Upload
zickry-rassi
View
110
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Belum FInal
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Perkembangan dunia teknologi, khususnya internet saat ini sudah
begitu meningkat pesat. Internet bukan lagi suatu hal yang baru dalam fase
pertumbuhan dan perkembangan dunia teknologi. Perkembangan teknologi
yang sangat pesat ini telah membawa banyak perubahan bagi pola
kehidupan sebagian masyarakat dunia.
Banyak masyarakat dunia menggunakan internet untuk membantu
dalam kehidupan mereka, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan,
pemerintahan, bidang sosial, dan dalam bidang kehidupan lainnya. Para
pengguna internet dapat mengetahui secara cepat perkembangan yang
terjadi di seluruh dunia, hanya dengan berpandukan mesin pencari seperti
Google, pengguna di seluruh dunia mempunyai akses internet yang mudah
untuk mencari bermacam-macam informasi yang diinginkan. Dibanding
dengan buku dan perpustakaan, internet melambangkan penyebaran
(decentralization), pengetahuan (knowledge) informasi dan data secara
ekstrim.1
Internet telah melahirkan konsep baru diberbagai bidang, seperti di
bidang perdagangan (e-commerce), bidang pendidikan (e-learning), bidang
bisnis (e-business), bidang politik (e-democracy), dan dalam bidang
1 http://id.wikipedia.org/wiki/Internet
1
pemerintahan (e-government). e-Goverment adalah salah satu bentuk
pemanfaatan teknonogi informasi dalam penyelenggaraan Negara yang
bermanfaat untuk, antara lain ; a) meningkatkan diseminasi informasi dan
akses kepada informasi, dan b) meningkatkan akuntabilitas, tranparansi dan
efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.2
Internet juga dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dalam memberikan
layanan publik. Indonesia sendiri telah menggunakan aplikasi RI-NET yang
memungkinkan akses email kepada para pejabat serta memberikan layanan
web (homepage) yang dapat diakses melalui http://www.ri.go.id. Dengan
mengunakan layanan internet maka pemerintah dengan cepat dapat
mensosialisasikan regulasi dan kebijakan-kebijakan yang telah
ditetapkannya. Melalui administrasi online dalam pemerintahan, praktik
korupsi dalam membuat surat-surat dapat diminimalisasi. Pejabat juga dapat
mendekatkan diri dengan rakyat melalui teleconference.
Penggunaan teknologi informasi dalam bidang ekonomi telah
melahirkan istilah new digital networked economy. Jaringan ini memberikan
ruang untuk bertransaksi bisnis secara online dan real time. Penjualan
produk secara online menyebabkan cost of marketing dan cost of employee
menjadi semakin rendah sehingga margin keuntungan dapat ditingkatkan.
Selain itu Perusahaan-perusahaan berskala dunia semakin banyak
memanfaatkan fasilitas internet. Dengan melakukan transaksi-transaksi
melalui elektronik atau on-line dari berbagai sektor, yang kemudian
2 Kementerian Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia,2012, 101 Tanya Jawab Seputar UU ITE,Jakarta, hal. 3.
2
memunculkan istilah e-banking, e-commerce, e-trade, e-business, dan e-
retailing.
Disamping berbagai manfaat positif yang diperoleh, teknologi
informasi juga telah melahirkan bentuk-bentuk kejahatan yang baru yang
perlu diantisipasi. Seperti penyalahgunaan teknologi informasi yang
melanggar ruang-ruang publik maupun ruang privasi. Seperti halnya dunia
nyata, dunia maya ternyata terdapat pula berbagai bentuk kejahatan. Internet
dapat digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk
melakukan suatu tindakan kejahatan baik untuk mencari keuntungan atau
pun hanya sekedar melampiaskan keisengan.
Hal ini memunculkan fenomena khas yang sering disebut sebagai
Cybercrime (kejahatan dunia maya/kejahatan telematika). Cybercrime yang
merupakan akibat dari penyalahgunaan teknologi ini bisa berupa perusakan,
pemalsuan data, pencurian barang, hingga penyebarluasan informasi asusila
(cyber porn).
Cybercrime adalah kejahatan yang dilakukan oleh seorang atau
sekelompok orang dengan menggunakan komputer baik sebagai alat untuk
mencapai tujuan dari kejahatan tersebut (computer as a tool) mau pun
komputer sebagai target kejahatan (computer as a target). Pada dasarnya
originalitas Cybercrime adalah kejahatan dimana komputer sebagai target,
contohnya penyebaran virus atau malicious ware, sementara kejahatan
dimana komputer sebagai alat adalah kejahatan tradisional yang
menggunakan komputer sebagai sarana (contohnya fraud atau penipuan
3
yang menggunakan electronic mail sebagai alat penyebaran informasi bagi
si penipu).
