Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TESIS
PROKALSITONIN PADA ANAK DENGAN SINDROMA NEFROTIK
RELAPS
DIAN ISMAWARDANI
117103005
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
Universitas Sumatera Utara
i
PROKALSITONIN PADA ANAK SINDROMA NEFROTIK RELAPS
TESIS
Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang
Ilmu Kesehatan Anak / M.Ked (Ped) pada Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara
DIAN ISMAWARDANI
117103005 / IKA
PROGRAM MAGISTER KLINIK-SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
Universitas Sumatera Utara
ii
PERNYATAAN
TESIS
PROKALSITONIN PADA ANAK SINDROMA NEFROTIK RELAPS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini, tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang
pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dijadikan acuan dalam naskah
ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, April 2018
dr. Dian Ismawardani
Universitas Sumatera Utara
iii
Universitas Sumatera Utara
iv
Universitas Sumatera Utara
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
berkatNya serta telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan penulisan tesis ini.Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan
merupakan tugas akhir pendidikan magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu
Kesehatan Anak di FK-USU / RSUP H. Adam Malik Medan.
Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala
kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak di
masa yang akan datang.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
1. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S (K) selaku Dekan Fakultas
KedokteranUniversitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan dan
fasilitaskepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Studi
MagisterKedokteran Klinik pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Dr. dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked (Oph), Sp.M (K) selaku KepalaProgram
Studi Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran UniversitasSumatera Utara,
yang telah banyak memberikan masukan dan bantuan yangberharga dalam
penyusunan dan pelaksanaan penelitian.
3. Pembimbing utama DR.dr.Oke Rina Ramayani, Mked.Ped,SpA(K)dan dr.Yazid
Dimyati, Mked.Ped,SpA(K) yang telah memberikan bimbingan,bantuan serta saran-
Universitas Sumatera Utara
vi
saran yang sangat berharga dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis
ini.
4. Dr. Supriatmo,Sp.A(K), selaku Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan bantuan
dalam penyelesaian tesis ini.
5. Dr. Selvi Nafianti,M.Ked(Ped),SpA(K) selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Dokter Spesialis Anak FK-USU, dan dr. Karina Sugih Arto, ,M.Ked(Ped),Sp.A(K),
sebagai Sekretaris Program Studi yang telah banyak membantu dalam
menyelesaikan tesis ini.
6. Prof.dr.Atan Baas Sinuhaji,Sp.A (K), dr. Zulfikar Lubis SpPK(K), dr.Rita Evalina,
M.Ked.(Ped), Sp.A(K), yang sudah memberikan banyak saran kepada saya.
7. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dan staf yang telah
memberikan fasilitas dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada peneliti dalam
menjalani penelitian.
8. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP H.
Adam Malik Medan yang telah memberikan sumbangan pikiran dalampelaksanaan
penelitian dan penulisan tesis ini.
9. Teman-teman saya dr.Senja Baiduri, dr.Dini Zuriana, dr.Nova Sagala Mked.Ped,
SpA, dr.Wiwik Agustin Mked.Ped, SpA, dr.Krisnarta Sembiring, dan yang lainnya
yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.
10. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini.
Universitas Sumatera Utara
vii
Kepada yang sangat saya cintai dan hormati, orang tua saya Ir. H.Budi Ismoyo dan
Hj. Siti Khoiriyah , yang tidak pernah putus asa dan tidakpernah lelah memberikan doa,
perhatian, semangat, dukungan materi dan tenaga,serta kasih sayang dan kepercayaan
sehingga akhirnya tesis ini dapat sayakerjakan dan saya selesaikan, suami saya dr.
Zulkifli Rangkuti Mked.Surg, SpB, yang telah mendukung saya secara penuh, yang
telah mendukung saya selama ini, terima kasih atas doa dan bantuannya selama masa
pendidikan saya. Semoga segala kebaikan diberkati oleh Allah SWT. Kepada Ananda
yang saya cintai dengan sepenuh hati Muhammad Aznan Kautsar Rangkuti dan Aisyah
Kamilah Salsabila Rangkuti yang telah berkorban sehingga kehilangan waktu dan
kebersamaandalam fase tumbuh kembang kalian. Ucapan terima kasih juga saya
sampaikan kepadaadik – adik saya.Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian
dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, April 2018
Dian Ismawardani
Universitas Sumatera Utara
vii
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan ii Lembaran Pengesahan Tesis iii Ucapan Terimakasih v Daftar Isi viii Daftar Tabel ix Daftar Gambar x Abstrak xi BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1 1.2 Rumusan Masalah 2 1.3 Hipotesis 2 1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum 2 1.4.2 Tujuan Khusus 3
1.5 Manfaat Penelitian 3
BAB 2.TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi 4 2.2. Patofisiologi 4 2.3. Diagnosis SN 6 2.4. Batasan SN 7 2.5. Gejala SN 8 2.6. Faktor Resiko Relaps 8 2.7. Kortikosteroid 11 2.8. Prokalsitonin sebagai marker infeksi dan Faktor resiko relaps SNSS 14 2.9 Kerangka Teori 21 2.10 Kerangka Konsep 22 BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian 23 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 23 3.3. Populasi dan Sampel 23 3.4. Perkiraan Besar Sampel 23 3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Universitas Sumatera Utara
viii
3.5.1. Kriteria Inklusi 24 3.5.2. Kriteria Eksklusi 24
3.6. Persetujuan / Informed Consent 25 3.7. Etika Penelitian 25 3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian 25 3.9. Identifikasi Variabel 27 3.10. Definisi Operasional 27 3.11. Rencana Pengolahan dan Analisis Data 28
BAB 4. HASIL PENELITIAN 4.1. Data Demografis dan Karakteristik Sampel 29 penelitian 4.2. Titik potong kadar prokalsitonin sebagai 30 prediktor kejadian relaps 4.3. Hubungan kadar prokalsitonin dengan kejadian 30 Relaps 4.4 Hubungan jenis kelamin dengan kejadian relaps 33 4.5 Hubungan Neutrofil/limfosit ratio dengan 33 kejadian relaps 4.6 Hubungan jumlah leukosit dengan kejadian 34 Relaps 4.7 Hubungan usia dengan kejadian relaps 34 4.8 Faktor risiko kejadian relaps 35 BAB 5. PEMBAHASAN 37 BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN 42 Daftar Pustaka 45 Lampiran
Universitas Sumatera Utara
ix
DAFTAR TABEL
1. Tabel 4.1 Karakteristik sampel
2. Tabel 4.2 Hubungan kadar prokalsitonin dengan
kejadian relaps
3. Tabel 4.3Akurasi kadar prokalsitonin untuk
memprediksi relaps pada pasien sindroma nefrotik
30
32
33
Universitas Sumatera Utara
x
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1 . jalur sinyal intraseluler penting dari
podosit, dipengaruhi oleh berbagai jenis
imunosupresan
12
2. Gambar.2 produksi prokalsitonin saat terjadi peradangan
dan pada kondisi normal
14
3. Gambar.3 Algorima PCT untuk pemberian antibiotik 16
4. Gambar.3 Algorima PCT untuk pemberian antibiotik
31
Universitas Sumatera Utara
xi
Prokalsitonin Pada Anak Sindroma Nefrotik Relaps Dian Ismawardani
1, Oke Rina Ramayani
1, Yazid Dimyati
1
Zulfikar Lubis2, Atan Baas Sinuhaji
1, Rita Evalina
1.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak
1, Departemen Patologi Klinik
2,
Fakultas Kedoteran, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia.
Abstrak Sindrom Nefrotik merupakan penyakit glomerular kronis yang paling sering pada anak. Kebanyakan anak dengan sindrom nefrotik (90%) merupakan sindrom nefrotik idiopatik. Anak-anak dengan SN memberikan respon dengan terapi kortikosteroid, namun, 80-90% akan kambuh sehingga terapi steroid akan diulangi. Respon terapi steroid saat terapi inisial, hematuria dan infeksi bermakna secara statistik sebagai faktor resiko kekambuhan pada sindrom nefrotik. Prokalsitonin serum merupakan marker infeksi yang sangat akurat dan spesifik pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Objektif Untuk mengetahui hubungan prokalsitonin dengan kejadian relaps pada pasien sindroma nefrotik. Metode Penelitian cross sectional dilakukan di nefrologi anak Medan Sumatera Utara, pada bulan februari 2017 sampai februari 2018. Sampel diambil secara konsekutif sampling dengan sampel minimal sebanyak 42 orang. Dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan darah lengkap,prokalsitonin, urinalisa. Data disajikan menggunakan uji chisquare untuk mengetahui hubungan prokalsitonin dengan kejadian relaps pada pasien sindroma nefrotik dengan P-value <0,05 dianggap signifikan. Hasil Diperoleh 55 sampel yang memenuhi kriteria inklusi. Sebagian besar sampel pada penelitian ini adalah laki-laki (65.5%). Persentase relaps sindroma nefrotik pada penelitian ini cukup tinggi, mencapai 72.7%. dilakukan analisis dengan kurva receiver operating characteristics (ROC). Total luas area di bawah kurva diperoleh 73.6% dengan nilai P= 0.007. terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara kadar prokalsitonin cut off 0.065 ng/dL dengan kejadian relaps (nilai P= 0.002). Diperoleh rasio prevalens sebesar 8.308 (IK 95%= 1.993-34.636) yang menandakan bahwa anak dengan sindrom nefrotik yang memiliki kadar prokalsitonin ≥0.065 ng/dL memiliki risiko untuk mengalami relaps sebesar 8.308 kali dibandingkan dengan anak yang memiliki kadar prokalsitonin kurang dari 0.065 ng/dL. Nilai prokalsitonin dengan cut off >
0.065 ng/dl memberikan akurasi terbaik(70.9%), di mana mampu memprediksi relaps dengan sensitivitas 67.5%, spesifisitas 80 %, positive predictive value 90 %, negative predictive value 48 %, positive likelihood ratio 3,4, negative likelihood ratio 0,5. kejadian relaps pada sindroma nefrotik tidak dipengaruhi oleh faktor demografis dan hanya berkaitan dengan kadar prokalsitonin Kesimpulan Dijumpai hubungan yang signifikan secara statistik antara kadar prokalsitonin dan kejadian relaps pada sindrom nefrotik Kata kunci : sindrom nefrotik relaps, infeksi, prokalsitonin
Universitas Sumatera Utara
xii
PROCALCITONIN IN CHILDREN WITH RELAPSED NEPHROTIC SYNDROME Dian Ismawardani
1, Oke Rina Ramayani
1, Yazid Dimyati
1
Zulfikar Lubis2, Atan Baas Sinuhaji
1, Rita Evalina
1
Paediatric Departement
1, Clinical Pathology Departement
2, Medical Faculty, Universitas Sumatera Utara,
Medan, Indonesia.
