Upload
mohd-yassin
View
62
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
education
Citation preview
ANALISIS WACANA VAN DIJK TERHADAP BERITA
SEBUAH KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT
DI MAJALAH PANTAU
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Kom.I)
Oleh
Tia Agnes Astuti
NIM: 106051101943
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H./2011 M.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 14 Maret 2011
Tia Agnes Astuti
ANALISIS WACANA VAN DIJK TERHADAP BERITA
SEBUAH KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT
DI MAJALAH PANTAU
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Kom.I)
Oleh
Tia Agnes Astuti NIM: 106051101943
Pembimbing
Dr. Arief Subhan, M.A NIP. 196601101993031004
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H./2011 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul ANALISIS WACANA VAN DIJK TERHADAP
BERITA SEBUAH KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT DI MAJALAH
PANTAU telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Kom.I.)
pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Konsentrasi Jurnalistik.
Jakarta, 18 Maret 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua merangkap anggota, Sekretaris merangkap anggota,
Wahidin Saputra, M.A
NIP 19700903 199603 1 001
Ade Rina Farida, M.Si
NIP 19770513 200701 2 018
Anggota,
Penguji 1
Rully Nasrullah, M.Si
NIP 19750318 200801 1 008
Penguji 2
Rubiyanah, M.A
NIP 19730822 199803 2 001
Pembimbing
Dr. Arief Subhan, M.A
NIP 19660110 199303 1 004
i
ABSTRAK
Tia Agnes Astuti/ 106051101943
Analisis Wacana Van Dijk Terhadap Berita Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft Pada Majalah Pantau
Jurnalisme sastrawi merupakan salah satu dari tiga nama untuk genre atau
gerakan tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat, di mana
reportase dilakukan secara mendalam, dan penulisannya dengan gaya sastrawi.
Tom Wolfe pun menyebutnya sebagai new journalism (jurnalisme baru). Di
Indonesia, Majalah Pantau adalah majalah pertama di Indonesia yang secara sadar
menerapkan jurnalisme sastrawi ini dari tahun 2000. Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft karya Chik Rini ini diakui Andreas Harsono (penanggung jawab Majalah Pantau) sebagai salah satu naskah terbaik yang dimiliki oleh Pantau.
Untuk mengetahui pengemasan berita dalam teks Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft di Majalah Pantau maka diperlukan rumusan masalah. Adapun rumusan masalahnya yaitu Bagaimanakah wacana teks dalam berita Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft di Majalah Pantau dikonstruksikan? Bagaimanakah dimensi kognisi sosial dan konteks sosial yang terdapat dalam wacana Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft di Majalah Pantau? Wacana teks dalam berita Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft dikonstruksikan dapat dilihat dari penggunaan kata atau bahasa dalam teks,
penggunaan narasumber yang dipakai oleh penulis, serta konstruksi dari segi
kognisi dan konteks sosial penulis yang ikut mengkonstruksi teks tersebut.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan paradigma
konstruktivisisme. Paradigma itu ada tiga, paradigma positivisme-empiris,
paradigma konstruktivisme, dan paradigma kritis. Peneliti menggunakan
konstruktivisme karena dengan pola berpikir konstruksitivis ini menekankan pada
politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang
realitas.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pisau analisis
wacana model Teun van Dijk. Van Dijk membagi wacananya ke dalam tiga
dimensi yaitu dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Van Dijk tidak
hanya meneliti perihal wacana teks yang dikonstruksikan saja tapi juga mental
dari pengarang serta menganalisa wacana yang berkembang di masyarakat.
Chik Rini mengambil perspektif dari sudut pandang atau angle wartawan
yang menjadi saksi pembunuhan dari peristiwa Simpang Kraft pada Mei 1999.
Teks Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft tidak semata diambil dari realitas apa adanya. Tapi, ada beberapa pihak di belakang wacana teks tersebut yang turut
mengkonstruksi teks tersebut. Teks tidak lahir secara positivis namun
konstruktivis.
Dari penjelasan singkat di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa teks tidak
lahir dari realitas yang diambil apa adanya namun realitas dari peristiwa tersebut
dikonstruksi oleh pihak di belakang wacana teks tersebut. Sama halnya seperti
peristiwa Simpang Kraft yang direportase oleh Chik Rini. Peristiwa Simpang
Kraft itu tidak terjadi karena alamiah bentrokan belaka, namun dibangun oleh
pihak GAM dan militer Indonesia yang menorehkan satu kali lagi peristiwa
berdarah di Aceh.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji serta syukur, saya panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan
semesta alam yang telah memberikan limpahan karunia, ridho-Nya, dan ribuan
nikmat kepada semua makhluk di bumi ini. Shalawat serta salam senantiasa kita
curahkan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa ummatnya menuju jalan
kebenaran.
Atas berkat kenikmatan itulah, saya masih diberikan nikmat sehat dan
bernafas, menghirup udara sampai detik ini sehingga saya bisa menyelesaikan
skripsi ini guna mendaparkan gelar Sarjana Sosial Islam (S.Kom.I). Dalam
menyelesaikan skripsi ini, tentunya masih terdapat banyak kekurangan namun
skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak.
Maka dari itu, pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Arief Subhan, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi sekaligus sebagai pembimbing dalam skripsi ini.
2. Rubiyanah, M.A. sebagai Ketua Konsentrasi Jurnalistik dan Ade Rina
sebagai sekretaris Konsentrasi Jurnalistik. Terima kasih atas bantuan dan
dukungannya.
3. Siti Nurbaya Ruslan sebagai pembimbing kedua, tempat konsultasi skripsi
saya. Makasih banyak atas bantuan dan dukungannya selama penyusunan
skripsi ini.
4. Para dosen, karyawan, dan staf Tata Usaha Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi, dan juga seluruh staf pengurus UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta selama peneliti kuliah di kampus UIN.
iii
5. Kepada Yayasan Pantau yang telah membantu peneliti, Andreas Harsono,
Imam Sofwan serta Chik Rini yang bersedia meluangkan waktunya untuk
wawancara selama dua jam.
6. Secara khusus dan paling utama adalah kepada kedua orang tua, Sri
Wiratno dan Nurzullah yang telah memberikan kasih sayang, motivasi,
dukungan, tekanan untuk segera cepat menyelesaikan, dan bersikap
demokratis kepada saya atas pilihan dan apa yang saya inginkan dalam
hidup ini. Jasa kalian tidak akan sanggup saya ganti dengan apa pun.
Kepada kedua orang tua saya, skripsi ini dipersembahkan.
7. Kepada kakak dan adik laki-laki saya, Tyo Zulfan Amri dan Muhamad
Faiz Al Magribhi.
8. Untuk seseorang yang peneliti kenal dari awal Propesa UIN 2006 hingga
kini, yang membuat bahagia sekaligus sedih dalam waktu bersamaan.
Untukmu semangat terus, melajulah perahu kertasku, dan gapai impianmu!
9. Sahabat saya, Mimi Fahmiyah yang rela mendengarkan curahan peneliti
selama di kampus ini, yang rela berbagi kosannya jika peneliti menginap,
yang sudah mencoba memahami peneliti kala sedih. Kamu berarti sob!
Kita wisuda April. Horeeeeeee!!!
10. Kepada teman-teman sekelas seperjuangan Jurnalistik Angkatan 2006
makasih atas kebersamaannya selama lima tahun ini (Lisa, Yuni, Yikki,
Jendral, Novita, Dita, Ira, Ina, Yanti, Caca, Putri, Aida, Sarah, Rere, Nina,
Ardi, Gesta, Deden, Wage, Irham, Abi, Jaka, Topan, Deros) khususnya
bagi kalian pada masa akhir ini, Danang, Rara, Eka, Jose, Eki, Meler, Ben,
iv
Ogi, Edi Mahmud, Risni yang belum wisuda, ayo semangat terus, nyusul
wisuda cepetan!
11. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT UIN Jakarta, kepada
organisasi ini peneliti mengenal dunia persma dan wartawan kampus,
memberikan kesempatan untuk menjadi pemimpin redaksi (pemred), dan
mengajarkan beragam ilmu dari awal masuk menjadi reporter magang
tahun 2006 hingga akhir ada di kampus. Apa pun yang terjadi, terima
kasih INSTITUT.
12. Kepada KKN Kelompok 100 tahun 2009 lalu, makasih atas sebulan
kenangannya di Malang.
Akhirnya, peneliti hanya mampu mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu
peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung. Semoga Allah SWT
semakin menambah rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Peneliti
mohon maaf bila terdapat kesalahan dalam penulisan karya ilmiah ini,
Harapan peneliti, semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk para
pembacanya, Aamiin Yaa Robbal Aalamiin.
