76
EDISI V / 2007 1 EDISI 5/2007 www.thelightmagz.com FREE

TheLight Photography Magazine #5

Embed Size (px)

DESCRIPTION

i have no idea to describe it.. just see and enjoy :D

Citation preview

Page 1: TheLight Photography Magazine #5

EDISI V / 2007 1

EDIS

I 5/2

007

www.thelightmagz.com

FREE

Page 2: TheLight Photography Magazine #5

2 EDISI V / 2007

THEEDITORIAL

EDISI V / 2007 3

THEEDITORIAL

PT Imajinasia Indonesia, Jl. Grinting II No.11, 7202495, www.thelightmagz.com, Pemimpin Perusahaan/Redaksi: Ignatius Untung, Technical Advi-sor: Gerard Adi, Redaksi: [email protected], Public relation: Prana Pramudya, Marketing: , Stevanus Albert, [email protected],

Sirkulasi: Maria Fransisca Pricilia, [email protected], Graphic Design: ImagineAsia, Webmaster: Gatot Suryanto

“Hak cipta foto dalam majalah ini milik fotografer yang bersangku-tan, dan dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang menggunakan

foto dalam majalah ini dalam bentuk / keperluan apapun tanpa

seijin pemiliknya.”

RALAT EDISI IV

1. Halaman 72, tertulis nama Sigit

Prasetyo seharusnya SIGIT PRA-

MONO (Dirut BNI)

2. Foto African Priest muncul 2x di

halaman 91 dan 98

3. Foto Pyramid muncul 2x di halaman

91 dan 103

4. Halaman 104, Rubrik ProCom-

ment, Foto bagian bawah tertulis

FOTOGRAFER : CHARLES SIE,

seharusnya Fotografer : Tony K.

Tjiptodihardjo.

ABOUT THE COVERPHOTOGRAPHER:

GERARD ADIMODEL:

VANESSA MCLUREMAKE UP ARTIST:

TEDDY LIM

@NEXT BIG THINGW/ PRIMAIMAGING

Kejar tayang. Mungkin itu satu kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi kami saat ini.

Ya akibat keterlambatan terbit di edisi lalu, ditambah keterlambatan di edisi ini akibat proses

persiapan workshop perdana kami membuat kami mau tidak mau harus kerja ekstra keras lagi.

Tapi komitmen kami untuk tetap hadir tiap bulannya dan memberikan inspirasi baru pada tiap

edisinya tetap kami pegang. Untuk itu edisi mendatang direncnakan akan hadir dalam bulan

yang sama dengan edisi ini sebagai upaya untuk membayar hutang keterlambatan pada dua

edisi terakhir.

Nara sumber yang hadir semakin berbobot dan menarik. Beberapa rubrik yang kurang menda-

pat sambutan akan segera lengser dan tentunya kami sudah menyiapkan rubrik baru yang

pasti layak ditunggu-tunggu. Edisi ini juga memaksa kami untuk hadir dengan liputan utama

yang tajam. Mudah-mudahan tidak ada pihak yang tersinggung dan sakit hati. Ini semata-mata

kami tampilkan apa adanya untuk memacu dunia fotografi indonesia untuk bangun dari tidur

panjangnya.

Selamat membaca.

Redaksi.

reshuffle

Page 3: TheLight Photography Magazine #5

4 EDISI V / 2007

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 5

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

SCOTT GILLBANK, FOTOGRAFER BULE YANG NGGAK ASAL BULEJika di edisi perdana kami membuka perjalanan majalah ini dengan fotografi landscape, maka

setelah sempat cuti selama 3 edisi, pada edisi ini kami hadirkan kembali fotografer landscape.

Mungkin banyak yang bertanya-tanya mengapa begitu sulit mencari fotografer landscape

sehingga kami baru menghadirkan kembali pada edisi ini. Fotografer landscape mungkin sangat

mudah dicari. Karena hampir semua fotografer pernah memotret landscape. Justru karena

begitu banyaknya jadi sedikit yang cukup unik dan menarik. Ya fotografi landscape memang

gampang-gampang susah. Gampang karena obyeknya ada di mana saja dan gratis. Semua

orang pernah memotret landscape bahkan orang awam sekalipun. Namun di sisi lain justru

karena begitu banyak yang memotret landscape jadi sulit untuk tampil beda.

Page 4: TheLight Photography Magazine #5

6 EDISI V / 2007

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 7

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

Page 5: TheLight Photography Magazine #5

8 EDISI V / 2007

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 9

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

Namun pencarian kami terbayar ketika akh-

irnya kami menemukan fotografer landscape

yang memenuhi kualifikasi kami untuk dihad-

irkan di sini. Tidak tanggung-tanggung kami

hadirkan Scott P Gillbank, seorang fotografer

komersil yang banyak melakukan pemotretan

landscape untuk berbagai macam produk.

Karyanya tentunya tidak asing lagi bagi anda

karena sudah bertebaran di banyak billboard

di seluruh Indonesia. Karena terlalu padat

pekerjaannya, kamipun tidak sempat meng-

gali lebih dalam lagi mengenai dirinya. Namun

berikut sedikit mengenai perjalanan Scott di

dunia fotografi.

Page 6: TheLight Photography Magazine #5

10 EDISI V / 2007

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 11

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

Page 7: TheLight Photography Magazine #5

12 EDISI V / 2007

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 13

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

Page 8: TheLight Photography Magazine #5

14 EDISI V / 2007

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 15

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

Scott mengenal kamera ketika berusia 10 tahun. Waktu itu ia mendapat kamera hasil pem-

berian orang tuanya. Scott pun mulai menekuni fotografi. Beranjak dari hobi yang kemudian

ditekuni, Scott memilih fotografi sebagi profesi. Pada tahun 1996 Scott memulai karir profe-

sionalnya sebagai in house photographer AV Lens, sebuah advertising agency di Jakarta. Tahun

1998 Scott bergabung di Sam Nugroho & Assosiates (sekarang The LOOOP –red.).

Page 9: TheLight Photography Magazine #5

16 EDISI V / 2007

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 17

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

Page 10: TheLight Photography Magazine #5

18 EDISI V / 2007

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 19

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

Tahun 2006 Scott mendirikan Scott Gillbank

Photography. Scott merupakan salah satu dari

sedikit fotografer di Indonesia yang meng-

geluti fotografi landscape dan aerial (outdoor

activity) baik itu untuk keperluan komersial,

photo stock maupun personal project.

“Asbul” atau asal bule amat bukan karakteris-

tiknya sebagai professional, baginya ia hany-

alah seorang pria Australia yang kebetulan

memiliki warna kulit yang berbeda di Indone-

sia dan menjadi fotografer profesional, bukan

seorang bule yang kebetulan bisa motret.

Page 11: TheLight Photography Magazine #5

20 EDISI V / 2007

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 21

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

Page 12: TheLight Photography Magazine #5

22 EDISI V / 2007

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 23

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

Pengetahuan dan wawasan yang cukup luas

tentang cuaca, iklim, karakter geografis dan

juga gejala alam sangat membantunya ketika

harus melakukan pemotretan outdoor activity

selain juga kesenangannya pada traveling

tentunya. Untuk itu bagi anda yang tertarik

menekuni jejak Scott untuk menjadi fotografer landscape yang mumpuni sangat baik jika anda

mempelajari berbagai hal teknis seperti cuaca, iklim, karakter geografis dan juga gejala alam

lainnya di luar pengetahuan mengenai fotografi pada umumnya.

Berbicara mengenai peralatan, Scott berpendapat bahwa segala sarana dan fasilitas fotografi

hanyalah salah satu faktor pendukung disamping keahlian memotret, pengetahuan dan

wawasan lainnya juga merupakan faktor penting yang harus dikuasai. Menurutnya Outdoor

Photography bukan sekedar jepret-jepret seperti yang kita lakukan ketika kita baru memulai

mengenal kamera. Dalam memotret landscape sebaiknya sebelumnya kita harus tahu benar se-

gala kondisi dan keterbatasan yang ada diluar sana yang akan dihadapi sehingga ketika sampai

di lokasi segala sesuatunya bisa berjalan dengan baik.

Page 13: TheLight Photography Magazine #5

24 EDISI V / 2007

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 25

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

Page 14: TheLight Photography Magazine #5

26 EDISI V / 2007

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 27

LANDSCAPEPHOTOGRAPHY

Page 15: TheLight Photography Magazine #5

28 EDISI V / 2007

WEDDINGPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 29

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

JULIAN SIHOMBING, GENERASI LAWAS PEMBAWA PEMBARUANSejak edisi perdana majalah ini diluncurkan, hingga saat ini sudah ada 3 nama besar di bidang

fotografi jurnalistik yang kami hadirkan di sini. Arbain Rambey, Chandra Amin dan Enny Nura-

haeny. Hebatnya ketiga nama tersebut sempat menyebutkan nama Julian Sihombing sebagai

salah satu fotografer jurnalistik terbaik di Indonesia. Karena itu pulalah edisi ini kami berkesem-

patan menghadirkan Julian Sihombing ke hadapan anda.

Pehobi foto jurnalis pastilah akrab dengan nama Julian Sihombing. Ya, Julian memang sudah

lebih dari 20 tahun berprofesi sebagai pewarta foto. Namun bukan sekedar lama pengabdi-

annya yang membuat ia menjadi inspirasi banyak fotografer, namun lebih karena ketajaman

matanya dalam merekam momen dalam setiap foto-fotonya.

Page 16: TheLight Photography Magazine #5

30 EDISI V / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 31

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Julian mengawali perjalanannya sebagai

fotografer dengan cara yang sama dengan

kebanyakan pehobi fotografer. Ia mulai me-

motret pada masa SMA. “kebetulan di rumah

ada kamera, jadi ya saya mulai pakai saja.”

Jelasnya membuka pembicaraan kami den-

gannya. Hobi Julian ini pun diteruskan hingga

ke bangku kuliah. Lulusan FISIP UI ini pun

mengaku terus mendalami fotografi hingga

ketika ia duduk di bangku kuliah. “Sama sep-

erti kebanyakan orang lah, dari hobi motret,

lalu saya mulai ambil order motret wedding.

Tapi dulu belum ada pre wedding, jadi masih

liputan. Senior-senior saya yang sudah

mau lulus dan baru lulus kalau kawin pasti

panggil saya untuk motret kawinan mereka.”

Jelasnya.

Page 17: TheLight Photography Magazine #5

32 EDISI V / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 33

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Page 18: TheLight Photography Magazine #5

34 EDISI V / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 35

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Pada tahun 1985 hingga 1987 Julian me-

mulai karirnya sebagai fotografer jurnalistik

di majalah Jakarta-Jakarta. September 1987

Julian bergabung dengan Kompas.

Berprofesi lebih dari 20 tahun sebagai fo-

tografer jurnalis, Julian melihat ada perkem-

bangan dari gaya fotografi jurnalistik yang

dianut oleh fotogrer jurnalistik dari tahun ke

tahun. “dulu itu kan gayanya snapshot. Jadi

menangkap momen. Tapi yang muda-muda

ini sekarang fotonya berubah genrenya.

Fotonya lebih grafis. Komposisinya menarik.

Jadinya fotonya juga enak dilihat.” Ungkap-

nya. “Yang penting jangan lupa harus punya

nilai beritanya. Karena nilai berita adalah

prioritas dalam foto jurnalistik.” Tambah-

nya. Julian pun melihat perkembangan ini

disambut positif oleh fotografer senior yang

sebelumnya tidak pernah membuat foto

grafis. “Lucunya, yang tua-tua seperti saya ini

suka lihat foto yang grafis, sementara yang

muda-muda justru suka foto snapshot dengan

gaya dulu. Mungkin mereka sudah bosan

dengan melihat gayanya mereka terus. Jadi

mereka tertarik melihat gaya lain, sehingga

makin kaya.” Ungkapnya.

