51
ABSTRAK Secara geografis, sebagian besar sarana akomodasi pariwisata di Provinsi Bali beserta fasilitas penunjangnya terkonsentrasi pada kawasan sempadan pantai. Mengingat kawasan sempadan pantai tergolong kawasan ruang terbuka hijau dan ruang publik, maka diperlukan suatu pengaturan terhadap penetapan batas sempadan pantai beserta pemanfaatannya. Terkait hal tersebut, Pemerintah Provinsi Bali telah mengundangkan dan mengatur lebih lanjut mengenai kawasan sempadan pantai melalui Perda Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2015 tentang Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi. Lebih lanjut, Pemerintah Kabupaten/Kota kemudian diberikan pelimpahan kewenangan untuk menetapkan batas sempadan pantai. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan Batas Sempadan Pantai?; dan (2) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas sempadan pantai?. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Jenis pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical Conceptual Approach). Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: deskripsi, kontruksi, interprestasi, evaluasi, argumentasi dan sistematisasi. Pasal 48 huruf d Perda Nomor 8 Tahun 2015 tentang Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi disebutkan bahwa dalam menetapkan batas sempadan pantai ada beberapa tolak ukur atau parameter-parameter yang dapat dijadikan pertimbangan hukum oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam mengeluarkan kebijakan daerah terkait penetapan batas sempadan pantai berdasarkan kondisi eksisting pemanfaatan ruang. Pendelegasian kewenangan penetapan batas sempadan pantai diperoleh berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Secara umum disarankan agar pelimpahan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menetapkan batas sempadan pantai agar dituangkan secara jelas dalam Pasal 31 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 dan pada Pasal 48 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2015 sehingga tidak bertentangan dengan Perda RTRW Provinsi Bali maupun Perda RTRW Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Bali. Kata kunci : Kewenangan, Penetapan Batas Sempadan Pantai.

(The Statute Approach) (Analitical Conceptual Approach) · ekologi itu dalam kehidupan manusia, atau ilmu yang mempelajari bagaimana manusia harus menempatkan dirinya dalam ekosistem

  • Upload
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

ABSTRAK

Secara geografis, sebagian besar sarana akomodasi pariwisata di Provinsi

Bali beserta fasilitas penunjangnya terkonsentrasi pada kawasan sempadan pantai.

Mengingat kawasan sempadan pantai tergolong kawasan ruang terbuka hijau dan

ruang publik, maka diperlukan suatu pengaturan terhadap penetapan batas

sempadan pantai beserta pemanfaatannya. Terkait hal tersebut, Pemerintah

Provinsi Bali telah mengundangkan dan mengatur lebih lanjut mengenai kawasan

sempadan pantai melalui Perda Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2015 tentang

Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi. Lebih lanjut, Pemerintah

Kabupaten/Kota kemudian diberikan pelimpahan kewenangan untuk menetapkan

batas sempadan pantai. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang

dikemukakan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah kewenangan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan Batas Sempadan Pantai?;

dan (2) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas sempadan pantai?.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Jenis

pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan perundang-undangan (The Statute

Approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical Conceptual

Approach). Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: deskripsi,

kontruksi, interprestasi, evaluasi, argumentasi dan sistematisasi.

Pasal 48 huruf d Perda Nomor 8 Tahun 2015 tentang Arahan Peraturan

Zonasi Sistem Provinsi disebutkan bahwa dalam menetapkan batas sempadan

pantai ada beberapa tolak ukur atau parameter-parameter yang dapat dijadikan

pertimbangan hukum oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam

mengeluarkan kebijakan daerah terkait penetapan batas sempadan pantai

berdasarkan kondisi eksisting pemanfaatan ruang. Pendelegasian kewenangan

penetapan batas sempadan pantai diperoleh berdasarkan Undang-Undang Nomor

26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil dan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Secara umum disarankan

agar pelimpahan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk menetapkan batas

sempadan pantai agar dituangkan secara jelas dalam Pasal 31 Undang-undang

Nomor 27 Tahun 2007 dan pada Pasal 48 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor

8 Tahun 2015 sehingga tidak bertentangan dengan Perda RTRW Provinsi Bali

maupun Perda RTRW Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Bali.

Kata kunci : Kewenangan, Penetapan Batas Sempadan Pantai.

ABSTRACT

Geographically, most Bali’s tourism accommodations with their

supporting facilities are concentrated along the coastline within the coastal border

area. Such area is classified as green open space area and public space, so that an

arrangement of coastal border delineation including how the area should be

managed is needed. Regarding this matter, Bali Provincial Government had

legislated Bali Provincial Regulation Number 8 Year 2015 of Provincial Zoning

Regulation. Furthermore, the authority to set coastal border line are delegated

from provincial government to regency/City government. Based upon the points

stated before, the present research would like to study on: (1) City/Regional

Government’s authorities in setting out coastal area boundary; and (2) Legal

considerations of setting out coastline area boundary.

This study is a normative legal research which examines the basic law

principles and synchronization level amongst laws by using two approaches,

namely The Statue Approach and Analytical Conceptual Approach. The analysis

techniques used are description, construction, interpretation, evaluation,

argumentation and systematization.

Article 48 Letter d of Bali Provincial Regulation Number 8 Year 2015 of

Provincial Zoning Regulation mentioned some parameters to be used as legal

considerations by the local governments in issuing a public policy in relevant to

coastal area boundary determination which should be based on the existing

condition of the space utilization. Furthermore, the delegation of authority to set

coastal border line is based on Act Number 26 Year 2007 of Spatial Planning, Act

Number 27 Year 2007 of Coastal Area and Small Islands Management and Act

Number 23 Year 2014 of Local Government. In conclusion, it is recommended

that authority delegation to the regional/city government should be clearly stated

in Article 31 of Act 27 Year 2007 and Article 48 of Provincial Regency

Regulation Number 8 Year 2015 so that it is not contradicted with the Provincial

and Regional/City Spatial Plan.

Keywords: authority, determination of coastal area boundary

RINGKASAN

Tesis ini merupakan hasil penelitian penulis mengenai “Kewenangan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Dalam Menetapkan Batas Kawasan

Sempadan Pantai Berdasarkan Kondisi Eksisting Pemanfaatan Ruang”. Terkait

hal tersebut, penulis tuangkan ke dalam 5 (lima) Bab yang terdiri dari Bab

Pendahuluan, Bab Tinjauan Umum, Bab Pembahasan Inti Permasalahan yang

dituangkan dalam Bab ketiga dan keempat, serta Bab Penutup sebagai Bab

terakhir yang berisi simpulan dan saran dari hasil penelitian ini.

Pada BAB I merupakan bagian pendahuluan dari tesis yang memuat

permasalahan yang akan dikaji dalam tesis ini, dengan terlebih dahulu akan

diuraikan mengenai latar belakang penulis dalam meneliti permasalahan tersebut

yaitu : Perkembangan pembangunan di Daerah Provinsi Bali yang sedemikian

cepat khusunya pembangunan sarana akomodasi dan fasilitas penunjang lainnya

telah banyak merambah kawasan sempadan pantai. Berkaitan dengan hal tersebut,

Pemerintah Provinsi Bali telah mengundangkan Perda Provinsi Bali Nomor 16

Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali. Khusus

mengenai kawasan sempadan pantai pada Pasal 50 ayat (4) Perda Tata Ruang

Provinsi Bali disebutkan bahwa sempadan pantai ditetapkan dengan kriteria :

daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 (seratus) meter dari

titik pasang air laut tertinggi ke arah darat, Wewenang Pemerintah Daerah

Provinsi dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah Provinsi disamping

menyusun perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang wilayah

Provinsi, Pemerintah Daerah Provinsi juga wajib untuk menyusun Arahan

Peraturan Zonasi yang merupakan turunan dari Perda RTRW Provinsi Bali, dalam

rangka pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi. Terkait hal tersebut,

Pemerintah Provinsi Bali telah mengundangkan dan mengatur lebih lanjut

mengenai kawasan sempadan pantai melalui Perda Provinsi Bali Nomor 8 Tahun

2015 tentang Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi. Pada Pasal 48 huruf c

disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menetapkan batas sempadan

pantai melalui Peraturan Bupati/Walikota tentang penetapan batas sempadan

pantai setelah dilakukan kajian teknis. Ketentuan tersebut memiliki norma kabur

(vague van normen), sehingga akan menimbulkan penafsiran-penafsiran hukum

terkait penetapan batas kawasan sempadan pantai. Berdasarkan hal tersebut,

adapun permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam

Menetapkan Batas Sempadan Pantai ?, 2. Apakah yang menjadi dasar

pertimbangan hukum Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam Menetapkan

Batas Sempadan Pantai ?

BAB II merupakan Bab yang berisi tinjauan umum secara garis besar

mengenai inti permasalahan yang akan membantu dalam membangun analisis

untuk memperoleh jawaban dari permasalahan yang dikemukakan. Dalam subbab

pertama akan terlebih dahulu diuraikan mengenai Pengertian, Fungsi dan Manfaat

Kawasan Sempadan Pantai serta Pengaturan Batas Sempadan Pantai, kemudian

pada subbab kedua diuraikan mengenai Kondisi Eksisting Pemanfaatan Ruang

pada Kawasan Sempadan Pantai

BAB III merupakan Bab yang berisi pembahasan terhadap permasalahan

pertama dalam penelitian ini yaitu mengenai Sumber Kewenangan Pemerintah

Daerah Kabupaten/ Kota dalam Menetapkan Batas Sempadan Pantai, dalam

subbab pertama diuraikan terlebih dahulu secara umum mengenai Sumber-sumber

wewenang dalam Hukum Administrasi Negara. Selanjutnya pada subbab kedua

akan dideskripsikan mengenai Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

dalam Penataan Ruang. Pada Subbab terakhir dipaparkan mengenai Kewenangan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam Menetapkan Batas Sempadan Pantai.

