Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TINGKAT KETERGANTUNGAN PETANI PESERTA
HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) DI DESA TRIBUDISYUKUR
TERHADAP HASIL HUTAN BUKAN KAYU
(Skripsi)
Oleh
AZIZAH ZEAVANI ISKANDAR
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
ABSTRAK
TINGKAT KETERGANTUNGAN PETANI PESERTA
HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) DI DESA TRIBUDISYUKUR
TERHADAP HASIL HUTAN BUKAN KAYU
Oleh
AZIZAH ZEAVANI ISKANDAR
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat ketergantungan masyarakat
terhadap HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu). Penelitian ini juga menjelaskan
faktor-faktor yang memengaruhi tingkat ketergantungan petani HKm (Hutan
Kemasyarakatan) terhadap HHBK. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober
2019 di Desa Tribudisyukur. Data dikumpulkan dari 41 responden yang
dilakukan secara SRS ( Simple Random Sampling) dengan menggunakan
kuesioner yang kemudian dianalisis menggunakan skala Likert dan analisis regresi
linear berganda menggunakan software yang sesuai. Adapun faktor pendapatan
yang dianalisis adalah luas lahan, jumlah jenis tanaman yang menghasilkan,
jumlah tanggungan keluarga, jarak dari rumah ke lahan garapan, pendidikan dan
lama menjadi petani di HKm. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
pendapatan petani HKm di tempat penelitian cukup tergantung pada HHBK.
Diketahui bahwa HHBK dari lahan HKm menyumbang 56,11% dari total
iii
pendapatan rumah tangga petani peserta HKm dan sisanya didapat dari luar HKm
seperti berdagang, budi daya ikan dan ternak kambing. Diketahui pula pada
penelitian ini bahwa faktor-faktor yang memengaruhi pendapatan petani di lahan
HKm yaitu luas lahan garapan dan jumlah jenis tanaman yang ditanam.
Kata kunci: hasil hutan bukan kayu, hutan kemasyarakatan, pendapatan.
ABSTRACT
DEPENDENCE LEVEL OF
COMMUNITY FOREST (CF) MEMBERS
IN TRIBUDISYUKUR VILLAGE TO NON-TIMBER FOREST PRODUCT
By
AZIZAH ZEAVANI ISKANDAR
This study aims to identify the level of community dependence on NTFPs (Non-
Timber Forest Products). This study also describes the factors that affect the
dependence level of HKm (Community Forest) farmers on NTFPs. This research
was conducted in October 2019 in Tribudisyukur Village. Data was collected
from 41 respondents was conducted by SRS (Simple Random Sampling) using a
questionnaire which was then analyzed using a Likert scale and multiple linear
regression analysis using the appropriate software. There is income factors
analyzed are the area of land, the number of types of plants that produce, the
number of family dependents, the distance from the house to arable land,
education and length of time to become a farmer in HKm. The results of this
study indicate that HKm farmers' income in the study area is quite dependent on
NTFPs. It is known that NTFPs from HKm land contribute for 56.11% of the
total household income of participating HKm farmers and the rest was obtained
v
from outside HKm such as trade, fish livestock and goats. It is also known in this
study that the factors that influence farmers' income on HKm land are the area of
arable land and the number of planted species.
Keywords: community forestry, income, non-timber forest products.
TINGKAT KETERGANTUNGAN PETANI PESERTA
HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) DI DESA TRIBUDISYUKUR
TERHADAP HASIL HUTAN BUKAN KAYU
Oleh
AZIZAH ZEAVANI ISKANDAR
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA KEHUTANAN
Pada
Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
Judul Skripsi : TINGKAT KETERGANTUNGAN PETANI
PESERTA HUTAN KEMASYARAKATAN
(HKm) DI DESA TRIBUDISYUKUR
TERHADAP HASIL HUTAN BUKAN KAYU
Nama Mahasiswa : Azizah Zeavani Iskandar
Nomor Pokok Mahasiswa : 1514151044
Jurusan : Kehutanan
Fakultas : Pertanian
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Slamet Budi Yuwono, M.S. Dr. Ir. Christine Wulandari, M.P.
NIP 1964223 199403 1 003 NIP 19641226 199303 2 001
2. Ketua Jurusan Kehutanan
Dr. Indra Gumay F., S.Hut., M.Si.
NIP 19740222 2003121 001
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Dr. Ir. Slamet Budi Yuwono, M.S.
Sekretaris : Dr. Ir. Christine Wulandari, M.P.
Penguji
Bukan Pembimbing : Dr. Ir. Samsul Bakri, M.Si.
2. Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si.
NIP 19611020 198603 1 002
Tanggal Lulus Ujian Skripsi: 06 Februari 2020
RIWAYAT HIDUP
Penulis Azizah Zeavani Iskandar dilahirkan di Metro pada 05 April
1997, sebagai putri pertama dari dua bersaudara dari pasangan
Bapak Ir. Iskandar Akbar (Alm) dan Ibu Ir. Laili Wati, M. M.
Penulis menempuh pendidikan di Taman Kanak-kanak Aisyiah Metro pada tahun
2001-2003, Sekolah Dasar di SD Muhammadiyah Metro pada tahun 2003–2009,
Sekolah Menengah Pertama di SMPN 4 Metro pada tahun 2009-2012 dan Sekolah
Menengah Atas di SMAN 1 Metro pada tahun 2012–2015.
Tahun 2015, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Kehutanan Fakultas
Pertanian (FP) Unila melalui jalur SNMPTN. Selama menjadi mahasiswa penulis
aktif di Organisasi Himpunan Mahasiswa Kehutanan (HIMASYLVA) sebagai
Anggota Utama. Pada tahun 2018 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata
(KKN) di Desa Bandung Baru, Kecamatan Adiluwih, Kabupaten Pringsewu.
Penulis juga telah melaksanakan Praktek Umum (PU) di Kesatuan Pemangkuan
Hutan (KPH) Banyumas Barat Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Tengah
pada bulan Juli-Agustus 2018 selama 40 hari. Pada tahun 2019 penulis juga
pernah menjadi pemakalah pada Seminar Nasional Ilmu Lingkungan (SNaIL)
dengan judul ‘Pendapatan Anggota HKm Bina Wana dari Hasil Hutan Bukan
Kayu: Studi Kasus di Desa Tribudisyukur, Kecamatan Kebun Tebu, Kabupaten
Lampung Barat.
Untuk Ayah dan Ibuku Tersayang
SANWACANA
Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi dengan judul “Tingkat
Ketergantungan Petani Peserta Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Desa
Tribudisyukur terhadap Hasil Hutan Bukan Kayu” adalah salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana Kehutanan di Universitas Lampung. Terselesaikannya
penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dorongan dari
berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis
mengucapkan banyak terima kasih yang tulus kepada beberapa pihak sebagai
berikut.
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si. selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung atas semua saran dan arahan kepada penulis.
2. Bapak Dr. Ir. Slamet Budi Yuwono, M.S. selaku pembimbing pertama atas
semua bimbingan, saran, nasihat, solusi dan perhatian kepada penulis selama
penyelesaian skripsi.
3. Ibu Dr. Ir. Christine Wulandari, M.P. selaku pembimbing kedua atas semua
bimbingan, saran, dan nasihat kepada penulis selama penyelesaian skripsi.
4. Bapak Dr. Ir. Samsul Bakri, M.Si. selaku pembahas atau penguji atas semua
masukan, arahan, dan nasihat kepada penulis selama penyelesaian skripsi.
xii
5. Bapak Dr. Indra Gumay Febryano, S.Hut., M.Si. selaku Ketua Jurusan
Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan selaku Pembimbing
Akademik atas semua bimbingan, saran, dan nasihat kepada penulis.
6. Segenap Dosen Jurusan Kehutanan yang telah memberikan ilmu pengetahuan
bidang kehutanan dan menempa diri bagi penulis selama menuntut ilmu di
Universitas Lampung.
7. Bapak dan Ibu tenaga kependidikan Jurusan Kehutanan maupun Fakultas
Pertanian Unila yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan proses
administrasi.
8. Bapak dan Ibu penulis yaitu Bapak Ir. Iskandar Akbar (Alm) dan Ibu Ir. Laili
Wati, M. M. terima kasih atas segala kasih sayang, do’a, arahan, dan
kesabaran dalam kehidupan bersama penulis serta dukungan moril maupun
materil yang selama ini diberikan kepada penulis.
9. Adik penulis Azharil Rizkullah Akbar, terima kasih atas kasih sayang,
kebersamaan, do’a, dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis.
Cepatlah dewasa dan membanggakan.
10. Teman-teman seperjuangan Angkatan 2015 (TW15TER), terutama Endah
Susilowati, S.Hut., Ani Fitriyani, S.Hut., Dewi Purnamasari, Prila Idayanti,
S.Hut., dan Deya Puspa, S.Hut. terimakasih atas segala bantuan dan
dukungan kalian.
11. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah banyak
membantu penulis dalam proses perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini
selesai.
xiii
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi
penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para
pembaca.
Bandar Lampung, 26 Februari 2020
Azizah Zeavani Iskandar
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL...................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xvii
I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Tujuan Penelitian .......................................................................... 4
1.3 Kerangka Pemikiran...................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 7
2.1 Gambaran Umum Desa Tribudisyukur ......................................... 7
2.2 Hutan Lindung .............................................................................. 9
2.3 Hutan Kemasyarakatan ................................................................. 11
2.4 Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) ............................................... 15
2.5 Pemanfaatan HHBK ...................................................................... 18
2.6 Ketergantungan Masyarakat terhadap HHBK .............................. 20
2.7 Sosial Ekonomi Masyarakat ......................................................... 21
2.7.1 Pendapatan ........................................................................... 24
2.7.2 Pendidikan ........................................................................... 25
2.7.3 Pekerjaan Sampingan .......................................................... 27
2.7.4 Jumlah Tanggungan Keluarga ............................................. 27
2.7.5 Lama Menggarap ................................................................. 28
2.7.6 Luas Lahan .......................................................................... 29
2.7.7 Jumlah Jenis Tanaman ......................................................... 29
III. METODE PENELITIAN .................................................................. 31
3.1 Waktu dan Tempat ........................................................................ 31
3.2 Alat dan Objek .............................................................................. 31
3.3 Cara Pengumpulan Data ............................................................... 32
3.3.1 Jenis Data ............................................................................. 32
3.3.2 Metode Pengambilan Sampel .............................................. 33
3.3.3 Metode Pengumpulan Data ................................................. 33
3.4 Metode Analisis Data .................................................................... 34
3.4.1 Analisis Pendapatan Petani .................................................. 34
3.4.2 Analisis Ketergantungan Masyarakat terhadap HHBK ....... 35
3.4.3 Analisis Faktor-faktor Ketergantungan Petani terhadap
HHBK .................................................................................. 36
xv
Halaman
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 39
4.1 Pendapatan .................................................................................... 39
4.2 Tingkat Ketergantungan ................................................................ 43
4.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pendapatan .............................. 45
V. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 58
5.1 Simpulan ....................................................................................... 58
5.2 Saran ............................................................................................. 59
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 61
LAMPIRAN ............................................................................................... 70
Dokumentasi Kegiatan Penelitian ............................................................... 71
Data Penelitian ............................................................................................ 73
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Variabel dan definisi operasional…………………………………...... 36
2. Rata-rata pendapatan petani peserta HKm di Desa Tribudisyukur...... 39
3. Pendapatan rata-rata petani peserta HKm berdasarkan jenis HHBK.... 42
4. Tingkat ketergantungan petani peserta HKm terhadap keberadaan
HHBK dalam meningkatkan pendapatan …………………….…….... 44
5. Hasil Uji F pengaruh variabel X terhadap pendapatan petani HKm
terhadap HHBK …….……………………………………………...… 45
6. Hasil Uji t-student pengaruh variable-variabel sosial pendapatan
terhadap pendapatan petani peserta HKm dari HHBK…………........ 47
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Bagan alir kerangka pikir……………………………………………... 6
2. Lokasi penelitian………………………………………………………. 32
3. Rata-rata luas lahan garapan petani peserta HKm……………………. 40
4. Diagram jenis pekerjaan sampingan petani peserta HKm…….....…… 55
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan merupakan suatu areal yang cukup luas didalamnya terdapat tumbuhan
berkayu, beserta segala isinya baik berupa nabati maupun hewani yang
keseluruhan mempunyai kemampuan untuk memberikan manfaat-manfaat lainnya
secara lestari (Ayudanti, 2017). Selain menghasilkan kayu, hutan juga
menghasilkan HHBK dan jasa lingkungan (Yusran dan Abdullah, 2007). Menurut
Salaka dkk. (2012), hasil hutan bukan kayu memiliki peran yang tidak hanya
dilihat dari segi ekologi, tetapi juga pada aspek ekonomi dan sosial budaya. Peran
hasil hutan bukan kayu dari aspek ekonomi yaitu sebagai salah satu sumber
penghasilan bagi masyarakat maupun pemerintah dan menjadi nilai tambah secara
finansial. Aspek sosial budaya dari hasil hutan bukan kayu yaitu masyarakat ikut
dilibatkan dalam pemanfaatan dan pengolahan hasil hutan bukan.
