Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG GADAI TANAH YANG
DIGADAIKAN KEMBALI
(Studi Kasus di Kelurahan Gisting Atas Kabupaten Tanggamus)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna
Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum (S.H) Dalam Program Studi Muamalah
Oleh :
Anisa Dian Mila Diena
NPM.1521030015
Program Studi : Hukum Ekonomi Syariah
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG
1440 H/2019 M
TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG GADAI TANAH YANG
DIGADAIKAN KEMBALI
( Studi Kasus di Kelurahan Gisting Atas Kabupaten Tanggamus )
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) dalam Ilmu Syari’ah
Oleh
ANISA DIAN MILA DIENA
NPM : 1521030015
Program Studi : Hukum Ekonomi Syari’ah
Pembibing I : Prof.Dr.Moh.Mukri,M.Ag.
Pembimbing II : Drs.Susiadi.AS.,M.Sos.I.
Fakultas Syari’ah
Universitas Islam Negeri Raden Intan
Lampung
1441 H/ 2019 M
TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG GADAI TANAH YANG
DIGADAIKAN KEMBALI
(Studi Kasus di Kelurahan Gisting Atas Kabupaten Tanggamus)
ABSTRAK
Praktik gadai sudah lama di praktikan di tengah-tengah masyarakat
Kelurahan Gisting Atas Kabupaten Tanggamus. Praktik gadai tanah yang terjadi
di kelurahan gisting atas dapat dijelaskan sebagai berikut, yaitu dengan datang nya
rahin menemui murtahin untuk meminjam uang dengan menggadaikan tanahnya,
dengan jangka waktu yang tidak ditentukan, yaitu sampai rahin melunasi
hutangnya. Namun seiring berjalannya waktu, rahin menggadaikan kembali tanah
tersebut kepada orang lain tanpa pemberitahuan atau tanpa meminta izin kepada
murtahin dikarenakan keadaan mendesak. Sedangkan didalam perjanjian tidak
ada kesepakatan bahwa tanah tersebut boleh digadaikan kembali.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana praktik atau
proses gadai tanah yang digadaikan kembali dan bagaimana tinjauan hukum islam
tentang gadai tanah yang digadaikan kembali. Adapun tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui bagaimana praktik gadai tanah yang digadaikan kembali dan
apakah praktik gadai tanah yang digadaikan kembali tersebut diperbolehkan
menurut syariat islam.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (Field Researh), sifat
penelitian ini adalah deskriptif analisis, analisis data dalam penelitian ini
menggunakan metode analisis kualitatif. Metode ini digunakan untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian. Berdasarkan hasil
penelitian dapat dikemukakan bahwa praktik gadai tanah yang digadaikan
kembali yang dilakukan di kelurahan gisting atas sudah memenuhi rukun gadai.
Akad yang dilakukan oleh rahin dan murtahin dalam perjanjian sudah sesuai
dengan syariat Islam namun ada syarat yang tidak terpenuhi yaitu rahin
menggadaikan kembali tanahnya tanpa izin dari murtahin mengingat syarat dari
barang yang digadaikan adalah tidak terkait dengan hak orang lain, sedangkan
dalam praktik ini terdapat hak dari murtahin yang pertama. Adapun mengenai
praktik tanah gadai yang digadaikan kembali adalah tidak dibenarkan dalam
hukum Islam. Karena penggadai (rahin) tidak memiliki izin dari (murtahin).
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Anisa Dian Mila Diena
NPM : 1521030015
Jurusan/Prodi : Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah)
Fakultas : Syariah
Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Tentang Gadai
Tanah Yang Di Gadaikan Kembali (Studi Kasus di Kelurahan Gisting Atas
Kabupaten Tanggamus) adalah benar-benar merupakan hasil karya penyusun
sendiri, bukan duplikasi ataupun saduran dari karya orang lain kecuali pada
bagian yang telah dirujuk dan disebut dalam footnote atau daftar pustaka. Apabila
dilain waktu bukti adanya penyimpangan dalam karya ini, maka tanggung jawab
sepenuhnya ada pada penyusun.
Demikian surat pernyataan ini saya buat agar dapat dimaklumi.
Bandar Lampung, 23 Agustus 2019
Penulis
Anisa Dian Mila Diena
NPM: 1521030015
MOTTO
ا فليؤد الذي اؤتمه وإن كىتم على سفز ولم تجدوا كاتبا فزهان مقبىضت فئن أمه بعضكم بعض
هادة ومه يكتمها فئوه آثم قلبه والل ربه ول تكتمىا الش بما تعملىن عليم أماوته وليتق الل
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah
kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya;
dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Q.S Al-Baqarah (283).
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan dan saya dedikasikan sebagai bentuk
ungkapan rasa syukur, tanda cinta dan kasih sayang, serta hormat kepada :
1. Untuk Ayahanda Afrida Isnanto dan ibunda Tumisih, orang tuaku yang
sangat-sangat saya cintai terima kasih atas segala jasa, pengorbanan, do’a,
motivasi, cinta dan curahan kasih sayang yang tak terhingga, berkat
dukungan ayah dan mamak aku bisa menyelesaikan skripsi ini dan
membuat ayah dan mamak bangga.
2. Untuk kedua Adikku Ikhsan Dwi Fratama dan Zahra Ramadhani terima
kasih telah memberikan semangat dan keceriaan dikala aku sedih
3. Untuk teman-teman kosan ku, Dewi primawati, setiyaningsih, umi aulia,
dan rosalinda, terima kasih telah menemaniku dan memberikan semangat
kepada ku
4. Untuk Dini Andriyani, Juliyana, Oksi Ajuan dan teman-teman Muamalah
B yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas segala
bantuan yang kalian berikan kepadaku.
5. Untuk sahabat ku Desti Nurhayati dan sahabat KKN desa Bumi Sari
terima kasih atas segala doa, kasih sayang dan dorongan motivasi yang
selalu kalian berikan.
RIWAYAT HIDUP
Anisa Dian Mila Diena, dilahirkan di Gisting Atas, Kecamatan Gisting,
Kabupaten Tanggamus, pada tanggal 17 Agustus 1997, anak pertama dari tiga
bersaudara, buah cinta dari pasangan Bapak Afrida isnanto dan Ibu Tumisih.
Menempuh pendidikan berawal pada :
1. TK Dharma Wanita pada tahun 2002 selesai pada tahun 2003
2. Sekolah Dasar Negeri 06 Gisting Atas pada tahu 2003 selesai pada tahun
2009
3. SMP Negeri 1 Gisting pada tahun 2009 selesai pada tahun 2012
4. SMA N 1 Talang Padang pada tahun 2012 selesai pada tahun 2015
5. Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung, mengambil
Program Studi Muamalah (Hukum Ekonomi Syariah) pada Fakultas
Syariah tahun 2015 dan selesai tahun 2019.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan dan haturkan kehadirat Allah Swt yang telah
memberikan Hidayah-Nya sehingga dapat terselesaikan Skripsi ini. Shalawat serta
salam senantiasa tercurahkan untuk kepada Nabi Besar Muhammad Saw, beserta
sahabat, keluarga serta pengikut-Nya, dan Semoga kita semua mendapatkan
syafaat beliau kelak dihari kiamat.
Adapun judul skripsi penulis adalah “Tinjauan Hukum Islam tentang
Gadai Tanah yang di Gadaikan Kembali”. Skripsi ini disusun guna untuk
melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Syariah UIN Raden Intan Lampug. Dalam penulisan skripsi ini penulis
penyadari masih banyak kekurangan ataupun kesalahan, hal tersebut semata-mata
karena keterbatasan pengetahuan serta pengalaman penulis. Oleh kiranya kritik
dan saran yang sifatnya membangun dari semua pembaca akan sangat membantu
penulis.
Penyusunan skrisi ini dapat terselesaikan berkat bantuan dan dorongan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ucapkan terima kasih sebesar-
besarnya. Skripsi ini secara khusus penulis ucapkan terima kasih kepada yang
terhormat :
1. Prof.Dr.Moh.Mukri,M.Ag. selaku Rektor UIN Raden Intan Lampung yang
membangun dan mengembangkan UIN Raden Intan Lampung sehingga
menjadi seperti yang sekarang.
2. Dr.H.Khoiruddin Tahmid,M.H., selaku Dekan Fakultas Syariah UIN
Raden Intan Lampung, yang selalu tanggap dalam menangani segala
kesulitan mahasiswa.
3. Khoiruddin,M.S.I. selaku Ketua Jurusan Muamalah yang senantiasa
memberikan bimbingan dan semangat kepada mahasiswa.
4. Prof.Dr.Moh.Mukri,M.Ag. selaku dosen pembimbing I dan bapak
Drs.Susiadi.AS.,M.Sos.I. selaku dosen pembimbing II yang selalu
memberikan kritik, saran serta masukan yang sangat bermanfaat sehingga
dapat terselesaikannya skripsi ini.
5. Seluruh Dosen, Asisten Dosen dan Pegawai Fakultas Syari’ah UIN Raden
Intan Lampung yang telah membimbing dan membantu penulisan selama
mengikuti perkuliahan
6. Kedua orangtuaku, adik-adikku dan teman-teman terimakasih atas doa dan
dukungannya semoga Allah senantiasa membalasnya dan memberikan
keberkahan kepada kita semua.
Semoga bantuan yang ikhlas dan amal baik dari semua pihak mendapat
pahala dan balasan yang melimpah dari Allah Swt. Akhir kata, penulis
memohon taufik dan hidayah-Nya kepada Allah Swt. Dan semoga skripsi
ini bisa bermanfaat bagi diri sendiri dan bagi masyarakat luas. Amin.
Bandar Lampung,... Agustus 2019
Penulis
Anisa Dian Mila Diena
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
ABSTRAK ................................................................................................................ ii
SURAT PERNYATAAN ......................................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................ iv
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. v
MOTTO .................................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN .................................................................................................... vii
RIWAYAT HIDUP.................................................................................................. viii
KATA PENGANTAR ............................................................................................. ix
DAFTAR ISI ............................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
A. Penegasan Judul ............................................................................................. 1
B. Alasan Memilih Judul .................................................................................... 2
C. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 3
D. Rumusan Masalah.......................................................................................... 6
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................................... 6
F. Metode Penelitian .......................................................................................... 7
BAB II LANDASAN TEORI .................................................................................. 13
A. Pengertian Gadai............................................................................................ 13
B. Dasar Hukum Gadai ...................................................................................... 16
C. Rukun dan Syarat Gadai ................................................................................ 22
D. Akad dalam Gadai ......................................................................................... 28
E. Pemanfaatan Marhun ..................................................................................... 33
F. Hak dan Kewajiban Murtahin........................................................................ 40
G. Hak dan Kewajiban Rahin ............................................................................. 41
H. Batal dan Berakhirnya Gadai ......................................................................... 42
BAB III LAPORAN HASIL PENELITIAN ......................................................... 45
A. Gambaran Umum Masyarakat Kelurahan Gisting Atas ................................ 45
1. Sejarah Kelurahan Gisting Atas .............................................................. 45
2. Letak Geografis Kelurahan Gisting Atas................................................. 46
3. Potensi Sumber Daya Manusia di Kelurahan Gisting Atas ..................... 51
4. Mata Pencaharian Masyarakat Kelurahan Gisting Atas .......................... 53
5. Struktur Pemerintahan di Kelurahan Gisting Atas .................................. 55
B. Sistem Gadai Tanah yang di Gadaikan Kembali di Kelurahan Gisting
Atas Kabupaten Tanggamus .......................................................................... 56
1. Praktik Gadai Tanah yang di Gadaikan Kembali .................................... 56
2. Faktor terjadinya Praktik Gadai Tanah yang di Gadaikan Kembali ........ 61
BAB IV ANALISIS DATA .................................................................................... 62
A. Praktik Gadai Tanah yang di Gadaikan Kembali di Kelurahan Gisting
Atas Kabupaten Tanggamus .......................................................................... 62
B. Tinjauan Hukum Islam Tentang Gadai Tanah yang Digadaikan Kembali
di Kelurahan Gisting Atas Kabupaten Tanggamus ....................................... 63
BAB V PENUTUP ................................................................................................... 69
A. Kesimpulan .................................................................................................... 69
B. Saran .............................................................................................................. 70
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................
LAMPIRAN .............................................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Judul
Sebagai langkah awal mendapatkan gambaran yang jelas untuk
memfokuskan pemahaman agar tidak lepas dari pembahasan atau salah
penafsiran dikalangan pembaca maka perlu adanya penjelasan secara rinci
terhadap arti dan makna istilah yang terkandung di dalam judul skripsi ini.
Adapun judul skripsi ini adalah “Tinjauan Hukum Islam Tentang Gadai
Tanah yang di Gadaikan Kembali (Studi Kasus di Kelurahan Gisting atas
Kabupaten Tanggamus)”.
Adapun beberapa istilah yang terdapat dalam judul dan perlu untuk
ditegaskan adalah sebagai berikut :
1. Tinjauan
Tinjauan yaitu pemeriksaan yang teliti, penyelidikkan, kegiatan
pengumpulan data, pengolahan, analisa, dan penyajian data yang dilakukan
secara sistematis, dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan.1
1 Tim Penyusunan Kamus Pusat dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta:balai pustaka,1998), h.412.
2
2. Hukum Islam
Hukum Islam adalah ketetapan yang telah ditentukan oleh Allah SWT
berupa aturan dan larangan bagi umat Islam.2
3. Tanah
Permukaan bumi atau lapisan bumi yang di atas sekali atau permukaan
bumi yang diberi batas.3 Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan
di bumi dari manusia tumbuhan dan hewan.4
4. Gadai
Gadai ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara‟
sebagai tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu
seluruh atau sebagian utang dapat diterima.5 Gadai yang digadaikan kembali
adalah menggadaikan Tanah yang sudah digadaikan kepada orang lain lalu
digadaikan kembali kepada pihak ketiga.