Cybercrime seringkali dihubungkan dengan banyak kasus seperti kasus
pembobolan ATM di beberapa bank di Indonesia, masalah terorisme,
bahkan sampai kepada kasus pornografi. Baru-baru ini kita mendengar
kabar bahwa ada dua orang kakak beradik asal Dusun Ploso Jenar, Desa
Sumoroto, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo Jawa Timur
dilaporkan ke pihak yang berwajib karena membobol situs PANDI
(Pengelola Nama Domain Internet Indonesia). Dua bocah tersebut tengah
menghadapi sidang di Pengadilan Negeri setempat. Uniknya lagi, kedua
bocah tersebut saat ini tidak menempuh di pendidikan formal. Keduanya
baru saja menyelesaikan Ujian Nasional di pendidikan informal Kejar
Paket C. Kedua bocah ini tidak menggunakan aplikasi yang sangat canggih,
atau super computer, mereka hanya menggunakan software gratis (aplikasi
plug in dari mozilla). Hal ini dapat menjelaskan bahwa mudahnya
melakukan kejahatan telematika ini, bahkan dapat dilakukan oleh anak
remaja yang tidak menempuh pendidikan formal. Banyak hal yang melatar
belakangi kasus-kasus diatas, serta banyak hal pula yang dapat mengancam
stabilitas keamanan internasional.
Cybercrime terjadi pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1960-
an. Berbagai kasus cybercrime yang terjadi saat itu mulai dari manipulasi
transkrip akademik mahasiswa di Brooklyn College New York, penggunaan
komputer dalam penyelundupan narkotika, penyalahgunaan komputer oleh
4
karyawan hingga akses tidak sah terhadap Database Security Pasific
National Bank yang mengakibatkan kerugian sebesar US$ 10.2 juta pada
tahun 1978. 3
Cybercrime juga terjadi di Indonesia, bahkan kejahatan ini sebenarnya
sudah ada sejak internet masuk ke Indonesia.4 Pengguna internet di
Indonesia hanya 14,5 juta orang dari total penduduk yang mencapai 220
juta. Meskipun tidak ada 10 persennya, Indonesia pernah menduduki
peringkat pertama dalam kejahatan dunia maya. Tahun 2007 posisi
Indonesia sempat menurun di posisi empat setelah Ukraina dan beberapa
negara Eropa Timur yang membukukan angka kejahatan dunia maya lebih
banyak.
Kerugian yang timbul akibat adanya cybercrime ini dari tahun ke
tahun semakin meningkat. Berdasarkan data dari The International Data
Corporation dan FBI, kerugian yang diderita Amerika Serikat atas
kejatahan telematika ini meningkat dari US$ 2 Milliar pada tahun 1997
menjadi US$ 7.4 Milliar pada tahun 2003.5 Kerugian atas kejahatan ini
akan terus meningkat dua kali lipat setiap tahunnya, apabila tidak segera
diantisipasi. Cybercrime termasuk kejahatan yang bersifat lintas batas
wilayah territorial suatu negara, karena jaringan (network) yang digunakan
termasuk sebagai jaringan yang tanpa batas (borderless). Jaringan
borderless merupakan jaringan yang disediakan untuk memudahkan
3 Karnasudirja, Edy Junaedi, 1993, Jurisprudensi Kejahatan Komputer, Tanjung Agung, Jakarta, hal. 3.4 Sitompul, Asril, 2004, Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. vi.5 Power Richard,2000, CSI/FBI Computer Crime and Security Survey, Computer Security Issues and Trends 6, hlm. 3
5
pengguna internet agar dapat mengakses informasi seluasluasnya, akan
tetapi jaringan borderless dapat juga menimbulkan banyak permasalahan
termasuk masalah kejahatan telematika yang sifatnya lintas batas wilayah
negara. Beberapa negara mengkategorikan cybercrime sebagai kejahatan
transnasional, sehinggga perlu adanya suatu kerjasama internasional dalam
menangani kejahatan telematika tersebut. Akan tetapi banyak negara yang
masih mengalami berbagai kesulitan dalam melaksanakan usaha baik
pencegahan atau pun penanganan kejahatan telematika tersebut karena
adanya ketidakseragaman dalam membuat regulasi dan aturan internal
dalam negeri.
Dengan kemajuan dan perkembangan telekomunikasi multimedia,
ruang lingkup dan kecepatan komunikasi lintas batas meningkat, ini berarti
masalah hukum yang berkaitan dengan yurisdiksi dan penegakan serta
pemilihan hukum yang berlaku terhadap suatu sengketa multiyurisdiksi
akan bertambah penting dan kompeks. Hukum positif Indonesia yang
mengatur masalah tindakan-tindakan kriminal saat ini secara umum masih
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan-
ketentuan khusus di bidang Pidana saat ini telah ada untuk sektor-sektor
tertentu yang dikenal dengan tindak pidana khusus, tetapi belum satu pun
undang-undang yang mengatur mengenai kejahatan di bidang teknologi
informasi secara khusus.