Wassalam
Jakarta, 15 Maret 2011
Peneliti
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ............................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 6
D. Metodologi Penelitian ................................................................ 8
E. Tinjauan Pustaka ........................................................................ 14
F. Sistematika Penulisan ................................................................ 15
BAB II KAJIAN TEORETIS
A. Analisis Wacana .......................................................................... 17
1. Pengertian Analisis Wacana .................................................. 17
2. Analisis Wacana Model Teun Van Dijk ............................... 20
3. Kerangka Analisis van Dijk .................................................. 25
a. Dimensi Teks .................................................................. 25
b. Dimensi Kognisi Sosial .................................................. 28
c. Dimensi Konteks Sosial .................................................. 29
B. Konseptualisasi Berita ................................................................ 30
1. Pengertian Berita .................................................................. 30
2. Nilai-Nilai Berita .................................................................. 31
3. Jurnalisme Naratif ................................................................ 32
C. Jurnalisme Sastrawi ..................................................................... 35
1. Konstruksi Adegan Demi Adegan ....................................... 38
2. Pencatatan Dialog Secara Utuh ............................................ 39
3. Sudut Pandang Orang Ketiga ............................................... 39
4. Mencatat Secara Detil .......................................................... 40
BAB III GAMBARAN UMUM
A. Majalah Pantau ........................................................................... 41
1. Sejarah Berdiri dan Perkembangannya ............................... 41 2. Visi dan Misi Majalah Pantau ............................................. 55 3. Struktur Organisasi Majalah Pantau ..................................... 57 4. Rubrikasi Majalah Pantau ................................................... 58
vi
5. Alur Kinerja Redaksi Majalah Pantau ................................. 60
B. Biografi Penulis dan Sinopsis Berita Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft di Majalah Pantau ............................................................ 62
1. Biografi Chik Rini ............................................................... 62 2. Sinopsis Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft ................... 64
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian Berita Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft di Majalah Pantau ....................................................................... 71
1. Analisis Teks Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft ........... 71 a. Analisis Teks Adegan 1 ................................................... 73
b. Analisis Teks Adegan 2 ................................................... 77
c. Analisis Teks Adegan 3 ................................................... 81
d. Analisis Teks Adegan 4 ................................................... 85
e. Analisis Teks Adegan 5 ................................................... 88
f. Analisis Teks Adegan 6 ................................................... 91
g. Analisis Teks Adegan 7 ................................................... 95
h. Analisis Teks Adegan 8 ................................................... 98
i. Analisisis Teks Adegan 9 ................................................. 105
j. Analisis Teks Adegan 10 .................................................. 109
k. Analisis Teks Adegan 11 ................................................. 114
2. Analisis Kognisi Sosial Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft ................................................................................... 119 a. Strategi dalam Memahami Peristiwa ............................... 121
b. Kognisi Penulis dalam Memahami Peristiwa .................. 124
3. Analisis Konteks Sosial Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft ................................................................................... 127 a. Praktik Kekuasaan ........................................................... 128
b. Akses Memengaruhi Wacana .......................................... 128
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 131
B. Saran ............................................................................................ 132
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 133
LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................. 136
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Skema Penelitian dan Metode Van Dijk .............................................. 24
Tabel 2. Struktur Teks Van Dijk ........................................................................ 25
Tabel 3. Elemen Teks Wacana Van Dijk ........................................................... 25
Tabel 4. Skema/ Model Kognisi Sosial Van Dijk .............................................. 29
Tabel 5. Proses Keredaksian Majalah Pantau .................................................... 60
Tabel 6. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 1 .............................................. 76
Tabel 7. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 2 .............................................. 80
Tabel 8. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 3 .............................................. 84
Tabel 9. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 4 .............................................. 87
Tabel 10. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 5 ............................................ 90
Tabel 11. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 6 ............................................ 94
Tabel 12. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 7 ............................................ 97
Tabel 13. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 8 ............................................ 103
Tabel 14. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 9 ............................................ 108
Tabel 15. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 10 .......................................... 112
Tabel 16. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 11 .......................................... 117
Tabel 17. Skema/ Model Kognisi Sosial Van Dijk ............................................ 126
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Diagram Model Analisis Van Dijk ................................................... 24
Gambar 2. Struktur Organisasi Yayasan Pantau ................................................ 58
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Asep Saeful Muhtadi dalam buku Jurnalistik Pendekatan Teori
dan Praktik mengemukakan bahwa secara umum, medium jurnalistik baik
media cetak maupun elektronik, keduanya memiliki fungsi yang sama
yaitu menyiarkan informasi. Ini merupakan fungsi utama media massa.
Sebab masyarakat membeli media tersebut karena memerlukan informasi
tentang berbagai hal yang terjadi di dunia ini.
Fungsi kedua dari media massa yaitu mendidik. Karena media
massa menyajikan pesan-pesan atau tulisan-tulisan yang mengandung
pengetahuan dan dijadikan media pendidikan massa.
Ketiga, menghibur. Media massa biasanya menyajikan rubrik-
rubrik atau program-program yang bersifat hiburan. Dan fungsi yang
keempat yaitu memengaruhi. Dalam hal ini, pers memegang peranan
penting dalam tatanan kehidupan masyarakat. Pers dapat melakukan
kontrol sosial secara bebas dan bertanggung jawab.
Penerbitan pers khususnya surat kabar, hampir semuanya
menyediakan kolom atau rubrik untuk berita meski dengan kapasitasnya
masing-masing. Ini merupakan perwujudan dari institusi pers sebagai
lembaga kontrol sosial. Berita dalam penerbitan pers dapat berasal dari
2
masyarakat luas, wartawan yang meliput dan menuliskannya maupun
manajemen redaksi yang mengkonstruksi berita-berita tersebut.1
Serta keberadaan jurnalistik atau pers yang dianggap sebagai the
fourth estate (kekuatan keempat) dalam sistem kenegaraan, setelah
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sebagai pilar keempat itu, media massa
cetak maupun elektronik dapat dimanfaatkan sebagai penyalur aspirasi
rakyat, pembentuk opini umum atau publik, alat penekan yang dapat ikut
memengaruhi dan mewarnai kebijakan politik negara, dan pembela
kebenaran dan keadilan.2
Sebab media, selain berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan
pesan-pesan seperti dinyatakan oleh Marshall Mc Luhan, media tersebut
juga telah menjadikan dirinya sendiri sebagai pesan. Apa yang diterima
publik dari media adalah sesuatu yang akan menjadi miliknya. Apa yang
dianggap penting oleh media, karena keampuhannya, juga akan dianggap
penting oleh publik.3
Bill Kovach, Ketua Commitee of Concerned Journalist yaitu
lembaga kewartawanan yang peduli kepada publik di Amerika Serikat, ia
menyatakan bahwa setidaknya ada sembilan elemen jurnalime dalam
media massa. Ia mengutarakan hal ini dalam buku Sembilan Elemen
Jurnalisme, di antaranya; media harus mengungkapkan kebenaran dalam
pemberitaannya, media harus loyal kepada masyarakat, media harus
menjunjung disiplin verifikasi, media harus bisa menjaga independensi
terhadap sumber berita, media harus bisa menjadi pemantau pemerintah,
1 Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers, (Bandung: Rosda, 2004), h. 67
2 Zaenuddin HM, The Journalist, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), h. 5-6
3 Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik, (Jakarta: Logos, 1999), h. 3
3
media harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan
warga, media harus berupaya membuat hal yang penting, menarik dan
relevan, media harus menjaga agar berita tetap komprehensif dan
proporsional, serta menulis berita dengan hati nurani.4 Kesembilan elemen
dalam jurnalisme inilah yang menjadi pedoman bagi pekerja media dalam
menjalankan tugasnya.
Sesuai dengan fungsi pers tersebut, pers bergerak sesuai dengan
jalur idealisme jurnalistik. Namun, pers juga memiliki daya saing dalam
perusahan media yang mengakibatkan harus memiliki visi misi yang
berbeda, konten atau isi media yang berbeda serta gaya penulisan yang
menarik pula.
Pada umunya, gaya penulisan berita konvensional terdapat dua
yaitu straight news dan feature. Namun, sesuai dengan perkembangan
media massa baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia, narrative
reporting atau penulisan narasi mulai diterapkan, khususnya dalam media
cetak. Tapi tidak semua media cetak menggunakannya kecuali majalah.
Seperti Majalah Tempo, Gatra, Trust dan sebagainya yang menerapkannya
karena memiliki halaman yang lebih luas dan reportase lebih mendalam
dibandingkan surat kabar harian. Sama halnya dengan Majalah Pantau.
Sejak tahun 2000, Majalah Pantau mencoba menerapkan tulisan dengan
genre literary journalism (jurnalisme sastrawi).
Jurnalisme sastrawi merupakan salah satu dari tiga nama buat
genre atau gerakan tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di
4 Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan, (Yogyakarta: ANDI, 2005), h. 68-
69
4
Amerika Serikat di mana reportase dikerjakan secara mendalam, penulisan
dilakukan menggunakan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca.
Tom Wolfe, wartawan cum-novelis, pada 1960-an memperkenalkan genre
ini dengan nama new journalism (jurnalisme baru).5
Jurnalisme baru sebenarnya bukan fiksi. Perbedaannya dengan
fiksi, kalau fiksi imajinatif sementara jurnalisme baru tetap mendasarkan
pada fakta-faka di lapangan. Jurnalisme baru bisa dikatakan berhasil dan
mencapai tujuannya jika pembaca mengatakan, Saya membaca
laporanmu enak seperti tulisan fiksi. Elemen-eleman yang selama ini ada
dalam jurnalisme lama adalah kesetiaan total. Artinya, jurnalis tetap
mengandalkan proses peliputan seperti dia meliput berita, hanya menuntut
keterlibatan total dalam tulisannya. Jurnalisme baru mencoba membongkar
isi kepala narasumber sebanyak mungkin. Sementara itu, untuk
memberikan deskripsi dan data lain, membutuhkan sisi lain peliputan,
misalnya orang ketiga.6
Oleh karena itu, pada 2008 lalu, Yayasan Pantau menerbitkan
kumpulan naskah terbaik jurnalisme sastrawi yang pernah terbit di
Majalah Pantau. Dengan judul, Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan
Mendalam dan Memikat yang diterbitkan Yayasan Pantau dan
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dengan penyunting Andreas
Harsono dan Budi Setiyono.
Dalam kumpulan laporan jurnalisme sastrawi tersebut, terdapat
peristiwa menarik yang diambil menjadi studi kasus analisis dalam
5 Andreas Harsono dan Budi Setiyono. ed, Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan Mendalam
dan Memikat, (Jakarta: KPG, 2008), h. VII 6 Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 182
5
penelitian ini yaitu tulisan berita Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft
karya Chik Rini. Chik Rini adalah wartawan freelance di Banda Aceh
yang mencoba merekam kembali peristiwa yang terjadi di Simpang Kraft
atau Simpang KAA, dekat Lhokseumawe, sejak Desember 2001 lalu.