B. Alasan Memilih Judul
Ada beberapa alasan yang mendasari penulis untuk memilih judul ini
sebagai bahan untuk penelitian, diantaranya sebagai berikut :
1. Alasan Objektif
2
Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada,1994), h.154. 3 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008), h.1433. 4 https://id.m.wikipedia.org/wiki/tanah diakses pada 14 februari 2019
5 Hendi suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2014),h.106.
3
Karena rahin menggadaikan kembali tanah yang sudah digadaikan
(marhun) kepada orang lain untuk Jaminan hutang nya. Dan murtahin yang
pertama tidak mengetahui hal tersebut. penelitian ini dianggap perlu untuk
dilakukan guna mendapatkan jawaban menurut pandangan hukum Islam.
2. Alasan Subjektif
Alasan subjektif menurut penulis yaitu kajian yang berhubungan dengan
judul skripsi ini yang belum banyak dikaji, dan karena Objek kajian juga
sesuai dengan disiplin ilmu yang penulis pelajari di bidang Muamalah
Fakulitas Syariah dan Hukum di Universitas Islam Negeri Raden Intan
Lampung.
C. Latar Belakang Masalah
Manusia pada dasarnya diciptakan untuk saling tolong menolong. Manusia
juga saling membutuhkan satu sama lainnya. Adakalanya setiap orang
mengalami kesulitan pada suatu ketika. Untuk mengatasi kesulitan itu,
terpaksa meminjam uang pada pihak lain, baik kepada pegadaian maupun
kepada perorangan. Pinjaman tersebut tentunya harus disertai dengan jaminan.
Begitu juga Allah SWT telah memberikan begitu banyak cara bagi umat
manusia untuk bertahan hidup, tentu saja cara yang sesuai dengan syariat
Islam. Salah satu nya adalah dengan berhutang-piutang. Hutang piutang yaitu
memberikan sesuatu kepada orang lain yang membutuhkan baik berupa uang
maupun benda dalam jumlah tertentu dengan perjanjian yang telah disepakati
bersama, dimana orang yang diberi pinjaman harus mengembalikan uang atau
4
benda yang dihutang nya dengan jumlah sama.6 Namun ketika ingin berhutang
dalam jumlah uang yang besar pemberi hutang tidak langsung memberikan
pinjaman kepada yang berhutang, karena kemungkinan ada resiko tidak
dikembalikannya uang tersebut, oleh sebab itu pemberi hutang meminta
barang jaminan kepada yang berhutang. Praktik seperti ini disebut dengan
gadai.
Gadai atau hak gadai adalah hak atas benda terhadap benda bergerak milik
si berhutang (Rahin) yang di serahkan ke tangan si pemiutang (Murtahin)
sebagai jaminan hutang. Gadai diadakan dengan persetujuan dan hak itu
hilang jika gadai itu lepas kekuasaan si pemiutang (Murtahin). Si pemegang
gadai berhak menguasai benda yang di gadaikan kepada nya selama hutang si
berhutang belum lunas, tetapi ia tidak berhak mempergunakan benda itu.7
Gadai juga merupakan salah satu cara dalam muamalah yang diperbolehkan
dalam Islam.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 283 :
سفس إن كىخم عه نم حجدا كاحبا فسان مقبضت فئن أمه بعضكم بعضا فهؤد انر اؤحمه
الل آثم قهب مه كخما فئو ادة ل حكخما انش زب نخق الل ن عهم بما حعمه أماوخ
”Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh penulis, maka hendaklah ada barang yang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian
kamu memercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang diperayai itu
6 Khumedi Ja‟far, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Lampung: Permatanet
publishing,2016), h.123. 7 Hasan Ali, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2003),
h.253.
5
menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian.
Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”8
Ayat tersebut diatas berisikan bimbingan bagaimana transaksi atau utang
piutang itu dilaksanakan.
Dalam prakteknya, gadai sering dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari terutama dalam keadaan mendesak. Karena tinggi nya tingkat
persaingan hidup dan kebutuhan pokok, manusia menggunakan segala cara
untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Salah satunya yang adalah dengan
berhutang dan menjaminkan barang milik mereka. Praktik seperti ini sering
dilakukan oleh masyarakat. Namun, apa jadinya bila yang digadaikan
merupakan barang gadaian. Seperti yang terjadi di Kelurahan Gisting Atas
Kabupaten Tanggamus. Seseorang berhutang dan menggadaikan tanah
miliknya sebagai jaminan hutang kepada murtahin, namun tanah tersebut
digadaikan kembali oleh rahin (pemilik tanah tersebut) kepada orang lain
untuk mendapatkan pinjaman uang kembali.
Dalam uraian diatas peneliti ingin meneliti kasus yang terjadi yaitu gadai
tanah yang digadaikan kembali yang terjadi di Kelurahan Gisting Atas
Kabupaten Tanggamus alasannya karena Rahin menggadaikan tanah yang
sudah digadaikan kepada murtahin kepada orang lain. Apakah praktik tersebut
diperbolehkan menurut hukum Islam. Oleh karena itu penulis akan mengkaji
lebih jauh dalam sebuah proposal yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam
8Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, 2010),h.49.
6
Tentang Gadai Tanah yang Digadaikan Kembali”. (Studi Kasus di
Kelurahan Gisting Atas Kabupaten Tanggamus).
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian Latar Belakang masalah di atas, terdapat permasalahan
yang timbul, diantaranya :
1. Bagaimana Praktek atau proses Gadai Tanah yang di Gadaikan
Kembali?
2. Bagaimana Tinjauan Hukum Islam tentang Gadai Tanah yang di
Gadaikan Kembali?
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini yaitu :
a. Untuk mengetahui bagaimana Praktek Gadai Tanah yang di
gadaikan kembali.
b. Untuk mengetahui bagaimana Tinjauan Hukum Islam mengenai
permasalahan praktek Gadai Tanah yang di gadaikan kembali.
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara Teoritis, penelitian ini dianggap bermanfaat, karena dapat
menambah wawasan dan pengetahuan mengenai permasalahan
gadai tanah yang digadaikan kembali, serta diharapkan mampu
memberi pemahaman terkait gadai yang dibenarkan oleh hukum
Islam.
7
b. Secara Praktis, penelitian ini dimaksudkan sebagai suatu syarat
memenuhi tugas akhir guna memperoleh gelar S.H pada Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Raden Intan
Lampung.
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif,
alasannya karena penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang
bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis.9
Penggunaan metode tersebut akan disebarkan sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian lapangan (Field Research),
yaitu penelitian yang langsung dari diresponden.10
Yaitu melakukan
penelitian dilapangan untuk memperoleh data atau informasi secara
langsung dengan mendatangi subjek yang bersangkutan. Selain lapangan
penelitian ini juga menggunakan penelitian kepustakaan (library research)
sebagai pendukung dalam melakukan penelitian, dengan menggunakan
literatur yang ada di perpustakaan yang relevan dengan masalah yang akan
diteliti.
2. Sifat Penelitian
9 Sugiyono,Metode penelitian Kuantitatif kualitatif dan R&D (Bandung:Alfabeta,2012), h.7.
10 Susiadi, Metode Penelitian (Lampung: Pusat Penelitian dan penerbitan LP2M Institut
Agama Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2015), h.9.
8
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang
bertujuan untuk mendeskripsikan dan penafsiran data yang ada serta
menggambarkan secara umum subjek yang diteliti.11
Dalam kaitannya
penelitian ini menggambarkan tentang praktik gadai tanah yang
digadaikan kembali.
3. Sumber Data Penelitian
a. Data Primer
Data primer yakni data yang diperoleh secara langsung dari
responden, kemudian dicatat dan diamati untuk pertama kalinya.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang mendukung data primer, yakni
data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya, jadi data
sekunder berasal dari tangan kedua.12
Sumber data sekunder merupakan
data penelitian, pengumpulan data ini diperoleh dari buku-buku Fiqh
Muamalah, Tafsir Hadis, Fatwa MUI, jurnal, Majalah, yang ditulis
oleh tokoh lain dan judul-judul skripsi yang berkaitan dengan judul
skripsi yang dimaksud.
4. Metode Pengumpulan Data
11
V.Wiratama Sujarweni,Metodologi Penelitian(Yogyakarta: Pustaka Baru Perss,2014),h.19. 12
Sedamayanti,Metodologi Penelitian (Bandung: Mandar Maju,2001), h.73.
9
Pengumpulan data adalah proses pengadaan data untuk keperluan
penelitian. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam usaha
menghimpun data untuk penelitian ini, digunakan metode yaitu :
a. Wawancara
Metode wawancara adalah metode pengumpulan data dimana
peneliti mengajukan pertanyaan langsung kepada responden.13
Wawancara dilakukan kepada para informan yaitu orang-orang yang
dianggap banyak mengetahui permasalahan yang terjadi, data
wawancara dapat diperoleh dari hasil wawancara kepada responden
yang terdiri dari pemilik tanah, penerima gadai dan pihak ketiga atau
orang yang menerima gadai kembali.
b. Dokumentasi
Dokumentasi adalah pengambilan data yang diperoleh melalui
dokumen-dokumen. Data-data yang dikumpulkan dengan metode
dokumentasi cenderung merupakan data sekunder.
5. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau
subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulan. Populasi
bukan hanya sekedar objek atau subjek yang dipelajari, tetapi seluruh
karakteristik/sifat yang dimiliki subjek atau objek itu.14
Menurut
13
Sugiyono, Metode Penelitian Kombinasi Mixed Methods (Bandung: Alfabeta,2007), h.188. 14
Radial, Paradigma dan Model Penelitian Komunikasi (Jakartta:PT Bumi Aksara,2014),
h.336.
10
Suharsimi Arikunto populasi adalah keseluruhan subjek penelitian, apabila
seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian,
maka penelitiannya juga merupakan penelitian populasi. Studi
penelitiannya juga disebut studi populasi.15
Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh pemilik tanah yang tanahnya digadaikan kembali yaitu
sebanyak 2 orang. Karena jumlah populasi kurang dari 100 maka
penelitian ini merupakan penelitian populasi.
6. Metode Pengolahan Data
Pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data dengan
menggunakan cara-cara tertentu. Metode pengolahan data yang dilakukan
setelah data terkumpul baik berupa data primer maupun data sekunder,
langkah-langkah pengolahan data yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Pemeriksaan Data (Editing)
Editing yaitu melakukan pengecekan terhadap data-data atau
bahan-bahan yang telah diperoleh untuk mengetahui apalah catatan
itu cukup baik dan dapat segera disiapkan untuk keperluan proses
berikutnya.16
b. Rekonstruksi Data (Recontructioning)
15
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian(Jakarta: Rineka Cipta,2013),h.173. 16
Noer Saleh dan Musanet, Pedoman Membuat Skripsi (Jakarta: Gunung Agung,1989), h.16.
11
Rekonstruksi data yaitu menyusun ulang data secara teratur,
berurutan, dan logis sehingga mudah dipahami dan diinterprestasikan.
c. Sistematisasi (Systematizing)
Sistematisasi data yaitu menempatkan data menurut kerangka
sistematika bahasan urutan masalah. Dalam hal ini penulis
mengelompokkan data secara sistematis dari yang sudah diedit dan
diberi tanda menurut klasifikasi urutan masalah.
7. Metode Analisis Data
Setelah keseluruhan data dikumpulkan, langkah selanjutnya yaitu
menganalisis data tersebut agar dapat ditarik kesimpulan. Dalam analisis
data menggunakan metode analisis kualitatif dengan menggunakan pola
berfikir deduktif. Analisis kualitatif adalah penelitian yang bermaksud
untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian.17 Metode analisis yang digunakan dalam penelitian kualitatif
ini disesuaikan dengan kajian penelitian yaitu mengenai Tinjauan Hukum
Islam tentang Gadai Tanah yang di Gadaikan Kembali.
Setelah data-data terkumpul kemudian dikaji menggunakan cara
berfikit deduktif. Cara berfikir deduktif adalah suatu penganalisa yang
berkaitan dari pengetahuan yang umumnya itu kita menilai suatu kajian
yang khusus.
17
Lexy J.Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya,2001),h.6.
12
Dari hasil tersebut kemudian ditarik kesimpulan yang merupakan
jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dengan
menggunakan analisis kualitatif berupa suatu prosedur yang menghasilkan
data deskritif, yaitu gambaran penjelasan secara logis dan sesuai dengan
sasaran permasalahan.
13
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Gadai
Didalam hidup ini, adakalanya orang mengalami kesulitan pada suatu
ketika. Untuk menutupi atau mengatasi kesulitan tersebut itu terpaksa
meminjam uang kepada pihak lain. Pinjaman tersebut harus disertai
dengan jaminan. Praktik seperti ini disebut Gadai atau Rahn.
Secara etimologi, kata Ar-Rahn berarti tetap, kekal dan Jaminan.18
Ar-
Rahn atau Gadai dalam bahasa Arab memiliki pengertian al-tsubut wa al-
dawam artinya tetap dan berkekalan, ada yang menyatakan kata Ar-Rahn
bermakna Al-Habs, artinya tertahan, seperti yang terdapat dalam firman
Allah Swt.19
Dalam QS Al-Muddatsir (74) : 38
ىت كم وفس بما كسبج ز
Tiap-tiap diri bertanggung jawab (tertahan) atas perbuatan yang telah
dikerjakannya.20
pada ayat tersebut, kata Ar-Rahinah bermakna “Tertahan”. Pengertian
kedua ini hampir sama dengan yang pertama, karena yang tertahan itu
tetap ditempatnya.21
18
Nasrun Haroen,Fiqh Muamalah(Jakarta:Gaya Media Pratama,2007),h.251. 19
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah(Jakarta: Rajawali Pers,2016),h.251. 20
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro,
2010),h.576.