Hukum yang salah satu fungsinya menjamin kelancaran proses
pembangunan nasional sekaligus mengamankan hasil-hasil yang telah
6
dicapai harus dapat melindungi hak para pemakai jasa internet sekaligus
menindak tegas para pelaku cybercrime. Hal ini perlu mendapat perhatian
mengingat karakteristik cybercrime sangat berbeda dengan tindak pidana
konvensioal, sehingga pendekatan hukum di bidang ini tidak dapat lagi
didekati secara konvensional. Mengingat karakteristik cybercrime yang
bersifat borderless dan menggunakan teknologi tinggi sebagai media, maka
kebijakan kriminalisasi di bidang teknologi informasi harus memperhatikan
perkembangan upaya penanggulangan cybercrime baik regional maupun
internasional dalam rangka harmonisasi dalam pengaturan tentang
cybercrime di Indonesia.
Cybercrime tentu menuntut adanya cyberlaw (hukum siber) yang
prinsip-prinsip utamanya harus diperhatikan sebagai berikut :
a) memberi rasa aman terhadap setiap warga masyarakat, baik
masyarakat maya, maupun masyarakat dalam realitas nyata. Rasa
aman ini berada di sekitar “keselamatan” beraktivitas dalam
masyarkat maya.
b) Selain itu cyberlaw harus dapat memberi rasa keadilan dalam
beraktivitas dalam masyarakat maya. Hal ini untuk melindungi
kepentingan sesama anggota masyarakat maya terhadap berbagai
kegiatan saling “membunuh” satu terhadap lainnya diantara anggota
masyarakat maya.
c) Cyberlaw diharapkan dapat melindungi hak-hak intelektual maupun
hak-hak materiil lainnya dari setiap warga masyarakat maya.
7
d) Harapan terbesar adalah agar cyberlaw dapat memberi rasa jera
terhadap pelaku-pelaku cybercrime dengan sanksi-sanksi hukuman
yang dibenarkan dalam masyarakat maya, maupun pemberian
sanksi-sanksi hukum postif (dalam realitas nyata) terhadap pelaku
kejahatan dalam masyarakat maya itu.6
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskanlah beberapa
hal yang menjadi rumusan masalah, yaitu :
1. Bagaimanakah pendekatan prinsip-prinsip hukum Indonesia dalam
mengantisipasi cybercrime sebagai kejahatan transnasional?
2. Bagaimanakah penanggulangan cybercrime dalam hukum Indonesia?
1.3. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk dapat memahami secara mendalam mengenai pendekatan
prinsip-prinsip hukum Indonesia dalam mengantisipasi cybercrime
sebagai kejahatan transnasional.
2. Untuk dapat memahami secara mendalam mengenai bagaimana
penanggulangan cybercrime dalam hukum Indonesia.
1.4. MANFAAT PENELITIAN
6 Mugiyati, & Ninuk Arifah, 2009, Perencanaan Pembangunan Hukum Nsional Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi,Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan hak Asasi Manusia RI, Jakarta, hal. 3
8
1. Manfaat Teoritis.
Secara teoritis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan beberapa konsep ilmiah
yang pada gilirannya memberikan sumbangan bagi perkembangan
hukum komputer.
2. Manfaat Praktis.
Secara praktis, melalui hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
pedoman dan masukan bagi pemerintah, peradilan, dan praktisi
hukum dalam menentukan kebijakan dan langkah-langkah untuk
menyelesaikan perkara yang sedang dihadapi dalam hal hukum
komputer.
1.5. LANDASAN TEORITIS
Pada dasarnya landasan teoritis yang dimaksudkan adalah upaya
untuk mengidentifikasikan teori hukum, konsep-konsep, asas-asas hukum
dan lain-lain, umumnya teori bersumber dari undang-undang, buku-buku,
karya tulis bidang ilmu dan laporan penelitian.
1.5.1. Konsep Kejahatan & Cybercrime
Kejahatan, baik dalam arti sebagai tindak pidana (konsepsi yuridis)
maupun dalam arti sebagai perilaku yang menyimpang (konsepsi
sosiologis), eksistensinya diakui dan diterima sebagai suatu fakta, baik oleh
masyarakat yang paling sederhana maupun oleh masyarakat yang paling 9
modern. Salah satu alasan pengakuan terhadap eksistensi kejahatan tersebut,
karena kejahatan itu merupakan salah satu bentuk tingkah laku manusia
yang sangat merugikan masyarakat, seperti pemerkosaan, pembunuhan,
penganiayaan, perampokan dan lain-lain.