Pohan dkk. (2014), menyatakan bahwa nilai ekonomi yang dihasilkan dari
pemanfaatan HHBK jauh lebih besar dari kayu dan tidak menyebabkan kerusakan
hutan, sehingga tidak akan mengakibatkan hilangnya fungsi-fungsi dan nilai jasa
dari hutan. Sesungguhnya HHBK memberikan manfaat multiguna bagi
masyarakat, khususnya masyarakat lokal di sekitar hutan. Masyarakat
menggunakan hasil hutan untuk mencukupi kebutuhan primer dengan cara
2
menjualnya (Karyon dkk., 2016). Pendapatan dari HHBK memiliki peranan yang
penting dalam ekonomi rumah tangga masyarakat sekitar hutan (Moe dkk., 2016;
Melaku dkk., 2014; Bwalya, 2013; dan Tarigan dkk., 2010). Hal ini yang
dimaksud dengan sifat ketergantungan terhadap HHBK.
Ketergantungan terhadap HHBK ini mendorong masyarakat untuk memelihara
hutan berdasarkan pada berbagai kearifan lokal yang diyakini secara turun
temurun, hal ini menjadi keuntungan bagi negara. Disisi lain, jumlah penduduk
yang terus bertambah menyebabkan adanya tekanan terhadap lahan hutan akibat
desakan kebutuhan yang semakin meningkat (Sukardi dkk., 2008). Solusi dengan
pengusiran paksa para petani penggarap atau perambah di dalam kawasan tidak
menjadikan hutan lebih baik, justru menimbulkan konflik dan terjadi peningkatan
perambahan (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2016).
Menurut Neil dkk. (2016), interaksi masyarakat dengan kawasan dilindungi dapat
diarahkan pada tingkat integrasi dimana kebutuhan masyarakat terhadap sumber
daya alam dapat terpenuhi tanpa mengganggu potensi kawasan, dengan demikian
perlu dilakukan upaya pengelolaan hutan untuk meningkatkan pemanfaatan
HHBK. Salah satu bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat adalah
program HKm yang mengikutsertakan masyarakat dalam pengelolaan hutan,
sehingga dapat menekan kerusakan pada kawasan hutan. Melalui program
tersebut diharapkan masyarakat dapat menjadi pelaku utama dalam pengelolaan
hutan mulai dari segi pengambilan keputusan sampai dengan menikmati hasil
pembangunan di sektor kehutanan khususnya pada HKm (Yudischa dkk., 2014).
Pola pemanfaatan lahan agroforestri merupakan alternatif bagi masyarakat lokal di
3
sekitar hutan untuk memanfaatkan HHBK dengan pemanfaatan ladang sebagai
lingkungan pendukung proses pertumbuhan pepohonan.
Provinsi Lampung memiliki luas kawasan hutan sebesar ± 1.004.735 ha, namun
kondisi hutannya sebesar ± 53,34% saat ini berada dalam kondisi kritis (Dinas
Kehutanan Provinsi Lampung, 2016). Kawasan hutan di Kabupaten Lampung
Barat merupakan salah satu hutan yang diketahui sebagian besarnya telah
dirambah dan secara perlahan-lahan (Sinudin dkk., 2016). Kabupaten Lampung
Barat memiliki kawasan hutan sebesar 126.956 ha dari total luas wilayahnya
495.040 ha, sedangkan sisanya adalah kawasan yang dapat diusahakan menjadi
kawasan budi daya, pertanian, perikanan, perkebunan, dan juga pemukiman
penduduk, sarana umum, perkotaan, dan sebagainya (Yasir, 2011).
Desa Tribudisyukur merupakan salah satu desa di Kabupaten Lampung Barat
yang berbatasan dengan Hutan Lindung Register 45B dan memiliki satu
kelompok HKm yang sudah mendapatkan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan
Kemasyarakatan (IUPHKm) yaitu kelompok HKm Bina Wana. Kelompok HKm
ini adalah salah satu HKm di Lampung Barat yang telah berkembang dan menjadi
percontohan dalam skala nasional. Sebagian besar dari jumlah penduduk desa
memiliki mata pencarian sebagai petani penggarap kopi di HKm. Hal ini
menyebabkan adanya alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan kopi
sehingga terjadinya penurunan tutupan hutan di Lampung Barat mencapai 50%
(Verbist dkk., 2005). Berdasarkan hal tersebut maka, kajian mengenai tingkat
ketergantungan petani terhadap HHBK di lahan HKm perlu dilakukan untuk
mengetahui seberapa besar jumlah pendapatan masyarakat, seberapa besar tingkat
4
ketergantungan pendapatan masyarakat terhadap HHBK di lahan HKm dan
faktor-faktor apa yang memengaruhi. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai acuan dalam mewujudkan pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan
mengutamakan kesejahteraan masyarakat serta dapat dijadikan referensi untuk
penelitian selanjutnya.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini sebagai berikut.
1. Menganalisis pendapatan petani untuk mengetahui besaran pendapatan petani
dari HKm dan non HKm di Hutan Lindung Register 45B.
2. Menganalisis persepsi petani HKm untuk mengetahui tingkat ketergantungan
petani peserta HKm terhadap HHBK di Hutan Lindung Register 45B.
3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi ketergantungan petani
peserta HKm terhadap HHBK di HL Register 45B.
1.3 Kerangka Pemikiran
Hutan suatu areal yang cukup luas didalamnya terdapat tumbuhan berkayu,
beserta segala isinya baik berupa nabati maupun hewani yang keseluruhan
mempunyai kemampuan untuk memberikan manfaat-manfaat lainnya secara
lestari (Ayudanti, 2017). Selain menghasilkan kayu, hutan juga menghasilkan
HHBK yang memiliki peran salah satunya sebagai sumber pendapatan bagi
masyarakat maupun pemerintah (Salaka dkk., 2012). Berdasarkan hal tersebut
HHBK memiliki peran yang tidak hanya dilihat dari segi ekologi, tetapi juga pada
aspek ekonomi dan sosial budaya. Dilihat dari aspek ekonomi pendapatan HHBK
5
memiliki peranan yang penting dalam ekonomi rumah tangga bagi masyarakat
sekitar hutan. Masyarakat mengumpulkan dan menjual HHBK untuk mencukupi
kebutuhan primer (Karyon dkk., 2016). Hal ini yang di sebut dengan
ketergantungan terhadap HHBK. Masyarakat bergantung pada HHBK untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Analisis menggunakan skala Likert dilakukan untuk
mengetahui seberapa besar tingkat ketergantungan petani HKm terhadap HHBK.
Setelah itu dilakukan analisis menggunakan analisis linier berganda untuk
mengetahui faktor-faktor apa yang memengaruhi, dengan menggunakan variabel
jumlah jenis tanaman, pendidikan, umur, tanggungan keluarga, pekerjaan
sampingan, jarak rumah ke lahan garapan, lama menjadi anggota HKm, dan luas
lahan yang diduga dapat memengaruhi ketergantungan pendapatan petani HKm
terhadap HHBK. Kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
6
Gambar 1. Bagan alir kerangka pikir.
Kawasan Hutan Lindung
Register 45B
Manfaat Hutan Lindung bagi
Kehidupan Petani HKm
Aspek Ekologi Aspek Ekonomi Aspek Sosial
Pemanfaatan HHBK di HL Register 45B
oleh Petani Peserta HKm di Desa
Tribudisyukur
Pendapatan Petani Peserta
HKm dari HHBK
Tingkat Ketergantungan
Petani HKm terhadap
HHBK
Variabel
- Jumlah jenis tanaman
- Pendidikan
- Umur
- Jumlah tanggungan keluarga
- Pekerjaan sampingan
- Jarak tempat tinggal
- Lama menjadi anggota HKm
- Luas lahan
Skala Likert dan
Analisis Regresi
Linier Berganda
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Desa Tribudisyukur
Desa Tribudisyukur memiliki luas wilayah 915,39 Ha dengan jumlah penduduk
1.811 jiwa yang tersebar ke dalam 5 dusun, yaitu Setiawaras, Setiamukti,
Setiabudi, Purwajaya, dan Budikarya dengan 11 RT. Desa Tribudisyukur terletak
183Km dari ibukota Provinsi Lampung (Bandar Lampung), 80 Km dari ibukota
Kabupaten Lampung Barat (Liwa) dan 2 Km dari ibukota Kecamatan Kebun Tebu
dengan batas-batas : Sebelah Utara berbatasan dengan Bukit Rigis (hutan),
sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tribudimakmur, sebelah timur berbatasan
dengan Desa Purajaya dan Desa Purawiwitan, sedangkan sebelah barat berbatasan
dengan Desa Tugusari. Penggunaan lahan terbesar di Desa Tribudisyukur
dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya adalah untuk kawasan HKm
(Lestari, 2015).
Penggunaan lahan terbesar di Desa Tribudisyukur adalah untuk kawasan HKm
(637,90 ha), untuk kawasan HKm terdiri dari 75% tanaman agroforestri dan 25%
kawasan hutan lindung, sedangkan Kebun (146,2 ha) dan sawah (64,8 ha) adalah
lahan perkebunan dan persawahan yang diusahakan di luar kawasan Hkm.
Pekarangan atau perumahan (26,8 ha) merupakan lahan yang digunakan untuk
dibangun rumah dan termasuk halaman rumah atau pekarangan rumah.
8
Perumahan masyarakat Desa Tribudisyukur tidak tergolong padat, sebab masih
banyak yang mempunyai pekarangan-pekarangan rumah yang dapat dimanfaatkan
untuk menanam sayur-sayuran atau lainnya. Sebagian besar rumah penduduk
memiliki kolam ikan pada halaman rumah, dimana dalam jumlah total luas kolam
di Desa Tribudisyukur adalah 13,4 ha. Penggunaan lahan untuk prasarana
pendidikan adalah sebesar 4,7 ha dimana yang termasuk pendidikan adalah SD,
SMK dan pondok pesantren. Selanjutnya penggunaan lahan lain-lain digunakan
untuk Tempat Pembuangan Umum (TPU) sebesar 3ha, Peternakan sebesar1,9 ha,
Lapangan sebagai prasarana olahraga sebesar 0,8 ha dan penggunaan lain-lain
sebesar 11,9 ha, dan yang dimaksud dengan penggunaan lain-lain misalnya jalan,
bangunan pasar dan yang lainnya (Lestari, 2015).
Morfologi wilayah desa berada pada 800 m dari permukaan laut dengan
permukaan tanah landai dan sebagian datar yang terdapat banyak rawa-wara dan
sungai-sungai kecil yang berfungsi sebagai pengairan sawah. Berdasarkan hasil
analisa survei yang dilakukan oleh Dit. Pembangunan Desa Provinsi Lampung,
struktur tanah Desa Tribudisyukur termasuk ke dalam jenis tanah Podsolik Merah
Kuning dengan bahan induk Tuft Vulkan Asam dan Dasar Fisiografi Vulkan,
dengan demikian dapat digolongkan bahwa keadaan tanah di desa ini cukup subur
terutama untuk penggunaan dalam pertanian dan perkebunan.
Iklim di Desa Tribudisyukur adalah sejuk sepanjang hari dengan suhu antara 17º–
23º C, curah hujan hampir sepanjang tahun, yaitu ± 2500–3000 mm/tahun. Curah
hujan yang sangat tinggi ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk budi daya
tanaman pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan. Wilayah
9
Desa Tribudisyukur memiliki sumber air yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
rumah tangga dimana air minum dan pengairan lahan dapat diperoleh dari mata
air Kali Urang dan Ciganawesi (Lestari, 2015).