Julian menganggap dengan diterimanya

genre fotografi baru ini kesempatan untuk

menghasilkan foto yang dimuat di media mas-

sa akan semakin besar. “Kalau dulu foto harus

nunggu momen, tapi sekarang nggak harus

bergantung pada momen. Bisa dibuat, asal

memang niat dicari. Posisinya, komposisinya

sehingga fotonya bukan sekedar dokumentasi,

tapi lebih bisa berbicara.” Ungkapnya. Seperti

contohnya foto olahraga. Dulu foto olahraga

selalu nunggu di awal dan di akhir. Jadi kalau

lomba lari ya nunggu di garis start dan finish.

Atau saat menerima piala atau medali. Tapi

sekarang nggak harus selalu nunggu di akhir.

Kalau perlu di tengah-tengah dijepret aja.

Karena banyak momen yang menarik direkam

juga di tengah, apalagi kalau komposisinya

Page 19: TheLight Photography Magazine #5

36 EDISI V / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 37

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

menarik.” Tambahnya.

Namun, pemikiran di atas tidak serta merta

menghalalkan setiap fotografer jurnalis untuk

menjadi ekstrim berpihak kepada foto cantik

yang grafis. “Banyak anak-anak baru yang

kecebur di grafis. Akhirnya foto yang mereka

hasilkan hanya bagus saja tapi nggak berbi-

cara. Dan itulah tugasnya editor. Yaitu untuk

mengerem dan memberi pemahaman bahwa

konteksnya di sini adalah foto berita.

Berbicara mengenai kemampuan yang harus

dimiliki untuk menjadi seorang pewarta foto,

Julian berpendapat bahwa seorang fotografer

jurnalistik harus memiliki sense of news.

“Harus paham bidang yang akan diterjuni.

Ketika mau motret daerah tertentu harus tau

budaya setempat, kebiasaan-kebiasaannya.

Dll Sehingga bisa tau apa yang menarik dan

bisa menjadi berita dan apa yang tidak.” Un-

gkapnya. “Berita itu bisa dibuat kok. Dengan

komposisi dan engle tertentu sebuah obyek

tertentu bisa menyampaikan pesan lain” tam-

bahnya. Selanjutnya yang tidak kalah penting

terutama di jaman modern ini, Julian melihat

tuntutan seorang fotografer jurnalistik untuk

memiliki sense of art. “Di sini dibutuhkan ke-

sabaran, ketenangan dan keberanian. Supaya

Page 20: TheLight Photography Magazine #5

38 EDISI V / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 39

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Page 21: TheLight Photography Magazine #5

40 EDISI V / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 41

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

dapat angle yang bagus, komposisinya bagus.

Cari dari mana bagusnya.” Tambahnya.

Fotografer jurnalis juga dituntut untuk gesit

dan pintar mengatasi situasi. “Enaknya jadi

wartawan tulis dibanding wartawan foto

adalah karena wartawan tulis bisa tetap

mendapat berita hanya dengan mendengar

cerita orang. Sementara wartawan foto hanya

bisa mendapatkan hasil ketika ia datang

ke lokasi.” Jelasnya. Untuk itulah dituntut

kecepatan. Namun jika seorang wartawan foto

terlambat tiba di lokasi, tidak berarti ia tidak

bisa mendapatkan berita. “Dulu saya pernah

mau meliput kebakaran dan terlambat tiba di

lokasi. Jadi waktu saya sampai apinya sudah

padam. Tapi ekor dari beritanya kan masih

ada. Kita masih bisa foto pemadam kebakaran

yang lagi minum dengan ekspresinya yang le-

lah setelah berhasil memadamkan kebakaran.

Kita juga bisa menjadikan korban kebakaran

tersebut sebagai obyek foto yang menarik

ketika sedang berusaha memunguti barang-

barang sisa kebakaran. Tambahnya.

Bercerita mengenai pengalaman paling tidak

menyenangkan pada saat bertugas, Julian

mengaku bahwa masa meliput reformasi ada-

lah tugas paling tidak menyenangkan. “Bukan

Page 22: TheLight Photography Magazine #5

42 EDISI V / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 43

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Page 23: TheLight Photography Magazine #5

44 EDISI V / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 45

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

sekedar karena harus meliput kerusuhan,

penjarahan dan lain sebagainya. Tapi karena

sebagai warga Negara yang negaranya

sedang dilanda kerusuhan pasti juga tidak

menyenangkan.” Ungkapnya. “Bayangkan

saja, ketika sedang asik motret tiba-tiba ada

telepon dari istri di rumah yang mengatakan

bahwa perusuh sudah mulai masuk kompleks.

Apa nggak kepikiran juga kita?” Tambahnya.

Namun dalam menghadapi hal ini, Julian

berusaha untuk tetap fokus. “Justru perusuh

bukan ancaman bagi fotografer jurnalis.

Karena mereka nggak pernah berusaha

mencelakai kita. Seakan-akan mereka men-

ganggap fotografer itu bagian dari mereka.

Mungkin karena kita berada di tengah-tangah

mereka.” Lanjutnya. Bahkan justru, aparatlah

yang pernah mengancamnya dengan meno-

dongkan senapan kepadanya ketika sedang

meliput tragedi trisakti.

Di tengah begitu beresikonya profesi seorang

pewarta foto, Julian merasa prihatin dengan

penghargaan yang diberikan kepada pewarta

foto. “Ya kalau bisa para stringer dibayarn-

bya jangan Cuma Rp.125.000 per foto tapi

setidaknya Rp.300.000 per foto. Teru-

tama mereka yang bekerja di kantor berita

asing.”ungkapnya.

Page 24: TheLight Photography Magazine #5

46 EDISI V / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 47

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Untuk itu pula, ketika pada suatu saat seorang

peserta seminarnya bertanya kepada Julian

mengenai bisa tidaknya fotografi jurnalis

dijadikan profesi yang bisa menghidupi, Julian

memberi saran untuk menjadi fotografer top

level. “Dengan menjadi fotografer top level

artinya media-media yang mapan bisa mem-

pekerjakan mereka. Karena dengan bekerja

di media-media yang mapan profesi ini bisa

dikatakan wajar.” Jelasnya.

Di akhir perbincangan kami dengannya, kami

bertanya mengenai kesalahan yang sering

dibuat oleh fotografer jurnalistik muda. Julian

pun berkata “gini nih, contohnya saja kemarin

waktu pembukaan pameran foto terbaik Kom-

pas. Ketika seremoni pembukaan banyak sekali yang motret. Tapi sayangnya ketika ruangan

mulai sepi ada seorang ayah dari seorang mantan fotografer kompas yang sudah meninggal. Ia

memperhatikan foto anaknya yang sudah meninggal itu dengan seksama dan lama. Matanya

sampai berkaca-kaca. Tapi nggak ada yang mengabadikannya. Padahal itu menarik.” Ung-

kapnya. Artinya naluri untuk menangkap pesan dan merekam pesan masih tergolong rendah.

Namun kepekaan tersebut diyakini bisa dilatih. “Caranya mudah, banyak berlatif di lapangan,

banyak lihat-lihat referensi dan terakhir banyak bertanya kepada senior.” Tutupnya.

Page 25: TheLight Photography Magazine #5

48 EDISI V / 2007

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 49

JURNALISTIKPHOTOGRAPHY

Page 26: TheLight Photography Magazine #5

50 EDISI V / 2007

PORTRAITUREPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 51

FASHIONPHOTOGRAPHY

MBAH UYO, TUKANG

PANGGUNG YANG SUKA

MOTRETSetelah empat edisi menampilkan fotografer fashion yang memang sudah mengabdikan dirinya

secara total sebagai fotografer fashion komersil, edisi ini kami tertarik untuk berbincang-

bincang dengan Suryo Priantoro atau yang biasa dikenal dengan nama Mbah Uyo. Ketika kami

temui di studio yang dikelola bersama dengan Bambang Santoso yang tidak lain adalah salah

satu gurunya yang banyak membantunya mendalami fotografi fashion, Mbah Uyo mengaku

tidak begitu nyaman menyebut diri sebagai fotografer. “Gue nggak nyaman menyebut diri

fotografer, karena gue sendiri nggak yakin gue udah pantas disebut fotografer belum karena

gue juga bekerja sebagai tukang desain panggung.” Ungkapnya membuka pembicaraan dengan

kami. Mbah Uyo mengaku mengenal fotografi sejak SMA. Waktu itu ia memutuskan untuk

memilih ekstrakurikuler fotografi di sekolahnya. Sejak saat itu ia mulai lebih sering memotret.

Mirip dengan banyak fotografer yang baru memulai hidupnya di fotografi, Mbah Uyo pun memu-

lai hobbynya di fotografi dengan banyak memotret dokumentasi acara sekolahnya.

Page 27: TheLight Photography Magazine #5

52 EDISI V / 2007

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 53

FASHIONPHOTOGRAPHY

Model: Madina & Juanita for Tamasya

Model: Madina & Juanita for Tamasya

Page 28: TheLight Photography Magazine #5

54 EDISI V / 2007

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 55

FASHIONPHOTOGRAPHY

Setelah lulus SMA, Mbah Uyo memutuskan meneruskan studinya di jurusan arsitek Universitas

Trisakti, Jakarta. Kesempatan itu membawanya lebih banyak lagi memotret. “Waktu kuliah, ban-

yak paper yang harus dibuat dengan dilengkapi contoh foto dari bahan bangunan dan bentuk

yang gue pilih. Akhirnya makin sering motret. Bahkan gue sering diminta bantuin motret untuk

paper temen.” Kenangnya. Lama kelamaan Mbah Uyo semakin mendalami fotografi walaupun

sempat berhenti pada tahun 1994 sampai 1995. “Waktu itu gue lagi gila-gilanya main game.

Jadi kamera gue jual terus gue beli computer dan kerjaannya main game terus.” Tambahnya.

Hingga pada akhirnya Mbah Uyo pun tergiur untuk kembali memotret. Maka berbekal sebuah

DSLR 6 megapixel Mbah Uyo mulai menekuni fotografi lagi.

“Dulu gue nggak suka motret diatur-atur, jadi lebih suka candid. Lebih seru aja rasanya kalau

bisa menangkap cerita.” Ungkapnya. Mbah Uyo pun banyak melakukan pemotretan di back-

stage. Ia merasa mendapatkan kenikmatan ketika bisa menangkap sisi human dari seorang

artis. “Artis kalau lagi di belakang panggung

kan seolah-olah kembali jadi manusia biasa.

Kalau udah balik ke panggung beda lagi. Seru

aja bisa nangkep sisi manusia seorang artis.”

Jelasnya.

Perjalanan Mbah Uyo di bidang fotografi

fashion pun semakin serius. Setelah bekerja

sebagai fotografer di majalah Tamasya, ia

“dipaksa” untuk sering melakukan pemotretan

untuk cover dan fashion spread di majalah

tersebut. Hingga pada suatu saat ia bertemu

dengan Bambang Santoso. Bambang pun

menawarkannya untuk belajar fotografi fash-

ion bersamanya. Mbah Uyo pun menyambut

tawaran tersebut.

Model: Ayu Dewi

Page 29: TheLight Photography Magazine #5

56 EDISI V / 2007

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 57

FASHIONPHOTOGRAPHY

Sejak saat itu setiap saat studio milik Bam-

bang Santoso kosong, Mbah Uyo selalu me-

nyempatkan diri untuk memotret. “Bambang

itu nggak pernah nongkrongin gue motret,

gue disuruh motret, abis itu baru ketika gue

tunjukin ke dia baru dia bilang mana salah

dan benernya.” Kenangnya. Hampir setiap

hari Mbah Uyo memotret model. Awalnya

ia meminta tolong temannya untuk menjadi

model pemotretannya. Hingga lama kelamaan

ia memberanikan diri untuk mengajak model-

model yang banyak ditemuinya dari sesi

pemotretan untuk majalah Tamasya untuk

menjadi modelnya secara barter. Sang model

boleh menggunakan foto tersebut sebagai

portfolionya, begitu juga dengan Mbah Uyo.

Sampai sekarang Mbah Uyo mengaku tidak

pernah meminta bayaran dari model untuk

pemotretan. “Gue nganggap model itu partner

bukan klien, jadi dia nggak perlu bayar gue.

Sama-sama menguntungkanlah.” Jelasnya.

