72
EDISI XIII / 2008 1 EDISI 13/2008 www.thelightmagz.com FREE

TheLight Photography Magazine #13

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TheLight Photography Magazine #13

EDISI XIII / 2008 1

EDIS

I 13/

2008

www.thelightmagz.com

FREE

Page 2: TheLight Photography Magazine #13

2 EDISI XIII / 2008

THEEDITORIAL

EDISI XIII / 2008 3

THEEDITORIAL

PT Imajinasia Indonesia,

Jl. Pelitur No. 33A,

www.thelightmagz.com

Pemimpin Perusahaan/

Redaksi: Ignatius Untung,

Technical Advisor: Gerard Adi,

Redaksi: redaksi@thelightmagz.

com, Public relation: Prana

Pramudya, Kontributor: Novijan

Sanjaya, Thomas Herbrich,

Siddharta Sutrisno, Iklan:

[email protected] -

0813 1100 5200, Sirkulasi: Maria

Fransisca Pricilia,

[email protected],

Graphic Design: ImagineAsia,

Webmaster: Gatot Suryanto

“Hak cipta semua foto dalam majalah ini milik fotografer yang

bersangkutan, dan dilindungi oleh Undang-undang. Penggunaan

foto-foto dalam majalah ini sudah seijin fotografernya. Dilarang

menggunakan foto dalam ma-jalah ini dalam bentuk / keperluan

apapun tanpa ijin tertulis pemi-liknya.”

COVER: FOTOGRAFER: GERARD ADI

MAKE UP BY: PAC-MARTHA TILAAR

ART DIRECTOR: PENNY SEKARTAJI

DIGITAL IMAGING BY: C! Production

MODEL: DEWI SANDRA & TODY

ANTI KADALUWARSAKetika kita memulai suatu usaha untuk mencapai ambisi dan keinginan kita untuk menjadi yang terbaik atau setidaknya salah satu dari yang terbaik seringkali kita mempertaruhkan segala-galanya. Namun sayangnya motivasi ini seringkali me-luntur ketika kita sudah masuk dalam hitungan terbaik. Mulai dari comfort zone, cepat puas motivasi yang meluntur dan ratusan alasan lain melatarbelakangi mereka yang sudah masuk dalam hitungan terbaik untuk berusaha lebih keras lagi agar tetap bertahan menjadi yang terbaik.

Jika mau jujur kepada diri sendiri, kita memiliki banyak sekali contoh nama-nama besar di fotografi yang mulai kadaluwarsa. Tanpa bermaksud merendahkan mere-ka yang kebetulan kami kategorikan dalam kategori kadaluwarsa kami, anda kami ajak untuk mau dengan rendah hati melihat contoh dari mereka yang “salah jalan” sehingga dikartu merah oleh sikap mereka sendiri dari dunia fotografi. Tujuannya agar kita yang masih muda-muda dan masih memiliki ambisi untuk masuk dalam hitungan terbaik tidak masuk dalam jebakan kadaluwarsa.

Untuk alasan itu pulalah kami hadirkan portet-potret manusia anti kadalu-warsa, mulai dari Don Hasman yang masih “perkasa” dengan umur yang sudah mendekati kepala 7, kami hadirkan juga fotografer-fotografer yang sudah ke-nyang pengalaman dan ambisi untuk menjadi yang terbaik seperti Peter Tjahjadi dan Edy Purnomo. Dan untuk memacu kita yang baru memulai, kami hadirkan pula Iqbal Abidin yang baru saja meniti jalan menuju yang terbaik.

Semoga sajian kali ini bisa dilihat sebagai satu proses evaluasi yang memperkaya dibanding usaha menjatuhkan pihak-pihak tertentu.

The Light

Page 3: TheLight Photography Magazine #13

4 EDISI XIII / 2008

COVERSTORY

EDISI XIII / 2008 5

COVERSTORY

Page 4: TheLight Photography Magazine #13

6 EDISI XIII / 2008

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 7

FASHIONPHOTOGRAPHY

Dari sekian banyak subject di fotografi, fotografi fashion masih menjadi salah satu subject yang paling banyak peminatnya. Namun di tengah begitu banyak fotografer fashion, tidak banyak yang memiliki latar belakang pendidikan formal fotografi. Untuk itu pada kesempatan kali ini kami menghadirkan Peter Tjahjadi, seorang fotografer professional yang banyak melakukan pemotretan fashion dan sempat mengenyam pendidikan fotografi di Academy of Art University di negeri paman Sam.

“Saya belajar photography & graphic design, keduanya cukup membantu karena

PETER TJAHJADI,

KEJUJURAN MENILAI

BAKAT PRIBADI

Page 5: TheLight Photography Magazine #13

8 EDISI XIII / 2008

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 9

FASHIONPHOTOGRAPHY

fotografi berhubungan dengan kom-posisi dan layouting. Dan itu semua dipelajari juga di kelas graphic design.” Ungkapnya membuka pembicaraan dengan kami.Namun jauh sebelum belajar di negeri Paman Sam, Peter sudah lebih dahulu hidup di lingkungan fotografi karena ayahnya adalah seorang commercial photographer di Makasar.Belajar di AAU, dianggap Peter sebagai salah satu cara yang baik untuk mem-peroleh banyak kesempatan berlatih sambil dimentori dosen yang berpen-galaman dan berkualitas. “Di sana dos-en memberikan guidance untuk kita untuk mencari tahu di mana kekuatan kita lalu membantu kita untuk lebih kuat di bidang itu.” Ungkapnya.

Peter menyukai fashion karena lebih banyak berinteraksi dengan tim. “Saya suka mengatur-atur sesuatu, dan di fashion saya bisa melakukan itu.” Ujarnya. Peter menganggap dalam proses pemotretan fashion seharus-nya fotografer yang banyak berperan, bukan stylist, walaupun tetap harus bekerjasama dengan tim termasuk styl-ist. “Intinya, fotografernya harus tetap jadi leader.” Sambungnya.

Peter melihat sebagai seorang leader,

fotografer khususnya di bidang fashion harus bisa berkomunikasi dengan baik dengan model. “Harus bisa capture aura dan personality dari si model. Harus bisa create trust dari si model, sehingga kolaborasinya jadi baik dan hasilnya jadi bisa lebih optimal.” Ung-kapnya,.

Diminta komentarnya mengenai kon-disi perfotografian Indonesia, khusus-nya fashion Peter menjawab dengan diplomatis, “Foto fashion Indonesia ada progressnya, tapi akan lebih baik lagi jika lebih banyak menciptakan.” Ungkapnya. “Setidaknya kalau harus jadi follower, jadilah follower yang bisa memberikan aksen.” Sambungnya.Peter juga mengungkapkan bahwa kebiasaan untuk menciptakan style pribadi harus diperjuangkan sedini mungkin. “Harus dimulai dari muda untuk create your own style sebelum kadaluwarsa.” Tegasnya.

Peter mengajak fotografer-fotografer muda untuk lebih mau merecycle ide dan style fotografi. “Sekarang seuanya sudah berada di second generation, ide baru muncul dari proses recycle dan modification ide terdahulu. Untuk itu jangan pernah berhenti untuk merecycle tapi harus juga memberikan

“Setidaknya ka-lau harus jadi

follower, jadilah follower yang

bisa memberi-kan aksen.”

“Harus dimulai dari muda un-

tuk create your own style sebe-lum kadaluwar-

sa.”

“Fotografer fashion seka-rang banyak yang tidak me-mentingkan message. Pada-hal esensi fo-tografi fashion bukan sekedar bagus-bagusan saja, tapi ada pesan yang harus disam-paikan, ada seri fashion yang dijual di sana. Dan itu harus tetap dijaga dan dipenuhi.”

Page 6: TheLight Photography Magazine #13

10 EDISI XIII / 2008

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 11

FASHIONPHOTOGRAPHY

Page 7: TheLight Photography Magazine #13

12 EDISI XIII / 2008

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 13

FASHIONPHOTOGRAPHY

aksen dan memodifikasi agar menjadi sesuatu yang baru dan segar. Ungkap fotografer yang kini banyak memotret untuk majalah Prestige ini.

Untuk membantu agar foto jadi memi-liki nilai tambah Peter melihat pent-ingnya konsep dan juga tugas untuk menyampaikan pesan. “Fotografer fashion sekarang banyak yang tidak mementingkan message. Padahal esensi fotografi fashion bukan sekedar bagus-bagusan saja, tapi ada pesan yang harus disampaikan, ada seri fash-ion yang dijual di sana. Dan itu harus tetap dijaga dan dipenuhi.” Ungkapnya. Selain itu Peter juga menyayangkan banyaknya fotografer yang tidak mengerti lighting. “Fotografer harus knows about lighting. Konsep dan

teknis lightingnya harus berasal dari fotografer, walaupun eksekusinya bisa saja diserahkan ke orang lain.” Tegas-nya.

Untuk peralatan yang digunakan dalam fotografi, Peter menyarankan fotorgafer-fotografer muda untuk memilih peralatan yang tahan lama. “Yang penting awet dan stabil kuali-tasnya. Dan yang pasti harus kepakai. Research dulu, jangan langsung beli.

“Yang penting digital imaging

harus propor-sional, dan jan-gan menghan-

curkan esensi fotografi.”

“Ketika saya duduk di café saya bisa ban-yak melihat momen dan itu memberikan inspirasi buat saya.”

Page 8: TheLight Photography Magazine #13

14 EDISI XIII / 2008

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 15

FASHIONPHOTOGRAPHY

Page 9: TheLight Photography Magazine #13

16 EDISI XIII / 2008

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 17

FASHIONPHOTOGRAPHY

Jadi semua yang dibeli sudah yang paling optimal serta tidak sia-sia dan berlebihan.” Ujarnya.

Seperti banyak dijumpai pada foto fashion, Peter juga memanfaatkan olah digital pada sebagian fotonya. “Yang penting digital imaging harus propor-sional, dan jangan menghancurkan esensi fotografi.” Jelasnya.

Mengenai referensi dan inspirasi foto fashionnya, Peter banyak melihat visual. “Selain melihat foto orang lain, inspirasi juga datang dari real world.” Ungkapnya. “Ketika saya duduk di café saya bisa banyak melihat momen dan itu memberikan inspirasi buat saya.” Sambungnya. Sementara Peter juga mendapat inspirasi dari film, buku dan musik. “Kalau film lebih ke cinemato-grafinya, kalau novel lebih untuk trigger visual.” Ungkapnya. “Sementara music, saya belajar membayangkan visual dari music yang saya dengar.” Sambungnya.

Walaupun perkembangan teknologi digital seakan tidak pernah berhenti dan selalu menciptakan standar baru, namun Peter menganggap proses pembelajaran fotografi sebaiknya tetap berawal dari kamera film. “Ada senti-

“Ada senti-mental value ketika saya motret pakai film. Rasanya beda. Maka dari itu saya masih tetap suka me-motret pakai film.”

“Buat saya kon-sep itu bakat. Belajar hanya untuk menga-sah, tapi kalau bakatnya nggak ada, apa yang mau diasah?”

Page 10: TheLight Photography Magazine #13

18 EDISI XIII / 2008

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 19

FASHIONPHOTOGRAPHY

Page 11: TheLight Photography Magazine #13

20 EDISI XIII / 2008

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 21

FASHIONPHOTOGRAPHY

mental value ketika saya motret pakai film. Rasanya beda. Maka dari itu saya masih tetap suka memotret pakai film.” Ujarnya. Peter menganggap dengan belajar memotret dengan film, seorang fotorgafer bisa lebih menguasai dasar-dasar cara kerja kamera.

Peter mengatakan bahwa hal-hal yang harus diperhatikan untuk menjadi fotografer fashion, pertama-tama mindsetnya harus selalu mencipta. Kalau bisa selalu menciptakan trend baru. “It has to be something new and fresh untuk bisa mengekspose collec-tion yang difoto.” Ujarnya. Selain itu pentingnya konsep untuk memperkaya foto yang dibuat.Namun Peter melihat konsep dan kemampuan fotografi masih besar pengaruh bakatnya. “Buat saya kon-sep itu bakat. Belajar hanya untuk mengasah, tapi kalau bakatnya nggak ada, apa yang mau diasah?” Tegasnya. “Photography is an art form untuk menuangkan idealisme. Tapi kalau bakatnya nggak ada ya jangan dipaksa-kan.” Tambahnya. Peter melihat bahwa jika seorang fotografer memiliki bakat, bahkan tanpa pendidikan formal pun bisa jadi fotografer yang baik walaupun equipmentnya terbatas. “Untuk tahu kita berbakat atau tidak, ya kita sendiri-

lah yang menilai. Kalau salah menilai ya artinya 100% nggak talented.” Tegas-nya.

