17
1

Tim Penyusun Ringkasan Laporan - csis.or.id · Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan di masa Presiden Abdurrahman Wahid dan ditindaklanjuti dengan Peraturan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tim Penyusun Ringkasan Laporan - csis.or.id · Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan di masa Presiden Abdurrahman Wahid dan ditindaklanjuti dengan Peraturan

1

Page 2: Tim Penyusun Ringkasan Laporan - csis.or.id · Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan di masa Presiden Abdurrahman Wahid dan ditindaklanjuti dengan Peraturan

2

Publikasi Wahid Foundation 2017

Tim Penyusun Ringkasan Laporan

Alamsyah M Dja’farLibasut TaqwaSiti Kholishoh

Tim Peneliti dan Penyusun Laporan CSIS

FitrianiNoory OktharizaAlif SatriaMayolisia EkayantiIlmi DwiastutiNicky FahrizalPricilia Putri Nirmala SariRebekha Adriana

Halaman: 17 halaman

Wahid FoundationJl. Taman Amir Hamzah No. 8 Jakarta – 10320IndonesiaTelp: +62 21-3928233+62 21-3145671Faks: +62 213928250

[email protected]

Page 3: Tim Penyusun Ringkasan Laporan - csis.or.id · Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan di masa Presiden Abdurrahman Wahid dan ditindaklanjuti dengan Peraturan

3

Daftar Singkatan

BASOLIA Badan Sosial Lintas AgamaBNPT Badan Nasional Penanggulangan TerorismeCEDAW Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap PerempuanDI/TII Darul Islam/Tentara Islam IndonesiaDPRD Dewan Perwakilan Rakyat DaerahFKUB Forum Kerukunan Umat BeragamaFORKAMI Forum Komunikasi Muslim IndonesiaFPI Front Pembela IslamGP Anshor Gerakan Pemuda AnshorHAM Hak Asasi ManusiaHTI Hizbut Tahrir IndonesiaJAD Jema’ah Atnsharud DaulahJAI Jema’ah Ahmadiyah IndonesiaJAT Jema’ah Ansharut TauhidJI Jema’ah IslamiyahKCD Koperasi Cinta Damai KOPRAS Komunitas Perempuan Ekonomi Kreatif SoloLUIS Laskar Umat Islam SoloMHTI Muslimah Hizbut Tahrir IndonesiaMMI Majelis Mujahidin IndonesiaMUI Majelis Ulama IndonesiaNA Nasyiatul AisyiyahNapiter Narapidana TerorisNGO Non-Governmental OrganizationNII Negara Islam IndonesiaPB Peraturan BersamaPerda Peraturan DaerahPerppu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-UndangTKI Tenaga Kerja IndonesiaTKW Tenaga Kerja WanitaUUD Undang-Undang Dasar

Page 4: Tim Penyusun Ringkasan Laporan - csis.or.id · Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan di masa Presiden Abdurrahman Wahid dan ditindaklanjuti dengan Peraturan

4

Pengantar

Tulisan ini merupakan ringkasan laporan hasil “Riset Mendalam tentang Potensi Intoleransi dan Radikalisme di Kalangan Perempuan di Lima Wilayah” yang dilaksanakan Wahid Foundation (WF) bekerja sama dengan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) atas dukungan UN Women.

Riset yang diselenggarakan pada September-November 2017 ini bertujuan untuk menjawab empat pertanyaan pokok: Sejauhmana kebijakan-kebijakan di tingkat nasional dan lokal mendukung atau tidak mendukung peran perempuan dalam mencegah ekstremisme? Bagaimana peta umum jejaring aktor dan kelompok perempuan intoleran dan radikal di masing-masing wilayah penelitian? Apa saja faktor-faktor kunci yang mendorong keterlibatan perempuan dalam ekstremisme sekaligus upaya pencegahannya? Bagaimana inisiasi dan usaha-usaha pencegahan yang dilakukan aktor-aktor dan komunitas-komunitas lokal, termasuk kegiatan ekonomi, berikut dampaknya? Hasil dari riset ini diharapkan memperkaya hasil-hasil riset dan kajian dalam isu perempuan, intoleransi dan radikalisme di Indonesia.

Wilayah riset yang dipilih adalah Kota Depok, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor untuk Jawa Barat; Kota Solo, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Sukoharjo (atau dikenal dengan sebutan Solo Raya) untuk Jawa Tengah; dan, Kota Malang, Kabupaten Malang, Kota Batu dan Kabupaten Sumenep untuk Jawa Timur.

Selain alasan jumlah kasus intoleransi dan radikalisme yang meningkat, penelitian ini memilih area studi tersebut karena juga merupakan daerah sasaran program WISE (Women Participation for Inclusive Society), salah satu program Wahid Foundation yang bertujuan untuk mencegah intoleransi dan radikalisme di kalangan perempuan dan kelompok rentan (Wahid Foundation-CSIS, 2018: 25).

Penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut: kajian literatur (literature review), wawancara mendalam (in-depth interview), dan diskusi terfokus (focus group discussion). Jumlah responden penelitian ini sebanyak 358 orang yang terdiri dari mantan narapidana terorisme, pejabat pemerintah, aktivis organisasi masyarakat, serta komunitas perempuan di lima daerah penelitian. Dari 358 responden, 186 di antaranya perempuan.

Jalur Terpapar Menuju Radikalisme

Riset ini mengeksplorasi definisi radikalisme yang dirumuskan Omar Ashour (2009: 4-6). Menurut dosen senior Institute of Arab and Islamic Studies, Universitas Exeter Inggris ini, hal yang membedakan gerakan radikal dan moderat terletak pada dukungan terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi seperti misalnya legitimasi pluralisme, kebebasan beragama, kebebasan berekspresi, sistem pemilihan umum dan lainnya. Jika kelompok moderat mendukung nilai dan prinsip itu, maka kelompok radikal cenderung menolaknya.

