Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
TESIS
TINJAUAN HUKUM TINDAK LANJUT LAPORAN HASIL ANALISIS PUSAT PELAPORAN DAN
ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN DI TINGKAT PENYIDIKAN
Disusun dan diajukan oleh :
MUHAMMAD FADLI
P0902211009
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan tesis yang berjudul: Tinjauan Hukum Tindak Lanjut
Laporan Hasil Analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
di Tingkat Penyidikan
.Penulis menyadari sepenuhnya bahwa isi tesis ini masih sangat
sederhana, dimana terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan yang
tidak dapat penulis hindari. Selama proses penyelesaian tesis ini mulai
dari persiapan hingga selesai sangat banyak pihak yang telah
memberikan dukungan, motivasi, doa, saran dan kritik yang bersifat
membangun sehingga tesis ini dapat dirampungkan. Oleh karena itu,
dengan segala kerendahan hati mengucapkan penghargaan dan rasa
terima kasih yang sedalam-dalamnya diperuntukkan kepada :
1. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda H. Abdul Hamid, S.Pd. dan
Ibunda Hj. Salamang, S.Pd. dengan cinta dan kasih sayang beliau
memberikan segala perhatian, dukungan moril dan materiil serta
doa restu tanpa pamrih kepada penulis selama ini.
2. Adik-adikku tercinta, Nur Rafi’ah dan Elly Nur Laeli yang selalu
memberikan dukungan motivasi dan doanya selama ini, semoga
kelak menjadi dokter yang baik.aamiin
vi
3. Bapak Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi, Sp.B., Sp.BO. selaku Rektor
Universitas Hasanuddin, Bapak Prof. Dr. Aswanto, S.H, M.S, DFM.
selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Bapak
Prof. Dr. Ir. Mursalim selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin dan Bapak Prof. Dr. Marthen Arie, S.H,
M.H. selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Universitas
Hasanuddin yang telah memberikan izin, kesempatan dan fasilitas
kepada penulis selama mengikuti pendidikan Pascasarjana
Magister Ilmu Hukum.
4. Bapak Prof. Dr. H. M. Djafar Saidi, S.H, M.H. selaku Ketua Komisi
Penasihat dan Bapak Prof. Dr. Muhadar, S.H, M.Si. selaku anggota
Komisi Penasihat, terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala
arahan, waktu, bimbingan dan saran kepada Penulis selama ini.
5. Bapak Prof. Dr. Syamsul Bachri, S.H, MS, Bapak Prof. Dr. Andi
Sofyan, S.H., M.H., dan Prof. Dr. Muh. Guntur, S.H, M.H. terima
kasih yang sebesar-besarnya atas kesediannya menjadi penguji
yang memberikan masukan serta saran-saran yang membangun
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir.
6. Seluruh Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin terkhusus Dosen Bagian Hukum Pidana, terima kasih
atas segala ilmu yang telah diberikan kepada Penulis, semoga
Allah SWT membalasnya dengan limpahan pahala. Aamiin.
vii
7. Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., Prof. Dr. Bagir Manan, SH,
MCL., Ibu Dr. Yenti Garnasih, S.H., M.H., Bapak Dr. Yunus Husein,
S.H., LL.M, Bapak Johan Budi Sapto Prabowo, Bapak Komisaris
Besar Polisi Agung Setya, SIK, S.H., M.Si., Bapak Wirzal Yanuar,
Ibu AKBP Rachmawati, Ibu Ina Purwantini Rahayu, S.H., M.Si.,
Bapak Haryono Budhi Pamungkas, S.H., M.H., Bapak Ferdy Nizar
Falumi, Bapak Wiwin Suwandi, S.H., Bapak Imran Malik Djunur,
terima kasih atas waktu, masukan dan bantuannya kepada penulis
selama ini.
8. Seluruh Staf Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan,
Komisi Pemberantasan Korupsi, Bareskrim Mabes Polri, Direktorat
Jenderal Pajak, Sekertariat Jenderal DPR-RI atas segala
bantuannya.
9. Sahabat dari Penulis Program Magister, terkhusus teman-teman
Program Magister Hukum Kepidanaan, Ikatan Alumni SMU Negeri
02 Tinggimoncong Wilayah Jabodetabek, kakanda Amaliyah, S.H.,
M.H., Andi Aina Ilmi S.H., M.H., Kanda Dudi Sahupala, S.H., M.H.
Kanda Kadarudin Al Anshari, S.H., M.H., DFM., Nur Alim, S.H.,
M.Hkes. serta teman-teman yang tidak sempat saya sebutkan
namanya satu persatu, terima kasih atas doa dan motivasi yang
selalu diberikan kepada Penulis.
viii
10. Para pegawai serta staf Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
terima kasih atas segala bantuan dan kemudahannya dalam
menjalankan tugas selama ini.
11. Seluruh pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian
tesis ini, Penulis menghaturkan banyak terima kasih.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu dengan segala kerendahan hati Penulis sangat mengharapkan
kritikan dan masukan yang sifatnya membangun guna perbaikan dan
penyempurnaan tesis ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kita
semua kelak. Aamiin.
Makassar, 19 Mei 2013
Penulis,
Muhammad Fadli
ix
ABSTRAK
MUHAMMAD FADLI. Tinjauan Hukum Tindak Lanjut Laporan Hasil
Analisis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan di Tingkat
Penyidikan (dibimbing oleh M. Djafar Saidi dan Muhadar)
Penelitian ini bertujuan mengetahui (1) tindak lanjut laporan hasil analisis
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di penyidik,
(2) faktor-faktor yang mempengaruhi tindak lanjut laporan hasil analisis
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan di penyidik.
Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif empiris dengan objek
kajiannya meliputi ketentuan perundang-undangan, bahan pustaka, dan
penerapan pada peristiwa hukum. Pengumpulan data dilakukan melalui
observasi, dokumentasi, dan kajian pustaka. Data dianalisis dengan
metode kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) penerusan laporan hasil analisis
PPATK kepada penyidik belum optimal karena adanya perbedaan
signifikan antara jumlah penerusan dan tindak lanjut laporan hasil analisis
oleh penyidik. Bentuk tindak lanjut laporan hasil analisis PPATK di
Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu dengan
terlebih dahulu dilakukan pengkajian dan telaah serta pengumpulan bukti
permulaan yang cukup. (2) terdapat dua faktor yang mempengaruhi tindak
lanjut laporan hasil analisis PPATK di penyidik yaitu faktor yuridis dan
faktor nonyuridis. Faktor yuridis diantaranya belum cukup bukti yang
ditemukan oleh penyidik dan masih terdapat kelemahan dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang. Faktor nonyuridis yaitu adanya kendala
waktu penyerahan laporan hasil analisis PPATK, adanya ketidakjelasan
data yang disampaikan PPATK kepada penyidik, masih kurangnya
koordinasi antara lembaga PPATK dan penyidik, dan pemberitaan media
yang dapat mengganggu proses penyidikan.
Kata Kunci: tindak lanjut laporan hasil analisis, analisis transaksi
keuangan.
x
ABSTRACT
MUHAMMAD FADLI. A Legal Review of the Follow-Up Actions of the
Analysis of the Financial Transaction Analysis and Report Center at the
Stage of Investigation (Supervised by M. Djafar Saidi and Muhadar)
This study aims to find out and understand: (1) the follow-up actions
of the analysis of the Financial Transaction Analysis and Report Center
(PPATK) at the stage of investigation; and (2) the factors affecting the
follow-up actions. The Research was conducted as an empirical normative
study. It used regulations, other written materials, and the implementation
in legal cases as the objects of study.
The results reveal that, firstly, the forwarding of the result of PPATK
Analysis to investigators is not optimal yet. There is a significant difference
between the total number of forwarding and the number of investigator’s
follow-up actions. Police institution and Anti-Corruption Commission
conducted follow-up actions in the forms of analysis and the collection of
sufficient evidences. Secondly, it is found that two factors, juridical and
non juridical factors, influence investigators’ follow-up actions. Two
examples of juridical factors are the limitation of evidences collected by the
investigators and the weakness of The Regulation Number 8 of 2010
about Prevention and Eradication of Money Laundering. Non-juridical
factors include problems with the time of report forwarding, unclear data,
lack of coordination between PPATK and investigators, and the news of
mass media that can interfere with the process of investigation.