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No :
SK.617/MenlhSetjen/2015 tentang Penetapan Lokasi Fasilitasi pada 4 (empat)
Unit Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Provinsi Lampung Tanggal
14 Desember 2015, Luas KPHL Unit II Liwa Liwa Kabupaten Lampung Barat ±
42.074 ha yang tersebar di 6 Register yaitu : Register 4B Palakiah (1.800,17 ha),
Register 45B Bukit Rigis (8.285,00 ha), Register 44B Tenong Kenali (13.040,00
ha), 43B Krui Utara (14.020,00 ha), Register 17B Bukit Sararukuh (1.596,20 ha)
dan Register 9B Gunung Seminung (420,00 ha) (KPHL Unit II Liwa, 2016).
2.2 Hutan Lindung
Menurut pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang
kehutanan, hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi
sumber daya alam hayati, didominasi pepohonan yang dalam persekutuan alam
dan lingkungannya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Ada 4 unsur yang
terkandung dari definisi hutan diatas yaitu; (1) unsur area lahan yang cukup luas
yang disebut tanah hutan, (2) unsur pohon (kayu, bambu, palem), flora dan fauna,
(3) unsur lingkungan, dan (4) unsur penetapan pemerintah.
Unsur pertama, kedua dan ketiga membentuk persekutuan hidup yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pengertian hutan yang dimaksud, menganut
konsep hukum secara vertikal, karena antara lahan (tanah), pohon, flora dan fauna,
10
beserta lingkungannya merupakan satu kesatuan yang utuh. Adanya penetapan
pemerintah mengenai hutan mempunyai arti yang sangat penting, karena dengan
adanya penetapan pemerintah tersebut, kedudukan hutan menjadi sangat kuat.
Ada dua arti penting penetapan pemerintah tersebut, yaitu:
1. Agar setiap orang tidak sewenang-wenang untuk membabat, menduduki dan
atau mengerjakan kawasan hutan.
2. Mewajibkan kepada pemerintah melalui Menteri Kehutanan untuk mengatur
perencanaan, peruntukan, penyediaan, dan penggunaan hutan sesuai dengan
fungsinya, serta menjaga dan melindungi hutan.
Hutan mempunyai berbagai fungsi dan berperan sangat penting dalam pelestarian
tanah dan air, memelihara atmosfir, dan memelihara keanekaragaman hayati
tumbuh-tumbuhan dan hewan yang ada. Kelangsungan dan keberadaan hutan
tergantung sejauh mana kita mengakui dan melindungi nilai-nilai ekologi dan nilai
sosial serta ekonominya. Manfaat-manfaat ini perlu di masukkan kedalam sistem
neraca ekonomi nasional yang dipakai untuk menimbang pilihan-pilihan
pembangunan (Yusuf dkk., 2011).
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
kehutanan, Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara
kesuburan tanah. Pengelolaan meliputi kegiatan: tata hutan dan penyusunan
rencana pengelolaan hutan lindung, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan
lindung, rehabilitasi dan reklamasi hutan lindung, perlindungan hutan, dan
11
konservasi alam di hutan lindung. Pengelolaan kawasan lindung penting karena
upaya pengelolaan ini bertujuan untuk:
1. Meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan, satwa serta
nilai sejarah, dan budaya bangsa.
2. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem, dan
keunikan alam.
2.3 Hutan Kemasyarakatan
Menurut Kagungan (2012), HKm merupakan hutan negara dengan sistem
pengelolaan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat dalam artian
program HKm ini dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sekitar kawasan hutan dengan memanfaatkan sumber daya HKm secara optimal,
adil dan berkelanjutan. Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (PermenLHK) No. P.83/Menlhk/setjen/kum.1/10/2016 tentang
Perhutanan Sosial, penyelenggaraan program HKm bertujuan untuk meningkatkan
kelestarian hutan serta menjamin lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar
HKm.
Berdasarkan PermenLHK Nomor P.83 Tahun 2016 pasal 16, kawasan hutan yang
dapat ditetapkan sebagai areal kerja HKm adalah kawasan hutan lindung dan
hutan produksi yang belum dibebani izin, hutan lindung yang dikelola oleh Perum
Perhutani dan wilayah tertentu dalam KPH. Ketentuan kawasan tersebut dapat
ditetapkan sebagai areal kerja HKm yaitu belum dibebani hak atau izin dalam
pemanfaatan hasil hutan dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat.
12
Berdasarkan hal itu maka, adanya program HKm dimaksudkan untuk
memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat dengan
memberikan akses dan mengembangan kapasitas masyarakat setempat dalam
mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi
masyarakat setempat. Kaskoyo dkk. (2017) menjelaskan bahwa melalui program
HKm masyarakat diberikan akses pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal,
adil dan berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutannya.
Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis terdapat beberapa kelompok tani yang
mengelola salah satunya Kelompok Tani Bina Wana, Desa Tribdisyukur. Desa
Tribudisyukur merupakan salah satu desa yang berada di sekitar Bukit Rigis.
Desa ini terletak 80 km dari ibukota Kabupaten Lampung Barat (Liwa), dan 2 km
dari ibukota Kecamatan Kebun Tebu yang berbatasan dengan Bukit Rigis (hutan)
pada sebelah utara desa. Desa Tribudisyukur memiliki luas wilayah 915,39 ha
dengan jumlah penduduk 1.811 jiwa yang tersebar ke dalam 5 dusun, yaitu
Setiawaras, Setiamukti, Setiabudi, Purwajaya dan Budikarya dengan 11 RT
(Puspasari dkk., 2017).
Masyarakat mendapatkan kompensasi mengolah lahan kritis pada lereng Bukit
Rigis melalui program HKm. Masyarakat mengubah lahan kritis menjadi kebun
campuran (agroforestri) dengan pohon kopi robusta sebagai tanaman utama.
Masyarakat menanam lada, pisang, cempaka, kayu manis, kemiri, pinang, durian,
dan lain-lain pada sela-sela tanaman kopi (Teras Lampung, 2014). Masyarakat
desa juga memanfaatkan HHBK lainnya seperti aren dan madu alam sebagai
13
pendapatan tambahan dengan menjualnya dalam bentuk bahan mentah ataupun
dalam sebuah produk (Lestari dkk., 2016).
Menurut Budiono (2011), sosialisasi dan fasilitasi merupakan kewajiban dari
pemerintah, oleh karena masyarakat petani tepi hutan berhak mendapatkan
layanan fasilitasi dari pemerintah. Fasilitasi bagi petani HKm dapat berupa
penyuluhan, pelatihan atau pendampingan. Berdasarkan Permenhut no. P.88/
Menhut-II/2014 tentang HKm Bagian Ketiga Pasal 11 ayat 1 dituliskan bahwa
fasilitasi bertujuan untuk; (a) meningkatkan kemampuan masyarakat setempat
dalam mengelola organisasi kelompok; (b) membimbing masyarakat mengajukan
permohonan izin sesuai ketentuan yang berlaku; (c) meningkatkan kemampuan
masyarakat setempat dalam menyusun rencana kerja pemanfaatan HKm;
(d) meningkatkan kemampuan masyarakat setempat dalam melaksanakan budi
daya hutan melalui pengembangan teknologi yang tepat guna dan peningkatan
nilai tambah hasil hutan; (e) meningkatkan kualitas sumber daya manusia
masyarakat setempat melalui pengembangan pengetahuan, kemampuan dan
keterampilan masyarakat dalam pengajuan permohonan izin sesuai ketentuan
yang berlaku; (f) memberikan informasi pasar dan modal dalam meningkatkan
daya saing dan akses masyarakat setempat terhadap pasar dan modal; dan
(g) meningkatkan kemampuan masyarakat setempat dalam mengembangkan
usaha pemanfaatan hutan dan hasil hutan.
Peraturan Pemerintah KLH No. P.50 tahun 2016 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan menjelaskan
bahwa kawasan hutan lindung dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam
14
kegiatan yaitu berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan HHBK, dan
pemanfaatan terhadap jasa lingkungan yang ada. Pemanfaatan kawasan dapat
berupa usaha budi daya tanaman obat, budi daya tanaman hias, budi daya jamur,
budi daya lebah madu, budi daya penangkaran satwa liar, dan budi daya sarang
burung wallet (Senoaji, 2011). Melalui program HKm masyarakat mendapatkan
akses pemanfaatan di kawasan hutan lindung. Masyarakat ditekankan untuk
menanam berbagai jenis tanaman dengan strata tajuk lengkap seperti pada
agroforestri dan tidak diperkenankan menanam dengan sistem monokultur
(Wulandari dkk., 2009).
Menurut Sanjaya (2016), ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh bagi
masyarakat, pemerintah dan terhadap fungsi hutan yaitu:
1. Bagi masyarakat, HKm dapat: (a) memberikan kepastian akses untuk turut
mengelola kawasan hutan, (b) menjadi sumber mata pencarian, (c) ketersediaan
air yang dapat dimanfaatkan untuk rumah tangga dan pertanian terjaga, dan
(d) hubungan yang baik antara pemerintah dan pihak terkait lainnya.
2. Bagi pemerintah, HKm: (a) dalam kegiatan HKm dapat berdampak kepada
pengamatan hutan, serta menjadi (b) sumbangan secara tidak langsung dari
masyarakat melalui rehabilitasi yang dilakukan secara swadana dan swadaya.
3. Bagi fungsi hutan dan restorasi habitat yaitu: (a) dalam terbentuknya
keanekaragaman tanaman, (b) dalam teknis konservasi lahan yang diterapkan
dan terjaganya fungsi ekologis dan hidro orologis, melalui pola tanam
campuran dan teknis konservasi lahan yang diterapkan dan (c) menjaga
kekayaan alam flora dan fauna yang telah ada sebelumnya.
15
2.4 Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
Menurut Ayudanti (2017), HHBK merupakan hasil hutan baik hayati, nabati
maupun hewani beserta produk turunan dan budi daya kecuali kayu yang berasal
dari hutan. Menurut Yusran dan Abdullah (2007), tanaman penghasil HHBK
memiliki peran tidak saja pada aspek ekologis dan ekonomis, tetapi juga sosial
budaya. Secara umum peranan HHBK dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Peranan HHBK terhadap aspek ekologis
Secara ekologis HHBK tidak memiliki perbedaan fungsi dengan hasil hutan kayu,
karena sebagian besar HHBK merupakan bagian dari pohon dan HHBK
merupakan bagian dari ekosistem hutan. Beberapa hasil HHBK diperoleh dari
hasil pohon, misalnya getah-getahan, tanin resin dan minyak atsiri, selebihnya dari
palm, hasil satwa ataupun anggrek. Pohon seperti gaharu (Aquilaria
malaccensis), dalam ekosistem memiliki peranan sebagai pohon dominan dengan
ketinggian mencapai 30–40 m. Palm berupa sagu, nipah, dan lain-lain merupakan
bagian dari ekosistem yang berfungsi menjaga abrasi oleh sungai atau laut.
2. Peranan HHBK terhadap ekonomi rumah tangga
Seperti yang disebutkan diatas bahwa HHBK dapat menjaga adanya kestabilan
pendapatan dan resiliensi (kekenyalan) terhadap perubahan yang terjadi di luar
sistem hutan rakyat. Resiliensi adalah suatu tingkat kelenturan dari sumber
pendapatan terhadap adanya perubahan pasar, contohnya adanya perubahan nilai
tukar mata uang. Pada saat terjadi krisis moneter, HHBK memiliki peran yang
besar terhadap pendapatan rumah tangga dan devisa negara, karena HHBK tidak
menggunakan komponen import dalam memproduksi hasil. Efisiensi penggunaan
16
lahan yang tinggi dan diversifikasi produksi maka kontribusi terhadap pendapatan
juga semakin besar (Yusran dan Abdullah, 2007).