14
Menurut istilah syara‟, yang di maksud dengan rahn :
ى م ي اء ف ب خ س ا ه ك م ق ح اء ف ن ال م اس ب خ ح ا ع ض م د ق ع
Akad yang objeknya menahan harga terhadap sesuatu hak yang mungkin
diperoleh dengan sempurna darinya.22
Wahbah al-Zuhaili mengemukakan definisi ar-Rahn yaitu :
س ب ح ى م ي اؤ ف خ س ا مكه ق ح ب ء ش
Menjaminkan sesuatu yang dapat dijadikan pembayaran hutang.23
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Abdurahman Al-Jaziri :
ه نا ه,ااجر بعض مه جعم ع ث مكه أخر اند ه بح قت بد ث سع مت مانت ف وظس انش ق
حهك انعه
Menjadikan benda yang bernilai harta dalam pandangan syara‟ sebagai
jaminan utang yang memungkinkqn untuk melunasi utang dari harta itu
atau sebagainya24
Para ulama memiliki pandangan berbeda dalam mendefinisikan Rahn
yaitu sebagai berikut :
1. Ulama Malikiyah
“Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang
bersifat mengikat”.25
21
Ibid. 22
Hasbi Ash-Shiddieqy,Pengantar Fiqh Muamalah,(Bulan Bintang, Jakarta,1984), hlm.86. 23 Wahbah az-Zuhaili, al-fiqh al-islami wa adilatuh, Juz-5, (Libanon: Dar al-
fikri,1984),hlm.180. 24
Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Mazahib al-Arba‟ah, Juz 3, (Mesir: al-maktabah al-
Tijariyah al-Kubra, 1969), hlm.319. 25 Nasrun Haroen,Fiqh Muamalah(Jakarta: Media Pratama, 2007).h.252.
15
Menurut ulama Malikiyah, yang dijadikan barang jaminan (agunan)
bukan saja harta yang bersifat materi, tetapi juga harta yang bersifat
manfaat tertentu. Harta yang dijadikan barang jaminan (agunan) tidak
harus diserahkan secara aktual, tetapi boleh juga penyerahannya
secara hukum, seperti menjadikan sawah sebagai jaminan, maka yang
diseahkan itu surat jaminannya.26
2. Ulama Hanafiyah
Menurut “Menjadikan sesuatu (barang)sebagai jaminan terhadap
hak (piutang)yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang)
itu, baik seluruhnya maupun sebaliknya”.
3. Ulama Syafi‟iyah
Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang)
yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) itu, baik
seluruhnya maupun sebagiannya.27
Definisi yang dikemukakan oleh ulama Syafi‟iyah ini mengandung
pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan utang itu
hanyalah harta yang bersifat materi.28
4. Ulama Hanabilah
“menjadikan suatu benda sebagai bentuk keperayaan suatu hutang
untuk dipenuhi harganya. Bila yag berharga tidak sanggup membayar
hutangnya”.
26
Ibid. 27 Ibid. 28 Ibid.
16
Dalam Ensiklopedia Indonesia, disebutkan bahwa gadai atau hak
gadai adalah hak atas benda terhadap benda bergerak milik si
berhutang yang diserahkan ke tangan si pemiutang sebagai jaminan
pelunasan hutang si berhutang tersebut tadi (pasal 1150-1160 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata).29
Pengertian serupa juga terdapat
didalam pasal 20 ayat 14 Kompilasi Hukum Nasional yang
mendefinisikan, “Rahn/gadai adalah penguasaan barang milik
peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan.”30
Berdasarkan beberapa pendapat tentang gadai (rahn) yang telah
dikemukakan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa gadai
(Rahn) adalah menyerahkan barang yang dimilikinya sebagai jaminan
pelunasan utang si berhutang kepada pemberi utang.
B. Dasar Hukum Gadai
Para ulama fiqh sepakat bahwa menggadaikan barang boleh hukumnya,
dengan landasan firman Allah Swt yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan
juga dari landasan lain yaitu As-Sunnah dan Ijma‟.
1. Al-Qur‟an
Landasan utama diperbolehkannya Gadai adalah terdapat dalam
Al-Qur‟an surat Al-baqarah (2) ayat 283 :
29
Gadai, (https://id.wikipedia.org/wiki/Gadai, akses pada 23 Januari 2019) 30
Mustofa, Imam,Fih Muamalah Kontemporer (Jakarta: Rajawali Pers,2016),h.193.
17
نم حجدا سفس إن كىخم عه كاحبا فسان مقبضت فئن أمه بعضكم بعضا
مه كخما فئو ادة ل حكخما انش زب نخق الل آثم فهؤد انر اؤحمه أماوخ
بما حعمهن عهم الل قهب
Jika kamu dalam perjalanan (bermuamalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah
ada barang jaminan yang dipegang (oleh yang mengutangkan).
Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercayai sebagian yang
lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
dan hendaklah ia bertakwa kepada tuhannya. Dan, janganlah
kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian, barang siapa yang
menyembunyikannya, sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya; dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.31
Didalam Q.S Al-Baqarah: 283 tersebut Allah Swt berfirman
“jika kamu dalam perjalanan”, maksudnya adalah sedang
melakukan perjalanan, lalu kamu berutang sampai waktu tertentu,”
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis” yang dapat
menuliskan transaksi mu. Ibnu Abbas berkata “atau kamu
memperoleh penulis namun tidak ada kertasnya, atau tintanya, atau
penanya, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang oleh
orang yang mengutangkan”. Yang di maksudkan dengan “penulis”
yaitu adalah jaminan yang dipegang oleh orang yang
mengutangkan. Firman Allah Swt “maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang memberi pinjaman), ayat ini
dijadikan sebagai dalil yang menunjukkan bahwa jaminan harus
31 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro,
2010),h.49.
18
merupakan sesuatu yang dipegang.32
Didalam ayat tersebut juga
terdapat firman Allah, “Namun, apabila sebagian kamu
mempercayai yang lain, maka orang yang diberi kepercayaan harus
melaksanakan amanatnya.33
Berdasarkan ayat tersebut juga, para
ulama telah sepakat bahwa barang jaminan (rahn) dibolehkan
(Jaiz). Rahn dapat dilakukan baik dalam bepergian maupun tidak
dalam keadaan bepergian.34
Sehingga dapat disimpulkan bahwa ayat tersebut diatas
menunjukkan sebuah bentuk jaminan yang memudahkan bagi
setiap orang yang akan berhutang walaupun dalam kondisi tidak
menemukan juru tulis untuk menuliskan hutang atau transaksi yang
dilakukan secara tidak tunai. Namun, jika kamu mempunyai orang
lain untuk dijadikan saksi, maka orang tersebut harus
melaksanakan persaksiannya. Hal ini juga dipertegas dengan
firman Allah Swt Q.S Al-Ma‟idah (5) ayat 106 :
إوا إذا نمه ٱلء دة ٱلل ل وكخم ش اثمه
32
Abdullah bin Muhammad bin Ishaq, Lubabut Tafsir Min Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir
Jilid I), Penj. M. Abdul Ghofur: Pustaka Imam Asy-Syafi‟i, Bogor,2004,h.569. 33
Muhammad Nasib Ar-Rifa‟i,Kemudahan Dari Allah Ringkasan Ibnu Katsir Jilid 1(Jakarta:
Gema Insani , 1999),h.469. 34
H.Bsyafuri,”Aktivitas Gadai Syariah dan Implikasinya Terhadap Produktivitas
Masyarakat di Provinsi Banten”Al-„Adalah Vol.XII, No.2 Desember 2014,( Banten: Fakultas
Syariah dan ekonomi Islam IAIN Maulana Hasanudin Banten, 2014, (On-line),tersedia di:
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/adalah/article/view/197/404, (08 september 2019), h.440.
19
Dan tidak pula kami menyembunyikan persaksian Allah;
sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang
yang berdosa.35
2. As-Sunnah
Dibolehkannya gadai selain di dalam Al-Qur‟an juga dapat
didasarkan pada Sunnah Rasul yang berfungsi sebagai penjelas
diperbolehkannya gadai dalam Al-Qur‟an.
Di riwayatkan didalam Hadis Nabi Riwayat al-Bukhari dan
Muslim dari Aisyah r.a berkata :
سهم اشخس صه الل عه ب الل عىا : أن انى عه عائشت زض
د طعاما زى دزعا مه حد د إن أجم مه
Dari Aisyah r.a berkata : sesungguhnya nabi SAW pernah membeli
makanan dari orang yahudi, dan beliau menggadaikannya baju
beliau.36
Begitu juga dengan hadis lain Anas r.a pernah menuturkan :
سهم دزعا ن عه اوس زض الل عى نقد زه انىب صه الل عه
سا له أخر مى شع د بانمدىت عىد
Dari Anas r.a sesungguhnya Nabi muhammad saw pernah
menggadaikan baju besinya di madinah kepada orang yahudi,
sementara beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk
memenuhi kebutuhan keluarga beliau.37
35 Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro,
2010),h.125. 36 Muhammad ibn ismail Abu Abdullah al-bukhari al-Ja‟fi,al-Jami:al-shahih al-Mukhtasar,
juz 2,(Beirut, Dar Ibn Katsir,1987).hlm,729, hadis ke-1962). 37 Ibid, Juz 2,hlm 729,hadis ke-1963.
20
Menurut kesepakatan para fiqh ulama, peristiwa Rasul Saw
menggadaikan baju besinya itu, adalah kasus gadai pertama dalam
Islam yang dilakukan sendiri oleh Rasulullah Saw. Dan agama
Islam tidak membeda-bedakan antara orang muslim dan non-
muslim dalam bidang muamalah, maka seorang muslim tetap wajib
membayar utang nya sekalipun kepada non-muslim.38
Kisah yang
sama juga di riwayatkan oleh Abu Hurairah :
ل الل سة قال أن زس سهم -عه اب س صه الل عه
عه انر زى ن غىم ه مه صا حب قال : ) ل غهق انس
غسم(.
“dari Abu Hurairah, dia berkata : Rasulullah SAW,
bersabda:gadai tidak menutup pemiliknya yang menggadaikannya
(ia memilikihasilnya) dan wajib menanggung kerusakannya”.39
Berdasarkan hadis tersebut diatas dijelaskan bahwa pemilik
barang gadai itu masih tetap boleh mengambil manfaat dari barang
yang ia gadaikan.
3. Ijma‟
Dasar hukum gadai selain atas dasar Al-Qur‟an dan Hadis
Nabi, gadai juga dituliskan atas dasar ijma‟, jumhur ulama
berpendapat bahwa gadai diperbolehkan dan mereka tidak pernah
berselisih pendapat mengenai hal ini. Jumhur ulama berpendapat
38
Hendi Suhandi, Fiqh Muamalah,(Jakarta: Rajawali Pers,2014),hlm.107. 39 Abu Bakar Ahmad bin Husain al-Baihaqi,Sunan al-Kubra,II/424,Hadis nomor 1541.
21
bahwa disyariatkan pada waktu tidak bepergian maupun pada
waktu bepergian, berdasarkan kepada perbuatan Rasulullah saw
yang menggadaikan baju besinya kepada seorang yahudi untuk
mendapatkan makanan.40
4. Fatwa DSN No 25 Tahun 2002
Di dalam Fatwa Dewan Nasional No 25 tahun 2002 gadai
diperbolehkan dengan beberapa ketentuan sebagai berikut :
Ketentuan Umum41
1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk
menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang
menyerahkan barang) di lunasi
2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada
prinsipnya, marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin
kecuali seizin rahin, degan tidak mengurangi nilai marhun
dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya
pemeliharaan dan perawatannya.
3. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya
menjadi kewajiban rahn, namun dapat dilakukan juga oleh
murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan
tetap menjadi kewajiban rahin.
4. Besarnya biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun
tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
40
Umam, Khotibul, Perbankan Syariah: dasar-dasar dan dinamika perkembangan di
indonesia (Jakarta :Rajawali pers,2017),h.174. 41
Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah(Jakarta: Prena Media Group,2013),h.29.
22
5. Penjualan marhun
6. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin
untul melunasi utangnya
7. Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, Maka marhun
dijual paksa/ dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
8. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang,
biaya peliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar
serta biaya penjualan.
9. Kelebihan hasil jualan menjadi milik rahin dan
kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
Ketentuan penutup42
1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau
jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan
jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan
diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
C. Rukun dan Syarat Gadai
Dalam melaksanakan praktik gadai, terdapat rukun dan syarat
gadai yang harus dipenuhi. Rukun menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah sesuatu yang harus di penuhi sah nya suatu
42
Ibid.
23
pekerjaan.43
Sedangkan Syarat menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah segala sesuatu yang perlu atau harus ada. 44
1. Rukun Gadai
Rukun-rukun gadai menurut jumhur ulama yaitu :45
a. Aqid (orang yang melakukan akad) meliputi :
1) Ar-Rahin (yang menggadaikan)
Orang yang telah dewasa, berakal, bisa dipercaya, dan
memiliki barang yang di gadaikan.
2) Al-Murtahin (yang menerima gadai)
Orang yang dipercaya oleh rahin untuk mendapatkan modal
dengan jaminan barang (gadai).
b. Ma‟qud Alaih (yang di akadkan) meliputi :
1) Al-marhun (barang yang digadaikan)
Barang yang di gunakan rahin untuk di jadikan jaminan untuk
mendapatkan uang.
2) Al-marhun bih (utang)
Sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas
dasar besaran tafsiran marhun.
c. Sighat,Ijab,Qabul
Kesepakatan antara rahin dan murtahin dalam melakukan
transaksi gadai.
43
Pusat Bahasa Departeme Pendidikan Indonesia,Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta :
Pusat Bahasa,2008),h.1226 44
Ibid,h.1402. 45
Hanif, Pegadaian dalam peta syari‟ah, ASAS Vol.2 No.4, Juli 2010, h.38.