Keywords: follow-up actions of analysis report, the analysis of financial
transaction.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................... ii
KATA PENGANTAR ....................................................................... iii
ABSTRAK BAHASA INDONESIA ................................................... vii
ABSTRAK BAHASA INGGRIS ........................................................ viii
DAFTAR ISI ..................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .............................................................................. x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1 B. Rumusan Masalah ......................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ........................................................... 6 D. Kegunaan Penelitian ...................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Negara Hukum .................................................. 8 B. Teori Kewenangan ......................................................... 14 C. Teori Politik Hukum ........................................................ 20 D. Penegakan Hukum ......................................................... 24 E. Penyidikan ..................................................................... 26 F. Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) ..... 30
1. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang ............. 30 2. Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang ............... 33
G. Tinjauan Umum Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ........................................................ 34 1. Sejarah Pembentukan PPATK ................................ 34 2. PPATK sebagai Lembaga Independen ................... 37 3. Struktur Organisasi PPATK .................................... 38
H. Kewenangan PPATK ..................................................... 45 I. Laporan Transaksi Keuangan ........................................ 49
1. Transaksi Keuangan Mencurigakan ......................... 49 2. Transaksi Keuangan Tunai ...................................... 51
x
3. Transaksi Keuangan Transfer Dana dari dan ke luar negeri ........................................................... 52
4. Laporan Transaksi oleh Penyedia Barang dan Jasa ........................................................................ 53
5. Laporan Pembawaan Uang Tunai ............................ 53 J. Laporan Hasil Analisis PPATK ....................................... 55
1. Pengertian Laporan Hasil Analisis PPATK ................ 55 2. Jenis Hasil Analisis Laporan Transaksi Keuangan
PPATK ...................................................................... 57 K. Kerangka Pikir ................................................................ 59
1. Kerangka Pemikiran Teoritis .................................... 59 2. Bagan Kerangka Pikir .............................................. 62
L. Definisi Operasional ....................................................... 63
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian ........................................................... 65 B. Bentuk dan Pendekatan ................................................. 65 C. Jenis dan Sumber Data .................................................. 66 D. Populasi dan Sampel ..................................................... 66 E. Teknik Pengumpulan Data ............................................. 67 F. Metode Analisis Data ..................................................... 68
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Tindak Lanjut Laporan Hasil Analisis PPATK ................. 70 1. Penerusan Laporan Hasil Analisis PPATK
Kepada Penyidik ...................................................... 70 2. Bentuk Tindak Lanjut terhadap Laporan Hasil
Analisis PPATK ........................................................ 80 B. Faktor yang Mempengaruhi Tindak Lanjut laporan Hasil Analisis PPATK di Penyidik ................................... 105
1. Faktor Yuridis ......................................................... 109 2. Faktor non-Yuridis .................................................. 137
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................... 150 B. Saran ............................................................................ 151
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Nomor halaman
1 Hasil Analisis PPATK Berdasarkan Tindak Pidana
Asal Tahun 2012 75
2 Jumlah Kumulatif LHA yang disampaikan ke Penyidik 76
3 Jumlah Hasil Analisis PPATK Tahun 2008-2012 78
4 Tindak Lanjut LHA Subdit TPPU Mabes Polri 2012 98
5 Jumlah Tindak Lanjut Hasil Analisis PPATK
oleh Penyidik 104
6 Penerimaan LHA PPATK Tahun 2006 Mabes Polri 120
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor halaman
1 Flow Analisis Pusat Pelaporan dan Analisis 72
Transaksi Keuangan
2 Format Laporan Hasil Analisis PPATK 83
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU PPTPPU). UU
PPTPPU ini mengatur tentang transaksi keuangan mencurigakan dengan
sejumlah uang yang dinilai tidak wajar yang merupakan salah satu objek
analisis dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
PPATK merupakan lembaga yang dibentuk dalam rangka mencegah dan
memberantas tindak pidana pencucian uang. PPATK dalam menjalankan
kewenangannya terikat pada UU PPTPPU yang dijabarkan ke dalam
Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2011 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (Perpres No. 50/ 2011).
Keberadaan PPATK sangat penting dalam menghubungkan
instansi atau lembaga yang terlibat dalam upaya penegakan pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia.
International Narcotics Control Strategic Report (INCSR) Tahun 2003 yang
dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menjelaskan
2
bahwa semakin majunya sistem keuangan suatu negara, semakin menarik
para pelaku kejahatan untuk melakukan aksi kejahatan. Pemanfaatan
lembaga keuangan dalam kejahatan pencucian uang dapat berupa
menginvestasikan dan memindahkan dana dari hasil tindak pidana seperti,
uang hasil korupsi, suap, penipuan, kejahatan di bidang perbankan, pasar
modal dan lainnya ke dalam bentuk deposito, pembelian traveler cheque
(cek perjalanan), saham, obligasi, reksadana dan instrumen keuangan
lainnya.1
Berdasarkan Laporan Statistik PPATK periode Juli 2012, transaksi
keuangan yang mencurigakan selama tahun 2012 mencapai 2.054 (dua
ribu lima puluh empat) transaksi per bulan. Jumlah tersebut meningkat
dibandingkan tahun 2010 sebanyak 1.445 (seribu empat ratus empat
puluh lima) transaksi per bulan dan tahun 2011 sebanyak 1.685 (seribu
enam ratus delapan puluh lima) per bulan.2 Adapun Pada Tahun 2012
PPATK menerima 108.145 laporan transaksi keuangan mencurigakan dari
381 Penyedia Jasa Keuangan. Laporan paling banyak berasal dari
Penyedia Jasa Keuangan Bank sebesar 54,5 (lima puluh empat koma
lima) persen dan selebihnya 45,5 (empat puluh lima koma lima) persen
Penyedia Jasa Keuangan non-bank. Khusus pada tahun 2012, sebanyak
1 Yunus Husein, 2006, Pembangunan Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia dan
Implikasinya terhadap Profesi Akuntan, Makalah Disampaikan pada Forum Ilmiah Ekonomi Study Akuntansi (FIESTA 2006) dan Temu Nasional Jaringan Mahasiswa Akuntansi Indonesia (TN-JMAI), Fakultas Ekonomi Universitas Bung Hatta, Padang, 8 Mei 2006.
2 Ana. Pemberantasan Korupsi, Pencucian Uang Meningkat, Harian Kompas Rabu 12
September 2012, Hal. 1.
3
276 transaksi sudah diteruskan ke penegak hukum, seperti Kepolisian,
Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Nasional
Narkotika, dan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan. Dengan jumlah uang
yang dianalisis sepanjang Tahun 2012 mencapai lebih dari Rp 100 triliun
yang ada pada 1.700 rekening dan 115 Penyedia Jasa Keuangan.3
PPATK melakukan proses analisis dan pemeriksaan terhadap
laporan atau informasi transaksi keuangan yang dilaporkan oleh pihak
pelapor atau penyedia jasa keuangan sebagai tugas utama PPATK.
Sesuai dengan tugas yang diemban tersebut, produk utama yang
dihasilkan adalah berupa Hasil Analisis dan Hasil Pemeriksaan yang
diharapkan dapat dijadikan dasar bagi aparat penegak hukum dalam
melakukan proses penegakan hukum sesuai dengan tugas dan
kewenangannya dan ketentuan yang berlaku dalam mencegah dan
memberantas tindak pidana pencucian uang. Dalam rangka
melaksanakan tugas mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang sebagaimana dalam Pasal 39 UU PPTPPU, PPATK
mempunyai fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi
transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang atau
tindak pidana lain sebagaimana dalam Pasal 40 huruf (d) UU PPTPPU.
Dalam melaksanakan fungsi tersebut PPATK memiliki kewenangan
meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan terhadap laporan hasil
3 Sabrina Asril, 2012, Nilai Transaksi Mencurigakan Capai Rp 100 Triliun,
http://nasional.kompas.com/read/2013/01/02/17384835/Nilai.Transaksi.Mencurigakan.2012.Capai.Rp.100.Triliun?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp, Diakses 3 januari 2012.
http://nasional.kompas.com/read/2013/01/02/17384835/Nilai.Transaksi.Mencurigakan.2012.Capai.Rp.100.Triliun?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwphttp://nasional.kompas.com/read/2013/01/02/17384835/Nilai.Transaksi.Mencurigakan.2012.Capai.Rp.100.Triliun?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp
4
analisis atau pemeriksaan laporan transaksi keuangan mencurigakan
yang dihasilkan kepada penyidik yang diatur dalam Pasal 44 Ayat (1)
huruf (l) UU PPTPPU.
Laporan hasil analisis PPATK yang berindikasi tindak pidana
pencucian uang atau tindak pidana lain wajib ditindaklanjuti oleh penyidik
sesuai dengan kewenangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 48
Perpres No. 50/ 2011). Akan tetapi Laporan Hasil Analisis yang
disampaikan oleh PPATK kepada penyidik tidak semuanya ditindak lanjuti.