Kejahatan sebagai salah satu bentuk tingkah laku manusia yang
sangat merugikan masyarakat (karena mengancam norma-norma yang
mendasari kehidupan atau keteraturan sosial, dapat menimbulkan
ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial), tidak saja
diakui oleh para ahli secara perorangan atau oleh masyarakat tertentu, tetapi
juga oleh masyarakat bangsa-bangsa melalui kongres-kongres internasional,
antara lain dinyatakan di dalam :
a. Laporan Kongres PBB ke-5 tahun 1975 di Jenewa, telah
dinyatakan, bahwa tidak diragukan lagi kejahatan telah membawa
akibat-akibat sebagai berikut :
Mengganggu atau merintangi tercapainya tujuan nasional;
Mencegah penggunaan optimal sumber-sumber nasional.
b. Kongres ke-6 tahun 1980 di Caracas, dalam salah satu
pertimbangan deklarasinya, antara lain dinyatakan : “Bahwa
fenomena kejahatan melalui pengaruhnya terhadap masyarakat,
mengganggu seluruh pembangunan bangsa-bangsa, merusak
kesejahteraan rakyat baik spiritual maupun material,
membahayakan martabat kemanusian dan menciptakan suasana
10
takut dan kekerasan yang merongrong kualitas lingkungan
hidup”.
Berdasarkan luasnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kejahatan,
dapat dipahami apabila bangsa-bangsa di dunia berupaya dengan segala
daya yang ada untuk melakukan penanggulangan terhadap kejahatan. Salah
satu upaya penanggulangan terhadap kejahatan yang telah dilakukan selama
ini bahkan merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu
sendiri, ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya berupa pidana.
Beberapa alasan penggunaan hukum pidana sebagai sarana
penanggulangan kejahatan, dikemukakan oleh :7
a. Roeslan Saleh, menyatakan :
1) Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada persoalan
tujuan-tujuan yang hendak dicapai tetapi terletak pada
persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh
menggunakan paksaan; persoalannya bukan terletak pada
hasil yang akan dicapai, tetapi dalam pertimbangan antara
nilai dari hasil itu dan dalam dari batas-batas kebebasan
pribadi masing-masing;
2) Ada usaha-usaha perbaikan atau perawatan yang tidak
mempunyai arti sama sekali bagi si terhukum dan disamping
itu harus ada reaksi atas pelanggaran-pelanggaran norma
7 Arief,Barda Nawawi,1991,Kebijakan sanksi Pidana dalam Menanggulangi Kejahatan, Fakultas Hukum Undip Semarang, hal. 28-41.
11
yang telah dilakukan itu dan tidaklah dapat dibiarkan begitu
saja;
3) Pengaruh pidana atau hukum pidana bukan semata-mata
ditujukan kepada si penjahat, tetapi juga untuk
mempengaruhi orang yang tidak jahat, yaitu warga
masyarakat yang mentaati norma-norma masyarakat.
b. H.L. Packer, menyatakan :
1) Sanksi pidana sangatlah dipelukan : kita tidak dapat hidup,
sekarang maupun dimasa yang akan datang tanpa pidana;
2) Sanksi pidana merupakan alat atau sarana yang terbaik yang
tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi bahaya besar
dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari
bahaya itu;
3) Sanksi pidana suatu ketika merupakan “penjamin yang utama
atau terbaik” dan suatu ketika merupakan “pengancaman
yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan
penjamin apabila digunakan secara hemat-hemat dan
digunakan secara manusiawi. Sebaliknya ia merupakan
pengancaman apabila digunakan secara sembarangan dan
secara paksa.
c. Marc Ancel, menyatakan :
Sistem hukum pidana, tindak pidana, penilaian hakim terhadap si
pelanggar dalam hubungannya dengan hukum secara murni dan
12
pidana merupakan lembaga-lembaga yang harus tetap
dipertahankan.
d. Muladi, menyatakan :
Hukum pidana dan pidana masih tetap diperlukan sebagai sarana
penanggulangan kejahatan, karena di dalamnya tidak saja
terkandung aspek rehabilitasi dan koreksi, tetapi juga aspek
pengamanan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana yang berat.
Kongres PBB ke-5 tahun 1975 di Jenewa membicarakan beberapa
bentuk dan dimensi kejahatan, antara lain :
a. Crime as Business, yaitu bentuk kejahatan yang bertujuan
mendapatkan keuntungan material melalui kegiatan dalam
bidang usaha (bisnis) atau industri, yang pada umumnya
dilakukan secara terorganisir dan dilakukan oleh mereka
yang mempunyai kedudukan terpandang di dalam
masyarakat.
b. Perbuatan kekerasan yang bersifat transnasional dan
internasional yang bisa disebut perbuatan “terorisme”.
c. Kejahatan yang berhubungan dengan perpindahan tempat,
misalnya mengenai pelanggaran paspor dan visa, pelacuran
dan sebagainya. Masalah yang berhubungan dengan
pengungsi, antara lain pengalihan bantuan dan spionase.
