Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ABSTRAK
Secara geografis, sebagian besar sarana akomodasi pariwisata di Provinsi
Bali beserta fasilitas penunjangnya terkonsentrasi pada kawasan sempadan pantai.
Mengingat kawasan sempadan pantai tergolong kawasan ruang terbuka hijau dan
ruang publik, maka diperlukan suatu pengaturan terhadap penetapan batas
sempadan pantai beserta pemanfaatannya. Terkait hal tersebut, Pemerintah
Provinsi Bali telah mengundangkan dan mengatur lebih lanjut mengenai kawasan
sempadan pantai melalui Perda Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2015 tentang
Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi. Lebih lanjut, Pemerintah
Kabupaten/Kota kemudian diberikan pelimpahan kewenangan untuk menetapkan
batas sempadan pantai. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang
dikemukakan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah kewenangan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan Batas Sempadan Pantai?;
dan (2) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas sempadan pantai?.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Jenis
pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan (The Statute
Approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical Conceptual
Approach). Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: deskripsi,
kontruksi, interprestasi, evaluasi, argumentasi dan sistematisasi.
Pasal 48 huruf d Perda Nomor 8 Tahun 2015 tentang Arahan Peraturan
Zonasi Sistem Provinsi disebutkan bahwa dalam menetapkan batas sempadan
pantai ada beberapa tolak ukur atau parameter-parameter yang dapat dijadikan
pertimbangan hukum oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam
mengeluarkan kebijakan daerah terkait penetapan batas sempadan pantai
berdasarkan kondisi eksisting pemanfaatan ruang. Pendelegasian kewenangan
penetapan batas sempadan pantai diperoleh berdasarkan Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil dan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Secara umum disarankan
agar pelimpahan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menetapkan batas
sempadan pantai agar dituangkan secara jelas dalam Pasal 31 Undang-undang
Nomor 27 Tahun 2007 dan pada Pasal 48 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor
8 Tahun 2015 sehingga tidak bertentangan dengan Perda RTRW Provinsi Bali
maupun Perda RTRW Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Bali.
Kata kunci : Kewenangan, Penetapan Batas Sempadan Pantai.
ABSTRACT
Geographically, most Bali’s tourism accommodations with their
supporting facilities are concentrated along the coastline within the coastal border
area. Such area is classified as green open space area and public space, so that an
arrangement of coastal border delineation including how the area should be
managed is needed. Regarding this matter, Bali Provincial Government had
legislated Bali Provincial Regulation Number 8 Year 2015 of Provincial Zoning
Regulation. Furthermore, the authority to set coastal border line are delegated
from provincial government to regency/City government. Based upon the points
stated before, the present research would like to study on: (1) City/Regional
Government’s authorities in setting out coastal area boundary; and (2) Legal
considerations of setting out coastline area boundary.
This study is a normative legal research which examines the basic law
principles and synchronization level amongst laws by using two approaches,
namely The Statue Approach and Analytical Conceptual Approach. The analysis
techniques used are description, construction, interpretation, evaluation,
argumentation and systematization.
Article 48 Letter d of Bali Provincial Regulation Number 8 Year 2015 of
Provincial Zoning Regulation mentioned some parameters to be used as legal
considerations by the local governments in issuing a public policy in relevant to
coastal area boundary determination which should be based on the existing
condition of the space utilization. Furthermore, the delegation of authority to set
coastal border line is based on Act Number 26 Year 2007 of Spatial Planning, Act
Number 27 Year 2007 of Coastal Area and Small Islands Management and Act
Number 23 Year 2014 of Local Government. In conclusion, it is recommended
that authority delegation to the regional/city government should be clearly stated
in Article 31 of Act 27 Year 2007 and Article 48 of Provincial Regency
Regulation Number 8 Year 2015 so that it is not contradicted with the Provincial
and Regional/City Spatial Plan.
Keywords: authority, determination of coastal area boundary
RINGKASAN
Tesis ini merupakan hasil penelitian penulis mengenai “Kewenangan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Dalam Menetapkan Batas Kawasan
Sempadan Pantai Berdasarkan Kondisi Eksisting Pemanfaatan Ruang”. Terkait
hal tersebut, penulis tuangkan ke dalam 5 (lima) Bab yang terdiri dari Bab
Pendahuluan, Bab Tinjauan Umum, Bab Pembahasan Inti Permasalahan yang
dituangkan dalam Bab ketiga dan keempat, serta Bab Penutup sebagai Bab
terakhir yang berisi simpulan dan saran dari hasil penelitian ini.
Pada BAB I merupakan bagian pendahuluan dari tesis yang memuat
permasalahan yang akan dikaji dalam tesis ini, dengan terlebih dahulu akan
diuraikan mengenai latar belakang penulis dalam meneliti permasalahan tersebut
yaitu : Perkembangan pembangunan di Daerah Provinsi Bali yang sedemikian
cepat khusunya pembangunan sarana akomodasi dan fasilitas penunjang lainnya
telah banyak merambah kawasan sempadan pantai. Berkaitan dengan hal tersebut,
Pemerintah Provinsi Bali telah mengundangkan Perda Provinsi Bali Nomor 16
Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali. Khusus
mengenai kawasan sempadan pantai pada Pasal 50 ayat (4) Perda Tata Ruang
Provinsi Bali disebutkan bahwa sempadan pantai ditetapkan dengan kriteria :
daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 (seratus) meter dari
titik pasang air laut tertinggi ke arah darat, Wewenang Pemerintah Daerah
Provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah Provinsi disamping
menyusun perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang wilayah
Provinsi, Pemerintah Daerah Provinsi juga wajib untuk menyusun Arahan
Peraturan Zonasi yang merupakan turunan dari Perda RTRW Provinsi Bali, dalam
rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi. Terkait hal tersebut,
Pemerintah Provinsi Bali telah mengundangkan dan mengatur lebih lanjut
mengenai kawasan sempadan pantai melalui Perda Provinsi Bali Nomor 8 Tahun
2015 tentang Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi. Pada Pasal 48 huruf c
disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menetapkan batas sempadan
pantai melalui Peraturan Bupati/Walikota tentang penetapan batas sempadan
pantai setelah dilakukan kajian teknis. Ketentuan tersebut memiliki norma kabur
(vague van normen), sehingga akan menimbulkan penafsiran-penafsiran hukum
terkait penetapan batas kawasan sempadan pantai. Berdasarkan hal tersebut,
adapun permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam
Menetapkan Batas Sempadan Pantai ?, 2. Apakah yang menjadi dasar
pertimbangan hukum Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam Menetapkan
Batas Sempadan Pantai ?
BAB II merupakan Bab yang berisi tinjauan umum secara garis besar
mengenai inti permasalahan yang akan membantu dalam membangun analisis
untuk memperoleh jawaban dari permasalahan yang dikemukakan. Dalam subbab
pertama akan terlebih dahulu diuraikan mengenai Pengertian, Fungsi dan Manfaat
Kawasan Sempadan Pantai serta Pengaturan Batas Sempadan Pantai, kemudian
pada subbab kedua diuraikan mengenai Kondisi Eksisting Pemanfaatan Ruang
pada Kawasan Sempadan Pantai
BAB III merupakan Bab yang berisi pembahasan terhadap permasalahan
pertama dalam penelitian ini yaitu mengenai Sumber Kewenangan Pemerintah
Daerah Kabupaten/ Kota dalam Menetapkan Batas Sempadan Pantai, dalam
subbab pertama diuraikan terlebih dahulu secara umum mengenai Sumber-sumber
wewenang dalam Hukum Administrasi Negara. Selanjutnya pada subbab kedua
akan dideskripsikan mengenai Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
dalam Penataan Ruang. Pada Subbab terakhir dipaparkan mengenai Kewenangan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam Menetapkan Batas Sempadan Pantai.
BAB IV merupakan bagian pembahasan terhadap permasalahan
mengenai Dasar Pertimbangan Hukum Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Dalam Menetapkan Batas Sempadan Pantai, dalam subbab pertama akan
diuraikan Penetapan Batas Sempadan Pantai, pada Pasal 31 Undang-Undang
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan bahwa Pemerintah Daerah
menetapkan batas sempadan pantai yang disesuaikan dengan karakteristik
topografi, biofisik, hidrooseonografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta
ketentuan lain. Sedangkan pada Pasal 48 Perda Arahan Peraturan Zonasi Sistem
Provinsi disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menetapkan batas
sempadan pantai melalui Peraturan Bupati/Walikota tentang penetapan batas
sempadan pantai setelah dilakukan kajian teknis. Kemudian dalam subbab kedua
akan diuraikan mengenai Tolak ukur atau parameter-parameter yang dijadikan
pertimbangan hukum dalam menetapkan Batas Sempadan Pantai yaitu : topografi,
biofisik, hidro-oceanografi pesisir, kebutuhan ekonomi, budaya setempat, potensi
bencana alam, kedudukan pantai, keberadaan bangunan pengaman pantai dan
kondisi eksisting pemanfaatan ruang. Pada Subbab terakhir dipaparkan mengenai
Kebijakan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menetapkan Batas Sempadan
Pantai berdasarkan Kondisi Eksisiting Pemanfaatan Ruang yang menjadi dasar
pertimbangan hukum dalam menetapkan batas sempadan pantai kurang dari
100 m (seratus meter).
