Tesis_Rani Nuradi_Fleksibilitas TRIPS Terhadap Kesehatan Masyrakat

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Invensi di bidang farmasi memiliki peran yang begitu besar karena dari

invensi tersebut lahirlah berbagai macam produk diantaranya obat-obatan yang menunjang kehidupan umat manusia. Dengan adanya kemajuan teknologi penemuan obat-obatan saat ini semakin luas berkembang, sehingga berbagai macam obat untuk penyakit yang sebelumnya tidak diketahui obatnya saat ini dapat diobati dengan baik. Penyakit seperti AIDS saat ini diterapi dengan anti retroviral (ARV), dimana terbukti mampu menghambat pertumbuhan virus dalam tubuh penderita. Disatu sisi invensi-invensi tersebut perlu dihargai, sebagai jerih payah inventor yang telah mengeluarkan dana, waktu dan tenaga, disisi lainnya keterjangkauan masyarakat terhadap obat-obatan juga menjadi penting. Kesetimbangan diantara dua kepentingan inilah yang membuat suatu pengaturan patentabilitas invensi bidang farmasi menjadi sangat penting. Mekanisme lain yang dapat digunakan untuk mencegah penyalahgunaan suatu invensi oleh pemilik paten adalah dengan menggunakan mekanisme lisensi wajib, dimana pengaturan lisensi wajib di Indonesia yang diatur dalam UU Paten 14/2001 perlu ditelaah untuk mengetahui sudah mendukung kesehatan publik yang ada di Indonesia atau belum.

2

Di era perdagangan bebas yang dimulai dengan terbentuknya organisasi perdagangan dunia (WTO, World Trade Organization) munculnya kesadaran akan hak kekayaan intelektual sebagai aset yang mendukung perekonomian telah menjadi perhatian khusus pada masyarakat Internasional, hal ini ditandai dengan adanya Persetujuan TRIPS (Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) pada tahun 1994, persetujuan tersebut merupakan lampiran 1-C dari Marrakesh Agreement yang ditandatangani di Marrakesh, Maroko. TRIPS mengatur tentang standar minimum peraturan-peraturan mengenai Kekayaan Intelektual bagi negara-negara anggotanya. Dalam persetujuan tersebut juga mengatur pelaksanaan TRIPS, pemulihan dan penyelesaian sengketa bagi negaranegara anggota WTO, dan sifat dari persetujuan TRIPS ini adalah mengikat sebagai konsekuensi diratifikasinya Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) Konsep TRIPS dilatarbelakangi oleh kepentingan negara-negara maju, yaitu Amerika Serikat (US), Uni Eropa, dan Jepang. Isyu tersebut digulirkan pertamakali pada akhir putaran Uruguay yang saat itu membahas mengenai General on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1994. Dorongan ekonomi unilateral dibawah Generalized System of Preferences (GSP)1 dan paksaan dari USTR Trade Act2 memainkan peranan penting dalam mengubah aturan-aturan1

GSP merupakan sistem formal pengecualian aturan-aturan umum WTO, Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Generalized_System_of_Preferences, 21/07/2009, 12:43 WIB 2 Section 301 U.S. Trade Act 1974 menjelaskan tentang prinsip yang berkaitan dengan otoritas negara Amerika serikat untuk mengenakan sanksi perdagangan kepada negara-negara lain yang memiliki kebijakan yang bertentangan dengan perdagangan Amerika Serikat, ketentuan tersebut memperbolehkan United States Trade Representative (USTR) untuk memulai penyelidikan terhadap praktek perdagangan negara lain dengan kehendak sendiri atau atas permintaan warga negara AS. Ketentuan ini ditentang oleh sejumlah anggota WTO karena bertentangan dengan perjanjian WTO, Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property.

3

dalam WTO yang didominasi negara-negara maju pada saat itu, keberatankeberatan terhadap aturan-aturan WTO yang pro terhadap negara-negara maju tersebut di dukung oleh negara-negara berkembang seperti Korea, India, Thailand serta negara-negara kepulauan Karibia. Sebaliknya strategi US untuk

menghubungkan kebijakan perdagangan dengan kekayaan intelektual dapat ditelusuri dari usaha managemen senior di Pfizer pada awal tahun 1980 yang menggerakkan korporasi-korporasi di Amerika Serikat untuk memaksimalkan keistimewaan kekayaan intelektual sebagai prioritas utama dalam kebijakan perdagangan di Amerika Serikat3. Pelaksanaan TRIPS merupakan suatu kewajiban seluruh anggota WTO yang saat ini berjumlah 153 negara4 atas hak akan mudahnya akses terhadap perdagangan internasional oleh WTO. Adanya Persetujuan TRIPS mengubah sistem paten banyak negara karena adanya standard setting dalam pemberlakuan ketentuan kekayaan intelektual. Pada bidang paten standard setting bagi anggota WTO tersebut mengacu pada Article 1-12, dan Article 19 Paris Convention (1967)5. Adanya ketentuan TRIPS tadi mendorong dilakukannya perjanjian antara WIPO dan WTO (World Trade Organization) pada tahun 1995, yang isinya secara umum mengatur aksesibilitas hukum dan regulasi serta database di WIPO oleh negara-negara anggota WTO. Keikutsertaan Indonesia sebagai anggota dari WTO juga menuntut Indonesia untuk memberlakukan persetujuan Trade Related Intelectual Property Rights

3

Braithwaite and Drahos, Global Business Regulation, Cambridge University Press, 2000, Bab 7, http://en.wikipedia.org/wiki/Agreement_on_TradeRelated_Aspects_of_Intellectual_Property_Rights#Controversy [21/07/2009]. 4 WTO, Members and Observers, http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/org6_e.htm [21/07/2009]. 5 WTO, TRIPS Agreement 1994, Article 2(1).

4

(TRIPS), dengan demikian pengaturan sistem paten nasional juga harus memiliki kesesuaian dengan pasal-pasal persetujuan TRIPS diantaranya mengenai masa perlindungan paten yang ditetapkan menjadi 20 tahun. Pengakuan dan

pemberlakuan Persetujuan TRIPS ini dilakukan dengan mengesahkan UU Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Dampak dalam pengaturan sistem paten nasional adalah dengan diberlakukannya UU Nomor 14 Tahun 2001 menggantikan UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten dan UU Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1989. Dalam pelaksanaannya TRIPS yang dianggap banyak menguntungkan kepentingan negara-negara maju. Banyak kritisi dilakukan salah satunya mengenai pengaruh terhadap paten bidang obat-obatan atau farmasi.

Perlindungan paten selama 20 tahun terhadap obat-obatan membuat harga obat menjadi sangat tidak kompetitif, sebagai contoh, akses obat-obatan AIDS, TBC, malaria, dan penyakit endemik yang penyebaran penyakit-penyakit tersebut terkonsentrasi pada negara-negara berkembang dan miskin, padahal diketahui bahwa produsen obat-obatan tersebut berasal dari perusahaan-perusahaan negara maju seperti Amerika Serikat, Eni Eropa, dan Jepang. Selain itu praktek-praktek evergreening patent perusahaan-perusahaan farmasi negara maju yaitu dengan melakukan pendaurulangan paten terhadap produk obat-obatan yang telah habis masa patennya ikut memperburuk permasalahan harga obat. Praktek-praktek yang dianggap merupakan suatu pendaur-ulangan paten adalah dengan

5

memberikan paten bagi invensi mengenai produk obat-obatan yang hampir/sudah habis masa perlindungan patennya lama dalam bentuk turunan bahan aktif yang belum diungkapkan dalam teknologi sebelumnya, sebagai contoh adalah garam senyawa, ester senyawa, isomer/enantiomer, kristal maupun turunan bahan aktif lainnya. Hal lain yang dianggap dapat memperpanjang masa perlindungan paten adalah perlindungan terhadap paten seleksi, yakni paten yang diberikan yang lazimnya merujuk kepada suatu paten yang dihasilkan dari proses seleksi secara inventif pada suatu bidang yang telah diketahui sebelumnya. Seleksi yang dilakukan ditujukan untuk memiliki unsur-unsur individual, himpunan bagian (subset) atau kisaran bagian (sub-range) yang belum pernah diungkap secara eksplisit sebelumnya di dalam cakupan himpunan atau kisaran yang sudah lebih dahulu dikenal6. Perlindungan paten yang tidak tergolong pada pendaur-ulangan paten tetapi tetap merugikan bagi akses kesehatan publik adalah penggunaan klaim Markush, yaitu suatu klaim yang memuat begitu banyak kombinasi struktur kimia suatu senyawa dari yang dimintakan perlindungan patennya sehingga satu senyawa yang akan dilindungi terlingkupi oleh seratus bahkan ribuan struktur senyawa, dimana senyawa yang melingkupi tersebut tidak diuji sifat-sifatnya karena hanya berdasaran teoritis semata. Jika paten diberikan terhadap jenis klaim Markush, maka hal ini akan menghalangi kompetitor untuk membuat produk obat-obatan dengan struktur mirip yang memiliki fungsi yang sama. Indonesia memiliki kekayaan alam terutama keanekaragaman hayati yang sangat banyak, pemanfaatan tumbuh-tumbuhan bermanfaat sebagai obat6

Cita Citrawinda, Persetujuan TRIPS, Perlindungan Paten dan Kebijakan Kesehatan Publik di Bidang Farmasi, Seminar Paten 2009, Hotel Sultan, Jakarta, hlm. 5

6

tradisionil telah dikenal luas sebagai pengetahuan tradisional. Pemanfaatan materi genetik dari tumbuh-tumbuhan maupun mikroorganisme sebagai obat seringkali dilakukan oleh perusahaan-perusahaan farmasi asing dalam bentuk kerjasama dengan para peneliti dari berbagai universitas di Indonesia menimbulkan permasalahan seperti diakuinya hasil rekayasa genetika pada plasma nutfah tumbuh-tumbuhan ataupun mikroorganisme dari negara asal sebagai paten dari perusahaan-perusahaan farmasi asing. Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa tanaman obat dari Indonesia berpotensi sebagai obatobatan seperti penyakit kanker. Dengan adanya pengaturan regim paten yang ada di Indonesia saat ini, maka kriteria mengenai patentabilitas dalam hal ini langkah inventif sulit dilakukan oleh inventor-inventor dalam negeri. Hal ini disebabkan kurangnya riset dan kemampuan teknologi dibandingkan negara-negara lain. Negara-negara lain seperti Jepang dan Cina telah berhasil melakukan riset dalam hal ekstraksi dan penentuan struktur kimia suatu senyawa aktif tanaman obat, kemudian mereka mengembangkan sintesa senyawa obat dengan cara-cara modern yang hal ini sulit dilakukan oleh inventor-inventor dalam negeri. Negaranegara maju bahkan dapat melakukan rekayasa genetika pada plasma nutfah asli Indonesia sehingga dihasilkan suatu produk yang memang berbeda (baru) atas sumber-sumber genetika yang telah lama diketahui memiliki manfaat obat dalam masyarakat Indonesia. Jurang teknologi antara negara-negara maju dan

berkembang yang dihadapi hendaknya dijawab dengan melakukan pengaturan regim paten yang tepat bagi tanaman ataupun mikroorganisme bermanfaat obat,

