa ulama anggota
Lembaga Penterjemah Kitab Suci Al-Qur‘an pada tahun 1965 dalam kurun waktu 5 tahun
(1960-1965), dan dicetak secara bertahap dan beredar pertama kali pada tanggal 17 Agustus
1965, sebanyak tiga jilid. Masing-masing jilid terdiri dari 10 juz. Dalam perkembangannya,
terjemahan tersebut mengalami beberapa kali perbaikan dan penyempurnaan. Sejak pertama
kali diedarkan pada 17 Agustus 1965 hingga sekarang, terjemahan Al-Qur‘an Kementerian
Agama setidaknya sudah mengalami dua kali proses perbaikan dan penyempurnaan.
Pertama, penyempurnaan redaksional yang dianggap sudah tidak relevan dengan
perkembangan bahasa pada saat itu, yaitu pada tahun 1989. Kedua, penyempurnaan secara
menyeluruh yang mencakup aspek bahasa, konsistensi pilihan kata, substansi, dan aspek
transliterasi dalam rentang waktu yang cukup lama antara tahun 1998 hingga 2002, dan edisi
2002 inilah yang dijadikan objek penelitian. Proses perbaikan dan penyempurnaan itu
dilakukan oleh para ulama, ahli dan akademisi yang memiliki kompetensi di bidangnya
sebagai wujud keterbukaan Kementerian Agama terhadap saran dan kritik konstruktif bagi
perbaikan dan penyempurnaan Al-Qur‘an dan Terjemahnya. Upaya itu juga didasari pada
Prof. Dr. Mahmud Yunus, Prof. Dr. Tengku M. Hasbi al-Shiddīqī, Prof. Dr. Hamka, dan Prof. Dr. M. Quraish
Shihab misalnya, telah memberikan kontribusi pemikiran yang sangat besar dalam menghadirkan pesan-pesan
Al-Qur‘an baik dalam bentuk terjemahan maupun tafsir. Akhirnya, atas nama Negara, pemerintah, dan pribadi,
Presiden mengucapkan terima kasih, apresiasi, dan penghargaan yang tulus kepada para Ulama dan semua pihak
yang telah bekerja keras tidak kenal lelah dalam penyusunan, penerjemahan, dan penerbitan Al-Qur‟an dan
Tafsirnya ini.
Karya besar para ulama kita itu patut kita hargai dan kita hormati sebagai mahakarya bagi pencerdasan
spiritual umat, bangsa, dan Negara. Melalui penerbitan Al-Qur‟an dan Tafsirnya ini tidak hanya menambah
kekayaan khazanah intelektual dunia di bidang Tafsīr Al-Qur‟an dalam berbagai bahasa, selain bahasa Arab.
Kehadiran Tafsir ini merupakan upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan akan ketersediaan kitab suci dan
tafsirnya bagi umat Islam, juga merupakan upaya untuk mendorong peningkatan akhlak mulia bagi sebuah
bangsa yang besar dan bermartabat dan menghantarkan cita-cita mewujudkan negeri yang baldatun thayyibatun
wa robbun ghofûr. Kata Sambutan Presiden RI ke-6, Mukadimah Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Edisi yang
Disempurnakan) (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI, 2012), h. xvii – xviii.
224
kesadaran bahwa tidak ada karya manusia yang sempurna, apalagi ketika akal manusia yang
terbatas ingin menjangkau pesan kalam Tuhan yang tidak terbatas.283
Sejak abad ke-20 tidak kurang dari 22 karya Terjemahan Al-Qur‟an lahir di negeri
mayoritas muslim terbesar di dunia ini. Yang sangat populer antara lain terjemahan karya
Prof. Dr. Mahmud Yunus “Qur‟an Karim”, Al-Furqân karya A. Hassan, Al-Bayân buah
tangan Prof. T.M. Hasbi al-Shiddīqī, dan yang terbaru abad ke-21 yaitu Al-Qur‟an dan
Maknanya hasil pemikiran Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. Karya-karya tersebut tentu
berbeda satu sama lain. Dalam goresan Muchlis M. Hanafi, di antara buku Terjemah Al-
Qur‘an dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Tafsīr al-Qur‟an al-Karīm, karya A. Halim Hasan, Zainal Arifin Abbas, dan Abdur
Rahim Haitami; b. Tafsīr al-Qur‟an Hidâjatur Rahmân, karya Munawar Khalil; c. Terjemah
Tafsīr, karya Maulevi Mohammad Ali; d. Tafsīr Qur‟an, karya Zainuddin Hamidy dan Hs.
Fachruddin; e. Tafsīr Qur‟an Karīm, buah tangan Mahmud Yunus; f. Tafsīr Al-Bayân, hasil
karya T.M. Hasbi al-Shiddīqī; g. Al-Furqân: Tafsīr Quran, masterpiece Ahmad Hasan; h.
Tafsīr Al-Azhar, karya monumental Buya HAMKA; i. Al-Qur‟an dan Terjemahnya, buah
tangan Tim Kementerian Agama RI; j. Al-Qur‟an dan Tafsirnya, hasil Team Work
Kementerian Agama RI; k. Tafsīr Rahmat, karangan H. Oemar Bakry; l. Terjemah dan Tafsīr
Al-Qur‟an, karya Bachtiar Surin; m. Terjemah/Tafsīr Al-Qur‟an, hasil monumental Moh.
Rifa‘I; n. Al-Qur‟an dan Maknanya, hasil spektakuler M. Quraish Shihab; o. Qur‟an
Kejawen, karya Kemajuan Islam Yogyakarta; p. Qur‟an Sundawiyah: Qur‟an bahasa Sunda,
oleh KH. Qomaruddien; q. Al-Ibrīz, ditulis oleh KH. Biysri Mustofa; r. Al-Iklīl fī Ma‟âni al-
Tanzīl, karangan KH. Mishbah Zainal Mustofa; s. Al-Qur‟an Suci Bahasa Jawa, oleh Prof.
283
Muchlis M. Hanafi, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an: Studi pada Beberapa Penerbitan Al-
Qur‟an dan Kasus Kontemporer, dalam Jurnal Suhuf LPMA Balitbang Kemenag RI, Vol. 4, No. 2, 2011, h.
179.
225
KH.R. Muhammad Adnan; t. Al-Amīn, bahasa Sunda; u. Tarjamah Al-Qur‟an, bahasa
Sunda.284
Untuk usaha pertama, Depag (Kementerian Agama) pada tahun 1967, melalui Surat
Keputusan (SK) Menteri Agama No. 26/1967 telah membentuk satu tim yang diberi tugas
untuk menerjemahkan makna-makna Al-Qur‘an ke dalam bahasa Indonesia, yang diketuai
oleh Prof. Soenaryo, SH dan beranggotakan 17 orang ulama dan akademisi. Mereka adalah
Prof. T.M. Hasbi al-Shiddīqī (wakil ketua merangkap anggota), Prof. H. Bustami A Gani,
Prof. H. Muchtar Yahya, Prof. H.M. Toha Yahya Omar, Prof. Dr. Mukti Ali, Drs. Kamal
Muchtar (sekretaris I merangkap anggota), H. Ghazali Thaib (Sekretaris II merangkap
anggota), Prof. KH. Musaddad, KH. Ali Maksum, dan Drs. Busyairi Madjidi. Anggotanya
terdiri dari KH. Syukri Ghazali, KH. M. Amin Nashir, Prof. A. Timur Djaelani, MA, Prof.
KH. Ibrahim Husein, LML, Drs. Sanusi Latif, Drs. Abd. Rahim.285
Tim ini berhasil
menyelesaikan Terjemahan Al-Qur‘an dengan baik, setelah 8 tahun bekerja. Hasil karya
mereka mendapatkan tanggapan yang sangat positif dari masyarakat, bukan saja di Indonesia,
tetapi juga negara tetangga serumpun. Terjemahan ini telah mengalami cetak berulang kali,
baik yang dibiayai melalui Departemen Agama sendiri maupun oleh penerbit swasta. Tafsir
Al-Qur‘an Departemen Agama juga hadir secara bertahap (tadarruj). Pencetakan pertama
kali dilakukan pada tahun 1975 berupa I jilid yang memuat juz I sampai dengan juz 3,
kemudian menyusul jilid-jilid selanjutnya pada tahun berikutnya. Untuk pencetakan secara
284
Muchlis M. Hanafi, Menyoal Terjemah Yang Bukan Masalah, makalah disampaikan pada Dialog
dengan Tim MMI seputar Terjemah Al-Qur‟an yang diselenggarakan oleh Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, Jum‘at, 29 April 2011, bertempat di Anjungan Lampung Taman Mini Indonesia Indah,
Jakarta. Menurut Muchlis, sejumlah buku terjemahan di atas diberi judul tafsir. Satu hal yang menunjukkan
bahwa terjemahan juga merupakan tafsir, karena merupakan hasil pemahaman seorang penerjemah terhadap
teks Al-Qur‘an. 285
Ada beberapa versi yang penulis dapatkan, menurut Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag,
Menteri Agama membentuk Tim Penyusun Al-Qur‟an dan Tafsirnya yang disebut Dewan Penyelenggara
Pentafsir Al-Qur‘an yang diketuai oleh Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H. dengan Keputusan Menteri Agama (KMA)
dengan No. 90 Tahun 1972, kemudian disempurnakan dengan KMA No. 8 Tahun 1973 dengan Ketua Tim Prof.
H. Bustamai Abdul gani dan selanjutnya disempurnakan kembali dengan KMA No. 30 Tahun 1980 dengan
Ketua Tim Prof. KH. Ibrrahim Hosen, LML. Mukadimah Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan)
(Jakarta: Direktorat Bimas Islam Kemenag, 2012), h. xxi.
226
lengkap 30 juz baru dilakukan pada tahun 1980 dengan format dan kualitas yang sederhana.
Kemudian pada penerbitan berikutnya secara bertahap dilakukan perbaikan atau
penyempurnaan di sana-sini yang pelaksanaannya dilakukan oleh Lajnah Pentashih Mushaf
Al-Qur‘an–Pusat Penelitian dan Pengembangan Lektur Keagamaan. Perbaikan tafsir yang
relatif agak luas pernah dilakukan pada tahun 1990, tetapi juga tidak mencakup perbaikan
yang sifatnya substansial, melainkan lebih banyak pada aspek kebahasaan.
Penyusunan Al-Qur‟an dan Terjemahnya didasarkan pada sebuah kesadaran dari
para penyusunnya bahwa penerjemahan Al-Qu‘ran secara harfiah tidak mungkin bisa
dilakukan, sebab bahasa-bahasa di dunia ini terlalu miskin untuk bisa menerjemahkan bahasa
Al-Qur‘an. Karenanya, yang dimaksud sebenarnya adalah terjemah makna Al-Qur‘an bukan
terjemah dengan pengertian pengalihbahasaan yang dapat menggantikan posisi teks Al-
Qur‘an itu sendiri atau menampung semua pesan yang terkandung dalam Al-Qur‘an. Karya
Tim Kemenag ini disusun dengan menggabungkan metode terjemah harfiyah dan tafsiriyah.
Lafal yang bisa diterjemahkan secara harfiyah, maka diterjemahkan secara harfiyah.
Sedangkan yang tidak bisa, maka diterjemahkan secara tafsiriyah, baik dalam bentuk
pemberian catatan kaki maupun tambahan penjelasan di dalam kurung. Dalam terjemahan
versi lama terdapat sekitar 1610 catatan kaki (footnote), sedangkan dalam edisi revisi yang
terbaru hanya 930 footnote (berkurang 680).
Dalam kata pengantar, Ketua Lembaga Penjelenggara Penterdjemah Kitab Sutji
Al-Qur‘an, Prof. R. H. A. Soenarjo, SH., pada Al-Qur‘an dan Terjemahnya terbitan Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur‘an (1969) disebutkan:
―Terdjemahan dilakukan seleterlijk (seharfijah) mungkin. Apabila dengan tjara demikian
terdjemahan tidak dimengerti, maka baru dijtari djalan lain untuk dapat difahami dengan
menambah kata-kata dalam kurung atau diberi not. Apabila mengenai sesuatu kata ada dua
pendapat, maka kedua pendapt itu dikemukakan dalam not.‖
227
Kesan harfiyah terjemahan Kementerian Agama mungkin ditangkap oleh Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI) dari ungkapan, ―Terdjemahan dilakukan seleterlejk (seharfijah)
mungkin?‖, tetapi bila dilanjutkan dengan kalimat-kalimat berikutnya kesan itu akan sirna.
Hal ini sejalan dengan pandangan beberapa ulama seperti Imam al-Syâtibī, Ibn Qutaibah dan
Syaikh al-Marâghī yang menyatakan bahwa Alfâdz al-Qur‟an ada yang dapat diterjemahkan
secara harfiyah dan ada yang tidak, sesuai dengan denotasi (dalâlah) nya; asliyyah atau
tâbi‟ah/tsânawiyyah. Metode yang sama juga pernah dilakukan oleh A. Hassan bin Ahmad
dalam al-Furqân Tafsīr Al-Qur‘an, Prof. TM. Hasbi al-Shiddīqī dalam Tafsīr al-Bayân, dan
M. Quraish Shihab dalam Al-Qur‘an dan Maknanya.
Dalam pendahuluan karyanya, A. Hassan menjelaskan metodenya sebagai berikut:
―Fashal I: Tjara menjalin. Dalam mentardjamahkan ajat2 saja gunakan sedapat2nja selinan
se-kalimah dengan se-kalimah, ketjuali jang tidak dapat dilakukan demikian, baharulah
saja pakai tjara menjalin ma‘na, karena pada pandangan saja, jang tersebut itulah se-baik2
tjara bagi orang jang hendak teliti didalam tardjamahan, seperti qâla lahu, kalau disalin
selafazh dengan selafazh adalah ―ia berkata baginja‖ tetapi saja salin ―ia berkata
kepadanja‖ dan seperti âmanna billâhi biasanya disalin ―ia pertjaja dengan Allah, tetapi
saja artikan ―ia pertjaja kepada Allah.‖ Demikianlah saja berkisar dari tardjamahan
harfijah bila menjalin kefasihan bahasa Melaju atau Indonesia.‖
Cara senada dikemukakan oleh M. Hasbi al-Shiddīqī. Ia mengatakan:
―Terjemahan saya lakukan adakala bersifat menterjemahkan lafadh ayat saja, adakala
menterjemahkan ma‘na ayat, yaitu: dengan memasukkan ke dalam terjemah lafadh ma‘na
yang harus ditaqdirkan (harus dipandang ada), seperti mentaqdirkan mudlmar yang telah
dibuang dan mentaqdirkan jawab qasam= sumpah, jawab idza= apabila, jawab lau=jikalau,
jawab in=jika. Dengan demikian terjemahan itu sendiri sudah menjelaskan apa yang
dimaksud. Saya tidak menterjemahkan sebanyak lafadh yang ada saja, adalah karena yang
saya maksud adalah terjemahan ma‘na.‖
Perlu diketahui M. Hasbi al-Shiddīqī adalah wakil ketua tim penyusun (merangkap
anggota) terjemahan Kementerian Agama dengan anggota yang terdiri dari para ulama yang
berkompeten di bidangnya seperti KH. Anwar Musaddad, KH. Ali Maksum, Prof. Bustami
228
Abdulgani, dan lainnya. Cara penerjemahan yang sedemikian rupa lazim dilakukan oleh para
ulama. Menurut Syaikh Musthafâ al-Marâghī, dalam menerjemahkan karya-karya ilmiah
banyak ulama berupaya keras menerjemahkannya secara harfiyah, sampai pun terjemahan itu
membuat maknanya menjadi samar. Ini dilakukan sebagai bentuk kejujuran dalam menyalin.
Ilmu filsafat dan lainnya di masa-masa awal Islam diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
dengan cara seperti ini. Menurut A. Hassan, ―karena pada pandangan saja, jang tersebut
itulah se-baik2 tjara bagi orang jang hendak teliti di dalam terdjamahan.‖286
Terjemahan
hanyalah salah satu alat bantu untuk memahami Al-Qur‘an secara sederhana. Sasarannya
tentu para pemula. Sangat naif bila seseorang yang mengerti bahasa Arab mengandalkan
terjemahan dalam memahami Al-Qur‘an. Untuk bisa memahami Al-Qur‘an secara baik tentu
harus merujuk kepada buku-buku Tafsīr Al-Qur‟an yang otoritatif (mu‟tamad).
Bagaimanapun, sebuah terjemahan adalah kreasi dan ijtihad manusia yang tidak
luput dari kekurangan di sana-sini. Menurut Ahsin Sakho Muhammad, kelemahan dalam
penerjemahan Al-Qur‘an ke dalam bahasa Indonesia, dan mungkin bahasa lain di dunia,
adalah soal keterbatasan bahasa Indonesia itu sendiri. Bahasa Indonesia terasa ‗kerdil‘
menghadapi bahasa Al-Qur‘an yang demikian indah, kukuh dan mantap. Ada ungkapan-
ungkapan Al-Qur‘an yang sulit ditemukan padanannya secara tepat dalam bahasa Indonesia,
kecuali harus diuraikan secara panjang lebar terlebih dahulu. Memahami Al-Qur‘an dalam
bahasa aslinya yaitu bahasa Arab memang tidaklah mudah karena itulah diperlukan terjemah
Al-Qur‘an dalam bahasa Indonesia. Tetapi bagi mereka yang hendak mempelajari Al-Qur‘an
secara lebih mendalam tidak cukup terjemah, melainkan juga diperlukan Tafsir Al-Qur‘an.
Struktur bahasa Al-Qur‘an sangat sastrawi dan hanya bisa dipahami oleh mereka
yang mempunyai rasa bahasa yang sudah tinggi pula. Oleh karena itu, tidak mengherankan
286
Muchlis M. Hanafi, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an: Studi pada Beberapa Penerbitan Al-
Qur‟an dan Kasus Kontemporer, dalam Jurnal Suhuf LPMA Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,
h. 180-181.
229
jika terjemahan versi tim ini mendapatkan tanggapan positif dari berbagai pihak. Beberapa
kalangan dari organisasi massa Islam telah mengajukan beberapa usulan perbaikan terhadap
terjemahan Departemen Agama ini. Kebanyakan dari tanggapan tersebut, berkisar pada aspek
kebahasaan, seperti pemilihan kata-kata yang lebih tepat untuk menerjemahkan ungkapan Al-
Qur‘an. Harus diketahui pula bahwa menerjemahkan satu ungkapan Al-Qur‘an berarti juga
menafsirkan ungkapan tersebut. Jika ungkapan Al-Qur‘an tersebut mempunyai beberapa
kemungkinan arti, maka penerjemah harus memilih salah satu saja dari sekian arti tersebut.
Tidaklah elok jika semua arti tersebut dikemukakan secara keseluruhan. Untuk itu, terjadi
tarik ulur antara satu penerjemah dengan penerjemah lainnya. Terjemahan juga terkesan
harfiyah yang maksudnya barangkali mengimbangi ungkapan-ungkapan Al-Qur‘an, sehingga
terkesan seperti memaknai ungkapan Arab yang ada pada kitab kuning yang banyak kita lihat
di dunia pesantren. Bagi pemula yang ingin belajar dalam bahasa Arab, terjemahan
Departemen Agama banyak membantu. Seperti misalnya satu kata dalam Al-Qur‘an
kemudian melihat terjemahannya, akan sulit terjadi kesesuaian. Namun, dengan
perkembangan bahasa Indonesia masa kini, terjemahan Depag tersebut dapat perlu perbaikan
di sana-sini, terutama struktur kebahasaan, sehingga bisa dicerna pembaca dengan baik,
menurut rasa bahasa orang Indonesia (dzauq al-lughah al-indûnisī) dewasa ini.
Sebenarnya terjemahan Al-Qur‘an versi Depag telah mengalami perbaikan
beberapa kali. Salah satunya adalah ketika akan dicetak di Mujamma‟ Malik Fahd di
Madinah. Terakhir adalah perbaikan yang dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk Depag.
Hasil perbaikan tersebut telah terbit menjadi Al-Qur‟an dan Terjemahnya tahun 2004 yang
lalu. Dalam penjelasan Ahsin Sakho Muhammad, perbaikan-perbaikan yang dilakukan
terhadap Terjemah Al-Qur‟an versi Depag tidak terinventarisasi secara terperinci, sehingga
untuk mengetahui perbaikan-perbaikan tersebut harus diteliti antara satu terbitan dengan
terbitan lainnya secara cermat. Namun demikian, sejatinya Terjemah Al-Qur‘an Depag secara
230
garis besar telah mencerminkan apa yang dikehendaki oleh kalamullah itu. Jika ada
terjemahan yang masih juga kurang pas, maka bisa diuraikan dalam tafsir.287
Berikut ini aspek-aspek yang direvisi dalam Terjemahan Al-Qur‘an Kementerian
Agama. Antara lain: a. Menghilangkan mukaddimah tentang sejarah turunnya Al-Qur‘an dan
hal-hal yang terkait dengan itu. Mukaddimah ini dirasa terlalu banyak (145 halaman), padahal
yang dinginkan adalah sebuah cetakan Al-Qur‘an yang tidak tebal, bisa dibawa kemana-
mana; b. Menyederhanakan catatan kaki (footnote). Pada terjemahan yang lalu catatan kaki
terkesan seperti tafsir, sehingga terjadi pembengkakan dalam lembaran terjemahan. Pada
terjemahan versi baru, banyak catatan kaki yang bisa dibuang; c. Menghilangkan ungkapan
yang sebenarnya bukan terjemahan langsung dari teks, tetapi merupakan tafsir. Ungkapan itu
adakalanya dibuang atau diletakkan di catatan kaki saja. Seperti nama satu pelaku sejarah
yang masih diperselisihkan namanya di kalangan para ahli tafsir. Contohnya adalah pada
surat Yusuf ayat 21. Dalam al-Qur‘an surat Yusuf, Allah SWT berfirman:
فعنا أو ن ت خذه ولدا وكذلك وقال ال ذي اشت راه من م صر المرأتو أكرمي مث واه عسى أن ي ن
ث ر الن اس ال مك ن ا لي وسف يف األرض ولن عل مو من تأويل األحاديث واهلل غالب على أمره ولكن أك
ي علمون.
Artinya: “Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada isterinya:
“Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik, boleh jadi dia bermanfaat
kepada kita atau kita pungut dia sebagai anak.” Dan demikian pulalah Kami
memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di muka bumi (Mesir), dan agar
Kami ajarkan kepadanya tabir mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS. Yûsuf (12): 21).
287
Ahsin Sakho Muhammad, Aspek-Aspek Penyempurnaan Terjemah dan Tafsir Departemen Agama
(Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2005),
Jurnal Vol 3, No. 1, h. 156-157.
231
Pada terjemahan lama ditulis, “Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf…” Kata
(Zulaikha) pada versi baru ditiadakan, tetapi dipindahkan ke dalam catatan kaki. Salah satu
tim ahli Tafsir Kementerian Agama RI, Ali Mustafa Yakub mengatakan bahwa riwayat ini
tidak valid.288
d. Tidak menerjemahkan nama surah. Nama surah ditampilkan apa adanya, sehingga
tidak ada orang yang mengatakan “Surah Sapi Betina” akan tetapi “Surah al-Baqarah”; e.
Teks Al-Qur‘an pada edisi Mujamma‟ ditulis dari kanan ke kiri seperti layaknya mushaf.
Pada terjemah edisi terbaru, teks Al-Qur‘an dimulai dari kanan ke kiri mengikuti terjemahan
yang ada dengan alasan bahwa cetakan ini bukan mushaf, tetapi terjemahan; f. Teks Al-
Qur‘an pada edisi terbaru diambil dari teks Al-Qur‘an yang diwakafkan oleh Yayasan Iman
Jama kepada kaum muslimin melalui Departemen Agama; g. Banyak ungkapan bahasa
Indonesia yang diperbaiki dan disempurnakan sesuai dengan ungkapan yang ada pada Kamus
Besar Bahasa Indonesia, seperti kata ―menafkahkan‖ diganti menjadi ―menginfakkan‖ dan
sebagainya.
288
Dalam pandangan Ali Mustafa Yaqub, bahwa sumber riwayat seputar kisah romantis Nabi Yusuf-
Zulaikha sesegera mungkin harus dibuang karena tidak berlandaskan pada kisah-kisah yang valid dan
otoritatatif. Beliau mengusulkan agar membuang kata ‗Zulaikha‘ (ada yang membaca Zalikha) pada setiap
terjemah atau footnote yang ada pada Terjemah Al-Qur‟an Kementerian Agama. Sebab dengan membiarkannya,
menurut beliau, masyarakat akan tetap tidak tahu, bahkan cenderung bertambah yakin bahwa Zulaikha itu istri
Nabi Yusuf. Setelah melewati perdebatan sengit antar tim, akhirnya disetujui pembuangan kata tersebut dalam
terjemahan ayat-ayat terkait kisah Nabi Yusuf dan menambahkan dalam footnote Surah Yusuf ayat 21 itu,
dengan kalimat: Bahwa riwayat tentang penamaan Zulaikha tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dalam kajian
Pengasuh Pondok Pesantren International Darus Sunnah Ciputat ini, kisah romantis antara Nabi Yusuf dan
Zulaikha tidak hanya bumbu cerita isra‟iliyyât yang menghibur kita sebelum tidur, melainkan telah merangsek
pada keyakinan atau akidah orang awam, hingga banyak dari mereka menjadikannya sebagai doa. Supaya
masyarakat awam juga tidak menerima secara taken for granted (apa adanya) tafsīr-tafsīr isra‟iliyyât yang
tersebar luas dalam kitab-kitab tafsir, melainkan menyikapinya dengan hati-hati sekaligus mengkritisinya.
Syaikh Abdul Fattâh Abu Ghuddah, seorang ahli hadis dari Syiria, ketika mengomentari kisah-kisah palsu
tentang keajaiban seputar kelahiran Nabi Muhammad SAW, berkata; Kisah-kisah itu dan hal-hal serupa banyak
tercantum dalam kitab-kitab kuning, baik dalam referensi kitab hadis maupun kitab-kitab sīrah nabawiyyah
(sejarah Nabi). Akibatnya banyak orang terkecoh, seolah kisah-kisah itu telah terjamin otentisitas
(kesahihannya). Padahal maksud para penulis kita-kitab itu tidaklah demikian. Mereka mencantumkan dalam
kitab-kitab mereka, riwayat-riwayat yang sahih maupun yang tidak sahih (palsu, maudhû‟) untuk direkam dan
diketahui, kemudian untuk diteliti otentisitasnya, bukan untuk dibenarkan atau dianggap otentik. Tentunya
apabila sudah diteliti, mana yang sahih dapat dijadikan pegangan dan yang tidak sahih harus dikubur dalam-
dalam. Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 60 -74.
232
Meskipun perbaikan terjemah terakhir itu telah melalui masa yang cukup panjang,
sekitar lima tahun, namun kekurangan di sana-sini masih tetap saja ada. Untuk itu, masukan-
masukan yang konkret dari para pembaca dan pemerhati terjemah Al-Qur‘an perlu ditulis dan
dilayangkan ke Departemen Agama (yang kini Kemenag RI), melalui Lajnah Pentashihan
Mushaf Al-Qur‘an (LPMA) di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan Museum Bayt Al-
Qur‘an agar bisa didiskusikan lebih lanjut, karena untuk mengubah satu kata atau ungkapan
dari terjemahan yang ada memerlukan diskusi panjang, dan harus menelaah serta melihat
kitab-kitab tafsir yang ada. Pada akhirnya, apa yang tertulis kadangkala tidak memuaskan
pihak lain. Tetapi, pemilihan itu harus terjadi.
Dalam rangka meningkatkan pelayanan kebutuhan masayarakat, Departemen
Agama selain menerjemahkan Al-Qur‘an, juga melakukan upaya penyempurnaan Tafsir Al-
Qur‘an secara menyeluruh yang dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh Menteri Agama RI
dengan KMA No 280 Tahun 2003. Tim penyempurnaan tafsir ini diketuai oleh Dr. KH.
Ahsin Sakho Muhammad, MA dengan anggota terdiri dari para cendekiawan dan ulama ahli
Al-Qur‘an dengan target setiap tahun dapat menyelesaikan 6 juz, sehingga diharapkan akan
selesai seluruhnya pada tahun 2007. Penyempurnaan Tafsir Al-Qur‘an secara menyeluruh
dirasakan perlu, sesuai perkembangan bahasa, dinamika masyarakat serta ilmu pengetahuan
dan teknologi (IPTEK) yang mengalami kemajuan pesat bila dibanding saat pertama kali
tafsir tersebut diterbitkan sekitar hampir 30 tahun yang lalu. Untuk memperoleh masukan dari
para ulama dan pakar tentang tafsir Al-Qur‘an Departemen Agama telah diadakan
Musyawarah Kerja Ulama Al-Qur‘an (Mukernas Alim Ulama) yang berlangsung tanggal 28
s.d 30 April 2003 di Wisma Tugu Depag, Bogor dan telah menghasilkan sejumlah
rekomendasi dan yang paling pokok adalah merekomendasikan perlunya dilakukan
penyempurnaan tafsir tersebut. Muker Ulama Al-Qur‘an telah berhasil pula merumuskan
233
pedoman penyempurnaan tafsir, yang kemudian menjadi acuan kerja tim tafsir dalam
melakukan tugas-tugasnya termasuk jadwal penyelesaian.
Pada Muker Ulama Ahli Al-Qur‘an 28 s.d 30 April 2003 merekomendasikan
sejumlah perbaikan, di antaranya sebagai berikut: Aspek bahasa yang dirasakan sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan bahasa Indonesia pada zaman sekarang; aspek substansi,
yang berkenaan dengan makna dan kandungan ayat; aspek munâsabah dan asbâb al-nuzûl;
aspek penyempurnaan hadis, melengkapi hadis dengan sanad dan rawi; aspek transliterasi
yang mengacu kepada Pedoman Transliterasi Arab-Latin berdasarkan SKB dua Menteri
(Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Nasional dan Kebudayaan) tahun 1987; dilengkapi
dengan kajian ayat-ayat kauniyah yang dilakukan oleh Tim Pakar Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI); teks ayat Al-Qur‘an menggunakan rasm usmani, diambil dari
Mushaf Al-Qur‘an standar yang ditulis ulang; terjemah Al-Qur‘an menggunakan Al-Qur‘an
dan Terjemahnya Departemen Agama yang disempurnakan (edisi 2002); dilengkapi dengan
kosakata, yang fungsinya menjelaskan makna lafal tertentu yang terdapat dalam kelompok
ayat yang ditafsirkan; pada bagian akhir setiap jilid diberi indeks; diupayakan membedakan
karakteristik penulisan teks Arab, antara kelompok kata ayat yang ditafsirkan ayat-ayat
pendukung dan penulisan teks hadis.