BAB V merupakan bab terakhir dan bab penutup yang berisi kesimpulan
dari permasalahan yang dibahas dalam tesis, yang diperoleh dari uraian pada Bab-
Bab terdahulu. Simpulan pertama yaitu Sumber kewenangan Pemerintah
Kabupaten/Kota dalam penetapan batas sempadan pantai adalah melalui adanya
pendelegasian kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan
meliputi : Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
Undang – Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Rencana Wilayah Peisisir dan
Pulau – pulau Kecil, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas
Sempadan Pantai, Perda Nomor 16 Tahun 2009 tentang RTRW Provinsi Bali dan
Perda Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Arahan Peraturan Zonasi Provinsi Bali.
Simpulan kedua yaitu adanya beberapa tolak ukur atau parameter-parameter yang
dijadikan pertimbangan hukum oleh Pemerintah Kabupaten/Kota untuk
mengeluarkan kebijakan daerah dalam menetapkan batas sempadan pantai
berdasarkan kondisi eksisting pemanfaatan ruang. Disamping itu, selain
mempertimbangkan beberapa parameter-parameter tersebut diharapkan juga
memperhatikan berubahnya luasan garis sempadan pantai serta kondisi eksisting
pemanfaatan ruang terhadap bangunan lain yang telah ada dan/atau bangunan
yang telah memiliki izin yang diterbitkan berdasarkan ketentuan yang berlaku.
DAFTAR ISI
Halaman Sampul Dalam .......................................................................................... i
Halaman Persyaratan Gelar Magister...................................................................... ii
Halaman Lembar Pengesahan ................................................................................ iii
Halaman Penetapan Panitia Penguji Tesis ............................................................. iv
Halaman Surat Pernyataan Bebas Plagiat ............................................................... v
Halaman Ucapan Terima Kasih ............................................................................. vi
Halaman Abstrak ..................................................................................................... x
Halaman Abstract ................................................................................................... xi
Ringkasan .............................................................................................................. xii
Daftar Isi................................................................................................................ xv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................ 115
1.3. Ruang Lingkup Masalah ...................................................................... 115
1.4.1. Tujuan Umum .................................................................................. 16
1.4.2. Tujuan Khusus ................................................................................. 17
1.5. Manfaat Penelitian .................................................................................. 17
1.5.1. Manfaat Teoritis ............................................................................... 17
1.5.2. Manfaat Praktis ................................................................................ 17
1.6. Orisinalitas Penelitian ............................................................................. 18
1.7. Landasan Teoritis ................................................................................... 19
1.7.1 Teori Negara Hukum........................................................................ 20
1.7.2 Teori Penjenjangan Norma .............................................................. 21
1.7.3 Teori Kewenangan ........................................................................... 24
1.7.4 Konsep Pembangunan Berkelanjutan .............................................. 27
1.8 Metode Penelitian. .................................................................................. 32
1.8.1 Jenis Penelitian ................................................................................. 33
1.8.2 Jenis Pendekatan .............................................................................. 35
1.8.3 Sumber Bahan Hukum ..................................................................... 35
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................................... 37
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ........................................................ 38
BAB II TINJAUAN UMUM KAWASAN SEMPADAN PANTAI ................ 42
2.1. Kawasan Sempadan Pantai ..................................................................... 42
2.1.1. Pengertian Sempadan Pantai ............................................................ 42
2.1.2 Fungsi dan Manfaat Kawasan Sempadan Pantai ............................. 47
2.1.3 Pengaturan Batas Kawasan Sempadan Pantai.................................. 52
2.2. Kondisi Eksisting Pemanfaatan Ruang pada Kawasan Sempadan
Pantai ...................................................................................................... 60
BAB III SUMBER KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH
KABUPATEN/ KOTA DALAM MENETAPKAN BATAS SEMPADAN
PANTAI ............................................................................................................... 64
3.1. Sumber-sumber wewenang dalam Hukum Administrasi Negara .......... 64
3.2. Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam Penataan
Ruang. .................................................................................................... 86
3.3. Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam Menetapkan
Batas Sempadan Pantai. ....................................................................... 117
BAB IV DASAR PERTIMBANGAN HUKUM PEMERINTAH DAERAH
KABUPATEN/KOTA DALAM MENETAPKAN BATAS SEMPADAN
PANTAI ............................................................................................................. 126
4.1. Penetapan Batas Sempadan Pantai. ...................................................... 126
4.2. Tolak ukur yang dijadikan pertimbangan dalam menetapkan Batas
Sempadan Pantai.................................................................................. 138
4.3. Kebijakan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam Menetapan Batas
Sempadan Pantai berdasarkan Kondisi Eksisiting Pemanfaatan
Ruang ................................................................................................... 164
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 192
5.1. Kesimpulan. .......................................................................................... 192
5.2. Saran ..................................................................................................... 193
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Istilah ekologi saat ini semakin popular, karena bila terjadi kerusakan
atau pencemaran lingkungan, maka pikiran seketika tertuju kepada persoalan
ekologi. Kerumitan persoalan ekologi saat ini, karena ada kecendrungan manusia
memisahkan masalah lingkungan hidup dengan manusia, masalah manusia bukan
merupakan bagian yang terintegrasi dengan lingkungan.1 Sedangkan ekologi dan
ilmu lingkungan merupakan satu kesatuan yang mempunyai hubungan erat antara
keduanya. Ilmu lingkungan mempelajari tempat dan peranannya itu, sedangkan
ekologi mempelajari susunan serta fungsi seluruh mahluk hidup dan komponen
kehidupannya. Jadi, ilmu lingkungan dapat dikatakan sebagai ekologi terapan
(applied ecology) yakni bagaimana menerapkan berbagai prinsip dan ketentuan
ekologi itu dalam kehidupan manusia, atau ilmu yang mempelajari bagaimana
manusia harus menempatkan dirinya dalam ekosistem atau dalam lingkungan
hidupnya2.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka salah satu komponen lingkungan
yang mempunyai hubungan erat dengan ekologi adalah ekosistem. Menurut Otto
Soemarwoto, suatu konsep sentral dalam ekologi adalah ekosistem, yaitu :
Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara
mahluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem terbentuk oleh
1 Supriadi, 2008, Hukum Lingkungan di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika Offset,
Jakarta, h.1. 2 Soerjani, 1987, Lingkungan : Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam
Pembangunan, Universitas Indonesia Press, Jakarta, h.2.
komponen hidup dan tidak hidup disuatu tempat yang berinteraksi
membentuk suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan itu terjadi oleh
adanya arus antara komponen dalam ekosistem itu. Masing-masing
komponen itu mempunyai fungsi atau relung. Selama masing-masing
komponen itu melakukan fungsinya dan bekerja sama dengan baik, maka
keteraturan ekosistem itupun terjaga.3
Dari uraian tersebut diatas, salah satu komponen lingkungan hidup yang
memegang kunci dalam ekosistem adalah manusia. Kesadaran manusia atas
lingkungan hidup diharapkan semakin lama semakin meningkat sehingga
kelestarian fungsi ekosistem tersebut dapat terjaga. Mengingat lingkungan hidup
mempunyai keterbatasan dalam melakukan proses kehidupannya atau daya
dukung dari lingkungan itu sendiri.
Mencermati secara seksama mengenai unsur yang termasuk dalam
lingkungan yang mencakup semua mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, maka
dapat dikatakan bahwa lingkungan merupakan sumber daya, hal ini dapat dilihat
dari karakter dan sifatnya yang sangat kompleks dan memenuhi semua unsur yang
terdapat dalam isi alam ini. Lingkungan sebagai sumber daya merupakan asset
yang dapat diperlukan untuk mensejahterakan masyarakat. Hal ini sesuai dengan
amanat dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) yang menyatakan bahwa
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lingkungan sebagai sumber daya
mengandung arti bahwa dalam realitasnya lingkungan merupakan sumber daya
yang memiliki kemampuan dalam melakukan regenerasi pada dirinya, apabila
3 Otto Soemarwoto, 1994, Ekologi Lingkungan dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta,
(Edisi Revisi), h. 24.