BAB IV merupakan bagian pembahasan terhadap permasalahan

mengenai Dasar Pertimbangan Hukum Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Dalam Menetapkan Batas Sempadan Pantai, dalam subbab pertama akan

diuraikan Penetapan Batas Sempadan Pantai, pada Pasal 31 Undang-Undang

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyatakan bahwa Pemerintah Daerah

menetapkan batas sempadan pantai yang disesuaikan dengan karakteristik

topografi, biofisik, hidrooseonografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta

ketentuan lain. Sedangkan pada Pasal 48 Perda Arahan Peraturan Zonasi Sistem

Provinsi disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota dapat menetapkan batas

sempadan pantai melalui Peraturan Bupati/Walikota tentang penetapan batas

sempadan pantai setelah dilakukan kajian teknis. Kemudian dalam subbab kedua

akan diuraikan mengenai Tolak ukur atau parameter-parameter yang dijadikan

pertimbangan hukum dalam menetapkan Batas Sempadan Pantai yaitu : topografi,

biofisik, hidro-oceanografi pesisir, kebutuhan ekonomi, budaya setempat, potensi

bencana alam, kedudukan pantai, keberadaan bangunan pengaman pantai dan

kondisi eksisting pemanfaatan ruang. Pada Subbab terakhir dipaparkan mengenai

Kebijakan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menetapkan Batas Sempadan

Pantai berdasarkan Kondisi Eksisiting Pemanfaatan Ruang yang menjadi dasar

pertimbangan hukum dalam menetapkan batas sempadan pantai kurang dari

100 m (seratus meter).

BAB V merupakan bab terakhir dan bab penutup yang berisi kesimpulan

dari permasalahan yang dibahas dalam tesis, yang diperoleh dari uraian pada Bab-

Bab terdahulu. Simpulan pertama yaitu Sumber kewenangan Pemerintah

Kabupaten/Kota dalam penetapan batas sempadan pantai adalah melalui adanya

pendelegasian kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan

meliputi : Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,

Undang – Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Rencana Wilayah Peisisir dan

Pulau – pulau Kecil, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2016 tentang Batas

Sempadan Pantai, Perda Nomor 16 Tahun 2009 tentang RTRW Provinsi Bali dan

Perda Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Arahan Peraturan Zonasi Provinsi Bali.

Simpulan kedua yaitu adanya beberapa tolak ukur atau parameter-parameter yang

dijadikan pertimbangan hukum oleh Pemerintah Kabupaten/Kota untuk

mengeluarkan kebijakan daerah dalam menetapkan batas sempadan pantai

berdasarkan kondisi eksisting pemanfaatan ruang. Disamping itu, selain

mempertimbangkan beberapa parameter-parameter tersebut diharapkan juga

memperhatikan berubahnya luasan garis sempadan pantai serta kondisi eksisting

pemanfaatan ruang terhadap bangunan lain yang telah ada dan/atau bangunan

yang telah memiliki izin yang diterbitkan berdasarkan ketentuan yang berlaku.

DAFTAR ISI

Halaman Sampul Dalam .......................................................................................... i

Halaman Persyaratan Gelar Magister...................................................................... ii

Halaman Lembar Pengesahan ................................................................................ iii

Halaman Penetapan Panitia Penguji Tesis ............................................................. iv

Halaman Surat Pernyataan Bebas Plagiat ............................................................... v

Halaman Ucapan Terima Kasih ............................................................................. vi

Halaman Abstrak ..................................................................................................... x

Halaman Abstract ................................................................................................... xi

Ringkasan .............................................................................................................. xii

Daftar Isi................................................................................................................ xv

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ................................................................................ 115

1.3. Ruang Lingkup Masalah ...................................................................... 115

1.4.1. Tujuan Umum .................................................................................. 16

1.4.2. Tujuan Khusus ................................................................................. 17

1.5. Manfaat Penelitian .................................................................................. 17

1.5.1. Manfaat Teoritis ............................................................................... 17

1.5.2. Manfaat Praktis ................................................................................ 17

1.6. Orisinalitas Penelitian ............................................................................. 18

1.7. Landasan Teoritis ................................................................................... 19

1.7.1 Teori Negara Hukum........................................................................ 20

1.7.2 Teori Penjenjangan Norma .............................................................. 21

1.7.3 Teori Kewenangan ........................................................................... 24

1.7.4 Konsep Pembangunan Berkelanjutan .............................................. 27

1.8 Metode Penelitian. .................................................................................. 32

1.8.1 Jenis Penelitian ................................................................................. 33

1.8.2 Jenis Pendekatan .............................................................................. 35

1.8.3 Sumber Bahan Hukum ..................................................................... 35

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................................... 37

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ........................................................ 38

BAB II TINJAUAN UMUM KAWASAN SEMPADAN PANTAI ................ 42

2.1. Kawasan Sempadan Pantai ..................................................................... 42

2.1.1. Pengertian Sempadan Pantai ............................................................ 42

2.1.2 Fungsi dan Manfaat Kawasan Sempadan Pantai ............................. 47

2.1.3 Pengaturan Batas Kawasan Sempadan Pantai.................................. 52

2.2. Kondisi Eksisting Pemanfaatan Ruang pada Kawasan Sempadan

Pantai ...................................................................................................... 60

BAB III SUMBER KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH

KABUPATEN/ KOTA DALAM MENETAPKAN BATAS SEMPADAN

PANTAI ............................................................................................................... 64

3.1. Sumber-sumber wewenang dalam Hukum Administrasi Negara .......... 64

3.2. Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam Penataan

Ruang. .................................................................................................... 86

3.3. Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam Menetapkan

Batas Sempadan Pantai. ....................................................................... 117

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN HUKUM PEMERINTAH DAERAH

KABUPATEN/KOTA DALAM MENETAPKAN BATAS SEMPADAN

PANTAI ............................................................................................................. 126

4.1. Penetapan Batas Sempadan Pantai. ...................................................... 126

4.2. Tolak ukur yang dijadikan pertimbangan dalam menetapkan Batas

Sempadan Pantai.................................................................................. 138

4.3. Kebijakan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam Menetapan Batas

Sempadan Pantai berdasarkan Kondisi Eksisiting Pemanfaatan

Ruang ................................................................................................... 164

BAB V PENUTUP ............................................................................................. 192

5.1. Kesimpulan. .......................................................................................... 192

5.2. Saran ..................................................................................................... 193

DAFTAR PUSTAKA

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Istilah ekologi saat ini semakin popular, karena bila terjadi kerusakan

atau pencemaran lingkungan, maka pikiran seketika tertuju kepada persoalan

ekologi. Kerumitan persoalan ekologi saat ini, karena ada kecendrungan manusia

memisahkan masalah lingkungan hidup dengan manusia, masalah manusia bukan

merupakan bagian yang terintegrasi dengan lingkungan.1 Sedangkan ekologi dan

ilmu lingkungan merupakan satu kesatuan yang mempunyai hubungan erat antara

keduanya. Ilmu lingkungan mempelajari tempat dan peranannya itu, sedangkan

ekologi mempelajari susunan serta fungsi seluruh mahluk hidup dan komponen

kehidupannya. Jadi, ilmu lingkungan dapat dikatakan sebagai ekologi terapan

(applied ecology) yakni bagaimana menerapkan berbagai prinsip dan ketentuan

ekologi itu dalam kehidupan manusia, atau ilmu yang mempelajari bagaimana

manusia harus menempatkan dirinya dalam ekosistem atau dalam lingkungan

hidupnya2.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka salah satu komponen lingkungan

yang mempunyai hubungan erat dengan ekologi adalah ekosistem. Menurut Otto

Soemarwoto, suatu konsep sentral dalam ekologi adalah ekosistem, yaitu :

Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara

mahluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem terbentuk oleh

1 Supriadi, 2008, Hukum Lingkungan di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika Offset,

Jakarta, h.1. 2 Soerjani, 1987, Lingkungan : Sumber Daya Alam dan Kependudukan dalam

Pembangunan, Universitas Indonesia Press, Jakarta, h.2.

komponen hidup dan tidak hidup disuatu tempat yang berinteraksi

membentuk suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan itu terjadi oleh

adanya arus antara komponen dalam ekosistem itu. Masing-masing

komponen itu mempunyai fungsi atau relung. Selama masing-masing

komponen itu melakukan fungsinya dan bekerja sama dengan baik, maka

keteraturan ekosistem itupun terjaga.3

Dari uraian tersebut diatas, salah satu komponen lingkungan hidup yang

memegang kunci dalam ekosistem adalah manusia. Kesadaran manusia atas

lingkungan hidup diharapkan semakin lama semakin meningkat sehingga

kelestarian fungsi ekosistem tersebut dapat terjaga. Mengingat lingkungan hidup

mempunyai keterbatasan dalam melakukan proses kehidupannya atau daya

dukung dari lingkungan itu sendiri.