Ia mewawancarai banyak narasumber dari saksi-saksi mata yang
sudah sulit terlacak keberadaannya. Dari Jakarta, Medan, Lhokseumawe,
dan Banda Aceh. Selama lima bulan, ia meliput dan mengerjakan laporan
ini, namun ia mendapati banyak versi baik itu dari segi wartawan,
masyarakat sipil, serta pihak militer Indonesia. Tidak bisa disangka
provinsi Banda Aceh yang terkenal sebagai kota Serambi Mekkah ini
pernah mengalami sejarah peristiwa berdarah kelam yang terjadi di
Simpang Kraft antara militer, masyarakat sipil, serta Gerakan Aceh
Merdeka (GAM).
Rini yang mengadopsi naskah Hiroshima karya John Hersey ke
dalam tulisannya dapat dikatakan berhasil melaporkan kembali peristiwa
tersebut dengan menggunakan genre jurnalisme sastrawi. Andreas
Harsono, editor dari naskah tersebut juga mengatakan bahwa Sebuah
Kegilaan di Simpang Kraft adalah salah satu naskah jurnalisme sastrawi
terbaik yang dimiliki oleh Majalah Pantau sepanjang masa hidup Pantau.
Dari latar belakang permasalahan yang dipaparkan di atas, maka
peneliti tertarik meneliti dengan judul, Analisis Wacana Van Dijk
Terhadap Berita Sebuah Kegilaan Di Simpang Kraft Di Majalah
Pantau.
6
B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH
Agar batasan masalah ini lebih terarah dan fokus maka
permasalahan yang dikaji dibatasi terhadap analisis wacana teks yang
terdapat dalam pemberitaan Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft karya
Chik Rini di Majalah Pantau Tahun III Edisi 025-Mei 2002 kemudian
dibukukan pada tahun 2008 dalam bentuk antologi berjudulJurnalisme
Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat edisi revisi dengan
penyunting Andreas Harsono dan Budi Setiyono, diterbitkan oleh Yayasan
Pantau. Penelitian ini dengan menggunakan paradigma konstruktivis
dengan pisau analisis wacana model Teun van Dijk.
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimanakah wacana teks dalam berita Sebuah Kegilaan di
Simpang Kraft di Majalah Pantau dikonstruksikan?
2. Bagaimanakah dimensi kognisi sosial dan konteks sosial yang terdapat
dalam wacana Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft di Majalah
Pantau?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan Penelitian
Berdasarkan batasan dan rumusan masalah di atas, maka penelitian
ini mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui wacana teks yang dikonstruksi oleh penulis yang
terdapat dalam pemberitaan Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft di
Majalah Pantau.
7
2. Untuk mengetahui dimensi kognisi sosial dan konteks sosial yang
terdapat dalam wacana pemberitaan Sebuah Kegilaan di Simpang
Kraft di Majalah Pantau.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif
bagi pengembangan wacana keilmuan tentang gejala sosial yang terjadi
sehari-hari di sekitar kita. Seperti, peristiwa-peristiwa yang luput dari
perhatian kita dan hilang begitu saja dari sejarah, sama halnya seperti
peristiwa Simpang Kraft ini.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bisa menambah pengetahuan bagi
akademisi, praktisi, mahasiswa jurnalistik dan kepada pembaca pada
umumnya serta dapat bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.
Khususnya bagi mahasiswa/i jurnalistik yang ingin mempelajari
jurnalisme sastrawi. Dengan membaca Sebuah Kegilaan di Simpang
Kraft karya Chik Rini ini kita dapat mempelajari empat elemen
jurnalisme sastrawi yang dikemukakan oleh Tom Wolfe.
8
D. METODOLOGI PENELITIAN
1. Paradigma Penelitian
Lexy J. Moleong yang mengutip pernyataan Bogdan dan Bilken
menyatakan bahwa paradigma adalah kumpulan proposisi yang
mengarahkan cara berpikir dalam penelitian.7 Maksudnya, paradigma
merupakan salah satu metode atau cara berpikir yang digunakan oleh
peneliti dalam melakukan penelitian baik itu pra maupun pasca penelitian.
Paradigma ini dilakukan supaya peneliti tidak keluar dari jalur cara
berpikir penelitiannya.
Dalam studi mengenai bahasa, ada beberapa paradigma dalam
analisisnya yaitu paradigma positivisme-empiris, paradigma
konstruktivisme dan paradigma kritis.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma
konstruktivisme. Dalam paradigma konstruktivisme, bahasa tidak lagi
hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan
yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan.
Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam
kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.8
Paradigma konstruksionis memperhatikan interaksi kedua belah
pihak, komunikator dan komunikan untuk menciptakan pemaknaan atau
tafsiran dari suatu pesan. Paradigma konstruktivis menekankan pada
politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran
7 Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda karya,
Cetakan kedelapan 1997) h. 30 8 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS,Cet VII
Februari 2009), h. 5
9
tentang realitas. Paradigma ini memandang kegiatan komunikasi sebagai
proses yang dinamis. Titik perhatian tidak terletak pada bagaimana
seseorang mengirimkan pesan, melainkan bagaimana masing-masing
pihak yang terlibat dalam lalu lintas komunikasi produksi pesan tersebut
dan mempertukarkan maknanya. Dalam paradigma konstruktivisme ini
adalah cara berpikir bagi peneliti dalam penelitiannya, bahwa segala
peristiwa maupun berita yang ada tidak lahir sebagai realitas murni saja
namun di balik realitas peristiwa yang dibangun terdapat orang-orang
tertentu yang turut mengkonstruksi berita.
Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu
analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu.
Maka, dalam penelitian ini ingin mengetahui lebih jauh dari wacana yang
terbentuk dalam peristiwa Simpang Kraft tersebut.
2. Metode Penelitian
Sebagai karya ilmiah, setiap pembahasan menggunakan metode
untuk menganalisa dan mendeskripsikan suatu masalah. Metode itu sendiri
berfungsi sebagai landasan dalam mengelaborasi suatu masalah, sehingga
suatu masalah dapat diuraikan dan dijelaskan dengan gamblang dan dapat
dipahami.
Bogdan dan Taylor yang dikutip Lexy J.Moleong mendefinisikan
metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati.9
9 Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 3
10
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pisau
analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun A. van Dijk. Pendekatan
kualitatif ini memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang
mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di dalam
masyarakat.10
Sedangkan analisis wacana didefinisikan sebagai suatu upaya
pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan
suatu pernyataan. Metode analisis wacana berbeda dengan analisis isi
kualitatif yang lebih menekankan pada pertanyaan apa (what), analisis
wacana lebih melihat kepada bagaimana (how) dari suatu pesan atau teks
komunikasi.
Melalui analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana
isi teks berita, tetapi bagaimana juga pesan itu disampaikan. Lewat kata,
frase, kalimat, metafora macam apa suatu berita disampaikan. Dengan
melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana
lebih bisa 11
3. Tahapan Penelitian
a. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan berbagai cara, di
antaranya:
a) Observasi Teks
Observasi atau pengamatan langsung dilakukan kepada teks
yang akan diteliti. Dalam pengertian psikologik, observasi atau disebut
10
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2007), h.23 11
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h.68
11
dengan pengamatan meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap
sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera.12
Maka
kegiatan observasi ini dilakukan dengan cara mencari dan
menghimpun berita Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.
b) Wawancara
Wawancara dilakukan sebagai metode pengumpulan data yang
digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari
narasumbernya.13
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik
wawancara terstruktur yaitu wawancara yang dilakukan dengan
terstruktur atau tersusun sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang
telah disiapkan terlebih dahulu. Wawancara ini dilakukan sebagai
pendukung bagi kognisi sosial serta konteks sosial dalam analisis
wacana van Dijk.
Dalam hal ini, wawancara dilakukan kepada tiga orang yang
berkepentingan dalam skripsi ini. Pertama, kepada Chik Rini selaku
wartawan sekaligus penulis Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.
Wawancara ini sangat diperlukan karena untuk mengetahui unsur
kognisi sosial atau mental dari wartawan dalam memilih isu tersebut
serta situasi ketika ia menuliskannya. Kedua, Andreas Harsono sebagai
penanggung jawab dari Majalah Pantau dan editor dari naskah Sebuah
Kegilaan di Simpang Kraft. Ketiga, Imam Sofwan selaku redaksi dari
12
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Cet Ke-5, (Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2002), h. 133 13
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru, Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: Rosdakarya, 2006), h. 35
12
Yayasan Pantau untuk mengetahui sejarah perkembangan Majalah
Pantau hingga menjadi Yayasan Pantau seperti sekarang ini.
c) Dokumentasi
Dokumentasi dapat dilakukan dengan mengumpulkan,
membaca dan mempelajari berbagai bentuk data tertulis (buku,
majalah, atau jurnal) yang terdapat di perpustakaan, internet atau
instansi lain yang dapat dijadikan analisis dalam penelitian ini. Peneliti
mengumpulkan data yang berhubungan dengan analisis wacana.
b. Teknik Pengolahan Data
Setelah data terkumpul dan dikelompokkan sesuai dengan
tujuan penelitian untuk dianalisis dan diberikan interpretasi dengan
cara mengklasifikasikannya dengan kerangka teori kemudian
disimpulkan.
a). Analisis Data
Setelah data diperoleh, maka selanjutnya adalah melakukan
analisis data. Setelah diperoleh wacana yang akan dianalisis, maka
sebagai rujukan adalah dengan menggunakan analisis wacana model
Teun van Dijk yang terdiri dari tiga elemen yaitu dimensi teks, kognisi
sosial, dan konteks sosial.
Dari beberapa teknik analisis data, peneliti merasa perlu
meneliti wacana dengan menggunakan teknik van Dijk. Karena selain
menganalisis dari struktur teks, analisa ini juga menukik kepada
elemen kognisi sosial (mental wartawan dalam memahami peristiwa)
13
serta konteks sosial (menganalisa wacana yang berkembang di
masyarakat). Teknik ini dirasa cocok dibandingkan dengan analisis
wacana (discourse analysis) lainnya yang lebih mengarah kepada
ideologi yang dikemukakan oleh Norman Fairclough atau tentang
kekuasaan kaum mayoritas kepada kaum minoritas oleh Theo Van
Leewen dkk.