terhadap sumber daya lingkungan yang tidak dapat diperbaharui. Dalam menata
lingkungan sebagai sumber daya, maka yang perlu dilakukan adalah agar
melakukan pengelolaan dengan bijaksana.4
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut Undang-Undang Lingkungan
Hidup), filosofinya bertumpu pada pengelolaan. Inti dari Undang-Undang
Lingkungan Hidup ini adalah bagaimana melakukan manajemen terhadap
lingkungan tersebut dengan kata lain bahwa lingkungan tersebut dapat dikelola
dengan melakukan manajemen. Pendekatan manajemen lingkungan
mengutamakan kemampuan manusia dalam mengelola lingkungannya, sehingga
pandangan tersebut harus dirubah dengan melakukan sebuah pendekatan dengan
ramah lingkungan.5
Menurut Otto Soemarwoto, ramah lingkungan haruslah juga bersifat
mendukung pembangunan ekonomi. Dengan kata lain, sikap dan kelakuan
prolingkungan hidup tidak boleh bersifat anti pembangunan ekonomi.6 Pada
dasarnya usaha itu dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu sebagai berikut :
1. Melalui Instrumen Pengaturan dan Pengawasan, tujuannya untuk
mengurangi pilihan pelaku dalam usaha pemanfaatan lingkungan hidup
misalnya : zonasi, preskripsi teknologi tertentu dan pelarangan kegiatan
yang merusak lingkungan hidup;
2. Melalui Instrumen Ekonomi, tujuannya untuk mengubah nilai untung
relative terhadap rugi bagi pelaku dengan memberikan insentif dan
disinsentif ekonomi; dan
4 Supriadi, op. cit., h.4.
5 Ibid, h. 32
6 Otto Soemarwoto, 2001, Atur Diri Sendiri, Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 92.
3. Melalui Instrumen Persuasif, tujuannya untuk mengubah persepsi
hubungan manusia dengan lingkungan hidup kearah memperbesar untung
relative terhadap rugi.7
Instrumen pengaturan dan pengawasan terhadap lingkungan hidup
sangatlah penting dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi maupun
Pemerintah Kabupaten/Kota dengan membuat peraturan dan mengawasi
kepatuhan pelaksanaannya serta adanya sanksi tindakan hukum bagi kegiatan
yang dapat merusak lingkungan hidup. Dengan demikian, bila disimak dengan
seksama ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup,
kekuasaan pemerintah terhadap pengelolaan perencanaan dan pemanfaatan
sumber daya alam semakin kuat. Keterlibatan Pemerintah dalam mengatur dan
mengelola lingkungan hidup berkonsekuensi memunculkan suatu kebijakan di
bidang lingkungan yang bersifat regulatif. Salah satu perencanan Pemerintah
dalam mengelola lingkungan hidup adalah melalui perencanaan zonasi.
Perencanaan zonasi (perencanaan tata ruang) baik dalam bentuk
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
maupun Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota sangatlah penting untuk
perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang serta guna menghindari
adanya konflik-konflik pemanfaatan ruang dalam pembangunan khususnya
terhadap pemanfatan kawasan sempadan pantai. Konflik tersebut dapat dihindari
melalui perencanaan yang matang, dimana masing-masing zona diberikan
peruntukan tertentu dan diletakkan sedemikian rupa, agar fungsi utama kawasan
tidak rusak serta kepentingan umum atau ruang publiknya tidak tergangu. Dengan
7 Ibid., h. 92-94.
perencanaan tata ruang yang matang diharapkan keberlangsungan fungsi
lingkungan hidup serta pemanfaatan ruang yang ada dapat berjalan beriringan,
sehingga estetika lingkungan dapat dijaga serta pencemaran terhadap lingkungan
dapat dicegah.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(selanjutnya disebut Undang-Undang Penataan Ruang) pada Pasal 3 disebutkan
bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang
Wilayah Nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan
buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan
sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Dalam menciptakan ruang Wilayah Nasional yang aman, nyaman, produktif dan
berkelanjutan, diharapkan mampu mengoptimalkan kepentingan antar pelaku
pembangunan dalam kegiatan pemanfaatan ruang serta mampu memadukan
secara parsial fungsi-fungsi kegiatan baik antar sektor maupun antar wilayah.
Undang-Undang Penataan Ruang, pada hakekatnya merupakan pedoman
pengaturan bagi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Unsur perencanaan ruang merupakan hal terpenting karena dari ketentuan tersebut
dapat melakukan seleksi pada semua kegiatan yang berhubungan dengan ruang.
Makna ruang merupakan wadah atau tempat atau lingkungan jika dikaitkan
dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang, dengan semua
benda, daya keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain.
Wewenang Pemerintah Daerah Provinsi dalam pelaksanaan penataan
ruang wilayah Provinsi sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 Undang-Undang
Penataan Ruang meliputi: perencanaan tata ruang wilayah Provinsi, pemanfaatan
ruang wilayah Provinsi dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi.
Dalam pelaksanaan wewenangnya Pemerintah Daerah Provinsi wajib untuk
menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan: rencana umum dan rencana
rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah Provinsi,
arahan peraturan zonasi sistem Provinsi yang disusun dalam rangka pengendalian
pemanfaatan ruang wilayah Provinsi dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan
ruang serta melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, salah satu urusan wajib yang
dilaksanakan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah
penataan ruang, sehingga masing-masing Kabupaten/Kota dan Provinsi
berwenang untuk membentuk pengaturan tata ruang di wilayahnya dengan
mempertimbangkan bahwa urusan tata ruang adalah termasuk urusan
pemerintahan yang dibagi bersama antara tingkatan dan/susunan pemerintahan.8
Kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota terkait penataan ruang juga diatur dalam Undang-Undang
8 Arya Sumerthayasa, 2013, Perencanaan Wilayah Kota Yang Berwawasan Lingkungan
Dan Berbasis Kearifan Lokal, Makalah Seminar Regional diselenggarakan oleh Program
Pascasarjana Universitas Warmadewa, di Program Pascasarjana Universitas Warmadewa,
Denpasar 10 Juli 2013, Bali, h.4.
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (yang selanjutnya disebut
Undang-Undang Pemerintahan Daerah). Pada Pasal 9 Undang-Undang
Pemerintahan Daerah menyebutkan urusan Pemerintahan terdiri atas urusan
Pemerintahan Absolut yaitu urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat, urusan Pemerintahan Konkuren yaitu urusan
Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan
Daerah Kabupaten/Kota serta menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah, dan
urusan Pemerintahan Umum yaitu urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangan Presiden sebagai kepala Pemerintahan. Terkait kewenangan
Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam perencanaan,
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang merupakan urusan
Pemerintahan Konkuren yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, pada
Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan
Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi:
a. pendidikan;
b. kesehatan;
c. pekerjaan umum dan penataan ruang;
d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
e. ketenteraman, ketertiban umum dan pelindungan masyarakat; dan
f. sosial.
Penyusunan penataan ruang yang merupakan urusan Pemerintahan
Konkuren antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi serta
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota agar didasarkan pada prinsip akuntabilitas,
efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis Nasional. Mengingat
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan Pemerintahan oleh
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 UUD NRI Tahun 1945.
Provinsi Bali yang sebagian besar dikelilingi oleh pantai mempunyai
luasan wilayah mencapai 5.634,40 Ha dengan panjang pantai seluas 529 Km dari
panjang pantai tersebut yang menjadi kawasan sempadan pantai seluas 6,289 Ha,
dengan prosentase terhadap luas wilayah Provinsi Bali sekitar 1,12%.9 Wilayah
pantai di Bali sebagian besar merupakan daerah tujuan pariwisata dan hampir
semua sarana akomodasi pariwisata berada di wilayah pantai. Kawasan sempadan
pantai merupakan kawasan perlindungan setempat sepanjang pantai yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian dan kesucian
pantai, keselamatan bangunan dan ketersediaan ruang untuk lalu lintas umum.10
Dalam pemanfaatan kawasan sempadan pantai diharapkan tetap
memperhatikan asas keserasian, keselarasan dan keseimbangan. Pemanfaatan
lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan
ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta pelestarian ekosistem kawasan
pantai. Kawasan Pantai di Bali mempunyai karakter pantai yang berbeda-beda,
baik yang sebagian besar dimanfaatkan untuk kegiatan yang berfungsi ekonomi
maupun yang berfungsi utama sebagai kawasan perlindungan setempat. Pada
penjelasan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Penataan Ruang sempadan pantai
termasuk dalam kawasan perlindungan setempat dikarenakan kawasan sempadan
9 Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Bali (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2009 Nomor 16). 10
Ibid.
pantai merupakan kawasan dengan ekosistem yang khas dan memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi serta menyangga kehidupan masyarakat
pantai, disamping merupakan ruang terbuka hijau (RTH) yang difungsikan
sebagai ruang publik, kegiatan sosial budaya maupun rekreasi wisata. Wilayah
yang disebut sebagai sempadan pantai tersebut harus dijadikan kawasan
konservasi. Dalam Ketentuan Kepres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung, diatur perlindungan sempadan pantai sejauh 100 meter.
Ketentuan tersebut hendaknya ditindaklanjuti dengan aturan-aturan pelaksana
dibawahnya baik di tingkat Pusat maupun tingkat Daerah. Hal ini juga
merupakan salah satu tujuan dari Undang-Undang Lingkungan Hidup yaitu
mencapai keserasian, keselarasan dan keseimbangan lingkungan hidup serta
menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai
bagian dari hak asasi manusia khususnya di kawasan sempadan pantai.