Menurut UU Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, disebutkan
bahwa HHBK adalah hasil hutan hayati maupun non hayati atau menurut FAO
(2000) adalah barang (goods) yang dihasilkan benda hayati selain kayu yang
berasal dari hutan atau lahan sejenis. Menurut Indrasari (2016), HHBK dapat
dibedakan menjadi beberapa bagian sebagai; (a) getah-getahan : getah jelutung,
getah merah, getah balam, getah karet alam dan lain-lain, (b) tanin : pinang,
gambir, Rhizophora, Bruguiera, dan lain-lain, (c) resin : gaharu, kemedangan,
jernang, damar mata kucing, damar batu, damar rasak, kemenyan dan lain-lain,
(d) minyak atsiri : minyak gaharu, minyak kayu putih, minyak keruing, minyak
lawang, minyak kayu manis, (e) madu : Apis dorsata, Apis mellifera, (f) rotan dan
bambu : segala jenis rotan, bambu dan nibung, (g) penghasil karbohidrat : sagu,
aren, nipah, sukun dan lain-lain, (h) hasil hewan : sutra alam, lilin lebah, aneka
hewan yang tidak dilindungi, dan (i) tumbuhan obat dan tanaman hias : aneka
tumbuhan obat dari hutan, anggrek hutan, palma, pakis dan lain-lain.
3. Peranan HHBK terhadap pembangunan wilayah
Kontribusi terbesar dalam menggerakkan pembangunan adalah dari sektor
pertanian dan kehutanan. Beberapa dari pola pengelolaan hutan rakyat yang ada
maka hasil dari hutan rakyat memberikan kontribusi yang besar terhadap
pendapatan desa dan pembangunan wilayah. Pengaturan terhadap HHBK baik
dari proses produksi, pengolahan dan pemasaran, semua dapat dilakukan oleh
17
masyarakat, sehingga income (pendapatan) dari kegiatan tersebut masuk dalam
wilayah produsen (Yusran dan Abdullah, 2007).
Produk HHBK merupakan sumber utama uang tunai dan subsistensi penghasilan
bagi jutaan masyarakat pedesaan dan pribumi yang hidup di daerah tropis negara
di seluruh dunia (Howell dkk., 2010). Masyarakat menganggap HHBK sebagai
sumber daya hayati yang paling bernilai dari hutan. Selain nilai ekonominya yang
jauh lebih besar dari kayu, pemungutan HHBK tidak menyebabkan kerusakan
hutan, sehingga tidak akan mengakibatkan hilangnya fungsi-fungsi dan nilai jasa
dari hutan (Oka dan Amran, 2005). Menurut Diniyati dan Budiman (2015),
HHBK adalah semua barang/bahan yang di ambil atau di panen selain kayu dari
ekosistem alam, hutan tanaman, dan berguna untuk keperluan rumah tangga atau
pemasaran. Selain itu HHBK juga merupakan bagian dari ekosistem hutan yang
memiliki peranan yang beragam, baik terhadap lingkungan alam maupun terhadap
kehidupan manusia (Suhesti dan Hadinoto, 2015). Berdasarkan hal tersebut
HHBK menjadi pilihan yang paling logis, karena di kawasan hutan lindung tidak
memperbolehkan pemanfaatan hasil hutan kayu (Setiawan dan Krisnawati, 2014).
Berdasarkan PerMenLHK No P.77/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019
disebutkan nilai ekonomi HHBK di Indonesia diperkirakan mencapai 90% dari
total nilai ekonomi yang dapat dihasilkan dari ekosistem hutan. Selain itu,
komoditi HHBK juga merupakan salah satu sumber daya kawasan yang paling
menyentuh kehidupan masyarakat sekitar hutan. Produk HHBK telah menjadi
pemasukan sekaligus pendapatan langsung bagi pemenuhan kebutuhan banyak
rumah tangga dan masyarakat di seluruh dunia (Wibowo, 2013).
18
2.5 Pemanfaatan HHBK
Menurut Peraturan Mentri Lingkuhan Hidup dan Kehutanan No.P.50/Menlhk/
Setjen/Kum.1/6/2016, peran masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan
konservasi (daerah penyangga) sebagai pemohon, dalam pemanfaatan HHBK dari
kawasan konservasi sebagai berikut :
1. Membentuk lembaga/kelompok masyarakat lokal di dalam dan di sekitar
kawasan konservasi (daerah penyangga).
2. Mengajukan permohonan izin pemanfaatan HHBK dari kawasan konservasi
kepada UPT Ditjen PHKA terkait.
3. Membuat rencana (target, volume) pengambilan jenis, untuk periode tertentu.
4. Mengembangkan HHBK secara lestari di daerah penyangga dengan
memperhatikan aspek ‘Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya’.
5. Melaporkan kegiatan pemanfaatan HHBK dari kawasan konservasi secara
periodik kepada UPT Ditjen PHKA terkait.
Menurut Peraturan Mentri Lingkuhan Hidup dan Kehutanan No.P.50/Menlhk/
Setjen/Kum.1/6/2016, pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar berupa HHBK
bertujuan agar jenis tumbuhan dan satwa liar dapat didayagunakan secara lestari
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tujuan pemanfaatan HHBK dalam
pemberdayaan masyarakat di daerah penyangga kawasan konservasi :
a) meningkatkan sosial ekonomi masyarakat daerah penyangga, b) rehabilitasi
lahan di daerah penyangga, c) mencegah erosi dan meningkatkan kualitas
19
lingkungan dan pengaturan tata air, d) mencegah/menekan laju perambahan hutan
dan illegal logging, dan e) menjaga kawasan konservasi sesuai fungsinya.
Alternatif lain untuk pembangunan sektor kehutanan adalah pengembangan jenis
tanaman HHBK, karena memiliki potensi yang cukup tinggi. Potensi
produktivitas berbagai jenis HHBK cukup tinggi dalam mendukung diversifikasi
pendapatan masyarakat. Salah satu kelemahan masyarakat adalah belum
dikuasainya teknologi pemanenan dan pengelolaan pasca panen, sehingga
menyebabkan banyak HHBK yang tidak termanfaatkan. Karena itu pada masa
yang akan datang sangat diperlukan penguatan kelembagaan dan peningkatan
kapasitas masyarakat dalam pengelolaan, pemanenan, dan perlakuan pasca panen,
sehingga masyarakat memperoleh hasil dalam jumlah dan kualitas yang
memuaskan (Njurumana dan Butarbutar, 2008).
Pengembangan model agroforestri berbasis HHBK merupakan sebuah terobosan
alternatif dalam pemanfaatan satuan unit lahan secara intensif dalam rangka
meningkatkan produktivitas dan kualitas produksi sehingga dapat meningkatkan
diversifikasi pendapatan masyarakat pedesaan di Timor Barat. Pertimbangan
pemilihan jenis tanaman dapat dilakukan berdasarkan pewilayahan komoditas
dengan memperhatikan kelayakan sosial, kelayakan ekonomi, dan kelayakan
ekologi.
Pengembangan HHBK melalui agroforestri perlu didukung dengan pemberdayaan
dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan agroforestri, meliputi
unsur teknik budi daya, teknik pemanenan yang ramah lingkungan, teknik
pengolahan hasil yang sesuai dengan kebutuhan pasar, penyimpanan hasil, dan
20
sistem pemasaran serta penguatan kelompok atau kelembagaan sehingga bisa
mengelola satuan unit lahan secara profesional. Kerangka dalam pengembangan
agroforestri, jenis-jenis tanaman HHBK harus dapat dipadukan dengan jenis-jenis
tanaman pangan sebagai upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan
masyarakat. Pengembangan jenis pangan alternatif merupakan salah satu upaya
untuk mendorong masyarakat meningkatkan ketahanan pangan melalui
diversifikasi jenis tanaman dalam pengembangan agroforestri (Njurumana dan
Butarbutar, 2008).
Pengumpulan HHBK masyarakat adalah aktifitas ekonomi tradisional yang
diduga bahwa faktor yang memengaruhi intensitas pengambilan HHBK
dipengaruhi oleh kebiasaan turun temurun, ketersediaan HHBK dan juga
dorongan ekonomi, dimana semakin tinggi dorongan ekonomi di lingkungan
sekitar, maka akan semakin besar kemungkinan untuk pemungutan HHBK
sebagai alternatif pemenuhan ekonomi. Peluang-peluang ekonomi yang ada juga
memengaruhi pemungutan HHBK, karena semakin tinggi permintaan akan hasil
HHBK, maka akan semakin tinggi juga eksploitasi terhadap HHBK itu sendiri
(Nugroho dkk., 2015).
2.6 Ketergantungan Masyarakat terhadap HHBK
Manusia dan hutan memiliki hubungan yang unik, dimana manusia merupakan
bagian dari ekosistem hutan itu sendiri. Hubungan timbal balik antara manusia
dan hutan merupakan interaksi yang saling memengaruhi. Jika hutan rusak maka
kehidupan manusia terancam, sebaliknya jika manusia terpenuhi kesejahteraannya
21
maka kelestarian hutan terjaga pula. Cara hidup tradisional disertai mahalnya
bahan bakar minyak menyebabkan penggunaan kayu sebagai bahan bakar masih
sangat populer dikalangan masyarakat. Kayu bakar belum umum
diperjualbelikan, kebutuhannya dipenuhi dari mengambil ranting, cabang dan
batang pohon kering dari dalam hutan maupun dari kebun-kebun masyarakat.
Ketergantungan masyarakat akan HHBK seperti rotan (Dracontomelon spp), sagu
(Metroxylon sagoo), pala (Myristica lepidota), dan lainnya sangat tinggi (Nurrani
dan Tabba, 2013).
Tantangan yang dihadapi adalah bahwa data menunjukkan sebanyak 81,82%
masyarakat di Timor Barat adalah petani yang menggantungkan hidupnya pada
sektor pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Alternatif
lapangan pekerjaan pada sektor industri dan jasa sangat terbatas, sehingga
masyarakat akan selalu tergantung terhadap sumber daya lahan untuk
mengembangkan usaha pertanian lahan kering (Indrasari, 2016).
2.7 Sosial Ekonomi Masyarakat
Baharuddin (2006) mengemukakan bahwa pemanfaatan HHBK umumnya untuk
kebutuhan atau kepentingan individu dan pemberdayaan desa serta untuk bahan
kerajinan masyarakat. Masyarakat memandang hutan sebagai lahan usaha dan
penyediaan berbagai keperluan sehari-hari, namun pemanfaatannya tetap diatur
menurut adat terutama untuk hal-hal yang menyangkut tanah perladangan.
Sedangkan ketergantungan manusia pada hutan adalah fenomena multifaset
(beraneka segi). Tingkat ketergantungan pada hutan bervariasi secara geografis.
22
Dinamika ini mendukung pentingnya memahami faktor penentu ketergantungan
rumah tangga terhadap hutan untuk pengelolaan dan konservasi hutan
berkelanjutan jangka panjang (Garekae dkk., 2017).
Secara global, sekitar 1,6 miliar penduduk pedesaan bergantung sepenuhnya atau
sebagian pada produk yang berasal dari hutan setempat (Chao, 2012; dan Bwalya,
2013). Masyarakat ini hidup di dalam atau berdekatan dengan hutan dan
bergantung pada sumber daya alam dan liar ini untuk memenuhi kebutuhan dasar
mereka untuk bertahan hidup dan mata pencaharian dari generasi ke generasi
(Chao, 2012). Pemahaman tentang ketergantungan masyarakat pada hasil hutan
dapat menjembatani kesenjangan ini dan dapat mendukung kegiatan konservasi
dan intervensi kebijakan pembangunan sebagai pengelolaan hutan lestari
(McShane dkk., 2004).
Sejak dahulu kala, hutan dan produk-produk terkaitnya tetap penting dalam
mempertahankan mata pencaharian (Bwalya, 2013; dan Mukul dkk., 2016),
khususnya untuk masyarakat yang bergantung pada hutan, yang hidup dalam
kemiskinan. Hutan sangat penting dalam penyediaan kebutuhan dasar, tabungan
tunai dan jaring pengaman. Ketergantungan terhadap hutan didefinisikan dan
diukur berdasarkan kategori yang tumpang tindih seperti ekstraksi dan produksi
hasil hutan dan ekonomi penggunaan sumber daya alam “nonkonsumtif” untuk
pariwisata atau fasilitas (FAO, 2015).
Ketergantungan terhadap hutan dianggap sebagai ketergantungan ekonomi
masyarakat pada hutan (Teshome dkk., 2015; dan Kar dkk., 2012), khususnya
pendapatan bersih hutan dan varietas hasil hutan yang dikumpulkan yang biasanya
23
digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka seperti
subsistensi. Garekae dkk. (2017) menunjukkan bahwa tempat tinggal, usia dan
tingkat pendidikan rumah tangga secara statistik dan signifikan memengaruhi
ketergantungan pada hutan. Temuan ini konsisten dengan penelitian dari tempat
lain yang menetapkan bahwa kedekatan dengan hutan meningkatkan
kemungkinan rumah tangga untuk menunjukkan ketergantungan yang lebih besar
pada produk hutan dibandingkan dengan yang terjauh (Baiyegunhi dkk., 2016;
Fikir dkk., 2016; dan Mukul dkk., 2016).