Ashour kemudian membagi gerakan radikalisme dalam dua tipologi: radikalisme ideologis (ideological radicalism) dan radikalisme tingkah laku (behavioral radical). Kelompok pertama adalah mereka yang secara ideologis menolak nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi, namun tidak setuju dengan penggunaan cara-cara kekerasan. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dapat dimasukan dalam kelompok ini. Sedang kelompok kedua, selain menolak nilai dan prinsip demokrasi, mereka juga mendukung atau berpartisipasi dalam aksi kekerasan untuk menggantikannya. Jemaah Islamiyah masuk dalam kategori ini (Wahid Foundation-CSIS, 2018: 13-16).

Page 5: Tim Penyusun Ringkasan Laporan - csis.or.id · Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan di masa Presiden Abdurrahman Wahid dan ditindaklanjuti dengan Peraturan

5

Radikalisme dalam penelitian ini dimaknai sebagai sikap dan gerakan yang menginginkan perubahan tatanan sosial-politik secara fundamental lewat cara-cara ekstrem yang revolusioner, yang didasarkan pada pemahaman ajaran agama tertentu. Sementara itu, intoleransi diartikan sebagai sikap, tindakan, atau kepercayaan yang tidak bisa menerima ajaran-ajaran atau perilaku-perilaku kelompok tertentu yang tidak sesuai dengan kelompoknya sendiri (Wahid Foundation-CSIS, 2018: 13-16).

Dalam studi Ashour, proses radikalisasi umumnya berlangsung dari tahap intoleransi, radikalisasi ideologi, dan kemudian radikalisasi perilaku (Ashour, 2009: 5). Harus dicatat di sini bahwa radikalisme bukanlah gejala khas Islam. Ia terjadi pada agama dan kepercayaan lain, dan untuk tujuan yang beragam, dari politik hingga ekonomi. Misalnya saja radikalisme di sebagian kalangan dalam agama Buddha di Myanmar atas isu etnis Rohingya.

Namun demikian, proses radikalisasi tidak selalu linear, malah cenderung kompleks. Orang seperti Peter Neumann percaya bahwa tindakan kekerasan radikal sesungguhnya dibentuk, bukan natural. Maksudnya, radikalisme dipengaruhi banyak faktor, dan bukan begitu saja lahir. Dia menyimpulkan pandangan tersebut setelah meneliti gerakan radikalisme dan upaya penanganannya di 15 negara. Menurutnya lima tahapan berikut bisa membuat seseorang terpengaruh radikalisme:

Diagram 2. Proses Terpapar Radikalisasi Dikembangkan dari Konsep Peter Neumann

Rasa ketidakadilan

(grievance)

Kondisi Latar Belakang

Kebutuhan emosional

Titik Jenuh

Pertemuan dengan ideologi

intoleran radikal

Proses Terpapar

Individu yang berpengaruh

Narasi Doktrin

Normalisasi kekerasan

Narasi Doktrin

Dia mencontohkan kasus pengikut ISIS. Umumnya mereka dari latar belakang ‘biasa-biasa’ saja dalam masyarakat. Mereka bukan orang yang religius, tidak merasa sukses, dan kurang bergaul. Mereka memiliki kebutuhan emosional pada perasan memiliki (sense of belonging) atau terlibat dalam suatu hal yang lebih besar dari dirinya (Wahid Foundation-CSIS, 2018: 19). Pada tahapan inilah mereka tiba pada titik jenuh berupa situasi di mana seseorang tidak merasa kebutuhan emosional pada perasaan memiliki dan diterima oleh masyarakat terpenuhi.

Meski demikian, titik jenuh tidak dapat dikatakan serta-merta langsung menyebabkan orang bertindak radikal. Ketidakadilan dapat dirasakan siapa saja. Proses yang menentukan selanjutnya adalah faktor-faktor lain seperti individu-individu yang berpengaruh untuk menguatkan narasi doktrin ideologi tertentu seperti tokoh agama. Pengaruh lain bisa juga datang dari orang yang dianggap memiliki nasib yang sama, yang dapat menjadi panduan sehingga tindakan dan aktivitas kekerasan seperti normal dengan sentuhan dalil-dalil keagamaan untuk

Page 6: Tim Penyusun Ringkasan Laporan - csis.or.id · Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan di masa Presiden Abdurrahman Wahid dan ditindaklanjuti dengan Peraturan

6

menjawab kebutuhan mereka. Ideologi radikal lantas ‘mampu’ menjelaskan rasa ketidakadilan yang mereka alami dengan menjadikan ‘sistem yang salah’ sebagai kambing hitam. Tindakan kekerasan selanjutnya dapat mereka lakukan karena dipengaruhi oleh “normalisasi kekerasan”, proses menjadikan kekerasan menjadi hal biasa dan tidak salah.

Dalam psikologi, titik jenuh ini lebih dekat dengan situasi burnout atau sindrom kelelahan. Burnout yang lebih banyak digunakan dan diteliti di tempat kerja merupakan masalah multidimensional. Saat seseorang mengalaminya maka ia akan cenderung mengalami kelelahan fisik, emosional, dan mental yang diakibatkan karena keterlibatan dalam situasi yang penuh emosional (dinamakan exhaustion). Ahli lain mengatakan bahwa burnout menyebabkan seseorang memiliki kecenderungan dehumanisasi, cenderung menarik diri dari lingkungannya (dinamakan cynicism), dan merasa apa (tugas, aktivitas) yang dijalankan menjadi berat, tidak berdaya(dinamakan ineffectiveness) (Maslach, 1993: 19-32).

Perempuan: Agen Perdamaian dan Tantangan Radikalisme

Banyak bukti untuk membangun argumen jika perempuan merupakan kelompok penting dalam membangun toleransi dan perdamaian. Perempuan menjadi pihak yang terlibat dalam upaya-upaya rekonsiliasi konflik di masa-masa awal republik berdiri. Bahkan kaum perempuan dari ormas-ormas keagamaan terlibat aktif bersama kaum laki-laki dalam kemerdekaan republik Indonesia (Jamhari, 2003: 84).