Karena dalam penelitian ini, lebih ingin membongkar mengenai
konstruksi realitas dalam dimensi wacana teks berita tersebut, serta
dengan kedua unsur wacana van Dijk lainnya.
Dalam teknik analisis wacana van Dijk ini, terdapat tiga elemen
ini yaitu, pertama, dimensi teks yang terdiri dari struktur makro, yaitu
makna global dari suatu teks yang dapat diamati dati topik atau tema
yang diangkat oleh suatu teks, elemennya adalah tematik.
Superstruktur, yaitu kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan,
isi, penutup, dan kesimpulan, elemennya adalah skematik. Struktur
mikro, makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan
kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh suatu teks, elemennya adalah
semantik, sintaksis, stalistik dan retoris.
Kedua, yaitu kognisi sosial yaitu bagaimana wartawan atau
penulis mengetahui dan memahami peristiwa yang sedang digarapnya.
Ketiga, konteks sosial yaitu mengetahui apa yang sedang terjadi di
masyarakat, dan dampak di masyarakat setelah adanya pemberitaan
tersebut.
14
E. TINJAUAN PUSTAKA
Penulisan dalam penelitian ini mengacu kepada buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi
dkk yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and
Assurance) Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sedangkan dalam penyusunan skripsi ini, sebelum peneliti
menyusunnya lebih lanjut maka terlebih dahulu, peneliti menelusuri
koleksi skripsi-skripsi di Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi (FIDKOM) dan Perpustakaan Utama UIN Jakarta. Maksud
pengkajian ini adalah agar data diketahui bahwa apa yang diteliti sekarang
tidak sama dengan skripsi-skripsi sebelumnya.
Di kedua perpustakaan tersebut, banyak skripsi yang menggunakan
analisis wacana van Dijk sebagai pisau analisisnya. Namun, tidak banyak
yang menggunakan paradigma konstruktivis sebagai cara berpikir. Selain
itu, tidak ada objek penelitian yang menggunakan teks genre jurnalisme
sastrawi. Adapun beberapa tinjauan pustaka tersebut ialah:
1. Skripsi karya Sofwan Tamami (104051101959), mahasiswa
Konsentrasi Jurnalistik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
(FIDKOM) UIN Jakarta Angkatan 2004 dengan judul Analisis
Wacana Pemberitaan Film FITNA Karya Geert Wilders di Harian
Umum Republika (Edisi 29-4 April 2008). Perbedaan skripsi ini
dengan yang diteliti terletak pada objek penelitiannya. Skripsi Sofwan
meneliti pemberitaan Film FITNA karya Greert Wilders dan
kelebihannya yaitu pada paradigma penelitian yang digunakan.
15
2. Skripsi karya Yul Shella K.A. (105051001992), mahasiswi jurusan
Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi (FIDKOM) UIN Jakarta dengan judul Analisis Wacana
Berita Pemilu 2009 Pada Harian Seputar Indonesia: Studi
Pemberitaan KPU Sebelum Pemilu Legislatif. Perbedaannya terletak
pada objek yang diteliti. Yul Shella meneliti berita Pemilu 2009 di
Harian Seputar Indonesia.
3. Skripsi karya Astri Putriyani (103051028444), mahasiswi jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi (FIDKOM) UIN Jakarta dengan judul Analisis Wacana
Rubrik Media dan Kita Majalah UMMI Edisi Juli-Oktober 2009.
Perbedaannya tetap pada objek yang diteliti yaitu Rubrik Media dan
Kita Majalah UMMI. Kelebihannya, waktu penelitian dari Juli-
Oktober (empat bulan) adalah waktu yang lama.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Secara sistematis penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab.
Setiap bab terdiri dari sub-sub yang memiliki keterkaitan satu sama
lainnya. Untuk lebih jelasnya peneliti uraikan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metodologi penelitian, tinjaun pustaka, dan sistematika penulisan.
Bab II Kajian Teoritis menguraikan mengenai kajian teoritis
mengenai analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun van Dijk
16
dengan rincian pengertian dari discourse analysis (analisis wacana) serta
skema model wacana van Dijk. Dilanjutkan dengan konseptualisasi berita
dan penjelasan genre jurnalisme sastrawi.
Bab III Gambaran Umum Majalah Pantau memaparkan
mengenai sejarah berdiri dan perkembangan Majalah Pantau, visi dan
misi Majalah Pantau, struktur organisasi Majalah Pantau dan Yayasan
Pantau, rubrikasi Majalah Pantau, alur kinerja redaksi Majalah Pantau
serta konsep-konsep umum pada Majalah Pantau yang ditemukan peneliti
dalam sumber-sumber pendukung. Selain itu juga, peneliti memberikan
gambaran umum mengenai profil Chik Rini dan sinopsis dari naskah
Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.
Bab IV Hasil Penelitian ini berisi mengenai penjelasan hasil
penelitian yang diperoleh peneliti dalam penelitiannya.
Bab V Penutup ini berisi kesimpulan dan saran dari peneliti
mengenai hal-hal yang telah dibahas oleh peneliti dalam skripsi ini.
17
BAB II
KAJIAN TEORITIS
A. ANALISIS WACANA
1. Pengertian Analisis Wacana
Pengertian analisis wacana terdiri dari dua kata, yaitu analisis dan
wacana. Analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
penyelidikan terhadap suatu peristiwa, penjelasan sesudah dikaji sebaik-
baiknya, penguraian suatu pokok atas berbagai bagian, serta penguraian
karya sastra atau unsur-unsurnya untuk memahami pertalian antar unsur
tersebut.1
Secara etimologi istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta
wac/wak/uak yang memiliki arti berkata atau berucap. Kemudian kata
tersebut mengalami perubahan menjadi wacana. Kata ana yang berada di
belakang adalah bentuk sufiks (akhiran) yang bermakna membendakan
(nominalisasi). Dengan demikian, kata wacana dapat dikatakan sebagai
perkataan atau tuturan.2
Namun, istilah wacana diperkenalkan dan digunakan oleh para ahli
linguis (ahli bahasa) di Indonesia sebagai terjemahan dari istilah bahasa
Inggris, discourse. Kata deiscourse sendiri berasal dari bahasa Latin,
1 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Cet.Ke-1 1988),
h.32 2 Deddy Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode Aplikasi, dan Prinsip-Prinsip Analisis
Wacana, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), h.3
18
discursus (lari ke sana lari ke mari). Kata ini diturunkan dari kata dis
(dan/ dalam arah yang berbeda-beda) dan kata currere (lari).3
Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, terdapat tiga makna
dari istilah wacana. Pertama, percakapan, ucapan, dan tutur. Kedua,
keseluruhan tutur atau cakapan yang merupakan satu kesatuan. Ketiga,
satuan bahasa terbesar, terlengkap yang realisasinya pada bentuk karangan
yang utuh, seperti novel, buku, dan artikel.4
Definisi klasik wacana berasal dari asumsi-asumsi formalis (dalam
istilah Hymes 1974b, struktural), mereka berpendapat bahwa wacana
adalah bahasa di atas kalimat atau di atas klausa (Stubbs 1983:1).5
Van Dijk (1985:4) mengamati bahwa karakteristik deskripsi
struktural wacana pada beberapa perbedaan unit, kategori bentuk
sistematik atau hubungan-hubungan yang berbeda. Lanjutnya, menurut
van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya atas dasar dimensi teks
semata, karena teks tersebut merupakan hasil praktik produksi yang harus
diamati juga.
Van Dijk menyatakan bahwa wacana itu sebenarnya adalah
bangunan teoritis yang abstrak (the abstract theoritical construct) dengan
begitu wacana belum dapat dilihat sebagai perwujudan wacana adalah
teks.6
3 Dede Oetomo, Kelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana, (Yogyakarta: Kanisius,
1993), h.3 4 Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta:
Modern English Press, Edisi Ke-3 2002), h.1709 5 Deborah Schiffrin, Ancangan Kajian Wacana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.
28 6 Abdul Rani, Analisis Wacana Sebuah Kajian, (Malang: Bayu Media, 2004), h. 4
19
Secara ringkas atau sederhana, teori wacana mencoba menjelaskan
terjadinya sebuah peristiwa seperti terbentuknya sebuah kalimat atau
pernyataan. Wacana sebagai upaya untuk mengungkap makna yang tersirat
dari subjek yang mengungkapkan pernyataan tersebut. Caranya, adalah
dengan meletakkan posisi pada si pembicara dengan mengikuti struktur
makna dari pembicara tersebut.
Jika dicoba untuk merumuskan, analisis wacana adalah studi
tentang struktur pesan dalam komunikasi. Dalam pandangan Littlejohn,
bahwa menulis dan bahkan bentuk-bentuk non verbal dapat dianggap
wacana.
Menurutnya, terdapat beberapa untai analisis wacana, bersama-
sama menggunakan seperangkat perhatian (Littlejohn: 1996). Pertama,
seluruhnya mengenai cara-cara wacana disusun, prinsip yang digunakan
oleh komunikator untuk menghasilkan dan memahami percakapan atau
tipe-tipe pesan lainnya. Kedua, wacana dipandang sebaga aksi. Ia adalah
cara melakukan segala hal, biasanya dengan kata-kata. Ahli analisis
wacana berasumsi bahwa pengguna bahasa mengetahui bukan hanya
aturan-aturan tata bahasa kalimat, namun juga aturan-aturan untuk
menggunakan unit-unit yang lebih besar dalam menyelesaikan tujuan-
tujuan pragmatik dalam situasi sosial. Ketiga, analisis wacana adalah suatu
pencarian prinsip-prinsip yang digunakan oleh komunikator aktual dari
perspektif mereka; ia tidak memerdulikan ciri atau sifat psikologis
20
tersembunyi atau fungsi otak, namun terhadap problema percakapan
sehari-hari yang kita kelola dan kita pecahkan.7
Littlejohn lebih mengarahkan wacana kepada aturan-aturan tata
bahasa yang hadir dalam proses berkomunikasi. Secara otomatis, lebih
terarah kepada makna pesan yang disampaikan oleh komunikator.
