Upload
defriyan-ramzi
View
6
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Tetanus Tinjauan Pustaka
Citation preview
Patoogenesis
C.tetani memerlukan tekanan oksigen yang rendah untuk berkembang biak
dan bermultiplikasi. Pada keaadaan dimana jaringan sehat kaya oksigen, pertumbuhan
dan multiplikasi tidak terjadi dan spora dihilangkan oleh fagosit.
C.tetani memproduksi 2 toksin, tetanospamin dan tetanolisisn. Tetanolisin
tidak berhubngan dengan pathogenesis penyakit tetanospamin adalah neurotoksin
yang mengakibatkan manifestasi dari penyakit tersebut.
Tetanospamin adalah protein tunggal dengan berat molekul 150 kDa, yang
terbagi menjadi 2 rantai, rantai berat (100 kDa) dan rantai ringan (50 kDa),
dihubungkan oleh ikatan disulfida. Toksin ini ditransportasikan secara intra axonal
menuju nuclei motoric dari saraf pusat. Sekuensi asam amino dari tetanospamin ini
identic dengan toksin yang dihasilkan Clostridium botulism, namun pada C.botulism,
toksin tidak ditransportasikan ke susuan saraf pusat sehingga memiliki gejala klini
yang berbeda.
Tetanospamin masuk ke susunan saraf pusat melalui otot dimana terdapat
terdapat suasan anaerobic yang memungkinkan C.tetani untuk hidup dan
memproduksi toksin. Lalu, setelah masuk ke susunan saraf perifer, toksin akan
ditransportasikan secra retrograde menuju saraf presinaptik dimana toksin tersebut
bekerja.
Toksin tersebut akan menghambat pelepasan transmitter inhibisi dan secara
efektif menghambat inhibisi sinyal interneuron. Tapi khususnya toksin tersbut
menghambat pengeluaran Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang spesifik
menginhibisi neuron motoric. Hal tersebut akan mengakibatkan aktivasi tidak
teregulasi dari system saraf motoric. Selain system saraf motoric, system saraf
otonomik juga terganggu. Peningkatan katekolamin mengakibatkan komplikasi
kardiovaskular.
Gambaran dan Tanda Klinis
Setelah luka terkontaminasi dengan C.tetani, terdapat masa inkubasi selama
beberapa hari (7-10 hari) sebelum gejala pertama muncul. Gejala yang pertama kali
muncul adalah trismus atau rahang yang terkunci.
Tetanus memiliki gejala klinik yang luas dan beragam, namun dapat dibagi
menjadi 4 tipe secara klinik yaitu tetanus generalized, localized, cephalic dan
neonatal. Tetanus generalized adalah yang paling sering dijumpai. Gejalanya adalah
trismus, kekakuan otot maseter, punggung serta bahu. Gejalan lain juga bias
didapatkan antara lain opistotonus, posisi deortikasi, seta ekstensi dari ekstremitas
bawah. Tetanus localized gejalanya meliputi kekakuan dari daerah dimana terdapat
luka, biasanya ringan dan bertahan beberapa bulan. Tetanus cephalic meliputi
gangguan otot yang diperantarai oleh susunan saraf perifer bagian bawah, biasanya
terjadi setelah kecelakaan pada daerah wajah dan leher. Sering gejalanya agak
membingungkan seperti disfagia, trismus dan focal cranial neuropathy. Namun
dengan perjalanan penyakit dapat timbul parese wajah, disfagia disertai gangguan
pada otot ekstraokular. Tetanus neonatal disebabkan oleh kurangnya hygiene selama
proses bersalin. Biasa teradi pada minggu kedua kehidupan, ditandai oleh kelemahan
dan ketidakmampuan untuk menyusu, kadang disertai opistotonus.
Tetanus juga diklasifikasikan oleh Ablett, yaitu sebaga berikut:
a. Derajat I (ringan) : trismus ringan sampai sedang, spasitas generalisata, tanpa
gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
b. Derajat II (sedang) : trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme
singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi
pernafasan lebih dari 30, disfagia ringan.
c. Derajat III (berat) : trismus berat, spasitas generalisata, spasme reflex
berkepanjangan, frekuensi pernafasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia
berat dan takikardia lebih dari 120.
d. Derajat IV (sangat berat) : derajat tiga dengan gangguan otonimik berat
melibatkan system kardiovaskuler, hipertensi berat dan takikardia terjadi
berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.
Diagnosis
Diagnosis tetanus sudah cukup kuat hanya dengan berdasarkan anamnesis
serta pemeriksaan fisik. Pemeriksaan kultur C.tetani pada luka, hanya merupakan
penunjang diagnosis. Menurut WHO, adanya trismus, atau risus sardonikus atau
spasme otot yang nyeri serta biasanya didahului oleh riwayat trauma sudah cukup
untuk menegakkan diagnosis.