Pesisir atau wilayah pantai merupakan wilayah yang sangat rentan
terhadap perubahan, baik perubahan alam maupun perubahan akibat ulah
manusia. Perubahan ulah manusia dalam menciptakan ruang terbangun atau
sumber daya buatan yang terdiri dari unit ruang privat yaitu bangunan dengan
kaplingnya (cell) dan ruang publik berupa jaringan jalan dan ruang terbuka
(network)11
. Selain itu, kelestarian lingkungan dan ekosistem wilayah pantai yang
kaya tidak menjadi prioritas utama lagi. Salah satu faktor penyebab terjadinya
perubahan di wilayah pantai adalah adanya berbagai aktifitas kegiatan ekonomi,
hal ini dapat dilihat dengan tingginya laju pertumbuhan sarana akomodasi
11
Soetomo, Sugiono, 2005, Sistem Pembangunan Hunian Masyarakat di Wilayah
Pesisir, Workshop dan Pelatihan pembangunan Wilayah Pesisir berkelanjutan di Kabupaten Aceh
Besar, h.3.
pariwisata yang pesat disertai dengan meningkatnya intensitas pembangunan
disegala bidang, menyebabkan permasalahan dan konflik di bidang penggunaan
lahan juga semakin meningkat. Permasalahan yang paling utama adalah
terbatasnya ketersediaan lahan serta banyaknya alih fungsi lahan seiring semakin
pesatnya pembangunan sarana akomodasi pariwisata, mengingat Bali adalah
merupakan daerah tujuan wisata. Kondisi yang demikian memberikan alasan bagi
para investor untuk merambah kawasan sempadan pantai dan menjadikannya
sebagai tempat kegiatan-kegiatan berbasis ekonomi, yang sebagaian besar
merupakan kegiatan pariwisata seperti : rekreasi/wisata, bangunan hotel dan
resort, villa, restoran, pemukiman, dermaga ikan, pelabuhan dan fasilitas
penunjang pariwisata lainnya. Fenomena ini terjadi, mengingat di dalam kawasan
sempadan pantai banyak terdapat Hak Milik maupun Hak Guna Bangunan (HGB)
serta tingginya nilai jual tanah yang berada di kawasan sempadan pantai, sehingga
mengakibatkan banyak terdapat bangunan-bangunan ilegal yang berdiri pada
kawasan sempadan pantai yang ada di wilayah Provinsi Bali.
Pesatnya pembangunan di kawasan sempadan pantai yang merupakan
bagian dari fungsi ekonomi dalam pemanfatan ruang, diharapkan perencanaan
penataan ruang tidak menimbulkan kerugian ekonomi bagi masyarakat baik sektor
publik maupun swasta. Disamping itu, penetapan kawasan sempadan pantai juga
harus tetap memperhatikan fungsi sosial yang erat kaitannya dengan aspek
budaya, yang bertujuan untuk menjaga keberlangsungan budaya dari sebuah
masyarakat sehingga masyarakat tetap bisa eksis untuk menjalankan kegiatan
sosial keagamaan, sehingga kawasan sempadan pantai sebagai ruang terbuka bagi
publik atau sebagai fasilitas umum dapat difungsikan secara bersama-sama.
Wilayah pantai dapat dipahami sebagai wilayah tempat bertemunya berbagai
kepentingan, baik pemerintah, pengusaha maupun masyarakat dalam rangka
memanfaatakan wilayah pantai dan sumber daya alam yang terkandung di
dalamnya. Dalam kaitan ini, pemanfaatan sumber daya pantai dan ekosistemnya
melalui peraturan perundang-undangan memiliki kedudukan penting dalam upaya
memperkecil, mencegah atau bahkan menghindari terjadinya tumpang tindih
kewenangan dan benturan kepentingan. Untuk itu, diperlukan adanya regulasi
atau peraturan yang mengatur pemanfaatan ruang pada kawasan sempadan pantai.
Perkembangan pembangunan di Daerah Provinsi Bali yang sedemikian
cepat khusunya pembangunan sarana akomodasi dan fasilitas penunjang lainnya
telah banyak merambah kawasan sempadan pantai. Berkaitan dengan hal tersebut,
Pemerintah Provinsi Bali telah mengundangkan Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali.
(selanjutnya disebut Perda Tata Ruang Provinsi Bali), pada Pasal 3 Perda Tata
Ruang Provinsi Bali disebutkan bahwa tujuan Penataan ruang wilayah Provinsi
adalah untuk : a. mewujudkan ruang wilayah Provinsi yang berkualitas, aman,
nyaman, produktif, berjatidiri, berbudaya Bali, dan berwawasan lingkungan
berlandaskan Tri Hita Karana, b. keterpaduan perencanaan Tata Ruang Wilayah
Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, c. keterpaduan pemanfaatan ruang darat,
ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, d. keterpaduan
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam
rangka perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
lingkungan dan budaya Bali akibat pemanfaatan ruang, e. pemanfaatan sumber
daya alam secara berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, f.
keseimbangan dan keserasian perkembangan antar wilayah Kabupaten/Kota, g.
keseimbangan dan keserasian kegiatan antarsektor, dan h. pemanfaatan ruang
yang tanggap terhadap mitigasi dan adaptasi bencana.
Khusus mengenai kawasan sempadan pantai pada Pasal 50 ayat (4) Perda
Tata Ruang Provinsi Bali disebutkan Sempadan pantai ditetapkan dengan kriteria:
a. daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 (seratus)
meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat;
b. daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya
curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi
fisik pantai; dan
c. Gubernur menetapkan pedoman penyelenggaraan penanggulangan abrasi,
sedimentasi, produktivitas lahan pada daerah pesisir pantai lintas
kabupaten/kota.
Kesesuaian terkait pengaturan sempadan pantai seperti tersebut diatas, telah
mengacu pada aturan yang lebih tinggi diatasnya yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(selanjutnya disebut RTRW Nasional), sehingga hirarki pengaturan garis
sempadan pantai sudah mengacu pada Pasal 56 ayat (1) RTRW Nasional yang
menetapkan garis sempadan pantai dengan kreteria :
a. daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 (seratus)
meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat; atau
b. daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya
curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi
fisik pantai.
Kawasan sepanjang pantai ini mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi pantai, keselamatan bangunan, dan
ketersediaan ruang untuk publik. Pengecualian lebar sempadan pantai untuk
pantai-pantai yang ada di Daerah Provinsi Bali setelah mendapat kajian teknis
dari instansi dan atau pakar terkait. Kajian teknis dimaksud meliputi daya
dukung fisik alam lingkungan pantai yang sekurang-kurangnya meliputi tinjauan
geologi, geologi tata lingkungan, kemungkinan erosi dan abrasi, pengaruh
hidrologi lokal dan regional, dan rencana pemanfaatan kawasan pantai.
Wewenang Pemerintah Daerah Provinsi dalam pelaksanaan penataan
ruang wilayah Provinsi disamping menyusun perencanaan, pemanfaatan dan
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi, Pemerintah Daerah Provinsi
juga wajib untuk menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan arahan
peraturan zonasi yang merupakan turunan dari Perda Tata Ruang Provinsi Bali.
Pada Pasal 10 ayat (6) Undang-Undang Penataan Ruang disebutkan Pemerintah
Provinsi wajib menyusun Arahan Peraturan Zonasi (APZ) yang disusun dalam
rangka pengendalian tata ruang wilayah Provinsi. Terkait hal tersebut, Pemerintah
Provinsi Bali telah mengundangkan dan mengatur lebih lanjut mengenai kawasan
sempadan pantai melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2015
tentang Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi (selanjutnya disebut Perda
Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi) yang disusun dalam rangka
pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi. Dalam Pasal 48 Perda
Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi terkait Arahan Peraturan Zonasi
Sempadan Pantai, disebutkan :
a. batas sempadan pantai ditetapkan dengan tujuan untuk melindungi dan
menjaga:
1. kelestarian fungsi ekosistem dan segenap sumberdaya di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil;
2. kehidupan masyarakat di wilayah pesisir dari ancaman bencana
alam;
3. keberlangsungan pemanfaatan pantai untuk menampung kegiatan
sosial eknomi masyarakat; dan
4. keberadaan ruang publik dan akses publik menuju pantai.
b. batas sempadan pantai ditetapkan dengan mengikuti ketentuan:
1. perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami;
2. perlindungan pantai dari erosi atau abrasi;
3. perlindungan sumberdaya buatan di pesisir dari badai, banjir rob, dan
bencana alam lainnya;
5. perlindungan terhadap ekosistem pesisir
6. pengaturan akses publik;
7. pengaturan untuk infrastruktur; dan
8. perlindungan kesucian pantai dan laut.
c. pemerintah kabupaten/kota dapat menetapkan batas sempadan pantai
melalui Peraturan Bupati/Walikota tentang penetapan batas sempadan
pantai setelah dilakukan kajian teknis, yang hasil kajiannya dibahas
dalam forum konsultasi publik dan berkoordinasi dengan
Kabupaten/Kota bersebelahan, disampaikan kepada Gubernur untuk
dibahas oleh Tim Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Provinsi
dan Menteri.
d. kajian teknis yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota, harus
mempertimbangkan parameter-parameter, meliputi:
1. topografi;
2. biofisik;
3. hidro-oceanografi pesisir;
4. kebutuhan ekonomi;
5. budaya setempat;
6. potensi bencana alam;
7. kedudukan pantai;
8. keberadaan bangunan pengaman pantai; dan
9. kondisi eksisting pemanfaatan ruang.
Berdasarkan Arahan Peraturan Zonasi Sempadan Pantai tersebut diatas,
Pemerintah Daerah Provinsi Bali mendelegasikan kewenangan kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota untuk menetapkan batas sempadan pantai melalui Peraturan
Bupati/Walikota tentang Penetapan Batas Sempadan Pantai setelah dilakukan
kajian teknis, yang hasil kajiannya dibahas dalam forum konsultasi publik dan
berkoordinasi dengan Kabupaten/Kota bersebelahan, disampaikan kepada
Gubernur untuk dibahas oleh Tim Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah
Provinsi dan Menteri. Terkait ketentuan “dapat menetapkan batas sempadan
pantai melalui Peraturan Bupati/Walikota tentang penetapan batas sempadan
pantai setelah dilakukan kajian teknis” memiliki norma kabur (vague van
normen), sehingga akan menimbulkan penafsiran-penafsiran hukum terkait
penetapan batas kawasan sempadan pantai khususnya yang menjadi kewenangan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Bali.