Mbah Uyo juga mengaku beruntung karena

sering ditunjukkan banyak referensi foto oleh

Bambang. “Bambang sering nunjukin foto

dari banyak fotografer baik local maupun luar

negeri. Gue disuruh pelajarin karakternya.”

Ungkapnya.

Lama kelamaan pekerjaannya sebagai tukang

desain panggung pun mulai dikurangi. Jika

pada awalnya membuat desain panggung

mendapat porsi yang banyak, Mbah Uyo men-

gaku kini waktunya sudah seimbang antara

For Tamasya

Page 30: TheLight Photography Magazine #5

58 EDISI V / 2007

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 59

FASHIONPHOTOGRAPHY

membuat panggung dan memotret. Ia merasa memotret juga bisa menjadi pekerjaan yang

menyenangkan buatnya. “Kerja itu yang paling bener kalau lo suka ngelakuinnya.” Tegasnya.

Salah satu hal yang membuat karya fotonya cukup punya karakter menurutnya adalah karena

ia selalu membuat konsep pemotretan sebelum memotret. “Gue suka gambar, walaupun nggak

bagus tapi paling enggak bisa bantu untuk memvisualisasikan pemikiran gue.” Ungkapnya. “Ka-

lau kerja dengan team, gue selalu menggambar konsep gue, jadi mereka juga ngerti apa yang

ada di pikiran gue.” Tambahnya. Mbah Uyo selalu memvisualisasikan secara detail pemikirannya

tentang konsepfoto yang akan ia ambil. Mulai dari pose, lighting, distribusi gelap terangnya.,

dll. “Bahkan gue juga suka ngumpulin referensi pose, lighting dan lain sebagainya kalau kerja

dengan team. Karena penting sekali mentransfer pemikiran kita ke orang lain ketika kita kerja

Model: Olive Model: Olive

Page 31: TheLight Photography Magazine #5

60 EDISI V / 2007

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 61

FASHIONPHOTOGRAPHY

for A+

Page 32: TheLight Photography Magazine #5

62 EDISI V / 2007

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 63

FASHIONPHOTOGRAPHY

bareng orang lain.” Tegasnya. “Mengkonsep

itu sama dengan berkhayal. Seru banget. Ng-

gak susah kok, kayak waktu kita mau liburan

kan kita coba berkhayal mau kemana aja, naik

apa, sama siapa, dll. Itu kan sama aja dengan

merencanakan tentang apa yang mau kita

lakukan. Dan sama aja dengan mengkonsep

untuk pemotretan.” Tambahnya.

Selanjutnya Mbah Uyo selalu mendisiplinkan

diri pada konsep yang sudah ia persiapkan.

“Banyak orang motret dengan konsep yang

sudah disiapkan dari sebelum pemotretan,

tapi waktu pemotretan muncul ide baru. Akh-

irnya mereka berpindah ke ide baru tersebut.

Kalau gue nggak gitu. Konsep itu adalah

batasan supaya kita focus dengan apa yang

mau kita bikin. Kalau di tengah jalan ada ide

baru nggak usah langsung diikutin. Ditabung

aja dulu. Lain kali baru dieksekusi.” Jelasnya.

Selain dari Bambang Santoso, Mbah Uyo

mengaku juga terinspirasi dari Gerard Adi.

“waktu seminar Gerard bareng sama Teddy

(make up artist .Red) gue baru kebuka mata

bahwa detail tuh perlu. Dia kan terkenal detail

banget kerjaannya, selain seneng pakai lampu

Page 33: TheLight Photography Magazine #5

64 EDISI V / 2007

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 65

FASHIONPHOTOGRAPHY

banyak.” Kenangnya. Namun begitu Mbah Uyo menganggap banyaknya jumlah lampu yang

digunakan pada saat pemotretan bukan masalah buatnya. “Banyak atau sedikit sama serunya.

Lampu banyak bisa jadi seru, bisa jadi enggak tergantung kitanya. Begitu juga dengan lampu

yang sedikit. Yang paling seru buat gue adalah ketika orang nggak bisa nebak berapa lampu

yang gue pakai waktu lihat foto gue, padahal dg lampu sekedarnya.” Ungkapnya.

Berbicara mengenai style foto yang ia sukai saat ini, Mbah Uyo mengaku saat ini ia sedang

menyukai foto clean style. “Clean style bukan berarti harus hi key. Bisa juga low key. Yang

penting clean, simple, bersih.” Jelasnya. Salah satu alasan ia menyukai style ini adalah karena

tingkat kesulitannya yang cukup tinggi. Mbah Uyo berpendapat bahwa foto dengan clean style

cendrung mendekati sempurna kualitas detailnya. “karena sederhana, di foto clean style penting

Model: Lolita

Page 34: TheLight Photography Magazine #5

66 EDISI V / 2007

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 67

FASHIONPHOTOGRAPHY

sekali untuk menemukan caranya supaya se-

mua yang ada dalam frame punya nyawa dan

peran masing-masing. Jadi nggak ada yang

nggak perlu di dalam frame itu. Semuanya

ada peranannya masing-masing.” Tambahnya.

Proses paska produksi foto-foto clean style

juga menarik baginya karena berhubungan

dengan kesederhanaan dan kerapihan detail-

nya tadi.

Untuk mendapatkan foto yang baik dan dapat

memuaskan idealisme pribadi Mbah Uyo

menyarankan fotografer muda untuk lebih memberanikan diri melakukan pemotretan sendiri,

tidak beramai-ramai. Karena dengan memotret sendiri segalanya bisa dikontrol. “Fotografi it’s

all about problem solving, jadi kalau semuanya bisa dikontrol, kalau kita bisa jadi kapten dari

team yang ada maka seharusnya foto yang baik bisa didapatkan. Ungkapnya. “Tapi nggak ada

salahnya untuk motret rame-rame kayak hunting yang sering diadain itu. Hanya saja konteksnya

jangan bicara idealis, tapi untuk bersosialisasi aja, untuk seneng-seneng.”

Berbicara mengenai proses persiapan dalam pemotretan fashion Mbah Uyo berbagi pendapat-

nya bahwa dalam kasus pemotretan fashion seharusnya yang menjadi awal dari pemikiran ada-

lah bajunya. Akan sangat baik jika kita mengerti bajunya seperti apa dan bagaimana. Selanjut-

nya Mbah Uyo yakin mengenai ceritanya, lighting treatmentnya akan muncul dengan sendirinya

sesuai dengan karakter bajunya. “motret itu lebih tentang rasa, jadi kalau melakukannya sudah

for: Timeplace

Page 35: TheLight Photography Magazine #5

68 EDISI V / 2007

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 69

FASHIONPHOTOGRAPHY

benar maka biasanya segala inspirasi akan keluar.” Jelasnya. Untuk itu Mbah Uyo mengaku

jarang menggunakan lightmeter. “Gue banyak motret langsung ke monitor, jadi semuanya bisa

dilihat dengan leluasa, kalau kurang ya tinggal di adjust sedikit lightingnya, tapi kalau udah ok

ya terusin aja.” Tambahnya.

Mengenai proses paska produksi yang melibatkan software pengolah foto seperti Adobe Photo-

shop, Mbah Uyo berpendapat bahwa seharusnya photoshop digunakan dalam skala pengukuran

berdasrkan efektifitas. “Kalau pakai photoshop lebih efektif ya silakan aja, tapi kalau lebih efektif

dilakukan waktu motret ya ngapain ngerjain di photoshop.” Jelasnya.

Di akhir wawancara kami, Mbah Uyo membagikan masukkannya kepada para fotografer pe-

for: Timeplace

Page 36: TheLight Photography Magazine #5

70 EDISI V / 2007

FASHIONPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 71

FASHIONPHOTOGRAPHY

mula. “Mulailah membuat foto yang “sehat”.

Karena foto yang sehat diapain saja bisa.” Un-

gkapnya. Foto yang sehat di sini adalah foto

yang memang sudah benar secara fotografi.

“Soalnya banyak sekali orang yang berusaha

menyehatkan foto yang sakit. Dan itu salah

besar. Akhirnya banyak yang bergantung pada

software pengolah foto untuk menyehatkan

foto mereka yang “sakit”. Kalau sudah jadi

kebiasaan takutnya malah foto yang sudah

sehat malah diolah dan jadi sakit.” Tambah-

nya.

Chris Ian pop

Page 37: TheLight Photography Magazine #5

72 EDISI V / 2007

HUMANINTEREST

EDISI V / 2007 73

LIPUTANUTAMA

BELAJAR MOTRET, BUAT APA?Perkembangan peminat fotografi di Indonesia berkembang cepat sejak masuknya digital.

Beberapa waktu yang lalu ketika tim kami berjalan-jalan di sebuah pusat pertokoan yang

biasa menjual computer kami mendapati banyak toko baru. Hanya saja mereka tidak menjual

computer, tapi menjual kamera. Di beberapa mal besar di Jakarta juga sudah mulai bisa ditemui

toko-toko kamera. Sekolah fotografi pun bermunculan satu per satu. Hal ini tentu saja akibat

teknologi yang memudahkan segalanya. Teknologi membuat fotografi bukan sebagai suatu hal

yang sulit. Anda bisa memotret dengan mudahnya dan menghapusnya pula dengan mudah jika

hasil yang diinginkan tidak sesuai harapan.

Seorang sahabat yang juga pengamat fotografi mengatakan “sekarang jamannya instant. Motret

langsung jadi, lebih instant dari Polaroid jaman dulu yang harus dikipas-kipas terlebih dahulu.”

Tidak heran jika terjadi pergeseran di kalangan pengguna fotografi. Jika dulu kaum awam yang

mempergunakan kamera hanya untuk keperluan dokumentasi pribadi kini beralih dari kamera

poket menjadi kamera prosumer atau bahkan SLR. Jika dulu pehobi memotret melakukan

pemotretan hanya dengan kamera dan flash internal, kini tidak jarang yang berani berinvestasi

untuk memberi peralatan lighting yang memenuhi standar studio foto yang lebih serius. Se-

muanya berubah dan berkembang. Investasi pehobi fotografi makin berani, keseriusan dalam

menekuninya pun menyusul. Apakah ini pertanda yang bagus untuk perkembangan fotografi

Indonesia? Kami tidak mau terlanjur gede rasa (GR) dengan kondisi ini. Kami mencoba meneliti

Page 38: TheLight Photography Magazine #5

74 EDISI V / 2007

LIPUTANUTAMA

EDISI V / 2007 75

LIPUTANUTAMA

lebih dalam lagi mengenai hal ini. Untuk itu

kami melakukan penelitian kualitatif mengenai

alasan orang untuk lebih serius di fotografi.

Responden yang kami wawancarai memang

tidak mencapai angka ratusan namun sebagai

survey kualitatif data ini bisa memberikan

gambaran singkat mengenai hal ini.

Berikut hasil survey kami. Kami mewawan-

carai secara mendalam mengenai motivasi

orang untuk tertarik lebih dalam lagi di dunia

fotografi. Ada 4 jawaban yang sangat sering

terlontar dari mulut responden kami. Dua

jawaban cukup menggembirakan, sementara

2 yang lainnya memprihatinkan. Sayangnya

justru 2 jawaban memprihatinkan yang

mendapat suara lebih besar.