Sebagai tindak lanjut Mukernas Ulama Al-Qur‘an tersebut Menteri Agama telah
membentuk tim dengan keputusan Menteri Agama RI Nomor 280 tahun 2003 dan kemudian
ada penyertaan dari LIPI yang susunannya sebagai berikut: Prof. Dr. H.M. Atho Muzhar
(Pengarah); Prof. H. Fadhal AE. Bafadal, M.Sc. (Pengarah); Dr. KH. Ahsin Sakho
Muhammad, MA (Ketua merangkap Anggota); Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA
(Wakil Ketua merangkap Anggota); Drs. H. Muhammad Shohib, MA (Sekretaris merangkap
anggota); Prof. Dr. H. Rif‘at Syauqi Nawawi, MA (Anggota); Prof. Dr. H. Salman Harun
(Anggota); Dr. Hj. Faizah Ali Sibromalisi (Anggota); Dr. H. Muslih Abdul Karim (Anggota);
234
Dr. H. Ali Audah (Anggota); Dr. Muhammad Hisyam (Anggota); Prof. Dr. Hj. Huzaemah
Tahido Yanggo, MA (Anggota); Prof. Dr. H. M. Salim Umar, MA (Anggota); Prof. Dr. H.
Hamdani Anwar, MA (Anggota); Drs. H. Sibli Sardjaja, LML (Anggota); Drs. H. Mazmur
Sya‘roni (Anggota); Drs. H. M. Syatibi AH (Anggota).
Staf Sekretariat: Drs. H. Rosehan Anwar, APU; H. Abdul Aziz Sidqi, M.Ag; Jonni
Syatri, S.Ag; Muhammad Musadad, S.Th.I. Tim tersebut didukung oleh Menteri Agama RI
selaku pembina; (Alm) Dr. KH. Sahal Mahfuz; Prof. KH. Ali Yafie; Prof. Drs. H. Asmuni
Abd Rahman; Prof. Drs. H. Kamal Muchtar; dan (Alm) Mu‘allim KH. Muhammad Syafi‘i
Hadzami selaku dewan Penasehat; serta Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab dan Prof. Dr. H. Said
Aqil Husin al-Munawwar, MA selaku Konsultan Ahli/Narasumber. Ditargetkan pada setiap
tahun dapat menyelesaikan 6 juz, sehingga diharapkan akan selesai seluruhnya pada tahun
2007. Selain itu, berdasarkan saran dan masukan dari para pakar, penyempurnaan Tafsir Al-
Qur‟an Departemen Agama telah memasukkan kajian ayat-ayat kauniyah atau kajian ayat
dari perspektif ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam hal ini dilakukan oleh tim pakar LIPI
yang beralamat di Gatot Subroto,289
yaitu: Prof. Dr. H. Umar Anggara Jenie, Apt., M.Sc
(Pengarah); Dr. H. Hery Harjono (Ketua merangkap anggota); Dr. H. Muhammad Hisyam
(Sekretaris merangkap anggota); Dr. H. Hoemam Rozie Sahil (Anggota); Dr. H. A. Rahman
Djuwansah (Anggota); Prof. Dr. Arie Budiman (Anggota); Ir. H. Dudi Hidayat, M.Sc
(Anggota); Prof. Dr. H. Syamsul Farid Ruskanda (Anggota).
Tim LIPI dalam melaksanakan kajian ayat-ayat kauniyah dibantu oleh Kepala
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang pada waktu itu dijabat oleh Prof.
289
Perlu diketahui bahwa selain menerbitkan (1) Al-Qur‟an dan Tafsirnya (edisi yang disempurnakan
11 jilid), Kementerian Agama mencetak pula (2) Tafsir Al-Qur‟an Tematik (tafsir maudhu‟i) sebanyak 5 jilid
yang meliputi Pembangunan Ekonomi Umat; Kedudukan dan Peran Perempuan; Etika Berkeluarga,
Bermasyarakat dan Bernegara; Pelestarian Lingkungan Hidup dan Kesehatan dalam Perspektif Al-Qur‟an
yang kesemuanya itu sekarang sudah dalam bentuk digitalisasi, (3) Tafsir Ilmi (kajian Tafsir Al-Qur‘an
berdasarkan Saintifik sebanyak 3 jilid) yang terdiri dari Penciptaan Jagat Raya dalam Perspektif Al-Qur‟an dan
Sains; Penciptaan Bumi dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Sains; dan Penciptaan Manusia dalam Perspektif Al-
Qur‟an dan Sains, serta (4) Tafsir Ringkas yang baru digarap (al-Tafsīr al-Wajīz).
235
Dr. Ir. H. Said Djauharsyah Jenie, ScM., SeD. Dengan Staf Sekretariat: Dra. E. Tjempaksari,
M.Lib; Drs. Tjejetep Kurnia290
. Muker Ulama telah pula diselenggarakan pada tanggal 16. s.d
18 Mei 2005 di Palembang, tanggal 5 s.d 7 September 2005 di Surabaya dan tanggal 8. s.d 10
Mei 2006 di Yogyakarta, tanggal 21 s.d 23 Mei 2007 di Gorontalo, dan tanggal 21. S.d 23
Mei 2008 di Banjarmasin Kalimantan, dengan tujuan untuk memperoleh saran dan masukan
untuk penerbitan tafsir edisi berikutnya. Dalam catatan Kabalitbang, bahwa ia menyambut
baik hadirnya penerbitan perdana tafsir juz 25-30 yang disempurnakan ini setelah
sebelumnya pada tahun 2004 telah pula diterbitkan perdana tafsir juz 1-6, dan pada tahun
2005 diterbitkan juz 7 – 12, pada tahun 2006 diterbitkan perdana tafsir juz 13- 18, dan pada
tahun 2007 diterbitkan perdana juz 19-24 yang disempurnakan. Untuk setiap kali penerbitan
perdana sengaja dicetak dalam jumlah terbatas oleh badan litbang dalam rangka memperoleh
masukan yang lebih luas dari unsur masyarakat antara lain ulama, cendekiawan, pakar Tafsir
Al-Qur‘an, pakar hadis, pakar sejarah dan pakar bahasa Arab, pakar IPTEK, dan pemerhati
Tafsir Al-Qur‘an, sebelum dilakukan penerbitan secara massal. Dan pada tahun 2008 ini juga
diterbitkan perdana buku Mukadimah Al-Qur‟an dan tafsirnya secara tersendiri.291
Cetakan
terakhir menurut catatan Ahsin Sakho Muhammad, telah dilakukan oleh Mujamma‟ Malik
Fahd bin Abdul Aziz di Madinah, Saudi Arabia. Cetakan ini sangat baik dan menarik, hasil
kerja sama antara Departemen Agama dan pemerintah Arab Saudi.292
Selain itu, ada kritik
terhadap terjemahan Al-Qur‘an Kemenag di antaranya dituturkan oleh Ismail Lubis yaitu
―Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‘an Departemen Agama Edisi 1990.‖ Kajian disertasinya
cukup komprehensif dalam mengulas dan menganalisis kesalahan dalam terjemahan Al-
Qur‘an Depag tersebut. Berkaitan denga itu, judul buku menggunakan istilah ―falsifikasi‖
290
Muhammad Sohib, Sambutan Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an (LPMA), Mukadimah
Al-Qur‟an dan Tafsirnya, h. xxix.
291 Kata Sambutan Muhammad Atho Muzhar, Mukadimah Al-Qur‟an dan Tafsirnya, h. xxiii.
292 Ahsin Sakho Muhammad, Aspek-Aspek Penyempurnaan Terjemah dan Tafsir Departemen Agama
(Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2005),
Jurnal Vol 3, No. 1, h. 155-156.
236
yang dapat diartikan memberikan gambaran kepada pembaca atas proses penelitian terhadap
ketidaktepatan penerjemahan Al-Qur‘an Depag edisi 1990. Sebelumnya dibahas
penerjemahan yang salah dalam Penerjemahan Al-Qur‘an Depag Edisi Tahun 1990 dan
sebab-sebab terjadinya penerjemahan yang salah.
Dalam disertasi doktoralnya bidang ilmu-ilmu agama Islam di IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, Ismail Lubis merumuskan identifikasi masalah, batasan masalah, dan
ruang lingkup pembahasan sekurang-kurangnya ada tujuh masalah yang perlu diselesaikan.
(1) Kata yang berlebihan dalam kalimat terjemahan karena mengandung arti yang sama,
sehingga kalimat terjemahan ayat tidak efektif, misalnya kalimat terjemahan ayat 71 surat al-
Baqarah halaman 21, kalimat terjemahan ayat 99 surat Yunus halaman 322, kalimat
terjemahan ayat 13 surat al-Hujurât halaman 847, dan kalimat terjemahan ayat 111 surat al-
An‘âm halaman 206. (2) Frasa yang digunakan dalam kalimat terjemahan ayat tidak lazim
digunakan dalam bahasa Indonesia, yakni frasa berjalan di atas perut. Akibatnya membuat
kalimat terjemahan ayat tidak efektif karena frasa tersebut tidak mengandung makna ayat
secara tepat dan tidak lazim digunakan dalam bahasa Indonesia, misalnya kalimat terjemahan
ayat 45 surat al-Nûr halaman 552.
(3) Penggunaan bentuk superlatif yang berlebihan dalam kalimat terjemahan ayat,
sehingga kalimat terjemahan ayat tidak efektif, misalnya kalimat terjemahan ayat 77 surat al-
Nisâ halaman 31. (4) Preposisi daripada yang digunakan secara berlebih-lebihan sehingga
kalimat terjemahan ayat tidak efektif, misalnya kalimat terjemahan ayat 51 surat al-An‘âm
halaman 194, dan kalimat terjemahan ayat 173 surat al-Nisâ, halaman 153. (5) Makna ganda
(rancu) dalam kalimat terjemahan ayat sehingga tidak efektif, misalnya kalimat terjemahan
ayat 25 surat al-Ra‘d halaman 373. (6) Penggunaan hiporkorek (sifat yang menghendaki
kerapian dan kesempurnaan akan tetapi hasilnya salah) dalam kalimat terjemahan ayat,
237
sehingga kalimat terjemahan ayat tidak efektif, misalnya kalimat terjemahan ayat 69 surat al-
Isrâ halaman 434, yakni penggunaan kata angin taupan. (7) Tanda baca yang tidak digunakan
sebaik-baiknya dalam kalimat terjemahan ayat, misalnya tanda baca titik dua (:) dipakai
untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat. Misalnya, kalimat
terjemahan ayat 64 dan 65 surat al-An‘âm halaman 197. Semua ini dapat dilihat kembali pada
karyanya yang sangat kritis dan akademis.293
B. Terjemahan Al-Qur’an Kemenag dan Terorisme
Al-Qur‘an adalah sebuah teks, dan seperti juga semua teks yang lain, ia
membutuhkan penafsiran. Bahkan, upaya memahami Al-Qur‘an secara sederhana pun
hakikatnya adalah sebuah kegiatan penafsiran. Setiap kali seseorang membaca sebuah teks
dan mendengarkan pembicaraan orang lain, sejatinya mereka sedang memahami kata-kata
itu. Setiap individu belajar memproses informasi dengan cara tertentu dalam rangka
―membentuk‖ makna dari teks, meski mereka biasanya tidak menyadari proses ini. Para
pembaca Al-Qur‘an pun sebetulnya bukanlah para pengkaji yang netral dan objektif, namun
menjadi penafsirnya, dengan membawa bias dan cakrawalanya sendiri dalam menafsirkan
teks tersebut. Karena perbedaan pengalaman, kesan, nilai, dan lingkungan kultural, tiap-tiap
individu akan ―membentuk‖ makna dengan cara yang berbeda untuk mencapai pemahaman
mereka terhadap teks. Namun, subjektivitas penafsiran ini tidaklah berarti bahwa tiap-tiap
pemahaman memiliki keabsahan dan kualitas yang setara.
Para sarjana Muslim menganggap Al-Qur‘an sebagai sebuah teks yang kompleks.
Dalam usaha memahami maknanya, mereka telah berkontribusi besar dalam mengembangkan
literatur tafsir Al-Qur‘an selama 1400 tahun terakhir. Di masa modern, para sarjana Muslim
terus mengembangkan usaha untuk memahami dan menafsirkan Al-Qur‘an secara
293
Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‟an Departemen Agama Edisi 1990 (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2001), h. 29-30.
238
keseluruhan, dan menentukan relevansi atas teks-teks Al-Qur‘an yang khusus. Dalam banyak
hal demikian, banyak sarjana juga mengembangkan teori-teori mengenai karakteristik
kebahasaan dan makna yang menawarkan cara-cara baru dalam memahami Al-Qur‘an secara
lebih baik.294
Teks menempati posisi yang sangat penting dalam Islam. Ajaran-ajaran utama
Islam ada dalam bentuk teks, yaitu Al-Qur‘an dan hadis. Orang-orang Islam sangat bangga
menyebut dirinya sebagai Ahlul Kitâb ‗orang-orang yang sangat menghormati kitab‘ atau
secara sederhana, ‗masyarakat teks‘. Al-Qur‘an juga menyebut para pengikut agama lain,
terutama Yahudi dan Kristen sebagai Ahlul Kitâb hanya karena sebagai umat Islam, mereka
juga menjadikan teks (kitab suci) sebagai pusat dari kesadaran beragama mereka. Bagi Ahlul
Kitâb, dunia langit hanya bisa diketahui lewat teks yang dibawa oleh para Nabi. Teks adalah
dâl (yang menunjuk, atau kehadiran sebuah tanda, signifier) dari madlûl (objek yang
ditunjuk, signified) yaitu makna abadi yang ada di dalam diri Tuhan. Bagi orang Islam, setiap
kata atau kalimat yang ada dalam Al-Qur‘an disebut ayat atau ‗tanda‘. Tanda dari suatu
makna abadi. Memang benar bahwa makna abadi itu bisa diketahui lewat ciptaan Tuhan
seperti gunung dan langit (benda-benda ciptaan ini juga disebut ayat atau persisnya ayat
kauniyah ‗tanda-tanda alam‘. Akan tetapi, ayat yang paling utama adalah teks Al-Qur‘an.
Bisa dikatakan bahwa tanpa teks ini, tidak ada Islam dan masyarakat Muslim.
Masyarakat Islam sebagai masyarakat yang eksistensinya bergantung pada teks
diperkuat oleh hadis. Al-Qur‘an yang jumlah ayatnya hanya sekitar 6.600 dan ada pendapat
menyebutkan 6.666 dengan 114 surat dan 30 juz, bukanlah sebuah teks yang bisa
menjelaskan semua realitas atau ajaran dengan detail. Kalau tidak jelas, ke mana mereka
harus mencari kejelasan. Berbagai jawaban dikemukakan, ada yang merujuk pada tradisi atau
konteks lokal sebagai penjelas, seperti yang nampak terjadi pada mazhab Mâlikī yang sangat
mengutamakan tradisi dan praktek lokal Madinah. Ada juga yang merujuk pada akal seperti
294
Abdullah Saeed, Reading the Qur‟an in the Twenty-First Century: A Contextualist Approach,
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ervan Nurtawab, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual
(Bandung: Mizan Pustaka, 2016), h. 27-28.
239
yang ada dalam mazhab Hanafī. Ada juga yang menggunakan ijmâ‟ (sebuah kesepakatan atau
consensus masyarakat Muslim dalam memahami teks sebagaimana yang dikembangkan oleh
mazhab Syâfi‘ī. Dan ada juga yang menjadikan kata-kata dan perbuatan Rasul sebagai
pegangan, yang kemudian disebut hadis. Maka hadis yang dibukukan pada abad ke-3 H/ 9 M
itu kini menjadi rujukan sekunder setelah Al-Qur‘an.295
Terjemahan Al-Qur‘an yang
dilakukan Tim Penerjemah Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama/Kemenag)
Republik Indonesia, secara garis besar dapat dikatakan belum sesuai dengan teori
penerjemahan Al-Qur‘an secara ilmiah. Secara rinci, terjemahan itu terbagi kepada tiga
kategori, yaitu: 1) terjemahan yang benar, padan, dan fasih; 2) terjemahan yang kurang fasih;
dan 3) terjemahan yang keliru. Menurut MMI, kategori terjemahan yang sudah benar dan
fasih, yaitu terjemahan yang secara (kebetulan) sudah menerapkan lima komponen teori
terjemahan secara penuh. Lima komponen itu adalah (1) peristilahan (terminologi); 2) aliran;
3) syarat; 4) instrumen; dan 5) teknik penerjemahan.
Adapun terjemahan yang kurang fasih, yaitu terjemahan yang kurang
terpenuhinya salah satu komponen teori penerjemahan, menjadi kurang tepat dalam diksi,
rancu dalam struktur bahasa dan hambar dalam gaya bahasa, meskipun maknanya tidak
sampai ke tingkat menyesatkan. Sedangkan terjemahan yang keliru, adalah terjemahan yang
tidak menerapkan komponen teori penerjemahan, terutama komponen terminologi,
persyaratan linguistik dan non linguistik serta teknik penerjemahan. Penggunaan kata
―terjemahnya” dalam judul yang ada dalam versi Depag RI, bukan “terjemahannya”
merupakan contoh kekeliruan aspek diksi dalam komponen syarat linguistik bahasa
Indonesia. Proses penerjemahan Al-Qur‘an yang mengikuti parsial, hasilnya tidak
memuaskan bahkan keliru apalagi penerjemahan yang tidak mengikuti teori sama sekali.
295
Fuad Jabali, Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang dalam Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 7
No. 1, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2009, h. 1-2.
240
Sebenarnya Al-Qur‟an dan Terjemahnya milik Kemenag telah mengikuti term terjemahan
harfiyah atau aliran Yuhana bin Al-Bitrik dan kawan-kawan. Term dan aliran penerjemahan
harfiyah itu banyak membawa pengaruh negatif, antara lain: 1) tidak tepatnya diksi kata, 2)
kerancuan (interferensi struktur), 3) kerancuan makna ayat, dan 4) kehambaran gaya bahasa.
Di antara term penerjemahan yaitu: harfiyah, maknawiyah dan tafsiriyah, kiranya term
penerjemahan yang terakhirlah (tafsiriyah) yang paling sahih (valid) dan cukup representatif
untuk digunakan dalam proses penerjemahan Al-Qur‘an.
Dalam proses penerjemahan Al-Qur‘an, bahasa sasaran, yaitu bahasa Indonesia
yang benar, fasih/baik, komunikatif, dan mudah difahami sangatlah besar peranan dan
pengaruh positifnya. Kurang memperdulikan bahasa sasaran berarti penerjemahan tidak
mencukupi syarat linguistik yang kiranya diasumsikan akan menghasilkan terjemahan yang
rancu, keliru, bahkan menyesatkan. Adalah penting disadari, bahwa maraknya berbagai aliran
sesat yang mengatasnamakan agama, berupa radikalisme, termasuk liberalisme, dan
tekstualisme, dikhawatirkan sebagai dampak negatif dari penerjemahan Al Qur‘an Kemenag
yang salah ini. Maka, kewajiban pemerintahlah mengoreksi dan meluruskan terjemah Al-
Qur‘an ini, dan menghentikan peredaran Al-Qur‟an dan Terjemahnya yang diterbitkan
Depag; supaya mereka yang anti Qur‘an tidak mempersepsikan ayat-ayat di atas sebagai
pemicu terorisme. Dan bagi generasi Muslim militan, tidak memosisikan ayat tadi sebagai
pembenaran atas tindakan teror yang marak di negeri ini.296
Bila disimpulkan dari sejumlah
perjalanan perdebatan dan kekisruhan perang wacana tersebut dapat dipotret dalam tabel-
tabel di bawah ini:
296
Irfan S Awwas, Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin, Markaz Pusat Majelis Mujahidin
Indonesia. Jl. Karanglo No. 94, Kotagede, Jogjakarta. Telp/Hp. 0274-451665/08122761569. Lihat:
http://www.arrahmah.com/read/2011/04/25/12054-menelisik-ideologi-teroris-dalam-terjemah-quran
depag.html#sthash.uqxwfuXC.dpuf diakses kembali pada Kamis 21 Januari 2016 jam 11.46 WIB. Disarikan
juga dari Hasil Dialog Kajian Masalah-Masalah Aktual Keagamaan, Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an (LPMA) dan MMI tahun 2011.
241
Tabel 4.
Perdebatan dan Polemik antara MMI dan Kemenag RI
No Historis/Tanggal Keterangan
1 26 Agustus 2010 MMI mengirim surat kepada Menteri
Agama RI No 80/MMLT/VII/1431,
perihal Tarjamah Harfiyah Al-Qur‘an
Kemenag
2 8 September 2010 Majalah GATRA menampilkan reportase
problem terjemah Al-Qur‘an Kemenag
yang menjadi pemicu radikalisme dan
terorisme di Indonesia dengan tajuk besar
―Alih Bahasa Mengungkap Makna‖,
dengan interview khusus Amir MMI dan
Kepala LPMA
3 29 September 2010 Reportase itu kemudian diikuti tulisan
Amir MMI M. Thalib dengan judul
―Tarjamah Harfiyah Mengundang
Masalah‖ di majalah GATRA
4 20 Oktober 2010 Tulisan MMI ditanggapi oleh Muchlis M.
Hanafi selaku Kabid Pengkajian LPMA
Balitbang dengan artikel berjudul ―Beda
Terjemah Bukan Masalah‖, masih dalam
GATRA
5 8 November 2010 Artikel itu direspon balik lagi oleh Amir
MMI M. Thalib dengan tema tulisan
―Beda Terjemah Memunculkan Masalah‖
Tabel 5.
Kritik MMI terhadap Penerjemahan Al-Qur’an Kemenag
No Objek Surah yang Dikritik Jenis Ayat
1 Surah al-Fâtihah [1] : 7 Bidang Akidah
2 Surah al-Baqarah [2] : 62 Bidang Akidah
3 Surah Ali ‗Imrân [3] : 103 Bidang Akidah
4 Surah al-Nisâ [4] : 159 Bidang Akidah
5 Surah al-Isrâ [17] : 71 Bidang Akidah
242
Tabel 6.
Kritik MMI terhadap Penerjemahan Al-Qur’an Kemenag
No Objek Surah yang Dikritik Jenis Ayat
1 Surah al-Baqarah [2] : 191 Bidang Syariah
2 Surah al-Nisâ [4] : 34 Bidang Syariah
3 Surah al-A‘râf [7] : 26 Bidang Syariah
4 Surah al-Isrâ [17] : 27 Bidang Syariah
5 Surah al-Ahzâb [33] : 40 Bidang Syariah
Tabel 7.
Kritik MMI terhadap Penerjemahan Al-Qur’an Kemenag
No Objek Surah yang Dikritik Jenis Ayat
1 Surah al-Baqarah [2] : 279 Bidang Ekonomi
2 Surah al-Nisâ [4] : 5 Bidang Ekonomi
3 Surah al-Mâidah [5] : 5 Bidang Ekonomi
4 Surah al-Taubah [9] : 34 Bidang Ekonomi
5 Surah al-Rûm [30] : 39 Bidang Ekonomi
Tabel 8.
Kritik MMI terhadap Penerjemahan Al-Qur’an Kemenag297
No Objek Surah yang Dikritik Jenis Ayat
1 Surah al-Baqarah [2] : 191 Bidang Sosial
2 Surah al-Ahzâb [33] : 51 Bidang Sosial
3 Surah al-Ahzâb [33] : 61 Bidang Sosial
297
Kesimpulan ini berkiblat pada temuan Hasil Kajian Tim Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an
(LPMA) terhadap surat MMI yang pernah dikirimkan ke Kementerian Agama, yang kemudian diolah kembali
oleh penulis dari literatur yang masih tercecer. Selain itu data sementara yang dikaji itu disarikan dari sumber
hasil dialog Kajian Masalah-Masalah Aktual Keagamaan Terjemah Al-Qur‟an Departemen Agama RI (Jakarta:
Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011), h. 2-51. Meskipun
begitu, sejatinya jumlah ayat keseluruhan yang dipermasalahkan M. Thalib yaitu 3.229 kesalahan dari
6.236 ayat Al-Qur’an dalam terjemah Al-Qur’an Depag dengan mengelompokkan ayat-ayat pilihan serta
prinsipil sebanyak 171 ayat dengan perincian 78 ayat di bidang akidah; lalu 42 ayat di bidang syari’ah;
35 ayat untuk bidang mu’amalah; dan ekonomi (iqtishâdiyah) sebanyak 16 ayat. Lihat M. Thalib, Koreksi
Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI (Yogyakarta: Yayasan Islam Ahlu Shuffah, 2013), h. 852-1025.
243
Untuk lebih memfokuskan parameter Kritik MMI terhadap konseptual Penerjemahan
Al-Qur‘an Kemenag RI bisa dilihat pengidentifikasiannya di bawah ini:
Tabel 9.
Garis Besar Parameter Kritik MMI terhadap Terjemah Al-Qur’an Kemenag
No Fokus/Kriteria Kritik Indikator
1 Terjemahan belum benar Terjemah masih harfiyah (tidak mau mengikuti fatwa
ulama yang mengharamkan), kemudian harus diganti
dengan terjemah tafsiriyah MMI, dan MMI
mempertanyakan proses revisi terjemah Kemenag yang
tidak pernah dipublikasikan kepada publik/masyarakat,
lalu siapa yang mengkoreksi/merevisi dan ayat mana saja
yang direvisi
2 Terjemahan kurang fasih Kurang terpenuhinya salah satu teori penerjemahan, lalu
kurang tepatnya pemilihan diksi, rancu dalam interferensi
(struktur bahasa), dan hambar dalam gaya bahasa, serta
menyalahi logika bahasa Indonesia dan tata bahasa
Indonesia
3 Terjemahan masih keliru Terjemahan tidak menerapkan komponen/unsur yang ada
dalam teori penerjemahan Al-Qur‘an secara baik,
kurangnya komponen linguistik dan non linguistik, dan
kurangnya komponen teknik penerjemahan yang baik
Apa yang dilancarkan MMI bahwa terjemah Al-Qur‘an Kementerian Agama menjadi
penyebab aksi terorisme di Indonesia adalah keliru, berlebihan, alias tidak benar. Yang salah
adalah bukan terjemahannya, melainkan pemahaman seseorang yang dangkal terhadap teks-
teks keagamaan. Asumsi-asumsi MMI didasari pada premis/logika yang mereka bangun
bahwa terjemah Al-Qur‘an Kemenag itu harfiyah, dan terjemah harfiyah itu haram, karena itu
secara otomatis terjemah Kemenag haram, ini perlu diluruskan.298
Problematikanya terletak
hanyalah pada soal metode penerjemahan saja. Kemenag menggunakan terjemah harfiyah,
sedangkan MMI menggunakan tafsiriyah. Masalah terkaitnya adalah menentukan mana teks
yang harus dipahami secara literal (haqīqī) atau secara metaforis (majâzī). Dalam tradisi
tafsir, usaha mengidentifikasi makna linguistik (yaitu makna literal) sering dianggap sebagai
298
Berdasarkan hasil wawancara dengan Muchlis M. Hanafi, Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur‘an (LPMA) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI di Kemenag Thamrin Lt 17, pukul 10.00 s.d
selesai, pada Selasa 22 Maret 2016.
244
titik awal kegiatan penafsiran. Apabila pemahaman literal atas sebuah kata atau teks tidak
dimungkinkan, barulah makna metaforis bisa dipertimbangkan. Secara historis, banyak
mufassir Al-Qur‘an sangat berpegang pada pemahaman teks yang agak literal, dengan
mengkaji setiap kata dalam teks dan mengidentifikasi makna literalnya atau, pada level
kalimat, memberikan kalimat tersebut sebuah penjelasan kata per kata secara langsung,
berusaha setepat mungkin dengan makna literal tiap katanya dan sesuai dengan bentuk
semantik dan sintaksis bahasanya.299
Perbedaan teknik penerjemahan ini perlu didudukkan
kembali secara cermat. Jika yang dimaksud harfiyah adalah leksikal, maka tidak mungkin
dilakukan untuk menerjemahkan Al-Qur‘an, perbedaan ini lebih bersifat variatif (ikhtilâf al-
tanawwu‟), bukan kontradiktif/bertolak belakang (ikhtilâf al-tadhâd). Selama berpijak pada
argumentasi yang benar, perbedaan ini sangat dimungkinkan dan justru memperkaya
khazanah pemaknaan.300
Seperti yang dikemukakan di atas, bahwa bila ada kata/redaksi ayat
Al-Qur‘an yang bisa diterjemahkan secara harfiyah, maka Kemenag menerjemahkannya
secara harfiyah, namun bila tidak bisa, maka diterjemahkan secara tafsiriyah.
Bila memang terjemah Al-Qur‘an menjadi penyebab aksi terorisme di Indonesia,
maka jumlah teroris di Indonesia lebih banyak, toh nyatanya bisa dihitung dengan jari, selain
itu, masyarakat Indonesia mayoritas menggunakan Al-Qur‘an Kemenag yang terbit pertama
kali tahun 1965 (seperti sudah dipaparkan di bab III), dan kapan muncul aksi terorisme di
Indonesia yaitu tahun 2000 an, masa antara sebab dan musabbab itu jaraknya sampai 35
tahun. Lagi pula perlu ditegaskan bahwa terorisme yang bernuansa agama banyak sebabnya,
salah satunya interpretasi yang salah atas ayat-ayat Al-Qur‘an bernada perang yang
diterapkan dalam situasi damai, lebih lanjut bisa dilihat pada bab II.
299
Abdullah Saeed, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual, diterjemahkan dari Reading the Qur‟an in
the Twenty-First Century: A Contextualist Approach, penerjemah: Ervan Nurtawab (Bandung: Mizan, 2016), h.
36 300
Tim Peneliti Kajian Aktual Masalah-Masalah Aktual Keagamaan Terjemah Al-Qur‟an Departemen
Agama RI, Editor: Zainal Abidin (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kemenag RI, 2011), h. 3.
245
Adapun parameter yang digunakan MMI dalam mengkritik terjemah Al-Qur‘an
Kemenag pada tabel di atas, adalah sesuatu dinamika yang wajar dalam ranah akademik,
sebab terjemah hanya karya manusia biasa yang mungkin ada kesalahan, termasuk bisa saja
terdapat kekurangan/kesalahan dalam terjemah tafsiriyah mereka, dalam konteks ini bahkan
jauh sebelum kritikan dan koreksi dilayangkan MMI (2011), sudah ada kajian mendalam
tentang terjemah Al-Qur‘an Kemenag juga yang dilakukan oleh Ismail Lubis dan Moh
Mansyur masing-masing berupa Disertasi Doktoral, di UIN Yogyakarta (2001) dan UIN
Jakarta (1998). Kita semua menyadari bahwa terjemahan Al-Qur‘an dalam bahasa apapun
tidak mungkin sempurna dan tidak mungkin dapat menyerap secara utuh pesan-pesan dan
petunjuk yang terdapat pada kitab suci Al-Qur‘an. Apalagi kita tahu bahwa Al-Qur‘an dari
bahasa Arab yang menurut Thirdage, bahasa Arab termasuk di antara 5 (lima) bahasa tersulit
di dunia untuk dipelajari. Salah satu penyebabnya adalah ‗tata bahasa yang sangat sulit‘
seperti kalimat dalam bentuk ‗jumlah ismiyah‘ (nominal sentence), ‗jumlah fi‟liyah‘ (verbal
sentence), dan ithbâq, majâzī, musytarak, adhdâd, dan kental dengan pengaruh budaya Arab.