Sebagaimana dikemukakan ketua PPATK M. Yusuf yaitu:
“salah satu program yang akan diprioritaskan adalah menagih tindak lanjut atas Laporan Hasil Analisa (LHA) yang telah disampaikan PPATK kepada penegak hukum. Apa penyebabnya sehingga laporan hasil analisis tidak ditindaklanjuti.4
Tindak Lanjut Laporan Hasil Analisis yang telah disampaikan
kepada penegak hukum selama tahun laporan belum begitu signifikan bila
dibandingkan dengan kasus yang diteruskan ke proses penegakan hukum
selanjutnya.5
Penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum diawali
dengan adanya bahan masukan suatu tindak pidana. sumber bahan
masukan suatu tindak pidana berupa pengetahuan atau persangkaan
telah terjadinya suatu perbuatan pidana dapat diperoleh penyidik dari
4 Inu, 2011, M. Yusuf: PPATK Ibarat Memberi Umpan ke Pemancing,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ec61a217fea1/ppatk-ibarat-memberi-umpan-ke-pemancing, diakses 3 Januari 2013.
5 PPATK, 2011, Laporan Tahunan, Jakarta: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan, Hal. 58.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ec61a217fea1/ppatk-ibarat-memberi-umpan-ke-pemancinghttp://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ec61a217fea1/ppatk-ibarat-memberi-umpan-ke-pemancing
5
berbagai sumber, yaitu dari adanya laporan, pengaduan, tertangkap, atau
diketahui sendiri oleh aparat penegak hukum dari hasil penyidikan.6
Selanjutnya kewajiban penyidik untuk mencari atau mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi. Peran
penting masukan dan laporan tentang terjadinya suatu tindak pidana juga
harus didukung dengan alat bukti yang berkaitan dengan terjadinya tindak
pidana. Karena proses pembuktian memiliki peranan yang penting dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan. Dengan adanya laporan hasil analisis
yang diberikan oleh PPATK diharapkan dapat membantu aparat penegak
hukum dalam memperoleh dokumen alat bukti yang diperlukan sehingga
nantinya dapat lebih mempermudah proses pembuktian terjadinya suatu
tindak pidana.7
Laporan Hasil analisis merupakan hasil analisis yang diperoleh
dengan menggabungkan berbagai informasi dari berbagai sumber
termasuk baik atas profil terlapor, sumber pendanaan, tujuan penggunaan
dana, setiap transaksi yang dilakukan, kesesuaian antara nilai transaksi
dengan profil terlapor serta hal-hal lainnya yang dipandang perlu untuk
dapat dijadikan informasi ataupun data pendukung. Dengan adanya
laporan hasil analisis yang disampaikan PPATK kepada penyidik
6 Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: PT Citra
Aditya bakti, Hal. 60-61.
7 Ni Komang Wiska Ati Sukariyani, 2010, Peranan Hasil Analisis Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta: Program Pasca Sarjana, www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/131167...Peranan%20hasil...pdf, diakses 28 April 2012, Hal. 62.
6
diharapkan kerjasama dari penyidik yang merupakan kewajiban untuk
menindaklanjuti laporan hasil analisis PPATK tersebut. Kewajiban tindak
lanjut Laporan Hasil Analisis tersebut diatur dalam Pasal 106 KUHAP dan
Pasal 48 Ayat (3) Perpres N0. 50/ 2011. Akan tetapi tindak lanjut
penyidikan terhadap laporan hasil analisis yang dihasilkan PPATK dari
proses analisis dan pemeriksaan laporan pihak pelapor masih belum
optimal dan menemui berbagai kendala. Sehingga produk utama PPATK
berupa hasil analisis dan informasi banyak yang menumpuk di instansi
penegak hukum.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan
diatas, maka rumusan masalah penelitian yang penulis dapat rumuskan
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah tindak lanjut Laporan Hasil Analisis PPATK yang
dilakukan oleh penyidik?
2. Faktor yang mempengaruhi tindak lanjut penyidikan Laporan Hasil
Analisis PPATK?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan di atas, adapun tujuan yang
disesuaikan dengan melandasi penelitian ini yaitu :
7
1. Untuk mengetahui dan memahami tindak lanjut laporan hasil
analisis PPATK yang dilakukan oleh penyidik.
2. Untuk mengetahui dan memahami faktor yang mempengaruhi
tindak lanjut penyidikan Laporan Hasil Analisis PPATK.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun Kegunaan dari penelitian ini adalah :
a. Memberi pemahaman mengenai tindak lanjut Laporan Hasil
Analisis yang disampaikan oleh PPATK kepada penyidik dan faktor
apa sajakah yang menjadi kendala penyidik dalam menindaklanjuti
Laporan Hasil Analisis yang disampaikan oleh PPATK.
b. Memberikan tambahan referensi hukum yang dapat digunakan
sebagai acuan bagi penelitian di masa yang akan datang dalam
lingkup yang lebih jelas dan mendalam lagi. Khususnya dalam
penanganan tindak pidana pencucian uang.
c. Diharapkan menghasilkan penelitian yang aplikatif yang dapat
memberi sumbangsih pemikiran bagi Penyidik dan PPATK dalam
menjalankan tugas, fungsi dan kewenangan yang dimiliki.
d. Menjadi solusi dan rekomendasi yang dapat menjadi acuan bagi
pembuat peraturan perundang-undangan dan penentu kebijakan
dalam merumuskan peraturan perundang-undangan yang
memenuhi kepastian hukum dalam penanganan tindak pidana
pencucian uang di masa yang akan datang.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Negara Hukum
Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI 1945) menyatakan bahwa, “Negara Indonesia
adalah negara hukum”. Indonesia merupakan negara hukum yang berarti
Indonesia menjunjung tinggi hukum dan kedaulatan hukum. Kekuasaan
hukum terletak diatas segala kekuasaan yang ada dalam negara dan
kekuasaan hukum terletak diatas segala kekuasaan yang ada dalam
negara dan kekuasaan itu harus tunduk pada hukum yang berlaku.
Hakikatnya adalah segala tindakan atau perbuatan tidak boleh
bertentangan dengan hukum yang berlaku, termasuk untuk
merealisasikan keperluan atau kepentingan negara maupun keperluan
warganya dalam bernegara.8
Aristoteles berpendapat bahwa, yang dimaksud dengan negara
hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan
kepada warga negaranya.9 Suatu negara yang baik ialah negara yang
8 Muhammad Djafar Saidi, 2007. Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam
Penyelesaian Sengketa Pajak. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal. 1.
9 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti, Hal. 153.
9
diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.10 Indonesia
sebagai negara hukum yang bercirikan negara kesejahteraan modern
(welfare state modern) berkehendak mewujudkan keadilan bagi segenap
rakyat Indonesia. Indonesia sebagai negara hukum maupun negara
kesejahteraan modern tidak terlepas dari pilar paham kedaulatan dan
paham kedaulatan rakyat. Paham kedaulatan hukum berarti kekuasaan
tertinggi terletak pada hukum atau tidak ada kekuasaan lain apa pun
terkecualihanya kekuasaan hukum. Sedangkan paham kedaulatan rakyat
berarti kekuasaan yang tertinggi bersumber dari kehendak rakyat yang
berdaulat dan dilaksanakan berdasarkan UUD NRI 1945.11
Indonesia merupakan Negara hukum pancasila yang bercirikan
Negara kesejahteraan sebagaimana dalam Alinea ke-4 Pembukaan UUD
NRI 1945 menyatakan sebagai berikut:
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UndangUndang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
10 Ridwan HR, 2007, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
Hal. 2.
11 Muhammad Djafar Saidi, Op.Cit., Hal. 4.
10
Alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945 diatas mengartikan bahwa,
dengan diembannya tugas negara dalam menyelenggarakan
kesejahteraan umum maka pembentukan berbagai peraturan di Negara
Republik Indonesia menjadi sangat penting, peran negara dalam
mengurusi kesejahteraan rakyat dalam bidang hukum, sosial, politik,
ekonomi, budaya, lingkungan hidup, pertahanan keamanan serta
mewujudkan keadilan sosial diselenggarakan melalui pembentukan
peraturan-peraturan negara. Dalam negara kesejahteraan (welfare state/
verzorngingsstaat), tugas pemerintah tidak hanya terbatas untuk
melaksanakan undang-undang yang telah dibuat oleh legislatif. Dalam
persfektif welfare state, pemerintah dibebani kewajiban untuk
menyelenggarakan kepentingan umum (bestuurszorg) atau
mengupayakan kesejahteraan sosial, yang dalam menyelenggarakan
kewajiban itu pemerintah diberi kewenangan untuk campur tangan
(staatsbemoeienis) dalam kehidupan masyarakat, dalam batas-batas yang
diperkenankan oleh hukum.12 Sehingga campur tangan pemerintah
tersebut dapat dilaksanakan melalui kewenangan yang diberikan oleh
undang-undang dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dalam bidang
hukum, sosial, politik, ekonomi, budaya, lingkungan hidup, pertahanan
keamanan serta mewujudkan keadilan sosial.