Maka, tetap saja dalam penelitian lebih terarah kepada tokoh van
Dijk, yang lebih memaksudkan bahwa analisis wacana sebagai suatu
analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu.
2. Analisis Wacana Model Teun van Dijk
Dalam buku Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media
karangan Eriyanto, di dalamnya terdapat tokoh-tokoh yang
mengembangkan analisis wacana. Tokoh-tokoh yang terkenal dan
dikemukakan oleh Eriyanto tersebut, di antaranya Roger Fowler dkk
(1979), Norman Fairclough (1998) yaitu mengenai wacana tentang
ideologi, Sara Mills (1992) yang menitikberatkan perhatian kepada wacana
mengenai feminisme, Theo van Leeuwen (1986) adalah analisis yang
diperuntukkan untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok
atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana. Dari
banyaknya tokoh yang mengembangkan analisis wacana, model van Dijk-
lah yang paling sering dipakai dalam berbagai penelitian teks media.
Meski penelitian-penelitian wacana yang sering diteliti oleh van Dijk
adalah mengenai rasialisme namun tidak menutupkemungkinan terhadap
7 Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Semiotik,
dan Analisis Framing, h. 48-49
21
objek penelitian atau teks berita lainnya untuk diteliti. Sama halnya,
seperti objek penelitian terhadap teks berita Sebuah Kegilaan di Simpang
Kraft ini.
Jika penelitian dalam skripsi ini memakai tokoh Teun A. van Dijk,
maka harus diketahui terminologi analisis wacana dari van Dijk itu sendiri,
yang dikutip dari buku Aims of Critical Discourse Analysis.
Critical Discourse Analysis (CDA) has become the general
label for a study of text and talk, emerging from critical linguistics,
critical semiotics and in general from socio-politically conscious
and oppositional way of investigating language, discourse and
communication. As is the case many fields, approaches, and
subdisciplines in language and discourse studies, however, it is not
easy precisely delimit the special principles, practices, aims,
theories or methods of CDA.8
Atau terminologi lainnya, yang terdapat dalam buku Critical
Discourse Analysis dalam pembahasan mengenai What is discouse?
yaitu:
Discourse analysis are tic, ked to define the concept of discourse. Such a definition would have to consist of the whole discipline of discourse studies, in the same of way as linguistic
provide many deminitions of the definition of languages. In the may view, it hardly makes to define fundamental notions such as
discourse, languange, cognition, interaction, power, or society. To understand these notions, we need whole theories or discipline of
the objects or phenomena we are dealing with. Thus, discourse is a
multidimentional social phenomenon. It is at the same tune in
linguistic (verbal gramatical), object (meaningful sequences of
word or sentences), an action (as an assertion or a threat), a form of
social interaction (like conversation), a social practice (such as a
lecture), a mental representation (a meening, a mental model, an
opinion, knowledge), an interactional communicative event or
activity (like a parliementary debate), a cultural product (like a
telenovela), or even an economic commodity that is being sold and
bought (like a novel). In other words, a more or less complete
definition of the notion of discourse would involve many dimentions of consists of many other fundamental notions that
8 Teun van Dijk, Aims of Critical Discours e Analysis, (Japan Discourse, 1995) Vol. 1,
hal. 17
22
need definition, that is, theory, such as meaning, interaction, and
cognition.9
Studi wacana ini berasal dari analisis linguistik kritis. Merambah
kepada ilmu sosial lainnya, seperti analisis semiotik kritis, bahasa,
wacana, komunikasi, dan ilmu sosial lainnya. Meski awalnya berasal dari
bahasan wacana linguistik, tapi tidak menutup kesempatan kepada ilmu
sosial lainnya untuk diteliti.
Van Dijk sendiri menyatakan dalam buku karangannya, Critical
Discourse Analysis (CDA) bahwa ia lebih menyukai untuk berbicara
mengenai Critical Discourse Studies (CDS) karena batasannya lebih
umum, tidak hanya meliputi analisis kritis tapi juga teori kritis seperti
penerapan kritis. Namun, dalam penelitian ini lebih tertuju kepada
paradigma konstruktivis, bukan paradigma kritis atau Critical Discourse
Analysis (CDA). Pengertian CDA dan wacana di atas hanya untuk
menggambarkan apa itu wacana menurut tokoh van Dijk sendiri.
Van Dijk juga memfokuskan kajiannya pada peranan strategis
wacana dalam proses distribusi dan reproduksi pengaruh hegemoni atau
kekuasaan tertentu. Salah satu elemen penting dalam proses analisa
terhadap relasi kekuasaan atau hegemoni dengan wacana adalah pola-pola
akses terhadap wacana publik yang tertuju pada kelompok-kelompok
masyarakat. Secara teoritis bisa dikatakan, supaya relasi antara suatu
hegemoni dengan wacana bisa terlihat dengan jelas, maka kita
membutuhkan hubungan kognitif dari bentuk-bentuk masyarakat, ilmu
pengetahuan, ideologi dan beragam representasi sosial lain yang terkait
9 Teun van Dijk, Critical Discourse Studies: A Sociocognitive Approach, (London: Sage,
2002), h. 66-67
23
dengan pola pikir sosial, hal ini juga mengaitkan individu dengan
masyarakat, serta struktur sosial mikro dengan makro.10
Menurut van Dijk, analisis wacana memiliki tujuan ganda: sebuah
teoritis sistematis dan deskriptif yaitu struktur dan strategi di berbagai
tingkatan dan wacana lisan tertulis, dilihat baik sebagai objek tekstual dan
sebagai bentuk praktek sosial budaya, antar tindakan dan hubungan. Sifat
teks ini berbicara dengan yang relevan pada struktur kognitif, sosial,
budaya, dan sejarah konteks. Singkatnya, studi analisis teks dalam
konteks. Momentum penting dari pendekatan tersebut terletak pada fokus
khusus yang terkait pada isu sosial-politik, dan terutama membuat eksplisit
cara penyalahgunaan kekuasaan kelompok dominan dan mengakibatkan
ketidaksetaraan, legitimasi, atau ditantang dalam dan dengan wacana.11
Model yang dipakai van Dijk ini kerap disebut sebagai kognisi
sosial. Istilah ini sebenarnya diadopsi dari pendekatan lapangan psikologi
sosial, terutama untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya
teks.12
Wacana digambarkan mempunyai tiga dimensi yaitu teks, kognisi
sosial dan konteks sosial. Inti analisis van Dijk adalah menggabungkan
ketiga dimensi tersebut dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks
yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang
dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial
10
Teun Van Djik,. Discourse and Society: Vol 4 (2). (London: Newbury Park and New
Delhi: Sage, 1993), h. 249 11
Teun Van Dijk, Menganalisis Rasisme Melalui Analisis Wacana Melalui Beberapa
Metodologi Reflektif, artikel diakses pada 15 Oktober 2010 dari http://www.discourse.com 12
Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Semiotik,
dan Analisis Framing, h. 73
24
dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu
penulis. Sementara itu aspek konteks sosial mempelajari bangunan wacana
yang berkembang dalam masyarakat mengenai suatu masalah.13
Dapat
digambarkan seperti di bawah ini:
Gambar 1.
Diagram Model Analisis Van Dijk14
Sedangkan skema penelitian dan metode yang biasa dilakukan
dalam kerangka van Dijk adalah sebagai berikut:15
Tabel 1.
Skema Penelitian dan Metode Van Dijk
STRUKTUR METODE
Teks
Menganalisis bagaimana strategi wacana
yang digunakan untuk menggambarkan
seseorang atau peristiwa tertentu.
Bagaimana strategi tekstual yang dipakai
untuk memarjinalkan suatu kelompok,
gagasan atau peristiwa tertentu
Critical linguistic
Kognisi Sosial
Menganalisis bagaimana kognisi penulis
dalam memahami seseorang atau
peristiwa tertentu yang akan ditulis
Wawancara mendalam
13 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Ananlisis Teks Media, h. 224 14
Ibid, h. 225 15
Ibid, h. 275
Konteks Sosial
Konteks Sosial
Kognisi Sosial
Kognisi Sosial
Teks
Teks
25
Konteks Sosial
Menganalisis bagaimana wacana yang
berkembang dalam masyarakat, proses
produksi dan reproduksi seseorang atau
peristiwa digambarkan
Studi pustaka, penelusuran sejarah,
dan wawancara
3. Kerangka Analisis Van Dijk
a. Dimensi Teks
Van Dijk membuat kerangka analisis wacana yang dapat
digunakan, untuk melihat suatu wacana yang terdiri dari berbagai
tingkatan atau struktur dari teks. Van Dijk membaginya kepada tiga
tingkatan, yaitu.
Tabel 2.
Struktur Teks Van Dijk16
Struktur Makro
Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik atau tema
yang diangkat oleh suatu teks
Superstruktur
Kerangka suatu teks: bagaimana struktur dan elemen wacana itu disusun
dalam teks secara utuh, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan
kesimpulan
Struktur Mikro
Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat,
dan gaya yang dipakai oleh suatu teks
Sedangkan struktur atau elemen yang dikemukakan oleh van Dijk
dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 3.