7

hal ini perlu dilakukan sebagai upaya untuk melindungi kekayaan intelektual bangsa Indonesia. Putaran Doha WTO menjadi babak baru dalam perdagangan internasional, negosiasi ini dimulai pada November 2001. Agenda pada putaran tersebut adalah negosiasi mengenai pasar manufaktur serta negosiasi mengenai ketentuan persetujuan TRIPS. Pada putaran ini negara-negara berkembang yang jumlahnya 100 negara meminta perlakuan yang lebih adil dengan adanya sistem perdagangan bebas. Perdebatan dan tarik menarik antara eksploitasi terhadap paten dan akses terhadap obat-obatan sebagai bagian dari kesehatan publik mendapatkan begitu banyak kritik terutama dari badan kesehatan dunia di bawah naungan PBB yaitu WHO dan organisasi-organisasi kesehatan nirlaba lainnya. Kritik tersebut mendorong dimasukkannya faktor akses kesehatan publik dalam amandemen pasal-pasal persetujuan TRIPS, akhirnya putaran Doha usai setelah dilakukannya negosiasi kepentingan negara tertinggal dan berkembang dengan negara-negara maju selama hampir 4 tahun. Seperti yang dikutip dari pidato Direktur Jenderal WTO, Pascal Lamy pada 9 Desember 20087: The 2001 Doha Declaration on the TRIPS Agreement and Publik Health backed the carefully negotiated balance of rights and obligations in the TRIPS Agreement. It provided a number of important confirmations and clarifications, including the right of WTO members to grant compulsory licences, the freedom to determine the grounds for such licences and the definition of national emergencies, as well as the freedom to adopt the appropriate exhaustion regime without challenge. Since its adoption in 2001, there have been concrete examples of the use of the flexibilities incorporated in the TRIPS Agreement at country level,7

Lamy, Pascal., Access to medicines has been improved, http://www.wto.org/english/news_e/sppl_e/sppl111_e.htm [22/06/2009]

WTO

News,

2008,

8

including allowing parallel imports, defining patentability criteria, and permitting exceptions to patent rights, such as the regulatory review exception. The WTO dispute settlement mechanism has also confirmed these flexibilities. But it is also true that not every WTO member has yet taken the necessary steps at national level to avail itself of the existing flexibilities.

Pidato Direktur Jenderal WTO tersebut memiliki makna bahwa tiap negara anggota WTO memiliki hak untuk melaksanakan lisensi wajib paten dan dasar penentuan pemberian lisensi wajib serta definisi keadaan darurat nasional. Sejak diadopsinya deklarasi Doha tersebut beberapa contoh nyata penggunaan fleksibilitas yang ada dalam persetujuan TRIPS pada tingkat negara termasing misalnya diijinkannya importasi paralel serta kebebasan mendefinisikan criteria Paten. Hal-hal tersebut diatas dapat dilaksanakan dengan dasar akses masyarakat terhadap kesehatan atau yang lebih dikenal dengan sebutan akses kesehatan publik. Hal mengenai pengaturan mengenai lisensi paten diatur dalam Pasal 18, Pasal 69 sampai dengan Pasal 87 UU Paten Nomor 14 Tahun 2001. Ketentuanketentuan tersebut juga berlaku dalam lisensi paten di bidang farmasi. Paten bidang farmasi memperoleh perhatian yang cukup besar dari masyarakat karena berkaitan dengan hak asasi manusia untuk memperoleh kesehatan. Seperti telah disebutkan pada penjelasan sebelumnya, paten terhadap obatobatan memiliki implikasi terhadap harga obat-obatan, apabila obat-obatan yang dipatenkan memiliki biaya terlalu tinggi, pihak pemerintah dapat mengeluarkan lisensi wajib bagi agen-agen atau perusahaan-perusahaan untuk memproduksi atau mengimpor versi generik dari obat-obatan yang dipatenkan sehingga pasien yang

9

membutuhkan obat-obatan yang dibutuhkan dengan harga yang lebih murah. Pasal 31 Persetujuan TRIPS mengandung beberapa persyaratan pokok bahwa lisensi wajib dapat diberikan untuk dua kategori pengguna, yaitu pemerintah (atau suatu lembaga pemerintah) atau pihak-pihak yang bekerja untuk pemerintah dan pihak ketiga8. Dalam memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak dalam upaya

penanggulangan HIV/AIDS, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah terhadap obatobatan anti retoviral yang saat ini masih dilindungi paten9. Pasal 6 Persetujuan TRIPS memberikan kebebasan kepada negara-negara anggota untuk menerapkan prinsip penggunaan sepenuhnya hak-hak secara internasional yang merupakan suatu pembenaran yang mendasari impor paralel di dalam undang-undang nasional negara masing-masing. Pasal 135 huruf (a) UU Paten Nomor 14 Tahun 2001 menetapkan pengecualian ketentuan pidana di Indonesia dan produk tersebut telah dimasukkan ke pasar suatu negara oleh

8

Cita Citrawinda, Op.cit., note.6, hal. 4. Pasal 31 Persetujuan TRIPS telah menjadi pokok masalah yang kontroversial dan negara-negara berkembang menyuarakan kepeduliannya mengenai hambatan lebih seringnya penggunaan lisensi wajib. Masalahnya dengan lisensi wajib yaitu bahwa lisensi wajib merugikan baik pemegang paten, maupun negara-negara yang patennya diberikan. Pertama dari sisi pemegang paten lisensi menolak hak-hak dasar. Kedua dari sisi negara-negara yang memberikan lisesnsi terdapat konsekuensi membangkitkan upaya-upaya untuk mendirikan industri berbasis yang independen yang dapat memenuhi permintaan pasar lokal9

Perpres ini di tetapkan tanggal 5 Oktober 2004 dan kompensasi yang diberikan oleh pemerintah kepada pemegang paten adalah sebesar 0,5% dari nilai jual netto obat-obat antri retroviral tersebut, pelaksaanan paten untuk dan atas nama pemerintah tersebut ditunjuk oleh Menteri Kesehatan dengan mempertimbangkan rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jenis obat-obat anti retroviral sebagaimana yang dimaksud di atas adalah jenis Nevirapin dengan Boehringer Ingelheim sebagai pemegang patennya dan jenis Lamivudin dengan Pochjem Pharma Inc, sebagai pemegang patennya.

10

pemegang paten yang sah dengan syarat produk itu diimpor dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku10. Pasal 8 Persetujuan TRIPS menyinggung mengenai upaya-upaya yang diperlukan untuk melindungi kesehatan dan gizi masyarakat dan untuk memajukan kepentingan masyarakat pada sektor-sektor yang sangat penting bagi pembangunan sosial-ekonomi dan teknologi sepanjang langkah-langkah tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam persetujuan TRIPS, sepanjang konsisten dengan ketentuan-ketentuan. Dengan demikian kebijakan mengenai kondisi yang dibutuhkan untuk melindungi kesehatan masyarakat dan sektor pembangunan teknologi diserahkan pengaturannya kepada tiap-tiap negara anggota WTO, sehingga jika harga obat sudah tidak terjangkau lagi oleh masyarakat maka pemerintah dapat mengatur langkah-langkah yang diperlukan. Pemerintah perlu melakukan pengaturan-pengaturan paten bidang farmasi dalam hal ini perlu dilakukan penyusunan petunjuk teknis pemeriksaan paten bidang farmasi secara khusus dan detail yang berguna dalam melakukan standar pemeriksaan paten bidang tersebut. Hal ini berguna sebagai perlindungan tahap awal sehingga pemberian paten terhadap suatu invensi betul-betul dilakukan hanya untuk invensi-invensi yang layak diberi paten. Pengaturan standar kebaruan (novelty), langkah inventif (inventive steps), dan dapat diterapkan dalam

10

Pasal 135 UU Paten Nomor 14 Tahun 2001 adalah sebagai berikut: Dikecualikan dari ketentuan pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Bab ini adalah a. mengimpor suatu produk farmasi yang dilindungi paten di Indonesia dan produk tersebut dimasukkan ke pasar di suatu negara oleh Pemegang Paten yang sah dengan syarat produk itu diimpor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. memproduksi produk farmasi yang dilindungi paten di Indonesia dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya kemudian melakukan pemasaran setelah perlindungan paten tersebut berakhir.

11

industri (industrial applicable) pada pemeriksaan paten tidak diatur dalam secara khusus pada Persetujuan TRIPS karena hal ini diserahkan menurut ketentuanketentuan nasional tiap negara anggota. Patentabilitas merupakan gerbang awal pemberian keputusan paten terhadap suatu invensi, dengan demikian pemerintah harus mengupayakan hal-hal yang mendukung pemeriksaan mandiri yang tidak bergantung kepada pemeriksaan paten dari negara lain. Mengingat negara Indonesia merupakan negara berkembang yang dalam pembangunannya memerlukan pengaturan-pengaturan untuk dapat memanfaatkan informasi paten bagi kepentingan nasionalnya terutama yang berkaitan dengan akses kesehatan publik. Sedangkan lisensi wajib merupakan upaya untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atas hak ekslusif paten oleh pemilik paten, sehingga pengaturan lisensi wajib yang tepat dapat membantu mendukung upaya meningkatkan akses kesehatan masyarakat, terutama dalam memperoleh produk obat-obatan maupun alat-alat kesehatan yang diperlukan.

B. 1.

Identifikasi Masalah Bagaimanakah standar pengaturan patentabilitas bidang farmasi yang dapat diterapkan di Indonesia dalam rangka mendukung akses kesehatan publik?

2.

Apakah pengaturan lisensi wajib bidang farmasi di Indonesia yang diatur dalam UU Paten Nomor 14 Tahun 2001 sudah mendukung akses kesehatan publik?

12

C. 1.

Tujuan Penulisan Untuk menentukan pengaturan paten bidang farmasi yang perlu dilakukan dalam petunjuk pelaksanaan teknis pemeriksaan paten.

2.

Untuk mengetahui pengaturan lisensi wajib paten bidang farmasi yang dapat mendukung akses kesehatan publik.

D. 1.

Kegunaan Penelitian Aspek teoritis: Penelitian ini diharapkan dapat diketahui gambaran yang jelas mengenai kebijakan paten bidang farmasi dan implikasinya terhadap akses kesehatan publik akibat diratifikasinya Persetujuan TRIPS-WTO.

2.

Aspek Praktis: Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada para pemangku kepentingan paten, khususnya paten bidang farmasi untuk dapat: a. Dari sisi pemerintah, dapat menjadi masukan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang dapat menjadi solusi bagi pemegang paten dan masyarakat untuk mempermudah akses kesehatan di bidang publik. b. Dari sisi industri farmasi lokal dapat mengambil sikap yang diperlukan jika pemilik paten tidak melaksanakan kewajibannya dalam

melaksanakan patennya di Indonesia.

13

E.