Dibanding negara-negara di Timur Tengah, kaum perempuan Indonesia jauh lebih baik dalam mendapatkan hak-haknya mereka secara adil. Organisasi perempuan keagamaan turut andil dalam membangun pemahaman keagamaan yang lebih terbuka dan otonom. Indonesia kini juga memiliki banyak kebijakan yang berusaha mendorong pengarusutamaan gender dan perlindungan mereka dari kekerasan. Misalnya ratifikasi Konvensi tentang Hak Politik Perempuan melalui UU No. 68 Tahun 1958; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui UU No. 7 Tahun 1984; Inpres No. 9/2000 Tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan di masa Presiden Abdurrahman Wahid dan ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 67 Tahun 2011 Tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender. Begitupun Kebijakan kuota 30 persen perempuan untuk anggota legislatif.

Hanya saja, Indonesia tidak sepi dari kasus-kasus keterlibatan perempuan dalam aksi intoleransi, radikalisme, bahkan dalam bentuk terorisme. Dalam kasus terorisme pada tahun 2016, setidaknya enam perempuan telah ditangkap atas tuduhan terlibat dalam aksi terorisme. Angka ini, walaupun terkesan kecil, namun jumlahnya meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Beberapa nama tersebut antara Dian Yulia Novi, Arinda Putri Maharani dan Anggi alias Khanza mantan Tenaga Kerja Wanita di luar negeri (IPAC, 2017: 1).

Perubahan tren ini salah satunya disebabkan oleh perubahan strategi ISIS sejak 2013. Sejak posisi yang makin terdesak di Suriah dan Irak, ISIS mengubah taktik perjuangan yakni kegiatan amaliyah yang dilakukan dengan

Page 7: Tim Penyusun Ringkasan Laporan - csis.or.id · Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan di masa Presiden Abdurrahman Wahid dan ditindaklanjuti dengan Peraturan

7

cara apa saja dan dimana saja. Perubahan strategi ini juga memberi ruang lebih terbuka bagi kalangan perempuan untuk lebih aktif sebagai aktor, mulai dari menyebarkan informasi di dunia maya untuk menambah simpatisan, merencanakan teror, membuat bahan peledak, hingga mengeksekusinya di lapangan.

Sejumlah studi menyebutkan posisi perempuan dalam radikalisme memiliki peran yang tidak selalu sama dengan laki-laki. Misalnya menjadi ibu yang berperan krusial mendidik anak dan menciptakan generasi muda pelaku teroris; pelindung (protectors yang berperan dalam menyembunyikan, menyelamatkan, serta memberikan tempat aman terhadap teroris; dan, pejuang (combatants), yang berkontribusi secara aktif dalam aksi-aksi kekerasan radikal, antara lain sebagai penggalang dana, fasilitator transaksi, dan pelaku pengeboman (Cunningham, 2008: 87-95). Dalam budaya patriarki, perempuan dinilai memiliki kelebihan tersendiri (merit advantage) (Zedalis, 2008: 50). Yakni, persepsi bahwa perempuan dipandang tidak berbahaya ketimbang laki-laki.

Namun yang penting dicatat adalah bahwa keterlibatan perempuan dalam proses intoleransi dan radikalisme tidak bisa ditangani dengan cara serupa dengan laki-laki. Ini terkait dengan konteks pengalaman hidup dan relasi gender yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dalam situasi patriarki, perempuan juga cenderung memiliki sikap intoleran jika interaksinya dengan dunia di luar terbatas, atau dengan kata lain hanya berada di level rumah tangga (Tessler, 2008: 348-349).

Temuan-temuan

Riset ini menghasilkan enam temuan utama:

Pertama, Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan yang mendorong kehidupan yang toleran, menjamin hak-hak kemerdekaan beragama, melarang siar kebencian (hate speech), dan memiliki undang-undang untuk menangani terorisme. Namun begitu, masih ada peraturan perundang-undangan yang dinilai turut mempengaruhi meningkatnya intoleransi, pelanggaran kebebasan beragama, dan dukungan atas aksi-aksi terorisme. Misalnya, PNPS 1965 tentang Penodaan Agama atau Peraturan Bersama Dua Menteri tentang pendirian rumah ibadah. Dua aturan ini sering digunakan kelompok intoleran dan radikal dalam aksi-aksi penyesatan, penolakan pembangunan rumah ibadah, bahkan kekerasan terhadap minoritas.

Di beberapa daerah dalam penelitian ini, selain terdapat kebijakan yang mendukung upaya penguatan toleransi dan perdamaian, ada pula aturan dan kebijakan yang dikhawatirkan menumbuhsuburkan intoleransi dan radikalisme. Misalnya, pelarangan Ahmadiyah di Kota Depok yang didasarkan kepada Peraturan Walikota Depok No. 9 tahun 2011 Tentang Pelarangan Ahmadiyyah yang merupakan turunan dari Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 12 tahun 2011 Tentang Pelarangan Aktivitas Ahmadiyyah dan SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyyah.

Kedua, saat ini, pemerintah dan DPR tengah merevisi UU Anti-Terorisme. Ada kebutuhan untuk menyiapkan pasal-pasal yang menyasar isu-isu penting dalam perkembangan terorisme seperti mengatasi orang-orang yang pergi ke luar negeri untuk bergabung sebagai kombatan. Sayangnya, rancangan Undang-Undang ini tidak banyak membahas usaha-usaha pencegahan keterlibatan perempuan dan anak dalam aksi terorisme atau yang mengarah pada terorisme. Padahal kecenderungan terakhir keterlibatan perempuan dan anak dalam isu ini harus menjadi perhatian serius. Keterlibatan perempuan seperti Dian Yulia Novi ataupun Ika Puspitasari dan juga anak-anak seperti Brekele dalam aksi terorisme 2 tahun terakhir merupakan fakta yang tidak dapat dikesampingkan.