Ditanya nama-nama besar di fotografi yang memberi inspirasi baginya, Peter menyebut nama Peter Lindbergh. “Saya suka dia karena simple but beautiful.” Tegasnya. Peter melihat setidaknya ada dua gaya berfotografi di dunia ini.

“Untuk tahu kita berbakat atau tidak, ya kita sendirilah yang menilai. Kalau salah menilai ya artinya 100% nggak talented.”

Page 12: TheLight Photography Magazine #13

22 EDISI XIII / 2008

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 23

FASHIONPHOTOGRAPHY

Page 13: TheLight Photography Magazine #13

24 EDISI XIII / 2008

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 25

FASHIONPHOTOGRAPHY

Yang pertama adalah gaya amerika yang lebih mengedepankan intelegent concept di mana sebuah foto lebih ada maknanya. “Biarpun flat bright tapi ada message yang bisa diambil dari tiap foto-foto American style.” Jelasnya. Se-mentara aliran kedua adalah European style. “European style lebih banyak bereksperimen. Lebh berani. Berani untu aner.” Jelasnya.Peter sendiri melihat Indonesia lebih dekat ke US style walaupun belum ada yang benar-benar outstanding. “Fo-tografi Indonesia seperti belum tahu apa maunya.” Jelasnya.

Rencana Peter di masa yang akan datang adalah ingin masuk ke bidang commercial photography. “Jadi saya hanya mau motret dengan klien dan advertising agency yang cocok dengan

“Fotografi Indonesia seperti be-lum tahu apa mau-nya.”

Page 14: TheLight Photography Magazine #13

26 EDISI XIII / 2008

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 27

FASHIONPHOTOGRAPHY

saya dan sesuai dengan style saya. Ka-lau nggak cocok lebih baik nggak usah dipaksain karena akan jadi berantem juga.” Jelasnya. Selain itu Peter juga be-rencana membuat pameran. Dan dari segi bisnis, Peter menargetkan harus memiliki associate di masa yang akan datang. “Saya mau bikin second line. Karena kalau bisa tiga sampai lima ta-hun lagi saya mau bisa milih apa yang mau saya kerjain.” Jelasnya. “Jadi yang saya nggak mau kerjain akan saya kasih ke second line saya.” Sambungnya.

Di akhir pembicaraan kami, Peter berpesan kepada para fotografer muda yang ingin lebih serius di fotografi untuk mengasah bakat jika memang ada bakat. “Kalau tidak ada talent, lebih baik cari area di mana kita kuat dari-pada kita memaksakan diri.” Tegasnya.

“Kalau tidak ada talent, lebih baik cari area di mana kita kuat daripada kita memaksakan diri.”

Page 15: TheLight Photography Magazine #13

28 EDISI XIII / 2008

THEADVERTORIAL

EDISI XIII / 2008 29

THEADVERTORIAL

Page 16: TheLight Photography Magazine #13

30 EDISI XIII / 2008

MASTERTOM

EDISI XIII / 2008 31

MASTERTOM

You can work as a photographer for many, many years, but there will be one picture, which is your lifetime highlight (the photo which they show in the encyclopaedia, when you are famous. Hopefully). My most popular photo is “Elephants on a Bridge”. You give your best into every single photo, but only few reach that highest peak in quality and emo-tion, which makes a good photo an “all-time-standard” picture. This needs many years. And what is more: LUCK.

ELEPHANT ON A BRIDGE

Page 17: TheLight Photography Magazine #13

32 EDISI XIII / 2008

MASTERTOM

EDISI XIII / 2008 33

MASTERTOM

My photos are always composites. I love to make big pictures, a Hollywood kind of view. This photo was ordered by a group of concrete producers. Concrete is a thing of no interest, and they wanted to show it in emotional, spectacular scenes. The advertising agency had a nice headline: “Let’s hope it’s concrete!”They wanted to have a tiny, little bridge of concrete, and big elephants on it. I had to made an estimate with shoot-ing it on a real location in a jungle. What does it cost to build such a bridge and have real elephants going over

it? It would be an enormous amount of time to find out. And it would be extremely expensive. So I said to the agency: “That costs 885.212Dollars and 14Cents.” Too expensive, of course. That’s why we came up with building it as a mock-up in a studio in London. It was my first time shooting there, and I remember very well the moment, when I saw my name written on the big studio door: “Today’s photographer: Thomas Herbrick” My name is Thomas Herbrich, but okay.

The model maker built that set 5m wide and 3m high. Styrofoam was used for the rocks, coated with plaster and powdered coloured dust. The bridge is of wood. For the elephants we used four dummies, each 30cm big. We made casts of them, and by adding different trunks and ears, we got twelve nice looking elephants.

While preparing the set, the client asked for a technical sketch of the bridge, just to find out, if that con-

Page 18: TheLight Photography Magazine #13

34 EDISI XIII / 2008

MASTERTOM

EDISI XIII / 2008 35

MASTERTOM

struction really would withstand the weight of the elephants. After two days of checking (which made me really nervous) the found out: YES, it would work!

I wanted to have some green in it, and normally we use fresh spices. In that part of London they only had parsley. It was a lot of work to de-parsley the photo later…To make it look very real, I personally took all the dust out of every vacuum-cleaner in the studio, and poured it all over the set.I shot the scene in half a day on 8x10inch transparency. Preparing the set took four days.

Back in my studio in Düsseldorf/Ger-many, I made the postproduction. This is an example for an easy montage, since there are only few elements to combine: the studio set, the back-ground (Hawaiian jungle, which I bought from a stock agency), and a bit fog in the foreground. The less postpro-duction is needed, the better!

When it was finished, I wasn’t happy. That is dramatic moment in such a big production: “Thomas, it looks nice, but…” This is the pure horror for me!

I needed some hours to find out, was it was. TOO PRECISE!

That was it! But how to make a super-sharp, super-precise photo into a “low-level” one? I just copied it on 35mm film with my Nikon camera. For the post production it was useful to have it on 8x10 transparency, but the final copying process brought that photo to life…

That is something you should think about: The technical quality of a photo has to match with the content. For most of the pictures full sharpness and brilliance is useful. But not for all!Take a portrait of yourself – you may agree with me: less sharpness can be better…

Always good light!

Master Tom(Thomas Herbrich www.herbrich.com)

Page 19: TheLight Photography Magazine #13

36 EDISI XIII / 2008

MASTERTOM

EDISI XIII / 2008 37

MASTERTOM

Page 20: TheLight Photography Magazine #13

38 EDISI XIII / 2008

THEADVERTORIAL

EDISI XIII / 2008 39

THEADVERTORIAL

www.1001inspiration.com

1001 Indie Smile Character Contest Exhibition

Mau tahu seperti apa senyum Indonesia dalam bentuk paper toy bernama PEYO?Ayo lihat sendiri, dijamin kamu akan terbawa senyum juga :)

GRATISuntuk umum Digital Studio Fair

Lihat karya terbaik jebolan Digital Studio yang terampil mengulik paduan konsep kreatif dengan visual yang menarik dari bidang desain grafis, animasi, dan film.

Chris Lie is famous for his works on GI Joe comics. At Present, Chris handles many multinational companies clients such as AXN, Cartoon Network Asia, Burger King, MTV Asia, THQ and many others.

Chris LieWorld Class Comic Artist

Anuchai has been ranked as one of the best commercial photographer in the world by Archive magazine. His photography has won Clio and his achievements are announced in 200 best Ad photographers Worldwide Book, 2004-2007. (www.luerzersarchive.com).

Anuchai SecharunputongThe Best Commercial Photographer

Andi S. BoedimanCreative Industry Evangelist

Adez is a long time character animator turn into a production coordinator that bring together a team of animators to create a full scene for film production. His credits include a few TV Commercials and Sing to the Dawn-the first 3d animated film in Indonesia.

Steven Read responsible as the CG supervisor of Sing to the Dawn. This US$5 million 3d animated film is a joint collaboration between Indonesia – Singapore. Steven also highly involved as technical advisor in the acclaimed animation movie such as Happy Feet and Brother’s Grimm.

Steven Read*

Former CG Supervisor of Happy Feet

Seminar Topic:“The Making of Sing to the Dawn” : Understand the complex process to create a 3D animated � lm

Seminar Topic: “Revolutions in Comics” : Learn how comic visual vocabulary has in� uence the language of � lm.

Workshop Topic: “Storytelling and Comic Making Workshop” : Learn to engage readers through the power of storytelling in visual language

Workshop Topic:Experience the working process of creating a real world scene for a 3d animation � lm production

Seminar Topic: “The True Color of Creativity” : The secret of color and composition that tells a story about my perception and the beauty of color with all the extra meanings behind it

Seminar Topic:“The Power of Color in Visual Design”. Find the tips and techniques to control color & how color can affect our emotion

Deswara AuliaProduction Coordinator atInfinite Frameworks.

“Fire-Up Your Colourful Inspiration“ is a part of 1001 Inspiration Design Festival

www.1001inspiration.com

* To Be Affirmed Immediately

Information & Ticket ReservationElly: [email protected]: [email protected]

021-270 1518 (DS Blok M)021- 633 0950 (DS Cideng)021-458 41018 (DS Kelapa Gading)

Featured workshop

speaker

Featured workshop

speaker

Andi sees himself as a creative evangelist. His works has been published and showcased internationally and has won prestigious awards such as Western Art Director Club and International Designers Networks. The Founder of the sucessful Digital Studio Creative Education.

Tickets

(before June 27th)Early bird & Students Rate(After June 27th)Regular Rate

seminar

(23 july 2008, Blitz Megaplex Grand Indonesia)

350.000 IDR

500.000 IDR

workshop

(22 July 2008, Digital Studio College)

750.000 IDR

900.000 IDR

Supported byStrategic media partner Media partners

Organized by Gold Sponsor Silver SponsorPlatinum Sponsor Bronze Sponsor

Page 21: TheLight Photography Magazine #13

40 EDISI XIII / 2008

TRAVELPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 41

TRAVELPHOTOGRAPHY

Ada peribahasa mengatakan, semakin banyak isinya semakin merunduklah sebuah padi. Peribahasa ini kami temui pada sosok seorang fotorgafer senior Don Hasman. Don Hasman yang sudah mempelajari fotografi sejak tahun 1950an mungkin bisa menjadi satu contoh kedewasaan berpikir seorang fotorgafer. Di satu sisi Don Hasman tetap rendah hati, tidak meninggikan hati dengan membangga-banggakan pengalaman puluhan tahun berkarya di fotografi namun di sisi lain tetap memberikan sumbangsih dengan tetap berusaha kritis terhadap ketidak-ideal-an yang terjadi di kalangan fotografer muda. Dan sifat kritis ini pun dilakukan semata-mata dengan tujuan untuk memotivasi fotografer untuk

DON HASMAN, MENUAI MAKNA

HIDUP DALAM PERJALANAN

FOTOGRAFI

senantiasa mengejar kesempurnaan, bukan karena ingin menjelekkan, menghakimi atau mencibir orang lain karena pada akhirnya, segala pesan, saran, kritikan dan pemikirannya ber-dasarkan pada argumentasi yang bisa diterima oleh akal sehat.

Don Hasman tertarik untuk mem-pelajari fotografi ketika ia melihat kakaknya sering memotret keluarga. “Apa yang ia buat untuk menghentikan waktu sejenak membuat saya tertarik.” Ungkapnya untuk membuka perbin-cangan kami. “Bermodalkan ketertari-kan itu saya memberanikan mencoba memotret dengan kamera kakak saya tersebut menggunakan film 6 X 9 ketika ia sedang pergi. Namun pada akhirnya usaha belajar secara diam-diam saya itu pun diketahuinya. Saya pun diajarinya.” Kenangnya. “Tepatnta tahun 1951 saya mulai belajar fotografi secara serius.

Setelah menguasai fotografi, Don yang sempat bekerja di Aneta, sebuah kantor berita yang berlokasi tepat di gedung Antara saat ini pun mendapat kesempatan untuk memperkaya ref-erensinya ketika ia boleh melihat foto-foto dari seluruh duia yang dikirimkan ke Aneta. Segala sesuatu yang ada

“Apa yang ia buat untuk

menghentikan waktu sejenak

membuat saya tertarik.”

“Bagi saya ber-korban untuk memberi se-suatu untuk orang lain ada-lah baik.”

“Fotografer kita pada umum-nya lekas puas. Mereka bekerja dengan prinsip-prinsip ekono-mi; kalau ada yang gampang buat apa yang susah. Walau-pun itu manu-siawi.”

Page 22: TheLight Photography Magazine #13

42 EDISI XIII / 2008

TRAVELPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 43

TRAVELPHOTOGRAPHY

Page 23: TheLight Photography Magazine #13

44 EDISI XIII / 2008

TRAVELPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 45

TRAVELPHOTOGRAPHY

fotonya menjadi bahan referensi Don, termasuk agenda. Don pun melanjut-kan karir fotografinya dengan menjadi stringer di AP.