24
Sedangkan ulama hanafiyah berpendapat bahwa rukun gadai
itu hanya ijab yaitu pernyataan kesediaan memberi utang dan
menerima barang jaminan itu. Dan disamping itu menurut ulama
hanafiyah, untuk sempurna dan mengikatnya akad gadai ini, maka
diperlukan al-qabdh (penguasaan barang) oleh pemberi hutang.
Adapun kedua pihakyang melakukan akad barang yang dijadikan
jaminan, menurut ulama hanafiyah termasuk syarat-syarat gadai.46
2. Syarat Gadai
Para ulama fiqh mengemukakan syarat-syarat gadai sesuai
dengan rukun gadai itu sendiri. Dengan demikian syarat-syarat
gadai meliputi :47
a. Syarat Ar-rahin dan Murtahin : Syarat gadai yang terkait
dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum.
Kecakapan bertindak hukum. Menurut jumhur ulama adalah
orang yang baligh dan berakal. Sedangkan menurut ulama
hanafiyah, kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan
baligh, tetapi cukup berakal saja.
b. Syarat al-marhun bih (utang)
Marhun bih adalah hak yang diberikan ketika rahn. Ulama
Hanafiyah memberikan beberapa syarat yaitu : 48
46 Fadlan, Gadai Syariah ; perspektif fikih muamalah dan aplikasinya dalam perbankan,
Iqtishadia Vol.1 No.1, Juni 2014, h.33 47
Fadlan, Gadai Syariah ; perspektif fikih muamalah dan aplikasinya dalam perbankan,
Iqtishadia Vol.1 No.1, Juni 2014, h.34. 48
Khumedi Ja‟far ,hukum perdata islam di indonesia (Bandar Lampung : Permata net
2016),h.170.
25
1) Marhun bih hendaklah barang yang wajib diserahkan.
Menurut ulama hanafiyah, marhun bih hendaklah berupa
utang yang wajib diberikan kepada orang yang
menggadaikan barang, baik berupa uang ataupun berbentuk
benda.
2) Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan. Jika marhun
bih tidak dapat dibayarkan. Rahn menjadi tidak sebab
mennyalahi maksud dan tujuan disyariatkannya rahn.
3) Hak atas marhun bih harus jelas. Dengan demikian, tidak
boleh memberikan dua marhun bih tanpa dijelaskan utang
mana menjadi rahn.
Menurut Ulama Hanabilah dan Syafi‟iyah syarat marhun bih
adalah :
1) Berupa utang yang dapat dimanfaatkan
2) Utang hams lazim pada waktu akad
3) Utang harus jelas dan diketahui rahin dan murtahin
4) Syarat marhun
c. Syarat al-marhun (barang yang dijadikan jaminan),
berdasarkan kesepakatan ulama, syarat yang terkait dengan
barang yang digadaikan adalam sama halnya dengan syarat
barang yang menjadi objek jual beli. Hal ini karena barang
jaminan tersebut harus dapat dijual oleh murtahin di saat orang
26
yang menggadaikan tidak mampu membayar utangnya. 49
Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang menjadi objek
jual beli adalah.
1) Barang jaminan itu adalah barang yang dapat diperjual
belikan
2) Barang jaminan adalah barang yang memiliki nilai
ekonomis (mempunyai nilai harta secara hukum syara‟).
3) Barang yang dibolehkan oleh syara‟ mengambil
manfaatnya.
4) Diketahui secara jelas, baik bentuk, jenis maupun nilainya.
5) Barang jaminan itu milik sah orang yang berutang.
6) Tidak terkait dengan hak orang lain, seperti harta serikat.
7) Barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak
bertebaran dalam beberapa tempat.
8) Nilai barang jaminan seimbang dengan besarnyautang atau
lebih.
Menurut ulama Hanafiyah, syarat barang yang digadaikan
adalah :
1) Barang yang digadaikan harus dapat diperjual belikan;
harus pada waktu akad dan dapat diserah terimakan.
2) Barang yang digadaikan harus berupa harta (kekayaan)
yang bernilai.
49
Mustofa,Imam,Op.Cit,h.196.
27
3) Barang yang digadaikan harus halal digunakan atau
dimanfaatkan.
4) Barang harus jelas, ukuran, jenis, jumlah.
5) Barang yang digadaikan harus utuh; dan tidak terpisah
satu sama lain.50
d. Syarat penyerahan marhun : Apabila barang jaminan telah
diterima oleh murtahin kemudian utang sudah diterima oleh
rahin, maka akad ar-rahn bersifat mengikat bagi kedua belah
pihak. Syarat yang terakhir yang merupakan kesempurnaan ar-
rahn adalah penyerahan barang jaminan artinya barang
jaminan yang dikuasai secara hukum oleh murtahin. Namun
para ulama berselisih pendapat dalam serah terima barang
jaminan. Jumhur ulama berpendapat serah terima bukan syarat
sah nya akad ar-rahn, akan tetapi ia adalah syarat luzum akad
ar-rahn. Maka akad ar-rahn itu belum mengikat kecuali
dengan terjadinya serah terima barang yang digadaikan.
Sedangkan menurut ulama malikiyah tidak sempurna akad ar-
rahn kecuali dengan adanya serah terima barang yang
digadaikan. Oleh karena itu adanya serah terima barang
jaminan merupakan kesempurnaan akan ar-rahn. Ulama
malikiyah menganggap marhun tidak harus diserahkan secara
50
Ibid,h.198.
28
aktual seperti menjajdikan sawah sebagai jaminan, maka yang
diserahkan adalah surat sertifikatnya.51
e. Sighat akad, disyaratkan tidak dikaitkan dengan syarat tertentu
atau dikaitkan dengan masa yang akan datang. ulama
hanafiyah menyatakan apabila akad ar-rahn dibarengi dengan
syarat tertentu, atau dikaitkan dengan masa yang akan datang,
maka syaratnya batal. Sementara akad rahn nya sah.
Sedangkan menurut ulama Hanabilah, Malikiyah dan
Syafi‟iyah menyatakan, syarat itu adalah syarat yang
mendukung kelancaran akad, maka syarat itu diperbolehkan.
Selain syarat-syarat tersebut diatas, para ulama fiqh sepakat
menyatakan bahwa gadai itu dianggap sempurna apabila barang
yang digadaikan itu secara hukum sudah berada di tangan pemberi
utang, dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang.52
D. Akad dalam Gadai
Akad merupakan prasyarat yang membedakan antara syari‟ah dan
non-syari‟ah, akad merupakan pintu terbentuknya pernyataan sah atau
tidak nya perbuatan muamalah. Dalam gadai tanah akad merupakan
prasyarat yang menyebabkan gadai tanah dapat diterima secara syar‟i.
Ada beberapa jenis akad yang perlu diperhatikan dalam gadai tanah,
agar bentuk transaksinya sesuai dengan hukum Islam.
51
Rozalinda,Op.Cit,h.256. 52
Fadlan, Gadai Syariah ; perspektif fikih muamalah dan aplikasinya dalam perbankan,
Iqtishadia Vol.1 No.1, Juni 2014, h.34.
29
1. Akad Tabarru‟
Akad Tabarru‟ adalah akad tolong-menolong yang
merupakan ciri dasar pelaksanaannya masyarakat di Indonesia
melakukan gadai tanah. Fathi al-Duraini sebagai ulama ahli fikih
dari Damaskus, Suriah mengatakan bahwa kehati-hatian ulama
fikih dalam menetapkan hukum pemanfaatan barang marhun baik
oleh rahin maupun oleh murtahin bertujuan agar kedua belah pihak
tidak dikategorikan dalam pemakan riba.53
Alasannya adalah
karena hakikat rahn dalam Islam adalah akad yang dilaksanakan
tanpa imbalan jasa dan akad yang dilakukannya lebih tepat dengan
akad tabarru‟ dan tujuan utamanya adalah al-ta‟awun „ala al-birri
wa al-taqwa (saling tolong-menolong atas kebaikan dan
ketaqwaan).
Akad tabarru‟ pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk
mencari keuntungan komersil dan sangat tepat jika dala akad rahm
yang pertama kali dilakukan oleh masyarakat adalah akad tabarru‟
bukan untuk mencari keuntungan komersil. Oleh karena itu dalam
kaitannya dengan rahn permasalahannya yaitu Masyarakat
melakukan gadai karena benar-benar membutuhkan dana untuk
keperluan pribadi maupun keluarganya, mereka menggunakan
tanah sebagai agunan karena untuk lebih meyakinkan dan adanya
jaminan yang dipegang oleh pihak pemilik modal (murtahin).
53
Sulaeman Jajuli, Kepastian Hukum Gadai dalam Tanah Islam, (Yogyakarta:
Deepublish,2015),h.114.
30
Akad tabarru‟ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong
dalam rangka berbuat kebaikan. Tabarru‟ berasal dari kalimat
اس ب -س ب -س ب (barra‟-yaburru-burron) yang bermakna perbuatan
baik. Kemudian kalimat birr tersebut diawali ث شا دة (ta ziyadah)
dan انخضعف (tadhief), sehingga menjadi –حبس ا –خبس حبس
(tabarra-yatabarru-tabarruwan). Kalimat birr banyak digunakan
dalam Al-Qur‟an maupun hadits Nabi yang bermakna kebaikan.
Tabarru‟ juga berasal dari kalimat ع ع –حبس عا –خبس حبس
(tabarra‟a- yatabarro‟u- tabarru‟an) yang berarti sumbangan
hibah, derma atau dana kebajikan. Mutabarru‟ diartikan dengan
orang yang selalu memberikan derma kepada orang lain atau
dikatakan dengan dermawan. Sedangkan orang yang menerima
dana derma disebut mutabarruan lahu. Akad tabarru‟ merupaka
akad dimana pihak yang berbuat baik tersebut tidak berhak
mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan yang
didapatkan oleh pihak dan pelaku akad khususnya murtahin dalam
rahn adalah pahala dari Allah SWT.
Dalam Q.S Al-Maidah (5) ayat 2 Allah SWT berfirman :
قوا الل قوى ول تعاونوا على الثم والعدوان وات وتعاونوا على البر والت
شديد العقاب إن الل
“dan tolong-menolong lah kamu dala (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran, dan bertakwalah kamu kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. QS.Al-Maidah (5)
ayat 2.
31
Maksud dari firman Allah SWT tersebut diatas adalah
tentang tolong-menolong dalam kebaikan dan bukan berharap
mendapatkan pujian dari manusia. Namun demikian pihak yang
berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada counter-part nya
untuk sekedar menutupi biaya yang dikeluarkannya untuk dapat
melakukan akad tabarru‟ dan ia tidak boleh mengambil
keuntungan laba sedikitpun dari akad tabarru‟ tersebut. 54
2. Akad Rahn
Rahn yang dimaksud adalah menahan harta milik si peminjam
sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak yang
memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutangnya.55
3. Akad Ijarah
Ijarah memiliki makna sewa-menyewa. Kalimat ijarah berasal dari
kata ujroh yang artinya upah. Akad ijarah merupakan pengambilan
manfaat dari dua bentuk yaitu mu‟ajir (pemilik yang menyewakan
manfaat) dan al-musta‟jir (penyewa atau orang yang membutuhkan
barang). Barang yang diambil manfaatnya disebut ma‟jur dan adanya
kompensasi atau adanya jjasa, biaya yang dikeluarkan disebut ujroh.
54 Sulaeman Jajuli, Kepastian Hukum Gadai Tanah Dalam Islam,(Yogyakarta:
Deepublish,2015),h.115. 55
Nurul huda, muhammad haykal, Lembaga Keuangan Islam ( Jakarta: Media Grafika,
2010),h.279.
32
Penulis kitab al-muyassar menyatakan bahwa manfaat dan
pertumbuhan barang gadai adalah hak pihak penggadai, karena itu
adalah miliknya. Orang lain selain rahin tidak berhak mengambil tanpa
ada izin darinya. Walaupun keduanya sudah saling meridhoi dan saling
suka sama suka dalam akadnya namun memberikan kesempatan
kepada pemilik tanah untuk menggarapnya itu akan lebih baik karena
dia melakukan itu karena adanya unsur keterpaksaan. Bila ia
mengizinkan kepada murtahin untuk mengambil manfaat barang
gadainya dihasilkan dari peminjaman hutang yang menghasilkan
riba.56
4. Akad Al-Mudharabah
Selain akad ijarah dalam pelaksanaan dan praktik yang bisa
digunakan dalam gadai tanah, bisa juga seorang rahin dan murtahin
menggunakan akad Al-mudharabah. akad Al-mudharabah adalah suatu
akad yang dilakukan oleh pihak rahin dengan pihak murtahin. Rahin
menggadaikan tanahnya sebagai jaminan untuk menambah modal
usahanya atau pembiayaan produktif. Dalam akad mudharabah, pihak
pemberi gadai akan memberikan keuntungan dalam bentuk bagi hasil
berdasarkan keuntungan yang diperoleh murtahin dengan kesepakatan
sampai modal yang dipinjamkan dilunasi.
56 Sulaeman Jajuli, Op.Cit.,h.131.
33
Tanah sebagai jaminan tentu dapat digunakan dengan cara
mengolah tanahnya dengan baik, seperti menanam sayuran, pepohonan
atau membangun ruko yang dapat disewakan atau dikelola sendiri yang
dapat menghasilkan pendapatan atau income pemilik modal. Jika benda
yang digadaikan dapat diambil manfaatnya maka perlu ada kesepakatan
yang jelas mengenai pemanfaatan tanah berdasarkan akad yang
disesuaikan dengan jenis harta benda yang digadaikan. Untuk kesepakatan
dalam presentasi bagi hasil dalam keuntungan nisbah maka bagi hasil
disesuaikan dengan kesepakatan antara rahin dengan murtahin. Selain itu,
dapat juga bermakna bahwa pihak rahin dan murtahin memberikan hasil
keuntungan bersama dari hasil tanah yang dikelolanya bila pinjaman dari tanah
yang digadaikan dan uang yang diterima dijadikan modal usaha.