Abstract: Nephrotic syndrome is the most common chronic glomerular disease in children. Most children with nephrotic syndrome (90%) are idiopathic nephrotic syndrome. Children with SN respond with corticosteroid therapy, however, 80-90% will recur so that steroid therapy will be repeated. The response of steroid therapy during initial therapy, haematuria and infection was statistically significant as a risk factor for recurrence in nephrotic syndrome. Serum procalcitonin is a very accurate and specific marker of infection in patients with normal renal function. Objective: To identify the relationship of procalcitonin with relapse occurrence in patients with
nephrotic syndrome. Methods: A cross sectional study was conducted in paediatric nephrology division in Medan, North Sumatra from February 2017 to February 2018. Samples were taken in a consecutive sampling. Blood sampling was performed for complete blood examination, procalcitonin, urinalysis. Data were presented using chisquare test to determine the association of procalcitonin with relapse occurrence in patients with nephrotic syndrome and P-value <0.05 was considered significant. Result: There were 55 samples that fulfilled the inclusion criteria. Most of the samples in this
study were male (65.5%). The percentage of relapse of nephrotic syndrome in this study is 72.7%. an analysis is performed using the receiver operating characteristics (ROC) curve. The total area under the curve was 73.6% with P = 0.007. there was a statistically significant correlation between procalcitonin level cut off 0.065 ng / dL with relapse occurrence (P value = 0.002). The prevalence ratio of 8,308 (CI :95% range: 1,993-34,636) indicates that children with nephrotic syndrome who have procalcitonin levels of ≥0.065 ng / dL have a relapse risk of 8,308 times compared with children with procalcitonin less than 0.065 ng / dL. Procalcitonin with cut off value > 0.065 ng / dl gave the best accuracy (70.9%), which predicted relapse with sensitivity of 67.5%, specificity 80%, positive predictive value 90%, negative predictive value 48%, positive likelihood ratio 3,4 , negative likelihood ratio 0.5. the occurrence of relapse in nephrotic syndrome is not influenced by demographic factors and is associated only with procalcitonin in this study. Conclusion :There was a statistically significant relationship between procalcitonin levels and relapse occurrence of nephrotic syndrome Keywords : relapsed nephrotic syndrome, infection, procalcitonin.
Universitas Sumatera Utara
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sindrom Nefrotik merupakan penyakit glomerular kronis yang paling sering
pada anak. Insidensi sindrom nefrotik sebesar 2-7 per 100.000 anak per
tahun dan prevalensi sebesar 12-16 per 100.000 anak.1 Di Indonesia
dilaporkan 6 per 100.000 per tahun. Perbandingan anak laki-laki dan
perempuan 2:1.2 Kebanyakan anak dengan sindrom nefrotik (90%)
merupakan sindrom nefrotik idiopatik.3 Penyebabnya meliputi minimal
change disease (85%), mesangial proliferation (5%), and focal segmental
glomerulosclerosis (10%)4.Sindroma nefrotik sekunder yang berhubungan
dengan penyakit sistemik diperkirakan sekitar 10% anak.5
Pasien dengan minimal change disease kebanyakan menunjukan
respon pada pengobatan kortikosteroid. Kortikosteroid bermaanfaat untuk
mempertahankan remisi selain untuk menginduksi.4 Sindrom Nefrotik Sensitif
Steroid adalah bentuk yang paling umum dari masa kanak-kanak sindrom
nefrotik (NS). Anak-anak dengan SNSS memberikan respon dengan terapi
kortikosteroid, namun, 80-90% akan kambuh sehingga terapi steroid akan
diulangi.4,5,6
Respon terapi steroid saat terapi inisial, hematuria dan infeksi
bermakna secara statistik sebagai faktor resiko kekambuhan pada sindrom
Universitas Sumatera Utara
2
nefrotik.7 Prokalsitonin serum merupakan marker infeksi yang sangat akurat
dan spesifik pada pasien dengan fungsi ginjal normal.8 Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa PCT tidak hanya berfungsi sebagai marker infeksi yang
valid tetapi juga sebagai mediator sitokin proinflamatori.9 Kombinasi CRP
dan PCT dapat digunakan untuk menilai infeksi pada pasien SNSS dan
memprediksi kejadian relaps.10
Akan tetapi Penelitian terkait dengan
prokalsitonin sebagai marker infeksi dan faktor resiko relaps pada SNSS
masih sangat terbatas.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
pertanyaan apakah kadar prokalsitonin dapat digunakan sebagai prediksi
relaps pada anak penderita SN di RS Adam Malik Medan
1.3. Hipotesis
Terdapat hubungan antara kadar prokalsitonin sebagai marker infeksi yang
dapat digunakan sebagai faktor resiko kejadian relaps pada SNSS
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara kadar prokalsitonin dengan terjadinya
relaps pada anak dengan sindroma nefrotik sensitif steroid di RS Adam Malik
Medan
Universitas Sumatera Utara
3
1.4.2 Tujuan Khusus
- Untuk mengetahui prokalsitonin sebagai marker infeksi pada SNSS
- Untuk mengetahui kadar prokalsitonin dalam serum yang dapat
digunakan sebagai prediksi relaps SNSS
- Untuk mengetahui variabel infeksi yang dapat menjadi faktor resiko
relaps pada SNSS
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1 Di bidang akademik / ilmiah : meningkatkan pengetahuan peneliti
mengenai prokalsitonin sebagai marker infeksi yang dapat
memprediksi kekambuhan pada pasien sindroma nefrotik
1.5.2 Di bidang pelayanan masyarakat : dengan mengetahui prokalsitonin
dapat memprediksi kekambuhan pada pasien sindroma nefrotik,
diharapkan akan meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap anak
dan memperbaiki kualitas hidup anak.
1.5.3 Di bidang pengembangan penelitian : memberikan kontribusi ilmiah
mengenai prokalsitonin sebagai faktor resiko yang dapat memprediksi
kekambuhan pada pasien sindroma nefrotik.
Universitas Sumatera Utara
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sindrom nefrotik (SN) adalah kondisi klinis yang ditandai dengan proteinuria
berat, hipoalbuminemia, edema dan hiperlipidemia..1,3 Sindroma nefrotik
pada anak kebanyakan disebabkan oleh minimal satu kelainan idiopatik
berdasarkan abnormalitas histologi yaitu nefrotik sindrom dengan kelainan
minimal dan glomerulosklerosis fokal segmental yang di tandai perubahan
permeabilitas selektive membran kapiler glomerulus sehingga kemampuan
restriksi protein berkurang.3,4,5
2.2 Patofisiologi
Proteinuria merupakan konsekuensi dari dua mekanisme yaitu abnormalitas
dari pasase protein transglomerular yang diakibatkan oleh peningkatan
permeabilitas sel dinding kapiler glomerulus dan hal ini mengganggu proses
reabsorbsi oleh sel epitelial tubulus proksimal. Pada keadaan proteinuria
terjadi perubahan integritas dari sawar filtrasi glomerulus.1,3,4 Sawar ini terdiri
dari tiga lapisan yaitu endotelium, membran basal glomerulus, dan epitel
glomerulus viseral yang terdiri dari podosit dan celah diafragma (slit
diaphragm).3,11,12
Podosit dapat mempengaruhi struktur dan fungsi membran
Universitas Sumatera Utara
5
basal glomerulus dan meregulasi integritas serta ketahanan sel endotel
glomerulus. Penelitian terkini menunjukkan kelainan defek primer sindrom
nefrotik idiopatik pada tingkat podosit, sel epitelial glomerulus viseral.
Kerusakan podosit dapat menyebabkan penyakit ginjal imun dan non imun.
Kerusakan podosit atau kelainan struktural yang diturunkan, menunjukkan
tingginya kejadian proteinuria glomerular 3,10,11,12,13,14
Patofisiologi SN masih belum sepenuhnya dimengerti, terutama
pada minimal change nephropathy (MCNS) yang merupakan jenis gambaran
histologi SN yang terbanyak dialami penderita.3 Dari beberapa studi
didapatkan MCNS memiliki varian abnormalitas respon imun yang luas.
Beberapa tahun belakangan di perkirakan MCNS disebabkan oleh respon
imun yang menyimpang, dimana beberapa penelitian fokus terhadap sel T.15
Shalhoub, 1974, mendalilkan bahwa MCNS disebabkan oleh terganggunya
fungsi sel T.15 Kultur Sel T yang di ambil dari pasien sindrom nefrotik
dilaporkan mensintesis faktor yang menghasilkan proteinuria sementara saat
disuntikkan pada tikus atau merusak sintesis glomerular podocyte
glycosaminoglycans.3
Presentasi antigen ke limfosit T memicu respon imun yaitu tipe 1
(didominasi oleh interleukin 2) dan tipe 2 (didominasi oleh interleukin-4,
Inerleukin-10 dan Interleukin-13). Sitokin tipe 1 mendominasi sel yang
dimediasi imunitas dan sitokin tipe 2 pada gejala atopi dan sel B untuk
Universitas Sumatera Utara
6
produksi IgG4 dan IgE. Adanya peningkatan kadar IgE dalam plasma, kadar
IgG4 yang relatif normal dan hubungan dengan atopi, menunjukkan peran
sitokin tipe 2 pada pasien dengan MCNS. Peningkatan produksi sitokin
representative,terutama interleukin-4 (IL-4) juga dilaporkan saat studi in vitro
dimana podosit mengekspresikan reseptor untuk IL-4 dan IL-13.16 IL-4
eksogen merusak intercellular junctions diantara sel-sel glomerulus tanpa
mempengaruhi kelangsungan hidup sel-sel. Diketahui sel epitel gromerulus
manusia memiliki reseptor terhadap IL-4 dan IL-13. Pemberian IL4 dan IL13
terhadap sel epitel gromerulus secara invitro menyebabkan fosforilasi sinyal
terhadap molekul STAT6, yang menurunkan resistensi elektris antar lapisan
sel epitel glomerulus. Pengamatan tersebut menjelaskan bahwa produksi
sitokin tipe 2 yang berlebihan dan aktivasi reseptor tersebut oleh sitokin dapat
mengganggu permeabilitas glomerulus yang menghasilkan proteinuria.