Salah satu asas penting dalam negara hukum adalah asas
legalitas. Substansi dari asas legalitas tersebut adalah menghendaki agar
12 Ridwan HR, 2007, Op.Cit., Hal. 138.
11
setiap tindakan badan atau pejabat administrasi berdasarkan undang-
undang. Tanpa dasar undang-undang badan atau pejabat administrasi
negara tidak berwenang melakukan suatu tindakan yang dapat mengubah
atau memengaruhi keadaan hukum warga masyarakat.13 Selain itu
jaminan kepastian hukum dipertegas pula dalam Pasal 28 D Ayat (1) UUD
NRI 1945 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum.” Dalam mewujudkan tugas yang
diemban oleh pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, maka
diperlukan kepastian hukum dalam menjalankan tugas yang diemban
tersebut.
Menurut Indroharto, penerapan asas legalitas akan menunjang
berlakunya kepastian hukum dan berlakunya kesamaan perlakuan.14 Asas
kepastian hukum merupakan asas dalam negara hukum yang
menggunakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan
keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara.15 Asas
kepastian hukum dalam terminologi hukum ditemukan dalam dua
pengertian. Asas kepastian hukum dalam bahasa Inggris the principle of
legal security dan dalam bahasa Belanda disebut rechtszekerheid
13 Ni’matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, Hal. 78.
14 Ibid, Hal. 78-79.
15
M. Marwan dan Jimmy P., 2009, Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete Edition, Surabaya: Reality Publisher.
12
beginsel. Asas kepastian hukum adalah asas untuk mengetahui dengan
tepat aturan apa yang berlaku dan apa yang berlaku padanya.16
Tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas
dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga
dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945.17 Maka dari itu
pemberantasan tindak pidana pencucian uang memerlukan landasan
hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan
hukum serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak
pidana.
Konsep negara hukum yang banyak dikenal di berbagai Negara
adalah rechstaat dan rule of law.18 Dalam perspektif teori dikenal
beberapa konsep negara hukum sebagai berikut:
a. Rechtsstaat;
b. Rule of Law;
c. Socialist Legality;
d. Nomokrasi Islam;
e. Negara Hukum Pancasila.
Oemar Senoadji berpendapat bahwa negara hukum Indonesia
memiliki ciri-ciri khas Indonesia karena Pancasila harus diangkat sebagai
16 Saifullah Bombang, Asas Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Yang Baik, Bilancia, Vol. 2, No. 2, Juli-Desember 2008, http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2208125136.pdf, diakses pada tanggal 3 Juli 2012, hal. 126.
17 Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
18 Bintan R. Saragih, 2010, 70
th Prof. Dr. Bintan R. Saragih, S.H. Percikan Pemikiran
Hukum, Ketatanegaraan, dan Kebijakan Publik. Jakarta: Wildan Akademika dan Universitas Ekasakti Press. Hal. 28.
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2208125136.pdf
13
dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat
pula dinamakan negara hukum pancasila.19 Indonesia sebagai negara
hukum pancasila yang bercirikan negara kesejahteraan juga dipengaruhi
oleh konsep negara hukum Rechstaat dan The Rule of Law, kedua
konsep ini mengarahkan dirinya pada satu sasaran utama yaitu
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Dalam
tataran historis unsur-unsur negara hukum (rechstaat) menurut Friedrich
Julius Stahl, sebagai berikut: 20
a. Hak-hak asasi manusia b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-
hak itu (di negara-negara Eropa Kontinental disebut trias politica)
c. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur)
d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Sedangkan unsur-unsur negara hukum dalam konsep negara
hukum (the rule of law) menurut Albert Venn Dicey dalam Introduction to
the law of the Constitution sebagai berikut:21
a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.
b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa, maupun untuk pejabat.
19 Muhammad Tahir Azhary, 2010, Negara Hukum (Suatu Studi Tentang Prinsip-
Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini). Jakarta: Kencana, Hal. 93.
20 Miriam Budiardjo, 1977, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia, Hal. 57-
58.
21 Ibid.
14
c. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.
Jadi sebagai konsekuensi dari negara hukum Indonesia yang
berlandaskan pancasila dan bercirikan negara kesejahteraan wajib
menjamin terciptanya kepastian hukum dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan rakyat yang berlandaskan pancasila sebagai dasar negara.
B. Teori Kewenangan
Teori ini penulis kemukakan dengan tujuan untuk membahas dan
menganalisis tentang kewenangan PPATK dalam menjalankan
kewenangan terhadap laporan hasil analisis yang dihasilkan terhadap
laporan transaksi keuangan yang dilaporkan oleh pihak pelapor. Pilar
utama negara hukum, yaitu asas legalitas (legaliteitsbeginsel atau het
beginsel van wetmatigheid van bestuur), Negara hukum yang
menempatkan asas legalitas sebagai sendi utama penyelenggaraan
pemerintahan, Wewenang pemerintahan (bestuursbevoegdheid) itu
berasal dari peraturan perundang-undangan. R.J.H.M. Huisman
menyatakan pendapat berikut:
“Een bestuursorgaan kan zich geen bevoegdheid toeeigenen. Slechts de wet kan bevoegdheden verlenen. De wetgever kan een bevoegdheid niet allen attribueren aan een bestuursorgaan, maar ook aan ambtenaren (bijvoorbeeld belastinginspecteurs, inspecteur voor het milieu enz.) of aan special colleges (bijvoorbeeld de kiesraad, de pachtkamer), of zelfs aan privaatrechtelijke rechtspersonen”.(Organ pemerintah tidak dapat menganganggap bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang. Pembuat undang-undang dapat memberikan wewenang pemerintahan tidak hanya kepada
15
organ pemerintahan, tetapi juga terhadap para pegawai {misalnya inspektur pajak, inspektur lingkungan, dan sebagainya} atau terhadap badan khusus {seperti dewan pemilihan umum, pengadilan khusus untuk perkara sewa tanah}, atau bahkan terhadap badan hukum privat.22
Prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari
peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi
pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Kewenangan yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui
tiga cara yaitu, atribusi, delegasi, dan mandat.23 Mengenai atribusi,
delegasi, dan mandat H.D. van Wijk dan Willem Konijnenbelt
mendefinisikan sebagai berikut:24
a. Attributie: toekenning van een bestuursbevoegdheid door een
wetgever aan een bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian
wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada
organ pemerintahan).
b. Delegatie: overdracht van een bevoegdheid van het ene
bestuursorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan
wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada
organ pemerintahan lainnya).
c. Mandaat: een bestuursorgaan laat zijn bevoegdheid namens
hem uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ
pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh
22 Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara edisi revisi, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, Hal. 100.
23 Ibid., Hal. 101.
24
Ibid., Hal. 102.
16
organ lain atas namanya). Dalam hal mandat tidak ada sama
sekali pengakuan kewenangan atau pengalih-tanganan
kewenangan. Hanya menyangkut jannji kerja intern antara
penguasa dan pegawai.25
Delegasi merupakan “het overdragen door een bestuurorgaan van
zijn bevoegdheid tot het nemen van besuiten aan een ander die deze
onder eigen verantwoordelijkheid uitoefent” sedangkan mandat adalah
“het door een bestuursorgaan aan een ander verlenen van de
bevoegdheid in zijn naam besluiten te nemen” Delegasi merupakan
pemberian, pelimpahan, atau pengalihan kewenangan oleh suatu organ
pemerintahan kepada pihak lain untuk mengambil keputusan atas
tanggung jawab sendiri. Sedangkan mandat merupakan kewenangan
yang diberikan oleh suatu organ pemerintahan kepada organ lain untuk
atas nama atau tanggung jawabnya sendiri mengambil keputusan.26
Apabila suatu kewenangan dimandatkan kepada suatu lembaga lain untuk
melaksanakannya atas nama pemberi mandat, maka lembaga pemberi
mandat atau mandator dapat menarik kembali mandat yang diberikan dari
lembaga penerima mandat. Dalam teori tentang pendelegasian
pelimpahan kewenangan dari suatu lembaga kepada lembaga lain
berakibat terjadinya perpindahan kewenangan secara mutlak.