E. Pemanfaatan Marhun
Pada dasarnya tidak boleh terlalu lama memanfaatkan barang
jaminan sebab hal itu akan menyebabkan barang jaminan hilang atau
rusak. Hanya saja diwajibkan untuk mengambil faedah ketika
berlangsungnya rahn. 57
Berkaitan dengan barang gadaian, maka terjadi perbedaan pendapat
dikalangan ulama mengenai siapa yang berhak memanfaatkan barang
gadaian yang dijadikan jaminan atas utang. Untuk lebih jelasnya
perhatikan uraian dan penjelasan berikut ini.
1. Kedudukan Marhun
57
Khumedi Ja‟far, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Bandar Lampung:
Permatanet,2016)h,181.
34
Selama ada ditangan pemegang gadai, maka kedudukan barang
gadai hanya merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya
oleh pihak penggadai
2. Pemanfaatan Marhun oleh Rahin (yang menggadaikan)
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang
dibutuhkan untuk pemeliharaan barang-barang jaminan itu menjadi
tanggung jawab pemiliknya, yaitu orang yang berutang. Hal ini sejalan
dengan sabda Rasulullah SAW yang mengatakan “pemilik barang
jaminan (agunan) berhak atas segala hasil barang jaminan dan ia juga
bertanggung jawab atas segala biaya barang jaminan itu. (H.R Asy-
Syafi‟i dan ad Daruquthni)”
Dalam pemanfaatan marhun oleh rahin, terdapat beberapa
pendapat, yakni dikalangan ulama-ulama hanafiyah menyatakan
pemilik barang boleh memanfaatkan miliknya yang menjadi barang
jaminan itu, jika diizinkan murtahin. Mereka berprinsip bahwa segala
hasil dan resiko dari barang jaminan menjadi tanggung jawab orang
yang memanfaatkannya. Hal ini sejalan dengan sabda rasulullah
tersebut diatas yang diriwayatkan oleh al-Hakim, al-Baihaqi, dan Ibn
Hibban dari Abu Hurairah. Oleh sebab itu, apabila kedua belah pihak
ingin memanfaatkan barang itu, haruslah mendapat izin dari pihak
35
lainnya. Apabila barang yang dimanfaatkan itu rusak, maka orang yang
memanfaatkannya bertanggung jawab membayar ganti ruginya.58
Sedangkan ulama malikiyah berpendapat hampir sama dengan
ulama hanafiyah yang menyatakan,”ar-rahin tidak boleh memanfaatkan
marhun.” Keizinan murtahin terhadap rahin untuk memanfaatkan
marhun membatalkan akad rahin.59
Ada juga pendapat lain yang
mengatakan bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan marhun baik
diizinkan maupun tidak, karena barang tersebut bersifat jaminan dan
tidak lagi hak pemilik secara penuh.60
Sementara itu, ulama syafi‟iyah mengemukakan pendapat yang
lebih luas dari pendapat ulama-ulama sebelumnya, karena pemilik
barang itu ingin memanfaatkan marhun, tidak perlu ada izin dari
pemegang marhun yaitu murtahin. Alasannya barang itu adalah
miliknya dan seorang pemilik tidak boleh dihalangi untuk
memanfaatkan hak miliknya. Akan tetapi, pemanfaatan marhun tidak
boleh merusak barang itu, baik kualitas maupun kuantitasnya, sebab itu
apabila terjadi kerusakan pada barang itu ketika dimanfaatkan
pemiliknya, maka pemilik barang bertanggung jawab untuk hal itu. 61
Kendati pemilik barang (Rahin) boleh memanfaatkan hasilnya,
tetapi dalam beberapa hal rahin tidak boleh bertindak untuk menjual,
58
Nasrun,Haroen,Op,Cit.h,258. 59
Rozalinda,Lok.Cit. 60
Nasrun,Haroen,Op.Cit.h,259. 61
Nasrun,Haroen,Loc,Cit.
36
mewakafkan atau menyewakan barang jaminan tesebut, sebelum ada
persetujuan dari Murtahin (orang yang memberi piutang).62
3. Pemanfaatan Marhun oleh Murtahin
Pada asalnya barang gadai, biaya pemeliharaan dan manfaatnya
adalah milik orang yang menggadaikan (rahin). Murtahin tidak boleh
mengambil manfaat barang gadaian tersebut kecuali bila barang
tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya.63
Sedangkan menurut ulama terdapat perbedaan dalam menafsirkan
pemanfaatan marhun oleh murtahin. Ulama malikiyah berpendapat
bahwa apabila pemilik barang atau pihak yang menggadaikan
mengizinkan atau mensyaratkan maka boleh bagi penerima gadai untuk
memanfaatkan barang gadai apabila utang dalam akad gadai tersebut
akad jual beli. Bila utang tersebut adalah utang qard, maka tidak
boleh.64
Sedangkan ulama Hanabilah berpendapat bahwa apabila yang
dijadikan barang jaminan itu adalah hewan, maka pemegang barang
jaminan berhak untuk mengambil susunya dan mempergunakannya,
sesuai dengan jumlah biaya pemeliharaan yang dikeluarkan pemegang
barang jaminan. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw, yang
mengatakan “Hewan yang dijadikan barang jaminan itu dimanfaatkan
sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, dan susu dari kambing yang
62
Hasan,M.Ali,Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam,(Jakarta:Raja Grafindo
Persada,2003),h.257 63
Rozalinda, Op.Cit,h.258. 64
Mustofa,Imam,Op.Cit,h.200.
37
dijadikan barang jaminan diminum sesuai dengan biaya yang
dikeluarkan, dan pada setiap hewan yang dimanfaatkan dan diambil
susunya (wajib) dikeluarkan biayanya”.(HR al-Bukhari, dan Abu
Dawud dari Abu Hurairah).
Akan tetapi, menurut ulama hanabilah, apabila barang jaminan itu
bukan hewan atau sesuatu yang memerlukan biaya pemeliharaan,
seperti tanah, maka pemegang barang jaminan tidak boleh
memanfaatkannya.65
Ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa murtahin tidak boleh
memanfaatkan marhun baik cara menggunakan, mengendarai, minum
susu, atau mendiami rumah yang digadaikan, kecuali atas izin rahin.
Karena murtahin hanya berhak untuk menahan barang gadai tidak
untuk memanfaatkan. Apabila rahin mengizinkan murtahin
memanfaatkan marhun maka ia boleh memanfaatkan nya secara mutlak
menurut sebagian ulama hanafiyah, akan tetapi sebagian yang lainnya
mengatakan bahwa murtahin tidak berhak memanfaatkan barang yang
digadaikan sekalipun itu diizinkan oleh rahin. Marhun hanya berfungsi
sebagai tautsiq bi ad-dayn , sedangkan manfaatnya tetap menjadi hak
rahin. Jika memanfaatkan, kemudian barang rusak maka murtahin
menanggungnya. Sebagian ulama yang berpendapat melarang adalah
dikarenakan riba. Memanfaatkan barang gadaian sama dengan qardh
65
Nasrun,Haroen,Op.Cit,h.258.
38
yang menguntungkan dan setiap bentuk qardh yang menguntungkan
adalah riba.
Jika disyaratkan kepada rahin untuk memanfaatkan barang ketika
akad diharamkan karena itu adalah riba. Setiap piutang yang
mendatangkan manfaat maka itu adalah riba, jika tidak disyaratkan pada
waktu akad dibolehkan karena itu adalah tabarru‟ dari rahin kepada
murtahin.
Ulama syafi‟iyah berpendapat bahwa penerima gadai tidak boleh
memanfaatkan barang gadaian. Pendapat ini berdasarkan hadis Nabi
saw “barang gadai tidak dapat hangus. Gadai adalah milik debitur (yang
berutang), miliknyalah keuntungan dan tanggung jawabnya pula
kerugiannya”
Apabila pihak penerima gadai mensyaratkan sesuatu yang
merugikan pihak yang menggadaikan atau menguntungkan pihak yang
menggadai, maka syarat tersebut batal demi hukum.66
Berdasarkan pendapat beberapa ulama tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa, baik Rahin maupun Murtahin tidak boleh
mengambil manfaat dari marhun, apabila tidak ada izin terlebih dahulu.
66
Mustofa,imam,Loc.Cit.
39
4. Pemeliharaan Marhun
Dengan tetapnya hak menahan marhun di tangan murtahin,
menurut ulama Hanafiyah maka murtahin berkewajiban memelihara
seperti sebagaimana memelihara hartanya sendiri, marhun adalah
amanah ditangan murtahin. Sebagai pemegang amanat, maka ia
berkewajiban memelihara seperti memelihara harta wadiah. Selama
barang gadai ada ditangan pemegang gadai, maka kedudukannya
merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh rahin.
Untuk menjaga keselamatan barang gadai tersebut diadakan perjanjian
pemeliharaan.
Murtahin tidak boleh menyerahkan pemeliharaan kepada orang
lain, ia tidak boleh juga menitipkan pada orang lain. Jika itu terjadi
maka ia menanggungnya. Dalam hal ini murtahin boleh mengendarai
marhun apabila jalannya aman.
Mengenai biaya pemeliharaan barang gadai, para ulama sepakat
sesungguhnya biaya pemeliharaan menjadi tanggung jawab rahin.
Setiap manfaat atau keuntungan yang ditimbulkan menjadi hak pemilik
barang. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW sebagai
berikut :
: ا ل صه الل عه سهم ق الل ل س ز د به انمسب ان ع عه س
غسم اص ه م ه انس ق ه غ ل عه انر زى ن غىم حب
40
Dari said ibn al-musayyab, sesungguhnya Rasulullah saw,
berkata “gadai itu tidak menutup pemilik dari memanfaatkan
barang gadai, dia berhak memanfaatkannya dan wajib
menanggung kerusakan dan biaya.”67
Ulama hanafiyah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan
ditanggung oleh rahin sebagai pemilik barang gadai dan oleh murtahin
sebagai orang yang bertanggung jawab memeliharanya. Segala biaya
yang diperlukan untuk kemaslahatan barang gadai ditanggung oleh
rahin, karena barang tersebut miliknya dan segala biaya untuk
memelihara barang gadai ditanggung oleh murtahin, karena ia menahan
barang gadai maka ia terikat dengan perkara-perkara yang berkaitan
dengan barang gadai.
Dalam hal ini penggadai bertanggung jawab untuk menyediakan
biaya penyiraman, pembersihan, parparitan, jika barang jaminan berupa
tanah. Semua itu merupakan biaya peliharaan harta yang mesti
ditanggung oleh pemilik barang. Rahin tidak boleh mengambil biaya
peliharaan marhun dari hasil marhun kecuali atas ridha murtahin karena
marhun semuanya berhubungan dengan hak murtahin.
F. Hak dan Kewajiban Murtahin
1. Hak Murtahin (penerima gadai)
a. Penerima gadai berhak menjual marhun atau barang yang
digadaikan apabila rahin tidak dapat memenuhi kewajibannya
pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan harta benda gadai dapat
67
Abu Bakar Ahmad ibn al-Husain Ali Al-Baihaqi, sunan al-Kubra, Juz 2, (Majelis dairah
al-Maarif al-Nizhamiyah al-Kainan fi al-Hindi,1344 H),hlm.424 Hadis ke-1451.
41
digunakan untuk melunasi pinjaman atau marhun bih dan
sisanya dikembalikan pada rahin
b. Murtahin berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah
dikeluarkan untuk menjaga keselamatan harta benda gadai
(marhun)
c. Selama pinjaman belum dilunasi maka pihak pemegang gadai
berhak menahan harta benda yang diserahkan oleh rahin.68
2. Kewajiban Murtahin (penerima gadai)69
a. Murtahin bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya harta
benda gadai bila hal itu disebabkan oleh kelalaiannya
b. Murtahin tidak boleh menggunakan barang gadai untuk
kepentingan pribadinya
c. Murtahin berkewajiban mengembalikan barang gadai kepada
pemberi gadai jika utang nya telah dilunasi
G. Hak dan Kewajiban Rahin
1. Hak Rahin (pemberi gadai)
a. Rahin berhak mendapatkan pengembalian harta benda yang
digadaikan sesudah melunasi pinjaman hutangnya
b. Rahin berhak menuntut ganti rugi atau kerusakan
dan/hilangnya harta benda yang digadaikan, bila hal itu
disebabkan oleh kelalaian Murtahin
68 Sofiniyah Ghufron, Mengatasi Masalah Dengan Pegadaian Syariah (Jakarta: Renaisan
anggota IKAPI,2007),h.26-27. 69
Indri, Hadis Ekonomi (Ekonomi dalam Perspektif Hadis Nabi) (Jakarta: Prenamedia
Group,2015),h.210.
42
c. Rahin berhak menerima sisa hasil penjualan harta benda gadai
sesudah dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya
d. Rahin berhak meminta kembali harta benda gadai apabila
penerima gadai diketahui menyalah gunakan harta benda
gadainya
2. Kewajiban Rahin (pemberi gadai)
a. Pemberi gadai berkewajiban melunasi pinjaman yang telah
diterimanya dalam tenggang waktu yang telah ditentukan,
termasuk biaya-biaya yang telah ditentukan oleh penerima
gadai
b. Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan harta benda
gadainya, bila dalam jangka waktu yang telah ditentukan
pemberi gadai tidak dapat melunasi utang pinjamannya.70
H. Batal dan Berakhirnya Gadai
Rahn dipandang habis dengan beberapa keadaan seperti
membebaskan utang, hibah, membayar utang dan lain-lain seperti
penjelasan berikut ini.
a. Borg atau Barang Gadaian Diserahkan Kepada Pemiliknya
Jumhur ulama selain Syafi‟iyah memandang habis rahn jika
murtahin menyerahkan borg kepada rahin sebab borg merupakan
jaminan utang. Jika borg diserahkan, tidak ada lagi jaminan. Selain
70
Zainudin dan Muhammad Jamhari, al-Islam 2.Muamalah dan Akhlaq (Bandung: Pustaka
Setia,1999),Cet.1,h.41.