4,5,15,17
2.3 Diagnosis SN
Diagnosis Sindroma Nefrotik berdasarkan keadaan klinis yang ditandai
dengan gejala : 18
1. Proteinuria masif ( protein urin > 40 mg/ m2 lapang pandang besar (LPB)
/jam atau > 50 mg/ kg BB/ 24 jam atau rasio albumin / kreatinin pada urin
sewaktu > 2 mg/ mg atau dipstick ≥ +2).
2. Hipoalbuminemia ( albumin serum < 2.5 g/dl )
Universitas Sumatera Utara
7
3. Sembab
4. Hiperkolesterolemia ( kolesterol serum > 200 mg/dl)
2.4 Batasan SN
Beberapa definisi atau batasan yang sering di pakai pada SN adalah :18
• Pengobatan Inisial : pemberian prednison dosis penuh
• Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2/LPB/3 jam)
tiga hari berturut-turut dalam satu minggu
• Relaps : proteinuria ≥2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) tiga hari
berturut-turut dalam satu minggu.
• Relaps jarang : relaps kurang dari dua kali dalam 6 bulan pertama
setelah respon awal atau kurang dari empat kali dalam setahun.
• Relaps sering : relaps ≥ dua kali dalam 6 bulan pertama setelah respon
awal atau ≥ empat kali dalam periode satu tahun.
• Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis
penuh (full dose) 2 mg/ kg/ hari selama empat minggu.
• Sensitif steroid : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh
selama empat minggu.
Beberapa penelitian jangka panjang ternyata menunjukkan respon
terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk menentukan
prognosis dibandingkan dengan gambaran patologi anatomi. Oleh karena itu
pada saat ini klasifikasi SN lebih didasarkan pada respon klinis : 18
Universitas Sumatera Utara
8
1. Sindroma nefrotik sensitif steroid (SNSS)
2. Sindroma nefrotik resisten steroid (SNRS)
2.5. Gejala Sindroma Nefrotik
Pasien SN biasanya datang dengaan edema palpebra atau pretibia. Bila lebih
berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Gejala lain
dapat disertai dengan oligouria dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang
dan diare.18
2.6 Faktor resiko Relaps SNSS
Sindrom nefrotik idiopatik pada anak paling banyak disebabkan oleh MCNS
dan memiliki tingkat relaps yang tinggi dengan hampir 50% anak menjadi SN
dependen steroid. Fungsi dari sel T menyebabkan dikeluarkannya sitokin-
sitokin tertentu, yang menyebabkan perubahan pada permeabilitas
glomerulus dan relaps.19 Dari sebuah penelitian kejadian relaps dapat
diprediksi secara signifikan dengan melihat dari interval waktu respon akan
steroid dan waktu pertama kali relaps, jumlah kejadian relaps dalam 6 bulan
pertama dan infeksi selama relaps yang pertama. Terutama pada Negara
berkembang dimana relaps sering sekali di sebabkan oleh tingginya insidensi
infeksi.7 Diperkirakan 52-70% kekambuhan pada anak-anak di negara
berkembang terutama diikuti infeksi saluran pernapasan bagian atas,selain
itu infeksi lain yang sering muncul yaitu infeksi kulit termasuk impetigo dan
Universitas Sumatera Utara
9
selulitis, gastroenteritis akut atau disentri, infeksi saluran kemih dan peritonitis
primer.16
Penelitian retrospektif yang dilakukan morani dkk, tentang spektrum
infeksi pada 155 anak-anak dengan infeksi dan sindrom nefrotik primer yang
baru didiagnosis, 60 (38,7%) anak memiliki satu atau lebih infeksi pada saat
masuk dengan usia berkisar 1-15 tahun (rata-rata 5,22 tahun). Mayoritas
pasien (36) berusia di bawah 5 tahun dan 24 (40%) di atas 5 tahun. Infeksi
saluran pernafasan akut dan infeksi saluran kemih adalah infeksi yang paling
umum ditemukan sebanyak 28 (46,6%) dan 15 (25%) kasus.20 Studi
retrospektif yang dilakukan Yap dkk tahun 2000, terhadap 123 anak dari
tahun 1974 sampai dengan 1999 untuk melihat prediktor SN dependent
steroid. Studi tersebut menyebutkan bahwa usia, jenis kelamin, riwayat atopi,
ras, riwayat hematuria, adanya infeksi saluran pernafasan sebagai penyerta
dan hari yang diperlukan untuk remisi merupakan faktor resiko yang
signifikan terjadinya sindrom nefrotik dependen steroid. Analisa univariat dan
logistik regresi menunjukkan durasi waktu remisi lebih dari 9 hari atau lebih
(P=0.02, OR= 3, 95% CI=1.2-7.9) dan adanya infeksi akut saluran
pernafasan selama relaps (P=0.01, OR=3.4, 95% CI=1.3-8.8) merupakan
prediktor yang signifikan.21
Penelitian Sarker 2012 dengan studi retrospektif berdasarkan data
rekam medis menyebutkan bahwa kebanyakan pasien yang mengalami
relaps sering berusia <5 tahun, berasal dari area pedesaan dan memiliki
Universitas Sumatera Utara
10
sosial ekonomi menengah sampai rendah bila dibandingkan dengan relaps
jarang. Mayoritas anak-anak yang memiliki riwayat atopi mengalami relaps
sering, sementara kadar albumin serum dan protein serum yang rendah,
adanya infeksi saluran kemih saat serangan awal didapatkan bermakna pada
grup relaps sering.22 Studi di RS Hasan Sadikin oleh situmorang dkk dengan
menggunakan metode cross-sectional dengan data retrospektif pasien NS
relaps sering dan SN relaps jarang dari tahun 2010 sampai dengan tahun
2014. Jumlah sampel sebanyak 90 pasien yang terbagi dalam 2 grup dengan
proporsi yang sama antara SN relaps jarang dan relaps sering. Analisa
dengan bivariat didapatkan diagnosa awal pada usia ≤5 tahun (p<0.001) dan
waktu yang diperlukan untuk remisi hingga terjadi relaps pertama kali ≤6
bulan (p<0.001) merupakan faktor resiko terjadinya relaps sering. Analisa
multivariat menunjukkan waktu remisi ≤ 6 bulan (OR 37.113, CI 95%
(7.115−193.595)) lebih bermakna dibandingkan usia saat diagnosa awal ≤ 5
tahun (OR 8.0 CI 95% (2.402−26.645)) pada relaps sering.2
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mishra dkk tahun 2013
tentang prediktor terjadinya relaps pada SN, studi dilakukan dengan besar
sampel 150 anak dengan SN episode awal yang di observasi selama 12
bulan pengamatan setelah terapi inisial. Hasil menunjukkan 61 anak (40.7%)
tidak mengalami relaps dan 89 (59.3%) mengalami relaps. Prediktor yang
dinilai signifikan adalah onset usia antara 1-3 tahun dibandingkan usia 4-6
tahun (p<0.03) dan 7-13 tahun (p<0.001). Resiko terjadinya relaps
Universitas Sumatera Utara
11
didapatkan sebesar 2.99 kali pada kelompok usia 1-3 tahun dibandingkan
usia > 6 tahun (p=0,001). Anak yang memiliki respon terapi antara 1 dan 2
minggu setelah inisial terapi memiliki 0.423 kali lebih rendah untuk terjadi
relaps dibandingkan anak yang berespon setelah 4 minggu pemberian terapi
awal (p,0.023). Insidens terjadinya relaps didapatkan pada anak yang
mengalami infeksi dibandingkan yang tidak (p<0.001). penelitin ini
menyimpulkan onset terjadinya penyakit saat usia lebih muda dan lamanya
respon terhadap terapi prednison memiliki prediktor yang bermakna untuk
terjadinya relaps.19
Penelitian di Indonesia seperti studi retrospektif yang dilakukan di RS
Sanglah oleh Purnami tahun 2011-2012 pada anak dengan sindrom nefrotik
yang mendapatkan terapi steroid. Didapatkan hubungan yang bermakna
secara statistik antara respon terapi terhadap terapi steroid inisial, infeksi dan
hematuria saat anak terdiagnosa dengan kekambuhan pada sindrom nefrotik,
dengan nilai OR masing-masing 6.875, 0.078; 0.125 dengan p<0.05. studi ini
menyimpulkan bahwa respon terapi steroid saat terapi inisial, hematuria dan
infeksi bermakna secara statistik sebagai faktor resiko kekambuhan pada
sindrom nefrotik.23
2.7 Kortikosteroid
Glukokortikoid natural dan sintetik (sering disebut juga steroid) memiliki peran
penting dalam pengobatan sindrom nefrotik. Glukokortikoid akan berikatan
Universitas Sumatera Utara
12
dengan reseptor glikoprotein di sitoplasma membentuk dimers dan
mengalami translokasi ke nukleus dimana akan berikatan dengan elemen
glukokortikoid di Asam deoksiribonukleat (DNA) dan berinteraksi dengan
faktor transkripisi lain. Reseptor glukokortikoid diekspresikan di podosit
manusia dan efek glukokortikoid secara langsung pada podosit telah
diidentifikasi pada pengobatan dengan deksamethason.24
Gambar 1 . jalur sinyal intraseluler penting dari podosit, dipengaruhi oleh
berbagai jenis imunosupresan. Glukokortikoid (GC) akan berikatan dengan
reseptor glukokortikoid (GRCP) di sitoplasma dan mengalami translokasi ke
nukleus yang akan berikatan dengan elemen glukokortikoid respon di DNA
atau berinteraksi dengan faktor transkripsi lainnya.
Universitas Sumatera Utara
13
Sumber : Sconenberger E, Ehrich JH, Haller H and Schiffer M. The podocyte
as a direct target of immunosupressive agents. Nephrol dial Transplant.
2011;26:18-2424
Sindrom nefrotik akan menyebabkan kebocoran protein dari pembuluh
darah melalui glomerulus yang menyebabkan hipoproteinemia dan edema
generalisata. Mayoritas anak dengan sindrom nefrotik berespon terhadap
pengobatan steroid. Penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan angka
mortalitas pada anak SN dengan infeksi sebagai faktor penyebab kematian.