Page 8: Tim Penyusun Ringkasan Laporan - csis.or.id · Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan di masa Presiden Abdurrahman Wahid dan ditindaklanjuti dengan Peraturan

8

Ketiga, Indonesia juga sudah memiliki aturan yang kuat untuk mendorong pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan di tingkat nasional dan lokal. Namun begitu, pada praktiknya masih terdapat berbagai kekangan sosial yang diskriminatif terhadap perempuan. Misalkan, walaupun sudah ada persyaratan akan adanya 30% perwakilan perempuan di parlemen, hingga kini, karena adanya bias kompetensi dan halangan-halangan domestik bagi perempuan, tingkat keterwakilan perempuan di parlemen hanya 17,32% (Koalisi Perempuan Indonesia, 2017). Riset ini masih belum mendapatkan data yang lebih kuat untuk melihat hubungan dan dampak dari kebijakan diskriminatif terhadap perempuan dalam meningkatkan intoleransi dan radikalisme.

Keempat, di beberapa daerah penelitian, ditemukan sejumlah aktor perempuan yang terafiliasi dengan organisasi-organisasi yang dapat dikategorikan radikal, baik tanpa atau dengan kekerasan. Misalnya, Muslimah HTI di Bogor dan Mujahidah FPI serta Mujahidah MMI di Solo. Di Bogor, Solo dan Malang, riset ini juga menemukan adanya perempuan-perempuan yang terhubung dengan ISIS dan pro-Jemaah Islamiyah (JI) serta Al-Qaeda. Namun begitu, tidak setiap istri pelaku terorisme bisa digolongkan berpaham radikal dan bagian dari jaringan ideologis kelompok ini. Misalnya kasus DC di Depok dan kasus BE di Bogor yang bahkan tidak tahu bahwa suaminya aktif dalam kelompok teroris. Di beberapa daerah terdapat kelompok yang selalu mengangkat isu-isu penegakan hukum berdasarkan syariat Islam seperti LUIS di Solo ataupun FPI di Klaten. Perempuan yang menjadi deportan dan kelompok istri jaringan teroris pro-ISIS Abu Jandal ditemukan di Malang, sementara kelompok perempuan yang terkait dengan kelompok radikal Jema’ah Islamiyah dan kelompok pro-Al Qaeda terdapat di Depok, Bogor, Solo dan Malang.

Riset juga menemukan jika proses rekrutmen jejaring ini menyasar mahasiswi di kampus-kampus negeri di Depok, Bogor dan Malang. Perekrutan dilakukan kepada mahasiswa-mahasiswi baru, terutama yang berasal dari luar daerah dan mencari pertemanan atau komunitas Islami. Strateginya melalui mentoring di kampus, talk show dan pengajian yang bermula dari hal-hal ringan seperti tutorial pemakaian hijab, lalu masuk ke isu-isu kontemporer seperti masalah penodaan agama dan kondisi Muslim di Rohingya.

Kelima, “titik jenuh” merupakan faktor pendorong radikalisme yang umum ditemukan dalam riset, khususnya di kalangan gerakan radikal. Titik jenuh muncul ketika mereka merasa gagal memaknai hidup mereka dan kemudian beralih mendalami agama. Seseorang tidak berarti langsung radikal karena ingin mendalami agama, tapi terjadi ketika memperoleh interpretasi ajaran-ajaran intoleran dan radikal dalam proses pencairannya. Pada tahap ini titik jenuh yang sudah mengarah pada radikalisme mendapatkan dukungan normalisasi kekerasan dari tokoh berpengaruh dalam organisasi radikal.

Misalnya terlihat dalam kasus SA di Solo, DA di Depok, BB di Bogor. Proses titik jenuh dialami saat SA bekerja sebagai tenaga kerja wanita di Malaysia dan setelah itu berusaha memperdalam agama. DA juga mulai jenuh dengan hidupnya dan suatu ketika mulai mempertanyakan mengapa hidupnya begitu-begitu saja dan mula tertarik mendalami agama melalui pengajian yang sudah diikuti temannya yang lebih dulu aktif dalam pengajian ini. Adapun BB merasa jenuh dengan pekerjaan dan karirnya sebagai manajer asuransi. Meski

Page 9: Tim Penyusun Ringkasan Laporan - csis.or.id · Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan di masa Presiden Abdurrahman Wahid dan ditindaklanjuti dengan Peraturan

9

memiliki kekayaan yang cukup untuk membiayai keenam anaknya untuk hidup dan liburan ke luar negeri, BB memilih ingin ke Suriah untuk hidup di negara berdasarkan hukum Islam yang menjanjikan.

Selain faktor pendorong, terdapat beberapa faktor penarik. Salah satu yang paling kuat, faktor relasi sosial-personal, melalui hubungan kekeluargaan maupun pertemanan yang menjadi alasan bagi perempuan untuk mendukung kelompok intoleran dan radikal.

Relasi personal yang paling umum adalah melalui relasi suami-istri. Perempuan menjadi rentan dipengaruhi pasangannya, khususnya karena kepercayaan di kelompok mereka yang menganggap suami adalah pemimpin dan perempuan diposisikan sebagai pihak yang harus patuh terhadap apa yang suami katakan. Walaupun perlu dicatat bahwa tidak semua kasus radikalisasi perempuan karena mengikuti suami. Misalnya seorang istri sudah radikal tanpa pengaruh suami seperti dalam kasus BB maupun BC di Bogor, dan SA di Solo.

Relasi lain melalui pertemanan. Seperti terlihat di jaringan perempuan dalam jaringan pro-ISIS di Solo. Mereka aktif berdiskusi melalui Whatsapp dan Facebook untuk memberikan bantuan dana jika salah satu anggota mereka sedang membutuhkan.