1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas maka dapat ditarik
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam
menetapkan Batas Sempadan Pantai ?
2. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dalam menetapkan Batas Sempadan Pantai ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Untuk mempermudah penelitian tesis ini dan agar lebih terarah dan
sistematis, maka perlu kiranya dibuat suatu batasan masalah. Adapun ruang
lingkup permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian tesis ini, yaitu :
1. Penelitian ini dilaksanakan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
yang ada di Pemerintah Provinsi Bali.
2. Penelitian ini berkaitan dengan telah diundangkannya Perda Provinsi Bali
Bali Nomor 8 Tahun 2015 tentang Arahan Peraturan Zonasi Sistem
Provinsi khusunya terkait penetapan batas sempadan pantai oleh
Pemerintah Darah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali.
3. Terkait dengan penetapan batas sempadan pantai tersebut, bagaimana
kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan
batas sempadan pantai berdasarkan UU No.23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah.
4. Pengatuaran dan penetapan batas sempadan pantai sesuai ketentuan
dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No.27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
5. Parameter-parameter yang dijadikan pertimbangan hukum oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas sempadan
pantai.
6. Penelitian ini juga memperhatikan kebijakan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas sempadan pantai berdasarkan
kondisi eksisting pemanfaatan ruang yang ada.
1.4. Tujuan Penelitian
Secara garis besar dapat dikemukakan bahwa tujuan dari penelitian ini
antara lain :
1.4.1. Tujuan Umum
Adapun yang menjadi tujuan umum dari penelitian kali ini adalah untuk
mengetahui dan menganalisa tentang kewenangan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas sempadan pantai berdasarkan Perda
Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2015 tentang Arahan Peraturan Zonasi Sistem
Provinsi, sehingga dapat diimplementasikan di wilayah pantai-pantai yang
menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Bali.
1.4.2. Tujuan Khusus
Penelitian ini juga diharapkan dapat mencapai tujuan yang lebih khusus,
sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sumber kewenangan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas kawasan sempadan pantai.
2. Untuk mengetahui tolak ukur yang dijadikan pertimbangan hukum oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan Batas Sempadan
Pantai.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Secara keilmuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya kajian hukum dan
pemerintahan, maupun kajian ilmu lain terutama yang berkaitan tentang
pemanfaatan ruang dan penetapan batas kawasan sempadan pantai.
1.5.2. Manfaat Praktis
Disamping untuk mengetahui tujuan yang hendak dicapai, penelitian juga
diharapkan memberikan manfaat praktis yaitu :
1. Memberikan gambaran yang jelas terkait sumber kewenangan dan dasar
pertimbangan hukum dalam penetapan batas sempadan pantai, oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Bali.
2. Memberikan informasi dan pendapat yuridis kepada berbagai pihak, baik
kepada Masyarakat, Swasta dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
untuk mencari solusi dalam mewujudkan tujuan pemanfaatan ruang serta
dalam menetapkan batas kawasan sempadan pantai sehingga bermanfaat
dalam perencanaan pembangunan yang berkelanjutan.
1.6. Orisinalitas Penelitian
Dalam melakukan suatu penelitian, mahasiswa diwajibkan untuk mampu
menunjukkkan orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan
menampilkan tiga judul penelitian tesis atau disertasi terdahulu sebagai
pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini, peneliti akan menampilkan tiga
buah tesis terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan pemanfatan ruang dan
penetapan garis batas kawasan sempadan pantai, antara lain sebagai berikut :
a) Tahun 2009, tesis karya Edi Sahputra (Mahasiswa Program Pascasarjana
Universitas Sumatra Utara) yang berjudul TINJAUAN HUKUM
TERHADAP PENGATURAN PENGUASAAN DAN
PENGGUNAAN TANAH DI KAWASAN PANTAI (STUDI DI
KECAMATAN MEDAN BELAWAN). Dalam Tesis ini dikemukakan
dua rumusan masalah, yaitu :
1. Bagaimanakah pelaksanaan penguasaan tanah pada kawasan
sempadan pantai di Kecamatan Medan Belawan ?
2. Apakah kendala yang ditemui dalam penetapan hak atas tanah pada
kawasan sempadan pantai dan bagaimana upaya mengatasinya ?
b) Tahun 2010, tesis karya I Gusti Ngurah Wiryawan (Mahasiswa Program
Pascasarjana Universitas Udayana) yang berjudul PENEGAKAN
PERDA PROVINSI BALI NO. 4 TAHUN 1996 JO NO. 4 TAHUN
1999 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH
PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI DALAM KAITAN
DENGAN PENATAAN SEMPADAN BANGUNAN AKIBAT
ABRASI. Dalam Tesis ini dikemukakan dua rumusan masalah, yaitu :
1. Bagaimanakah kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam
penegakan ketentuan sempadan pantai terhadap bangunan yang
terdapat di kawasan pesisir ?
2. Bagaimanakah penegakan hukum ketentuan sempadan pantai
terhadap bangunan yang kedudukannya tidak memenuhi garis
sempadan pantai akibat terjadi abrasi ?
c) Tahun 2010, tesis karya I Ketut Windra (Mahasiswa Program
Pascasarjana Universitas Udayana) yang berjudul KEWENANGAN
PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN JEMBRANA DALAM
MENETAPKAN SEMPADAN PANTAI PADA KAWASAN
PARIWISATA. Dalam Tesis ini dikemukakan dua rumusan masalah,
yaitu :
1. Apakah yang menjadi sumber kewenangan Pemerintah Daerah
Kabupaten Jembrana dalam penetapan sempadan pantai di kawasan
Pariwisata ?
2. Bagaimanakah wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana
dalam menetapkan sempadan di Kawasan Pariwisata ?
1.7. Landasan Teoritis
Pada bagian ini dikemukakan pemikiran-pemikiran teoritis untuk
menjelaskan hubungan antara konsep-konsep atau variable yang akan diteliti.
Adapun teori hukum, konsep hukum, asas hukum dan norma lainnya yang akan
dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian, dapat
dikemukakan sebagai berikut :
1.7.1 Teori Negara Hukum
Gagasan, cita atau ide Negara Hukum, selalu terkait dengan konsep
rechtsstaat dan the rule of law. Menurut Julius Stahl, konsep Negara hukum yang
disebutnya dengan istilah “rechtsstaat” itu mencakup empat elemen penting
yaitu :12
1. Perlindungan hak asasi manusia;
2. Pembagian kekuasaan;
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
4. Peradilan tata usaha Negara.
Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga cirri penting dalam setiap
Negara hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule Of Law” yaitu :13
1. Supremasi hukum;
2. Persamaan dalam hukum;
3. Asas legalitas/konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan atau
the constitution based on individual rights.
Menurut Philipus M. Hadjon, dengan merujuk bahwa asas utama hukum
Konstitusi atau Hukum Tata Negara Indonesia adalah asas Negara Hukum dan
asas demokrasi serta dasar Negara Pancasila, oleh karena itu dari sudut pandang
12
Jimly Ashiddiqie, 2010, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 132 13
H. Muhamad Tahir Azhary, 2010, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-
prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan
Masa Kini, Kencana Prendana Media Group, Jakarta, h. 90
yuridisme Pancasila maka secara ideal bahwa Negara Hukum Indonesia adalah
“Negara Hukum Pancasila”14
Unsur-unsur Negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila
menurut Sri Soemantri Martosoewignjo adalah sebagai berikut :
1. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga
Negara.
2. Adanya pembagian kekuasaan Negara.
3. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya pemerintah harus
selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis.
4. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya
merdeka.15
Berdasarkan ciri-ciri atau unsur-unsur Negara hukum yang diuraikan
diatas, maka dalam hubungan dengan penelitian ini adalah untuk mengetahui
dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya pemerintah harus selalu berdasarkan
atas hukum yang berlaku (asas legalitas) baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis khususnya kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menetapkan
batas kawasan sempadan pantai.
1.7.2 Teori Penjenjangan Norma
Mengenai norma hukum menurut Hans Kelsen merupakan suatu perintah
yang sudah semestinya akan dipatuhi dan diinginkan oleh setiap orang untuk
14
I Dewa Gede Atmaja, 2010, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia
Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, h.157. 15
Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, alumni,
Bandung, h.29.
berbuat sesuai dengan aturan hukum tersebut. Sistem hukum dalam pengertian
Hans Kelsen, adalah suatu sistem hukum yang berbentuk struktur piramidis
(hierarkis). Hal ini lebih dikenal dengan sebutan Stufenbau Theorie atau tata
urutan (hierarki) norma-norma.16
Ajaran Stufenbau Theorie yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang
menganggap bahwa proses hukum digambarkan sebagai hierarki norma-norma.
Validitas (kesahan) dari setiap norma (terpisah dari norma dasar) bergantung
pada norma yang lebih tinggi.17
Hans Kelsen mengungkapkan hukum mengatur
pembentukannya sendiri karena satu norma hukum menentukan cara untuk
membuat norma hukum yang lain. Norma hukum yang satu valid karena dibuat
dengan cara ditentukan dengan norma hukum yang lain dan norma hukum yang
lain ini menjadi validitas dari norma hukum yang dibuat pertama. Hubungan
antara norma yang mengatur pembentukan norma lain lagi adalah “superordinasi
dan subordinasi”. Norma yang menentukan pembentukan norma lain adalah
norma yang lebih tinggi sedangkan norma yang dibuat adalah norma yang lebih
rendah.18
Jenjang Perundang-undangan adalah urutan-urutan mengenai tingkat dan
derajat daripada Undang-Undang yang bersangkutan, dengan mengingat badan
yang berwenang yang membuatnya dan masalah-masalah yang diaturnya.