Review dari Cochrane menyebutkan dari 19 studi meliputi 6 studi
metaanalisis, menyebutkan bahwa pemberian prednison selama 2 bulan
dibandingkan dengan 3 bulan atau lebih pada episode pertama penyakit
menunjukkan bahwa durasi terapi yang lebih lama signifikan mengurangi
resiko relaps yang terjadi 12-24 bulan setelah remisi (RR 0.70; 95% CI 0.58
to 0.84) tanpa peningkatan efek samping. Ada hubungan berkebalikan antara
durasi dan resiko terjadinya relaps (RR = 1.26 - 0.112 durasi; r² = 0.56; p =
0.03). Jumlah anak yang mengalami frekuen relaps dan rerata pasien per
tahun juga secara signifikan menurun tanpa peningkatan resiko efek
samping.25
Universitas Sumatera Utara
14
2.8 Prokalsitonin sebagai Marker Infeksi dan Faktor Resiko Relaps
SNSS
Selama proses peradangan, PCT diproduksi oleh dua alternatif mekanisme
yaitu jalur langsung yang diinduksi oleh lipopolisakarida (LPS) atau metabolit
toksik dari mikroba dan jalur tidak langsung yang diinduksi oleh berbagai
macam mediator inflamasi seperti IL-6, Faktor nekrosis tumor-α (TNF-α), dll.
(Gambar 2)26
Gambar.2 produksi prokalsitonin saat terjadi peradangan dan pada kondisi
normal. Sumber : Vijayan AL, vanimaya, Ravindran S, saikant R, etc. Procalcitonin: a promising diagnosti marker for sepsis and antibiotic therapy.
Journal of Intensive Care .2017; 5:5126
Universitas Sumatera Utara
15
Pada sebuah penelitian mengenai level serum PCT pada penyakit
non infeksi didapatkan bahwa PCT meningkat secara progresif beriringan
dengan tingkat kerusakan fungsi ginjal. Hal ini menunjukkan penurunan
output urin akan menyebabkan menurunnya eliminasi PCT dari ginjal. Selain
dikarenakan penurunan eliminasi filtrasi ginjal, terjadi peningkatan kadar PCT
yang di produksi dari peripheral blood mononuclear cell (PBMC). TNF-α dan
IL-1 diketahui merangsang produksi PCT dan juga PBMC untuk sintesis PCT.
PBMC dan sitokin proinflamasi seperti TNF- α dan interleukin IL-1 yang
diaktifkan dianggap sebagai elemen kunci dari proses peradangan yang
terjadi pada Chronic kidney disease (CKD) stadium awal, Renal Replacemen
Therapy (RRT), dan atherosclerotic Cardiovascular Disease. Oleh karena
TNF-a dan IL-1 terbukti menginduksi produksi PCT dan sintesis PCT dari
PBMC, maka peningkatan sitokin proinflamasi yang diikuti oleh peningkatan
pelepasan PCT dari PBMC aktif, dapat menjadi penghubung antara
peradangan dan peningkatan kadar PCT pada penyakit non infeksi terutama
CKD dan RRT. 8,27
Prokalsitonin merupakan marker infeksi bakterial yang banyak
mendapat perhatian akhir-akhir ini. Ada banyak bukti penelitian yang
mendukung manfaat prokalsitonin sebagai biomarker infeksi yang spesifik.
Prokalsitonin merupakan prehormon peptida dari kalsitonin yang dalam
kondisi normal disekresikan oleh sel-sel-C kelenjar tiroid yang merespon
hiperkalsemia atau sebagai hasil dari karsinoma tiroid medullar. Kondisi
Universitas Sumatera Utara
16
seperti inflamasi terutama infeksi bakteri, sekresi prokalsitonin juga
distimulasi oleh berbagai sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF-α. Produksi
prokalsitonin diketahui mengalami penurunan pada infeksi virus kemungkinan
disebabkan oleh peningkatan produksi interferon γ. Hal tersebut
mengasumsikan prokalsitonin merupakan biomarker yang menjanjikan untuk
diagnosis dan prognosis infeksi bakterial yang moderate dan berat serta
petunjuk untuk pemberian terapi antibiotik.28
Gambar.3 Algorima PCT untuk pemberian antibiotik
Sumber : Sumber : Vijayan AL, vanimaya, Ravindran S, saikant R, etc. Procalcitonin: a promising diagnosti marker for sepsis and antibiotic therapy.
Journal of Intensive Care .2017; 5:5126
Universitas Sumatera Utara
17
Penelitian ashraf bakr dkk, tahun 2002 tentang produksi TNF-α dari
sel mononuclear (MN) pada pasien SN menyebutkan ada korelasi positif
antara produksi TNF-α dan tingkat proteinuria (r = 0,34, P = 0,013),
hyperselularity mesangial (r = 0,42, P = 0,028), dan glomerulosklerosis (r =
0,46, P = 0,001). Dengan menggunakan kurva ROC, produksi TNF-α lebih
besar atau sama dengan nilai cutt of 50 pg / ml dapat digunakan untuk
memprediksi resistensi terhadap terapi steroid (prediktabilitas 93,2%).
Dengan melakukan analisis diskriminatif, produksi TNF-α Bisa digunakan
untuk membedakan antara pasien dengan Steroid-Resistant (SR) MCNS, SR
focal segmental glomerulosclerosis (FSGS), dan SR diffuse mesangial
proliferation (DMP) (prediktabilitas 100%). Dari penelitian ini disimpulkan,
TNF-α dari PBMC mungkin terlibat dalam patogenesis proteinuria dan juga
perubahan patologis yang terjadi pada SN29
Prokalsitonin memiliki beberapa keuntungan bila dibandingkan
dengan CRP dan LED sebagai marker biologi. Kadar normal prokalsitonin
serum adalah <0.05 ng/mL. Kadar prokalsitonin dapat terdeteksi dalam 3-4
jam dan dalam 6-24 jam mencapai kadar tertinggi yang berarti lebih awal bila
dibandingkan CRP dan LED. Peningkatan kadar prokalsitonin tidak terlihat
pada kondisi inflamasi noninfeksi seperti polimialgia, inflamatory bowel
disease, polyarteritis nodosa, lupus eritematosus sistemik, gout dan arteritis
temporalis.28,30
Universitas Sumatera Utara
18
Kadar prokalsitonin dapat meningkat sementara pada trauma berat
seperti luka bakar berat atau bedah mayor. Beberapa terapi yang dapat
menstimulasi sitokin seperti terapi antibodi sel-T, transfusi granulosit atau
graft-versus-host. Banyak metode pemeriksaan telah dikembangkan untuk
mengukur kadar prokalsitonin termasuk test cepat, semikuantitatif yang dapat
memberikan hasil dalam waktu kurang atau 30 menit.30,31
Tabel.1 nilai rujukan kadar prokalsitonin dengan infeksi
Sumber : Chaudhury A, Sachin Sumant GL, Jayaprada R, Kalawat U,
Ramana BV. Procalcitonin in sepsis and bacterial infections.J Clin Sci
Res 2013;2:216-24.32
Studi sistematika review yang membandingkan PCT dan CRP sebagai
marker infeksi bakterial didapatkan bahwa prokalsitonin lebih sensitif 0.88
(95% CI, 0.8-0.93) vs 0.75 (95% CI, 0.62-0.84), dan lebih spesifik 0.81 (95%
CI, 0.67-0.90) vs 0.67 (95% CI, 0.56-0.77), dibandingkan dengan CRP untuk
Universitas Sumatera Utara
19
membedakan antara infeksi bakterial dengan inflamasi yang disebabkan oleh
faktor noninfeksi. Nilai Q untuk marker prokalsitonin didapatkan lebih tinggi
(0.82 vs 0.73) dibandingkan dengan CRP. Sensitivitas untuk membedakan
infeksi bakterial dengan infeksi viral juga lebih tinggi pada prokalsitonin
dengan nilai Q yang lebih tinggi (0.89 vs 0.83). Review ini menyimpulkan
bahwa akurasi diagnostik PCT sebagai marker infeksi lebih tinggi bila
dibandingkan dengan CRP pada pasien-pasien rawat inap dengan
kecurigaan infeksi bakteri.30
Penelitian terkait dengan prokalsitonin sebagai marker infeksi dan faktor
resiko relaps pada SNSS masih sangat terbatas. Penelitian tentang peran
prokalsitonin dalam membedakan relaps minimal change nephropathy (MCN)
dengan poteinuria yang terjadi bersamaan dengan infeksi pada anak. Data
kadar prokalsitonin pada pasien MCN yang difollow-up dikumpulkan secara
retrospektif pada saat relaps (grup I), selama proteinuria yang disertai
dengan infeksi (grup II) dan saat remisi (grup III). Hasil ketiga grup ini secara
prospektif dibandingkan dengan pasien yang sehat secara nefrologi dan
memiliki infeksi yang sama seperti grup II (grup IV) dan kontrol (grup V).
Perbedaan yang cukup signifikan pada kadar prokalsitonin didapatkan
diantara pasien grup I, II dan IV dan dua grup lainnya. Proteinuria berkurang
(93%) dengan pemberian antibiotik pada grup II. Perbedaan level PCT
signifikan antara grup I dan II. Prokalsitonin memiliki diagnostik prediktif yang
lebih tinggi bila dibandingkan CRP pada pasien grup I (relaps) namun sama
Universitas Sumatera Utara
20
baiknya dengan CRP untuk diagnostik prediktif infeksi dan infeksi yang
berhubungan dengan proteinuria. Sensitivitas dan spesifisitas pada relaps
dan status terkait infeksi untuk prokalsitonin adalah 0.472 dan 0.628 secara
berurutan dan untuk CRP adalah 0.183 dan 0.762 secara berurutan. Nilai cut-
off optimal untuk memprediksi kambuh atau proteinuria yang disebabkan
infeksi oleh uji ROC pada penelitian ini untuk PCT 0.385 dengan sensitivitas
96.2% spesifisitas 49.1% sedangkan untuk CRP 2.065 dengan sensitivitas
53.9% dan spesifisitas 34% menunjukkan bahwa prediktabilitas diagnostik
PCT lebih tinggi daripada CRP pada pasien yang kambuh, namun kurang
lebih sama untuk PCT dan CRP pada pasien dengan infeksi dan proteinuria
terkait infeksi. Penelitian ini menyimpulkan PCT dan CRP dapat di gunakan
untuk membedakan proteinuria yg terjadi bersamaan dengan infeksi dari
relaps pada sindrom nefrotik.10
Universitas Sumatera Utara
21
2.9 Kerangka Teori
Sindrom Nefrotik Sekunder
Ras
Sindrom Nefrotik Idiopatik
Durasi mencapai
remisi
Steroid
treatment
Infeksi :
Prokalsitonin Leukosit
Rasio neutrofil/limfosit
Kadar albumin
Sindrom Nefrotik
Relaps Jarang
Sindrom Nefrotik Relaps Sering
Sindrom Nefrotik
Jenis kelamin HLA Usia
Sindrom nefrotik
Relaps
Sindrom Nefrotik
Remisi
Sindrom Nefrotik
Sensitif Steroid
Sindrom Nefrotik
Resisten Steroid
Sosio-ekonomi
hematuria
Universitas Sumatera Utara
22
2.10 Kerangka Konsep
Sindrom Nefrotik
Sindrom Nefrotik
Relaps
Sindrom Nefrotik Non
Relaps ( Remisi)
Usia Infeksi Jenis
Kelamin Hipoalbumin Hematuria
Prokalsitonin
Leukosit
Neutrofil/Limfosit
Ratio
Universitas Sumatera Utara
23
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan uji cross sectional untuk mengetahui hubungan
prokalsitonin dengan kejadian relaps pada pasien sindroma nefrotik sensitif
steroid
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan Sumatera Utara.