Penatalaksanaan
Manajemen penanganan tetanus secara umum adalah suportif. Strategi
utamanya adalah menghambat pelepasan toksin, untuk menetralkan toksi yang belum
terikat, meminimlakan efek dari toksin dengan mempertahankan jalan napas yang
adekuat.
Imunoterapi : jika memungkinkan berikan tetanus immunoglobulin manusia
(TIG) 500 unit secara IM atau IV sesegera mungkin. Pemberian 10.000-20.000 U
equine antitoksin dosis tunggal secara intramuscular sudah cukup, namun hati-hati
erhadap reaksi anafilaktik.
Pilihan antibiotic adalah metronidazole 500 mg setiap 6 jam (IV maupun oral)
selama 7 hari. Alternative lain adalah Penicillin G 100.000-200.000 IU/kgBB/hari
secara IV, terbagi 2-4 dosis.
Untuk mengontrol spasme otot, golongan benzodiazepine dapat digunakan.
Diazepam dapat ditingkatkan dititrasi perlahan 5 mg atau lorazepam 2 mg, sampai
tercapai control spasme tanpa sedasi maupun depresi napas yang berlebihan
(maksimal 600mg/hari). Pada anak dosis dapat dimulai dari 0,1-0,2 mg/kgBB,
ditinngkatkan sampai tercapai control spasme yang baik. Magnesium sulfat dapar
digabung dengan benzodiazepine dengan dosis loading 5 gram (75mg/kgBB) secara
IV, dilanjutkan dengan dosis 2-3gram/jam sampai spasme terkontrol. Jika reflex
patellar menghilang, maka dosis perlu diturunkan. Dapat juga digunakan
klorpromasin (50-150mg IM tiap 4-6jam pada dewasa, atau 4-12mg IM, tiap 4-6jam
pada anak).
Pada tetanus kita harus mengontrol jalan napas karena obat-obatan dapat
menyebabkan depresi jalan napas. Dapat digunakan ventilator atau trakeostomi pada
saat spasme. Pemberian cairan dan nutrisi juga perlu untuk mempercepat proses
penyembuhan.
Pencegahan
Rekomendasi WHO adalah dilakukan imunisasi 3 dosis awal saat infan,
booster pertama saat umur 4-7 serta 12-15 tahun dan booster terakhir pada saat
dewasa. CDC merekomendasikan booster tambahan saat umur 14-16 bulan disertai
booster setiap 10 tahun. Pada orang dewasa yang menerima imunisasi saat masih
anak-anak, namun tidak mendapat booster, direkomendasikan menerima dosis
imunisasi 2 kali dengan selang 4 minggu.
Prognosis
Faktor-Faktor Prognosis yang Menunjukkan Perburukan Penyakit Tetanus
Tetanus Dewasa Neonatal Tetanus
Umur lebih dari 70 tahun Kejadian umur yang muda, kelahiran
premature
Periode inkubasi < 7 hari Periode inkubasi < 6 hari
Waktu saat awal gejala wal muncul
sampai penanganan di rumah sakit
Keterlambatan penanganan di rumah
sakit
Adanya luka bakar, luka bekas operasi Hygiene yang buruk saat proses kelahiran
yang kotor
Onset periode < 48 jam
Frekuensi jantung > 140x/menit
Tekanan darah sistolik > 140mmHg
Spasme yang berat
Temperature > 38,5 derajat celcius
Komplikasi
Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan jalan napas,
sehingga pada tetanus yang berat terkadang memerlukan ventilator. Kejang yang
berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan fraktur dari tulang spinal seta
rhabdomiolisis yang sering diikuto gagal ginjal akut. Salah satu komplikasi yang agak
sulit ditangani adalah gangguan otonom, karena pelepasan katekolamin yang tidak
terkontrol. Gangguan otonom ini meliputi hipertensi dan takikardi yang kadang
berubah menjadi hipotensi dan bradikardia. Pasien dengan tetanus juga berisiko
terkena infeksi nosocomial dikarenakan perawatan memerlukan waktu yang lama.
Komplikasi Tetanus
Sistem Komplikasi
Jalan nafas Aspirasi
Laringospasme
Respirasi Apnea
Hipoksia
Gagal nafas tipe 1 (atelectasis, aspirasi, pneumonia)
Gagal nafas tipe 2 (spasme laryngeal, sedasi berlebihan)
ARDS
Komplikasi trakeostomi (seperti stenosis trakea)
Kardiovaskular Takikardia, hipertensi, iskemia, hipotensi, bradikardia, takiritmia,
bradiritmia, asistol, gagal jantung.
Ginjal Stasis urin dan infeksi
Gastrointestinal Stasis gaster
Ileus
Diare
Perdarahan
Lain-lain Penurunan berat badan
Tromboembolus
Sepsis dengan gagal organ multiple
Fraktur vertebra
Rupture tendon