8
Syifa Febriana 2013730181 9. Jelaskan tindakan khusus untuk pasien dengan multiple trauma pada skenario! TATALAKSANA LUKA TERBUKA Penanganan pada luka terbuka perlu dilakukan segera terutama jika disertai perdarahan yang parah karena dapat menyebabkan syok. Beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan penanganan luka adalah Pastikan kondisi lingkungan sekitar penolong dan korban aman. Jika kondisi tidak aman (di tengah jalan, reruntuhan, dll) segera pindahkan korban ke tempat yang aman. Gunakan alat pelindung diri (APD) seperti masker dan sarung tangan Pastikan tidak ada gangguan pada pernapasan dan sirkulasi pasien Jika terlihat perdarahan yang parah, segera aktifkan SPGDT dengan menghubungi ambulans Setelah itu, mulai dilakukan penanganan pada luka dengan langkah- langkah berikut: Pastikan lokasi dan jumlah bagian tubuh yang terluka dengan memeriksa keseluruhan tubuh korban (expose) Jika memungkinkan tidak melukai korban lebih jauh, lepaskan perhiasan, jam tangan, atau aksesoris lainnya pada bagian tubuh korban yang terluka karena dapat terjadi pembengkakan dan mengganggu aliran darah Bersihkan luka dengan mengalirkan air bersih hingga tidak ada kotoran yang menempel Lakukan kontrol perdarahan agar perdarahan berhenti. Berikut adalah beberapa cara untuk mengontrol perdarahan: 1. Penekanan Langsung (Direct Pressure)

TINDAKAN KHUSUS

Embed Size (px)

DESCRIPTION

trauma

Citation preview

Page 1: TINDAKAN KHUSUS

Syifa Febriana

2013730181

9. Jelaskan tindakan khusus untuk pasien dengan multiple trauma pada skenario!

TATALAKSANA LUKA TERBUKA

Penanganan pada luka terbuka perlu dilakukan segera terutama jika disertai perdarahan yang parah karena dapat menyebabkan syok. Beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan penanganan luka adalah

Pastikan kondisi lingkungan sekitar penolong dan korban aman. Jika kondisi tidak aman (di tengah jalan, reruntuhan, dll) segera pindahkan korban ke tempat yang aman.

Gunakan alat pelindung diri (APD) seperti masker dan sarung tangan Pastikan tidak ada gangguan pada pernapasan dan sirkulasi pasien Jika terlihat perdarahan yang parah, segera aktifkan SPGDT dengan menghubungi

ambulans Setelah itu, mulai dilakukan penanganan pada luka dengan langkah-langkah berikut:

Pastikan lokasi dan jumlah bagian tubuh yang terluka dengan memeriksa keseluruhan tubuh korban (expose)

Jika memungkinkan tidak melukai korban lebih jauh, lepaskan perhiasan, jam tangan, atau aksesoris lainnya pada bagian tubuh korban yang terluka karena dapat terjadi pembengkakan dan mengganggu aliran darah

Bersihkan luka dengan mengalirkan air bersih hingga tidak ada kotoran yang menempel Lakukan kontrol perdarahan agar perdarahan berhenti. Berikut adalah beberapa cara

untuk mengontrol perdarahan:1. Penekanan Langsung (Direct Pressure)Penekanan langsung pada luka adalah cara yang paling baik untuk menghentikan perdarahan, kecuali pada luka di mata. Cara untuk melakukan penekanan langsung adalah dengan menggunakan kasa atau kain yang diletakkan di atas luka lalu ditekan. Jika perdarahan tidak berhenti, tambahkan kain atau kasa baru di atas yang lama kemudian ditekan kembali. Penekanan langsung dapat juga dilakukan dengan menggunakan tangan penolong bila memang tidak ada kain/kassa. Penekanan tidak hanya dilakukan dengan kuat, tetapi juga dalam waktu yang cukup lama untuk menghentikan perdarahan (sekitar 20 menit atau lebih). Jika perdarahan tidak berhenti, dapat dilakukan balut tekan dengan cara menaruh benda padat seperti kasa tebal di atas luka kemudian dibalut. 2. Penekanan dengan Jari Penekanan dengan ujung permukaan jari dilakukan di pembuluh darah sebelum area luka untuk mengurangi aliran darah ke area luka.3. Torniket (Tourniquets)

Page 2: TINDAKAN KHUSUS

Cara ini hanya digunakan jika perdarahan masih terus berlanjut walaupun cara lain seperti penekanan langsung, balut tekan, dll sudah dilakukan dan hanya dapat dipasang di tangan/kaki. Penggunaan torniket dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan jaringan karena tidak adanya aliran darah pada area luka dan bawahnya dan berakibat hilangnya fungsi dari tangan/kaki.

Memeriksa PMS korban, apakah pada ujung tubuh korban yang cedera masih teraba nadi (P, Pulsasi), masih dapat digerakkan (M, Motorik), dan masih dapat merasakan sentuhan (S, Sensorik) atau tidak.

Membalut LukaPembalutan luka dapat dilakukan menggunakan kassa, mitela, perban gulung biasa atau elastic bandage.

Jika luka terbuka disertai dengan fraktur terbuka, maka tindakan khususnya adalah

a. Pemberian antibiotic.

Antibiotik yang diberikan adalah yang berspektrum luas yaitu sefalosporin generasi I (cefazolin 1-2 gram) dan dikombinasikan dengan aminoglikosid (gentamisin 1-2 mg/kg BB tiap 8 jam) selama 5 hari. Selanjutnya perawatan luka dilakukan setiap hari dengan memperhatikan sterilitas, dan pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur dan sensitifitas terbaru.

Bila dalam perawatan ditemukan gejala dan tanda infeksi, maka dilakukan pemeriksaan kultur dan sensifitas ulang untuk penyesuaian ulang pemberian antibiotik yang digunakan.

Pemberian anti tetanus diindikasikan pada fraktur kruris terbuka derajat III berhubungan dengan kondisi luka yang dalam, luka yang terkontaminasi, luka dengan kerusakan jaringan yang luas serta luka dengan kecurigaan sepsis. Pada penderita yang belum pernah mendapat imunisasi anti tetanus dapat diberikan gamaglobulin anti tetanus manusia dengan dosis 250 unit pada penderita diatas usia 10 tahun dan dewasa , 125 unit pada usia 5-10 tahun dan 75 unit pada anak dibawah 5 tahun. Dapat pula diberikan serum anti tetanus dari binatang dengan dosis 1500 unuit dengan tes subkutan 0,1 selama 30 menit. Jika telah mendapat imunisasi toksoid tetanus (TT) maka hanya diberikan 1 dosis boster 0,5 ml secara intramuskuler.

b. Debridemen

1. Ambil sample dari luka untuk pemeriksaan kultur dan sensitifitas pra debridemen 2. Pembersihan luka dengan irigasi cairan fisiologis sebanyak 6-10 liter. 3. Jaringan mati atau fragmen tulang kecil yang mati maupun benda asing dibuang. 4. Pembuluh darah vital untuk bagian distal yang terputus dilakukan repair. 5. Saraf yang terputus diberi tanda pada ujung saraf untuk dilakukan delayed repair 6. Reposisi fragmen fraktur. 7. Pengambilan sampel pada luka yang bersih untuk kultur dan tes sentifitas

pasca debridmen. 8. Luka dibiarkan terbuka atau dilakukan jahitan parsial, bila perlu ditutup setelah

Page 3: TINDAKAN KHUSUS

satu minggu dimana oedem sudah menghilang. 9. Fiksasi awal 10. Pemakaian suntikan antibiotik dilanjutkan 3-5 hari, dimonitor tanda klinis dan penunjang 11. Bila dalam perawatan harian di bangsal ditemukan gejala dan tanda infeksi dilakukan

debridemen dan pemeriksaan kultur dan sensitifitas ulang untuk mendapatkan penanganan yang memadai. 

c. Penanganan Jaringan Lunak

Pada kehilangan jaringan lunak yang luas dapat dilakukan soft tissue tranplantation atau flap pada tindakan berikutnya, sedangkan tulang yang hilang dapat dilakukan bone grafting setelah pengobatan infeksi berhasil baik

d. Penutupan Luka

Pada luka yang kecil dan tidak banyak kontaminasi setelah dilakukan debridemen dan irigasi dapat langsung dilakukan penutupan secara primer tanpa tegangan. Pada luka yang luas dan dicurigai kontaminasi yang berat sebaiknya dirawat secara terbuka, luka dibalut kassa steril dan dilakukan evaluasi setiap hari. Setelah 5-7 hari dan luka bebas dari infeksi dapat dilakukan penutupan kulit secara sekunder atau melalui tandur kulit.

e. Stabilisasi Fraktur

Dalam melakukan stabilisasi fraktur awal penggunaan gips sebagai temporary splinting dianjurkan sampai dicapai penanganan luka yang adekuat, kemudian bisa dilanjutkan dengan pemasangan gips sirkuler atau diganti fiksasi dalam dengan plate and screw, intermedullary nail atau external fixator devices sebagai terapi stabilisasi definitif