Semakin besar ketergantungan pada hasil hutan masyarakat mengarah pada
kontribusi yang lebih besar pula terhadap aksi kolektif untuk pengelolaan hutan
masyarakat (Gatiso, 2017). Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan sumber
daya untuk mata pencaharian secara signifikan memengaruhi keberhasilan
pengelolaan komunitas sumber daya secara umum, yang sejalan dengan beberapa
studi dalam literatur. Stedman dkk. (2011) juga menjelaskan bahwa
ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan juga memengaruhi tingkat
kesejahteraan dan pengangguran pada masyarakat sekitar hutan.
Basrowi dan Juariyah (2010) menyatakan bahwa sosial ekonomi adalah suatu
kedudukan yang secara rasional dan menetapkan seseorang pada posisi tertentu
dalam masyarakat, pemberian posisi itu disertai pula dengan seperangkat hak dan
kewajiban yang harus dimainkan oleh si pembawa status. Ciri-ciri keadaan sosial
ekonomi yaitu sebagai berikut; a) lebih berpendidikan, b) mempunyai status sosial
yang ditandai dengan tingkat kehidupan, kesehatan, pekerjaan, dan pengenalan
diri terhadap lingkungan, c) mempunyai tingkat mobilitas ke atas lebih besar,
24
d) mempunyai ladang luas, e) lebih berorientasi pada ekonomi komersial produk,
f) mempunyai sikap yang lebih berkenaan dengan kredit, dan g) pekerjaan lebih
spesifik.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat menjadi objek utama dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Pada kenyataanya penduduk yang tinggal
di sekitar hutan merupakan masyarakat yang tergolong miskin karena lebih dari
60% penduduk berprofesi sebagai petani dan menggantungkan hidup pada hasil
pertanian, bahkan tidak semua masyarakat memiliki lahan (Sutejo, 2014).
Kondisi sosial ekonomi masyarakat diantaranya dapat dilihat berdasarkan jumlah
tanggungan keluarga, usia, mata pencaharian, pendidikan, pendapatan dan
sebagainya. Kondisi sosial tersebut dapat memengaruhi keadaan lingkungan
tempat tinggal masyarakat maupun lahan yang dikelola (Yudilastiantoro, 2011).
2.7.1 Pendapatan
Pendapatan rumah tangga adalah kumpulan pendapatan dari setiap anggota rumah
tangga (Sutejo, 2014). Pendapatan masyarakat dapat dihitung dengan
menjumlahkan seluruh pendapatan yang diterima dari kegiatan usahatani dan
pendapatan dari kegiatan non usahatani. Pendapatan dapat digunakan untuk
menggambarkan tingkat kemampuan petani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
karena pendapatan petani dapat digunakan untuk mencerminkan keadaan ekonomi
rumah tangga. Tingkat keberhasilan petani dalam mengelola lahan dilihat dari
besarnya pendapatan yang diperoleh dibandingkan dengan biaya yang telah
dikeluarkan selama masa pengelolaan. Faktor lain yang memengaruhi besar
25
kecilnya pendapatan petani dari hutan adalah produktivitas lahan rakyat tersebut
(Syofiandi dkk., 2016).
Kegiatan pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Tingkat pendapatan masyarakat di sekitar hutan yang rendah dan luas
garapan yang sempit, menimbulkan banyak tekanan terhadap keberadaan hutan
(Sutejo, 2014). Biasanya pendapatan rumah tangga lebih banyak digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pangan dibandingkan untuk kebutuhan memenuhi fasilitas
dalam suatu rumah (Andrianto, 2016).
Keberadaan hutan yang berbatasan dengan desa memberikan manfaat secara
ekonomi bagi petani, hal ini dikarenakan penjualan hasil hutan, baik berupa kayu
maupun non kayu dapat memberikan tambahan pendapatan. Pendapatan tersebut
diperoleh dari pengurangan antara penerimaan dengan biaya yang telah
dikeluarkan selama melakukan pengelolaan (Aminah dkk., 2013). Tingkat
pendapatan petani penggarap lahan hutan dapat ditentukan dengan jenis tanaman
dan luas lahan yang diusahakan. Umumnya pendapatan petani diperoleh dari
tanaman semusim dan tanaman tahunan (Mamuko dkk., 2016). Keragaman jenis
tanaman yang diusahakan dapat memengaruhi tingkat pendapatan masyarakat
(Ayu dkk., 2015).
2.7.2 Pendidikan
Pendidikan merupakan hal penting untuk meningkatkan kualitas manusia dalam
segala hal. Tingkat pendidikan seseorang dapat memengaruhi cara berpikir,
26
perilaku dan respon terhadap informasi. Umumnya masyarakat dengan
kemampuan ekonomi yang rendah sulit mendapatkan pendidikan yang tinggi.
Tingkat pendidikan dan keterampilan masyarakat sekitar hutan umumnya berada
pada level rendah. Tingkat pendidikan petani dapat memengaruhi usaha yang
dijalankan yaitu berhasil tidaknya suatu usaha dapat dipengaruhi pendidikan
(Sutejo, 2014).
Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tinggi biaya yang diperlukan
(Basrowi dan Juariah, 2010). Pendidikan yang semakin baik dapat menyebabkan
semakin responsifnya seseorang terhadap perubahan (Kadir dkk., 2012). Semakin
tinggi tingkat pendidikan akan semakin tinggi kemampuan individu dalam
memperbanyak pilihan terhadap mata pencaharian lain (Hastanti dan Trianto,
2015). Tingkat pendidikan yang semakin tinggi dapat memengaruhi kemampuan
masyarakat dalam mengelola hutan. Umumnya pendidikan yang tinggi juga akan
memberi keterbukaan yang semakin tinggi terhadap informasi-informasi yang
berhubungan dengan usaha yang dijalankan (Achmad dkk., 2015; Budhiati, 2011).
Tingkat pendidikan masyarakat yang rendah menyebabkan tingkat kesejahteraan
masyarakat juga rendah karena tingkat pendidikan berhubungan dengan tingkat
pendapatan masyarakat (Hamid dkk., 2011). Rendahnya tingkat pendidikan
masyarakat diakibatkan adanya keterbatasan biaya (Adalina, 2015). Rendahnya
tingkat pendidikan menyebabkan kurangnya pemahaman tentang makna
konservasi sumber daya alam di masa mendatang. Tidak semua petani dengan
pendidikan rendah mengalami kegagalan dalam usaha tani, tetapi cukup banyak
yang tidak berhasil, dan mengalami kerugian (Hastanti dan Trianto, 2012).
27
2.7.3 Pekerjaan Sampingan
Pekerjaan sampingan adalah suatu pekerjaan yang mampu memberikan tambahan
pendapatan keluarga melalui usaha sampingan (Hikmah dkk., 2013). Pendapatan
rumah tangga dapat ditingkatkan dengan melakukan pekerjaan sampingan seperti
pedagang, pengrajin, dan jasa yang biasa dilakukan. Sebagian besar pekerjaan
sampingan yang dilakukan oleh petani adalah sebagai buruh serabutan, dengan
begitu jika ada panggilan biasanya kepala keluarga petani akan meninggalkan
sementara aktifitas pemanfaatan di dalam kawasan hutan (Syofiandi dkk., 2016).
Pekerjaan sampingan yang dapat dilakukan masyarakat sekitar hutan diantaranya
membuat kerajinan disela-sela waktu kerja. Sebenarnya banyak kerajinan yang
dapat dibuat dari hasil hutan non-kayu, misalnya kursi dari rotan, tirai dari rotan
dan lainya. Kurangnya keterampilan dan pengetahuan masyarakat sekitar hutan
menyebabkan masyarakat hanya dapat mengandalkan pekerjaan sampingan
sebagai buruh tani (Yusran dan Abdullah, 2007).
2.7.4 Jumlah Tanggungan Keluarga
Anggota keluarga adalah anggota dalam rumah tangga yang termasuk satuan unit
anggaran satu dapur, termasuk anak sekolah yang tinggal serumah dan menjadi
tanggungan keluarga, tetapi tidak termasuk orang lain yang tinggal serumah yang
tidak ikut makan dalam rumah tersebut (Subarna, 2011). Jumlah tanggungan
keluarga adalah anggota rumah tangga yang belum bekerja, status bersekolah dan
orang tua lanjut. Pada umumnya, beban tanggungan keluarga terdiri dari 3-4
orang, yang meliputi istri dan anak (Wasak, 2012; Neil dkk., 2016), semakin
28
tinggi jumlah tanggungan keluarga semakin tinggi juga pengeluaran (Mamuko
dkk., 2016).
Jumlah tanggungan keluarga dapat mempengaruhi semangat dan kreativitas
kepala keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Bertambahnya
jumlah tanggungan keluarga maka semakin banyak kebutuhan yang harus
dipenuhi (Subarna, 2011). Kondisi ini mengharuskan setiap kepala keluarga harus
bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehingga dapat
memengaruhi terjadinya pembukaan lahan baru dalam kawasan hutan.
Jumlah tanggungan keluarga dapat dijadikan sebagai sumber tenaga kerja dalam
pengelolaan lahan hutan. Penggarapan lahan hutan umumnya dijalankan oleh
ayah dan ibu, sedangkan anak cukup jarang terlibat kecuali anak yang tidak
sekolah. Umumnya anak-anak petani sekolah sampai keluar dari desa, sehingga
waktu untuk bekerja di lahan semakin sedikit. Sedikitnya jumlah keluarga
ditambah dengan rendahnya modal, maka rata-rata petani tidak dapat mengelola
hutan dengan baik (Achmad dkk., 2015).
2.7.5 Lama Menggarap
Lama menggarap adalah lamanya masyarakat dalam melakukan kegiatan
pengelolaan lahan usahatani. Lahan usaha tani merupakan tempat berlangsungnya
kegiatan pertanian mulai bercocok tanam dan lain sebagainya. Semakin lama
seseorang menggarap lahan maka semakin luas lahan garapan yang dimiliki dan
semakin besar pula modal yang harus disediakan dalam mengusahakan tanaman
(Pasha, 2009).
29
Masyarakat yang telah lama menggarap lahan hutan memperoleh pengalaman cara
mengelola lahan hutan dengan baik. Pengalaman petani dapat memberikan
peluang yang besar terhadap pengembangan usaha masyarakat di lahan hutan.
Umumnya masyarakat yang telah lama menggarap lahan hutan akan lebih
mengembangkan jenis tanaman yang intensif (Pasha, 2009).
2.7.6 Luas Lahan
Lahan adalah faktor produksi yang paling penting pada sistem pertanian (Karto,
2014). Luas lahan merupakan gambaran potensi aset dari sebuah rumah tangga
petani dan dapat digunakan sebagai indikator sosial ekonomi masyarakat pedesaan
(Mamuko dkk., 2016).
Semakin sempit lahan yang diusahakan petani, maka semakin terfokus masyarakat
dalam mengelola lahan. Lahan yang sempit juga dapat mengurangi resiko
kegagalan dan mengurangi modal usaha tani (Antara, 2005). Modal yang rendah
dapat mendukung keberlanjutan suatu usaha. Luas lahan memengaruhi jenis
jumlah jenis tanaman yang diusahakan dalam pemanfaatan lahan (Satriawan dan
Faudy, 2013).
2.7.7 Jumlah Jenis Tanaman
Pemilihan jumlah jenis tanaman dipertimbangkan untuk memperoleh pendapatan
secara berkesinambungan baik untuk keperluan sehari-hari maupun sebagai
tabungan jangka panjang (Kadir dkk., 2012). Petani memilih jenis tanaman yang
cepat tumbuh atau minimal mampu memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari.
30
Menurut Nadeak dkk. (2013), petani akan memilih jenis tanaman yang masa
produksinya lebih cepat dibandingkan jenis tanaman lain.