Bahkan berdasarkan hasil laporan yang disampaikan oleh The Pew Research Center‟s Forum
on Religion and Public Life on December 2012, melalui studi demografik (populasi) yang
komprehensif di 200 negara lebih, maka diketahui bahwa ada sekitar 1,6 milyar umat Islam di
antara 6,9 milyar penduduk di dunia (data 2010). Dengan asumsi perhitungan konservatif,
maka diperkirakan ada 85 % umat Islam yang tidak menguasai bahasa Arab. Dengan
demikian, diperkirakan terdapat 1,3 milyar muslim yang tidak paham bahasa Arab dan
memerlukan terjemahan untuk memahami kandungannya. Jumlah ini tidak termasuk non-
muslim yang mempunyai keinginan yang kuat untuk mempelajari agama Islam.301
301
Juanda P. Syarfuan, Summary Al-Qur‟an Translation Concordance Method for Any Language
(Jakarta: Perpustakaan Umum Islam Iman Jama Lebak Bulus, 2015), h. 1.
246
C. Menguji Terjemah Tafsiriyah MMI sebagai Deradikalisasi
Untuk jangka waktu cukup lama, kesadaran dan pemikiran keagamaan rakyat
Muslim Indonesia dipandu oleh Al-Qur‘an dan Terjemahnya yang diterbitkan oleh
Departemen Agama. Sulit dipungkiri, hampir semua Al-Qur‘an terjemah yang terbit di
Indonesia mengacu pada terjemahan Depag, sebagai rujukan tunggal bagi penerbitan
terjemah Al-Qur‘an. Pada posisi sentral seperti itu, didukung tim penerjemah yang terdiri dari
para pakar dan ulama kaliber nasional, siapapun akan cenderung terpesona daripada bersikap
kritis terhadap hasil karya mereka. Namun, telaah dan penelitian selama sepuluh tahun
terhadap Al-Qur‘an dan Terjemahnya, yang dilakukan secara ilmiah dan komprehensif oleh
Amir Majelis Mujahidin, Al-Ustadz Muhammad Thalib, membuktikan bahwa karya tarjamah
harfiyah302
milik pemerintah itu mengandung banyak sekali kesalahan, ditinjau dari segi
aqidah maupun substansi syariat Islam. Kaitannya dengan mu‘amalah, perkawinan, dan
hubungan antar umat beragama. Juga, bertentangan dengan kaidah logika, sehingga maksud
ayat menjadi keliru dan menyesatkan. Terjemahan Al-Qur‘an yang dilakukan Kementerian
Agama disoal. Sebuah penelitian selama 10 tahun menemukan 3.229 kesalahan pada
302
Berdasarkan laporan Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI bahwa telah diadakan Dialog Keagamaan bersama MMI yang mengangkat Kajian
Masalah-Masalah Aktual Kehidupan Keagamaan dengan Tema: ―Terjemah Al-Qur‟an Departemen Agama RI‖
di Ruang Sidang Anjungan Lampung TMII Jakarta, Jum‘at 29 April 2011. Dialog ini bekerja sama dengan
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an. Dialog keagamaan ini merupakan kajian Kemenag dengan MMI yang
beralamat di Jl. Karanglo No. 94 Kotagede, Jogjakarta, yang mempermasalahkan Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an
Depag RI. Hal ini berdasarkan Surat Majelis Mujahidin Indonesia yang dikirim kepada Menteri Agama RI
Nomor 80/MMLT/VII/1431 tanggal 26 Agustus 2010 perihal Tarjamah Harfiyah Al-Quran Depag RI.
Sebenarnya jauh sebelum itu terjadi beberapa kali polemik di media massa yaitu bantah-membantah (dengan
tulisan) di Majalah GATRA edisi 8 September 2010 yang menurunkan reportase dengan tajuk ―Alih Bahasa
Mengungkap Makna‖ yang berisi koreksi terhadap Terjemahan Al-Qur‘an Kementerian Agama antara lain dari
hasil wawancara dengan Amir Majelis Mujahidin Indonesia M. Thalib dan Kepala LPMA Muhammad Sohib
serta narasumber lain. Reportase tersebut kemudian diikuti dengan tulisan Amir MMI yang bertajuk ―Tarjamah
Harfiyah Mengundang Masalah‖ pada kolom GATRA edisi 29 September 2010 yang kemudian ditanggapi baik
oleh Muchlis M. Hanafi, dengan tulisan bertajuk ―Beda Terjemah Bukan Masalah‖ di majalah yang sama edisi
20 Oktober 2010. Lalu tulisan yang terakhir ditanggapi lagi oleh Amir MMI dengan tulisan yang berjudul ―Beda
Terjemah Memunculkan Masalah‖ pada GATRA edisi 8 November 2010. Dari sinilah polemik dan dialog itu
bermula, yang mana ingin mendudukkan secara benar dan objektif terkait tudingan MMI kepada Kementerian
Agama. Puslitbang Kehidupan Kegamaan, Editor: Zainal Abidin, Kajian Masalah-Masalah Aktual Terjemah Al-
Quran Departemen Agama (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2011), h. ii – iii.
247
terjemahan Al-Qur‘an tersebut. Kini koreksiannya telah dibukukan dan disuguhkan
terjemahan tafsiriyah sebagai alternatifnya.303
Umat Islam harus diselamatkan dari kesalahan memahami serta mengamalkan
ajaran Al-Qur‘an. Kitâbullah yang ada di tangan pembaca sekarang ini adalah Al-Qur‘an al-
Karim Tarjamah Tafsiriyah, sebuah karya monumental Amir Majelis Mujahidin, Al-Ustadz
Muhammad Thalib. Bersama Al-Qur‟an Al-Karim Tarjamah Tafsiriyah ini, diterbitkan pula
buku berjudul Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI. Sejak semula, terbitnya
Al-Qur‟an Al-Karim Tarjamah Tafsiriyah karya Amir Majelis Mujahidin, Al-Ustadz
Muhammad Thalib, ini dimotivasi dan dikuatkan oleh tiga alasan. Pertama, untuk
menegaskan tidak bolehnya menerjemahkan Al-Qur‘an secara literal (harfiyah). Parameter
kritik dan pijakan argumentasi MMI mengacu pada fatwa sejumlah organisasi ulama ternama
dunia, maupun secara individual yang popular di kalangan umat Islam yang mengharamkan
terjemahan al-Qur‘an secara lafziyah/harfiyah. Di antara fatwa tersebut adalah Fatwa Ulama
al-Jâmi‟ah al-Azhar Kairo Mesir pada tahun 1936 yang telah diperbarui pada tahun 1960
serta argumentasi Dewan Fatwa Kerajaan Arab Saudi No. 63947 tanggal 19 Jumadil Ula
tahun 1426 H/26 Juni 2005 M. Fatwa senada lainnya yang dijadikan dasar pegangan adalah
Dewan Ulama Universitas Rabat di Maroko, lalu Jâmi‟ah (Universitas) Yordania, Jami‘ah
Palestina, Syaikh Muhammad Husein al-Dzahabī dan Syaikh Alī al-Shâbûni. Keseluruhan
mereka telah sepakat bahwa terjemahan Al-Qur‘an yang dibenarkan adalah tarjamah
tafsiriyah, sedangkan tarjamah harfiyah terlarang atau tidak sah.304
Kedua, mengoreksi kesalahan Al-Qur‘an dan Terjemahnya versi Kementerian
Agama RI, yang ternyata mengandung banyak sekali kesalahan terjemah. Selain itu, sebagai
303
Herry Mohammad, Alih Bahasa Mengungkap Makna (Yogyakarta: Penerbit Ma‘had An-Nabawy
Markaz Pusat Majelis Mujahidin, 2013), h. 1029. 304
Muhammad Thalib, Koreksi Tarjamah Harfiyah al-Qur‟an Kemenag RI: Tinjauan Aqīdah,
Syarī‟ah, Mu‟âmalah, Iqtishâdiyah (Yogyakarta: Yayasan Islam Ahlu Shuffah dan Pusat Studi Islam al-Nabawi,
2013), h. 9.
248
bantahan terhadap wacana keliru yang menyatakan bahwa Al-Qur‘an mengandung unsur-
unsur kekerasan dan kebencian terhadap non muslim. Bahkan, revisi Al-Qur‘an dan
terjemahnya yang diterbitkan Kemenag dipandang sebagai upaya deradikalisasi Al-Qur‘an
secara sistematis. Berdasarkan telaah syar‟iyyah yang dilakukan oleh MMI, dibuktikan
bahwa secara prinsipil maupun substansial, bukan teks ayat Al-Qur‘an yang memicu
radikalisme agama, melainkan terjemah Al-Qur‘an yang dilakukan oleh Kemenag yang telah
bermasalah, sehingga dipandang perlu untuk mengoreksinya. Karya inilah yang pertama dan
satu-satunya di Indonesia, revolusi pemahaman makna Al-Qur‘an yang dimaksudkan untuk
mengoreksi Al-Qur‘an dan Terjemahnya yang diterbitkan Departemen Agama RI. Dalam
pandangan M. Thalib, terjemahan yang dibuat oleh Kemenag dan beredar luas di masyarakat
itu tidak pernah tegas dalam menerjemahkan makna ayat-ayat Al-Qur‘an. Ketidakjelasan itu
akan mengakibatkan pemahaman pembacanya juga ngambang. Selain itu dapat mengundang
orang untuk memberi tafsir secara bebas tanpa pedoman keilmuan. Karena itu M. Thalib
mengusulkan agar Kemenag menarik terjemahan yang ada dan merombak secara total. Ini
syarat yang mesti dilakukan karena kesalahan-kesalahannya cukup fatal.
Ketiga, meluruskan persepsi keliru terhadap misi Al-Qur‘an yang disebabkan
adanya salah terjemah ayat-ayat Al-Qur‘an, demi menjaga otentisitas makna dan kehormatan
Al-Qur‘an, agar tidak ternodai oleh penyimpangan tangan-tangan manusia, sebagaimana
yang terjadi pada kitab suci agama lain. Dengan dua alasan tersebut, diharapkan tarjamah
tafsiriyah ini bisa membantu siapapun untuk dapat memahami makna Al-Qur‘an lebih mudah
dan cepat, terutama bagi mereka yang tidak paham bahasa Arab. Selain itu, untuk membuka
tabir penyesatan yang dilakukan oleh para misionaris serta orientalis, yang dengan sengaja
menerjemahkan Al-Qur‘an dengan menyisipkan ideologi dan ajaran yang melenceng dari
syariat Islam. Penelaahan selama bertahun-tahun terhadap Al-Qur‟an dan Terjemahnya yang
diterbitkan Departemen Agama Republik Indonesia sejak 1965, kemudian mengalami revisi
249
secara bertahap mulai 1989, 1998, 2002, hingga 2010, telah menyentak kesadaran iman kita.
Betapa selama ini ajaran kitab suci Al-Qur‘an ternodai akibat adanya salah terjemah yang
jumlahnya sangat banyak. Buku berjudul “Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag
RI,” ini membuktikan adanya kesalahan tersebut. Dalam buku ini hanya memuat sebagian
kecil dari 3.229 ayat jumlah kesalahan terjemah yang terdapat dalam tarjamah harfiyah Al-
Qur‟an Kemenag. Sementara kesalahan pada edisi revisi tahun 2010 bertambah menjadi
3.400 ayat. Kesalahan-kesalahan ini secara rinci dijelaskan contoh-contohnya, yang
mencakup berbagai bidang, yaitu akidah, syari‟ah, sosial dan ekonomi. Ditinjau dari sisi
akidah, tarjamah harfiyah Al-Qur‟an Kemenag ini menyalahi akidah Islam yang benar;
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur‘an dan
hadis sahih. Sedangkan di bidang syari‘ah, tarjamah harfiyah Al-Qur‟an Kemenag menyalahi
hukum yang telah ditetapkan di dalam Al-Qur‘an dan sunnah Nabi Muhammad SAW.
Misalnya, membaca tarjamah harfiyah Al-Qur‟an QS. al-Nisâ ayat 20 tentang perceraian.
Lalu surat al-Nûr ayat 20 versi Kemenag, seolah-olah Al-Qur‘an menganjurkan tukar
menukar istri. Begitupun terjemah Al-Qur‟an surat al-Ahzâb ayat 51, malah menyatakan
tidak berdosa menggauli perempuan yang sudah dicerai. Kira-kira terjemahan seperti ini
bagaimana kalau diimplementasikan dalam bentuk tindakan? Apakah maksud ayat tersebut
memang demikian? Terjemah ini bisa disalahpahami sebagai pembenaran terhadap
perselingkuhan antara mantan istri dengan mantan suami sekalipun mantan istri telah menjadi
istri orang lain.305
Adapun di bidang sosial, tarjamah harfiyah Al-Qur‟an Surat Al-Ahzâb ayat 61
menyatakan bahwa orang-orang munafik ataupun kafir dilaknat oleh Allah SWT. Mereka
boleh ditawan dan dibunuh tanpa ampun. Kalimat “tanpa ampun” memberikan gambaran
305
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan Irfan S. Awwas, Ketua Lajnah Tanfiziyyah MMI,
pada 31 Maret 2016, pukul 11.35 s.d selesai via telepon dan WA juga.
250
buruk tentang perilaku sosial umat Islam terhadap golongan lain. Hal ini, mustahil menjadi
bagian dari ajaran sosial Islam, yang memerintahkan umat Islam supaya memperlakukan
golongan lain dengan baik selama mereka tidak memerangi Islam. Sedangkan di bidang
ekonomi, ayat-ayat yang menjelaskan bahaya riba diterjemahkan secara mengambang.
Sehingga terkesan bahwa riba tidak membahayakan kehidupan ekonomi masyarakat.306
Kembali pada persoalan deradikalisasi, secara terminologis, secara sederhana deradikalisasi
pemahaman teks keagamaan berarti upaya menghapuskan pemahaman yang radikal terhadap
teks-teks keagamaan, dalam kasus ini ayat-ayat Al-Qur‘an dan juga nanti disinggung
hadisnya, khususnya ayat atau hadis yang berbicara konsep jihâd/terorisme dan perang
melawan orang kafir. Dengan demikian, deradikalisasi bukan dimaksudkan sebagai upaya
untuk menyampaikan pemahaman baru tentang Islam dan bukan pula pendangkalan akidah,
melainkan sebagai upaya mengembalikan dan meluruskan kembali pemahaman agama yang
luhur ini, sehingga Barat tidak negatif lagi memandang Islam. Dalam pemahaman ayat Al-
Qur‘an itu perlu penilaian objektif, memahami konteks dan kronologi pewahyuan baik
situasi, tempat dan perilaku atau asbâb al-nuzûl-nya, harus memahami petunjuk kata Al-
Qur‘an (dilâlah al-lafadz) seperti melacak arti linguistiknya, haqiqī atau majâzī, lalu
mengerti rahasia ungkapan konteks nash Al-Qur‘an yang telah dikonfirmasi dengan pendapat
para mufassir terdahulu untuk diuji atau direkonstruksi disesuaikan dengan nash ayat Al-
Qur‘an. Terakhir, seluruh penafsiran yang bersifat sektarian dan berbau isrâiliyyât harus
disingkirkan.307
306
Menurut Ustadz Drs. Muhammad Thalib, selain demi menjaga otentisitas ajaran Al-Qur‘an dan
menjaga kehormatan kitab suci yang merupakan petunjuk ilahi, yang menjadi pedoman bagi seluruh manusia,
baik yang berbahasa Arab maupun non Arab, maka dari Tim MMI tidak hanya sebatas koreksi terhadap
Terjemah versi Kemenag, tetapi juga menerbitkan Tarjamah Tafsiriyah Al-Qur‟an lengkap 30 juz, sebagai
tanggung jawab mereka meluruskan tarjamah harfiyah yang salah dari Al-Qur‟an dan Terjemahnya milik
Kemenag. Lihat Pengantar Korektor Al-Ustadz Muhammad Thalib dalam Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-
Qur‟an Kemenag RI (Yogyakarta: Yayasan Islam Ahlu Shuffah, 2013), h. 829-830. 307
Narasuddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media
Komputindo Grup Gramedia, 2014), h. 22-23.
251
Dalam bahasan lain, bahkan Mahmud Yunus mengatakan kita tidak boleh
menafsirkan Al-Qur‘an dengan isrâiliyyât (yang berasal dari Yahudi) seperti Ka‘bul Ahbar,
Ibnu Munabbih, dan lai-lain dengan merujuk hadis Bukhari, ―Janganlah kamu benarkan ahli
kitab dan jangan pula kamu dustakan.‖ Maka menjadikan isrâiliyyât sebagai tafsir Al-Qur‘an
berarti membenarkan perkataan mereka, padahal Nabi melarang membenarkan mereka itu.
Oleh sebab itu, haruslah tafsir Al-Qur‘an dibersihkan dari isrâiliyyât. Apalagi sebagian
isrâiliyyât itu tidak diterima oleh akal orang-orang terpelajar masa sekarang, seperti guruh,
petir ditafsirkan dengan suara malaikat, dan kilat ditafsirkan dengan cemeti malaikat untuk
menghalau awan dan sebagainya. Hal ini menyebabkan orang mengeritik Al-Qur‘an, padahal
sebenarnya bukan Al-Qur‘an, melainkan isrâiliyyât yang dijadikan tafsir Al-Qur‘an.308
Selain itu, deradikalisasi pemahaman nash Al-Qur‘an atau hadis melalui
pendekatan historis, sosiologis, dan antroplogis juga penting dilakukan. Sebab, perlu dicatat,
tidak semua nash mempunyai asbâb al-nuzûl-nya atau asbâb al-wurûd-nya secara khusus,
tegas, dan jelas. Sebagai alternatifnya, dapat menggunakan pendekatan historis, sosiologis,
dan antroplogis untuk menginterpretasikan kembali maksud nash; Al-Qur‘an dan hadis. Hal
itu berangkat dari satu asumsi ketika Allah SWT berfiman atau Nabi Muhammad SAW
bersabda pasti tidak terlepas dari situasi kondisi yang melingkupi masyarakat pada waktu itu.
Bagaimana pun sebuah gagasan atau ide termasuk dalam hal ini wahyu Al-Qur‘an maupun
sabda Nabi SAW selalu terikat dengan problem historis-kultural waktu itu. Dengan
pendekatan historis, sosiologis, dan antroplogis semacam itu, diharapkan akan mampu
menghindari radikalisasi pemahaman nash Al-Qur‘an dan hadis, serta relatif lebih tepat dan
akomodatif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Yang dimaksud dengan
pendekatan historis dalam hal ini suatu upaya memahami nash dengan cara
mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada saat firman Allah atau hadis itu
308
Mahmud Yunus, Tafsīr Qur‟an Karīm (Jakarta: Mahmud Yunus wa Dzurriyyah Legoso, 2015), h. v.
252
disampaikan Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, pendekatan historis merupakan
pendekatan yang dilakukan dengan cara mengaitkan antara ide atau gagasan yang terdapat
dalam nash/teks dengan determinasi-determinasi sosial dan situasi historis-kultural ketika itu.
Adapun pendekatan sosiologi menyoroti sudut posisi manusia yang membawanya kepada
perilaku itu. Sedangkan pendekatan antroplogi lebih memperhatikan terbentuknya pola-pola
perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat.309
Penerjemahan
tafsiriyah tampaknya sangat handal, karena diasumsikan memenuhi seluruh komponen teori
penerjemahan Al-Qur‘an dan akan menghasilkan kategori terjemahan yang maknanya benar
dan bahasa ,(موثوقة) dalam misinya amanah ,(مكافئة) maksud dan kosakatanya sepadan ,(حقة)
Indonesianya fasih (مستقلة).310
Namun begitu, apa yang ditulis M. Thalib dengan lahirnya Al-Qur‘an Terjemah
Tafsiriyah sejatinya tidak tepat dikatakan sebagai sebuah deradikalisasi
penafsiran/penerjemahan yang ada sebelumnya yakni terjemah Al-Qur‘an Kemenag. Toh,
pada kenyataannya hasil terjemahan mereka (MMI) masih banyak terdapat kesalahan dan
layak diberi catatan-catatan. Dalam proses penerjemahannya, MMI agak cenderung ekstrim,
inkonsistensi dalam penafsiran ulama yang menjadi kiblat penafsirannya, lalu mengarahkan
target pembaca untuk mendorong perjuangan mereka dalam penegakan syariat Islam di
Indonesia, dan ini terbilang wajar karena mereka tergolong kelompok fundamentalisme Islam
politis seperti yang telah diulas pada bab III di atas. Bila dikatakan terjemah tafsiriyah ini
lebih valid dan paling benar dari seluruh bentuk terjemah Al-Qur‘an di Indonesia juga
menjadi masalah baru, sebab sangat tidak mungkin penerjemahan atau penafsiran manusia
309
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media
Komputindo Gramedia, 2014), h. 53-54. 310
M. Thalib, Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI (Yogyakarta: Yayasan Islam Ahlu
Shuffah, 2013), h. 831.
253
bisa menangkap pesan firman ilahi atau memahami hakikat gagasan Tuhan yang tertuang di
dalam Al-Qur‘an tersebut secara maksimal. Bagaimana hasil terjemahan MMI dengan
Kemenag dapat ditelusuri di bawah ini.
D. Kategorisasi dan Identifikasi Ayat-Ayat Jihâd
Tema jihâd agaknya tak pernah kering untuk didiskusikan. Lebih-lebih jika
dihubungkan dengan pergumulan cara pandang di kalangan Muslim maupun di luar Muslim
dalam memahami substansi ajaran Islam. Kata jihâd seolah dipahami ―angker‖, sarat dengan
pemahaman yang serba fisik, kekerasan, dan sikap-sikap insinuatif. Akan tetapi, istilah jihâd
ini pula—yang akhir-akhir ini ―melambungkan‖ nama Islam di pentas internasional—walau
lebih banyak sisi peyoratifnya dibandingkan dengan sisi positifnya. Lagi-lagi, hal ini muncul
karena kerancuan sebuah tafsir, misalnya, yang hanya mempersempit makna jihâd dari aspek
literalnya dengan fokus pada realitas kekerasan atau hanya dalam arti perang, seperti yang
tampak dilakukan oleh kaum Muslim di berbagai belahan dunia, dan dimengerti kalangan
Barat. Untuk itulah pemahaman seperti ini perlu dikoreksi.311
Dalam dunia akademik,
polemik dalam topik jihâd tak kalah seru. Kajian jihâd mendapatkan tempat yang sangat
menarik untuk diperbincangkan. Pola pembacaan dan analisis terhadap tema Islam, jihâd,
terorisme, kekerasan, dan perang suci sangat beragam. Nada dan spirit kajian mereka juga
sangat beraneka, dari yang sangat skeptis dan mendiskreditkan Islam, sampai yang moderat
dan netral, hingga membela Islam dan jihâd sekaligus. Lalu, bagaimana peta pemikiran
mereka? Juga, bagaimana kaitan antara jihâd dan perdamaian di kalangan mereka.312
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, bahwa dalam Al-Qur‘an,
ayat-ayat seputar jihâd dengan semua bentuk derivasinya (musytaq-nya/kata turunan)
311
Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan
Aspirasi (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), h. 104. 312
Imam Taufiq, Al-Qur‟an bukan Kitab Teror, Membangun Perdamaian Berbasis Al-Qur‟an
(Yogyakarta: Bentang Mizan, 2016), h. 13.
254
terdapat kurang lebih 41 kali. 9 surat diturunkan di Mekah yang dikenal sebagai ayat
makkiyyah, dan 32 surat diturunkan di Madinah, yang kemudian populer dengan sebutan ayat
madaniyyah.313
Dengan demikian, ayat-ayat jihâd lebih banyak turun di Madinah daripada di
Mekah, yaitu empat per lima (4/5) dari ayat-ayat bernada jihâd adalah masuk dalam kategori
ayat madaniyyah. Berdasarkan fakta ini, sejatinya jihâd telah dimulai Rasulullah sejak beliau
diangkat menjadi Rasul, yakni saat masih di Mekah umat Islam sudah diperintahkan ber-
jihâd sebelum ada perintah melakukan perang (qitâl). Tentu saja, bentuk jihâd-nya tidak
memberikan perlawanan fisik terhadap mereka yang tidak menyenangi Islam dan kaum
muslimin. Hal itu mungkin disebabkan karena saat itu kaum muslimin masih lemah, belum
sanggup menentang kekuasaan kaum kafir Quraisy yang ada di Mekah.314
Untuk di Madinah, format jihâd lebih dari sekadar jihâd bersenjata (armed jihâd)
yang mempunyai implikasi signifikan terhadap kehidupan umat Islam, baik secara individual
maupun masyarakat. Pada periode madaniyah, jihâd sudah dalam pengertian berperang demi
mempertahankan diri atas penganiyaan atau serangan orang-orang kafir. Dengan demikian,
dapat ditarik sebuah benang merah bahwa jihâd mempunyai dua makna. Makna awalnya
bersifat religius, yaitu etika individu. Adapun arti turunannya adalah perang terhadap
nonmuslim yang sering melawan kaum Muslimin. Namun, patut dicatat bahwa peperangan
yang dilakukan Nabi SAW dan pengikutnya lebih dikarenakan sebagai reaksi atas agresi atau
penyerangan yang dilakukan oleh kaum musyrikin. Dengan begitu, perang yang terjadi di
zaman Nabi SAW adalah untuk mempertahankan diri. Bahkan, perang fisik terjadi adalah
karena sebuah keterpaksaan, yaitu sebagai akibat adanya serangan bertubi-tubi orang musyrik
Mekkah dan Yahudi Madinah. Patut ditekankan juga bahwa jihâd dalam konteks ayat
313
Penjelasan lebih lanjut ciri-ciri ayat Makkiyyah dan Madaniyyah, dalam Mannâ‘ Khalīl al-Qattân,
Mabâhits fī „Ulûm al-Qur‟an, edisi terjemahan bahasa Indonesia “Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an,” Penerjemah:
Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2015), h. 71-72 dan h. 81-82. 314
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I (Jakarta: UI Press, 1978), h. 92.
255
madaniyah ini selain berarti ―perang‖, juga dapat bermakna ―memberi bantuan kepada orang
yang sangat membutuhkan‖, seperti disebutkan dalam QS. al-Hujurât [49] : 15.315
Apabila kita telusuri lebih dalam, ayat-ayat spesifik jihâd ini hanya berkisar 38 ayat,
karena ada 3 ayat yang diulang/mirip, hanya pengulangan saja, disebabkan bentuk
derivasinya yang sama; yakni 2 ayat pada ayat makkiyyah yaitu QS. al-‗Ankabût [29] : 6 dan
QS. al-Furqân [25] : 52; dan 1 lagi ayat madaniyyah yaitu QS. al-Nisâ [4] : 95.316
a) Berikut ini detail ayat-ayat jihâd tergolong Makkiyah, yaitu:
(1) QS. al-‗Ankabût [29] : 6
بف ا ذ ج ف ذه ٠هج ۦ غ لل ٱ ئ غ ع ٱ ع ١ ٤
―Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya
sendiri. Sungguh, Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh
alam.‖317
(2) QS. al-‗Ankabût [29] : 8
ط١ ٱ ب غ ل ٠ ث غ ذ ئ ب حه ان ج ب ث شن زهش ذ ه ظ ١ ۦث ب رهطع ف ل ع ه
ش ئ ىه جعه ه جئهىه ب ف أ ث زه ر ع وه ه ٥
―Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua
orangnya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan
sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau
patuhi keduanya. Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan Aku akan beritakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.‖318
(3) QS. al-‗Ankabût [29] : 69
ٱ ف١ ب ذها ج ز٠ ه ب ذ٠ جه عه ئ ع لل ٱ ح ٱ ه ٤٦ غ١
―Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang-
orang yang berbuat baik.‖319
315
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media
Komputindo Gramedia, 2014), h. 109. 316
Muhammad Fuâd Abd al-Bâqī, al-Mu‟jam al-Mufahras lī Alfâdz al-Qur‟an al-Karīm bi Hâsyiyah
al-Mushaf al-Syarīf (Kairo: Dâr al-Hadīs, 2007), h. 224-225. 317
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 559. 318
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 559-560. 319
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 569.
256
(4) QS. al-Nahl [16] : 110
ثه ثه ئ س ا ز٠ شه بج ب ذ ث ع ا ذها ج ثه فهزه ج شه ط ا ثه ئ س ذ بث ع
س فه غ ٠٠٦ سح١
―Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah
menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu
sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.‖
(5) QS. al-Furqân [25] : 52 (Diulang sebanyak dua kali)
ى ٱ رهطع ف ل ج فش٠ هذ ج١ش اج بد ۦث ٤٣ او
―Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka
dengannya (Al Quran) dengan (semangat) perjuangan yang besar.‖320
(6) QS. Luqmân [31] : 15
ئ ان ج ذ ب ث شن رهش أ ع ه ظ ١ ۦث ب رهطع ف ل ع بحج ه ط ب ٱ ف ه ١ بذ
ع ف رجع ٱ ب شه ج١ ع أ بة ئ ثه ش ئ ىه جعه ه جئهىه ب ف أ ث زه ر ع وه ه ٠٤
―Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang
engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang
yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka
akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.‖321
(7) QS. al-Nahl [16] : 38
أ ل ا ه لل ٱث غ أ ٠ ذ ج ثه ٠ ج ل لله ٱ ع هده ٠ ع ث ١ ذا م ع بح
بط ٱ ث ش أ و ى
٠ ع ل ه ٦٥
―Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah dengan sumpahnya yang sungguh-
sungguh: "Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati". Tidak demikian,
bahkan (pasti Allah akan membangkitnya), sebagai suatu janji yang benar dari Allah,
akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.‖322
(8) QS. al-‗Ankabût [29] : 6. Ayat ini sama dengan di atas, pengulangan saja.
ب ذ ج ف ذه ٠هج ف ا ۦ غ لل ٱ ئ غ ع ٱ ع ١ ٤
320
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 509. 321
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 582. 322
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 369.
257
―Dan barangsiapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya sendiri.
Sungguh, Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.‖323
b) Berikut ini ayat-ayat jihâd tergolong Madaniyyah dan segenap derivasinya, yaitu:
(1) QS. al-Baqarah [2] : 218
ٱ ئ ا ز٠ ه ا ٱ ء ا ز٠ شه ج بج ف ذها ج١ لل ٱ ع ٠ ش ئه أه ح جه ذ س لله ٱ لل ٱ
س فه غ ٣٠٥ سح١
―Sesungguhnya orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang berhijrah dan
berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang.‖324
(2) QS. Ali Imrân [3] : 142
غج أ ح ا ر ذ أ زه ه خ ٱ خه ب ج ٠ ع ٱ لله ٱ ذها ج ز٠ ىه ٠ ع ظ ٱ ٠٥٣ جش٠
―Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi
Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang
sabar.‖325
(3) QS. al-Nisâ [4] : 95 (diulang tiga kali dalam al-Mu‟jam al-Mufahras)
٠ غ ل م ٱ ز عذه إ ٱ ه ١ ١ شه غ س ٱ أه ج ٱ ؼش ه ف ذه ج١ لل ٱ ع ثأ
فهغ أ ج ٱ لله ٱ ف ؼ ه ذ٠ ثأ فهغ أ م ٱ ع عذ٠خ ج س وهل د ذ ع غ ٱ لله ٱ حه
ف ؼ ج ٱ لله ٱ ه ذ٠ م ٱ ع شاأ ج عذ٠ ظ١ ٦٤ بع
―Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak ikut berperang) tanpa
mempunyai uzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta
dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya
atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang tanpa halangan). Kepada masing-
masing, Allah menjanjikan (pahala) yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-
orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.‖326
(4) QS. al-Mâidah [5] : 35
ٱ أ ٠ ب٠ ا ز٠ ه ا ا ٱ ء ث ٱ لل ٱ رمه ع١ خ ٱ ئ ١ ا ز غه ج ف ذها ج١ ۦع ع رهف ىه ٦٤ حه
―Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang
mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu
mendapat keberuntungan.‖
323
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 559. 324
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 43. 325
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 85. 326
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 122-123.