Elemen Wacana Teks Van Dijk
Struktur
Wacana
Hal yang diamati Elemen
Struktur Makro TEMATIK
Tema atau topik yang
Topik
16
Ibid, h. 227
26
dikedepankan dalam suatu berita
Superstruktur SKEMATIK
Bagaimana bagian dan urutan
berita diskemakan dalam teks
berita utuh
Skema atau Alur
Struktur Mikro
SEMANTIK
Makna yang ingin ditekankan
dalam teks berita. Misal, dengan
memberi detil pada satu sisi atau
membuat eksplisit satu sisi dan
mengurangi sisi lain
Latar, Detil,
Maksud,
Praanggapan,
Nominalisasi
Struktur Mikro SINTAKSIS
Bagaimana kalimat (bentuk,
susunan) yang dipilih
Bentuk kalimat,
Koherensi, Kata
ganti
Struktur Mikro STILISTIK
Bagaimana pilihan kata yang
dipakai dalam teks berita
Leksikon
Struktur Mikro RETORIS
Bagaimana dan dengan cara
penekanan dilakukan
Grafis, Metafora,
eskpresi
Berbagai elemen tersebut merupakan satu kesatuan, saling
berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Untuk memperoleh
gambaran dari elemen-elemen yang harus diamati tersebut, berikut adalah
penjelasan singkatnya, yaitu:
a) Tematik (Tema atau Topik)
Elemen ini menunjuk kepada gambaran umum dari teks, disebut
juga sebagai gagasan inti atau ringkasan. Topik menggambarkan apa yang
ingin diungkapkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Topik
menunjukkan konsep yang dominan, sentral, dan yang paling penting
dalam sebuah berita.
b) Skematik (Skema atau Alur)
Teks umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan
sampai akhir. Alur menunjukkan bagian-bagian dalam teks yang disusun
dan diurutkan hingga membentuk kesatuan arti.
27
Menurut van Dijk, makna yang terpenting dari skematik adalah
strategi wartawan untuk mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan
dengan urutan tertentu.
c) Semantik (Latar, Detil, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi)
Semantik dalam skema van Dijk dikategorikan sebagai makna
lokal (local meaning), yakni makna yang muncul dari hubungan
antarkalimat, hubungan antarproposisi, yang membangun makna tertentu
dari suatu teks. Analisis wacana memusatkan perhatian pada dimensi teks,
seperti makna yang eksplisit maupun implisit.17
Latar teks merupakan elemen yang berguna untuk membongkar
apa maksud yang ingin disampaikan oleh wartawan. Latar peristiwa itu
dipakai untuk menyediakan dasar hendak ke mana makna teks itu dibawa.
Elemen detil berhubungan dengan kontrol informasi dari yang
ingin ditampilkan oleh wartawan. Detil ini adalah strategi dari wartawan
untuk menampilkan bagian mana yang harus diungkapkan secara detil
lengkap dan panjang, dan bagian mana yang diuraikan dengan detil
sedikit.
Detil hampir mirip dengan elemen maksud, kalau detil itu
mengekspresikan secara implisit sedangkan maksud yaitu secara eksplisit
atau jelas atas maksud pengungkapan informasi dari wartawan. Kalau
praanggapan (presuppotion) merupakan pernyataan yang digunakan untuk
mendukung makna dari suatu teks. Dengan cara menampilkan narasumber
yang dapat memberikan premis yang dipercaya kebenarannya.
17
Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, h. 78
28
d) Sintaksis (Bentuk kalimat, Koherensi, Kata Ganti)
Ramlan (Pateda 1994:85) mengatakan, Sintaksis ialah bagian atau
cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat,
klausa, dan frase18 Dalam sintaksis terdapat koherensi, bentuk kalimat
dan kata ganti. Di mana, keriga hal tersebut untuk memanipulasi politik
dalam menampilkan diri sendiri secara positif dan lawan secara negatif,
dengan cara penggunaan sintaksis (kalimat).
e) Stilistik (Leksikon)
Elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan
pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Seperti kata
meninggal yang memiliki kata lain seperti wafat, mati, dan lain-lain.
f) Retoris (Grafis, Metafora, Ekspresi)
Retoris ini mempunyai daya persuasif, dan berhubungan dengan
bagaimana pesan ini ingin disampaikan kepada khalayak. Grafis,
penggunaan kata-kata yang metafora, serta ekspresi dalam teks tertulis
adalah untuk menyakinkan kepada pembaca atas peristiwa yang
dikonstruksi oleh wartawan.
b. Dimensi Kognisi Sosial
Dalam kerangka analisis van Dijk, pentinya kognisi sosial yaitu
kesadaran mental wartawan yang membentuk teks tersebut. Karena, setiap
teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka,
atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa. Di sini, wartawan tidak
18
Ibid, h. 80
29
dianggap sebagai individu yang netral tapi individu yang memiliki
beragam nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang didapatkan dari
kehidupannya.
Peristiwa dipahami berdasarkan skema atau model. Skema
dikonseptualisasikan sebagai struktur mental di mana tercakup cara
pandang terhadap manusia, peranan sosial dan peristiwa. Ada beberapa
skema/model yang dapat digunakan dalam analisis kognisi sosial penulis,
digambarkan sebagai berikut:19
Tabel 4.
Skema/ Model Kognisi Sosial Van Dijk
Skema Person (Person Schemas):
Skema ini menggambarkan bagaimana seseorang menggambarkan dan
memandang orang lain
Skema Diri (Self Schemas):
Skema ini berhubungan dengan bagaimana diri sendiri dipandang,
dipahami, dan digambarkan oleh seseorang
Skema Peran (Role Schemas):
Skema ini berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang dan
menggambarkan peranan dan posisi seseorang dalam masyarakat
Skema Peristiwa (Event Schemas):
Skema ini yang paling sering dipakai, karena setiap peristiwa selalu
ditafsirkan dan dimaknai dengan skema tertentu
c. Dimensi Konteks Sosial
Dimensi ketiga dari analisis van Dijk ini adalah konteks sosial,
yaitu bagaimana wacana komunikasi diproduksi dalam masyarakat. Titik
pentingnya adalah untuk menunjukkan bagaimana makna dihayati
bersama, kekuasaan sosial diproduksi lewat praktik diskursus dan
legitimasi. Menurut van Dijk, ada dua poin yang penting, yakni praktik
kekuasaan (power) dan akses (access).
19 Eriyanto, Analisis Wacana:Pengantar Analisis Teks Media, h. 262
30
Praktik kekuasaan didefinisikan sebagai kepemilikan oleh suatu
kelompok atau anggota untuk mengontrol kelompok atau anggota lainnya.
Hal ini disebut dengan dominasi, karena praktik seperti ini dapat
memengaruhi di mana letak atau konteks sosial dari pemberitaan tersebut.
Kedua, akses dalam mempengaruhi wacana. Akses ini maksudnya
adalah bagaimana kaum mayoritas memiliki akses yang lebih besar
dibandingkan kaum minoritas. Makanya, kaum mayoritas lebih punya
akses kepada media dalam memengaruhi wacana.
B. KONSEPTUALISASI BERITA
1. Pengertian Berita
Paul De Massener dalam buku Heres The News: Unesco Associate
menyatakan, news atau berita adalah sebuah informasi yang penting dan
menarik perhatian serta minat khalayak pendengar. Charnley dan James
M. Neal menuturkan, berita adalah laporan tentang suatu peristiwa, opini,
kecendrungan, situasi, kondisi, interpretasi yang penting, menarik, masih
baru dan harus secepatnya disampaikan kepada khalayak (Errol Jonathans
dalam Mirza, 2000:68-69).20
Berita dapat didefinisikan sebagai peristiwa yang dilaporkan.
Segala yang didapat di lapangan dan sedang dipersiapkan untuk
dilaporkan, belum dapat disebut berita. Wartawan yang menonton dan
menyaksikan peristiwa, belum tentu telah menemukan peristiwa.
Wartawan harus bisa menemukan peristiwa setelah memahami proses atau
20
AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature, (Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2005), h. 64
31
jalan cerita, yaitu harus tahu Apa (what) yang terjadi, Siapa (who) yang
terlibat, Bagaimana kejadian itu terjadi (how), Kapan (when) terjadi, Di
mana (where) peristiwa itu terjadi, dan Mengapa (why) sampai terjadi.
Keenam hal tersebut merupakan unsur berita.21
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa berita adalah jalan cerita
tentang peristiwa. Ini berarti bahwa suatu berita setidaknya mengandung
dua hal, yaitu peristiwa dan jalan ceritanya. Jalan cerita tanpa peristiwa
atau peristiwa tanpa jalan cerita tidak dapat disebut berita.22
Setelah merujuk kepada beberapa definisi tersebut, maka dapat
didefinisikan berita sebagai berikut; Berita adalah laporan tercepat
mengenai fakta atau ide terbaru yang benar, menarik dan atau penting bagi
sebagian besar khalayak, melalui media berkala seperti surat kabar, radio,
televisi, atau media online internet.23
2. Nilai-Nilai Berita
Nilai berita atau news values merupakan elemen-elemen dari berita
sebagai dasar patokan bagi wartawan untuk memutuskan berita mana yang
panats untuk diliput, dan mana yang tidak. Meski menurut Downie JR dan
Kaiser, istilah tersebut tidak mudah didefinisikan.
Kriteria nilai umum berita, menurut Brian S.Brooks, George
Kennedy, Darly M. Moen, dan Don Ranly dalam News Reporting and
Editing (1980: 6-17) menunjuk kepada sembilan hal. Beberapa pakar lain
menyebutkan, ketertarikan manusiawi (humanity) dan seks (sex) dalam
21
Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan, h. 18 22
Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru, (Ciputat: Kalam Indonesia, 2005), h. 55 23
AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Teknik Menulis Berita dan Feature, h. 65
32
segala dimensi dan manifestasinya, juga termasuk ke dalam kriteria umum
nilai berita yang harus diperhatikan dengan seksama oleh para reporter dan
editor media massa. Sehingga terdapat 11 nilai berita, menurut AS Haris
Sumadiria dalam bukunya Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan
Feature, yakni:
a. Keluarbiasaan (unsualness)
b. Kebaruan (newness)
c. Akibat (impact)
d. Aktual (timeliness)
e. Kedekatan (proximity)
f. Informasi (information)
g. Konflik (conflict)
h. Orang pentingg (prominence)
i. Ketertarikan manusiawi (human interest)
j. Kejutan (suprising)
k. Seks (sex)24
3. Jurnalisme Naratif
Menurut Sudirman Tebba dalam Jurnalistik Baru, berita dapat
dibedakan dari bentuk penyajiannya, seperti berita langsung (straight
news), berita komprehensif (comprehensive news), dan feature.