Pada tahun 1979 Don bekerja di tabloid Mutiara. Ia bertahan di sana hingga tahun 1995. Ketika hendak pen-siun pada tahun itu, Don ditahan dan ditawari perpanjangn masa kerja. Don pun menerimanya. Hingga pada 31 Desember 1997 Don mengakhiri masa kerjanya dan memutuskan pensiun. Hari itu juga Don mewujudkan keingi-nannya untuk berangkat ke Baduy. “Sejak 31 Desember 1997 hingga 31 Desember 1998 tercatat saya 38 kali bolak-balik ke Baduy.” Jelasnya. “Ini saya ungkapkan bukan untuk tepuk dada, tapi untuk menyatakan keseriusan saya untuk mengabdi kepada ilmu pengeta-huan.” Sambungnya.“Bagi saya berkorban untuk memberi sesuatu untuk orang lain adalah baik.” Sambungnya lagi.

Berkomentar mengenai fotografer-fo-tografer masa kini, Don pun berpenda-pat “Fotografer kita pada umumnya lekas puas. Mereka bekerja dengan prinsip-prinsip ekonomi; kalau ada yang gampang buat apa yang susah. Walaupun itu manusiawi.” Jelasnya.

“Tapi saya suka mengerjakan apa yang orang lain tidak kerjakan. Atau setidaknya kalau orang lain sudah mengerjakan, saya selalu mendorong saya untuk mengerjakan dengan lebih baik lagi.” Sambungnya.Sebagai contoh, Don Hasman pernah keluar masuk Papua untuk mencari tahu bagaimana Michael Clark Rock-efeller pernah hilang di Asmat. “Waktu itu bayak isu yang berkembang, termasuk ada yang bilang Michael Clark ditangkap suku Asmat dan boleh diapakan saja oleh mereka.” Tegasnya.

Don senang sekali berkeliling dunia, mengunjungi tempat-tempat unik baik yang sudah pernah ia kunjungi maupun yang belum. “ketika berkelil-ing saya motret apa saja yang saya temui. Semua yang saya temui saya sapu, nggak ada yang saya kasih lewat.” Jelasnya sambil tertawa.

Kesenangannya melakukan perjalanan ke seluruh pelosok dunia membawa Don menjadi salah satu orang yang dihormati oleh sebuah kelompok istimewa di Dunia. Kelompok itu bernama The Explorer Club. Pada suatu saat, tanpa berniat bergabung dengan kelompok itu sebelumnya Don diun-dang untuk menghadiri peringatan

100 tahun berdirinya kelompok itu. Dan ketika datang Don berjumpa dengan banyak orang-orang yang se-masa hidupnya sudah berkeliling dan menjelajah dunia.

Don sendiri pernah 3 kali ke Himalaya sejak tahun 1976. Ia juga pernah ke gunung Kilimanjaro pada tahun 1985. “Kalau mau jujur, saya ingin jadi orang yang pertama berada di tempat itu, setidaknya untuk orang Indonesia.” Jelasnya. Dalam melakukan perjalanan Don lebih senang melakakannya sendirian. “Jalan sendiri paling enak, saya tidak terganggu dan tidak mengganggu orang lain yang bersama saya.” Tegas-

“Tapi saya suka mengerjakan

apa yang orang lain tidak ker-

jakan. Atau setidaknya ka-lau orang lain

sudah menger-jakan, saya se-

lalu mendor-ong saya untuk

mengerjakan dengan lebih

baik lagi.”

“Di mana-mana kita ketemu orang baik, asal-kan kita mau baik.”

Page 24: TheLight Photography Magazine #13

46 EDISI XIII / 2008

TRAVELPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 47

TRAVELPHOTOGRAPHY

Page 25: TheLight Photography Magazine #13

48 EDISI XIII / 2008

TRAVELPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 49

TRAVELPHOTOGRAPHY

Page 26: TheLight Photography Magazine #13

50 EDISI XIII / 2008

TRAVELPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 51

TRAVELPHOTOGRAPHY

nya. Beruntung kebiasaan dan ket-ertarikannya untuk terus menjelajah didukung oleh keluarganya sejak awal.

Untuk menjalani hal tersebut Don me-lihat pentingnya keseimbangan antara ambisi dan fisik. “Ambisinya besar tapi fisiknya nggak mendukung ya nggak bisa juga, sebaliknya walaupun fisiknya kuat tapi kalau ambisinya segitu-gitu saja juga nggak akan kemana-mana dia.” Jelasnya.Perjalanan Don sering berawal dari pembicaraan mengenai suatu tempat yang ia belum pernah kunjungi. Set-elah mulai tertarik, Don mulai melaku-kan library research. Pada saat itu ia mulai mengumpulkan hal-hal menarik yang pada akhirnya berpengaruh pada keputusan apakah ia akan mengunjun-gi tempat itu atau tidak. Jika ia semakin tertarik ia pun mencari orang yang pernah datang ke tempat itu. Setelah itu baru ia menyusun rencana detail menyangkut pembiayaan dan jadwal.Don tidak pernah takut bertemu dengan orang jahat di tempat-tempat yang ia kunjungi. “Di mana-mana kita ketemu orang baik, asalkan kita mau baik.” Ujarnya.

Perjalanan Don ke seluruh penjuru dunia ditunjang kemampuannya di

“penting untuk kita untuk bil-ang apa adan-ya. Kalau pakai digital imaging ya bilang pakai digital imaging. Dan jujur da-lam segala hal. Toh kalau kita bohong bukan bohong sama orang lain, tapi sama diri sendi-ri.”

Page 27: TheLight Photography Magazine #13

52 EDISI XIII / 2008

TRAVELPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 53

TRAVELPHOTOGRAPHY

Page 28: TheLight Photography Magazine #13

54 EDISI XIII / 2008

TRAVELPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 55

TRAVELPHOTOGRAPHY

Page 29: TheLight Photography Magazine #13

56 EDISI XIII / 2008

TRAVELPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 57

TRAVELPHOTOGRAPHY

berbagai medan. Mulai dari gunung berapi, daerah bersalju, dataran tinggi, hingga dasar laut. Don sendiri men-gantongi 3 sertifikat menyelam di mana 2 sertifikat bertaraf internasional dan 1 sertifikat menyelam dari pasukan katak.

Ditanya mengenai akhir dari per-jalanannya ke berbagai daerah, Don mengaku ia akan berhenti ketika ia su-dah tidak bisa memotret dan tidak bisa berjalan. Don pun membuka kesempa-tan untuk menemani kenalannya atau

siapapun untuk berjalan ke daerah tertentu dengan syarat tertentu. “Saya mau menemani ke mana saja asal saya tidak dibayar. Kalau dibayar paling saya antar ke travel agent.” Ungkapnya sambil tertawa.

Berbicara mengenai fotografi, Don berpendapat bahwa dalam berfo-tografi salah satu hal yang penting adalah selalu jujur. “penting untuk kita untuk bilang apa adanya. Kalau pakai digital imaging ya bilang pakai digital imaging. Dan jujur dalam segala hal. Toh kalau kita bohong bukan bohong sama orang lain, tapi sama diri sendiri.” Ungkapnya. Don berpendapat bahwa setiap foto

“Gambar yang baik menurut

saya adalah gambar yang

bisa menggu-gah perasaan

orang. Bisa membuat orang

senyum, me-nangis, tertawa,

terdiam, dan lain

sebagainya.”

Page 30: TheLight Photography Magazine #13

58 EDISI XIII / 2008

TRAVELPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 59

TRAVELPHOTOGRAPHY

Page 31: TheLight Photography Magazine #13

60 EDISI XIII / 2008

TRAVELPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 61

TRAVELPHOTOGRAPHY

Page 32: TheLight Photography Magazine #13

62 EDISI XIII / 2008

TRAVELPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 63

TRAVELPHOTOGRAPHY

memiliki keistimewaan masing-masing. “Tapi lebih bagus kalau bermanfaat atau disukai orang lain.” Jelasnya. “Gambar yang baik menurut saya adalah gambar yang bisa menggugah perasaan orang. Bisa membuat orang senyum, menangis, tertawa, terdiam, dan lain sebagainya.” Sambungnya.

Untuk bisa menghasilkan hal itu Don menantang fotografer untuk selalu berusaha jadi yang terbaik. “Jadilh yang pertama dan yang terbaik, masalah berhasil atau tidak nggak usah dipikirin yang penting dijalani dulu.” Ujarnya.Don melihat pada dasarnya semua orang mampu, hanya permasalahan-nya kesempatannya mau diambil atau tidak. “Kesempatannya ada kalau nggak diambil ya nggak bisa, seba-liknya kalau mau tapi kesempatanya tidak diusahakan ya nggak bisa juga.” Tutupnya.

“Jadilh yang pertama dan yang terbaik, masalah ber-hasil atau tidak nggak usah dipikirin yang penting dijalani dulu.”

Page 33: TheLight Photography Magazine #13

64 EDISI XIII / 2008

LIPUTANUTAMA

EDISI XIII / 2008 65

LIPUTANUTAMA

Banyak fotografer senior berkata bahwa fotografi adalah proses. Proses dari ingin tahu yang mendorong orang menjadi mencoba. Dari mencoba menjadi jatuh cinta. Karena jatuh cinta pada fotografi, pehobi fotografi pun semakin sering memotret. Dari foto yang masih jauh dari bagus perlahan-lahan menjadi sangat dekat dengan bagus. Mudah-mudahan berproses dalam fotografi yang sering terucap dari mulut mereka yang sudah kenyang akan fotografi tidak termasuk proses dari bagus menjadi ketinggalan jaman dan kadaluwarsa.

Ya, tidak sedikit nama-nama dalam fotografi yang bermunculan, ada yang gugur dan tenggelam sebelum sempat menjulang. Ada yang sempat menjulang namun perlahan-lahan tenggelam oleh nama-nama muda yang lebih menjulang. Ada yang sempat menjulang dan terus dikenal sebagai fotografer yang disegani.

Pada kesempatan kali ini kami memberanikan diri untuk membahas fotografer-fotografer yang pernah sukses dalam kancah perfotografian Indonesia namun hilang diterjang persaingan yang begitu kejam. Kami menyadari bahwa seperti artikel-artikel provocative dan sensitive terdahulu, artikel ini mungkin juga akan memunculkan kontroversi dan perdebatan. Kami sendiri memilih untuk mem-biarkannya sebagai proses pendewasaan melalui diskusi-diskusi yang muncul setelah artikel ini terbit. Memandang begitu sensitifnya artikel ini, kami memilih untuk menyembunyikan semua nama baik yang dibicarakan sebagai pengalaman yang mengajari maupun mereka yang ikut berkomentar. Pada akhirnya, pemba-hasan kali ini dimunculkan bukan untuk merendahkan atau mengolok-olok atau

BERGURU PADA FOTOGRAFER KADALUWARSA

mencibir fotografer-fotografer yang kebetulan disebut kadaluwarsa, namun lebih untuk mengambil pengalaman-pengalaman mereka sebagai pelajaran yang sangat berharga bagi kita semua yang muda dan minim pengalaman. Seperti orang tua sering berkata kepada anaknya “kamu bapak kasih tahu kega-galan dan kesalahan kami di masa lalu bukan untuk diejek atau direndahkan tapi supaya kami jauh lebih baik dari kami nantinya.” Begitu juga dengan ar-tikel ini ditujukan untuk kebaikan masa depan fotografi Indonesia.

Di negara-negara barat di mana sejarah dan tradisi fotografinya sudah cukup panjang, banyak kita temui nama-nama fotografer yang masih memotret bahkan ketika sudah berumur 60 tahun lebih. Lalu ada komentar spontan yang muncul “wah, umur segitu masih motret, mungkin nggak begitu laku kali dia, jadi pas umur segitu masih har-us motret.” Ya pernyataan-pernyataan spontan seperti itu sah saja untuk di-lontarkan, namun kenyataannya tidak sedikit fotografer senior yang berumur di atas 60 tahun dan masih memotret karena kecintaannya terhadap fotografi disamping sentuhan fotografinya yang masih laku di jual. Banyak nama-nama besar di dunia perfotografian barat

Page 34: TheLight Photography Magazine #13

66 EDISI XIII / 2008

LIPUTANUTAMA

EDISI XIII / 2008 67

LIPUTANUTAMA

yang makin tua makin jadi. Seorang fotografer yang pernah kami wawan-carai pernah berkata bahwa untuk tetap exist sebagai fotografer di negara barat cenderung lebih mudah karena negara-negara barat adalah kiblatnya fotografi dunia. Mereka adalah trend setter, Jadi pilihan untuk bisa tetap exist cenderung lebih banyak, mereka bisa exist sebagai trend setter, atau jika tidak mereka bisa exist sebagai fol-lower yang sukses.Berbeda dengan kondisi fotografer di negara-negara ketiga termasuk Indonesia. “Indonesia bukanlah negara yang menjadi kiblat fotografi dunia. Artinya kesempatan fotografer Indo-nesia untuk bisa menjadi trend setter jauh lebih sempit dibanding di barat. Ini membuat fotografer Indonesia bisa dikatakan hanya punya satu pilihan untuk exist yaitu jadi follower yang sukses.” Ungkap JT salah seorang dosen seni rupa.