Kewenangan tersebut tidak dapat ditarik kembali oleh lembaga pemberi
25 Philipus M. Hadjon dkk, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia Indonesia
(Introduction To The Indonesian Administrative Law), Yogyakarta: Gadjah Nada University Press, Hal. 131.
26 Jimly Asshiddiqie, 2010, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers, Hal. 264.
17
delegasi.27 Kewenangan yang dimiliki oleh PPATK sebagaimana dalam
UU PPTPPU merupakan kewenangan yang diberikan oleh pembuat
undang-undang kepada PPATK untuk menjalankan wewenangnya dalam
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Adapun syarat-syarat pelimpahan wewenang pemerintahan melalui
delegasi, sebagai berikut:28
1. delegasi harus definitif dan pemberi delegasi (delegans) tidak
dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah
dilimpahkan itu;
2. delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada
ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan;
3. delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan
hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;
4. kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya
delegans berhak untuk meminta penjelasan tentang
pelaksanaan wewenang tersebut;
5. peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans
memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan
wewenang tersebut.
27 Ibid.
28
Ridwan HR, 2007, Op.Cit., Hal. 107-108.
18
H.D. Stout mengatakan bahwa:
“Bevoegheid is een begrip uit het bestuurlijke organisatierecht, watkan worden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heft op de verkrijging en uitoefening van bestuursrechtelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuursrechtelijke rechtsverkeer”. (wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik).29
H.D. Stout mengutip pula pendapat Verhey, mengemukakan bahwa
het beginsel van wetmatigheid van bestuur mengandung tiga aspek, yakni
aspek negatif (het negatieve aspect), aspek formal,-positif (het formeel-
positieve aspect), dan aspek materiil-positif (het materiel-positieve aspect).
Aspek negatif menentukan bahwa tindakan pemerintahan tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang. Tindakan pemerintah adalah tidak
sah jika bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Aspek formal positif menetukan bahwa pemerintah hanya memiliki
kewenangan tertentu sepanjang diberikan atau berdasarkan undang-
undang. Aspek materiil-positif menentukan bahwa undang-undang
memuat aturan umum yang mengikat tindakan pemerintah. Hal ini berarti
kewenangan itu harus memiliki dasar perundang-undangan dan juga
bahwa kewenangan itu isinya ditentukan normanya oleh undang-
undang.30
29 Ridwan HR., Op.Cit., Hal. 98.
30
Ibid., Hal. 91-92.
19
F.P.C.L. Tonnaer menyatakan bahwa:
“Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevat als het vermogen om positief recht vast te stellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen overhead en te scheppen” (Kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu, dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara).31
Hans Kelsen mengemukakan hanya perilaku manusia yang
diberikan wewenang oleh tatanan hukum. Perilaku individu tersebut
diberikan wewenang hukum dirinya yakni, kapasitas untuk menciptakan
norma hukum. Kapasitas untuk bertindak pada dasarnya merupakan
kapasitas untuk melakukan transaksi hukum. Kapasitas untuk melakukan
transaksi hukum yaitu kapasitas untuk menciptakan kewajiban dan hak,
juga merupakan wewenang hukum karena kewajiban hukum dan hak
ditetapkan oleh norma-norma hukum dan norma-norma itu diciptakan
dengan transaksi hukum. 32
Kewenangan merupakan kapasitas untuk bertindak yang diberikan
kepada suatu individu oleh tatanan hukum untuk melakukan tindakan
tertentu. Jadi dapat dikatakan bahwa kewenangan untuk melakukan
tindakan hanya diberikan pada individu tertentu yang diberikan oleh
tatanan hukum untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan hukum itu
sendiri. Dalam hal ini kewenangan melakukan analisis dan pemeriksaan
terhadap transaksi keuangan mencurigakan yang dimiliki oleh lembaga
31 Ibid., Hal. 98-99
32
Hans Kelsen, 2011, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Bandung: Nusa Media, Hal. 165-167.
20
negara seperti PPATK merupakan kewenangan yang diatur oleh
peraturan perundang-undangan.
C. Teori Politik Hukum
Upaya pencegahan maupun pemberantasan tindak pidana
pencucian uang tidak terlepas dari politik hukum yang ada. Secara
etimologis istilah politik hukum berasal dari Bahasa Belanda rechtspolitiek
yang merupakan bentukan dati kata recht dan politiek. Menurut Moh.
Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi
tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum
baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai
tujuan negara. Sehingga politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-
hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum
yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuaannya
dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum dalam
Pembukaan UUD NRI 1945.33
Menurut Padmo Wahjono, politik hukum merupakan kebijakan
penyelenggara negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah,
bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang
dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu. Dengan demikian politik
hukum berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa datang (ius
33 Moh. Mahfud MD, 2010, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, Hal. 1.
21
constituendum).34 Berbeda dengan Padmo Wahjono Teuku Mohammad
Radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak
penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan
mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun. Definisi ini
mencakup ius constitutum atau hukum yang berlaku di wilayah negara
pada saat ini dan ius constituendum atau hukum yang akan atau
seharusnya diberlakukan di masa mendatang.35
Pengertian politik hukum menurut Soedarto yaitu, usaha untuk
mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu waktu. Adapun pengertian politik hukum menurut
Sartjipto Rahardjo yaitu sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak
dipakai untuk mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam
masyarakat.36 Menurut Sartjipto Rahardjo terdapat beberapa pertanyaan
mendasar yang muncul dalam studi politik hukum yaitu:37
a. Tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang
ada
b. Cara-cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk
bisa dipakai mencapai tujuan tersebut
c. Kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara
bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan, dan
34 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2011, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta:
Rajawali Pers. Hal. 26.
35 Moh. Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,
Jakarta: Rajawali Pers, Hal. 13.
36 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Op.Cit, Hal. 27-28.
37
Ibid., Hal. 29.
22
d. Dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan yang
bisa membantu kita memutuskan proses pemilihan tujuan serta
cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut secara baik.
Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara politik hukum nasional
secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang
hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu
pemerintahan negara tertentu. Pengertian politik hukum juga dikemukakan
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari. Menurut Imam Syaukani dan A.
Ahsin Thohari, politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara
negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang
bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai
tujuan negara yang dicita-citakan.38
Menurut Sunaryati Hartono, faktor-faktor yang akan menentukan
politik hukum tidak semata-mata ditentukan ditentukan oleh apa yang
dicita-citakan atau tergantung pada kehendak pembentuk hukum, praktisi
atau para teoritisi belaka, akan tetapi ikut ditentuakan pula oleh kenyataan
serta perkembangan hukum di lain-lain negara serta perkembangan
hukum internasional.39
Kebijakan politik hukum juga meliputi kebijakan politik hukum
pidana. Mengenai kebijakan atau politik hukum pidana tersebut,
38 Ibid., Hal. 30-32.
39
Ibid., Hal. 33.
23
sebagaimana yang dikemukakan oleh A. Mulder tentang
“strafrechtspolitiek” yaitu garis kebijakan untuk menentukan:40
a. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan tindak pidana yang berlaku
perlu diubah atau diperbaharui;
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak
pidana;
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan
pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
Begitupula dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang,
upaya pemerintah dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pencucian uang terlihat dari dengan dibentuknya Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang kemudian digantikan
dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Upaya perubahan dan
pergantian undang-undang tersebut dalam rangka memperbaiki peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang agar sesuai dengan kondisi
dan hukum yang dicita-citaka oleh masyarakat sekaligus merupakan
40 Barda Nawawi Arief, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta:
Rajawali Pers, Hal. 27.
24
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai bukti keseriusan
dalm pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
D. Penegakan Hukum
Permasalahan penyidikan tindak pidana pencucian uang oleh
penyidik tindak pidana asal tidak lain merupakan bagian dari pelaksanaan
tugas dan fungsinya dalam rangka penegakan hukum pemberantasan
tindak pidana pencucian uang. Maka dalam hal ini penulis menggunakan
teori dari Lawrence M. Friedman yang mengemukakan bahwa, efektif
dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung dari unsur sistem
hukum, yakni struktur hukum (structure of law), substansi hukum
(substance of law), dan budaya hukum (legal culture).
Struktur hukum yang dimaksudkan adalah bagaimana hukum itu
ditata, sedangkan substansinya lebih difokuskan pada apa yang
dijalankan oleh sistem hukum itu, dan bagaimana sistem hukum itu
dijalankan dan kita nantinya pasti akan sadar terhadap budaya hukum
tentang pemikiran dan kekuatan diluar mesin hukum yang membuat
sistem hukum itu berhenti dan bergerak.41 Jadi struktur adalah kerangka
atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi
semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Struktur dalam
sistem hukum di Indonesia termasuk didalamnya struktur institusi institusi
penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Misalnya,
kita berbicara tentang hirarki peradilan umum di Indonesia, mulai dari yang
41 Lawrence M Friedman, 1984, Hukum Amerika: Sebuah Pengantar, Terjemahan
Wishnu Basuki, Jakarta: PT.Tata Nusa, Hal. 7.