Menurut Muladi, “Perkembangan kejahatan ini telah melewati batas-
batas negara dan menunjukkan adanya kerja sama kejahatan yang bersifat
13
regional dan internasional. Hal ini nampaknya merupakan hasil sampingan
dari perkembangan sarana transportasi dan komunikasi modern”.8
Kejahatan menggunakan sarana teknologi informatika yang biasa
kita sebut cybercrime merupakan perilaku penyimpangan bentuk baru.
Volodymyr Golubev dalam Barda Nawawi Arief menamakannya dengan
istilah the new form of antisocial behaviour.9
Selain itu istilah yang digunakan terhadap kejahatan ini antara lain
Cyber Space/Virtual Space Offender, dimensi baru dari high tech crime,
transnational crime, dan dimensi baru dari kejahatan white collar crime.
Kejahatan cybercrime berbeda dan lain dari kejahatan yang telah ada dan
dikenal sebelumnya sebagaimana kejahatan tiada lain adalah produk
masyarakat itu sendiri (crime is a product of society its self).
Saat ini, beberapa Negara mengkategorikan cybercrime sebagai
kejahatan transnasional. Kejahatan transnasional adalah kejahatan yang
tidak hanya sifatnya lintas batas Negara, tetapi termasuk juga kejahatan
yang dilakukan di suatu Negara, tetapi berakibat fatal bagi Negara lain.
Contoh kejahatan transnasional ini adalah human trafficking,
penyelundupan orang, narkotika, atau teroris internasional. Cybercrime
dapat di kategorikan sebagai kejahatan kejahatan transnasional, karena
tindakannya bisa dilakukan di Negara B, oleh warga Negara A, tetapi
korbannya ada di Negara C. Dalam tatanan teknologi, sifat kegiatan
telematika adalah borderless atau lintas batas negara. Dimensi transnasional
8 Ibid. hal 509 Arief, Barda Nawawi,2006, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indoensia. PT.
Raja Grafindo Persada.hal. 26
14
yang melekat pada teknologi telematika ini sangat menguntungkan pelaku
kejahatan. Pelaku kejahatan dapat melakukan kejahatannya pada korban di
negara manapun korban berada. Korban kejahatan cybercrime tidak terbatas
pada individu, tetapi juga organisasi atau perusahaan bahkan negara secara
keseluruhan. Keuntungan yang lain bagi pelaku kejahatan cybercrime
adalah perbedaan aturan berkaitan dengan kejahatan telematika ini di setiap
negara. Bahkan masih banyak negara yang belum memiliki hukum yang
mengatur khusus mengenai cybercrime. Hal ini tentu memudahkan pelaku
kejahatan ini bisa dengan leluasa melakukan aktifitasnya tanpa terjerat
hukum. Cybercrime sangat tidak mudah diatasi dengan mengandalkan
hukum positif konvensional karena berbicara mengenai kejahatan tidak
dapat dilepaskan dari lima faktor yang saling kait mengait yaitu pelaku
kejahatan, modus kejahatan, korban kejahatan, reaksi sosial atas kejahatan
dan hukum.
Cybercrime berbeda dari kejahatan tradisional dalam beberapa cara.
Salah satu perbedaan penting adalah bahwa cybercrime tidak mengenal
batas-batas geografis karena internet memberikan kesempatan dengan akses
ke orang-orang, lembaga, dan bisnis di seluruh dunia. Contohnya penipuan.
Biasanya, penipuan melibatkan tatap muka komunikasi dengan korban atau
percakapan panjang melalui telepon untuk mendapatkan kepercayaan target,
namun pada saat ini pelaku kejahatan dapat melakukan kejahatan hanya
dengan mengirimkan pesan melalui email dan SMS (short massage service)
15
kepada target, ataupun pelaku hanya memerlukan nama jelas dari target
yang kemudian dapat digunakan untuk melakukan penipuan.10
Cybercrime dibedakan menjadi 2 (dua) kategori, yakni cybercrime
dalam pengertian sempit dan dalam pengertian yang luas. Cybercrime
dalam arti yang sempit adalah kejahatan terhadap system computer
sedangkan cybercrime dalam arti yang luas mencakup kejahatan terhadap
system atau jaringan computer dan kejahatan yang menggunakan sarana
computer.11 Cybercrime dalam arti menggunakan computer sebagai alat
untuk melakukan kejahatan adalah mencakup pelanggaran hak cipta,
penggelapan, pelecehan, cyberstalking, cyberbullying, penjualan online
ilegal, resep obat dan obat terlarang, dan perjudian internet.12
Dampak negatif internet yaitu cybercrime telah banyak menyedot
perhatian masyarakat baik nasional, regional bahkan internasional. Ini
pertanda bahwa kejahatan ini serius dan berbahaya bagi masyarakat. Jika di
kaji lebih jauh, makan akan muncul berbagai kekhawatiran, kecemasan dan
warning untuk segera membuat tembok pengaman terhadap penyebaran
cybercrime kepada masayarakat luas.