Baiklah, kami akan memulianya dari jawaban

yang menyenangkan terlebih dahulu. 2 Jawa-

ban yang menggembirakan yang cukup sering

terlontar namun masih kalah banyak jika

dibandingkan dengan jawaban memprihatink-

an adalah mereka tertarik untuk lebih serius

memotret dengan alasan kepuasan pribadi

dank arena menghasilkan uang. Mereka yang

mengharapkan kepuasan pribadi biasanya

memotret dengan menuruti tuntutan selera

pribadi. Agak egois memang, tapi bisa sangat

baik jika yang berkepentingan rajin mem-

perkaya diri dengan referensi-referensi dari

foto-foto berkualitas. Dengan memiliki refer-

ensi foto yang berkualitas, kelompok ini akan

memiliki dorongan yang kuat untuk membuat

foto yang lebih baik lagi. Karena kepuasan

pribadi yang ada berasal dari referensi yang

kita lihat. Semakin baik foto yang kita lihat

kecenderungan untuk menghasilkan foto yang

lebih baik akan semakin baik pula. Sebaliknya

jika pehobi foto kelompok ini menutupdiri dari

referensi-referensi menarik, maka kecend-

erungan untuk menghasilkan foto yang lebih

baik lagi akan semakin kecil. “Sebenarnya

fotografer hobi murni seperti ini sangat kuat

motivasinya. Mereka tidak akan meninggalkan

fotografi. Namun untuk bisa memiliki doron-

gan untuk memotret bagus, mereka harus

punya banyak referensi foto bagus. Jika yang

dilihat foto jelek, maka ketika foto mereka

sudah dalam tingkat sedang-sedang saja su-

dah dianggap bagus. Untuk itulah carilah foto

yang lebih bagus dari foto anda. Supaya anda

punya motivasi untuk melewatinya.” Ungkap

salah seorang pengamat foto.

Hal yang sama juga terjadi pada mereka

yang memotret karena tergiur uang. Fotografi

memang bukan profesi yang menghasilkan

uang recehan. Fotografi bisa menghasilkan

uang yang besar dan menggiurkan. Namun

jika anda hanya berhenti pada besaran rupiah

yang ada tanpa memikirkan tanggung jawab

untuk menghasilkan foto yang baik dan

reputasi untuk tetap exist maka anda akan

berhenti pada tahap”menggampangkan.

Banyak yang jadi fotografer karena gampang

menghasilkan uang, terutama setelah bisnis

foto prewedding berkembang pesat. Market

yang ada cukup besar dan tuntutan kualitas

tidak terlalu tinggi mengingat kliennya bukan

seorang professional yang mengerti betul

tentang foto yang baik. “Ah foto saya yang

kayak gini aja udah bisa menghasilkan uang

banyak, ngapain lagi saya merepotkan diri

dengan belajar ini itu. Yang penting orang

lain suka, saya dapat duit.” Ungkap seorang

responden dari kelompok ini. “Fotografer yang

hanya mengincar uang tanpa memikirkan

kualitas tidak usah dipusingkan. Mereka akan

teriliminasi secara otomatis ketika masyarakat

mulai sadar kualitas foto yang baik.” Ungkap

seorang pengamat fotografi. “Tapi jika orang

tertarik uang di bisnis fotografi dan memutus-

kan untuk menggantungkan diri dari fotografi,

fotonya pasti akan bagus. Karena ia akan

melakukan apa saja untuk membuat foto

menjadi bagus. Maksuda saya benar-benar

Page 39: TheLight Photography Magazine #5

76 EDISI V / 2007

LIPUTANUTAMA

EDISI V / 2007 77

LIPUTANUTAMA

bagus, bukan bagus karena photoshop atau

bagus karena lightingnya di set orang lain.

Kalau harus belajar lagi mereka akan belajar.

Kalau harus bikin style baru mereka akan

bikin. Karena tujuannya adalah bagaimana

caranya menghasilkan uang dari memotret

dan bagaimana caranya untuk bisa terus

menghasilkan uang dari memotret.” Tambah-

nya. Kamipun mengamini pernyataan sahabat

kami tersebut setelah mengingat beberapa

fotografer komersil yang memang tertarik

menekuni profesi itu karena alasan uang.

Kesimpulannya bagi anda yang sudah

memiliki modal motivasi yang cukup baik,

yaitu mereka yang memotret untuk kepuasan

pribadi dan untuk uang, Anda hanya ting-

gal menjaga agar anda selalu terpacu untuk

selalu mengupgrade kemampuan fotografi

anda. Selalu menantang diri untuk melebihi

dari anda saat ini. Agar modal motivasi yang

sudah baik itu bisa benar-benar berujung di

tempat yang benar.

Selanjutnya, 2 alasan yang memprihatinkan

yang kami dapat adalah sebagai berikut.

Alasan pertama yang paling sering disebutkan

oleh responden kami adalah mereka men-

dalami fotografi karena senang bisa bertemu

dan memotret wanita cantik dan sexy (model).

Kelompok ini rajin mengikuti sesi hunting

dengan model cantik. Bahkan tidak jarang

mereka membuat sesi hunting ini sendiri.

Pengalaman dari seorang teman yang pernah

mengadakan acara hunting bersama adalah

“yang paling penting adalah modelnya cantik

dan sexy. Karena itu pertanyaan yang pal-

ing sering dilontarkan oleh calon peserta.”.

Mengenai tema yang ditetapkan kadang

hanya menjadi pemanis saja. “Lebih parah

lagi kadang model yang nggak cantik pun bisa

jadi laku jika modelnya berani berpose sexy.”

Tambahnya.

Selain untuk kepuasan pribadi semata, kel-

ompok ini merasa senang jika memiliki relasi

yang baik dengan banyak model yang cantik

dan sexy. “Keren aja kalau bisa kenal dengan

banyak model yang cantik dan sexy.” Ungkap salah seorang responden kami.

Amat disayangkan motivasi seperti ini bisa berakhir dengan hasil foto yang cenderung lebih

mengeksploitasi model bukan mengeksplorasi aura dan karakter si model. Hasilnya foto

cenderung lebih vulgar. Teori ini diperkuat oleh pengamatan kami di beberapa situs komunitas

fotografi online dimana para membernya bisa bertukar foto dan komentar. Foto-foto yang meng-

gunakan model wanita cantik dan sexy cenderung lebih banyak dilihat dan dikomentari. Sayang-

nya jika kita telaah lebih dalam lagi, tidak sedikit komentar yang justru mengarah kepada pose

yang terkesan vulgar semata, bukan kepada teknis dan konsep foto tersebut. “Yah memang

masih di situ level apresiasi pehobi foto kita. Jadi jangan heran kalau masih banyak perten-

tangan tentang batasan pornografi. Jangankan orang awam, pehobi foto saja juga “senang”

melihat ke arah situ.” Ungkap seorang pengamat foto yang tidak mau disebut namanya.

Jawaban kedua yang berbeda tipis perolehan suaranya yang juga memprihatinkan adalah

“Saya mau jadi fotografer karena gengsi.” Ya fotografer memang sudah menjadi pekerjaan

bergengsi di Indonesia. Mungkin karena fotografer adalah profesi yang cukup disegani bahkan

oleh kaum selebriti yang sudah disegani masyarakat. Kesan status selevel atau setingkat lebih

tinggi dari selebriti rupanya menjadi alasan yang menarik bagi orang untuk menjadi fotografer.

Upaya ini didukung oleh teknologi yang semakin memudahkan orang untuk memotret seperti

Page 40: TheLight Photography Magazine #5

78 EDISI V / 2007

LIPUTANUTAMA

EDISI V / 2007 79

LIPUTANUTAMA

sudah diungkapkan tadi. “Sekarang generasi

fotografer instant. Kemarin belum pernah

pegang kamera, hari ini sudah memakai baju

bertuliskan saya seorang fotografer. Dan su-

dah menenteng kamera SLR bernilai puluhan

juta rupiah.” Ungkap salah seorang pengamat

fotografi. Pernyataan ini secara tidak diengaja

dan tidak direncanakan sesuai dengan data

yang kami dapat. Yaitu bahwa banyak pehobi

fotografi yang sudah berani mengproklamir-

kan diri sebagai fotografer ketika baru lebih

serius mempelajari fotografi selama kurang

dari 1 tahun. Memang waktu bukan ukuran

yang tepat untuk menggambarkan kemam-

puan seseorang tapi setidaknya terlihat

bagaimana menjadi fotografer sangat mudah.

Kami pun tidak serta merta berburuk sangka

terhadap kelompok ini. Kami menyempatkan

untuk melihat satu per satu hasil foto mereka

untuk melihat kemampuan fotografi mereka.

Dan benar saja, foto yang mereka hasilkan

bagus-bagus seperti orang yang sudah lebih

dari 3 tahun menekuni fotografi. Namun

ketika kami telusuri lebih dalam lagi, tidak

sedikit dari mereka yang memiliki foto bagus

yang ternyata tidak memiliki kemampuan

fotografi yang baik. Lalu dari mana mereka

mendapatkan foto yang bagus itu? Mencuri?

Sebagian dari mereka mendapatkan hasil

foto yang bagus karena memiliki kemampuan

editing foto yang mumpuni. Bahkan hasil

foto yang sangat tidak menarik pun bisa

menjadi menarik dengan sentuhan software

editing foto. Satu per satu mereka menekuni

proses editing foto tersebut hingga hasilnya

jauh dari kenyataan. Ada sebagian lain yang

mendapatkan hasil foto yang bagus dengan

bekerjasama dengan orang lain. “Ini foto saya,

motretnya di studio teman. Yang motret sih saya. Tapi yang set lighting teman saya. Jadi saya

memang sudah berkomitmen dengannya untuk berpartner. Setiap saya ada pekerjaan memotret

saya akan sewa studio dia dan dia akan kasih bonus jasa set lighting. Itu kan yang namanya

teamwork seperti kata banyak fotografer prefesional. Yang penting kan yang ngatur komposisi

dan yang jepret kan saya.” Ungkap salah seorang nara sumber kami yang lain.

Memang fotografi menjadi lebih menarik ketika dilakukan secara teamwork. Namun apakah ini

dinamakan teamwork yang baik atau tidak silakan anda sendiri yang menilai. Tidak ada aturan

tertulis mengenai definisi fotografi modern. Mengenai siapa yang berhak mengklaim diri sebagai

fotografer, yang menjepret kah? Atau yang mengatur pencahayaan kah? Tapi kami berpendapat

bahwa seorang fotografer seharusnya mengerti segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan

tersebut termasuk lighting.

Jadi, termasuk dikelompok manakah anda?

Page 41: TheLight Photography Magazine #5

80 EDISI V / 2007

HUMANINTEREST

EDISI V / 2007 81

THEEVENT

Foto Kompas Harta Karun IndonesiaAngka 42 umumnya tidak dikehendaki jika kita ingin merayakan sesuatu. Meski demikian, kalau angka itu menandai perjalanan panjang sebuah perusahaan media massa, hal itu rasanya bu-kanlah halangan. Daripada mengikuti kebiasaan kenes dengan hanya memakai angka yang di-anggap cantik, surat kabar Kompas menerbitkan buku kumpulan foto jurnalistik para wartawan-nya, yang terhimpun sejak awal koran terbit sampai hari ini, dengan pemilihan yang ketat. Harus disebutkan bahwa hampir sepanjang 42 tahun itu Kompas tampil sebagai bacaan harian yang terkemuka, dan karena itu apa saja yang ditampilkan di berbagai halamannya pernah menjadi bahan pembicaraan di masyarakat luas, menjadi semacam ”sastra rakyat” yang pergi ulang alik antara tradisi literer maupun lisan sebagaimana kebiasaan di kalangan masyarakat banyak.

Foto berita atau foto jurnalistik mempunyai paling sedikit dua wajah: sebagai karya foto dan sekaligus merupakan bagian penting dari berita. Ia memenuhi kaidah-kaidah fotografis dan punya daya tarik secara visual. Karya foto apa pun mengomunikasikan pesan, tetapi dalam hal ini berita foto berisi pesan yang terarah. Pada saat yang sama ia mesti memenuhi standar tertentu dari media cetak yang memuatnya, punya nilai berita tinggi, memancing rasa ingin tahu pembaca, dan seyogianya tergolong di dalam peringkat ”teks berita yang terbit tanpa foto ini berkurang bobotnya”.