25
terendah adalah pengadilan negeri, hingga yang terpuncak adalah
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Juga termasuk unsur struktur;
jumlah dan jenis pengadilan, yurisdiksinya (yaitu jenis kasus yang
berwenang mereka periksa, serta bagaimana serta mengapa), jumlah
hakim agung dan hakim lainnya . Jelasnya struktur bagaikan foto diam
yang menghentikan gerak “a kind of still photograph, which freezes the
action”.42
Substansi hukum menurut Friedman adalah aturan, norma, dan
pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga
berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem
hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru
yang mereka susun.Substansi juga mencakup living law (hukum yang
hidup), dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang
atau law in books. 43 Adapun kultur hukum menurut Freidman adalah
sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai
pemikiran serta harapannya.44
Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak
menjadi penentu jalannya proses hukum. Jadi, dengan kata lain, kultur
hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang
menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau
disalahgunakan. Tanpa kultur hukum, maka sistem hukum itu sendiri tidak
berdaya seperti ikan mati yang terkapar dikeranjang dan bukan seperti
42 Achmad Ali, 2008, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom & Artikel Pilihan
Dalam Bidang Hukum, Jakarta: Kencana, Hal.9.
43 Lawrence M Friedman, 1984, Op.Cit. Hal.7.
44
Ibid., Hal. 8.
26
ikan hidup yang berenang dilautnya.45 Secara singkat cara lain untuk
menggambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah:46
1. Struktur diibaratkan sebagai mesin.
2. Substansi adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh
mesin itu.
3. Kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang
memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu,
serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.
E. Penyidikan
Pengertian Penyidikan dinyatakan dalam Pasal 1 Butir 2 kitab
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yakni dalam Bab I mengenai penjelasan umum, yaitu:
“Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang dilakukan
pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-
undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, dan dengan
bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana yang terjadi
sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak
pidananya.”
Unsur-Unsur yang terkandung dalam rumusan Pasal 1 Butir (2)
KUHAP:
a. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang berarti
tindakan-tindakan saling berkaitan satu sama lainnya.
b. Penyidikan dilakukan oleh penyidik
45 Achmad Ali , 2008, Op.Cit. Hal .11.
46
Ibid.
27
c. Penyidikan dilakukan dengan cara yang diatur dalam undang-
undang
d. Penyidikan bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti,
dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak
pidana yang terjadi sekaligus menemukan tersangkanya atau
pelaku tindak pidananya.
Pengertian Penyidik dijelaskan dalam rumusan Pasal 1 Butir 1
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu: “Penyidik adalah
pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri
sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan.” Penyidikan diawali dengan adanya bahan
masukan suatu tindak pidana. sumber bahan masukan suatu tindak
pidana berupa pengetahuan atau persangkaan telah terjadinya suatu
perbuatan pidana dapat diperoleh penyidik dari berbagai sumber, yaitu
dari:47
a. laporan b. pengaduan c. tertangkap tangan d. diketahui sendiri oleh aparat penegak hukum dari hasil
penyelidikan
Penyidik berkewajiban untuk segera melakukan tindakan
penyidikan apabila mengetahui, menerima laporan, atau pengaduan
tentang terjadinya suatu peristiwa pidana yang patut diduga sebagai suatu
47 Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung: PT Citra
Aditya bakti, Hal. 60-61.
28
perbuatan pidana, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 106
KUHAP.
“Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan.”
Apabila penyidik mengetahui sendiri bahwa telah terjadi suatu
perbuatan pidana, dengan sendirinya ia wajib melakukan tindakan
penyidikan yang diperlukan, seperti melakukan tindakan pertama di
tempat kejadian, menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa
tanda pengenalnya, melakukan penangkapan, penahanan, dan
sebagainya sesuai dengan kewenangan penyidik yang tertuang dalam
ketentuan Pasal 7 Ayat (1) KUHAP, sebagai berikut:
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seorang; g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. mengadakan penghentian penyidikan; j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
Penerimaan laporan atau pengaduan bahwa telah terjadi suatu
peristiwa yang diduga sebagai suatu perbuatan pidana, maka sebelum
29
dilakukan tindakan hukum berupa pemanggilan atau upaya paksa,
hendaknya penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti terlebih
dahulu untuk meyakinkan bahwa peristiwa tersebut merupakan perbuatan
pidana. selain laporan atau pengaduan seseorang atau masyarakat
tentang adanya tindak pidana, sumber bahan masukan lain dapat berasal
dari hasil pengetahuan aparat penegak hukum itu sendiri, yaitu dari
penyelidikan oleh penyelidik.48
Pasal 7 Ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara, Pidana
Penyidik pegawai negeri sipil tertentu mempunyai wewenang sesuai
dengan undang-undang hukumnya masing-masing dan dalam
pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan
penyidik Polri. Adapun Penyidik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 74, yaitu:
“Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini.”
Penjelasan ketentuan Pasal 74 dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang menjelaskan bahwa:
“Yang dimaksud dengan "penyidik tindak pidana asal" adalah
pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan
untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik
Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
48 Ibid., Hal. 61.
30
Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak
dan. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan
Republik Indonesia. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan
penyidikan tindak pidana Pencucian Uang apabila menemukan
bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian
Uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai
kewenangannya.”
Tindak pidana pencucian uang mempunyai tindak pidana asal
(predicate crime) sehingga dalam ketentuan Pasal 74 dan penjelasannya
penyidik merupakan penyidik tindak pidana asal yang berasal dari instansi
yang ditentukan oleh Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu, penyidik dari,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal
Pajak dan. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan
Republik Indonesia.
F. Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)
1. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang
Pencucian uang atau Money Laundering merupakan kejahatan
yang berupa upaya untuk menyembunyikan asal-usul uang sehingga
dapat dipergunakan sebagai uang yang diperoleh secara legal.49
Dalam Black’s Law Dictionary, money laundering diartikan sebagai
berikut:
49 Iman Sjahputra, 2006, Money Laundering (Suatu Pengantar), Jakarta: Harvarindo,
Hal. 2.
31
“term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drug transaction, and other illegal sources into legitimate channels so that it’s original sources can not be traced. Money laundering is a federal crime; 18 USCA 1956.” Hal tersebut menunjukkan bahwa pencucian uang atau (money
laundering) adalah penyetoran/ penanaman uang atau bentuk lain dari
pemindahan/ pengalihan uang yang berasal dari pemerasan, transaksi
narkotika, dan sumber-sumber lain yang ilegal melalui saluran legal,
sehingga sumber asal uang tersebut tidak dapat diketahui/dilacak. Dari
terminologi dalam Black’s Law Dictionary tersebut dapat diketahui
bahwa berbagai bentuk dana “uang kotor” berasal dari kegiatan-
kegiatan atau transaksi menyimpang, seperti hasil pemerasan,
penghindaran pajak, bisnis perjudian, korupsi, komisi, pungli, sogokan,
penyelundupan, serta perdagangan gelap narkotika dan obat
terlarang.50
Bambang Setijoprodjo mengutip pendapat dari M. Giovanoli dan
Mr. J. Koers masing-masing berpendapat sebagai berikut:51
a. Money laundering merupakan suatu proses dan dengan cara seperti itu, maka asset yang diperoleh dari tindak pidana dimanipulasikan sedemikian rupa sehingga asset tersebut seolah berasal dari sumber yang sah (legal).
b. Money laundering merupakan suatu cara untuk mengedarkan hasil kejahatan ke dalam suatu peredaran uang yang sah dan menutupi asal-usul uang tersebut.
50 Juni Sjafrien Jahja, 2012, Melawan Money laundering (mengenal, mencegah, &
memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang), Jakarta: Visimedia, Hal. 3-4.
51 Arief Amrullah, 2004, Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering, Malang:
Bayumedia Publishing, Hal. 9-10.
32
Adapun ketentuan mengenai tindak pidana pencucian uang
diatur dalam UU PPTPPU yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, dan
Pasal 5 UU PPTPPU. Ketentuan Pasal 3 sebagai berikut:
“Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Pasal 4 UU PPTPPU, menyatakan sebagai berikut:
“Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hakhak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”
Pasal 5 UU PPTPPU, menyatakan sebagai berikut:
“Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan basil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
33
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
bagi pihak pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.52
2. Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang
Pada dasarnya proses pencucian uang dapat dikelompokkan ke
dalam tiga tahap kegiatan yaitu placement, layering. dan integration.