Mencermati secara seksama mengenai unsur yang termasuk dalam

lingkungan yang mencakup semua mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, maka

dapat dikatakan bahwa lingkungan merupakan sumber daya, hal ini dapat dilihat

dari karakter dan sifatnya yang sangat kompleks dan memenuhi semua unsur yang

terdapat dalam isi alam ini. Lingkungan sebagai sumber daya merupakan asset

yang dapat diperlukan untuk mensejahterakan masyarakat. Hal ini sesuai dengan

amanat dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) yang menyatakan bahwa

bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dipergunakan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lingkungan sebagai sumber daya

mengandung arti bahwa dalam realitasnya lingkungan merupakan sumber daya

yang memiliki kemampuan dalam melakukan regenerasi pada dirinya, apabila

3 Otto Soemarwoto, 1994, Ekologi Lingkungan dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta,

(Edisi Revisi), h. 24.

terhadap sumber daya lingkungan yang tidak dapat diperbaharui. Dalam menata

lingkungan sebagai sumber daya, maka yang perlu dilakukan adalah agar

melakukan pengelolaan dengan bijaksana.4

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut Undang-Undang Lingkungan

Hidup), filosofinya bertumpu pada pengelolaan. Inti dari Undang-Undang

Lingkungan Hidup ini adalah bagaimana melakukan manajemen terhadap

lingkungan tersebut dengan kata lain bahwa lingkungan tersebut dapat dikelola

dengan melakukan manajemen. Pendekatan manajemen lingkungan

mengutamakan kemampuan manusia dalam mengelola lingkungannya, sehingga

pandangan tersebut harus dirubah dengan melakukan sebuah pendekatan dengan

ramah lingkungan.5

Menurut Otto Soemarwoto, ramah lingkungan haruslah juga bersifat

mendukung pembangunan ekonomi. Dengan kata lain, sikap dan kelakuan

prolingkungan hidup tidak boleh bersifat anti pembangunan ekonomi.6 Pada

dasarnya usaha itu dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu sebagai berikut :

1. Melalui Instrumen Pengaturan dan Pengawasan, tujuannya untuk

mengurangi pilihan pelaku dalam usaha pemanfaatan lingkungan hidup

misalnya : zonasi, preskripsi teknologi tertentu dan pelarangan kegiatan

yang merusak lingkungan hidup;

2. Melalui Instrumen Ekonomi, tujuannya untuk mengubah nilai untung

relative terhadap rugi bagi pelaku dengan memberikan insentif dan

disinsentif ekonomi; dan

4 Supriadi, op. cit., h.4.

5 Ibid, h. 32

6 Otto Soemarwoto, 2001, Atur Diri Sendiri, Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan

Hidup, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 92.

3. Melalui Instrumen Persuasif, tujuannya untuk mengubah persepsi

hubungan manusia dengan lingkungan hidup kearah memperbesar untung

relative terhadap rugi.7

Instrumen pengaturan dan pengawasan terhadap lingkungan hidup

sangatlah penting dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi maupun

Pemerintah Kabupaten/Kota dengan membuat peraturan dan mengawasi

kepatuhan pelaksanaannya serta adanya sanksi tindakan hukum bagi kegiatan

yang dapat merusak lingkungan hidup. Dengan demikian, bila disimak dengan

seksama ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup,

kekuasaan pemerintah terhadap pengelolaan perencanaan dan pemanfaatan

sumber daya alam semakin kuat. Keterlibatan Pemerintah dalam mengatur dan

mengelola lingkungan hidup berkonsekuensi memunculkan suatu kebijakan di

bidang lingkungan yang bersifat regulatif. Salah satu perencanan Pemerintah

dalam mengelola lingkungan hidup adalah melalui perencanaan zonasi.

Perencanaan zonasi (perencanaan tata ruang) baik dalam bentuk

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi

maupun Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota sangatlah penting untuk

perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang serta guna menghindari

adanya konflik-konflik pemanfaatan ruang dalam pembangunan khususnya

terhadap pemanfatan kawasan sempadan pantai. Konflik tersebut dapat dihindari

melalui perencanaan yang matang, dimana masing-masing zona diberikan

peruntukan tertentu dan diletakkan sedemikian rupa, agar fungsi utama kawasan

tidak rusak serta kepentingan umum atau ruang publiknya tidak tergangu. Dengan

7 Ibid., h. 92-94.

perencanaan tata ruang yang matang diharapkan keberlangsungan fungsi

lingkungan hidup serta pemanfaatan ruang yang ada dapat berjalan beriringan,

sehingga estetika lingkungan dapat dijaga serta pencemaran terhadap lingkungan

dapat dicegah.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

(selanjutnya disebut Undang-Undang Penataan Ruang) pada Pasal 3 disebutkan

bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang

Wilayah Nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan

Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:

a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan

buatan;

b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan

sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan

c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif

terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Dalam menciptakan ruang Wilayah Nasional yang aman, nyaman, produktif dan

berkelanjutan, diharapkan mampu mengoptimalkan kepentingan antar pelaku

pembangunan dalam kegiatan pemanfaatan ruang serta mampu memadukan

secara parsial fungsi-fungsi kegiatan baik antar sektor maupun antar wilayah.

Undang-Undang Penataan Ruang, pada hakekatnya merupakan pedoman

pengaturan bagi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Unsur perencanaan ruang merupakan hal terpenting karena dari ketentuan tersebut

dapat melakukan seleksi pada semua kegiatan yang berhubungan dengan ruang.

Makna ruang merupakan wadah atau tempat atau lingkungan jika dikaitkan

dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang, dengan semua

benda, daya keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang

mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan

manusia serta makhluk hidup lain.

Wewenang Pemerintah Daerah Provinsi dalam pelaksanaan penataan

ruang wilayah Provinsi sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 Undang-Undang

Penataan Ruang meliputi: perencanaan tata ruang wilayah Provinsi, pemanfaatan

ruang wilayah Provinsi dan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi.

Dalam pelaksanaan wewenangnya Pemerintah Daerah Provinsi wajib untuk

menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan: rencana umum dan rencana

rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah Provinsi,

arahan peraturan zonasi sistem Provinsi yang disusun dalam rangka pengendalian

pemanfaatan ruang wilayah Provinsi dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan

ruang serta melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.

Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah

Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, salah satu urusan wajib yang

dilaksanakan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah

penataan ruang, sehingga masing-masing Kabupaten/Kota dan Provinsi

berwenang untuk membentuk pengaturan tata ruang di wilayahnya dengan

mempertimbangkan bahwa urusan tata ruang adalah termasuk urusan

pemerintahan yang dibagi bersama antara tingkatan dan/susunan pemerintahan.8

Kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota terkait penataan ruang juga diatur dalam Undang-Undang

8 Arya Sumerthayasa, 2013, Perencanaan Wilayah Kota Yang Berwawasan Lingkungan

Dan Berbasis Kearifan Lokal, Makalah Seminar Regional diselenggarakan oleh Program

Pascasarjana Universitas Warmadewa, di Program Pascasarjana Universitas Warmadewa,

Denpasar 10 Juli 2013, Bali, h.4.

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (yang selanjutnya disebut

Undang-Undang Pemerintahan Daerah). Pada Pasal 9 Undang-Undang

Pemerintahan Daerah menyebutkan urusan Pemerintahan terdiri atas urusan

Pemerintahan Absolut yaitu urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi

kewenangan Pemerintah Pusat, urusan Pemerintahan Konkuren yaitu urusan

Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan

Daerah Kabupaten/Kota serta menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah, dan

urusan Pemerintahan Umum yaitu urusan Pemerintahan yang menjadi

kewenangan Presiden sebagai kepala Pemerintahan. Terkait kewenangan

Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam perencanaan,

pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang merupakan urusan

Pemerintahan Konkuren yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, pada

Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa urusan

Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi:

a. pendidikan;

b. kesehatan;

c. pekerjaan umum dan penataan ruang;

d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;

e. ketenteraman, ketertiban umum dan pelindungan masyarakat; dan

f. sosial.

Penyusunan penataan ruang yang merupakan urusan Pemerintahan

Konkuren antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi serta

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota agar didasarkan pada prinsip akuntabilitas,

efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis Nasional. Mengingat

Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan Pemerintahan oleh

Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi

dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal

18 UUD NRI Tahun 1945.

Provinsi Bali yang sebagian besar dikelilingi oleh pantai mempunyai

luasan wilayah mencapai 5.634,40 Ha dengan panjang pantai seluas 529 Km dari

panjang pantai tersebut yang menjadi kawasan sempadan pantai seluas 6,289 Ha,

dengan prosentase terhadap luas wilayah Provinsi Bali sekitar 1,12%.9 Wilayah

pantai di Bali sebagian besar merupakan daerah tujuan pariwisata dan hampir

semua sarana akomodasi pariwisata berada di wilayah pantai. Kawasan sempadan

pantai merupakan kawasan perlindungan setempat sepanjang pantai yang

mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian dan kesucian

pantai, keselamatan bangunan dan ketersediaan ruang untuk lalu lintas umum.10

Dalam pemanfaatan kawasan sempadan pantai diharapkan tetap

memperhatikan asas keserasian, keselarasan dan keseimbangan. Pemanfaatan

lingkungan hidup harus memperhatikan berbagai aspek seperti kepentingan

ekonomi, sosial, budaya, dan perlindungan serta pelestarian ekosistem kawasan

pantai. Kawasan Pantai di Bali mempunyai karakter pantai yang berbeda-beda,

baik yang sebagian besar dimanfaatkan untuk kegiatan yang berfungsi ekonomi

maupun yang berfungsi utama sebagai kawasan perlindungan setempat. Pada

penjelasan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Penataan Ruang sempadan pantai

termasuk dalam kawasan perlindungan setempat dikarenakan kawasan sempadan

9 Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Provinsi Bali (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2009 Nomor 16). 10

Ibid.

pantai merupakan kawasan dengan ekosistem yang khas dan memiliki

keanekaragaman hayati yang tinggi serta menyangga kehidupan masyarakat

pantai, disamping merupakan ruang terbuka hijau (RTH) yang difungsikan

sebagai ruang publik, kegiatan sosial budaya maupun rekreasi wisata. Wilayah

yang disebut sebagai sempadan pantai tersebut harus dijadikan kawasan

konservasi. Dalam Ketentuan Kepres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan

Kawasan Lindung, diatur perlindungan sempadan pantai sejauh 100 meter.

Ketentuan tersebut hendaknya ditindaklanjuti dengan aturan-aturan pelaksana

dibawahnya baik di tingkat Pusat maupun tingkat Daerah. Hal ini juga

merupakan salah satu tujuan dari Undang-Undang Lingkungan Hidup yaitu

mencapai keserasian, keselarasan dan keseimbangan lingkungan hidup serta

menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai

bagian dari hak asasi manusia khususnya di kawasan sempadan pantai.