Sejak menggunakan foto pertama kali pada awal-awal masa terbit pada tahun 1965, surat kabar Kompas mencoba menempatkan foto berita selaku pilar penting di dalam membuat konstruksi dari sebuah berita dengan dampak yang diinginkan. Penting tidaknya sebuah foto berita umumnya bisa dikaji dari penempatannya di dalam sebuah penerbitan. Di dalam kasus

Eddy Hasby -KompasFebruari 1999

surat kabar, kita bisa menilai dari halaman ke berapa ia terpampang. Kalau ia ditaruh di halaman muka, bisa dipasti-kan bahwa ia telah memenuhi berbagai syarat yang diajukan untuk sebuah foto berita yang baik. Katakanlah, terpilih dibandingkan dengan banyak

Page 42: TheLight Photography Magazine #5

82 EDISI V / 2007

THEEVENT

EDISI V / 2007 83

FOODPHOTOGRAPHY

calon lain, yang karena sifat media yang terbit berkala (di dalam hal ini setiap hari), membuat redaksi mengambil keputusan secara cepat. Cara penempatan foto yang telah melewati banyak pertimbangan dari dewan redaksi itu sendiri juga sudah mengandung pesan di balik wujud yang sekadar tampak bagus secara fotografis, kuat secara visual, dan ditambah (yang sangat penting) bahwa pesan di balik gambar memenuhi hasrat ingin tahu rakyat banyak. Itulah pilihan yang ”terbaik” di antara yang ada di dalam situasi kerja yang diburu waktu.

Di luar perkara kemampuan bertahan terbit selama itu—orang gampang mengaso-siasikan waktu 42 tahun dengan dua generasi—kumpulan foto ini tak lain adalah harta karun ketika kita ingin menengok sejarah kontemporer Indonesia. Ia menjadi dokumen sosial politik hukum ekonomi dan budaya yang sangat berharga, otentik, berbicara lantang pada masanya, dan ternyata masih bergaung pada masa-masa yang lebih kemudian.

Surat kabar karena sifatnya yang harian sangat terikat pada ruang dan waktu, selalu aktual, termasuk foto-foto yang dimuatnya. Teks berita atau foto di sana mengabarkan apa yang telah terjadi sambil sekaligus membekukan waktu. Orang membaca koran yang terbit kemarin adalah membaca masa lalu—bahkan koran yang Anda baca hari ini sesungguhnya memuat peristiwa yang telah terjadi. Bayangkan kalau hal itu berlaku pada khazanah foto berita yang berasal dari rentang waktu dari saat tulisan ini diketik dan berjalan mundur ke masa 42 tahun lalu. Apa yang kita jumpai? Sebuah gugusan gambar-gambar yang bermakna dan memiliki konteksnya masing-masing, yang membeberkan peta kehidupan tentang apa yang pernah terjadi dan memengaruhi hajat hidup orang banyak di negeri ini.

Di sana terpampang berbagai peristiwa yang bisa kita petik sebagai pelajaran untuk mengh-adapi hari ini dan hari esok. Sebutlah itu tentang bagaimana bangsa ini mengelola berbagai potensi konflik yang ujung-ujungnya masih terasa sampai hari ini, bagaimana menyikapi ”kemajuan”, bagaimana

Kompas/Agus SusantoFebruari 2002

bangsa ini belajar ber-demokrasi, bagaimana rakyat kecil bertahan untuk hidup, dan seterusnya. Beberapa di antara foto-foto itu langsung menyangkutkan kita dengan momen-momen masa lalu yang sangat

menentukan, seperti gambar Presiden Soeharto membubuhkan tanda tangan, sementara di sisi lain sambil berdiri dan bersidekap dalam gaya arogan seorang tokoh IMF menyaksikannya. Lihat pula seorang gadis yang terlentang di atas aspal jalan, masih dengan jaket mahasiswa. Ia korban dari bentrokan antara petugas keamanan dan para mahasiswa Universitas Trisakti pada bulan Mei 1998. Bulan Mei 1998 adalah saat sangat krusial di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di mana berbagai kerusuhan belum juga terbuka dengan jelas sampai saat ini.

Dua foto tersebut berada di antara 280 foto karya 44 wartawan Kompas yang terpilih untuk dimasukkan ke dalam buku ini, yang mengambil tajuk ”Mata Hati: 1965-2007” dengan editor Julian Sihombing, salah seorang pewarta foto senior di surat kabar ini. Buku setebal 300 hala-man dengan esai yang ditulis budayawan Sindhunata (pernah menjadi wartawan Kompas), dan pengantar oleh pendiri Kompas, Jakob Oetama, ini bakal diluncurkan hari Senin, 16 Juli 2007 malam, di Bentara Budaya Jakarta. Dalam pengantarnya Jakob menyebut bahwa, betapapun marak media televisi yang membuat berita dan peristiwa menjadi tontonan, dan bukan sebagai bacaan, ternyata sejauh ini foto tetap bertahan baik posisi maupun perannya pada surat kabar dan majalah.

Peluncuran buku menandai peresmian pameran foto dengan tajuk yang sama, yang kemudian akan dibawa berkeliling ke lima kota, yaitu Yogyakarta, Semarang, Malang, Surabaya, dan Medan. Disiapkan juga berbagai kegiatan pendamping untuk lebih mendekatkan persoalan foto jurnalistik dengan kaum muda.***

Kompas/Evie FadjariSeptember 1987

Page 43: TheLight Photography Magazine #5

84 EDISI V / 2007

FOODPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 85

FOODPHOTOGRAPHY

BECOME FOOD LOVER ORBECOME FOOD PHOTOGRAPHERMemotret sudah menjadi hobby yang menyenangkan bagi banyak orang. Terlebih lagi jika obyek

yang dipotret adalah sesuatu yang menarik. Banyak sekali orang menggandrungi memotret

fashion karena relative sering bertemu wanita yang menarik secara fisik. Banyak juga yang

menyenangi landscape photography karena senang melihat pemandangan alam dan traveling.

Namun ternyata tidak banyak fotografer yang menekuni food photography walaupun hampir

semua orang menyukai makanan. Edisi ini untuk pertama kalinya kami menghadirkan Iswanto

Soerjanto, seorang fotografer komersil yang banyak melakukan pemotretan makanan.

Ceritakan kapan anda mengenal fotografi?Saya mulai kenal fotografi sejak umur 13 tahun. Waktu itu saya masih SMP di Bogor. Kebetulan

ayah saya adalah fotografer amatir yang cukup serius mendalami fotografi. Bahkan ia juga biasa

melakukan proses cuci cetak sendiri. Hobby itu berlanjut hingga SMA. Kebetulan di sekolah

saya ada ekstra kulikuler fotografi. Hobby ini berlanjut hingga saya kuliah di jurusan hukum

Universitas Tarumanegara, Jakarta. Saya cukup aktif di klub fotografi PFT (Persatuan fotografi

Tarumanegara). Saya pun sering ikut lomba foto dan lumayan sering menang.

Page 44: TheLight Photography Magazine #5

86 EDISI V / 2007

FOODPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 87

FOODPHOTOGRAPHY

Kuliah di Hukum tapi malah kerja jadi fotografer professional? Gimana ceritanya bisa jadi begitu?Waktu saya kuliah, saya mulai berpikir. “Kok

makin lama sarjana hukum makin banyak,

sementara fotografer kok masih sedikit. Kalau

saya jadi fotografer harusnya persaingannya

belum banyak nih.”. Akhirnya tahun 1987

saya cuti kuliah dari Tarumanegara dan

belajar Fotografi di Brooks, USA. Saya ambil

jurusan illustration & advertising photography.

Dari situ saya mulai lebh serius lagi menda-

lami fotografi.

Bagaimana komentar orang tua waktu anda memutuskan untuk pindah jalur?Sebenarnya ayah saya cukup mendukung

karena beliau juga fotografer. Tapi waktu itu

ia bertanya “Masak mau buka foto studio pas

foto saja harus sekolah fotografi segala?”.

Maklum saya waktu itu keluarga saya taunya

usaha di bidang fotografi ya Cuma buka stu-

dio foto. Orang Indonesia saja yang saya kenal

dan sekolah fotografi di sana Cuma 7 orang.

Beberapa di antaranya adalah: Pak Kayus Mu-

lia, Pak Indra Leonardi, Mas Arkadius Pribadi.

Tapi yang ambil major seperti saya hanya

Arkadius Pribadi.

Page 45: TheLight Photography Magazine #5

88 EDISI V / 2007

FOODPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 89

FOODPHOTOGRAPHY

Page 46: TheLight Photography Magazine #5

90 EDISI V / 2007

FOODPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 91

FOODPHOTOGRAPHY

Jadi Anda belajar banyak di sana?Di major yang saya ambil, system pendidikan-

nya lebih liberal. Saya banyak diberi keba-

basan untuk memilih project sesuai yang saya

mau. Lain dengan majornya pak Kayus yang

jauh lebih serius. Tapi intinya saya banyak

mendapat pengetahuan teknik di sana.

Pengetahuan teknik ini penting juga untuk ikut

membantu membentuk pola pikir. Karena fo-

tografi terus berkembang, jadi harus terus up

to date baik dengan stylenya maupun dengan

teknologinya. Dengan memiliki pola pikir yang

benar, kita bisa terus mengikuti perkemban-

gan jaman, sehingga nggak akan ketinggalan

jaman dan jadi sepi orderan. Perkembangan

teknologi fotografi yang cepat ini yang bisa

membahayakan fotografer sendiri. Semuanya

harus dipelajari dan dimengerti. Dengan tidak

benar-benar mengerti segala hal tentang

fotografi, fotografer akan susah bertahan lebih

dari 10 tahun. Untuk itu buat yang senior ya

sebaiknya belajar pakai computer. Sementara

yang baru, saya juga khawatir karena mereka

generasi instant. Jadi banyak yang nggak tau

basic. Ini yang bisa menyebabkan mereka

nggak bisa bertahan.

Bagaimana akhirnya anda memulai bisnis fotografi di Indonesia?Saya mulai bisnis ini dengan nggak ada mod-

al. Saya Cuma punya portfolio dan kamera.

Kondisi ini diperparah lagi dengan perilaku

yang beda antara di US tempat saya belajar

dengan di sini. Di sana, orang-orang yang

menjadi klien & calon klien saya (art director &

creative director advertising company) setiap

harinya menerima banyak sekali portfolio fo-

tografer muda. Bedanya di sana mereka mau

coba. Mereka bisa membagi mana kerjaan

untuk fotografer senior yang sudah biasa mer-

eka pakai, mana yang untuk fotografer muda.

Page 47: TheLight Photography Magazine #5

92 EDISI V / 2007

FOODPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 93

FOODPHOTOGRAPHY

Tapi di sini, waktu saya datang banyak orang

yang takut kasih kesempatan ke fotografer

muda. Padahal nggak semua fotografer muda

jelek kerjaannya. Kalau dikasih kesempatan

mereka pasti bisa.

Lalu bagaimana anda keluar dari tantangan itu?Akhirnya mau nggak mau saya ikutin cara

yang dipakai banyak orang. Saya mulai dari

orang yang kenal dulu. Setelah itu baru

mereka secara otomatis akan menyebarkan

kapabilitas saya ke teman-temannya. Sayang

sekali. Mungkin ini adalah salah satu hal

yang membuat perkembangan fotografi di

Indonesia perkembangannya tidak secepat

bangsa lain. Karena mereka nggak berani

ambil resiko. Jadi nggak berkembang.

Nah pada tahun 1993 saya bergabung

dengan APPI (Asosiasi Photgrapher Profe-

sional Indonesia). Saya ikut pameran bersama

APPI tahun 1996, 1997 dan terakhir 2004.

Dari situ orang mulai kenal saya dan kerjaan

mulai masuk. Tahun 1993 sampai 1997 saya

merasa sebagai masa jaya saya. Tapi sayang-

nya ketika tahun 1998 terjadi kerusuhan

saya frustasi, semua yang sudah dibangun

hancur semua. Semuanya harus mulai dari

nol lagi. Akhirnya saya pindah ke Bali dan

Page 48: TheLight Photography Magazine #5

94 EDISI V / 2007

FOODPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 95

FOODPHOTOGRAPHY

tinggal di sana selama 1 tahun. Di sana kerjaan saya hanya motret tapi motret untuk kepuasan

batin saja. Bari tahun 1999 saya kembali lagi ke Jakarta dan mulai bisnis ini lagi. Ketika mulai

lagi, saya berpikir, “fotografer itu ada lifetimenya. Suatu hari harus pensiun entah karena sudah

nggak bisa motret lagi atau memang mau pensiun. Ketika itu terjadi saya nggak mau apa yang

telah saya rintis puluhan tahun hilang begitu saja. Maka dari itu saya mendirikan perusahaan

yang bernama DigitalKapture Photography management. Perusahaan ini menaungi 3 bidang,

yaitu: commercial photography untuk keperluan advertising, Digital Imaging dan sebuah jasa

pemotretan food untuk keperluan kafe dan restoran kecil.

