Click here to load reader
Upload
tangguh
View
334
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Walaupun selama ini terorisme di Indonesia dilakukan dengan bom terhadap simbol-simbol Amerika Serikat dan sekutunya di Indonesia, kini mereka mengubah pola serangan menjadi serbuan bersenjata ke berbagai simbol kekuasaan negara. Hal ini diungkapkan dalam headline Koran Tempo 15 Agustus 2010: Teroris Berencana Bunuh Presiden pada 17 Agustus: Pola serangan berubah dari bom bunuh diri menjadi serbuan bersenjata. Dalam artikel tersebut, disebutkan bahwa kelompok teroris berencana menyerang dan membunuh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta pejabat negara lain saat peringatan Hari Kemerdekaan pada 17 Agustus 2010. Polisi membaca perubahan pola tersebut dengan indikasi barang bukti yang ditemukan Detasemen Khusus 88 di sejumlah tempat, berupa senjata laras panjang, amunisi, dan pistol. Sebagian senjata teroris yang diklaim telah dapat polisi sita antara lain AK-47 di Kabupaten Pidie dan Kabupaten Aceh Besar, AK-56 dan AK-58 di Kabupaten Bireuen, M-16 di Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Sukoharjo, sepuluh senapan pelontar granat organik dari warga Poso, Sulawesi Tengah, pistol Glock di Kabupaten Aceh Besar, pistol Smith & Wesson di Kabupaten Lhokseumawe dan Kabupaten Bireuen, pistol Colt revolver model 1911 di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, serta Five-Seven (FN) di Pamulang, Tangerang Selatan, dan di Cileungsi, Bogor. Bagaimana hal ini akan berimplikasi terhadap usaha-usaha kontraterorisme di Indonesia? Penulis akan coba membahas masalah ini dengan dua pendekatan, yaitu sebagai masalah terorisme dan sebagai masalah Small Arms and Light Weapons (SALW), kemudian mencoba membuat rekomendasi solusi.
Citation preview
Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia Mata Kuliah Keamanan Non-Tradisional
1
Paper Akhir Mata Kuliah Keamanan Non-Tradisional
Terror and Small Arms: Respon Kebijakan terhadap Serbuan Bersenjata Teroris Tangguh 0706291426
Walaupun selama ini terorisme di Indonesia dilakukan dengan bom terhadap simbol-
simbol Amerika Serikat dan sekutunya di Indonesia, kini mereka mengubah pola serangan
menjadi serbuan bersenjata ke berbagai simbol kekuasaan negara. Hal ini diungkapkan dalam
headline Koran Tempo 15 Agustus 2010: Teroris Berencana Bunuh Presiden pada 17
Agustus: Pola serangan berubah dari bom bunuh diri menjadi serbuan bersenjata. Dalam
artikel tersebut, disebutkan bahwa kelompok teroris berencana menyerang dan membunuh
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serta pejabat negara lain saat peringatan Hari
Kemerdekaan pada 17 Agustus 2010. Polisi membaca perubahan pola tersebut dengan
indikasi barang bukti yang ditemukan Detasemen Khusus 88 di sejumlah tempat, berupa
senjata laras panjang, amunisi, dan pistol.1 Sebagian senjata teroris yang diklaim telah dapat
polisi sita antara lain AK-47 di Kabupaten Pidie dan Kabupaten Aceh Besar, AK-56 dan AK-
58 di Kabupaten Bireuen, M-16 di Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Sukoharjo, sepuluh
senapan pelontar granat organik dari warga Poso, Sulawesi Tengah, pistol Glock di
Kabupaten Aceh Besar, pistol Smith & Wesson di Kabupaten Lhokseumawe dan Kabupaten
Bireuen, pistol Colt revolver model 1911 di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, serta
Five-Seven (FN) di Pamulang, Tangerang Selatan, dan di Cileungsi, Bogor.2 Bagaimana hal
ini akan berimplikasi terhadap usaha-usaha kontraterorisme di Indonesia? Penulis akan coba
membahas masalah ini dengan dua pendekatan, yaitu sebagai masalah terorisme dan sebagai
masalah Small Arms and Light Weapons (SALW), kemudian mencoba membuat rekomendasi
solusi.