Jenis tanaman kayu-kayuan tidak dijadikan sebagai tanaman utama karena
membutuhkan waktu yang lama untuk dipanen. Kombinasi tanaman yang umum
diterapkan petani adalah tanaman penghasil kayu dengan tanaman pangan,
tanaman perkebunan dengan tanaman pangan dan penghasil kayu (tanaman
pinggir) dan tanaman perkebunan dengan hortikultura. Selain itu, sebagian kecil
petani menerapkan kombinasi tanaman perkebunan dengan tanaman pakan dan
tanaman perkebunan dengan ternak (Satriawan dan Faudy, 2013).
Kombinasi jenis tanaman dapat terdiri dari tanaman pengisi, tanaman subsisten
dan komersil. Tanaman pengisi adalah jenis tanaman yang memiliki manfaat
secara ekonomi. Tanaman subsisten adalah jenis tanaman yang tidak
menghasilkan uang (tidak dijual) sementara tanaman komersil adalah jenis
tanaman yang dijual dengan kata lain menghasilkan uang (Nadeak dkk., 2013).
31
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2019 di Desa Tribudisyukur,
Kecamatan Kebun Tebu, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. Desa
Tribudisyukur secara administratif terdiri dari 5 dusun yang sebagian besar
masyarakatnya merupakan petani HKm dan hidup dari pemanfaatan HHBK. Peta
lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
3.2 Alat dan Objek
Objek pada penelitian ini adalah petani peserta HKm di Desa Tribudisyukur yang
berbatasan langsung dan memanfaatkan HHBK di hutan lindung. Alat yang
digunakan atau dibutuhkan dalam penelitian ini adalah kuesioner, kamera, peta,
software yang sesuai dan Microsoft Office.
32
Gambar 2. Lokasi Penelitian.
3.3 Cara Pengumpulan Data
3.3.1 Jenis Data
Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder:
a. Data primer adalah data yang diambil secara langsung di lapangan (Sugiyono,
2011). Data yang diambil dalam penelitian ini adalah identitas masyarakat
seperti nama, umur, jenis kelamin, lama menjadi petani HKm serta data faktor-
faktor sosial yang memengaruhi pendapatan petani terhadap hasil HHBK di
HKm yaitu pendapatan dari luar HKm, pendidikan, jumlah tanggungan
keluarga, pekerjaan sampingan, lama menjadi petani HKm, jarak rumah ke
33
lahan garapan, dan luas lahan. Data jumlah pendapatan dari HHBK di HKm
sebagai variabel yang memengaruhi ketergantungan petani terhadap HHBK.
b. Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini adalah kondisi secara umum
lokasi penelitian, data monografi untuk mengetahui jumlah petani HKm pada
lokasi penelitian yang berbatasan dengan kawasan Hutan Lindung Register
45B, peta desa, sejarah desa dan batas dusun.
3.3.2 Metode Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Simple
Random Sampling (SRS). SRS merupakan metode yang digunakan dalam
memilih sampel dengan setiap anggota populasi mempunyai peluang yang sama
untuk dijadikan sebagai sampel (Jeelani dkk., 2014). Jumlah sampel diambil
menggunakan rumus slovin dengan ketetapan batas error 15% karena populasinya
lebih dari 100 (Arikunto, 2011).
𝑛 =N
N(e2) + 1
Keterangan:
n = jumlah responden
N = jumlah total petani peserta HKm di Desa Tribudisyukur
e = batas error 15%
1 = bilangan konstan
3.3.3 Metode Pengumpulan Data
1. Observasi
Observasi pada penelitian ini dilakukan guna mengumpulkan data tentang
aktivitas yang dilakukan petani peserta HKm dalam pemanfaatan hasil hutan
lindung di Desa Tribudisyukur, Kecamatan Kebun Tebu, Kabupaten Lampung
34
Barat, Provinsi Lampung dengan mengamati secara langsung ke lokasi
penelitian.
2. Wawancara
Wawancara merupakan suatu metode tanya jawab yang dilakukan secara
langsung guna memperoleh data primer dari responden dengan bantuan
kuesioner. Kuesioner yang digunakan dibuat secara sistematis menggunakaan
skala Likert.
3. Dokumentasi
Metode ini dilakukan dengan cara mengambil gambar dokumentasi terkait
kegiatan penelitian. Hal ini dilakukan guna memperoleh informasi serta bukti
berupa foto-foto kegiatan penelitian dan pemanfaatan hasil hutan lindung.
4. Studi Literatur
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data sekunder. Data sekunder
yang dibutuhkan meliputi gambaran umum kawasan, karakteristik kawasan,
dan kegiatan yang berlangsung.
3.4 Metode Analisis Data
3.4.1 Analisis Pendapatan Petani
Data pendapatan petani pengelola HKm diperoleh dari pendapatan dikurangi
dengan biaya atau modal. Data yang diperoleh diolah dan disajikan dalam bentuk
tabel serta dijelaskan secara deskriptif. Persamaan yang digunakan dalam
35
pengolahan data yang diperoleh berdasarkan Puspasari dkk. (2017), sebagai
berikut:
1. Pendapatan petani dari kegiatan di areal kerja HKm
IHKm = Σ RHKm - ΣCHKm
Keterangan:
IHKm = pendapatan dari kegiatan di HKm (Rp/Tahun)
RHKm = penerimaan dari produk kegiatan di HKm (Rp/Tahun)
CHKm = pengeluaran untuk pengelolaan dari kegiatan di HKm (Rp/Tahun)
1. Pendapatan dari kegiatan non HKm
InHKm = Σ RnHKm - ΣCnHKm
Keterangan:
InHKm = pendapatan total dari kegiatan non HKm (Rp/Tahun)
RnHKm = penerimaan masing-masing dari kegiatan non HKm (Rp/Tahun)
CnHKm = pengeluaran untuk kegiatan non HKm (Rp/Tahun)
3.4.2 Analisis Ketergantungan Masyarakat terhadap HHBK
Data yang terkumpul dari kuesioner dan wawancara diubah dalam bentuk tabulasi
kemudian diberikan kerangka penafsiran. Tabulasi yaitu pengelompokan hasil
data guna mempermudah proses analisis. Hasil tabulasi data kemudian diberi
skor dengan menggunakan metode skala Likert. Menurut Sugiyono (2014), skala
Likert, merupakan skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan
persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Kriteria
dalam pemberian skor untuk alternatif jawaban setiap itemnya yaitu, skor 5 untuk
respon sangat tergantung (ST), skor 4 untuk respon tergantung (T), skor 3 untuk
respon cukup tergantung (CT), skor 2 untuk respon tidak tergantung (TT), dan
skor 1 untuk respon sangat tidak tergantung (STT). Menurut Sugiyono (2007),
one score indicator, yakni satuan nilai untuk satu pertanyaan dapat dihitung
dengan rumus berikut.
36
T x Pn
Keterangan :
T = Total jumlah responden yang memilih
Pn = Pilihan angka skor Likert
Panjang kelas interval =Nilai Tertinggi−Nilai Terendah
Banyak Interval Kelas
Penyelesaian akhir =Total skor
Jumlah Skor (𝐿𝑖𝑘𝑒𝑟𝑡)
3.4.3 Analisis Faktor-faktor Ketergantungan Petani terhadap HHBK
Data yang terkumpul dari kuesioner di analisis menggunakan persamaan regresi
linier berganda untuk menganalisis faktor-faktor yang diduga memengaruhi
pendapatan petani. Variabel yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Variabel dan definisi operasional
No Variabel Simbol Skala pengkuran
1 Ketergantungan terhadap HHBK [Y] Pendapatan
HHBK
2 Jumlah jenis tanaman [JMLH_JT] Jumlah jenis
3 Pendidikan
D1_SD
D1_SMP
D1_SMA
D1_PT
Dummy
1= Lulus SD
Lulus SMP
Lulus SMA
Sarjana/D3/D1
0= Lainnya
4 Pekerjaan sampingan [D2_PS] 1= Ada
0= Jika tidak ada
5 Jumlah tanggungan keluarga [TGK] Rasio
6 Jarak lahan garapan [JRK_LG] Rasio
7 Lama menjadi petani HKM [LM_HKM] Rasio
8 Luas lahan garapan [LS_LHN] Rasio
9 Umur [UMR] Rasio
10 Kelamin [KLM] 1=Laki-laki
0=Perempuan (Simarmata, 2018)
37
Model yang digunakan pada penelitian ini yaitu:
[Y]i = α0 +α1[JMLH_JT]i + α2[D1_SD]i +α3[D1_SMP]i + α4[D1_SMA]i
+α5[D1_PT]i + α6[D2_PS]i + α7[TGK]i +α8[JRK_LG]i + α9[LM_HKM]i
+α10 [LS_LHN]i + α11[UMR]i + α12[KLM]i + e
Hipotesis:
H0 : α1= α2= α3= α4= α5= α6= α7= α8= α9= α10= α11= α12= 0
H1 : α1≠ α2≠ α3≠ α4≠α5≠ α6≠ α7≠ α8≠ α9≠ α10≠ α11≠ α12≠ 0
Keterangan:
α0 = Konstanta
α1,α2,αi = Koefisien regresi
e = Error
[Y]i = Pendapatan rumah tangga (Juta Rupiah/bulan)
[JMLH_JT]i = Jumlah tanaman (Jenis)
[D1_SD]i = Lulus SD
[D1_SMP]i = Lulus SMP
[D1_SMA]i = Lulus SMA
[D1_PT]i = Lulus Perguruan tinggi
[D2_PS]i = Pekerjaan sampingan petani HKm
[JMLH_TGK]i = Jumlah tanggungan keluarga (orang)
[JRK_TT]i = Jarak tempat tinggal (m)
[LM_HKM]i = Lama menjadi petani hkm (tahun)
[LS_LHN]i = Luas lahan (ha)
[UMR] i = Umur (tahun)
[KLM]i = Kelamin (L/P)
Analisis regresi merupakan hubungan antara variabel bebas X dengan variabel
terikat Y. Pada penelitian ini analisis regresi dilakukan guna mengetahui
pengaruh variabel bebas X (faktor-faktor yang memengaruhi ketergantungan
pendapatan petani) terhadap variabel terikat Y (jumlah pendapatan dari HHBK)
(Mona dkk., 2015). Analisis dilakukan dengan pendekatan regresi linear
berganda, dimana variabel independen (bebas) lebih dari satu. Pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen dapat dilihat melalui regresi linear
berganda (Basrowi, 2010).
38
Model pengujian yang digunakan pada penelitian ini yaitu:
a. Pengujian model secara keseluruhan (Uji F)
Uji F ini dilakukan guna mengetahui apakah secara keseluruhan semua
variable independen berpengaruh terhadap variabel terikat secara signifikan.
Uji F dapat dilihat dari nilai probabilitas signifikansinya yang kurang dari
0,05, berarti variabel-variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat
secara signifikan.
b. Pengujian model secara parsial (Uji t)
Uji t dilakukan untuk mengetahui apakah variabel bebas secara parsial
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat. Uji t dapat dilihat
dari nilai probabilitas signifikansinya yang kurang dari 0,05, berarti variabel-
variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat secara signifikan.
c. Uji determinasi (R2)
Koefisien determinasi R2 yaitu ukuran berupa persentase dari total variasi
dalam Y yang dijelaskan pada model regresi/variabel bebas. Koefisien
determinasi dinyatakan dalam persen (%), sedangkan nilai R2 adalah 0 sampai
1 dimana jika 1 berarti regresi tersebut menjelaskan 100% variasi dalam
variabel terikat. Jika 0 berarti regresi tidak menjelaskan sedikitpun variasi
dalam variabel terikat (Musanto, 2004).
Selanjutnya hasil analisis data kemudian dianalisis secara deskriptif, sehingga
dapat diketahui dan ditarik kesimpulan faktor apa saja yang secara nyata
memengaruhi tingkat ketergantungan pendapatan petani peserta terhadap HHBK
di Desa Tribudisyukur.
58
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa.
1. Total rata-rata pendapatan on farm petani dari HHBK di lahan HKm yaitu
Rp.1.880.562/KK/bulan, sedangkan pendapatan on farm petani dari HHBK di
luar HKm yaitu Rp.527.483/KK/bulan dan dari kegiatan non farm yaitu
Rp.942.878/KK/bulan.