Kejahatan bersaranakan tekno-informasi, menurut Barda Nawawi
Arief meliputi:13
1) Economic cyber crime,
2) EFT (Electronic Funds Transfer) Crime,
10 Ibid.hal 3.11 Widodo,2009, Sistem Pemidanaan Dalam Cyber Crime, CV. Aswaja Pressindo, Yogyakarta, hal. 2412 Hellen Maras, Marie, 2012, Computer Forensics : Cybercriminals, Laws and Evidence, Jones & Bartlett Learning,USA. hal 4.13 Arief, Barda Nawawi, op.cit, hal 27
16
3) Cybank Crime, Internet Banking Crime, On-Line Business Crime,
4) Cyber/Electronic Money Laundering,
5) Hitech WCC (white collar crime),
6) Internet fraud (Bank fraud, Credit card fraud, On-line fraud),
7) cyber terrorism,
8) cyber stalking,
9) cyber sex, cyber (child) pornography, cyber defamation, cyber-
criminals, dsb.
Cybercrime dapat dilihat dalam beberapa ruang lingkup yaitu: Pertama
komputer sebagai instrumen untuk melakukan kejahatan tradisional, seperti
digunakan untuk melakukan pencurian, penipuan dan pemalsuan via
internet, disamping kejahatan lainnya seperti pornografi anak, maupun
prostitusi online.
Kedua, komputer dan perangkatnya sebagai objek penyalahgunaan,
dimana data-data didalam komputer yang menjadi objek kejahatan dapat
saja diubah, dimodifikasi, dihapus atau diduplikasi secara tidak sah. Ketiga,
penyalahgunaan yang berkaitan dengan komputer atau data.
Penyalahgunaan artinya jika komputer dan data-data yang terdapat di dalam
komputer digunakan secara ilegal atau tidak sah. Keempat, adalah
unauthorized acquisition, disclosure or use of information and data, yang
berkaitan dengan masalah penyalahgunaan hak akses dengan cara-cara yang
ilegal.
17
Keempat ruang lingkup yang disebutkan di atas dalam prakteknya akan
selalu menggunakan satu atau beberapa cara kombinasi dari modus operandi
berikut yaitu dengan teknik cracking, menyebarkan worm, virus, logic bomb
dan trojan horse atau hacking.
Kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi
yang berbasis komputer dan jaringan telekomunikasi ini dikelompokkan
dalam beberapa bentuk sesuai modus operandi yang ada, antara lain:
1. Unauthorized Access to Computer System and Service.
Kejahatan yang dilakukan dengan memasuki/menyusup ke dalam
suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin atau
tanpa sepengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang
dimasukinya. Biasanya pelaku kejahatan (hacker) melakukannya
dengan maksud sabotase ataupun pencurian informasi penting dan
rahasia. Namun begitu, ada juga yang melakukannya hanya karena
merasa tertantang untuk mencoba keahliannya menembus suatu
sistem yang memiliki tingkat proteksi tinggi. Kejahatan ini semakin
marak dengan berkembangnya teknologi Internet/intranet.
2. Illegal Contents.
Merupakan kejahatan dengan memasukkan data atau informasi ke
Internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dapat
dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum.
Sebagai contohnya, pemuatan suatu berita bohong atau fitnah yang
akan menghancurkan martabat atau harga diri pihak lain, hal-hal
18
yang berhubungan dengan pornografi atau pemuatan suatu informasi
yang merupakan rahasia negara, agitasi dan propaganda untuk
melawan pemerintahan yang sah dan sebagainya.
3. Data Forgery.
Merupakan kejahatan dengan memalsukan data pada dokumen-
dokumen penting yang tersimpan sebagai scripless document
melalui Internet. Kejahatan ini biasanya ditujukan pada dokumen-
dokumen e-commerce dengan membuat seolah-olah terjadi "salah
ketik" yang pada akhirnya akan menguntungkan pelaku karena
korban akan memasukkan data pribadi dan nomor kartu kredit yang
dapat saja disalah gunakan.
4. Cyber Espionage.
Merupakan kejahatan yang memanfaatkan jaringan internet untuk
melakukan kegiatan mata-mata terhadap pihak lain, dengan
memasuki sistem jaringan komputer (computer network system)
pihak sasaran. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap saingan
bisnis yang dokumen ataupun data pentingnya (data base) tersimpan
dalam suatu sistem yang computerized (tersambung dalam jaringan
komputer).
19
5. Cyber Sabotage and Extortion.
Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau
penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem
jaringan komputer yang terhubung dengan Internet. Biasanya
kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb,
virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga data,
program komputer atau system jaringan komputer tidak dapat
digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan
sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku.