Presidential Assassination: Terror on the Symbols of State
Dulu, teroris menjadikan simbol-simbol Amerika Serikat dan sekutunya di Indonesia
sebagai sasaran. Kini, para teroris itu juga menjadikan simbol negeri sendiri sebagai target,
seperti Istana Negara (meniru serangan terhadap Presiden Anwar Sadat di Mesir), hotel-hotel
1 Cornila Desyana et. al., “Teroris Berencana Bunuh Presiden pada 17 Agustus”, dalam Koran Tempo
edisi 15 Mei 2010. 2 Cornila Desyana dan Sapto Yunus, “Teroris Incar Pimpinan Negara”, dalam Koran Tempo edisi 15 Mei 2010.
Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia Mata Kuliah Keamanan Non-Tradisional
2
(polanya seperti serangan di Mumbai, India, pada 2008), dan markas polisi. Cindy Combs
dan Martin Slann (2002) mendefinisikan terorisme sebagai ―suatu sintesis perang dan medan
perang, suatu dramatisasi jenis kekerasan yang paling terlarang—yaitu yang dilakukan pada
korban yang tak bersalah—yang dimainkan di depan audiens untuk menciptakan ketakutan
untuk tujuan-tujuan politik‖.3 Komponen-komponen krusial terorisme adalah persepsi
audiens terhadap potensi kekerasan, ketakutan, dan korban yang tak bersalah yang terpisah
dari tujuan akhir, serta motivasi atau tujuan politik.4
Dalam sejarahnya, para teroris telah menargetkan simbol-simbol kekuasaan negara pada
1800-an di Eropa, di mana para anarkis melemparkan bom pada para kaisar atau raja. Pada
1901, seorang anarkis bernama Leon Czolgosz membunuh Presiden Amerika Serikat William
McKinley di New York.5 Bahkan, Perang Dunia I dipicu oleh aksi seorang teroris Serbia
bernama Gavrilo Princip yang membunuh Pangeran Franz Ferdinand dari Austria di
Sarajevo. Dapat dilihat bahwa simbol-simbol negara telah jamak menjadi target serangan
teroris. Apabila dahulu, simbol-simbol Amerika Serikat dan sekutunya di Indonesia yang
menjadi target terorisme, hal itu disebabkan tujuan politik para teroris dahulu bukanlah
perlawanan terhadap negara, melainkan terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan
pengaruhnya terhadap dunia Muslim. Maka, apabila kini, para teroris itu juga menjadikan
simbol negeri sendiri sebagai target, hal itu berarti tujuan politik mereka telah berubah. Hal
ini dikonfirmasikan oleh Presiden SBY sendiri, yang mengatakan bahwa kelompok teroris
ingin mengubah dasar negara kita.6 Tentu saja, hal ini merupakan ancaman terhadap
kedaulatan negara, dan harus ditanggapi sebagaimana sebuah isu keamanan high-politics.
Why Small is Not Beautiful: Small Arms and Light Weapons and Their Control
Dulu, teroris melakukan serangan dengan mengirim pelaku bom bunuh diri. Kini ada
indikasi mereka akan mengirim pasukan bersenjata. Polisi mengklaim, sebagian senjata itu
telah dapat mereka sita. Berbagai senjata tersebut termasuk SALW, atau persenjataan kecil
dan ringan. Istilah SALW digunakan dalam berbagai protokol pengendalian senjata untuk
3 Cincy C. Combs dan Martin Slann (2002), Encyclopedia of Terrorism, Revised Edition (New York: Facts
on File), hlm.320. 4 Ibid., hlm.320-323. 5 Lihat “Assassination of William McKinley”, diakses dari http://mckinleydeath.com/, pada 23 Mei 2010, 13:42. 6 Lihat Luhur Hertanto, “SBY: Kelompok Teroris Ingin Indonesia Jadi Negara Islam”, detikNews 17
Mei 2010, diakses dari http://www.detiknews.com/read/2010/05/17/101432/1358263/10/sby-kelompok-teroris-ingin-indonesia-jadi-negara-islam, pada 23 Mei 2010, 20:43.
Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia Mata Kuliah Keamanan Non-Tradisional
3
merujuk kepada berbagai tipe persenjataan. Panel berikut ini berdasarkan 1997 UN Panel of
Governmental Experts on Small Arms:7
small arms: pistol revolver maupun self-loading, senapan dan karabin, sub-machine
gun, senapan serbu, dan senapan mesin ringan;
light weapons: senapan mesin berat, peluncur granat hand-held under barrel maupun
mounted, senjata antipesawat portabel, senjata antitank portabel tanpa hentak balik,
sistem peluncur rudal antitank dan roket portabel, sistem peluncur rudal antipesawat
portabel, dan mortar dengan kaliber hingga 100 mm.
amunisi dan peledak: selongsong peluru bundar untuk small arms, granat dan rudal
untuk light weapons, container bergerak dengan misil rudal atau granat untuk sistem
antipesawat dan antitank single-action, granat tangan antipersonil dan antitank, ranjau
darat, dan peledak.