43
itu, dipandang habis pula rahn jika murtahin meminjamkan borg
kepada rahin atau kepada orang lain atas seizin rahin.
b. Penjualan marhun
Apabila marhun dijual paksa (lelang) berdasarkan keputusan hakim
maka, akad rahn berakhir. Jika saat jatuh tempo pelunasan utang,
rahin belum mengembalikan uang yang dipinjam. Dalam hal ini,
murtahin tidak berhak mengakui atas marhun tersebut, tetapi ia
berhak menjual marhun tersebut. siapa saja boleh membelinya
termasuk murtahin sendiri, karena hak murtahin hanya sebatas
utang rahin. Jika penjualan marhun melebihi utang rahin, kelebihan
tersebut harus dikembalikan kepada rahin. Begitupun sebaliknya, apabila
kurang itu menjadi tanggung jawab rahin.
c. Rahin melunasi Semua utang
Apabila rahin melunasi utang kepada murtahin maka akad berakhir
d. Murtahin melakukan pengalihan utang rahin kepada pihak lain
(hiwalah)
e. Rahin atau murtahin meninggal dunia atau rahin bangkrut sebelum
marhun diserahkan kepada rahin dan utang dilunasi
f. Pembatalan rahn dari pihak murtahin, rahn dipandang habis jika
murtahin membatalkan rahn meskipun tanpa izin rahin. Sebaliknya,
dipandang tidak batal jika rahin membatalkannya.
44
Menurut ulama hanafiyah, murtahin diharuskan untuk mengatakan
pembatalan borg kepada rahin. Hal ini karena rahn tidak terjadi,
kecuali dengan memegang. Begitu pula cara membatalkannya
adalah dengan tidak memegang. Ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa rahn dipandang batal jika murtahin membiarkan borg
kepada rahin sampai dijual.71
g. Marhun rusak atau binasa. Marhun hakikatnya adalah amanah yang
diberkan kepada murtahin bukan dhamanah kecuali kerusakan itu
karena kesia-siaan, demikian menurut jumhur ulama.72
h. Rahn dipandang habis apabila borg ditasharrufkan, seperti diadikan
hadiah, hibah, sedekah dan lain-lain.
71
Khumedi Ja‟far, Op.Cit,h.190 72
Rozalinda,Op.Cit,h.269.
45
BAB III
LAPORAN HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Masyarakat Pekon Gisting Atas
1. Sejarah Pekon Gisting Atas
Pekon Gisting Atas waktu dahulu merupakan tanah atau wilayah
Perkebunan Teh dan Karet yang di Kuasai Bangsa Belanda. Nama Gisting
berasal dari Bahasa Belanda yang artinya : Guest yang berarti tamu atau
Guesting yang berarti tamu datang. Jadi dapat disimpulkan bahwa Gisting
berarti Tamu yang Datang. Kemudian pada tahun 1949 terjadi Agresi II
bangunan-bangunan yang ada di bumi hanguskan oleh Tentara Republik
Indonesia pada waktu itu bernama CTN (Corp Tentara Nasional), akhirnya
nama guesting disimpulkan menjadi Gisting.
Pada tahun 1950, Gisting terdiri dari satu kelurahan yaitu Kelurahan
Gisting meliputi wilayah Gisting, Tanggamus dan Campang. Khusus Desa
Gisting di pecah menjadi dua yaitu Gisting Atas dan Gisting Bawah
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Lampung Nomor :
G/0229/D.I/HK/17 Pada tanggal 23 oktober 1971. Berdasarkan data
Pekon Gisting Atas telah dipimpin oleh 7 kepala pekon sampai pada saat
ini. Pekon Gisting Atas sebelum dimekarkan yaitu pekon Gisting Atas dan
pekon Gisting Permai terbagi menjadi 14 kebayanan. Namun pada tanggal
14 Desember 2011 telah resmi di mekarkan dengan wilayah mekar 5
kebayanan. Sedangkan pada saat ini pekon Gisting Atas terbagi menjadi
46
11 kebayanan. Masyarakat pekon Gisting Atas mayoritas bersuku jawa,
walaupun tidak menutup kemungkinan dengan suku lain yang datang
kemudian menjadi pribumi tetap Gisting Atas. Di Pekon Gisting Atas 90%
nya adalah masyarakat bersuku Jawa.
2. Letak Geografis Pekon Gisting Atas
a. Letak dan Luas Wilayah
Pekon Gisting Atas memiliki Luas Wilayah 431,65 Ha. Secara
Geografis Pekon Gisting Atas terletak pada ketinggian ± 650 diatas
permukaan laut. Secara administrasi Pekon Gisting Atas Kecamatan
Gisting Atas Kecamatan Gisting Kabupaten Tanggamus memiliki
batas-batas sebagai berikut :
- Sebelah utara berbatasan dengan : Pekon Gisting Bawah
- Sebelah selatan berbatasan dengan : Pekon Gisting Permai
- Sebelah Timur berbatasan dengan : Register 30
- Sebelah Barat berbatasan dengan : Register 28
b. Iklim
Iklim Pekon Gisting Atas, sebagaimana pekon-pekon lain di
wilayah Indonesia, mempunyai iklim kemarau dan penghujan, hal
tersebut mempunyai pengaruh langsung terhadap pola tanam yang
ada di Pekon Gisting Atas.
47
3. Potensi Umum
a. Luas Pekon
a) Tanah sawah
- Sawah irigasi Teknis : - Ha
- Sawah irigasi ½ Teknis : 7.05 Ha
- Sawah tadah hujan : - Ha
b) Tanah kering
- Ladang : 79 Ha
- Pemukiman : 257.75 Ha
c) Tanah basah
- Tanah rawa : - Ha
- Pasang surut : - Ha
d) Tanah perkebunan
- Tanah perkebunan rakyat : 86.35 Ha
- Tanah perkebunan negara : - Ha
- Tanah perkebunan swasta : - Ha
e) Tanah fasilitas umum
- Kas pekon : 4108 M²
- Lapangan : 7680 M²
- Perkantoran pemerintah : 540 M²
- Lainnya : - Ha
f) Tanah hutan
- Hutan lindung : - Ha
48
- Hutan produksi : - Ha
- Hutan konversi : - Ha
b. Orbitasi
a) Jarak ke ibukota kecamatan terdekat : 3 Km
b) Lama tempuh ke ibukota kecamatan terdekat : 10 Menit
c) Kendaraan umum ke ibukota kecamatan : 30 Menit
d) Jarak ke ibukota kabupaten terdekat : 12 Km
e) Lama tempuh ke ibukota terdekat : 30 Menit
f) Kendaraan umum ke ibukota kabupaten : 1 unit
c. Iklim
a) Curah hujan : 300 mm
b) Jumlah bulan hujan : 7-9 bulan
c) Suhu rata-rata harian : 32 C
d) Tinggi tempat : 113.5 Dpl
e) Bentang wilayah : datar
4. Pertanian
a. Tanaman pangan
a) Luas tanaman menurut komoditas tahun ini
- Jagung : - Ha = - Ton/Ha
- Kacang kedelai : - Ha = - Ton/Ha
- Kacang tanag : 2 Ha = 3 Ton/Ha
- Kacang panjang : - Ha = - Ton/Ha
- Padi ladang : - Ha = - Ton/Ha
49
- Ubi kayu : -3 Ha = 6 Ton/Ha
- Ubi jalar : 3 Ha = 6 Ton/Ha
- Cabe : 5 Ha = 5 Ton/Ha
- Bawang putih : - Ha = - Ton/Ha
- Bawang merah : - Ha = - Ton/Ha
- Tomat : 5 Ha = 10 Ton/Ha
- Sawi : 5 Ha = 10 Ton/Ha
- Kentang : - Ha = - Ton/Ha
- Kubis : 5 Ha = 15 Ton/Ha
- Mentimun : - Ha = - Ton/Ha
- Buncis : 1.5 Ha = 2 Ton/Ha
- Brokoli : - Ha = - Ton/Ha
- Terong : 1.5 Ha = 3 Ton/Ha
b. Jenis komoditi buah-buahan yang di budidayakan
- Salak : 4.5 Ha = 1.5 Ton/Ha
- Pepaya : 3 Ha = 3 Ton/Ha
- Pisang : ½ Ha = 500 Kg
c. Jenis dan Kesuburan Tanah
- Warna tanah (sebagian besar) : Hitam
- Tekstur : Debuan
- Kedalaman : 1.5 m
- Permasalahan : Tidak ada
50
d. Tanaman obat-obatan
- Jahe : 0.50 Ha = 0.5 Ton/Ha
- Kunyit : 0.50 Ha = 0.5 Ton/Ha
- Lengkuas :0.50 Ha = 0.5 Ton/Ha
5. Perkebunan
1. Luas dan Hasil menurut Jenis
Komoditi Luas (Ha) Hasil (Ton/Ha)
Kelapa 5.00 Ha 7.00 T0n/Ha
Kelapa sawit Ha Ton/Ha
Kopi 5.00 Ha 3.00 Ton/Ha
Cengkeh Ha Ton/Ha
Coklat 17.00 Ha 8.00 Ton/Ha
Pinang Ha Ton/Ha
Lada 1.00 Ha 1.50 Ton/Ha
Karet Ha Ton/Ha
Mete Ha Ton/Ha
Tembakau Ha Ton/Ha
Vanilla 7.00 Ha 5.00 Ton/Ha
Pala Ha Ton/Ha
51
6. Potensi Sumber Daya Manusia di Pekon Gisting Atas
a. Jumlah Penduduk Pekon Gisting Atas
NO JENIS KELAMIN JUMLAH
1 Kepala Keluarga 2.117 KK
2 Laki-Laki 3.257 Orang
3 Perempuan 4.149 Orang
4 Total 7.406 Orang
Sumber Data : Data Pekon Gisting Atas
b. Berdasarkan Umur
UMUR JUMLAH
1-5 Tahun 1324 Orang
6-17 Tahun 1247 Orang
18-60 Tahun 3496 Orang
60 Tahun keatas 1339 Orang
TOTAL 7406 Orang
Sumber Data : Data Pekon Gisting Atas
c. Berdasarkan Pendidikan
Belum Sekolah 506 Orang
Usia 7-45 Tahun tidak pernah sekolah 112 Orang
Pernah sekolah SD tapi tidak Tamast 337 Orang
Tamas SD/Sederajat 975 Orang
52
SLTP/Sederajat 898 Orang
SLTA/Sederajat 2675 Orang
D-1 211 Orang
D-2 225 Orang
D-3 213 Orang
S-1 1055 Orang
S-2 134 Orang
S-3 65 Orang
Sumber Data : Data Pekon Gisting Atas
d. Berdasarkan Mata Pencaharian Pokok
Petani 1876 Orang
Buruh Tani 415 Orang
Buruh Swasta 353 Orang
Pegawai Negeri 377 Orang
Pengerajin 55 Orang
Pedagang 1675 Orang
Peternak 261 Orang
Nelayan 1 Orang
Montir 75 Orang
Dokter 4 Orang
Guru 469 Orang
Bidan 11 Orang
53
Perawat 9 Orang
Sumber Data : Data Pekon Gisting Atas
e. Berdasarkan Agama
Islam 7266 Orang
Kristen 71 Orang
Khatolik 61 Orang
Hindu 5 Orang
Budha 3 Orang
Sumber Data : Data Pekon Gisting Atas
f. Berdasarkan Etnis
Lampung 564 Orang
Jawa 6338 Orang
Sunda 365 Orang
Padang 79 Orang
Batak 45 Orang
Tionghoa 15 Orang
Sumber Data : Data Pekon Gisting Atas
7. Mata Pencaharian Masyarakat Pekon Gisting Atas
a. Pertanian
Jumlah rumah tangga pemilik tanah pertanian 932 RT
Jumlah rumah tangga tidak memiliki tanah pertanian 833 RT
Memiliki tanah pertanian kurang dari ½ Ha 425 RT
54
Memiliki tanah pertanian antara ½ Ha s/d 1 Ha 327 RT
Memiliki tanah pertanian lebih dari 1 Ha 180 RT
Jumlah total rumah tangga petani 932 RT
Sumber Data : data pekon gisting atas
b. Perkebunan
Jumlah rumah tangga pemilik tanah perkebunan 575
Jumlah rumah tangga tidak memiliki tanah perkebunan 258
Memiliki tanah perkebunan kurang dari ½ Ha 205
Memiliki tanah perkebunan antara ½ Ha s/d 1 Ha 235
Memiliki tanah perkebunan lebih dari 1 Ha 135
Sumber Data : data pekon gisting atas
55
56
B. Praktik Sistem Gadai Tanah yang di Gadaikan Kembali di Kelurahan
Gisting Atas Kabupaten Tanggamus
1. Praktik Gadai Tanah yang di Gadaikan Kembali
Dalam kehidupan bermasyarakat tentu kita saling membutuhkan
satu sama lain, antara orang satu dengan orang lainnya harus saling
membantu, melengkapi dan memberi. Pada dasarnya setiap individu
mempunyai permasalahannya masing-masing dan kebutuhan yang
berbeda-beda misalnya untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka atau
untuk melunasi hutang karna eknomi mereka yang sulit. Adakala
kebutuhan itu dapat terpenuhi namun terkadang tidak dapat dipenuhi saat
itu juga. Masyarakat Kelurahan Gisting Atas Kabupaten Tanggamus pada
umum nya merupakan masyarakat yang bermata pencaharian utama yaitu
sebagai petani baik ladang, persawahan,perkebunan dan lain sebagainya.
Terjadinya gadai pada Masyarakat Kelurahan Gisting Atas
Kabupaten Tanggamus dilakukan oleh para petani yang mengalami
kebutuhan mendesak dan memerlukan uang dengan jumlah yang cukup
besar, sekalipun menunggu panen hasilnya tidak akan bisa untuk
memenuhi kebutuhan mendesak tersebut dan kebutuhan sehari-hari.