Faktor penarik lain adalah ideologi yang mampu menarik perhatian seseorang yang sedang mengalami titik jenuh dan melakukan pencarian. Narasi yang dikembangkan kelompok radikal seringkali mudah dipahami, menjawab masalah sehari-hari dan memiliki detail interpretasi yang rinci, dan jelas mengenai Islam yang ‘benar’ versi mereka. Informasi itu juga mudah dicari melalui online maupun offline, termasuk mudahnya menjangkau ustaz dan ustazahnya yang berada di sekitar mereka. Faktor pengaruh ideologi ini ditemukan paling banyak di wilayah perkotaan seperti di Depok dan Bogor, jika dibandingkan di daerah pedesaan seperti Sumenep.

Faktor penarik ketiga adalah tawaran ekonomi. Iming-iming bahwa khilafah Islam akan lebih memperbaiki kondisi ekonomi diminati oleh perempuan yang berasal dari kelompok ekonomi lemah.

Kelompok-kelompok intoleran dan radikal juga aktif merekrut mereka yang kesulitan untuk diterima oleh masyarakat, misalnya kalangan ibu-ibu yang kesulitan untuk menyekolahkan anaknya di sekolah umum karena masalah ekonomi maupun administratif. Mereka mendekati kelompok ibu-ibu itu agar menyekolahkan anaknya ke sekolah yang ideologinya sejalan dengan mereka. Di daerah penelitian, ustaz dan ustazah kelompok intoleran dan radikal sangat aktif mengajar agama, bahkan tidak meminta bayaran saat mereka berceramah, berbeda dari tokoh moderat pada umumnya. Kelompok intoleran dan radikal juga memberi tawaran modal usaha bagi perempuan yang ingin membuka usaha.

DA, istri dari seorang narapidana teroris berinisial KD. KD sendiri terlibat dalam camp pelatihan Aceh tahun 2010 yang digerebek Densus 88. Usai lulus sekolah menengah atas, DA kemudian bekerja selama tiga tahun di sebuah pabrik telepon seluler di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat. Ketika itu ia belum mengenakan

Page 10: Tim Penyusun Ringkasan Laporan - csis.or.id · Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan di masa Presiden Abdurrahman Wahid dan ditindaklanjuti dengan Peraturan

10

jilbab. Pengetahuan agama diakuinya sangat terbatas. Ia mulai belajar tertarik mendalami agama ketika sudah beberapa kali bertemu dengan teman sekolah dasar. Temannya inilah yang kemudian mengajaknya mengikuti pengajian-pengajian. Setelah itu ia mengenakan jilbab. DA rajin mengikuti pengajian sepanjang 2002-2009. Dari sinilah cara pandang keagamaannya terbentuk.

Lewat komunitas pengajian ini ia mengenal KD yang saat itu bekerja di salah satu kantor sebuah partai. Sebelumnya KD sudah terlibat dalam pengajian-pengajian yang dilakukan komunitas Jemaah Tabligh dan Majelis Mujahidin. KD sudah banyak terlibat dalam pengajian-pengajian kelompok lain seperti Jemaah Tabligh, Salafi, dan Majelis Mujahidin. Setelah beberapa lama bekerja sebagai petugas keamanan, ia memutuskan keluar. Sebab partai tersebut dianggap kurang cocok dengan ide-ide keagamaannya yang harus lebih total dalam berjihad. Setelah keluar, KD lebih intens dengan jaringan JI pimpinan Umar Patek dan ia menjadi salah satu yang ditangkap dalam kasus camp pelatihan Aceh tahun 2010.

Sumber: Wawancara dengan DA, 16 September 2017, Depok.

BB, perempuan berusia 45 tahun, merupakan salah seorang deportan yang dikembalikan oleh pemerintah Turki saat dia, suami, dan anak-anaknya mencoba menyeberang ke Suriah. Ia berusia sekitar 45 tahun. Belum diperoleh data yang cukup untuk mengetahui proses radikalisasinya. Tapi ia mengaku belajar agama dari banyak ulama yang dikenalnya. Salah satunya Arifin Ilham.

Bersama suami ia sepakat pergi ke Suriah. Pasangan suami-istri ini membawa serta keenam anaknya. Mereka menjual rumah, mobil, dan barang-barangnya untuk berangkat ke Suriah melalui Turki. Pilihan tersebut diyakini sejalan dengan hadis yang mengatakan “ketika tinggal di negara yang tidak diberlakukan hukum Islam, maka umat muslim wajib hijrah”.

Hingga saat ini, BB masih memiliki pandangan yang negatif terhadap Barat. Menurutnya kekejaman yang dilakukan ISIS seperti disaksikannya melalui media umum dan sosial merupakan rekayasa zionis yang ingin menguasai dunia. Ia juga menilai jika non-muslim berkuasa, akan menindas muslim seperti yang dialami muslim Rohingnya atau di Poso. BB tidak suka etnis Tionghoa sebab mereka dianggap suka berjudi, membenci kaum muslim dan tengah menyusun kekuatan untuk menindas muslim. Ia tidak puas dengan kepemimpinan Presiden Jokowi yang dianggapnya sama saja dengan presiden sebelumnya. Pemerintahan belum berhasil memberikan kebutuhan dasar yang murah pada warga. Contohnya biaya listrik yang tetap mahal.

Sumber: Wawancara dengan BB, 19 September 2017, Bogor.

SA kini istri ketiga dari OS, mantan narapidana teroris yang dulu dipenjara karena membantu menyembunyikan seorang teroris buronan polisi. SA berasal dari Dieng, Jawa Tengah. Orang tuanya tidak berasal dari organisasi Islam tertentu. Proses radikalisasi SA tidak terjadi akibat bertemu dengan suaminya, namun terjadi secara independen sebelum dia menikah dengan OS. Jalan terpapar radikalisasi SA bermula dari tahun 2003.