Senada dengan JT, AP seorang fo-tografer komersil juga berpendapat bahwa menjadi fotografer di Indonesia cenderung lebih berat tatangannya. “Karena Indonesia bukan trend setter fotografi, maka mental orang-orangnya juga mental follower. Selalu berkiblat kepada kepopuleran. Lihat saja, di neg-

ara-negara barat semua aliran musik bisa sama-sama hidup, mulai dari pop, rock, blues, jazz, reggae, sampai punk & R&B, tapi coba lihat di sini, hanya yang populer saja yang hidup, yang lainnya sekarat. Ketika lagi musim jazz, semua orang ikut ngejazz, ketika lagi musim dangdut, semua orang ikut dangdut. Hal yang sama kita jumpai juga di fo-tografi. Ketika foto-foto saturasi rendah populer semua fotografer ikut bikin foto dengan saturasi rendah. Ketika teknik highlight populer semua foto ikut bikin highlight, ketika foto fash-ion dengan pose yang ajaib dan tidak biasa populer semuanya ikut bikin gitu, sementara yang nggak bikin gitu tidak dilihat atau dianggap tidak bagus dan tidak exist.”Ungkap AP. “Yang menjadi permasalahan adalah semakin tua se-orang fotografer, fleksibilitasnya untuk up to date terhadap trend semakin kurang. Artinya makin tua makin nggak bisa megikuti trend. Nah ketika nggak bisa ngikutin trend itulah jadinya perla-han-lahan nggak laku.” Tambahnya.

AP melihat banyak kemunafikan yang dilakukan oleh fotografer-fotografer kadaluwarsa. “Mereka melalui pernyataan dan tindakan, seolah-olah melabeli diri dengan kata “pekerja seni”. Tapi sayangnya tidak paham den-

“Karena Indone-sia bukan trend setter fotografi,

maka mental orang-orangnya juga mental fol-

lower. Selalu berkiblat

kepada kepopuleran...”

“Yang menjadi permasalahan adalah semakin tua seorang fo-tografer, flek-sibilitasnya un-tuk up to date terhadap trend semakin kurang.

Page 35: TheLight Photography Magazine #13

68 EDISI XIII / 2008

LIPUTANUTAMA

EDISI XIII / 2008 69

LIPUTANUTAMA

gan kredo pekerja seni. Kredo seorang pekerja seni adalah mengejar kesem-purnaan. Nah karena kesempurnaan itu tidak terdefinisikan maka penge-jerannya seharusnya tidak berhenti membuat yang lebih bagus lagi. Bukan justru berhenti mengejar dan memberi predikat “cum laude” pada foto-fotonya sendiri lalu duduk puas dan berhenti mengejar yang lebih baik lagi.” Ung-kapnya. “Kalau begitu sikapnya, apa layak mengaku dan bertindak seperti pekerja seni?” sambungnya.

Mendengar pernyataan tersebut, me-mancing kami untuk mengkonfirmasi dari sudut pandang lain. SM, seorang creative group head perusahaan periklanan multinasional mengatakan bahwa penyebab seorang fotografer yang sudah exist di-black list atau tidak digunakan lagi ada 2. “Yang pertama adalah ketika sang fotografer sudah tidak up to date lagi. Saya pribadi pu-nya satu pengalaman dengan seorang fotografer yang sangat senior. Pada tahun 90an, ia adalah salah satu bench-mark fotografi di Indonesia. Kalau mau motret sama dia, antrenya bisa 2-3 min-ggu baru dapet schedulenya. Klien pun sangat puas. Tapi sayangnya gayanya nggak berubah dan nggak berkem-bang. Dari dulu sampai sekarang gayanya begitu-begitu aja. Style yang dulu pernah jaya masih juga dipakai sampai saat ini. Masalahnya marketnya sekarang sudah berbeda, selera orang berubah, berkembang. Jadi sudah nggak kepakai lagi deh stylenya dia. Akhirnya dia nggak pernah kita pakai lagi dan nggak kita anggap exist lagi. Bahkan kalaupun ia tiba-tiba datang dengan style baru yang lebih up to date pun belum bikin kita lebih milih dia dibanding fotografer-fotografer lain yang muda dan stylenya lebih fresh.” Ungkapnya.

“Nah alasan kedua seorang fotografer di black list adalah ketika sang fo-tografer tidak lagi sadar akan kedudu-kannya. Fotografer senior banyak yang lupa bahwa sehebat-hebatnya dan sesenior-seniornya mereka, mereka tetap saja berstatus konsultan atau bahkan lebih parah lagi ada yang menganggap supplier. Artinya, kepu-tusan tetap ada di tangan kita yang merupakan klien mereka. Fotografer seharusnya sadar bahwa dalam kasus pemotretan iklan, mereka hanyalah satu bagian dari proses eksekusi dari sebuah konsep dan strategi market-ing yang sudah disiapkan oleh banyak pihak. Jadi nggak bisa tiba-tiba sang fotografer ngacak-ngacak dengan nggak mau ngerjain yang kita minta dan hanya mau ngerjain yang menurut mereka baik. Apalagi mereka ada di posisi yang dibayar.” Jelasnya. SM memiliki pengalaman buruk den-

gan salah seorang nama yang sangat dikenal dan senior di dunia fotografi Indonesia terkait tidak maunya sang fotografer bekerjasama dengan adver-tising company yang menunjuknya. “ada seorang fotografer yang sangat terkenal di Indonesia, dulunya dia one of the best. Namanya bukan cuma dikenal kalangan yang menggunakan jasanya saja, tapi juga orang awam. Permasalahannya, mungkin karena ia merasa sudah menjadi selebriti,

“Mereka melalui pernyataan dan tin-dakan, seolah-olah

melabeli diri den-gan kata “pekerja

seni”. Tapi sayang-nya tidak paham

dengan kredo pekerja seni.”

Fotografer senior banyak yang lupa bahwa sehebat-hebatnya dan sesenior-seniornya mereka, mereka tetap saja bersta-tus konsultan atau bahkan lebih parah lagi ada yang men-ganggap supplier. Artinya, keputusan tetap ada di tangan kita yang merupa-kan klien mereka.

Page 36: TheLight Photography Magazine #13

70 EDISI XIII / 2008

LIPUTANUTAMA

EDISI XIII / 2008 71

LIPUTANUTAMA

dia nggak enak lagi diajak kerjasama. Terakhir saya motret sama dia, saya nggak boleh lihat proses pemotretan. Saya disuruh tunggu di luar, begitu dia selesai motret baru dia tunjukin hasilnya ke kita. Ketika hasilnya nggak sesuai dengan brief dan apa mau-nya kita, dia malah ngotot kalau itu yang bagus dan nggak mau merevisi kerjaannya. Ujung-ujungnya dia bilang, “kalian kan nunjuk saya karena ke-mampuan saya. Jadi percaya aja deh sama omongan saya. Kalau saya bilang ini yang bagus, artinya ya memang ini yang bagus.” Kalau kita ngomong foto seni sih sah-sah saja mau kayak gitu, tapi permasalahannya kita ngomong

foto untuk keperluan iklan. Kebayang nggak, proses pembuatan iklan kan selalu berawal dari riset konsumen yang melibatkan puluhan, ratusan atau bahkan ribuan konsumen. Setelah meriset konsumen, biasanya kita juga meriset pesaing, setelah itu baru meru-muskan strategi yang unik dan tepat untuk iklan tersebut. Nah kebayang ng-gak setelah melalui proses yang begitu panjang tiba-tiba fotografer yang kita tunjuk ternyata malah sok jadi seni-man dan bikin sesuatu yang berbeda dengan strategi yang kita tetapkan di awal. Lebih menyebalkannya lagi si fotografer dengan santainya bilang, “soal fotografi percaya deh sama saya.” Hal-hal seperti ini yang membuat kita jadi nggak hormat dan nggak mau ker-jasama dengan fotografer-fotografer kayak gini.” Tegasnya.

IP, seorang produser yang sudah lebih dari 40 tahun malang melintang di dunia periklanan dan fotografi se-bagai producer pun membenarkan pernyataan SM. “Ada salah seorang partner saya, dia fotografer, dulu dalam sebulan sedikitnya dia bisa memotret sebanyak 25 hari. Rata-rata per hari di bayar Rp. 10 Juta. Artinya per bulan ia bisa mengantongi Rp.250 juta, na-mun kenyamanan dan kesibukannya

mencari uang ternyata menjebaknya pada kenikmatan dan ia pun hampir tidak punya waktu untuk mengevalu-asi apakah hasil pekerjaannya masih cukup baik, masih cukup bisa diterima oleh pasar. Ia tidak pernah tahu, ia tidak pernah melihat-lihat perkemban-gan fotografi. Yang ia perhatikan hanya menerima layout dari klien, menga-jukan penawaran, dan memotret.” Jelasnya. “Kini bisa dapat Rp.10 juta per bulan dari motret saja sudah sangat bagus. Itupun cuma bisa ia dapat dari klien yang masih percaya terhadap “kharisma”nya.” Sambungnya.

Sementara pada bidang jurnalistik, kadaluwarsanya seorang fotografer terjadi salah satunya karena kesem-patan untuk tetap memotret semakin langka. RI, seorang wartawan senior mengungkapkan bahwa di bidang jurnalistik, ketika seorang fotografer sudah cukup senior, kecenderungan-nya ia akan ditempatkan di posisi managemen. Kerjaannya lebih banyak di belakang meja. Nah hal tersebut lah yang membuat insting fotografinya perlahan-lahan menjadi tumpul. Pada-hal jika diberi kesempatan yang sama, seorang fotografer jurnalis yang sudah senior pun bisa terus exist. RI melihat profesi fotografer jurnalis sebagai salah satu profesi yang tidak termakan

Page 37: TheLight Photography Magazine #13

72 EDISI XIII / 2008

LIPUTANUTAMA

EDISI XIII / 2008 73

SURFINGPHOTOGRAPHY

usia. Hal ini karena fotografer jurnalis cenderung mengutamakan kepekaan. Sementara segi artistiknya relatif tidak banyak perubahan kecuali masalah komposisi.

Seperti kata pepatah, lebih mudah mendapatkan daripada memper-tahankan. Mungkin ini juga berlaku juga pada eksistensi seorang fotor-gafer. Mengenai penyebab seorang

fotografer terjebak pada perangkap kadaluwarsa kami memilih untuk mengelompokkannya menjadi 2 penyebab. Yang pertama adalah penyebab yang berasal dari dalam diri sang fotografer, mulai dari sikap som-bong, sikap tidak mau bekerjasama dengan baik, tidak kooperatif, sikap cepat puas dengan hasil karyanya, tidak mau mengupgrade kemampuan, mengupgrade layanan (jika berprofesi sebagai fotografer komersil & wed-ding). Sementara factor kedua adalah factor dari luar, yaitu kesempatan untuk terus mengasah kemampuan fotografinya “dipotong” oleh organisasi tempatnya bekerja. Namun dari kedua factor tersebut, faktor dari dalam diri sendiri lah yang terlihat lebih dominan. Bagaimana dengan anda? Ada pada kuadran mana anda? Kuadran menuju kadaluwarsa kah? Atau kuadran menu-ju perjuangan untuk terus exist.

Page 38: TheLight Photography Magazine #13

74 EDISI XIII / 2008

EDITORIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 75

EDITORIALPHOTOGRAPHY

Jalan hidup manusia memang tidak ada yang tahu. Sepertia jalan hidup Edy Purnomo, seorang fotografer jurnalis & editorial yang cukup mendapat apre-siasi positif dari rekan-rekannya sesama fotografer jurnalis & editorial. Sebelum akhirnya bekerja dan mencari nafkah dari fotografi, Edy bekerja sebagai tenaga marketing sebuah produk interior fabric. Karena kantor tempat ia bekerja dekat dengan Galeri Antara, Eddy pun memutuskan untuk belajar di sana dan akhirnya membuatnya menceburkan diri menjadi fotografer jurnalistik & editorial.