SALW menjadi ancaman nyata terhadap keamanan internasional karena jumlah korban
tewas senjata kecil tersebut jauh lebih besar daripada seluruh sistem persenjataan lainnya,
bahkan korban bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Penyalahgunaan SALW dalam konflik
dan kejahatan diperkirakan menyebabkan 500.000 kematian tiap tahun, dan luka lainnya yang
tak terhitung.8 Dalam 90% dari seluruh konflik sejak 1990, SALW telah menjadi senjata
utama dalam pertempuran, dan berkontribusi terhadap peningkatan proporsi kematian warga
sipil dalam konflik-konflik tersebut antara 30%-90%.9 Selain itu, SALW juga sangat tersedia
di daerah-daerah konflik karena penyebaran dan proliferasinya. Dalam menjelaskan tentang
struktur dan dinamika penyebaran SALW, Mike Bourne (2007) menekankan kurangnya
kejelasan dalam spektrum legalitas dari transfer legal hingga pasar gelap, di mana struktur
kebijakan yang membentuk proses penyebaran SALW tak jelas dan terfragmen.10
Menurut
Bourne, arus senjata kepada konflik adalah fungsi dari 1) persediaan global SALW yang
sangat banyak; 2) perdagangan gelap yang terglobalisasi; dan 3) kesatuan gelap broker
senjata.11
Karena SALW memiliki kapabilitas mendestabilisasi konflik yang sangat besar, agenda
pengendalian SALW masih sangat revelan dalam agenda keamanan masyarakat internasional.
7 Lihat Mike Bourne (2007), Arming Conflict: The Proliferation of Small Arms (Hampshire: Palgrave
Macmillan), hlm.4-5. 8 Small Arms Survey (2001), Small Arms Survey 2001: Profiling the Problem (Oxford: Oxford University
Press), hlm.1. 9 ICRC (1999), Arms Availability and the Situation of Civilians in Armed Conflict (Jenewa: ICRC). 10 Ibid., hlm.30-31. Lihat juga Lampiran, Tabel 1: Spektrum Transfer SALW, serta Lampiran, Tabel 2:
Struktur penyebaran dan imej penyebaran SALW. 11 Ibid., hlm.34.
Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia Mata Kuliah Keamanan Non-Tradisional
4
Damien Rogers (2009) berargumen bahwa para aktor protagonis pengendalian senjata kecil
tersebut, seperti para peneliti, Intergovernmental Organization (IGO), Dewan Keamanan
PBB, pemerintah berbagai negara, dan Civil Society Organization (CSO) tak memiliki asumsi
bersama preferensi analisis bersama, sementara para aktor antagonis, seperti para produsen,
broker, dan pengguna senjata, serta para pedagang senjata, kelompok kriminal, dan
kombatan, menantang usaha-usaha tersebut baik dari dalam maupun dari luar lingkungan
regulasi. Penyusunan pengendalian senjata juga tak lepas dari kesulitan membangun
konsensus substantif di antara seluruh aktor di sekitar gagasan politis ini.12
Rogers melanjutkan argumen bahwa ketersediaan yang tersebar luas dan penggunaan
terus-menerus SALW menghasilkan pengaruh-pengaruh yang memiliki berbagai konsekuensi
strategis-politis, ekonomi-politis, dan sosial-politis serius, namun dari masa ke masa
perhatian komunitas SALW internasional tak berhasil menyusun pengendalian yang efektif.13
Refleksi akhir Rogers adalah bahwa walaupun senjata kecil tersebut memiliki gema yang
besar di dasar masyarakat, efek-efek kumulatif senjata kecil ini tak mengganggu inti dari
arsitektur pemerintahan strategis-politis, sehingga tak mencapai pengaruh yang cukup untuk
secara radikal mereformasi tata urusan dunia kontemporer seperti nuklir.14
Indonesia’s Counterterrorism: A Dilemma in a Transitional Era
Sapto Waluyo (2009) mengungkapkan bahwa Indonesia menghadapi situasi sulit ketika
ancaman terorisme datang, yaitu bahwa transisi menuju demokrasi sedang berlangsung dan
menuntut ruang kebebasan memadai, sementara gejala konflik dan kekerasan harus ditangani
secara cepat dan efektif agar tak membahayakan proses demokrasi. Dilema yang terjadi
antara lain: 1) aspek legislatif, terjadi perdebatan UU Anti-Subversi dan UU Anti-Terorisme;