Pesisir atau wilayah pantai merupakan wilayah yang sangat rentan

terhadap perubahan, baik perubahan alam maupun perubahan akibat ulah

manusia. Perubahan ulah manusia dalam menciptakan ruang terbangun atau

sumber daya buatan yang terdiri dari unit ruang privat yaitu bangunan dengan

kaplingnya (cell) dan ruang publik berupa jaringan jalan dan ruang terbuka

(network)11

. Selain itu, kelestarian lingkungan dan ekosistem wilayah pantai yang

kaya tidak menjadi prioritas utama lagi. Salah satu faktor penyebab terjadinya

perubahan di wilayah pantai adalah adanya berbagai aktifitas kegiatan ekonomi,

hal ini dapat dilihat dengan tingginya laju pertumbuhan sarana akomodasi

11

Soetomo, Sugiono, 2005, Sistem Pembangunan Hunian Masyarakat di Wilayah

Pesisir, Workshop dan Pelatihan pembangunan Wilayah Pesisir berkelanjutan di Kabupaten Aceh

Besar, h.3.

pariwisata yang pesat disertai dengan meningkatnya intensitas pembangunan

disegala bidang, menyebabkan permasalahan dan konflik di bidang penggunaan

lahan juga semakin meningkat. Permasalahan yang paling utama adalah

terbatasnya ketersediaan lahan serta banyaknya alih fungsi lahan seiring semakin

pesatnya pembangunan sarana akomodasi pariwisata, mengingat Bali adalah

merupakan daerah tujuan wisata. Kondisi yang demikian memberikan alasan bagi

para investor untuk merambah kawasan sempadan pantai dan menjadikannya

sebagai tempat kegiatan-kegiatan berbasis ekonomi, yang sebagaian besar

merupakan kegiatan pariwisata seperti : rekreasi/wisata, bangunan hotel dan

resort, villa, restoran, pemukiman, dermaga ikan, pelabuhan dan fasilitas

penunjang pariwisata lainnya. Fenomena ini terjadi, mengingat di dalam kawasan

sempadan pantai banyak terdapat Hak Milik maupun Hak Guna Bangunan (HGB)

serta tingginya nilai jual tanah yang berada di kawasan sempadan pantai, sehingga

mengakibatkan banyak terdapat bangunan-bangunan ilegal yang berdiri pada

kawasan sempadan pantai yang ada di wilayah Provinsi Bali.

Pesatnya pembangunan di kawasan sempadan pantai yang merupakan

bagian dari fungsi ekonomi dalam pemanfatan ruang, diharapkan perencanaan

penataan ruang tidak menimbulkan kerugian ekonomi bagi masyarakat baik sektor

publik maupun swasta. Disamping itu, penetapan kawasan sempadan pantai juga

harus tetap memperhatikan fungsi sosial yang erat kaitannya dengan aspek

budaya, yang bertujuan untuk menjaga keberlangsungan budaya dari sebuah

masyarakat sehingga masyarakat tetap bisa eksis untuk menjalankan kegiatan

sosial keagamaan, sehingga kawasan sempadan pantai sebagai ruang terbuka bagi

publik atau sebagai fasilitas umum dapat difungsikan secara bersama-sama.

Wilayah pantai dapat dipahami sebagai wilayah tempat bertemunya berbagai

kepentingan, baik pemerintah, pengusaha maupun masyarakat dalam rangka

memanfaatakan wilayah pantai dan sumber daya alam yang terkandung di

dalamnya. Dalam kaitan ini, pemanfaatan sumber daya pantai dan ekosistemnya

melalui peraturan perundang-undangan memiliki kedudukan penting dalam upaya

memperkecil, mencegah atau bahkan menghindari terjadinya tumpang tindih

kewenangan dan benturan kepentingan. Untuk itu, diperlukan adanya regulasi

atau peraturan yang mengatur pemanfaatan ruang pada kawasan sempadan pantai.

Perkembangan pembangunan di Daerah Provinsi Bali yang sedemikian

cepat khusunya pembangunan sarana akomodasi dan fasilitas penunjang lainnya

telah banyak merambah kawasan sempadan pantai. Berkaitan dengan hal tersebut,

Pemerintah Provinsi Bali telah mengundangkan Peraturan Daerah Provinsi Bali

Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali.

(selanjutnya disebut Perda Tata Ruang Provinsi Bali), pada Pasal 3 Perda Tata

Ruang Provinsi Bali disebutkan bahwa tujuan Penataan ruang wilayah Provinsi

adalah untuk : a. mewujudkan ruang wilayah Provinsi yang berkualitas, aman,

nyaman, produktif, berjatidiri, berbudaya Bali, dan berwawasan lingkungan

berlandaskan Tri Hita Karana, b. keterpaduan perencanaan Tata Ruang Wilayah

Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, c. keterpaduan pemanfaatan ruang darat,

ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, d. keterpaduan

pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam

rangka perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap

lingkungan dan budaya Bali akibat pemanfaatan ruang, e. pemanfaatan sumber

daya alam secara berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, f.

keseimbangan dan keserasian perkembangan antar wilayah Kabupaten/Kota, g.

keseimbangan dan keserasian kegiatan antarsektor, dan h. pemanfaatan ruang

yang tanggap terhadap mitigasi dan adaptasi bencana.

Khusus mengenai kawasan sempadan pantai pada Pasal 50 ayat (4) Perda

Tata Ruang Provinsi Bali disebutkan Sempadan pantai ditetapkan dengan kriteria:

a. daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 (seratus)

meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat;

b. daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya

curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi

fisik pantai; dan

c. Gubernur menetapkan pedoman penyelenggaraan penanggulangan abrasi,

sedimentasi, produktivitas lahan pada daerah pesisir pantai lintas

kabupaten/kota.

Kesesuaian terkait pengaturan sempadan pantai seperti tersebut diatas, telah

mengacu pada aturan yang lebih tinggi diatasnya yaitu Peraturan Pemerintah

Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

(selanjutnya disebut RTRW Nasional), sehingga hirarki pengaturan garis

sempadan pantai sudah mengacu pada Pasal 56 ayat (1) RTRW Nasional yang

menetapkan garis sempadan pantai dengan kreteria :

a. daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 (seratus)

meter dari titik pasang air laut tertinggi ke arah darat; atau

b. daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya

curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi

fisik pantai.

Kawasan sepanjang pantai ini mempunyai manfaat penting untuk

mempertahankan kelestarian fungsi pantai, keselamatan bangunan, dan

ketersediaan ruang untuk publik. Pengecualian lebar sempadan pantai untuk

pantai-pantai yang ada di Daerah Provinsi Bali setelah mendapat kajian teknis

dari instansi dan atau pakar terkait. Kajian teknis dimaksud meliputi daya

dukung fisik alam lingkungan pantai yang sekurang-kurangnya meliputi tinjauan

geologi, geologi tata lingkungan, kemungkinan erosi dan abrasi, pengaruh

hidrologi lokal dan regional, dan rencana pemanfaatan kawasan pantai.

Wewenang Pemerintah Daerah Provinsi dalam pelaksanaan penataan

ruang wilayah Provinsi disamping menyusun perencanaan, pemanfaatan dan

pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi, Pemerintah Daerah Provinsi

juga wajib untuk menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan arahan

peraturan zonasi yang merupakan turunan dari Perda Tata Ruang Provinsi Bali.

Pada Pasal 10 ayat (6) Undang-Undang Penataan Ruang disebutkan Pemerintah

Provinsi wajib menyusun Arahan Peraturan Zonasi (APZ) yang disusun dalam

rangka pengendalian tata ruang wilayah Provinsi. Terkait hal tersebut, Pemerintah

Provinsi Bali telah mengundangkan dan mengatur lebih lanjut mengenai kawasan

sempadan pantai melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2015

tentang Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi (selanjutnya disebut Perda

Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi) yang disusun dalam rangka

pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi. Dalam Pasal 48 Perda

Arahan Peraturan Zonasi Sistem Provinsi terkait Arahan Peraturan Zonasi

Sempadan Pantai, disebutkan :

a. batas sempadan pantai ditetapkan dengan tujuan untuk melindungi dan

menjaga:

1. kelestarian fungsi ekosistem dan segenap sumberdaya di wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil;

2. kehidupan masyarakat di wilayah pesisir dari ancaman bencana

alam;

3. keberlangsungan pemanfaatan pantai untuk menampung kegiatan

sosial eknomi masyarakat; dan

4. keberadaan ruang publik dan akses publik menuju pantai.

b. batas sempadan pantai ditetapkan dengan mengikuti ketentuan:

1. perlindungan terhadap gempa dan/atau tsunami;

2. perlindungan pantai dari erosi atau abrasi;

3. perlindungan sumberdaya buatan di pesisir dari badai, banjir rob, dan

bencana alam lainnya;

5. perlindungan terhadap ekosistem pesisir

6. pengaturan akses publik;

7. pengaturan untuk infrastruktur; dan

8. perlindungan kesucian pantai dan laut.

c. pemerintah kabupaten/kota dapat menetapkan batas sempadan pantai

melalui Peraturan Bupati/Walikota tentang penetapan batas sempadan

pantai setelah dilakukan kajian teknis, yang hasil kajiannya dibahas

dalam forum konsultasi publik dan berkoordinasi dengan

Kabupaten/Kota bersebelahan, disampaikan kepada Gubernur untuk

dibahas oleh Tim Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Provinsi

dan Menteri.

d. kajian teknis yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota, harus

mempertimbangkan parameter-parameter, meliputi:

1. topografi;

2. biofisik;

3. hidro-oceanografi pesisir;

4. kebutuhan ekonomi;

5. budaya setempat;

6. potensi bencana alam;

7. kedudukan pantai;

8. keberadaan bangunan pengaman pantai; dan

9. kondisi eksisting pemanfaatan ruang.