Penelitian akan dilaksanakan pada bulan februari 2017 sampai februari 2018.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi target adalah anak berusia 1 sampai 18 tahun. Populasi terjangkau
adalah populasi target yang terdiagnosa sindroma nefrotik. Sampel adalah
populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
3.4. Perkiraan Besar Sampel
Sampel diambil secara konsekutif yang mana pasien dengan sindrom
nefrotik sensitif steroid dilakukan pemeriksaan prokalsitonin saat datang ke
poli. Besar sampel dihitung dengan mempergunakan rumus besar sampel
untuk data proporsi, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
24
N : jumlah sampel
Z1- : Level of significance, 0,05 = 1.96
Z1- : Power of the test (80 %) = 0.84
Po : proporsi sindroma nefrotik relaps = 80%= 0,8
Pa-Po : 15% = 0,15
Pa : 0,95
Dengan menggunakan rumus di atas maka didapat jumlah sampel
minimal sebanyak 42 orang.
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi :
Anak usia 1 – 18 tahun yang telah di diagnosa sindroma nefrotik sensitif
steroid di RSUP HAM dan datang ke Poliklinik nefrologi untuk kontrol
pada hari ke 3 dan sedang dalam fase remisi atau relaps dengan atau
tanpa tanda infeksi atau riwayat infeksi
Kriteria eksklusi :
Pasien dengan SN resisten steroid
Pasien dengan SN kongenital
Pasien menolak informed consent
20
2
1001 11
PP
PaPaZppzn
a
Universitas Sumatera Utara
25
3.6. Persetujuan Setelah Penjelasan / Informed Consent
Diperlukan informed consent karena data diambil dengan anamnesa dan
pemeriksaan fisk serta penunjang (laboratorium prokalsitonin)
3.7. Etika Penelitian
Penelitian mendapat persetujuan oleh Komite Etik Penelitian Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian
3.8.1. Cara Kerja
1. Orang tua/ wali dan anak SN yang datang ke poli Nefrologi anak yang
memenuhi kriteria inklusi diberikan penjelasan dan informed consent
yang menyatakan setuju mengikuti penelitian ini. Orang tua/ wali
diberikan penjelasan dalam bentuk tertulis dan bila setuju dapat
menanda tangani formulir persetujuan untuk orang tua.
2. Data dasar diperoleh saat anak datang di poli rawat jalan. Pasien SN
Saat datang di Poli dilakukan pengambilan data dasar umur, gender.
3. Dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan darah
lengkap,prokalsitonin dan pemeriksaan urinalisa.
4. Pasien di identifikasi sebagai SN Relaps atau Non Relaps
5. Data dimasukkan dalam tabel, kemudian dianalisis lebih lanjut
terhadap hasil penelitian.
Universitas Sumatera Utara
26
3.8.2.1. Pengukuran
Sampel dibagi menjadi 2 grup yaitu :
a. SN Relaps
b. SN Non Relaps
Data yang terkumpul di analisa dengan membandingkan usia, jenis kelamin,
kadar prokalsitonin, leukosit, neutrofil/limfosit rasio
3.8.2.2. Alur Penelitian
Gambar 3.1. Alur penelitian
Anak SN usia 1-18 tahun
Eksklusi
Anak SN usia 1-18 tahun yang memenuhi kriteria
inklusi
1.Darah lengkap
2.Urinalisa/dipstikUrin
3.Prokalsitonin serum
SN Relaps SN Non Relaps
(Remisi)
Analisis
Universitas Sumatera Utara
27
3.9. Identifikasi Variabel
Variabel bebas Skala
Usia Nominal
Jenis Kelamin Nominal
Prokalsitonin Nominal
Leukosit Nominal
Neutrofil/limfosit rasio Nominal
Variabel tergantung Skala
Sindroma Nefrotik Nominal
3.10. Definisi Operasional
1. Sindroma nefrotik adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala :
- Proteinuria berat > 40mg/h/m2
- Protein / creatinin ratio > 0.2 g/mmol
- Hipoalbuminemia < 2.5 g/dl
- Hiperlipidemia dengan total cholesterol 170-200 mg/dl
- edema
2. Sindroma nefrotik sensitif steroid adalah pasien yang mencapai remisi
komplit dengan terapi steroid selama empat minggu
3. Non Relaps (Remisi) adalah proteinuria negatif atau trace (proteinuria
<4mg/m2 LPB/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu.
Universitas Sumatera Utara
28
4. Relaps adalah proteinuria ≥2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) selama 3
hari berturut-turut dalam 1 minggu.
5. Kadar prokalsitonin adalah nilai serum prokalsitonin yang diambil saat
pasien datang ke Poli RSHAM
3.11. Rencana Pengolahan dan analisis Data
Data yang terkumpul diolah, dianalisis, dan disajikan dengan menggunakan
perangkat lunak komputer. Data disajikan sebagai data sederhana dari
jumlah atau persentase menggunakan uji chisquare. Untuk menguji
perbedaan statistik yang signifikans antara parameter berbeda, jumlah dan
persentasi digunakan nilai probabilitas. P-value <0,05 dianggap signifikan.
Universitas Sumatera Utara
29
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1. Data Demografis dan Karakteristik Sampel Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Divisi Nefrologi Anak RSUP H. Adam Malik Medan
dalam kurun waktu Maret 2017 sampai Februari 2018. Dalam kurun waktu
tersebut, diperoleh 55 sampel yang memenuhi kriteria inklusi. Distribusi
karakteristik sampel pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Distribusi karakteristik sampel
Karakteristik n=55
Rerata usia, tahun (SB) 9.8 (4.03)
Jenis kelamin, N (%)
Laki-laki
Perempuan
36 (65.5)
19 (34.5)
Rerata leukosit, /µL (SB) 12 320.5 (5 597.46)
Rerata neutrofil, % (SB) 62.8 (15.38)
Rerata limfosit, % (SB) 28.5 (13.18)
Rerata prokalsitonin, ng/mL (SB) 6.4 (36.78)
Relaps dari sindroma nefrotik, n (%)
Relaps
Tidak relaps
40 (72,7)
15 (27.3)
Sebagian besar sampel pada penelitian ini adalah laki-laki (65.5%).
Persentase relaps sindroma nefrotik pada penelitian ini cukup tinggi,
mencapai 72.7%.
Universitas Sumatera Utara
30
4.2. Titik potong kadar prokalsitonin sebagai prediktor kejadian relaps
Untuk menentukan titik potong kadar prokalsitonin sebagai prediktor relaps
pada anak dengan sindroma nefrotik, dilakukan analisis dengan kurva
receiver operating characteristics (ROC). Total luas area di bawah kurva
diperoleh 73.6% dengan nilai P= 0.007.
Gambar 4.1. Kurva ROC kadar prokalsitonin dalam memprediksi kejadian
relaps. a: kadar prokalsitonin 0.065 ng/dl
4.3. Hubungan kadar prokalsitonin dengan kejadian relaps
Dilakukan uji statistik untuk mengetahui hubungan kadar prokalsitonin serum
dengan kejadian relaps sindroma nefrotik pada penelitian ini. Uji yang
digunakan adalah uji chi square. Kadar prokalsitonin yang digunakan sebagai
a
Universitas Sumatera Utara
31
cut off adalah kadar prokalsitonin dengan sensitivitas dan spesifisitas tertinggi
(0.065 ng/dL), dengan sensitivitas tertinggi tetapi spesifisitas rendah (0.025
ng/dL), serta dengan spesifisitas tertinggi tetapi sensitivitas rendah (0.195
ng/dL).
Berdasarkan uji tersebut, terdapat hubungan yang signifikan secara
statistik antara kadar prokalsitonin cut off 0.065 ng/dL dengan kejadian relaps
(nilai P= 0.002). Diperoleh rasio prevalens sebesar 8.308 (IK 95%= 1.993-
34.636) yang menandakan bahwa anak dengan sindrom nefrotik yang
memiliki kadar prokalsitonin lebih dari atau sama dengan 0.065 ng/dL
memiliki risiko untuk mengalami relaps sebesar 8.308 kali dibandingkan
dengan anak yang memiliki kadar prokalsitonin kurang dari 0.065 ng/dL.