258
(5) QS. al-Mâidah [5] : 54
ٱ أ ٠ ب٠ ه ز٠ ا ا ء ر ذ ٠ ش ىه ع ۦد٠ لله ٱ ر٠ أ ف ف غ ثم ه ٠هحجه ٠هحج أ رخ ۥ
إ ٱ ع ه ١ أ عضح ى ٱ ع ٠هج فش٠ ف ذه ج١ ل لل ٱ ع بفه ٠ خ خ ل ئ لل ٱ ه ف ؼ ه ر
٠هإ ر١ ب عع لله ٱ ءه ٠ ش ١ ٤٥ ع
―Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa di antara kamu yang murtad
(keluar) dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, Dia
mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, dan bersikap lemah lembut
terhadap orang-orang yang beriman, tetapi bersikap keras terhadap orang-orang kafir,
yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka
mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa Dia kehendaki. Dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.‖327
(6) QS. al-Anfâl [8] : 72
ٱ ئ ا ز٠ ه ا ا ء شه بج ج ذها ثأ فه أ ف غ ج١ ٱ لل ٱ ع ا ز٠ ا ء
شه ظ ا ث ع ئه أه ه ؼه ٱ غ ث ع ءه ١ ب أ ا ز٠ ه ا ء ا ب ٠ه بجشه ىه ١ ز ء ش
ز ح ا ٠ه بجشه ئ ع ٱ وه شه ظ ٱ ف ز ٠ ١ ذ ه ف ع ئل شه ظ ٱ ىه ع ث ١ ل ث ١ ىه ه ١ث لله ٱ ك
ب ر ع ث ه ٤٣ ث ظ١ش
―Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta
dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman
dan memberi pertoIongan (kepada muhajirin), mereka itu satu sama lain saling
melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka
tidak ada kewajiban sedikit pun bagimu melindungi mereka, sampai mereka
berhijrah. (Tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan
pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap
kaum yang telah terikat perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.‖328
(7) QS. al-Anfâl [8] : 74
ٱ ا ز٠ ه ا ا ء شه بج ج ف ذها ج١ ٱ لل ٱ ع ا ز٠ ا ء شه ا ظ ه ئه أه ه
إ ٱ ه ه م غ ه ب ح ح سص فش ق ش٠ ٤٥ و
―Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dan
orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada
orang Muhajirin), mereka itulah orang yang benar-benar beriman. Mereka
memperoleh ampunan dan rezeki (nikmat) yang mulia.‖329
327
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 155-156. 328
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 251-252. 329
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 252.
259
(8) QS. al-Anfâl [8] : 75
ٱ ه ز٠ ا ا ء ا ذه ث ع شه بج ج ذها ىه ع ئه ف أه ىه ا ه أه س ل ٱ ب ث ع ح ه ؼه
أ لل ٱ ت وز ف غ ثج ع لل ٱ ئ ثىه ه ء ش ١ ٤٤ ع
―Dan orang-orang yang beriman setelah itu, kemudian berhijrah serta berjihad
bersamamu maka mereka termasuk golonganmu. Orang-orang yang mempunyai
hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang
bukan kerabat) menurut Kitab Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.‖330
(9) QS. al-Taubah [9] : 16
غج أ ح وها رهز أ زه ب ش ٠ ع ٱ لله ٱ ذها ج ز٠ ىه ٠ زخزها ل لل ٱ ده
عه ل ۦس إ ٱ ه ١ خ ١ج ج١شه لله ٱ ب خ ر ع ث ه ٠٤
―Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, padahal Allah belum
mengetahui orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil teman
yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Allah Maha teliti
terhadap apa yang kamu kerjakan.‖331
(10) QS. al-Taubah [9] : 19
۞ ع أ ج ب ٱ عم ب٠ خ زه ج ح ع ح غ ٱ بس ٱ جذ ا ش ح و ا ٱ لل ٱث ء ج خش ل ٱ ١ ذ
ف ج١ ه ٠ غ ل لل ٱ ع ل لله ٱ لل ٱ عذ ۥز ٱ ذ٠ ٱ م ظ ١ ٠٦
―Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang
mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam, kamu samakan dengan orang yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak
sama di sisi Allah. Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang zalim.‖332
(11) QS. al-Taubah [9] : 20
ٱ ا ز٠ ه ا ا ء شه بج ج ف ذها ج١ لل ٱ ع ثأ فهغ أ ه أ ع خ ظ ج س لل ٱ عذ د
أه ه ئه ف ب ٱ ه ٣٦ ئضه
―Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dengan harta
dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah orang-
orang yang memperoleh kemenangan.‖333
330
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 252. 331
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 256. 332
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 256. 333
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 256.
260
(12) QS. al-Taubah [9] : 24
له ئ ب اث ب و ء وه أ ث ؤه ب وه ئخ ؤه أ ص هىه ىه جه رهىه ش١ش ع أ ف ل ٱ ي بز ش ه زه
رج ح ب ش ر خ ش بد غ غ و ه ر ش ى ت ب ػ ئ ١ أ ح ىه لل ٱ عه س ج بد ۦ ف ج١ ۦع
ا ثظه ف ز ش ز ٠ أ ح لله ٱ ر ل لله ٱ ۦ ش ثأ ٱ ذ٠ ٱ م ف ٣٥ غم١
―Katakanlah: "jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-
isterimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu
khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih
kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang fasik.‖334
(13) QS. al-Taubah [9] : 41
ثم بل بخف بف ا فشه ٱ ج ذها ثأ ىه فهغىه أ ف ج١ لل ٱ ع ر ١ ىه ش خ ئ ىه زه وه
ر ع ه ٥٠
―Berangkatlah kamu baik dengan rasa ringan maupun rasa berat, dan berjihadlah
kamu dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik
bagimu, jika kamu mengetahui.‖335
(14) QS. al-Taubah [9] : 44
ذ ٠ غ ل ٱ رهه ٠هإ ز٠ ه ٱ لل ٱث ذها ٠هج أ خش ل ٱ ١ ثأ فهغ أ لله ٱ
ه ١ ٱث ع زم١ ٥٥ ه
―Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta
izin (tidak ikut) kepadamu untuk berjihad dengan harta dan jiwa mereka. Allah
mengetahui orang-orang yang bertakwa.‖336
(15) QS. al-Taubah [9] : 73
ٱ أ ٠ ب٠ فبس ٱ ذ ج ج ٱ ىه ه ١ هع غ ٱ فم١ أ ع ى ه ه ثئ ج ظ١شه ٱ ظ ٤٦
―Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik,
dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam.
Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.‖337
334
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 257. 335
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 261. 336
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 261. 337
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 267.
261
(16) QS. al-Taubah [9] : 81
ٱ ف شح فه خ م ه ث ذ عهي خ ع لل ٱ س شه و ذها ٠هج أ ا ثأ فهغ أ ف
ج١ ا لل ٱ ع ل به ا ل فشه ش ٱ ف ر ح بسه له ذ ج ش أ ش ا ح ا به ٠ ف و ه ٥٠ م
―Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang), merasa gembira dengan duduk-
duduk diam sepeninggal Rasulullah. Mereka tidak suka berjihad dengan harta dan
jiwa mereka di jalan Allah dan mereka berkata, "Janganlah kamu berangkat (pergi
berperang) dalam panas terik ini". Katakanlah (Muhammad): "Api neraka Jahannam
lebih panas, " jika mereka mengetahui.338
(17) QS. al-Taubah [9] : 86
ا ئر ض ذ ح أه عهس ا أ ه ا ج لل ٱث ء ع ذها عه ذ ع ٱ س ه ا ر ه ٱ أه ي ط ه
ا ل به س ع ىه بر م ٱ ٥٤ عذ٠
―Dan apabila diturunkan suatu surah (yang memerintahkan kepada orang-orang
munafik), "Berimanlah kepada Allah dan berjihadlah bersama Rasul-Nya," niscaya
orang-orang yang kaya dan berpengaruh di antara mereka meminta izin kepadamu
(untuk tidak berjihad) dan mereka berkata, "Biarkanlah kami berada bersama orang-
orang yang duduk (tinggal di rumah)."339
(18) QS. al-Taubah [9] : 88
ٱ شعهيه ٱ ى ا ز٠ ه ا ه ء ع ذها ج ۥ ثأ فهغ أ أه ه ئه ه ١ ٱ ش خ
ده أه ئه
ه ف ٱ ه ه ٥٥ حه
―Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, (mereka) berjihad dengan
harta dan jiwa mereka. Mereka itu memperoleh kebaikan. Mereka itulah orang-orang
yang beruntung.‖340
(19) QS. al-Hajj [22] : 78
ج ك لل ٱ ف ا ذه ۦ ج بد ح ز ج ى ج ٱ ه ب ىه ع ١ ج ع ٱ ف ىه ٠ ذ ج ش خ ح أ ث١ىه
ش ئث ١ ى ه ه ع غ ٱ ىه ه ١ ف ه ل ج ا ز ١ذا شعهيه ٱ ١ ىه ١ ش ع ا ىه ر ىهه ا ذ ء شه
ا بط ٱ ع ه ٱ ف أ ل١ ا ح ظ اره ء ٱ ا ع ٱ ح ضو ه لل ٱث ز ظ ه ى ع ىه ٱ ف ع
٤٥ ظ١شه ٱ
338
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 268. 339
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 269. 340
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 269-270.
262
―Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.
(Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu
orang-orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur‘an) ini, agar
Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi
saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat, dan
berpegangteguhlah kepada Allah. Dialah Pelindungmu; Dia sebaik-baik Pelindung
dan sebaik-baik Penolong.‖341
(20) QS. Muhammad [47] : 31
ج ىه ه ز ع ح ٱ ج ه ذ٠ ىه ظ ٱ ج جش٠ ا أ خ ه وه ٦٠ ج بس
―Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui
orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu; dan akan Kami
uji perihal kamu.‖342
(21) QS. al-Hujurât [49] : 15
ب إ ٱ ئ ه ه ٱ ا ز٠ ه ا لل ٱث ء عه س ۦ ثه ا ٠ ش ج ر بثه ذها ثأ فهغ أ ف
ج١ لل ٱ ع ه ئه أه ظ ٱ ه ٠٤ ذله
―Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad
dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang
benar.‖343
(22) QS. al-Mumtahanah [60] : 1
ٱ أ ٠ ب٠ ا ز٠ ه ا ر زخزها ل ء ذه ع وه ذه ع ء ١ ب أ ره ٱث ئ ١ مهدح ل ذ ا ف شه ب و ث
ب وهج ء ك ٱ ٠هخ ح شعهي ٱ شجه ئ٠بوه ا رهإ أ ه لل ٱث ثىه ئ س زه ج وه ش خ ف اذ ج زه
ج١ ب ث ٱ ع ش ء زغ بر ػ ٱث ئ ١ رهغشدح أ ب ه أ ع ب ف ١ أ خ ث ب زه أ ع زه ٠ ف ه ع ىه
ف م ذ ا ػ ٱ ء ع ٠ غج١
―Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan
musuhmu sebagai teman-teman setia sehingga kamu sampaikan kepada mereka
(berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal mereka telah ingkar
kepada kebenaran yang disampaikan kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan kamu
sendiri karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar
untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat
demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada
341
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 474. 342
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 735 343
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 745-746.
263
mereka, karena rasa kasih sayang, dan Aku lebih mengetahui apa yang kamu
sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang
melakukannya, maka sungguh dia telah tersesat dari jalan yang lurus.‖344
(23) QS. al-Shâf [61] : 11
ه رهإ لل ٱث عه س رهج ۦ ف ذه ج١ لل ٱ ع ثأ ىه فهغىه أ ر ١ ىه ش خ ئ ىه زه وه
ر ع ه ٠٠
―(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah
dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.‖345
(24) QS. al-Tahrīm [66] : 9
ٱ أ ٠ ب٠ ف ٱ ذ ج ج ٱ بس ىه ه ١ هع غ ٱ فم١ ع أ ى ه ه ثئ ج ظ١شه ٱ ظ ٦
―Wahai Nabi! Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap
keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itulah
seburuk-buruk tempat kembali.‖346
(25) QS. al-An‘âm [6] : 109
أ ل ا ه لل ٱث غ أ ٠ ذ ج ب ئ ر ج ء ا٠ خ ه ١هإ ء ه ب له ث ب ب لل ٱ عذ ذه ٠ ل ٱ ئ
٠هش وه ب عشه ا أ ب ئر د ج ٠هإ ل ء ه ٠٦٦
―Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa jika
datang suatu mukjizat kepada mereka, pastilah mereka akan beriman kepada-Nya.
Katakanlah, "Mukjizat-mukjizat itu hanya ada pada di sisi Allah". Dan tahukah
kamu, bahwa apabila mukjizat (ayat-ayat) datang, mereka tidak juga akan
beriman.‖347
(26) QS. al-Nûr [24] : 53
أ ل ۞ ا ه لل ٱث غ أ ٠ ذ ج ش ئ أ ه ١ خ ر جه رهم ل له شها ه خ غ ع ؽ بع
ف خ شه لل ٱ ئ
ج١شه ب خ ر ع ث ه ٤٦
―Dan mereka bersumpah dengan (nama) Allah dengan sumpah sungguh-sungguh,
bahwa jika engkau suruh mereka berperang, pastilah mereka akan pergi. Katakanlah
(Muhammad), "Janganlah kamu bersumpah, (karena yang diminta) adalah ketaatan
yang baik. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.‖348
344
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 801. 345
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 806. 346
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 820. 347
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 191. 348
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 498.
264
(27) QS. Fâthir [35] : 42
أ ل ا ه لل ٱث غ أ ٠ ذ ج ب ئ ج ه ز٠ش ء ١ ىهه أ ذ ه ٱ ذ ئح ل ب ب ف ج ه ء
ب ز٠ش ه اد سا ئل ص ٥٣ هفه
―Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sungguh-sungguh bahwa jika
datang kepada mereka seorang pemberi peringatan, niscaya mereka akan lebih
mendapat petunjuk dari salah satu umat-umat (yang lain). Tetapi ketika pemberi
peringatan datang kepada mereka, tidak menambah (apa-apa) kepada mereka, bahkan
semakin jauh mereka dari (kebenaran).‖349
(28) QS. al-Taubah [9] : 79
ٱ ز٠ ٠ ضه ٱ ع١ ط ه إ ٱ ه ١ ل ٱ ف ٱ ذ ظذ ل ز٠ ئل ٠ جذه جه ه ذ
ف ١ غ شه خ خش ه لله ٱ ع ه ه اة ز ع ١ ٤٦ أ
―(Orang-orang munafik itu) yaitu mereka yang suka mencela orang-orang beriman
yang memberikan sedekah dengan sukarela dan yang (mencela) orang-orang yang
tidak memperoleh (untuk disedekahkan) sekedar kesanggupannya, maka orang-orang
munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka, dan
mereka akan mendapat azab yang pedih.‖350
(29) QS. al-Mâidah [5] : 53
يه ٠ مه ٱ ز٠ ه ا ل أ ا ء ٱ ء إه ا أ ل ز٠ ه لل ٱث غ أ ٠ ذ ج ئه ىه ع جط ذ أ ع ح ه ه
ا ف أ ط خ ج حه ٤٦ غش٠
―Dan orang-orang yang beriman akan berkata, "Inikah orang yang bersumpah secara
sungguh-sungguh dengan (nama) Allah, bahwa mereka benar-benar beserta kamu?"
Segala amal mereka menjadi sia-sia, sehingga mereka menjadi orang yang rugi.‖351
(30) QS. al-Hajj [22] : 78
ج ك لل ٱ ف ذها ۦ ج بد ح ز ج ى ج ٱ ه ب ىه ع ١ ج ع ٱ ف ىه ٠ ذ ج ش خ ح أ ث١ىه
ش ئث ١ ى ه ه ع غ ٱ ىه ه ١ ف ه ل ج ا ز ١ذا شعهيه ٱ ١ ىه ١ ش ع ا ىه ر ىهه ا ذ ء شه
ا بط ٱ ع ه ٱ ف أ ل١ ا ح ظ اره ء ٱ ا ع ٱ ح ضو ه لل ٱث ز ظ ه ى ع ىه ٱ ف ع
٤٥ ظ١شه ٱ
349
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 623. 350
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 268. 351
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 155.
265
―Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.
(Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu
orang-orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur‘an) ini, agar
Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi
saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat, dan
berpegangteguhlah kepada Allah. Dialah Pelindungmu; Dia sebaik-baik Pelindung
dan sebaik-baik Penolong.‖352
E. Studi Kasus Teks Terjemahan bernada Jihâd
Kita tidak bisa ketika melihat sebuah hasil penafsiran ayat/terjemahan tanpa
melihat aspek lain yang melingkupinya. Begitu pula dalam memahami ayat-ayat Al-Qur‘an
dan hadis-hadis Rasulullah SAW. Bila ingin memahami ayat-ayat Al-Qur‘an secara paripurna
maka harus melihat asbâb al-nuzûl-nya, dan ketika ingin memahami matan hadis secara
sempurna maka harus melihat asbâb al-wurûd-nya.353
Dalam memahami kandungan Al-
Qur‘an dan hadis Nabi SAW juga jangan sekadar mengandalkan terjemah. Sebab, betatapun
sempurna sebuah terjemahan, tetap saja ada titik kelemahan, yaitu distorsi dimensi-dimensi
yang tidak terwakili oleh bahasa penerjemah, dan ini akan berimbas sangat signifikan pada
hasil pemahamannya terhadap teks-teks utama keislaman, terlebih itu susunan dan bahasa Al-
Qu‘an yang merupakan mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad
SAW, misalnya keindahan susunan retorikanya (balâghah).
Kendala lain yang tidak bisa dibilang sepele, orang yang awam bahasa Arab tidak
akan mengerti, apakah pemahaman penerjemahnya benar atau salah. Ini karena mereka tidak
mengetahui susunan bahasa Al-Qur‘an dan hadis dalam bentuk aslinya, di samping cakupan
352
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 474. 353
Untuk memahami hadis dengan tepat, kelengkapan itu disusun Yusuf al-Qaradhâwī sebagaimana
dikutip Nizar, sebagai berikut: 1) mengetahui petunjuk Al-Qur‘an yang berkenaan dengan hadis Nabi dimaksud;
2), menghimpun hadis-hadis yang setema; 3) menggabungkan dan men-tarjih-kan antar hadis Nabi yang
‗kelihatan‘ bertentangan; 4) mempertimbangkan latar belakang, situasi dan kondisi hadis ketika
diucapkan/diperbuat serta tujuannya; 5) mampu membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya
(haqiqi) dan bersifat metafora (majazi); 6) mampu membedakan antara hadis yang berkenaan dengan alam gaib.
Ada juga pendekatan tekstualis dan kontekstualis. Tekstualis menekankan aspek bahasa, dan kontekstualis
menekankan pada aspek historis, dan konteks sosial-budaya-psikologis. Nizar Ali, Hadis versus Sains
(Yogyakarta: Teras, 2008), h. 7-10.
266
semantiknya. Dikhawatirkan, karena ketidaktahuannya, mereka akan menelan mentah-
mentah apa yang dipahaminya dari terjemah itu. Tidak ada jaminan, bahwa aspek penguasaan
aspek kebahasaan bahasa yang diterjemahkan (mastery of translated language) berpengaruh
terhadap pemahaman yang benar, sesuai yang dikehendaki teks. Namun, paling tidak itu telah
mempersempit jarak antara ruang bahasa yang diterjemahkan dengan ruang bahasa
penerjemahan. Banyak faktor yang menyebabkan kerja penerjemahan menjadi niscaya
kendati tetap memiliki kelemahan dan kekurangan, antara lain; pertama, perbedaan istilah
dan kaidah antara bahasa yang diterjemahkan dengan bahasa yang dipakai untuk
menerjemahkan. Kedua, perbedaan pemahaman dalam menangkap isyarat-isyarat bahasa.
Ketiga, khazanah bahasa yang terus-menerus mengalami perkembangan dan perubahan.
Keempat, kekayaan bahasa dan tradisi berpikir suatu masyarakat tidak selalu sama dengan
masyarakat lain. Kelima, kondisi sosial, psikologi, antropologi, dan geografi yang berbeda
antara kedua bahasa. Keenam, setiap bahasa memiliki akar serta lingkungan kultural yang
khusus. Dalam kasus penerjemahan teks-teks otoritatif keislaman ini, ada dua objek yang
menjadi titik perhatian. Pertama, bahasa Arab sebagai bahasa yang diterjemahkan (translated
language). Kedua, bahasa non Arab sebagai bahasa penerjemahan (translation language).
Sebagai sebuah bahasa, bahasa Arab banyak memiliki keunikan, kekhasan dan keistimewaan
yang tidak dimiliki bahasa lain. Konon, bahasa Arab menempati urutan kedua dalam hal
kerumitan bahasanya, setelah bahasa Cina. Penggalian pemahaman Al-Qur‘an dan hadis
hanya melalui karya-karya terjemah merupakan langkah yang kurang dapat
dipertanggungjawabkan. Karenanya, para ahli ulûm al-Qur‟an dan ulûm al-Hadīs
menetapkan, penguasaan aspek-aspek kebahasaan dan kesusasteraan Arab merupakan syarat
utama dalam mendapatkan pemahaman yang benar ketika menggali kekayaan kandungan
makna Al-Qur‘an dan hadis.354
354
Ali Mustafa Yaqub, Haji Pengabdi Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), cet ke-2, h. 129-137.
267
Meskipun pemahaman secara tekstual dan literal terkadang tidak dapat dielakkan,
namun model pemahaman tekstual dan literal an sich pada gilirannya dapat melahirkan
perilaku yang terkesan anarkis, tidak toleran, dan cenderung detsruktif. Ajaran jihâd
misalnya, secara pragmatis sering dipahami sebagai ―perang suci‖ (holy war) untuk
melakukan penyerangan dan pemaksaan terhadap kelompok lain yang tidak sepaham
dengannya. Hal ini tentunya dianggap menodai wajah Islam yang ramah, santun, dan penuh
kedamaian. Lebih jauh, akan timbul mispersepsi dan menimbulkan cibiran dan citra negatif
terhadap agama Islam dan umat Islam secara keseluruhan.355
Kata jihâd seolah dipahami ―angker‖, syarat dengan pemahaman yang serba fisik,
kekerasan, dan sikap-sikap insinuatif. Akan tetapi, istilah jihâd ini pula—yang akhir-akhir ini
―melambungkan‖ nama Islam di pentas internasional—walau lebih banyak sisi peyoratifnya
dibandingkan dengan sisi positifnya. Lagi-lagi, hal ini muncul karena kerancuan sebuah
tafsir, misalnya, yang hanya mempersempit makna jihâd dari aspek literalnya dengan fokus
pada realitas kekerasan atau hanya dalam arti perang, seperti yang tampak dilakukan oleh
kaum Muslim di berbagai belahan dunia, dan dimengerti kalangan Barat. Untuk itulah
pemahaman seperti ini perlu dikoreksi.356
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab
sebelumnya, bahwa dalam Al-Qur‘an, ayat-ayat seputar jihâd dengan semua bentuk
derivasinya (musytaq-nya/kata turunan) terdapat kurang lebih 41 kali. 9 surat diturunkan di
Mekah yang dikenal sebagai ayat makkiyyah, dan 32 surat diturunkan di Madinah, yang
kemudian populer dengan sebutan ayat madaniyyah.357
Apabila kita telusuri lebih dalam,
ayat-ayat spesifik jihâd ini hanya berkisar 38 ayat, karena ada 3 ayat yang diulang/mirip,
hanya pengulangan saja, disebabkan bentuk derivasinya yang sama; yakni 2 ayat pada ayat
355
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media
Komputindo, 2014), h. 2. 356
Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, bukan
Aspirasi (Bandung: Mizan Pustaka, 2006), h. 104. 357
Penjelasan lebih lanjut ciri-ciri ayat Makkiyyah dan Madaniyyah, dalam Mannâ‘ Khalīl al-Qattân,
Mabâhits fī „Ulûm al-Qur‟an, edisi terjemahan bahasa Indonesia “Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an,” Penerjemah:
Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2015), h. 71-72 dan h. 81-82.
268
makkiyyah yaitu QS. al-‗Ankabût [29] : 6 dan QS. al-Furqân [25] : 52; dan 1 lagi ayat
madaniyyah yaitu QS. al-Nisâ [4] : 95.358
Jika di hadapan seseorang disuguhkan sebuah teks-
teks tertulis, maka pertama yang terlihat adalah rangkaian huruf yang membentuk kata,
kemudian rangkaian kata yang membentuk kalimat, tanda titik, koma, tanda tanya, dan
seterusnya. Semua itu adalah ―tanda‖ yang sengaja dibuat oleh pengirim tanda (baca:
pengarang/penulis teks) untuk mempengaruhi pembacanya. Dengan tanda-tanda pembaca
diajak pengarang untuk menjelajahi atau menyelami ide-ide yang ia tuangkan dalam
hamparan teks, pun dengan petunjuk tanda, pembaca bisa mengetahui makna sebuah teks.
Dari sekian banyak tanda, tanda yang acapkali didapati pembaca dalam sebuah teks adalah
tanda bahasa. Sebab ua adalah komponen yang membentuk sesuatu menjadi teks dan bisa
dibaca oleh setiap orang. Kendati demikian, pembaca tidak bisa mengabaikan tanda-tanda
yang sifatnya non bahasa (ekstra-lingual), sebab ia juga membentuk kelahiran teks semisal
ruang, waktu, situasi, kondisi dan keilmuan pengarang, budaya dan lain-lain.359
Berikut ini ditampilkan ayat-ayat jihâd sebagai korpus data yang dijadikan objek
penelitian. Dalam menganalisis sejumlah ayat ini, penulis melakukan langkah-langkah seperti
berikut: mengemukakan terlebih dahulu pandangan-pandangan ulama tafsir sebelumnya
dengan merujuk kitab-kitab tafsir tentunya yang dijadikan pijakan penafsiran/penerjemahan
(apakah penerjemahannya selaras/berpedoman dengan kaidah atau pakem penafsiran ulama
pada umumnya), lalu membedah sisi konstruk metodologis terjemahannya (konsisten atau
inskonsisten dalam menerapkan metode terjemahan ayatnya), kemudian menelisik komponen
linguistik bahasa Arabnya maupun non linguistiknya ataupun dari segi interferensi (demi
meneropong sejauhmana ketepatan kritik terjemah M. Thalib terhadap terjemahan Al-Qur‘an
Kemenag), juga soal struktur bahasa, dan gramatikal/tata bahasa Indonesianya, serta
358
Muhammad Fuad Abd al-Bâqī, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdz al-Qur‟an al-Karīm bi Hâsyiyah
al-Mushaf al-Syarīf (Kairo: Dâr al-Hadīs, 2007), h. 224-225. 359
Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir Al-Qur‟an Kontemporer
“ala” M. Syahrur (Yogyakarta: elSAQ Press, 2007), h. 103.
269
diperkaya dengan teori analisis semantik leksikal, gramatikal, dan kontekstual serta generatif
transformatif yang digagas Noam Chomsky sehingga dapat menghasilkan analisa teks
terjemahan yang lebih objektif atas terjemahan M. Thalib tersebut.
Dengan begitu, akan tampak pemahaman redaksi ayat/nash Al-Qur‘an yang utuh,
tidak skriptual/literal, holistik tidak parsial, agar relasi tindak terorisme dengan teks
keagamaan dapat terbenam sedalam-dalamnya dan tidak ada lagi apologetik faktor
keterpengaruhan teks-teks keagamaan pada lahirnya radikalisme agama dan terorisme. Sebab,
tidak ada satu pun agama yang mengajarkan kekerasan apalagi terorisme bagi para
penganutnya. Sebab, tidak ada satu pun agama yang membolehkan radikalisasi pemahaman
agama. Sebagaimana juga telah ditegaskan dalam kongres umat Islam Indonesia, bahwa
tindakan kekerasan dapat muncul di kalangan umat agama apa saja, atau kelompok bangsa
dan ras mana saja.360
Ada sembilan surat yang diturunkan di Mekah dan sembilan surat di Madinah
ditampilkan/dianalisis. Pertimbangannya bahwa perintah jihâd sudah dimulai Nabi sejak
beliau diangkat menjadi Rasulullah, yakni saat masih di Mekah. Tentu saja, bentuk jihâd-nya
tidak memberikan perlawanan fisik terhadap mereka yang tidak menyenangi Islam dan kaum
muslimin. Hal itu mungkin disebabkan karena saat itu kaum muslimin masih lemah, belum
sanggup menentang kekuasaan kaum kafir Quraisy yang ada di Mekah.361
Lalu ayat-ayat
jihâd bercirikan Madaniyyah yang sejatinya ada 32 ayat, namun dikaji hanya sembilan saja,
kesembilan ayat tersebut agar memudahkan pembaca yang dipilih secara acak (sampling),
dan juga studi kasus yang dikritisi MMI. Untuk di Madinah, format jihâd lebih dari sekadar
jihâd bersenjata (armed jihâd) yang mempunyai implikasi signifikan terhadap kehidupan
umat Islam, baik secara individual maupun masyarakat. Pada periode madaniyah, jihâd sudah
dalam pengertian berperang demi mempertahankan diri atas penganiyaan atau serangan
360
Susilo Bambang Yudhoyono, Pengantar dalam buku Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman
Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media Komputindo Kompas Gramedia, 2014), h. xvi. 361
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, jilid I (Jakarta: UI Press, 1978), h. 92.
270
orang-orang kafir. Dengan demikian, dapat ditarik sebuah benang merah bahwa jihâd
mempunyai dua makna. Makna awalnya bersifat religius, yaitu etika individu. Adapun arti
turunannya adalah perang terhadap nonmuslim yang sering melawan kaum Muslimin.
Namun, patut dicatat bahwa peperangan yang dilakukan Nabi SAW dan pengikutnya
lebih dikarenakan sebagai reaksi atas agresi atau penyerangan yang dilakukan oleh kaum
musyrikin. Dengan begitu, perang yang terjadi di zaman Nabi SAW adalah untuk
mempertahankan diri. Bahkan, perang fisik terjadi adalah karena sebuah keterpaksaan, yaitu
sebagai akibat adanya serangan bertubi-tubi orang musyrik Mekkah dan Yahudi Madinah.
Patut ditekankan juga bahwa jihâd dalam konteks ayat madaniyah ini selain berarti ―perang‖,
juga dapat bermakna ―memberi bantuan kepada orang yang sangat membutuhkan‖, seperti
disebutkan dalam QS. al-Hujurât [49] : 15.362
a) Berikut ini ayat-ayat Jihâd tergolong Makkiyyah, yaitu:
(1) QS. al-‘Ankabût [29] : ayat 6
)التعبت( ب ذ ج ف ذه ٠هج ف ا ۦ غ لل ٱ ئ غ ع ٱ ع ١ ٤
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI) ―Dan barangsiapa berjihad, maka
sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya
sendiri. Sungguh, Allah Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.‖363
―Siapa saja yang berjuang menegakkan agama
Allah dan bersabar melawan hawa nafsunya, maka
ia telah berjuang untuk kebaikan dirinya sendiri.