Ketiga tahapan tersebut dapat dilihat sebagai berikut:53
1. Placement adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana ke dalam sistem keuangan. Bentuk kegiatan ini antara lain : (a) menempatkan dana pada bank. Kadang-kadang kegiatan ini diikuti dengan pengajuan kredit/pembiayaan; (b) menyetorkan uang pada PJK sebagai pemba-yaran kredit untuk mengaburkan adit trail; (c) menyelundupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain; (d) membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha yang sah berupa kredit/pembiayaan, sehingga mengubah kas menjadi kredit/pembiayaan; dan (e) membeli barangbarang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi, membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai penghar-gaan/hadiah kepada pihak lain yang pemba-yarannya dilakukan melalui PJK.
2. Layering adalah upaya memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu tindak pidananya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana. Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut. Bentuk kegiatan ini antara lain: (a) transfer dana dari satu bank ke bank lain dan atau antar wilayah/negara; (b) penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk
52 Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
53 Muhammad Yusuf dkk. 2011. Ikhtisar Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta: The Indonesia Netherlands National Legal Reports Program (NLPR), Hal. 15-16.
34
mendukung transaksi yang sah; dan (c) memindahkan uang tunai lintas batas negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun shell company.
3. Integration adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana.
Transaksi keuangan mencurigakan merupakan salah satu
indikasi tahapan layering yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana
pencucian uang. Pelaku melakukan transaksi dengan memindahkan
sejumlah uang atau placement. Transaksi keuangan tersebut patut
dicurigai apabila menyimpang dari profil, karakteristik, ataupun
kebiasan pola transaksi dari penguuna jasa bersangkutan atau apabila
transaksi tersebut memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1 Angka (5) UU
PPTPPU.
G. Tinjauan Umum Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK)
1. Sejarah Pembentukan PPATK
PPATK pada awalnya dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan diadakan pergantian
dengan UU PPTPPU. Undang-Undang ini memiliki kaitan dengan
upaya pemberantasan korupsi karena upaya untuk menyembunyikan
35
atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diperoleh dari
tindak pidana yang dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. PPATK dalam Pasal 1 angka
2 UU PPTPPU adalah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan yang disingkat PPATK adalah lembaga independen yang
dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang.
Adapun sejarah pembentukan PPATK sebagai berikut: 54
Pada Tahun 1988, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menerbitkan Konvensi tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perdagangan Ilegal Narkotika, Obat-obatan Berbahaya dan Psikotropika (The United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substance of 1988). Konvensi ini merupakan konvensi pertama yang pertama kali mendefinisikan money laundering sehingga dianggap sebagai tonggak berdirinya rezim hukum internasional anti pencucian uang.
Pada Tahun 1990 Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) mengeluarkan 40 recommendations sebagai suatu kerangka yang komprehensif untuk memerangi kejahatan money laundering. Pada Tahun 1995, Sejumlah Unit Intelijen Keuangan (Financial Intelligence Unit) dalam pertemuan di Egmont Arenberg Palace, Brussel memutuskan untuk mendirikan sebuah kelompok informal yang bertujuan untuk memfasilitasi kerja sama internasional. Saat ini dikenal sebagai Egmont Group of Financial Inteligence Unit (FIUs). Egmont Group bertemu secara teratur untuk menemukan cara untuk bekerja sama, terutama di bidang informasi, pelatihan pertukaran dan berbagi keahlian.
Pada Tahun 1997 Didirikan The Asia/Pacific Group on Money Laundering (APG) yang merupakan organisasi internasional otonom dan kolaboratif di Bangkok, Thailand. Saat ini memiliki 41 personil dan sejumlah international and regional observers. Indonesia meratifikasi The UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of
54 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (Indonesian Financial
Transaction Reports And Analysis Centre), 2012, Sejarah PPATK, http://www.ppatk.go.id/pages/view/13, Diakses pada tanggal 4 Juli 2012.
http://www.ppatk.go.id/pages/view/13
36
1988 yang kemudian melalui UU No.7 Tahun 1997. Setiap negara penandatangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan dan mengambil langkah-Iangkah agar pihak yang berwajib dapat mengidentifikasikan, melacak dan membekukan atau menyita hasil perdagangan obat bius.
Pada Tahun 2000 Indonesia menjadi personil Asia Pasific Group on Money Laundering. Pada Tahun 2001 Pada tanggal 18 Juni 2001 Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Know Your Customer yang mewajibkan lembaga keuangan untuk melakukan identifikasi nasabah, memantau profil transaksi dan mendeteksi asal-usul dana.
Sejak bulan Juni 2001 Indonesia bersama sejumlah negara lain dinilai kurang kooperatif dan dimasukkan ke dalam daftar Non Cooperative Countries and Territories oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Predikat sebagai NCCTs diberikan kepada suatu negara atau teritori yang dianggap tidak mau bekerja sama dalam upaya global memerangi kejahatan money laundering. Pada bulan Oktober 2001 FATF mengeluarkan 8 Special Recommendations untuk memerangi pendanaan terorisme atau yang dikenal dengan counter terrorist financing. Pada Tahun 2002 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang secara tegas mengamanatkan pendirian Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Tahun 2005 Februari 2005, Indonesia berhasil keluar dari daftar hitam Non Cooperative Countries and Territories oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Tahun 2006 Pada tanggal 8 November 2006, Yunus Husein diangkat kembali sebagai Kepala PPATK untuk masa jabatan 2006-2010. Kepala PPATK Yunus Husein, terpilih sebagai Co-Chair (Ketua Bersama) APG menggantikan Mr. Nobuyoshi Chihara (President JAFIO) Jepang. Yunus Husein secara aklamasi menjabat sebagai Co-Chair APG periode 2006-2008 bersama-sama dengan Mr Mick Keelty, Kepala Kepolisian Federal Australia (Australian Federal Police/AFP).
Tahun 2010 Pada tanggal 13 Januari 2010 Initial draft dan naskah akademik Rancangan Undang-undang Pendanaan Terorisme telah disampaikan oleh Kepala PPATK kepada Menkumham
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menggantikan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003,
37
disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 22 Oktober 2010. Undang-undang ini mengakomodir berbagai ketentuan dan standar internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme atau yang dikenal “FATF Revised 40+9 Recommendations”.
Tahun 2011 Kepala PPATK Yunus Husein, Wakil Kepala bidang Administrasi Wahyu Hidayat, Wakil Kepala bidang Riset Analisis dan Kerjasama Antar Lembaga Gunadi, dan Wakil Kepala bidang Teknologi Informasi Erman Suherman berakhir masa tugas dan pengabdiannya. berdasarkan Keputusan Presiden nomor 160/M tahun 2011 tanggal 20 Oktober 2011. Berdasarkan Keppres tersebut pula, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk Muhammad Yusuf sebagai Kepala PPATK dan menunjuk Agus Santoso sebagai Wakil Kepala PPATK. Sesuai dengan Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, PPATK dipimpin oleh seorang kepala dan seorang wakil kepala, sedangkan menurut undang-undang yang lama kepala PPATK dibantu dengan empat orang wakil kepala.
Berdasarkan kedudukannya, PPATK dalam melaksanakan
tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari campur
tangan dan pengaruh kekuasaan manapun.55 PPATK bertanggung
jawab kepada presiden.56 PPATK wajib menolak dan/atau
mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam
rangka pelaksanaan tugas dan kewenangannya.57
2. PPATK sebagai Lembaga Independen
Berdasarkan kedudukannya, PPATK dalam melaksanakan
tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari campur
tangan dan pengaruh kekuasaan manapun.58 PPATK bertanggung
55 Pasal 37 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
56 Ibid., Pasal 37 Ayat (2).
57
Ibid., Pasal 37 Ayat (4).
58 Ibid., Pasal 37 Ayat (1).
38
jawab kepada presiden.59 PPATK wajib menolak dan/atau
mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam
rangka pelaksanaan tugas dan kewenangannya.60 Sebagaimana visi
PPATK yaitu, “menjadi lembaga independen di bidang informasi
keuangan yang berperan aktif dalam pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pencucian dan pendanaan teroris”.
PPATK sebagai lembaga independen melaksanakan tugas dan
kewenangannya secara bebas dari intervensi dan pengaruh dari pihak
manapun dalam rangka mencegah dam memberantas tindak pidana
pencucian uang dan pendanaan teroris. Setiap pihak tidak boleh
melakukan segala bentuk campur tangan yang mengakibatkan
berkurangnya independensi PPATK dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya. Sebagai lembaga independen di bidang informasi
keuangan, PPATK diharapkan dapat meningkatkan efektifitas
pengelolaan informasi di bidang keuangan yang bersifat rahasia terkait
dengan dugaan adanya tindak pidana pencucian uang dan pendanaan
teroris untuk kepentingan penegakan hukum.