Kegemaran Edy ber-traveling diakuinya sebagai salah satu alasannya terjun ke fotografi jurnalis & editorial. “Saya senang banget travel. Saya senang berhubun-gan dengan manusia. Dan kebetulan hal itu salah satu tuntutan seorang fotor-gafer jurnalis, yaitu kemampuannya berhubungan dengan manusia.” Ungkapnya. “Setiap datang ke tempat baru selalu ada yang baru. Itu yang menarik buat saya.” Sambungnya.Edy mengaku sangat menyenangi berinteraksi dengan orang lain. Ia juga gemar membaca. Setiap kali mendapat kesempatan meliput ke suatu tempat Edy selalu memulai dengan mengobrol dengan penduduk setempat. “Begitu sampai lokasi, saya selalu ngobrol sama orang sekitar, observasi dulu. Mencoba membangkitkan memori tentang tempat itu. Cari tahu pernah terjadi apa di situ dan apakah ada hubungannya dengan momen yang mau kita liput.” Jelasnya.

Teknik itu diakui Edy dapat meningkatkan kemampuan story telling pada sebuah foto. “Di Indonesia kemampuan fotografinya selalu tambah meningkat. Sayang-nya masih hanya pada tahap teknis, sementara kemampuan story tellingnya

EDY PURNOMO, SETIA DI JALUR FREELANCE

masih lemah.” Jelasnya.Bukti yang paling mudah adalah tingkat kesamaan angle cerita yang dihadirkan fotografer lokal. “Coba lihat media-media kita. Ketika membahas suatu berita anglenya sebagian besar sama. Sedikit sekali atau bisa dibilang hampir tidak ada yang berbeda.” Jelas-nya. “Ini bisa berasal dari fotografernya yang memang tidak mau mencari angle yang berbeda. Atau bisa juga dari medianya yang maunya cari yang aman-aman saja.” Sambungnya.

Di Indonesia, Edy masih melihat ban-yaknya redaktur yang mencari angle berita yang aman. “Redaktur di sini, nggak mau mencari apa yang nggak didapat majalah lain. Jadi nggak heran kalau angle beritanya itu-itu lagi” Tegasnya.

Jika ditelusuri lebih dalam lagi, Edy melihat cara pemilihan seseorang untuk menduduki jabatan atau posisi tertentu di media juga ikut andil dalam kondisi yang kurang menggembira-kan ini. “Misalnya saja, di Indonesia, editor foto sebagian besar harus dari fotografer. Jadi fotografer yang sudah senior, diangkat menjadi editor. Dengan pertimbangan dia memiliki pengalaman pada apa yang dilakukan

“Setiap datang ke tempat baru selalu ada yang baru. Itu yang menarik buat saya.”

“Di Indonesia kemampuan fotografinya selalu tam-bah mening-kat. Sayangnya masih hanya pada tahap teknis, sementa-ra kemampuan story tellingnya masih lemah.”

Page 39: TheLight Photography Magazine #13

76 EDISI XIII / 2008

EDITORIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 77

EDITORIALPHOTOGRAPHY

Page 40: TheLight Photography Magazine #13

78 EDISI XIII / 2008

EDITORIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 79

EDITORIALPHOTOGRAPHY

Page 41: TheLight Photography Magazine #13

80 EDISI XIII / 2008

EDITORIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 81

EDITORIALPHOTOGRAPHY

Page 42: TheLight Photography Magazine #13

82 EDISI XIII / 2008

EDITORIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 83

EDITORIALPHOTOGRAPHY

fotografer-fotografernya.” Jelasnya. “Padahal nggak harus seperti itu. Di belanda ada seorang editor yang latar belakangnya justru dari marketing. Ia tidak bisa memotret, tapi yang penting ia tahu visual, tahu design dan tahu selera market sekarang.” Sambungnya.

Edy menemui hal yang berbeda di luar negeri di mana justru seorang editor bisa jadi fotografer. “Di luar negeri fo-tografer dan editor foto bukan struktur karir. Artinya tidak ada yang lebih ting-gi tidak ada yang lebih rendah. Bukan karena editor foto tugasnya memilih foto yang akan ditampilkan lalu diang-gap sebagai orang yang berposisi lebih tinggi daripada fotografer, namun hanya karena memang itu tugasnya.” Jelasnya.“Kalau editor merupakan posisi yang lebih tinggi dari fotografer dalam struk-tur karir maka resikonya ketika seorang fotografer dijadikan editor maka yang dibawanya adalah gaya lamanya. Kare-na kecenderungannya fotografer yang diangkat menjadi editor adalah yang sudah senior. Padahal nggak semua yang senior masih up to date dengan gaya saat itu, Jadinya ya gaya berfo-tografi beberapa tahun ke belakang ketika ia berjaya lah yang dibawa saat ini. Ya saya juga nggak mau nyalahin

kalau jadinya gitu.” Sambungnya.

Edy juga berpendapat bahwa menjadi-kan foto sebagai hal yang sama pent-ingnya degan teks seharusya menjadi perjuangan para fotografer. “Orang fotografi masih menjadi orang nomor 2, wartawan tulisan yang masih jadi nomer 1. Buktinya, ketika wartawan tulisan memperkenalkan fotografer yang menjadi partnernya ke nara sum-ber seringnya mereka ngomong, ini fotografer saya.” Jelasnya.

Saat ini, Edy memutuskan untuk menjadi fotografer lepasan setelah beberapa tahun bekerja tetap untuk Antara, AFP & Getty Images. “Sekarang saya freelance saja. Banyaknya untuk Getty Images & Jiwa Foto. Terkadang saya memotret juga untuk NGO, dan korporat.”Jelasnya. Iklim fotografer lepasan menjadi menarik buat Edy setelah tahun 1998 hal ini karena se-bagai freelance Edy bisa menentukan jenis pekerjaan yang mau dijalani. Dan sementara ini masih bisa jalan karena Indonesia masih disorot, artinya masih banyak butuh peliput berita di Indo-nesia. Walaupun begitu Edy mengakui untuk bisa menjalani profesi fotografer lepasan, Edy banyak menerima peker-jaan dari luar negeri. Untuk itu hubun-

“Orang fotografi masih menjadi

orang nomor 2, wartawan tulisan yang

masih jadi nomer 1.”

“Perlu diin-gat, tuntutan kemampuan seorang fo-tografer free-lance lebih ting-gi dibanding fotografer tetap. Ini mencakup aspek manaje-men, account-ing, bahasa, dan yang sudah pas-ti kemampuan fotografinya.”

Page 43: TheLight Photography Magazine #13

84 EDISI XIII / 2008

EDITORIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 85

EDITORIALPHOTOGRAPHY

Page 44: TheLight Photography Magazine #13

86 EDISI XIII / 2008

EDITORIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 87

EDITORIALPHOTOGRAPHY

Page 45: TheLight Photography Magazine #13

88 EDISI XIII / 2008

EDITORIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 89

EDITORIALPHOTOGRAPHY

Page 46: TheLight Photography Magazine #13

90 EDISI XIII / 2008

EDITORIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 91

EDITORIALPHOTOGRAPHY

gan network dengan media asing juga harus dibangun dengan baik.

Namun dari sekian banyak kenikmatan yang dirasakan Edy pada jalur free-lance, Edy juga merasakan beberapa masalah yang mau tak mau harus dihadapi sebagai fotografer freelance. “Masalah yang pertama adalah menge-nai hak cipta. Banyak di Indonesia yang belum tahu masalah ini. Selanjutnya adalah akses yang terbatas terutama

ke instansi pemerintah. Misalnya ketika mau meliput di Istana, Seorang fotografer yang bekerja pada suatu media akan dengan mudah masuk dengan tanda pengenalnya. Namun seorang freelance akan sulit diterima karena kartu pengenalnya tidak me-wakili sebuah media.” Jelasnya. “Semen-tara di luar negeri, fotografer lepasan sama mudahnya keluar masuk instansi pemerintah karena mereka menge-nal photo agency tempat fotografer freelance bernaung. Sementara di sini, mereka nggak kenal dan nggak begitu percaya denagn photo agency.” Sambugnya.

Masalah lain yang sering dihadapi Edy sebagai freelance adalah standarisasi harga. “Kalau kita bekerja untuk sebuah media, semua hitungannya sudah jelas dan sudah baku. Bagus jeleknya sudah ketahuan di awal. Namun kalau free-lance seringkali tawar menawar dilaku-kan. Walaupun kalau untuk media luar negeri angkanya seringnya lebih ba-gus. Karena di luar negeri ukuran foto juga berpengaruh.” Jelasnya. Masalah terakhir yang juga sering menjadi batu sandungan sebagai freelance adalah masalah dukugan finansial. “Freelance seringkali harus memiliki finance back up yang cukup baik. Ini karena sering-kali ketika kita memotret kita harus jalan dulu dan menanggung segala biaya perjalanan sendiri terlebih da-hulu. Setelah pekerjaan selesai, bisa 1-2 bulan baru dibayar. Tapi kalau di luar negeri cukup fair. Misalnya saja di Getty Images, segala expenses ditanggung unlimited tapi tidak termasuk alcohol.” Jelasnya. “Namun walaupun tidak ada batas, kita tetap tahu diri lah, jangan pilih hotel yang super mahal. Pilih yang wajar-wajar saja.” Sambungnya.

Untuk mengatasi berbagai macam permasalahan tadi, Edy menyarankan seorang fotorgafer freelance harus membina reputasi dan network. “Perlu

“Diskusilah dengan siapa pun. Karena dari situ wawasan kita akan banyak terbuka.”

Page 47: TheLight Photography Magazine #13

92 EDISI XIII / 2008

EDITORIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 93

EDITORIALPHOTOGRAPHY

Page 48: TheLight Photography Magazine #13

94 EDISI XIII / 2008

EDITORIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 95

EDITORIALPHOTOGRAPHY

Page 49: TheLight Photography Magazine #13

96 EDISI XIII / 2008

EDITORIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 97

EDITORIALPHOTOGRAPHY

Page 50: TheLight Photography Magazine #13

98 EDISI XIII / 2008

EDITORIALPHOTOGRAPHY

EDISI XIII / 2008 99

SURFINGPHOTOGRAPHY

diingat, tuntutan kemampuan se-orang fotografer freelance lebih tinggi dibanding fotografer tetap. Ini men-cakup aspek manajemen, accounting, bahasa, dan yang sudah pasti kemam-puan fotografinya.” Tegasnya.

Bagi fotografer-fotografer muda, Edy berpesan untuk rajin ikut workshop, walaupun harus tetap selektif. “Diskusi-lah dengan siapapun. Karena dari situ wawasan kita akan banyak terbuka.” Ujarnya. “Jangan memahami fotografi hanya sekedar alat/teknis nya saja. Tapi perkaya dengan non teknisnya. Cari referensi di luar fotografi, mulai dari film hingga buku. Dengan begitu kita bisa memperkaya pikiran kita.” Sam-bungnya.

Edy melihat banyak fotografer yang kurang mau terbuk terhadap hal yang baru. “Misalnya kasodohan. Dari dulu liputannya selalu gitu-gitu saja kalau nggak landscape, ya human inter-est. Padahal Kasodohan bisa dikemas menjadi satu cerita yang berbeda dari angle lain, misalnya dari benda-benda di sekeliling situ.” Tutupnya.

“Jangan mema-hami fotografi hanya sekedar alat/teknis nya

saja. Tapi perka-ya dengan non teknisnya. Cari

referensi di luar fotografi, mulai dari film hingga

buku. Dengan begitu kita bisa

memperkaya pikiran kita.”

Page 51: TheLight Photography Magazine #13

100 EDISI XIII / 2008

THELEPASAN

EDISI XIII / 2008 101

THELEPASAN

Rene Descartes, yang dianggap sebagai bapak filsafat atau ilmu pengetahuan modern, berpendirian bahwa semua ilmu pengetahuan seharusnya hanya ber-muara dari satu metode saja, yaitu metode yang ia ciptakan sendiri, je pense donc je suis atau cogito ergo sum (aku ragu-ragu/berpikir maka aku ada). Tidak ada ilmu pengetahuan yang berdiri di atas metodologi yang valid kalau tidak mulai dari “le doute methodique” (metode kesangsian) ini. Berpikir/meragu-ragukan berarti mengadakan suatu jarak dengan objek yang bersangkutan, apapun objek itu. Kepastian yang nanti ditemukan merupakan kegiatan akal budi semata-mata. Jadi, akal budi merupakan “satu-satunya sumber” atas segala hal yang ada di dunia untuk diilmiahkan.

Dua abad kemudian, Georg Wilhelm Friedrich Hegel, dengan jumawa mem-proklamirkan bahwa filsafatnyalah yang paling benar di dalam sejarah filsafat sistematik, sejak filsafat Yunani Kuno sampai ke ujung zaman yang entah kapan itu akan berakhir. Tepatnya, semua filsafat yang pernah ada, yang saat ini ada,

GOOD PICTURE ATAWA

GAMBAR INDAHOleh: Siddhartha Sutrisno

(Bagian 1)

“Manusia berpikir, Tuhan pun tertawa”(Milan Kundera)

Prolog: Dogmatisme dan Anti Dogmatisme

dan yang akan ada, dapat dimasukkan dalam sistem filsafatnya.