Berdasarkan Arahan Peraturan Zonasi Sempadan Pantai tersebut diatas,

Pemerintah Daerah Provinsi Bali mendelegasikan kewenangan kepada Pemerintah

Kabupaten/Kota untuk menetapkan batas sempadan pantai melalui Peraturan

Bupati/Walikota tentang Penetapan Batas Sempadan Pantai setelah dilakukan

kajian teknis, yang hasil kajiannya dibahas dalam forum konsultasi publik dan

berkoordinasi dengan Kabupaten/Kota bersebelahan, disampaikan kepada

Gubernur untuk dibahas oleh Tim Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah

Provinsi dan Menteri. Terkait ketentuan “dapat menetapkan batas sempadan

pantai melalui Peraturan Bupati/Walikota tentang penetapan batas sempadan

pantai setelah dilakukan kajian teknis” memiliki norma kabur (vague van

normen), sehingga akan menimbulkan penafsiran-penafsiran hukum terkait

penetapan batas kawasan sempadan pantai khususnya yang menjadi kewenangan

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Bali.

1.2. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas maka dapat ditarik

rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam

menetapkan Batas Sempadan Pantai ?

2. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota dalam menetapkan Batas Sempadan Pantai ?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Untuk mempermudah penelitian tesis ini dan agar lebih terarah dan

sistematis, maka perlu kiranya dibuat suatu batasan masalah. Adapun ruang

lingkup permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian tesis ini, yaitu :

1. Penelitian ini dilaksanakan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

yang ada di Pemerintah Provinsi Bali.

2. Penelitian ini berkaitan dengan telah diundangkannya Perda Provinsi Bali

Bali Nomor 8 Tahun 2015 tentang Arahan Peraturan Zonasi Sistem

Provinsi khusunya terkait penetapan batas sempadan pantai oleh

Pemerintah Darah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali.

3. Terkait dengan penetapan batas sempadan pantai tersebut, bagaimana

kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan

batas sempadan pantai berdasarkan UU No.23 Tahun 2014 tentang

Pemerintah Daerah.

4. Pengatuaran dan penetapan batas sempadan pantai sesuai ketentuan

dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan UU No.27

Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

5. Parameter-parameter yang dijadikan pertimbangan hukum oleh

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas sempadan

pantai.

6. Penelitian ini juga memperhatikan kebijakan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas sempadan pantai berdasarkan

kondisi eksisting pemanfaatan ruang yang ada.

1.4. Tujuan Penelitian

Secara garis besar dapat dikemukakan bahwa tujuan dari penelitian ini

antara lain :

1.4.1. Tujuan Umum

Adapun yang menjadi tujuan umum dari penelitian kali ini adalah untuk

mengetahui dan menganalisa tentang kewenangan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas sempadan pantai berdasarkan Perda

Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2015 tentang Arahan Peraturan Zonasi Sistem

Provinsi, sehingga dapat diimplementasikan di wilayah pantai-pantai yang

menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Bali.

1.4.2. Tujuan Khusus

Penelitian ini juga diharapkan dapat mencapai tujuan yang lebih khusus,

sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui sumber kewenangan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas kawasan sempadan pantai.

2. Untuk mengetahui tolak ukur yang dijadikan pertimbangan hukum oleh

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam menetapkan Batas Sempadan

Pantai.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Teoritis

Secara keilmuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya kajian hukum dan

pemerintahan, maupun kajian ilmu lain terutama yang berkaitan tentang

pemanfaatan ruang dan penetapan batas kawasan sempadan pantai.

1.5.2. Manfaat Praktis

Disamping untuk mengetahui tujuan yang hendak dicapai, penelitian juga

diharapkan memberikan manfaat praktis yaitu :

1. Memberikan gambaran yang jelas terkait sumber kewenangan dan dasar

pertimbangan hukum dalam penetapan batas sempadan pantai, oleh

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Bali.

2. Memberikan informasi dan pendapat yuridis kepada berbagai pihak, baik

kepada Masyarakat, Swasta dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

untuk mencari solusi dalam mewujudkan tujuan pemanfaatan ruang serta

dalam menetapkan batas kawasan sempadan pantai sehingga bermanfaat

dalam perencanaan pembangunan yang berkelanjutan.

1.6. Orisinalitas Penelitian

Dalam melakukan suatu penelitian, mahasiswa diwajibkan untuk mampu

menunjukkkan orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan

menampilkan tiga judul penelitian tesis atau disertasi terdahulu sebagai

pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini, peneliti akan menampilkan tiga

buah tesis terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan pemanfatan ruang dan

penetapan garis batas kawasan sempadan pantai, antara lain sebagai berikut :

a) Tahun 2009, tesis karya Edi Sahputra (Mahasiswa Program Pascasarjana

Universitas Sumatra Utara) yang berjudul TINJAUAN HUKUM

TERHADAP PENGATURAN PENGUASAAN DAN

PENGGUNAAN TANAH DI KAWASAN PANTAI (STUDI DI

KECAMATAN MEDAN BELAWAN). Dalam Tesis ini dikemukakan

dua rumusan masalah, yaitu :

1. Bagaimanakah pelaksanaan penguasaan tanah pada kawasan

sempadan pantai di Kecamatan Medan Belawan ?

2. Apakah kendala yang ditemui dalam penetapan hak atas tanah pada

kawasan sempadan pantai dan bagaimana upaya mengatasinya ?

b) Tahun 2010, tesis karya I Gusti Ngurah Wiryawan (Mahasiswa Program

Pascasarjana Universitas Udayana) yang berjudul PENEGAKAN

PERDA PROVINSI BALI NO. 4 TAHUN 1996 JO NO. 4 TAHUN

1999 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH

PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI DALAM KAITAN

DENGAN PENATAAN SEMPADAN BANGUNAN AKIBAT

ABRASI. Dalam Tesis ini dikemukakan dua rumusan masalah, yaitu :

1. Bagaimanakah kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam

penegakan ketentuan sempadan pantai terhadap bangunan yang

terdapat di kawasan pesisir ?

2. Bagaimanakah penegakan hukum ketentuan sempadan pantai

terhadap bangunan yang kedudukannya tidak memenuhi garis

sempadan pantai akibat terjadi abrasi ?

c) Tahun 2010, tesis karya I Ketut Windra (Mahasiswa Program

Pascasarjana Universitas Udayana) yang berjudul KEWENANGAN

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN JEMBRANA DALAM

MENETAPKAN SEMPADAN PANTAI PADA KAWASAN

PARIWISATA. Dalam Tesis ini dikemukakan dua rumusan masalah,

yaitu :

1. Apakah yang menjadi sumber kewenangan Pemerintah Daerah

Kabupaten Jembrana dalam penetapan sempadan pantai di kawasan

Pariwisata ?

2. Bagaimanakah wewenang Pemerintah Daerah Kabupaten Jembrana

dalam menetapkan sempadan di Kawasan Pariwisata ?

1.7. Landasan Teoritis

Pada bagian ini dikemukakan pemikiran-pemikiran teoritis untuk

menjelaskan hubungan antara konsep-konsep atau variable yang akan diteliti.

Adapun teori hukum, konsep hukum, asas hukum dan norma lainnya yang akan

dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian, dapat

dikemukakan sebagai berikut :

1.7.1 Teori Negara Hukum

Gagasan, cita atau ide Negara Hukum, selalu terkait dengan konsep

rechtsstaat dan the rule of law. Menurut Julius Stahl, konsep Negara hukum yang

disebutnya dengan istilah “rechtsstaat” itu mencakup empat elemen penting

yaitu :12

1. Perlindungan hak asasi manusia;

2. Pembagian kekuasaan;

3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;

4. Peradilan tata usaha Negara.

Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga cirri penting dalam setiap

Negara hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule Of Law” yaitu :13

1. Supremasi hukum;

2. Persamaan dalam hukum;

3. Asas legalitas/konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan atau

the constitution based on individual rights.

Menurut Philipus M. Hadjon, dengan merujuk bahwa asas utama hukum

Konstitusi atau Hukum Tata Negara Indonesia adalah asas Negara Hukum dan

asas demokrasi serta dasar Negara Pancasila, oleh karena itu dari sudut pandang

12

Jimly Ashiddiqie, 2010, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta, h. 132 13

H. Muhamad Tahir Azhary, 2010, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-

prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan

Masa Kini, Kencana Prendana Media Group, Jakarta, h. 90

yuridisme Pancasila maka secara ideal bahwa Negara Hukum Indonesia adalah

“Negara Hukum Pancasila”14

Unsur-unsur Negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila

menurut Sri Soemantri Martosoewignjo adalah sebagai berikut :

1. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga

Negara.

2. Adanya pembagian kekuasaan Negara.

3. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya pemerintah harus

selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku baik yang tertulis maupun

yang tidak tertulis.

4. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya

merdeka.15

Berdasarkan ciri-ciri atau unsur-unsur Negara hukum yang diuraikan

diatas, maka dalam hubungan dengan penelitian ini adalah untuk mengetahui

dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya pemerintah harus selalu berdasarkan

atas hukum yang berlaku (asas legalitas) baik yang tertulis maupun yang tidak

tertulis khususnya kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menetapkan

batas kawasan sempadan pantai.

1.7.2 Teori Penjenjangan Norma

Mengenai norma hukum menurut Hans Kelsen merupakan suatu perintah

yang sudah semestinya akan dipatuhi dan diinginkan oleh setiap orang untuk

14

I Dewa Gede Atmaja, 2010, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia

Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, h.157. 15

Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, alumni,

Bandung, h.29.

berbuat sesuai dengan aturan hukum tersebut. Sistem hukum dalam pengertian

Hans Kelsen, adalah suatu sistem hukum yang berbentuk struktur piramidis

(hierarkis). Hal ini lebih dikenal dengan sebutan Stufenbau Theorie atau tata

urutan (hierarki) norma-norma.16

Ajaran Stufenbau Theorie yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang

menganggap bahwa proses hukum digambarkan sebagai hierarki norma-norma.