Kerangka Pemikiran Paten merupakan salah satu bentuk perlindungan kekayaan intelektual yang

diberikan oleh suatu negara kepada inventor atas hasil invensinya, perlindungan tersebut memungkinkan masyarakat dapat mengakses informasi atas invensi tersebut dan sebagai gantinya inventor diberikan hak eksklusif untuk melaksanakan invensi tersebut dalam waktu tertentu sebagai imbalan atas dibukanya informasi mengenai invensi tersebut kepada masyarakat untuk perkembangan teknologi, sehingga dimungkinkan adanya perbaikan-perbaikan atas invensi sebelumnya bagi perkembangan teknologi. Pemberian paten ini didasarkan atas kebaruan (novelty), langkah inventif (inventive step) dan keterterapan dalam industri (industrial applicable), dasar-dasar ini berlaku umum dalam sistem paten di dunia, kecuali pada beberapa negara tertentu seperti Amerika dan Jepang yang tidak mensyaratkan prinsip keterterapan dalam industri, melainkan mensyaratkan prinsip kegunaan (utility). Kata farmasi sendiri dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah obatobatan. Kata farmasi yang dalam bahasa Inggris adalah pharmaceutical dalam Farlex Dictionary: pharmaceutical - drug or medicine that is prepared or dispensed in pharmacies and used in medical treatment, yang berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan obat-obatan yang dibuat dan disiapkan oleh seorang farmasis dan digunakan dalam pengobatan medis. Sehingga paten bidang farmasi sendiri merupakan suatu paten yang diberikan untuk suatu produk maupun proses yang berhubungan dengan obat-obatan/pengobatan medis.

14

Kesehatan publik (kesehatan masyarakat) menurut Profesor Winslow dari Universitas Yale (Leavel and Clark, 1958).adalah ilmu dan seni mencegah penyakit, memperpanjang hidup dan meningkatkan kesehatan melalui usahausaha pengorganisasian masyarakat untuk 11: a. Perbaikan sanitasi lingkungan b. Pemberantasan penyakit-penyakit menular c. Pendidikan untuk kebersihan perorangan d. Pengorganisasian pelayanan-pelayanan medis dan perawatan untuk diagnosis dini dan pengobatan e. Pengembangan rekayasa sosial untuk menjamin setiap orang terpenuhi kebutuhan hidup yang layak dalam memelihara kesehatannya. Sedangkan fleksibilitas akses kesehatan publik yang dimaksud dalam persetujuan TRIPS adalah suatu kebebasan dari negara anggota WTO untuk menentukan dasar kebijakan-kebijakan melakukan perlindungan terhadap kesehatan publik sehingga suatu produk farmasi dalam hal ini obat-obatan dapat terjangkau oleh masyarakat. Hal-hal yang merupakan fleksibilitas akses

kesehatan publik ini dinyatakan dalam paragraf 5 Deklarasi Doha, 14 November 2001 berikut ini: (5).Accordingly and in the light of paragraph 4 above, while maintaining our commitments in the TRIPS Agreement, we recognize that these flexibilities include: (a). In applying the customary rules of interpretation of public international law, each provision of the TRIPS Agreement shall be read in the light of the object and purpose of the Agreement as expressed, in particular, in its objectives and principles.11

Soekidjo Notoatmodjo, Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jakarta: Rineka Cipta. 2003, hlm.13

15

(b. Each member has the right to grant compulsory licences and the freedom to determine the grounds upon which such licences are granted. (c). Each member has the right to determine what constitutes a national emergency or other circumstances of extreme urgency, it being understood that publik health crises, including those relating to HIV/AIDS, tuberculosis, malaria and other epidemics, can represent a national emergency or other circumstances of extreme urgency. (d). The effect of the provisions in the TRIPS Agreement that are relevant to the exhaustion of intellectual property rights is to leave each member free to establish its own regime for such exhaustion without challenge, subject to the MFN and national treatment provisions of Articles 3 and 4.

Dari paragraf 5 Deklarasi Doha diatas dapat dilihat bahwa yang termasuk dalam fleksibilitas bagi negara-negara anggota WTO diantaranya adalah: (a). Dalam hal untuk penerapan aturan kebiasaan dalam menterjemahkan hukum internasional publik, maka setiap ketentuan dalam persetujuan TRIPS harus dibaca menurut fokus obyek dan kegunaan perjanjian yang tertulis, khususnya tetap harus obyektif dan sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku. (b). Tiap anggota memiliki hak untuk melakukan lisensi wajib dan kebebasan dalam menentukan dasar dari dalam melaksanakan lisensi wajib. (c). Tiap anggota memiliki hak untuk menentukan kondisi-kondisi yang berkaitan dengan keadaan darurat nasional atau keadaan-keadaan yang sangat penting bagi kesehatan publik. (d). Pernyataan mengenai exhaustion of intellectual property rights menurut Ketentuan dan Pengecualian Paten Farmasi (Obligation and Exeption on

16

Pharmaceutical Patent)-WTO12 mengijinkan adanya importasi paralel sebagai upaya exhaustion tersebut. Dasar-dasar penentuan kondisi untuk melakukan lisensi wajib dan importasi paralel ini diserahkan kepada masingmasing negara anggota WTO. Tidak dapat dipungkiri bahwa paten dibidang farmasi memiliki kontribusi dalam perkembangan teknologi dan penanggulangan serta pengobatan penyakit dan perlindungan terhadap hak-hak inventor tetap harus dijaga dalam rangka pengembangan riset lebih lanjut. Paten sebagai hak privat juga harus memiliki kegunaan bagi kepentingan manusia dimana hal ini sesuai dengan filsafat yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, tokoh ini merupakan pendukung aliran utilitiarinisme yaitu aliran yang meletakkan kegunaan (utility) sebagai tujuan utama hukum. Kegunaan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness) dengan demikian tujuan hukum harus berguna bagi masyarakat untuk mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya13. Filsafat hukum Bentham adalah individualisme utilitarian. Menurutnya tujuan hukum pertama-tama adalah menciptakan kondisi yang memungkinkan kebebasan maksimum bagi setiap individu sehingga dapat mengejar apa yang baik baginya. Walaupun demikian Bentham tidak menyangkal bahwa disamping kepentingan individu, kepentingan masyarakat juga perlu diperhatikan. Menurutnya hukum harus mengabdi pada keseluruhan individu dalam masyarakat. Tujuan akhir perundang-undangan adalah kebahagiaan

terbesar dari sebanyak mungkin individu (the greatest happiness of the greatest12

WTO, Obligations and exceptions-TRIPS and Pharmaceutical Patent, http://www.wto.org/english/tratop_e/TRIPs_e/factsheet_pharm02_e.htm#parallelimports [ 03/07/2009]13

R. Otje Salman, Ikhitsar Filsafat Hukum, Bandung: Penerbit CV. ARMICO, 1986, hlm.10

17

number), penguraian prinsip ini oleh Bentham menghasilkan ketundukan hak individu kepada kebutuhan masyarakat14. Pada dasarnya setiap orang berhak untuk hidup serta berhak

mempertahankan hidup dan kehidupannya hal ini tercantum dalam konsitusi negara Indonesia yaitu dalam Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945, tentunya mempertahankan hidup dari suatu penyakit merupakan salah satu bentuk dari hak asasi manusia yang dimaksudkan diatas, dimana dinyatakan bahwa kesehatan merupakan salah satu hak untuk hidup, dengan adanya kesehatan yang baik maka diharapkan manusia dapat sejahtera, karena kesehatan yang baik akan menunjang aktivitas manusia dalam berbagai bidang, termasuk dalam pengembangan pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya yang kesemuanya itu memiliki tujuan meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan manusia. Konstitusi negara Indonesia mengamanatkan pentingnya hak kesehatan dalam Pasal 28H ayat (1) yaitu: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Upaya-upaya untuk memperbaiki akses kesehatan masyarakat menjadi permasalahan yang cukup penting bagi negara berkembang dan miskin akibat mahalnya harga obat-obatan yang diberi perlindungan paten khususnya bagi penyakit-penyakit menular seperti TBC, HIVAIDS, dan masih banyak lagi penyakit-penyakit lainnya. Layanan kesehatan merupakan hak mendasar bagi setiap orang dimuka bumi, hal ini juga dinyatakan dalam Pasal 25 ayat (1) Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB tahun 1948, yaitu:14

W. Friedmann, Legal Theory, New Delhi: Universal Law Publishing Co. Pth. Ltd., 2002, hlm. 312-313

18

Everyone has the right to a standard of living adequate for health and well being himself and of his familly, including food, clothing, housing, and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control.

Pada deklarasi PBB tersebut dengan jelas dinyatakan bahwa kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia, akan tetapi dalam Pasal 27 ayat (1) dan (2) Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB tahun 1948 juga memberikan pengakuan terhadap hak kekayaan intelektual walaupun tidak diungkapkan secara eksplisit, yaitu: (1) Everyone has the right freely to participate in the cultural life of the community, to enjoy the arts and to share in scientific advancement and its benefits. (2) Everyone has the right to the protection of the moral and material interests resulting from any scientific, literary or artistic production of which he is the author. Yang makna dari pasal tersebut adalah bahwa: (1) Setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dengan bebas, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan. (2) Setiap orang berhak untuk memperoleh perlindungan atas keuntungankeuntungan moril maupun material yang diperoleh sebagai hasil karya ilmiah, kesusasteraan atau kesenian yang diciptakannya. Pernyataan dalam deklarasi hak asasi manusia mengenai pengakuan bagi peserta konvensi untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah, menanggulangi, mengobati adanya penyakit-penyakit menular tertuang dalam

The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (the ICESCR), 1966 Pasal 12.2 (c) yaitu: The steps to be taken by the States Parties to the present Covenant to achieve the full realization of this right shall include those necessary for:

19

(c) The prevention, treatment and control of epidemic, endemic, occupational and other diseases; Disisi lain paten merupakan hak atas kekayaan intelektual yang tergolong dalam hak miliki pribadi dan hak tersebut tidak boleh diambil secara sewenangwenang oleh siapapun juga diakui dalam konvensi tersebut yaitu dalam Pasal 15.1(c) ICESCR yaitu: The States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone . (c) To benefit from the protection of the moral and material interests resulting from any scientific, literary or artistic production of which he is the author Dalam konsitutusi negara Indonesia yaitu pada Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa: Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia Pengakuan terhadap hak kekayaan intelektual juga ditegaskan dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yaitu: Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Dengan demikian dalam konstitusi negara kita juga terdapat pengakuan terhadap hak pribadi dan juga hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Pengakuan atas perlindungan Hak Kekayaan Intelektual merupakan suatu perlindungan atas

20

hak pribadi yang tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Robert. M. Sherwood, yaitu15: 1. Reward Theory, yaitu pengakuan terhadap karya-karya intelektual yang telah dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada inventor atau pencipta atau pendesain harus diberikan penghargaan sebagai imbangan atas upaya-upaya kreatifnya dalam menemukan atau menciptakan atau mendesain karya-karya intelektual tersebut. 2. Recovery Theory, merupakan prinsip yang menyatakan bahwa inventor atau pencipta atau pendesain yang telah mengeluarkan waktu, biaya, serta tenaga dalam menghasilkan karya intelektual harus memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkannya tersebut. 3. Incentive Theory, teori ini mengaitkan pengembangan kreativitas dengan pemberian insentif bagi para inventor atau pencipta atau pendesain. Pemberian insentif harus dilakukan untuk memacu kegiatan-kegiatan yang menghasilkan invensi atau ciptaan atau desain tersebut. 4. Risk Theory, yaitu pengakuan bahwa karya intelektual adalah hasil karya yang mengandung resiko, karena diperlukan upaya-upaya perintisan menghasilkan sesuatu yang belum jelas sebelumnya. Sekalipun usaha tersebut menghasilkan suatu invensi atau ciptaan atau desain namun masih juga dihadapkan pada resiko bahwa orang akan melampaui atau menemukan cara lain

memperbaikinya. Dengan demikian adalah wajar untuk memberikan suatu

15

Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri di Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas, Jakarta: Grasindo, 2004, hlm. 44-46

21

bentuk perlindungan terhadap upaya atau kegiatan yang mengandung resiko tersebut. 5. Economic Growth Stimulus Theory, yaitu pengakuan bahwa perlindungan HKI merupakan suatu alat dari pembangunan ekonomi adalah keseluruhan tujuan dibangunnya suatu sistem perlindungan HKI yang efektif. Selain teori yang dinyatakan oleh Robert. M. Sherwood, dalam perlindungan hak kekayaan intelektual perlu dilakukannya penyeimbangan antara kepentingan individu dan kebutuhan masyarakat, hal ini dikemukakan oleh Sunaryati Hartono bahwa dalam sistem perlindungan HKI dikenal empat prinsip sebagai berikut16: 1. Prinsip keadilan (the principle of natural justice) Orang yang bekerja untuk membuahkan hasil dari kegiatan yang didasarkan atas kemampuan intelektualnya wajar memperoleh imbalan berupa materi dan bukan materi seperti adanya rasa aman karena dilindungi dan diakui atas hasil tersebut. Hukum memberikan perlindungan tersebut demi kepentingan orang tersebut berupa suatu kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut, yang disebut hak. Setiap orang menurut hukum mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya. Dalam HKI, peristiwa yang menjadi alasan melekatnya hak itu adalah kegiatan kreatif yang didasarkan pada kemampuan intelektual.