Page 11: Tim Penyusun Ringkasan Laporan - csis.or.id · Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan di masa Presiden Abdurrahman Wahid dan ditindaklanjuti dengan Peraturan

11

Di tahun itu, SA bekerja sebagai TKW di Malaysia. Karena dia dekat dengan seorang laki-laki dan sempat diketahui oleh polisi syari’ah bahwa dia sempat bermalam di rumah orang tersebut, mereka dipaksa menikah. Beberapa bulan setelah itu SA mengandung. Namun tak lama setelah itu mengalami keguguran. Dikarenakan kondisinya yang semakin parah, SA dipulangkan balik ke Indonesia. Beberapa bulan setelah menetap di Indonesia, kondisi SA membaik dan diketahui bahwa dia masih mengandung.

Mengetahui informasi ini, suami SA menuduhnya selingkuh dan bercerai. Selama Sembilan bulan mengandung, SA mengalami depresi yang, setelah anaknya lahir, berkembang menjadi penyakit bipolar yang dideritanya. Sebagai cara menanggulangi penyakitnya ini, SA sering belajar melalui internet tentang depresi dan bipolar. Setelah terus membaca, akhirnya SA informasi-informasi keagamaan dari jaringan kelompok Salafi-Wahabi di Jawa Tengah.

Upaya tersebut berlanjut hingga tahun 2009. Ia kemudian mengikuti anti-kristenisasi dan sempat bergabung dengan Saving Islam Team yang membawanya ke berbagai negara termasuk Filipina untuk menyebarkan Islam. Selain itu ia juga intens mengikuti pengajian melalui media sosial dengan tokoh-tokoh yang berafiliasi dengan HTI. Melalui aktivitas itu ia mengenal OS. Menurut SA, aksi terorisme adalah sebuah aksi yang seharusnya dibenarkan. Aksi tersebut merupakan pembelaan diri dari sebuah umat yang terzalimi dan tidak dilindungi oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab (misalnya negara). Dia menjelaskan bahwa umat Islam itu pada saat menjadi minoritas selalu ditindas, sedangkan jika nanti terdapat khilafah dan umat Islam berkuasa, agama-agama lain tidak akan ditindas.

Sumber: Wawancara dengan SA, 11 Oktober 2017, di Surakarta.

Keenam, sudah terdapat inisiasi dan usaha dari kelompok “toleran” dalam merespons intoleransi dan radikalisme di kalangan perempuan, langsung maupun tidak langsung, yang ditemukan di seluruh wilayah penelitian. Umumnya mereka berasal dari organisasi keagamaan moderat seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, termasuk organisasi sayap perempuannya seperti Fatayat Nahdlatul Ulama atau Aisyiyah Muhammadiyah. Selain itu, usaha lain juga dilakukan organisasi masyarakat sipil lain yang berbasis lintas iman. Di Depok, Fatayat NU, Basolia, GP Anshor Depok, menjalankan kegiatan beragam seperti bakti sosial, pengobatan massal, dan pagelaran seni lintas agama hingga penanganan anak jalanan. Di Bogor, Aisyiyah dan Fatayat NU dan tokoh-tokoh agama lokal juga mengembangkan usaha merespons radikalisme melalui dakwah dan bakti sosial. Di Solo Raya, Nasyiatul Aisyiyah (NA) dan Fatayat NU Kota Solo aktif mengambil inisiatif upaya pencegahan. Anggota NA telah memiliki program pendampingan perempuan korban berbagai macam kekerasan, seperti pelecehan seksual, KDRT, dan juga terorisme. Selain Fatayat NU dan Nasyiatul Aisyiyah, di Malang terdapat Sekolah Perempuan Kota Batu, dan Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan Keuskupan. Sekolah Perempuan memberi pengajaran mengenai ekonomi, sosial budaya, politik, dan hukum juga memberi pembekalan untuk mengenal isu-isu radikalisme. Sedang Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan Keuskupan aktif melakukan kegiatan untuk membina hubungan baik antara agama dan kepercayaan serta meningkatkan toleransi antar umat.

Page 12: Tim Penyusun Ringkasan Laporan - csis.or.id · Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan di masa Presiden Abdurrahman Wahid dan ditindaklanjuti dengan Peraturan

12

Di Sumenep, upaya pencegahan baru sampai pada tahap penolakan secara verbal (verbal rejection). Belum ada program khusus yang dilakukan pemerintah daerah ataupun organisasi masyarakat untuk mengatasi kehadiran kelompok organisasi intoleran atau radikal di Sumenep.

Program WISE (Women Participation for Inclusive Society) yang diinisiasi Wahid Foundation atas dukungan UN Women di lima wilayah penelitian dapat dilihat sebagai program yang cukup menjanjikan. Program ini menjadikan pendekatan ekonomi untuk memperkuat toleransi dan perdamaian. Misalnya melalui simpan pinjam, pelatihan keuangan, dan penguatan nilai-nilai toleransi. Sebagai program yang baru berjalan kurang dari satu tahun, program ini kemungkinan baru akan menyiapkan fondasi-fondasi awal untuk dikembangkan di masa mendatang.

Secara umum, dapat dikatakan komunitas dan organisasi-organisasi moderat di lima wilayah tersebut belum banyak menyasar kelompok-kelompok rentan khususnya yang memiliki kecenderungan radikal atau sudah terlibat dalam tindakan radikal. Misalnya menyasar keluarga mantan pelaku teroris atau mahasiswi di kampus-kampus negeri. Aktor-aktor ini umumnya menyasar anggota-anggota mereka atau kelompok yang diidentifikasi sebagai moderat.

Jika dilihat dari level pemberdayaan, efektivitas dari inisiasi dan upaya-upaya yang dilakukan tersebut bervariasi. Perbedaan ini tampaknya dipengaruhi oleh beberapa hal. Misalnya, kekuatan antar jaringan organisasi masyarakat sipil di masing-masing wilayah, termasuk antara organisasi masyarakat dengan pemerintah.

Rekomendasi

Berdasarkan enam temuan utama tersebut, riset ini mengajukan tujuh rekomendasi.