Kenapa tertarik untuk masuk bidang food photography?Saya melihat food photography marketnya sangat besar. Coba saja lihat dimana-mana anda

bisa jumpai restoran dan kafe. Mereka semua butuh foto makanan yang bagus. Tapi memang

sayangnya budget yang mereka alokasikan untuk foto tidak besar. Sehingga kalau ditangani

seperti standar commercial photography untuk keperluan advertising nggak akan kejual. Maka

dari itu saya bikin Salt & Pepper Culinary Photography. Yang motret bukan saya tapi saya

supervisi.

Berbicara mengenai Food Photography, apa yang membuat anda tertarik di sini?

Pertama, saya senang makan. Hahaha… kemanapun saya pergi saya selalu menyempatkan

mencoba makanan daerah setempat. Selain itu saya bisa masak sedikit-sedikit. Saya juga jadi

kontributor tetap di www.temanmakanku.com Dulu saya juga pernah jadi kontributor majalah

Nirmala dan majalah Santap.

Hal dasar apa saja yang harus diperhatikan untuk bisa jadi photographer Food?Yang pertama harus jadi food lover. Karena kalau kita nggak suka pasti jadi mudah sekali bosan.

Dengan menjadi food lover kita jadi semangan dan enjoy mengerjakan pemotretan. Selanjutnya

makanan harus diperhatikan seperti model. Ada bagian muka ada bagian samping ada bagian

belakang. Nah untuk yang satu ini lebih susah daripada motret model karena Anda yang harus

Page 49: TheLight Photography Magazine #5

96 EDISI V / 2007

FOODPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 97

FOODPHOTOGRAPHY

menentukan mana bagian muka, samp-

ing dan belakang. Selanjutnya sama seperti

motret model, cari angle terbaiknya.

Selanjutnya bagaimana caranya mengeksplorasi lebih dalam lagi makanan yang akan di potret?Ada 3 segi yang bisa dieksplor. Dari Sedap-

nya, dari Sehatnya dan Higienisnya. Kalau

bisa dapatkan ketiganya lebih bagus. Tapi ada

makanan yang kelihatan nggak sehat tapi bisa

dibuat kelihatan enak. Begitu juga sebaliknya.

Ada makanan yang nggak kelihatan enak

tapi kita bisa eksplorasi sehatnya. Jangan

lupa, sebaiknya sebelum motret coba cicipi

makanannya supaya lebih tau dan dapat

feelingnya. Lebih bagus lagi tanya juga yang

bikin makanan itu, apa yang mau di highlight

dari makanan tersebut.

Selanjutnya lakukan eksplorasi dari segi

tekstur, shape, contour, dan warna. Tekstur,

misalnya daging sapi atau cake, bisa terlihat

lebih menarik jika teksturnya kelihatan. Shape,

perhatikan bentuk makanannya. Kalau minu-

man perhatikan bentuk gelasnya. Contour,

perhatikan permukaan makanan yang ingin

dipotret. Terakhir warna. Coba bantu dengan

komposisi warna yang enak dilihat. Semua ini

bisa dibantu dengan komposisi yang menarik.

Bagaimana dengan faktor teknis?Saya biasa memotret makanan dari angle 45

derajat. Alasannya karena kita biasa meli-

hat makanan dari sudut itu. Selain itu, dari

sudut itu dimensi dan detailnya bisa terlihat.

Selanjuutnya makanan akan terlihat lebih

enak jika ada ambience yang masuk, baik

Page 50: TheLight Photography Magazine #5

98 EDISI V / 2007

FOODPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 99

FOODPHOTOGRAPHY

dari segi property yang digunakan maupun

lightingnya. Usahakan Ambiencenya masuk

semua. Banyak orang yang suka bermain

dengan selectif fokus. Tapi harus diingat jika

ingin menggunakan selektif fokus highlight di

bagian utamanya.

Apa tantangan terberat yang pernah dihadapi waktu memotret makanan?Kasus paling susah yang pernah saya hadapi

adalah makanan bersantan. Biasanya dalam

memotret, makanan yang difoto bukan

makanan sebenarnya, jadi dicarikan bahan

penggantinya. Misalnya kalau mau motret

ice cream biasanya dipakai kentang supaya

nggak gampang lumer. Nah sayangnya

santan belum ditemukan bahan pengganti-

nya, padahal santan kalau agak lama sedikit

jadi berkerut dan pecah-pecah. Belum lagi

warnanya berubah.

Kasus lain yang juga susah adalah memotret

rendang. Rendang tampilannya nggak

menarik karena hanya gumpalan coklat

gelap. Tapi sekarang saya sudah menemukan

caranya, yaitu dengan mengeksplorasi tekstur

dagingnya.

Artinya tantangan paling banyak dari segi persiapan makanannya ya?Betul.

Bagaimana dengan digital imaging untuk makanan?Sangat minim. Paling hanya enhanching saja.

Makanan nggak bisa di compose karena

butuh ambiance yang sebenarnya jadi hampir

nggak ada digital imaging.

Ada pesan untuk mereka yang se-dang belajar memotret makanan?Yang pertama jelas harus jadi food lover.

Selanjutnya harus tau yang mau dijual

apanya? Enak? Sehat? Bersih? Yang nggak

kalah penting juga bagi mereka yang baru

belajar, Jangan beli peralatan yang nggak ada

gunanya. Sekarang banyak fotografer muda

yang semua peralatan dibeli tapi akhirnya

nggak kepakai.

Page 51: TheLight Photography Magazine #5

100 EDISI V / 2007

FOODPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 101

HUMANINTEREST

Page 52: TheLight Photography Magazine #5

102 EDISI V / 2007

THEINSPIRATION

EDISI V / 2007 103

THEINSPIRATION

LET’S GO EVERYBODY, BREAK THE RULEBreak The Rule dari mana asalnya?

Sudah beberapa tahun terakhir ini istilah ini seringkali muncul, terutama di kalangan orang-

orang bisnis dan yang pekerjaannya berhubungan dengan dunia kreatifitas termasuk fotografi.

Beberapa orang fotografer yang pernah saya wawancarai sempat menyebut istilah ini berulang

kali sebagai salah satu tips dalam berkarya. Sayangnya beberapa orang yang menurut sebagain

besar teman saya dianggap “ngaco” juga selalu bilang “break the rule dong man.” Sambil

menunjukkan foto anehnya kepada saya dan teman-teman saya. Saat itu pula saya “tersasar” di

tengah esensi break the rule yang tepat.

Saya pun berpikir, “mana yang bener nih, yang jago bilang break the rule. Yang belum jago juga

nunjukin foto anehnya sambil menyatakan bahwa itu salah satu cara untuk break the rule.”

Saya mungkin bukan orang yang paling tepat untuk berbicara mengenai hal ini, karena mungkin

banyak orang yang lebih mengetahui formula “break the rule” yang benar. Namun dalam rangka

“break the rule” saya pun nggak mau kalah breaking the rule-nya dengan teman-teman saya

yang sudah keburu break the rule di bidang lain. Belum tentu benar. Apalagi untuk dipercaya.

Namun setidaknya, dari sebuah omong

kosong ini saya bisa berbagi trigger kepada

teman-teman di sini untuk mencari formula

“break the rule” anda sendiri.

Beberapa tahun yang lalu ketika saya masih

rajin-rajinnya membaca buku, (saya sangat

menyukai buku tentang kreatifitas yang ditulis

oleh praktisi advertising) saya menemukan

sebuah formula untuk menjadi kreatif. Buku

itu menyebutkan bahwa orang perlu menjadi

kreatif karena dunia ini sudah penuh oleh

kesamaan. Fotografer sama spesialisasinya,

sama karakternya, sama bagusnya, dll.

Akhirnya ketika semua sama bagusnya, kita

juga bisa berkata bahwa semuanya sama

jeleknya. Karena tidak ada yang lebih bagus

dari yang lain. Untuk itulah konsep diferen-

siasi dalam marketing diperkenalkan. Yaitu

untuk membuat pembeda. Agar ketika dua

orang fotografer sama spesialisasinya dan

sama bagusnya setidaknya ada karakter yang

berbeda agar lebih mudah dikenali. Taksi yang

awalnya berwarna biru semua, kini mulai

ada yang warna orange, warna hitam, warna

marah maroon. Gula pasir yang tadinya sama

bungkusannya, sama kekuningannya, sama

manisnya, kini jadi ada bedanya, yaitu punya

nama alias brand. Dari situ saya berpikir, “wah

ternyata memang dunia ini senang sekali

menyeragamkan sesuatu, sehingga perlu

upaya untuk membedakan kembali. Walau-

pun pada akhirnya akan disamakan kem-

bali.” Ketika brand-brand yang telah mapan

mencoba berkiblat pada satu poros sehingga

terlihat sama dan membentuk satu aturan

yang seolah-olah baku, semuanya menjadi

sama. Dibutuhkan upaya untuk menjadi ber-

beda agar lebih dikenal dan mudah diingat.

Caranya ya dengan break the rule tadi itu.

Memecah keseragaman.

Namun break the rule seperti apa? Jika

aturannya memotret ya seperti yang selama

ini kita lakukan, apakah kita perlu mencoba

memotret dari kolong kaki kita sendiri. Atau

perlukah kita mencoba memotret model yang

posenya jungkir balik. Anda pun bisa mulai

berkampanye, “foto model berdiri udah biasa,

Page 53: TheLight Photography Magazine #5

104 EDISI V / 2007

THEINSPIRATION

EDISI V / 2007 105

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

nih break the rule nih kepalanya di bawah kakinya di atas.”

Ketika sekelompok orang difoto bersama, siapakah yang paling mudah terlihat dan teringat?

Orang yang paling gemuk, orang yang paling kurus, orang yang paling cakep, orang yang paling

jelek, orang yang paling jenius, orang yang gila sendiri.

Dulu salah seorang senior saya di perusahaan periklanan pernah berkata (saya tidak sepenuh-

nya sependapat), “Kalau lo nggak bisa bikin iklan yang bagus banget, bikinlah iklan yang jelek

dan norak banget.” Dan memang benar juga, orang-orang ingat sekali dengan iklan yang jelek

dan menjengkelkan. Iklan-iklan yang berulang 3 kali secara berturut-turur sangat diingat orang–

orang sama seperti iklan yang bagus sekali.

Artinya ketika kita berbicara break the rule, break the rule kemana? Lebih baguskah? Atau lebih

jelek?

Ya, perbedaan sayangnya memiliki dua sumbu yang berlawanan. Beda bisa berarti baik, bisa

berarti juga aneh dan jelek. Sayangnya lagi-lagi dua-duanya sama-sama break the rule.

Seorang teman saya yang juga menjadi technical advisor di majalah ini pernah berkotbah,

“orang gila bedanya tipis sama orang jenius. Orang stylish bedanya tipis sama orang norak.”

Dua-duanya break the rule, tapi dengan arah dan hasil yang berbeda.

Jadi ke arah manakah upaya “break the rule” yang sedang anda jalankan sekarang ini? Ba-

gaimana caranya supaya kita tau arah yang benar? Tunggu omong kosong di edisi selanjutnya.

(utg)

GERARD ADI, NGGAK GENGSI BELAJAR MAKE UPSetelah 4 edisi berlalu, akhirnya pada edisi ini kami memutuskan untuk menghadirkan Gerard

Adi, Technical Advisor kami pada rubric commercial photography ini. Tanpa banyak basa-basi,

berikut cuplikan pembicaraan kami dengannya.