Masyarakat Kelurahan Gisting Atas Kabupaten Tanggamus lebih memilih
menggadaikan tanah nya kepada tetangga atau orang lain dibandingkan
menggadaikan di pegadaian atau bank. Alasannya karena bisa
mendapatkan uang pinjaman yang dibutuhkan dengan cepat. Tanpa ada
persyaratan yang sulit dan tidak ada nya cicilan setiap bulannya. Apabila
57
mereka meminjam uang di bank mereka tidak bisa membayar cicilan
setiap bulannya dikarenakan tanah mereka sudah digadaikan untuk
kebutuhan mendesak tersebut. Praktik gadai yang biasanya dilakukan yaitu
dengan kesepakatan antara kedua belah pihak maka akad gadai bisa secara
langsung terjadi. Demikian jika rahin membutuhkan pinjaman uang,
maka rahin menemui murtahin dengan tujuan mendapatkan pinjaman
uang dengan menawarkan sawah yang mereka punya sebagai jaminan atas
utang. Transaksi gadai yang dilakukan Masyarakat Kelurahan Gisting
Atas Kabupaten Tanggamus masih bersifat tradisional, yaitu dilakukan
antar kedua belah pihak, dan kedua belah pihak pun pada dasarnya sudah
saling mengenal satu sama lainnya.
Pelaksanaan gadai pada masyarakat Kelurahan Gisting Atas
Kabupaten Tanggamus memiliki batasan waktu beberapa kali panen. Dan
karena kedua belah pihak sudah saling mengenal dan sudah saling percaya
seringkali rahin yang meminta untuk menggarap tanah tersebut diawal
perjanjian dan murtahin menyetujuinya alasannya karena murtahin tidak
bisa menjaga atau mengelola tanah gadaian tersebut. gadai ini didasari atas
dasar tolong-menolong dan ketika rahin membutuhkan uang lagi karena
alasan mendesak untuk keperluan pribadinya, kepercayaan tersebut
disalahgunakan oleh rahin untuk menggadaikan kembali tanah miliknya
kepada orang lain (pihak ketiga).
Dalam proses Gadai Tanah yang di Gadaikan kembali di
Kelurahan Gisting Atas Kabupaten Tanggamus yaitu dengan cara rahin
58
menggadaikan tanah kepada murtahin kemudian digadaikan kembali
kepada pihak ketiga. Dengan alasan yang sama yaitu kebutuhan mendesak.
Dan Penggadaian tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan dan izin dari
murtahin.
2. Pihak yang melakukan praktik Gadai
1. Rahin
Rahin adalah orang yang memberikan Jaminan utang.
2. Murtahin
Murtahin adalah orang yang menerima Gadai.
3. Pihak ke tiga
Pihak ke tiga adalah orang yang menerima gadai dari rahin.
Berikut ini adalah hasil wawancara dengan pihak yang melakukan
gadai di pekon gisting atas kabupaten tanggamus sebagai berikut :
a. Praktik Gadai yang dilakukan oleh Bapak Rosidi dengan Bapak Parno,
Bapak Afrida dan Bapak Joko
Bapak Rosidi menggadaikan sawah nya yang seluas 10 petak yang
hasil perpanen itu sekitar kurang lebih ±1 ton padi kepada bapak parno.
Pada saat itu harga padi kering perkilonya adalah sekitar 4000 rupiah.
Bapak rosidi membutuhkan uang untuk membayar hutang. Dan pak
parno hanya sanggup memberi pinjaman dengan jumlah
Rp.7.000.000,00 . Dan dalam kesepakatan tersebut pak rosidi
mengatakan bahwa beliau lah yang akan menggarap sawah gadaian
tersebut dan hasilnya dibagi dua dan pak parno menyetujui
59
kesepakatan tersebut diatas. Dan dalam perjanjian, hutang tersebut
akan di lunasi sampai 5 kali panen.73
Hutang Pak Rosidi kepada orang
lain berjumlah sekitar Rp.20.000.000,00 untuk mencukupi pelunasan
utangnya, pak rosidi menggadaikan kembali sawah tersebut kepada
bapak afrida.74
Menurut penuturan pak afrida, pak Rosidi melakukan gadai
tersebut karena sedang membutuhkan uang untuk membayar hutang.
Dan pak afrida adalah tetangga pak rosidi maka beliau mau
meminjamkan uang kepada bapak rosidi dengan jaminan sawah
miliknya, dengan kesepakatan sawah tersebut di garap langsung oleh
pak rosidi selaku pemiliknya yang nanti hasilnya akan dibagi menjadi
dua. Dan pak afrida menyetujui perjanjian tersebut.75
Pak rosidi menggadaikan sawah tersebut kepada pak afrida tanpa
sepengetahuan pak parno. Karena hutang pak rosidi belum terlunasi
pak rosidi menggadaikan kembali sawah tersebut kepada pak joko.
Dengan kesepakatan yang sama dengan bapak parno dan bapak afrida.
Dari ketiga nya tersebut tidak ada yang mengetahui satu sama lain
bahwa sawah tersebut digadaikan kepada tiga orang.
Mulanya mereka tidak mengetahui bahwa sebenarnya sawah
tersebut telah digadaikan lagi sebanyak tiga orang. dan pada akhirnya
saat waktu panen ke dua mereka mengetahui bahwa sawah tersebut
telah digadaikan kembali. Mereka curiga karna dalam bagi hasil saat
73
Parno,wawancara dengan penulis,gisting atas blok 13,14 februari 2019. 74
Rosidi, wawancara dengan penulis, gisting atas blok 13, 14 februari 2019. 75
Afrida Isnanto wawancara dengan penulis, gisting atas blok 13, 14 februari 2019.
60
panen pertama hasil yang mereka dapat sangat sedikit dari jumlah
pendapatan dari panen tersebut.
Setelah ketiganya mengetahui kejadian tersebut, akhirnya bapak
rosidi mengakui kesalahannya karena tidak memberitahu dan tidak
meminta izin kepada mereka masing-masing.
b. Praktik Gadai yang dilakukan oleh Bapak Saji dengan Bapak Ahmad
dan Bapak Heri
Menurut Bapak Ahmad, Bapak Saji menggadaikan kebunnya pada
tahun 2011. Proses gadai yang dilakukan hampir sama dengan proses
gadai yang dilakukan oleh bapak rosidi kepada bapak parno, pak afrida,
dan pak joko, yaitu dengan datang nya pak Saji ke rumah pak ahmad
mengatakan bahwa beliau meminjam uang karena kebutuhan
mendesak. Bapak saji meminjam uang dengan jaminan kebun kopi
yang dimilikinya.76
pak ahmad menyetujui perjanjian tersebut. seiring
berjalannya waktu anak bapak saji mengalami kecelakaan sehingga
membutuhkan uang dengan cepat. Tanpa pemikiran yang panjang
akhirnya bapak saji meminjam uang kepada bapak heri dengan
jaminan kebun kopi miliknya yang notabene nya sudah digadaikan
kepada bapak ahmad.
Dan bapak saji tidak meminta izin terlebih dahulu kepada pak
ahmad. Sekitar kurang lebih dua bulan bapak ahmad mengetahui
bahwa kebun tersebut telah digadaikan kembali. Akhirnya pak saji
76 bapak Ahmad, wawancara dengan penulis, gisting atas blok 17, 14 februari 2019.
61
menemui pak ahmad dan mengatakan yang sebenarnya, dan karena
hubungan mereka lumayan dekat pak ahmad pun memaklumi hal
tersebut karena pak saji sangat membutuhkan uang untuk biaya rumah
sakit anaknya.
Jadi praktek Gadai Tanah yang di Gadaikan Kembali ini dilakukan
oleh rahin ketika rahin membutuhkan uang untuk memenuhi
kebutuhan nya saat itu juga. Karena pada dasarnya gadai yang
dilakukan didalam ruang lingkup masyarakat dilakukan atas dasar
tolong-menolong. Tanah sawah atau perkebunan yang dijadikan
sebagai jaminan utang oleh rahin dikelola oleh rahin sendiri sesuai
perjanjian awal.
3. Faktor Terjadinya Praktik Gadai Tanah yang di Gadaikan
Kembali
Praktik gadai tanah yang digadaikan kembali di Kelurahan Gisting
Atas dilakukan secara lisan dan dilakukan pada masyarakat yang
memang sudah kenal satu sama lain, dan itu mula nya terjadi atas dasar
tolong menolong.
Tujuan dari rahin menggadaikan kembali tanah nya adalah karna
membutuhkan biaya untuk kebutuhan mendesak, sehingga rahin berani
untuk mengambil langkah secara sepihak dengan menggadaikan tanah
miliknya lagi kepada orang lain. Karena faktor inilah awal mulanya
terjadi penggadaian tanah kepada pihak ketiga tanpa izin dan tidak
diketahui oleh murtahin.
62
BAB IV
ANALISIS DATA
A. Praktik Gadai Tanah yang di Gadaikan Kembali di Kelurahan
Gisting Atas Kabupaten Tanggamus
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari data lapangan
yaitu hasil wawancara, data kepustakaan baik dari data aslinya maupun
dari data terjemahan, buku-buku dan sumber data lainnya yang berkaitan
dengan judul penelitian ini, yaitu yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam
tentang Gadai Tanah yang di Gadaikan Kembali”, yang kemudian
dituangkan kedalam bab-bab terdahulu, maka sebagai langkah selanjutnya
adalah menganalisis data yang telah dikumpulkan untuk menjawab
permasalahan dalam penelitian berrdasarkan hukum Islam.
Praktik gadai yang dilakukan masyarakat Kelurahan gisting atas
yaitu adanya penyerahan jaminan oleh rahin kepada pihak ketiga untuk
meminjam uang kembali karena kebutuhan mendesak. Adapun waktu
pengembalian utang rahin kepada masing-masing rahin adalah ketika
sudah mencapai 5 kali panen dan ketika rahin sudah memiliki uang untuk
membayar utang tersebut.
Transaksi gadai dilakukan karena adanya kebutuhan yang
mendesak, baik itu kebutuhan pokok, pengobatan atau kebutuhan yang
lainnya. Masyarakat Kelurahan gisting atas masih banyak yang belum
memahami praktik gadai yang sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
63
Di dalam pelaksanaan gadai tersebut terdapat pihak ketiga, pihak
ketiga yaitu pihak yang menerima gadaian kembali dari rahin dengan
meminjamkan sejumlah uang kepada rahin dan pihak ketiga mendapatkan
jaminan tanah tersebut. sedangkan tanah tersebut sudah digadaikan
sebelumnya kepada murtahin. Dan pelaksanaan gadai menggadaikan ini
dilakukan pada waktu yang hampir bersamaan. Ini artinya masih banyak
yang belum memahami kewajiban nya sebagai rahin, seperti yang sudah
dijelaskan pada BAB II bahwa rahin boleh memanfaatkan hasilnya namun
kendati seperti itu, rahin tidak boleh bertindak untuk menjual,
mewakafkan atau menyewakan barang jaminan tesebut, sebelum ada
persetujuan dari Murtahin.
Sebagaimana telah diketahui bahwa pelaksanaan praktik gadai
dapat dikatakan sah apabila sudah terpenuhi rukun dan syaratnya yang
ditentukan oleh syara‟, apabila salah satu tidak terpenuhi maka akad
tersebut tidak sah.
B. Tinjauan Hukum Islam Tentang Gadai Tanah yang Digadaikan
Kembali di Kelurahan Gisting Atas Kabupaten Tanggamus
Manusia pada dasarnya diciptakan untuk saling tolong menolong. Manusia
juga saling membutuhkan satu sama lainnya. Adakalanya setiap orang
mengalami kesulitan pada suatu ketika. Untuk mengatasi kesulitan itu,
terpaksa meminjam uang pada pihak lain, baik kepada pegadaian maupun
kepada perorangan. Pinjaman tersebut tentunya harus disertai dengan jaminan.
64
Salah satu bentuk kegiatan muamalah yang biasa dilakukan masyarakat
Kelurahan gisting atas adalah dengan akad gadai. Yaitu suatu perjanjian
dengan adanya jaminan tanah. Praktik gadai semacam ini merupakan salah
satu solusi ketika seseorang membutuhkan uang dalam keadaan mendesak.
Gadai atau hak gadai adalah hak atas benda terhadap benda bergerak milik
si berhutang (Rahin) yang di serahkan ke tangan si pemiutang (Murtahin)
sebagai jaminan hutang. Gadai diadakan dengan persetujuan dan hak itu
hilang jika gadai itu lepas kekuasaan si pemiutang (Murtahin). Si pemegang
gadai berhak menguasai benda yang di gadaikan kepada nya selama hutang si
berhutang belum lunas, tetapi ia tidak berhak mempergunakan benda itu.
Gadai juga merupakan salah satu cara dalam muamalah yang diperbolehkan
dalam Islam. Adapun menurut sayyid sabiq dikemukakan bahwa rahn ialah
menjadikan barang yang mempunyai nilah harta menurut pandangan syara‟
sebagai jaminan utang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil
utang atau bisa mengambil sebagian manfaat dari jaminan tersebut. Pada
pelaksanaannya pihak rahin belum memahami kewajibannya sebagai
murtahin.
Praktik gadai tanah yang digadaikan kembali yang dilakukan masyarakat
kelurahan gisting atas dilakukan untuk kepentingan pribadi rahin. Karena
pihak rahin sedang membutuhkan uang untuk kebutuhannya yang sangat
mendesak, sementara tanah yang mereka miliki sudah digadaikan dan mereka
tidak memiliki cara lain selain menggadaikan kembali tanah nya untuk
mendapatkan pinjaman uang.