Undang-undang juga dibedakan dalam Undang-Undang tingkat atasan dan tingkat
16
Muhamad Erwin, 2012, Filsafat Hukum : Refleksi Kritis terhadap Hukum, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h. 169. 17
Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Maullang, 2007, Pengantar Filsafat Hukum,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 83. 18
Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusamedia dan
Nuansa, Bandung, h. 179.
bawahan yang dikenal dengan hierarki. Undang-Undang yang lebih rendah
tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih
tinggi.19
Dalam penyelenggaraan pemerintah banyak ditemukan norma konflik,
antara satu peraturan yang lebih rendah dengan peraturan yang lebih tinggi,
maupun konflik norma secara horizontal antara pasal yang satu dengan pasal yang
lain dalam Undang-Undang atau antara satu Undang-Undang dengan Undang-
Undang yang lain maupun adanya norma kabur pada suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam menghadapi masalah hukum seperti ini maka
diperlukan penyelesaian dengan menggunakan asas-asas preferensi yang meliputi:
a) Lex superior derogat legi inferiori artinya, peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan berlakunya
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya.
b) Lex specialis derogat legi generali artinya, peraturan perundang-
undangan yang bersifat khusus (special) mengenyampingkan berlakunya
peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (general).
c) Lex posterior derogat legi priori artinya, peraturan perundang-undangan
yang baru mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-
undangan yang lama.20
Dalam penelitian ini asas preferensi dapat digunakan dalam membahas
norma kabur yang terdapat dalam Perda Arahan Peraturan Zonasi Sistem
Provinsi, sehingga pada teori penjenjangan norma ini yang dipergunakan adalah
Lex specialis derogat legi generali artinya, peraturan perundang-undangan yang
19
Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 131. 20
Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, h. 6-7.
bersifat khusus (special) mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-
undangan yang bersifat umum (general). Dengan kata lain, Perda Arahan
Peraturan Zonasi Sistem Provinsi ini merupakan acuan bagi Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota didalam menyusun Perda RDTR yang merupakan turunan dari
Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota serta yang menjadi acuan
dalam proses perizinan.
1.7.3 Teori Kewenangan
Teori ini peneliti kemukakan dengan maksud untuk membahas dan
menganalisis tentang kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam
menetapkan batas kawasan sempadan pantai, serta teori ini juga digunakan untuk
menganalisis “bagaimana kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam
menetapkan batas kawasan sempadan pantai”. Secara konseptual, istilah
wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda
“bevoegdheid” (yang berarti wewenang atau berkuasa).
Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata
Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru dapat
menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan
tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam
Peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi
Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara
dalam menjalankan fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang
diberikan oleh Undang-Undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan
perbuatan hukum.21
.
Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan
sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.
Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang (authority) sebagai hak atau
kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk mempengaruhi tindakan
orang lain, agar sesuatu dilakukan sesuai dengan yang diinginkan.22
Lebih lanjut
Hassan Shadhily memperjelas terjemahan authority dengan memberikan suatu
pengertian tentang “pemberian wewenang (delegation of authority)”. Delegation
of authority ialah proses penyerahan wewenang dari seorang pimpinan (manager)
kepada bawahannya (subordinates) yang disertai timbulnya tanggung jawab untuk
melakukan tugas tertentu.23
Proses delegation of authority dilaksanakan melalui langkah-langkah
sebagai berikut :
1. Menentukan tugas bawahan tersebut;
2. Penyerahan wewenang itu sendiri; dan
3. Timbulnya kewajiban melakukan tugas yang sudah ditentukan.
F.P.C.L. Tonner dalam Ridwan HR berpendapat “Overheidsbevoegdheid wordt in
dit verband opgevad als het vermogen om positief recht vast te srellen en Aldus
rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen overhead en te scheppen”
21
SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 154. 22
Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 170. 23
Ibid, h. 172.
(kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk
melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu dapat diciptakan hubungan
hukum antara pemerintahan dengan waga negara).24
Penjelasan tentang konsep wewenang, dapat juga didekati melalui telaah
sumber wewenang dan konsep pembenaran tindakan kekuasaan pemerintahan.
Teori sumber wewenang tersebut meliputi atribusi, delegasi, dan mandat.
Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam
kaitannya dengan kewenangan sebagai berikut :
Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaa yang
berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari
Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan
terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap
sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat,
sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di
dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah
kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik.
Stroink dan Steenbeek sebagaimana dikutip oleh Ridwan,
mengemukakan pandangan yang berbeda, sebagai berikut :
Bahwa hanya ada dua cara untuk memperoleh wewenang, yaitu atribusi
dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru,
sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada
(oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada
organ lain; jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi).
Mengenai mandat, tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang
atau pelimbahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan
wewenang apapun (dalam arti yuridis formal), yang ada hanyalah
hubungan internal.25
Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa:
Setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas
kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber,
24
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 100. 25
Ridwan, HR., 2003, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, UII Pres, h. 74-75
yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya
digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang
dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan
yang berasal dari “pelimpahan”. Wewenang terdiri atas sekurang-
kurangnya tiga komponen yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas
hukum. Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang
dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum, komponen
dasar hukum ialah bahwa wewenang itu harus ditunjuk dasar hukumnya,
dan komponen konformitas hukum mengandung adanya standard
wewenang yaitu standard hukum (semua jenis wewenang) serta standard
khusus (untuk jenis wewenang tertentu).
Dalam kaitannya dengan wewenang sesuai dengan konteks penelitian ini,
standard wewenang yang dimaksud adalah Kewenangan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas sempadan pantai yang bervariasi sesuai
karakteristik pantai dan kondisi eksisting pemanfaatan ruang, sehingga pengaturan
terhadap pemanfaatan ruang pada kawasan sempadan pantai dapat dilaksanakan.
1.7.4 Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan merupakan hal yang sangat didengung-dengungkan saat
ini seiring dengan perkembangan teknologi dan tuntutan globalisasi.
Pembangunan baik langsung maupun tidak langsung akan membawa pengaruh
bagi berbagai aspek kehidupan manusia dan lingkungannya. Karena
pembangunan selain dapat memenuhi kehidupan manusia akan tetapi juga bisa
berdampak buruk bagi kelangsungan kehidupan manusia itu sendiri karena
kelalaian dalam pembangunan yang tidak mengindahkan prinsip sustainable
development atau pembangunan yang berkelanjutan.
Konsep dan arah pembangunan dapat ditentukan oleh penggunaan
peraturan dan kebijakan yang berwawasan ke masa depan. Seperti ungkapan,
peranan hukum adalah sebagai alat pembaharuan masyarakat oleh Mochtar
Kusumaatmadja, Hukum haruslah menjadi panglima dalam pembangunan.26
Sedangkan wawasan yang harus diusung sebagai tujuan pembangunan nasional
masa depan adalah wawasan pembangunan yang berbasis lingkungan dengan
peraturan hukum yang memihak pada keberlangsungan lingkungan hidup.
Wawasan pembangunan berbasis lingkungan sangat relevan bila dihubungkan
dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan, karena lingkungan yang baik
dan terjaga kelestariannyalah pembangunan tersebut bisa berjalan dengan baik dan
akan terus bisa memberikan manfaat yang baik bagi kehidupan umat manusia
sekarang dan masa yang akan datang. Wawasan lingkungan harus melekat pada
kaidah sosial masyarakat sebagai hukum yang akan membangun kepribadian
masyarakat sebagai hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat dan
disesuaikan dengan pendekatan sosial budaya.27
Kemajuan teknologi dan industri
yang menjadi aspek pembangunan akan berpengaruh langsung terhadap
keberadaan dan keberlangsungan sumber daya alam yang menjadi momok bagi
perusakan lingkungan. Jika peraturan pengelolaan lingkungan tidak berwawasan
sustainable development akan membebani pembangunan di masa mendatang.
Apalagi model pembangunan nasional kita sekarang ini berbasis pada model
pertumbuhan ekonomi seperti pada konsep pembangunan bangsa Eropa pasca
Perang Dunia II. 28
26
Mochtar Kusumaatmadja, tanpa tahun, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam
Pembangunan Nasional, Penerbit Bina Cipta, Bandung, h. 2-3. 27
Ibid, h.13. 28 M.Daud Silalahi, 2003, Pembangunan Berkelanjutan Dalam Rangka Pengelolaan
Sumber Daya Alam Yang Berbasis Pembangunan Sosial Dan Ekonomi, Makalah Seminar Hukum
pembangunan Nasional VIII, BPHN.