Tabel 4.2. Hubungan kadar prokalsitonin dengan kejadian relaps
Kadar prokalsitonin Kejadian relaps P* PR IK 95%
Ya (%) Tidak (%)
≥0.065 ng/dL 27 (67.5) 3 (20,0) 0.002 8.308 1.993-34.636
<0.065 ng/dL 13 (32.5) 12 (80.0)
*Uji chi square
Tidak terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara kadar
prokalsitonin cut off 0.025 ng/dL dengan kejadian relaps (nilai P= 0.084 OR :
0.353, IK 95% 0,089- 1,404)
Universitas Sumatera Utara
32
Tabel 4.3. Hubungan kadar prokalsitonin dengan kejadian relaps
Kadar prokalsitonin Kejadian relaps P* PR IK 95%
Ya (%) Tidak (%)
≥0.025 ng/dL 6(15) 5 (33.3) 0.084 2.4 0,089- 1,404
<0.025 ng/dL 34(85) 10 (66.7)
*Uji chi square
Berdasarkan uji tersebut, terdapat hubungan yang signifikan secara
statistik antara kadar prokalsitonin cut off 0.195 ng/dL dengan kejadian relaps
(nilai P= 0.008, OR: 0.071 IK 95% 0.009-0.596)
Tabel 4.4. Hubungan kadar prokalsitonin dengan kejadian relaps
Kadar prokalsitonin Kejadian relaps P* PR IK 95%
Ya (%) Tidak (%)
≥0.195 ng/dL 20 (50.0) 14 (93.3) 0.008 0.102 0.009-0.596
<0.195 ng/dL 20 (50.0) 1 (6.7)
*Uji chi square
Tabel 4.5 . Akurasi kadar prokalsitonin untuk memprediksi relaps pada pasien
sindroma nefrotik
Cut off PCT
Sensitivitas Spesifisitas PPV NPV PLR NLR Akurasi
>0,025 85% 33,3% 77,3% 45,5% 1,27 0,45 70,9%
>0,065 67,5% 80% 90% 48% 3,4 0,4 70,9%
>0,195 50% 93,3% 95,2% 41,2% 7,46 0,5 61,8%
Nilai prokalsitonin dengan cut off > 0.065 ng/dl memberikan akurasi
terbaik(70.9%), di mana mampu memprediksi relaps dengan sensitivitas
Universitas Sumatera Utara
33
67.5%, spesifisitas 80 %, positive predictive value 90 %, negative predictive
value 48 %, positive likelihood ratio 3,4, negative likelihood ratio 0,5
4.4. Hubungan jenis kelamin dengan kejadian relaps
Hubungan jenis kelamin dengan kejadian relaps dianalisis menggunakan uji
chi square. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang signifikan secara statistik antara jenis kelamin dengan kejadian relaps
pada anak dengan sindrom nefrotik (nilai P= 0.452).
Tabel 4.6. Hubungan jenis kelamin dengan kejadian relaps
Jenis kelamin Kejadian relaps P* PR IK 95%
Ya (%) Tidak (%)
Laki-laki 25 (62.5) 11 (73,3) 0.452 0.606 0.163 – 2.249
Perempuan 15 (37.5) 4 (26.7)
*Uji chi square
4.5. Hubungan neutrofil/limfosit ratio dengan kejadian relaps
Uji Fisher’s exact dilakukan untuk mengetahui hubungan neutrofil/limfosit
ratio dengan kejadian relaps pada sindroma nefrotik karena tidak memenuhi
syarat uji chi square. Tidak diperoleh hubungan yang signifikan secara
statistik antara kedua variabel tersebut (nilai P= 0.275).
Universitas Sumatera Utara
34
Tabel 4.7. Hubungan neutrofil/limfosit ratio dengan kejadian relaps
N/L ratio Kejadian relaps P* PR IK 95%
Ya (%) Tidak (%)
Tinggi 3 (7.5) 0 (0,0) 0.275 - -
Rendah 37 (92.5) 15 (100.0)
*Uji Fisher’s exact
4.6. Hubungan jumlah leukosit dengan kejadian relaps
Uji Fisher’s exact dilakukan untuk mengetahui hubungan jumlah leukosit
dengan kejadian relaps pada sindroma nefrotik karena tidak memenuhi
syarat uji chi square. Jumlah leukosit dikategorikan menjadi dua kelompok,
yaitu di atas rerata dan di bawah rerata. Tidak diperoleh hubungan yang
signifikan secara statistik antara kedua variabel tersebut (nilai P= 0.335).
Tabel 4.8. Hubungan jumlah leukosit dengan kejadian relaps
Jumlah leukosit Kejadian relaps P* PR IK 95%
Ya (%) Tidak (%)
Di atas rerata 15 (37.5) 3 (20,0) 0.335 2.400 0.581-9.908
Di bawah rerata 25 (62.5) 12 (80.0)
*Uji Fisher’s exact
4.7. Hubungan usia dengan kejadian relaps
Hubungan usia dengan jenis kelamin dianalisis dengan menggunakan uji chi
square. Berdasarkan uji tersebut, tidak dijumpai hubungan yang signifikan
secara statistik antara usia dengan jenis kelamin (nilai P= 0.247).
Universitas Sumatera Utara
35
Tabel 4.9. Hubungan usia dengan kejadian relaps
Usia Kejadian relaps P* PR IK 95%
Ya (%) Tidak (%)
1-9.8 tahun 17 (42.5) 9 (60,0) 0.247 0.493 1.650
>9.8 tahun 23 (57.5) 6 (40.0)
*Uji chi square
4.8. Faktor risiko kejadian relaps
Faktor risiko kejadian relaps pada anak dengan sindroma nefrotik pada
penelitian ini dianalisis dengan menggunakan uji regresi logistik. Berdasarkan
uji tersebut, diketahui bahwa kejadian relaps pada sindroma nefrotik tidak
dipengaruhi oleh faktor demografis dan hanya berkaitan dengan kadar
prokalsitonin.
Tabel 4.10. Faktor risiko kejadian relaps
Faktor risiko Konstanta Wald P*
Usia 0.909 1.016 0.615
Jenis kelamin 0.676 0.253 0.615
N/L ratio - 0.001 0.999
Leukosit 3.846 2.481 0.115
Prokalsitonin 8.737 7.892 0.005
* Uji regresi logistik
Uji tersebut menunjukkan bahwa anak dengan sindroma nefrotik yang
memiliki kadar prokalsitonin lebih dari atau sama dengan 0.065 memiliki risiko
untuk mengalami relaps sebesar 8.737 kali dibandingkan dengan anak yang
memiliki kadar prokalsitonin kurang dari 0.065 (nilai P=0.005).
Universitas Sumatera Utara
37
BAB 5
PEMBAHASAN
Sindrom Nefrotik merupakan penyakit glomerular kronis yang paling sering pada anak.
Insidensi sindrom nefrotik sebesar 2-7 per 100.000 anak per tahun dan prevalensi
sebesar 12-16 per 100.000 anak.1 Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun.
Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1.2. Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid
adalah bentuk yang paling umum dari masa kanak-kanak sindrom nefrotik (NS). Anak-
anak dengan SNSS memberikan respon dengan terapi kortikosteroid, namun, 80-90%
akan kambuh sehingga terapi steroid akan diulangi.
Sindrom nefrotik idiopatik pada anak paling banyak disebabkan oleh MCNS dan
memiliki tingkat relaps yang tinggi dengan hampir 50% anak menjadi SN dependen
steroid. Fungsi dari sel T menyebabkan dikeluarkannya sitokin-sitokin tertentu, yang
menyebabkan perubahan pada permeabilitas glomerulus dan relaps.19
Penelitian ini dilakukan di Divisi Nefrologi Anak RSUP H. Adam Malik Medan
dalam kurun waktu Maret 2017sampai Februari 2018. Dalam kurun waktu tersebut,
diperoleh 55 sampel yang memenuhi kriteria inklusi. Sebagian besar sampel pada
penelitian ini adalah laki-laki (65.5%). Persentase relaps sindroma nefrotik pada
penelitian ini cukup tinggi, mencapai 72.7%. Walaupun tidak didapatkan hubungan
yang signifikan secara statistik antara jenis kelamin dengan kejadian relaps pada anak
dengan sindrom nefrotik (nilai P= 0.452).
Universitas Sumatera Utara
38
Penelitian ini memiliki hasil samaseperti studi yang dilakukan oleh Ali dkk yang
dilakukan pada anak dengan SN. Studi menyebutkan bahwa terjadinya relaps terutama
didapatkan pada jenis kelamin laki-laki, dengan rasio laki-laki : perempuan 1.5:1.
Jumlah total sampel 80 orang dengan dengan kejadian relaps 228 dan mayoritas
pasien dengan frekuens relaps sebanyak 62 (77.5%). Rerata usia subyek penelitain 1-
16 tahun dengan rerata usia 7.47 tahun.33Penelitian Sarker 2012 dengan studi
retrospektif berdasarkan data rekam medis menyebutkan bahwa kebanyakan pasien
yang mengalami relaps sering berusia <5 tahun.22 Sementara pada penelitian ini
memiliki rerata usia 9.8 tahun.
Infeksi merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada pasien anak
dengan SN.20 Selain itu, Infeksi merupakan faktor risiko terjadinya
relaps.23,33Diperkirakan 52-70% kekambuhan pada anak-anak di negara berkembang
terutama diikuti infeksi saluran pernapasan bagian atas, infeksi lain yang sering muncul
yaitu infeksi kulit termasuk impetigo dan selulitis, gastroenteritis akut atau disentri,
infeksi saluran kemih dan peritonitis primer.7,16 Usia, jenis kelamin, riwayat atopi, ras,
riwayat hematuria, adanya infeksi saluran pernafasan sebagai penyerta dan hari yang
diperlukan untuk remisi merupakan faktor resiko yang signifikan terjadinya sindrom
nefrotik dependen steroid.20,21,33Namun pada penelitian ini tidak dibahas secara spesifik
infeksi dasar yang menjadi pencetus terjadinya relaps.
Rerata nilai leukosit pada penelitian ini 12. 320,5 /µL, rerata neutrofil 62.8% dan
limfosit 28.5 % secara berurutan. Tidak didapatkan hubungan yang signifikan secara
statistik antara neutrofil/limfosit ratio dengan kejadian relaps pada sindroma nefrotik
(nilai P= 0.275).hal ini berbeda pada hasil penelitian sebelumnya, leukosit memiliki
Universitas Sumatera Utara
39
perbedaan yang bermakna pada pasien relaps sering dibandingkan dengan SN
respons terhadap steroid. Nilai neutrofil didapatkan lebih tinggi pada pasien dengan SN
relaps (p< 0.05). Sementara nilai limfosit didapatkan lebih rendah pada pasien dengan
SN relaps (p<0.05). Namun, tidak disebutkan rasio antara neutrofil/limfosit pada
penelitian tersebut.34
Penelitian terkait dengan prokalsitonin sebagai marker infeksi dan faktor resiko
relaps pada SNSS masih sangat terbatas. Penelitian tentang peran prokalsitonin dalam
membedakan relaps minimal change nephropathy (MCN) dengan poteinuria yang
terjadi bersamaan dengan infeksi pada anak. Penelitian ini dilakukan oleh Sakallioglu
dkk tahun 2012 yang merupakan pilot study terkait peran prokalsitonin pada
MCN.Sensitivitas dan spesifisitas pada relaps dan status terkait infeksi untuk
prokalsitonin adalah 0.472 dan 0.628 secara berurutan dan untuk CRP adalah 0.183
dan 0.762 secara berurutan. Nilai cut-off optimal untuk memprediksi kambuh atau
proteinuria yang disebabkan infeksi oleh uji ROC pada penelitian ini untuk PCT 0.385
dengan sensitivitas 96.2% spesifisitas 49.1%.10
Sementara penelitian dilakukan memiliki kadar cutt off lebih rendah dibandingkan
penelitian sebelumnya. Kadar prokalsitonin yang digunakan sebagai cut offadalah kadar
prokalsitonin dengan sensitivitas dan spesifisitas tertinggi (0.065 ng/dL), dengan
sensitivitas tertinggi tetapi spesifisitas rendah (0.025 ng/dL), serta dengan spesifisitas
tertinggi tetapi sensitivitas rendah (0.195 ng/dL).