16

Soenarjati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung: Binacipta, 1982, hlm. 124.

22

2. Prinsip Ekonomi (The economic argument) HKI merupakan hak yang berasal dari kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada masyarakat dalam berbagai bentuknya memiliki manfaat dan berguna dalam menunjang kehidupan manusia. Dengan demikian HKI merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya yang memberikan keuntungan kepada pemiliknya. 3. Prinsip Kebudayaan (the cultural agreement) Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban, dan martabat manusia. Selain itu, akan memberikan keuntungan bagi masyarakat, bangsa dan negara. Pengakuan atas kreasi, karya, karsa, cipta manusia yang dibakukan dalam sistem HKI diharapkan mampu membangkitkan semangat dan minta untuk mendorong melahirkan karya baru. 4. Prinsip Sosial (the social argument) Hukum tidak mengatur kepentingan manusia sebagai individu yang berdiri sendiri, terlepas dari manusia lain, tetapi hukum mengatur kepentingan manusia sebagai warga masyarakat. Dengan demikian, hak apapun yang diakui oleh hukum dan diberikan kepada individu atau suatu persekutuan atau kesatuan lain tidak boleh diberikan semata-mata untuk memenuhi kepentingan individu, atau kesatuan itu saja. Perlindungan diberikan berdasarkan

keseimbangan kepentignan individu dan masyarakat. Dari uraian diatas maka perlindungan paten farmasi tidak boleh menghambat masyarakat untuk tetap dapat mendapatkan akses terhadap obat-

23

obatan dengan harga terjangkau, sehingga prinsip sosial yang dikemukakan diatas merupakan suatu pertimbangan dalam pemberian paten. Dengan demikian pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif berfungsi sebagai regulator sehingga dalam pengaturan yang berupa petunjuk teknis pemeriksaan substantif paten memerlukan pembentukan hukum nasional yang relevan dengan teori yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja dimana hukum adalah sarana pembaharuan masyarakat17. Sarana yang dimaksud mengandung pengertian: a. menuju kemakmuran(adil dan makmur) dengan tertib dan adil b. sumber hukum formil adalah Undang-undang, yurisprudensi atau kombinasi c. pembinaan dalam arti legal engineering (perubahan UU yang sesuai dengan kegunaan dan kebutuhan masyarakat yang sedang membangun), juga social development (perubahan masyarakat dari tradisionil menuju modernisasi) Dalam karya tulis ini dijelaskan mengenai ketentuan-ketentuan internasional yang berkaitan dengan standar pengaturan bagi paten sebagai salah satu konsekuensi diratifikasinya perjanjian-perjanjian internasional serta dampaknya terhadap hak kesehatan publik. Keikutsertaan Indonesia dalam badan

perdagangan internasional WTO bertujuan untuk mensejahterakan bangsa Indonesia, bukan untuk merugikan kepentingan bangsa Indonesia. Pemerintah sebagai regulator dapat melakukan langkah-langkah penting seperti mengatur standar pemeriksaan Paten di Indonesia yang tidak merugikan

17

R. Otje Salman, Ikhitsar Filsafat Hukum, Bandung: Penerbit CV. ARMICO, 1986, hlm. 33

24

kepentingan nasional yaitu dapat mendukung masyarakat untuk tetap dapat mendapatkan harga obat-obatan yang dibutuhkan dengan harga yang terjangkau serta tetap menghargai kekayaan intelektual.

F. 1.

Metode Penelitian Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif, yaitu penelitian yang dilakukan didasarkan pada aspek norma-norma hukum dan data yang dikumpulkan berdasarkan sumber hukum primer, sumber hukum sekunder dan sumber hukum tertier . Untuk menambah referensi, metode komparatif untuk membandingkan antara hukum nasional dengan hukum negara lain pada khususnya paten bidang farmasi dan lisensi wajib paten bidang farmasi digunakan dalam penelitian ini.

2.

Spesifikasi Penelitian Berdasarkan sifatnya penelitian ini termasuk penelitian deskriptif analitis,

yaitu bertujuan untuk memberikan kejelasan dan menggambarkan tentang pentingnya pengaturan paten dalam bidang farmasi secara jelas untuk mendukung akses kesehatan publik melalui petunjuk pelaksanaan teknis mengenai pemeriksaan substantif paten. Dan pada penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan kejelasan dan menggambarkan pentingnya pengaturan lisensi wajib bagi paten bidang farmasi yang dapat mendukung akses kesehatan publik. Berdasarkan bentuknya, penelitian ini termasuk penelitian preskriptif, yaitu

25

bertujuan untuk mendapatkan saran mengenai pengaturan yang seharusnya tentang paten bidang farmasi dan lisensi wajib sebagai suatu fleksibilitas yang diperbolehkan oleh persetujuan TRIPS dalam kerangka mendukung akses kesehatan publik.

3.

Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan dalam upaya

mencari data sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang terkait dengan masalahmasalah yang diteliti berupa: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti peraturan perundang-undangan, petunjuk teknis pelaksanaan pemeriksaan paten, traktat yang terkait erat dengan pengaturan paten dan lisensi wajib bidang farmasi. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang isinya menjelaskan bahan hukum primer, seperti buku, artikel, makalah, hasil penelitian, tulisan karya ilmiah dalam jurnal ilmiah dan internet serta data-data lain yang berhubungan dengan pengaturan paten dan lisensi wajib bidang farmasi. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti ensiklopedia dan kamus. Untuk mendukung data sekunder dilakukan wawancara untuk memperoleh data primer. Wawancara dilakukan dengan narasumber yang berkompeten di bidang perlindungan paten. Data atau informasi yang diperoleh akan dianalisa dan diolah secara kualitatif untuk menghasilkan data deskriptif.

26

4.

Metode Analisis Data Data yang didapatkan akan diolah, dikonstruksikan, dianalisis dengan

menggunakan

metode

analisis

yuridis/normatif

kualitatif,

yaitu

dengan

menggunakan peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah hukum yang berlaku yang diuraikan secara sistematis dan metodologis, tidak menggunakan rumus atau angka-angka.

5.

Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bandung, Jakarta, Depok, dan Tangerang.

Penelitian untuk mendapatkan data sekunder dilakukan di beberapa perpustakaan baik di lingkungan Departemen Hukum dan HAM maupun universitas. Penelitian untuk mendapatkan data primer akan dilakukan di Departemen Hukum dan HAM.

27

BAB II PENGATURAN PATENTABILITAS INVENSI BIDANG FARMASI DAN LISENSI WAJIB

A.

Konsep Paten Bidang Farmasi Seperti halnya paten bidang lainnya, invensi yang diajukan patennya

dalam bidang farmasi harus memenuhi kriteria patentabilitas seperti kebaruan (novelty), langkah inventif (inventive step, non-obviousness), dapat diterapkan dalam industri-kegunaan (industrial applicable-utility), hanya saja ruang lingkupnya tentu saja dibatasi pada keilmuan bidang farmasi. Selain kriteria patentabilitas beberapa kriteria lain seperti kejelasan (clarity) suatu invensi dan satu-kesatuan invensi (unity of invention) juga menjadi syarat pemeriksaan substantive paten. Pemahaman akan konsep paten khususnya paten bidang farmasi tidak terlepas dari kriteria dapat diberi paten dan jenis klaim yang digunakan dalam permohonan paten bidang farmasi.

1.

Definisi Invensi dan Pendekatan Standar Patentabilitas Tidak ada definisi dan batasan yang baku dengan apa yang dimaksud dengan

invensi. Pada hampir banyak negara mereka tidak mendefinisikan dengan pasti apa yang dimaksud dengan invensi. Pada salah satu laman yang disediakan oleh WIPO (World Intellectual Property Organization) dinyatakan bahwa: A number of countries, however, define inventions as new solutions to technical problems. The problem may be old or new, but the solution, in order to merit the name of invention, must be a new one. Merely discovering something that already exists in nature, such as a previously unknown plant

28

variety, is not an invention. Human intervention must be added. So the process for extraction of a new substance from a plant may be an invention. An invention is not necessarily a complex item. The safety pin was an invention which solved an existing technical problem 18. Akan tetapi dapat ditarik suatu benang merah bahwa pada banyak negara suatu invensi dikaitkan dengan suatu bentuk penyelesaian baru bagi suatu permasalahan teknis, merupakan sesuatu yang baru, dan bukan merupakan suatu penemuan (discovery) atas sesuatu yang ada di alam, dimana faktor campur tangan manusia perlu ditambahkan. Sehingga proses ekstraksi suatu substansi (misalnya,

senyawa) baru dari tanaman merupakan invensi. Suatu invensi tidak penting merupakan sesuatu yang rumit atau kompleks. Pin (peniti) cantle yang berfungsi sebagai pengaman merupakan suatu invensi yang menyelesaikan permasalan teknis yang ada sebelumnya. Paten merupakan suatu hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas suatu invensi, sehingga invensi tersebut dapat dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu oleh inventor atau pemegang paten, dengan tujuan mencegah pihak lain untuk mengeksploitasi secara komersial suatu invensi, dengan demikian inventor atau pemegang paten dapat mengambil manfaat ekonomi atas invensi tersebut. Suatu invensi yang dapat diberi paten harus memenuhi syarat patentabilitas yang ditetapkan oleh suatu negara, dimana suatu negara dapat memiliki standar patentabilitas yang berbeda dengan negara lainnya, seperti halnya dengan paten bidang lainnya paten bidang farmasi juga harus

18

WIPO, Understanding of Industrial Property, < http://www.wipo.int/about-ip/en/> [15/11/2009]

29

memenuhi syarat patentabilitas.(kriteria dapat diberi paten) invensi di bidang farmasi, yang secara umum kriteria tersebut: a. Kebaruan (Novelty) Nilai kebaruan dapat merujuk pada invensi itu memiliki karakteristik yang baru dan tidak diketahui dari ilmu pengatahuan yang ada sebelumnya. Untuk menentukan apakah suatu invensi bersifat baru, harus diadakan pemeriksaan terhadap dengan menggunakan dokumen pembanding yang terkait dengan invensi yang dimintakan patennya. Pada Traktat Kerjasama Paten (PCT,