Oleh karena itu implementasi konsep pembangunan berkelanjutan
tersebut memerlukan perubahan paradigma dan cara membangun sehingga pola
pembangunan tidak lagi bersifat konfensional, tidak semata menekankan aspek
ekonomi saja. Namun demikian perlu dan juga mempertimbangkan aspek ekologi
dan sosial.29
Peran Pemerintah sangat diperlukan dalam penegakan hukum dan sanksi
yang benar-benar bisa melindungi dari perusakan lingkungan. Kerusakan
lingkungan tidak hanya akan berdampak bencana saja, tapi juga akan bisa
berdampak pada kemiskinan dimasa mendatang jika tidak ditangani serius mulai
dari sekarang. Melalui konsep pembangunan berkelanjutan dan hukum
lingkungan kita akan dapat mencari solusi pembangunan yang berwawasan
lingkungan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan untuk kehidupan yang
bisa dinikmati masa sekarang dan yang akan datang.
Hakekat pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang
didasarkan pada tiga pertimbangan secara proporsional yaitu pertimbangan
ekonomi, pertimbangan sosial dan pertimbagan ekologi.30
Betapa pun
pembangunan dilakukan dengan ekploitasi sumber daya alam, namun fungsi
lingkungan harus tetap dilestarikan. Hal ini menjadi prinsip dasar yang harus
senantiasa diimplementasikan.
Pembangunan yang berkelanjutan merupakan suatu cita-cita semua
bangsa didunia ini yang menginginkan kemajuan teknologi dan ekonomi tidak
hanya dinikmati pada masa sekarang ini saja, tapi juga di masa yang akan datang.
29
H. Samsul Wahidin,2014, Dimensi Hukum Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Cetakan Pertama, Pusataka Pelajar, Yogyakarta, h.21. 30
Ibid, h.23
Pembangunan memiliki arti yang sangat luas bukan hanya aspek fisik tetapi
juga pembangunan sosial masyarakat. Kemudian berkembang pendapat bahwa
antara pembangunan dan lingkungan adalah sesuatu yang sangat bertentangan.
Pembangunan senantiasa dipandang sebagai tindakan yang mendegradasi
kualitas lingkungan hidup. Sementara kepentingan ekonomi mengharuskan
dilaksanakannya pembangunan, terutama pembangunan infra dan supra struktur
fisik.
Ekonomi sebagai subsistem dari lingkungan tidak berarti pertumbuhan
ekonomi tetap perlu diperhatikan karena menghentikan pertumbuhan ekonomi
dapat pula menyebabkan proses degradasi lingkungan, terutama berkaitan
dengan masalah kemiskinan, kurang tersedianya kebutuhan manusia dan
penggangguran.31
Seperti pendapat Mochtar Kusumaatmadja yang mengatakan
bahwa pembangunan ekonomi tersebut kurang tepat karena kita tidak dapat
membangun ekonomi suatu masyarakat tanpa menyangkutkan pembangunan segi-
segi kehidupan masyarakat lainnya32
. Pembangunan sosial masyarakat tidak akan
terlepas dari konsep perubahan sosial. Karena suatu pembangunan masyarakat
harus dimulai dari merubah pemikiran dan perilaku yang sudah tidak sesuai
dengan perkembangan jaman saat ini. Mengenai keteraturan, akan sangat
bergantung pada proses dalam pembangunan tersebut yang juga tak terlepas dari
peranan lembaga yang mengontrol supaya proses tersebut dapat mencapai apa
yang disebut ketertiban masyarakat. Hal ini sangat berhubungan dengan definisi
31
Ibid, h.24 32 Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan
Nasional, Penerbit Binacipta, Bandung, h.11.
hukum oleh Mochtar Kusumaatmadja yaitu “Hukum adalah keseluruhan azas-azas
dan kaedah-kaedah yang mengatur kehidupan masyarakat, termasuk didalamnya
lembaga dan proses untuk mewujudkan hukum itu kedalam kenyataan”. Atas
definisi inilah maka lebih tepat jika merujuk pada pendapat Roscoe Pound yang
dikutip Mochtar Kusumaatmadja yaitu “Law is a tool of a social engineering”,
yang diterjemahkan Hukum adalah sarana atau alat pembaharuan masyarakat33
.
Maka hukum harus menjadi garis depan dalam rangka pembangunan sosial
masyarakat yang artinya manusialah yang mengikuti perkembangan hukum bukan
hukum yang mengikuti perkembangan masyarakat. Selain itu juga norma hukum
harus tercermin dalam nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, seperti
ungkapan,”Ubi societas ubi ius”, dimana ada masyarakat disitu terdapat hukum.
Langkah selanjutnya untuk menuju kearah pembangunan berkelanjutan adalah
pembangunan berbasis lingkungan (ecodevelopment). Perkembangan teknologi
dan pertumbuhan industry akan membawa dampak langsung pada lingkungan,
terlebih lagi pada Negara-negara berkembang seperti Indonesia yang mempunyai
kekayaan alam yang sangat melimpah. Karena selama ini pembangunan ditujukan
agar pertumbuhan ekonomi mencapai taraf tertinggi hingga tidak memperdulikan
kondisi lingkungan. Permasalahan tersebut telah menjadi perhatian masyarakat
dunia dengan ditandatanganinya Deklarasi Stockholm tahun 1972.
Adapun keterkaitan Konsep tersebut diatas, dengan penilitian kali ini,
yaitu bahwa konsep pembangunan berkelanjutan mempunyai peranan yang
penting didalam menjabarkan arah pembangunan sehingga perlu dikembangkan
33
Ibid, h. 12
dan diimplementasikan pola pembangunan berkelanjutan (sustainable
development). Pengaturan dan pemanfaatan ruang pada kawasan sempadan
pantai nantinya tetap memperhatikan kondisi lingkungan yang ada disekitar
wilayah pantai, baik yang dapat dimanfaatkan dalam hal kegiatan ekonomi
maupun kegiatan sosial keagamaan. Disamping tetap menjaga lingkungan agar
tetap lestari dan nyaman ditinggali, lingkungan juga harus nantinya bisa
dimanfaatakan tidak saja untuk generasi sekarang, tetapi juga untuk generasi
mendatang.
1.8 Metode Penelitian.
Dalam rangka membuktikan kebenaran ilmiah dari penelitian ini, maka
dipandang perlu untuk mengumpulkan data dan fakta yang terkait dengan
permasalahan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian.
Menurut Soerjono Soekanto, “Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara
memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-
hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan
manusia” 34
.
Dengan demikian, penelitian akan berjalan dengan baik dan lancar sesuai
dengan rencana yang ditetapkan, karena suatu metode merupakan cara kerja atau
tata kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu pengetahuan yang
bersangkutan. Inti metodologi dalam penelitian hukum adalah menguraikan
tentang tata cara bagaimana suatu hukum harus dilakukan, sehingga penelitian
yang dilakukan adalah untuk memperoleh bahan hukum secara benar.
34
Soerjono Soekanto, 1994, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,
Jakarta, h.13.
1.8.1 Jenis Penelitian
Suatu penelitian dilakukan sebagai suatu usaha untuk menemukan,
mengembangkan, menguji kebenaran dan mencari kembali suatu pengetahuan
dengan menggunakan metode-metode ilmiah.35
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan (terutama) terhadap
bahan hukum primer dan sekunder, sepanjang bahan-bahan tersebut mengandung
kaidah hukum36
. Dalam penelitian hukum normatif menurut Jhony Ibrahim yakni
mencoba untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari
sisi normatifnya.37
Penelitian Hukum Normatif tersebut mencakup beberapa hal di dalamnya,
yaitu :
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum, dimana dilakukan terhadap hukum
positif tertulis maupun tidak tertulis. Penelitian ini dapat digunakan
untuk menarik asas-asas hukum dalam menafsirkan peraturan
perundang-undangan. Selain itu, penelitian ini juga dapat digunakan
untuk mencari asas hukum yang dirumuskan baik secara tersirat
maupun tersurat.
b. Penelitian terhadap sistematika hukum, dimana dilakukan terhadap
pengertian dasar sistematik hukum yang meliputi subyek hukum, hak dan
35
Djam Satori, Aan Komariah, 2010, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Alfabeta,
Bandung, h.18. 36
Soerjono Soekanto, 2008, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Rajawali Pens Jakarta, h. 70 37
Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media
Publishing, Malang, h.57
kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, maupun obyek
hukum.
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum atau peraturan perundang-
undangan yang dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1) Secara vertikal disini yang dianalisa adalah peraturan
perundang-undangan yang derajatnya berbeda yang mengatur
bidang yang sama;
2) Secara horizontal, dimana yang dianalisa adalah peraturan
perundang-undangan yang sama derajat dan mengatur bidang
yang sama.
d. Penelitian perbandingan hukum, dimana dilakukan terhadap berbagai
sistem hukum yang berlaku di masyarakat.
e. Penelitian sejarah hukum, dimana dilakukan dengan menganalisa
peristiwa hukum secara kronologis dan melihat hubungannya dengan
gejala sosial yang ada.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka aspek normatif yang
dimaksud adalah melakukan penelitian terhadap asas-asas hukum dan taraf
sinkronisasi antara peraturan hukum yang satu dengan peraturan hukum yang
lainnya dalam kaitannya dengan kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
dalam menetapkan batas kawasan sempadan pantai. Apakah Perda Arahan
Peraturan Zonasi Sistem Provinsi terkait penetapan batas sempadan pantai harus
mengacu pada apa yang ditetapkan dalam RTRW Nasional maupun pada Perda
RTRW Provinsi Bali, atau dapat ditetapkan berdasarkan kajian teknis dari
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui Peraturan Bupati/Walikota Tentang
Batas Sempadan Pantai, sehingga dari jawaban atas pertanyaan inilah nantinya
tersirat hal-hal yang harus dipertimbangkan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas kawasan sempadan pantai di wilayah
Kabupaten/Kota di Bali.