Berita langsung dan feature, adalah dua jenis berita yang sering
dipakai pada umumnya. Narasi hadir sebagai salah satu bentuk feature
24
Ibid, h. 80
33
karena narasi memaparkan adegan demi adegan dengan memanfaatkan
deskrispi, karakterisasi, dan plot.
Istilah jurnalisme naratif ini dikembangkan oleh Mark Kramer
sejak tahun 1998 dalam The Nieman Fellowship di University Harvard.
Jurnalisme ini masuk ke dalam genre nonfiksi, narrative nonfiction. Meski
penulisannya menggunakan gaya bercerita atau story telling tapi tetap saja
fakta adalah unsur utamanya. Bergaya seperti seorang story teller atau
pendongeng yang melaporkan peristiwa dengan nilai dramatis yang kuat
dan tingkat immersion yang tinggi.
Narrative journalism merupakan bentuk cangkokan, hasil
perkawinan silang, antara keterampilan mengisahkan cerita dan
kemampuan jurnalis dalam mendramatisir hasil observasinya terhadap
berbagai orang, tempat, dan kejadian nyata di dunia, ungkap Robert Vare
dalam diskusi dengan para jurnalis tentang narrative journalism yang
dilaporkan Nieman Reports.25
Jurnalisme narasi lebih ringkas dan simpel dibandingkan dengan
jurnalisme sastrawi, model laporannya pun lebih linier, dan tidak serumit
pengisahan berita literary journalism. Pekerjaan dari narasi ini tidak hanya
menyampaikan peristiwa yang terjadi namun juga harus pandai
mengisahkannya dalam rangkaian fakta yang dikisahkan.
Cara pengisahan naratif memperhatikan awal, tengah, dan akhir
laporan serta plot yang dibangun oleh action dan dialog serta cerita
pendek. Selain itu, keringkasan kisah. Pembaca mengejar apa yang
25
Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Sastra, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2002), h. 148
34
dikisahkan, tegas Woo, dan reporter harus segera menyampaikannya.
Riset juga diperlukan, ini menolong wartawan yang kehilangan ide untuk
mengawali serta mengakhiri laporannya.
Bentuk awal narasi ini dari feature dan di dalam narrative
journalism berkembang istilah teknis seperti jurnalisme sastrawi (literary
journalism), creative nonfiction, extended digressive narrative nonfiction.
Oleh karena itu, diperlukan untuk membahas tentang jurnalisme narasi
pada bab ini.
Jurnalisme ini memang menyediakan halaman yang besar bagi
wartawannya untuk mengeksplorasi kemampuan dalam mempresentasikan
kisahnya. Tapi, menurut Kramer, pelaporan naratif akan tercapai bila
antara editor dan reporter telah mencapai kesepahaman mengenai:
Penggunaan teknik-teknik naratif dalam jenis kisah tertentu
Proses reportase untuk laporan naratif
Siapa yang seharusnya menulis dan menyunting laporan
semacam itu26
Unsur-unsur dalam naratif ini memang menambahkan banyak hal,
yang berbeda daripada straight news maupun feature pada umumnya,
karena naratif lebih mengacu kepada bagaimana (How) bukan apa (What).
Karena naratif ini bukan sekedar melaporkan peristiwa dengan gaya
penulisan yang biasa tapi terkait mengenai melaporkan kisah, yang artinya
seperti dikatakan oleh Tom Wolfe bahwa naratif harus diistilah sebagai
details life. Penggambaran hidup secara detil dan menyeluruh ini dapat
26
Ibid, h. 153
35
digambarkan seperti elemen-elemen emosi, karakter, deskriptif tempat,
serta kelas sosial mereka.
C. JURNALISME SASTRAWI
Ia (jurnalisme sastrawi) seratus persen jurnalisme. Hanya saja ditulis dengan gaya sastra. Ia juga seratus persen fakta, bukan
fiksi. Jurnalisme sastrawi merupakan sebuah metode penulisan
dalam jurnalistik di samping metode penulisan yang sudah ada.
Pada teknik penulisan dalam jurnalistik lama, umpamanya, dikenal
beberapa jenis artikel seperti berita lurus dan karangan khas.27
Pulitzer Prize menyebutnya eksplorative journalism. Apapun
nama yang diberikan, genre ini menukik sangat dalam. Lebih dalam
daripada apa yang disebut sebagai in-depth reporting. Ia bukan saja
melaporkan seseorang melakukan apa. Tapi ia masuk ke dalam psikologi
yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan itu. Ada
karakter, ada drama, ada babak, ada adegan, ada konflik. Laporannya
panjang dan utuh-tidak dipecah-pecah ke dalam beberapa laporan.
Sedangkan Roy Peter Clark, seorang guru menulis dari Poynter
Institute Florida, mengembangkan pedoman standar 5W 1H adalah
singkatan dari Who (siapa), What (Apa), Where (di mana), When (kapan),
Why (mengapa), dan How (bagaimana). Pada narasi menurut Clark dalam
satu esei Nieman Reports, who berubah menjadi karakter, what menjadi
plot atau alur, where menjadi setting, when menjadi kronologi, why
menjadi motif, dan how menjadi narasi. 28
27
Junarto Imam Prakoso, Eksperimen dengan Jurnalisme Sastrawi, artikel diakses pada 23
Mei 2010 dari http://www.semesta.net 28
Andreas Harsono dan Budi Setiyono, ed., Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan Mendalam
dan Memikat, h. VIII
36
Jurnalis Amerika waktu itu memang mendekati sastra karena
dipojokkan oleh dua hal. Pertama, bentuk dan gaya penulisan novel yang
tengah menjadi trendsetter di dunia penulisan. Kedua, keinginan untuk
mengungguli daya pikat media audio visual dan kecepatan siaran
televisi.29
Karena perkembangan audio visual yang sangat signifikan, hal itu
mengharuskan media cetak untuk membuat varian gaya penulisan yang
terbaru. Meski para jurnalis kritis mengatakan, apanya yang baru? Namun,
segi jurnalisme baru ini menuntut para wartawan untuk memerhatikan dan
mengamati segala hal yang penting yang terjadi ketika peristiwa dramatis
di lokasi. Seperti mengenai dialog orang-orang sekitar, sikap, ekspresi
wajah, mimik, dan segala macam hal detil lainnya.
Yang jelas, teknik penulisan ini memerlukan kedalaman informasi
(depth information) yang lebih dibandingkan pelaporan biasa. Sebab
dalam pekerjaan new journalism ada peliputan yang digarap di luar
kebiasaan reporter koran atau penulis non-fiksi, yakni mengamati seluruh
suasana, meluaskan dialog, memakai sudut pandang orang ketiga (point of
view), dan mencari bentuk monolog interior yang bisa dipakai.30
Menurut Robert Vare dalam kumpulan buku antologi Jurnalisme
Sastrawi Yayasan PANTAU, ada tujuh pertimbangan bila hendak
menulis narasi atau jurnalisme sastra. Pertama, fakta. Jurnalisme
menyucikan fakta. Walau memakai kata sastra tapi tetap saja harus
29
Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Sastrawi, h. 4 30
Ibid, h. 5
37
berdasarkan fakta. Fakta tersebut harus diverifikasi, karena verifikasi
adalah esensi dalam jurnalisme.
Kedua, konflik. Bila ingin menulis laporan narasi, maka sebagai
daya pikatnya adalah konflik. Konflik itu sendiri bisa bermacam-macam,
entar konflik internal yang berada dalam diri maupun konflik eksternal
yang berada di luar diri.
Ketiga, karakter. Unsur karakter ini membantu untuk mengikat
cerita. Karakter itu bisa sebagai peran utama dalam pengisahan tersebut,
bisa juga peran pembantu. Baik peran utama dan pembantu memiliki
fungsi yang penting dalam menghidupkan kisah.
Keempat, akses. Akses ini dimaksudkan sebagai peluang untuk
mendapatkan jaringan kepada narasumber supaya lebih mudah. Entah
dengan cara wawancara, korespondensi, foto, catatan pribadi narasumber,
kawan, dan sebagainya.
Kelima, emosi. Unsur emosi ini untuk menghidupkan karakter
dalam kisah tersebut. Emosi itu bisa saja dengan marah, tertawa,
tersenyum, dan cinta. Keenam, perjalanan waktu atau series of time. Pada
perjalanan waktu ini yang membedakan dari feature, jika feature itu sekali
jepret foto dan narasi itu ibarat video. Terserah kepada si-penulis ingin
menuliskannya yang mana lebih dahulu, apakah kronologis atau
menggunakan alur flashback.
Ketujuh, unsur kebaruan. Unsur kebaruan ini maksudnya adalah
lebih mudah untuk mewawancarai narasumber dari orang biasa yang
menjadi saksi mata bagi peristiwa besar. Dibandingkan mewawancarai
38
seorang panglima tinggi, yang pastinya hasil wawancara tersebut sudah
dapat ditebak.
Selain tujuh hal yang diutarakan oleh Robert Vare, jika ingin
menulis narasi, maka Tom Wolfe juga membuat empat karakteristik
jurnalisme baru yang membedakan dengan jurnalisme konvensional.
Meski gaya dalam menulis narasi ini termasuk ke dalam jurnalisme baru.