6. Offense against Intellectual Property.
Kejahatan ini ditujukan terhadap hak atas kekayaan intelektual yang
dimiliki pihak lain di Internet. Sebagai contoh, peniruan tampilan
pada web page suatu situs milik orang lain secara ilegal, penyiaran
suatu informasi di Internet yang ternyata merupakan rahasia dagang
orang lain, dan sebagainya.
7. Infringements of Privacy.
Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi
seseorang yang tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan
secara computerized, yang apabila diketahui oleh orang lain maka
dapat merugikan korban secara materil maupun immateril, seperti
nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, cacat atau penyakit
tersembunyi dan sebagainya.
20
Cybercrime melibatkan penggunaan internet, komputer, dan teknologi
yang terkait dalam tindak kejahatan. Ini termasuk kejahatan teknologi
tertentu yang tidak akan mungkin dilakukan tanpa menggunakan teknologi
komputer serta kejahatan tradisional yang dilakukan dengan bantuan
komputer.14
Pelaku cybercrime menggunakan sarana komputer untuk melakukan
aksinya didunia maya. Institut Komputer Indonesia mendefinisikan
komputer sebagai berikut: “Suatu rangkaian peralatan-peralatan dan fasilitas
yang bekerja secara elektronis, bekerja dibawah kontrol suatu operating
system, melaksanakan pekerjaan berdasarkan rangkaian instruksi-instruksi
yang disebut program serta mempunyai internal storage yang digunakan
untuk menyimpan operating system, program dan data yang diolah.”
Operating system berfungsi untuk mengatur dan mengkontrol
sumber daya yang ada, baik dari hardware berupa komputer, Central
Processing Unit (CPU) dan memory/storage serta software komputer yang
berupa program-program komputer yang dibuat oleh programmer. Jenis-
jenis Operating System antara lain PC-DOS (Personal Computer Disk
Operating System), MS-DOS (Microsoft Disk Operating System), Unix,
Microsoft Windows, dan lain-lain.
Untuk melakukan suatu tindak pidana telematika yang lebih luas,
maka pelaku cybercrime memerlukan internet untuk menghubungkan
komputer yang satu dengan komputer yang lain, baik dalam satu wilayah
negara, maupun lintas Negara. Internet adalah jaringan luas dari komputer
14 Hellen Maras, Marie, 2012, op.cit, hal. 2
21
yang lazim disebut dengan Worldwide network. Internet merupakan jaringan
komputer yang terhubung satu sama lain melalui media komunikasi, seperti
kabel telepon, serat optik, satelit ataupun gelombang frekuensi. Jaringan
komputer ini dapat berukuran kecil seperti Lokal Area Network (LAN) yang
biasa dipakai secara intern di kantor-kantor, bank atau perusahaan atau biasa
disebut dengan intranet, dapat juga berukuran superbesar seperti internet.
1.5.2. Teori Penegakan Hukum
Untuk menganalisis mengenai Pengaturan dan penegakan hukum
terhadap cybercrime dalam anatomi kejahatan transnasional maka
digunakan teori penegakan hukum. Secara konsepsional, inti dari penegakan
hukum menurut Soerjono Soekanto terletak pada kegiatan menyerasikan
hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap
serta sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk
menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup.15 Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan
perundang-undangan namun juga sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan
hakim.16
Soerjono Soekanto mengemukakan ada 5 faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum yaitu:
15 Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 6,16 Ibid. hal 7.
22
1) Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi
pada undang-undang saja.
2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum.
3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.17
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur
daripada efektivitas penegakan hukum.18 Efektivitas perundang-undangan
tergantung pada beberapa faktor, antara lain:
1) Pengetahuan tentang substansi (isi) perundang-undangan,
2) Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut.
3) Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan
di dalam masyarakatnya.
4) Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang
tidak boleh dilahirkan secara tergesa-gesa untuk kepentingan
instan (sesaat), yang diistilahkan oleh Gunnar Myrdall sebagai
17 Ibid. hal 8.18 Ibid. hal 9.
23
sweep legislation (undang-undang sapu), yang memiliki kualitas
buruk dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.19
1.6. METODE PENELITIAN
1.6.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang ditujukan
terhadap sistematika hukum,20 khususnya mengenai peristiwa hukum berupa
perilaku atau sikap tindak dalam hukum yang digolongkan sebagai
perbuatan pidana (strafbaarfeit) yang dikenal dengan cybercrime. Penelitian
hukum normative atau kepustakaan tersebut menyangkut :21
Penelitian terhadap asas-asas hukum.
1) Penelitian terhadap sistematik hukum.
2) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal.
3) Perbandingan hukum.
4) Sejarah hukum.
5) Bahan-bahan non hukum.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu ditujukan untuk
memecahkan masalah cybercrime yang merupakan masalah aktual.
Penelitian ini akan menggambarkan bentuk-bentuk cybercrime dan modus
operandinya, selanjutnya bentuk-bentuk cybercrime tersebut dianalisa untuk
19 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.204,20
Soekanto, Soerjono, 1986, “Pengantar Penelitian Hukum”, cetakan ketiga, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, hal: 5121 Ibid.