Berdasarkan uji chi square, terdapat hubungan yang signifikan secara statistik
antara kadar prokalsitonin cut off 0.065 ng/dL dengan kejadian relaps (nilai P= 0.002).
Diperoleh rasio prevalens sebesar 8.308 (IK 95%= 1.993-34.636) yang menandakan
Universitas Sumatera Utara
40
bahwa anak dengan sindrom nefrotik yang memiliki kadar prokalsitonin lebih dari atau
sama dengan 0.065 ng/dL memiliki risiko untuk mengalami relaps sebesar 8.308 kali
dibandingkan dengan anak yang memiliki kadar prokalsitonin kurang dari 0.065 ng/dL.
Prokalsitonin merupakan marker infeksi bakterial spesifik dibandingkan dengan
CRP dan LED. Kadar normal prokalsitonin serum adalah <0.05 ng/mL. Nilai ≥0.5-2
disebutkan memiliki kecenderungan untuk terjadinya infeksi bakteri
sistemik.32sementara seperti yang telah disebutkan sebelumnya infeksi merupakan
faktor risiko terjadinya relaps.23,33Kadar prokalsitonin dapat terdeteksi dalam 3-4 jam
dan dalam 6-24 jam mencapai kadar tertinggi yang berarti lebih awal bila dibandingkan
CRP dan LED. 28,30 nilai cut off didapatkan lebih rendah dibandingkan penelitian
sebelumnya10, dengan Total luas area di bawah kurva diperoleh 73.6% dengan nilai P=
0.007. Studi ini hanya terbatas membahas tentang kadar prokalsitonin pada anak
dengan sindrom nefrotik yang mengalami relaps tanpa membandingkan dengan kadar
marker lain seperti CRP dan LED. Nilai prokalsitonin dengan cut off > 0.065 ng/dl
memberikan akurasi terbaik(70.9%), di mana mampu memprediksi relaps dengan
sensitivitas 67.5%, spesifisitas 80 %, positive predictive value90%, negative predictive
value48%, positive likelihood ratio3,4, negative likelihood ratio0,5
Uji tersebut menunjukkan bahwa anak dengan sindroma nefrotik yang memiliki
kadar prokalsitonin lebih dari atau sama dengan 0.065 memiliki risiko untuk mengalami
relaps sebesar 8.737 kali dibandingkan dengan anak yang memiliki kadar prokalsitonin
kurang dari 0.065 (nilai P=0.005).
Penelitian ini memiliki keterbatasan dimana studi merupakan design cross
sectional dan secara spesifik tidak membahas infeksi spesifik yang mencetuskan
Universitas Sumatera Utara
41
terjadinya relaps.Jumlah sampel yang relatif minimal hanya mencakup 55 subyek
penelitian sehingga dapat memberikan bias hasil dan power yang kurang. Selain itu,
penelitian ini tidak membandingkan marker infeksi lain seperti CRP dan LED seperti
halnya pilot studi sebelumnya. Namun, penelitian ini merupakan studi pertama yang
meneliti tentang hubungan antara kadar prokalsitonin dengan kejadian relaps pada
pasien anak dengan sindrom nefrotik di RSHAM.
Universitas Sumatera Utara
42
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Rerata usia anak yang ikut serta dalam penelitian ini adalah 9.8 tahun.Kejadian
relaps lebih tinggi pada anak dengan usia di atas 9.8 tahun sebanyak 23 orang
(57.5%) sedangkan anak usia 1-9.8 tahun yang mengalami relaps sebanyak 17
orang (42.5%)
2. Sebagian besar sampel pada penelitian ini adalah laki-laki 36 orang (65.5%)dan
perempuan yaitu 19 orang (34.5%). Kejadian relaps pada anak laki-laki lebih tinggi
dibandingkan anak perempuan, sebanyak 25 orang (62,5%) sedangkan pada anak
perempuan sebanyak 15 orang (37.5%)
3. Total luas area di bawah kurva diperoleh 73.6% dengan nilai P= 0.007 pada kurva
ROC untuk memprediksi relaps. Dan didapatkan nilai cut off point prokalsitonin
untuk memprediksi relaps adalah 0.065 ng/dl dengan akurasi 70.9%, di mana
mampu memprediksi relaps dengan sensitivitas 67.5%, spesifisitas 80 %, positive
predictive value90%, negative predictive value48%, positive likelihood ratio3,4,
negative likelihood ratio0,5
4. Terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara kadar prokalsitonin cut
off 0.065 ng/dL dengan kejadian relaps (nilai P= 0.002). Diperoleh rasio prevalens
sebesar 8.308 (IK 95%= 1.993-34.636) yang menandakan bahwa anak dengan
sindrom nefrotik yang memiliki kadar prokalsitonin lebih dari atau sama dengan
Universitas Sumatera Utara
43
0.065 ng/dL memiliki risiko untuk mengalami relaps sebesar 8.308 kali
dibandingkan dengan anak yang memiliki kadar prokalsitonin kurang dari 0.065
ng/dL
5. Neutrofil/limfosit ratio sebagai salah satu penanda infeksi bakteri tidak dijumpai
memiliki kadar yang lebih tinggi pada kejadian relaps. Dimana hanya 3 orang
(7.5%) dengan kadar neutrofil/limfosit ratio yang tinggi ( >10) yang mengalami
kejadian relaps dan tidak diperoleh hubungan yang signifikan secara statistik antara
kedua variabel tersebut (nilai P= 0.275).
6. Leukosit merupakan parameter hematologi untuk menilai kemungkinan infeksi.
Dijumpai kejadian relaps yang lebih tinggi pada sampel dengan jumlah leukosit di
bawah rerata (12 320.5) sebanyak 25 orang (62.5%) dan tidak diperoleh hubungan
yang signifikan secara statistik antara kedua variabel tersebut (nilai P= 0.335).
7. Kejadian relaps pada sindroma nefrotik tidak dipengaruhi oleh faktor demografis
dan hanya berkaitan dengan kadar prokalsitonin.anak dengan sindroma nefrotik
yang memiliki kadar prokalsitonin lebih dari atau sama dengan 0.065 memiliki risiko
untuk mengalami relaps sebesar 8.737 kali dibandingkan dengan anak yang
memiliki kadar prokalsitonin kurang dari 0.065 (nilai P=0.005).
6.2. Saran
Study Kohort dengan jumlah sampel yang lebih besar di harapkan mampu
memberikan hasil yang lebih rinci dan akurat tentang peran prokalsitonin pada
kejadian relaps / proteinuria pada sindroma nefrotik yang berhubungan dengan
kejadian infeksi.
Universitas Sumatera Utara
44
Identifikasi fokal infeksi dan gold standart penegakan infeksi sehingga dapat
menghindari pemberian kortikosteroid yang tidak diperlukan atau pemberian
antibiotik yang tidak rasional.
Universitas Sumatera Utara
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Reault NM. Nephrotic syndrome. In: Kher KK, Schnaper HW, Greenbaum LA,
editors.Clinical pediatric nephrology. 3thed.United States: CRC Press, 2011.
p.285-301
2. Situmorang D, Sekarwana N, Fadlyana E. Risk factor of frequent relapse in
pediatric nephrotic syndrome. American Journal Of Medical And Biological
Research. 2016;4:1: 10-12
3. Eddy AA, Symons JM. Nephrotic syndrome in childhood. Lancet. 2003; 362:
629–39
4. Gbadegesin R, Smoyer WE. Nephrotic syndrome. In: Geary DE, Schaefer F,
editors. Comprehensive pediatric nephrology.1sted. Philadelphia: Elsevier,
2008.p.205-218
5. Hodson EM, Alexander SI, Graf N. In: : Geary DE, Schaefer F, editors.
Comprehensive pediatric nephrology.1sted. Philadelphia: Elsevier, 2008.p.239-
255
6. Esfahani ST, Madani A, Asgharian F, Ataei N, Roohi A. Clinical course and
outcome of children with steroid-sensitive nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol.
2011;26:1089–1093
7. Noer MS. Predictors Of Relapse In Steroid-Sensitive Nephrotic Syndrome.
Southeast Asian J Trop Med Public Health.2005;36:
8. Rosenthal SH, Klein T, Marggrafy G,Hirschz T, Jakoby HG, Philipp T, Kribben A.
Modulation And Source Of Procalcitonin In Reduced Renal Function And Renal
Replacement Therapy. Scandinavian Journal Of Immunology. 2004;61:180–186
9. Becker KL, Snider R, Nylen ES. Procalcitonin In Sepsis And Systemic
Inflammation: A Harmful Biomarker And A Therapeutic Target. British Journal Of
Pharmacology. 2010;159: 253–264
10. Sakallioglu O, Musabak U, Kalman S. Procalcitonin and minimal-change
nephropathy: a pilot study. Singapore med j.2012; 53:5:353
Universitas Sumatera Utara
46
11. Patrakka J, Lahdenkari AT, Koskimies O, Holmberg C, Wartiovaara J, Hannu
Jalanko H. The Number Of Podocyte Slit Diaphragms Is Decreased In Minimal
Change Nephrotic Syndrome. Pediatr Res.2002;52: 349–355
12. Patrakka J, Tryggvason K. New Insights Into The Role Of Podocytes In
Proteinuria. Nat RevNephrol. 2009;5: 463–468
13. Gubler MC. Podocyte Differentiation And Hereditary Proteinuria/Nephrotic
Syndromes. J Am Soc Nephrol.2003;14: S22–S26
14. Brinkkoetter PT, Ising C, Benzing T. The Role Of The Podocyte In Albumin
Filtration. Nat Rev Nephrol.2013;9:328–336
15. Mathieson PW. Immune Dysregulation In Minimal Change Nephropathy. Nephrol
Dial Transplant.2003;18:6:26–29
16. Uwazuoke SN. Steroid-sensitif nephrotic syndrome in children: triggers of relaps
and evolving hypotheses on pathogenesis. Italian Journal of Pediatrics.