Patent Cooperation Treaty) yaitu pada Pasal 33 (2) yaitu pada bagian Pemeriksaan Pendahuluan Internasional (The International Pre-eliminary Examination) dinyatakan sebagai berikut: For the purposes of the international preliminary examination, a claimed invention shall be considered novel if it is not anticipated by the prior art as defined in the Regulations19. Ruang lingkup kebaruan (novelty) pada pasal tersebut adalah tidak terantisipasi oleh dokumen pembanding sebelumnya seperti yang didefinisikan dalam regulasi-regulasi dari badan yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan internasional (IPEA, International Pre-eliminary Examining Authorithy20 yang ditunjuk oleh Biro Intenasional (International

19

WIPO, Patent Cooperation Treaty, Geneva 2001, http://www.wipo.int/export/sites/www/pct/en/texts/pdf/pct.pdf [15/11/2009]20

WIPO, ISA and IPEA Agreement, < http://www.wipo.int/pct/en/access/isa_ipea_agreements.html>, 15/11/2009 Perjanjian antara Biro Internasional dengan pihak-pihak yang berwenang yang ditunjuk oleh Biro Internasional- WIPO untuk melakukan pemeriksaan pendahuluan diantaranya adalah: Austrian

30

Bureau, dalam hal ini WIPO), dimana tiap IPEA tentu memiliki standar yang berbeda dengan IPEA lainnya dan tentu saja pengaturan tersebut hanya berlaku bagi suatu permohonan paten yang diajukan melalui sistem PCT dan pemohon (applicant) permohonan tersebut mengajukan demand sehingga dilakukan pemeriksaan pendahuluan internasional untuk mengetahui

kemungkinan suatu permohonan paten memenuhi kriteria patentabilitas sebelum memasuki fasa nasional yang dituju, tentu saja pasal hanya berlaku bagi suatu permohonan paten sistem PCT bagi negara-negara anggota yang tergabung dalam perjanjian tersebut. b. Langkah Inventif-tidak dapat diduga (Inventive Step-Non Obviousness) Kriteria langkah inventif dapat dimaksudkan sebagai suatu kondisi bahwa suatu invensi tidak dapat diduga oleh orang yang ahli dibidangnya21. Dalam Pasal 33 (3) pada Traktat Kerjasama Paten (PCT), dinyatakan sebagai berikut: For the purposes of the international preliminary examination, a claimed invention shall be considered to involve an inventive step if, having regard to the prior art as defined in the regulations, it is not, at the prescribed relevant date, obvious to a person skilled in the art. Penilaian ada tidaknya langkah inventif merupakan hal yang cukup sulit dilaksanakan dalam praktek. Ilustrasinya adalah sebagai berikut; jika invensi tersebut berisi pemecahan masalah yang tidak berbeda dengan pemecahan masalah dari invensi yang terdapat dalam dokumen pembanding berarti tidakPatent Office, Australian Patent Office, Korean Intellectual Property Organization, USPTO, EPO, JPO, Nordic Patent Institute, dll 21 Eddy Damian et al, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar , Bandung :Alumni, 2006, hlm. 186.

31

ada langkah inventifnya. Jika seseorang yang mempunyai keahlian tertentu di bidang teknik dapat menduga invensi tersebut dengan menggunakan pengetahuan umum di bidang teknologi yang diajukan berarti dianggap tidak ada langkah inventifnya. c. Dapat diterapkan dalam industri-Kegunaan (Industrial Applicable-Utility) Kriteria dapat diterapkan dalam industri untuk beberapa negara dianggap setara dengan kegunaan praktis, beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang mempertimbangkan aspek kegunaan praktis dan tidak harus dapat diperbanyak secara industri, akan tetapi di beberapa negara seperti Eropa, Brazil, Thailand, dan India mensyaratkan kriteria dapat diterapkan dalam industri, tentunya standar dapat diterapkan dalam industri pada satu negara dengan negara lainnya dapat berbeda. Untuk permohonan melalui sistem PCT yang mengajukan demand, kriteria dapat diterapkan dalam industri (industrial applicable) disinggung dalam Pasal 33 (4) PCT: For the purposes of the international preliminary examination, a claimed invention shall be considered industrially applicable if, according to its nature, it can be made or used (in the technological sense) in any kind of industry. Industry shall be understood in its broadest sense, as in the Paris Convention for the Protection of Industrial Property. Maksud dari pasal diatas adalah bahwa industri harus dipahami secara luas sebagaimana yan dimaksud dalam pada Pasal 1 Konvensi Paris mengenai. ruang lingkup kekayaan industri22.

22

Paris Convention, article 1(3): Industrial property shall be understood in the broadest sense and shall apply not only to industry and commerce proper, but likewise to agricultural and extractive industries and to all manufactured or natural products, for example, wines, grain, tobacco leaf, fruit, cattle, minerals, mineral waters, beer, flowers, and flour.

32

Banyak negara-negara di dunia tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan suatu invensi dalam UU Paten mereka, hal ini dianggap sebagai suatu hal yang cukup penting untuk dapat melakukan adaptasi yang progresif atas perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagai contoh di Meksiko didefinisikan sebagai seluruh kreasi manusia yang mampu mentransformasikan materi atau energi yang ada di alam untuk kepentingan manusia dan untuk memenuhi kebutuhan nyata mereka23. Pada UU Paten Cina, tidak disebutkan dengan jelas definisi invensi, mereka hanya menyebutkan invensi-kreasi untuk hal yang berkaitan dengan invensi, utility model, dan disain24. Berdasarkan faktafakta ini maka dapat dilihat bahwa tiap negara memiliki cara yang berbeda dalam hal mendefinisikan apa yang dimaksud dengan invensi. Perjanjian-perjanjian internasional yang berkaitan dengan paten diantaranya adalah Konvensi Paris, Traktat Kerjasama Paten (PCT), dan persetujuan TRIPS. Pada Pasal 4 bis Konvensi Paris dinyatakan bahwa: Patents applied for in the various countries of the Union by nationals of countries of the Union shall be independent of patents obtained for the same invention in other countries, whether members of the Union or not. Dari pasal tersebut di atas dapat dipahami bahwa paten yang diajukan pada suatu negara anggota tidak bergantung pada negara lainnya walaupun invensinya sama.. Pada Konvensi Paris diatur diantaranya mengenai berlakunya hak prioritas dan hal-hal yang berkaitan dengan lisensi wajib.

23

Correa, Carlos, Guidelines for examination of pharmaceutical patents, Geneva, WHO-ICTSDUNCTAD, Januari 2000, hlm.3 24 Patent Law of Peoples Republik of China, Article 2, 2000.

33

Pada Pasal 27 (5) Traktat Kerjasama Paten (PCT) dinyatakan sebagai berikut: Nothing in this Treaty and the Regulations is intended to be construed as prescribing anything that would limit the freedom of each Contracting State to prescribe such substantive conditions of patentability as it desires. In particular, any provision in this Treaty and the Regulations concerning the definition of prior art is exclusively for the purposes of the international procedure and, consequently, any Contracting State is free to apply, when determining the patentability of an invention claimed in an international application, the criteria of its national law in respect of prior art and other conditions of patentability not constituting requirements as to the form and contents of applications. Dari pasal diatas dapat dilihat bahwa PCT tidak membatasi negara-negara anggotanya dalam hal menentukan kondisi patentabilitas yang dikehendaki. Persetujuan TRIPS sendiri tidak mempermasalahkan adanya perbedaanperbedaan pengaturan pada tiap negara. Pasal 27.1 persetujuan TRIPS

mengindikasikan bahwa negara-negara anggota memiliki ruang untuk dengan itikad baik mengiterpretasikan konsep suatu invensi dalam sistem hukum mereka. Persetujuan TRIPS juga memperbolehkan negara-negara anggota untuk memberikan definisi patentabilitas dan standar patentabilitas menurut mereka, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 27.(1) dan (2) TRIPS sebagai berikut: (1). Subject to the provisions of paragrafs 2 and 3, patents shall be available for any inventions, whether products or processes, in all fields of technology, provided that they are new, involve an inventive step and are capable of industrial application25. Subject to paragraf 4 of Article 65, paragraf 8 of Article 70 and paragraf 3 of this Article, patents shall be available and patent rights enjoyable without discrimination as to the place of invention, the field of technology and whether products are imported or lokally produced. (2).Members may exclude from patentability inventions, the prevention within their territory of the commercial exploitation of which is25

For the purposes of this Article, the terms "inventive step" and "capable of industrial application" may be deemed by a Member to be synonymous with the terms "non-obvious" and "useful" respectively.

34

necessary to protect ordre public or morality, including to protect human, animal or plant life or health or to avoid serious prejudice to the environment, provided that such exclusion is not made merely because the exploitation is prohibited by their law. Kondisi-kondisi umum yang digunakan dalam pasal-pasal TRIPS di atas merupakan dasar bagi negara-negara anggota untuk tetap dapat memiliki kriteria patentabilitas yang berbeda dari negara satu dengan negara lainnya, sehingga dari uraian diatas terlihat bahwa perjanjian-perjanjian internasional tentang paten yang telah diratifikasi oleh Indonesia tidak mengatur kriteria patentabilitas, dan kriteria tersebut diserahkan pada hukum nasional masing-masing negara anggota. Baik pada Konvensi Paris maupun persetujuan TRIPS mengungkapan prinsip national treatment dan non-diskriminatif dalam memperlakukan permohonan paten baik permohonan dalam negeri maupun luar negeri dari negara-negara anggota.

2.

Perlindungan Klaim terhadap Subject Matter yang berhubungan dengan invensi di bidang farmasi Perlindungan yang dimintakan dalam permohonan paten tidak terlepas dari

klaim-klaim yang dimintakan perlindungan patennya. Pada dasarnya bentuk klaim dari invensi yang dimintakan patennya terbagi menjadi klaim produk (subject matternya adalah produk) dan klaim proses (subject matternya adalah proses). Suatu klaim paten yang berhubungan dengan subject matter berupa produk obat-obatan dapat berkaitan dengan kandungan senyawa aktif, garam, bakal obat, isomer, dan lain sebagainya. Suatu klaim invensi dapat mencakup baik produk dan proses maupun berdiri sendiri sebagai produk ataupun proses. Saat ini bentuk-bentuk klaim paten yang dianggap dapat memperpanjang masa

35

perlindungan paten atau praktek evergreening paten dalam bidang farmasi diantaranya adalah sebagai berikut26: a. Formulasi dan Komposisi Formulasi ataupun komposisi, suatu bahan aktif ditambah dengan bahanbahan lain yang disebut sebagai eksipien (zat yang digunakan dalam farmasi untuk mencampur obat supaya memperoleh bentuk yang lebih mudah digunakan), sehingga formulasi ataupun komposisi bahan aktif dapat digunakan dalam dosis tertentu dan dalam bentuk sediaan seperti tablet, kapsul, salep, larutan, dan bentuk sedian lainnya.. Dalam klaim formulasi atau komposisi perlindungan yang dimintakan meliputi bahan aktif dan bahan-bahan pembawa seperti eksipien, bahan pengisi, bahan pengikat, bahan pelincir, yang dapat diterima secara farmasi. Sehingga hal yang dikhawatirkan dengan adanya bentuk klaim formulasi ataupun komposisi adalah untuk bahan aktif yang sudah ditemukan (sudah diketahui), dimintakan perlindungannya kembali dengan menambahkan bahanbahan pembawa yang dapat diterima secara farmasi, padahal bahan pembawa tersebut tidak memiliki efek yang berpengaruh dalam pengobatan. Contoh:WO0032189 (tanggal publikasi: 08-Juni 2000) Suatu komposisi farmasi yang terdiri dari satu atau lebih unit dosis yang diberikan secara oral, tiap-tiap terdiri dari partikulat celecoxib dalam jumlah sekitar 10 mg sampai 1000 mg dalam campuran dengan satu atau lebih suatu eksipien yang dapat diterima secara farmasi, dimana suatu unit dosis tunggal, yang diberikan secara oral dapat berada dalam serum darah dengan konsentrasi celecoxib yang dicirikan waktu untuk mencapai konsentrasi 100 ng/ml tidak lebih lama dari 0,5 jam setelah pemberian obat.