Kapan anda mulai serius memotret?Saya mulai serius ketika kuliah di arsitek Parahyangan. Saya tipe orang yang maunya kalau bisa

masuk jajaran terbaik. Jadi waktu itu saya ketemu dengan Jaya Ibrahim, seorang arsitek terbaik

di Indonesia walaupun nggak banyak yang kenal dia. Saya kagum sekali sama dia dan saya

merasa saya masih sangat jauh dibandingkan dengan dia. Maka dari itu, saya memutuskan

untuk nggak jadi arsitek karena kalau saya jadi arsitek saya harus bisa nggak jauh-jauh keting-

galan dari dia. Hahaha…

Page 54: TheLight Photography Magazine #5

106 EDISI V / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 107

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Model: Albina - Look Model Inc., For: Next Big Thing

Page 55: TheLight Photography Magazine #5

108 EDISI V / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 109

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Model: Dinda For: Carring (DM Pratama)

Page 56: TheLight Photography Magazine #5

110 EDISI V / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 111

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Jadi di Photography anda yakin bisa jadi yang terbaik?Wah kalau soal itu nggak tau. Hahaha. Tapi yang saya suka waktu memutuskan jadi fotografer

adalah karena di fotografi nggak ada ilmu pasti. Sehingga kita bisa cari cara sendiri untuk

menghasilkan karya yang bagus.

Tapi anda hobi fotografi kan?Sebenarnya nggak hobi-hobi amat juga. Karena kalau saya hobi nggak akan bisa dipaksa jadi

fotografer komersil yang notabene harus bekerja di bawah tekanan. Disupervisi klien. Kebe-

basannya dibatasi.

Model: Nia Rahmadani, For: Lotte (DM Pratama)

Model: Nia Rahmadani, For: Lotte (DM Pratama)

Page 57: TheLight Photography Magazine #5

112 EDISI V / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 113

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Ada alasan lain mengapa anda memutuskan untuk jadi fotografer dibandingkan jadi arsitek?Mungkin karena fotografer banyak dikelilingi

wanita cantik.. hahahahaha… Nggak, bukan

itu. Alasan lain mungkin bukan dibandingkan

dengan jadi arsitek tapi dibandingkan spesial-

isasi lain di fotografi. Misalnya, di commercial

photography saya nggak perlu “tampil” seperti

fashion photographer yang harus banyak

bersosialisasi. Buat saya nggak perlu semua

orang bilang foto saya bagus, tapi cukup

sebagian orang saja yang bilang begitu tapi

orang-orang itu adalah orang yang kompeten.

Apakah anda merasa kuliah di arsitek cukup membantu anda jadi fotografer, mengingat banyak fotografer yang pernah kuliah arsitek?Mungkin karena arsitek adalah penggabungan

antara teknik dan estetik. Karena itu saya

belajar meilhat perspektif, keseimbangan,

sirkulasi ruang, dan lain sebagainya.

Model: Bella For: Rudi Hadisuwarno

Page 58: TheLight Photography Magazine #5

114 EDISI V / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 115

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Model: Kris Dayanti For: KD-PAC (Fame74)

Page 59: TheLight Photography Magazine #5

116 EDISI V / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 117

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Model: Kris Dayanti For: KD-PAC (Fame74)

Page 60: TheLight Photography Magazine #5

118 EDISI V / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 119

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Bagaimana proses anda belajar fotografi komersil secara serius?Saya belajar dengan lihat foto orang lain. Saya

perhatikan foto fotografer yang lebih senior

seperti Sam Nugroho, Artli Ali, Darwis Triadi.

Saya berusaha mempelajari dan mengerti.

Kalau nggak ngerti saya tanya.

Saya nggak pernah ikut fotografer komersil.

Maka dari itu orang-orang yang sempat

belajar langsung dari fotografer komersil

harus bersyukur, karena saya nggak pernah.

Untuk tahu banyak soal dunia komersil saya

banyak ngobrol dengan Warren Kiong (pemilik

Primaimaging –red.). Dia cukup berpengaruh

dalam karir dan cara berpikir saya.

Anda banyak melakukan pe-motretan yang membutuhkan model, bagaimana awalnya anda mendapatkan support dari model untuk foto anda?Saya berusaha masuk di lingkungan itu.

Sebenarnya saya nggak begitu suka ber-

sosialisasi, tapi karena butuh mau nggak

mau saya mulai bergaul dengan model dan

designer. Semuanya saya temani. Bahkan ada

yang sampai saya pacari.. hahahaha…

Selain itu saya mempelajari banyak hal nin

fotografi, seperti make up, color separasi, dan

Model: Maureen For: Rudi Hadisuwarno

Page 61: TheLight Photography Magazine #5

120 EDISI V / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 121

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Page 62: TheLight Photography Magazine #5

122 EDISI V / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 123

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

lain-lain. Saya sempat kursus make up hanya untuk tahu karakter bahan make up dan efeknya,

Sehingga saya bisa berkomunikasi dengan make up artis. Ketika kita memotret model, banyak

hal yang nggak bisa didapat hanya dengan lighting saja, butuh bantuan make up tertentu dan

untuk itu saya mempelajarinya. Selain itu saya juga mencari tahu seluk beluk industri adver-

tising. Saya cari tahu workflownya, posisi-posisi yang ada, prosedurnya dan lain sebagainya

karena saya akan banyak bekerja dengan mereka.

Bagaimana awalnya anda terjun sebagai professional sebagai commer-cial photographer?Waktu saya lulus kuliah pas krismon. Awalnya saya banyak melakukan pemotretan interior dan

arsitektur untuk hotel. Hingga akhirnya saya memenangkan pitching untuk memotret sebuah

produk perawatan rambut. Selama dikontrak oleh produk tersebut saya jadi terlena. Saya nggak

berbuat apa-apa, hingga akhirnya karena produk tersebut diakuisisi perusahaan lain kontrak

saya pun tidak diteruskan sementara saya nggak punya klien tetap lain. Akhirnya tahun 2004

saya menyempatkan waktu untuk mempersiapkan diri terjun menjadi full time commercial

photographer. Di situ saya mulai dengan bikin buku yang berisi portfolio saya yang saya namai

The Next Big Thing. Tahun 2005 saya mulai menerima order dari advertising company.

Kenapa harus dipersiapkan? Sebegitu beratkah tantangannya dunia com-mercial?Memang berat. Di fotografi komersil lebih baik jangan masuk dulu kalau nggak siap. Karena ka-

lau sudah gagal sangat susah sekali untuk bangkit. Ini karena fotografi komersil kliennya adalah

orang-orang professional yang memang sangat mengerti tentang hasil foto yang berkualitas.

Jadi nggak bisa coba-coba.

Apa saja yang anda persiapkan waktu itu?Untuk masuk ke fotografi komersil setidaknya ada 5 standar yang harus dipenuhi. Pertama ada-

lah equipment. Karena keperluannya untuk iklan biasanya klien meminta standar peralatan yang

baik juga. Nggak harus punya karena bisa sewa. Yang kedua, adalah kualitas hasil. Hasil yang

For: PAC

Page 63: TheLight Photography Magazine #5

124 EDISI V / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 125

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Model: Dinda For: The Next Big Thing Model: Albina For: The Next Big Thing

Page 64: TheLight Photography Magazine #5

126 EDISI V / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 127

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Model: Vanessa Mclure For: The Next Big Thing

Page 65: TheLight Photography Magazine #5

128 EDISI V / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 129

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Model: Nayla Alatas For: PAC

dituntut oleh klien fotografer komersil adalah

detail yang sempurna, jadi kita harus bisa

memberikan hasil yang sempurna sampai

detail-detail, bahkan untuk project low budget

sekalipun. Selanjutnya standar service. Karena

bisnis ini professional maka kita harus bisa

memberikan segala kemudahan kepada klien.

Standar keempat adalah teamwork. Peker-

jaan fotografi komersil membutuhkan detail

yang sempurna, artinya banyak pihak yang

kompeten pula yang terlibat untuk menghasil-

kan detail yang sempurna. Untuk itu team-

work harus dipenuhi. Standar terakhir adalah

portfolio. Dari portfolio klien mau mencoba

memberikan pekerjaan kepada kita.

Kalau begitu portfolio saja sudah cukup dong? Kan hasil akhirnya?Itu dia, banyak sekali fotografer yang bisa

motret bagus, portfolionya bagus-bagus. Tapi

klien nggak balik lagi karena keempat standar

yang lain tidak dipenuhi. Mereka kecewa kar-

ena kualitas filenya tidak mencukupi karena

equipment yang apa adanya. Mereka kecewa

dengan servicenya, mereka kecewa dengan

teamwork yang asal ada. Jaman sekarang

portfolio yang bagus bisa didapatkan dengan

digital imaging habis-habisan. Tapi ketika

order datang, klien akan supervise mereka

nggak akan comfort kalau fotonya masih

berantakan tapi fotografernya bilang “nanti

kan bisa di DI.”

Bagaimana komentar anda tentang perkembangan fotografi komersil?Ekspektasi klien terhadap foto komersil selalu

bertambah. Kini proses foto tidak berhenti

sampai pada selesai pemotretan saja. Ada

post productionnya yang sering disebut en-

chanhing atau digital imaging. Hal ini karena

Page 66: TheLight Photography Magazine #5

130 EDISI V / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 131

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Model: Maureen For:The Next Big Thing

Page 67: TheLight Photography Magazine #5

132 EDISI V / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 133

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Model: Virny For:Rudi Hadisuwarno

Page 68: TheLight Photography Magazine #5

134 EDISI V / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 135

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Model: Dinda For:The Next Big Thing

memang seleranya masih kepada tred artifi-

cial. Walaupun ke depannya bisa berkembang

menjadi sesuatu yang justru simple dan apa

adanya.

Bagaimana dengan faktor teknis?Faktor teknis juga berkembang. Nggak bisa

dilihat benar dan salah. Benar bisa jadi salah,

salah bisa jadi benar.

Anda dikenal dengan fotografer yang sering memakai banyak lampu dan banyak highlight dalam memotret. Apa alasannya?Saat ini seleranya lagi begitu. Klien banyak

yang mau fotonya tajam semua. Untuk itu

ketika semuanya tajam supaya nggak flat

dan ada dimensinya bisa dibantu dengan

highlight. Selain itu highlight berguna untuk

menunjukkan shape dan dimensi. Tapi saya

nggak selalu pakai banyak lampu. Tergantung

kebutuhan saja.

Bagaimana supaya commercial photographer bisa tetap exist di tengah perkembangan yang terus bergerak?Yang pasti commercial photographer harus

bisa update trend. Berusahalah untuk nggak

Page 69: TheLight Photography Magazine #5

136 EDISI V / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 137

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Model: Dewi Sandra For:PAC

Page 70: TheLight Photography Magazine #5

138 EDISI V / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 139

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Model: Albina For:The Next Big Thing

ketinggalan jaman. Ini berlaku bukan hanya

pada apa yang kita kenakan saja, tapi juga

kepada apa yang kita pakai untuk bekerja,

cara kita bergaul. Kita harus bisa berbicara

dengan bahasa klien kita. Ingat klien yang

mensupervisi kita terus berganti generasi.

Jadi kita harus terus bisa “nyambung” dengan

mereka walaupun sekarang kliennya jauh

lebih muda dari kita. Harus diingat, photog-

raphy itu sangat erat hubungannya dengan

trend, dan trend dipengaruhi oleh fashion.

Saya berusaha untuk nggak punya ciri karena

saya businessman bukan seniman. Jadi saya

harus bisa melakukan apa saja. Pekerjaan

yang datang bisa berbeda-beda untuk itu kita

harus bisa melakukan semua.

Bagaimana dengan digital imaging, sebatas apa masih bisa diterima?Sebatas tidak bisa dilakukan pada saat pe-

motretan selain juga efisiensi. Digital imaging

nggak haram buat saya karena ekspektasi

Page 71: TheLight Photography Magazine #5

140 EDISI V / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 141

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

For:Biokos -DM Pratama

Page 72: TheLight Photography Magazine #5

142 EDISI V / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 143

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Model: Kesya

Page 73: TheLight Photography Magazine #5

144 EDISI V / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 145

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Model: Kesya

klien sering melewati batas kemampuan

fotografi. Jadi harus dibantu dengan digital

imaging. Tapi jangan sampai bisa dilakukan di

fotografi tapi dilakukan di digital imaging.