Cartesian doubt/Rasionalisme Des-cartes dapat disebut sebagai sumber dari kemunculan totalitarianisme ber-pikir. Ia memang dapat secara meya-kinkan menunjuk rasio manusia seba-gai substansi mental yang mengatasi segala-galanya. Berarti selesailah sudah pencarian manusia bagi pembangunan pengetahuan secara esensial, Final! Benarkah?

Alkisah, sebelum ajalnya, Karl Marx sempat memprotes para pengikutnya, bahwa dirinya yang bernama Marx tidaklah identik dengan Marxisme. Arti-nya, kelahiran pemikiran/aliran yang dogmatis sebenarnya tidak langsung bersangkut-paut dengan sang pemikir yang dianggap memelopori aliran tersebut, namun disebabkan pemikiran itu telah dimodifikasi oleh penganut-penganutnya untuk di propagandakan sebagai satu-satunya kebenaran.

Good Picture atawa Gambar Indah, dalam hal ini mau tak mau harus menunjuk. Menunjuk kepada apa yang disebut dengan fotograf, fotograf yang baik (jika itu ada, bukankah dalam filsafat, yang ada dan mungkin ada,

Tulisan ini lebih memilih perbin-cangan, sem-bari mengingat kembali, sambil menjelajah ke berbagai masa, juga menemui arogansi, sam-bil bersyair, menyanyi, me-lukis, dan ber-hitung. Demi suatu proses, pencarian ten-tang good pic-ture, pun jika itu ada. Tulisan ini memilih untuk anti dogmatis!

Page 52: TheLight Photography Magazine #13

102 EDISI XIII / 2008

THELEPASAN

EDISI XIII / 2008 103

THELEPASAN

semuanya adalah ada). Pertanyaannya, seperti apa fotograf yang baik? Jika, tulisan ini mengejar apa definisi good picture, niscaya hanya akan menjadi indoktrinasi dan pasti mengecewakan karena sifatnya yang verbal-menggu-rui. Tulisan ini lebih memilih perbincan-gan, sembari mengingat kembali, sam-bil menjelajah ke berbagai masa, juga menemui arogansi, sambil bersyair, menyanyi, melukis, dan berhitung. Demi suatu proses, pencarian tentang good picture, pun jika itu ada. Tulisan ini memilih untuk anti dogmatis!

Mencari dan Terus Mencari

Mencari good picture sebenarnya ada-lah pencarian yang tiada berakhir, sep-erti jika kita bertanya tentang kosmos, penuh dengan teka-teki, simpul-simpul yang membuka sampai akhir. Penjela-jahan yang tak pasti akan isi maupun batas-batasnya. Ibarat seorang fo-

tografer yang bermaksud memotret wajah kosmos. Dengan segala daya pemikiran, imajinasi, intuisi, dan alat potret yang ada di tangan. Ia seolah tahu wajah itu indah, karena ia mem-punyai “data” mengenai hidung, alis, dan mata si wajah. Akan tetapi, sebera-pakah pesek hidungnya? Seberapakah tipis alisnya? Seberapakah pedih sinar matanya? Semua tetap rekaan yang tidak pernah dapat ia ujikan. Keinda-han sebagai kosmos yang tampil ke hadapannya selalu saja berupa sebuah ketakselesaian; seraut wajah tak dikenal di antara begitu banyak wajah keindahan yang kita bangun untuknya. Teringat akan sebuah dialog:

“There are more things in heaven and on earth, Horatio,Than are dreamt of in your philosophy”(“Hamlet”, William Shakespeare)

Lewat itu, kosmos, kebaikan, keindahan adalah sebuah keasingan yang terasa “begitu perih” karena begitu susah un-tuk dipahami. Keasingan yang hampir-hampir mistis sifatnya, seperti warna-warni cakrawala yang menakjubkan sekaligus berat membingungkan.

Kebaikan Klasik

Xenophon, dalam tulisannya, “Sympo-sion”, menyejajarkan arti kata ujud (morphe) dan penampakan (eidos) dengan arti kata “indah”. Baginya, keindahan tidak hanya ditujukan untuk memberi predikat pada gejala di alam saja, tetapi juga untuk hasil karya dan tingkah laku manusia. Pengertiannya tentang “yang indah” meliputi juga aspek guna. Bila suatu karya dapat memenuhi fungsinya sesuai dengan hakikat tujuan keberadaan benda itu, maka benda itu indah. Bagi Xenophon, keberaturan (order) identik dengan keindahan, karena baginya order bukan sesuatu yang bersifat formal, melainkan penampakan dari hierarki hubungan antar strukturnya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, kein-dahan memiliki arti lebih dari sekedar estetika karena sudah merambah pada pandangan hidup. Seperti yang ia kata-kan: “Keindahan bukanlah hasil ciptaan subjektif dari individu tertentu, tetapi merupakan realitas ontologis”.

Pythagoras, mengungkapkan bahwa seluruh universum dapat disimpul-kan dengan angka-angka. Baginya, matematika adalah hukum dasar dunia dan karenanya juga menjadi hukum

Tidak ada ilmu pengetahuan yang berdiri di atas metodologi yang valid ka-lau tidak mulai dari “le doute methodique” (metode kes-angsian)

Lewat itu, kosmos, kebaikan, keinda-

han adalah sebuah keasingan yang

terasa “begitu perih” karena begi-

tu susah untuk di-pahami. Keasingan yang hampir-ham-pir mistis sifatnya,

seperti warna-war-ni cakrawala yang

menakjubkan seka-ligus berat

membingungkan.

Page 53: TheLight Photography Magazine #13

104 EDISI XIII / 2008

THELEPASAN

EDISI XIII / 2008 105

THELEPASAN

keindahan. Ketika hukum Kepler lahir, ia mengingatkan orang pada kerind-uan Pythagoras akan harmoni bilangan serta keunggulan geometri. Melalui hukum itu pula, kita diajak mendengar bumi melantunkan mi-fa-mi dalam kunci nada G. Dengan sedih, Kepler menafsirkannya sebagai bumi yang merintih dengan suara alto sepanjang tahun…MIsery…FAmine…MIsery.

Dalam liriknya, Sappho, mengatakan bahwa yang indah (das Schone) hany-alah untuk mata, tetapi yang baik (das Gute) akan dengan sendirinya indah. Dalam liriknya, arti kata indah dipakai untuk menggambarkan kesempurnaan fisikal (badaniah) dengan pengertian adanya jiwa yang indah, atau sifat luhur sebagai pengejawantahan sifat baik yang hanya dipunyai oleh manusia.

Plato dapat dikatakan yang pertama membahas term “indah” dan “baik” dengan rinci. Dalam pengertiannya, indah berarti penampakan suatu vi-sual, tersirat di dalamnya harmoni dan spiritual. Meskipun yang spiritual tidak tertangkap oleh indra manusia, karena spiritualitas selalu dalam kerangka hukum harmoni, dengan sendirinya yang spiritual pun terkait dalam arti

kata indah.

Ernesto Grassi dalam interpretasinya terhadap Homer menyatakan bahwa arti kata indah memiliki makna yang lebih jauh dari estetika karena men-gandung unsur “pemutlakan pandan-gan dan nilai” (Verabsolutierung der Vorstellungen und der Werte).

Uraian sederhana di atas hanya meru-pakan kerangka umum untuk mencari keindahan gambar/foto dari “sudut pandang seni” dalam kebudayaan klasik. Hakikat kehadiran seni pada kebudayaan klasik (pada kenyataan-nya pengaruhnya masih begitu kuat kita rasakan atas pengaruhnya dalam fotografi sampai saat ini) bertumpu pada tiga sebab utama, yaitu: mimesis, mythos, dan praxis.

Mimesis merupakan dasar untuk memahami. Pengertiannya harus lebih kontekstual, tidak terbatas pada semantik. Mimesis maksudnya tidak hanya meniru gejala visual saja, tetapi juga menampakkan sifat-sifat spiritual dari objek yang ditiru, terutama sifat-sifat indahnya, seperti yang digam-barkan dalam teori dunia idea dengan hierarki teleologi yang dilahirkan Plato.

Dalam liriknya, Sappho, men-

gatakan bahwa yang indah

(das Schone) hanyalah un-

tuk mata, tetapi yang baik (das

Gute) akan den-gan sendirinya

indah.

Mencari good picture sebe-narnya adalah pencarian yang tiada berakhir, seperti jika kita bertanya ten-tang kosmos, penuh dengan teka-teki, sim-pul-simpul yang membuka sam-pai akhir. Pen-jelajahan yang tak pasti akan isi maupun batas-batasnya.

Page 54: TheLight Photography Magazine #13

106 EDISI XIII / 2008

THELEPASAN

EDISI XIII / 2008 107

THELEPASAN

Praxis seni adalah suatu cara yang khusus untuk mengetengahkan “dengan sesuatu” (materi), “sesuatu” (isi mimesis), dan “melalui sesuatu” (bentuk atau media mimesis) menjadi “sesuatu” yang baru. Kesatuan antara materi, isi, dan bentuk bila diolah dengan “bahasa seni” hasilnya adalah objek trasendensi. Melalui objek itu manusia dapat menemukan kebenaran. Isi atau hakikat kebenaran itu sifatnya “baik” dan bentuk itu “indah”

Sehingga, kebaikan atau keindahan suatu karya dengan ukuran kebu-dayaan klasik adalah: dengan meniru, tiruan kenyataan fisik dan spirit-manu-sia dan alam-dan tiruan dari sifat-sifat baik, unggul, dan indah dari aspek spiritual objek seni/gambar/foto. Jelas terlihat permasalahan estetika klasik tentang keindahan bukanlah produk manusia, yang indah adalah penampa-kan dari order yang lebih tinggi. Seni adalah kemampuan manusia mencapai transendensi. Hal yang masih begitu sesuai dengan pengertian kita tentang keindahan dapat dilacak dari tulisan Aristoteles dalam Metaphysics, 1078a ketika ia bicara tentang “symmetria” atau proporsi.

The chief forms of beauty are order and symmetry and definetness, which the mathematical sciences demonstrate in special degree.

Alles ist Zahl, Semuanya adalah Angka

Rumus-rumus komposisi yang acap kali kita bicarakan, misalnya: rumus sepertiga, golden number, perspektif, proporsi, dan sebagainya barangkali tidak cukup memadai untuk menjawab

rasa penasaran jika hanya dikatakan dengan pendekatan “feeling”. Baiklah (kali ini sedikit teknis), darimana itu berasal?

Principles of Vitruvius, yaitu Order atau keteraturan dalam memilih elemen, konsisten dalam skala, logika hubun-gan antar elemen. Eurithmy yaitu keserasian antar elemen dan proporsi yang baik sesuai antar dimensi lebar, tinggi, dan kedalaman. Symmetry adalah keseimbangan antarbagian. Propriety adalah keterpaduan antar gaya atau prinsip bentuk tertentu yang menjadikan sosok yang sesuai

dan konsisten. Economy menunjukkan manajemen pelaksanaan yang baik dan biaya yang masuk akal. (Semuanya masih kita pergunakan sampai saat ini bukan?)

Matematika Euklids, logika Aristoteles, ajaran Phytagoras, dan konsepsi Vitru-vius menjadi dasar para seniman untuk mengembangkan karyanya.

Tradisi berpikir Pythagorean mengang-gap angka 1, 2, 3, dan 4 sangat pent-ing dan sempurna. Angka-angka ini dapat divisualisasikan menjadi segitiga yang sempurna, tetraktys (ingat teori komposisi segitiga?), yaitu susunan angka yang runtun dan berjarak sama. Euklids menyatakan bahwa 1 + 2 + 3 + 4 = 10 adalah “terangkumnya yang ja-mak menjadi kesatuan” dimana angka “sepuluh” adalah angka yang sangat

Page 55: TheLight Photography Magazine #13

108 EDISI XIII / 2008

THELEPASAN

EDISI XIII / 2008 109

THELEPASAN

penting dan berarti dalam konstelasi angka. Pythagorean melihat harmoni adalah suatu yang sangat berharga, indah, dan bermanfaat bagi kemanu-siaan, tetapi harmoni juga mempunyai dasar-dasar objektifitas. Harmoni adalah hal mendasar dalam matema-tika. Mazhab ini percaya bahwa prinsip “keberadaan”, karena semua yang berbentuk dan “menjadi ada” terdiri atas satuan angka. Dengan angka, yang hadir di alam ini bisa terukur dan berbentuk. Kosmos terdiri atas elemen terukur yang dimanifestasikan dengan angka. Hubungan antar elemen ini dalam kosmos tunduk pula pada suatu keteraturan (order) dan keseimbangan yang sempurna (Harmonie) sehingga Pythagorean berpendapat bahwa “angka” adalah manifestasi hukum-hu-kum alam. Karena alam itu sempurna dalam segala hal, maka angka juga merupakan manifestasi dari hukum-hukum keindahan, keindahan alamiah atau keindahan hasil karya manusia. Plato beranggapan bahwa manusia dibekali kemampuan dan kepekaan rasa dan kerinduan pada order, ukuran, proporsi, dan harmoni.