26

Correa, Carlos, Guidelines for examination of pharmaceutical patents, Geneva, WHO-ICTSDUNCTAD, Januari 2000, hlm. 6.-18

36

Catatan: celecoxib merupakan suatu bahan aktif yang telah dikenal dan akan habis masa patennya pada tahun 2013, klaim diatas sebetulnya hanya memiliki fitur pemberian obat dalam dosis tunggal yang tercapai konsentrasinya dalam darah tidak tidak lebih dari 0,5 jam. Dengan adanya bentuk klaim diatas dianggap sebagai praktek memperpanjang masa perilindungan paten. Jika klaim diatas diberi patennya maka masa perlindungan paten akan bertambah sampai tahun 2020. b. Kombinasi Yang dimaksud dengan kombinasi, merupakan gabungan beberapa bahan aktif yang memiliki fungsi dalam pengobatan. Khusus bagi bahan aktif yang telah dikenal, maka gabungan dari bahan-bahan aktif ketika digabungkan memiliki efek sinergis dan tidak dapat diduga sebelumnya dapat dikatogerikan sebagai invensi. Hal yang harus dperhatikan dalam klaim kombinasi, klaim tersebut secara tak langsung digunakan oleh pemilik paten untuk menambah masa perlindungan paten yang telah habis atau hampir habis perlindungan patennya. Khususnya bagi bahan-bahan aktif yang telah dikenal, gabungan dari bahan aktif yang telah dikenal dapat saja memenuhi kebaruan, akan tetapi hal yang harus diperhatikan adalah apakah langkah inventifnya terpenuhi, apakah gabungan bahan-bahan aktif tadi memiliki fungsi yang sama dengan dalam keadaan masing-masing, sehingga apabila digabungkan sudah dapat diduga bahwa gabungan bahan aktif itu hanya bersifat memperkuat efek pengobatan saja. Contoh: US20050065176 (tanggal publikasi: 23 Maret 2005)

37

Suatu kombinasi aktivator yang larut pada guanilat siklase dan suatu penghambat pengubah angiotensin (angiotensin converting enzyme, ACE) untuk pembuatan suatu obat untuk pengobatan paliatif dan kuratif atau profilaksis suatu kelainan kardiovaskular atau metabolik

Catatan: Klaim diatas terlalu luas karena melindungi guanilat siklase and penghambat ACE yang dapat berupa begitu banyak macamnya, dan klaim seperti diatas akan dinilai tidak jelas. Luasnya cakupan perlindungan dianggap akan menghambat perusahaan farmasi lainnya (competitor) memproduksi obat dengan bahan aktif yang berada dalam satu golongan. c. Dosis Dosis dapat berarti takaran obat untuk sekali pakai (dimakan, diminum, disuntikkan, dsb) dalam jangka waktu tertentu: yang ditentukan oleh dokter27. Klaim permohonan paten seringkali diantaranya berisi tentang fitur mengenai takaran pemberian obat kepada pasien. Contoh: US2004121007 (tanggal publikasi: 24/06/2004) Suatu komposisi farmasi yang mengandung senyawa aktif sampai sekitar 250 mg bifosfonat atau suatu garam yang dapat diterima secara farmasi darinya untuk penggunaan oral Catatan: Walaupun klaim di atas merupakan suatu klaim produk tetapi klaim di atas memiliki efek sebagai klaim metode untuk pengobatan medis. Pada beberapa negara seperti Inggris memberikan perlindungan pada bentuk klaim di atas,27

Kateglo, Rujukan KBBI, , 18/11/2009

38

dengan persyaratan bahwa dosis tersebut digunakan untuk pengobatan indikasi penyakit yang berbeda. Dimana hal ini dimungkinkan dalam kasus aspirin, merupakan suatu senyawa yang telah lama diketahui sebagai pereda rasa sakit dengan dosis 500 mg. Dikemudian hari diketahui bahwa aspirin 50 mg dapat berfungsi sebagai obat jantung. d. Garam, Eter, dan Ester Seringkali paten bidang farmasi melindungi garam baru dari suatu bahan aktif yang telah dikenal. Bentuk garam, eter, maupun ester dari suatu bahan aktif biasanya digunakan untuk meningkatkatkan stabilitas atau kelarutan obat. Hal ini merupakan pengetahuan yang umum di bidang farmasi bahwa dalam bentuk garam, eter, maupun ester suatu bahan aktif akan memiliki perbedaan kelarutan dan dapat diterima oleh tubuh (bioavailability). Contoh: GB19860008335 (tanggal publikasi: 30/04/1993) Suatu garam besilat dari amlodipin Catatan: Orang yang ahli dibidangnya akan mengetahui bagaimana pembentukan suatu garam, yaitu percampuran antara suatu asam dan basa. Pembuatan garam kadang melibatkan proses yang rumit dan kompleks, dengan demikian perlindungan paten yang lebih sesuai apabila klaim yang diajukan permohonanannya disusun sebagai klaim proses pembuatan, dan bukan klaim produk, karena jika yang diajukan adalah klaim produk maka akan dianggap sebagai praktek peremajaan (evergreening) paten.

39

e.

Polimorfisme Polimorfisme adalah keadaan dimana suatu senyawa atau bahan aktif bisa

berada dalam lebih dari satu bentuk kristal. Polimorfisme merupakan salah satu bentuk kristal dari bahan aktif, suatu bahan aktif di alam dapat berupa polimorf, amorf ataupun kristalin. Hal ini disebabkan suatu molekul akan mencari bentuk yang paling stabil. Contoh: WO03074527 ( tanggal publikasi: 12/09/2003) Bentuk polimorf dari irinotekan hidroklorida kristalin yang dicirikan dengan pola difraksi sinar X yang terdiri 20 nilai sudut sekitar 9,15; sekitar 10,00; sekitar 11,80; sekitar 12,20; sekitar 13,00 dan sekitar 13,40. Catatan: Perbedaan polimorfisme biasanya digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan kelarutan dan kestabilan bahan aktif dalam suatu sediaan obat. Dalam beberapa kasus pemilihan bentuk polimorfisme tertentu akan lebih menguntungkan produsen obat, karena jika bentuk sediaan stabil dapat berpengaruh pada lamanya penyimpanan obat (masa kadaluwarsa obat) yang dikaitkan dengan keamanan pemakaian obat. Akan tetapi efek didalam tubuh seperti apakah bentuk

polimorfisme tertentu akan memperbaiki efikasi (kemanjuran) obat.

f.

Klaim Markush Suatu klaim paten seringkali disusun dengan ruang lingkup yang sangat luas,

sehingga suatu struktur senyawa dapat diwakili oleh ribuan atau bahkan jutaan senyawa yang mungkin. Klaim Markush seringkali dianggap sebagai klaim

40

spekulasi, karena sesungguhnya tidak semua senyawa yang mungkin tercakup dibuat, dengan demikian hal ini membuat suatu kompetitor terhalang untuk membuat obat yang sejenis atau ekivalen. Contoh: Suatu senyawa dengan formula umum:

dimana R1 dipilih dari fenil, piridil, tiazolil, tioalkil, alkoksil, dan metal; R2 adalah metal, tolil, atau fenil Senyawa digunakan sebagai antibiotik yang disebabkan oleh infeksi bakteri.

Catatan: Klaim ini memuat begitu banyak senyawa yang mungkin digunakan sebagai antibakteri, dimana pada banyak struktur senyawa yang mungkin tersebut biasanya tidak dilakukan uji eksperimen maupun laboratorium.

g.

Enansiomer Enansiomer merupakan suatu bentuk isomer optis dimana suatu senyawa

memiliki struktur seperti bayangan cerminnya. Enansiomer merupakan sesuatu yang spontan terjadi. Enansiomer dapat digambarkan sebagai berikut:

41

R-sitalporam Contoh: EP0347066B1 (tanggal publikasi: 15/03/1995)

S-sitalopram

(+)-1-(3-dimetilaminopropil)-1-(4-fluorofenil)-1,3-dihidroisobenzofuran5-karbonitril yang memiliki formula umum I dan garam tambahan asam non-toksik darinya.

h.

Bakal Obat (Prodrug) dan Metabolit Aktif Bakal obat merupakan suatu bahan farmasi yang diberikan dalam keadaan

tak aktif. Bakal obat yang masuk kedalam tubuh akan berubah menjadi metabolit aktif akibat reaksi metabolisme tubuh. Bakal obat digunakan untuk mencapai bahan aktif yang tepat sasaran. Misalnya saja Enalapril diubah oleh enzim esterase dan di dalam tubuh berubah menjadi enalaprilat. Contoh: WO0307785 (Tanggal Publikasi : 25/09/2003)

42

Formula I Suatu senyawa formula I dan suatu garam yang dapat diterima secara farmasi, bakal obat, dan solvatnya, dimana R1, R2, R9, dan R10 dipilih dengan bebas dari Hidrogen, halogen, siano, nitro, trifluorometil, difluorometoksi, ..

i.

Klaim Penggunaan dan Indikasi medis kedua Mematenkan penggunaan medis dari suatu produk termasuk indikasi medis

pertama dan indikasi medis kedua suatu produk yang telah dikenal merupakan praktek yang umum dalam bidang farmasi. Seperti halnya pada contoh mengenai aspirin yang sebelumnya digunakan sebagai obat sakit kepala, dan kemudian hari aspirin yang telah dikenal digunakan sebagai obat jantung. Berdasarkan Pasal 27 (1) persetujuan TRIPS bahwa suatu paten diberikan untuk suatu produk maupun proses diberikan untuk semua bidang teknologi yang ada selama memenuhi kebaruan, langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri. Dalam bidang farmasi, suatu klaim penggunaan dianalogikan dengan klaim proses ataupun klaim metode, tentunya dalam bidang farmasi klaim metode berkaitan dengan metode pengobatan, yang dicontohkan sebagai berikut: Penggunaan aspirin dalam pengobatan penyakit jantung. Klaim diatas merupakan klaim metode pengobatan, dimana dibeberapa negara hal ini tidak diperbolehkan, termasuk di Eropa. Untuk mengatasi permasalahan

43

tersebut kantor paten Swiss mengajukan susunan paten sebagai berikut, yang akhirnya dikenal sebagai Swiss Type Claim: Penggunaan aspirin yang digunakan sebagai obat sakit jantung. Langkah dari kantor paten Swiss tersebut banyak diadopsi baik pada negaranegara Civil Law maupun Common Law untuk mengatasi permasalahan mengenai metode pengobatan, akan tetapi sampai saat ini masih tejadi perdebatan hukum mengenai legalitas dari bentuk klaim diatas karena makna penggunaan tidak memenuhi kriteria dapat diterapkan dalam industri28.