Validitas (kesahan) dari setiap norma (terpisah dari norma dasar) bergantung

pada norma yang lebih tinggi.17

Hans Kelsen mengungkapkan hukum mengatur

pembentukannya sendiri karena satu norma hukum menentukan cara untuk

membuat norma hukum yang lain. Norma hukum yang satu valid karena dibuat

dengan cara ditentukan dengan norma hukum yang lain dan norma hukum yang

lain ini menjadi validitas dari norma hukum yang dibuat pertama. Hubungan

antara norma yang mengatur pembentukan norma lain lagi adalah “superordinasi

dan subordinasi”. Norma yang menentukan pembentukan norma lain adalah

norma yang lebih tinggi sedangkan norma yang dibuat adalah norma yang lebih

rendah.18

Jenjang Perundang-undangan adalah urutan-urutan mengenai tingkat dan

derajat daripada Undang-Undang yang bersangkutan, dengan mengingat badan

yang berwenang yang membuatnya dan masalah-masalah yang diaturnya.

Undang-undang juga dibedakan dalam Undang-Undang tingkat atasan dan tingkat

16

Muhamad Erwin, 2012, Filsafat Hukum : Refleksi Kritis terhadap Hukum, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, h. 169. 17

Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Maullang, 2007, Pengantar Filsafat Hukum,

Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 83. 18

Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Nusamedia dan

Nuansa, Bandung, h. 179.

bawahan yang dikenal dengan hierarki. Undang-Undang yang lebih rendah

tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih

tinggi.19

Dalam penyelenggaraan pemerintah banyak ditemukan norma konflik,

antara satu peraturan yang lebih rendah dengan peraturan yang lebih tinggi,

maupun konflik norma secara horizontal antara pasal yang satu dengan pasal yang

lain dalam Undang-Undang atau antara satu Undang-Undang dengan Undang-

Undang yang lain maupun adanya norma kabur pada suatu ketentuan peraturan

perundang-undangan. Dalam menghadapi masalah hukum seperti ini maka

diperlukan penyelesaian dengan menggunakan asas-asas preferensi yang meliputi:

a) Lex superior derogat legi inferiori artinya, peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan berlakunya

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya.

b) Lex specialis derogat legi generali artinya, peraturan perundang-

undangan yang bersifat khusus (special) mengenyampingkan berlakunya

peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (general).

c) Lex posterior derogat legi priori artinya, peraturan perundang-undangan

yang baru mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-

undangan yang lama.20

Dalam penelitian ini asas preferensi dapat digunakan dalam membahas

norma kabur yang terdapat dalam Perda Arahan Peraturan Zonasi Sistem

Provinsi, sehingga pada teori penjenjangan norma ini yang dipergunakan adalah

Lex specialis derogat legi generali artinya, peraturan perundang-undangan yang

19

Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 131. 20

Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty,

Yogyakarta, h. 6-7.

bersifat khusus (special) mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-

undangan yang bersifat umum (general). Dengan kata lain, Perda Arahan

Peraturan Zonasi Sistem Provinsi ini merupakan acuan bagi Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota didalam menyusun Perda RDTR yang merupakan turunan dari

Perda Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota serta yang menjadi acuan

dalam proses perizinan.

1.7.3 Teori Kewenangan

Teori ini peneliti kemukakan dengan maksud untuk membahas dan

menganalisis tentang kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam

menetapkan batas kawasan sempadan pantai, serta teori ini juga digunakan untuk

menganalisis “bagaimana kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam

menetapkan batas kawasan sempadan pantai”. Secara konseptual, istilah

wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan istilah Belanda

“bevoegdheid” (yang berarti wewenang atau berkuasa).

Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata

Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru dapat

menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan

tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam

Peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi

Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara

dalam menjalankan fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang

diberikan oleh Undang-Undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan

perbuatan hukum.21

.

Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan

sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.

Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang (authority) sebagai hak atau

kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk mempengaruhi tindakan

orang lain, agar sesuatu dilakukan sesuai dengan yang diinginkan.22

Lebih lanjut

Hassan Shadhily memperjelas terjemahan authority dengan memberikan suatu

pengertian tentang “pemberian wewenang (delegation of authority)”. Delegation

of authority ialah proses penyerahan wewenang dari seorang pimpinan (manager)

kepada bawahannya (subordinates) yang disertai timbulnya tanggung jawab untuk

melakukan tugas tertentu.23

Proses delegation of authority dilaksanakan melalui langkah-langkah

sebagai berikut :

1. Menentukan tugas bawahan tersebut;

2. Penyerahan wewenang itu sendiri; dan

3. Timbulnya kewajiban melakukan tugas yang sudah ditentukan.

F.P.C.L. Tonner dalam Ridwan HR berpendapat “Overheidsbevoegdheid wordt in

dit verband opgevad als het vermogen om positief recht vast te srellen en Aldus

rechtsbetrekkingen tussen burgers onderling en tussen overhead en te scheppen”

21

SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di

Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 154. 22

Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus

Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 170. 23

Ibid, h. 172.

(kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk

melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu dapat diciptakan hubungan

hukum antara pemerintahan dengan waga negara).24

Penjelasan tentang konsep wewenang, dapat juga didekati melalui telaah

sumber wewenang dan konsep pembenaran tindakan kekuasaan pemerintahan.

Teori sumber wewenang tersebut meliputi atribusi, delegasi, dan mandat.

Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam

kaitannya dengan kewenangan sebagai berikut :

Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaa yang

berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari

Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan

terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap

sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat,

sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di

dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah

kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik.

Stroink dan Steenbeek sebagaimana dikutip oleh Ridwan,

mengemukakan pandangan yang berbeda, sebagai berikut :

Bahwa hanya ada dua cara untuk memperoleh wewenang, yaitu atribusi

dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru,

sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada

(oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada

organ lain; jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi).

Mengenai mandat, tidak dibicarakan mengenai penyerahan wewenang

atau pelimbahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan

wewenang apapun (dalam arti yuridis formal), yang ada hanyalah

hubungan internal.25

Philipus M. Hadjon mengatakan bahwa:

Setiap tindakan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas

kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber,

24

Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 100. 25

Ridwan, HR., 2003, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, UII Pres, h. 74-75

yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnya

digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang

dasar, sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan

yang berasal dari “pelimpahan”. Wewenang terdiri atas sekurang-

kurangnya tiga komponen yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas

hukum. Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang

dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum, komponen

dasar hukum ialah bahwa wewenang itu harus ditunjuk dasar hukumnya,

dan komponen konformitas hukum mengandung adanya standard

wewenang yaitu standard hukum (semua jenis wewenang) serta standard

khusus (untuk jenis wewenang tertentu).

Dalam kaitannya dengan wewenang sesuai dengan konteks penelitian ini,

standard wewenang yang dimaksud adalah Kewenangan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas sempadan pantai yang bervariasi sesuai

karakteristik pantai dan kondisi eksisting pemanfaatan ruang, sehingga pengaturan

terhadap pemanfaatan ruang pada kawasan sempadan pantai dapat dilaksanakan.

1.7.4 Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan merupakan hal yang sangat didengung-dengungkan saat

ini seiring dengan perkembangan teknologi dan tuntutan globalisasi.

Pembangunan baik langsung maupun tidak langsung akan membawa pengaruh

bagi berbagai aspek kehidupan manusia dan lingkungannya. Karena

pembangunan selain dapat memenuhi kehidupan manusia akan tetapi juga bisa

berdampak buruk bagi kelangsungan kehidupan manusia itu sendiri karena

kelalaian dalam pembangunan yang tidak mengindahkan prinsip sustainable

development atau pembangunan yang berkelanjutan.

Konsep dan arah pembangunan dapat ditentukan oleh penggunaan

peraturan dan kebijakan yang berwawasan ke masa depan. Seperti ungkapan,

peranan hukum adalah sebagai alat pembaharuan masyarakat oleh Mochtar

Kusumaatmadja, Hukum haruslah menjadi panglima dalam pembangunan.26

Sedangkan wawasan yang harus diusung sebagai tujuan pembangunan nasional

masa depan adalah wawasan pembangunan yang berbasis lingkungan dengan

peraturan hukum yang memihak pada keberlangsungan lingkungan hidup.

Wawasan pembangunan berbasis lingkungan sangat relevan bila dihubungkan

dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan, karena lingkungan yang baik

dan terjaga kelestariannyalah pembangunan tersebut bisa berjalan dengan baik dan

akan terus bisa memberikan manfaat yang baik bagi kehidupan umat manusia

sekarang dan masa yang akan datang. Wawasan lingkungan harus melekat pada

kaidah sosial masyarakat sebagai hukum yang akan membangun kepribadian

masyarakat sebagai hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat dan

disesuaikan dengan pendekatan sosial budaya.27

Kemajuan teknologi dan industri

yang menjadi aspek pembangunan akan berpengaruh langsung terhadap

keberadaan dan keberlangsungan sumber daya alam yang menjadi momok bagi

perusakan lingkungan. Jika peraturan pengelolaan lingkungan tidak berwawasan

sustainable development akan membebani pembangunan di masa mendatang.

Apalagi model pembangunan nasional kita sekarang ini berbasis pada model

pertumbuhan ekonomi seperti pada konsep pembangunan bangsa Eropa pasca

Perang Dunia II. 28

26

Mochtar Kusumaatmadja, tanpa tahun, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam

Pembangunan Nasional, Penerbit Bina Cipta, Bandung, h. 2-3. 27

Ibid, h.13. 28 M.Daud Silalahi, 2003, Pembangunan Berkelanjutan Dalam Rangka Pengelolaan

Sumber Daya Alam Yang Berbasis Pembangunan Sosial Dan Ekonomi, Makalah Seminar Hukum

pembangunan Nasional VIII, BPHN.