Leonardo da Pisa menemukan seri angka yang terdiri atas deretan angka, dimana angka selanjutnya merupakan

penjumlahan angka-angka sebel-umnya, 1, 1, 2, 3, 5, 8, 13, 21, dst. Seri ini disebut angka Fibonacci. Dengan seri ini dapat disusun proporsi yang seimbang.

Golden Number atau Angka Emas (dalam teori komposisi ada yang menyebutnya golden section, misalnya sering kita pakai saat memotret tebing dan pantai). Angka ini diperoleh dari perbandingan panjang pada sebuah garis yang dibagi menjadi dua bagian. Bila bagian garis yang panjang dibagi dengan bagian yang pendek perband-ingannya sama dengan bila garis yang panjang ditambah yang pendek dibagi dengan bagian yang panjang, yaitu sama dengan 1.618.Angka Emas atau phi, diambil dari bagian depan nama Phidias, pematung pada bangunan Parthenon di Yunani. Pada masa Renaisans angka ini diang-gap angka keramat, hingga disebut “Divine Proportion”.

Singkat kata, bertolak dari rasio per-bandingan Golden Number, ditemukan Golden Rectangle. Proporsi segi empat emas diterima banyak orang sebagai yang paling harmonis. Selain kualitas estetisnya, yang menarik dari proporsi ini adalah segi matematisnya yang

“Keindahan bukanlah hasil ciptaan subjek-tif dari individu tertentu, tetapi merupakan real-itas ontologis”.

indah berarti penampakan suatu visual,

tersirat di da-lamnya harmoni

dan spiritual. Meskipun yang

spiritual tidak tertangkap oleh

indra manusia, karena spiritu-

alitas selalu da-lam kerangka

hukum har-moni, dengan

sendirinya yang spiritual pun

terkait dalam arti kata indah.

Page 56: TheLight Photography Magazine #13

110 EDISI XIII / 2008

THELEPASAN

EDISI XIII / 2008 111

THELEPASAN

unik, karena dengan rasionya ia dapat dibagi sampai tak terbatas. Karena sifatnya yang sangat khas, mazhab Pythagoras dengan sadar menggu-nakan pentagram yang bertolak dari perbandingan Golden Number dan Golden Rectangle sebagai simbol mereka.

Proporsi 1 : 0,618 merupakan angka perbandingan yang dapat ditemu-kan dimana-mana, dari Parthenon di Athena sampai Borobudur di Mage-lang. Menunjukkan sifat universal dari proporsi ini. (Mungkin juga fotograf

anda. Apakah fotograf anda termasuk good picture dalam hal ini?)

Perspektif yang merupakan temuan Renaisans pada dasarnya terjadi bila di atas bidang gambar terdapat dua garis vertikal sejajar yang bertemu pada suatu titik yang disebut Vanishing Point. VP selalu berada pada garis ho-rizon, atau ketinggian mata pengamat. Alberti, penemu perspektif ini, mem-beri contoh bila sebuah bidang dibagi menjadi kotak-kotak yang sama, den-gan garis vertikal dan garis lateral yang sama ukurannya, maka dalam peng-gambaran perspektifnya garis-garis vertikal akan bertemu di titik VP pada garis horizon (ketinggian titik pan-

dang), dan garis lateral akan berjarak semakin pendek ke arah titik VP. Untuk menentukan jarak garis lateral, yang menunjukkan kedalaman ruang, telah dikembangkan berbagai metode.

Sampai disini, saya jadi teringat Socrates ketika selalu mengatakan, “Saya tak tahu apa-apa!” kepada lawan dialognya. Prinsip dialog ini yang ke-mudian membidani dialektika. Ah, apa pula maksudnya? Untuk mengakhiri bagian pertama ini sambil pamit undur saya meminjam Nietzsche, “Membuat orang gelisah adalah tugas saya!”

(Bersambung).

The chief forms of beauty are order and sym-metry and de-finetness, which the mathemati-cal sciences demonstrate in special degree.

Page 57: TheLight Photography Magazine #13

112 EDISI XIII / 2008

THEADVERTORIAL

EDISI XIII / 2008 113

THEADVERTORIAL

Page 58: TheLight Photography Magazine #13

114 EDISI XIII / 2008

THEFRESHMEN

EDISI XIII / 2008 115

THEFRESHMEN

Pada penampilan perdana rubrik ini kami menghadirkan seorang fotografer semi professional yang jika dilihat dari hasil karyanya cukup layak untuk menjadi pem-buka rubrik ini. Ia adalah Iqbal Abidin. Kami menemukan Iqbal dari mailing list kami ketika kami membuka kesempatan bagi semua fotografer semi professional dan amatir untuk bisa mengisi rubrik ini.

Iqbal mempelajari fotografi untuk pertama kalinya dari ayahnya yang juga sering memotret wedding. Namun Iqbal tidak pernah berencana untuk menjadi fo-tografer. Latar belakang pendidikannya pun adalah komunikasi. Setelah sempat tidak menyelesaikan sekolahnya di New Zealand, Iqbal kembali ke Indonesia dan mengambil jurusan komunikasi di London School of Public Relation. Di sana ia bertemu dengan Tigor Siahaan yang merupakan dosen mata kuliah fotografi. Perjumpaannya denan Tigor rupanya memicunya terjun lebih serius lagi ke dunia fotografi. Perlahan-lahan Iqbal mulai berani memanfaatkan fotografi untuk meng-hasilkan uang. Sama seperti kebanyakan fotografer, Iqbal mulai make money dari fotografi wedding. Merasa cukup kenyang di fotografi wedding, Iqbal memu-tuskan untuk mulai terjun ke komersil atau pemotretan iklan. Kini Iqbal sudah me-motret untuk beberapa produk komersil seperti ANZ, BII, OBH, Carrefour, Century, Menara Peninsula, dan masih banyak lagi.

Setelah mulai lebih serius di bidang komersil, Iqbal mulai tidak tertarik dengan fotografi wedding. “Saya kalau motret wedding jadi suka ngedumel di depan

IQBAL ABIDIN, OUR FIRST FRESHMAN

Page 59: TheLight Photography Magazine #13

116 EDISI XIII / 2008

THEFRESHMEN

EDISI XIII / 2008 117

THEFRESHMEN

pelaminan.” Ungkap pria yang juga mengajar fotografi di TK di bilangan Jakarta Selatan ini. “Sekarang saya nggak mau lagi terima kerjaan wed-ding. Karena jadi berasa nggak bagus. Setelah motret wedding, foto komersil saya ikutan sekualitas wedding. Karena mindsetnya masih mindset wedding. Makanya lebih baik sekalian saja saya nggek terima order wedding.” Sam-bungnya.

Dalam memulai di jalur komersil Iqbal mengakui kalau ia masih banya tertolong jalur koneksi. Tapi setidaknya ia berhasil membuktikan bahwa karya yang ia hasilkan cukup baik sehingga ia tetap digunakan bahkan ketika koneksinya sudah tidak bekerja di pe-rusahaan tersebut. “Start dari koneksi nggak apa-apa, tapi yang penting nggak hanya bergantung pada koneksi saja. Makanya saya tetap dipakai oleh perusahaan itu ketika koneksi saya di perusahaan itu sudah tidak bekerja di sana.” Jelasnya fotografer yang men-gaku banyak terinspirasi dari foto-foto Sam Nugroho dan Anton Ismael ini.

Menanggapi fotografer-fotografer junior masa kini, Iqbal melihat banyak orang yang ketika sudah memiliki kamera ia merasa sudah bisa motret.

“Banyak yang setelah punya kamera mulai berani cari order pemotretan, terutama wedding. Padahal itu ba-haya banget. Motret wedding itu juga nggak gampang.” Jelasnya. Selain itu Iqbal melihat begitu banyak pehobi fotografi yang melakukan olah digital berlebihan dan tidak sesuai porsi dan kegunaannya.

Di bidang komersil, Iqbal mengeluh-kan seringnya terjadi perang harga, baik antar sesama fotografer maupun antara fotografer dengan klien. “Har-usnya ketika klien mencari fotografer, orientasinya lebih ke kualitas bukan ke harga.” Tegasnya.

Kini Iqbal menargetkan untuk mem-perbanyak portfolio yang akan menjadi bekalnya untuk bisa tetap eksis dan berkembang di dunia komersil.

Page 60: TheLight Photography Magazine #13

118 EDISI XIII / 2008

THEFRESHMEN

EDISI XIII / 2008 119

THEFRESHMEN

Page 61: TheLight Photography Magazine #13

120 EDISI XIII / 2008

THEFRESHMEN

EDISI XIII / 2008 121

THEFRESHMEN

Page 62: TheLight Photography Magazine #13

122 EDISI XIII / 2008

THEFRESHMEN

EDISI XIII / 2008 123

THEFRESHMEN

Page 63: TheLight Photography Magazine #13

124 EDISI XIII / 2008

THEFRESHMEN

EDISI XIII / 2008 125

THEFRESHMEN

Page 64: TheLight Photography Magazine #13

126 EDISI XIII / 2008

THEFRESHMEN

EDISI XIII / 2008 127

THEFRESHMEN

Page 65: TheLight Photography Magazine #13

128 EDISI XIII / 2008

THEFRESHMEN

EDISI XIII / 2008 129

THEFRESHMEN

Page 66: TheLight Photography Magazine #13

130 EDISI XIII / 2008

THEINSPIRATION

EDISI XIII / 2008 131

COVERSTORY

Foto yang digunakan pada cover edisi ini mencoba menunjukkan situasi real dan tuntutan pekerjaan seorang fotografer professional. Tiga seri foto yang dimodeli Dewi Sandra ini memang dibuat untuk keperluan iklan produk make up PAC dari Martha Tilaar. Verly, brand manager PAC mengatakan bahwa tema besar ma-teri pemotretan ini adalah beauty festive entertainment. Dari segi produk Verly menjelaskan bahwa rangkaian produk yang ingin dijual memiliki keunggulan yaitu pada beragamnya pilihan warna. PAC juga ingin menghilangkan kesan dan persepsi kurang tepat di kalangan fotografer bahwa make up yang bagus untuk pemotretan akan terlihat tebal dan menyeramkan jika dilihat aslinya. Untuk itu Verly memilih Gerard Adi yang memiliki banyak pengalaman menangani pe-motretan produk-produk kecantikan.

Untuk membuat foto agar tidak terlalu berkesan jualan, dibuatlah konsep circus pada foto-foto tersebut. AR, make up artis yang membantu pemotretan ini men-gatakan bahwa ia berusaha mencari inspirasi make up dari apa yang ia temui se-hari-hari. “waktu cari inspirasi make up nya saya nggak berani lihat majalah karena takut terpengaruh. Jadi saya berusaha cari dari apa yang saya temui sehari-hari.” Ungkapnya. “Misalnya saja yang seri sirkus, waktu itu inspirasinya datang ketika saya melihat perempuan dengan rambut hitam dan pakai kacamata orange. Jadi tiba-tiba tertrigger aja.”Sambungnya. Untuk seri trapeze AR mendapat inspirasi ketika berangkat ke Bali dan melihat bule eropa dengan mata ijo kebiru-biruan tapi rambutnya blonde atau putih. “Tiba-tiba kebayang innocent baby blue.” Ungkapnya.Sementara satu seri lainnya, AR mencoba berimporvisasi dengan tetap memper-tahankan benang merah dari dua seri terdahulu namun bermain main dengan warna pink, ungu, kuning, hitam, dan fuschia.

BEAUTY FESTIVE ENTERTAINMENT

Page 67: TheLight Photography Magazine #13

132 EDISI XIII / 2008

COVERSTORY

EDISI XIII / 2008 133

COVERSTORY

Untuk itu pula treatment lighting yang digunakan pun dibuat untuk me-nampilkan make up yang ingin dijual. “treatment lightingnya treatment lighting commercial, jadi orientasinya lebih ke quality. Warna make up yang ingin di jual harus bisa didapatkan dan terlihat seperti apa adanya.” Ungkap Gerard Adi, fotografer yang melakukan pemotretan ini. “Objectivenya adalah what you see is what you get. Kar-ena fotonya dibuat untuk keperluan “jualan” jadi harus kelihatan seperti aslinya.” Sambungnya.

Gerard sendiri mengaku banyak meng-

gunakan P-soft dan standart reflector. “Saya sengaja nggak pakai softbox supaya krispy nya dapat. Satu-satunya softbox yang saya pakai hanya strip light untuk memberi highlight.” Jelas Gerard.