2. Tingkat ketergantungan petani terhadap HHBK di lahan HKm yang dinilai dari
keberadaanya memiliki skor 310, angka ini pada interval masuk dalam kategori
cukup tergantung. Artinya pendapatan rumah tangga petani peserta HKm
cukup tergantung pada HHBK. Diketahui bahwa HHBK di lahan HKm
menyumbang 56,11% dari total pendapatan rumah tangga petani peserta HKm.
3. Faktor-faktor yang memengaruhi pendapatan petani peserta HKm yaitu luas
lahan garapan dan banyaknya jenis tanaman. Semakin luas lahan garapan
semakin banyak jenis tanaman yang yang bernilai ekonomis ditanam, maka
semakin tinggi peluang untuk mendapatkan hasil yang lebih besar.
59
5.2 Saran
Perlu adanya penelitian lanjutan tentang HHBK di tempat penelitian dan utuk
kegiatan reforestasi direkomendasikan jenis MPTs seperti durian, sehingga
diharapkan dapat memperbaiki tutupan tajuk, namun tetap mementingkan
kesejahteraan masyarakat sekitar.
60
DAFTAR PUSTAKA
61
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, B., Purwanto, R.H., Sabarnurdin, S., Sumardi. 2015. Tingkat
pendapatan dan curahan tenaga kerja pada hutan rakyat di Kabupaten
Ciamis. Jurnal Ilmu Kehutanan. 9(2): 105-116.
Adalina, Y. 2015. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar Taman Nasional
Gunung Halimun Salak. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam.
12(2): 105-118.
Ali, J., Delis, A., Hodijah, S. 2015. Analisis produksi dan pendapatan petani
karet di Kabupaten Bungo. Jurnal Perspektif Pembiayaan dan
Pembangunan Daerah. 2(4): 201-208.
Aminah, L. N., Qurniati, R., Hidayat, W. 2013. Kontribusi hutan rakyat terhadap
pendapatan petani di Desa Buana Sakti Kecamatan Batanghari Kabupaten
Lampung Timur. Jurnal Sylva Lestari. 1(1): 47-54.
Andini, N.K., Nilakusmawati, D.P.E., Susilawati, M. 2013. Faktor-faktor yang
memengaruhi penduduk lanjut usia masih bekerja. Jurnal Kependudukan
dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. 9(1): 44-49.
Andrianto, A., Qurniati, R., Setiawan, A. 2016. Pengaruh karakteristik rumah
tangga terhadap tingkat kemiskinan masyarakat sekitar mangrove. Jurnal
Sylva Lestari. 4(3): 107-113.
Antara, M. 2005. Faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi petani di Kawasan
Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) untuk mencari rotan (Studi kasus di
Desa Doda Kecamatan Lore Tengah Kabupaten Poso). Jurnal Agrisains.
6(2): 65-72.
Ardhiarisca, O., Muspita, M., Kustiari, T. 2015. Analisis faktor internal dan
eksternal yang memengaruhi pengembangan agribisnis tembakau di
Kabupaten Jember. Jurnal Ilmiah Inovasi. 5(3): 62-65.
Arikunto, S. 2011. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka cipta.
Jakarta. 96 hlm.
62
Ayu, H. Y., Qurniaty, R., Hilmanto, R. 2015. Analisis finansial dan komposisi
tanaman dalam rangka persiapan pengajuan izin HKM (Studi kasus Desa
Margosari Kecamatan Pagelaran Utara Kabupaten Pringsewu). Jurnal
Sylva Lestari. 3(1): 31-40.
Ayudanti, K. 2017. Analisis Efektifitas Hutan Kemasyarakatan dalam
Meningkatkan Pendapatan dan Tingkat Konsumsi Masyarakat Menurut
Perspektif Ekonomi Islam (Studi Kasus pada Hutan Kemasyarakatan di
Kabupaten Lampung Barat). Skripsi. IAIN Raden Intan Lampung.
Bandar Lampung. 144 hlm.
Baharuddin, A. 2006. Kajian Interaksi Masyarakat Desa sekitar Taman
Nasional Gunung Rinjani Provinsi Nusa Tenggara Barat. Tesis. Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor. 183 hlm.
Baiyegunhi, L. J. S., Oppong, B. B., Senyolo, M.G. 2016. Socio-economic
factors influencing mopane worm (Imbrasia belina) harvesting in
Limpopo Province, South Africa. Journal Forestry Research. 27(2): 443–
452.
Basrowi, Juariyah, S. 2010. Analisis kondisi sosial ekonomi dan tingkat
pendidikan masyarakat Desa Srigading, Kecamatan Labuhan Maringgai,
Kabupaten Lampung Timur. Jurnal Ekonomi dan Pendidikan. 7(1 ): 58-
81.
Basrowi. 2010. Analisis Data Penelitian dengan SPSS. Buku. Jenggala Pustaka
Utama. Kediri. 338 hlm.
Budhiati. 2012. Hubungan antara kondisi sosial ekonomi, tingkat pendidikan dan
pengetahuan tentang pengelolaan lingkungan dengan perilaku hidup sehat
masyarakat di Kota Surakarta. Jurnal Ekosains. 3(2): 52-59.
Budiono, P. 2011. Kebijakan HKm sebagai Model Pengakuan dan Kekuatan
untuk Melestarikan dan Memberdayakan Masyarakat Sekitar Hutan.
dalam Buku “Pengelolaan Hutan dan Aliran Sungai Berbasis Masyarakat:
Pembelajaran dari Way Besai Lampung. AURA). Bandar Lampung. 296
hlm.
Bwalya, S. M. 2013. Household Dependence on Forest Income in Rural Zambia.
Zambia Social Journal. 2(1): 67–86.
Chao, S. 2012. Forest Peoples: Numbers Across the World. Peoples Program.
Ethiopia. 56 hlm.
Choizes. 2019. Pengertian Skala Likert dan Contoh Cara Hitung Kuesionernya.
https://www.diedit.com/skala-likert/ diunduh pada tanggal 28 April 2019
pukul 11.00 WIB.
63
Departemen Kehutanan. 2007. Pedoman Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat di dalam dan di Sekitar
Kawasan Konservasi. Buku. Depaertemen Kehutanan. Jakarta. 41 hlm.
Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. 2016. Buku Informasi Perhutanan Sosial di
Provinsi Lampung. Buku. Dinas Kehutanan Provinsi Lampung.
Lampung. 21 hlm.
Diniyati, D., Achmad, B. 2015. Kontribusi pendapatan hasil hutan bukan kayu
pada usaha hutan rakyat pola agroforestri di Kabupaten Tasikmalaya.
Jurnal Ilmu Kehutanan. 9(1): 23-31.
FAO. 2000. The Status of world Fisherie and Aquaculture. FAO Fisheries
Department. Rome. 222 hlm.
Fikir, D., Tadesse, W., Gure, A. 2016. Economic contribution to local
livelihoods and households dependency on dry land forest products in
Hammer District, Southeastern Ethiopia. International Journal of
Forestry Research. 11–11. DOI 10.1155/2016/5474680
Food and Agricultural Organization of the United Nations (FAO). 2015. Global
Forest Resources Assessment. FAO. 124 hlm.
Garekae, H., Thakadu, O.T., Lepetu, J. 2017. Socio-economic factors influencing
household forest dependency in Chobe enclave, Botswana. Ecological
Processes Journal. 1-10. DOI 10.1186/s13717-017-0107-3.
Gatiso, T. T. 2017. Households’ dependence on community forest and their
contribution to participatory forest management: Evidence from rural
Ethiopia. Environ Dev Sustain. 1-17. DOI 10.1007/s10668-017-0029-3.
Hamid, R., Zulkarnaini, Saam, Z. 2011. Analisis sosial ekonomi masyarakat desa
hutan pasca kegiatan HPH PT Siak Raya Timber di Kabupaten Pelalawan,
Provinsi Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan. 5(2): 130-142.
Hastanti, B., Trianto, R. 2012. Kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat
sekitar kawasan konservasi: studi kasus di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua
Barat. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea. 1(2): 149-164.
Hermanto. 2007. Rancangan Kelembagaan Tani. Buku. Balai Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor. 33 hlm.
Hikmah, N.A., Sofyan, Tarigan, N. 2013. Kontribusi pendapatan perempuan
buruh tani pisang terhadap pendapatan keluarga di Kecamatan Padang Tiji
Kabupaten Pidie. Agrisep. 14(1): 60-69.
64
Howell, C.J., Schwabe, K.A., Samah, A.H.A. 2010. Non-timber forest product
dependence among the Jah Hut Subgroup of Peninsular Malaysia’s orang
asli. Environ Dev Sustain. 1(2): 1–18.
Indrasari, D. 2016. Pengembangan Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu oleh
Kelompok Sadar Hutan Lestari Wana Agung di Register 22 Way Waya
Kabupaten Lampung Tengah. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar
Lampung. 60 hlm.
Jeelani, M.I., Nazir, N., Mir, S.A., Jeelani, F., Dar, N.A., Haq, S., Maqpool, S.,
Wani, S. 2014. Application of simple random sampling in agriculture
using r-software. Journal of Science and Technology. 7(5): 706-709.
Kadir, A., Awang, S., Purwanto, R., Poedjirahajoe, E. 2012. Analisis kondisi
sosial ekonomi masyarakat sekitar Taman Nasional Batimurung
Bulusaraung, Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Manusia dan Lingkungan.
19(1): 1-11.
Kagungan, D. 2012. Kebijakan hutan kemasyaraktan di Kabupaten Tanggamus
Provinsi Lampung. Publica. 2(1): 22-33.
Kar, S. P., Jacobson, M. G. 2012. NTFP income contribution to household
economy and related socio-economic factors: lessons from Bangladesh.
Journal Forest Policy and Economics. 14(1):136–142.
Karto. 2014. Analisis perbedaan luas lahan dan produktivitas padi sawah (studi
kasus pada petani padi sawah di Desa Ujungaris Kecamatan Widasari
Kabupaten Indramayu musim tanam 2013). Jurnal Agro Wiralodra. 6(2):
36-44.
Karyon, E.Y., Emi, R., Joko, N.R. 2016. Pendapatan masyarakat dari hasil Hutan
bukan kayu disekitar Kawasan Cagar Alam Raya Pasi, Kelurahan
Nyarumkop, Kecamatan Singkawang Timur. Jurnal Hutan Lestari. 4(3):
314-321.
Kaskoyo, H., Mohammed, A., Inoue, M. 2017. Impact of community forest
program in protection forest on livelihood outcomes: a case study of
Lampung Province, Indonesia. Journal of Sustainable Forestry. 3(6):
250-263.
KPHL Unit II Liwa. 2016. Draft Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang
(RPHJP). Lampung Barat Provinsi Lampung. 88 hlm.
Kusumastuti, N.A. 2012. Pengaruh faktor pendapatan, umur, jumlah tanggungan
keluarga, pendapatan suami dan jarak tempuh ke tempat kerja terhadap
curahan jam kerja pedagang sayur wanita (studi kasus di Pasar Umum
Purwodadi). Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan. 1(5): 54-72.
65
Lestari, S., Abidin, Z., Sadar, S. 2016. Analisis kinerja rantai pasok dan nilai
tambah produk olahan kelompok wanita tani melati di Desa Tribudisyukur,
Kecamatan Kebun Tebu, Lampung Barat. JIIA. 4(1): 24-29.
Lestari, S. K. 2015. Desa Tribudisyukur secara Administratif Berdiri pada
Tanggal 1 Agustus 1954 yang pada Awalnya Berasal dari Pemukiman
Penduduk Transmigrasi Biro Nasional (BRN) dari Tasikmalaya, Jawa
Barat. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 78 hlm.
Mailusiana, S.F. 2012. Analisis Faktor-Faktor Sosial Ekonomi terhadap
Pendapatan Usaha Tani Padi Lahan Sawah Tadah Hujan di Kabupaten
Sukoharjo. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 63 hlm.
Mamuko, F., Walangitan, H., Tilaar, W. 2016. Persepsi dan partisipasi
masyarakat dalam upaya rehabilitasi hutan dan lahan di Kabupaten
Bolaang Mongondow Timur. Eugenia. 22(2): 80-92.
McShane, T. O., Wells, M. P.. 2004. Getting biodiversity projects to work.
Columbia University Press. New York Chichester. WestSussex. 111
hlm.
Melaku, E., Ewnetu, Z., Teketay, D. 2014. Non-timber forest products and
household incomes in Bonga Forest area, Southwestern Ethiopia. Journal
of Forestry Research. 25(1): 215−223. DOI 10.1007/s11676-014-0447-0.