Sungguh Allah sama sekali tidak membutuhkan
amal kebaikan semua manusia.‖364
Berdasarkan teori al-Zarqânī, terjemah Kemenag harfiyah, sedangkan terjemah M.
Thalib tafsiriyah. Penerjemahan M. Thalib terdapat penambahan kalimat bersabar melawan
362
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media
Komputindo Gramedia, 2014), h. 109. 363
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 559. 364
M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 493.
271
hawa nafsunya. Ini tidak lazim, karena bila kita telusuri Tafsīr al-Jalâlain dan Tafsīr Marâh
Labīd Syaikh Nawawi al-Bantanī tidak ditemukan dalam penafsiran/buku tafsir mereka.
Disebutkan dalam Tafsir Nawawi, ۦ ذه ف غ ب ٠هج ج ذ ف ا ditafsirkan أي ومن صرب على
النفس، فإن منفعة صربه لو، ال هلل تعال الشدة يف حماربة الكفار ويف خمالفة jihâd tidak diartikan
dengan menegakkan Agama Allah, namun sabar dalam memerangi kaum kafir.365
MMI/M. Thalib sekilas tidak mengikuti prosedur penerjemahan yang baku, namun
lebih menyuguhkan sebuah penafsiran yang mereka pahami berdasarkan pola pikir
keagamaannya. Kata/lafaz jihâd, dalam terjemahan Kemenag dialihbahasakan secara apa
adanya, lain halnya dengan MMI yang langsung diartikan dengan arti menegakkan agama
Allah dan bersabar melawan hawa nafsunya. Ini menyimpulkan pola pikir keagamaan mereka
yang fundamentalis. Terjemahan ini jelas sekali bersifat tafsiriyah karena memberi padanan
redaksi yang meluas bahkan tumpang tindih (overlapping) dengan tidak memerhatikan
redaksi bahasa asalnya. Teks terjemahan ‖berjuang menegakkan agama Allah‖ merupakan
penafsiran yang selaras dengan teori Noam Chomsky bahwa bahasa merefleksikan pikiran
penuturnya/penerjemahnya. Bahasa bukan saja merupakan bentuk dari isi penuturan, tetapi
juga merupakan alat atau instrumen dari proses berpikir. Jelas kiranya, bahwa hasil, yang
dapat diperoleh dengan menggunakan suatu teknik, akan tergantung dari baik buruknya
teknik yang dipergunakan. Di samping itu, bahasa juga bukan hanya merupakan alat mati dari
pikiran. Di luar logika ia mempunyai peranan-peranan lain di bidang kehidupan manusia.
Satu-kesatuan kata menghubungkan keterkaitan antara konsep pikiran dengan acuan/benda
(hasil terjemahan).366
365
Syaikh Muhammad Nawawī, al-Tafsīr al-Munīr li Ma‟âlim al-Tanzīl al-Musaama bi Marâh Labīd
Tafsīr Nawawī (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), juz 2, h. 171. 366
Kinayati Djojosuroto, Filsafat Bahasa (Yogyakarta: Pustaka Pinus, 2006), h, 122.
272
Unsur-unsur struktur batin (deep structure) yang terdapat dalam pola kalimat
terjemahan di atas menampakkan struktur luar (surface structure) dari kelompok MMI yang
cenderung radikal. Kaidah transformasi mengubah struktur batin yang dihasilkan oleh kaidah
kategori untuk struktur lahir. Struktur batin (pola pikir dan pola rasa individu/kelompok)
memiliki semua unsur yang diperlukan dan berpengaruh pada cara pandang mereka terhadap
teks. Padahal, terjemahan ayat itu masih bisa dipertimbangkan mengingat konteks ayat tidak
terkait dengan situasi peperangan. Menurut Syaikh Yûsuf al-Qardhâwī, makna jihâd pada
ayat tersebut adalah jihâd dengan menanggung penderitaan dan kesabaran atas cobaan dan
penganiyaan di jalan Allah.367
(2) QS. al-‘Ankabût [29] : ayat 8
)التعبت(ط١ ٱ ب غ ل ٠ ث غ ذ ئ ب حه ان ج ب ث شن زهش ذ ه ظ ١ ۦث ب رهطع ف ل ع ه ئ
ش ىه جعه ه جئهىه ب ف أ ث زه ر ع وه ه ٥
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Dan Kami wajibkan kepada manusia agar
(berbuat) kebaikan kepada kedua orangnya.
Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang
engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu,
maka janganlah engkau patuhi keduanya.
Hanya kepada-Ku tempat kembalimu, dan
Aku akan beritakan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan.‖368
―Wahai manusia, Kami perintahkan kepadamu
untuk berbuat baik kepada ibu bapakmu. Jika ibu
bapakmu mengajakmu untuk menyembah tuhan-
tuhan selain Aku, padahal akalmu tidak dapat
membenarkan perbuatan syirik itu, janganlah kamu
taati ibu bapakmu itu. Kalian kelak pasti kembali
kepada-Ku. Aku akan memberitahukan kepada
kalian segala perbuatan yang telah kalian lakukan
di dunia.‖369
367
Syaikh Yûsuf al-Qardhâwī, Fiqh al-Jihâd: Dirâsah Muqâranah li Ahkâmihi wa Falsafatihi fi Dhau‟
Al-Qur‟an wa al-Sunnah diterjemahkan Irfan Maulana Hakim dan Arif Munandar Riswanto menjadi Fiqih
Jihâd: sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihâd Menurut Al-Qur‟an dan Sunnah (Bandung: Mizan,
2009), h. 74. 368
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 559-560. 369
M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan
Mencerahkan (Yogyakarta: Ma‘had al-Nabawī Markaz Pusat Majelis Mujahidin, 2013), h. 494.
273
Berkiblat pada gagasan yang dicetuskan al-Zarqânī dan al-Qatthân tentang
penerjemahan, maka terjemah Kemenag bercorak harfiyah, sedangkan terjemah M. Thalib
tafsiriyah. Dalam terjemahan Kemenag, ayat jihâd ان ئ ج ذ dialihbahasakan menjadi
―Dan jika keduanya memaksamu‖ sedangkan terjemahan MMI, ان ئ ج ذ adalah Jika ibu
bapakmu mengajakmu untuk menyembah tuhan-tuhan selain Aku. Pola
penerjemahan/pemaknaan ini masih dimungkinkan, namun pola penerjemahan/penafsiran ini
tidak dapat memonopoli sejumlah penafsiran ulama dalam kitab tafsirnya. Selain itu, kalimat
ب غ حه ٠ ذ ث غ ط١ ب ٱل ditambahkan awalnya terjemahan ‖Wahai manusia‖ yang
sebenarnya tidak ada pada teks aslinya. Ini cukup memengaruhi aspek penerjemahan dan
penafsiran. Dalam al-tafsīr al-munīr Syaikh Nawawi al-Bantanī dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan ayat ب غ حه ٠ ذ ث غ ط١ ب ٱل adalah أي أمر نا اإلنسان بالرب بوالديو
bahwa seseorang diperintahkan untuk berbakti kepada والعطف عليهما ألهنما سبب وجود الولد
kedua orangtuanya dan berlemah lembut kepada keduanya. Tidak didahului wahai manusia
( الناس )يا أيها .370 Sebagai pembanding, M. Quraish Shihab menerjemahkan ayat tersebut
dengan makna: ‖Dan Kami telah mewasiatkan (kepada) manusia (wasiat yang) baik (yaitu
supaya mereka berbakti) terhadap kedua orangtuanya, dan jika keduanya memaksamu untuk
menyekutukan Aku dengan (sesuatu) yang engkau tidak ada ilmu pengetahuan tentang itu,
maka janganlah engkau mematuhi keduanya. Hanya kepada-Ku-lah tempat kembali, lalu Aku
370
Syaikh Muhammad Nawawi, al-Tafsīr al-Munīr li Ma‟âlim al-Tanzīl al-Musaama bi Marâh Labīd
Tafsīr Nawawī (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), juz ke-2, h. 169-170.
274
beritahukan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.‖371
Terjemahan ayat ini bila
dianalisis secara semantik leksikal dan kontekstual tidak dapat memberikan interpretasi
semantik yang utuh, sebab komponen fonologis yang muncul tidak membentuk satu-kesatuan
tata bahasa yang lengkap.
(3) QS. al-‘Ankabût [29] : ayat 69
ت()التعب ٱ ف١ ب ذها ج ز٠ ه ب ذ٠ جه عه ئ ع لل ٱ ح ٱ ه ٤٦ غ١
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Dan orang-orang yang berjihad untuk
(mencari keridaan) Kami, Kami akan
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.
Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang berbuat baik.‖372
―Orang-orang yang sungguh-sungguh
memperjuangkan agama Kami dengan segala
penderitaan, niscaya akan Kami bukakan jalan-
jalan keluar dari kesulitan mereka. Sungguh Allah
selalu beserta mereka yang memperjuangkan
agama Allah dengan baik.‖373
Berdasarkan konsep yang dikemukakan al-Zarqânī dan al-Zahabī tentang
penerjemahan, maka terjemah Kemenag bercorak harfiyah, sedangkan terjemah M. Thalib
tafsiriyah. Kemenag menerjemahkan ج ذها dengan yang berjihad untuk (mencari keridaan)
Kami, sedangkan M. Thalib mengartikan ج ذها dengan sungguh-sungguh memperjuangkan
agama Kami dengan segala penderitaan. Penerjemahan ini masih dimungkinkan. Meskipun
begitu, tampaknya MMI begitu ‖memaksakan‖ arti kata ج ذها dengan tambahan redaksi
memperjuangkan agama Kami dengan segala penderitaan.
371
M. Quraish Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya, Dilengkapi Asbâbun Nuzûl, Makna dan Tujuan
Surah, dan Pedoman Tajwid (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 397. 372
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 569. 373
M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan
Mencerahkan (Yogyakarta: Ma‘had al-Nabawī Markaz Pusat Majelis Mujahidin, 2013), h. 503.
275
Pandangan Noam Chomsky tentang bahasa dan realitas mental/pikiran, menguatkan
akan hal ini. Bila dikaitkan dengan terjemahan ayat jihâd di atas, maka terdapat
kecenderungan penerjemah menginterpretasikan teks yang cenderung menunjukkan pola
pikir yang dianutnya. Pandangannya tentang bahasa cenderung mentalistik atau kognitivistik
(nazhariyyah „aqliyyah). Menurutnya, realitas mental mendasari perilaku aktual (the mental
reality underlying actual behavior). Setiap manusia memiliki kaidah-kaidah universal secara
natural (terwaris) yang menjadi dasar perilaku bahasa manusia, dan kaidah-kaidah itu cukup
kaya dan patut dipertimbangkan dalam kecepatan proses pembelajaran bahasa. Menurut
Chomsky, bahasa merupakan cermin terbaik akal manusia (languanges are the best mirror of
the human mind). Pola pikir keagamaan MMI yang tergolong fundamentalis, atau M. Thalib
yang dalam hal ini selaku penerjemahnya/penafsirnya mempengaruhi corak pemahamannya
terhadap teks tersebut. Tampak bahwa pembaca terasa digiring untuk memperjuangkan
ideologi MMI, yaitu memperjuangkan agama Allah.
Teori generatif-transformatif yang diletakkan oleh Chomsky adalah teori modern
paling menonjol yang mencerminkan kemampuan akal, membicarakan masalah kebahasaan
dan pemerolehannya, serta hubungannya dengan akal dan pengetahuan manusia. Menurut
teori ini, kapasitas genetik manusia sejak lahir juga memengaruhi kemampuannya untuk
memahami bahasa di sekitar sehingga hasilnya adalah sebuah konstruksi sistem bahasa yang
tertanam dalam diri. Stuktur luar yang muncul dalam terjemahan ayat ج ذها, mencerminkan
struktur dalam pada corak kelompok keagamaan itu. Struktur batin/luar (al-binyah al-
sâthhiyyah, surface structure) ditentukan oleh subkomponen dasar dan kemudian dikirim ke
komponen semantik untuk mendapatkan interpretasi semantiknya. Bila diperlukan
transformasi, struktur batin/dalam (al-binyah al-„âmiqah, deep structure) dikirim ke
subkomponen transformasi untuk mendapatkan struktur lahir. Struktur lahir ini kemudian
276
dikirim ke komponen fonologi untuk mendapatkan interpretasi fonologinya. Setelah
interpretasi semantik dan fonologi diperoleh, barulah kalimat yang diinginkan itu terbentuk.
(4) QS. al-Nahl [16] : ayat 110
)التعبت( ثه ثه ئ س ا بج ز٠ شه ب ذ ث ع ا فهزه ذها ج ثه ج شه ط ا ثه ئ س ذ بث ع
س فه غ ٠٠٦ سح١
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Kemudian Tuhanmu (pelindung) bagi orang
yang berhijrah setelah menderita cobaan,
kemudian mereka berjihad dan bersabar,
sungguh, Tuhanmu setelah itu benar-benar
Maha Pengampun, Maha Penyayang.‖374
―Wahai Muhammad, sungguh Tuhanmu menjadi
pelindung bagi orang-orang yang berhijrah, yang
sebelumnya mengalami penyiksaan orang-orang
kafir, kemudian mereka berjihad dan bersabar.
Sungguh Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang kepada orang-orang yang berhijrah dan
bersabar setelah mengalami penderitaan berat.‖375
Mengacu pada definisi yang diutarakan al-Zarqânī dan al-Zahabī tentang
penerjemahan, maka terjemah Kemenag bercorak harfiyah, sedangkan terjemah M. Thalib
tafsiriyah. Pola terjemahan di atas dimungkinkan bila melihat kitab-kitab tafsir yang menjadi
rujukan MMI. Kendati begitu ada problem-nya juga. ―Wahai Muhammad hadir dalam
terjemahannya yang tidak ditemukan padanannya pada teks aslinya. Terjemahan ayat ini bila
dianalisis secara semantik leksikal dan kontekstual tidak dapat memberikan interpretasi
semantik yang utuh, sebab komponen gramatikal yang muncul tidak membentuk satu-
kesatuan tata bahasa yang lengkap. Dari segi semantik gramatikal, suatu tata bahasa adalah
satu sistem rumus atau kaidah yang menyatakan persamaan atau keterkaitan antara bunyi dan
makna dalam bahasa itu. Sedangkan dari segi daya kreatifitas tata bahasa adalah sebuah alat
374
Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 380. 375
M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h. 333.
277
perancangan yang khusus menerangkan dengan jelas pembentukan kalimat-kalimat
gramatikal (yang jumlahnya tidak terbatas) dan menjelaskan struktur setiap kalimat itu.
sebagai komprasi juga, bandingkan dengan terjemahan Teungku Muhammad Hasbi al-
Shiddīqī, ―Kemudian bahwasanya Tuhanmu memberikan pertolongan kepada orang-orang
yang berhijrah sesudah mereka mengalami cobaan, kemudian mereka berjihad di jalan Allah,
dan bersabar: Tuhan engkau, sesudah engkau melakukan pekerjaan itu, sungguh Maha
Pengampun, dan Maha kekal rahmat-Nya.‖376
(5) QS. al-Furqân [25] : ayat 52
)التعبت( ى ٱ طع ره ف ل ج فش٠ هذ ج١ش اج بد ۦث ٤٣ او
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Maka janganlah engkau taati orang-orang
kafir, dan berjuanglah terhadap mereka
denganya (Al Quran) dengan (semangat)
perjuangan yang besar.‖377
―Wahai Muhammad, karena itu janganlah kamu
mengikuti orang-orang kafir. Berjihadlah kamu
dengan Al-Qur‘an ini untuk melawan orang-orang
kafir dengan semangat jihad yang besar.‖378
Berlandaskan gagasan al-Zarqânī, terjemah Kemenag terlihat harfiyah, sedangkan
MMI/M. Thalib tafsiriyah. Surat ini termasuk surat makkiyyah yang memuat perintah kepada
Rasulullah SAW untuk ber-jihâd terhadap orang-orang kafir dengan hujjah dan bayân
(keterangan) serta menyampaikan Al-Qur‘an. Sebagaimana disebutkan dalam ayat ini, jihâd
tersebut digambarkan ―jihâd yang besar‖ untuk menunjukkan kedudukannya yang tinggi dan
kepentingannya.379
Sebagai pembanding lihat misalnya M. Quraish Shihab dalam karyanya,
376
Teungku Muhammad Hasbi al-Shiddīqī, Al-Bayân, Tafsir Penjelas Al-Quranul Karim (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2002), Juz 1-15, h. 623-624. 377
Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 509. 378
M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h. 447 379
Syaikh Yûsuf al-Qardhâwī, Fiqh al-Jihâd: Dirâsah Muqâranah li Ahkâmihi wa Falsafatihi fi Dhau‟
Al-Qur‟an wa al-Sunnah diterjemahkan Irfan Maulana Hakim dan Arif Munandar Riswanto menjadi Fiqih
278
beliau menerjemahkan ayat di atas berikut ini: ―Maka, janganlah engkau (Nabi Muhammad
saw) mengikuti (hawa nafsu) orang-orang kafir dan berjihadlah menghadapi mereka
dengannya (al-Qur‘an) dengan jihad yang besar.‖ Beliau menerjemahkan ۦ ج بد ا ذ ه ث ج
ج١ش ا dengan berjihadlah menghadapi mereka dengannya (al-Qur‘an) dengan jihad yang و
besar.380
Dorongan untuk melakukan jihâd terlihat jelas dalam penerjemahan MMI. Hal
tersebut amatlah wajar sebab mereka termasuk kalangan Islam fundamentalis yang
teridentifikasi sebagai organisasi yang rajin menyuarakan tegaknya jihâd dan agenda
formalisasi syariat Islam. Kita tahu bahwa salah satu misi mereka ialah berjuang untuk
penegakan syariat Islam secara kâffah, secara efektif, dan memobilisasi dukungan moral
maupun material dari segenap elemen dan komponen umat demi kepentingan syariat Islam di
bumi Indonesia. Hal demikian itu, selaras dengan gagasan Noam Chomsky bahwa bahasa
merefleksikan pikiran setiap pembicaranya/penafsirnya/penerjemahnya. Sebab, bahasa
mencerminkan persoalan sosial budaya, termasuk di dalamnya faktor keagamaan. M. Thalib
yang menjadi Amir MMI kita sama-sama paham bahwa organisasi yang dipimpinnya
termasuk kelompok fundamentalis Islam politis.
(6) QS. Luqmân [31] : ayat 15
)التعبت(ئ ان ج ذ ب ث شن رهش أ ع ه ظ ١ ۦث ب رهطع ف ل ع بحج ه ط ب ٱ ف ه ١ بذ
ع ف رجع ٱ ب شه ج١ ع أ بة ئ ثه ش ئ ىه جعه ه جئهىه ب ف أ ث زه ر ع وه ه ٠٤
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
Jihâd: sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihâd Menurut Al-Qur‟an dan Sunnah (Bandung: Mizan,
2009), h. 75. 380
M. Quraish Shihab, Al-Qur‟an dan Maknanya: Dilengkapi Asbâbun Nuzûl, Makna dan Tujuan
Surah, dan Pedoman Tajwid (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 364.
279
―Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang
engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu,
maka janganlah engkau menaati keduanya,
dan pergaulilah keduanya di dunia dengan
baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali
kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku
tempat kembalimu, maka akan Aku
beritahukan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.‖381
―Jika ibu bapakmu mengajakmu untuk
menyekutukan Aku, padahal kamu tidak punya
sedikit pun bukti adanya tuhan selain Aku,
janganlah kamu taat kepada mereka. Sekalipun
demikian, bergaullah dengan ibu bapakmu di dunia
ini dengan baik. Ikutilah agama orang-orang yang
bertaubat kepada-Ku. Kepada-Kulah kelak kamu
akan dikembalikan. Di akhirat kelak, Aku akan
memberitahukan kepadamu segala perbuatan yang
telah kamu lakukan di dunia.‖382
Merujuk pada gagasan al-Zarqânī, terjemah Kemenag di atas terlihat harfiyah,
sedangkan MMI/M. Thalib tafsiriyah. Dalam terjemahan Kemenag, kata ان ج ذ
diterjemahkan memaksamu, sedangkan MMI mengajakmu. Pola penerjemahan ini boleh saja
dilakukan, hanya perbedaan dalam pilihan kata (diksi).
(7) QS. al-Nahl [16] : ayat 38
)التعبت(أ ل ا ه لل ٱث غ أ ٠ ذ ج ثه ٠ ج ل لله ٱ ع
ده ه ٠ ع ث ١ ذا م ع بح ث ش أ و ى
٠ ع ل بط ٱ ه ٦٥
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Dan mereka bersumpah dengan (nama)
Allah dengan sumpahnya yang sungguh-
sungguh: "Allah tidak akan akan
membangkitkan orang yang mati". Tidak
demikian, bahkan (pasti Allah akan
membangkitnya), sebagai suatu janji yang
benar dari Allah, akan tetapi kebanyakan
manusia tiada mengetahui.‖383
―Orang-orang kafir bersumpah dengan sungguh-
sungguh seraya menyebut nama Allah. Mereka
berkata: ―Allah tidak akan menghidupkan kembali
orang yang telah mati.‖ Bukan begitu, janji Allah
untuk menghidupkan kembali manusia pasti benar.
Akan tetapi, sebagian besar manusia tidak
menyadari.‖384
381
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 582. 382
M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h. 514. 383
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 369. 384
M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 322.
280
Merujuk pada gagasan al-Zarqânī, terjemah Kemenag terlihat harfiyah, sedangkan
MMI/M. Thalib tafsiriyah. Pola penerjemahan ini masih dibolehkan, terletak pada perbedaan
ketepatan rasa bahasa. Mahmud Yunus menerjemahkan: ‖Mereka bersumpah dengan nama
Allah dengan sesungguh-sungguh sumpah, bahwa Allah tidak akan membangkitkan orang
yang mati. Ya janji Allah yang sebenarnya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.‖385
(8) QS. al-‘Ankabût [29] : ayat 6. Ayat ini sama dengan di atas, pengulangan saja.
)التعبت( ب ذ ج ف ذه ٠هج ف ا ۦ غ لل ٱ ئ غ ع ٱ ع ١ ٤
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Dan barangsiapa berjihad, maka
sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya
sendiri. Sungguh, Allah Maha Kaya (tidak
memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.‖386
―Siapa saja yang berjuang menegakkan agama
Allah dan bersabar melawan hawa nafsunya, maka
ia telah berjuang untuk kebaikan dirinya sendiri.
Sungguh Allah sama sekali tidak membutuhkan
amal kebaikan semua manusia.‖387
9) QS. al-Furqân [25] : ayat 52, Ayat ini sama dengan di atas, pengulangan saja.
)التعبت( ى ٱ رهطع ف ل ج فش٠ هذ ج١ش اج بد ۦث ٤٣ او
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Maka janganlah engkau taati orang-orang
kafir, dan berjuanglah terhadap mereka
denganya (Al Quran) dengan (semangat)
perjuangan yang besar.‖388
―Wahai Muhammad, karena itu janganlah kamu
mengikuti orang-orang kafir. Berjihadlah kamu
dengan Al-Qur‘an ini untuk melawan orang-orang
kafir dengan semangat jihad yang besar.‖389
385
Mahmud Yunus, Tafsīr Qur‟an Karīm (Tangerang: Mahmud Yunus Wa Dzurriyyah, 2015), h. 385. 386
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 559. 387
M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 493. 388
Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 509. 389
M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h. 447
281
2) Ayat-Ayat Jihâd termasuk Madaniyyah
Pertama, QS. Al-Baqarah [2] : ayat 190-193
)التعبت(٠٦٦ ع ز ذ٠ ه ٱلل ل ٠هحت ٱ ئ
ا ل ر ع ز ذه ىه زه ٠هم ٱلل ٱز٠ ج١ ا ف ع ل زه
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang
yang memerangi kamu, tetapi jangan
melampaui batas. Sungguh, Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.
(190).
Wahai kaum mukmin, berperanglah kalian untuk
membela Islam melawan orang-orang yang
memerangi kalian. Janganlah kalian melanggar
syari‘at perang. Sungguh Allah tidak menyukai
orang-orang yang melanggar syari‘at perang.
(190).
)التعبت(
ه ل رهم زه م ز ٱ ذ فز خه أ ش ٱ وه جه ١ ثه أ خ ش ح ه أ خ شجه ه ه ١ ثه ث مف زه ح ه ه ٱل زه٠٦٠ ى فش٠ ا ءه ٱ ض ه ج
ز و ه ه ف ٱل زه وه ه ف ا ل ز ف١ وه ٠هم زه ز ح ا ش ح غ جذ ٱ عذ ٱ
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui
mereka, dan usirlah mereka dari mana mereka
telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih
kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah
kamu perangi mereka di Masjidilharam,
kecuali jika mereka memerangi kamu di
tempat itu. Jika mereka memerangi kamu,
maka perangilah mereka. Demikanlah balasan
bagi orang-orang kafir (191).
Wahai kaum mukmin, perangilah musuh-musuh
kalian di mana pun kalian temui mereka di medan
perang dan dalam masa perang. Usirlah musuh-
musuh kalian dari negeri tempat kalian dahulu
diusir. Merintangi kaum muslim melaksanakan
syari‘at Islam itu lebih berat dosanya daripada
membunuh di Masjidil Haram. Akan tetapi kalian
jangan memerangi musuh-musuh kalian di sekitar
Masjidil Haram kecuali mereka memerangi kalian
di tempat itu. Jika musuh-musuh kalian
memerangi kalian di tempat itu, maka perangilah
mereka. Demikian itu adalah hukuman bagi orang-
orang kafir (191). )التعبت(
٠٦٣ س سح١ فه ٱلل غ ا ف ا ٱز ف ا
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
282
Tetapi jika mereka berhenti, maka sungguh,
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang
(192).
Jika musuh-musuh kalian berhenti dari memerangi
kalian di sekitar Masjidil Haram, maka janganlah
kalian perangi mereka di tempat itu. Sungguh
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
kepada semua makhluk-Nya (192). )التعبت(
ل ه زه ز ر ىه ل ح خ فز ٠ ىه ه ٱ ٠ ذ لل ٱ ف ا ذ ف ل ا ز ئل عه ٱ ع ظ ١
٠٦٦
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
"Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada
lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah
semata. Jika mereka berhenti, maka tidak ada
(lagi) permusuhan, kecuali terhadap orang-
orang zalim. (193)."390
"Wahai kaum mukmin, perangilah musuh-musuh
kalian sampai rintangan terhadap pelaksanaan
syari‘at Islam lenyap, dan manusia mengikuti
agamanya semata-mata karena taat kepada Allah.
Jika musuh-musuh kalian mau berhenti dari
merintangi pelaksanaan syari‘at Islam, maka
antara kalian dengan mereka tidak ada alasan
untuk bermusuhan. Bermusuhan dibolehkan hanya
terhadap orang-orang yang melakukan gangguan
pelaksanaan syari‘at."391
Ayat ini termasuk yang dikritik keras MMI atas penerjemahan Al-Qur‘an Kemenag
sebab dapat menimbulkan pemahaman yang sensitif di kalangan umat Islam Indonesia.
Penerjemahan ayat Kemenag di atas tampak harfiyah. Di sisi lain, MMI menerjemahkannya
secara tafsiriyah. Perbedaan yang cukup menonjol begitu terlihat di dalamnya. Penerjemahan
Kemenag lebih praktis dan insya Allah telah sesuai dengan teknik/prosedur penerjemahan Al-
Qur‘an karena selaras dengan redaksi ayat/nash Al-Qur‟an. Karena ini soal ranah terjemah,
390
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 36-37.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di Bab I, bahwa Al-Qur‟an dan Terjemahnya yang sedang dikaji ini
merupakan Edisi 2002, namun diadakan lagi oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Direktorat
Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama RI, sebanyak 400.000 eksemplar. Terbitan
Edisi tahun 2002 ini meminimalisir bagian mukadimah dan footnote (catatan kaki). Kemudian dari segi format,
naskah Al-Qur‟an dan Terjemahnya Departemen Agama (kini: Kementerian Agama) yang lama tahun 1990
bentuknya sangat tebal, yaitu 1294 halaman dengan footnote 1610. Dengan demikian, format edisi tahun 2002
lebih tipis dan praktis untuk mudah dibawa, dengan 924 halaman (berkurang 370 halaman) dan dengan 930
catatan kaki (berkurang 680) yang telah direvisi dan disempurnakan dari edisi sebelumnya dan terbuka pula
untuk penyempurnaan edisi-edisi selanjutnya dalam Kata Pengantar Ketua LPMA, h. vi. 391
M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan
Mencerahkan (Ma‘had al-Nabawī Markaz Pusat Majelis Mujahidin, 2013), h. 35-36. Hak penerbitan dan
publikasi pada Yayasan Ahlu Shuffah, Yogyakarta–Indonesia.
283
maka seperti itulah terjemahannya. Namun, terjemahan MMI agak melebar dari teknik
penerjemahan dan tata bahasa Indonesia serta bias dari penafsiran ulama seperti dalam Tafsīr
al-Jalâlain dan Tafsīr Munīr392
Marâh Labīd Syaikh Nawawi.