1.8.2 Jenis Pendekatan
Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
peraturan perundang-undangan (statue approach), yakni mengkaji peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas sempadan pantai. Dengan menggunakan
peraturan perundang-undangan sebagai bahan hukum primer. Pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua
Undang-Undang dan semua regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum
yang sedang ditangani.38
Disamping itu, penelitian ini juga menggunakan
pendekatan analisis konsep hukum (analytical conceptual approach), yakni
menganalisis bahan hukum terkait kewenangan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas kawasan sempadan pantai berdasarkan
kondisi eksisting pemanfatan ruang.
1.8.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer yang
berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder yang berupa
buku, majalah, artikel dan lain sebagainya. Adapun teknik pengolahan bahan
38
Peter Mahmud marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, h.35
hukum yaitu setelah bahan hukum terkumpul kemudian di analisis menggunakan
teknik deskriptif yaitu dengan memaparkan bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder apa adanya.39
Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan deskripsi
mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian.40. Bahan
hukum yang dikaji dan yang dianalisis dalam penelitian hukum normatif terdiri
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.41
Adapun bahan hukum primer yang dipergunakan antara lain :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil;
4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;
7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang;
39
Amirruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali
Press, Jakarta, h.68. 40
Peter Mhmud Marzuki, op cit, h.141. 41
Djam’an Satori, Aan Komariah, Loc.it
8) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar,
Dan Tabanan;
9) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2016 tentang
Batas Sempadan Pantai;
10) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali; dan
11) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2015 tentang Arahan
Peraturan Zonasi Sistem Provinsi.
Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain, buku-
buku ataupun literatur-literatur, jurnal-jurnal hukum, pendapat para ahli, kasus-
kasus hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian
ini juga mempergunakan bahan hukun tersier berupa kamus hukum, internet dan
lain-lain.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti,
dikaitkan dengan jenis penelitian hukum normatif, maka teknik pengumpulan data
dimulai dengan menginventarisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pemanfaatan ruang pada kawasan sempadan pantai. Setelah itu dibuat
intisarinya, lalu peraturan perundangan tersebut dicocokkan dengan pelaksanaan
dan kenyataannya dilapangan dengan mengumpulkan dokumen yang berkaitan
dengan permasalahan yang diteliti, selanjutnya sebagai data penunjang peneliti
mencoba menggali data di lapangan dengan melakukan wawancara dengan ahli di
bidang hukum serta para pihak yang terlibat dalam seputar permasalahan
penetapan batas sempadan pantai.
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Sesuai dengan sifat penelitian ini yang bersifat dekriptif, maka setelah
bahan hukum terkumpul, langkah-langkah yang diambil lebih lanjut adalah
deskripsi, kontruksi, interprestasi, evaluasi, argumentasi dan sistematisasi.42
Penelusuran data dalam penelitian ini mulai dari aspek pemanfaatan
ruang, dan aturan mengenai kawasan sempadan pantai serta penetapan batasnya
termasuk mengenai data lapangan yang merupakan kenyataan dan pelaksanaannya
yang ditemui di lapangan, kemudian diuji dan dianalisis dengan teori hukum yang
ada serta peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Terdapat beberapa
teknik analisis, antara lain :
1. Deskripsi : penggambaran apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi
dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum;
2. Kontruksi ; pembentukan kontruksi yuridis dengan melakukan analogi
dan pembalikan proposisi;
3. Interpretasi : berupa penggunaan beberapa jenis penafsiran yang terdapat
dalam ilmu hukum;
4. Evaluasi : penilaian oleh peneliti terhadap sesuatu yang tertera dalam
bahan hukum yang ada;
42
Sunaryati Hartono, 2006, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20,
PT. Alumni, Bandung, h.53
5. Argumentasi : terkait dengan evaluasi dikarenakan penilaian harus
berdasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum;
6. Sistematisasi : upaya mencari keterkaitan rumusan konsep hukum atau
proposisi hukum antara peraturan hukum yang sederajat maupun tidak
sederajat.
Dari beberapa teknis analisis tersebut diatas, dalam penelitian ini diperlukan
teknik analisis untuk memecahkan permasalah isu hukum yang diangkat yaitu
dengan menggunakan teknik analisis interpretasi.
Interpretasi (penafsiran) ini dilakukan untuk memahami makna dari suatu
norma, terutama dalam hal ditemukan norma yang kabur. Penafsiran hukum
terikat pada asas-asas umum, antara lain asas proporsionalitas, asas subsider, dan
asas patut. Disamping itu, telah berkembang pula berbagai jenis ajaran penafsiran
yang dikembangkan oleh para hukum.43
Menurut asas proporsionalitas, hakim
dalam menafsirkan suatu ketentuan hukum harus berpegang pada keseimbangan
antara kepentingan individu dan kolektif, antara hak dan kewajiban serta
keseimbangan antara materialisme dan spiritualisme. Asas subsider mengandung
prinsip bahwa penafsiran syaratnya hanya apabila peraturan itu tidak jelas.
Peraturan yang sudah jelas tidak perlu ditafsiran lagi. Selanjutnya, asas patut
dilakukan dengan berpegang pada prinsip moralitas artinya bahwa suatu
penafsiran tidak boleh bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan
norma-norma sosial lainnya.
43
I Dewa Gede Atmadja, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum Sisi
Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekuen, Pidato Pengenalan jabatan Guru Besar
dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Univ. Udayana 10 April 1996, h.5
Dalam melakukan interpretasi hukum disebutkan ada 5 (lima) metode
penafsiran yang paling sering dipergunakan oleh hakim dalam melaksanakan
fungsi peradilan yaitu : 44
1. Penafsiran Gramatikal yakni penafsiran dengan mencari arti kata-kata
yang memang sudah tertuang dalam Undang-Undang.
2. Penafsiran Sistematikal yakni menafsirkan pasal Undang-Undang dengan
menghubungkan pasal-pasal lain dalam satu Undang-Undang atau pasal-
pasal dalam Undang-Undang lainnya.
3. Penafsiran Historikal yakni mencakup penafsiran dengan melihat sejarah
terjadinya suatu peraturan perundang-undangan dan penafsiran dengan
melihat perkembangan suatu lembaga hukum yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
4. Penafsiran Teleologikal, penafsiran dengan mencari maksud dan tujuan
dibuatnya peraturan perundang-undangan.
5. Penafsiran Ekstensif dan Restriktif, Penafsiran Ekstensif adalah
penafsiran yang memperluas arti kata. Sedangkan Penafsiran Restriktif
adalah mempersempit atau membatasi arti kata yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan.
Menurut Soeroso dalam Pengantar Ilmu Hukum, dirumuskan pula bahwa selain
5 (lima) penafsiran diatas, ada 2 (dua) penafsiran lagi yaitu ; 45
1. Penafsiran Otentik atau Penafsiran Secara Resmi (authentieke
interpretative atau officieele interpretative) ialah penafsiran secara resmi,
44
Purnadi Purwacaraka dan Soerjono Soekanto, 1989, Perundang-undangan dan
Jurisprudensi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.13, 15, 52. 45
R. Soeroso, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 107-108
dimana penafsiran ini dilakukan oleh pembuat undang-undang itu sendiri
atau oleh instansi yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
dan tidak boleh dari siapapun dan pihak manapun.
2. Penafsiran Perbandingan yakni suatu penafsiran dengan membandingkan
antara hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini, antara
hukum nasional dengan hukum asing dan hukum kolonial.
Ilmu hukum dan praktek hukum telah memperkenalkan metode
penafsiran atau interpretasi yang relatif baru, yakni interpretasi antisipatif
(anticeperende interpretative), dikalangan ilmuan dalam rangka mengantisipasi
kemajuan iptek, globalisasi atau era “kesejagatan” penafsiran ini lebih dikenal
dengan istilah interpretasi futuristik. 46
Mengenai penafsiran antisipasi, menurut
Bambang Sutiyoso bahwa :47
Penafsiran antisipasif / Futuristik / dimasa mendatang / metode penemuan
hukum yang berupa antisipasi adalah penjelasan dan ketentuan Undang-
undang dengan berpedoman pada Undang-Undang yang belum
mempunyai ketentuan hukum seperti suatu Rancangan Undang-Undang
yang masih dalam proses pembahasan di DPR, tetapi hakim yakin bahwa
Rancangan Undang-Undang itu akan diundangkan (dugaan politis). Jadi,
interpretasi antisipatif adalah penafsiran dengan menggunakan sumber
hukum (Peraturan Perundang-undangan) yang belum resmi berlaku,
misalnya dalam Rancangan Undang-Undang yang nantinya akan
diberlakukan sebagai Undang-Undang.
Bertitik tolak dari pandangan para sarjana diatas, maka dalam membahas isu
hukum yang diteliti terkait penetapan batas sempadan pantai akan menggunakan
penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis, penafsiran historikal, penafsiran
teleologikal dan penafsiran konseptual.
46
I Dewa Gede Atmadja, Op. Cit, h.10-11 47
Bambang Sutiyoso, 2006, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum
Yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, h.87.