Ada pesan untuk mereka yang sedang belajar?Pilihlah mana yang mau ditekuni dan cari

standarnya. Karena standarnya beda-beda.

Untuk yang mau masuk komersial. Lebih baik

persiapkan dulu. Jangan buru-buru. Karena di

komersil kesempatan kedua itu langka. Jadi

sekali masuk harus berhasil.

Page 74: TheLight Photography Magazine #5

146 EDISI V / 2007

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

EDISI V / 2007 147

COMMERCIALPHOTOGRAPHY

Model: Arantxa AdiFor: PAC

Page 75: TheLight Photography Magazine #5

148 EDISI V / 2007

WHERETOFIND

EDISI V / 2007 149

WHERETOFIND

JABOTABEKSeasons ImagingJl Senopati no 37Kebayoran Baru Jakarta selatanFocus NusantaraKH Hasyim Azhari No 18Jakarta5804848Susan Photo AlbumKemang raya no.15, LT 3Jakarta Selatan12730E-studioWisma StarpageJl Salemba tengah no 53928440Vogue Photo StudioRuko Sentra Bisnis Blok B16-17Tanjung Duren raya 1-38Jakarta5647873-75Shoot & PrintJl. Bulevard Raya Blok FV-1 No. 4 Kelapa Gading-JakartaTELP: 021-4530670QFotoJl. Balai Pustaka Timur No 17Rawamangun, Jakarta4706022Digital Studio CollegeJl. Cideng Barat No. 21AJakarta PusatTel/Fax : 021-633 0950Darwis Triadi School of PhotographyJl. Patimura No.2

KebayoraneK-gadgets CentreRoxy Square Lt. 1 Blok B2 28-29, JakartaLubang Mata Jln. Pondok Cipta Raya B2/28 .Bekasi Barat 17134TELP: 8847105CONTACT PERSON: Rafi IndraTelefikom FotografiUniversitas Prof. Dr. Moestopo (B).Jln. Hang Lekir I Jak-pus.Indonesia Photographer Organization (IPO)Studio 35Rumah SamsaraJl. Bunga Mawar, no. 27Jakarta Selatan 12410Unit Seni Fotografi IPEBI (USF-IPEBI) Komplek Perkantoran Bank Indonesia , Menara Sjafruddin Prawirane-gara lantai 4,Jl. MH.Thamrin No.2, JakartaUKM mahasiswa IBII Fotografi Institut Bisnis Indo-nesia (FOBI)Kampus STIE-IBII Jl Yos Sudarso Kav 87, Sunter, Jakarta UtaraPerhimpunan Penggemar Fotografi Garuda Indonesia (PPFGA),PPFGA, Gedung Garuda Indo-nesia Lt.18Jl. Medan Merdeka Selatan No.13

JakartaKomunitas Fotografi Psikologi Atma Jaya JakartaUNIKA Atma Jaya Jakarta Jl Jendral sudirman 51 Sekretariat Bersama Fakul-tas Psikologi Atma Jaya Ruang G. 100Kelompok Pelajar Peminat fotografi SMU 28 (KPPF28)Jl Raya Ragunan (depan RS Pasar Minggu)JakartaXL PhotographGrha XL, Jl. Mega Kuningan Kav. E 4 – 7 no. 1 Jakarta SelatanHSBC Photo Club Menara Mulia Lantai 22, Jl Jend Gatot Subroto Kav 9-11, JakSel 12930LFCN (Lembaga Fotografi Candra Naya)Komplek Green Ville – AW / 58-59, Jakarta Barat 11510Klub Fotografi PT Ko-matsuJl. Raya Cakung CIlincing Km.4Jakarta Utara 14140Style PhotoJl Gaya Motor Raya No. 8Gedung AMDI-B,Sunter Jakarta Utara 14330Contact Person: Hasan SupriadiPerhimpunan Fotografi

TarumanagaraKampus I UNTAR Blok M lt. 7 Ruang PFTJl. Letjen S. Parman I Jak BarStudio 51Universitas Atma Jaya JakartaCP PERFILMA (Film dan Fotografi Hukum UI)Freephot (Freeport Jakarta Photography Community)PT Freeport IndonesiaPlaza 89, 6th floorJl. HR Rasuna Said Kav X-7/ No.6CANILENSKolese Kanisius JakartaNothofagusPT Freport Indonesia Plaza 895th Floor. Jl Rasuna Said Kav X-7 No. 6V-3 TechnologiesMal Ambasador Lt. UG / 47Jl. Prof. Dr. Satrio - KuninganNeep’s Art InstituteJl. Cideng Barat 12bbJakartaCybilensPT Cyberindo Aditama, Manggala Wanabakti IV, 6th floor. Jl. Gatot Subroto, jakarta 10270iBox Puri ImperiumPuri Imperium Office Plaza Unit G11-12 (Belakang Menara Imperium)Jl. Kuningan Madya Kav. 5-6, Jakarta 12980iBox Senayan City

Senayan City 4th Fl. Unit #4-29 Jl. Asia Afrika Lot 19, JakartaiBox Mal Kelapa Gading 3Mal Kelapa Gading 3 Lantai Dasar Unit. G-40 Jl. Bulevar Kelapa Gading Blok M JakartaiBox eX’ - BridgePlaza Indonesia Entertainment X’nter 2, 2nd Floor #EX-i082, Jl. MH Thamrin Kav. 28-30 JakartaiBox Ratu PlazaRatu Plaza 3rd Floor #7, Jl. Jend. Sudirman No 9, JakartaiBox Pondok Indak Mal 1 Pondok Indah Mall 1st Fl. #118 AJl. Metro Pondok Indah Blok III B, JakartaLassale CollegeSahid Office Boutique Unit D-E-F (komp. Hotel Sahid Jaya). Jl. Jend Sudirman Kav. 86, Jakarta 1220FIKOM Universitas Al-Azhar IndonesiaJl. Sisingamangaraja, Kebay-oran baru, Jak-Sel, 12110FSRD Universitas Trisakti, Kampus A. Jl. Kyai Tapa, Grogol. Surat menyurat: jl. Dr. Susilo 2B/ 30, Grogol, JakbarSKRAF (Seputar Kamera Fikom)Jl. Prof. Dr. Soepomo, SH No. 84, Jak-Sel 12870One Shoot PhotographyFIKOM UPI YAI jl. Diponegoro

no. 74, JakPusCetakfoto.netkemang raya 49D, jakarta Sela-tan 12730

BANDUNG & JAWA BARATPadupadankan PhotographyJl. Lombok No 9sBandung4232521Laboratorium Teknologi Proses MaterialJl. Ganesha 10 Labtek VI Lt.dasar Bandung CP: dwi karsa agung r. STUDIO INTERMODELFashion Design and Photography CourseJl. Cihampelas 57 A - Bandung 40116Perhimpunan Amatir Foto (PAF-Bandung)Kompleks Banceuy Permai Kav A-17, Bandung 40111 JepretSekeretariat Jepret Lt Basement Labtek IXB Arsitektur ITBJl. Ganesa 10 BandungFSRD ITBContact: Genoveva HegaEcoAdventure CommunityJl. Margasari No. 34 RT 2 RW 8 Rajapolah Tasikmalaya 46155SPEKTRUM (perkumpulan unit fotografi UNPAD)jl. Raya Jatinangor Km 21 Sume-dang, Jabar

Page 76: TheLight Photography Magazine #5

150 EDISI V / 2007

WHERETOFIND

EDISI V / 2007 151

WHERETOFIND

SEMARANG & JAWA TENGAHDigimage Studio IJl Setyabudi 86aSemarang7461151Digimage Studio IIJl Pleburan VIII No 2Semarang8413991Ady Photo Studiod/a Kanwil BRIJl. Teuku Umar 24SemarangContact Person: Ady AgustianPrisma UNDIPPKM (Pusat Kegiatan Maha-siswa) Joglo Jl. Imam Bardjo SH No. 1 Semarang 50243Pandawa7 digital photo studiojl. Wonodri sendang raya no. 1068 c, SemarangJurusan Komunikasi UNDIPJl. Imam Bardjo SH. No. 1, semarangLembaga pendidikan seni dan design visimedia collegejl. Bhayangkara 72 SoloFIKOM UNDIPJl. Imam Bardjo SH. No. 1, SemarangHimpunan Seni Ben-gawanJl. Tejomoyo No. 33 Rt. 03/

011, Solo 57156

YOGYAKARTAAtmajaya Photography clubGedung PUSGIWA kampus 3 UAJY,jl. babarsari no. 007 yogya-karta INDONESIA“UKM MATA” Akademi Seni Rupa dan Desain MSD (Modern SchooL of DEsign)Jalan Taman Siswa 164 Yog-yakarta 55151, UFO (Unit Fotografi UGM)Gelanggang Mahasiswa UGM, BulaksumurYogyakartaFotografi Jurnalistik KlubKampus 4 FISIP UAJYJl. BabarsariYogyakartaADVY YogyakartaContact person: Sdr. ToddyFOTKOMUniversitas Pembanungan Nasional (UPN)YogyakartaEventwebWisma Melati. Jl. Kaliurang km 14,4 no. 11, Sleman, Yogyakarta

SURABAYA & JAWA TIMURHot Shot Photo StudioPloso Baru 101Surabaya3817950Toko Digital

Ambengan Plasa B2031-5313366Himpunan Mahasiswa Penggemar Fotografi (HIM-MARFI)Jl. Rungkut Harapan K / 4, SurabayaUFO (united fotografer club) perum mastrip y-8 jember, jawatimurJUFOC (Jurnalistik Fotografi Club)Universitas Muhammadiah Malangstudent Centre Lt. 2 Universi-tas Muhammadiyah Malang. Jl. Raya Tlogomas No. 246 malang, 65144VANDA Gardenia Hotel & VillaJl Raya Trawas, Jawa TimurContact Person : RoySENTRA DIGITALPusat IT Plasa Marina Lt. 2 Blok A-5. Jl. Margorejo Indah 97-99 SurabayaJurusan Komunikasi UNAIRJL. Airlangga 4-6, SurabayaFIKOM Universitas PETRAjl. Siwalankerto 121-131, Surabaya 60236BW Camera-accessoriesjl. Jemursari VIII/ 32 surabaya. Toko (royal Plaza 2nd Floor Jl. Ahmad Yani SurabayaMalang Photo ClubJl. Pahlawan Trip No. 25

SUMATRABatam Photo Club

Perumahan Muka kuning indah Blok C-3Batam 29435Medan Photo ClubJl. Dolok Sanggul Ujung No.4 Samping Kolam Paradiso Medan, 20213 SumutTelp : 061-77071061CCC Caltex Camera ClubPT. Chevron Pacific Indonesia, SCM-Planning, Main Office 229, Rumbai Pekanbaru 28271Malahayati Photography ClubJl. Pramuka No. 27, Kemiling, Bandar Lampung, 35153

KALIMANTANBadak Photographer Club (BPC)ICS DepartmentSystem Support SectionPT BADAK NGLBontang, KALTIM 75324KPC Click Club/PT Kaltim Prima CoalSupply Department (M7 Buliding), PT Kaltim Prima Coal, SangattaFOBIAIndah Foto Studio Komplek Ruko Bandar Klan-dasan Blok A1Balikpapan

SULAWESISorowako Photographers Society

General Facilities & Serv. Dept - DP. 27(Town Maintenance) - Jl. Sumantri BrojonegoroSOROWAKO 91984 - LUWU TIMURSULAWESI SELATANMasyarakat Fotografi Goron-taloGraha Permai Blok B-18, Jl. Rambutan, Huangobotu, Dung-ingi, Kota Gorontalo

MAILING LIST (NOTIFIKASI)[email protected]@[email protected]@[email protected]@[email protected]@[email protected]@[email protected][email protected]@[email protected]_fotografi@yahoogroups.comWEBSITEwww.thelightmagz.comwww.estudio.co.idwww.forumkamera.comhttp://charly.silaban.netwww.event.web.id