Pertama, mendorong Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terus meningkatkan pemenuhan hak-hak sipil dan politik warga negara sebagaimana dijamin dalam peraturan perundang-undangan, termasuk di dalamnya pemenuhan hak-hak tersangka dan terpidana, termasuk keluarga, pelaku aksi-aksi intoleran dan radikal. Upaya ini diharapkan bisa mengurangi ketidakpuasan-ketidakpuasan yang pada akhirnya mendorong lahirnya aksi intoleransi dan radikalisme. Kepala Daerah di lima wilayah penelitian sudah sepatutnya menghapus atau merevisi kebijakan diskriminatif.

Kedua, mendorong Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia menghapus atau merevisi peraturan perundang-undangan di tingkat nasional dan tingkat lokal yang diskriminatif seperti UU PNPS 1965 atau peraturan daerah yang membatasi hak-hak perempuan. Ketiga, mendorong Pemerintah Pusat mewakili Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), memasukan pasal-pasal dalam revisi UU Anti-Terorisme yang mengatur pencegahan dan penanganan keterlibatan perempuan dan anak dalam aksi terorisme.

Keempat, mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP PA) mengembangkan pengarusutamaan gender melalui kerjasama dengan organisasi keagamaan dan tokoh agama perempuan.

Page 13: Tim Penyusun Ringkasan Laporan - csis.or.id · Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan di masa Presiden Abdurrahman Wahid dan ditindaklanjuti dengan Peraturan

13

Kelima, mendorong lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan di lingkungan pemerintah seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Pusat Penelitian Pengembangan Kementerian Agama, Kementerian Sosial, KPP PA untuk mengembangkan kajian dan riset yang menyediakan data dan analisis mengenai keterlibatan perempuan dalam aksi intoleransi dan radikalisme, termasuk dampak kebijakan dan peraturan diskriminatif terhadap perempuan dengan meningkatnya intoleransi dan radikalisme.

Keenam, mendorong organisasi perempuan ormas keagamaan moderat seperti Fatayat, Aisyiyah, dan organisasi masyarakat sipil lain di tingkat nasional maupun lokal mengembangkan kegiatan-kegiatan yang bertujuan mengatasi faktor-faktor pendorong dan penarik radikalisme di kalangan perempuan seperti kegiatan konseling, pengajian keagamaan berisi materi-materi moderat, pendidikan pra-nikah, penguatan keluarga, dan pendampingan ekonomi perempuan.

Ketujuh, mendorong kerjasama pemerintah pusat dan lima daerah dengan organisasi masyarakat sipil mengembangkan program yang menyasar langsung kelompok-kelompok rentan dan wilayah-wilayah rentan dengan pelibatan tokoh agama dan tokoh masyarakat, termasuk pemberdayaan ekonomi keluarga mantan narapidana terorisme.

Page 14: Tim Penyusun Ringkasan Laporan - csis.or.id · Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan di masa Presiden Abdurrahman Wahid dan ditindaklanjuti dengan Peraturan

14

Amnesty International. (2014). Prosecuting Beliefs: Indonesia’s Blasphemy Laws. London: Amnesty International Ltd.Ashour, O. (2009). Votes and Violence: Islamists and the Processes of Transformation. London: Developments in Radicalisation and Political Violence.Ayubi, N. (1991). Political Islam: Religion and Politics in the Arab World. London, New York: Routledge.Aziz, A., & D, H. A. (2016, Desember 10). “Para Perempuan yang Terlibat Kasus Terorisme”. Tirto.id. https:// tirto.id/para-perempuan-yang-terlibat-kasus-terorisme-b9me Bari, F. (2014). Perempuan di Ranah Politik. Jakarta: ELSAM.Berko, A., & Erez, E. (2008). “Martyrs or Murderers? Victims or Victimizers? The Voices of Would-be Palestinian Female Suicide Bombers.” In C. D. Ness, Female Terrorism and Militancy: Agency, Utility and Organization. New York: Routledge.Bhakti, M. A. (2016). Perempuan dan Terorisme. Jakarta: PAKAR.Colombijn, F., & Lindblad, J. T. (2002). Roots of Violence in Indonesia: Contemporary Violence in Historical Perspective. Leiden: KITLV Press.Cunningham, K. (2008). “The Evolving Participation of Muslim Women in Palestine, Chechnya, and the Global Jihadi Movement.” In C. D. Ness, Female Terrorism and Militancy: Agency, Utility and Organization. New York: Routledge.Fararo, T. J., & Doreian, P. (1998). “The Theory of Solidarity: An Agenda of Problems.” In The Problem of Solidarity: Theories and Models (pp. 1-33).Goodin, R. (1975). “Cross-Cutting Cleavages and Social Conflict.” British Journal of Political Science, Vol. 5, Issue 4, 516-519.Hafez, M. (2004). Why Muslims Rebel? Repression and Resistance in the Islamic World. London: Lynne Rienner Publishers.Hamayotsu, K. (2011). “The End of Political Islam? A Comparative Analysis of Religious Parties in the Muslim Democracy of Indonesia.” Journal of Current Southeast Asian Affairs, 30 (2), 133-159.Hamdi, I. (2016, Desember 1). “Ikut Demo 212, 2.000 Warga Depok Berangkat Pukul 05.30 Besok.” Tempo. co. https://nasional.tempo.co/read/824592/ikut-demo-212-2-000-warga-depok-berangkat- pukul-05-30-besokHapsari, D. A. (2017, Januari 24). “Kepulangan Keluarga Terduga ISIS Tunggu Kesiapan Pemkab.” Malang Voice. https://malangvoice.com/kepulangan-keluarga-terduga-isis-tunggu-kesiapan-pemkab/Horgan, J., & Braddock, K. (2010). “Rehabilitating the Terrorists?: Challenges in Assessing the Effectiveness of De-radicalization Programs.” Terrorism and Political Violence, Vol. 22, No. 2, 267-291.