24
dikualifikasikan dan sedapat mungkin dicari pengaturannya di dalam sistem
perundang-undangan Indonesia.
1.6.2. Jenis Pendekatan
Pendekatan terhadap permasalahan dalam penelitian ini dilakukan
dengan 2 (dua) pendekatan yaitu pendekatan analisis konsep hukum
(analytical and conceptual approach) dan pendekatan perundang-undangan
(statute approach).
1.6.3. Sumber Bahan Hukum
Didalam jenis penelitian hukum yang bersifat normatif, kualifikasi
bahan hukum yang lazim dipergunakan adalah :
1. Bahan Hukum Primer.
a. Pancasila
b. Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
1945 Amandemen keempat.
c. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
d. Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi
Dan Transaksi Elektronik.
2. Bahan Hukum Sekunder
Sumber Bahan Hukum Sekunder bermanfaat sebagai ; a) sebagai sumber
materiil; b) untuk meningkatkan mutu interpretasi atas hukum positif yang
berlaku; dan c) untuk mengembangkan hukum sebagai suatu system
25
normative yang komperhensif dan tuntas, baik dalam maknanya yang
formal maupun dalam maknanya yang materiil.22 Bahan Hukum Sekunder
dapat berupa:
a. Rancangan peraturan perundang-undangan.
b. Hasil karya ilmiah para pakar hukum, dan
c. Hasil penelitan
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum Tersier berupa kamus, ensiklopedia, buku saku, serta
bahan-bahan yang memberikan informasi mengenai bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder.
1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Adapun teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini
menggunakan metode gabungan antara metode bola salju (snowball
method) dengan metode sistematis (systematic method), metode bola salju
dimaksud dilakukan dengan cara penelusuran bahan acuan yang
dipergunakan dalam buku-buku atau hasil penelitian yang berkaitan erat
dengan masalah yang diteliti dalam penelitian ini. Sedangkan metode
sistematis (systematic method) dimaksudkan adalah dengan
mempergunakan sarana bantuan berupa kartu-kartu catatan sebagai cara
22 Burhan Ashofa,2001, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, hal. 42
26
untuk lebih mempermudah penelusuran bahan hukum yag diperlukan dalam
penelitian ini.23
1.6.5. Teknik Analisis
Sesuai dengan sifat penelitian hukum normatif, maka dalam
penelitian ini yang dianalisa bukanlah data, tetapi bahan hukum yang
diperoleh lewat penelusuran metode sebagaimana disebutkan diatas,
Analisis bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan
dilakukan secara analisa deskriptif, evaluatif, interpretatif, dan argumentatif.
a. Analisa Deskriptif, yaitu uraian-uraian yang ditulis apa adanya
terhadap suatu kondisi atau posisi hukum atau non hukum.
b. Analisa Evaluatif, yaitu melakukan penelitian terhadap suatu
pandangan, pernyataan rumusan norma, dan bahan hukum primer
maupun sekunder.
c. Analisa Interpretatif, analisa ini dilakukan karena terdapat norma
yang kabur dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan penelitian ini.
d. Analisa Argumentatif, yaitu penilaian yang didasarkan pada alasan-
alasan yang bersifat penalaran hukum.
23 Ibid.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-buku:
Ali,Achmad, 2009, “Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori
Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi
Undang-undang (Legisprudence)”, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta.
Arief, Barda Nawawi, 1991, “Kebijakan sanksi Pidana dalam
Menanggulangi Kejahatan”, Fakultas Hukum Undip
Semarang.
___________, 2006, “Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian
Cyber Crime di Indoensia”. PT. Raja Grafindo Persada.
Burhan, Ashofa, 2001, “Metode Penelitian Hukum”, PT. Rineka Cipta.
Hellen Maras, Marie, 2012, “Computer Forensics : Cybercriminals, Laws and Evidence”, Jones & Bartlett Learning,USA.
Karnasudirja, Edy Junaedi, 1993, “Jurisprudensi Kejahatan Komputer”, Tanjung Agung, Jakarta.
Kementerian Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia,2012, “101 Tanya Jawab Seputar UU ITE”,Jakarta.
Mugiyati, & Ninuk Arifah, 2009, “Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi”, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan hak Asasi Manusia RI, Jakarta.
Power Richard, 2000, “CSI/FBI Computer Crime and Security Survey”, Computer Security Issues and Trends 6.
Sitompul, Asril, 2004, “Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace”, Citra Aditya Bakti, Bandung.
28
Soekanto, Soerjono, 1986, “Pengantar Penelitian Hukum”, cetakan ketiga, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
____________, 2004, “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Widodo , 2009, “Sistem Pemidanaan Dalam Cyber Crime”, CV. Aswaja Pressindo, Yogyakarta.
2. Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Internet
29