Oleh karena itu implementasi konsep pembangunan berkelanjutan

tersebut memerlukan perubahan paradigma dan cara membangun sehingga pola

pembangunan tidak lagi bersifat konfensional, tidak semata menekankan aspek

ekonomi saja. Namun demikian perlu dan juga mempertimbangkan aspek ekologi

dan sosial.29

Peran Pemerintah sangat diperlukan dalam penegakan hukum dan sanksi

yang benar-benar bisa melindungi dari perusakan lingkungan. Kerusakan

lingkungan tidak hanya akan berdampak bencana saja, tapi juga akan bisa

berdampak pada kemiskinan dimasa mendatang jika tidak ditangani serius mulai

dari sekarang. Melalui konsep pembangunan berkelanjutan dan hukum

lingkungan kita akan dapat mencari solusi pembangunan yang berwawasan

lingkungan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan untuk kehidupan yang

bisa dinikmati masa sekarang dan yang akan datang.

Hakekat pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan yang

didasarkan pada tiga pertimbangan secara proporsional yaitu pertimbangan

ekonomi, pertimbangan sosial dan pertimbagan ekologi.30

Betapa pun

pembangunan dilakukan dengan ekploitasi sumber daya alam, namun fungsi

lingkungan harus tetap dilestarikan. Hal ini menjadi prinsip dasar yang harus

senantiasa diimplementasikan.

Pembangunan yang berkelanjutan merupakan suatu cita-cita semua

bangsa didunia ini yang menginginkan kemajuan teknologi dan ekonomi tidak

hanya dinikmati pada masa sekarang ini saja, tapi juga di masa yang akan datang.

29

H. Samsul Wahidin,2014, Dimensi Hukum Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, Cetakan Pertama, Pusataka Pelajar, Yogyakarta, h.21. 30

Ibid, h.23

Pembangunan memiliki arti yang sangat luas bukan hanya aspek fisik tetapi

juga pembangunan sosial masyarakat. Kemudian berkembang pendapat bahwa

antara pembangunan dan lingkungan adalah sesuatu yang sangat bertentangan.

Pembangunan senantiasa dipandang sebagai tindakan yang mendegradasi

kualitas lingkungan hidup. Sementara kepentingan ekonomi mengharuskan

dilaksanakannya pembangunan, terutama pembangunan infra dan supra struktur

fisik.

Ekonomi sebagai subsistem dari lingkungan tidak berarti pertumbuhan

ekonomi tetap perlu diperhatikan karena menghentikan pertumbuhan ekonomi

dapat pula menyebabkan proses degradasi lingkungan, terutama berkaitan

dengan masalah kemiskinan, kurang tersedianya kebutuhan manusia dan

penggangguran.31

Seperti pendapat Mochtar Kusumaatmadja yang mengatakan

bahwa pembangunan ekonomi tersebut kurang tepat karena kita tidak dapat

membangun ekonomi suatu masyarakat tanpa menyangkutkan pembangunan segi-

segi kehidupan masyarakat lainnya32

. Pembangunan sosial masyarakat tidak akan

terlepas dari konsep perubahan sosial. Karena suatu pembangunan masyarakat

harus dimulai dari merubah pemikiran dan perilaku yang sudah tidak sesuai

dengan perkembangan jaman saat ini. Mengenai keteraturan, akan sangat

bergantung pada proses dalam pembangunan tersebut yang juga tak terlepas dari

peranan lembaga yang mengontrol supaya proses tersebut dapat mencapai apa

yang disebut ketertiban masyarakat. Hal ini sangat berhubungan dengan definisi

31

Ibid, h.24 32 Mochtar Kusumaatmadja, 1986, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan

Nasional, Penerbit Binacipta, Bandung, h.11.

hukum oleh Mochtar Kusumaatmadja yaitu “Hukum adalah keseluruhan azas-azas

dan kaedah-kaedah yang mengatur kehidupan masyarakat, termasuk didalamnya

lembaga dan proses untuk mewujudkan hukum itu kedalam kenyataan”. Atas

definisi inilah maka lebih tepat jika merujuk pada pendapat Roscoe Pound yang

dikutip Mochtar Kusumaatmadja yaitu “Law is a tool of a social engineering”,

yang diterjemahkan Hukum adalah sarana atau alat pembaharuan masyarakat33

.

Maka hukum harus menjadi garis depan dalam rangka pembangunan sosial

masyarakat yang artinya manusialah yang mengikuti perkembangan hukum bukan

hukum yang mengikuti perkembangan masyarakat. Selain itu juga norma hukum

harus tercermin dalam nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, seperti

ungkapan,”Ubi societas ubi ius”, dimana ada masyarakat disitu terdapat hukum.

Langkah selanjutnya untuk menuju kearah pembangunan berkelanjutan adalah

pembangunan berbasis lingkungan (ecodevelopment). Perkembangan teknologi

dan pertumbuhan industry akan membawa dampak langsung pada lingkungan,

terlebih lagi pada Negara-negara berkembang seperti Indonesia yang mempunyai

kekayaan alam yang sangat melimpah. Karena selama ini pembangunan ditujukan

agar pertumbuhan ekonomi mencapai taraf tertinggi hingga tidak memperdulikan

kondisi lingkungan. Permasalahan tersebut telah menjadi perhatian masyarakat

dunia dengan ditandatanganinya Deklarasi Stockholm tahun 1972.

Adapun keterkaitan Konsep tersebut diatas, dengan penilitian kali ini,

yaitu bahwa konsep pembangunan berkelanjutan mempunyai peranan yang

penting didalam menjabarkan arah pembangunan sehingga perlu dikembangkan

33

Ibid, h. 12

dan diimplementasikan pola pembangunan berkelanjutan (sustainable

development). Pengaturan dan pemanfaatan ruang pada kawasan sempadan

pantai nantinya tetap memperhatikan kondisi lingkungan yang ada disekitar

wilayah pantai, baik yang dapat dimanfaatkan dalam hal kegiatan ekonomi

maupun kegiatan sosial keagamaan. Disamping tetap menjaga lingkungan agar

tetap lestari dan nyaman ditinggali, lingkungan juga harus nantinya bisa

dimanfaatakan tidak saja untuk generasi sekarang, tetapi juga untuk generasi

mendatang.

1.8 Metode Penelitian.

Dalam rangka membuktikan kebenaran ilmiah dari penelitian ini, maka

dipandang perlu untuk mengumpulkan data dan fakta yang terkait dengan

permasalahan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian.

Menurut Soerjono Soekanto, “Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara

memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-

hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan

manusia” 34

.

Dengan demikian, penelitian akan berjalan dengan baik dan lancar sesuai

dengan rencana yang ditetapkan, karena suatu metode merupakan cara kerja atau

tata kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu pengetahuan yang

bersangkutan. Inti metodologi dalam penelitian hukum adalah menguraikan

tentang tata cara bagaimana suatu hukum harus dilakukan, sehingga penelitian

yang dilakukan adalah untuk memperoleh bahan hukum secara benar.

34

Soerjono Soekanto, 1994, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,

Jakarta, h.13.

1.8.1 Jenis Penelitian

Suatu penelitian dilakukan sebagai suatu usaha untuk menemukan,

mengembangkan, menguji kebenaran dan mencari kembali suatu pengetahuan

dengan menggunakan metode-metode ilmiah.35

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan (terutama) terhadap

bahan hukum primer dan sekunder, sepanjang bahan-bahan tersebut mengandung

kaidah hukum36

. Dalam penelitian hukum normatif menurut Jhony Ibrahim yakni

mencoba untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari

sisi normatifnya.37

Penelitian Hukum Normatif tersebut mencakup beberapa hal di dalamnya,

yaitu :

a. Penelitian terhadap asas-asas hukum, dimana dilakukan terhadap hukum

positif tertulis maupun tidak tertulis. Penelitian ini dapat digunakan

untuk menarik asas-asas hukum dalam menafsirkan peraturan

perundang-undangan. Selain itu, penelitian ini juga dapat digunakan

untuk mencari asas hukum yang dirumuskan baik secara tersirat

maupun tersurat.

b. Penelitian terhadap sistematika hukum, dimana dilakukan terhadap

pengertian dasar sistematik hukum yang meliputi subyek hukum, hak dan

35

Djam Satori, Aan Komariah, 2010, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Alfabeta,

Bandung, h.18. 36

Soerjono Soekanto, 2008, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Rajawali Pens Jakarta, h. 70 37

Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media

Publishing, Malang, h.57

kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, maupun obyek

hukum.

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum atau peraturan perundang-

undangan yang dilakukan dengan dua cara, yaitu :

1) Secara vertikal disini yang dianalisa adalah peraturan

perundang-undangan yang derajatnya berbeda yang mengatur

bidang yang sama;

2) Secara horizontal, dimana yang dianalisa adalah peraturan

perundang-undangan yang sama derajat dan mengatur bidang

yang sama.

d. Penelitian perbandingan hukum, dimana dilakukan terhadap berbagai

sistem hukum yang berlaku di masyarakat.

e. Penelitian sejarah hukum, dimana dilakukan dengan menganalisa

peristiwa hukum secara kronologis dan melihat hubungannya dengan

gejala sosial yang ada.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka aspek normatif yang

dimaksud adalah melakukan penelitian terhadap asas-asas hukum dan taraf

sinkronisasi antara peraturan hukum yang satu dengan peraturan hukum yang

lainnya dalam kaitannya dengan kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

dalam menetapkan batas kawasan sempadan pantai. Apakah Perda Arahan

Peraturan Zonasi Sistem Provinsi terkait penetapan batas sempadan pantai harus

mengacu pada apa yang ditetapkan dalam RTRW Nasional maupun pada Perda

RTRW Provinsi Bali, atau dapat ditetapkan berdasarkan kajian teknis dari

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui Peraturan Bupati/Walikota Tentang

Batas Sempadan Pantai, sehingga dari jawaban atas pertanyaan inilah nantinya

tersirat hal-hal yang harus dipertimbangkan oleh Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas kawasan sempadan pantai di wilayah

Kabupaten/Kota di Bali.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

peraturan perundang-undangan (statue approach), yakni mengkaji peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan kewenangan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas sempadan pantai. Dengan menggunakan

peraturan perundang-undangan sebagai bahan hukum primer. Pendekatan

perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua

Undang-Undang dan semua regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum

yang sedang ditangani.38

Disamping itu, penelitian ini juga menggunakan

pendekatan analisis konsep hukum (analytical conceptual approach), yakni

menganalisis bahan hukum terkait kewenangan Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota dalam menetapkan batas kawasan sempadan pantai berdasarkan

kondisi eksisting pemanfatan ruang.