Untuk pembuatan semua seri foto ini Gerard melakukan composing 2 foto yaitu model dan background. Gerard menganggap composing dua foto ini harus dilakukan untuk mendapatkan tretment lighting yang sempurna baik pada model maupun pada back-ground. Walaupun begitu, treatment lighting yang dibuat baik untuk obyek maupun untuk model harus diperha-tikan dengan baik agar tidak saling tabrak dan terlihat tidak masuk akal. Arah lighting harus sesuai antara model dan background.

Page 68: TheLight Photography Magazine #13

134 EDISI XIII / 2008

COVERSTORY

EDISI XIII / 2008 135

COVERSTORY

Page 69: TheLight Photography Magazine #13

136 EDISI XIII / 2008

COVERSTORY

EDISI XIII / 2008 137

COVERSTORY

Page 70: TheLight Photography Magazine #13

138 EDISI XIII / 2008

COVERSTORY

EDISI XIII / 2008 139

WHERETOFIND

JAKARTATelefikom FotografiUniversitas Prof. Dr. Moestopo (B), Jalan Hang Lekir I, JakPusIndonesia Photographer Organization (IPO)Studio 35, Rumah Samsara, Jl. Bunga Mawar, no. 27, Jakarta Selatan 12410Unit Seni Fotografi IPEBI (USF-IPEBI)Komplek Perkantoran Bank Indonesia, Menara Sjafrud-din Prawiranegara lantai 4, Jl. MH.Thamrin No.2, JakartaUKM mahasiswa IBII, Fotografi Institut Bisnis Indonesia (FOBI)Kampus STIE-IBII, Jl Yos Sudarso Kav 87, Sunter, Jakarta UtaraPerhimpunan Penggemar Fotografi Garuda Indonesia (PPFGA)PPFGA, Jl. Medan Merdeka Selatan No.13, Gedung Garuda Indonesia Lt.18Komunitas Fotografi Psikologi Atma Jaya, JKTJl. Jendral Sudirman 51, Ja-karta.Sekretariat Bersama Fakultas Psikologi Atma Jaya Ruang G. 100Studio 51Unversitas Atma Jaya, Jl. Jendral Sudirman 51, Jakarta

Perhimpunan Fotografi Taru-manegaraKampus I UNTAR Blok M Lt. 7 Ruang PFT. Jl. Letjen S. Parman I JakBarPt. Komatsu IndonesiaJl. Raya Cakung Cilincing Km. 4 Jakarta Utara 14140LFCN (Lembaga Fotografi Candra Naya)Komplek Green Ville -AW / 58-59, Jakarta Barat 11510HSBC Photo ClubMenara Mulia Lt. 22, Jl. Jendral Gatoto Subroto Kav. 9-11, JakSel 12930XL PhotographJl. Mega Kuningan Kav. E4-7 No. 1 JakSelKelompok Pelajar Peminat Fotografi SMU 28Jl. Raya Ragunan (Depan RS Pasar Minggu) JakSelFreePhot (Freeport Jakarta Photography Community) PT Freeport Indonesia Plaza 89, 1st Floor Jl. Rasuna Said Kav X-7 No. 6 PSFN Nothofagus (Perhimpu-nan Seni Fotografi PT Freeport Indonesia) PT Freeport Indonesia Plaza 89, 1st Floor Jl Rasuna Said Kav X-7 No. 6

CybiLensPT Cyberindo Aditama, Mang-gala Wanabakti IV, 6th floor. Jl. Gatot Subroto, jakarta 10270FSRD TrisaktiFSRD Trisakti, Kampus A. Jl. Kyai Tapa, Grogol. Surat menyurat: jl. Dr. Susilo 2B/ 30, Grogol, JakbarSKRAF (Seputar Kamera Fikom)Universitas SAHID Jl. Prof. Dr. Soepomo, SH No. 84, Jak-Sel 12870One Shoot PhotographyFIKOM UPI YAI jl. Diponegoro no. 74, JakPusLasalle CollegeSahid Office Boutique Unit D-E-F (komp. Hotel Sahid Jaya). Jl. Jend Sudirman Kav. 86, Jakarta 1220Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Al-Azhar Indo-nesiaJl. Sisingamangaraja, Kebayoran baru, Jak-Sel, 12110LSPR Photography ClubLondon School of Public RelationCampus B (Sudirman Park Office Complex)Jl. KH Mas Mansyur Kav 35Jakarta Pusat 10220FOCUS NUSANTARA

Page 71: TheLight Photography Magazine #13

140 EDISI XIII / 2008

WHERETOFIND

EDISI XIII / 2008 141

WHERETOFIND

Jl. KH Hasyim Ashari No. 18, JakartaSUSAN + PROKemang raya No. 15 Lt.3, Jakarta 12730e-StudioWisma Starpage, Salemba Tengah No. 5, JKT 10440VOGUE PHOTO STUDIORuko Sentra Bisnis Blok B16-17, Tanjung Duren raya 1-38Shoot & Printjl. Boulevard Raya Blok FV-1 no. 4, Kelapa Gading Permai, jktQ FotoJl. Balai Pustaka Timur No. 17, Rawamangun, JktDigital Studio CollegeJl. Cideng Barat No. 21 A, Jak-PusDarwis Triadi School of Photog-raphyjl. Patimura No. 2, Kebayoran BarueK-gadgets centreRoxy Square Lt. 1 Blok B2 28-29, JktStyle PhotoJl. Gaya Motor Raya No. 8, Gedung AMDI-B, Sunter JakUt, 14330Neep’s Art InstituteJl. Cideng Barat 12BB, JakartaV3 TechnologyMall ambassador Lt.UG/47. Jl. Prof Dr. Satrio, Kuningan, JakartaCetakfoto.netKemang raya 49D, Jakarta 12730

POIsongraphyConocoPhillips d/a Ratu Prabu 2 jl.TB.Simatupang kav 18Jakarta 12560NV AkademieJl. Janur Elok VIII Blok QG4 No.15Kelapa Gading permaiJakarta 14240

BEKASILubang MataJl. Pondok Cipta Raya B2/ 28, Bekasi Barat, 17134

BANDUNGPAF BandungKompleks Banceuy Permai Kav A-17, Bandung 40111JepretSekretariat Jepret Lt. Basement Labtek IXB Arsitektur ITB, Jl Ganesha 10, BandungSpektrum (Perkumpulan Unit Fotografi Unpad)jl. Raya Jatinangor Km 21 Sumed-ang, JabarPadupadankan PhotographyJl. Lombok No. 9S BandungStudio intermodelJl. Cihampelas 57 A, Bandung 40116Lab Teknologi Proses Material ITBJl. Ganesha 10 Labtek VI Lt. dasar, Bandung

SatyabodhiKampus Universitas PasundanJl. Setiabudi No 190, BandungHimpunan Mahasiswa Planologi (HMP) ITBGedung Labtek XI A, Jl Ganesha 10Bandung 40132

TASIKMALAYAEco Adventure CommunityJl. Margasari No. 34 Rt. 002/ 008, Rajapolah, Tasikmalaya 46155

SEMARANGPRISMA (UNDIP)PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa) Joglo Jl. Imam Bardjo SH No. 1 Semarang 50243MATA Semarang Photography ClubFISIP UNDIPJl. Imam Bardjo SH. No.1, SemarangDIGIMAGE STUDIOJl. Setyabui 86A, SemarangJl. Pleburan VIII No.2, Semarang 50243Ady Photo Studiod/a Kanwil Bank BRI Semarang, Jln.Teuku Umar 24 SemarangPandawa7 digital photo studioJl. Wonodri sendang raya No. 1068C, SemarangKloz-ap Photo StudioJl. Kalicari Timur No. 22 Semarang

DINUSTECHJl. Arjuna no. 36, Semarang 50131

SOLOHSB (Himpunan Seni Ben-gawan)Jl. Tejomoyo No. 33 Rt. 03/ 011, Solo 57156Lembaga pendidikan seni dan design visimedia collegeJl. Bhayangkara 72 Solo

YOGYAKARTAAtmajaya Photography clubGedung PUSGIWA kampus 3 UAJY, jl. babarsari no. 007 yogyakarta“UKM MATA” Akademi Seni Rupa dan Desain MSDJalan Taman Siswa 164 Yogya-karta 55151Unif Fotografi UGM (UFO)Gelanggang mahasiswa UGM, Bulaksumur, YogyaFotografi Jurnalistik ClubKampus 4 FISIP UAJY Jl Babar-sari YogyakartaFOTKOM 401gedung Ahmad Yani Lt.1 Kampus FISIPOL UPN “Veteran” Jl Babasari No.1, Tambakbayan, Yogyakarta, 55281

Jurusan FotografiFakultas Seni Media Rekam Institut Seni Indonesia Jl. Parangtritis Km. 6,5 YogyakartaKotak Pos 1210UKM Fotografi Lens ClubUniversitas Sanata Dharma Mrican Tromol Pos 29 Yogyakarta 55281

SURABAYAHimpunan Mahasiswa Pengge-mar Fotografi (HIMMARFI)Jl. Rungkut Harapan K / 4, SurabayaAR TU PICUNIVERSITAS CIPUTRA Waterpark Boulevard, Citra Raya. Surabaya 60219FISIP UNAIRJL. Airlangga 4-6, SurabayaHot Shot Photo StudioPloso Baru 127 A, Surabaya, 60133Toko DigitalAmbengan Plasa B23. jl Ngemplak No. 30 SurabayaSentra DigitalPusat IT Plasa Marina Lt. 2 Blok A-5. Jl. Margorejo Indah 97-99 Surabaya

TRAWASVANDA Gardenia Hotel & VillaJl. Raya Trawas, Jawa Timur

MALANGMPC (Malang Photo Club)Jl. Pahlawan Trip No. 25 MalangJUFOC (Jurnalistik Fotografi Club)student Centre Lt. 2 Universitas Muhammadiyah Malang. Jl. Raya Tlogomas No. 246 malang, 65144UKM KOMPENI (Komunitas Mahasiswa Pecinta Seni)kampus STIKI (Sekolah Tinggi Informatika Indonesia) Malang, Jl. Raya Tidar 100

JEMBERUFO (United Fotografer Club)Perum taman kampus A1/16 Jember 68126, Jawa TimurUniveritas Jember (UKPKM Tegalboto)Unit Kegiatan Pers Kampus Maha-siswa Universitas Jemberjl. Kalimantan 1 no 35 komlek ged. PKM Universitas Jember 68121

BALIMagic WaveKubu Arcade at Kuta BungalowsBloc A3/A5/A6 Jl. Benesari,Legian-kuta

Page 72: TheLight Photography Magazine #13

142 EDISI XIII / 2008

WHERETOFIND

MEDANMedan Photo ClubJl. Dolok Sanggul Ujung No. 4 Samping Kolam Paradiso Medan, Sumatra Utara 20213UKM FOTOGRAFI USUJl. Perpustakaan no.2 Kampus USU Medan 20155

BATAMBatam Photo ClubPerumahan Muka kuning indah Blok C-3, Batam 29435

PEKANBARUCCC (Caltex Camera Club)PT. Chevron Pasific Indonesia, SCM-Planning, Main Office 229, Rumbai, Pekanbaru 28271

LAMPUNGMalahayati Photography ClubJl. Pramuka No. 27, Kemiling, Bandar Lampung, 35153. Lampung-Indonesia. Telp. (0721) 271114

BALIKPAPANFOBIAIndah Foto Studio Komplek Ruko Bandar Klandasan Blok A1, Balikpapan 76112

PONTIANAKPontianak Deviantart CP: Bryan Tamara0818198901

KALTIMBadak Photographer Club (BPC)ICS Department, System Support Section, PT BADAK NGL, Bontang, Kaltim, 75324KPC Click Club/PT Kaltim Prima CoalSupply Department (M7 Buliding), PT Kaltim Prima Coal, Sangatta

SAMARINDAMANGGIS-55 STUDIO (Samarin-da Photographers Community)Jl. Manggis No. 55 Voorfo, Sa-marinda Kaltim

SOROWAKOSorowako Photographers SocietyGeneral Facilities & Serv. Dept - DP. 27, (Town Maintenance) - Jl. Sumantri Brojonegoro, SOROWAKO 91984 - LUWU TIMUR, SULAWESI SELATAN

GORONTALOMasyarakat Fotografi GorontaloGraha Permai Blok B-18, Jl. Rambutan, Huangobotu, Dungingi, Kota Gorontalo

AMBONPerforma (Perkumpulan Fotografer Maluku)jl. A.M. Sangadji No. 57 Am-bon. (Depan Kantor Gapensi kota Ambon/ Vivi Salon)

ONLINE PICK UP POINTS:www.estudio.co.idhttp://charly.silaban.net/www.studiox-one.com