yang pertama menegakkan hukum dan keadilan, yang kedua memberi kewenangan kepada
aparat keamanan dengan risiko melanggar HAM dan mengurangi kebebasan warga; 2)
penegakan hukum, terjadi rivalitas antara institusi aparat penegak hukum (independensi polisi
dan dominasi militer) yang menimbulkan hambatan di tingkat pemeriksaan peradilan; 3)
aparat intelijen dan keamanan, terjadi miskoordinasi antarlembaga negara dan aparat penegak
hukum (Badan Intelijen Negara, Desk Anti-Terorisme, dan Detasemen Khusus Anti-Teror),
di mana informasi strategis belum dimanfaatkan optimal sebagai masukan utama dalam
penentuan kebijakan kontraterorisme, sehingga setiap lembaga bekerja dalam kotak tugasnya
12 Damien Rogers (2009), Postinternationalism and Small Arms Control (Surrey: Ashgate Publishing
Limited). 13 Ibid. 14 Ibid.
Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia Mata Kuliah Keamanan Non-Tradisional
5
yang sempit; serta 4) komunikasi publik, di mana sejumlah pejabat pemerintahan melakukan
retorika politik di hadapan publik tentang kebijakan kontraterorisme mereka, dan media
massa mengeksposnya untuk mendongkrak rating.15
Selain itu, Waluyo juga mengungkapkan
bahwa terdapat berbagai aspek domestik dan mancanegara yang memengaruhi substansi dan
format kebijakan yang diambil pemerintah untuk memberantas gejala terorisme, antara lain
krisis ekonomi, konflik komunal, kepemimpinan nasional, negara tetangga, perubahan di
dunia Muslim, serta dominasi global Amerika Serikat.16
Deterring Terrorists: A Policy Recommendation
Walaupun strategi deterrence dianggap tak memiliki peran signifikan dalam
kontraterorisme, karena teroris bersifat irasional, menganggap tujuan politik mereka jauh
lebih bernilai daripada risiko apapun yang ditanggung negara, dan teroris sulit untuk dilacak.
Namun, Robert Trager dan Dessislava Zagorcheva (2005/06) berargumen bahwa strategi
deterrence terhadap terorisme dapat dilakukan, dengan menganalisis struktur jaringan teroris,
proses pembuatan serangan, serta berbagai tujuan organisasi teroris.17
Senada dengan hal ini,
Andrew R. Morral dan Brian A. Jackson (2009) mengkaji berbagai literatur pembuatan
keputusan teroris untuk membangun model konseptual untuk memahami bagaimana sistem
keamanan dapat menangkal serangan dan membangun kerangka ukuran nilai deterrent relatif
suatu sistem keamanan alternatif. Morral dan Jackson kemudian mengungkapkan bahwa
target deterrence adalah keputusan teroris, yaitu dengan meningkatkan biasa operasi suatu
serangan teroris, meningkatkan biaya seluruh pilihan serangan, menaikkan biaya peluang,
menurunkan ekspektasi payoff suatu operasi, meningkatkan ketakpastian dalam payoff dan
biaya operasi, meningkatkan ketakpastian tentang kapabilitas pertahanan, meningkatkan
ketakpastian taktis, mengekspos penyerang terhadap tindakan-tindakan keamanan yang tak
dapat diprediksi, menukar ekspektasi utilitas relatif suatu operasi alternatif.18
Morral dan Jackson juga mempertimbangan deterrence pada level strategis,
operasional, dan taktis dipandang dari perspektif penyerang: deterrence strategis terjadi
15 Sapto Waluyo (2009), Kontra Terorisme: Dilema Indonesia Era Transisi (Jakarta Selatan: NF Media
Center), hlm. 48-69. 16 Ibid., hlm.70-194. Lihat juga Lampiran, Diagram 1: Proses Pembuatan Kebijakan Kontraterorisme di
Indonesia. 17 Robert Trager dan Dessislava Zagorcheva (2005/06), “Deterring Terrorism: It Can Be Done”, dalam International Security, vol.30, jilid 3, hlm.87-123. 18 Andrew R. Morral dan Brian A. Jackson (2009), “Understanding the Role of Deterrence in Counterterrorism Security”, Occasional Paper dalam Homeland Security Program (Santa Monica CA:
RAND Corporation), hlm.1-15. Lihat juga Lampiran, Gambar 1: Kalkulus model keputusan serangan teroris.
Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia Mata Kuliah Keamanan Non-Tradisional
6
ketika suatu kelompok diyakinkan bahwa ekspektasi utilitas suatu serangan adalah terlalu
rendah sehingga kampanye tersebut tak dipilih daripada cara-cara alternatif; deterrence
operasional terjadi ketika tindakan-tindakan keamanan yang menukar persepsi utilitas, biaya,
atau ketakpastian terkait suatu operasi teroris spesifik berhasil meyakinkan penyerang bahwa
suatu operasi khusus harus ditinggalkan; deterrence taktis terjadi melalui operasi melawan
teroris pada fase pengintaian, persiapan, serangan, dan pelarian diri.19
Dari model konseptual deterrence terhadap terorisme di atas, penulis
merekomendasikan kebijakan deterrence terhadap serbuan bersenjata teroris sebagai berikut:
1. Pada level strategis:
Memperkuat kerjasama kontraterorisme regional dan global, terutama lewat
ASEAN dan ARF.
Melakukan dialog konstruktif terkait pengendalian SALW lewat mekanisme
yang terbuka di berbagai organisasi internasional, terutama ASEAN.
Terus mengusahakan pemulihan ekonomi nasional dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat, sebagai pencegahan kemiskinan sebagai lahan
subur bagi merebaknya ketakpuasan terhadap pemerintah dan sikap
ekstremisme.
Melakukan program kontraideologi untuk menghadapi radikalisme dan
terorisme secara persuasif.
2. Pada level operasional:
Membentuk suatu komando dan kontrol terhadap serangan teroris, seperti
dengan menggunakan Incident Command System (ICS).
Mempersiapkan tindakan mitigasi kerusakan di sekitar sasaran, seperti
departemen pemadam kebakaran.
Melakukan evaluasi dan peningkatan kinerja aparat keamanan dan penegakan
hukum dalam pemberantasan terorisme, terutama Densus 88.
Melakukan evaluasi proses penegakan hukum dan peradilan terhadap para
terdakwa teroris.
Memperbaiki koordinasi antar aparat intelijen dan keamanan (BIN, Desk
Antiteror Menko Polkam, dan Densus 88).
3. Pada level taktis:
19 Ibid., hlm.15-19.
Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia Mata Kuliah Keamanan Non-Tradisional
7
Melakukan target-hardening terhadap sasaran-sasaran terorisme, seperti Istana
Negara, hotel-hotel penting, dan markas polisi untuk mencegah teroris
mengenai sasaran, atau mereduksi kerusakan, dengan metode seperti
penempatan Jersey barrier.
Mempersiapkan aparatur keamanan lokal, yang terdiri dari Kepolisian
Republik Indonesia untuk mengambil alih komando insiden, dan Detasemen
Khusus Anti-Teror 88 untuk melakukan operasi taktis terhadap teroris.
Mempersiapkan Densus 88 untuk melakukan perang senjata tangan dalam
kota, karena teroris mengubah pola serangan menjadi serbuan bersenjata.
Inti dari rekomendasi kebijakan deterrence di atas adalah deterrence taktis untuk
mengatasi serbuan bersenjata ke berbagai simbol kekuasaan negara dipadukan dengan
deterrence strategis dan operasional untuk mengatasi dilema kontraterorisme di Indonesia era
transisi. Diharapkan strategi deterrence terhadap terorisme ini dapat memengaruhi pembuatan
keputusan para teroris, dan menangkal ancaman serbuan bersenjata mereka.●
Word Count (Walaupun-mereka): 2.045
BIBLIOGRAFI
Bourne, Mike. (2007). Arming Conflict: The Proliferation of Small Arms. Hampshire:
Palgrave Macmillan. Combs, Cincy C. dan Martin Slann. (2002). Encyclopedia of Terrorism, Revised Edition.