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer yang

berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder yang berupa

buku, majalah, artikel dan lain sebagainya. Adapun teknik pengolahan bahan

38

Peter Mahmud marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, h.35

hukum yaitu setelah bahan hukum terkumpul kemudian di analisis menggunakan

teknik deskriptif yaitu dengan memaparkan bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder apa adanya.39

Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan deskripsi

mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian.40. Bahan

hukum yang dikaji dan yang dianalisis dalam penelitian hukum normatif terdiri

dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.41

Adapun bahan hukum primer yang dipergunakan antara lain :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang;

3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir

dan Pulau-pulau Kecil;

4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup;

5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

6) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang

Penyelenggaraan Penataan Ruang;

39

Amirruddin dan Zainal Asikin, 2003, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali

Press, Jakarta, h.68. 40

Peter Mhmud Marzuki, op cit, h.141. 41

Djam’an Satori, Aan Komariah, Loc.it

8) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2014 tentang

Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang

Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar,

Dan Tabanan;

9) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2016 tentang

Batas Sempadan Pantai;

10) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana

Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali; dan

11) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2015 tentang Arahan

Peraturan Zonasi Sistem Provinsi.

Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain, buku-

buku ataupun literatur-literatur, jurnal-jurnal hukum, pendapat para ahli, kasus-

kasus hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian

ini juga mempergunakan bahan hukun tersier berupa kamus hukum, internet dan

lain-lain.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Untuk memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti,

dikaitkan dengan jenis penelitian hukum normatif, maka teknik pengumpulan data

dimulai dengan menginventarisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan pemanfaatan ruang pada kawasan sempadan pantai. Setelah itu dibuat

intisarinya, lalu peraturan perundangan tersebut dicocokkan dengan pelaksanaan

dan kenyataannya dilapangan dengan mengumpulkan dokumen yang berkaitan

dengan permasalahan yang diteliti, selanjutnya sebagai data penunjang peneliti

mencoba menggali data di lapangan dengan melakukan wawancara dengan ahli di

bidang hukum serta para pihak yang terlibat dalam seputar permasalahan

penetapan batas sempadan pantai.

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Sesuai dengan sifat penelitian ini yang bersifat dekriptif, maka setelah

bahan hukum terkumpul, langkah-langkah yang diambil lebih lanjut adalah

deskripsi, kontruksi, interprestasi, evaluasi, argumentasi dan sistematisasi.42

Penelusuran data dalam penelitian ini mulai dari aspek pemanfaatan

ruang, dan aturan mengenai kawasan sempadan pantai serta penetapan batasnya

termasuk mengenai data lapangan yang merupakan kenyataan dan pelaksanaannya

yang ditemui di lapangan, kemudian diuji dan dianalisis dengan teori hukum yang

ada serta peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Terdapat beberapa

teknik analisis, antara lain :

1. Deskripsi : penggambaran apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi

dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum;

2. Kontruksi ; pembentukan kontruksi yuridis dengan melakukan analogi

dan pembalikan proposisi;

3. Interpretasi : berupa penggunaan beberapa jenis penafsiran yang terdapat

dalam ilmu hukum;

4. Evaluasi : penilaian oleh peneliti terhadap sesuatu yang tertera dalam

bahan hukum yang ada;

42

Sunaryati Hartono, 2006, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20,

PT. Alumni, Bandung, h.53

5. Argumentasi : terkait dengan evaluasi dikarenakan penilaian harus

berdasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum;

6. Sistematisasi : upaya mencari keterkaitan rumusan konsep hukum atau

proposisi hukum antara peraturan hukum yang sederajat maupun tidak

sederajat.

Dari beberapa teknis analisis tersebut diatas, dalam penelitian ini diperlukan

teknik analisis untuk memecahkan permasalah isu hukum yang diangkat yaitu

dengan menggunakan teknik analisis interpretasi.

Interpretasi (penafsiran) ini dilakukan untuk memahami makna dari suatu

norma, terutama dalam hal ditemukan norma yang kabur. Penafsiran hukum

terikat pada asas-asas umum, antara lain asas proporsionalitas, asas subsider, dan

asas patut. Disamping itu, telah berkembang pula berbagai jenis ajaran penafsiran

yang dikembangkan oleh para hukum.43

Menurut asas proporsionalitas, hakim

dalam menafsirkan suatu ketentuan hukum harus berpegang pada keseimbangan

antara kepentingan individu dan kolektif, antara hak dan kewajiban serta

keseimbangan antara materialisme dan spiritualisme. Asas subsider mengandung

prinsip bahwa penafsiran syaratnya hanya apabila peraturan itu tidak jelas.

Peraturan yang sudah jelas tidak perlu ditafsiran lagi. Selanjutnya, asas patut

dilakukan dengan berpegang pada prinsip moralitas artinya bahwa suatu

penafsiran tidak boleh bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan

norma-norma sosial lainnya.

43

I Dewa Gede Atmadja, Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum Sisi

Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekuen, Pidato Pengenalan jabatan Guru Besar

dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Univ. Udayana 10 April 1996, h.5

Dalam melakukan interpretasi hukum disebutkan ada 5 (lima) metode

penafsiran yang paling sering dipergunakan oleh hakim dalam melaksanakan

fungsi peradilan yaitu : 44

1. Penafsiran Gramatikal yakni penafsiran dengan mencari arti kata-kata

yang memang sudah tertuang dalam Undang-Undang.

2. Penafsiran Sistematikal yakni menafsirkan pasal Undang-Undang dengan

menghubungkan pasal-pasal lain dalam satu Undang-Undang atau pasal-

pasal dalam Undang-Undang lainnya.

3. Penafsiran Historikal yakni mencakup penafsiran dengan melihat sejarah

terjadinya suatu peraturan perundang-undangan dan penafsiran dengan

melihat perkembangan suatu lembaga hukum yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan.

4. Penafsiran Teleologikal, penafsiran dengan mencari maksud dan tujuan

dibuatnya peraturan perundang-undangan.

5. Penafsiran Ekstensif dan Restriktif, Penafsiran Ekstensif adalah

penafsiran yang memperluas arti kata. Sedangkan Penafsiran Restriktif

adalah mempersempit atau membatasi arti kata yang terdapat dalam

peraturan perundang-undangan.

Menurut Soeroso dalam Pengantar Ilmu Hukum, dirumuskan pula bahwa selain

5 (lima) penafsiran diatas, ada 2 (dua) penafsiran lagi yaitu ; 45

1. Penafsiran Otentik atau Penafsiran Secara Resmi (authentieke

interpretative atau officieele interpretative) ialah penafsiran secara resmi,

44

Purnadi Purwacaraka dan Soerjono Soekanto, 1989, Perundang-undangan dan

Jurisprudensi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.13, 15, 52. 45

R. Soeroso, 1993, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 107-108

dimana penafsiran ini dilakukan oleh pembuat undang-undang itu sendiri

atau oleh instansi yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan

dan tidak boleh dari siapapun dan pihak manapun.

2. Penafsiran Perbandingan yakni suatu penafsiran dengan membandingkan

antara hukum lama dengan hukum positif yang berlaku saat ini, antara

hukum nasional dengan hukum asing dan hukum kolonial.

Ilmu hukum dan praktek hukum telah memperkenalkan metode

penafsiran atau interpretasi yang relatif baru, yakni interpretasi antisipatif

(anticeperende interpretative), dikalangan ilmuan dalam rangka mengantisipasi

kemajuan iptek, globalisasi atau era “kesejagatan” penafsiran ini lebih dikenal

dengan istilah interpretasi futuristik. 46

Mengenai penafsiran antisipasi, menurut

Bambang Sutiyoso bahwa :47

Penafsiran antisipasif / Futuristik / dimasa mendatang / metode penemuan

hukum yang berupa antisipasi adalah penjelasan dan ketentuan Undang-

undang dengan berpedoman pada Undang-Undang yang belum

mempunyai ketentuan hukum seperti suatu Rancangan Undang-Undang

yang masih dalam proses pembahasan di DPR, tetapi hakim yakin bahwa

Rancangan Undang-Undang itu akan diundangkan (dugaan politis). Jadi,

interpretasi antisipatif adalah penafsiran dengan menggunakan sumber

hukum (Peraturan Perundang-undangan) yang belum resmi berlaku,

misalnya dalam Rancangan Undang-Undang yang nantinya akan

diberlakukan sebagai Undang-Undang.

Bertitik tolak dari pandangan para sarjana diatas, maka dalam membahas isu

hukum yang diteliti terkait penetapan batas sempadan pantai akan menggunakan

penafsiran gramatikal, penafsiran sistematis, penafsiran historikal, penafsiran

teleologikal dan penafsiran konseptual.

46

I Dewa Gede Atmadja, Op. Cit, h.10-11 47

Bambang Sutiyoso, 2006, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum

Yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, h.87.

1

1