3.

Invensi yang dapat diberi paten (Patentable Subject Matter) Pada banyak negara, mereka melakukan pengaturan mengenai invensi-

invensi yang tidak dapat diberi paten, biasanya invensi-invensi tersebut adalah invensi yang berkaitan dengan etika, moralitas agama, berkaitan dengan penggunaan organ makhluk hidup seperti manusia maupun hewan. Pada Pasal 27 ayat 2 dan 3 persetujuan TRIPS dinyatakan bahwa suatu negara dapat tidak memberikan paten bagi hal-hal seperti yang dinyatakan dalam pasal-pasal tersebut yaitu29:

28

Amstrong, Daniel, The Arguments Of Law, Policy And Practice Against Swiss-Type Patent Claims, Australia, University of Wellington, 2001, < http://search.austlii.edu.au/nz/journals/VUWLRev/2001/9.html>, 18/11/2009. 29 WTO, Article 27 (3) TRIPS: (2). Members may exclude from patentability inventions, the prevention within their territory of the commercial exploitation of which is necessary to protect ordre publik or morality, including to protect human, animal or plant life or health or to avoid serious prejudice to the environment, provided that such exclusion is not made merely because the exploitation is prohibited by their law.

44

Suatu negara dapat tidak memberikan paten bagi metoda pengobatan, metode operasi, metode diagnostik (pemeriksaan) bagi manusia maupun hewan, paten juga dapat tidak diberikan pada tumbuh-tumbuhan maupun hewan, kecuali proses non biologis dan proses mikrobiologis. Pengaturan hal-hal apa saja yang tidak dapat diberi paten memainkan peranan yang penting bagi invensi-invensi bidang farmasi karena invensi pada bidang tersebut berhubungan langsung dengan proteksi terhadap manusia maupun hewan, dengan demikian penyusunan klaim invensi bidang farmasi harus memenuhi kriteria-kriteria yang diatur dalam hukum nasional suatu negara.

4.

Sumber daya genetik dan Invensi Bidang Farmasi Kekayaan alam berupa keanekaragaman hayati adalah kekayaan yang luar

biasa terutama bagi negara-negara yang memiliki keanekaragaman hayati (biodiversity) yang sangat besar, seperti Indonesia, Thailand, India, China, dan negara-negara lain yang termasuk sebagai anggota Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity). Keanekaragaman hayati tersebut mengandung material genetika (plasma nutfah) merupakan sifat yang diturunkan, dan dengan adanya teknologi rekayasa genetika saat ini maka banyak plasma nutfah yang berasal dari tanaman ataupun mikroorganisme bermanfaat obat yang

(3). Members may also exclude from patentability: (a). diagnostic, therapeutic and surgical methods for the treatment of humans or animals; (b). plants and animals other than micro-organisms, and essentially biological processes for the production of plants or animals other than non-biological and microbiological processes. However, Members shall provide for the protection of plant varieties either by patents or by an effective suigeneris system or by any combination thereof. The provisions of this subparagrafparagraf shall be reviewed four years after the date of entry into force of the WTO Agreement.

45

dimanfaatkan sebagai obat-obatan modern oleh perusahaan-perusahaan farmasi dari negara-negara maju, dan biasanya produknya dijual ke negara-negara tempat plasma nutfah berasal. Plasma nutfah yang diambil biasanya berasal dari tanaman-tanaman obat ataupun materi-materi lain yang telah dikenal oleh suatu masyarakat tertentu dan dimanfaatkan secara turun-temurun. Di Indonesia penggunaan tanaman seperti kayu rapet (Parameria Laevigata), kemukus (Piper cubeba), tempuyung (Sonchus arvensis L), belantas (Pluchea indica L), mesoyi (Massoia aromatica Becc), pule (Alstonia scholaris), pulowaras (Alycia reindwartii BL), dan sinto (Cinamomum sintoc BL) dikenal sebagai jamu awet muda, akan tetapi bahan tanaman tersebut dengan sentuhan ilmu pengetahuan modern seperti bioteknologi didaftarkan patennya di Jepang dengan nomor registrasi JP 10326541 oleh Shiseido sebagai kosmetik anti penuaan30. Kantor Paten Jepang (JPO) memberikan paten tanaman-tanaman tersebut sebagai kosmetik anti penuaan. Paten tersebut akhirnya dibatalkan setelah dilakukan gugatan di pengadilan Jepang dengan alasan bahwa tanaman tersebut telah menjadi bahan baku obat dan kosmetika traadisional di Indonesia, Shiseido juga menyatakan bahwa yang dipatenkan adalah proses pembuatan yang menggunakan bahan tersebut sehingga bangsa Indonesia tetap bisa memanfaatkan tanaman tersebut31. Pengaturan Internasional yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati diatur dalam Konvensi Keanearagaman Hayati (Convention on Biological Diversity) yang terbuka untuk diratifikasi sejak tanggal 5 Juni 1992, dan telah30

Andriana Krisnawati, SH., MH, Perlindungan Hukum Varietas Baru Tanaman dalam Perspektif Hak Paten dan Hak Pemulia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 89. 31 Ibid, hlm.90.

46

diratifikasi oleh 157 negara dimana Indonesia sebagai salah satu negara peratifikasi mengesahkannya dalam UU No.5 Tahun 1994. Konvensi

Keanekaragaman Hayati tersebut salah satunya bertujuan untuk membagi manfaat yang adil dalam penggunaan pengetahuan tradisional melalui inovasi-inovasi yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati (yang meliputi ekosistem, jenis dan genetik yang mencakup hewan, tumbuhan, dan jasad renik atau mikro-organisme. Disisi lain pada persetujuan TRIPS dinyatakan bahwa salah satu sumber keanekeragaman hayati yaitu mikroorganisme dapat merupakan suatu subyek paten (patentable subject matter) yang dapat dilihat pada Pasal 27.3 (b) persetujuan TRIPS bahwa proses non biologis dan proses mikrobiologis dan merupakan suatu subyek yang dapat dipatenkan, dan pengaturan mengenai hal ini bergantung pada hukum nasional masing-masing negara. Pasal 27.3(b)

persetujuan TRIPS tersebut diatas menjadi suatu isyu kontroversial dan sering disebut sebagai klausa bioteknologi32. Beberapa interpretasi33 yang timbul dari adanya pasal tersebut yaitu:

a.

Tumbuh-tumbuhan dan hewan Members may also exclude from patentability . . . plants and animals Pada pasal ini negara-negara anggota dapat mengecualikan tanaman dan

hewan sebagai subject matter yang diberi paten, seharusnya pernyataan ini juga berlaku bagi tanaman transgenik maupun tanaman hibdrida (varietas32

UNCTAD, Patents: Biotechnological Inventions: Genetic Resources, Plant Variety Protection, Traditional Knowledge, hlm.388, http://www.iprsonline.org/unctadictsd/docs/RB2.5_Patents_2.5.5_update.pdf [18/11/2009]33

ibid, hlm.391-395

47

tanaman) akan tetapi hal ini dapat tidak berlaku bagi tanaman hasil rekayasa genetika. Sehingga pengaturan pada pasal ini kontradiktif. b. Mikroorganisme . . . other than micro-organisms . . . Mikro-organisme didefinisikan dengan suatu organisme yang tak kasat mata34, dan hal tersebut merujuk pada bakteri, jamur, alga, protozoa dan virus. Suatu pertanyaan penting apakah mikro-organisme yang ada di alam dapat dipatenkan, dan secara umum menurut hal tersebut diterima untuk dapat dipatenkan karena mikro-organisme yang diperoleh tidak dapat seperti yang sebagaimana ada di alam karena dia harus diisolasi dan diidentifikasi lebih lanjut untuk didapatkan patennya35. Sedangkan pada pernyataan yang dikemukakan oleh India36 bahwa perlu begitu banyak wilayah grey area yang berkaitan dengan ruang lingkup mikroorganisme yang dapat dipatenkan dan proses mikrobiologis yang dapat dipatenkan terlebih lagi perlu dibedakan antara discovery dan invensi karena hanya invensi yang dapat diberi paten. Dengan memandang Pasal 27.1 bahwa suatu invensi yang dapat diberi paten adalah invensi yang memenuhi kriteria kebaruan (novelty), langkah inventif (inventive step), dan dapat diterapkan dalam industri (industrial applicable), juga memandang bahwa invensi juga memenuhi kebaruan (novelty), tak dapat diduga sebelumnya (non-obvious), dan memiliki kegunaan (usefulness). Adanya penerapan bahwa mikroorganisme dapat dipatenkan pada banyak34J. Coombs, Macmillan Dictionary of Biotechnology, Macmillan, London and Basinstoke 1986, hlm. 198 35 U.S. Communication to the Council of TRIPS, IP/C/W/209, 03 October 2000. 36 India, Communication to the Council of TRIPS, IP/C/W/161, 03 November 1999.

48

negara menjadi suatu hukum kebiasaan bahwa mikro-organisme merupakan suatu subyek yang dapat dipatenkan, akan tetapi ruang lingkup patentabilitas mikroorganisme bagi negara-negara anggota WTO di hukum nasionalnya c. Proses Members may also exclude from patentability . . . essentially biological processes for the production of plants or animals other than non-biological and microbiological processes Kata proses biologis esensial di Kantor Paten Eropa didefinisikan sebagai tingkat intervensi teknis yang dilakukan, jika tingkat intervensi yang dilakukan tinggi maka proses tersebut dapat dipatenkan, dengan demikian teknik penyilangan tradisional pada tumbuhan tidak dapat dipatenkan, akan tetapi dengan teknik penyisipan gen pada tumbuhan, proses tersebut dapat dipatenkan. Negara-negara yang berpendapat seperti ini diantaranya adalah Eropa, Amerika,dan Jepang. d. Varietas Tanaman However, Members shall provide for the protection of plant varieties either by patents or by an effective sui generis system or by any combination thereof

Negara-nagara anggota diharuskan untuk memberikan perlindungan terhadap varietas tanaman dengan paten atau dengan sistem pengaturan lain yang lebih khusus atau dengan kombinasi darinya. Banyak invensi-invensi dari luar negeri yang dimintakan

perlindungannya di Indonesia mengenai proses rekayasa genetika, misalnya dan produk-produk transgenik dari plasma nutfah yang ada di alam, tentunya

49

proses dan produk-produk tersebut memenuhi nilai kebaruan karena memang berbeda dari apa yang dikenal di masyarakat, disisi lain permohonan paten lokal bidang farmasi banyak yang masih berkutat pada ekstraksi dari bahan alam, permohonan-permohonan paten farmasi tersebut bergerak dalam lingkup komposisi, ekstrak, yang memerlukan pengaturan regim paten tersendiri mengingat bahwa masih terbukanya ruang pengaturan bagi kriteria patentabilitas serta definisi invensi dalam hukum nasional negara-negara anggota WTO. Penafsiran dilakukan tentunya berlandaskan Pasal 31 dan 32 Vienna Convention on the Law of Treaties bahwa penafsiran yang dilakukan terhadap perjanjian internasional dengan prinsip itikad baik dan sesuai dengan arti yang biasa diberikan pada istilah-istilah yang ada pada traktat dalam konteksnya dan dengan pertimbangan tujuan dan kebutuhan.