3. Struktur Organisasi PPATK
PPATK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya
sebagaimana lembaga lainnya memiliki susunan organisasi yang diatur
dalam UU PPTPPU dan Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 48 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat
59 Ibid., Pasal 37 Ayat (2).
60
Ibid., Pasal 37 Ayat (4).
39
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan sebagai peraturan
pelaksanaan. Adapun susunan organisasi yang terdiri dari Kepala
PPATK, Wakil Kepala PPATK, Sekretariat Utama, Deputi Bidang
Pencegahan, Deputi Bidang Pemberantasan, Pusat Teknologi
Informasi, Inspektorat, Jabatan Fungsional.61
Susunan organisasi PPATK, dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Kepala PPATK adalah penanggung jawab yang memimpin
dan mengendalikan pelaksanaan tugas, fungsi, dan
wewenang PPATK. Kepala PPATK mewakili PPATK di
dalam dan di luar pengadilan. Kepala PPATK dapat
menyerahkan kewenangan mewakili kepada Wakil Kepala
PPATK, seseorang atau beberapa pegawai PPATK,
dan/atau pihak lain yang ditunjuk untuk itu.62
b. Wakil PPATK bertugas membantu Kepala PPATK. Wakil
Kepala PPATK dalam melaksanakan tugas tersebut
bertanggung jawab kepada Kepala PPATK. Dalam hal
Kepala PPATK berhalangan Wakil Kepala PPATK
bertanggung jawab memimpin dan mengendalikan
pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang PPATK.63
c. Sekretariat Utama adalah unsur pembantu Kepala PPATK
yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
61 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2012 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Pasal 5.
62 Ibid., Pasal 6.
63
Ibid., Pasal 7
40
Kepala PPATK. Sekretariat Utama dipimpin oleh Sekretaris
Utama.64 Sekretariat Utama mempunyai tugas
melaksanakan koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan
dan pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unit
organisasi di lingkungan PPATK.65 Dalam melaksanakan
tugas tersebut Sekretariat Utama menyelenggarakan
fungsi:66
1) Koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi seluruh kegiatan di
lingkungan PPATK;
2) Koordinasi dan penyusunan rencana dan program di
lingkungan PPATK;
3) Pembinaan dan pemberian dukungan administrasi yang
meliputi ketatausahaan, sumber daya manusia,
keuangan, organisasi dan ketatalaksanaan,
kerumahtanggaan, arsip dan dokumentasi di lingkungan
PPATK;
4) Penyelenggaraan pengelolaan barang milik/kekayaan
negara; dan
5) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala
PPATK.
64 Ibid., Pasal 8.
65
Ibid., Pasal 9.
66 Ibid., Pasal 10.
41
Sekretariat Utama terdiri atas paling banyak 3 (tiga)
Biro. (2) Biro terdiri atas paling banyak 3 (tiga) Bagian.67
d. Deputi Bidang Pencegahan adalah unsur pelaksana
sebagian tugas dan fungsi PPATK yaitu di bidang
pencegahan tindak pidana pencucian uang dan di bidang
hukum yang berada di bawah bertanggung jawab kepada
Kepala PPATK. Deputi Bidang Pencegahan dipimpin oleh
Deputi.68 Deputi Bidang Pencegahan mempunyai tugas
merumuskan, melaksanakan, dan mengoordinasikan
pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan tindak pidana
pencucian uang dan di bidang hukum.69 Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Deputi
Bidang Pencegahan menyelenggarakan fungsi:70
1) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang pencegahan
tindak pidana pencucian uang dan di bidang hukum;
2) Koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan
tindak pidana pencucian uang dan di bidang hukum;
3) Pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan tindak
pidana pencucian uang dan di bidang hukum; dan
4) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala
PPATK.
67 Ibid., Pasal 11.
68
Ibid., Pasal 12.
69 Ibid., Pasal 13.
70
Ibid., Pasal 14.
42
Deputi Bidang Pencegahan terdiri atas paling banyak 3
(tiga) Direktorat. Direktorat terdiri atas kelompok jabatan
fungsional yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan.71
e. Deputi Bidang Pemberantasan adalah unsur pelaksana
sebagian tugas dan fungsi PPATK yaitu di bidang
pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang berada
di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala PPATK
Deputi Bidang Pemberantasan dipimpin oleh Deputi.72
Deputi Bidang Pemberantasan mempunyai tugas
merumuskan, melaksanakan, dan mengoordinasikan
pelaksanaan kebijakan di bidang pemberantasan tindak
pidana pencucian uang.73 Dalam melaksanakan tugas
tersebut. Deputi Bidang Pemberantasan menyelenggarakan
fungsi:74
1) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang
pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
2) Koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang
pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
3) Pelaksanaan kebijakan di bidang pemberantasan tindak
pidana pencucian uang; dan
71 Ibid., Pasal 15.
72
Ibid., Pasal 16.
73 Ibid., Pasal 17.
74
Ibid., Pasal 18.
43
4) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala
PPATK.
Deputi Bidang Pemberantasan terdiri atas paling
banyak 3 (tiga) Direktorat. Direktorat terdiri atas kelompok
jabatan fungsional yang jumlahnya disesuaikan dengan
kebutuhan.75
f. Inspektorat adalah unsur pengawasan di lingkungan PPATK
yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Kepala PPATK. Inspektorat dipimpin oleh Inspektur.76
Inspektorat mempunyai tugas melaksanakan pengawasan
intern di lingkungan PPATK.77 Dalam melaksanakan tugas
tersebut Inspektorat menyelenggarakan fungsi:78
1) Penyiapan perumusan kebijakan pengawasan intern;
2) Pelaksanaan pengawasan intern terhadap kinerja dan
keuangan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan
kegiatan pengawasan lainnya;
3) Pelaksanaan pengawasan untuk tujuan tertentu atas
penugasan Kepala PPATK;
4) Penyusunan laporan hasil pengawasan; dan
5) Pelaksanaan administrasi Inspektorat.
75 Ibid., Pasal 19.
76
Ibid., Pasal 20.
77 Ibid., Pasal 21.
78
Ibid., Pasal 22.
44
Inspektorat terdiri atas 1 (satu) Subbagian Tata Usaha
dan kelompok jabatan fungsional auditor.79
g. Pusat Teknologi Informasi adalah unsur penunjang tugas
dan fungsi PPATK yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan. Pusat Teknologi Informasi dipimpin
oleh Kepala PPATK.80 Pusat Teknologi Informasi
mempunyai tugas melaksanakan pengembangan dan
pengelolaan data serta menyelenggarakan sistem informasi
di lingkungan PPATK.81 Dalam melaksanakan tugas
tersebut, Pusat Teknologi Informasi menyelenggarakan
fungsi:82
1) Penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program di
bidang pengembangan, pengelolaan data, dan
penyelenggaraan sistem informasi;
2) Pelaksanaan tugas di bidang pengembangan,
pengelolaan data, dan penyelenggaraan sistem
informasi;
3) Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan
tugas di bidang pengembangan, pengelolaan data, dan
penyelenggaraan sistem informasi; dan
79 Ibid., Pasal 23.
80
Ibid., Pasal 24.
81 Ibid., Pasal 25.
82
Ibid., Pasal 26.
45
4) Pelaksanaan administrasi Pusat Teknologi Informasi.
Pusat Teknologi Informasi terdiri atas 1 (satu)
Subbagian Tata Usaha, 2 (dua) Bidang, dan kelompok
jabatan fungsional.83
h. Kepala PPATK dapat mengangkat Tenaga Ahli paling
banyak 5 (lima) orang untuk memberikan pertimbangan
mengenai masalah tertentu sesuai dengan bidang
keahliannya. Tenaga Ahli berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Kepala PPATK.84
H. Kewenangan PPATK
PPATK dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang, PPATK mempunyai
kewenangan sebagai berikut:85
1) Dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf (a), PPATK berwenang: a. Meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi
pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/ atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu;
b. Menetapkan pedoman identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan;
c. Mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana Pencucian Uang dengan instansi terkait;
d. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang;
83 Ibid., Pasal 27.
84
Ibid., Pasal 28.
85 Pasal 41 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
46
e. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
f. Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan anti pencucian uang; dan
g. Menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.
2) Penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf (a) dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan.
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta. sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf (a) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dala