Ketiga ayat tersebut turun di Madinah. Ayat 191 surat al-Baqarah di atas tidak dapat
dipisahkan dari ayat 190 surat al-Baqarah karena kata ganti orang hum (mereka) yang ada
dalam surat al-Baqarah 191 kembali/tertuju/mengarah kepada orang-orang yang memerangi
kamu (orang Islam). Maka, konteks kalimat (siyâq al-kalimat) pada ayat 190 dan 191 adalah
dalam suasana/konteks perang dan kaum muslimin dilarang memulai serangan kepada
nonmuslim, akan tetapi jika kaum nonmuslim dalam realitasnya lebih dahulu memerangi
umat Islam maka wajib untuk membalasnya (hanya kepada yang sudah jelas memerangi),
bila di sana ada anak-anak, wanita-wanita, atau orang tua yang sudah renta, para rahib, dan
orang yang beribadah dalam rumah peribadatan agama lain,393
maka tidak wajib
memeranginya alias jangan melampaui batas, dengan demikian pemahamannya menjadi:
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu dan janganlah kamu
melanggar batas (190) dan bunuhlah orang-orang yang memerangi kamu itu di mana saja
kamu menjumpai mereka (191)”.394
392
Dalam kitab Tafsīr al-Jalâlain misalnya, kata fitnah dialihbahasakan menjadi syirik. Pengungkapan
perjuangan kepada syariat perang dan syariat Islam pun tidak ditemukan. Lihat al-Mahallī dan al-Suyûthī, Tafsīr
al-Qur‟an al-„Azhīm (Indonesia: Dâr Ihyâ al-Kutub al‘Arabiyyah, t.t), h. 28. Begitu pula yang penulis dapati
dalam karya Syaikh Nawawī, bahwa terjemahan ayat تنة أشد من القتلوالف ditafsirkan al-mihnah نة اليت يفتب هبا احمل شركهم با اهلل وعبادة األوثان :قيل :yaitu ujian, pendapat lain mengatakan اإلنسان، كا اإلخراج من الوطن أصعب من القتل
وصدىم لكم عنو أشر من قتلكم إياىم فيو يف الرم syirik kepada Allah misalnya menyembah patung-patung di
masjidil haram, bukan dalam arti menegakkan syariat Islam. Syaikh Muhammad Nawawi, al-Tafsīr al-Munīr li
Ma‟âlim al-Tanzīl al-Musaama bi Marâh Labīd Tafsīr Nawawī (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), juz ke-1, h. 56-57. 393
Keterangan bisa ditemukan dalam Tafsīr al-Qurtubī karya Imam al-Qurtubī (Kairo: Dar al-Sya‘ab,
2181), h. 723-724. 394
Menurut Ibnu ‗Abbas, ayat di atas dan tiga ayat sesudahnya (Al-Baqarah 191-193) diturunkan pada
perjanjian Hudaibiyah. Pada saat itu, Rasulullah SAW dan para sahabat dihalang-halangi atau dicegah sehingga
tidak bisa beribadah ke kota Mekkah. Kesimpulan pokok dari perjanjian Hudaibiyah itu di antaranya adalah
supaya kaum Muslimin mengerjakan umrah pada tahun berikutnya. Karena itu, Nabi beserta para sahabat telah
menyiapkan segala sesuatu untuk bisa umrah pada waktu yang telah disepakati. Mereka khawatir jika kaum
kafir Quraisy tidak menepati janji tersebut, bahkan kalau sampai menghalangi dan memerangi Rasul, dan
sahabat untuk masuk Masjidil Haram, padahal para sahabat juga menghindari peperangan di bulan mulia (al-
Asyhur al-Hurum). Maka, turunlah ayat itu, (QS. al-Baqarah 190-193), sebagai legitimasi kebolehan berperang
284
Dalam terjemah Kemenag, kata ه ه ٱل زه dialihbahasakan menjadi bunuhlah mereka,
sedangkan M. Thalib dengan perangilah musuh-musuh mereka. Hanya perbedaan diksi
(variasi penerjemahan) saja. Selain itu, kata fitnah dalam terjemahan Kemenag secara
harfiyah meskipun diberi footnote, yaitu menimbulkan kekacauan, seperti mengusir sahabat
dari kampong halamannya, merampas harta dan menyakiti atau mengganggu kebebasan
seseorang beragama. Lain halnya dengan terjemahan M. Thalib/MMI, kata fitnah
diterjemahkan menjadi merintangi kaum muslim melaksanakan syari‘at Islam. Sebagai
pembanding lihat misalnya M. Quraish Shihab dalam menerjemahkan ayat 191, yaitu: ―Dan
bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka
telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih keras dari pembunuhan, dan janganlah
kamu memerangi mereka di Mesjid al-Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di
tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka.
Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir.‖ Dalam menerjemahkan kata fitnah, M.
Quraish Shihab menerjemahkan sedemikian adanya.395
Sebagai perbandingan kata fitnah, dalam Tafsīr al-Qurtubī, dijelaskan:
ا قولو تعال: والفتنة أشد من القتل = أي الفتنة اليت محلوكم عليها وراموا رجوعكم هب -الثانية
إل الكفر أشد من القتل. قال ماىد : أي من أن يقتل املؤمن، فالقتل أخف عليو من الفتنة. وقال
وىذا دليل على أن غته : أي شركهم باهلل وكفرىم بو أعظم جرما وأشد من القتل الذي عتوكم بو.
يوم من رجب اآلية نزلت يف شأن عمرو بن الضرمي حت قتلو واقد بن عبد اهلل التميمي يف آخر
di bulan terhormat, dan sebatas untuk mempertahankan diri saja. Lihat Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wâhidī
al-Naisabûri, Asbâb al-Nuzûl (Jakarta: Dina Berkah Utama, t.t), h. 33-34. 395
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an (Jakarta: Lentera
Hati, 2004), Vol. 1, kelompok XV, h. 420.
285
الشهر الرام، حسب ما ىو مذكور يف سرية عبد اهلل ابن جحش على ما يأتى بيانو، قالو الطربي
396وغته.Makna terjemahan ayat M.Thalib/MMI sangat jauh berbeda dengan redaksi ayat asal.
Pada analisis berikutnya, ―ideologi‖ penerjemahan yang dimunculkan MMI begitu jelas
terbaca, karena pada redaksi ayat bahasa sumbernya tidak tercantum frasa syariat perang dan
syariat Islam. Penerjemahannya pun cenderung kasar, radikal, dan terkesan ekstrim. Sebab
ayat ini berbicara soal perang yang tidak boleh diterapkan pada kondisi damai. Ayat tersebut
tidak bisa dilepaskan dari ayat sebelum dan setelahnya. Pemaknaan tersebut senada dengan
konsep Noam Chomsky bahwa bahasa memengaruhi penuturnya, bahasa merupakan
ungkapan dan respon kejiwaan penulis/penutur/penerjemah atas rangsangan lingkungan yang
melatarinya, seperti yang telah dipahami sebuah penerjemahan tergantung dari sosio-historis-
kultural, bahkan unsur politik juga melingkupi si penerjemahnya.
Begitu juga yang berlaku pada kasuistik term syariat Islam, di mana MMI sebagai
kelompok Islam fundamentalis yang sangat vokal dalam menggembor-gemborkan
konsep/agenda formalisasi syariat Islam di Indonesia menghadirkannya dalam bentuk
terjemahan mereka. Pembaca terjemah serasa ―diarahkan‖ atau ―digiring‖ untuk mendukung
garis perjuangan/visi dan misi mereka. Sebab, jika sudah memasuki wilayah/domain
penafsiran, faktor subjektivitas dari masing-masing penafsir, dalam konteks ini tentu saja
penerjemah, tentu akan menjiwai pandangannya terhadap sebuah ayat atau hadis. Dari sini,
MMI tampak overlapping dari pola penerjemahan Al-Qur‘an yang baku, karenanya karya
mereka lebih tepat sebagai produk tafsir, bukan terjemah.
396
Al-Qurtubī, Tafsīr al-Qurtubī (Kairo: Dar al-Sya‘ab, 2181), h. 725.
286
Kedua, QS. al-Shâf [61] : ayat 11
)التعبت( رهإ ه لل ٱث عه س رهج ۦ ف ذه ج١ لل ٱ ع ثأ ىه فهغىه أ ر ١ ىه ش خ ىه ئ زه وه
ر ع ه ٠٠
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
‖(Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan
harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui.‖397
‖Perdagangan itu adalah kalian beriman kepada
Allah, beriman kepada Rasul-Nya dan kalian
berjihad untuk membela Islam dengan harta kalian
dan jiwa kalian. Keimanan dan jihad itu adalah
lebih baik bagi kalian, jika kalian benar-benar
menyadari beratnya adzab akhirat.‖398
Pada kalimat terjemahan di atas, Kemenag menerjemahkan secara harfiyah, namun
tidak bagi MMI, mereka menerjemahkanya secara tafsiriyah, meskipun agak cenderung
berdasarkan tafsiran ideologi mereka. Bila merujuk pada kitab tafsir seperti Tafsīr al-Jalâlain
karya Imâm Jalâluddin al-Suyûthī dan al-Mahallī399
tidak ditemukan ungkapan membela
Islam dalam redaksi ayat tersebut. Dalam Tafsīr Nawawī disebutkan, yang dimaksud dengan
ٱلل ج١ ف ع ذه رهج adalah dalam ketaatan kepada-Nya.400
Karena karya M. Thalib ini
bercorak agak ke domain tafsir, makna jihâd diinterpretasikan dengan penambahan membela
Islam. Secara analisa kebahasaan/linguistik, sedikit agak membingungkan meskipun
pembaca/target audien lebih cepat memahami. Rangkaian terjemahan M. Thalib/MMI ini
cukup eksklusif dengan mengarahkan pembacanya untuk penegakan syariat Islam. Dari sini,
MMI pun bisa dianalisis secara harfiyah, kata amwâlikum dan anfusikum diterjemahkan apa
adanya. Tampak ada inkonsistensi dalam pola penerjemahannya, yaitu terjemah dengan harta
397
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 806. 398
M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 711. 399
Lihat al-Mahallī dan al-Suyûthī, Tafsīr al-Qur‟an al-„Azhīm (Jakarta: Dâr Ihya al-Kutub
al‘Arabiyyah, tt), h, 457.
400 Syaikh Muhammad Nawawi, al-Tafsīr al-Munīr li Ma‟âlim al-Tanzīl al-Musaama bi Marâh Labīd
Tafsīr Nawawī (Beirût: Dâr al-Fikr, 1994), juz ke-2, h. 56-57.
287
kalian dan jiwa kalian. Ada redundansi di sini, pengulangan yang tak perlu pada pronomina
kalian. Dibilang harfiyah pada khusus ayat ini, karena diterjemahkan apa adanya, sedangkan
terjemah Kemenag malah tampak tafsiriyah. MMI terlihat ada instabilitas dalam pola
penerjemahannya.
Berkaitan dengan persoalan makna dalam terjemahan di atas, hal itu seirama dengan
teori Noam Chomsky yang terkenal dengan teori gramatika generatif-transformatifnya,
pandangannya tentang bahasa cenderung mentalistik atau kognivistik (nazhariyyah
„aqliyyah). Menurutnya, realitas mental mendasari perilaku aktual. Setiap manusia memiliki
kaidah-kaidah universal secara natural (terwaris) yang menjadi dasar perilaku bahasa
manusia. Dalam pandangan Chomsky, bahasa merupakan cermin akal manusia. Bahasa
merupakan proses mental yang kompleks. Konsepnya ini mengantarkannya kepada
pengetahuan mengenai proses produksi bahasa. Oleh karena itu, ia menaruh perhatian
terhadap aspek psikologi bahasa yang difokuskan pada pemerolehan bahasa (language
acquisition) yang dikenal dengan teori nativistik. Teori ini juga mengatakan bahwa makna
suatu ungkapan ialah rangsangan (matsīr) yang menimbulkannya, atau respon (istijâb) yang
ditimbulkannya, atau kombinasi dari rangsangan dan respon pada waktu pengungkapan
kalimat itu. Dengan teori ini, berarti lingkungan memiliki andil besar dalam pembentukan
bahasa dan makna. Terjemahan M. Thalib tersebut tidak lain mencerminkan garis
pikirannya/organisasi yang diketuainya yang populer sebagai kelompok garis Islam radikal-
fundamentalis politis. Maka, secara naluriah hasil terjemahannya seperti yang tampak pada
kasuistik di atas.
288
Ketiga, QS. al-Anfâl [8] : ayat 39
)التعبت(ل ه زه ز ل ح خ فز ر ىه ٠ ىه ه ٱ ٠ ه ذ ۥوه لل ٱ ف ا ا ز ب لل ٱ ف ا ٠ ع ث ه
٦٦ ث ظ١ش
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
‖Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada
lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah
semata. Jika mereka berhenti (dari kekafiran),
maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa
yang mereka kerjakan.‖401
‖Wahai Muhammad, perangilah kaum musyrik sampai tidak
ada lagi kemusyrikan dan penyembahan berhala di
Makkah, dan orang-orang Makkah mengikuti Islam
semata-mata karena Allah. Jika kaum musyrik
tidak mau berhenti dari perbuatan syirik mereka,
maka Allah Maha Mengetahui apa saja yang
mereka lakukan.‖402
Berdasarkan teori al-Zarqânī, terjemah Kemenag tampak harfiyah dan MMI
tafsiriyah. Kata ه ل زه dialihbahasakan dengan perangilah mereka, sedangkan M. Thalib
menerjemahkannya dengan perangilah kaum musyrik. Ayat di atas masih berhubungan
dengan surat al-Baqarah ayat 190 tentang izin dan perintah berperang. Ia juga berhubungan
denga ayat sebelumnya berisikan tentang masih dibukanya pintu taubat bagi kafir Quraisy
yang telah melakukan pembangkangan dan berupaya sekuat tenaga untuk mencegah
kebebasan beragama sahabat Nabi Muhammad SAW. Ayat di atas berisikan perintah untuk
memerangi mereka. Tujuan utama dari perintah tersebut adalah untuk menghindari fitnah.
Secara etimologi, kata fitnah berarti membakar logam emas dengan cara memasukkannya ke
dalam api untuk diketahui kemurniannya. Fitnah juga dipakai dengan memasukkan manusia
ke dalam api neraka. Fitnah yang dimaksud pada ayat di atas adalah fitnah sebagai tindakan
kezaliman dan di luar dari kepatutan sehingga mengancam kaum Muslimin. Menurut
penjelasan Ibnu Umar ra., mengenai ayat di atas, bahwa pada zaman Nabi SAW jumlah umat
401
Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 245. 402
M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 213.
289
Islam masih sedikit. Ketika seseorang baru masuk Islam, ia difitnah baik dengan cara
membunuhnya, maupun mengikatnya dengan tali. Namun, ketika umat Islam telah banyak
kuantitasnya, fitnah tersebut tidak ada lagi. Terkait ini, Ibnu Hajar al-‘Asqallânī dalam
Syarah Sahih al-Bukhârī memaparkan sebuah hadis yang berkenaan dengan ayat di atas:
ل ) ه زه ز ل ح إذ كان ابن عمر: قد فعلنا على عهد رسول اهلل، قال ( خ ز ف ر ىه
، اإلسالم قليال، فكان الرجل يفب يف دينو: إما يقتلوه وإما يوثقوه، حىت كثر اإلسالم، فلم تكن فتنة
403فلما رأى أنو ال يوافقو فيما يريد.
Selain untuk menghilangkan fitnah, dalam pandangan M. Quraish Shihab,
sebagaimana dikutip Nasaruddin Umar, tujuan utama perintah perang pada ayat tersebut
adalah untuk menegakkan din (agama) sepenuhnya bagi Allah SWT. Kata din dalam ayat ini
dapat dimaknai sebagai agama Allah SWT yang salah satu bentuknya adalah menegakkan
dan mendukung kebebasan beragama. Kepatuhan kepada Allah SWT, adalah melaksanakan
apa yang diperintahkan-Nya. Adapun memaksakan orang lain memilih agama tertentu,
apalagi memeranginya untuk tujuan tersebut sama sekali bukan cermin kepatuhan kepada
Allah SWT. Tidak tepat kiranya tuduhan yang mengatakan bahwa ayat Al-Qur‘an menyuruh
umatnya menyebarkan agama dengan perang.404
Sebagai pembanding terjemahan ayat ini apa
yang dilakukan oleh ulama tafsir Indonesia, Mahmud Yunus menerjemahkan dengan:
‖Perangilah mereka itu, hingga tak ada fitnah dan adalah agama sekaliannya bagi Allah. Jika
mereka berhenti, sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang mereka kerjakan.‖ kata
fitnah dialihbahasakan seperti adanya saja. Meskipun begitu, beliau memberikan keterangan
di catatan kaki (footnote) yaitu hendaklah perangi orang-orang kafir itu sehingga habis fitnah.
403
Ibnu Hajar al-‗Asqallânī, Fath al-Bârī bi Syarhi Sahīh al-Bukhârī (Kairo: Dâr al-Hadīs, 2004), juz
ke-8, h, 360. 404
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media
Komputindo Gramedia, 2014), h. 132.
290
Arti fitnah itu ialah ancaman dan bermacam-macam siksaan yang diderita oleh seseorang,
karena ia memeluk agama Islam.405
Keempat, QS. al-Taubah [9] : ayat 5
)التعبت( ذها ه ٱل عه ه شه ٱح ظه زهه خه ه ه ذر ج ١ ثه ح ش شو١ ه ا ٱ ه ه ف ٱل زه شه حه خ ٱل ش هشه ٱ ا ٱغ ف ار
٤ س سح١ فه ٱلل غ ئ ه ج١ ا ع ح ف خ ا ٱضو ه ار ء ح ا ٱظ ه أ ل ب ا ذ ف ا ر بثه ش ط وه
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
‖Apabila telah habis bulan-bulan haram,
maka perangilah orang-orang musyrik di
mana saja kamu temui, tangkaplah dan
kepunglah mereka, dan awasilah di tempat
pengintaian. Jika mereka bertobat dan
melaksanakan salat serta menunaikan zakat,
maka berilah kebebasan kepada mereka.
Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.‖406
‖Wahai kaum mukmin, apabila bulan-bulan haram
telah berlalu, maka umumkanlah perang kepada
kaum musyrik di mana saja kalian temui mereka
di Tanah Haram. Perangilah mereka, kepunglah
mereka, kuasailah mereka, dan awasilah mereka
dari segenap penjuru. Jika kaum musyrik
bertaubat, lalu melakukan shalat dan menunaikan
zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
kepada semua makhluk-Nya.‖407
Apabila ayat ini diinterpretasi secara parsial/skriptual, tidak holistik, dan dilepaskan
dari kaidah asbâb nuzûl al-ayat (sisi historis/latar belakang turunnya ayat), maka siapa saja
yang membacanya, apalagi nonmuslim, tentu akan sangat membahayakan. Akan tercipta
bahwa agama Islam mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan tindakan anarkis dan
destruktif. Pemandangan itu bisa kita lihat dalam praktek keberagaman masyarakat kekinian
di dunia, terutama di Barat (baca: Amerika dan sekutu-sekutunya), selalu saja mereka
menyematkan agama Islam yang luhur ini sebagai agama yang membawa kekerasan, kasar,
penyebar teror, dan sebagainya yang merendahkan, padahal sejatinya ayat tersebut berbicara
405
Mahmud Yunus, Tafsir Qur‟an Karim Prof. Dr. H. Mahmud Yunus (Jakarta: Mahmud Yunus wa
Dzurriyyah, 2015), h. 252. 406
Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 254. 407
M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 220.
291
pada kondisi peperangan. Untuk aplikasi ayat-ayat model seperti itu tidak boleh digunakan
pada suasana damai.
Al-Suyûthī juga tidak menyebutkan asbâb al-nuzûl ayat ini. Namun, dari rangkaian
ayat sebelumnya diperoleh informasi bahwa ayat ini berkenaan dengan kondisi interaksi
kaum Muslimin dengan kaum musyrikin. Ayat ini menekankan perihal sikap kaum Muslimin
setelah melewati bulan-bulan yang dihormati (al-Asyhur al-Hurum). Dalam konteks ayat ini,
kata al-musyrikīn menurut Sayyid Thantawi sebagaimana yang dirujuk Nasaruddin Umar
diartikan sebagai orang-orang khianat yang menghentikan tenggat waktu damai bagi mereka.
Sedangkan bagi mereka yang tidak khianat dan tetap mematuhi perjanjian damai dalam
tenggang waktu tertentu di antara mereka, maka tidak termasuk cakupan kata tersebut.
Adapun perintah ا ه dalam ayat ini bukanlah perintah wajib, tetapi hanya ف ٱل زه
semacam izin untuk memerangi. Hal ini sama dengan perintah menangkap dan menawan
mereka. Perintah tersebut bertujuan membebaskan wilayah Mekkah dan sekitarnya atau
paling tidak Jazirah Arab dari pengaruh kemusyrikan. Wahbah al-Zuhayli sebagaimana yang
dikutip Nasaruddin Umar, menjelaskan bahwa perintah qitâl pada ayat ini adalah khusus pada
kaum musyrikin Arab, bukan selainnya. Menurut Ibnu Katsir, perintah memerangi kaum
musyrikin pada konteks ayat ini bersifat temporer, yaitu hanya berlaku pada tahun itu saja,
karena menurut pendapat mayoritas bahwa dilarang berperang di Masjidil haram.
Setelah Nabi SAW wafat, maka Abu Bakar selaku khalifah menggunakan ayat di
atas sebagai dalil untuk memerangi orang murtad. Di awal kepemimpinannya, banyak orang
muslim yang lemah imannya beralih ke agama semula. Mereka beranggapan bahwa Nabi
Muhammad SAW telah wafat dan risalah kenabiannya telah terputus. Selain itu, banyak
kaum Muslimin yang enggan membayar zakat di mana ketika itu zakat dipungut oleh Negara.
Untuk menyelesaikan permasalahan ini, Khalifah Abu Bakar bermusyarawah dengan Umar,
292
kemudian mereka memutuskan untuk memerangi mereka.408
Dalam Tafsir Ibnu Katsir
dijelaskan makna ayat ش شو١ ه ا ٱ ه ه ف ٱل زه شه حه خ ٱل ش هشه ٱ ا ٱغ yaitu ف ار 409
ع١ ىفبس أ اىزبة
Kelima, QS. al-Hajj [22] : ayat 78
)التعبت(ج ك لل ٱ ف ذها ۦ ج بد ح ز ج ى ج ٱ ه ب ىه ع ١ ج ع ٱ ف ىه ٠ ذ ج ش خ ح ش ئث أ ث١ىه ١
ى ه ه ع غ ٱ ىه ه ١ ف ه ل ج ا ز ١ذا شعهيه ٱ ١ ىه ١ ش ع ا ىه ر ىهه ا ء شه ذ ع
ا بط ٱ ه ٱ ف أ ل١ ا ح ظ اره ء ٱ ا ع ٱ ح ضو ه لل ٱث ز ظ ه ى ع ىه ٱ ف ع ظ١شه ٱ
٤٥
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan
jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan
kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah)
agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah)
telah menamakan kamu orang-orang muslim
sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-
Qur‘an) ini, supaya Rasul (Muhammad) itu
menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu
semua menjadi saksi atas segenap manusia.
Maka laksanakanlah salat dan tunaikanlah
zakat dan berpegangteguhlah kepada Allah.
Dialah Pelindungmu; Dia sebaik-baik
pelindung dan sebaik-baik penolong.‖410
‖Wahai orang-orang mukmin, berjihadlah kalian
dengan sungguh-sungguh untuk membela Islam.
Allah akan menguji kalian. Allah tidak membuat
syari‘at agama yang memberatkan kalian. Syari‘at
agama kalian itu juga syari‘at Ibrahim, nenek
moyang kalian. Sejak semula Allah menamakan
kalian muslimin di dalam kitab-kitab suci terdahulu
dan dalam Al-Qur‘an ini. Agar Muhammad
menjadi rasul yang kelak menjadi saksi bagi kalian,
dan kalian menjadi saksi bagi umat para rasul
sebelumnya. Karena itu, laksanakanlah shalat,
keluarkan zakat dan berpegang teguhlah pada
Islam, agama Allah. Allah adalah Tuhan yang
menjadi penguasa kalian. Allah adalah sebaik-baik
penguasa dan sebaik-baik pemberi pertolongan.‖411
Berdasarkan konsep al-Zarqâī tentang penerjemahan, maka TerjemahnKemenag
harfiyah sedangkan M. Thalib tafsiriyah. Kemenag menerjemahkan ك ذها ف ٱلل ح ج
,dengan ―Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya ج بدۦ
sedangkan MMI dengan ‖Wahai orang-orang mukmin, berjihadlah kalian dengan sungguh-
sungguh untuk membela Islam. Allah akan menguji kalian. Terjemahan M. Thalib
408
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis (Jakarta: Elex Media
Komputindo Gramedia, 2014), h. 134. 409
Ibnu Katsir Abi al-Fida Ismail bin Katsir al-Dimasyī, Tafsir Ibnu Katsir (Dar Ihya al-Kutub al-
‗Arabiyyah: Isa al-Halaby wa Syurakauhu, t.t), h. 371. 410
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 474. 411
M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 415
293
dipengaruhi oleh struktur bahasa dan sesuai dengan konsep pikiran/benaknya. Pembaca terasa
digiring pada visi-misi dan garis perjuangan MMI. Dari penerjemahan ayat sebelumnya,
mereka kerap membawa alam pikiran pembaca/target audien tarjamah tafsiriyah untuk selalu
membela Islam, meninggikan formalisasi syariat Islam, dan syariat perang, misalnya. Hal ini
tidak bisa dipungkiri bahwa ideologi MMI dan pelabelan kelompok Islam garis keras mereka
yang rigid dan fundamentalis dan mendukung basis spirit/perjuangan mereka. Konseptual
semantik mentalisme Noam Chomsky bisa digunakan untuk menganalisis penerjemahan ayat
ini, bahwa bahasa merefleksikan/mengekspresikan pikiran penuturnya, begitu juga yang
diaplikasikan pada sebuah penafsiran/penerjemahan yang memang acap kali dilatarbelakangi
oleh sisi back ground knowledege penerjemahnya, baik sosio-historis-kulturalnya. Frasa
‖syariat agama‖ muncul dalam terjemahan MMI, jelas memberikan bahwa bahasa merupakan
cerminan pola pikir dan pola rasa yang tersematkan pada pola keagamaan fundamentalisme
politis tersebut, yang terkesan mengarahkan pembacanya untuk men-support garis perjuangan
mereka. Frasa yang digunakan tidak lazim dalam kalimat terjemahan dan mengundang
kerancuan makna sehingga terjemahan menjadi tidak efektif. Ini juga selaras dengan
konsep/teori situasi dan kontekstualisasi (نظرية سياقية), menurut teori ini cara untuk
memahami makna bukan dengan melihat, mendeskripsikan atau mendefinisikan acuan/benda.
Akan tetapi, makna dipahami melalui konteks kebahasaan (siyâq lughawī) yang digunakan
dan konteks situasi-kondisi (siyâq hâl-mawqif) pada saat ungkapan itu terjadi. Oleh karena
itu, studi tentang makna perlu menganalisis konteks kebahasaan dan konteks situasi-kondisi
secara sekaligus, tepat, dan cermat.
294
Keenam, QS. al-Tahrīm [66] : ayat 9
)التعبت( ٱ أ ٠ ب٠ فبس ٱ ذ ج ج ٱ ىه ه ١ هع غ ٱ فم١ ع أ ى ه ه ثئ ج ظ١شه ٱ ظ ٦
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Wahai Nabi! Perangilah orang-orang kafir
dan orang-orang munafik dan bersikap
keraslah terhadap mereka. Tempat mereka
adalah Jahanam dan itulah seburuk-buruk
tempat kembali.‖412
―Wahai Nabi, berjuanglah kamu melawan orang-
orang kafir yang melanggar perjanjian damai
dengan senjata, dan melawan orang-orang munafik
dengan hujah dan ancaman. Lakukanlah tindakan
keras kepada kaum kafir dan munafik. Tempat
tinggal kaum kafir dan munafik kelak adalah
neraka Jahanam, seburuk-buruk tempat tinggal.‖413
Terjemah Kemenag terlihat harfiyah, sedangkan MMI/M. Thalib dengan metode
tafsiriyah. Kata فبس ىه ذ ٱ dialihbahasakan dengan berjuang melawan orang kafir yang ج
melanggar perjanjian damai dengan pedang. Terjemahan pada contoh ayat ini membedakan
perlakuan terhadap kaum munafik dengan kaum kafir. Untuk kaum munafik, tidak
dibenarkan menggunakan kekuatan senjata, tetapi hanya menggunakan argumentasi dan
hujjah saja, alias mereka tidak boleh diperangi. Berbeda dengan kaum kafir yang menyatakan
kekafirannya secara terang-terangan, yang dibolehkan menghadapinya dengan kekuatan
senjata/perang (silâh). Dari sini jelas bahwa jihâd tidak selamanya bermakna qitâl.
Seandainya jihâd yang menjadi (stressing) ditekankan pada ayat itu adalah qitâl, tentu hal
tersebut sudah dilakukan oleh Rasulullah sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah Allah
SWT. Akan tetapi, beliau tidak memerangi orang-orang munafik.414
M. Thalib menyuguhkan
terjemahannya dengan memasukkan ideologi garis perjuangan mereka. Hal demikian sangat
412
Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 820. 413
M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 723. 414
Syaikh Yûsuf al-Qardhâwī, Fiqh al-Jihâd: Dirâsah Muqâranah li Ahkâmihi wa Falsafatihi fi Dhau‟
Al-Qur‟an wa al-Sunnah diterjemahkan Irfan Maulana Hakim dan Arif Munandar Riswanto menjadi Fiqih
Jihâd: sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihâd Menurut Al-Qur‟an dan Sunnah (Bandung: Mizan,
2009), h. 76.
295
wajar, sebab seorang penafsir atau penerjemah akan terkungkung dengan tingkat
keterpahaman, lingkungan, latar belakang keilmuan yang melatarinya. Penerjemahan ayat ini
ditakutkan dapat mendistorsi maksud ayat jika tidak mempertimbangkan aspek pemaknaan
leksikal, kemudian penafsiran ulama sebelumnya, serta latar sosio-historis-kulturalnya.
Redaksi terjemahan tafsiriyah ada kecenderungan diarahkan untuk mendukung perjuangan
agenda organisasi yang tersemat pada penerjemahnya. Dan ini seiring/sesuai dengan konsep
Noam Chomsky.
Kita harus memahami Islam secara komprehensif, tidak parsial. Sebagaimana yang
telah penulis jelaskan di awal, bahwa ada sejumlah ayat Al-Qur‘an dan hadis Nabi yang
berbicara tentang perang dan nada yang mengulas tentang kondisi damai. Kesemuanya harus
bisa diterapkan secara proporsional dan tepat. Pada kasus ayat ini, bila kita
mengaplikasikannya di dalam kehidupan masyarakat dalam situasi damai, maka kita akan
bisa saja menjadi jihadis-teroris. Sebab ayat tersebut berbicara peperangan dan mesti
diterapkan pada kondisi perang. Kita harus paham bahwa Islam tidak hanya terdiri dari ayat
ini. bahkan banyak ayat lain yang bercerita tentang perdamaian antar sesama umat manusia.
Mungkin bila ada orang Islam/kaum muslimin yang menggunakan ayat perang ini untuk
kondisi damai, itu berarti merupakan suatu kesalahan. Untuk memahami Islam, kita mesti
melihatnya dari Rasulullah SAW, bukan dari seorang muslim yang mungki keliru dalam
memahami ajaran Islam. Mungkin saja salah seorang muslim di antara kita membuat
kesalahan dalam menginterpretasikan ajaran Islam. Namun, kita tidak boleh menggeneralisir
bahwa Islam seperti itu. Itu hanya kasus personal yang keliru, bukan ajaran Islam yang
sebenarnya.415
Dikarenakan karya MMI ini terjemah tafsiriyah, hasil terjemahannya sama dengan
tafsir al-Thabari, seperti berikut ini:
415
Ali Mustafa Yaqub, Islam between War and Peace (Jakarta: Pustaka Darus Sunnah, 2009), h. 58.