Moe, K.T., Junchang Liu. 2016. Economic contribution of Non-timber Forest
Products (NTFPs) to rural livelihoods in the Tharawady District of
Myanmar. International Journal of Science. 5(01):12-21.
Mona, M.G., Kekenusa, J., Prang, J. 2015. Penggunaan regresi linear berganda
untuk menganalisis pendapatan petani kelapa: studi kasus petani kelapa
Desa Beo, Kecamatan Beo Kabupaten Talaud. D’cartesian. 4(2): 196-
203.
Mukul, S.A., Rashid A.Z.M.M., Uddind, M.B., Khane, N.A. 2016. Role of non-
timber forest products in sustaining forest-based livelihoods and rural
households’ resilience capacity in and around protected area: a Bangladesh
study. Journal of Environmental Planning and Management. 59(4): 628–
642.
Musanto, T. 2004. Faktor-faktor kepuasan pelanggan dan loyalitas pelanggan
studi kasus pada CV Sarana Media Advertising Surabaya. Jurnal
Manajemen dan Kewirausahaan. 6(2): 123-136.
Nadeak, N., Qurniati, R., Hidayat, W. 2013. Analisis finansial pola tanam
agroforestri di Desa Pesawaran Indah Kecamatan Padang Cermin
Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Jurnal Sylva Lestari. 1(1): 65-
74.
66
Nafisah, J. 2017. Pengaruh Faktor Demografi terhadap Pendapatan Tenaga
Kerja Sektor Primer di Indonesia. Skripsi. Universitas Negeri
Yogyakarta. Yogyakarta. 94 hlm.
Neil, A., Golar, Hamzari. 2016. Analisis ketergantungan masyarakat terhadap
hasil hutan bukan kayu pada Taman Nasional Lore Lindu (studi kasus
Desa Sidondo I Kecamatan Biromaru dan Desa Pakuli Kecamatan
Gumbasa). E-Jurnal Mitra Sains. 4(1): 29-39.
Njurumana, G. N. D., T. Butarbutar. 2008. Prospek pengembangan hasil hutan
bukan kayu berbasis agroforestri untuk peningkatan dan diversifikasi
pendapatan masyarakat di Timor Barat. Info Hutan. 5(1): 53-62.
Nugroho, A. C., Frans, T. M., Kainde, R. P., Walangitan, H. D. 2015. Kontribusi
hasil hutan bukan kayu bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan. Cocos.
6(5): 1-12.
Nurrani, L., Tabba, S. 2013. Persepsi dan tingkat ketergantungan masyarakat
terhadap sumberdaya alam Taman Nasional Aketajawe Lolobata di
Provinsi Maluku Utara. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan.
10(1): 61-73.
Oka, N. P., Achmad, A. 2005. Kontribusi Hasil Hutan Bukan Kayu terhadap
Penghidupan Masyarakat Hutan: Studi Kasus di Dusun Pampli Kabupaten
Luwu Utara. Tesis. Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas
Hasanuddin Kampus Unhas Tamalanrea. Makassar.
Olivi, R. 2014. Kontribusi Agroforestri terhadap Pendapatan Petani di Desa
Sukoharjo I Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu. Skripsi.
Universitas Lampung. Lampung. 64 hlm.
Pasha, R. 2009. Hubungan kondisi sosial ekonomi masyarakat perambah hutan
dengan pola penggunaan lahan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.
Jurnal Organisasi dan Manajemen. 5(2): 82-94.
Patty, Z. 2010. Kontribusi komoditi kopra terhadap pendapatan rumah tangga
tani dikabupaten halmahera utara. Jurnal Agroforestri. 3(3): 51-57.
Pohan, RM, Purwoko, A, Martial, T. 2014. Kontribusi hasil hutan bukan kayu
dari hutan produksi terbatas bagi pendapatan rumah tangga masyarakat.
Peronema Forestry Science Journal. 3(2): 1-16.
Puspasari, E., Wulandari, C., Darmawan, A., Banuwa, I.S. 2017. Aspek sosial
ekonomi pada sistem agroforestri di areal kerja Hutan Kemasyarakatan
(HKm) Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. Jurnal Sylva
Lestari. 5(3): 95-103.
67
Putri, A. D., Setiawina, N.D. 2013. Pengaruh umur, pendidikan,pekerjaan
terhadap pendapatan rumah tangga miskin di Desa Bebandem. E-Jurnal
Ekonomi Pembangunan. 2(4): 1-9.
Salaka, F.J., Nugroho, B., Nurrochmat, D.R. 2012. Strategi kebijakan pemasaran
hasil hutan bukan kayu di Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi
Maluku. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 9(1): 50-65.
Sanjaya, R. 2016. Evaluasi Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (Hkm) pada
Gabungan Kelompok Tani Rukun Lestari Sejahtera di Desa Sindang
Pagar Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat. Skripsi.
Universitas Lampung. Bandar Lampung. 48 hlm.
Satriawan, H., Faudy, Z. 2013. Karakteristik dan prospek ekonomi sistem
agroforestri di Kabupaten Bireuen Aceh. Jurnal Ilmiah Sains dan
Teknologi. 13(2): 43-47.
Senoaji Gunggung. 2011. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan
Lindung Bukit Daun di Bengkulu. Sosiohumaniora. 13(1): 1–17.
Setiawan, O., Krisnawati. 2014. Pemilihan jenis hasil hutan bukan kayu
potensial dalam rangka rehabilitasi hutan lindung (Studi Kasus Kawasan
Hutan Lindung KPHL Rinjani Barat, Nusa Tenggara Barat). Jurnal Ilmu
Kehutanan. 8(2): 89-99.
Shackleton, C.M., Shackleton S.E., Buiten, E., Bird, N. 2007. The importance of
dry woodlands and forests in rural livelihoods and poverty alleviation in
South Africa. Forest Policy and Economics. 9(5): 558–577.
Simarmata, G.B., Qurniati, R., Kaskoyo, H. 2018. Faktor-faktor yang
memengaruhi pemanfaatan lahan Taman Hutan Raya Wan Abdul
Rachman: studi di Desa Sidodadi Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten
Pesawaran Provinsi Lampung. Jurnal Sylva Lestari. 6(2): 60-67.
Sinudin, San A. A., Ronggo, S., Ris, R.H. 2016. Perkembangan hutan
kemasyarakatan di Provinsi Lampung (progress of community forest in
Lampung Province). Jurnal Manusia dan Lingkungan. 23(2): 276-283.
Stedman, Richard C., Patriquin, M.N., Parkins, J.R. 2011. Forest dependence
and community well-being in rural Canada: a longitudinal analysis.
International Journal of Forestry Research. 84(4): 375-384.
Subarna, T. 2011. Faktor yang memengaruhi masyarakat menggarap lahan di
hutan lindung: studi kasus di Kabupaten Garut Jawa Barat. Jurnal
Penelitian Sosial dan Ekonomi. 8(4): 265-275.
Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. Buku. Alfabeta. Bandung. 390
hlm.
68
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Buku.
Alfabeta. Bandung. 80 hlm.
Sugiyono. 2014. Metode Skala Likert. Buku. Bumi Aksara. Jakarta. 355 hlm.
Suhardan, D., Riduwan, Enas. 2012. Ekonomi dan Pembiayaan Pembangunan.
Buku. Alfabeta. Bandung. 51 hlm.
Suhesti, E., Hadinoto. 2015. Hasil hutan bukan kayu madu sialang di Kabupaten
Kampar (studi kasus:Kecamatan Kampar Kiri Tengah). Wahana
Forestra:Jurnal Kehutanan. 10(2): 16-26.
Sukardi, L., Darusman, D. Sundawati, L., Hardjanto. 2008. Karakteristik dan
faktor penentu interaksi masyarakat lokal dengan Taman Nasional Gunung
Rinjani Pulau Lombok. Agroteksos. 18(1-3): 54-62.
Suprapti, E. 2018. Pengaruh modal, umur, jam kerja, dan pendidikan terhadap
pendapatan pedagang perempuan pasar barongan bantul. Jurnal
Pendidikan dan Ekonomi. 7(1): 1-11.
Sutejo, P. 2014. Hubungan program pengelolaan hutan bersama masyarakat
terhadap peningkatan pendapatan masyarakat. Jurnal Ilmiah Pendidikan
Geografi. 2(1): 39-48.
Syahyuti. 2007. Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) sebagai Kelembagaan
Ekonomi Kebijakan Pengembangan di Perdesaan. Buku. Alfabeta.
Bandung. 47 hlm.
Syofiandi, R.R., Hilmanto, R., Herwanti, S. 2016. Analisis pendapatan dan
kesejahteraan petani agroforestri di Kelurahan Sumber Agung Kecamatan
Kemiling Kota Bandar Lampung. Jurnal Sylva Lestari. 4(2): 7-26.
Tarigan, J., Roshetko, J.M., Martini, E. dan Ekadinata, A. 2010. Non-timber
forest products as a source of livelihood diversification for local
communities in the Batang Toru Orangutan Conservation Progra.
Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Program.
Bogor. 118 hlm.
Teras Lampung. 2014. HKM, Petani Tribudisyukur Sejahtera karena Panen
Sepanjang Tahun. https://www.teraslampung.com/hkm-petani-
tribudisyukur-sejahtera-karena-panen-sepanjang-tahun/ diakses pada
tanggal 28 Maret 2019 pukul 18.57 WIB.
Teshome, B., Kassa, H., Mohammed, Z., Padoch, C. 2015. Contribution of dry
forest products to household income and determinants of forest income
levels in the Northwestern and Southern Lowlands of Ethiopia. Journal
Natural Resources. 06(05): 331–338.
69
Verbist, B., Ekadinata, A., Budidarsono, S. 2005. Factors driving land use
change: effects on wathersed functions in a coffee agroforestry system in
Lampung, Sumatera. Agricultural Systems. 85(3): 254-270.
Wasak, M. 2012. Keadaan masyarakat sosial-ekonomi masyarakat nelayan di
Desa Kanabuhutan Kecamatan Likupang Barat. Kabupaten Minahasa
Utara. Sulawesi Utara. Pacific Journal. 1(7): 1339-1342.
Wibowo, G.D.H. 2013. Analisis kebijakan pengelolaan hasil hutan bukan kayu
di NTB dan NTT. Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-43. 43(2):
197-225.
Widyasworo, R. 2014. Analisis pengaruh pendidikan, kesehatan, dan angkatan
kerja wanita terhadap kemiskinan di Kabupaten Gresik (studi kasus 2008-
2012). Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB. 5(1): 161-170.
Winarni, S., Wiyono, S. B., Hernawanti, S. 2016. Struktur pendapatan tingkat
kesejahteraan dan faktor produksi agroforestri kopi pada kesatuan
pemangkuan hutan lindung Batu Tegi. Jurnal Sylva Lestari. 4(1): 1-10.
Wulandari, C., Saroso, O., Pahlawanti, R. 2009. Hutan Kemasyarakatan:
Melestarikan Hutan untuk Kesejahteraan Rakyat: Catatan 10 Tahun
Program HKm di Provinsi Lampung. Buku. Watala. Bandar Lampung.
122 hlm.
Yasir, A. 2011. Pengelolaan sumber daya hutan di Kabupaten Lampung Barat.
Jurnal Ilmu Hukum. 5(3): 1-14.
Yudilastiantoro, C. 2011. Faktor-faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi
terhadap luas lahan garapan di KHDTK Rarung, Lombok, Nusa Tenggara
Barat. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 8(1): 19-33.
Yudischa, R., Wulandari, C., Hilmanto, R. 2014. Dampak partisipasi wanita dan
faktor demografi dalam pengelolaan hutan kemasyarakatan (hkm) terhadap
pendapatan keluarga di kabupaten lampung barat. Jurnal Sylva Lestari.
2(3): 59-72.
Yusran, Abdullah, N. 2007. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap
kawasan hutan di Desa Borisallo Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa
Sulawesi Selatan. Jurnal Hutan dan Masyarakat. 2(1): 127-135.
Yusuf, M. A., Makarawo, T. M. 2011. Hukum Kehutanan di Indonesia. Buku.
Rineka Cipta. Jakarta. 19 hlm.
Zega, S.B. 2013. Analisis pengelolaan agroforestri dan kontribusinya terhadap
perekonomian masyarakat. Peronema Forestry Science Journal. 2(2):
152-162.