Empat alat atau karakteristik ini digunakan sebagai pegangan teori
dalam penulisan gaya jurnalisme sastra, di antaranya yaitu pemakaian
konstruksi adegan per adegan, pencatatan dialog secara utuh, dan
pemakaian sudut pandang orang ketiga, dan mencatat secara detil. Jika
diuraikan secara detil dari empat elemen dalam jurnalisme sastra, yakni:
a. Konstruksi Adegan Demi Adegan
Menurut kamus sastra yang disusun Dick Hartoko dan B.
Rahmono, adegan ialah bagian dari suatu babak di dalam pementasan
teater. Adegan berubah bila jumlah pelaku berubah atau latar berubah.
Bagi pelaporan jurnalisme, hal itu berarti pembingkaian fakta-berita-yang
mengilustrasikan pelbagai kejadian yang tengah berlangsung dan dicatat
sebagai satu segmen pengisahan dari keseluruhan berita yang ingin
dilaporkan.31
Laporan ini disusun dengan menggunakan teknik bercerita adegan
demi adegan, atau suasana demi suasana. Menurut Wolfe, jurnalisme ini
menggunakan kelebihan dari teknik novel realisme dan roman, sehingga
berusahan mendalami mengapa dan bagaimana. Setelah tersusun fakta
31
Ibid, h. 46
39
maka dibentuk menjadi news story, yang meliputi unsur-unsur sosial dan
pelbagai ciri kemasyarakatan lainnya.
b. Pencatatan Dialog Secara Utuh
Encyclopaedia of Literature menyatakan bahwa dialog berasal
dari bahasa Latin (dialogus) atau bahasa Yunanri (dialogus). Dialog ini
merupakan elemen sebagai penghidup dari kisah serta sebagai saluran
untuk merepresentasikan perubahan topik kepada gagasan penulis.
Unsur dialog ini menguatkan keutuhan adegan dan memberikan
sentuhan riil pada laporan news strory. Dialog ini lebih menggunakan
kutipan langsung dibandingkan kutipan tidak langsung. Karena dengan
kutipan langsung ini, lebih mengukuhkan kekuatan dari lorong-lorong
peristiwa dan saat pembaca membacanya akan terasa lebih renyah.
c. Sudut Pandang Orang Ketiga
Pada karakteristik ini, sebagai representasi dari setiap suasana
peristiwa atau berita melalui pandangan mata orang ketiga yang
dimunculkan dalam kisah tersebut. Sudut pandang (points of view) ini
ditulis layaknya seperti kita ada di sana, melukiskan seperti novelis atau
penulis memoar.
d. Mencatat Secara Detil
Dalam elemen mencatat secara detil ini, sebagai perbedaan dati
teknik gaya penulisan jurnalisme sastra dengan feature pada umumnya. Di
mana dengan pencatatan secara detil ini menyeleuruh kepada perilaku,
adat istiadat, kebiasaan, gaya hidup, pakaian, dekorasi rumah, perjalanan
40
wisata, makanana, cara merawat rumah, serta hubungan kehidupan dengan
orang sekitar.
Perekaman secara detil ini akan memberikan kekuatan literer
dalam pelaporannya. Secara otomatis, elemen terakhir ini memberi
pembaca suatu deskripsi sosial, memotret latar belakang kehidupan
seseorang, dan mencatat lambang-lambang sosial.
Pengamatan terhadap sudut pandang penulis tersebut, bisa lewat
kata saya atau I. Bisa juga melalui tokoh-tokoh lainnya (sudut
pandang dari orang ketiga). Namun, yang terpenting dalam deskripsi
mengenai pencatatan secara detil ini dapat ditampilkan lebih tajam, detil,
lengkap, dan bermakna.
41
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. MAJALAH PANTAU
1. Sejarah Berdiri dan Perkembangannya
Pasca lengsernya Presiden Soeharto pada tampuk pemerintahan di
Indonesia, beragam media massa mulai bermunculan. Dari media
berlingkup kecil sampai media bertaraf nasional atau media mainstream.
Seakan-akan gaung kemerdekaan pers baru terasa merdeka pasca
reformasi ini, apalagi dengan tidak diberlakukannya lagi Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP) dari Departemen Penerangan.
Perkembangan media massa yang signifikan ini bisa dilihat dari
jumlah surat kabar yang dahulu berjumlah 200 penerbitan, kini naik
menjadi 1500-2000 penerbitan setelah reformasi. 1
Penerbitan maupun dunia pers yang kian menjamurnya tersebut,
membuat masyarakat Indonesia dapat mengekspresikan pendapat dan
menerbitkan produk jurnalistik melalui media masing-masing. Salah
satunya, Yayasan Pantau yang dahulunya bernama Majalah Pantau.
Pada awal berdiri, Majalah Pantau adalah sebuah majalah yang
diterbitkan di bawah naungan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) pada
Juli 1999. ISAI dan Article XIX adalah organisasi nirlaba untuk
kebebasan berekspresi dari London yang juga ikut mengonsultani
Rancangan Undang-Undang (UU) Pers No.40 Tahun 1999 dan bersama-
1 Yayasan Pantau, artikel diakses pada Rabu 3 November 2010 diakses pada pkl 22.00
WIB dari http://www.lidahibu.com
42
sama memantau televisi serta menerbitkan penelitiannya lewat Pantau
melalui sebuah newsletter.
Pada Pemilu 1999, ISAI mengadakan program Pemantauan
Televisi yang bekerjasama dengan Article XIX London. Hasil
pemantauannya tersebut diterbitkan dalam bentuk newsletter yang
bernama Pantau dan terbit setiap minggu selama masa kampanye Pemilu.
Tujuannya, untuk memantau televisi-televisi Indonesia dalam meliput
Pemilu pasca Orde Baru (Orba). Sesudah Pemilu, Pantau diubah menjadi
majalah pemantauan media, dengan penekanan pada surat kabar dan
analisis isi.
Pada akhir 2000, muncul pemikiran untuk membuat newsletter
lebih populer, tak hanya mengandalkan analisis isi. Pantau yang pada
awalnya hanya berbentuk newsletter berubah menjadi majalah dan tidak
hanya memantau permasalahan kampanye Pemilu belaka.
Maka pada Maret 2001, Pantau diubah menjadi majalah bulanan.
Partnership for Governance Reform in Indonesia dan Ford Foundation
membantu pendanaan Pantau dengan hibah masing-masing sebesar
US$65,000 (2001-2002) dan US$200,000 (2001-2003). Tujuannya,
menjadikan Pantau sebagai majalah bulanan dengan liputan mendalam
soal media dan jurnalisme. Beberapa perusahaan dan organisasi
memberikan sumbangan sehingga total dana Pantau terpakai sekitar
$350,000 dalam dua tahun (termasuk investasi awal).
Majalah ini terbit tiap bulan dengan laporan-laporan panjang dan
mendalam. Bisa soal media, wartawan, Aceh, terorisme, dan lain-lain.
43
Isinya, sekitar 60 persen mengenai media dan 40 persen non media.
Majalah Pantau ini menjadi fenomena baru dalam jurnalisme Indonesia,
karena untuk pertama kalinya media massa Indonesia diliput media lain
dengan standar wajar-tanpa standar ganda karena khawatir saling
mengganggu sesama wartawan.
Andreas Harsono, seseorang yang aktif berkecimpung dari awal
Majalah Pantau di bawah ISAI sampai diterbitkan oleh Yayasan Pantau,
mengatakan bahwa di Indonesia Majalah Pantau adalah majalah pertama
yang dengan sadar menggunakan teknik penulisan jurnalisme sastrawi,
dengan menggunakan elemen-elemen yang dikemukakan oleh Tom Wolfe.
Kalau dilihat secara teoritis, dilakukan secara sadar dengan membaca Tom Wolfe, dengan memakai elemen-elemen yang
diterangkan oleh Tom Wolfe dengan visi new journalismnya
tampaknya yang muncul secara sadar dan dengan naratif yah baru
Pantau.2
Pantau terbit rutin pada setiap hari Senin pertama. Tiap bulan
dicetak 3,000 eksemplar dan sirkulasi terjualnya naik hingga mencapai
2,500 pada Februari 2003. Menurut survei Business Digest pada
Oktober 2002, sebuah majalah Pantau rata-rata dibaca enam orang dan 62
persen pembaca Pantau adalah wartawan (media cetak disusul wartawan
televisi). Sisanya politisi, akademisi, orang public relation, dan
mahasiswa. Contohnya seperti Ali Alatas, mantan Menteri Luar Negeri
(Menlu) Indonesia, termasuk pelanggan Pantau dan menyukai majalah ini.
Liem Sioe Liong dari organisasi Hak Asasi Manusia
(HAM) Tapol London menyebut majalah ini sebagai majalah
terbaik di Indonesia. Muchtar Buchori, seorang legislator dari
2 Hasil wawancara by phone dengan Andreas Harsono, Penanggungjawab Yayasan
Pantau pada Jumat, 4 Februari 2011 pukul 20.00 WIB
44
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan kolumnis Jakarta Post,
menyebutnya "majalah investigasi."3
Seberapa pun banyak pembaca dari Majalah Pantau tersebut serta
kekhasan jurnalisme sastrawi yang digunakan dalam teknik penulisannya,
hal ini tidak membuat Pantau mempunyai nafas panjang dalam industri
media. Pada tanggal 13 Februari 2003, melalui siaran pers ISAI kepada
beberapa media melalui surat elektronik, Majalah Pantau resmi ditutup.
Dirut ISAI Goenawan Mohamad mengatakan bahwa
struktur pembiayaan majalah Pantau dengan liputan-liputan
panjang, honor relatif tinggi, foto atau lukisan artistik, biaya
liputan, sementara permintaan pasar tipis dan pemasukan iklan
sedikit, mendorong manajemen ISAI untuk menutup majalah ini,
setelah beroperasi selama dua tahun. "Saya berat sekali. Majalah
ini bagus dan belum ada di Indonesia. Tapi majalah yang bagus
kan butuh uang? Di Amerika, majalah seperti ini juga tidak hidup
dari