296
ٱ أ ٠ ب٠ فبس ٱ ذ ج ج ٱ ىه ه ١ هع غ ٱ فم١ ع أ ى ه ه ثئ ج ظ١شه ٱ ظ ٦
ٱ أ ٠ ب٠ ) ع ع١ هللا ط حذ ج١ روش رعب ٠مي فبس ٱ ذ ج ج ٱ ) ثبغ١ (ىه ه ( فم١
ٱ أ ٠ ب٠ ل لزبدح ع ،عع١ذ ثب: لبي ،ثشش حذثب ب ره ف ٠مي لزبدح وب .اغب ثبع١ذ ذ ج ج
فبس ٱ ٱ ىه ه ٠غع ع اب فم١ . ع١ اظلح اغل أ ٠جبذ اىفبس ثبغ١ ج١ هللا أش: لبي فم١
١ هع غ ٱ . ثبحذد ع أ . هللا راد ف ع١ اشذد: ٠مي ى ه ه ظ١ش ج ىث/ ٠مي ج
ثئ . ج بس ئ١ ٠ظ١ش از ظ١شه ٱ ظ ثئ : لبي ٦ .ج ئ١ ٠ظ١ش از ػع ٱ ظ 416
Ketujuh, QS. al-Taubah [9] : 20
)التعبت( ٱ ا ز٠ ه ا ا ء شه بج ج ف ذها ج١ لل ٱ ع ثأ فهغ أ ه أ ع خ ظ ج س لل ٱ عذ د
أه ئه
ه ف ب ٱ ه ٣٦ ئضه
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Orang-orang yang beriman dan berhijrah
serta berjihad di jalan Allah, dengan harta dan
jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di
sisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang
memperoleh kemenangan.‖417
―Orang-orang yang beriman, berhijrah, dan
berjihad guna membela Islam dengan harta dan
jiwa mereka, di sisi Allah mereka mendapatkan
derajat yang lebih tinggi daripada orang-orang
yang tidak berhijrah dan berjihad. Mereka itulah
orang-orang yang selamat dari siksa neraka.‖418
Terjemah Kemenag terlihat harfiyah, sedangkan MMI/M. Thalib tafsiriyah. MMI
menerjemahkan kata jihâd dengan membela Islam. Bila kita sepintas membaca terjemahan
ayat ini, seakan-akan Islam terkesan agama yang menyuruh berperang. Padahal, Al-Qur‘an
dan pengalaman Rasulullah SAW menunjukkan bahwa jihâd itu tidak harus selamanya
dengan kekerasan, kekejaman, apalagi sampai menghilangkan jiwa manusia yang tak
berdosa, seperti pengeboman yang sangat memilukan hati itu. Ada sekitar 41 ayat jihâd
seperti telah dijelaskan sebelumnya di awal, namun perintah ber-jihâd itu selalu diawali
416
Ibnu Jarir al-Thobari, Tafsīr al-Thabarī, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wil ay al-Qur‟an (Kairo Mesir:
Syirkah Mustafa al-Halaby wa Awladihi, 1954), h. 169. 417
Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 256. 418
M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, h, 223.
297
dengan perintah hijrah terlebih dahulu dan ini terbukti pada kasus ayat ini, yaitu ا و ر اج ى ا و و ن م ا
ج ذها dan tidak pernah sebaliknyaو ج اى د و ا lalu ا شه بج . Dengan begitu, jihâd sejatinya
bukan untuk menghilangkan nyawa manusia, melainkan menghidupkan orang. Terjemahan
MMI dalam ayat ini cenderung menggiring pembaca kepada agenda perjuangan mereka
yakni penegakan syariat Islam, Islam tampak lebih superioritas dengan dorongan semangat
pembelaan jihâd. Sebagaimana yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, bahwa
karakteristik MMI adalah disiplin menegakan atau menjalankan dakwah serta jihâd, dan
komitmen menyatukan seluruh kekuatan kaum Muslimin di Indonesia untuk berjuang
menegakkan panji-panji syariat Islam dalam seluruh sendi kehidupan. Hal ini tentunya selaras
dengan konsep Noam Chomsky bahwa bahasa merefleksikan pikiran
penuturnya/penafsinya/penerjemahnya. Bahasa merupakan ungkapan dan respon kejiwaan
penulisnya/penuturnya/penerjemahnya atas rangsangan lingkungan yang melingkupinya. M.
Thalib memberi padanan redaksi yang agak meluas dari redaksional bahasa asalnya/teks
aslinya.
Kedelapan, QS. al-Taubah [9] : 73
)التعبت( ٱ أ ٠ ب٠ فبس ٱ ذ ج ج ٱ ىه ه ١ هع غ ٱ فم١ ع أ ى ه ه ثئ ج ظ١شه ٱ ظ ٤٦
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
298
―Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-
orang kafir dan orang-orang munafik, dan
bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat
mereka adalah neraka Jahanam. Dan itulah
seburuk-buruk tempat kembali.‖419
―Wahai Nabi, berjuanglah kamu melawan kaum
kafir dan kaum munafik, dan bersikap keraslah
terhadap mereka. Tempat tinggal mereka kelak
adalah neraka Jahanam, dan itulah seburuk-buruk
tempat.‖420
Mengacu pada gagasan al-Zarqânī dan al-Qatthân, Terjemah Kemenag terlihat
harfiyah, sedangkan MMI/M. Thalib tafsiriyah. Kata فبس ىه ذ ٱ dialihbahasakan dengan ج
berjuanglah melawan kaum kafir. Terjemahan pada contoh ayat ini membedakan perlakuan
terhadap kaum munafik dengan kaum kafir. Untuk kaum munafik, tidak dibenarkan
menggunakan kekuatan senjata, tetapi hanya menggunakan argumentasi dan hujjah. Berbeda
dengan kaum kafir yang dibolehkan menghadapinya dengan kekuatan senjata/perang.
MMI/M. Thalib menyuguhkan terjemahannya dengan memasukkan ideologi garis perjuangan
mereka. Penerjemahan ayat ini ditakutkan dapat mendistorsi maksud ayat jika tidak
mempertimbangkan aspek pemaknaan leksikal dan semantik gramatikal, kemudian
penafsiran ulama sebelumnya, serta latar sosio-historis-kulturalnya. Redaksi terjemahan
tafsiriyah ada kecenderungan diarahkan untuk mendukung perjuangan agenda organisasi
yang tersemat pada penerjemahnya.
Hal ini senada dengan konsep yang ditawarkan Noam Chomsky bahwa komponen
semantik memberikan interpretasi makna pada deretan unsur terjemahan yang dihasilkan oleh
subkomponen dasar (dari komponen sintaksis dan fonologis). Kata berjuanglah dalam
terjemahan MMI berbeda dengan terjemah Al-Qur‘an Kemenag yakni berjihadlah! Yang
tentunya output terjemahannya berpengaruh pada interpretasi ayat itu. Dalam tataran
generatif transformatif, bahwa pada proses pemaknaan teks harus berdasarkan teori konteks
yang memperhatikan konsep-konsep pikiran (mind) sehingga akan didapati makna yang
419
Lihat Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI Edisi Tahun 2002, h. 267. 420
M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan
Mencerahkan (Yogyakarta: Ma‘had al-Nabawī Markaz Pusat Majelis Mujahidin, 2013), h. 233. Hak penerbitan
dan publikasi pada Yayasan Ahlu Shuffah, Yogyakarta – Indonesia.
299
sesuai dengan penutur/penerjemah ketika mengungkapkan bahasanya. Selain itu, menurut
Yusuf al-Qardhâwī, makna bersikap keras ١ ٱغ هع ع yaitu tidak memandang remeh
tindakan yang dilakukan oleh dua kelompok kafir dan munafik untuk mengganggu Islam dan
para pengikutnya. Apabila mereka berbuat demikian, mereka harus dilawan dengan keras
tanpa belas kasih.421
Sebagai komprasi, bandingkan dengan terjemahan Teungku Muhammad
Hasbi al-Shiddīqī: ―Wahai Nabi, tunjukkanlah segala kemampuanmu dalam menantang
orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan berlakulah keras terhadap mereka, dan
tempat kembali mereka adalah jahanam dan itulah sejahat-jahat tempat kembali.‖422
Kesembilan, QS. Muhammad (47) : ayat 31
)التعبت( ج ىه ه ز ع ح ٱ
ج ه ذ٠ ىه ظ ٱ ج جش٠ ا أ خ ه وه ٦٠ ج بس
(Terjemah Kemenag)
(Terjemah MMI)
―Dan sungguh, Kami benar-benar akan
menguji kamu sehingga Kami mengetahui
orang-orang yang benar-benar berjihad
dan bersabar di antara kamu; dan akan
Kami uji perihal kamu.‖423
―Wahai orang-orang beriman, Kami akan
menguji kalian, sehingga dapat Kami buktikan
siapa di antara kalian yang mau berjihad dan
bersabar menghadapi musuh Allah. Kami akan
menampakkan keadaan yang sebenarnya dari
kalian semua.”424
421
Syaikh Yûsuf al-Qardhâwī, Fiqh al-Jihâd: Dirâsah Muqâranah li Ahkâmihi wa Falsafatihi fi Dhau‟
Al-Qur‟an wa al-Sunnah diterjemahkan Irfan Maulana Hakim dan Arif Munandar Riswanto menjadi Fiqih
Jihâd: sebuah Karya Monumental Terlengkap tentang Jihâd Menurut Al-Qur‟an dan Sunnah (Bandung: Mizan,
2009), h. 77. 422
Teungku Muhammad Hasbi al-Shiddiqi, Al-Bayân, Tafsir Penjelas Al-Qur‟anul Karim (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2002), Juz 1-15, h. 443. 423
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kemenag RI (Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 735 424
M. Thalib, Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah, Tepat dan
Mencerahkan (Yogyakarta: Ma‘had al-Nabawī Markaz Pusat Majelis Mujahidin, 2013), h. 649. Hak penerbitan
dan publikasi pada Yayasan Ahlu Shuffah, Yogyakarta – Indonesia.
300
Berlandaskan pada teori al-Zarqânī dan al-Zahabī, terjemah Al-Qur‘an Kemenag
harfiyah, sedangkan MMI/M. Thalib bercorak tafsiriyah. Bila ditelaah dari aspek semantik
leksikal dan gamatikal (tata bahasa), M. Thalib menerjemahkan kalimat ع ز ح ىه ج ه
ذ ٠ ج ه dengan penambahan Wahai orang-orang beriman yang sebenarnya tidak ada dalam ٱ
redaksi ayat Al-Qur‘an. Adapun kata al-mujâhidīn dialihbahasakan siapa di antara kalian
yang berjihad dan kata al-shâbirīn dengan arti bersabar menghadapi musuh berbeda dengan
terjemah Al-Qur‘an Kemenag secara apa adanya sesuai dengan redaksi awal. Noam Chomsky
yang terkenal dengan gagasan tata bahasa transformasi atau tata bahasa generatif,
mengatakan bahwa tugas tata bahasa adalah harus memenuhi dua syarat: pertama, kalimat
yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh pemakai bahasa tersebut
sebagai kalimat yang wajar dan kedua tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa
sehingga satuan atau istilah yang digunakan tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu
saja.
Ada gejala yang tak lazim dalan penerjemahan ayat di atas yang dilakukan M.
Thalib. Kemunculan kalimat wahai orang-orang beriman cukup problematik. Lalu, arti
bersabar menghadapi musuh, tampak begitu emosional dan menggebu-gebu, karena pada
umumnya sabar terklasifikasi hanya tiga: bersabar dalam taat kepada Allah; sabar atas
musibah/ujian; dan sabar dalam meninggalkan maksiat. Sejalan dengan konsep
kompetensi/kemampuan (competence) dan perbuatan bahasa (performance), Chomsky
mengatakan bahwa kemampuan ialah pengetahuan yang dimiliki pemakai bahasa mengenai
bahasanya. Pada contoh kasuistik ini, terjemahan ayat di atas tampaknya cenderung pada
pengetahuan penerjemahnya, bahasa yang digunakan dalam terjemahannya tersebut
merefleksikan pola pikir keagamaan M. Thalib. Kaidah tata bahasa menggambarkan
kemampuan si pemakai bahasa untuk mengerti kalimat yang tidak wajar serta cukup
menggambarkan hubungan bunyi (redaksi Al-Qur‘an) dan arti (terjemahan ayat) dalam
301
bentuk kaidah-kaidah yang tepat dan jelas. Sebab, kompetensi/kualitas bahasa seseorang
mengekspresikan jalan pikiran penuturnya dan hubungan antara lafal/bahasa (intra-lingual)
dengan sesuatu yang ada di luar bahasa (ekstra-lingual) cukup signifikan.
302
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Merujuk pada gagasan al-Zarqânī, al-Zahabī, dan al-Qatthân tentang definisi
terjemah, harus diakui, bahwa terjemah Al-Qur‘an Kemenag bersifat harfiyah, sedangkan
terjemah MMI tafsiriyah. Meskipun begitu, kedua-duanya dibenarkan dari aspek metode
penerjemahan. Tidak benar bila terjemahan Al-Qur‘an Kementerian Agama menjadi pemicu
beragam aksi terorisme di Indonesia. Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan,
perilaku radikalisme/terorisme agama berkorelasi positif dengan pemahaman agama
seseorang yang dangkal, tidak holistik, dan tekstualis/skriptualis. Pemahaman literalis dan
subjektif terhadap kitab suci dan teks keagamaan lainnya lah yang bisa menjadi variabel
paling signifikan dalam mendorong timbulnya terorisme agama. Di satu sisi, kehadiran
terjemah tafsiriyah MMI yang semula sebagai koreksi atas terjemah Al-Qur‘an Kemenag
justru menimbulkan masalah baru, dan kurang tepat bila dikatakan sebagai solusi terjemahan
apalagi sebagai bentuk deradikalisasi (menghapuskan pemahaman yang radikal terhadap teks
keagamaan). Sebab, MMI sendiri tergolong kelompok fundamentalisme Islam politis yang
cenderung kaku, kurang bisa menerima keragaman pendapat, cenderung radikal pola
pemikirannya, dan terjemahan mereka pun masih bisa diperdebatkan serta layak diberi
catatan-catatan.
Riset ini juga berkesimpulan bahwa terkait radikalisme agama maupun terorisme
di Indonesia, bahkan dalam konteks global, sangat besar dipengaruhi oleh pandangan yang
kerdil, literalis, dan sempit terkait pemahaman agama seseorang (ideologi), terutama ayat-
ayat yang bercorak jihâd dan perang (qitâl), kemudian adanya faktor ketimpangan sosial-
303
politik, ketidakadilan, dan siklus ekonomi yang tidak stabil, problem pengangguran,
ketimpangan kemiskinan, rendahnya pendidikan, dan lemahnya sistem ketahanan negara.
B. Saran-saran / Rekomendasi
Berdasarkan temuan dan analisis data yang dilakukan, saran-saran yang bisa
diketengahkan antara lain:
1) Temuan MMI perlu disimpan sebagai kekayaan khazanah intelektual, yang akan
dibaca ummat dan dijadikan bahan pertimbangan ketika ada revisi terjemahan Kemenag
berikutnya. Meskipun nanti perlu dikaji lebih mendalam.
2) Pola Penerjemahan MMI/M. Thalib lebih mencerminkan pola pikir penyusunnya.
Seperti gagasan Noam Chomsky bahwa bahasa merefleksikan pola pikir penuturnya. Di
samping itu, M. Thalib berbeda sekali penafsirannya dengan metodologi ulama tafsir yang
menjadi referensinya seperti terjemah ayat jihâd, qitâl, syariat perang, dan syariat Islam,
meskipun ujarannya lebih lugas, selain mendorong garis besar ideologi perjuangan mereka.
Karena itu, terjemahan tafsiriyah M.Thalib ini, menurut hemat penulis adalah terjemahan
‖ideologis‘‘ mereka.
3) Deideologisasi dan deradikalisasi yang ideal adalah dengan mentransformasikan
pemahaman agama yang utuh, holistik, tidak parsial, harus komprehensif, bukan justru
menimbulkan permasalahan baru. Oleh karena itu tidak cukup belajar agama hanya melalui
terjemah Al-Qur‘an, harus menelusuri buku-buku Tafsir yang lebih luas penjelasannya.
4) Sejumlah terjemahan Kemenag memang bernada perintah (fi‟il amr, aktif), namun
karena menggunakan harfiyah, maka begitulah hasilnya. Sedangkan MMI lebih tafsiriyah.
Penelitian ini semoga berguna bagi penelitian-penelitian selanjutnya. Kritik konstruktif,
saran, dan masukan sangat penulis nantikan demi kesempurnaan karya ilmiah sejenis lainnya,
yang nantinya dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak tertentu sebagai bahan pertimbangan
dalam membuat kebijakan-kebijakan (policy maker). Wallâhu a‟lam bi al-shawâb.
304
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an, Terjemahnya, dan Tafsirnya
Al-Qur‟an dan Terjemahnya Kementerian Agama RI, Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia,
2012.
Mukadimah Al-Qur‟an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan), Jakarta: Direktorat
Bimas Islam Kemenag, 2012.
Thalib, M. Al-Qur‟an Tarjamah Tafsiriyah: Memahami Makna Al-Qur‟an Lebih Mudah,
Tepat dan Mencerahkan, Yogyakarta: Ma‘had An-Nabawy Markaz Pusat Majelis
Mujahidin, 2013.
Shihab, M. Quraish. Tafsīr al-Mishbâh: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an, Jakarta:
Lentera Hati, 2004, Vol. 1, kelompok XV.
-------------------------, Al-Qur‟an dan Maknanya: Dilengkapi Asbâbun Nuzûl, Makna dan
Tujuan Surah, dan Pedoman Tajwid, Tangerang: Lentera Hati, 2013.
Yunus, Mahmud. Tafsīr Qur‟an Karīm Prof. Dr. H. Mahmud Yunus, Jakarta: Mahmud Yunus
wa Dzurriyyah, 2015.
Al-Shiddīqī, Teungku Muhammad Hasbi. Al-Bayân, Tafsir Penjelas Al-Quranul Karim,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002.
Al-Dimasyqī, Ibnu Katsīr Abi al-Fida Ismail bin Katsīr, Tafsir Ibnu Katsīr, Dar Ihya al-Kutub
al-‗Arabiyyah: Isa al-Halaby wa Syurakauhu, t.t.
Al-Thobari, Ibnu Jarir, Tafsīr al-Thabarī, Jâmi‟ al-Bayân „an Ta‟wil ay al-Qur‟an (Kairo
Mesir: Syirkah Mustafa al-Halaby wa Awladihi, 1954.
Al-Qurtubī, Tafsīr al-Qurtubī, Kairo: Dar al-Sya‘ab, t.t.
Kamus-Kamus Arab dan Indonesia (Klasik, Modern, dan Kontemporer)
Al-Bâqī, Muhammad Fuâd Abd. al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdz al-Qur‟an al-Karīm bi
Hâsyiyah al-Mushaf al-Syarīf, Kairo: Dâr al-Hadīs, 2007.
Al-Jurjâni, Ali. al-Ta‟rīfât, Beirût: Dâr al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 2003.
Ali, Atabik dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus (al-„Ashri) Kontemporer Arab-Indonesia,
Yogyakarta: Multi Karya Grafika Pondok Pesantren Krapyak, 1998.
305
Ba‘albaki, Munir, dan Rohi Ba‘albaki, Kamus al-Maurid Arab-Inggris-Indonesia, Terj:
Achmad Sunarto, Surabaya: Halim Jaya, 2006.
Djuaeni, M. Napis. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Istilah Politik-Ekonomi), Jakarta:
Mizan Publika, 2006.
Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Tim Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Departemen Pendidikan
Nasional, Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015.
Munawwir, KH. Ahmad Warson. Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997. Marjuni, Kamaluddin Nurdin. Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern Sinonim Arab-
Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2009.
Yusuf, dkk., Choirul Fuad. Kamus Istilah Keagamaan (Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha, Khonghucu), Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia, 2015.
Buku-Buku
Al-‗Asqallânī, Ibnu Hajar. Fathul Bârī bi Syarhi Sahīh al-Bukhârī, Kairo: Dâr al-Hadīs,
2004.
Al-Bantanī, Syaikh Nawawi. Nihâyat al-Zain fi Irsyâd al-Mubtadiīn, Beirût: Dâr al-Fikr,
2005.
Al-Dimasyqī, Taqiyyuddīn. Kifâyat al-Akhyâr fī Halli Ghâyat al-Ikhtishâr, Beirût: Dâr al-
Fikr, 1994.
Al-Ghalâyainī, Syaikh Musthafâ. Jâmi‟ al-Durûs al-„Arabiyyah: Mausû‟ah fī Tsalâtsati
Azjâ‟, Kairo: Dâr al-Hadīs, 2005.
Al-Mubârakfûrī, Tuhfah al-Ahwadzī bi Syarhi Jâmi‟ al-Tirmidzī (Syarah Sunan al-Tirmidzī,
Kairo: Dâr al-Hadīs, 2001.
Al-Mahallī dan Jalâluddīn al-Suyûthī, Tafsīr al-Qur‟an al-„Azhīm, Indonesia: Dâr Ihyâ al-
Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.
Al-Naisabûri, Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wâhidī. Asbâb al-Nuzûl, Jakarta: Dina Berkah
Utama, t.t.
Al-Shâbûnī, Syaikh Muhammad Ali. al-Tibyân fī „Ulûm al-Qur‟an, Jakarta: Dâr al-Kutub al-
Islâmiyyah, 2003.
Al-Qatthân, Mannâ‘ Khalīl. Mabâhits fī „Ulûm al-Qur‟an, edisi terjemahan bahasa Indonesia
“Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an,” Penerjemah: Mudzakir AS, Bogor: Pustaka Litera Antar
Nusa, 2015.
306
Al-Zarqânī, Syaikh ‗Abdul ‗Azhim. Manâhil al-„Irfân fī „Ulûm al-Qur‟an, Kairo: Dâr al-
Hadīs, 2001, juz ke-2.
Abdillah, Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim
Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), Yogyakarta: Tiara Wacana,
1999.
Afadhal, dkk. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2005.
Agus, Zulkifli. Orientasi Pemikiran Semantik Ibnu Jinnī: Analisis Buku al-Khashâis; Suatu
Tinjauan dari Segi Makna, Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2004.
Ahyani, Pemikiran Semantik Jalâluddin al-Suyûthī (Kajian Kitab Al-Muzhir), Jakarta: SPs
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Asyhari, Korelasi Tarjamah Harfiyah dan Ekstrimisme: Studi Kritis terhadap Al-Qur‟an
Terjemah Kementerian Agama RI, Surabaya: Pascasarjana UIN Sunan Ampel, 2015.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta,
2002.
Ali, Nizar. Hadis versus Sains, Yogyakarta: Teras, 2008.
Arrosyid, Alif. Respons Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Aksi Terorisme di Indonesia tahun
2000-2005, Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Azra, Azyumardi. Jejak-Jejak Jaringan Kaum Muslim dari Australia hingga Timur Tengah,
Jakarta: Hikmah Mizan, 2007.
---------------------, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan
XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Edisi Perenial. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2013. ---------------------, Pergolakan Politik Islam, Jakarta: Paramadina University, 1996.
Ali, As‘ad Said. Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Bangsa, Jakarta: Pustaka LP3ES,
2010.
Alkaf, Halid. Liberalisme Islam Indonesia: Studi tentang Pemikiran dan Gerakan Islam
Liberal di Indonesia. Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2008.
Bakti, Agus Surya. Merintis Jalan Mencegah Terorisme: (Sebuah Bunga Rampai), Jakarta:
Semarak Lautan Warna, 2004.
------------------------, Darurat Terorisme: Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan
Deradikalisasi, Jakarta: Daulat Press, 2014.
Bustamin dan M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004.
307
Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu
Sosial lainnya, Jakarta: Prenada Media Group, 2007.
Busyro, Muhtarom. Shorof Praktis Metode Krapyak. Pengantar: KH. Ahmad Warson
Munawwir dan KH. Atabik Ali, Yogyakarta: Menara Kudus, 2007.
Chaer, Abdul. Linguistik Umum, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007. ----------------, Psikolinguistik Kajian Teoritik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003. ----------------, Leksikologi dan Leksikografi Indonesia, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007.
Chomsky, Noam. Aspects of The Theory of Syntax, Cambridge Massachusetts Institute of
Technology: The M.I.T. Press ,1965.
----------------------, Knowledge of Language: Its Nature, Origin, and Use, New York: Praeger
Publishers, 1986.
---------------------, Language and Mind, UK: Cambridge University Press, 2006.
Djajasudarma, T. Fatimah. Semantik I; Pengantar ke Arah Ilmu Makna, Bandung: Eresco,
1993.
Djojosuroto, Kinayati. Filsafat Bahasa, Yogyakarta: Pustaka Pinus, 2006.
Denzin, Norman K. and Yvonna S. Lincoln (Editors), The Sage Handbook of Qualitative
Research, California USA: Sage Publication, 2005.
Enizar. Jihad ! the Best Jihad for Moslems, Jakarta: Amzah Bumi Aksara, 2007.
Hanafi, Muchlis M. Islam, Kekerasan, dan Terorisme, Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Qur‘an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015.
-----------------------, Problematika Terjemahan Al-Qur‟an: Studi pada Beberapa Penerbitan
Al-Qur‟an dan Kasus Kontemporer, dalam Jurnal Suhuf LPMA Balitbang Kemenag
RI, Vol. 4, No. 2, 2011. ------------------------, Menyoal Terjemah Yang Bukan Masalah, makalah disampaikan pada
Dialog dengan Tim MMI seputar Terjemah Al-Qur‟an yang diselenggarakan oleh
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jum‘at, 29 April 2011.
Hartono, Kontestasi Penerapan Syariat Islam di Indonesia Dalam Perspektif Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Yogyakarta: Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2010.
Hidayat, Komaruddin. Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta: Teraju Mizan, 2004.
---------------------------, dan Ahmad Gaus AF, dkk, Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan
dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina University, 2005. ---------------------------, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika, Bandung:
Mizan, 2011.
--------------------------, Agama Punya Seribu Nyawa, Jakarta: Noura Books Mizan, 2012.
Hidayatullah, Moch Syarif. Cakrawala Linguistik Arab, Tangerang: Al-Kitabah, 2012.
308
----------------------, Khotbah Berjihad Perang Aceh Abad XIX, Jakarta: Puslitbang
Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama,
2013.
Hoed, Benny Hoedoro. Penerjemahan dan Kebudayaan, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2006.
Istianah, Koreksi Muhammad Thalib terhadap Terjemah Al-Qur‟an Kemenag RI,
Yogyakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015.
Jahroni, Jajang dan Jamhari. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004.
Junaedi, Edi. Polemik Terjemahan Al-Qur‟an antara MMI dan Kementerian Agama Dalam
Perspektif Percakapan, Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016.
Kamil, Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik: Agama dan Negara, Demokrasi, Civil
Society, Syariah dan HAM, Fudamentalisme, dan Antikorupsi, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2013. ------------------, Islam dan Politik di Indonesia Terkini: Islam dan Negara, Dakwah dan
Politik, HMI, Anti-Korupsi, Demokrasi, NII, MMI, dan Perda Syariah, Jakarta: Pusat
Studi Indonesia Arab (PSIA) UIN Jakarta, 2013. ----------------, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI): Profil dan Agenda Penerapan Syariat
Islam dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru, Upaya Merambah Dimensi Baru
Islam, Editor: Imam Tolkhah dan Neng Dara Affiah, Jakarta: Badan Litbang
Departemen Agama, 2007.
Keraf, Gorys. Linguistik Bandingan Tipologi, Jakarta: Gramedia, 1990.
Lubis, Ismail. Falsifikasi Terjemahan Al-Qur‟an Departemen Agama Edisi 1990,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.
Machali, Rochayah. Pedoman bagi Penerjemah, Jakarta: Grasindo Gramedia, 2000.
Mahendra, Yusril Ihza. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Jakarta:
Paramadina University, 1999.
Mas‘ud, Abdurrahman. Dari Haramain ke Nusantara: Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Mubarok, Ahmad Zaki. Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir Al-Qur‟an
Kontemporer “ala” M. Syahrur, Yogyakarta: elSAQ Press, 2007.
Muhadjir, Noeng. Metode Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006.
Musa, Ali Masykur. Membumikan Islam Nusantara: Respon Islam Terhadap Isu-Isu Aktual,
Jakarta: Serambi, 2014.
309
Mohammad, Herry. Alih Bahasa Mengungkap Makna, Yogyakarta: Ma‘had An-Nabawy
Markaz Pusat Majelis Mujahidin, 2013.
Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2003.
Raya, Ahmad Thib. Rasionalitas Bahasa Al-Qur‘an: Upaya Menafsirkan Al-Qur‘an dengan
Pendekatan Kebahasaan, Jakarta: Fitra Publishing, 2006.
Reslawati, Pandangan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Pusat terhadap Wawasan
Kebangsaan di Yogyakarta, dalam buku Mereka Membicarakan Wawasan
Kebangsaan, Editor: Asnawati dan Achmad Rosidi, Jakarta: Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2015. Rohmawati, Wacana Terorisme di Indonesia 1999-2003: Respons Cendekiawan Muslim
Indonesia, Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Said, Hasani Ahmad. Diskursus Munasabah Al-Qur‟an: Tinjauan Kritis terhadap Konsep
dan Penerapan Munasabah dalam Tafsir al-Mishbah, Jakarta: Puslitbang Lektur dan
Khazanah Kegamaan Kementerian Agama RI, 2014.
Saeed, Abdullah. Reading the Qur‟an in the Twenty-First Century: A Contextualist
Approach, terj oleh Ervan Nurtawab, Al-Qur‟an Abad 21: Tafsir Kontekstual,
Bandung: Mizan Pustaka, 2016.
Saifuddin, Lukman Hakim, Radikalisme Agama dan Tantangan Kebangsaan, Menuju Islam
Indonesia yang Ramah dan Moderat, Jakarta: Ditjen Bimas Islam, 2014.
Santoso, Arif Gunawan. Pergeseran Strategi Fundamentalisme Islam: Studi HTI Sebagai
Gerakan Sosial, Jakarta: Penerbit A-Empat, 2015.
Setiawati, Darmojuwono, Semantik, dalam Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami
Linguistik Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Syamsuddin, M. Din. Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.
Suyasubrata, Sumaidi. Metodologi Penelitian, Jakarta: Rajawali Press, 1989.
Sugiyarto, Wakhid. Direktori Paham, Aliran dan Gerakan Keagamaan di Indonesia, Editor:
Wakhid Sugiyarto dan Syaiful Arif, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012.
-------------------------, Profil Keagamaan Terpidana Terorisme di Indonesia, Editor: Wakhid
Sugiyarto, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, 2015.
Shihab, Alwi. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan,
1998.
310
Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung: Mizan, 2007.
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia: Teori dan Praktek, Bandung: Humaniora,
2005.
Siradj, Said Aqil. Tasawuf sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi
bukan Aspirasi, Bandung: Mizan Pustaka, 2006.
Tardi, Koherensi Terjemahan Al-Qur‟an: Analisis Struktural Terjemahan Al-Qur‟an Depag
RI Edisi Tahun 2002, Jakarta: SPs UIN Jakarta, 2008.
Thalib, M. Koreksi Tarjamah Harfiyah Al-Qur‟an Kemenag RI, Yogyakarta: Yayasan Islam
Ahlu Shuffah, 2013.
Taufiqurrochman, H.R. Leksikologi Bahasa Arab, UIN Malang Press: Suksess Offset, 2008.
Taufiq, Imam. Al-Quran bukan Kitab Teror, Membangun Perdamaian Berbasis Al-Quran,
Yogyakarta: Bentang Mizan, 2016.
Tim Ahli Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik
Indonesia, Radikalisme Agama dan Tantangan Kebangsaan, Editor: Jaja Zarkasyi dan
Thobib al-Asyhar, Jakarta: Ditjen Bimas Islam, 2014.
Tim Kodifikasi Purna Siswa Lirboyo Kediri, Kontekstualisasi Turats; Telaah Regresi dan
Progresif, Editor: Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA, Lirboyo: Madrasah Hidayatul
Mubtadiin Kediri Jawa Timur, 2005.
Tim Kodifikasi DIFA Madrasah Hidayatul Mubtadiin, Dimensi Doktrinal Studi Metodologis
Dinamika Fenomenal, Lirboyo: Kediri Jawa Timur, 2007.
Tim Penulis Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, Editor:
KH. Abdurrrahman Wahid, Epilog Ahmad Syafi‘i Ma‘arif dan KH. Ahmad Mustofa
Bisri, Jakarta: The Wahid Institute dan Ma‘arif Institute, 2009.