B.

Pengaturan Lisensi Wajib Lisensi wajib merupakan suatu tindakan pemulihan atas penyalahgunaan

paten. Ketentuan mengenai lisensi wajib dibuat untuk mencegah adanya penyalahgunaan paten sebagai monopoli dan penggunaan paten dengan cara mengeksploitasi secara komersial suatu invensi yang telah dipatenkan oleh orangorang berkepentingan. Pengaturan mengenai lisensi wajib dalam persetujuan TRIPS dapat ditemukan dibawah section 5 tentang Paten, yaitu dalam ketentuan Pasal 31 TRIPS Dalam rumusan pasal tersebut dapat dilihat bahwa TRIPS tidak mempergunakan istilah Compulsory Lisence melainkan Other use without the

50

authorization of right holder. Bunyi lengkap dari Pasal 31 Persetujuan TRIPS adalah sebagai berikut: Article 31 Other Use Without Authorization of the Right Holder Where the law of a Member allows for other use37 of the subject matter of a patent without the authorization of the right holder, including use by the government or third parties authorized by the government, the following provisions shall be respected: (a). authorization of such use shall be considered on its individual merits; (b). such use may only be permitted if, prior to such use, the proposed user has made efforts to obtain authorization from the right holder on reasonable commercial terms and conditions and that such efforts have not been successful within a reasonable period of time. This requirement may be waived by a Member in the case of a national emergency or other circumstances of extreme urgency or in cases of public non-commercial use. In situations of national emergency or other circumstances of extreme urgency, the right holder shall, nevertheless, be notified as soon as reasonably practicable. In the case of public noncommercial use, where the government or contractor, without making a patent search, knows or has demonstrable grounds to know that a valid patent is or will be used by or for the government, the right holder shall be informed promptly; (c). the scope and duration of such use shall be limited to the purpose for which it was authorized, and in the case of semi-conductor technology shall only be for public non-commercial use or to remedy a practice determined after judicial or administrative process to be anticompetitive; (d). such use shall be non-exclusive; (e). such use shall be non-assignable, except with that part of the enterprise or goodwill which enjoys such use; (f). any such use shall be authorized predominantly for the supply of the domestic market of the Member authorizing such use; (g). authorization for such use shall be liable, subject to adequate protection of the legitimate interests of the persons so authorized, to be terminated if and when the circumstances which led to it cease to exist and are unlikely to recur. The competent authority shall have the authority to review, upon motivated request, the continued existence of these circumstances; (h). The right holder shall be paid adequate remuneration in the circumstances of each case, taking into account the economic value of the authorization;37

"Other use" merujuk pada penggunaan lain yang diijinkan oleh Pasal 30 TRIPS.

51

(i). The legal validity of any decision relating to the authorization of such use shall be subject to judicial review or other independent review by a distinct higher authority in that Member; (j). any decision relating to the remuneration provided in respect of such use shall be subject to judicial review or other independent review by a distinct higher authority in that Member; (k). Members are not obliged to apply the conditions set forth in subparagrafs (b) and(f) where such use is permitted to remedy a practice determined after judicial or administrative process to be anticompetitive. The need to correct anti-competitive practices may be taken into account in determining the amount of remuneration in such cases. Competent authorities shall have the authority to refuse termination of authorization if and when the conditions which led to such authorization are likely to recur; (l). where such use is authorized to permit the exploitation of a patent ("the second patent") which cannot be exploited without infringing another patent ("the first patent"), the following additional conditions shall apply: (i). the invention claimed in the second patent shall involve an important technical advance of considerable economic significance in relation to the invention claimed in the first patent; (ii). the owner of the first patent shall be entitled to a cross-licence on reasonable terms to use the invention claimed in the second patent; and (iii).the use authorized in respect of the first patent shall be non-assignable except with the assignment of the second patent.

Dalam rumusan Pasal 31 Persetujuan TRIPS diatas, walaupun TRIPS tidak membatasi dasar pemberlakuan wajib, namun secara umum dapat dikatakan bahwa TRIPS secara spesifik menyebutkan adanya empat alasan pemberian lisensi wajib yaitu38: (1). karena keperluan yang sangat mendesak (Emergency and extreme urgency); (2). kepentingan praktek persaingan usaha (anti-competitive practices)

38

Gunawan Widjaya, Seri Hukum Bisnis, Lisensi, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2001, hlm. 37.

52

(3). penggunaan non-komersial untuk kepentingan publik (public noncommercial use); (4). adanya saling ketergantungan (dependent patents) .Pada Pasal 31 Persetujuan TRIPS dinyatakan dengan jelas pemaparan kondisikondisi untuk melaksanakan lisensi wajib, tetapi tidak membatasi dasar alasan bahwa suatu lisensi dapat diberikan. Meskipun Pasal 31 merujuk pada beberapa dasar-alasan yang mungkin (seperti: keadaan darurat dan praktek anti-kompetitif) untuk mengeluarkan lisensi wajib, dengan demikian hal tersebut memberikan kebebasan negara-negara anggota untuk menentukan dasar alasan lain seperti tidak berfungsinya paten, kesehatan publik atau kepentingan publik.

53

BAB III PENGGUNAAN FLEKSBILITAS AKSES KESEHATAN PUBLIK

A.

Pengaturan

Penerapan

Fleksibilitas

Akses

Kesehatan

Publik

Berdasarkan TRIPS-WTO Hubungan antara kesehatan publik dan Persetujuan TRIPS pertama kali diuji oleh Majelis Kesehatan Dunia (WHA, World Health Assembly) pada tahun 1996 yang merupakan subyek dalam resolusi Revised Drug Strategy (WHA49.14, 25 Mei 1996). Setelah melalui proses yang sangat panjang maka pada Konferensi Tingkat Menteri WTO di Doha (9-14 November 2001), negara-negara anggota WTO mengambil langkah-langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam hal mengadopsi suatu deklarasi39 khususnya yang berkaitan dengan isyu terhadap aspek persetujuan TRIPS dan kesehatan publik40. Krisis HIV yang melanda negara-negara Sub-Sahara Afrika mendorong pemerintah negara Afrika Selatan41, untuk menggunakan fleksibilitas TRIPS, dimana perusahan-perusahaan farmasi multinasional yang didukung oleh pemerintahan negaranya berusaha untuk39

Paragraf 17 Deklarasi tingkat menteri menyatakan: We stress the importance we attach to implementation and interpretation of the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS Agreement) in a manner supportive of publik health, by promoting both access to existing medicines and research and development into new medicines and, in this connection, are adopting a separate Declaration 40 WTO, Doha Ministerial Declaration on the TRIPS Agreement and Publik Health (yang kemudian disebut the Doha Declaration), WT/MIN(01)/DEC/W/2, 14 November 2001 [19/11/20 09] 41 US Public Law 105-277 (105th Congress, 1999), menyatakan bahwa : ..None of the funds appropriated under this heading may be available for assistance for the central Government of the Republic of South Africa, until the Secretary of State reports in writing to the appropriate committees of the Congress on the steps being taken by the United States Government to work with the Government of the Republic of South Africa to negotiate the repeal, suspension, or termination of section 15 (c) of South Africas Medicines and Related Substances Control Amendment Act No. 90 of 1997 [18/11/2009]

54

menghalangi pelaksanaan fleksibilitas TRIPS tersebut., meskipun Paragraf 7 TRIPS bertujuan untuk menurunkan ketegangan yang timbul akibat pengakuan terhadap perlindungan HKI khususnya terhadap perlindungan obat-obatan dan pengaruhnya terhadap akses obat-obatan. Negara-negara berkembang kemudian melakukan upaya-upaya khususnya mengangkat isyu-isyu mengenai kesehatan publik dalam Dewan TRIPS yang didasari bahwa sanksi TRIPS seharusnya tidak membatasi negara-negara anggota WTO untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi akses terhadap obat-obatan dan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Upaya-upaya tadi mendorong adanya suatu deklarasi bukan disebabkan ketidakjelasan persetujuan TRIPS melainkan lebih disebabkan adanya adanya hambatan dalam kewenangan untuk melaksanakan fleksibilitas TRIPS pada tingkat nasional.

1.

Ruang Lingkup Akses Kesehatan Publik Menurut Deklarasi Doha Bunyi paragraf 1 deklarasi Doha adalah sebagai berikut:

We recognize the gravity of the public health problems afflicting many developing and least-developed countries, especially those resulting from HIV/AIDS, tuberculosis, malaria and other epidemic.

Permasalahan yang diungkapkan pada paragraf 1 Deklarasi Doha

diatas

didefinisikan dalam terminologi yang luas, yakni anggota-anggota mengakui beratnya permasalahan kesehatan yang melanda negara-negara berkembang dan negara-negara tertinggal, khususnya yang disebabkan oleh penyakit-penyakit HIV/AIDS, tuberkolosis, malaria dan penyakit menular lainnya. Penyakitpenyakit epidemik yang menjadi masalah kesehatan publik tidak hanya

55

penyakit-penyakit yang mempengaruhi populasi dinegara-negara berkembang tetapi juga pada negara-negara maju, seperti asma atau kanker42. Deklarasi Doha tidak hanya melingkupi akses terhadap kesehatan tetapi juga produk, metode atau teknologi pada perawatan kesehatan, dengan begitu Deklarasi Doha juga berlaku pada produk obat-obatan, proses, penggunaan, metode operasi, pengobatan dan pemeriksaan, alat-alat pemeriksaan, dan alat-alat kesehatan.

2.

Fleksibilitas Kesehatan Publik dalam TRIPS berdasarkan interpretasi Deklarasi Doha Paragraf 4 Deklarasi Doha dilatarbelakangi oleh frustasinya negara-negara

berkembang dan tertinggal atas pernyataan dalam Pasal 8.1 TRIPS, yaitu: Members may, in formulating or amending their laws and regulations, adopt measures necessary to protect public health and nutrition, and to promote the public interest in sectors of vital importance to their socioeconomic and technological development, provided that such measures are consistent with the provisions of this Agreement. Dimana pernyataan tentang protect public health should be consistent with the provisions of this Agreement memberikan perlindungan yang lebih kecil terhadap kesehatan publik dibandingkan dengan pengecualian-pengecualian

42

t Hoen E, The Declaration on TRIPS and Publik Health: A Step in the Right Direction., Bridges, ICTSD, 2001, year 5, no.9, hlm.11, [19/11/2009]

56

menurut pasal XX (b) GATT, SPS (Sanitary and Phytosanitary Measures), dan TBT (Technical Barriers to Trade agreements)43. Deklarasi Doha, memperluas ruang lingkup dari apa yang dinyatakan dalam kalimat akhir pasal 8.1 TRIPS yaitu hak kekayaan intelektual dapat mengesampingkan kesehatan masyarakat. Dimana tidak seperti pasal XX (b) GATT, SPS, serta TBT yang memberikan perlindungan yang lebih kecil terhadap kesehatan masyarakat. Berdasarkan Paragraf 5 Deklarasi Doha bahwa bentuk fleksibilitas kesehatan publik yang diakui menurut paragraf tersebut yaitu44: a. Paragraf 5(a): Penafsiran (Interpretation) Tujuan dari negara-negara berkembang mengajukan sub-paragraf 5(a) Deklarasi Doha adalah untuk menekankan pentingnya Pasal 7 dan 8 dalam penafsiran perjanjian, khususnya dengan mempertim