Daftar Pustaka

Page 15: Tim Penyusun Ringkasan Laporan - csis.or.id · Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan di masa Presiden Abdurrahman Wahid dan ditindaklanjuti dengan Peraturan

15

Human Rights Watch. (2013). Atas Nama Agama: Pelanggaran terhadap Minoritas Agama di Indonesia. Jakarta: Human Rights Watch.Ibrahim, S. (2004). “Challenges for Islam and Democracy.” A lecture given at the Law Faculty, McGill University, Montreal, Quebec, Canada. Quebec: McGill University.Institute for Policy Analysis of Conflict. (2016). IPAC Report No. 30. The Failed Solo Suicide Bombing and Bahrun Naim’s Network. Jakarta: Institute for Policy Analysis of Conflict.Institute for Policy Analysis of Conflict. (2017). Mothers to Bombers: The Evolution of Indonesian Women Extremists. Jakarta: Institute for Policy Analysis of Conflict.Jamhari. (2003). Citra Perempuan dalam Islam: Pandangan Ormas Keagamaan. Jakarta: Gramedia, PPIM-UIN Jakarta, Ford Foundation.Jones, S. (2016, Januari 18). “Battling ISIS in Indonesia.” The New York Times. https://www.nytimes. com/2016/01/19/opinion/battling-isis-in-indonesia.html?_r=0Kendhammer, B. (2013). “The Sharia Controversy in Northern Nigeria and the Politics of Islamic Law in New and Uncertain Democracies.” Comparative Politics, 45(3).Kine, P. (2014). Indonesia’s growing religious intolerance. Jakarta: Human Rights Watch.Koalisi Perempuan Indonesia. (2017, Maret). “Pernyataan Koalisi Perempuan Indonesia: Pengesahan RUU KKG: Wujud Janji Negara Menghapus Ketimpangan Gender.” Koalisi Perempuan. http:// www.koalisiperempuan.or.id/2017/03/08/siaran-pers-hari-perempuan-internasional-2017/Komnas Perempuan. (2014). Pengalaman dan Perjuangan Perempuan Minoritas Agama Menghadapi Kekerasan dan Diskriminasi Atas Nama Agama. Laporan Pelapor Khusus Komnas Perempuan Tentang Kekerasan dan Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Konteks Pelanggaran Hak Konstitusional Kebebasan. Jakarta: Komnas Perempuan.Lawrence, J., & Tar, U. (2013). “The use of Grounded Theory Techniques and a Practical Tool of Qualitative Data Collection and Analysis.” Electronic Journal of Business Research Methods, 11(1).Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. (2014). Korban Intoleransi Tidak Terlindungi Hukum. Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum.Machmudi, Y. (2006). Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah and The Prosperous Justice Party (PKS). Canberra: ANU Press.Marcus, G. (1995). With Malice toward Some: How People Make Civil Liberties Judgments. Cambridge: Cambridge University Press.Movanita, A. N. (2017, Oktober 31). “Polisi Sebut Teroris di Bima Ada Kaitan Kuat dengan Kelompok Santoso.” Kompas. http://nasional.kompas.com/read/2017/10/31/12440461/polisi- sebut-teroris-di-bima-ada-kaitan-kuat-dengan-kelompok-santosoMurtono, M. (2014). Konsep Manquul dalam Perspektif Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.Neumann, P. (2009). Old and New Terrorism. Cambridge: Polity Press.

Page 16: Tim Penyusun Ringkasan Laporan - csis.or.id · Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan di masa Presiden Abdurrahman Wahid dan ditindaklanjuti dengan Peraturan

16

Neumann, P. (2010). Prisons and Terrorism: Radicalisation and De-radicalisation in 15 Countries. London: International Centre for the Study of Radicalisation and Political Violence (ICSR).Neumann, P. (2013). “The Trouble with Radicalization.” International Affairs, 89, Issue 4 July 2013, 873–893.Nurdin, E. (2017, Januari 19). “Toleransi di Sumenep: Masjid dengan tukang dari Cina dan ‘bicara tafsir di kelompok Syiah.” BBC Indonesia. http://www.bbc.com/indonesia/trensosial-38662873Olidort, J. (2015, November 24). “What Is Salafism? How a Nonpolitical Ideology Became a Political Force?” Foreign Affairs. https://www.foreignaffairs.com/articles/syria/2015-11-24/ what-salafism.Schaufeli, Wilmar, dkk. “Burnout: A multidimensional perspective”. In Professional Burnout: Recent Developments in Theory and Research. New York: Taylor & Francis.hlm.19-32.Smith, G. (2011, November 3). “Religious Toleration Vs. Religious Freedom.” Libertarianism.org. https://www. libertarianism.org/publications/essays/excursions/religious-toleration-versus-religious-freedomSoage, A. B. (2009). “Islamism and Modernity: The Political Thought of Sayyid Qutb.” Totalitarian Movements and Political Religions, 10 (2), 189-203.Solahudin. (2011). NII sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.Speckhard, A., & Akhmedova, K. (2008). “Black Widows and Beyond: Understanding the Motivations and Life Trajectories of Chechen Female Suicide Terrorists.” In C. D. Ness, Terrorism and Militancy: Agency, Utility and Organization. New York: Routledge.Tessler, M. (2002). “Islam and Democracy in the Middle East: The Impact of Religious Orientations on Attitudes toward Democracy in Four Arab Countries.” Comparative Politics, 34(3).Thalib, J. U. (2015). Jihad Fii Sabilillah: Puncak Amal Shalih yang Diabaikan Ummat Islam di Indonesia. Yogyakarta: Ihya’ As-Sunnah.Ward, K. (2009). “Non-violent extremists? Hizbut Tahrir Indonesia.” Australian Journal of International Affairs, 63(2), 149-164.Zedalis, D. (2008). “Beyond the Bombings: Analyzing Female Suicide Bombers.” In C. D. Ness, Female Terrorism and Militancy: Agency, Utility and Organization. New York: Routledge.

Page 17: Tim Penyusun Ringkasan Laporan - csis.or.id · Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yang dikeluarkan di masa Presiden Abdurrahman Wahid dan ditindaklanjuti dengan Peraturan

17