Tim Puslitbang Kehidupan Kegamaan, Editor: Zainal Abidin, Kajian Masalah-Masalah
Aktual Terjemah Al-Quran Departemen Agama, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kemenag RI, 2011.
Umar, Nasaruddin. Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadis, Jakarta: Elex Media
Komputindo Gramedia, 2014.
Verhaar, J. W. M. Asas-Asas Linguistik Umum, Yogyakarta: Gajah Mada University Press,
2004.
Wahab, Muhbib Abdul. Metode Penelitian dan Pembelajaran Nahwu: Studi Teori Linguistik
Tammam Hassan, Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
Yaqub, Ali Mustafa. Haji Pengabdi Setan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008. ------------------------, Islam between War and Peace, Jakarta: Pustaka Darus Sunnah, 2009.
311
---------------------, Ijtihad, Terorisme, dan Liberalisme, Jakarta: Pustaka Darus Sunnah, 2015.
Zada, Khamami. Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia,
Jakarta: Teraju Mizan, 2002.
Jurnal Penelitian (Nasional dan Internasional), Prosiding, dan Hasil Riset Ilmiah
Araki, Naoki. Saussure and Chomsky: Langue and l-Language, Department of Information
System and Management, dalam Bull. Hiroshima Institute of Technology Japan,
Research, Vol. 49, 2015.
Arifin, Syamsul Multikulturalisme Dalam Skema Deradikalisasi Paham dan Gerakan
Keagamaan Radikal di Indonesia, paper dalam Proceeding Annual International
Conference on Islamic Studies (AICIS) XIV, Buku 2 subtema: Islamic Jurisprudence
in Resolving Contemporary Problems, Editor Muhammad Zain, dkk., STAIN
Samarinda Balikpapan: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama
RI, 2014.
Azra, Azyumardi. Kartosuwiryo dan NII: Kajian Ulang, Studia Islamika PPIM UIN Jakarta,
Indonesian Journal for Islamic Studies, Volume 21, No. 1, 2014.
Chirzin, Muhammad. Jihâd dalam Al-Qur‟an: Perspektif Modernis dan Fundamentalis,
Hermenia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol. 2, No. 1, januari-Juni 2009.
Costley, Kevin C. Avram Noam Chomsky and His Cognitive Development Theory, Arkansas
Tech University, 10 Juni 2013.
Duraesa, M. Abzar. Teologi Terorisme di Indonesia: Identifikasi terhadap Perkembangan
Teologi Terorisme di Kota Samarinda, paper Proceeding in Annual International
Conference (AICIS) XIV, Buku 4, Subtema: Multicultural Education in Indonesia:
Challenges and Opportunities, STAIN Samarinda Balikpapan: Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2014.
Fenton, Adam James. Change and Continuity in Indonesian Islamist Ideology and Terrorist
Strategies, dalam Al-Jâmi‟ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Journal of Islamic
Studies, Vol. 52, No. 1, 2014 M/1435 H.
Hanafi, Muchlis M. Tafsir terhadap Dasar-Dasar Ideologi Takfir Kelompok Islam Radikal,
dalam Suhuf, Jurnal Kajian Al-Qur‘an, Volume 7, No. 2, November 2014.
Ichwan, Moch. Nur. Negara, Kitab Suci, dan Politik: Terjemah Resmi Al-Qur‟an di
Indonesia,dalam buku Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia,
Penyunting: Henri Chambert-Loir, Jakarta: Kepustakaan Populer (KPG) Gramedia,
Forum Jakarta-Paris bekerja sama dengan Pusat Bahasa, dan Universitas Padjajaran
Bandung, 2009.
Jurnal Bimas Islam Kemenag, Edisi XXXIII, November 2015 M/Muharram 1437 H.
312
Jabali, Fuad. Islam, Teks, dan Sejarah: Setali Tiga Uang dalam Jurnal Lektur Keagamaan
Vol 7 No. 1, Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, 2009.
Jahroni, Jajang. Modernisme dan Radikalisme Islam di Indonesia: Menafsirkan Warisan
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Studia Islamika PPIM UIN Jakarta,
Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 11, No. 3, 2004.
Kamil, Sukron dkk., Pola Keagamaan dan Bahasa: Kata Serapan Arab dalam Teks-Teks
Keislaman Kontemporer, dalam Laporan Penelitian Kompetitif Kolektif, Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.
Muhammad, Ahsin Sakho. Aspek-Aspek Penyempurnaan Terjemah dan Tafsir Departemen
Agama, Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan
Diklat Departemen Agama, 2005, Jurnal Vol 3, No. 1.
Mustaqim, Abdul. Deradikalisasi Penafsiran Al-Qur‟an Dalam Konteks Keindonesiaan yang
Multikultur, Suhuf, Jurnal Kajian Al-Qur‘an, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an,
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Vol. 6, No. 2, 2013.
Permata, Bagus Andrian. Teori Generatif-Transformatif Noam Chomsky dan Relevansinya
dalam Pembelajaran bahasa Arab, Jurnal Empirisma, Vol. 24, No. 2, Juli 2015.
Prasetyo, Budi. Toleransi Majelis Mujahidin Indonesia Dalam Kebaragaman, Sosial,
Budaya, dan Politik dalam Jurnal Studi Islam Profetika, Vol 14, No. 1, Juni 2013.
Syahrullah, Tarjamah Tafsiriah Terhadap Al-Qur‟an: Antara Kontekstualisasi dan Distorsi,
bentuk PDF dalam Journal of Qur‟an and Hadith Studies – Vol. 2, No 1.
Syarfuan, Juanda P. Summary Al-Qur‟an Translation Concordance Method for Any
Language, Jakarta: Perpustakaan Umum Islam Iman Jama Lebak Bulus, 2015.
Surahman, Cucu. Tafsir Kontekstual Jaringan Islam Liberal (JIL): Telaah atas Konsep
Syariat Islam dan Hudûd, dalam Journal of Qur‟an and Hadith Studies-Vol. 2, No.
1, 2013.
Syuaib Z, Ibrahim. “Dakhīl al-Naqli Dalam Al-Qur‟an dan Tafsirnya Departemen Agama RI
Edisi 2004”. Lembaga Penelitian: UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2009.
Waid, Abdul. ISIS: Perjuangan Islam Semu dan Kemunduran Sistem Politik (Menyoal Nilai-
Nilai Keislaman ISIS Secara Normatif dan Historis dan Mengkomparasikannya
Dengan Sistem Politik Kekinian), paper in Annual International Conference (AICIS),
XIV, Buku 3, Subtema: Nusantara Islamic Civilization: Value, History, and
Geography, Editor: Muhammad Zain, dkk, STAIN Samarinda Balikpapan:
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, 2014.
Wahid, Din. Pentas Jihâd Gerakan Salafi Radikal Indonesia, dalam Studia Islamika PPIM
UIN Jakarta, Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. 14, No. 2, 2007.
313
Harian (Koran) Nasional dan Majalah
Harian Umum REPUBLIKA, Rabu 25 November 2015/13 Shafar 1437 H.
Harian Umum REPUBLIKA, Jum‘at 15 Januari 2016/ 4 Rabi‘ul Awwal 1437 H
Harian Koran SINDO, kolom Topik Pilihan, Senin 16 November 2015
Harian KOMPAS dalam liputan Internasional, Minggu, 27 Maret 2016.
Harian KOMPAS pada Rabu, 4 November 2015. Harian Umum KOMPAS, Kamis 14 Januari 2016.
Harian Umum KOMPAS, 16 November 2015
Harian Umum KOMPAS, 30 Desember 2015 Majalah Gatra, edisi 11 Juli 2012. Majalah www.TEMPO.CO Jum‘at, 6 Juli 2012.
Majalah TEMPO, Senin 16 November 2015, Edisi 5092 Tahun XIV
Majalah TEMPO, edisi 4448/25-31 Januari 2016
Majalah TEMPO Edisi Khusus 4502/7-13 Maret 2016
Situs Internet/laman Website, dan Hasil Wawancara
Program CD al-Maktabah al-Syâmilah (cetakan/edisi ketiga)
http://www.nu.or.id/
http://www.majelismujahidin.com/
http://www.majelismujahidin.com/al-quran-tarjamah-tafsiriyah/#comment-894 www.alqurantafsiriyah.blogspot.com
www.chomsky.info.
https://www.isomil.id/
http://news.detik.com/bbc-world/3091179/larang-muslim-masuk-ke-amerika-trump-dikecam-
pro-yahudi, Rabu, 20 Januari 2016 pukul 12.56 WIB.
http://www.liputan-terkini.com/7912/professor-chomsky-if-you-want-to-stop-terrorism-stop-
killing-muslims.html
http://www.arrahmah.com/read/2011/04/25/12054-menelisik-ideologi-teroris-dalam-
terjemah-quran depag.html#sthash.uqxwfuXC.dpuf
http://www.youtube.com/ Metro TV, Mata Najwa, Menolak Takluk
http://www.youtube.com/ Metro TV, Mata Najwa, Sesal Mantan Teroris
http://www.youtube.com/ Benang Merah TV One, Mencuci Otak Teroris
http://www.youtube.com/ Tv One Diskusi ILC, ISIS Mengancam Kita?
Hasil wawancara dengan Muchlis M. Hanafi, Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an
(LPMA) Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI di Kemenag Thamrin Lt
17, pukul 10.00 s.d selesai, pada Selasa 22 Maret 2016.
Hasil wawancara dengan Irfan S. Awwas, Ketua Lajnah Tanfiziyyah MMI, pada 31 Maret
2016, pukul 11.35 s.d selesai via telepon dan WA (Whatsapp) juga.
314
DAFTAR SINGKATAN
AICIS : Annual International Conference on Islamis Studies
AHWA : Ahlul Halli Wal ‘Aqdi
BIN : Badan Inteligen Negara
BNPT : Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
FPI : Front Pembela Islam
GAM : Gerakan Aceh Merdeka
GPK : Gerakan Pengacau Keamanan
HTI : Hizbut Tahrir Indonesia
HAM : Hak Asasi Manusia
ISIS : Islamic State of Iraq and Syiria
ICG : International Crisis Group
ICIS : International Conference of Islamic Scholars
JI : Jamaah Islamiyah
JIL : Jaringan Islam Liberal
KIK : Kamus Istilah Keagamaan
KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
LAD : Languange Acquisition Device
LPMA : Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an
MUI : Majelis Ulama Indonesia
MMI : Majelis Mujahidin Indonesia
NU : Nahdlatul Ulama
NII : Negara Islam Indonesia
NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia
315
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
USA : United State of America
WTC : World Trade Center
316
GLOSARIUM
Penjelasan yang diberikan pada glosarium ini secara umum mengacu pada Kamus Istilah
Keagamaan Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan (2015), al-Jurjânī (2003), KBBI
(2001), dan al-Qardhâwī (2009).
Al-Qur‘an : Kitab suci umat Islam dalam bahasa Arab yang
diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad
SAW sebagai petunjuk dan pembeda (yang hak dan
batil), terdiri atas 30 juz, 114 surah, dan 6.326 ayat.
Agama
:
Ajaran/sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) seseorang dan peribadatan kepada Allah,
Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia
serta lingkungannya. Agama sejatinya membawa
kebahagiaan/nirwana.
Asbâb Nuzûl al-Ayat : Sebab berupa peristiwa yang melatarbelakangi turunnya
ayat Al-Qur‘an seperti pertanyaan dari sahabat kepada
Nabi SAW mengenai suatu persoalan
Asbâb Wurûd al-Hadīs
:
Sebab berupa peristiwa yang melatarbelakangi keluarnya
hadis seperti pertanyaan dari sahabat kepada Nabi SAW
mengenai suatu persoalan
Clash of Civilization
:
Teori konflik/pembenturan peradaban yang dicetuskan
Samuel P. Huntington, seorang analis politik sekaligus
penasehat (advisor) mantan Presiden Amerika George
W. Bush. Teorinya sangat provokatif dengan menuduh
Islam yang paling potensial dalam mengancam
peradaban Barat yang kini sedang berada di puncak
kekuasaannya.
Doktrin
:
Ajaran tentang asas suatu aliran politik, keagamaan,
secara bersistem, khususnya dalam penyusunan
kebijakan (policy) sebuah negara.
Deradikalisasi : Upaya menghapuskan pemahaman yang
radikal/ekstrim/keras terhadap teks-teks keagamaan
terutama yang bersumber dari Al-Qur‘an dan hadis Nabi
Muhammad SAW.
Fundamentalisme Islam
:
Sekelompok orang yang cenderung berpikir rigid/kaku,
cenderung memonopoli atas tafsir-tafsir agama, mereka
berpegang kepada fundamen-fundamen keimanan dan
pada perjalanannya mengalami konotasi negatif.
317
Gerakan Transnasional
:
Gerakan lintas negara, gerakan yang berasal dari negara
lain.
Hadis
:
Segala perkataan, perbuatan, ketetapan, dan taqrir yang
tersematkan kepada Rasulullah SAW
Ideologi
:
Kumpulan ide, gagasan, keyakinan sebagai pedoman
normatif yang digunakan oleh segenap kelompok tujuan
dasar.
Jihâd
:
Perjuangan tiada henti dengan mencurahkan segala yang
dimilikinya, baik nyawa, harta, maupun ilmu, hingga
tercapai apa yang diperjuangkan dengan niat semata-
mata mengharap rida Allah. Makna kedua, perjuangan
menegakkan kalimah Allah
Khawârij
:
Pengikut Ali bin Thalib yang tidak setuju adanya tahkīm
(penyelesaian damai) antara pasukan Ali bin Abi Thalib
dan Muawiyah, dan menuduh Ali dan Muawiyah telah
kafir, lalu mereka keluar dari Kufah ke Desa Harura
untuk memisahkan diri dari pasukan Ali
Negara Islam/Daulah Islâmiyah
:
Tujuan yang ingin dicapai oleh Organisasi Islam radikal
atau Islam garis keras yang melampaui batas-batas
Negara. Dalam imajinasi mereka, Negara Islam kelak
dipimpin oleh seoarang khalifah
Purifikasi : Pengamalan peribadatan Islam dari pengaruh-pengaruh
paham yang tidak berlandaskan pada ajaran Islam atau
Pemurnian ajaran agama Islam.
Radikalisme : Paham yang berpikir sempit, kaku, keras, eksklusif,
bertindak untuk menuntut perubahan ke akar-akarnya,
serta cenderung memonpoli kebenaran
Terorisme : Usaha teror dengan usaha menciptakan ketakutan,
kengerian dalam usaha mencapai tujuan tertentu,
terutama tujuan politik, baik dilakukan oleh seseorang
atau kelompok/golongan
Wahabi Gerakan ini memfokuskan diri pada ajakan untuk
meneladani para salaf. Faham/Gerakan ini berkiblat pada
pemahaman-pemahaman semisal Muhammad ibn Abdul
Wahab, Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, Al-
Albani, dan Ibnu Fauzan.
318
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1:
Instrumen bahan wawancara dengan Dr. H. Muchlis M. Hanafi, MA (Kepala Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an Badan Litbang Kemenag RI).
Wawancara dilakukan pada Selasa, 22 Maret 2016
1) Bagaimana pendapat Bapak tentang Al-Qur‘an Terjemah Tafsiriyah MMI?
2) Apa kritik dan masukan Bapak tentang karya mereka?
3) Apa pendapat Bapak terkait tuduhan miring/klaim subjektif MMI bahwa Terjemah Al-
Qur‘an Kemenag menjadi sumber radikalisme dan terorisme agama di Indonesia?
4) Bagaimana komentar/tanggapan Bapak tentang pola/teknik penerjemahan MMI?
5) Apakah Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an sudah mentashih karya MMI tersebut dan
sudah memberi izin publish-nya terjemah tafsiriyah?
6) Selaku mewakili Kemenag, apakah Bapak setuju dengan debat publik dan atau clash
action yang diajukan MMI?
7) Bagaimana pendapat Bapak tentang peran strategis instansi pemerintah semisal BNPT,
BIN, Densus 88, TNI, Polri, Ulama-Umaro, dan Kemenag sendiri dalam membendung
arus radikalisme dan memberantas terorisme di Indonesia?
319
Lampiran 2:
Instrumen bahan wawancara dengan Ustadz Irfan S. Awwas (Kepala Lajnah Tanfidziyah
MMI). Interview dilakukan pada Kamis, 31 Maret 2016.
1) Bagaimana pendapat Bapak tentang Terjemah Al-Qur‘an Kemenag RI?
2) Apa benar pemicu terorisme dan radikalisme di Indonesia karena faktor Terjemah Al
Qur‘an Kemenag?
3) Bukankah faktor penyebab munculnya terorisme banyak dan kompleks, apa komentar
Bapak?
4) Apakah benar Terjemah Tafsiriyah MMI menawarkan alternatif terjemahan dari yang
sudah ada sebelumnya, seperti Terjemah Al-Qur‘an Kemenag?
5) Apa saran dan masukan Bapak/MMI untuk terjemah Al-Qur‘an Kemenag?
6) Apa pendapat Bapak tentang peran BNPT, BIN, Densus 88, TNI, Polri, Kemenag, Ulama
dan Umaro dalam memberantas terorisme di Indonesia?
7) Dari kejadian terorisme di Sarinah Thamrin Jakarta Pusat beberapa waktu lalu, ada
sumber/reportase menyebutkan misalnya majalah Tempo, bahwa pelaku teror di Ibukota
itu ada kaitannya dengan jaringan Mujahidin Barat atau Mujahidin Indonesia Timur.
Apakah itu ada ketersambungan/korelasinya dengan organisasi MMI? Bagaimana
pandangan Bapak?
320
Lampiran 3:
KEPUTUSAN SIDANG PLENO AHLUL HALLI WAL „AQDI (AHWA)
KONGRES MUJAHIDIN IV.425
Sentul City Bogor, 18 Syawwal 1434 H/25 Agustus 2013 M. Nomor: 01/AHWA
MM/VIII/2013
Menimbang:
1. Keadaan Demisioner kepengurusan Ahlul Halli Wal „Aqdi Majelis Mujahidin periode
2008-2013
2. Perlunya diputuskan kepengurusan Ahlul Halli Wal „Aqdi Majelis Mujahidin pada
Kongres Mujahidin IV untuk periode 2013-2018 M
Memperhatikan:
1. Qawâidut Tanzhīm dan Qawâidut Tanfīdz
2. Keputusan Sidang Pleno I dan II Kongres Mujahidin IV
3. Pendapat dan masukan yang disampaikan peserta Kongres Mujahidin
MEMUTUSKAN
Menetapkan:
A. Kepemimpinan Ahlul Halli Wal „Aqdi (AHWA):
Ketua/Amir Majelis Mujahidin : Drs. Muhammad Thalib
Wakil Ketua/Wkl. Amir : Abu Muhammad Jibriel AR
Katib Am : Drs. Nashruddin Salim, SH, MH
Wakil Katib Am : Drs. Farid Ma‘ruf NS
Bendahara : dr. Harun Rasyid, Sp BU, MARS
Wakil Bendahara : Dr. H. Irfianda Abidin, SE, MBE
B. Pengurus Lajnah Tanfīdziyah Majelis Mujahidin:
1. Ketua : Irfan S. Awwas
2. Sekretaris : M. Shabbarin Syakur
3. Bendahara : Drs. Tofandi
Pimpinan Sidang Ahlul Halli Wal „Aqdi
18 Syawwal 1434 H/25 Agustus 2013
Drs. Muhammad Thalib Drs. Nashruddin Salim, SH, MH
Ketua Sekretaris
425
Lihat dalam http://majelismujahidin.com/ diambil pada 3 Desember 2015, pukul 10.00 WIB.
321
Lampiran 4:
Alhamdulillah, Kongres Mujahidin IV telah usai terlaksana, kembali Ustadz
Muhammad Thalib memimpin Majelis Mujahidin melanjutkan kepemimpinannya yang lalu.
Ribuan peserta kongres yang hadir pun turut bersuka ria mendengar keputusan rapat Ahlul
Halli Wal „Aqdi (AHWA) tersebut. Sebelum pembacaan keputusan, dibacakan juga
keputusan Kongres Mujahidin IV tentang rekomendasi Indonesia Bersyari‘ah. berikut
rekomendasi kongres selengkapnya.
Keputusan Kongres Mujahidin IV Tentang Rekomendasi Indonesia Bersyari’ah
Menimbang:
1. Kewajiban kaum muslim melaksanakan ajaran agama (syariat Islam) secara kâffah,
dalam seluruh aspek kehidupan; pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, Negara dan
antar bangsa. (QS. Al-Baqarah [2] : 208).
2. Hak konstitusional umat Islam untuk melaksanakan syariat Islam berdasarkan
Keputusan Presiden No. 150, 1959, tentang Dekrit Presiden, 5 Juli 1959 (LNRI No.
75, 1959) yang mengakui berakunya Piagam Jakarta (charter Jakarta). Dan ditegaskan
dalam perubahan ke 4 UUD 1945.
3. Qawaidut Tanzhim dan Qawaidut Tanfidz Majelis Mujahidin.
Memperhatikan:
1. Preambule UUD 45 alinea ketiga yang berbunyi: “Atas berkat rakhmat Allah Yang
Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya”.
2. UUD 45 Bab XI tentang Agama, pasal 29 ayat (1) dan (2):
(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
3. Sekularisasi produk perundang-undangan Negara, tanpa pertimbangan ajaran agama
yang notabene menjadi dasar utama pembangunan masyarakat dan Negara sesuai
dengan UUD NRI 45 Ps. 29 ayat (1) dan (2).
4. Perlu adanya payung hukum yang melindungi syariat Islam sebagai dasar
pengambilan keputusan dan kebijakan negara/wakil rakyat untuk melegalisasikan
peraturan dan perundang-undangan pemerintah RI.
5. Hasil keputusan Sidang Pleno I dan II dan pendapat para peserta Kongres
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
1. Rekomendasi Kongres Mujahidin IV tentang Penegakan syariat Islam dalam
Kehidupan Berbangsa dan Bernegara sebagaimana terlampir;
2. Pemilihan pengurus harian AHWA Majelis Mujahidin
3. Keputusan ini berlaku sejak ditetapkan.
322
REKOMENDASI INDONESIA BERSYARI’AH
KONGRES MUJAHIDIN IV
Sentul City, Bogor, 18 Syawwal 1434 H/25 Agustus 2013 M
1. DASAR NEGARA, PEMILU DAN KEPEMIMPINAN NASIONAL:
1. Dasar Negara harus sesuai dengan Pasal 29 ayat (1) UUD 45 bahwa negara berdasar
Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Sistim Pemilu yang menyalahi dan tidak sesuai dengan syariat Islam ditolak.
3. Kepemimpinan Nasional harus memiliki komitmen terhadap pelaksanaan syariat
Islam (agama) di lembaga negara dan menjadi contoh tauladan (uswatun hasanah)
dalam melaksanakannya.
2. EKONOMI:
Sistem ekonomi ribawi harus ditinggal. Pembangunan ekonomi Negara harus disesuaiakan
dengan Syariat Islam:
1. Sistem moneter disesuaikan dengan syariat Islam.
2. Memutus mata rantai ekonomi dengan IMF dan World Bank.
3. Sumber-sumber kekayaan Negara dan BUMN Mutlak harus dikuasai oleh Negara.
3. MORAL:
1. Sistem politik bernegara dibangun sesuai syariat Islam.
2. Pembangunan akhlak bangsa harus sesuai dengan syariat Islam.
4. PENDIDIKAN:
1. Sistim pendidikan Nasional harus diintegrasikan dengan Agama.
2. Semua aktifitas pendidikan harus didanai oleh Negara.
5. PENGUSAHA DAN BURUH:
1. Hubungan buruh dan majikan harus mengikuti ketentuan syariat Islam.
2. Menjamin kehidupan buruh sesuai dengan hak hidup manusia yang ditetapkan oleh
syariat Islam.
3. Negara harus membantu para pengusaha yang tidak mampu mengupah buruh dengan
layak menggunakan dana Negara.
6. PEREMPUAN:
1. Hak-hak perempuan disesuaikan dengan ketentuan syariat Islam.
2. Kaum perempuan wajib mendahulukan fungsinya sebagai ibu dalam membangun
keluarga sesuai syariat Islam.
3. Ekspor tenaga kerja wanita (TKW) haram menurut syariat Islam.
7. HUKUM:
1. Hukum peninggalan kolonial Belanda wajib ditinggalkan.
323
2. Syariat Islam harus menjadi hukum Negara sebagai konsekwensi adanya mayoritas
rakyat Indonesia beragama Islam.
3. HAM internasional harus disesuaikan dengan syariat Islam.
4. Hukuman mati dan pemiskinan bagi koruptor.
5. Perdagangan narkoba dan jaringannya harus dihukum mati, sedangkan pecandunya
harus dihukum dan direhabilitasi.
8. RAKYAT MISKIN
Kesejahteraan rakyat miskin menjadi tanggungjawab Negara dan orang-orang kaya
9. PENANGGULANGAN TERORISME
Menyayangkan dan mengkitik keras prilaku dan tindakan Densus 88, yang banyak
menembak mati tersangka teroris dan tidak diketahui identitasnya secara pasti, tanpa melalui
proses hukum yang adil dan benar. Padahal profesionalisme Densus semestinya mampu
untuk sekedar melumpuhkan tanpa harus membunuh, sehingga dapat menguak prilaku
terorisme ini di Pengadilan. Hal ini bertentangan dengan syariat Islam dan HAM
Internasional.
10. MISS WORLD
Majelis Mujahidin menolak keras rencana diselenggarakannya miss world di seluruh
wilayah NKRI karena akan merendahkan martabat wanita dengan mengumbar aurat yang
diharamkan oleh syariat Islam.
Sentul City, 18 Syawwal 1434 H/25 Agustus 2013
Peserta Kongres Mujahidin IV426
426
http://majelismujahidin.com/ diunduh pada 2 Desember 2015 pukul 08.00 WIB.
324
Lampiran 5:
Daftar Gambar
1) Teori Miles dan Huberman untuk analisis data ................................................................. 35
2) Sistem bahasa (Teori Hocket) ......................................................................................... 128
3) Satuan bahasa (wacana) ................................................................................................... 129
4) Semantic tringle/segitiga bermakna ................................................................................. 133
5) Model pola transformasi Noam Chomsky ....................................................................... 156
325
Lampiran 6:
Daftar Tabel
1) Tabel 1 Daftar Peristiwa Ledakan Bom di Seluruh Dunia ................................................. 72
2) Tabel 2 Negara dan Kasus Kematian Akibat Terorisme .................................................... 75
3) Tabel 3 Daftar Peristiwa Ledakan Bom di Indonesia ........................................................ 85
4) Tabel 4 Perdebatan dan Polemik antara MMI dan Kemenag .......................................... 241
5) Tabel 5 Kritik MMI terhadap terjemah Al-Qur‘an Kemenag bidang akidah ................. 241
6) Tabel 6 Kritik MMI terhadap terjemah Al-Qur‘an Kemenag bidang syariah ................. 242
7) Tabel 7 Kritik MMI terhadap terjemah Al-Qur‘an Kemenag bidang ekonomi ............... 242
8) Tabel 8 Kritik MMI terhadap terjemah Al-Qur‘an Kemenag bidang sosial .................... 245
9) Tabel 9 Parameter kritik MMI terhadap terjemah Al-Qur‘an Kemenag
secara garis besar ............................................................................................................. 243
326
CURRICULUM VITAE
Nama : Nasrullah Nurdin
Tempat/Tgl lahir : Jakarta, 10 Desember 1987
Alamat Rumah : Jl. Kembangan Selatan RT 001/02 Gang H. Jasan No. 53, Kembangan
Selatan Jakarta Barat 11610. Tlp (021) 58301340
Alamat Kantor : Jl. M.H. Thamrin No. 6 Lt 17, Jakarta Pusat. Tlp (021) 3920 688
Aktivitas kini :
1) Pegawai Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Pusat
2) Director of Anas Corner
3) Penulis di Penerbit Erlangga, Penulis di Bumi Aksara, dan Penulis
pada Jurnal Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Penulis pada
Puslitbang Kehidupan Keagamaan, dan Penulis pada Jurnal Mushaf
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‘an (Terakreditasi LIPI) serta
publikasi bertaraf Nasional dan Internasional lainnya.
4) Pengisi Khotib Jumat di Masjid Daud Nursiah Paloh Metro TV Kedoya
Jakbar, Khotib di Masjid At-Taqwa Jakbar, Pengisi Seminar Nasional
dan Internasional, Pengisi Kajian Keislaman Masjid Baitus Shobri
Jakbar, dan Khotib di Masjid Al-Hijrah Perumahan Poris Indah
Tangerang, Banten.
5) Sekretaris Lembaga Falakiyah PWNU DKI Jakarta
Email : [email protected] dan [email protected]
Facebook : Nasrullah
Twitter : anasresidence atau nasrul_nurdin
Blog : http://saungberkarya.blogspot.com
Website : www.anascorner.com (on going process)
PIN BBM : 5313282D
Contact Person : 0856-8230-670 dan 0812-8426-6564
Penghargaan dan beasiswa yang pernah diraih :
- Tahun 2005-2006, Penghargaan Santri/Siswa terbaik Ponpes Al-Hidayah Basmol
Jakbar
- Tahun 2006, mendapat scholarship (beasiswa) The Habibie Center Kemang Jaksel
327
- Tahun 2007, mendapat beasiswa dari Yayasan Beasiswa Prov DKI Jakarta
- Tahun 2008, mendapat beasiswa dari Yayasan Supersemar Jakarta dan Juara III
Lomba Membaca Kitab Kuning tingkat Marhalah „Ulya se Provinsi DKI Jakarta
- Tahun 2009, mendapat beasiswa dari Women International Club Jakarta
- Tahun 2010, mendapat beasiswa dari Kedubes India Jakpus
- Tahun 2011, mendapat sponsor dari Embassy of Saudi Arabia dan Kemenag RI Pusat
- Tahun 2012-2013, mendapat tugas dinas ke sejumlah wilayah Indonesia
- Tahun 2014, mendapat Student Achievement Award dari Rektor UIN Jakarta
- Tahun 2015, peserta Indonesia Award program PT Astra International
- Tahun 2015, mendapat beasiswa Tesis dari Yayasan Supersemar dan BAZIS DKI
- Tahun 2016, menerbitkan buku terbaru di Erlangga Publishing
Sejumlah karya buku yang telah dipublikasikan baik pribadi maupun tim dan masih
dalam proses penerbitan.
- Mushaf Al-Burhan Khusus Wanita dan Tajwid Color full, (sebagai Proofreader)
- Kepompong Ramadhan Republika (bersama Tim)
- Berdakwah di Papua, Kota Injil
- Approaches in Islamic Studies
- Kajian Islam Kontemporer, belajar dari sumbernya
- Mukjizat Amalan Harian
- Jaringan Pemikiran Hadis Mesir – Indonesia
- Apresiasi Intelektual Islam terhadap Naskah Klasik Keagamaan
- Terorisme dan Teks Keagamaan
- Mereguk 50 Pesan Ilahi yang Super
- Berbakti kepada Kedua Orangtua (Skripsi S1 Ponpes Darus Sunnah)
- Pendekatan Sosioklutural atas Teks Terjemahan: Telaah Domestikasi dan
Foreignisasi (Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta )