Upload
alfiankusumawan
View
32
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kesehatan
Citation preview
TINEA CRURIS et CORPORIS
A. SINONIM
Tinea cruris disebut juga Eczema marginatum, Dhoble itch, Jockey itch, atau
Ringworm of the groin.1 Sedangkan Tinea corporis disebut juga tinea sirsinata, tinea
glabrosa, Schrende Fletche, herpes sircine trichophytique, ringworm of the body,
atau kurap.2
B. DEFINISI
Tinea cruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan
sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan
penyakit yang berlangsung seumur hidup.1
Tinea corporis merupakan infeksi jamur dermatofita pada kulit tubuh berambut
halus pada daerah muka, lengan, badan, dan glutea. Kelainan ini dapat terjadi pada
tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada paha.2 Jamur dermatofita
ini mempunyai kemampuan untuk menggunakan keratin sebagai sumber nutrisinya,
karena mempunyai enzim keratinase.3 Tinea ini meliputi semua dermatofitosis
superfisialis yang tidak termasuk bentuk tinea capitis, barbe, kruris, pedis et manum,
dan unguinum.1,2,4,5
Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan kadang bersama-sama
dengan kelainan pada paha. Dalam hal ini disebut tinea corporis et cruris atau
sebaliknya tinea cruris et corporis. 6
.
C. EPIDEMIOLOGI
Tinea cruris dan corporis dapat ditemui di seluruh dunia dan paling banyak
berada di daerah tropis. Insidensi penyakit ini meningkat pada kelembaban udara
yang tinggi. Angka kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki
dibandingkan perempuan. Tidak ada kematian yang berhubungan dengan Tinea
cruris.7
Kebersihan badan dan lingkungan yang kurang sangat besar pengaruhnya
terhadap perkembangan penyakit ini. Penyakit ini banyak diderita oleh orang-orang
yang kurang mengerti kebersihan dan banyak bekerja ditempat panas, yang banyak
berkeringat serta kelembaban kulit yang lebih tinggi.6
Cara penularan jamur dapat secara langsung dan secara tidak langsung.
Penularan langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut-rambut yang mengandung
jamur baik dari manusia, binatang atau dari tanah. Penularan tak langsung dapat
melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, barang-barang atau pakaian, debu
atau air.6
Tinea cruris et corporis dapat ditularkan secara langsung dari manusia atau
binatang yang terinfeksi melalui autoinokulasi dari reservoir-nya seperti kolonisasi T.
rubrum pada kaki. Anak kecil cenderung lebih sering terserang patogen jenis
zoofilik, terutama M. canis yang dibawa oleh kucing dan anjing.5
D. ETIOLOGI
Tinea cruris et corporis disebabkan oleh jamur golongan dermatofita yang
menyerang jaringan berkeratin. Jamur ini bersifat keratinofilik dan keratinolisis.
Dermatofita terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Epidermophyton, dan
Tricophyton.1
Semua jenis dermatofita dapat menyebabkan dermatofitosis. Jenis yang
predominan menyebabkan dermatofitosis adalah genus Tricophyton, diikuti
Epidermophyton dan Microsporum.8 Fungi yang biasanya menyebabkan tinea kruris
sering kali oleh E. Flocosum, namun dapat pula oleh T. Rubrum dan T.
Mentagrophytes yang ditularkan secara langsung atau tidak langsung.7
Meskipun semua dermatofita dapat menyebabkan tinea korporis, penyebab
yang paling sering adalah T. rubrum, T. mentagrophytes, M. canis, dan T.
tonsurans.2,4 T. rubrum dan T. verrucosum adalah penyebab tersering pada kasus
dengan penambahan keterlibatan folikuler. Tinea imbricata disebabkan oleh T.
Concreticum.5
Jamur zoofilik terutama menghinggapi binatang dan kadang-kadang
menginfeksi manusia, misalnya M. canis pada anjing, kucing dan T.
verrucosum pada sapi.9
2
Jamur antropofilik terutama menghinggapi manusia, misalnya M.
audouini dan T. rubrum. Jamur geofilik adalah jamur yang hidup di tanah,
misalnya M. Gypseu. 9
Jamur golongan dermatofita membentuk koloni filament pada biakan agar
Sabouraud. Walaupun semua spesies membentuk koloni filamen, tetapi masing-
masing mempunyai sifat koloni, hifa, dan spora yang berbeda. Pada umumnya,
genus Tricophyton membentuk makrokonidia berbentuk panjang menyerupai
pensil dan semua dermatofita dapat membentuk hifa spiral.s9
Pada E. floccosum bentuk hifanya lebar. Makrokonidianya berbentuk
gada, berdinding tebal dan terdiri atas 2-4 sel. Beberapa makrokonidia ini
tersusun pada satu konidiofora dan mirokonidia biasanya tidak ditemukan.9
Hifa T. rubrum halus. Jamur ini membentuk banyak mikrokonidia.
Mikrokonidianya kecil, berdinding tipis dan berbentuk lonjong. Mikrokoniodia
ini terletak pada konidiofora yang pendek, dan tersusun secara satu-persatu
pada sisi hifa (en thyrse) atau berkelompok (en grappe). Makrokonidia dari T.
rubrum berbentuk sebagai pensil dan terdiri atas beberapa sel.9
Mikrokonidia T. mentagrophytes berbentuk bulat dan membentuk banyak
hifa spiral. Makrokonidianya juga berbentuk pensil.9
M. canis memiliki makrokonidia berbentuk kumparan yang berujung
runcing dan terdiri atas 6 sel atau lebih. Makrokonidia ini berdinding tebal .9
Mikrokonidia M. canis berbentuk lonjong dan tidak khas. Makrokonidia
M. gypseum juga berbentuk kumparan terdiri atas 4-6 sel dan dindingnya lebih
tipis. Mikrokonidianya juga berbentuk lonjong dan tidak khas.9
E. PATOGENESIS
Jalan masuk yang mungkin pada infeksi dermatofita adalah kulit yang luka,
jaringan parut, dan adanya luka bakar. Infeksi ini disebabkan oleh masuknya
artospora atau konidia. Patogen menginvasi lapisan kulit yang paling atas, yaitu pada
stratum korneum, lalu menghasilkan enzim keratinase dan menginduksi reaksi
inflamasi pada tempat yang terinfeksi. Inflamasi ini dapat mengeliminasi patogen
dari tempat infeksi sehingga patogen akan mencari tempat yang baru di bagian tubuh.
3
Perpindahan organisme inilah yang menyebabkan gambaran klinis yang khas berupa
central healing.8
Jamur dermatofita hanya dapat tumbuh dan bertahan hidup pada stratum
korneum manusia, di mana dapat menyediakan sumber nutrisi untuk dermatofita dan
untuk pertumbuhan mycelia jamur. Infeksi dermatofita mencakup tiga tahap penting:
perlekatan ke keratinosit kulit (adhesi), penetrasi ke dalam sel, dan pembentukan
respon host.5
Adhesi dapat terjadi jika fungi dapat melalui barier agar artrokonidia
sebagai elemen yang infeksius dapat menempel pada keratin . Organisme ini
harus dapat bertahan dari efek sinar ultraviolet, suhu dan kelembaban,
kompetisi dengan flora normal, dan zat yang dihasilkan oleh keratinosit. Jamur
dermatofita memproduksi enzim seperti keratinase yang berpenetrasi pada jaringan
keratin. Hifa jamur tersebut menginvasi stratum korneum dan keratin dan menyebar
sentrifugal ke arah luar. Jamur menginvasi keratin batang rambut yang baru tumbuh,
dan pembentukannya secepat rambut itu tumbuh, kurang lebih sekitar 0,3 mm per
hari. Beberapa faktor seperti trauma, pH, tekanan karbon dioksida, dan siklus
pertumbuhan epidermal dapat memegang peranan pada invasi dermatofita.5,10
Setelah adhesi, spora harus berkembangbiak dan melakukan penetrasi pada
stratum korneum. Penetrasi didukung oleh sekresi proteinase, lipase, dan enzim
musinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk fungi ini. Trauma dan maserasi
juga memfasilitasi penetrasi dan merupakan faktor yang penting juga pada
patogenesis tinea. Mannan yang terdapat pada dinding sel jamur menyebabkan
penurunan proliferasi keratinosit. Pertahanan yang baru timbul pada lapisan kulit
yang lebih dalam, termasuk kompetisi besi oleh transferin yang belum tersaturasi dan
dapat menghambat pertumbuhan jamur yang didukung oleh progesteron. 5,10
Pertahanan host dalam invasi jamur ini meliputi peningkatan waktu siklus
pertumbuhan epidermal (epidermal turnover), faktor inhibitory serum, asam lemak
pada sebum, dan mekanisme imun, terutama sel limfosit T. Transferin berdifusi dari
serum ke epidermis agar dapat menghambat pertumbuhan jamur dengan cara
menurunkan ketersediaan zat besi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur. 5,10
4
Derajat dari inflamasi epidermal terjadi berdasarkan reaksi imunologi terhadap
antigen jamur pada stratum korneum. Derajat inflamasi bervariasi pada tiap individu,
dan cenderung lebih tampak jelas pada spesies zoofilik.3
Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi
pertahanan tubuh non spesifik dan spesifik. Pada waktu menginvasi host, jamur harus
mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan mukosa, serta menembus jaringan
host. Selanjutnya jamur harus mampu bertahan di dalam lingkungan dan dapat
menyesuaikan diri dengan suhu serta keadaan biokimia host untuk dapat berkembang
biak dan menimbulkan reaksi jaringan atau inflamasi. Dari berbagai kemampuan
tersebut, kemampuan jamur untuk menyesuaikan diri di dalam lingkungan host, dan
kemampuan mengatasi pertahanan seluler, merupakan dua mekanisme terpenting
dalam patogenesis penyakit jamur.5
Mekanisme imun non spesifik merupakan pertahanan lini pertama melawan
infeksi jamur. Mekanisme ini dapat dipengaruhi faktor umum, seperti gizi, keadaan
hormonal, usia dan faktor khusus seperti penghalang mekanik dari kulit dan mukosa,
sekresi permukaan, dan respon radang.2
Produksi keringat dan sekresi kelenjar merupakan pertahanan spesifik termasuk
asam laktat dan asam lemak yang mempunyai pH yang rendah untuk menambah
potensi anti jamur.5
Pembentukan antibodi tidak terlihat memberi perlindungan pada infeksi
dermatofita, seperti yang terlihat pada penderita yang mengalami infeksi
dermatofita yang luas juga menunjukkan titer antibodi yang meningkat namun
tidak berperan untuk mengeliminasi jamur ini. Akan tetapi, reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) berperan dalam melawan dermatofita.
Lengan dari imunitas seluler diperankan oleh interferon gamma yang diatur
oleh sel Th1. Pada pasien yang belum pernah mendapatkan paparan dermatofita
sebelumnya, infeksi primer akan menghasilkan inflamasi yang ringan dan tes
trikopitin biasanya menunjukkan hasil yang negatif. Infeksi akan tampak
sebagai eritema dan skuama ringan, sebagai hasil dari percepatan tumbuhnya
keratinosit. Ada yang mengungkapkan hipothesis bahwa antigen dari
dermatofita lalu diproses oleh sel Langerhans dan disajikan di nodus limfatikus
5
kepada sel limfosit T. Sel limfosit T berproliferasi klonal dan bermigrasi ke
tempat infeksi untuk melawan jamur. Saat itu lesi kulit menunjukkan reaksi
inflamasi dan barier epidermal menjadi permeable untuk migrasi dan
perindahan sel. Sebagai akibat dari reaksi ini jamur dieliminasi dan lesi
menjadi sembuh spontan. Dalam hal ini tes trikopitin menunjukkan hasil yang
positif dan penyembuhan terhadap infeksi yang kedua kalinya menjadi lebih
cepat.5,10
Reaksi dermatofitid (terjadi pada 4-5% pasien) adalah reaksi alergi kulit
eksematus pada tempat yang jauh dari infeksi primer jamur. Berbeda dengan
lesi primer, hasil pemeriksaan KOH dan kultur menunjukka hasil negatif.
Reaksi ini dapat berbentuk sebagai papul folikular, nodus eritem, vesikel pada
tangan dan kaki, lesi yang mirip dengan erysipelas, eritem anuler sentrifugal,
atau urtikaria. Meskipun mekanismenya belum diketahui, reaksi ini dihubung-
hubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada tes trikopitin dan
dapat melibatkan respon hipersensitivitas tipe IV lokal sampai sistemik.5,10
F. GAMBARAN KLINIK
Banyak variasi dari tinea corporis, tetapi lesi klasik yang sering muncul adalah
adanya lesi anular, dengan tepi eritem agak meninggi, berbatas tegas karena terjadi
beberapa konfluensi beberapa lesi. Lesi nampak eritem dengan skuama, kadang
dengan papul dan vesikel di tepi. Daerah tengah biasanya lebih tenang. Kadang
terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Bila menahun, tanda-tanda aktif
menghilang.1,2,5,6
Lesi kulit tinea cruris dapat terbatas pada daerah genito-krural saja, atau
meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus, dan perut bagian bawah atau bagian
tubuh yang lain. Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas
tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata daripada tengahnya. Efloresensi terdiri atas
macam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorf). Bila penyakit ini
menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam dan sedikit sisik. Erosi dan keluarnya
cairan biasanya akibat garukan.1
G. PEMERIKSAAN LABORATURIUM
6
Gejala klinis dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis terdiri atas
pemeriksaan lansung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan lain seperti
pemeriksaan histopatologik dan imunologik tidak diperlukan.1 Gambaran
histopatologi tinea korporis tidak khas. Gambaran histopatologi tidak lazim
digunakan untuk menegakkan diagnosis karena gambaran klinis dan pemeriksaan
laboratorium lebih jelas, mudah, murah, dan khas daripada melakukan pemeriksaan
histopatologi.7
Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan
klinis yang berupa kerokan kulit. Bahan untuk pemeriksaan mikologik diambil dan
dikumpulkan sebagai berikut: terlebih dahulu tempat kelainan dibersihkan dengan
spiritus 70%, kemudian dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit di
luar kelainan sisik kulit dan kulit dikerok dengan pisau tumpul steril.1
Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula-mula
dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesaran 10x45. Pemeriksaan
dengan pembesaran 10x100 biasanya tidak diperlukan.1
Sediaan basah dengan meletakkan bahan di atas gelas objek. Kemudian
ditambah 1-2 tetes larutan KOH, untuk sediaan rambut adalah 10% dan untuk kulit
dan kuku 20%. Setelah sediaan dicampur dengan KOH, ditunggu 15-20 menit, hal ini
diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk memepercepat proses pelarutan dapat
dilakukan pemanasan sediaan basah di atas api kecil. Pada saat keluar asap dari
sediaan tersebut, pemanasan dihentikan. Bila terjadi penguapan, maka akan terbebtuk
Kristal KOH, sehingga tujuan yang diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen
jamur yang lebih nyata dapat ditambahkan zat pewarna pada sediaaqn KOH,
misalnya tinta parker superchroom blue black.1
Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis sejajar,
terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artospora) pada kelainan
kulit lama dan/atau sudah diobati.1
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan
langsung dengan sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan
ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Pembiakan
7
dilakukan pada medium agar Sabouraud karena dianggap merupakan media yang
paling baik untuk pertumbuhan jamur. Media ini dibubuhi antibiotik kloramfenikol
atau ditambah pula klorheksimid untuk menghindarkan kontaminasi bakterial
maupun jamur kontaminan. Media ini lalu disimpan pada suhu kamar. Spesies jamur
ditentukan oleh sifat koloni, hifa, dan spora yang dibentuk.1
H. DIAGNOSIS
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Dari anamnesis biasanya pasien mengeluh gatal pada bagian perut,
punggung, dada, daerah lipat paha, lipat perineum, bokong, dan dapat ke genitalia.
Ruam kulit dapat berbatas tegas, eritematosa, dan bersisik. Gatal dirasakan
bertambah bila pasien berkeringat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan efloresensi
yaitu berupa makula eritematosa numular sampai geografis, berbatas tegas dengan
tepi lebih aktif terdiri dari papula atau pustula. Pada perjalanan penyakit yang kronik
dapat makula menjadi hiperpigmentasi dengan skuama di atasnya. Pada kerokan kulit
dengan KOH dijumpai adanya hifa atau spora jamur 7. Sediaan dapat diambil dari
bagian tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit di luar kelainan sisik kulit, dengan
cara dikerok atau disikat menggunakan pisau tumpul steril, kemudian diletakkan
pada medium dermatofita. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata, dapat
ditambahkan zat warna pada sediaan KOH, misalnya tinta parker superchroom blue
black.1
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan
langsung sedian basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap
paling baik pada waktu ini adalah medium agar dekstrosa Sabouraud. Kloramfenikol
ditambahkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri, dan cycloheximide untuk
menghambat pertumbuhan jamur saprofit.10
I. DIAGNOSIS BANDING
8
1. Kandidosis4
Pasien mengeluh rasa gatal yang hebat disertai rasa panas seperti terbakar,
terkadang juga nyeri jika ada infeksi sekunder
Lokasi biasanya terdapat di bokong sekitar anus, lipat ketiak, lipat paha, lipat
bawah payudara, sekitar umbilicus, garis-garis kaki dan tangan. Kuku.
Efloresensi berupa daerah yang eritematosa, erosif, kadang dengan papul dan
skuama. Pada keadaan yang kronik dapat terjadi likenifikasi, hiperpigmentasi,
hyperkeratosis, dan kadang berfisura.
Pada tes KOH ditemukan pseudohifa
Pada media Sabouroud terlihat koloni berwarna coklat mengkilat,
permukaannya basah.
2. Eritrasma4
Eritrasma merupakan suatu infeksi dangkal kronik yang biasanya menyerang
daerah yang banyak berkeringat.
Penyebabnya adalah Corynebacterium minutissimum.
Dimulai dengan daerah eritema miliar, selanjutnya meluas ke seluruh region,
menjadi merah, terasa panas seperti habis terkena cabai.
Penyinaran dengan sinar Wood memperlihatkan fluoresensi warna merah
bata.
3. Psoriasis4
Dimulai dengan macula dan papula eritematosa dengan ukuran lentikular
sampai nummular, menyebar secara sentrifugal
Lokasi biasanya pada siku, lutut, kulit kepala, telapak kaki dan tangan,
punggung, tungkai atas dan bawah, serta kuku.
Efloresensi berupa macula eritematosa yang besarnya bervariasi dari miliar
sampai nummular, dengan gambaran yang beraneka ragam, dapat arsinar,
sirsinar, polisiklis, dan geografis. Macula ini berbatas tegas, ditutupi oleh
9
skuama yang kasar berwarna putih mengkilat. Jika skuama digores dengan
benda tajam menunjukkan tanda tetesan lilin. Jika penggoresan diteruskan
maka akan timbul titik-titik perdarahan yang disebut sebagai Auspitz sign.
Dapat pula menunjukkan fenomena Koebner atau reaksi isomorfik, yaitu
timbul lesi-lesi psoriasis pada bekas trauma atau garukan.
J. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa1
Edukasi kepada pasien untuk meningkatkan kebersihan badan dengan
mandi secara teratur, menggunakan sabun ringan dan meningkatkan kebersihan
lingkungan. Kemudian dianjurkan untuk menghindari memakai pakaian yang
ketat dan tidak menyerap keringat.
2. Medikamentosa
a. Topikal
Obat topikal diberikan bila lesi terbatas. Kebanyakan antijamur topikal
ini dipakai dua kali sehari selama 2-4 minggu.
1) Konvensional11
Pengobatan dengan agen topikal lama kurang efektif dan memerlukan
waktu yang lama.
a) Salep 2-4: asam salisilat dan sulfur
Asam salisilat bersifat keratolitik. Untuk lesi yang sangat superficial
asam salisilat mungkin sudah cukup efektif, namun untuk lesi yang
kebih dalam maka asam salisilat akan mempermudah penetrasi
antijamur lain yang lebih poten
b) Salep Whitfield dan modifikasinya (AAV-I dan AAV-II): asam
salisilat dan asam benzoate
c) Asam undesilenat
Merupakan cairan kuning dengan bau khas yang tajam
10
Dosis biasa berefek sebagai fungistatik, namun dalam dosis tinggi
dan pemakaian yang lama berefek fungisidal
Aktif terhadap Epidermophyton, Tricophyton, dan Microsporum
Tersedia dalam bentuk salep campuran mengandung 5%
undesilenat dan 20% seng undesilenat
Bentuk bedak dan aerosol mengandung 2% undesilenat dengan
20% seng undesilenat (seng berfungsi untuk menekan luasnya
peradangan)
Dapat menyebabkan iritasi mukosa
2) Baru11
a) Tolnaftat, tolsiklat
Suatu tiokarbamat yang efektif untuk pengobatan sebagian besar
dermatofitosis
Tidak efektif terhadap kandida
Reaksi alergi atau toksik belumpernah dilaporkan
Tersedia dalam bentuk krim, gel, bubuk, cairan aerososl atau
larutan topikal dengan kadar 1%
Diberikan topikal 2-3 kali sehari
Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam
Pada lesi dengan hiperkeratosis sebaiknya diberikan bergantian
dengan salep asam salisilat 10%
Beberapa kasus membutuhkan waktu 4-6 minggu, jarang yang
melebihi 10 minggu
b) Haloprogin
Antijamur sintetik berbentuk kristal putih kekuningan
Larut dalam alkohol, tidak larut air
Efektif terhadap dermatofita, Malassezia furfur, dan Kandida
Dapat timbul iritasi, rasa terbakar, vesikulasi, meluasnya maserasi
dan sensitisasi
Tersedia dalam bentuk krim dengan kadar 1%
11
c) Derivat Imidazole (mikonazole, klotrimazole, tiokonazole, bifonazole,
ketokonazole)
d) Siklopiroksolamin
Antijamur topical berspektrum luas
Untuk dermatofitosis, kandidiasis, dan tinea versikolor
Tersedia dalam bentuk krim 1%
Iritasi jarang terjadi
e) Derivat alilamin (naftitin HCl, terbinafin)
b. Sistemik
1) Derivate imidazole
Derivate imidazole ini bekerja dengan cara mengganggu biosintesis
sterol yang berperan dalam pembentukan membran sel dan dan
mitokondria12
a) Fluconazole 150 mg sekali seminggu selama 4-6 minggu
Diserap sempurna di saluran cerna tanpa dipengaruhi oleh
makanan
Kadar plasma setelah pemberian oral sama dengan pemberian
interavena
Efek sampingnya berupa gangguan saluran cerna, alergi,
eosinofilia, Steven Johnson’s syndrome, gangguan faal hati
sementara, dan trombositopeni
Tersedia dalam bentuk kapsul berisi 50 dan 150 mg
b) Itraconazole 100 mg sekali sehari selama 15 hari, untuk anak-anak: 5
mg/kg BB/hari selama 1 minggu
Diserap sempurna bila diberikan bersama makanan
Rifampin dapat mengurangi kadar itrakonazole dalam plasma
Infeksi yang berat mungkin membutuhkan dosis sampai dengan
400 mg sehari
Efek sampingnya berupa mual dan muntah, kemerahan, pruritus,
lesu, pusing, pedal edema, parestesia, dan kehilangan libido
12
Sediaanya berupa kapsul berisi 100 mg
2) Terbinafine 250 mg sekali sehari selama 2 minggu
Untuk anak-anak: 3-6 mg/kg BB/hari
3) Griseofulvin 500 mg sekali sehari selama 2-6 minggu
Untuk anak-anak: 10-20 mg/kg BB/hari maksimal sampai 6 minggu
Bekerja dengan cara menghambat mitosis jamur dengan mengikat
protein mikrotubuler dalam sel
Terikat kuat dengan keratin
Tidak larut dalam air, sehingga penyerapannya dalam saluran cerna
kurang baik, penyerapan lebih mudah bila diberikan bersama makanan
yang berlemak
Efek samping yang berat jarang terjadi, leukopenia, granulositopenia,
sakit kepala, arthralgia, neuritis perifer, demam, pandangan kabur,
insomnia, mual, muntah, diare, flatulensi, rasa kering di mulut,
urtikaria, fotosensitivitas, erupsi morbiliform, urtikaria, eritema
multiforme (Bahry and Setiabudi, 2005).
Tidak ada perbedaan efektivitas terapi yang signifikan diantara obat-obat di
atas.5
K. PROGNOSIS
Prognosis tinea cruris et corporis pada umunya adalah baik bila faktor
predisposisi dapat dihindarkan atau dihilangkan, sumber penularan dapat
dihindarkan, pengobatan teratur dan tuntas.13
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Budimulja, U. 2007. Mikosis. Dalam: Djuanda, A. Hamzah, M dan Aisah, S (eds). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 89 – 105
2. Mansjoer, A., et al. 2000. Mikosis Superfisialis. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius. Hal: 93-9
3. Ellis, Davis. 2008. Mycologi Online: Dermatophytosis.http://www.mycology.adelaide.edu.au/Mycoses/Cutaneous/Dermatophytosis/
4. Siregar RS., 1996. Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC. hal:19-215. Verma, S., Heffernan, M.P. 2008. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis,
Onycomycosis, Tinea Nigra, Piedra In Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Seventh edition. Vol. II, Mc Graw Hill, New York. P: 1807-1821
6. Boel, Trimulya., 2003. Mikosis Superfisialis. http://library.usu.ac.id/download/fkg/fkg-trelia1.pdf
7. Siregar, R S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC. Hal: 29 – 31
8. Laksmipathy, D T. Kannabiran, K. 2010. Review on dermatomycosis: pathogenesis and treatment. Journal of Natural Science. Vol 2. No.7, 726 – 31
9. Sjarifuddin, P K. Susilo, J. 2000. Dermatofitosis. Dalam: Gandahusada, S. Ilahude, H H D dan Pribadi, W (eds). Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 289 – 95
10. Shy, Rosemary. 2007. Pediatrics in Review: Tinea Corporis and Tinea Capitis. http://pedsinreview.aappublications.org/misc/terms.dtl
11. Bahry, B. Setiabudy, R. 2005. Obat Jamur. Dalam: Ganiswara (ed). Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru. Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 560 – 70
12. Pane, Y S. 2009. Antifungal Drugs. Pharmacology and Therapeutics Departement. School of Medicine Universitas Sumatera Utara
13. Bramono, K. 2010. Dermatofitosis. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM
14