TATALAKSANA HEMATOMA

Pemeriksaan Sken Computer Tomografi Otak (CT Scan)

Hematom epidural yang kadang sulit dibedakan dari subdural, mempunyai ciri gambaran khas berupa bikonveks atau lentikuler (ada perlekatan yang erat antara dura dengan tabula interna tulang sehingga hematom ini mejadi terbatas). Hematom subdural lebih cenderung lebih difus dibandingkan dengan hematom epidural di atas dan mempunyai tampilan batas dalam yang konkav sesuai dengan permukaan otak. Perbedaan gambaran sken computer tomografi otak antara lesi akut, subakut, dan kronis agak sulit. Kebanyakan hematom berkembang setelah terjadi cedera, tetapi ada juga yang baru timbul kemudian (sampai 1 minggu). Tampilannya berupa lesi hiperdens dengan nilai atenuasi antara 70-90 HU, dan dikelilingi oleh zona yang hipodens (edema).

Page 4: TINDAKAN KHUSUS

Pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging)

MRI memiliki keunggulan untuk melihat perdarahan kronis maupun kerusakan otak kronis. MRI mampu menunjukkan gambaran yang lebih jelas terutama untuk memberi identifikasi yang lebih jelas lesi hipodens pada CT scan atau lesi dibedakan densitasnya dengan korteks. MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

Terapi/ PenangananPenanganan Awal

Penilaian keadaan penderita dan prioritas terapi dilakukan bedasarkan jenis perlukaan, tanda-tanda vital, dan mekanisme trauma. Pada penderita yang terluka parah terapi diberikan berdasarkan prioritas. Tanda vital penderita harus dinilai secara cepat dan efisien. Proses ini berusaha mengenali keadaan yang mengancam nyawa terlebih dahulu dengan berpatokan pada Airway, Breathing, Circulation (ABC). Bila ditemukan keadaan yang mengancam jiwa, maka harus diresusitasi saat itu juga.

Terapi medikamentosa

Elevasi kepala 30o dari tempat tidur setelah memastikan tidak ada cedera spinal atau gunakan posisi trendelenburg terbalik untuk mengurangi tekanan intrakranial (TIK) dan meningkatkan drainase vena.

Pengobatan yang lazim diberikan pada cedera kepala adalah golongan dexametason (dosis awal 10 mg kemudian dilanjutkan 4 mg tiap 6 jam), manitol 20% (dosis 1-3 mg/kgBB/hari) yang bertujuan untuk mengatasi edema cerebri yang terjadi akan tetapi hal ini masih kontroversi dalam memilih mana yang terbaik. Dianjurkan untuk memberikan terapi profilaksis dengan memberikan fenitoin dengan sedini mungkin (24 jam pertama) untuk mencegah timbulnya fokus epileptogenik dan untuk menggunakan jangka panjang dapat dilanjutkan dengan karbamazepin. Tri – hidroksimetil – amino – metana (THAM) merupakan suatu buffer yang dapat masuk kedalam susunan saraf pusat dan secara teoritis lebih superior dari natrium bikarbonat, dalam hal ini untuk mengurangi tekanan intracranial (TIK). Barbiturat dapat digunakan untuk mengatasi tekanan intracranial yang meninggi dan mempunyai efek protektif terhadap otak dari anoksia dan iskemik. Dosis yang biasa diterapkan adalah diawali dengan 10 mg/kgBB dalam 30 menit dan kemudian dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 3 jam serta drips 1 mg/kgBB/jam untuk mencapai kadar serum 3 – 4 mg%.

Terapi Operatif

1. dekompresi dengan trepanase sederhana.2. kraniotomi untuk mengevakuasi hematom.

Page 5: TINDAKAN KHUSUS

Kriteria paling sederhana yang dipakai sebagai indikasi tindakan operatif adalah adanya lesi massa intrakranial dengan pergeseran garis tengah 5 mm (kecuali penderita sudah mati otak).

Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi emergensi. Biasanya keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi desak ruang.

Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :

1. > 25 cc = desak ruang supra tentorial2. > 10 cc = desak ruang infratentorial3. > 5 cc = desak ruang thalamus

Sedangkan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan:

1. Penurunan klinis2. Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan klinis

yang progresif.3. Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan klinis yang

progresif.

Referensi

Markenson D, Ferguson J, Chameides L, Cassan P, Chung K, Epstein J, et al. Part 17: First Aid: 2010 American Heart Association and American Red Cross Guidelines for First Aid

R. Sjamsuhidajat, Wim De Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC.

Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf Edisi IV. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.