65
Adapun proses pengalihan gadai tersebut yakni seorang rahin masih
menggadaikan tanah nya kepada murtahin , dan karena ada kebutuhan
mendesak yang lain, tanah tersebut oleh rahin digadaikan kembali kepada
pihak ketiga tanpa sepengetahuan dan izin dari murtahin.
Dalam kegiatan bermuamalah dalam Islam tidak ada larangan selama tidak
menyalahi aturan syara‟ dan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak.
Begitu juga dalam akad gadai, dalam Islam, gadai diperbolehkan sebagai
bentuk dari tolong-menolong antar sesama (tabarru‟). Sebagaimana
ditegaskan dalam firman Allah SWT dalam Q.S Al-Maidah ayat 2 :
قوا الل قوى ول تعاونوا على الثم والعدوان وات شديد وتعاونوا على البر والت إن الل العقاب
“dan tolong-menolong lah kamu dala (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
QS.Al-Maidah (5) 2.
Jika dilihat dari pelaksanaan praktik gadai tanah yang digadaikan kembali
di dalam masyarakat kelurahan gisting atas berdasarkan hasil wawancara,
pada umumnya dilakukan atas dasar tolong menolong.
Transaksi gadai yang dilaksanakan oleh masyarakat kelurahan gisting atas
sudah memenuhi rukun gadai yaitu :
1. Aqid (orang yang melakukan akad) meliputi :
a. Ar-Rahin (yang menggadaikan)
b. Al-Murtahin (yang menerima gadai)
66
2. Sighat (ijab dan kabul), kesepakatan kedua belah pihak yaitu rahin dan
murtahin
3. Adanya barang jaminan berupa sawah dan perkebunan
4. Utang
Proses transaksi gadai yang dilakukan oleh masyarakat kelurahan gisting
atas sudah memenuhi rukun-rukun gadai. Akad yang dilakukan oleh rahin dan
murtahin dalam perjanjian sudah sesuai dengan syariat Islam. Namun ada
syarat yang tidak terpenuhi yaitu rahin menggadaikan kembali tanahnya tanpa
izin dari murtahin mengingat syarat dari barang yang akan digadaikan adalah
tidak terkait oleh hak orang lain, sedangkan dalam masalah gadai tanah yang
digadaikan kembali ini terdapat hak dari murtahin yang pertama.
Adapun ulama-ulama hanafiyah menyatakan pemilik barang boleh
memanfaatkan miliknya yang menjadi barang jaminan itu, jika diizinkan
murtahin. Mereka berprinsip bahwa segala hasil dan resiko dari barang
jaminan menjadi tanggung jawab orang yang memanfaatkannya. Hal ini
sejalan dengan sabda Rasulullah SAW “ pemilik barang jaminan (agunan)
berhak atas segala hasil barang jaminan dan ia juga bertanggung jawab atas
segala biaya barang jaminan itu. (H.R Asy-Syafi‟i dan ad Daruquthni)”
Oleh sebab itu, apabila kedua belah pihak ingin memanfaatkan barang itu,
haruslah mendapat izin dari pihak lainnya. Apabila barang yang dimanfaatkan
itu rusak, maka orang yang memanfaatkannya bertanggung jawab membayar
ganti ruginya.
67
Sedangkan ulama malikiyah berpendapat hampir sama dengan ulama
hanafiyah yang menyatakan,”ar-rahin tidak boleh memanfaatkan marhun.”
Keizinan murtahin terhadap rahin untuk memanfaatkan marhun membatalkan
akad rahin. Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa rahin tidak boleh
memanfaatkan marhun baik diizinkan maupun tidak, karena barang tersebut
bersifat jaminan dan tidak lagi hak pemilik secara penuh.
Sementara itu, ulama syafi‟iyah mengemukakan pendapat yang lebih luas
dari pendapat ulama-ulama sebelumnya, karena pemilik barang itu ingin
memanfaatkan marhun, tidak perlu ada izin dari pemegang marhun yaitu
murtahin. Alasannya barang itu adalah miliknya dan seorang pemilik tidak
boleh dihalangi untuk memanfaatkan hak miliknya. Akan tetapi, pemanfaatan
marhun tidak boleh merusak barang itu, baik kualitas maupun kuantitasnya,
sebab itu apabila terjadi kerusakan pada barang itu ketika dimanfaatkan
pemiliknya, maka pemilik barang bertanggung jawab untuk hal itu.
Kendati pemilik barang (Rahin) boleh memanfaatkan hasilnya, tetapi
dalam beberapa hal rahin tidak boleh bertindak untuk menjual, mewakafkan
atau menyewakan barang jaminan tesebut, sebelum ada persetujuan dari
Murtahin (orang yang memberi piutang).
Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan di atas, praktik gadai yang
terjadi di kelurahan gisting atas, yaitu gadai yang dilakukan atas dasar tolong
menolong antar tetangga. Pihak rahin menggadaikan tanahnya kepada
murtahin dengan tujuan untuk mendapatkan pinjaman sejumlah uang dengan
68
jaminan, agar mendapatkan kepercayaan dari murtahin bahwa utang tersebut
akan dibayar. Namun dalam pelaksanaannya ternyata tanah tersebut
digadaikan kembali oleh rahin tanpa seizin dari murtahin.
Menurut ulama hanafiyah dan syafi‟iyah rahin berhak memanfaatkan
barang jaminan tersebut kecuali atas seizin dari murtahin. Walaupun
diperbolehkan memanfaatkan barang jaminan tersebut, rahin tidak boleh
menjual, mewakafkan dan menyewakan barang jaminan tersebut. Pegadaian
antara rahin dan murtahin itu batal karena rahin tidak memiliki izin dari
murtahin untuk memanfaatkan kembali barang jaminan. Dan pegadaian antara
rahin dan pihak ketiga juga tidak sah karena seperti yang sudah dijelaskan
diatas bahwa pemilik barang tidak boleh memanfaatkan barang jaminan
kecuali atas seizin dari murtahin.
Pada dasarnya yang memiliki hak atas manfaat barang jaminan adalah
rahin. Rahin dan murtahin tidak boleh mengurangi jumlah jaminan tersebut
atau menjualnya, kecuali untuk melunasi utang. Kendati demikian, tetap harus
ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa praktik gadai tanah yang digadaikan kembali yang terjadi di pekon
gisting atas tidak dapat dibenarkan karena rahin tidak memiliki izin dari
murtahin karena tidak sesuai dengan hukum syara‟. Sedangkan syara‟
menetapkan hukum untuk kemaslahatan umatnya dan seorang mukhalaf
dituntut supaya berjalan sesuai dengan hukum syara‟ dalam segala hal.
Apabila seseorang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan hukum syara‟
maka orang tersebut telah melanggar hukum syara‟.
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dan tinjauan hukum tentang gadai
tanah yang digadaikan kembali yang terjadi di Kelurahan Gisting Atas
Kabupaten Tanggamus, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Praktik gadai tanah yang dilakukan di Kelurahan Gisting Atas,
dilakukan dengan perjanjian pinjam meminjam antara rahin dan
murtahin yang sudah mengenal satu sama lain, dengan rahin
menjaminkan tanah nya sebagai barang jaminan. Pelaksanaan dalam
perjanjian tersebut rahin yang mengelola tanah jaminan tersebut. tetapi
seiring berjalannya waktu , rahin membutuhkan uang untuk keperluan
mendesak lainnya sehingga ia menggadaikan kembali tanah jaminan
tersebut kepada pihak ketiga dan dilakukan tanpa sepengetahuan dan
seizin dari murtahin.
2. Tinjauan hukum Islam terhadap praktik gadai tanah yang digadaikan
kembali yang ada di Kelurahan Gisting Atas Kabupaten Tanggamus
tidak dibenarkan dalam hukum Islam apabila tidak ada kesepakatan
antara kedua belah pihak. Menurut ulama hanafiyah dan syafi‟iyah
bahwa rahin berhak memanfaatkan barang jaminan tersebut kecuali
atas seizin dari murtahin. Walaupun diperbolehkan memanfaatkan
70
barang jaminan tersebut, rahin tidak boleh menjual, mewakafkan dan
menyewakan barang jaminan tersebut.
B. Saran
Berdasarkan praktik yang terjadi dilapangan dapat disimpulkan bahwa
praktik gadai tanah yang digadaikan kembali di kelurahan gisting atas
Kabupaten Tanggamus tidak dapat dibenarkan dalam hukum Islam karena
tidak ada izin dari murtahin. Maka diperlukan beberapa saran antara lain
sebagai berikut :
1. Kepada petani yang melakukan praktik gadai, pada saat akad
perjanjian harus dilakukan secara detail agar tidak ada kesalah
pahaman. Dan harus disertai dengan bukti tertulis dan adanya saksi
dalam melakukan praktik gadai.
2. Bagi Para petani yang akan melakukan praktik gadai tanah harus
mencari tahu terlebih dahulu hukum-hukum Islam nya dengan
bertanya kepada tokoh agama di kelurahan gisting atas.
3. Kepada tokoh agama di kelurahan gisting atas agar supaya
mengadakan pengajian-pengajian mengenai hak dan tanggung jawab,
dalam praktik gadai, sehingga masyarakat kelurahan gisting atas bisa
memahami cara bermuamalah yang benar sesuai apa yang telah
diajjarkan oleh Rasulullah SAW dan para ulama-ulama fikih.
DAFTAR PUSTAKA
al-Baihaqi, A. B. Sunan al-Kubra.
al-Bukhairi, M. i. (1962). al-Ja'fi : al-shahih al-Mukhtasar, Juz 2. Beirut: Dar Ibn Katsir.
Ali, H. (2003). Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
al-Jaziri, A. (1969). Al-Fiqh Ala Mazahib al-Arba'ah Juz 3. Mesir: al-maktabah al-Tijariyah al-
Kubra.
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Renika Cipta.
ar-Rifai, M. N. (1999). Kemudahan dari Allah Ringkasan Ibnu Katsir Jilid I . Jakarta: Gema
Insani.
Ash-Shiddieqy, H. (1984). Fiqh Muamalah. Jakarta: Bulan Bintang.
az-Zuhaili, W. (1984). al-Fiqh al-islami wa adilatuh. Libanon: Dar al-Fikri.
Bahasa, T. P. (1998). Kamus Besar Bahasa Indonesia . Jakarta: Balai Pustaka.
Baihaqi, A. B.-H. (1344 H). Sunan Al-kubra, Juz 2. Majelis dairah al-Maarif al-Nizhamiyah al-
Kainan fi al-Hindi.
Fadlan. (2014). Gadai Syariah : Perspektif fikih muamalah dan aplikasinya dalam perbankan.
Iqtishadia , Vol.1.
Ghufron, S. (2007). Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah. Jakarta: Renaisan Anggota
IKAPI .
Hanif. (2010). Pegadaian dalam Peta Syariah. ASAS , Vol.2.
Haroen, N. (2007). Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Hasan, M. (2003). Berbagai Macam Transaksi dalam Islam . Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Indri. (2015). Hadis Ekonomi (Ekonomi dalam Perspektif Islam). Jakarta: Prenamedia Group.
Ishaq, A. b. (2004). Lubabut Tafsir min Ibnu Katsir (Tafsir ibnu katsir Jilid I). Bogor: Pustaka
Imam Asy-Syafi'i.
J.Moeloeng, L. (2001). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Ja'far, K. (2016). Hukum Perdata Islam di Indonesia. Lampung: Permatanet Publishing.
Jazuli, S. (2015). Kepastian Hukum Gadai dalam Tanah Islam. Yogyakarta: Deepublish .
Khalaf, A. W. (1994). Kaidah-Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo.
Khotibul, U. (2017). Perbankan Syariah: Dasar-dasar dan Diinamika Perkembangan di
Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Mardani. (2013). Fiqh Ekonomi Syariah . Jakarta: Prena Media Group.
Mustofa, I. (Jakarta). Fiqh Muamalah Kontemporer. 2016: Rajawali Pers.
Nasional, P. B. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Noer Saleh, M. (1989). Pedoman Membuat Skripsi. Jakarta: Gunung Agung.
Nurul Huda, M. H. (2010). Lembaga Keuangan Islam. Jakarta: Media Grafika.
Radial. (2014). Paradigma dan Model Penelitian Komunikasi. Jakarta: Bumi Aksara.
RI, D. A. (2010). Al-Qur'an dan Terjemahannya. Bandung: Diponegoro.
Rozalinda. (2016). Fikih Ekonomi Syariah . Jakarta: Gaya Media Pratama.
Sedamayanti. (2001). Metodologi Penelitian . Bandung: Mandar Maju.
Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Kombinasi Mixed Methods. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D . Bandung: Alfabeta.
Suhendi, H. (2014). Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajjawali Pers.
Sujarweni, V. (2014). Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Susiadi. (2015). Metode Penelitian . Lampung: Pusat Penelitian dan Penerbitan LP2M IAIN
Raden Intan.
Zainudin, M. J. (1999). Muamalah dan Akhlaq. Bandung: Pustaka Setia.
Sumber Jurnal
Fadllan,2014. "Gadai Syariah: Perspektif Fikih Muamalah dan Aplikasinya dalam Perbankan"
Iqtishadia, Vol.1 No.1, (Pamekasan: Jurusan Syariah dan Ekonomi STAIN
Pamekasan,2014,(On-line),tersedia di
http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/iqtishadia/article/view/364 (08
September 2019) dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
H.B. Syafuri,2014. "Aktivitas Gadai Syariah dan Implikasinya Terhadap Produktivitas
Masyarakat di Provinsi Banten" Al-'Adalah, Vol.XII, No.2, (Banten: Fakultas Syariah
dan Ekonomi Islam IAIN Maulana Hasanudin Banten,2014, (On-line), tersedia di:
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/adalah/article/view/197/404 (08 September
209), dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Hanif,2010. "Pegadaian Dalam Peta Syariah" ASAS, Vol.2 No.2, 2010,(On-line), tersedia di
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/asas/article/view/1624/1358 (08
September 2019) , dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.