New York: Facts on File. ICRC. (1999). Arms Availability and the Situation of Civilians in Armed Conflict. Jenewa:
ICRC. Morral, Andrew R. dan Brian A. Jackson. (2009). “Understanding the Role of
Deterrence in Counterterrorism Security.” Occasional Paper, Homeland Security Program. Santa Monica CA: RAND Corporation.
Rogers, Damien. (2009). Postinternationalism and Small Arms Control. Surrey: Ashgate
Publishing Limited. Small Arms Survey. (2001). Small Arms Survey 2001: Profiling the Problem. Oxford:
Oxford University Press. Trager, Robert dan Dessislava Zagorcheva. (2005/06). “Deterring Terrorism: It Can
Be Done.” International Security, vol.30, jilid 3. Waluyo, Sapto. (2009). Kontra Terorisme: Dilema Indonesia Era Transisi. Jakarta Selatan:
NF Media Center.
Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia Mata Kuliah Keamanan Non-Tradisional
8
LAMPIRAN ▼Diagram 1 Proses Pembuatan Kebijakan Kontraterorisme di Indonesia
Sumber: Waluyo (2009), hlm.93.
▼Tabel 1 Spektrum Transfer SALW (The Small Arms Survey 2001, hlm.141) Sumber: Bourne (2007), hlm.31.
Transfer Legal Transfer Pasar Abu-abu Transfer Pasar Gelap
Terjadi dengan keterlibatan,
aktif maupun pasif,
pemerintah atau agen
berwenang negara, sesuai
dengan hukum nasional dan
internasional
Terjadi ketika pemerintah atau
agen mereka mengeksploitasi
loophole atau mengelakkan
regulasi hukum nasional
dan/atau internasional
Terjadi dengan melanggar hukum
nasional dan/atau internasional dan
tanpa izin dan pengawasan
pemerintah resmi; dapat mencakup
pegawai pemerintah yang korup
yang bertindak untuk keuntungan
pribadi
▼Tabel 2 Struktur penyebaran dan imej penyebaran SALW
Economi
c Crisis
Post-Soeharto
Circumstance
s
Violent
Conflict
Domestic
Politics
National
Leadership
COUNTER-TERRORISM
Policy
Ganor (CT
framework), Beaufre-Thompson-
Ramakrishna
(indirect strategy)
Allison (bureaucratic
politics), Keohane-
Nye (foreign collaboration)
Neighbor
ing Countries
Change in
the Muslim World
US Global
Dominance
Foreign
Tensions
Effective?
Ineffective
?
Terror-free
Terror-trap
Failed state
Strong
state
TERRORISM
Problems
Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia Mata Kuliah Keamanan Non-Tradisional
9
Sumber: Bourne (2007), hlm.32-33.
Ketersediaan dan akuisisi teknologi
Jumlah negara dengan kapabilitas
teknologi
Nyaris seluruh negara
Kegunaan ganda teknologi Sangat tinggi
Ketersediaan teknologi secara komersial Sangat tinggi
Infrastruktur yang dibutuhkan untuk
pengembangan swadaya
Rendah
Ketersediaan dan akuisisi senjata
Batas perdagangan senjata utuh? Tidak
Jumlah negara produsen ≤105
Produksi komersial Ya
Keutuhan batas produksi/surplus Tidak
Struktur normatif dan kebijakan
Norma kebijakan Diskriminatif – batas rendah, muncul norma yang
menentang perdagangan gelap
Struktur kebijakan uniter/sepadan atau
terfragmen
Sangat terfragmen
Verifikasi/pemaksaan Sangat lemah
Proses penyebaran dominan Impor
Level proliferasi negara (terhadap proses
pemersenjataan)
Seluruh negara
Potensi penyebaran nonnegara Sangat tinggi
Imej teraplikasi Imej difusi/perdagangan/tak berbentuk
▼Gambar 1 Kalkulus model keputusan serangan teroris Sumber: Morral dan Jackson (2009), hlm.4. Gambar ini merepresentasi dua pilihan operasi serangan teroris, Op 1 dan Op 2. Kurva-kurva mengilustrasikan ketakpastian yang dihadapi perencana operasional terkait kemungkinan payoff (p) dan biaya (c) tiap operasi dalam hubungannya dengan utilitas. Kurva kelebihan mengilustrasikan kemungkinan payoff (atau biaya) operasi akan melebihi level utilitas kelompok.
Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia Mata Kuliah Keamanan Non-Tradisional
10