2015;41:19.
17. Szeto C, Gillespie K.M, Mathieson PW. Levamisole induces interleukin-18 and
shifts type 1/type 2 cytokine balance. Immunology.2000;100 :217-224
18. Trihono PP, Husein Alatas H, Taralan Tambunan T, Pardede SO. Konsensus
Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak. Edisi Kedua. Jakarta. Unit
Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.2005.h.1-36
19. Mishra OP, Abhinay A, Mishra RN, Prasad R, Martin Pohl M. Can We Predict
Relapses In Children With IdiopathicSteroid-Sensitive Nephrotic Syndrome?
.Journal Of Tropical Pediatrics.2013;4:1-7
20. Moorani KN, Raj M. Spectrum of Infections in Children with NewlyDiagnosed
Primary Nephrotic Syndrome. Pakistan Journal of Medical Research.2012;51:1.
21. Yap HK, Han EJ, Heng CK, Gong WK. Risk factors for steroid dependency in
children with idiopathic nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol 2001;16:1049-52.
22. Sarker MN, Islam MM, Saad T, et al. Risk factor for relapse in childhood
nephrotic syndrome – A Hospital Based Retrospective Study. Faridpur Med Coll
J 2012;7:18-22
23. Purnami NM, Nilawati IG. Faktor risiko kekambuhan pasien sindrom nefrotik.
JIKA.2013;2:1:39-48
Universitas Sumatera Utara
47
24. Schönenberger E, Ehrich JH, Haller H, Schiffer M. The podocyte as a direct
target of immunosuppressive agents. Nephrol Dial Transplant .2011;26:18–24
25. Hodson EM, Knight JF, Willis NS, Craig JC. Corticosteroid Therapy For
Nephrotic Syndrome In Children. The Cochrane Database Of Systematic
Reviews. 2004;1:3-10
26. Vijayan AL, Vanimaya, Ravindran S, Saikant R, Lakshmi R, Kartik R and Manoj
G. Procalcitonin: a promising diagnostic marker for sepsis and antibiotic therapy.
Journal of Intensive Care.2017:5;51
27. Becker KL, Snider R, Nylen ES. Procalcitonin In Sepsis And Systemic
Inflammation: A Harmful Biomarker And A Therapeutic Target. British Journal Of
Pharmacology. 2010;159: 253–264
28. Anurag Markanday. Acute phase reactants in infections: evidence-based review
and a guide for clinicians. Oxford University Press On Behalf Of The
InfectiousDiseases Societyof America. 2015
29. Bakr A, El-Chenawi MS, El-Husseni F, El-Ashry R. Tumor Necrosis Factor-Α
Production From Mononuclear CellsIn Nephrotic Syndrome. Pediatr Nephrol.
2003;18:516–520
30. Simon L, Gauvin F, Amre DK, Louis PS, Lacroix J. Serum Procalcitonin And C-
Reactive Protein LevelsAs Markers Of Bacterial Infection: A Systematic Review
And Meta-Analysis. Clinical Infectious Diseases.2004; 39:206–17
31. Schuetz P, Albrich W, Mueller B. Procalcitonin for diagnosis of infection and
guide to antibiotic decisions: past, present and future. BMC Medicine. 2011;9:107
32. Chaudhury A, Sumant Sg, Jayaprada R, Kalawat U, Ramana B. Procalcitonin in
sepsis and bacterial infections. J clin sci res. 2013;2:216-24
Universitas Sumatera Utara
LAMPIRAN
1. Personil Penelitian
1. Ketua Penelitian
Nama : dr. Dian Ismawardani
Jabatan : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak
FK-USU/RSHAM
2. Anggota Penelitian
1. DR.dr. Oke Rina Ramayani,Mked(Ped), SpA(K)
2. dr. Yazid Dimyati, M.Ked(Ped),SpA(K)
3. dr. Rosmayanti Siregar, M.Ked(Ped)SpA(K)
4. dr. Beatrix Siregar, M.Ked(Ped), SpA
5. dr. Ifrah Ayuna Siregar
7. dr. Wiwiek Agustin
8. dr. Riska Habriel Rusli
9. dr. Nova Juliana Sagala
2. Biaya Penelitian
1. Bahan / Perlengkapan : Rp. 3.000.000
2. Transportasi / Akomodasi : Rp. 2.000.000
3. Penyusunan / Penggandaan : Rp. 2.000.000
5. Pemeriksaan Laboratorium : Rp. 2.000.000
4. Seminar hasil penelitian : Rp 3.000.000
Jumlah : Rp.12.000.000
Universitas Sumatera Utara
3. Jadwal Penelitian
Kegiatan/
Waktu
1 – 31 Januari
2017
1 Februari 2017
– 28 Februari
2018
1– 31Maret
2018
Persiapan
Pelaksanaan
Penyusunan
Laporan
Pengiriman
Laporan
4. Penjelasan dan Persetujuan Kepada Orang Tua
Kepada Yth Bapak / Ibu ................................................
Sebelumnya kami ingin memperkenalkan diri, nama saya dr. Dian
Ismawardani bertugas di Divisi Nefrologi Departemen Ilmu kesehatan
Anak FK USU / RSUP Haji Adam Malik Medan.
Bersama ini, kami ingin menyampaikan kepada Bapak / Ibu
bahwa Divisi Nefrologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUSU -
RSHAM Medan, bermaksud mengadakan penelitian mengenai “------ ”
Sindrom Nefrotik merupakan penyakit glomerular kronis yang
paling sering pada anak. Penyebabnya meliputi minimal change disease
(85%), mesangial proliferation (5%), and focal segmental
glomerulosclerosis (10%). Pasien dengan minimal change disease
kebanyakan menunjukan respon pada pengobatan kortikosteroid.
Kortikosteroid bermaanfaat untuk mempertahankan remisi selain untuk
Universitas Sumatera Utara
menginduksi. Sindrom Nefrotik Sensitif Steroid adalah bentuk yang
paling umum dari masa kanak-kanak sindrom nefrotik (NS). Anak-anak
dengan SNSS memberikan respon dengan terapi kortikosteroid, namun,
80-90% akan kambuh sehingga terapi steroid akan diulangi.
Partisipasi Bapak/ Ibu bersifat sukarela. Seandainya Bapak/ Ibu
memutuskan untuk tidak berpartisipasi dalam penelitian ini, maka hal
tersebut tidak akan mempengaruhi penanganan proses penyakit oleh
dokter terhadap anak anda. Jika Bapak/ Ibu memutuskan untuk
berpartisipasi, maka saya mengharapkan Bapak/ Ibu menandatangani
lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) untuk menyatakan bahwa
Bapak/ Ibu telah mengetahui dan dijelaskan dengan baik tentang segala
hal dalam studi ini dan bahwa Bapak/ Ibu memberikan persetujuan untuk
berpartisipasi.
Pemeriksaan ini tidak dipungut biaya. Kami akan mengambil
kurang lebih 2 ml darah dari lengan anak anda. Prosedur ini akan
dilakukan oleh ahli profesional/medis dan pada dasarnya prosedur ini
tidak akan menimbulkan risiko.
Jika terdapat hal-hal yang kurang jelas, Bapak/Ibu dipersilakan
untuk menghubungi peneliti secara langsung atau melalui telepon, dr.
Dian Ismawardani, nomor telepon 081265887761.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan. Atas perhatian dan
kerjasama Bapak/ Ibu, saya ucapkan terima kasih.
Universitas Sumatera Utara
Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Umur / Kelamin : tahun, Laki-laki / Perempuan
Alamat :
dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan
PERSETUJUAN
untuk mengikuti penelitian terhadap anak saya:
Nama :
Umur / Kelamin : tahun, Laki-laki / Perempuan
Alamat :
yang tujuan, sifat, dan perlunya penelitian tersebut di atas, serta risiko yang dapat ditimbulkannya telah cukup dijelaskan oleh dokter dan telah saya mengerti sepenuhnya.
Demikian pernyataaan persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaaan.
.....................2017
Yang memberikan Penjelasan Yang membuat pernyataan
Persetujuan
dr. Dian Ismawardani …………………….....
Saksi – saksi Tanda tangan
1. ………………………… ………………………………
2. ………………………… ………………………………
Universitas Sumatera Utara
DATA DASAR
Tanggal periksa :
Pemeriksa :
Identitas Pasien
Nomor Urut :
Nama :
Jenis Kelamin :
Tempat/Tanggal Lahir :
Alamat :
Anak ke :
Berat Badan Lahir :
Riw penyakit terdahulu :
Riw pemakaian obat :
Waktu terdiagnosa :
Hematuria :
Kadar albumin awal :
Identitas Orang tua
Ayah Ibu
Nama :
TanggalLahir :
Suku Bangsa :
Universitas Sumatera Utara
Pekerjaan :
Pendidikan :
Penghasilan/bulan :
Riwayat penyakit :
Keluhan Saat ini :
Pemeriksaan
Urinalisa :
- Leukosit : - Protein : - Bilirubin : - Nitrit : - pH : - Glukosa : - Urobilinogen : - SG : - Blood : - Keton :
Berat Badan : ……..kg
Tinggi Badan : ……..cm
IMT : ……..
Pemeriksaan Fisik
Status Praesen
Sens : Suhu : anemia: sianosis: Dispnoe:
Edema:
Kepala : UUB :
Mata : Pupil isokor/anisokor , RC /
Telinga :
Hidung :
Universitas Sumatera Utara
Mulut :
Leher : Pembesaran KGB ( )
Dada : Simetris fusiformis ( ), Retrksi ( ),
Frekuensi Nafas : x/mnt, reguler ( ),
Ronchi ( / ), Wheezing ( / )
Frekuensi Jantung : x/mnt, reguler ( ), desah
( / )
Perut : supel/distensi, peristaltik ( ),
Hati :
Limpa :
Anogenital ;
Anggota Gerak : Nadi x/mnt, reguler ( ), T/V cukup/ tidak,
akral hangat /
Dingin, CRT 3 detik.
Tekanan darah : ......./…… mmHg
Diagnosa :
Terapi :
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara